Identifikasi Peluang Investasi Tahun 2011

download Identifikasi Peluang Investasi Tahun 2011

of 118

description

INVESTASI

Transcript of Identifikasi Peluang Investasi Tahun 2011

  • i

    IDENTIFIKASI PELUANG INVESTASI

    WATTER SUPPLY

    2011

  • ii

    DAFTAR ISI

    BAB 1. PENDAHULUAN 1

    1.1. Latar Belakang 1

    1.2. Rumusan Masalah 8

    1.3. Tujuan Penulisan 9

    1.4. Sasaran 10

    1.5. Ruang Lingkup 10

    1.6. Hasil yang Dicapai 10

    BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 11

    2.1. Sumberdaya Air 11

    2.2. Investasi Infrastruktur 13

    2.3. Permasalahan Kebijakan Investasi di Indonesia 14

    2.4. Model Pengelolaan Air minum 16

    BAB 3. DASAR PEMIKIRAN DAN METODE 26

    3.1. Dasar Pemikiran 26

    3.2. Isu Strategis 27

    3.3. Pendekatan dan Metode 29

    3.4. Kerangka Pemikiran Kajian 30

    BAB 4. KERAGAAN SUMBERDAYA AIR DI INDONESIA 32

    4.1. Sejarah Program Pembangunan Air Minum di Indonesia 32

    4.2. Kebutuhan dan Ketersediaan Air Bersih di Indonesia 37

    4.3. Regulasi Penyediaan Air Bersih di Indonesia 41

    4.4. Peranan PDAM dalam Penyediaan Kebutuhan Air Bersih 53

    4.5. Permasalahan Investasi Air Minum di Indonesia 63

    4.6. Privatisasi Sumberdaya Air 68

    BAB 5. INVESTASI AIR MINUM DI INDONESIA 75

    5.1. Studi Kasus 75

    5.2. Model Pengelolaan Air Minum 103

    5.3. Potensi Investasi Air Minum di Indonesia 105

    5.4. Rekomendasi 109

    BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 111

    6.1. Kesimpulan 111

    6.2. Saran 112

  • iii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1.1. Nilai Air Minum yang Disalurkan kepada Pelanggan di Indonesia

    Tahun 2001 2009 4

    Tabel 1.2. Jumlah Air Minum yang Disalurkan kepada Pelanggan di Indonesia

    Tahun 2001 2009 5

    Tabel 1.3. Jumlah Pelanggan Perusahaan Air Minum di Indonesia Tahun 20012009 5

    Tabel 1.4. Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Air Minum Layak di Indonesia

    Tahun 2001 2010 6

    Tabel 2.1. Kriteria Alokasi Sumberdaya Air 11

    Tabel 2.2. Model Kebijakan Privatisasi dan Peranan Masyarakat Publik dan Privat 17

    Tabel 2.3. Karakteristik Model Kebijakan Privatisasi Air minum Perancis dan Inggris 21

    Tabel 3.1. Metodologi Analisis 29

    Tabel 4.1. Neraca Air Musim Kemarau Indonesia 2003 37

    Tabel 4.2. Akses Masyarakat terhadap Air Bersih di Indonesia Berdasarkan

    Berbagai Laporan 38

    Tabel 4.3. Wilayah Kabupaten di Indonesia dengan Kondisi Sumberdaya Air Kritis,

    Waspada dan Aman hingga 2020 39

    Tabel 4.4. Akses Air Minum dan Sanitasi di Beberapa Negara ASEAN 40

    Tabel 4.5. Rata-Rata Pengeluaran Tahunan di Indonesia untuk Sektor Air

    (dalam milyar rupiah) 40

    Tabel 4.6. Pengeluaran Sektor Air Bersih dan GDP dari Tahun 2004 2009 41

    Tabel 4.5. Cakupan Layanan PDAM Tahun 2003 35

    Tabel 5.1. Jumlah Sambungan menurut Kategori Pelanggan di DKI Jakarta, 2006 76

    Tabel 5.2. Target Teknik dan Standard Pelayanan 79

    Tabel 5.3. Perbandingan antara Target dan Realisasi sampai dengan Akhir

    Periode Konsensi 79

    Tabel 5.4. Jumlah Pelanggan, Produksi dan Nilai Produksi Air minum di PT PAM

    Kota Bitung Tahun 2002 2008 82

  • iv

    Tabel 5.5. Produksi Air Minum PT PAM Kota Bitung Tahun 2002 2008 82

    Tabel 5.6. Kapasitas Produksi Air Bersih ATB 88

    Tabel 5.7. Jumlah Pelanggan PDAM Kota Manggar Tahun 2005 95

    Tabel 5.8. Tarif Air Minum Kota Manggar (Rp/m3) 97

    Tabel 5.9. Identifikasi Kinerja Pelayanan PDAM Kota Manggar 98

    Tabel 5.10. Data Jumlah Pelanggan PDAM Kota Surabaya 99

    Tabel 5.11. Jumlah Pemakaian Air Produksi PDAM Kota Surabaya oleh

    Masyarakat sesuai dengan Debet Rekening 100

    Tabel 5.12. Resume 101

  • v

    DAFTAR GABAR

    Gambar 2.1. Kebutuhan Dana Investasi Infrastruktur 15

    Gambar 3.1. Kerangka Berpikir 31

    Gambar 5.1. Perkembangan Pelanggan dan Service Area ATB di Batam 89

    Gambar 5.2. Tingkat Kebocoran Selama Lima Tahun Terakhir 89

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara baik dari segi jumlah penduduk

    dan luas area. Dengan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) yang hampir mencapai US$

    700 milyar pada tahun 2010, Indonesia mempunyai perekonomian dengan laju

    pertumbuhan tercepat nomor tiga di Asia dan perekonomian terbesar di seluruh Asia

    Tenggara. Sebagai negara yang tidak terkena dampak krisis keuangan global separah negara

    tetangganya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 6,9 persen pada tahun

    20101.

    Sebagian besar keberhasilan ekonomi Indonesia adalah berkat pengelolaan fiskal

    atau keuangan negara yang baik, dengan fokus pada penurunan beban hutang. Rasio

    hutang Indonesia terhadap PDB menurun terus dari 83 persen pada tahun 2001 hingga 29

    persen pada akhir tahun 2009. Ini merupakan angka terendah di antara negara ASEAN,

    kecuali Singapura yang tidak memiliki hutang pemerintah. Menurut Standard & Poors,

    Indonesia menduduki peringkat pertama untuk pengelolaan neraca fiskal terbaik di antara

    negara-negara di wilayah Asia-Pasifik (BKPM, 2011).

    Fitch, salah satu badan pemeringkat dunia, Kamis (15/12/2011), menaikkan

    peringkat utang Indonesia dari BB+ menjadi BBB- sebagai peringkat investasi sebagaimana

    15 tahun lalu. Kenaikan peringkat ini membuat risiko investasi di Indonesia berkurang dan

    semakin memikat investor asing ke pasar Indonesia2. Selain itu untuk hutang jangka

    pendek dalam mata uang asing dinaikkan menjadi F3. Peringkat BBB- merupakan

    peringkat yang layak investasi3.

    1 http://fokus.vivanews.com/news/read/198443-sby--pdb-indonesia-peringkat-16-dunia- 2http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/16/0847453/Peringkat.Utang.Naik.Indonesia. Makin.Memikat 3http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/16/10504616/Peringkat.Utang.Naik.SBY. Optimistis.Ekonomi.2012.Cerah

  • 2

    Pada Januari 2010, lembaga pemeringkatan Fitch Ratings telah meningkatkan

    peringkat kredit Indonesia menjadi BB+ dengan prospek ke depan yang stabil.

    Peningkatan peringkat kredit ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang

    kuat dan berkelanjutan, serta posisi fiskal yang semakin membaik. Hal ini menunjukkan

    peningkatan kepercayaan untuk berinvestasi di Indonesia, karena menempatkan Indonesia

    hanya satu tingkat di bawah peringkat investment grade. Dengan perubahan peringkat ini,

    Indonesia semakin berpeluang untuk menarik investasi dan arus modal dalam jumlah

    besar, serta dapat menarik dana-dana yang selama ini hanya bisa diinvestasikan ke dalam

    negara yang memiliki peringkat investment grade. Dilihat dari perekonomiannya yang kuat,

    situasi politik yang stabil dan upaya reformasi yang berkelanjutan, maka Indonesia

    merupakan sebuah kekuatan besar yang sedang berkembang di Asia (BKPM, 2011).

    Di sisi lain, tantangan ke depan pembangunan ekonomi Indonesia tidaklah mudah

    untuk diselesaikan. Dinamika ekonomi domestik dan global mengharuskan Indonesia

    senantiasa siap terhadap perubahan. Keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi ekonomi

    global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan Indonesia

    mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju

    dengan hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh

    seluruh masyarakat (Bappenas, 2011).

    Dalam konteks inilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari perlunya

    Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3I)

    hingga tahun 2025, sehingga arah dan kebijakan pembangunan yang ditempuh memiliki

    arah dan sasaran yang jelas. Melalui percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi ini,

    perwujudan kualitas Pembangunan Manusia Indonesia sebagai bangsa yang maju tidak saja

    melalui peningkatan pendapatan dan daya beli semata, namun dibarengi dengan

    membaiknya pemerataan dan kualitas hidup seluruh bangsa (Bappenas, 2011).

    Melalui langkah MP3EI, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan

    menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per

    kapita yang berkisar antara USD 14.250 USD 15.500 dengan nilai total perekonomian

    (PDB) berkisar antara USD 4,0 4,5 Triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan

    pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 7,5 persen pada periode 2011 2014, dan sekitar

    8,0 9,0 persen pada periode 2015 2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi

    oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011 2014 menjadi 3,0

  • 3

    persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti itu mencerminkan

    karakteristik negara maju (Bappenas, 2011).

    Visi 2025 tersebut diwujudkan melalui 3 (tiga) misi yang menjadi fokus utamanya,

    yaitu (Bappenas, 2011):

    1. Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari

    pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan SDM, melalui

    penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-

    kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.

    2. Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi

    pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian

    nasional.

    3. Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun

    pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-

    driven economy.

    Agar visi MP3EI pada tahun 2025 tercapai, maka salah satu kendala investasi di

    Indonesia yaitu penyediaan air minum harus bisa diatasi dengan baik. Pembangunan sektor

    air minum berhadapan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek

    ekonomi, sektor air minum dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi

    dalam rangka memandu alokasi sumberdaya air dan mendorong terselenggaranya sektor

    usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat

    bagi sektor ekonomi lainnya.

    Di daerah perkotaan di Indonesia, hanya 32% rumah tangga memiliki layanan air

    minum perpipaan. Sedangkan target nasional ini adalah untuk meningkatkan ini untuk 69%

    pada tahun 2015. Namun demikian, investasi pada infrastruktur air minum relative

    terlambat untuk mengejar target ini. Bank Dunia, 2006, mencatat bahwa infrastruktur yang

    tidak memadai tetap menjadi hambatan utama investasi dan pengurangan kemiskinan di

    Indonesia. Investasi untuk sektor infrastruktur jatuh dari 5-6% dari PDB sebelum tahun

    1997 menjadi 1-2% pada tahun 2000, dan pada pertengahan 2000-an naik menjadi rata-rata

    3,4 persen. Bank Dunia memperkirakan bahwa tambahan 2 persen dari PDB harus

    diinvestasikan ke dalam infrastruktur untuk mempertahankan 6 persen angka pertumbuhan

    untuk jangka menengah.

