Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

45
IBU TIRI TAK SEKEJAM IBU KOTA (CERITA FIKSI) Oleh: Reny Sukmawani

Transcript of Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

Page 1: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

IBU TIRI

TAK SEKEJAM IBU KOTA

(CERITA FIKSI)

Oleh:

Reny Sukmawani

Page 2: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

CERITA KECIL INI

KUPERSEMBAHKAN

UNTUK:

ORANGTUAKU:

H. OHA SUKMAWAN & HJ. TETY KARYETI

YOU ARE THE BEST PARENTS IN THE WORD

Page 3: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

KEHILANGAN IBU

MENCOBA BANGKIT

KEDATANGAN IBU

TIRI

KABUR KE JAKARTA

PERISTIWA

MENAKJUDKAN

AKHIR YANG INDAH

Page 4: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

KEHILANGAN IBU

Page 5: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

Siang itu suara adzan dhuhur berkumandang menembus

angin yang berembus cukup kencang. Pohon-pohon kamboja

yang tumbuh di sekeliling bergoyang seperti orang-orangan yang

melambai disertani dengan bergugurannya daun-daun kering.

Suasana terasa hening dan suram. Cuaca yang biasanya cerah

bahkan cenderung terik, saat ini terasa sebaliknya. Matahari pun

seperti enggan memunculkan kegarangannya pada siang itu.

Sinarnya tertutup awan yang mendung. Sepertinya langit akan

menumpahkan air hujan layaknya sebuah tangisan.

Budi masih bersimpuh di depan kuburan yang tanahnya

masih basah. Di atas gundukan tanah berwarna merah itu

dipenuhi taburan bunga yang berwarna-warni bercampur dengan

dedaunan kering yang tertiup angina. Sepertinya alam mengerti

benar perasaan Budi. Langit yang mendung, semendung hati

Budi. Tetes-tetes air hujan yang mulai jatuh satu persatu seperti

tetes air mata Budi yang sejak semalam hingga siang hari ini tak

kunjung kering. Daun-daun yang berguguran layknya hati budi

yang gugur terserabut dari tubuhnya. Perasaannya pedih tak

terkira bagaikan disayat-sayat sembilu. Budi tak mengira semua

ini akan menimpa hidupnya. Mengapa semua ini menimpaku?,

mengapa harus secepat ini Tuhan mengambil ibuku? Mengapa

ibu sebaik ibuku yang usianya pun belum begitu tua harus pergi

dari sisiku ? Usia ibuku belum genap tiga puluh lima tahun.

Sedangkan aku adalah anak semata wayangnya yang masih

mebutuhkan perhatian, kasih sayang dan belaian ibu. Usiaku

baru sepuluh tahun, bagaimana aku bisa menjalani hidupku

tanpa ibu disampingku ? mengapa Tuhan ini terjadi ?

mangapa.....mengapa....mengapa.... hu...hu....hu....

Page 6: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

Pak Darma, Ayah Budi berusaha membujuk Budi agar

bangun dan mengajaknya pulang. Tapi Budi bersikeras untuk

tetap berada di dekat pusara ibunya. Budi dibujuk agar mau

merelakan ibunya. ”Budi, relakanlah ibumu,” kata ayah. Hari

sudah siang dan sangat mendung, sebentar lagi hujan akan

turun dengan derasnya. Sebaiknya kamu justru mendoakan

ibumu agar segala amal perbuatannya selama hidup di terima

oleh Tuhan Yang maha Esa sebagai amal baik dan amal sholeh.

”Aku sudah tak punya Ibu lagi ayah, bagaimana aku bisa

hidup tanpa ibu di sisiku ?, sahut Budi sesegukan. ”Kamu masih

punya ayah, sayang, kita bisa menjalani hidup bersama-sama”.

Ayah juga sama sedihnya dengan kamu, nak. Tapi mau

bagaimana lagi, ini sudah suratan takdir dari Tuhan dan kita

harus ihklas menerimanya. Ayah yakin, ibumu di alam sana pasti

tidak suka melihatmu bersedih dan berputus asa seperti

sekarang ini. Ayo bangunlah nak, bujuk ayah lagi. Dengan berat

hati, Budi mencoba bangun dan menuruti ajakan ayahnya.

Mereka berdua kemudian melangkah gontai meninggalkan

daerah perkuburan diiringi dengan tetes-tetes hujan yang

semakin lama semakin membesar.

Di dunia ini Budi hidup bertiga dengan ayah ibunya.

Selama sembilan tahun dia bertahan menjadi anak tunggal, anak

semata wayang. Segala curahan kasih sayang orang tuanya

selama ini tumpah kepadanya secara berlimpah. Hidupnya

penuh dengan keberuntungan. Meskipun kehidupan ekonomi

orang tuanya tidak serba mewah, tetapi untuk ukuran keluarga

kecil dan sederhana mereka hidup berkecukupan. Ayah Budi

adalah seorang pegawai Pemerintah Daerah (Pemda) atau yang

dikenal sebagai PNS (Pegawai negeri Sipil), sedangkan ibunya

adalah ibu rumah tangga tulen yang sehari-harinya sibuk

Page 7: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

mengurus rumah, melayani ayah dan mengurus dirinya. Hidup

Budi sehari-hari tak lekang dari perhatian dan curahan kasih

sayang ibunya. Hidupnya terasa semakin sempurna ketika

ibunya mengandung setelah sekian tahun lamanya menunggu.

Bayangan akan hadirnya seorang adik yang lucu begitu

menggembirakan.

Hari-hari dilalui Budi dan orangtuanya dengan penuh

sukacita. Berbagai persiapan dilakukan dalam rangka

menyambut kelahiran sang adik. Pada waktu-waktu bersantai

bersama mereka berdiskusi berebut argumentasi untuk memberi

nama pada sang calon bayi. Budi sangat berharap memperoleh

seorang adik perempuan. Terbayang bagaimana lucunya sang

adik kelak. Sedangkan menurut orangtuanya, laki-laki atau

perempuan sama saja yang penting mereka bersukacita atas

kehadiran sang jabang bayi.

Menjelang usia kandungan ibu memasuki tiga bulan, tiba-

tiba ibu jatuh pinsan. Budi yang pada saat itu sedang

mengerjakan pekerjaan rumahnya panik tak terkira. Sementara

ayah belum pulang. Segera Budi memanggil Bu Surti, tetangga

dekat rumahnya. Tok..tok...tok...Bu Surti, “Bu Surti....tolong ibu

saya bu, teriak budi sambil menangis tersedu-sedu”. Tak berapa

lama pintu rumah bu Surti terbuka, tampak bu Surti dengan

terheran-heran bertanya,” ada apa dengan ibumu, budi?”. “Ibu

saya terjatuh dan pinsan di rumah bu, sahut Budi dengan cepat.

