HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

130
HUKUM WESEL, tj EK d AN AKSEP DI INDONESIA lKAAN LIM U.I. )96

Transcript of HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

Page 1: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H UK UM WESEL, t j EK d A N AKSEP DI IN D O N ESIA

lK A A N

L I M U . I .

)96

Page 2: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

HUKUM WESEL, TJEK DAN AKSEP

DI

INDONESIA

Oleh <

D r

' t ' t/'Tjetdkarr ;ki*-hma .: j

\ *

| FAK HUkJ

peneRBit „sumup Banbunc/’

Wirjono dikoro S. II.

l ' '

Page 3: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

PERPUSTAKAAN m . HfJK-fju U. 1.Tarif gal \JLQ„ A 10\f. .Ko. Silsilah ; £ &

flÄK. HUK?

Uak P n g m n g tIUmil,

Page 4: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

K A T A P E M B U K A A N

Menulis buku sematjam ini adalah landjutan dari usaha saja untuk sedjauh mungkin menjediakan kepada chalajak tulisan-tulisan tentang H uk u m da­lam bahasa Indonesia.

Bahwa masjarakat Indonesia m em butuhkan sangat perpustakaan tentang Hukum dalam bahasa Indonesia, adalah kejakinan saja. M aka selama masih ada waktu luang ditengah-tengah pekerdjaan saja sehari-hari, waktu itu akan saja pergunakan untuk sekedar menolong akan mem enuhi kebutuhan masjarakat itu.

Buku karangan saja sekarang ini mengenai surat-surat jan g dalam ilmu pengetahuan hukum masi^.-. golongan surat-surat-berharga-uang (geldswaardige papicren), jang-'iSagi Indonesia diatur dalam K itab U n ­dang-undang H ukum Perniagaanj^yctbjpel^ Koophandel) buku I titel 6 dan 7. Disitu selain dari- pada' -\\C<isel,*.tjek dan aksep, diatur djuga kwitansi-bawa (,,aan toonder ’ j 'diin preirieSTbawa (promesse aan toonder).

Maka buku ini hampir" seliiruTinja jn eru p ak an kupasan dari pasal- pasal jang bersangkutan dari. kT^b.;-tinda>ig-.wndang H ukum Perniagaan itu.

M udah-m udahan usaha saj;T'i'n?.4tfia m’anfaatnja bagi Nusa dan Bangsa.

Djakarta tanggal 12 April 1958. ’ W .P .

K A T A P E N G IR IN G U N T U K T J E T A K A N K E D U A

Pada tjetakan kedua ini hampir tiada perubahan dalam isi buku.

W PDjakarta tanggal 6 April 1960. ' *

K A T A P E N G IR IN G U N T U K T J E T A K A N K E T IG A

Pada tjetakan ketiga ini s ama selkali tiada perubahan dalam isi buku.Hanja ada sedikit perbaikan salah tik dalam tjetakan kedua.

Djakarta tanggal 20 N'o'ptmber' 1960:-* - W.P.

K A T A P E N G IR IN G U N T U K T J E T A K A N K E -E M P A T

Pada tjetakan ke-empat ini sama sekali tiada perubahan dalam isi buku. Hanja ada sedikit perbaikan salah tik dalam tjetakan ke-tiga.

\ v pDjakarta tanggal 5 D juli 1963*

K A T A P E N G IR IN G U N T U K T J E T A K A N K E -L I M A

Pada tjetakan ke-lima ini hanja ada sedikit perubahan dan tambahan, antara lain mengenai ” tjek kosong” .

Djakarta tanggal 3 Djuli 1971. W .P.

Page 5: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA
Page 6: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

B A G I A N I

P E N G E R T I A N W E S E L , T J E K D A N A K S E P

A rt i-kata wesel

Perkataan „w e s e l” berasal dari perkataan Belanda „w is s e l” jan g terpakai dalam undang-undang jang bersangkutan, jaitu didalam K itab U n d an g- undang H ukum Perniagaan (W etboek van K oophandel) buku I titel 6 (dalam bahasa Inggeris: Bill of exchange; dalam bahasa Perantjis: lettre de change, dalam bahasa Djerm an: wechsel).

„W isselen ” dalam bahasa Belanda seperti djuga exchange, changer dan wechselen dalam bahasa-bahasa lain tadi berarti tukar-m enukar dan „ w is s e l” berarti alat-tukar menukar. Jang kini ditukarkan ialah: uang.

Siapakah didalam masjarakat jan g terutama m em butuhkan tukar- menukar uang P Ialah orang-orang dagang, oleh karena mereka dalam memperdagangkan barang-barang selalu memperlakukan uang.

Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa tum buhnja pemakaian wesel ini dalam sedjarah tidak dapat dipisahkan dari tum buhnja peraturan- peraturan lain dari H ukum D agang atau Perniagaan, jang sampai sekarang masih bersama-sama dengan peraturan tentang wesel termuat dalam K itab U ndang-undang H ukum Perniagaan (W etboek van Koophandel).

Maka pembitjaraan tentang sedjarah wesel tidak dapat dipisahkan dari sedjarah Kitab U ndang-undang H ukum Perniagaan atau dari H ukum D ag an g pada umumnja.

Sedjarah wesel

Pemakaian wesel dimulai dibenua Eropah bagian Barat dalam abad abad-pertengahan. Disitu pada waktu itu sudah sibuk terselenggara perda­gangan antara orang-orang dagang jang masing-masing berdiam dilain-lain Negara, agak djauh satu dari jang lain.

Perdjalanan mereka dalam melakukan perdagangan itu memakan waktu jang agak lama dan pula tidak luput dari bahaja-bahaja perampokan di- tengah-tengah djalan terutama bahaja-bahaja ini dirasakan benar-benar, apabila para pedagang itu membawa banjak uang-tunai jan g mereka per­lukan untuk membeli barang-barang ditempat lain.

Pengiriman uang-tunai sematjam ini djuga ada biajanja jan g agak tinggi, oleh karena harus ada alat-alat pengangkut uang itu jan g tjukup kuat, sedang orang-orang jang diserahi mendjalankan pengiriman uang itu, tentunja harus dibajar agak tinggi, djustru oleh karena ada bahaja-maut baginja dalam melakukan perdjalanan itu.

Hal-hal ini semua menimbulkan pemikiran, apabila orang harus mc-

7

Page 7: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WE SE L , T J E K D A N A K S E P

lakukan pembajaran yan g dilain tempat, apakah dan sampai dimnnakah keberatan-keberatan tentang bahaja dan biaja itu, dapat dihindarkan.

Pemikiran ini berhasil pada waktu para pedagang mendapat pertolongan dari para tukang tukar-m enukar uang (geldwisselaar, bankier). T jaranja a d a ­lah seperti berikut: orang pedagang A, jang harus membajar sedjum lah uang kepada pedagang B dilain tempat, membajar uang itu kepada seorang ' bankier C, jan g m enjanggupkan suruh bankier lain, si D, ditem pat ja n g lain itu, supaja membajar uang sedjumlah itu kepada si B tadi.

Perdjandjian antara mereka ini disebutkan dalam surat, jan g d itan d a­tangani oleh pedagang A dan bankier C. Dan inilah jan g m ula-m ula d in a ­makan surat-wesel.

Dengan demikian pedagang A tidak usah menjuruh orang m e m b a w a uang ketempatnja si B tadi. Dan djuga bankier C tjukup m engirim surat Kepada bankier D tadi untuk membajar sedjumlah uang itu kepada p e d a ­gang B, djadi tidak perlu mengirim orang m em baw a uang ketem patnia si B tadi.

T entunja untuk pertolongan ini bankier C m em perhitungkan upah maka sedjumlah uang jan g dibajarkan oleh pedagang A kepada bankie’C adalah lebih banjak dari pada sedjumlah uang, jan g oleh bankier T') harus dibajarkan kepada pedagang B, jaitu ditambah dengan u m l tadi. p 11

Dengan demikian lantas ada kemungkinan bankier C menjuruh d i bankier D agar membajar uang kepada pedagang B dan baru kem ud menerima uang dan pedagang A sedjumlah uang itu, ditambah dengan , °upah tadi. h uang-

M aka perbuatan bankier C ini merupakan pemberian pindjarm n , kepada pedagang A dengan kewadjiban A untuk kemudian m e m b i L T S pada C sedjumlah uang itu dengan ditambah upah tadi. D an unah in' l mirip dengan bunga dari uang-pindjaman itu. lantas

Seperti diketahui, Geredja Kristen dulu melarang p en gam b il™ l dar, uang-pindjaman; jang dalam Hukum Islam dinamakan riba fw n.L Maka agar terang bahwa penambahan uang-upah itu bukan bunua \ ditetapkan, bahwa pemakaian surat-wesel ini hanja diperbolehkan w ] U “ uang harus dibajarkan pada lain tempat dari Dada ™ a - a^ab,ladagang A dan bankier C tadi. P empat p e n d ,a " '» n p e -

Dengan demikian uang-tambahan jang harus, dibajar oleh pc d .,„,A kepada bankier C, dapat dianggap selaku upah betul-betul ba2 i b ’i. 8C untuk mengganti susah-pajah C dalam hal menukar uang dan m en ™ ■djuga susah-pajah bankier D jang berdiam dilain tempat itu, untuk m,-™bajar uang kepada pedagang B, dan lagi satu sama lain ada risiko m atiam " mafjam. «-j ctm-

Djuga harus disebutkan dalam surat-wesel itu, bahwa bankier C betul betul mem egang uang atau barang berharga dari pedagang A. P cn jeb u M n m. tjukup dengan berbunji, bahwa bankier C ’ ’ telah menerima harg a” atau sebagamja ( waarde genoten” , valuta-clausule).

8

Page 8: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

P E N G E R T I A N WESEL, T J E K D A N A K S E P

Bentuk surat-wesel

M ula-m ula surat-wescl ini terbentuk setjara surat kesanggupan dari bankier C atas permintaan pedagang A untuk menjuruh bankier D agar membajar sedjumlah uang kepada pedagang B.

Surat ini, jang ditanda-tangani oleh bankier C, diserahkan kepada peda­gang A, jang kemudian mengirim surat itu kepada pedagang B, agar si B ini dapat menerima uang dari bankier D.

Lam bat laun dan sampai sekarang masih seperti dirumuskan dalam pasal ioo Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan, surat-wesel ini ter­bentuk lain, jaitu tidak lagi berbentuk kesanggupan (belofte) melainkan berbentuk suruhan (opdracht), jaitu bankier C menulis menjuruh bankier D agar membajar sedjumlah uang kepada pedagang A atau kuasanja jaitu pedagang B.

Disamping suruhan, oleh bankier C harus ada kesanggupan dari bankier D untuk memenuhi suruhan itu. U ntuk kesanggupan ini harus pula ada tanda-tangan dari bankier D selaku seorang penjanggup (akseptan).

Djadi kini harus ada dua tanda-tangan, dapatnja pedagang A atau pedagang B menerima pembajaran uang dari bankier D.

Kalau surat-wescl hanja berbunji seperti dikatakan tadi, maka jang dapat menerima pembajaran uang dari bankier D dengan memperlihatkan surat-wcsel ini ialah hanja pedagang A atau pedagang B, lain orang tidak.

Kem udian timbul kebutuhan untuk kemungkinan memperdagangkan surat-wesel itu, jaitu agar surat-wesel dapat diserahkan kepada lain orang dari pada si A atau si B tadi, dengan menerima uang tunai dari lain orang itu, si E, maka harus dimungkinkan, bahwa djuga si E itu dapat menerima pembajaran uang dari bankier D dengan memperlihatkan surat-wesel itu.

T udjuan ini tertjapai setjara menambah tulisan dalam surat-wesel de­ngan suatu pernjataan, bahwa sedjumlah uang jang disebutkan dalam surat- wesel itu, dapat djuga dihajarkan kepada orang kuasa (order) dari pedagang B.

U ntuk maksud ini dalam surat-wesel dibelakang nama pedagang B di­tulis ” atau kuasanja” (” of order” , order-clausule).

K ebutuhan akan memperdagangkan surat-wcsel ini tidak hanja satu kali sadja, melainkan agar si E tadi dapat menjerahkan surat-wesel itu kepada seorang F dan begitu seterusnja.

Dengan demikian surat-wesel ini tidak banjak bedanja dari pada uang- tunai. Malahan kemudian kemungkinan memperdagangkan surat-wesel ini dipermudah lagi dengan disebutkan, bahwa uang harus dapat dibajarkan kepada setiap pemegang surat-wesel itu, asal ia dapat memperlihatkan sadja surat itu kepada jang harus membajar (” toonder” , berarti orang jan g m em ­perlihatkan).

Perlu dikemukakan semula, bahwa orang-orang jang dalam surat-wesel diminta perantaraannja untuk melakukan pembajaran, tidaklah selalu se- oratig bankier, melainkan seorang lain bukan bankier.

Dan djuga perlu dikatakan, bahwa dalam surat-wesel biasanja disebut­kan suatu waktu tertentu, dalam mana atau setelah mana pembajaran uang harus dilakukan.

9

Page 9: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M IVESEL, T J E K D A N A K S E P

Surat-wesel adalah berwudjud sebagai berikut:

2-G §Djakarta, i Djanuari 1958

Pada tanggal 1-5-195S harap tuan bajar surat-wesel ini kepada tuan A atau jan g ditundjuk (order) di Djakarta uang sedjumlah Rp. 5000,— .

/ r p _ 1 . A __ ^(Tanda tangan) C

K epada tuan D di Djakarta.

A rti-ka ta Tick _ .Perkataan „ T j e k ” adalah berasal dari perkataan In ggen s „ c h e q u e ”

iang terpakai dalam undang-undang jan g bersangkutan tentang hal ini, ja itu dalam K itab U n d an g-und an g H ukum Perniagaan (W etbock van K o o p - handel) Buku I titel 7 (dalam bahasa Perantjis : cheque, dalam bahasaD jerm an : Scheck).

Pemakaian kata Inggeris ’ ’ cheque” ini barangkali ada hubungan dengan su a tu perbedaan penting antara wesel dan tjek; jaitu bahwa seorang p e m ­bawa tjek dapat sewaktu-waktu mendapat pembajaran dari Bank jan g d i­minta melakukan pembajaran, jakni jang dinamakan ” op zicht” jan g berarti, bahwa asal tjek diperlihatkan sadja kepada Bank itu, maka Bank harus melakukan pembajaran, tentunja dengan penanda-tanganan oleh si pem baw a.

Seperti diketahui, kata Inggeris ’ ’cheque” berarti: mentjotjokkan, ja n g djuga dapat meliputi hal melihat serta memperlihatkan (” op z ich t” ).

Perbedaan lain dari wesel ialah, bahwa dalam tjek, pihak ja n g dim inta melakukan pembajaran kepada sipemegang; ialah selalu suatu B a n k , t idak m ungkin seorang oknum biasa.

S e dj arah TjekDulu dalam Kitab U ndang-undang H ukum Perniagaan hanja term uat

peraturan tentang wcscl (pasal 100 dst.), sedang surat tjek sama sekali tidak diatur disitu . Demikian pula dalam Wctboek van K o op h an d el di N e ger i Belanda, jang dalam zaman Belanda selalu mendjadi t jontoh bagi K i ta b U n d a n g - u n d a n g H ukum Perniagaan di Indonesia.

T etap i dalam praktek di Negeri Belanda dan di Indonesia d juga dunia perdagangan sering memakai surat-cheque itu, setjara m eniru p raktek di Negeri Inggeris.

D i Negeri Inggeris sudah sedjak tahun 1882 ada suatu peraturan undang-undang jan g bernama ’ ’ Bills o f exchange A c t ” , jan g berarti: u n d a n g - undang tentang wesel. Dalam undang-undang Inggeris ini pasal 73 m e n g a ta ­kan: ” a cheque is a bill o f exchange drawn on a banker payable on demand” .

10f F A K . H U M

Page 10: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

P E N G E R T I A N WESEL, T J E K D A N A K S E P

Dengan demikian undang-undang Inggeris mengenal suatu surat- chcque sebagai surat-wescl, jang chusus ditudjukan kepada suatu Batik untuk melakukan pembajaran uang-tunai ,,on demand” , jaitu tjukup atas permintaan seorang pembawa surat'itu jang memperUkatkannja (op zicht).

Djuga di Perantjis dan Djerman kemudian ada peraturan chusus mengenai cheque. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa Konpercnsi internasional dalam tahun 1910 dan tahun 1912 mengambil resolusi jang mengandjurkan adanja peraturan seragam tentang cheque di Dunia P er­dagangan internasional.

Kem udian pada tahun 1931 di Djenewa tertanda tangan suatu trak­tat antara pelbagai Negara, termasuk Negeri Belanda, dalam mana para Negara-peserta diandjurkan mengadakan undang-undang tentang cheque jang seragam.

Untuk memenuhi traktat ini, maka di Negeri Belanda pada tahun 1933 W etboek van Koophandel ditambah dengan peraturan chusus tentang cheque, sedang di Indonesia K itab U ndan g-undan g H ukum Perniagaan djuga diubah sedemikian rupa, sehingga dalam titel 7 dari Buku I dimuat suatu peraturan chusus tentang tjek.

Bentuk surat-tjek

Surat-tjek dibentuk selaku suatu penjuru/ian kepada suatu Bank untuk melakukan pembajaran sedjumlah uang kepada seorang tertentu atau kuasa- nja atau seorang pembawa surat itu. Djadi bentuk surat-tjek pada pokoknja adalah sama dengan bentuk surat-wesel, jaitu suatu penjuruhan membajar (betalingsopdracht) bukan suatu kesanggupan membajar (betalingsbelofte).

Surat-tjek ini bcrwudjud sebagai berikut:

Djakarta, 1 Djanuari 1958

Bank Indonesia Djakarta harap bajar atas penjerahan tjek ini kepada tuan A atau jang ditundjuk (atau pembawa) uang se­djumlah Rp. 1000,— (seribu rupiah).

(Tanda tangan)B

Arti-kata AksepPerkataan ’ ’aksep” adalah sama dengan ’ ’acccpt” dalam bahasa Perantjis,

jang berarti: kesanggupan setelah ada permintaan. Istilah aksep ini tidak termuat dalam undang-undang jang b ersan gkutan tentang hal ini, ja itu didalam Kitab Undang-undang Ilukum Perniagaan Buku I titel 6. Didalam Kitab itu terpakai istilah ’ ’orderbriefje” (bahasa Inggeris: promissory note, bahasa Perantjis: billet d ordre, bahasa Djerm an: inhaberpapier).

11

Page 11: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

Istilah aksep dalam arti „kesanggupan” adalah tepat, kalau diingat bahwa perbedaan pokok antara wesel dan tjek disatu pihak dan aksep dilain pihak, ialah, bahwa tulisan dalam aksep mengandung suatu kesanggupan akan membajar (betalingsbelofte), sedang dalam wesel dan tjek tulisan di- dalamnja mengandung penjuruhan agar membajar (betalingsopdracht).

Bentuk surat-aksepSeperti baru sadja dikatakan, surat-aksep dibentuk selaku suatu kesang­

gupan akan melakukan pembajaran sedjumlah uang kepadn seorang tertentu "atau kuasanja jang ditundjuk oleh orang itu (order). Sifat ’ ’ tundjuk” atau ” aan order” inilah jang menjebabkan dalam undang-undang terpakai istilah ’ ’orderbriefje” . Asal diingat sadja, bahwa sifat kemungkinan dialihkan kepada lain orang ini, djuga sifat-pokok dari pada surat-wesel dalam arti, bahwa surat-wesel baru tidak mempunjai sifat ini, apabila didalamnja ditegaskan, bahwa sifat itu tidak ada artinja bahwa uang dari wesel itu melulu hanja dapat dibajarkan kepada seorang tertentu, tidak boleh kepada orang lajn (recta-wesel).

Surat-aksep berwudjud sebagai berikut:

U U K U M WESEL, T J E K D A N A K S E P

Djakarta, i Djanuari 1958

Pada tanggal 1 April 1958 -jang bertanda tangan dibawah ini ' sanggup (berdjandji) akan membajar kepada A atau jan g ditundjuk (order) di Bank Indonesia di Djakarta uang sedjumlah Rp. 1000,— (seribu rupiah).

(tanda tangan)B

A rti-kata "kwitansi aan toonder” atau ” kwitansi untuk pembawa” .Perkataan ’ ’kwitansi” sebetulnja berarti suatu tanda pelunasan hutang,

tetapi kini istilah ’ ’kwitansi aan toonder” atau ’ ’kwitansi untuk p e m b a w a ” berarti suatu surat-perintah dari sipenanda-tangan kepada orang lain untuk mejnbajar sedjumlah uang kepada orang jang memegang dan memperlihat­kan surat itu (” aan toonder” ). Demikianlah arti dari pada jan g diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan Buku 1 titel 7 afdeeling n .

Djadi pada pokoknja kwitansi-untuk-pembawa ini sama sifatnja dengan suatu surat-wesel, dengan perbedaan-pokok bahwa kini setiap pembazoa surat dapat menerima uangnja, sedang surat-wesel hanja dapat dibajar kepada orang jang dikuasakan atau ditundjuk untuk menerima (order).

Bentuk kzoitansi-untuk-pembawaBentuk kwitansi-untuk pembawa ialah seperti surat tan da-tangan

hutang, seolah-olah sipenandatangan sudah menerima sedjum lah u an g itu dari seorang jan g diperintahkan untuk membajar.

12

Page 12: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

P E N G E R T I A N WESEL, T J E K D A N A K S E P

Bentuk kwitansi ” aan toonder” ini adalah sebagai berikut:

T elah terima dari B di Djakarta uang sedjumlah Rp. io o o ,— (seribu rupiah).

Bogor i Djanuari 1958 (tanda tangan)

A

Arti-kata ''promesse aan toonder” atau ” promes-untuk-pembawa”Perkataan ’ ’ promesse” berasal dari bahasa Perantjis dan berarti „k esan g­

gupan” tetapi tidak seperti perkataan ’ ’accept” ; jaitu tanpa ’ ’ setelah ada per­mintaan” . Selaku ’ ’ promesse aan toonder” , seperti jan g diatur dalam K itab U ndang-undang H ukum Perniagaan Buku I titel 7 afdeeling u , kesanggupan ini tidak berbeda dari kesanggupan dalam aksep, jaitu dua-duanja tanpa unsur ’ ’ setelah ada permintaan” .

Perbedaan antara aksep dan prom es-untuk-pem bawa terletak pada hal, bahwa prom es-untuk-pem bawa ini memberi hak kepada setiap pembawa, jang memperlihatkan surat itu (’ ’ toonder” ) untuk menerima pembajaran uang, sedang dalam aksep jang boleh menerima uang hanja orang jang diberi kuasa (Order) dari jang semula berhak menerima uang.

Perbedaan jang serupa ini baru sadja kita lihat pula antara wesel dan kwitansi-untuk-pembawa.

Bentuk promes-untuk-pembawaBentuk ini adalah sebagai berikut:

Jang bertanda-tangan dibawah ini sanggup akan membajar pada saat surat ini ditundjukkan uang sedjumlah Rp. 1000,— (seribu rupiah).

Djakarta 1 Djanuari 1958 (tanda tangan)

Vang-kertas dari bank (Bankbiljet)Uang-kertas Rp. 5,— keatas adalah suatu prom es-untuk-pem baw a ja n g

dikeluarkan oleh Bank Indonesia (dulu Javasche Bank) berdasar atas suatu undang-undang tertentu. Tetapi praktis hampir tidak pernah seorang minta pembajaran uang dari Bank Indonesia dengan memperli lat an suiat itu, oleh karena surat itu praktis sudah merupakan uang-tunai biasa.

13

Page 13: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

B A G I A N II

T U D J U A N W E S E L , T J E K D A N A K S E P

Wesel selaku alat-memindjam-uang (crcdietmiddcl)Diatas telah diuraikan, bahwa seorang penanda-tangan suatu surat-wcscl m enjuruh orang lain agar membajar sedjumlah uang kepada seorang ketiga. Diadi pada pokoknja ada liga orang jang bersangkutan.

Jang menanda-tangani wesel dalam undang-undang dinamakan ” trek- k er” atau penarik atau penggerak (lihat pasal ioo ajat 8. K itab Undang- undang H ukum Perniagaan). „ _ , #

Tang disuruh bajar, dinamakan betrokkene atau tertank atau tergerak nihat pasal ioo ajat 3 K itab U ndang-undang H ukum Perniagaan).

Jang dapat menerima uang, djadi jan g memegang surat-wesel, dinama­kan ’ ’nem er” atau penerima atau pengambil (lihat pasal I09a K itab Undang- undang H ukum Perniagaan).

Biasanja suatu surat-wesel memuat tanggal tertentu, pada waktu mana • * ■ ’ • 1 M • ’ ’ ’ " ' lja ,

per

D engan demikian sipenerirna (nemer) tidak dapat menerima

------- -------- --------------------- — jjHu.1 waktu manu a n g n ja "dapat diambil, atau djuga dapat ditentukan, bahwa uangnja dapat diam bil setelah lampau tenggang tertentu sesudah surat-wesel d ip erlihat­kan oleh sipenerirna kepada sitertank (” na zicht” ).

seketika ia mendapat surat-wesel dari sipenarik wesel ftreklT‘\“ Uan8 njam ungkin sekali penarikan wesel itu dilakukan, oleh karpn* V • S c d anir- . . .. 1 ^dicna sinennnL- . . , b..... sipenarik seketika

. U c rnembaiar sedjumlah uang kepada sipenerirna, misalnjaitu scbetulnja harus n ^ sipenarik dari sipCnerima atau misalnjaperihal suatu barang j b . gi erima untuk melakukan p em bajaransipenarik menerima uang

kepada orang lain‘ ini tcrdjadi, maka sebetulnja si penarik ada pindjamK alau ha fima dengan pcrdjandjian akan mengembalikan u a n g

uang tunai da 1 , waktu surat-wesel dapat ditukarkan d enganitu pada lain w j-‘ . ¿¡pihak tertarik (betrokkene), biasanja suatuuang-tunai oleh s ip tn c u t

Bankk ilomikian surat-wesel dalam hal ini bersifat atau bertudjuan. ° C” uatu alat untuk mcmindjan. u a n g (crcdietmiddcl), ja.tu bagi , ip W -

rik untuk dapat pindjaman uang dan sipenerirna.

Aksep selaku alat bahwa dalam surat-aksep pada

dalam hal wesel.Dua orang mi adalah:

a.

14

slpenanda-langan aksep, dalam pasal 174 110. 7 dan pasal 175 K ita b U ndang-undang Ilukum Perniagaan disebutkan „ord erteek en aar” , dan

Page 14: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

T U D J U A N WESEL, T J E K D A N A K S E P

b. sipenerima atau ¿{pengambil, dalam K itab U ndan g-undan g H ukum Per­niagaan dinamakan seperti dalam hal wesel, djadi „n e m e r” .Maka dalam hal aksep tidak ada „betrokken e” atau sitertarik, oleh

karena, seperti diatas telah dikatakan, surat aksep adalah suatu kesanggupan sipenanda-tangan untuk membajar bukan suatu penjuruhan orang lain agar membajar.

Seperti dalam hal wesel, suatu aksep biasanja menjebutkan tanggal ter­tentu atau suatu tenggang tertentu, dalam mana atau setelah mana sipenerima (nemer) dapat menerima uang dari sipenanda-tangan.

Pun seperti dalam hal wesel, djuga dalam hal aksep penanda-tanganan sering didorong oleh kebutuhan sipenanda-tangan akan uang-tunai, misalnja untuk membeli barang dari sipenerima sendiri, dalam hal mana sipenanda- tangan sebetulnja oleh sipenerima diberi tempo untuk membajar uang- pembelian. Djuga mungkin sipenanda-tangan mendapat uang-tunai dari si­penerima untuk dihajarkan kepada orang lain.

Dalam dua hal ini sebetulnja sipenanda-tangarr adalah pindjam dari sipenerima scdjumlah uang, jang akan dibajar kembali pada waktu jan g disebutkan dalam surat-aksep.

Dengan demikian surat-aksep seperti surat-wesel ditudjukan atau diper­gunakan sebagai alat memindjam uang (credietmiddel).

Djumlah uang jang disebutkan dalam surat-aksep dapat melebihi harga- pembelian barang jang dibeli atau melebihi uang-tunai jang diterima oleh sipenanda-tangan dari sipenerima aksep. Kelebihan ini sebetulnja m erupa­kan bunga dari uang-pindjaman.

Kalau ’ ’ bunga” ini terlalu tinggi, maka ada perbuatan lintah-darat atau woeker dari pihak penerima aksep.

Wesel, aksep dan tjek selaku alal-membajar-uang (betaalmiddel)Diatas sudah diuraikan, bahwa perbedaan pokok antara wesel dan tjek

ialah: a bahwa pihak tertarik (betrokkene), jang harus membajar uang dalam hal tjek adalah selalu suatu bank dan dalam hal wesel djuga mungkin seorang biasa dan b bahwa tjek selalu sewaktu-waktu dapat ditukarkan dengan uang-tunai (betaalbaar op zicht), sedang dalam hal wesel (dan aksep) sipe- megang wesel (atau aksep) mungkin baru dapat menerima uang pada waktu jang disebutkan dalam surat wesel atau aksep.

U ndang-undang membuka kemungkinan, bahwa dalam surat-wesel atau surat aksep tidak disebutkan waktu tertentu bagi sipemegang wesel atau aksep untuk mendapat pembajaran, djadi mungkin uang harus dibajar oleh si­tertarik pada tiap waktu surat-wesel atau surat-aksep diperlihatkan oleh si­pemegang (” op zicht” ).

Kalau ini terdjadi, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan antara wesel dan aksep disatu pihak dan tjek dilain pihak.

Dengan demikian wesel, aksep dan tjek tidak lagi merupakan alat- meinindjam-uang, melainkan merupakan a la t-membajar-uang (betaalmiddel).

Ini dapat dikatakan demikian, oleh karena, kalau seorang penerima (nemer) mendapat surat-wesel atau aksep, jang tidak menjebutkan tang­

15

Page 15: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

gal-pembajaran, atau mendapat surat-tjck (selalu), maka ini sama sadja dengan menerima uang-tunai dari sipenanda-tangan. Artinja seketika itu djuga sipemegang surat wesel, aksep atau tjek dapat menukarkan surat itu dengan uang-tunai.

H U K U M WESEL, T J E K D A N A K S E P

16

Page 16: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

B A G I A N III

S I F A T - A L A T - P E M B U K T I A N D A R I W E S E L , T J E K D A N A K S E P

Tanda

Seperti halnja dengan semua surat jang ditanda tangani, maka suatu wesel tjek atau aksep adalah suatu tanda bahwa hal sesuatu diakui kebenarannja oleh orang jang menanda-tangani surat itu.

la n da iw bersifat dua, jaitu kesatu: sebagai tanda dimuka Pengadilan selaku alat-penibuktian (bewijsmiddel), dan kedua: sebagai tanda ditengah- tengah masjarakat diluar Pengadilan selaku alat-bukti-diri (legitimatie- middcl).

Dalam Bagian III dari buku ini akan dikupas sifat alat-pembuktian (bewijsmiddel) dari wesel, tjek, aksep, kwitansi-untuk-pembawa dan promes- untuk-pembawa.

Apa jang dibuktikan ?

Seperti halnja dengan setiap tulisan jang ditanda-tangani, maka wesel, tjek, aksep dan sebagainja membuktikan adanja suat.u pernjataan dari si- penanda-tangan.

Kini pernjataan itu merupakan suatu pengakuan, bahwa sipenanda- tangan mempunjai suatu perdjandjian atau perikatan (verbintenis) untuk suatu hal.

Dalam suatu aksep dan promes-untuk-pembazva, jang dua-duanja me- njebutkan suatu kesanggupan (belofte) untuk membajar sedjumlah uang, adalah mudah dapat dilihat dari bunji tulisan, bahwa sipenanda-tangan\ah jang berdjandji atau jan g diikat.

Burgerlijk Wetboek memakai istilah ’ ’schuldenaar” atau ’ ’ debiteur” untuk semua orang jang dalam suatu peristiwa-hukum diioadjibkan melaku­kan hal sesuatu, sedang orang jang berhak atas pemenuhan kewadjiban itu, dinamakan ’ ’schuldeischer” atau ’ ’ crediteur” .

Istilah ’ ’ schuldenaar” dan ’ ’schuldeischer” ini tidak lajak diterdjemah- kan dalam bahasa Indonesia dengan ’ ’siberhutang” dan ’ ’siberpiutang” , oleh karena kata-kata hutang dan pihutang menurut perasaan saja hanja dapat dipergunakan apabila ada pindjaman-uang (geldleening).

Maka, menurut hemat saja, istilah ’ ’schuldenaar” dan ’ ’schuldeischer” dari Burgerlijk W etboek sebaiknja dalam bahasa Indonesia diterdjemahkan dengan ’ ’siberwadjib” dan ’ ’siberh'ak” .

Kem bali kepada aksep dan promes-untuk-pembawa, disitu mudah dapat dilihat dari isi tulisan, bahwa siberwadjib adalah sipenanda-tangan, jaitu ia berwadjib membajar sedjumlah uang kepada orang jang disebut djuga disitu dan jang merupakan siberhak.

17

Page 17: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

Siberhak ini dalam hal aksep adalah seorang ja n g disitu disebutkan namanja atau seorang, kepada siapa hak itu dialihkan oleh orang ja n g d i­sebut tadi (order) atau seorang lain lagi, kepada siapa aksep dialihkan lagi

begitu seterusnja.Siberhak dalam hal prom es-untuk-pem bawa adalah setiap orang jano-

membawa surat itu (’ ’ toonder” ). 0 &M aka dalam aksep dan prom es-untuk-pem bawa selalu ada kemungkinan

siberhak adalah berganti-ganti, djacfii tidak hanja ada seorang berhak, ,mela-

inkan beberapa orang..Perihal adanja lebih dari seoraug jan g berhak ini, tidak ada perbedaan

dengan wesel dan tjek.Perbedaannja ialah, bahwa dalam hal wesel dan tjek dari bunji tulisan

tidak begitu sadja dapat dibatja, bahwa sIpenanda-tangan masuk pihak-

berzvadjib.Wesel dan tjek tidak memuat suatu kesanggupan untuk membajar se- djum lah uang melainkan m em uat suatu penjuruhan orang lain aga- membajar sedjumlah uan g (betalingsopdracht). M aka orang lain inilah janr? disebutkan berzoadjib membajar, jaitu dalam hal tjek selalu suatu Bank, dalam hal wesel mungkin suatu Bank mungkin seorang oknum biasa.

D alam hal wesel orang lain itu, jan g dalam undang-undang dinamak "tertarik” (betrokkene), menanda-tangani djuga selaku ” akeeptant” (sipan'3*1 tudjui atau sipenjanggup), maka djuga mudah dapat dimengerti hoUJe~

sitertarik itu masuk istilah ’ ’ berwadjib” .Bagaim anakah halnja dengan sipen arik wesel atau tjek, jan g m enan ’

tangani tulisan itu tetapi tidak disebutkan disitu selaku orang jan g b e r w a d ^ f

melakukan sesuatu. JlbT e n ta n g hal ini adalah suatu kenjataan, bahwa djuga dalam hal

dan tjek sipenanda-tangan semula jaitu sipenarik merupakan pihak b e r w * j” lterhadap s {penerima (nemer) atau sipembawa (order atau toonder). dJlb

T e ta p i kewadjiban sipenarik dalam hal wesel dan tjek ini adai Ks i f a t n j a , . j a i t u m e r e k a berwadjib menanggung, bahwa sitertarik akan a

betul membajar s e d j u m l a h uang k e p a d a sipenerima atau sipembawaatau tjek. wesel

Ini berarti, bahwa apabila dibelakang hari ternjata sitertarik f 1mem bajar uang itu kepada sipenerima atau sipembawa maka h n J ^ m aub e l a k a n g a n ini d a p a t menegar sipenarik untuk membaiar u ™ » e b u tm enegor ini dalam undang-undang dinamakan hak~regres (lihat m ,/ i*’ ^ akpasal 142 dst. untuk tjek pasal 2 17 dst. Kitab Undang-undang H uk WCSelniagaan). u Ura P e r-

D e n g a n d e m i k i a n , djuga dalam hal wesel dan tiefc disebutkan dalam tulisannja seperti dalam hal akson ? m esk,PUn tidak pem bawa, toh dapat dikatakan, bahwa wesel (hm • Prom es“Untukkan sipenarik Belaku seorang pcnumla-tanean w “ l/ a,1 membu kti-» ■ * > „ " ‘zs ru‘ r

H U K U M WESEL, T J E K D A N A K S E P

18

Page 18: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

S I F A T - A L A T - P E M B U K T I A N D A R I WESEL, T J E K D A N A K S E P

Hubungan dengan Burgerlijk WetboekWesel, tjek,' aksep, kwitansi-untuk-pembawa dan promes-untuk-pemba-

\va adalah diatur dalam Kitab Undang-undang H ukum Perniagaan, jaitu dalam Buku i titel 6 dan 7.

Pasal 1 K itab Undang-undang Hukum Perniagaan b.erbunji: Burgerlijk Wetboek adalah berlaku bagi hal-hal jang diatur dalam Kitab U ndang- undang Hukum Perniagaan sepandjang untuk hal-hal itu dalam K itab U n ­dang-undang Hukum Perniagaan tidak diadakan peraturan-chusus jang menjimpang dari peraturan Burgerlijk Wetboek.

Dengan demikian maka sudah pada umumnja ada hubungan erat antara B.W. dan Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan (W .v .K .) sedemikian rupa, sehingga sebetulnja W .v .K . dapat dipandang merupakan bagian belaka dari B .W .

Perihal wesel, tjek dan aksep hubungan ini adalah erat djuga antara lain mengenai sifat tulisan-tulisan itu selaku alat-pembuktian.

Pembuktian dengan tulisan dalam B. W.Burgerlijk Wetboek mengatur hal ini dalam Buku I V titel 2 (pasal-

pasal 1867 s/d 1894).Pasal 1867 B.W . menegaskan ada dua matjam tulisan selaku alat-bukti,

jaitu: a tulisan otentik dan b tulisan dibazvah tangan.Tetapi dari pasal-pasal jang berikut ternjata ada tiga matjam tulisan

selaku alat-bukti, jaitu: a akta otentik, b akta dibazvah tangan dan c tiihsan- bukan akta dibazvah tangan.

Bahwasanja oleh B.W . diadakan perbedaan antara akta dibawah tangan dan tulisan-bukan akta dibawah tangan, terlihat dalam pasal 1874, dimana dikatakan, bahwa sebagai tulisan dibazvah tangan dianggap pertama-tama akta jang ditanda-tangani dibawah tangan, dan kemudian baru: surat-surat, register-register, surat-surat-urusan rumah-tangga dan lain-lain tulisan jang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.

Dan ternjata pula, bahwa pasal-pasal 1875 s/d 1880 B .W . adalah m e­ngenai akta dibazvah tangan dan pasal-pasal 1881 s/d 1883 adalah mengenai tulisan bukan-akta dibazvah tangan.

Pengertian akta-otentikHanja dari akta-otentik B.W . menjebutkan pengertiannja, jaitu dalam

pasal 1868, jang bcrbunji:

’ ’ Suatu akta-otentik ialah suatu akta jang didalam bentuk jang ditentu­kan oleh undang-undang dibuat oleh atau tjihadapan pegawai-pegawai umum jang berkuasa untuk itu ditcmpat dimana akta dibuatnja” .

Tulisan-tulisan lain jang bukan akta-otentik oleh B.W . tidak disebutkan pengertiannja. melainkan hanja disebutkan satu persatu m atjam-matjam dari tulisan itu, jaitu dalam pasal 1874, jang semua tidak masuk pengertian akta-otentik dari pasal 1868.

19

Page 19: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T J E K D A N A K S E P

Selaku tjontoh jang pen tin g dari akta-otentik dapat disebutkan: a akta-notaris, b akta dari pegawai-pentjatat-djiwa (burgerlijke stand), c surat- putusan Pengadilan, d surat berita-atjara (proces-verbaal) dan sidang pengadilan atau dari perbuatan-djabatan seorang pegawai-pengadilan se­perti djurusita dan sebagainja.

Pengertian akta .Ini tidak disebutkan setjara djelas oleh B.W ., tetapi dapat d is im p ul­

kan dari bunji pasal-pasal 1875 s/d 1883, jang mengatur hal tulisan-tulisanjan g bukan akta-otentik.

K esim p u lan ini ialah, bahwa-akta menurut B.W . adalah: suatu tulisan jan g ditanda-tangani dan jang diperuntukkan guna membuktikan suatu ke~ djadian, jan g disebutkan dalam tulisan itu.

Tulisan-tulisan lain jang tidak memenuhi sjarat-sjarat ini, adalah tulisan-tulisan dibazvah tangan jang bukan akta.

K e k u a ta n -p e m b u k tia n d a r i a k ta -o te n tikIni ditentukan dalam pasal 1870 dan pasal 1871 B. W.

Pasal 1870 berbunji:

’ ’ Suatu akta-otentik memberikan diantara para pihak berserta ahli-waris ahli-warisnja atau orang-orang jang mendapat hak dari mereka, suatu bukti jang sempurna tentang apa jang dimuat didalamnja .

Pasal 1871 berbunji:

(1) Suatu akta-otentik namun tidak memberikan bukti jang sem purna tentang apa jang termuat didalamnja sebagai suatu penuturan belaka, se- lainnja apa jang dituturkan itu ada hubungannja langsung dengan pokok isiakta. . .

(2) Djika apa jang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka tidak ada hubungannja langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanja dapat b e r ­guna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.

Titik-berat kini terletak pada hal, bahwa akta-otentik merupakan bukti- sempurna (volledig bewijs) tentang apa jan g dengan sengadja term uat d i­dalamnja selaku pokok-soal, jang termaksud dalam pasal 1870 B .W .

Artinja ialah, bahwa apabila salah satu dari kedua belah pihak d im uka Pengadilan memadjukan suatu akta-otentik selaku alat-pembuktian, dan nihak lawan tidak mengemukakan bukti-pembalasan (tegenbewijs), maka Penea dilan, tidak boleh tidak, musti menganggap pokok-soal jan g bersan gkutan s e b a g a i terbukti penuh. Hakim tidak boleh minta tambahan bukti.

Misalnja ada satu akia-notans, dimana A dan B dimuka Notaris me- njatakan bahwa A mendjual suatu persil kepada B.

Akta-notaris ini dimuka Pengadilan membuktikan setjara sempurna tidak hanja bahwa A dan B menjatakan hal djual-beli itu dirnuka Notaris (for-

Page 20: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

meele bewijskracht) (ini sudah semestinja), melainkan djuga m em buktikan setjara sempurna, bahwa persetudjuan djual-beli antara A dan B itu betul- betul terdjadi (materieele bewijskracht).

Pihak lawan dapat mengemukakan pembuktian-pembalasan (tegenbe- wijs) dengan alat-alat-bukti lain seperti saksi-saksi atau surat-surat lain, jaitu untuk membuktikan, bahwa sebetulnja tidak ada terdjadi suatu per­setudjuan djual-beli, tetapi apabila dari pihak lawan tidak dikemukakan bukti-pembalasan, maka Hakim harus (tidak boleh tidak) menganggap per­setudjuan djual-beli terbukti penuh.

Perlu ditekankan disini, bahwa pembuktian-sempurna ini hanja berlaku untuk keperluan para pihak jang bersangkutan, djadi si A dan si B sendiri, serta para ahli waris dari mereka, apabila mereka sudah wafat, serta, para orang-orang jang mendapat hak dari mereka, misalnja seorang C jan g ke­mudian membeli persil itu dari B.

Terhadap orang-orang lain dari pada mereka semua itu (derden, orang ketiga) oleh Hakim dapat ditentukan, bahwa akta-notaris itu, untuk m eru­pakan bukti-sem purna,1 harus ditambah dengan lain alat-pembuktian.

Kekuatan-pembuktian dari akta dibawah tanganIni pada pokoknja disebutkan dalam pasal 187.5 B«W. jan g berbunji:

’ ’ Suatu tulisan dibawah tangan jang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai atau jang dengan tjara menurut undang-undang dianggkp sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang jan g menanda- tanganinja' serta para ahliwaris dan orang-orang jang mendapat hak dari pada mereka, bukti jang sempurna seperti suatu akta-otentik, dan demikian pula berlaku ketentuan pasal 1870 untuk tulisan itu” .

Kinipun titik-berat ada pada hal pembuktian sempurna seperti dengan halnja dengan akta-otentik, hanja sadja ada sjarat bahwa tanda-tangan dimuka Pengadilan harus diakui oleh pihak jang bersangkutan atau dianggap sebagai diakui.

Keketjualian oleh pasal 1878 B.W . diadakan tentang suatu matjam akta dibawah tangan, jaitu suatu surat-perikatan hutang setjara sepihak (een- zijdige schuldverbintenis).

Disitu dalam ajat 1 dan 2 disebutkan demikian.

’ ’Perikatan hutang setjara sepihak dibawah tangan untuk membajar sedjumlah uang tunai atau untuk memberikan suatu barang jan g dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnja ditulis dengan tangan- nja sipenanda-tangan sendiri, atau sekurang-kurangnja, selainnja tanda- tangan harus ditulis dengan tangannja sipenanda-tangan sendiri suatu per­setudjuan jang memuat dengan huruf-huruf jang tertulis lengkap, djumlahatau besarnja barang jang terhutang.

Djika ini tidak diindahkan, maka apabila perikatan dipungkiri, akta jang ditanda-tangani itu hanja dapat diterima sebagai suatu permulaan p em ­buktian dengan tulisan” .

S I F A T - A L A T - P E M B U K T I A N D A R I WESEL, T JE K D A N A K S E P

21

Page 21: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T JE K D A N A K S E P

Jang kini dimaksudkan ialah suatu pernjataan dari satu pihak sadja, misalnja pengakuan si A. bahwa ia telah mendjual lepas suatu persil kepada si B, tanpa suatu pernjataan atau penanda-tanganan dari B. Djadi sebetulnja jan g kini dimaksudkan ialah suatu pengakuan setjara sepihak (eenzijdige sc\\n\dbekejitenis).

Kalau dalam surat akta dibawah tangan ini misalnja ada> pernjataan dari kedua belah pihak, A dan B, bahwa si A mendjual lepas suatu persil kepada si B, dan dua-duanja menanda-tanganinja, maka kini pengakuan tan- da-tangan oleh A dimuka Hakim, sudah tjukup untuk membuktikan setjara sempurna, bahwa ada terdjadi suatu persetudjuan djual-beli antara A dan B. T id ak perlu surat itu ditulis seluruhnja oleh si A sendiri.

