Identitas Kota

36
TRANSFORMASI STRUKTUR DAN KULTURAL MASYARAKAT PERI URBAN BADUNG DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS KEKOTAANNYA. TRANSFORMASI SPASIAL; Determinan Perubahan Struktur Dan Kultural Masyarakat Peri Urban Badung I Wayan Yudi Artana 1 , Wahyudi Arimbawa 2 Konsentrasi Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa Kota Program Magister Arsitektur, Universitas Udayana Jl. PB Sudirman, Denpasar E-mail 1 : [email protected] , E-mail 2 : [email protected] Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menemukenali identitas kawasan perkotaan mangupura dari aspek pertumbuhan dan perkembangan sosial yang terjadi. Sebagai kawasan perkotaan baru, ide PENDAHULUAN Sebuah kota, dalam konteks sosiologi sering dikaitkan sebagai tempat permukiman yang relatif besar, berpenduduk padat dan permanen, terdiri dari individu yang heterogen secara sosial ( De Goede, dalam Sarlito 1992: 40). Sementara itu, Bintarto (1989:34) menyatakan bahwa dari segi geografis, kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial- ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis. Tumbuhnya pola perkembangan kota (Buku klasik karya E. W. Burgess (1967) nampaknya masih menjadi referensi banyak ahli ilmu sosial untuk menjelaskan fenomena perkembangan kota, terutama kaitannya dengan industrialisasi) yang mengikuti hadirnya industri antara lain nampak dari munculnya pola pemukiman mengikuti alur sepanjang jalur transportasi (pola pita), mengikuti agregat industri yang ada di kota (pola multinuclei) serta pola sektoral yang tumbuh akibat terjadinya pemanfaatan ruang kota yang makin berragam. Terlepas dari seperti apa pola pemanfaatan ruang kotanya, kecenderungan yang nampaknya umum terjadi adalah (1) pertumbuhan pemanfaatan ruang kota mengalami akselerasi yang tinggi sejalan dengan meningkatnya aktivitas industri dan pendukungnya, (2) kota dengan aktivitas industrinya memiliki kekuatan penarik (pull factor) 1

Transcript of Identitas Kota

Page 1: Identitas Kota

TRANSFORMASI STRUKTUR DAN KULTURAL MASYARAKAT PERI URBAN BADUNG DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS KEKOTAANNYA.

TRANSFORMASI SPASIAL;

Determinan Perubahan Struktur Dan Kultural Masyarakat Peri Urban Badung

I Wayan Yudi Artana1, Wahyudi Arimbawa2

Konsentrasi Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa KotaProgram Magister Arsitektur, Universitas Udayana

Jl. PB Sudirman, DenpasarE-mail 1: [email protected] , E-mail2: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk menemukenali identitas kawasan perkotaan mangupura dari aspek pertumbuhan dan perkembangan sosial yang terjadi. Sebagai kawasan perkotaan baru, ide

PENDAHULUAN

Sebuah kota, dalam konteks sosiologi sering dikaitkan sebagai tempat permukiman yang relatif besar, berpenduduk padat dan permanen, terdiri dari individu yang heterogen secara sosial ( De Goede, dalam Sarlito 1992: 40). Sementara itu, Bintarto (1989:34) menyatakan bahwa dari segi geografis, kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial-ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis.

Tumbuhnya pola perkembangan kota (Buku klasik karya  E. W. Burgess (1967) nampaknya masih menjadi referensi  banyak ahli ilmu sosial untuk menjelaskan  fenomena perkembangan kota, terutama kaitannya dengan industrialisasi) yang mengikuti hadirnya industri antara lain nampak dari munculnya pola pemukiman mengikuti alur sepanjang jalur transportasi (pola pita), mengikuti agregat industri yang ada di kota (pola multinuclei) serta pola sektoral yang tumbuh akibat terjadinya pemanfaatan ruang kota yang makin berragam. Terlepas dari seperti apa pola pemanfaatan ruang kotanya, kecenderungan yang nampaknya umum terjadi adalah (1) pertumbuhan pemanfaatan ruang kota mengalami akselerasi yang tinggi sejalan dengan meningkatnya aktivitas industri dan pendukungnya, (2) kota dengan aktivitas industrinya  memiliki kekuatan penarik (pull factor) yang kuat sehingga terjadi aglomerasi penduduk yang tinggi, (3) intensitas pemanfaatan ruang kota yang makin tinggi sehingga kemudian menjadi kekuatan menumbuh-kembangkan kawasan pinggiran kota, sebagai embrio munculnya kawasan urban baru di pinggiran kota (Firman 1989 dalam Suharman, 2011:2).

Sejarah kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota yang dimasa lalu berkembang karena perdagangan, tidak dapat dipungkiri fakta historisnya bahwa kota-kota itu menjadi persinggahan, pertemuan dan percampuran lintas budaya, etnis, agama sehingga menghasilkan kompleksitas masyarakat yang sangat tinggi. Kemajemukan masyarakat kota-kota seperti itu makin bertambah sejalan dengan majunya sarana transportasi maupun terbukanya isolasi geografis, baik  dimasa lalu maupun sekarang ini. Kota menjadi representasi masyarakat yang berkarakter majemuk, baik dalam pengertian sebagai plural society maupun pluralistic society. Gambaran Furnivall tentang masyarakat majemuk

1

Page 2: Identitas Kota

sebagai masyarakat bangsa yang terpilah sesungguhnya jelas terjadi dalam masyarakat kota-kota di Indonesia, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Sayangnya perkembangan kota yang terjadi selama ini cenderung menghilangkan identitas atau jati diri kawasan perkotaannya. Selama ini istilah identitas kota lebih dipahami sebagai ciri atau jati diri fisik sebuah kota. Padahal pengertian identitas lebih dari sekedar ciri fisik suatu obyek, melainkan juga makna yang terkandung di dalamnya atau aspek-aspek non fisik yang dimiliki. Krisis identitas kota adalah keadaan semakin menipisnya nilai-nilai identitas, ciri khas atau jati diri yang dimiliki suatu kota. Fenomena ini tidak sekedar berkaitan dengan kondisi menurunnya nilai visual atau penampilan fisik suatu kota, namun juga berimbas pada hilangnya makna yang dikandungnya.

Purwanto, 2009:2 menyatakan bahwa citra kota belum tentu merupakan identitas. Citra Kota dapat dibuat secara instan, sedangkan identitas membutuhkan waktu yang lama untuk membentuknya. Jati diri kota berkaitan dengan ritme sejarah yang telah melalui proses panjang sehingga jati diri suatu kota tidak dapat diciptakan begitu saja berbeda dengan citra kota. Membangun identitas kota sangat diperlukan, karena identitas kota tidak hanya berbicara jatidiri sebuah kota namun lebih luas lagi yaitu bagaimana masyarakat yang menempati menjadi lebih nyaman dalam bersosialisasi, berinteraksi, sedangkan masyarakat yang mengamati menjadi lebih tertarik untuk mengunjungi dengan berbagai potensi kekayaan khasanah lokalnya. Disadari bahwa pembangunan kota beridentitas yang berbasis pada kekayaan lokal akan lebih banyak melibatkan peran masyarakatnya, dan hal tersebut akan berkait dengan sosial budaya masyarakatnya.

Kevin Lynch dalam bukunya The Image of The City (1960) mendefinisikan identitas kota sebagai berikut :

“……..identitas kota bukan dalam arti keserupaan suatu objek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan objek lain serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri” (Lynch, 1960)

“…….identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri” (Lynch, 1960).

Dari definisi tersebut sangat jelas bahwa identitas suatu kota pada dasarnya adalah sesuatu yang mampu memberikan kesan dalam sebuah proses imajinasi manusia dan pada akhirnya menciptakan kesan tersendiri dalam perjalanannya. Identitas suatu kota tidak sekedar simbolis arsitektural semata seperti tragedi salah kaprah para penguasa yang berpikir praktis bahwa menciptakan identitas suatu kota cukup dengan membuat “landmark’ semata.  Memahami citra dan identitas kota tidak hanya berorientasi pada keberadaan elemen-elemen fisik maupun kejelasan struktur kotanya namun yang lebih penting bagaimana keberjalinan antara manusia dengan artefak fisik dapat terbangun. Sehingga adanya sebuah “sense” yang memberikan makna bagi setiap orang yang berjalan di sudutnya.

2

Page 3: Identitas Kota

Mangupura: Identitas Kekinian Kawasan Perkotaan Kabupaten Badung

Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2009 tentang Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Badung dari Wilayah Kota Denpasar Ke Wilayah Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali menetapkan bahwa Ibukota Kabupaten Badung berkedudukan di sebagian Wilayah Kecamatan Mengwi yang meliputi 9 (Sembilan) desa/kelurahan yaitu Desa Mengwi, Desa Gulingan, Desa Mengwitani, Desa Kekeran, Kelurahan Kapal, Kelurahan Abianbase, Kelurahan Lukluk, Kelurahan Sempidi dan Kelurahan Sading. Dalam peraturan tersebut juga ditetapkan nama kawasan ibu kotanya yaitu “Mangupura” dan selanjutnya disebut Kawasan Perkotaan Mangupura. Luas Kawasan Perkotaan Mangupura sendiri adalah sebesar 3.587 Ha atau 9,21% dari wilayah Kabupaten Badung keseluruhannya.

Dalam perkembangannya, Kawasan Perkotaan Mangupura selanjutnya ditetapkan menjadi bagian dari kawasan perkotaan Metropolitan Sarbagita sebagai kawasan Perkotaan Sekitar dari Kota Inti Denpasar. Sedangkan dalam konstelasi kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Badung, Kawasan Perkotaan Mangupura merupakan wilayah pengembangan Badung Tengah dengan fungsi utama kawasan adalah pertanian berkelanjutan, ibukota kabupaten dan pusat pelayanan umum skala regional (Raperda RTRWK Badung tahun 2011-2032). Sesuai dengan fungsi yang diembannya, penataan ruang Kawasan Perkotaan Mangupura pada dasarnya adalah mengembangkan sebuah kota baru pada kawasan perkotaan yang tumbuh alami dari kawasan perdesaan yang ber-pola ribbon sepanjang jalur utama. Lokasi Kawasan yang berada pada jalur jalan nasional (jalan arteri primer Gilimanuk – Denpasar), akan mendorong penyatuan kawasan perkotaan Kawasan Perkotaan Denpasar, Kawasan Perkotaan Mangupura dan Kawasan Perkotaan Tabanan dalam satu kesatuan sistem Kawasan Metropolitan Sarbagita.

Demikian juga jika dilihat dari arah dan kecenderungan perwujudan Kawasan Perkotaan Mangupura sebagai Ibukota Kabupaten Badung. Secara bertahap telah tampak dengan adanya manifestasi maujud beberapa fungsi pelayanan regional yang telah mulai dibangun ataupun direncanakan secara definitif yaitu pembangunan Terminal Regional Mengwi, pembangunan Kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung, adanya Pusat Pelayanan Kesehatan Kabupaten Badung (RSUD Badung di Kapal), adanya Pasar Umum dan Pasar Hewan Beringkit, adanya Kawasan Perkantoran Kodim dan Polres Badung serta rencana pengembangan jalan arteri primer Canggu-Beringkit-Batuan-Purnama sebagai koridor jalan yang membelah kawasan Perkotaan Mangupura menjadi dua bagian. Beberapa fungsi pelayanan kawasan skala besar yang dibangun merupakan representasi dari manifestasi identitas dan simbolisasi ciri khas Kawasan Perkotaan Mangupura yang mengandung diferensiasi citra dari wilayah lainnya di Bali. Dibangun sebagai upaya untuk membangun citra dan identitas sebagai ibu kota yang menawan hati, ibu kota yang merupakan tempat keindahan, kedamaian dan kebahagiaan, ibu kota yang mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakatnya, dan ibu kota yang menumbuhkan rasa aman bagi masyarakatnya sesuai dengan nama Mangupura yang dilegitimasi pada saat pembentukkannya.

