I OPINI OKTOBER liMengakhiri Kemelut UKSW · OPINI liMengakhiri Kemelut UKSW KAMIS besok (19...

1
! .t RABU KLiWON, 18 OKTOBER 1995 BERNAS I OPINI liMengakhiri Kemelut UKSW KAMIS besok (19 Oktober 1995) tim peneari fakta Komisi , Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan bertan- dang ke kampus UKSW yang I sedang dilanda kemelut. Esok- nya, lembaga tertinggi di ling- kungan UKSW, yakni Forum Gereja Fendiri dan Pendukung UKSW, mengadakan pertemuan paripurna. Mungkin ini merupa- kan pertemuan membahas ke- melut UKSW yang paling akhir dan paling menentukan. Semua upaya itu Jayak di- sambut. Sambil menunggu hasil I yang sedang diusahakan sebaik- baiknya oleh mereka, ada baik- nya kita simak kembali inti kemelut yang melanda UKSW. Hal ini perlu, sebab kemelut ! UKSW telah berkembang, ber- eabang, dan merambah ke ber- bagai wilayah sehingga meluas dan kompleks. Berbagai peristi- wa dan kasus yang dramatis mudah sekali mengalihkan perhatian kita pada apa yang pokok dari kemelut itu. Mengkambinghitamkan moratorium Moratorium yang dilaksana- kan oleh mayoritas warga aka- demik UKSW telah meneapai ',rekor dalain sejarah republik i ini. Untuk pertama kalinya sebuah protes masal telah me- lumpuhkan kegiatan akademik sebuah perguruan tinggi selama lebih dari lima bulan seeara nonstop. Hingga tulisan ini disusun, protes terse but masih sedang dan terus berlangsung. Morato- rium UKSW didefinisikan oleh ! pemrakarsanya sebagai berikut: , "pemutusan hubungan sementa- ra dengan pihak yang dinilai telah bertindak tidak adil, tidak bermoral dan sewenang-we- ' Moratorium itu berse- jarah. Reaksi dari pihak yang diserang moratorium, yakni Pengurus Yayasan dan Rektor UKSW, tak kalah kerasnya sehingga mengakibatkan se- rangkaian peristiwa yang spek- takuler. Thtapi semua itu seba- iknya tidak mengalihkanperha- tian kita dari apa yang semula menyulut moratorium dan apa yang dieita-eitakan moratorium. Pengelabuan dan penyang- kalan pokok kemelut UKSW bisa terjadi seeara lugu di ka- langan masyarakat awam. Thta- pi hal yang sarna bisa dimanipu- lasi oleh penguasa UKSW untuk kepentingan sendiri. Banyak pihak memprihatinkan telantar- . nya nasib pendidikan ribuan mahasiswa UKSW. Sikap ini wajar dan patut dihormati. Mahasiswa adalah salah satu korban paling nyata dan parah dari kemelut yang berusia lebih dari dua tahun itu. Sehingga banyak pihak yang mengharap agar perkuliahan segera dimulai lagi. . Persoalan yang mendasar adalah, bagaimana perkuliahan itu harus dipulihkan kembali? Pertanyaan ini tak mungkin di- jawab dengan memadai tanpa mempertanyakan kembali, me- ngapa perkuliahan yang tadinya lanear di UKSW mendadak ter- gangguhinggakini?Pertanyaan yang kedua inilah yang biasa- nya dihindarkan oleh pihak yang lugu, dan dimanipulasi pihak yang berkuasa di UKSW. Penguasa UKSW menyalah- kan adanya moratorium sebagai penyebab terganggunya perkuli- ahan. Seakan-akan moratorium menjadi penyebab utama dan pertama. Mereka menuduh mayoritas warga akademik yang ikut moratorium telah melaku- kan penyanderaan perkuliahan untuk menentang Pengurus Yayasan dan Rektor. Maka diasumsikan perkuliahan dapat beIjalan kembali seandainya moratorium, dan hariya morato- rium, berakhir. Lebih jauh darisekadar me- nuduh, penguasa UKSW ini telah menjatuhkan vonis kepada puluhan dasen dengan meram- pas gaji yang menjadi hak mere- ka. Beberapa bulan sesudah vonis itu dilaksanakan, Rektor dan Pengurus Yayasan rang sejumlah Surat Keputusan resmi untuk memberikan pem- benaran. Misalnya berupa peru- bahan peraturan kepegawaian dan surat skorsing. Jadi kepu- tusan resmi ini diberlakukan surut beberapa bulan ke bela- kang. Sementara baik status maupun substansi surat-surat keputusan resmi itu 'sendiri sangat bermasalah. Sumber masalah, duadampak Maka moratorium tidak akan pernah dapat dipahami secara memadai bila dilepaskan dari peristiwa Pemutusan Hubungan KeIja (PHK) sewenang-wenang terhadap seorang dosen senior UKSW pada bulan Oktober 1994. Inilahpertama kalinya dalam sejarah UKSW, ada do- sen/pegawai yang dipeeat secara tidak hormat. Keanehan ini sendiri sudah menimbulkan kecurigaan dan kemarahan orang. Tetapi keanehan tidak berhenti di situ. Yang lebih menakjubkan, PHK itu dilakukan tanpa mem- perdulikan semua bentuk prose- dur, tata cara, aturan, tradisi, dan nalar di zaman modem ini. Yang di-PHK tidak