Alasan bagi pembentuk-undang-undang untuk mengadakan keketjualian perihal surat-pengakuan-hutang setjara sepihak ini, menurut M r Scheltema (Wissel- en Cheque-recht halaman 42), ialah, untuk seberapa boleh m eng­hindarkan orang semberono menanda-tangani surat pengakuan-hutang d e ­ngan tidak membatja lebih dulu isinja atau menanda-tangani begitu sadja suatu surat kosong jang baru kemudian diisi dengan suatu pengakuan-hutang (abus de blanc seing). *=

Dua pendapat tentang kekuatan-pembuktian dari akta dibazoah tangan A da dua pendapat tentang apa jang dapat dibuktikan setjara meneil

(pembuktian sempurna) dengan akta dibaicah tangan. " °Pendapat kesatu ialah, bahwa jang dapat dibuktikan setjara menp’k

ini, adalah hanja perbuatan-perbuatan-hukum (rechtshandelingen), jaitu ) ^ b u a t a n - p e r b u a t a n jang dilakukan dengan tudjuan (doel) untuk m e n tF V - akibat-akibat-hukum (rechtsgevolgen). Pendapat ini d i p e l o p o r i oleh v A n e m a dalam melandjutkan penerbitan buku karangan M r Asser t H u k u m Perdata bagian Pembuktian, dan kemudian dianut oleh s f nta.ng besar dari Pengadilan-Pengadilan di Negeri Belanda. et>agian

Pendapat kedua, jang dianut oleh M r F .G . Scheltema (” B >'•halaman 253 dst.) menghendaki, bahwa suatu akta djuga dapat < V1JS echt” kan setjara sempurna dan mengikat semua perbuatan jang tersirat

Krkuatan-pembukitan dari tulisan-bukan-akta dibawah tanganBurgerlijk Wctbock, lain dari pada tentang akta-otentik (pasal 1780)

ked/ad/iW,

22

Page 22: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

dan akta dibawah tangan (pasal 1875), tidak menegaskan bagaimana dan sampai dimana kekuatan-pembuktian dari tulisan-tulisan dibawah tangan

ja ng bukan akta. Oleh pasal 1874 B. W. tulisan-tulisan ini hanja disebut sadja disatnping akta dibawah tangan.

Sebagai tjontoh-tjontoh dari tulisan-tulisan dibawah tangan jang bukan akta, dapat disebut: surat biasa jang oran g 'm en gir im kepada lain orang dalam suatu correspondensi (gewone brieven), atau tjatatan-tjatatan jang orang bikin dalam suatu buku-tulis atau buku note dengan atau tanpa tanda-tangan.

Surat-surat sematjam ini meskipun ditanda-tangani, biasanja tidaklah ditudjukan guna membuktikan hal sesuatu. Kalau selaku keketjualian surat ini betul-betul ditudjukan memberi bukti kepada sipenerima surat tentang hal sesuatu dan ditanda-tangani djuga, maka djuga surat ini masuk pengertian akta.

Djuga masuk pengertian surat-surat dibawah tangan jan g bukan akta ialah suatu kartjis kereta-api atau kazvat-tilgram, jang dua-duanja tentunja tidak ditanda-tangani dan oleh karena itu sadja sudah tidak masuk pengertian akta.

Djustru oleh karena dalam B.W. tidak disebutkan setjara tegas bagai­mana kekuatan-pembuktian dari tulisan-tulisan dibawah tangan jan g bukan akta ini, maka harus dianggap, bahwa Pengadilan adalah .leluasa untuk me­nilaikan kekuatan-pembuktian itu menurut keadaan (vrij bewijs).

Artinja: Hakim leluasa untuk dalam suatu perkara tertentu menganggap tulisan itu merupakan bukti-sempurna, djadi tidak perlu ditambah dengan lain-lain alat-bukti, atau hanja merupakan bukti-permulaan (begin van bewijs) jan g masih harus ditambah dengan lain alat-bukti agar dapat m em ­buktikan hal sesuatu setjara sempurna. Bahkan Hakim dapat menjampingkan sama sekali tulisan itu selaku alat-pembuktian, artinja: Hakim leluasa untuk sama sekali tidak pertjaja’ pada kebenaran isi tulisan-tulisan itu, meskipun ditambah dengan lain-lain alat-pembuktian.

Pendapat Hakim tentang hal ini adalah mengenai penilaian kekuatan- pembuktian dari alat-alat-pembuktian dan oleh karenanja tidak takluk padapemeriksaan kasasi dimuka Mahkamah Agung.

Tentang hal ini ada uraian jang mendalam dalam buku karangan M r F .G . Scheltema "Nederlandsch Burgerlijk Bewijsrecht” halaman 196 dst.

Perlu dikemukakan djuga bahwa keleluasaan memberi kekuatan- pembuktian kepada tulisan-tulisan dibawah tangan j ¿mg bukan akta ini, tidak hanja terhadap pihak-pihak jang bersangkutan, ahliwaiis-ahliwaris rneteka dan orang-orang jang mendapat hak dari mereka, melainkan djuga terhadap orang-orang lain, jang laziin dinamakan orang ketiga (deiden).

Penjebutan tanggal (dagtekening)Hanja mengenai penjebutan tanggal (dagtekening) ada pembatasan jang

djuga berlaku bagi a k ta -a k ta , jaitu jang termuat dalam pasal 1880 B.V\. Disitu ditentukan bahwa terhadap seorang ketiga penjebutan tanggal itu hanja berlaku:

S I F A T - A L A T - P E M B U K T I A N D A R I W ES EL, T J E K D A N A K S E P

23

Page 23: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T J E K D A N A K S E P

a sedj-ak ada pengesahan oleh seorang notaris atau seorang pegawai jang oleh undang-undang ditundjuk chusus'untuk mengesahkan suatu tanda- tangan, seperti misalnja W ali-Kota, Ketua Pengadilan Negeri dan lain- lain, atau

b. sedjak sipenanda-tangan atau salah seorang dari para penanda-tangan meninggal dunia, atau

r. sedjak adanja tulisan atau akta itu dibuktikan dengan suatu akta, jang dibikin dimuka seorang pegawai-umum, atau

d. sedjak seorang ketiga, terhadap siapa tulisan atau akta itu diperguna­kan, mengakui setjara tertulis adanja tulisan atau akta itu.

Wesel, tjek dan aksep masuk matjam tulisan manakah ?Mengingat uraian diatas, maka dapat dikatakan, bahwa wesel, tjek dan

aksep masuk golongan akta dibawah tangan, jang merupakan suatu pengaku­an hutano setjara sepihak (onderhandsche eenzijdige schuldbekentenis) dari pasal 1878 B W . (lihat buku karangan Scheltema tentang Wesel dan T jek halaman 42 dst. dan buku karangan Zevenbergen tentang ’ ’order- en toonder-

PaP1 Teta^tp^sal 1878 B.W . ini dalam ajat ke-3 menentukan, bahwa keten­tuan dari ajat 1, jaitu bahwa tulisan harus ditulis sendiri seluruhnja oleh si- penanda-tangan, tidaklah berlaku antara lain terhadap penkatan-perikatan hutane iang dibuat oleh siberhutang didalam mendjalankan perusahaannja. Dan biasanja wesel, tjek dan aksep adalah dikeluarkan oleh orang-orang pedagang atau pengusaha dalam mendjalankan perusahaannja.

M enurut Scheltema (’ ’ Wissel- en Cheque-recht halaman 43 dan 44) j ; Uga pada umumnja wesel, tjek dan aksep tidak takluk pada penentuan nasal 18-8 ajat 1 dan 2 itu, oleh karena Kitab Undang-undang Hukum Per­niagaan ‘ bermaksud memberi peraturan jang lengkap (uitputtende regeling) chusus mengenai bentuk dari wesel, tjek dan aksep, jaitu dalam pasal IOO mengenai wesel, dalam pasal 174 mengenai aksep dan dalam pasal . 1 7 3 m c _

ngcnai^tje demikian kekuatan-pembuktian dari wesel, tjek dan aksepadalah demikian, bahwa tulisan-tulisan ini dimuka Hakim merupakan pem­buktian jang sempurna dan mengikat (\ollcdig bewijs) tentang perikatan perikatan jang termaktub didalamnja, dan Hakim tidak boleh meminta tambahan pembuktian, apabila dari pihak lawan tidak dimadjukan peinbuk tian-p em balasan (tegenbcwijs).

24

Page 24: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

B A G I A N IV

S I F A T -A L A T -B U K T I - D I R I D A R I W E S E L , T J E K D A N A K S E P(Legitimatie)

Setelah diatas di Bagian III buku ini dikupas sifat wesel, tjek dan aksep selaku alat-pembuktian di muka pengadilan, maka sekarang tiba giliran untuk dibitiarakan sifat tulisan-tulisan itu selaku alat bukti-diri (legitimatiemiddel) didalam masjarakat diluar Pengadilan.

Perlu ditekankan, semula bahwa baik B.W. maupun W .v .K . (K itab Undang-undang Hukum Perniagaan) atau lain-lain undang-undang tidak mengenal istilah ’ ’ legitimatie” atau bukti diri ini, dan djuga tidak memuat suatu rumusan dari pengertian legitimatie atau bukti-diri ini.

Maka, kalau diantara para ahli-hukum diperbintjangkan hal legitimatie atau bukti-diri ini tentang wesel, tjek dan aksep, hal ini dilakukan sebagai kesimpulan dari isi beberapa pasal dari B.W. dan W .v .K ., jang dapat 1- perlakukan berhubung dengan wesel, tjek dan aksep.

Keadaan suatu pihutang biasa (schuldvordering op naam atau recta papier) Seorang pemegang surat-wesel, tjek atau aksep a a a seorang jang

berhak a t a s pembajaran sedjumlah uang dari sitertari c a am a wese an tjek dan dari sipenanda-tangan atau sipenjanggup a am a a sep.

Dengan lain perkataan, sipemegang wesel, tjek atau aksep m em punjai pihutang (schuldvordering) terhadap orang-orang taai, JarJg a a 1 ia lni dapat dianggap selaku seorang berhutang (deb.teur, schuklenaar), sedang sipemegang wesel, tjek atau aksep sebaliknja dapat d.samakan dengan seorang

k ^ M ^ k r fa ja k ^ ttp a b i ia ^ é k a ^ n g 0kita*mengupas

(schuldvordering op naam) sekeda.^mengs:nai bij “ j ™ ®“n *jj\rat.p;hutm g seorang jang ingin minta pembajai an dengan yitu. . *

Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa seorang jang memegang sura - Pihutang. itu, tidak begitu sadja dapat menuntut pembajaran hutangnja de­ngan memperlihatkan surat-pengakuan-hutang. • ;

Siberhutang hanja berwadjib membajar icreditêurbenar berhak menerima pembajaran hutang, jai u . 1 s iberoihutingschuld eiseher) atau seorang jang mendapat surat-kuasa dan .ibcrpihutang

itu untuk menerima pembajaran. iKnlau seoranu datang kepada siberhutang dengan memoa\\a suiat

pengakuan hutang biasa dan minta, supaja hutang itu d.bajar, maka s.ber- hu«agn g “ 2 À membajar begitu sadja. Ia berhak men.t. penksa, apakah. ¡ « g minta pembajaran itu, betul-betul siberpihutang atau d .b en kuasa untuk

menerima pembajaran.

25

Page 25: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M W E S E L, T J E K D A N A K S E P

Sebaliknja, kalau siberhutang membajar begitu sadja sipembawa surat- pengakuan-hutang dan kem udian ternjata jang membawa surat itu sebetulnja tidak diberi kuasa oleh siberpihutang untuk menerima pembajaran, maka siberhutang harus membajar lagi, apabila dibelakang hari siberpihutang sen­diri datang minta pembajaran.

Ini semua berarti, bahwa suatu surat-pengakuan-hutang biasa pada po- koknja tidak merupakan suatu bukti-diri (legitimatie-middel) bagi sipembawa

surat^rtu. ^ t a k a n pokoknja’\ oleh karena selaku pokok hal ini dikata­kan dalam pasal 1385 B .W . jang berbunji:

(1) Pembajaran harus dilakukan kepada siberpihutang atau kepada seorang jang dikuasakan olehnja, atau djuga kepada seorang jang dikuasakan oleh Hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembajaran-pemba- jaran bagi siberpihutang.

(2) Pembajaran jang dilakukan kepada seorang jang tidak berkuasa menerima bagi siberpihutang, adalah sah, sekedar siberpihutang telah me- njetudjuinja atau njata-njata telah mendapat manfaat karenanja.

Tetapi dalam pasal 1386 B.W . diadakan suatu keketjualian sebagai ber­ikut:

’ ’Pembajaran jang, dengan itikad baik, dilakukan kepada seorang jan g memegang surat-pihutangnja, adalah sah, pun apabila surat-pihutang ter­sebut kemudian karena suatu penghukuman untuk menjerahkannja kepada seorang lain diambil dari penguasaan orang tersebut” .

Dengan demikian oleh B.W . dianggap suatu kemungkinan, bahwa si- pemegang surat-pihutang itu betul-betul seorang jang berhak menerima pembajaran hutang, djadi seolah-olah surat-pihutang itu sedikit-banjak merupakan suatu bukti-diri atau legitimatie-middel.

Sebetulnja B.W . kini melihat pada suatu pengalihan pihutang oleh si- berpihutang-asli kepada orang lain, jang dengan demikian menggantikansiberpihutang-asli itu.

Menurut pasal 613 B.W. ajat 1, pengalihan pihutang biasa (op naam) hanja dapat dilakukan dengan suatu akta-otentik atau suatu akta dibawah tangan, dalam mana pihutangnja dialihkan kepada lain orang, sedang m e­nurut ajat 2 pengalihan ini bagi siberhutang baru ada akibatnja, apabila diberitahukan kepadanja atau setjara tertulis disetudjui dan diakuinja.

Kembali kepada pasal 1386 B.W.M enurut pasal ini, apabila seorang pemegang surat-pihutang datang

minta pembajaran, dan siberhutang setjara djudjur mengira, bahwa pihutang­nja sudah setjara sah dialihkan kepada sipemegang surat-pihutang itu dan oleh karenanja membajar hutangnja kepada sipemegang surat-pihutang, pembajaran itu tetap dianggap sah, meskipun barangkali kemudian ternjata pihutang sebetulnja tidak dialihkan kepada sipemegang surat-pihutang, m e­lainkan misalnja hanja dititipkan sadja surat-pihutang itu.

26

Page 26: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

S IF A T -A L A T -B U K T I-D IR I D A R I W ESEL, T JE K D A N A K S E P

Keadaan zvesel, tjek dan aksep perihal legitimasi

Hal bukti-diri atau legitimasi ini oleh B .W . dan W .v .K . diperluas apabila mengenai wesel, tjek dan aksep. ’

Wesel dan aksep selalu memungkinkan pembajaran kepada seorang tertentu atau jang ditundjuk olehnja (” aan order” ), sedang tjek dapat djuga memungkinkan pembajaran kepada setiap pembawa surat i tu ( ” aan toonder” ).

Dalam B .W . pasal 613 ajat 3 mengatakan demikian:

’ ’ Penjerahan' tiap-tiap pihutang karena surat-bawa (aan toonder) d i­lakukan dengan penjerahan surat itu; penjerahan tiap-tiap pihutang karena surat-tundjuk (aan order) dilakukan dengan penjerahan surat disertai dengan endosemen” .

Endosemen adalah penjebutan penjerahan surat setjara ditulisnja di- bagian belakang (” en dos” berarti ” dibagian punggun g” ) dan ditanda­tangani oleh sipenerima (nemer).

Djuga kini, apabila seorang pemegang wesel, tjek atau aksep, jaitu sekedar mengenai surat-tundjuk (aan order) dengan endosemen, minta pem ­bajaran oleh si tertarik atau s\penjanggup, maka pembajaran kepada sipe- megang itu, asal sadja dilakukan dengan itikad baik, menurut pasal 1-286 B.W ., adalah sah.

Dengan demikian pembajaran itu djuga sah (asal dilakukan dengan itikad baik), meskipun kemudian ternjata sipemegang. surat-wesel, tjek, atau aksep itu sebetulnja bukan jang berhak, misalnja ia hanja penjimpan belaka dari surat itu, atau ia memperolehnja dengan djalan mentjuri atau mene- mukannja ditengah djalan-raya.

Ten tan g hal ini perlu disebut pasal 1977 B.W . Ajat 1 dari pasal ini menentukan, bahwa seorang pemegang suatu barang-bergerak atau suatu- pihutang jang pembajarannja dapat dilakukan kepada sipembawa (surat- bawa), dianggap sebagai pemilik barang atau surat-bawa itu.

Tetapi, menurut ajat 2 dari pasal itu, siapa jang kehilangan atau ketjurian sesuatu barang, didalam waktu tiga tahun, terhitung sedjak hari hilangnja atau ditjurinja barang atau surat itu, dapatlah ia menuntut kem ­bali barang atau surat itu sebagai miliknja dari sipemegang, dengan tidak mengurangi hak sipemegang barang untuk minta ganti-kerugian kepada orang, dari siapa ia memperoleh barangnja.

Djuga ditentukan, bahwa hal ini tidak mengurangi ketentuan dari pasal 582 B.W . jan g berbunji demikian:

’ ’ Barangsiapa menuntut kembdlinja sesuatu kebendaan jan g telah -ditjuri atau dihilangkan, tak diwadjibkan memberi penggantian kepada orang jang memegangnja, untuk uang jang telah dibajarkannja guna membelinja, ke- tjuali kebendaan itu dibelinja dipasar tahun atau pasar lainnja, dilelangan

27

Page 27: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJ E K D A N A K S E P

u m um , atau dari seorang pedagang janjg terkenal sebagai seorang jan g biasa- nja memperdagangkan barang-barang sedjenis itu” .

Dengan demikian suatu tjek, sepandjang dapat dibajarkan kepada setiap orang pembawa (toonder), menurut pasal 1977 B.W . ini praktis merupakan suatu alat bukti-diri atau alat legitimasi bagi sipemegang untuk m enerim a pembajaran sedjumlah uang jang disebutkan dalam tjek itu.

Bagi wesel, tjek dan aksep jang pembajarannja dapat dilakukan kepada seorang tertentu atau jang ditundjuk olehnja (aan order), ada ketentuan dalam pasal 115 ajat 1 dan 2 dan pasal 139 ajat 3 Kitab U ndan g-undang Hukum Perniagaan (W .v.K .) untuk wesel, dalam pasal 196 dan pasal 198 W .v .K . untuk tjek dan dalam pasal 176 W .v .K . untuk aksep.

Pasal-pasal itu menentukan, bahwa pembajaran setjara sah dapat d i­lakukan kepada seorang pemegang surat itu dengan endosemen jang sah dan jang mendapatnja tidak dengan itikad djahat dan tidak dengan kesalahan-kasar (grove schuld).

Dengan demikian djuga suatu wesel, tjek dan aksep jang bersifat ” aan order” , djuga praktis merupakan sekedar suatu alat-bukti-diri (legitimatie- middel) bagi sipemegang (dengan endosemen jang sah) untuk m enerim a pembajaran sedjumlah uang jang disebutkan didalamnja.

Asal sadja sipembajar dan sipenerima pembajaran dua-duanja adalahberitikad baik (djudjur).

Beritikad baik ini bagi sipembajar berarti, bahwa ia mengira setjara djudjur, bahwa pembajaran jang ia lakukan, adalah sah, sedang bagi s i ­penerima pembajaran beritikad baik berarti bahwa ia mendapat wesel, tjek atau aksep itu dengan tjara jang menurut pengiraannja setjara djudjur sudah sah.

Surat-surat lain jang bersifat alat-bukti-diriSebagai tjontoh dapat disebutkan kartjis kereta-api, ticket kapal-udara

kartjis masuk bioskop, tanda-bagasi (resu), tanda simpan sepeda dan lain- lain sebagainja.

Bagi surat-surat ini dapat dikatakan, bahwa jang memegang surat-surat itu dianggap membuktikan diri atau memberi legitimasi, selaku orang jan e berhak atas hal sesuatu jang melekat pada surat itu. ^

Surat-surat 'ini adalah serupa dengan surat-bawa (papier aan toonder)

28

Page 28: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

B A G I A N V

S I F A T W E S E L , T J E K D A N A K S E P S E L A fC U S U R A T - B E R H A R G A(Waarde-papier)

Adalah lazim surat wesel., tjek dan aksep dinamakan masuk golongan surat- surat berharga (waarde-papier).

D alam perundang-undangan jang berlaku di Indonesia, dan m enurut M r Zevenbergen dalam bukunja ’ ’ Order- en toonderpapier” halaman 2 djuga dikebanjakan perundang-undangan diluar Negeri, tidak ada siiatu p eru m u s­an pengertian atau sifat dari surat-surat-berharga ini.

Hanja ada penjebutan surat-surat-berharga itu dalam beberapa pasal perundang-undangan jan g berlaku di Indonesia, jaitu:

a. Pasal 96 ajat 2 K itab U ndang-undang H ukum Perniagaan m enjebutkan: effek-effek, kupon atau surat-surat lain sedjenis itu, jan g mempunjai harga-uang.

b. Pasal 469 K itab U ndan g-undan g H ukum Perniagaan m enjebut: uang dan surat-surat berharga.

c. P asal 89 dan pasal 102 ajat 1 K itab U ndang-undang Pailit m enjebutkan: effek-effek dan surat-surat lain jang berharga.

d. Pasal 197 ajat 8 H .I .R . menjebutkan: uang-uang tunai dan surat-surat ja n g berharga uang.

D ari penjebutan-penjebutan itu dapat disimpulkan, bahwa istilah surat- surat-berharga itu terpakai untuk surat-surat jan g bersifat seperti uang-tunai, djadi jan g dapat dipakai untuk melakukan pembajaran. Ini berarti pula, bahwa surat-surat itu dapat diperdagangkan, agar sewaktu-waktu dapat di­tukarkan dengan uang-tunai (negotiable instruments).

D an m em ang wesel, tjek dan aksep mempunjai unsur jan g menjebabkan surat-surat ini dapat dipakai untuk melakukan pembajaran dan dapat pula diperdagangkan.

U nsur ini berada dalam sifat legitimasi dari wesel, tjek dan aksep seperti telah diuraikan diatas, terutama sebagai akibat dari hal, bahwa surat-surat itu dapat dialihkan kepada orang lain setjara endosemen mengenai surat- surat-tundjuk (aan order) dan setjara diserahkan begitu sadja mengenai surat-surat bawa (aan toonder).

Surat selaku pendjehnaan hakKalau surat-surat wesel, tjek dan aksep ditindjau dengan pantja-indera

jaitu terutama kalau dilihat dan diraba, maka selaku sepotong kertas biasa tidaklah mungkin surat-surat itu betul-betul berharga. D an lagi surat-surat itu mudah dapat dirobah dan mudah d&pat rusak pula.

29

Page 29: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJE K D A N A K S E P

T etapi harga dari surat-surat itu tidak terletak pada bahan kertas jang dipergunakan, melainkan berada dalam hal, bahwa surat-surat wesel, tjek dan aksep itu merupakan pendjehnaan dari suatu hak untuk mendapat suatu kekajaan berupa uang atau lain barang.

Sifat ini diperoleh dari penentuan-penentuan dalam undang-undang, dari mana dapat disimpulkan, bahwa dengan memperlihatkan surat-surat itu kepada jang bersangkutan, orang dapat menerima pembajaran (legitimasi) dan lagi, apabila orang tidak memegang surat-surat itu oleh karena misalnja surat-surat itu ditjuri atau hilang, biasanja amat sukar, malahan hampir- hampir tidak mungkin, orang itu mendapat pembajaran.

Ini bagi wesel terlihat dari pasal 138 ajat 1 W .v .K . dan bagi tjek dari pasal 211 ajat 1 W .v .K . dan bagi aksep dari pasal 176 W .v .K .

M enurut pasal-pasal tersebut, seorang t£rtarik (betrokkene) dalam hal wesel dan tjek, dan seorang penanda-tangan dalam hal aksep, apabila akan melakukan pembajaran atas wesel, tjek atau aksep itu, dapat menuntut agar surat-suratnja wesel, tjek atau aksep itu diserahkan kepadanja dengan di­sertai tanda penerimaan uangnja jang dibajarkan.

Ada disebutkan suatu kcketjualian, jaitu jang dimaksudkan dalam pasal i67b bagi wesel, pasal 227a bagi tjek, dan pasal 176 bagi aksep.

M enurut pasal-pasal tersebut, apabila suatu wesel, tjek atau aksep hilang maka si bekas pemegang surat-surat itu dapat menuntut pembajaran dari si- tertarik dalam hal wesel dan tjek, dari sipenanda-tangan dalam hal aksep, hanja dengan memberi tanggungan setjukupnja jang berlaku sampai 30

tahun.

M r F G. Scheltema dalam buku karangannja ’ ’ Wissel- en C heque-recht” halaman 140 dan 141, berpendapat, bahwa pemberian tanggungan ini tidak perlu, apabila bekas-pemegang surat-surat wesel, tjek atau aksep dapat m em ­buktikan, bahwa ia adalah orang jang terachir mendapat surat itu setjara. sah, dan lagi dapat membuktikan pula, bahwa tidak mungkin orang lain dikemudian hari akan muntjul dengan membawa surat-surat itu, misalnja oleh karena surat-surat itu musnah pada waktu berada didalam kekuasaannja, seperti dalam hal kebakaran rumah-pendiamannja, dimana tersimpan djuga surat-surat berharga itu.

Semuanja jang diuraikan diatas mengenai wesel, tjek dan aksep, ber­laku djuga bagi kwitansi-untuk-pembawa dan promes-untuk-pembawa, jan g diatur djuga dalam Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan buku I titel 7, bersama-sama dengan tjek.

Uang-kertas BankHanja ada suatu matjam promes-untuk-pembawa jang ada peraturan

chusus jang berlainan, jaitu uang-kertits-Bank (bankbiljetten).Tentang hal ini ada berlaku suatu Undang-undang Pokok Bank In d o ­

nesia 1953 (Undang-undang tanggal 19 Mei 1953 no. 11, L em baran N egara 1953 no. 40, mulai berlaku tanggal 1 Djuli 1953).

30

Page 30: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

SIFAT WESEL, TJEK DAN AKSEP SELAKU SURAT-BERHARGA

Pasal-pasal jan g berikut perlu diketahui.

Pasal 8(1) Dengan tidak memperbolehkan kemungkinan ini bagi jan g lain-

lain, Bank berhak mengeluarkan uang-kertas-bank.(2) Uang-keirtasnja itu bersifat alat pembajaran sah sampai setiap

djumlah.

Pasal 9Uang-kertas-bank itu dapat ditukar dikantor-besar Bank,dikantor-kantor

agen-besar dan dikantor-kantor agennja pada tiap hari waktu djam-kas jan g ditetapkan, ketjuali pada hari-hari raya jang sah, sebagaimana ditentukan oleh pembesar jang berkuasa.

Pasal 11(1) Bank tidak usah memberi penggantian kerugian, djika uang-kertas-

bank itu hilang atau musnah. Bank tidak usah memberi penggantian kerugian untuk bagian-bagian uang-kertas-bank, ketjuali djika ada djaminan-djaminan jang dianggap perlu untuk mentjegah timbulnja kerugian bagi Bank.

(2) Djika ada persangkaan karena kedjahatan atau atas permintaan tertulis dari jang berkepentingan, maka Bank dibolehkan m eminta surat tanda penerimaan dan penanda-tanganan uang-kertas-bank itu kepada pihak jan g menukarkan uang-kertas itu atau menjerahkannja untuk dikreditkan.

(3) Ketentuan-ketentuan pada pasal-pasal 229i, 229j dan 229k K itab U ndang-undang H ukum Perniagaan tidak berlaku terhadap uang-kertas bank.

Jang penting dalam hal .ini ialah pasal 11 ajat 1 jan g tidak m em un g­kinkan orang mendapat pembajaran tanpa membawa uang-kertas-bank, dan pasal 11 ajat 3 jan g mengetjualikan pasal-pasal jang berlaku bagi prom es- untuk-pem baw a kalau mengenai uang-kertas-bank.

T ig a pasal dari K itab U ndang-undang H ukum Perniagaan tersebut membatasi hak dapat ditukarkannja prom es-untuk-pem bawa pada tenggang- tenggang jan g agak pendek. Bagi uang-kertas bank tidak ditentukan tenggang-tenggang ini, maka uang-kertas-bank dapat selalu ditukarkan dan baginja hanja berlaku tenggang dalu-warsa selama 30 tahun seperti biasa.

. K <

31

Page 31: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

B A G I A N VI

L A T A R - B E L A K A N G D A R I WESEL, TJEK D A N A K S E P

Pengakuan-hutang ( sel 'jj a ‘ a t‘ dilihat, bahwa suatu wesel, tjek atau aksep

daciadaian mei p berwad lb untuk sesuatu.

S!p' T a t m h a U k s e p sipenanda-tangan menjalakan berwadjib membajar se­

djum lah u a n g k c p a d a si p e n e r i m a “ k c j sdaku pcnilrik (trekker) me-

sitertarik (betrokkene) akan meng­

hajar sedjumlah uang ¡^ P ada 4 'rangt "bahwa dalam hal wesel, tjek dan aksep

■ • M . k T " 8 ada P‘ h"k j “ "® me" ^ diT l ak densan m elerim a surat wesel, tjek atau aksep .tu

D e n e a f diterimanja surat wesel, tjek atau aksfp oleh s ipcncn m a .m,m a k a terdjadilah suatu persetudjuan (overeenkomst) antara sipenanda-tangan

d “ Persetudjuan jang la r u n g terlihat dari bunji tulisan dalam surat wesel, re rs e t“J :ni ialah hanja suatu persetudjuan, dalam mana pihak kesatu

lJk a n m e m b o r *«« keP3da Pihak ja" 8 ,ain'

i f l M M u d a h ' ’daPat dimengerti, bahwa dipergaulan-hidup dalam masjarakat • , l n seorang bahwa ia berwadjib membajar sedjumlah uang kepada

pernjataan seo feaik pernjataan ini, tidak berdiri sendiri, melain -karTselalu ada latar-belakangnja.

Misalnjs* ; (udjuan djual. beli barang, jang harganja belum di-f. • m aka sipembeli masih harus membajar sedjumlah uang kepada sioendjual selaku harga dari barang jang dibeli itu,

da satu pindjaman uang, jang belum dibajar lunas, sehingga sipemin- d ' m masih harus membajar sedjumlah uang selaku pengembalian uang J n d ia m a n , mungkin dengan ditambah uang-bunga, ada suatu penghibahan uang jang belum dilaksanakan, sehingga jan g

C menghibahkan masih harus membajar uang-hibah itu kepada jan g m e ­nerima hibah,

d ada suatu perbuatan-melanggar-hukum jang menjebabkan seorang harus membajar sedjumlah uang selaku ganti-kerugian kepada orang jang menderita kerugian,

e. ada suatu perdjandjian, bahwa seorarig jan g akan menitipkan- se d ju m ­lah uang kepada orang lain, jang masih harus dibajarkan.

32

Page 32: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

L A T A R - B E L A K A N G D A R I WESEL, T JE K D A N A K S E P

Hubungan hukum antara beberapa orang jang bersangkutan inilah jan g mendjadi latar-belakang dari penanda-tanganan wesel, tjek atau aksep, dan jang dikalangan para ahli-hukum lazimnja dinamakan d asar-hubungan anta­ra para pihak jang bersangkutan (onderliggende verhouding).

D asar-hubungan (onderliggende verhouding)Tjontoh-tjontoh dasa.r-hubungan jang tersebut diatas memperlihatkan

pula adanja pelbagai persetudjuan tertentu, jang mungkin ada diantara parapihak jang bersangkutan.

Dengan demikian dalam hal wesel, tjek dan aksep selalu ada terlibat dua matjam persetudjuan, jaitu a persetudjuan jang mendjadi dasar-hubung- an, dan b persetudjuan jang langsung ditimbulkan de'ngan penanda-tanganan wesel, tjek atau aksep’ serta penerimaan surat-surat itu oleh sipenerima.

Demikianlah dasar-pikiran jang sekarang sudah hampir merata pada pokoknja dianut oleh para ahli-hukum tentang surat-surat wesel, tjek dan aksep. Dasar-pikiran ini lazim dinamakan theori-persetudjuan (overeenkomst-

entheorie).

Theori-kreasi atau theorie-pentjiptaanDulu ada setengah orang jang berpikiran lain tentang hal ini, jaitu

jang menganut theori jang dinamakan theori-kreasi atau theon-pentjiptaan.Disamping theori ini masih ada theori-theori lain (” wissel-theorien” ),

jang semua bcrtudjuan mentjari dasar-alasan (rechtsgrond) jan g dapat m en- djadikan wadjar^ bahwa sipenanda-tangan wesel, tjek atau aksep adalah langsung mendjadi zoadjib untuk pada achirnja membajar sedjumlah uang.

Menurut theori-theori ini semua djalan-pikiran mendjadi buntu, apabila thcori-pcrsetudjuan dianut seterusnja untuk memberi alasan bagi wadjib si­penanda-tangan terhadap seorang pembawa, jang bukan sipenerima (nemer) melainkan jang mendapat wesel, tjek atau aksep itu setjara endosemen atau dalam hal tjcknja dinjatakan dapat dibajar kepada setiap pembawa (aan

toonder).Menurut mereka antara sipenanda-tangan dan sipembawa ini sudah te­

rang tidak ada persetudjuan, oleh karena pada waktu sipenarik wesel atau tjek menanda-tanganinja ia hanja kenal pada sipenerima (nemer) dan tidak kenal pada sipembawa itu. Sedang dalam suatu persetudjuan harus ada saling menjetudjui antara dua pihak, dan untuk ini sekurang-kurangnja merekaharus semua saling mengenal.

Maka dari itu theori-theori tersebut mentjari dasar lain dari pada per­setudjuan untuk memberi alasan, bahwa sipenanda-tangan wesel, tjek dan aksep ada berkewadjiban membajar baik kepada sipenerima maupun kepada

sipembawa.Dari theori-theori ini jang terpenting adalah theori-kreasi, oleh karena

sangat konsekwen.Menurut M r Scheltema (’ ’ wissel- en Cheijue-recht halaman 178) mula-

mula theori-kreasi ini dikemukakan oleh Einert, seorang Djerm an dalam

33

Page 33: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T J E K D A N A K S E P

tahun 1839 dalam buku karangannja tentang wesel, tetapi baru mendjadi terkenal setelah diambil oper oleh K u n tze seorang Djerman djuga pada tahun 1857 dalam buku karangannja jang berkepala: D e Lehre von denInhaber-papieren” (theori tentang surat-surat-berharga-uang).

Theori-kreasi ini menganggap sebagai dasar-alasan untuk kewadjiban sipenanda-tangan tidak lain dan tidak bukan ialah: perbuatan menanda-

ia”i 'perbuatan‘imenanda-tangani itu sendirilah jang mentjiptakan kewadjiban sipenanda-tangan untuk membajar uang, tanpa persetudjuan orang la,n. Maka dari itu djuga dinamakan theori-kreasi atau theorl-pentjiptaan.

Maka djuga terhadap sipembawa, jang mendapat wesel, tjek atau aksep setjara endosemen, kewadjiban sipenanda-tangan akan tetap seperti semula

ditjiptcikan olehnja.

t ,K ritik pada theori-kreasi

Kalauada tneon-nreasi .au diatas dikatakan, bahwa djalan-pikiran dan theon persetudjuan

menemui djalan buntu, apabila tjek dinamakan ” aan toonder maka djuga theori-kreasi menemukan djalan buntu, apabila surat wesel tjek atau aksep difjuri orang atau hilang dan kemudian diketemukan oleh orang lain.

Sipentjuri atau sipenemu ini dalam hal tjek ” aan toonder” m enurut theori-kreasi harus tanpa keketjualian berhak atas pembajaran uang oleh sipenanda-tangan. Sedang njatanja, menurut pasal 1977 ajat 2 B. W . seorang iang ketiurian atau jang kehilangan surat itu, masih berhak untuk m enuntut kembali surat itu dari sipentjuri atau sipenemu atau dan pembawa siapa sadia selama tenggang tiga tahun, ketjuali apabila sipembawa memperolehnja dalam pasa r-u m u m dan sebagainja (lihat pasa 582 B .W ).

Maka dari itu theori-kreasi ini ditinggalkan oleh banjak ahli-hukun», iane seperti misalnja M r Zevenbergen (halaman 41) lain dari pada itu, mengatakan, bahwa dalam Hukum jang harus berlaku ditengah-tengah ma- siarakat kalau orang dikatakan berwadjib melakukan sesuatu, tidak boleh tidak sdalu ada pihak lain, terhadap siapa kewadjiban itu harus dipenuhi, dan dari orang lain ini harus diminta persetudjuan. Sebab, kalau tidak ada persetudjuan, kewadjiban tidak ada.

Maka tidak dianggap mungkin seorang mentjiptakan untuk dirinja sendiri suatu kewadjiban tanpa persetudjuan dari orang, terhadap siapa kewadjiban itu harus dipenuhi.

Theori-persetudjuan dengan tambahanDengan adanja saling mengkritik dari theori-persetudjuan dan theori-

kreasi ini timbul theori lain jang dapat dinamakan theori-persetudjuan dengan tambahan.

Pada pokoknja dianggap selaku dasar-alasan dari kewadjiban sipenarik wesel ialah suatu persetudjuan antara sipenarik dan sipenerima.

Bahwa kemudian, apabila surat-wcsel djatuh ditangan orang lain dari pada sipenerima, jaitu sipembawa, timbul kewadjiban baru, maka k ew a­djiban sipenarik terhadap sipembawa ini didasarkan pada suatu Hukum-

34

Page 34: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

L A T AR -B EL A K A N G D A R I WESEL, T J E K D A N A K S E P

positif, jaitu pasal-pasal tertentu dari K itab U ndan g-undan g H ukum P e r­niagaan dan dari J3urgerlijk Wetboek.

Djalan-pikiran ini, kalau saja tidak salah raba, dianut oleh Molengraaff (halaman 342 dst.) dan Scheltema (halaman 188 dst.).

Saja rasa, djalan-keluar jang ditempuh oleh M olen graaff dan Scheltema adalah dari orang jang berputus asa dalam mentjari theori-theori lain. Kalau dasar sesuatu dilandaskan pada pasal-pasal tertentu dari undang-undang, ini bukan soal mentjari theori lagi.

Adalah hal jang tidak perlu dikemukakan, "bahwa peraturan dalam undang-undang pada achirnja jang menentukan, bagaimana hal sesuatu harus berlaku dalam masjarakat.

Maka' dari itu adalah lebih menarik djalan-pikiran dari M r Ribbius (no. 19 dajri bukunja tentang Wisselrecht) dan M r Zevenbcrgen (halaman 46 dari bukunja ’ ’ Order- en toonderpapier” ) jang menambah thcori-per- setudjuan seperti berikut:

’ ’ Sipenarik wesel terhadap sipenerima mengadakan setjara tegas dan de­ngan sengadja suatu persetudjuan dengan sipenerima itu, sedang terhadap sipembawa jang bukan sipenerima, tetapi jang beritikad baik, oleh sipenarik dengan menanda-tangani wesel seolah-olah diadakan suatu persetudjuan djuga” .

Pendapat sendiri. Saja sendiri menjenderung untuk mempersamakan perbuatan penanda-tanganan dari sipenarik wesel, sekedar terhadap sipem ­bawa jang bukan sipenerii'na, dengan perbuatan seorang jan g dalam suatu iklan atau advertensi menawarkan hal sesuatu kepada chalajak ramai (open- baar aanbod), penawaran mana mendjelma mendjadi persetudjuan apabila ada orang jang kemudian menjetudjui penawaran itu.

Djadi pada achirnja toh ada persetudjuan antara sipenawar dan pihak jang datang memenuhi iklan itu.

Maka dengan demikian pada pokoknja hubungan antara sipenarik wesel dan sipembawa dengan itikad baik jang bukan sipenerima itu, adalah hu­bungan persetudjuan (ovcrccnkomst) antara mereka.

35

Page 35: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN VII

K E K U A T A N - P E M B U K T I A N D A R I W E S E L, T J E K D A N A K S E P

Diatas pada permulaan dari Bagian V I dikatakan, bahwa wesel, tjek dan aksep merupakan suatu surat-pengakuan-hutang (schuldbekentenis). D juga pernah saja katakan diatas, bahwa seperti hal-hal lain jang diatur dalam Kitab U ndang-undang H ukum Periiiagaan, pun terhadap hal wesel, tjek dan aksep pada pokoknja berlaku peraturan-peraturan dari Burgerlijk W etboek, dan kini chususnja pasal-pasal B.W . tentang H ukum Perdjandjian (Verbin- tenissenrecht), jang termuat dalam Buku III titel i s/d 4 perihal Perdjan­djian pada umumnja.

M engingat bahwa wesel, tjek dan aksep itu merupakan suatu surat- pengakuan-hutang, maka lajak ■ apabila saja sekarang mengupas soalnja berhubungan dengan pasal 1336 B.W ., oleh karena pada lazimnja oleh para ahli-hukum dianggap, bahwa jang dimaksudkan oleh pasal 1336 B .W . itu adalah surat-pengakuan-hutang pula.

Pasal 1336 B.*W. itu berbunji sebagai berikut:

’ ’ Djika tidak dinjatakan suatu ’ ’ causa” (sebab, oorzaak), tetapi ada suatu ’ ’causa” jang halal, ataupun djika ada suatu causa lain dari pada jan g d i­njatakan, persetudjuan namun demikian adalah sah” .

C autio-discreta dan cautio-indiscretaD ua pengertian inilah jang disebutkan dalam pasal 1336 B .W . tadi.

Cautio discreta adalah surat-pengakuan-hutang jang menjebutkan causa, sedang cautio indiscreta adalah surat-pengakuan-hutang jan g tidak m e­njebutkan causa, jaitu causa dari perdjandjian jang mendjadi su m b er dari surat-pengakuan-hutang itu.

Dalam pandangan saja, causa dalam H ukum Perdjandjian adalah isi dan tudjuan suatu persetudjuan jang menjebabkan adanja persetudjuan itu.

Maka, menurut hemat saja, perkataan „seb ab” dalam bahasa Indonesia adalah kurang tepat, oleh karena ’ ’sebab” selalu berhadap-hadapan dengan ’ ’akibat” (oorzaak en gevolg), sedang causa kini adalah bukan hal jan g m e n j e b a b k a n hal sesuatu, melainfcan suatu keadaan belaka (sec).

Dengan penentuan arti-kata dari causa jang saja kemukakan diatas, agaknja mudah dapat dimengerti, bahwa tidak mungkin ada suatu perse­tudjuan jang tidak mempunjai causa, oleh karena causa sebetulnja isi dari persetudjuan dan tiap-tiap persetudjuan tentu mempunjai isi, bagaim anapun sedikit atau ketjil atau sederhana. Suatu persetudjuan bukanlah suatu tempat jang diisi, melainkan berupa isi itu sendiri.

Kalau misalnja seorang A berdjandji akan memberi- uang kepada B dengan tidak disebutkan untuk apa pemberian uang itu, maka m ungkin

36

Page 36: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

K E K U A T A N - P E M B U K T I A N D A R I W ESE L, T J E K D A N A K S E P

ada setengah orang jang menamakan pcrdjandjian itu tidak mempunjai causa. Akan tetapi sebetulnja jang dimaksudkan oleh orang itu bukanlah causa, melainkan ’ ’ motief” atau alasan-pendorong jang berada dalam batin se­orang, dan alasan-pendorong ini pada hakekatnja tidak perlu diperdulikan, oleh karena pada hakekatnja tidak masuk lapangan Hukum.

Dan dalam tjontoh tersebut causanja tak lain tak bukan ialah djandji si A untuk memberi uang kepada si B. Sebetulnja ’ ’ motief” atau alasan- pendorong tentunja ada, ketjuali kalau A adalah orang gila. Dan motief tidak perlu diketahui. Barangkali motief ini keinginan belaka dari si A untuk melihat si B senang setelah menerima uang itu.

Kembali kepada cautio discreta dan cautio indiscreta dari pasal 1336 B .W .; seperti telah dikatakan diatas, perbedaan antara dua matjam surat- pengakuan-hutang ini ialah hanja disebutkan atau tidak causa dari perdjan- djian jang mendjadi sumber dari surat-pengakuan-hutang itu.

Misalnja seorang A menulis dan menanda-tangani suatu surat-pengaku- an hutang jang berbunji: ” Saja A mengakui mempunjai hutang Rp. 1000,— kepada B perihal harga-pembelian suatu sepeda” , maka surat ini merupa­kan cautio discreta. Kalau surat itu hanja berbunji: ” Saja A mengaku mempunjai hutang Rp. 1000,— kepada B ” , maka surat ini merupakan cautio indiscreta.

Wesel, tjek dan aksep masuk golongan apa ?M r Zevenbergcn dalam buku karangannja tentang ’ ’order- en toonder-

papier” halaman 18 mengatakan, bahwa wesel, tjek dan aksep adalah cautio indiscreta” in den volsten zin des woords” (dalam arti jang sebenar-benrtrnja).

Kalau dinjatakan demikian,' maka jang disebutkan causa dalam hal wesel tjek atau aksep ialah dasar-hubungan jang mendjadi latar-belakang dari w esel dsb. itu (onderliggende vcrhouding).

Diatas, dalam Bagian VI, .saja katakan, bahwa dalam hal w'esel, tjek dan aksep terlibat dua matjam persetudjuan, jaitu « persetudjuan jang rnen- djadi dasar-hubungan, seperti misalnja persetudjuan djual-beli atau pindjain- an uang, dan b persetudjuan jang langsung ditimbulkan dengan penanda- tangan wesel, tjek dan aksep serta penerimaan surat-surat itu oleh sipenerima.

Djadi kalau jang dimaksudkan ialah causa dari persetudjuan sub b itu, maka wesel, tjek dan aksep adalah merupakan cautio discreta.

D ulu pasal 100 Kitab U n d a n g - u n d a n g Hukum Perniagaan menjebutkan selaku salah suatu sjarat dari udjud wesel ialah suatu valuta-clausule’ j a i t u

jang biasanja berbunji: ’ ’harga diakui sudah diterima” atau ’ ’harga diakui sudah dinikmati” atau ’ ’ harga dalam perhitungan” .

Pernjataan-pernjataan dalam wesel ini berarti, bahwa dibelakang penan da-tanganan w'esel ini ada persetudjuan sub « tadi. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa wesel, kalau harus memenuhi sjarat dari pasal 100 W .v. K. lama, merupakan cautio discreta djuga mengenai persetudjuan sub a tadi

Tetapi sedjak dahulu selalu dirasakan oleh chalajak ramai, bahwa se­betulnja pernjataan-pernjataan sependek ini tidak menggambarkan sama

Page 37: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WE SEL , T JE K D A N A K S E P

sekali adanja benar-benar suatu persetudjuan sub a selaku latar-belakangdari penanda-tanganan wesel.

Maka kalau toh dimaksudkan untuk memberi kedudukan kepada wesel, jang menjimpang dari peraturan umum tentang cautio discreta dan cautio indiscreta, sedemikian rupa, bahw:a, meskipun wésel itu merupakan cautio indiscreta, toh sipemegang wesel tidak perlu mendalilkan dan membuktikan adanja suatu perdjandjian-latar-belakang (onderliggende verhouding), maka dianggap tidak perlu lagi mensjaratkan adanja ’ ’ valuta-clausule” tadi.

Maka dari itu pasal ioo W .v .K . lania tadi diganti dengan pasal ' io o baru, jang tidak lagi menjebutkan ’ ’valuta-clausule” selaku sjarat dari suatu wesel.

Abstraksi

Diantara para ahli-hukum adalah dipersoalkan, apakah dengan adanja surat wesel, tjek atau aksep terdjadi suatu abstraksi, jaitu p ele p asan-diri dari d asar-hubungan jang berupa persetudjuan sub a tadi.

Abstraksi atau pelepasan-diri kini berarti, bahwa setelah ada ditanda­tangani suatu surat wesel, tjek atau aksep, hal-hal jang mengenai dasar- hubungan selaku latar-belakang dari wesel, tjek atau aksep tadi; tidak boleh lagi dipersoalkan.

Misalnja tidak boleh diperdulikan, bahwa barangkali djaul-beli jan g mendjadi latar-belakang itu, sebetulnja tidak sah, oleh karena salah suatu pihak pada waktu itu belum dewasa.