Lebih lanjut, Kawasan Perkotaan Mangupura jika dilihat secara geografis berada ditengah-tengah wilayah Kabupaten Badung baik dari utara-selatan maupun timur-barat. Pencapaian lokasi perkotaan Mangupura dari berbagi kecamatan dapat memanfaatkan jaringan jalan arteri dan kolektor primer yang ada. Outlet kawasan perkotaan ini dalam konstelasi wilayah Kabupaten Badung terdiri dari enam jalur utama yaitu dua jalur utara ke wilayah kecamatan Mengwi bagian utara, Abiansemal dan Kecamatan Petang. Dua jalur ketimur yaitu ke wilayah Kecamatan Abiansemal. Sedangkan dua jalur keselatan merupakan jalur penghubung interkoneksi ke wilayah Kecamatan Mengwi bagian selatan, Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Kuta dan Kecamatan Kuta Selatan. Perembetan kegiatan disepanjang koridor jalan ini, menyebabkan munculnya kegiatan permukiman yang merupakan campuran antara permukiman perkotaan dan perdesaan, namun masih dominan ciri permukiman perdesaan. Kawasan permukiman perkotaan berada pada kawasan Kota Mengwi, koridor jalan utama dari Sempidi sampai Mengwi, dan permukiman-permukiman baru yang dikembangkan oleh pengembang. Selebihnya pada beberapa desa

3

Page 4: Identitas Kota

lainnya masih merupakan permukiman perdesaan yang penyebarannya mengikuti jalan lokal desa. Luas kawasan permukiman berdasarkan keterangan luas pekarangan dalam data BPS adalah 958 Ha atau 22,80 % dari luas wilayah perencanaan. Tipologi permukiman yang ada adalah percampuran antara permukiman tradisional Bali, dengan perkembangan permukiman baru. Permukiman tradisional pada dasarnya masih berada di seluruh desa di Kawasan Perkotaan Mangupura, dan yang menonjol terutama masih terdapat di Desa Mengwi dengan adanya bekas kerajaan Mengwi. Aktivitas yang menonjol adalah kegiatan perdagangan lokal, pemerintahan dan aktivitas sosial budaya. Sedangkan kombinasi permukiman baru biasanya dimanfaatkan untuk kegiatan campuran antara kegiatan perdagangan dan jasa dengan permukiman baru berkembang.

Kondisi ini merupakan cerminan dari kota yang secara transisional mengalami transformasi dari rural menuju kehidupan yang lebih urban (rural-urban development). Oleh sebab itu, tipologi permukiman yang terbentuk biasanya mengikuti alur jalan–jalan utama kawasan, berkembang pesat secara masif disisi-sisi jalan sebagai konsekwensi logis perkembangan kota secara sentrifugal yang oleh Yunus (2005:60), diklasifikasikan sebagai proses perkembangan spasial sentrifugal memanjang. Proses ini merupakan penambahan areal kekotaan yang terjadi di sepanjang jalur atau koridor jalan utama. Jalur memanjang ini biasanya merupakan jalur transportasi utama yang kemudian muncul dominansi penggunaan ruang yang sifatnya komersil seperti yang terjadi pada daerah studi kasus yaitu koridor Denpasar-Mengwitani yang sebaran keruangannya terkonsentrasi lebih besar disepanjang koridor jalan dari pada sebaran melebarnya. Istilah lainnya yang sering digunakan adalah Ribbon Development, Axial Development, Linear Development, Elongated Development. Lanskep Kawasan Perkotaan Mangupura dapat digambarkan setidaknya dari kondisi ril penggunaan lahan (land use) dan eksistensi ruang terbuka (open space) yang ada. Dengan penggunaan lahan yang dominan persawahan, Kawasan Perkotaan Mangupura merupakan entitas dari karakter kawasan perkotaan yang memiliki wajah perdesaan. Selain itu, wajah perdesaan ini dipertegas lagi dengan elemen-elemen ruang terbuka yang berupa jalur hijau dengan hamparan sawahnya dan ruang yang terbangun hanya sekitar 22,80% dari luas lahan keseluruhan (Kecamatan Mengwi dalam Angka, 2011).

Dilihat dari segi sosial kependudukannya, hasil registrasi penduduk masing-masing desa/kelurahan di Kawasan Perkotaan Mangupura pada tahun 2010 diketahui jumlah penduduknya sebesar 60.203 jiwa, dengan tingkat kepadatan bersih penduduk adalah sebesar 101,43 jiwa/ha, dan laju pertumbuhan penduduk yang terjadi cukup tinggi yaitu sebesar 2,97%/thn. Hal ini merupakan implikasi dari status dan peran yang diembannya sebagai kawasan perkotaan baru serta adanya kecenderungan ekstensifikasi kawasan terbangun di beberapa titik-titik simpul kegiatan kawasan. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi ini juga mengindikasikan terjadinya migrasi penduduk pendatang yang cukup tinggi serta terjadinya aglomerasi kegiatan di beberapa di pusat kegiatan di Kawasan Perkotaan Mangupura. Entitas Kawasan Perkotaan Mangupura sebagai kota baru juga bisa dicermati dari struktur perekonomian kawasannya yang menunjukkan dari kesembilan desa/kelurahan yang ada, sebanyak tujuh desa/kelurahan yang penduduknya lebih dari 50% bekerja di sektor non primer. Sedangkan dua desa lainnya yaitu Desa Kekeran dan Desa Gulingan masih dominan aktivitasnya di sektor primer. Meski demikian, dalam perkembangannya sektor pertanian diperkirakan akan terus menyusut perannya, diganti perdagangan dan jasa, pemerintahan, industri kecil, transportasi serta perumahan. Hal ini bisa dilihat dari struktur mata pencaharian penduduknya yang pada tahun 2008 masih dominan disektor pertanian yaitu lebih dari 50%, kini ditahun 2012 sudah mengalami penurunan yaitu masih hanya sebesar 41,29% penduduk masih bekerja di sektor pertanian dan sisanya sebesar 58,71% sudah bekerja di sektor non primer, baik dibidang perdagangan dan jasa, industri, pemerintahan dan sebagainya (Kecamatan Mengwi dalam Angka, 2011).

Secara sistem kemasyarakatan, tata kehidupan kemasyarakatan di Kawasan Perkotaan Mangupura sedikitnya mempunyai tiga bentuk persekutuan dasar yang terkait secara fungsional dan atau struktural

4

Page 5: Identitas Kota

dalam kehidupan personalnya yaitu keluarga inti senior, banjar dan desa pekraman. Keluarga inti senior merupakan personifikasi identitas banjar dan desa pekraman yang dibentuk dari ikatan kesamaan teritorial bermukim. Kumpulan komunitas “keluarga inti senior” membentuk komunitas masyarakat dengan persekutuan sosial yang lebih besar, mempunyai patrun yang sifatnya mengikat, yang dituangkan dalam wadah berupa organisasi banjar dan desa pekraman dengan legitimasi awig-awig atau perarem sebagai pedoman pandu perilaku kehidupan keseharian masyarakatnya. Secara umum teridentifikasi tata kehidupan masyarakat di Kawasan Perkotaan Mangupura terbagi menjadi dua sistem kemasyarakatan yaitu : pertama, sistem kekerabatan yang terbentuk menurut adat yang berlaku, dipengaruhi oleh adanya klen-klen keluarga, misalnya kelompok kekerabatan berdasarkan dadia (keturunan), pekurenan, atau bahkan sistem kekerabatan yang terbentuk sebagai akibat dari adanya perkawinan yang berasal dari satu keluarga inti; kedua, sistem kemasyarakatan yang merupakan satu kesatuan sosial, terbentuk dari kesamaan wilayah/teritori administrasi dan teritorial adat.

Selain sistem kemasyarakatan diatas, juga terdapat sistem kelembagaan yang terdapat di kawasan perkotaan mangupura yang dibagi berdasarkan profesi. Bentuk organisasi profesi ini kemudian disebut sebagai Sekaa. Misalnya, lembaga subak yang bersifat sosio-agraris-religius yang anggotanya terdiri dari para petani yang mempunyai sawah. Di kawasan perkotaan mangupura setidaknya terdapat 19 (sembilan belas) subak basah, dimana 7 (tujuh) subak didalamnya termasuk dalam Sedahan Yeh Sungi dan 12 (dua belas) Subak Sedahan Yeh Penet. Keberlanjutan organisasi sosial ini mempunyai komplikasi permasalahan yang saling berhimpit dengan perkembangan fisikal perkotaan di Kawasan Perkotaan Mangupura sebagai implikasi ditetapkannya sebagai kawasan perkotaan. Keberlanjutan subak sebagai nilai sosio-agraris-religius dalam sistem sosial masyarakatnya merupakan fitur yang mestinya harus diadopsi sebagai bagian tidak terpisahkan dalam mengembangkan sistem perkotaan baru yang sustain.

Alur Historis Kemunculan Entitas Kawasan Perkotaan Mangupura

Sebelum pemisahan Kota Denpasar sebagai satu satuan wilayah administratif, Kabupaten Badung merupakan warisan Kerajaan Badung yang dimasa kejayaannya dikendalikan dari Puri Denpasar sebagai pusat aktivitas pemerintahan. Sejak kekalahan Badung dalam Perang Puputan tahun 1906, Badung takluk di bawah kekuasaan Belanda, memasuki masa kolonial, dan berada di bawah pemerintahan langsung Belanda. Alur historis kemunculan entitas kawasan perkotaan mangupura ini kemudian dapat dibagi menjadi 4 (empat) segmentasi alur cerita yaitu:

Kerajaan Badung zaman Puri Denpasar 1788-1906; Badung pada Masa Kolonial; Badung pada Masa Kemerdekaan; dan Badung setelah berpisah dengan Kota Denpasar dan terbentuknya Ibu kota Kabupaten Badung:

Mangupura.

Kerajaan Badung zaman Puri Denpasar 1788-1906

Sebelum Kyai Tegeh Kori memangku kepemimpinan di wilayah Badung, wilayah ini masih dikuasai oleh penguasa-penguasa tingkat desa (mekel desa) yang umumnya dipegang oleh para Pasek. Kemudian para Pasek di wilayah Tonjaya (sekarang Desa Tonja) di bawah pimpinan Pasek Bendesa mengangkat Kyai Tegeh Kori sebagai “raja” Badung dengan gelar Kyai Anglurah Tegeh Kori atas restu dan rekomendasi Dalem Waturenggong di Gelgel sekitar awal Abad XVI. Sebagian wilayah kerajaan Badung saat itu merupakan wilayah Kertalangu yang sebelumnya di bawah kekuasaan I Gusti Ngurah Penatih (Keytimu, 2004:12). Dengan demikian Kyai Anglurah Tegeh Kori menjadi bawahan (vasal) Dalem di Gelgel. I Pasek Bendesa beserta para pasek lain di wilayah tersebut seperti Pasek Gaduh, Pasek Dangka, Pasek Kubayan, Pasek Ngukuhin, dan Pasek Tangkas kemudian sekitar tahun 1505

5

Page 6: Identitas Kota

U

membangun puri untuk Kyai Anglurah Tegeh Kori di ujung utara Desa Tonjaya, di pinggir Sungai Ayung sebagai pusat pemerintahan Badung. Puri ini ditempatkan di sudut timur laut catuspatha, di sebelah barat Tukad Ayung kemudian disebut Puri Benculuk. Kyai Anglurah Tegeh Kori karena menempati Puri Benculuk juga dijuluki Arya Dalem Benculuk 1. Di samping Puri Benculuk, juga dibangun dua buah pura. Pertama, pura di sebelah timur puri untuk pemujaan Batara Tohlangkir (Gunung Agung) sekarang disebut Pura Dalem Bangkasa. Kedua, Pura Batur Sari untuk pemujaan Batari Danuh di Gunung Batur terletak di sebelah barat daya pusat catuspatha, sekarang bernama Pura Gde Batur Sari Kawitan Arya Tegeh Kori (Putru,t.t., 6-7; Segati Putra, 1990:24-25).

Pusat pemerintahan kerajaan Badung dalam periode 1788 –1906 terletak di Puri Denpasar. Catuspatha di halaman luar Puri Denpasar merupakan catuspatha agung atau catuspatha yang paling utama di Kerajaan Badung. Puri Denpasar merupakan puri yang paling utama di kerajaan Badung di atas puri-puri lain seperti Puri Pamecutan, Puri Kesiman, Puri Ksatrya, dan Puri Jro Kuta. Keutamaan puri terlefleksi dari luas, jumlah mandala (palebahan, pelataran), dan jumlah mandala inti (mijil) suatu puri. Sedangkan ke-utama-an suatu catuspatha tergantung dari ke-utama-an puri dan kelengkapan fasilitas kota yang ada di sekitar catuspatha yaitu pasar, wantilan, dan taman/alun-alun (Putra,1998:196-197).

