Identitas Etnik Dan Multikulturalisme

5
Identitas Etnik dan Multikulturalisme Oleh: Irfan Noor, M.Hum Dosen IAIN Antasari Banjarmasin Benarkah Banjar itu Islam ? Sebuah pertanyaan yang tak lazim dikemukakan di daerah ini. Tak lazim bukan semata-mata karena akan bersinggungan dengan keyakinan banyak pihak, tapi juga karena akan mengusik bangunan sejarah yang sudah lama terlanjur dikokohkan. Namun jika pertanyaan itu ditarik lebih jauh, sesungguhnya hal itu tidak lebih menyangkut persoalan seputar apakah identitas etnik itu bersifat tetap, essensial, dan tak tergantikan. Untuk kajian ini, kerangka pikir yang ingin penulis kembangkan dalam tulisan ini adalah bahwa subjektivitas dan identitas merupakan produk khas budaya yang bersifat tidak pasti (contingent). Karenanya, identitas maupun etnisitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial dan tidak dapat “mengada” di luar representasi kultural dan sosial. Ia adalah ciptaan wacana yang bisa berubah makna sesuai waktu, tempat, dan penggunaannya. Identitas dan Etnisitas Sebagai Konstruksi Budaya Mengapa identitas maupun etnisitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial ? Jawabnya tidak lain karena konsep identitas dan etnisitas adalah konsep yang bersifat relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asal-usul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai identitas kita tergantung kepada apa yang kita pikirkan sebagai bukan kita. Orang Jawa bukan Madura, begitu juga Batak bukan bugis, dan lain-lainnya. Konsekuensinya, identitas dan etnisitas akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik. Oleh karena itulah, tidak heran jika Fredrik Barth (1969) mengatakan bahwa etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim suatu identitas tertentu bagi diri mereka dan didifinisikan oleh yang lain dengan

Transcript of Identitas Etnik Dan Multikulturalisme

Page 1: Identitas Etnik Dan Multikulturalisme

Identitas Etnik dan MultikulturalismeOleh: Irfan Noor, M.Hum

Dosen IAIN Antasari Banjarmasin

Benarkah Banjar itu Islam ? Sebuah pertanyaan yang tak lazim dikemukakan di daerah

ini. Tak lazim bukan semata-mata karena akan bersinggungan dengan keyakinan banyak pihak,

tapi juga karena akan mengusik bangunan sejarah yang sudah lama terlanjur dikokohkan.

Namun jika pertanyaan itu ditarik lebih jauh, sesungguhnya hal itu tidak lebih menyangkut

persoalan seputar apakah identitas etnik itu bersifat tetap, essensial, dan tak tergantikan.

Untuk kajian ini, kerangka pikir yang ingin penulis kembangkan dalam tulisan ini adalah

bahwa subjektivitas dan identitas merupakan produk khas budaya yang bersifat tidak pasti

(contingent). Karenanya, identitas maupun etnisitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial

dan tidak dapat “mengada” di luar representasi kultural dan sosial. Ia adalah ciptaan wacana

yang bisa berubah makna sesuai waktu, tempat, dan penggunaannya.

Identitas dan Etnisitas Sebagai Konstruksi BudayaMengapa identitas maupun etnisitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial ?

Jawabnya tidak lain karena konsep identitas dan etnisitas adalah konsep yang bersifat relasional

yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asal-usul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai

identitas kita tergantung kepada apa yang kita pikirkan sebagai bukan kita. Orang Jawa bukan

Madura, begitu juga Batak bukan bugis, dan lain-lainnya. Konsekuensinya, identitas dan

etnisitas akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan

ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik. Oleh karena itulah, tidak heran jika

Fredrik Barth (1969) mengatakan bahwa etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang

mengklaim suatu identitas tertentu bagi diri mereka dan didifinisikan oleh yang lain dengan

Page 2: Identitas Etnik Dan Multikulturalisme

identitas tersebut. Ethnisitas bermakna identifikasi dengan suatu kelompok etnik karena afiliasi

ini.

Di sinilah identitas dan ethnisitas dipahami sebagai konsep yang dikonstruksi secara

budaya. Artinya, identitas maupun etnisitas diciptakan oleh proses sejarah yang

menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke dalam suatu struktur politik yang

tunggal di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu (Schultz & Lavenda, 2001: 523).

