I

24
PENDAHULUAN Munculnya jaundice pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis secara visual. Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan perbaikan lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan. (1) Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien. (2) Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl transferasemengkonjugasikan bilirubin tak- terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin. (2) DEFENISI Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik. (3)

description

iyahh

Transcript of I

Page 1: I

PENDAHULUAN

Munculnya jaundice pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis secara visual. Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan perbaikan lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan. (1)

Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien. (2)

Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl transferasemengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin. (2)

DEFENISI

Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik. (3)

Jaundice (berasal dari bahasa Perancis ‘jaune’ artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut.(4)

ANATOMI SISTEM HEPATOBILIER

Pengetahuan yang akurat akan anatomi hati dan traktus biliaris, dan hubungannya dengan pembuluh darah penting untuk kinerja pembedahan hepatobilier karena biasanya terdapat variasi anatomi yang luas. Deskripsi anatomi klasik pada traktus biliaris hanya muncul pada 58% populasi. (4)

Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul dari tunas ventral (divertikulum hepatikum) dari bagian paling kaudalforegut diawal minggu keempat kehidupan. Bagian ini terbagi menjadi dua bagian sebagaimana bagian tersebut tumbuh diantara lapisan mesenterik ventral: bagian kranial lebih besar (pars hepatika) merupakan asal mula hati/hepar, dan bagian kaudal yang lebih kecil (pars sistika) meluas membentuk kandung empedu, tangkainya menjadi duktus sistikus. Hubungan awal antara divertikulum hepatikum dan penyempitan foregut, nantinya membentuk duktus biliaris. Sebagai akibat perubahan posisi duodenum, jalan masuk duktus biliaris berada disekitar aspek dorsal duodenum. (4)

Page 2: I

Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-hepatik dan ekstra-hepatik. Unit sekresi hati (hepatosit dan sel epitel bilier, termasuk kelenjar peribilier), kanalikuli empedu, duktulus empedu (kanal Hearing), dan duktus biliaris intrahepatik membentuk saluran intrahepatik dimana duktus biliaris ekstrahepatik (kanan dan kiri), duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris komunis merupakan komponen ekstrahepatik percabangan biliaris. (4)

Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus biliaris. Duktus biliaris komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan diameter 0,4-0,8 cm. Duktus biliaris dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomi: supraduodenal, retroduodenal, dan intrapankreatik. Duktus biliaris komunis kemudian memasuki dinding medial duodenum, mengalir secara tangensial melalui lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila mayor pada bagian kedua duodenum. Bagian distal duktus dikelilingi oleh otot polos yang membentuk sfingter Oddi. Duktus biliaris komunis dapat masuk ke duodenum secara langsung (25%) atau bergabung bersama duktus pankreatikus (75%) untuk membentuk kanal biasa, yang disebut ampula Vater. (4)

Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut pleksus vaskular peribilier. Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari cabang arteri hepatika, dan pleksus ini mengalir kedalam sistem vena porta atau langsung kedalam sinusoid hepatikum. (4)

METABOLISME NORMAL BILIRUBIN

Bilirubin berasal dari hasil pemecahan hemoglobin oleh sel retikuloendotelial, cincin heme setelah dibebaskan dari besi dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau. Biliverdin berubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini dikombinasikan dengan albumin membentuk kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan ke dalam sel hati. Bentuk bilirubin ini sebagai bilirubin yang belum dikonjugasi atau bilirubin indirek berdasar reaksi diazo dari Van den Berg, tidak larut dalam air dan tidak dikeluarkan melalui urin. Didalam sel inti hati albumin dipisahkan, bilirubin dikonjugasikan dengan asam glukoronik yang larut dalam air dan dikeluarkan ke saluran empedu. Pada reaksi diazo Van den Berg memberikan reaksi langsung sehingga disebut bilirubin direk. (5)

Bilirubin indirek yang berlebihan akibat pemecahan sel darah merah yang terlalu banyak, kekurangmampuan sel hati untuk melakukan konjugasi akibat penyakit hati, terjadinya refluks bilirubin direk dari saluran empedu ke dalam darah karena adanya hambatan aliran empedu menyebabkan tingginya kadar bilirubin didalam darah. Keadaan ini disebut hiperbilirubinemia dengan manifestasi klinis berupa ikterus. (5)

KLASIFIKASI

Gambar 3 berisi daftar skema bagi klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan post-hepatik. Jaundice obstruktif selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada jalur metabolisme bilirubin melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai jaundice non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau sebuah kondisi pre-hepatik.(1)

DIAGNOSIS

Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati. (5)

Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal, keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau tindakan pembedahan. (5)

Page 3: I

Diagnosa banding jaundice sejalan dengan metabolisme bilirubin (Tabel 1). Penyakit yang menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang menyebabkan jaundice ‘medis’ seperti peningkatan produksi, menurunnya transpor atau konjugasi hepatosit, atau kegagalan ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang menyebabkan jaundice ‘surgical’ melalui kegagalan transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum meningkatnya produksi bilirubin termasuk anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis termasuk sepsis, luka bakar, dan reaksi transfusi. Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis dan akibat hepatitis virus. Kegagalan ekskresi bilirubin menyebabkan kolestasis intrahepatik dan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab umum kegagalan ekskresi termasuk hepatitis viral atau alkoholik, sirosis, kolestasis induksi-obat. Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat disebabkan oleh beragam gangguan termasuk koledokolitiasis, striktur bilier benigna, kanker periampular, kolangiokarsinoma, atau kolangitis sklerosing primer. (2) Ketika mendiagnosa jaundice, dokter harus mampu membedakan antara kerusakan pada ambilan bilirubin, konjugasi, atau ekskresi yang biasanya diatur secara medis dari obstruksi bilier ekstrahepatik, yang biasanya ditangani oleh ahli bedah, ahli radiologi intervensional, atau ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus, anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan pencitraan radiologis non-invasif membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab jaundice lainnya. Kolelitiasis selalu berhubungan dengan nyeri kuadran atas kanan dan gangguan pencernaan. Jaundice dari batu duktus biliaris umum

biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam (kolangitis). Serangan jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan hilangnya berat badan diduga sebuah keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah kolesistektomi, batu kandung empedu menetap atau cedera kandung empedu harus diperkirakan. (2)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-tanda stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas garukan di kulit karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor (dikenal hukum Courvoisier). (5)

Hukum Courvoisier

“Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin disebabkan oleh batu kandung empedu”. Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas, ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal. (3)

Pemeriksaan Laboratorium

Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum bilirubin direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi bilirubin atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin serum biasanya ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin serum (4 – 8 mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada obstruksi bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier parsial. (2)

Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh gangguan pada sel-sell hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu. Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh sumbatan saluran empedu dibanding bila

Page 4: I

bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus (pigmen tidak dapat mencapai usus). (2)

Pemeriksaan Penunjang

USG

Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif. (2)

Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan sonografi ialah sekaligus kita dapat menilai kelainan organ yang berdekatan dengan sistem hepatobilier antara lain pankreas dan ginjal. Aman dan tidak invasif merupakan keuntungan lain dari sonografi.(2)

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit. (5)

Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography). Dengan bantuan endoskopi melalui muara papila Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran pankreas. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada kelainan pada muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat dimasuki kanul. (5)

Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya dapat divisualisasikan dengan pemeriksaanPercutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC). Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui jarum yang ditusukkan ke arah hilus hati dan sisi kanan pasien. Kontras disuntikkan bila ujung jarum sudah diyakini berada di dalam saluran empedu. Computed Tomography (CT) adalah pemeriksaan radiologi yang dapat memperlihatkan serial irisan-irisan hati. Adanya kelainan hati dapat diperlihatkan lokasinya dengan tepat. (5)

Untuk diagnosis kelainan primer dari hati dan kepastian adanya keganasan dilakukan biopsi jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak dianjurkan bila ada tanda-tanda obstruksi saluran empedu karena dapat menimbulkan penyulit kebocoran saluran empedu. (5)

JAUNDICE OBSTRUKTIF

Hambatan aliran empedu yang disebabkan oleh sumbatan mekanik menyebabkan terjadinya kolestasis yang disebut sebagai ikterus obstruktif saluran empedu, sebelum sumbatan melebar. Aktifitas enzim

Page 5: I

alkalifosfatase akan meningkat dan ini merupakan tanda adanya kolestasis. Infeksi bakteri dengan kolangitis dan kemudian pembentukan abses menyertai demam dan septisemia yang tidak jarang dijumpai sebagai penyulit ikterus obstruktif. (5)

Patofisiologi jaundice obstruktif

Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk pencernaan dan penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen, obat-obatan, dan metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam komponen endogen dan produk metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan berbagai hormon. (4)

Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan komponen empedu (yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di usus halus, dan cadangannya, yang menyebabkan tumpahan pada sirkulasi sistemik. Feses biasanya menjadi pucat karena kurangnya bilirubin yang mencapai usus halus. Ketiadaan garam empedu dapat menyebabkan malabsorpsi, mengakibatkan steatorrhea dan defisiensi vitamin larut lemak (A, D, K); defisiensi vitamin K bisa mengurangi level protrombin. Pada kolestasis berkepanjangan, seiring malabsorpsi vitamin D dan Ca bisa menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. (4)

Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa bilirubin terkonjugasi mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi sirkulasi garam empedu berhubungan dengan, namun tidak menyebabkan, pruritus. Kolesterol dan retensi fosfolipid menyebabkan hiperlipidemia karena malabsorpsi lemak (meskipun meningkatnya sintesis hati dan menurunnya esterifikasi kolesterol juga punya andil); level trigliserida sebagian besar tidak terpengaruh. (4)

Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik, disfungsi mitokondria dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan asam empedu hidrofobik mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas dengan perubahan sejumlah fungsi sel penting, seperti produksi energi mitokondria. Gangguan metabolisme mitokondria dan akumulasi asam empedu hidrofobik berhubungan dengan meningkatnya produksi oksigen jenis radikal bebas dan berkembangnya kerusakan oksidatif. (4)

Etiologi jaundice obstruktif

Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya adanya tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu empedu dan cacing askaris sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan di dalam lumen saluran. Pankreatitis, tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu atau anak sebar tumor ganas di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat menekan saluran empedu dari luar menimbulkan gangguan aliran empedu. (5)

Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain kista koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu, divertikel duodenum dan striktur sfingter papila vater. (5)

Ringkasnya etiologi disebabkan oleh: koledokolitiasis, kolangiokarsinoma, karsinoma ampulla, karsinoma pankreas, striktur bilier.(4)

Gambaran klinis jaundice obstruktif

Jaundice, urin pekat, feses pucat dan pruritus general merupakan ciri jaundice obstruktif. Riwayat demam, kolik bilier, dan jaundice intermiten mungkin diduga kolangitis/koledokolitiasis. Hilangnya berat badan, massa abdomen, nyeri yang menjalar ke punggung, jaundice yang semakin dalam, mungkin ditimbulkan karsinoma pankreas. Jaundice yang dalam (dengan rona kehijauan) yang

Page 6: I

intensitasnya berfluktuasi mungkin disebabkan karsinoma peri-ampula. Kandung empedu yang teraba membesar pada pasien jaundice juga diduga sebuah malignansi ekstrahepatik (hukum Couvoissier). (4)

Pemeriksaan pada jaundice obstruktif

1. Hematologi (4)

Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin terkonjugasi. Serum gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat pada kolestasis.

Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu hiperbilirubinemia lebih rendah dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna ekstra-hepatik. Serum bilirubin biasanya < 20 mg/dL. Alkali fosfatase meningkat 10 kali jumlah normal. Transaminase juga mendadak meningkat 10 kali nilai normal dan menurun dengan cepat begitu penyebab obstruksi dihilangkan.

Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan kanker obstruksi lainnya, bilirubin serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali fosfatase meningkat 10 kali nilai normal, namun transamin tetap normal.

Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat pada karsinoma pankreas, kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula, namun penanda tersebut tidak spesifik dan mungkin saja meningkat pada penyakit jinak percabangan hepatobilier lainnya.

1. Pencitraan (4)

Tujuan dibuat pencitraan adalah: (1) memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu membuktikan apakah jaundice akibat post-hepatik dibandingkan hepatik), (2) untuk menentukan level obstruksi, (3) untuk mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi, (4) memberikan informasi pelengkap sehubungan dengan diagnosa yang mendasarinya (misal, informasi staging pada kasus malignansi)

USG : memperlihatkan ukuran duktus biliaris, mendefinisikan level obstruksi, mengidentifikasi penyebab dan memberikan informasi lain sehubuungan dengan penyakit (mis, metastase hepatik, kandung empedu, perubahan parenkimal hepatik).

USG : identifikasi obstruksi duktus dengan akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung empedu dan duktus biliaris yang berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu kecil atau striktur. Juga dapat memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas, hepar dan struktur yang mengelilinginya.

CT : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung empedu, pankreas, ginjal dan retroperitoneum; membandingkan antara obstruksi intra- dan ekstrahepatik dengan akurasi 95%. CT dengan kontras digunakan untuk menilai malignansi bilier.

ERCP dan PTC : menyediakan visualisasi langsung level obstruksi. Namun prosedur ini invasif dan bisa menyebabkan komplikasi seperti kolangitis, kebocoran bilier, pankreatitis dan perdarahan.

EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti staging malignansi gastrointestinal, evaluasi tumor submukosa dan berkembang menjadi modalitas penting dalam evaluasi sistem pankreatikobilier. EUS juga berguna untuk mendeteksi danstaging tumor ampula, deteksi mikrolitiasis, koledokolitiasis dan evaluasi striktur duktus biliaris benigna atau maligna. EUS juga bisa digunakan untuk aspirasi kista dan biopsi lesi padat.

Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) merupakan teknik visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Hal ini terutama berguna pada pasien dengan

Page 7: I

kontraindikasi untuk dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik dari anatomi bilier memungkinkan tanpa sifat invasif dari ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP adalah murni diagnostik.

Penatalaksanaan jaundice obstruktif

Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan ikterus obstruktif bertujuan untuk menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan tersebut dapat berupa tindakan pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi tumor. Upaya untuk menghilangkan sumbatan dapat dengan tindakan endoskopi baik melalui papila Vater atau dengan laparoskopi. (5)

Bila tindakan pembedahan tidak mungkin dilakukan untuk menghilangkan penyebab sumbatan, dilakukan tindakan drainase yang bertujuan agar empedu yang terhambat dapat dialirkan. Drainase dapat dilakukan keluar tubuh misalnya dengan pemasangan pipa nasobilier, pipa T pada duktus koledokus atau kolesistotomi. Drainase interna dapat dilakukan dengan membuat pintasan biliodigestif. Drainase interna ini dapat berupa kolesisto-jejunostomi, koledoko-duodenostomi, koledoko-jejunostomi atau hepatiko-jejunostomi. (5)

I. PENDAHULUANA. LATAR BELAKANGSKENARIO IIIMUNTAH DARAHSeorang wanita umur 50 tahun datang ke unit gawat darurat RS Dokter Moewardi diantar keluarga dengan keluhan muntah darahRiwayat penyakit sekarang :Satu bulan sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan perut sebah dan terasa panas, bila diberi makan perut nyeri, nafsu makan turun, mual kadang-kadang muntah. Tiga hari sebelumnya pernah muntah darah dan melena, dan dirawat di puskesmas terdekat. Karena belum ada perbaikan kemudian dirujuk ke rumah sakit dr Moewardi Surakarta.Riwayat penyakit dahulu :Pernah sakit kuning delapan tahun yang lalu, riwayat sakit gastritis (+)Pemeriksaan fisik : keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, tanda vital baik, ikterik, hepar membesar, nyeri tekan epigastrik. Rectal toucher : hemorrhoid grade 3Laboratorium : SGOT : 250 IU, SGPT : 235 IU, protein total : 6,2 mg/dL, albumin : 2,8 mg/dL, bilirubin direk : 3,15 mg/dL, bilirubin indirek : 2,15 mg/dL.Kesimpulan pemeriksaan ultrasonografi abdomen (USG abdomen) : kolelitiasis, tidak ada hidrop vesica felea, pancreas normal, terdapat sirosis hepatis dengan hipertensi portal.Kesimpulan endoskopi :Esofagus : terdapat varisesGaster : lesi erosi hemoragik difusDuodenum : erosi hemoragik difusPada penderita direncanakan untuk dilaksanakan pemeriksaan marker hepatitis (hepatisis B dan C) dan direncanakan pula untuk dilakukan terapi endoskopi. Selanjutnya pasien dikirim ke bangsal perawatan. Di bangsal penderita diberi cairan ringer lactat, proton pump inhibitor dan realimentasi segera (early feeding).

