Hukum Tentang Speedy Administration of Justiciabelen
description
Transcript of Hukum Tentang Speedy Administration of Justiciabelen
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tatanan kehidupan masyarakat sebagai warga negara Republik
Indonesia senantiasa menjunjung tinggi hukum, sebab hukum adalah pilar
suatu negara hukum yang berkaitan langsung dengan sistem pelaksana hukum
sebagai instrumen yang memiliki kewenangan untuk menegakan hukum.
Secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV dinyatakan
bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), maka kekuatan suatu
negara tidak terletak pada negara itu melainkan pada hukumnya sendiri. Untuk
itu memerlukan pelaksana penyelenggara negara yang memiliki kewenangan
dalam menegakan hukum.
Pelaksana penyelenggara negara dalam menegakan hukum berkaitan
dengan warga negara harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku sebagai hukum positif. Apabila terjadi pelanggaran hukum,
maka hukum harus ditegakan dan diselesaikan dengan menempuh jalur hukum
melalui badan-badan peradilan. Amandemen Undang-Undang Republik
Indonesia Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan
ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman,
perubahan tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
1
dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama,
Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 dan diatur pula pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Walaupun badan-badan peradilan itu berada di bawah Mahkamah
Agung bukan berarti Mahkamah Agung dapat mempengaruhi putusan badan
peradilan di bawahnya. Kedudukan badan-badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya dapat
membatalkan atau memperbaiki putusan badan peradilan di bawahnya dalam
Tingkat Kasasi. Mengingat adanya yurisdiksi peradilan dalam upaya
menegakan hukum di setiap lingkup peradilan dalam penyelesaian suatu
perkara tentu diakhiri dengan adanya putusan hakim. Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Hakim yang
dimaksud adalah Hakim pada Mahkamah Agung (Hakim Agung) dan hakim
pada badan peradilan yang ada di bawahnya sebagaimana ketentuan Pasal 1
ayat (5) dan ayat (6). Oleh karenanya putusan hakim dalam persidangan untuk
menyelesaikan suatu perkara tidak selamanya dapat memberikan rasa keadilan
bagi masing-masing pihak yang berperkara. Oleh karena itu, putusan hakim
pada tingkat pertama dapat dilakukan upaya hukum selanjutnya sebagaimana
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
2
Kehakiman dinyatakan bahwa "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang".
Rasa keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau
perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak
dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah
apabila dipenuhi dua prinsip Pertama tidak merugikan seseorang dan Kedua,
perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua
prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil. Eksistensi hukum sangat
diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia, tanpa hukum, kehidupan
manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang, tujuan hukum untuk
melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajiban1.
Wujud implementasi hukum dalam sebuah sistem hukum nasional
membutuhkan perangkat hukum memadai, sehingga segala keputusannya
dapat memberi keadilan bagi pencari keadilan. Meskipun tuntutan keadilan
hukum dari masyarakat sangat tinggi ditambah dengan akumulasi
problematika kehidupan yang sangat kompleks, namun perangkat hukum
terutama untuk tercapainya keadilan dalam hukum masih dirasakan sangat
minim. Hal demikian terdapat pada materi undang-undang yang masih sangat
memungkinkan bagi para pelanggar hukum untuk lolos dari jeratan hukum.
Sehubungan dengan fenomena keadilan tersebut, Keraguan dan
ketidakpercayaan masyarakat membuat hukum semakin tidak berdaya dan
1 Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, 2007, Hukum Acara Perdata dan perkembangannya Di Indonesia,Yogyakarta: Gama Media, hlm. 2
3
tidak mampu memenuhi rasa keadilan publik dan tidak dapat merespon
persoalan-persoalan hukum yang semakin kompleks dalam masyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara
tegas mengatur perihal keadilan di hadapan hukum untuk semua warga negara
Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, Selain
itu Pasal 28 huruf D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Afirmasi hukum yang ideal tersebut
terkesan utopis karena belum mampu dilaksanakan secara utuh dan konsisten
dalam penegakan hukum di Indonesia.
Berkaitan dengan cita-cita keadilan dalam sebuah negara hukum, Pasal
17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara
khusus mengatur mengenai hak memperoleh keadilan, selanjutnya dinyatakan
bahwa: “Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan
dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam
perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, setiap warga negara berhak
diperlakukan secara adil dan sama di hadapan hukum, agar hukum berfungsi
secara sungguh-sungguh sebagai sarana untuk mencapai keadilan. Cita-cita
4
tersebut hanya bisa diraih ketika lembaga dan pelaksana dalam menegakkan
hukum tetap konsisten terhadap cita-cita untuk menegakkan hukum sebaik
mungkin dan mencari keadilan bagi semua pihak. Jika pelaksana dalam
menegakkan hukum tidak adil pada setiap perkara hukum, maka masyarakat
tentunya akan mempersoalkan eksistensi hukum dan pelaksana untuk
menegakkan hukum. Keraguan itu bermuara pada tindakan main hakim
sendiri. Tindakan tersebut merupakan akumulasi ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pelaksana dalam menegakkan hukum yang diduga memanfaatkan
hukum untuk kepentingan ekonomi dan politik kelompok tertentu.
Hal tersebut menyebabkan hukum menjadi tidak mampu merespon
secara adil persoalan-persoalan hukum. Oleh karena itu, pelaksana demi
menegakkan hukum dituntut untuk lebih serius dan konsisten menegakkan
hukum bagi para pelanggar hukum agar ketegasan hukum memberikan
kepercayaan dan keyakinan kepada para pencari keadilan dan kepastian
hukum sebagai jaminan dari eksistensi hukum. Dalam sistem hukum di
manapun mengenai keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya
melalui lembaga peradilan. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi
bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya
merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan
yang telah disepakati bersama.2
Sehubungan dengan fenomena keadilan tersebut, bila menarik
pernyataan pakar hukum Sunaryati Hartono yang menegaskan perlunya ahli
2 Satjipto Rahardjo, (2006), Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 270
5
hukum, praktisi hukum, ataupun akademisi, serta membedakan pengertian
sistem hukum nasional dan hukum positif Indonesia. Mengenai cara pandang
secara konseptual kedua istilah itu memiliki perbedaan yang sangat esensial.
Menurut Sunaryati Hartono dalam makalah yang berjudul “Landasan,
Kerangka dan Struktur, dan Materi Sistem Hukum Nasional Kita”, beliau
kembali menegaskan perbedaan arti kedua istilah tersebut. Hukum Nasional
adalah ius contituendum sedangkan hukum positif adalah ius constitutum.
Hukum positif Indonesia adalah hukum yang kini sudah ada dan berlaku di
Indonesia, sedangkan hukum nasional Indonesia adalah hukum yang belum
seluruhnya ada di Indonesia dan karena itu masih dipikirkan bagaimana
membentuknya dan apa serta bagaimana kerangka dan landasannya serta
filsafah dan materinya3.
Kenyataan menurut Sunaryati Hartono sejalan dengan pernyataan
pakar hukum Sudiman Kartohadiprodjo, bahwa “Hukum positif dengan nama
asing disebut juga ius constitutum sebagai lawan daripada ius constituendum,
yakni kesemuanya kaidah hukum yang kita cita-citakan supaya memberi
akibat peristiwa-peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu”4.
Mengutip kembali penegasan Sunaryati Hartono mengenai arti hukum
nasional adalah:5
3 Sunaryati Hartono, Jakarta 21-22 Januari 1986, Landasan, Kerangka, Struktur dan Materi Sistem Hukum. Nasional Kita, Pra Seminar Hukum Nasional V Babinkumnas, Departemen Kehakiman, hlm 3.
4 Purnadi Purbacaraka, (1980), Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung Penerbit: Alumni, hlm 6.
5 Sunaryati Hartono, tanggal 5 Desember 1994, Potitik Pembaharuan Hukum Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia, Forum Komunikasi Penelitian Bidang Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, di Bandungan-Semarang; dan dalam Langkah Kebijaksanaan Pembinaan Hukum Nasional Pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap II.
6
“Seluruh filsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas dan norma hukum, maupun aparatur dan lain-lain sumber daya manusia yang tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum selanjutnya, proses dan prosedur serta interaksi dari pelaksanaan hukum yang secara utuh mewujudkan dan menggambarkan kehadiran suatu tatanan hukum yang menumbuh kembangkan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945”.
Seluruh komponen dalam definisi Hukum Nasional itu merupakan
bagian-bagian yang tidak terlepas dari sistem hukum tersebut. Artinya, sebagai
suatu sistem maka Hukum Nasional terdiri dari sejumlah komponen atau
bagian atau aspek yang terkait satu sama lain oleh paling sedikit satu asas atau
prinsip, dan saling mempengaruhi sehingga perubahan pada komponen yang
satu akan menimbulkan perubahan pula pada komponen-komponen yang lain6.
Pencantuman kata “nasional‟ pada frasa Hukum Nasional tidak dapat
dilepaskan dari asal kata yang membentuknya, yakni “nation” atau bangsa.
Arti bangsa ini menurutnya, jelas tidak sama dengan arti dari “ras” ataupun
“volk” atau “folk” sebab pengertian bangsa yang dipegang teguh olehnya
adalah seperti yang diucapkan oleh Ernst Renan pada orasi dies Universitas
Sorbonne Perancis tahun 1889, yakni “sekelompok manusia yang sama-sama
pernah mengalami penderitaan yang sangat parah sehingga merasa senasib
sepenanggungan dan karena itu mempunyai tekad untuk terus hidup sebagai
satu kelompok di masa depan secara turun temurun”. Jadi, ditegaskan oleh
Sunaryati Hartono, pembentukan suatu bangsa (nation) tidaklah berdasarkan
pada persamaan keturunan seperti dalam hal kelompok yang dinamakan ras;
tidak juga didasarkan pada persamaan budaya atau agama seperti di dalam hal
suatu “volk” terjadinya persamaan nasib atau pengalaman bersama yang sangat 6 Op.cit, hlm 3.
7
berat dan menyedihkan (faktor historis) sehingga kelompok manusia itu
merasa senasib sepenanggungan (faktor psikologis) dan mempunyai tekad
untuk tetap hidup di dalam kebersamaan untuk selama-lamanya secara turun
temurun (faktor politik)7. Selaras dengan pengajaran mengenai Hukum
Nasional menurut Sunaryati Hartono yang dikemukakan pada tahun 2006
yakni:8
“Dengan demikian, jelas pula mengapa pengertian hukum nasional diartikan pula sebagai keseluruhan sistem hukum yang berdasarkan UUD 1945 dan bertujuan mewujudkan cita-cita (visi dan misi) bangsa sebagaimana sudah diikrarkan oleh para pendiri bangsa dan negara ini dalam Pembukaan UUD 1945, Dengan kata lain, hukum nasional itu bukan Hukum Adat; bukan pula Hukum Islam, ataupun sistem hukum modern, atau yang baru sama sekali yang tidak ada, baik hubungan batin maupun hubungan hukum dengan Pembukaan UUD 1945 sebagai Grundnorm dan Batang Tubuh UUD 1945 sebagaimana ia akan berkembang dari waktu ke waktu. Jika demikian, Hukum Adat, Hukum Islam, bahkan hukum asing (Belanda, Amerika, Perancis, Cina, dsb. nya) dan Hukum Internasional merupakan bahan dan atau unsur-unsur (sumber hukum materiil) yang dapat digunakan dalam dan bagi pembangunan nasional dan pengembangan Hukum Nasional, sepanjang unsur-unsur itu sesuai dengan falsafah bangsa dan Negara, serta asas-asas dan falsafah hukum yang disebut maupun tersirat di dalam UUD 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 itu, termasuk Pancasila”.
Upaya menegakan hukum maka undang-undang memegang peranan
penting agar hukum itu sendiri dapat dilaksanakan. Faktor yang menghambat
penegakkan hukum adalah dari undang-undang itu sendiri, karena ketidak
jelasan Pasal dalam undang-undang, misal Pasal yang menimbulkan multi
7 Naskah dari Ernst Renan dalam bahasa Prancis itu telah diterjemahkan oleh Prof. Mr. Sunario, yang adalah ayah dari Sunaryati Hartono. Kutipan teks di atas diambil dari naskah Orasi Dies ke 50 Fakuftas Hukum Universitas Katotik Parahyangan Bandung, yang disampaikan oleh Sunaryati Hartono, 15 September 2008, dengan judul “Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian Dari Sistem Hukum Nasional Indonesia Di Abad ke 21.
8 Sunaryati Hartono, 2006, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti Bandung, hlm. 21.
8
tafsir, sehingga undang-undang tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
maksud dari tujuan pembentukannya. Dengan demikian peranan hukum bagi
pembangunan pemerintahan, bagi legislatif dan eksekustif, hukum yang
mengikat dan dipatuhi haruslah berbentuk tertulis. Karena hukum tertulis
merupakan aturan yang bersifat riil dapat dibuktikan, karena berbentuk dan
memuat norma-norma yang bersanksi dan harus dipatuhi tidak saja
masyarakat namun juga pemerintah dan negara. Pemerintah memegang
peranan penting dalam menjalankan pembangunan baik spirituil maupun
materil. Pembangunan ditujukan pula bagi terlaksananya kesejahteraan rakyat.
Pelaksanaan tersebut tidak lepas dari upaya menegakan hukum yang
dilaksanakan dalam setiap badan peradilan di bawah naungan Kekuasaan
Kehakiman yang dilaksanakan Mahkamah Agung. Untuk itu Mahkamah
Agung bersfungsi melakukan penafsiran hukum terhadap Pasal yang tidak
jelas untuk kemudian diterapkan dalam suatu perkara di persidangan disebut
sebagai penemuan hukum (rechtsvinding) dilanjutkan dengan penciptaan
hukum (rechtsschepping) menjadi pembaharu hukum (rechtsvorming).
Konsep keadilan merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi
penyelengagara negara, dengan memberikan jaminan atas rasa keadilan
terutama keadilan dalam konteks hukum nasional, hukum tentu harus
bermanfaat bagi pencapaian tujuan Nasional, yaitu melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia
9
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial9.
Sebagaimana tujuan Nasional dalam konteks hukum Nasional untuk
mencapai tujuan nasional tidak lepas dari peran lembaga-lembaga negara
yang memisahkan kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga bagian yaitu
kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif dikenalnya
istilah distribution of power, sebagaimana teoti trias politica menurut John
Locke dan Montesque namun tidak diadopsi secara murni di Indonesia10.
Pembagian lembaga-lembaga tersebut memiliki fungsi yang berbeda
dan saling bersinergi untuk mewujudkan tujuan Nasional dalam konteks
hukum Nasional, maka kekuasaan negara memiliki konsekuensi berdasarkan
Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai peran Lembaga Yudikatif
yang diatur dalam BAB IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (1)
dinyatakan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan” selanjutnya ayat (2) dinyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengisyaratkan
bahwa Mahkamah Agung mendapat perhatian sendiri karena merupakan
9 Abdul Hakim G Nusantara, 1988, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta, hlm. 20.
10 Saldi Isra; 2013, Pergeseran Fungsi Legislasi, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hlm 73
10
lembaga pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang
mengawasi apakah penerapan hukum peradilan dibawahnya sudah dilakukan
dengan baik. Dengan demikian fungsi Mahkamah Agung berdasarkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan II, dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 sebagai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagai pelaksana Kekuasaan
Kehakiman tidak boleh ada campur tangan pihak-pihak lain, baik internal
lembaga yang ada di bawah Mahkamah Agung, maupun pengaruh pihak
eksternal yakni Lembaga Eksekutif dan Lembaga Legislatif. Hal ini selaras
dengan konsiderans faktual Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang
Mahkamah Agung yang dinyatakan: “bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung…”. Berdasarkan atas Pasal 24 dan 25 maka penulis menerapkan
Kajian Normatif (analitis-dogmatis) Memandang hukum dalam wujudnya
sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan, Bersifat preskriptif, Mencerminkan law in books atau das sollen
atau apa yang seharusnya, kajiannya lebih menekankan pada norma-norma
yang berlaku pada saat itu, Metode yang digunakan adalah yuridis-normatif
yang pada dasarnya mengkaji hukum dalam kepustakaan, misalnya:
penelitian inventarisasi hukum positif, penelitian terhadap asas-asas hukum,
penelitian untuk menemukan hukum in concreto, penelitian terhadap
sistematika hukum dan penelitian terhada taraf sinkronisasi vertikal dan
11
horizontal, Kajian normatif terhadap hukum antara lain Ilmu Hukum Pidana
Positif, Hukum Tata Negara Positif, dan Hukum Perdata Positif11.
Mahkamah Agung sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman
memiliki kewenangan memeriksa dan memutus mengenai adanya
pengajuan: a) Permohonan kasasi; b) Sengketa tentang kewenangan
mengadili; c) Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai Pasal 28 ayat (1) Undang-
Undang Mahkamah Agung; d) Disamping tiga wewenang tersebut
Mahkamah Agung juga mempunyai wewenang menguji secara materiil
hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung; dan e) Berwenang
melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan serta
pengawasan administratif pada semua badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.
Maka dari poin-poin wewenang Mahkamah Agung di tingkat kasasi
sesuai Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung dinyatakan
dapat “membatalkan putusan” atau “mengabulkan penetapan pengadilan-
pengadilan dari semua lingkungan peradilan”, karena dengan pertimbangan
yakni bahwa pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang dan salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku termasuk lalai memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
11 Yesmil Anwar & Adang, 2008, Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta, Grasindo, hlm 109.
12
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Prancis. Kata asalnya ialah
casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi
hukum untuk mencapai kesatuan peradilan yang dilakukan oleh raja beserta
dewannya yang disebut Coseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan
kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga
kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan yang menjembatani
pembuat undang-undang dengan kekuasaan kehakiman. Pada tanggal 21
Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de
casssation telah terorganisasi dengan baik. Kemudian lembaga kasasi ditiru
pula oleh negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia.
Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Penafsiran
secara lebih adalah D. Simon yang mengatakan ”jika hakim memutus suatu
perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman”12.
Dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi memutus padahal
hakim pertama telah membebaskan. Menurut Wirjono Prodjodikoro13,
kasasi adalah pembatalan yaitu suatu tindakan Mahkamah Agung sebagai
pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain,
tujuan melakukan kasasi, ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan
hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan
Undang-Undang atau keliru dalam menerapkan hukum. Melalui kasasi
Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin dan uitbouwen dan
voorbouwen (mengembangkan dan mengembangkan lebih lanjut) hukum
12 https://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/186/ (diakses Tanggal 15 Mei 2015).13 Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 292
13
melalui yurisprudensi. Dengan demikian ia dapat mengadakan adaptasi
hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari masyarakat dan
khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri
kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika kehidupan masyarakat itu
sendiri.
Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi
kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan
kehakimannya Kewenangan Mahkamah Agung yang mengadili perkara
kasasi adalah untuk menjaga agar hukum tidak dilanggar, agar tidak salah
menerapkan hukum serta menjaga agar cara-cara mengadili dari pengadilan
yang lebih rendah tidak disalahgunakan. Pengadilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung sebagai fungsi pelaksana Keuasaan Kehakiman adalah
Pengadilan tingkat pertama, sebab pada hakikatnya adalah pengadilan yang
bertugas memeriksa fakta-fakta dalam suatu peristiwa kongkret tertentu dan
kemudian menetapkan apa hukumnya yang berlaku terhadap fakta-fakta
demikian. Oleh karena itu, pengadilan tingkat pertama dikatakan sebagai
Judex Factie (Pengadilan yang memeriksa penerapan fakta yaitu pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi), sedangkan pengadilan tingkat banding
bertugas menjawab persoalan apakah pengadilan tingkat pertama telah benar
dalam memeriksa fakta-fakta yang diajukan kepadanya dalam suatu
peristiwa kongkret tertentu dan juga apakah telah benar dalam menerapkan
hukum yang berlaku terhadap fakta-fakta dalam peristiwa kongkret tersebut.
Sementara itu, upaya tingkat kasasi bertugas menjawab persoalan apakah
14
pengadilan tingkat banding telah benar dalam menerapkan hukum yang
berlaku terhadap suatu peristiwa kongkret tertentu. Oleh karena itu,
pengadilan tingkat kasasi pada hakikatnya adalah semata-mata sebagai
Judex Juris (adalah pengadilan yang memeriksa penerapan hukum yaitu
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung) 14.
Memegang peranan sebagai Judex Juris, Mahkamah Agung hanya
menilai masalah penerapan hukum yang dijalankan oleh pengadilan
sebelumnya, apakah sudah tepat dilaksanakan. Masalah penilaian fakta-fakta
(Judex Factie) dan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan tidak
termasuk wewenang Mahkamah Agung, tetapi kewenangan Pengadilan
Negeri (PN) atau Pengadilan Tinggi (PT). Oleh karena itu, kewenangan
Mahkamah Agung dalam mengadili perkara kasasi hanya terbatas pada
menyelidiki apakah putusan yang dimintakan kasasi bertentangan dengan
penerapan hukum atau acara mengadili apakah pengadilan di bawahnya
telah melampaui batas-batas kewenangan atau tidak. Suatu putusan untuk
dapat dikatakan terpenuhi dalam arti dikabulkan atau hasil putusan yang
dibatalkan oleh Hakim Agung sebagai pelaksana Mahkamah Agung
menurut ketentuan Undang-Undang Mahkamah Agung adalah15:
1) Mengabulkan: dengan rincian sebagaimana (Pasal 51 Undang-Undang
Mahkamah Agung), sebagaimana diuraikan pada substansi dan amar
putusan.
2) Membatalkan: putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara
tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan
14 https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/01/ (diakses pada tanggal 17 Juni 2015)15 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
15
Tingkat Pertama. Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung,
deskriptifikasi yang berkaitan dengan arti Onvoldoende gemotiveerd
dalam bahasa Belanda yang sering digunakan Mahkamah Agung dalam
putusan-putusan untuk menyebut jika hakim pertama dan banding tak
cukup pertimbangan. Dalam bahasa Inggris lazim disebut insufficient
judgement. Ada yang mengartikannya sebagai pertimbangan yang tidak
cukup lengkap, ada pula yang menyebutnya putusan yang kurang
pertimbangan. Putusan Mahkamah Agung No 1992 K/Pdt/2000
memakai frasa ‘putusan tidak sempurna’.
Mengenai Pasal 50 ayat (2) dinyatakan bahwa: “Apabila Mahkamah
Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara
tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan
Tingkat Pertama”.
Negara yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental, umumnya
mengenal istilah dari makna Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah
Agung yang disebut sebagai yurisprudensi mengacu kepada putusan
pengadilan tingkat tinggi (biasanya pengadilan tertinggi) tentang suatu hal.
Meskipun tidak mengikat secara formal, putusan ini secara praktek
mempunyai pengaruh kuat dan sering diterapkan hakim di pengadilan lebih
rendah di kemudian hari apabila fakta-fakta dalam sidang perkara yang
berlangsung mirip dengan fakta dalam kasus di mana yurisprudensi
ditetapkan. Di negara Common Law, istilah ini biasanya mengacu kepada
filsafat hukum.” Jadi, dalam sistem Anglo-Saxon adalah “Preceden”.
16
Hal ini sesuai dengan penjelasan oleh Satjipto Rahardjo16:
menyatakan bahwa “Preseden ini merupakan satu lembaga yang lebih
dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law System.
Sejumlah besar jus non scriptum yang membentuk sistem common law itu
hampir seluruhnya terdiri dari hasil-hasil keputusan pengadilan. Hasil-hasil
ini dihimpun ke dalam sejumlah sangat besar law reports yang sudah
dimulai sejak akhir abad ketigabelas...” Sifat preseden dalam sistem
peradilan Anglo-Saxon (common law system) bisa bersifat ‘the binding force
of precedent’ (preseden yang mengikat) dan ‘persuasive precedent’
(preseden yang persuasif). Dua sifat preseden ini sangat bergantung dengan
yurisdiksi yang berada di negara bersangkutan.
Sebagai penjelasannya, dapat menyimak pengertian kedua istilah di
atas dalam Black Law’s Dictionary: “Binding Precedent: a precedent that a
court must follow. For example, a lower court as bound by an applicable
holding of a higher court in the same jurisdiction”. (Terjemahan bebasnya
adalah preseden yang harus diikuti oleh pengadilan. Misalnya, pengadilan di
tingkat bawah terikat pada putusan pengadilan di atasnya dalam satu
yurisdiksi yang sama)17. Contohnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah
Agung (Supreme Court) di Australia mengikat pengadilan-pengadilan negeri
atau tinggi di Australia dinyatakan: Persuasive precedent: a precedent that
a court may either follow or reject, but that is entitled to respect and careful
consideration. For example, if the case was decided in a neighboring
16 Satjipto Rahardjo, 2000, “Ilmu Hukum”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm 11317 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1679/perbedaan-sifat-mengikat-antara-
preseden-dengan-yurisprudensi (diakses pada 22 April 2015)
17
jurisdiction, the court might evaluate the earlier court’s reasoning without
being bound to decide the same way.”
(Terjemahan bebasnya adalah preseden yang boleh diikuti atau
ditolak oleh pengadilan, tetapi bisa dihormati dan digunakan secara hati-hati
sebagai pertimbangan). Contohnya, jika ada kasus yang diputus di sebuah
negara Anglo-Saxon, pengadilan di negara Anglo-Saxon lain (yang
memiliki sistem hukum yang sama) bisa mengevaluasi dasar putusan itu
tanpa harus terikat). Misalnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah Agung
di Inggris, bisa bersifat persuasif untuk diikuti oleh pengadilan-pengadilan
yang memiliki yurisdiksi ‘tetangga’ dengannya, seperti pengadilan di
Australia. Ini disebabkan karena konsep negara mereka yang masih
menganut negara persemakmuran. Sementara, di sistem Eropa Kontinental
(civil law system) yang dianut oleh Indonesia, dikenal istilah yurisprudensi.
Yurisprudensi dapat digolongkan sebagai ‘persuasive precedent’. Namun,
sifat persuasifnya hanya berlaku di negara Indonesia.
Hal itu berbeda dengan preseden persuasif yang terdapat di negara-
negara Anglo-Saxon yang tetap disarankan untuk mengikuti preseden di
negara persemakmuran yang lain. Karena itulah, yurisprudensi Mahkamah
Agung tidak wajib diikuti oleh pengadilan-pengadilan negeri atau
pengadilan-pengadilan tinggi di Indonesia, melainkan hanya disarankan
untuk diikuti.
Jika uraian di atas berlaku di negara yang menganut sistem hukum
civil law, maka Ahmad Kamil dan M. Fauzan menguraikan sistem common
law mengakui bahwa putusan pengadilan adalah hukum dan hakim disebut
18
sebagai pencipta hukum (judge made law)18. Jika terdapat pertentangan
antara undang-undang dengan yurisprudensi, maka yurisprudensi yang
dimenangkan. Sementara, sistem civil law memiliki ciri bahwa hakim hanya
menerapkan isi rumusan hukum tertulis, jika terjadi pertentangan antara
undang-undang dengan yurisprudensi, maka yang dimenangkan adalah
undang-undang. Peranan Hakim Agung dalam membentuk yurisprudensi ini
terutama dilakukan oleh Mahkamah Agung di Indonesia dalam wujud
produk-produk hukum Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memutus
terhadap permohonan di tingkat kasasi. Pernyataan ini memberikan makna
bahwa Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dituntutan agar putusan
Mahkamah Agung berkualitas, relevan dengan adanya kemungkinan secara
langsung kepada pihak-pihak yang bersengketa disebutkan bahwa dalam
tingkat kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan atau
penetapan pengadilan yang “tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan cara
mengadili tidak dilaksanakan berdasarkan undang-undang; atau dianggap
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan atau
Perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan”. Oleh karena itu Mahkamah Agung mempunyai
kecenderungan memperluas kewenangannya. Karena Mahkamah Agung
secara historis mengadopsi konsep kasasi, namun tidak menerapkan
18 Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, hlm. 9
19
prosedur Renvoi (Penunjukan Kembali dalam kenyataan tersebut memiliki
mekanisme bertahap), dan berlaku sampai sekarang, terlebih lagi beberapa
perkara hukum yang seharusnya diselesaikan pada pengadilan di tingkat
bawah, ternyata justru ditarik oleh Mahkamah Agung, sehingga merubah
mekanisme kasasi yang sebenarnya telah menjadi suatu mekanisme banding
yang sempurna19, kenyataan saat ini menjadi problematika karena fungsi
Mahkamah Agung yang sebenarnya telah beralih melampaui fungsi
Absoulut Mahkamah Agung, yang dibuktikan dengan pelaksanaan putusan
serta merta, Permasalahan yang berkaitan dengan grosse akte, termasuk
diterimanya permohonan kasasi putusan bebas20.
Hasil uraian tersebut menjadi landasan penelitian yang selanjutnya
digunakan dalam menyusun Disertasi dengan judul: “KEWENANGAN
MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI JUDEX JURIS DALAM MENILAI
FAKTA UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan problematik dari uraian latar belakang di atas, yang menjadi
permasalahan adalah:
1) Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara hanyalah
sebagai Judex Juris menurut kajian hukum normatif dan Filosofis?
2) Kewenangan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam menilai fakta
untuk mewujudkan keadilan?
19 Lembaga Peneliti Hukum Independen, Selasa, 17 Juli 2012, Pengamat Hukum Indonesia, Pemerhati Mahkamah Agung.
20 Sebastian Pompe, 2012, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Jakarta hlm 340-357
20
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui dan memahami dengan menganalisis mengenai
kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara disamping fakta
yuridis tersebut, kini dapat dipertemukan beberapa putusan yang melebihi
kewenangan Mahkamah Agung.
2) Untuk memahami dan menilai terhadap kontradiksi antara ketentuan
perundang-undangan secara das sein dan fakta yang terjadi secara das
sollen relevansinya dengan pendapat Satjipto Raharjo menuntut agar
Hakim tidak semata-mata tunduk dan patuh pada undang-undang.
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penulisan ini diharapkan berguna secara teoritis maupun
praktis. Maka mengenai kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Merupakan penulisan yang secara teoritis diharapkan berguna untuk
memperluas pengetahuan mengenai:
a) Kewenangan Mahkamah Agung sebagai Pelaksana Kekuasaan
Kehakiman menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung.
b) Kedudukan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam memutus
perkara tanpa terikat pada formalitas Perundang-undangan dengan
pergeseran dalam filosofi Paradigma yang berpengaruh pada hasil
putusan Mahkamah Agung.
21
2. Kegunaan Praktis.
Manfaat secara praktis betujuan untuk menciptakan keadilan dan kepastian
hukum pada masyarakat dari kegunaan ini, yang secara keseluruhan
adalah:
a) Mengetahui kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara
berkaitan kualitas Mahkamah Agung sebagai Judex Juris berdasarkan
Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung.
b) Sebagai wacana bagi penegak hukum untuk mengetahui intensitas
suatu putusan yang berlaku.
c) Untuk memberi pengetahuan melalui dinamika perkembangan dari
adanya pergeseran paradigma sebagai nuansa baru apakah dapat
diterima atau terjadi penolakan apabila Mahkamah Agung mengambil
keputusan di luar Undang-Undang hukum formil dalam mencapai
Keadilan.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Teori Hukum
Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti
“perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam
bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut
realitas. Sedangkan Hukum, apabila dilihat selalu menjelaskan kesamaan,
yaitu dimulai dengan penjelasan struktur dari ilmu hukum itu, misalnya
ilmu hukum selalu terdiri dari dua penjelasan umum, yaitu ilmu hukum
yang dogmatik dan ilmu kenyataan hukum, kemudian kedua bagian itu
22
selanjutnya akan dipilah-pilih lagi secara lebih spesifik. Kedua disiplin itu
satu sama lain memiliki wilayah yang berbeda (paling tidak dipandang
secara berbeda), sehingga untuk masuk ke wilayah satu dengan wilayah
yang lain diperlukan perpindahan atau penggabungan sarana/alat untuk
mencapai wilayah tersebut. Hukum akan selalu dilihat melalui sudut
pandang yang berbeda-beda tersebut.21
Banyak para sarjana dan ahli hukum yang berpandangan berbeda
tentang hukum. Sebut saja H.L.A. Hart misalnya membedakan tentang
cara pandang orang hukum terhadap hukum dan cara pandang orang non
hukum terhadap hukum. Hans Kelsen, Paul Scholten, Lili Rasjidi, Otje
Salman dan B. Arief Sidharta melakukan hal yang sama untuk memaknai
hukum, yaitu memecahnya menjadi bagian yang paling kecil untuk
kemudian melakukan penjumlahan kembali guna memperoleh bentuknya
yang cukup jelas. Hal yang sama dilakukan oleh Lawrence Friedmann
(dalam sistem hukum) sistem hukum terdiri dari struktur, substansi, dan
kultur. Lawrence Friedmann kemudian memecah unsur-unsur sistem
hukum itu menjadi bagian perbagian yang jika dirangkai kembali akan
membentuk suatu bangunan baru yang dapat diubah sehingga orang awam
akan melihat hukum dalam bentuknya yang berbeda-beda. Ibarat seorang
arsitek maka arsitektur hukum bergantung, kembali kepada tujuan negara.
Namun hukum dapat dilihat dalam lapangan hukum utama, seperti
publik dan privat, kemudian bagian atau tahap selanjutnya ditempatkan
pula wilayah-wilayah lebih khusus, seperti hukum pidana, hukum perdata,
21 Anthon F. Susanto, 2007, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konsruktif-Transgresif, Refika Aditama, Jakarta, hlm. 60.
23
hukum dagang, dan lain-lain sesuai dengan lapangan utama yang ada di
atasnya. Bagian satu dengan bagian lain ada pada wilayah yang sudah jelas
dan pasti, sehingga dengan sangat mudah seseorang dapat menjelaskan
bahwa Hukum Tata Usaha Negara asal katanya dari bestuursrecht dan
administratief recht.
Pada Kajian ini akan menerapkan teori-teori yang berkaitan dengan
judul “Kewenangan Mahkamah Agung Sebagai Judex Juris Dalam
Menilai Fakta Untuk Mewujudkan Keadilan” mengingat Indonesia, dalam
konstitusinya, adalah negara hukum berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3)
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Ini menunjukkan bahwa
segala kegiatan negara dan pemerintahannya harus berdasarkan hukum
dan undang-undang. Maka dalam menerapkan teori tersebut dimulai dari
teori yang mengacu tentang Negara Hukum sebagai Grand Theory,
kemudian Teori Pemisahaan Kekuasaan sebagai Middle Range Theory).
Hingga Teori mengenai Lembaga Yudikatif menyangkut dengan Teori
Hukum Pembangunan sebagai Applied Theory karena memiliki 5 (lima)
cirinya menurut Mochtar Kusumaatmaja:
1. Substitantif
2. Budaya
3. Struktur
4. Hukum sebagai sarana pembaharu Masyarakat (Law is a Tool of Social
Engeneering)
5. Hukum sebagai Satu Sistem
24
a) Teori Negara Hukum (Grand Theory)22
Grand Theory yang digunakan adalah ‘Trias Politica’ seperti
yang dikemukakan oleh Montesquieu seorang Filsuf Prancis Tahun
1748, Montesquieu dalam bukunya the Spirit of Laws menggagas teori
trias politika yang kemudian menjadi pilar penting negara sekuler-
demokrasi. Teori ini kemudian memisahkan kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Lahirlah negara republik-demokrasi dimana
kekuasaan eksekutif diserahkan kepada presiden atau perdana menteri.
Legislatif yang memiliki kekuasaan untuk membuat hukum diserahkan
kepada parlemen, sementara yudikatif diserahkan kepada lembaga
pengadilan.
Teori Trias Politika diharapkan bisa mencegah pemerintah
yang tirani. Lembaga legislatif karena merupakan wakil rakyat
diharapkan akan menghasilkan hukum dan kebijakan yang sejalan
dengan kepentingan rakyat. Lembaga legislatif dengan klaim wakil
rakyat akan mengkoreksi kebijakan pemerintah. Eksekutif akan
memperhatikan rakyat sepenuhnya, karena kalau tidak, rakyat tidak
lagi memilih mereka. Yudikatif pun diharapkan mandiri dan
independen untuk mengadili pelanggaran hukum yang terjadi.
b) Teori Pemisahan Kekuasaan (Middle Range Theory)
22 Dicky Andika, 2008, Jurnal Kapita Selekta Ilmu Sosial, Universitas Mercubuana, Jakarta. hlm 11
25
Teori Pemisahaan Kekuasaan merupakan kelanjutan dari Grand
Theory yang merupakan teori umum berkaitan dengan Middle Range
Theory, sebab di Indonesia bedasarkan atas Undang-Undang Dasar
1945 (versi amandemen) tidak sepenuhnya menganut ajaran
Montesque mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power)
tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan
baik sebagai asas dalam negara hukum, maupun untuk memungkinkan
kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidak terlaksana
secara sewenang-wenang.23 Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan
(separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka
merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan
mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan
kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan
rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.
Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka
tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of
power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distribution of power),
tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara
23 M. Scheltema, 1995. dalam Bagir Manan, Op.Cit., hlm. 5; Negara berdasarkan atas hukum mempunyai empat asas utama yaitu (i) asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel); (ii) asas persamaan (het gelijkheids beginsel); (iii) asas demokrasi (het democratische beginsel); dan (iv) asas bahwa pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat (het beginsel van de dienende overheid; government for the people); (M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle: Tjeen Willink, hlm. 15-17).
26
hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya
pemerintahan negara.24
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan sebagai
suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of Human Rights’, dan
‘International Covenant on Civil and Political Rights’,25 yang di
dalamnya diatur mengenai “independent and impartial judiciary“. Di
dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam
Article 10, “Every one is entitled in full equality to a fair and public
hearing by in independent and impartial tribunal in the determination
of his rights and obligations and of any criminal charge against him”.
Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan
suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka
dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya
dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya.26 Di
dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dalam
Article 14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal charge
against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone
24 Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM-UNISBA, hlm. 7.
25 Oemar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, h.251; International Covenant on Civil and Political Rights, Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200 A (XXI) of 16 December 1966, Entry Into Force: 23rd March 1976, inaccordance with Article 49.
26 Diimplementasikan dalam Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakani: “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.
27
shall be entitled to a fair and public hearing by a competent,
independent and impartial tribunal established by law”.
Unsur-unsur yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni
menghendaki: (i) adanya suatu peradilan (tribunal) yang ditetapkan
oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu harus independent,
tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan
diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara
terbuka (public hearing). Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam
penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan dan
diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan
digantikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang
Kekuasaan Kehakiman dan terakhir dicabut kembali dengan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari konsep negara hukum seperti digariskan dalam konstitusi
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka dalam rangka melaksanakan Pasal
24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan
negara atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi wewenang
kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam
proses peradilan yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut.
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
dikatakan oleh Russell dalam ‘Toward a General Theory of Judicial
Independence’: “A theory of judicial independence that is realistic and
28
analytically useful cannot be concerned with every inside and outside
influence on judges”.27 Dalam hal hakim yang bebas dalam proses
peradilan, menurut Kelsen: “The judges are, for instance, ordinarily
‘independent’ that is, they are subject only to the laws and not to the
orders (instructions) of superior judicial or administrative organs”.28
Dalam proses peradilan hakim hanya tunduk kepada hukum dan tidak
tunduk kepada perintah atau instruksi dari organ yudisial atau
administratif yang lebih tinggi. Betapa pentingnya kekuasaan
kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of Politics”
mengemukakan, “Certainly no man can over estimate the importance
of the mechanism of justice”.29 Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman
yang merdeka, Scheltema dalam ‘De Rechtsstaat’, mengemukakan:
“Beslissing van rechtsgeschillen door en onafhankelijkerechter is de
basis voor een goed functionerend rechtssystem. Wil men ook
garanderen dat de overheid zich houdt aan het geldende recht, dan zal
onafhankelijke rechter over klachten van burgers dienaangaande
moeten oordelen. Aan deze eis wordt in ons voldaan.”30
27 Russell, Peter H., and David M. O’Brien, 1985, Judicial Independence In The Age Of Democracy, Critical perspectives from around the world, Toronto: Constitutionalism & Democracy Series, McGraw-Hill, hlm. 12.
28 Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law And State, translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell A Division of Atheneum Publishers, Inc., hlm. 275.
29 Harold J. Laski, 1957, A Grammar of Politics, London: George, Allen & Unwin Ltd., hlm. 541, dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, 1996, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 113-114; lihat pula Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Eresco,Bandung. hlm. 89-90.
30 M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle: Tjeen Willink, hlm.17; dalam Bagir Manan, 1995, Op.Cit., h.5-6.
29
penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman
yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya
sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan
bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya
berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan kehakiman yang
merdeka bebas memutus suatu perkara.
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam berbagai
undang-undang sesuai dengan lingkungan peradilan masing-masing.
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam Pasal 1
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
memberikan batasan mengenai ruang lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat
tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa
kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa
rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di
pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik
30
(general principles of proper justice),31 dan peraturan-peraturan yang
bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan
diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal
fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan berupa
mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam
kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang
dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan
kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai
kekuasaan, hak dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana
norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan
kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-
peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan
hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam
menjalankan kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum
formal dan hukum material, serta norma-norma tidak tertulis yang
disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik (general
principles of proper justice).32 Dengan kata lain, kekuasaan peradilan
31 UU No.4 Tahun 2004, Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26. Asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik, yaitu asas kebebasan; asas larangan menolak memeriksa dan mengadili perkara; asas hakim aktif; asas kesamaan; asas penyelesaian perkara secara tuntas; dan asas pengawasan peradilan; (kesimpulan seminar “Pemberdayaan dan tanggungjawab Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri”, diselenggarakan oleh IKAHI, tanggal 22 Maret 2000 di Jakarta, Varia Peradilan, No.178, Juli 2000, hlm. 118.
32 Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26, UU No.4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman; Lihat pula Kesimpulan seminar “Pemberdayaan dan Tanggungjawab Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri”, IKAHI, Varia Peradilan, No.178, Juli 2000, hlm. 118.
