I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

52
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Oksida besi merupakan salah satu mineral sekunder yang umum ditemukan di alam, baik dalam keadaan tertransport maupun tersingkap. Ketersediaan informasi kandungan oksida besi memberikan manfaat diantaranya seperti menujukan kondisi pH, redox potential, kelembaban, dan temperatur lingkungan tanah (Rossel et al, 2009), mempengaruhi agregat antar partikel tanah serta kapasitas tukar kation atau KTK (Cornell and Schwertmann, 1996). Dalam studi geologi oksida besi tidak hanya berarti sebagai indikator pelapukan batuan, namun juga dapat pula menandakan keberadaan beberapa bahan galian tambang dengan nilai ekonomis, seperti bauksit dan bijih besi (Sudarno dan Sumarinda, 1990), selain itu juga berguna dalam memperkirakan keberadaan zona alterasi hydrothermal (Crosta & Moore, 1989) dan membantu survei marginal yang pada umumnya memiliki karakter kapasitas serapan oleh fosfat sangat tinggi (Siradz, 2002). Penginderaan jauh (disingkat PJ) dapat dimanfaatkan dalam kegiatan identifikasi, invetarisasi dan pemetaan karakteristik tanah, salah satunya adalah oksida besi (Jensen, 2007). Akan tetapi, pemanfaatan PJ untuk kajian oksida besi di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa penyebabnya adalah karena keterbatasan tersedianya data yang ideal, kondisi fisik lahan yang terlalu kompleks dan juga keterbatasan literatur yang mendukung. Pada umumnya ekstraksi kandungan oksida besi pada tanah dapat optimal dilakukan dengan menggunakan citra hiperspektral. Akan tetapi, ketersediaan data tersebut di Indonesia sangat terbatas adanya dan sebaliknya ketersediaan citra multispektral resolusi sedang jauh lebih baik, diantaranya seperti Landsat TM dan ALOS AVNIR-2. Landsat TM merupakan satelit sumberdaya milik NASA, sedangkan ALOS AVNIR-2 merupakan satelit sumberdaya milik RESTEC. Kedua citra tersebut memiliki kesamaan dalam karakteristik resolusi radiometri, yaitu 8 bit (256 tingkat kecerahan), akan tetapi berbeda dalam karakteristik resolusi spasial dan

Transcript of I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

Page 1: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Oksida besi merupakan salah satu mineral sekunder yang umum ditemukan

di alam, baik dalam keadaan tertransport maupun tersingkap. Ketersediaan

informasi kandungan oksida besi memberikan manfaat diantaranya seperti

menujukan kondisi pH, redox potential, kelembaban, dan temperatur lingkungan

tanah (Rossel et al, 2009), mempengaruhi agregat antar partikel tanah serta

kapasitas tukar kation atau KTK (Cornell and Schwertmann, 1996). Dalam studi

geologi oksida besi tidak hanya berarti sebagai indikator pelapukan batuan, namun

juga dapat pula menandakan keberadaan beberapa bahan galian tambang dengan

nilai ekonomis, seperti bauksit dan bijih besi (Sudarno dan Sumarinda, 1990),

selain itu juga berguna dalam memperkirakan keberadaan zona alterasi

hydrothermal (Crosta & Moore, 1989) dan membantu survei marginal yang pada

umumnya memiliki karakter kapasitas serapan oleh fosfat sangat tinggi (Siradz,

2002).

Penginderaan jauh (disingkat PJ) dapat dimanfaatkan dalam kegiatan

identifikasi, invetarisasi dan pemetaan karakteristik tanah, salah satunya adalah

oksida besi (Jensen, 2007). Akan tetapi, pemanfaatan PJ untuk kajian oksida besi

di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa penyebabnya adalah karena

keterbatasan tersedianya data yang ideal, kondisi fisik lahan yang terlalu

kompleks dan juga keterbatasan literatur yang mendukung.

Pada umumnya ekstraksi kandungan oksida besi pada tanah dapat optimal

dilakukan dengan menggunakan citra hiperspektral. Akan tetapi, ketersediaan data

tersebut di Indonesia sangat terbatas adanya dan sebaliknya ketersediaan citra

multispektral resolusi sedang jauh lebih baik, diantaranya seperti Landsat TM dan

ALOS AVNIR-2.

Landsat TM merupakan satelit sumberdaya milik NASA, sedangkan ALOS

AVNIR-2 merupakan satelit sumberdaya milik RESTEC. Kedua citra tersebut

memiliki kesamaan dalam karakteristik resolusi radiometri, yaitu 8 bit (256

tingkat kecerahan), akan tetapi berbeda dalam karakteristik resolusi spasial dan

Page 2: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

2

spektral. Landsat TM memiliki resolusi spektral yang lebih tinggi dibanding

ALOS AVNIR-2, oleh karena tersedianya saluran inframerah tengah 1 dan 2.

Semakin tinggi resolusi spektral maka semakin banyak variasi pantulan spektral

obyek yang dapat direkam. ALOS AVNIR-2 memiliki resolusi spasial 10 m

sedangkan Landsat TM memiliki resolusi spasial 30 m. Semakin tinggi resolusi

spasial maka semakin detil informasi yang dapat direkam dan semakin banyak

keberadaan piksel murni dibanding dengan piksel campuran, begitu pula

sebaliknya. Perbedaan karakteristik ini sangat menarik dikaji untuk mengetahui

mana yang lebih berpengaruh antara resolusi spasial dengan resolusi spektral

terhadap akurasi estimasi kandungan oksida besi.

Ekstraksi kandungan oksida besi menggunakan PJ optimalnya dilakukan

pada tanah terbuka yang kering (minim tutupan vegetasi) dan tidak tertutup awan.

Akan tetapi pada kenyataanya sangat jarang terdapat tanah terbuka di Indonesia

dan sebaliknya kondisi penutup lahan yang ada sangatlah bervariatif.

Konsekuensinya adalah keberadaan piksel campuran akan cukup mendominasi

dibandingkan dengan piksel murni, jika perekaman dilakukan menggunakan citra

multispektral resolusi sedang seperti Landsat TM dan ALOS AVNIR-2. Posisi

Indonesia yang berada pada zona beriklim tropis membuanya memiliki curah

hujan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi akan berkorelasi dengan tutupan awan

dan tingkat kelembaban tanah yang secara langsung membuat ekstraksi

kandungan oksida besi sulit untuk dilakukan. Dengan demikian diperlukan suatu

metode pengolahan citra digital untuk dapat meminimalisir gangguan-gangguan

tersebut.

Dalam melakukan estimasi kandungan oksida besi baik melalui Landsat TM

maupun ALOS AVNIR-2 terdapat beberapa input yang dapat digunakan, yaitu

band asli, band aritmatik dan PC band. Masing-masing memiliki kelebihan,

kekurangan dan karakteristik informasi yang berbeda-beda hubungannya dengan

informasi kandungan oksida besi yang dihasilkan, hal ini sangat menarik untuk di

teliti.

Gunungsewu merupakan salah satu topografi karst yang ada di Indoensia,

yang membentang melewati tiga Kabupaten di Pulau Jawa, yaitu Gunungkdul,

Page 3: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

3

Wonogiri, Pacitan. Pada kawasan topografi karst Gunungsewu dapat ditemukan

keterdapatan tanah dengan ciri warna merah kecoklatan, yang berdasarkan sistem

klasifikasi tanah Soepraptohardjo (1961) digolongkan pada jenis tanah mediteran

merah kuning atau dalam istilah yang lebih umum dikenal dengan tanah terra

rossa (khusus tanah mediteran merah). Warna merah sebagai salah satu penciri

tanah terra rossa umumnya muncul akibat pengendapan-pengendapan besi oksida

dari larutan alkalis yang bersentuhan dengan batu kapur (Viansse de Regny,

1964).

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi terkait

pemanfaatan citra multispektral resolusi sedang, seperti Landsat TM dan ALOS

AVNIR-2 dan pengolahan citra digital untuk estimasi kandungan oksida besi di

sebagian topografi karst Gunungsewu. Sehingga dapat memberikan sumbangsih

terhadap penelitian penginderaan jauh untuk aplikasi tanah.

1.2. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

1.2.1. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, dibuat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Optimalnya, dalam kajian karakteristik tanah (salah satunya oksida besi)

menggunakan PJ dibutuhkan citra hiperspektral, akan tetapi ketersedian data

tersebut di Indonesia sangat terbatas dan sebaliknya ketersediaan citra

multispektral resolusi sedang, yaitu Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 jauh

lebih baik.

2. Belum adanya Peta Kandungan Oksida Besi di Topografi Karst Gunungsewu.

3. Masih terbatasnya informasi mengenai hubungan antara perbedaan

karakteristik resolusi spasial dan resolusi spektral diantara Landsat TM dan

ALOS AVNIR-2 serta input model empiris yang digunakan, yaitu band asli,

band aritmatik dan PC band dalam kaitannya akurasi estimasi kandungan

oksida besi.

Page 4: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

4

1.2.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, diambil pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Apakah citra multispektral resolusi sedang, yaitu Landsat TM dan ALOS

AVNIR-2 dapat dimanfaatkan untuk memperoleh informasi kandungan oksida

besi di sebagian topografi karst Gunungsewu?

2. Bagaimana hubungan antara input model empiris yang digunakan, yaitu band

asli, band aritmatik dan PC band terhadap akurasi estimasi kandungan oksida

besi di sebagian topografi karst Gunungsewu?

3. Bagaimana hubungan antara perbedaan karakteristik resolusi spasial dan

resolusi spektral antara citra Landsat TM dengan ALOS AVNIR-2 terhadap

akurasi estimasi kandungan oksida besi di sebagian topografi karst

Gunungsewu?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui bagaimana manfaat dari citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2

untuk estimasi kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu.

2. Mengetahui bagaimana hubungan antara input model empiris yang digunakan,

yaitu band asli, band aritmatik dan PC band terhadap akurasi estimasi

kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu.

3. Mengetahui pengaruh perbedaan karakteristik resolusi spasial dan resolusi

spektral antara citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 terhadap akurasi

identifikasi kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu.

1.4. Hasil Akhir

Hasil akhir dari penelitian ini adalah :

1. Citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 hasil tranformasi NDVI.

2. Citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 hasil band aritmatik.

3. Citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 hasil tranformasi PCA.

Page 5: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

5

4. Uraian mengenai pemanfaatan citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 untuk

estimasi kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu.

5. Uraian mengenai hubungan antara resolusi spasial dan resolusi spektral dan

input model empiris yang digunakan (band asli, band aritmatik dan PC band)

dalam kaitannya akurasi estimasi kandungan oksida besi.

6. Peta kandungan oksida besi sebagian topografi karst Gunungsewu (dibuat dari

hasil pemodelan empiris kandungan oksida besi dengan akurasi tertinggi, baik

dihasilkan dari input band asli, band aritmatik dan PC band).

1.5. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi terkait pemanfaatan citra mutispektral resolusi sedang,

yaitu Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 dan pengolahan citra digital untuk

estimasi kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu.

2. Menghasilkan peta kandungan oksida besi di sebagian topografi karst

Gunungsewu.

3. Memberikan sumbangan bagi ilmu PJ murni, khususnya untuk bidang aplikasi

tanah.

1.6. Tinjauan Pustaka

1.6.1. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh (disingkat PJ) ialah ilmu dan seni dalam memperoleh

informasi mengenai suatu objek, area, atau fenomena melalui analisis data yang

diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau

fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer, 1993). Dalam PJ terdapat dua sistem

yang saling terintegrasi satu sama lain kaitannya dengan perolehan informasi

kondisi permukaan bumi, yaitu pengumpulan atau perolehan data dan analisis

data. Sistem perolehan data PJ bekerja dengan melibatkan beberapa komponen,

yaitu : sumber energi, perjalanan energi melalui atmosfer, interaksi antara energi

dengan kenampakan di muka bumi, sensor, wahana, dan pembentukan data dalam

Page 6: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

6

bentuk piktorial dan atau bentuk numerik. Sedangkan analisis data PJ terkait tiga

komponen, yaitu deteksi (global), identifikasi (setengah rinci) dan analisis (rinci)

1.6.1.1. Sumber Energi Penginderaan Jauh

Sumber energi PJ adalah gelombang elektromagnetik, terutama PJ

sumberdaya. Menurut Lillesand & Kiefer (1993) gelombang elektromagnetik

ialah tenaga yang bergerak dengan kecepatan sinar (3 x 108 m/detik) dengan pola

gelombang sinusoidal yang harmonis. Disamping itu pada tiap bagian tenaga

elektromagnetik terjalin hubungan (berkebalikan) yang serasi antara panjang

gelombang dengan frekuensinya. Makin lemah panjang gelombang yang

digunakan, makin rendah kandungan tenaganya.

Berdarkan sumber tenaganya PJ dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu PJ

sistem aktif dan PJ sistem pasif. PJ sistem pasif bekerja dengan memanfaatkan

sumber energi alami baik berasal dari radisi elektromagnetik matahari dan atau

dari beberapa obyek dengan suhu di atas nol derajat absolut (00

K, atau -2730C).

Sistem PJ aktif bekerja dengan menggunakan energi buatan yang dikirim oleh

sensor PJ, berupa gelomabang bunyi (sonar) dan cahaya (laser) (Sutatnto, 1986).