Hepatitis merupakan peradangan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus hepatitis ke dalam hepar. Penyakit ini merupakan infeksi sistemik yang dapat juga ditularkan pada pasca transfusi (Dorland, 2006; Santiyoso, 2007).

Page 8: I

Hepatitis virus merupakan masalah kesehatan yang penting di seluruh dunia. Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dari seluruh penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit tersebut mengakibatkan sekitar 1-2 juta kematian setiap tahunnya (Sanityoso, 2007; Lindseth, 2005).B. RUMUSAN MASALAH1. Bagaimana anatomi sistem hepatobilier.2. Fisiologi sistem hepatobilier.3. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dan komplikasi dari hepatitis B.C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN1. Tujuana. Tujuan Umum:Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang kesehatan pencernaan.b. Tujuan Khusus:Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan hepatitis B.2. Manfaata. Bagi PenulisGuna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kelainan sistem pencernaan.b. Bagi Universitas Sebelas MaretSebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang hepatitis dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.

c. Bagi PemerintahSebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang sistem pencernaan baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.d. Bagi MasyarakatGuna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.II. STUDI PUSTAKAA. ANATOMI HEPARHepar/hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% dari berat badan orang dewasa normal. Hepar menempati hampir seluruh regio hypochondriaca dextra, sebagian besar regio epigastrica dan kadang-kadang memanjang sampai regio hypochondriaca sinistra. Hepar terletak di bawah diafragma dan hampir selurunya terlindung oleh costa (Amirudin, 2007; Budianto, 2003).Hepar memiliki permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hepar berbentuk cekung dan merupakan atap dari ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus (Lindseth, 2005).Hati memiliki dua lobus utama, yaitu lobus dexter dan lobus sinister. Lobus dexter dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fissura segmentalis dexter yang tidak terlihat dari luar. Lobus sinister dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falciforme hepatis yang terlihat dari luar. Ligamentum falciforme hepatis berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen.

Page 9: I

Permukaan hati diliputi oleh peritoneum visceralis, kecuali pada bagian kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma dinamakan bare area of the liver (Lindsteth, 2005; Budianto, 2003).Beberapa ligamentum yang merupakan peritoenum membantu menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai kapsula Glisson, yang meliputi permukaan seluruh organ; bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka untuk cabang vena porta, arteri hepatika dan ductus biliverus. Porta hepatis adalah fissura pada hati tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta tempat keluarnya dutus hepatikus (Lindseth, 2005).Satuan mikroskopis dan fungsional hati terkecil dinamakan lobulus. Setiap lobulus berbentuk hexagonal, dan terdiri dari sel-sel hepar atau hepatosit yang tersusun seperti batu bata. Hepatosit-hepatosit ini tersusun radier dengan sebuah vena centralis di tengah (Budianto, 2003; Amirudin, 2007).Di setiap sudut dari lobulus terdapat portal tiad (trigonum portal). Dinamakan demikian karena pada bangunan tersebut selalu ditemukan tiga struktur yaitu sebuah cabang dari A. hepatica yatu A. interlobularis (memasok darah kaya O2 ke hepar), sebuah cabang dari V. porta hepatis yaitu V. interlobularis (membawa darah vena yang memuat zat-zat nutrisi dari organ-organ pencernaan lain) dan sebuah ductus biliverus. Ketiga struktur ini berjalan di dalam sarung fibrosa yang disebut capsula Glisson (Budianto, 2003).Di antara hepatosit-hepatosit terdapat kapiler-kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan jalur pertukaran. Di antara dinding pembuluh kapiler sinusoid dan permukaan sel hepatosit terdapat ruangan yang disebut spatium Disse yang diduga mencurahkan lymphe ke vasa lymphatica interlobularis. Darah dari A. hepatica dan V. porta tersaring dari trigonum porta melalui sinusoid-sinusoid ini yang kemudian mengalir ke V. centralis. Dari V. centralis darah memasuki V. hepatica kemudian bermuara ke V. cava inferior (Budianto, 2003; Amirudin, 2007).Di dalam sinusoid terdapat sel makrofag yang berbentuk stelat disebut juga sel kupffer yang berfungsi memindahkan debris, seperti bakteri dan cacing, keluar melalui eritrosit ketika darah mengalir melaluinya (Budianto, 2003; Amirudin, 2007).Vesica fellea (gallbladder) adalah sebuah kantong muskuler berwarna hijau seperti buah pear dengan dinding yang tipis dan panjang sekitar 10 cm. Vesica fellea terletak pada fossa vesica fellea pada fascies visceralis hepar. Bagian-bagian dari vesica fellea adalah fundus, corpus, infundibulum dan collum. Infundibulum dan collum kadang membentuk ampulla (Budianto,2003).B. FISIOLOGI HEPARSelain merupakan orga parenkim terbesar, hati juga menduduki urutan pertama dalam jumlah, kerumitan, dan ragam fungsi. Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperan dalam hampir setiap fungsi metabolik tubuh, dan terutama bertanggung jawab atas lebih dari 500 aktivitas berbeda. Namun hati juga memiliki kapasitas cadangan yang besar,dan hanya membutuhkan 10-20% jaringan yang berfungsi untuk tetap bertahan. Destruksi total atau pengangkatan menyebabkan kematian dalam waktu kurang dari 10 jam. Hati memiliki kemampuan regenerasi yang mengagumkan. Pada kebanyakan kasus, pengangkatan sebagian hati akan merasang tumbuhnya hepatosit untuk mengganti sel yang sudah mati atau sakit. Proses regenerasi akan berlangsung lengkap dalam waktu 4 hingga 5 minggu (Lindseth, 2005; Guyton, 1997).Sel hepar semuanya merupakan suatu kolam reaksi kimia besar dengan laju metabolisme yang tinggi, saling memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke sistem yang lain, mengolah dan mensintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lainnya, dan melakukan berbagai fungsi metabolisme lain (Guyton, 1997).Dalam metabolisme karbohidrat, hepar melakukan fungsi spesifik ini : (1) menyimpan glikogen, (2) mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, (3) glukoneogenesis, dan (4) mengubah banyak senyawa kimia penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat. Hati terutama penting untuk