  • 4

    Dalam aspek sosial, sektor air minum berhadapan dengan nilai-nilai sosial yang

    harus diaspirasikan di dalam pembangunan serta kedudukannya sebagai kebutuhan paling

    mendasar. Muncul kesadaran yang sama yakni sasaran menyediakan sarana dan air minum

    bagi sebanyak-banyaknya penduduk. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air minum

    berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan mempengaruhi alokasi

    sumberdaya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku

    pengelolaan sumberdaya air dan permintaan air minum. Secara keseluruhan, kebijakan

    sektor air minum sejalan dengan pencapaian manfaat setinggi-tingginya dari pembangunan

    dan konservasi sumberdaya air antara lain (United Nations, 1979): (1) meningkatkan

    pendapatan regional atau nasional, (2) meredistribusikan pendapatan di antara wilayah, (3)

    meredistribusikan pendapatan di antara berbagai kelompok masyarakat, (4) memperbaiki

    keadaan kesehatan masyarakat, dan (5) memperbaiki kualitas lingkungan (Nugroho, 2002).

    Tabel 1.1. Nilai Air minum yang Disalurkan kepada Pelanggan di Indonesia 2001 2009

    Tahun Nilai Air minum yang Disalurkan kepada Pelanggan (juta Rp)

    Tren

    2001 2.083.484 -

    2002 3.613.337 0,73

    2003 4.240.740 0,17

    2004 4.264.777 0,01

    2005 5.770.393 0,35

    2006 5.970.910 0,04

    2007 7.022.917 0,18

    2008 7.953.231 0,13

    2009 9.638.532 0,21

    Rata-rata 5.617.591 1,82

    Sumber: BPS, 2011

    Selama tahun 2001 2009, nilai air minum yang disalurkan di Indonesia mengalami

    peningkatan rata-rata sebesar 1,82 persen per tahun. Rata-rata nilai air minum yang

    disalurkan di Indonesia adalah Rp 5.617.591 juta per tahun. Tahun 2009, nilai air minum

    yang disalurkan di Indonesia adalah sebesar Rp 9.638.532 juta (Tabel 1.1).

  • 5

    Tabel 1.2. Jumlah Air minum yang Disalurkan kepada Pelanggan di Indonesia 2001 2009

    Tahun Jumlah Air minum yang Disalurkan kepada Pelanggan

    Tren

    2001 1.657.626 - 2002 2.095.375 0,26 2003 2.173.161 0,04 2004 1.772.642 -0,18 2005 2.353.223 0,33 2006 3.789.096 0,61 2007 2.194.520 -0,42 2008 2.410.901 0,10 2009 2.581.123 0,07

    Rata-rata 2.336.407 0,10

    Sumber: BPS, 2011

    Sementara itu selama tahun 2001 2009 jumlah air minum yang disalurkan kepada

    pelanggan di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,1 persen per tahun. Rata-rata

    jumlah air minum yang disalurkan adalah sebesar 2.336.407 per tahun. Pada tahun 2009

    jumlah air minum yang disalurkan kepada pelanggan di Indonesia adalah 2.581.123 (Tabel

    1.2).

    Tabel 1.3. Jumlah Pelanggan Perusahaan Air minum di Indonesia 20012009

    Tahun Jumlah Pelanggan Perusahaan Air minum Tren

    2001 5.567.613 - 2002 6.433.478 0,16 2003 6.825.458 0,06 2004 6.929.139 0,02 2005 7.814.216 0,13 2006 7.818.026 0,00 2007 7.785.213 -0,01 2008 9.254.555 0,19 2009 10.370.451 0,12

    Rata-rata 7.644.239 0,08

    Sumber: BPS, 2011

    Selama tahun 2001 2009 jumlah pelanggan perusahaan air minum di Indonesia

    mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,08 persen per tahun. Rata-rata jumlah

    pelanggan perusahaan air minum di Indonesia adalah 7.644.239 pelangggan per tahun.

    Pada tahun 2009 jumlah pelanggan perusahaan air minum di Indonesia adalah 10.370.451

    pelanggan (Tabel 1.3).

  • 6

    Tabel 1.4. Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Air Minum Layak di Indonesia 2001 2010

    Tahun Rumah Tangga dengan Sumber Air Layak Tren

    2001 48,68 - 2002 48,33 -0,01 2003 47,73 -0,01 2004 48,81 0,02 2005 47,62 -0,02 2006 47,79 0,01 2007 48,31 0,01 2008 46,45 -0,04 2009 47,71 0,03 2010 44,19 -0,07

    Rata-rata 47,56 -0,01

    Sumber: BPS, 2011

    Selama tahun 2001 2010 rata-rata persentase rumah tangga dengan air minum

    layak di Indonesia adalah 47,56 persen per tahun. Persentase rumah tangga dengan air

    minum layak ini mengalami penurunan setiap tahunnya. Rata-rata penurunannya adalah

    sebesar -0,01 persen per tahun (Tabel 4).

    Berdasarkan data pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 4 dapat dilihat bahwa sektor

    air minum di Indonesia masih belum memadai. Rendahnya keragaan sektor air minum di

    negara sedang berkembang seperti Indonesia telah diketahui. Bank Dunia mengidentifikasi

    tiga indikator umum, yakni: (a) kebocoran air sangat tinggi, mencapai 40 hingga 50 persen,

    (b) rasio tenaga kerja per sambungan rumah masih belum efisien, dan (c) kualitas air yang

    tidak stabil dan tidak memenuhi standar (Idelovitch and Ringskog 1995 dalam Nugroho,

    2002).

    Sementara itu pendekatan kebijakan penyediaan air dapat dipisahkan menjadi dua,

    yakni sosial (worst first) dan ekonomi (growth point). Pendekatan sosial atau non ekonomi

    memfokuskan penyediaan air pada wilayah yang secara alami kekurangan air akibat

    pengaruh atau gangguan iklim. Penyediaan air ditujukan untuk memenuhi kebutuhan

    masyarakat dan ternak didasari alasan kemanusiaan dan kesehatan masyarakat (humanitarian

    schemes). Di perdesaan, pendekatan ini sangat baik dan prioritas penyediaannya dianggap

    lebih penting dibanding kualitas airnya. Pendekatan ekonomi difokuskan kepada wilayah

    yang potensinya tinggi untuk dikembangkan secara ekonomi. Penyediaan air ditujukan

    untuk memancing aktifitas ekonomi ke arah pencapaian kualitas hidup yang tinggi dengan

    menerapkan fasilitas dan teknologi modern (economic schemes). Pendekatan ini menuntut

  • 7

    investasi yang intensif untuk menghasilkan kualitas air yang memenuhi syarat kesehatan.

    Kerangka kebijakan air minum di Indonesia mengacu pada pengembangan air minum

    wilayah perkotaan dengan bertumpu kepada investasi (Nugroho, 2002).

    Keragaan sektor air minum yang rendah merupakan kendala dalam investasi di

    Indonesia. Oleh karena itu penting untuk melakukan kajian investasi air minum di

    Indonesia karena dengan melakukan kajian investasi air minum di Indonesia dapat

    menemukan rekomendasi yang tepat untuk mengatasi kendala penyediaan air minum yang

    diperlukan bagi investasi dan penduduk di Indonesia.

    Di sisi lain, ratifikasi MDGs oleh Pemerintah Republik Indonesia membawa

    konsekuensi terhadap penyediaan air minum. Salah satu goal yang terdapat dalam MDGs

    adalah Goal 7 yaitu memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan untuk sektor air minum

    memiliki target:

    Target 10 dalam Goal 7: menurunkan hingga separuhnya proporsi rumah tangga

    tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas

    sanitasi dasar yang akan dicapai pada tahun 2015

    Pencapaian Target 10 diukur dengan angka kuantitatif beberapa proxy indicators

    (Laporan Pencapaian MDGs Indonesia 2007, Bappenas, 2007):

    1. Persentase rumah tangga dengan berbagai kriteria sumber air yang dirinci

    menurut daerah perkotaan, perdesaaan, dan total

    2. Cakupan rumah tangga yang mendapat pelayanan air minum dari PDAM

    Dalam Laporan Pencapaian MDGs Indonesia 2007, disebutkan tiga definisi

    pendekatan sumber air minum, yakni:

    1. Air perpipaan adalah air dengan kualitas yang dapat diandalkan (reliable) dan lebih

    sehat jika dibandingkan dengan air lainnya, Air perpipaan terlindungi bersumber dari

    air leding. Air nonperpipaan terlindungi berasal dari 5 sumber: air kemasan, sumur

    terlindung, mata air terlindung, dan air hujan. Sumber air tidak terlindung yaitu sumur

    tidak terlindung, mata air tidak terlindung, dan air sungai/lainnya.

    2. Sumber air terlindung adalah air dengan sumber air yang mempertimbangkan

    konstruksi bangunan sumber airnya serta jarak dari tempat pembuangan tinja terdekat,

    jarak yang layak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja terdekat adalah lebih

    dari 10 meter. Sumber-sumber air: air perpipaan, air pompa, air dari sumur atau mata

    air yang terlindungi, dan air hujan.

  • 8

    Selanjutnya BPS dalam Pencapaian Target MDG 7: Indikator, Hasil Monitoring,

    dan Ketersediaan Data pada tahun 2008 mendefinsikan untuk pencapaian target tersebut

    dilakukan penghitungan indikator sebagai berikut:

    Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindung

    adalah perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum

    yang terlindung dengan rumah tangga seluruhnya, dalam persen.

    Angka proporsi rumah tangga dengan akses sumber air terlindungi ini dirinci menurut

    perpipaan dan nonperpipaan yang masing-masing dibedakan menurut daerak

    perkotaan, perdesaan, dan total

    Menurut perhitungan BPS, diperoleh data sebagai berikut:

    Tahun 2006, persentase rumah tangga yg dapat akses pelayanan untuk sumber air

    minum perpipaan (total) sebesar 18,4 persen. Angka ini masih jauh dari target MDGs

    yaitu 57,4 persen. Tahun 2007, terjadi penurunan, menjadi 16,2 persen. Ini

    mengindikasikan bahwa pertumbuhan rumah tangga jauh lebih cepat dari

    pertambahan pelayanan ke rumah tangga untuk sumber air perpipaan, dan adanya

    leding tidak mengalir, sehingga pelanggan beralih ke sumber non perpipaan.

    Untuk non perpipaan tahun 2006, terjadi perbedaan dengan hasil hitungan BPS, yang

    menghasilkan 69,2 persen di perkotaan, 91,0 persen di perdesaan, dan 81,6 persen

    (total).

    1.2. Rumusan Masalah

    Investasi di Indonesia didukung oleh potensi demografi, kekayaan sumber daya

    alam dan posisi geografis Indonesia. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk ke-

    4 terbesar di dunia. Penduduk yang besar dengan daya beli yang terus meningkat adalah

    pasar yang potensial, sementara itu jumlah penduduk yang besar dengan kualitas Sumber

    Daya Manusia (SDM) yang terus membaik adalah potensi daya saing yang luar biasa. Selain

    itu Indonesia adalah negara yang kaya dengan potensi sumber daya alam, baik yang

    terbarukan (hasil bumi) maupun yang tidak terbarukan (hasil tambang dan mineral)

    (Bappenas, 2011).

    Walaupun potensi ini merupakan keunggulan investasi di Indonesia, namun

    sejumlah tantangan harus dihadapi untuk merealisasikan keunggulan tersebut. Salah satu

    tantangan investasi di Indonesia adalah penyediaan infrastruktur untuk mendukung

  • 9

    aktivitas ekonomi. Infrastruktur itu sendiri memiliki spektrum yang sangat luas. Salah satu

    infrastruktur yang harus mendapatkan perhatian utama adalah infrastruktur air minum.