mendapat- kan penjelasan,jangankan pem- buktian, apa persisnya kesalah- an yang dituduhkan kepadanya tak disebutkan. Thduhan samar-samar yang dianggap menjadi kesalahannya adalah membuat kritik di media massa terhadap penguasa UKSW. Thtapi kritik itu, jika memang benar terbukti, dilan- carkan ribuan warga kampus UKSW terhadap penguasa yang sarna pada waktu yang sarna. Yang di-PHK' ini sama sekali tidak mendapatkan kesempatan membela diri. Lebihjelek dari nasib buruh- buruh rendahan yang di-PHK juragan pabrik, dosen UKSW ini tidak mendapatkan ganti-rugi atau hak pesangon sepeser pun. Ada dua dampak sangat serius dari peristiwa tersebut. Pertama, siapa yang menjadi korban dari peristiwa itu. Mungkin penguasa UKSW me- nganggap peristiwa PHK itu ha- nya sebu/lh serangan individual terhadap dosen yang di-PHK. Thtapi bagi, warga kampus UKSW, korban pertama dan utama dan peristiwa itu adalah prosedur, tata cara, aturan, tradisi, nilai moral, etika, dan penalaran yang dijunjung tinggi di UKSW dan semua lembaga modern di muka bumi ini. Yaitu semua pondasi kelembagaan yang membesarlfan UKSW, dan menjadi andalan utama kelang- sungan masa depan UKSW. Warga kampus bukan tidak punya simpati atau solidaritas kepada individu dosen yang di- PHK sewenang-wenang. Thtapi pondasi UKSW yang telah dio- brak-abrik penguasa UKSW da- lam Pill' itu jauh lebih serius bagi mass depan UKSW, ketim- bang nasib'individu dosen yang di-PHK atau masa depan priba- dinya. Berbagai bentuk protes, ter- masuk moratorium, yang kemu- dian bermuneulan merupakan usaha menyelamatkan UKSW. Lebih tepatnya lagi menyela- matkan pondasi kelembagaan UKSW yangjuga menjadi unsur mendasar dalam peradaban modern. Hanya dengan pondasi itu kegiatan mahasiswa dan pelayanan kepada masyarakat umum dapat dimungkinkan. Sayanguya, beberapa pihak cenderung menceritakan keme- lut UKSW sebagai sengketa antara dua individu. Yakni kubu rektor dan kubu si dosen. yang di ·PHK. Yan& sebenarnya teIjadi alalah konfiik antara sekelompok keeil orang yang telah menjadi penguasa UKSW kemudian mengobrak-abrik UKSW melawan mayoritas warga kampus yang mencoba menyelamatkan UKSW. Hal itu menghantar kita ke dampak serius yang kedua, yakni terganggunya, proses bela jar mengajar. Secara lang- sung, PHK sewenang-wenang itu menelantarkan puluhan, jika bukan ratusan mahasiswa yang sedang mengikuti perkuliahan dosenyangdi-PHK. Jugapuluh- an mahasiswa yang sedang menyiapkan skripsi atau ujian di bawah bimbingan dosen yang bersangkutan. Penguasa yang memecat si dosen tidak pernah menawarkan dosen pengganti. Dampak PHK tidak terhenti di situ. PHK yang sama meru- pakan pelecehan serius terha- dap pimpinan dan staf -unit tempat si dosen yang di -PHK itu bekerja. Berbagai ajakan dialog dan surat protes yang dikirim- kan pimpinan unit ini kepada pimpinan UKSW tidak ditang- gapi. Kemarahan berkembang ke uniUfakultas lain di kampus UKSW. Sebagian besar dosen dan mahasiswa tidak mampu melanjutkan perkuliahan, kare- na mereka punya akal-budi, moralitas dan hati nurani yang terganggu berat oleh peristiwa PHK itl;.· , Kini fakta itu dijungkirbalik. Ada yang menuduh moratoriiim sebagai penghalang berlfuig- sungnya protes belajar mengajar di UKSW. Kenyataannya kegi- atan akademik di UKSW tidak terganggu sebelum ada PHK yangmenggegerkan masyarakat Indonesia dan kalangan akade- ll,lik negara. Perkuliahan berjalan lancar sebelum PHK itu, walau perlawanan terhadap Rektor UKSW yang kontro- versial sudah berlangsung lebih dari setahun. Awal Agustus 1995 Pengadil- an Tata Usaha Negara di Sema- rang menyatakan PHK itu tidak absah. Pengadilan itu mewajib- kan pimpinan UKSW memba- talkan PHK tersebut, membayar semua gaji si dosen dan ganti rugi. Andaikan keputusan ini dipatuhi penguasa UKSW, mungkin bukan sekadar status si dosen yang dipulihkan. Tetapi juga pondasi kelembagaan UKSW, di samping perkuliahan mahasiswa. Namun, penguasa UKSW membangkang terhadap kepu- tusan Pengadilan. Malahan me- reka menskorsing puluhan do- sen lain. Makin jelaslah bagai- mana nasib perkuliahan maha- siswa, bahkan nasib UKSW secara keseluruhan yang dii- nginkan pimpinan UKSW. *** *) Dr Ariel Heryanto, penulis lepas, tinggal di Salatiga. Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Transcript of I OPINI OKTOBER liMengakhiri Kemelut UKSW · OPINI liMengakhiri Kemelut UKSW KAMIS besok (19...