Page 10: I

mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Misalnya, penyimpanan glikogen memungkinkan hati mengambil kelebihan glukosa dari darah, menyimpannya dan kemudian mengembalikannya kembali ke darah bila konsentrasi glukosa darah mulai turun terlalu rendah (Guyton, 1997).Metabolisme lemak juga dapat terjadi di semua sel tubuh, tetapi aspek metabolisme lemak tertentu terutama terjadi di hati. Beberapa fungsi spesifik hati dalam metabolisme lemak : (1) kecepatan oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat untuk mensuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, (2) pembentukkan sebagian besar lipoprotein, (3) pembetukkan sejumlah besar kolesterol dan fosfolipid, dan (4) pengubahan sejumlah besar karbohidrat dan protein menjadi asam lemak. Untuk memperoleh energi dari lemak netral, lemak pertama-tama dipecah menjadi gliserol dan asam lemak; kemudian asam lemak dipecah oleh oksidasi beta menjadi radikal asetil berkarbon dua yang kemudian membentuk asetil-KoA. Asetil-KoA ini kemudian dapat memasuki siklus asam sitrat dan dioksidasi untuk membebaskan sejumlah energi yang sangat besar. Oksidasi beta dapat terjadi di semua sel tubuh, namun terjadi dengan sangat cepat di sel hepar (Guyton, 1997).Hati juga berperan dalam metabolisme protein dengan fungsi : (1) deaminasi asam amino, (2) pembentukkan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, (3) pembentukkan protein plasma, dan (4) interkonversi di antara asam amino yang berbeda demikian juga dengan ikatan penting lainnya untuk proses metabolisme tubuh. Pada dasarnya semua protein plasma, kecuali bagian dari gamma globulin, dibentuk oleh sel hati. Sel hati menghasilkan kira-kira 90% dari semua protein plasma (Guyton, 1997).Fungsi utama hati adalah pembentukkan dan ekskresi empedu. Hati mengekskresikan empedu sebanyak satu liter per hari ke dalam usus halus. Kira-kira 80% kolesterol yang disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang kemudian disekresikan ke dalam empedu. Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu. Walaupun bilirubin merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak memiliki peran aktif, tapi penting sebagai indikator penyakit hati dan saluran empedu, karena bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya (Amirudin, 2007; Guyton, 1997).Vesica fellea berfungsi untuk menyimpan empedu yang sedang tidak dibutuhkan tubuh dan mengentalkannya dengan mengabsorbsi sejumlah cairan dan ion pada empedu. Dalam beberapa kasus, empedu yang dikeluarkan dapat mencapai 10X lebih kental dibanding saat masuk. Ketika kosong atau menyimpan sedikit empedu, mucosa vesica fellea membentuk rugae. Jika ototnya berkontraksi, empedu dialirkan ke dalam saluran empedu, ductus cysticus, dan kemudian mengalir ke ductus choledochus (Budianto, 2003; Guyton, 1997).Banyak zat diekskresi ke dalam empedu dan kemudian dikeluarkan ke dalam feses.Salah satunya adalah pigmen bilirubun. Bilirubin merupakan hasil akhir pemecahan hemoglobin yang penting. Bila sel darah merah sudah habis masa hidupnya dan menjadi terlalu rapuh, membran selnya akan pecah dan hemoglobin terlepas dan difagositosis oleh makrofag di seluruh tubuh. Di sini hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Kemudian cincin heme dibuka untuk melepaskan besi ke dalam darah serta pembentukkan pirol yaitu suatu substrat yang darinya pigmen empedu akan dibentuk. Pigmen pertama yang terbentuk adalah biliverdin, tetapi ini dengan cepat direduksi menjadi bilirubin bebas, yang secara bertahap dilepaskan ke dalam plasma. Bilirubin bebas dengan segera bergabung dengan sangat kuat dengan albumin plasma dan ditranspor dalam kombinasi ini melalui darah dan cairan interstisial. Sekalipun berikatan dengan protein plasma, bilirubin ini masih disebut bilirubin bebas (Guyton, 1997; Lindseth, 2005).Dalam beberapa jam, bilirubin bebas diabsorbsi melalui membran sel hati. Bilirubin kemudian dilepaskan dari albumin dan setelah itu 80% dikonjugasi dengan asam glukoronat untuk membentuk asam glukoronida, kira-kira 10% konjugasi dengan sulfat membentuk bilirubin sulfat, dan akhirnya 10% lainnya dikonjugasi dengan zat lainnya. Dalam bentuk ini bilirubin dikeluarkan melalui proses transpor aktif ke dalam kanalikuli empedu dan kemudian masuk ke dalam usus (Guyton, 1997).