Abstraksi sematjam ini dulu di Negeri Belanda, menurut Scheltem a (’ ’ Wissel- en Cheque-recht” halaman 56 dan 57), pernah dikehendaki oleh dua penulis ahli-hukum, jaitu M r Kist dan M r Land, jang dalam hal ini menirukan djedjak ahli-ahli-hukum Djerman Einert dan T h o l, dan djuga dianut dalam jurisprudensi di Negeri Belanda pada penghabisan abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Tetapi djuga menurut Scheltema, djalan-pikiran itu sekarang diantara para ahli-hukum Belanda sudah merata ditinggalkan.

Oleh Scheltema disebutkan nama-nama Molengraaff, Suiling, Z even - bergen, Ribbius dan Hamaker, jang semua memang merupakan djempolan diantara para penulis a h l i - h u k u m dilapangan Hukum Perdata. M ereka semua m e n i n g g a l k a n theori abstraksi tadi.

Ini berarti, bahwa sekarang dapatlah dianggap merata, bahw'a dalam hal wesel, tjek dan aksep dipandang tidak ada abstraksi. Dengan lain p er­k a t a a n : sekarang adalah merata suatu penganggapan, bahwa hal sesuatu jang mengenai dasar-hubungan selaku latar-belakang dari wesel, tjek atau aksep itu (persetudjuan sub d) berpengaruh pada pelaksanaan persetudjuan sub b, jang langsung timbul dari adanja wesel dsb. itu.

Dan memang dasar-pikiran jang tersebut belakangan ini, menurut hemat saja adalah wadjar, oleh karena biasanja penanda-tanganan wesel, tjek atua aksep adalah merupakan suatu tjara membajar hutang belaka, jan g tentu- nja bersumber pada dasar-hubungan jang merupakan latar-belakang dari hutang jang harus dibajar itu.

38

Page 38: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

K E K U A T A N - P E M B U K T I A N D A R I WESEL, T J E K D A N A K S E P

Tetapi perlu ditekankan disini, bahwa persetudjuan sub b jang lang­sung timbul dari penanda-tanganan wesel dsb., betul-betul merupakan suatu persetudjuan tersendiri djuga, artinja mempunjai segi-segi chusus tersendiri. Segi-segi chusus ini diatur setjara rapi dalam K itab Undang- undang H ukum Perniagaan Buku I titel 6 dan 7.

Maka seperti halnja dengan beberapa persetudjuan tertentu jang chusus diatur dalam B.W ., seperti djual-beli dalam Buku I II titel 5, tukar-menukar dalam Buku III titel 6, sewa-menjewa dalam Buku III titel 7, maka djuga persetudjuan-persetudjuan jang berdasar atas penanda-tanganan wesel, tjek dan aksep merupakan persetudjuan-persetudjuan tertentu, jang chusus diatur dalam undang-undang pula, tetapi tidak dalam B.W ., melainkan dalam W .v .K . atau Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan Buku I titel 6 dan 7.

Peraturan-peraturan chusus tentang wesel, tjek dan aksep ini akan saja kupas kelak dalam buku ini djuga.

Dengan demikian, bagaimanapun dianggap tidak ada abstraksi dalam arti bahwa tetap ada saling-mempengaruhi dari dua persetudjuan sub a dan b tadi, namun harus diingat, bahwa dua matjam persetudjuan ini masing- masing merupakan persetudjuan tertentu, jang masing-masing takluk pada- peraturan chusus. Sedang untuk dua-duanja persetudjuan ini berlakulah peraturan umum perihal Hukum Perdjatidjian. jang termuat dalam B .W . Buku I II titel I s/d 4.

Kekuatan-pembukfian

Soal lain ialah hal kekuatan-pembuktian dari surat-surat wesel, tjek dan aksep dimuka Pengadilan.

Tentang hal ini kita harus kembali lagi kepada persoalan cautio discreta dan cautio indiscreta.

Oleh setengah orang, dari adanja perbedaan dalam pasal 1336 B.W . antara cautio discreta dan cautio indiscreta ini disimpulkan, bahwa kalau si A sebagai tergugat mungkir mempunjai hutang sama sekali, maka cautio discreta merupakan bukti jang sah, ketjuali kalau ada bukti-pembalasan atau tegenbewijs, dan cautio indiscreta sama sekali tidak mempunjai kekuatan- pembuktian.

Kesim pulan jang belakangan ini jaitu jang mengenai cautio indiscreta, adalah sukar untuk diakui kebenarannja, oleh karena hal si A menulis surat cautio indiscreta ini adalah hal jang njata, maka tidak, adil, apabila dianggap,- seolah-olah si A sama sekali tidak menulis dan menanda-tangani surat itu.

M enurut hernat saja, dalam tjontoh tersebut diatas mengenai djual-beli, apabila si A selaku penanda-tangan suatu surat-pengakuan-hutang jang me­rupakan cautio indiscreta, mungkir sarna sekali adanja persetudjuan djual- beli antara si A dan si B, maka surat-pengakuan-hutang ini tidak begitu sadja áapat diabaikan.

Sampai dimana Hakim menilai kekuatan-pembuktian dari surat-penga- kuan-hutang itu, tergantung dari djawaban si A selaku tergugat mengenai

39

Page 39: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M W ESEL, T JE K D A N A K S E P

keadaan jang menjebabkan ia lantas menanda-tangam surat-pengakuan- hutang itu.

Sekurang-kurangnja surat-pengakuan-hutang itu merupakan suatu per­mulaan pembuktian jang dapat ditambah dengan saksi satu misalnja atau dengan suatu penjumpahan pihak lawan (lihat buku karangan saja ,,Asas- asas Hukum Perdjandjian” tjetakan 3 halaman 31 s/d 34 atau tjetakan ke 4 halaman 34 s/d 37 atau tjetakan kc-5 halaman 34 s/d 37).

Bagaimanakah halnja dengan wesel, tjek dan aksep ?

Diatas sudah dikatakan, bahwa surat wesel, tjek dan aksep merupakan cautio discreta mengenai persetudjuan sub b jang langsung timbul dari pe- nanda-tanganan wesel dsb. itu, dan sebaliknja merupakan cautio indiscreta mengenai persetudjuan sub a selaku dasar-hubungan atau latar-belakang dari wesel dsb., seperti misalnja djual-beli, tukar-menukar, sewa-menjewa dan sebagainja.

Kalau wesel, tjek dan aksep diperlakukan seperti suatu surat-pengakuan- hutang biasa, maka tidak boleh tidak, suatu surat wesel, tjek dan aksep di muka Hakim, apabila sipenanda-tangan wesel selaku tergugat memungkiri lain-lain itu maka sipenggugat, dalam hal ini mungkin sipenerima atau si pembawa wesel, harus membuktikan sepenuhnja adanja persetudjuan djual- beli d.1.1. itu tadi.

Mengingat pendapat saja tentang kekuatan-pembuktian dari cautio in ­discreta pada umumnja, maka dalam hal ini ada kemungkinan Hakim m eng- anggpp surat wesel, tjek atau aksep hanja selaku permulaan-pembuktian jan g masih harus dilengkapi dengan lain-lain alat-bukti seperti misalnja ketera­ngan seorang saksi.

Ternjata diantara para ahli hukum di Negeri Belanda ada persamaan pendapat, bahwa surat wesel, tjek dan aksep dalam hal ini tidak harus d i­perlakukan seperti surat-pengakuan-hutang biasa.

M enurut pendapat jang merata ini, suatu surat wesel, tjek atau aksep, apabila sipenanda-tangan selaku tergugat dimuka Hakim memungkiri adanja dasar-hubungan jang sah seperti djual-beli d.1.1. tadi, maka dengan adanja wesel, tjek atau aksep ini, jang ia mengakui tanda-tangánnja, sudah terbukti­lah djuga, bahwa ada dasar-hubungan seperti djual-beli d .1.1. tadi.

Aitinja: sipenanda-tanganlah, meskipun tergugat, jang harus mendalil­kan dan membuktikan, bahwa tidak ada djual-beli jang sah.

M ungkin djuga tidak dimungkiri adanja persetudjuan djual-beli, tetapi dikatakan oleh sjpenanda-tangan w'esel, bahwa ada hal-hal jang m elu m p u h ­kan pelaksanaan persetudjuan djual-beli itu seperti misalnja harga-pem belian sudah dibajar penuh atau ada terdjadi penipuan atau paksaan dalam m em ­bikin perdjandjian djual-beli itu.

Kalau ini terdjadi, maka hal ini semua djuga harus didalilkan dan di­buktikan sepenuhnja oleh sipenanda-tangan.

' 4 0

Page 40: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

K E K U A T A N - P E M B U K T I A N D A R I WESEL, TJ EK D A N A K S E P

Dengan demikian pasal 1336 B.W. dianggap tidak berlaku bagi surat wesel, tjek dan aksep. (lihat Molcngraaff halaman 367 dst., Scheltcma hala­man 64 s/d 71, Zevenbergen halaman 15 dan 16).

Kalau ditanjakan alasan apakah jang dipergunakan untuk penganggapan ini, maka dari buku-buku tersebut dapat disimpulkan, bahwa alasannja di- tjari pada hal, bahwa wesel, tjek dan aksep ini diatur seJjara chusus dalam Kitab Undang-undang Ilukum Perniagaan, jang setjara djelas menentukan udjud dan isi (vorm en inhoud) dari surat wesel, tjek dan aksep itu (pasal- pasal 100, 174 dan 178), sehingga dapat disimpulkan, bahwa maksud dari pembentuk undang-undang ialah untuk menentukan bahwa pasal 1336 B.W . tidaklah berlaku bagi wesel, tjek dan aksep, asal sadja sjarat-sjarat dari pasal-pasal W .v .K . tentang udjud dan isi dari wesel, tjek dan aksep tadi dipenuhi.

Scheltcma menamakan penganggapan tidak berlakunja pasal 1336 B.W. bagi wesel, tjek dan aksep ini suatu abstraksi ’ ’processueel” , suatu pelepasan-diri dari dasar-hubungan hanja dalam atjara-perdata dimuka Hakim, jaitu mengenai kekuatan-pembuktian.

Abstraksi dalam atjara-perdata jang kini hanja setjara kesimpulan d i­anggap ada, dalam Hukum Inggeris dinjatakan setjara tegas dalam section 30 (1) dari Bill Exchange Act jang berbunji ’ ’Every Party whose signature appears on a bill in prima facie deemed to have become a party thereto for value” (lihat Scheltema dalam buku karangannja tentang wesel dan tjek halaman 71).

41

Page 41: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN VIII

II Ü B U N G A N- II U K U M A N T A R A P E N A R I K D A N P E M B A W A J A N G B U K A N P E N E R I M A

D i Bagian V I I sebetulnja jang dikupas hanja hubungan-hukum antara pe­narik wesel dsb. dan sipcnerima (nemer). Sekarang tiba gilirannja untuk dikupas hubungan-hukum antara sipenarik dan sipembawa jan g bukan si- pen.erima.

Seperti telah dikatakan diatas, sipenerima (nemer) dapat mengalihkan haknja atas wesel, tjek atau aksep kepada orang lain. Ini djadi berarti,, bahwa dalam persetudjuan jang berakar pada wesel, tjek dan aksep, siberhak atau siberpihutang (schuldeischer, créditeur) dapat diganti.

Djuga tentang hal ini persoalannja harus dikupas dengan menengok ke­pada beberapa pasal dari B.W., jaitu kini pasal 613 pasal 1977 dan pasal 582.

H a l mengalihkan pihutang

Hal ini pada umumnja diatur dalam pasal 613 B.W .A jat 1 mengenai pihutang biasa jang surat-hutangnja hanja menjebut

seorang tertentu sadja selaku pihak berhak atau pihak berpihutang, dan m e­nentukan, bahwa pihutang ini dapat diserahkan kepada orgng lain dengan tjara membuat suatu akta-otentik atau akta dibawah tangan, dalam mana hak siberpihutang dilimpahkan kepada orang lain.

M enurut ajat 2 penjerahan ini bagi siberhutang baru ada akibatnja, apabila penjerahan itu diberitahukan kepadanja, atau setjara tertulis disetu- djui atau diakuinja.

Ajat 3 mengenai pihutang-pihutang karena surat-bawa (aan toonder) dan pihutang-pihutang karena surat-tundjuk (aan order).

Menurut ajat ini, penjerahan pihutang karena surat-bawa dilakukan dengan penjerahan belaka dari surat itu , dan penjerahan pihutang karena surat-tundjuk dilakukan dengan penjerahan surat disertai endosemen.

Kalau kini dibitjarakan hal penjerahan (levering) dari pihutang-pihu­tang, maka jang dimaksudkan ialah penjerahan jang mengakibatkan, bahwa pihutangnja betul-betul beralih, djadi seorang jang mendapat surat-pihutang itu betul-betul mendjadi pihak-berhak atau pihak berpihutang (schuldei­scher, créditeur).

Dan untuk ini adalah berlaku pasal 584 B.W . jang pada um um nja mengatakan, salah satu tjara memperoleh hak-milik atas suatu kebendaan ialah suatu penjerahan berdasar atas suatu peristnoa-hukum untuk memin­dahkan hak-milik, dilakukan oleh seorang jang berhak berbuat bebas ter­hadap kebendaan itu.

42

Page 42: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U B U N G A N - H U K U M A N T A R A P E N A R I K D A N P E M B A W A

Kini ternjata ada dua sjaraf untuk mengakibatkan, bahwa dengan pe- njerahan suatu barang djuga hak-milik atas barang itu berpindah jaitu a adanja suatu peristhoa-hukum jang sah dengan tudjuan memindahkan hak seperti misalnja djual-beli, tukar-menukar, penghibahan dan sebagainja, dan b adanja hak dari sipenjerah untu-k berbuat-bebas terhadap kebendaan itu, kini surat-pihutang.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa berdasar atas pasal 613 dan pasal 584 B.W ., seorang pemegang surat-pihutang hanja dapat dianggap si- berpihutang atau siberhak atas pembajaran hutang, apabila sipemegang itu adalah sekali pemilik dari surat-pihutang itu.

Misalnja, apabila surat-pihutang itu hanja dititipkan sadja kepada orang lain, maka orang lain ini hanja merupakan pe?negang belaka, bukan pem ilik dari surat pilnitang itu.

Pengaruh pasal 1977 ajat 1 B AV.

M enurut pasal ini, perihal barang-barang bergerak, termasuk djuga pi- hutang karena surat-bazva, hak memegangnja dengan kemauan untuk m e­nguasai selaku pemilik (” bezit” ) merupakan bukti sempurna dari hak-milik atas barang-barang itu.

Ini berarti, bahwa kalau ada seorang lain, jang menamakan dirinja p e ­milik sedjati, ia harus membuktikannja dengan . alat-alat-pembuktian jang lengkap.

Selama pembuktian lengkap ini tidak dikemukakan, maka sipemegang (bezitter) dianggap pemilik. Tetapi menurut kebanjakan ahli-hukum, sipeme­gang itu harus mendapat barang atau surat-pihutang itu berdasar atas per- istiwa-hukum jang sah dan bertudjuan memindahkan hak-milik atas barang itu.

Jang hanja tidak diperdulikan ialah bahwa orang, dari siapa sipemegang memperoleh barang itu, betul-betul berhak untuk memindahkan hak-milik atas barang itu. (lihat Scheltema dalam buku karangannja tentang wesel dan tjek halaman 96 dan 97).

Lazimnja, meskipun tidak disebutkan dalam pasal 1977 ajat 1 B .W ., dianggap oleh segenap ahli-hukum, bawa ” bezit” jang merupakan bukti sempurna dari milik ini, harus bersjarat djudjur atau beritikad baik.

Artinja: sipemegang barang atau surat-pihutang harus setjara djudjur atau dengan itikad baik mengira, bahwa ia mendapat barang itu dari se­orang jang berhak menjerahkan hak-milik atas barang itu, im biasanja ten- tunja sipemilik sedjati sendiri.

Djadi kalau ia tahu, bahwa jang menjerahkan barang itu bukan pemilik sedjati, melainkan misalnja seorang pendjaga barang sadja, jang tentunja tidak berkuasa menjerahkan barangnja'kepada orang lain, maka pasal 1977 ajat 1 B.W . tidak dapat dipergunakan, dan sipemegang barang atau surat- pihutang jang tidak djudjur itu, tidak mendapat perlindungan, artinja ia tidak dianggap sebagai pemilik.

43

Page 43: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WE SEL, T J E K D A N A K S E P

Pasal 1977 ajat 1 hanja menjebutkan pihutang karena surat-bazva (aan toonder), tetapi menurut pendapat jang merata, penentuan ini djuga ber­laku bagi pihutang karena surat-tundjuk (orderpapier), oleh karena, seperti telah dikatakan diatas, perbedaan antara tjara memindahkan hak-milik atas dua matjam surat tadi ialah hanja, bahwa bagi surat-tundjuk penjerahan suratnja harus disertai suatu endosemen sadja.

Djadi: menurut pasal 1977 ajat 1 B.W., siapa jang setjara djudjur atau dengan itikad-baik memperoleh surat-pihutang-tundjuk atau surat- pihutang-bawa berdasar atas suatu peristiwa-hukum jang setjara sah bertu- djuan memindahkan hak-milik atas surat-surat itu, adalah mendjadi siber- pihutang sedjati.

Pasal 1977 ajat 2 B . IV.Ajat 2 ini menjebutkan suatu keketjualian, jaitu kalau orang kehilangan

atau ketjurian suatu barang-bergerak, termasuk surat-bavva dan surat-tun­djuk ia masih dapat meminta kembali barang itu selama 3 tahun dari seorang pemegang barang itu, meskipun pemegang ini barangkali sangat djudjur, jaitu membeli barang itu dari orang iang ia dapat mempertjajai sebagai seorang djudjur djuga.

Perlu ditekankan semula, bahwa ajat 2 dari pasal 1977 B.W . ini hanja menjebutkan hal tertjurinja barang (diefstal), maka ajat 2 ini tidak meliputi hal barang-barang itu digelapkan (verduistering pasal 372 K itab U nd an g- undang Hukum Pidana). Dengan demikian dalam hal barang digelapkan, sipemilik tidak dapat menuntut kembali barang-barang itu, meskipun belum tiga tahun berselang sedjak barang-barang itu digelapkan.

Tjontoh dari penggelapan barang ialah bahwa seorang jan g dititipi barang mendjual barang itu kepada orang lain tanpa idzin sipemilik.

Oleh ajat 2 dari pasal 1977 B.W. ditundjuk kepada pasal 582 B .W ., jang menentukan bahwa dalam permintaan kembali ini sipemilik tidak d i­haruskan memberi ganti-kerugian kepada sipeinegang barang jan g baran g­kali mendapat barang itu setjara membeli dari orang lain dan m ungkin sekali setjara djudjur.

Ada ditentukan suatu keketjualian, jaitu apabila pembelian ini dilakukan didalam suatu pasar-perdagangan atau pada suatu lelang-umuni, atau dari seorang pedagang jang sudah terkenal memperdagangkan barang-barang sematjam dengan barang jang bersangkutan.

Bagaimana halnja dengan wesel, tjek dan aksepPasal 1917 B. W. ini, kalau bagi wesel, tjek dan aksep tidak ada peratu­

ran chusus, akan berlaku djuga untuk surat-surat itu, berdasar atas pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan.

.Ternjata ada peratuaran chusus ini tentang wesel tjek dan aksep, jaitu jang termuat : mengenai wesel dalam pasal 115 ajat 2 W .v .K . , m engenai tjek dalam pasal 198 W .v .K . dan mengenai aksep pasal 176 jo pasal 155 ajat 2 W .v .K .

Djadi pasal 1977 B.W. tetap seluruhnja berlaku hanja bagi surat-bavva dan surat-tundjuk jang bukan wesel, tjek, aksep, kwitansi untuk pem b aw a

Page 44: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

HUDUNGAN-HUKUM ANTARA PENARIK DAN PEMBAWA

dan promes untuk pembawa, seperti misalnja surat-kognosemen-baiua atau surat-kognosemen-tiindjuk, atau surat-cedul-bawa atau surat-cedul-tundjuk.

Kognosemen adalah surat tulisan dalam mana seorang pengangkut ba­rang dilaut menerangkan, bahwa iä telah menerima barang tertentu untuk diangkut kesatu tempat-alamat dan untuk disana menjerahkan barang itu ke­pada seorang tertentu atau kepada orang jang ditundjuk olehnja (order'» atau kepada seorang pembazua surat itu (toonder). (lihat tentang kognosemen ini lebih djauh buku karangan saja ’ ’ Hukum Laut bagi Indonesia” tjetakan pertama halaman 120 s/d 123 atau tjetakan kedua halaman 114 s/d 118).

Cedul adalah surat tulisan dari seorang pengurus Veem penjirnpan barang, dalam mana ia menerangkan telah menerima barang tertentu untuk disimpan dan kemudian diserahkan kepada orang tertentu atau kepada orang jang ditundjuk olehnja (order) atau kepada seorang pembazua surat tulisan itu (toonder).

Sampai dimana pasal 115 ajat 2, pasal 176 dan pasal 198 W .v. K . mc- njimpang dari pasal 1977 B .W .

M enurut pasal-pasal dari Kitab Undang-undang H ukum Perniagaan ini, apabila seorang pemegang wesel, tjek atau aksep kehilangan surat dengan tjara apapun djuga dan- kemudian melihat surat-surat itu dipegang oleh orang lain, maka orang lain ini tidak berzvadjib mengembalikan surat- surat itu, ketjuali kalau memperoleh surat-surat itu dengan itikad-djahat atau kalau ia dapat dipersalahkan sangat kurang berhati-hati dalam m en­dapatkan surat-surat itu (’ ’kwade trouw” dan ’ ’grove schuld” ).

Dengan demikian sudah terang bahwa pasal 1977 ajat 2 B .W . tidak berlaku bagi wesel, tjek dan aksep, oleh karena menurut pasal-pasal dari W .v .K . tersebut, djuga dalam hal wesel, tjek dan aksep itu tcrtjuri atau hilang, tidak ditentukan tenggang tiga tahun, dalam mana surat-surat itu masih dapat diminta kembali oleh sipemilik dari sipemegang.

Hanja disebutkan ada sjarat untuk keketjualian, jaitu sipemegang toh berwadjib mengembalikan surat-surat itu, apabila dipihak pemegang ada itikad-djahat atau kelalaian jang sangat.

Dan lagi pasal-pasal dari W .v .K . itu tidak memperbedakan antara hal barang ditjuri dan hal barang digelapkan, oleh karena pasal-pasal itu setjara um um menjebutkan hal seorang pemegang wesel, tjek atau aksep kehilangan surat-surat itu dengan tjara apapun djuga. Hal ini meliputi surat-surat itu ditjuri, digelapkan, djatuh ditengah djalan, kelupaan ditinggalkan disuatu tempat, dan lain sebagainja.

Itikad-baik terhadap itikad-djahat dan kelalaian sangatDari uraian diatas dapat dilihat, bahwa menurut pasal 1977 B .W . se­

orang pemegang su ra t-b a w a ' dan surat-tundjuk pada umumnja adalah diperlindwigi, apabila ia bertikad-baik atau djudjur sedang menurut pasal115 ajat 2, Pasal 176 dan Pasal 198 Kitab Undang-undang H ukum Per­niagaan seorang pemegang wesel, tjek atau aksep tidak diperlindungi, apabila ia beritikad-djahat atau bcrkelalaian sangat.

45

Page 45: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T J E K D A N A K S E P

Schcltem a (halaman 101 dan 102) berpendapat, balnva pasal-pasal dari W .v .K . tersebut tidak hanja menjampingkan pasal 1977 aJa 2 m e­lainkan djuga pasal 1977 ajat 1 B. W., djustru oleh karena pasal 1977 ajat 1 B .W . mengatakan memperlindungi pemegang jang bentikad-baik dan pa- sal-pasal dari W .v .K . tadi mengatakan tidak memperlindungi sipem egang jan g beritikad-djahcit atau berkelalaian sangat.

M enurut Scheltema, kalau seorang pemegang tidak dapat dikatakan bertikad-djahat atau berkelalaian sangat, ini belum berarti bahwa ia adalah beritikad-baik.

Djadi dengan demikian ada kemungkinan seorang pem egang wcscl, tjek atau aksep, jang tidak dapat dikatakan beritikad-djahat atau berkelalaian sangat, toh djuga tidak dapat dikatakan beritikad-baik dan maka dari itu toh diperlindungi, meskipun tidak bertikad-baik, djadi m enjim pang dari pasal 1977 ajat 1 B .W ., jang hanja memperlindungi sipemegang ja n g ber- itikad-baik.

K esim pulan dari Scheltema ialah bahwa seorang pem egang wesel, tjek atau aksep, asal ia tidak beritikad djahat atau tidak berkelalaian sangat, harus diperlindungi, meskipun barangkali ia mendapat surat-surat itu dari seorang jan g tidak berhak untuk mengalihkan hak-milik atas surat-surat itu.

Sebetulnja bagi saja tjara berpikir dari Scheltema ini adalah sangat berbelit-belit sehingga saja sebetulnja tidak begitu mengerti m aksud se- sungguhnja dari uraian Scheltema. Para peminat dipersilakan membatja sendiri uraian M r Scheltema ini.

M aka saja dapat menjetudjui pendirian M r Wiarda, jan g mengolah (’ ’ b ew erken” ) buku M r Scheltema setelah Scheltema w'afat, dan ja n g ber­pendapat, bahwa jang dimaksudkan oleh pasal-pasal dari W .v .K . tersebut dengan istilah ’ ’ itikad-djahat” dan ’ ’kelalaian sangat” ialah m enjebut- kan suatu tentangan belaka (tegenstelling) dari istilah ” itikad-baik” , maka dari itu dapat dianggap, bahwa dalam pasal-pasal dari W .v .K . itu hanja disebutkan ’ ’ itikad-djahat” sadja tanpa tambahan ’ ’kelalaian sangat” .

Djelaslah, menurut M r Wiarda, kalau seorang pem egang wesel, tjek atau aksep tidak dapat dikatakan bertikad-djahat atau berkelalaian sangat, W .v .K . tadi tidak menjimpang dari pasal 1977 ajat 1 B .W ., melainkan hanja m enjim pang dari pasal 1977 ajat 2 B.W . sadja.

Sekiranja pendapat M r Wiarda ini djuga disetudjui oleh M r Z ev en - bergen, jan g dalam buku karangannja tentang ’ ’ Order- en T o o n d e rp a p ie r” sama sekali tidak menjinggung kemungkinan ada pendapat seperti dari M r S c h e l t e m a tadi (lihat buku karangan M r Zevenbergen tadi h a l a m a n 137 dan 257).

46

Page 46: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BA G IA N IXP E N G A L IH A N -H A K -H A K S IP E N E R IM A K E P A D A JA N G D IT U N D JU K

A T A U K E P A D A S I P E M B A W A

Kalau dalam Bagian V I I I saja mengupas perihal wesel, tjek dan aksep hal penggantian sipenerima (nemer) selaku pihak-berhak pertama, oleh orang lain, jang mendjadi pihak jan g ditundjuk (order) atau pembawa (toonder) maka sekarang harus ditindjau sampai dimana hak-hak dan kewadjiban dari sipenerima ini beralih kepada jan g berturut-turut mengantikannja, sampai sipembawa terachir.

Penggantian pihak-berhak pada umumnja .Dalam suatu perdjandjian biasa, apabila suatu pihutang dialihkan ke­

pada orang lain (cessie) maka orang lain ini selaku pihak-berhak baru pada pokoknja mendapat hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban jan g sama

.seperti siberhak-asli.Kalau perdjandjian-asli antara siberwadjib dan siberhak-asli (cedent)

sudah terhenti karena hutangnja telah dibajar lunas, maka siberhak-baru (ccssionaris) djuga tidak berhak untuk minta pembajaran dari siberwadjib.

K alau menurut perdjandjian-asli bagi siberwadjib belum tiba waktunja untuk membajar hutangnja, maka djuga siberhak-baru belum dapat minta pembajaran dari berwadjib.

Kalau perdjandjian-asli antara siberwadjib dan siberhak-asli adalah batal karena siberwadjib pada waktu mengadakan perdjandjian itu, belum dewasa, maka djuga siberhak-baru tidak dapat minta pembajaran selaku pelaksanaan perdjandjian.

Hal ini dapat dirumuskan selaku hakekat (principe) sebagai berikut: siberwadjib terhadap siberhak-baru (ccssionaris) jang menegornja untuk membajar hutang, dapat mempergunakan segala tangkisan (verweermiddelen) jang ia dapat gunakan terhadap siberhak-asli (cedent).

Dapatkah hakekat ini diperlakukan bagi wesel, tjek dan aksep?M'isalnja seorang pembeli barang untuk membajar harga-pembeliah,

menarik wesel atau tjek atau aksep guna dibajar kepada sipendjual selaku sipenerima (nemer) dan kemudian wesel, tjek atau aksep ini oleh sipendjual tadi dialihkan kepada orang lain dengan endosemen, dan kemudian oleh orang lain ini dialihkan lagi kepada orang lain lagi, begitu seterusnja.

Kalau prinsip-um um tadi kini diperlakukan, dan misalnja setelah wesel dsb. ini beralih kepada orang lain dari pada sipendjual, kemudian harga- pembelian dibajar oleh sipembeli kepada sipendjual, dan kemudian lagi si- pembeli selaku penarik wesel dsb. ditegor oleh sipembawa terachir untuk

Page 47: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T J EK D A N A K S E P

m cm bajar sedjumlah uang jang disebutkan dalam wcsel-wesel itu, maka sipenarik wesel dapat menolak untuk membajar uang itu, oleh karena ia dapat menolak pembajaran itu (untuk kedua kalinja) kepada sipendjual alias, sipenerima.

Kalau demikian halnja, sedang sipembawa teraehir tidak tahu-m enahu- tentang lenjapnja kewadjiban sipembawa untuk membajar kepada sipenerima ini, maka tidak akan ada orang jang bersedia mengoper wesel dsb. itu se­laku pem bawa. Dan dengan demikian wesel, tjek dan aksep tidak akan me­menuhi tudjuannja, jaitu untuk dapat diperdagangkan seperti barang.

M aka dari itu adalah lajak, bahwa dalam pasal 1 1 6 W .v .K . mengenai wesel dan dalam pasal 199 W.v.Iv. mengenai tjek, ditentukan sebagai ber­ikut:

Apabiala seorang mengenai wesel atau tjek ditegor untuk membajar jaitu sitertarik (betrokkene, dalam hal tjek selalu suatu Bank) maka seorang atau Bank itu terhadap sipembawa wesel atau tjek tidak dapat memperguna­kan tangkisan-tangkisan jang berdasar atas hubungan-perseorangan antara s i t e r t a r i k dan sipenarik atau sipembawa-dulu (vroegere houder) ketjuali apa­bila sipembawa teraehir itu pada waktu mendapat wesel atau tjek itu dengan sengadja berbuat merugikan siberwadjib alias sitertarik tadi.

Dengan demikian siberwadjib toh harus membajar sedjumlah uang jan g disebutkan dalam surat w'esel atau tjek, meskipun sebetulnja ia sudah tidak berhutang lagi kepada siberhak-asli alias sipenerima (nemer).

Ini tentunja tidak menjenangkan bagi siberwadjib. Akan tetapi harus diingat, bahwa seorang berwadjib jang menarik wesel atau tjek, dapat di­anggap sedjak semula sudah mengetahui, bahwa risiko ini adalah mele­kat pada penanda-tanganan wesel atau selaku penarik.

D an lagi pengeluaran wesel, tjek atau aksep ini djuga bagi siberw adjib dapat merupakan keuntungan, dalam arti, bahwa apabila ia sudah niem- bajar kepada sipembawa wesel tjek atau aksep, jang dapat m em perlihatkan, bahwa wesel dsb. itu setjara teratur menurut undang-undang djatuh dita- ngannja, maka' siberwadjib itu adalah bebas dari tegoran kedua kalinja, m eskipun mungkin sekali antara sipembawa dan sipenerima selaku pihak berhak asli ada hal-hal jang tidak beres. .

Misalnja sipenerima mendjual wesel, tjek atau aksep kepada orang lain, sedang orang lain ini baru sanggup sadja untuk membajar harga-pem belian- nja dan kemudian sama sekali tidak membajar kepada sipenerima tadi.

Dalam hal ini sipenerima tidak dapat minta pembajaran lagi dari siberwadjib, melainkan harus minta pembajaran dari sipem baw a ja n g tju- rang tadi.

Matjam-matjam tangkisan

T id ak semua tangkisan jang sitertarik dapat pergunakan terhadap si- penerima, dapat dipergunakan terhadap sipembawa jang bukan sipenerima.

48

Page 48: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

1 a ngkisan-tangkisan ini dapat dibagi dalam dua golongan jaitu ke : tangkisan mutlak (absolute of objectieve verweermiddelen) dan ke 2 tan g­kisan nisbi atau tak-mutlak (relative of persoonlijke verweermiddelen).

Tangkisan mutlak (exceptiones in rem).

Selaku tjontoh-tjontoh dari tangkisan-mutlak dapat disebutkan:

a. bahwa sipenanda-tangan wesel, tjek atau aksep pada waktu menanda- tanganinja adalah belum dezvasa, atau seorang jang berada dalam p e ­ngawasan curateele

b. bahwa tanda-tangan itu dipalsu, artinja tanda-tangan sebetulnja dila­kukan oleh orang lain dari pada sipenarik dengan meniru tanda-tangan sedjati dari sipenarik.

c. bahwa surat wesel, tjek atau aksep tidak memenuhi sjarat-sjarat dan Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan mengenai udjud dan isi dari surat-surat tadi.

d. bahwa hak untuk mendapatkan pembajaran dari surat wesel, tjek atau aksep sudah lenjap karena kadalu-warsa (verjaard) dalam djangka- djangka pendek-jang untuk wesel diteiutukan dalam pasal i6§ W .v .K . dan untuk tjek ditentukan dalam pasal 229 W .v .K .

Tangkisan-tangkisan ini dapat dipergunakan oleh siberwadjib terhadap semua berhak, baik sipcnerima-asli maupun terhadap pembawa-pembawa jang berikutnja, oleh karena tangkisan-tangkisan ini mengenai persetudjuan chusus jang langsung bersumber pada pengeluaran wesel, tjek atau aksep.

Dengan lain perkataan tangkisan-tangkisan ini melekat pada surat-surat wesel, tjek atau aksep.

Tangkisan-tangkisan nisbi atau tak-mutlak (exceptiones in personam)

Seperti pada umumnja, tangkisan nisbi atau tak-mutlak ini mengenai hubungan perseorangan antara .sipenarik dan sitertarik atau antara sipenarik dan salah seorang dari pada endosan jang mendahului sipembawa terachir, chususnja antara sipenarik dan sitertarik atau sipenerima-asli (nemer).

Tangkisan-tangkisan jang seinatjam inilah jang dimaksudkan oleh pasal116 dan pasal 199 W .v .K . tersebut diatas dan jang biasanja oleh pembawa terachir tidak mungkin dapat dilihat dari udjud dan isi surat wesel, tjek atau aksep.

Tetapi, menurut Mr. Zevenbergen (halaman 33 dan-34), bagaimanakah halnja apabila sipembawa itu pada waktu ia mendapat surat wesel d?b. itu kebetulan mengetahui adanja tangkisan-tangkisan itu.

Dalam hal ini sipembawa dapat dikatakan tidak djudjur atau beritikad djahat, dan dalam pergaulan lalu-lintas ditengah-tengah masjarakat seorang jang tidak djudjur tidak selajaknja diperlmdungi.

P E N G A L I H A N I I A K - H A K S1P E N E RI M A K E P A D A J A N G D l T U N D J l ' K

49

Page 49: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJEK DAN ÄKSEP

D ju g a oleh M r Z evenbergen disebutkan, bahwa adakalanja seorang p e m b a w a adalah hanja seorang kuasa (lasthebber) dari sipenerima-asli, ja n g hanja diberi kuasa untuk m engambil uang jang disebutkan dalam surat wesel dsb.

H al-hal ini, ja itu bahwa sipembawa mengetahui adanja tangkisan atau b ah w a ia hanja merupakan kuasa sadja dari sipenerima-asli, tentunja harus didalilkan dan dibuktikan oleh siberwadjib dimuka Pengadilan.

Tjontoh-tjontoh tangkisan nisbi ialah:

a T angkisan jan g ada hubungan dengan latar-belakang dari p en an d a ­tanganan wesel, tjek atau aksep, seperti persetudjuan djual-beli, tu k a r -m e n u ­kar, pindjam an-uang dan lain-lain sebagainja, hubungan mana ada antara sipenarik dan sipenerima-asli.

Misalnja dalam hal djual-beli penanda-tanganan wesel, tjek atau aksep, itu dilakukan oleh sipembeli untuk melakukan pembajaran u an g-h arga pen - djualan kepada sipenerima-asli selaku sipendjual, tetapi kem udian ternjata sipendjual tidak menepati djandjinja untuk menjerahkan (leveren) barang ja n g didjual. M aka sipenarik selaku pembeli barang sebetulnja tidak ber- w ad jib pula untuk membajar uang-harga-pembelian.

T an gkisan ini dari sipenarik selaku pembeli barang tidaklah dapat d i­pergun akan terhadap sipembawa wesel dsb. jang. bukan sipenerim a-asli.

L a i n . tjontoh dari tangkisan jan g berdasar pada latar-belakang dari penanda-tanganan we^el, tjek atau aksep ialah, bahwa sebetulnja penarikan surat-surat wesel dsb. itu dilakukan untuk membajar sedjum lah u an g-k ek a - lahan dalam pendjudian jan g menurut undang-undang tidak bo leh d itu n tu t pem bajarannja.

b Tan g kisan berdasar atas peristiwa-peristiwa jan g terdjadi setelah w esel dsb. dikeluarkan, dan jang mendjadikart sipenarik- t idak b e rh u ta n g lagi karena kem udian hutangnja dibajar oleh sipenarik kepada s ip e n er im a- asli pada waktu weselnja sudah dialihkan kepada orang lain.

K in ip u n sipembawa dapat tetap menuntut pem bajaran dari sitertarik atau sipenarik.

T e n tu n ja sipenarik dapat kemudian menegor sipenerim a-asli u n tu k ganti-kerugian, oleh kareAa harus membajar dua kali.

c Kompensasi atau perdjumpahan-hutangIni menurut pasal 1425 B .W . adalah akibat dari suatu keadaan , b a h w a

pada suatu ketika seorang A mempunjai hutang kepada B tetapi seketika itu djuga si A itu mempunjai pihutang terhadap B, atau dengan lain p e r ­kataan : pada suatu waktu si A adalah sekali p ihak-berhak dan p ihak- berwadjib terhadap B.

Keadaan sematjam ini berakibat, bahwa terdjadi suatu p e r d ju m p a h a n - hutang atau kompensasi jan g berarti, bahwa dua hutan g itu dua-duatija hapus.

50

Page 50: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

Perihal wesel dan tjek mungkin terdjadi, bahwa perdjum pahan-hutang ini ada antara siberwadjib (penarik atau tertarik) dan sipenerima-asli. Dapatkah sibenvadjib menolak pembajaran, apabila dituntut oleh sipembaw-a terachir, jang bukan sipenerima-asli?

Djustru tentang perdjumpahan-hutang ini ada suatu pasal 1431 B.W . jan g mengatur hal adanja penjerahan hutang oleh siberhak kepada orang lain (cessie.) M enurut pasal itu, kalau siberwadjib menjetudjui penjerahan ini, dan ia digugat oleh siberhak-baru, maka ia tidak dapat mempergunakan tangkisan berdasar' atas perdjumpahan-hutang dengan siberhak-lama (lihat buku karangan saja ” Asas-asas Hukum Perdjandjian tjetakan ke 3 halaman 104 s/d 107 atau tjetakan ke 4 halaman 115 s/d 117 atau tjetakan ke 5 halaman 115 s/d 117).

M aka sesuai dengan pasal 1431 B. W. Iah, apabila djuga dalam hal wesel tjek dan aksep siberwadjib, jang ditegor oleh sipembawa terachir, tidak dapat mempergunakan tangkisan berdasar atas adanja pihutang dari siberwradjib terhadap sipenerima-asli (lihat Zevenbergen halaman 36 dan Scheltema halaman 168 dan 169).

d Paksaan atau tipuan terhadap penarikKalau penarikan wesel, tjek atau aksep terdjadi karena paksaan atau

penipuan, jang dilakukan oleh sipenerima-asli terhadap sipenarik, maka hal ini djuga mengenai hubungan perseorangan antara mereka, jan g tidak dapat dipergunakan oleh siberwadjib untuk menangkis tuntutan sipembawa- terachir akan pembajaran.

Perihal paksaan, menurut Zevenbergen (halaman 37) dan Scheltema (halaman 168 dan 184) harus diketjualikan paksaan-badan (physieke dwTang), jang menjebabkan sipenarik menanda-tangani wesel, tjek atau aksep.

Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa sebetulnja bukan sipenarik jang menanda-tangani melainkan sipemaksa, djadi orang lain daripada sipenarik. Hal ini.m irip dengan penanda-tanganan palsu, jang seperti diatas dikatakan merupakan tangkisan-mutlak jang berlaku djuga bagi sipembawa terachir.

Hanja sadja seperti diatas sudah dikatakan, hal adanja paksaan-badan ini harus dibuktikan.

Sedang dalam hal tangkisan-nisbi, meskipun terbukti adanja tangkisan itu, namun tangkisan itu tidak dapat dipergunakan terhadap sipembawa- terachir, ketjuali apabila sipembawa-t.erachir ini dengan sengadja berbuat merugikati siberwadjib (batjalah anak-kalimat-penghabisan dari pasal 116 dan pasal 199 K itab Undang-undang H ukum Perniagaan).

P E N G A L I H A N H A K - H A K S I P E N E R I M A K E P A D A J A N G D I T U N D J U K

51

Page 51: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN XH A L P E R U N D A N G - U N D A N G A N T E N T A N G W E S E L, T J E K D A N

A K S E P

Sedjarah K itab Undang-undang Hukum PerniagaanKitat} U n dan g-un dan g H uku m Perniagaan (W etboek van K o op h a n d el , W .v .K .) , ' jan g dalam Buku. I titel 6 dan 7 memuat peraturan-peraturan tentang wesel, tjek dan aksep, mulai berlaku pada tanggal 1 M ei 1848, b e r­sam a-sam a dengan lain-lain undang-undang seperti Burgerlijk W etboek, U n d a n g -u n d a n g tentang susunan dan tugas Pengadilan-Pengadilan (R egle- ment op de Rechterlijk Organisatie, R.O.).

M ula-m u la K itab U ndan g-undan g H ukum Perniagaan ini hanja b e r ­laku bagi orang-orang Eropah sadja. Baru dengan Staatsblad 1855 no. 76, ja n g kem udian diganti dengan Staatsblad 1924 no. 556, K ita b U n d a n g - un d an g H uk u m Perniagaan ini seluruhnja ditetapkan berlaku djuga bagi orang-oran g T io n g h w a , Arab dan lain-lain bangsa T im u r A sin g.

K itab U n dan g-undan g H ukum Perniagaan ini adalah tiruan belaka dari W etboek van Koophandel di Negeri Belanda, jan g disana m ulai b e r­laku pada tanggal 1 Oktober 1838.

W etboek van Koophandel di Negeri Belanda mentjontoh sangat pada C o d e dc Com m erce. dari Negeri Perantjis, jan g disana mulai berlaku pada tanggal 1808 (lihat M olengraaff bagian I halaman 14 s/d 17).

Sedjarah peraturan tentang wesel, tjek dan aksepIni ada hubungan, erat dengan pertum buhan Hukum Internasional

mengenai wesel, tjek dan aksep.M en u ru t M r Scheltema (” Wissel- en C h e q u e -R e c h t” halam an 4 dan

5) dan M r Zevenbergen (’ ’ Order- en toonderpapier” halaman 79, 80 dan 81), dulu di Dunia ada tiga golongan peraturan tentang wesel, ja n g b erm atjam berlainan satu dari jang lain, jaitu a peraturan matjam Perantjis , b p e ra tu ­ran matjam Djerman dan c peraturan matjam Inggeris.

Peraturan matjam Perantjis

Ini dianut oleh Negeri Perantjis Belanda (termasuk In do n e sia selaku. H india-Belanda dulu), Belgia, Sepanjol Rum ania dan N e g e r i-n e g e r i di A m e rik a -T e n g a h dan Amerika-Selatari.

Dinam akan matjam Perantjis oleh karena jan g m endjadi dasar-tjon toh ialah peraturan dalam C ode de C om m erce di N egeri Perantjis.

Bahan-bahan untuk menjusun C o de de C o m m erce ini d iam b il dari buku-b uku karangan penulis-penulis-ahli-hukum di • Perantjis, d iantara siapa jan g terkenal ialah Pothier dan Domat.

T e n ta n g hal wesel ini C ode dc C om m erce mendasarkan peratu ran n ja pada pendapat Pothier mengenai persetudjuan-wesel selaku perse tu d ju an

52

Page 52: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L P E R U N D A N G - U N D A N G A N T E N T A N G WESEL, T J E K D A N 'A K S E P

menukar-uang (contract de change), jaitu suatu persetudjuan. dalam mana seorang A memberi uang atau akan memberi uang kepada B, dan.selaku contra-prestasi si B menarik suatu wesel untuk dibajarkan kepada A disuatu tempat lain.

Jang penting dalam pendapat Pothier ini ialah bahwa surat-wesel itu han j a merupakan bukti belaka dari persetudjuan contract de chango tadi, dengan akibat bahw'a apabila ada tjatjad pada pembentukan persetudjuan sehingga persetudjuan itu batal, maka sipemegang surat-wesel sama sekali tidak mempunjai hak jang berdasar atas isi surat-wesel tadi. Djuga tidak, meskipun sipemegang surat-wesel itu sangat djudjur alias beritikad baik.

Sifat tertentu ini dari wesel sematjam Perantjis terutama terdjelm3 pada sjarat-sjarat tertentu bagi wesel jang termuat dalam peraturan di Pe­rantjis, jaitu:

a. bahwa sitertarik harus berada dilain tempat dari pada sipenarik (sjarat berlainan tempat),

b. harus disebutkan apa jang dinamakan valuta-clausule selaku pernjataan adanja persetudjuan latar-belakang.

Peraturan matjam DjermanIni dianut antara lain oleh Negeri-negeri Djerman, Austria, Itali, Swis

dan N egeri-negeri di Skandinavia (Swedia, Norwegia dan Denmark).Dinam akan matjam Djerman, oleh karena jang mendjadi dasar-tjontoh

ialah suatu undang-undang di Djerman tentang wesel (W echsel-ordnung) dari tahun 1848.

K in i pembentukan Wechsel-ordnung ini dipengaruhi oleh ahli-ahli-hu- kum ternama di Djerman, jaitu' Einert dan Thol, jang seperti diatas sudah pernah saja singgung, berpendapat, bahwa dengan adanja surat-wesel para pihak dianggap melepaskan diri dari persetudjuan latar-belakang (abstraksi), sehingga tjatjad-tjatjad jáng mungkin melekat pada persetudjuan latar- belakang itu, tidak mempengaruhi tetap adanja kewadjiban sitertarik dari wesel (betrokkene) untuk membajar uangnja kepada sipenerima (nemer).

Peraturan matjam InggerisIni dianut oleh. Negeri Inggeris dengan tanah-tanah djadjahannja

dulu, jang tidak sedikit djumlahnja, dan lagi oleh Amerika-Scrikat dan Irlan­dia.