Gambar 1. Struktur kekuasaan puri dan catuspatha kerajaan Badung di Kota Denpasar (Anonim-

Gegevens Betreffende De Selfstandige Rijkjes op Bali, 1906: 67)

1 Benculuk berarti pinang/buah/jambe/pucang dipilih untuk nama puri karena Kyai Tegeh Kuri yang merupakan keturunan dari Arya Kenceng berasal dari Puri Buahan, Tabanan. Nama lain beliau adalah Arya Kenceng Tegeh Kuri dan Aya Dalem Benculuk. Baca Segatri; 1990, Babd AryaKenceng Tegeh Kori dan Putru, Babad Arya Dalem Benculuk.

6

A

C

D

E

F

KETERANGAN

A. Catuspatha Puri Denpasar (Raja)

B. Catuspatha Puri Ksatrya (Raja)

C. Catuspatha Puri Pemecutan (Raja Muda/Iwa raja)

D. Catuspatha Puri Kesiman (Anglurah Agung)

E. Catuspatha Puri Jro Kuta (Manca Agung)

F. Puri Tegal (Manca Agung)G. Puri Kaleran Kawan (Manca

Agung)H. Puri Kaleran Kangin (Manca

Agung)I. Puri Oka (Manca Agung)

HG

B

I

Page 7: Identitas Kota

Badung pada Masa Kolonial

Setelah peristiwa Puputan Badung 20 September 1906, kekuasan kerajaan Badung diambil alih oleh Belanda, kemudian Belanda membentuk pemerintahan sementara degan menempatkan seorang Asisten Residen dan seorang Adspirant Controleur dan menggunakan bekas Puri Agung Denpasar yang telah hancur akibat peperangan untuk dibanguni kantor. Tempat kedudukan pemegang pemerintahan kerajaan Badung dan juga tempat kedudukan Asisten Residen Bali Selatan sudah mulai disebut dengan Kota Denpasar bukan Puri Denpasar.

Selanjutnya, setelah Kerajaan Klungkung dapat ditaklukkan Belanda pada 28 April 1908, Belanda mulai menerapkan sistem pemerintahan kolonial, maka pemimpin pemerintahan Belanda untuk kerajaan Badung di Denpasar diubah dari adspirant controloeur menjadi controloeur. I Gusti Alit Ngurah, putra Cokoda Alit Ngurah disingkirkan ke Lombok tahun 1907 dan pada tanggal 15 Oktober 1916, dipulangkan kembali ke Bali lalu ditampung di Jro Blaluan sampai Tahun 1933 (Keytimu,2004:138-9).2 Pada Tahun 1918, I Gusti Alit Ngurah bekerja sebagai mandor di Kantor BOW (Bouw Werkplaats), sejenis Kantor Pekerjaan Umum sekarang. Kemudian menjadi Juru Tulis di Kantor Asisten Residen (1920-1924) dan selanjutnya menjadi Manteri Polisi (1925-1926). Kemudian pada Tahun 1929 diangkat menjadi negara-bestuurder dengan sebutan regent atau kepala pemerintahan daerah Badung dengan gelar Cokorda. Pembangunan kembali Puri Satrya mulai dirintis sejak tahun 1930 dan selesai tahun 1933. Pada tanggal 1 Juli 1938 Cokorda Alit Ngurah (II) diangkat sebagai zelfbestuurder untuk memimpin daerah swapraja yang disebut zelfbestuurend landschappen dan berakhir ketika mulai pendudukan Jepang sejak tahun 1942 (Rai Mirsha, 1986:33-36). Ketika menduduki jabatan sebagai zelfbestuurder, Cokorda Alit Ngurah (II) telah menempati Puri Satrya. Di bawah pemerintah Belanda cakupan wilayah Badung ditata kembali dan menjadi seperti Daerah Kabupaten Badung sebelum terpisah dengan Kota Denpasar.

Gambar 2. Administratif Kabupaten Dati II Badung

2 Dalam Buku Cokorda Alit Ngurah yang disusun oleh Rai Mirsha dkk, 1989, Cokorda Alit Ngurah disebutkan kembali ke Badung pada Tanggal 1 Oktober 1917.

7

Page 8: Identitas Kota

Badung pada Masa Kemerdekaan (1945-2006)

Cokorda Alit Ngurah (II) kemudian digantikan oleh I Gust Ngurah Gde dari Puri Agung Pemecutan sebagai pemimpin Badung dengan gelar Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan (Cokorda Pemecutan X) yang memerintah sejak 1 Mei tahun 1947 sampai dengan 23 Desember tahun 1959 ( Murya dkk., 1993:117-118). Setelah masa pemerintahan Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan berakhir, kemudian Badung berturut-turut dipimpin oleh I Gusti Ngurah Anom Pacung, I Wayan Dana, I Dewa Gde Oka, Pande Made Latra, I Gusti Bagus Alit Putra, Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi, dan trakhir Anak Agung Gde Agung. Sedangkan Denpasar sejak menjadi Kota Administratif, Kota Madya, sampai Daerah Kota Denpasar dipimpin oleh I Gusti Putu Rai Andayana, I Gusti Ngurah Wardana, I Made Swenda, I Made Arsana, dan Anak Agung Ngurah Puspayoga.

Pemerintahan Kabupaten Badung selanjutnya terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Wilayah administrasi Kabupaten Badung terdiri dari Kecamatan Kuta, Kecamatan Mengwi, Kecamatan Abiansemal, Kecamatan Petang, Kecamatan Kesiman dan Kecamatan Denpasar, dengan pusat kota terletak di Kecamatan Denpasar. Perkembangan selanjutnya Kecamatan Denpasar dan Kesiman ditetapkan menjadi Kota Administratif Denpasar yang wilayahnya menjadi : Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, dan Denpasar Selatan. Pada Tahun 1992 Kota Administratif Denpasar ditetapkan menjadi Kotamadya Denpasar berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar. Sejak tahun 1992 Kota Denpasar secara difinitif menjadi wilayah otonom sehingga terpisah dengan wilayah Kabupaten Badung, dan tidak lagi menjadi Ibukota Kabupaten Badung.

Selain menjadi Ibukota Provinsi, kota Denpasar juga menjadi Ibukota Dati II Badung. Terbentuknya Dati II ini tidak bisa dilepaskan dari Undang-undang No. 1 tahun 1957 yang dikeluarkan oleh pemerintah RI di Jakarta. Pasal 73 ayat 4 dari Undang-undang ini mengatur tentang Pelaksanaan Pembentukan Dati II. UU ini kemudian diperkuat oleh UU No. 69 tahun 1958, yang mengatur Pembentukan Daerah Swatantra. Maka pada saat itu status Daerah Swapraja Badung sudah tidak berlaku dan diganti menjadi Daerah Swatantra Tingkat II . Berdasarkan UU No. 18 tahun 1965 (disyahkan pada tanggal 1 September 1965) tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, maka status Badung berubah dari Daerah Swatantra Tingkat II menjadi Kabupaten dengan Ibukotanya Denpasar.

Semua infrastruktur politik seperti lembaga-lembaga pemerintahan dan infrastruktur ekonomi, seperti pelabuhan laut, pelabuhan udara, hotel dan perbankan yang dibangun sejak zaman Belanda yang dipusatkan di Denpasar dan sekitarnya terus berkembang hingga sekarang, menyebabkan Denpasar mengalami perubahan fisik dan non fisik. Perubahan fisik yang drastis, mendorong para elit pemerintahan Badung menjadikan Denpasar sebagi kota administratif. Terjadinya transformasi sosial salah satu wujud perubahan non fisik dengan tidak adanya dikotomi antara orang desa dengan orang kota di Kecamatan Denpasar merupakan salah satu yang diperhitungkan dalam menunjang keinginan menjadikan Denpasar sebagai kota administratif. Wujud lain dari perubahan non fisik, seperti perubahan sosial yang ditandai dengan terjadinya pluralisme agama di kota Denpasar, tentu juga dijadikan sebagai landasan berpijak untuk mewujudkan Denpasar sebagai kota administratif dan tentunya faktor pertumbuhan ekonomi juga diperhitungkan. Perubahan non fisik yang juga diperhitungkan untuk menjadikan Denpasar sebagai kota administratif adalah dengan terjadinya perubahan demografis di kota Denpasar. Denpasar kini semakin heterogen sejalan dengan semakin meningkatnya intensitas urbanisasi. Persoalan kependudukan yang terjadi di kota Denpasar jika sepenuhnya dibebankan kepada Pemda Badung, maka akan sangat memberatkannya. Oleh karena itu Denpasar harus diberikan kewenangan mengurus sendiri persoalan-persoalan yang dihadapinya.

8

Page 9: Identitas Kota

Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 28 Februari 1975 No. B.K.T 3/1/12, pemerintah pusat mengadakan penelitian mengenai kelayakan Denpasar menjadi sebuah kota administratif. Surat dari Bupati Badung bernomor Pemb. 1/299/77, tanggal 5 Maret 1977 akhirnya menjadi surat yang sangat bersejarah dalam perkembangan pembangunan kota yang ideal, kota administratif, karena tanpa adanya inisiatif ini maka PP No. 20 tahun 1978 yang menjadi landasan yuridis formal kota administratif Denpasar tidak akan keluar. Sebagai sebuah kota administratif yang diresmikan pada tanggal 28 Agustus 1978, maka wilayah kota Denpasar yang sebelumnya hanya sebuah kecamatan, kemudian dipecah menjadi tiga kecamatan yakni; Denpasar Barat, Denpasar Timur, dan Denpasar Selatan. Semakin meningkatnya masalah sosial dan semakin mampunya Kota Denpasar menjawab tantangan-tantangan itu, maka akhirnya berhasil mengubah statusnya dari kota administratif menjadi Kotamadya Denpasar pada tanggal 27 Februari 1992.

Terbentuknya Kabupaten Badung dan ibukotanya: Mangupura.

Sementara itu, semenjak tanggal 15 Januari 1992, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar lahir dan telah diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Pebruari 1992. Babak baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Tingkat I Bali, Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan juga bagi Kota Denpasar resmi dimulai. Semenjak itu pula Badung menjadi terpisah dengan Denpasar. Tuntutannya tentu saja pemerintahan Kabupaten Badung harus memiliki ibukota kabupaten tersendiri. Namun diawal perpisahannya dengan Kota Denpasar, Pemerintahan Kabupaten Badung untuk sementara masih menempati kantor pemerintahannya di Kawasan Lumintang, Denpasar. Pada tahun 21 Oktober 1999 terjadi kerusuhan besar di mana gedung kantor Pemerintah Kabupaten Badung di Lumintang dibakar sampai rata dengan tanah. Sehingga, praktis Pemkab Badung tidak lagi memiliki pusat pemerintahan. Agar roda kegiatan tetap berjalan, diputuskan untuk menyewa gedung Universitas Hindu Indonesia (UNHI) di daerah Tembau pada Januari tahun 2000 sebagai kantor sementara. Namun, pemanfaatan gedung UNHI itu tak berlangsung lama. Pada Tahun 2001 Kantor Bupati Badung dan sekretariat dipindahkan ke Balai Diklat Sempidi yang semula diperuntukkan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan.dan sebagian juga meminjam gedung pemkot Denpasar sampai dibangunnya Puspem Badung di Sempidi (.www.badungkab.go.id).

Perkembangan selanjutnya sejak dimekarkannya Kabupaten Badung menjadi dua wilayah otonom (Kabupaten Badung dan Kota Denpasar Tahun 1992), maka berdasarkan Perda Kabupaten Dati II Badung Nomor 29 Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dati II Badung telah ditetapkan Ibukota Kabupaten Badung yang baru berada di Kota Mengwi. Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Badung merupakan hal yang strategis ditinjau dari kondisi objektif perekonomian Kabupaten Badung yang telah tumbuh dengan pesat dan mampu membangun infrastruktur dalam wilayahnya untuk dijadikan sebagai Ibu Kota Kabupaten Badung. Secara faktual, berdasarkan hasil peninjauan lapangan, sebagian wilayah Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung yang meliputi 9 (sembilan) desa/kelurahan yang dinamakan Mangupura, dinilai layak dan memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Ibu Kota Kabupaten Badung. Wilayah Mangupura secara khusus telah dikembangkan sebagai kawasan perkotaan lengkap dengan infrastruktur serta sarana dan prasarana pelayanan publik sesuai standar kawasan perkotaan. Selain itu secara geografis letak wilayah Mangupura sangat strategis sebagai jalur lalu lintas antarkabupaten/kota, antarkecamatan, dan antardesa/kelurahan, serta sebagai pusat pengembangan pemerintahan, pertanian, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri kecil, moda transportasi, yang keseluruhannya telah mampu mendorong pertumbuhan perekonomian Kabupaten Badung.