Page 11: I

Sekali berada di dalam usus, kira-kira setengah bilirubin terkonjugasi diubah oleh kerja bakteri menjadi urobilinogen, yang mudah larut. Beberapa urobilinogen direabsorbsi melalui mukosa usus kembali ke dalam darah. Sebagian besar diekskresikan kembali oleh hati ke dalam usus, tetapi kira-kira 5% diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin, urobilinogen teroksidasi mejadi urobilin, atau dalam feses urobilinogen diubah dan dioksidasi menjadi sterkobilin (Guyton, 1997).III. DISKUSI / BAHASANA. ETIOLOGIInfeksi hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang terutama menyerang hati. Sebagian besar kasus infeksi virus hepatitis disebabkan oleh salah satu dari lima virus ini : virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV), dan virus hepatitis E (HEV). Semua virus hepatitis adalah virus RNA, kecuali hepatitis B yang merupakan virus DNA. Walaupun diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium, tetapi semua virus hepatitis ini memiliki gejala klinis yang serupa. Bervariasi dari asimtomatik hingga fulminan dan infeksi akut dan fatal, juga dapat berjalan menjadi kronis bahkan karsinoma hepatoseluler atau sirosis hati. Sekirar 15% hingga 40% pasien yang terinfeksi akan berkembang menjadi sirosis, karsinoma hepatoseluler dan liver failure (Fauzi, 2008; Anna, 2002).Virus hepatitis B merupakan virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm yang memiliki lapisan permukaan dan bagian inti. Penanda serologis pertama yang digunakan dalam identifikasi HBV adalah antigen permukaan (HBsAg) yang kira-kira positif dua minggu sebelum timbulnya gejala klinis, dan biasanya menghilang pada masa kosvalesen dini. Pada sekitar 1% sampai 5% penderita hepatitis kronis HBsAg dapat menetap selama lebih dari 6 bulan. Adanya HBsAg pada penderita menandakan bahwa mereka dapat menularkan HBV ke orang lain. Cara utama penularan HBV adalah melalui parenteral dan menembus membran mukosa, terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata 60 hingga 90 hari. HBsAg ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang yang terinfeksi, terutama darah, semen dan saliva telah terbukti bersifat infeksius (Lindseth, 2005).Penanda berikutnya adalah antibodi terhadap antigen inti (anti-HBc). Antigen inti sendiri tidak terdeteksi secara rutin karena terletak di dalam kulit luar HBsAg. Antibodi anti-HBc dapat terdeteksi segera setelah timbul gejala klinis dan menetap untuk seterusnya, antibodi ini merupakan penanda kekebalan yang paling jelas didapat dari infeksi HBV (Lindseth, 2005).Antibodi yang muncul berikutnya adalah antibodi terhadap antigen permukaan (anti-HBs). Anti-HBs timbul setelah infeksi membaik dan berguna untuk memberikan kekebalan jangka panjang (Lindseth, 2005).Antigen “e” (HBeAg) merupakan bagian HBV yang larut dan timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg menghilang. HbeAg selalu ditemukan pada semua infeksi akut dan hal ini menunjukkan adanya replikasi virus dan penderita dalam keadaan sangat menular. HBeAg yang menetap mungkin menunjukkan infeksi replikatif yang kronis (Lindseth, 2005).Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari 2,5% sampai 25,61%, sehingga termasuk dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi. Di negara-negara Asia diperkirakan bahwa penyebaran perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas prevalensi infeksi virus hepatitis B yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBeAg positif akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga dalam kehidupannya. Adanya HBeAg pada ibu berperan penting untuk penularan. Walaupun ibu mengandung HBsAg positif namun jika HBeAg dalam darah negatif, maka daya tularnya menjadi rendah (Sanityoso, 2007).B. GAMBARAN KLINISKarena hati memiliki kapasitas cadangan yang luar biasa, kerusakan hepatosit harus sedemikian besar sebelum timbulnya manifestasi klinis. Kita dapat mendeteksi kerusakan hepatoseluler yang sedang berlangsung dengan mengukur indeks fungsional dan dengan mengamati produk hepatosit yang rusak