    Berdasarkan data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata persentase rumah

    tangga dengan sumber air minum layak di Indonesia selama tahun 2001 sampai dengan

    2010 kurang dari 50 persen per tahun. Merujuk pada World Bank Report, September 2006,

    hal ini akan menurunkan daya saing investasi Indonesia. Padahal Indonesia mempunyai

    UU No. 7 Tahun 2004 mengenai sumberdaya air yang mengamanatkan pendekatan

    terpadu dalam pengelolaan air. Selain itu UU No. 7 Tahun 2004 juga mengatur tentang

    konservasi sumberdaya air.

    Sementara itu isu utama air minum di Indonesia menurut Bappenas (2005) saat ini

    diantaranya: (i) terbatasnya akses pada sarana dan prasarana air minum; (ii) penurunan

    ketersediaan air baku untuk air minum baik kuantitas maupun kualitasnya; (iii)

    penyelenggaraan air minum belum menerapkan kepengusahaan dan biaya pemulihan (cost

    recovery); (iv) rendahnya keterlibatan swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan air

    minum.

    Berdasarkan hal tersebut maka beberapa permasalahan dalam kajian ini adalah:

    1. Bagaimana keragaan air minum di Indonesia?

    2. Bagaimana peranan peraturan dan kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

    dalam investasi sektor air minum di Indonesia?

    3. Bagaimana peranan dan kelembagaan pemerintah, sektor swasta dan peran serta

    masyarakat dalam investasi sektor air minum di Indonesia?

    4. Bagaimana rekomendasi untuk mengatasi permasalahan investasi sektor air minum di

    Indonesia?

    1.3. Tujuan Penulisan

    Tujuan penulisan investasi sektor air minum di Indonesia adalah:

    1. Mengkaji keragaan sektor air minum di Indonesia

    2. Mengkaji peranan peraturan dan kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

    dalam investasi sektor air minum di Indonesia

    3. Mengkaji peranan sektor swasta dan masyarakat dalam investasi sektor air minum di

    Indonesia

    4. Memberi rekomendasi untuk mengatasi permasalahan investasi sektor air minum di

    Indonesia

  • 10

    1.4. Sasaran

    Output dari kajian ini adalah tersedianya informasi tentang potensi sumber daya air

    di daerah yang dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk menarik minat penanam

    modal di daerah tersebut.

    Outcome kajian ini agar dapat digunakan untuk meningkatkan kesempatan daerah

    dalam mengembangkan kegiatan usaha baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri

    yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.

    1.5. Ruang Lingkup

    Kegiatan ini dilaksanakan bersama instansi terkait, termasuk Dewan Sumber Daya

    Air dan untuk menginventarisir sumber daya air di daerah yang konseptual dan mampu

    untuk dikembangkan khususnya dalam pengembangan investasi sumber daya air.

    Kegiatan ini meliputi :

    o Menentukan lokasi yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian

    o Pengumpulan data/informasi sekunder yang berkaitan dengan sumber daya air.

    o Mengolah data/informasi dan menyusun laporan.

    o Membuat laporan akhir hasil kajian.

    1.6. Hasil yang Dicapai

    Hasil yang akan dicapai dari kegiatan ini adalah adanya informasi yang lengkap

    tentang ketersediaan dan sumber daya air yang dapat digunakan sebagai pendukung sektor

    lain yang akan dikembangkan di daerah tersebut.

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Sumberdaya Air

    Beberapa masalah dalam sumberdaya air adalah masalah alokasi dan distribusi.

    Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana suplai air yang

    tersedia hasus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Penggunaan air pada

    dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu konsumtif dan non konsumtif.

    Kelompok konsumtif ini antara lain rumah tangga, industri, pertanian dan

    kehutanan. Kelompok ini memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi, baik

    melalui transformasi, penguapan, penyerapan ke tanah maupun pendegradasian kualitas air

    secara langsung (pencemaran). Kelompok pengguna ini memperlakukan sumberdaya air

    sebagai sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui.

    Kelompok lainnya, yaitu non konsumtif, pemanfaatan airnya hanya sebagai media,

    seperti media pertumbuhan ikan pada kasus perikanan, sumber energi listrik pada

    pembangkit listrik tenaga air dan rekreasi. Kelompok ini memperlakukan air sebagai

    sumberdaya yang dapat diperbaharui dan pengelolaannya tidak terlalu menimbulkan

    masalah ekonomi mengingat suplai air tidak banyak dipengaruhi oleh pemanfaatannya.

    Tabel 2.1. Kriteria Alokasi Sumberdaya Air

    Kriteria Tujuan

    Efisiensi - Biaya penyediaan air yang rendah

    - Penerimaan per unit sumberdaya yang tinggi

    - Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan

    Keadilan - Akses terhadap air minum untuk semua masyarakat

    Keberlangsungan - Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah

    - Menyediakan cadangan air yang cukup untuk

    memelihara ekosistem

    - Meminimalkan pencemaran air

    Sumber: Fauzi, 2009

  • 12

    Khusus penggunaan konsumtif, alokasi sumberdaya air diarahkan dengan tujuan

    supali air yang terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, baik untuk generasi

    sekarang maupun generasi mendatang dengan biaya yang rendah. Oleh karena itu alokasi

    sumberdaya air harus memenuhi kriteria efisiensi, keadilan dan keberlanjutan (Fauzi,

    2009).

    Sementara itu menurut Howe et al (1986), ada beberapa tambahan kriteria alokasi

    sumberdaya air, seperti:

    - Fleksibilitas dalam penyediaan air sehingga sumberdaya air dapat digunakan pada

    periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan

    perubahan permintaan.

    - Keterjaminan bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga mereka dapat

    memanfaatkan air seefisien mungkin.

    - Diterima secara politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa diterima oleh

    masyarakat.

    Menurut Fauzi, 2009, terdapat beberapa alokasi yang umum digunakan terhadap

    sumberdaya air ini, yaitu sistem antri (queuing sistem), metode harga (water pricing), alokasi

    publik dan user-base allocation.

    1. Queuing Sistem

    Sistem ini merupakan merupakan sistem yang tertua dikembangkan sejak abad

    pertengahan di beberapa Negara di Eropa. Sistem alokasi ini terkait dengan masalah

    alokasi yang didasarkan pada sistem antrian. Terdapat dua prinsip, yaitu yang berada di

    hulu sungai memiliki hak terlebih dahulu atas air dibandingkan dengan yang berada di

    tempat yang lebih jauh. Prinsip kedua adalah pemilik hak atas air diperbolehkan untuk

    tidak membagi pemanfaatan atas air kepada pihak lain, atau kepemilikan bersifat mutlak.

    2. Water Pricing

    Usaha untuk memberikan nilai kepada sumberdaya air melalui berbagai

    mekanisme, seperti water treatment sehingga sampai ke tangan konsumen dan aman

    diminum memerlukan biaya yang tidak sedikit. Penentuan harga yang tepat melalui water

    pricing yang mencerminkan biaya yang sebenarnya akan memberikan sinyal kepada

    pengguna mengenai nilai dari air dan dapat menjadi insentif untuk pemanfaatan air yang

    lebih bijaksana. Menurut Hartwick dan Olewiler (1998), karena suplai air terbatas, maka

    penyediaan air biasanya tidak dilakukan dengan struktur pasar yang kompetitif, tetapi

  • 13

    monopoli. Dalam struktur pasar ini, monopolis tidak selalu menentukan harga

    berdasarkan keinginan membayar pengguna (willingness to pay) sehingga alokasi yang efisien

    sulit ditentukan. Oleh karena itu mekanisme yang digunakan untuk water pricing salah

    satunya adalah melalui step tariff atau increasing block rate (IBR). Sistem ini memungkinkan

    penggunaan air yang efisien juga dapat beradaptasi dengan situasi pada saat permintaan air

    memuncak.

    3. Alokasi Publik

    Air kebanyakan merupakan barang publik, sehingga diperlukan intervensi

    pemerintah dalam pengalokasiannya. Penyediaan sumberdaya air seperti pembangunan

    waduk, dam dan sejenisnya sering memerlukan investasi yang sangat besar yang biasanya

    terlalu mahal untuk dilakukan oleh perusahaan swasta. Oleh karena alasan-alasan ini maka

    sebagian pihak mendukung adanya intervensi publik atau pemerintah dalam alokasi

    sumberdaya air.

    4. User-Base Allocation.

    Alokasi ini biasanya berbasis komunal, seperti sistem subak di Bali. Sistem ini

    mengunakan berbagai variasi pengaturan seperti pergiliran, kedalaman air, kedekatan

    lokasi dan sistem pembagian lainnya.

    2.2. Investasi Infrastruktur

    Salah satu prasyarat utama tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan

    berkelanjutan di suatu negara adalah investasi infrastruktur yang baik. Ketersediaan

    infrastruktur tersebut mencerminkan adanya investasi, investasi yang merata

    mencerminkan adanya pembangunan infrastruktur yang memadai dan mampu melayani

    pergerakan ekonomi di Negara tersebut.

    Investasi infrastruktur di Indonesia berkisar antara 5 hingga 7 persen dari total

    PDB pada paruh pertama tahun 1990-an, namun prosentase ini berkurang secara tajam

    setelah krisis moneter Asia sejak 1997, menjadi 2 hingga 3 persen saja dalam tahun-tahun

    belakangan ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menjadi sangat menjanjikan (diatas

    6,0%) apabila investasi infrastruktur dapat dinaikkan hingga sekurang-kurangnya 5 persen

    dari PDB, seperti halnya negara-negara Asia lainnya seperti Filipina (3,6%), Vietnam

  • 14

    (9,9%), bahkan India dan China berada di atas 10 persen, yang membuat keduanya sebagai

    kontributor utama pertumbuhan Asia yang mengesankan (PU, 2008).

    Investasi infrastruktur yang rendah ini dapat menjadi penyebab merosotnya daya

    saing dan daya tarik investasi Indonesia dibandingkan negara tetangga dan negara lainnya

    secara global. Sebagai langkah konkrit dalam investasi infrastruktur sebagai fokus

    pembangunan sesuai amanat APBN, maka Pemerintah telah menerbitkan PP No. 1/2008

    tentang Investasi Pemerintah, menggantikan PP No. 8/2007. Pada PP No. 1/2008

    memberikan perluasan cakupan investasi, tidak hanya dalam bentuk Public Private

    Partnership (PPP), melainkan investasi dalam bentuk surat berharga maupun investasi

    langsung.

    Investasi Pemerintah sesuai PP No. 1/2008 ini dilaksanakan oleh Badan Investasi

    Pemerintah dalam bentuk: a) investasi surat berharga, dan/atau, b) investasi langsung.

    Badan ini merupakan unit pelaksana investasi atau badan hukum yang kegiatannya

    melaksanakan investasi pemerintah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, seperti

    rencana pembentukan perusahaan patungan (joint venture company) antara Indonesia dengan

    Qatar Investment Authority (QIA), dimana fokus pembangunan yang diharapkan oleh

    Indonesia adalah dalam bidang infrastruktur.

    Investasi langsung dimaksudkan utuk mendapatkan manfaat ekonomi, sosial,

    dan/atau manfaat lainnya. Investasi langsung dilakukan dengan cara: a) public private

    partnership (PPP) yang dapat berupa Badan Usaha dan/atau BLU, b) non public private

    partnership yang dapat berupa Badan Usaha, BLU, pemerintah provinsi, pemerintah

    kabupaten/kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing, c) investasi langsung meliputi

    bidang infrstruktur dan bidang lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

    2.3. Permasalahan Kebijakan Investasi di Indonesia

    Sesudah reformasi bergulir, pemerintah melakukan desentralisasi fiskal.

    desentralisasi disusul dengan mengalirkan uang dari pusat ke pemerintah daerah. Sudah

    satu dasawarsa, kebijakan itu dinilai kurang efektif. Ekonomi daerah tak kunjung mandiri.