1.6.1.2. Interaksi Energi Dengan Atmosfer

Lillesand dan Kiefer (1993) menjelaskan bahwa atmosfer memiliki peran

vital dalam PJ, yaitu sebagai filter (serapan) dan hambatan (hamburan) energi

elektomagnetik. Energi elektromagnetik terdiri atas spektrum yang sangat luas,

mulai dari gelombang gamma, Y, X, ultraviolet, tampak, inframerah (IM), mikro,

radar dan radio (Gambar 1.2). Tidak semua spektrum tersebut dapat sampai ke

bumi, beberapa diantaranya seperti spektrum gamma dan ultraviolet dipantulkan

dan juga diserap oleh atmosfer. Hal ini sangat menguntungkan karena apabila

kedua spektrum tersebut sampai di bumi maka akan membahayakan kehidupan

mahluk hidup yang ada. Rentang julat panjang gelombang yang tidak terpantulkan

atau tertahan oleh partikel atmosferik ini disebut sebagai jendela atmosferik

(atmosferic window).

Page 7: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

7

Serapan oleh jendela atmosfer menyebabkan kehilangan efektif tenaga

elektromagnetik akibat energi berpindah dari gelombang elektromagnetik ke

partikel atmosfer penyerap gelombang tersebut, seperti uap air, CO2 dan ozon.

Hamburan mengakibatkan terjadinya berbagai pembelokan arah pancaran

gelombang elektromagnetik dari jalurnya. Partikel-partikel penyebab terjadiya

hamburan diantaranya adalah partikel oksigen, nitrogen, dan ozon (Mather, 2004).

Terdapat tiga macam hamburan yang terjadi di atmosfer yang dapat

mempengaruhi interaksi energi elektromagnetik, yaitu hamburan Rayleigh, Mie

dan Non-Selective.

Gambar 1. 1. Hamburan atmosfer

(http://hyperphysics.phy-astr.gsu.edu/hbase/atmos/blusky.html, diakses 25 Mei 2012)

Sutanto (1986) menjelaskan bahwa hamburan Rayleigh merupakan

hamburan yang terjadi apabila gelombang elektromanetik berinteraksi dengan

molekul-melekul dan partikel-pertikel kecil di atmosfer yang diameternya jauh

lebih kecil daripada panjang gelombang yang berinteraksi dengannya. Besarnya

hamburan Rayleigh berbanding terbalik terhadap pangkat empat panjang

gelombang yang mengenainya. Panjang gelombang tampak jauh lebih peka

terhadap hamburan ini daripada panjang gelombang elektromagnetik lainnya.

Berbeda halnya dengan hamburan Rayleigh yang menyebabkan warna langit

tampak biru pada saat cerah, hamburan Mie menyebabkan atmosfer tampak putih

hingga kemerahan. Hamburan Mie terjadi disebabkan oleh hamburan butir-butir

debu, kabut, asap dan material sebagainya yang diameternya sama dengan

panjang gelombang rata-rata spektrum tampak. Hamburan Mie lebih dominan

terjadi pada panjang gelombang diluar saluran tampak pada cuaca berwarna.

Hamburan non-selektif, terjadi apabila terdapat butir-butir materi dalam atmofer

yang diameternya jauh lebih besar dari panjang gelombang yang mengenainya,

Page 8: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

8

contohnya adalah uap air. Kabut dan awan tampak berwarna putih adalah akibat

terjadinya hamburan nonselektif.

Gambar 1. 2. Spektrum elektromagnetik (Lillesand dan Kiefer, 1993)

1.6.1.3. Interaksi Antara Obyek di Permukaan Bumi Dengan Energi

Elektromagnetik

Terdapat tiga bentuk respon obyek dipermukaan bumi terhadap energi

elektromagnetik langsung dari matahari yang telah lolos dari jendela atmosfer

(energi irradiance), yaitu diserap, ditransmisikan dan dipantulkan. Hal ini

dipengaruhi oleh variasi jenis materi dan struktur (karakteristik). Jadi, pada

dasarnya energi yang direkam oleh sensor PJ adalah fungsi penjumlahan dari

besarnya energi yang dipantulkan, energi yang diserap dan energi yang

ditransmisikan oleh obyek (hukum kekekalan energi). Variasi energi

elektromagnetik tersebut oleh sistem PJ selanjutnya dimanifestasikan dalam

variasi nilai kecerahan (brightness value).

Gambar 1. 3. Perjalanan dan interaksi energi elektromagnetik (Sutanto, 1994)

Page 9: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

9

1.6.1.4. Sistem Penginderaan Jauh

PJ dalam menjalankan fungsinya didukung oleh serangkaian sistem, seperti:

wahana, detektor dan sensor. Wahana merupakan media atau kendaraan yang

digunakan untuk membawa sensor guna merekam kondisi obyek atau fenomena

dipermukaan Bumi dari jarak jauh. Berdasarkan ketinggian terbang, terdapat dua

jenis wahana, yaitu wahana udara (airborne) dan wahana antariksa (spaceborne).

Detektor merupakan komponen yang berfungsi menyimpan besarnya energi

elektromagnetik yang dikumpulkan oleh sensor. Terdapat dua jenis detektor, yaitu

film dan elektronik. Sensor adalah suatu bagian dari sistem PJ yang berfungsi

menangkap dan mengumpulkan energi elektromagnetik hasil dari pantulan dan

pancaran obyek di permukaan bumi. Berdasarkan tiga sistem dasar tersebut, PJ

dapat di bagi menjadi dua sistem dasar yaitu PJ sistem fotografi dan PJ sistem

non-fotografi.

PJ sistem fotografi adalah sebuah sistem PJ yang memanfaatkan sensor

fotografi (kamera) dalam merekam energi elektromagnetik, menggunakan film

sebagai detektor (media penyimpan informasi pantulan spektral obyek),

memanfaatkan wahana airborne dalam beroperasi (pesawat, layang-layang,

paralayang, balon udara, gantole) dan proses perekaman energi berlangsung

secara kimiawi menggunakan emulsi film. Output data PJ sistem fotografi disebut

dengan foto udara. PJ sistem fotografi optimal bekerja merekam panjang

gelombang pada julat tampak dan sedikit inframerah dekat, tergantung

kemampuan sensor kamera.

PJ sistem non-fotografi adalah sebuah sistem PJ yang menggunkan sensor

non-fotografik berupa sensor elektronik (scanner) dalam merekam energi

elektromagnetik, memanfaatkan satelit sebagai wahana, menggunakan pita

magnetik sebagai detektor. PJ sistem non-fotografi mampu merekam panjang

gelombang mulai dari spektrum tampak, inframerah dekat, inframerah tengah,

inframerah jauh atau inframerah termal, dan gelomabang mikro. Output dari PJ

sistem non-fotografi yaitu data digital baik berupa data piktorial maupun nominal

(citra non-fotografi) dan data analog (setelah dicetak).

Page 10: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

10

1.6.1.5. Konsep Resolusi Dalam Penginderaan Jauh

Penilaian terhadap kualitas suatu citra pada dasarnya relatif tergantung sudut

pandang atau kebutuhan. Akan tetapi kemampuan suatu data PJ dibatasi oleh

istilah yang disebut dengan resolusi (resolving power = daya pisah). Menurut

Swain dan Davis (1978) dalam Danoedoro (1996) menjelaskan bahwa resolusi

adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi

yang secara spasial berdekatan atau secara spektral mempunyai kemiripan.

Terdapat 4 konsep resolusi dalam data PJ, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral,

resolusi radiometri dan resolusi temporal. Selain keempat resolusi tersebut dalam

aplikasi pengolahan citra digital dikenal pula resolusi layar.

Resolusi spasial merupakan ukuran terkecil objek yang masih dapat

dideteksi oleh suatu sistem pencitraan. Semakin tinggi resolusi spasial berarti

luasan yang dapat dideteksi semakin sempit atau detil, berarti obyek yang lebih

kecil luasannya dari resolusi spasial tidak akan dapat diidentifikasi dari PJ dan

begitu pula sebaliknya. Semakin tinggi resolusi spasial maka semakin banyak

keberadaan piksel murni (pure pixel). Piksel murni merupakan piksel yang

tersusun atas 1 informasi spektral. Namun sebaliknya, dengan semakin rendah

resolusi spasial maka semakin rendah keberadaan piksel murni dan semakin

banyak keberadaan piksel campuran (mixed pixel). Piksel campuran merupakan

piksel yang tersusun atas 2 atau lebih informasi spektral obyek.

Resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk

membedakan objek berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya. Semakin

tinggi resolusi spektralnya ditunjukan dengan semakin lengkap ketersediaan

panjang gelombangnya. Semakin banyak dan sempit panjang gelombang, maka

semakin tinggi kemampuannya dalam mengenali objek berdasarkan respon

spektralnya.

Resolusi radiometri adalah kemampuan sensor dalam mengkodingkan

besarnya energi pantulan obyek dipermukaan bumi yang sampai ke sensor

(W.m2.sr

-1.µm

-1) menjadi skala angka digital atau digital number (DN), agar dapat

disimpan dan dikirimkan ke satelit penerima di bumi hingga dapat ditampilkan

dalam layar digital. Semakin tinggi nilai bit coding semakin besar definisi derajat

Page 11: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

11

keabuan atau greyscale-nya. Sehingga semakin tinggi resolusi radiometrik maka

semakin peka terhadap adanya variasi obyek atau fenomena, namun

konsekuensinya selain semakin besar ukuran filenya juga kemungkinan terjadi

kegagalan sensor dalam mengkodingkan energi menjadi DN semakin tinggi pula.

Resolusi temporal adalah kemampuan suatu sistem untuk merekam ulang

daerah yang sama, dalam satuan waktu (dapat berupa jam bahkan hari). Semakin

tinggi resolusi temporal maka akan semakin menunjang kepentingan monitoring.

Sedangkan yang dimaksud resolusi layar adalah kemampuan layar monitor dalam

menyajikan kenampakan obyek pada citra secara lebih halus. Besarnya resolusi

layar sangat dipengaruhi kemampuan hardware yaitu graphic card.

1.6.2. Penginderaan Jauh Multispektral

Penginderaan jauh multispektral adalah sitem PJ yang bekerja dengan

menggunakan puluhan saluran (band) dalam sekali perekaman. Citra multispektral

memiliki julat yang lebih sempit dari pada citra saluran tunggal, namun lebih lebar

daripada citra hyperspektral. Keunggulan dari citra multispektral adalah

dimungkinkan pembuatan pewarnaan citra atau sering disebut dengan komposit

citra. Setiap warna yang muncul dari hasil komposit melambangkan perbedaan

obyek atau fenomena. Beberapa contoh citra multispektral : Landsat, SPOT,

ALOS, ASTER, ALI, Quickbird, Ikonos, dll.

1.6.3. Satelit Advanced Land Observing Satellite Data (ALOS)

ALOS merupakan citra sumberdaya milik Jepang (RESTEC). Pertama kali

diluncurkan pada 24 Januari 2006. ALOS di lengkapi oleh 3 sensor, yaitu the

Advanced Visible and Near Infrared Raiometer type-2 (AVNIR-2), the

Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) dan the

Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR). Spesifikasi citra

ALOS AVNIR-2 secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Page 12: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

12

Gambar 1. 4. Satelit ALOS (ALOS handbook, 2008)

Tabel 1. 1. Karakteristik sensor satelit ALOS AVNIR-2

Tanggal peluncuran 24 Januari 2006, pangkalan udara Tanegashima, Jepang

Pesawat Peluncur H-II A

Diluncurkan Oleh RESTEC

Masa Operasi 3 tahun (design life ), 5 tahun (expected life)

Orbit 98.16°, Sun-synchronous sub-recurrent

Ketinggian 691.65 kilometer

Resolusi radiometrik 8 bits per piksel (256 levels)

Cakupan Citra 70 x 70 kilometer

Waktu Lintas Ulang 26 hari

Saluran Citra (AVNIR-2)

Band 1 Visible (0.42 – 0.50 µm) 10 m

Band 2 Visible (0.50 – 0.60 µm) 10 m

Band 3 Visible (0.61 – 0.69 µm) 10 m

Band 4 Near-Infrared (0.76 – 0.89 µm) 10 m

Sumber : ALOS handbook (2008)

Citra ALOS AVNIR-2 yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dalam

bentuk utuh (archive). Keuntungan dari citra archive adalah keaslian data masih

terjaga serta memungkinkan untuk dilakukan pemrosesan yang sifatnya global

operation. Dari summary atau header Citra ALOS AVNIR-2 diketahui bahwa

citra direkam pada tanggal 20 Juni 2009 (bulan kemarau) dengan level koreksi

citra 1B2G, direkam pada posisi elevasi matahari 35.930 dan azimuth matahari

50.940

, selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 1. Level 1B2G artinya citra sudah

terkoreksi geometri, hal ini ditegaskan dengan terlampirnya informasi sistem

proyeksi UTM zona 49 True North pada header citra ALOS AVNIR-2 yang

digunakan dalam penelitian ini. Terdapat kekeliruan karena seharusnya daerah

kajian bukan berada pada True North, namun seharusnya berada pada south

hemisphere atau true south. Lebih lanjut, setelah dilakukan perbandingan posisi

terhadap data spasial bereferensi koordinat lokal (peta RBI) diketahui bahwa

terjadi pergeseran posisi secara sistematik pada citra ALOS AVNIR-2. Oleh

karena itu masih diperlukan koreksi geometrik terhadap citra ALOS AVNIR-2.

