Hukum Tentang Speedy Administration of Justiciabelen

412
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan masyarakat sebagai warga negara Republik Indonesia senantiasa menjunjung tinggi hukum, sebab hukum adalah pilar suatu negara hukum yang berkaitan langsung dengan sistem pelaksana hukum sebagai instrumen yang memiliki kewenangan untuk menegakan hukum. Secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), maka kekuatan suatu negara tidak terletak pada negara itu melainkan pada hukumnya sendiri. Untuk itu memerlukan pelaksana penyelenggara negara yang memiliki kewenangan dalam menegakan hukum. Pelaksana penyelenggara negara dalam menegakan hukum berkaitan dengan warga negara harus 1

description

Hukum Mengenai anti Diskriminatif untuk Justiciabelen

Transcript of Hukum Tentang Speedy Administration of Justiciabelen

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tatanan kehidupan masyarakat sebagai warga negara Republik

Indonesia senantiasa menjunjung tinggi hukum, sebab hukum adalah pilar

suatu negara hukum yang berkaitan langsung dengan sistem pelaksana hukum

sebagai instrumen yang memiliki kewenangan untuk menegakan hukum.

Secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV dinyatakan

bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), maka kekuatan suatu

negara tidak terletak pada negara itu melainkan pada hukumnya sendiri. Untuk

itu memerlukan pelaksana penyelenggara negara yang memiliki kewenangan

dalam menegakan hukum.

Pelaksana penyelenggara negara dalam menegakan hukum berkaitan

dengan warga negara harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum

yang berlaku sebagai hukum positif. Apabila terjadi pelanggaran hukum,

maka hukum harus ditegakan dan diselesaikan dengan menempuh jalur hukum

melalui badan-badan peradilan. Amandemen Undang-Undang Republik

Indonesia Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan

ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman,

perubahan tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan

oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya

1

dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama,

Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan

oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang

Dasar 1945 dan diatur pula pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

Tentang Mahkamah Agung Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Walaupun badan-badan peradilan itu berada di bawah Mahkamah

Agung bukan berarti Mahkamah Agung dapat mempengaruhi putusan badan

peradilan di bawahnya. Kedudukan badan-badan peradilan di bawah

Mahkamah Agung itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya dapat

membatalkan atau memperbaiki putusan badan peradilan di bawahnya dalam

Tingkat Kasasi. Mengingat adanya yurisdiksi peradilan dalam upaya

menegakan hukum di setiap lingkup peradilan dalam penyelesaian suatu

perkara tentu diakhiri dengan adanya putusan hakim. Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Hakim yang

dimaksud adalah Hakim pada Mahkamah Agung (Hakim Agung) dan hakim

pada badan peradilan yang ada di bawahnya sebagaimana ketentuan Pasal 1

ayat (5) dan ayat (6). Oleh karenanya putusan hakim dalam persidangan untuk

menyelesaikan suatu perkara tidak selamanya dapat memberikan rasa keadilan

bagi masing-masing pihak yang berperkara. Oleh karena itu, putusan hakim

pada tingkat pertama dapat dilakukan upaya hukum selanjutnya sebagaimana

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

2

Kehakiman dinyatakan bahwa "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang".

Rasa keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau

perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak

dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah

apabila dipenuhi dua prinsip Pertama tidak merugikan seseorang dan Kedua,

perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua

prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil. Eksistensi hukum sangat

diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia, tanpa hukum, kehidupan

manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang, tujuan hukum untuk

melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajiban1.

Wujud implementasi hukum dalam sebuah sistem hukum nasional

membutuhkan perangkat hukum memadai, sehingga segala keputusannya

dapat memberi keadilan bagi pencari keadilan. Meskipun tuntutan keadilan

hukum dari masyarakat sangat tinggi ditambah dengan akumulasi

problematika kehidupan yang sangat kompleks, namun perangkat hukum

terutama untuk tercapainya keadilan dalam hukum masih dirasakan sangat

minim. Hal demikian terdapat pada materi undang-undang yang masih sangat

memungkinkan bagi para pelanggar hukum untuk lolos dari jeratan hukum.

Sehubungan dengan fenomena keadilan tersebut, Keraguan dan

ketidakpercayaan masyarakat membuat hukum semakin tidak berdaya dan

1 Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, 2007, Hukum Acara Perdata dan perkembangannya Di Indonesia,Yogyakarta: Gama Media, hlm. 2

3

tidak mampu memenuhi rasa keadilan publik dan tidak dapat merespon

persoalan-persoalan hukum yang semakin kompleks dalam masyarakat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara

tegas mengatur perihal keadilan di hadapan hukum untuk semua warga negara

Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, Selain

itu Pasal 28 huruf D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Afirmasi hukum yang ideal tersebut

terkesan utopis karena belum mampu dilaksanakan secara utuh dan konsisten

dalam penegakan hukum di Indonesia.

Berkaitan dengan cita-cita keadilan dalam sebuah negara hukum, Pasal

17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara

khusus mengatur mengenai hak memperoleh keadilan, selanjutnya dinyatakan

bahwa: “Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan

dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam

perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses

peradilan yang bebas dan tidak memihak, setiap warga negara berhak

diperlakukan secara adil dan sama di hadapan hukum, agar hukum berfungsi

secara sungguh-sungguh sebagai sarana untuk mencapai keadilan. Cita-cita

4

tersebut hanya bisa diraih ketika lembaga dan pelaksana dalam menegakkan

hukum tetap konsisten terhadap cita-cita untuk menegakkan hukum sebaik

mungkin dan mencari keadilan bagi semua pihak. Jika pelaksana dalam

menegakkan hukum tidak adil pada setiap perkara hukum, maka masyarakat

tentunya akan mempersoalkan eksistensi hukum dan pelaksana untuk

menegakkan hukum. Keraguan itu bermuara pada tindakan main hakim

sendiri. Tindakan tersebut merupakan akumulasi ketidakpercayaan masyarakat

terhadap pelaksana dalam menegakkan hukum yang diduga memanfaatkan

hukum untuk kepentingan ekonomi dan politik kelompok tertentu.

Hal tersebut menyebabkan hukum menjadi tidak mampu merespon

secara adil persoalan-persoalan hukum. Oleh karena itu, pelaksana demi

menegakkan hukum dituntut untuk lebih serius dan konsisten menegakkan

hukum bagi para pelanggar hukum agar ketegasan hukum memberikan

kepercayaan dan keyakinan kepada para pencari keadilan dan kepastian

hukum sebagai jaminan dari eksistensi hukum. Dalam sistem hukum di

manapun mengenai keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya

melalui lembaga peradilan. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi

bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya

merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan

yang telah disepakati bersama.2

Sehubungan dengan fenomena keadilan tersebut, bila menarik

pernyataan pakar hukum Sunaryati Hartono yang menegaskan perlunya ahli

2 Satjipto Rahardjo, (2006), Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 270

5

hukum, praktisi hukum, ataupun akademisi, serta membedakan pengertian

sistem hukum nasional dan hukum positif Indonesia. Mengenai cara pandang

secara konseptual kedua istilah itu memiliki perbedaan yang sangat esensial.

Menurut Sunaryati Hartono dalam makalah yang berjudul “Landasan,

Kerangka dan Struktur, dan Materi Sistem Hukum Nasional Kita”, beliau

kembali menegaskan perbedaan arti kedua istilah tersebut. Hukum Nasional

adalah ius contituendum sedangkan hukum positif adalah ius constitutum.

Hukum positif Indonesia adalah hukum yang kini sudah ada dan berlaku di

Indonesia, sedangkan hukum nasional Indonesia adalah hukum yang belum

seluruhnya ada di Indonesia dan karena itu masih dipikirkan bagaimana

membentuknya dan apa serta bagaimana kerangka dan landasannya serta

filsafah dan materinya3.

Kenyataan menurut Sunaryati Hartono sejalan dengan pernyataan

pakar hukum Sudiman Kartohadiprodjo, bahwa “Hukum positif dengan nama

asing disebut juga ius constitutum sebagai lawan daripada ius constituendum,

yakni kesemuanya kaidah hukum yang kita cita-citakan supaya memberi

akibat peristiwa-peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu”4.

Mengutip kembali penegasan Sunaryati Hartono mengenai arti hukum

nasional adalah:5

3 Sunaryati Hartono, Jakarta 21-22 Januari 1986, Landasan, Kerangka, Struktur dan Materi Sistem Hukum. Nasional Kita, Pra Seminar Hukum Nasional V Babinkumnas, Departemen Kehakiman, hlm 3.

4 Purnadi Purbacaraka, (1980), Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung Penerbit: Alumni, hlm 6.

5 Sunaryati Hartono, tanggal 5 Desember 1994, Potitik Pembaharuan Hukum Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia, Forum Komunikasi Penelitian Bidang Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, di Bandungan-Semarang; dan dalam Langkah Kebijaksanaan Pembinaan Hukum Nasional Pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap II.

6

“Seluruh filsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas dan norma hukum, maupun aparatur dan lain-lain sumber daya manusia yang tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum selanjutnya, proses dan prosedur serta interaksi dari pelaksanaan hukum yang secara utuh mewujudkan dan menggambarkan kehadiran suatu tatanan hukum yang menumbuh kembangkan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945”.

Seluruh komponen dalam definisi Hukum Nasional itu merupakan

bagian-bagian yang tidak terlepas dari sistem hukum tersebut. Artinya, sebagai

suatu sistem maka Hukum Nasional terdiri dari sejumlah komponen atau

bagian atau aspek yang terkait satu sama lain oleh paling sedikit satu asas atau

prinsip, dan saling mempengaruhi sehingga perubahan pada komponen yang

satu akan menimbulkan perubahan pula pada komponen-komponen yang lain6.

Pencantuman kata “nasional‟ pada frasa Hukum Nasional tidak dapat

dilepaskan dari asal kata yang membentuknya, yakni “nation” atau bangsa.

Arti bangsa ini menurutnya, jelas tidak sama dengan arti dari “ras” ataupun

“volk” atau “folk” sebab pengertian bangsa yang dipegang teguh olehnya

adalah seperti yang diucapkan oleh Ernst Renan pada orasi dies Universitas

Sorbonne Perancis tahun 1889, yakni “sekelompok manusia yang sama-sama

pernah mengalami penderitaan yang sangat parah sehingga merasa senasib

sepenanggungan dan karena itu mempunyai tekad untuk terus hidup sebagai

satu kelompok di masa depan secara turun temurun”. Jadi, ditegaskan oleh

Sunaryati Hartono, pembentukan suatu bangsa (nation) tidaklah berdasarkan

pada persamaan keturunan seperti dalam hal kelompok yang dinamakan ras;

tidak juga didasarkan pada persamaan budaya atau agama seperti di dalam hal

suatu “volk” terjadinya persamaan nasib atau pengalaman bersama yang sangat 6 Op.cit, hlm 3.

7

berat dan menyedihkan (faktor historis) sehingga kelompok manusia itu

merasa senasib sepenanggungan (faktor psikologis) dan mempunyai tekad

untuk tetap hidup di dalam kebersamaan untuk selama-lamanya secara turun

temurun (faktor politik)7. Selaras dengan pengajaran mengenai Hukum

Nasional menurut Sunaryati Hartono yang dikemukakan pada tahun 2006

yakni:8

“Dengan demikian, jelas pula mengapa pengertian hukum nasional diartikan pula sebagai keseluruhan sistem hukum yang berdasarkan UUD 1945 dan bertujuan mewujudkan cita-cita (visi dan misi) bangsa sebagaimana sudah diikrarkan oleh para pendiri bangsa dan negara ini dalam Pembukaan UUD 1945, Dengan kata lain, hukum nasional itu bukan Hukum Adat; bukan pula Hukum Islam, ataupun sistem hukum modern, atau yang baru sama sekali yang tidak ada, baik hubungan batin maupun hubungan hukum dengan Pembukaan UUD 1945 sebagai Grundnorm dan Batang Tubuh UUD 1945 sebagaimana ia akan berkembang dari waktu ke waktu. Jika demikian, Hukum Adat, Hukum Islam, bahkan hukum asing (Belanda, Amerika, Perancis, Cina, dsb. nya) dan Hukum Internasional merupakan bahan dan atau unsur-unsur (sumber hukum materiil) yang dapat digunakan dalam dan bagi pembangunan nasional dan pengembangan Hukum Nasional, sepanjang unsur-unsur itu sesuai dengan falsafah bangsa dan Negara, serta asas-asas dan falsafah hukum yang disebut maupun tersirat di dalam UUD 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 itu, termasuk Pancasila”.

Upaya menegakan hukum maka undang-undang memegang peranan

penting agar hukum itu sendiri dapat dilaksanakan. Faktor yang menghambat

penegakkan hukum adalah dari undang-undang itu sendiri, karena ketidak

jelasan Pasal dalam undang-undang, misal Pasal yang menimbulkan multi

7 Naskah dari Ernst Renan dalam bahasa Prancis itu telah diterjemahkan oleh Prof. Mr. Sunario, yang adalah ayah dari Sunaryati Hartono. Kutipan teks di atas diambil dari naskah Orasi Dies ke 50 Fakuftas Hukum Universitas Katotik Parahyangan Bandung, yang disampaikan oleh Sunaryati Hartono, 15 September 2008, dengan judul “Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian Dari Sistem Hukum Nasional Indonesia Di Abad ke 21.

8 Sunaryati Hartono, 2006, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti Bandung, hlm. 21.

8

tafsir, sehingga undang-undang tidak dapat dilaksanakan sebagaimana

maksud dari tujuan pembentukannya. Dengan demikian peranan hukum bagi

pembangunan pemerintahan, bagi legislatif dan eksekustif, hukum yang

mengikat dan dipatuhi haruslah berbentuk tertulis. Karena hukum tertulis

merupakan aturan yang bersifat riil dapat dibuktikan, karena berbentuk dan

memuat norma-norma yang bersanksi dan harus dipatuhi tidak saja

masyarakat namun juga pemerintah dan negara. Pemerintah memegang

peranan penting dalam menjalankan pembangunan baik spirituil maupun

materil. Pembangunan ditujukan pula bagi terlaksananya kesejahteraan rakyat.

Pelaksanaan tersebut tidak lepas dari upaya menegakan hukum yang

dilaksanakan dalam setiap badan peradilan di bawah naungan Kekuasaan

Kehakiman yang dilaksanakan Mahkamah Agung. Untuk itu Mahkamah

Agung bersfungsi melakukan penafsiran hukum terhadap Pasal yang tidak

jelas untuk kemudian diterapkan dalam suatu perkara di persidangan disebut

sebagai penemuan hukum (rechtsvinding) dilanjutkan dengan penciptaan

hukum (rechtsschepping) menjadi pembaharu hukum (rechtsvorming).

Konsep keadilan merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi

penyelengagara negara, dengan memberikan jaminan atas rasa keadilan

terutama keadilan dalam konteks hukum nasional, hukum tentu harus

bermanfaat bagi pencapaian tujuan Nasional, yaitu melindungi segenap

bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia

9

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial9.

Sebagaimana tujuan Nasional dalam konteks hukum Nasional untuk

mencapai tujuan nasional tidak lepas dari peran lembaga-lembaga negara

yang memisahkan kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga bagian yaitu

kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif dikenalnya

istilah distribution of power, sebagaimana teoti trias politica menurut John

Locke dan Montesque namun tidak diadopsi secara murni di Indonesia10.

Pembagian lembaga-lembaga tersebut memiliki fungsi yang berbeda

dan saling bersinergi untuk mewujudkan tujuan Nasional dalam konteks

hukum Nasional, maka kekuasaan negara memiliki konsekuensi berdasarkan

Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai peran Lembaga Yudikatif

yang diatur dalam BAB IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (1)

dinyatakan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan” selanjutnya ayat (2) dinyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada

di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengisyaratkan

bahwa Mahkamah Agung mendapat perhatian sendiri karena merupakan

9 Abdul Hakim G Nusantara, 1988, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta, hlm. 20.

10 Saldi Isra; 2013, Pergeseran Fungsi Legislasi, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hlm 73

10

lembaga pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang

mengawasi apakah penerapan hukum peradilan dibawahnya sudah dilakukan

dengan baik. Dengan demikian fungsi Mahkamah Agung berdasarkan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan II, dan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2004 sebagai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagai pelaksana Kekuasaan

Kehakiman tidak boleh ada campur tangan pihak-pihak lain, baik internal

lembaga yang ada di bawah Mahkamah Agung, maupun pengaruh pihak

eksternal yakni Lembaga Eksekutif dan Lembaga Legislatif. Hal ini selaras

dengan konsiderans faktual Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang

Mahkamah Agung yang dinyatakan: “bahwa kekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung…”. Berdasarkan atas Pasal 24 dan 25 maka penulis menerapkan

Kajian Normatif (analitis-dogmatis) Memandang hukum dalam wujudnya

sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh

dilakukan, Bersifat preskriptif, Mencerminkan law in books atau das sollen

atau apa yang seharusnya, kajiannya lebih menekankan pada norma-norma

yang berlaku pada saat itu, Metode yang digunakan adalah yuridis-normatif

yang pada dasarnya mengkaji hukum dalam kepustakaan, misalnya:

penelitian inventarisasi hukum positif, penelitian terhadap asas-asas hukum,

penelitian untuk menemukan hukum in concreto, penelitian terhadap

sistematika hukum dan penelitian terhada taraf sinkronisasi vertikal dan

11

horizontal, Kajian normatif terhadap hukum antara lain Ilmu Hukum Pidana

Positif, Hukum Tata Negara Positif, dan Hukum Perdata Positif11.

Mahkamah Agung sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman

memiliki kewenangan memeriksa dan memutus mengenai adanya

pengajuan: a) Permohonan kasasi; b) Sengketa tentang kewenangan

mengadili; c) Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai Pasal 28 ayat (1) Undang-

Undang Mahkamah Agung; d) Disamping tiga wewenang tersebut

Mahkamah Agung juga mempunyai wewenang menguji secara materiil

hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung; dan e) Berwenang

melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan serta

pengawasan administratif pada semua badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.

Maka dari poin-poin wewenang Mahkamah Agung di tingkat kasasi

sesuai Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung dinyatakan

dapat “membatalkan putusan” atau “mengabulkan penetapan pengadilan-

pengadilan dari semua lingkungan peradilan”, karena dengan pertimbangan

yakni bahwa pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung tidak

berwenang atau melampaui batas wewenang dan salah menerapkan atau

melanggar hukum yang berlaku termasuk lalai memenuhi syarat-syarat yang

diwajibkan oleh perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan

batalnya putusan yang bersangkutan.

11 Yesmil Anwar & Adang, 2008, Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta, Grasindo, hlm 109.

12

Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Prancis. Kata asalnya ialah

casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi

hukum untuk mencapai kesatuan peradilan yang dilakukan oleh raja beserta

dewannya yang disebut Coseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan

kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga

kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan yang menjembatani

pembuat undang-undang dengan kekuasaan kehakiman. Pada tanggal 21

Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de

casssation telah terorganisasi dengan baik. Kemudian lembaga kasasi ditiru

pula oleh negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia.

Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Penafsiran

secara lebih adalah D. Simon yang mengatakan ”jika hakim memutus suatu

perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman”12.

Dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi memutus padahal

hakim pertama telah membebaskan. Menurut Wirjono Prodjodikoro13,

kasasi adalah pembatalan yaitu suatu tindakan Mahkamah Agung sebagai

pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain,

tujuan melakukan kasasi, ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan

hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan

Undang-Undang atau keliru dalam menerapkan hukum. Melalui kasasi

Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin dan uitbouwen dan

voorbouwen (mengembangkan dan mengembangkan lebih lanjut) hukum

12 https://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/186/ (diakses Tanggal 15 Mei 2015).13 Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 292

13

melalui yurisprudensi. Dengan demikian ia dapat mengadakan adaptasi

hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari masyarakat dan

khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri

kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika kehidupan masyarakat itu

sendiri.

Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi

kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan

kehakimannya Kewenangan Mahkamah Agung yang mengadili perkara

kasasi adalah untuk menjaga agar hukum tidak dilanggar, agar tidak salah

menerapkan hukum serta menjaga agar cara-cara mengadili dari pengadilan

yang lebih rendah tidak disalahgunakan. Pengadilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung sebagai fungsi pelaksana Keuasaan Kehakiman adalah

Pengadilan tingkat pertama, sebab pada hakikatnya adalah pengadilan yang

bertugas memeriksa fakta-fakta dalam suatu peristiwa kongkret tertentu dan

kemudian menetapkan apa hukumnya yang berlaku terhadap fakta-fakta

demikian. Oleh karena itu, pengadilan tingkat pertama dikatakan sebagai

Judex Factie (Pengadilan yang memeriksa penerapan fakta yaitu pengadilan

negeri dan pengadilan tinggi), sedangkan pengadilan tingkat banding

bertugas menjawab persoalan apakah pengadilan tingkat pertama telah benar

dalam memeriksa fakta-fakta yang diajukan kepadanya dalam suatu

peristiwa kongkret tertentu dan juga apakah telah benar dalam menerapkan

hukum yang berlaku terhadap fakta-fakta dalam peristiwa kongkret tersebut.

Sementara itu, upaya tingkat kasasi bertugas menjawab persoalan apakah

14

pengadilan tingkat banding telah benar dalam menerapkan hukum yang

berlaku terhadap suatu peristiwa kongkret tertentu. Oleh karena itu,

pengadilan tingkat kasasi pada hakikatnya adalah semata-mata sebagai

Judex Juris (adalah pengadilan yang memeriksa penerapan hukum yaitu

dilaksanakan oleh Mahkamah Agung) 14.

Memegang peranan sebagai Judex Juris, Mahkamah Agung hanya

menilai masalah penerapan hukum yang dijalankan oleh pengadilan

sebelumnya, apakah sudah tepat dilaksanakan. Masalah penilaian fakta-fakta

(Judex Factie) dan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan tidak

termasuk wewenang Mahkamah Agung, tetapi kewenangan Pengadilan

Negeri (PN) atau Pengadilan Tinggi (PT). Oleh karena itu, kewenangan

Mahkamah Agung dalam mengadili perkara kasasi hanya terbatas pada

menyelidiki apakah putusan yang dimintakan kasasi bertentangan dengan

penerapan hukum atau acara mengadili apakah pengadilan di bawahnya

telah melampaui batas-batas kewenangan atau tidak. Suatu putusan untuk

dapat dikatakan terpenuhi dalam arti dikabulkan atau hasil putusan yang

dibatalkan oleh Hakim Agung sebagai pelaksana Mahkamah Agung

menurut ketentuan Undang-Undang Mahkamah Agung adalah15:

1) Mengabulkan: dengan rincian sebagaimana (Pasal 51 Undang-Undang

Mahkamah Agung), sebagaimana diuraikan pada substansi dan amar

putusan.

2) Membatalkan: putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara

tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan

14 https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/01/ (diakses pada tanggal 17 Juni 2015)15 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

15

Tingkat Pertama. Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung,

deskriptifikasi yang berkaitan dengan arti Onvoldoende gemotiveerd

dalam bahasa Belanda yang sering digunakan Mahkamah Agung dalam

putusan-putusan untuk menyebut jika hakim pertama dan banding tak

cukup pertimbangan. Dalam bahasa Inggris lazim disebut insufficient

judgement. Ada yang mengartikannya sebagai pertimbangan yang tidak

cukup lengkap, ada pula yang menyebutnya putusan yang kurang

pertimbangan. Putusan Mahkamah Agung No 1992 K/Pdt/2000

memakai frasa ‘putusan tidak sempurna’.

Mengenai Pasal 50 ayat (2) dinyatakan bahwa: “Apabila Mahkamah

Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara

tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan

Tingkat Pertama”.

Negara yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental, umumnya

mengenal istilah dari makna Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah

Agung yang disebut sebagai yurisprudensi mengacu kepada putusan

pengadilan tingkat tinggi (biasanya pengadilan tertinggi) tentang suatu hal.

Meskipun tidak mengikat secara formal, putusan ini secara praktek

mempunyai pengaruh kuat dan sering diterapkan hakim di pengadilan lebih

rendah di kemudian hari apabila fakta-fakta dalam sidang perkara yang

berlangsung mirip dengan fakta dalam kasus di mana yurisprudensi

ditetapkan. Di negara Common Law, istilah ini biasanya mengacu kepada

filsafat hukum.” Jadi, dalam sistem Anglo-Saxon adalah “Preceden”.

16

Hal ini sesuai dengan penjelasan oleh Satjipto Rahardjo16:

menyatakan bahwa “Preseden ini merupakan satu lembaga yang lebih

dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law System.

Sejumlah besar jus non scriptum yang membentuk sistem common law itu

hampir seluruhnya terdiri dari hasil-hasil keputusan pengadilan. Hasil-hasil

ini dihimpun ke dalam sejumlah sangat besar law reports yang sudah

dimulai sejak akhir abad ketigabelas...” Sifat preseden dalam sistem

peradilan Anglo-Saxon (common law system) bisa bersifat ‘the binding force

of precedent’ (preseden yang mengikat) dan ‘persuasive precedent’

(preseden yang persuasif). Dua sifat preseden ini sangat bergantung dengan

yurisdiksi yang berada di negara bersangkutan. 

 Sebagai penjelasannya, dapat menyimak pengertian kedua istilah di

atas dalam Black Law’s Dictionary: “Binding Precedent: a precedent that a

court must follow. For example, a lower court as bound by an applicable

holding of a higher court in the same jurisdiction”. (Terjemahan bebasnya

adalah preseden yang harus diikuti oleh pengadilan. Misalnya, pengadilan di

tingkat bawah terikat pada putusan pengadilan di atasnya dalam satu

yurisdiksi yang sama)17. Contohnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah

Agung (Supreme Court) di Australia mengikat pengadilan-pengadilan negeri

atau tinggi di Australia dinyatakan: Persuasive precedent: a precedent that

a court may either follow or reject, but that is entitled to respect and careful

consideration. For example, if the case was decided in a neighboring

16 Satjipto Rahardjo, 2000, “Ilmu Hukum”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm 11317 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1679/perbedaan-sifat-mengikat-antara-

preseden-dengan-yurisprudensi (diakses pada 22 April 2015)

17

jurisdiction, the court might evaluate the earlier court’s reasoning without

being bound to decide the same way.”

(Terjemahan bebasnya adalah preseden yang boleh diikuti atau

ditolak oleh pengadilan, tetapi bisa dihormati dan digunakan secara hati-hati

sebagai pertimbangan). Contohnya, jika ada kasus yang diputus di sebuah

negara Anglo-Saxon, pengadilan di negara Anglo-Saxon lain (yang

memiliki sistem hukum yang sama) bisa mengevaluasi dasar putusan itu

tanpa harus terikat). Misalnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah Agung

di Inggris, bisa bersifat persuasif untuk diikuti oleh pengadilan-pengadilan

yang memiliki yurisdiksi ‘tetangga’ dengannya, seperti pengadilan di

Australia. Ini disebabkan karena konsep negara mereka yang masih

menganut negara persemakmuran. Sementara, di sistem Eropa Kontinental

(civil law system) yang dianut oleh Indonesia, dikenal istilah yurisprudensi.

Yurisprudensi dapat digolongkan sebagai ‘persuasive precedent’. Namun,

sifat persuasifnya hanya berlaku di negara Indonesia.

Hal itu berbeda dengan preseden persuasif yang terdapat di negara-

negara Anglo-Saxon yang tetap disarankan untuk mengikuti preseden di

negara persemakmuran yang lain. Karena itulah, yurisprudensi Mahkamah

Agung tidak wajib diikuti oleh pengadilan-pengadilan negeri atau

pengadilan-pengadilan tinggi di Indonesia, melainkan hanya disarankan

untuk diikuti.

Jika uraian di atas berlaku di negara yang menganut sistem hukum

civil law, maka Ahmad Kamil dan M. Fauzan menguraikan sistem common

law mengakui bahwa putusan pengadilan adalah hukum dan hakim disebut

18

sebagai pencipta hukum (judge made law)18. Jika terdapat pertentangan

antara undang-undang dengan yurisprudensi, maka yurisprudensi yang

dimenangkan. Sementara, sistem civil law memiliki ciri bahwa hakim hanya

menerapkan isi rumusan hukum tertulis, jika terjadi pertentangan antara

undang-undang dengan yurisprudensi, maka yang dimenangkan adalah

undang-undang. Peranan Hakim Agung dalam membentuk yurisprudensi ini

terutama dilakukan oleh Mahkamah Agung di Indonesia dalam wujud

produk-produk hukum Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memutus

terhadap permohonan di tingkat kasasi. Pernyataan ini memberikan makna

bahwa Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dituntutan agar putusan

Mahkamah Agung berkualitas, relevan dengan adanya kemungkinan secara

langsung kepada pihak-pihak yang bersengketa disebutkan bahwa dalam

tingkat kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan atau

penetapan pengadilan yang “tidak berwenang atau melampaui batas

wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,

melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan cara

mengadili tidak dilaksanakan berdasarkan undang-undang; atau dianggap

lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan atau

Perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya

putusan yang bersangkutan”. Oleh karena itu Mahkamah Agung mempunyai

kecenderungan memperluas kewenangannya. Karena Mahkamah Agung

secara historis mengadopsi konsep kasasi, namun tidak menerapkan

18 Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, hlm. 9

19

prosedur Renvoi (Penunjukan Kembali dalam kenyataan tersebut memiliki

mekanisme bertahap), dan berlaku sampai sekarang, terlebih lagi beberapa

perkara hukum yang seharusnya diselesaikan pada pengadilan di tingkat

bawah, ternyata justru ditarik oleh Mahkamah Agung, sehingga merubah

mekanisme kasasi yang sebenarnya telah menjadi suatu mekanisme banding

yang sempurna19, kenyataan saat ini menjadi problematika karena fungsi

Mahkamah Agung yang sebenarnya telah beralih melampaui fungsi

Absoulut Mahkamah Agung, yang dibuktikan dengan pelaksanaan putusan

serta merta, Permasalahan yang berkaitan dengan grosse akte, termasuk

diterimanya permohonan kasasi putusan bebas20.

Hasil uraian tersebut menjadi landasan penelitian yang selanjutnya

digunakan dalam menyusun Disertasi dengan judul: “KEWENANGAN

MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI JUDEX JURIS DALAM MENILAI

FAKTA UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan problematik dari uraian latar belakang di atas, yang menjadi

permasalahan adalah:

1) Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara hanyalah

sebagai Judex Juris menurut kajian hukum normatif dan Filosofis?

2) Kewenangan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam menilai fakta

untuk mewujudkan keadilan?

19 Lembaga Peneliti Hukum Independen, Selasa, 17 Juli 2012, Pengamat Hukum Indonesia, Pemerhati Mahkamah Agung.

20 Sebastian Pompe, 2012, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Jakarta hlm 340-357

20

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui dan memahami dengan menganalisis mengenai

kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara disamping fakta

yuridis tersebut, kini dapat dipertemukan beberapa putusan yang melebihi

kewenangan Mahkamah Agung.