Wah...ayo kita segera ke rumahmu ?. Dengan tergopoh-gopoh

mereka berlari menuju rumah Budi. Setiba di rumah tampak ibu

masih tergeletak dengan lemas di lantai. Bu Surti dan Budi

membopongnya dengan susah payah ke tempat terdekat dan

menidurkannya di atas sofa. Dengan cekatan Bu Surti

mengambil air hangat serta lap dan mengompres kening Ibunya

Page 8: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

Budi. “Coba tolong ambilkan minyak angin Bud, perintah Bu

Surti”. Budi berlari ke kamar orangtuanya dan mencari minyak

angin yang biasa disimpan dikotak obat. Setelah berhasil

menemukan minyak angin yang diinginkan, segera Budi

memberikannya pada Bu Surti. “Ini Bu, tapi tinggal sisa sedikit,

kata Budi”. “Tidak apa, segini juga mudah-mudahan cukup,

sahut Bu Surti sambil menerima minyak angin yang disodorkan

Budi. Segera Bu Surti membuka botol minyak angin tersebut dan

mendekatkan mulut botolnya ke hidung Ibunya Budi. Tidak

sampai lima menit, Bu Darma siuman. Wajahnya tampak sangat

pucat. Segera Bu Surti memberinya minuman teh panas dan

berusaha menenangkannya. Terima kasih bu, saya telah

merepotkan ibu, kata Bu darma pada Bu Surti. Tidak repot kok

bu, untung Budi segera memberitahu saya jadi ibu bisa cepat

tertangani. “Sebenarnya apa yang terjadi, hingga ibu pinsan ?

tanya Bu Surti”. “Saya sendiri tidak tahu bu, tiba-tiba saja

kepala saya pusing, mata berkunang-kunang dan perut saya

sakit melilit tak tertahankan. Setelah itu saya tidak ingat apa-

apa lagi, sahut bu Surti”. Kalau begitu ibu harus segera

memeriksakan diri ke dokter agar segera ketahuan apa

penyebabnya. Budi yang masih berdiri tak jauh dari ibunya

termangu-mangu mendengar obrolan bu Surti dan ibunya. “Bu,

apakah Budi harus mengabari ayah, tanya Budi pada ibunya”.

Jangan nak, kasian ayahmu nanti kaget, sebentar lagi juga

pulang kok. Lagipula ibu sudah merasa agak baikan, nanti kalau

ayahmu sudah datang baru kita beritahu, sahut ibunya.”.

Baiklah kalau begitu, bila tidak ada yang diperlukan lagi, saya

permisi pulang, nanti bila ada apa-apa, jangan sungkan ibu

memanggil saya, pamit bu Surti”. Iya, terima kasih banyak bu,

jawab bu Darma.

Page 9: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

Setelah kejadian itu, ibu bolak balik ke dokter. Setiap hari

ibu minum obat. Ayah dengan setia menemani ibu setiap kali ke

dokter. Budi tidak mengerti benar, apa yang sesungguhnya

terjadi dan sakit apa yang diderita ibu. Sering secara diam-diam

Budi melihat ibunya meneteskan air mata dengan sembunyi-

sembunyi. Bila ditanya kenapa, ibunya hanya tersenyum lembut

dan menenangkan.

Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan terlewati sudah.

Tak terasa usia kandungan ibu sudah memasuki tahap-tahap

persiapan melahirkan. Ayah terlihat sibuk mempersiapkan

segala sesuatunya. Ibu tampak pucat dan kelelahan. Ada sedikit

mendung di wajah kedua orang tuanya. Budi bingung, bukankah

seharusnya mereka bergembira karena akan lahir anggota

keluarga baru diantara mereka ? Budi benar-benar tidak

mengerti ada apa. Yang Budi ingat kemudian adalah kabar yang

menyedihkan, Ibu dan adiknya tidak dapat diselamatkan dari

proses melahirkan. Jangankan mendapat seorang adik, tetapi

justru yang terjadi adalah Budi kehilangan Ibunya tercinta untuk

selama-lamanya.

“Kamu tidak bisa melamun begini terus nak,kata ayah

sambil menepuk Budi. “Sudah beberapa hari ini kegiatan kamu

hanya melamun dan melamun saja hingga tak ingat makan.

Mengapa harus menyiksa dirimu sendiri ?”

Aku teringat terus ibu ayah, kata Budi dengan mata

menerawang. ”Aku sekarang jadi anak yang tidak memiliki ibu

lagi.” Kamu masih memiliki ayah, kata ayah sambil membelai

kepala Budi. Kita berdua sama-sama kehilangan orang yang kita

cintai. Tapi itu bukan berarti hidup kita terhenti hingga di sini

saja. Kita harus tetap melanjutkan hidup kita bersama-sama

dengan atau tanpa ibu sekalipun. ”Memang wajar bila kita

Page 10: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

bersedih. Tetapi bersedih hati yang berkepanjangan adalah

perbuatan yang tidak disukai Tuhan. Ayah yakin, ibumu pun

tidak akan senang bila melihatmu bermuram durja terus. Justru

bila kamu sayang ibumu maka kamu harus tunjukkan dengan

semangat hidupmu, nasihat ayah panjang lebar”. Budi terpekur

diam sambil memandangi kuku-kukunya. Pak Darma menepuk

pundak Budi, kemudian pergi meninggalkannya. Harapannya

Budi paham dengan apa yang baru saja disampaikan. Ya Tuhan,

berikanlah kekuatan pada anakku atas musibah ini. Dia masih

kecil Tuhan, masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.

Berilah petunjuk pada kami agar dapat melewati semua ini

dengan baik, aamiin.

Page 11: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

MENCOBA BANGKIT

Page 12: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

Pagi itu Budi terbangun dengan keringat memenuhi sekujur

tubuhnya. Budi baru saja melewati tidurnya dengan mimpi yang

sangat mengejutkan. Di dalam mimpinya dia melihat ibunya

yang tampak murung dan bersedih. Ketika dihampiri, ibunya

malah berjalan menjauh seolah-olah dirinya telah membuat

kesalahan yang amat besar pada ibunya. Budi berteriak-teriak

memanggil-manggil nama ibunya. Tetapi ibunya seperti tidak

mendengar, dia tidak memperdulikannya. Budi berusaha lari

mengejarnya, tetapi ibunya pun semakin cepat melangkah pergi.

Budi bertanya-tanya, apakah ibu marah ? Kembali Budi berteriak

memanggil-manggil ibunya, tetap saja tidak digubris, hingga

akhirnya Budi terbangun dari tidurnya.

Yaa Tuhan, apakah arti dari mimpi tadi? mengapa ibu

berperilaku aneh seperti itu? Mengapa ibu seperti membenci

dirinya? Apa salahku hingga ibu tampak begitu marah? Budi

duduk termenung di atas tempat tidurnya. Diingat-ingatnya

perilaku selama ini yang memungkinkan dia telah membuat

ibunya kecewa, tapi tak juga ketemu. Seingat Budi, ibunya

jarang marah. Sekalinya Budi membuat kesalahan dengan sabar

ibu akan menasihatinya dengan suaranya yang khas dan lembut.

Ibu tak pernah memukulnya atau menghukumnya dengan keras.

