I12ise_BAB I Pendahuluan

5
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara garis besar, indikator keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dicerminkan dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Indikator yang terdapat dalam IPM meliputi 3 dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu dimensi kesehatan yang dilihat dari angka harapan hidup, dimensi pendidikan melalui penguasaan ilmu pengetahuan, dan dimensi ekonomi berdasarkan standar kehidupan yang layak. Berdasarkan BPS (2010), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia menempati urutan 108 dari 169 negara. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia dari dimensi kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masih jauh tertinggal dibanding negara-negara lain. Masalah kesehatan merupakan masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia. Saat ini, di Indonesia terjadi transisi epidemiologi yakni di satu sisi masih terdapat permasalahan gizi kurang dan di sisi lain mulai bergeser pada meningkatnya permasalahan akibat gizi lebih. Masih tingginya prevalensi gizi kurang, yang salah satunya berupa KEP (Kurang Energi Protein) dapat menyebabkan penurunan imunitas tubuh dan meningkatnya penyakit infeksi seperti demam tifoid, TBC, dan diare. Disisi lain, peningkatan prevalensi gizi lebih berdampak pada meningkatnya penyakit degneratif seperti penyakit jantung, hipertensi dan diabetes mellitus (Effendi 2009). Berdasarkan Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2010), sebesar 12,6% penduduk usia >18 tahun memiliki status gizi kurang. Sebesar 40,7% penduduk memiliki rata-rata kecukupan Energi <70%AKG dan 37% penduduk memiliki rata-rata kecukupan konsumsi protein <80%AKG. Diabetes mellitus (DM), obesitas, penyakit kardiovaskular dan hipertensi merupakan contoh penyakit degeneratif yang diakibatkan oleh masalah gizi lebih yang dewasa ini menjadi penyebab utama kematian di negara maju dan negara berkembang, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2006, jumlah penyandang diabetes di Indonesia mencapai 14 juta orang. Laporan Riskesdas (2007), menunjukkan bahwa prevalensi total penyandang diabetes sebesar 5,7% dari 24.417 penduduk usia >15 tahun di perkotaan. Diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care 2004 dalam Depkes 2009).

Transcript of I12ise_BAB I Pendahuluan

Page 1: I12ise_BAB I Pendahuluan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara garis besar, indikator keberhasilan pembangunan suatu bangsa

ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dicerminkan dari Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Indikator

yang terdapat dalam IPM meliputi 3 dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu

dimensi kesehatan yang dilihat dari angka harapan hidup, dimensi pendidikan

melalui penguasaan ilmu pengetahuan, dan dimensi ekonomi berdasarkan

standar kehidupan yang layak. Berdasarkan BPS (2010), Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) di Indonesia menempati urutan 108 dari 169 negara. Hal ini

menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia dari dimensi kesehatan,

pendidikan, dan ekonomi masih jauh tertinggal dibanding negara-negara lain.

Masalah kesehatan merupakan masalah penting yang dihadapi bangsa

Indonesia. Saat ini, di Indonesia terjadi transisi epidemiologi yakni di satu sisi

masih terdapat permasalahan gizi kurang dan di sisi lain mulai bergeser pada

meningkatnya permasalahan akibat gizi lebih. Masih tingginya prevalensi gizi

kurang, yang salah satunya berupa KEP (Kurang Energi Protein) dapat

menyebabkan penurunan imunitas tubuh dan meningkatnya penyakit infeksi

seperti demam tifoid, TBC, dan diare. Disisi lain, peningkatan prevalensi gizi lebih

berdampak pada meningkatnya penyakit degneratif seperti penyakit jantung,

hipertensi dan diabetes mellitus (Effendi 2009).

Berdasarkan Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2010),

sebesar 12,6% penduduk usia >18 tahun memiliki status gizi kurang. Sebesar

40,7% penduduk memiliki rata-rata kecukupan Energi <70%AKG dan 37%

penduduk memiliki rata-rata kecukupan konsumsi protein <80%AKG.

Diabetes mellitus (DM), obesitas, penyakit kardiovaskular dan hipertensi

merupakan contoh penyakit degeneratif yang diakibatkan oleh masalah gizi lebih

yang dewasa ini menjadi penyebab utama kematian di negara maju dan negara

berkembang, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2006, jumlah penyandang

diabetes di Indonesia mencapai 14 juta orang. Laporan Riskesdas (2007),

menunjukkan bahwa prevalensi total penyandang diabetes sebesar 5,7% dari

24.417 penduduk usia >15 tahun di perkotaan. Diperkirakan bahwa pada tahun

2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang

(Diabetes Care 2004 dalam Depkes 2009).