2) Untuk memahami dan menilai terhadap kontradiksi antara ketentuan

perundang-undangan secara das sein dan fakta yang terjadi secara das

sollen relevansinya dengan pendapat Satjipto Raharjo menuntut agar

Hakim tidak semata-mata tunduk dan patuh pada undang-undang.

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat penulisan ini diharapkan berguna secara teoritis maupun

praktis. Maka mengenai kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Merupakan penulisan yang secara teoritis diharapkan berguna untuk

memperluas pengetahuan mengenai:

a) Kewenangan Mahkamah Agung sebagai Pelaksana Kekuasaan

Kehakiman menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung.

b) Kedudukan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam memutus

perkara tanpa terikat pada formalitas Perundang-undangan dengan

pergeseran dalam filosofi Paradigma yang berpengaruh pada hasil

putusan Mahkamah Agung.

21

2. Kegunaan Praktis.

Manfaat secara praktis betujuan untuk menciptakan keadilan dan kepastian

hukum pada masyarakat dari kegunaan ini, yang secara keseluruhan

adalah:

a) Mengetahui kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara

berkaitan kualitas Mahkamah Agung sebagai Judex Juris berdasarkan

Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung.

b) Sebagai wacana bagi penegak hukum untuk mengetahui intensitas

suatu putusan yang berlaku.

c) Untuk memberi pengetahuan melalui dinamika perkembangan dari

adanya pergeseran paradigma sebagai nuansa baru apakah dapat

diterima atau terjadi penolakan apabila Mahkamah Agung mengambil

keputusan di luar Undang-Undang hukum formil dalam mencapai

Keadilan.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Teori Hukum

Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti

“perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam

bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut

realitas. Sedangkan Hukum, apabila dilihat selalu menjelaskan kesamaan,

yaitu dimulai dengan penjelasan struktur dari ilmu hukum itu, misalnya

ilmu hukum selalu terdiri dari dua penjelasan umum, yaitu ilmu hukum

yang dogmatik dan ilmu kenyataan hukum, kemudian kedua bagian itu

22

selanjutnya akan dipilah-pilih lagi secara lebih spesifik. Kedua disiplin itu

satu sama lain memiliki wilayah yang berbeda (paling tidak dipandang

secara berbeda), sehingga untuk masuk ke wilayah satu dengan wilayah

yang lain diperlukan perpindahan atau penggabungan sarana/alat untuk

mencapai wilayah tersebut. Hukum akan selalu dilihat melalui sudut

pandang yang berbeda-beda tersebut.21

Banyak para sarjana dan ahli hukum yang berpandangan berbeda

tentang hukum. Sebut saja H.L.A. Hart misalnya membedakan tentang

cara pandang orang hukum terhadap hukum dan cara pandang orang non

hukum terhadap hukum. Hans Kelsen, Paul Scholten, Lili Rasjidi, Otje

Salman dan B. Arief Sidharta melakukan hal yang sama untuk memaknai

hukum, yaitu memecahnya menjadi bagian yang paling kecil untuk

kemudian melakukan penjumlahan kembali guna memperoleh bentuknya

yang cukup jelas. Hal yang sama dilakukan oleh Lawrence Friedmann

(dalam sistem hukum) sistem hukum terdiri dari struktur, substansi, dan

kultur. Lawrence Friedmann kemudian memecah unsur-unsur sistem

hukum itu menjadi bagian perbagian yang jika dirangkai kembali akan

membentuk suatu bangunan baru yang dapat diubah sehingga orang awam

akan melihat hukum dalam bentuknya yang berbeda-beda. Ibarat seorang

arsitek maka arsitektur hukum bergantung, kembali kepada tujuan negara.

Namun hukum dapat dilihat dalam lapangan hukum utama, seperti

publik dan privat, kemudian bagian atau tahap selanjutnya ditempatkan

pula wilayah-wilayah lebih khusus, seperti hukum pidana, hukum perdata,

21 Anthon F. Susanto, 2007, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konsruktif-Transgresif, Refika Aditama, Jakarta, hlm. 60.

23

hukum dagang, dan lain-lain sesuai dengan lapangan utama yang ada di

atasnya. Bagian satu dengan bagian lain ada pada wilayah yang sudah jelas

dan pasti, sehingga dengan sangat mudah seseorang dapat menjelaskan

bahwa Hukum Tata Usaha Negara asal katanya dari bestuursrecht dan

administratief recht.

Pada Kajian ini akan menerapkan teori-teori yang berkaitan dengan

judul “Kewenangan Mahkamah Agung Sebagai Judex Juris Dalam

Menilai Fakta Untuk Mewujudkan Keadilan” mengingat Indonesia, dalam

konstitusinya, adalah negara hukum berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3)

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Ini menunjukkan bahwa

segala kegiatan negara dan pemerintahannya harus berdasarkan hukum

dan undang-undang. Maka dalam menerapkan teori tersebut dimulai dari

teori yang mengacu tentang Negara Hukum sebagai Grand Theory,

kemudian Teori Pemisahaan Kekuasaan sebagai Middle Range Theory).

Hingga Teori mengenai Lembaga Yudikatif menyangkut dengan Teori

Hukum Pembangunan sebagai Applied Theory karena memiliki 5 (lima)

cirinya menurut Mochtar Kusumaatmaja:

1. Substitantif

2. Budaya

3. Struktur

4. Hukum sebagai sarana pembaharu Masyarakat (Law is a Tool of Social

Engeneering)

5. Hukum sebagai Satu Sistem

24

a) Teori Negara Hukum (Grand Theory)22

Grand Theory yang digunakan adalah ‘Trias Politica’ seperti

yang dikemukakan oleh Montesquieu seorang Filsuf Prancis Tahun

1748, Montesquieu  dalam bukunya the Spirit of Laws menggagas teori

trias politika yang kemudian menjadi pilar penting negara sekuler-

demokrasi. Teori ini kemudian memisahkan kekuasaan eksekutif,

legislatif, dan yudikatif. Lahirlah negara republik-demokrasi dimana

kekuasaan eksekutif diserahkan kepada presiden atau perdana menteri.

Legislatif yang memiliki kekuasaan untuk membuat hukum diserahkan

kepada parlemen, sementara yudikatif diserahkan kepada lembaga

pengadilan.

Teori Trias Politika diharapkan bisa mencegah pemerintah

yang tirani. Lembaga legislatif karena merupakan wakil rakyat

diharapkan akan menghasilkan hukum dan kebijakan yang sejalan

dengan kepentingan rakyat. Lembaga legislatif  dengan klaim wakil

rakyat akan mengkoreksi kebijakan pemerintah. Eksekutif akan

memperhatikan rakyat sepenuhnya, karena kalau tidak, rakyat tidak

lagi memilih mereka. Yudikatif pun diharapkan mandiri dan

independen untuk mengadili pelanggaran hukum yang terjadi.

b) Teori Pemisahan Kekuasaan (Middle Range Theory)

22 Dicky Andika, 2008, Jurnal Kapita Selekta Ilmu Sosial, Universitas Mercubuana, Jakarta. hlm 11

25

Teori Pemisahaan Kekuasaan merupakan kelanjutan dari Grand

Theory yang merupakan teori umum berkaitan dengan Middle Range

Theory, sebab di Indonesia bedasarkan atas Undang-Undang Dasar

1945 (versi amandemen) tidak sepenuhnya menganut ajaran

Montesque mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power)

tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan

baik sebagai asas dalam negara hukum, maupun untuk memungkinkan

kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidak terlaksana

secara sewenang-wenang.23 Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan

(separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka

merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan

mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan

kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan

rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.

Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka

tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of

power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distribution of power),

tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara

23 M. Scheltema, 1995. dalam Bagir Manan, Op.Cit., hlm. 5; Negara berdasarkan atas hukum mempunyai empat asas utama yaitu (i) asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel); (ii) asas persamaan (het gelijkheids beginsel); (iii) asas demokrasi (het democratische beginsel); dan (iv) asas bahwa pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat (het beginsel van de dienende overheid; government for the people); (M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle: Tjeen Willink, hlm. 15-17).

26

hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya

pemerintahan negara.24

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan sebagai

suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of Human Rights’, dan

‘International Covenant on Civil and Political Rights’,25 yang di

dalamnya diatur mengenai “independent and impartial judiciary“. Di

dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam

Article 10, “Every one is entitled in full equality to a fair and public

hearing by in independent and impartial tribunal in the determination

of his rights and obligations and of any criminal charge against him”.

Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan

suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka

dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya

dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya.26 Di

dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dalam

Article 14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal charge

against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone

24 Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM-UNISBA, hlm. 7.

25 Oemar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, h.251; International Covenant on Civil and Political Rights, Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200 A (XXI) of 16 December 1966, Entry Into Force: 23rd March 1976, inaccordance with Article 49.

26 Diimplementasikan dalam Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakani: “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.

27

shall be entitled to a fair and public hearing by a competent,

independent and impartial tribunal established by law”.

Unsur-unsur yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni

menghendaki: (i) adanya suatu peradilan (tribunal) yang ditetapkan

oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu harus independent,

tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan

diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara

terbuka (public hearing). Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam

penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan dan

diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan

digantikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang

Kekuasaan Kehakiman dan terakhir dicabut kembali dengan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dari konsep negara hukum seperti digariskan dalam konstitusi

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka dalam rangka melaksanakan Pasal

24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan

negara atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi wewenang

kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam

proses peradilan yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut.

Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka,

dikatakan oleh Russell dalam ‘Toward a General Theory of Judicial

Independence’: “A theory of judicial independence that is realistic and

28

analytically useful cannot be concerned with every inside and outside

influence on judges”.27 Dalam hal hakim yang bebas dalam proses

peradilan, menurut Kelsen: “The judges are, for instance, ordinarily

‘independent’ that is, they are subject only to the laws and not to the

orders (instructions) of superior judicial or administrative organs”.28

Dalam proses peradilan hakim hanya tunduk kepada hukum dan tidak

tunduk kepada perintah atau instruksi dari organ yudisial atau

administratif yang lebih tinggi. Betapa pentingnya kekuasaan

kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of Politics”

mengemukakan, “Certainly no man can over estimate the importance

of the mechanism of justice”.29 Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman

yang merdeka, Scheltema dalam ‘De Rechtsstaat’, mengemukakan:

“Beslissing van rechtsgeschillen door en onafhankelijkerechter is de

basis voor een goed functionerend rechtssystem. Wil men ook

garanderen dat de overheid zich houdt aan het geldende recht, dan zal

onafhankelijke rechter over klachten van burgers dienaangaande

moeten oordelen. Aan deze eis wordt in ons voldaan.”30

27 Russell, Peter H., and David M. O’Brien, 1985, Judicial Independence In The Age Of Democracy, Critical perspectives from around the world, Toronto: Constitutionalism & Democracy Series, McGraw-Hill, hlm. 12.

28 Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law And State, translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell A Division of Atheneum Publishers, Inc., hlm. 275.

29 Harold J. Laski, 1957, A Grammar of Politics, London: George, Allen & Unwin Ltd., hlm. 541, dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, 1996, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 113-114; lihat pula Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Eresco,Bandung. hlm. 89-90.

30 M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle: Tjeen Willink, hlm.17; dalam Bagir Manan, 1995, Op.Cit., h.5-6.

29

penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman

yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya

sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang

merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan

bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya

berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan kehakiman yang

merdeka bebas memutus suatu perkara.

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam berbagai

undang-undang sesuai dengan lingkungan peradilan masing-masing.

Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam Pasal 1

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

memberikan batasan mengenai ruang lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa

kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik

Indonesia. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat

tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya

mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa

kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa

rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di

pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik

30

(general principles of proper justice),31 dan peraturan-peraturan yang

bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan

diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal

fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan berupa

mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam

kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang

dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan

kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai

kekuasaan, hak dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana

norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan

kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-

peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan

hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam

menjalankan kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum

formal dan hukum material, serta norma-norma tidak tertulis yang

disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik (general

principles of proper justice).32 Dengan kata lain, kekuasaan peradilan

31 UU No.4 Tahun 2004, Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26. Asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik, yaitu asas kebebasan; asas larangan menolak memeriksa dan mengadili perkara; asas hakim aktif; asas kesamaan; asas penyelesaian perkara secara tuntas; dan asas pengawasan peradilan; (kesimpulan seminar “Pemberdayaan dan tanggungjawab Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri”, diselenggarakan oleh IKAHI, tanggal 22 Maret 2000 di Jakarta, Varia Peradilan, No.178, Juli 2000, hlm. 118.

32 Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26, UU No.4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman; Lihat pula Kesimpulan seminar “Pemberdayaan dan Tanggungjawab Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri”, IKAHI, Varia Peradilan, No.178, Juli 2000, hlm. 118.

31

terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang

bersifat prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian aturan

hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural,

dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan

peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan.

Kekuasaan Kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan

negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat

kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang

terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan

hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu

perkara hukum yang juga individual konkret.33 Dengan perkataan lain,

kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan

kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum

terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya

dengan memperhatikan hukum dasar negara.34 Dengan demikian dalam

sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam

perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada

kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-

perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang

terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk

33 Moh. Koesnoe, 1997, Yuridisme Yang Dianut Dalam Tap MPRS No.XIX/1966, Varia Peradilan, No.143 Tahun XII, hlm. 138.

34 Lihat Paulus Effendie Lotulung, 1999, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam Konteks Pembagian Kelkuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-VII Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta. hlm. 156-170.

32

perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan

pemerintah.35

c) Teori Lembaga Peradilan36

Lembaga Yudikatif dapat disebut juga sebagai lembaga

Peradilan atau Kehakiman. untuk dapat disebut sebagai lembaga

peradilan menurut Faturochman dalam buku Memahami keberadaan

Mahkamah Konstitusi maka sebagai lembaga peradilan itu harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat secara

umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan.

2) Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret

3) Ada sekurang-kurangnya 2 (dua) pihak

4) Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutus

perselisihan.

Sedangkan Sjachran Basah menambahkan 1 unsur lagi dari sebuah

peradilan yaitu:

5) Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum

(rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) “in

concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum materiil.

Menurut Moh. Mahfud MD, kekuasaan kehakiman dan peradilan

adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan

35 Sunaryati Hartono, 1982, Apakah The Rule of Law Itu ?, Alumni, Bandung. hlm. 45.36 Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non-Struktural Deputi

Hubungan Bidang Kelembagaan dan Kemasyarakatan, 2012, Profil Lembaga negara Rumpun Yudikatif, Kemenetrian Sekretaris Negara Republik Indonesia. Jakarta. hlm. 13

33

putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan.

Sedangkan menurut Abdul Mukhti Fajar, ciri-ciri lembaga

peradilan yaitu:

1) Merupakan lembaga independen atau lembaga yang bebas dari

kekuasaan lembaga lain baik secara fungsional maupun struktural;

2) Adanya hukum yang bersifat umum yang merupakan sumber

hukum yang akan diterapkan oleh lembaga peradilan;

3) Adanya pihak yang bersengketa yang mempunyai kepentingan

secara langsung atas putusan yang disengketakan yang dapat

memberikan dasar bagi pemberian status untuk mengajukan

gugatan atau permohonan;

4) Adanya perkara konkrit yang terjadi yang diajukan untuk

mendapatkan putusan;

5) Keputusan lembaga mempunyai sifat eksekutorial, tanpa perlunya

fiat (persetujuan penuh dan resmi) dari lembaga lain.

d) Teori Hukum Pembangunan (Applied Theory)

Teori Hukum Pembangunan berangkat dari Teori Hukum

Sosiological Jurisprudence (konsep Roscoe Pound dan Eugen Erhlich)

yang kemudian di Indonesia dikembangkan oleh Mochtar

Kusumaatmadja37, Teori Hukum Pembangunan digunakan sebagai

37 Teori hukum pembangunan diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja ketika menjadi pembicara dalam Seminar Hukum Nasional pada tahun 1973. Mochtar saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Teori hukum yang disebutnya teori hukum pembangunan ini telah dimasukkan sebagai materi hukum dalam Pelita I (1970-1975). Teori hukum pembangunan menyatakan fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui kepastian hukum dan juga hukum harus dapat mengatur proses

34

(Applied Theory), sebab Teori Hukum Pembangunan adalah Teori

Hukum yang diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi

dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur

dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan

berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia. Hakikatnya jikalau

diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi

masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional

maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada

pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia

berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap

norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum

Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi

structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) Ketiga,

pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi

hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social

engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem, ke 5 (lima) unsur

tersebut sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang

sedang berkembang38.

Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat bukannya

tanpa bahaya. Hukum yang ditempatkan di muka kenyataan tidak

perubahan dalam masyarakat. Karena konsep teori hukum pembangunan masih dipergunakan sampai tahun 2009. Tahun 2009, teori hukum pembangunan tidak digunakan kembali, yang digunakan ialah teori dari Lawrence Friedman sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Lihat lebih lanjut dalam Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 64-65.

38 Lilik Mulyadi. Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Sebuah Kajian Deskriptif Analitis tanpa tahun. hlm 1

35

boleh terlalu jauh dari kenyataan yang ada. Harus disadari sepenuhnya

bahwa yang akan diperbaharui adalah budaya hukum masyarakat, dan

nilai budaya memang termasuk yang tidak mudah berubah. Apabila

nilai (budaya hukum) yang akan ditanamkan dalam suatu norma

hukum terlalu jauh dari kenyataan, yang timbul justru reaksi

penolakan. Reaksi kontra yang demikian justru akan menciptakan

instabilitas dalam hukum, yang pada gilirannya akan mengancam

kesinambungan pembangunan39. Untuk memperkecil kemungkinan

terjadinya penolakan, perlu dilakukan pelembagaan hukum seperti

yang dikemukakan di atas. Artinya, norma hukum yang dituangkan

dalam berbagai bentuk (format) hukum, apakah undang-undang,

peraturan pemerintah, dan sebagainya, tidak boleh berhenti di atas

kertas. Budaya bangsa Indonesia masih bersifat amat verbal, sehingga

pencantuman norma hukum secara literal tidak mungkin efektif tanpa

ditindaklanjuti dengan upaya konkret. Upaya inilah yang disebut

pelembagaan hukum.40

Mengingat orientasi budaya kita yang vertikal (paternalistik),

maka pelembagaan hukum membutuhkan partisipasi yang sangat aktif

dari tokoh-tokoh panutan masyarakat. Pelembagaan ini tentu

memerlukan waktu yang lama, dan jika telah berhasil dilakukan, maka

upaya pelembagaan itu ditingkatkan menjadi internalisasi nilai-nilai

yang diamanatkan dalam cita hukum (Pancasila). Jika pelembagaan

hukum lebih bersifat massal, maka internalisasi ini lebih mengacu pada

39 Ibid.40 Ibid.

36

sasaran secara individual. Dengan demikian, pembangunan hukum di

Indonesia tidak sekadar menciptakan masyarakat dan individu yang

taat hukum, tetapi juga masyarakat dan individu yang Pancasilais.

e) Teori Etis dan Teori Utilitarianisme

Teori Etis mengenai hakikat keadilan dan norma atau ketentutan

untuk berbuat secara konkret dalam suatu keadaan tertentu. Tujuan

hukum dalam teori etis didasarkan pada isi hukum yang ditentukan

oleh keyakinan manusia yang etis tentang sesuatu yang adil dan

sesuatu yang tidak adil. Misalnya mengasumsikan adanya dua pihak

yang terlibat dalam suatu hubungan hukum. Dimana salah satu dari

pihak tersebut adalah pihak yang memperlakukan sementara dipihak

lain adalah pihak yang diperlakukan. menurut teori tersebut, isi hukum

semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran atau keyakinan yang etis

mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Pendapat ini juga

didukung oleh beberapa ilmuan hukum, salah satunya adalah Geny

dan Aristoteles.

Geny mengajarkan di dalam Science et Technique en Droit

Prive Positif, bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai

keadilan. Dan Aritoteles dalam karyanyaRhetorica, bahwasanya

tujuan hukum adalah untuk menegakkan keadilan. Aritoteles

kemudian membagi keadilan ke dalam dua jenis keadilan, yaitu

keadilan distributif dan keadilan komutatif:

1. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada

setiap orang jatah menurut jasanya. Artinya, keadilan ini tidak

37

menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama

banyaknya atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan

berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. Yang dinilai adil disini

ialah apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara

proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan

dan sebagainya. 

2. Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada

setiap orang sama banyaknya, tanpa mengingat jasa-jasa

perseorangan. Artinya, hukum menuntut adanya suatu persamaan

dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa

memperhitungkan jasa perseorangan. Dalam keadilan ini yang

dituntut adalah keasamaan (mutlak). Dapa dikatakan adil apabila

setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan

sebagainya.

Hukum tidaklah identik dengan keadilan. Peraturan hukum

tidaklah selalu mewujudkan keadilan. Pada umumnya keadilan

merupakan penilaian yang hanya dilihat dari pihak yang menerima

perlakuan saja. Misalnya, para yustisiabel (pada umummnya pihak

yang dikalahkan dalam perkara perdata) menilai putusan hakim

tidak adil. Hal tersebut adalah penilaian tentang keadilan yang

hanya ditinjau dari satu pihak saja, yaitu pihak yang menerima

perlakuan. Padahal pihak yang melakukan tindakan atau

kebijaksanaanya juga mengharapkan kepastian hukum.

38

Teori Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang

meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.

Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).

Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung

kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada

manusia atau tidak.

Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap

individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak

mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh

sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut

(the greatest happiness for the greatest number of people).

Aliran ini sesunggulmya dapat pula dimasukkan ke dalam

Positivisme Hukum, mengingat faham ini pada akhirnya sampai

pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan

ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat

yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. ini

berarti hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga,

bukan pencerminan dan rasio semata. Pendukung Utilitarianisme

yang paling penting adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan

Rudolf von Jhering, Bentham berpendapat bahwa alam

memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha

memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya.

Kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan adalah kesusahan.

Ada keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan

kebahagiaan dan kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara

39

kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya, memelihara

kegunaan.

Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya

yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum

pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada

individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara

keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal

bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat

pun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan

individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu perlu

dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini

lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain).

Untuk menyeimbangkan antarkepentingan (individu dan

masyarakat), Bentham menyarankan agar ada “simpati” dan tiap-

tiap individu. Walaupun demikian, titik berat perhatian harus tetap

pada individu itu, karena apabila setiap individu telah memperoleh

kebahagiaannya, dengan sendirinya kebahagiaan (kesejahteraan)

masyarakat akan dapat diwujudkan secara simultan. Kemudian

didasarkan atas hedonistic utilitarianisme untuk menghindari

kesalahan atau perbuatan jahat kearah yang lebih besar.

Ada dua kekurangan pemikiran Bentham yang dicatat oleh

Friedmann. Pertama, rasionalisme Bentham yang abstrak dan

doktriner mencegahnya melihat individu sebagai keseluruhan yang

kompleks. Karena terlalu melebih-lebihkan kekuasaan pembuat

undang-undang dan meremehkan perlunya individualisasi

40

kebijakan dan keluwesan dalam penerapan hukum. Ia juga terlalu

yakin dengan kemungkinan kodifikasi ilmiah yang lengkap melalui

prinsip-prinsip yang rasional, sehingga ia tidak lagi menghiraukan

perbedaan-perbedaan nasional atau historis. Padahal, pengalaman

terhadap kodifikasi di berbagai negara menunjukkan, bahwa

penafsiran yang elastis dan bebas dari hakim senantiasa

dibutuhkan. Kelemahan kedua adalah kegagalan Bentham untuk

menjelaskan konsepsinya sendiri mengenai keseimbangan antara

kepentingan individu dan masyarakat.

Mazhab Sejarah

Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan

reaksi terhadap tiga hal yaitu:

1) Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam,

kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang Semuanya

berperan pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan

jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah,

kekhususan dan kondisi nasional;

2) Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi

dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan

daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya),

yaitu seruannya ke segala penjuru dunia (Soekanto, 1979: 26);

3) Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim

menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat

memecahkan semua masalah hukum. Code Civil dinyatakan

sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu

41

sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu

yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.

Di samping itu, terdapat faktor lain, yaitu masalah kodifikasi

hukum Jerman setelah berakhirnya masa Napoleon Bonaparte,

yang diusulkan oleh Thibaut guru besar pada Universitas

Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit tahun 1814,

berjudul Uber die Notwendigkeit eines Allegemeinen Burgerlichen

Rechts fur Deutchland (Tentang Keharusan Suatu Hukum Perdata

bagi Jerman). Karena dipengaruhi oleh keinginannya akan

kesatuan negara, ia menyatakan keberatan terhadap hukum yang

tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki,

sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa,

Sehingga hilanglah keseluruhan gambaran darinya. Karena itulah

harus diadakan perubahan yang tegas dengan jalan penyusunan

undang-undang dalam kitab. Hal ini merupakan kebanggaan

Jerman. Keberatan yang dikemukakan ialah bahwa di berbagai

daerah, hukum itu harus disesuaikan dengan keadaan setempat

yang khas dan bahwa orang harus menghormati apa yang

dijadikan adat, tidak dapat mengimbangi keuntungan yang dibawa

olehnya. Sudah saatnya melaksanakan sesuatu yang luar biasa

yang mungkin direalisasikan.

Sebagaimana diutarakan sebelumnya, abad ke-18 adalah

abad rasionalisme. Pemikiran rasionalisme mengajarkan

universalisme dalam cara berpikir. Cara pandang inilah yang

42

menjadi salah satu penyebab munculnya Mazhab Sejarah, yang

menentang universalisme.

Mazhab Sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan

nasionalisme di Eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum

memfokuskan perhatiannya pada individu, penganut Mazhab

Sejarah sudah mengarah kepada bangsa, tepatnya jiwa bangsa

(Volksgeist). Tokoh-tokoh penting Mazhab Sejarah adalah von

Savigny, Puchta, dan Henry Sumner Maine.

Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)

Savigny menganalogikan timbulnya hukum itu dengan

timbulnya bahasa suatu bangsa. Masing-masing bangsa memiliki

ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian. Karena

tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.

Pandangannya ini jelas menolak cara berpikir penganut Aliran

Hukum Alam. Hukum timbul, menuru Savigny, bukan karena

perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan

keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif). Jiwa

bangsa (Volksgeist) itulah yang menjadi sumber hukum. Seperti

diungkapkannya, “Law is an expression of the common

consciousness or spirit of people.” Hukum tidak dibuat, tetapi ia

tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (DasRechts wird

nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke). Pendapat Savigny

seperti ini bertolak belakang pula dengan pandangan Positivisme

Hukum. Ia mengingatkan, untuk membangun hukum, studi

terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu dilakukan.

43

Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran

Savigny sebagai berikut: (1) jangan sampai kepentingan dari

golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai Volksgeist dari

masyarakat secara keseluruhannya; (2) tidak selamanya peraturan

perundang-undangan itu timbul begitu saja, karena dalam

kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris

yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras; (3) jangan

sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat

perhatian, karena walaupun Volksgeist itu dapat menjadi bahan

kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk

diproses menjadi bentuk hukum; (4) dalam banyak kasus, peniruan

memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui

penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar

mengambil alih hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari

hukum Prancis. Patut pula dicatat, walaupun Savigny menyatakan

bahwa hukum itu tidak muncul dan kebiasaan, pengejawantahan

yang paling konkret dan Volksgeist itu dalam kenyataannya adalah

kebiasaan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Tentu saja

pengertian “kebiasaan” di sini adalah kebiasaan yang berangkat

dari tata nilai yang baik, yang dipilih secara selektif.

Puchta (1798-1846)

Puchta adalah murid von Savigny yang mengembangkan

lebih lanjut pemikiran gurunya. Sama dengan Savigny, ia

berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa

(Volksgeist) yang bersangkutan. Hukum tersebut, menurut Puchta,

44

dapat berbentuk: (1) langsung berupa adat istiadat, (2) melalui

Undang-Undang (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para

ahli hukum. Lebih lanjut Puchta membedakan pengertian “bangsa”

ini dalam dua jenis: (1) bangsa dalam pengertian etnis, yang

disebutnya “bangsa alam”, dan (2) bangsa dalam arti nasional

sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara. Ada pun

yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian

nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum

sebagai keyakinan belaka.

Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa

bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang

terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu

dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan

pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga

akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya,

yakni praktik hukum dalam adat istiadat bangsa dan pengolahan

ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adat istiadat bangsa hanya

berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Sama halnya

dengan pengolahan hukum oleh kaum yuris, pikiran-pikiran

mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya

berlaku sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara

tidak membutuhkan dukungan apa pun. Ia berhak untuk

membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa

menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan

45

sebagai adat istiadat. Oleh karena itu, menurut Huijbers pemikiran

Puchta ini sebenarnya tidak jauh dari Teori Absolutisme Negara

dan Positivisme Yuridis.Buku Puchta yang terkenal berjudul

Gewohnheitsrecht.

Henry Sumner Maine (1822-1588)

Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran von Savigny,

Sehingga ia dianggap sebagai pelopor Mazhab Sejarah di Inggris.

Pemikiran Savigny tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut

oleh Maine dalam berbagai penelitian yang dilakukannya. Salah

satu penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan

perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat

sederhana dan masyarakat yang telah maju, yang dilakukannya

berdasarkan pendekatan sejarah. Kesimpulan penelitian itu kembali

memperkuat pemikiran von Savigny, yang membuktikan adanya

pola evolusi pada berbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang

sama. Sumbangan Maine bagi studi hukum dalam masyarakat,

terutama tampak pada penerapan metode empiris, sistematis, dan

sejarah untuk menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Pendekatan

ilmiahnya jauh berbeda dengan pendekatan yang lazim

dipergunakan dalam pemikiran-pemikiran filosofis dan spekulatif.

Karya Maine yang penting berjudul: (1) Ancient Law, dan (2) Early

Law and Custom.

46

f) Teori Keadilan dan Judicial Activisme

Dikemukakan oleh John Rawls (lahir 1921)41

John Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip

etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat

yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya,tentang masyarakat

yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori

Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak

terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme. John Rawls mengambil

gagasan dan pemikiran dari Thomas Hobbes, John Locke, Jospeh

Butler, J.J. Rousseau, David Hume, J.S. Mill, dan Karl Marx

mengenai Teori keadilan. Dari beragam pemikiran yang dituangkan

dalam karya-karyanya tersebut di atas, terdapat beberapa konsep

Rawls yang memperoleh apresiasi dan perhatian luas dari beragam

kalangan, diantaranya yaitu: (1) Keadilan sebagai bentuk kejujuran,

yang bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan

yang sama, serta prinsip perbedaan (two principle of justices), (2)

Posisi asali dan tabir ketidaktahuan (the original position and veil of

ignorance); (3) Ekuilibrium reflektif (reflective equilibrium), (4)

Kesepakatan yang saling tumpang-tindih (overlapping consensus),

dan (5) Nalar publik (public reason).