    Menteri Keuangan Agus Martowardojo, 2011, menegaskan bahwa realisasi transfer dana ke

    daerah dinilai belum sepenuhnya optimal dikarenakan lemah dalam menyusun

    perencanaan. Padahal perencanaan yang baik akan menentukan arah pengunaan anggaran.

    Perencanaan adalah hulu dari arah pembangunan daerah.

  • 15

    Kewajiban pemerintah dalam pengadaan infrastruktur untuk meningkatkan

    kesejahteraan masyarakat belum didukung oleh kemampuan pembiayaan pemerintah.

    Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, dibutuhkan pembiayaan

    infrastruktur sebesar 5 persen dari total PDB, padahal pembiayaan infrastruktur di

    Indonesia hanya sekitar 2,5 persen (PU, 2008).

    Pada Gambar 2 dapat dilihat APBN 2007 (Rp 223 triliun) dan dana domestik (Rp

    270 Triliun) hanya mampu memenuhi 39 persen kebutuhan investasi infrastruktur. Dengan

    demikian terdapat funding gap sebesar 61 persen atau Rp 810 Triliun dan diharapkan

    dipenuhi oleh donor luar negeri (Rp 90 Triliun) dan dana domestik (Rp 720 Triliun).

    Sementara itu, 10 persen dari funding gap dimaksudkan berasal dari lembaga-lembaga

    multilateral. Selebihnya 90 persen dimaksudkan dapat diperoleh dari sumber dana

    domestik (PU, 2008).

    Sumber: Departemen Keuangan, 2008

    Gambar 2.1. Kebutuhan Dana Investasi Infrastruktur

    Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa salah satu

    pelayanan dasar yang termasuk dalam kebutuhan fiskal daerah adalah pembangunan

    infrastruktur. Walaupun secara total DAU yang disalurkan ke pemerintah daerah relatif

    lebih besar, namun DAU tersebut sebagian besar digunakan untuk membiayai belanja

    pegawai. Data realisasi APBD tahun 2003, dari 196 kabupaten/kota, rata-rata persentase

    belanja pegawai terhadap DAU yang diterima sebesar 76,68 persen (World Bank

    mengatakan sekitar 40% 50% di tahun 2006). Sementara itu, dari sisi DAK (Dana

    Alokasi Khusus) terjadi kenaikan nilai total DAK. Namun, porsi infrastruktur sebagai

  • 16

    komponen DAK mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 sebesar

    29,45% dari 32,97% pada tahun sebelumnya.

    Itu sebabnya pemerintah akan merevisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

    yang mengatur perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan

    daerah. Dalam rencana revisi Undang-undang ini, pemerintah akan memasukkan batas dan

    batas bawah (capping) belanja pegawai dan belanja modal dalam keuangan daerah. Belanja

    pegawai adalah biaya gaji dan pengeluaran lain, sedang belanja modal antara lain

    pembangunan infrastuktur daerah. Pembangunan infrastuktur itu jelas mempunyai daya

    dorong yang kuat terhadap pertumbuhan ekonomi daerah ketimbang belanja pegawai.

    Belanja modal jelas lebih berkualitas bagi ekonomi daerah ketimbang belanja pegawai.

    Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sebagai upaya mendukung

    pertumbuhan ekonomi, perlu melibatkan swasta dan masyarakat dalam rangka menutup

    kesenjangan pendanaan (funding gap). Pelibatan ini dapat dilakukan melalui pemberian

    insentif kepada swasta jika proyek yang dikerjakan terkait dengan sasaran pembangunan

    yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemberian insentif ini antara lain dapat berupa

    keringanan pembayaran pajak bagi swasta yang mau berinvestasi pada pembangunan ruas

    jalan yang menghubungkan kawasan perkotaan dan perdesaan.

    Pemerintah mempunyai skema pembiayaan untuk pelayanan dasar melalui public

    service obligation (PSO) dan subsidi, seperti untuk jaringan jalan perdesaan dan pemeliharaan

    saluran banjir. Pada prinsipnya, pembiayaan dapat dilakukan melalui kerjasama

    pemerintah-swasta untuk infrastruktur yang sifatnya cost recovery atau dengan model public

    private partnership (PPP). Sedangkan untuk proyek-proyek yang sepenuhnya komersial dapat

    dilaksanakan sepenuhnya oleh swasta, dan pemerintah hanya memfasilitasi melalui

    instrumen regulasi, khususnya perizinan kegiatan/usaha dan lokasi.

    2.4. Model Pengelolaan Air minum

    Setiap model kebijakan privatisasi menunjukkan kelebihan dan kekurangan

    (Bastian, 2000). Terdapat kontrak jasa, sewa, konsesi, kontrak manajemen dan greenfield

    projects. Untuk air minum, konsesi paling populer, privatisasi penuh atau divestasi sangat

    jarang (Mann, 1999). Sedangkan Rais (2002) menyebut 4 (empat) tipe, yaitu: 1) Pemerintah

    mengontrak privat untuk produksi dan penyediaan layanan publik, 2) operasi fasilitas

    pemerintah oleh privat, 3) Pemerintah membagikan vouchers lalu membeli layanan privat,

  • 17

    dan 4) penjualan aset publik ke privat. Selanjutnya, Savas (1987) menawarkan 10 model

    kebijakan, seperti pada Tabel 2.2.

    Tabel 2.2. Model Kebijakan Privatisasi dan Peranan Masyarakat Publik dan Privat

    No Bentuk Peranan

    Masyarakat Publik Privat 1 Layanan pemerintah Konsumen Penyusun, produsen Konsumen 2 Government Vending Konsumen Produsen Produsen,

    konsumen 3 Mufakat antar

    pemerintah Produsen,

    konsumen

    4 Kontrak Penyusun, konsumen

    Produsen

    5 Waralaba-ekslusif-non ekslusif

    Pengatur, penyusun Produsen

    6 Hibah Co-arranger Co-arranger, pensubsidi produsen

    Produsen

    7 Voucher Konsumen penyusun

    Pensubsidi konsumen

    Produsen

    8 Sistem pasar Konsumen penyusun

    Menetapkan standar Produsen

    9 Layanan sukarela Konsumen penyusun

    10 Layanan mandiri penyusun Menetapkan standar

    Sumber: Savas (1987) dalam Sanim, 2011

    Berikut adalah deskripsi dari masing-masing model:

    1. Model Perancis: Persetujuan Waralaba

    Haarmeyer (1992) dalam Sanim, 2011, memperkirakan Perancis adalah negara

    pertama dan terbesar dalam privatisasi provisi layanan air. Sejak abad ke-19 privatisasi

    didorong. Persetujuan waralaba jangka panjang memasok 75 persen kebutuhan air minum.

    Badan usaha swasta melayani lebih dari 75 persen populasi (lebih dari 40 juta jiwa) dalam

    penyediaan air dan sekitar 40 persen layanan limbah. Responsibilitas manajemen swasta

    mencapai sekitar 12.000 utilitas air independen dibawah yurisdiksi atas lebih dari 36.000

    Pemerintah Daerah lokal atau komune yang sudah mengadopsi kerangka kerja legal yang

    fleksibel dalam pemilihan aransemen kontrak.

    Karakteristik utama model Perancis, yaitu: 1) Pemda memelihara pemisahan dan

    penyeimbangan anggaran untuk departemen air dan limbah, 2) Semua rumahtangga

    dipasang meter air. Pemerintah Daerah memiliki fasilitas perawatan, pipa, dan reservoir,

  • 18

    serta menjamin manajemen dalam cakupan luas dengan kontrak pengelolaan jangka

    panjang. Kekuatan format ini adalah menyediakan kompetisi antara banyak pilihan

    manajemen dan banyak pemasok air. 3 (tiga) varian tipe umum kontrak bervariasi dalam

    derajat responsibilitas yang ditugaskan kepada privat untuk manajemen sistem pasokan air,

    adalah:

    1. Konsensi: kontrak pembiayaan, pengembangan atau operasi semua instalasi. Penawar

    merepresentasikan yang dibebankan privat atas layanan air. Durasi kontrak 25-30 tahun

    yang memungkinkan badan usaha swasta melakukan depresiasi atas investasinya. Badan

    usaha swasta bertanggungjawab untuk hubungan antara pelanggan dan penagihan.

    2. Afirmasi: kontrak operasi dan pemeliharaan untuk maksimal 12 tahun. Pemerintah

    Daerah membiayai dan membangun fasilitas. Renumerasi untuk badan usaha swasta di

    peroleh dari fee pemakai, yang dikumpulkan oleh badan usaha swasta dan

    merefleksikan 'biaya operasi penuh plus profit. Biaya tambahan untuk layanan kota

    ditambahkan untuk biaya aktivasi tetap dan ditransfer ke otoritas publik.

    3. Manajemen atau kontrak layanan: kontrak atas sebagian layanan operasi spesifik dan

    pemeliharaan. Pemerintah Daerah tetap bertanggungjawab untuk penagihan pelanggan

    dan mengupah kontraktor. Durasi kurang dari 10 tahun.

    Konsesi terutama menarik negara sedang berkembang yang kekurangan keahlian

    dan kapital untuk investasi sistem pasokan air. Pemerintah dapat membangun sistem skala

    besar secara cepat dengan sedikit modal investasi awal. Dalam 2 (dua) format kontrak

    pertama, harga awal air dan tinjauan ulang berkala ditetapkan dalam kontrak. Harga air

    biasanya mencakup biaya investasi dan operasi layanan air (termasuk depresiasi). Subsidi

    Pemerintah diperlukan karena beban biaya biasanya tidak menutup biaya penuh.

    Contoh kontrak konsesi adalah atas Cannes (melayani 200.000 jiwa mulai tahun

    1870) dan Orleans (melayani 135.000 jiwa, mulai tahun 1987) untuk 20 tahun pengelolaan

    dan perluasan sistem pasokan. Privat menyediakan US$13 jura dalam 5 (lima) tahun awal

    untuk biaya konsrtruksi fasilitas baru. Kota Paris (dengan populasi 2,8 juta jiwa) masuk ke

    kontrak afirmasi pada tahun 1985 untuk manajemen sistem distribusi air. Sistem air kota

    memerlukan renovasi dan penggantian massif. Kontrak dibagi 2 (dua), sisi kiri dan kanan

    Sungai Seine. Kedua perusahaan menjual air eceran rumahtangga dari air yang dibeli dari

    perusahaan pengolahan, pemantauan dan responsibililitas penyimpanan air.

  • 19

    Kontrak waralaba mendorong praktek efisiensi biaya karena semua efisiensi biaya

    ditambahkan kepada pewaralaba sepanjang kontrak berlaku. Problem dalam transfer aset

    tahan lama antara pewaralaba berbeda, insentif investasi pada akhir kontrak, dan adaptasi

    untuk perubahan keadaaan adalah kendala potensial penting, tetapi dapat dipecahkan

    melalui desain kontrak yang baik (Demsetz, 1968; Hanke, 1958).

    Model Perancis ini sukses memelihara kompetisi privat, dikenal sebagai innovator

    terkemuka dan ahli manajemen industri air. Pelanggan perusahaan Prancis terus meningkat

    di Amerika, Asia dan Eropa. Model Perancis (Model Konsesi) ini diterapkan pula di Sidney

    dengan prinsip:

    1. Komitmen jangka panjang, Pemerintah membeli air olahan dari fasilitasnya;

    2. Modal jangka panjang konstruksi disediakan investor privat dan dijamin aman oleh

    arus pendapatan yang tidak dapat ditarik kembali/non-revocable yang dihasilkan oleh

    proyek yang diselesaikan;

    3. Konstruksi tepat waktu dijamin dengan ikatan pinjaman konstruksi proyek dan

    ditempatkan pada layanan dalam anggaran dan tepat waktu.