Dikeluarkannya Keputusan Bupati No. 533 Tahun 2004 tentang RDTR Kecamatan Mengwi, menegaskan kembali bahwa lokasi ibukota Kabupaten Badung di Kawasan Mengwi adalah di Kawasan Mengwi Bagian Tengah yang terdiri dari 10 desa/kelurahan. Selanjutnya pada pasal 27, ayat (1) Rancangan Perda Kabupaten Badung tentang RTRW Kabupaten Badung, menegaskan bahwa Kawasan

9

Page 10: Identitas Kota

Perkotaan Mengwi sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) ditetapkan sebagai ibu kota daerah meliputi : Desa Mengwi, Desa Gulingan, Desa Mengwitani, Kelurahan Kapal, Kelurahan Lukluk, Kelurahan Sading, Kelurahan Sempidi, Kelurahan Abianbase dan Desa Dalung.

Penetapan pemindahan Ibu Kota Kabupaten Badung ke Mangupura Kecamatan Mengwi sekaligus penetapan pemberian nama Mangupura sebagai Ibu Kota Kabupaten Badung, selain dalam rangka menghormati dan mempertahankan adat dan budaya masyarakat asli setempat juga sebagai langkah strategis untuk mendukung program dan kegiatan pembangunan di berbagai bidang yang diarahkan pada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Badung khususnya dan Provinsi Bali pada umumnya. Pemberian nama Ibu Kota Kabupaten Badung telah diusulkan oleh Bupati Badung kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung dengan Surat Nomor 050/1143/Bappeda tanggal 12 Februari 2008 perihal Pengusulan Nama Ibu Kota Kabupaten Badung, dan telah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung berdasarkan Keputusan Nomor 14 Tahun 2009 tanggal 27 Mei 2009 tentang Persetujuan Penetapan Wilayah Ibu Kota dan Nama Mangupura Sebagai Nama Ibu Kota Kabupaten Badung, dilanjutkan Surat Bupati Badung kepada Gubernur Bali dengan Nomor 050/2212/Bappeda Litbang tanggal 14 Juli 2009 perihal Pengusulan Nama Ibu Kota Kabupaten Badung, serta Surat Gubernur Bali kepada Menteri Dalam Negeri dengan Nomor 120/4984/B.Pem tanggal 24 Juli 2009 perihal Pengusulan Nama Ibu Kota Kabupaten Badung (PP Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2009)

Pemberian Nama Mangupura sendiri mengandung nilai filosofis dan identitas kawasan perkotaan yang dapat ditelusuri dari makna simantik kata yang menyusunnya. Kata “Mangu” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang dapat disamakan dengan kata mango, lango,langu dan langen yang artinya perasaan rindu menjadi terpesona oleh karena keindahan; segala sesuatu yang indah yang menimbulkan rasa cinta; serta keindahan, menawan hati, dan memikat. Sedangkan kata “Pura” berasal dari bahasa Sangsekerta, yakni dari akar kata “pur” yang berarti kota, benteng, atau kota yang menawan hati; ibu kota yang merupakan tempat untuk mencari keindahan,kedamaian dan kebahagiaan; dan ibu kota yang mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakatnya (PP No. 67 tahun 2009).

Gambar 3. Kawasan Perkotaan Mangupura

10

Page 11: Identitas Kota

Politik Identitas Versus Resistensi Masyarakat Lokal : Potensi dan Permasalahannya dalam Pembentukan Identitas Kawasan Perkotaan Mangupura

Politik identitas sebagaimana diungkapkan oleh Darmadi (2010:35) merupakan konsepsi atas keseluruhan proses formasi dan pembentukan identitas masyarakat lokal. Proses ini selanjutnya melibatkan elit masyarakat dan tokoh intelektual sebagai representasi dari budaya lokal, kesadaran kultural terhadap prospek terjadinya komodifikasi ruang perkotaan dan peluang munculnya resistensi dan alineasi kultural bagi masyarakat lokal sebagai garda terdepan untuk membendung ideologi kapitalistik ruang yang akan terjadi. Sayangnya, eksistensi masyarakat sebagai objek hybernasi rural-urban kurang tersentuh secara maksimal. Konstelasi masyarakat dalam kedudukannya sebagai subyek dan obyek perubahan identitas fisikal Kawasan Perkotaan Mangupura tidak bisa disamakan dengan kontelasi hirarkis semisal penyusunan rencana tata ruang yang mekanisme pijakannya berorientasi pusat-sub pusat. Namun lebih disadari sebagai struktur yang terbentuk melalui stratifikasi primordialitas patriarki. Sistem nilai, kepercayaan sosio-spritual dan tata nilai yang dibungkus dalam bingkai kearifan lokal misalnya merupakan akselerasi yang harusnya saling berimbang antara pembentukan identitas Kawasan Perkotaan Mangupura secara fisikal maupun secara sosio-kultural masyarakatnya.

Imajinasi marginal pembentukan beberapa pusat pelayanan regional Kawasan Perkotaan Mangupura melegitimasi terbukanya peluang optimalisasi pemanfaatan ruang yang dulunya berupa kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan dengan dominansi pemanfaatan ruang maksimal untuk penunjang kegiatan pelayanan perkotaannya. Lepas dari konteks negatifnya, representasi pusat-pusat pelayanan skala regional Kawasan Perkotaan Mangupura membuka peluang bagi eksisnya perputaran kapitalistik ‘uang’ maupun peningkatan struktur perekonomian masyarakatnya. Disadari atau tidak, perubahan lingkungan binaan yang terjadi juga memberikan andil terhadap perubahan sosial masyarakat perkotaan Mangupura, baik secara struktural maupun kultural. Kohesi linear lingkungan-manusia merupakan simbiosis mutualisme yang saling memberikan dampak. Perilaku sosial membentuk identitas lingkungan dan lingkungan membentuk perilaku adaptif manusiannya. Dalam konteks wilayah studi, Kawasan Perkotaan Mangupura merupakan kawasan yang ‘sengaja’ dibentuk melalui kompromi-kompromi spasial maupun politis menjadi kawasan perkotaan yang entah dalam perjalanannya digunakan pendekatan proses modifikasi maupun komodifikasi untuk mengintervensi transformasi spasial yang terjadi. Ambevalensi sosial merupakan dampak psiko-kultural yang harus di pertangungjawabkan dalam proses lepas landas ini. Keterpinggiran ‘rasa’, alineasi ruang, pengkaburan orientasi ruang kultural dan marginalisasi modal sosial yang ada dalam sistem kemasyarakatannya yang plural dan majemuk harus segera dimediasi.

Seperti dikemukaan sebelumnya, pembentukan Kawasan Perkotaan Mangupura merupakan hasil dari kebijakan politis untuk menunjukkan identitas diri sebagai kawasan perkotaan mandiri, bergaya modern dan merupakan ekspresi kapabilitas wilayah dalam membangun dan membentuk identitas kolektif sebagai kawasan perkotaan yang ‘mapan’. Sebagai kota baru, potensi fisikal pembentukan identitas Kawasan Perkotaan Mangupura eksis dalam representasi pengembangan Pusat Ibu Kota Kabupaten Badung sebagai pusat orientasi fisik Kawasan Perkotaan Mangupura sekaligus sebagai penghubung (linkage) dan pengikat berbagai fungsi kawasan baik dalam Kawasan Perkotaan Mangupura sendiri maupun dalam lingkup yang lebih luas yaitu Kabupaten Badung. Pusat-pusat kegiatan sosial ekonomi skala kota dan wilayah yang ada sebagai manifestasi potensi pembentuk identitas Kawasan Perkotaan Mangupura meliputi :

• Kawasan Pura Taman Ayun sebagai kawasan cagar budaya dan obyek dan daya tarik wisata internasional

• Kawasan pusat kota Mengwi sebagai Catus Patha Agung Wilayah • Kawasan terminal regional type C• Pusat kegiatan perdagangan hewan di Pasar Beringkit

11

Page 12: Identitas Kota

• Kawasan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Badung• Kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung

Selain itu, potensi abstrak pembentukan identitas perkotaan Mangupura misalnya ditindaklanjuti dengan pembangunan patung ikonik di bekas pasar Desa Adat Sempidi (pemindahan atau penggusuran?), pelebaran dan rencana pembuatan boulevard jalan sehingga koridor kekotaannya tampak secara visual sebagai promenade kawasan perkotaan yang ada. Selain itu penataan trotoar linear dari selatan-utara dan penambahan vegetasi sepanjang koridor utama kawasan semakin memperkuat identitas visual kekotaan yang ingin ditampilkan. Dalam perjalanannya, proses pembentukan identitas perkotaannya secara fisikal menyebabkan perubahan struktur geomorfologi kawasan perkotaan yang dulunya masih dominan ‘hijau’ berubah menjadi ‘beraneka warna’ (fungsi berubah). Pengembangan pusat-pusat pelayanan secara masif ‘meningkatkan’ intensitas pemanfaatan lahan bahkan pada kawasan-kawasan yang peruntukkannya untuk ruang terbuka hijau.

Belum lagi ancaman jalur prosesi ritual yang terputus antar generasi, kontinuitas kultural yang semakin terancam akibat pencampuran budaya dengan pendatang serta dominansi ruang-ruang kapital pada ruang-ruang ritual akibat semakin biasnya orientasi sacred-profan yang dipahami. Ekstensifikasi ruang dan infil development yang terjadi menyisakan konflik-konflik inter relasi masyarakat-masyarakat, masyarakat-lingkungan. Peningkatan infrastruktur Kawasan Perkotaan Mangupura dalam mengantisipasi beban perannya sebagai kawasan perkotaan, cenderung mengkondisikan masyarakat sebagai personifikasi entitas yang sangat absurb diatas konsepsi desa kala patra yang ada. Ruang desa adat ‘mendapatkan’ peran dan fungsi barunya sebagai infrastruktur kawasan yang lebih besar diluar entitasnya sebagai unsur yang bernilai sakral misalnya. Tidak heran jika, konflik ruang yang terjadi kemudian melahirkan resistensi dominansi serta munculnya hegemoni ruang yang bermetamorfosis dalam agensi-agensi kapitalistik ruang perkotaan pada maksimasi pertumbuhan ekonominya saja.

Determinasi politik identitas ini tentu saja tidak hanya terjadi secara fisikal, namun hadir juga dalam manifestasinya sebagai personifikasi kehidupan sosial masyarakatnya. Kecenderungan perkembangan masyarakat baik dalam konteks struktur maupun kultur oleh Rahardjo (1999:204), dikatakan sebagai implikasi dari terjadinya perubahan sosial (social process) yang sangat intens dalam masyarakat. Perubahan ini nyatanya bisa digunakan sebagai katalisator pembangunan identitas perkotaan yang lebih membumi. Perubahan yang terlihat kini adalah pada tataran semakin terbukanya isolasi fisik dan sosio-kultural yang dulunya menciptakan kondisi bagi kuatnya akar tradisionalisme, ketertutupan informasi, resistensi dan yang jelas tampak adalah semakin ambigunya batasan baik fisikal maupun kehidupan sosial masyarakat antar desa-kota.

Sayangnya, diskursus kecenderungan perkembangan Kawasan Perkotaan Mangupura seperti pertumbuhan penduduk kota, urbanisasi, dan tekanan ekonomi masyarakat perkotaan, berpengaruh pula secara fisik pada pola penggunaan lahan perkotaan, baik berupa hak milik pribadi, kelompok/intitusi, maupun lahan milik negara. Makin tingginya kebutuhan lahan di perkotaan membuat harga lahan makin tinggi, dan makin hilangnya kemampuan masyarakat menengah-bawah untuk mengaksesnya, baik yang berfungsi privat maupun publik. Akibatnya, proses eksploitasi lahan besar-besaran oleh kelompok/lembaga yang memiliki kekuatan ekonomi hampir tidak menyisakan ruang publik yang memadai (Barliana, et al, 2008:3). Lebih lanjut menurut Subroto (2005 : 7), ”proses eksploitasi lahan yang makin tidak terkendali yang menyebabkan semakin langkanya ruang publik bagi masyarakat, cepat atau lambat akan menyebabkan terjadinya: celah dan segmentasi masyarakat. Kondisi ini akan memicu kesenjangan dalam kehidupan berinteraksi sosial, serta kompleksitas mozaik peruntukan lahan yang mengarah pada gejala diskoordinasi spasial (perpecahan keruangan) yang memicu timbulnya superioritas penduduk kota”.