Sikap dan sifat ibu yang lembut sangat dominan pada diri ibu,

jangankan memukul sekedar berkata-kata keraspun ibunya tak

pernah lakukan. Tapi mengapa di dalam mimpi tadi sifat dan

sikap ibu justru sebaliknya?

Bud...Budi...ayo bangun nak, hari sudah siang. Kamu harus

sekolah hari ini nak, terdengar suara ayah memanggil dari luar

kamar. Dengan sedikit rasa enggan, Budi beringsut turun dari

tempat tidurnya dan menuju ke luar kamar. Dilihatnya ayah

sedang duduk di atas kursi makan sambil menikmati kopi panas

Page 13: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

dan memegang berkas-berkas pekerjaannya. Ayo mandi nak,

kamu harus sekolah hari ini. Seminggu ayah kira sudah lebih

dari cukup kamu membolos. Hilangkan kesedihan mulai hari, ini

dan susun semangat baru untuk menyongsong masa depan.

Kata ayahnya dengan lembut. Budi melangkah gontai

menghampiri ayahnya. ”Ada apa nak, tanya ayah begitu melihat

raut wajah Budi yang kusut”. Ayah, aku baru saja bermimpi

bertemu dengan ibu, sahut Budi dengan mata menerawang. Pak

Darma tertegun sesaat, lalu ? tanya pak Darma kemudian. Tapi

mengapa ibu seperti marah padaku ayah. Ibu tidak ingin

kudekati bahkan menjauh ketika kupanggil – panggil, cerita Budi

dengan sedih. Pak Darma tercenung, kemudian menarik napas

penjang dan menghembuskannya dengan perlahan-lahan.

”Budi..., katanya dengan hati-hati. ”Ibumu mungkin kecewa

dengan sikap kamu selama ini yang terlalu bersedih sehingga

tampak tidak memiliki semangat hidup. Ibumu mungkin tidak

suka karena kamu terlalu lama membolos sekolah hanya karena

kamu berduka dan ibumu mungkin marah karena kegiatan kamu

akhir-akhir ini hanya melamun dan melamun saja. Mulai

sekarang, ayolah kamu mulai beraktifitas lagi seperti biasa.

Sekolah dengan rajin, bermain dengan teman-teman sebayamu,

dan mengikuti semua kegiatan-kegiatan yang bersifat positif baik

di sekolah maupun di lingkungan rumah. Tak baik kamu

menyendiri dan mengurung diri terus. Jadi pantas saja ibumu

marah dalam mimpimu, sahut ayah panjang lebar. Budi

termenung mencerna semua kata-kata ayahnya. Batinnya

berkata-kata, apa betul demikian ? Jadi ibu marah karena itu ?.

Salahkah bila aku bersedih ? Tidak bolehkah aku berduka karena

kehilangan ibu ? pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk

dalam dada Budi. Budi tersentak ketika ayah menyentuh

Page 14: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

lengannya. ”Bagaimana Bud, mau sekolah hari ini ?”, tanya

ayahnya penuh harap. Perlahan Budi mengangguk, ayah

menghela napas lega.

Hari pertama tiba di kelas, Budi disambut dengan tepuk

tangan meriah. Semua teman-teman sekelasnya bersimpati

padanya. Mereka berebut menyambut kehadirannya kembali di

sekolah. Para guru tersenyum penuh arti. Mereka semua

memberikan semangat pada Budi agar kembali ceria. Budi

terharu menghadapi semua itu. Dirinya tidak menyangka teman-

teman dan guru di sekolahnya begitu perhatian padanya. Dia

merasakan kembali setitik cerah kehidupan di dalam hatinya.

Yah, aku harus bangkit !!! Aku tidak boleh terus-menerus

terhanyut dalam kesedihan. Betul kata ayah, ibu pasti tidak

senang melihat perbuatan aku selama ini. ”Maafkan Budi

ibu......Budi telah membuat ibu kecewa, batin Budi”.

Hari itu, masa belajar di sekolah dilalui Budi dengan lancar.

Budi..!!! terdengar teriakan seseorang memanggil namanya.

Budi menoleh ke arah datangnya suara. Tampak dari kejauhan

Iwan dan Adi berlari-lari kecil menuju ke arahnya. ”Ada apa?,

tanyanya”. Bud, kita ada kegiatan latihan sepak bola sore ini,

kamu mau ikut gabung dengan tim kita?, tanya Iwan. Budi

berpikir menimbang-nimbang ajakan temannya tadi. ”Ayolah

Bud, mendingan gabung aja yuk, tim kita masih kurang anggota

untuk mempersiapkan lomba dalam rangka Agustusan nanti, Adi

menambahkan”. Baiklah, aku ikut, akhirnya Budi memutuskan,

Mengapa tidak ?, pikirnya. Toh aku tidak ada kegiatan sore

nanti. Mudah-mudahan kegiatan ini bisa membantuku

menghilangkan rasa sedih, pikirnya.

Sore harinya,Budi bersiap-siap pergi latihan Bola. Ayah

baru pulang dari kantor ketika mendapati Budi sedang memakai

Page 15: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

sepatu olehraganya. Raut kelelahan di wajah pak Darma

langsung hilang ketika melihat anaknya mulai bersemangat lagi.

”Kemana Bud?, tanyanya hati-hati. Budi mau latihan sepak bola

ayah. Tadi Iwan dan Adi negajak Budi bergabung dalam timnya,

boleh kan yah?. ”Tentu saja boleh, ayah malah senang melihat

kamu tampak bersemangat kembali. Itu baru anak ayah, kata

ayahnya dengan gembira. Budi tersenyum kecil, lalu bangkit

berdiri, budi berangkat ayah, pamitnya. Ya, pulangnya jangan

terlalu sore yah nak, sahut ayahnya. Dipandanginya Budi hingga

hilang dari pandangan matanya. Pak Darma menghela napas

lega, akhirnya....anakku kembali menemukan keceriaan dalam

hidupnya. Terima kasih Tuhan, kau telah tunjukkan jalan yang

mudah bagi anakku hingga kembali bersemangat.

Hari demi hari berjalan dengan normal. Pak Darma sibuk

dengan pekerjaan kantornya. Demikian pula dengan Budi,

mereka sama-sama menyibukkan diri dengan segala kegiatan.

Sesekali mereka bermain bersama atau berkebun bersama di

halaman rumah. Sebulan sekali mereka bersama-sama berjiarah

ke makam bu Darma dan membersihkan rumput di sekitar

dikuburannya. Dalam setiap doanya, Budi selalu menyelipkan

doa untuk ibunya. Suatu ketika, Budi memimpikan ibunya yang

tersenyum dengan ramah. Di dalam mimpi tersebut, ibunya

tampak bahagia. Dibelainya Budi dengan penuh kasih,

diciuminya wajah budi seolah menyiratkan kerinduan. Budi

tertidur di pangkuan ibunya, hingga saat terbangun dia

mendapati dirinya terbangun di atas tempat tidur di kamarnya.

