Human Cytomegalovirus
-
Upload
surya-dewi-primawati -
Category
Documents
-
view
57 -
download
10
Embed Size (px)
description
Transcript of Human Cytomegalovirus

Human Cytomegalovirus
Klasifikasi
Human Cytomegalovirus (CMV) juga dikenal sebagai virus herpes
manusia. Anggota dari famili Herpesviridae dan subfamili Betaherpesvirinae. Ini
adalah virus dengan genom DNA untai ganda dan ditandai dengan pertumbuhan
yang lambat dalam in vitro, spesifisitas spesies yang ketat , sitopatologi
melibatkan inti dan inklusi sitoplasma, dan kemampuan untuk membangun infeksi
persisten dan laten .
Struktur Biologi
CMV menampilkan morfologi khas famili Herpesviridae . Kepadatan
inti elektron, yang berisi DNA genomik , dikelilingi oleh 100 – nm diameter
kapsid ikosohedral terdiri 162 tubular kapsomer , yang ada di dalam tegument
atau struktur matriks. Lapisan terluar dari virion terdiri dari amplop lipid
pleomorfik yang mengandung beberapa kode virus glikoprotein. Virion dewasa
infeksius pada berbagai ukuran dari sekitar 150 sampai 200 nm. CMV virion
sensitif terhadap pelarut lipid , rendah pH , panas , dan pembekuan. Sel yang
terinfeksi dengan CMV in vitro memproduksi partikel non-infeksius . Kepadatan
sitoplasma , yang memproduksi tegument protein secara berlimpah, diproduksi
dalam jumlah besar, terutama mengandung DNA bukan nukleokapsid. Amplop
partikel non infeksius diproduksi menyerupai virion infeksius kecuali mereka
tidak mengandung kepadatan elektron, DNA mengandung inti nukleokapsid .
Genome
Genom dari Cytomegalovirus adalah yang terbesar dalam keluarga
Herpesviridae ; CMV genom manusia memiliki berat molekul 150 x 106 - 155 x
106 , sesuai dengan sekitar 230 kbp ( urutan yang sebenarnya sequence dari
AD169 mengungkapkan 229.354 bp) linear , untai ganda DNA . CMV manusia
adalah satu-satunya anggota Betaherpesviruses untuk memiliki apa yang disebut
1

kelas E genom . Struktur genom ini pertama kali dijelaskan sebagai virus herpes
simpleks , di mana empat isomer DNA diamati setelah analisis enzim restriksi
DNA virus . Genom terdiri dari komponen besar (L) dan kecil (S), masing-masing
segrnen yang unik ( U1 dan U5 , berturut - turut) dikenal sebagai segmen terminal
dan pengulangan terbalik . Dengan demikian , dalam sampel DNA dari virion ,
masing-masing komponen L dan S mungkin atau tidak mungkin terbalik terhadap
masing-masing lainnya, sesuai dengan empat isomer yang disebutkan di atas.
Gen-gen hadir dalam segmen unik yang memperlihatkan satu salinan per genom ,
sedangkan gen dalam pengulangan terbalik hadir di dua eksemplar per genom .
Genom CMV rantai ADl69 memiliki 208 Open Reading Frames ( ORFs
) untuk mengkode protein unik 178 (beberapa ORFs yang disambung dengan
ORFs lain untuk membuat protein tunggal , dan beberapa berada dalam daerah
pengulangan). Hasil dari laboratorium yang diadaptasi mengenai strain CMV dan
semua strains klinis CMV mungkin memiliki satu set yang agak berbeda dengan
ORFs , karena AD169 dikenal memiliki penghapus yang diperkirakan telah
berevolusi selama beberapa bagian dalam jaringan.
Hasil isolasi klinis genom CMV adalah polimorfik . Hal itu
memungkinan bahwa semua epidemiologis yang tidak terkait dengan isolasi klinis
CMV memiliki substitusi dasar yang menghasilkan pola enzim retriksi
pencernaan yang unik. Hal tersebut menjadi wajar jika menggunakan karakteristik
unik ini untuk mengidentifikasi pola-pola transmisi virus di alam , link
epidemiologi , dan strain spesifik yang mungkin yang bersifat patologi .
Protein
Semua ORFs di CMV strain AD159 telah diberi penunjukan berdasarkan
lokasi mereka dalam genom . Artinya , ORFs dalam segmen U1 diberi nomor
ULl , UL2 , dll ; ORFs dalam segmen Us bernomor US1 , US2 , dll. Banyak dari
produk gen tersebut telah diidentifikasi dan ditandai selama bertahun-tahun
(beberapa dikenal jauh sebelum urutan DNA dikenal), tapi banyak yang tidak .
Protein – protein dikelompokkan dalam 5 kelompok : yang ditemukan di (i)
kapsid, (ii) tegument, (iii) amplop, (iv) yang berperan sebagai transaktivator baik
2

homolog atau heterolog prornoters, dan (v) yang lainnya . Kelompok terakhir ini
termasuk protein yang terlibat dalam down-regulasi HLA kelas I, sebuah protein
kinase khusus yang tidak diketahui, protein akhir yang menengahi tingkat
aktivitas kalsium intraseluler dan kemokin , protein yang terlibat dalam sintesis
dan aktivasi nukleosid, dan protein yang terlibat dalam replikasi DNA .
Epitop penetral utama CMV ditemukan dalam produk gen UL55 , lebih
umum dikenal sebagai glikoprotein B (gB). Antibodi pada manusia diarahkan
untuk melawan dua protein yakni antigenik determinan 1 dan 2. In vitro ,
rekombinan gB dapat mengabsorbsi hampir semua aktivitas penetral CMV dari
sera manusia ; dengan demikian , protein ini adalah antigen utama untuk
pengembangan vaksin untuk CMV . Produk UL75 , gH , memiliki kemampuan
penetral yang kecil yang berada dalam linear tunggal epitop dekat ujung amino
protein . Antibodi yang dihasilkan oleh stimulasi antigenik dengan salah satu
strain CMV hampir selalu bereaksi dengan jenis strain lainnya.
Replikasi
Reseptor protein permukaan pada CMV belum teridentifikasi. Nampaknya
sejumlah protein terikat dalam virus dengan membran sel plasma dan struktur
dalamnya. Dengan alasan yang belum jelas, mungkin terkait dengan reseptor
permukaan atau pengeblokan sel-sel yang berdiferensiasi tertentu pada berbagai
tahap, secara in vitro CMV sangat terbatas pada jangkauan pejamu meskipun
faktanya secara in vivo dapat menginfeksi berbagai tipe sel. Fibroblas
berdiferensiasi primer dari sel paru atau kulit adalah sel-sel yang terpilih untuk
ditumbuhkan dalm penelitian in vitro. Setelah pelekatan pada permukaan sel dan
penetrasi, virion masuk ke dalam inti sel di mana terjadi replikasi DNA dan
maturasi virion. Infeksi produktif ditandai sintesis tatanan protein virus dengan
kelas kinetik berbeda-beda: permulaan awal (α), awal tertunda (β), dan akhir (γ),
sekligus sebagai istilah waktu sintesis infeksi. Keseluruhan proses replikasi CMV
memerlukan waktu sekitar 48 – 72 jam. Terbentuknya protein α dan β
berlangsung cepat namun konversi menjadi protein γ belum terjadi hingga 24-36
jam setelah infeksi. Produksi peranakan virus mencapai waktu maksimum 95 jam.
3

Sebagai herpervirus, tata replikasi CMV cukup kompleks. Mekanisme dasar
replikasinya diatur dalam sistem kaskade berupa siklus putar (rolling-circle
method) dan berlanjut seperti lingkaran yang jalin menjalin molekul DNA dari
kepala hingga ekor. Jalinan-jalinan tersebut terbelah dalam unit-panjang genom
sebagai S termini yang istimewa dimasukkan ke dalam kapsid kosong. Sebelas
protein diketahui terlibat dalam replikasi DNA CMV. Ini termasuk DNA
polimerase (UL.54), protein pengikat DNA untai tunggal (UL57),
helicaseprimase sebuah kompleks tiga protein, beraneka transactivator, a Pol-
associated protein, dan dua lainnya protein yang fungsinya belum diketahui.
Muasal replikasi selama infeksi litik (Ori-lyt) telah dipetakan ke posisi di 93.000
bp dari ujung kiri isomer prototipe genom. CMV hampir memenuhi semua ciri-
ciri replikasi litik dan replikasi laten yang sebanding dengan herpervirus lainnya.
Tropisme Jaringan
Lokasi replikasi CMV tergantung status kekebalan pejamu saat infeksi
primer. Infeksi kongenital atau infeksi pada pejamu immunocompromised dapat
menyebabkan replikasi luas virus dalam berbagai jenis jaringan, bahkan tanpa
adanya penyakit yang jelas. Infeksi akut pada pejamu imunokompeten lebih
banyak mengenai sel epitel berbagai jaringan, termasuk kelenjar ludah dan ginjal.
Seperti halnya herpesvirus, setelah infeksi akut CMV menetap secara laten
seumur hidup. Mekanisme imun humoral dan seluler bertanggung jawab untuk
mengendalikan infeksi akut dan memelihara virus dalam kondisi laten. Loakasi
infeksi CMV yang persisten dan laten tidak sepenuhnya jelas, tapi sensitivitas tes
PCR assay dapat menunjukkan keberadaan DNA virus pada populasi monosit
dalam darah tepi pasien karier. Dengan demikian, terapi immunosupresi sering
mengakibatkan peningkatan replikasi virus dan penyakit berulang.
Epidemiologi
Infeksi CMV sangat umum di seluruh populasi di seluruh dunia. Tingkat
seropositif pada orang dewasa biasanya 50% atau lebih tinggi, mendekati 100% di
beberapa daerah tertinggal. Infeksi terbanyak didapat pada masa awal kehidupan.
4

Di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, sekitar 1% bayi dilahirkan
dengan bawaan CMV. Transmisi peripartum juga dapat terjadi, terutama pada
bayi yang diberi ASI dengan kultur CMV positif. Transmisi peripartum menjadi
infeksi CMV dalam usia 5 bulan pada 15% bayi, tergantung tingkat seropositif ibu
dan tingkat menyusui. Infeksi terus terjadi selama anak usia dini, terutama pada
anak-anak yang berada di penitipan. Sebuah puncak akuisisi berikutnya, terjadi
selama masa remaja, mungkin berupa transmisi seksual. CMV juga dapat
ditularkan melalui transfusi darah dan organpadat atau transplantasi sumsum
tulang.
Patogenesis
Konsep dari latensi virus merupakan pokok utama untuk memahami
patogenesis dari CMV. Setelah infeksi pertama kali, infeksi CMV berlanjut dari
berbulan-bulan sampai bertahun tahun tanpa gejala, dapat terjadi infeksi berulang
melalui saliva, urine, sekresi genital, air susu, dan terkadang darah. Seperti
Herpesviridae yang masih satu famili dengan CMV. Pada akhirnya, terjadi
superinfeksi yang dapat disertai dengan strain baru. Perjalan penyakit melalui
proses infeksi, reaktifasi atau superinfeksi tetapi kebanyakan mengatakan bahwa
infeksi CMV adalah yang pertama kali. Tentu saja ini bertentangan, karena infeksi
pertamakali dari CMV biasanya asimptomatik kalaupun ada itu sangatlah ringan
dan tidak dapat dikenali bahwa penyebabnya adalah CMV. Kebanyakan infeksi
CMV dipengaruhi oleh imunitas host yang turun, infeksi simptomatik, primer
maupun reaktivasi yang terjadi ketika imunitas host turun. Yang paling sering dari
infeksi CMV timbul gejala klinis disebabkan imunitas dari host turun saat
transplantasi organ padat, transplantasi sumsum tulang, dan AIDS. Defisiensi
imun kongenital, terutama yang berhubungan dengan immunitas yang difasislitasi,
dan berhubungan juga dengan beberapa gejala dari infeksi CMV. Jarang sekali
orang dengan sistem imun yang baik mengalami gejala infeksi CMV.
Orang yang terinfeksi CMV secara berkala saliva, urine, air susu, cairan
kelamin ikut terinfeksi dengan CMV biasanya tanpa gejala yang khas. Dengan
kata lain CMV menular melalui hubungan seksual, dan menyusui. Meskipun
5