Page 1: I OPINI OKTOBER liMengakhiri Kemelut UKSW · OPINI liMengakhiri Kemelut UKSW KAMIS besok (19 Oktober 1995) tim peneari fakta Komisi , N asional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan

! .t RABU KLiWON, 18 OKTOBER 1995 BERNAS I OPINI

liMengakhiri Kemelut UKSW KAMIS besok (19 Oktober

1995) tim peneari fakta Komisi , N asional Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM) akan bertan­dang ke kampus UKSW yang

I sedang dilanda kemelut. Esok­nya, lembaga tertinggi di ling­kungan UKSW, yakni Forum Gereja Fendiri dan Pendukung UKSW, mengadakan pertemuan paripurna. Mungkin ini merupa­kan pertemuan membahas ke­melut UKSW yang paling akhir dan paling menentukan.

Semua upaya itu Jayak di­sambut. Sambil menunggu hasil

I yang sedang diusahakan sebaik­baiknya oleh mereka, ada baik­nya kita simak kembali inti kemelut yang melanda UKSW. Hal ini perlu, sebab kemelut

! UKSW telah berkembang, ber­eabang, dan merambah ke ber­bagai wilayah sehingga meluas dan kompleks. Berbagai peristi­wa dan kasus yang dramatis mudah sekali mengalihkan perhatian kita pada apa yang pokok dari kemelut itu.

Mengkambinghitamkan moratorium

Moratorium yang dilaksana­kan oleh mayoritas warga aka­demik UKSW telah meneapai

',rekor dalain sejarah republik i ini. Untuk pertama kalinya

sebuah protes masal telah me­lumpuhkan kegiatan akademik sebuah perguruan tinggi selama lebih dari lima bulan seeara nonstop.

Hingga tulisan ini disusun, protes terse but masih sedang dan terus berlangsung. Morato­rium UKSW didefinisikan oleh

! pemrakarsanya sebagai berikut: , "pemutusan hubungan sementa­

ra dengan pihak yang dinilai telah bertindak tidak adil, tidak bermoral dan sewenang-we­nan~." '

Moratorium itu sendi~i berse­jarah. Reaksi dari pihak yang diserang moratorium, yakni Pengurus Yayasan dan Rektor UKSW, tak kalah kerasnya sehingga mengakibatkan se­rangkaian peristiwa yang spek­takuler. Thtapi semua itu seba­iknya tidak mengalihkanperha­tian kita dari apa yang semula menyulut moratorium dan apa yang dieita-eitakan moratorium.