Peraturan,ini bersumber pada undang-undang Inggeris jang bernama B ill o f Exchange. A ct 1882, jang djuga telah pernah saja singgung diatas, dan jang berdasar pada suatu rantjangan undang-undang jang dibikin oleh seorang ahli hukum Inggeris jang bernama Sir Machen/je D. Chalmers. Di Amerika-Serikat peraturan Inggeris ini ditiru dalam Negotiable Instru­ments La w 1897.

Peraturan matjam Inggeris ini berada ditengah-tengah antara peraturan matjam Perantjis dan peraturan matjam Djerman, jaitu menolak abstraksi dari matjam Djerman, djadi memperhatikan penuh keadaan dari persetu-

53

Page 53: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

HUKUM WESEL, TJEK DÄN AKSEP

djuan-latar-belakang dari penanda-tanganan wesel, tetapi d isam ping ini mernperlindungi sipemegang surat-wesel jang beritikad-baik.

Djadi apabila sipemegang surat-wesel ini setjara d judjur tidak tahu menahu tentang adanja suatu tjatjad pada persetudjuan latar-belakang, maka sitertarik wesel' tetap berwadjib membajar uang jang disebutkan dalam surat-wesel itu kepada sipemegang surat-wesel jang memperolehnja setjara djudjur, dan djuga sipenarik tetap menanggung pembajaran itu oleh si- teratrik.

Usaha mempersatukan tiga matjam peraturanD engan adanja kebiasaan menanda-tangani surat wesel, tertjipta suatu

tjara pembajaran uang jang amat praktis didalam alam para pedagang, djuga dalam perdagangan internasional..

M aka adalah lajak, apabila perihal wesel oleh segenap pedagang-peda- gang dipelbagai Negara dibutuhkan satu peraturan' jang berlaku dimana- mana di Dunia. Dan memang di Dunia internasional dilakukan usaha untuk mentjapai keadaan, bahwa diseluruh Dunia berlaku satu matjam peraturan ja n g seragam tentang wesel (uniform Law, loi uniforme).

U saha pertama, jang semula rupa-rupanja ada kem ungkinan akan b er­hasil adalah berupa suatu konperensi internasional di D en H aag N egeri Belanda pada tahun-tahun 1910 dan 1912.

Convention da L a Haye 1912K onperen si internasional di Den Haag berhasil m em bentuk suatu ran-

t jangan traktat jan g memuat peraturan seragam tentang wesel dan aksep.Peraturan seragam ini dinamakan ’ ’ Reglement uniforme sur la lettre de

change (wesel) et de billet a ordre (aksep)” , terdiri dari 80 pasal. D isam p in g ini d ibentuk suatu rantjangan traktat jang dinamakan ’ ’ C on v en tion sur l ’unification du droit relatif a la lettre de change et au billet a o rd re” (Persetudjuan untuk mempersatukan H ukum tentang wesel dan aksep).

Persetudjuan ini ditanda-tangani oleh 27 Negara, tetapi tidak term asuk Inggeris dan Ametika-Serikat.

T e r n j a t a diantara Negara-negara jang menanda-tangani persetudjuan itu, ttada satupun jang kemudian meratifisir atau mengesjahkan persetudjuan itu. M aka usaha pertama untuk mempersatukan H ukum Internásional ten­tang wesel dan aksep ini dapat dikatakan gagal.

Djalan saling mendekati dari tiga matjam peraturanUsaha mempersatukan Hukum tentang wesel dan aksep tersebut diatas,

meskipun gagal, berpengaruh besar pada djalan-pikiran orang di N egeri- negeri jan g menganut peraturan-wesej matjam Perantjis dan D jerm an , dalam arti, bahwa dua-duanja matjam peraturan ini dibelokkan keárah• peraturan matjam Inggeris dan Amerika-Serikat.

Sistim Perantjis melepaskan sjarat-sjarat a berlainan tem pat sipenarik dan sitertarik wesel dan b valuta-clausule, dan lagi c m em beri sekedar p er­lindungan kepada pemegang-wésel jang beritikad baik.

54

Page 54: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

HAL PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG WESEL, TJEKDA N AK S EP

T ig a m atjam perubahan a, b dan c ini dipelopori oleh Negara Perantjis sendiri setjara mengubah undang-undangnja tentang wesel dan aksep.

Sikap Perantjis ini diikuti oleh N egeri Belanda dalam tahun 1925 (W et 5 D juni 1925 Staatsblad Belanda no. 224) dan seperti biasa djuga K itab U ndan g-undan g H ukum Perniagaan di Indonesia disesuaikan pula dengan W etboek van Koophandel di Negeri Belanda.

D i blok Djerm an ada terdjadi pembelokan kearah sistim InggeFis pula, jaitu setjara sekedar melepaskan idee-abstraksi jarig mula-mula m e­rata dianut setjara kaku.

D engan demikkan sebetulnja dalam hakekatnja sistim Inggeris dan Am erika-Serikat praktis sudah sangat didekati oleh blok Perantjis dan blok Djerman.

Convention Djenewa. 1930 dan 1931Usaha kedua untuk mempersatukan Hukum Internasional tentang wesel

dan aksep dilakukan dalam tahun 1930 dan 1931 di Djenewa Negeri Swis.Disitu diadakan „Conference international pour l’ unification du droit

en matière de lettres de change, bitllets à ordre et chegues” (Konperensi internasional untuk mempersatukan H ukum international, tentang wesel, aksep dan tjek).

Konperensi international ini berhasil, mentjiptakan pula beberapa ran- tjangan persetudjuan internasional tentang wesel, aksep dan tjek, ja itu :

a. tiga matjam persetudjuan internasional tentang wesel dan aksep, jaitu:ke 1 : tentang undang-uijdang seragam mengenai wesel dan aksep.ke 2 : tentang penjelesaian bentrokan antara pelbagai undang-undang

dipelbagai Negara tentang wesel dan aksep, ke 3 : tentang meterai pada surat-surat wesel dan aksep,

b. tiga matjam persetudjuan internasional tentang tjek, jaitu:k<- 1 : tentang undang-undang seragam mengenai tjekke 2 : tentang penjelesaian bentrokan antara pelbagai undang-undang

dipelbagai Negara tentang tjek, ke 3 : tentang meterai pada surat-surat tjek,

A m erika-Serikat sama sekali, tidak menanda-tangani 6 matjam rantja- ngan persetudjuan internasional ini, sedang Inggeris hanja m enanda­tangani rantjangan persetudjuan internasional tentang meterai pada surat- surat wesel, aksep dan tjek (sub a ke 3 dan sub b ke 3), sedang Negara Junani hanja menanda-tangani persetudjuan-persetudjuan mengenai un dang-undang seragam dan hal penjelesaian bentrokan antara pelbagai undang-undang dipelbagai Negara, (sub a ke 1 dan 2 dan sub b kc 1 dan 2).

Lain-lain Negara menanda-tangani s e m u ? persetudjuan-persetudjuan ini, m ula-m ula hanja sebagian dari mereka jaitu sedjumlah 22 Negara.

(Lihat M r Scheltem a ’ ’ Wissel- en Cheque Rechit” halaman 8 s/d 21,

55

Page 55: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJEK D A S A K S E P

M r Zevenb ergen ’ ’ Order- en toonderpapier” halaman 78 s/d 83, M r M ul- der ’ ’ Internationaal, Privaatrecht” halaman 176 s/d 181).

D engan ini ternjata, bahwa meskipun sistim Perantjis dan sistim Djer- man dua-duanja mendekati sistim Inggeris-Amerika, namun Inggcris dan Am erika masih sadja menganggap peraturan-seragam jang ditentukan da­lam traktat-traktat rersebut tentang wesel, aksep dan tjek, masih demikian berbeda dari sistim Inggeris-Amerika, sehingga mereka tidak mau turut serta menanda-tangganinja.

Dengan demikian dapat dikatakan di Dunia sekarang ada dua matjam peraturan tentang wesel, aksep dan tjek, jaitu sistim In ggeris-A m erika di- satu pihak dan sistim Eropah-daratan ( C o n t i n e n t a l ) dilain pihak.

Perbedaan-perbedaan antara sistim Inggeris-Amerika dan sistim Eropah- daratan

Perbedaan-perbedaan ini jang terpenting, menurut M r Scheltem a (ha­laman 10 dan u ) adalah sebagai berikut:

a. sistim Inggeris tidak mensjaratkan penjebutan kata-kata •’ ’ w esel” dan ’ ’ tjek” dalam surat wesel atau tjek,

b. sistim Inggeris-tidak mensjaratkan penjebutan tempat dan tanggal dari penarikan wesel atau tjek,

c. sistim Inggeris mengidzinkan penjebutan ’ ’ interest-clausule” tanpa batas,

d. sistim, Inggeris mengenal penundaan pembajaran (days o f -grace).c. dalam sistim Inggeris sipemegang surat wesel, aksep atau tjek tidak

musti menjetudjui pembajaran sebagian dari uang jan g disebutkan dalam surat wesel, aksep atau tjek,

/. sistim Inggeris tidak mengenal ” aval” jaitu hal orang lain m enanggun g pembajaran uang dari wesel tjek, atau aksep.

Masih ada perbedaan-perbedaan lagi jang bersama-sama dengan per­bedaan-perbedaan tersebut akan kita djumpai pada waktu hal-hal jang bersangkutan akan dibitjarakan dalam buku ini.

M enurut M r Scheltema, penolakan Inggeris dan A m erika-S erikat u n ­tuk turut menanda-tangani traktat-traktat tentang wesel, aksep dan 'tjek tadi, adalah disebabkan oleh hal, bahwa, Inggeris dan A m erika-Serikat m e­mentingkan sekali tudjuan dari surat wesel dsb. selaku alat-penibajaran- uang atau alat-pindjaman-uang (betaal- en credietmiddel), tudjuan .mana tidak setjukupnja ditjapai, apabila diturut peraturan-peraturan ja n g diru­muskan dalam rantjangan-rantjangan persetudjuan internasional tadi.

Disam ping peraturan-peraturan seragam tentang wesel, aksep dan tjek dalam traktat-traktat tersebut disebutkan beberapa soal-soal jang dapat di­atur setjara menjimpang didalam undang-undang masing N egara peserta (reserves). Hal ini akan kita djumpai djuga dalam kupasan kelak dalam buku ini.

56

j

Page 56: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L PER U S D A A'G- U N D A N G A N T E N T A N G WESEL, T J E K D A N A K S E P

Persesuaian undang-undang di IndonesiaNegeri Belanda jang turut menanda-tangani enam matjam persetu-

djuan internasional tadi, menjesuaikan undang-undangnja jaitu W etboek van K oophan del dengan peraturan-peraturan dalam traktat-traktat itu setjara m engubah titel 6 dan 7 dari buku I mengenai wesel, aksep dan tjek. Ini terdjadi dalam tahun 1932.

Persetudjuan-persetudjuan internasional tentang wesel, aksep dan tjek ini oleh N egeri Belanda kemudian dalam tahun 1935 (staatsblad Belanda 1935 110. 224 dan 490) ditetapkan berlaku djuga bagi Indonesia.

Sudah lebih dulu, jaitu dengan staatsblad Hindia-Belanda tahun 1934 no. 562 jo staatsblad 1953 110. 531 U ndang-undang H ukum Perniagaan di Indonesia diubah djuga agar sesuai dengan Wetboek van K oophandel di N e ­geri Belanda, jaitu titel 6 dan 7 dari buku I mengenai wesel, aksep dan tjek.

Perubahan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Djanuari 1936.

Berlahunja bagi orang-orang Indonesia-asliDiatas telah saja katakan, bahwa sedjak staatsblad 1855 no. 79 (jang

kemudian diganti dengan, staatsblad 1924 no 556) Kitab U n d an g-und an g H ukum Perniagaan seluruhnja dinjatakan berlaku bagi orang T io n gh w a, Arab dan lain-lain bangsa T im u r Asing, sedangkan sebelumnja staatsblad itu, hanja berlaku bagi orang-orang Eropah.

Sedjak staatsblad 1917 no. 12 jang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1917 dibuka kemungkinan bagi orang-orang Indonesia-asli untuk menaklukkan diri pada H ukum Eropah.

Dengan demikian setjara mempergunakan staatsblad 1917 no. 12 ini ada kem ungkinan W etboek van Koophandel pada umumnja atau peraturan- peraturan tentang wesel, tjek dan aksep pada chususnja berlaku djuga bagi orang-orang Indonesia-asli tertentu.

M en u rut staatsblad 1917 no. 12 ini ada tiga matjam menaklukkan diri pada H ukum Barat jaitu:

ke 1 : pada seluruhnja Hukum Perdata Eropah (B.W . dan W .v .K.), menurut pasal 1 s/d 17 dari staatsblad tersebut.

ke 2 : pada sebagian tertenlu dari Hukum Perdata Eropah, bagianmana oleh staatsblad 1855 no. 79 tersebut dinjatakan berlaku bagi orang- orang T io n g h w a , Arab dan lain-lain bangsa T im u r Asing, bagian mana pada um um nja dapat dinamakan Hukum Kekajaan atau Vermögensrecht (pasal 18 s/d 15 dari staatsblad itu),

ke 3 : dalam suatu perbuatan-hukum tertentu (pasal-pasal 26 s/d 29 dari staatsblad tersebut).

Penaklukan diri scmatjarn ke 3 ini dibagi lagi dalam dua matjam jaitu:a. penaklukan diri setjara tegas (pasal-pasal 26 s/d 28),b. penaklukan diri setjara diam-diam atau ’ ’verondersteld” (pasal 29),

jaitu apabila seorang Indonesia-asli melakukan süatu perbuatan-hukum jang diatur dalam Hukum Perdata Eropah dan tidak diatur dalam

57

\

Page 57: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

HUKUM WESEL, TJEK DAN AKSEP

H ukum Adat, maka orang Indonesia-asli itu dianggap setjara suka-rela menaklukkan diri pada peraturan jan g bersangkutan dari H uku m Per­data Eropah,

Em pat djalan menaklukkan diri tersebut dapat ditempuh oleh seorang Indonesia-asli untuk mentjapai, bahwa peraturan W .v .K . tentang wesel tjek, dan aksep berlaku baginja.

Tetapi praktis jan g kini selalu ditempuh ialah djalan ke 3 sub b, jaitu menaklukan diri setjara diam-diam perihal suatu perbuatan-hukum tertentu.

Seorang Indonesia-asli jan g menanda-tangani suatu surat wesel aksep atau tjek adalah melakukan perbuatan-hukum jarig diatur dalam H uk u m Eropah (W .v .K .) dan tidak diatur dalam H ukum Adat, maka dengan menanda-tangani surat wesel, aksep atau tjek baginja berlakulah peraturan- peraturan W .v .K . tentang wesel, aksep dtau tjek.

M alahan M r. Kollew ijn dan lain-lain sardjana-hukum mengatakan tidak tahu adanja. suatu perbuatan-hukum lain jang masuk ukuran ’ ’ diatur dalam H ukum Eropah dan tidak diatur dalam Hukum A d at” (lihat buku karangan M r. K ollewijn ’ ’ Intergentiel Recht” halaman 40).

Bahkan ada pendapat jang bilang, bahwa penanda-tangan aksep sudah mendjadi H ukum Adat dikota-kota besar. Pendapat ini dipeloppri oleh M r. van Arkel, dulu Ketua Raad Djustisi di Semarang, jang dalam djabatan- nja itu sangat mempengaruhi jurisprudensi diseluruh D jaw a-T engah.

M r Van Arkel dalam djabatannja tersebut tidak menghiraukan pen­dapat Hooggerechtshof, jang misalnja dalam putusannja tanggal 28 Djuli 1927, termuat dalam madjalah ’ ’ Indisch Tijdschrift van het Recht” bagian 126 halaman 201, menganggap pasal 29 dari staatsblad 1917 - 12 berlaku da}am hal seorang Indonesia-asli menanda-tangani surat wesel atau aksep.

Akibat ngototnja M r Van Arkel ini ialah, bahwa diseluruh D jaw a- T e n g a h perrkara-perkara aksep dari orang-orang Indonesia-asli diperiksa oleh Landraad selaku Pengadilan sehari-hari bagi orang-orang Indonesia asli, sedang dilain-lain daerah, jang Ketua Raad Djustisinja menganut pendapat H ooggerechsthof tadi perkara-perkara itu diperiksa oleh Residensi-rechter, berdasar atas pasal n 6 f R.O. untuk Djawa dan Madura dan pasal 70 Rechtsreglem ent Buitengewesten untuk daerah-daerah diluar Djaw a dan M adura.

Pendapat M r Van Arkel ini diketjam oleh M r Kollew ijn (’ ’ Intergentiel R e c h t” halaman 40 dan 41), jang mengatakan bahwa kepastian-hukum dengan menganut pendapat M r Van Arkel itu akan terganggu, oleh karena konsekwensinja ialah, bahwa selalu harus diselidiki ditiap-tiap daerah di Indonesia, sampai dimana peraturan H ukum Eropah tentang aksep sudah mendjadi H ukum Adat.

(Lihat tentang hal ini buku karangan M r D r G o u w G iok Siong ’ ’ H ukum A ntar-G olongan” halaman 166 s/d 169 dan buku karangan saja ’ ’ H ukum A ntar-Golongan di Indonesia” halaman 26 s/d 29).

58

Page 58: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN XIB E N T U K D A N S J A R A T -S J A R A T D A RI S U R A T -W E S E L

Bentuk dan isi dari surat wesel setjara mutlak disebutkan dalam pasal ioo K itab U ndan g-undan g H ukum Perniagaan, jaitu:

pada perumusan dalam surat-wesel harus terdapat nama ’ ’surat- wesel” dalam bahasa jang dipakai untuk merumuskan bunji wesel itu,

surat-wesel harus berisi suruhan-tak-bersjarat untuk membajar se- djumlah uang tertentu,nama orang jan g harus membajar (betrokkene, drawee, tertarik), penetapan hari-pejnbajaran, penundjukan tempat-pembajaran,nama orang, kepada siapa atau jang ditundjuk (order) wesel itu harus dibajar,

tempat dan tanggal penarikan wesel,tanda-tangan orang jang menarik wesel (trekker, drawer, penarik).

Bahwa sjarat-sjarat ini adalah mutlak, ditegaskan dalam pasal 101 ajat i W .v .K . jan g mengatakan bahwa apabila salah satu dari 8 hal tadi tidak disebutkan, maka surat sematjam itu tidak dapat diperlakukan sebagai wesel.

Hanja sadja dalam ajat 2, 3 dan 4 diberi sekedar pendjelasan, bahwa:a. apabila tanggal-pembajaran tidak disebutkan, maka wesel dianggap

harus dibajar pada waktu-waktu surat-wesel ditundjukkan (op zicht),b. apabila tidak disebutkan setjara tegas, ditempat mana wesel harus d i­

bajar, maka harus dianggap sebagai tempat itu; tempat jang disebutkan disamping nama sitertarik, jang djuga dianggap selaku tempat-pendiam- an sitertarik itu,.

c. apabila tidak ditegaskan, ditempat mana surat-wesel ditarik maka tempat jang disebutkan disamping nama sipenarik, dianggap selaku tempat itu.

Penjebutan kata ” zvesel” (wissel-clausule)

Sjarat utama dari wesel ialah, bahwa dalam ” tekst” atau perumusan kata-kata dalam surat-wesel harus termuat perkataan ’ ’ wesel” . Djadi tidak tjukup perkataan atau ’ Jnama” ini ditulis diatasnja bunji rumusan wesel.

Diatas sudah dikatakan, bahwa dulu ada tiga matjam peraturan ten­tang wesel jaitu matjam Perantjis, matjam Djerman dan matjam Inggeris.

Sjarat wesel-clausule ini diketemukan dalam sistim Djerman, tidak da­lam sistim Perantjis dan sistim Inggeris. Ternjata sjarat ini dari sistim

ke 1 :

ke 2 : -

ke 3 : ke 4 : ke s : ke 6 :

ke 7 : ke 8 :

59

Page 59: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WE SE L , T JE K D A N A K S E P

Djerm an diambil oper dalam peraturan-peraturan jang ditetapkan dalam KonperensL D jenew a tahun 1930.

Ternjata pula, bahwa Inggeris dan Am erika-Serikat jan g tidak turut menanda-tangani konvensi-D jenew a tetap berpegang teguh pada sistimnja jan g tidak mensjaratkan adanja wissel-clausule itu.

Setjara praktis penjebutan nama ’ ’ w esel” ini perlu djuga untuk mem - perbedakan wesel dari tjek, jang peraturannja ada perbedaannja dari per­aturan tentang wesel

Suruhan-tak-ber sjarat untuk membajar se d jumlah uang tertentuDiatas sudah dikatakan, bahwa bentuk suruhan ini m em perbedakan

wesel dari aksep, jang berbentuk selaku suatu kesanggupan untuk membajar. Dalam hal wesel sipenarik' tidak sanggup membajar, melainkan menanggung pembajaran oleh sitertarik.

Jang harus dibajar adalah uang, maka apabila ada suruhan untuk menjerahkan sedjumlah barang-barang bukan uang, maka suruhan ini bukan wesel.

Tak-bersjarat, menurut M r Scheltema (halaman 198), berarti: misalnja tidak diperbolehkan kewadjiban membajar itu digantungkan pada adanja hutang dari sitertarik kepada sipenarik.

Ini tidak berarti, bahwa dalam hal wesel tidak berlaku suatu persetu- djuan-latar-belakang antara sipenarik dan sitertarik. Ini berlaku, hanja sadja tidak selalu merupakan adanja hutang dari sitertarik kepada sipenarik, melainkan dapat berupa perhubungan-hukum apapun djuga antara mereka, seperti djual-beli, penghibahan, pindjaman-uang dan lain-lain sebagairija. Malahan mungkin ada perhubungan-hukum dimana terbalik sipenarik men- djadi siberhutang terhadap sitertarik.

Sedjumldh uang tertentu

M enurut pasal 104 W .v .K . dimungkinkan penjebutan uang tertentu ditambah dengan bunga jang harus dibajar menurut tenggang-w aktu antara tanggal penarikan wesel dan tanggal penagihannja. K em ungkinan ini hanja diperbolehkan dalam -suatu wesel jang harus dibajar pada saat suratnja ditundjukkan (op zicht) atau sesudah lampau suatu tenggang-waktu setelah surat ditundjukkan (na zicht.).

Bunganja ini harus ditentukan berupa seratusnja dan setahunnja (rente- voet). Kalau ini tidak disebutkan, maka penjebutan bunga atau rente di­anggap tidak tertulis.

M enurut pasal 105 W .v.K . adalah tidak diperdulikan sedjumlah uang jang harus dibajar itu, disebutkan dengan menulis angka-angka atau huruf- huruf. Tetapi apabila disebutkan setjara dua-duanja, dan ada perbedaan, maka jang dianggap benar ialah jang ditulis dengan h uruf-huruf. Ini sesuai dengan pasal 1879 B.W. tentang surat-pengakuan-hutang pada umumnja

Apabila djumlah uang ini beberapa kali disebutkan setja ra jan g sama,

60

Page 60: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

B E N T U K D A N S J A R A T-SJARA T D A R I S U R A T - W E S E L

dan ada perbedaan diantaranja, maka jang dianggap benar ialah djumlah jang paling ketjil.

Biasanja penjebutan uang dalam wesel dilakukan dengan h uruf-huruf dan dibawahnja atau diatasnja ditulis lagi djumlah uang dengan angka- angka.

Penjebutan nama sistertarik

D ulu, sebelum W .v .K . diubah agar disesuaikan dengan peraturan-se- ragam dari konpensi-Djenewa, apabila sitertarik sama seorang dengan si- penarik, jaitu apabila seorang selaku penarik wesel menjuruh dirinja sendiri untuk membajar, maka wesel sematjam ini dianggap sebagai suatu aksep. Ini sebetulnja adalah lajak, oleh karena kalau orang menjuruh dirinja m em ­bajar, ini adalah sama sadja dengan hal orang itu menjanggnpi membajar uang itu.

T etapi dalam konpensi-Djenewra ditegaskan, bahwa dalam hal ini penjuruhan dirinja sendiri untuk membajar itu tetap dianggap dan di­perlakukan selaku wesel, tidak selaku aksep, djadi bagi surat itu berlaku peraturan-peraturan tentang wesel dan bukan peraturan-peraturan tentang aksep.

Hal m enjuruh dirinja untuk membajar ini, jangkem ungkinannjadisebut­kan dalam pasal 1 0 2 ajat 2 W . v . K . , dalam p r a k t e k biasanja terdjadi, apabila suatu perusahaan atau suatu Bank mempunjai kantor-besar (hoofdkantoor), jang menjuruh kantor-tjabangnja untuk membajar sedjunilah uang.

Penetapan h ari-p emb ajaran (vervaldag).Hal ini diatur pada afdeeling 5 dari titel 6 (pasal 132 s/d 136 W .v .K .) ,

menurut pasal 132 W .v .K . , mengenai hal ini, ada empat matjam wesel, jaitu:

ke 1 : wesel jan g harus dibajar pada sewaktu-waktu suratnja ditundjukkankepada tertarik (op zicht,) tetapi menurut pasal 133 surat-wesel harus ditundjukkan dalam satu tahun terhitung dari tanggal p e ­narikan wesel,

ke 2 : wesel jang harus dibajar dalam suatu tenggang-waktu tertentu,terhitung dari saat weselnja ditundjukkan (zekere tijd na zicht), dan menurut pasal 134 selaku saat ditundjukkan ini dianggap tanggal sitertarik menjetudjui weselnja (akseptasi), atau apabilasitertarik tidak menjetudjuinja, tanggal sipemegang wesel mema- djukan protes, (hal protes ini akan saja bahas kemudian),

ke 3 : wesel jang harus dibajar setelah' lampau suatu t e n g g a n g - w a k t u

tertentu, terhitung dari tanggal penarikan wesel, ke 4 : wesel jan g harus dibajar. pada tanggal tertentu.

Zicht-iveseLDalam wesel sematjam ke 1 (zicht-wesel) sebetulnja tidak disebutkan

hari-pembajaran (vervaldag) maka adalah lajak penentuan dalam pasal 101

61

Page 61: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJEK D A N A K S E P

ajat 2 W .v .K , bahwa apabila dalam suatu wesel tidak disebutkan suatu hari-pembajaran, maka wesel itu dianggap selaku wesel sematjam ke i (zicht-wissel).

Kalau ditetapkan hari-pembajaran, tetapi tidak setjara jang ditentukan dalam pasal 132 ajat I tadi, maka, menurut pasal 132 ajat 2, wesel itu di­anggap tidak sah (nietig), artinja: tidak dapat diperlakukan selaku wesel, melainkan merupakan suatu surat-pengakuan-hutang biasa menurut B.W.

Dalam hal ’ ’zicht-wissel” , menurut pasal 133 W .v .K ., sipenarik leluasa memperpandjang atau memperpendek tenggang satu tahun, dalam mana weselnja harus ditundjukan. Hak ini djuga diberikan kepada endosan.

Djuga dibuka kemungkinan oleh pasal 133 tersebut bahwa seorang penarik wesel menentukan,'suatu wesel-op-zicht tidak boleh ditundjukkan untuk dibajar sebelum tanggal tertentu. Kalau ini terdjadi, maka'tenggang satu tahun tadi dihitung dari tanggal itu.

Menurut pasal 122 ajat 1 W .v.K . wesel jang harus dibajar beberapa waktu setelah ditundjukkan, harus ditundjukkan. dalam tenggang satu tahun, dihitung dari hari penanda-tanganan wesel.

Wesel jang harus dibajar beberapa waktu setelah tanggal penarikan

Wesel sematjam ke 3 ini diatur selandjutnja dalam pasal 135 W .v .K .Apabila disebutkan, bahwa wesel harus dibajar satu atau beberapa bulan

sesudah tanggal penarikan wesel, maka hari-pembajaran adalah tanggal jang sama dengan tanggal' dari bulan, dimana weselnja ditarik. Misalnja suatu wesel ditarik pada tanggal 3 Djanuaii 1958, dan harus dibajar tiga bulan sesudah tanggal itu, maka hari-pembajaran adalah tanggal 3 A pril 1958.

Kalau tanggal ini tidak ada, misalnja tanggal 30 Pebruari, maka hari- pembajaran adalah ¿8 atau 29 Pebruari.

Ada kalanja selaku-pembajaran disebutkan ” permulaan bulan an u ” atau ’ ’pertengahan bulan anu” atau ’ ’penghabisan bulan a n u ” . Kalau ini terdjadi, maka menurut ajat 3 dari pasal tersebut, ini diartikan masing- masing tanggal 1, tanggal 15 dan hari-penghabisan dari bulan itu.

Penjebutan setengah bulan dianggap 15 hari.

Wesel jang harus dibajar pada tanggal tertentuDalam wesel sematjam ke 4 ini, mungkin ada kesulitan, apabila tempat

penarikan wesel dan tempat pembajaran wesel begitu djauh beridjaraknja sehingga tanggalnja pada dua tempat itu pada suatu saat adalah berlainan.

Kalau ini terdjadi, maka menurut pasal 136 ajat 1 W .v .K . , jang di­pakai ialah tanggal dari tempat-pembajaran.

Tempat-pembajaran

Biasanja tempat-pembajaran ini adalah tempat-pendiaman sitertarik selaku orang jang harus melakukan pembajaran. Maka lajak, bahwa dalam pasal 101 ajat 3 ditentukan, bahwa apabila tempat-pembajaran tidak di­tegaskan, maka jang harus dianggap selaku tempat itu ialah tem pat jan g disebutkan disamping nama sitertarik.

62

Page 62: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

Pasal 103 m em buka kemungkinan suatu wesel harus dibajar ditempat- pendiaman seorang ketiga. Wesel sematjam ini dinamakan wesel dengan domicili.

D u lu , sebelum K itab Undang-undang Hukum Perniagaan diubah, tem- pat-pem bajaran ini harus lain dari pada tempat penarikan wesel (plaats- verschil). Sjarat ini sekarang tidak lagi dimuat. Ini adalah lajak, oleh kare­na sekarang wesel terutama merupakan alat-pemindjam-uang (credietmid- del), sedang .dulu wesel merupakan alat mengirim, uang kelain tempat setjara jang lebih aman dari mengirimkan orang dengan membawa uang-tunai.

Nama orang, kepada siapa harus dibajarO rang ini .dinamakan sipenerima (nemer). M enurut pasal 100 W .v .K .

setiap wesel dapat dialihkan setjara endosemen kepada orang jan g ditundjuk (order) ketjuali apabila ditegaskan, bahwa wesel tidak dapat dialihkan.

K alau ja n g tersebut belakangan ini terdjadi, maka kini terbentuk jan g dinamakan recta-wissel, jan g sebetulnja merupakan suatu pihutang biasa jan g hanja dapat dialihkan setjara cessie dari pasal 613 B.W .

D engan demikian surat-wesel dinamakan „praesumptief orderpapier” , jan g berarti suatu surat jan g dari semula selalu dianggap dapat dialihkan kepada orang jan g ditundjuk (order), meskipun hal ini tidak disebutkan dalam rumusan wesel.

D alam hal ini K itab Undang-undang Hukum Perniagaan adalah sesuai dengan peraturan-seragam internasional dari konperensi-Djenewa, dan se­suai djuga dengan H ukum Ingge^is.

Sipenerim a (nemer) mungkin adalah sipenarik sendiri. Ini dim ungkin­kan setjara tegas oleh pasal 102 ajat 1 W .v .K .

K alau ini terdjadi, maka pada waktu wesel ditanda-tangani, sebetulnja belum ada persetudjuan-wesel. Biasanja persetudjuan-wesel sedjak semula ada antara sipenarik dan sipenerima. Kemudian sipenerima minta dari ter­tarik, supaja menjetudjui weselnja (akseptasi).

M aka dalam hal wesel ditarik untuk sipenarik sendiri (aan eigen order), maka suatu persetudjuan-wesel baru benar-benar terbentuk, apabila k e ­mudian sipenarik selaku penerima mengalihkan haknja (endosemen) kepada orang lain (order).

T etap i harus ditjamkan, bahwa sedjak semula sipenarik betul-betul se­kali merupakan penerima, artinja: ia selaku penerima dapat minta dari si- tertarik supaja menjetudjui weselnja (akseptasi) dan kemudian supaja siter- tarik itu m em bajar wesel. Ini ditegaskan pula oleh pasal 127 ajat 2 K itab U ndan g-undan g H ukum Perniagaan (W .v .K .).

Pun perlu ditjamkan semula, bahwa menurut K itab U ndang-undang H ukum Perniagaan di Indonesia surat-wesel tidak dapat dinjatakan supaja dihajarkan kepada setiap pembawa (aan toonder).

Ini adalah lain dari pada tjek, jang dapat berbunji ” aan toonder” jang berarti b a h w a tjek itu dapat dinjatakan supaja dibajarkan kepada setiap pembawa (lihat pasal 182 W .v.K .) .

H uku m Inggeris adalah berlainan. Disitu dimungkinkan suatu ” Bill

BENTUK DAN SJARAT-SJARAT DARI SURAT-WESEL

63

Page 63: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJEK D A S A K S E P

of Exchange” dinjatakan dapat dihajarkan kepada setiap pembawa, tanpa endosemen.

Penjebutan tanggal penarikan weselIni adalah p e r lu ' terutama untuk wesel-wesel jan g ditentukan harus

dihajar pada suatu tenggang-waktu dihitung dari tanggal penarikan. Djuga umumnja penjebutan tanggal ini perlu guna menentukan, apakah sipe- narik pada waktu Nitu berkuasa untuk bertindak, misalnja sudah dewasa.

Penjebutan tempat 'penarikan weselIni ada perlunja djuga, terutama berhubung dengan kemungkinan ter-

libatnja H ukum Perdata Internasional dalam hal wesel inh Misalnja apabila wesel djatuh ditangan orang Asing.

M enurut pasal 18 ’ ’ Algemeene Bepalingen van W etgevin g” , jang masih berlaku bagi Indonesia, sahnja suatu perbuatan-luikum harus diukur m enurut tjara melakukan perbuatan itu, jang ditentukan oleh Undang- undang ditempat (Negara) dimana perbuatan itu dilakukan.

Penanda-tanganan wesel oleh sipenarikSjarat jan g terachir ini untuk adanja wesel, adalah lajak, oleh karena

surat-wesel pada pokoknja merupakan suatu alat-pembuktian untuk suatu perbuatan, jang kini berupa penarikan wesel itu, dengan akibat-akibat jang ditentukan dalam pasal-pasal dari W .v .K . mengenai wesel.

Tetapi kini berlaku pasal 1878 B.W. jang menentukan, bahwa surat- pengakuan itu harus ditulis seluruhnja oleh sipenanda-tangan. T idak berlaku- nja pasal 1878 B.W. dalam hal wesel ini, dianggap oleh karena dari pasal 100 YV.v.K. dapat disimpulkan, bahwa untuk wesel diadakan peraturan chu- sus tentang hal ini jang menjimpang dari peraturan B.W.

Wesel-in-casso

A da kalanja seorang menarik suatu wesel hanja agar sipenerima (nenier) untuk sipenarik menagih sedjumlah uang dari sitertarik. Ini biasanja tcrdjadi dalam bentuk sipenarik menarik wesel untuk suatu Bank selaku penerima.

Kalau ini terdjadi, maka sipenerima sebetulnja hanja merupakan se­orang kuasa dari sipenarik. Artinja : apabila sipenerima itu dapat menerima uang dari sitertarik, maka uang itu akan dibajarkan kepada sipenarik. Atau apabila sipenerima itu tidak mendapat pembajaran dari sitertarik, maka ia akan mengembalikan surat-wesel itu kepada sipenarik.

T id a k pada- tempatnja bagi sipenerima dalam hal ini, untuk apabila ia tidak mendapat pembajaran dari sitertarik, lantas menegor sipenarik, oleh karena sipenerima itu menagih uang itu melulu selaku kuasa dari penarik.

Wesel sematjatn ini dinamakan icesel-in-casso.Pasal 102a W .v .K . membuka kemungkian hal in-casso ini disebutkan

setjara tegas dalam surat-wesel dengan perkataan-perkataan jan g berbunji misalnja ” ter in-casso” atau ” ter incassecring” , jang berarti: untuk menagih dan menjiinpan, atau ” in lastgeving” jang berarti: selaku seorang kuasa.

64

Page 64: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

B E N T U K D 4 A' S J A R A T - S J A R A T D A R I S U RA T- W ESE L

Kalau kata-kata ini (dalam bahasa apapun djuga) disebutkan, maka m enurut pasal 10211 W .v .K . , sipenerima (kuasa) dapat m em pergunakan segala hak-hak dari seorang penerima (nemer) biasa terhadapsi tertarik.

M aka ia dapat menggugat sitertarik dimuka Pengadilan. Ia djuga dapat mengalihkan haknja kepada orang lain setjara endosemen, tetapi djuga hanja selaku seorang kuasa dari sipenarik.

Ajat 2 dari pasal io2a- W .v .K . menegaskan pula, bahwa sitertarik, apa­bila ditegor oleh sipenerima untuk membajar uang dari wesel itu, maka si­tertarik terhadap sipenerima itu hanja dapat madjukan tangkisan, jan g ia dapat madjukan terhadap sipenarik.

K alau misalnja sitertarik ada pihutang terhadap sipenerima pribadi, maka ia tidak dapat mempergunakan tangkisan, jang berdasar atas adanja pihutang itu, jaitu setjara kompensasi atau perdjumpahan-hutang.

Oleh ajat 3 dari pasal tersebut dikatakan, bahwa pemberian kuasa setjara ini oleh sipenarik wesel kepada sipenerima, tidak terhenti dengan wafatnja sipenarik atau dengan kehilangan kekuasaan bagi sipenarik untuk melakukan perbuatan-hukum.

D engan ajat 3 ini K itab Undang-undang H ukum Perniagaan tentang hal wesel-in-casso selaku suatu pemberian-kuasa (lastgeving) mettjimpang dari peraturan u m um tentang pemberian-kuasa iane termuat dalam pasal 1813 B .W .

Kalau pemberian-kuasa (in-casso) ini tidak disebutkan dalam surat- wesel, maka pasal io2a W .v .K . tidaklah berlaku, tetapi'tetap berlaku per­aturan um um dari pada wesel, bahwa tetap ada kekuatan pada persetudjuan- latar-belakang jan g berada antara sipenarik selaku pemberi kuasa dan sipenerima selaku pihak jang diberi kuasa. Persetudjuan-latar-belakang jan g kini dim aksudkan ialah berupa persetudjuan pemberian-kuasa (lastgeving), jan g dalam B .W . diatur pada pasal-pasal 1792 s/d 1819

Wesel untuk rekening seorang ketigaA d a kalanja seorang menarik suatu wesel atas permintaan seorang

ketiga dan untuk rekening seorang ketiga ¡tu. Djadi kalau dalam wesel- in-casso sipenerima (nemer) adalah jang diberi kuasa oleh sipenarik untuk menagih sedjum lah uang dari sitertarik, maka kini sebaliknja sipenarik (t'rekker) mendjadi kuasa dari seorang ketiga.

Biasanja sipenarik sematjam ini adalah suatu B ank .Wesel sematjam ini disebutkan dalam pasal 102 ajat 3 W.v.IC., sedang

ajat 4 menentukan, bahwa seorang penarik selalu dianggap menarik wesel untuk rekeningnja sendiri, apabila dari surat-wesel atau dari surat-pengantar (adviesbrief) tidak ternjata, bahwa sipenarik menarik wesel itu untuk re­kening seorang ketiga.

K alau terdjadi suatu penarikan wesel untuk rekening seorang ketiga, maka hanja ada hubungan-hukum antara sitertarik dan seorang ketiga itu dalam arti, bahwa terhadap sitertarik bukan sipenarik, melainkan seorang ketiga itulah «jang bertanggung-djawab. Ini ditegaskan oleh pasal i27d W .v .K . , sedang pasal i09b W .v .K . menegaskan lagi, bahwa seorang ketiga

05

Page 65: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T J E K D A N A K S E P

itulah (dan bukan sipenarik), jan g harus menjediakan uang-dana bagi ter­tarik guna dibajarkan kepada sipenerima (fonds-bezorging).

T erh adap sipenerima atau sipemegang lain dari wesel, jan g bertang- gun g-djaw ab adalah tetap sipenarik, bukan seorang ketiga itu.

D alam hal ini ada keketjualian termuat dalam pasal 146 ajat 1 W .v. K. jan g menentukan, bahwa seorang ketiga itu bertanggung-djaw ab terhadap sipem egang wesel, apabila ia sudah menikmati pembajaran ja n g berdasar atas wesel itu.

Biasanja surat-wesel jan g ditarik untuk rekening seorang ketiga itu, berbunji : ’ ’ Saja berharap tuan A (tertarik, betrokkene) untuk rekening si B m em bajar kepada .......................... ” .

Perlu diberitahukan, bahwa peraturan-seragam internasional dari kon- p en si-D jen ew a ditahun 1930 hanja dalam satu pasal m enjebutkan kem u n g ­kinan ada suatu wesel jan g ditarik untuk rekening seorang ketiga, tetapi sama sekali tidak memuat pasal-pasal seperti pasal-pasal 102 ajat 3, io g b , I2 7 d dan 146 ajat 1 W .y .K . , jan g baru sadja saja bahas diatas.

M r Scheltem a (’ ’ Wissel- en C h eq u e-R ech t” halaman 231 dan 232) m e­nganggap tjara dari peraturan-seragam tadi adalah lebih baik dari tjara dari W .v .K . , oleh karena peraturan jan g termuat dalam pasal 102 aiat 3, pasal I09b dan pasal -i27d W .v .K . itu sudah semestinja berdasar atas per- setudjuan-latar-belakang jan g berada antara sitertarik dan seorang ketiga itu, sedang adanja peraturan dari pasal 146 ajat 1 W .v .K . m enurut Scheltem a tidak tjukup beralasan.

W esel jang berdomisiliDiatas sudah disinggung adanja wesel, jan g terhpat-pembajarannja a d a ­

lah bukan tempat-pendiaman sitertarik, melainkan lain tempat, jaitu tem pat- pendiam an seorang ketiga, artinja: orang lain dari pada sitertarik (pasal 103 W .v .K .) .

Akibatnja ialah, bahwa pembajaran dari uang wesel harus diminta dari dan dilakukan oleh seorang ketiga itu. Tetapi jan g harus m enjetudjui (aksep­tasi) adalah tetap sitertarik,(pasal 130 jo pasal 126 W .v .K .) .

D engan demikian seorang ketiga itu tidak masuk golongan pihak-pihak dalam persetudjuan wesel. Ia hanja ditundjuk untuk melakukan pem bajaran.

Pasal 103 W .v .K . menjebutkan selaku tempat-pembajaran tidak hanja tem pat-pendiam an seorang ketiga, melainkan djuga a tem pat-dom isili dari tertarik atau b lain tempat.

M aka dalam hal a dan b ini tidak disebutkan, bahwa seorang ketiga harus membajar, melainkan hanja, bahwa pembajaran harus dilakukan di tempat lain dari pada tempat-pendiaman sitertarik.

Kalau ini terdjadi, maka berdasar atas pasal 126 W .v .K . sitertariklah jan g harus kem udian menentukan, siapakah jang harus melakukan p e m b a ­jaran ditempat lain itu.

66

Page 66: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN XIIB E N T U K D A N S J A R A T- S J A R A T D A R I T J E K , A K S E P D S B .

Bentuk dan isi dari tjek

Ini sctjara mutlak disebutkan dalam pasal 178 K itab U ndan g-undan g H ukum Perniagaan sebagai berikut:

ke 1 : pada perum usan disuiat-tjek hafus terdapat nama atau perkataan’ ’ t jek” dalam bahasa jang dipakai untuk merumuskan bunji tjek itu,

ke 2 : surat-tjek harus berisi suruhan-tak-bersjarat untuk membajar se-djumlah uang tertentu,

ke 3 : nama orang jan g harus membajar (tertarik, betrokkene, drawee),mestinja suatu Bank ,

ke 4 : penundjukan tempat-pembajaran,ke 5 : penjebutan tanggal dan tempat penarikan tjek,ke 6 : tanda-tangan orang jang menarik tjek.

Bahwa sjarat-sjarat ini adalah mutlak, ditegaskan dalam pasal 179 ajat1 W .v .K . jan g mengatakan, apabila salah satu dari enam hal tadi tidak disebutkan, maka surat sematjam itu tidak dapat diperlakukan selaku tjek.

Hanja sadja dalam ajat 2, 3 dan 4 ^ari Pasa tersebut diberi sekedar pendjelasan sebagai berikut:

a. apabila tempat-pembajaran tidak disebutkan sctjara tega^, sebagi tem ­pat itu dianggap tempat jang disebutkan disamping nama sitertarik,

b. apabila penundjukan inipun tidak ada, maka tjek harus dibajar ditem-pat mana kantor-besar dari tertarik (suatu Bank) bera a,

c. apabila tidak disebut tempat mana tjek ditarik, maka tempat jan g d i­sebutkan disamping nama sipenarik, dianggap se la 'u tempat itu.

Penjebutan kata ” tjek” (cheque-clausule)Sjarat ini praktis ada perlunja untuk memperbedakan tjek dari \\esel

bukankah suatu tjek jang tidak harus dibajarkan kepa a setiap pem a\sa (nict aan toonder) sama sekali tidak berbeda udjudnja ari w esc .

Suruhan-tak-bersjarat untuk membajar sedjumlah uang te) tentuDalam hal ini ada persamaan dengan wesel. Djuga perihal penjebutan

djumlah uang dengan angka-angka atau dengan iuru íuru (pasa i i W .v .K .) .

Perbedaannja ialah, bahwa menurut pasal 184 Y\ .v .K . penjebutan dalam tjek tentang perdjandjian memberi bunga (rente) dari s e c j u m a i uang jan^ harus dibajar, dianqgap tidak tertulis.

M enurut M r Scheltema (’ ’ Wissel- en C hcque-R echt halaman 469) ratio dari pasal 184 B .v .K . ini ialah, bahwa oleh karena tjek hanja berlaku selama 70 hari, maka penjebutan pemberian bunga akan m enim bulkan ke­sulitan dalam menghitung rente itu.

67

Page 67: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WE SE L , T JE K D A N A K S E P

Penjebutan nama tertarik.T ertarik ini dalam hal tjek harus selahi suatu B a n k , dan Bank ini

harus mempunjai uang-simpanan dari sipenarik, jan g berhak pula untuk mempergunakan uang-simpanan itu (pasal 180 W .v .K .) . Dalam pasal itu d juga dikatakan, apabila sjarat jang berlakangan ini, jaitu jan g mengenai uang-simpanan, tidak dipenuhi maka tetap ada suatu tjek. D engan demikian sjarat ini tidak mutlak, tanpa sanctie.

Dan lagi menurut pasal 2298 bis W .v .K . , adalah disamakan dengan hankir orang-orang atau badan-badan jang dalam pekerdjaannja selalu me- njimpan uang untuk dipergunakan bagi orang-orang lain, misalnja seorang hassier atau seorang kommissionnair dalam perdagangan effek-effek.

Ini adalah penjimpangan dari peraturan seragam internasional dari konpensi-Djenewa, penjimpangan mana diperbolehkan dalam pasal 29 Jari konpensi-Djenew a tentang ’ ’ reserves” .

Persoalan kapan sitertarik harus memegang uang-simpanan dari pena­rik, didjawab oleh pasal igoa W .v .K ., jang mengatakan, bahwa uang-sim ­panan (fondsbezorging) itu harus ada pada saat tjeknja ditundjuvkkan ke­pada sitertarik untuk dibajar oleh sitertarik itu.