12

Page 13: Identitas Kota

Seperti sebuah siklus, proses dialektika itu tampak seperti yang digambarkan oleh Wirth dalam Danumihardja, et al (1998), bahwa ”kecenderungan menurunnya harkat dan martabat kota adalah akibat berantakannya struktur sosial, perkembangan segregasi spasial yang menyiratkan ekslusivisme sosial ekonomi, menipisnya kekentalan komunitas atau pola paguyuban (gemeinschaft) yang akrab dan berubah menjadi pola patembayan (gesseilschaft) yang penuh perhitungan untung rugi”. Demikian pula, semakin miskinnya ruang publik di perkotaan akibat tekanan ekonomi, tekanan penduduk, proses kapitalisasi, dan proses materialisasi kota yang berlebihan, menyebabkan masyarakat kehilangan wadah aktivitas bersama dan interaksi yang bermakna sosial kultural untuk memupuk modal sosial (social capital) . Fenomena konflik spasial-sosial itu merupakan dialektika dari hubungan antara manusia dengan ruang dan lingkungan, seperti dinyatakan oleh Erdward Soja yang dikutip oleh Anderson (2005 : 3), bahwa: ”People modify the spaces they live in, in turn are modified by them. Society creates space; space creates society”. Manusia mengubah ruang untuk mereka hidup, dan sebaliknya ruang mengubah prilaku manusia.

Eksistensi Kawasan Perkotaan Mangupura; Sebuah Identitas Perkotaan Yang Terbentuk dari Fitur Pertumbuhan dan Perkembangan Sosial

Menurut Durkheim masyarakat adalah sistem yang mengikat kehidupan orang-orang dan merupakan lingkungan (milieu) yangmenguasai segala kehidupan.Masyarakat kota contohnya adalah salah satu jenis masyarakat yang mempunyai bentuk dan karakternya sendiri dalam melieunya. Masyarakat kota (masyarakat urban) adalah masyarakat yang anggota anggotanya terdiri dari manusia yang bermacam-macam lapisan atau tingkatan hidup, pendidikan, kebudayaan, dan lain- lain. Mayoritas penduduknya hidup berjenis jenis usaha yang bersifat non agraris. Sehingga karakteristik masyarakat kota dapat dilihat dari sikap hidupnya yang oleh Prof. Djojodiguno disebut sebagai masyarakat patembayan. Dan tingkah lakunya bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal, dan dinamis. Perwatakannya cenderung pada sifat materialistis.

Dalam konteks wilayah studi, dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, penulis merasa sangat sulit untuk melihat eksistensi identitas kota yang terbentuk dari fitur perkembangan sosial yang terjadi. Asumsi ini didasarkan pada fenomena terbentuknya kota Mangupura sebagai formasi yang ‘sengaja’ dibentuk sebagai kawasan perkotaan. Misalnya pembangunan beberapa fungsi pelayanan skala regional seperti diungkapkan diawal. Dengan cara pandang terbalik, penulis justru melihat bagaimana identitas perkotaan yang ada justru membentuk tipologi pertumbuhan dan perkembangan sosial masyarakatnya. Dalam perkembangan pemahaman penulis kemudian menggabungkan kedua aspek ini. Bagaimana perkembangan sosial membentuk identitas dan sebaliknya identitas kota juga dibentuk dari perkembangan sosialnya. Meminjam istilah Yunus (2008:187), beberapa perkembangan sosial yang menyebabkan terjadinya transformasi sosial masyarakat akibat mengkotanya sebuah tempat bisa dilihat dari berbagai perspektif yaitu :

Perkembangan sosial dari Perspektif Mata Pencaharian.

Transformasi struktur mata pencaharian masyarakat di Kawasan Perkotaan Mangupura secara eksplisit telah dijelaskan diawal. Makin banyaknya golongan petani yang berubah menjadi non petani, mengakibatkan perilaku ekonomi, sosial dan kultural yang berubah juga. Salah satu contoh, transformasi struktur mata pencaharian di Kawasan Perkotaan Mangupura mempunyai relevansi terhadap pola penyebaran aktivitas masyarakatnya yang dulu dominan petani menjadi masyarakat dengan penglaju komuter harian yang tinggi. Jika sebagai petani kisaran home range rumah-tempat beraktivitas sangat dekat, kini dengan perubahan mata pencahariannya, home range menjadi sangat luas jangkauannya. Perkembangan ribbon disepanjang jalur-jalur pergerakan ini kemudian memunculkan perkembangan memita disepanjang koridor home range ini. Teror kenaikan harga yang tinggi pada lokasi yang dekat

13

Page 14: Identitas Kota

dengan perkembangan ribbon ini selanjutnya berdampak pada adanya gangguan terhadap kegiatan pertanian serta kecenderungan menurunnya produktivitas lahan pertanian yang dekat dengan lahan terbangun perkotaan. Yunus (2008:190) menderkripsikan kondisi ini sebagai driving forces yang sangat kuat untuk meninggalkan kegiatan pertaniannya di daerah semula.

Lahan-lahan pertanian yang telah terperangkap oleh fungsi non pertanian di sekelilingnya mempunyai dampak yang sangat merugikan kegiatan pertanian. Terganggunya aliran irigasi, makin banyaknya hama pertanian karena dekat dengan areal permukiman, makin banyaknya gangguan akibat pencurian hasil pertanian serta banyaknya gangguan terhadap kualitas air akibat polusi air oleh kegiatan industri menyebabkan memudarnya komitmen petani untuk konsisten dengan mata pencahariannya. Kondisi ini nampaknya muncul sebagai akibat dari model perkembangan kota secara meloncat atau leap frogging procces (Yunus, 2005:72). Diungkapnya bahwa bentuk perkembangan ini merupakan bentuk perkembangan arealkekotaan yang terjadi secara sporadis diluar areal terbangun utamanya dan daerah pembangunan baru yang terbentuk berada di tengah daerah yang belum terbangun. Perkembangan spasial ini merupakan bentuk yang paling ofensif terhadap lahan-lahan pertanian didaerah pingiran kota.

Perkembangan sosial dari Perspektif keahlian/keterampilan

Perkembangan sosial akibat perubahan struktur mata pencaharian penduduknya mempunyai implikasi lainnya dalam pembentukan identitas Kawasan Perkotaan Mangupura yaitu dalam hal tuntutan soft skill yang harus dimiliki oleh komunitas masyarakat urbannya. Perspektif kecenderungan perkembangan sosial kekinian mempunyai mazab untuk termodernisasi baik dalam hal stratifikasi sosial maupun dalam hal pencitraan personal lewat stratifikasi bidang pekerjaan yang digeluti oleh pengaruh ‘gengsi’. Perkembangan sosial dewasa kini menyebabkan berubahnya paradigma ‘tempat bekerja’oleh generasi mudanya. Malu membuat sebagian besar generasi kini sudah berpindah haluan ke sektor non pertanian, meski secara keturunan mereka mewarisi kekayaan berupa ‘tanah pertanian’ oleh moyangnya. Pekerjaan di sektor formal ini menuntut perubahan dalam hal tingkat pendidikan dan penyesuaian lingkungan kerja baru sebagai implikasi berubahnya haluan bekerja masyarakat di Kawasan Perkotaan Mangupura.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa pekerjaan formal kekotaan bersifat fixed sedangkan pekerjaan non-formal kedesaan seperti petani misalnya bersifat open. Hal ini oleh Yunus (2008:192) dimaksudkan bahwa untuk menjadi seorang petani tidak diperlukan syarat khusus. Siapa saja, di mana saja dan kapan saja dapat mengukuhkan dirinya sebagai petani. Sementara itu itu menjadi pekerja formal kekotaan seseorang harus memenuhi prasyarat tertentu. Oleh karena adanya persyaratan-persyaratan khusus tersebut,tidak semua orang mampu mengaksesnya, maka kemudian terciptalah bidang-bidang keahlian tertentu yang sifatnya spesifik dan kondisi ini mewarnai kegiatan kekotaan dan selalu berasosiasi dengan identitas perkotaan. Semakin banyak bidang pekerjaan non-pertanian yang bersifat khusus, makin terbentuk identitas kawasan perkotaan dari perspektif keahlian penduduknya. Dengan dibangunnya pusat pemerintahan Kabupaten Badung dan telah beroperasinya terminal regional tipe C di Mengwitani serta beberapa fungsi regional lainnya lambat laun menuntut perubahan keterampilan disektor formal. Sebagian besar kini telah bekerja disektor industri, perdagangan/jasa dan pemerintahan.

Perkembangan Sosial dari Perspektif kekerabatan

Dari perspektif kekerabatan, identitas perkotaan Mangupura secara perlahan tapi pasti mengalami transformasi dari masyarakat yang kental sifat paguyubannya (gemeinschaft) menjadi masyarakat yang patembayan (gesselschaft). Hubungan antar personal dalam satuan permukiman misalnya, menunjukkan adanya kecenderungan merenggang yang merupakan implikasi dari adanya pemilahan antara kegiatan

14

Page 15: Identitas Kota

yang berorientasi profit material dengan bukan. Gejala dekohesivitas sosial merupakan implikasi dari munculnya perubahan dan perkembangan masyarakat dari sifat peguyuban ke patembayan. Kaitannya dengan gejala dekohesivitas di Kawasan Perkotaan Mangupura terlihat dua hal yang terlihat yaitu ; pertama, masuknya pendatang-pendatang baru secara individual ke dalam permukiman kedesaan (rural area). Munculnya pendatang baru dengan latar belakang sosial, ekonomi dan kultural yang berbeda di Kawasan Perkotaan Mangupura yang cukup tinggi. Dimana, berdasarkan data Mengwi dalam Angka, 2011 tercatat arus migrasi terbesar terjadi di Desa Abianbase, Kelurahan Kapal, dan Sempidi) secara infiltratif dan mengisi rumah di antara rumah-rumah yang sudah ada, maka terjadilah gejala perenggangan sosial dan kekerabatan. Beberapa pranata sosial yang sudah lama dilaksanakan secara turun temurun oleh anggota masyarakat sedikit demi sedikit mengalami pergeseran karena beberapa pendatang baru tidak mengikutinya. Gejala kedua, adalah dibangunnya beberapa kompleks perumahan baru di lingkungan komunitas paguyuban yang telah eksis sebelumnya. Kompleks perumahan ini dianggap sebagai suatu gejala segregasi permukiman (pemisahan). Keberadaan kompleks perumahan baru ini jelas akan memunculkan nilai-nilai baru yang berbeda dengan nila-nilai sosio-kultural dari komunitas yang telah berkembangan sebelumnya. Munculnya ekslusivitas sosial dalam hal ini tentunya akan mengakibatkan terganggunya sistem sosial yang sudah terbentuk serta terputusnya interaksi sosial.

Perkembangan Sosial dari Perspektif Kelembagaan

Makin berkembangnya masyarakat dalam hal pendidikan, jumlah penduduk dan makin banyaknya pendatang dengan latar belakang sosio-kultural yang berbeda,maka makin berkembang pula dimensi kepentingan kehidupan yang ada. Kelembagaan sosial yang terbentuk juga semakin banyak dan kompleks. Dalam rangka mengakomodais segala bentuk permasalahan tersebut terbentuklah berbagai macam lembaga baik formal maupun non formal. Proses perkembangan sosial dari aspek kelembagaan ini kemudian nampak pada wilayah studi secara jelas menunjukkan adanya perubahan – perubahan kelembagaan masyarakat yang awalnya sangat sederhana menjadi semakin kompleks, orientasi agraris tradisional menjadi non-agraris modern, peraturan tidak tertulis menjadi tertulis, sanksi-sanksi yang sifatnya kepercayaan berubah menjadi sanksi berketetapan hukum. Perkembangan kelembagaan non formal diluar lembaga desa adat dan banjar adat oleh komunitas di luar Hindu-Bali nyatanya semakin lama semakin eksis ditengah ketatnya organisasi adat yang ada.