Pengelabuan dan penyang­kalan pokok kemelut UKSW bisa terjadi seeara lugu di ka­langan masyarakat awam. Thta­pi hal yang sarna bisa dimanipu­lasi oleh penguasa UKSW untuk kepentingan sendiri. Banyak pihak memprihatinkan telantar-

. nya nasib pendidikan ribuan mahasiswa UKSW.

Sikap ini wajar dan patut dihormati. Mahasiswa adalah salah satu korban paling nyata dan parah dari kemelut yang berusia lebih dari dua tahun itu. Sehingga banyak pihak yang mengharap agar perkuliahan segera dimulai lagi. .

Persoalan yang mendasar adalah, bagaimana perkuliahan itu harus dipulihkan kembali? Pertanyaan ini tak mungkin di­jawab dengan memadai tanpa mempertanyakan kembali, me­ngapa perkuliahan yang tadinya lanear di UKSW mendadak ter­gangguhinggakini?Pertanyaan yang kedua inilah yang biasa­nya dihindarkan oleh pihak yang lugu, dan dimanipulasi pihak yang berkuasa di UKSW.

Penguasa UKSW menyalah­kan adanya moratorium sebagai penyebab terganggunya perkuli­ahan. Seakan-akan moratorium menjadi penyebab utama dan pertama. Mereka menuduh mayoritas warga akademik yang ikut moratorium telah melaku­kan penyanderaan perkuliahan

untuk menentang Pengurus Yayasan dan Rektor. Maka diasumsikan perkuliahan dapat beIjalan kembali seandainya moratorium, dan hariya morato­rium, berakhir.

Lebih jauh darisekadar me­nuduh, penguasa UKSW ini telah menjatuhkan vonis kepada puluhan dasen dengan meram­pas gaji yang menjadi hak mere­ka. Beberapa bulan sesudah vonis itu dilaksanakan, Rektor dan Pengurus Yayasan meng~­rang sejumlah Surat Keputusan resmi untuk memberikan pem­benaran. Misalnya berupa peru­bahan peraturan kepegawaian dan surat skorsing. Jadi kepu­tusan resmi ini diberlakukan surut beberapa bulan ke bela­kang. Sementara baik status maupun substansi surat-surat keputusan resmi itu 'sendiri sangat bermasalah.

Sumber masalah, duadampak

Maka moratorium tidak akan pernah dapat dipahami secara memadai bila dilepaskan dari peristiwa Pemutusan Hubungan KeIja (PHK) sewenang-wenang terhadap seorang dosen senior UKSW pada bulan Oktober 1994. Inilahpertama kalinya dalam sejarah UKSW, ada do­sen/pegawai yang dipeeat secara tidak hormat. Keanehan ini sendiri sudah menimbulkan kecurigaan dan kemarahan orang. Tetapi keanehan tidak berhenti di situ.

Yang lebih menakjubkan, PHK itu dilakukan tanpa mem­perdulikan semua bentuk prose­dur, tata cara, aturan, tradisi, dan nalar di zaman modem ini.

Yang di-PHK tidak mendapat­kan penjelasan,jangankan pem­buktian, apa persisnya kesalah­an yang dituduhkan kepadanya tak disebutkan.

Thduhan samar-samar yang dianggap menjadi kesalahannya adalah membuat kritik di media massa terhadap penguasa UKSW. Thtapi kritik itu, jika memang benar terbukti, dilan­carkan ribuan warga kampus UKSW terhadap penguasa yang sarna pada waktu yang sarna. Yang di-PHK' ini sama sekali tidak mendapatkan kesempatan membela diri.

Lebihjelek dari nasib buruh­buruh rendahan yang di-PHK juragan pabrik, dosen UKSW ini tidak mendapatkan ganti-rugi atau hak pesangon sepeser pun. Ada dua dampak sangat serius dari peristiwa tersebut.