Page 13: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

13

Gambar 1. 5. Citra ALOS AVNIR-2 DIY dan sekitarnya komposit 341

1.6.4. Satelit Landsat TM

Landsat merupakan satelit sumberdaya milik Amarika Serikat (NASA).

Pertama kali diluncurkan pada tahun 1972 dengan nama ERTS-1 (Earth

Resources Technology Sattelite – 1). Nama landsat sebenarnya baru diberikan

setelah dilucurkannya generasi kedua. Dari awal pembuatan sampai sekarang,

dinenal beberapa generasi citra Landsat, yaitu Landsat 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan generasi

yang terbaru adalah Landsat 7 (diluncurkan pada tanggal 15 april 1999).

Sayangnya mulai tanggal 31 mei 2003 terjadi kerusakan pada Landsat 7 berupa

kegagalan sensor disebut dengan SLC-Off. Masalah ini menyebabkan penggunaan

landsat 7 mulai berkurang, alternatifnya adalah Landsat 5 (Landsat TM).

Gambar 1. 6. Satelit Landsat TM

(http://landsat.usgs.gov/about landsat5.php, diakses 22 Mei 2012)

Page 14: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

14

Tabel 1. 2. Karakteristik sensor satelit Landsat TM

Tanggal peluncuran 1 Maret 1984, pangkalan udara Vandenburg, California

Pesawat Peluncur Delta 3920

Diluncurkan Oleh NASA

Masa Operasi 3 (Tiga tahun)

Orbit 98.2°, Polar, Sun-syncronous

Ketinggian 705 kilometer

Resolusi spasial 30 m reflective, 120 m thermal

Resolusi radiometrik 8 bits per piksel (256 levels)

Cakupan Citra 170 Km x 185 Km at nadir (106 mi x 115 mi)

Waktu Melintas Ekuator 9:45 a.m. +/- 15 minutes

Waktu Lintas Ulang 16 hari, 233 lintasan orbit

Saluran Citra (TM) Band 1 Visible (0.45 – 0.52 µm) 30 m

Band 2 Visible (0.52 – 0.60 µm) 30 m

Band 3 Visible (0.63 – 0.69 µm) 30 m

Band 4 Near-Infrared (0.76 – 0.90 µm) 30 m

Band 5 Mid-Infrared (1.55 – 1.75 µm) 30 m

Band 6 Thermal (10.40 – 12.50 µm) 120 m

Band 7 Mid-Infrared (2.08 – 2.35 µm) 30 m

Sumber : http://landsat.usgs.gov/about_landsat5.php (diakses 22 Mei 2012)

Citra Landsat TM yang digunakan dalam penelitian ini juga diperoleh dalam

bentuk utuh (archive). Dari header citra Landsat TM diketahui bahwa citra

direkam pada tanggal 31 juli 2009 (musim kemarau), 41 hari setelah citra ALOS

AVNIR-2 yang digunakan dalam penelitian ini direkam. Memiliki level koreksi

1T, direkam pada posisi elevasi matahari 49.1870 dan azimuth matahari 50.95

0,

selengkapnya dapat dilihat di lampiran 2. Dicantumkannya informasi planimetrik

berupa sistem proyeksi UTM, datum WGS-84 dan zona 49 hemisphare selatan

dan level koreksi 1T menunjukan citra sudah terkoreksi medan (systematic terrain

corrected) dan terkoreksi geometrik. Pengkoreksian data level 1T dilakukan

dengan menjadikan global DEM yang bersumber dari global land survey (GLS

2000) sebagai rujukan dalam mengkoreksi pengaruh topografi global terhadap

aspek geometrik. Namun, setelah dilakukan perbandingan posisi terhadap data

spasial bereferensi koordinat lokal (peta RBI) diketahui bahwa terjadi pergeseran

posisi secara sistematik pada citra Landsat TM. Oleh karena itu masih diperlukan

koreksi geometrik terhadap citra Landsat TM.

Page 15: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

15

Gambar 1. 7. Citra Landsat TM Jawa Tengah komposit 341

1.6.5. Karakteristik Respon Spektral Tanah

Menurut Jensen (2007) PJ dapat berperan dalam identifikasi, inventarisasi

dan pemetaan tanah yang ada di permukaan bumi, terutama pada bagian

permukaan bumi yang tidak tertutup oleh vegetasi. Tanah memiliki dua respon

terhadap panjang gelombang yang mengenainya yaitu dipantulkan dan diserap

tergantung sifat fisik dan kimia tanah, tidak ada yang ditransmisikan seperti pada

vegetasi (Hoffer, 1978). Dibanding pola pantulan spektral vegetasi dan air, tanah

memiliki respon yang lebih sederhana, yaitu relatif semakin meningkat seiring

bertambah panjangnya panjang gelombang. Menurut Jensen (2007) besarnya

energi pantulan spektral tanah adalah komulatif atau total dari besarnya energi

yang langsung dipantulan saat mengenai permukaan tanah (Lp), energi yang

dipantulkan setelah berinteraksi dengan lapisan tanah bagian atas (Ls) dan energi

yang dipantulkan setelah berinteraksi dengan material yang ada di bawah

permukaan tanah (Lv) (persamaan 1.1). Terdapat beberapa karakteristik utama

tanah yang mampu pantulan spectral tanah, yaitu : kelembaban tanah permukaan,

tekstur tanah (prosentase susunan pasir, debu, dan lempung), kandungan bahan

organik tanah, kekasaran permukaan tanah dan oksida besi (Jensen, 2007).

Total radiance (Lt) = Lp + Ls + Lv........................(1.1)

Page 16: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

16

Gambar 1. 8. Skema tanah dalam merespon energi elektromagnetik (Jensen, 2007)

1.6.5.1. Respon Spektral Oksida Besi

Oksida besi terbentuk akibat pelapukan kimiawi (air, oksigen, karbon

dioksida dan asam organik) pada tubuh batuan yang mengandung mineral besi.

Keterdapatan kandungan oksida besi memegang peran penting dalam

mempengaruhi beberapa sifat tanah. Selain dapat mengakibatkan tanah menjadi

berwarna merah, oksida besi juga dapat mempengaruhi agregat antar partikel

tanah serta kapasitas tukar kation disingkat KTK (Cornell and Schwertmann,

1996). Pada batasan tertentu oksida besi juga dapat menujukan kondisi pH, redox

potential, kelembaban, dan temperatur linkungan tanah (Rossel et al, 2009).

Bahkan, dalam studi geologi oksida besi tidak hanya berarti sebagai indikator

pelapukan batuan, namun juga dapat pula menandakan keberadaan beberapa

bahan galian tambang dengan nilai ekonomis, seperti bauksit dan bijih besi

(Sudarno dan Sumarinda, 1990). Kandungan oksida besi juga berguna dalam

memperkirakan keberadaan zona alterasi hydrothermal (Crosta & Moore, 1989)

dan membantu survei marginal yang pada umumnya memiliki karakter kapasiatas

serapan oleh fosfat sangat tinggi (Siradz, 2002).

Menurut Ben Door (2002) spektrum tampak hingga inframerah dekat dapat

dapat digunakan untuk mengukur kelimpahan kandungan oksida besi dalam tanah.

Tanah yang mengandung mineral besi akan dikenali dengan adanya kenaikan

pantulan pada spektrum merah (600 – 700 nm), serta penurunan pantulan pada

spektrum biru, hijau dan inframerah dekat (Jensen, 2007). Pada penelitian ini jenis

oksida besi yang dikaji adalah hematite (Fe2O3), karena jenis mineral ini lebih

umum di temukan di daerah penelitian dibanding jenis lainnya.

Page 17: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

17

Gambar 1. 9. Karakteristik pantulan oksida besi secara umum (kiri) dan

karakteristik pantulan mineral-mineral oksida besi secara khusus (kanan)

(Jensen, 2007 dan Grove et al., 1992)

1.6.6. Kualitas dan Koreksi Citra

Dalam proses akuisisi dan pembentukan data PJ pada dasarnya tidak dapat

lepas dari adanya kesalahan. Hal ini dapat diakibatkan oleh kualitas sensor atau

detektor, posisi wahana saat perekaman, kondisi topografi daerah yang diliput dan

kondisi atmosfer saat perekaman. Restorasi atau pra-pengolahan atau pre-

processing citra adalah upaya untuk memperbaiki kualitas citra akibat adanya

kesalahan agar siap digunakan. Kebutuhan terhadap pre-processing citra

bervariasi, tergantung dari kualitas citra tersebut, level pemrosesan dan tujuan

aplikasi. Secara umum terdapat beberapa tolak ukur penilaian kualitas citra, yaitu

kualitas tutupan awan, banyaknya drop out baris, kualitas korelasi antar saluran,

kualitas geometrik dan kualitas radiometrik (Danoedoro, 1996).

1.6.6.1. Kualitas Tutupan Awan dan Kabut

Adanya tutupan awan dan haze serta bayangannya secara langsung

menyebabkan kehilangan informasi spektral. Idealnya dalam pemanfaatan citra

sumberdaya disyaratkan maksimal tutupan awan dan kabut adalah 10% dari total

area perekaman (Danoedoro, 1996). Citra dengan tutupan awan berpola

mengelompok masih lebih baik dari pada citra dengan pola tutupan awan yang

menyebar hampir diseluruh areal perekaman.

Page 18: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

18

1.6.6.2. Kualitas Korelasi Antar Saluran

Korelasi antar saluran menunjukan kekuatan hubungan antar saluran pada

suatu citra dalam menyajikan informasi spektral obyek-obyek dipermukaan bumi.

Semakin tinggi hubungan antar saluran maka semakin rendah variansi informasi

spektralnya, artinya informasi spektral antara saluran satu dengan yang lainnya

hampir mirip.

1.6.6.3. Koreksi Radiometri

Kualitas radiometri berhubungan dengan nyaman tidaknya gambar dalam

pandangan visual dan juga benar tidaknya informasi spektral yang diberikan oleh

obyek dan tercatat oleh sensor (Danoedoro, 2012). Kualitas radiometrik

dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kualitas sensor atau detektor, posisi wahana

pada saat merekam, kondisi topografi daerah yang diliput dan juga kondisi

atmosfer pada saat perekaman. Koreksi radiometrik dilakukan atas dua tujuan

dasar yaitu untuk memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki nilai-nilai

piksel yang tidak sesuai dengan pantulan atau pancaran spektral objek yang

sebenarnya, akibat gangguan atmosfer, geometri sensor terhadap matahari dan

kesalahan pada sensor itu sendiri (Cambell, 2002)

Phin (2007) menjabarkan secara sistematis aliran proses koreksi

radiometrik, dapat dilihat pada Gambar 1.10. Sensor calibration atau kalibrasi

sensor adalah tehnik untuk mengembalikan nilai DN (tidak ada satuan) menjadi

at-sensor radiance atau radiance (W m-2

sr-1

µm-1

). Radiance ialah besarnya

energi dari sinar matahari yang lolos atmosfer, pada area spesifik dan pada arah

yang spesifik pula (Jensen, 2005). Sunlight correction ialah koreksi radiometri

yang bertujuan untuk mengkonfersi nilai at-sensor radiance menjadi at-sensor

reflectance atau sering pula disebut dengan Top of Atmospheric reflectance

(TOA). Jarak matahari dengan bumi dalam 1 tahun bersifat dinamis, hal ini

mempengaruhi besarnya energi total yang dapat sampai ke bumi, dengan

melakukan koreksi TOA dapat menormalisasi kondisi tersbut. Reflectance ialah

Page 19: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

19

rasio besaran energi yang dipantulkan dibanding energi awal (irradiance),

reflectance tidak memiliki satuan, namun memiliki range nilai 0-1.

Gambar 1. 10. Tahapan Koreksi radiometrik (Phin, 2007)

At-sensor reflectance masih memuat pengaruh atmosfer, untuk

mengkoreksinya diperlukan koreksi atmosfer. Dengan melakukan koreksi

atmosfer akan dihasilkan citra at-surface reflectance. Pada kondisi tertentu

dimana bebas gangguan atmosfer besarnya nilai at-sensor reflectance dan at-

surface reflectance adalah sama. Berdasarkan pendekatan yang digunakan

terdapat dua jenis koreksi atmosfer, yaitu koreksi atmosfer absolut dan koreksi

atmosfer relatif.

Koreksi atmosferik absolut dilakukan dengan memperhitungkan kondisi

atmosfer secara kuantitatif (absolut), meliputi kandungan aerosol, uap air,

ketebalan partikel di atmosfer. Dengan demikian, apabila data tersebut tidak

tersedia maka sulit untuk dapat melakukan koreksi atmosfer absolut. Solusi dari

masalah tersebut adalah model radiatif transfer atmosfer (atmospheric radiative

transfer model). Model koreksi ini mengaplikasikan kondisi atmosfer rata-rata

sesuai dengan lokasi lintang bujur, intensitas matahari sesuai tanggal perekaman,

tinggi terbang dan keterjangkaun pandangan di udara, kadar aerosol relative

terhadap kondisi wilayah (urban, rural, maritime, tropospheric), serapan uap air

di atmosfer. Beberapa metode pendekatan kondisi atmosfer seperti : Modtran, 6-S,

ACORN, ATREM, FLAASH, ATCOR.

Page 20: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

20

Koreksi atmosferik relatif dilakukan dengan merujuk pada kondisi ideal atau

dapat pula merujuk data lain yang dianggap memiliki kualitas atmosfer lebih baik.