Apabila uang-simpanan ini tidak ada atau tidak tjukup untuk melaku­kan pembajaran dari uang jang disebutkan dalam surat-tjek, maka dikatakan ada ” tjek kosong” , jang si penarikrija dapat didjatuhi lmkuman-pidana de­ngan maksimum pidana mati, pidana se-umur hidup atau pidana pendjara selama-lamanja dua puluh tahun, ditambah dengan pidana denda maksimum empat kali djumlah jang ditulis dalam tjek kosong jang bersangkutan.

Ini ditentukan dalam pasal 1 Undang2 no. 17 tahun 1964 tentang L ara ­ngan penarikan tjek kosong tanggal 26 September 1964 (Lembaran Negara 1964 no. 101).

Tetapi U ndang2 No. 17 tahun 1964 ini telah ditjabut dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang2 R .l . No. 1 tahun 1971 tanggal 30 Djuli 1971, jang mulai berlaku pada hari itu djuga dengan alasan, „karena kenja- taannja menghambat kelantjaran lalu lintas perekonomian pada urnumnja dan dunia perbankan chususnja” .

M en u rut pasal i9ob W .v .K . sitertarik dianggap m em egang uan g-sim ­panan itu apabila ia pada saat tersebut ada berhutang pada sipenarik atau pada seorang jang untuk rekeningnja tjek itu ditarik.

Penetapan hari-pembajaran (vervaldag)

Ini tidak ada pada tjek , djadi lain dari wesel, oleh karena djustru per­bedaan antara wesel dan tjek antara lain ialah, bahwa tjek adalah selalu harus dapat diminta pembajarannja pada saat tjek ditundjukkan kepada sitertarik (op zicht, on demand).

Tentang sjarat-sjarat jang lain seperti hal tempat-petnbajaran, tempat dan tanggal-penarikati tjek, dan hal penanda-tanganan tjek, tidak ada per­bedaan dengan wesel, maka apa jang saja katakan diatas tentang hal-hal ini perihal wesel, berlaku djuga bagi tjek.

Seperti dalam I14I wesel, suatu tjek djuga dapat ditarik untuk sipenarik

68

Page 68: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

sendiri, atau untuk rekening seorang ketiga, atau untuk dibajar oleh sipc- narik sendiri (pasal 183 W .v.K .).

Perbedaan dengan wesel jang, disebutkan ialah :

a dalam pasal 182 W .v .K ., jang memungkinkan suatu tjek jan g ha­rus dapat dibajarkan kepada setiap pembawa (aan toondcr), dan

b dalam pasal 181 W .v .K . jang mengatakan, bahwa tjek tidak dapatdisetudjui ( akseptasi) oleh sitertarik, dan bahwa penjebutan akseptasi ini dianggap ti'dak tertulis.

Larangan akseptasi ini adalah lajak, oleh karena tudjuan terutama dari tjek ialah untuk dipergunakan selaku alat-pembajaran. Maka kalau tjek itu ditundjukkan kepada Bank jang mendjadi tertarik, maka Bank itu harus membajar.

T id a k tjukup Bank itu hanja menjetudjui sadja akan membajar.

Tjek jang berdomisiliIni dimungkinkan oleh pasal 185 W .v.K . Perbedaan dengan wesel

ialah, bahwa jan g berwenang menentukan tempat-pembajaran lain dari pada tem pat-pendiam an sitertarik, ialah hanja sip enarik , tidak djuga siter­tarik, seperti dalam hal wesel.

Ini lajak djuga, oleh karena sitertarik dalam tjek tidak berhak melaku­kan akseptasi, sedang dalam hal wesel pada saat akseptasi atau menjetudjui inilah sitertarik menundjuk tempat-pembajaran lain dari pada tempat- pendiamannja.

Tjek-in-cassoIni dimungkinkan oleh pasal i83a W .v.K . setjara jang sama dengan

hal wesel.

Bentuk dan isi aksep (orderbriefje)In i, setjara mutlak pula, disebutkan dalam pasal 174 W .v .K . jaitu.

ke 1 : ’ ’order-clausule” atau penjebutan nama atau perkataan ’ ’order­briefje” atau ’ ’ promesse aan order” pada perumusan dalam surat-aksep dalam bahasa jang terpakai,

ke 2 : kesanggupan-tak-bersjarat untuk membajar scdjuin a i-nang ter­tentu,

ke 3 : penetapan hari-pembajaran (vervaldag),ke 4 : penundjukan tempat-pembajaran, _ke 5 : nama orang atau jang ditundjuk olehnja, kepada M.ipa pem aja

ran harus dilakukan, ke 6 : tanggal dan tempat penaiula-tanganan aksep,ke 7 : tanda-tangan dari orang jang mengeluarkan aksep (sipenant a

tangan).

Kem utlakan dari s j a r a t - s j a r a t ini dapat dilihat dari pa>al 175 W .v .K .,

B E N T U K D AN SJA RAT-SJA R A T DARI TJEK, AKSEP DSB.

Page 69: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJE K D A N A K S E P

jang menentukan, apabila salah satu dari tudjuh hal ini tidak disebutkan, maka tidak ada aksep atau orderbriefje.

Hanja sadja dalam ajat 2, 3 dan 4 dari pasal tersebut diberi sekedar pendjelasan sebagai berikut:

a. apabila hari-pembajaran tidak disebutkan, maka aksep dianggap harus dibajar pada sewaktu-waktu ditundjukkan (op zicht),

b. apabila tempat pembajaran tidak disebutkan, maka tempat-penanda

tanganan dianggap selaku tempat-pembajaran, dan tempat itu djuga di­anggap selaku tempat-domisili dari sipenanda-tangan,

c. apabila tempat-penanda-tanganan tidak disebutkan, maka aksep dianggap ditanda-tangani pada tempat jang disebutkan disamping nama si penanda-tangan.

” Order clausule” atau ” aksep-clausule”Diatas kita lihat bahwa tentang wesel dan tjek ada fcjarat mutlak berupa

’ ’ w i s s e l - c l a u s u l e ” dan ’ ’ cheque-clausule” jaitu bahwa setjara mutlak dalam surat-wesel harus dimuat nama atau perkataan ’ ’ wesel” dan dalam surat- tjek nama atau perkataan ’ ’tjek” . Kalau ini terdjadi, maka wesel dan tjek itu merupakan apa jang dinamakan ’ ’ praesumptief orderpapier” jáng ber­arti, bahwa surat-wesel atau surat-tjek selalu dianggap dapat dialihkan kepada orang jang ditundjuk (order), meskipun hal ini tidak disebutkan dalam rumusan surat-wresel atau surat-tjek (lihat pasal 101 dan pasal 191 W .v .K .) .

Dalam hal aksep ada alternatief, jaitu dapat disebut ’ ’aksep-clausule” berupa penjebutan nama atau perkataan ’ ’ aksep” atau ’ ’ orderbriefje” , jang mendjadikan suratnja suatu ’ ’ praesumptief orderpapier” , atau dapat disebut ’ ’order-clausule” berupa pernjataan bahwa pembajaran dapat dilakukan kepada orang jang ditundjuk (order), dan adanja orderclausule ini m eng­akibatkan suratnja mendjadi aksep, meskipun dalam rumusnja tidak di- ketemukan nama perkataan ’ ’aksep” .

K esan g g u p a n m em bajar sedjum lah uang tertentuSeperti diatas telah sering dikemukakan, maka perbedaan-pokok an­

tara wesel dan tjek disatu pihak dan aksep dilain pihak ialah, bahwa wesel dan tjek merupakan suruhan membajar uang, sedang aksep merupakan ke­sanggupan membajar uang.

M aka dalam hal aksep tidak ada seorang penarik dan tertarik, dan orang jang mengeluarkan aksep, dinamakan sipe?ianda-tangan.

P e n eta p a n h a ri-p em ba ja ra n J v e r v a ld a g )M enurut pasal 176 W .v .K . peraturan dari wesel mengenai hari-pem ­

bajaran ini (pasal 132 s/d 136) berlaku djuga bagi aksep, maka djuga ada empat maljurn aksep perihal ini, jatu:a. aksep ja n g . harus dibajar pada saat ditundjukkan (op zicht),b. aksep jang harus dibajar beberapa waktu setelah ditundjukkan (na zicht),

70 n ------ —

ITfakÄ :

Page 70: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

B E N T U K DAN SJARAT-SJARAT D A R I TJEK, AKSEP D S B .

c. aksep jan g harus dibajar beberapa waktu setelah ditanda-tangani,d. aksep jan g harus dibajar pada tanggal tertentu.

Diatas kita melihat, bahwa dalam hal wesel jang harus dibajar beb e­rapa waktu setelah ditjundjukkan, tenggang ini dihitung dari hari wesel itu disetudjui oleh sitertarik (akseptasi).

O leh karena dalam hal aksep tidak ada tindakan menjetudjui atau akseptasi ini maka pasal 177 ajat 2 W .v.K . menentukan, bahwa suatu aksep jan g harus dibajar beberapa waktu setelah ditundjukkan (zekere tijd na zicht, matjam aksep sub b), harus dalam tenggang satu tahun dihitung dari hari-penanda-tanganan, diperlihatkan dulu .kepada sipenanda-tangan, agar dalam surat-aksep itu dibubuhi tjatatan ’ ’ melihat” (’ ’gezien” ) dengan dise­butkan tanggal melihat itu. Tenggang-waktu jang disebutkan dalam surat- aksep sematjam ini harus dihitung dari tanggal memberi visum tadi.

K alau sipenanda-tangan tidak mau memberi visum, maka sipemegang aksep harus mertiadjukan protes menurut pasal 124 W .v .K ., dan tenggang- waktu tadi dihitung dari tanggal protes ini.

Tempat-pembajaranDiatas sudah dikatakan, bahwa sebetulnja penjebutan tem pat-pem ba­

jaran bukan sjarat-mutlak, oleh karena kalau ini tidak disebutkan, maka tempat-penanda-tangananlah jang dianggap selaku tempat-pembajaran.

Nama orang, kepada siapa uang harus dibajarO rang ini adalah sipenerima (nemer), jang harus disebutkan seperti

dalam hal wesel.

Tanggal dan tempat-penanda-tangananT en ta n g hal ini tidak ada perbedaan dengan wesel dan tjek.

Tiada matjam-matjam chusus dari aksepPasal 102 W .v .K . mengenai matjam-matjam chusus dari wesel oleh

pasal 176 W .v .K . tidak dinjatakan berlaku bagi aksep. Ini adalah lajak, oleh karena tidak mungkin ada suatu aksep jang dikeluarkan untuk diba- jarkan kepada dirinja sendiri-(aan eigen order). Pun tidak mungkin suatu aksep ditarik kepada sipenarik sendiri selaku tertarik, oleh karena dalam aksep tidak ada seorang terarik.

M enurut M r Scheltema adalah mungkin suatu aksej> jang-dikeluarkan untuk rekening seorang ketiga, jang djuga disebutkan oleh pasal 102 W .v .K ., oleh karena djuga tanpa pasal 102 ini adalah mungkin sadja seorang me­ngeluarkan aksep, padahal jang akan membajar adalah seorang ketiga.

M enurut hemat saja, suatu asep jang dikeluarkan untuk rekening se­orang ketiga, adalah praktis sama dengan wesel atau tjek oleh.karena aksep sematjam ini praktis merupakan suatu s u r u h a n membajar uang jang ditudju- kan kepada seorang ketiga itu selaku tertarik.

Maka saja menjenderung pada pendapat bahwa menurut Kitab

71

Page 71: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL , TJE K D A N A K S E P

U ndan g-undan g H ukum Perniagaan tidak mungkin suaiu aksep dikeluar­kan untuk rekening seorang ketiga.

Tiada aksep-in-cassoPun tiada mungkin ada aksep-in-casso, oleh karena hal in-casso ini ha-

nja dapat diketemukan dalam suatu suruhan membajar uang. M aka djuga p a ­sal io2a W .v .K . oleh pasal 176 W .v .K . tidak dinjatakan berlaku bagi aksep.

Aksep jang berdomisiliIni dimungkinkan oleh pasal 176 ajat 2 W .v .K ., jaitu dimungkinkan

suatu aksep jan g harus dihajarkan ditempat orang lain dari pada sipenanda- tangan atau ditempat lain dari pada tempat-pendiaman sipena’nda-tangan.

Pada um um nja • dapat dikatakan, bahwa jang dari peraturan tentang wesel tidak dinjatakan berlaku djuga bagi aksep, ialah pasal-pasal jang sangat ada hubungannja dengan soal penjuruhan membajar uang dan tidak ada hubungan dengan soal kesanggupan membajar uang.

Bentuk dan isi kwitansi untuk pembawa (aan toonder)K ini tidak ada peperintjian perihal sjarat-sjarat dan bentuk seperti

halnja dengan wesel tjek dan aksep.Surat ini dinamakan kwitansi, oleh karena perumusan didalam me-

njebutkan sipenanda-tangan mengaku telah menerima sedjumah uang dari seorang tertentu.

T eta p i sebetulnja maksud dari kwitansi ini ialah, bahwa sipenanda- tangan menjuruh seorang tertentu tadi agar membajarkan sedjumlah uang kepada setiap pembawa surat itu.

Dari isi pasal 229f W .v .K . misalnja dapat dilihat, bahwa sipenanda- tangan selama 20 hari terhitung dari tanggal penanda-tanganan, menanggung kepada setiap pembawa kwitansi, bahwa uangnja akan dibajar oleh seorang tertentu tadi.

D engan demikian ternjata, bahwa, pada waktu penanda-tanganan, sedjumlah uang jang dikatakan telah diterima dari si A tadi, sebetulnja belum diterima, melainkan ada kewadjiban dari A untuk sewaktu-waktu m em ­bajar sedjumlah uang itu kepada setiap pembawa surat. D an pembajaran ini ditanggung oleh sipenanda-tangan selama 20 hari.

M aka bentuk dari kwitansi adalah sangat sederhana dan dapat disim­pulkan sebagai berikut:

ke 1 : surat ini harus ditanda-tangani oleh seorang jang mengeluarkannja,ke 2 : penjebutan suatu pengakuan, bahwa sedjumlah uang sudah diterima,

(sebetulnja : suruhan membajar), ke 3 : penjebutan sitertarik (betrokkene), jaitu orang, dari siapa dikata­

kan uang sudah diterima, tetapi sebetulnja jang harus membajar uang itu,

ke 4 : penjebutan tanggal penanda-tanganan. Ini perlu berh u bu n g denganadanja tenggang 20 hari tadi.

72

Page 72: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

B ENTUK D A N S JARAT-S JARAT D A R I TJEK, AKSEP DSB.

Sjarat-sjarat dapat dikatakan mutlak dalam pengertian, bahwa apa- i a sjarat-sjarat tidak dipenuhi, maka pasal-pasal dari W .v .K . mengenai

'w itansi-untuk-pem baw a ini tidak berlaku (pasal 229e s/d 229k).T eta p i selaku suatu surat-pengakuan hutang pada umumnja, surat jang

tidak m em enuhi sjarat-sjarat dari kwitansi-untuk pembawa ini, masih ber- arga pula berdasar pada pasal-pasal jang bersangkutan dari B.'W.

Bentuk dan isi pronies-untuk pembawa (promesse aan toonder)

K in ip u n dalam W .v .K . tidak ada peperintjian dari sjarat-sjarat tertentu tetapi sjarat-sjarat ini dapat disimpulkan pula dari isi pasal-pasal mengenai promes ini (pasal 229e, pasal 229i pasal 229j dan pasal 229).

Bentuk dan isi promes-untuk-pembawa, jang dapat disimpulkan ini adalah sebagai berikut:

ke 1 . tanda-tangan dari seorang jang mengeluarkannja, ke 2 : kesanggupan untuk membajar scdjumlah uang kepada setiap pem ­

bawa surat, ke 3 : tanggal penanda-tanganan.

Surat prom es-un tuk-pem baw a ini, sesuai dengan bunji kata-kata dida- lamnja, m erupakan suatu kesanggupan untuk membajar sedjumlah uang.

Maka dapat dikatakan, promes-untuk pembawa ini sama sifatnja dengan aksep, sedang kwitansi-untuk-pem bawa selaku penjuruhan membajar uang sama sifatnja dengan wesel dan tjek

Seperti halnja dengan kwitansi-untuk-pembawa, maka, menurut pasal 229i, pembajaran uang dari promes-untuk-pembawa ini harus diminta dalam tenggang sangat pendek, jaitu 6 hari sesudah sipembawa menerima surat itu.

M enurut' pasal 229! ajat 2 W .v .K ., ada kemungkinan dalam surat prom es-untuk-pem baw a disebutkan tanggal tertentu bagi pembajaran uang- nja* Kalau ini terdjadi, maka tenggang 6 hari dihitung dari hari berikutnja tanggal tertentu itu.

K inipun dapat dikatakan bahwa sjarat-sjarat tersebut bagi promes- untuk-pembawa adalah mutlak dalam arti, bahwa surat sematjam itu jang tidak m em enuhi sjarat-sjarat tersebut, tetap berharga selaku surat-penga- kuan-hutang pada umumnja menurut peraturan-umum dari B.W.

Uang-kertasAda suatu m atjam promes-untuk-pembawa, jang bersifat chusus dan

tidak takluk pada pasal-pasal dari W .v.K . tadi jaitu uang-kertas (bankbiljet) jang dikeluarkan oleh Bank-Indonesia (dulu Javasche Bank).

M enurut undang-undang Pokok Bank Indonesia 1953 (tanggal 19 Mei 1953 no* termuat dalam Lembaran Negara i 953-4°> m ulai berlaku pada tanggal 1 Djuli 1953) pasal 11 ajat 3, maka ketentuan-ketentuan pada Pasa‘ " pasal 2291 229j dan 22gk W .v .K . tidak berlaku terhadap uang-kertas Bank- Indonesia.

73

Page 73: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN X IIIS I F A T - H U K U M P E N G E L U A R A N WESEL, TJE K D A N A K S E P

JDiatas, dalam Bagian V I , saja katakan, bahwa apabila seorang mengeluar­kan suatu wesel, tjek atau aksep, jang diterima oleh seorang penerima (nemer), maka selalu ada latar-belakang dari perbuatan mengeluarkan dan menerima surat wesel, tjek atair aksep ini.

M aka dari itu di Bagian V I tadi sudah saja katakan,, selalu ada dua matjam persetudjuan terlibat dalam perbuatan mengeluarkan dan menerima wesel, tjek atau aksep, jaitu:

a. persetudjuan, jang mendjadi latar-belakangb. persetudjuan mengeluarkan dan menerima wesel, tjek atau aksep.

Persetudjuan sub a dapat berupa djual-beli barang, jan g harganja belum dibajar, atau suatu pindjaman uang, jang belum dibajar kembali, atau suatu penghibahan uang jang belum dilaksanakan.

Dalam hal ini semua persetudjuan sub b mengatur pembajaran djum- lah-djumlah uang tadi.

Sekarang harus ditindjau sifat-hukum dari perbuatan mengeluarkan wesel, tjek dan aksep.

Sifat-hukum dari weselKalau suatu surat-wesel setelah ditanda-tangani, kemudian dikeluarkan

maka baru ada tertjipta suatu perhubungan-hukum, apabila wesel tadi di­terima oleh seorang penerima (nemer).

D engan telah diterimanja wesel ini oleh sipenerima, maka tertjipta suatu persetudjuan antara sipenarik wesel dan sipenerima. Persetudjuan inilah jang; diatas dimaksudkan dengan persetudjuan sub b.

Seperti dalam tiap persetudjuan (overeenkomst) pada uraumnja, maka kini pun ada pihak berwadjib (schuldenaar/ debiteur) dan pihak berhak (schuldeischer, crediteur).

Pihak-berwadjib' dalam hal ini adalah sipenarik wesel (trckker) dan pihak-berhak adalah sipenerima wesel (nemer).

Kezvadjiban penarik wesel terhadap sipenerima

Pertama-tama hal ini dapat dilihat dalam pasal 108 W .v .K .Disitu disebutkan dua matjam kewadjiban, jaitu:

a. menanggung, bahwa wesel akan disetudjui (akseptasi) oleh sitertarik (betrokkene), jaitu orang jang oleh penarik wesel disuruh membajar uang kepada sipenerima (nemer).

74

Page 74: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

S I F A T - H U K U M P E N G E L U A R A N WESEL, T J E K D A N A K S E P

ba’m a m Sd “U' M ^ o n

hadap^si^enerima.^jan^/flwa^l11 ™ ^ ^ k?wadf “ «penarik wesel ter- adalah m en an am !* bahw a o r n L ™ .d^ i perbuatan sipenank wesel ini jaitu a m enjetudjui' akan m p m ^ ain>}ilm sitertank, akan berbuat sesuatu bajar uang itu. ‘ embaJar sedjumlah uang, dan b kemudian mem-

Perbedaan antara dua matjam menanggung

dirinia^6 t 383^ - - ^ a at 2 sipenarik wesel dapat membebaskanuntuk mpmii • T 3 Î î n m e nanggung bahwa sitertarik akan menjetudjui nia dari aJar (sub a ) ’ tetapi sipenarik itu tidak dapat membebaskan diri-

Knlai ' l 3 ^ a" m enang g ung> bahwa sitertarik akan membajar (sub b). (akseptasi^ H il Y 30 ™e,nanggUng’ bahwa sitertarik akan menjetudjuioleh Sitertarik * P ’ m aka surat-wesel baru berharga, setelah disetudjui

aut,a a .an^ setolu ada ialah kewadjiban sipenarik wesel untuk menang­gung pembajaran oleh sitertarik.

^a am . a Penanggungan pada umumnja, timbul pertanjaan, A' aPa kem udian ternjata sitertarik tidak membajar, Hal

h 1 1,3 UF j ? P asa 142 W .v .K . , jan g memberi kepada sipenerima suatua Ja^g dinam akan hak-regres, jaitu hak untuk minta pembajaran dari

sipenarik wesel.‘ ' /•/j*12VAS^ry a kew adjiban sipenarik wesel untuk menanggung pembajaran ini, t a boleh dilepaskan, adalah dianggap lajak oleh Konpensi-D jenew a tanun 1930, ja n g dalam laporannja . W no. 32 menamakan pelepasan penanggungan ini » com m e contraire à l’essence même de la*lettre dec ange ( ertentangan dengan makna suatu wesel).

f F K U bahwa H ukum Inggeris dalam pasal 16 ajat 1 Billo b x c h a n g e -A c t m engakui sahnja suatu clausuie.jang mengandung mele­paskan kew adjiban m enanggun g pembajaran ini.

auatu wesel tanpa kewadjiban sipenarik untuk menanggung pembajaran sebetulnja hanja m engandun g suatu pemberian perintah' atau kuasa belaka tertarik Slpenerima wesel (nemer) untuk menagih sedjumlah uang dari si-

T e ta p i harus diingat, bahwa pasal 102a W .v .K . seperti diatas telah pernah dikatakan m em buka kemungkinan adanja suatu wesel-in-casso jan g djuga bersifat suatu penjuruhan belaka kepada sipenerima untuk menagih sedjum lah uang sitertarik dan jang sebetulnja mengandurig pelepasan Sipenarik dari kew adjiban menanggung pembajaran oleh sitertarik.

Per sediaan-Dana atau ” fonds-bezorging”Ada kewadjiban lain dari penarik wesel, jaitu jang termuat dalam

pasal 109b W .v.K., jang menentukan, sipenarik wesel atau seorang jang untuk rekeningnja ditarik suatu wesel, adalah bcrwadjib menjelenggarakan,

75

Page 75: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

HUKUM WESEL, TJEK DAN AKSEP

bahwa pada hari-pembajaran dari wesel sitertarik memegang suatu dana atau ’ ’ fonds” atau scdjumlah uang, jang dapat dipergunakan untuk melaku­kan pembajaran .itu. Pun, apabila wcselnja harus dibajar ditempat orang lain dari pada sitertarik.

Dana atau ’ ’ fonds” ini tidak selalu berarti, bahwa sitertarik betul-betul menjimpan scdjumlah uang milik sipenarik, melainkan berarti, bahwa atas usaha sipenarik, sitertarik berdaja melakukan pembajaran pada hari-pemba­

jaran (vervaldag).Ada kalanja, seperti dikatakan oleh pasal 142 W .v .K ., sitertarik me­

njimpan beberapa surat-wcsel atau tjek, jang berharga pula seperti uang- tunai. Jang sering tcrdjadi ialah, seperti jang dikatakan oleh pasal 109C W .v .K ., bahwa sitertarik mempunjai hutang-uang terhadap sipenarik, jang sudah tiba saatnja untuk dibajar pada hari-pembajaran dari wesel.

H utang-uang ini dapat berdasarkan atas pindjaman-uang biasa, tetapi djuga dapat berupa harga jang belum dibajar dari barang-barang jan g dibeli oleh sitertarik dari sipenarik.

Kalau sitertarik adalah suatu Bank, seperti selalu dalam hal tjek, maka dana atau ’ ’ fonds” ini ada, apabila sipenarik mempunjai uang deposito atau giro di Bank itu.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pengertian ’ ’ fonds” atau dana jan g harus ada dalam hal wesel ini, adalah melulu mengenai hubungan- hukum antara sipenarik dan sitertarik.

M aka dapat dikatakan, bahwa kewadjiban mengadakan dana atau ’ ’ fonds” ditangan sitertarik ini, bukanlah kewadjiban sipenarik terhadap sipenerima. Artinja: bagi sipenerima adalah sama sadja, apakah sipenarik mempunjai dana atau ’ ’ fonds*’ ini ditangan sitertarik atau tidak.

Bagi sipenerima hanja berlaku kewadjiban sipenarik untuk menanggung bahwa sitertarik akan menjetudjui dan akan membajar weselnja. Ini dapat djuga disimpulkan dari kata-kata-penghabisan dari pasal iOQb W .v .K ., jaitu bahtoa bagaimanapun djuga sipenarik pribadi adalah tetap ber­tanggung djawab terhadap sipembawa wesel.

Dengan lain perkataan: apabila weselnja tidak dibajar oleh sitertarik kepada sipembawa maka sipenarik dapat ditegor oleh sipembawa untuk membajar, meskipun barangkali ada dana atau "fonds” dari sipenarik di­tangan sitertarik.

M aka sipenerima tidak dapat menuntut dari sipenarik untuk bctul-bctul menjediakan dana atau ’ ’ fonds” ini ditangan sitertarik.

Dengan demikian pasal 1096 W .v .K . sebctulnja hanja memberi peringatan belaka kepada penarik, bahwa ia sebaiknja menjediakan dana ditangan sitertarik.

Dengan pengertian demikian dari dana atau ’ ’ fonds” ini dapat di­mengerti, bahwa dalam peraturan-seragam dari K onpensi-D jenew a tentang wesel hal dana atau ’ ’ fonds” ini sama sekali tidak diadakan peraturan. Hanja sadja dalam ■ peraturan tentang ’ ’ reserves” diberi kesempatan kepada para Negara-peserta untuk mengadakan peraturan tentang dana atau ’ ’ fonds” ini.

76

Page 76: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

S 1F A T -11U K U M P E N G E L U A R A N W ESEL, T JE K D A N A K S E P

Accept-crcdietA d a -k a la n ja suatu Bank inem buka krcdiet untuk seorang artinja-

suatu B ank m em b eri kesem patan kepada orang itu untuk sewaktu-waktu m emindjam dari Bank itu.

K a la u ini terdjadi, maka menurut M r Shcltema (’ ’ Wissel- en Chetjue- ec lt halam an 225), I\Ir Zevcnbergen (’ ’ Order- en T oon d erp ap ier”

halaman 125) dan M r M olen graa ff (’ ’ Leiddraad Ned. H andelsrecht” hala­man 369) ini t idak berarti, bahwa seorang itu kalau ia menarik wesel kepada B ank itu, sudah dapat dikatakan menjediakan dana atau ’ ’ fon d s” m enurut pasal ic>9b W . v . K . oleh karena kini dari pihak Bank belum ada hutang kepada seoran g itu, malahan akan ada pihntang dari Bank terhadap seorang itu.

Hubungan antara dana atau ” fonds” dan akseptasiM e n u r u t pasal i<}.6a W .v .K . , apabila w e s e l n j a tidak d i s c t u d j u i oleh s i ­

tertarik, maka djika sipenarik djatuh pailit, dana atau ’ ’ fonds” masuk budel- pailit dari sipenarik.

Sebaliknja, apabila weselnja sudah disetudjui oleh sitertarik, maka dana atau ’ ’ fo n d s” ja n g berada ditangan sitertarik, tidak boleh diambil oleh sipenarik, m elainkan harus tetap disediakan untuk melakukan pembajaran.

Pasal 242 W . v . K . mengadakan pengetjualian dalam hal dana itu berupa beberapa surat-w esel atau lain-lain surat berharga, dan sitertarik djatuh pailit. D a lam hal ini dana itu dapat diambil oleh s i p e n a r i k .

O leh pasal 1463 ajat 1 W .v .K . ditegaskan pula, bahwa sipembawa wesel jang diprotes, tidak m em punjai hak sama sekali atas ’ ’fonds” sipenarik, jan g berada ditangan sitertarik.

Sifat-hukum dari tjekO leh karena tjek merupakan djuga suatu suruhan kepada orang lain

untuk m em bajar sedjum lah uang kepada seorang ketiga, maka sifat-hukum-nja adalah sam a dengan wesel.

P erbedaann ja ialah bahw a sipenarik tjek hanja menanggung sipenerima, bahwa tjek akan dibajar oleh suatu Bank selaku tertarik. Hal ini ditegaskan oleh pasal 189 W . v . K . ja n g mengatakan, bahwa suatu c l a u s u l e jan g m e n g ­hilangkan k ew ad jib an m enanggung p e m b a j a r a n ini, dianggap tidak tertulis.

T id ak lah ada kewadjiban dari penarik tjek untuk m e n a n g g u n g , bahwa tjek akan disetudjui oleh sitertarik (akseptasi), oleh karena pasal 1 8 1 .W .v .K . menentukan, b ah w a suatu tjek tidak dapat disetudjui dan suatu penjebutan akseptasi dalam surat tjek harus dianggap tidak tertulis. Seperti diatas telah dikatakan, suatu tjek dapat disamakan dengafi suatu wesel op zic lt ja n g harus dibajar pada waktu ditundjukan (on demand).

m enen-Persediaan-dana atau ” fonds-bezorging” .T e n ta n g hal ini ada pasal 1 9 0 3 d a n pasal SctJara

tukan hal jan g sama dengan pasal i o 9b dan I09c m -cdiakanperingatan diberitahukan kepada sipenarik, bahwa u

77

Page 77: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WE SEL , TJEK D A N A K S E P

sedjumlah uang atau lain-lain alat-pembajaran ditangan Bank jan g mendjadi tertarik, agar Bank ini kemudian dapat melakukan pembajaran, apabila di­minta oleh sipembawa tjek.

Dalam hal tjek masih ada pasal 180 W .v .K . jan g menentukan, tjek harus ditarik pada suatu Bank jang mempunjai dana atau ’ ’ fonds” ditangan- nja, jan g sewaktu-waktu dapat diambil oleh sipenarik setjara menarik tjek.

Sebetulnja apa jang kini ditentukan, adalah sama dengan pasal 1903 jan g menentukan adanja kewadjiban sipenarik tjek untuk mempunjai dana atau ’ ’ fonds” ditangan sitertarik.

Hanja sadja pasal 180 W .v .K . masih mempunjai kalimat-penghabisan, jan g mengatakan, apabila kalimat* ke 1 tentang kewadjiban penarik untuk mengadakan dana atau ’ ’ fonds” tidak dipenuhi, maka surat tjek tetap sah dan berharga. Artinja: terhadap sipenerima atau sipembawa tetap ada ke­wadjiban dari sipenarik untuk menanggung pembajaran oleh sitertarik.

T e ta p i inipun adalah demikian dalam hal wesel, sedang tentang wesel tidak ada pasal seperti pasal 180 tadi. Maka bagi saja masih belum terang, kenapa pasal 180 W .v .K . ini dimuat.

Sifat-hukum dari aksep

Aksep berbeda dari wesel dan tjek demikian, bahwa aksep merupakan suatu kesanggupan sipenanda-tangan untuk membajar sedjumah uang kepada sipenerima atau sipembawa aksep.

M aka kewadjiban sipenanda-tangan aksep tidaklah untuk menanggung pembajaran oleh seorang tertarik, melainkan untuk sendiri membajar sedjumlah uang kepada penerima atau pembawa aksep.

Berhubung dengan ini pula ialah, bahwa dalam pasal 176 W .v .K ., jan g menjatakan beberapa pasal dari peraturan tentang wesel berlaku djuga bagi aksep tidaklah disebutkan pasal-pasal mengenai hal sitertarik menje- tudjuinja (akseptasi) dan mengenai hal menjediakan dana atau ’ ’ fonds” ditangan seorang tertarik.

Ini adalah lajak, oleh karena sipenanda-tangan aksep adalah sekali m erupakan tertarik jang menjetudjui itu. Pasal 177 ajat 1 W. v. K . m e­negaskan, sipenanda-tangan aksep adalah terikat seperti sitertarik dalam wesel jan g telah menjetudjui wesel itu (akseptasi)

Sifat-hukum dan kwitansi-untuk-pembawa

Diatas sudah dikatakan, bahwa kwitansi ini, meskipun merupakan pernjataan telah menerima sedjumlah uang, sebetulnja merupakan suatu suruhan kepada seorang ketiga (jang tidak disebutkan) untuk membajar sedjumlah uang kepada sipembawa djadi seperti dalam hal wesel dan tjek.

M aka kewadjiban sipenanda-tangan kwitansi-untuk-pembawa ini ada­lah untuk menanggung, bahwa seorang ketiga itu akan membajar sedjumlah uang kepada sipembawa. Ini berarti, bahwa apabila seorang ketiga itu tidak mau bajar, maka sipenanda-tangan kwitansilah jang wadjib membajar.

78

Page 78: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

S I F A T - I I U K U M P E N G E L U A R A N WESEL, T J E K D A N A K S E P

H an ja sadja kini penegoran sipcnanda-tangan kwitansi-untuk pem baw a ini, m e n u ru t pasal 22gf W .v .K . harus dilakukan dalam tenggang 10 hari d i­h itu n g dari hari berikutnja tanggal penanda-tanganan kwitansi.

T e n g g a n g penegoran ini untuk wesel ” op zicht” jang harus dibajar pada w a k tu diperlihatkan, adalah satu tahun (pasal 133 ajat 1 W .v .K .) , dan u n tu k tjek 70 hari (pasal 206 ajat 1 W .v .K .) . Seperti diketahui, tjek dapat d isam akan dengan wesel ” Op zicht” .

Sifa t-hu ku m dari pronies-imtuk-pembazcaSeperti diatas telah pernah dikatakan, prom es-untuk-pem bawa (aan

toonder) ini bersifat sama dengan suatu aksep, jaitu merupakan suatu kesanggupan m em bajar sedjumlah uang kepada sipembawa.

M ak a kew adjiban sipenanda-tangan promes-untuk-pembawa ini adalah un tuk m em bajar, tidak untuk menanggung pembajaran oleh seorang ketiga.

T e n g g a n g untuk menegor sipenanda-tangan prom es-untuk-pem bawa agar m em bajar, oleh pasal 229I1 W .v .K . ditetapkan 6 hari dihitung dari hari berikutn ja hari sipem baw a menerima promes itu.

Bagi aksep tenggang ini adalah sama dengan wesel, jaitu menurut pasal 169 W . v . K . jan g oleh pasal 179 W .v .K . dinjatakan berlaku djuga bagi aksep, jakn i tenggan g tiga tahun dihitung dari hari-pembajaran (ver- valdag), atau dalam hal aksep ” op zicht” : satu tahun (pasal 133 W .v .K .) d ih itu n g dari tanggal penanda-tanganan.

79

Page 79: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L E N D O S E M E N

BAGIAN XIV

PengertianEndosem en adalah suatu penjerahan surat-tundjuk (orderpapier) oleh se- orang-berhak-m em egang kepada orang lain, dengan disertai pernjataan mengalihkan haknja atas surat itu, ditulis pada surat itu djuga.

Perkataan „endosem ent” adalah bahasa Perantjis dan berarti pernjata­an jan g ditulis dibagian punggung atau belakang (endos) dari suatu surat.

M r Zevenbergen (’ ’ Order- en Toonderpapier” halaman 62) mentjeri- terakan, dulu sedjak penghabisan abad ke 17, dengan mentjontoh pada kebiasaan di Negeri Perantjis, adalah merata, bahwa pengalihan hak atas suatu surat-wesel selalu dinjatakan setjara menuliskannja dibagian punggung atau belakang dari surat-wesel. Maka sedjak itu sampai sekarang, penje­rahan hak atas surat-wesel masih tetap dinamakan endosemen.

D an sekarang perkataan endosemen ini djuga dipakai untuk penjerahan hak atas surat-aksep dan surat-tjek-tundjuk (tjek aan order).

T etapi menurut pasal-pasal jang bersangkutan dari K itab U ndang- undang H ukum Perniagaan, pernjataan penjerahan hak atas surat-tundjuk tadi tidak dimustikan ditulis pada bagian punggung atau belakang dari surat itu, melainkan djuga dapat ditulis dibagian muka dari surat-tundjuk, baik wesel, m aupun aksep atau tjek -tundjuk.

A d a suatu keketjualian, jaitu menurut pasal 112 ajat 2 untuk wesel dan pasal 193 ajat 2 untuk tjek-tundjuk, apabila endosemen ini dilakukan setjara menaruh tanda-tangan sadja. (blanco-endosement) oleh siberhak- m em egang, maka tanda-tangan ini harus ditaruh dibagian belakang dari surat-wesel, tjek atau aksep, atau pada suatu kertas jan g digandengkan pada surat itu (verlengstuk).

M en g in g at pengertian endosemen, seperti diuraikan diatas, maka en­dosem en tidak ada pada surat-bawa (papier aan toonder), termasuk djuga tjek-baw a (tjek aan toonder), kwitansi-untuk-pembawa dan promes-untuk- pem baw a. Bukankah hak atas surat-bawa berada ditangan setiap pembawa, maka pengalihan hak atas surat-bawa dapat dilakukan setjara penjerahan belaka dari suratnja kepada orang lain tanpa suatu pernjataan apa-apa, seperti pada um um nja dikatakan dalam pasal 613 ajat 3 B.W .

M aka peraturan tentang endosemen hanja berlaku bagi wesel, jang bukan recta-wesel (atas nama), bagi semua aksep (orderbiljet), bagi tjek- tundjuk (tjek aan order) dan semua surat-tundjuk lainnja, seperti misal- nja surat-kognosem en-tundjuk (kognosement aan order)'atau cedul-tundjuk (surat-penjimpanan barang-barang digudang suatu Veem).

80

Page 80: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L E N D OS EM EN

Tjara endosenen

M e n u ru t pasal 112 W .v .K . bagi wesel dan aksep (jo pasal 176), dan pasal 193 W .v .K . bagi tjek-tundjuk, endosemen harus ditulis pada tub uh surat wesel, aksep atau tjek atau pada kertas jang digandengkan pada surat-surat itu.Surat-sam bungan ini disitu dinamakan ’ ’verlengstuk” (kertas-landjutan). D itegaskan pula, bahwa endosemen harus ditanda-tangani.T jo n to h endosemen Jang sempurna adalah sebagai berikut;

Bagi saja kepada A atau jang ditundjuk olehnja

Djakarta, 1 Djanuari 1958

(tanda-tangan)

B

Seringkali endosemen hanja berbunji:

Kepada A atau jang ditundjuk olehnja

Djakarta, 1 Djanuari 1958

(tanda-tangan)

B

D ju ga ada endosemen jang berbunji:

K epada jang ditundjuk oleh A

Djakarta, 1 Djanuari 195 S

(tanda-tangan)

B

M en u rut pasal 112 ajat 2 dan pasal 193 ajat 2, diperbolehkan tanpa menjebutkan nama si- A selaku ’ ’geendosseerde” atau jang mendapat pe- njerahan. Ini berarti- diperbolehkan endosemen setjara menulis tempat, tang­gal dan tanda-tangan sipenjerah (endossant).

T e ta p i pasal-pasal tersebut meningkat lagi dengan memperbolehkan E n dosem en setjara hanja menulis tanda-tangan sadja dari si penjcrah (en­dossant) En dosem en setjara jang sangat pendek ini dinamakan endosemen

81' ....... .. “ i

Page 81: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T JE K D A N A K S E P

” in-blnnco” . D an' ditentukan pula, bahwa endosemen in-blanco ini harus ditulis pada bagian punggung atau belakang (rugzijde) dari surat wesel, aksep atau tjek, atau pada kertas-sambungan atau ’ ’verlengstuk” tadi.

Ratio atau alasan untuk menentukan jang tersebut belakangan ini ialah menurut M r Scheltema (halaman 249), bahwa apabila endosemen jan g berupa tanda-tangan sadja ini ditaruh dibagian muka dari surat wesel, aksep atau tjek, maka ini tidak akan berbeda dengan penanda-tanganan sebagai tanda akseptasi atau hal disetudjui oleh sitertarik atau tidak ber­beda dengan tanda ” aval” atau pertanggungan oleh seorang penanggung.

Dengan lain perkataan: djangan sampai ada salah paham dan djangan sampai tanda-tangan sebagai endosemen ditjampur-adukkan dengan tanda- tangan sebagai akseptasi atau aval.

Penjerahan suratnja sendiriIni tidak ditegaskan oleh pasal 110 bagi wesel dan aksep, dan oleh

pasal 191 W .v .K . bagi tjek. Tetapi adalah sjarat-mutlak bahwa disamping pernjataan pada tubuh surat wesel, aksep atau tjek, harus pula suratnja sendiri diserahkan oleh sipenanda-tangan endosemen kepada orang jang mendapat penjerahan itu.

L ebih tepat adalah pasal 613 ajat 3 B.W ., jang bagi surat-surat tundjuk (orderpapier) pada umumnja mengatakan bahwa penjerahan hak atas surat-surat-tundjuk harus dilakukan setjara penjerahan surat sendiri dengan disertai endosemen.

Endosemen jang tidak diperbolehkanIni bagi wesel dan aksep disebutkan dalam pasal m W .v .K . dan bagi

tjek dalam pasal 192 W .v .K .

Bagi wesel, aksep dan tjek sama tidak diperbolehkan: ke 1 : mensjaratkan suatu endosemen; apabila suatu endosemen telah d i­

sertai sjarat-sjarat, maka sjarat-sjarat ini dianggap tidak tertulis, ke 2 : endosemen hanja mengenai sebagian dari sedjumlah uang jang d^- m

sebutkan dalam surat wesel, aksep atau tjek; kalau ini toh terdjadi, maka endosemennja adalah batal (nietig), djadi dianggap sama sekali tidak ada endosemen.

Bagi wesel dan. aksep sendiri djuga tidak diperbolehkan endosemen ke­pada setiap pembawa wesel atau aksep (endosemen aan toonder). Kalau ini toh terdjadi, maka endosemen dianggap selaku endosemen in-blanco, artinja:

kemudian masih dapat disebut nama orang tertentu selaku orang jan g mendapat penjerahan (ge-endosseerde).

hndosem en kepada setiap pembawa bagi tjek diperbolehka-n, .oleh karena ada tjek-b a w a (tjek aan toonder, lihat pasal 197 W .v .K .) .

82

Page 82: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H AL ENDOSEMEN

Bagi tjek djuga tidak diperbolehkan:a. endosemen kepada Bank jang mendjadi tertarik (betrokkene),b. endosemen oleh Bank jang mendjadi tertarik.

Perbedaan ini dengan wesel, menurut M r Scheltema (halaman 483) dan M r Zevenbergen (halaman 256), disebabkan oleh hal, bahwa tjek, lebih dari wesel, bertudjuan untuk dipakai sebagai alat-p emb ajaran (betaal- middel) dengan akibat bahwa bagi Bank jang mendjadi tertarik, sewadjarnja tidak ada lain djalan dari pada membajar tjeknja, kalau ditagih, dan tidak ada kemungkinan untuk dilepaskan dari kewadjiban membajar itu.

Djuga sesuai dengan ini ialah penentuan selandjutnja dalam pasal 192 ajat 3 W .v .K . , bahwa apabila toh terdjadi endosemen kepada Bank jan g m en­djadi tertarik, maka endosemen ini dianggap suatu pelunasan dari tjek (kwijting), ketjuali kalau Bank itu mempunjai lebih dari satu kantor, dan endosemen dilakukan kepada kantor lain dari pada kantor, kepada siapa tjek semula ditarik.

Endosemen kepada sipenarikIni diperbolehkan, seperti ditegaskan pula oleh pasal 110 ajat 3 W .v ’K .

bagi wesel dan pasal 191 ajat 3 W .v .K . bagi tjek. Ini berarti, bahwa setelah endosemen sematjam ini dilakukan, maka wesel dan tjek mendjadi seolah- olah ditarik pada sipenarik sendiri, jang djuga diperbolehkan menurut pasal 102 bagi wesel dan pasal 183 bagi tjek, dan jang sudah dibitjarakan diatas.

Kem udian sipenarik selaku ” ge-endosseerde” dapat lagi menjerahkan wesel atau tjeknja dengan endosemen kepada orang lain lagi, begitu seterus- nja.

Bagi wesel pasal 110 ajat 3 menegaskan pula, bahwa wesel dapat di- endosir kepada sitertarik, djuga apabila sitertarik ini sudah menjetudjui weselnja (akseptasi).

Larangan mengendosir tjek oleh Bank jang mendjadi tertarik, hanja berarti, apabila:

a. tjeknja telah diendosir kepada lain kantor dari pada kantor jang se­mula mendjadi tertarik,

b. ada endosemen in blanco, dan kemudian tjek itu djatuh ditangan Bank jang mendjadi tertarik.

Kalau ada hal ini terdjadi, maka Bank baru betul-betul dapat dikatakan tidak boleh menjerahkan tjeknja setjara endosemen kepada orang lain atau kepada Bank lain.

Recta-wesel dan recta-tjekIni adalah wesel atau tjek jang didalamnja disebutkan pernjataan ” niet

aan order” artinja: bahwa wesel atau tjek itu tidak dapat diserahkan kepada orang lain setjara encjosemen.

83

Page 83: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJ E K D A N A K S E P

K alau toh wesel atau tjek sematjam ini diendosir, maka m enurut pasal11 o ajat 2 W .v .K . bagi wesel dan pasal 91 ajat 2 bagi tjek, endosemen ini dianggap penjerahan suatu pihutang biasa (cessie), jang diatur dalam pasal 613 B.W . jan g mensjaratkan, bahwa penjerahan ini hanja berlaku bagi siberwadjib (schuldenaar), apabila sudah diberitahukan kepadanja.

Berachirnja kemungkinan endosemenIni ditentukan bagi wesel dalam pasal 119 ajat 1 W .v .K . , dan bagi

tjek dalam pasal 201 ajat 1 W .v .K .M enurut pasal 119 ajat 1 W .v .K ., suatu wesel boleh diendosir sebelum

atau setelah hari-pembajaran (vervaldag), tetapi apabila endosemen dilaku­kan setelah hari-pembajaran dan kemudian ternjata wesel itu tidak dibajar oleh sitertarik dan kemudian ada protes perihal itu, atau apabila tenggang untuk memadjukan protes itu sudah lampau, maka endosemen ini dianggap pula sebagai penjerahan pihutang biasa (cessie).

Ila l protes ini akan saja kupas kelak.Bagi tjek soal endosemen sebelum atau setelah hari-pembajaran tidak

ada, oleh karena tjek tidak mengenal hari-pembajaran, melainkan selalu harus dapat dibajar pada waktu ditundjukkan (op zicht).