    Setiap kota mempunyai model kebijakan privatisasi air minum berbeda: Puerto

    Valarta berubah ke model konsesi untuk ekstensi dan modernisasi sistem pasokan air;

    Monterrey menggunakan waralaba jangka panjang, Buenos Aires menawarkan konsesi 30

    tahun untuk operasi air.

    2. Model Inggris: Privatisasi Penuh

    Sebelum privatisasi, air minum di banyak daerah tidak mencapai standar mutu

    Inggris atau Masyarakat Eropa (European Community) dan lebih dari 20 persen pengolahan

    limbah publik gagal mencapai standar kompliansi. Investasi kapital yang signifikan

    diperlukan untuk memenuhi standar European Community. Kebutuhan pembiayaan dan

    desakan British Treasury's bahwa sektor publik bertanggungjawab atas degradasi

    infrastruktut lingkungan memaksa beberapa otoritas mendukung privatisasi.

    Pembiayaan mandiri oleh otoritas air lebih sulit sejak sebelum privatisasi, lebih dari

    70 persen pasokan air publik tidak dilakukan pemeteran. Hampir 30 persen pelanggan

    domestik dan 50 persen bukan domestik membayar beban sesuai dengan tingkat nilai hak

    milik kena-pajak, tidak sesuai dengan kuantitas. Dengan water Act 1989, kewajiban

    pemeteran air dilaksanakan untuk menghitung biaya dan keuntungan dari pengenaan unit

    beban untuk pemakai air domestik.

  • 20

    Negara Inggris menjual 10 perusahaan induk air regional yang telah

    direstrukturisasi pada Desember tahun 1989. Perusahaan multiguna mengintegrasikan

    layanan air dan pengolahan limbah, melayani sekitar 75 persen populasi, sedangkan bagian

    lain dilayani oleh 29 perusahaan lain statutory. Pemerintah segera menguji opsi privatisasi

    pasokan air dan pengolahan limbah Skotlandia yang merupakan responsibilitas Pemda

    diprivatisasi)

    Dengan Water Act tahun 1989, dibentuk badan pengatur industry air privat, yaitu:

    1) Drinking Water Inspectorate untuk regulasi air minum, 2) National Rivers Authority untuk

    regulasi pembuangan air limbah dan 3) Officeof WaterServices (OFWAT) untuk regulasi

    ekonomi. OFWAT mengijinkan bisnis inti perusahaan air privat - pasokan air dan

    pengolahan limbah untuk 25 tahun dan berwenang menarik kembali lisensi bila

    performansi inadekuat'.

    Regulasi ekonomi dari perusahaan air (privat) dipenuhi terutama melalui regulasi

    price-cap, suatu "insentif yang mendekati regulasi yang diterapkan Pemerintah untuk

    monopoli terprivatisasi. Price-caps akan memberi insentif kepada perusahaan untuk

    mereduksi biaya. Perusahaan menanggung biaya dari performansi inefisiens. Regulasi ini

    meningkat penggunaannya di negara lain.

    Komplemen penting kontrol harga adalah ukuran komparatif atau kompetisi yang

    menjadi tapi efisiensi. Jika perusahaan air gagal memelihara efisiensi komparatif kepada

    sandaran industri (performanya di bawah rata-rata), maka kehilangan profit dan merugikan

    pesero. Keuntungan peningkatan efisiensi bermanfaat bagi konsumen dalam wujud harga

    lebih rendah (atau standar alternatif lebih tinggi).

    Model Inggris menyajikan kebebasan yang lebih besar untuk menaikkan kapital dan

    insentif untuk efisiensi operasi, juga membuka industri ke kompetisi dalam pasar modal

    dalam kaitan pengambil-alihan perusahaan. Hal ini menyediakan tekanan atas performa

    manajemen. Pasar modal adalah sumber kapital investasi dan melaluinya terdapat peran

    pemantauan dan penertiban, sumber penting dari kebutuhan teknis dan keahlian

    manajemen.

    Seperti terlihat pada Tabel 2.3, dapat dilihat perbedaan dua model tersebut,

    keduanya mementingkan pentingnya investasi kapital dan kompetisi.

  • 21

    Tabel 2.3. Karakteristik Model Kebijakan Privatisasi Air minum Perancis dan Inggris

    No Model Prancis (Persetujuan Waralaba) Model Inggris (Privatisasi Penuh) 1 Mengandalkan peningkatan partisipasi

    privat yang lebih besar Idem

    2 Industri air dihadapkan pada tingkat yang sama via kompetisi

    Idem

    3 Menggunakan bentuk yang serupa dari regulasi untuk menata tingkat harga air, yaitu dengan kontrak

    Idem (ditentukan dengan regulasi)

    4 Predikat: waralaba privatisasi penuh 5 Struktur kepemilikan dan manajemen:

    privat Privat

    6 Mencakup fasilitas sistem air dan pengelolaan limbah

    7 Biasanya diarahkan oleh kesulitan 8 Peranan pemerintah: pengaturan

    penawaran Focus pada harga dan tidak rate of return dan penyesuaian harga lebih dari periode 5 tahun, menyediakan lebih banyak insentif untuk efisiensi selagi mengurangi beban pengatur itu

    9 Tingkat harga air: ditentukan sebelum periode kontrak

    10 Kompetisi dalam pasar modal semata, di pasar untuk layanan, bukan inti sebagaimana nasehat internasional

    11 Privat dimotivasi untuk meningktakan produktivitas sebab akan menguntungkan paling tidak sebelum ada kontrak. Pada akhir periode, peningkatan produktivitas mlampaui consumer melalui mekanisme harga pasar

    12 Separasi fungsi pengaturan dari fungsi provisi system pasokan air

    13 Kompetisi difokuskan pada pemenang waralaba

    Sumber: Haarmeyer, 1992 dalam Sanim, 2011

    3 Model Pengelolaan SPAM (Sistem Penyediaan Air minum)

    Model pengelolaan air minum lainnya adalah model SPAM (Sistem Penyediaan Air

    minum), pada analisis SPAM diperlukan beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, yaitu

    Aspek Teknik Operasional, Aspek Kelembagaan, Aspek Pembiayaan, Aspek Hukum dan

    Peraturan serta Aspek Peran Serta Masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah Republik

  • 22

    Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

    menyatakan bahwa, sistem penyediaan air minum (SPAM) merupakan satu kesatuan sistem

    fisik (teknik) dan non fisik dari prasarana dan sarana air minum. Pengembangan SPAM

    adalah kegiatan yang bertujuan membangun, memperluas dan/atau meningkatkan sistem

    fisik (teknik) dan non fisik (kelembagaan, manajemen, keuangan, peran masyarakat dan

    hukum) dalam kesatuan yang utuh untuk melaksanakan penyediaan air minum kepada

    masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.

    Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam sistem penyediaan air minum

    antara lain:

    1. Aspek Teknik Operasional

    Aspek Teknik Operasional meliputi: sumber air baku, kualitas kuantitas dan

    kontinuitas, konstruksi dan design teknik, sarana prasarana dan operasi pemeliharaan.

    SPAM dapat dilakukan melalui sistem jaringan perpipaan dan/atau bukan jaringan

    pepipaan. SPAM dengan jaringan perpipaan dapat meliputi: unit air baku, unit produksi,

    unit distribusi, unit pelayanan dan unit pengelolaan.

    Sedangkan SPAM bukan jaringan perpipaan meliputi: sumur dangkal, sumur

    pompa tangan, bak penampungan air hujan, terminal air, mobil tangki air, instalasi

    kemasan, atau bangunan perlindungan mata air.

    Air baku wajib memenuhi baku mutu yang ditetapkan untuk penyediaan air minum

    sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Penggunaan air baku khususnya dari air

    tanah dan mata air wajib memperhatikan keperluan konservasi dan pencegahan kerusakan

    lingkungan sesuai dengan peraturan perundangundangan.

    Air minum yang dihasilkan dari SPAM yang digunakan oleh masyarakat

    pengguna/pelanggan harus memenuhi syarat kualitas berdasarkan peraturan menteri yang

    menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

    Perencanaan teknis pengembangan SPAM paling sedikit memuat :

    a. rancangan teknis sistem pengembangan yang meliputi rancangan detail kegiatan serta

    tahapan dan jadwal pelaksanaan.

    b. perhitungan dan gambar teknis

    c. spesifikasi teknis

    d. dokumen pelaksanaan kegiatan

  • 23

    Pelaksanaan konstruksi SPAM meliputi kegiatan pembangunan fisik dan uji coba.

    Pengelolaan teknis terdiri dari kegiatan operasional, pemeliharaan dan pemantauan dari

    unit air baku, unit produksi dan unit distribusi

    2. Aspek Kelembagaan

    Aspek Kelembagaan berikut membahas mengenai ada/tidaknya organisasi,

    peran/fungsi organisasi, struktur organisasi, sumber daya manusia dan sistem pelayanan.

    Penyelenggaraan pengembangan SPAM adalah kegiatan merencanakan,

    melaksanakan, konstruksi, mengelola, memelihara, merehabilitasi, memantau, dan/atau

    mengevaluasi sistem fisik (teknik) dan non fisik penyediaan air minum.

    Penyelenggara pengembangan SPAM yang selanjutnya disebut Penyelenggara

    adalah badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha swasta,

    dan/atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan pengembangan sistem

    penyediaan air minum.

    Pengaturan pengembangan SPAM bertujuan untuk :

    a. terwujudnya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga yang

    terjangkau;

    b. tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan;

    c. tercapainya peningkatan efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.

    Untuk mencapai tujuan pengaturan pengembangan SPAM dibentuk Badan

    Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang disebut BPP SPAM.

    Keanggotaan BPP SPAM terdiri atas Pemerintah, penyelenggara dan masyarakat. Kegiatan

    pengelolaan SPAM meliputi: pengoperasian dan pemanfaatan, administrasi dan

    kelembagaan. Pengelolaan SPAM dilaksanakan dengan mengutamakan asas keadilan dan

    kelestarian lingkungan hidup untuk menjamin keberlanjutan fungsi pelayanan air minum

    serta peningkatan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

    3. Aspek Pembiayaan

    Aspek Pembiayaan membahas mengenai sumber biaya, cara mendapatkan biaya,

    besaran biaya serta keperluan biaya. Pembiayaan pengembangan SPAM meliputi

    pembiayaan untuk membangun, memperluas serta meningkatkan sistem fisik (teknik) dan

    sistem non fisik.

  • 24

    Sumber dana untuk pembiayaan dapat berasal dari :

    a. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah;

    b. BUMN atau BUMD

    c. Koperasi

    d. Badan Usaha Swasta

    e. Dana Masyarakat

    f. Sumber dana lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan

    g. Pembiayaan pengembangan SPAM menjadi kewajiban pemerintah.

    Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mampu melaksanakan pengembangan SPAM,

    Pemerintah dapat memberikan bantuan pendanaan sampai dengan pemenuhan standar

    pelayanan minimal yang dibutuhkan secara bertahap. Pemerintah dapat mengatur sistem

    pembiayaan dan pola investasi untuk terwujudnya iklim investasi yang kondusif. Sebagai

    timbal balik atas jasa pelayanan penyediaan air minum dan sanitasi, pelanggan dikenakan

    biaya atas tarif atau retribusi. Penetapan tarif atau retribusi yang mencerminkan tarif

    konsumen sebagai harga dari jasa pelayanan yang efisien dilakukan oleh penyelenggara atas

    persetujuan berbagai pihak yang telah diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    4. Aspek Hukum dan Peraturan

    Aspek Hukum dan Peraturan membahas mengenai ada/tidaknya perda, kedalaman

    materi perda, pelaksanaan perda, sanksi hukum dan pengendalian pengawasan. Wewenang

    dan tanggung jawab pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pengembangan

    SPAM meliputi :

    a. menyusun kebijakan dan strategi di daerahnya berdasarkan kebijakan dan strategi

    nasional serta kebijakan dan strategi provinsi

    b. dapat membentuk BUMD penyelenggara pengembangan SPAM

    c. memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di wilayahnya sesuai dengan standar

    pelayanan minimum yang ditetapkan

    d. memenuhi kebutuhan pelayanan sanitasi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di

    wilayahnya sesuai dengan standar pelayanan minimum yang ditetapkan

    e. menjamin terselenggaranya keberlanjutan pengembangan SPAM di wilayahnya

    f. melaksanakan pengadaan jasa konstruksi dan/atau pengusahaan penyelenggaraan

    pengembangan SPAM di wilayah yang belum terjangkau pelayanan BUMD

  • 25

    g. memberi bantuan teknis kepada Kecamatan, Pemerintahan Desa, serta kelompok

    masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM

    h. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan SPAM

    yang utuh berada di wilayahnya

    i. menyampaikan laporan hasil pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan kepada

    pemerintah provinsi, pemerintah dan badan pendukung pengembangan SPAM

    j. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada

    di wilayahnya

    k. memberikan izin penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayahnya

    l. memfasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM

    sesuai dengan kewenangannya.

    5. Aspek Peranserta Masyarakat

    Aspek Peran Serta Masyarakat membahas peran dalam perencanaan, peran dalam

    konstruksi, peran dalam operasi pemeliharaan dan peran dalam pengawasan.

    Penyelenggaraan pengembangan SPAM melibatkan berbagai unsur yaitu BUMN, BUMD,

    koperasi, badan usaha, dan masyarakat. Agar diperoleh suatu hasil penanganan sistem yang

    memberikan pelayanan optimal, diperlukan penyelenggaraan secara terpadu dan bersinergi

    antar sektor, antar daerah serta masyarakat termasuk dunia usaha. Peran serta masyarakat

    dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM perlu didorong dalam rangka perubahan

    perilaku masyarakat menuju budaya hidup yang lebih sehat serta mendukung keberlanjutan

    pelayanan air minum dan sanitasi yang lebih handal.

  • 26

    BAB III

    DASAR PEMIKIRAN DAN METODE

    3.1. Dasar Pemikiran

    Indonesia merupakan negara yang besar dari berbagai segi, seperti jumlah

    penduduk, potensi sumberdaya alam dan luas area. Pada tahun 2010, Produk Domestik

    Bruto (PDB) Indonesia mencapai US$700 miliar yang berada pada peringkat 16 dunia.

    Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak terkena krisis ekonomi dengan

    pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal keempat 2010, naik dalam enam tahun hingga

    6,9 persen, sehingga Indonesia seringkali disandingkan dengan negara-negara BRIC (Brazil,

    Rusia, India dan China). Menurut laporan Standard Chartered, pertumbuhan

    perekonomian Indonesia di masa depan diharapkan lebih inklusif, mengingat PDB

    nominal per kapita diperkirakan menjadi berlimpat empat pada tahun 2020.

    Di sisi lain, keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi ekonomi global, yaitu

    kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan Indonesia mempersiapkan diri

    lebih baik lagi untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil

    pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh

    masyarakat. Salah satunya dengan dibuatnya Masterplan Percepatan Pembangunan dan

    Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3I) hingga tahun 2025, sehingga arah dan

    kebijakan pembangunan yang ditempuh memiliki arah dan sasaran yang jelas.

    Agar visi MP3EI pada tahun 2025 tercapai, maka salah satu kendala investasi di

    Indonesia yaitu penyediaan air minum harus bisa diatasi dengan baik. Pembangunan sektor

    air minum berhadapan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dilain pihak

    keragaan sektor air minum di negara sedang berkembang seperti Indonesia relatif rendah,

    yaitu adanya: (a) kebocoran air sangat tinggi, mencapai 40 hingga 50 persen, (b) kelebihan

    tenaga kerja, dan (c) kualitas air yang tidak stabil dan tidak memenuhi standar.

    Keragaan sektor air minum yang rendah merupakan kendala dalam investasi di

    Indonesia. Oleh karena itu penting untuk melakukan kajian investasi air minum di

    Indonesia karena dengan melakukan kajian investasi air minum di Indonesia dapat

    menemukan rekomendasi yang tepat untuk mengatasi kendala penyediaan air minum yang

    diperlukan bagi investasi dan penduduk di Indonesia.

  • 27

    3.2. Isu Strategis

    Berdasarkan latar belakang yang ada, maka kajian ini memiliki beberapa isu

    strategis, khususnya dalam meningkatkan daya saing Indonesia dan kesejahteraan

    masayarakat, yaitu perlunya meningkatkan investasi di sektor air minum. Potensi Indonesia

    yang sangat besar serta rencana Pemerintah Indonesia dengan program MP3EI, jika tidak

    dibarengi dengan peningkatan infrastruktur di bidang air minum, hasilnya tidak akan

    optimal. Beberapa kasus investasi yang ditunda di Indoesia salah satunya dikarenakan

    dengan minimnya infrastruktur, terutama infrastruktur untuk listrik dan air minum.

    Berikut ini adalah poin-poin strategis dalam kerangka konsep penyediaan air

    minum:

    Permasalahan Kualitas dan Cakupan

    Tingkat pertumbuhan cakupan pelayanan air minum sistem perpipaan dalam belum

    dapat mengimbangi pesatnya tingkat perkembangan penduduk. Fokus pengembangan

    SPAM masih pada penyediaan air minum untuk keperluan domestik (rumah tangga)

    dan belum terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang Kota.

    SPAM non-perpipaan selama 30 tahun terakhir berkembang lebih pesat daripada

    SPAM perpipaan, namun perkembangan SPAM non-perpipaan terlindungi masih

    memerlukan pembinaan.

    Tingkat kehilangan air pada sistem perpipaan berkisar antara 10 50 persen dengan

    kehilangan rata-rata sekitar 40 persen dan tekanan air pada jaringan distribusi

    umumnya masih rendah.

    Pelayanan air minum melalui perpipaan masih terbatas untuk masyarakat menengah ke

    atas di perkotaan, sementara pelayanan air minum untuk masyarakat miskin selain

    belum memadai.

    Ketersediaan data yang akurat terhadap cakupan dan akses air minum masyarakat

    belum memadai.

    Sebagian air yang diproduksi PDAM telah memenuhi kriteria layak minum, namun

    kontaminasi terjadi pada jaringan distribusi;

    Masih tingginya angka prevalensi penyakit yang disebabkan buruknya akses air minum

    yang aman.

  • 28

    Pendanaan

    Penyelenggaraan SPAM mengalami kesulitan dalam masalah pendanaan untuk

    pengembangan, maupun operasional dan pemeliharaan yang diantaranya disebabkan

    oleh masih rendahnya tarif dan masih tingginya beban utang PDAM.

    Investasi untuk pengembangan SPAM selama ini lebih tergantung dari pinjaman luar

    negeri daripada mengembangkan alternatif pendanaan dalam negeri.

    Komitmen dan prioritas pendanaan dari pemerintah daerah dalam pengembangan

    SPAM masih rendah.

    Kelembagaan dan Perundang-Undangan

    Lemahnya fungsi lembaga/dinas di daerah terkait penyelenggaraan SPAM sehingga

    peran pembinaan pengembangan SPAM menjadi sangat lemah.

    Prinsip pengusahaan belum sepenuhnya diterapkan oleh penyelenggara SPAM

    (PDAM), termasuk rekruitmen SDM belum terpadu dengan program pengembangan

    SDM Penyelenggara SPAM.

    Pemekaran wilayah di beberapa kabupaten/kota mendorong pemekaran badan

    pengelola SPAM di daerah

    Air Baku

    Kapasitas daya dukung air baku di berbagai lokasi semakin terbatas akibat pengelolaan

    daerah tangkapan air yang kurang baik.

    Kualitas sumber air baku semakin menurun akibat meningkatnya aktivitas dan

    kegiatan masyarakat dan industri tidak disertai dengan perlindungan terhadap

    lingkungan.

    Adanya peraturan perijinan penggunaan air baku di beberapa daerah yang tidak selaras

    dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga pemanfaatan air baku yang lintas wilayah

    seringkali menimbulkan konflik.

    Pengelolaan air baku belum satu atap (satu lembaga khusus pengelola) sehingga

    alokasi penggunaan air baku seringkali menimbulkan konflik kepentingan di tingkat

    pengguna.

    Oleh karena itu kajian ini sangat diperlukan untuk menginventaris wilayah-wilayah

    di Indonesia yang sering mengalami defisit air minum (khususnya daerah yang berkaitan

    dengan program MP3EI), bagaimana kebijakan pemerintah di bidang air minum ini,

  • 29

    bagaimana peluang untuk investasi air minum, apa saja kendala dan peluang dalam

    investasi air minum di Indonesia.

    3.3. Pendekatan dan Metode

    a. Pengumpulan Data/Informasi

    Data dan informasi yang diperlukan dalam kajian ini adalah data sekunder, seperti:

    - Kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air baik di Indonesia

    - Data ketersediaan dan kebutuhan air di Indonesia.

    - Rencana aksi pengembangan sumberdaya air, utamanya koordinasi antar instansi, road

    map atau target-target capaian kinerja, paket investasi, sistem pengelolaan dan skema

    kerja sama dengan pihak swasta.

    b. Pengolahan Data dan Penyusunan Laporan

    Data dan informasi dikumpulkan, diverifikasi, dikompilasi secara sistematis dan

    dianalisis. Analisis deskriptif analisis lebih menonjol dalam analisis ini. Pada Tabel 3.1

    dapat dilihat metode yang diperlukan dari masing-masing tujuan penelitian

    Tabel 3.1. Metodologi Analisis

    No Tujuan Metode Sumber dan Macam

    Data

    1 Bagaimana keragaan ketersediaan air baku untuk sistem penyediaan air minum Indonesia?

    Deskriptif analisis Berbagai sumber mengenai ketersediaan dan kebutuhan air di wilayah Indonesia

    2 Bagaimana peranan peraturan dan kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam investasi sektor air minum di Indonesia?

    Deskriptif analisis Berbagai sumber mengenai kebijakan pengelolaan sumberdaya air dan investasi air minum di Indonesia

    3 Bagaimana peranan dan kelembagaan pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam investasi sektor air minum di Indonesia?

    Deskriptif analisis Berbagai sumber

    4 Bagaimana rekomendasi untuk mengatasi permasalahan investasi sektor air minum di Indonesia?

    Deskriptif Kelanjutan analisis sebelumnya

  • 30

    3.4. Kerangka Pemikiran Kajian

    Kajian ini dimulai dengan keragaan sumberdaya air di Indonesia, yang melihat dari

    sisi ketersediaan air dan kebutuhannya. Dari keragaan ini pun dikaji juga kebijakan-

    kebijakan yang berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya air.

    Selanjutnya, setelah dilihat keragaan yang ada, dapat dianalisis bagaimana

    pemenuhan kebutuhan air minum di Indonesia, khususnya daerah MP3EI, permasalahan

    yang ada untuk melakukan investasi di bidang sistem penyediaan air minum, serta pola

    kerjasama yang ada.

    Dari hasil tersebut selanjutnya dapat berikan rekomendasi dalam investasi sistem

    penyediaan air minum, permasalahan yang ada serta pola kerjasamannya dalam

    melaksanakan pengelolaan sistem penyediaan air minum yang dapat meningkatkan daya

    saing Indonesia.