Perkembangan Sosial dari Perspektif Strata Sosial

Infiltrasi nilai-nilai kekotaan yang diketemukan di Kawasan Perkotaan Mangupura yang terjadi secara intens akibat kemajuan dan trend kapitalisme informasi, kini telah memberikan ‘warna’ yang beraneka dari berbagai sisi. Jika semula masyarakata masih ditenggarai oleh sifat agraris tradisional dengan stratum sosial yang sangat sederhana dan homogen (lihat penjelasan komposisi struktur mata pencaharian Kawasan Perkotaan Mangupura), maka transformasi dan perkembangan sosial yang perlahan muncul adalah munculnya sifat non-agraris heterogen dengan berbagai strata sosial yang lebih beraneka ragam, tingkat pendidikan.kesejahteraan bahkan sampai kepada imobilitas penduduknya. Pertumbuhan dan perkembangan sosial ini dengan sendirinya merupakan proses yang berjalan secara perlahan melalui perubahan struktur sosial. Pada tahap awal, kemunculan stratifikasi sosial ini belum tampak namun seiring makin berubahnya rona kewilayahan menjadi rona wilayah perkotaan menyebabkan munculnya strata sosial baru misalnya dari perspektif ‘kekayaan materi’.

15

Page 16: Identitas Kota

Perkembangan Sosial dari imobilitas penduduk

Oleh karena semakin heterogennya komposisi penduduk dari segi pekerjaan, penghasilan dan daerah asal, maka imobilitas penduduk juga semakin tinggi. Jika kondisi sebelumnya bahwa imobilitas penduduk keluar daerah kawasan Perkotaan Mangupura masih relatif kecil, karena penduduk petani pada umumnya bekerja dilahan pertanian yang letaknya masih disekitar tempat tinggalnya. Kini, dengan berubahnya struktur mata pencaharian dan tingkat pendidikan yang dimiliki kemungkinan tingkat perjalanan semakin tinggi. Masyarakat yang dulunya masih sangat terikat sekali dengan ‘kewajiban ngayahnya’ kini dengan sistem ‘membayar denda’ bisa meninggalkan kewajiban tersebut dan melakukan aktivitas pekerjaannya di luar lingkungan desa adatnya dengan bebas. Berbagai modifikasi-modifikasi kultural lainnya telah muncul sebagai implikasi tingginya tingkat kebutuhan untuk melakukan perjalanan dan aktivitas diluar lingkungan desanya. Daya mobilitas penduduk ini pun

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Semiotika Makna Identitas Kawasan Perkotaan Mangupura

Berdasarkan uraian tentang tranformasi spasial maupun sosial yang terjadi di Kawasan Perkotaan Mangura, jelas bahwa pemaknaan ruang dan interaksi masyarakat mengalami diferensiasi sosial secara imajiner. Diferensiasi sosial yang diketemukan diwilayah studi berdasarkan telaah literatur menyangkut perbedaaan karakteristik masyarakatnya, jenis aktivitas dan intensitasnya, intensitas norma dan budaya lokal terhadap pemanfaatan ruangnya, serta simbol dan hirarki atau tanda-tanda sebagai makna ciri dan status sosial. Perbedaan ini dilihat berdasarkan waktu, yaitu jangka panjang (berkaitan dengan perubahan sosial masyarakat, indikator sosial, dan perkembangan budaya), dan jangka pendek ( berkaitan dengan intensitas pemanfaatan waktu, tempo, dan irama kegiatannya).

Pertanyaan krusialnya adalah sejauh mana pemaknaan sosial yang ingin dicapai jika dikaitkan dengan beberapa diferensiasi sosial yang terjadi sebagai aktualisasi identitas Kawasan Perkotaan Mangupura?. Atau seberapa dalam identitas kota yang ada memberikan ruang terhadap eksistensi masyarakat lokal dan kearifannya (genious loci) dalam melanjutkan kehidupan sosialnya? Pertanyaan ini tentunya harus dijawab dengan melihat sejauh mana tingkat kepentingan atau makna identitas Kawasan Perkotaan Mangupura yang ada dalam memberikan kontribusi dan pengaruhnyanya dalam kehidupan pranata sosial penduduknya.

Berbicara tentang makna tentu saja berbicara tentang persepsi yang sifatnya sangat absurb. Persepsi lingkungan yang dihadirkan dari identitas Kawasan Perkotaan Mangupura misalnya dari ‘nomenklatur Mangupura’, mengandung makna sebagai tempat keindahan, kedamaian mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Sejauh mana kemudian makna ‘Mangupura’ ini berpengaruh terhadap identitas kekotaannya? tentu secara institusional ‘nama Mangupura’ merupakan identitas difinitif yang bahkan penetapannya dilakukan secara yuridis formal melalui dewan. Dalam prakteknya makna nama ini kemudian diejawantahkan dalam visi dan misi pembangunan wilayahnya. Namun dalam konteks masyarakat, apakah nama ini mempunyai makna?

Pertanyaan ini, bisa dijawab dengan melihat pernyataan Zahnd (1999:153) bahwa identitas (nama) sebuah tempat perlu diperhatikan dalam suatu ‘analisis tempat’. Apakah ciri khas tempat tersebut? Apakah yang menyebabkan adanya suatu perasaan terhadap suatu tempat ? Apa yang dilakukan di tempat itu ? hal itu berarti bahwa makna bisa berafiliasi dengan ‘rasa’ terhadap tempat.

Pemahaman tentang nilai dari tempat (rasa), merupakan pemahaman tentang keunikan dari suatu tempat secara khusus, bila dibandingkan dengan tempat lain. Keunikan biasanya merupakan kualitas khusus yang selalu diamati dan dibicarakan oleh para pendatang maupun oleh penghuninya. Identitas dapat juga berupa peristiwa-peristiwa, yang disebut “Sense of Occasion”, yakni tempat dan peristiwa akan saling menguatkan satu dengan yang lain dan menciptakan suatu keberadaan (Schulz, 1980 dalam

16

Page 17: Identitas Kota

Purwanto, 2001:89). Lebih lanjut, Kota akan lebih tepat bila dipandang sebagai suatu loka (loci, place, tempat) jika kota dapat menyediakan ruang (space) untuk kegiatan, untuk orientasi, disamping mempunyai karakter (character) sebagai jiwa tempat, untuk identifikasi. Karakter yang spesifik dapat membentuk suatu identitas, yang merupakan suatu pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah perkotaan, yang secara umum disebut a sense of place.

Secara ringkas penulis merangkum beberapa makna dan tingkat kepentingan yang ingin diperankan oleh identitas Kawasan Perkotaan Mangupura yaitu :

1. Makna historis. Dari sudut pandang ini, penulis mengidentifikasi makna identitas Kawasan Perkotaan Mangupura ini semacam indoktrinisasi untuk mempertegas ‘status definitif’ nya sebagai kawasan perkotaan mandiri dan lepas dari intervensi Kota Denpasar sebagai induk pemerintahan. Identitas Kawasan Perkotaan Mangupura saat ini merupakan akumulasi situasi politis perkembangan kawasan sejak masih menjadi satu dengan Kota Denpasar. Dimulai dari pemekaran wilayah menjadi dua wilayah otonom sampai kepada megaproyek ‘sakit hati’ Pusat Pemerintah Badung di Sempidi akibat pembakaran Pusat Pemerintah Badung di Lumintang.

2. Makna Fungsional. Dalam konteks fungsional, makna Kawasan Perkotaan Mangupura diperankan sebagai pusat pelayanan kawasan baik skala Kabupaten Badung maupun dalam konstelasi pengembangan wilayah yang lebih luas. Eksistensinya sebagai bagian kawasan Metropolitan Sarbagita (Kawasan Strategis Nasional berdasarkan Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011) menegaskan peran dan makna yang diembannya sebagai kawasan yang berfungsi regional yaitu sebagai Pusat Pelayan Nasional (PKN).

3. Makna Ekonomi. Makna lainnya adalah membangun identitas dan pencitraan sebagai kawasan perkotaan yang ‘mapan’ secara ekonomi. Dengan didukung oleh pengembangan sektor kepariwisataan yang sangat intensif, Kawasan Perkotaan Mangupura merupakan kawasan yang sepenuhnya mengelola pendapatan dari sektor turistik pariwisata tersebut. Secara ekonomi juga bisa dikatakan bahwa perubahan sosial dan kultur masyarakatnya merupakan legitimasi kapitalistik perubahan struktur perekonomian masyarakat agrikultur menjadi masyarakat urbani.

4. Makna Sosial Budaya. Sebagai bagian dari kerangka ‘kewilayahan Bali’, Kawasan Perkotaan Mangupura juga menunjukkan eksistensi kawasannya sebagai representasi dari nilai-nilai lokal yang diadopsi dalam tatanan struktur tata ruang kota. Beberapa “setting place” semisal adopsi konsep Cathus Patha Puri Mengwi kedalam tatanan ruang pusat pemerintahannya merupakan ‘iklan’ visual identitas kota berwawasan budaya.

5. Makna Ekologis. Seperti halnya pengembangan kota-kota baru di manapun, ide keberlanjutan lingkungan merupakan ‘jargon’ pemerintah untuk menunjukkan bahwa pengembangan kotanya tetap berkiblat pada konsep – konsep pelestarian lingkungan. Dalam beberapa sesi diskusi mengenai konsep pengembangan Masterplan Infrastruktur Kawasan Perkotaan Mangupura misalnya, secara eksplisit dan gagah berani, pemerintah yang diwakili oleh Bappeda-nya mencanangkan konsep “Green Infrastructure” sebagai konsep utama, ditambah lagi beberapa konsep ‘usang’ dari luar seperti TOD, Garden City dan sebagainya yang entah relevansi dan akurasinya dengan kondisi setempat masih bias.

Lynch dalam Purwanto (2001:89) mengungkapkan identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time) yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Identitas itu adalah sebuah proses dan bukan benda temuan yang dapat direkayasa. Apabila identitas itu hanya dipahami sebagai benda-benda parsial dan ikon-ikon yang terlepas dari konteks ruang tempat dia dilahirkan, maka yang dihasilkan hanyalah reproduksi mekanis dari pembentukan identitas di masa lalu. Lebih lanjut, Lynch mengungkapkan bahwa identitas diperlukan bagi seseorang untuk membentuk kepekaannya terhadap suatu tempat, dan bentuk paling sederhana dari “kepekaan ruang” (sense of place) adalah identitas. Sebuah kesadaran dari seseorang untuk merasakan sebuah tempat berbeda dari yang lain,

17

Page 18: Identitas Kota

yaitu sebuah tempat memiliki keunikan, kejelasan, dan karakteristik sendiri. Kepekaan ini tidak hanya tergantung kepada bentuk-bentuk spasial dan kualitasnya, tetapi juga pada budaya, temperamen, status, pengalaman, dan peranan pengamat, sedangkan dinamika kota terbentuk lewat interaksi antara orang dan ruang (sosial dan spasial).

Dalam pembentukan identitas kota, Lynch (1982) lebih menfokuskan pada citra kota yang merupakan mainstream pembentuk identitas sebuah kota, termasuk makna yang dilekatkan pada personifikasi kota yang ada. Menurutnya ada 3 (tiga) komponen untuk mewujudkan citra kota yang harus mencakup :

1. Identitas (identity). Suatu kota harus dapat dibedakan dengan kota-kota yang lain, sehingga dikenal sebagai sesuatu yang berbeda.

2. Struktur (structure). Adanya hubungan spasial atau hubungan pola antara kota dengan penghuninya (masyarakat) dan dengan kota-kota lainnya, sehingga tercipta suatu pola ruang tertentu.

3. Makna (meaning). Suatu kota harus mempunyai arti tertentu bagi pengamat (masyarakat), baik secara kegunaan maupun emosi yang ditimbulkannya (sense of place)

Melengkapi pernyataannya, Lynch menambahkan hal lain yang juga turut dapat mempengaruhi suatu identitas kota selain objek-objek fisik yang tampak (perceptible objects). Menurutnya identitas kota juga dipengaruhi oleh makna sosial (social meaning), fungsi (function), sejarah (history), bahkan turut berpengaruh nama (name) dari kota tersebut (Lynch,1982). Identitas merupakan suatu senyawa dari atribut-atribut dan pengertian fisik, tetapi secara sengaja memilih untuk berkonsentrasi pada fungsi bentuk, dengan mengembangkan hipotesis bahwa pengatahuan manusia mengenai kota merupakan fungsi dari imageabilitasnya. Citra kota ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor: sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, adat isitiadat serta politik yang pada akhirnya akan berpengaruh pula dalam penampilan (performance) fisiknya.