Ketika Budi menceritakan mimpi itu kepada ayahnya, Pak Darma

tersenyum simpul, kemudian berkata, ”Betul kata ayah kan nak,

ibumu pasti sekarang senang melihat perubahan yang baik pada

dirimu, semoga saja itu adalah pertanda baik”.

Page 16: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

Setelah mimpi yang terakhir itu, hingga bulan demi bula

berlalu, Budi tidak pernah lagi memimpikan ibunya. Lambat laun

dia mulai terbiasa hidup tanpa ibunya. Perlahan tapi pasti Budi

mulai melupakan kesedihannya. Hari-harinya dilewati dengan

berbagai kegiatan dimulai dari sekolah, latihan sepak bola,

mengaji dan bermain bersama teman teman sebaya di sekitar

tempat tinggalnya.

Pak Darma, ayah Budi juga mengalami perubahan yang

sama. Kesedihan akan kehilangan istrinya lambat laun mulai

mengikis habis dari hatinya. Kesibukannya sebagai pegawai

pemerintah sedikit banyak membantunya melupakan kesedihan.

Namun rasa sepi kadang datang mendera pada waktu-waktu

tertentu. Terutama ketika dia menghadapi masalah yang pelik di

kantornya. Biasanya pada saat istrinya masih ada, bu Darma

akan membantu menenangkannya bahkan memberikan solusi

untuk semua permasalahan yang dihadapinya. Hal demikian

sangat membantu dan menentramkan perasaannya. Kini

setelah istrinya tiada, tidak ada lagi senyum lembut menyambut

kepulangannya dari kantor, tidak ada lagi makanan yang lezat

dihidangkan dan kopi yang sedap diseduh tangan istrinya. Pak

Darma harus terbiasa menyiapkan segala keperluannya sendiri

bahkan menyiapkan keperluan Budi anaknya semata wayang.

Ketika malam tiba, kadang dia termenung sambil memandangi

Budi, memikirkan betapa malangnya nasib anaknya ini. Di

usianya yang masih muda sekali harus kehilangan kasih sayang

seorang ibu. Budi masih kecil. Usianya baru mau menginjak

sebelas tahun. Sebentar lagi akan memasuki masa remaja.

Masa yang seharusnya penuh dengan limpahan kasih sayang

ibu, masa yang harus penuh dengan perhatian. Karena pada

masa-masa itu remaja sering labil dan salah arah bila tanpa

Page 17: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

bimbingan orang tua dengan benar. Pak darma berusaha

menyelami perasaan anaknya. Bagaimana perasaan Budi ketika

melihat atau mendengar teman-temannya berceloteh riang

tentang ibunya. Ya...Tuhan tolong bantu hamba agar mampu

membimbing anak hamba dengan baik. Berikan kekuatan dan

petunjuk pada anakku agar selalu berada pada jalan yang benar,

jalan yang lurus, yang Engkau ridhoi, aamiin.

KEDATANGAN IBU TIRI

Page 18: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

Suasana minggu pagi ini sangat cerah. Burung-burung

berkicau dengan riangnya menyambut datangnya pagi. Matahari

terbit di sebelah timur dengan malu-malu. Sinarnya begitu

lembut selembut wangi bunga-bunga yang baru mekar di sekitar

halaman rumah Budi. Sejak ibunya meninggal, Budi dan

ayahnya tetap merawat tanaman di sekitar rumahnya dengan

baik. Keluarga mereka memang senang berkebun. Berkebun

merupakan bagian dari rekreasi keluarga sejak dahulu.

Memelihara dan merawat tanaman dengan baik merupakan

bagian dari perwujudan rasa cinta pada makhluk hidup ciptaan

Tuhan. Tanaman memang salah satu makhluk hidup yang

diciptakan Tuhan untuk memberikan kepuasan pada manusia.

Kepuasannya dalam bentuk apa, tergantung dari tujuan

penanamannya. Ada tanaman yang sengaja ditanam dengan

tujuan untuk diperoleh hasilnya sebagai bahan makanan, seperti

padi, kacang-kacangan, umbi-umbian, biji-bijian, sayur-sayuran,

buah-buahan dan lain-lain. Dan ada pula tanaman yang ditanam

dengan tujuan untuk mendapatkan kesenangan belaka atau

Page 19: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

ditanam karena tanaman tersebut memiliki nilai estetika atau

keindahannya, seperti tanaman-tanaman hias dan rerumputan.

Tanaman di halaman rumah Budi beraneka ragam. Ada

tanaman hias seperti bunga mawar dan melati yang merupakan

tanaman pavorit ibunya, tabulampot (tanaman buah di dalam

pot) seperti jambu biji, belimbing dan mangga serta sedikit

tanaman bumbu-bu,bu dapur seperti cabe rawit dan tomat.

Semua tanaman itu dirawatnya dengan baik. Setiap sore Budi

diharuskan menyiram semua tanamannya. Kegiatan menyiram

tanaman merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi Budi.

Pada saat menyiram, Bumi bisa sekalian bermain air dan

bernyanyi-nyanyi. Bajunya basah tak apa, karena kegiatan

menyiram ini adalah kegiatan penutup dari seluruh rangkaian

aktifitas hariannya yang kemudian diakhiri dengan mandi sore.

Tapi apabila kebetulan hujan turun, kegiatan menyiram tanaman

ini tidak dilakukan. Karena tanaman akan mendapatkan air yang

cukup pada saat hujan. Sebulan sekali Budi dan ayahnya

membersihkan tanaman atau rumput-rumput liar di sekitar

rumahnya yang akan merusak keindahan dan mengganggu

pemandangan. Dua bulan sekali tanaman tersebut di beri pupuk

NPK agar senantiasa tumbuh dengan baik. Jangan salah, seperti

halnya makhluk hidup lainnya yaitu hewan dan manusia,

tanaman pun membutuhkan makanan dan nutrisi agar bisa

tumbuh dengan baik. Hanya bedanya, kalau manusia dan hewan

butuh makanan dan nutrisi yang benar-benar dimakan lewat

mulutnya langssung sedangkan tanaman mendapatkan nutrisi

melalui penyerapan akar tanaman yaitu dengan cara di pupuk.