Beberapa metode koreksi atmosfer relatif, antara lain:

Histogram adjusment atau dark-pixel substraction,

(Jensen, 2005; Lillesand et al, 2004; Schowengerdt, 2007;

Danoedoro, 1996)

Image-based regression adjustment (Mather 2004, Danoedoro 1996)

Scatter plot method, (Danoedoro, 1996)

Sadow calibration, (Gastellu‐Etchegorry 1988, Danoedoro 1996)

Empirical line method, (Mather 2004, Jensen 2005)

1.6.6.4. Kualitas Geometri, Koreksi dan Akurasi Geometri

1.6.6.4.1. Kualitas Geometri

Kualitas geometrik menunjukan benar tidaknya suatu citra dalam

menampilkan informasi bentuk dan posisi sesuai di lapangan (koordinat

sebenarnya). Menurut Danoedoro (2012) berdasarkan penyebabnya kesalahan

geometrik dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu kesalahan geometrik sistematik

dan non-sistematik. Kesalahan geometrik sitematik adalah distorsi posisi dan

bentuk citra akibat dari mekanisme perekaman citra (Gambar 1.11). Kesalahan

non-sistematik umumnya disebabkan oleh proses perekaman citra secara parsial

dengan scaning mengikuti sistem lintasan atau orbit satelit terhadap rotasi bumi

serta adanya variasi jarak antara obyek yang direkam dengan posisi sensor

(Gambar 1.12). Kesalahan geometrik non-sistematik umumnya tidak dapat

diprediksi.

Gambar 1. 11. Bentuk kesalahan geometrik sistematik (garis putus-putus menunjukan citra

terdistorsi, sedangkan garis tegas menunjukan bentuk citra yang telah terestorasi); distorsi arah

melintah scaner (a), distorsi variasi kecepatan cermin (b), kemencengan (c)

(Danoedoro, 2006)

Time

Normal Velocity

Actual Velocity

No

rmal

An

gel

(a) (b) (c)

Page 21: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

21

Gambar 1. 12. Bentuk kesalahan gemetrik non-sistmatik (garis putus-putus menunjukan citra yang terdistorsi,

sedangkan garis tegas menunjukan bentuk citra yang telah terestorasi), (a) rotasi bumi; (b) variasi ketinggian

wahana; (c) variasi pitch; (d) pengaruh kecepatan wahana; (e) variasi roll; (f) variasi yaw.

(Danoedoro, 2006)

1.6.6.4.2. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik adalah suatu upaya untuk membenarkan aspek posisi dan

bentuk citra, dilakukan dengan mentransformasi geometri atau posisi piksel

diikuti dengan perubahan informasi spektral (Danoedoro, 1996). Mather (2004)

dalam Danoedoro (2012) mengelompokan koreksi geometrik dalam dua

kelompok, yaitu model koreksi orbital dan model transformasi berdasarkan titik

kontrol lapangan atau ground control point (GCP). Model koreksi geometri

orbital merupakan model fisikal yang mencoba mengenali parameter-parameter

penyebab kesalahan secara deduktif, kemudian direkontruksi. Terdapat tiga

metode koreksi geometrik orbiltal, yaitu koreksi aspect ratio (koreksi untuk

menyamakan dimensi piksel), koreksi kemencengan (terjadi akibat pengaruh

sudut inklinasi) dan koreksi rotasi bumi. Koreksi model transformasi berdasarkan

GCP menerapkan cara pandang empiris, dengan membandingkan posisi-posisi

antara obyek yang ada di citra dengan obyek yang sama pada data lapangan atau

peta sesuai dengan daerah liputan citra. Prinsip dasar dari metode tranformasi

berdasarkan GCP adalah dengan merelokasi seluruh piksel pada citra sehingga

membentuk konfigurasi piksel baru yang secara mental dipersepsikan sebagai

citra (Danoedoro, 2012).

Menurut Jensen (2005) GCP ialah suatu lokasi pada permukaan bumi yang

dapat diidentifikasi pada citra dan sekaligus dikenali posisinya pada peta. Akan

tetapi tidak menutup kemungkinan di gunakan sumber GCP lain, seperti koordinat

(d) (e) (f)

(a) (b) (c)

Page 22: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

22

lapangan yang diambil secara langsung menggunakan GPS. Dari pasangan titik

yang sama antara posisi citra dengan posisi rujukan (peta/ lapangan), digunakan

untuk membangun fungsi matematis yang menyatakan hubungan antara posisi

sembarang titik pada citra dengan titik obyek yang sama pada peta maupun

lapangan. Hasil dari koreksi akan mengikat koordinat pusat dari setiap piksel.

Kualitas dan kuantitas dari GCP sangat mempengaruhi hasil koreksi

geometrik. Kualitas GCP dipengaruhi oleh tingkat ketelitian user dalam

menentukan GCP. Obyek yang ideal dijadikan sebagai GCP adalah obyek buatan

manusia, karena obyek buatan manusia cenderung memiliki bentuk yang teratur

serta tidak berubah terpengaruh alam dan waktu. Kuantitas GCP dipengaruhi oleh

kondisi morfologi atau relief permukaan bumi (orde) yang akan dikoreksi serta

metode koreksi geometrik yang akan di gunakan. Jumlah orde GCP tidak terbatas,

tergantung kebutuhan terhadap tingkat keakuratan koreksi yang diinginkan,

kualitas geometrik citra yang akan dikoreksi, serta metode koreksi geometrik yang

akan digunakan. Persebaran posisi GCP adalah hal yang paling penting dalam

koreksi geometrik. Semakin berbukit atau bergunung maka sebaiknya jumlah

GCP diperbanyak dibanding jumlah GCP pada morfologi datar, begitu pula

sebaliknya. Terdapat formulasi sederhana untuk menentukan jumlah GCP

berdasarkan kondisi morfologi daerah, yaitu:

GCP = (1 + n)^2 , ............................... (1.2)

Keterangan :

n = Orde wilayah

Image-to-map rectification adalah metode koreksi geometrik citra yang

bekerja dengan cara memberikan sistem proyeksi dan sistem koordinat dari peta

dasar sebagai referensi atau base (peta dasar, data spasial yang memiliki referensi

koordinat lebih akurat, koordinat lapangan terukur menggunakan GPS) ke suatu

citra yang belum terkoreksi (warp). Metode koreksi ini mampu meminimalisir

distorsi geometrik akibat topographic relief displacement pada citra.

Image-to-image registration dilakukan dengan mengoreksi citra yang

sebelumnya telah memiliki aspek planimetric berupa sistem proyeksi, diberikan

Page 23: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

23

sistem koordinat baru dengan merujuk citra lain yang sudah terkoreksi. Tehnik ini

digunakan ketika kita tidak membutuhkan setiap piksel pada citra untuk

mempunyai koordinat x dan y seperti pada peta. Citra yang dapat dijadikan

rujukan atau referensi dalam metode koreksi ini disyaratkan merekam daerah yang

sama dan memiliki kesamaan dalam aspek resolusi spasial. Metode image-to-

image registration memiliki konsekuensi perambatan kesalahan yang lebih besar

dari pada metode image-to-map rectification, karena pada citra lain yang

digunakan sebagai rujukan dalam mengkoreksi sebenarnya telah memiliki error

geometrik (Jensen, 2005).

Pemilihan GCP image-to-map rectification

Pemilihan GCP image-to-image registration

Gambar 1. 13. Metode koreksi geometri (Jensen, 2005)

Proses warping atau relokasi posisi piksel citra adalah alogaritma untuk

menempatkan suatu piksel lama ke jaring-jaring proyeksi baru sesuai data

rujukan. Terdapat tiga metode warping, diantaranya seperti : RST, Polynomial dan

Page 24: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

24

Triangulation. Dalam interpolasi nilai spektral dikenal tiga alogaritma dimana

masing-masing memiliki memiliki efek yang berbeda satu dengan yang lain

terhadap kenampakan citra, yaitu : nearest neighbour, bi-linear dan cubic

convolution.

Alogaritma nearest neighbour bekerja dengan memperhatikan nilai piksel

terdekat yang telah tergeser ke posisi baru. Hasil metode nearest neighbour

apabila dibandingkan dengan kedua metode yang lain secara visual akan tampak

kurang begitu bagus, karena muncul kenampakan dengan batas yang tegas atau

tidak smoth. Walaupun demikian, metode ini jauh lebih baik dalam hal

mempertahankan keaslian informasi spektral dari pada metode interpolasi yang

lain. Metode bi-linear interpolation bekerja dengan mempertimbangkan keempat

nilai piksel yang berdekatan, untuk selanjutnya dirata-rata secara proporsional

sesuai dengan jaraknya terhadap posisi baru. Metode cubic convolution

menggunakan pripsip interpolasi yang hampir sama dengan alogaritma bi-linier,

hanya saja piksel terdekat yang dipertimbangkan lebih banyak yaitu sejumlah 16

piksel. Hasil interpolasi dengan metode bi-linear akan diperoleh kenampakan citra

yang tampak halus dan citra hasil interpolasi cubic convolution akan memiliki

kenampakan yang jauh lebih halus lagi (Danoedoro, 1996).

Gambar 1. 14. Metode interpolasi spektral koreksi gemoterik (Kerle, 2004 dalam kamal, 2010)

1.6.6.4.3. Akurasi Koreksi Geometri

Setiap koreksi geometrik akan membawa konsekuensi error (root mean

square error atau RMSE). Secara sederhana nilai RMSE diperoleh berdasarkan

selisih antara posisi sumbu x dan sumbu y dengan koordinat rujukan. Perhitungan

nilai RMS apabila dirumuskan adalah sebagai berikut :

Page 25: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

25

RMSE = 1

𝑛 Ệ − 𝐸𝑖

2𝑛𝑖=1 .................................................................. (1.3)

RMSN = 1

𝑛 Ĥ − 𝐻𝑖

2𝑛𝑖=1 *

1

𝑛 Ệ − 𝐸𝑖

2𝑛𝑖=1 *

1

𝑛 Ñ −𝑁𝑖 2𝑛𝑖=1 ... (1.4)

RMSEN = 1

𝑛 𝛿Ñ𝑖

2 − 𝛿𝐸𝑖2

2𝑛𝑖=1 *

1

𝑛 Ệ − 𝐸𝑖

2𝑛𝑖=1 .............................. (1.5)

Keterangan :

n = Jumlah total GCP yang digunakan dalam koreksi atau rektifikasi

Ei dan Hi = Berturut-turut koordinat X (timur, E) dan Y (utara, N) dari GCP ke-i,

yang dihitung dari fungsi transformasi f1 dan f2 yang digunakan dalam

rektifikasi

E dan N = Koordinat referensi terturut-turut untuk X (timur, E) dan Y (utara, N)

yang diperoleh dari peta topografi atau hasil pengukuran GPS

𝞭 = Rectification residual (selisih antara setiap pasangan titik koordinat

referensi dengan titik koordinat hasil estimasi)

1.6.7. Principal Component Analysis (PCA)

Principal component analysis (PCA) atau analisis komponen utama

merupakan tehnik rotasi yang diterapkan pada sistem koordinat multisaluran

sehingga menghasilkan citra baru dengan jumlah saluran yang lebih sedikit namun

dengan informasi yang bersifat lebih efisien, menghasilkan citra dengan saluran

yang saling tidak berkorelasi, serta menghilangkan noise. Jensen (2005)

menjelaskan bahwa PCA bekerja dengan merotasi sumbu data original sehingga

nilai kecerahannya terdistribusi ulang (terproyeksi) menjadi beberapa sumbu baru

atau dimensi baru, x1’ dan x

2’, hasil dari tansformasi PCA, PC1 (sumbu utama)

terletak pada sumbu baru dengan distribusi piksel yang paling besar variansinya,

sedangkan PC2 yang akan dibuat tegak lurus terhadap PC1 memiliki variansi data

terbesar kedua setelah PC1 dan seterusnya.

Page 26: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

26

Gambar 1. 15. Diagram proses transformasi Principal Component,

X1 dan X2 adalah band 1 dan band 2, 1 dan 2 adalah mean band 1 dan mean band 2

(Jensen, 2007)

Algoritma transformasi PCA dimulai dengan cara menghitung statistik antar

saluran (mean, standar deviasi, variasi, kavariansi dan korelasi antar saluran)

secara urut, dilanjutkan dengan memplotkannya pada matrik variansi-kovariansi,

terakhir adalah menhitung final data. Informasi mean dibutuhkan untuk dapat

menghitung variansi masing-masing saluan. Informasi variasi antar saluran

dibutuhkan untuk dapat menghitung nilai kovariansi antar saluran. Nilai variansi

dan kovariansi antar saluran dibutuhkan untuk dapat menghitung korelasi antar

saluran. Nilai kovariansi menunjukkan besar kecilnya hubungan antara saluran

satu dengan yang lain. Nilai kovariansi antara (CovB1,B2) akan selalu sama

dengan (CovB2,B1). Semakin tinggi nilainya maka hubungan antara kedua

saluran akan semakin tinggi, hal ini berarti informasi yang dimuat keduanya

terlalu mirip dan tidak dapat saling melengkapi satu sama lain. Korelasi pada

dasarnya memiliki fungsi sama dengan matrik kovariansi, yaitu menunjukan kuat

lemahnya hubungan. Perbedaanya hanya terletak pada julat nilai koefisien

hubungan yang disederhanakan, yaitu berkisar -1 hingga +1. Dimana nilai 1

berarti berhubungan kuat, nilai 0 berarti tidak berhubungan dan tanda positif

menyatakan hubungan yang searah, tanda negatif menyatakan hubungan yang

berkebalikan.