Gambar 4. Hubungan Antara Citra Kota,bKarakter dan Identitas Kota

Sumber : Lynch 1982 dalam Purwanto, 2001:89

Keterkaitan perkembangan sosial dengan perwujudan identitas kota

Pertumbuhan dan perkembangan sosial yang terjadi di Kawasan Perkotaan Mangupura, secara teori akan dilandaskan pada keterkaitan dan interaksi antara tiga kekuatan yaitu (Rahardjo, 1999:189): kekuatan internal yang ada dalam masyarakat desa, kekuatan eksternal terutama yang datang dari pengaruh globalisasi serta program-program pembangunan pemerintah. Lebih lanjut, Rahardjo

18

Page 19: Identitas Kota

mengatakan bahwa kekuatan internal, baik secara struktural maupun kultural, cenderung merupakan kekuatan statis yang sekalipun dianggap sebagai faktor resistensi (penghambat perubahan pembangunan), namun juga merupakan kekuatan yang sangat menentukan pola adaptasi masyarakat terhadap pengaruh-pengaruh dari luar. Sedangkan kekuatan luar, dirumuskan sebagai pengaruh dari arus globalisasi yang berintikan sistem kapitalisme modern, mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap terjadinya proses perubahan sosial (social change) yang terjadi dalam masyarakat. Kekuatan luar lainnya yang terutama diwakili oleh sosok pemerintah, diyakini mempunyai keberpihakan secara ideologi yang terkandung dalam arus modernisasi. Sehingga, dalam pertumbuhan dan perkembangannya masyarakat menghadapi dua fitur kekuatan eksternal yang dasyat dan mengubah tatanan masyarakat dari ‘atas’ dan ‘bawah’.

Jika dilihat dari faktor internal, pertumbuhan dan perkembangan sosial masyarakat di Kawasan Perkotaan Mangupura dipengaruhi oleh landasan filosofis budaya Hindu yang menjadi orientasi dan koridor dalam tatanan kehidupan sosial masyarakatnya. Budaya Bali dapat diperankan sebagai landasan penataan ruang, pemberi identitas, dan penunjang perkembangan sosial masyarakatnya. Budaya ide seperti falsafah Tri Hita Karana dan konsepsi-konsepsi ruang dan orientasi sangat berperan dalam landasan pembentukan ruang yang terjadi, yang selanjutnya kemudian diikuti oleh budaya aktivitas. Budaya aktivitas seperti perilaku disiplin, taat aturan, pola hidup bersih dan sehat, serta tekun dan kerja keras akan dapat mendukung terwujudnya lingkungan yang baik dan akan sangat mendukung kemajuan pembangunan identitas dan karakter perkotaan Mangupura. Demikian besar peran budaya Bali dalam kontelasi pembentukan identitas kawasan perkotaan yang berkarakter budaya. Sehingga, beberapa fitur yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dilandaskan pada norma dan filosofis ke-Bali-an yang ada. Sejalan dengan itu, Suartika (2010:314) menyatakan bahwa praktik dan wujud budaya Bali (ke-Bali-an) secara langsung menjadi acuan tingkah laku kehidupan sehari-hari ‘orang Bali’. ‘Orang Bali’ ini terikat akan kaidah/tata nilai,norma,serta kode-kode tradisi yang dijadikan sebagai acuan ‘pengatur’ pola-pola interaksi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sirkumtansi ini menjadikan budaya tidak hanya berurat akar dari satuan masyarakat pendukungnya, tetapi keberlangsungannya secara kontinyu dilestarikan dalam basis keseharian. Sawah dengan subaknya misalnya, merupakan salah satu pendukung budaya Bali yang perlu dipertahankan. Oleh karena itu, dalam perkembangnya alih fungsi sawah harus ditekan sekecil-kecilnya.

Tidak salah kemudian muncul anekdot yang menyatakan ‘biarkan Kawasan Perkotaan Mangupura berada di tengah sawah’. Hal ini akan menjadi salah satu identitas yang unik karena sangat jarang dijumpai di tempat lain. Untuk kepentingan penduduk yang terus berkembang, maka dibutuhkan ruang-ruang publik baik terbuka maupun tertutup berupa lapangan olah raga, pertamanan, dan fasilitas pasar. Ruang terbuka hijau yang dimanfaatkan untuk sawah, benang pemisah antar desa, dan telajakan yang tersisa mesti dipertahankan dan diwajibkan dalam pembangunan baru. Jalur-jalur prosesi keagamaan juga harus dijaga untuk keberlangsungan kehidupan keagamaan dengan baik seperti kepentingan prosesi melasti, ngelawang, tawur kesanga, dan lain sebagainya. Selain itu terdapat sebaran kawasan-kawasan suci serta aktivitas budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Pura Taman Ayun misalnya, merupakan tempat kegiatan sosial budaya masyarakat Badung dan Bali yang telah ditetapkan menjadi warisan budaya dunia. Keberadaan Puri Mengwi di pusat Kota Mengwi dengan Catus Patha di sekitarnya yang merupakan jejak historis/ heritage Kabupaten Badung yang diarahkan sebagai pusat interaksi sosial

budaya, prosesi budaya masyarakat sekaligus sebagai ruang terbuka hijau publik,

Secara eksternal, eksistensi Kawasan Perkotaan Mangupura sebagai ‘kota baru’ merupakan implikasi kebijakan politis pembentukan kawasan perkotaan sebagaimana telah dijelaskan di awal. Perubahan identitas kawasan yang dahulunya masih menampakkan identitas kedesaannya, lambat laun bertransformasi menjadi kawasan yang dominansi kegiatan menjadi ‘warna’ kekotaan. Kenampakan visual kekotaan ini mulai dikenalkan dengan citra fisikal yang dibangun, serta terjadinya perubahan

19

Page 20: Identitas Kota

struktur dan kultur masyarakat yang dulu masih dominan ke agraris menuju masyarakat komuter. Dalam studi ini, penulis menemukan fakta yang menarik bahwa biasanya proses perubahan sosial baik dalam konteks struktur maupun kultur biasanya terjadi seiring dengan proses perkembangan kawasannya. Namun dalam wilayah studi, perubahan sosial (social change) yang terjadi merupakan dampak ikutan yang menyertai proses terbentuknya identitas kawasan perkotaan mangupura. Artinya bahwa kawasan perkotaannya terbentuk lebih dahulu, kemudian menyebabkan berubahnya tatanan sosial masyarakatnya. Perubahan sosial yang terjadi dapat berupa perubahan terhadap nilai-nilai sosial, norma-norma, perilaku masyarakat, organisasi atau cara hidup masyarakatnya itu sendiri. Dalam konteks Kawasan Perkotaan Mangupura, identitas perkotaanya diletakkan sebagai pondasi awal kemudian pertumbuhan dan perkembangan sosial diarahkan untuk mengikuti trend dan karakter perkotaan yang ada, namun tetap memperhatikan khazanah dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada.

Dengan beban perannya sebagai kawasan perkotaan, pertumbuhan penduduk yang terjadi secara umum teridentifikasi memiliki kecenderungan pertumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini juga diperkuat dengan adanya arus migrasi yang cukup signifikan di wilayah studi. Percampuran budaya lokal dengan budaya penduduk pendatang merupakan konsekwensi logis dari perkembangan kawasan studi kearah perkotaan. Pencampuran budaya lokal dengan budaya penduduk pendatang, harus dapat dikelola secara arif yang perlu dikuatkan dalam awig-awig desa pekraman atau perarem terkait tata pawongan dan tata palemahan. Seluruh Kawasan Perkotaan Mangupura pada dasarnya adalah wewidangan palemahan desa pekraman, namun disatu sisi pengembangan kawasan perkotaanya memerlukan ruang palemahan yang merupakan domain teritorial desa pekraman. Konflik ruang dan kepentingan (conflict of interrest) hadir sebagai represntasi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat rural ke urban di Kawasan Perkotaan Mangupura. Komodifikasi ruang dan marjinalisasi masyarakat merupakan dampak ikutan yang turut memberikan kontribusi pada terbentuk identitas perkotaan yang kapitalistik.

Sebagai sebuah contoh, dampak yang ditimbulkan dari kecenderungan perubahan struktur mata pencaharian penduduk di Kawasan Perkotaan Mangupura adalah pada konteks pola penyebaran aktivitas penduduknya. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, teridentifikasi sementara ada tiga pola pergerakan yang umum terjadi yaitu pertama, pola aktivitas penduduk lokal yang tinggal dan beraktivitas dalam teritori wilayahnya sendiri. Umumnya bekerja pada sektor primer yaitu pertanian dan sektor non primer serta perdagangan dan jasa skala lokal. Kedua, pola aktivitas penduduk lokal maupun pendatang yang tinggal dan beraktivitas di kawasan perkotaan mangupura, namun bekerja di sektor perkotaan. Ketiga, pola aktivitas penduduk pada sistem Metropolitan Sarbagita, yaitu penduduk yang tinggal di Kawasan Perkotaan Mangupura dengan aktivitas/pekerjaan di sektor perkotaan (non pertanian), melakukan penglaju komuter hariannya di luar Kawasan Perkotaan Mangupura (biasanya beraktivitas di Kota Denpasar, kawasan pariwisata atau Kota lain) dan demikian juga sebaliknya yaitu penduduk yang tinggal di luar kawasan perkotaan Mangupura, tetapi beraktivitas di Kawasan Perkotaan Mangupura. Pola pergerakan ini menyebabkan tingginya tingkat penglaju harian (commuter) yang terjadi pada koridor-koridor jalan di kawasan. Kedekatan lokasi antar pusat kegiatan walaupun berbeda wilayah administrasi dalam Kawasan Metropolitan Sarbagita, menyebabkan terjadinya kecenderungan penglaju harian (commuter) yang cukup tinggi dari Kawasan Perkotaan Mangupura ke kecamatan lainnya di Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan kawasan sekitarnya (Tabanan, Gianyar, Ubud) dan demikian juga sebaliknya secara acak. Dalam perkembangan selanjutnya, pola aktivitas penduduk yang tinggal di Kawasan Perkotaan Mangupura akan mengisi ruang-ruang didalam kawasan melalui proses densifikasi (pemadatan) atau infill (pengisian) pada permukiman yang telah ada, dan ekstensifikasi pada kawasan baru yang telah diarahkan untuk kawasan permukiman.

20

Page 21: Identitas Kota

KESIMPULAN; Usaha Memperkuat Identitas Kota, Sebuah Pemahaman Terhadap Kontinuitas Sosio-kultural

Pada dasarnya, upaya untuk membentuk identitas kota merupakan usaha untuk menghindari kota-kota yang berwajah sama yang tidak mencirikan apa yang ada didalamnya,atau tidak kontekstual dengan lingkungan, aktivitas serta budaya masyarakat yang harus diwadahi. Kota sebagai sebuah sistem kehidupan merupakan sebuah entitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai sebuah sistem sosial, dimana di dalamnya terdapat sub-sub sistem (budaya, ekonomi, politik), yang satu sama lain saling berkaitan dan mempengaruhi (interrelated sub systems). Larry Lyon dalam The Community in Urban Society, (1987) menunjukkan keberadaan community, yang berbeda dari society dalam lingkungan perkotaan. Sebagai sistem sosial,  kehidupan masyarakat kota dapat dilihat dari dua sisi yang bisa dibedakan, tetapi tak bisa dipisahkan: Struktur sosial dan Proses sosial.

Dari sisi struktur sosial, masyarakat kota dipengaruhi oleh berbagai parameter atau atribut yang membentuk struktur tersebut. Parameter struktur sosial ini terdiri dari dua macam, yaitu pertama, parameter nominal, yang membagi secara tegas anggota masyarakat ke dalam dua kategori yang berbeda, misalnya jenis kelamin, pekerjaan pokok, suku bangsa, agama dan sebagainya. Parameter yang lain adalah parameter graduated, parameter bertingkat-jenjang seperti umur, penghasilan, tingkat pendidikan dan sebagainya. Dari sisi parameter nominal, perbedaan yang terjadi akan menghasilkan keragaman sosial (social heterogenity), makin berragam parameter nominal ini, makin berragam pula karakteristik sosial yang ada dalam masyarakat. Pada sisi yang lain, bekerjanya parameter  graduated akan menumbuhkan kesenjangan sosial (social inequality), makin senjang posisi sosial masyarakat dalam struktur tersebut, semakin jauh jarak sosial (social distance) antar warga tersebut. Sebaliknya, makin pendek kesenjangan, makin dekat jarak sosialnya. (Suharman, 2011:2)

Lebih lanjut dikemukakan oleh Suharman ( 2011:3), Ini semua menjadi pembangun dan penentu struktur sosial yang ada dalam masyarakat kota, sekaligus mempengaruhi proses sosial: interaksi sosial yang terjadi diantara penduduk kota tersebut. Ini akan mempengaruhi proses interaksi sosial masyarakat, apakah akan menumbuh- kembangkan kerjasama (cooperation), atau sebaliknya justru menumbuhkan persaingan (competition) atau bahkan menghadirkan pertentangan (conflict) yang dapat menggoyahkan sendi sendi kehidupan masyarakat tersebut. Dalam perspektif sosiologis, makin ragam suatu masyarakat dan atau disertai oleh makin tingginya kesenjangan sosial ekonomi di dalam masyarakat tersebut, akan sangat besar pengaruhnya terhadap proses intergrasi sosial (social integration) masyarakat. Perbedaan sosial dan jarak sosial akan menghasilkan sekat-sekat sosial yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses integrasi sosial masyarakat, suatu kondisi atau prasyarat yang umumnya yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk berkembang secara normal dan wajar.