Berkat kesabaran ibunya dalam mendidik Budi dan ketelatenan

ayahnya dalam mengurus tanaman, Budi menjadi paham benar

bagaimana pentingnya memberi nutrisi pada tanaman. Di

Page 20: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

sekolah dalam pelajaran IPA, Pak Herlan guru Budi juga pernah

menjelaskan tentang ciri-ciri makhluk hidup. Salah satunya

adalah memerlukan makanan. Tanaman sebagai salah satu

makhluk hidup ciptaan Tuhan juga membutuhkan makanan yang

diberikan dalam bentuk unsur hara. Unsur hara ini ada yang

tersedia di dalam tanah, di dalam air dan dalam bentuk pupuk,

baik itu pupuk buatan pabrik maupun pupuk kandang yang

berasal dari kotoran ternak. Pak Herlan menerangkan bahwa

unsur hara yang dibutuhkan tanaman ini ibarat zat gizi yang

dibutuhkan manusia. Manusia agar tumbuh dengan baik dan

sehat memerlukan vitamin, mineral, protein dan sumber energi

lainnya yang banyak terdapat dalam bahan makanan baik

sayuran maupun buah-buahan, sedangkan tanaman memerlukan

nutrisi dalam bentuk unsur hara seperti Nitrogen, Phospat,

kalium, kalsium, magnesium, dan lain-lain. Unsur hara-unsur

hara tersebut ada yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak

dan ada pula yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Unsur

hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak disebut unur

hara makro. Tanaman yang kekurangan unsur hara makro akan

mengalami defisiensi unsur hara atau gejala sakit yang

diakibatkan karena kekurangan unsur hara seperti daunnya

menguning, buahnya rontok dan lain-lain. Sedangkan unsur hara

yang dibutuhkan dalam umlah yanng sedikit disebut unsur hara

mikro. Apabila tanaman kekurangan unsur hara mikro maka

da[at digantikan dengan unsur hara yang lain agar tidak terjadi

defisiensi unsur hara pada tanaman. Berdasarkan penjelasan

Pak herlan di sekolah dan pengalaman mengurus tanaman

dengan orang tuanya, Budi menjadi sangat mahir dalam

menrawat tanaman. Karena itu pula Budi sangat menyukai

pelajaran IPA. Baginya belajar IPA sama saja dengan

Page 21: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

mempelajari seluk beluk kehidupan makhluk hidup di dunia ini.

Semuanya terasa nyata dan dapat dipraktekkan dalam bertuk

nyata di dalam kehidupannya.

Di minggu pagi yang cerah ini, Pak Darma terlihat lebih

sumringah dari biasanya. Hal ini tentu saja membuat Budi

sedikit terheran-heran. Tak seperti biasanya, Budi melihat

ayahnya bersiul-siul riang sambil mandi, berganti pakaian dan

berdandan. Pak Darma menyiapkan sarapan untuk mereka

dengan penuh semangat. Tak digubrisnya keheranan Budi yang

melihat perubahan sikapnya. Pak darma pura-pura tidak

menyadari diperhatikan anaknya dari tadi. ” hei...!!! kok malah

bengong begitu, ayo kita sarapan Bud, kata ayah”. Budi

mengangguk dan mengambil tempat duduk persis di depan

ayahnya. ”Ayah, apa yang membuat ayah terlihat lebih gembira

hari ini?, tanya Budi” Ah massa sih, itu hanya perasaan kamu

saja mungkin Bud, jawab ayah sambil tersenyum kecil. Ini hari

minggu yang cerah budi, kita harus menyambutnya dengan

gembira, lanjut pak Darma. Iya sih yah, tapi tak seperti biasanya

ayah bersiul-siul segala, kata Budi. Ehem....ehem...Pak darma

berdehem, kemudian tiba-tiba wajahnya berubah menjadi lebih

serius, Budi...., katanya hati-hati. Siang ini kita akan kedatangan

tamu istimewa. Tamu istimewa, ayah?, mengapa disebut

istimewa?, tanya budi dengan kening berkerut. Pak Darma

menarik napas perlahan, kemudian berkata lebih hati-hati

dengan suara yang lambat, ”ka..re..na... dia adalah calon ibu

barumu..!”. Budi terhenyak kaget, mukanya menyiratkan

ekspresi yang aneh. Pikirannya sedikit menerawang, ibu...baru,

ibu...baru, apakah yang dimaksud ibu baru oleh ayah tadi adalah

ibu tiri? Hiii....ibu tiri kan kejam ? Mengapa ayah tega melakukan

ini? Mengapa ayah harus memberinya ibu tiri ?. Berbagai

Page 22: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

pertanyaan berkecamuk di dalam hati Budi. Pak darma

kebingungan melihat ekspresi Budi yang aneh. ”Bud, apa yang

kamu pikirkan ?, tanya Pak Darma. Budi yang sedang melamun

kaget ditanya ayahnya. Lalu dia berkata, ”ayah...Budi gak ingin

punya ibu tiri”. Memangnya kenapa nak?, Kamu masih kecil dan

butuh kasih sayang serta bimbingan seorang ibu. Ayah ingin

kamu melewati masa kecil dan remajamu dengan normal dan

bimbingan yang baik. Sementara setiap hari ayah sibuk di

kantor, maka kamu memerlukan ibu nak, terang pak darma.

”Ibu tiri itu kejam ayah....!!!, kata Budi dengan suara tertahan”.

Kata siapa ?, Pak darma kaget mendengar perkataan Budi.

”Pokoknya Budi lebih baik tidak punya ibu dari pada punya ibu

tapi ibu tiri!!!, teriak Budi sambil berlari menuju kamarnya.

Brak..!! pintu kamar ditutupnya dengan keras. Budi berlari ke

atas tempat tidurnya dan menangis sambil tengkurap. Mengapa

ayah merusak pagi yang indah ini dengan cerita ibu tiri? Ayah

jahat, telah melupakan ibu dan memberinya ibu tiri. Apakah

ayah sudah tidak sayang lagi padaku. Tadi...apa katanya..., aku

membutuhkan seorang ibu yang menyayangi dan

membimbingku ? Ah bohong...mana ada ibu tiri yang sayang

sama anak tirinya. Budi pernah melihat berita di televisi

bagaimana seorang anak tiri di pukuli oleh ibu tirinya. Bahkan

temannya yang menonton sebuah film tentang ibu tiri pernah

bercerita tentang begitu kejamnya ibu tiri dalam film tersebut

hingga anak tirinya meninggal dunia. Film kartun cinderella pun

menceritaan kisah jahatnya ibu tiri, belum lagi cerita bawang

putih dan bawang merah. Bagaimana kehidupan bawang putih

yang penuh derita akibat kekejaman ibu tiri dan saudara tirinya

bawang merah. Saudara tiri?!!!, tiba-tiba Budi emakin merasa

ketakutan...., bagaimnaba kalau ternyata ibu tiri yang di bawa

Page 23: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

ayah untuk Budi memiliki anak ? Tentu hidupnya akan lebih

menyedihkan, selain disiksa ibu tiri yang kejam juga oleh

saudara tiri yang biasanya selalu iri dan dengki. Pikiran-pikiran

buruk terus berkecamuk dalam diri Budi. Bayangan akan

penderitaan yang panjang akibat hadirnya ibu tiri bermain-main

dalam pikiran Budi, hingga akhirnya Budi tertidup kelelahan

dengan pikirannya sendiri.

Sepeninggal Budi, Pak Darma termenung. Salahkah aku

memberitahukan hal ini ? Terlalu cepatkah atau waktunya yang

tidak tepat. Ah...mungkin Budi hanya kaget saja dan tidak

mengira akan mendapatkan ibu baru. Kelak dia pasti akan

memahami bahwwa yang aku lakukan ini adalah demi

kebaikannya dan karena aku justru menyayanginya. Tadi apa

katanya?, ibu tiri itu kejam!!. Pikiran pak Darma terus

menerawang kesosok seorang wanita adik teman sekantornya.