Maka menurut pasal 201 ajat 1 W .v.K . suatu tjek hanja tidak boleh lagi diendosir, apabila ternjata tjeknja tidak dibajar oleh sitertarik dan setelah ada protes tentang hal itu, atau apabila sudah lampau suatu teng­gang, jang mungkin pada surat tjek disebutkan selaku tenggang untuk m enundjukkan tjek itu kepada sitertarik agar dibajar.

Tanggal endosemenDiatas telah dikatakan, bawa tanggal endosemen ini tidak merupakan

sjarat-mutlak untuk endosemen.T etapi apabila suatu endosemen tidak disertai-tanggal, maka dapat

tim bul pertanjaan, apakah endosemen tidak dilakukan pada saat kem ung­kinan endosemen itu sudah berachir seperti sebentar tadi dibitjarakan.

U ntuk menghindarkan kesulitan ini maka pasal 119 ajat 2 bagi wesel dan pasal 201 ajat 2 bagi tjek menentukan, apabila suatu endosemen tidak disertai tanggal, maka endosemen itu dianggap dilakukan sebelum berachir tenggan g kem ungkinan mengadakan endosemen tadi, ketjuali ada dibukti­kan sebaliktija.

Sifat-huRum dari endosemen

Ini bagi wesel dapat dilihat pada pasal 113 ajat 1 dan pasal 114 W .v .K . dan bagi tjek pada pasal 194 ajat 1 dan pasal 195 W .v .K .

M enurut pasal 113 ajat 1 dan pasal 194 ajat 1, dengan endosemen dari wesel (serta aksep) dan tjek, semua hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban dari sipenjerah (endossant) jang bersumber pada wesel dan tjek dialihkan kepada jang mendapat endosemen (ge-endosseerde).

Dalam hal ini ada persamaan dengan hal mengalihkan suatu pihutang pada umumnja (cessie).

84

Page 84: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L END OSEMEN

M enurut pasal 114 W .v.K . seorang endosan dari suatu surat-wesel menanggung kepada orang jang ditundjuk (order) dan lain-lain pembawa berikutnja, bahwa wesel akan disetadjui (akseptasi) dan akan dibajar pula oleh sitertarik.

Dalam hal tjck siendosan, menurut pasal 195 W .v .K . hanja menang­gung, bahwa tjek akan dibajar.

Ini sesuai dengan kewadjiban sipenarik wesel atau tjek, tetapi ber­lainan dari pada hal seorang berpihutang pada umumnja, jang mengalih­kan pihutangnja kepada orang lain (cessie).

Pasal 613 B.W . jang mengatur hal mengalihkan suatu pihutang pada umumnja, tidak menentukan setjara-umum, sampai dimana siendosan ber- tanggung-djawab terhadap orang jang mendapat endosemen tentang ke­adaan pihutangnja. Ini tergantung pada sifat-persetudjuan jang mendjadi dasar dari hal mengalihkan pihutang itu.

Djual-beli pihutangIni diatur dalam pasal-pasal 1533 s/d 1536 B.W.M enurut pasal 1534 B. W. sipendjual pihutang harus menanggimg ada-

nja pihutang pada waktu pihutang dialihkan, tetapi menurut pasal 1535 B .W ., pendjual pihutang itu tidak diharuskan menanggung, Bahwa siber- hutang adalah mampu membajar hutangnja.

Dan kalau sipendjual toh menanggung itu, maka menurut pasal 1536 B. W., jang ditanggung hanja kemampuan siberhutang pada saat itu sadja, tidak dikemudian hari, ketjuali djika jang tersebut belakangan ini, setjara tegas ditanggung djuga oleh sipendjual. (lihat buku karangan saja ” Hukum Perdata tentang persetudjuan-persetudjuan tertentu” , tjetakan ke II halaman 38 dan 39 atau tjetakan ke III halaman 37 dan 38).

Lain halnja dengan pendjualan wesel, aksep dan tjek. Kini menurut pasal 114 dan pasal 195 W .v .K . tadi, oleh sipendjual (endosan) ditanggung pembajarannja hutang, jang bersumber pada wesel, aksep atau tjek itu.

Penghibahan pihutangM enurut pasal 1674 B. W., peraturan tentang penghibahan barang, ter­

masuk pihutang,. adalah lain lagi. Disitu dinjatakan, bahwa sipenghibah tidak harus memperlindungi pihak jang dihibah, apabila sipenghibah bukan pemilik dan sipemilik sedjati meminta kembali barangnja.

Dalam hal penghibahan pihutang, ini berarti, bahwa sipenghibah tidak harus menanggung adanja pihutang, apabila akan dibajarnja hutang itu.

Lain halnja dengan penghibahan wesel, aksep atau tjek. Kini. tidak hanja adanja pihutang ditanggung, melainkan malahan djuga akan dibajar­nja hutang itu adalah ditanggung.

KeketjualianPasal 114 dan pasal 195 W .v .K . membuka kemungkinan, bahwa antara

siendosan dan sipenerima endosemen diadakan perdjandjian jang menghi­langkan kewadjiban endosan untuk menanggung, bahwa wesel akan disetudjui (akseptasi) dan/atau dibajar, dan bahwa tjek akan dibajar.

S 5

Page 85: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WE SEL , TJ E K D A N A K S E P

Endosem en sematjam ini dinamakan endosemen tanpa pertanggungan (zonder obligo, without recourse; sans garantie).

Diatas kita lihat, bahwa menurut pasal 108 ajat i W .v .K . sipenarik wesel hanja dapat menghilangkan kewadjiban menanggung akseptasi oleh sitertarik tetapi tidak dapat menghilangkan kewadjiban m enanggung pem- bajaran oleh sitertarik.

Perihal tjek ditentukan dalam pasal 189 W .v .K ., bahwa sipenarik tjek tidak dapat menghilangkan kewadjiban menanggung pembajaran oleh si­tertarik.

M aka dalam hal ini ada perbedaan antara kewadjiban sipenarik dan ke­wadjiban siendosan.

Endosemen-blancoDiatas sudah pernah disinggung hal endosemen-blanco, jaitu suatu en­

dosemen jang tidak menjebutkan nama orang jang menerima endosemen.M enurut pasal 113 ajat 2 bagi wesel (dan aksep) dan menurut pasal

194 ajat 2 W .v .K . bagi tjek, kalau t^rdjadi endosemen-blanco ini, maka sipembawa dapat:

ke 1 : mengisi endosemennja dengan namanja sendiri atau dengan namaorang lain,

ke 2 : mengalihkan wesel, tjek atau aksepnja setjara endosemen kepadaorang lain atau setjara endosemen-blanco lagi,

ke 3 : menjerahkan wesel, aksep atau tjeknja begitu sadja k<£padn oranglain tanpa endosemen, dengan akibat bahwa orang lain itu men- djadi pembawa jang sah pula.

Endosemen-in-cassoIni disebutkan dalam pasal 177 W .v .K , bagi wesel dan aksep, dan

dalam pasal 200 W .v .K . bagi tjek, jaitu suatu endosemen dengan disertai perkataan ” in-casso” atau sebagainja.

Ini berarti, seperti halnja dengan wesel-in-casso atau tjek-in-casso, bahwa siendosan hanja memberi kuasa belaka kepada jang menerima en­dosemen, untuk menagih pembajaran uangnja dari tertarik.

K alau ini terdjadi, sikuasa-toh mendapat semua hak dari wesel, aksep atau tjek. Hanja sadja, apabila ia akan mengalihkan lagi wesel, aksep atau tjeknja, maka ia hanja dapat melakukan itu setjara endosemen-in-casso djuga.

D an lagi sitertarik atau sipenarik, apabila ditegor oleh sipembaw a untuk membajar uangnja, hanja dapat mempergunakan tangkisan jang ia dapat pergunakan terhadap siendosan.

Djuga ditentukan, pemberian-kuasa sematjam ini oleh siendosan kepada jan g menerima endosemen, tidak terhenti dengan wafatnja siendosan dan tidak terhenti pula, apabila kemudian siendosan kehilangan kemampuan untuk melakukan perbuatan-hukum, seperti misalnja diadakan dalam penga­wasan curateeie.

86

Page 86: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

h a l e n d o s e m e n

Endosemen-untuk-gadai (pand-endosement)

Ini hanja mungkin bagi wesel dan aksep, dan menurut pasal 118 W .v .K terdjadi, apabila endosemen disertai kata-kata ’ ’untuk digadai” atau ’ ’untuk tanggungan” dan sebagainja (waarde tôt pand, waarde tot zekcrheid).

Endosemen-untuk-gadai ini berarti, bahwa wesel atau aksep dialihkan kepada orang lain hanja untuk digadaikan kepada orang lain itu, tidak untuk terus dialihkan. Kalau hutang jang diperkuat dengan gadai itu, sudah dilunasi, maka wesel atau aksepnja harus dialihkan kembali kepada endosan.

T e ta p i sebelum pengalihan kembali ini terdjadi, maka menurut pasal 118 tersebut, sipembawa dapat melaksanakan segala hak jang bersumber pada wesel atau aksep itu.

Hanja sadja, apabila sipembawa itu akan mengalihkan wesel atau aksep­nja kepada orang lain lagi, maka ini hanja dilakukan setjara endosemen-in- casso.

Perbedaan antara endosemen-in-casso dan endosemen-untuk-gadai ia­lah, bahwa, apabila setelah ada endosemen-untuk-gadai ini, sitertarik atau sipenarik ditegor oleh sipembawa untuk membajar uangnja, maka siterta­rik atau sipenarik itu tidak dapat mempergunakan tangkisan-tangkisan jang melekat pada hubungan-chusus-pribadi antara sitertarik atau sipenarik di- satu pihak dan siendosan dilain pihak.

A d a keketjualian, jaitu apabila sipembawa wesel atau aksep itu pada waktu menerimanja, dengan sengadja berbuat untuk merugikan sipenarik atau sitertarik.

Dengan1 demikian seornag pemegang-gadai dari wesel atau aksep ini terhadap sipenarik dan sitertarik dianggap seorang berhak (créditeur) jang berkedudukan lepas dari siendosan.

Mengachiri kemungkinan endosemen

M enurut pasal 114 ajat 2 W .v.K . bagi wesel dan aksep, dan menurut pasal 195 ajat 2 W .v .K . bagi tjek, siendosan diberi hak untuk mengachiri kemungkinan endosemen.

Kalau ini terdjadi, maka menurut pasal-pasal tersebut, siendosan itu, apabila kemudian toh dilakukan endosemen lagi, terhadap orang-orang jang kemudian mendapat endosemen itu, tidak menanggung, babwa wesel akan disetudjui (akseptasi) dan/atau dibajar, dan bahwa aksep dan tjek akan dibajar.

Dengan demikian sebetulnja kemungkinan endosemen tidak dapat di- achiri. Hanja seorang endosan ada hak unutk membatasi tanggungannja perihal pembajaran kepada orang jang mendapat endoseman dari siendosan itu, djadi pembajaran kepada lain orang, jang mungkin bivru kemudian mendapat endosemen, tidaklah ditanggung.

Endosemen palsuAdakalanja seorang pembawa wesel, aksep atau tjek kehilangan surat-

surat berharga itu. baik surat-surat itu ditjuri atau digelapkan maupun

87

Page 87: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T J E K D A N A K S E P

surat-surat itu djatuh ditengah djalan atau kelupaan ditinggalkan disuatu tempat.

K alau ini terdjadi dan surat-surat itu ditemu oleh lain orang, si A, maka ada kemungkinan besar orang itu akan menjerahkan surat-surat itu setjara endosemen kepada orang lain lagi, si B. Dalam hal ini tidak boleh tidak, endosemen jang dilakukan oleh si A itu, adalah suatu endosemen palsu , ketjuali apabila pada surat-surát berharga itu, pada w aktu si A m enemukannja memuat suatu endosemen-blanco. Dalam hal jan g tersebut atau belakangan ini, orang penemu dapat mengalihkan hak atas wesel, aksep tjek itu kepada orang lain, dengan tidak perlu m em alsu tanda- tangan dari pembawa-terachir.

T etap i perbuatan si A mengalihkan hak atas wesel, aksep atau tjek ini tetap merupakan perbuatan-melanggar-hukum oleh karena sebetulnja ia tidak berhak atas wesel, aksep atau tjek itu.

M eskipun d e m ik ia n , adanja, menurut pasal 115 ajat 2 W .v .K . bagi wesel dan aksep, dan menurut pasal 189 W .v .K . bagi tjek, seorang B tadi, jan g mendapat surat-surat berharga tadi dari A, atau seorang C jang mendapatnja dari B,-kalau ditegor oleh orang jang kehilangan surat-surat- berharga tadi, tidak berwadjib mengembalikannja, ketjuali apabila mendapat surat-surat itu dengan itikad-djahat, atau apabila pada waktu ia mendapat surat-surat itu, ada kealpaan kasar padanja, seperti si A sendiri misalnja.

D engan demikian, perihal wesel, aksep dan tjek dalam hal ini ada per­aturan jan g menjimpang dari pasal 1977 B.W ., jang menentukan, apabila barang-barang-begerak, djadi termasuk djuga surat-surat-berharga, ditjuri atau dihilangkan (verloren), maka sipemilik masih dapat memintanja kembali selama tiga tahun. Djadi apabila barang-barang-bergerak itu digelapkan verduisterd), maka barang-barang itu tidak dapat diminta kembali.

Penjimpangan dari pasal 1977 B.W . perihal wesel, aksep dan tjek adalah demikian, bahwa wesel aksep dan tjek, lain dari pada surat-surat- berharga lainnja, selalu tidak dapat diminta kembali, apabila baik ditjuri atau dihilangkan maupun digelapkan.

Hubungan-pribadi antara sitertarik dan sipenarik atau seorang endosanPasal 116 W .v .K . , bagi wesel dan aksep dan pasal 199 W .v .K . bagi

tjek, menentukan, apabila seorang tertarik ditegor oleh sipembawa untuk m em bajar uangnja, maka sitertarik terhadap sipembawa itu tidak dapat m em pergunakan tangkisan-tangkisan jang bersumber pada hubungan-pribadi antara sitertarik dan sipenarik atau antara sitertarik dan seorang endosan tertentu, ketjuali apabila sipembawa terachir itu dalam mendapatnja surat- surat-berharga itu dengan sengadja bertindak untuk merugikan sitertarik.

Hal ini djuga berlaku, apabila jang ditegor itu, ialah sipenarik atau seorang endosan.

Page 88: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L A K S E P T A S I

BAGIAN XV

Pengertian akseptasiAkseptasi adalah suatu pernjataan dari seorang tertarik (betrokkene) pada tub uh surat-wesel, bahwa tertarik itu menjetudjui akan membajar uang- wesel pada hari-pembajaran (vervaldag).

D e n g an demikian, akseptasi ini tidak ada pada aksep, oleh karena di- situ tidak ada seorang tertarik. Dalam hal aksep sipenarik merupakan sekali tertarik, oleh karena seorang penanda-tangan ak^ep menjanggupi sendiri akan m em bajar sedjumlah uang. Begitu djuga dalam hal prom es-untuk- pem bawa.

D alam hal tjek tidak ada akseptasi, oleh karena tidak diperbolehkan oleh pasal 181 W .v .K . Ini ada hubungan dengan hal bahwa surat-tjek teru ­tama bertudjuan untuk dipergunakan selaku alat-pembajaran, djadi kurang lajak, apabila harus disetudjui dulu untuk mendapat pembajaran bagi si- p em b aw a tjek.

A kseptasi djuga tidak ada tempatnja pada wesel ” op zicht” , jaitu wesel, jan g harus dibajar pada waktu diperlihatkan.

M aka soal akseptasi ini hanja berlaku dalam hal wesel melulu, dan ini sadja tidak bagi wesel ” op zicht”

Bentnk akseptasiIni ditentukan dalam pasal 124 ajat 1 W .v .K ., jang mengatakan, aksep­

tasi ini harus dilakukan dengan menuliskannja dalam surat-wesel dengan kata ’ ’ m enjetudju i” (’ ’geaccepteerd” ) atfiu perkataan jang sematjam, dengan disertai tanda-tangan sitertarik (betrokkene).

T a n d a -tan g an sadja djuga tjukup, tetapi harus ditulis pada bagian muka dari surat-wesel. Ini tentunja djangan sampai ada ketjampur-adukan dengan endosemen, jang djuga dapat berwudjud suatu tanda-tangan sadja dari sipenerima atau sipembawa dan jang harus ditulis pada bagian punggung atau belakang dari surat-wesel.

Perkataan jan g dalam praktek diangap sematjam dengan perkataan ’ ’ m en jetu dju i” (geaccepteerd) adalah ’ ’ melihat” .

Kata-kata ini tidak perlu ditulis sendiri oleh sipenanda-tangan, oleh ka­rena tidak disjaratkan dalam pasal 124 ajat 1 tadi. Dalam hal ini ada penjim- pangan dari pasal 1878 B .W ., jang bagi pengakuan-hutang pada u m um - nja m enentukan, bahwa itu harus ditulis sendiri oleh sipenanda-tangan.

Tanggal akseptasiP enjebutan tanggal dari akseptasi ini oleh pasal 124 ajat 2 W .v .K .

89

Page 89: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJE K D A N A K S E P

hanja dimustikan dalam hal wesel, jang harus dibajar beberapa waktu se­telah diperlihatkan (zekere tijd na zicht).

T anggal ini adalah tanggal penanda-tanganan akseptasi, ketjuali apa­bila sipembawa menuntut agar disebutkan tanggal waktu weselnja diper­lihatkan kepada sitertarik.

Keperluan penjebutan tanggal ini adalah sesuai dengan pasal 134 ajat 1 W .v .K . , jang menentukan, dalam hal wesel ” na zicht” tenggang untuk membajar wesel dihitung dari tanggal akseptasi.

Apabila akseptasi ini toh tidak disertai tanggal, maka sipembawa harus memadjukan protes. Kalau sipembawa ini tidak memadjukan protes, maka ia akan kehilangan hak menuntut pembajaran dari sipenarik dan para endosan.

Tenggang untuk minta akseptasiKalau dalam surat-wesel disebutkan hari-pembajaran (vervaldag) ter­

tentu, maka, menurut pasal 120 W .v.K ., akseptasi harus diminta sebelum hari itu.

Apabila weselnja harus dibajar beberapa waktu setelah diperlihatkan (na zicht), maka menurut pasal 122 ajat 1 W .v .K . akseptasi harus diminta dalam tenggang satu tahun dihitung dari tanggal penarikan wesel.

M enurut pasal 122 ajat 2 sipenarik dapat memperpandjang atau mem­perpendek tenggang satu tahun ini, sedang para endosan dapat memper­pendek tenggang ini.

Pasal 123 W .v .K . memberi hak kepada sitertarik untuk meminta agar weselnja ditundjukkan lagi kepadanja pada hari bcrikutnja.

Tiada keuoadjiban untuk melakukan akseptasiSi tertarik tidak berwadjib menjetudjui zcesel (akseptasi). Ini adalah

lajak, oleh karena dengan akseptasi ini tertarik baru mulai turut serta dalam rangka persetudjuan wesel, dan seperti pada umumnja, setiap orang adalah merdeka menentukan turut serta atau tidak dalam suatu persetudjuan (overeenkomst).

T e ta p i K itab undang-undang Hukum Perniagaan menjebutkan dua hal, dalam mana sitertarik selaku keketjualian toh berwadjib menjetudjui (akseptasi) suatu wesel, jaitu:

a. menurut pasal 1273 W .v .K ., apabila sitertarik telah menerima suatu dana atau ’ ’ fonds” dari penarik, jang chusus ditudjukan untuk m em ­bajar wesel itu,

b . menurut pasal i27b W .v .K ., apabila sitertarik telah menjanggupi untuk menjetudjui wesel itu.

Kalau kewadjiban untuk menjetudjui wesel ini tidak dipenuhi, sitertarik harus membajar ganti-kerugian, seperti diperintji lebih landjut dalam pasal- pasal tersebut.

90

Page 90: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L A K S E P T A S I

” A d viesbrief”

M e n u r u t pasal 127C W .v .K . sipenarik harus memberitahukan kepada sitertarik, bahw a ia telah menarik suatu wesel padanja. Surat pem beritahuan ini d inam akan ’ ’adviesbrief. Kalau surat-pemberitahuan ini tidak dikirim, maka sipenarik harus mengganti kerugian, jang diderita selaku akibat dari penolakan sitertarik untuk menjetudjui weseinja.

Tiada kezvadjiban untuk minta akseptasi

Pada uihum n ja kewadjiban ini bagi sipembawa wesel tidak ada.A d a keketjualian, jaitu:

a. apabila sipenarik menentukannja dalam surat-wesel, dengan atau tanpa m enentukan tenggang untuk itu (pasal 121 ajat 1 W .v .K .) .

b. apabila weseinja harus dibajar beberapa waktu setelah diperlihatkan (pasal 122 ajat c. W .v .K .) ,

c. apabila weseinja harus dibajar dilain tempat dari pada tem pat-pendia- man sitertarik. D alam hal ini akseptasi adalah perlu, agar sitertarik m e­nen tu kan ditem pat mana pembajaran akan dilakukan (pasal 126 ajat 1 W .v .K . ) .

A kseptasi harus tak-bersjaratIn i d itentukan dalam pasal 125 W .v .K ., tetapi akseptasi diperbolehkan

u n tu k sebagian dari d jum lah uang jang disebutkan dalam surat-wesel.K a la u toh diadakan sjarat-sjarat pada suatu akseptasi, maka dianggap

akseptasi ditolak.

Sifat-hukum dari akseptasiP ertam a-tam a dengan akseptasi sitertarik berdjandji untuk membajar

uang jan g disebutkan dalam surat-wesel, kepada sipembawa. Djadi dengan dem ikian terbentuk suatu persetudjuan antara sitertarik dan sipembawa (pasal 127 W .v .K .) .

Sesuai dengan sifat-hukum ini ialah pasal 128 ajat 1 W .v .K . , jan g m enentukan bahwa, selama surat-weselnja belum dikembalikan oleh siter­tarik kepada sipem baw a, maka sitertarik itu leluasa mentjoret akseptasi jan g telah ia tulis, ketjuali apabila akseptasi ini sudah diberitahukan kepada si­pem b aw a (pasal 128 ajat 2 W .v.K .) .

D ju ga antara sitertarik dan sipenarik, setelah ada akseptasi, ada terbentuk suatu persetudjuan, jaitu persetudjuan pemberian kuasa oleh sipenarik kepada sitertarik untuk membajar sedjumlah uang (lastgeving). Ini selaku landjutan dari pcrsetudjuan-latar-belakang, jang biasanja sudah ada antara mereka berdua itu, seperti misalnja persetudjuan djual-beli, pin- djaman uang, penghibahan uang, jang diatas sudah pernah saja singgung.

Penolakan melakukan akseptasi (non-acceptatie)K alau sitertarik menolak menjetudjui akan membajar, maka sipem ­

bawa dapat m enegor sipenarik (pasal 142 W .v .K .) , djuga sebelum tiba

■- 91

Page 91: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T JE K D A N A K S E P

hari-pembajaran dari wesel. Hak-menegor ini dari pem bawa dinamakan hak- regres.

T e ta p i .ada sjarat, jaitu bahwa sipembawa harus mengadakan protes, jaitu dengan mengadakan pernjataan dengan perantaraan seorang notaris atau seorang djuru-sita (pasal i43b W .v.K.).

Protes-non-akseptasi ini dilakukan setjara jang sama dengan protes pe­rihal tidak membajar (non-betaling), jang akan saja bahas dibawah.

Protes-non-akseptasi ini harus dilakukan dalam tenggang-tenggang jang ditentukan untuk meuundjukkan weselnja agar mendapatkan akseptasi dari sitertarik.

Setelah mengadakan protes ini, menurut pasal 147 W .v .K . , sipembawa dapat menuntut dari sipenarik atau dari setiap endosan pembajaran dari:

a. djumlah uang jang disebutkan dalam wesel, ditambah dengan bunga- nja, apabila ini didjandjikan.

b. biaja dari protes-non-akseptasi tadi, jaitu biaja pembikinan akta-notaris atau akta dari seorang djuru-sita, dan lagi lain-lain biaja jan g mungkin diperlukan.

Apabila pembajaran ini dituntut sebelum hari-pembajaran jan g diten­tukan dalam surat-wesel, maka uang jang dapat dituntut harus dikurangi m enurut bank-disconto setjara jang lazim setempat.

Tertarik atau penarik djatuh pailitK alau tertarik atau penarik djatuh pailit sebelum hari-pembajaran dari

wesel, maka, menurut pasal 143 ajat 6 dan pasal 142 ajat 3 W .v .K . , si­pembawa dapat seketika mempergunakan hak-regres terhadap sipenarik, baik apabila weselnja disetudjui (akseptasi) oleh sitertarik, m aupun apabila weselnja tidak disetudjui.

92

Page 92: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L A V A L

BAGIAN XVI

Pengertian avalSeringkali d ibutuhkan suatu djaminan, bahwa suatu persetudjuan betul- b etu l akan dilaksanakan. Pun suatu persetudjuan, jang bersumber pada surat- w e se l atau surat-tjek membutuhkan sering kali djaminan itu.

D jam in an dapat berupa penundjukan barang-barang jang dapat didjual u n tu k m em bajar hutangnja seperti hypotheek dan gadai (pand) atau berupa p en u n d ju kan orang jan g mendjamin pelaksanaan persetudjuan (pasal-pasal 1820 s/d 1850 B .W .).

Djam inati oleh seorang (borgtocht) inilah jang dimaksudkan dengan aval dalam hal wesel, aksep dan tjek, dan jang diatur bagi wesel dan aksep dalam pasal-pasal 129, 130 dan 131 W .v.K . dan bagi tjek dalam pasal-pasal 202, 203 dan 204 -W.v.K.

K in i semula sudah dapat dikatakan, bahwa antara peraturan-aval bagi wesel dan bagi tjek ini sania sekali tidak ada perbedaan.

Bentuk A v a lIni ditentukan dalam pasal 130 bagi wesel (dan aksep) dan dalam pasal

203 W .v .K . bagi tjek.Disitu disebutkan, aval harus dinjatakan dalam surat-wesel, aksep atau

tjek atau pada suatu kertas-sambungan (verlengstuk), dengan menjebutkan kata-kata ’ ’ untuk aval” atau sematjam itu, seperti misalnja ’ ’untuk djam in­an ” disertai tanda-tangan seorang jang mendjadi penanggung (borg).

Bahkan tanda-tangan sadja, tanpa penjebutan kata-kata lain, adalah tjukup, tetapi harus ditaruh pada bagian muka dari surat-wesel atau tjek, ketjuali apabila tanda-tangan ini adalah tanda-tangan sipenarik atau, dalam hal wesel, sitertarik.

D jadi kalau sipenarik atau sitertarik (dalam hal wesel) ingin mendjamin pem bajaran oleh salah seorang dari pihak jang berwadjib membajar wesel atau tjek itu, maka harus disertai penjebutan kata-kata ’ ’ untuk aval” atau ’ ’untuk djam inan” dan sebagainja.

A v a l dengan surat tersendiriPasal 130 ajat 4 W .v .K . bagi wesel dan pasal 203 ajat 4 bagi tjek,

m em buka kem ungkinan, djaminan aval diberikan dengan tulisan tersendiri atau dengan surat biasa (brief).

K e m u n g k in a n ini dibuka, oleh karena apabila aval disebutkan dalam surat-weselnja atau surat-tjeknja, ini dapat diartikan, bahwa seorang jang didjamin itu, tidak kuat dalam per ekonomi annja. Dan hal ini dalam dunia-perdagangan dapat berakibat djelek bagi seorang dagang dalam per-

93

Page 93: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T JE K D A N A K S E P

dagangannja pada umumnja, sehingga lain orang m ungkin sekali lantas tidak begitu mempertjajainja.

Peraturan-internasional-seragam dari K onpesi-D jenew a tahun 1930 dan tahun 1931 tidak memuat kemungkianan aval dengan surat tersendiri, tetapi para Negara-peserta ada leluasa untuk memungkinkannja dalam perun- dang-undangannja masing-masing.

Untuk siapa aval diberikanIni harus ditegaskan, menurut pasal 130 ajat 5 dan pasal 203 ajat 5

W .v .K . jan g menentukan selandjutnja, bahwa apabila penegasan ini tidak ada, maka aval dianggap diberikan untuk sipenarik sadja, tidak untuk si- tertarik atau seorang endosan.

Siapa dapat memberi avalM enurut pasal 129 ajat 2 bagi wesel (dan aksep), setiap orang dapat

m em beri djaminan berupa aval ini, jaitu baik seorang ketiga maupun se­orang jang tanda-tangannja sudah termuat dalam surat-wesel atau surat- aksep itu -selaku penarik atau tertarik atau endosan.

Dalam hal tjek, menurut pasal 202 ajat 2, aval tidak dapat diberikan oleh sitertarik. Ini ada hubungan dengan hal, bahwa dalam hal tjek tidak ada akseptasi oleh sitertarik, maka djuga tidak pada tempatnja suatu dja­minan oleh sitertarik, bahwa ia akan membajar.

D apat dikatakan pula, bahwa pemberian djaminan oleh sitertarik jang sudah menjetudjui wesel (akseptan) dalan praktek sekiranja tidak akan ter- djadi, oleh karena tidak mempertinggi kemungkinan pembajaran oleh siter­tarik itu, jang suaah menjetudjui sendiri weselnja.

Diatas telah pernah saja katakan, bahwa kewadjiban sipenarik ialah untuk menanggung, bahwa wesel atau tjek akan dibajar oleh sitertarik. A dakah gunanja bagi sipenarik untuk mendjamin sekali lagi hal ini se- tjara aval. ?

G unanja ini memang ada. Kewadjiban sipenarik untuk m enanggung pembajaran oleh sitertarik, digantungkan pada adanja protes dari pihak pembawa terhadap tak-pembajaran oleh sitertarik. Nah, apabila sipembawa alpa dalam hal ini dan tidak memadjukan protes itu, maka sipenarik jang memberi djaminan aval, masih sadja menanggung pembajaran oleh sitertarik.

Perbedaan dengan djaminan oleh seorang menurut B . IV. (borgtocht)Perbedaan ini terlihat dalam pasal 131 ajat 2 dan pasal 204 ajat 2

W .v .K . jang menentukan perdjandjian aval tetap berlaku, meskipun per- djandjian-pokok jang didjamin dengan aval itu, adalah batal (nietig).

Bagi djaminan oleh seorang (borgtocht) pada umumnja, pasal 1821 ajat 1 B .W . menentukan bahwa tidak ada persetudjuan djaminan oleh se­orang, apabila persetudjuan-pokok jang didjamin, adalah batal.

Maka perdjandjian-aval dapat dikatakan merupakan suatu perdjandjian jan g tetap berdiri terlepas dari perdjandjian-pokok jang didjamin.

94

Page 94: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

U A L A V A L

H anja sadja, djuga menurut pasal 131 ajat 2 dan pasal 204 ajat 2 W . v . K . , apabila perdjandjian-pokok batal oleh karena tidak dibentuk m e­n u ru t tjora (vorm) jang ditentukan oleh undang-undang, maka perd jan- d jian-aval batal djuga. Misalnja aval diberi untuk seorang tertarik ja n g m en jetu dju i suatu wesel tanpa tanda-tangan. Dalam hal ini akseptasi ja n g d ilakukan oleh tertarik, tidaklah sah dan suatu aval untuk m endjam in pem bajaran oleh tertarik itu, djuga tidak 'sah.

K cw adjiban sipemberi aval

O leh pasal 131 ajat 1 dan pasal 204 ajat 1 W .v .K . ditegaskan, bahwa s ip e m b eri aval adalah terikat setjara jang sama seperti seorang jan g di- djainin kcw adjiban. Jang terikat belakangan ini adalah mungkin seorang p e ­narik, seorang tertarik atau seorang endosan. Maka kewadjiban-kewadjiban dari orang-orang ini, apabila didjamin dengan aval, melekat djuga pada sipem b eri aval.

Pem bajaran oleh sipemberi avalA p ab ila sipemberi aval, setelah ditegor membajar wesel atau tjeknja,

maka m enurut pasal 131 ajat 3 dan pasal 204 ajat 3 W .v .K ., ia mendapat alih sem u a hak-hak dari pihak jang kewadjibannja didjamin olehnja. M isal­nja apabila ja n g didjamin itu adalah seorang endosan, maka sipemberi aval dapat kem udian menegor sipenarik untuk memenuhi kewadjiban-regres, jaitu untuk m em bajar pula.

Page 95: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN XVIIP E M B A J A R A N W E S E L , A K S E P D A N T J E K

Pengertian pembajaranJang kini dimaksudkan dengan pembajaran ialah pembajaran uang jang disebutkan dalam surat wesel, aksep dan tjek, oleh sitertarik dalam hal wesel dan tjek, dan oleh sipenanda-tangan dalam hal aksep.

D an memang pembajaran inilah, jang mendjadi. pokok-tudjuan dari pengeluaran wesel, tjek dan aksep.

Bagi wesel dan aksep hal pembajaran ini diatur dalam pasal-pasal 137 s/d 141 W .v .K . , dan bagi tjek dalam pasal-pasal 205 s/d 213 W .v .K .

D ua matjam peraturan ini ada agak berbeda, oleh karena tjek selalu harus dibajar pada sewaktu-waktu surat-tjek diperlihatkan, seperti ditegas­kan dalam pasal 205 ajat 1 W .v .K ., jang mengatakan, bahwa tjek dapat dan harus dibajar ” op zicht” .

Sifat-hukum dari pembajaranDalam hal perdjandjian pada umumnja, pasal 1381 B .W . menjebutkan

pembajaran (betaling) sebagai tjara pertama untuk menghentikan suatu per­djandjian.

K in i pembajaran berarti luas, jaitu pelaksanaan suatu perdjandjian, jang tidak hanja dapat berupa penjerahan sedjumlah uang-tunai, melainkan djuga dapat berupa penjerahan barang-barang lain dari pada uang-tunai.

D alam hal wesel, aksep dan tjek, pembajaran selalu berupa penjerahan sedjumlah uang tunai, tetapi sifat-hukumnja ialah seperti jan g dikatakan oleh pasal 1381 W .v .K . , ialah untuk melaksanakan perdjandjian jan g ber­sum ber pada surat-surat wesel, aksep dan tjek.

S ifa t legitimasiSeperti diatas telah pernah dikatakan, surat-surat wesel, aksep dan tjek

bersifat legitimasi, artinja: dengan memperlihatkan surat-surat berharga ini sadja sipem egang berhak atas pembajaran, asal sadja sipemegang itu dapat m em perlihatkan suatu endosemen jang mengalihkan surat itu kepadanja, dan, apabila ada endosemen lain jang mendahuluinja, asal endosemen jang lain tadi djuga dilakukan menurut sjarat-sjarat jang ditentukan dalam undang-undang. Ini ditegaskan oleh pasal 115 ajat 1 bagi wesel dan aksep dan oleh pasal 296 bagi tjek.

D an sebaliknja seorang tertarik dalam hal wesel dan tjek, dan seorang penanda-tangan dalam hal aksep, jang melakukan pembajaran berdasar atas diperlihatkannja surat-surat-berharga tadi, adalah bebas dari tegoran di- kem udian hari, berdasar atas surat-surat-berharga itu djuga.

Ini bagi wesel ditegaskan dalam pas^l 139 ajat 3 W .v .K . , jang menen­

96

Page 96: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

P E M B A JA R A N WESEL, A K S E P D A N T J E K

tukan , bahwa seorang tertarik jang membajar suatu wesel pada hari-peni- bajaran (vervaldag), adalah bebas dari kewadjiban (’ ’deugdelijk gek w eten ” ). T e ta p i disjaratkan padanja, bahwa sitertarik itu tidak melakukan penipuan atau padanja tidak terdapat kealpaan kasar (grove schuld).

Penipuan ada, apabila sitertarik tahu betul-betul, bahwa ia membajar kepada orang jang tidak berhak, sedang kealpaan kasar itu ada, apabila si­tertarik kurang teliti dalam menjelidiki, apakah sipemegang wesel adalah b etu l-b etu l berhak atas pembajaran.

D alam hal ini oleh pasal 139 ajat 3 itu sitertarik diwadjibkan m enje­lidiki kesempurnaan dari rangka endosemen-endosemen. T id ak perlu ia m enje­lidiki, apakah tanda-tangan-tanda-tangan dalam wesel itu palsu atau tidak.

K ew ad jib an menjelidiki seperti jang dibebankan kepada tertarik dalam hal wesel ini, oleh pasal 212 ajat 1 W .v.K . dibebankan djuga pada tertarik dalam hal tjek.

A pabila kewadjiban menjelidiki ini diabaikan dengan akibat, bahwa si­tertarik harus untuk kedua kalinja melakukan pembajaran, oleh karena kem udian ditagih lagi oleh orang jang berhak sedjati, maka menurut pasal 139 ajat 4 W .v .K . bagi wesel dan menurut, pasal 212 ajat 2 bagi tjek, si­tertarik itu dapat minta pembajaran kembali dari orang-orang jang pernah m endapatkan wesel atau tjek itu dengan itikad-djahat atau jang alpa setjara kasar pada waktu mendapatkannja.

W aktu meminta pembajaranIni bagi tjek, wesel ” op zicht” dan aksep ” op zicht” tidak merupakan

soal, oleh karena pembajaran dapat diminta pada sewaktu-waktu surat- surat tadi diperlihatkan.

Hanja ada ketentuan, baha wesel atau aksep ” op zicht” harus diminta pem bajarannja dalam tenggang satu tahun, dihitung dari tanggal penanda­tanganan (pasal 133 ajat 1 W ’v.K .), sedang tjek harus diminta pembajaran­nja dalam tenggang 70 hari dihitung mulai tanggal penanda-tanganan (pasal 206 ajat 1 W .v. K.).

K alau suatu wesel atau aksep harus dibajar pada hari-pembajaran ter­tentu atau dalam suatu tenggang setelah diperlihatkan, maka menurut pasal 137 ajat 1 W .v .K . , pembajararr harus diminta oleh sipembawa pada hari- pem bajaran jan g ditentukan itu (vervaldag)) atau pada salah satu dari dua hari kerdja jang berikut.

W aktu-pembajaranIn ip un bagi tjek tidak merupakan soal, oleh karena harus dibajar pada

sew aktu-w aktu tjeknja diperlihatkan.Bagi wesel dan aksep jang menjebutkan hari-pembajaran tertentu, p em ­

bajaran dapat dilakukan pertama-tama tepat pada hari itu duga.Pasal 139 ajt 2 W .v .K . membuka kemungkinan, bahwa sitertarik m em ­

bajar sebelum hari-pembajaran itu, tetapi ditegaskan, bahwa dengan m em ­bajar dimikian sitertarik berbuat dengan risikonja sendiri. Ini berarti bahwa ia hanja bebas dari kewadjiban (gekweten), apabila jang diberi hajaran itu betu l-betu l berhak menerima pembajaran.

97

Page 97: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M W ESEL , T JE K D A N A K S E P

Bagi sipemegang wesel atau aksep ditentukan oleh pasal 139 ajat 1 W .v .K . , bahwa ia tidak dizvadjibkan menerima bajaran sebelum hari-pem- bajaran.

Ini adalah penjimpangan dari pasal 1270 B.W ., jan g menentukan kalau tidak ada ketentuan lain, suatu penentuan tempoh-pembajaran dianggap diadakan untuk kepentingan pihak berzoadjib, kini sitertarik. M aka kalau pasal 1270 B. W. diperlakukan, pembajaran baru dapat ditagih setelah lampau tem poh itu, tetapi sitertarik leluasa membajar sebelum tem poh itu lampau.

Perihal wesel ada ketentuan lain dari pada 1270 B.W ., oleh karena menurut M r Zevenbergen (halaman 178) sering wesel dibeli agar sipembeli atau sipemegang tepat pada hari-pembajaran ada tersedia uang-tunai untuk melakukan suatu pembajaran ditempat-pindjaman sitertarik. M aka apabila sipemegang harus menerima uang-tunai sebelum hari-pembajaran itu, uang- nja itu lantas berada ditangannja, sedang uang itu seharusnja pada hari- pembajaran dibajarkan lagi, tetapi pada lain tempat dari tempat-pendiaman- nja, jaitu pada tenipat-pendiaman sitertarik. Djadi ia akan terpaksa mengi­rimkan uang-tunai ketempat-pendiaman sitertarik itu.

Sebetulnja saja belum begitu jakin, bahwa alasan jan g dikemukakan oleh M r Zevenbergen ini, adalah tjukup djitu untuk menentukan ketiadaan kewadjiban sipemegang wesel untuk menerima pembajaran w’eselnja sebelum hari-pembajaran.

M aka adalah lajak, seperti jang dikatakan oleh M r Scheltema (halaman 348) bahwa sudah barang tentu kedua belah pihak dengan perdjandjian- chusus dapat menjimpang dari ketentuan pasal 139 ajat 1 W .v .K . ini dan kembali kepada ketentuan pasal 1270 B.W. (lihat buku karangan saja ’ ’ Asas- asas H uku m Perdjandjian” . tjetakan ke-III halaman 43 dan 44 atau tjetakan k e - I V halaman 45 dan 46 atau tjetakan ke V halaman 46 dan 74).

Penjerahan kembali surat-surat wesel, aksep dan tjekPasal 138 ajat 1 W .v .K . bagi wesel dan aksep, dan pasal 211 ajat 1

bagi tjek menentukan, apabila sitertarik (dalam hal aksep sipenanda-tangan) m elakukan pembajaran, ia dapat, menuntut agar suratnja wesel, tjek atau aksep diserahkan kembali kepadanja dengan disebutkan, bahwa sudah dibajar lunas ( voldaan) .

Ini adalah lajak, oleh karena, kalau suratnja tidak diserahkan kembali, ada kemungkinan besar diadakan penagihan lagi dikemudian hari.

A d a suatu keketjualian disebutkan dalam pasal 167« W .v .K . bagi wesel dan aksep, dan dalam pasal 2273 W .v .K . bagi tjek, jaitu apabila surat-surat- berharga ini htlang (vermist” ). Dalam hal ini sibekas-pemegang-terachir hanja dapat meminta pembajaran dari tertarik, apabila ia memberi djamin- an untuk 30 tahun. Artinja: harus disediakan djaminan, bahwa apabiala dalam 30 tahun ada penegoran oleh lain pemegang, uangnja dapat dikem ­balikan.

Oleh pasal i67b W .v .K . dikatakan pula bagi wesel, apabila hilangnja itu terdjadi sesudah hari-pembajaran atau setelah diprotes karena tidak di­bajar, maka sibekas-pemegang-terachir hanja dapat melakukan hak-haknja

98

Page 98: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

P E M B A J A R A N W E SE L , A K S E P D A N T J E K

djam inan untuk 30 tahun.

* aan terhadap si-K ini pun dengan rnengadakan

ü u i i p i x i a n t v * v u i *»►#

Pembajaran sebagian

Ini dimungkinkan oleh pasal 138 ajat 2 dan 3 bagi wesel dan aksen dan oleh pasal 211 ajat 2 dan 3 bagi tjek.

D isitu ditentukan, sipcmegang surat-surat itu tidak boleh menolak p em bajaran sebagian dari djumlah uang jang disebutkan dalam surat-surat-ber- harga tadi.

K alau pembajaran sebagian ini terdjadi, maka surat-suratnja belum harus diserahkan kembali kepada sipembajar. Hanja sadja ditegaskan dalam pasal-pasal tersebut, bahwa sipembajar dapat menuntut, agar pembajaran sebagian ini ditjatat dalam surat-surat wesel, aksep atau tjek, dan agar ke­pada sipembajar diberi kwitansi atau tanda-pembajaran untuk uang janp telah dibajar itu.

Ini adalah penjimpangan dari ketentuan pada pasal J390 B.W ., jan g m enentukan, seorang-berhak tidak boleh dipaksa menerima pembajaran se­bagian atau setjara mentjitjil. Pihak-berhak (créditeur, schuldeischer) dapat m enun tut pembajaran sekaligus.

Tem pat minta pembajaran

M e n u ru t pasal I 43a ajat 1 W .v .K . bagi wesel dan aksep dan menurut pasal 218a W .v .K . bagi tjek, pembajaran harus diminta ditempat-pendiaman sitertarik, djadi ditempat-pendiaman pihak-berwadjib (schuldenaar). Ini adalah penjim pangan dari pasal 1393 B. W. jang pada umumnja antara lain m enentukan, bahwa pembajaran harus dilakukan ditempat-pendiaman p ihak-berhak (schuldeircher) jaitu apabila pihak-berhak ini sedjak terben- tuknja perdjandjian tidak pindah ke ’ ’ Karesidenan” lain (lihat buku karang­an saja ’ ’Asas-asas H uku m Perdjandjian” tjetakan k e-III halaman 91 dan 92 atau tjetakan k e -IV halaman loo atu'tjetakan ke-V halamaan 100).

D engan demikian hutang sitertarik wesel dan tjek merupakan ” haal- s c h u ld ” (hutang jan g pembajarannja harus diambil), bukan ’ ’brengschuld” (hutang jan g pembajarannja harus diantarkan ketempat pihak-berhak).

A pabila suatu wesel, aksep atau tjek ditentukan harus dibajar di lain tempat dari pada tempat-pendiaman sitertarik, atau ditempat-pendiaman orang ketiga (berdomisili), maka pembajaran harus dilakukan disitu.

A d a kalanja tempat-pendiaman sitertarik tidak dikenal, misalnja oleh karena kem udian pindah ketempat jang tidak diketahui, atau apabila si­tertarik tidak dapat diketemukan. Dalam hal ini, menurut pasal 14^1 ajat

99

Page 99: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T JE K D A N A K S E P

3 W .v .K . pembajaran harus diminta dikantor-pos dari tempat jang semula ditentukan untuk pembajaran.

Apabila ditempat tidak ada kantor-pos, maka pembajaran harus di-, minta dikantor Pedjabat Pegawai Pamong Pradja setempat atau di- kantor Kepala Daerah (Kitab Undang-undang H ukum Perniagaan menje- butkan ’ ’ Assistent-Resident55 untuk Djawa dan Madura, dan ’ ’ Hoofd van Plaatselijk Bestuur” untuk lain-lain daerah).

55 F errekeningskamer” , 55clearinghouse” , ” chambre de compensation”Pasal 137 ajat 2 W .v .K . bagi wesel dan aksep, dan pasal 208 W .v .K .

bagi tjek, menentukan, permintaan pembajaran dari wesel, aksep dan tjek djuga dapat dilakukan setjara menjerahkan kepada suatu badan, ja n g disi- tu dinamakan ’ ’ verrekeningskamer” . Oleh ’ ’ G ubern ur-D jenderal” , sekarang sekiranja M enteri-Keuangan, dapat ditundjuk badan-badan jan g dapat ber­laku sebagai ’ ’ verrekeningskamer.” atau badan-perhitungan ini.

M en u rut M r Scheltema (halaman 359) permintaan pembajaran dari wesel, aksep dan tjek kepada badan-perhitungan ini hanja dapat terdjadi, apa­bila baik sipemegang (houder) maupun sitertarik (betrokkene) turut serta dalam badan itu selaku anggota dan sebagainja.

T a n g g a l permintaan pembajaran dibadan-perhitungan ini oleh pem im ­pin badan itu ditjatat dalam surat-surat wesel, aksep atau tjek jan g bersang­kutan.