Page 2: I12ise_BAB I Pendahuluan

2

Kunci utama dalam penatalaksanaan permasalahan gizi kurang dan gizi

lebih adalah pengaturan makan atau diet. Bagi penderita gizi kurang, diet

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein untuk mencegah dan

mengurangi kerusakan jaringan tubuh serta mencapai berat badan ideal. Diet

bagi penderita gizi lebih bertujuan untuk mencapai dan mempertahankan status

gizi sesuai dengan umur, jenis kelamin, dan kebutuhan fisik serta mencapai

indeks massa tubuh (IMT) normal yaitu 18,5-25 kg/m2 (Almatsier 2006).

Salah satu cara pengaturan makan atau diet dapat dilakukan melalui

pemilihan jumlah dan jenis karbohidrat yang tepat dengan menggunakan konsep

Indeks Glikemik yang diperkenalkan oleh Jenkins pada tahun 1981. Menurut

Rimbawan dan Siagian (2004), konsep ini menekankan pada pentingnya

mengenal pangan (karbohidrat) berdasarkan kecepatan naiknya kadar glukosa

darah setelah pangan tersebut dikonsumsi.

Indeks glikemik adalah perbandingan respon glukosa darah tubuh

terhadap makanan dengan respon glukosa darah tubuh terhadap glukosa murni.

Dengan kata lain, indeks glikemik ialah perbandingan kenaikan gula darah

setelah makan makanan tertentu dibanding dengan setelah makan makanan

standar yaitu glukosa murni. Oleh karena itu, indeks glikemik berguna untuk

menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang

dikonsumsi. Perbedaan nilai indeks glikemik berbagai bahan makanan

tergantung pada fisiologi individu seseorang yang mengkonsumsi makanan

tersebut (Waspadji et al. 2003).

Indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang sehat,

penyandang diabetes, atlet, dan penderita obesitas. Pangan yang memiliki

indeks glikemik rendah bermanfaat bagi orang yang sedang menurunkan berat

badan dan bagi penyandang diabetes mellitus agar dapat mengontrol kadar

glukosa darah sehingga tidak meningkat secara drastis. Pangan yang memiliki

indeks glikemik tinggi bermanfaat untuk menunjang penampilan dan daya tahan

atlet (Rimbawan & Siagian 2004).

Ketela atau singkong merupakan salah satu bahan pangan alternatif yang

sangat potensial untuk dikembangkan secara intensif. Singkong adalah salah

satu pangan sumber karbohidrat. Di Indonesia, singkong merupakan bahan

makanan pokok nomor tiga setelah padi dan jagung (Soetanto 2008). Menurut

BPS (2006), produksi singkong di Indonesia cukup tinggi yaitu 19.907.304 ton. Di

Indonesia, singkong sangat mudah ditanam sehingga mudah didapat.

Page 3: I12ise_BAB I Pendahuluan

3

Walaupun produksi singkong cukup tinggi, namun singkong segar tidak

dapat disimpan lama. Masa simpan umbi ketela segar hanyalah berkisar antara

4-5 hari. Singkong yang disimpan lebih dari masa simpan segarnya akan

berubah warna menjadi hitam atau biru (Soetanto 2008). Oleh karena itu perlu

adanya pengolahan lebih lanjut untuk memperpanjang masa simpan singkong. Di

beberapa daerah, singkong dijadikan sebagai bahan makanan pokok pengganti

nasi (di Jawa diolah menjadi tiwul dan gatot) dan makanan kecil seperti roti,

biskuit, cookies.