31
terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang
bersifat prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian aturan
hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural,
dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan
peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan.
Kekuasaan Kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan
negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat
kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang
terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan
hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu
perkara hukum yang juga individual konkret.33 Dengan perkataan lain,
kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan
kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum
terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya
dengan memperhatikan hukum dasar negara.34 Dengan demikian dalam
sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam
perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada
kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-
perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang
terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk
33 Moh. Koesnoe, 1997, Yuridisme Yang Dianut Dalam Tap MPRS No.XIX/1966, Varia Peradilan, No.143 Tahun XII, hlm. 138.
34 Lihat Paulus Effendie Lotulung, 1999, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam Konteks Pembagian Kelkuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-VII Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta. hlm. 156-170.
32
perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan
pemerintah.35
c) Teori Lembaga Peradilan36
Lembaga Yudikatif dapat disebut juga sebagai lembaga
Peradilan atau Kehakiman. untuk dapat disebut sebagai lembaga
peradilan menurut Faturochman dalam buku Memahami keberadaan
Mahkamah Konstitusi maka sebagai lembaga peradilan itu harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1) Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat secara
umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan.
2) Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret
3) Ada sekurang-kurangnya 2 (dua) pihak
4) Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutus
perselisihan.
Sedangkan Sjachran Basah menambahkan 1 unsur lagi dari sebuah
peradilan yaitu:
5) Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum
(rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) “in
concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum materiil.
Menurut Moh. Mahfud MD, kekuasaan kehakiman dan peradilan
adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan
35 Sunaryati Hartono, 1982, Apakah The Rule of Law Itu ?, Alumni, Bandung. hlm. 45.36 Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non-Struktural Deputi
Hubungan Bidang Kelembagaan dan Kemasyarakatan, 2012, Profil Lembaga negara Rumpun Yudikatif, Kemenetrian Sekretaris Negara Republik Indonesia. Jakarta. hlm. 13
33
putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan.
Sedangkan menurut Abdul Mukhti Fajar, ciri-ciri lembaga
peradilan yaitu:
1) Merupakan lembaga independen atau lembaga yang bebas dari
kekuasaan lembaga lain baik secara fungsional maupun struktural;
2) Adanya hukum yang bersifat umum yang merupakan sumber
hukum yang akan diterapkan oleh lembaga peradilan;
3) Adanya pihak yang bersengketa yang mempunyai kepentingan
secara langsung atas putusan yang disengketakan yang dapat
memberikan dasar bagi pemberian status untuk mengajukan
gugatan atau permohonan;
4) Adanya perkara konkrit yang terjadi yang diajukan untuk
mendapatkan putusan;
5) Keputusan lembaga mempunyai sifat eksekutorial, tanpa perlunya
fiat (persetujuan penuh dan resmi) dari lembaga lain.
d) Teori Hukum Pembangunan (Applied Theory)
Teori Hukum Pembangunan berangkat dari Teori Hukum
Sosiological Jurisprudence (konsep Roscoe Pound dan Eugen Erhlich)
yang kemudian di Indonesia dikembangkan oleh Mochtar
Kusumaatmadja37, Teori Hukum Pembangunan digunakan sebagai
37 Teori hukum pembangunan diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja ketika menjadi pembicara dalam Seminar Hukum Nasional pada tahun 1973. Mochtar saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Teori hukum yang disebutnya teori hukum pembangunan ini telah dimasukkan sebagai materi hukum dalam Pelita I (1970-1975). Teori hukum pembangunan menyatakan fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui kepastian hukum dan juga hukum harus dapat mengatur proses
34
(Applied Theory), sebab Teori Hukum Pembangunan adalah Teori
Hukum yang diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi
dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur
dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia. Hakikatnya jikalau
diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi
masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional
maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada
pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia
berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum
Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi
structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) Ketiga,
pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi
hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social
engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem, ke 5 (lima) unsur
tersebut sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang
sedang berkembang38.
Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat bukannya
tanpa bahaya. Hukum yang ditempatkan di muka kenyataan tidak
perubahan dalam masyarakat. Karena konsep teori hukum pembangunan masih dipergunakan sampai tahun 2009. Tahun 2009, teori hukum pembangunan tidak digunakan kembali, yang digunakan ialah teori dari Lawrence Friedman sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Lihat lebih lanjut dalam Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 64-65.
38 Lilik Mulyadi. Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Sebuah Kajian Deskriptif Analitis tanpa tahun. hlm 1
35
boleh terlalu jauh dari kenyataan yang ada. Harus disadari sepenuhnya
bahwa yang akan diperbaharui adalah budaya hukum masyarakat, dan
nilai budaya memang termasuk yang tidak mudah berubah. Apabila
nilai (budaya hukum) yang akan ditanamkan dalam suatu norma
hukum terlalu jauh dari kenyataan, yang timbul justru reaksi
penolakan. Reaksi kontra yang demikian justru akan menciptakan
instabilitas dalam hukum, yang pada gilirannya akan mengancam
kesinambungan pembangunan39. Untuk memperkecil kemungkinan
terjadinya penolakan, perlu dilakukan pelembagaan hukum seperti
yang dikemukakan di atas. Artinya, norma hukum yang dituangkan
dalam berbagai bentuk (format) hukum, apakah undang-undang,
peraturan pemerintah, dan sebagainya, tidak boleh berhenti di atas
kertas. Budaya bangsa Indonesia masih bersifat amat verbal, sehingga
pencantuman norma hukum secara literal tidak mungkin efektif tanpa
ditindaklanjuti dengan upaya konkret. Upaya inilah yang disebut
pelembagaan hukum.40
Mengingat orientasi budaya kita yang vertikal (paternalistik),
maka pelembagaan hukum membutuhkan partisipasi yang sangat aktif
dari tokoh-tokoh panutan masyarakat. Pelembagaan ini tentu
memerlukan waktu yang lama, dan jika telah berhasil dilakukan, maka
upaya pelembagaan itu ditingkatkan menjadi internalisasi nilai-nilai
yang diamanatkan dalam cita hukum (Pancasila). Jika pelembagaan
hukum lebih bersifat massal, maka internalisasi ini lebih mengacu pada
39 Ibid.40 Ibid.
36
sasaran secara individual. Dengan demikian, pembangunan hukum di
Indonesia tidak sekadar menciptakan masyarakat dan individu yang
taat hukum, tetapi juga masyarakat dan individu yang Pancasilais.
e) Teori Etis dan Teori Utilitarianisme
Teori Etis mengenai hakikat keadilan dan norma atau ketentutan
untuk berbuat secara konkret dalam suatu keadaan tertentu. Tujuan
hukum dalam teori etis didasarkan pada isi hukum yang ditentukan
oleh keyakinan manusia yang etis tentang sesuatu yang adil dan
sesuatu yang tidak adil. Misalnya mengasumsikan adanya dua pihak
yang terlibat dalam suatu hubungan hukum. Dimana salah satu dari
pihak tersebut adalah pihak yang memperlakukan sementara dipihak
lain adalah pihak yang diperlakukan. menurut teori tersebut, isi hukum
semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran atau keyakinan yang etis
mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Pendapat ini juga
didukung oleh beberapa ilmuan hukum, salah satunya adalah Geny
dan Aristoteles.
Geny mengajarkan di dalam Science et Technique en Droit
Prive Positif, bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai
keadilan. Dan Aritoteles dalam karyanyaRhetorica, bahwasanya
tujuan hukum adalah untuk menegakkan keadilan. Aritoteles
kemudian membagi keadilan ke dalam dua jenis keadilan, yaitu
keadilan distributif dan keadilan komutatif:
1. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada
setiap orang jatah menurut jasanya. Artinya, keadilan ini tidak
37
menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama
banyaknya atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan
berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. Yang dinilai adil disini
ialah apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara
proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan
dan sebagainya.
2. Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada
setiap orang sama banyaknya, tanpa mengingat jasa-jasa
perseorangan. Artinya, hukum menuntut adanya suatu persamaan
dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa
memperhitungkan jasa perseorangan. Dalam keadilan ini yang
dituntut adalah keasamaan (mutlak). Dapa dikatakan adil apabila
setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan
sebagainya.
Hukum tidaklah identik dengan keadilan. Peraturan hukum
tidaklah selalu mewujudkan keadilan. Pada umumnya keadilan
merupakan penilaian yang hanya dilihat dari pihak yang menerima
perlakuan saja. Misalnya, para yustisiabel (pada umummnya pihak
yang dikalahkan dalam perkara perdata) menilai putusan hakim
tidak adil. Hal tersebut adalah penilaian tentang keadilan yang
hanya ditinjau dari satu pihak saja, yaitu pihak yang menerima
perlakuan. Padahal pihak yang melakukan tindakan atau
kebijaksanaanya juga mengharapkan kepastian hukum.
38
Teori Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang
meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.
Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).
Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung
kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada
manusia atau tidak.
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap
individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak
mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh
sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut
(the greatest happiness for the greatest number of people).
Aliran ini sesunggulmya dapat pula dimasukkan ke dalam
Positivisme Hukum, mengingat faham ini pada akhirnya sampai
pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan
ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. ini
berarti hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga,
bukan pencerminan dan rasio semata. Pendukung Utilitarianisme
yang paling penting adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan
Rudolf von Jhering, Bentham berpendapat bahwa alam
memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha
memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya.
Kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan adalah kesusahan.
Ada keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan
kebahagiaan dan kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara
39
kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya, memelihara
kegunaan.
Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya
yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum
pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada
individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara
keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal
bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat
pun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan
individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu perlu
dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini
lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain).
Untuk menyeimbangkan antarkepentingan (individu dan
masyarakat), Bentham menyarankan agar ada “simpati” dan tiap-
tiap individu. Walaupun demikian, titik berat perhatian harus tetap
pada individu itu, karena apabila setiap individu telah memperoleh
kebahagiaannya, dengan sendirinya kebahagiaan (kesejahteraan)
masyarakat akan dapat diwujudkan secara simultan. Kemudian
didasarkan atas hedonistic utilitarianisme untuk menghindari
kesalahan atau perbuatan jahat kearah yang lebih besar.
Ada dua kekurangan pemikiran Bentham yang dicatat oleh
Friedmann. Pertama, rasionalisme Bentham yang abstrak dan
doktriner mencegahnya melihat individu sebagai keseluruhan yang
kompleks. Karena terlalu melebih-lebihkan kekuasaan pembuat
undang-undang dan meremehkan perlunya individualisasi
40
kebijakan dan keluwesan dalam penerapan hukum. Ia juga terlalu
yakin dengan kemungkinan kodifikasi ilmiah yang lengkap melalui
prinsip-prinsip yang rasional, sehingga ia tidak lagi menghiraukan
perbedaan-perbedaan nasional atau historis. Padahal, pengalaman
terhadap kodifikasi di berbagai negara menunjukkan, bahwa
penafsiran yang elastis dan bebas dari hakim senantiasa
dibutuhkan. Kelemahan kedua adalah kegagalan Bentham untuk
menjelaskan konsepsinya sendiri mengenai keseimbangan antara
kepentingan individu dan masyarakat.
Mazhab Sejarah
Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan
reaksi terhadap tiga hal yaitu:
1) Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam,
kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang Semuanya
berperan pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan
jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah,
kekhususan dan kondisi nasional;
2) Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi
dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan
daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya),
yaitu seruannya ke segala penjuru dunia (Soekanto, 1979: 26);
3) Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim
menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat
memecahkan semua masalah hukum. Code Civil dinyatakan
sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu
41
sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu
yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.
Di samping itu, terdapat faktor lain, yaitu masalah kodifikasi
hukum Jerman setelah berakhirnya masa Napoleon Bonaparte,
yang diusulkan oleh Thibaut guru besar pada Universitas
Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit tahun 1814,
berjudul Uber die Notwendigkeit eines Allegemeinen Burgerlichen
Rechts fur Deutchland (Tentang Keharusan Suatu Hukum Perdata
bagi Jerman). Karena dipengaruhi oleh keinginannya akan
kesatuan negara, ia menyatakan keberatan terhadap hukum yang
tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki,
sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa,
Sehingga hilanglah keseluruhan gambaran darinya. Karena itulah
harus diadakan perubahan yang tegas dengan jalan penyusunan
undang-undang dalam kitab. Hal ini merupakan kebanggaan
Jerman. Keberatan yang dikemukakan ialah bahwa di berbagai
daerah, hukum itu harus disesuaikan dengan keadaan setempat
yang khas dan bahwa orang harus menghormati apa yang
dijadikan adat, tidak dapat mengimbangi keuntungan yang dibawa
olehnya. Sudah saatnya melaksanakan sesuatu yang luar biasa
yang mungkin direalisasikan.
Sebagaimana diutarakan sebelumnya, abad ke-18 adalah
abad rasionalisme. Pemikiran rasionalisme mengajarkan
universalisme dalam cara berpikir. Cara pandang inilah yang
42
menjadi salah satu penyebab munculnya Mazhab Sejarah, yang
menentang universalisme.
Mazhab Sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan
nasionalisme di Eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum
memfokuskan perhatiannya pada individu, penganut Mazhab
Sejarah sudah mengarah kepada bangsa, tepatnya jiwa bangsa
(Volksgeist). Tokoh-tokoh penting Mazhab Sejarah adalah von
Savigny, Puchta, dan Henry Sumner Maine.
Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)
Savigny menganalogikan timbulnya hukum itu dengan
timbulnya bahasa suatu bangsa. Masing-masing bangsa memiliki
ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian. Karena
tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Pandangannya ini jelas menolak cara berpikir penganut Aliran
Hukum Alam. Hukum timbul, menuru Savigny, bukan karena
perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan
keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif). Jiwa
bangsa (Volksgeist) itulah yang menjadi sumber hukum. Seperti
diungkapkannya, “Law is an expression of the common
consciousness or spirit of people.” Hukum tidak dibuat, tetapi ia
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (DasRechts wird
nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke). Pendapat Savigny
seperti ini bertolak belakang pula dengan pandangan Positivisme
Hukum. Ia mengingatkan, untuk membangun hukum, studi
terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu dilakukan.
43
Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran
Savigny sebagai berikut: (1) jangan sampai kepentingan dari
golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai Volksgeist dari
masyarakat secara keseluruhannya; (2) tidak selamanya peraturan
perundang-undangan itu timbul begitu saja, karena dalam
kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris
yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras; (3) jangan
sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat
perhatian, karena walaupun Volksgeist itu dapat menjadi bahan
kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk
diproses menjadi bentuk hukum; (4) dalam banyak kasus, peniruan
memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui
penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar
mengambil alih hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari
hukum Prancis. Patut pula dicatat, walaupun Savigny menyatakan
bahwa hukum itu tidak muncul dan kebiasaan, pengejawantahan
yang paling konkret dan Volksgeist itu dalam kenyataannya adalah
kebiasaan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Tentu saja
pengertian “kebiasaan” di sini adalah kebiasaan yang berangkat
dari tata nilai yang baik, yang dipilih secara selektif.
Puchta (1798-1846)
Puchta adalah murid von Savigny yang mengembangkan
lebih lanjut pemikiran gurunya. Sama dengan Savigny, ia
berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa
(Volksgeist) yang bersangkutan. Hukum tersebut, menurut Puchta,
44
dapat berbentuk: (1) langsung berupa adat istiadat, (2) melalui
Undang-Undang (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para
ahli hukum. Lebih lanjut Puchta membedakan pengertian “bangsa”
ini dalam dua jenis: (1) bangsa dalam pengertian etnis, yang
disebutnya “bangsa alam”, dan (2) bangsa dalam arti nasional
sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara. Ada pun
yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian
nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum
sebagai keyakinan belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa
bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang
terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu
dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan
pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga
akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya,
yakni praktik hukum dalam adat istiadat bangsa dan pengolahan
ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adat istiadat bangsa hanya
berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Sama halnya
dengan pengolahan hukum oleh kaum yuris, pikiran-pikiran
mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya
berlaku sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara
tidak membutuhkan dukungan apa pun. Ia berhak untuk
membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa
menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan
45
sebagai adat istiadat. Oleh karena itu, menurut Huijbers pemikiran
Puchta ini sebenarnya tidak jauh dari Teori Absolutisme Negara
dan Positivisme Yuridis.Buku Puchta yang terkenal berjudul
Gewohnheitsrecht.
Henry Sumner Maine (1822-1588)
Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran von Savigny,
Sehingga ia dianggap sebagai pelopor Mazhab Sejarah di Inggris.
Pemikiran Savigny tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh Maine dalam berbagai penelitian yang dilakukannya. Salah
satu penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan
perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat
sederhana dan masyarakat yang telah maju, yang dilakukannya
berdasarkan pendekatan sejarah. Kesimpulan penelitian itu kembali
memperkuat pemikiran von Savigny, yang membuktikan adanya
pola evolusi pada berbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang
sama. Sumbangan Maine bagi studi hukum dalam masyarakat,
terutama tampak pada penerapan metode empiris, sistematis, dan
sejarah untuk menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Pendekatan
ilmiahnya jauh berbeda dengan pendekatan yang lazim
dipergunakan dalam pemikiran-pemikiran filosofis dan spekulatif.
Karya Maine yang penting berjudul: (1) Ancient Law, dan (2) Early
Law and Custom.
46
f) Teori Keadilan dan Judicial Activisme
Dikemukakan oleh John Rawls (lahir 1921)41
John Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip
etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat
yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya,tentang masyarakat
yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori
Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak
terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme. John Rawls mengambil
gagasan dan pemikiran dari Thomas Hobbes, John Locke, Jospeh
Butler, J.J. Rousseau, David Hume, J.S. Mill, dan Karl Marx
mengenai Teori keadilan. Dari beragam pemikiran yang dituangkan
dalam karya-karyanya tersebut di atas, terdapat beberapa konsep
Rawls yang memperoleh apresiasi dan perhatian luas dari beragam
kalangan, diantaranya yaitu: (1) Keadilan sebagai bentuk kejujuran,
yang bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan
yang sama, serta prinsip perbedaan (two principle of justices), (2)
Posisi asali dan tabir ketidaktahuan (the original position and veil of
ignorance); (3) Ekuilibrium reflektif (reflective equilibrium), (4)
Kesepakatan yang saling tumpang-tindih (overlapping consensus),
dan (5) Nalar publik (public reason).
John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan
mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara
prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa
41 John Rawls, (2005) dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta, Hlm 5
47
karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social
contract) yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir
kenamaan, seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel
Kant. Namun demikian, gagasan sosial kontrak yang dibawa oleh
Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya, bahkan cenderung
untuk merevitalisasi kembali teori-teori kontrak klasik yang bersifat
utilitarianistik dan intuisionistik. Dalam hal ini, kaum utilitaris
mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana
masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara
sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan
utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions).
Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-
prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya
yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung
ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada umumnya,
setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak
terkecuali pada konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya
berusaha untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara
antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti
misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan,
kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang tersebut dapat
melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.
Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai
48
“posisi asali” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif
dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan
(freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar
masyarakat (basic structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa
rekam historis tersebut sebenarnya hampir serupa dengan apa yang
dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai “pandangan tidak
darimanapun (the view from nowhere), hanya saja dirinya lebih
menekankan pada versi yang sangat abstrak dari “the State of
Nature”.
Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan
oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh
fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi
sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau
pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui dua
teori tersebut, Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk
memperoleh prinsip kesamaan yang adil. Itulah sebabnya mengapa
Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali
masing-masing akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama.
Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-
kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-
kebebasan sejenis bagi orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan
ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat
sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak
49
diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka
bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan
kesempatan yang adil.
Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip kebebasan
yang sama” (equal liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan
berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan
mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta
kebebasan beragama (freedom of religion). Sedangkan prinsip kedua
bagian (a) disebut dengan “prinsip perbedaan” (difference principle)
dan pada bagian (b) dinamakan dengan “prinsip persamaan
kesempatan” (equal opportunity principle).
“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip
ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan
terkontrol sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang
lemah. Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang terkandung
pada bagian (b) tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas
kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan
kebutuhan dari kualitas tersebut. Sehingga dengan kata lain,
ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas
kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu
nilai yang adil berdasarkan persepktif Rawls. Selain itu, prinsip
pertama memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar,
sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi
ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai
50
nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat
bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang
kurang beruntung (the least advantage).
Teori keadilan yang diciptakan melalui kacamata Rawls sudah
dipastikan akan menjadi topik perdebatan hangat di kalangan para
filsuf etik dan politik dari bermacam mahzab pemikiran. Hingga kini
banyak para pakar lintas disiplin yang mendukung gagasan Rawls,
namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Selaku rekan
sejawatnya di Harvard University, Robert Nozick menjadi orang
pertama yang melancarkan kritik secara terbuka terhadap “A Theory
of Justice” melalui bukunya yang berjudul “Anarchy, State and
Utopia” (1974). Umumnya hingga saat ini, kedua buku tersebut
selalu dibaca bersandingan untuk mengetahui pelbagai
ketidaksetujuan Nozick selaku kaum “libertian justice” terhadap
konsep Rawls mengenai prinsip moral (moral principle), aturan-
aturan (roles), jejak sejarah (historical trace), dan keadilan distibutif
(distributive justice).
Robert Paul Wolff yang menulis “Understanding Rawls: A
Critique and Reconstruction of A Theory of Justice” (1977) dari
persepktif marxist dan Michael Walzer dari kelompok komunitarian
melalui karyanya “Spheres of Justice” (1983), juga sama-sama
menunjukkan ketidak setujuannya terhadap konsep keadilan yang
didengungkan oleh John Rawls. Bahkan Amartya Sen dan G.A.
Cohen turut pula mengkritisi teori Rawls atas kedalaman dan
51
keseriusan basis egalitariannya.
Secara umum, kritikan yang muncul tersebut juga
mempertanyakan keabsahan dan keberfungsian premis-premis
keadilan Rawls apabila dihadapkan pada kondisi-kondisi khusus dan
pola kehidupan masyarakat dunia yang terus berkembang, seperti
misalnya terhadap keadilan internasional (international justice).
Namun demikian, bagi John Rawls kritikan tersebut justru
dimanfaatkannya sebagai dasar penyempurnaan dari teori kedilan
yang tengah dikembangkannya.
Melalui bukunya “Political Liberalism” (1993), Rawls
mencoba untuk menjernihkan dan memperbaiki kelemahan teori yang
dibahasnya dalam beragam perluasan masalah (problem of extension)
yang muncul di kemudian hari, berusaha dijawab olehnya dalam yang
tidak hanya sebatas bagaimana cara membentuk keadilan sosial,
namun juga bagaimana politik yang adil, bebas, dan teratur dapat
terus dipelihara dalam konteks kekinian serta situasi sosial yang
ditandai dengan adanya keanekaragaman agama, filsafat, dan doktrin
moral. Dalam bukunya tersebut, Rawls tidak saja memperkenalkan
gagasan yang disebutnya sebagai “overlapping consensus” guna
membentuk kesepakatan terhadap keadilan dan kesamaan diantara
warga negara yang memiliki pandangan keyakinan agama dan
filosofis yang berbeda-beda, namun juga menguraikan ide tentang
“nalar publik” (public reason) sebagai penalaran bersama dari seluruh
warga negara.
52
Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan berpolitik
yang ditawarkan oleh John Locke atau John Stuart Mill yang lebih
mengedepankan filsafat kebebasan budaya dan metafisik, John Rawls
mencoba untuk memperkuat argumentasi dari adanya kemungkinan
kesepakatan yang lebih bebas tanpa memperhatikan kedalaman dari
nilai-nilai keyakinan agama dan metafisik yang disetujui oleh para
pihak sepanjang kesepakatan tersebut terbuka untuk dibicarakan
secara damai, logis, adil, dan bijaksana, serta melepaskan adanya
klaim-klaim atas kebenaran yang universal (universal truth).
Dengan demikian, John Rawls telah menyempurnakan prinsip-
prinsip keadilannya menjadi sebagai berikut: Pertama, setiap orang
memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-hak dan
kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama
jenisnya untuk semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama
dijamin dengan nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan
ekonomi dapat dipenuhi atas dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat
untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang dibuka bagi semua orang
di bawah kondisi adanya persamaan kesempatan yang adil; dan (b)
diperuntukan sebagai kebermanfaatan sebesar-besarnya bagi anggota-
anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukakann pada konsep
yang awalnya disebut sebagai “hak yang sama” (equal rights) menjadi
“klaim yang sama” (equal claim), serta adanya modifikasi terhadap
frasa “sistem kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic
53
liberties) menjadi “skema pemenuhan yang memadai terhadap hak-
hak dan kemerdekaan-kemerdekan dasar” (a full adequate scheme of
equal basic rights and liberties). Sebagai tujuan utama dari hukum,
maka keadilan sering menjadi fokus utama dari setiap diskusi tentang
hukum. Sayangnya, karena keadilan merupakan konsep yang sangat
abstrak, sehingga di sepanjang sejarah manusia tidak pernah
mendapatkan gambaran yang pasti tentang arti dan makna yang
sebenarnya dari keadilan, jadi dalam hukum terdapat bentrokan yang
tak dapat dihindarkan pertikaian yang selalu berulang antara tuntutan-
tuntutan keadilan dan tuntutan-tuntutan kepastian hukum. Makin
banyak hukum memenuhi syarat ”peraturan yang tetap”, yang
sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan
tajam peraturan hukum itu.
Teori Judicial Activism Dikemukakan oleh Lord Denning (1899-
1999)42
Lord Denning adalah penggagas Teori Judicial Activism seorang
Hakim asal Inggris ini populer dengan pernyataan sebagai berikut:
“Berikan saya hukum yang buruk dengan hakim-hakim yang baik,
maka saya dapat memberikan keadilan, “Tapi berikan saya hukum
yang baik dengan hakim-hakim yang buruk, maka saya tak dapat
melakukannya”.
42 http://www.komisiyudisial.go.id/files/Bunga%20Rampai/bunga-rampai-2012-dialektika-pembaharuan-sistem-hukum-indonesia.pdf (diakses tanggal 19 Juni 2015)
54
“A philosophy of judicial decision making, whereby judges allow
their personal views about public policy, among other factors, to guide
their decision, usually with the suggestion that adherents of this
philosophy tend to find constitutional violations and are willing to
ignore precedent.”
"Sebuah filosofi pengambilan keputusan pengadilan, dimana
hakim dalam pandangannya berkaitan dengan faktor-faktor dalam
mengambil putusannya berkaitan dengan publik, biasanya
menggunakan saran filosofi Judicial Activisme ini cenderung untuk
mencari pelanggaran konstitusi dan bersedia untuk mengabaikan
preceden."
Fakta menunjukkan, kita kurang memiliki hakim dan penegak
hukum yang mengerti dan menjalankan Judicial Activism, sehingga
putusan-putusan pengadilan tidak disertai dengan penjelasan secara
lugas atau landasan putusan dan sikap yang diambil hakim. Hal ini
menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan yang
dihasilkan oleh para hakim. Oleh karena itu untuk
mengimplementasikan setiap pengambilan putusan hakim dalam
proses peradilan dituntut untuk memperhatikan Doktrin Keaktifan
Hakim dalam Teori Judicial Activism yang meliputi:
1) Hakim Wajib mengikuti, memperhatikan perkembangan hukum
sehingga hakim tidak tertinggal dan ditinggalkan dengan
perkembangan hukum;
55
2) Hakim harus mampu melengkapi ketidaklengkapan itu dalam
putusannya;
3) Hakim bukan corong Undang-Undang, dalam arti menerapkan
hukum dari undang-undang saja, melainkan harus melihat atau
mempertimbangkan norma lain di luar Undang-Undang sejauh
norma tersebut relevan dengan masalah yang akan diputuskan;
4) Hakim wajib menggali nilai-nilai keadilan yang berlaku dalam
masyarakat;
5) Hakim wajib dibimbing oleh kekuatan keilmuan, pengetahuan,
independensi, kebebasan, kemandirian, serta tanggung jawab;
6) Hakim seogianya bersifat aktif (dominislitis), dalam
mengendalikan jalannya persidangan secara proporsional dan
patut;
7) Hakim harus menemukan kebenaran materiil;
8) Hakim harus cermat dalam pembuktian, artinya harus kreatif,
inovatif mencari metode dalam pembuktian;
9) Karena utusan hakim bersifat ego omnes, berlaku pula bagi pihak
ketiga di luar para pihak, maka hakim harus memperhatikan
keadlian di luar para pihak, jangan terfokus pada keadilan para
pihak semata. Putusan hakim harus dikembangkan melalui
putusan pengadilan yang Yurisprudensial;
56
10) Hakim harus mampu mengembangkan hukum secara inspiratif
dan inovatif yang dapat ditindaklanjuti oleh pembentukan
Undang-Undang.
2. Kerangka Konsep
a) Konsep Akses Terhadap Keadilan
Berangkat dari penerapan teori sebagaimana yang telah diuraikan
di atas maka konsep akses terhadap keadilan berdasarkan beberapa
pengertian mengenai penulis akan menggunakan pengertian yang
diterapkan di Indonesia oleh Arief Sidharta mengemukakan keadilan
menuntut setiap orang tanpa kecuali berkewjiban untuk bertindak
sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya oleh hukum, pengertian
hukum tidak selalu berarti hukum positif43.
Pengertian keadilan yang telah dipahami tadi perlu pula kemudian
menelaah keadilan berdasarkan Filsuf Yunani Kuno yang menilai
keadilan merupakan kebajikan tertinggi negara, dikemukakan oleh
Plato sebab keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum
dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam
masyarakat yang adil, setiap orang menjalankan pekerjaannya yang
menurut sifat dasarnya paling cocok baginya. Ini merupakan suatu
konsepsi tentang keadilan moral (moral justice) yang dasarnya ialah
keselarasan (harmony).
43 Arief Sidharta, 2006, Filsafat Hukum Pancasila, Materi Kuliah sistem filsafat hukum Indonesia, Program Pascasarjana Studi Doktor Ilmu Hukum, Bandung, hlm 6-7.
57
Keadilan timbul karena pengaturan atau penyesuaian yang
memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk
suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana
setiap anggota melakukan secara terbaik menurut kemampuan dengan
fungsi yang selaras baginya.
Kemudian Filsuf Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua
macam yaitu keadilan korektif dan keadilan distributif, keadilan
korektif didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela
maupun tidak, keadilan ini terjadi di lapangan hukum perdata, misal
dalam perjanjian tukar menukar44. Keadilan korektif terfokus pada
pembetulan sesuatu yang salah, jika suatu pelanggaran dilanggar atau
kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan
kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan atau jika suatu
kejahatan telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya perlu
diberikan kepada pelaku. Keadilan korektif bertugas membangun
kesetaraan itu. Dari uraian ini nampak keadilan korektif merupakan
wilayah peradilan sedankan keadilan distributif merupakan bidangnya
Pemerintah. Keadilan distributif menurut Aristoteles terfokus pada
distribusi honor, kekayaan dan barang-barang lain yang sama-sama
dapat ditemukan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan
“pembuktian” matematis, jelas dibenak Aristoteles adalah distribusi
kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku
44 Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 184
58
dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi
yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilai bagi masyarakat45.
Thomas Aquinas, membedakan keadilan dalam dua kelompok
yaitu keadilan umum (Justicia Generalis) dan keadilan khusus,
keadilan umum adalah keadilan yang menurut kehendak Undang-
Undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Sementara
itu, keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
proporsionalitas. Keadilan khusus selanjtnya dibedakan menjadi tiga
meliputi:46
1) Keadilan Distributif (Justitia Distributiva) keadilan yang
diterapkan dalam lapanga hukum publik secara umum;
2) Keadilan komulatif (Justitia Cummulativa) keadilan yang
mempersamakan prestasi dengan kontraprestasi;
3) Keadilan Vindikatif (Justitia Vindicativa) keadilan dalam hal
menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana.
Pada Abad ke-20 John Rawls yang berdasar pada pemikiran
Utilitarianisme walau penganut realism hukum. berpendapat “perlu ada
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.
John Rawls mengemukakan teori keadilan yang dipandang paling
komprehensif sampai saat ini. Karena mampu menawarkan level
45 Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nuansa Media, Bandung. hlm. 25.
46 Ibid, hlm 155.
59
abstraksi yang lebih tinggi bahkan melebihi kemasyhuran pemikiran
John Locke, JJ. Rosseau dan Immanuel Kant.
Menurut Rawls, Keadilan itu mengenai bagaimana ukuran
keseimbangan itu harus diberikan, keadilan merupakan nilai yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi, karena dengan keadilan memberikan jaminan
stabilitas kehidupan manusia, karena dapat menghindari benturan
pribadi dan kepentingan bersama, karena itulah diperlukan adanya
aturan-aturan atau hukumnya, maka pada masyarakat yang telah maju,
hukum baru dapat ditaati apabila mampu meletakkan prinsi-prinsip
keadilan47.
Rawls mengajukan cara pandang terhadap prinsip keadilan sebagai
Justice is Fairness, yakni posisi kesetaraan asali berkaitan dengan
kondisi alam dalam teori kontrak sosial. Posisi asali ini tentu tidak
dianggap sebagai kondisi historis, apalagi sebagai kondisi primitif
kebudayaan yang dipahami sebagai situasi hipotesis yang dicirikan
mengarah kepada konsepsi keadilan tertentu. Di antara bentuk-bentuk
esensial dari situasi ini adalah bahwa tak seorangpun tau tempatnya,
posisi atau status sosialnya dalam masyarakat, tidak ada pula yang tahu
kenyataannya, kecerdasannya, kekuatannya dan semacamnya dalam
ditribusi aset serta kekuatan alam. Pihak-pihak dalam posisi asali tidak
mengetahui konsepsi mereka tentang kabaikan dan kecenderungan
47 H. Priyono, 1993, Teori Keadilan John Rawls, dalam: Tim Redaksi Driyarkarya (Ed.), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 35
60
psikologis48. Keadilan menurut Rawls membutuhkan tiga tuntutan
moral, pertama kebebasan untuk menentukan diri sendiri, Kedua
pentingnya distribusi yang bersifat adil atas semua kesempatan,
peranan, kedudukan serta manfaat atau nilai sosial asasi yang terdapat
di masyarakat, ketiga tuntutan distribusi kebebasan dan kewajiban
secara adil.49
Dengan demikian setiap orang memiliki hak menikmati nilai dan
sumber daya sosial yang sama, namun sekaligus pula memiliki
kewajiban untuk menciptakan kemungkinan yang membawa manfaat
bagi masyarakat secara keseluruhan. Tiga hak dan kewajiban dari
setiap anggota masyarakat meliputi:50
1) Keadilan dalam Pranata Ekonomi;
2) Pranata sistem sosial dasar dan;
3) Kontribusi secara adil antar generasi.
Rawls, mengajukan pula dua prinsip keadilan sebagai basis untuk
menjaga harmoni antara hak individu dengan kewajiban sosial, prinsip
kesetaraan kebebasan (Principle of equal liberty) yaitu:51
1) Prinsip kesetaraan kebebasan (principle of liberty)
Setiap orang memiliki kebebasan dasar yang sama, kebebasan
dasar ini, meliputi antara lain:
48 John Rawls, Ibid. hlm. 1349 John Rawls, 1999, A Theory of Justice, The President and Fellowship of Harverd
University Cambridge Press, Massachusetts, New York. hlm 95.50 Andre Ata, 2001, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius,
Yogyakarta. hlm. 131.51 Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 579
61
a. Kebebasan politik;
b. Kebebasan berpikir;
c. Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang;
d. Kebebasan personal;
e. Kebebasan untu memiliki kekayaan.
2) Prinsip Perbedaan
Perbedaan yang ada di antara manusia, daam bidang ekonomi dan
sosial, harus diatur sedemikian rupa dengan perlakuan yang
berbeda pula sehingga dapat menguntungkan setiap orang yang
secara kodrati tidak beruntung dan sesuai dengan kedudukan dan
fungsi yang terbuka bagi semua orang.
Berkaitan dengan keadilan maka dikenal keadilan sosial yakni
bentuk keadilan yang mengatur hubungan timbal balik antara
keseluruhan masyarakat dan bagian-bagiannya maupun sebaliknya
yang berhubungan dengan ketertiban umum. Pelaksanaannya
senantiasa bertalian dengan kehidupan bersama, berhubungan dengan
pihak lain dalam kehidupan bermasyarakat. Kaelan mengemukakan,
kadilan sosial mengatur hubungan antar masyarakat dengan negara,
kewajibannya masing-masing yaitu keadilan sosial sebagai kewajiban
warga negara dan keadilan sosial kewajiban warga negara dan keadilan
sosial sebagai kewajiban negara52.
52 Ibid, hlm. 407
62
Negara mempunyai peran dalam mewujudkan keadilan sosial, ada
dalam kerangka:53
a) Perwujudan relasi yang adil di semua sistem kemasarakatan;
b) Pengembangan struktur yang menyediakan kesetaraan kesempatan;
c) Proses fasilitasi akses atas informasi yang diperlukan, layanan
yang diperlukan dan sumber daya yang diperlukan, dan;
d) Dukungan atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan
bagi semua orang, yang dituju dari gagasan keadilan ini juga tidak
terbatas pada pemenuhan kesejahteraan yang bersifat ekonomis,
tetapi juga terkait dengan usaha emansipasi dalam rangka
pembebasan manusia dari pemberhalaan terhadap benda,
permuliaan martabat kemanusiaan, pemupukan solidaritas
kebangsaan dan pergaulan daulat rakyat.
Konsekuensi dari prinsip-prinsip manusia dalam masyarakat,
bangsa negara adalah meliputi:54
a. Keadilan Distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara
memenuhi keadilan alam bentuk keadilan membagi dalam bentuk
kesejarteraan, bantuan subsidi serta kesempatan dalam hidup
bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban;
b. Keadilan legal (keadilan bertaat), yatu suatu hubungan keadilan
antar warga negara terhadap negara dalam masalah ini pihak
53 Ibid, hlm. 58554 Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta. hlm. 141.
63
wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati
peraturan perundang-undangan yang berlakudalam negara dan;
c. Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga
satu dengan lainnya secara timba balik.
Realisasi keadilan sosial terdapat suatu kondisi sebagai berikut55
a. Lingkungan sosial adalah hidup bersama kemanusiaan, baik dalam
pengertian masyarakat, bangsa dan negara maupun pengertian
dalam hubungannya dengan kehidupan negara secara Nasional
maupun Internasional;
b. Pihak-pihak yang wajib menyelenggarakan keadilan sosial adalah
masyarakat, bangsa dan negara terhadap warganya masing-masing
dan sebaliknya para warga masyarakat (dalam lingkup Nasional);
c. Setiap Individu senantiasa terdapat suatu kepentingan maupun
kebutuhan yang tidak mungkin dapat dienuhinya sendiri (karena
diluar kemampuannya) oleh karena itu kepentingan dan kebutuhan
tersebut hanya dapat dipenuhinya dengan bersama-sama
manusiayang lain dan;
d. Di dalam hidup bersama semua kepentingan dan kebutuhan harus
terpelihara dengan keadilan sosial. Hal ini dengan sendirinya
termasuk juga kepentingan dan kebutuhan hidup dan lingkungan
hidup terhadap diri sendiri maupun kepada Tuhan sebagai Causa
Prima.
55 Kaelan, Ibid, 318
64
Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mempunyai
tujuan yang dirumuskan dalam alenia keempat pembukaan Undang-
Undang Ddasar 1945, Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehiduoan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yangfberdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Rumusan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia keempat
tersebut selanjutnya ”.....dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan perwakilan
“serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia”. Dalam tujuan negara yaitu “untuk memajukan
kesejahteraan Umum”, terkandung prinsip keadilan sedangkan rinsip
keadilan sosial, tertuang dalam tujuan negara Indonesia yaitu “ikut
melaksanakan ketertiban yang berdasarkan perdamaian adil dan
keadilan sosial56.
Pada hakikatnya dalam rumusan sila kedua Pancasila terkandung
prinsip adil atau keadilan sedangkan keadilan sosial yang terumus
dalam sila kelima Pancasila yang juga merupakan suatu kesatuan
sistemik sila-sila lainnya.
Sila kelima tersebut, didasari dan dijiwai sila-sila yang
mendahuluinya karena di dalam pelaksanaannya sila kelima tidak
dapat dilaksanakan terpisah dengan sila-sila lain dan merupakan satu 56 Rudi Latif, Op.cit
65
kesatuan. Sila kelima adalah merupakan unsur dari Pancasila. Hal ini
mengandung arti bahwa keempat sila yang lainnya bertujuan untuk
mewujdkan tujuan sebagaimana tercntum dalam sila kelima.57
b) Konsep Peradilan
Konsep Akses Terhadap Keadilan berkaitan dengan Konsep
Peradilan dalam sifat Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan bebas
dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan negara lainnya, dengan
sendirinya menuntut berbagai konsekuensi antara lain:58
1. Hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat
berdasar rule of law. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah
oleh hukum bukan oleh manusia. Peran rule of law dalam
kehidupan masyarakat, menjadi unsur landasan (basic ingredient)
tata tertib kehidupan dari pemaksaan dalam bentuk apapun. Upaya
paksa yang dilakukan dalam setiap penyelesaian sengketa baik
pidana maupun perdata harus sesuai dengan proses yang ditentukan
oleh hukum (due process of law) berdasar atas: equal treatment
before the law atau equal dealing (perlakuan yang sama di depan
hukum); equal protection of the law (perlindungan yang sama di
depan hukum).
2. Peran dan fungsi utama kekuasaan kehakiman yang merdeka,
memberi kewenangan kepada badan peradilan menjadi “katub
57 Kaelan Op.cit, hlm 398.58 M. Yahya Harahap. 1997,Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa.Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 33-39.
66
penekan” atau “pressure valve”: atas setiap pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh siapa dan pihak manapun tanpa kecuali; atas
segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional
(unconstitutional), ketertiban umum (public policy) dan kepatutan
(reasonableness).