D en gan demikian terbukti tanggal permintaan pembajaran itu. T e rb u k - tinja tanggal ini adalah agak penting, oleh karena menurut pasal 143 W .v .K protes perihal tidak-dibajar (non-betaling) harus dilakukan pada salah satu dari dua hari-kerdja berikutnja hari-minta-pembajaran, dengan akibat, bahwa biasanja jang ditjatat hanja tanggal protes ini dan tidak tanggal minta pem bajaran (lihat M r. Scheltema ’ ’ Wissel- en C h eq u e-R ech t” halaman 359 halam an 372 s/d 375).

Valuta-AsingA d a kalanja surat wesel atau tjek menjebutkan pembajaran dengan

valuta-asing, jaitu dfengan uang dari Negara Asing, artinja Negara lain dari pada Negara-tempat-pembajaran, seperti misalnja harus dibajar di Djakarta dengan uang dolar Amerika-Serikat.

M en u ru t pasal 140 W .v .K . bagi wesel dan aksep sipembawa wesel atau aksep dapat memilih antara membajar dengan dollar atau dengan rupiah. K a la u dengan rupiah, maka harus dibajar menurut nilai-kurs pada hari- pem bajaran menurut adat-kebiasaan ditempat-pembajaran itu.

A pabila pada waktu itu weselnja tidak dibajar, maka dapat dipilih oleh sipem egang wesel, apakah diambul nilai-koers pada hari-pembajaran (verval- dag) atau pada saat pembajaran betul-betul dilakukan.

Sipenarik wesel leluasa untuk menjebutkan dalam surat-wesel nilai-kurs tertentu dari uang asing itu. Pun ia leluasa menentukan, bahwa dalam tjontoh tersebut pembajaran harus: dilakukan betul-betul berwudjud dollar Am erika-Serikat.

Page 100: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

Pasal 213 W .v .K . memuat peraturan hampir serupa mengenai tjek .

Konsignatie

M en u ru t pasal 141 W .v .K ., apabila 'suatu wesel atau aksep tidak dim inta pembajarannja pada waktunja menurut pasal 137, maka sitertarik wesel dan sipenanda-tangan aksep berhak untuk menjimpan sedjumlah uan g ja n g harus dibajar itu pada suatu tempat jang lajak, misalnja dalam suat.u Bank atas biaja dan atas tanggungan sipembawa wesel atau aksep

Peraturan sematjam ini tidak ada lagi bagi tjek.

Penolakan membajar (non-belating)

M en u ru t pasal 143 W .v .K . penolakan membajar (non-betaling) seperti d j uga penolakan melakukan akseptasi, dalam hai wesel dan aksep harus dinjatakan o leh sipemegang suatu protes.

Kalau sudah diadakan protes penolakan melakukan akseptasi maka tidak perlu lagi dimintakan pembajaran dari sitertarik dan tidak perlu lagi pula diadakan protes-penolakan-membajar (pasal 143 ajat 4 W .v .K .) .

Protes-penolakan-membajar (protes van noil-betaling), ini, m enurut pasal 143 ajat 3 W .v .K . , perihal wesel dengan hari-pembajaran tertentu, harus dilakukan pada salah satu dari dua hari-kerdja sesudah hari-pemba- jaran itu, dan perihal wesel ” op zicht” pada waktu-waktu jang ditentukan u n tu k minta akseptasi menurut pasal 121 W .v .K . (lihat diatas pada Bagian Akseptasi-.):

Tjara protes-penolakan-membajar

Ini perihal wesel tjek dan aksep, seperti djuga tjara protes-penolakan m elakukan akseptasi, ditentukan dalam pasal i43b W .v .K . bagi wesel dan aksep, dan dalam pasal 2 i6 b bagi tjek.

M e n u ru t pasal-pasal tersebut, protes ini harus dilakukan oleh seorang notaris atau seorang djuru-sita dengan disertai dua orang saksi.

Protes ini harus berisi:

ke 1 : turunan lengkap dari wesel dengan akseptasi dan endosemen-endo-semen serta alamat-alamat dari jang. bersangkutan,

kc 2 : penjebutan bahwa pembajaran (atau akseptasi) ditolak,ke ‘3 : penjebutan alasan dari penolakan itu,ke 4 : penegoran bagi sitertarik untuk turut menanda-tangani protes, dan

kalau sitertarik tidak mau turut menanda-tangani itu, maka harus disebutkan alasan dari penolakan ini,

ki- 5 : pernjataan, bahwa sinotaris atau sidjuru-sita setjara resmi telahm em protes penolakan pembajaran (atau akseptasi) ini.

N otaris dan djuru-sita jang melakukan protes ini, oleh pasal 1430 bagi wesel dan aksep, dan oleh pasal 2 i8c bagi tjek, diwadjibkan memasukkan turunan dari protes ini dalam suatu daftar chusus.

M e n u ru t pasal I43d W .v .K . protes ini dapat diganti dengan suatu keterangan dari sipenolak membajar (atau sipenolak melakukan akseptasi),

P E M B A J A R A N W ESEL, A K S E P D A N T J E K

101

Page 101: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJEK D A N A K S E P

ditulis dalam surat zcesel atau aksep, disertai tanggal dan ianda-tangan, ke­terangan mana harus menjebutkan, bahwa ia menolak mcmbajar atau me­nolak menjetudjui wesel atau aksep itu.

Hal menaruh keterangan dalam surat wesel atau aksep ini harus dengan persetudjuan sipemegang wesel atau aksep, dan tidak mungkin, apabila si- penarik wesel atau sipenanda-tangan aksep menjebutkan.dalam surat wesel atau aksep, bahwa ia mengingini suatu protes resmi dengan perantaraan seorang notaris atau seorang djuru-sita.

Bagi tjek tidak ada pasal seperti pasal 143d ini, tetapi dari bunji pasal 217 W .v .K . ternjata bahwa djuga dalam hal tjek protes resmi dapat diganti dengan suatu keterangan pada surat-tjek, ditulis dan ditanda-tangani oleh sitertarik jang menolak membajar tjek itu.

Pemberitahuan protes kepada endosan dan penarikIni menurut pasal 144 W .v .K . bagi wesel dan aksep dan menurut pasal

219 bagi tjek, harus dilakukan dalam tenggang empat hari berikutnja hari protes diadakan.

Clausule tanpa-biaja atau tanpa-protesIni disebutkan dalam pasal 145 W .v .K . bagi wesel dan aksep, dan

dalam pasal 220 bagi tjek. Tidak ada perbc-daan antara dua pasal ini.Maksudnja ialah memungkinkan para pihak bersepakat untuk m eng­

hindarkan biaja dan kesulitan jang melekat pada hal mengadakan protes penolakan membajar.

M a k s u d ini tertjapai, apabila sipenarik atau s iendosan atau s i pemberi aval m en ul i s dalam surat wesel suatu clausule seperti ’ ’ t anpa- bi aj a” atau ’ ’ t a n p a - p ro t es ” atau lain-lain kata-kata sematjam ini.

Adanja clausule ini tidak membebaskan sipemegang wesel, aksep atau tjek untuk memperhatikan tenggang-tenggang jang ditentukan oleh undang undang untuk permintaan pembajaran.

Di ka t ak an pula dalam pasal-pasal tersebut, b ahw a p e m bi k i na n c l a u ­sule oleh s ipenarik adalah berlaku untuk semua orang jang t a nd a- ta ng an - ta nd a -t a ng an nj a berada dalam surat-berharga ini.

K a l a u c la us ul e ini dinjatakan oleh seorang endosan atau se or ang p e m ­beri aval , m a ka clausule hanja berlaku ujituk orang itu sendiri .

A p b i l a s i pe me g an g , meskipun ada clausule ini, toh m e n g a da ka n protes resmi m a k a biajanja harus dipikul olehnja sendiri. Ini adalah lajak.

rjek jang disertai garis miring (gekruiste cheque)Pasal -pasal 214 dan 215 W .v.K . m em b u k a k e mu n g k i n a n b a hw a suatu

tjek d ib ag ia n m uk a disertai dua garis miring dan diantara dua garis itu ditul is perkataan „ ,bankier” atau sebagainja.

Ini berati, bahwa uang dari tjek hanja dapat dibajar kepada suatu Hank atau seorang jang mendjadi langganan (client) dari sitertarik.

K r u i s i n g ” s e ma t ja m ini dinamakan kruising umum.Disamping ini ada kruising chusus, jaitu bahwa diantara dua garis tadi

ditulis nama Batik tei tentu. Kalau ini terdjadi, 'maka uang dari tjek oleh

102

Page 102: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

P E M B A J A R A N WESEL, A K S E P D A N T J E K

tertarik hanja boleh dibajar kepada Bank tertentu itu, atau apabila Bank tertentu itu adalah sitertarik sendiri, maka uang-tjek dapat dibajar pula kepada langganan dari tertarik.

K ru is in g um um dapat diubah mendjadi kruising chusus, tetapi seba- liknja kruising chusus tidak dapat diubah mendjadi kruising umum.

D itentukan pula, bahwa suatu Bank hanja dapat menerima suatu tjek ja n g disertai garis miring tadi (’ ’ crossed cheque” ), dari salah seroang lang­ganan atau dari suatu Bank lain. Ia tidak boleh mengambil uangnja untuk rekening orang lain dari pada mereka (langganan atau Bank lain).

D im u n gkin kan ada dua kruising chusus, tetapi kalau ini terdjadi, maka pem bajaran hanja dapat dilakukan oleh sitertarik, apabila salah satu dari dua kruising itu bermaksud untuk meminta pembajaran oleh suatu ’ ’ verreke- n in gskam er” atau Badan-perhitungan jang diatas telah pernah saja sebut.

Sistim ’ ’ kruising” ini diadakan agar dipersukar bahwa tjek akan djatuh pada orang-orang jang tidak berhak, sedang tjek merupakan suatu alat- pem bajaran dan seperti semua alat-pembajaran, harus dapat dipertjajai sebanjak mungkin, bahwa tidak akan ada penipuan setjara pembajaran kepada orang jang tidak berhak.

Seorang tertarik jang tidak memperhatikan kruising ini, adalah ber- tan ggun g-d jaw ab atas kerugian jang mungkin diderita selaku akibat dari kelalaiannja.

Tjek-perhitungan (verrekenings-cheque)

T je k scmatjam ini disebutkan oleh pasal 216 W .v .K ., jaitu suatu tjek jan g dibagian muka disertai kata-kata ’ ’ untuk perhitungan” (” in rekening te b ren gen ” ) atau kata-kata scmatjam ini, jang harus ditulis setjara miring.

Ini berarti, bahwa sitertarik tidak boleh melakukan pembajaran setjara m em berikan uang-tunai kepada sipembawa, melainkan hanja boleh mem- bajar setjara memasukkan perhitungannja dalam pembukaan, seperti giro dan sebagainja.

Ditentukan pula, apabila kata-kata untuk perhitungan itu ditjoret, maka pentjoretan ini dianggap tidak ada.

Seorang tertarik jang mengabaikan penjebutan untuk perhitungan” ini, bertan ggung-djaw ab atas kerugian jang mungkin diderita selaku akibat dari kelalaiannja.

Tjek jang ditarik kembaliPasal 209 W .v .K . membuka kemungkinan suatu surat-tjek ditarik

kembali (hcrroepen) oleh sipenarik.M akn a dari penarikan kembali ini ialah mengenai hubungan antara

sipenarik dan sitertarik, jaitu bahwa sitertarik diminta supaja djangan lagi m em bajar tjek itu.

Sipem baw a suatu tjek sebetulnja tidak mempunjai hak atas p e m ­bajaran oleh sitertarik, oleh karena dalam hal tjek tidak ada akseptasi oleh sitertarik, sedang dalam hal wesel hak sipembawa untuk mendapat pemba-

103

Page 103: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

r

jaran dari sitertarik ialah setelah sitertarik ini menjetudjui weselnja (aksep-tasi).

Tetapi apabila sipembawa tjek ini pada waktunja, jaitu dalam teng­gang 70 hari setelah tanggal pengeluaran tjek sudah minta pembajaran dari sitertarik dan pembajaran ini ditolak oleh sitertarik, maka sipembawa, sete­lah membikin protes penolakan membajar ini, dapat menegor sipenarik atau siendosan untuk membajar (regres).

Berhubung dengan ini, maka pasal 209 W .v .K . menentukan, b.ah\va penarikan kembali dari tjek hanja diperbolehkan setelah lampau tenggang tersebut, djadi kalau sipembawa sama sekali tidak berhak lagi atas suatu pembajaran oleh sipenarik atau siendosan.

Dengan demikian, apabila tjcknja toh ditarik kembali sebelum lampau tcnggang-waktu tadi, sitertarik. kalau ditegor oleh sipembawa pada waktu- nja jakni sebelum lampau tenggang-waktu tadi, adalah leluasa untuk terus membajarnja kepada sipembawa.

Kalau penarikan kembali mempunjai kekuatan, djadi dilakukan setelah lampau tenggang-waktu tadi, dan sitertarik toh membajar tjeknja kepada sipembawa, maka sitertarik itu memikul risiko, bahwa ia mungkin harus m emberi ganti-kerugian kepada sipenarik, jang telah menarik kembali tjeknja itu.

Oleh pasal 209 ajat 2 W „v.K . ditegaskan lagi, bahwa apabila tjek tidak ditarik kembali, maka sitertarik masih leluasa membajar tjeknja setelah lam­pau tenggang-waktu untuk minta pembajaran oleh sipembawa tadi.

M en u rut M r Zevenbergen (halaman 245), peraturan ini adalah sesuai dengan peraturan-internasional-seragam dari Konpensi-D jenew a 1931» dan m erupakan peraturan jang berada ditengah-tengah antara sistim Perantjis dan sistim Inggeris-Amerika.

M enurut sistim Perantjis penarikan kembali dari tjek dilarang sama sekali, sedang sistim Inggeris-Amerika memperbolehkan penarikan kembali dari tjek tanpa batas.

Wafatnja sipenarik tjekM en u rut pasal 210 W .v .K . wafatnja sipenarik tjek sama sekali tidak

m em pengaruhi berdjalannnja tjek, artinja: apabila sitertarik menolak m em­bajar tjeknja, maka sipembawa dapat melakukan regres terhadap para ahli- waris dari sipenarik jang wafat itu.

Pun tidak berpengaruh suatu kenjataan, bahwa kemudian sipenarik tjek kehilangan kemampuan untuk melakukan perbuatan-hukum setjara sah, se­perti misalnja ia dinjatakan dalam pengawasan curateele.

Dalam hal ini, sipembawa jang mengalami penolakan membajar dari sitertarik, tetap dapat melakukan regres terhadap sipenarik.

H U K U M W ESEL, TJE K D A N A K S E P

104

Page 104: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L H A K -R E G R E S

BAGIAN XVIII

Pengertian hak-regresD iatas pernah dikatakan, bahwa dalam hai wesel dan tjek sipetiarik dan para endosan beserta para pemberi aval berkewadjiban mena?iggung kepada sipem egang, bahwa dalam hal wesel sitertarik akan menjetudjui dan akan membajar, dan dalam hal tjek sitertarik akan membajar.

A kibat-hukum dari pertanggungan ini ialah, bahwa apabila sitertarik tidak membajar (atau dalam hal wesel tidak menjetudjui), maka sipem e­g an g wesel atau tjek berhak menegor sipenarik dan/atau para endosanserta para pemberi aval, agar menepati tanggungannja, artinja agar m em ­bajar sendiri wesel atau tjeknja.

H ak menegor agar mendapat pembajaran inilah jang dalam undang- un d an g W .v .K . dinamakan hak-regres.

D alam hal aksep, oleh karena tidak ada seorang tertarik dan oleh karena ja n g harus membajar aksepnja itu sipengeluar (uitgever) sendiri dari aksep, maka ja n g m enanggung pembajaran itu ialah hanja para endosan dan seorang jan g memberi aval untuk endosan itu. Maka dalam hal aksep hak- regres dari sipemegang adalah terhadap para endosan.

H ak pemegang terhadap sitertarikK a la u sitertarik .dalam hal wesel tidak menjetudjuinja (tak-ada aksep­

tasi), maka terhadap sitertarik itu sipemegang wesel pada pokoknja sama sekali tidak mempunjai hak.

K a la u sitertarik dalam hal wesel telah menjetudjui tetapi tidak m em ­bajar, atau , dalam hal tjek kalau sitertarik tidak membajar, maka sipe­m egang ada hak terhadap sitertarik itu, jaitu sipemegang dapat menuntut sitertarik itu dimuka Pengadilan untuk membajar.

Ini adalah hak biasa dari seorang berpihutang terhadap seorang ber­hutang, dan bukan hak-regres, seperti jang dilakukan diatas, melainkan suatu hak untuk menuntut sitertarik setjara langsung, seperti dikatakan d a l a m , pasal 127 ajat 2 W .v .K .

Begitupula dalam hak aksep, apabila sipenanda-tangan tidak membajar, sipem egang aksep . dapat menuntut sipenanda-tangan dimuka Pengadilan seperti halnja dengan seorang berpihutang biasa terhadap siberhutang.

Berhutang-regr.esD en gan demikian ada pengertian berhut ang-regres (i'egres-schuldenaar),

jaitu dalam hal wesel dan tjek: sipenarik dan* para endosan serta para pem beri aval, dan dalam hal aksep: para endosan dan para pemberi aval.

10S

Page 105: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, T J E K D A N A K S E P

Saling tanggung-menanggung (hoofdelijk)Para berhutang-regres tersebut dan sitertarik (dalam hal wesel setelah

menjetudjui dan dalam hal tjek selalu) dan sipengeluar ,aksep, m e n u r u t

pasal 146 dan pasal 211 W .v .K ., semua setjara saling tanggung,-menanggung berkewadjiban untuk melakukan pembajaran kepada sipemegang.

Artinja: sipemegang dapat menegor mereka semua atau masing-masing untuk membajar djumlah uang selurulinja jang disebutkan dalam surat wesel, tjek atau aksep.

Kalau salah seorang dari para berhutang-regres membajar maka ia da­pat menuntut kembali uangnja dari para berhutang jang dulu-dulu, jang djuga wadjib membajar setjara saling tanggung-menanggung, djadi seorang endosan dapat menuntut dari sipenarik atau seorang endosan lain iang men- dahuluinja.

Oleh pasal 146 ajat 1 dan pasal 221 ajat 1 dikatakan pula, bahwa apabila suatu wesel atau tjek ditarik untuk rekening seorang ketiga, maka djuga seorang ketiga ini dapat ditegor oleh sipemegang, tetapi hanja djika seorang ketiga itu telah menikmati harga jang ia harapkan.

Sjarat-sjarat untuk melakukan regresSjarat utama untuk melakukan regres ialah, bahwa sipemegang wesel,

aksep atau tjek harus mengadakan protes penolakan membajar atau dalam hal ~wesel jang tidak disetudjui, harus mengadakan protes penolakan aksep­tasi.

Bagaimana protes ini harus dilakukan, telah saja bitjarakan diatas.Dan protes ini harus dilakukan pada waktunja, artinja: tidak boleh:

terlambat.Bagi wesel hal ini ditentukan dalam pasal 152 W .v .K , jang perihal

tenggang-tenggang ini menundjuk pada pasal-pasal jang bersangkutan, jaitupasal-pasal 133, 143 dan 145 W .v.K ., jang mengenai tenggang-tengganguntuk minta akseptasi atau untuk minta pembajaran, dan jang diatas sudahsaja bitjarakan, sedang tentang tjek hal ini ditentukan dalam pasal 218

. j ang menundjuk pada tenggang 70 hari setelah penanda-tanganantjek..

Dalam hal ini ada perbedaan antara sipenarik wesel dan siendosan wesel. Siendosan selalu bebas, apabila protesnja dilakukan terlambat, tetapi sipenarik baru bebas, apabila lain dari pada itu, ia dapat membuktikan,

a wa pada hari-pembajaran sitertarik memegang dana atau ’ ’ fonds” dari sipenarik dengan tudjuan untuk membajar wesel (pasal 1523 ajat 1 W .v .K .) .

an lagi apabila weselnja tidak disetudjui oleh sitertarik, maka meski- pun protesnja dilakukan terJambat, sipenarik jang sudah mempunjai dana

tangan sitertarik, masih harus mengalihkan kepada sipemegang wesel hak-

152 a j a t ^ W v 'k ')11 menuntut kembali dana itu dari sitertarik (pasal

Apakah jang dapat diminta oleh pembawa dari para berhutang regresM enurut pasal i 47 ajat 1 W .v .K . perihal wesel*dan aksep, s.pembawa

106

Page 106: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L H A K -R E G R E S

dapat minta dari tiap-tiap berhutang-regres, djadi dari penarik dan masing- m asing endosan:ke i : uang-pokok dari wesel atau aksep, dengan bunga, kalau ini didjan-

djikan,ke 2 : bunga sebesar 6 % setahun dihitung dari hari-pembajaran, bunga

mana harus dihitung dari uang-pokok setelah ditambah dengan bunga jang didjandjikan,

ke 3 : biaja protes, biaja pemberitahuan-pemberitahuan dan lain-lain biaja ja n g m ungkin diperlukan, seperti misalnja biaja-meterai.

A d a kalanja hak-regres dalam hal wesel dilaksanakan sebelum hari- pem bajaran (vervaldag), jaitu apabila sipenarik tidak menjetudjui weselnja, penolakan mana tentunja terdjadi sebelum hari-pembajaran. Kalau sipem- bawa dengan tidak menunggu hari-pembajaran minta pembajaran dari pe­narik wesel, maka, menurut pasal 147 ajat 2 W .v.K ., dari sedjumlah uang tersebut diatas, harus diadakan potongan, dihitung menurut bank-disconto resmi pada hari penagihan itu ditempat-pendiaman sipembawa.

Bagi tjek hal ini diatur dalam pasal 222 W .v.K ., jang pokoknja adalah sama. Perbedaanja ialah, bahwa dalam hal tjek tidak ada bunga jang didjandjikan, dan tidak mungkin ada pelaksanaan regres sebelum hari-pem­bajaran, oleh karena dalam hal tjek tidak, ada akseptasi, maka djuga tidak m ungkin ada potongan menurut bank-disconto. •

A pakah jang dapat diminta oleh seroang berhutang-regres, jang telah mem- hajar kepada pembazoa ?

D iatas telah dikatakan, apabila salah seorang dari para endosan mem- bajar kepada sipembawa, maka ia dapat minta pembajaran kembali dari sipenarik atau dari seorang endosan jang mendahuluinja. Regres ini dinama­kan ’ ’ rem bours-regres” .

K alau ini terdjadi, maka bagi wesel, menurut pasal 148 W .v .K . jang dapat dim inta, ialah:

ke 1 : sedjum lah uang seluruhnja jang telah dihajar olehnja,ke 2 : bunga sebesar 6 % setahun dihitung dari saat ia melakukan pem­

bajaran kepada sipembawa. ke 3 : sem ua biaja-biaja jan g dikeluarkan olehnja berhubungan dengan ini.

Bagi tjek pasal 223 W .v .K . memuat peraturan, jang sama sekali tidakada bedanja dengan pasal 148 W .v .K . tadi.

Penjerahan surat-surat wesel, aksep- dan tjekPasal 149 ajat 1 W lv .K . bagi wesel dan aksep dan pasi 224 ajat 1

W .v .K . bagi tjek m enentukan, seorang berhutang-regres jang membajar ke­pada s ip e m b aw a, dapat menuntut pada waktu pembajaran itu, agar surat- nja wesel, aksep atau tjek diserahkan kepadanja dengan protesnja dan di­sertai perhitungan jan g ditanda-ta-ngani selaku tanda-pelunasan.

107

Page 107: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M WESEL, TJE K D A N A K S E P

Ajat 2 dari pasal-pasal tersebut menentukan dalam hal ini, apabila jang membajar itu seorang endosan, tnaka ia dapat mentjoret endosemennja sendiri dan endosemen-endosemeri jang dilakukan dibelakangnja.

Pentjoretan ini sebetulnja tidak perlu bagi endosan jang membajar 'itu, untuk mendapat pembajaran kembali dari sipenarik atau dari endosan jang mendahuluinja. Tetapi toh ada gunanja pentjoretan ini, jaitu apabila, setelah ia melakukan pembajaran, surat wesel, aksep atau tjek itu tidak dengan sengadja djatuh ditangan orang jang tidak berhak.

Kalau ini terdjadi, orang jang tidak berhak itu, tidak dapat m em per­gunakan surat wesel, aksep atau tjek itu. Jang dapat mempergunakannja ialah hanja siendosan jang membajar itu

Pembajaran wesel jang hanja sebagian disetudjniA d a kalanja seorang berhutang-regres, biasanja sipenarik wesel, m em ­

bajar wesel seluruhnja, sedang wesel itu hanja disetudjui untuk sebagian sadja oleh sitertarik. Kalau ini terdjadit maka menurut pasal 150 W .v .K . , sipenarik, jan g membajar itu, dapat 'menuntut, supaja pembajaran se luruh­nja itu ditjatat dalam surat wesel dan kepadanja diberi kwitansi lengkap.

Ini tentunja agar penarik jang membajar itu, dapat minta ganti-kerugi- an kepada sitertarik, apabila ditangan sitertarik sudah ada dana atau ’ ’ fond s” dari sipenarik itu jang tjukup untuk membajar wesel seluruhnja.

Wesel-susulan (’ ’herwissel” )

Pasal 151 W .v .K . membuka kemungkian, sipembawa tidak menuntut pembajaran dari siberhutang-regres, melainkan menarik wesel baru terhadap siberhutang itu selaku tertarik.

Wesel-susulan ini harus diberi bentuk ” op zicht” , djadi harus dapat dibajar pada sewaktu-waktu wesel itu diperlihatkan, dan djuga harus dapat dibajar ditempat-pendiaman sipenarik itu.

Penarikan wesel-susulan ini biasanja terdjadi, apabila sipembawa sangat m em butuhkan uang-tunai dan tidak dapat menunggu sampai terlaksana pembajaran wTesel oleh siberhutang-regres. Wesel-susulan ini dapat seketika diperdagangkan lagi dan dengan demikian sipembawa tadi dapat seketika menerima uang.

U an g jan g disebutkan dalam wesel-susulan ini adalah uang-seluruhnja jan g harus dibajar oleh siberhutang-regres, ditambah dengan biaja-provisi dan biaja penarikan wesel-susulan itu sendiri (meterai-meterai dan lain-lain sebagainja).

108

Page 108: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN X IXU A L T J A M P U R - T A N G A N O L E H S E O R A N G K E T I G A

(’ ’tussenkomst” )

P elaksanaan regres, jaitu penuntutan oleh sipemegang wesel terhadap seoran g penarik atau seorang endosan atau seorang pemberi aval, "agar m ereka menepati d ja n d jin ja untuk menanggung pembajaran oleh-sitertarik adalah hal ja n g tidak menjenangkan bagi jang diminta regres itu. *

M ak a dari itu oleh undang-undang dibuka djalan bagi sipenarik atau sien dosan atau sipemberi aval itu, untuk 'menghindarkan pelaksanaan regres itu. D ja la n ini ialah adanja seorang ketiga lagi jang tjampur tangan setjara a m enjetudjui pula pembajaran wesel (akseptasi bij tussenkomst), atau 6 membajar zvesebija (betaling bij tussenkomst).

H al ini diatur dalam pasal-pasal 154 s/d 162 W .v .K ., jaitu pada pasal pasal 155 s/d 157 mengenai akseptasi oleh seorang petjampur-tangan, dan pasal-pasal 158 s/d 162 mengenai pembajaran o leh 'seorang petjampur- tangan, dan pasal 154 untuk dua-duanja.

Dua matjam tjampur-tangan

M e n u r u t pasal 154 W .v .K . ada dua matjam tjampur-tangan, jaitu:a. t jam p u r-tan gan oleh seorang jang semula sudah ditundjuk oleh sipenarik

atau oleh siendosan atau oleh sipemberi aval, selaku alamat-tjadangan (nood-adres), dimana seorang jang ditundjuk itu akan menjetudjui atau m em bajar w'eselnja,

b. t jam p u r-tan gan oleh seorang jang dengan maunja sendiri menjediakan diri untuk m enjetudjui atau membajar weselnja.

D a la m hal sub h sipetjampur-tangan harus memberitahukannja kepada orang, u n tu k siapa ia bertindak, dalam dua hari-kerdja. Kalau ia melalaikan hal ini, m aka ia bertanggung-djaw ab atas kerugian jang mungkin diderita oleh para pihak selaku akibat dari kelalaiannja.

Tjara akseptasi oleh seorang petjampur-tanganIni harus dilakukan setjara menuliskannja dalam surat-wesel dengan di-

tan da-tangani dengan ditegaskan pula, untuk siapa akseptasi dilakukan. T id a k dikatakan dalam undang-undang, apa ini harus ditulis dibagian muka atau dibagian belakang atau punggung dari surat-wesel. Tetapi tidak b o le h diulis dalam suatu kerta.s-landjutan (verlengstuk).

Djug*1 t idak disebutkan dalam undang-undang, bahwa diperbolehkan m enaruh tanda-tangan sadja, seperti hal akseptasi biasa atau pemberian aval. D jadi harus ditegaskan, baihwa dilakukan akseptasi oleh' seorang petjampur- tangan (pasal 156 W .v .K .) .

109

Page 109: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M W ESEL , T JE K D A N A K S E P

H al alamat-tjadangan (tjampur-tangan sub a atau ’ ’ noodadres” )Dalam hal ini, kalau kemudian sitertarik menolak menjetudjui weselnja,

dan apabila sipembawa ingin melaksanakan hak-regresnja terhadap, sipena­rik atau siendosan sebelum hari-pembajaran, maka sipembawa itu harus minta dulu akseptasi oleh seorang jang ditundjuk- dalam alamat-tjadangan itu. K a lau orang jang ditundjuk ini, menolak akseptasi djadi tidak mau me- njetudjui weselnja, maka sipembawa harus membikin protes-penolakan- akseptasi. Baru kemudian ia dapat minta regres (pasal 155 ajat 2 W .v .K .) .

Tjampur-tangan dengan suka-rela (sub b)Kalau seorang ketiga menjediakan diri untuk menjetudjui wesel

(akseptasi), maka menurut pasal 155 ajat 3 W'.v.K., sipembawa dapat me­nolak akseptasi oleh seorang ketiga itu. Kalau akseptasi ini diterima oleh sipembawa, maka ia, apabila sitertarik menolak menjetudjui weselnja, tidak boleh menegor sipenarik atau siendosan, untuk siapa tjampur-tangan di­lakukan, sebelum hari-pembajaran.

Ditegaskan pula oleh pasal 157 ajat 1 W .v .K ., bahwa siakseptan setjara tjam pur-tangan ini terhadap sipembawa adalah terikat setjara seperti se­orang, untuk siapa tjampur-tangan dilakukan. Pun terhadap endosan-en- dosan, apabila akseptasi setjara tjampur-tangan dilakukan untuk sipenarik. A pabila akseptasi setjara tjampur-tangan ini dilakukan untuk seorang en­dosan, maka sipetjampur-tangan terikat seperti endosan jang ditjampuri terhadap endosan-endosan jang membelakangi endosan itu.

Siapa jang dapat melakukan akseptasi setjara tjampur-tanganM enurut pasal 154 ajat 3 W .v.K ., akseptasi setjara tjampur-tangan

ini dapat dilakukan oleh seorang ketiga siapa sadja, djuga termasuk si- tertarik jan g tidak menjetudjui weselnja, atau seorang penarik atau endosan.

T im b u l pertanjaan: apa gunanja sitertarik jang tidak menjetudjui wesel, toh melakukan akseptasi setjara tjampur-tangan ? Apakah tidak lebih mudah ia menjetudjui sad/a weselnja selaku tertarik ?

Biasanja memang demikian. Tetapi ada perbedaan antara menjetudjui selaku tertarik (akseptasi biasa) dan menjetudjui setjara tjampur-tangan.

Siakseptan setjara tjampur-tangan bermaksud memperlindungi sipena­rik atau siendosan, dan selaku kontra-prestasi hak-hak dari penarik atau endosan itu selaku berhutang-regres beralih kepada siakseptan setjara tjampur- tangan, jaitu siakseptan ini dapat minta pembajaran kembali dari lain-lain- para berhutang-regres. Seperti diketahui, para berhutang-regres itu adalah sipenarik dan para endosan.

Sedang siakseptan biasa tidak mendapat alih hak-hak itu, artinja: ia hanja bertugas membajar sadja uang dari wesel, dan dengan pembajaran itu habislah hubungan seorang akseptan biasa itu dengan lain-lain orang jang tersangkut dalam suatu wesel, jaitu sipenarik dart para endosan.

Pada achirnja pasal 157 ajat 1 menentukan, sesudah dilakukan aksep­tasi setjara tjampur-tangan ini, sipenarik atau siendosan dapat menuntut, agar kepadanja diserahkan surat-weselnja, protesnja dan lain-lainnja, tetapi

110

Page 110: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L T J A M P U R -T A N G A N O LE H S E O R A N G K E T I G A

setelah membajar sendiri kepada sipembawa sedjumlah uang jang ia harus bajar apabila ia ditegor selaku seorang berhutang-regres menurut pasal 147 W .v .K .

Pembajaran setjara tjampur-tangan

A p a b ila akseptasi setjara tjampur-tangan bertudjuan untuk menghindar­kan pelaksanaan regres sebelum hari-pembajaran, maka pembajaran setjara t jam p u r-tan gan adalah bertudjuan untuk menghindarkan pelaksanaan regres sebelum atau sesudah hari-pembajaran (pasal 158 ajat 1 W .v.K .) .

S e b elu m hari-pembajaran pelaksanaan regres masih dapat dihindarkan d en g an akseptasi setjara tjampur-tangan, tetapi sesudah hari-pembajaran pelaksanaan regres hanja dapat dihindarkan dengan pembajaran setjara tjam- our-taneran.pur-tan gan.

Perbedaan lain ialah, bahwa akseptasi setjara tjampur-tangan hanja dapat dilakukan, apabila sitertarik tidak melakukan akseptasi, sedang p em ­bajaran setjara tjampur-tangan sudah dapat dilakukan sebelum sitertarik m en olak membajar (non-betaling), dan sebelum sipenarik atau siendo- san (para berhutang-regres) ditegor untuk melakukan pembajaran setjara regres.

Kezvadjiban menerima pembajaran setjara tjampur-tanganA kseptasi setjara tjampur-tangan masih dapat ditolak oleh sipem­

bawa, tetapi pembajaran setjara tjampur-tangan tidak boleh ditolak oleh sipem b aw a.

Pasal 160 W .v .K . menentukan, apabila sipembawa wesel menolak pem ­bajaran setjara tjampur-tangan ini, maka ia kehilangan hak regres terhadap ora n g -oran g jan g seharusnja dibebaskan dengan pembajaran setjara tjampur- tangan ini, jaitu seorang berwadjib-regres, untuk siapa pembajaran ini akan dilakukan serta lain-lain berwadjib-regres jang membelakanginja, jaitu para endosan ja n g berikut (navolgende endosanten).

Harus meliputi seluruh djumlah uang dari weselIni d itentukan oleh pasal 158 ajat 2 W .v .K . Maka tidak boleh dilakukan

pem bajaran setjara tjampur-tangan dari hanja sebagian dari sedjumlah uang ja n g d isebutkan dalam surat-wesel.

Untuk siapa pembajaraji dapat dilakukanO leh karena maksud dari pembajaran setjara tjampur-tangan ialah

untuk menghindarkan pelaksanaan regres, maka pembajaran ini dapat dila­kukan u n tu k keperluan setiap berwadjib-regres, jaitu sipenarik, siendosan atau sip em b eri aval bagi mereka. Tidaklah mungkin pembajaran setjara t jam p u r-tan gan ini dilakukan untuk keperluan sitertarik jang telah menje- tudjui weselnja, oleh karena orang ini berkewadj'iban membajar langsung weselnja, tidak untuk m enanggung pembajaran itu (regres). Ini djuga dapat dilihat dari pasal 154 ajat 2 W .v .K .

111

Page 111: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M W ESEL, T J E K D A N A K S E P

O leh siapa pembajaran dapat dilakukan•\Ienurut pasal . 154 ajat 3 W .v .K . pembajaran setjara tjam pur-tangan

dapat dilakukan, oleh setiap orang, ketjuali sitertarik jang telah melakukan akseptasi, djadi jan g telah menjetudjui weselnja.

H uk u m Inggeris dalam hal ini berlainan, jaitu memberi hak kepada .sitertarik jan g telah menjetudjui wesel itu, untuk djuga melakukan p e m ­bajaran setjara tjampur-tangan. D engan demikian siakseptan ini dapat m engam bil alih semua hak dari siberwadjib-regres, untuk siapa ia m elaku­kan pembajaran- itu.

Lain halnja apabila ia membajar biasa selaku tertarik, jan g telali m e­njetudjui w'eselnja. T eta p i sekali lagi, menurut pasal 154 ajat 3 W .v. K. di Indonesia sitertarik jan g telah menjetudjui weselnja, tidak diperbolehkan melakukan pembajaran setjara tjampur-tangan.

A d a kalanja lebih dari seorang ketiga jang menjatakan bersedia m e­lakukan pembajaran setjara tjampur-tangan. Kalau ini terdjadi maka, m e­nurut pasal 162 ajat 3 W .v .K , , sipembawa harus menerima pembajaran jan g membebaskan Sedjumlah orang paling banjak diantara para berwadjib regres, djadi ja n g m em bebaskan sipenarik atau seorang jang pertama melakukan endosem en, oleh karena dengan demikian semua endosan jan g m embela kanginja, adalah bebas pula...

K alau sipem baw a bertindak lain, jaitu menerima pembajaran setjara tjam pur-tan gan untuk seorang endosan jang berada agak dibelakang, dan ada orang jan g bersedia membajar setjara tjam pur-tangan untuk penarik atau seorang endosan jan g berada lebih dimuka, maka sipembawa itu kehi­langan hak-regres terhadap orang jang seharusnja dibebaskan oleh pem b a­jaran ja n g tersebut belakangan ini.

A kibat-hukum dan pembajaran setjara tjampur-tangan

A k ib a t-h u k u m ini ialah, selain dari pada pem bebasan para berwadjib- regres bahw a sipembajar itu mendapat hak-hak terhadap seorang berwadjib- regres, untuk siapa ia melakukan pembajaran. M aka ia "dapat meminta pem bajaran kembali dari seorang itu, dan djuga dari orang-orang jan g turut dibebaskan dari kewadjiban membajar kepada sipembawa.

H anja sadja sipembajar setjara tjam pur-tangan itu tidak boleh meng­alihkan hak-haknja kepada orang lain setjara endosemen. Ini ditegaskan oleh pasal 162 ajat 1 W .v .K .

Tanda-penenm aan pembajaran setjara tjampur-tangan

•Kalau sipem baw a menerima pembajaran setjara tjam pur-tangan ini maka, m en u ru t pasal 161 ajat 1 W .v .K . , tanda-penerimaannja (kw’ijting) harus dinjatakan dalam surat-wesel dengan ditegaskan, untuk siapa p em ­bajaran itu dilakukan.

K a la u penegasan ini tidak dilakukan, maka pembajaran dianggap di­lakukan untuk keperluan sipenarik wesel. D jadi berakibat, bahwa tidak hanja sipenarik, melainkan semua endosan dibebaskan dari kew adjiban m embajar kepada sipembawa.

112

Page 112: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H A L T J A M P U R- T A N G A N OLEH S E O R A N G K E T I G A

K a la u pembajaran setjara tjampur-tangan ini terdiarfi ™ b w esel dan surat-protes harus diserahkan k e n ar i •’ alia surat-p em b a jara n . Ini ditegaskan pula-oleh pasal 161 a j a t T t t f v f P m dak u k an

Alam at-tjadangan (” nood-adres” )

D ia ta s telah dikatakan, bahwa sipenarik atau siendosan aval bagi mereka, dapat semula dalam sural-wesel menentukan . S “ 1 dongan d a n seorang, jan g kalau perlu akan melakukan pembaiaran . « • t ja m p u r-tan g a n . J seyara

T i m b u l pertanjaan: apakah dalam hal ini sipembawa harus mintap e m b a ja ra n lebih dulu dialamat-tjadangan tadi sebelum minta pembaia dari sipenarik atau siendosan selaku regres? J ran

D ja w a b n ja ialah: tidak, ketjuali menurut pasal 159 ajat 1 W v Kdalam dua hal ja itu : *

ke i : apabila weselnja kemudian disetudjui (akseptasi) oleh seorangtjam p u r-tan gan jan g berdiam ditempat mana pembajaran dari we^el harus dilakukan,

ke 2: apabila alamat-tjadangan tadi berada ditempat mana pembaiara«dari wesel harus dilakukan.

D a la m dua hal ini, apabila pembajaran, setelah diminta dari seorang ja n g akan m em bajar setjara tjampur-tangan tadi, ditolak olehnja makasip e m b a w a d iw adjibkan membikin surat-protes tentang penolakan m em ­bajar ini, se lam bat-lam batn ja pada hari berikutnja hari-terachir jang dite­tapkan u n tu k m elakukan pembajaran itu (pasal 159 ajat 1 W .v.K.).

K a la u p em b ikin an surat-protes ini dilalaikan, maka, menurut pasal 159 ajat 2, se oran g berwadjib-regres, untuk siapa akseptasi setjara tjampur- tangan d ilakukan adalah bebas dari kewadjiban membajar setjara regres. B eg itu d ju g a para endosan jan g membelakangi mereka.

U 3

Page 113: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN XX55E X E M P L A R E N ” D A R I W E S E L A T A U T J E K D A N T U R U N A N

D A R I W E S E L

” Exem plaren” dari weselPasal 163 W .v .K . m em buka kemungkinan, dari surat-wesel dikeluarkan be­berapa helai (exemplaren) jang bunjinja sama (gelijkluidend).

Dikeluarkannja beberapa helai dari wesel ini dibutuhkan terutama apa­bila seorang dengan suatu wesel akan mengirim uang keluar Negeri, dan terutama sekali apabila pengiriman wesel itu harus melalui lautan.

Dalam hal ini dichawatirkan, bahwa surat-wesel itu akan hilang di- tengah djalan. M aka dikirimkanlah beberapa helai surat-wesel itu masing- m asing dengan alat-pengangkutan jan g berlainan.

D engan demikian, apabila satu helai hilang ditengah djalan, masih ada. kem ungkinan helai-helai jang lain dapat sampai dialamatnja.

Alasan lain untuk mengadakan beberapa helai dari surat-wesel ialah, bahwa apabila satu helai dikirim kealamat tertarik untuk disetudjui (aksep­tasi), helai-helai jan g lain sudah mulai dapat diperdagangkan.

Beberapa helai dapat diminta oleh pembawaBiasanja sudah sedjak semula oleh sipenarik dikeluarkan sekali

beberapa helai atau exemplar dari surat-wesel, dan sekali harus dipenuhi sjarat dari pasal 163 ajat 2 W .v .K ., bahwa helai-helai itu harus diberi angka-urut, seperti misalnja I, II, I II dst atau 1, 2, 3 dst.

K alau angka-angka ini tidak ditulis dalam helai-helai surat wesel tadi maka tiap surat-wesel dianggap selaku surat-wesel tersendiri.

Pasal 163 ajat 3 W .v .K . membuka kemungkinan, bahwa setelah semula oleh sipenarik wesel hanja dikeluarkan satu helai sadja, kemudian seorang pemegang wesel minta, agar kepadanja diberi beberapa helai lagi dari surat- wesel tadi. D an ini diperbolehkan dengan pemikulan biaja oleh sipemegang wesel tadi.

T etapi dalam hal ini sipemegang wesel, apabila ia menerima wesel itu tidak langsung dari sipenarik, harus -memadjukan permintaan itu ke­pada seorang endosan jang menjerahkan wesel itu kepadanja. Endosan ini adalah diw adjibkan meneruskan permintaan ini kepada endosan jan g lebih dulu dan begitu seterusnja sehingga permintaannja sampai pada sipenarik.

Dan sipenarik berwadjib memenuhi permintaan ini, ketjuali apabila dalam surat-wesel ditegaskan, bahwa weselnja ditarik dengan satu helai sadja.

Kalau sipenarik sudah membikin beberapa helai lagi dari surat-wesel, maka semua helai itu harus dikembalikan lagi kepada para endosan ber- tu iu t-tu ru t, jan g berwadjib menulis endosemennja pada helai-helai jan g lain dari pada jang pertama-tama dikeluarkan.

114

f

Page 114: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

D e n g a n demikian semua helai wesel tadi sampai lagi kepada sipem e- g a n g w esel dengan tiada perbedaan dalam isinja masing-masing.

S ifa t-h u k u m dari adanja beberapa helai zveselB e b e ra p a helai w’esel ini sebetulnja hanja merupakan satu wesel sadia

art in ja : pada hakekatnja sitertarik harya berwadjib membajar weselnia itu satu ka li sadja.

In i ditegaskan oleh pasal 164 ajat 1 W .v .K . kalimat kesatu, jane m e n e n tu k a n , bahwa pembajaran, dilakukan atas satu helai sadja, ’adalah m e m b e b a s k a n sipembajar, meskipun tidak didjandjikan, bahwa pembajaran atas satu helai menghilangkan kekuatan dari helai-helai jang lain.

A kseptasiD a p a t diharapkan, bahwa dari beberapa helai wesel ini hanja satu

helai sadja ja n g d ib ub uhi pernjataan dari sitertarik bahwa ia menjetudjui w esel itu. S e b ab , apabila akseptasi ini dinjatakan pada lebih dari satu helai w esel, m aka dapat dichawatirkan akan dua kali diminta pembajaran ter­u ta m a ap ab ila pelbagai helai surat-wesel djatuh ditangan pelbagai orang

p e m e g a n g .T e t a p i risiko sitertarik ini harus dipikul oleh sitertarik itu. Maka m e­

n u r u t pasal 164 ajat 1 K alim at ke 2, apabila sitertarik itju sudah m em ­bajar satu helai jan g telah ia setudjui, dan helai-helai lain jang djuga d is e tu d ju i o lehnja, tidak diserahkan kepadanja, maka sitertarik itu masih terikat p ad a helai-helai jang lain itu. Disebutkan, bahwa sitertarik tetap terikat p ada tiap helai zcesel jan g dibubuhi akseptasi olehnja dan jang belian d is e rah k a n kepadanja.

R is ik o ja n g sem atjam ini djuga dipikulkan pada seorang endosan, jang m e n je ra h k a n pelbagai helai surat-wesel kepada pelbagai orang, masing- m a s in g d e n g a n endosem en. Seorang endosan jang bertindak demikian, ada­lah ter ikat o leh semua helai surat-wesel jang ia pentjarkan itu, begitu djuga e n d o s a n - e n d o s a n ja n g berikut. Ini ditegaskan dalam pasal 164 ajat 2 W .v .K .

S a la h satu helai dikirim kepada sitertarik untuk disetudjuiPasal 165 W . v . K . merigenai hal, bahwa seorang pemegang beberapa

helai w e se l m en g ir im k a n salah satu dari itu kepada seorang tertentu untuk d im in ta k a n akseptasi dari sitertarik.

K a la u ini terdjadi, maka pada helai-helai jang masih ditangan sipe- m e g a n g itu, harus ditjatat, ditangan siapa satu helai jang dikirim itu, berada (d e p ot-c la u su le) . D a n sipem egang helai jang telah disetudjui oleh tertarik d iw a d j ib k a n pula u n tu k menjerahkannja kepada orang jang memegang helai-helai lain setjara sah (rechtmatige houder).