X2

Nilai Kecerahan

X1 1

Nil

ai K

ecer

ahan

2 x1’

X2’

Nila

i K

ecer

ahan

Nilai Kecerahan

X1

X2

1

2

PC2

X1

Nilai Kecerahan

2

1

PC1

X2

Nil

ai K

ecer

ahan

(c) (b) (a)

Page 27: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

27

Gambar 1. 16. Diagram alir PCA (Wicaksono, 2008)

𝑥𝑎 = 𝑋𝑎𝑛𝑎=1

𝑛 ...................................................... .(1.6)

𝑠𝐷𝑒𝑣 𝑎 = 𝑋𝑎−𝑋 𝑎

2𝑛𝑎=1

𝑛−1 ..................................... (1.7)

𝑉𝑎𝑟 𝑎 = (𝑋𝑎−𝑋 𝑎 )²𝑛𝑎=1

(𝑛−1) ........................................ (1.8)

𝐶𝑜𝑣 𝑎, 𝑏 = 𝑋𝑎−𝑋𝑎 (𝑋𝑏−𝑋𝑏 )𝑛𝑎=𝑏=1

(𝑛−1) ....................... (1.9)

𝑟 𝑎, 𝑏 =𝐶𝑜𝑣 (𝑎 ,𝑏)

𝑣𝑎𝑟 (𝑎) 𝑣𝑎𝑟 (𝑏) ................................ (1.10)

Keterangan :

𝑥𝑎 : Mean nilai piksel saluran a

𝑋𝑎 : Piksel pada saluran a

𝑋 b : Mean nilai piksel saluran b

𝑋𝑏 : Piksel pada saluran b

n : Jumlah piksel pada saluran a atau b

𝑠𝐷𝑒𝑣 𝑎 : Standar deviasi saluran a

var (a) : Variansi saluran a

𝑣𝑎𝑟 (𝑏) : Variansi saluran b

𝐶𝑜𝑣 𝑎, 𝑏 : Kovariansi antara saluran a dan saluran b

𝑟 𝑎, 𝑏 : Korelasi antara saluran a dan saluran b

Page 28: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

28

Tabel 1. 3. Matriks variansi-kovariansi 3 x 3 untuk 3 salauran spektral

Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3

Saluran 1 Var1 Cov1,2 Cov1,3

Saluran 2 Cov2,1 Var2 Cov2,3

Saluran 3 Cov3,1 Cov3,2 Var3

𝐴 − 𝜆 𝑉 = 0 ....................(1.11)

Keterengan :

𝐴 : Matriks korelasi,

λ : Eigenvalue dan

𝑉 : Eigenvektor.

Eigenvektor menunjukan arah dari sumbu–sumbu komponen utama yang

terbentuk dan bagaimana suatu kumpulan data dengan banyak dimensi

dihubungkan sepanjang vektor tersebut. Eigenvalue menunjukkan panjang dari

sumbu utama. Semakin besar nilai eigen maka semakin panjang sumbunya dan

informasi yang terkandung didalamnya akan semakin banyak. Komponen pertama

(PC1) merupakan komponen yang memiliki nilai eigen paling tinggi dan PC2

(komponen kedua) memiliki nilai eigen terbanyak kedua dan seterusnya semakin

kecil.

FinalData = RowFeatureVektor x RowDataAdjust ....................(1.12)

FinalData adalah nilai piksel baru hasil transformasi. RowFeatureVektor

adalah transposed dari matrik eigenvektor. Sedangkan RowDataAdjust adalah

transposed dari nilai piksel asli yang telah dinormalisasi (Wicaksono, 2008).

FinalData akan terdiri dari sejumlah saluran yang jumlahnya sesuai dengan

jumlah saluran asli yang dijadikan sebagai input, dimana setiap saluran memiliki

derajat kandungan informasi yang berbeda ditunjukan dengan besarnya nilai eigen

value. Menurut Jensen (2005), PC1 akan memiliki > 90% total informasi dan PC2

akan memiliki kandungan informasi 2-10%, dan seterusnya secara gradual PC ke-

n memiliki kandungan informasi yang semakin kecil atau bahkan hanya tersusun

atas kumpulan noise. Untuk mengetahui saluran yang paling berkontribusi dalam

besarnya kandungan informasi baik di PC1, PC2 dan PC3, dapat dilakukan

dengan menghitung Factor Loading.

Page 29: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

29

1.6.8. Band Arithmetic atau Aljabar Band

Band arithmetic atau aljabar band merupakan tehnik pengolahan citra digital

dengan menerapkan operasi matematis layaknya penjumlahan, pengurangan,

perkalian, pembagian, logaritma atau aritmatika lainnya yang diaplikasikan pada

band-band citra PJ. Band aritmatika bertujuan untuk memperoleh informasi baru

yang khas yang tidak dapat disajikan secara langsung oleh band asli. Terdapat

pertimbangan dalam pemilihan jenis aritmatika yang akan digunakan serta band

inputnya, namun tidak menutup kemungkinan aplikasi ini dilakukan dengan

faham induktif, artinya berangkat dari fikiran kosong untuk mendapatkan

kesimpulan baru yang bermanfaat.

Danoedoro (2012) menjelaskan beberapa prinsip dasar aljabar citra beserta

fungsi dari masing-masing, seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian dan

perkalian. Prinsip aljabar penjumlahan dan pengurangan hampir sama, dimana

baik penjumlahan maupun pengurangan akan menghasilkan nilai baru yang diberi

bobot. Pemberian bobot pada setiap saluran dan selanjutnya dibagi dengan jumlah

saluran masukan menghasilkan nilai rerata dan masih masuk di dalam julat asli.

Penjumlahan citra dengan efek mereratakan seluruh nilai pada seluruh saluran

akan membagi noise pada satu piksel dengan jumlah saluran yang ada (Liu dan

Mason (2009) dalam Danoedoro (2012). Selain itu, dapat pula menghasilkan citra

baru (rerata) yang mempunyai signal-to-noise ratio (nisbah sinyal dengan noise)

yang lebih tinggi. Sebaliknya, aljabar pengurangan dapat mengurangi signal-to-

noise ratio, sebab pengurangan mampu mengurangi fitur kenampakan bersama

pada kedua citra dan sekaligus mempertahankan noise acak pada kedua citra.

Akan tepati, pengurangan citra memiliki efek positif terkait peningkatan kontras

informasi yang bersifat intrinsik pada vegetasi dan tanah, seperti kandungan

klorofil dan mineral lempung. Perkalian citra mampu menghasilkan citra baru

dengan nilai yang jauh lebih besar dari nilai maksimum citra asli (masukan).

Pembagian citra mampu menghasilkan citra baru dengan tingkat gangguan

atmosfer yang relatif lebih ringan, mengurangi efek bayangan, penonjolan aspek

vegetasi dan litologi. Penerapan aljabar citra sebaiknya dilakukan pada citra yang

telah terkoreksi geometrik, paling tidak aspect ratio. Salah satu contoh aplikasi

Page 30: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

30

aljabar citra yang berkaitan dengan kajian oksida besi adalah iron oxide index atau

indeks oksida besi. Index terbesut dibangun dengan meratiokan saluran merah

dengan saluran biru.

1.6.9. Normalized Diverent Vegetation Index (NDVI)

Transformasi NDVI merupakan transformasi indeks vegetasi yang dibangun

dari persamaan matematis kombinasi antara penisbahan, pengurangan dan

penambahan saluran inframerah dekat dan saluran merah. Hasil dari tranformasi

NDVI adalah sebuah citra indeks dimana julat nilai pikselnya antara -1 sampai 1.

Nilai 1 berkorelasi dengan obyek vegetasi, nilai 0 berkorelasi dengan obyek tanah

atau obyek lain yang bermaterial dasar tanah dan nilai -1 berkorelasi dengan air

atau obyek air dan obyek yang mengandung air. Oleh karena itu dengan membagi

julat tersebut dapat diperoleh kondisi penutuplahan secara relatif, namun dengan

akurasi cukup kasar.

1.6.10. Tanah

Hanafiah (2007) mendefinisikan tanah sebagai bahan mineral yang tidak

padat (unconsolidated) terletak di permukaan bumi, yang telah dan akan tetap

mengalami perlakuan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan lingkungan

yang meliputi bahan induk, iklim (termasuk kelembaban dan suhu), organisme

(makro dan mikro) dan topografi pada suatu periode waktu tertentu. Setiap tanah

di muka bumi akan memiliki tiga fungsi dasar, yaitu fungsi fisik, kimia dan

biologi. Fungsi tanah secara fisik adalah sebagai tempat tumbuh-berkembangnya

perakaran, penopang tegak tumbuhnya tanaman dan pensuplai kebutuhan air dan

udara. Secara kimiawi, tanah berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara dan

nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial

seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, An, Fe, Mn, B, Cl, dan lain-lain). Secara biologis

tanah berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang berpartisipasi aktif dalam

penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi

tanaman (Hanafiah, 2007).

Page 31: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

31

1.6.10.1. Pelapukan Tanah

Pelapukan adalah sebuah proses akibat bekerjanya gaya dari alam baik yang

bersifat fisik maupun kimiawi, sehingga mampu merusak, memecah sampai

mentransformasikan bebatuan dan mineralnya menjadi material lepas-lepas

(regolit) di permukaan bumi. Terdapat dua jenis pelapukan yang mengakibatkan

terbentuknya regolit, yaitu pelapukan fisik dan pelapukan kimiawi. Pelapukan

fisik terjadi lebih dikontrol oleh perubahan suhu secara dranstis dan oleh aktivitas

air menerobos celah bebatuan. Sedangkan mekanisme pelapukan kimiawi

disebabkan oleh proses pelarutan (solubitasi), pelapisan permukaan oleh matel

hidrat (hidratasi), ionisasi air menjadi ion H+ dan OH

- (hidrolisasi), oksidasi,

reduksi, karbonisasi dan pengasaman (asidifikasi).

1.6.10.2. Pembentukan dan Perkembangan Tanah

Menurut Hanafiah (2007) terdapat lima 5 faktor yang bekerja secara integral

dan kontinyu baik melalui mekanisme fisik, kimiawi maupun biologis yang dapat

mempengaruhi pembentukan (genesis) dan perkembangan tanah (differensiasi

horizon), yaitu iklim, jasad hidup, bahan induk, topografi dan waktu. Iklim dan

cuaca berperan aktif dalam mengubah energi matahari menjadi energi mekanik

atau energi panas, energi ini secara langsung dapat berpengaruh terhadap genesis

dan diferensiasi tanah. Curah hujan berperan dalam kaitannya pelarutan dan

transport material tanah. Selain itu, air hujan juga berpengaruh dalam komposisi

kimiawi mineral-mineral penyusun tanah, kedalaman dan diverensiasi profil tanah

serta sifat fisik tanah. Temperatur berperan sebagai pemicu proses fisik dalam

pembentukan liat dari mineral-mineral induk tanah, keanekaragaman hayati yang

aktif dan kesempurnaan proses dekomposisi biomass tanah hingga

mineralisasinya. Tanah yang terbentuk pada temperatur rendah akan cenderung

berkadar biomass rendah dan mentah (fibrik). Tanah yang terbentuk pada

temperatur sedang akan memiliki jenis dan populasi mikrobia yang ideal sehingga

aktivitas dekomposisi biomass juga akan ideal. Tanah yang terbentuk pada

temperatur tinggi akan berkadar biomass rendah tapi matang (saprik).

Page 32: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

32

Jasad hidup berperan dalam genesis dan perkembangan profil tanah.

Vegetasi yang mati dan terdekomposisi oleh mikrobia heterotrofik akan berubah

menjadi bahan organik tanah (BOT). Jenis bahan induk akan mempengaruhi sifat

fisik dan kimia tanah. Terdapat tiga jenis batuan induk berdasarkan cara

pembentukannya, yaitu batuan beku (igneous rock), batuan sedimen

(sedimentrary rock) dan batuan metamorf (metamorf rock).

Topografi secara langsung akan berhubungan dengan jumlah air hujan yang

dapat meresap atau tersimpan oleh massa tanah, kedalaman air tanah, besarnya

erosi dan arah pergerakan air membawa bahan-bahan terlarut. Keempat faktor

tersebut dapat mempengaruhi genesis dan perkembangan tanah, seperti ketebalan

solum, kadar bahan organik tanah (BOT) pada horizon O, warna, temperatur,

perkembangan horizon, reaksi tanah, kadar garam mudah larut, jenis dan taraf

perkembangan lapisan padas serta sifat bahan induk tanah.

Waktu atau periode pembentukan tanah dapat berpengaruh kepada jenis dan

sifat-sifat tanah. Semakin lama waktu genesis dan perkembangan tanah maka akan

semakin lengkap diferensiasi horizon tanah tersebut.

Proses pekembangan tanah atau diferensiasi horizon dipengaruhi oleh air

hujan yang masuk kedalam tanah dengan air yang hilang melalui evapotranspirasi,

suplai O2 dan CO2 dari atmosfer dan bahan organik dari aktivitas biologis dengan

pelepasan CO2 dari proses dekomposisi bahan organik secara biologis, suplai N,

Cl dan S dari atmosfer dari air hujan dengan volatisasi (penguapan) N lewat

denitrifikasi, pertukaran antara bahan-bahan sedimen dalam aliran air permukaan

dengan bahan-bahan yang terangkut oleh erosi.