CMV hampir tidak akan pernah bisa di kultur dari darah penderita CMV
seropositif tanpa gejala, transfusi darah atau transplantasi organ dari orang
tersebut dapat menularkan virus ini. Setelah virus menemukan host baru, leukosit
yang berhubungan dengan infeksi virus menyebar yang mana akan menyebabkan
infeksi tipe sel multiple termasuk sel hematopoietic, sel endotel, sel epitel,
fibroblas. Saat masa laten CMV juga menginfeksi makrofag. Kejadian yang
berhubungan dengan reaktivasi dari masa laten virus belum diketahui secara pasti,
tetapi sitokin proinflamatori mungkin juga ikut terlibat. Meskipun kemungkinan
tidak terlibat dalam awal reaktivasi, immunosupresan menyebabkan virus
berreplikasi secara cepat. Imunitas Host terhadap CMV melibatkan kedua sistem
imun baik humoral dan seluler. CD4+ dan CD8+ sel T dan sel NK berperan penting
dalam mengontrol infeksi CMV. Pneumonitis CMV pada penerima transplantasi
sumsum tulang terjadi karena mereka yang gagal untuk menstabilkan reaksi CMV
spesisfik CD8+ sitotoksik sel T dan berhasil di terapi dengan pemberian infus sel
yang serupa. Serupa seperti penderita CMV yang disebabkan transplantasi organ
padat berhubungan dengan defisit aktifitas dari sel T sitotoksik. Aktivitas dari
retinitis karena CMV pada pasien AIDS berhubungan dengan aktifitas CD4+.
Mernariknya CMV mempunyai mekanisme evolusi untuk menekan regulasi dari
aktifitas sel T sitotoksik, kebanyakan melakukan bloking pada ekspresi utama
histocompatibility kompleks kelasI molekuler di permukaan sel yang terinfeksi.
Peran dari imunitas humoral mungkin lebih penting saat mencegah infeksi. Ifus
dari CMV Immunoglobulin menunjukkan lebih berhasil mencegah infeksi CMV
pada penerima transplantasi ginjal dan juga sangat membantu dengan kombinasi
ganciclovir pada penyembuhan pneumonitis CMV pada penerima transplantasi
sumsum tulang.
Penyakit secara primer atau reaktivasi manifestasi klinisnya dapat berua
sistemik atau lokal. Infeksi lokal yang cukup dikenal biasanya terdapat di paru,
hati, traktus gastrointetinal dari esofagus sampai kolon, retina dan sistem saraf
pusat. Pasien meninggal karena infeksi CMV biasanya karena infeksinya meluas
termasuk di paru, hati, ginjal, traktus gastrintestinal, kelenjar saliva, pankreas,
kelenjar adrenal, hati, sistem saraf pusat bahkan dikulit. Sel yang terinfeksi
6

mempunyai keduanya baik intranuklear dan intracytoplasma, yang mana
dideteksi dari bervariasinya stain histokimia.
Viremia mempunyai peran sangat penting dalam infeksi primer dan
reaktivasi. Pada gejala infeksi primer, virus biasanya masih berada didalam darah
dan dapat di deteksi sebelum antibodi spesifik CMV merespon ke
Immunoglobulin G (IgG) atau IgM. Viremia sangatlah umum meskipun tidak
semuanya merupakan gejala dari reaktivasi infeksi dan juga dapat menjadi awal
mula tanda gejala. Timbulnya viremia juga dapat membedakan antara infeksi
spesifik dan nonspesifik lebih baik dibandingkan dengan deteksi virus yang lain.
Meskipun hubungan ini jauh dari sempurna. Untuk beberapa alasan tes untuk
mendeteksi CMV dalam darah menekankan pada pengenalan dari infeksi klinis
spesifik. Bagaimanapun juga sangat penting untuk mengenali beberapa episode
dari kejadian reaktivasi, contohnya pada retinitis CMV pada pasien AIDS,
kemungkinannya terjadi tanpa viremia CMV yang terdeteksi.
Banyak penelitian menyatakan hubungan antara level kuantitas dari CMV
dan penyakitnya. Kebanyakan dari penelitian tersebut berfokus pada darah
sebagai fokus penelitian untuk mengukur kuantitas. Sebagai contoh, pada
penerima transplantasi hati, setiap peningkatan 0.25-log10 pada level DNA CMV
berhubungan dengan 2.2 fold menigkatnya resiko dari penyakit CMV. Dan juga
seperti, pada penerima donor paru, setiap peningkatan log10 pada level DNA CMV
berhubungan dengan 1.92-fold meningkatnya resiko dari CMV pneumonitis. Pada
pasien AIDS meningkatnya CMV pada darah, polimorfonuklear leukosit dan
plasma berhubungan dengan meningkatnya resiko dari penyakit. Karena kekuatan
dari hubungan ini berhubungan dengan jumlah virus yang secara penting di masa
depan agar dapat mengenali dan mengontrol dari infeksi CMV secara dini.
Manifestasi Klinik
Infeksi CMV pada manusia dengan sistem imun yang baik sering
asimptomatik, meskipun terkadang muncul mononucleosis like syndrome.
Sindrom ini biasanya akan menghilang dengan sendirinya (self-limited), dalam
beberapa minggu 38,84. Komplikasi serius jarang ditemui. Pada banyak kasus,
7

manifestasi klinis dari mononucleosis CMV adalah demam dan malaise. Berbeda
dengan mononucleosis virus Epstein Barr, faringitis, limfadenopati servikalis
tidak menonjol. Pemeriksaan laboratotium akan didapatkan munculnya limfosit
atipikal dan peningkatan enzim transaminase. Pada anak anak, manifestasi yang
tidak biasa dari infeksi CMV adalah munculnya Menetrier’s disease, yang
dikarakteristikkan adanya hipertrofi dari gastric rugae, disertai dengan abdominal
discomfort dan kehilangan protein enteropati 136.
CMV merupakan virus yang sering menyebabkan infeksi oportunistik
pada resipien trasplantasi sumsum tulang dan organ padat dan orang dengan
AIDS. Manifestasi klinik dan tingkat keparahan akan berbeda tergantung pada
tingkat imunosupresan, organ yang di transplantasi, dan apakah infeksi CMV
tersebut merupakan infeksi primer atau reaktivasi. Sebagai tambahan, infeksi
CMV dapat menimbulkan efek secara tidak langsung terhadap penerima
transplantasi, seperti meningkatnya resiko infeksi jamur dan infeksi oportunistik
lain selain virus dan meningkatkan penolakan organ transplantasi 138.
Pada resipien transplantasi organ padat, imunitas terhadap CMV dapat
dinilai dari ada tidaknya antibody terhadap cmv pada saat transplantasi, yang
memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian dan keparahan dari infeksi CMV.
Resipien dengan seronegative yang menerima organ dari donor dengan
seropositive beresiko tinggi memiliki penyakit simptomatik, yang mungkin akan
berlangsung lama, parah dan berulang 81, 138. Berbeda apabia resipien dengan
seronegative menerima organ dari donor dengan seronegative memiliki resiko
yang kecil untuk terinfeksi CMV. Resipien dengan seropositive memiliki resiko
sedang, dengan kecenderungan menuju beresiko tinggi dan memiliki infeksi yang
parah apabila menerima organ dari donor dengan seropositive. Studi terbaru
menyebutkan bahwa peningkatan resiko pada resipien dengan seronegative yang
menerima organ dari donor dengan seropositive dijelaskan dengan tingginya
kadar viremia pada resipien 73. Pemberian regimen imunosupresif antilimfosit juga
meningkatkan resiko CMV 32, 45, 79, 122.
Manifestasi klinik yang sering muncul pada infeksi CMV pada resipien
dengan transplantasi organ padat adalah febril sistemik yang dikenal dengan CMV
8

syndrome. Gejala utama pada CMV syndrome adalah demam, sering disertai
dengan malaise dan terkadang juga disertai arthralgias. Keterlibatan dari sistem
organ spesifik dapat dijumpai sebagai manifestasi pada CMV syndrome. Sistem
organ yang biasa terlibat seperti paru-paru, traktus gastrointestinal seperti
esofagitis, gastritis, dan colitis. Retinitis dan encephalitis CMV sangat tidak
umum dijumpai pada resipien dengan transplantasi organ padat. Terdapat
kecenderungan infeski CMV pada transplantasi hepar, paru-paru dan usus kecil.
Tidak diketahui apakah observasi tersebut mencerminkan menigkatnya kejadian
yang sebenarnya atau hanya merupakan evaluasi dari organ yang di
transplantasikan ke monitor untuk rejeksi allograf menuju ke peningkatan deteksi
dari CMV, atau bahasa lainnya positif palsu.
Terdapat sejumlah pertimbangan yang unik tentang infeksi CMV pada
resipien transplantasi sumsum tulang. Infeksi CMV sering terjadi pada resipien
allograft, termasuk orang yang menerima peripheral blood stem cell,
dibandingkan resipien autologous transplantasi sumsum tulang. Pada resipien
dengan transplantasi sumsum tulang, penyakit CMV terkait dengan reaktivasi
lebih umum dan lebih parah dari pada infeksi primer, kemungkinan karena
beberapa efek perlindungan yang diberikan saat transfusi sumsum tulang dari
pendonor yang seropositif-CMV. Penyakit Graft versus host menjadi factor resiko
yang penting untuk CMV sebagai deplesi sel T sumsum tulang. Manifestasi klinis
berbeda dari transplantasi organ padat, yangmana CMV pneumonitis dan CMV
yang berhubungan dengan supresimyelin secara relative lebih sering pada
penerima transplantasi sumsum tulang. CMV juga menginfeksi taaktus
gastrointestinal terutama di kolon, ini juga relative sering dan dapat menjadi
parah, mulai dari diare hingga perdarahan. Lesi ulcer mungkin dapat terlihat
dengan endoskopi.
Infeksi CMV hampir secara umum menyerang kelompok usia dewasa
dengan HIV, tetapi gejala penyakit ini terbatas hanya kepada individu dengan
AIDS yang sudah parah, biasanya terjadi ketika jumlah CD4 kurang dari 100
sel/mm3. Frekuensi dari tes laboratorium positif untuk CMV secara langsung
berhubungan dengan level immunosupresi, yang ditandai dengan jumlah CD4.
9

Individu yang tanpa gejala dengan sel CD4+ kurang dari 100/mm3 biasanya
mempunyai hasil positif dari kultur urine dan darah, seperti positifnya tes
antigenemia (pp65) dan DNA CMV di darah. Untuk alas an ini, deteksi dari CMV
pada cairan tubuh termasuk darah menjadi tidak berguna untuk diagnosis penyakit
CMV yang sedang terjadi pada pasien AIDS. Manifestasi klinis yang paling
sering pada pasien AIDS adalah retinitis CMV, yang biasanya menjadi bilateral
kemudian berlanjut menjadi kebutaan selama beberapa bulan kemudian apabila
tidak di terapi. CMV menyerang traktus gastrointestinal lterutama kolon dan
esofagus, menjadi lokasi paling sering dari lokal infeksi. Pneumonitis CMV
adalah gejala yang paling sering muncul secara subklinis. Sebagai contoh,
pneumonitis CMV sering muncul pada pasien dengan pneumonia Pneumocystis
carinii, tetapi terapi dari CMV tidak mempengaruhi hasil 87. Jarang ditemui
pneumonitis CMV terjadi dengan sendirinya dan simptomatik 164. Beberapa
manifestasi sistem saraf pusat, termasuk encephalitis, radikulomielitis, dan
neuropati perifer, juga terjadi pada orang dengan AIDS 7. Menariknya, dari
manifestasi ini CMV pada sistem saraf merupakan yang paling berbeda
dibandingkan dengan yang lain.
CMV merupakan infeksi congenital yang paling sering ditemui pada
manusia, kejadian ini diperkirakan 1% dari kelahiran di amerika serikat, dapat
ditarik kesimpulan perkiraan 40,000 bayi lahir per tahun dengan infeksi CMV
congenital(147). Perkiraan 90% dari bayi ini tanpa gejala namun 10 sampai 15 %
dari bayi ini ditemukan mengalami ketulian dan atau kecacatan lainnya. Dua
peneliti menyimpulkan bahwa ketulian terjadi secara progressive saat hari pertama
kelahiran sampai 5 tahun awal kehidupan57. Bayi dengan gejala saat lahir
mempunyai banyak manifestasi klinis termasuk jaundice, petekia, hepato
splenomegali, mikrosefal, khorierenitis, dan pneumonitis. Hamper 90% dari gejala
ini mempunyai satu atau lebih gejala neurologi atau auditori jangka panjang
karena infeksi CMV(147). Yang terbaru, 6 minggu dari pemberian intravena GCV
menunjukkan keefektifannya untuk mencegah dari ketulian pada bayi dengan
infeksi congenital termasuk sistem saraf pusat. (D. W. Kimberlin, C,-Y. Lin, DKK
dalam penelitian kolaborasi antiviral yang dimasukkan dalam publikasi).
10