K a la u penjerahpn ini ditolak, maka sipemegang sah dari lain helai hanja d ap at m elaksanakan hak-regresnja terhadap sitertarik atau endosan bila ia m e m b ik in surat-protes jan g berisi:

” E X E M P L A R E N ” D A R I W ESEL A T A U T J E K D A N T U R U N A ND A R I W ESEL

115

Page 115: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M W E S E L , T J E K D A N A K S E P

ke i : bahwa sehelai surat-wesel, jan g dikirim untuk disetudjui oleh ter­tarik, tidak diserahkan kembali kepadanja, meskipun telah diminta,

ke 2 : bahwa ia gagal dalam usaha mendapat pefsetudjuan (akseptasi) atau pembajaran atas helai lain jan g masih ditangannja.

” Exem plaren” dari tjekHal ini diatur dalam pasal-pasal 226 dan 227 W .v. K .Peraturan bagi tjek ini sangat lebih sederhana dari pada peraturan

bagi wesel, oleh karena bagi tjek tidak ada akseptasi oleh tertarik, maka misalnja tidak ada peraturan seperti hal ” depot-clausule” tersebut diatas bagi wesel.

D an lagi tidak semua tjek dapat dikeluarkan dengan lebih dari satu helai.

Pertam a-tam a tjek untuk-pem baw a (aan toonder) hanja boleh dikeluar­kan dalam satu helai.

K ed u an ja , jan g diperbolehkan dikeluarkan dengan beberapa helai, adalah hanja tjek ja n g harus dibajar dalam Negara lain dari pada Negara,dimana tjek itu dikeluarkan, atau harus dibajar dalam bagian Negara,ang oleh lautan terpisah dari daerah lain, dimana tjek dikeluarkan (pasal226).

K e t ig a : tidak m ungkin suatu tjek mula-mula dikeluarkan dengan satu helai dan kem udian, atas permintaan sipemegang, ditam bah dengan b e b e ­rapa helai lagi.

Persamaan dengan peraturan bagi wesel

Jang sama dengan peraturan bagi wesel ialah:

a. pelbagai helai dari tjek harus diberi angka-urut; kalau angka-angkaini tidak ada, maka tiap-tiap helai tjek harus dianggap suatu tjektersendiri,

b. pembajaran atas suatu helai tjek mebebaskan sipembajar dari k ew a- djiban m em bajar pula lain-lain helai (pasal 227 ajat 1),

C' seorang endosan jan g mementjarkan beberapa helai tjek kepada p e l­bagai orang, masing-masing dengan disertai endosemen, adalah terikat oleh sem ua helai itu, ja n g memuat tanda-tangannja dan jan g belum diserahkan kembali kepadanja. Begitu pula endosan-endosan jan g m em - belakanginja.

Turunan-wesel (wissel-afschriften)

Ini diatur dalam pasal-pasal 166 dan 167 W .v .K . H u k u m - I n g g c r is>dak mengenal peraturan sematjam ini. Bagi tjek tiada peraturan tentang tu ru n a n ” ini. v

Pasal 166 ajat 1 mulai dengan mengatakan, bahwa setiap pemegang uesel b ',h a k membikm tu ,unan dari surat-wesel. Djadi kini jan g m em -b.k.n ialah s.pem egang wesel sendiri, lain dari pada "e x e m p lare n ” dari wesel, jan g harus dibikin oleh sipenarik.

116

Page 116: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

M e n u r u t pasal 166 ajat 2, turunan wesel ini harus mejnuat sem ua j a n g d itu liskan dalam surat-wesel, djadi meliputi semua endosemen dan sega la p e n je b u ta n lainnja disitu, termasuk djuga akseptasi jan g telah di­la k u k a n .

D j u g a ditentukan dalam ajat tersebut, bahwa dalam turunan harus . d it jatat, sam p ai dimana turunan ini terhenti, artinja: dimana mulai ada

t u l is a n s ip e m e g a n g wesel jang mengambil turunan itu.O le h ajat 3 selandjutnja ditentukan, bahwa suatu turunan wesel itu

d a p a t d iserah k an kepada lain orang setjara endosemen dan djuga dapat d ita n d a - ta n g a n i un tuk aval setjara dan dengan akibat jang sama seperti su ra t-as l i dari w esel (originil).

S ifa t-h u k u m dari turunan-weselL a i n dari pada ” exem plaren” dari wesel, maka suatu turunan-wesel

tidak m em punjai kekuatan terhadap sitertarik. Maka pemegang turunan- w e se l t id a k dapat minta persetudjuan atau pembajaran dari sitertarik’ U n t u k ini s ip e m e g a n g turunan-wesel harus berusaha agar djuga m em egang surat-as li atau orisinil dari wesel.

S e k ir a n ja b e r h u b u n g dengan inilah, maka oleh pasal 167 ajat 1 W .v .K . d ite n tu k a n , b a h w a dalam surat-turunan-wesel harus disebutkan nama seoran g, d itan gan siapa surat-asli dari wesel berada.

A p a b i la p e m e g a n g surat-asli dari wesel tidak bersedia menjerahkan itu k e p a d a p e m e g a n g turunan-wesel, maka jang tersebut belakangan ini, m e n u r u t pasal 167 ajat 2, harus membikin surat-protes, jang isinja ialah, b a h w a s ip e m e g a n g surat-asli dari wesel enggan menjerahkannja, meskipun

d im in ta . - •« , jT a n p a su ra t-p rotes ini sipemegang turunan-wesel tidak dapat menegor

para en d o sa n dan para pem beri aval untuk melakukan pembajaran dari

wesel setjara regres.

M engachiri endosemen dari turunan-ioeselS e o r a n g en dosan dari turunan-wesel dapat mengachiri endosemen se­

lan djutn ja k e p a d a ora n g -oran g lain dengan menjatakannja dibclakang en­d osem en nja den g an kata-kata seperti misalnja ” dari sini endosemen hanja sah d e n g a n tu ru n a n in i” ja n g berarti, bahwa apabila kemudian turunan- wesel ini toh d ie n d osir lagi, maka endosemen ini tidaklah sah. Demikian dikatakan o leh pasal 167 ajat 3 W .v .K .

” E X E M P L A R E N ” D A R I W ESEL A T A U T J E K D A N T U R U N 4 KD A R I W ESEL

Page 117: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN X X IP E R U B A H A N K A T A - K A T A D A L A M S U R A T - I V E S E L , A K S E P

A T A U T J E K

T e n ta n g perubahan kata-kata dalam surat-wesel ada afdeeling sendiri, jaitu afdeeling 10 dari Buku I titel 6 W .v .K . , afdeeling mana hanja terdiri dari satu pasal, jaitu pasal 168.

Pasal ini m enurut pasal 176 berlaku djuga bagi aksep, sedang pasal 228 m enentukan sama bagi tjek seperti pasal 168 tadi.

Pasal 168 dan pasal 228 itu berbunji demikian:A p ab ila dalam kata-kata (tekst) dari surat-wesel (atau surat-aksep)

atau surat-tjek diadakan perubahan-perubahan, maka siapa jan g menaruh tanda-tangan dalam surat itu setelah diadakan perubahan tadi, adalah ter­ikat m enurut perubahan kata^kata tadi, sedang orang-orang jan g menaruh tanda-tangan sebelum perubahan kata-kata itu, hanja terikat oleh kata-kata asli.

Kepribadian masing-masing penanda-tanganD a ri pasal 168 dan 228 tersebut ternjata, bahwa masing-masing' pe­

nanda-tangan dalam surat-wesel aksep atau tjek mempunjai kepribadian sendiri-sendiri. Artin ja : kalau salah seorang dari mereka oleh karena suatu se ab tidak terikat, ini tidak mengakibatkan penanda-tangan lain tidak ter- 1 'at pula, melainkan tergantung dari kepribadiannja sendiri, terhadap hal jan g m enjebabkan ketiadaan perikatan tadi.

Sesuai dengan ini adalah apa jang tersebut dalam pasal 106 W .v .K . bagi wesel dan aksep, dan dalam pasal 187 W .v .K . bagi tjek.

Penanda-tanganan jang tidak sah

. , , ^ aS^ ,^an Pa®a tersebut adalah mengenai tanda-tangan jang tidak sah oleh karena beberapa sebab, seperti jan g disebutkan disitu selakS tjontoh-tjontoh, jaitu:

seoranP> j anS tidak mampu melakukan perbuatan- hukum setjara sah, seperti orang-orang jan g belum dewasa,

d h u h : ta„ le h no i , l “ ’, ar,inja, i “ «!»;*“ * “ seorang tertentu ditiru dan ditulis oleh orang lain seolah-olah ditulis oleh seorang tertentu itutanda-tangan dari seorang jan g sebetulnja tidak ada, j ! i tu disebutkan><idja nama-nama jang dikarang belaka, sedang tidak ada orane iani?bernama demikian itu (’ ’verdichte p ers in en ” ) ? J 8

'earikat_n i r g ! r " , r ? ° ' eh Sebab, apapUn ^ tidak <J»P« mengakibatkan terikatnja orang jang menanda-tangani itu.

c.

d.

118

Page 118: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

P E R U B A H A N K A T A - K A T A D A L A M S U R A T -W E S E L , A K S E PA T A U T J E K

D a l a m hal ini sem ua, kalau satu dan lain adalah tjukup terbukti, maka tid a k a da perikata?i dari oran g-oran g ja n g tanda-tangannja termuat setjara j a n g t e r s e b u t tadi. Ini adalah lajak.

T e t a p i d iteg askan o leh pasal-pasal tersebut, bahwa meskipun demikian, ta n d a - ta n g a n dari lain-lain pen anda-tangan dalam wesel, aksep atau tjek itu a d a la h tetap sak d an mengikat para penanda-tangan.

K a l a u m isa ln ja o ra n g -oran g ja n g dim aksudkan dalam sub a,b,c, atau d tad i, a d a la h sip e n a rik wesel atau tjek dengan akibat bahwa sipenarik itu t id ak te r ik a t o leh su rat-w ese l atau tjek itu, maka sitertarik jang menjetudju w e s e ln ja a tau s ien d osan atau sipem b eri aval, adalah tetap' terikat terhadap s i p e m b a w a w e s e l atau tjek.

P e n a n a a - t a n g a n a n oleh seorang kuasa ja n g t id a k sahH a l in i d ia tu r d alam pasal 107 W . v . K . bagi wesel dan aksep, dan

dalam p asa l 188 W . v . K . bagi tjek.D i s i t u d is e b u tk a n , apab ila seorang A menjatakan dirinja diberi kuasa

oleh s e o r a n g B u n tu k m en and a-tan g an i suatu surat-wesel, aksep atau tjek,te tap i s e b e tu ln ja si A t idak diberi kuasa oleh B, dan ini kem udian ter­b u k ti , m a k a s e o ra n g A tadi selaku seorang pribadi terikat sebagai seorang p e n a n d a - t a n g a n u n tu k dirinja sendiri. D jadi ja n g tidak terikat hanja seorang B tad i, j a n g se b e tu ln ja tidak m e m b e r i kuasa kepada si A.

B e g i t u d ju g a ap ab ila si A betu l seorang kuasa dari B tetapi jan g m e­la m p a u i ba tas-k e k u a sa a n n ja .

S e b a l ik n ja si A d ju g a m en d ap at sem ua hak-hak dari jan g memberi kuasa, si B , ja i tu h a k -h a k jan g b e rsu m b e r pada surat-surat wesel, aksep

dan tjek.

P e n jim p a n g a ? i dari peraturan pem benan-kuasa pada timunja (lastgeving)

D a l a m B . W . b u k u I I I titel 1 6 (pasal-pasal 1 7 9 2 s / d 1 8 1 9 ) diatur hal p e r s e t u d j u a n pem berian kuasa ( lastgeving).

M e n u r u t pasal 1807 s ip e m b eri kuasa terikat oleh tindakan dari sikuasa sekedar b a ta s -b a ta s p e m b e r ia n kuasa tidak dilampaui.

S e b a l i k n j a sikuasa p r ib ad i t id ak terikat dengan tindakannja atas nama s ip e m b e ri kuasa , d ju g a apabila ia m elam paui batas-kekuasaannja dengan p e n g e t a h u a n s e o ra n g ketiga ja n g bersangkutan, ketjuali apabila sikuasa m e ­njatakan b e rse d ia m e m ik u l p ertan ggu n g an -d jaw ab dari pelampauan batasitu (pasal 1806 B .W .) .

( L i h a t b u k u k a ra n g a n saja ’ ’ H u k u m Perdata tentang Persetudjuan- p e rs e tu d ju a n t e r te n tu ” t jetakan ke I I halam an 139 dan 140 atau tjetakan ke I I I h a la m a n 13 7 , 138 dan 139).

D e n g a n d e m ik ia n ternjata pat=al 107 dan pasal 188 W .v .K . merupakan p e n jim p a n g a n dari pasal 1806 B .W . , oleh karena dalam hal wesel dan tjek sikuasa p r ib a d i selalu terika t, ja itu tan pa pernjataan bersedia memikul risiko m e lam p a u i b a tas-k e k u a sa a n .

119

Page 119: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

BAGIAN X X IIK A D A L U W A R S A P E R I K A T A N - P E R I K A T A N D A R I W E S E L , A K -

S E P D A N T J E K

Pasal i68a jo pasal 176 W .v .K . bagi wesel dan aksep, dan pasal 228a W . v . K . bagi tjek menentukan, bahwa pada um um nja pasal-pasal dari B .W . m engen ai pem bebasan pihak-berwadjib dari kewadjibannja dalam perdjan- djian adalah berlaku bagi kewadjiban-kewadjiban jan g bersum ber pada wesel, aksep dan tjek, ketjuali apabila ada peraturan-peraturan jan g menjim - pang, term uat bagi wesel dan aksep, dalam pasal-pasal 169 dan 170 W . v . K . dan bagi tjek dalam pasal-pasl 229 dan 229a W .v .K .

Jang dim aksudkan dengan ’ ’ pembebasan pihak-berkewadjiban dari ke- wadjibanrija dalam perdjandjian” sebetulnja ialah apa jan g dalam B .W . B u ­ku I I I titel 4 (pasal-pasal 1381 s/d 1456 disebutkan ’ ’ pemusnahan perdjan­djian ” (V a n het tenietgaan der verbintenissen) dan apa jan g dalam B .W . Buku I V titel 7 disebutkan ’ ’ Kadaluw arsa (verjaring) sekedar mengenai p e m b e ­basan siberw adjib dari kewadjibannja” (bevrijdende verjaring).

Jang chusus diatur dalam pasal-pasal 169 dan 170 W .v .K . bagi wesel dan aksep dan dalam pasal-pasal 229 dan 229a W .v .K . bagi tjek, adalah hanja m engenai kaduluwarsa (verjaring), jang kini 'diperpendek tenggang- tenggangnja (korte verjaring).

M ak a sebetulnja bagi perdjandjian jang bersum ber pada wesel, aksep dan tjek adalah berlaku tanpa batas pasal-pasal B .W . dari Buku I I I titel 4 tadi mengenai pemusnahan perdjandjian (tenietgaan van vebintenissen), ja n g disitu diperintji mengenai pembajarari (betaling), pernjataan sedia m em bajar, kem udian disertai penitipan barang atau uang (aanbod van gerede betaling gevo lg d van consignatie of bewaargeving), pem baharuan hutang (sch u ldverm euw in g , novatie), perdjumpahan hutang (schuldvergelijking, com pensatie) pertjampuran hutang (schuldvermenging), pembebasan h utan g (kw ijtsch eldm g van schuld) dan pembatalan perdjandjian (nietigheid van verbintenissen). J

(L ih a t b u ku karangan saja ” Asas-asas H uku m Perdjandjian” tjetakan ke I I halam an 86 s/d u * atau tjetakan ke I V halaman 95 s/d 123 atau tjetakan ke V halaman 95 s/d 123).

Kadaluw arsa bagi wesel dan aksep

^ enur.ut ajaV l 2 ^an W .v .K . tenggang kadaluwarsa selama30 tahun, ja n g d.katakan oleh pasal ,9 6 7 B . w . untuk perdjandjian pada u m um nja, adalah diperpendek dalam hal wesel dan aksep

d a l „ J r tUti n terhadaP Sil V u \ k ja n g « e * l (akseptan) kenada uw arsa, djadi g u g u r setelah lampau tenggang 1«« tahun, d ihitung darihari-pembajaran (vervaldag) (pasal 169 ajat 2). M enurut nasal 171 aiat 1lm dJu^a berlaku ba^ sipemberi aval untuk siakseptan itu.

120

Page 120: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

K A D A L U W A R S A P E R I K A T A N 2 D A R I W E S E L , A K S E P D A N T J E K

D a r i pasal 172 W . v . K . dapat dilihat, bahwa tenggang tiga tahun ini m u la i d ih i t u n g pada hari berikutnja hari-pembajaran, djadi djuga apabila, m e n u r u t pasal 171 W . v . K . dalam hal hari-pembajaran itu djatuh pada hari ra ya ( fe e s td a g ) , pem bajaran baru dapat diminta pada hari-berikutnja. A r t i n ja : d a la m hal ini ten g gan g tiga tahun harus dihitung mulai hari b e r­ik u tn ja h a r i-ra y a itu, tidak dua hari kemudian, m eskipun pembajaran baru d a p a t d i t u n t u t pada hari berikutnja hari-raya itu.

D a l a m hal wesel ” op z ic h t” jan g harus dibajar pada waktu diperlihatkan, d jad i j a n g t id ak kenal ’ ’ hari-pem bajaran” tertentu (veryaldag), maka selaku h a r i - p e m b a ja r a n harus dianggap ,/iari memperlihatkan weselnja kepada tertarik u n t u k m e n d a p a t pembajaran, oleh karena baru apabila wesel sema- t jam ini d ip erl ih atk a n pada tertarik untuk m endapat pembajaran, maka

s ip e m e g a n g w e se l m ulai mempunjai hak atas pembajaran itu.P e r ih a l tjek o leh pasal 229b W .v .K . dikatakan, bahwa penagihan tjek

dari tertarik dan p e m b ik in a n surat-protes harus dilakukan pada hari-kerdja djadi t id a k d ip e rb o le h k a n pada hari-raya.

M e n u r u t pasal 131 ajat 1 W .v .K . wesel ” op zicht*’ ini harus ditagih d alam te n g g a n g satu tahun d ih itun g dari tanggal mengeluarkannja. Kalau s ip e m e g a n g w e se l lalai dalam hal ini, sehingga tenggang satu tahun itu lam ­pau ta n p a p e n ag ih an w eselnja kepada sitertarik, maka tenggang tiga tahun u n tu k k a d a lu w a rs a harus d ian ggap mulai berdjalan pada hari-petighabisan dari te n g g a n g satu tahun tadi, o leh karena hari-penghabisan itulah dapat d ia n g g a p se laku hari-pem bajaran jang terachir.

T u n t u t a n dari sipemegang wesel terhadap endosan dan penarik, m enu­rut pasal 169 ajat 2 W . v . K . , kena daluwarsa, djadi gugur, setelah lampau te n g g a n g satu tahun d ih itu n g dari tanggal protes penolakan membajar oleh sitertarik, atau, apab ila d id jan djikan tidak perlu diadakan protes (clausule tan p a-b ia ja) , d ih itu n g dari hari-pembajaran pula.

D j u ga kini ini berlaku bagi sipem beri aval untuk siendosan dan sipe- narik (pasal 131 ajat 1 W .v .K . ) , dan djuga bagi seorang jang melakukan akseptasi setjara t ja m p u r tan gan (pasal 157 ajat 1 W .v .K .) .

T u n t u t a n dari se oran g endosan terhadap seorang endosan lain atau terhad ap sipenarik, m e n u ru t pasal 169 ajat 3 W .v .K . kena daluwarsa, djadi g u g u r, se te lah lam p a u te n g g a n g enam bulan, d ihitung dari hari siendosan itu m embajar w e se ln ja u n tu k m em en u h i kewadjiban-regres, atau apabila ia tidak m e m b a ja r , d ih itu n g dari hari ia dituntut dimuka pengadilan untuk m em b ajar itu.

D ju g a k in i ini b er lak u bagi sipem b eri aval untuk mereka dan djuga bagi s e o ra n g ja n g b er t ja m p u r-ta n g a n untuk seorang endosan atau seorang penarik.

K eketjua lian berhubungan dengan pemberian da?ia (fonds) dan memperkaja diri.

M e n u r u t pasal 169 ajat 4 W . v . K . selaku keketjualian, kadaluwarsa dengan te n g g a n g - te n g g a n g ja n g pen dek ini tidak boleh dipergunakan:

121

Page 121: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

H U K U M W E SE L , T J E K D A N A K S E P

a. oleh siter t arik jang menjetudjui wesel (akseptasi), apabila atau se­kedar ia menerima dana utau ,,fonds,> dari penarik untuk m embajar weselnja atau apabila dengan kadaluw'arsa setjara tenggang-pendek ini sitertarik itu akan diperkaja setjara jang tidak adil (ongerechtvaardigd).

b. oleh sipenarik wesel, apabila atau sekedar ia tidak memberi dana atau ’ ’ fonds” kepada sitertarik untuk membajar wesel atau, apabila ia d e­ngan kadaluwarsa setjara tanggang-pendek ini akan diperkaja setjara jang tidak adil.

c. oleh para endosan, jang dengan kadaluwarsa setjara tenggang-pendek ini akan diperkaja setjara tidak adil.

D engan hilangnja daluwarsa setjara tenggang-pendek ini, masih berlaku penentuan daluwarsa setjara' tenggang biasa selama 30 tahun menurut pasal 1967 B.W .

H al memperkaja diri setjara tidak adilDalafn hal sitertarik menjetudjui wesel, ditentukan, bahwa meskipun

ia tidak menerima dana (fonds) untuk membajar wesel, ia toh tidak dapat mem pergunakan tenggang-pendek dari daluwarsa, apabila ia dengan m em - pergunakannja akan diperkaja setjara tidak adil.

In i sebetulnja djarang sekali terdjadi, oleh karena seorang tertarik, jang tidak menerima dana, tentunja biasanja tidak akan melakukan pemba- jaran dan dengan demikian tidak punja tuntutan apa-apa.

Dalam hal sipenarik, ada kalanja ia, meskipun memberi dana kepada sitertarik untuk melakukan pembajaran, toh akan memperkaja diri setjara tidak adil, apabila ia dapat mempergunakan daluwarsa setjara tenggang- pendek.

Bukankah sipenarik itu masih selalu berhak atas dana jan g ia berikan kepada sitertarik. M aka kalau hak sipenarik atas dana itu tetap ada, sipe­narik ini tidak boleh mempergunakan daluwarasa setjara tenggang-pendek.

Dalam hal siendosan, tentunja tidak ada persoalan mengenai pemberian dana. K ini siendosan dengan mempergunakan daluwarsa setjara tenggang- pendek, akan diperkaja setjara tidak adil, apabila misalnja ia menerima w e­selnja dengan harga agak murah, dan kemudian mendjualnja dengan harga agak mahal.

Keketjualian dari peraturan umum tentang daluwarsaKeketjualian ini ada dua.A . M en u rut pasal 1983 B.W ., apabila ada beberapa orang berhutang,

jan g berwadjib setjara tanggung-menanggung (hoofdelijk) dan daluwarsa dihentikan (gestuit) terhadap salah seorang dari mereka, misalnja oleh ka­rena dalam tenggang daluwarsa diadakan tuntutan, maka perhentian dalu­warsa dan mulai dihitung lagi tenggang-daluwarsa ini, berlaku djuga bagi semua orang berhutang tersebut.

Pasal 170 ajat 1 W .v .K . mengadakan keketjualian tentang hal ini mengenai para berwadjib dari surat-wesel atau aksep. A rtin ja : penghentian

122

Page 122: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

K A D A L U W A R S A P E R IK A T A N -P E R IK A T A N D A R I W E SE L , A K S E PD A N T J E K

dalu w arsa (stuiting) terhadap salah seorang dari mereka, misalnja sipenarik tid ak berakibat penghentian daluwarsa terhadap siendosan, atau sebaliknja.

M isaln ja hanja sipenarik dituntut membajar-regres oleh sipem baw a d e ­n gan akibat, bahwa pada saat itu mulai dihitung, lagi tenggang daluwarsa, m aka bagi siendosan tenggang-daluwarsa tetap dihitung dari hari-pem ba- ja ra n m enurut pasal 196 ajat 2 W .v .K .

Keketjualian ini ada hubungan pula dengan prinsip dari pasal 116 W . v . K . tentang kepribadiannja tiap-tiap berwadjib dari wesel sehingga k e w a- d jiban masing-m asing tidak tergantung satu dari jan g lain.

B . M en u rut pasal 1978 W .v .K ., daluwarsa tidak berdjalan terhadap o r a n g - o r a n g jang belum dewasa atau jang berada dalam p e n g a w a s a n cura- teele.

M e n u ru t pasal 1988 B.W . daluwarsa tidak berdjalan diantara suami dan isteri.

Pasal 170 ajat 2 W .v .K . mengadakan keketjualian dari dua pasal dari U W . ini, dengan menentukan, daluwarsa setjara tenggang-pendek dalam hal wesel dan aksep ini berlaku djuga terhadap orang jang belum dewasa dan orang jan g berada dalam pengawasan curateele, dan belaku djuga di­antara suami dan isteri.

Ini tidak mengurangi pertanggungan-djawab wali (voogd) terhadap p U- 1 ' a d a n p e r t a n g g u n g a n - d j a w a b curator terhadap curandusnja, artinja:

siwaH dan sicurator itu dapat ditegor untuk mengganti kerugian jang m u n g ­k in diderita oleh sipupil atau sicurandus itu.

K a d a lu w a r s a bagi tjekperaturan tentang kadaluwarsa (verjaring) bagi tjek ini, jang termuat

dalam pasal-pasal 228a, 229 dan 229a W .v .K . pada hakekatnja adalah sama dengan peraturan mengenai wesei dan aksep, termuat dalam pasal-pasal 168a 169 dan 170 W .v .K .

P e r b e d a a n n ja i a la h :a bahw a dalam peraturan tentang tjek tidak ada peraturan kadalu­

w a rsa ' dari tuntutan terhadap sitertarik jang menjetudjui (akseptan), olehkarena dalam hal tjek tidak ada akseptasi oleh tertarik,

b. tenggang-pendek daluwarsa untuk tuntutan sipemegang tjek terha­dap endosan dan penarik, adalah enam bulan, tidak satu tahun sepertidalam hal wesel. Dan lagi tenggang itu tidak dihitung dari tanggal protes,melainkan selalu dihitung mulai hari-penghabisan dan tenggang, dalam mana tjeknja harus ditagih dari tertarik untuk dibajar (70 hari sesudah tanggal pengeluaran tjek).

T id a h a d a ” da ys o f g r a c e ” atau “ respijtdag ”

H u k u m Inggeris pada section 14 dari Bill of Exchange Act mengenal tiga hari ’ ’ days o f grace” , jang mungkin menurut keadaan dapat clitam-

123

Page 123: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

bahkan pada tenggang untuk menagih pembajaran wesel atau tjek dari sitertarik.

Pasal 173 W .v .K . bagi wesel dan aksep, dan pasal 229d W .v .K . bagi tjek menegaskan, bahwa tidak diperbolehkan menambah tenggang-tenggang tersebut dengan ’ ’ respijtdag” atau ” days of grace” itu, baik atas kekuatan undang-undang maupun atas putusan Pengadilan.

Dengan demikian Hukum Inggeris adalah lebih luwes dalam hal ini.

HUKUM WESEL, TJEK DAN AKSEP

124

Page 124: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

I S I

halaman

K a ta P em b u kaan ........................................................................................B a g ia n I Pengertian Wesel, T je k dan Aksep ....................................^

A rti-kata wesel ........................................................................................... ' ' 7Sedjarah wesel ................................................................................................ ' ' 7B en tu k surat-wesel ................................................................................. ' ’ 'A rti-kata T je k ........................................................................................... ‘ ^Sedjarah T je k .............................................................................................B en tu k surat-tjek ....................................................................................... ’ 'A rti-k ata A ksep ........................................................................................ * ^B e n tu k surat-aksep ................................. ....................................................'A rti-k ata ’ ’kwitansi aan toonder” atau ’ ’ kwitansi-untuk-pem bawa” ï2B en tu k kwitansi-untuk-pem baw a .........................................................A rti-kata ’ ’ promesse aan toonder” atau ’ ’prom es-untuk-pem bawa” nB en tu k prom es-untuk-pem bawa ..............................................................U an g-kertas dari Bank (Bankbiljet) ...........................................................

Bagian II T u d ju a n Wesel, T jek dan A k s e p ................................................. I4W esel selaku alat-memindjam-uang (credietmiddel) ..................... l4A k s e p selaku alat-m em indjam -uang (cre d ie tm id d e l) .......................... .W ese l, aksep dan tjek selaku alat-membajar-uang (betaalmiddel) 15

B agian I I I S ifat-alat pembuktian dari Wesel, T jek dan A k s e p ........... 17T a n d a ............................................................................................................... 17A p a ja n g dibuktikan? ..................................................................................H u b u n g a n dengan Burgerlijk W etboek ................................................. ^P em b u k tia n dengan tulisan dalam B .W ..................................................... ïçPengertian akta-otentik ................................................................................... I(P engertian akta ................................................................................................. 2QK ek u a ta n -p em b u k tian dari akta-otentik ................................................. 21K ek u a ta n -p em b u k tian dari akta dibawah tangan .......................... 21D u a pendapat tentang kekuatan-pembuktian dari akta dibawahtangan ............ .................. ................................................................................ 22K ek u a ta n -p e m b u k tian dari tulisan-bukan-akta dibawah tangan 22P enjeb u tan tanggal (dagtekening) ........................................................... 23W esel, tjek dan aksep masuk matjam tulisan m anakah?.................. 24

Bagian I V S ifat-a lat-bukti-diri dari Wesel, T jek dan Aksep ................ 25K e a d a a n suatu pihutang biasa (schuldvordering op naain ataureeta-papier) .......................................................................................................K ead aan W esel, T je k dan aksep perihal legitimasi .......................... 27S u rat-su rat lain jan g bersifat alat-bukti-diri ........................................ 28

125

Page 125: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

halamanBagian V Sifat Wesel, tjek dan Aksep selaku surat-berharga ................

Surat selaku pendjelmaan hak ....................................................................Uang-kertas Bank ...........................................................................................

Bagian V I Latar-belakang dari Wesel, T jek dan Aksep ..............................Pengakuan-hutang (schuldbekentenis) ......... : .........................................Latar-belakang ...............................................................................................Dasar-hubungan (onderliggende v e rh o u d in g ) ........................................Theori-kreasi atau theori-pentjiptaan ......................................................Kritik pada theori-kreasi .............................................................................Theori-persetudjuan dengan tambahan .................................................Pendapat sendiri ...........................................................................................

Bagian V I I Kekuatan-pembuktian dari Wesel, Tjek dan Aksep . . . .Cautio-discreta dan cautio-indiscreta ......................................................Wesel, tjek dan aksep masuk golongan apa ? ........................................Abstraksi ............................................ .................................................................Kekuatan-pembuktian ......................................................................................Bagaimanakah halnja dengan wesel, tjek dan aksep ? .....................

Bagian V I I I Hubungan-H ukum antara penarik dan pembawa jangbukan penerima ................................................................................................Hal mengalihkan pihutang ........................................................................Pengaruh pasal 1977 ajat 1 B .W .................................................................Pasal 1977 ajat 2 B .W .......................................................................................Bagaimana halnja dengan wesel, tjek dan aksep ..............................Sampai dimana pasal-pasal 115 ajat 2, 1^6 dan 198 W .v .K . me-njimpang dari pasal 1977 B .W ....................................................................Itikad-baik terhadap itikad-djahat dan kelalaian sangat ................

Bagian I X Pengalihan hak-hak sipenerima kepada jang ditundjuk atau.kepada sipembawa ......................................................................................Penggantian pihak-berhak pada umumnja ............................................Dapatkah hakekat ini diperlakukan bagi wesel, tjek dan aksep? ..Matjam-matjam tangkisan .........................................................................Tangkisan mutlak (exceptiones in rem) .............................................Tangkisan nisbi atau tak-mutlak (exceptiones in personam) . . . .Tjontoh-tjontoh tangkisan nisbi ..........................................................

Bagian X Hal perundang-undangan tentang Wesel, T jek dan AksepSedjarah Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan .....................Scdjarah peraturan tentang wesel, tjek dan aksep ..........................Peraturan matjam Perantjis ....................................................................Peraturan matjam Djcrman ....................................................................Peraturan matjam Inggeris ......................................................................Usaha mempersatukan tiga matjam peraturan ...................................Convention de La Haye 1912 ...............................................................Djalan saling mendekati dari tiga matjam peraturan ..........................Convention Djenewa 1930 dan 1931 ......................................................Perbedaan-perbedaan antara sistim Inggeris-Amcrika dan sistim

2929303232323333343435363637383940

424243444445454747474849495°52525252535354545455

126

Page 126: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

halam anE rop ah -daratan ................................................................................P ersesuaian undang-undang di I n d o n e s i a ............................... ................. 5B erlaku n ja bagi orang-orang Indonesia-asli . . . . ................. ^7....................................... Z *7

B a g ia n X I B en tuk sjarat-sjarat dari surat-wesel ............................P e n je b u tan kata ’ ’ wesel” (wesel-clausule) ........................ ..........Suruhan -tak-bersjarat untuk membajar sedjumlah uang tertentu 60S e d ju m la h uang tertentu ............................................................... ' 'P e n je b u tan nama sitertarik ..................................................... ...............P en etap an hari-pembajaran (vervaldag) .................................... * ............ ^

Z i c h t - w i s s e l ........................................................................................................... ' ‘ JW e se l ja n g harus dibajar beberapa waktu setelah tanggal penarikan 62W e s e l ja n g harus dibajar pada tanggal tertentu ............................... g 2T e m p a t-p e m b a ja ra n ................................................................................... * " ^

N a m a orang, kepada siapa harus d ibajar............................................. ¿P en jeb u tan tanggal dan tempat penarikan wesel ........................ gP enanda-tangan an wesel oleh sipenarik .................................................... ^W ese l- in-casso ............................................................................................... ‘ ' *W e s e l untuk rekening seorang ketiga .................................................... g T’W e se l jan g berd om isili ......................................................................................' ^

B agian X I I Bentuk dan sjarat-sjarat dari Tjek, Aksep dsb...................... 6^B en tu k dan isi dari tjek .............................................................................. 6<7P en jeb u tan kata ’ ’tjek” (cheque-clausule) .............................................Suruhan-tak-bersjarat untuk membajar sedjumlah uang tertentu.. 67P en jeb u tan nama tertarik .................................................................................. 63Penetap an hari pembajaran (vervaldag)...................................................... 68T j e k jan g berdomisili .......................................................................................T j e k - i n - c a s s o ..........................................................................................................B e n tu k dan isi aksep (orderbriefje) ........................................................... 6^’ ’ O rder-clausule atau ’ ’aksep-clausule” ...................v . ......................... y Q

K e s a n g g u p a n membajar sedjumlah >uang t e r t e n t u .............................. y Q

P en etap an hari-pembajaran (vervaldag)...................................................... y 0T e m p a t-p e m b a ja ra n ............................................................................................ y x

N a m a orang, kepada siapa uang harus d ib ajar . . ......................... y l

T a n g g a l dan tempat-penanda-tanganan ................................................. y l

T ia d a a k se p - in -ca ss o ............................................................................................ y 2A k s e p ja n g berdomisili ................................................................................... y 2B e n tu k dan isi kwintansi-untuk-pem bawa (aan t o o n d e r ) ................. y 2B e n tu k dan isi promes-untuk-pembavva (promesse aan too n d er) .. y ^

U a n g - k e r ta s ................................................................................................................ y ^

B agian X I I I S ifa t-h u k u m pengeluaran Wesel, T jek dan A k s e p .............. y ^

S ifa t-h u k u m dari wesel ................................................................................... 74K e w a d jib a n penarik wesel terhadap sipenerima .................................... y ^

P erb ed aan antara dua matjam menanggung ........................................ y ^

P ersed iaan -D an a atau ’ ’ fonds-bezorging” ............................................. y ¡jA c c e p t- c r e d ie t ........................................................................................................... y y

127

Page 127: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

halaman

H ubungan antara dana atau ’ ’ fonds” dan akseptasi ............................. 77Sifat-hukum dari tjek ...................................................................................... 77P ersed iaan -d an a.................................................................................................... 77Sifat-hukum dari aksep .................................................................................. 7Sifat-hukum dari kwitansi-untuk-pembawa ........................................ 7Sifat-hukum dari promes-untuk-pembawa ............................................ 79

Bagian X I V Hal Endosemen .............................................................................Pengertian .............................................................................................................Tjara endosemen .......................................... 81

8282

Penjerahan suratnja sendiri ......................................................................Endosemen jang tidak diperbolehkan ...................................................Endosemen kepada sipenarik .................................................................... 3Recta-wesel dan r e c ta - t je k ................ .......................................................... 8 3Berachirnja kemungkinan endosemen ...................................................... 4Tanggal endosemen ............................ ..........................................................Sifat-hukum dari endosemen .................................................................... 4Djual-beli pihutang ........................................................................................... 85Penghibahan p i h u t a n g ........................................................................ .............. °5Keketjualian .......................................................................................................... 85Endosemen blanco ........................................................................................... 86E n dosem en-in-casso........................................................................................... 86Endosemen-untuk-gadai (pand-endosement) ........................................ 87Mengachiri kemungkinan endosemen ...................................................... 87Endosemen palsu ........................................................................................... 87Hubungan-pribadi antara tertarik dan penarik atau seorang endo­san ........................................................................................................................... '88

Bagian X V Hal Akseptasi ................................................................................. 89Pengertian akseptasi ...................................................................................... 89Bentuk aksepatsi ............................................................................................... 89Tanggal akseptasi .......................................................................... ................ 89Tenggang untuk minta akseptasi ............................................................... 9°Tiada kewadjiban untuk melakukan akseptasi ................................... 9°’ ’ Adviesbrief” .................................................................................................... 91Tiada kewadjiban untuk minta akseptasi ............................................. 91Akseptasi harus tak-bersjarat ...................................................................... 9 1Sifat-hukum dari akseptasi ................................................... ....................... 91Penolakan melakukan akseptasi (non-acceptatie) ............................... 91Tertarik atau penarik djatuh pailit .......................................................... 92

Bagian X V I Hal Aval ...................................................................................... 93Pengertian aval ............................................................................................... 93Bentuk aval ......................................................................................................... 93Aval dengan surat tersendiri........................................................................ 93Untuk siapa aval diberikan .......................................................................... 94Siapa dapat memberi aval ....................................................................... 94Perbedaan dengan djaminan oleh seorang menurut B.W. (borgtocht) 94

128

Page 128: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

halam anK e w a d jib a n sipenarik aval ..............................................P e m b aja ra n oleh sipemberi aval ................................................................. ^5

B a g ia n X V I I Pembajaran-W esel, Aksep dan T je k ............ . . . ...............P e n g e rtia n pembajaran .............................................................. ................. 9S i fa t -h u k u m dari pembajaran ................................................ ............ 9S ifa t legitimasi ....................................................................................q 6W a k tu m em inta pembajaran ....................................................... ............ "W a k tu -p e m b a ja ra n .......................................................................... . ' ! ! ! ! ! ! ! 07P en jerah a n kembali surat-surat wesel aksep dan t j e k ............... q QP em b aja ra n sebagian ...................................................................... . ! ! ! ! , . ' ! gqT e m p a t minta p e m b a ja r a n .......................................................................... ’ ’ ^” V errek en in gsk am e r” , ’ ’ clearinghouse” , ’ ’ chambre de com pensation” 100V a lu t a - A s in g ............................................................................................................ IQoK o n s ig n a t ie ............................................................................................................ I o iP enolakan m em bajar (non-betaling) ............................................................ JQT j a r a protes penolakan-membajai ............................................................ I o iP e m b e rita h u an protes kepada endosemen dan penarik ...................... IQ2C la u s u le tanpa-biaja atau tanpa-protes .................................................. IQ2T j e k ja n g disertai garis miring (gekruiste cheque) .......................... I02T je k - p e r h itu n g a n (verrekenings-cheque) ................................................. lQT j e k ja n g ditarik kembali ......................................................................... jW a fa tn ja sipenarik tjek ................................................................................... 1Q

B a g ia n X V I I I H al-H ak-regres ......................................................................... IQ5P e n g e rtia n hak-regres ........................................................................................ i o ^H a k p e m e g an g terhadap sitertarik ............................................................... JO_B erh u tan g-reg res ................................................................................................ I05S alin g tan ggu ng-m en an ggu ng (hoofdelijk) ............................................ 106Sjarat-sjarat untuk melakukan regres ...................................................... 10^A p a k a h ja n g dapat diminta oleh pembawa dari pada berhutang-regres ................................... ...................... ............................................................. i o 6A p a k a h ja n g dapat diminta oleh seorang berhutang-regres jangtelah m em bajar kepada pem bawa ? ........................................................... i o ^Penjerah an surat-surat wesel, aksep dan tjek ........................................ IOyP em b ajaran wesel jang hanja sebagian disetudjui .......................... I0gW ese l-su sulan (’ ’ herwissel” ) .......................................................................... IQg

B agian X I X Hal „tjam pur-tangan oleh seorang ketiga .......................... 109D u a m atjam t ja m p u r - t a n g a n .......................................................................... IO(H al a lam at-tjadangan (tjam pur-tangan sub a atau ’ ’ noodadres” ) n 0T ja m p u r - ta n g a n dengan suka-rela (sub b ) ............................................. IIOSiapa ja n g dapat melakukan akseptasi setjara tjampur-tangan . . i i oP em b ajaran setjara t jam pur-tan gan ............................................................ 1 I tK e w a d jib a n m enerim a pembajaran setjara tjampur-tangan ............ mH aru s m eliputi se luruh djum lah uang dari wesel ............................... mU n tu k siapa pem bajaran dapat dilakukan ................. ........................ mO leh siapa pem bajaran dapat dilakukan .................................................. II2A k ib a t-h u k u m dari pembajaran setjara tjampur-tangan 112

129

Page 129: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

halamanTanda-penerim aan pembajaran setjara t jam p u r-tan g a n..................... 112Alamat-tjadangan (’ ’ noodadres” ) ................................................................... 113

Bagian X X ’ ’ Exemplaren” dari Wesel atau Tjek dan turunan dariW e s e l ......... •.............................................................................................................. 114’ ’ Exem plaren” dari wesel ......................................................................... 114Beberapa helai dapat diminta oleh pem baw a........................................ 114Sifat-hukum dari adanja beberapa helai wesel ................................... 115Akseptas i ................................................................................................................... 115Salah suatu helai dikirim kepada tertarik untuk d is e tu d ju i .............. 115’ ’ Exem plaren” dari t j e k ................................................................................. 116Persamaan dengan peraturan bagi w e s e l ................................................. 116Turunan-wesel (wissel-afschriften) .......................................................... 116Sifat-hukum dari turunan-wesel ............................................................... 117Mengachiri endosemen dari turunan-wesel ........................................ 117

Bagian X X I Peiubahan kata-kata dalam surat Wesel, Aksep atau T jek 118Kcperibadian masing-masing penanda-tangan ........................................ 118Penanda-tanganan jang tidak s a h ............................................................... 118Penanda-tanganan oleh seorang kuasa jang tidak s a h .......................... 119Penjimpangan dari peraturan pemberian-kuasa pada umumnja (last-geving) ......................................................................................................... IIt;

Bagian X X I I Kadaluwarsa perikatan-perikatan dari Wesel, Aksep dan T j e k ............................................................... I20Kadaluwarsa bagi wesel dan aksep ............................. ............................ 120Keketjualian berhubung dengan pem berian’ d a n a ’ ( f o n d s ) dan mcmperkaja diri ..................................... I2IHal mcmperkaja diri setjara tidak adil ................. ............ 122Keketjualian dari peraturan umum tentang'daluwarsa 122Kadaluwarsa bagi tjek ............................T id ak ada ” days of grace” atau ’ ’ respijtdag” . . . . . ’ *. . . . . . 123

Page 130: HUKUM WESEL, tjEK dAN AKSEP DI INDONESIA

R L W A J A T HIDUP p e n u l i s

D r . K . W I R J o n O P R O D JO D IK O R O S.H. bo­lehlah dipandancr sebagai salah seorang ahli-hukum Indonesia jang sangat produktip. Sebelum perang beberapa buah tangannja dapat didjumpai didalam m adjalah hukUm masa itu (Indisch Tijdschrift voor het R ech O ■ K i n i dalam tiap-tiap nomor dari Ma- d j alah tfukum tentu orang dapat' menjaksikan, bagaiftia^a iuinatnja terhadap perkembangan, serta

u sah a pembangunan hukum di Indonesia malahan bertatfibah besar adanja, baik didalam bentuk ko­m entar pada keputusan-keputusan jang diumum-

• i _____ kan , maupun didalam bentuk karangan. Diluarnja

itu telah d iterbitkan b e b e ra p a buku buah tangannja seperti Hukum Atjara P erdata d i In d o n esia , A zas-azas Hukum PerJata Azas-azasHukum Perdata Interna siona l, Asas-asas H u k u m Perdlandjian, Perbuatan Melanggar Hukum, H u k u m W arisan d i I n d o n e s ia , Hukum A tjara p ,dana d, Indonesia, Hukum

P erkaw inan d i In don esia , H u k u m Perdata Tentang Persetud,uan.persetudjuan T er ten tu H u k u m P erdata Tentang Hak-hak atas Benda, Hukum Antar- G olon gan d i Indonesia., H ukurn Laut bagi Indonesia Hukum Wesel Tjek dan A k sep d i In do n esia d a n Hukum Asuransi di Indonesia. Selaku Ketua dari P an itia P em u lih a n H a k bCgian Peradilm-bandmg lapun beberapa kaU m em im p in u sah a m e n g a m b i l keputusan-keputusan jang sangat menarik per­hatian k a re n a d je la sn ja t jo rak didalam keputusan-keputusan peradilan itu. : D r . R .’ W ir jo n o P ro d jo d ik o ro S . H . hendak m e n e m p u h djalan baru ..ang lebih

sesuai d e n g a n m a k n a kem erdekaan bangsa Indonesia.Penulis te lah m en gik u ti perkembangan hukum di Indonesia dengan

n ja ta sem en d jak tah u n 1926 ; pada waktu itu ia dalam usia 23 tahun di­an gkat m en d jad i p e g a w a i diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri di K la t e n G e la r n ja telah diperolehnja di Leiden, setelah tamat dari-D school d a la m tah u n 1922 . P a d a bulan Mei 1928 ia diangkat mendja luar biasa p a d a P e n g a d ila n Negeri d i Makasar. Kemudian dan ta sam pai 1946 b e rtu ru t-tu ru t dipimpinnja Pengadilan Negeri di Pt\

, T u b a n , Sid o a rd jo , T u lu n g a g u n g dan Malang. Dalam babak perni volusi nasional, ja itu p a d a tahun 1946, ia dipekerdjakan oleh Pe di K em en teria n K eh a k im a n Republik Indonesia, jang dewasa itir d ukan di K la te n , ko ta-d jab atan n ja jang semula, jaitu pada umunii m em b an tu M e n te r i d an M enteri-muda dalam segala-galanja dan {

susnja untuk m erantjangkan undang-undang tentang susunan dan 1 Pen gadilan di Indonesia. P a d a tanggal 23 Djuli 1947 Dr. R. Wirjonoi IvOrp S,J i, d iangkat m en d jad i anggota Mahkamah Agung, sehingga a _ putusan Presiden tan gg a l 13 Oktober 1952 p e r t a n g g u n g a n - d j a w a b djabatan K etu a dari Badan P en g a d ila n jang Tertinggi itu dipertjajakan kepadanja

PERP1 FAK. I3 4 1

7TL