Dini, nama wanita tersebut. Pak darma diperkenalkan dengan

Dini tiga bulan yang lalu. Awalnya kesan pak darma biasa saja

seperti pada wanita-wanita lainnya. Tetapi pada pertemuan

yang ketiga kalinya dia mulai melihat beberapa persamaan

antara Dini dengan almarhum istrinya yaitu dalam hal

kelembutan sikap dan perhatiannya. Hal ini menggugah

perasaannya dan mengingatkannya akan kebutuhannya

terhadap seorang istri yang selalu memperhatikan. Begitu

pikiran itu hadir, Pak Darma merasa apabila Budi bertemu

langsung dengan Dini, Budi pun akan memiliki pendapat yang

sama tentang hal ini. Maka tanpa menunda lama-lama lagi Pak

darma melamar Dini untuk dijadikan istrinya dan ibu bagi Budi

anaknya. Dini menerima lamaran Pak darma dengan malu-malu.

Dini bersedia menerima Pak Darma apa adanya dan akan

menerima Budi pula sebagai anaknya kelak. Memikirkan Dini

Page 24: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

dan membayangkan kelembutan serta perhatiannya sebagai

seorang wanita, Pak Darma merasa tidak menemukan tanda –

tanda akan menjadi ibu tiri yang kejam dan jahat pada diri Dini.

Jangankan kemungkinan untuk kejam terhadap seorang anak,

terhadap hewan dan tanaman pun, Dini tampak begitu

perhatian. Ah.. dasar anak-anak, mungkin itu akibat pengaruh

cerita-cerita orang belaka atau akibat pengaruh tontonan yang

kurang baik. Hmmm....pak Darma menghela napas panjang.

Mungkin sebaiknya aku biarkan saja dulu Budi menenangkan

pikirannya, nanti begitu Dini datang mungkin setelah bertemu

langsung sikap dan pikiran Budi akan berubah, putus Pak Darma.

Tok....tok....tok...tok...terdengar suara pintu rumah di

ketuk. Pak darma melihat jam yang ada di dinding ruang tamu.

Waktu menunjukkan pukul 11 siang, ah itu pasti dini, pikirnya.

Pak darma melangkah ke pintu kemudian membukakannya

lebar-lebar. Di depan pintu tampak Dini didampingi oleh kakakya

pak Doni yang juga adalah teman sekantor Pak darma.

Wah...silahkan masuk, sambut Pak darma sengan ramah. Dini

dan Pak Doni memasuki rumah Pak darma dan duduk di sofa

yang ada di ruang tamu. ”Mana Budi mas, tanya Dini kemudian.

Budi di kamarnya sedang ngambek. Lalu pak Darma

menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi yang

mengakibatkan Budi ngambek. Pak darma menceritakannya

dengan hati-hati khawatir Dini bahkan Pak Doni sebagai

kakaknya tersinggung mendengar ceritanya. Dini dan Pak Doni

menyimak cerita pak darma dengan seksama. Ketika Pak darma

mengakhiri ceritanya, Dini tersenyum lembut, mas...menurutku

wajar saja Budi bersikap demikian karena masih anak-anak dan

memang bayangan akan kekejaman ibu tiri ini mungkin ada di

setiap pikiran anak-anak. Mungkin kita harus bersabar

Page 25: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

meyakinkan bUdi bahwa apa yang dipikirkannya itu tidak benar,

dan aku benar-benar akan membuktikan padanya bahwa aku ini

ibu tiri yang baik untuknya, kata Dini dengan panjang lebar. Pak

Darma merasa lega mendengar perkataan Dini. Terima kasih

Din, mudah-mudahan Budi akan segera mengerti, harapnya

kemudian. Setelah itu obrolan diantara ketiganya berlangsung

pada tahap persiapan untuk melangsungkan pernikahan. Dini,

menginginkan acara pernikahan yang sederhana saja. Baginya

yang penting adalah kekhidmatan pada acara tersebut dan

sahnya hubungan mereka berdua hingga resmi menjadi suami

istri bukan pesta meriahnya. Pak darma setuju dengan

keinginan Dini, maka jatuhlah pilihan pada salah satu tanggal

muda di bulan mendatang, yaitu sekitar tiga minggu lagi dari

mulai hari ini.

Tak terasa adzan dhuhur telah berkumandang. Budi yang

tertidur akibat kelelahan berpikir dan menangis, tersentak kaget

dari tidurnya. Ya...Tuhan aku sudah tertidur, pikirnya. Tiba-tiba

dia mengingat kembali obrolan dengan ayahnya. Secepat kilat

dia bangun dan keluar dari kamarnya. Dicarinya ayahnya di

ruang tengah, yang dia temukan adalah seorang wanita dewasa

yang sedang melaksanakan sholat dhuhur dengan khusyu.

”Siapakah wanita tersebut?, pikirnya”. Diam-diam diamatinya

wanita yang sedang sholat tadi. Menurut taksirannya usia

wanita ini sekitar tiga puluhan, kulitnya tidak terlalu putih,

hidungnya tidak mancung tetapi pas berada di wajahnya.

Wajahnya memancarkan cahaya kelembutan, sepintas Budi agak

terpana ketika melihat siluet wajah ibunya pada diri wanita

tersebut. Ah...gak mungkin...!!! ini hanya bayangan saja, wanita

ini pasti yang diceritakan ayah tadi pagi. Wanita inikah yang

akan jadi ibu tirinya ? Kelihatannya seperti baik-baik, tapi....ah

Page 26: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

mungkin saja kan wajah bisa saja menipu, dalam hatinya mana

kita tahu, pikir Budi. Saking asiknya melamun, Budi tidak

menyadari bahwa wanita yang sedang sholat tadi sudah

menyelesaikan sholatnya dan berbalik memperhatikan dirinya.

”Hallo...kamu Budi bukan?, sapanya dengan lembut”. Budi

mengangguk kecil, wajahnya dipasang judes. Kenalkan, aku

Dini. Kamu boleh memanggilku tante Dini, Kata Dini dengan

suara lembut. Budi menerima salam dari wanita tersebut,

kemudian berlalu tanpa ba..bi..bu... Heh...mau pura-pura baik

padaku yah? Jangan harap aku akan terbujuk, dalam hati Budi

mengumpat. Sekarang ajan dia pura-pura baik dan berusaha

mengambil hatiku, tapi nanti pasti akan terlihat belangnya ketika

sudah jadi ibu tiriku. Jangan harap aku diam saja diperlakukan

kejam oleh mu wahai ibu tiri!!, teriak Budi dalam hati. Tanpa

Mengindahkan keheranan Dini, Budi kembali mengurung diri di

kamarnya. Dini hanya menghela napas sedih, rupanya tak

mudah membuktikan pada Budi kalau dirinya bisa menjadi ibu

yang penuh kasih untuk Budi. Hatinya sedikit kecewa melihat

sikap Budi. Ah...tapi aku tidak boleh menyerah, bagaimana pun

juga aku harus membuktikan pada Budi, Mas Darma dan

mungkin semua anak-anak di dunia bahwa tidak semua ibu tiri

jahat. Di jaman sekarang ini bukan mustahil justru sebaliknya

ibu kandung banyak yang jahat. Terbukti dengan ditemukannya

kasus-kasus baik di dalam berita di televisi maupun di surat

kabar yan menceritakan bagaimana seorang ibu dengan tega

menjual anaknya demi mengatasi kesulitan ekonomi atau

bahkan menyakiti dan membunuh anaknya karena amarah dan

nafsu setan sesaat. Astagfirullah, kok aku jadi berfikir terlalu

jauh yah, batin Dini menyesali. Ya...Tuhan berikan kekuatan dan

Page 27: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

kemudahan padaku agar dapat menaklukkan hati Budi dan dapat

menjadi Ibu yang baik untuknya, aamiin.