Secara lebih rinci, identitas dan etnisitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial

yang lazim disebut askripsi (ascription). Inilah proses sosial yang menandai sekelompok

masyarakat tertentu dengan sembarang . Artinya, apa pun tandanya asal bisa dipakai untuk

"menunjuk" (labelling) kelompok tertentu. Proses ini tentunya merupakan proses yang

berlangsung hingga berabad-abad lamanya. Proses askripsi adalah gejala interaksi yang terjadi

ketika orang dari aneka latar belakang bertemu satu sama lain di berbagai lapangan kehidupan,

bukannya ketika mereka benar-benar "menyendiri". Yang menjadi spesifik dalam proses ini

adalah ketika seseorang itu tak diperlakukan sebagai pribadi yang mandiri, tapi sebagai contoh,

anggota, atau wakil suatu kelompok orang dengan askripsi tertentu. Proses askripsi lama

kelamaan berfungsi seolah-olah seperti deskripsi terhadap sekelompok orang. Adapun bagi

kelompok yang dideskripsikan tersebut, deskripsi itu merupakan aturan bertindak.

Dalam sejarah, yang menjadikan askripsi berfungsi seolah-olah seperti deskripsi adalah

faktor politik atau kekuasaan. Selama hubungan kekuasaan masih berupa persaingan, etnisitas

terbatas pada rules of conduct hingga disebut cultural ethnicity. Begitu hubungan kekuasaan mulai

jadi perebutan hegemoni, etnisitas menjadi political ethnicity yang bisa memicu konflik. Di sini

identitas dan etnisitas bisa menjadi sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran,

dalam konteks sejarah yang selalu berubah.

Kelompok etnik biasanya dibedakan dari jenis kelompok sosial yang lain berdasarkan

attribut yang mendefinisikan anggota kelompok: bahasa, agama, adat-istiadat, dan sejarah

bersama. Oleh karenanya, semua pertukaran budaya ini tidak akan pernah terjadi jika anggota

kelompok tidak secara teratur berinteraksi, dan bahkan saling melakukan perkawinan, identitas

etnik sering dipikirkan, baik oleh anggota kelompok ataupun orang luar, menjadi berakar dalam

asal-usul biologis bersama.

Sampai pada pembahasan tentang pengertian konseptual identitas dan etnisitas di atas,

Giddens menegaskan bahwa etnisitas itu selalu berpusat pada identitas individu dan kelompok.

Page 3: Identitas Etnik Dan Multikulturalisme

Pentingnya identitas ini bagi sebuah kelompok etnik, menurut Giddens lagi, dikarenakan “It

can provide an important thread of continuity with past and is opten kept alive through the practice of cultural

traditions” (Giddens, 2001: 247).

Oleh karena itu, hampir semua identitas kultural – apakah ia dipahami dalam kaitan

dengan identitas ikatan persaudaran, ras, ataupun etnik – dibangun dalam konteks yang

berhadap-hadapan dengan yang lain. Oleh karenanya, batas-batas yang akhirnya menjadi diakui

antar kelompok etnik adalah produk dari definisi diri secara internal dan definisi eksternal oleh

yang lain. Tentunya, rasa kepemilikan kelompok dan kemampuan membedakan kelompoknya

sendiri dengan kelompok yang lain, merentang jauh ke belakang dalam sejarah masa lalu

(Lavenda & Schuttz, 2003: 96).

Banjar dan MultikulturalismeJika memang identitas dan etnisitas merupakan produk budaya, maka bagaimana

identitas keislaman urang Banjar itu sendiri ? Sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan

tersebut, penulis merasa perlu untuk mengemukakan temuan penelitian R. William Liddle

dalam bukunya Ethnicity, Party and National Integration; An Indonesian Case. Penelitian yang

berbasis di Simalungun, Sumatera Utara ini mengungkapkan bahwa sebelum adanya

kolonialisme di Indonesia, kelompok etnik sebagai self-perceived group tidak eksis di Indonesia.

Kesadaran tentang komunitas etnis dan keunikan etnisitas masing-masing baru muncul ketika

pemerintah kolonial, terutama sejak awal abad 20, mempercepat perubahan ekonomi dan

sosial, mengembangkan komunikasi dan transportasi, yang membawa semakin banyak individu

terlibat dalam kontak satu sama lain untuk pertama kalinya.

Oleh karena itu, ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar, maka penelusuran

tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud berasumsi bahwa cikal-bakal nenek

moyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seribu

tahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya.

Peristiwa perpindahan besar-besaran sukubangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti

nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya.

Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu

gelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali etnik Dayak yang

sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu

Page 4: Identitas Etnik Dan Multikulturalisme

gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang

belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang

menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang

menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar.