John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan

mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara

prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa

41 John Rawls, (2005) dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta, Hlm 5

47

karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social

contract) yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir

kenamaan, seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel

Kant. Namun demikian, gagasan sosial kontrak yang dibawa oleh

Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya, bahkan cenderung

untuk merevitalisasi kembali teori-teori kontrak klasik yang bersifat

utilitarianistik dan intuisionistik. Dalam hal ini, kaum utilitaris

mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana

masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara

sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan

utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions).

Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-

prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya

yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung

ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada umumnya,

setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak

terkecuali pada konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya

berusaha untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara

antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang

memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti

misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan,

kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang tersebut dapat

melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.

Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai

48

“posisi asali” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif

dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan

(freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar

masyarakat (basic structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa

rekam historis tersebut sebenarnya hampir serupa dengan apa yang

dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai “pandangan tidak

darimanapun (the view from nowhere), hanya saja dirinya lebih

menekankan pada versi yang sangat abstrak dari “the State of

Nature”.

Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan

oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh

fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi

sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau

pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui dua

teori tersebut, Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk

memperoleh prinsip kesamaan yang adil. Itulah sebabnya mengapa

Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.

Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali

masing-masing akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama.

Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-

kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-

kebebasan sejenis bagi orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan

ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat

sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak

49

diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka

bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan

kesempatan yang adil.

Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip kebebasan

yang sama” (equal liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan

berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan

mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta

kebebasan beragama (freedom of religion). Sedangkan prinsip kedua

bagian (a) disebut dengan “prinsip perbedaan” (difference principle)

dan pada bagian (b) dinamakan dengan “prinsip persamaan

kesempatan” (equal opportunity principle).

“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip

ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan

terkontrol sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang

lemah. Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang terkandung

pada bagian (b) tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas

kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan

kebutuhan dari kualitas tersebut. Sehingga dengan kata lain,

ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas

kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu

nilai yang adil berdasarkan persepktif Rawls. Selain itu, prinsip

pertama memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar,

sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi

ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai

50

nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat

bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang

kurang beruntung (the least advantage).

Teori keadilan yang diciptakan melalui kacamata Rawls sudah

dipastikan akan menjadi topik perdebatan hangat di kalangan para

filsuf etik dan politik dari bermacam mahzab pemikiran. Hingga kini

banyak para pakar lintas disiplin yang mendukung gagasan Rawls,

namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Selaku rekan

sejawatnya di Harvard University, Robert Nozick menjadi orang

pertama yang melancarkan kritik secara terbuka terhadap “A Theory

of Justice” melalui bukunya yang berjudul “Anarchy, State and

Utopia” (1974). Umumnya hingga saat ini, kedua buku tersebut

selalu dibaca bersandingan untuk mengetahui pelbagai

ketidaksetujuan Nozick selaku kaum “libertian justice” terhadap

konsep Rawls mengenai prinsip moral (moral principle), aturan-

aturan (roles), jejak sejarah (historical trace), dan keadilan distibutif

(distributive justice).

Robert Paul Wolff yang menulis “Understanding Rawls: A

Critique and Reconstruction of A Theory of Justice” (1977) dari

persepktif marxist dan Michael Walzer dari kelompok komunitarian

melalui karyanya “Spheres of Justice” (1983), juga sama-sama

menunjukkan ketidak setujuannya terhadap konsep keadilan yang

didengungkan oleh John Rawls. Bahkan Amartya Sen dan G.A.

Cohen turut pula mengkritisi teori Rawls atas kedalaman dan

51

keseriusan basis egalitariannya.

Secara umum, kritikan yang muncul tersebut juga

mempertanyakan keabsahan dan keberfungsian premis-premis

keadilan Rawls apabila dihadapkan pada kondisi-kondisi khusus dan

pola kehidupan masyarakat dunia yang terus berkembang, seperti

misalnya terhadap keadilan internasional (international justice).

Namun demikian, bagi John Rawls kritikan tersebut justru

dimanfaatkannya sebagai dasar penyempurnaan dari teori kedilan

yang tengah dikembangkannya.

Melalui bukunya “Political Liberalism” (1993), Rawls

mencoba untuk menjernihkan dan memperbaiki kelemahan teori yang

dibahasnya dalam beragam perluasan masalah (problem of extension)

yang muncul di kemudian hari, berusaha dijawab olehnya dalam yang

tidak hanya sebatas bagaimana cara membentuk keadilan sosial,

namun juga bagaimana politik yang adil, bebas, dan teratur dapat

terus dipelihara dalam konteks kekinian serta situasi sosial yang

ditandai dengan adanya keanekaragaman agama, filsafat, dan doktrin

moral. Dalam bukunya tersebut, Rawls tidak saja memperkenalkan

gagasan yang disebutnya sebagai “overlapping consensus” guna

membentuk kesepakatan terhadap keadilan dan kesamaan diantara

warga negara yang memiliki pandangan keyakinan agama dan

filosofis yang berbeda-beda, namun juga menguraikan ide tentang

“nalar publik” (public reason) sebagai penalaran bersama dari seluruh

warga negara.

52

Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan berpolitik

yang ditawarkan oleh John Locke atau John Stuart Mill yang lebih

mengedepankan filsafat kebebasan budaya dan metafisik, John Rawls

mencoba untuk memperkuat argumentasi dari adanya kemungkinan

kesepakatan yang lebih bebas tanpa memperhatikan kedalaman dari

nilai-nilai keyakinan agama dan metafisik yang disetujui oleh para

pihak sepanjang kesepakatan tersebut terbuka untuk dibicarakan

secara damai, logis, adil, dan bijaksana, serta melepaskan adanya

klaim-klaim atas kebenaran yang universal (universal truth).

Dengan demikian, John Rawls telah menyempurnakan prinsip-

prinsip keadilannya menjadi sebagai berikut: Pertama, setiap orang

memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-hak dan

kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama

jenisnya untuk semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama

dijamin dengan nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan

ekonomi dapat dipenuhi atas dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat

untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang dibuka bagi semua orang

di bawah kondisi adanya persamaan kesempatan yang adil; dan (b)

diperuntukan sebagai kebermanfaatan sebesar-besarnya bagi anggota-

anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.

Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukakann pada konsep

yang awalnya disebut sebagai “hak yang sama” (equal rights) menjadi

“klaim yang sama” (equal claim), serta adanya modifikasi terhadap

frasa “sistem kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic

53

liberties) menjadi “skema pemenuhan yang memadai terhadap hak-

hak dan kemerdekaan-kemerdekan dasar” (a full adequate scheme of

equal basic rights and liberties). Sebagai tujuan utama dari hukum,

maka keadilan sering menjadi fokus utama dari setiap diskusi tentang

hukum. Sayangnya, karena keadilan merupakan konsep yang sangat

abstrak, sehingga di sepanjang sejarah manusia tidak pernah

mendapatkan gambaran yang pasti tentang arti dan makna yang

sebenarnya dari keadilan, jadi dalam hukum terdapat bentrokan yang

tak dapat dihindarkan pertikaian yang selalu berulang antara tuntutan-

tuntutan keadilan dan tuntutan-tuntutan kepastian hukum. Makin

banyak hukum memenuhi syarat ”peraturan yang tetap”, yang

sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan

tajam peraturan hukum itu.

Teori Judicial Activism Dikemukakan oleh Lord Denning (1899-

1999)42

Lord Denning adalah penggagas Teori Judicial Activism seorang

Hakim asal Inggris ini populer dengan pernyataan sebagai berikut:

“Berikan saya hukum yang buruk dengan hakim-hakim yang baik,

maka saya dapat memberikan keadilan, “Tapi berikan saya hukum

yang baik dengan hakim-hakim yang buruk, maka saya tak dapat

melakukannya”.

42 http://www.komisiyudisial.go.id/files/Bunga%20Rampai/bunga-rampai-2012-dialektika-pembaharuan-sistem-hukum-indonesia.pdf (diakses tanggal 19 Juni 2015)

54

“A philosophy of judicial decision making, whereby judges allow

their personal views about public policy, among other factors, to guide

their decision, usually with the suggestion that adherents of this

philosophy tend to find constitutional violations and are willing to

ignore precedent.”

"Sebuah filosofi pengambilan keputusan pengadilan, dimana

hakim dalam pandangannya berkaitan dengan faktor-faktor dalam

mengambil putusannya berkaitan dengan publik, biasanya

menggunakan saran filosofi Judicial Activisme ini cenderung untuk

mencari pelanggaran konstitusi dan bersedia untuk mengabaikan

preceden."

Fakta menunjukkan, kita kurang memiliki hakim dan penegak

hukum yang mengerti dan menjalankan Judicial Activism, sehingga

putusan-putusan pengadilan tidak disertai dengan penjelasan secara

lugas atau landasan putusan dan sikap yang diambil hakim. Hal ini

menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan yang

dihasilkan oleh para hakim. Oleh karena itu untuk

mengimplementasikan setiap pengambilan putusan hakim dalam

proses peradilan dituntut untuk memperhatikan Doktrin Keaktifan

Hakim dalam Teori Judicial Activism yang meliputi:

1) Hakim Wajib mengikuti, memperhatikan perkembangan hukum

sehingga hakim tidak tertinggal dan ditinggalkan dengan

perkembangan hukum;

55

2) Hakim harus mampu melengkapi ketidaklengkapan itu dalam

putusannya;

3) Hakim bukan corong Undang-Undang, dalam arti menerapkan

hukum dari undang-undang saja, melainkan harus melihat atau

mempertimbangkan norma lain di luar Undang-Undang sejauh

norma tersebut relevan dengan masalah yang akan diputuskan;

4) Hakim wajib menggali nilai-nilai keadilan yang berlaku dalam

masyarakat;

5) Hakim wajib dibimbing oleh kekuatan keilmuan, pengetahuan,

independensi, kebebasan, kemandirian, serta tanggung jawab;

6) Hakim seogianya bersifat aktif (dominislitis), dalam

mengendalikan jalannya persidangan secara proporsional dan

patut;

7) Hakim harus menemukan kebenaran materiil;

8) Hakim harus cermat dalam pembuktian, artinya harus kreatif,

inovatif mencari metode dalam pembuktian;

9) Karena utusan hakim bersifat ego omnes, berlaku pula bagi pihak

ketiga di luar para pihak, maka hakim harus memperhatikan

keadlian di luar para pihak, jangan terfokus pada keadilan para

pihak semata. Putusan hakim harus dikembangkan melalui

putusan pengadilan yang Yurisprudensial;

56

10) Hakim harus mampu mengembangkan hukum secara inspiratif

dan inovatif yang dapat ditindaklanjuti oleh pembentukan

Undang-Undang.

2. Kerangka Konsep

a) Konsep Akses Terhadap Keadilan

Berangkat dari penerapan teori sebagaimana yang telah diuraikan

di atas maka konsep akses terhadap keadilan berdasarkan beberapa

pengertian mengenai penulis akan menggunakan pengertian yang

diterapkan di Indonesia oleh Arief Sidharta mengemukakan keadilan

menuntut setiap orang tanpa kecuali berkewjiban untuk bertindak

sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya oleh hukum, pengertian

hukum tidak selalu berarti hukum positif43.

Pengertian keadilan yang telah dipahami tadi perlu pula kemudian

menelaah keadilan berdasarkan Filsuf Yunani Kuno yang menilai

keadilan merupakan kebajikan tertinggi negara, dikemukakan oleh

Plato sebab keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum

dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam

masyarakat yang adil, setiap orang menjalankan pekerjaannya yang

menurut sifat dasarnya paling cocok baginya. Ini merupakan suatu

konsepsi tentang keadilan moral (moral justice) yang dasarnya ialah

keselarasan (harmony).

43 Arief Sidharta, 2006, Filsafat Hukum Pancasila, Materi Kuliah sistem filsafat hukum Indonesia, Program Pascasarjana Studi Doktor Ilmu Hukum, Bandung, hlm 6-7.

57

Keadilan timbul karena pengaturan atau penyesuaian yang

memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk

suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana

setiap anggota melakukan secara terbaik menurut kemampuan dengan

fungsi yang selaras baginya.

Kemudian Filsuf Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua

macam yaitu keadilan korektif dan keadilan distributif, keadilan

korektif didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela

maupun tidak, keadilan ini terjadi di lapangan hukum perdata, misal

dalam perjanjian tukar menukar44. Keadilan korektif terfokus pada

pembetulan sesuatu yang salah, jika suatu pelanggaran dilanggar atau

kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan

kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan atau jika suatu

kejahatan telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya perlu

diberikan kepada pelaku. Keadilan korektif bertugas membangun

kesetaraan itu. Dari uraian ini nampak keadilan korektif merupakan

wilayah peradilan sedankan keadilan distributif merupakan bidangnya

Pemerintah. Keadilan distributif menurut Aristoteles terfokus pada

distribusi honor, kekayaan dan barang-barang lain yang sama-sama

dapat ditemukan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan

“pembuktian” matematis, jelas dibenak Aristoteles adalah distribusi

kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku

44 Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 184

58

dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi

yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilai bagi masyarakat45.

Thomas Aquinas, membedakan keadilan dalam dua kelompok

yaitu keadilan umum (Justicia Generalis) dan keadilan khusus,

keadilan umum adalah keadilan yang menurut kehendak Undang-

Undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Sementara

itu, keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau

proporsionalitas. Keadilan khusus selanjtnya dibedakan menjadi tiga

meliputi:46

1) Keadilan Distributif (Justitia Distributiva) keadilan yang

diterapkan dalam lapanga hukum publik secara umum;

2) Keadilan komulatif (Justitia Cummulativa) keadilan yang

mempersamakan prestasi dengan kontraprestasi;

3) Keadilan Vindikatif (Justitia Vindicativa) keadilan dalam hal

menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana.

Pada Abad ke-20 John Rawls yang berdasar pada pemikiran

Utilitarianisme walau penganut realism hukum. berpendapat “perlu ada

keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.

John Rawls mengemukakan teori keadilan yang dipandang paling

komprehensif sampai saat ini. Karena mampu menawarkan level

45 Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nuansa Media, Bandung. hlm. 25.

46 Ibid, hlm 155.

59

abstraksi yang lebih tinggi bahkan melebihi kemasyhuran pemikiran

John Locke, JJ. Rosseau dan Immanuel Kant.

Menurut Rawls, Keadilan itu mengenai bagaimana ukuran

keseimbangan itu harus diberikan, keadilan merupakan nilai yang tidak

dapat ditawar-tawar lagi, karena dengan keadilan memberikan jaminan

stabilitas kehidupan manusia, karena dapat menghindari benturan

pribadi dan kepentingan bersama, karena itulah diperlukan adanya

aturan-aturan atau hukumnya, maka pada masyarakat yang telah maju,

hukum baru dapat ditaati apabila mampu meletakkan prinsi-prinsip

keadilan47.

Rawls mengajukan cara pandang terhadap prinsip keadilan sebagai

Justice is Fairness, yakni posisi kesetaraan asali berkaitan dengan

kondisi alam dalam teori kontrak sosial. Posisi asali ini tentu tidak

dianggap sebagai kondisi historis, apalagi sebagai kondisi primitif

kebudayaan yang dipahami sebagai situasi hipotesis yang dicirikan

mengarah kepada konsepsi keadilan tertentu. Di antara bentuk-bentuk

esensial dari situasi ini adalah bahwa tak seorangpun tau tempatnya,

posisi atau status sosialnya dalam masyarakat, tidak ada pula yang tahu

kenyataannya, kecerdasannya, kekuatannya dan semacamnya dalam

ditribusi aset serta kekuatan alam. Pihak-pihak dalam posisi asali tidak

mengetahui konsepsi mereka tentang kabaikan dan kecenderungan

47 H. Priyono, 1993, Teori Keadilan John Rawls, dalam: Tim Redaksi Driyarkarya (Ed.), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 35

60

psikologis48. Keadilan menurut Rawls membutuhkan tiga tuntutan

moral, pertama kebebasan untuk menentukan diri sendiri, Kedua

pentingnya distribusi yang bersifat adil atas semua kesempatan,

peranan, kedudukan serta manfaat atau nilai sosial asasi yang terdapat

di masyarakat, ketiga tuntutan distribusi kebebasan dan kewajiban

secara adil.49

Dengan demikian setiap orang memiliki hak menikmati nilai dan

sumber daya sosial yang sama, namun sekaligus pula memiliki

kewajiban untuk menciptakan kemungkinan yang membawa manfaat

bagi masyarakat secara keseluruhan. Tiga hak dan kewajiban dari

setiap anggota masyarakat meliputi:50

1) Keadilan dalam Pranata Ekonomi;

2) Pranata sistem sosial dasar dan;

3) Kontribusi secara adil antar generasi.

Rawls, mengajukan pula dua prinsip keadilan sebagai basis untuk

menjaga harmoni antara hak individu dengan kewajiban sosial, prinsip

kesetaraan kebebasan (Principle of equal liberty) yaitu:51

1) Prinsip kesetaraan kebebasan (principle of liberty)

Setiap orang memiliki kebebasan dasar yang sama, kebebasan

dasar ini, meliputi antara lain:

48 John Rawls, Ibid. hlm. 1349 John Rawls, 1999, A Theory of Justice, The President and Fellowship of Harverd

University Cambridge Press, Massachusetts, New York. hlm 95.50 Andre Ata, 2001, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius,

Yogyakarta. hlm. 131.51 Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,

PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 579

61

a. Kebebasan politik;

b. Kebebasan berpikir;

c. Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang;

d. Kebebasan personal;

e. Kebebasan untu memiliki kekayaan.

2) Prinsip Perbedaan

Perbedaan yang ada di antara manusia, daam bidang ekonomi dan

sosial, harus diatur sedemikian rupa dengan perlakuan yang

berbeda pula sehingga dapat menguntungkan setiap orang yang

secara kodrati tidak beruntung dan sesuai dengan kedudukan dan

fungsi yang terbuka bagi semua orang.

Berkaitan dengan keadilan maka dikenal keadilan sosial yakni

bentuk keadilan yang mengatur hubungan timbal balik antara

keseluruhan masyarakat dan bagian-bagiannya maupun sebaliknya

yang berhubungan dengan ketertiban umum. Pelaksanaannya

senantiasa bertalian dengan kehidupan bersama, berhubungan dengan

pihak lain dalam kehidupan bermasyarakat. Kaelan mengemukakan,

kadilan sosial mengatur hubungan antar masyarakat dengan negara,

kewajibannya masing-masing yaitu keadilan sosial sebagai kewajiban

warga negara dan keadilan sosial kewajiban warga negara dan keadilan

sosial sebagai kewajiban negara52.

52 Ibid, hlm. 407

62

Negara mempunyai peran dalam mewujudkan keadilan sosial, ada

dalam kerangka:53

a) Perwujudan relasi yang adil di semua sistem kemasarakatan;

b) Pengembangan struktur yang menyediakan kesetaraan kesempatan;

c) Proses fasilitasi akses atas informasi yang diperlukan, layanan

yang diperlukan dan sumber daya yang diperlukan, dan;

d) Dukungan atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan

bagi semua orang, yang dituju dari gagasan keadilan ini juga tidak

terbatas pada pemenuhan kesejahteraan yang bersifat ekonomis,

tetapi juga terkait dengan usaha emansipasi dalam rangka

pembebasan manusia dari pemberhalaan terhadap benda,

permuliaan martabat kemanusiaan, pemupukan solidaritas

kebangsaan dan pergaulan daulat rakyat.

Konsekuensi dari prinsip-prinsip manusia dalam masyarakat,

bangsa negara adalah meliputi:54

a. Keadilan Distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara

memenuhi keadilan alam bentuk keadilan membagi dalam bentuk

kesejarteraan, bantuan subsidi serta kesempatan dalam hidup

bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban;

b. Keadilan legal (keadilan bertaat), yatu suatu hubungan keadilan

antar warga negara terhadap negara dalam masalah ini pihak

53 Ibid, hlm. 58554 Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta. hlm. 141.

63

wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati

peraturan perundang-undangan yang berlakudalam negara dan;

c. Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga

satu dengan lainnya secara timba balik.

Realisasi keadilan sosial terdapat suatu kondisi sebagai berikut55

a. Lingkungan sosial adalah hidup bersama kemanusiaan, baik dalam

pengertian masyarakat, bangsa dan negara maupun pengertian

dalam hubungannya dengan kehidupan negara secara Nasional

maupun Internasional;

b. Pihak-pihak yang wajib menyelenggarakan keadilan sosial adalah

masyarakat, bangsa dan negara terhadap warganya masing-masing

dan sebaliknya para warga masyarakat (dalam lingkup Nasional);

c. Setiap Individu senantiasa terdapat suatu kepentingan maupun

kebutuhan yang tidak mungkin dapat dienuhinya sendiri (karena

diluar kemampuannya) oleh karena itu kepentingan dan kebutuhan

tersebut hanya dapat dipenuhinya dengan bersama-sama

manusiayang lain dan;

d. Di dalam hidup bersama semua kepentingan dan kebutuhan harus

terpelihara dengan keadilan sosial. Hal ini dengan sendirinya

termasuk juga kepentingan dan kebutuhan hidup dan lingkungan

hidup terhadap diri sendiri maupun kepada Tuhan sebagai Causa

Prima.

55 Kaelan, Ibid, 318

64

Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mempunyai

tujuan yang dirumuskan dalam alenia keempat pembukaan Undang-

Undang Ddasar 1945, Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah

darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehiduoan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yangfberdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Rumusan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia keempat

tersebut selanjutnya ”.....dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang

Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia

dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan perwakilan

“serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat

Indonesia”. Dalam tujuan negara yaitu “untuk memajukan

kesejahteraan Umum”, terkandung prinsip keadilan sedangkan rinsip

keadilan sosial, tertuang dalam tujuan negara Indonesia yaitu “ikut

melaksanakan ketertiban yang berdasarkan perdamaian adil dan

keadilan sosial56.

Pada hakikatnya dalam rumusan sila kedua Pancasila terkandung

prinsip adil atau keadilan sedangkan keadilan sosial yang terumus

dalam sila kelima Pancasila yang juga merupakan suatu kesatuan

sistemik sila-sila lainnya.

Sila kelima tersebut, didasari dan dijiwai sila-sila yang

mendahuluinya karena di dalam pelaksanaannya sila kelima tidak

dapat dilaksanakan terpisah dengan sila-sila lain dan merupakan satu 56 Rudi Latif, Op.cit

65

kesatuan. Sila kelima adalah merupakan unsur dari Pancasila. Hal ini

mengandung arti bahwa keempat sila yang lainnya bertujuan untuk

mewujdkan tujuan sebagaimana tercntum dalam sila kelima.57

b) Konsep Peradilan

Konsep Akses Terhadap Keadilan berkaitan dengan Konsep

Peradilan dalam sifat Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan bebas

dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan negara lainnya, dengan

sendirinya menuntut berbagai konsekuensi antara lain:58

1. Hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat

berdasar rule of law. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah

oleh hukum bukan oleh manusia. Peran rule of law dalam

kehidupan masyarakat, menjadi unsur landasan (basic ingredient)

tata tertib kehidupan dari pemaksaan dalam bentuk apapun. Upaya

paksa yang dilakukan dalam setiap penyelesaian sengketa baik

pidana maupun perdata harus sesuai dengan proses yang ditentukan

oleh hukum (due process of law) berdasar atas: equal treatment

before the law atau equal dealing (perlakuan yang sama di depan

hukum); equal protection of the law (perlindungan yang sama di

depan hukum).

2. Peran dan fungsi utama kekuasaan kehakiman yang merdeka,

memberi kewenangan kepada badan peradilan menjadi “katub

57 Kaelan Op.cit, hlm 398.58 M. Yahya Harahap. 1997,Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan

Penyelesaian Sengketa.Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 33-39.

66

penekan” atau “pressure valve”: atas setiap pelanggaran hukum

yang dilakukan oleh siapa dan pihak manapun tanpa kecuali; atas

segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional

(unconstitutional), ketertiban umum (public policy) dan kepatutan

(reasonableness).

3. Sehubungan dengan peran dan fungsi serta kewenangan

kekuasaan kehakiman sebagai “katub penekan” dalam negara

hukum dan masyarakat demokrasi, dengan sendirinya

menempatkan kedudukan badan-badan peradilan sebagai “tempat

terakhir” atau “the last resort” dalam upaya penegakan “kebenaran

dan keadilan.” Dalam hal ini, tidak ada badan lain yang

berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan

keadilan (to enforce the truth and justice), apabila timbul sengketa

atas pelanggaran hukum.

4. Peran, fungsi, kewenangan dan kedudukan kekuasaan kehakiman

sebagai pressure valve dan the last resort, kekuasaan kehakiman

melalui peradilan diberi kekuasaan sebagai pelaksana “penegakan

hukum.” Kekuasaan ini lazim diungkapkan sebagai “Judiciary as

the upholders of the rule of law.” Pemberian kekuasaan kepada

kekuasaan kehakiman sebagai upholders of the rule of law, dengan

sendirinya menempatkan kedudukan peradilan sebagai lembaga

atau institusi alat negara yang bertindak sebagai: “penjaga

kemerdekaan masyarakat” (“in guarding the freedom of society”);

67

kekuasaan kehakiman sebagai wali masyarakat (judiciary is regard

as custodian of society).

5. Secara konstitusional kekuasaan kehakiman bertindak “tidak

demokratis secara fundamental”. Sesuai dengan kemerdekaan dan

kebebasan yang diberikan konstitusi kepada kekuasaan kehakiman,

badan-badan peradilan dibenarkan bertindak dan mengambil

putusan “fundamentally undemocratic.” Pada saat peradilan

mengambil tindakan dan putusan: tidak membutuhkan akses dari

siapapun; tidak memerlukan negosiasi dari pihak manapun; dan

tidak perlu meminta kompromi dari pihak yang berperkara.

6. Mempunyai imunitas dalam melaksanakan fungsi dan

kekuasaan peradilan. Kerangka imunitasnya, mengandung arti:

imunitas para hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan

peradilan (the immunity of judges); sifat imunitasnya absolut

dan total, dalam arti mereka tidak dapat dituntut atas pelaksanaan

yustisial, meskipun tindakan yang dilakukannya malapraktik

(malpractice), melampaui batas kewenangan (exceeds hisauthority)

atau melakukan kesalahan proses (procedural error). “Menurut

Soediman Kartohadiprodjo, Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan berlakunya

Undang-undang Dasar yang sekarang dikenal dengan sebutan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada alinea ke empat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar

68

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu termuat rumusan

berikut “...,maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia

itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang

terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia59 yang

berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang

Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan

Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan

mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Kata-kata “ ... dengan berdasarkan kepada ... “ dalam alinea

keempat dari Pembukaan itu menunjukkan, bahwa keseluruhan

Pasal-Pasal dari Undang-Undang Dasar itu disusun berdasarkan

Pancasila. Dengan kata lain, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 itu dijiwai oleh, dan karena itu

pemahamannya harus didasarkan pada Pancasila. Dengan

demikian, maka Pancasila itu adalah asas atau “guiding principle”

dalam bernegara di Indonesia. Sebagai asas bernegara, Pancasila

dapat dikatakan sebagai Ideologi Negara. Secara yuridis, Pancasila

itu adalah pokok kaidah negara yang fundamental. Dengan

demikian, sebagai guiding principle, Pancasila itu adalah norma

59 Strong, C.F., 2011, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, Terjemahan, Derta Sri Widowatie, Nusa Media, Bandung, hlm. 105. Negara kesatuan adalah negara yang memiliki pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan pusat. Berbeda halnya dengan negara federal, yakni suatu alat politik yang dimaksudkan untuk merekonsilisasikan kekuasaan dan persatuan nasional dengan pemeliharaan hak-hak negara. Jadi negara kesatuan adalah negara yang kekuasaan legislatifnya dibagi antara kekuasaan pusat dengan kekuasaan daerah dengan unit-unit yang lebih kecil.

69

kritis untuk menguji dan mengkaji berbagai tindakan dan putusan

di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum dan ekonomi.60

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan,

bahwa proses perumusan Pancasila61 adalah hasil usaha para pemimpin

pergerakan nasional untuk menetapkan dasar-dasar atau asas-asas

untuk mewujudkan kemerdekaan dan menyusun serta

menyelenggarakan kemerdekaan itu dalam suatu negara nasional.

Dilihat dari sudut politik praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan

dan konsensus nasional yang secara moral mengikat setiap insan

politik Indonesia dalam menjalankan kegiatan politik sebagai “guiding

principle”. Penempatan dalam pembukaan dan kedudukannya dalam

Undang-Undang Dasar 1945, menyebabkan Pancasila juga mempunyai

kekuatan hukum. Karena itu pula, perilaku dalam menjalankan

kegiatan politik yang secara konstitusional konsisten dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pola

perilaku (politik) yang dijiwai oleh Pancasila.62

Dalam membangun doktrin-doktrin hukum sedemikian ini,

dapat dikatakan sebagai inti dari keseluruhan reformasi berbagai

bidang di Indonesia.63 Dengan konsep check and balances

60 Soediman Kartohadiprodjo, 2010. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Kompas, Jakarta, hlm. 27.

61 Muchsin, 2004, Ikhtisar Sejarah Hukum, STIH IBLAM, Jakarta, hlm. 36. 62 Soediman Kartohadiprodjo, Op.Cit ., hlm. 28.63 Jimly Asshiddiqie, 2000, Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan, Makalah Seminar,

Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Jakarta; lihat pula Jimly Asshiddiqie, 2000, Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum Dan Keberdayaan Masyarakat Madani, Makalah Konggres Mahasiswa Indonesia Sedunia, Chicago, Amerika Serikat.

70

dimungkinkan adanya pengawasan dari satu kekuasaan terhadap

kekuasaan lainnya di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif,

legislatif dan yudisial, sehingga dapat saling mengimbangi dalam

kesetaraan dan kesederajatan demi tercapainya harmonisasi kekuasaan

berada dalam keseimbangan untuk mencegah kesewenang-wenangan

atau penyalahgunaan kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum dalam

keseluruhan reformasi tersebut, kemudian memunculkan pemikiran

penggunaan konsep check and balances,64 berkenaan dengan

kewenangan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman berkaitan

menurut Lord Denning adalah orang yang memperkenalkan teori

“Judicial Activism”..

Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan pengertian bahwa

dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka terkandung tujuan atau

konsep dasar, yaitu:

(1) Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of

power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power) di

antara badan-badan penyelenggara negara.