DIAGNOSIS LABORATORIUM
Walaupun tes laboratorium untuk virologi dan serologi penanda infeksi
CMV relatif tidak rumit dan sangat menunjang dalam membuat diagnostik
virologinya, tetapi dalam menginterpretasi hasil tes tersebut sangat sulit.
Alasannya antara lain termasuk tingginya prevalensi Infeksi CMV, fakta bahwa
bukti infeksi CMV sering dapat dideteksi tanpa adanya penyakit, respon yang
berbeda dari berbagai populasi pasien terhadap virus {misalnya, infeksi primer vs
reaktivasi dari transplantasi organ terhadap transplantasi sumsum tulang versus
infeksi HIV), dan kurangnya sebuah standardisasi antara tes laboratorium.
Sekarang kemungkinan bahwa beberapa kesulitan dengan interpretasi uji akan
diselesaikan ketika telah tersedianya tes komersial untuk kuantisasi asam nukleat
CMV, bersama-sama dengan data pendukung dari studi terkontrol terhadap
kinerjadari tiap tes tersebut dalam populasi pasien yang berbeda.
Pilihan untuk melakukan tes diagnostik terhadap CMV ini tergantung pada
kemampuan sumber daya tiap laboratorium untuk mengerjakan permintaan tes
diagnostik dari dokter pengirim. Laboratorium dengan kemampuan untuk
melakukan berbagai jenis tes biasanya akan melakukan Shell Vial Culture dalam
mendeteksi virus CMV pada suatu layanan transplantasi organ padat dan tes
antigenemia kauntitatif untuk tes yang lain Dalam rangka untuk membantu dalam
keputusan yang tes yang ditawarkan,pekerja laboratorium harus memiliki
pengetahuan tentang alat tes yang berbeda, interpretasi hasil tes,dan keterbatasan
dari berbagai tes tersebut.
Diagnosis Histologi
Salah satu metode diagnosis CMV yang penting adalah diagnosis
mikroskopik jaringan yang terinfeksi melalui biosi jaringan. Diagnosis histologi
CMV adalah jika ditemukan adanya sel yang membesar (Citomegalo) dengan
karakteristik adanya inklusi intranuklear berupa gambaran owl’s eye.Apabila
terdapat sel dengan karakteristik tersebut, hal ini merupakan diagnostik yang
paling definitif pada paru-paru, traktus gastrointestinal, dan organ lain.
11

Kultur Sel Tradisional
Kultur Sel tradisional merupakan tes diagnostik untuk CMV meliputi
inokulasi spesimen pasien dan kemudian di kultur dan dilihat eviden Cytopathic
Effect (CPE). Karena waktu replikasi sel yang lama, dibutuhkan waktu kultur
sekitar 6 minggu atau lebih di beberapa laboratorium. Isolasi CMV dalam kultur
menunjukkan adanya virus yang replikatif dalam spesimen; namun,
perkembangan yang lambat dari CPE dan berlarut-larutnya waktu untuk pelaporan
hasil negatif membatasi kegunaan klinis dari kultur tradisional. Di era
pemeriksaan molekular dan rapid test yang lain, kultur tradisional ini menjadi tes
yang sangat berguna dalam mendeteksi CMV sebagai sumber infeksi dan
digunakan sebagai alat kontrol atau pembanding untuk memonitoring kinerja dari
metode tes lainnya seperti shell vial dan antigenemia assays.
CMV bisa diisolasi dari berbagai macam spesimen seperti urin, spesimen
pernafasan, semen, spesimen servikal, cairan amnion, darah dan biopsi serta
spesimen otopsi. Pennyimpanan dan pengiriman spesimen ke laboratorium
menjadi sangat penting mengingat hanya sel yang viable yang dapat diisolasi.
CMV meningkat infektivitasnya pada spesimen urin pada penyimpanan suhu
4oC,tapi studi lain menunjukkan sebaliknya. Khusus untuk spesimen darah dan
jaringan harus diinokulasi dalam 24 jam. Media transport yang paling baik adalah
yang mengandung fosfat sukrosa dan keadaan beku harus sangat dihindari.
Kalaupun diharuskan penyimpanan dilakukan dalam keadaan beku, medium yang
paling baik adalah cairan nitrogen.
Setelah spesimen diterima di laboratorium, spesimen tergantung dari jenis
spesimennya, membutuhkan proses tambahan. Karena produktivitas infeksi dan
CPE biasanya hanya terlihat pada sel fibroblas manusia, biasanya kultur sel
dilakukan pada MRC-5, WI, atau jaringan fibroblas permukaan kulit. Setelah itu
dilakukan inokulasi, dilakukan pemeriksaan mikroskopis setiap hari pada minggu
pertama dan frekuensinya diturunkan pada minggu selanjutnya berdasarkan waktu
inkubasinya. Perkembangan virus untuk menghasilkan CPE lambat, namun pada
spesimen urin dan pernafasan yang mengandung titer tinggi virus, CPE dapat
diproduksi hanya dalam waktu kurang dari 24 jam. CPE ini merupakan
12

patognomonik untuk CMV dan tidak dibutuhkan pemeriksaan mikroskopik lebih
lanjut jika sudah didapatkan CPE ini. Tetapi jika CPE ini tidak dapat membantu
diagnosis maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis ataupun dilakukan
pemeriksaan imunoflorensi dengan menggunakan antibodi monoklonal spesifik
untuk antigen CMV.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kultur tradisonal dengan
spesimen darah memiliki sensitifitas lebih baik daripada pemeriksaan shell vial ,
namun beberapa penelitian lain menunjukkan sebaliknya. Hal ini terkait dengan
tidak adanya standarisasi prosedur dalam pengerjaan kultur sel ini sehingga hasil
yang didapatkan juga berbeda-beda tergantung dari jumlah dan jenis spesimen,
umur dan kondisi spesimen, dan lama waktu yang digunakan untuk kultur serta
metode yang digunakan untuk identifikasi. Dari semua faktor-faktor di atas, dapat
disimpulkan bahwa shell vial test dan antigenemia assay lebih sensitiv dari kultur
sel tradisional. Tapi terkadang dengan jumlah spesimen yang sedikit, hasil positif
didapat dengan menggunakan kultur sel tradisional. Pada akhirnya untuk
mendapatkan hasil yang maksimal dan sangat sensitif direkomendasikan untuk
menggunakan kultur tradisional dan shell vial.
Sebenarnya, kultur sel tradisional lebih menitikberatkan pada penemuan
wujud CMV dalam spesimen, keberhasilan metode ini sangat tergantung pada
beberapa variabel seperti sumber spesimen seperti yang telah disebutkan di atas.
Sangat sulit sekali untuk mendapatkan spesimen yang baik dari sekret respirasi,
sekret genital dan urin padahal virus yang infeksius banyak terdapat dalam
spesimen-spesimen tersebut. Oleh karna itu spesimen darah lebih dipilih untuk
kultur, didasarkan pada proses viremia yang menyebabkan virus memasuki
sirkulasi darah, khususnya pada penyakit CMV sistemik, walaupun pada sebagian
kasus virus dapat dideteksi pada pasien yang imunokompromais tanpa gejala.
Kultur dengan spesimen dari amnion biasanya jarang dilakukan, dan dilakukan
dengan tujuan untuk mendeteksi infeksi kongenital. Infeksi kongenital juga dapat
dideteksi dengan spesimen urin bayi baru lahir dalam 2 sampai 3 minggu pertama
kelahiran. Adanya infeksi kongenital ini tidak selalu menunjukkan adanya
kecacatan fetal dan pada sebagian anak dapat lahir dengan sehat dan tumbuh sehat
13

selama masa kanak-kanak. Isolasi virus dari urin dari neonatus yang lebih tua
biasanya merefleksikan infeksi postnatal dan biasanya tidak berhubungan atau
tidak menunjukkan adanya infeksi kongenital. Spesimen dari jaringan yang
terinfeksi CMV ini hasilnya sangat mengindikasikan pasien atau seseorang
pemilik jaringan tersebut terkena penyakit karena CMV.
Variabel yang penting lainnya dalam isolasi virus CMV adalah status
klinis dari pasien. Isolasi dari pasien yang memiliki resiko tinggi terinfeksi virus
ini memiliki spesimen kultur yang lebih baik.Misalnya, pada pasien yang
seropositiv CMV kemudian mendonorkan organnya pada pasien yang
seronegativ, membuat pasien seronegativ tadi memiliki resiko tinggi untuk
terinfeksi CMV. Apalagi pada resipien transplantasi sumsum tulang akan
memiliki resiko tinggi untuk terinfeksi CMV tanpa memandang serostatusnya.
Pada pasien HIV akan sangat beresiko untuk terinfeksi CMV apabila jumlah CD4
kurang dari 100 sel per mm3 .
Laboratorium yang memiliki metode lain selain kultur seperti pemeriksaan
molekuler dan pemeriksaan antigemia, sebaiknya tidak lagi menggunakan metode
kultur walaupun metode kultur dapat mendeteksi virus sejak infeksi hari pertama.
Untuk laboratorium yang menggunakan metode pemeriksaan kerentanan fenotip
antiviral, kultur dapat digunakan untuk memperoleh isolate virus, yang mana tidak
dapat disediakan oleh pemeriksaan shell vial, antigenemic assay,dan pemeriksaan
molekular. Hasil isolate virus dari kultur ini digunakan berdasarkan format plaque
reduction. Selain itu kultur ini juga dapat digunakan untuk pembanding atau
kontrol terhadap hasil dari pemeriksaan lain, dan perlu dilakukan investigasi lebih
lanjut apabila didapatkan hasil yang sangat jomplang.
Kultur Shell Vial
Metode ini mulai diaplikasikan pada 1984, dimana digunakan metode
sentrifugasi shell vial culture untuk mendeteksi CMV dalam klasus klinis. CPE
yang dihasilkan pada metode ini tidak sebaik pada metode kultur tradisional,
tetapi sangat baik dalam menunjukkan antigen viral pada awal infeksi.
14

Seperti pada kultur tradisional, metode ini digunakan untuk menemukan wujud
dari infeksi virus. Faktor spesimen dan pengirimannya sangat mempengaruhi hasil
pemeriksaan metode ini. Prosedur metode ini juga belum terstandarisasi, dan hasil
pemeriksaan dengan metode ini lagi-lagi dipengaruhi oleh variabel spesimen yang
dipakai. Variabel tersebut meliputi sumber spesimen, umur sel, jumlah inokulasi
shell vial per spesimen, penggunaan agen peningkat seperti dimetil sulfoksid dan
deksametason, penggunaan antibodi monoklonal dalam pewarnaan dan waktu
inkubasi untuk pewarnaan. Karena sel berasal dari suplier yang berbeda maka
sensitivitas untuk mendeteksi CMV juga berbeda, oleh karena itu laboratorium
harus membandingkan hasil dari tiap sel tersebut.
Beberapa studi menjelaskan bahwa monolayer yang berumur 3 sampai 9
hari memiliki performa yang lebih baik daripada yang lebih muda dan lebih tua.
Beberapa laboratorium menggunakan dua vial per spesimen dimana vial yang
pertama dilakukan pewarnaan pada 16 hingga 24 jam pertama, setelah itu apabila
hasilnya negativ makan dilakukan pewarnaan pada vial yang kedua dalam 48 jam
pertama. Multivial lebih baik digunakan daripada satu atau dua vial saja,
mengingat apabila beberapa vial rusak akibat efek toksisitas makan masih ada
beberapa vial lain yang dapat digunakan.Leukositosis dapat dijadikan indikasi
penggunaan darah sebagai spesimen pemeriksaan karena leukositosis juga
mengindikasikan adanya viremia. Sedangkan leukopenia juga mengindikasikan
penggunaan spesimen dari sumsum tulang.
Metode shell vial ini lebih sensitif daripada kultur tradisonal namun tidak
lebih sensitif dari pemeriksaan antigenemia dan lebih tidak sensitif daripada
metode yang biasa dipakai untuk deteksi asam nukleat teramplifikasi.
Deteksi Antigen
Deteksi antigen Citomegalovirus (CMV) pada pengambilan
Polymorphonuclear Neutrophil Leukocytes (PMN) di spesimen darah tepi
merupakan dasar pemeriksaan antigenemia. Pemeriksaan antigenemia
menggunakan sel darah putih yang telah di isolasi dan diperiksa dengan slide
mikroskop, kemudian di fiksasi dan dilakukan pengecatan dengan menggunakan
15

antibodi monoklonal yang reaktif dengan phosphoprotein CMV 65-kDa (pp 65).
Pemeriksaan ini kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode
immunofluorescence atau enzime immunoassay (EIA). Antigen pp65 terletak
pada inti sel PMN dan dapat terlihat dengan menggunakan mikroskop yang
sesuai. Pemeriksaan antigenemia ini telah dilakukan sejak tahun 1988.
Pemeriksaan dengan antigenemia ini memiliki beberapa keuntungan, salah
satunya yaitu pemeriksaan ini dapat memberikan hasil yang cepat. Pemeriksaan
ini hanya memakan waktu 6 jam saja, namun dapat menyajikan hasil yang sama
dengan pemeriksaan lain yang membutuhkan waktu satu hari. Bahkan beberapa
pemeriksaan yang dapat melisiskan eritrosit dapat mengurangi waktu pemeriksaan
menjadi 2 jam saja. Keuntungan lain adalah dengan pemeriksaan antigenemia,
dapat juga menyajikan hasil pemeriksaan secara kuantitatif.
Beberapa kendala yang ditemui pada pemeriksaan antigenemia CMV
adalah pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lama dalam hal persiapannya,
baik pada saat pengecatan juga pembacaan hasil dengan mikroskop, apalagi jika
jumlah spesimen yang digunakan banyak. Kendala lain yang dijumpai adalah
pemeriksaan spesimen darah akan mengalami degradasi jika spesimen tidak
langsung diperiksa karena dikirim dalam jarak yang jauh dari tempat pemeriksaan.
Hal ini sangat berpengaruh, terutama jika pemeriksa juga menginginkan hasil
kuantitatif. Waktu ideal dari pengumpulan spesimen sampai pemeriksaan adalah 5
– 6 jam. Kendala lain yang dihadapi adalah pemeriksaan ini biasanya
menggunakan formaldehid atau paraformaldehid untuk proses fiksasi, hal ini
dapat menimbulkan risiko bagi keselamatan pemeriksa, maka dari itu pemeriksa
harus memperhatikan alat perlindungan diri saat pemeriksaan.
Hal lain yang dapat memengaruhi pembacaan hasil secara kuantitatif pada
pemeriksaan antigenemia adalah antibodi monklonal yang digunakan terlalu
spesifik, metode fiksasi, jumlah sel yang digunakan pada pemeriksaan slide, dan
lama waktu antara proses pengumpulan spesimen dan pemeriksaan.
Pada pemeriksaan antigenemia, transkripsi awal dan akhir ditemukan di
PMN dan merupakan penanda infeksi aktif CMV. Banyak peneliti dan dokter
klinisi yang menyatakan bahwa deteksi antigenemia merupakan penanda bahwa
16