3. Sehubungan dengan peran dan fungsi serta kewenangan
kekuasaan kehakiman sebagai “katub penekan” dalam negara
hukum dan masyarakat demokrasi, dengan sendirinya
menempatkan kedudukan badan-badan peradilan sebagai “tempat
terakhir” atau “the last resort” dalam upaya penegakan “kebenaran
dan keadilan.” Dalam hal ini, tidak ada badan lain yang
berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan
keadilan (to enforce the truth and justice), apabila timbul sengketa
atas pelanggaran hukum.
4. Peran, fungsi, kewenangan dan kedudukan kekuasaan kehakiman
sebagai pressure valve dan the last resort, kekuasaan kehakiman
melalui peradilan diberi kekuasaan sebagai pelaksana “penegakan
hukum.” Kekuasaan ini lazim diungkapkan sebagai “Judiciary as
the upholders of the rule of law.” Pemberian kekuasaan kepada
kekuasaan kehakiman sebagai upholders of the rule of law, dengan
sendirinya menempatkan kedudukan peradilan sebagai lembaga
atau institusi alat negara yang bertindak sebagai: “penjaga
kemerdekaan masyarakat” (“in guarding the freedom of society”);
67
kekuasaan kehakiman sebagai wali masyarakat (judiciary is regard
as custodian of society).
5. Secara konstitusional kekuasaan kehakiman bertindak “tidak
demokratis secara fundamental”. Sesuai dengan kemerdekaan dan
kebebasan yang diberikan konstitusi kepada kekuasaan kehakiman,
badan-badan peradilan dibenarkan bertindak dan mengambil
putusan “fundamentally undemocratic.” Pada saat peradilan
mengambil tindakan dan putusan: tidak membutuhkan akses dari
siapapun; tidak memerlukan negosiasi dari pihak manapun; dan
tidak perlu meminta kompromi dari pihak yang berperkara.
6. Mempunyai imunitas dalam melaksanakan fungsi dan
kekuasaan peradilan. Kerangka imunitasnya, mengandung arti:
imunitas para hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan
peradilan (the immunity of judges); sifat imunitasnya absolut
dan total, dalam arti mereka tidak dapat dituntut atas pelaksanaan
yustisial, meskipun tindakan yang dilakukannya malapraktik
(malpractice), melampaui batas kewenangan (exceeds hisauthority)
atau melakukan kesalahan proses (procedural error). “Menurut
Soediman Kartohadiprodjo, Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan berlakunya
Undang-undang Dasar yang sekarang dikenal dengan sebutan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada alinea ke empat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar
68
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu termuat rumusan
berikut “...,maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia59 yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Kata-kata “ ... dengan berdasarkan kepada ... “ dalam alinea
keempat dari Pembukaan itu menunjukkan, bahwa keseluruhan
Pasal-Pasal dari Undang-Undang Dasar itu disusun berdasarkan
Pancasila. Dengan kata lain, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 itu dijiwai oleh, dan karena itu
pemahamannya harus didasarkan pada Pancasila. Dengan
demikian, maka Pancasila itu adalah asas atau “guiding principle”
dalam bernegara di Indonesia. Sebagai asas bernegara, Pancasila
dapat dikatakan sebagai Ideologi Negara. Secara yuridis, Pancasila
itu adalah pokok kaidah negara yang fundamental. Dengan
demikian, sebagai guiding principle, Pancasila itu adalah norma
59 Strong, C.F., 2011, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, Terjemahan, Derta Sri Widowatie, Nusa Media, Bandung, hlm. 105. Negara kesatuan adalah negara yang memiliki pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan pusat. Berbeda halnya dengan negara federal, yakni suatu alat politik yang dimaksudkan untuk merekonsilisasikan kekuasaan dan persatuan nasional dengan pemeliharaan hak-hak negara. Jadi negara kesatuan adalah negara yang kekuasaan legislatifnya dibagi antara kekuasaan pusat dengan kekuasaan daerah dengan unit-unit yang lebih kecil.
69
kritis untuk menguji dan mengkaji berbagai tindakan dan putusan
di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum dan ekonomi.60
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan,
bahwa proses perumusan Pancasila61 adalah hasil usaha para pemimpin
pergerakan nasional untuk menetapkan dasar-dasar atau asas-asas
untuk mewujudkan kemerdekaan dan menyusun serta
menyelenggarakan kemerdekaan itu dalam suatu negara nasional.
Dilihat dari sudut politik praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan
dan konsensus nasional yang secara moral mengikat setiap insan
politik Indonesia dalam menjalankan kegiatan politik sebagai “guiding
principle”. Penempatan dalam pembukaan dan kedudukannya dalam
Undang-Undang Dasar 1945, menyebabkan Pancasila juga mempunyai
kekuatan hukum. Karena itu pula, perilaku dalam menjalankan
kegiatan politik yang secara konstitusional konsisten dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pola
perilaku (politik) yang dijiwai oleh Pancasila.62
Dalam membangun doktrin-doktrin hukum sedemikian ini,
dapat dikatakan sebagai inti dari keseluruhan reformasi berbagai
bidang di Indonesia.63 Dengan konsep check and balances
60 Soediman Kartohadiprodjo, 2010. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Kompas, Jakarta, hlm. 27.
61 Muchsin, 2004, Ikhtisar Sejarah Hukum, STIH IBLAM, Jakarta, hlm. 36. 62 Soediman Kartohadiprodjo, Op.Cit ., hlm. 28.63 Jimly Asshiddiqie, 2000, Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan, Makalah Seminar,
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Jakarta; lihat pula Jimly Asshiddiqie, 2000, Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum Dan Keberdayaan Masyarakat Madani, Makalah Konggres Mahasiswa Indonesia Sedunia, Chicago, Amerika Serikat.
70
dimungkinkan adanya pengawasan dari satu kekuasaan terhadap
kekuasaan lainnya di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudisial, sehingga dapat saling mengimbangi dalam
kesetaraan dan kesederajatan demi tercapainya harmonisasi kekuasaan
berada dalam keseimbangan untuk mencegah kesewenang-wenangan
atau penyalahgunaan kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum dalam
keseluruhan reformasi tersebut, kemudian memunculkan pemikiran
penggunaan konsep check and balances,64 berkenaan dengan
kewenangan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman berkaitan
menurut Lord Denning adalah orang yang memperkenalkan teori
“Judicial Activism”..
Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan pengertian bahwa
dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka terkandung tujuan atau
konsep dasar, yaitu:
(1) Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of
power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power) di
antara badan-badan penyelenggara negara.
(2) Sebagai bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi
kebebasan rakyat.
(3) Untuk mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari
pemerintah.
64 Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung. hlm. 145.
71
(4) Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara
hukum dan pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.
c) Konsep Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Kekuasaan kehakiman yang merdeka diartikan sebagai
pelaksana peradilan yang bebas dan tidak memihak yang dilakukan
oleh hakim untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum yang
diajukan ke pengadilan. Kekusaan Kehakiman yang merdeka ini
merupakan elemen mutlak yang harus ada didalam sebuah negara
yang berpredikat negara hukum65.
Menurut C.S.T. Kansil dan Christine ST Kansil:
Kekuasaan Kehakiman ini mengandung pengertian didalamnya kekusaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekusaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, diretiva dan rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial dalam hal-hal yang diizinkan Undang-Undang….
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudial tidaklah mutlak sifatnya karena tugas hukum adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar, asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan keadaan bangsa dan rakyat Indonesia.
Montesque mengemukakan pentingnya kekuasaan yudikatif
karena Kekuasaan Kehakiman yang Independen of Judiciary akan
menjamin kebebasan individu dan hak asasi manusia. Prinsip
persamaan di muka hukum merupakan elemen yang penting dalam
konsep rule of law. Selanjutnya Montequieu mengatakan:
65 C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, 1984, Hukum Tata Negara RI Jilid I, Rineka Cipta, Jakarta, hal 191-192
72
Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak
dipisahkan dari kekusaan legislatif dan kekusaan eksekutif. Jika
kekusaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan legislatif, kekuasaan
atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan
sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembua hukum. Jika
kekuasaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan eksekutif, hakim
bisa menjadi penindas, yang perlu digarisbawahi adalah kemandirian
kekuasaan Kehakiman tidak saja mandiri secara kelembagaan, tetapi
juga kemandirian dalam proses peradilan yang diindikasikan dari
proses pemeriksaan perkara, pembuktian, hingga pada vonis yang
dijatuhkan. Parameter mandiri atau tidaknya proses peradilan ditandai
oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman.66
Rumusan tentang kekuasaan Kehakiman diatur dalam Bab IX
tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 pasca amandemen yang selengkapnya berbunyi sebagai
berikut: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”.67
Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut dapat diartikan pada
suatu kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
dan karenanya harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang
66 Andi. M. Nasrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta, hlm 32
67 Ibid
73
kedudukan para hakim Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang
merdeka juga berarti bebas dari campur tangan pemerintah atau badan
negara yang lain atau pihak manapun yang akan mempengaruhi
penyelenggaraan tugas serta wewenangnya.68
Mengenai hal ini secara eksplisit telah di amanatkan dalam BAB I
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah menentukan bahwa
kekuasaan Kehakiman adalah kekusaan yang mandiri dan terlepas dari
kekuasaan pemerintah, sehingga dipandang perlu melaksanakan
pemisahan tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.
1) Mahkamah Agung
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi
sebagai berikut : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dari rumusan Pasal
tersebut Mahkamah Agung bukanlah satu- satunya pelaku
kekuasaan Kehakiman, namun demikian tugas dan kewenangan
Mahkamah Agung berbeda dengan Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Agung memiliki posisi strategis terutama di bidang
hukum dan ketatanegaraan yang diformat :
a. Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan;68 Sirajuddin, (2006), Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm 34
74
b. Mengadili pada tingkat kasasi;
c. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang
d. Berbagai kekuasaan atau kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang.
Untuk selanjutnya mengenai Mahkamah Agung diatur
tersendiri dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung. Dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan ke-II Undang-Undang ini, yang selanjutnya
merubah substansi undang-undang sebelumnya yaitu Undang-
Undang Nomor l4 Tahun 1985. Perubahan tersebut disamping
guna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan
dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, juga didasarkan
atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Hal baru sebagai bagian dari perubahan Undang-Undang
Mahkamah Agung adalah mengenai bertambahnya ruang lingkup
tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agung meliputi bidang
pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi dan
finansial badan peradilan yang dikenal sebagai penyatuan atap
lembaga peradilan pada Mahkamah Agung. Penyatuan atap
merupakan pembaharuan pengelolaan administrasi umum
peradilan yang meliputi keuangan dan ketenagaan sehingga terjadi
perubahan paradigma manajemen keorganisasian.
75
Meskipun penyatuan atap ini merupakan tuntutan reformasi di
bidang hukum, namun penyatuan atap berpotensi menimbulkan
monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Sebab
setiap kekuasaan selalu mengandung potensi disalahgunakan atau
dilaksanakan dengan melampaui wewenang. Untuk itulah perlu
ada jaminan yang dapat memberi posisi lebih baik terhadap para
pencari keadilan maupun terhadap subyek yang dituntut melalui
mekanisme pengawasan.
2) Kewenangan oleh Mahkamah Agung
Salah satu fungsi Mahkamah Agung Republik Indonesia
adalah fungsi pengawasan yang diberikan oleh Undang-Undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yaitu dalam
Bab VI Pasal 39 ayat (1) yang dinyatakan bahwa: “Pengawasan
Tertinggi pada semua badan Peradilan dibawah Mahkamah Agung
dalam menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung” berdasarkan ketentuan Undang- Undang”.
Pelaksanaan pengawasan juga bersandar pada Pasal 32 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
menyatakan sebagai berikut :
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
b. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para
hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan
tugasnya.
76
c. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dan
semua lingkungan peradilan.
d. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran atau
peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan disemua
lingkungan peradilan.
Pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut tidak
boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara. Dari ketentuan diatas maka terlihat bahwa yang
harus diawasi oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan
(rechstsgang) dengan tujuan agar jalannya peradilan dapat
diselenggarakan oleh pejabat pengadilan dengan seksama dan
sewajarnya.
Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi jalannya
peradilan, namun demikian Mahkamah Agung dapat
mendelegasikan kewenangannya pada pengadilan tingkat banding
berdasarkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan.
Melalui asas ini memungkinkan pendelegasian kewenangan
pengawasan tersebut. Didalam praktek selama ini Mahkamah
Agung dalam melaksanakan pengawasan telah mendelegasikan
kepada para ketua Pengadilan Tinggi disemua lingkungan
peradilan.
3) Fungsi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat, pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi
77
Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor
14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada
Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka Pemberian atau
Penolakan Grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-
undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1),
Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan
pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi
juga rehabilitasi (Belum ada pengaturannya dalam Undang-
Undang).
F. Metode Penelitian
Setiap penelitian sesungguhnya terdapat metode penelitian di
dalamnya, adakalanya manusia mencari kebenaran melalui pikiran yang kritis,
ataupun berdasarkan pengalaman. Metode mempunyai tujuan mempelajari
satu atau beberapa gejala. Dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh fakta tersebut.
Metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan yang antara
lain seperti suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan
suatu teknik serta cara tertentu untuk melaksanakan sesuatu, jika penelitian
adalah sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina
serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis
78
dengan penggunaan kekuatan pemikiran69. Dalam penelitian ini akan
menerapkan metode-metode sebagai berikut:
1. Metode Filosofis
Penelitian ini menerapkan metode yuridis normatif-filosofis yang
bersifat kualitatif dan komparatif. Penelitian ditujukan untuk menganalisis
bahan-bahan hukum yang mengacu kepada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Penelitian yuridis normatif-filosofis ini mengacu dasar filosofis nilai-nilai
filosofis fungsi Mahkamah Agung. Dengan metode penelitian tersebut
dilakukan pula penelusuran sejarah hukum terbentuknya Mahkamah
Agung. Hal tersebut dilakukan karena mengingat penelitian ini pula
menelusuri perkembangan pemikiran dan penerapan teori-teori tersebut.
Untuk melihat hal itu dalam konteks historis ini dilakukan penelusuran
literatur tersebut dapat dilihat realitas masa lampau70.
Penggunaan metode tersebut yang bersifat kualitatif dalam
penelitian ini disebabkan data yang dianalisis bersifat menyeluruh dan
merupakan satu kesatuan (holistic). Oleh karena itu, diperlukan analisis
yang mendalam terhadap bahan-bahan hukum tersebut. Penelitian ini
dilakukan melalui penelitian kepustakaan atau dokumen peraturan
perundang-undangan, buku, jurnal hukum, dan berbagai Putusan
Pengadilan dan Putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan fungsi
Mahkamah Agung. Selanjutnya hasil penelitian yang diperoleh melalui 69 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.
hlm. 270 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, eds, 1994, Hanbook of Qualitative Research,
Sage Publication, London. hlm. 205.
79
studi kepustakaan dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan yuridis
normatif berpangkal pada pemikiran penyelidikan deduktif, spekulatif
kemudian transcedental mendukung terwujudnya keadilan menurut John
Rawls, dengan memperhatikan teori Judicial Activism menurut Lord
Denning dalam peran Lembaga Yudiatif berkaitan dengan Filosofis
Enligthtenment yakni satu Filosofis dalam majalah Berlinische
Monatsschrift terbit Desember 1974 ditulis oleh Immanuel Kant mengenai
pencerahan pada masanya71:
“Enlightment is man’s emergence from his self-imposed immaturity. Immaturity is the inability to use one’s understanding without guidance from another. This immaturity is self-imposed when is cause lies not in lack of understanding, but in lack resolve and courage to use it without guidance from another. Spere aude! “have courage to use your own understanding. That is the motto Enlightment.
Enlightment adalah Filosofis yang membahas permulaan
kemunculan manusia dengan menilai pemahaman seseorang dari
ketidakmampuan dirinya untuk menggunakan rasio yang kritis.
penyebabnya tidak terletak pada kurangnya pemahaman, tetapi dalam
kurangnya keberanian untuk menggunakan rasio pemikiran kritis tersebut.
Disebut dengan moto “Spere aude!” (moto Enlightment).
Dengan berlandaskan hal tersebut kemudian dicoba untuk
membuktikan sebagai pemikiran hukum kritis yang tidak terikat terhadap
substansi hukum sebab substansi hukum dapat membuka lebar-lebar
kemungkinan ketidakadilan "menyamar" sebagai keadilan.
71 F. Budiman Hardiman, 2007, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta. hlm 94
80
Argumentasinya, Pertama: substansi hukum tidak boleh hanya merupakan
alat bantu untuk mencapai rasionalitas, tetapi hukum itu sendiri harus
rasional. Hukum yang rasional adalah hukum yang benar-benar mampu
mewujudkan tujuan. Kedua: Untuk menjamin agar karya hukum yang
rasional dapat mewujudkan tujuannya, maka harus didukung oleh tindakan
yang efisien dari Perangkat Pelaksanaan Hukum72.
Secara empiris filosofis Enligthtenment dibutuhkan untuk
memperlancar kerja profesi hukum. demi terlaksananya sistem peradilan
yang baik dan menerapkan Teori Judicial Activism bertujuan untuk
mewujudkan keadilan, sekaligus memperbaiki perspektif tentang dunia
hukum yang saat ini sangat terkungkung dalam paradigma formalistik atau
positivisme. Artinya, gambaran hukum yang lengkap dan benar adalah
jauh lebih kompleks dari sekedar yang diyakini dan dipahami oleh para
penegak hukum selama ini. Lembaga peradilan pada era transisi
tampaknya masih pula belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari
pengaruh politik sebagai corong undang-undang dan alat negara tanpa
mempertimbangkan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat
disamping profesionalitas lembaga Perailan dalam menegakkan hukum
dirasakan lamban menyelesaikan masalah hukum bagi setiap pencari
keadilan.
2. Metode Konseptual
72 Lihat Nasikin, "Hukum Dalam Paradigma Sistem Sosial" dalam Artidjo Alkostar (ed), ldentitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,1997. hlm. 158-161.
81
Metode Konseptual yang diperoleh dari kerangka konsep akses
terhadap keadilan digunakan untuk memperkuat metode Filosofis
dikaitkan dengan konsep keadilan menurut John Rawls yang sederhana,
dijelaskan dalam suatu konsep yang disebut Justice as Fairness. Artinya,
keadilan tidak berarti kemerataan absolut dalam sebuah masyarakat
dengan cara diratakan oleh otoritas yang berdaulat secara penuh. Keadilan
bagi Rawls adalah keadilan yang bijak pada setiap individu dalam kondisi
asli manusia ketika berada dalam satu garis permulaan yang sama dalam
sebuah kompetisi. Keadilan yang setara berarti memberikan kesempatan
setara pada setiap individu untuk memberikan kualifikasi terbaiknya dalam
masyarakat untuk menghasilkan capaian yang terbaik dari sebuah
kompetisi. Affirmative Action adalah salah satu cara yang ditawarkan oleh
Rawls sebagai bentuk praktis dari pengejawantahan konsep Justice as
Fairness.
Affirmative Action dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang
lebih pada individu-individu dalam masyarakat yang paling tidak
diuntungkan dalam struktur sosial, kondisi politik, maupun struktur
ekonomi. Contoh yang sederhana misalnya pembentukan fasilitas publik
yang diperuntukkan bagi kelompok difabel (kelompok difabel di Indonesia
memperoleh akses hukum yang lebih baik) atas fasilitas publik.
Affirmative Action sebagai bentuk aplikasi dari prinsip pertama dan
kedua Justice as Fairness merupakan revisi penting dari perkembangan
paradigma mengenai tingkat kebebasan dan hak yang setara yang
82
dikembangkan oleh pemikir liberal sebelumnya direvisi oleh Rawls.
Dengan prinsip keadilannya, dia membentuk sebuah konsep dimana dalil
utama mengatakan bahwa kaum paling tidak beruntung dalam masyarakat
perlu diangkat sedemikian rupa sehingga ada posisi yang setara dalam
mencapai kompetisi yang adil73. Dalam realitas Hukum masyarakat
Indonesia yang secara kasat mata masih dapat dilihat tengah mengalami
ketimpangan. Keseluruhan prinsip Rawls terhadap keadilan hukum secara
sederhana sebenarnya dapat menjadi alternatif dalam menciptakan
keadilan sosial yang bertujuan untuk mencapai tahap kesejahteraan
masyarakat.
Pengertiannya adalah mengindikasikan pencapaian keadilan dari
perspektif yang lebih luas, yang menekankan dua poin penting yang
bersifat botom up dan top down yaitu pertama, masyarakat harus memiliki
kesadaran hukum, kesadaran hak-hak, kesadaran akan forum-forum untuk
mencari memperoleh pemulihan hak mereka, serta kesadaran untuk
memulihkan hak-hak mereka. Kedua, pihak yang berwenang (Pemerintah)
dan pihak-pihak lain yang terkait, khususnya dalam upaya
penanggulangan kemiskinan, memiliki kewajiban untuk menyadarkan
masyarakat akan hak-hak mereka dan menyediakan effective remedy bagi
pemulihan hak-hak yang dilanggar74.
73 http://suarakebebasan.org/id/suara-muda/item/399-john-rawls-dan-konsep-keadilan (diakses pada tanggal 18 Juni 2015)
74 Kelompok Kerja Akses Terhadap Keadilan, 2009, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, Bappenas Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta. hlm. 5.
83
Pengertian di atas, mempertegas bahwa akses terhadap keadilan
bagi rakyat berarti adanya pemulihan hak untuk melindungi diri dari
kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh orang lain ketika terlibat dalam
perselisihan atau konflik kepentingan. Pemulihan adalah tindakan yang
memberi perbaikan terhadap kerugian yang diderita. Oleh karena itu,
dibutuhkan jaminan oleh hukum atau norma-norma kebiasaan. Pemulihan
itu disebut pemulihan hukum (legal remedies) dan pemulihan keadian
(Justice remedies)75.
Konsep akses terhadap keadilan pada pokoknya berfokus pada dua
tujuan dasar yaitu: Pertama, sistem yang seharusnya dapat diakses oleh
semua orang dari berbagai kalangan. Kedua, sistem seharusnya dapat
menghasilkan ketentuan maupun keputusan yang adil bagi semua
kalangan, baik secara individual maupun kelompok. Gagasan pokok yang
hendak diutamakan dalam konsep akses terhadap keadilan ialah untuk
mencapai suatu keadilan sosial (social justice) bagi warga negara di semua
kalangan76.
Pembangunan hukum yang berbasis akses terhadap keadilan
menghendaki pemenuhan akses di berbagai bidang kehidupan, yang tidak
lagi menerapkan teori hukum pembangunan atas prakarsa Mochtar
Kusumaatmadja setelah tahun 2009, kemudian melalui perkembangan
dinamika masyarakat dengan pengalaman empiris di bidang hukum maka
berlandaskan pemikiran menurut Teori Hukum Pembangunan dari
75 Ibid76 Mauro Cappelletti dan Bryant Garth (Eds), 1978, Access to Justice Book I, Giuffre-
Stijhoff, Milan. hlm. 6.
84
Lawrence Friedman dirasakan lebih tepat diterapkan dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan jangka
Jangka Panjang Nasional (RPJPN Tahun 2005-2025) yaitu “Indonesia
Adil” dengan delapan prioritas adil berkaitan dengan penerapan akses
terhadap keadilan meliputi:77
1) Reformasi hukum dan peradilan;
2) Bantuan hukum;
3) Tata kelola pemerintahan daerah;
4) Tanah dan sumber daya alam;
5) Perempuan
6) Anak;
7) Tenaga kerja dan;
8) Masyarakat miskin dan terpinggirkan.
Salah satu elemen penting dalam akses keadilan yaitu keberadaan
lembaga hukum formal. Lembaga ini semestinya dipercaya oleh
masyarakat sebagai lembaga yang efisien, netral dan profesional.
Kepercayaan publik terhadap lembaga formal sangat penting meliputi:78
1) Pemulihan hak yang memuaskan dan mensyaratkan imparsialitas, tepat
waktu konsistensi norma, bebas korupsi dan intervensi politik, serta
adanya standard kesesuaian dengan norma dan standard hak asasi
manusia Nasional dan Internasional;
2) Permasalahan mengenai kelompok miskin dan terpinggirkan
merupakan permasalahan yang terdapat pada bagian akses terhadap
keadilan yang lain dan;77 Stephan Golub, 2003, Beyond Rule of Law Orthodocy : The Legal Empowerment
Alternative, Rule of Law Series, Democracy and Rule of Law ProjectI, hlm. 41.78 Ibid
85
3) Monitoring pengawasan yang mendukung transparansi dan
akuntabilitas pada keenam pemasalahan di atas.
Berdasarkan berbagai indikator tersebut, maka yang perlu
dilakukan ialah perombakan secara paradigmatik terhadap sistem hukum
di Indonesia, yaitu paradigma sistem hukum yang menganut aliran
Positivistis.
Tindakan-tindakan tersebut menurut hemat penulis adalah upaya
lembaga yudikatif dengan melihat peluang melalui penerapan
perangkatnya untuk menegakkan hukum yang berkeadilan, tidak lagi
terikat hanya kepada Undang-Undang dan dilakukan sebagai salah satu
pilihan untuk mempercepat upaya dalam mewujudkan amanat Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pelaksanaannya dengan cara membentuk alternatif mudah
dalam mencapai keadilan terhadap kaum difabel dengan memberikan
fasilitas yang tepat untuk menciptakan alternatif ini.
Singkatnya adalah keinginan untuk mencapai kondisi ideal yang
setara pada setiap individu melalui jalan yang kontemporer (modern)
dalam menegakkan hukum yang berkeadilan harus diperhatikan oleh
Mahkamah Agung sebagai Pemegang Kekuasaan Kehakiman, untuk
menghindari ketimpangan yang dapat terjadi, namun tentu ketimpangan
bukan sesuatu yang harus dibiarkan saja dengan mekanisme hukum, tetapi
kembali berupaya untuk mengatasi hal tersebut. Memikirkan kembali
manusia sebagai subjek utama yang penting untuk dapat menerima
fasilitas yang layak sebagai kebajikan tertingginya, berupa keadilan.
86
Sejalan dengan konsep, fungsi serta tujuannya sebagai konsekuensi
menuju kondisi ideal tersebut, menjadi esensi dalam hukum yang
memiliki progres (perkembangan) dengan kata lain disebut hukum
progesif. Kepastian hukum bukan terletak pada pastinya suatu Undang-
Undang. Demikian juga bahwa kepastian hukum bukan kristalisasi
keadilan. Sudah merupakan cap dagang manakala orang berbicara
mengenai hukum. Hukum selalu dibicarakan dalam kaitan dengan
kepastian hukum dan oleh karena itu, kepastian hukum sudah menjadi
primadona dalam wacana mengenai hukum.
Kepastian hukum itu merupakan produk dari hukum atau lebih
khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka datanglah
kepastian. Menurut Satjipto Rahardjo, ini merupakan beban berlebihan
yang diletakkan di pundak hukum. Lebih daripada itu, pemahaman dan
keyakinan yang terlalu besar seperti itu, memiliki risiko besar untuk
menyesatkan. Ini karena kepastian hukum sudah didewakan menjadi
ideologi dalam hukum. Maka pemahaman tentang kepastian seperti
tersebut di atas tidak bisa diterima. Optik tersebut menempatkan hukum
pada satu sudut (saja) dalam jagat ketertiban yang luas sekali.
Pemahaman tentang hukum yang demikian itu berimbas pula pada
pemahaman tentang kepastian hukum. Hukum tidak serta merta
menciptakan kepastian hukum. Dengan kata lain masih menimbulkan
keragu-raguan, yang berarti berkurangnya nilai kepastian tersebut.
87
Keadaan itu terjadi, oleh karena pada perundang-undangan tanpa disadari
ternyata bertentangan dengan peraturan lain.79
Lebih lanjut dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, ternyata
peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya
kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dari perilaku.
Sebagaimana tujuan Teori Utilitarianisme yang menyatakan apakan
hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak, karena
konsep ini bertujuan membentuk perilaku suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan
membuat manusia bahagia. Seperti dikatakan oleh Lord Sampford,
kepastian itu menjadi ada karena orang menghendaki bahwa ia ada.
Kepastian hukum itu memang merupakan suatu keadaan yang
memerlukan usaha dari perjuangan dan tidak datang secara otomatis,
begitu suatu undang-undang atau peraturan lain diterbitkan maka ada
kepastian. Bukan demikian pernyataannya, yang benar adalah kepastian
hukum merupakan wujud dari kepatuhan masyarakat berbangsa dan
bernegara terhadap hukum yang dapat berbentuk undang-undang maupun
kebiasaan, sehingga titik berat dari kepastian bukan pada hukumnya
melainkan pada kepatuhan. Akan sangat berat bagi hukum jikalau
kepastian itu adalah kepastian karena hukumnya80.
3. Metode Pendekatan Normatif
79 Ibid hlm. 7880 Ibid hlm. 80
88
Pendekatan Normatif adalah pendekatan yang dilakukan
berdasarkan bahan hukum dengan menelaah teori-teori, konsep-konsep,
asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan
pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku,
perundang-undangan dan Peraturan-Peraturan hukum lainnya termasuk
dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari referensi umum (perundang-
undangan, peraturan, buku-buku teks, kamus) dan referensi khusus
(jurnal, laporan penelitian).
b. Studi lapangan, dilakukan dengan metode analisa terhadap putusan
Mahkamah Agung yang tidak terikat oleh undang-Undang dan
meresponden dari para hakim untuk mengetahui kelebihan maupun
kekurangan jika diterapkan adanya paradigma lain yang diadopsi
dengan pertanyaan yang telah dipersiapkan. Cara ini digunakan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan
konsisten. “Dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah
dikumpulkan. Melalui proses penelitian ini diadakan analisa dan
konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan selanjutnya
diolah”.81
81 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, (1995), Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 1.
89
5. Jenis dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, meliputi data primer dan
data sekunder, sebagai berikut:
a. Data Primer ialah data yang diperoleh dari sumbernya secara langsung.
Data ini dilakukan dengan cara wawancara terhadap responden.
b. Data sekunder yakni berupa:
1) Diperoleh melalui bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum
yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-Undang
Mahkamah Agung dan Undang-Undang atau peraturan hukum
lainnya yang berkaitan dengan Mahkamah Agung.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli,
hasil-hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, dan sebagainya.
3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain
kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, karya ilmiah maupun
Ensiklopedia, atau Media cetak dan lain sebagainya.82
6. Analisis Data
82 Soerjono Sukanto, (1985), Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta. hlm. 45
90
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu dengan mengadakan penelitian
tentang Sistem Peradilan menyangkut upaya Mahkamah Agung sebagai
Judex Juris dalam memutus tanpa terikat dengan Undang-Undang atau
hukum positif, dikaitkan dengan teori, konsep hukum dan metode
penelitian dalam kajian ini.
Kemudian menggunakan teknik Metode Deduktif artinya peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum dijadikan sebagai pegangan
untuk diterapkan pada data yang diperoleh dari penelitian untuk
memperoleh hasil dari penelitian dan perubahan yang menjadi penyebab
untuk memperoleh suatu kesimpulan. Metode Induktif artinya data yang
bersifat khusus yang diperoleh dari penelitian ditarik kesimpulan yang
bersifat umum.
G. Orisinalitas Penulisan
Penelitian ini merupakan satu-satunya kajian dalam mengefektifkan fungsi
peradilan dengan prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan oleh Mahkamah
Agung dalam mewujudkan keadilan sesuai Ketentuan Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman
sekaligus sebagai penelitian baru pada Program Doktor Ilmu Hukum.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian dalam tahap Seminar Kemajuan Penelitian ini
menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan yang terdiri atas uraian latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
91
kerangka teori dan konsep, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II. Mahkamah Agung Melalui Sejarah dan Dinamika
Perkembangan, visi dan misi Mahkamah Agung, tugas dan
kewenangan Mahkamah Agung, fungsi Mahkamah Agung,
serta Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial mengenai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
dalam mewujudkan Keadilan.
BAB III. Pengaturan Mahkamah Agung Menurut Kapasitas Sebagai
Judex Juris Berkaitan dengan Kemampuan Menilai Fakta
Sebagai Judex Factie, Pemaparan Penelitian terhadap Perkara
Hukum berhubungan dengan Putusan Mahkamah Agung.
BAB IV. Pembahasan diantaranya mengenai, kewenangan Mahkamah
Agung dalam memeriksa perkara sebagai Judex Juris menurut
kajian hukum normatif dan Filosofis, selanjutnya dapatkah
Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam mewujudkan
keadilan.
BAB V. Penutup berisi uraian Kesimpulan dan Rekomendasi.
DAFTAR PUSTAKA.
BAB II
MAHKAMAH AGUNG MELALUI SEJARAH
DAN DINAMIKA PERKEMBANGAN
92
A. Tinjauan Sejarah dan Dinamika Perkembangan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah badan peradilan tertinggi di Indonesia,
sebagai pelaksana Kekuasaan kehakiman di Indonesia yang secara
konstitusional saat ini diatur pada Pasal 24 dan Pasal 25 Amandemen ke-IV
Undang-Undang Dasar 1945. Untuk tujuan penjabaran kedua Pasal yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, maka dikeluarkan Undang
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
perubahan ke-II atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Secara historis, lembaga Mahkamah Agung sebagai pilar tertinggi
dibidang yudikatif dahulu cenderung kurang mempunyai independensi
dibandingkan lembaga eksekutif maupun legislatif. Hal ini paling tidak
dikarenakan adanya kekeliruan sistem kelembagaan di Era Orde Baru yang
menjadikan Mahkamah Agung menjadi bagian yang terstrukur dengan
Departemen kehakiman, sedangkan Departemen Kehakiman sendiri
merupakan salah satu manifestasi dari pelaksanaan fungsi dan tugas lembaga
eksekutif. Jadi dengan kata lain, independensi Mahkamah Agung tidak
sepenuhnya dapat dijalankan, mengingat adanya kecenderungan campur
tangan lembaga eksekutif.
Mengingat peran Mahkamah Agung yang marjinal, maka tidak
mengherankan apabila kajian tentang institusi peradilan pada umumnya dan
Mahkamah Agung pada khususnya kurang menarik minat para sarjana.
Dibandingkan dengan studi tentang kepresidenan, parlemen, ataupun militer,
93
studi tentang institusi peradilan Indonesia terbilang sangat sedikit. Oleh karena
itu, kehadiran buku karya Sebastiaan Pompe, mantan staf pengajar di Fakultas
Hukum Universitas Leiden, Belanda, The Indonesian Supreme Court: A Study
of Institutional Collapse, seakan menjadi air segar di tengah keringnya studi
tentang institusi peradilan di Indonesia. Oleh karena itu, sebenarnya badan
peradilan Mahkamah Agung didasarkan pada cikal-bakal teori pemisahan
kekuasaan sebagaimana yang dianut oleh Montesquieu dalam bentuk
“separation of power” (lajim disebut ‘Trias Politica’). Sebagai perbandingan
dikemukakan disini, bahwa di Amerika Serikat parlemen memiliki kekuasaan
besar yang bersifat omnipotensi, sehingga tidak berlebihan apabila kemudian
kekuasaan eksekustif (Presiden) dianggap sebagai subordinat dari kekuasaan
Senat.
Hal ini pula yang cenderung terjadi di Indonesia pada masa
pemerintahan Orde Baru, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian
kasus-kasus hukum dalam proses pembuatan putusan (making law) kurang
mendapat tempat di hati masyarakat. Bahkan, jika mengkaji fakta empirik
dapat disimpulkan bahwa belakangan muncul semacam animo ditengah-
tengah masyarakat tentang penegakan hukum di Indonesia yang masih jauh
dari harapan dan dipandang sebelah mata. Lembaga Peradilan yang
merupakan institusi pelaksana penegakan hukum melalui peraturan
perundang-undangan yang berlaku juga tidak luput dari sejarah. Disini sejarah
hukum sebagai ilmu pengetahuan mendapat tempat yang khas, karena sejarah
hukum hanya meneliti objek hukum dalam persfektif sejarah yang mempunyai
keterkaitan dengan hukum dimasa lalu (ius konstituendum) dengan hukum
94
yang berlaku seakrang (ius constitutum). Lebih lanjut lagi, dapat dikatakan
bahwa sejarah hukum mengambil peranan penting sebagai ilmu pengetahuan
dengan metode pendekatan hukum dari sarana sejarah melalui penelitian data
dan fakta terutama dari peritiwa-peristiwa penting hukum pada masa lalu, dan
menganalisanya dengan suatu periode sejarah tertentu yang menjadi sasaran
studi. Oleh karena itu sejarah lembaga peradilan tertinggi oleh Mahkamah
Agung di Indonesia mempunyai relevansi yang sangat erat dengan sejarah
berdirinya peradilan pada umumnya, dan peradilan di Indonesia pada
khususnya. Sejarah lahirnya Mahkamah Agung dibagi dalam beberapa
periode, dimana periode ini berorientasi pada bentuk dan pembagian sistem
pemerintah jajahan yang pernah menduduki Indonesia sampai kepada pasca
reformasi dan pembaharuannya adalah sebagai berikut:83
a) Sejarah Peradilan Mula-Mula Di Indonesia
Jika menelusuri sejarah panjang peradaban bangsa indonesia, maka
jaman dahulu sebelum masuknya penjajahan bangsa Eropa dan Jepang ke
Indonesia, sistem peradilan di Indonesia sudah dikenal sebelumnya, hal ini
dapat dilihat dari adanya lembaga peradilan adat meskipun lembaga
peradilan yang dimaksud bersifat kelompok-kelompok dan cenderung
bersifat primitif, mengingat penerapan sanksi dan sistem pembuktian yang
diberlakukan masih sebatas monopoli kaum kerajaan selaku pihak yang
mengadili.
83 Agus Pranki Pasaribu, http://applawbuss.blogspot.com/2010/11/mahkamah-agung-dalam-lintas-sejarah.html diakses pada 23 Mei 2015.
95
Mengenai peradilan mula-mula ini lebih lanjut dikutib pendapat
berikut ini:“Jika melihat kebelakang, ketika negara ini masih terpisah-
pisah menjadi berbagai kerajaan-kerajaan, adalah suatu kenyataan oleh
karena kerajaan-kerajaan di Indonesia itu yang berdaulat adalah raja, yang
berkuasa secara mutlak, dimana soal hidup dan mati rakyat ditangannya,
maka kekuasaan mengadili pun ada ditangannya sendiri. Sebagai contoh di
zaman Kerajaan Kalingga, Peradilan dipimpin sendiri oleh Ratu Shima
yang menghukum adiknya sendiri karena melanggar aturan yang dibuat
oleh kerajaan”.
Oleh karena itu, perkembangan lembaga peradilan pada masa ini
tidak begitu terlihat mencolok jika dibandingkan dengan setelah masuknya
kaum penjajah ke Indonesia. Peradilan di masa kerajaan-kerajaan masih
lebih mengedepankan permusyawaratan bersama apabila sengketa yang
dihadapi di bidang perdata, sedangkan di bidang pidana pemberian sanksi
lebih mengedepankan sanksi moral daripada sanksi tegas berupa
pemberian hukuman badan, apakah itu penjara atau pencabutan hak-hak
lainnya.
b) Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Sejarah lembaga peradilan, pada khususnya Mahkamah Agung jika
ditelisik dokumen-dokumen sejarah, maka awal mulanya dapat ditemukan
pada tahun 1807 disaat Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi
Gubernur Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan
96
jajahan-jajahan Belanda di Indonesia terhadap serangan-serangan penjajah
asing seperti Inggris.
Deandels yang menjadi Gubernur Jenderal pada masa itu banyak
sekali mengadakan perubahan-perubahan di lapangan peradilan,
diantaranya pada tahun 1798 telah merubah Raad van Justitie menjadi
Hooge Raad. Kemudian tahun 1804 Betaafse Republiek telah menetapkan
suatu Charter atau Regeringsreglement untuk daerah-daerah jajahan di
Asia. Dalam Pasal 86 Charter tersebut, yang merupakan perubahan-
perubahan nyata dari jaman Pemerintahan Deandels terhadap peradilan di
bumi Indonesia, ditentukan sebagai berikut:“Susunan pengadilan untuk
bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum serta adat mereka.
Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan alat-alat yang
seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada dibawah
kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda sedapat-dapatnya dibersihkan
segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak diketahui, yang
bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan dengan hukum
serta adat anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar terdapat keadilan
dengan jalan yang cepat dan baik, dengan menambah jumlah pengadilan-
pengadilan negeri ataupun dengan mangadakan pengadilan-pengadilan
pembantu, begitu pula mengadakan pembersihan dan pengenyahan segala
pengaruh-pengaruh buruk dari kekuasaan politik apapun juga”;
Charter tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek
segera diganti oleh Pemerintah Kerajaan, akan tetapi ketentuan dalam
97
“Charter” tidak sedikit mempengaruhi Deandels di dalam menjalankan
tugasnya selaku Gubernur Jenderal.
c) Masa Pemerintahan Inggris84
Pada saat Sir Thomas Stamford Raffles tahun 1981 diangkat
menjadi Letnan Gubernur untuk pulau Jawa dan wilayah di bawahnya,
maka ia mengadakan perubahan-perubahan antara lain di kota-kota
Batavia, Semarang dan Surabaya dimana dulu ada Raad van Justitie.