(2) Sebagai bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi

kebebasan rakyat.

(3) Untuk mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari

pemerintah.

64 Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung. hlm. 145.

71

(4) Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara

hukum dan pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.

c) Konsep Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

Kekuasaan kehakiman yang merdeka diartikan sebagai

pelaksana peradilan yang bebas dan tidak memihak yang dilakukan

oleh hakim untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum yang

diajukan ke pengadilan. Kekusaan Kehakiman yang merdeka ini

merupakan elemen mutlak yang harus ada didalam sebuah negara

yang berpredikat negara hukum65.

Menurut C.S.T. Kansil dan Christine ST Kansil:

Kekuasaan Kehakiman ini mengandung pengertian didalamnya kekusaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekusaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, diretiva dan rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial dalam hal-hal yang diizinkan Undang-Undang….

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudial tidaklah mutlak sifatnya karena tugas hukum adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar, asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan keadaan bangsa dan rakyat Indonesia.

Montesque mengemukakan pentingnya kekuasaan yudikatif

karena Kekuasaan Kehakiman yang Independen of Judiciary akan

menjamin kebebasan individu dan hak asasi manusia. Prinsip

persamaan di muka hukum merupakan elemen yang penting dalam

konsep rule of law. Selanjutnya Montequieu mengatakan:

65 C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, 1984, Hukum Tata Negara RI Jilid I, Rineka Cipta, Jakarta, hal 191-192

72

Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak

dipisahkan dari kekusaan legislatif dan kekusaan eksekutif. Jika

kekusaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan legislatif, kekuasaan

atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan

sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembua hukum. Jika

kekuasaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan eksekutif, hakim

bisa menjadi penindas, yang perlu digarisbawahi adalah kemandirian

kekuasaan Kehakiman tidak saja mandiri secara kelembagaan, tetapi

juga kemandirian dalam proses peradilan yang diindikasikan dari

proses pemeriksaan perkara, pembuktian, hingga pada vonis yang

dijatuhkan. Parameter mandiri atau tidaknya proses peradilan ditandai

oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-pihak lain di luar

kekuasaan kehakiman.66

Rumusan tentang kekuasaan Kehakiman diatur dalam Bab IX

tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 pasca amandemen yang selengkapnya berbunyi sebagai

berikut: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan”.67

Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut dapat diartikan pada

suatu kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah

dan karenanya harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang

66 Andi. M. Nasrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta, hlm 32

67 Ibid

73

kedudukan para hakim Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang

merdeka juga berarti bebas dari campur tangan pemerintah atau badan

negara yang lain atau pihak manapun yang akan mempengaruhi

penyelenggaraan tugas serta wewenangnya.68

Mengenai hal ini secara eksplisit telah di amanatkan dalam BAB I

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah menentukan bahwa

kekuasaan Kehakiman adalah kekusaan yang mandiri dan terlepas dari

kekuasaan pemerintah, sehingga dipandang perlu melaksanakan

pemisahan tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.

1) Mahkamah Agung

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi

sebagai berikut : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dari rumusan Pasal

tersebut Mahkamah Agung bukanlah satu- satunya pelaku

kekuasaan Kehakiman, namun demikian tugas dan kewenangan

Mahkamah Agung berbeda dengan Mahkamah Konstitusi,

Mahkamah Agung memiliki posisi strategis terutama di bidang

hukum dan ketatanegaraan yang diformat :

a. Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan;68 Sirajuddin, (2006), Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hlm 34

74

b. Mengadili pada tingkat kasasi;

c. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-

undang

d. Berbagai kekuasaan atau kewenangan yang diberikan oleh

Undang-Undang.

Untuk selanjutnya mengenai Mahkamah Agung diatur

tersendiri dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang

Mahkamah Agung. Dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009

tentang Perubahan ke-II Undang-Undang ini, yang selanjutnya

merubah substansi undang-undang sebelumnya yaitu Undang-

Undang Nomor l4 Tahun 1985. Perubahan tersebut disamping

guna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan

dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, juga didasarkan

atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Hal baru sebagai bagian dari perubahan Undang-Undang

Mahkamah Agung adalah mengenai bertambahnya ruang lingkup

tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agung meliputi bidang

pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi dan

finansial badan peradilan yang dikenal sebagai penyatuan atap

lembaga peradilan pada Mahkamah Agung. Penyatuan atap

merupakan pembaharuan pengelolaan administrasi umum

peradilan yang meliputi keuangan dan ketenagaan sehingga terjadi

perubahan paradigma manajemen keorganisasian.

75

Meskipun penyatuan atap ini merupakan tuntutan reformasi di

bidang hukum, namun penyatuan atap berpotensi menimbulkan

monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Sebab

setiap kekuasaan selalu mengandung potensi disalahgunakan atau

dilaksanakan dengan melampaui wewenang. Untuk itulah perlu

ada jaminan yang dapat memberi posisi lebih baik terhadap para

pencari keadilan maupun terhadap subyek yang dituntut melalui

mekanisme pengawasan.

2) Kewenangan oleh Mahkamah Agung

Salah satu fungsi Mahkamah Agung Republik Indonesia

adalah fungsi pengawasan yang diberikan oleh Undang-Undang

Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yaitu dalam

Bab VI Pasal 39 ayat (1) yang dinyatakan bahwa: “Pengawasan

Tertinggi pada semua badan Peradilan dibawah Mahkamah Agung

dalam menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh

Mahkamah Agung” berdasarkan ketentuan Undang- Undang”.

Pelaksanaan pengawasan juga bersandar pada Pasal 32 Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang

menyatakan sebagai berikut :

a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap

penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan

dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.

b. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para

hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan

tugasnya.

76

c. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan

tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dan

semua lingkungan peradilan.

d. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran atau

peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan disemua

lingkungan peradilan.

Pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut tidak

boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan

memutus perkara. Dari ketentuan diatas maka terlihat bahwa yang

harus diawasi oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan

(rechstsgang) dengan tujuan agar jalannya peradilan dapat

diselenggarakan oleh pejabat pengadilan dengan seksama dan

sewajarnya.

Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi jalannya

peradilan, namun demikian Mahkamah Agung dapat

mendelegasikan kewenangannya pada pengadilan tingkat banding

berdasarkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan.

Melalui asas ini memungkinkan pendelegasian kewenangan

pengawasan tersebut. Didalam praktek selama ini Mahkamah

Agung dalam melaksanakan pengawasan telah mendelegasikan

kepada para ketua Pengadilan Tinggi disemua lingkungan

peradilan.

3) Fungsi Mahkamah Agung

Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat, pertimbangan-

pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi

77

Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor

14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada

Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka Pemberian atau

Penolakan Grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung

Nomor 14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-

undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1),

Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan

pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi

juga rehabilitasi (Belum ada pengaturannya dalam Undang-

Undang).

F. Metode Penelitian

Setiap penelitian sesungguhnya terdapat metode penelitian di

dalamnya, adakalanya manusia mencari kebenaran melalui pikiran yang kritis,

ataupun berdasarkan pengalaman. Metode mempunyai tujuan mempelajari

satu atau beberapa gejala. Dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap fakta tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

masalah-masalah yang ditimbulkan oleh fakta tersebut.

Metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan yang antara

lain seperti suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan

suatu teknik serta cara tertentu untuk melaksanakan sesuatu, jika penelitian

adalah sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina

serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis

78

dengan penggunaan kekuatan pemikiran69. Dalam penelitian ini akan

menerapkan metode-metode sebagai berikut:

1. Metode Filosofis

Penelitian ini menerapkan metode yuridis normatif-filosofis yang

bersifat kualitatif dan komparatif. Penelitian ditujukan untuk menganalisis

bahan-bahan hukum yang mengacu kepada norma-norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Penelitian yuridis normatif-filosofis ini mengacu dasar filosofis nilai-nilai

filosofis fungsi Mahkamah Agung. Dengan metode penelitian tersebut

dilakukan pula penelusuran sejarah hukum terbentuknya Mahkamah

Agung. Hal tersebut dilakukan karena mengingat penelitian ini pula

menelusuri perkembangan pemikiran dan penerapan teori-teori tersebut.

Untuk melihat hal itu dalam konteks historis ini dilakukan penelusuran

literatur tersebut dapat dilihat realitas masa lampau70.

Penggunaan metode tersebut yang bersifat kualitatif dalam

penelitian ini disebabkan data yang dianalisis bersifat menyeluruh dan

merupakan satu kesatuan (holistic). Oleh karena itu, diperlukan analisis

yang mendalam terhadap bahan-bahan hukum tersebut. Penelitian ini

dilakukan melalui penelitian kepustakaan atau dokumen peraturan

perundang-undangan, buku, jurnal hukum, dan berbagai Putusan

Pengadilan dan Putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan fungsi

Mahkamah Agung. Selanjutnya hasil penelitian yang diperoleh melalui 69 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

hlm. 270 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, eds, 1994, Hanbook of Qualitative Research,

Sage Publication, London. hlm. 205.

79

studi kepustakaan dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan yuridis

normatif berpangkal pada pemikiran penyelidikan deduktif, spekulatif

kemudian transcedental mendukung terwujudnya keadilan menurut John

Rawls, dengan memperhatikan teori Judicial Activism menurut Lord

Denning dalam peran Lembaga Yudiatif berkaitan dengan Filosofis

Enligthtenment yakni satu Filosofis dalam majalah Berlinische

Monatsschrift terbit Desember 1974 ditulis oleh Immanuel Kant mengenai

pencerahan pada masanya71:

“Enlightment is man’s emergence from his self-imposed immaturity. Immaturity is the inability to use one’s understanding without guidance from another. This immaturity is self-imposed when is cause lies not in lack of understanding, but in lack resolve and courage to use it without guidance from another. Spere aude! “have courage to use your own understanding. That is the motto Enlightment.

Enlightment adalah Filosofis yang membahas permulaan

kemunculan manusia dengan menilai pemahaman seseorang dari

ketidakmampuan dirinya untuk menggunakan rasio yang kritis.

penyebabnya tidak terletak pada kurangnya pemahaman, tetapi dalam

kurangnya keberanian untuk menggunakan rasio pemikiran kritis tersebut.

Disebut dengan moto “Spere aude!” (moto Enlightment).

Dengan berlandaskan hal tersebut kemudian dicoba untuk

membuktikan sebagai pemikiran hukum kritis yang tidak terikat terhadap

substansi hukum sebab substansi hukum dapat membuka lebar-lebar

kemungkinan ketidakadilan "menyamar" sebagai keadilan.

71 F. Budiman Hardiman, 2007, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta. hlm 94

80

Argumentasinya, Pertama: substansi hukum tidak boleh hanya merupakan

alat bantu untuk mencapai rasionalitas, tetapi hukum itu sendiri harus

rasional. Hukum yang rasional adalah hukum yang benar-benar mampu

mewujudkan tujuan. Kedua: Untuk menjamin agar karya hukum yang

rasional dapat mewujudkan tujuannya, maka harus didukung oleh tindakan

yang efisien dari Perangkat Pelaksanaan Hukum72.

Secara empiris filosofis Enligthtenment dibutuhkan untuk

memperlancar kerja profesi hukum. demi terlaksananya sistem peradilan

yang baik dan menerapkan Teori Judicial Activism bertujuan untuk

mewujudkan keadilan, sekaligus memperbaiki perspektif tentang dunia

hukum yang saat ini sangat terkungkung dalam paradigma formalistik atau

positivisme. Artinya, gambaran hukum yang lengkap dan benar adalah

jauh lebih kompleks dari sekedar yang diyakini dan dipahami oleh para

penegak hukum selama ini. Lembaga peradilan pada era transisi

tampaknya masih pula belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari

pengaruh politik sebagai corong undang-undang dan alat negara tanpa

mempertimbangkan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat

disamping profesionalitas lembaga Perailan dalam menegakkan hukum

dirasakan lamban menyelesaikan masalah hukum bagi setiap pencari

keadilan.

2. Metode Konseptual

72 Lihat Nasikin, "Hukum Dalam Paradigma Sistem Sosial" dalam Artidjo Alkostar (ed), ldentitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,1997. hlm. 158-161.

81

Metode Konseptual yang diperoleh dari kerangka konsep akses

terhadap keadilan digunakan untuk memperkuat metode Filosofis

dikaitkan dengan konsep keadilan menurut John Rawls yang sederhana,

dijelaskan dalam suatu konsep yang disebut Justice as Fairness. Artinya,

keadilan tidak berarti kemerataan absolut dalam sebuah masyarakat

dengan cara diratakan oleh otoritas yang berdaulat secara penuh. Keadilan

bagi Rawls adalah keadilan yang bijak pada setiap individu dalam kondisi

asli manusia ketika berada dalam satu garis permulaan yang sama dalam

sebuah kompetisi. Keadilan yang setara berarti memberikan kesempatan

setara pada setiap individu untuk memberikan kualifikasi terbaiknya dalam

masyarakat untuk menghasilkan capaian yang terbaik dari sebuah

kompetisi. Affirmative Action adalah salah satu cara yang ditawarkan oleh

Rawls sebagai bentuk praktis dari pengejawantahan konsep Justice as

Fairness.

Affirmative Action dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang

lebih pada individu-individu dalam masyarakat yang paling tidak

diuntungkan dalam struktur sosial, kondisi politik, maupun struktur

ekonomi. Contoh yang sederhana misalnya pembentukan fasilitas publik

yang diperuntukkan bagi kelompok difabel (kelompok difabel di Indonesia

memperoleh akses hukum yang lebih baik) atas fasilitas publik.

Affirmative Action sebagai bentuk aplikasi dari prinsip pertama dan

kedua Justice as Fairness merupakan revisi penting dari perkembangan

paradigma mengenai tingkat kebebasan dan hak yang setara yang

82

dikembangkan oleh pemikir liberal sebelumnya direvisi oleh Rawls.

Dengan prinsip keadilannya, dia membentuk sebuah konsep dimana dalil

utama mengatakan bahwa kaum paling tidak beruntung dalam masyarakat

perlu diangkat sedemikian rupa sehingga ada posisi yang setara dalam

mencapai kompetisi yang adil73. Dalam realitas Hukum masyarakat

Indonesia yang secara kasat mata masih dapat dilihat tengah mengalami

ketimpangan. Keseluruhan prinsip Rawls terhadap keadilan hukum secara

sederhana sebenarnya dapat menjadi alternatif dalam menciptakan

keadilan sosial yang bertujuan untuk mencapai tahap kesejahteraan

masyarakat.

Pengertiannya adalah mengindikasikan pencapaian keadilan dari

perspektif yang lebih luas, yang menekankan dua poin penting yang

bersifat botom up dan top down yaitu pertama, masyarakat harus memiliki

kesadaran hukum, kesadaran hak-hak, kesadaran akan forum-forum untuk

mencari memperoleh pemulihan hak mereka, serta kesadaran untuk

memulihkan hak-hak mereka. Kedua, pihak yang berwenang (Pemerintah)

dan pihak-pihak lain yang terkait, khususnya dalam upaya

penanggulangan kemiskinan, memiliki kewajiban untuk menyadarkan

masyarakat akan hak-hak mereka dan menyediakan effective remedy bagi

pemulihan hak-hak yang dilanggar74.

73 http://suarakebebasan.org/id/suara-muda/item/399-john-rawls-dan-konsep-keadilan (diakses pada tanggal 18 Juni 2015)

74 Kelompok Kerja Akses Terhadap Keadilan, 2009, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, Bappenas Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta. hlm. 5.

83

Pengertian di atas, mempertegas bahwa akses terhadap keadilan

bagi rakyat berarti adanya pemulihan hak untuk melindungi diri dari

kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh orang lain ketika terlibat dalam

perselisihan atau konflik kepentingan. Pemulihan adalah tindakan yang

memberi perbaikan terhadap kerugian yang diderita. Oleh karena itu,

dibutuhkan jaminan oleh hukum atau norma-norma kebiasaan. Pemulihan

itu disebut pemulihan hukum (legal remedies) dan pemulihan keadian

(Justice remedies)75.

Konsep akses terhadap keadilan pada pokoknya berfokus pada dua

tujuan dasar yaitu: Pertama, sistem yang seharusnya dapat diakses oleh

semua orang dari berbagai kalangan. Kedua, sistem seharusnya dapat

menghasilkan ketentuan maupun keputusan yang adil bagi semua

kalangan, baik secara individual maupun kelompok. Gagasan pokok yang

hendak diutamakan dalam konsep akses terhadap keadilan ialah untuk

mencapai suatu keadilan sosial (social justice) bagi warga negara di semua

kalangan76.

Pembangunan hukum yang berbasis akses terhadap keadilan

menghendaki pemenuhan akses di berbagai bidang kehidupan, yang tidak

lagi menerapkan teori hukum pembangunan atas prakarsa Mochtar

Kusumaatmadja setelah tahun 2009, kemudian melalui perkembangan

dinamika masyarakat dengan pengalaman empiris di bidang hukum maka

berlandaskan pemikiran menurut Teori Hukum Pembangunan dari

75 Ibid76 Mauro Cappelletti dan Bryant Garth (Eds), 1978, Access to Justice Book I, Giuffre-

Stijhoff, Milan. hlm. 6.

84

Lawrence Friedman dirasakan lebih tepat diterapkan dalam Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan jangka

Jangka Panjang Nasional (RPJPN Tahun 2005-2025) yaitu “Indonesia

Adil” dengan delapan prioritas adil berkaitan dengan penerapan akses

terhadap keadilan meliputi:77

1) Reformasi hukum dan peradilan;

2) Bantuan hukum;

3) Tata kelola pemerintahan daerah;

4) Tanah dan sumber daya alam;

5) Perempuan

6) Anak;

7) Tenaga kerja dan;

8) Masyarakat miskin dan terpinggirkan.

Salah satu elemen penting dalam akses keadilan yaitu keberadaan

lembaga hukum formal. Lembaga ini semestinya dipercaya oleh

masyarakat sebagai lembaga yang efisien, netral dan profesional.

Kepercayaan publik terhadap lembaga formal sangat penting meliputi:78

1) Pemulihan hak yang memuaskan dan mensyaratkan imparsialitas, tepat

waktu konsistensi norma, bebas korupsi dan intervensi politik, serta

adanya standard kesesuaian dengan norma dan standard hak asasi

manusia Nasional dan Internasional;

2) Permasalahan mengenai kelompok miskin dan terpinggirkan

merupakan permasalahan yang terdapat pada bagian akses terhadap

keadilan yang lain dan;77 Stephan Golub, 2003, Beyond Rule of Law Orthodocy : The Legal Empowerment

Alternative, Rule of Law Series, Democracy and Rule of Law ProjectI, hlm. 41.78 Ibid

85

3) Monitoring pengawasan yang mendukung transparansi dan

akuntabilitas pada keenam pemasalahan di atas.

Berdasarkan berbagai indikator tersebut, maka yang perlu

dilakukan ialah perombakan secara paradigmatik terhadap sistem hukum

di Indonesia, yaitu paradigma sistem hukum yang menganut aliran

Positivistis.

Tindakan-tindakan tersebut menurut hemat penulis adalah upaya

lembaga yudikatif dengan melihat peluang melalui penerapan

perangkatnya untuk menegakkan hukum yang berkeadilan, tidak lagi

terikat hanya kepada Undang-Undang dan dilakukan sebagai salah satu

pilihan untuk mempercepat upaya dalam mewujudkan amanat Pasal 4 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Pelaksanaannya dengan cara membentuk alternatif mudah

dalam mencapai keadilan terhadap kaum difabel dengan memberikan

fasilitas yang tepat untuk menciptakan alternatif ini.

Singkatnya adalah keinginan untuk mencapai kondisi ideal yang

setara pada setiap individu melalui jalan yang kontemporer (modern)

dalam menegakkan hukum yang berkeadilan harus diperhatikan oleh

Mahkamah Agung sebagai Pemegang Kekuasaan Kehakiman, untuk

menghindari ketimpangan yang dapat terjadi, namun tentu ketimpangan

bukan sesuatu yang harus dibiarkan saja dengan mekanisme hukum, tetapi

kembali berupaya untuk mengatasi hal tersebut. Memikirkan kembali

manusia sebagai subjek utama yang penting untuk dapat menerima

fasilitas yang layak sebagai kebajikan tertingginya, berupa keadilan.

86

Sejalan dengan konsep, fungsi serta tujuannya sebagai konsekuensi

menuju kondisi ideal tersebut, menjadi esensi dalam hukum yang

memiliki progres (perkembangan) dengan kata lain disebut hukum

progesif. Kepastian hukum bukan terletak pada pastinya suatu Undang-

Undang. Demikian juga bahwa kepastian hukum bukan kristalisasi

keadilan. Sudah merupakan cap dagang manakala orang berbicara

mengenai hukum. Hukum selalu dibicarakan dalam kaitan dengan

kepastian hukum dan oleh karena itu, kepastian hukum sudah menjadi

primadona dalam wacana mengenai hukum.

Kepastian hukum itu merupakan produk dari hukum atau lebih

khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka datanglah

kepastian. Menurut Satjipto Rahardjo, ini merupakan beban berlebihan

yang diletakkan di pundak hukum. Lebih daripada itu, pemahaman dan

keyakinan yang terlalu besar seperti itu, memiliki risiko besar untuk

menyesatkan. Ini karena kepastian hukum sudah didewakan menjadi

ideologi dalam hukum. Maka pemahaman tentang kepastian seperti

tersebut di atas tidak bisa diterima. Optik tersebut menempatkan hukum

pada satu sudut (saja) dalam jagat ketertiban yang luas sekali.

Pemahaman tentang hukum yang demikian itu berimbas pula pada

pemahaman tentang kepastian hukum. Hukum tidak serta merta

menciptakan kepastian hukum. Dengan kata lain masih menimbulkan

keragu-raguan, yang berarti berkurangnya nilai kepastian tersebut.

87

Keadaan itu terjadi, oleh karena pada perundang-undangan tanpa disadari

ternyata bertentangan dengan peraturan lain.79

Lebih lanjut dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, ternyata

peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya

kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dari perilaku.

Sebagaimana tujuan Teori Utilitarianisme yang menyatakan apakan

hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak, karena

konsep ini bertujuan membentuk perilaku suatu institusi yang bertujuan

mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan

membuat manusia bahagia. Seperti dikatakan oleh Lord Sampford,

kepastian itu menjadi ada karena orang menghendaki bahwa ia ada.

Kepastian hukum itu memang merupakan suatu keadaan yang

memerlukan usaha dari perjuangan dan tidak datang secara otomatis,

begitu suatu undang-undang atau peraturan lain diterbitkan maka ada

kepastian. Bukan demikian pernyataannya, yang benar adalah kepastian

hukum merupakan wujud dari kepatuhan masyarakat berbangsa dan

bernegara terhadap hukum yang dapat berbentuk undang-undang maupun

kebiasaan, sehingga titik berat dari kepastian bukan pada hukumnya

melainkan pada kepatuhan. Akan sangat berat bagi hukum jikalau

kepastian itu adalah kepastian karena hukumnya80.

3. Metode Pendekatan Normatif

79 Ibid hlm. 7880 Ibid hlm. 80

88

Pendekatan Normatif adalah pendekatan yang dilakukan

berdasarkan bahan hukum dengan menelaah teori-teori, konsep-konsep,

asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan

pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku,

perundang-undangan dan Peraturan-Peraturan hukum lainnya termasuk

dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari referensi umum (perundang-

undangan, peraturan, buku-buku teks, kamus) dan referensi khusus

(jurnal, laporan penelitian).

b. Studi lapangan, dilakukan dengan metode analisa terhadap putusan

Mahkamah Agung yang tidak terikat oleh undang-Undang dan

meresponden dari para hakim untuk mengetahui kelebihan maupun

kekurangan jika diterapkan adanya paradigma lain yang diadopsi

dengan pertanyaan yang telah dipersiapkan. Cara ini digunakan untuk

mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan

konsisten. “Dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah

dikumpulkan. Melalui proses penelitian ini diadakan analisa dan

konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan selanjutnya

diolah”.81

81 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, (1995), Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 1.

89

5. Jenis dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, meliputi data primer dan

data sekunder, sebagai berikut:

a. Data Primer ialah data yang diperoleh dari sumbernya secara langsung.

Data ini dilakukan dengan cara wawancara terhadap responden.

b. Data sekunder yakni berupa:

1) Diperoleh melalui bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum

yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-Undang

Mahkamah Agung dan Undang-Undang atau peraturan hukum

lainnya yang berkaitan dengan Mahkamah Agung.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli,

hasil-hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, dan sebagainya.

3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain

kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, karya ilmiah maupun

Ensiklopedia, atau Media cetak dan lain sebagainya.82

6. Analisis Data

82 Soerjono Sukanto, (1985), Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta. hlm. 45

90

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu dengan mengadakan penelitian

tentang Sistem Peradilan menyangkut upaya Mahkamah Agung sebagai

Judex Juris dalam memutus tanpa terikat dengan Undang-Undang atau

hukum positif, dikaitkan dengan teori, konsep hukum dan metode

penelitian dalam kajian ini.

Kemudian menggunakan teknik Metode Deduktif artinya peraturan

perundang-undangan yang bersifat umum dijadikan sebagai pegangan

untuk diterapkan pada data yang diperoleh dari penelitian untuk

memperoleh hasil dari penelitian dan perubahan yang menjadi penyebab

untuk memperoleh suatu kesimpulan. Metode Induktif artinya data yang

bersifat khusus yang diperoleh dari penelitian ditarik kesimpulan yang

bersifat umum.

G. Orisinalitas Penulisan

Penelitian ini merupakan satu-satunya kajian dalam mengefektifkan fungsi

peradilan dengan prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan oleh Mahkamah

Agung dalam mewujudkan keadilan sesuai Ketentuan Pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman

sekaligus sebagai penelitian baru pada Program Doktor Ilmu Hukum.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian dalam tahap Seminar Kemajuan Penelitian ini

menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan yang terdiri atas uraian latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

91

kerangka teori dan konsep, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II. Mahkamah Agung Melalui Sejarah dan Dinamika

Perkembangan, visi dan misi Mahkamah Agung, tugas dan

kewenangan Mahkamah Agung, fungsi Mahkamah Agung,

serta Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi

Yudisial mengenai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

dalam mewujudkan Keadilan.

BAB III. Pengaturan Mahkamah Agung Menurut Kapasitas Sebagai

Judex Juris Berkaitan dengan Kemampuan Menilai Fakta

Sebagai Judex Factie, Pemaparan Penelitian terhadap Perkara

Hukum berhubungan dengan Putusan Mahkamah Agung.

BAB IV. Pembahasan diantaranya mengenai, kewenangan Mahkamah

Agung dalam memeriksa perkara sebagai Judex Juris menurut

kajian hukum normatif dan Filosofis, selanjutnya dapatkah

Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam mewujudkan

keadilan.

BAB V. Penutup berisi uraian Kesimpulan dan Rekomendasi.

DAFTAR PUSTAKA.

BAB II

MAHKAMAH AGUNG MELALUI SEJARAH

DAN DINAMIKA PERKEMBANGAN

92

A. Tinjauan Sejarah dan Dinamika Perkembangan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung adalah badan peradilan tertinggi di Indonesia,

sebagai pelaksana Kekuasaan kehakiman di Indonesia yang secara

konstitusional saat ini diatur pada Pasal 24 dan Pasal 25 Amandemen ke-IV

Undang-Undang Dasar 1945. Untuk tujuan penjabaran kedua Pasal yang

diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, maka dikeluarkan Undang

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009

perubahan ke-II atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung.

Secara historis, lembaga Mahkamah Agung sebagai pilar tertinggi

dibidang yudikatif dahulu cenderung kurang mempunyai independensi

dibandingkan lembaga eksekutif maupun legislatif. Hal ini paling tidak

dikarenakan adanya kekeliruan sistem kelembagaan di Era Orde Baru yang

menjadikan Mahkamah Agung menjadi bagian yang terstrukur dengan

Departemen kehakiman, sedangkan Departemen Kehakiman sendiri

merupakan salah satu manifestasi dari pelaksanaan fungsi dan tugas lembaga

eksekutif. Jadi dengan kata lain, independensi Mahkamah Agung tidak

sepenuhnya dapat dijalankan, mengingat adanya kecenderungan campur

tangan lembaga eksekutif.

Mengingat peran Mahkamah Agung yang marjinal, maka tidak

mengherankan apabila kajian tentang institusi peradilan pada umumnya dan

Mahkamah Agung pada khususnya kurang menarik minat para sarjana.

Dibandingkan dengan studi tentang kepresidenan, parlemen, ataupun militer,

93

studi tentang institusi peradilan Indonesia terbilang sangat sedikit. Oleh karena

itu, kehadiran buku karya Sebastiaan Pompe, mantan staf pengajar di Fakultas

Hukum Universitas Leiden, Belanda, The Indonesian Supreme Court: A Study

of Institutional Collapse, seakan menjadi air segar di tengah keringnya studi

tentang institusi peradilan di Indonesia. Oleh karena itu, sebenarnya badan

peradilan Mahkamah Agung didasarkan pada cikal-bakal teori pemisahan

kekuasaan sebagaimana yang dianut oleh Montesquieu dalam bentuk

“separation of power” (lajim disebut ‘Trias Politica’). Sebagai perbandingan

dikemukakan disini, bahwa di Amerika Serikat parlemen memiliki kekuasaan

besar yang bersifat omnipotensi, sehingga tidak berlebihan apabila kemudian

kekuasaan eksekustif (Presiden) dianggap sebagai subordinat dari kekuasaan

Senat.