CMV aktif bereplikasi. Pemeriksaan antigenemia ini pada awalnya digunakan
untuk mendeteksi antigen CMV pada darah pasien yang menerima transplantasi
dan pasien yang terinfeksi HIV. Data dari beberapa literatur menunjukkan bahwa
deteksi antigenemia secara kualitatif lebih sensitif dari pemeriksaan kultur namun
kurang sensitif dibandingkan pemeriksaan DNA CMV dengan PCR. Aplikasi lain
dari pemeriksaan antigenemia CMV adalah deteksi antigen CMV pada bayi baru
lahir sebagai penanda infeksi kongenital. Selain itu aplikasi lain pemeriksaan ini
adalah sebagai tes untuk konfirmasi apakah terdapat infeksi CMV pada sistem
saraf pusat dengan pengambilan sampel liquid cerebro spinal (LCS) pasien untuk
mendeteksi antigen di dalamnya.
Menurut Boeckh dan Boivin, pemeriksaan antigenemia untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan terbaik, pemeriksaan antigenemia seharusnya
dilakukan dengan metode immunofluorescence, dengan menggunakan
formaldehid sebagai fiksator, dan menggunakan dua titik untuk melihat kuman,
dengan masing-masing mengandung 150,000-200,000 sel.
Diagnosis Molekuler
Ide untuk menggunakan asam nukleat CMV dalam pendeteksian
laboratoris CMV sudah mulai dilakukan sejak lama. Beberapa di antaranya yaitu
pemeriksaan untuk meneliti antigen CMV secara kualitatif dengan menggunakan
home brew PCR, pemeriksaan ini mempunyai banyak variasi pada parameter
pemeriksaannya, seperti target sekuens, primer serta kondisi reaksi.
Pemeriksaan diagnostik molekuler antigen CMV yang sering digunakan
saat ini adalah pemeriksaan home brew PCR, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif dan beberapa teknik pemeriksaan lain yang bervariasi dalam hal strategi
amplifikasinya. Beberapa teknik pemeriksaan masih terus dikembangkan untuk
mempersingkat waktu pemeriksaan.
Tes PCR
Kebanyakan dari tes yang dilakukan untuk mendeteksi asam nukleat pada
CMV menggunakan metode sasaran amplifikasi PCR. Tes ini didasarkan pada
17

reaksi polimerisasi in vitro DNA dimana oligonukleotida pendek secara khusus
mengikat urutan genom DNA CMV dan menyalin segmen dari DNA virus yang
panjang dengan menggunakan enzim DNA polimerase. Untuk setiap siklus dari
reaksi, ada dua kali lipat produksi DNA target, dimana masing-masing untaian
target yang baru tersintesis mampu dijadikan template untuk amplifikasi
selanjutnya. Idealnya, hasil akhirnya adalah sejumlah DNA target yang telah
teramplifikasi dapat dideteksi dengan mudah oleh salah satu dari beberapa metode
tersebut.
Langkah-langkah dari alat tes PCR untuk CMV adalah ekstraksi asam
nukleat dari spesimen, perakitan komponen reaksi dalam tabung reaksi,
penempatan tabung dalam blok panas (disebut sebagai thermocycler) yang telah
diprogram untuk amplifikasi, dan kemudian deteksi produk reaksi
dengansejumlah pilihan metode yang ada untuk mendeteksi produk. Produk
tertentu dapat diidentifikasi melalui visualisasi fragmen DNA dari ukuran yang
benar pada sebuah etidium bromida gel agarosa. metode hibridisasi tertentu untuk
mendeteksi produk seperti Sothern transfer, dot blot, atau hibridisasi cair juga
telah digunakan menggunakan label probe isotop atau nonisotop. Produk juga
dapat dideteksi dan diidentifikasi dalam microwell plate. Di sini, pada denaturasi,
produk PCR ditambahkan ke microwell dilapisi dengan probe oligonukleotida.
Setelah reaksi hibridisasi singkat, hibridisasi terdeteksi dalam uji
colorimerric menggunakan enzim antibodi monoklonal terkonjugasi yang
ditujukan terhadap haptens yang terkonjugasi pada PCR dimasukkan ke dalam
produk tertentu. Baru-baru ini, deteksi real-time dari produk pCR telah diterapkan
untuk diagnostik CMV. deteksi realtime mengacu pada identifikasi Produk PCR
khusus selama reaksi amplifikasi itu sendiri, tanpa harus melakukan uji deteksi
produk terpisah. Real-time deteksi dipengaruhi oleh penambahan dari satu atau
lebih label fluorescen probe oligonukleotida ke campuran PCR. Jika produk
tertentu diproduksi, pengikatan probe menghasilkan emisi cahaya dari panjang
gelombang tertentu yang kemudian dapat dideteksi dan dinilai secara kuantitatif.
Contoh instrumen atau alat pendeteksi realtime untuk tes diagnostik CMV telah
18

dijelaskan termasuk Roche Light Cycler System 133 dan sistem ABI TaqMan M
7700 99,108.
Berbagai spesimen klinis telah digunakan untuk mendeteksi CMV pada
PCR, terutama darah. Untuk pengujian darah, uji ini adalah dilakukan pada asam
nukleat dari darah lain yang telah diekstrak, fraksi leukosit, serum, atau plasma.
Tampaknya terdapat perbedaan dalam kinerja tes PCR darah CMV yang terkait
dengan apakah spesimen yang diuji adalah fraksi seluler atau cairan darah.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa uji serum atau plasma kurang sensitif
untuk mendeteksi DNA virus tetapi lebih spesifik untuk diagnosis penyakit CMV
daripada uji fraksi leukosit18.
Namun, spesimen apakah yang baik yang dapat direkomendasikan untuk
pemeriksaan rutin pada pasien belum diselesaikan atau ditentukan. Ada banyak
penelitian yang mendokumentasikan kinerja tes darah CMV PCR kualitatif yang
diterapkan pada sejumlah populasi pasien yang berbeda. Fakta menunjukkan
bahwa sebagian besar laporan menggunakan tes home-brew membuat sulit untuk
dibandingkan secara langsung, meskipun beberapa kesimpulan umum bisa ditarik.
Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa tes diagnostik CMV menggunakan
PCR tidak mendeteksi virus dalam darah orang yang sehat. Segera setelah
pengenalan pengujian PCR ada kekhawatiran bahwa uji akan terlalu sensitif dan
bahwa DNA virus akan terdeteksi bahkan dalam spesimen darah dari seropositif
individu sehat. Meskipun ada laporan tes PCR sensitif mendeteksi DNA CMV
dalam darah orang yang sehat 12, 141, ketakutan ini belum direalisasikan. Sebuah
penjelasan yang mungkin untuk deteksi DNA CMV dalam darah dari donor yang
sehat adalah observasi bahwa DNA CMV dapat bertahan sampai 6 bulan dalam
sel darah putih perifer pada individu yang imunokompeten setelah infeksi primer 127.
Seperti kultur dan tes antigenemia, deteksi kualitatif asam nukleat CMV
dalam darah dianggap bukti replikasi sistemik virus dan biasanya terlihat hanya
dalam konteks disfungsi kekebalan tubuh. Ada juga bukti kuat, dilaporkan dari
sejumlah penelitian, bahwa pCR kualitatif secara signifikan lebih sensitif
dibandingkan kultur darah dan metode antigenemia. Sama seperti dengan kultur
19

dan tes antigenemia, PCR sering mendeteksi CMV dalam ketiadaan penyakit
klinis. Seperti yang mungkin diharapkan dengan tes sensitif, karakteristik ini akan
lebih parah dengan PCR, dengan hasil tes yang positif lebih sering dari pada
kultur dan tes antigen dalam ketiadaan penyakit41. Hal ini menjadikan PCR
berpotensi negatif untuk dieksplorasi untuk keperluan yang positif. Sebagai
contoh, peningkatan sensitivitas pCR menghasilkan nilai prediktif negatif yang
lebih tinggi pada tes yang dilakukan. Dengan demikian, pasien yang mengalami
immunocompromise dengan suspek penyakit CMV dimana hasil PCR darahnya
negatif untuk CMV akan memiliki kemungkinan sangat rendah memiliki penyakit
sistemik CMV. Situasi lain di mana peningkatan sensitivitas untuk CMV pada
PCR dengan darah telah digunakan dalam
pemantauan ketat pada organ dan sumsum tulang penerima transplantasi berisiko
tinggi untuk penyakit CMV. Ada waktu di masa postransplant awal ketika
penerima transplantasi beresiko tinggi mengembangkan penyakit CMV. Pengujian
darah dengan PCR selama periode ini sering mengungkapkan kehadiran CMV,
tanpa adanya penyakit dan sebelum kultur atau tes antigenemia menjadi positif,
sehingga memungkinkan terapi antivirus 48, 66, 91, 132. Hasil positif menurut PCR
telah digunakan sebagai pemicu untuk mengobati penerima transplantasi terlebih
dahulu dengan obat antivirusselama periode berisiko tinggi ini. Dalam beberapa
kasus, CMV dapat menerobos dan mulai terjadi replikasi bahkan ketika diterapi
antiCMV. pCR menjadi lebih sensitif dalam mendeteksi CMV pada kasus ini.
Sebuah keuntungan yang pasti dari pengujian spesimen darah dengan PCR
adalah bahwa DNA CMV tampaknya lebih stabil selama transportasi spesimen
dari infektivitas atau antigen CMV 134. Ini adalah masalah utama bagi
laboratorium yang perlu untuk menguji spesimen darah setelah spesimen
mengalami transportasi yang lama dan berkali-kali. Laporan dari laboratorium
kami yang secara langsung membandingkan spesimen darah CMV positif yang
disimpan untuk berbagai panjang waktu dengan PCR dan kultur menunjukkan
bahwa, sementara pemulihan CMV dalam kultur terus menurun ke nol lebih dari
72 jam, tingkat DNA CMV oleh PCR tetap stabil131.
20