Page 28: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

KABUR KE JAKARTA

Page 29: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

Setelah kejadian siang itu, sikap dan pendapat Budi sulit

untuk diubah. Animo dan prasangkanya tentang ibu tiri masih

bersifat negatif. Memang tak bisa disalahkan, mengapa Budi

begitu susah mengubah pendapatnya. Dia masih kecil,

pikirannya belum terbuka luas, belum lagi pengaruh banyak

cerita orang, berita serta sinetron dan dongeng-dongeng tentang

ibu tiri selama ini memang selalu terkesan negatif. Pak darma

dan Tante Dini berusaha terus dengan sabar memberi pengertian

pada Budi. Disamping dengan penjelasan juga dengan

menunjukkan sikap yang penuh perhatian dan kelembutan.

Namun sampai sejauh ini Budi masih saja berburuk sangka.

Pikirannya yang negatif tentang ibu tiri membawanya pada

perasaan anak usia remaja yang penuh dengan gejolak dan

pemberontakkan. Disatu sisi hatinya ingin menerima tante Dini

dengan iklas tapi di sisi lain hatinya memberontak. Jiwanya

selalu diselimuti oleh rasa takut akan kejamnya ibu tiri.

Suatu hari, Budi memutuskan untuk kabur dari rumah

sebagai perwujudan rasa pemberontakkannya. Tanpa berpikir

panjang akibat dan resikonya Budi pergi ke stasiun kereta api

dan bertolak menuju jakarta. Berbekal uang dari celengan

sebanyak seratus empat puluh ribu rupiah, Budi nekat pergi

menuju ibu kota. Tujuannya hanya satu pergi jauh-jauh dari ibu

tiri yang ditakutinya. Bayangan kejamnya ibu tiri tak bisa hilang

dari ingatannya. Padahal selama ini, tante Dini selalu bersikap

baik padanya, tetapi entah mengapa prasangka buruk seolah

lebih kuat mempengaruhinya.

Suara gemerincing itu terdengar sayup-sayup di

telinganya. Tiba-tiba Budi merasa tubuhnya melesat cepat,

memasuki sebuah lorong gelap dan begitu panjang. Tangannya

menggapai-gapai, mulutnya berteriah sekuat tenaga. Namun

Page 30: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

seolah tak ada yang mendengarkan di sana. Lorong itu tampak

sangat sepi, dia sendiri tak ada yang menemai, tak ada pula

yang menerangi jalannya. Suasananya begitu sunyi dan

mencekam.

Dengan gemetar, Budi melangkah perlahan. Dimanakah

aku berada?, mengapa begitu dingin dan sepi ? Ingin ia menjerit

dan meminta rolong lagi, namun suaranya hilang entah kemana.

Tiba-tiba dirasakannya tubuhnya bergetar, terdengar suara

sesorang memanggil-manggil. Hei...nak, bangun!! Ini sudah

sampai di stasiun akhir Jakarta !!!. Dikedipkannya matanya

dengan bingung, Oh...kiranya dia tadi bermimpi. Budi menatap

petugas kereta api yang tadi membangunkannya, sudah sampai

yah pak ?, tanyanya kemudian. Iya, ayo kamu harus turun,

kereta ini akan berangkat kembali, kata petugas tersebut. Budi

segera membereskan tasnya, kemudian berjalan menuju arah

pintu keluar dari kereta. Setelah turun dari kereta, sesaat Budi

merasa kebingungan. Sekarang aku harus kemana ? Apa yang

harus aku lakukan ?, tanyanya dalam hati. Kemudian dia

merasakan perutnya yang perih, ah lebih aku beli makan dulu.

Dicarinya uang di dalam tas, tapi dia tak menemukannya.

Dengan keringat dingin mengucur di wajah, Budi mengaduk-aduk

isi tasnya tetapi tetap saja uangnya tidak ditemukan. Di

ingatnya berulang-ulang terakhir dia menyimpan uangnya,

kemudian di carinya di tempat itu, namun tetap saja uangnya

tidak ketemu. Sesaat dia tersadar, bahwa dirinya baru saja

kecopetan. Yaa...Tuhan apa yang harus aku lakukan kini? Budi

terpekur di bangku tunggu stasiun. Hari sudah beranjak sore,

makin lama perut Budi makin melilit. Pikirannya menerawang

mengingat rumahnya yang hangat, kasurnya yang empuk serta

makanan yang dihidangkan tante Dini yang enak.

Page 31: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota
Page 32: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

PERISTIWA MENAKJUDKAN

Page 33: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

Pagi itu Budi terbangun. Cahaya matahari terasa sangat

menyilaukan matanya. Embusan angin membelai tubuhnya.

Dimana aku? Pikirnya sambil berusaha bangun. Ditatapnya

pemandangan di sekitarnya. Hampir saja ia meloncat ketika

mendapati dirinya berada di atas kasur yang empuk di dalam

sebuah kamar yang bersih. Kamar siapa ini?, mengapa aku bisa

berada disini? Hal terakhir yang diingatnya adalah ia sedang

berjalan di sebuah pasar di tengah keramaian orang dengan

perut kosong melilit dan kepala sakit tak terhingga. Sekonyong-

konyong ada sekelompok orang yang berlari-lari saling kejar

mengejar. Ia terjebak diantara orang-orang tersebut yang

rupanya adalah siswa sekolah yang sedangan tawuran. Tak

tahan mendapatkan pukulan dan tendangan di sana-sini,

akhirnya ia jatuh dan tak ingat apa-apa lagi. Tapi kini bagaimana

ia bisa berada ditempat yang nyaman ini?, Budi tercenung

mengingat pengalaman yang telah dilaluinya.

Tiba-tiba.....

Nah, kau sudah siuman rupanya?, sebuah suara

menyapanya. Budi menoleh, ia melihat seorang anak laki-laki

sebaya denganya mendekatinya. Sikapnya sangat bersahabat.