Hal ini pula yang cenderung terjadi di Indonesia pada masa

pemerintahan Orde Baru, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian

kasus-kasus hukum dalam proses pembuatan putusan (making law) kurang

mendapat tempat di hati masyarakat. Bahkan, jika mengkaji fakta empirik

dapat disimpulkan bahwa belakangan muncul semacam animo ditengah-

tengah masyarakat tentang penegakan hukum di Indonesia yang masih jauh

dari harapan dan dipandang sebelah mata. Lembaga Peradilan yang

merupakan institusi pelaksana penegakan hukum melalui peraturan

perundang-undangan yang berlaku juga tidak luput dari sejarah. Disini sejarah

hukum sebagai ilmu pengetahuan mendapat tempat yang khas, karena sejarah

hukum hanya meneliti objek hukum dalam persfektif sejarah yang mempunyai

keterkaitan dengan hukum dimasa lalu (ius konstituendum) dengan hukum

94

yang berlaku seakrang (ius constitutum). Lebih lanjut lagi, dapat dikatakan

bahwa sejarah hukum mengambil peranan penting sebagai ilmu pengetahuan

dengan metode pendekatan hukum dari sarana sejarah melalui penelitian data

dan fakta terutama dari peritiwa-peristiwa penting hukum pada masa lalu, dan

menganalisanya dengan suatu periode sejarah tertentu yang menjadi sasaran

studi. Oleh karena itu sejarah lembaga peradilan tertinggi oleh Mahkamah

Agung di Indonesia mempunyai relevansi yang sangat erat dengan sejarah

berdirinya peradilan pada umumnya, dan peradilan di Indonesia pada

khususnya. Sejarah lahirnya Mahkamah Agung dibagi dalam beberapa

periode, dimana periode ini berorientasi pada bentuk dan pembagian sistem

pemerintah jajahan yang pernah menduduki Indonesia sampai kepada pasca

reformasi dan pembaharuannya adalah sebagai berikut:83

a) Sejarah Peradilan Mula-Mula Di Indonesia

Jika menelusuri sejarah panjang peradaban bangsa indonesia, maka

jaman dahulu sebelum masuknya penjajahan bangsa Eropa dan Jepang ke

Indonesia, sistem peradilan di Indonesia sudah dikenal sebelumnya, hal ini

dapat dilihat dari adanya lembaga peradilan adat meskipun lembaga

peradilan yang dimaksud bersifat kelompok-kelompok dan cenderung

bersifat primitif, mengingat penerapan sanksi dan sistem pembuktian yang

diberlakukan masih sebatas monopoli kaum kerajaan selaku pihak yang

mengadili.

83 Agus Pranki Pasaribu, http://applawbuss.blogspot.com/2010/11/mahkamah-agung-dalam-lintas-sejarah.html diakses pada 23 Mei 2015.

95

Mengenai peradilan mula-mula ini lebih lanjut dikutib pendapat

berikut ini:“Jika melihat kebelakang, ketika negara ini masih terpisah-

pisah menjadi berbagai kerajaan-kerajaan, adalah suatu kenyataan oleh

karena kerajaan-kerajaan di Indonesia itu yang berdaulat adalah raja, yang

berkuasa secara mutlak, dimana soal hidup dan mati rakyat ditangannya,

maka kekuasaan mengadili pun ada ditangannya sendiri. Sebagai contoh di

zaman Kerajaan Kalingga, Peradilan dipimpin sendiri oleh Ratu Shima

yang menghukum adiknya sendiri karena melanggar aturan yang dibuat

oleh kerajaan”.

Oleh karena itu, perkembangan lembaga peradilan pada masa ini

tidak begitu terlihat mencolok jika dibandingkan dengan setelah masuknya

kaum penjajah ke Indonesia. Peradilan di masa kerajaan-kerajaan masih

lebih mengedepankan permusyawaratan bersama apabila sengketa yang

dihadapi di bidang perdata, sedangkan di bidang pidana pemberian sanksi

lebih mengedepankan sanksi moral daripada sanksi tegas berupa

pemberian hukuman badan, apakah itu penjara atau pencabutan hak-hak

lainnya.

b) Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Sejarah lembaga peradilan, pada khususnya Mahkamah Agung jika

ditelisik dokumen-dokumen sejarah, maka awal mulanya dapat ditemukan

pada tahun 1807 disaat Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi

Gubernur Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan

96

jajahan-jajahan Belanda di Indonesia terhadap serangan-serangan penjajah

asing seperti Inggris.

Deandels yang menjadi Gubernur Jenderal pada masa itu banyak

sekali mengadakan perubahan-perubahan di lapangan peradilan,

diantaranya pada tahun 1798 telah merubah Raad van Justitie menjadi

Hooge Raad. Kemudian tahun 1804 Betaafse Republiek telah menetapkan

suatu Charter atau Regeringsreglement untuk daerah-daerah jajahan di

Asia. Dalam Pasal 86 Charter tersebut, yang merupakan perubahan-

perubahan nyata dari jaman Pemerintahan Deandels terhadap peradilan di

bumi Indonesia, ditentukan sebagai berikut:“Susunan pengadilan untuk

bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum serta adat mereka.

Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan alat-alat yang

seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada dibawah

kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda sedapat-dapatnya dibersihkan

segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak diketahui, yang

bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan dengan hukum

serta adat anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar terdapat keadilan

dengan jalan yang cepat dan baik, dengan menambah jumlah pengadilan-

pengadilan negeri ataupun dengan mangadakan pengadilan-pengadilan

pembantu, begitu pula mengadakan pembersihan dan pengenyahan segala

pengaruh-pengaruh buruk dari kekuasaan politik apapun juga”;

Charter tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek

segera diganti oleh Pemerintah Kerajaan, akan tetapi ketentuan dalam

97

“Charter” tidak sedikit mempengaruhi Deandels di dalam menjalankan

tugasnya selaku Gubernur Jenderal.

c) Masa Pemerintahan Inggris84

Pada saat Sir Thomas Stamford Raffles tahun 1981 diangkat

menjadi Letnan Gubernur untuk pulau Jawa dan wilayah di bawahnya,

maka ia mengadakan perubahan-perubahan antara lain di kota-kota

Batavia, Semarang dan Surabaya dimana dulu ada Raad van Justitie.

Kemudian didirikan Court Of Justitice yang bertugas untuk

mengadili perkara sipil maupun kriminal. Court of Justice yang ada di

Batavia juga merupakan Supreme Court of Justitice dan Court of Appeal

terhadap putusan-putusan Court onvoeldoende gemotiveerd Justitice yang

ada di Semarang dan Surabaya.

d) Masa Penjajahan Kembali Pemerintahan Hindia Belanda (1816-

1942)85

Pada saat berakhirnya perang di Eropa dengan jatuhnya Kaisar

Napoleon pada masa itu, maka menurut Conventie London 1814, semua

daerah-daerah jajahan Belanda yang diduduki oleh Inggris harus

dikembalikan kepada Pemerintahan Negeri Belanda. Penyerahan kembali

Pemerintahan Belanda tersebut di atur dalam Stbl.1816 Nomor 5, yang

berisi ketetapan bahwa akan dibuat Reglement yang mengatur acara

84 John Gilissen., Frits Gorle, (2005), “Sejarah Hukum Suatu Penghantar”, (diterjemahkan oleh Freddy Tengker), Refika Aditama, Bandung, hlm 106

85 R. Tresna , 1977, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”, Pradnya Paramitha, Jakarta.

98

pidana dan acara perdata yang berlaku bagi seluruh Jawa dan Madura,

kecuali Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya.

Bagi Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya

untuk perkara pidana dan sipil tetap menjadi kekuasaan Raad van Justitie.

Dengan demikian ada perbedaan dalam susunan pengadilan buat Bangsa

Indonesia yang bertempat tinggal di kota-kota dan sekitarnya dan bangsa

Indonesia yang bertempat tinggal di “desa-desa” (pedalaman). Lebih jauh

lagi, hukum yang diberlakukan oleh Pemerintahan Hindia Belanda

didasarkan pada pembagian golongan penduduk sebagiamana diatur dalam

Pasal 163 Indishce Staatregeling. Untuk bangsa Eropa, berlaku susunan

Pengadilan sebagai berikut, Hooggerechtshof di Jakarta dengan Raad van

Justitie yaitu masing-masing di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Dengan

Keputusuan Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 Nomor 2a

(Stbl.1847 Nomor 23 jo. Nomor 57) yang diberlakukan tanggal 1 Mei

1948 (R.O) ditetapkan bahwa Susunan Peradilan di Jawa dan Madura

sebagai berikut :86

a) Districtgerecht ;

b) Regentschapsgerecht ;

c) Landraad ;

d) Rechtbank van omgang ;

e) Raad van Justitie ;

f) Hooggerechtshof ;

86 Ibid R. Tresna

99

Dalam fungsi judisialnya, Hooggrechtshof memutus perkara-

perkara banding mengenai putusan-putusan pengadilan wasit tingkat

pertama di seluruh Indonesia, jikalau nilainya lebih dari £.500 dan

mengenai putusan-putusan residentiegerechten di luar Jawa dan Madura.

e) Masa Penjajahan Jepang (1942 – 1945)87

Setelah pulau Jawa diduduki dan dikuasai sepenuhnya oleh

Pemerintahan Jepang, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1942, yang menentukan bahwa untuk sementara segala Undang-

Undang dan peraturan-peraturan dari Pemerintahan Hindia Belanda dahulu

terus berlaku, asal tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Jepang.

Mengenai peradilan sipil, maka dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1942 ditetapkan “Peraturan Pengadilan Pemerintah Dai Nippon”.

Atas dasar peraturan ini didirikan pengadilan-pengadilan sipil yang

akan mengadili perkara-perkara pidana dan perdata. Disamping itu

dibentuk juga Kejaksaan. Pengadilan-pengadilan bentukan Dai Nippon

adalah sebagai berikut:

- Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan) lanjutan districtsgerecht dahulu;

- Ken Hooi (Pengadilan Kabupaten) lanjutan regentschapgerecht dahulu;

- Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian) lanjutan landgerecht dahulu;

- Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) lanjutan Landraad dahulu, akan

tetapi hanya dengan seorang hakim saja (tidak lagi majelis ), kecuali

87 Soedikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sejak tahun 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia”, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Liberty, Jogyakarta (Tanpa Tahun Terbit)

100

terhadap perkara tertentu apabila Pengadilan Tinggi menentukan harus

diadili dengan 3 (tiga) orang Hakim;

- Dengan dicabutnya Undang-Undang 1942 Nomor 14 dan diganti

dengan Undang-Undang 1942 Nomor 34, maka ada penambahan

badan pengadilan diantaranya Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi),

lanjutan dari Raad van Justitie dahulu dan Saikoo Hooin (Mahkamah

Agung) , lanjutan dari Hooggerechtshof dahulu.

f) Masa Terbentuknya Republik Indonesia88

Pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, di Indonesia

tidak ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya ketentuan yang

menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah Pasal 24 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan keluarnya Penetapan

Pemerintah Nomor 9. tahun 1946 ditunjuknya kota Jakarta Raya sebagai

kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang mana Peraturan

tersebut hanya penunjukan tempatnya saja. Kemudian setelahnya, baru

pada saat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1947 ditetapkan tentang

susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai

berlaku pada tanggal 3 Maret 1947. Pada tahun 1948, Undang-Undang

Nomor 7 tahun 1947 diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

1948 yang dalam Pasal 50 ayat (1) yang menyatakan bahwa Mahkamah

Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi. Pengadilan-pengadilan

federal yang lain dapat diadakan dengan Undang-Undang federal, dengan

88 http://wahy.multiply.com/journal/item/23/Sejarah_Mahkamah_Agung (diakeses tanggal 16 April 2015)

101

pengertian bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk sekurang-

kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat pertama,

dan sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam

tingkat apel. Oleh karena kita telah kembali ke Undang-Undang Dasar

1945 dan tidak sesuai dengan keadaan, maka pada tahun 1965 dibuat

Undang-Undang yang mencabut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948

dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 dengan Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Umum dan Mahkamah Agung.

Pada jaman pendudukan Jepang pernah Badan Kehakiman

tertinggi dihapuskan (Saikoo Hooin) pada tahun 1944 dengan Undang-

Undang (Osamu Seirei) Nomor 2 Tahun 1944, yang melimpahkan segala

tugasnya yaitu kekuasaan melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya

peradilan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi). Meskipun demikian

kekuasaan kehakiman tidak pernah mengalami kekosongan. Namun sejak

Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dari sejak

diundangkannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal

18 Agustus 1945, semakin mantaplah kedudukan Mahkamah Agung

sebagai badan tertinggi bidang Yudikatif (peradilan) dengan kewenangan

yang diberikan oleh Pasal 24 Undang-Undang Daser 1945, dimana

Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan

Kehakiman tertinggi. Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar

Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta

102

pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan

Kedaulatan. Dengan demikian Mahkamah Agung berada dalam

pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun.

Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan

Agung itu berada di bawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan

bersama di bawah satu departemen, yaitu Departemen Kehakiman. Dulu

namanya Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan

Negeri dulu namanya Kejaksaan Pengadilan Negeri. Kejaksaan Agung

mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya

Undang-Undang Pokok Kejaksaan (Undang-Undang Nomor 15 tahun

1961) di bawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi Menteri

Jaksa Agung.

Para pejabat Mahkamah Agung.(Ketua, Wakil Ketua, Hakim

Anggota dan Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah

dengan Peraturan Pemerintah 1946 Nomor 7 tanggal 1 Agustus 1946,

sebagai pelaksanaan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1946

tentang Pengadilan Tentara.

1) Masa menjelang pengakuan Kedaulatan89

Pemerintah Belanda Federal yang mengusai daerah-daerah yang

dibentuk oleh Belanda sebagai negara-negara Bagian seperti Pasundan,

Jawa Timur, Sumatera Timur, Indonesia Timur, mendirikan

Pengadilan Tertinggi yang dinamakan Hoogierechtshof yang beralamat

89 Moch. Yulihadi, (2002), Artikel “Sejarah Lembaga Peradilan di Indoensia”, hlm 127

103

di Jl. Lapangan Banteng Timur 1 Jakarta, disamping Istana Gubemur

Jenderal yang sekarang adalah gedung Departemen Keuangan.

Hooggerechtshof juga menjadi instansi banding terhadap

putusan Raad no Justitie. Mr. G. Wjjers adalah Ketua Hooggerechtshof

terakhir, yang sebelum Perang Dunia ke-II terkenal sebagai Ketua dari

Derde Kamar Read van Instills Jakarta yang memutusi perkara-perkara

banding yang mengenai Hukum Adat (kamar ketiga, hanya terdapat di

Raad van Justitie Jakarta). Pada saat itu Mahkamah Agung masih tetap

berkuasa di daerah-daerah Republik Indonesia yang berkedudukan di

Yogyakarta. Dengan dipulihkannya kembali seluruh wilayah

kedaulatan Republik Indonesia (kecuali Irian Barat), maka pekerjaan

Hooggerechtshof harus diserahkan kepada Mahkamah Agung

Republik Indonesia.

Sejak tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah Atmadja

mengoper gedung dan personil serta pekerjaan Hooggerechtshof.

Dengan demikian maka para anggota Hooggerechtshof dan Procurer

General meletakkan jabatan masing-masing dan selanjutnya

pekerjaannya diserahkan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia

Serikat. Mahkamah Agung pada saat itu tidak terbagi dalam majelis-

majelis. Semua Hakim Agung ikut memeriksa dan memutus baik

perkara-perkara Perdata maupun perkara-perkara Pidana, hanya

penyelesaian perkara pidana diserahkan kepada Wakil Ketua.

104

2) Masa Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 sampai

dengan 17 Agustus 1950)90

Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk

suatu Federasi atau Serikat, maka demikian pula dalam negara

Republik Indonesia Serikat diadakan 2 (dua) macam Pengadilan; yaitu

Pengadilan dari masing-masing negara Bagian disatu pihak.

Pengadilan dari Federasi yang berkuasa disemua negara-negara bagian,

dilain pihak untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS)

ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai

Pengadilan Tertinggi, sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi

urusan masing-masing negara Bagian. Undang-Undang yang mengatur

Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat adalah Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (LN. Tahun 1950 Nomor 30)

yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.

Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo

yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Serikat, menurut Undang-Undang Dasar RIS Pasal 148 ayat

(1) Mahkamah Agung merupakan forum privilegiatum bagi pejabat-

pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu kita

kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, dengan

keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 (L.N. Tahun 1950

Nomor 30) yang juga mengatur tentang lembaga kasasi menentukan 90 Ibid. Hlm 128

105

bahwa lembaga kasasi tidak terbatas pada lingkungan peradilan umum.

Pada tahun 1965 diundangkan sebuah Undang-Undang Nomor 13

tahun 1965 yang mengatur tentang Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Sayang, Undang-Undang

tersebut tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukum yang

timbul setelah diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti Pasal 70

Undang-Undang tersebut menyatakan Undang-Undang Nomor 1 tahun

1950 tentang Mahkamah Agung tidak berlaku lagi.

Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara

lengkap dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950. Terdapat suatu

problema hukum yaitu adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan

keluar yang diambil oleh Mahkamah Agung untuk mengatasi

kekosongan tersebut adalah menafsirkan Pasal 70 tersebut sebagai

berikut:

“Oleh karena Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tersebut

disamping mengatur tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung,

mengatur pula tentang jalannya pengadilan di Mahkamah Agung,

sedangkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 tersebut hanya

mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum dan Mahkamah Agung dan tidak mengatur tentang

bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung

menganggap Pasal 70 Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 hanya

menghapus Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 sepanjang mengenai

106

dan kedudukan Mahkamah Agung saja, sedangkan bagaimana jalan

peradilan di Mahkamah Agung masih tetap memperlakukan Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1950”. Pendapat Mahkamah Agung tersebut

dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah Agung yaitu

dengan berpijak pada Pasal 131 Undang-Undang tersebut.

Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undang Nomor 14

tahun 1970 tentang; “Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman” tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam Pasal 10

ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan

Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan

pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari

Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan

peradilan yang masing-masing terdiri dari:

- Peradilan Umum ;

- Peradilan Agama ;

- Peradilan Militer ;

- Peradilan Tata Usaha Negara ;

Bahkan, Mahkamah Agung pula sebagai pengawas tertinggi

atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun

1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi

dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya

dengan melakukan 5 (lima) fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki

sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut :

107

- Fungsi Peradilan (pelayanan);

- Fungsi Pengawasan;

- Fungsi Pengaturan;

- Fungsi Memberi Nasehat;

- Fungsi Administrasi;

Namun hingga saat ini dari perjalanan panjang yang telah

dilaluinya lembaga peradilan di Indonesia ini agaknya masih kurang

mendapatkan respon yang baik di mata masyarakat di negeri ini,

khususnya bagi mereka para pencari keadilan. Kurang puasnya pencari

keadilan terhadap putusan pengadilan, pelayanan yang tidak

memuaskan dari pegawai di lingkungan pengadilan sampai pada isu

perpanjangan usia Hakim Agung menjadi tantangan yang harus

dihadapi oleh Mahkamah Agung di masa mendatang.

3) Masa Pemerintahan Sejak Tahun 196691

Sebagai perbandingan, menurut Anthony Lewis menyatakan:

“Bahwa Mahkamah Agung Amerika Serikat hanya memeriksa

sebagian kecil putusan pengadilan-pengadilan federal dan pengadilan-

pengadilan negara-negara bagian, untuk meneliti apakah pegnadilan

terdahulu telah memberikan putusan yang benar dan tepat.” Dalam

praktek pelaksanaan lembaga peradilan dimasa orde lama, Mahkamah

Agung mempunyai peranan yang sangat monopolistik, hal ini

setidaknya terlihat dari pendapat sebagai berikut: “Bahwa Mahkamah

91 http://adekendari.blogdetik.com/2010/04/23/sejarah-legal-review-oleh-extra-judicial (diakses tanggal 7 Mei 2015)

108

Agung memegang monopoli peradilan karena Mahkamah Agung

sebagai peradilan negara tertinggi merupakan puncak bagi Peradilan

Umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara”.

Lain dengan kedua pendapat tersebut diatas, menurut pendapat

Soedikno Mertokusumo92, sehubungan dengan fungsi Mahkamah

Agung, dikutib: “tidak dilaksanakan cara melaksanakan peradilan yang

harus dituruti merupakan peraturan kasasi yang lebih tepat dari

ketentuan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965, karena tujuan dari

kasasi adalah kesatuan peradilan”. Lebih lanjut Soedikno

Mertokusumo, SH., menyatakan pula proses peralihan peranan

Mahkamah Agung dengan uraian :

a) berdasar Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 1965

tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung melaksanakan

peradilan “atas nama Republik Indonesia”.

b) berdasar Pasal 133 dan Pasal 134 Mahkamah Agung mengadakan

pengawasan tertinggi atas para Notaris dan para Pengacara serta

pemeriksaan dalam rumah penjara.

c) berdasar Pasal 132 Undang-Undang Mahkamah Agung itu,

Mahkamah Agung berfungsi memberi laporan atau pertimbangan

hukum apabila diminta Pemerintah. Mahkamah Aung telah

memberikan legal opinion melalui surat Nomor 488/P/907/M

tertanggal 8 Maret 1956, atas permintaan Presiden tentang sah

tidaknya sidang DPR mengenai Rancangan Undang-Undang 92 Soedikno Mertokusumo, Op.cit. hlm. 100

109

tentang Pembatalan Uni Indonesia Belanda pada tanggal 28

Februari 1956. Dalam praktek peradilan legal opinion selalu

dimintakan pemerintah, legal opinion mana biasanya turut

menyelesaikan kasus politik yang terjadi pada zaman itu.

d) Berdasar Pasal 131 Undang-Undang Mahkamah Agung,

mensyaratkan bahwa Mahkamah Agung berwenang menentukan

sendiri bagaimana harus diatur jika dalam jalannya peradilan ada

soal-soal yang belum diatur dalam undang-undang. Dalam praktik

peradilan akhir-akhir ini, Mahkamah Agung telah menerbitkan

berbagai SEMA dan PERMA untuk kelancaran jalannya

peradilan.”. Berdasarkan uraian diatas, sangatlah jelas bagaimana

peranan Mahkamah Agung setelah dijadikan sebagai lembaga

tertinggi badan peradilan di Indonesia pasca berlakunya Undang-

Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Mahkamah Agung.

4) Perkembangan Mahkamah Agung Sebagai Lembaga Peradilan

Tertinggi Dewasa ini

Selanjutya, sejak pemerintahan Orde Baru (singk. Orba), badan

peradilan Mahkamah Agung dapat dikatakan tidak mengalami

perubahan mengenai fungsi, tugas dan kewenangan yang signifikan

sebagaimana lajimnya Mahkamah Agung selaku salah satu badan

tinggi negara yang diatur secara tegas dalam konstitusi UUD’45.

Namun demikian, kecenderungan Mahkamah Agung pada

110

pemerintahan Orde Baru kurang maksimal dikarenakan adanya campur

tangan politik pemerintahan terhadap suatu lembaga peradilan.

Hal ini dapat dimaklumi, mengingat badan peradilan

Mahkamah Agung masih berada dibawah pengawasan Departemen

Kehakiman. Dengan kata lain, Mahkamah Agung berada dalam

struktur keorganisasian Departemen Kehakiman, baik itu menyangkut

pembiayaan, anggaran, maupun sistem keadministrasian peradilan.

Pada masa orde baru, Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang

Nomor 14 tahun 1985 yang diumumkan dalam Lembagaran Negera

R.I Nomor 1985/73, TLN Nomor 3316 untuk selanjutnya diundangkan

pada tanggal 30 Desember 1985 dan UU MA mulai diberlakukan pada

saat diundangkan. Oleh karena itu, UU Nomor 13 tahun 1965

dinyatakan tidak berlaku lagi. Pemberlakuan UU Nomor 14 tahun

1985 didasarkan pada alasan pertimbangan bahwa UU Nomor 13

tahun 1965 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat yang

dimaksud dalam UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman. tujuan pembentukan peradilan yang

independent sebagiamana ditetapkand alam Garis-Garis Besar Haluan

Negara (GBHN) dianggap sebagai cita-cita pokok negara hukum

(rechtstaat), walaupun dalam praktek pelaksanaannya campur tangan

politik dari pemerintah (baca : eksekutif) dibidang hukum masih

terkesan dominan.

111

5) Perkembangan Fungsi dan Tugas Mahkamah Agung Setelah

Pasca Reformasi93

Tuntutan reformasi yang bergulir pada pertengahan tahun 1998

ternyata membawa dampak (impact) terhadap badan peradilan

Mahkamah Agung dewasa ini. Hal ini terlihat paling tidak dari

banyaknya dibentuk lembaga badan-badna khusus peradilan pada

tingkat pengadilan engeri, seperti peradilan pajak, perikanan,

kepailitan, perselisihan hubungan industrial, dan lain sebagainya yang

secara keseluruhan berpusat pada Mahkamah Agung sebagai badna

peradilan tertingkat yang berfungsi melaksanakan penyelesaian

sengketa. Oleh karena itu, tuntutan era reformasi juga berkaitan dengan

perkembangan peranan Mahkamah Agung, melalui sistem peradilan.

Pada dasarnya masing-masing peradilan yang dibuat dalam dua

tingkatan, yang dewasa ini peradilan di Indonesia terdiri dari Peradilan

Umum dan Tiga Peradilan Khusus. Masing-masing lingkungan

peradilan berpusat di Mahkamah Agung (single system of courts).

Berlakunya PERMA Nomor 1 tahun 1993 maka Mahkamah

Agung juga berhak melakukan uji materil terhadap peraturan-peraturan

yang berada diabwah Undang-Undang. Perubahan selanjutnya

mengenai pengaturan badan peradilan Mahkamah Agung Republik

Indonesia yang semula diatur dalam UU Nomor 14 tahun 1985 diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun dan 2004 dan diubah kembali

93 IHW/Ali, 26 Januari 2009, “Sejarah Mahkamah Agung (dulu - sekarang)”, Hukum Online.com.

112

(perubahan kedua) sebagaimana Perubahan II atas UU Nomor 3 tahun

2009 tentang Mahkamah Agung. Mengenai hak uji materil peraturan-

peraturan dibawah undang-undang ini mempunyai perbedaan antara

Mahkamah Agung di Indonesia dengan Mahkamah Agung di Amerika

Serikat. Di Indonesia hak menguji materil ini disamping ditemukan

dalam PERMA, pengaturan hak uji materil di Indonesia dimulai dalam

Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok Pokok

Kekuasaan Kehakiman (yang beberapa ketentuan telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009), sebagaimana ditetapkan Pasal

26, yang kesimpulannya :

1) Hanya hakim agung yang diberi kewenangan untuk menguji

materill, badan-badan kehakiman lainnya tidak diberikan

kewenangan untuk itu.

2) putusan mahkamah agung dalam rangka pelaksanaan hak uji

materill tersebut berupa pernyataan tidak sah peraturan perundang-

undangan yang diuji tesebut dan dengna alasan bahwa isi dari

peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.

3) Pengujian dilakukan hanya pada bentuk hukum berupa peraturan

perundang-undangan dan jenis yang dapat diuji adalah peraturan

perundang-undangan yang derajatnya dibawah UU atau peraturan

pemerintah kebawah.

113

4) hak menguji materil dapat dilakukan dalam pemeriksaan tingkat

kasasi.

5) peraturan yang telah dinyatakan tidak sah tersebut dicabut oleh

instansi yang bersangkutan atau yang menetapkan.

”Jadi jelaslah, bahwa Mahkamah Agung di Indonesia

mempunyai hak menguji peraturan dalam perkembangannya,

dibanding pada saat pembentukan Mahkamah Agung dahulu, saat ini

Mahkamah Agung telah diperluas kewenangannya baik melalui

peraturan setingkat undang-undang maupun peraturan lainnya, seperti

PERMA. Disamping ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1979 tentang Pengaturan Hak Uji Materil, pengaturan yang

sama juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun

2003 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan ke-II atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Dewasa ini perkembangan Mahkamah Agung sudah begitu

terlihat dengan jelas, hal ini dapat dicontohkan seperti sistem

perekrutan hakim agung yang harus mengikuti proses “Vit and proper

test” di lembaga legislatif (DPR) untuk mengetahui kemampuan

akademis maupun praktis calon hakim agung yang bersangkutan.

Disamping itu, sistem perekrutan hakim agung juga dapat melalui

hakim karier maupun non karier (praktisi). Salah satu eufhoria

reformasi yang patut dihargai mengenai perkembangan badan

peradilan Mahkamah Agung ini, dimana secara kekuatan (power)

114

Mahkamah Agung sudah mendapat tepat kekuasaan yang setara

dengan lembaga-lembaga tinggi lainnya, seperti DPR, Presiden dan

BPK. Hal ini dikarenakan undang-undang sudah mengatur secara tegas

bahwa Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan dan salah satu

lembaga tinggi negara adalah bersifat independen, tanpa adanya

campur tangan dari organ negara lainnya. Bahkan, secara organisatoris

Mahkamah Agung yang tadinya berada dibawah kekuasaan

kehakiman, saat ini telah memisahkan diri sebagai lembaga yang tidak

terkait dengan Departemen Kehakiman, sehingga secara praktis

Mahkamah Agung berwenang menyelenggarakan kewenangan sendiri

untuk mengatur adminstratif peradilan, keuangan (anggaran) dan

sistem kepegawaian dalam rangka mendukung independensi yang

diamanatkan undang-undang tersebut.

Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undng Nomor 14

Tahun 1970 tentang; “Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman” tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam Pasal 10

ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan

Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan

pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari

Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan

peradilan yang masing-masing terdiri dari:

1) Peradilan Umum;

2) Peradilan Agama;

115

3) Peradilan Militer;

4) Peadilan Tata Usaha Negara.

Bahkan Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas

perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970

tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi dan

keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan

melakukan 5 (lima) fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak

Hooggerechtshof, sebagai berikut:

1) Fungsi Paradilan;

2) Fungsi Pengawasan;

3) Fungsi Pengaturan;

4) Fungsi Memberi Nasehat;

5) Fungsi Administrasi.

Lahirnya gerakan reformasi tahun 1998 dan penyelenggaraan

pemilihan umum pertama pasca reformasi tahun 1999 telah

menghasilkan kekuatan partai politik yang menghendaki dilakukannya

perubahan (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Akhirnya, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah dilakukan

sebanyak empat kali sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.

Dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 dan Perubahan Keempat tahun

2002 telah melahirkan dua lembaga negara baru yaitu Mahkamah

Konstitusi dan Komisi Yudisial.

116

Beberapa alasan dilakukannya perubahan terhadap Undang-

Undang Dasar 1945 tersebut antara lain adalah : Pertama, Undang-

Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu

pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR sebagai pemegang kedaulatan

rakyat. Kedua, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan

yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif/Presiden

(executive heavy) yang memberikan kekuasaan dominan kepada

Presiden dengan hak-hak prerogatif (memberikan grasi, amnesti,

abolisi, dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif untuk membentuk

undang-undang bersama DPR. Ketiga, Pasal-Pasal dalam Undang-

Undang Dasar 1945 terlalu “luwes” dan “fleksibel” yang

mengakibatkan multi tafsir. Keempat, Undang-Undang Dasar 1945

memberikan kekuasaan kepada Presiden terlalu luas sehingga pengaruh

Presiden dalam pembentukan undang-undang sangat dominan. Kelima,

rumusan Undang-Undang Dasar 1945 tentang semangat

penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi

yang memuat aturan dasar kehidupan yang demokratis, supremasi

hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan terhadap hak-hak asasi

manusia dan otonomi daerah.

Sebelum amandemen, berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) UUD

1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan

lain-lain badan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

Pada masa yang lalu, kekuasaan kehakiman banyak dipengaruhi dan

117

tidak terlepas dari intervensi institusi negara lainnya termasuk

pemerintah yang benar-benar mempengaruhi jalannya peradilan yang

bebas dan mandiri.