Struktur sosial dari kota dapat dirinci atas beberapa gejala sebagai berikut: (a) heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang; (b) hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder; (c) kontrol (pengawasan sekunder), di kota orang tak mempedulikan peri laku pribadi sesamanya; (d) toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan; (e) mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang; (f) ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya; (g) Individualisasi, merupakan akibat dari sejenis atomisasi, orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan (h) segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.

Kawasan Perkotaan Mangupura merupakan entitas kota baru dengan segala dominansi pemanfaatan ruang kotanya diarahkan untuk membentuk identitas perkotaannya yang berjatidiri dan berwawasan budaya. Identitas kota baru merupakan pencerminan dari konsep dasar pembangunan kota

21

Page 22: Identitas Kota

baru yang termanifestasikan pada aspek tata ruang perkotaannya, yang mencakup aspek normatif, aspek fungsional dan aspek fisik kota. Identitas normatif kota baru yang diemban oleh Kawasan Perkotaan Mangupura merupakan suatu komunitas yang seimbang (a socially balanced community). Identitas fungsional kota baru adalah suatu kota yang mandiri (a self contained town). Identitas fisik kota baru adalah suatu kota yang nyaman (a pleasant town). Identitas kota itu sendiri berkaitan erat terhadap identitas diri penghuninya yang diekspresikan pada aspek tata ruang perkotaannya. Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam membentuk identitas Kawasan Perkotaan Mangupura (disarikan dari Samadhi, 2004:8) meliputi:

1. Perlunya penetapan karateristik, gaya hidup, tata laku, preferensi lingkungan, citra dan identitas, taksonomi ruang dan waktu dari kelompok masyarakat

2. Perlu pemahaman terhadap kebutuhan untuk mengekpresikan simbol status sosial pada lingkungan perkotaan, termasuk cara-cara pokok yang harus digunakan untuk membentuk identitas sosial

3. Perlu diketahui corak kebutuhan sistem aktivitas dan aspek latennya, serta bagaimana distribusinya dalam ruang dan waktu. Sehingga kaitan antara homerange dan perilkau teritorial masyarakatnya.

4. Perlu ditelusuri organisasi, hubungan dan jaringan sosial serta hubungan antar ketiganya dengan organisasi lingkungan, dengan pola-pola pergerakan dan juga dengan tingkat dan wadah interaksi.

Penguatan entitas desa adat sebagai kontrol sosial

Eksitensi desa adat di Bali secara umum dan desa adat di Kawasan Perkotaan Mangupura, secara historis dan tradisi adalah unit permukiman yang akrab dan bersifat harmoni dengan kehidupan masyarakat Bali. Keakraban tersebut tumbuh dari eksistensi desa adat sebagai ekspresi nilai-nilai budaya inti (cultural core) masyarakat. Sense of place yang termanifestasi dalam unit permukiman tradisonal masyarakat merupakan unit sosio-ritual yang menghubungkan manusia dengan leluhurnya yang secara bersama-sama diikat oleh keberadaan pura Tri Kahyangan desa. Desa adat memiliki legitimasi independensi yang tinggi untuk mengatur dan menyelenggarakan tata kelola pemerintahan desanya secara otonom. Secara sosio-kultural juga memiliki makna yang penting hanya bagi penghuni baik dalam pengaturan tatanan permukiman, psiko-kosmik ritual dan aturan-aturan adatnya sendiri sesuai dengan filosofi desa mawa cara yang tersirat dalam awig-awig desa adat.

Identifikasi identitias kota yang ada saat ini

Perjalanan kemunculan identitas yang teridentifikasi

Potensi permasalahan pembentukan identitas kota

Fitur-fitur perkembangan serta pertumbuhan sosial yang menjadi faktor penentu karakter serta keberadaan kota

22

Page 23: Identitas Kota

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Level kepentingan/makna yang diperankan identitas kota yang dimaksud

Keterkaitan perkembangan sosial dengan perwujudan identitas kota

Usaha serta mekanisme mendasar yang diperlukan untuk memperkuat,menumbuhkan fitur identitas kota (dari hasil2 analisis diatas)

Fitur-fitur perkembangan serta pertumbuhan sosial yang menjadi faktor penentu karakter serta keberadaan kota

Tumbuhnya pola perkembangan kota (Buku klasik karya  E. W. Burgess (1967) nampaknya masih menjadi referensi  banyak ahli ilmu sosial untuk menjelaskan  fenomena perkembangan kota, terutama kaitannya dengan industrialisasi) yang mengikuti hadirnya industri antara lain nampak dari munculnya pola pemukiman mengikuti alur sepanjang jalur transportasi (pola pita), mengikuti agregat industri yang ada di kota (pola multinuclei) serta pola sektoral yang tumbuh akibat terjadinya pemanfaatan ruang kota yang makin berragam. Terlepas dari seperti apa pola pemanfaatan ruang kotanya, kecenderungan yang nampaknya umum terjadi adalah (1) pertumbuhan pemanfaatan ruang kota mengalami akselerasi yang tinggi sejalan dengan meningkatnya aktivitas industri dan pendukungnya, (2) kota dengan aktivitas industrinya  memiliki kekuatan penarik (pull factor) yang kuat sehingga terjadi aglomerasi penduduk yang tinggi, (3) intensitas pemanfaatan ruang kota yang makin tinggi sehingga kemudian menjadi kekuatan menumbuh-kembangkan kawasan pinggiran kota, sebagai embrio munculnya kawasan urban baru di pinggiran kota (Lihat pula kajian lain seperti yang dilakukan oleh  Tommy Firman (1989) dalam mengkaji kota-kota di sekitar Jakarta, yang semula dikenal dengan konsep Jabotabek, kemudian kini dikenal dengan Jabodetabek).

Struktur sosial dari kota dapat dirinci atas beberapa gejala sebagai berikut: (a) heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang; (b) hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder; (c) kontrol (pengawasan sekunder), di kota orang tak mempedulikan peri laku pribadi sesamanya; (d) toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan; (e) mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang; (f) ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya; (g) Individualisasi, merupakan akibat dari sejenis atomisasi, orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan (h) segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.

Urbanisasi mengubah morfologi kota secara drastis, baik dilihat dari struktur, fungsi maupunwajah kotanya. Secara sosio-kultural, fenomena ”mengkota” menandakan terbentuknya network society yang baru dan berbeda dalam tuntutan pelayanan infrastruktur (Graham & Marvin, 2001).

23

Page 24: Identitas Kota

Daftar Pustaka

Suharman (Dosen Jurusan Sosiologi Fisipol UGM - Wakil Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM)

Seminar Nasional:Integrated City: Kolaborasi Elemen Urban Planning dalam Perspektif Sosial dan Ekonomi Melalui Pengembangan Infrastruktur  Untuk meningkatkan Performa KotaSabtu 12 Maret 2011, Ruang Seminar Gedung Pasca Sarjana UGM

Konflik ruang dan Resistensi Kawasan Perkotaan Mangupura

Anderson, Richard (2004). Sosio Spatial Dialectic, Social Space in the City. Teaching Material.

http://www.badungkab.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=3589

KONTRIBUSI LINGKUNGAN BINAAN DANPERILAKU SPASIAL TERHADAP MODAL SOSIALKOMUNITAS PENGHUNI DAN IMPLIKASINYABAGI PENDIDIKAN IPSM. Syaom Barliana dan Enok Maryani

Jurnal Terakreditasi NasionalMIMBAR PENDIDIKAN, Vol XXXII, No. 2, tahun 2008Universitas Pendidikan IndonesiaSarlito. WS. (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

24

Page 25: Identitas Kota

Bintarto. (1989). Interaksi Desa-Kota. Jakarta: Ghalia Indonesia.

KULIAH UMUM

MEMBANGUN DAN MEMPERTAHANKAN IDENTITAS KOTA1 Dr.Ir. Edi Purwanto, MT2 Program Studi Perencanaan Wilayah

dan Kota serta mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM tanggal 27 Februari 2009

Peter L Berger, seorang ahli sosiologi memberikan definisi masyarakat sebagai berikut : “ masyarakat merupakan suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya.”. Koentjaraningrat dalam tulisannya menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia atau kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Dalam psikologi sosial masyarakat dinyatakan sebagai sekelompok manusia dalam suatu kebersamaan hidup dan dengan wawasan hidup yang bersifat kolektif, yang menunjukkan keteraturan tingkah laku warganya guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan masing-masing.

Praktik dan wujud budaya Bali (ke-Bali-an) secara langsung menjadi acuan tingkah laku kehidupan sehari-hari ‘orang Bali’. ‘Orang Bali’ ini terikat akan kaidah/tata nilai,norma,serta kode-kode tradisi yang dijadikan sebagai acuan ‘pengatur’ pola-pola interaksi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sirkumtansi ini menjadikan budaya tidak hanya berurat akar dari satuan masyarakat pendukungnya, tetapi keberlangsungannya secara kontinyu dilestarikan dalam basis keseharian (Suartika, 2010:314)

Wilayah perencanaan merupakan bagian dari madya mandala wilayah Kabupaten Badung. Penempatan Pusat Pemerintahan Kabupaten di kawasan ini sudah sangat cocok dengan struktur nilai ruang dalam budaya Bali. Namun pola inti pusat pemerintahan sebagai kedudukan pemegang kekuasaan pemerintahan oleh unsur eksekutif dan legislatif mesti berkedudukan dalam bingkai catuspatha karena catuspatha merupakan pola pusat kota yang telah diwarisi sejak masa kerajaan sampai saat ini. Pola catuspatha yang diejawantahkan dari konsep catus lokapala secara tradisi merupakan kedudukan puri sebagai wadah penyelenggaraan pemerintahan dan rumah jabatan. Peran puri sebagai wadah penyelenggaraan pemerintahan sepadan dengan pusat pemerintahan kabupaten. Kantor Bupati beserta perangkat bawahannya dapat mengambil posisi di salah satu sudut yang bernilai baik untuk fasilitas pemerintahan seperti di timur laut atau di barat daya pusat catuspatha. Dalam kondisi sekarang, maka kedudukan fasilitas pemerintahan inti dapat ditata berada di barat daya pusat catuspatha yang memiliki nilai wredi yang artinya makmur atau sejahtera dan kweh bakti yang artinya akan mendapat kehormatan. Posisi ini juga diterapkan dalam pembangunan puri Gde Mengwi yang sama-sama berada di barat daya pusat catuspatha.

Pusat catuspatha merupakan raksa bhuana yang menjadi titik nol atau puser Kabupaten Badung. Catuspatha kabupaten ini harus diwujudkan melalui proses ritual agama Hindu mulai dari bhumi sudha, mendem pedagingan, dan pemelaspasan. Dengan demikian, Kabupaten Badung memiliki pusat magis, pusat replika jagad raya, yang dapat digunakan untuk penyelenggaraan tawur kesanga tingkat kabupaten, sehingga tidak perlu lagi berkeliling ke setiap catuspatha kecamatan untuk

25

Page 26: Identitas Kota

menyelenggarakan tawur kesanga. Dari puser ini pula dapat ditentukan jarak-jarak tempat atau kota-kota di sekitar pusat kabupaten. Ctauspatha yang baru ini akan menjadi catuspatha yang berkedudkan neteral di antara wilayah Badung yang pernah menjadi bagian wilayah kerajan Mengwi dengan bagian wilayah kerajaan Badung.

26