1.6.10.3. Tanah Merah

Sejak dimulainya survei tanah di Indonesia dikenal berbagai pemberian

nama pada jenis tanah merah yang ditemukan di seluruh tanah air, kecuali

beberapa pulau di Nusa Tenggara dan Maluku Selatan (Darmawijaya, 1990).

Beberapa nama jenis tanah merah tersebut seperti : rotterden (Vagelar, 1930);

lateritic soils (Mohr, 1993); Latosol, podzolik merah-kuning, mediteran merah

Page 33: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

33

kuning dan lateritik (Soepraptohardjo, 1961). Terakhir sistem penamaan tanah

merah yang diikuti Indoneisa adalah sistem taxonomi USDA.

Berdasarkan genesanya tanah merah dapat terbentuk dari batuan induk

karbonat dan juga dapat pula dari sisa aktivitas vulkanisme. Berdasarkan sistem

klasifikasi tanah menurut Soepraptohardjo (1961) tanah merah yang terbentuk dari

sisa aktivitas vulkanisme adalah tanah latosol dan tanah laterik. Tanah podzolik

merah kuning dan mediteran merah kuning yang ditemukan di Indonesia berasal

dari bahan induk bermaterial karbonat dan mengandung silika. Seperti halnya

tanah merah yang ada di Gunungsewu menurut Soepraptohardjo (1958) dapat

digolongkan ke dalam jenis tanah mediteran merah, dalam istilah yang lebih

umum dikenal dengan istilah tanah terra rosa.

Pembentukan tanah terra rossa oleh Zippe (1953) dalam Darmawijaya

(1990) dijelaskan sebagai hasil pelapukan batu gamping. Vinasse de Regny (1964)

dalam Darmawijaya (1990) menambahkan suatu teori yang menyatakan adanya

pengendapan besi dari larutan alkalis yang bersentuhan dengan batu gamping

diperkaya dengan besi menyebabkan warna merah pada tanah terra rossa.

1.6.10.4. Survei Tanah

Survei tanah ialah serangkaian kegiatan untuk mendeskripsikan karakteristik

tanah di suatu daerah, mengklasifikasikannya menurut sistem klasifikasi baku dan

memplot batas tanah pada peta serta membuat prediksi tentang sifat tanah (USDA,

2010). Suvei tanah merupakan kegiatan yang kompleks, diperlukan persiapan dan

pemahaman yang matang sebelum memulainya. Mulai dari pengenalan bentang

lahan, berbagai faktor pembentuk tanah, kemampuan mendeskripsikan

karakteristik masing-masing profil tanah dan hingga memplotkan kesimpulannya

pada peta tanah. Dalam sebuah peta tanah memuat tiga informasi dasar, yaitu

satuan tanah, satuan bahan induk dan satuan wilayah. Kedetilan satuan tanah

dapat bervariasi tergantung dari skala peta dan variasi dilapangan.

Dalam manajemen tanah di Amerika Serikat dikenal suatu konsep yang

disebut dengan pedon dan pelipedon. Pedon adalah sereal tanah yang mempunyai

karakter dan ciri yang relatif homogen. Suatu kawasan yang memiliki banyak

Page 34: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

34

pedon yang berbeda disebut dengan pelipedon. Satuan terkecil dari pedon adalah

seluas 1–10 m2 (tergantung variabilitas tanah). Darmawijaya (1990) menjelaskan

bahwa pedon adalah tubuh tanah asli berdimensi tiga berupa profil tanah yang

memperlihatkan semua horizon tanah yang ada dan saling keterkaitannya pada

luasan 1–10 m2 dengan batas bawah berupa bidang permukaan yang kabur antara

“tanah” dan “non tanah”. Terdapat tiga tahapan utama dalam survei tanah, yaitu

persiapan, kerja lapangan dan penyelesaian (Darmawiyaya, 1990),

1. Tahap Persiapan Survei Tanah

Tahap persiapan survei meliputi pemahaman sistematika survei, penentuan

sistem klasifikasi tanah, membuat rencana sampel tanah, dan persiapan

bahan dan alat, meliputi : peta topografi daerah survei, bor tanah, kompas

geologi, altimeter, kantong sampel tanah, pH meter, buku munsell soil color

chart, pisau, pita ukur, cangkul, sekop garpu tanah, kertas label dan daftar

chek list sampel tanah.

2. Tahap Kerja Lapangan

Dalam tahap kerja lapangan terdapat beberapa kegiatan utama, yaitu

orientasi lapangan, pemboran, penyelidikan profil tanah dan data lahan.

Dalam memilih lokasi pemboran sebaiknya dipilih dimana penggunaan

lahannya masih alami. Hasil pemboran tanah dianalisis secara relatif

dilapangan dan di bawa ke laboratorium tanah untuk diuji secara kuantitatif.

Pedoman dalam memilih lokasi pengamatan profil tanah harus mengikuti

syarat, seperti : benar-benar mewakili satuan tanah, baru (belum dipengaruhi

faktor luar), sampel berada ditengah area satuan tanah atau jauh dari batas

seri tanah, serta mudah dijangkau. Informasi tambahan yang harus selalu

dicatat selain kondisi tanah pada intinya adalah kondisi topografi wilayah,

iklim, vegetasi, dan tindakan pengolahan manusia dalam mengolah tanah

tersebut.

3. Tahap Penyelesaian

Sampel yang telah diambil dilapangan diuji di laboratorium hingga akhirnya

diperoleh informasi yang bersifat kuantitatif terkait sifat tanah (fisik dan

kimia). Hasil dari sampel uji tanah yang sifatnya kuantitatif diintegrasikan

Page 35: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

35

dengan data deskripsi tanah di lapangan setiap horizon tanah untuk

mencapai kesimpulan mengenai klasifikasi seri/ jenis tanah. Dalam

pengklasifikasian karakteristik tanah menjadi jenis tanah saat ini mengikuti

sistem klasifikasi soil taxonomy USDA (2011). Tahap akhir dari survei

tanah adalah memplotkan hasil survei tanah kedalam peta tanah. Pemplotan

data hasil sampel di lakukan pada setiap satuan tanah, sehingga setiap

bagian permukaan bumi akan memiliki informasi tanah, kecuali bagian

tubuh air. Layaknya sebuah peta pada umumnya, hasil akhir peta tanah perlu

dideseminasikan ke kalangan ahli tanah dan praktisi. Dengan maksud

memberikan hasil temuan dari survei tanah dan apabila terdapat kesalahan

dapat segera direvisi.

1.6.11. Karst

Karst berasal dari kata kras (bahasa Jerman) berarti lahan gersang berbatu.

Ford dan Williams (1989) mendefinisikan karst sebagai medan dengan kondisi

hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan mempunyai

porositas sekunder yang berkembang baik. Achmad (2011) menambahkan bahwa

karst ialah daerah batuan karbonat (CaCO3 dan MgCO3) atau campuran dari

keduanya, yang telah mengalami pelarutan oleh CO2 di atmosfer malalui air hujan,

maupun CO2 iogenetik yang berasal dari sisa tanaman atau humus.

Menurut Esteban and Klappa (1983), karst dicirikan oleh kenampakan

permukaan yang berupa lavies, dolina dan poljes, sedangkan kenampakan bawah

permukaan dalam bentuk pori, gua, vug dan saluran di dalam gua, terdapat

speleotem dalam bentuk stalagtit, stalagmit, flowstone, rimstone, giobulit, cave

pearis/ mutiara gua, lily pad, helictit dan moon-like, serta adanya collapse struktur

runtuhan sebagai akibat hilangnya bagian bawah tubuh batuan. Keberadaan karst

tidak hanya terjadi di daerah berbatuan karbonat, namun terdapat pula pada batuan

lain yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder (kekar dan sesar

intensif), seperti batuan gipsum dan batugaram.

Page 36: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

36

1.6.11.1. Karstsifikasi

Pembentukan karst atau disebut dengan karstsifikasi dikontrol oleh proses

solusional atau pelarutan. Menurut Haryono dan Aji (2004) terdapat dua faktor

yang mendukung karstsifikasi, yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong.

Faktor pengontrol karstsifikasi ialah faktor yang menentukan proses karstsifikasi

berlangsung atau tidak, sendangkan faktor pendorong karstsifikasi ialah faktor

yang menentukan kecepatan dan kesempurnaan proses karstifikasi. Faktor

pengontrol karsifikasi terdiri dari kondisi litologi (batuan mudah larut, kompak,

tebal, dan mempunyai banyak rekahan), curah hujan yang cukup (>250

mm/tahun) dan batuan tersingkap di ketinggian yang memungkinkan

perkembangan sirkulasi air/drainase secara vertikal. Faktor pendorong karsifikasi

ialah temperatur, penutupan hutan, curah hujan.

1.6.11.2. Bentukan Karst

Karren adalah lubang kecil pada perpotongan celah-celah alur akibat

pelarutan oleh air hujan. Karren dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok,

yaitu bentuk membulat, bentuk memanjang yang terkontrol oleh kekar, bentuk

linier yang terkontrol proses hidrolik dan bentuk poligonal Karren

Menurut Ford dan williams (1996), morfologi karst makro terdiri dari

bentukan negatif dan positif. Contoh bentukan makro negatif adalah doline,

cockpit, uvala, polje atau ponor, swallow hole, vertical shaft , collapse atau

runtuhan Cockpit, dry valley dan spring, sedangkan contoh bentukan positif

berupa kegel, mogote atau pinacle. Doline merupakan cekungan tertutup

berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran beberapa meter hingga lebih kurang

satu kilometer (Ford dan Williams, 1992). Cockpit merupakan doline di daerah

tropis yang berbentuk menyerupai bintang. Collapse disebut pula dengan runtuhan

Cockpit, merupakan bentuk lembah yang ada di dalam cone karst daerah tropik

yang lembab. Uvala merupakan cekungan karst yang luas, dasarnya lebar dan

tidak rata (Cjivic, 1901). Polje merupakan bentuklahan karst yang mempunyai

elemen : cekungan yang lebar, dasar yang rata, drainase karstik, bentuk

Page 37: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

37

memanjang yang sejajar dengan struktur lokal, dasar polje mempunyai lapisan

batuan tersier (Cvijic, 1985). Swallow hole merupakan lokasi yang mana aliran

permukaan seluruhnya atau sebagian mulai menjadi aliran bawah permukaan yang

terdapat pada batugamping. Ponor merupakan Swallow hole yang terdapat pada

polje atau lubang yang mempunyai aliran vertikal (kebawah tanah). Sink hole

merupakan bentuk depresi berbentuk mangkuk dengan diameter kecil sampai

1000 m lebih (White, 1988). Dry valley merupakan lembah dengan kondisi tidak

ada aliran kecuali setelah adanya pencairan es yang cepat (G.T. Warwick, 1976).

Mogote atau pinacle bukit karst yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi

terpisah satu sama lain

1.7. Deskripsi Wilayah

1.7.1. Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan topografi Karst Gunungsewu yang

secara administrasi berada di Kabupaten Gunungkidul. Akan tetapi tidak semua

kawasan topografi karst Gunungsewu dijadikan wilayah kajian. Pemilihan daerah

kajian didasarkan pada faktor (1) penginderaan jauh, yaitu relatif minim dari

tutupan awan dan vegetasi, serta kesamaan areal liputan baik pada ALOS

AVNIR-2 maupun Landsat TM, (2) kondisi fisik wilayah yang mencakup variasi

warna tanah, morfologi wilayah, penggunaan lahan, penutup lahan dan

aksesbilitas. Berdasarkan kriteria tersebut ditetapkan bahwa wilayah kajian

meliputi sebagian Kecamatan Paliyan, Wonosari, Saptosari, Tanjungsari, Semanu,

Tepus dan Pongjong.

Secara geografis daerah penelitian terletak antara 7059’44.34” LS -

805’47.37” LS dan 110

031’24.98”BT - 110

041’56.83”BT atau dalam sistem

koordinat UTM terletak antara 447500.967 mT - 466850.972 mT dan

9116151.966 mU - 9105023.829 mU. Pada dasarnya batas daerah penelitian

bukan merupakan batas administrasi, melainkan piksel-piksel yang masuk pada

topografi Karst Gunungsewu. Namun demikian untuk mempermudah dalam

menunjukan batas daerah penelitian maka digunakan batas administrasi, yaitu :

Page 38: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

38

Sebelah utara : Kecamatan Playen, Kecamatan Gendangsari, Kecamatan

Nglipar, Kecamatan Karangmojo dan Kecamatan Semin

Sebelah timur : Kecamatan Eromoko, Kecamatan Pracimantoro (DIY)

dan Kecamatan Paranggupito (Jawa Tengah)

Sebelah selatan : Samudera Hindia

Sebelah barat : Kecamatan Panggang dan Kecamatan Playen (DIY)

Berdasarkan analisis peta RBI skala 1:25.000 tahun 1995 lembar Semanu

dan Karangduwet luas daerah penelitian keseluruhannya adalah 14163,8468 Ha.

Luas masing-masing kecamatan di daerah kajian disajikan pada Tabel 1.4 dan

Peta Administrasi Lokasi Daerah Penelitian dapat di lihat pada Gambar 1.17.