  • 31

    Gambar 3.1. Kerangka Berpikir

  • 32

    BAB IV

    KERAGAAN SUMBERDAYA AIR DI INDONESIA

    4.1. Sejarah Program Pembangunan Air Minum di Indonesia

    Bagian ini menyajikan sejarah singkat pembangunan prasarana dan sarana

    penyediaan air minum selama 30 tahun yang terbagi menjadi tiga dekade, yaitu 1970

    1980, 1980 1990 dan 1990 2000 berdasarkan atas Kebijakan Nasional Pembangunan

    Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat di Indonesia.

    a. Era Tahun 1970-1980

    Pada era ini, yaitu era Pelita I (1969 1974) dan Pelita II (1974 1979),

    pembangunan prasarana dan sarana air minum kurang mendapat prioritas. Demikian pula

    halnya dengan pembangunan sarana pelayanan masyarakat lainnya, seperti komunikasi,

    transportasi, dan energi. Dalam dua dasa warsa tersebut titik berat pembangunan nasional

    difokuskan pada pembangunan pertanian dan irigasi sebagai upaya memantapkan

    ketahanan pangan.

    Pada Pelita II, terjadi perubahan ekonomi dunia dengan meningkatnya harga

    minyak bumi di pasaran dunia. Indonesia sebagai negara yang menyimpan sebagian

    cadangan minyak bumi dunia menjadi sasaran investasi, yang membawa dampak positif

    bagi perekonomian Indonesia dengan berkembangnya industri hilir dan industri terkait

    lainnya. Industri tersebut pada umumnya berlokasi di kawasan perkotaan sehingga

    pertumbuhan ekonomi di perkotaan meningkat cukup pesat.

    Pertumbuhan ekonomi di perkotaan tersebut menarik tenaga kerja di perdesaan

    untuk berimigrasi ke perkotaan. Hal ini membawa dampak kepada meningkatnya

    kebutuhan terhadap infrastruktur seperti jaringan jalan, jaringan air minum dan penyehatan

    lingkungan, energi, komunikasi, dan sebagainya.

    Penyediaan Air Minum di Perkotaan

    Pelayanan air minum di perkotaan pada saat Pelita I dan Pelita II masih

    mengandalkan jaringan yang dibangun pada masa penjajahan dan investasi tambahan

    setelah kemerdekaan dengan jumlah yang sangat terbatas. Kondisi tersebut tidak mampu

  • 33

    mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Investasi prasarana dan sarana air minum

    beserta operasi dan pemeliharaannya dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum.

    Biaya pembangunan prasarana dan sarana air minum berasal dari APBN, APBD, maupun

    bantuan luar negeri bilateral, dan multilateral yang berasal dari Bank Dunia atau Bank

    Pembangunan Asia. Pembangunan prasarana dan sarana air minum berskala kecil biasanya

    dikaitkan dengan proyek pembangunan lainnya, seperti Kampung Improvement Project I

    (KIP I).

    Penyediaan Air Minum di Perdesaan dan Kota Kecil

    Pada periode ini, pembangunan prasarana dan sarana air minum belum menyentuh

    masyarakat perdesaan dan perkotaan skala kecil (IKK), yaitu wilayah permukiman dengan

    jumlah penduduk kurang dari 20 ribu jiwa. Pada umumnya, masyarakat perdesaan

    mendapatkan air dari sarana tradisional, seperti sumur, mata air, sungai dan sebagainya.

    Pembangunan prasarana dan sarana air minum di perdesaan sebagian dilaksanakan oleh

    Departemen Kesehatan. Selain itu, pembangunan prasarana dan sarana air minum juga

    dilaksanakan oleh LSM, UNICEF, serta bantuan teknis WHO dan UNDP.

    Pembangunan prasarana dan sarana air minum di perdesaan seringkali ditujukan

    untuk uji coba penerapan teknologi tepat guna, misalnya pompa tangan atau uji coba

    perangkat lunak seperti konsep Peran Serta Masyarakat dan konsep Pembentukan

    Lembaga Pengelola. Skala pengembangannya sangat terbatas dan tidak besar, sehingga

    cakupan pelayanan dan dampaknya juga sangat terbatas. Prasarana dan sarana air minum

    yang telah dibangun seringkali tidak berlanjut atau mengalami kegagalan, karena prasarana

    dan sarana yang dibangun tidak dipelihara dengan baik.

    b. Era Tahun 1980 1990

    Pertumbuhan ekonomi pada era 1980-1990 cukup tinggi, dan sektor manufaktur

    dan teknologi berkembang sangat pesat. Kondisi perekonomian yang baik tersebut sangat

    kondusif bagi perkembangan sektor infrastruktur. Pada saat yang sama dicanangkan

    Dekade Air Internasional (1981-1989) yang bertujuan meningkatkan pelayanan air minum

    bagi semua lapisan masyarakat. Kedua momentum tersebut menjadi pendorong bagi

    peningkatan pelayanan air minum bagi masyarakat. Sehingga selama Pelita III (1979-1984)

    dan Pelita IV (1984-1989) terjadi peningkatan investasi yang sangat signifikan di sektor air

    minum. Dalam Pelita III pembangunan prasarana dan sarana air minum berhasil

  • 34

    meningkatkan cakupan pelayanan air minum sebesar 20-30% dan dalam Pelita IV

    penyediaan prasarana dan sarana air minum mampu melayani 55% masyarakat.

    Penyediaan Air Minum di Perkotaan

    Selama Pelita III, pemerintah menyediakan investasi cukup besar di bidang

    penyediaan prasarana dan sarana air minum di perkotaan, termasuk untuk meningkatkan

    kemampuan aparat pemerintah dalam bidang perencanaan dan pelaksanaan. Pada saat itu,

    pemerintah mulai melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan internasional dalam

    bentuk pinjaman luar negeri untuk melakukan investasi di sektor air minum. Model

    pendekatan pembangunan dan standar teknis pengelolaan dirumuskan oleh pemerintah

    pusat, termasuk untuk pembangunan prasarana dan sarana air minum di Ibu Kota

    Kecamatan (IKK). Pembangunan prasarana dan sarana air minum dilaksanakan oleh

    Departemen Pekerjaan Umum dengan mengacu kepada standar teknis pelayanan air

    minum internasional yang mendasarkan perhitungan kepada jumlah penduduk.

    Dampak dari pelaksanaan standar tersebut adalah terkonsentrasinya investasi

    prasarana dan sarana air minum pada kawasan-kawasan yang padat penduduk seperti di

    Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Walaupun telah cukup banyak investasi yang dilaksanakan

    untuk meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana air minum namun laju investasi tidak

    dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk sehingga cakupan pelayanan sulit untuk

    dinaikkan secara signifikan.

    Penyediaan Air Minum di Perdesaan dan Kota Kecil

    Pembangunan prasarana dan sarana air minum di kota kecil (dengan jumlah

    penduduk kurang dari 50.000 jiwa) dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum.

    Sebagai pengelolanya dibentuk Badan Pengelola Air Minum (BPAM) yang bersama-sama

    dengan pemerintah daerah dikembangkan menjadi Perusahaan Daerah Air Minum

    (PDAM). Sedangkan pembangunan prasarana dan sarana air minum di perdesaan

    dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

    Lingkungan (PPM-PL), Departemen Kesehatan dibantu oleh Direktorat Jendral

    Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), Departemen Dalam Negeri. Pola perencanaan,

    pelaksanaan, dan pengelolaan ditentukan oleh pemerintah pusat melalui departemen teknis

    yang menangani.

  • 35

    Pada era ini bantuan kerjasama dan pinjaman luar negeri melalui lembaga keuangan

    bilateral dan multilateral meningkat terus. Walaupun dalam skala kecil, LSM mulai

    berperan serta dalam penyediaan prasarana dan sarana air minum di perdesaan dan kota-

    kota kecil dengan bantuan dana dari berbagai donor nirlaba. Seiring dengan meningkatnya

    tuntutan otonomi, untuk mendorong kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola

    pembangunan prasarana dan sarana air minum maka diciptakan mekanisme hibah

    pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Walaupun tingkat cakupan pelayanan kepada

    masyarakat meningkat secara signifikan, namun kinerja pemanfaatan prasarana dan sarana

    yang telah dibangun ternyata kurang menggembirakan, banyak prasarana dan sarana yang

    tidak dapat dioperasikan karena tidak dipelihara secara benar.

    c. Era Tahun 1990-2000

    Pelita V (1989-1994) dan Pelita VI (1994-1999) merupakan era globalisasi terutama

    di bidang ekonomi. Meningkatnya tuntutan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi

    menyebabkan kendali pemerintah pusat lebih dilonggarkan. Pada saat yang sama, prinsip

    Dublin-Rio (Dublin-Rio Principles) diterapkan secara internasional. Keterlibatan dunia

    swasta di semua sektor meningkat pesat, demikian juga di bidang infrastruktur perkotaan.

    Pada Repelita VI, pembangunan prasarana dan sarana air minum direncanakan untuk

    melayani sekitar 60% penduduk perdesaan dan 80% penduduk perkotaan. Krisis ekonomi,

    yang terjadi sejak Agustus 1997 dan diikuti oleh krisis politik, mengakibatkan terjadinya

    kemandegan ekonomi, cadangan devisa pemerintah sangat terbatas sehingga anggaran

    pemerintah yang ada tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan prasarana dan

    sarana.

    Penyediaan Air Minum di Perkotaan

    Investasi prasarana dan sarana air minum pada masa itu banyak berasal dari hutang

    lembaga keuangan bilateral maupun multilateral. Keberhasilan konsep P3KT yang

    mengintegrasikan seluruh infrastruktur perkotaan kedalam satu paket pinjaman menarik

    perhatian lembaga keuangan bilateral dan multilateral. Pemeran utama pendekatan konsep

    tersebut adalah Departemen Pekerjaan Umum yang kemudian mendelegasikan sebagian

    wewenangnya kepada tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Banyaknya paket pekerjaan

    yang harus diselesaikan dan terbatasnya sumber daya manusia menjadi kendala dalam

    peningkatan kualitas prasarana dan sarana permukiman yang dibangun. Hal ini terjadi

  • 36

    karena pembinaan teknis, supervisi, dan pengawasan kualitas pekerjaan konstruksi menjadi

    sangat terbatas dan tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

    Secara bertahap pendekatan kegiatan IKK (Ibu Kota Kecamatan) bergeser ke kota-

    kota ukuran menengah, namun standar pembangunan IKK masih tetap dijadikan acuan.

    Cakupan pelayanan masih merupakan tujuan pembangunan, sehingga konstruksi prasarana

    dan sarana baru menjadi kegiatan utama, sedangkan kegiatan pemeliharaan dan rehabilitasi

    cenderung terabaikan. Pengelolaan PDAM belum dapat dilaksanakan sesuai standar

    perusahaan, kendala yang dihadapi adalah rendahnya kemampuan mengelola suatu

    perusahaan, tidak adanya kebebasan dalam menentukan tarif, mahalnya investasi baru, dan

    terbatasnya sumber daya manusia. Selain kendala tersebut terdapat kendala alam yaitu

    semakin menipisnya air baku (disebabkan oleh rusaknya lingkungan) yang dapat

    dimanfaatkan dan ketiadaan sumber air yang dapat dimanfaatkan.

    Kondisi ini menyebabkan sebagian besar PDAM masih bergantung kepada subsidi

    dari pemerintah pusat. Pada tahun 1988, disadari bahwa agar PDAM dapat meningkatkan

    mutu pelayanan air minum kepada masyarakat maka kebijakan air minum perlu diubah dan

    pengelolaan PDAM perlu direformasi secara menyeluruh. Pelayanan air minum perlu

    melibatkan dunia swasta dan dilakukan secara profesional, berorientasi kepada keuntungan

    (tanpa meninggalkan beban sosial), dan menjauhkan campur tangan birokrasi dalam

    pengelolaan perusahaan.