Setelah reformasi yang dimulai pada tahun 1998, maka ide

untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945

mulai muncul sejak tahun 1999 dengan Perubahan Pertama yang

berlanjut hingga Perubahan Keempat pada tahun 2002. Sejak tahun

1999, sebenarnya telah dimulai upaya untuk menyatukan kekuasaan

kehakiman dalam satu atap (one roof system) yaitu di bawah

Mahkamah Agung. Sebelumnya, lembaga peradilan mempunyai dua

atap, yaitu :

- Peradilan umum dan peradilan tata usaha negara: pembinaan

administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah pemerintah cq.

Departemen Kehakiman (sekarang Dephukham) dan pembinaan

teknis peradilan di bawah Mahkamah Agung R.I.

- Peradilan agama: pembinaan administrasi, keuangan dan

kepegawaian dibawah Departemen Agama dan pembinaan teknis

dibawah Mahkamah Agung R.I.

- Peradilan militer: pembinaan administrasi, keuangan dan

kepegawaian dibawah Departemen Pertahanan dan pembinaan

teknis dibawah Mahkamah Agung R.I.

Sistem dua atap tersebut mulai diakhiri dengan diterbitkannya

UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang

118

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman, dimana dalam Pasal 11 yang menjadi dasar hukum sistem

dua atap diubah menjadi, “Badan-badan peradilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (1), secara organisatoris, administratif

dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Jangka

waktu peralihan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung tersebut

adalah lima tahun sampai dengan Agustus 2004.

Prinsip Checks and Balances.

Hasil perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tersebut

sebenarnya mempertegas pemisahan kekuasaan antara kekuasaan

eksekutif, legislatif, yudikatif, yang sebelumnya dikesankan sebagai

pembagian kekuasaan sehingga seolah-olah kebebasan dan

kemandirian Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya tidak

berifat mutlak bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Saat ini, dengan

telah selesainya peralihan kekuasaan kehakiman menjadi satu atap di

bawah Mahkamah Agung, maka kesan “pembagian” kekuasaan benar-

benar telah berubah menjadi “pemisahan” kekuasaan.

Namun demikian, pelaksanaan pemisahan kekuasaan negara ini

dalam prakteknya tetap dijalankan dalam kerangka saling mengawasi

(checks and balances) agar ketiga cabang kekuasaan negara tersebut

tetap berada dalam keseimbangan. Gagasan perubahan terhadap

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan keniscayaan yang alami,

karena dalam cyclus theory, perubahan sistem kekuasaan diktatorial

119

akan selalu menuju pada sistem kekuasan demokratis, dimana

kekuasaan rakyat dominan memegang kekuasaan. Dalam era Orde

Lama dan Orde Baru hampir dipastikan tidak ditemui adanya sistem

checks and balances.

Prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana

dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, juga ditegaskan kembali dalam

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dan tertuang dalam

Pasal 1 Ayat (3). Dalam negara hukum terkandung prinsip pembatasan

kekuasaan, perlindungan terhadap HAM, tindakan pemerintah harus

didasarkan pada perundang-undangan yang sah dan tertulis (rules and

procedures). Secara umum saat ini terdapat dua belas prinsip negara

hukum yaitu:

1) Supremasi konstitusi (supremacy of law)

2) Persamaan dalam hukum (equality before the law)

3) Asas legalitas (due process of law)

4) Pembatasan kekuasaan (limitation of power)

5) Organ pemerintahan yang independen.

6) Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and

impartial judiciary)

7) Peradilan tata usaha negara (administrative law)

8) Perlindungan hak asasi manusia

9) Demokratis (democratische rechsstaats)

10) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare

rechsstaat)

11) Transparansi

120

12) Kontrol sosial.

Prinsip-prinsip negara hukum tersebut telah tercakup dalam

UUD 1945 beserta perubahan-perubahannya sebagai perwujudan

checks and balances antar pemegang kekuasaan negara menuju

terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis,

makmur dan sejahtera.

Mahkamah Agung, sebagai pemegang kekuasan tertinggi di

bidang kekuasaan kehakiman, mempunyai tanggungjawab besar dalam

menjaga keseimbangan antar kekuasaan dan menjaga prinsip

independensi peradilan sebagai prinsip utama negara demokrasi.

Independensi lembaga peradilan dijamin berdasarkan hukum

internasional, antara lain :

- Declaration of Human Rights (article 10)

- International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

(article 14)

- Vienna Declaration and Programme for Action 1993 (paragraph

27)

- International Bar Association Code of Minimum Standards of

Judicial Independence, New Delhi 1982

- Universal Declaration on the Independence of Justice, Montreal

1983, dan sebagainya.

Baik sebelum perubahan maupun sesudah perubahan terhadap

UUD 1945, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara

pemegang kekuasan yudikatif. Setelah perubahan UUD 1945,

kekuasaan kehakiman selain berpuncak ke Mahkamah Agung juga

121

berpuncak ke Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan

konstitusi bentukan pasca perubahan UUD 1945, sebagai konsekuensi

logis dari perwujudan gagasan checks and balances. Menurut Hamdan

Zoelva, perubahan UUD ini telah mengintrodusir lembaga negara yang

baru di bidang yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi yang

kedudukannya berada di samping Mahkamah Agung.

Setelah Perubahan Ketiga, maka kekuasaan kehakiman

dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945 pasca

perubahan, yaitu :

Pasal 24

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan.

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi

(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman diatur dengan undang-undang.

Pasal 24 A

(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,

menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

122

terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang

diberikan oleh undang-undang.

(2) Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan

Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya

ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

(3) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh

hakim agung.

(4) Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah

Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-

undang.

Menurut Jimly Asshiddiqie, secara kualitatif, perubahan UUD

1945 bersifat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat

yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, menjadi

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan

semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan

melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-

masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat

besar (concentration of power and responsibility upon the President)

menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and

balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang

hendak dibangun yaitu negara hukum yang demokratis.

g) Pembaharuan Mahkamah Agung

Sejak Amandemen ke-IV Undang-Undang Dasar 1945, eksistensi

peradilan agama juga diberikan kedudukan yang sederajat dengan badan

123

peradilan lainnya sebagai kesatuan sistem yang ditentukan berdasarkan

Undang-Undang Dasar 1945. Sebelumnya, meskipun dalam Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah

ditentukan kesederajatannya, tetapi secara administratif, manajemen dan

penyelenggaraan tugas-tugas peradilan, peradilan agama tertinggal

dibanding badan peradilan umum. Sekarang hal itu sudah tidak ada lagi

karena kesederajatan telah benar-benar direalisasikan, termasuk gaji,

tunjangan, bangunan gedung dan fasilitas lainnya.

Berkaitan dengan empat kali perubahan Undang-Undang Dasar

1945, maka undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah Agung

yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

telah mengalami dua kali perubahan, yaitu pertama dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2009, yang memasukkan kembali apa yang telah

ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan dan

tambahan ketentuan lainnya, antara lain :

Pasal 6A

Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,

adil, professional dan berpengalaman di bidang hukum.

Pasal 6B

(1) Calon hakim agung berasal dari hakim karier.

(2) Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon

hakim agung juga berasal dari non karier.

124

Pasal 11

Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung dan hakim agung

diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul

Mahkamah Agung karena:

a. meninggal dunia

b. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun

c. atas permintaan sendiri secara tertulis

d. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan

berturut- turut yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, dan

e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

Selain itu, terdapat dua lembaga negara baru bentukan pasca

perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi dan

Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24 C Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Berkaitan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah tanggal 28 April 2008, dimana Pasal

236C menentukan bahwa penanganan sengketa hasil perhitungan suara

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung

125

dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas)

bulan sejak undang-undang tersebut diundangkan, maka Mahkamah

Agung, dengan Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non

Yudisial Nomor 34/WKMA-NY/X/2008 tanggal 09 Oktober 2008, telah

menyerahkan kewenangan pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah

seperti itu kepada Mahkamah Konstitusi terhitung sejak tanggal 1

Nopember 2008. Mahkamah Agung juga melakukan langkah-langkah

pembaruan yang telah berjalan sejak tahun 2002, meliputi :94

1) Mediasi

Untuk mewujudkan asas sederhana, cepat dan murah serta untuk

memberikan akses yang lebih besar bagi para perncari keadilan dalam

menemukan penyelesaian perkaranya secara memuaskan dan

memenuhi rasa keadilan, Mahkamah Agung telah mengintegrasikan

proses mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan, yang

dimaksudkan menjadi instrument efektif mengatasi penumpukan

perkara. Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan peraturan

Mahkamah Agung yaitu PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 11

September 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang telah

dinyatakan tidak berlaku dan diperbaharui dengan PERMA Nomor 1

Tahun 2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan.

2) Class Action

94 Harifin A. Tumpa, 2009, Mahkamah Agung Pasca Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik indonesia.

126

Class action adalah gugatan perwakilan kelompok sebagai akibat dari

peristiwa atau kegiatan yang menimbulkan pelanggaran hukum yang

mengakibatkan kerugian secara sekaligus, serentak dan massal

terhadap orang banyak, yang karena itu berdasarkan fakta, dasar

hukum dan tergugat yang sama, diajukan dalam satu perkara. Untuk

itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA Nomor 1 Tahun

2002 tanggal 26 April 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan

Kelompok.

3) Perluasan Wewenang Pengadilan Niaga

Sejak tahun 2003, wewenang pengadilan niaga diperluas dengan

memasukkan sengketa mengenai hak atas kekayaan intelektual (HaKI)

sebagai kewenangan pengadilan niaga.

4) Perkara Persaingan Tidak Sehat dan Anti Monopoli

Perkara sengketa persaingan tidak sehat dan anti monopoli

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Keberatan

terhadap putusan KPPU tersebut diajukan ke pengadilan negeri dan

terhadap pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan negeri

tersebut dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Untuk itu,

Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA Nomor 03 Tahun 2005

tanggal 18 juli 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum

Keberatan Terhadap putusan KPPU.

127

5) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi

Pengadilan khusus tindak pidana korupsi untuk pertama kali

dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan wilayah hukum

seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Pasca Perubahan Undang-

Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung juga harus disesuaikan dan berubah

menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang berlaku sejak 15

Januari 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jabatan

Panitera dan Sekretaris (dahulu Sekretaris Jenderal) yang sebelumnya

dijabat satu orang dipisahkan dan dijabat secara terpisah oleh dua

orang. Wakil Ketua Mahkamah Agung yang sebelumnya satu orang,

ditambah menjadi dua jabatan yaitu Wakil Ketua Bidang Yudisial dan

Wakil Ketua Bidang Non Yudisial. Setelah terbentuknya Komisi

Yudisial berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, maka

calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR dan

dari nama-nama yang terpilih tersebut oleh DPR diajukan kepada

Presiden untuk diangkat sebagai Hakim Agung. Dalam musyawarah

putusan juga dikenal “dissenting opinion” yaitu pendapat yang berbeda

dari Hakim Agung lainnya dan pendapat tersebut harus dimuat dalam

putusan.

Sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2009 tanggal 12 Januari 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, hal-hal

128

yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 seperti

tersebut diatas tetap berlaku, dengan tambahan ketentuan baru

mengenai usia pensiun Hakim Agung dari 67 tahun menjadi 70 tahun.

Amandemen ke-IV Undang-Undang Dasar 1945 juga

melahirkan lembaga negara baru yaitu Komisi Yudisial yang

mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan

menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta

perilaku hakim. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004

tentang Komisi Yudisial, komisi bertugas :

- melakukan pendaftaran calon hakim agung;

- melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;

- menetapkan calon hakim agung, dan;

- mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Selain itu, Komisi Yudisial mempunyai wewenang

menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga

perilaku hakim. Putusan pengadilan dengan irah-irah “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mewajibkan hakim untuk

menegakkan keadilan yang dipertanggungjawabkan secara horizontal

kepada sesama manusia dan secara vertikal terhadap Tuhan Yang

Maha Esa. Ketakwaan terhadap Tuhan menjadi landasan prinsip

pedoman hakim dalam bertingkah laku sesuai dengan agama masing-

masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

129

Kode etik hakim Indonesia telah disempurnakan kembali dalam

Munas IKAHI XIII tahun 2000 di Bandung dan ditindak-lanjuti dalam

Rapat kerja Mahkamah Agung RI 2002 di Surabaya yang melahirkan

rumusan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim (PPH) yaitu

berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi,

bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi,

rendah hati dan professional. Rumusan pedoman perilaku hakim

tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung

RI Nomor KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006.

PPH tersebut kemudian dirumuskan kembali oleh Mahkamah

Agung dan Komisi Yudisial karena sesuai dengan UU Nomor 3 Tahun

2009 ditentukan bahwa kode etik dan pedoman perilaku hakim

ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Dalam Surat

Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dan Ketua

Komisi Yudisial, Putusan Mahkamah Agung Nomor

047/KMA/IV/2009, Putusan Komisi Yudisial Nomor

02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009, telah berhasil

menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut.

Selain langkah-langkah reformasi di atas, ada juga

pembaharuan yang paling mendasar dalam reformasi di Mahkamah

Agung, yaitu dengan di terbitkannya kertas kerja cetak biru (blue

print). Cetak biru (blue print) merupakan sebuah pedoman/arah dan

pendekatan yang akan ditempuh oleh Mahkamah Agung untuk

130

mengembalikan citra Mahkamah Agung sebagai lembaga yang

terhormat dan dihormati oleh masyarakat dan Lembaga Negara

lainnya.

Penerbitan pedoman cetak biru ini merupakan respon atas

anggapan negative terhadap integritas, kualitas dan kinerja Mahkamah

Agung terutama pada Hakim dan Hakim Agung serta pegawai yang

bekerja di Mahkamah Agung. Sebelumnya, Proses berperkara di

Mahkamah Agung yang memakan waktu lama mendapat kritik karena

mengakibatkan keadilan bagi pencari keadilan menjadi tertunda. Juga

masih ada kritik lain yang menyangkut Pelaksanaan fungsi-fungsi,

seperti fungsi pengawasan dan pembinaan, dalam pedoman cetak biru

(blue print), ada beberapa faktor penting yang merupakan wujud dari

reformasi birokrasi di Mahkamah Agung, yaitu:

1) Transparansi Putusan

Wujud adanya transparansi di Mahkamah Agung dengan

adanya akses 121, website, dan juga penerbitan putusan Mahkamah

Agung. Sejak tahun 1998 Mahkamah Agung telah mempunyai sistem

pelayanan informasi bagi publik, sistem pelayanan informasi tersebut

diberi nama Akses 121. Akses 121 adalah fasilitas untuk publik,

khususnya pihak yang berperkara, yang ingin mengetahui informasi

seputar proses perkara yang tengah ditangani oleh Mahkamah Agung.

Walau layanan ini sudah terkomputerisasi, namun jaringannya masih

bersifat lokal. Pihak yang ingin mendapatkan informasi seputar

131

perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung harus memintanya

menemui petugas Akses 121 yang ada di lobby utama gedung

Mahkamah Agung.

Semula rencananya masyarakat yang ingin mengetahui

informasi mengenai kasus tertentu di Mahkamah Agung tidak perlu

datang ke Mahkamah Agung namun cukup menelpon nomor 121

kemudian akan dijawab oleh mesin penjawab (answering machines)

yang otomatis (tanpa operator). Namun rencana ini gagal karena harga

mesin penjawab melonjak jauh setelah krisis ekonomi tahun 1997.

Informasi yang dapat diberikan oleh layanan Akses 121 ini adalah

berupa informasi mengenai:

1) Tanggal diterima suatu perkara di direktorat;

2) Tanggal dan nomor register;

3) Bulan pendistribusian perkara;

4) Tim yang menangani (perkara);

5) Susunan majelis (dalam Tim);

6) Nama panitera pengganti;

7) Tanggal musyawarah (putusan);

8) Tanggal (perkara) diputus;

9) Amar singkat (putusan);

10) Tanggal kirim (putusan);

11) Nomor kirim (putusan).

Selain akses 121, masyarakat juga dapat mengakses website

Mahkamah Agung dan mendapatkan berbagai informasi yang di

132

butuhkan. Keberadaan situs Mahkamah Agung merupakan sebuah

terobosan yang bagus dalam memberikan pelayanan informasi kepada

publik. Dari websitenya juga dapat mendapatkan informasi tentang

kasus-kasus yang di perkarakan dan juga informasi lainnya.

Kelemahan dalam pengisian informasi yang lengkap dan up date tidak

terlepas dari tidak adanya unit kerja khusus di Mahkamah Agung yang

diberikan tanggungjawab untuk mengelola situs Mahkamah Agung.

Untuk menyebarluaskan putusan Mahkamah Agung, khususnya

yang telah dijadikan yurisprudensi, ke pengadilan-pengadilan dan

masyarakat, sudah sejak lama Mahkamah Agung menerbitkan (dalam

bentuk buku) kumpulan putusan Mahkamah Agung. Yurisprudensi di

sini dalam artian Indonesia, yaitu putusan Mahkamah Agung atas suatu

masalah hukum tertentu yang dianggap dapat menjadi pedoman bagi

pengadilan di bawah Mahkamah Agung saat mereka memutus perkara

yang serupa. Penerbitan putusan oleh Mahkamah Agung dilakukan

oleh Direktorat Hukum dan Peradilan (Ditkumdil) dan Pusat Penelitian

dan Pengembangan (Puslitbang) Mahkamah Agung.

Putusan yang diterbitkan oleh Direktorat Hukum dan Peradilan

(Ditkumdil) adalah putusan Mahkamah Agung yang telah diseleksi

oleh Tim Khusus dan dianggap layak untuk menjadi yurisprudensi.

Nama publikasi tersebut disesuaikan dengan tahun terbitannya

misalnya ‘Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2002’. Penerbitkan

buku tersebut biasanya dilakukan setiap tahun. Sedangkan putusan

133

yang diterbitkan oleh Puslitbang adalah hasil kajian atau penelitian

terhadap putusan suatu kasus yang dianggap menarik. Penerbitan oleh

Puslitbang ini belum dilakukan secara reguler.

2) Pengembangan Sistem Teknologi Informasi

Dukungan informasi yang lengkap, tercatat, terolah, mudah

diakses dan up to date merupakan hal yang esensial untuk mendukung

kerja suatu organisasi, apalagi organisasi besar dengan fungsi yang

kompleks seperti Mahkamah Agung. Untuk dapat memutus perkara

secara konsisten misalnya, Hakim Agung memerlukan informasi

mengenai putusan Mahkamah Agung terdahulu atas kasus serupa.

Untuk menetapkan mutasi dan promosi seorang hakim, Mahkamah

Agung membutuhkan data track record hakim yang akan dimutasi.

Dan seterusnya. Permasalahannya, sampai saat ini Mahkamah Agung

tidak memiliki suatu sistem informasi yang memadai untuk

mendukung pelaksanaan fungsinya.

Sejak Juni 2008 sampai Oktober 2008, sudah 250 pengadilan

dari sekitar 700 pengadilan di seluruh Indonesia95 sudah memiliki

website, hal ini berpengaruh terhadap sistem informasi manajeman di

Mahkamah Agung. Namun kendalanya adalah masih ada daerah-

daerah yang belum bisa menerapkan secara maksimal teknologi

informasi tersebut.

95 Reformasi Peradilan Dalam Rangka Reformasi Birokrasi, dalam Seminar: Effective and Efficient Bureaucracy Reform in Indonesia Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta 3-4 Desember 2008

134

Uraian mengenai tinjauan sejarah dan perkembangan dinamika

Mahkamah Agung, diperoleh adanya perubahan dan pembaruan dari

adanya unsur sistem Common Law, maka apabila dikomparasikan

dengan penerapan sistem yang ada di negara penganut sistem Common

Law seperti halnya Negara Singapura, maka dapat posisi sistem hukum

Indonesia telah bergeser dengan mengadopsi sistem yang dianut

Negara Singapura yang penjabarannya sebagai berikut:

Singapura96

Sistem Peradilan di suatu negara masing-masing dipengaruhi oleh

sistem hukum yang dianut oleh negara tersebut. Seperti halnya sistem

hukum Civil Law (Civil Code) yang terkodifikasi, Sistem ini berasal dari

hukum Romawi yang dipraktekkan oleh negara-negara Eropa

Kontinental, termasuk bekas jajahannya. Sedangkan Common Law,

hukum yang berdasarkan custom. kebiasaan berdasarkan preseden atau

judge made law, sistem hukum ini dipraktekkan di negara-negara Anglo

Saxon, seperti Inggris dan Amerika Serikat Tahun 1993 Penghapusan

semua upaya banding ke Dewan Penasehat (Privy Council) (pada 1989,

upaya-upaya banding ke Privy Council dilarang keras). Suatu Pengadilan

Banding (Court of Appeal) yang permanen, dipimpin oleh Hakim Kepala

(Chief Justice) dan dua Hakim Banding (Justices of Appeal), ditetapkan

sebagai pengadilan tertinggi Singapura. Pada bulan November 1993,

Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of

96 http://aliwangsa.blogspot.com/2011_10_01_archive.html (diakses pada 4 Mei 2015)

135

English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev Ed) diberlakukan dan menentukan

sejauh mana hukum Inggris dapat diterapkan di Singapura.

Tanggal 11 Juli 1994 Suatu Pernyataan Praktek tentang Preseden

Yudicial mengenai (The Practice Statement on Judicial Precedent) yang

penting menyatakan bahwa keputusan-keputusan pengadilan Singapura

terdahulu, yaitu Dewan Penasehat (Privy Council), demikian  juga

keputusan-keputusan Pengadilan Banding (Court of Appeal) yang

dikeluarkan sebelumnya tidak lagi mengikat  Pengadilan Banding

permanen. The Practice Statement memberikan alasan bahwa

“pembangunan hukum kita harus menunjukkan perubahan-perubahan ini

bahwa “Keadaan politik, sosial dan ekonomi telah mengalami perubahan

sangat besar sejak kemerdekaan Singapura serta menunjukkan nilai-nilai

fundamental masyarakat Singapura”. Kepercayaan diri yang meningkat

dalam pertumbuhan kedewasaan, kedudukan sistem hukum Singapura di

dunia internasional, serta kekhawatiran bahwa hubungan Inggris yang

meningkat dengan Uni Eropa akan mengakibatkan hukum Inggris

menjadi tidak cocok lagi dengan perkembangan dan aspirasi dalam

Negeri Singapura, telah memberikan dorongan untuk upaya-upaya

pembentukan hukum sendiri.

Sebelum diundangkannya Undang-undang tentang Penerapan

Hukum Inggris (The Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev

Ed), Piagam Keadilan Kedua (The Second Charter of Justice)

menetapkan dasar hukum bagi penerimaan secara umum prinsip-prinsip

136

dan aturan-aturan hukum Inggris (common law and equity) dan undang-

undang Inggris setelah tahun 1826 di Singapura, dengan syarat harus

memperhatikan kecocokan dan modifikasi sesuai kebutuhan dalam

negeri. Namun, kesulitannya adalah  tidak seorang pun yang tahu dengan

pasti yang manakah dari undang-undang Inggris tersebut yang diterapkan

di sini (bahkan undang-undang yang di Inggris telah dicabut).

Permasalahan ini menunjukkan dengan jelas penerimaan hukum

Inggris secara spesifik berdasarkan Section 5 (sekarang sudah dicabut)

dari Undang-undang tentang Hukum Perdata (The Civil Law Act; Cap

43, 1988 Rev Ed) yang menetapkan bahwa jika ada suatu pertanyaan atau

masalah yang timbul di Singapura mengenai kategori hukum tertentu

atau tentang hukum yang menyangkut perdagangan secara umum, maka

hukum yang diterapkan dalam hal ini adalah hukum yang sama yang

diterapkan di Inggris pada kurun waktu yang sama pula, kecuali jika

terdapat ketentuan lain berdasarkan suatu hukum yang berlaku di

Singapura. Sampai dengan dicabut pada tahun 1993, hal ini merupakan

ketentuan penerimaan yang penting dalam kitab-kitab undang-undang

Singapura. Pencabutannya juga telah menghapus banyak ketidakpastian

dan keadaan-keadaan yang tidak memuaskan yang timbul dari suatu

negara berdaulat, yang hingga kini sangat bergantung pada hukum dari

bekas negara penjajahnya.

Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The

Application of the English Law Act) menetapkan bahwa Common Law

Inggris (termasuk prinsip-prinsip dan aturan-aturan tentang keadilan),

137

sepanjang masih menjadi bagian dari hukum Singapura sebelum 12

November 1993, akan tetap menjadi bagian dari hukum Singapura.

Section 3 (tiga) dari Undang-undang tersebut menetapkan bahwa

bagaimanapun common law akan tetap berlaku di Singapura sepanjang

hal tersebut dapat diterapkan pada keadaan-keadaan di Singapura dan

harus dimodifikasi jika keadaan khusus di Singapura

mengharuskannya. Section 4, dibaca bersamaan dengan The First

Schedule, menentukan pengundangan peraturan-peraturan Inggris (baik

seluruhnya maupun sebagian), dengan modifikasi yang diperlukan, yang

diberlakukan atau terus diberlakukan di Singapura. Section 7

menetapkan berbagai perubahan pada undang-undang dalam negeri,

dengan memasukkan peraturan hukum Inggris yang relevan.

Common Law digaris bawahi (penting) dari bentuk dasar politik

hukum Singapura. Singapura telah mewarisi tradisi Common Law

Inggris dan karenanya telah menikmati manfaat-manfaat kestabilan,

kepastian dan internasionalisasi yang inheren dalam sistem Inggris

(khususnya dalam bidang komersial atau perdagangan). Singapura

memiliki akar Common Law sebagai sistem hukum yang berasal dari

negara Inggris yang sama dengan yang dimiliki negara-negara

tetangganya (seperti India, Malaysia, Brunei dan Myanmar), walaupun

detil penerapan dan pelaksanaan dari masing-masing negara berbeda

sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan setiap negara.

Pada intinya, sistem hukum Common Law Singapura dicirikan

dari doktrin Preseden Yudisial (atau stare decisis). Berdasarkan doktrin

138

ini, hukum itu dibangun dan dikembangkan terus oleh para hakim

melalui aplikasi prinsip-prinsip hukum pada fakta-fakta dari kasus-kasus

tertentu. Dalam hal ini, para hakim hanya diwajibkan untuk menerapkan

ratio decidendi (atau alasan yang mempengaruhi diambilnya suatu

keputusan) dari pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi dalam hirarki

yang sama. Jadi, di Singapura, ratio decidendi yang terdapat dalam

keputusan-keputusan Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court

of Appeal) secara ketat mengikat Pengadilan Tinggi Singapura

(Singapore High Court), Pengadilan Negeri (District Court) dan

Pengadilan Magistrat (Magistrate’s Court). Di lain pihak, keputusan-

keputusan pengadilan Inggris dan negara-negara Persemakmuran lainnya

tidak secara ketat mengikat Singapura. Pernyataan-pernyataan yudisial

lainnya (obiter dicta) yang dibuat dalam keputusan pengadilan yang

lebih tinggi tingkatannya, yang tidak secara langsung mempengaruhi

hasil akhir suatu kasus, dapat diabaikan oleh pengadilan yang lebih

rendah tingkatannya.

Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute

Resolution-ADR) sedang tumbuh berkembang dengan pesat dari segi

urgensinya di Singapura, sebagai cara penyelesaian sengketa berbagai

masalah mulai dari konflik-konflik dalam negeri dan sosial hingga

sengketa-sengketa hukum lintas batas negara berskala besar. ADR,

dengan negosiasi/negotiation, mediasi (mediation) dan

arbitrase/arbitration sebagai cara-cara utama yang dipraktekkan di

Singapura, telah dipromosikan secara luas sebagai cara yang efektif,

139

efisien dan ekonomis untuk menyelesaikan sengketa berspektrum luas

dalam berbagai jenis keadaan atau setting. ADR secara tentatif telah

dimulai pada tahun 1980-an pada saat Pemerintah telah melihat

kemungkinan Singapura menjadi pusat penyelesaian sengketa yang

penting, sehingga mengambil manfaat posisi geografisnya serta

mewujudkan cita-cita membangun Singapura menjadi pusat bisnis satu

titik (one-stop business centre) secara total. Tujuan nyata lainnya adalah

untuk mencegah agar Singapura tidak menjadi masyarakat yang terlalu

cepat atau terlalu mudah menggugat ke pengadilan. Mediasi terpilih

sebagai cara yang sesuai dengan tradisi dan budaya Asia Singapura.

Bersamaan dengan misi Singapura untuk menjadi pusat bisnis

secara total, upaya-upaya besar pun telah dilakukan agar Singapura dapat

menjadi pusat penyelesaian sengketa yang penting (seperti halnya

London, New York dan Paris). Pemerintah Singapura merupakan

promotor kuat ADR dan telah menyiapkan kerangka kerja substantif dan

infrastruktural untuk mendukung upaya-upaya tadi. Badan Yudikatif pun

secara mantap berdiri di belakang inisiatif-inisiatif ADR dalam

menyelesaikan sengketa-sengketa dan Aturan-aturan Pengadilan (Rules

of Court, Caption 322, Rule 5, 1999 Rev Ed) yang dikeluarkannya telah

memberikan kesempatan yang cukup bagi penerapan ADR dalam

kerangka litigasi. Berbagai cara ADR dapat tetap diandalkan meskipun

proses persidangan litigasi telah dimulai. Misalnya, para penggugat atau

kuasa hukumnya dapat mengajukan perkara ke pengadilan untuk

masalah yang akan dirujuk ke mediasi atau secara langsung

140

mengajukannya ke Pusat Mediasi Singapura/Singapore Mediation

Centre.

Pada tahun 1986, Singapura telah meratifikasi Konvensi New

York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase

Asing (the 1958 New York Convention on the Recognition and

Enforcement of Foreign Arbitral Awards). Berdasarkan Konvensi ini,

setiap Negara anggota diharuskan mengakui dan melaksanakan

keputusan-keputusan arbitrase yang dikeluarkan di Negara anggota

lainnya. Keputusan Arbitrase yang dikeluarkan di Singapura dapat

diberlakukan di 120 negara/yurisdiksi. Undang-undang tentang Arbitrase

Internasional (International Arbitration Act, Caption 143A, 2002 Rev

Ed), yang memasukkan Komisi PBB tentang Hukum Perdagangan

Internasional sebagai Model Hukum tentang Arbitrase Niaga

Internasional (the United Nations Commission on International Trade

Law-UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration),

telah memberlakukan Konvensi tersebut.

Pada tahun 1991, didirikanlah Pusat Arbitrase Internasional

Singapura (Singapore International Arbitration Centre-SIAC). Diikuti

kemudian dengan pembentukan Pusat Mediasi Singapura (Singapore

Mediation Centre-SMC)  pada tahun 1997. Mediasi sengketa perdata

pertama kali diperkenalkan di Subordinate Courts melalui Pusat Mediasi

Pengadilan (Court Mediation Centre) pada tahun 1994. Sejak itu,

mediasi secara rutin dilaksanakan di Tribunal Gugatan Kecil (Small

Claims Triubunals), Pengadilan Keluarga (Family Courts), Pengadilan

141

Anak-anak (Juvenile Courts) dan Kementerian Pembinaan Masyarakat,

Pemuda dan Olah Raga dari Tribunal Orangtua (Ministry of Community,

Youth and Sports’ Maintenance of Parents Tribunal, Caption 167B).