Kemudian didirikan Court Of Justitice yang bertugas untuk
mengadili perkara sipil maupun kriminal. Court of Justice yang ada di
Batavia juga merupakan Supreme Court of Justitice dan Court of Appeal
terhadap putusan-putusan Court onvoeldoende gemotiveerd Justitice yang
ada di Semarang dan Surabaya.
d) Masa Penjajahan Kembali Pemerintahan Hindia Belanda (1816-
1942)85
Pada saat berakhirnya perang di Eropa dengan jatuhnya Kaisar
Napoleon pada masa itu, maka menurut Conventie London 1814, semua
daerah-daerah jajahan Belanda yang diduduki oleh Inggris harus
dikembalikan kepada Pemerintahan Negeri Belanda. Penyerahan kembali
Pemerintahan Belanda tersebut di atur dalam Stbl.1816 Nomor 5, yang
berisi ketetapan bahwa akan dibuat Reglement yang mengatur acara
84 John Gilissen., Frits Gorle, (2005), “Sejarah Hukum Suatu Penghantar”, (diterjemahkan oleh Freddy Tengker), Refika Aditama, Bandung, hlm 106
85 R. Tresna , 1977, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”, Pradnya Paramitha, Jakarta.
98
pidana dan acara perdata yang berlaku bagi seluruh Jawa dan Madura,
kecuali Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya.
Bagi Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya
untuk perkara pidana dan sipil tetap menjadi kekuasaan Raad van Justitie.
Dengan demikian ada perbedaan dalam susunan pengadilan buat Bangsa
Indonesia yang bertempat tinggal di kota-kota dan sekitarnya dan bangsa
Indonesia yang bertempat tinggal di “desa-desa” (pedalaman). Lebih jauh
lagi, hukum yang diberlakukan oleh Pemerintahan Hindia Belanda
didasarkan pada pembagian golongan penduduk sebagiamana diatur dalam
Pasal 163 Indishce Staatregeling. Untuk bangsa Eropa, berlaku susunan
Pengadilan sebagai berikut, Hooggerechtshof di Jakarta dengan Raad van
Justitie yaitu masing-masing di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Dengan
Keputusuan Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 Nomor 2a
(Stbl.1847 Nomor 23 jo. Nomor 57) yang diberlakukan tanggal 1 Mei
1948 (R.O) ditetapkan bahwa Susunan Peradilan di Jawa dan Madura
sebagai berikut :86
a) Districtgerecht ;
b) Regentschapsgerecht ;
c) Landraad ;
d) Rechtbank van omgang ;
e) Raad van Justitie ;
f) Hooggerechtshof ;
86 Ibid R. Tresna
99
Dalam fungsi judisialnya, Hooggrechtshof memutus perkara-
perkara banding mengenai putusan-putusan pengadilan wasit tingkat
pertama di seluruh Indonesia, jikalau nilainya lebih dari £.500 dan
mengenai putusan-putusan residentiegerechten di luar Jawa dan Madura.
e) Masa Penjajahan Jepang (1942 – 1945)87
Setelah pulau Jawa diduduki dan dikuasai sepenuhnya oleh
Pemerintahan Jepang, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1942, yang menentukan bahwa untuk sementara segala Undang-
Undang dan peraturan-peraturan dari Pemerintahan Hindia Belanda dahulu
terus berlaku, asal tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Jepang.
Mengenai peradilan sipil, maka dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1942 ditetapkan “Peraturan Pengadilan Pemerintah Dai Nippon”.
Atas dasar peraturan ini didirikan pengadilan-pengadilan sipil yang
akan mengadili perkara-perkara pidana dan perdata. Disamping itu
dibentuk juga Kejaksaan. Pengadilan-pengadilan bentukan Dai Nippon
adalah sebagai berikut:
- Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan) lanjutan districtsgerecht dahulu;
- Ken Hooi (Pengadilan Kabupaten) lanjutan regentschapgerecht dahulu;
- Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian) lanjutan landgerecht dahulu;
- Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) lanjutan Landraad dahulu, akan
tetapi hanya dengan seorang hakim saja (tidak lagi majelis ), kecuali
87 Soedikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sejak tahun 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia”, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Liberty, Jogyakarta (Tanpa Tahun Terbit)
100
terhadap perkara tertentu apabila Pengadilan Tinggi menentukan harus
diadili dengan 3 (tiga) orang Hakim;
- Dengan dicabutnya Undang-Undang 1942 Nomor 14 dan diganti
dengan Undang-Undang 1942 Nomor 34, maka ada penambahan
badan pengadilan diantaranya Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi),
lanjutan dari Raad van Justitie dahulu dan Saikoo Hooin (Mahkamah
Agung) , lanjutan dari Hooggerechtshof dahulu.
f) Masa Terbentuknya Republik Indonesia88
Pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, di Indonesia
tidak ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya ketentuan yang
menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan keluarnya Penetapan
Pemerintah Nomor 9. tahun 1946 ditunjuknya kota Jakarta Raya sebagai
kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang mana Peraturan
tersebut hanya penunjukan tempatnya saja. Kemudian setelahnya, baru
pada saat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1947 ditetapkan tentang
susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai
berlaku pada tanggal 3 Maret 1947. Pada tahun 1948, Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1947 diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1948 yang dalam Pasal 50 ayat (1) yang menyatakan bahwa Mahkamah
Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi. Pengadilan-pengadilan
federal yang lain dapat diadakan dengan Undang-Undang federal, dengan
88 http://wahy.multiply.com/journal/item/23/Sejarah_Mahkamah_Agung (diakeses tanggal 16 April 2015)
101
pengertian bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk sekurang-
kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat pertama,
dan sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam
tingkat apel. Oleh karena kita telah kembali ke Undang-Undang Dasar
1945 dan tidak sesuai dengan keadaan, maka pada tahun 1965 dibuat
Undang-Undang yang mencabut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung.
Pada jaman pendudukan Jepang pernah Badan Kehakiman
tertinggi dihapuskan (Saikoo Hooin) pada tahun 1944 dengan Undang-
Undang (Osamu Seirei) Nomor 2 Tahun 1944, yang melimpahkan segala
tugasnya yaitu kekuasaan melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya
peradilan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi). Meskipun demikian
kekuasaan kehakiman tidak pernah mengalami kekosongan. Namun sejak
Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dari sejak
diundangkannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal
18 Agustus 1945, semakin mantaplah kedudukan Mahkamah Agung
sebagai badan tertinggi bidang Yudikatif (peradilan) dengan kewenangan
yang diberikan oleh Pasal 24 Undang-Undang Daser 1945, dimana
Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan
Kehakiman tertinggi. Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar
Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta
102
pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan
Kedaulatan. Dengan demikian Mahkamah Agung berada dalam
pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun.
Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan
Agung itu berada di bawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan
bersama di bawah satu departemen, yaitu Departemen Kehakiman. Dulu
namanya Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan
Negeri dulu namanya Kejaksaan Pengadilan Negeri. Kejaksaan Agung
mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya
Undang-Undang Pokok Kejaksaan (Undang-Undang Nomor 15 tahun
1961) di bawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi Menteri
Jaksa Agung.
Para pejabat Mahkamah Agung.(Ketua, Wakil Ketua, Hakim
Anggota dan Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah
dengan Peraturan Pemerintah 1946 Nomor 7 tanggal 1 Agustus 1946,
sebagai pelaksanaan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1946
tentang Pengadilan Tentara.
1) Masa menjelang pengakuan Kedaulatan89
Pemerintah Belanda Federal yang mengusai daerah-daerah yang
dibentuk oleh Belanda sebagai negara-negara Bagian seperti Pasundan,
Jawa Timur, Sumatera Timur, Indonesia Timur, mendirikan
Pengadilan Tertinggi yang dinamakan Hoogierechtshof yang beralamat
89 Moch. Yulihadi, (2002), Artikel “Sejarah Lembaga Peradilan di Indoensia”, hlm 127
103
di Jl. Lapangan Banteng Timur 1 Jakarta, disamping Istana Gubemur
Jenderal yang sekarang adalah gedung Departemen Keuangan.
Hooggerechtshof juga menjadi instansi banding terhadap
putusan Raad no Justitie. Mr. G. Wjjers adalah Ketua Hooggerechtshof
terakhir, yang sebelum Perang Dunia ke-II terkenal sebagai Ketua dari
Derde Kamar Read van Instills Jakarta yang memutusi perkara-perkara
banding yang mengenai Hukum Adat (kamar ketiga, hanya terdapat di
Raad van Justitie Jakarta). Pada saat itu Mahkamah Agung masih tetap
berkuasa di daerah-daerah Republik Indonesia yang berkedudukan di
Yogyakarta. Dengan dipulihkannya kembali seluruh wilayah
kedaulatan Republik Indonesia (kecuali Irian Barat), maka pekerjaan
Hooggerechtshof harus diserahkan kepada Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Sejak tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah Atmadja
mengoper gedung dan personil serta pekerjaan Hooggerechtshof.
Dengan demikian maka para anggota Hooggerechtshof dan Procurer
General meletakkan jabatan masing-masing dan selanjutnya
pekerjaannya diserahkan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia
Serikat. Mahkamah Agung pada saat itu tidak terbagi dalam majelis-
majelis. Semua Hakim Agung ikut memeriksa dan memutus baik
perkara-perkara Perdata maupun perkara-perkara Pidana, hanya
penyelesaian perkara pidana diserahkan kepada Wakil Ketua.
104
2) Masa Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 sampai
dengan 17 Agustus 1950)90
Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk
suatu Federasi atau Serikat, maka demikian pula dalam negara
Republik Indonesia Serikat diadakan 2 (dua) macam Pengadilan; yaitu
Pengadilan dari masing-masing negara Bagian disatu pihak.
Pengadilan dari Federasi yang berkuasa disemua negara-negara bagian,
dilain pihak untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS)
ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai
Pengadilan Tertinggi, sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi
urusan masing-masing negara Bagian. Undang-Undang yang mengatur
Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat adalah Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (LN. Tahun 1950 Nomor 30)
yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo
yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Serikat, menurut Undang-Undang Dasar RIS Pasal 148 ayat
(1) Mahkamah Agung merupakan forum privilegiatum bagi pejabat-
pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu kita
kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 (L.N. Tahun 1950
Nomor 30) yang juga mengatur tentang lembaga kasasi menentukan 90 Ibid. Hlm 128
105
bahwa lembaga kasasi tidak terbatas pada lingkungan peradilan umum.
Pada tahun 1965 diundangkan sebuah Undang-Undang Nomor 13
tahun 1965 yang mengatur tentang Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Sayang, Undang-Undang
tersebut tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukum yang
timbul setelah diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti Pasal 70
Undang-Undang tersebut menyatakan Undang-Undang Nomor 1 tahun
1950 tentang Mahkamah Agung tidak berlaku lagi.
Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara
lengkap dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950. Terdapat suatu
problema hukum yaitu adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan
keluar yang diambil oleh Mahkamah Agung untuk mengatasi
kekosongan tersebut adalah menafsirkan Pasal 70 tersebut sebagai
berikut:
“Oleh karena Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tersebut
disamping mengatur tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung,
mengatur pula tentang jalannya pengadilan di Mahkamah Agung,
sedangkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 tersebut hanya
mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Mahkamah Agung dan tidak mengatur tentang
bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung
menganggap Pasal 70 Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 hanya
menghapus Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 sepanjang mengenai
106
dan kedudukan Mahkamah Agung saja, sedangkan bagaimana jalan
peradilan di Mahkamah Agung masih tetap memperlakukan Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1950”. Pendapat Mahkamah Agung tersebut
dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah Agung yaitu
dengan berpijak pada Pasal 131 Undang-Undang tersebut.
Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undang Nomor 14
tahun 1970 tentang; “Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman” tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam Pasal 10
ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan
Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan
pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari
Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan
peradilan yang masing-masing terdiri dari:
- Peradilan Umum ;
- Peradilan Agama ;
- Peradilan Militer ;
- Peradilan Tata Usaha Negara ;
Bahkan, Mahkamah Agung pula sebagai pengawas tertinggi
atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun
1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi
dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya
dengan melakukan 5 (lima) fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki
sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut :
107
- Fungsi Peradilan (pelayanan);
- Fungsi Pengawasan;
- Fungsi Pengaturan;
- Fungsi Memberi Nasehat;
- Fungsi Administrasi;
Namun hingga saat ini dari perjalanan panjang yang telah
dilaluinya lembaga peradilan di Indonesia ini agaknya masih kurang
mendapatkan respon yang baik di mata masyarakat di negeri ini,
khususnya bagi mereka para pencari keadilan. Kurang puasnya pencari
keadilan terhadap putusan pengadilan, pelayanan yang tidak
memuaskan dari pegawai di lingkungan pengadilan sampai pada isu
perpanjangan usia Hakim Agung menjadi tantangan yang harus
dihadapi oleh Mahkamah Agung di masa mendatang.
3) Masa Pemerintahan Sejak Tahun 196691
Sebagai perbandingan, menurut Anthony Lewis menyatakan:
“Bahwa Mahkamah Agung Amerika Serikat hanya memeriksa
sebagian kecil putusan pengadilan-pengadilan federal dan pengadilan-
pengadilan negara-negara bagian, untuk meneliti apakah pegnadilan
terdahulu telah memberikan putusan yang benar dan tepat.” Dalam
praktek pelaksanaan lembaga peradilan dimasa orde lama, Mahkamah
Agung mempunyai peranan yang sangat monopolistik, hal ini
setidaknya terlihat dari pendapat sebagai berikut: “Bahwa Mahkamah
91 http://adekendari.blogdetik.com/2010/04/23/sejarah-legal-review-oleh-extra-judicial (diakses tanggal 7 Mei 2015)
108
Agung memegang monopoli peradilan karena Mahkamah Agung
sebagai peradilan negara tertinggi merupakan puncak bagi Peradilan
Umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara”.
Lain dengan kedua pendapat tersebut diatas, menurut pendapat
Soedikno Mertokusumo92, sehubungan dengan fungsi Mahkamah
Agung, dikutib: “tidak dilaksanakan cara melaksanakan peradilan yang
harus dituruti merupakan peraturan kasasi yang lebih tepat dari
ketentuan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965, karena tujuan dari
kasasi adalah kesatuan peradilan”. Lebih lanjut Soedikno
Mertokusumo, SH., menyatakan pula proses peralihan peranan
Mahkamah Agung dengan uraian :
a) berdasar Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 1965
tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung melaksanakan
peradilan “atas nama Republik Indonesia”.
b) berdasar Pasal 133 dan Pasal 134 Mahkamah Agung mengadakan
pengawasan tertinggi atas para Notaris dan para Pengacara serta
pemeriksaan dalam rumah penjara.
c) berdasar Pasal 132 Undang-Undang Mahkamah Agung itu,
Mahkamah Agung berfungsi memberi laporan atau pertimbangan
hukum apabila diminta Pemerintah. Mahkamah Aung telah
memberikan legal opinion melalui surat Nomor 488/P/907/M
tertanggal 8 Maret 1956, atas permintaan Presiden tentang sah
tidaknya sidang DPR mengenai Rancangan Undang-Undang 92 Soedikno Mertokusumo, Op.cit. hlm. 100
109
tentang Pembatalan Uni Indonesia Belanda pada tanggal 28
Februari 1956. Dalam praktek peradilan legal opinion selalu
dimintakan pemerintah, legal opinion mana biasanya turut
menyelesaikan kasus politik yang terjadi pada zaman itu.
d) Berdasar Pasal 131 Undang-Undang Mahkamah Agung,
mensyaratkan bahwa Mahkamah Agung berwenang menentukan
sendiri bagaimana harus diatur jika dalam jalannya peradilan ada
soal-soal yang belum diatur dalam undang-undang. Dalam praktik
peradilan akhir-akhir ini, Mahkamah Agung telah menerbitkan
berbagai SEMA dan PERMA untuk kelancaran jalannya
peradilan.”. Berdasarkan uraian diatas, sangatlah jelas bagaimana
peranan Mahkamah Agung setelah dijadikan sebagai lembaga
tertinggi badan peradilan di Indonesia pasca berlakunya Undang-
Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Mahkamah Agung.
4) Perkembangan Mahkamah Agung Sebagai Lembaga Peradilan
Tertinggi Dewasa ini
Selanjutya, sejak pemerintahan Orde Baru (singk. Orba), badan
peradilan Mahkamah Agung dapat dikatakan tidak mengalami
perubahan mengenai fungsi, tugas dan kewenangan yang signifikan
sebagaimana lajimnya Mahkamah Agung selaku salah satu badan
tinggi negara yang diatur secara tegas dalam konstitusi UUD’45.
Namun demikian, kecenderungan Mahkamah Agung pada
110
pemerintahan Orde Baru kurang maksimal dikarenakan adanya campur
tangan politik pemerintahan terhadap suatu lembaga peradilan.
Hal ini dapat dimaklumi, mengingat badan peradilan
Mahkamah Agung masih berada dibawah pengawasan Departemen
Kehakiman. Dengan kata lain, Mahkamah Agung berada dalam
struktur keorganisasian Departemen Kehakiman, baik itu menyangkut
pembiayaan, anggaran, maupun sistem keadministrasian peradilan.
Pada masa orde baru, Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1985 yang diumumkan dalam Lembagaran Negera
R.I Nomor 1985/73, TLN Nomor 3316 untuk selanjutnya diundangkan
pada tanggal 30 Desember 1985 dan UU MA mulai diberlakukan pada
saat diundangkan. Oleh karena itu, UU Nomor 13 tahun 1965
dinyatakan tidak berlaku lagi. Pemberlakuan UU Nomor 14 tahun
1985 didasarkan pada alasan pertimbangan bahwa UU Nomor 13
tahun 1965 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat yang
dimaksud dalam UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman. tujuan pembentukan peradilan yang
independent sebagiamana ditetapkand alam Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) dianggap sebagai cita-cita pokok negara hukum
(rechtstaat), walaupun dalam praktek pelaksanaannya campur tangan
politik dari pemerintah (baca : eksekutif) dibidang hukum masih
terkesan dominan.
111
5) Perkembangan Fungsi dan Tugas Mahkamah Agung Setelah
Pasca Reformasi93
Tuntutan reformasi yang bergulir pada pertengahan tahun 1998
ternyata membawa dampak (impact) terhadap badan peradilan
Mahkamah Agung dewasa ini. Hal ini terlihat paling tidak dari
banyaknya dibentuk lembaga badan-badna khusus peradilan pada
tingkat pengadilan engeri, seperti peradilan pajak, perikanan,
kepailitan, perselisihan hubungan industrial, dan lain sebagainya yang
secara keseluruhan berpusat pada Mahkamah Agung sebagai badna
peradilan tertingkat yang berfungsi melaksanakan penyelesaian
sengketa. Oleh karena itu, tuntutan era reformasi juga berkaitan dengan
perkembangan peranan Mahkamah Agung, melalui sistem peradilan.
Pada dasarnya masing-masing peradilan yang dibuat dalam dua
tingkatan, yang dewasa ini peradilan di Indonesia terdiri dari Peradilan
Umum dan Tiga Peradilan Khusus. Masing-masing lingkungan
peradilan berpusat di Mahkamah Agung (single system of courts).
Berlakunya PERMA Nomor 1 tahun 1993 maka Mahkamah
Agung juga berhak melakukan uji materil terhadap peraturan-peraturan
yang berada diabwah Undang-Undang. Perubahan selanjutnya
mengenai pengaturan badan peradilan Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang semula diatur dalam UU Nomor 14 tahun 1985 diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun dan 2004 dan diubah kembali
93 IHW/Ali, 26 Januari 2009, “Sejarah Mahkamah Agung (dulu - sekarang)”, Hukum Online.com.
112
(perubahan kedua) sebagaimana Perubahan II atas UU Nomor 3 tahun
2009 tentang Mahkamah Agung. Mengenai hak uji materil peraturan-
peraturan dibawah undang-undang ini mempunyai perbedaan antara
Mahkamah Agung di Indonesia dengan Mahkamah Agung di Amerika
Serikat. Di Indonesia hak menguji materil ini disamping ditemukan
dalam PERMA, pengaturan hak uji materil di Indonesia dimulai dalam
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok Pokok
Kekuasaan Kehakiman (yang beberapa ketentuan telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009), sebagaimana ditetapkan Pasal
26, yang kesimpulannya :
1) Hanya hakim agung yang diberi kewenangan untuk menguji
materill, badan-badan kehakiman lainnya tidak diberikan
kewenangan untuk itu.
2) putusan mahkamah agung dalam rangka pelaksanaan hak uji
materill tersebut berupa pernyataan tidak sah peraturan perundang-
undangan yang diuji tesebut dan dengna alasan bahwa isi dari
peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
3) Pengujian dilakukan hanya pada bentuk hukum berupa peraturan
perundang-undangan dan jenis yang dapat diuji adalah peraturan
perundang-undangan yang derajatnya dibawah UU atau peraturan
pemerintah kebawah.
113
4) hak menguji materil dapat dilakukan dalam pemeriksaan tingkat
kasasi.
5) peraturan yang telah dinyatakan tidak sah tersebut dicabut oleh
instansi yang bersangkutan atau yang menetapkan.
”Jadi jelaslah, bahwa Mahkamah Agung di Indonesia
mempunyai hak menguji peraturan dalam perkembangannya,
dibanding pada saat pembentukan Mahkamah Agung dahulu, saat ini
Mahkamah Agung telah diperluas kewenangannya baik melalui
peraturan setingkat undang-undang maupun peraturan lainnya, seperti
PERMA. Disamping ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1979 tentang Pengaturan Hak Uji Materil, pengaturan yang
sama juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
2003 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan ke-II atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Dewasa ini perkembangan Mahkamah Agung sudah begitu
terlihat dengan jelas, hal ini dapat dicontohkan seperti sistem
perekrutan hakim agung yang harus mengikuti proses “Vit and proper
test” di lembaga legislatif (DPR) untuk mengetahui kemampuan
akademis maupun praktis calon hakim agung yang bersangkutan.
Disamping itu, sistem perekrutan hakim agung juga dapat melalui
hakim karier maupun non karier (praktisi). Salah satu eufhoria
reformasi yang patut dihargai mengenai perkembangan badan
peradilan Mahkamah Agung ini, dimana secara kekuatan (power)
114
Mahkamah Agung sudah mendapat tepat kekuasaan yang setara
dengan lembaga-lembaga tinggi lainnya, seperti DPR, Presiden dan
BPK. Hal ini dikarenakan undang-undang sudah mengatur secara tegas
bahwa Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan dan salah satu
lembaga tinggi negara adalah bersifat independen, tanpa adanya
campur tangan dari organ negara lainnya. Bahkan, secara organisatoris
Mahkamah Agung yang tadinya berada dibawah kekuasaan
kehakiman, saat ini telah memisahkan diri sebagai lembaga yang tidak
terkait dengan Departemen Kehakiman, sehingga secara praktis
Mahkamah Agung berwenang menyelenggarakan kewenangan sendiri
untuk mengatur adminstratif peradilan, keuangan (anggaran) dan
sistem kepegawaian dalam rangka mendukung independensi yang
diamanatkan undang-undang tersebut.
Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undng Nomor 14
Tahun 1970 tentang; “Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman” tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam Pasal 10
ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan
Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan
pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari
Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan
peradilan yang masing-masing terdiri dari:
1) Peradilan Umum;
2) Peradilan Agama;
115
3) Peradilan Militer;
4) Peadilan Tata Usaha Negara.
Bahkan Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas
perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970
tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi dan
keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan
melakukan 5 (lima) fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak
Hooggerechtshof, sebagai berikut:
1) Fungsi Paradilan;
2) Fungsi Pengawasan;
3) Fungsi Pengaturan;
4) Fungsi Memberi Nasehat;
5) Fungsi Administrasi.
Lahirnya gerakan reformasi tahun 1998 dan penyelenggaraan
pemilihan umum pertama pasca reformasi tahun 1999 telah
menghasilkan kekuatan partai politik yang menghendaki dilakukannya
perubahan (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Akhirnya, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah dilakukan
sebanyak empat kali sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.
Dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 dan Perubahan Keempat tahun
2002 telah melahirkan dua lembaga negara baru yaitu Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial.
116
Beberapa alasan dilakukannya perubahan terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 tersebut antara lain adalah : Pertama, Undang-
Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu
pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR sebagai pemegang kedaulatan
rakyat. Kedua, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan
yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif/Presiden
(executive heavy) yang memberikan kekuasaan dominan kepada
Presiden dengan hak-hak prerogatif (memberikan grasi, amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif untuk membentuk
undang-undang bersama DPR. Ketiga, Pasal-Pasal dalam Undang-
Undang Dasar 1945 terlalu “luwes” dan “fleksibel” yang
mengakibatkan multi tafsir. Keempat, Undang-Undang Dasar 1945
memberikan kekuasaan kepada Presiden terlalu luas sehingga pengaruh
Presiden dalam pembentukan undang-undang sangat dominan. Kelima,
rumusan Undang-Undang Dasar 1945 tentang semangat
penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi
yang memuat aturan dasar kehidupan yang demokratis, supremasi
hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia dan otonomi daerah.
Sebelum amandemen, berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) UUD
1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
Pada masa yang lalu, kekuasaan kehakiman banyak dipengaruhi dan
117
tidak terlepas dari intervensi institusi negara lainnya termasuk
pemerintah yang benar-benar mempengaruhi jalannya peradilan yang
bebas dan mandiri.
Setelah reformasi yang dimulai pada tahun 1998, maka ide
untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945
mulai muncul sejak tahun 1999 dengan Perubahan Pertama yang
berlanjut hingga Perubahan Keempat pada tahun 2002. Sejak tahun
1999, sebenarnya telah dimulai upaya untuk menyatukan kekuasaan
kehakiman dalam satu atap (one roof system) yaitu di bawah
Mahkamah Agung. Sebelumnya, lembaga peradilan mempunyai dua
atap, yaitu :
- Peradilan umum dan peradilan tata usaha negara: pembinaan
administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah pemerintah cq.
Departemen Kehakiman (sekarang Dephukham) dan pembinaan
teknis peradilan di bawah Mahkamah Agung R.I.
- Peradilan agama: pembinaan administrasi, keuangan dan
kepegawaian dibawah Departemen Agama dan pembinaan teknis
dibawah Mahkamah Agung R.I.
- Peradilan militer: pembinaan administrasi, keuangan dan
kepegawaian dibawah Departemen Pertahanan dan pembinaan
teknis dibawah Mahkamah Agung R.I.
Sistem dua atap tersebut mulai diakhiri dengan diterbitkannya
UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang
118
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dimana dalam Pasal 11 yang menjadi dasar hukum sistem
dua atap diubah menjadi, “Badan-badan peradilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (1), secara organisatoris, administratif
dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Jangka
waktu peralihan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung tersebut
adalah lima tahun sampai dengan Agustus 2004.
Prinsip Checks and Balances.
Hasil perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
sebenarnya mempertegas pemisahan kekuasaan antara kekuasaan
eksekutif, legislatif, yudikatif, yang sebelumnya dikesankan sebagai
pembagian kekuasaan sehingga seolah-olah kebebasan dan
kemandirian Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya tidak
berifat mutlak bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Saat ini, dengan
telah selesainya peralihan kekuasaan kehakiman menjadi satu atap di
bawah Mahkamah Agung, maka kesan “pembagian” kekuasaan benar-
benar telah berubah menjadi “pemisahan” kekuasaan.
Namun demikian, pelaksanaan pemisahan kekuasaan negara ini
dalam prakteknya tetap dijalankan dalam kerangka saling mengawasi
(checks and balances) agar ketiga cabang kekuasaan negara tersebut
tetap berada dalam keseimbangan. Gagasan perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan keniscayaan yang alami,
karena dalam cyclus theory, perubahan sistem kekuasaan diktatorial
119
akan selalu menuju pada sistem kekuasan demokratis, dimana
kekuasaan rakyat dominan memegang kekuasaan. Dalam era Orde
Lama dan Orde Baru hampir dipastikan tidak ditemui adanya sistem
checks and balances.
Prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana
dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, juga ditegaskan kembali dalam
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dan tertuang dalam
Pasal 1 Ayat (3). Dalam negara hukum terkandung prinsip pembatasan
kekuasaan, perlindungan terhadap HAM, tindakan pemerintah harus
didasarkan pada perundang-undangan yang sah dan tertulis (rules and
procedures). Secara umum saat ini terdapat dua belas prinsip negara
hukum yaitu:
1) Supremasi konstitusi (supremacy of law)
2) Persamaan dalam hukum (equality before the law)
3) Asas legalitas (due process of law)
4) Pembatasan kekuasaan (limitation of power)
5) Organ pemerintahan yang independen.
6) Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and
impartial judiciary)
7) Peradilan tata usaha negara (administrative law)
8) Perlindungan hak asasi manusia
9) Demokratis (democratische rechsstaats)
10) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare
rechsstaat)
11) Transparansi
120
12) Kontrol sosial.
Prinsip-prinsip negara hukum tersebut telah tercakup dalam
UUD 1945 beserta perubahan-perubahannya sebagai perwujudan
checks and balances antar pemegang kekuasaan negara menuju
terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis,
makmur dan sejahtera.
Mahkamah Agung, sebagai pemegang kekuasan tertinggi di
bidang kekuasaan kehakiman, mempunyai tanggungjawab besar dalam
menjaga keseimbangan antar kekuasaan dan menjaga prinsip
independensi peradilan sebagai prinsip utama negara demokrasi.
Independensi lembaga peradilan dijamin berdasarkan hukum
internasional, antara lain :
- Declaration of Human Rights (article 10)
- International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
(article 14)
- Vienna Declaration and Programme for Action 1993 (paragraph
27)
- International Bar Association Code of Minimum Standards of
Judicial Independence, New Delhi 1982
- Universal Declaration on the Independence of Justice, Montreal
1983, dan sebagainya.
Baik sebelum perubahan maupun sesudah perubahan terhadap
UUD 1945, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara
pemegang kekuasan yudikatif. Setelah perubahan UUD 1945,
kekuasaan kehakiman selain berpuncak ke Mahkamah Agung juga
121
berpuncak ke Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan
konstitusi bentukan pasca perubahan UUD 1945, sebagai konsekuensi
logis dari perwujudan gagasan checks and balances. Menurut Hamdan
Zoelva, perubahan UUD ini telah mengintrodusir lembaga negara yang
baru di bidang yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi yang
kedudukannya berada di samping Mahkamah Agung.
Setelah Perubahan Ketiga, maka kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945 pasca
perubahan, yaitu :
Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dengan undang-undang.
Pasal 24 A
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
122
terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.
(2) Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
(3) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh
hakim agung.
(4) Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah
Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-
undang.
Menurut Jimly Asshiddiqie, secara kualitatif, perubahan UUD
1945 bersifat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat
yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, menjadi
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan
semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan
melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-
masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat
besar (concentration of power and responsibility upon the President)
menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and
balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang
hendak dibangun yaitu negara hukum yang demokratis.
g) Pembaharuan Mahkamah Agung
Sejak Amandemen ke-IV Undang-Undang Dasar 1945, eksistensi
peradilan agama juga diberikan kedudukan yang sederajat dengan badan
123
peradilan lainnya sebagai kesatuan sistem yang ditentukan berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945. Sebelumnya, meskipun dalam Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah
ditentukan kesederajatannya, tetapi secara administratif, manajemen dan
penyelenggaraan tugas-tugas peradilan, peradilan agama tertinggal
dibanding badan peradilan umum. Sekarang hal itu sudah tidak ada lagi
karena kesederajatan telah benar-benar direalisasikan, termasuk gaji,
tunjangan, bangunan gedung dan fasilitas lainnya.
Berkaitan dengan empat kali perubahan Undang-Undang Dasar
1945, maka undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah Agung
yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
telah mengalami dua kali perubahan, yaitu pertama dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009, yang memasukkan kembali apa yang telah
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan dan
tambahan ketentuan lainnya, antara lain :
Pasal 6A
Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, professional dan berpengalaman di bidang hukum.
Pasal 6B
(1) Calon hakim agung berasal dari hakim karier.
(2) Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon
hakim agung juga berasal dari non karier.
124
Pasal 11
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung dan hakim agung
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul
Mahkamah Agung karena:
a. meninggal dunia
b. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun
c. atas permintaan sendiri secara tertulis
d. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan
berturut- turut yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, dan
e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, terdapat dua lembaga negara baru bentukan pasca
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24 C Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Berkaitan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah tanggal 28 April 2008, dimana Pasal
236C menentukan bahwa penanganan sengketa hasil perhitungan suara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung
125
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas)
bulan sejak undang-undang tersebut diundangkan, maka Mahkamah
Agung, dengan Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non
Yudisial Nomor 34/WKMA-NY/X/2008 tanggal 09 Oktober 2008, telah
menyerahkan kewenangan pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah
seperti itu kepada Mahkamah Konstitusi terhitung sejak tanggal 1
Nopember 2008. Mahkamah Agung juga melakukan langkah-langkah
pembaruan yang telah berjalan sejak tahun 2002, meliputi :94
1) Mediasi
Untuk mewujudkan asas sederhana, cepat dan murah serta untuk
memberikan akses yang lebih besar bagi para perncari keadilan dalam
menemukan penyelesaian perkaranya secara memuaskan dan
memenuhi rasa keadilan, Mahkamah Agung telah mengintegrasikan
proses mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan, yang
dimaksudkan menjadi instrument efektif mengatasi penumpukan
perkara. Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan peraturan
Mahkamah Agung yaitu PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 11
September 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang telah
dinyatakan tidak berlaku dan diperbaharui dengan PERMA Nomor 1
Tahun 2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
2) Class Action
94 Harifin A. Tumpa, 2009, Mahkamah Agung Pasca Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik indonesia.
126
Class action adalah gugatan perwakilan kelompok sebagai akibat dari
peristiwa atau kegiatan yang menimbulkan pelanggaran hukum yang
mengakibatkan kerugian secara sekaligus, serentak dan massal
terhadap orang banyak, yang karena itu berdasarkan fakta, dasar
hukum dan tergugat yang sama, diajukan dalam satu perkara. Untuk
itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA Nomor 1 Tahun
2002 tanggal 26 April 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok.
3) Perluasan Wewenang Pengadilan Niaga
Sejak tahun 2003, wewenang pengadilan niaga diperluas dengan
memasukkan sengketa mengenai hak atas kekayaan intelektual (HaKI)
sebagai kewenangan pengadilan niaga.
4) Perkara Persaingan Tidak Sehat dan Anti Monopoli
Perkara sengketa persaingan tidak sehat dan anti monopoli
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Keberatan
terhadap putusan KPPU tersebut diajukan ke pengadilan negeri dan
terhadap pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan negeri
tersebut dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Untuk itu,
Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA Nomor 03 Tahun 2005
tanggal 18 juli 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum
Keberatan Terhadap putusan KPPU.
127
5) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan khusus tindak pidana korupsi untuk pertama kali
dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan wilayah hukum
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Pasca Perubahan Undang-
Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung juga harus disesuaikan dan berubah
menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang berlaku sejak 15
Januari 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jabatan
Panitera dan Sekretaris (dahulu Sekretaris Jenderal) yang sebelumnya
dijabat satu orang dipisahkan dan dijabat secara terpisah oleh dua
orang. Wakil Ketua Mahkamah Agung yang sebelumnya satu orang,
ditambah menjadi dua jabatan yaitu Wakil Ketua Bidang Yudisial dan
Wakil Ketua Bidang Non Yudisial. Setelah terbentuknya Komisi
Yudisial berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, maka
calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR dan
dari nama-nama yang terpilih tersebut oleh DPR diajukan kepada
Presiden untuk diangkat sebagai Hakim Agung. Dalam musyawarah
putusan juga dikenal “dissenting opinion” yaitu pendapat yang berbeda
dari Hakim Agung lainnya dan pendapat tersebut harus dimuat dalam
putusan.
Sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tanggal 12 Januari 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, hal-hal
128
yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 seperti
tersebut diatas tetap berlaku, dengan tambahan ketentuan baru
mengenai usia pensiun Hakim Agung dari 67 tahun menjadi 70 tahun.
Amandemen ke-IV Undang-Undang Dasar 1945 juga
melahirkan lembaga negara baru yaitu Komisi Yudisial yang
mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, komisi bertugas :
- melakukan pendaftaran calon hakim agung;
- melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
- menetapkan calon hakim agung, dan;
- mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Selain itu, Komisi Yudisial mempunyai wewenang
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim. Putusan pengadilan dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mewajibkan hakim untuk
menegakkan keadilan yang dipertanggungjawabkan secara horizontal
kepada sesama manusia dan secara vertikal terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Ketakwaan terhadap Tuhan menjadi landasan prinsip
pedoman hakim dalam bertingkah laku sesuai dengan agama masing-
masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
129
Kode etik hakim Indonesia telah disempurnakan kembali dalam
Munas IKAHI XIII tahun 2000 di Bandung dan ditindak-lanjuti dalam
Rapat kerja Mahkamah Agung RI 2002 di Surabaya yang melahirkan
rumusan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim (PPH) yaitu
berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi,
bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi,
rendah hati dan professional. Rumusan pedoman perilaku hakim
tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
RI Nomor KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006.
PPH tersebut kemudian dirumuskan kembali oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial karena sesuai dengan UU Nomor 3 Tahun
2009 ditentukan bahwa kode etik dan pedoman perilaku hakim
ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Dalam Surat
Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dan Ketua
Komisi Yudisial, Putusan Mahkamah Agung Nomor
047/KMA/IV/2009, Putusan Komisi Yudisial Nomor
02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009, telah berhasil
menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut.
Selain langkah-langkah reformasi di atas, ada juga
pembaharuan yang paling mendasar dalam reformasi di Mahkamah
Agung, yaitu dengan di terbitkannya kertas kerja cetak biru (blue
print). Cetak biru (blue print) merupakan sebuah pedoman/arah dan
pendekatan yang akan ditempuh oleh Mahkamah Agung untuk
130
mengembalikan citra Mahkamah Agung sebagai lembaga yang
terhormat dan dihormati oleh masyarakat dan Lembaga Negara
lainnya.
Penerbitan pedoman cetak biru ini merupakan respon atas
anggapan negative terhadap integritas, kualitas dan kinerja Mahkamah
Agung terutama pada Hakim dan Hakim Agung serta pegawai yang
bekerja di Mahkamah Agung. Sebelumnya, Proses berperkara di
Mahkamah Agung yang memakan waktu lama mendapat kritik karena
mengakibatkan keadilan bagi pencari keadilan menjadi tertunda. Juga
masih ada kritik lain yang menyangkut Pelaksanaan fungsi-fungsi,
seperti fungsi pengawasan dan pembinaan, dalam pedoman cetak biru
(blue print), ada beberapa faktor penting yang merupakan wujud dari
reformasi birokrasi di Mahkamah Agung, yaitu:
1) Transparansi Putusan
Wujud adanya transparansi di Mahkamah Agung dengan
adanya akses 121, website, dan juga penerbitan putusan Mahkamah
Agung. Sejak tahun 1998 Mahkamah Agung telah mempunyai sistem
pelayanan informasi bagi publik, sistem pelayanan informasi tersebut
diberi nama Akses 121. Akses 121 adalah fasilitas untuk publik,
khususnya pihak yang berperkara, yang ingin mengetahui informasi
seputar proses perkara yang tengah ditangani oleh Mahkamah Agung.
Walau layanan ini sudah terkomputerisasi, namun jaringannya masih
bersifat lokal. Pihak yang ingin mendapatkan informasi seputar
131
perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung harus memintanya
menemui petugas Akses 121 yang ada di lobby utama gedung
Mahkamah Agung.
Semula rencananya masyarakat yang ingin mengetahui
informasi mengenai kasus tertentu di Mahkamah Agung tidak perlu
datang ke Mahkamah Agung namun cukup menelpon nomor 121
kemudian akan dijawab oleh mesin penjawab (answering machines)
yang otomatis (tanpa operator). Namun rencana ini gagal karena harga
mesin penjawab melonjak jauh setelah krisis ekonomi tahun 1997.
Informasi yang dapat diberikan oleh layanan Akses 121 ini adalah
berupa informasi mengenai:
1) Tanggal diterima suatu perkara di direktorat;
2) Tanggal dan nomor register;
3) Bulan pendistribusian perkara;
4) Tim yang menangani (perkara);
5) Susunan majelis (dalam Tim);
6) Nama panitera pengganti;
7) Tanggal musyawarah (putusan);
8) Tanggal (perkara) diputus;
9) Amar singkat (putusan);
10) Tanggal kirim (putusan);
11) Nomor kirim (putusan).
Selain akses 121, masyarakat juga dapat mengakses website
Mahkamah Agung dan mendapatkan berbagai informasi yang di
132
butuhkan. Keberadaan situs Mahkamah Agung merupakan sebuah
terobosan yang bagus dalam memberikan pelayanan informasi kepada
publik. Dari websitenya juga dapat mendapatkan informasi tentang
kasus-kasus yang di perkarakan dan juga informasi lainnya.
Kelemahan dalam pengisian informasi yang lengkap dan up date tidak
terlepas dari tidak adanya unit kerja khusus di Mahkamah Agung yang
diberikan tanggungjawab untuk mengelola situs Mahkamah Agung.
Untuk menyebarluaskan putusan Mahkamah Agung, khususnya
yang telah dijadikan yurisprudensi, ke pengadilan-pengadilan dan
masyarakat, sudah sejak lama Mahkamah Agung menerbitkan (dalam
bentuk buku) kumpulan putusan Mahkamah Agung. Yurisprudensi di
sini dalam artian Indonesia, yaitu putusan Mahkamah Agung atas suatu
masalah hukum tertentu yang dianggap dapat menjadi pedoman bagi
pengadilan di bawah Mahkamah Agung saat mereka memutus perkara
yang serupa. Penerbitan putusan oleh Mahkamah Agung dilakukan
oleh Direktorat Hukum dan Peradilan (Ditkumdil) dan Pusat Penelitian
dan Pengembangan (Puslitbang) Mahkamah Agung.
Putusan yang diterbitkan oleh Direktorat Hukum dan Peradilan
(Ditkumdil) adalah putusan Mahkamah Agung yang telah diseleksi
oleh Tim Khusus dan dianggap layak untuk menjadi yurisprudensi.
Nama publikasi tersebut disesuaikan dengan tahun terbitannya
misalnya ‘Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2002’. Penerbitkan
buku tersebut biasanya dilakukan setiap tahun. Sedangkan putusan
133
yang diterbitkan oleh Puslitbang adalah hasil kajian atau penelitian
terhadap putusan suatu kasus yang dianggap menarik. Penerbitan oleh
Puslitbang ini belum dilakukan secara reguler.