Page 39: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

39

Gambar 1. 17. Peta administrasi daerah penelitian

Page 40: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

40

Tabel 1. 4. Luas Wilayah Administrasi Daerah Penelitian

No Kabupaten Kecamatan Luas (Ha)

1 Gunungkidul Wonosari 1392,7632

2 Gunungkidul Ponjong 59,4894

3 Gunungkidul Semanu 4263,1952

4 Gunungkidul Paliyan 1310,1622

5 Gunungkidul Sapto Sari 1429,1529

6 Gunungkidul Tanjungsari 3782,6902

7 Gunungkidul Tepus 1926,3937 Sumber : Analisis Peta RBI skala 1:25.000 tahun 1995

lembar Semanu dan Karangduwet (2012)

1.7.2. Kondisi Bentanglahan Daerah Penelitian

Secara umum bentuk fisiografi atau morfologi wilayah daerah penelitian

adalah berbukit dengan ketinggian antara 100 – 350 mdpal. Bukit-bukit yang ada

di daerah penelitian memiliki bentuk yang khas, yaitu tumpul, tidak terjal dan

seolah apabila di lihat secara vertikal dari udara tampak seperti mangkok yang

terbalik, memiliki diameter 25 - 300 m dan tinggi berkisar dari 30 - 200 m. Bukit

semacam ini diistilahkan dengan conical hills. Beberapa ahli karst menyebutkan

bahwa conical hills merupakan bentukan positif yang jarang ditemukan di

kawasan karst lain di seluruh dunia kecuali di daerah tropis dan karst tipe kagel.

Doline merupakan bentukan negatif yang banyak ditemukan di atas permukaan

tanah daerah kajian. Bagi masyarakat lokal doline tidak hanya sekedar berarti

bentukan negatif atau cekungan tertutup berbentuk bulat atau lonjong, namun

merupakan areal tampungan air saat musim penghujan. Doline yang terisi air

hujan disebut dengan danau doline. Danau doline sangatlah berarti bagi

masyarakat Gunungsewu mengingat pada kondisi kemarau cukup sulit mencari

keberadaan air permukaan di wilayah yang terkenal tandus ini. Arti penting

lainnya dari doline adalah menjadi areal yang relatif potensial untuk diolah

menjadi lahan budidaya, oleh karena tanahnya yang relatif tebal.

Page 41: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

41

Gambar 1. 18. Danau doline (kiri) di sekitar sampel 19 dan Conical hill di sekitar sampel 4 (kanan)

(Foto lapangan, 2012)

Kondisi hidrologi permukaan daerah penelitian cukup unik apabila

dibandingkan dengan bentuklahan lainnya. Selain danau doline terdapat pula

sungai dengan pola aliran multibasinal (Gambar 1.18). Pola aliran multibasinal

memang umum ditemukan pada kawasan karst, bahkan dapat dijadikan kunci

interpretasi bentanglahan karst. Pola aliran multibasinal dapat terbentuk oleh

karena adanya lubang dengan aliran vertikal atau disebut dengan ponor. Ponor

menyebabkan air yang semula mengalir dalam bentuk aliran permukaan seolah-

olah alirannya mehilang ditelan bumi. Kondisi hidrologi bawah permukaan daerah

kajian dilewati oleh sistem sungai bawah tanah (disingkat SBT) Bribin. Menurut

hasil inventarisasi oleh MacDonalds and Partners (1984), SBT bribin memiliki

debit cukup melimpah kurang lebih 1500 lt/dt. Sejak diketahuinya potensi air

tanah yang sangat melimpah tersebut dilakukan usaha untuk menaikan air tanah

sehingga dapat dialirkan ke wilayah-wilayah yang kesulitan air di Gunungkidul.

Hingga akhirnya usaha tersebut terealisasi sekarang.

Gambar 1. 19. Pola aliran multibasinal (garis berwarna biru) dan Ponor (di lingkari kuning)

di Kecamatan Paliyan,

(ALOS AVNIR-2, 2009)

Page 42: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

42

Berdasarkan analisis terhadap Peta Geologi Bersistem Indonesia lembar

1408-3 (Surakarta) dan 1407-6 (Giritontro) skala 1:100.000 buatan tahun 1992

oleh Surono, B. Toha dan I. Sudarno diketahui bahwa daerah kajian penelitian

berada pada Formasi Wonosari – Punung (Tmw1). Formasi ini tersusun atas batu

gamping, batu gamping napalan-tufan, batu gamping kolongmerat, batugamping

tufan dan batu lanau.

Tabel 1. 5. Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan menurut Bulan di Kabupaten Gunungkidul

Tahun 2004 – 2009

Tahun Curah Hujan (mm/ tahun) Lama Hari Hujan

2004 1.382,1 75

2005 3.827,1 88

2006 1.523,3 109

2007 1.720,86 90

2008 1.602,74 87

2009 1.175,56 64

Sumber : Gunungkidul dalam angka tahun 2010

Kondisi klimatologi daerah kajian menurut data pada website resmi

Kabupaten Gunungkidul (www.gunungkidulkab.go.id) termasuk daerah beriklim

tropis, begitu pula dengan wilayah Gunungkidul yang lainnya. Curah hujan rata-

rata yang jatuh pada Tahun 2009 di wilayah Gunungkidul sebesar 1.175,56

mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 64 hari/ tahun (Gunungkidul dalam

angka, 2010). Kondisi ini apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya

relatif lebih kecil (Table 3.2). Secara umum lama periode bulan basah berkisar 7

bulan dalam satu tahun, sedangkan bulan kering berkisar 5 bulan. Suhu udara rata-

rata harian berkisar 27,7° C. Suhu minimum 23,2°C dan suhu maksimum 32,4°C.

Kelembaban nisbi berkisar antara 80 % - 85 %. Dimana kelembaban tidak terlalu

dipengaruhi oleh tinggi tempat, namun lebih dipengaruhi oleh musim.

Page 43: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

43

Tabel 1. 6. Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan menurut Kecamatan dan Bulan

di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2009

Kecamatan Curah Hujan (mm/ bulan)

Jan. Feb. Mar. April Mei Juni Juli Agust. Sept. Okt. Nov. Des.

Paliyan 268 382 265 86 119 36 0 0 0 17 103 109

Saptosari 254 331 50 170 127 26 6 0 0 28 55 75

Tepus 455 743 145 193 297 161 0 0 0 0 105 210

Tanjungsari 421 365 188 190 94 57 2 0 0 19 22 79

Semanu - - - - - - - - - - - -

Ponjong 281 291 192 123 80 18 0 0 0 28 0 232

Wonosari 126 259 128 255 49 4 0 0 0 21 173 219

ket : “ – “ : tidak ada data atau data rusak

Sumber : Gunungkidul dalam angka tahun 2010

Berdasarkan analisis pada peta RBI lembar Semanu dan Karangduwet skala

1:25.000 tahun 1995 diketahui penggunaanlahan di daerah kajian di dominasi oleh

tegalan, kurang lebih seluas 8518,26 Ha atau 60,141 % dari keseluruhan luas

daerah kajian. Selebihnya adalah belukar (878,76 ha), kebun campur (598,1 Ha),

rumput atau tanah kosong (6,29 Ha), sawah irigasi (218,17 Ha), sawah tanah

hujan (2678,47 Ha), danau (33,14 Ha) dan permukiman (1232,69 Ha). Keunikan

dari daerah kajian dan wilayah lain yang ada di Gunungsewu adalah perubahan

penggunaan lahan terjadi sangat lambat. Analisis yang dilakukan dengan

menggunakan peta RBI tahun 1995 ternyata tidak berbeda jauh dengan apa yang

di temukan baik dari interpretasi visual citra ALOS AVNIR-2 perekaman tahun

2009 maupun dari survey lapangan tahun 2012. Lebih lanjut, baik di daerah kajian

dan di Gunungkidul pada umumnya penggunaan lahan bersifat dinamis

dipengaruhi musim. Pada kondisi penghujan masyarakat akan relatif memiliki

pertanian lahan basah dan pada musim kemarau akan beralih ke pertanian lahan

kering. Vegetasi yang dapat tumbuh baik di daerah kajian adalah jenis yang tidak

membutuhkan konsumsi air relatif banyak dan juga memiliki akar dengan

kemampuan penetrasi ke dalam tanah cukup baik. Terkait kondisi pemukiman,

terdapat dua pola permukiman baik di daerah kajian khususnya maupun di

Gunungkidul pada umumnya, yaitu mengelompok mendekati daerah datar atau

dekat dengan sumber air dan linier mengikuti jalan.

Page 44: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

44

Gambar 1. 20. Kondisi penggunaan lahan pada citra ALOS AVNIR-2 komposit 341 (kiri) dan

Peta RBI (kiri), di sekitar Desa Giring dan sekitarnya;

(ALOS AVNIR-2 tahun 2009 dan Peta RBI Lembar Karangduwet skala 1:25.000 tahun 1995)

Dalam lingkungan topografi karst umumnya terbentuk tanah-tanah terra

rossa dan tanah redzina (M. Nurcholis dkk, 2003). Tanah terra rossa dalam

sistem klasifikasi Supraptohardjo (1961) di sebut dengan jenis tanah mediteran

merah kuning. Tanah terra rossa ini di Indonesia telah lanjut mengalami

pembentukan dengan cara lixiviasi dan kalsifikasi lemah, bertekstur geluh

lempungan, konsistensi lekat, kadar bahan organik rendah, reaksi alkalis, derajat

penjenuhan basa tinggi, horizon B berwarna kuning merah, mengandung

konkresi-konkresi kapur-kapur dan besi, horizon eluvial umumnya tererosi,

berasal dari lapukan batu kapur (Darmawijaya, 1990). Tanah redzina atau disebut

dengan tanah karbonat, kaya humus di topografi karst berkembang pada lereng

yang curam dengan kemiringan 60-75%, kaya akan kerakal, tekstur geluh pasiran,

struktur granuler, pH berkisar 6,5 – 7,8 tergantung pada posisi profil dan reaksi

CaCO3.

1.8. Penelitian Sebelumnya Terkait dengan Penelitian ini

Penelitian mengenai oksida besi dengan memanfaatkan citra PJ telah banyak

dilakukan dengan didasari berbagai latar belakang, lokasi penelitian, metode dan

jenis citra yang berbeda-beda. Penelitian terbaru adalah yang dilakukan oleh

Rossel et al., (2010) dengan judul “Mapping iron oxides and the color Of

Australian soil using visible–near‐infrared reflectance spectra”. Walaupun

penelitian ini tidak memanfaatkan data PJ dalam metodeloginya, namun prinsip

Penggunaan Lahan

Sawah Irigasi

Sawah Tadah Hujan

Kebun/ Perkebunan

Hutan

Semak Belukar

Tegalan/ Ladang

Rumput/ Tanah Kosong

Hutan Rawa

(450633 mT, 9112597 mU)

Page 45: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

45

dasar interaksi antara gelombang elektromagnetik digunakan guna mengukur

kelimpahan oksida besi (hematite dan geothite) dalam tanah di Australia melalui

panjang gelombang tampak - inframerah dekat, membandingkan hasil pengukuran

warna tanah dengan kandungan oksida besi dan menyajikan gambaran distribusi

kandungan hematite dan geotide dalam tanah. Dalam proses perolehan data

lapangan Rossel et al., (2010) menggunakan spektrometer visible – near infrared

(julat panjang gelombang 350 – 2500 nm). Spektrometer bermanfaat dalam

perekaman pola pantulan spektral tanah yang diindikasikan telah terpengaruh

kandungan oksida besi, selain itu spektrometer juga dimanfaatkan dalam

mendefinisikan warna tanah dalam susunan warna RGB untuk selanjutnya

dikonversi menjadi derajat hue, value dan chroma munsell soil chart. Masing-

masing warna tanah di bandingkan dengan peta NIODI (normalized iron oxide

difference index). NIODI merupakan index yang dibangun dari ratio saluran

dengan panjang gelombang 880nm dengan saluran dengan panjang gelombang

990nm. Hasil dari penelitian ini adalah panjang gelombang tampak – inframerah

dekat dapat digunakan untuk mengestimasi kelimpahan hematite dan goethite di

permukaan tanah Australia, selain itu dapat pula digunakan untuk mengukur

warna tanah, NIODI sangat bermanfaat untuk menunjukan batas dari hematite dan

goethite, geostatistik dapat digunakan untuk memetakan kandungan oksida besi di

Australia.

White et al., (1997) menerapkan tehnik linear mixture model terhadap citra

Landsat TM untuk memetakan kandungan oksida besi di gurun pasir Namid,

Namibia. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa penerapan tehnik linear

mixture model terhadap citra Landsat TM dapat digunakan untuk memetakan

kandungan oksida besi di gurun pasir Namid. Hal ini ditandai dengan besarnya

hubungan antara input data PJ yang digunakan dengan kandungan oksida besi

dilapangan, yaitu r sebesar = 0,91. Secara teknis penerapan Linier mixture model

menggunakan input endmember yang diambil dari diagram scatterplot dari

saluran PC4 dan PC3, yang dibangun dari 6 saluran citra Landsat TM. Kurva

tersebut mampu menunjukan adanya pola pengelompokan piksel murni dari tiga

mineral utama yang ada di daerah kajian, yaitu quartz, oksida besi dan karbonat.

Page 46: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

46

Peta kandungan oksida besi yang dihasilkan menunjukan area dengan kandungan

oksida besi tertinggi adalah di bagian timur (menjorok ke darat) dan area dengan

kandungan oksida besi terendah ada di bagian barat (pantai).