Anak laki-laki tersebut kemudian memanggil mamanya. Tak

berapa lama seorang wanita dewasa dengan wajah yang lembut

memasuki kamar dan mendekatinya. Dengan senyum ramah,

wanita tadi menyapanya, ”bagaimana nak, sudah merasa

baikan?”. Budi mengangguk dengan bingung, dimana aku tante,

dan bagaimana aku bisa sampai di sini?, tanyanya sejurus

kemudian. Tante dan anak tante Rian menemukanmu di jalanan

pinsan. Kebetulan tante sedang dalam perjalanan pulang

sehabis menjemput Rian sekolah dan melihat kamu tergeletak di

jalanan. Melihatmu tante kasian, sepertinya kamu bukan orang

Page 34: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

sini yah nak?, tanya mamanya Rian. Iya Tante, nama saya Budi.

Saya baru dua hari tiba di jakarta. Rumah saya di Sukabumi,

jawab Budi pelan. Bagaimana kamu bisa sampai di ada di

jakarta seorang diri, dan kemana tujuanmu nak?, tanya

mamanya Rian lagi. Budi diam tertunduk, dia merasa segan dan

malu untuk menceritakan kedatangannya ke jakarta. Melihat

Budi diam saja, mamanya Rian berusaha untuk maklum. Baiklah

kalau kamu belum mau bercerita pada tante tak apa. Mungkin

nanti kalau kondisimu sudah pulih benar kamu baru bisa cerita

sama tante. Sekarang sebaiknya kamu istirahat dulu. Ini ada

Rian yang akan menemanimu, setelah itu baru kita pikirkan

bagaimana selanjutnya, kata mama Rian dengan bijaksana. Budi

hanya mengangguk mendengarnya. Dirinya sangat bersyukur

mendapat penolong yang baik dan penuh perhatian seperti

mamanya Rian. Bahkan Rian pun tampaknya sangat ramah.

Nah, sekarang tante tinggal dulu, kamu ngobrol-ngobrolah

dengan Rian, sepertinya usia kalian sama, mudah-mudahan

kalian bisa cocok, kata mama Rian sambil bangkit dari duduknya

dan pergi meninggalkan kamar. Terima kasih tante, sahut Budi

dengan tulus. Setelah mamanya Rian keluar, Rian menghampiri

Budi yang masih terlentang di tempat tidur. ”Hai,,,sapanya,

bagaimana perasaanmu Budi?. Alhamdulillah, aku sudah merasa

sedikit segar, meski badanku masih terasa sakit akibat kena

pukulan dan terjatuh, sahut Budi sambil berusaha bangkit dari

tempat tidur. Terima kasih Rian, kalau tidak ada orang sebaik

kamu dan mamamu entah bagaimana nasibku kini, lanjut Budi

penuh syukur. Ah...itu kan sudah kewajiban setiap manusia

untuk saling tolong menolong. Kamu pasti lapar yah, saya

ambilkan makanan untuk kamu yah ?, kata Rian. Kemudian

dengan gesit dia keluar kamar. Belum sampai lima menit, Rian

Page 35: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

sudah kembali dengan semangkuk bubur kacang hijau.

Harumnya sangat menggugah selera, makhlum saja sudah dua

hari ini Budi tidak bertemu makanan dengan layak. Terima

kasih, Rian. Lalu dengan cepat Budi melahap bubur tersebut.

Rian memperhatikan Budi dengan seksama, kentara sekali

bahwa Budi sangat kelaparan. Ada perasaan iba dalam hatinya

akan keadaan Budi. Mengapa anak seperti Budi harus berada di

tempat asing seperti jakarta ini? Apa yang sedang

dilakukannya ? kemana orang tuanya? Sejuta tanya berkecamuk

dalam pikiran Rian. Ah...Budi hanya salah satu anak yang

memiliki masalah. Di jakarta ini banyak sekali anak-anak

seusianya bahkan mungkin jauh lebih kecil darinya berkeliaran

dan terlantar. Jakarta memang menyimpan berjuta harapan.

Berbondong-bondong orang datang ke jakarta untuk mengadu

nasib dan mencari penghidupan yang layak. Namun apa yang

diperoleh, justru sebaliknya. Akhirnya jakarta menjadi tempat

berkumpulnya para gelandangan. Disana-sini ditemukan anak-

anak hingga orang dewasa yang hidupnya terlunta-lunta tak

menentu. Anak-anak yang seharusnya menghabiskan masa

kanak-kanaknya dengan indah dan mengecam manisnya sekolah

justru sibuk mengais-ngais rezeki demi menyambung hidup. Ada

yang jadi pengamen jalanan, pengemis, pemulung, buruh kuli

angkut dan masih banyak lagi. Kerasnya hidup di jalanan

membentuk watak para anak-anak jalanan tadi menjadi anak

yang berperilaku keras dan kasar juga. Di jalanana ibaratnya

berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Kalau

tidak kuat maka akan tertindas selamanya. Tak sedikit anak

jalanan yang hidupnya menjadi sapi perahan para preman-

preman tertentu, dipaksa melakukan suatu pekerjaan dan

menyetorkan hasilnya pada preman-preman tersebut sebagai

Page 36: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

uang keamanan atau pajak pendapatan yang tidak resmi. Rian

mengetahui semua itu dari cerita-cerita yang di bacanya di surat

kabar atau berita. Mama dan ayahnya juga sering menceritakan

hal yang sama dengan maksud memberikan gambaran kepada

Rian betapa beruntungnya Rian memiliki kehidupan yang layak

dan keluarga yang sempurna. Harapan orang tuanya dengan

mengetahui kondisi-kondisi seperti itu Rian menjadi lebih

bersyukur, lebih rajin belajar dan lebih menghargai apa yang

dimilikinya sekarang. Rian juga dilatih orang tuanya untuk selalu

perduli dengan kesusahan dan penderitaan orang lain, karena itu

keluarga Rian tak pernah segan-segan membantu dan menolong

orang yang memerlukannya.

Budi menyelesaikan suapan terakhirnya, “terima kasih

Rian, buburnya sangat enak, kata Budi. Wajahnya terlihat lebih

cerah setelah makan. Rian mengambil tempat duduk disamping

Budi, maukah kamu menceritakan kisahmu sehingga sampai

berada di jakarta seorang diri?, tanya Rian dengan hati-hati.

Budi menghela napas perlahan, kemudian dengan sedikit

terpatah-patah Budi bercerita tentang perjalanan hidupnya

dimulai dengan ketika ibunya meninggal hingga ayahnya

membawakan ibu tiri ke rumahnya dan ketakutannya akan

kekejaman ibu tiri. Rian menyimaknya dengan seksama tanpa

berani memotong cerita Budi. Nah, begitulah ceritaku Rian,

mengapa aku nekat kabur ke Jakarta, Budi mengakhiri ceritanya.

Tadinya kupikir dengan cara kabur aku akan terhindar dari

kekejaman ibu tiri dan ayahku akan menyadari keputusannya

yang salah membawa ibu tiri untukku.

Budi...ceritamu tentang kekejaman ibu tiri itu belum

terbukti kebenarannya kan ?

Page 37: Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota

AKHIR YANG INDAH