2) Pengembangan Sistem Teknologi Informasi
Dukungan informasi yang lengkap, tercatat, terolah, mudah
diakses dan up to date merupakan hal yang esensial untuk mendukung
kerja suatu organisasi, apalagi organisasi besar dengan fungsi yang
kompleks seperti Mahkamah Agung. Untuk dapat memutus perkara
secara konsisten misalnya, Hakim Agung memerlukan informasi
mengenai putusan Mahkamah Agung terdahulu atas kasus serupa.
Untuk menetapkan mutasi dan promosi seorang hakim, Mahkamah
Agung membutuhkan data track record hakim yang akan dimutasi.
Dan seterusnya. Permasalahannya, sampai saat ini Mahkamah Agung
tidak memiliki suatu sistem informasi yang memadai untuk
mendukung pelaksanaan fungsinya.
Sejak Juni 2008 sampai Oktober 2008, sudah 250 pengadilan
dari sekitar 700 pengadilan di seluruh Indonesia95 sudah memiliki
website, hal ini berpengaruh terhadap sistem informasi manajeman di
Mahkamah Agung. Namun kendalanya adalah masih ada daerah-
daerah yang belum bisa menerapkan secara maksimal teknologi
informasi tersebut.
95 Reformasi Peradilan Dalam Rangka Reformasi Birokrasi, dalam Seminar: Effective and Efficient Bureaucracy Reform in Indonesia Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta 3-4 Desember 2008
134
Uraian mengenai tinjauan sejarah dan perkembangan dinamika
Mahkamah Agung, diperoleh adanya perubahan dan pembaruan dari
adanya unsur sistem Common Law, maka apabila dikomparasikan
dengan penerapan sistem yang ada di negara penganut sistem Common
Law seperti halnya Negara Singapura, maka dapat posisi sistem hukum
Indonesia telah bergeser dengan mengadopsi sistem yang dianut
Negara Singapura yang penjabarannya sebagai berikut:
Singapura96
Sistem Peradilan di suatu negara masing-masing dipengaruhi oleh
sistem hukum yang dianut oleh negara tersebut. Seperti halnya sistem
hukum Civil Law (Civil Code) yang terkodifikasi, Sistem ini berasal dari
hukum Romawi yang dipraktekkan oleh negara-negara Eropa
Kontinental, termasuk bekas jajahannya. Sedangkan Common Law,
hukum yang berdasarkan custom. kebiasaan berdasarkan preseden atau
judge made law, sistem hukum ini dipraktekkan di negara-negara Anglo
Saxon, seperti Inggris dan Amerika Serikat Tahun 1993 Penghapusan
semua upaya banding ke Dewan Penasehat (Privy Council) (pada 1989,
upaya-upaya banding ke Privy Council dilarang keras). Suatu Pengadilan
Banding (Court of Appeal) yang permanen, dipimpin oleh Hakim Kepala
(Chief Justice) dan dua Hakim Banding (Justices of Appeal), ditetapkan
sebagai pengadilan tertinggi Singapura. Pada bulan November 1993,
Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of
96 http://aliwangsa.blogspot.com/2011_10_01_archive.html (diakses pada 4 Mei 2015)
135
English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev Ed) diberlakukan dan menentukan
sejauh mana hukum Inggris dapat diterapkan di Singapura.
Tanggal 11 Juli 1994 Suatu Pernyataan Praktek tentang Preseden
Yudicial mengenai (The Practice Statement on Judicial Precedent) yang
penting menyatakan bahwa keputusan-keputusan pengadilan Singapura
terdahulu, yaitu Dewan Penasehat (Privy Council), demikian juga
keputusan-keputusan Pengadilan Banding (Court of Appeal) yang
dikeluarkan sebelumnya tidak lagi mengikat Pengadilan Banding
permanen. The Practice Statement memberikan alasan bahwa
“pembangunan hukum kita harus menunjukkan perubahan-perubahan ini
bahwa “Keadaan politik, sosial dan ekonomi telah mengalami perubahan
sangat besar sejak kemerdekaan Singapura serta menunjukkan nilai-nilai
fundamental masyarakat Singapura”. Kepercayaan diri yang meningkat
dalam pertumbuhan kedewasaan, kedudukan sistem hukum Singapura di
dunia internasional, serta kekhawatiran bahwa hubungan Inggris yang
meningkat dengan Uni Eropa akan mengakibatkan hukum Inggris
menjadi tidak cocok lagi dengan perkembangan dan aspirasi dalam
Negeri Singapura, telah memberikan dorongan untuk upaya-upaya
pembentukan hukum sendiri.
Sebelum diundangkannya Undang-undang tentang Penerapan
Hukum Inggris (The Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev
Ed), Piagam Keadilan Kedua (The Second Charter of Justice)
menetapkan dasar hukum bagi penerimaan secara umum prinsip-prinsip
136
dan aturan-aturan hukum Inggris (common law and equity) dan undang-
undang Inggris setelah tahun 1826 di Singapura, dengan syarat harus
memperhatikan kecocokan dan modifikasi sesuai kebutuhan dalam
negeri. Namun, kesulitannya adalah tidak seorang pun yang tahu dengan
pasti yang manakah dari undang-undang Inggris tersebut yang diterapkan
di sini (bahkan undang-undang yang di Inggris telah dicabut).
Permasalahan ini menunjukkan dengan jelas penerimaan hukum
Inggris secara spesifik berdasarkan Section 5 (sekarang sudah dicabut)
dari Undang-undang tentang Hukum Perdata (The Civil Law Act; Cap
43, 1988 Rev Ed) yang menetapkan bahwa jika ada suatu pertanyaan atau
masalah yang timbul di Singapura mengenai kategori hukum tertentu
atau tentang hukum yang menyangkut perdagangan secara umum, maka
hukum yang diterapkan dalam hal ini adalah hukum yang sama yang
diterapkan di Inggris pada kurun waktu yang sama pula, kecuali jika
terdapat ketentuan lain berdasarkan suatu hukum yang berlaku di
Singapura. Sampai dengan dicabut pada tahun 1993, hal ini merupakan
ketentuan penerimaan yang penting dalam kitab-kitab undang-undang
Singapura. Pencabutannya juga telah menghapus banyak ketidakpastian
dan keadaan-keadaan yang tidak memuaskan yang timbul dari suatu
negara berdaulat, yang hingga kini sangat bergantung pada hukum dari
bekas negara penjajahnya.
Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The
Application of the English Law Act) menetapkan bahwa Common Law
Inggris (termasuk prinsip-prinsip dan aturan-aturan tentang keadilan),
137
sepanjang masih menjadi bagian dari hukum Singapura sebelum 12
November 1993, akan tetap menjadi bagian dari hukum Singapura.
Section 3 (tiga) dari Undang-undang tersebut menetapkan bahwa
bagaimanapun common law akan tetap berlaku di Singapura sepanjang
hal tersebut dapat diterapkan pada keadaan-keadaan di Singapura dan
harus dimodifikasi jika keadaan khusus di Singapura
mengharuskannya. Section 4, dibaca bersamaan dengan The First
Schedule, menentukan pengundangan peraturan-peraturan Inggris (baik
seluruhnya maupun sebagian), dengan modifikasi yang diperlukan, yang
diberlakukan atau terus diberlakukan di Singapura. Section 7
menetapkan berbagai perubahan pada undang-undang dalam negeri,
dengan memasukkan peraturan hukum Inggris yang relevan.
Common Law digaris bawahi (penting) dari bentuk dasar politik
hukum Singapura. Singapura telah mewarisi tradisi Common Law
Inggris dan karenanya telah menikmati manfaat-manfaat kestabilan,
kepastian dan internasionalisasi yang inheren dalam sistem Inggris
(khususnya dalam bidang komersial atau perdagangan). Singapura
memiliki akar Common Law sebagai sistem hukum yang berasal dari
negara Inggris yang sama dengan yang dimiliki negara-negara
tetangganya (seperti India, Malaysia, Brunei dan Myanmar), walaupun
detil penerapan dan pelaksanaan dari masing-masing negara berbeda
sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan setiap negara.
Pada intinya, sistem hukum Common Law Singapura dicirikan
dari doktrin Preseden Yudisial (atau stare decisis). Berdasarkan doktrin
138
ini, hukum itu dibangun dan dikembangkan terus oleh para hakim
melalui aplikasi prinsip-prinsip hukum pada fakta-fakta dari kasus-kasus
tertentu. Dalam hal ini, para hakim hanya diwajibkan untuk menerapkan
ratio decidendi (atau alasan yang mempengaruhi diambilnya suatu
keputusan) dari pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi dalam hirarki
yang sama. Jadi, di Singapura, ratio decidendi yang terdapat dalam
keputusan-keputusan Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court
of Appeal) secara ketat mengikat Pengadilan Tinggi Singapura
(Singapore High Court), Pengadilan Negeri (District Court) dan
Pengadilan Magistrat (Magistrate’s Court). Di lain pihak, keputusan-
keputusan pengadilan Inggris dan negara-negara Persemakmuran lainnya
tidak secara ketat mengikat Singapura. Pernyataan-pernyataan yudisial
lainnya (obiter dicta) yang dibuat dalam keputusan pengadilan yang
lebih tinggi tingkatannya, yang tidak secara langsung mempengaruhi
hasil akhir suatu kasus, dapat diabaikan oleh pengadilan yang lebih
rendah tingkatannya.
Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute
Resolution-ADR) sedang tumbuh berkembang dengan pesat dari segi
urgensinya di Singapura, sebagai cara penyelesaian sengketa berbagai
masalah mulai dari konflik-konflik dalam negeri dan sosial hingga
sengketa-sengketa hukum lintas batas negara berskala besar. ADR,
dengan negosiasi/negotiation, mediasi (mediation) dan
arbitrase/arbitration sebagai cara-cara utama yang dipraktekkan di
Singapura, telah dipromosikan secara luas sebagai cara yang efektif,
139
efisien dan ekonomis untuk menyelesaikan sengketa berspektrum luas
dalam berbagai jenis keadaan atau setting. ADR secara tentatif telah
dimulai pada tahun 1980-an pada saat Pemerintah telah melihat
kemungkinan Singapura menjadi pusat penyelesaian sengketa yang
penting, sehingga mengambil manfaat posisi geografisnya serta
mewujudkan cita-cita membangun Singapura menjadi pusat bisnis satu
titik (one-stop business centre) secara total. Tujuan nyata lainnya adalah
untuk mencegah agar Singapura tidak menjadi masyarakat yang terlalu
cepat atau terlalu mudah menggugat ke pengadilan. Mediasi terpilih
sebagai cara yang sesuai dengan tradisi dan budaya Asia Singapura.
Bersamaan dengan misi Singapura untuk menjadi pusat bisnis
secara total, upaya-upaya besar pun telah dilakukan agar Singapura dapat
menjadi pusat penyelesaian sengketa yang penting (seperti halnya
London, New York dan Paris). Pemerintah Singapura merupakan
promotor kuat ADR dan telah menyiapkan kerangka kerja substantif dan
infrastruktural untuk mendukung upaya-upaya tadi. Badan Yudikatif pun
secara mantap berdiri di belakang inisiatif-inisiatif ADR dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa dan Aturan-aturan Pengadilan (Rules
of Court, Caption 322, Rule 5, 1999 Rev Ed) yang dikeluarkannya telah
memberikan kesempatan yang cukup bagi penerapan ADR dalam
kerangka litigasi. Berbagai cara ADR dapat tetap diandalkan meskipun
proses persidangan litigasi telah dimulai. Misalnya, para penggugat atau
kuasa hukumnya dapat mengajukan perkara ke pengadilan untuk
masalah yang akan dirujuk ke mediasi atau secara langsung
140
mengajukannya ke Pusat Mediasi Singapura/Singapore Mediation
Centre.
Pada tahun 1986, Singapura telah meratifikasi Konvensi New
York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase
Asing (the 1958 New York Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards). Berdasarkan Konvensi ini,
setiap Negara anggota diharuskan mengakui dan melaksanakan
keputusan-keputusan arbitrase yang dikeluarkan di Negara anggota
lainnya. Keputusan Arbitrase yang dikeluarkan di Singapura dapat
diberlakukan di 120 negara/yurisdiksi. Undang-undang tentang Arbitrase
Internasional (International Arbitration Act, Caption 143A, 2002 Rev
Ed), yang memasukkan Komisi PBB tentang Hukum Perdagangan
Internasional sebagai Model Hukum tentang Arbitrase Niaga
Internasional (the United Nations Commission on International Trade
Law-UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration),
telah memberlakukan Konvensi tersebut.
Pada tahun 1991, didirikanlah Pusat Arbitrase Internasional
Singapura (Singapore International Arbitration Centre-SIAC). Diikuti
kemudian dengan pembentukan Pusat Mediasi Singapura (Singapore
Mediation Centre-SMC) pada tahun 1997. Mediasi sengketa perdata
pertama kali diperkenalkan di Subordinate Courts melalui Pusat Mediasi
Pengadilan (Court Mediation Centre) pada tahun 1994. Sejak itu,
mediasi secara rutin dilaksanakan di Tribunal Gugatan Kecil (Small
Claims Triubunals), Pengadilan Keluarga (Family Courts), Pengadilan
141
Anak-anak (Juvenile Courts) dan Kementerian Pembinaan Masyarakat,
Pemuda dan Olah Raga dari Tribunal Orangtua (Ministry of Community,
Youth and Sports’ Maintenance of Parents Tribunal, Caption 167B).
Sebagai bagian dari upaya nasional untuk membina budaya
penggunaan mediasi, Undang-undang tentang Pusat Mediasi Masyarakat
(Community Mediation Centres - CMCs, Caption 49A, 1998 Rev Ed)
telah diundangkan pada tahun 1997 untuk memimpin/menjadi
percontohan upaya-upaya mediasi masyarakat, yang dipandang sebagai
cara yang efektif untuk menyelesaikan sengketa-sengketa hubungan
(relational disputes) di lapangan, khususnya dalam bidang multi-rasial
dan multi-agama Singapura. Sekarang ini terdapat 4 CMCs regional dan
7 tempat mediasi satelit (satellite mediation venues). Penekanannya
adalah untuk mengembangkan suatu model mediasi Asia dengan
mengindahkan peranan para pemimpin tradisional atau adat dari berbagai
ras yang sangat berpengaruh dan sudah menjadi kebiasaan, seperti
penghulu (kepala kampung Melayu), panchayat (dewan masyarakat
India) dan pemimpin klan dari asosiasi klan-klan Cina, dalam menengahi
mediasi para pihak yang bersengketa dalam komunitasnya masing-
masing.
Dalam persaudaraan hukum Singapura, di bawah pimpinan Badan
Yudikatif, upaya-upaya dilaksanakan untuk mendorong penerimaan
ADR di kalangan para lawyer dan para kliennya, sebagai suatu cara
penyelesaian sengketa yang lebih memuaskan, lebih cepat dan lebih
murah. Pada bulan April 2003, Hakim Judith Prakash telah diangkat oleh
142
Hakim Kepala Chief Justice untuk memimpin semua masalah arbitrase
yang diajukan ke hadapan Pengadilan Tinggi (High Court). Hal ini
merupakan bagian dari tujuan Badan Yudikatif untuk memastikan
Bahwa Para Hakim yang memenuhi syarat keahlian dan pengalaman
akan memimpin penanganan kasus-kasus dalam bidang-bidang hukum
dan praktek perdagangan yang dikhususkan.
Pengadilan yang lebih rendah tingkatannya, dalam beberapa
kasus, dapat menghindarkan diri dari keharusan menerapkan ratio
decidendi dari keputusan pengadilan yang lebih tinggi yang dikeluarkan
sebelumnya, jika (a) pengadilan tersebut dapat membedakan secara
material fakta-fakta kasus yang dibawa ke hadapannya dengan fakta-
fakta dari keputusan yang sebelumnya pernah diambil oleh pengadilan
yang lebih tinggi; atau (b) keputusan pengadilan yang lebih tinggi
tersebut memang dibuat secara per incuriam (yaitu, tanpa menghiraukan
doktrin stare dicisis).
Pengaruh besar dari hukum Common Law Inggris pada
perkembangan hukum Singapura secara umum lebih terbukti dari
beberapa bidang Common Law tradisional (seperti Perjanjian atau
Contract, Perbuatan Melawan Hukum atau Tort dan Restitusi atau
Restitution, daripada bidang-bidang lain yang didasarkan pada undang-
undang seperti Hukum Pidana (Criminal Law), Hukum Perusahaan
(Company Law) dan Hukum Pembuktian (Law of Evidence). Mengenai
bidang-bidang yang didasarkan pada undang-undang ini, negara-negara
lain seperti India dan Australia telah amat mempengaruhi dari segi
143
pendekatan dan isi dari beberapa undang-undang Singapura tersebut.
Namun, akhir-akhir ini tendensi pengadilan di Singapura yang
dahulu selalu mengindahkan keputusan-keputusan Inggris telah secara
signifikan mulai beralih menuju ditinggalkannya pengadilan-pengadilan
Inggris tersebut (bahkan untuk bidang-bidang tradisional common
law). Bahkan saat ini terdapat pengakuan yang lebih besar pada
yurisprudensi lokal di dalam perkembangan common law di Singapura.
Dua contoh yang terjadi baru-baru ini, akan memberikan
gambaran yang cukup jelas tentang hasrat Singapura mengembangkan
sistem dan badan hukum sendiri. Dalam bidang perbuatan melawan
hukum (torts), pengadilan-pengadilan Singapura telah secara sadar
menyimpang dari exclusionary rule dalam kasus Inggris Murphy vs
Pengadilan Negeri Brentford (1991) sehingga memungkinkan pemulihan
kerugian secara ekonomi yang timbul dari tindakan kelalaian (negligent
acts) atau kegagalan melakukan sesuatu (omissions) berdasarkan kasus
Anns vs Merton (1978). Dalam kasus yang baru-baru ini terjadi, dalam
bidang hukum perjanjian, yaitu kasus Chwee Kin Keong v
Digilandmall.com Pte .Ltd (2005) di Pengadilan Banding Singapura
(Singapore Court of Appeal), pengadilan tersebut telah memilih untuk
tidak mengadopsi pendapat dalam putusan Pengadilan Banding Inggris
(the English Court of Appeal) dalam kasus Great Peace Shipping Ltd v
Tsavliris Salvage (International) .Ltd (2002) mengenai yurisdiksi yang
adil (equity jurisdiction) dalam hal terjadi kesalahan unilateral.
Kebutuhan untuk memiliki sistem hukum sendiri ini secara lebih jauh
144
telah didorong oleh adanya perkembangan-perkembangan hukum Uni
Eropa dan dampaknya bagi sistem Inggris.
Sistem common law di Singapura mengandung perbedaan yang
material dengan sistem hukum di beberapa negara Asia lainnya yang
telah dipengaruhi oleh tradisi sistem civil law (seperti RRC, Vietnam dan
Thailand) atau negara-negara yang sistem hukumnya merupakan
campuran dari sistem civil law dan common law (Indonesia).
Pertama-tama, sistem civil law tidak terlalu mengandalkan diri
pada putusan pengadilan yang telah ada sebelumnya dan tidak tunduk
pada doktrin stare decisis, tidak seperti halnya sistem common law,
pengadilan-pengadilan common law seperti di Singapura pada umumnya
mengambil pendekatan yang berlawanan (adversarial approach) di
dalam proses litigasi antara para pihak yang bersengketa sedangkan
hakim dari sistem civil law bertendensi untuk mengambil peran yang
lebih aktif di dalam penemuan bukti dalam memutuskan perkara yang
dihadapinya. Ketiga, di dalam sistem common law, banyak prinsip-
prinsip hukum yang telah dikembangkan oleh para hakim sedangkan
hakim dalam sistem civil law lebih mengandalkan diri pada kitab
undang-undang yang umum dan lengkap yang mengatur berbagai bidang
hukum.
Akan tetapi, perbedaan antara sistem hukum common law dan
civil law sekarang menjadi lebih tidak kentara dibandingkan dengan
masa yang lampau. Yurisdiksi common law, misalnya, telah mulai
membuat peraturan-peraturan untuk mengisi kesenjangan yang terjadi di
145
dalam sistem common law. Dalam hal ini, Singapura baru-baru ini telah
mengundangkan berbagai undang-undang untuk mengatur berbagai
bidang hukum tertentu (misalnya Contract (Rights of Third Parties) Act
2001 (Cap 53B, 2002 Rev Ed), Competition Act 2004 (No 46 of 2004)
dan Consumer Protection (Fair Trading) Act) (Cap 52A, 2004 Rev Ed).
Menurut sejarah, di Inggris, prinsip Equity (atau raga dari prinsip-
prinsip keadilan (fairness or justice) telah diterapkan oleh pengadilan-
pengadilan untuk memperbaiki cacat atau kelemahan yang inheren dalam
sistem common law yang kaku. Pada masa yang lalu di Inggris,
pengadilan-pengadilan Chancery (Chancery Courts) menjalankan Equity
secara terpisah dari pengadilan-pengadilan common law. Namun,
demarkasi sejarah tersebut tidaklah penting bagi Singapura di masa kini.
Menurut Undang-undang Hukum Perdata Singapura (Singapore
Civil Law Act, Cap 43, 1999 Rev Ed), pengadilan-pengadilan Singapura
diberi wewenang untuk menjalankan common law dan equity secara
bersamaan. Dampak praktisnya adalah penggugat dapat mencari upaya-
upaya hukum secara Common Law mengenai Ganti rugi (Damages) dan
secara equity (termasuk Putusan Sela (Injunctions) dan Pelaksanaan Janji
Tertentu (Specific Performance) dalam persidangan yang sama dan di
hadapan pengadilan yang sama pula. Meskipun telah ada penghapusan
pemisahan Common Law-Equity, prinsip Equity telah memegang peran
yang bersifat menentukan, dalam perkembangan doktrin-doktrin tertentu
dalam hukum perjanjian, termasuk doktrin Undue Influence dan
Promissory Estoppel. Tanpa adanya publikasi secara reguler tentang
146
preseden-preseden yudisial yang dapat diakses oleh para hakim dan
penasehat hukum, maka common law Singapura tidak akan berkembang
sepesat dan seekstensif sekarang. Laporan-laporan Hukum Singapura
(Singapore Law Reports) merupakan publikasi utama/penting bagi
putusan-putusan pengadilan Singapura sejak 1992. Sebelumnya,
Malayan Law Journal merupakan sumber publikasi kasus-kasus lokal
sejak 1932. Buku-buku hukum dan artikel-artikel jurnal mengenai
bidang-bidang yang penting juga telah memberikan sumbangan bagi
common law Singapura yang sedang tumbuh.
Hakim di Singapura adalah Arbiter baik dari segi hukum maupun
fakta. Sistem juri/jury system telah secara keras dibatasi di Singapura
dan akhirnya dihapuskan sepenuhnya pada tahun 1970. Wewenang
yudisial diberikan kepada Mahkamah Agung atau Supreme Court (yang
terdiri dari Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal)
dan Pengadilan Tinggi (High Court) dan kepada Pengadilan-pengadilan
Yang Lebih Rendah atau Subordinate Courts.
Pengadilan tertinggi di Singapura adalah Pengadilan Banding
permanen Court of Appeal, yang menangani kasus-kasus banding baik
perdata maupun pidana, yang berasal dari Pengadilan Tinggi (High
Court) dan Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah (Subordinate
Courts). Sebagai tonggak sejarah hukum yang penting di Singapura,
pada tahun 1994, pengajuan-pengajuan banding ke Privy Council di
Inggris dihapuskan. Pada tanggal 11 Juli 1994, suatu Pernyataan tentang
Preseden Yudisial (Practice Statement on Judicial Precedent) yang
147
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Singapura memberikan penjelasan
bahwa Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal) tidak
terikat pada keputusan-keputusannya sendiri maupun pada keputusan-
keputusan terdahulu Privy Council. Namun, Pengadilan Banding
Singapura (Singapore Court of Appeal) akan tetap menganggap
keputusan-keputusan tersebut mengikat secara normal, meskipun
pengadilan tersebut dapat menyimpang dari preseden terdahulu jika
dianggap benar untuk melakukannya.
Para Hakim Pengadilan Tinggi/High Court Judges menikmati
jaminan masa tugas untuk jangka waktu tertentu, sementara para
Komisaris Yudisial (Judicial Commissioners) diangkat berdasarkan
kontrak jangka pendek. Namun demikian, keduanya mempunyai
wewenang yudisial dan imunitas yang sama. Wewenang yudisial mereka
meliputi yurisdiksi tingkat awal (original) maupun tingkat banding
(appellate) baik untuk perkara perdata maupun pidana. Pengangkatan
para Hakim Pengadilan Tinggi baru-baru ini, yang khusus untuk
menangani perkara arbitrase di Pengadilan Tinggi, telah menambah 2
jenis pengadilan khusus yang telah ada, yaitu: Pengadilan Maritim
(Admiralty Court) dan Pengadilan Hak Milik Intelektual (Intellectual
Property Court). Tribunal Konstitusional (Constitutional Tribunal)
khusus juga telah dibentuk yang berada di bawah yurisdiksi Mahkamah
Agung (Supreme Court), untuk menangani pertanyaan-pertanyaan yang
berdampak pada ketentuan-ketentuan konstitusional yang diserahkan
oleh Presiden Terpilih.
148
Pengadilan-pengadilan yang lebih rendah (Subordinate Courts)
yang terdiri dari Pengadilan Negeri (District Courts), Pengadilan
Magistrat (Magistrates’ Courts), Pengadilan Anak-anak (Juvenile
Courts), Coroners Courts serta Tribunal Gugatan Kecil (Small Claims
Tribunals) juga telah dibentuk dalam hirarki yudisial Singapura untuk
melaksanakan keadilan dalam masyarakat. Dengan adanya peningkatan
kecanggihan dalam dunia transaksi bisnis dan hukum, baru-baru ini telah
dibentuk Pengadilan Negeri Urusan Niaga Perdata dan Pidana
Commercial Civil and Criminal District Courts dalam Subordinate
Courts, untuk menangani kasus-kasus yang lebih kompleks.
Pengadilan Negeri (District Courts) dan Pengadilan Magistrat
(Magistrates’ Courts) mempunyai wewenang yang sama dalam
penanganan masalah-masalah tertentu seperti gugatan-gugatan yang
mengandung unsur kontraktual dan perbuatan melawan hukum atas
utang, tagihan atau kerugian dan tindakan-tindakan untuk pengembalian
uang. Namun, yurisdiksi mereka dibatasi oleh besarnya nilai perkara,
yaitu untuk kasus-kasus perdata senilai $ 60.000 Dolar Singapura untuk
Pengadilan Magistrat dan $ 250.000 Dolar Singapura untuk Pengadilan
Negeri. Pengadilan-pengadilan itu juga mempunyai perbedaan dari segi
wewenang menghukum secara pidana. Batasan masa kurungan yang
ditetapkan Pengadilan Magistrat adalah 2 tahun, sedangkan batasan masa
kurungan yang ditetapkan Pengadilan Negeri adalah 7 (tujuh) tahun.
Di lain pihak, Tribunal untuk Gugatan Kecil (Small Claims
Tribunals), dapat menangani kasus secara lebih cepat, hemat dan dengan
149
proses yang tidak terlalu formal untuk memutuskan kasus-kasus gugatan
kecil dengan batasan sebesar $20.000 Dolar Singapura (asalkan para
pihak yang bersengketa sama-sama menyetujui secara tertulis).
Di samping pengadilan-pengadilan yang disebutkan di atas,
Pengadilan Keluarga (Family Courts) menangani masalah-masalah
perceraian, pemeliharaan, perwalian dan adopsi. Badan Yudikatif juga
telah mengambil langkah-langkah penting dalam memanfaatkan
teknologi informasi di pengadilan, yang telah meningkatkan tingkat
efisiensi, setidaknya untuk sebagian hal. Pengadilan Berteknologi,
misalnya, telah didirikan untuk memungkinkan adanya information
sharing di antara para pengacara dan hakim dan pengajuan bukti-bukti
oleh para saksi melalui konferensi video. Upaya-upaya hukum yang
melibatkan suatu perusahaan atau seseorang individu dapat dimonitor
melalui suatu fasilitas yang disebut Casewatch. Sistem Pengarsipan
Elektronik (Electronic Filing System (EFS)), suatu proyek gabungan
antara Badan Yudikatif, Singapore Network Services and Singapore
Academy of Law, untuk memungkinkan pengarsipan, ekstraksi dan
penyampaian dokumen-dokumen pengadilan serta pelacakan kasus
secara elektronik, sekarang juga telah mencapai tahap penyempurnaan
kembali untuk meningkatkan pelayanan pada para pemakai jasa.
Berbagai inovasi teknologi informasi telah pula dimanfaatkan untuk
memfasilitasi dan menyederhanakan berbagai proses pidana, yaitu
pendaftaran dan pengelolaan kasus-kasus pidana (SCRIMS), pemrosesan
150
biaya-biaya lalu lintas antara Polisi dan Pengadilan (TICKS 2000) dan
pembayaran denda-denda pelanggaran lalu lintas yang kecil (ATOMS).
B. Visi Dan Misi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung berhasil merumuskan visi pada 10 September 2009.
Visi tersebut adalah “terwujudnya badan peradilan Indonesia yang agung”.
Misi mahkamah Agung dirumuskan dalam rangka mencapai visinya, atau
dengan kata lain, untuk mewujudkan pelaksanaan tuas pokok dan fungsibadan
peradilan yang optimal. Seperti diuraikan di atas, focus dari pelaksanaan tugas
pokok dan fungsi badan peradilan adalah penyelenggaraan pengadilan, yaitu
memutus suatu sengketa atau mnyelesaikan suatu masalah hukum guna
menegakkan hukum dan keadilan. Misi Mahkamah Agung 2010-2035 adalah:
1. Menjaga kemandirian badan peradilan
2. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan
3. Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan
4. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan
C. Tugas dan Kewenangan Mahkamah Agung
Dasar Hukum mengenai Mahkamah Agung diaur dalam Dasar Negara
pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 24 huruf A ayat (1),
Pasal 24 huruf C ayat (3). Eksistensi Mahkamah Agung sebagai Lembaga
Yudikatif memiliki tugas, kewenangan dan fungsi Mahkamah Agung.
Pengertian Mahkamah Agung menurut Ketentuan Umum, Pasal 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu
151
Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Beberapa kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan dalam Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
- Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan peradilan bersama
mahkamah Konstitusi dengan tugas dan kewenangan masing-masing yang
berbeda. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
- “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.”
- Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan peradilan bersama
mahkamah Konstitusi dengan tugas masing-masing yang berbeda.
- Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara”.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi melaksanakan Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung
membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Mahkamah Agung
membawahi suatu Pengadilan Khusus sesuai dengan Pasal 27 Undang-
152
Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan
bahwa: “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung”, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 dinyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan “pengadilan
khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak
asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan
industrial dan pengadilan perikanan yang berada di ingkungan peradilan
umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha
negara”.
Selanjutnya Pasal 39 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan
peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung berwenang:
- Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan
lain;
- Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang; dan kewenangan lainnya yang diberikan
undang-undang.
- Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan
nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan
dan tempat pengajuan Peninjauan Kembali.
153
Kemudian Pasal 22 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung dapat memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan
lembaga pemerintahan. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau
keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dalam Pasal tersebut
Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan
nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan
dan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang. Pimpinan Mahkamah Agung bersama
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa menjadi saksi pengambilan
sumpah Presiden dan Wakil Presiden apabila Majelis Permusyawaratan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat terdapat suatu hal yang bersifat
memaksa atau keadaan lain yang membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat
atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa menyelenggarakan sidang.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Jika Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat
mengadakan sidang Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama,
atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan pimpinan Majelis
154
Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah
Agung. ”Mahkamah Agung bisa memberikan pertimbangan kepada Presiden
dalam hal Pemberian Grasi dan Rehabilitasi. Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
”Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
Peran Mahkamah Agung dalam pengajuan Hakim Konstitusi. Pasal 34
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah
Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh
Presiden.
D. Fungsi Mahkamah Agung
Fungsi-fungsi Mahkamah Agung menurut Undang-Undang diantaranya
sebagai berikut: 97
1. Fungsi Peradilan
a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan
pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam
penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali
menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah
negara Republik Indonesia diterapkan secara adil, tepat dan benar.
97 http://mahkamahagung.go.id data diperbaharui dalam penyesuaian Undang-Undang (diakses tanggal 21 Mei 2015).
155
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung
berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan
terakhir
- semua sengketa tentang kewenangan mengadili;
- permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29, 30, 33 dan 34
Undang-Undang Mahkamah Agung);
- semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan
peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang
Mahkamah Agung)
c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu
wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan
dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau
dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat
yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-Undang Mahkamah Agung).
2. Fungsi Pengawasan
a) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya
peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan
yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan
seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan
156
Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 ayat (2)
Juncto Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Nomor 48 Tahun 2009);
b) Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
- terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan
perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman,
yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan
meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan
teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk
yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang
menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. Fungsi Mengatur
a) Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan
bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal
yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah
Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan
157
hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan
(Pasal 27, Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung).
b) Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana
dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur
Undang-undang.
4. Fungsi Nasihat
a) Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara
lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung). Mahkamah Agung
memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam
rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang
Mahkamah Agung). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan
kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku
Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam
memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat
ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
pelaksanaannya.
b) Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi
petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam
rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
158
Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung).
5. Fungsi Administratif
a) Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud
Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 secara
organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada
dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11
(1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah
kekuasaan Mahkamah Agung.
b) Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,
susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-
undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang
No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).
6. Fungsi Lain-Lain
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2
ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 serta Pasal 38 Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas
dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
159
E. Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengenai
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam Mewujudkan Keadilan
Kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana diatur dalam
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua
Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan
Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai Pancasila, ketentuan
dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang
Mahkamah Agung. Secara lebih konkret MA telah menerbitkan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006 tentang Pedoman
Perilaku Hakim, yang kemudian dijabarkan sangat rinci dalam Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.98
Kewajiban hakim memahami substansi perkara, termasuk proses
acaranya, diatur dalam Pasal 4 ayat (13) Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor: 15/KMA/SK/XII/2007 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim, bahwa Hakim berkewajiban
mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar
dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan
bagi setiap pencari keadilan. Untuk memahami secara utuh atas suatu
perkara maka sebagaimana diatur dalam ayat (3), hakim harus
98 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan, Laporan Akhir. Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 2.
160
memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari
keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses
hukum di Pengadilan. Ini semua dilaksanakan hakim dalam rangka
memberikan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) bahwa
hakim harus memberi keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad
semata-mata untuk menghukum.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat dipahami bahwa hakim
wajib selalu meningkatkan kemampuan dalam memahami perkembangan
ilmu pengetahuan dan hukum melalui pendidikan formal, pendidikan dan
pelatihan, atau diskusi ilmiah. Langkah ini dapat memperluas pengetahuan
dan pemahaman hakim terhadap hukum dan masyarakat pengguna hukum
sehingga dapat memahami perkara dengan cara pandang yang
komprehensif, dan sensitif terhadap kebutuhan keadilan masyarakat. Hal
ini selaras dengan Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim Pasal 4
ayat (18) bahwa Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk
memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kualitas
pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.Selain
itu, langkah ini juga merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 50 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
bahwa Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan,
juga memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.99
99 Ibid
161
Sebagai Implementasi dalam mewujudkan keadilan dengan
bertujuan tercapainya kemandirian Peradilan (Pengadilan) yang ada di bawah
Mahkamah Agung, maka perlu memperhatikan pembentukan sifat
diantaranya: netral (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan
berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum,
kepastian hukum dan keadilan merupakan persyaratan mutlak dalam sebuah
negara yang berdasarkan hukum. Oleh karena itu Mahkamah Agung dan
komisi yudisial menetapkan Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku
sebagai berikut :
1) Berperilaku Adil;
2) Berperilaku Jujur;
3) Berperilaku Arif dan Bijaksana;
4) Bersikap Mandiri;
5) Berintegritas Tinggi;
6) Bertanggung Jawab;
7) Menjunjung Tinggi Harga Diri;
8) Berdisplin Tinggi;
9) Berperilaku Rendah Hati;
10) Bersikap Profesional.
162
BAB III
PENGATURAN MAHKAMAH AGUNG MENURUT KAPASITAS
SEBAGAI JUDEX JURIS BERKAITAN DENGAN KEMAMPUAN
MENILAI FAKTA SEBAGAI JUDEX FACTIE
A. Sejarah Mahkamah Agung Melalui Pengaturan Sebagai Judex Juris
sekaligus Berkemampuan Menilai Fakta Sebagai Judex Factie
Mahkamah Agung dalam sistem Peradilan Indonesia sebagai pelaku
Kekuasaan Kehakiman menaungi lembaga peradilan yang berada di bawahnya
yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Militer. Kapasitas Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi yang
berfungsi sebagai penegak keadilan sekaligus penegak hukum, serta
kewenangannya dalam membatalkan atau menguatkan putusan pengadilan dari
semua lingkungan peradilan. Mahkamah agung pula memiliki kewenangan
yudisial dan non yudisial (berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi).
Sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam sebuah negara, pada
kenyataannya di negara yang menganut sistem hukum Common Law maupun
Civil Law, eksistensi Mahkamah Indonesia merupakan suatu keniscayaan artinya
(dapat menggunakan dua sistem hukum), berbeda dengan negara-negara yang
menganut sistem hukum Civil Law saja seperti Belanda dengan Mahkamah
Agung yang bernama Hooge Raad atau Common Law saja sebagaimana di
Inggris Mahakamah Agung disebut House of Lord100. Demikian halnya Perancis
100 Delmar Karlen dalam Danbury: Glorier), 2002, “Court in Common law Countries”, dalam Ensiklopedia Amerika, 28thed, vol. 8, hlm 106.
163
yang merupakan negara yang mengenalkan sistem kasasi dengan memiliki
Mahkamah Agung yang disebut Tribunal de Cassation101 menganut sistem kasasi
sebagai lembaga pengadilan tertinggi. Keberadaan Mahkamah Agung di negara
Civil Law dimaksudkan untuk mengawasi pelaksanaan peradilan tingkat pertama
dan peradilan tingkat bandng dalam penerapan undang-undang yang dibuat oleh
badan legislatif. Cikal bakal lembaga yang menangani perkara kasasidinegara
penganut Civil Law adalah Tribunal de Cassation yang dibentuk di Perancis.
Praktik ini merupakan implementasi dari sistem pembagian kekuasaan dalam
ajaran Montesque. Montesque membagi kekuasaan negara dalam tiga divisi, yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif merupakan representasi
dari kedaulatan rakyat karena dalam demokratis Perundang-undangan yang
mengatur hubungan antar warga negara dimana warga negara dengan pemerintah
harus dibuat oleh pembuat undang-undang yang berasal dari perwakilan rakyat,
yaitu kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah lembaga yang
mneyelesaikan sengketa antar warga negara, sebab warga negara dengan
Pemerintah diterapkan undang-undang yang mengikat seluruh warga negara dan
Pemerintah yang dibuat oleh lembaga legislatif. Oleh karena itu, menurut
Montesque, kekuasaan yudikatif tidak boleh menyimpang dari undang-undang
dalam menyelesaikan kasus102.
Berdasarkan ajaran Montesque tersebut, Perancis membentuk Tribunal de
Cassation pada tanggal 1 Desember 1790. Lembaga ini bertugas menerima
101 L.J. van Apeldoorn dalam Oetarid Sadino, 1975, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht, terjemahan Cet. 13, Prednya Paramitha, Jakarta. hlm 374.
102 Montesque yang diterjemahkan oleh Anne .M. Cohler, 1992, The Spirit of The Law Cambridge University Press Cet. 3, Cambridge. hlm 58.
164
pengaduan para pihak yang berperkara atas putusan bada yudikatif yang dianggap
bertentangan dengan undang-undang. Tugas Tribunal de Cassation sebatas
meneliti apakah putusan badan yudikatif sesuai dengan undang-undang atau
menyimpang dari undang-undang, maka putusan tersebut akan dibatalkan dan
perkara tersebut diserahkan kembali kepada lembaga yudikatif untuk diperiksa
dan diputus kembali (Renvooi). Jika terjadi kasasi dua kali, maka Trbunal de
Cassation akan meminta badan legislatif untuk membenarkan penafsiran resmi
dari undang-undang yang harus diterapkan dalam perkara yang diputus oleh
badan yudikatif tersebut (rêfêrê obligatoire).
Lembaga Tribunal de Casstaion tersebut dicontoh Belanda dengan nama
Hoge Raad. Namun demikian, terdapat perbedaan antara Hoge Raad dengan
Tribunal de Cassation, yakni Hooge Raad tidak mengenal sistem Renvooi dan
rêfêrê obligatoire, dalam keadaan putusan lembaga peradilan tingkat pertama dan
banding tidak menerapkan undang-undang yang berlaku atau penafsiran undang-
undang yang resmi dari lembaga legislatif, Hoge Raad memutus sendiri perkara
yang diajukan kasasi. Lebih dari itu, dalam penafsiran undang-undang, Hoge
Raad tidak meminta pertimbangan atau nasihat (advise) kepada badan legislatif
sebagaimana Tribunal de Cassation dengan cara rêfêrê obligatoire, akan tetapi
Hoge Raad memutus perkara tersebut dengan menafsirkan undang-undang103.