Dengan asumsi cikal-bakal urang Banjar adalah Melayu, maka berkembang pula asumsi

selanjutnya, yakni agama mayoritas mereka adalah Islam. Mengapa Islam ? Menurut Alfani

Daud lagi, karena Melayu adalah Islam. Oleh karenanya, tidak heran jika Islam menjadi

identitas urang Banjar sejak berabad-abad. Dengan asumsi itu pula ditegaskan bahwa Banjar

adalah sebuah kelompok etnik varian Melayu sejak awal.

Namun uniknya, menurut Marco Mahin, mengapa jika asal-usul etnik Banjar

dikembalikan sepenuhnya pada garis keturunan Melayu-Sumatera, tapi dalam kenyataan

bertentangan dengan fakta bahwa Melayu pada saat itu, abad ke-16, merupakan komunitas

yang minoritas di tengah-tengah suku yang ada di Kalimantan Selatan. Bahkan, kampung

Banjar pada waktu itu merupakan satu-satunya kampung Melayu yang terletak di tengah-tengah

kampung Dayak Ngaju yang menggunakan bahasa Brangas, sehingga tidak mungkin dapat

dikatakan sebagai inti nenek moyang etnik Banjar.

Sebelum terbentuk Kesultanan Islam Banjar, menurut Hikajat Bandjar, belum ada etnis

atau kelompok etnis Bandjar. Yang ada pada waktu itu adalah orang-orang Jawa, Melayu dan

Biaju, serta suku-suku lain. Pengamatan jeli terhadap proses awal berdirinya kesultanan Islam

Banjar, bila dikaitkan dengan kelompok etnis yang terlibat pada waktu itu, akan menghasilkan

kesimpulan bahwa empat orang Patih Biaju (bukan Islam) dan satu orang patih Melayu (Islam)

mengangkat satu orang Jawa-Kaling (bukan Islam [Pangeran Samudera]) untuk menjadi raja.

Pada level asal-usul ini, kita melihat bahwa multikulturalisme telah tumbuh dan

berkembang sejak dini. Ia telah menjadi dasar bagi pembentukan masyarakat Banjar. Pada

gilirannya kemudian, Struktur sosial yang telah terbentuk tersebut membawa pengaruh pada

pembentukan struktur budaya bagi perilaku sosial masyarakatnya. Dalam kasus masyarakat

Banjar, pengaruh tersebut teraktualisasikan dalam tindakan-tindakan yang tercermin dalam

berbagai upacara adat dan kebiasaan tertentu di kalangan masyarakat tersebut. Itulah sebabnya

kira-kira walaupun sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan dengan Islam, namun

dalam banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Banjar tidaklah

seluruhnya dapat dicari referensinya dalam ajaran Islam.

Page 5: Identitas Etnik Dan Multikulturalisme

Lalu di mana sesungguhnya titik-tolak identitas keislaman urang Banjar. Di sini, Marko

Mahin (2004) secara menarik membangun asumsinya dengan mengatakan bahwa identitas

keislaman itu terkait dengan kedatangan kapal-kapal dagang Portugis yang katolik di Nusantara,

khususnya ke Kalimantan. Titik tolak inilah, yang saat ini menjadikan askripsi berubah

berfungsi seolah-olah seperti deskripsi

Nah, di sinilah letak persoalannya. Mengatakan bahwa Banjar itu adalah Islam adalah

pilihan setiap orang karena memang identitas itu merupakan sesuatu yang penting bagi

seseorang. Identitas adalah sumber makna dan pengalaman hidup seseorang. So, setiap

individu, memang, memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging atas eksistensi

sosialnya.

Yang menjadi persoalan, sebagaimana yang dijelaskan di atas, ketika identitas etnik

dijadikan sarana perebutan hegemoni, dimana etnisitas sebagai rules of conduct berubah menjadi

political ethnicity. Di sinilah, etnisitas bisa menjadi sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan

pinggiran, dalam konteks sejarah yang selalu berubah.

Tanpa kita sadari bahwa kecenderungan etnisitas sebagai rules of conduct yang kemudian

berubah menjadi political ethnicity mulai menggejala di beberapa daerah di tanah air saat ini.

Perubahan askripsi menjadi seolah-olah seperti deskripsi, tentunya, bukan lagi gejala budaya

tapi sudah merupakan faktor politik atau kekuasaan yang terjadi di ranah kontestasi kekuasaan.

Mudah-mudah tulisan ini bisa menjadi urun rembuk yang konstruktif. []