Page 12: I

atau nekrotik di dalam sirkulasi. Uji enzim menjadi satu-satunya petunjuk adanya cedera sel pada penyakit hati akut atau lokal karena perubahan ringan mungkin masih dapat dikompensasi bagian hati lain yang masih normal. Bilirubin biasanya digunakan sebagai indikator kerusakan hati sedang sampai berat (Sacher, et.al. 2004).Dua enzim yang paling sering berkaitan dengan kerusakan hepatoseluler adalah aminotransferase yang berguna untuk pembentukkan asam amino yang tepat dalam menyusun protein di hati adalah (1) aspartat aminotransferase (AST/ SGPT) dan (2) alanin aminotransferase (ALT/SGOT). ALT spesifik pada kelainan hati, sedangkan AST juga terdapat pada miokardium, otot rangka, otak, dan ginjal. Secara kasar, peninggian kadar aminotransferase setara dengan luas kerusakan hepatoseluler (Sacher, et.al. 2004).Pada saat HBV masuk ke tubuh dengan jalur parenteral. Partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus, selanjutnya akan memproduksi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Kemudian hal ini akan merangsang innate immunity untuk mengatasi infeksi, namun jika innate immunity gagal menanggulangi infeksi maka adaptive immunity akan digunakan oleh tubuh mengatasi infeksi HBV(Soemohardjo et. al., 2007).Aktivasi CD8+ terjadi saat reseptor sel T kontak dengan VHB-MHC class I yang ada pada permukaan sel hati dan pada permukaan APC dibantu dengan sel T yang kontak dengan VHB-MHC class II pada APC. Peptida kapsid VHB HBcAg atau HBeAg pada permukaan sel hati menjadi sasaran antibodi. Sel T CD 8+ akan mengeliminasi virus dalam sel hati yang terinfeksi. Bisa terjadi dengan nekrosis sel hati yang akan mengakibatkan naiknya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu juga terjadi elminasi intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi atau aktivitas interferon gamma dan TNF alfa yang dihasilkan oleh sel CD 8+. Aktivasi sel B dengan bantuan CD 4+ akan menyebabkan produksi antibodi anti-HBs, anti-HBc, anti Hbe.F ungsi anti–HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus dari sel ke sel (Soemohardjo et. al., 2007).Gambaran klinis hepatitis akut terbagi menjadi 4 tahap yaitu:1. Fase InkubasiMerupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus dengan rata-rata 60-90 hari.2. Fase Prodromal (pra ikterik)Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artralgia, mudah lelah, berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Serum sickness dapat muncul pada hepatitis B akut di awal infeksi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang mengakibatkan kolestisitis.

3. Fase IkterusIkterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan prodormal, tetapi justru terjadi perbaikan klinis yang nyata.4. Fase KonvalesenDiawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada 5-10% kasus mungkin perjalanan klinisnya lebih sulit ditangani dan menjadi kronis, hanya <1% yang menjadi fulminan (Sanityoso, 2007)C. PERJALANAN PENYAKIT HEPATITIS B KRONISHepatitis B disebut kronis jika terdapat persitensi virus hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan, sehingga

Page 13: I

pemakaian istilah carrier sehat sudah tidak dianjurkan lagi. Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap HBsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita hepatitis B kronik, sedangkan hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi infeksi (Soemohardjo, et. al., 2007).Ada tiga fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronis yaitu fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance dan fase nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT relatif normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi jarang terjadi serokonversi secara spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi tersebut biasanya tidak efektif. Pada 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan titer ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif. Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi. Pada fase imunoaktif serokonversi HBeAg baik secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini titer HBsAg rendah secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30% pasien hepatitis B kronis dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan (Soemohardjo, et. al., 2007; Fauzi, et. al., 2008).Semua infeksi hepatitis B akut menunjukkan HBsAg dan HBeAg positif serta peninggian serum aminotransferase. Pada sebagian besar orang, peninggian aminotransferase menjadi turun sampai ke level normal. Pasien dengan kondisi ini juga mengalami serokonversi HBeAg menjadi anti-Hbe, dan semua mempunyai serum DNA polimerase yang negatif. Kebanyakan mengalami penurunan titer HBsAg. Serokonversi ini terjadi pada beberapa bulan sebelum serum aminotransferase mengalami penurunan. Sebaliknya pada sebagian kecil pasien yang HBeAgnya tetap positif tetap mengalami peninggian serum aminotransferase. Dengan demikian sebagian besar pasien dengan hepatitis B kronis akhirnya mengalami remisi spontan terhadap kondisi klinis dan biokimia penyakit, biasanya dengan menghilangnya HBeAg dan DNA polimerase (Hoofnagle, et. al., 1981).Pada sebagian pasien pada fase residual, pada waktu terjadi serkonversi HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual, replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi hepatitis B menjadi tenang justru risiko untuk terjadi karsinoma hepatoseluler mungkin meningkat (Soemohardjo, et. al., 2007).D. TERAPITujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah supresi replikasi HBV dan remisi dari penyakit hepatoseluler. Pada pasien hepatitis kronis dengan HBeAg positif, respon pengobatan biasanya diukur dengan reduksi DNA HBV ke level yang tidak dapat dideteksi oleh non–polymerase-chain-reaction assays dabn oleh lenyapnya HBeAg (Anna, 2002).Terapi yang digunakan dalam pengobatan hepatitis B kronis diantaranya interferon alfa dan lamivudine. Pengobatan tiga sampai enam bulan menggunakan interferon alfa akan memberikan respon sekitar 30-40%. Hasil pengobatan pada anak seperti pada pengobatan orang dewasa. Lamividune merupakan suatu analog nucleosid yang diberikan secara oral, bertujuan untuk menghambat replikasi HBV. Sehingga akan bersaing dengan nukleosid asli yang menyebabkan penghambatan infeksi sel yang sehat. Lamividune juga bertujuan untuk menghambat aktivitas enzim