Sistem lembaga peradilan tertinggi di negara Belanda ini diberlakukan di
Indonesia. Lembaga ini diatur dalam Reglement op de Rechtelijke Organisatie
1847 berdasarkan Koninklijk Besluit tertanggal 16 Mei 1847 yang dimuat dalam
Indische Staatsregelings yang diundangkan dalam Staatbaad tahun 1847 Nomor 103 Op.cit van Apeldoorn, 375
165
23 dengan sebutan Hooggerechtshof. Lembaga Hooggerechtshof ini merupakan
lembaga kasasi bagi peradilan Landraad dan sebaga lembaga banding bagi
peradilan Raad van Justitie, sedangkan upaya kasasi atas putusan Raad van
Justitie yang bandingnya melalui Hooggerechtshof adalah Hoge Raad yang ada
di Belanda104
Karena itu, Soediman Kartohadiprodjo sampai pada keyakinan bahwa
penilaian tentang perilaku manusia itu dalam intinya akan tergantung pada
pandangan hidup manusia yang memunculkan penilaian itu, yakni pada
penglihatan manusia yang melakukan penilaian dari manusia yang
perilakunya dinilai tentang tempat manusia individual di dalam pergaulan
hidup. Dengan keyakinan itu, Soediman Kartohadiprodjo mulai memfokuskan
penelusurannya pada substansi pandangan hidup yang dianut yang tercermin
ke dalam sistem hukum yang ditumbuhkan di dalam masyarakat yang
bersangkutan.105. berbeda dengan masa kolonial Belanda, pada masa
pemerintahan Jepang tidak dikenal dualisme peradilan untuk Bumiputera dan
Eropa. Lembaga peradilan pada masa penjajahan Jepang berlaku untuk semua
golongan kecuali untuk orang Jepang disebut Hooggerechtshof (Saiko Hoin)
sebagai lembaga kasasi, Raad van Justitie (Koto Hoin) sebagai lembaga
tingkat pertama106.
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Mahkamah Agung diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Konstitusi) baik
104 Soetandyo Wignjosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Raja Grafino Persada, Jakarta. hlm 60.
105 Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandagangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, hlm. 22.
106 Op.cit Soetandjo Wignjosoebroto. hlm 184
166
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Serikat 1950 maupun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (versi
Amandemen). Dalam Undang-Undang Dasar tersebut kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya dibawah
naungan Mahkamah Agung. Selanjutnya kekuasaan kehakiman tersebut
dijabarkan lagi dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman secara
berurutan bermula melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1964, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999,
selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan
terakhir diganti kembali dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pembaruan perundang-undangan yang silih berganti dari kemandirian
lembaga yudikatif di Indonesia dipengaruhi oleh sistem Pemerintahan.pada
masa awal kemerdekaan, dimana semangat demokrasi sangat dihormati,
lembaga yudikatif diberikan ruang yang luas bagi otonomi dan kemandirian
baik secara yuridis maupun normatif. Lain halnya pada masa Pemerintahan
Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959 sampai dengan tahun 1965,
kemandirian dan otonomi lembaga yudikatif seringkali dicederai oleh
kebijakan lembaga eksekutif sehingga melahirkan Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Peradilan Umum, Mahkamah
Agung yang memberikan ruang kepada kekuasaan eksekutif untuk
mengintervensi kekuasaan yudikatif.
167
Semangat demokrasi tumbuh kembali pada masa awal Pemerintahan
Orde Baru. Lembaga yudikatif yang merdeka mendapat angin segar dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang tersebut mencabut
ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 yang tidak sesuai lagi
dengan semangat demokrasi. Pasal 1 dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut termasuk
mengembalikan kedudukan Kekuasaan Kehakiman dalam urusan peradilan107.
Upaya menghilangkan campur-tangan lembaga eksekutif terhadap
lembaga yudikatif terus dilakukan pada era reformasi. Perubahan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman merupakan
langkah nyata upaya mewujudkan kemerdekaan dan kemandirian lembaga
yudikatif. Berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung tersebut,
organisasi dan administrasi maupun finansial badan peradilan yang semula di
bawah Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen
Pertahanan Keamanan dialihkan kepada Mahkamah Agung. Pelaksanaan
pengalihan tiga bidang tersebut dalam Pasal 11 A diimplementasikan secara
bertahap, paling lama selama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang tersebut
mulai berlaku, selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 merubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 termasuk yang sudah
dirubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dinyatakan tidak
107 Harun Alrasyid, 1989, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. hlm 132.
168
berlaku lagi. Dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut,
kemerdekaan dan kemandirian lembaga yudikatif tetap dipertahankan.
Bahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menetapkan limit waktu penyerahan pengelolaan organisasi,
administrasi dan finansial empat lingkungan peradilan dari Departemen
masing-masing kepada Mahkamah Agung108.
Membangun lembaga yudikatif yang bersih dan berwibawa tidak cukup
dengan memberikan kemerdekaan dan kemandirian terhadap lembaga
yudikatif. Terlepas dari pengaruh kekuasaan lembaga lain tidak menutup
kemungkinan akan menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman yang
menimbulkan hilangnya independensi internal109.
Oleh karena itu, untuk melakukan Check and Balance lembaga
peradilan, maka pada tahun 2004 dibentuk Komisi Yudisial, mengingat
urgensi hubungan kelembagaan antara Komisi Yudisial dan lembaga
peradilan sangat strategis, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang
tentang Kekuasaan Kehakiman. Sehubungan dengan hal itu, demi
memperkuat penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman dan mewujudkan
sistem peradilan terpadu (Integrated Justice system), maka Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berlakunya Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman selanjutnya Mahkamah Agung dalam ketentuan Konstitusi Pasal
108 Ibid, Harun Alrasyid. hlm 270.109 Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2002, Komisi
yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, Jakarta. hlm vii.
169
24 ayat (1) yang menyatakan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan Badan Kehakiman lain berdasarkan Undang-Undang”.
Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa “Susunan dan kekuasaan badan kehakiman diatur dengan Undang-
Undang”. Demikian halnya dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat atau
Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, lembaga kehakiman tertinggi
adalah Mahkamah Agung. Dalam tiga Undang-Undang Dasar tersebut tidak
diatur mengenai fungsi dan Kewenangan Mahkamah Agung. Melainkan
diatur dalam Perundang-Undangan.
Sebagai lembaga Kekuasaan Kehakimana yang menegakkan hukum
dan keadilan memiliki perbedaan dengan lembaga kejaksaan, kepolisian dan
lembaga penegak hukum lainnya, sebab Mahkamah Agung disamping
penegak hukum juga penegak keadilan. Penegak hukum bermakna dalam
rangka ketertiban hukum dimana hukum berfungsi sebagai kontrol sosial (law
is a tool of social engeneering). Oleh karenanya Kepolisian dan Kejaksaan
pengawal hukum agar hukum diterapkan, sedangkan Mahkamah Agung
memandang hukum dapat ditegakkan apabila tidak bertentangan dengan
keadilan atau hukum tersebut mengandung keadilan bagi kasus yang sedang
diselesaikan, sehingga Mahkamah Agung dapat menyimpangi hukum jika
hukum tersebut tidak memberikan keadilan pada saat diterapkan dalam kasus
yang ditangani. mengakkan keadilan adalah kewenangan fundamental
Mahkamah Agung.
Keterkaitan erat dalam menegakkan hukum dengan pemikiran hukum
Mahkamah Agung dalam proses penanganan perkara kasasi. Pada konteks ini,
170
Mahkamah Agung memiliki peran penting dalam konteks ini, Mahkamah
Agung memiliki peran penting dalam memformulasikan kerangka pemikiran
yang berkaitan dengan metode penafsiran hukum yang sejatinya dapat
direalisasikan melalui rasa keadilan dalam putusan-putusan hukum yang
dihasilkan. Mengenai keadilan dapat dipahami jenis-jenis keadilan yang
dimaksud diantaranya:
Keadilan substantif bahwa jenis keadilan ini menolak pandangan
legalisme yang menganggap Undang-Undang itu kramat, yakni sebagai
peraturan yang dikukuhkan Allah sendiri, atau sebagai suatu sistem logis
yang berlaku bagi semua perkara, karena bersifat rasional. Memberi anggapan
bahwa pandangan legalisme yang murni tidak mungkin dapat memberikan
keadilan. Sebab semua penerapan kaidah-kaidah hukum yang umum dan
abstrak pada perkara- perkara konkret merupakan suatu ciptaan hukum
baru. Administrasi seorang pegawai sudah merupakan hukum baru, apalagi
putusan-putusan seorang hakim. Memang tindakan yuridis ini mengandaikan
adanya suatu minimum rasionalitas dalam sistem hukum, tetapi mustahil
praktik hukum menurut suatu metode rasional melulu. Putusan seorang hakim
tidak dapat diturunkan secara logis dari peraturan-peraturan yang berlaku,
sebab peraturan itu tidak sempurna, mungkin juga salah atau kurang tepat,
sehingga menyebabkan ketidakadilan. Argumen yang diajukan oleh L.
Pospisil melawan legalisme ini adalah:110
1) Kalau hukum terletak dalam kaidah-kaidah yang abstrak (peraturan-
peraturan), tidak dimengerti mengapa terdapat ketentuan-ketentuan yang
mati, sebab ketinggalan zaman.110 Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta. hlm. 122.
171
2) Peraturan-peraturan yang abstrak tidak mengungkapkan banyak tentang
“pengawasan sosial” (yang dianggap sebagai inti segala hukum).
3) Peraturan-peraturan tidak berguna bagi praktik, sebab para hakim harus
mengambil keputusannya sesusai dengan perkara-perkara yang sangat
berbeda.
Legalisme tersebut diserang juga oleh para penganut realisme
hukum Skandinavia. Menurut mereka, kita harus realistis dan karenanya
tidak menerima peraturan-peraturan pemerintah sebagai sesuatu yang
nyaris sempurna.111 Salah satu tokoh realisme hukum Skandinavia
yang bernama Alf Ross mengemukakan tentang teori realitas sosial yang
menentang teori Kelsen, yang memastikan bahwa keharusan yuridis
adalah suatu kategori yang sama sekali lepas dari realitas sosial, seperti
tradisi Kant dikatakan tentang suatu Sollen yang lepas dari Sein. Karena
pemisahan ini Kelsen terus mencari norma dasar (Grundnorm) untuk
mendasari berlakunya hukum. Tetapi Ross menolak suatu norma yang
lepas dari realitas sosial. Norma-norma yang berlaku hanya berfungsi
dalam batas suatu proses pembuatan Undang-undang dimana kejadian-
kejadian yuridis digabungkan dengan sanksi-sanksi hukum.112
Undang-undang selalu tergabung dalam praktik hidup. Berkat
penggabungan itu, praktik hidup dipandang dalam terang Undang-undang
sehingga mendapat rasionalitas. Umpamanya seorang hakim, yang
berhadapan dengan suatu peristiwa dan yang mengikutsertakan nilai-nilai
hidup praktis dalam pertimbangannya, tidak bertindak secara irasional.
111 Theo, Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta. hlm 181.
112 Ata Ujan, Andre, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm 61-63
172
Putusan-putusannya (walaupun tidak dapat diturunkan secara silogistik
dari Undang-undang) merupakan bukan hasil emosi, bukan perjuangan
bagi kepentingannya sendiri, bukan tindakan kekerasan, melainkan hasil
dari suatu pertimbangan rasional, sehingga “masuk akal”. Buktinya
pengadilan selalu menyebut alasan-alasan bagi putusan-putusannya,
berdasarkan suatu “logika yuridis”. Keadilan substantif ini juga tidak
sepaham dengan teori hukum kodrat oleh karena Teori hukum kodrat ini
tidak memberi batas jelas tentang apa itu kodrat dan apa ciri-ciri
hakikinya. Kesulitan muncul dari anggapan populer yang menyamakan
begitu saja “yang kodrati” dengan “yang biasa dilakukan”. “sesuai dengan
kodrat” dengan demikian disamakan dengan apa oleh masyarakat
diterima dan diakui sebagai hal yang lazim dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari. Disini ada bahaya bahwa apa yang norma; dilakukan
dipandang pantas menjadi norma bertindak. Padahal yang biasa dan
umum dilakukan belum tentu baik. Hidup sesuai dengan tuntutan hukum
kodrat pada dasarnya tidak menghargai kehormatan atau kemuliaan
manusia yang berakal budi. Meskipun adanya pembedaan antara hukum
kodrat yang berlaku bagi makhluk rasional dan hukum alam yang berlaku
bagi makhluk nonrasional sudah merupakan langkah maju yang keluar
dari kesulitan teori hukum kodrat deterministik, jalan keluar ini tetap saja
membawa kesulitan dalam pelaksanaan hukum positif.
Sedangkan jenis Keadilan formal ini sesuai dengan teori
positivisme yang mendekati gejala hidup secara alamiah belaka yakni
sebagai fakta, dan tidak mau tahu tentang nilainya, akibatnya tuntutan
173
tentang keadilan disingkirkan dari pengertian hukum. Aliran-aliran
yang berhaluan Marxis menganggap bahwa hukum negara nyaris
sempurna sehingga ungkapan kehendak rakyat. Inti pandangan ini ialah
bahwa orang-orang yang menganggap hukum sebagai “ius” lebih
percaya pada prinsip-prinsip moral walaupun abstrak dari pada
kebijaksanaan manusia. Karenanya makna hukum sebagai hukum yang
adil lebih terjamin dalam perumusan-perumusan abstrak dari pada
dalam putusan-putusan hakim. Sesuatu yang mutlak bagi seorang
hakim untuk menyesuaikan diri dengan perumusan-perumusan yang
telah terwujud dalam Undang-undang. Praktik kehakiman oleh rakyat
seringkali dipandang sebagai penerapan Undang-Undang pada perkara-
perkara konkret secara rasional belaka. Pandangan ini disebut
Legalisme atau legisme. Dalam pandangan legisme, Undang-Undang itu
dianggap atau kramat, yakni sebagai peraturan yang dikukuhkan Allah
sendiri, atau sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua
perkara, karena bersifat rasional.113
Aliran positivisme hukum memberi nuansa filosofi pemikiran
tentang hukum. Terdapat sekurang-kurangnya empat pengertian pokok
dalam istilah positivisme hukum, yaitu:
1) Positivisme hukum digunakan untuk menunjuk pada konsep
hukum yang mendefinisikan hukum sebagai komando, pemikiran
sebagaimana diperkenalkan ahli filsafat hukum Inggris John Austin.
2) Istilah positivisme hukum juga digunakan untuk menandai
113 Ibid
174
perkembangan penting dalam konsep hukum yang ditandai oleh
dua citi utama: (1) hukum dipisahkan secara tegas dari moral dan
politik. Hukum harus netral terhadap moral dan politik. Asalkan
dimengerti dengan baik, ini yang disebut dengan teori hukum murni
dikembangkan oleh Hans Kelsen; (2) hukum tidak berurusan
dengan hukum ideal, melainkan dengan hukum aktual, hukum yang
ada. Pemisahan ini tentu saja penting karena pertimbangan kepastian
hukum. Akan tetapi, pemisaha ini bagi positivisme juga dipandang
penting untuk melepaskan hukum dari pernyataan moral yang tidak
ilmiah. Hukum yang ilmiah harus bebas dari moral. Positivisme
hukum juga dimengerti sebagai cara berpikir dalam proses judisial
dimana hakim mendasarkan keputusannya sepenuhnya pada
peraturan hukum yang ada. Disini keputusan judisial semata-mata
merupakan hasil deduksi peraturan hukum. Inilah cara berpikir
akademis yang mengandalkan kemampuan berpikir logis. Dengan
demikian, positivisme dalam konteks judisial menunjuk pada proses
peradilan dimana keputusan hakim diambil, menurut istilah Ronald
Dworkin, secara mekanistis. Hart menyebut konsep judisial seperti
ini sebagai otomatis atau Slot-Machine. Proses seperti ini praktis
membuat proses litigasi menjadi percuma.
3) Positivisme hukum juga merupakan cara berpikir yang
berpendapat bahwa penilaian moral kalau dipandang perlu harus
dapat dilakukan dengan menujukkan bukti-bukti faktual atau argumen
175
rasional. Kesan seperti ini cukup kuat muncul terutama dalam
pandangan Joseph Raz melalui gagasannya tentang “mitos moralitas
bersama‟ (the myth of common morality). Pandangan ini
beranggapan bahwa kesatuan masyarakat tercipta karena adanya
moralitas yang diterima oleh segenap anggota masyarakat.
Pandangan terakhir ini yang dikenal sebagai positivisme sosiologis,
yang juga sangat menekankan watak ilmiah dari hukum.
4) Istilah positivisme juga digunakan untuk menunjuk pada
pandangan yang menuntut bahwa hukum yang ada, juga kalau tidak
adil, harus dipatuhi. Dengan kata lain, bagi positivisme validitas
hukum tidak tergantung pada validitas moral. Hukum hanya tidak
berlaku atau tidak valid apabila terjadi kontradiksi dalam hukum itu
sendiri.
Makna dan hakekat Judicial Activism penting untuk dipahami dan
diimplementasikan oleh Hakim antara lain karena dalam pembuktian
diproses persidangan, hakim mencari kebenaran materiil, bukan sekedar
kebenaran formil. Disamping itu, perlu disadari juga bahwa Judicial
Activism dapat mengisi kekosongan hukum dalam menggapai keadilan dalam
masyarakat114. Upaya pemenuhan rasa keadilan itu bergantung kepada
bagaimana cara Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara. Jika
Mahkamah Agung gagal mengurai makna keadilan substantif dalam setiap
perkara, maka yang ditemukan adalah keadilan yang kabur. Adil menurut
114 Paulus E Lotulung, Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan (makalah) disampaikan pada dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011 di Jakarta.
176
hakim tapi putusan tersebut tak mampu memenuhi keadilan yang ingin
ditemukan oleh para pencarinya. Gerak “langkah” hakim menelusuri ruang
dalam sebuah perkara untuk menemukan keadilan tersebut dikenal dengan
konsep judicial activism. Menurut Kamus Hukum Black, judicial activism
dimaknai sebagai; sebuah filosofi dari pembuatan putusan peradilan dimana
hakim diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya mengenai
kebijakan publik, di antara pelbagai faktor-faktor, untuk menuntunnya
memutuskan sebuah permasalahan. Dengan demikian, Mahkamah Agung
perlu mempertimbangkan baik aspek tekstual maupun kontekstual ketika
menangani perkara-perkara hukum ditingkat kasasi. Dengan mempertautkan
aspek tekstual dan kontekstual secara dialektis dalam menangani perkara
hukum, maka dimensi normatif dan yuridis dapat dipahami secara lebih
komprehensif sehingga diharapkan Mahkamah Agung dapat mewujudkan
rasa keadilan yang dapat diteriam oleh pihak-pihak yang berperkara.
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan dan tugas yudisial dan non
yudisial, kewenangan yudisial meliputi: (1) Mengadili pada tingkat kasasi
terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawah naungan Mahkamah
Agung; (2) Memutus sengketa tentang kewenangan mengadili; (3) Memutus
permohonan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan putusan Pengadilan Pajak; (4) Memutus
permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat
terakhir dari semua lingkungan peradilan; (5) menguji secara materil terhadap
177
peraturan perundang-undangan; (6) Memutus pada tingkat pertama dan
terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili: a. antara pengadilan
di lingkungan peradilan yang lain; b. antara dua pengadilan yang ada dalam
daerah hukum pengadilan tingkat bandingyang berlainan dari lingkungan
peradilan yang sama; c. antara dua pengadilan tingkat banding dilingkungan
peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan; (7)
Memutus dalam tingkat pertama dan terakhir semua sengketa yang timbul
karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik
Indonesia berdasrkan peraturan yang berlaku; (8) Membubarkan Perseroan
Terbatas (Pasal 117 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas); (9) memutus pendapat DPRD yang mengusulkan Kepala Daerah
atau wakil Kepala Daerah diberhentikan dengan alasan antara lain melanggar
sumpah jabatan, melakukan pelangaran hukum (Pasal 29 ayat (4), Pasal 30
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)115.
Sedangkan Kewenangan Mahkamah Agung secara non yudisial adalah
(1) pengawasan terhadap aparatur-aparatur dilingkungan Mahkamah Agung
dan lembaga peradilan dalam naungannya; (2) Memberikan nasihat hukum
kepada Presiden dalam rangka pemberian atau penolakan grasi; (3)
Melakukan Pengawasan terhadap Penasihat Hukum dan Notaris bersama
Pemerintah; (4) Memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada lembaga
tinggi negara yang lain baik diminta maupun tidak diminta; (5) Meminta
keterangan dan memberi petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan
115 Bagir Manan, 2005, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah Agung, Jakarta. hlm 112.
178
peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok kekuasaan
Kehakiman; dan (6) Tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-
undang.
Mengenai peninjauan kembali terhadap putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap menimbulkan anomali antara putusan kasasi yang
mempunyai kekuatan hukum tetap itu dengan pranata peninjauan kembali
secara yuridis normatif putusan itu mempunyai kekuatan eksekutorial, apalagi
dinyatakan bahwa upaya hukum peninjauan kembali tidak menghalangi
pelaksanaan putusan. Oleh karena dalam kenyataan ada upaya hukum luar
biasa, peninjauan kembali itu dapat dikabulkan, walaupun jumlahnya sangat
kecil. Maka perlu sikap hati-hati untuk melaksanakan putusan yang sedang
dalam proses peninjauan kembali itu. Kenyataan tersebut telah menyebabkan
pengadilan (dalam pekara Perdata) dan kejaksaan (dalam perkara Pidana)
menjadi serba salah. Untuk itu terhadap peninjauan kembali diusulkan:
1) Kemungkinan meniadakan pranata Peninjauan Kembali (PK) agar tidak
menjadi hambatan melaksanakan putusan;
2) Pembatasan yang lebih ketat, dalam perkara pidana hanya berlaku bagi
terpidana dengan hukuman selama 15 (lima belas) tahun ke atas atau
dijatuhi hukuman mati. Untuk perkara perdatahanya berlaku untuk
perkara dengan nilai tertentu misalnya seratus juta Rupiah atau lebih;
3) Alasan yuridis hnya dibatasi pada novum (bukti baru);
4) Hanya terhadap putusan (mempunyai kekuatan hukum tatap) yang bukan
179
putusan kasasi116.
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dapat membatalkan putusan
pengadilan dari semua lingkungan peradilan jika pengadilan tersebut: (a)
tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; (b) salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku; (c) lalai memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian
itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan; (d) putusan kurang
pertimbangan yang diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Mahkamah
Agung. Disamping itu, berdasarkan yurisprudensi, Mahkamah Agung dalam
tingkat kasasi dapat memperbaiki amar dan pertimbangan putusan Judex
Factie jika amar dan pertimbangan Judex Factie dianggap belum tepat atau
keliru.
Untuk perkara-perkara pidana, ada dua macam kasasi, yaitu kasasi
sebagai upaya hukum biasa dan kasasi sebagai upaya hukum lauar biasa.
Kasasi sebagai upaya hukum luar biasa dilakukan dengan tata cara dan syarat-
syarat sebagai berikut:
1) Hanya dilakukan demi kepentingan hukum;
2) Hanya terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
yang bukan putusan Mahkamah Agung (yaitu putusan pengadilan tingkat
pertaa dan tau pengadilan tingkat banding);
3) Hanya oleh Jaksa Agung (wewenang eksekutif Jaksa Agung);
4) Putusan kasasi dimi kepentingan hukum tidak bolah merugikan pihak
yang berkepentingan (KUHAP Pasal 259, Pasal 260, dan seterusnya 116 Ibid, Bagir Manan. hlm 98.
180
sepanjang mengatur kepentingan terpidana. Tidak boleh merugikan
maksudnya adalah bila antara lain pidana tidak boleh lebih berat, karena
itu putusan bebas atau lepas, tidak mungkin diajuka kasasi demi
kepantingan hukum)117.
Sebagaimana yang berkaitan pula pada Pasal 106 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Mahkamah
Agung diberi wewenang untuk menerima, memeriksa dan memutus keberatan
atas penetapan hasil perhitungan suara Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) dan pemilihan Wakil Kepala Daerah yang dikeluarkanoleh
Komisi Pemilihan Umum Kepala Daerah (KPUD). Atas ketentuan Pasal 106
ayat (1) itu pula pada bulan Mei 2005 Mahkamah Agung mengeluarkan
peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Ketetapan Hasil Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari KPUD Provinsi dan
KPUD Kota atau Kabupaten. Peraturan Mahkamah Agung tersebut
merupakan karakterisktik hukum acara (formeel recht) yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan fungsi pengaturan
(reglende functie) guna mengisi kekosongan hukum acara untuk menjabarkan
ketentuan sesuai Undang-Undang termasuk dalam ketentuan Pasal 24 huruf A
ayat (1) sehubungan mengadili perselisihan hasil pemilihan umum.
Apabila kembali pada persoalan yang berkaitan dengan perkara kasasi
maka putusan Mahkamah Agung dapat berupa: (1) Mengabulkan permohonan
kasasi; (2) Menolak permohoan kasasi; (3) Memperbaiki putusan pengadilan 117 Ibid, Bagir Manan. hlm 99
181
tingkat pertama dan atau pengadilan tingkat banding; (4) menyatakan
permohonann kasasi tidak dapat diterima; (5) Permohonan kasasi digugurkan;
dan (6) Perkara kasasi dicabut. Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan
permohonan secara substantif mengandung dua kemungkinan: Pertama,
putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding
dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung “memutus sendiri perkara
tersebut”; Kedua, putusan tingkat banding dibatalkan sebaliknya keputusan
tingkat pertama dikuatkan. Adapun keputusan yang menolak permohonan
kasasi substansi putusannya mengandung dua kemungkinan: (1) Putusan
pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding dikuatkan; (2)
Putusan pengadilan tingkat banding dikuatkan sebaliknya putusan pengadilan
tingkat pertama dibatalkan. Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi
dengan perbaikan substansinya mengandung dua kemungkinan: (a) Diktum
(pertimbangan hukum putusan) pengadilan banding kurang tepat; (b) Diktum
(pertimbangan hukum putusan) pengadilan tingkat pertama kurang tepat.
Selanjutnya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan permohonan
kasasi tidak dapat diterima disebabkan empat hal: Pertama, permohonan
memori kasasi lewat waktu yang telah ditentukan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; Kedua, surat kuasa tidak memenuhi syarat; Ketiga,
perkara tersebut seharusnya dilakukan permohonan banding terlebih dahulu;
Keempat, pihak yang mengajukan permohonan kasasi tidak mempunyai legal
standing. Bentuk putusan lainnya adalah putusan pencabutan jika pihak
pemohon kasasi mengajukan permohonan pencabutan, hal ini terjadi
182
disebabkan para pihak berdamai atau pemohon kasasi tidak berkehendak
untuk melanjutkan permohonan kasasinya. Sedangkan putusan yang
menggugurkan permohonan kasasi jika pemohon kasasi tidak memenuhi
kekurangan biaya perkara setelah dilakukan peneguran.
Berdasarkan uraian ini dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung
merupakan Judex Juris, maksudnya Mahkamah Agung hanya menilai
penerapan hukum pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding sebagai
Judex Factie dalam memutus perkara. Akan tetapi dalam hal permohonan
kasasi dikabulkan, Mahkamah Agung bukan saja menilai penerapan hukum
yang dilakukan oleh Judex Factie, bahkan berwenang pula melakukan
penilaian ulang kebenaran fakta-fakta berdasarkan bukti-bukti yang diperiksa
oleh Judex Factie. Dalam hal ini, Mahkamah Agung berfungsi ganda sebagai
Judex Juris sekaligus pula sebagai Judex Factie, kewenangan ini diberikan
berdasarkan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung118.
Hingga pada akhirnya perubahan Undang-Undang Dasar 1945
membawa perubahan mendasar dalam kehidupan dan ketatanegaraan
khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercermin
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagai payung hukum setiap perubahan yuridis Kekuasaan
Kehakiman harus menyentuh berbagai peraturan perundang-undangan yang
dipayungi, termasuk berbagai bentuk aturan kebijakan dan praktek peradilan
yang didapati dalam berbagai yurisprudensi atau putusan hakim.
Secara definitif penegasan mengenai penyelenggaraan kekuasaan
118 Log.cit, Harun Alrasid. hlm 277
183
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan lingkungan
Peradilan Militer, termasuk pada sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 24
huruf A Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan pula bahwa Mahkamah
Agung mengadili tingkat kasasi, mengadili Peraturan Perundang-undangan
dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang, termasuk Undang-
Undang Perseroan terbatas, memutus pendapat DPRD yang mengusulkan
Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan dan mengadili
keberatan atas penetapan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan
Daerah berkaitan dengan wewenang inilah bersinggungan dengan wewenang
yang ada pada Mahkamah Konstitusi.
Jelas kiranya Mahkamah Agung sebagai lembaga Kekuasaan
Kehakiman berfungsi sebagai penegak hukum (Judex Factie) dan penegak
keadilan (Judex Juris). Fungsi penegakan hukum adalah dalam rangka
ketertiban hukum dimana hukum berfungsi sebagai tools of social
engineering. Sedangkan fungsi penegakkan keadilan dengan adanya upaya
Mahkamah Agung dalam membentuk formulasi antara putusan hukum yang
tidak bertentangan dengan rasa keadilan bagi kasus yang sedang diselesaikan,
sehingga Mahkamah Agung dapat tidak selalu berlandaskan peraturan hukum
184
jika tidak memberikan keadilan pada saat diterapkan dalam kasus yang
ditangani. Fungsi penegakan keadilan ini merupakan fungsi yang sangat
fundamental bagi Mahkamah Agung.
B. Putusan-Putusan Mahkamah Agung dalam Kapasitasnya sebagai Judex
Factie.
Kajian terhadap beberapa perkara yang berkaitan dengan putusan
Mahkamah Agung, akan digunakan dalam penelitian ini meliputi perkara
yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung sebagai pelaksana
Kekuasaan Kehakiman melalui lembaga-lembaga peradilan yang berada
dalam naungan Mahkamah Agung diantaranya: lembaga Peradilan Umum,
lembaga Peradilan Agama, lembaga Peradilan Tata Usaha Negara dan
lembaga Peradilan Militer dan perkara tersebut telah diajukan sebagai
perkara kasasi dan telah diputus oleh Mahkamah Agung, seanjutnya
dilakukan kajian terhadap perkara-perkara itu diantaranya:
PERADILAN UMUM
TABEL I
(Perkara Pidana)
KASUS IKHTISAR KRONOLOGI
PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNGPN PT
Angelina Patricia Pingkan Sondakh
Kasus Suap Wisma Atlet SEA Games Jakabaring (Kronologi terjadi di Palembang)
MenghukumTerdakwa
Menguatkan Putusan PN
Putusan Mahkamah Agung Putusan Mahkamah Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 tanggal (20 November 2013) Membatalkan kedua Putusan Judex Factie Mengadili Sendiri dengan Pemberatan disebabkan sesuai Pasal 11 Undang-Undang
185
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Endang Surahman
Penggelapan dua unit Excavator pelanggaran terhadap Pasal 372 KUHP. (Kronologi kasus terjadi di Banjarmasin)
MenghukumTerdakwa
MembatalkanPutusan PN
Putusan Mahkamah Agung Nomor 271 K/Pid/2013 Tanggal (28 Mei 2014)Membatalkan kedua Putusan Judex Factie Mengadili Sendiri menganggap Pengadilan Tinggi telah salah mengartikan unsur Pasal 372 KUHP
Masitoh Kasus Korupsi Sesuai Pasal 244 KUHP berlaku terhadap Pasal 55 KUHAP Juncto Pasal 2 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. (Kronologi terjadi di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin)
MenghukumTerdakwa
MenguatkanPutusan PN
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1001 K/Pid.Sus/2014 Tanggal (27 Agustus 2014) Membatalkan kedua Putusan Judex Factie Mengadili Sendiri dengan alternatif:Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) Juncto 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHAP;
-Unsur Pertama setiap orang, -Unsur Kedua secara
melawan hukum dalam hal ini melawan hukum materil dan formil;
-Unsur Ketiga memperkaya diri sendiri.
Tabel II
(Perkara Perdata)
KASUS IKHTISAR KRONOLOGI
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNGPN PT
186
Aphiao Sengketa penggunaan hak Aphiao sewenang-wenang oleh Hartopo dinilai Pasal 1365 KUH Perdata dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi Aphiao, (Kronologi terjadi di Kabupaten Katapang Pontianak Banjarmasin)
MembatalkanGugatan
Penggugat
Membatalkan Putusan PN
MengabulkanPermohonan Pembanding
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2030 K/Pdt/2003 Tanggal (29 Maret 2006)Membatalkan Putusan Judex Factie dan Mengadili Sendiri dari alasan-alasan tersebut berpendapat :Judex Factie Pengadilan Negeri telah salah menerapkan hukum tentang ketentuan hak milik mempunyai fungsi sosial;
- Karena itu Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan menambil alih Putusan Pengadilan Tinggi yang telah benar dalam putusan Rekonvensi.
PT. Ardo Indonesia
Saudara Yusran tidak terima kemudian dengan sengaja menghalang-halangi proses kegiatan perusahaan PT. Ardo Indonesia dengan memasang patok Kayu dan membentangkan tali di atas bidang tanah tersebut, akibat perbuatan hukum saudara Yusran maka PT. Ardo Indonesia menderita kerugian, (Kronologi terjadi di Banjarmasin)
Mengabulkan Gugatan
Penggugat Untuk
Sebagian
Membatalkan Putusan PN
MengabulkanPembanding/
Semula Tergugat
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2201 K/Pdt/2012 Tanggal (16 April 2013)Membatalkan Putusan Judex Factie karena Putusan Pengadilan Tinggi dengan Mengadili Sendiri:
Karena bertentangan dengan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Hj. Istiana Sari
Perbuatan Wanprestasi yang merugikan pihak Saipul Rahman dan Mr. An Do Kyung sebagai pembeli. (Kronologi terjadi di Banjarmasin)
Mengabulkan Gugatan
Membatalkan Putusan PN
Putusan Mahkamah Agung Nomor 3168 K/Pdt/2013 Tanggal (23 April 2014) Mengadili Sendiri dengan Membatalkan Putusan Judex Factie Pengadilan Tinggi dengan membenarkan Putusan Pengadilan Negeri Pelaihari, dengan pengembalian hak-hak pemohon kasasi.
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Tabel III
(Perkara Tata Usaha Negara)
187
KASUS IKHTISAR KRONOLOGI
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNGPN PT
Yeti Desmiati
Keputusan Divisi Sumber Daya Manusia No. KP/359/SDM/11/R tanggal 11 Oktober 2004 yang isinya antara lain memperkuat keputusan sanksi administratif terhadap Sdri. Yeti Desmiati NPP. 22877 berupa Pemberhentian Tanpa Predikat cfm. Surat Keputusan No. KP/DIR/040/R tanggal 15-01-2004. (Kronoligi terjadi di Jakarata)
Membatalkan Gugatan
Penggugat
Menguatkan Putusan PN
Putusan Mahkahmah Agung Nomor 315 K/TUN/2006Tanggal (23 Agustus 2007) Membatalkan putusan Judex Factie dengan Mengadili Sendiri dengan membuktikan Judex factie telah salah dan keliru menerapkan hukum, oleh karenanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut harus segera dibatalkan berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha negara berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai ganti rugi dan atau rehabilitasi.
PT. Arutmin Indonesia
Keputusan Bupati Tanah Laut Kepada PT. Arutmin Indonesia(Kronologi terjadi di Banjarmasin)
Mengabulkan Penggugat
Membatalkan Putusan PN
Putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 Tanggal (6 November 2007) membatalkan Putusan Judex Factie dengan Mengadili Sendiri:- Menyatakan batal
Keputusan Bupati Tanah Laut Nomor 545.3.006/PU/DPE/2004 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi Batubara kepada PT. Surya Kencana Jorong Mandiri (KW.106 TW.1) yang diterbitkan Bupati kepada PT. Surya Kencana Jorong Mandiri.
PERADILAN MILITER
Tabel IV
(Perkara Militer)
188
KASUS IKHTISAR KRONOLOGI
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNGP. Mil PT. Mil
M. Ali Kadar Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan.(Kasus Terjadi di Jakarta)
Mengabulkan Tuntutan Oditurat Militer
- Pidana penjara dengan pemberatan
- Pemecatan
Menguatkan Putusan
Pengadilan Militer
- Mengubah Putusan Pengadilan Militer.
- Tidak adanya Pemecatan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 118 K/MIL/2010Tanggal (28 September 2010) membatalkan keputusan Judex Factie yang menurut Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP, mengingat Pasal 10 KUHP, Pasal 26 KUHPM dan ketentuan perundang-undangan lainnya merupakan pengabaian sanksi terhadap kejahatan Pidana dengan Mengadili Sendri memberikan pertimbangan hal yang memberatkan Penjatuhan hukuman.
Husin Tindak Pidana Disersi dalam Masa Damai(Kronologi terjadi di Palembang)
Membatalkan Tuntutan
Odiur MiliterMemberikan
Putusan Bebas
Putusan Mahkamah Agung Nomor 56 K/MIL/2009 Tanggal (8 April 2010) dapat diajukan Pengajuan Kasasi terhadap putusan Bebas selanjutnya Mengadili Sendiri:- Mahkamah Agung menilai
putusan Judex Factie telah salah menerapkan hukum.
- tidak tepat menilai fakta karena setelah pelimpahan Detasemen Polisi Militer II/2 Palembang Putusan Pengadilan Militer yang tidak menyebutkan Locus Delicti, hal itu adalah kewenangan Detasemen Polisi Militer II/2 Palembang dan Pengadilan Militer dianggap tidak tepat dalam memberikan putusan bebas karena dampaknya dapat membahayakan bila terjadi dimasa perang.
PERADILAN AGAMA
Tabel V
(Perkara Peradilan Agama)
189
KASUS IKHTISAR KRONOLOGI
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNGPA PT.A
Hj. Asni Kasus ini adalah sebuah perkara pembatalan pernikahan dikarenakan adanya penghalang perkawinan tanpa adanya izin berpoligami dari Pengadilan Agama(Kronologi Terjadi di wilayah Pekanbaru)
MengabulkanGugatan
Penggugat
Membatalkan Putusan
Pengadilan Agama
Sungaipenuh
Putusan Mahkamah Agung Nomor 02 K/AG/2001 Tanggal (30 Maret 1999), Mengadili Sendiri dan membatalkan putusan Judex Factie Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Sungaipenuh, Mahkamah Agung melihat surat-surat bersangkutan karena perbuatan Muhammad Nasir yang melaksanakan akad nikah baru tanpa izin poligami dinyatakan telah melanggar ketentuan Undang-Undang.
Noorliah dkkAhli Waris Keluarga Anang Harlansyah (Alm)
Tanah tersebut adalah tanah bersama yang dihibahkan kepada Balkansyah pada tanggal 9 Mei 1960 tanpa persetujuan Isteri Anang Healansyah yakni Aluh Arbayah dan anak-anak Anang Harlansyah, hingga wafatnya Anang Harlansyah pemberian hibah tanpa diketahui Ahli Waris.(Kronologi terjadi Banjarmasin)
Menolak Gugatan
Penggugatkarena
melanggar asas Legitima
Persona Stand in Judicio
Menguatkan Putusan
Pengadilan Agama
Banjarmasin
Putusan Mahkamah Agung Nomor 595 K/AG/2012 Tanggal (25 Juni 2013)Mengadili Sendiri perkara ini dengan mengabulkan Permohonan Kasasi dengan:- Membatalkan Putusan
Judex Factie Pengadilan Tinggi Agama yang menguatkan putusan Pengadilan Agama Banjarmasin yang tidak melihat konstruksi Hukum termasuk Substansi Kompilasi Hukum Islam.
Liza Faulina
Perkara Sengketa Harta Bersama dengan Penggugat Hamdi.(Kronologi terjadi di Banjarmasin)
Mengabulkan Gugatan
Penggugat untuk
Sebagian
Menguatkan Putusan
Pengadilan Agama
Banjarmasin
Putusan Mahkamah Agung Nomor 27/K/AG/2012 Tanggal (28 Mei 2013)Mengadili Sendiri:- Membatalkan Putusan
Pengadilan Tinggi yang menguatkan Pengadilan Negeri
- Mengabulkan untuk mendapat ½ (sebagian) dari harta bersama.
BAB IV
PEMBAHASAN PENELITIAN
190
A. Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara sebagai
Judex Juris Menurut Kajian Hukum Normatif dan Filosofis.
1. Landasan Kewenangan Mahkamah Agung secara Normatif dan
Filosofis.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian Mahkamah Agung memiliki kewenangan
Konstitusional sebagai puncak peradilan. Implementasi kewenangan
tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Sejarah peradilan dalam perkembangan di Indonesia mengalami
berbagai pengaruh, yang berdampak terhadap kebebasan, padahal salah
satu ciri negara hukum adalah kebebasan Hakim (Independent of
Judiciary). Pengaruh Eksekutif terhadap badan Yudikatif terlihat dalam
BAB II Badan-Badan Peradilan dan Azas-Azasnya Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana pengaruh tersebut berlaku terhadap
Hakim yang harus berhadapan dengan dua institusi disatu pihak mengenai
Tekhnis Yuridis berada di bawah Mahkamah Agung sedangkan
191
Administratif dan finansial berada di bawah Departemen Kehakiman yang
pada dasarnya bagian dari Eksekutif, menyadari kemungkinan pengaruh
eksekutif terhadap Yudikatif maka dilakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomo 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan
Kehakiman menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menghilangkan pengaruh eksekutif sehingga
segala sesuatu yang berkaitan baik tekhnis Yuridis maupun Administratif,
sepenuhnya menjadi dibawah Mahkamah Agung yang sering dikenal
dengan pembinaan satu atap. Dengan dapat diwujudkannya kemandirian
Hakim melalui perundang-undangan maka teori dari Montesque tentang
Trias Politica masih mempengaruhi sistem Ketatanegaraan Indonesia.
Secara terminologi bahasa, Kekuasaan melibatkan kekuatan dan
paksaan, wewenang merupakan bagian dari kekuasaan yang cakupannya
lebih sempit. Maka wewenang tidak menimbulkan implikasi kekuatan.
Wewenang adalah kekuasaan formal yang dimiliki oleh seseorang karena
posisi yang dipegang dalam organisasi119. Dengan demikian kekuasaan
mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan
kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat
bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi
(inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan
kewenangan jelas bersumber dari konstitusi. Kewenangan sering
119 http://muhammadkhadapi.blogspot.com/2010/12/pengertian-wewenang-kekuasaan-dan.html (diakses tanggal 21 Juni 2015)
192
disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam
bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid”
dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika
dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah
“bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya.
Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun
dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau
wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik120.
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-
undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat
wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Berkaian dengan
kewenangan Mahkamah Agung khususnya dalam literatur ilmu hukum
sering ditemukan istilah kewenangan sering memiliki persamaan dengan
kekuasaan, tidak jarang terjadi bertukar istilah kewenangan dengan
kekuasaan, demikian pula sebaliknya. Wewenang merupakan lingkup
tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya
meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi
meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan
wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang
120 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hlm. 1
193
adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum121. Wewenang memiliki Akibat
hukum, wewenang itu lahir dari tindakan hukum maka akibat-akibatnya
memiliki relevansi dengan hukum seperti: penciptaan hubungan hukum
baru, atau pengakhiran hubungan hukum yang ada122.
Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan sebagai pelaksana
Kekuasaan Kehakiman sesuai Amanat Pasal 24 Undang-Undang Dasar
1945 versi Amandemen sebagai salah satu tugasnya demi menegakkan
supremasi hukum yang selama ini hanyalah sebagai permainan bahasa,
cenderung masih jauh dari harapan pencari keadilan. Oleh karena itu
harus dikembalikan kepada bagaimana substansi hukum dan unsur
pelaksananya memiliki harmonisasi dengan tatanan sosial, budaya dan
kelangsungan hidup suatu masyarakat yang mempunyai nilai berbeda satu
dengan lainnya. Konsekuensinya, ketika akan mengadopsi sebuah
ketentuan atau bentuk sistem hukum yang akan berlaku mengikuti
dinamisasi perkembangan masyarakat, maka setiap hasil pemikiran dunia
barat, atau hasil pemikiran pakar dan ahli dalam hukum dari wilayah
manapun harus benar-benar secara rasio (pemikiran kritis) disaring
apakah akan terjadi kontradiksi atau tidak dengan filosofi dasar negara
maupun hukum asli bangsa kita.
Secara normatif kewenangan Mahkamah Agung sebagai pelaksana
Kekuasaan Kehakiman memiliki kewenangan memeriksa dan memutus 121 Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung,
Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm. 65
122 HR. Ridwan. 2002. Hukum Administrasi Negara. UII Press, Yogyakarta. hlm 81
194
mengenai adanya pengajuan:
a) Permohonan kasasi;
b) Sengketa tentang kewenangan mengadili;
c) Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai Pasal 28 ayat (1) Undang-
Undang Mahkamah Agung (Lihat Putusan PK dari Mahkamah Agung
yang bersifat Judex Juris);
d) Disamping tiga wewenang tersebut Mahkamah Agung juga
mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang Pasal 31
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung;
e) Berwenang melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan serta pengawasan administratif pada semua
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman. Maka dari poin-poin wewenang Mahkamah
Agung di tingkat kasasi sesuai Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang
Mahkamah Agung dinyatakan dapat “membatalkan putusan” atau
“mengabulkan penetapan pengadilan-pengadilan dari semua
lingkungan peradilan”, karena dengan pertimbangan yakni bahwa
pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung tidak berwenang
atau melampaui batas wewenang dan salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku termasuk lalai memenuhi syarat-syarat
195
yang diwajibkan oleh perundang-undangan yang mengancam kelalaian
itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan
Uraian tersebut di atas membuktikan secara yuridis formal
Mahkamah Agung hanya berwenang untuk menerapkan hukum oleh
karenanya dikenal dengan Judex Juris (membuktikan adanya
pengaruh Positivisme). Dengan demikian Mahkamah Agung harus
berani menyimpang dari Pasal 45A supaya ada kepastian hukum ke
depan. Mahkamah Agung secara fakta mampu Mengadili Sendiri
Permohonan Kasasi pada perkara sebagaimana Keputusan Bupati
Tanah Laut sebagai Pejabat Administrasi Negara, Putusan Bebas
Murni Serda Husin Kesatuan Puslatpur Kodiklat TNI-AD, atau
Kasus mengenai Klausula Cross Collateral. Sebab menurut hemat
penulis solusi penerapan makna gramatikal dari Pasal 45A bukan
menjadi masalah sebenarnya, ketentuan Pasal 45A hanya dibuat untuk
mengurangi beban Mahkamah Agung.
Maka menjadi suatu hal yang menarik apabila dikaji lebih
lanjut, mengenai filsafat yang tepat untuk Indonesia. Setiap ketentuan
hukum positif yang berlaku disebut sebagai istilah normatif yang
berkembang dan berubah seiring dinamisasi masyarakat, di dalam
dunia hukum ternyata masih menggunakan paradigma positivisme
yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis yang sejalan dengan
karakteristik manusia pada konteks multi kepentingan baik pada
proses maupun pada peristiwa hukumnya. Dimana hukum hanya
196
dipahami dalam artian sempit, yakni hanya sebatas undang-undang,
sedangkan nilai-nilai di luar undang-undang tidak dimaknai sebagai
sebuah hukum. Hukum merupakan bagian dari karya manusia yang
dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Undang-Undang
sebagai buah perwujudan nalar tidak selalu sebagai suatu kemutlakan,
tetapi hukum harus berkembang atau memiliki progres menurut
kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian yang memiliki
relevansi dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi
kemanusian yang adil dan beradab sebagaimana amanat sila kedua
Pancasila.
Perkembangan hukum akan muncul bila ditinjau secara
filosofis Eugenlightment artinya memiliki alur perkembangan yang
bertujuan pada perwujudan keadilan sebagaimana teori yang
dikemukakan John Rawls, termasuk konsep akses terhadap peradilan
dengan pemikiran Hukum Progresif yang pada saat ini berfungsi untuk
memecahkan kebuntuan menuntut keberanian aparat hukum
menafsirkan pasal-pasal sebagai substansi Undang-Undang untuk
lebih beradab. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun
dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa
mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek
ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga
Indonesia dimasa depan tidak ada lagi diskriminasi hukum, dengan
197
tujuan kesetaraan di depan hukum sebagaimana amanat Pasal 28 huruf
D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Manusia menciptakan hukum
bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk mendapatkan keadilan.
Putusan Mahkamah Agung mempunyai posisi yang sangat
penting dalam sistem peradilan di Indonesia, karena (a) putusannya
merupakan putusan terakhir dalam konteks upaya hukum biasa, dan
(b) putusan tersebut, jika memenuhi persyaratan, dapat dijadikan
yurisprudensi, sehingga dapat digunakan rujukan oleh Hakim Agung
lain atau hakim di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, sesuai
fungsinya sebagai Judex Juris. Dalam kapasitas melaksanakan tugas
dan fungsi tersebut, maka seorang Mahkamah Agung dituntut untuk
mampu melakukan peran dalam menegakkan hukum dan keadilan
serta melahirkan kaidah-kaidah hukum baru atau prinsip hukum baru
untuk mengisi kekosongan hukum. Tugas ini akan dapat dicapai,
apabila Hakim Agung yang mengadili perkara memiliki kompetensi
sesuai perkara yang ditangani.
Meskipun dipahami bahwa sistem peradilan di Indonesia tidak
menganut asas precedent, namun harus diakui bahwa putusan
Mahkamah Agung sering menjadi acuan bagi hakim lainnya. Maka
hasil adanya wewenang tersebut adalah Produk hukum Mahkamah
Agung salah satunya adalah putusan, dengan rincian :
a) Substansi Putusan :
Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung, mengatur bahwa,
198
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau
penetapan pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan
Peradilan karena:
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
3) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Melalui suatu substansi putusan, maka kewenangan
Mahkamah Agung dalam kapasitasnya sangat strategis, dengan
demikian memerlukan sikap adil yang sangat tinggi agar
diperoleh keseimbangan di kedua belah pihak yang berperkara.
b) Jenis putusan pada kasasi di Mahkamah Agung diatur sebagai
berikut:
1) Mengabulkan: dengan rincian sebagaimana Pasal 51 Undang-
Undang Mahkamah Agung, sebagaimana diuraikan pada
substansi dan amar putusan.
2) Membatalkan: putusan Pengadilan dan mengadili sendiri
perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang
berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama. Pasal 50 (2)
Undang-Undang Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung perlu dieksekusi karena berkaitan
dengan orang-orang yang bersengketa dan biasanya bersifat
menghukum. Jadi, meskipun begitu putusan diucapkan telah terbit
199
keadaan hukum baru, dan pada saat itu pula sudah tercipta suatu
keadaan hukum baru, masih diperlukan eksekusi karena orang tidak
akan begitu saja bersedia dihukum.
Berdasarkan Perkembangan dinamika hukum kini
dilaksanakan Reformasi hukum (Law and Legal Reform) yang
melanda seluruh bidang kekuasaan di Indonesia, termasuk kekuasaan
kehakiman khususnya Mahkamah Agung sebagai pelaku Kekuasaan
Kehakiman menegaskan posisi Mahkamah Agung sebagai fungsi
Judex Juris diatur dalam Pasal 50 ayat (1) namun dapat dimungkinkan
bagi Mahkamah Agung untuk melaksanakan dua fungsi yang berbeda
sesuai Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung, yakni
sebagai :
1. Judex Juris: yaitu pemeriksaan dan penilaian terhadap suatu
perkara yang dilakukan dari segi hukum, melalui berkas-berkas
yang diajukan kepada hakim agung, seperti diatur dalam ayat (1) :
‘Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung,
berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu
Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para
saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau
Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut
mendengar para pihak atau para saksi’.
2. Judex Factie: pemeriksaan dan penilaian terhadap suatu perkara
dari segi hukum dan fakta atau peristiwa. Mengenai hal ini diatur
200
pada ayat (2): ‘Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan
Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai
hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat
Pertama’. Tuntutan agar putusan Mahkamah Agung berkualitas,
relevan dengan adanya kemungkinan untuk menggali informasi
secara langsung kepada pihak-pihak yang bersengketa maupun
kepada pencari keadilan lainnya. Peluang inilah yang diharapkan
mampu memberi ruang bagi untuk menghasilkan putusan yang
berkualitas (sesuai aturan hukum dan prinsip-prinsip keadilan).
2. Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memeriksa Perkara sebagai
Judex Juris terhadap Putusan-Putusan Lembaga Peradilan yang
Bernaung di bawah Mahkamah Agung.
Bukti empiris kewenangan Mahkamah Agung dalam
memeriksa Perkara sebagai Judex Juris yang saat ini lebih menitik
beratkan pengujian fakta di persidangan tampaknya kajian yang
menarik untuk dilakukan penelitian terhadap perkara-perkara yang
telah diuraikan sebelumnya, mengingat perkara-perkara tersebut telah
diputus Pegadilan-pengadilan sebagai Judex Factie di bawah naungan
Mahkamah Agung diantaranya Pengadilan Umum, Pengadilan Tata
Usaha Negara, Pengadilan Militer dan Pengadilan Agama, namun hasil
putusan pengadilan-penadilan tersebut tetap belum berhenti untuk
memperoleh rasa keadilan yang tertinggi dan hal tersebut merupakan
kewenangan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris namun saat ini
upaya hukum yang diajukan kepada Mahkamah Agung dengan alasan,
201
dari tiap putusan pengadilan belum memberikan rasa puas kepada
pencari keadilan sehingga tidak jarang Putusan Pengadilan-Pengadilan
tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung yang seolah-olah Mahkamah
Agung bertindak menilai fakta sebagai Judex Factie dengan Mengadili
Sendiri perkara tersebut hal ini merupakan suatu hukum yang
progresif dalam mewujudkan keadilan final bagi setiap orang. Adapun
mengenai perkara yang akan diteliti penulis adalah pekara-perkara
diantaranya sebagai berikut:
PERADILAN UMUM (PERKARA KASUS PIDANA)
1) Perkara Tindak Pidana Korupsi melalui Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 (Angelina Patricia Pingkan
Sondakh).
Memperlihatkan bahwa hasil putusan yang dikenakan
berdasarkan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau Pasal
12 huruf A seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Angelina sondakh hanya oleh
Pengadilan Negeri memberikan Vonis 4 tahun 6 bulan. Namun
Mahkamah Agung melalui majelis hakim Agung yang di pimpin
Artidjo memperberat hukuman Angelina Patricia Pingkan Sondakh
menjadi 12 tahun penjara yang lebih berat dari sebelumnya.
Tindakan dari Mahkamah Agung melalui Hakim Artidjo
Alkostar, diapresiasikan dapat menghilangkan kejahatan terhadap
kerugian negara yang timbul dari prilaku korupsi aparatur negara
dengan memberi efek jera bagi pelaku korupsi. Namun masa hukuman
yang diperberat itu dianggap merupakan keadilan dari sudut pandang
202
kerugian negara dan menjadi alasan penulis menilai keadilan yang
dicapai hanya sebagai keadilan dari sudut pandang spiritual justice,
moral justice dan social justice, tetapi belum secara tegas menyentuh
pada philosophy and legal justice yang sekiranya dapat menjembatani
penganut paham hukum doktrinal dan nondoktrinal, sehingga penulis
menambahkan satu solusi lagi agar terwujud keadilan, secara filosofis
tetap berpedoman kepada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang berisi mengenai visi dan misi bangsa dan negara
Indonesia, karena keadilan yang dicita-citakan dalam Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di samping bersifat relijius-
sosialis, juga bersifat luhur, universal, dan jauh dari sifat sekuler-
individualistis-materialistis. Keduanya ini pun bisa sebagai perekat
bangsa dan negara Indonesia, yang saat ini sedang bercerai-berai
terutama kalangan atau penganut dua paham tersebut (doktrinal dan
non doktrinal). Karena Pancasila oleh kalangan ahli hukum doktrinal
di Indonesia diakui sebagai staatsfundamentalnorms, begitu pun dan
Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang sakral
keberadaannya, sehingga harus mereka ikuti. Sedangkan dari
pemikiran-pemikiran ahli hukum non doktrinal di Indonesia, Pancasila
maupun dan Pembukaan UUD 1945 sudah sesuai dengan alur pikirnya
atau konsep yang selama ini dibangun.
2) Perkara Kasus Tindak Pidana Penggelapan (Endang Surahman
bin Abdul Rahman Amir (Alm) Putusan Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Agung Nomor 271 K/PID/2013 Tanggal (28
Mei 2014).
203
Kasus yang dilakukan oleh Endang Surahman bin Abdul
Rahman Amir (Alm) merupakan pelanggaran terhadap perjanjian yang
mengarah pada tindakan penggelapan bertentangan dengan Pasal 372
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, membuktikan bahwa
Mahkamah Agung sebagai Judex Juris berkewenangan untuk
menganalisis putusan yang telah ditetapkan lembaga peradilan yang
berada di bawah naungan Mahkamah Agung seperti penerapan hukum
yang telah tepat menurut analisis Mahkamah Agung dari Putusan yang
diberikan oleh Pengadilan Negeri Batulicin, namun Mahkamah Agung
menilai adanya kesalahan dalam menilai fakta menyebabkan
penerapan hukum menjadi teidak sesuai terhadap suatu perkara atau
kasus yang diputus demi mewujudkan keadilan bagi setiap orang,
sebagaimana keputusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin dalam Putusan
Pengadilan Tinggi Nomor 108/PID/2012/PT.BJM, tanggal 20
Desember 2012, karena kesalahan dalam mengartikan secara sempit
makna gramatikal mengenai hak memiliki atau menguasasi yang pada
intinya adalah karena telah ditentukan oleh Undang-Undang, Aturan-
Aturan Hukum yang berlaku sebagaimana telah diperkuat oleh
Yurisprudensi Mahkamah Agung terdahulu tanggal 11 Agustus 1950
Nomor 69 K/Kr/1959, H.R. 26 Maret 1906, W.8355 24 Februari 1913,
N.J. 1913, 669.W.9469 tanggal 20 Juni 1944 Nomor 589, maka Judex
Factie salah mengartikan sehingga salah menerapkan hukum karena
bertentangan dangan kebenaran yang memiliki relevansi secara
Yuridis.
204
Jika setiap lembaga peradilan sebagai perpanjangan dari
Mahkamah Agung tidak memiliki pengetahuan yang baik dan melihat
tidak secara Mutatis-Mutandis maka Mahkamah Agung dapat
mengambil alih fungsi Judex Factie demi menegakkan keadilan dan
tidak hanya dalam mengakkan hukum saja sebagai Judex Juris.
3) Perkara Kasus Pidana Korupsi (Masitoh binti Abdul Wahab
Sirait) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1001 K/PID.SUS/2014
(Tanggal 27 Agustus 2014)
Secara empiris sering terjadi kontradiksi antara Lembaga
Pengadilan Negeri dengan Lembaga Pengadilan Tinggi sebab dalam
hal ini keduanya dikatan sebagai Judex Factie (Menegakkan
Keadilan), sebab apa yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri
sering dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi, untuk itu peran Mahkamah
Agung diharapkan mampu sebagai Judex Juris dalam menganalisis
kekuarangan atau kesalahan dalam menerapkan hukum atau
penemuan hukum membuktikan bahwa Mahkamah Agung tersebut
mempunyai Kewenangan Yudisial tidak terpaku terhadap peraturan
Undang-Undang, oleh sebab itulah dalam kasus Korupsi Putusan
yang diberikan Mahkamah Agung sering dipakai sebagai
Yurisprudensi Hukum demi memperkuat hukum materiil di
indonesia, faktanya adalah dalam setiap Tindak Pidana Korupsi
(TIPIKOR) putusan Mahkamah Agung jauh lebih memberikan unsur
penjeraan dari suatu pidana (nestapa) sebab agar Pelaku Tindak
205
Pidana Korupsi tidak sewenang-wenang demi stabilitas negara dan
bangsa.
Terbukti dalam Kasus Korupsi dengan putusan Terdakwa
Masitoh binti Abdul Wahab Sirait di vonis “turut serta melakukan
korupsi” Mahkamah Agung dapat menjatuhkan vonis lebih berat dari
setiap lembaga peradilan dengan memberikan sanksi tahanan yang
lebih lama denda yang lebih besar, dan dengan menjatuhkan Pidana
Tambahan. Padahal Mahkamah Agung tetap berpegang pada
ketentuan sebagaimana Undang-Undang Hukum Pidana sebagai
payung hukum bagi Perundang-Undangan lainnya sebagaimana Pasal
244 KUHP berlaku terhadap substansi Pasal 55 KUHAP Juncto Pasal
2 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi.
Mahkamah Agung dalam hal ini menilai fakta hukum yang
terjadi diantaranya menilai unsur setiap orang, dan menilai unsur
secara melawan hukum yang mencakup pengertiannya melihat secara
psikologis adanya sikap batin terdakwa yang berniat jahat melakukan
perbuatan tersebut yang memenuhi pengertian melawan hukum
formil saja, meskipun hal ini tidak diatur dalam Undang-Undang,
maka Putusan ini dapat diterapkan sebagai Yurisprudensi dikemudian
hari.
PERADILAN UMUM (PERKARA PERDATA)
206
1) Perkara Perdata mengenai Sengketa atas Tanah Milik melalui
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2030 K/Pdt/2003 (Aphiao).
Putusan Mahkamah Agung yang menolak Putusan Pengadilan
Negeri Nomor: 01/Pdt.G/2001/PN.Ktp. tanggal 15 Agustus 2002
Ketapang dan Putusan Pengadilan Tinggi Tinggi Pontianak Nomor:
54/Pdt/2002/PT.Ptk. tanggal 20 Januari 2003 karena telah menolak
pengajuan Gugatan Aphiao dinilai tidak mencerminkan rasa Keadilan.
Tindakan Mahkamah Agung dalam putusannya yang
mengabulkan Permohonan Kasasi Aphiao tersebut dinilai sebagai
penegakan hukum sebagai Judex Juris sekaligus Penegakan Keadilan
sebagai Judex Factie, Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan
seseorang lain, tanpa sesuatu perjanjian, maka berdasarkan Undang-
Undang jelas memenuhi unsur perbuatan melawan hukum juga timbul
atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan
kerugian itu. Hal tersebut diatur jelas dalam Pasal 1365 KUHPerdata,
sebagai berikut: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Namun menurut penulis kewenangan Mahkamah Agung
mengenai perkara perdata Aphiao tidak terpaku pada Undang-Undang
belaka, sebab Mahkamah Agung bertindak pula terhadap suatu
perbuatan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang sekalipun
perbuatan itu dinilai bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh
moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat dapat
menimbulkan rasa tidak nyaman, mengganggu dan merugikan pihak
207
lain tanpa adanya izin atau ikatan perjanjian merupakan suatu sebab
yang merugikan subjek hukum lainnya.
2) Perkara Perdata PT. Adaro Indonesia Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 2201 K/Pdt/2012 Tanggal (16 April 2013)
Mahkamah Agung dalam sengketa pembebasan tanah
memperhatikan fakta mengenai putusan Pengadilan Tinggi
Banjarmasin atas Putusan Nomor 13/PDT/2012/PT.Bjm tanggal 15
Maret 2012 yang jelas bertentangan dengan Pasal 14 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dinyatakan Dalam sidang permusyawarata, setiap
hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis
terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari putusan.
Alasan hukum Mahkamah Agung menilai fakta dikarenakan
bahwa Yusran bukanlah pemilik sah berdasarkan Surat Perjanjian
Penguasaan Fisik Bidang Tanah, namun milik Masrani dan
Muhraniansyah yang berdasarkan Surat Pernyataan Penguasaan
Fisik Bidang Tanah tertanggal 20 Oktober 2010 dan diketahui oleh
Kepala Desa Kasiau dengan demikian sah berada dalam
penguasaan saudara Arifin sebagai Turut Terbanding/semula Turut
Tergugat sehingga perbuatan Yusran sebagai Tergugat atau
Pembanding merugikan Pihak PT. Adro Indonesia sebagai
Pemohon Kasasi/semula Penggugat/Terbanding.
208
Hal ini sesuai dengan kewenangan Mahkamah Agung yang
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin disebabkan
kurangnya pertimbangan hukum karena dalam putusan Pengadilan
Tinggi Banjarmasin tersebut hanya mempertimbangkan mengenai
keberatan-keberatan yang diajukan dalam Memori Banding tanpa
memriksa fakta-fakta mengenai soal penerapan hukumnya termasuk
putusan Pengadilan Negeri.
Dengan demikian menuntut Mahkamah Agung untuk dapat
menilai fakta di persidangan termasuk dalam ketentuan KUHAP.
mengingat Kekuasaan Kehakiman di Indonesia saat ini selain Civil
Law menganut pula sistim Anglo saxon atau Commond Law.
Dimana Mahkamah Agung pada perkembangannya ternyata dapat
bertindak sebagai Judex Factie apabila dalam hal yang menuntut
ditegakkannya Keadilan dan Hukum, dengan demikian hakikat
Mahkamah Agung Sebagai Judex Juris dianggap masih belum
mengakomodir rasa keadilan maka saat ini Mahkamah Agung
berperan sebagaimana Pasal 50 Undang-Undang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah
dan ditambah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005, dan
Perubahan II Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung termasuk Peraturan-Peraturan hukum lainnya.
209
3) Perkara Perdata Perbuatan Wanprestasi Hj. Istiana Sari
dalam Jual Beli Batubara Terhadap Saipul Rahman dan Mr.
An Do Kyung Putusan Mahkamah Agung Nomor 3168
K/Pdt/2013 Tanggal (23 April 2014)
Secara empiris dalam kajian perkara Perdata ini, membuktikan
bahwa Mahkamah Agung benar-benar tepat dalam wewenangnya
sebagai Judex Juris dengan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi
Banjarmasin Nomor 29/PDT/2012/PT.Bjm tanggal 21 Juni 2012 yang
telah salah menerapkan hukum dengan membatalkan Putusan
Pengadilan Negeri Pelaihari Nomor 25/Pdt.G/2011/PN.Plh tanggal 16
Februari 2012, yang pada Amar Putusan Mahkamah Agung mengadili
sendiri dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri yang
dinyatakan telah sesuai hukum.
Alasan hukum penulis pada bagian ini bermula dari adanya
Fakta perbuatan Hj. Istiana Sari sebagai Direktur CV. Anugra
Rimbatala Illahi merupakan perbuatan Wanprestasi atau ingkar janji
hingga merugikan Saipul Rahman dan Mr. An Do Kyung sebagai
Para Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi hingga menderita
kerugian.
Sebab wanprestasi atau kelalaian yang merupakan substansi
yang tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada
beberapa macam, yang meliputi:
- Tidak melaksanakan isi perjanjian sebagaimana disanggupinya;
- Melaksanakan isi perjanjian namun tidak sebagaimana
dijanjikan;
210
- Melaksanakan isi perjanjian namun terlambat;
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya;
Menurut kajian ini bila kembali mengingat kekuatan
mengikatnya suatu perjanjian yang merupakan Amanat Pasal 1339
KUHPerdata (BW) sehingga pihak yang dirugikan oleh adanya
wanprestasi ini dapat melayangkan tuntutan atas kelalaian yang
terjadi, dalam hal ini Saudara Saipul Rahman dan Mr. An Do
Kyung sebagai Para Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi.
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
1) Perkara Mengenai Pemecatan melalui Keputusan Tata Usaha
Negara yang Diberikan Kepada Karyawati PT. Bank Negara
Indonesia Melalui Putusan Mahkahmah Agung Nomor 315
K/TUN/2006 (Yeti Desmiati).
Putusan Mahkamah Agung yang menerima Permohonan Kasai
oleh Yeti Desmiati oleh karena keputusan Surat Keputusan Direksi PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. No. KP/DIR/040/R tanggal 15
Januari 2004 perihal Pemberhentian yang berisi memutuskan antara
lain hal-hal sebagai berikut: “Mengakhiri hubungan kerja antara PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. dan Sdr. Yeti Desmiati NPP.
22877 pada tanggal 12 Januari 2004. Putusan mana kemudian
diperkuat oleh Surat Keputusan Divisi Sumber Daya Manusia No.
KP/359/SDM/11/R tanggal 11 Oktober 2004 yang isinya antara lain
memperkuat keputusan sanksi administratif terhadap Sdr. Yeti
Desmiati NPP. 22877 berupa Pemberhentian tanpa predikat cfm.
211
Surat Keputusan No. KP/DIR/040/R tanggal 15 Januari 2004. Sebelum
menjatuhkan putusan mengakhiri hubungan kerja dengan Yeti
Desmiati, pada bagian mengingat berpedoman pada Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 158 Jo Surat
Kesegenap Divisi/Satuan/wilayah No. SDM/1/091/R tanggal 12
Januari 2004;
Saat Yeti Desmiati menggugat ke Pengadilan Negeri
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang no. 5 Tahun
1986 dinyatakan setiap Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat
konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum Perdata karena ”Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata
Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undngan yang
berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”;
PT. Bank Negara Indonesia tersebut telah menimbulkan akibat
hukum yang merugikan Penggugat karena dengan dikeluarkannya
obyek gugatan maka Penggugat telah kehilangan pekerjaan yang
menjadi tulang punggung hidup keluarga;
Mahkamah Agung membuktikan bahwa penegakan keadilan
sebagai fungsinya sebagai Judex Juris sekaligus sebagai Judex Factie
dari permohonan kasasi yang diajukan Yeti Desmiati apabila dilihat
dari maksud putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta
tanggal 8 Desember 2005 No. 160/G/2005/PT.TUN.JKT. yang telah
212
menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No.
25/G.TUN/2005/PTUN.JKT. (sebagai Judex Factie) telah salah dan
keliru menerapkan hukumyang mencoba mengalihkan permasalahan
yang sudah masuk masalah materiil menjadi masalah formil berkaitan
dengan prosedur banding administratif. Karena gugatan Penggugat
yang pertama diajukan oleh Penggugat kemudian dicabut, sudah
menjelang kadaluarsa, yaitu hari yang ke 89 (delapan puluh sembilan),
dan seharusnya dari awal Penggugat mengajukan gugatan ini terpisah
atau tidak digabung, karena baik subyek hukum maupun obyek
sengketanya satu sama lain berlainan (berbeda) dengan demikian
adalah berdasar dan beralasan menurut hukum apabila Majelis Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.
Mahkamah Agung dituntut untuk dapat menilai fakta yang ternyata
Yeti Desmiati Setelah dilakukan pemeriksaan untuk didengar
keterangannya sebagai saksi dan yang bersangkutan tidak terdapat
unsur pidana ataupun keterlibatan dalam kasus BNI KCU Cabang
Kebayoran Baru (LC) tidak sesuai dengan Keadilan, diungkapnya
fakta oleh Mahkamah Agung sangat penting karena demi mencari
kepastian hukum secara Individiu dan substantif sebagaimana L.
Pospisil yang melawan Legalisme maka Putusan yang diambil
Mahkamah Agung sangat manusiawi bagi Yeti Desmiati. Oleh
karenanya, obyek sengketa tersebut sangat berdasar untuk dibatalkan
menurut hukum dan keadilan, dan nyata beralasan secara formal
mengandung cacat hukum. Fakta ini diperkuat lagi dari dikeluarkannya
213
Surat Keterangan dari Mabes No. Pol. SK/110/III/2004/Dit II Eksus
tanggal 19 Maret 2004.
2) Perkara Peradilan Tanah Tata Usaha Negara dari adanya
Keputusan Bupati Tanah Laut Kepada PT. Arutmin Indonesia
Putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 (tanggal 6
November 2007)
Mahkamah Agung memperhatikan bahwa berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001 Bupati Tanah Laut adalah
Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang berwenang menerbitkan
keputusan kuasa pertambangan di wilayahnya, walaupun berdasarkan
pengecualian Pasal 45 huruf A ayat (2) sub huruf c, Mahkamah Agung
tidak dapat mengadili perkara tata usaha negara yang objek gugatannya
berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya
berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan, namun mengenai
Pembatasan tersebut Mahkamah Agung menilai bahwa Pasal 45 huruf
A ayat (4) dengan memperhatikan substansi ayat (3) karena telah
diterima dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri untuk mengadili
perkara tersebut maka pengecualian pengajuan Kasasi masih dapat
ditempuh melalui Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung
selanjutnya Mahkamah Agung memperhatikan kronologis yang mana
dengan diketahui dan disadari adanya area pertambangan PT. Arutmin
Indonesia di Wilayah Kabupaten Tanah Laut (dalam kawasan Bupati
sebagai Tergugat), mengingat masa berlaku masa kontrak kerja yang
diberikan kepada PT. Arutmin Indonesia selama 30 (Tiga Puluh)
Tahun. Seharusnya Mahkamah Agung memperhatikan wewenang
214
Bupati Tanah Laut yang tidak berhati-hati dalam mempertimbangkan
secara cermat mengenai waktu persiapan kepututsan a quo dengan
terlebih dahulu mencari tanah yang jelas (fakta yang relevan) maupun
kepentingan pihak ketiga, sebelum Bupati Tanah Laut mengambil
keputusan untuk memberlakukan Surat Keputusan memberikan Kuasa
pertambangan kepada pihak kedua di wilayah Tanah Laut.
Perbuatan yang dilakukan Bupati Tanah Laut menurut
Mahkamah Agung dalam kedudukannya sebagai Judex Juris: sungguh
tidak beralasan apabila Bupati tidak mengetahui, sebab pengesahan
keputusan Menteri telah lebih dahulu ada dan mengikat menjadi satu
hak bagi PT. Arutmin Indonesia sebelum disahkannya Keputusan
Bupati Tanah Laut, menyebabkan permasalahan hukum dikemudian
hari, karena pemberian Kuasa Pertambangan yang ada di Tanah Laut
saling bertumpang tindih. Dalam perkara ini Mahkamah Agung
menilai Bupati Tanah Laut melanggar asas-asas kecermatan dan
Kehati-hatian, menurut Analisis penulis bahwa Putusan Gubernur
Tanah Laut adalah bertentangan dengan asas hukum pemerintahan
yang baik dapat pula melanggar Undang-Undang namun penulis
melihat dari sudut pandang kebiasaan berdasarkan pelanggaran
prinsip kehati-hatian dalam asas kecermatan merupakan tindakan
yang tidak cermat dalam mengeluarkan Keputusan.
Putusan Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara ternyata
memutuskan untuk menunda Keputusan Bupati tersebut, hal ini
menurut pertimbangan Mahkamah Agung telah tepat, namun
pembatalan melalui Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
215
menjadi kewenangan Mahkamah Agung untuk memperhatikan bahwa
keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara telah salah dalam
menerapkan hukum dan benar-benar cacat hukum dan Mahkamah
Agung berwenang untuk memeriksa upaya hukum yang diajukan
Pemohon Kasasi.
Mengenai Duplikasi disini Mahkamah Agung ternyata
memeriksa Gugatan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1976 dan PP 75 Tahun 2001 dapat disimpulkan bahwa
Eksplorasi dan Eksploitasi adalah: Jenis usaha di bidang pertambangan
yang berbeda dan tidak baerkaitan satu sama lain. Dengan demikian,
antara gugata penggugat atas objek sengketa perkara Nomor
02/G/2006/PTUN.Bjm dalam keputusan Bupati Tanah Laut Nomor
545.2.012.I/PU/PDE/2004 tanggal 17 Juni 2004 dan dalam gugatan
Nomor 15/G/2006/PTUN.Bjm Jo. Nomor 176/B/2006/PT.TUN.Jkt,
apabila kita telah melihat hasilnya adalah bahwa tidak terjadi Duplikasi
gugatan dan bukan meriupakan Nebis in Ideem;
PERADILAN MILITER
1) Perkara Kejahatan Pidana Militer Melalui Putusan
Mahkamah Agung Nomor 118 K/MIL/2010 yang diajukan
Oditur Militer pada Oditurat Militer II-09 Bandung, Kasus
Pidana (Sertu M.Ali Kadar).
Penilaian Mahkamah Agung terhadap kasus yang diajukan
Oditur Militer II-09 Bandung dengan Termohon Kasasi M. Ali Kadar
terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Pencurian diancam pidana
216
yang dilakukan oleh tentara yang berpangkat Sertu menurut Pasal 363
ayat (1) ke-3 KUHP. Jo. Pasal 10 KUHP dan Pasal 26 KUHPM yang
pada intinya menyatakan “ketentuan perundang-undangan lain yang
berhubungan. Kewenangan Mahkamah Agung dalam memberikan
menegakkan hukum dengan dengan memperberat hukuman M. Ali
Kadar yang telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Militer Jakarta sebab
putusan Pengadilan Militer sudah tidak dapat dipertahankan karena
seolah-olah mengisyaratkan hukum sangat ringan diberikan terhadap
suatu kejahatan pidana. Oleh karena kewenangan sebagai Judex Juris
dalam upaya hukum terakhir maka Mahkamah Agung menegakkan
Keadilan sebagaimana Judex Factie yang dapat menilai fakta bila
dirasakan tidak mencerminkan keseimbangan (balances) antara hukum
dan sanksi karena melihat jabatannya sebagai prajurit tentara yang
wajib melindungi negara dan berpangkat Sersan Satu M. Ali Kadar
adalah ternyata bertindak melanggar hukum dan melakukan kejahatan
pidana sebagai seorang Residivis yang membuat rusak nama baik
korps TNI.
Selain itu melakukan pencurian dan penghilangan terhadap
nyawa orang lain walau merupakan kealpaan namun patut disadari
oleh pelaku bahwa tindakannya menyebabkan hilangnya nyawa
seseorang, maka scara tegas harus dibatalkan oleh Mahkamah Agung
yang mengadili sendiri perkara tersebut dengan pidana tambahan
pemecatan dari kesatuannya sebagai tentara yang berpangkat Sersan
Satu.
217
2) Perkara Militer Tindak Pidana Disersi dalam Masa Damai
(Sersan Dua TNI-AD Husin) Tanggal Putusan Mahkamah
Agung Nomor 56 K/MIL/2009 Tanggal (8 April 2010)
Mahkamah Agung memiliki Pasal 131 Undang-Undang Nomor
1 tahun 1950 sebagai landasan hukum untuk beracara Kasasi. Dalam
tahun 1963 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963,
Mahkamah Agung memperluas Pasal 113 Undang-Undang No. 1
tahun 1950 dengan menentukan bahwa Permohonan Kasasi dapat
diajukan di Pengadilan Tingkat Pertama. Semula dalam pasal 113
tersebut, permohonan kasasi harus diajukan kepada Pengadilan yang
putusannya dimohonkan kasasi". Dengan perkara ini Oditur Militer
pada Oditurat Militer I-04 Palembang mengajukan Kasasi dari Putusan
Pengadilan Militer I-04 Nomor: PUT/34-K/PM I-04/AD/II/2009
Tanggal 12 Maret 2009, mengenai Tindak Pidana yang dilakukan
Anggota TNI-AD Berpangkat Sersan Dua bernama Husin yang murni
melakukan Disersi dalam Masa Damai, yang meninggalkan kewajiban
dalam tugasnya lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari.
Pengadilan Militer I-04 Palembang memutus pada salah satu
Amar yang mengadili bahwa Serda Husin tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwanaan dengan memberikan
pertimbangan tidak adanya Lotus Delicti dan Dakwaan yang diajukan
tidak mencantumkan Dakwaan Alternatif. Dari Putusan Pengadilan
Militer I-04 Palembang tersebut kemudian Oditur Militer dari Oditurat
Militer I-04 secara langsung mengajukan Kasasi kepada Mahkamah
Agung sesuai Pasal 113 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 sebagai
218
landasan hukum untuk beracara Kasasi mengingat Pengadilan Militer
I-04 Palembang telah salah dalam menerapkan hukum, dan pada
perkara tersebut merupakan perkara pidana militer yang tergolong
putusan bebas saat ini dapat saja dilakukan Permohonan Kasasi
mengingat permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas
tidak memberikan upaya hukum biasa terhadap putusan bebas.
Alasan bahwa bila putusan Pengadilan Militer I-04 Palembang
bukan terhadap Putusan bebas murni bukan berarti fungsi Mahkamah
Agung sebagai pengadilan kasasi terhadap putusan bebas yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Militer I-04 Palembang diabaikan, penulis
sependapat dengan Oditur Militer I-04 yang dapat mengajukan Kasasi.
Namun kajian penulis dalam hal ini menempatkan adanya Pergeseran
Paradigma dalam perkara a quo sebab Indonesia menganut dua sistem
hukum sehingga bila Putusan Pengadilan Militer I-04 Palembang salah
menerapkan hukum dan keliru dalam menerapkan hukum, mengingat
Kewenangan Mahkamah Agung Adalah Judex Juris sebagaimana
Amanat Pasal 50 Undang-Undang Mahkamah Agung maka
Mahkamah Agung berhak memeriksa apakah Putusan Lembaga
Peradilan yang ada di bawahnya telah tepat, jika tidak demikian maka
pengajuan memori kasasi dan permohonan kasasi kepada Mahkamah
Agung dapat diterima dan tidak melebihi batas pengajuan permohnan
kasasi sebagaimana ketentuan Undang-Undang.
219
PERADILAN AGAMA
1) Perkara Pembatalan Perkawinan Tanpa Izin Berpoligami
melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 02 K/AG/2001 (Hj.
Asni bini H. Syafe’i).
Mahkamah Agung dalam kapasitas sebagai Judex Juris akan
memperhatikan sejauhmana suatu perkara dalam kaidah hukum yang
saling bertentangan apabila dalam perkara Hj. Asni mengenai
perkawinan yang tanpa izin berpoligami baik dari Isteri maupun dari
Pengadilan Agama setempat sesuai ketentuan dalam Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga dapat secara
kias (analogi) diatur dalam Pasal 72 tentang Kompilasi Hukum Islam
pada hakikatnya diajukan paing lambat 6 bulan sejak yang
bersangkutan menyadari dan atau mengetahui perkawinan dimaksud.
Putusan pengadilan Agama dibatalkan oleh Mahkamah Agung
dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Tinggi agama telah mencoba
untuk mempermainkan keadilan oleh karena itu telah melanggar
ketentuan Pasal 3, Pasal 9 Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, oleh karenanya perkawinan
tersebut harus dibatalkan dan Akta Nikah dari kantor Urusan Agama
Kayu Aro tidak berkekuatan hukum, Mahkamah Agung dalam
kewenangannya sebagai Judex Juris juga telah menilai fakta yang
nyata yang dilakukan Ketua Pengadilan Tinggi Agama yang dalam
kaidah putusan tidak berkekuatan hukum, kewenangan Mahkamah
Agung dala perkara a quo bertindak sebagai Judex Factie, apabila
kembali kepada tidak adanya izin poligami dari Pengadilan Negeri
220
setempat ada dua kemungkinan yang terjadi dapat membatalkan
perkawinan walaupun telah lama pernikahan tersebut dilakukan tanpa
izin poligami telah dikarunia anak, disisi lain ada yang tidak dapat
dibatalkan, untuk yang tidak dapat dibatalkan apabila melindungi
pihak isteri dari pelanggaran hukum dengan tidak mengetahui bahwa
perkawinan itu merupakan perkawinan seorang laki-laki yang masih
terikat perkawinan dengan perempuan lain, dan oleh karena tidak ada
unsur kesengajaan melanggar hukum hanya dengan itikad baik maka
seorang isteri yang melakukan pernikahan dengan seorang laki-laki
yang telah melakukan perbuatan pemalsuan dan pendustaan maka
isteri tersebut harus dilindungi sebagaimana (Q.S. Al-An’am 6 : 164):
Bismillahirrahmanirrahim:
Artinya : Katakanlah apakah aku mencari Tuhan Selain Allah,
Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu dan tidaklah
seseorang yang berbuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-
Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.
221
dan (Q.S. Al-Isra’ 17: 15):
Bismillahirrahmanirrahim:
Artinya: Barang siapa yang berbuat sesuai Hidayah Allah, maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk keselamatan dirinya sendiri dan
barang siapa yang sesat, maka dia tersesat bagi kerugian dirinya
sendiri dan seorang yang berdosa.