Pertama, siapa yang menjadi korban dari peristiwa itu. Mungkin penguasa UKSW me­nganggap peristiwa PHK itu ha­nya sebu/lh serangan individual terhadap dosen yang di-PHK. Thtapi bagi, warga kampus UKSW, korban pertama dan utama dan peristiwa itu adalah prosedur, tata cara, aturan, tradisi, nilai moral, etika, dan penalaran yang dijunjung tinggi di UKSW dan semua lembaga modern di muka bumi ini. Yaitu semua pondasi kelembagaan yang membesarlfan UKSW, dan menjadi andalan utama kelang­sungan masa depan UKSW.

Warga kampus bukan tidak punya simpati atau solidaritas kepada individu dosen yang di­PHK sewenang-wenang. Thtapi pondasi UKSW yang telah dio­brak-abrik penguasa UKSW da-

lam Pill' itu jauh lebih serius bagi mass depan UKSW, ketim­bang nasib'individu dosen yang di-PHK atau masa depan priba­dinya.

Berbagai bentuk protes, ter­masuk moratorium, yang kemu­dian bermuneulan merupakan usaha menyelamatkan UKSW. Lebih tepatnya lagi menyela­matkan pondasi kelembagaan UKSW yangjuga menjadi unsur mendasar dalam peradaban modern. Hanya dengan pondasi itu kegiatan mahasiswa dan pelayanan kepada masyarakat umum dapat dimungkinkan.

Sayanguya, beberapa pihak cenderung menceritakan keme­lut UKSW sebagai sengketa antara dua individu. Yakni kubu rektor dan kubu si dosen. yang di ·PHK. Yan& sebenarnya teIjadi alalah konfiik antara sekelompok keeil orang yang telah menjadi penguasa UKSW kemudian mengobrak-abrik UKSW melawan mayoritas warga kampus yang mencoba menyelamatkan UKSW.

Hal itu menghantar kita ke dampak serius yang kedua, yakni terganggunya, proses bela jar mengajar. Secara lang­sung, PHK sewenang-wenang itu menelantarkan puluhan, jika bukan ratusan mahasiswa yang sedang mengikuti perkuliahan dosenyangdi-PHK. Jugapuluh­an mahasiswa yang sedang menyiapkan skripsi atau ujian di bawah bimbingan dosen yang bersangkutan. Penguasa yang memecat si dosen tidak pernah menawarkan dosen pengganti.

Dampak PHK tidak terhenti di situ. PHK yang sama meru­pakan pelecehan serius terha­dap pimpinan dan staf -unit tempat si dosen yang di -PHK itu bekerja. Berbagai ajakan dialog dan surat protes yang dikirim-

kan pimpinan unit ini kepada pimpinan UKSW tidak ditang­gapi. Kemarahan berkembang ke uniUfakultas lain di kampus UKSW. Sebagian besar dosen dan mahasiswa tidak mampu melanjutkan perkuliahan, kare­na mereka punya akal-budi, moralitas dan hati nurani yang terganggu berat oleh peristiwa PHK itl;.· ,

Kini fakta itu dijungkirbalik. Ada yang menuduh moratoriiim sebagai penghalang berlfuig­sungnya protes belajar mengajar di UKSW. Kenyataannya kegi­atan akademik di UKSW tidak terganggu sebelum ada PHK yangmenggegerkan masyarakat Indonesia dan kalangan akade­ll,lik m~ea negara. Perkuliahan berjalan lancar sebelum PHK itu, walau perlawanan terhadap Rektor ~e-4 UKSW yang kontro­versial sudah berlangsung lebih dari setahun.

Awal Agustus 1995 Pengadil­an Tata Usaha Negara di Sema­rang menyatakan PHK itu tidak absah. Pengadilan itu mewajib­kan pimpinan UKSW memba­talkan PHK tersebut, membayar semua gaji si dosen dan ganti rugi. Andaikan keputusan ini dipatuhi penguasa UKSW, mungkin bukan sekadar status si dosen yang dipulihkan. Tetapi juga pondasi kelembagaan UKSW, di samping perkuliahan mahasiswa.

Namun, penguasa UKSW membangkang terhadap kepu­tusan Pengadilan. Malahan me­reka menskorsing puluhan do­sen lain. Makin jelaslah bagai­mana nasib perkuliahan maha­siswa, bahkan nasib UKSW secara keseluruhan yang dii­nginkan pimpinan UKSW. ***

*) Dr Ariel Heryanto, penulis lepas, tinggal di Salatiga.

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>