Tes PCR untuk CMV juga telah diterapkan pada jenis spesimen selain
darah. PCR memiliki telah menunjukkan secara signifikan lebih sensitif daripada
kultur untuk deteksi CMV pada spesimen CSF untuk diagnosis laboratorium
infeksi CMV pada SSP, dimana penyakit ini terlihat hampir secara eksklusif pada
pasien dengan AIDS 35, 100, 169. Deteksi DNA CMV dalam CSF dianggap bukti
replikasi virus dalam SSP dan biasanya meskipun tidak selalu, terkait dengan
ensefalitis atau radiculomyelitis CMV. Sekarang kuantitasi DNA CMV telah
dilaporkan untuk meningkatkan utilitas klinis uji, dengan tingkat yang lebih tinggi
lebih mungkin untuk berhubungan dengan penyakit6.
Demikian juga, PCR adalah satu-satunya uji laboratorium yang berguna
untuk diagnosis retinitis CMV, kondisi lain terkait dengan AIDS 55, 58. Meskipun
diagnosis penyakit okular biasanya dibuat secara klinis, beberapa kasus dapat
muncul atipikal. volume spesimen cairan okuler yang sangat kecil yang tersedia
untuk pengujian umumnya menghalangi penggunaan metode diagnostik selain
PCR.
Tes PCR dengan spesimen cairan ketuban sebagai tes diagnostik infeksi
CMV kongenital juga telah dijelaskan, dengan beberapa laporan yang
menunjukkan sensitivitas yang setara dengan kultur dan studi lainnya,
menunjukkan bahwa PCR sedikit lebih sensitif17,44, 126. Seperti kultur, deteksi DNA
CMV dalam cairan ketuban adalah diagnostik untuk infeksi kongenital
tetapi tidak memprediksi kelainan janin yang diinduksi CMV. Penerapan tes PCR
dengan spesimen urin bayi yang baru lahir untuk diagnosis postnatal dari infeksi
kongenital CMV juga telah dilaporkan 42. Untuk aplikasi ini, PCR mungkin
menawarkan keuntungan sedikit lebih banyak dari kultur selain kecepatan dan
kenyamanan, sebagai bayi yang terinfeksi tampak mengeluarkan titer CMV
dalam urin tinggi yang mudah terdeteksi dalam kulture.
Lavage bronchoalveolar (BAL) cairan juga dipakai sebagai spesimen untuk tes
PCR CMV untuk mendiagnosa CMV pneumonitis 107. Penyakit ini terlihat
terutama di transplantasi sumsum tulang, transplantasi jantung-paru-paru, dan
penerima transplantasi paru-paru. Pengujian spesimen BAL dengan PCR dari
penderita masalah yang sama seperti kultur BAL cairan, yaitu, kurangnya
21

spesifisitas. Itu tampak bahwa DNA CMV dapat dideteksi sering dengan tidak
adanya pneumonitis yang ditentukan oleh histologi 24. Namun, PCR diterapkan
pada spesimen BAL telah dilaporkan memiliki yang tinggi nilai prediktif negatif
untuk mengesampingkan adanya pneumonitis.
Kelompok lain dari tes PCR telah dikembangkan untuk mendeteksi
mRNA CMV daripada genom DNA. Amplifikasi virus RNA tertentu dengan pCR
dilakukan dengan reverse transcriptase pCR (RT -PCR) menggunakan enzim RT
retroviral untuk terlebih dahulu membuat DNA copy komplementer dari RNA
yang kemudian diperkuat oleh pCR tradisional. Alasan untuk RT-PCR adalah
bahwa, berbeda dengan kehadiran DNA virus genomik, yang secara teoritis bisa
hadir nonreplicative, kehadiran mRNA untuk gen virus tertentu akan terdeteksi
hanya selama periode replikasi CMV aktif. Sejumlah penelitian menggunakan
RT-PCR untuk memperkuat CMV mRNA dari spesimen diagnostik telah
dilaporkan14, 104. RT-PCR tampaknya telah mengurangi sensitivitas tapi baik pada
spesifisitas untuk diagnosis infeksi simtomatik 111.
Modifikasi kuantitatif dari PCR digambarkan segera setelah pengenalan
kualitatif awal tes. Sejumlah metode telah digunakan untuk mendapatkan hasil
kuantitatif, yang paling umum digunakan adalah koampifikasi dari standar
internal. Standar internal ditambahkan ke campuran pCR adalah fragmen DNA
yang dapat berupa homolog atau heterolog sehubungan dengan urutan target virus
yang sebenarnya, Dalam kasus lain, ada strategi yang berbeda untuk membedakan
amplifikasi standar internal dari target viral. Selama koamplifikasi dari kedua
standar internal dan target khusus, kompetisi terjadi antara amplifikasi standar dan
target. Dengan menambahkan diketahui jumlahnya standar ke dalam reaksi
campuran, jumlah sasaran ditambahkan ke reaksi campuran dapat ditentukan.
Baru-baru ini, yang disebutkan di atas real-time LightCycler dan sistem TaqMan
telah digunakan untuk menghasilkan hasil kuantitatif. Di sini, satu set standar
yang mengandung jumlah yang telah diketahui sasaran termasuk dalam masing-
masing berjalan dan digunakan untuk menghasilkan kurva standar berdasarkan
pada jumlah fluoresensi tertentu yang dihasilkan selama setiap siklus. Jumlah
target CMV pada spesimen pasien kemudian ditentukan oleh perbandingan jumlah
22

fluoresensi diproduksi untuk standar kurva, sistem ini umumnya lebih sederhana
dan kurang rumit untuk digunakan, karena ada fakta bahwa perangkat lunak
komputer yang digunakan untuk membuat kurva dan menghitung hasil yang tidak
diketahui. Kelemahan utama dari instrumen ini adalah biaya tinggi.
Seperti diagnostik CMV yang lain, ada kekurangan standarisasi untuk
metode pCR kuantitatif. Tinjauan metode kuantitatif CMV oleh Boeckh dan
Boivin 20. mengungkapkan variasi di banyak parameter uji, termasuk spesimen
yang diuji, target dan urutan primer, cara di mana hasil kuantitatif dilaporkan,
sensitivitas uji, dan jangkauan dinamis. Bahkan mempertimbangkan variasi ini,
seperti dengan metode kuantitatif CMV lain, tampak bahwa tingkat DNA CMV
yang lebih tinggi berkorelasi lebih sering dengan infeksi CMV simptomatik dari
pada dengan replikasi virus asimtomatik. Meskipun tidak ada kesepakatan umum,
karya terbaru menunjukkan mungkin penting dalam metode molekuler kuantitatif
untuk diagnosis CMV di masa depan 73. Saat ini, belum ada ada standar universal
untuk DNA CMV.
Alat Diagnostik Molekuler CMV
Ketersediaan alat komersial yang terjangkau untuk deteksi kualitatif dan
kuantitatif CMV DNA akan bermanfaat untuk standardisasi potensi tes CMV
diagnostik molekuler. Alat tes CMV molekuleryang saat ini tersedia secara
komersial tercantum dalam Tabel 1.
1. Roche Amplicor PCR assay
Sistem ini tersedia secara komersial untuk kedua deteksi kualitatif dan
kuantitatif CMV DNA dari plasma manusia. Kit ini dipasarkan "hanya
digunakan untuk penelitian", dan tidak disetujui oleh FDA. Uji kualitatif
amplicor CMV menggunakan primer yang memperkuat bagian dari gen
polimerase DNA CMV dan memiliki opsi pengendalian internal yang
memungkinkan untuk identifikasi spesimen penghambat. Produk terdeteksi
oleh prosedur colorimetric menggunakan probe menangkap ikatan ke sumur
dari lempeng microplate 96. Uji kuantitatifRoche Cobas Amplicor CMV
Monitor dijalankan pada semi otomatis Cobas Analyzer System. Uji ini
23

menggunakan koamplifikasi standar kompetitif untuk kuantitatif jumlah
sasaran CMV pada spesimen. Tidak ada pedoman untuk menentukan tingkat
signifikan CMV DNA yang dideteksi oleh kit ini. Saat ini terdapat sejumlah
laporan yang menggambarkan kinerja tes ini. Secara umum, seperti dengan
tes PCR untuk pengujian plasma, tes Amplicor tampaknya memiliki
sensitivitas lebih rendah tetapi spesifisitas yang lebih tinggi terhadap tes
untuk spesimen pengujian leukosit. Meskipun kit ini dirancang khusus untuk
menguji spesimen plasma, pengujian spesimen lain seperti cairan ketuban dan
CSF telah dilaporkan dalam literatur.
2. Digene Hybrid Capture System
Digene Hybrid Capture System adalah yang kit pertama yang disetujui FDA
untuk uji yang tersedia secara komersial untuk deteksi kualitatif DNA CMV.
Tes ini disetujui untuk pengujian leukosit darah perifer (PBL), diisolasi dari
penerima transplantasi dan pasien HIV. Hal ini didasarkan pada teknologi
amplifikasi sinyal dimana spesimen DNA hibrid dengan spesifik CMV probe
RNA dan DNA yang dihasilkan hibrida DNA/RNA ditangkap di sisi tabung
yang dilapisi dengan antibodi spesifik untuk hibrida DNA/RNA. Hibrida
terdeteksi setelah penambahan antibodi-hibrida spesifik enzim-terkonjugasi.
Penambahan substrat luminescent dalam pembelahan enzimatik substrat,
dengan produksi cahaya berikutnya yang kemudian dideteksi dalam
luminometer. Amplifikasi sinyal, sebagai lawan target, berlangsung
berdasarkan fakta bahwa banyak antibodi enzim-terkonjugasi dapat mengikat
setiap hibrida DNA/RNA. Evaluasi yang dipublikasikan menunjukkan bahwa
Digene Hybrid Capture System memiliki sensitivitas yang setara dengan alat
tes antigenemia CMV. Keuntungan dari format capture hybrid selama tes
antigenemia adalah bahwa spesimen darah untuk uji capture hybrid dapat
ditahan sampai 24 jam sebelum pengolahan. Uji capture hybrid dapat
dilakukan dalam waktu sekitar 6 jam, waktu yang sama seperti yang
diperlukan untuk standar antigenemia dan tes PCR.
3. Organon Teknika NucliSens CMV pp57 assay
24

The NucliSens assay adalah tes diagnostik molekuler yang disetujui FDA
untuk deteksi kualitatif CMV mRNA dalam spesimen darah dari organ
penerima transplantasi dan pasien HlV terinfeksi. Seperti uji antigenemia
yang juga menguji volume set darah, perhatian dengan uji NucliSens adalah
bahwa sensitivitas dapat dikompromikan untuk pasien neutropenia sebagai
target mRNA. Pabrikan merekomendasikan bahwa spesimen darah
distabilkan jika memungkinkan dengan penambahan buffer lisis pada titik
pengumpulan dan dalam waktu 24 jam dari pengumpulan dalam semua kasus.
Target amplifikasi adalah mRNA ditranskripsi dari CMV pp57 gen, protein
matriks tegument terfosforilasi dinyatakan terlambat dalam siklus replikasi
virus. Amplifikasi target mRNA dilakukan dengan serangkaian reaksi in vitro
yang biasa disebut amplifikasi asam nukleat berbasis urutan. Pengujian
menggunakan sepasang primer oligonukleotida dan tiga enzim, termasuk RT,
RNase H, dan T7 RNA polimerase. Setelah mengikat salah satu primer untuk
menargetkan mRNA, RT berpolimerisasi untai DNA komplementer,
membentuk hibrida DNA/RNA. Setelah hidrolisis komponen RNA dengan
RNase H, primer kedua mengikat, sebagai template untuk RT untuk
menyelesaikan pembentukan untai ganda DNA intermediet. Karena primer
pertama juga mengandung promotor polimerase T7 RNA, enzim polimerase
T7 RNA dapat menggunakan DNA untai ganda intermediet sebagai template
untuk menghasilkan beberapa transkrip RNA, yang masing-masing dapat
menjadi template RNA untuk produksi intermediet DNA dan transkripsiyang
lebih banyak. Tidak seperti PCR, proses ini isotermal dan dapat dilakukan
dalam bak air; konsekuensinya, tidak memerlukan sebuah thermocycler.
Produk amplifikasi ditangkap khusus oleh probe oligonukleotida konjugasi
manik-manik magnetik. Deteksi dipengaruhi oleh proses
electrochemiluminescence, yaitu penambahan probe oligonukleotida berlabel.
Deteksi cahaya yang dipancarkan memerlukan alat khusus. Seperti untuk RT-
PCR, alasan dari uji NucliSens adalah bahwa deteksi mRNA virus
mencerminkan CMV aktif bereplikasi. Data yang dipublikasikan
menunjukkan bahwa tes NucliSens memiliki spesifisitas yang tinggi untuk
25

mendeteksi CMV viremia dan kepekaan setara dengan, atau lebih rendah dari,
tes antigenemia, tetapi dengan manfaat tambahan hanya membutuhkan 100 μl
dari darah dan memiliki pengolahan spesimen yang sederhana terhadap tes
antigenemia. Sebuah studi perbandingan yang diperiksa enam metode yang
berbeda untuk diagnosis laboratorium CMV menyarankan bahwa penetapan
kadar NucliSens pp67 tidak berguna untuk diagnosis penyakit CMV pada
penerima transplantasi ginjal. Penelitian lain menunjukkan bahwa deteksi
pp67 mRNA tidak memiliki sensitivitas, terutama ketika pengujian spesimen
dari sumsum tulang penerima transplantasi. Beberapa studi melaporkan
bahwa modifikasi dari uji NucliSens mendeteksi CMV mRNA segera dan
awal memiliki kegunaan diagnostik yang lebih besar. Pada tulisan ini, versi
komersial dari NucliSens assay untuk mendeteksi mRNA segera dan awal
tidak tersedia. Meskipun uji NucliSens ditujukan untuk pengujian spesimen
darah saja, itu juga telah digunakan untuk mendeteksi mRNA virus pada
spesimen CSF dari pasien yang terinfeksi HIV untuk diagnosis CMV
ensefalitis. Seperti tes RT-PCR, studi lebih lanjut diperlukan sebelum
kesimpulan dapat ditarik tentang nilai diagnostik untuk mendeteksi mRNA
virus menggunakan uji NucliSens.
Sangat mungkin bahwa pengujian molekuler akan menjadi baku emas
untuk diagnosis laboratorium infeksi CMV. Namun, beberapa derajat
standardisasi harus dicapai sebelum hal ini dapat terjadi. Grundy et al.
menerbitkan sebuah studi multisenter di mana 48 spesimen darah dari sumsum
tulang penerima transplantasi diuji untuk keberadaan CMV DNA. Setiap pusat
dilakukan uji PCR tanpa upaya standarisasi metode. Hasil menunjukkan korelasi
yang buruk antara pusat-pusat, terutama untuk sampel yang mengandung jumlah
yang lebih rendah dari CMV. Data menunjukkan bahwa pilihan prosedur ekstraksi
DNA memiliki efek penting pada hasil, dan penulis menawarkan rekomendasi
untuk prosedur standardisasi. Jelas, penggunaan tes komersial tertentu akan
memungkinkan standardisasi yang harus dicapai. Namun, terbukti dari
pembahasan sebelumnya, sudah ada sejumlah tes komersial yang berbeda dan
masing-masing menggunakan prosedur ekstraksi dan amplifikasi yang berbeda.
26