Namun lain halnya bila dalam kasus ini bahwa Mahkamah Agung
hanya sebagai Penegak Hukum (Judex Juris) sebab tidak
mempertimbangkan itikad baik dari isteri perama, dalam kasus ini
Mahkamah Agung menerapkan Ijtihad IntiQa’I.
2) Perkara Pembatalan Hibah (Tuntutan Ahli Waris Keluarga
Anang Harlansyah (Alm) kepada Pewaris Keluarga
Balkansyah Putusan Mahkamah Agung Nomor 595 K/AG/2012
Tanggal (25 Juni 2013)
Putusan karena adanya kesalahan aspek formil dari gugatan
Para Penggugat yang kemudian ditolak oleh Pengadilan Agama dan
diperkuat ptusan pengadilan Agama Banjarmasin oleh Pengadilan
Tinggi Agama Banjarmasin sehingga pihak para penggugat
tersebutkan Noorliah binti Anan Harlansyah dan para penggugat
222
lainnya mengajukan Permohonan kepada Mahkamah Agung untuk
mendapatkan keadilan dan Mahkamah Agung tetap pada kewenangan
sebagai Judex Juris karena walaupun Lembaga Peradilan Agama yang
dibawah naungannya menolak gugatan yang diajukan Para Penggugat
namun Mahkamah Agung sebagai pilar menegakkan hukum dan
keadilan mampu melihat pengajuan para Pemohon Kasasi yang tepat
sesuai Undang-Undang dan peraturan lainnya, kemudian
memperhatikan pertimbangan Memori Kasasi yang diajukan termasuk
mengkoreksi terhadap putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama.
Ternyata walaupun pengajuan gugatan tersebut tidak tepat
secara formil, namun Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan
yudisiumnya berhak menilai sekaligus berperan sebagai Judex Factie
yang kurang memperhatikan unsur-unsur yang menjadi maksud
Permohonan Kasasi, adanya klausul bahwa tanpa sepengetahuan dari
Pewaris Anang Harlansyah kepada Isteri dan Anak-Anaknya setelah
diketahui adanya surat hibah dari pewaris kepada Balkansyah, dari
tindakan tersebut dapat dikaji bahwa perbuatan Pewaris tersebut dapat
dimohonkan untuk pembagian yang wajar kepada Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama, oleh sebab lembaga peradilan tersebut
menolak maka dianggap telah menyimpang dari ketentuan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 210 ayat (1) dinyatakan bahwa seseorang yang
223
menghibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga yang ditunjuknya.
Menurut kajian Penulis Putusan Mahkamah Agung dengan
Mengadili sendiri telah tepat dan mengabulkan Permohonan Kasasi
Para Pemohon Kasasi, dengan demikian dalam perkara in casu penulis
akan menjawab bahwa Mahkamah Agung harus membagi hanya
kepada para Termohon Kasasi diberikan 1/3 (sepertiga) bagian dan
kepada para Pemohon Kasasi sisanya setalah bagi 1/3 (sepertiga) yakni
2/3 (dua pertiga) bagian.
3) Perkara Sengketa Harta Bersama (Antara Hamdi dan Liza
Faulina) Putusan Mahkamah Agung Nomor 27/K/AG/2012
Tanggal (28 Mei 2013)
Kajian ini merupakan penilaian kewenangan yang dimiliki
Mahkamah Agung sebagai Judex Juris sebab tidak mengkoreksi
putusan Pengadilan di bawahnya sebagai Judex Factie, terjadi suatu
masalah yang bertumpang tindih apabila kajian ini melihat perkara
antara Hamdani dan Liza Faulina sebab menjadi satu kesatuan yang
mana perlu ditegaskan bahwa tidak adanya relevansi antara perkara
harta bersama dengan Hadhanah (yang merupakan ranah Personal
Recht) namun Mahkamah Agung dengan kewenangannya mampu
memprioritaskan apa yang menjadi tujuan utama dari Permohonan
Kasasi yang diajukan Liza Faulina mengenai Permohonan Kasasi
dalam menanggapi gugatan Hamdi sebagai Termohon Kasasi/dahulu
224
Penggugat mengenai pembagian harta bersama, yang pada dasarnya
Mahkamah Agung mempertimbangkan beberapa aspek dengan tetap
berpegang pada ketentuan Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Rumusan Harta bersama dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 sangat jelas, karena harta yang diperoeh Suami dan Isteri
sebagaimana ketentuan Kompilasi Hukum Islam Psal 86 (KHI)
dinyatakan “Pada dasarnya tidak ada percampuran harta suami dan
isteri” yang pengertiannya segala harta yang diperoleh suami atau isteri
baik sebelum dan sesudah perkawinan tidak dengan sendirinya
menjadi harta bersama, namun ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 35
ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan segala harta
yang diperoleh suami atau isteri selama perkawinan menjadi harta
bersama, kecuali harta yang diperoleh dari warisan atau hadiah baik
bagi isteri maupun suami.
Mahkamah Agung Mengadili Sendiri dalam Putusan Kasasi
Mahkamah Agung memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Agama
dan Pengadilan Agama dengan memberikan seperdua 1/2 bagian
sebagaimana Permohonan Kasasi dari Liza Faulina, dalam pembahasan
ini penulis mengkaji Mahkamah Agung akan memperhatikan aturan
dalam Pasal 96 dan Pasal 97 KHI. Mempertimbangkan menurut
penulis pada Perkara a quo kewenangan Mahkamah Agung tidak lepas
dari tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia walaupun demikian
225
jika berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 yang menitik beratkan pada pembagian menurut hukum masing-
masing, dan pada setiap kajian empiris menyatakan Mahkamah Agung
senantiasa memutus sengketa harta bersama dengan membagi dua
walaupun Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama tidak
selalu memutus harta bersama dibagi sebagian.
Sebagaimana surat Annisa ayat 32 yang diuraikan sebagai
berikut:
Bismillahirrahmannirrahim:
Artinya:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah S.W.T, kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang
lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang
mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari mereka
yang mereka usahakan dan Mohonlah Kepada Allah S.W.T, sebagian
dari Karunia Allah S.W.T. Sesungguhnya Allah S.W.T Maha
Mengetahui segala sesuatu.
226
B. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam mewujudkan
keadilan.
Sistem hukum dimanapun yang berlaku di seluruh dunia tetap akan
memprioritaskan keadilan sebagai objek utama khususnya dalam kewenangan
Kekuasaan Kehakiman yang dilaksanakan Mahkamah agung melalui lembaga
pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu
sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu
struktur atau kelengkapan dengan menerapkan konsep akses terhadap
peradilan. Upaya Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi bidang
peradilan di lingkungan Peradilan Umum baik Perdata maupun Pidana, Tata
Usaha Negara, Agama dan Militer dalam mengarahkan semua hakim untuk
berpikir progresif walau tidak mudah, karena sampai saat ini masih ada hakim
yang cenderung berpikir legalistik-formalistik dengan selalu bersandar pada
pemikiran yang positivistik yang menempatkan peraturan perundang-
undangan sebagai inti hukum. Satjipto Rahardjo justru menegaskan bahwa
sebagian besar hakim di Indonesia cenderung menggunakan paradigma
berpikir rule making, yaitu berpikir dengan mengeja pasal-pasal undang-
undang sehingga biasa disebut cara berhukum yang legalistic dan positif-
analitis. Eksesnya, putusan hakim tidak signifikan dengan tujuan hukum.
Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan
dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain diperlukan ditransformasikan
melalui langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan
“mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”. didasarkan pada “logika
227
kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan
“logika peraturan” saja, yang tujuannya kepada Hakim-Hakim di Pengadilan
di bawah Mahkamah Agung. Mengenai tujuan hukum dalam mewujudkan
keadilan maka perlu merumuskan konsep keadilan progresif ialah bagaimana
bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur.
Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek
prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara
pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi.
Dengan demikian konsep keadilan progresif diterapkan bukanlah
ditekankan pada prosedur, melainkan keadilan keadilan substantif. Sehingga
kewenangan Mahkamah Agung dituntut untuk dapat melaksanakan
transformasi agar tidak menimbulkan kerusakan dan kemerosotan keadilan.
melalui hukum modren disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan
timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau
kemenangan”. Proses ini seringkali menjadi hal yang dilematis dalam suatu
proses penegakan hukum di negara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly
proceduralizied). Dalam menjalankan prosedur butuh perhatian Mahkamah
Agung dalam kewenangan yudisialnya sebagai pelaksana Kekuasaan
Kehakiman yang menempatkan penegakan hukum dan keadilan diatas segala-
galanya, bahkan diatas penanganan substantif terhadap isi suatu putusan.
Mahkamah Agung menjadikan keadilan subtantif sebagai inti
transformasi bagi pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung
memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan
228
pengadilan, Mahkamah Agung memiliki kekuasaan untuk mendorong
(encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan
yang progresif tersebut. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan,
bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari
kemenangan semata dalam penanganan perkara terhadap salah satu pihak yang
berperkara, melainkan mencari kebenaran dan keadilan.
Keadilan progrsif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat,
sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh
“permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini
hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang
kendali aktif untuk mencari kebenaran. Kehadiran hukum progresif bukanlah
sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan
sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses
pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti.
Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari
jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum
dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan
kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
Keadaan hukum di Indonesia secara empiris terbukti sangat
memprihatinkan selaras ungkapan para pengamat hukum. Pada tahun 1970-an
sudah ada istilah “Mafia Peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada
orde baru hukum sudah bergeser dari law is a tools of social engineering ke
arah ketersesatan karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada
229
era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. inti dari
kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi
dalam menjalankan hukum, Agenda besar gagasan hukum progrsif adalah
menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan
mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum progresif mengajak untuk
memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum progresif
menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum
didalam masyarakat.
Disinilah arti penting pemahaman gagasan hukum progesif, bahwa
konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang
bersifat utuh (holistik) dalam memahami problem-problem kemanusiaan.
Gagasan hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum
pada sifat yang dogmatis, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang
empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh
berorientasi keadilan substantif.
1. Hukum Merupakan Faktor Dinamis
Hukum harus disinergikan dengan adanya pola pikir pembentukan
hukum khusunya peraturan-peraturan perundang-undangan harus
disesuaikan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Segala jenis peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan
sistem hukum yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Oleh
sebab itu, tata urutan, kesesuaian isi antara berbagai peraturan
230
perundang-undangan tidak boleh diabaikan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.
2) Tidak semua aspek kehidupan masyarakat dan bernegara harus diafur
dengan perafuran perudang-undangan. Berbagai tatanan yang hidup
dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan cita hukum, asas
yang terkandung dalan pancasila dan UUD 1945 dapat dibiarkan dan
diakui sebagai subsistem hukum nasional dan karena ifu mempunyai
kekuatan hukum sepeti perafuran perundang-undangan.
3) Pembentukan peraturan pemndang-undangan, selain mempunyai
dasar- dasar yuridis, harus dengan saksama mempertimbangkan dasar-
dasar filosofis dan kemasyarakatan tempat kaidah tersebut akan
berlaku.
4) Pembentukan peraturan perundang-undangan selain mengafur keadaan
yang ada harus mempunyai jangkauan masa depan.
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan sekadar
menciptakan instrumen kepastian hukum, tetapi instrumen keadilan
dan kebenaran.
6) Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada
partisipasi langsung atau tidak langsung masyarakat.
Mahkamah Agung kini diefektifkan sebagai institusi hukum yang
final dan mutlak, itu sebabnya kewenangan Mahkamah Agung melalui
lembaga peradilan dalam naungannya sangat ditentukan oleh
231
kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia, dalam konteks
pemberian keadilan dan menegakkan hukum.
Pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses
untuk terus menjadi panglima. Hukum adalah institusi yang secara terus
menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat
kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa
diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian
kepada rakyat dan lain-lain. Keseluruhan ini menuntut adanya upaya
transformatif dalam konteks menegakkan hukum sebagai Judex Juris,
sehingga hal yang demikian itu, ditafsirkan sebagai hukum yang akan
tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia.
Apabila dilaksanakan maka akan berpengaruh pada cara dalam proses
hukum, yang dapat terhindar dari jebakan dalam alur “kepastian hukum”,
status quo dan hukum sebagai skema yang final dan supremasi hukum
selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun
pada kultur hukumnya. Pada saat Mahkamah Agung dalam
kewenangannya menjadi sebuah skema yang final dan diterima
masyarakat, maka hukum tidak hanya tampil sebagai solusi bagi persoalan
kemanusiaan, melainkan setiap subjeknyalah yang dipaksa untuk
memenuhi kepentingan kepastian hukum. Dengan menempatkan aspek
perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia
dan kemanusiaan inilah selalu menjadi wacana yang wajib adapun unsur
dimaksud adalah compassion (perasaan baru), empathy, sincerety
232
(ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare (keberanian)
dan determination (kebulatan tekad).
Mahkamah Agung yang mengutamakan faktor kemanusiaan di atas
faktor peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan
perilaku dari bagi upaya transformasi sebagai Judex Juris ke ranah
keadilan bagi kemanusiaan secara utuh (holistik), hal ini merupakan
perubahan yang mampu disebut sebagai kewenangan Judex Factie
Mahkamah Agung yang bertanggungjawab secara sosial bagai produk
hukumnya untuk memberikan keadilan kepada siapapun.
2. Alternatif Putusan Judex Juris.
Perkembangan kemampuan Mahkamah Agung yang tidak hanya
menganalisis putusan Judex Juris lembaga pengadilan saja, namun dapat
menilai fakta sebagai maksud bukan berarti menjurus kepada tindakan
arogansi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada
“logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata
berdasarkan “logika peraturan” saja. Di sinilah hukum sebagai
pencerminan sikap Mahkamah Agung dalam kewenangannya yang sejalan
dengan makna pemikiran hukum progresif itu.
Salah satu faktor yang patut dibuktikan dengan menjunjung tinggi
moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penegakan hukum,
yang menjelma sebagai pendorong sekaligus pengendali yang membuat
semangat mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang
tepat untuk mewujudkan keadilan sustantif yang lebih baik.
233
Mahkamah Agung sebagai penjaga konsistensi putusan pengadilan
agar dalam Perkara-perkara yang serupa dapat diputus sama ditingkat
kasasi. Karena apabila hakim-hakim agung tersebut memutus perkara
yang serupa diputus berbeda ditingkat kasasi, hal ini berbahaya bagi
perkembangan hukum, khususnya kepastian hukum dan keadilan di
Indonesia. Itulah peran Mahkamah Agung dalam upaya mentransformasi
kewenangan sebagai Judex Juris yang pula mampu berperan sebagai
Judex Factie yang wajib menggunakan prinsip penyusunan kebijakan
hukum diantaranya melalui aspek keadilan (gerechtigkeit), aspek
kepastian hukum (rechtszekerheit), aspek kemanfaatan (zweckmassigkeit).
Secara yuridis sekaligus empiris, proses pengadilan di Indonesia
telah menampakkan perubahan yang progresif bilamana yang menjadi
tolok ukur (parameter) salah satu prinsip yang harus diemban oleh
kekuasaan kehakiman apa yang dikenal sebagai Speedy of Justice atau
Administration of Justice sebagai mana dinyatakan secara eksplisit dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan Kehakiman yaitu: “Pengadilan membantu pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Sebagaimana telah digunakan dalam ketentuan yaitu :
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar
klausul arbitrase sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari
perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur
234
arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir" sesuai
Pasal 60 UU Arbitrase menyebutkan kalau putusan arbitrase bersifat final
dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat para pihak.
Teorinya, setelah ada putusan arbitrase tidak ada upaya hukum lain yang
bisa diajukan oleh pihak yang kalah dan pihak yang menang tinggal
menjalankan eksekusi. Artinya, Pengadilan Negeri tidak diperkenankan
untuk memeriksa pokok perkaranya lagi. Tugasnya hanya mengijinkan
atau menolak eksekusi. Kalau menolak, alasannnya hanya yang secara
limitatif ditentukan dalam Pasal 62 ayat (2) di antaranya apabila putusan
arbitrase melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Terhadap penolakan
eksekusi karena alasan sebagaimana diatur Pasal 62 ayat (2) tidak ada
upaya hukum apapun.
Hal yang sama diatur sebagaimana Pasal 56 undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial menyebutkan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutus :
1) di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
2) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
3) di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
4) tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Namun bagi perkara kepailitan dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
235
Kewajiban membayar Utang dinyatakan “Upaya hukum yang dapat
diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah
Kasasi ke Mahkamah Agung”. tidak berlebihan bilamana proses
penyelesaian perakara oleh peradilan-peradilan di bawah Mahkamah
Agung Termasuk Mahkamah Agung dengan proses penyelesaian perkara-
perkara oleh Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat akhir dan
mengikat (Final and Binding, sebagaimana Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi), sejalan dengan BAB III mengenai Kekuasaan Mahkamah
Agung dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan
Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua
Lingkungan Peradilan. Perkembangan ini belum diikuti oleh peradilan
umum, sehingga demikian seyogianya penyederhanaan proses
pemeriksaan peradilan mengikuti pula peradilan-peradilan lainnya,
sekaligus merupakan perwujudan dari prinsip kemanfaatan yang
dikemukaan oleh Jeremy Bentham "the greatest happiness of the greatest
number" (mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk
sebanyak-banyaknya orang), sekaligus juga merupakan perwujudan dari
konsep keadilan substantif yang dikembangkan oleh Sartjipto Rahardjo,
bilamana hal ini dapat diwujudkan sudah barang tentu salah satu problem
sistem peradilan yang relatif lama maka akan dapat dirasakan lebih cepat.
Sebagaimana teori hukum pembangunan menurut Mochtar
Kusumaatmadja dalam Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
236
memiliki pokok-pokok pikiran tentang hukum yaitu; Pertama, arti dan
fungsi hukum dalam masyarakat direduksi pada satu hal yakni ketertiban
(order) yang merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala hukum.
Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental)
bagi adanya suatu masyarakat yang teratur dan merupakan fakta objektif
yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya.
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat maka diperlukan adanya
kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Disamping
itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda
isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
Kedua, hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti pergaulan antara
manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum, namun juga
ditentukan oleh agama, kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan
dan kaidah-kaidah sosial lainya. Oleh karenanya, antara hukum dan
kaidah-kaidah sosial lainnya terdapat jalinan hubungan yang erat antara
yang satu dan lainnya. Namun jika ada ketidaksesuaian antara kaidah
hukum dan kaidah sosial, maka dalam penataan kembali ketentuan-
ketentuan hukum dilakukan dengan cara yang teratur, baik mengenai
bentuk, cara maupun alat pelaksanaannya.
Ketiga bahwa hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal
balik, dimana hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaanya karena
tanpa kekuasaan hukum itu tidak lain akan merupakan kaidah sosial yag
berisikan anjuran belaka. Sebaliknya kekuasaan ditentukan batas-batasnya
oleh hukum. Secara populer dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.
237
Keempat, bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari
nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan
bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (The living law)
dalam masyarakat yang tentunya merupakan pencerminan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Kelima, hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat artinya
hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam
masyarakat. Fungsi hukum tidak hanya memelihara dan mempertahankan
dari apa yang telah tercapai, namun fungsi hukum tentunya harus dapat
membantu proses perubahan masyarakat itu sendiri. Penggunaan hukum
sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan kemasyarakatan harus
sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian dalam masyarakat sehingga
harus mempertimbangkan segi sosiologi, antroplogi kebudayaan
masyarakat.
Namun Teori Mochtar Kusumaatmadja mengenai hukum
pembangunan selanjutnya dimodifikasi untuk menutup kekurangannya
oleh Romli Atmasasmita (Teori Hukum Pembangunan II) dengan
menambahkan teori hukum progresif yaitu teori yang diperkenalkan oleh
seorang ahli hukum yaitu Satjipto Rahardjo kedalam Teori Pembangunan
menurut Mochtar Kusumaatmadja beranjak dari bagaimana menfungsikan
hukum dalam proses pembangunan nasional, sedangkan Satjipto Rahardjo
beranjak dari kenyataan dan pengalaman tidak bekerjanya hukum sebagai
238
sistem perilaku. Perbedaan lain terlihat pada bagaimana hukum
pembangunan menegaskan bahwa kepastian hukum dalam arti keteraturan
atau ketertiban (order) dipertahankan sebagai pintu masuk menuju arah
kepastian hukum dan keadilan, sedangkan hukum progresif menegaskan
bahwa demi kepentingan manusia hukum tidak dapat memaksakan
ketertiban kepada manusia, tetapi hukumlah yang harus ditinjau kembali.
Perbedaan lain, dalam hukum pembangunan adalah hukum
seyogyanya diperankan sebagai sarana (bukan alat) pembaruan masyarakat
(Law as a tool of social engineering), akan tetapi Satjipto Rahardjo lebih
menegaskan bahwa model pemeranan hukum demikian dikhawatirkan
menghasilkan dark engineering jika tidak disertai dengan hati nurani
manusianya dalam hal ini penegak hukumnya. Sehingga menurut hemat
penulis Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam mewujudkan
keadilan dapat menerapkan pemikiran Satjito Rahardjo untuk dapat
mengakomodir persoalan hukum dalam masyarakat, sebagaimana Model
Hukum Integratif menurut Romli Atmasasmita yang memberikan
alternatif solusi terdiri dalam tiga paradigma hukum pembangunan
nasional. Prinsip hukum model integratif tersebut diyakini dapat
memberikan konstribusi yang signifikan terhadap pembangunan nasional
terutama dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum yang
memberikan keadilan.
239
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berlandaskan Kewenangan mahkamah agung sebagai Judex Jurist
dalam menilai fakta untuk mewujudkan keadilan yang di dalamnya termasuk
nilai-nilai akan kebenaran dan keadilan yang menjadi titik pembahasan
hukum, sehingga faktor etika dan moralitas tidak terlepas dari pembahasan
tersebut. Sehingga dapat diambil kesimpulan dalam penelitian ini dengan
karakteristik penemuan hukum yang progresif adalah:
1. Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara sebagai Judex
Juris normatif, didasarkan pada ketentuan Pasal 50 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Bilamana
dicermati secara seksama kewenangan mahkamah agung tersebut tidaklah
hanya dalam makna keberlakuan yuridis belaka, namun memiliki pula
dalam makna Filosofis, karena putusan Mahkamah Agung tersebut
dirasakan tidak sekedar berlandasakan kepada kepastian hukum belaka
sekaligus memenuhi rasa keadilan, bahkan dalam perkara-perkara tertentu
dapat disimpulkan putusan Mahkamah Agung memberikan kemanfaatan.
2. Kewenangan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam menilai fakta
untuk mewujudkan keadilan, bilamana dicermati secara seksama akan
memberikan dampak yang positif, karena Mahkamah Agung kini
diisyaratkan dapat mengambil alih kewenangan peradilan di bawahnya
240
maka seperti halnya proses peradilan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
membayar Utang tidak mengenai proses banding, langsung menempuh
Upaya Hukum Kasasi.
B. Rekomendasi
Mahkamah Agung dalam mewujudkan keadilan dalam rekomendasi
ini akan menjadi alternatif dalam mempertegas sebagai wacana dengan
memberi argumentasi membangun yang disampaikan, agar dalam setiap
pengambilan putusan Mahkamah Agung yang sekaligus sebagai
Yurisprudensi sesuai dengan kewenangannya sebagai Judex Juris untuk
menggunakan metode penemuan hukum yang progresif yang mempengaruhi
produk hukum Mahkamah Agung diantaranya:
1. Mahkamah Agung harus menjadi Judex Juris yang menurut dinamisasi
reformasi hukum yang benar-benar sebagai lembaga pemutus terakhir
(bersifat Final) dan Binding (mengikat) dalam menegakkan keadilan bagi
Pencari keadilan sebab pada kenyataannya Undang-Undang Perselisihan
Hubungan Industrial, Undang-Undang Kepailitan, dan Undang-Undang
Arbitrase sebagai fakta bahwa proses peradilan menuntut penegakan
keadilan tertinggi;
2. Mahkamah Agung dituntut mampu efektif melaksanakan prinsip-prinsip
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sehingga tidak lagi
memperlama proses hukum yang merupakan bentuk pengabaian Pasal 4
241
ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dan disebut pelanggaran terselubung yang selama ini terjadi;
3. Mahkamah Agung dalam putusannya tidak hanya sekedar memenuhi
formalitas hukum atau sekedar memelihara ketertiban saja, tetapi putusan
itu harus berfungsi membangun harmonisasi dan mendorong perbaikan
dalam mewujudkan keadilan bagi Pencari Keadilan.
4. Mahkamah Agung harus mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner),
yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum
(rule breaking) dalam Putusannya, dimana dalam hal suatu ketentuan
undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum,
kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan yakni nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, maka hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan
contra legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal
undang-undang yang bersangkutan dengan tujuan untuk mencapai
kebenaran dan keadilan.
5. Mahkamah Agung dituntut untuk peka pada keadaan masyarakat dan
selalu berfikir dengan nurani oleh karena segala ptusan yang diambil tetap
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai
konsekuensi logis amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
berlaku versi Amandemen bukan menjadi suatu putusan yang kontroversi
dan monoton karena berdampak pada keterpurukan hukum sekaligus
menjadikan kebobrokan mental penegakan hukum.
242
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Hakim G Nusantara,(1988), Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH
Indonesia, Jakarta.
Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi,
Kencana, Jakarta.
Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Andi. M. Nasrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah
Soeharto, Elsam, Jakarta.
Andre Ata, 2001, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John
Rawls, Kanisius, Yogyakarta.
Anthon F. Susanto, 2007, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma
Hukum Konsruktif-Transgresif, Refika Aditama, Jakarta.
Ata Ujan, Andre, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009.
Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung,
LPPM-UNISBA.
Bagir Manan, 2005, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman
Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah
Agung, Jakarta.
C.F.Strong, 2011, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Studi Perbandingan
Tentang Sejarah dan Bentuk Terjemahan “Derta Sri Widowatie”,
Nusa Media, Bandung,
243
C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, 1984, Hukum Tata Negara RI Jilid I,
Rineka Cipta, Jakarta.
Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan
Nuansa Media, Bandung.
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
F. Budiman Hardiman, 2007, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai
Nietzsche, Gramedia, Jakarta.
H. Priyono, 1993, Teori Keadilan John Rawls, dalam: Tim Redaksi
Driyarkarya (Ed.), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law And State, translated by Anders
Wedberg, New York: Russell & Russell A Division of Atheneum
Publishers, Inc.
Harold J. Laski, 1957, A Grammar of Politics, London: George, Allen &
Unwin Ltd., dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, 1996,
Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
HR. Ridwan. 2002. Hukum Administrasi Negara. UII Press, Yogyakarta.
Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus
Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Jimly Asshiddiqie, 2000, Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan, Makalah
Seminar, Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Jakarta.
244
John Gilissen., Frits Gorle, (2005), “Sejarah Hukum Suatu Penghantar”,
(diterjemahkan oleh Freddy Tengker), Refika Aditama, Bandung.
John Rawls, (2005) dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta.
John Rawls, 1999, A Theory of Justice, The President and Fellowship of
Harverd University, Cambridge Press, Massachusetts, New York.
Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
L.J. van Apeldoorn dalam Oetarid Sadino, 1975, Inleiding tot de studie van
het Nederlandse Recht, terjemahan Cet. 13, Prednya Paramitha,
Jakarta.
Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2002,
Komisi yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, Jakarta.
Lihat Nasikin, 1997, "Hukum Dalam Paradigma Sistem Sosial" dalam Artidjo
Alkostar (ed), ldentitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta..
M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et al), 1989, De
Rechtsstaat Herdacht, Zwolle: Tjeen Willink dalam Bagir Manan,
1995.
Moh. Koesnoe, 1997, Yuridisme Yang Dianut Dalam Tap MPRS
No.XIX/1966, Varia Peradilan, No.143 Tahun XII.
Montesque yang diterjemahkan oleh Anne .M. Cohler, 1992, The Spirit of The
Law Cambridge University Press Cet. 3, Cambridge.
Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, eds, 1994, Hanbook of Qualitative
Research, Sage Publication, London.
245
Oemar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga,
h.251; International Covenant on Civil and Political Rights, Adopted
and opened for signature, ratification and accession by General
Assembly resolution 2200 A (XXI) of 16 December 1966, Entry Into
Force: 23rd March 1976.
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya, tanpa tahun.
Prodjodikoro, 1981, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Eresco, Bandung.
Purnadi Purbacaraka, (1980), Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan
Hukum, Bandung Penerbit: Alumni.
R. Tresna , 1977, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”, Pradnya
Paramitha, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 2012, Teori hukum pembangunan diperkenalkan, Teori
Hukum Integratif, Rekonstruksi terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Russell, Peter H., and David M. O’Brien, 1985, Judicial Independence In The
Age Of Democracy, Critical perspectives from around the world,
Toronto: Constitutionalism & Democracy Series, McGraw-Hill.
Saldi Isra; 2013, Pergeseran Fungsi Legislasi, PT. Raja Grafindo Persada
Jakarta.
Satjipto Rahardjo, (2006), Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta.
246
Satjipto Rahardjo, 2000, “Ilmu Hukum”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sebastian Pompe, 2012, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Lembaga
Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Jakarta.
Sirajuddin, (2006), Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Soedikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di
Indonesia Sejak tahun 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita
Bangsa Indonesia”, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Liberty,
Jogyakarta (Tanpa Tahun Terbit)
Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandagangan Hidup
Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta.
Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup
Bangsa, Kompas, Jakarta.
Soerjono Sukanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali Pers, Jakarta.
_______________, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas
Indonesia, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers, Jakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional,
Raja Grafino Persada, Jakarta.
Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung.
247
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, 2007, Hukum Acara Perdata dan
perkembangannya Di Indonesia, Yogyakarta. Gama Media.
Sunaryati Hartono, 1982, Apakah The Rule of Law Itu ?, Alumni, Bandung.
_______________, 2006, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum
Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti Bandung.
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta.
____________, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
Yahya Harahap. 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Yesmil Anwar & Adang. (2008), Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta,
Grasindo.
Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas
Pancasila, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
B. Sumber Artikel, Karya Ilmiah, Perundang-Undangan, Majalah dan
lainnya.
Arief Sidharta, 2006, Filsafat Hukum Pancasila, Materi Kuliah sistem filsafat
hukum Indonesia, Program Pascasarjana Studi Doktor Ilmu Hukum,
Bandung.
Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non-Struktural
Deputi Hubungan Bidang Kelembagaan dan Kemasyarakatan, 2012,
Profil Lembaga negara Rumpun Yudikatif, Kemenetrian Sekretaris
Negara Republik Indonesia. Jakarta.
248
Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26, UU No.4 Tahun
2004, tentang Kekuasaan Kehakiman; Lihat pula Kesimpulan
seminar “Pemberdayaan dan Tanggungjawab Mahkamah Agung
Republik Indonesia Dalam Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman
Yang Mandiri”, IKAHI, Varia Peradilan, No.178, Juli 2000.
Delmar Karlen dalam Danbury: Glorier), 2002, “Court in Common law
Countries”, dalam Ensiklopedia Amerika, 28thed, vol. 8.
Dicky Andika, 2008, Jurnal Kapita Selekta Ilmu Sosial, Universitas
Mercubuana, Jakarta.
Diimplementasikan dalam Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi
Manusia, yang menyatakani: “Setiap orang, tanpa diskriminasi,
berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan
permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan
yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.
Harifin A. Tumpa, 2009, Mahkamah Agung Pasca Perubahan Undang-undang
Dasar Negara Republik indonesia.
Harun Alrasyid, 1989, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
IHW/Ali, 26 Januari 2009, “Sejarah Mahkamah Agung (dulu - sekarang)”,
Hukum Online.com.
Jimly Asshiddiqie, 2000, Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda
Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum Dan
249
Keberdayaan Masyarakat Madani, Makalah Konggres Mahasiswa
Indonesia Sedunia, Chicago, Amerika Serikat.
Kelompok Kerja Akses Terhadap Keadilan, 2009, Strategi Nasional Akses
Terhadap Keadilan, Bappenas Direktorat Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Jakarta. hlm. 5.
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Rekrutmen dan Karir di
Bidang Peradilan, Laporan Akhir. Kelompok Kerja A.2 Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Lembaga Peneliti Hukum Independen, Selasa, 17 Juli 2012, Pengamat Hukum
Indonesia, Pemerhati Mahkamah Agung.
Lihat Paulus Effendie Lotulung, 1999, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman
Dalam Konteks Pembagian Kelkuasaan Dan Pertanggungan Jawab
Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-VII Reformasi Hukum
Menuju Masyarakat Madani, BPHN Departemen Kehakiman,
Jakarta.
Lilik Mulyadi. Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, Sebuah Kajian Deskriptif Analitis tanpa tahun.
M. Scheltema, 1995. dalam Bagir Manan: Negara berdasarkan atas hukum
mempunyai empat asas utama yaitu (i) asas kepastian hukum (het
rechtszekerheids beginsel); (ii) asas persamaan (het gelijkheids
beginsel); (iii) asas demokrasi (het democratische beginsel); dan (iv)
asas bahwa pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan
terhadap masyarakat (het beginsel van de dienende overheid;
government for the people); (M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam
250
J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle: Tjeen
Willink).
Mauro Cappelletti dan Bryant Garth (Eds), 1978, Access to Justice Book I,
Giuffre-Stijhoff, Milan.
Moch. Yulihadi, (2002), Artikel “Sejarah Lembaga Peradilan di Indoensia”.
Muchsin, 2004, Ikhtisar Sejarah Hukum, STIH IBLAM, Jakarta
Naskah dari Ernst Renan dalam bahasa Prancis itu telah diterjemahkan oleh
Prof. Mr. Sunario, yang adalah ayah dari Sunaryati Hartono. Kutipan
teks di atas diambil dari naskah Orasi Dies ke 50 Fakuftas Hukum
Universitas Katotik Parahyangan Bandung, yang disampaikan oleh
Sunaryati Hartono, 15 September 2008, dengan judul
“Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian Dari
Sistem Hukum Nasional Indonesia Di Abad ke 21.
Paulus E Lotulung, Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan (makalah)
disampaikan pada dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun
2011 di Jakarta.
Reformasi Peradilan Dalam Rangka Reformasi Birokrasi, dalam Seminar:
Effective and Efficient Bureaucracy Reform in Indonesia Hotel
Indonesia Kempinski, Jakarta 3-4 Desember 2008
Stephan Golub, 2003, Beyond Rule of Law Orthodocy: The Legal
Empowerment Alternative, Rule of Law Series, Democracy and Rule
of Law Project I.
Sunaryati Hartono, tanggal 5 Desember 1994, Potitik Pembaharuan Hukum
Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia, Forum Komunikasi
Penelitian Bidang Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
251
di Bandungan-Semarang; dan dalam Langkah Kebijaksanaan
Pembinaan Hukum Nasional Pada Pembangunan Jangka Panjang
Tahap II.
Sunaryati Hartono, Jakarta 21-22 Januari 1986, Landasan, Kerangka, Struktur
dan Materi Sistem Hukum. Nasional Kita, Pra Seminar Hukum
Nasional V Babinkumnas, Departemen Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
UU No.4 Tahun 2004, Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal
26. Asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik, yaitu asas
kebebasan; asas larangan menolak memeriksa dan mengadili
perkara; asas hakim aktif; asas kesamaan; asas penyelesaian perkara
secara tuntas; dan asas pengawasan peradilan; (kesimpulan seminar
“Pemberdayaan dan tanggungjawab Mahkamah Agung Republik
Indonesia dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri”,
diselenggarakan oleh IKAHI, tanggal 22 Maret 2000 di Jakarta,
Varia Peradilan, No.178, Juli 2000.
C. Sumber Akses Websites
Agus Pranki Pasaribu, http://applawbuss.blogspot.com/2010/11/mahkamah-
agung-dalam-lintas-sejarah.html (diakses pada 23 Mei 2015)
http://www.komisiyudisial.go.id/files/Bunga%20Rampai/bunga-rampai-2012-
dialektika-pembaharuan-sistem-hukum-indonesia.pdf
(diakses tanggal 19 Juni 2015)
https://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/186/ (diakses Tanggal 15 Mei
2015).
252
https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/01/ (diakses pada tanggal 17 Juni
2015)
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1679/perbedaan-sifat-mengikat-
antara-preseden-dengan-yurisprudensi (diakses pada 22 April 2015)
http://suarakebebasan.org/id/suara-muda/item/399-john-rawls-dan-konsep-
keadilan (diakses pada tanggal 18 Juni 2015)
http://wahy.multiply.com/journal/item/23/Sejarah_Mahkamah_Agung
(diakses 16 April 2015)
http://adekendari.blogdetik.com/2010/04/23/sejarah-legal-review-oleh-extra-
judicial (diakses 7 Mei 2015)
http://aliwangsa.blogspot.com/2011_10_01_archive.html (diakses pada 4 Mei
2015)
http://mahkamahagung.go.id data diperbaharui dalam penyesuaian Undang-
Undang (diakses tanggal 21 Mei 2015).
http://muhammadkhadapi.blogspot.com/2010/12/pengertian-wewenang-
kekuasaan-dan.html (diakses tanggal 21 Juni 2015).
253
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A) Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B) Perumusan Masalah............................................................... 20
C) Tujuan Penelitian.................................................................... 21
D) Kegunaan Penelitian............................................................... 21
1) Kegunaan Teoritis............................................................... 21
2) Kegunaan Praktis................................................................ 21
E) Kerangka Teoritis dan Konseptual....................................... 23
1. Kerangka Teori................................................................. 23
a) Teori Pengertian Negara Hukum (Grand Theory)........ 26
b) Teori Pemisahan Kekuasaan (Middle Range Theory). . 26
c) Teori Lembaga Peradilan.............................................. 34
d) Teori Hukum Pembangunan (Applied Theory)............. 35
e) Teori Etis dan Teori Utilitarianisme............................. 38
f) Teori Keadilan dan Judicial Activisme......................... 47
2. Kerangka Konsep............................................................. 58
a) Konsep Akses Terhadap Keadilan................................ 58
b) Konsep Peradilan.......................................................... 67
c) Konsep Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka............ 73
1) Mahkamah Agung................................................... 73
2) Kewenangan oleh Mahkamah Agung..................... 77
3) Fungsi Mahkamah Agung....................................... 79
iv
F) Metode Penelitian................................................................... 79
1. Metode Filosofis................................................................. 80
2. Metode Konseptual............................................................. 81
3. Metode Pendekatan Normatif............................................. 88
4. Teknik Pengumpulan Data.................................................. 89
5. Jenis dan Sumber Data........................................................ 89
6. Analisis Data....................................................................... 90
G) Orisinalitas Penulisan............................................................. 91
H) Sistematika Penulisan............................................................. 92
BAB II MAHKAMAH AGUNG MELALUI SEJARAH
DAN DINAMIKA PERKEMBANGAN
A. Tinjauan Sejarah dan Dinamika Perkembangan
Mahkamah Agung................................................................. 92
a) Sejarah Peradilan Mula-Mula Di Indonesia....................... 92
b) Masa Pemerintahan Hindia Belanda................................... 96
c) Masa Pemerintahan Inggris................................................ 98
d) Masa Penjajahan Kembali Pemerintahan Hindia
Belanda (1816-1942).......................................................... 98
e) Masa Penjajahan Jepang (1942 – 1945)............................. 100
f) Masa Terbentuknya Republik Indonesia............................ 101
1) Masa menjelang pengakuan Kedaulatan....................... 103
2) Masa Republik Indonesia Serikat................................. 105
3) Masa Pemerintahan Sejak Tahun 1966......................... 108
4) Perkembangan Mahkamah Agung Sebagai
Lembaga Peradilan Tertinggi Dewasa ini..................... 110
5) Perkembangan Fungsi dan Tugas
v
Mahkamah Agung Setelah Pasca Reformasi................ 112
g) Pembaharuan Mahkamah Agung........................................ 123
1) Mediasi......................................................................... 126
2) Class Action.................................................................. 127
3) Perluasan Wewenang Pengadilan Niaga...................... 127
4) Perkara Persaingan Tidak Sehat dan Anti Monopoli. . . 127
5) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi................. 128
1) Transparansi Putusan.............................................. 131
2) Pengembangan Sistem Teknologi Informasi.......... 134
B. Visi Dan Misi Mahkamah Agung.......................................... 151
C. Tugas dan Kewenangan Mahkamah Agung........................ 151
D. Fungsi Mahkamah Agung...................................................... 155
1) Fungsi Peradilan................................................................. 155
2) Fungsi Pengawasan............................................................. 156
3) Fungsi Mengatur................................................................. 156
4) Fungsi Nasihat.................................................................... 157
5) Fungsi Administratif........................................................... 159
6) Fungsi Lain-Lain................................................................ 159
E. Keputusan Bersama Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial mengenai Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim dalam Mewujudkan
Keadilan................................................................................... 160
BAB III PENGATURAN MAHKAMAH AGUNG MENURUT
KAPASITAS SEBAGAI JUDEX JURIS
BERKAITAN DENGAN KEMAMPUAN MENILAI
FAKTA SEBAGAI JUDEX FACTIE
vi
A. Sejarah Mahkamah Agung Melalui Pengaturan
Sebagai Judex Juris sekaligus Berkemampuan Menilai
Fakta Sebagai Judex Factie................................................ 163
B. Perkara Hukum berhubungan dengan Putusan
Mahkamah Agung................................................................ 185
BAB IV PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa
perkara sebagai Judex Juris Menurut Kajian
Hukum Normatif dan Filosofis
1. Landasan Kewenangan Mahkamah Agung secara
Normatif dan Filosofis..................................................... 191
2. Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memeriksa
Perkara sebagai Judex Juris terhadap
Putusan-Putusan Lembaga Peradilan yang Bernaung
di bawah Mahkamah Agung............................................... 201
B. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris
dalam mewujudkan keadilan................................................. 227
1. Hukum Merupakan Faktor Dinamis................................... 230
2. Alternatif Putusan Judex Juris........................................... 233
BAB V PENUTUP
A. Simpulan.................................................................................. 240
B. Rekomendasi........................................................................... 241
DAFTAR PUSTAKA
vii