    Penyediaan Air Minum di Perdesaan dan Kota Kecil

    Pelita IV merupakan titik awal dimulainya partisipasi masyarakat dan terlibatnya

    LSM di tingkat daerah dan nasional dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang

    didanai oleh lembaga keuangan internasional. Konsep kepemilikan masyarakat dan

    pendekatan yang didasarkan kepada kebutuhan (Demand Responsive Approach) mulai

    diterima secara luas, walaupun pelaksanaannya masih dilakukan secara terbatas.

    Proyek pembangunan prasarana dan sarana sosial (PKT, P3DT, dan sebagainya),

    termasuk di dalamnya prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan,

    diterima sebagai pendekatan pembangunan alternatif dengan hasil yang cukup bervariasi.

    Pada pendekatan ini dilakukan terobosan baru dalam penyaluran anggaran pemerintah

    dengan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam

    pembangunan prasarana dan sarana. Pemerintah daerah berperan sebagai fasilitator dan

    pembina teknis. Namun demikian, cakupan pelayanan ternyata tidak sesuai dengan yang

  • 37

    direncanakan. Persoalan lama selalu berulang dalam prasarana dan sarana air minum yaitu

    kurang optimalnya pemanfaatan prasarana dan sarana air minum yang telah dibangun

    karena ketidakmampuan masyarakat untuk mengoperasikan dan memeliharanya.

    4.2. Kebutuhan dan Ketersediaan Air minum di Indonesia

    Indonesia memiliki curah hujan yang melimpah serta mempunyai hampir 6 persen

    sumber daya air (fresh water) dunia atau ekuivalen dengan 2.500 km3 sumber daya air

    terbarukan. Di pulau Jawa, rata-rata ketersediaan air setiap tahun sekitar 1.750 m3 per

    kapita yang terdistribusi secara tidak merata baik dari aspek tempat maupun waktunya.

    Diperkirakan sebagian besar sumber untuk mensuplai air minum melalui pipa (piped water)

    di Indonesia berasal dari air permukaan (surface water), yaitu sekitar 60 persen, sedangkan

    sisanya sekitar 25 persen bersumber dari air sumber (springs water), dan 15 persen

    bersumber dari air tanah (ground water).

    Wilayah Jawa dan Bali merupakan daerah yang mempunyai tingkat permintaan air

    permukaan paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya untuk kebutuhan irigasi

    maupun kebutuhan domestik, municipal, dan industrial (DMI). Hal ini sebagai konsekuensi

    besarnya proporsi penduduk di wilayah ini (sekitar 62% dari total populasi Indonesia) dan

    pembangunan industri yang terkonsentrasi di wilayah Jawa. Sedangkan pada sisi lain,

    jumlah potensi sumber daya air di wilayah ini sangat terbatas, yaitu hanya sebesar 7,91%

    dari total potensi air nasional (Tabel 4.1).

    Tabel 4.1. Neraca Air Musim Kemarau Indonesia 2003

    Pulau Ketersediaan

    Miliar m3 Kebutuhan (Miliar m3)

    2003 Neraca Proyeksi 2020

    Neraca

    Sumatra 96,5 11,6 Surplus 13,3 Surplus Jawa Bali 25,3 38,4 Defisit 44,1 Defisit Kalimantan 167,0 2,9 Surplus 3,5 Surplus Nusa Tenggara 4,2 4,3 Defisit 4,7 Defisit Sulawesi 14,4 9,0 Surplus 9,7 Surplus Maluku 12,4 0,1 Surplus 0,1 Surplus Papua 163,6 0,1 Surplus 0,1 Total 483,1 66,4 Surplus 75,6 Surplus

    Sumber : Sutardi, 2003, Ditjen Sumberdaya Air, Departemen Kimpraswil, Jakarta, 2003. Buku : Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2003.

  • 38

    Permintaan air, baik untuk keperluan irigasi maupun DMI, diperkirakan akan terus

    meningkat sehingga pada tahun 2015 akan mencapai angka 3.293 m3/ dt. Angka ini jauh

    lebih besar dari tahun 1990 yang hanya sebesar 1.605 m3/dt dan 2.732 m3/dt pada tahun

    2000. Dari jumlah permintaan air tersebut, sebagian besar (lebih dari 50%) terjadi di

    wilayah Jawa-Bali (Country Report for 3rd World Water Forum, 2003). Neraca air Indonesia

    pada tahun 2003 menunjukkan bahwa terjadi ketidakseimbangan kebutuhan dan

    ketersediaan air di 7 kelompok wilayah (Tabel 4.1). Berdasarkan table tersebut

    diproyeksikan padai tahun 2020 Indonesia masih mengalalmi surplus aor pada musim

    kemarau. Hal ini dikarenakan daerah Papua sebagai daerah yang memiliki ketersediaan air

    cukup besar, hanya dibutuhkan sedikit saja. Sehingga secara total surplus di Indonesia

    pada tahun 2003 adalah 66,4 miliar m3 dan pada tahun 2020 surplus sebesar 75,6 miliar m3.

    Lemahnya pengelolaan lingkungan di Indonesia, memberikan dampak negatif

    terhadap sektor air minum dan sanitasi. Terbatasnya ketersediaan air baku menjadi salah

    satu masalah yang dihadapi dalam penyediaan layanan air minum di Indonesia.

    Berdasarkan laporan MDGs 2010 yang diterbitkan oleh Bappenas, jumlah rumah tangga

    yang memiliki akses terhadap air minum yang layak sebanyak 47,71% dan rumah tangga

    yang memiliki akses sanitasi sebanyak 51,19%.

    Tabel 4.2. Akses Masyarakat terhadap Air minum di Indonesia Berdasarkan Berbagai Laporan

    Laporan MDGs tahun 2010 (Bappenas)

    Progress on Drinking Water and Sanitation 2008 (Unicef, WHO)

    Progress on Drinking Water and Sanitation 2010 (Unicef, WHO)

    Achieving the MDGs in an Era of Global Uncertainty

    (UNESCAP, ADB, UNDP, 2010)

    Perkotaan (%)

    Perdesaan (%)

    Air Perpipaan

    (%)

    Sumber Air Terlindungi

    (%)

    Air Perpipaan

    (%)

    Sumber Air Terlindungi

    (%)

    Water Total

    Sanitation Total

    49,82 45,72 20 60 23 57 slow slow

    Sumber: Berbagai Sumber

    Pada Tabel 4.2 terlihat perbedaan antara laporan yang diterbitkan oleh UNICEF

    dan WHO dengan laporan yang diterbitkan oleh UNESCAP, ADB, dan UNDP serta

    laporan yang dibuat oleh Bappenas. Laporan yang disusun oleh UNICEF dan WHO,

    tahun 2008 maupun 2010 menunjukkan bahwa 80 persen penduduk Indonesia telah

    memiliki akses terhadap air minum. Sedangkan laporan ADB meskipun tidak menyebutkan

    angka, menunjukkan bahwa Indonesia berada pada off track untuk tercapainya MDGs air

    minum dan sanitasi. Semua laporan tersebut menunjukkan rendahnya akses masyarakat

  • 39

    Indonesia terhadap air perpipaan, padahal air perpipaan dipandang sebagai air yang

    memiliki kualitas yang dapat diandalkan dan lebih sehat dibandingkan dengan sumber air

    lainnya.

    Menurut Pawitan (1996 dalam Sanim, 2011), yang melakukan kajian tentang

    keseimbangan air hidrologi di wilayah Indonesia dengan mengevaluasi total air tersedia dan

    total kebutuhan air dalam jangka panjang sampai tahun 2020, maka dapat dilihat bahwa

    sebagian besar beberapa wilayah di Indonesia masih dalam status aman. Namun terdapat

    beberapa wilayah di Pulau Jawa dalam kondisi waspada dan kritis. Potensi sumberdaya air

    di suatu wilayah dikatakan dalam status aman apabila total kebutuhan air berada di bawah

    10 persen. Sedangkan status waspada apabila total kebutuhan airnya berada antara aliran

    rendah 10 persen dan 45 persen. Untuk status kritis, apabila total kebutuhan air sudah

    melampaui batas aliran rendah 45 persen.

    Tabel 4.3. Wilayah Kabupaten di Indonesia dengan Kondisi Sumberdaya Air Kritis, Waspada dan Aman hingga 2020

    Kondisi SD Air Wilayah Kritis DKI Jakarta, Kota/Kab Cirebon, Indramayu, Purwakarta,

    Karawang, Bekasi, Tangerang, Sidoarjo, Bantul, Lamongan dan Gianyar

    Waspada Aceh Utara, Deli Serdang, Tanah Datar, sebagian besar Kabupaten di Jawa, Madura dan Bali, Bogor (2020) Cianjur (2010), Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Kudus, Pati, Rembang, Blora, Sragen, Sukoharjo, Jombang, Lamongan, NGawi, Madiun, Nganjuk. Kediri, Trenggalek, Banyuwangi, Situbondo, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Tabanan, Badung, Klungkung, Lombok serta beberapa Kabupaten di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan

    Aman Wilayah lainnya

    Sumber: Pawitan dalam Sanim, 2011

    Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia masih tertinggal,

    akses terhadap air minum di Indonesia adalah 80 persen, sedangkan di Malaysia telah

    mencapai 100 persen, dimana 97 persennya berasal dari air perpipaan. Demikian pula

    dengan Thailand yang akses air minumnya telah mencapai 98 persen. Dilain pihak,

    Indonesia lebih baik daripada Kamboja (61%). Secara detil dapat dilihat pada Tabel 4.4.

  • 40

    Tabel 4.4. Akses Air minum dan Sanitasi di Beberapa Negara ASEAN

    Negara Keteraksesan Penduduk

    Air minum (%) Sanitasi (%) Malaysia 100 96 Thailand 98 96 Vietnam 94 75 Kamboja 61 29 Philiphines 91 76 Indonesia 80 52

    Sumber: Progress on Drinking Water and Sanitation 2010 (Unicef, WHO)

    Pembiayaan air minum dan sanitasi menjadi salah satu penyebab rendah tingkat

    keterkasesan masyarakat terhadap air minum. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Water

    and Sanitation Program (WSP) Bank Dunia, terkait dengan pembiayaan publik untuk sektor

    air minum dan sanitasi pada tahun 2006, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara

    peningkatan PDB di daerah dengan peningkatan alokasi pembiayaan untuk sektor air

    minum dan sanitasi. Studi tersebut juga menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah

    (nasional, provinsi dan kabupaten/kota) pada tahun 2002 untuk pembangunan di sektor air

    minum dan sanitasi, rata-rata hanya 0,64 persen dari PDB seperti terlihat pada Tabel 4.5.

    Tabel 4.5. Rata-Rata Pengeluaran Tahunan di Indonesia untuk Sektor Air (dalam milyar rupiah)

    Tingkat Pemerintahan Rata-Rata

    1994-1997 1998-2000 2001-2002 Pusat 842 1.450,8 1.985 Provinsi 55 106 284,6 Kabupaten/Kota 29 538 335,5 Total 926 1.610,5 2.605,3 Persentase GDP 0,23% 0,40% 0,64%

    Sumber: Kajian Pendanaan Publik untuk Sektor Air minum dan Sanitasi di Indonesia,Water and Sanitation Program, Bank Dunia, 2006

    Sedangkan untuk tahun 2004 hingga tahun 2009, dapat dilihat pada Tabel 4.6, pada

    Tabel tersebut terlihat penurunan perbandingan antara pengeluaran air bersih dan GDP,

    dari 0,14 persen di tahun 2004 menja