Salah satu makanan tradisional yang bahan bakunya singkong adalah

tiwul. Tiwul adalah makanan dari gaplek singkong yang ditumbuk atau dihaluskan

kemudian dikukus. Tiwul perlu dikaji lebih lanjut karena tiwul merupakan pangan

lokal dan pangan tradisional yang harganya murah tetapi merupakan sumber

karbohidrat, kalsium dan fosfor yang cukup tinggi. Hasil penelitian Andrarini

(2004) mengenai konsumsi tiwul di pedesaan dan perkotaan di Kabupaten

Gunung Kidul, Yogyakarta menunjukkan bahwa 36,70% contoh di desa memiliki

frekuensi konsumsi tiwul lebih dari satu kali sehari. Jenis olahan tiwul yang paling

disukai oleh 63,30% contoh di desa adalah tiwul yang dikukus biasa, sedangkan

di kota 47,60% contoh lebih menyukai tiwul yang dikukus dengan ditambahkan

gula dan kelapa. Sebanyak 66,70% contoh di desa mengkonsumsi tiwul karena

alasan ekonomi, sedangkan 33,30% contoh di kota mengkonsumsi tiwul untuk

mengobati rasa rindu ingin makan tiwul. Oleh karena itu, perlu adanya

pemberdayaan tiwul sebagai pangan tradisional khas Indonesia.

Pemberdayaan tiwul sebagai salah satu alternatif sumber makanan bagi

masyarakat diharapkan dapat memperkuat ketahanan pangan nasional.

Pemberdayaan tiwul merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah

pangan yang ada di Indonesia yaitu ketergantungan masyarakat Indonesia akan

komoditi bahan pangan tertentu seperti beras, gandum (terigu), dan kedelai.

Akan tetapi, saat ini tiwul semakin sulit dijumpai dimasyarakat karena proses

pembuatan tepung gaplek menjadi tiwul cukup memakan waktu. Oleh karena itu,

perlu adanya upaya pembuatan produk tiwul instan sehingga masyarakat lebih

praktis dalam menyajikan tiwul. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah

dengan membuat tiwul instan tinggi protein. Peningkatan nilai gizi tiwul dapat

dilakukan dengan penambahan protein sehingga tiwul tidak hanya sebagai

pangan sumber karbohidrat tetapi mampu membantu mencukupi kebutuhan

protein. Selain praktis dari segi penyajian, tiwul instan tinggi protein juga praktis

Page 4: I12ise_BAB I Pendahuluan

4

dalam hal kandungan gizi karena dengan mengkonsumsi satu jenis pangan

mampu memberikan sumbangan energi dan protein yang dibutuhkan tubuh.

Upaya diversifikasi pangan melalui pembuatan tiwul instan juga telah

memperoleh dukungan dari pihak swasta dan Pemerintah Daerah Kabupaten

Gunung Kidul, Yogyakarta. Beberapa produk tiwul instan dengan berbagai merek

dagang mudah ditemukan di daerah ini. Tidak jarang beberapa produsen juga

mengklaim bahwa produk tiwul yang dijual baik untuk dikonsumsi oleh

penyandang diabetes. Namun, hingga saat ini belum ada data empiris mengenai

nilai indeks glikemik tiwul instan.

Penelitian mengenai nilai indeks glikemik pangan saat ini telah banyak

dilakukan baik di luar negeri maupun Indonesia. Namun, kajian mengenai nilai

indeks glikemik pangan tradisional khas Indonesia masih terbatas. Sampai saat

ini kajian mengenai nilai indeks glikemik tiwul belum dilakukan. Berdasarkan hal

ini penulis tertarik untuk meneliti indeks glikemik berbagai produk tiwul berbasis

singkong (Manihot Esculenta Crantz) pada orang normal.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis indeks glikemik

berbagai produk tiwul pada orang normal.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Mempelajari pembuatan tepung gaplek dan tiwul.

2. Menyusun formula tiwul instan tinggi protein

3. Melakukan penilaian organoleptik pada tiwul konvensional, tiwul instan

komersial, dan tiwul instan tinggi protein.

4. Menganalisis komposisi zat gizi yang terkandung pada tiwul

konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein.

5. Menghitung kandungan energi dan zat gizi pada tiwul konvensional, tiwul

instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein

6. Menganalisis indeks glikemik tiwul konvensional, tiwul instan komersial,

dan tiwul instan tinggi protein.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat menambah referensi nilai

indeks glikemik yang terdapat dalam bahan pangan, terutama produk olahan

singkong. Bagi masyarakat, khususnya penyandang diabetes, olahragawan,

Page 5: I12ise_BAB I Pendahuluan

5

obesitas, orang yang ingin menurunkan berat badan, maupun bagi mereka yang

ingin terhindar dari risiko menderita penyakit degeneratif, data ini dapat menjadi

pilihan dalam pemilihan makanan yang memiliki nilai indeks glikemik.