Page 14: I

reverse transcryptase yang berperan dalam replikasi VHB (Anna, 2002; Soemohardjo, et. al., 2007).E. KOMPLIKASISejumlah kecil pasien mengalami hepatitis kronis aktif bila terjadi kerusakan hati seperti digerogoti (piece meal) dan terjadi sirosis. Kondisi ini dibedakan dengan hepatitis kronis persisten melalui pemeriksaan biopsi hati. Terapi kortikosteroid dapat memperlambat kerusakan hati, namun prognosisnya tetap buruk. Kematian biasanya terjadi dalam 5 tahun pada lebih dari separuh pasien-pasien ini akibat gagal hati dan komplikasi dari sirosis (Lindseth, 2005).Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, membagi hati menjadi daerah-daerah makronodular dan mikronodular. Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik, dan pada kasus lanjut dapat mengakibatkan kerusakan hati yang bertahap. (Dorland, 2006; Lindsteh, 2005; Guyton, 1997).Gejala dini untuk sirosis bersifat samar dan tidak spesifik seperti kelelahan, dispepsia, flatulen, konstipase atau diare, dan berat badan berkurang, mual dan muntah yang terutama pada pagi hari, nyeri tumpul atau perasaan berat pada epigastrium atau kuadran kanan atas (Lindseth, 2005).Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal hepatoseluler adalah ikterus, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema palmaris, angioma laba-laba, fetor hepatikum, dan ensefalopati hepatik. Gambaran klinis yang terutama berkaitan dengan hipertensi portal adalah splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta manifestasi kolateral lain. Asites dapat dianggap sebagai manifestasi kegagalan hepatoseluler dengan hipertensi portal (Lindseth, 2005).Pada sirosis hati jelas akan terjadi gangguan sintesis albumin. Sehingga akan mengakibatkan terjadinya beberapa gejala seperti asites, edema tungkai dan efusi pleura Pada keadaan dimana kadar albumin dalam plasma menurun, transfusi albumin menjadi salah satu pilihan tatalaksana yang telah dipakai sejak lama. Umumnya indikasi pemberian albumin pada sirosis hati adalah untuk mengurangi pembentukan asites atau untuk memperbaiki fungsi ginjal dan sirkulasi.Sebagian dari indikasi tersebut ditunjang oleh data uji klinis yang memadai, tetapi beberapa hanya berdasarkan pengalaman klinis dan belum pernah dibuktikan lewat penelitian yang sahih. Oleh karenanya penggunaan albumin pada pasien sirosis hati masih mengandung unsur kontroversi. Dalam upaya meninggikan kadar albumin pada kondisi sirosis diet nabati bisa menjadi pilihan karena sifat protein dan nilai biologis yang tinggi. Dan pada penelitian juga sudah dibuktikan bahwa pemberian tempe kedelai pada pasien sirosis dapat meninggikan kadar albumin dan perbaikan ensefalopati hepatik (Hasan, et. al., 2008; Ratnasari et. al., 2001).Komplikasi lanjut hepatitis yang cukup bermakna adalah berkembangnya karsinoma hepatoseluler primer. Kanker hepatoseluler cukup sering terjadi terutama di negara-negara berkembang. Dua faktor penyebab terkait dalam patogenesis adalah infeksi HBV kronis dan sirosis terkait (Lindseth, 2005).

IV. KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami hepatitis B2. Hepatitis yang tidak teratasi dapat menjadi hepatitis kronis3. Sebagian besar pasien hepatitis B mengalami serokonversi spontan4. Komplikasi dari hepatitis B kronis aktif dapat berupa sirosis hati dan karsinoma primer5. Hasil pemerkisaan laboratorium pasien diperlukan untuk menegakkan diagnosis

Page 15: I

B. Saran1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan hati, dalam hal ini pada kasus-kasus hepatitis. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat dan screening saat donor darah lebih diperketat.

V. DAFTAR PUSTAKAAmirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 102-111Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 993,438Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 1103-1110Lindseth, Glenda N. 2005. Gangguan Hati, Kandung Empedu dan Pankreas. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. JakartaG : EGC. pp : 437-450Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.Sacher, Ronald A., McPherson, Richard A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Alih bahasa: Brahm U Pendit et. al. Jakarta : EGC. pp: 369-370Sanityoso, Andri. 2007. Hepatitis Virus Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 427-431Soemohardjo, Soewignjo., Gunawan, Stephanus. 2007. Hepatitis B Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 433-437Anna S.F. Lok. 2002. Chronic Hepatitis B. http://content.nejm.org/cgi/content/full/346/22/1682 (5 April 2009)Hoofnagle, JH., Dusheiko, GM., Seeff, LB., Jones, EA., Waggoner, JG., Bales, ZB. 1981. Seroconversion from hepatitis B e antigen to antibody in chronic type B hepatitis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7235415 (5 April 2009)Irsan, Hasan., Tities, Anggraeni Indra. 2008. Peran Albumin dalam Penatalaksanaan Sirosis Hati. http://equilab-int.com/images/publish_upload080711257643001215763044FA%20MEDICINUS%208%20MEI%202008%20rev.pdf (5 April 2009)Ratnasari, Neneng.,Nurdjanah, Siti., Wiyono, Paulus. 2001. Diet Tempe Kedelai Pada Penderita Sirosis Hati Sebagai Upaya Meningkatkan Kadar Albumin dan Perbaikan Ensefalopati Hepatik. http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/bik/article/view/1204/1201 (5 April 2009).