Studi membandingkan tes komersial yang berbeda satu sama lain serta studi
multisenter uji komersial yang sama dapat membantu panduan laboratorium
dalam memilih tes untuk utilisasi. Diharapkan dilakukan studi komparatif,
terutama pada sampel spesimen yang diuji dalam beberapa laboratorium yang
menggunakan tes komersial yang sama. Pengujian dan data tersebut dapat
digunakan untuk merumuskan rekomendasi awalpengujian molekuler untuk
CMV.
Tabel 1. Uji Molekuler CMV
Alat Penggunaan Metode Spesimen
Roche
Diagnostic
Systems
Amplicor
CMV
Hanya digunakan
untuk penelitian;
untuk deteksi
kualitatif DNA
CMV dalam
plasma
PCR dengan deteksi
produk kolorimetri pada
plate 96
Plasma darah
dikumpulkan
dalam EDTA
atau ACD
Cobas
Amplicor
CMV Monitor
Hanya digunakan
untuk penelitian;
untuk kuantisasi
CMV DNA
dalam plasma
manusia
PCR kompetitif
kuantitatif dengan deteksi
produk kolorimetri dan
kuantisasi pada COBAS
analyzer semi otomatis
Plasma darah
dikumpulkan
dalam EDTA
atau ACD
Digene
(Hybrid
Capture CMV
DNA assay)
Tes diagnostik in
vitro untuk
deteksi kualitatif
CMV DNA
dalam sel darah
putih perifer dari
transplantasi
organ padat,
transplantasi
sumsum tulang,
Penguatan sinyal
hibridisasi asam nukleat
dengan deteksi produk
luminescent di DCR-1
luminometer
Sel darah putih
diisolasi dari
seluruh darah
dikumpulkan
dalam EDTA
27

dan pasien AIDS
HlV-positif
Organon
Teknika
(NucleiSens
CMV pp67
assay)
Tes diagnostik in
vitro untuk
deteksi kualitatif
CMV pp67
mRNA dalam
darah utuh dari
transplantasi dan
orang yang
terinfeksi HIV
Amplifikasi berbasis
Sekuens DNA dengan
deteksi produk
electrochemiluminescence
pada pembaca NucliSens
Seluruh darah
dikumpulkan
dalam EDTA
Serologi
Dengan munculnya kultur viruscepat, tes antigenemia, dan metode
molekuler, peran serologi dalam diagnosis laboratorium infeksi CMV telah
berkurang. Nilai utama dari serologi adalah untuk menentukan status kekebalan
CMV dari donor darah, donor dan penerima transplantasi organ padat, dan donor
dan penerima transplantasi sumsum tulang. Serologi juga dapat digunakan untuk
mencari serokonversi sebagai penanda untuk infeksi CMV akut selama kehamilan
dan pada individu imunokompeten dengan heterofil negatif mononukleosis
infeksiosa.
Secara historis, sejumlah metode telah digunakan untuk mengukur respon
humoral terhadap CMV. Sebuah daftar yang disusun oleh Pass et al. termasuk
netralisasi virus, fiksasi komplemen, hemaglutinasi tidak langsung, antibodi
fluoresen tidak langsung, pelengkap antiimunofluoresensi, radioimmunoassay,
EIA dan aglutinasi lateks. Tes aglutinasi lateks yang populer di laboratorium
klinis, menawarkan kecepatan, kemudahan kinerja, dan kebutuhan peralatan
minimal. Kelemahan dari tes aglutinasi lateks adalah bahwa pembacaan hasil agak
subjektif. Karena atribut yang diinginkan seperti kemampuan untuk penanganan
otomatis dari sejumlah besar spesimen, sensitivitas, dan hasil terukur, EIAs
28

(kadang-kadang disebut sebagai tes enzyme-linked immunosorbent) adalah tes
serologi yang digunakan oleh sebagian besar laboratorium klinis. Sebuah
kelemahan dari EIAs adalah kebutuhan untuk peralatan yang mahal.
EIAs dilakukan biasanya dalam format tidak langsung. CMV antigen
pertama bergerak pada permukaan padat, biasanya pada sumur lempeng
microplate96. Setelah penambahan serum pasien, antibodi spesifik mengikat
antigen untuk bergerak. Antibodi nonspesifik dikeluarkan oleh pencucian sumur
diikuti dengan penambahan antibodi enzim terkonjugasi kedua. Antibodi kedua
ini biasanya diproduksi dalam spesies bukan manusia dan spesifik untuk
imunoglobulin manusia dari isotipe tertentu dan karena itu dapat membedakan
antara-CMV IgG dan IgM spesifik. Penambahan substrat enzim menghasilkan
reaksi warna dalam sumur di mana antibodi telah terikat dan biasanya dibaca
dalam pembaca enzyme-linked immunosorbentotomatis.
Sebuah spesimen serum tunggal dengan titer anti-CMV IgG, bahkan titer
tinggi, bukan diagnostik untuk infeksi akut primer melainkan menunjukkan
infeksi sebelumnya. Darah dari CMV IgG individu positif dianggap mampu
menularkan virus saat ditransfusikan ke penerima yang rentan. Sebuah spesimen
serum tunggal diuji untuk CMV-spesifik IgG juga berguna untuk menilai status
HIV dari wanita usia subur. Dalam hal ini, seorang wanita yang ditemukan negatif
IgG untuk CMV dianggap tidak pernah mengalami infeksi CMV dan karena itu
berisiko terinfeksi CMV primer selama kehamilan. Demikian juga sebuah
spesimen tunggal diuji untuk IgG dapat digunakan untuk menetapkan kelompok
risiko penerima organ padat dan transplantasi sumsum tulang. Jenis pengujian
juga diterapkan pada organ atau sel donor untuk menentukan kemungkinan
menularkan virus selama transplantasi.
Diagnosis serologis infeksi CMV primer akut definitif ketika fase akut
spesimen serum negatif untuk-CMV IgG spesifik dan fase penyembuhan
spesimen menunjukkan titer positif IgG spesifik. Sebuah titer IgG terdeteksi
dalam spesimen fase penyembuhan yang merupakan peningkatan sebesar empat
kali lipat atau lebih dari beberapa titer awal dalam spesimen fase akut dapat
menunjukkan infeksi primer, tetapi mungkin juga menjadi definitif, seperti
29

kenaikan tersebut telah diamati pada pasien dengan infeksi sebelumnya. Dalam
kasus apapun, dalam rangka untuk mendokumentasikan kenaikan titer antibodi,
penting untuk menguji kedua spesimen secara bersamaan dan melakukan semua
kontrol yang tepat.
Baru-baru ini, penentuan aviditas antibodi anti-CMV IgG telah digunakan
sebagai bantuan dalam membedakan antara infeksi primer dan reaktivasi pada
wanita hamil. Prinsipnya adalah bahwa IgG diproduksi awal selama infeksi
primer akan memiliki aviditas rendah untuk antigen dari imunoglobulin yang
dihasilkan selama tahap berikutnya dari respon imun. Biasanya, tes aviditas
mengandalkan kompleks antigen-antibodi dengan urea, agen yang memisahkan
kompleks aviditas rendah. Dengan uji berbasis EIA, indeks aviditas kemudian
dapat ditentukan dengan membagi absorbansi yang dihasilkan setelah pengobatan
urea oleh absorbansi ditentukan tanpa pengobatan urea dan mengalikan dengan
100. Pada referensi sebelumnya, indeks aviditas dari>60 sampai 65% konsisten
dengan infeksi sebelumnya, sementara indeks aviditas dari <30 sampai 50%
terlihat pada infeksi primer.
Deteksi suatu respon spesifik CMV IgM juga dapat digunakan untuk
diagnosis laboratorium infeksi CMV akut primer, tetapi peringatan mengenai
interpretasi hasil harus dipertimbangkan. Deteksi IgM jarang berguna sebagai alat
untuk diagnosis infeksi primer ketika mengevaluasi pasien imunokompromais,
seperti IgM dapat dihasilkan selama reaktivasi CMV pada populasi ini, atau
sebaliknya, mungkin tidak terdeteksi sama sekali selama infeksi primer. Untuk
pasien imunokompeten, deteksi IgM CMV-spesifik digunakan paling sering untuk
membantu dalam diagnosis heterofil negatif infeksi mononukleosis akibat infeksi
CMV, diagnosis infeksi CMV primer akut pada wanita hamil, dan diagnosis
infeksi kongenital pada neonatus. Dalam semua kasus, karena IgM tidak selalu
diproduksi dalam jumlah yang dapat terdeteksi, hasil negatif tidak menyingkirkan
infeksi. Sebaliknya, titer IgM telah terbukti bertahan sampai 6 bulan dan karena
itu tidak selalu berkorelasi dengan infeksi baru. Upaya deteksi IgM spesifik dalam
janin atau neonatus untuk mendiagnosis infeksi CMV kongenital umumnya tidak
dianjurkan karena sensitivitas yang buruk.
30

Perhatian khusus berkenaan dengan titer IgM CMV dan infeksi EBV.
Infeksi EBV akut telah terbukti menghasilkan antibodi IgM yang bereaksi silang
dengan CMV. Reaksi silang ini tampaknya terjadi hanya satu arah, infeksi CMV
belum didokumentasikan untuk menghasilkan antibodi. Untuk menyingkirkan
adanya antibodi EBV yang bereaksi silang, tes darah dari spesimen serum yang
sama untuk antibodi yang terkait dengan infeksi EBV akut adalah tepat. Tabel 2
menguraikan interpretasi hasil serologi CMV, dan Tabel 4 merupakan keuntungan
dan kerugian dari metode untuk diagnosis infeksi CMV.
Ketika salah satu usaha untuk mendokumentasikan infeksi CMV akut pada
host imunokompeten, apakah memanfaatkan demonstrasi dari serokonversi IgG
atau adanya IgM spesifik, adalah lebih baik untuk tidak bergantung pada bukti
serologis saja. Jika memungkinkan, isolasi virus juga harus dicoba. Setelah infeksi
CMV primer akut, seringkali virus ditemukanpada periode waktu yang
berkepanjangan dalam urin, dimana dapat segera dikultur. PCR juga telah
ditunjukkan untuk mendeteksi CMV DNA dalam darah individu imunokompeten
dengan infeksi primer, dengan 100% dari orang-orang tersebut menjadi positif
CMV 1 bulan pasca infeksi dan 90% menjadi CMV positif pada 2 bulan. Dalam
kasus bayi yang diduga menderita infeksi CMV kongenital, kultur virus dari urin
biasanya positif selama minggu-minggu pertama kehidupan dan lebih disukai
untuk serologi.
Tabel 2. Interpretasi Hasil Serologi CMV
Hasil Signifikansi
IgG positif tunggal (titer apapun) Infeksi masa lalu CMV (donor darah:
mampu menularkan CMV; transplantasi
donor: mampu menularkan CMV,
penerima transplantasi: berisiko lebih
rendah untuk perkembangan penyakit
CMV, wanita hamil: berisiko rendah
untuk transmisi ke janin)
IgG negatif tunggal CMV tidak terinfeksi (donor darah:
tidak mampu menularkan CMV;
31

transplantasi donor: tidak mampu
menularkan CMV, penerima
transplantasi: berisiko tinggi untuk
perkembangan penyakit CMV, wanita
hamil: pada risiko tinggi untuk
penularan ke janin)
Fase akut spesimen IgG negatif, fase
sembuh spesimen IgG positif
Serokonversi, kemungkinan infeksi
CMV primer akut
Fase akut spesimen IgG positif, fase
sembuh spesimen IgG positif (titer
apapun, bahkan meningkat empat
kali lipat)
Kemungkinan serokonversi tetapi tidak
dapat menyingkirkan infeksi dengan
fluktuasi normal titer IgG
IgM positif tunggal Kemungkinan infeksi primer akut tetapi
tidak dapat menyingkirkan infeksi
hingga 6 bulan sebelumnya dengan titer
lgM yang persisten atau lgM dihasilkan
sebagai respons terhadap infeksi
reaktivasi pada pasien
imunokompromais. Pastikan bahwa
lgM bukan karena faktor rheumatoid
atau antibodi yang bereaksi silang yang
dihasilkan oleh infeksi EBV akut.
IgM negatif tunggal Kemungkinan kurangnya infeksi primer
akut tetapi tidak dapat menyingkirkan
infeksi dengan tidak terdeteksi titer
IgM, kemungkinan dari titer IgG
spesifik CMV
32