Irfan (2009) melakukan penelitian dengan tema identifikasi kandungan

oksida besi menggunakan metode Crosta (dengan modifikasi) pada permukaan

lahan terbuka menggunakan citra Landsat 7 ETM+, studi kasus sebagian

kabupaten Rembang dan sekitarnya. Hasilnya aplikasi metode Crosta (dengan

modifikasi), ditambah kombinasi saluran, serta analisis korelasi berbagai citra PC

terhadap citra Landsat 7 ETM+ dapat diterapkan untuk identifikasi kandungan

oksida besi daerah kajian. Hanya saja kajian yang diterapkan oleh Irfan (2009)

masih terbatas pada lahan kosong baik itu masih berupa batuan maupun tanah.

Pada kondisi dimana tertutup vegetasi identifikasi tidak dilakukan. Dengan

memanfaatkan bentuklahan sebagai satuan medan diketahui metode Crosta dapat

digunakan untuk identifikasi kandungan oksida besi baik tersingkap maupun

tertransportasi dengan overall accuracy = 66,67% (kappa = 0,54). Dari hasil

penelitian diketahui citra PC3 kombinasi 357 (landsat 7 ETM+) baik untuk

identifikasi kandungan oksida besi pada lahan terbuka untuk zona berformasi

batuan komplek (r = -0.522) dan non vulkan (r = - 0,452) dan PC 2 kombinasi 157

baik untuk zona berformasi batuan vulkan (r = 0,630).

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah hampir sama dengan

beberapa penelitian sebelumnya. Dimana data yang digunakan adalah citra

multispketral resolusi sedang, yaitu ALOS AVNIR-2 (20 Juni 2009) dan Landsat

TM (31 Juli 2009). Metode yang digunakan adalah pemodelan empiris dengan

menerapkan tehnik regresi linier sederhana yang menghubungkan antara

kandungan oksida besi dilapangan dengan nilai digital dari citra PJ (meliputi :

citra asli, aljabar band dan PC band). Perbedaan antara penelitian ini dengan

penelitian lain yang sejenis adalah pada daerah kajian. White et al., (1997)

mengkaji kandungan oksida besi di gurun pasir Namid, Irfan (2009) mengkaji

kandungan oksida besi di pesisir kabupaten Rembang dan Rossel et al., (2010)

mengkaji kandungan oksida besi di seluruh benua Australia. Sedangkan daerah

Page 47: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

47

kajian peneliti ini adalah topografi karst Gunungsewu, sehingga dari sisi

geomorfologi relatif berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya

1.9. Kerangka Pemikiran

Tanah merupakan salah satu komponen dari tiga penutup lahan utama

dipermukaan bumi, selain vegetasi dan air. Setiap komponen penutup lahan utama

memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam merespon energi elektromagnetik

yang lolos dari jendela atmosfer yang datang kepadanya. Bentuk respon dapat

berupa diserap, ditransmisikan dan dipantulkan. Fungsi tersebut tidak hanya

dipengaruhi jenis, namun juga struktur (karakteristik) dan kondisi masing-masing

komponen penutuplahan. Dampaknya akan terbentuk suatu pola variasi respon

spektral (energi elektromagnetik) baik antar jenis komponen pentup lahan utama

maupun masing-masing komponen penutup lahan itu sendiri.

Khusus pada tanah, saat datang energi elektromagnetik hingga sampai ke

permukaan tanah akan terjadi 2 bentuk respon, yaitu diserap dan dipantulkan

tanpa ada yang ditransmisikan (Hoffer, 1976). Secara teoritis dalam ilmu tanah

dikenal 3 komponen karakteristik tanah, yaitu fisik, kimia dan biologi, akan tetapi

hanya sifat fisik dan kimia saja yang mampu mempengeruhi baik serapan maupun

pantulan energi elektromagnetik (Shepherd and Walsh, 2002). Hoffer (1976)

menyebutkan terdapat enam sifat tanah (fisik dan kimia) yang mampu

mempengaruhi respon spektral tanah dan salah satunya adalah oksida besi, selain

itu adalah kelembaban tanah permukaan (lengas), bahan organik tanah (BOT),

tekstur tanah (prosentase lempung, debu dan pasir) serta kekasaran permukaan

tanah. Baik sifat kimia maupun fisik tanah tersebut dapat mempengaruhi respon

spektral mulai saat energi mengenai permukaan tanah (langsung dipantulkan

membentuk pemantulan sempurna), setelah berinteraksi dengan material dari

lapisan tanah paling atas, serta setelah diserap dan berinteraksi dengan susunan

internal tanah pada kedalaman tertentu (Jensen, 2007).

Dalam perjalanan energi baik dalam bentuk pantulan (reflectance) maupun

pancaran (emittance) setelah berinteraksi dengan karakteristik fisik dan kimia

tanah sebelum sampai ke sensor akan selalu melewati lapisan atmosfer.

Page 48: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

48

Konsekuensinya, selalu ada kemungkinan untuk terjadi pelemahan dan penguatan

energi akibat berinteraksi dengan partikel-partikel di atmosfer. Oleh karena itu

pada dasarnya besarnya respon spektral tanah yang direkam oleh sensor PJ adalah

tidak hanya berasal dari energi yang dipantulkan dan dipancarkan dari obyek itu

sendiri, namun juga besarnya energi radiance yang telah berinteraksi dengan

partikel-partikel di atmosfer. Seperti konsep yang dikemukakan oleh Mather

(2004) dalam Danoedoro (2012) bahwa terdapat lima faktor yang berpengaruh

terhadap sinyal yang diterima dari obyek oleh detektor pada sensor, yaitu :

pantulan obyek itu sendiri, bentuk dan besaran interaksi atmosfer, kemiringan dan

arah hadap lereng daerah liputan terhadap azimut matahari, sudut pandang sensor,

sudut ketinggian matahari.

Kedetelan respon spektral (tanah) yang mampu terekam oleh PJ sangat

dipengaruhi resolusi (resolving power). Baik meliputi resolusi spasial, spektral,

radiometrik dan temporal. Dalam lingkup kajian tanah, resolusi spasial

berhubungan dengan prosentase keberadaan pure pixel dan mixed pixel tanah.

Pure pixel merupakan suatu piksel yang tersusun atas satu informasi spektral,

akibat kondisi obyek yang homogen. Apabila muncul variasi antara masing-

masing pure pixsel tanah, maka hal tersebut adalah pengaruh dari variasi kondisi

struktur atau karaktersitik tanah itu sendiri, yaitu sifat fisik dan kimia tanah. Akan

tetapi apabila hal sebaliknya yang terjadi, yaitu semakin banyak mixed pixel

terutama akibat bervariasinya kondisi penutup lahan maka akan sulit dijelaskan

mengenai karakteristik tanah penyusunnya termasuk kandungan oksida besi,

karena bercampur dengan informasi spektral penutup lahan yang lain. Resolusi

spektral berhubungan dengan kemampuan sensor dalam membedakan variasi

obyek berdasarkan variasi pantulan dan pancaran spektralnya. Semakin banyak

kelengkapan panjang gelombang elektromagnetik serta dengan julat yang sempit,

maka semakin tinggi kemampuan sensor tersebut dalam merekam variasi obyek,

termasuk kandungan oksida besi. Resolusi radiometrik berhubungan dengan

kemampuan sensor dalam merekam atau mencatat variasi respon spektral yang

sampai ke sensor menjadi kumpulan angka digital yang bersifat biner (0 dan 1)

dengan cara mengkodingkannya (bit koding). Semakin tinggi bit koding maka

Page 49: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

49

semakin banyak variasi respon spektral yang dapat direkam oleh sensor dan

diwujudkan dalam variasi nilai digital (bit). Sedangkan resolusi temporal

berhubungan dengan periode ulang perekaman suatu sistem sensor PJ, satuannya

dapat hari maupun jam. Semakin tinggi resolusi temporal maka semakin

mendukung dalam mengakuisisi dinamika perubahan kondisi bentangalam,

termasuk tanah. Hal ini sangat penting karena tanah bersifat dinamis. Oleh karena

itu apabila semakin lebar jarak perekaman dengan pengambilan sampel tanah di

lapangan maka semakin mungkin terdapat bias diantara keduanya.

Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa dalam sebuah piksel dengan

suatu luasan tertentu, terekam respon spektral dari komponen penutuplahan salah

satunya adalah tanah. Lebih dari itu terekam pula kondisi setiap karakteristik

penyusun komponen penutup lahannya, termasuk salah satunya oksida besi pada

tanah. Oleh karena itu pada dasarnya dapat dilakukan estimasi kanduangan oksida

besi pada tanah menggunakan data PJ, dengan cara menghubungkan nilai spektral

citra PJ dan data lapangan kandungan oksida besi. Akan tetapi, perlu diperhatikan

adanya potensi percampuran piksel akibat pengaruh penutuplahan, terutama

vegetasi, serta adanya perbedaan karakteristik resolusi spasial dan spektral antara

ALOS AVNIR-2 dan Landsat TM.

Page 50: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

50

Gambar 1. 21. Diagram kerangka pemikiran

Karaktersitik tanah :

- Sifat kimia

- Sifat fisik

- Sifat biologi

Tingkat kedetilan informasi :

- Resolusi spasial

- Resolusi spektral

- Resolusi temporal

- Resolusi Rradiometrik

Sinar Matahari

(sumber energi

elektromagnetik)

Sensor penginderaan jauh

(Merekam interaksi energi

elektromagnetik)

Vegetasi Air

Penutuplahan

Tanah

Jendela atmosfer

(menyebabkan hambatan &

serapan energi

elektromagnetik)

Interaksi energi elektromagnetik

dengan sifat fisik dan kimia

tanah

Sampel tanah

Pemodelan Empiris

(regresi linier sederhana)

Analisis

kandungan

oksida besi di

laboratorium

Masih terbatasnya pemanfaatan penginderaan jauh mutispektral resolusi sedang

untuk estimasi kandungan oksida besi di Indonesia secara umumnya dan

khususnya di topografi karst

Faktor Pembatas

Topografi karst Gunungsewu

Hasil Akhir Penelitian :

Informasi mengenai pemanfaatan citra multipektral resolusi sedang, seperti Landsat TM dan

ALOS AVNIR-2 untuk estimasi kandugan oksida besi sebagian topografi karst Gunungsewu.

Informasi mengenai hubungan perbedaan resolusi spasial dan resolusi spektral antara Landsat

TM dan ALOS VNIR-2, input model empiris yang digunakan, yaitu saluran asli, PCA dan

aritmatika band terhadap akurasi estimasi kandungan oksida besi.

Peta kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu

Estimasi Kandungan

Oksida Besi

kandungan

oksida besi

Pantulan spektral tanah

tercerminkan dalam nilai

reflectance (at surface) citra

Page 51: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

51

1.10. Batasan Istilah

Karst : dalam bahasa jerman disebut dengan kras, karst ialah medan dengan

kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan

mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik (Ford dan Williams,

1989)

Mixed pixel (piksel campuran) : satu piksel yang memuat lebih dari satu jenis

objek, (Danoedoro, 1996)

NDVI (Normalized Diverent Vegetation Index) : merupakan transformasi index

vegetasi yang dibuat dengan mengkombinasikan tehnik penisbahan dengan

tehnk pengurangan citra, sebagai input transformasi adalah band merah dan

band inframerah dekat (Danoedoro, 1996).

Oksida Besi : mineral sekunder yang umum di temukan di alam dalam keadaan

tertransport dan tersingkap, terbentuk akibat pelapukan kimiawi (air, oksigen,

karbon dioksida dan asam organik) pada tubuh batuan yang mengandung

mineral besi, keberadaannya pada tanah dan batuan membuat berwarna merah

kecoklatan (Anonim, 2012)

Principal Component Analysis (PCA) : teknik rotasi yang diterapkan pada

koordiant multisaluran untuk menghasilkan citra dengan saluran baru yang

tidak saling berkorelasi, menghilangkan gangguan (noise) dan mengurangi

dimensionalitas data sehingga diperoleh citra baru dengan saluran lebih

sedikit namun dengan informasi yang efisien (Danoedoro, 1996).

Penginderaan jauh (PJ) : ilmu dan seni memperoleh informasi tentang objek,

daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat

tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji

(Lillesand, 1993).

Piksel : satuan unsur terkecil yang tidak dapat dibagi lagi dari suatu permukaan

penayangan, atau suatu citra, yang dapat diakses secara independen (P.H.

Crown, 1995).

Pure pixel (piksel murni) : Satu piksel yang memuat satu jenis objek saja

(Danoedoro, 1996)

Page 52: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62362/potongan/S1-2013... · Partikel-partikel penyebab terjadiya hamburan diantaranya adalah partikel

52

Resolusi spasial : merupakan ukuran terkecil objek yang masih dapat dideteksi

oleh suatu sistem pencitraan (Danoedoro, 1996).

Resolusi spektral : adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk

membedakan objek berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya

(Danoedoro, 1996).

Survei tanah : serangkaian kegiatan untuk mendeskripsikan karakteristik tanah-

tanah, mengklasifikasikannya menurut sistem klasifikasi baku, memplotkan

batas tanah pada peta dan membuat prediksi tentang sifat tanah (USDA,

2011).

Tanah : Tubuh alam yang tersusun atas campuran kompleks material lepas-lepas

yang bersifat dinamis, terbentuk akibat bekerjanya proses eksogen dan

endogen terhadap batuan induk dalam kurun waktu yang cukup lama, serta

memiliki sifat-sifat spesifik (fisik, kimia, biologi dan mineralogi) yang

bervariasi tergantung jenis batuan induk dan komponen pembentuk tanah

yang bekerja (Darmawijaya, 1990)