Tabel 3. Kelebihan dan kekurangan metode untuk diagnosis infeksi CMV
Metode Kelebihan Kekurangan
Kultur sel tradisional Relatif spesifik untuk
gejala infeksi ketika virus
diisolasi dari darah;
serbaguna; dapat
dilakukan pada beberapa
jenis spesimen; satu-
satunya metode yang
dapat memberikan suatu
isolat untuk pengujian
kerentanan dan
karakterisasi lebih lanjut
Lambat (1-6 minggu);
viabilitas virus cepat
hilang selama
transportasi; isolasi virus
dari banyak spesimen
tidak berhubungan dengan
penyakit
Shell vial culture Cepat; relatif spesifik
untuk gejala infeksi
ketika virus terdeteksi
dalam darah; dapat
dilakukan pada beberapa
jenis spesimen; sering
lebih sensitif
dibandingkan kultur sel
tradisional
Membutuhkan virus yang
viabel; sitotoksisitas dapat
mengganggu hasil;
deteksi virus di banyak
spesimen tidak
berhubungan dengan
penyakit
pp65 antigenemia assay Cepat; sensitivitas sama
atau lebih besar dari
kultur dan shell vial;
dapat dibuat kuantitatif
Hanya untuk spesimen
darah; masalah stabilitas
memerlukan transportasi
dan pengolahan spesimen
yang cepat
33

Deteksi asam nukleat Sensitif; nilai prediktif
negatif yang tinggi; tidak
memerlukan virus yang
viabel; cepat; dapat
dibuat kuantitatif;
terdapat beberapa kit
komersial yang tersedia
(tabel 2)
Deteksi asam nukleat
sering tidak berkorelasi
dengan penyakit; tes
komersial untuk spesimen
darah saja; Data yang
terbatas saat ini tersedia
untuk
menginterpretasikan hasil
kuantitatif
Serologi Cepat; sederhana;
berguna untuk diagnosis
infeksi primer dalam host
imunokompeten
Tidak spesifik untuk
penyakit CMV; tidak
berguna pada pasien
immunocompromised
Histologi Hasil biopsi positif
adalah baku emas untuk
penyakit organ spesifik
(pneumonia, hepatitis,
dll)
Karena sampling error,
hasil negatif tidak
menyingkirkan infeksi,
tidak dapat digunakan saat
keterlibatan jaringan
khusus tidak terduga
(sindrom CMV
nonspesifik); risiko untuk
pasien dalam memperoleh
sampel biopsi
34

PENCEGAHAN DAN TERAPI
Vaksin
Upaya untuk mengembangkan vaksin untuk CMV telah berlangsung
selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada vaksin CMV yang saat ini berlisensi.
Vaksin CMV yang digunakan pada wanita seronegatif usia subur saat ini terus
dikembangkan.
Imunoterapi
Pendekatan alternatif untuk CMV kemoprofilaksis adalah penggunaan
imunoterapi pasif. Immunoglobulin dengan titer tinggi antibodi spesifik CMV
lebih efektif daripada imunoglobulin manusia yang tidak dipilih untuk
imunoterapi atau profilaksis. Tinggi titer imunoglobulin CMV telah terbukti
efektif dalam mencegah penyakit CMV pada penerima transplantasi ginjal; tetapi
hal itu tampaknya kurang efektif terhadap penerima transplantasi hati berisiko
tinggi.
Kemoterapi antiviral
Agen antiviral
Obat paling penting yang tersedia sebagai terapi antiviral pada infeksi
CMV adalah GCV. GCV merupakan analog deoxyiguanosine yang serupa dengan
acyclovir dalam struktur kecuali GCV yang mengandung gugus hidroksimetil
tambahan pada rantai samping acyclic. GCV diaktivasi kedalam bentuk
monofosfat pada sel yang terinfeksi oleh produk dari gen virus UL97
(phosphotransferase atau protein kinase) dan lebih lanjut terfosforilasi ke tingkat
trifosfat oleh enzim seluler. Aktivasi sepenuhnya GCV secara kompetitif inhibitor
dihambat oleh virus DNA polymerase (gen UL54) dan juga menyebabkan
perlambatan dan penghentian perpanjangan rantai DNA. GCV tersedia dalam
formulasi intravena dan per oral, tetapi absorpsi secara per oral buruk. Efek toksik
paling utama dari GCV adalah supresi sumsum tulang, paling sering
menyebabkan penurunan jumlah sel darah putih. Valganciclovir baru baru ini
35

diakui sebagai analog valyl-ester dari GCV dengan kemampuan absorpsi per oral
yang lebih baik dari pada GCV. Level yang dicapai di serum dengan dosis yang
dianjurkan sebanding dengan level yang dicapai pada ganciclovir dengan dosis
standar secara intravena (118).
Selain obat diatas, obat yang diijinkan sebagai terapi pada infeksi CMV
adalah foscarnet dan cidofovir. Foscarent tidak memerlukan aktivasi dan
berinteraksi langsung dengan virus DNA polymerase, bertindak sebagai inhibitor
nonkompetitif dengan mengikat pyrophosphate binding site. Nefrotoksisitas dan
kecenderungan menyebabkan abnormalitas elektrolit membatasi penggunaan
foscarnet. Foscarnet hanya tersedia dalam sediaan intravena. Cidofovir merupakan
anacyclic phosphonate nucleotide analog dari dCMP. Cidofovir tersedia sudah
dalam bentuk monophosphate dan diaktifkan oleh enzim seluler menjadi bentuk
diphosphate, yang akan berkompetitif inhibitor dengan dCDP. Ketika
digabungkan dengan DNA polimerase menjadi progeny DNA, Cidofovir
menyebabkan perlambatan pertumbuhan rantai dan terminasi sintesis DNA.
Cidofovir memiliki efek nefrotoksisitas secara signifikan. Menariknya,
diphosphonate memiliki waktu paruh intraseluler yang sangat panjang, sehingga
memungkinkan cidofovir hanya diberikan sekali tiap 1 – 2 minggu. Cidofovir
hanya tersedia dalam sediaan intravena. Karena foscarnet atau Cidofovir tidak
membutuhkan aktivasi oleh CMV-encoded phosphotransferase, kedua obat
tersebut mempertahankan aktivitas terhadap GCV resistan dari CMV yang
resisten karena mutasi UL97. Resistensi terhadap GCV dapat diberikan oleh
mutasi pada gen UL97 dan ketiga obat oleh mutasi pada gen UL54. Dengan
demikian, dua gen virus ini dapat bermutasi pada posisi tertentu untuk
memberikan resistensi terhadap salah satu atau semua obat ini, dan deteksi
resistensi penting dalam memecahkan kurangnya respon terapi pada pasien yang
diobati.
Tidak semua CMV yang aktif mebutuhkan terapi antiviral. Terapi dari
gejala diberikan apabila manifestasi klinis muncul atau penderita beresiko tinggi,
biasanya dikarenakan imunosupresan yang tinggi. Ketika antiviral digunakan,
standar terapinya adalah GCV, diberikan intravena untuk 14 hingga 21 hari. Level
36

serum terendah dari GCV diperoleh dari pemberian oral sebagai terapi permulaan
dari gejala infeksi. Terapi regimen GCV tidak terstandar, dan variasinya banyak.
Setelah GCV yang digunakan telah terstandar, beberapa pasien mendapatkan
terapi pemeliharaan, biasanya dengan dosis rendah secara intravena atau dengan
obat oral. Sebagai contoh, pada pasien AIDS dengan CMV retinitis mungkin
dapat diterapi dengan GCV atau foscarnet untuk beberapa bulan. CMV retinitis
juga dapat diobati dengan implan intraokular yang dapat menyebabkan GCV
kontak secara langsuk di dalam mata, dibandingkan dengan kebutuhan terapi
intravena. Efek toksik sistemik utama dari GCV adalah di dalam sumsum tulang.
Ini terkadang dapat menyebabkan orang yang di terapi mempunyai faktor
stimulasi granulosit koloni, tetapi pada kasus lain, regimen antiviral diganti
dengan foscarnet atau cidofovir, meskipun tanpa toksisitas sumsum tulang yang
signifikan.
Terapi antiviral untuk CMV juga diberikan sebagai pfrofilaksis.
Profilaksis digunakan sebagai terapi diberikan sebelum terbukti adanya infeksi
aktif dari CMV. Dapat juga digunakan setelah terbukti adanya infeksi CMV yang
aktif tetapi sebelum timbulnya gejala klinis. Varian lain dari terapi ini adalah
terapi preempetive yang diberikan saat pasien berada pada faktor resiko yang
tinggi terpapar penyakit, biasanya karena immunosupresan untuk menanggulangi
rejeksi allograft. Banyak dari obat anti CVM dapat digunakan sebagai terapi
profilaksis, tetapi yang paling sering digunakan adalah GCV. Yang terbaru,
terdapat keberhasilan untuk mencegah infeksi CMV dengan pengguanaan GCV
oral setelah transplantasi organ. Acyclovir dan valacyclovir, meskipun bukan
sebagai obat anti CVM primer, juga menunjukkan keberhasilan sebagai
profilaksis CMV. Ini merupakan sesuatu yang mengejutkan karena rendahnya
level dari aktivitas acyclovir untuk CMV tetapi mungkin berhubungan dengan
tingginya level dari valacyclovir yang didapat di serum.
Terapi preempetive secara luas digunakan baik pada transplantasi organ
maupun sumsum tulang sebagai pengganti penggunaan GCV. Tes yang digunakan
untuk mendiagnosa dan memonitor pasien yang beresiko terhadap infeksi CMV
adalah shell vial culture, pp56 antigen assay, dan nucleic acid detection assays.
37

Pada penerima donor sumsum tulang, regimen profilaksis berdasarkan pp65
antigenemia assay tidak selalu diizinkan memulai terapi sebelum adanya onset
dari infeksi CMV, dimana PCR mungkin leih efektif. Kerugian dari terapi ini
adalah biaya dari tes dan ketidak nyamanan dalam cara memperoleh sampel.
Sebagai tambahan, pasien biasanya tidak dirawat inap saat dimonitoring, dan jarak
mungkin mempersulit pelaksanaan monitoring status pasien. beberapa program
transplantasi menggunakan beberapa pendekatan, engan terapi profilaksis untuk
pasien beresiko paling tinggi untuk cmv dan terapi preempetive untuk mereka
yang beresiko rendah.
Uji Kerentanan
Infeksi CMV merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
antara pasien imunokompromais karena transplantasi organ atau infeksi HIV. Tiga
obat yang saat ini disetujui untuk pengobatan infeksi CMV adalah GCV,
foscarnet, dan sidofovir.
Terdapat pengalaman klinis dengan GCV, dan GCV tetap merupakan obat
standar untuk terapi CMV. Pengalaman klinis dengan foscarnet dan sidofovir
lebih sedikit, namun keduanya diakui sebagai obat yang berguna untuk strain
GCV-resisant CMV. Risiko dalam menggunakan terapi antivirus adalah terdapat
resistensi terhadap obat, dan karena banyak pasien yang diobati dengan obat ini
juga diberikan imunosupresan sehingga perlu perhatian dalam adanya resistensi.
Ada dua kategori utama untuk tes yang digunakan dalam deteksi resistensi
terhadap obat antivirus. Tes fenotipik digunakan untuk menentukan karakteristik
fisik atau diamati dari suatu organisme, dan tes genotipe menentukan karakteristik
genetik genom (RNA atau DNA) virus. Dengan kata lain, alat tes fenotipe
mendeteksi kemampuan virus untuk tumbuh pada obat, dan alat tes genotip
menentukan ada atau tidak adanya perubahan nukleotida tertentu dalam genom
virus. Jika perubahan ini atau mutasi mengakibatkan asam amino, substitusi pada
posisi strategis dalam enzim yang diperlukan untuk aktivasi atau penggabungan
obat, maka mereka mungkin resisten terhadap obat tersebut. Setiap jenis tes
memiliki kelebihan dan kekurangan, umumnya terkait dengan kecepatan, biaya
38

dan kemudahan penggunaan dengan Virus tertentu dan pengetahuan tentang
mutasi yang memberikan resistensi.
Uji Fenotipik
Uji fenotipik adalah uji yang paling umum digunakan untuk uji
kerentanan CMV termasuk Plaque Reduction Assay (PRA) dan uji hibridisasi
DNA. Namun, setiap uji kuantitatif baik yang mengukur pertumbuhan virus
secara langsung (pertumbuhan dari penularan virus pada sel sensitif, seperti
dalam PRA) atau tidak langsung (produksi DNA virus, RNA, atau protein) dapat
digunakan untuk tujuan ini. Sebuah praktis pertimbangan, khususnya masalah
CMV, adalah bahwa titer yang terisolasi harus disiapkan untuk digunakan dalam
fase kerentanan pengujian tersebut. Dengan virus yang pertumbuhannya lambat
seperti CMV, beberapa minggu dan beberapa bagian dalam kultur sel mungkin
diperlukan untuk mendapatkan isolasi dengan virus yang cukup infeksius yang
dapat digunakan di tahap akhir pengujian tersebut. Hal ini secara teoritis menjadi
perhatian yaitu bahwa bagian yang terisolasi ini mungkin tidak mencerminkan
komposisi asli dari spesimen yang diperoleh dari pasien dalam hal proporsi mutan
dibandingkan asli tipe virus yang asli. Artinya, mungkin ada seleksi dari
pseudotipe lain atau varian dari virus infeksius yang asli. Selain itu, uji fenotipik
telah dikembangkan, mungkin berguna dan praktis dalam beberapa situasi.
PRA. Uji ini adalah gold standard untuk mendeteksi dan mengkuantitasi
resitensi obat pada CMV. Baru-baru ini sebuah protokol standar telah diterbitkan 39, yang seharusnya membantu dalam kesesuaian cara untuk melakukian pengujian
ini. Stok atau simpanan virus dibuat dengan subkultur dari tabung kultur positif
sampai diperoleh sebuah kultur dimana 25-50% dari sel-selnya menunjukkan
virus CPE dalam beberapa hari inokulasi. Stok ini kemudian dapat dititrasi dalam
uji plak, atau dengan pengalaman yang cukup, seseorang dapat membuat
perkiraan titer dan membuat pengenceran yang tepat untuk digunakan dalam
PRA. PRA dilakukan dengan membuat monolayer sel (biasanya MRC-5 sel).
Monolayer tumbuh di microwell dalam plate, terinfeksi 50 sampai 100 PFU virus
dengan inkubasi selama 1,5 sampai 2 jam pada 37'C, selama berjalannya
39

inkubasi,plate digoncangkan secara lembut setiap 15 menit untuk meratakan
distribusi virus di sekitar dinding plate. Pada akhir inkubasi ini, inokulum dihapus,
sel monolayer dicuci, dan monolayer diinkubasi dalam media pertumbuhan yang
mengandung 1% imunoglobulin spesifik CMV (untuk mencegah pembentukan
plak sekunder yang diproduksi oleh virus di plak primer) dan berbagai konsentrasi
obat yang sedang diuji. Pada akhir hari ke-7, sel-sel terfiksir dan sudah diwarnai,
biasanya dengan Giemsa. Plak (daerah kecil karakteristik CPE) yang dihitung, dan
sensitivitas virus terhadap obat ditentukan dengan grafik atau analisis komputer
berdasarkan jumlah plak di dindng plate yang bebas obat dan di dinding yang
mengandung peningkatan konsentrasi obat. Hasilnya menunjukkan konsentrasi
obat yang menghambat pembentukan plak sebesar 50%, atau 50% konsentrasi
hambat obat (IC50). Tidak ada kesepakatan universal pada IC50 yang
mendefinisikan untaian virus yang resisten. Hal ini berlaku bahwa IC50 GCV> 12
uM {sekitar 3 ug / ml) merupakan virus GCV resisten, tapi nilai ini mungkin
berbeda antara laboratorium yang melakukan PRA 46,50. Laboratorium kami telah
mendefinisikan IC50 > 1 dan <3 ug / ml (sekitar 4 sampai 12 uM) sebagai mewakili
sebagian untaian resisten, mengindikasikan kegawatan tingkat resistensi. CMV
yang diisolasi dari pasien tidak pernah terkena GCV memiliki isolat IC50 biasanya
<1,0 ug / ml.
Uji hibridisasi DNA. Uji hibridisasi DNA CMV dikembangkan oleh
Diagnostic Hibrida (Athens, Ohio) beberapa tahun yang lalu sebagai alternatif
yang lebih obyektif untuk PRA yang berpotensi subjektif. Prinsip dari uji ini
adalah pengukuran kuantitatif DNA virus sebagai penanda bagi pertumbuhan
virus di hadapan GCV 40, 152. Langkah awal adalah sama dengan yang di PRA: (i)
menyiapkan stok virus dengan subkultur suatu isolat, (ii) titrasi untuk menentukan
jumlah stok virus atau (seperti dengan PRA) membuat perkiraan titer, (iii)
menginfeksi sel monolayer yang baru saja dibuat, dan (iv) menghapus inokulum
dan sel overlay yang terinfeksi dengan medium yang mengandung baik tidak ada
obat atau yang meningkatkan konsentrasi obat. Pada titik ini dalam uji hibridisasi
DNA, sel-sel yang terinfeksi dicuci dan segaris, dan jumlah DNA membran nilon
bermuatan negatif, yang kemudian hibridisasi dengan kelebihan 125 CMV ang
40

tidak ditandai. Total DNA virus pada membran sebanding dengan jumlah
radioaktivitas terikat membran, yang dihitung dalam gamma-counter. Perhitungan
untuk menentukan IC50 yang mirip dengan PRA, tapi benar-benar mewakili
pengurangan sintesis DNA virus dalam sumur yang mengandung GCV
dibandingkan dengan sumur bebas narkoba. Hasil uji dengan biasanya cukup
mirip dengan yang diperoleh dengan PRA40, namun karena kompleksitas dari uji,
hal ini harus divalidasi di setiap laboratorium.
Uji fenotipik lainnya. Modifikasi PRA dengan pengukuran yang lebih
obyektif mengenai pertumbuhan virus telah dicari selama bertahun-tahun. Dua uji
telah dikembangkan yang memenuhi persyaratan ini, tapi tidak ada yang diterima
untuk digunakan dalam laboratorium klinis virologi. Satu uji 117 menggunakan
filtrat bebas sel dari CMV primer untuk menginfeksi 24 plate dengan baik
mengandung MRS-5 sel yang disentrifugasi sebentar untuk meningkatkan
infektivitas. Sel dilapis dengan media yang tidak mengandung obat atau berbagai
konsentrasi GCV dan diinkubasi selama 96 jam dan kemudian tetap dan diwarnai
dengan anti anti body CMV immunoperoxidase berlabel terhadap antigen CMV.
Para fokus positif dihitung, dan IC50 dihitung. Hasilnya, dimana tersedia di sekitar
5 hari, sebanding dengan yang dari PRA. Tes lain yang cepat 65 telah
dikembangkan sebagai tes screening dimana diperoleh dari pasien diinokulasi ke
repiclate shell vials atau sel-sel dalam klaster plate dan kemudian dilapis dengan
media yang tidak mengandung obat atau 20 uM GCV (sekitar 5 ug / ml). Setelah
90 jam inkubasi, sel-sel diwarnai dengan segera antigen untuk mendeteksi plak
EIA. Pengujian menghasilkan informasi yang berguna secara klinis, dinyatakan
sebagai IC50> 20 atau <20 uM, tergantung pada penurunan plak EIA yang
menunjukkan 20 uM GCV. Hasil yang sebanding dengan standar PRA. Metode
ini mengharuskan CMV viremia cukup tinggi untuk menggunakan PBL langsung
dari pasien. Dalam pengalaman kami, beberapa pasien memiliki tingkat viremia
cukup tinggi untuk membuat metode cepat ini berguna.
41

Pemeriksaan Genotip
Pemeriksaan genotip digunakan untuk mencari mutasi yang hanya terjadi
pada genome virus dan kaitannya dengan resistensi obat. Pemeriksaan PCR dan
direct sequence berperan dalam proses menyederhanakan identifikasi metode
amplifikasi dalam kaitannya dengan resistensi obat. Pemeriksaan tersebut mampu
menemukan gen atau sekelompok gen yang mengawali proses resistensi, dan
kemudian mengalami proses sekuens atau amplifikasi. Cara tersebut mampu
menemukan strain virus yang resisten pada obat-obatan tertentu pada percobaan in
vitro ataupun strain virus yang resisten dan ditemukan pada pasien yang hanya
mendapatkan satu jenis obat saja.
Mutasi titik (point mutation) pada kodon 460, 520, 594, 595, 603 dan 607; delesi
pada kodon 595 atau delesi kodon 591-594 yang berada dalam domain katalisis
pada gen CMV UL97, telah dibuktikan dengan marker transfer pada virus
rekombinan merupakan awal resistensi pada GCV. Mutasi yang terjadi pada
kodon tersebut menyumbang sekitar 68% resistensi virus terhadap obat yang
digunakan klinisi sampai saat ini. Mutasi pada kodon 591, 592, 596, 597, 598,
599, 600 dan 606 juga diduga terkait pada proses resistensi namun mutasi ini tidak
berperan langsung pada proses resistensi. Dalam gen UL 54, mutasi pada kodon
412, 501, 700, 715, 802 dan 809 membuat resisten pada dua dari tiga obat berikut,
yaitu GCV, foscarnet, cidofovir. Tidak ada mutasi pada satu asam amino pun di
dalam gen UL54 yang membuat resisten pada ketiga obat tersebut.
Pemeriksaan Genotip dengan metode Sekuensing
Beberapa penelitian terus dikembangkan untuk melakukan sekuens pada
gen UL 97 dan UL 54. Pemeriksaan sekuensing masih terus dilakukan pada
penelitian gen UL 54 sedangkan pada gen UL 97, sekuensing lebih berguna
karena >90% virus yang resisten terhadap obat mengalami mutasi di gen ini.
Pemeriksaan PCR/Ren
Chou et al., mengembangkan sebuah pemeriksaan dengan menggunakan
enzim restriksi dari hasil penghancuran hasil akhir pemeriksaan PCR, untuk
42

mendeteksi kemungkinan mutasi yang dapat menyebabkan resistensi di gen UL
97. Pemeriksaan ini mampu mendeteksi sekitar 70% mutasi pada, hasil yang
positif menandakan adanya resistensi, namun hasil negatif perlu dikonfirmasi
ulang dengan pemeriksaan fenotip dan pemeriksaan genotip lain yaitu metode
sekuensing.
RINGKASAN
Human CMV adalah patogen manusia yang tersebar di mana-mana serta
unik dan menantang untuk didiagnostik secara laboraturium. Kecuali infeksi janin
dalam rahim dan kasus-kasus langka heterofil negatif mononucleosis, patologi
serius karena CMV terbatas pada Individu dengan immunocompromised. Seperti
virus lain dalam kelompok herpesvirus, transmisi membutuhkan kontak dekat.
Infeksi primer akan menetap seumur hidup yang dipertahankan dalam keadaan
laten oleh respon kekebalan pejamu. Pada pasien dengan mmunocompromised
berisiko mengalami reaktivasi virus laten yang telah ada dalam tubuhnya, dari
organ transplantasi, sel, transfusi darah, atau infeksi primer secara konvensional.
Jurnal ini telah membahas tes laboratorium yang digunakan untuk
menunjukkan infeksi CMV, termasuk serologi, isolasi kultur sel, deteksi antigen
virus, dan menunjukkan keberadaan asam nukleat CMV. Semua metode tersebut
dinyatakan diterima, kecuali tes serologi yang baik untuk menentukan status
kekebalan tetapi dengan peran yang terbatas sebagai tes diagnostik. Pemilihan
aisay diagnostik terutama tergantung pada kemampuan laboratorium serta
populasi pasien yang dilayani. Kultur sel, meskipun relatif intensitive, adalah
satu-satunya metode yang menghasilkan isolat virus yang tersedia untuk studi
lebih lanjut. Namun, metode kultur berrisiko akan hilangnya viabilitas virus
selama tanspot, positif palsu, dan kebutuhan akan teknolog terlatih dalam teknik
tersebut. Metode antigenemia cepat dan lebih peka serta mampu mengukur viral
load, tetapi terhambat oleh persyaratan transportasi spesimen, intensivitas, dan
dapat dilakukan hanya pada spesimen darah. Metode molekuler memiliki
sensitivitas terbesar, cepat, dapat diterapkan pada sejumlah jenis spesimen, dan
memiliki kemampuan untuk mengukur tingkat genom virus. Kelemahan dari tes
43

molekuler terutama PCR adalah sering terjadi deteksi virus dalam ketiadaan
penyakit, kurangnya metode standar, dan kebutuhan teknisi yang sangat terlatih.
Teknik asam nukleat kuantitatif yang sedang dikembangkan belum terstadarisai
dan bisa jadi sulit untuk dalam hal penafsiran.
Sering kali para laborat mempertanyakan apakah hasil partikuler CMV
signifikan. Sering kali pun jawabannya masih "mungkin ..". paparan ini telah
menunjukkan hubungan unik CMV ke host manusia dan fakta yang ada bahwa
belum ada tes diagnostik yang sempurna untuk penyakit akibat CMV. Kemajuan
dalam metode moIekuler, khususnya yang memberikan hasil kuantitatif,
kemungkinan akan meningkatkan kapasitas untuk lebih akurat mendiagnosa atau
memprediksi penyakit CMV. Sampai tes tersebut diterima dan standar,
laboratorium dapat mengandalkan pengalaman mereka sendiri serta data saat ini
dari penelitian yang diterbitkan untuk membantu dalam mengelola patogen
manusia yang menarik namun memenatkan ini.
44