Sebagai bagian dari upaya nasional untuk membina budaya

penggunaan mediasi, Undang-undang tentang Pusat Mediasi Masyarakat

(Community Mediation Centres - CMCs, Caption 49A, 1998 Rev Ed)

telah diundangkan pada tahun 1997 untuk memimpin/menjadi

percontohan upaya-upaya mediasi masyarakat, yang dipandang  sebagai

cara yang efektif untuk menyelesaikan sengketa-sengketa hubungan

(relational disputes) di lapangan, khususnya dalam bidang multi-rasial

dan multi-agama Singapura. Sekarang ini terdapat 4 CMCs regional dan

7 tempat mediasi satelit (satellite mediation venues). Penekanannya

adalah untuk mengembangkan suatu model mediasi Asia dengan

mengindahkan peranan para pemimpin tradisional atau adat dari berbagai

ras yang sangat berpengaruh dan sudah menjadi kebiasaan, seperti

penghulu (kepala kampung Melayu), panchayat (dewan masyarakat

India) dan pemimpin klan dari asosiasi klan-klan Cina, dalam menengahi

mediasi para pihak yang bersengketa dalam komunitasnya masing-

masing.

Dalam persaudaraan hukum Singapura, di bawah pimpinan Badan

Yudikatif, upaya-upaya dilaksanakan untuk mendorong penerimaan

ADR di kalangan para lawyer dan para kliennya, sebagai suatu cara

penyelesaian sengketa yang lebih memuaskan, lebih cepat dan lebih

murah. Pada bulan April 2003, Hakim Judith Prakash telah diangkat oleh

142

Hakim Kepala Chief Justice untuk memimpin semua masalah arbitrase

yang diajukan ke hadapan Pengadilan Tinggi (High Court). Hal ini

merupakan bagian dari tujuan Badan Yudikatif untuk memastikan

Bahwa Para Hakim yang memenuhi syarat keahlian dan pengalaman

akan memimpin penanganan kasus-kasus dalam bidang-bidang hukum

dan praktek perdagangan yang dikhususkan.

Pengadilan yang lebih rendah tingkatannya, dalam beberapa

kasus, dapat menghindarkan diri dari keharusan menerapkan ratio

decidendi dari keputusan pengadilan yang lebih tinggi yang dikeluarkan

sebelumnya, jika (a) pengadilan tersebut dapat membedakan secara

material fakta-fakta kasus yang dibawa ke hadapannya dengan fakta-

fakta dari keputusan yang sebelumnya pernah diambil oleh pengadilan

yang lebih tinggi; atau (b)   keputusan pengadilan yang lebih tinggi

tersebut memang dibuat secara per  incuriam (yaitu, tanpa menghiraukan

doktrin stare dicisis).

Pengaruh besar dari hukum Common Law Inggris pada

perkembangan hukum Singapura secara umum lebih terbukti dari

beberapa bidang Common Law tradisional (seperti Perjanjian atau

Contract, Perbuatan Melawan Hukum atau Tort dan Restitusi atau

Restitution, daripada bidang-bidang lain yang didasarkan pada undang-

undang seperti Hukum Pidana (Criminal Law), Hukum Perusahaan

(Company Law) dan Hukum Pembuktian (Law of Evidence). Mengenai

bidang-bidang yang didasarkan pada undang-undang ini, negara-negara

lain seperti India dan Australia telah amat mempengaruhi dari segi

143

pendekatan dan isi dari beberapa undang-undang Singapura tersebut.

Namun, akhir-akhir ini tendensi pengadilan di Singapura yang

dahulu selalu mengindahkan keputusan-keputusan Inggris telah secara

signifikan mulai beralih menuju ditinggalkannya pengadilan-pengadilan

Inggris tersebut (bahkan untuk bidang-bidang tradisional common

law). Bahkan saat ini terdapat pengakuan yang lebih besar pada

yurisprudensi lokal di dalam perkembangan common law di Singapura.

Dua contoh yang terjadi baru-baru ini, akan memberikan

gambaran yang cukup jelas tentang hasrat Singapura mengembangkan

sistem dan badan hukum sendiri. Dalam bidang perbuatan melawan

hukum (torts), pengadilan-pengadilan Singapura telah secara sadar

menyimpang dari exclusionary rule dalam kasus Inggris Murphy vs

Pengadilan Negeri Brentford (1991) sehingga memungkinkan pemulihan

kerugian secara ekonomi yang timbul dari tindakan kelalaian (negligent

acts) atau kegagalan melakukan sesuatu (omissions) berdasarkan kasus

Anns vs Merton (1978). Dalam kasus yang baru-baru ini terjadi, dalam

bidang hukum perjanjian, yaitu kasus Chwee Kin Keong v

Digilandmall.com Pte .Ltd (2005) di Pengadilan Banding Singapura

(Singapore Court of Appeal), pengadilan tersebut telah memilih untuk

tidak mengadopsi pendapat dalam putusan Pengadilan Banding Inggris

(the English Court of Appeal) dalam kasus Great Peace Shipping Ltd v

Tsavliris Salvage (International) .Ltd (2002) mengenai yurisdiksi yang

adil (equity jurisdiction) dalam hal terjadi kesalahan unilateral.

Kebutuhan untuk memiliki sistem hukum sendiri ini secara lebih jauh

144

telah didorong oleh adanya perkembangan-perkembangan hukum Uni

Eropa dan dampaknya bagi sistem Inggris.

Sistem common law di Singapura mengandung perbedaan yang

material dengan sistem hukum di beberapa negara Asia lainnya yang

telah dipengaruhi oleh tradisi sistem civil law (seperti RRC, Vietnam dan

Thailand) atau negara-negara yang sistem hukumnya merupakan

campuran dari sistem civil law dan common law (Indonesia).

Pertama-tama, sistem civil law tidak terlalu mengandalkan diri

pada putusan pengadilan yang telah ada sebelumnya dan tidak tunduk

pada doktrin stare decisis, tidak seperti halnya sistem common law,

pengadilan-pengadilan common law seperti di Singapura pada umumnya

mengambil pendekatan yang berlawanan (adversarial approach) di

dalam proses litigasi antara para pihak yang bersengketa sedangkan

hakim dari sistem civil law bertendensi untuk mengambil peran yang

lebih aktif di dalam penemuan bukti dalam memutuskan perkara yang

dihadapinya. Ketiga, di dalam sistem common law, banyak prinsip-

prinsip hukum yang telah dikembangkan oleh para hakim sedangkan

hakim dalam sistem civil law lebih mengandalkan diri pada kitab

undang-undang yang umum dan lengkap yang mengatur berbagai bidang

hukum.  

Akan tetapi, perbedaan antara sistem hukum common law dan

civil law sekarang menjadi lebih tidak kentara dibandingkan dengan

masa yang lampau. Yurisdiksi common law, misalnya, telah mulai

membuat peraturan-peraturan untuk mengisi kesenjangan yang terjadi di

145

dalam sistem common law. Dalam hal ini, Singapura baru-baru ini telah

mengundangkan berbagai undang-undang untuk mengatur berbagai

bidang hukum tertentu (misalnya Contract (Rights of Third Parties) Act

2001 (Cap 53B, 2002 Rev Ed), Competition Act 2004 (No 46 of 2004)

dan Consumer Protection (Fair Trading) Act) (Cap 52A, 2004 Rev Ed).

Menurut sejarah, di Inggris, prinsip Equity (atau raga dari prinsip-

prinsip keadilan (fairness or justice) telah diterapkan oleh pengadilan-

pengadilan untuk memperbaiki cacat atau kelemahan yang inheren dalam

sistem common law yang kaku. Pada masa yang lalu di Inggris,

pengadilan-pengadilan Chancery (Chancery Courts) menjalankan Equity

secara terpisah dari pengadilan-pengadilan common law. Namun,

demarkasi sejarah tersebut tidaklah penting bagi Singapura di masa kini.

Menurut Undang-undang Hukum Perdata Singapura (Singapore

Civil Law Act, Cap 43, 1999 Rev Ed), pengadilan-pengadilan Singapura

diberi wewenang untuk menjalankan common law dan equity secara

bersamaan. Dampak praktisnya adalah penggugat dapat mencari upaya-

upaya hukum secara Common Law mengenai Ganti rugi (Damages) dan

secara equity (termasuk Putusan Sela (Injunctions) dan Pelaksanaan Janji

Tertentu (Specific Performance) dalam persidangan yang sama dan di

hadapan pengadilan yang sama pula. Meskipun telah ada penghapusan

pemisahan Common Law-Equity, prinsip Equity telah memegang peran

yang bersifat menentukan, dalam perkembangan doktrin-doktrin tertentu

dalam hukum perjanjian, termasuk doktrin Undue Influence dan

Promissory Estoppel. Tanpa adanya publikasi secara reguler tentang

146

preseden-preseden yudisial yang dapat diakses oleh para hakim dan

penasehat hukum, maka common law Singapura tidak akan berkembang

sepesat dan seekstensif sekarang. Laporan-laporan Hukum Singapura

(Singapore Law Reports) merupakan publikasi utama/penting bagi

putusan-putusan pengadilan Singapura sejak 1992. Sebelumnya,

Malayan Law Journal merupakan sumber publikasi kasus-kasus lokal

sejak 1932. Buku-buku hukum dan artikel-artikel jurnal mengenai

bidang-bidang yang penting juga telah memberikan sumbangan bagi

common law Singapura yang sedang tumbuh.

Hakim di Singapura adalah Arbiter baik dari segi hukum maupun

fakta. Sistem juri/jury system telah secara keras dibatasi di Singapura

dan akhirnya dihapuskan sepenuhnya pada tahun 1970. Wewenang

yudisial diberikan kepada Mahkamah Agung atau Supreme Court (yang

terdiri dari Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal)

dan Pengadilan Tinggi (High Court) dan kepada Pengadilan-pengadilan

Yang Lebih Rendah atau Subordinate Courts.

Pengadilan tertinggi di Singapura adalah Pengadilan Banding

permanen Court of Appeal, yang menangani kasus-kasus banding baik

perdata maupun pidana, yang berasal dari Pengadilan Tinggi (High

Court) dan Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah (Subordinate

Courts). Sebagai tonggak sejarah hukum yang penting di Singapura,

pada tahun 1994, pengajuan-pengajuan banding ke Privy Council di

Inggris dihapuskan. Pada tanggal 11 Juli 1994, suatu Pernyataan tentang

Preseden Yudisial (Practice Statement on Judicial Precedent) yang

147

dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Singapura memberikan penjelasan

bahwa Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal) tidak

terikat pada keputusan-keputusannya sendiri maupun pada keputusan-

keputusan terdahulu Privy Council. Namun, Pengadilan Banding

Singapura (Singapore Court of Appeal) akan tetap menganggap

keputusan-keputusan tersebut mengikat secara normal, meskipun

pengadilan tersebut dapat menyimpang dari preseden terdahulu jika

dianggap benar untuk melakukannya.

Para Hakim Pengadilan Tinggi/High Court Judges menikmati

jaminan masa tugas untuk jangka waktu tertentu, sementara para

Komisaris Yudisial (Judicial Commissioners) diangkat berdasarkan

kontrak jangka pendek. Namun demikian, keduanya mempunyai

wewenang yudisial dan imunitas yang sama. Wewenang yudisial mereka

meliputi yurisdiksi tingkat awal (original) maupun tingkat banding

(appellate) baik untuk perkara perdata maupun pidana. Pengangkatan

para Hakim Pengadilan Tinggi baru-baru ini, yang khusus untuk

menangani perkara arbitrase di Pengadilan Tinggi, telah menambah 2

jenis pengadilan khusus yang telah ada, yaitu: Pengadilan Maritim

(Admiralty Court) dan Pengadilan Hak Milik Intelektual (Intellectual

Property Court). Tribunal Konstitusional (Constitutional Tribunal)

khusus juga telah dibentuk yang berada di bawah yurisdiksi Mahkamah

Agung (Supreme Court), untuk menangani pertanyaan-pertanyaan yang

berdampak pada ketentuan-ketentuan konstitusional yang diserahkan

oleh Presiden Terpilih.

148

Pengadilan-pengadilan yang lebih rendah (Subordinate Courts)

yang terdiri dari Pengadilan Negeri (District Courts), Pengadilan

Magistrat (Magistrates’ Courts), Pengadilan Anak-anak (Juvenile

Courts), Coroners Courts serta Tribunal Gugatan Kecil (Small Claims

Tribunals) juga telah dibentuk dalam hirarki yudisial Singapura untuk

melaksanakan keadilan dalam masyarakat. Dengan adanya peningkatan

kecanggihan dalam dunia transaksi bisnis dan hukum, baru-baru ini telah

dibentuk Pengadilan Negeri Urusan Niaga Perdata dan Pidana

Commercial Civil and Criminal District Courts dalam Subordinate

Courts, untuk menangani kasus-kasus yang lebih kompleks.

Pengadilan Negeri (District Courts) dan Pengadilan Magistrat

(Magistrates’ Courts) mempunyai wewenang yang sama dalam

penanganan masalah-masalah tertentu seperti gugatan-gugatan yang

mengandung unsur kontraktual dan perbuatan melawan hukum atas

utang, tagihan atau kerugian dan tindakan-tindakan untuk pengembalian

uang.  Namun, yurisdiksi mereka dibatasi oleh besarnya nilai perkara,

yaitu untuk kasus-kasus perdata senilai $ 60.000 Dolar Singapura untuk

Pengadilan Magistrat dan $ 250.000 Dolar Singapura untuk Pengadilan

Negeri. Pengadilan-pengadilan itu juga mempunyai perbedaan dari segi

wewenang menghukum secara pidana. Batasan masa kurungan yang

ditetapkan Pengadilan Magistrat adalah 2 tahun, sedangkan batasan masa

kurungan yang ditetapkan Pengadilan Negeri adalah 7 (tujuh) tahun.

Di lain pihak, Tribunal untuk Gugatan Kecil (Small Claims

Tribunals), dapat menangani kasus secara lebih cepat, hemat dan dengan

149

proses yang tidak terlalu formal untuk memutuskan kasus-kasus gugatan

kecil dengan batasan sebesar $20.000 Dolar Singapura (asalkan para

pihak yang bersengketa sama-sama menyetujui secara tertulis).

Di samping pengadilan-pengadilan yang disebutkan di atas,

Pengadilan Keluarga (Family Courts) menangani masalah-masalah

perceraian, pemeliharaan, perwalian dan adopsi. Badan Yudikatif juga

telah mengambil langkah-langkah penting dalam memanfaatkan

teknologi informasi di pengadilan, yang telah meningkatkan tingkat

efisiensi, setidaknya untuk sebagian hal. Pengadilan Berteknologi,

misalnya, telah didirikan untuk memungkinkan adanya information

sharing di antara para pengacara dan hakim dan pengajuan bukti-bukti

oleh para saksi melalui konferensi video. Upaya-upaya hukum yang

melibatkan suatu perusahaan atau seseorang individu dapat dimonitor

melalui suatu fasilitas yang disebut Casewatch. Sistem Pengarsipan

Elektronik (Electronic Filing System (EFS)), suatu proyek gabungan

antara Badan Yudikatif, Singapore Network Services and Singapore

Academy of Law, untuk memungkinkan pengarsipan, ekstraksi dan

penyampaian dokumen-dokumen pengadilan serta pelacakan kasus

secara elektronik, sekarang juga telah mencapai tahap penyempurnaan

kembali untuk meningkatkan pelayanan pada para pemakai jasa.

Berbagai inovasi teknologi informasi telah pula dimanfaatkan untuk

memfasilitasi dan menyederhanakan berbagai proses pidana, yaitu

pendaftaran dan pengelolaan kasus-kasus pidana (SCRIMS), pemrosesan

150

biaya-biaya lalu lintas antara Polisi dan Pengadilan (TICKS 2000) dan

pembayaran denda-denda pelanggaran lalu lintas yang kecil (ATOMS).

B. Visi Dan Misi Mahkamah Agung

Mahkamah Agung berhasil merumuskan visi pada 10 September 2009.

Visi tersebut adalah “terwujudnya badan peradilan Indonesia yang agung”.

Misi mahkamah Agung dirumuskan dalam rangka mencapai visinya, atau

dengan kata lain, untuk mewujudkan pelaksanaan tuas pokok dan fungsibadan

peradilan yang optimal. Seperti diuraikan di atas, focus dari pelaksanaan tugas

pokok dan fungsi badan peradilan adalah penyelenggaraan pengadilan, yaitu

memutus suatu sengketa atau mnyelesaikan suatu masalah hukum guna

menegakkan hukum dan keadilan. Misi Mahkamah Agung 2010-2035 adalah:

1. Menjaga kemandirian badan peradilan

2. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan

3. Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan

4. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan

C. Tugas dan Kewenangan Mahkamah Agung

Dasar Hukum mengenai Mahkamah Agung diaur dalam Dasar Negara

pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 24 huruf A ayat (1),

Pasal 24 huruf C ayat (3). Eksistensi Mahkamah Agung sebagai Lembaga

Yudikatif memiliki tugas, kewenangan dan fungsi Mahkamah Agung.

Pengertian Mahkamah Agung menurut Ketentuan Umum, Pasal 1

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu

151

Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Beberapa kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan dalam Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

- Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan peradilan bersama

mahkamah Konstitusi dengan tugas dan kewenangan masing-masing yang

berbeda. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman

- “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.”

- Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan peradilan bersama

mahkamah Konstitusi dengan tugas masing-masing yang berbeda.

- Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Badan peradilan yang

berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam

lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan

peradilan tata usaha negara”.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi melaksanakan Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung

membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan

agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Mahkamah Agung

membawahi suatu Pengadilan Khusus sesuai dengan Pasal 27 Undang-

152

Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan

bahwa: “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan

peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung”, sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 25 dinyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan “pengadilan

khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak

asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan

industrial dan pengadilan perikanan yang berada di ingkungan peradilan

umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha

negara”.

Selanjutnya Pasal 39 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan

peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah

Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48

tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung berwenang:

- Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada

tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang

berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan

lain;

- Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang; dan kewenangan lainnya yang diberikan

undang-undang.

- Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan

nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan

dan tempat pengajuan Peninjauan Kembali.

153

Kemudian Pasal 22 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung dapat memberi keterangan,

pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan

lembaga pemerintahan. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau

keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dalam Pasal tersebut

Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan

nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan

dan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali

kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang

ditentukan dalam undang-undang. Pimpinan Mahkamah Agung bersama

pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa menjadi saksi pengambilan

sumpah Presiden dan Wakil Presiden apabila Majelis Permusyawaratan

Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat terdapat suatu hal yang bersifat

memaksa atau keadaan lain yang membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat

atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa menyelenggarakan sidang.

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Jika Majelis

Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat

mengadakan sidang Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama,

atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan pimpinan Majelis

154

Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah

Agung. ”Mahkamah Agung bisa memberikan pertimbangan kepada Presiden

dalam hal Pemberian Grasi dan Rehabilitasi. Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:

”Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung.

Peran Mahkamah Agung dalam pengajuan Hakim Konstitusi. Pasal 34

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah

Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh

Presiden.

D. Fungsi Mahkamah Agung

Fungsi-fungsi Mahkamah Agung menurut Undang-Undang diantaranya

sebagai berikut: 97

1. Fungsi Peradilan

a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan

pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam

penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali

menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah

negara Republik Indonesia diterapkan secara adil, tepat dan benar.

97 http://mahkamahagung.go.id data diperbaharui dalam penyesuaian Undang-Undang (diakses tanggal 21 Mei 2015).

155

b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung

berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan

terakhir

- semua sengketa tentang kewenangan mengadili;

- permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29, 30, 33 dan 34

Undang-Undang Mahkamah Agung);

- semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan

muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan

peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang

Mahkamah Agung)

c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu

wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan

dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau

dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat

yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-Undang Mahkamah Agung).

2. Fungsi Pengawasan

a) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya

peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan

yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan

seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang

sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan

156

Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 ayat (2)

Juncto Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan

Nomor 48 Tahun 2009);

b) Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :

- terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan

perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang

berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman,

yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili dan

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan

meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan

teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk

yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32

Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang

menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah

Agung Nomor 14 Tahun 1985).

3. Fungsi Mengatur

a) Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan

bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal

yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah

Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan

157

hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan

(Pasal 27, Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung).

b) Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana

dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur

Undang-undang.

4. Fungsi Nasihat

a) Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-

pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara

lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung). Mahkamah Agung

memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam

rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang

Mahkamah Agung). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang

Dasar 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan

kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku

Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam

memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat

ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur

pelaksanaannya.

b) Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi

petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam

rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

158

Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung).

5. Fungsi Administratif

a) Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan

Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud

Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 secara

organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada

dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11

(1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah

kekuasaan Mahkamah Agung.

b) Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,

susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-

undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang

No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman).

6. Fungsi Lain-Lain

Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2

ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 serta Pasal 38 Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas

dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

159

E. Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengenai

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam Mewujudkan Keadilan

Kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana diatur dalam

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua

Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan

Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai Pancasila, ketentuan

dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang

Mahkamah Agung. Secara lebih konkret MA telah menerbitkan Keputusan

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006 tentang Pedoman

Perilaku Hakim, yang kemudian dijabarkan sangat rinci dalam Keputusan

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007

tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.98

Kewajiban hakim memahami substansi perkara, termasuk proses

acaranya, diatur dalam Pasal 4 ayat (13) Keputusan Ketua Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor: 15/KMA/SK/XII/2007 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim, bahwa Hakim berkewajiban

mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar

dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan

bagi setiap pencari keadilan. Untuk memahami secara utuh atas suatu

perkara maka sebagaimana diatur dalam ayat (3), hakim harus

98 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan, Laporan Akhir. Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 2.

160

memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari

keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses

hukum di Pengadilan. Ini semua dilaksanakan hakim dalam rangka

memberikan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) bahwa

hakim harus memberi keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad

semata-mata untuk menghukum.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat dipahami bahwa hakim

wajib selalu meningkatkan kemampuan dalam memahami perkembangan

ilmu pengetahuan dan hukum melalui pendidikan formal, pendidikan dan

pelatihan, atau diskusi ilmiah. Langkah ini dapat memperluas pengetahuan

dan pemahaman hakim terhadap hukum dan masyarakat pengguna hukum

sehingga dapat memahami perkara dengan cara pandang yang

komprehensif, dan sensitif terhadap kebutuhan keadilan masyarakat. Hal

ini selaras dengan Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim Pasal 4

ayat (18) bahwa Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk

memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kualitas

pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.Selain

itu, langkah ini juga merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 50 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

bahwa Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan,

juga memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili.99

99 Ibid

161

Sebagai Implementasi dalam mewujudkan keadilan dengan

bertujuan tercapainya kemandirian Peradilan (Pengadilan) yang ada di bawah

Mahkamah Agung, maka perlu memperhatikan pembentukan sifat

diantaranya: netral (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan

berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum,

kepastian hukum dan keadilan merupakan persyaratan mutlak dalam sebuah

negara yang berdasarkan hukum. Oleh karena itu Mahkamah Agung dan

komisi yudisial menetapkan Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman

Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku

sebagai berikut :

1) Berperilaku Adil;

2) Berperilaku Jujur;

3) Berperilaku Arif dan Bijaksana;

4) Bersikap Mandiri;

5) Berintegritas Tinggi;

6) Bertanggung Jawab;

7) Menjunjung Tinggi Harga Diri;

8) Berdisplin Tinggi;

9) Berperilaku Rendah Hati;

10) Bersikap Profesional.

162

BAB III

PENGATURAN MAHKAMAH AGUNG MENURUT KAPASITAS

SEBAGAI JUDEX JURIS BERKAITAN DENGAN KEMAMPUAN

MENILAI FAKTA SEBAGAI JUDEX FACTIE

A. Sejarah Mahkamah Agung Melalui Pengaturan Sebagai Judex Juris

sekaligus Berkemampuan Menilai Fakta Sebagai Judex Factie

Mahkamah Agung dalam sistem Peradilan Indonesia sebagai pelaku

Kekuasaan Kehakiman menaungi lembaga peradilan yang berada di bawahnya

yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan

Peradilan Militer. Kapasitas Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi yang

berfungsi sebagai penegak keadilan sekaligus penegak hukum, serta

kewenangannya dalam membatalkan atau menguatkan putusan pengadilan dari

semua lingkungan peradilan. Mahkamah agung pula memiliki kewenangan

yudisial dan non yudisial (berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi).

Sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam sebuah negara, pada

kenyataannya di negara yang menganut sistem hukum Common Law maupun

Civil Law, eksistensi Mahkamah Indonesia merupakan suatu keniscayaan artinya

(dapat menggunakan dua sistem hukum), berbeda dengan negara-negara yang

menganut sistem hukum Civil Law saja seperti Belanda dengan Mahkamah

Agung yang bernama Hooge Raad atau Common Law saja sebagaimana di

Inggris Mahakamah Agung disebut House of Lord100. Demikian halnya Perancis

100 Delmar Karlen dalam Danbury: Glorier), 2002, “Court in Common law Countries”, dalam Ensiklopedia Amerika, 28thed, vol. 8, hlm 106.

163

yang merupakan negara yang mengenalkan sistem kasasi dengan memiliki

Mahkamah Agung yang disebut Tribunal de Cassation101 menganut sistem kasasi

sebagai lembaga pengadilan tertinggi. Keberadaan Mahkamah Agung di negara

Civil Law dimaksudkan untuk mengawasi pelaksanaan peradilan tingkat pertama

dan peradilan tingkat bandng dalam penerapan undang-undang yang dibuat oleh

badan legislatif. Cikal bakal lembaga yang menangani perkara kasasidinegara

penganut Civil Law adalah Tribunal de Cassation yang dibentuk di Perancis.

Praktik ini merupakan implementasi dari sistem pembagian kekuasaan dalam

ajaran Montesque. Montesque membagi kekuasaan negara dalam tiga divisi, yaitu

eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif merupakan representasi

dari kedaulatan rakyat karena dalam demokratis Perundang-undangan yang

mengatur hubungan antar warga negara dimana warga negara dengan pemerintah

harus dibuat oleh pembuat undang-undang yang berasal dari perwakilan rakyat,

yaitu kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah lembaga yang

mneyelesaikan sengketa antar warga negara, sebab warga negara dengan

Pemerintah diterapkan undang-undang yang mengikat seluruh warga negara dan

Pemerintah yang dibuat oleh lembaga legislatif. Oleh karena itu, menurut

Montesque, kekuasaan yudikatif tidak boleh menyimpang dari undang-undang

dalam menyelesaikan kasus102.

Berdasarkan ajaran Montesque tersebut, Perancis membentuk Tribunal de

Cassation pada tanggal 1 Desember 1790. Lembaga ini bertugas menerima

101 L.J. van Apeldoorn dalam Oetarid Sadino, 1975, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht, terjemahan Cet. 13, Prednya Paramitha, Jakarta. hlm 374.

102 Montesque yang diterjemahkan oleh Anne .M. Cohler, 1992, The Spirit of The Law Cambridge University Press Cet. 3, Cambridge. hlm 58.

164

pengaduan para pihak yang berperkara atas putusan bada yudikatif yang dianggap

bertentangan dengan undang-undang. Tugas Tribunal de Cassation sebatas

meneliti apakah putusan badan yudikatif sesuai dengan undang-undang atau

menyimpang dari undang-undang, maka putusan tersebut akan dibatalkan dan

perkara tersebut diserahkan kembali kepada lembaga yudikatif untuk diperiksa

dan diputus kembali (Renvooi). Jika terjadi kasasi dua kali, maka Trbunal de

Cassation akan meminta badan legislatif untuk membenarkan penafsiran resmi

dari undang-undang yang harus diterapkan dalam perkara yang diputus oleh

badan yudikatif tersebut (rêfêrê obligatoire).

Lembaga Tribunal de Casstaion tersebut dicontoh Belanda dengan nama

Hoge Raad. Namun demikian, terdapat perbedaan antara Hoge Raad dengan

Tribunal de Cassation, yakni Hooge Raad tidak mengenal sistem Renvooi dan

rêfêrê obligatoire, dalam keadaan putusan lembaga peradilan tingkat pertama dan

banding tidak menerapkan undang-undang yang berlaku atau penafsiran undang-

undang yang resmi dari lembaga legislatif, Hoge Raad memutus sendiri perkara

yang diajukan kasasi. Lebih dari itu, dalam penafsiran undang-undang, Hoge

Raad tidak meminta pertimbangan atau nasihat (advise) kepada badan legislatif

sebagaimana Tribunal de Cassation dengan cara rêfêrê obligatoire, akan tetapi

Hoge Raad memutus perkara tersebut dengan menafsirkan undang-undang103.

Sistem lembaga peradilan tertinggi di negara Belanda ini diberlakukan di

Indonesia. Lembaga ini diatur dalam Reglement op de Rechtelijke Organisatie

1847 berdasarkan Koninklijk Besluit tertanggal 16 Mei 1847 yang dimuat dalam

Indische Staatsregelings yang diundangkan dalam Staatbaad tahun 1847 Nomor 103 Op.cit van Apeldoorn, 375

165

23 dengan sebutan Hooggerechtshof. Lembaga Hooggerechtshof ini merupakan

lembaga kasasi bagi peradilan Landraad dan sebaga lembaga banding bagi

peradilan Raad van Justitie, sedangkan upaya kasasi atas putusan Raad van

Justitie yang bandingnya melalui Hooggerechtshof adalah Hoge Raad yang ada

di Belanda104

Karena itu, Soediman Kartohadiprodjo sampai pada keyakinan bahwa

penilaian tentang perilaku manusia itu dalam intinya akan tergantung pada

pandangan hidup manusia yang memunculkan penilaian itu, yakni pada

penglihatan manusia yang melakukan penilaian dari manusia yang

perilakunya dinilai tentang tempat manusia individual di dalam pergaulan

hidup. Dengan keyakinan itu, Soediman Kartohadiprodjo mulai memfokuskan

penelusurannya pada substansi pandangan hidup yang dianut yang tercermin

ke dalam sistem hukum yang ditumbuhkan di dalam masyarakat yang

bersangkutan.105. berbeda dengan masa kolonial Belanda, pada masa

pemerintahan Jepang tidak dikenal dualisme peradilan untuk Bumiputera dan

Eropa. Lembaga peradilan pada masa penjajahan Jepang berlaku untuk semua

golongan kecuali untuk orang Jepang disebut Hooggerechtshof (Saiko Hoin)

sebagai lembaga kasasi, Raad van Justitie (Koto Hoin) sebagai lembaga

tingkat pertama106.

Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Mahkamah Agung diatur

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Konstitusi) baik

104 Soetandyo Wignjosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Raja Grafino Persada, Jakarta. hlm 60.

105 Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandagangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, hlm. 22.

106 Op.cit Soetandjo Wignjosoebroto. hlm 184

166

Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Serikat 1950 maupun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (versi

Amandemen). Dalam Undang-Undang Dasar tersebut kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya dibawah

naungan Mahkamah Agung. Selanjutnya kekuasaan kehakiman tersebut

dijabarkan lagi dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman secara

berurutan bermula melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 1964, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang

kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999,

selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan

terakhir diganti kembali dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pembaruan perundang-undangan yang silih berganti dari kemandirian

lembaga yudikatif di Indonesia dipengaruhi oleh sistem Pemerintahan.pada

masa awal kemerdekaan, dimana semangat demokrasi sangat dihormati,

lembaga yudikatif diberikan ruang yang luas bagi otonomi dan kemandirian

baik secara yuridis maupun normatif. Lain halnya pada masa Pemerintahan

Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959 sampai dengan tahun 1965,

kemandirian dan otonomi lembaga yudikatif seringkali dicederai oleh

kebijakan lembaga eksekutif sehingga melahirkan Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Peradilan Umum, Mahkamah

Agung yang memberikan ruang kepada kekuasaan eksekutif untuk

mengintervensi kekuasaan yudikatif.

167

Semangat demokrasi tumbuh kembali pada masa awal Pemerintahan

Orde Baru. Lembaga yudikatif yang merdeka mendapat angin segar dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang tersebut mencabut

ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 yang tidak sesuai lagi

dengan semangat demokrasi. Pasal 1 dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut termasuk

mengembalikan kedudukan Kekuasaan Kehakiman dalam urusan peradilan107.

Upaya menghilangkan campur-tangan lembaga eksekutif terhadap

lembaga yudikatif terus dilakukan pada era reformasi. Perubahan Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman merupakan

langkah nyata upaya mewujudkan kemerdekaan dan kemandirian lembaga

yudikatif. Berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung tersebut,

organisasi dan administrasi maupun finansial badan peradilan yang semula di

bawah Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen

Pertahanan Keamanan dialihkan kepada Mahkamah Agung. Pelaksanaan

pengalihan tiga bidang tersebut dalam Pasal 11 A diimplementasikan secara

bertahap, paling lama selama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang tersebut

mulai berlaku, selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 merubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 termasuk yang sudah

dirubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dinyatakan tidak

107 Harun Alrasyid, 1989, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. hlm 132.

168

berlaku lagi. Dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut,

kemerdekaan dan kemandirian lembaga yudikatif tetap dipertahankan.

Bahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman menetapkan limit waktu penyerahan pengelolaan organisasi,

administrasi dan finansial empat lingkungan peradilan dari Departemen

masing-masing kepada Mahkamah Agung108.

Membangun lembaga yudikatif yang bersih dan berwibawa tidak cukup

dengan memberikan kemerdekaan dan kemandirian terhadap lembaga

yudikatif. Terlepas dari pengaruh kekuasaan lembaga lain tidak menutup

kemungkinan akan menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman yang

menimbulkan hilangnya independensi internal109.

Oleh karena itu, untuk melakukan Check and Balance lembaga

peradilan, maka pada tahun 2004 dibentuk Komisi Yudisial, mengingat

urgensi hubungan kelembagaan antara Komisi Yudisial dan lembaga

peradilan sangat strategis, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang

tentang Kekuasaan Kehakiman. Sehubungan dengan hal itu, demi

memperkuat penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman dan mewujudkan

sistem peradilan terpadu (Integrated Justice system), maka Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Berlakunya Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman selanjutnya Mahkamah Agung dalam ketentuan Konstitusi Pasal

108 Ibid, Harun Alrasyid. hlm 270.109 Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2002, Komisi

yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, Jakarta. hlm vii.

169

24 ayat (1) yang menyatakan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

Mahkamah Agung dan Badan Kehakiman lain berdasarkan Undang-Undang”.

Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan

bahwa “Susunan dan kekuasaan badan kehakiman diatur dengan Undang-

Undang”. Demikian halnya dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat atau

Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, lembaga kehakiman tertinggi

adalah Mahkamah Agung. Dalam tiga Undang-Undang Dasar tersebut tidak

diatur mengenai fungsi dan Kewenangan Mahkamah Agung. Melainkan

diatur dalam Perundang-Undangan.

Sebagai lembaga Kekuasaan Kehakimana yang menegakkan hukum

dan keadilan memiliki perbedaan dengan lembaga kejaksaan, kepolisian dan

lembaga penegak hukum lainnya, sebab Mahkamah Agung disamping

penegak hukum juga penegak keadilan. Penegak hukum bermakna dalam

rangka ketertiban hukum dimana hukum berfungsi sebagai kontrol sosial (law

is a tool of social engeneering). Oleh karenanya Kepolisian dan Kejaksaan

pengawal hukum agar hukum diterapkan, sedangkan Mahkamah Agung

memandang hukum dapat ditegakkan apabila tidak bertentangan dengan

keadilan atau hukum tersebut mengandung keadilan bagi kasus yang sedang

diselesaikan, sehingga Mahkamah Agung dapat menyimpangi hukum jika

hukum tersebut tidak memberikan keadilan pada saat diterapkan dalam kasus

yang ditangani. mengakkan keadilan adalah kewenangan fundamental

Mahkamah Agung.

Keterkaitan erat dalam menegakkan hukum dengan pemikiran hukum

Mahkamah Agung dalam proses penanganan perkara kasasi. Pada konteks ini,

170

Mahkamah Agung memiliki peran penting dalam konteks ini, Mahkamah

Agung memiliki peran penting dalam memformulasikan kerangka pemikiran

yang berkaitan dengan metode penafsiran hukum yang sejatinya dapat

direalisasikan melalui rasa keadilan dalam putusan-putusan hukum yang

dihasilkan. Mengenai keadilan dapat dipahami jenis-jenis keadilan yang

dimaksud diantaranya:

Keadilan substantif bahwa jenis keadilan ini menolak pandangan

legalisme yang menganggap Undang-Undang itu kramat, yakni sebagai

peraturan yang dikukuhkan Allah sendiri, atau sebagai suatu sistem logis

yang berlaku bagi semua perkara, karena bersifat rasional. Memberi anggapan

bahwa pandangan legalisme yang murni tidak mungkin dapat memberikan

keadilan. Sebab semua penerapan kaidah-kaidah hukum yang umum dan

abstrak pada perkara- perkara konkret merupakan suatu ciptaan hukum

baru. Administrasi seorang pegawai sudah merupakan hukum baru, apalagi

putusan-putusan seorang hakim. Memang tindakan yuridis ini mengandaikan

adanya suatu minimum rasionalitas dalam sistem hukum, tetapi mustahil

praktik hukum menurut suatu metode rasional melulu. Putusan seorang hakim

tidak dapat diturunkan secara logis dari peraturan-peraturan yang berlaku,

sebab peraturan itu tidak sempurna, mungkin juga salah atau kurang tepat,

sehingga menyebabkan ketidakadilan. Argumen yang diajukan oleh L.

Pospisil melawan legalisme ini adalah:110

1) Kalau hukum terletak dalam kaidah-kaidah yang abstrak (peraturan-

peraturan), tidak dimengerti mengapa terdapat ketentuan-ketentuan yang

mati, sebab ketinggalan zaman.110 Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta. hlm. 122.

171

2) Peraturan-peraturan yang abstrak tidak mengungkapkan banyak tentang

“pengawasan sosial” (yang dianggap sebagai inti segala hukum).

3) Peraturan-peraturan tidak berguna bagi praktik, sebab para hakim harus

mengambil keputusannya sesusai dengan perkara-perkara yang sangat

berbeda.

Legalisme tersebut diserang juga oleh para penganut realisme

hukum Skandinavia. Menurut mereka, kita harus realistis dan karenanya

tidak menerima peraturan-peraturan pemerintah sebagai sesuatu yang

nyaris sempurna.111 Salah satu tokoh realisme hukum Skandinavia

yang bernama Alf Ross mengemukakan tentang teori realitas sosial yang

menentang teori Kelsen, yang memastikan bahwa keharusan yuridis

adalah suatu kategori yang sama sekali lepas dari realitas sosial, seperti

tradisi Kant dikatakan tentang suatu Sollen yang lepas dari Sein. Karena

pemisahan ini Kelsen terus mencari norma dasar (Grundnorm) untuk

mendasari berlakunya hukum. Tetapi Ross menolak suatu norma yang

lepas dari realitas sosial. Norma-norma yang berlaku hanya berfungsi

dalam batas suatu proses pembuatan Undang-undang dimana kejadian-

kejadian yuridis digabungkan dengan sanksi-sanksi hukum.112

Undang-undang selalu tergabung dalam praktik hidup. Berkat

penggabungan itu, praktik hidup dipandang dalam terang Undang-undang

sehingga mendapat rasionalitas. Umpamanya seorang hakim, yang

berhadapan dengan suatu peristiwa dan yang mengikutsertakan nilai-nilai

hidup praktis dalam pertimbangannya, tidak bertindak secara irasional.

111 Theo, Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta. hlm 181.

112 Ata Ujan, Andre, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm 61-63

172

Putusan-putusannya (walaupun tidak dapat diturunkan secara silogistik

dari Undang-undang) merupakan bukan hasil emosi, bukan perjuangan

bagi kepentingannya sendiri, bukan tindakan kekerasan, melainkan hasil

dari suatu pertimbangan rasional, sehingga “masuk akal”. Buktinya

pengadilan selalu menyebut alasan-alasan bagi putusan-putusannya,

berdasarkan suatu “logika yuridis”. Keadilan substantif ini juga tidak

sepaham dengan teori hukum kodrat oleh karena Teori hukum kodrat ini

tidak memberi batas jelas tentang apa itu kodrat dan apa ciri-ciri

hakikinya. Kesulitan muncul dari anggapan populer yang menyamakan

begitu saja “yang kodrati” dengan “yang biasa dilakukan”. “sesuai dengan

kodrat” dengan demikian disamakan dengan apa oleh masyarakat

diterima dan diakui sebagai hal yang lazim dipraktikkan dalam kehidupan

sehari-hari. Disini ada bahaya bahwa apa yang norma; dilakukan

dipandang pantas menjadi norma bertindak. Padahal yang biasa dan

umum dilakukan belum tentu baik. Hidup sesuai dengan tuntutan hukum

kodrat pada dasarnya tidak menghargai kehormatan atau kemuliaan

manusia yang berakal budi. Meskipun adanya pembedaan antara hukum

kodrat yang berlaku bagi makhluk rasional dan hukum alam yang berlaku

bagi makhluk nonrasional sudah merupakan langkah maju yang keluar

dari kesulitan teori hukum kodrat deterministik, jalan keluar ini tetap saja

membawa kesulitan dalam pelaksanaan hukum positif.

Sedangkan jenis Keadilan formal ini sesuai dengan teori

positivisme yang mendekati gejala hidup secara alamiah belaka yakni

sebagai fakta, dan tidak mau tahu tentang nilainya, akibatnya tuntutan

173

tentang keadilan disingkirkan dari pengertian hukum. Aliran-aliran

yang berhaluan Marxis menganggap bahwa hukum negara nyaris

sempurna sehingga ungkapan kehendak rakyat. Inti pandangan ini ialah

bahwa orang-orang yang menganggap hukum sebagai “ius” lebih

percaya pada prinsip-prinsip moral walaupun abstrak dari pada

kebijaksanaan manusia. Karenanya makna hukum sebagai hukum yang

adil lebih terjamin dalam perumusan-perumusan abstrak dari pada

dalam putusan-putusan hakim. Sesuatu yang mutlak bagi seorang

hakim untuk menyesuaikan diri dengan perumusan-perumusan yang

telah terwujud dalam Undang-undang. Praktik kehakiman oleh rakyat

seringkali dipandang sebagai penerapan Undang-Undang pada perkara-

perkara konkret secara rasional belaka. Pandangan ini disebut

Legalisme atau legisme. Dalam pandangan legisme, Undang-Undang itu

dianggap atau kramat, yakni sebagai peraturan yang dikukuhkan Allah

sendiri, atau sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua

perkara, karena bersifat rasional.113

Aliran positivisme hukum memberi nuansa filosofi pemikiran

tentang hukum. Terdapat sekurang-kurangnya empat pengertian pokok

dalam istilah positivisme hukum, yaitu:

1) Positivisme hukum digunakan untuk menunjuk pada konsep

hukum yang mendefinisikan hukum sebagai komando, pemikiran

sebagaimana diperkenalkan ahli filsafat hukum Inggris John Austin.

2) Istilah positivisme hukum juga digunakan untuk menandai

113 Ibid

174

perkembangan penting dalam konsep hukum yang ditandai oleh

dua citi utama: (1) hukum dipisahkan secara tegas dari moral dan

politik. Hukum harus netral terhadap moral dan politik. Asalkan

dimengerti dengan baik, ini yang disebut dengan teori hukum murni

dikembangkan oleh Hans Kelsen; (2) hukum tidak berurusan

dengan hukum ideal, melainkan dengan hukum aktual, hukum yang

ada. Pemisahan ini tentu saja penting karena pertimbangan kepastian

hukum. Akan tetapi, pemisaha ini bagi positivisme juga dipandang

penting untuk melepaskan hukum dari pernyataan moral yang tidak

ilmiah. Hukum yang ilmiah harus bebas dari moral. Positivisme

hukum juga dimengerti sebagai cara berpikir dalam proses judisial

dimana hakim mendasarkan keputusannya sepenuhnya pada

peraturan hukum yang ada. Disini keputusan judisial semata-mata

merupakan hasil deduksi peraturan hukum. Inilah cara berpikir

akademis yang mengandalkan kemampuan berpikir logis. Dengan

demikian, positivisme dalam konteks judisial menunjuk pada proses

peradilan dimana keputusan hakim diambil, menurut istilah Ronald

Dworkin, secara mekanistis. Hart menyebut konsep judisial seperti

ini sebagai otomatis atau Slot-Machine. Proses seperti ini praktis

membuat proses litigasi menjadi percuma.

3) Positivisme hukum juga merupakan cara berpikir yang

berpendapat bahwa penilaian moral kalau dipandang perlu harus

dapat dilakukan dengan menujukkan bukti-bukti faktual atau argumen

175

rasional. Kesan seperti ini cukup kuat muncul terutama dalam

pandangan Joseph Raz melalui gagasannya tentang “mitos moralitas

bersama‟ (the myth of common morality). Pandangan ini

beranggapan bahwa kesatuan masyarakat tercipta karena adanya

moralitas yang diterima oleh segenap anggota masyarakat.

Pandangan terakhir ini yang dikenal sebagai positivisme sosiologis,

yang juga sangat menekankan watak ilmiah dari hukum.

4) Istilah positivisme juga digunakan untuk menunjuk pada

pandangan yang menuntut bahwa hukum yang ada, juga kalau tidak

adil, harus dipatuhi. Dengan kata lain, bagi positivisme validitas

hukum tidak tergantung pada validitas moral. Hukum hanya tidak

berlaku atau tidak valid apabila terjadi kontradiksi dalam hukum itu

sendiri.

Makna dan hakekat Judicial Activism penting untuk dipahami dan

diimplementasikan oleh Hakim antara lain karena dalam pembuktian

diproses persidangan, hakim mencari kebenaran materiil, bukan sekedar

kebenaran formil. Disamping itu, perlu disadari juga bahwa Judicial

Activism dapat mengisi kekosongan hukum dalam menggapai keadilan dalam

masyarakat114. Upaya pemenuhan rasa keadilan itu bergantung kepada

bagaimana cara Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara. Jika

Mahkamah Agung gagal mengurai makna keadilan substantif dalam setiap

perkara, maka yang ditemukan adalah keadilan yang kabur. Adil menurut

114 Paulus E Lotulung, Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan (makalah) disampaikan pada dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011 di Jakarta.

176

hakim tapi putusan tersebut tak mampu memenuhi keadilan yang ingin

ditemukan oleh para pencarinya. Gerak “langkah” hakim menelusuri ruang

dalam sebuah perkara untuk menemukan keadilan tersebut dikenal dengan

konsep judicial activism. Menurut Kamus Hukum Black, judicial activism

dimaknai sebagai; sebuah filosofi dari pembuatan putusan peradilan dimana

hakim diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya mengenai

kebijakan publik, di antara pelbagai faktor-faktor, untuk menuntunnya

memutuskan sebuah permasalahan. Dengan demikian, Mahkamah Agung

perlu mempertimbangkan baik aspek tekstual maupun kontekstual ketika

menangani perkara-perkara hukum ditingkat kasasi. Dengan mempertautkan

aspek tekstual dan kontekstual secara dialektis dalam menangani perkara

hukum, maka dimensi normatif dan yuridis dapat dipahami secara lebih

komprehensif sehingga diharapkan Mahkamah Agung dapat mewujudkan

rasa keadilan yang dapat diteriam oleh pihak-pihak yang berperkara.

Mahkamah Agung mempunyai kewenangan dan tugas yudisial dan non

yudisial, kewenangan yudisial meliputi: (1) Mengadili pada tingkat kasasi

terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan di

semua lingkungan peradilan yang berada di bawah naungan Mahkamah

Agung; (2) Memutus sengketa tentang kewenangan mengadili; (3) Memutus

permohonan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dan putusan Pengadilan Pajak; (4) Memutus

permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat

terakhir dari semua lingkungan peradilan; (5) menguji secara materil terhadap

177

peraturan perundang-undangan; (6) Memutus pada tingkat pertama dan

terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili: a. antara pengadilan

di lingkungan peradilan yang lain; b. antara dua pengadilan yang ada dalam

daerah hukum pengadilan tingkat bandingyang berlainan dari lingkungan

peradilan yang sama; c. antara dua pengadilan tingkat banding dilingkungan

peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan; (7)

Memutus dalam tingkat pertama dan terakhir semua sengketa yang timbul

karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik

Indonesia berdasrkan peraturan yang berlaku; (8) Membubarkan Perseroan

Terbatas (Pasal 117 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas); (9) memutus pendapat DPRD yang mengusulkan Kepala Daerah

atau wakil Kepala Daerah diberhentikan dengan alasan antara lain melanggar

sumpah jabatan, melakukan pelangaran hukum (Pasal 29 ayat (4), Pasal 30

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)115.

Sedangkan Kewenangan Mahkamah Agung secara non yudisial adalah

(1) pengawasan terhadap aparatur-aparatur dilingkungan Mahkamah Agung

dan lembaga peradilan dalam naungannya; (2) Memberikan nasihat hukum

kepada Presiden dalam rangka pemberian atau penolakan grasi; (3)

Melakukan Pengawasan terhadap Penasihat Hukum dan Notaris bersama

Pemerintah; (4) Memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada lembaga

tinggi negara yang lain baik diminta maupun tidak diminta; (5) Meminta

keterangan dan memberi petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan

115 Bagir Manan, 2005, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah Agung, Jakarta. hlm 112.

178

peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok kekuasaan

Kehakiman; dan (6) Tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-

undang.

Mengenai peninjauan kembali terhadap putusan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap menimbulkan anomali antara putusan kasasi yang

mempunyai kekuatan hukum tetap itu dengan pranata peninjauan kembali

secara yuridis normatif putusan itu mempunyai kekuatan eksekutorial, apalagi

dinyatakan bahwa upaya hukum peninjauan kembali tidak menghalangi

pelaksanaan putusan. Oleh karena dalam kenyataan ada upaya hukum luar

biasa, peninjauan kembali itu dapat dikabulkan, walaupun jumlahnya sangat

kecil. Maka perlu sikap hati-hati untuk melaksanakan putusan yang sedang

dalam proses peninjauan kembali itu. Kenyataan tersebut telah menyebabkan

pengadilan (dalam pekara Perdata) dan kejaksaan (dalam perkara Pidana)

menjadi serba salah. Untuk itu terhadap peninjauan kembali diusulkan:

1) Kemungkinan meniadakan pranata Peninjauan Kembali (PK) agar tidak

menjadi hambatan melaksanakan putusan;

2) Pembatasan yang lebih ketat, dalam perkara pidana hanya berlaku bagi

terpidana dengan hukuman selama 15 (lima belas) tahun ke atas atau

dijatuhi hukuman mati. Untuk perkara perdatahanya berlaku untuk

perkara dengan nilai tertentu misalnya seratus juta Rupiah atau lebih;

3) Alasan yuridis hnya dibatasi pada novum (bukti baru);

4) Hanya terhadap putusan (mempunyai kekuatan hukum tatap) yang bukan

179

putusan kasasi116.

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dapat membatalkan putusan

pengadilan dari semua lingkungan peradilan jika pengadilan tersebut: (a)

tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; (b) salah menerapkan atau

melanggar hukum yang berlaku; (c) lalai memenuhi syarat-syarat yang

diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian

itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan; (d) putusan kurang

pertimbangan yang diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Mahkamah

Agung. Disamping itu, berdasarkan yurisprudensi, Mahkamah Agung dalam

tingkat kasasi dapat memperbaiki amar dan pertimbangan putusan Judex

Factie jika amar dan pertimbangan Judex Factie dianggap belum tepat atau

keliru.

Untuk perkara-perkara pidana, ada dua macam kasasi, yaitu kasasi

sebagai upaya hukum biasa dan kasasi sebagai upaya hukum lauar biasa.

Kasasi sebagai upaya hukum luar biasa dilakukan dengan tata cara dan syarat-

syarat sebagai berikut:

1) Hanya dilakukan demi kepentingan hukum;

2) Hanya terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap

yang bukan putusan Mahkamah Agung (yaitu putusan pengadilan tingkat

pertaa dan tau pengadilan tingkat banding);

3) Hanya oleh Jaksa Agung (wewenang eksekutif Jaksa Agung);

4) Putusan kasasi dimi kepentingan hukum tidak bolah merugikan pihak

yang berkepentingan (KUHAP Pasal 259, Pasal 260, dan seterusnya 116 Ibid, Bagir Manan. hlm 98.

180

sepanjang mengatur kepentingan terpidana. Tidak boleh merugikan

maksudnya adalah bila antara lain pidana tidak boleh lebih berat, karena

itu putusan bebas atau lepas, tidak mungkin diajuka kasasi demi

kepantingan hukum)117.

Sebagaimana yang berkaitan pula pada Pasal 106 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Mahkamah

Agung diberi wewenang untuk menerima, memeriksa dan memutus keberatan

atas penetapan hasil perhitungan suara Pemilihan Umum Kepala Daerah

(Pemilukada) dan pemilihan Wakil Kepala Daerah yang dikeluarkanoleh

Komisi Pemilihan Umum Kepala Daerah (KPUD). Atas ketentuan Pasal 106

ayat (1) itu pula pada bulan Mei 2005 Mahkamah Agung mengeluarkan

peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Ketetapan Hasil Pemilihan

Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari KPUD Provinsi dan

KPUD Kota atau Kabupaten. Peraturan Mahkamah Agung tersebut

merupakan karakterisktik hukum acara (formeel recht) yang dikeluarkan oleh

Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan fungsi pengaturan

(reglende functie) guna mengisi kekosongan hukum acara untuk menjabarkan

ketentuan sesuai Undang-Undang termasuk dalam ketentuan Pasal 24 huruf A

ayat (1) sehubungan mengadili perselisihan hasil pemilihan umum.

Apabila kembali pada persoalan yang berkaitan dengan perkara kasasi

maka putusan Mahkamah Agung dapat berupa: (1) Mengabulkan permohonan

kasasi; (2) Menolak permohoan kasasi; (3) Memperbaiki putusan pengadilan 117 Ibid, Bagir Manan. hlm 99

181

tingkat pertama dan atau pengadilan tingkat banding; (4) menyatakan

permohonann kasasi tidak dapat diterima; (5) Permohonan kasasi digugurkan;

dan (6) Perkara kasasi dicabut. Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan

permohonan secara substantif mengandung dua kemungkinan: Pertama,

putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding

dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung “memutus sendiri perkara

tersebut”; Kedua, putusan tingkat banding dibatalkan sebaliknya keputusan

tingkat pertama dikuatkan. Adapun keputusan yang menolak permohonan

kasasi substansi putusannya mengandung dua kemungkinan: (1) Putusan

pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding dikuatkan; (2)

Putusan pengadilan tingkat banding dikuatkan sebaliknya putusan pengadilan

tingkat pertama dibatalkan. Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi

dengan perbaikan substansinya mengandung dua kemungkinan: (a) Diktum

(pertimbangan hukum putusan) pengadilan banding kurang tepat; (b) Diktum

(pertimbangan hukum putusan) pengadilan tingkat pertama kurang tepat.

Selanjutnya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan permohonan

kasasi tidak dapat diterima disebabkan empat hal: Pertama, permohonan

memori kasasi lewat waktu yang telah ditentukan peraturan perundang-

undangan yang berlaku; Kedua, surat kuasa tidak memenuhi syarat; Ketiga,

perkara tersebut seharusnya dilakukan permohonan banding terlebih dahulu;

Keempat, pihak yang mengajukan permohonan kasasi tidak mempunyai legal

standing. Bentuk putusan lainnya adalah putusan pencabutan jika pihak

pemohon kasasi mengajukan permohonan pencabutan, hal ini terjadi

182

disebabkan para pihak berdamai atau pemohon kasasi tidak berkehendak

untuk melanjutkan permohonan kasasinya. Sedangkan putusan yang

menggugurkan permohonan kasasi jika pemohon kasasi tidak memenuhi

kekurangan biaya perkara setelah dilakukan peneguran.

Berdasarkan uraian ini dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung

merupakan Judex Juris, maksudnya Mahkamah Agung hanya menilai

penerapan hukum pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding sebagai

Judex Factie dalam memutus perkara. Akan tetapi dalam hal permohonan

kasasi dikabulkan, Mahkamah Agung bukan saja menilai penerapan hukum

yang dilakukan oleh Judex Factie, bahkan berwenang pula melakukan

penilaian ulang kebenaran fakta-fakta berdasarkan bukti-bukti yang diperiksa

oleh Judex Factie. Dalam hal ini, Mahkamah Agung berfungsi ganda sebagai

Judex Juris sekaligus pula sebagai Judex Factie, kewenangan ini diberikan

berdasarkan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung118.

Hingga pada akhirnya perubahan Undang-Undang Dasar 1945

membawa perubahan mendasar dalam kehidupan dan ketatanegaraan

khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercermin

dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman sebagai payung hukum setiap perubahan yuridis Kekuasaan

Kehakiman harus menyentuh berbagai peraturan perundang-undangan yang

dipayungi, termasuk berbagai bentuk aturan kebijakan dan praktek peradilan

yang didapati dalam berbagai yurisprudensi atau putusan hakim.

Secara definitif penegasan mengenai penyelenggaraan kekuasaan

118 Log.cit, Harun Alrasid. hlm 277

183

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan

peradilan di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan

Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan lingkungan

Peradilan Militer, termasuk pada sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 24

huruf A Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan pula bahwa Mahkamah

Agung mengadili tingkat kasasi, mengadili Peraturan Perundang-undangan

dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang, termasuk Undang-

Undang Perseroan terbatas, memutus pendapat DPRD yang mengusulkan

Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan dan mengadili

keberatan atas penetapan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan

Umum Daerah (KPUD) yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan

Daerah berkaitan dengan wewenang inilah bersinggungan dengan wewenang

yang ada pada Mahkamah Konstitusi.

Jelas kiranya Mahkamah Agung sebagai lembaga Kekuasaan

Kehakiman berfungsi sebagai penegak hukum (Judex Factie) dan penegak

keadilan (Judex Juris). Fungsi penegakan hukum adalah dalam rangka

ketertiban hukum dimana hukum berfungsi sebagai tools of social

engineering. Sedangkan fungsi penegakkan keadilan dengan adanya upaya

Mahkamah Agung dalam membentuk formulasi antara putusan hukum yang

tidak bertentangan dengan rasa keadilan bagi kasus yang sedang diselesaikan,

sehingga Mahkamah Agung dapat tidak selalu berlandaskan peraturan hukum

184

jika tidak memberikan keadilan pada saat diterapkan dalam kasus yang

ditangani. Fungsi penegakan keadilan ini merupakan fungsi yang sangat

fundamental bagi Mahkamah Agung.

B. Putusan-Putusan Mahkamah Agung dalam Kapasitasnya sebagai Judex

Factie.

Kajian terhadap beberapa perkara yang berkaitan dengan putusan

Mahkamah Agung, akan digunakan dalam penelitian ini meliputi perkara

yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung sebagai pelaksana

Kekuasaan Kehakiman melalui lembaga-lembaga peradilan yang berada

dalam naungan Mahkamah Agung diantaranya: lembaga Peradilan Umum,

lembaga Peradilan Agama, lembaga Peradilan Tata Usaha Negara dan

lembaga Peradilan Militer dan perkara tersebut telah diajukan sebagai

perkara kasasi dan telah diputus oleh Mahkamah Agung, seanjutnya

dilakukan kajian terhadap perkara-perkara itu diantaranya:

PERADILAN UMUM

TABEL I

(Perkara Pidana)

KASUS IKHTISAR KRONOLOGI

PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNGPN PT

Angelina Patricia Pingkan Sondakh

Kasus Suap Wisma Atlet SEA Games Jakabaring (Kronologi terjadi di Palembang)

MenghukumTerdakwa

Menguatkan Putusan PN

Putusan Mahkamah Agung Putusan Mahkamah Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 tanggal (20 November 2013) Membatalkan kedua Putusan Judex Factie Mengadili Sendiri dengan Pemberatan disebabkan sesuai Pasal 11 Undang-Undang

185

No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Endang Surahman

Penggelapan dua unit Excavator pelanggaran terhadap Pasal 372 KUHP. (Kronologi kasus terjadi di Banjarmasin)

MenghukumTerdakwa

MembatalkanPutusan PN

Putusan Mahkamah Agung Nomor 271 K/Pid/2013 Tanggal (28 Mei 2014)Membatalkan kedua Putusan Judex Factie Mengadili Sendiri menganggap Pengadilan Tinggi telah salah mengartikan unsur Pasal 372 KUHP

Masitoh Kasus Korupsi Sesuai Pasal 244 KUHP berlaku terhadap Pasal 55 KUHAP Juncto Pasal 2 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. (Kronologi terjadi di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin)

MenghukumTerdakwa

MenguatkanPutusan PN

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1001 K/Pid.Sus/2014 Tanggal (27 Agustus 2014) Membatalkan kedua Putusan Judex Factie Mengadili Sendiri dengan alternatif:Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) Juncto 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHAP;

-Unsur Pertama setiap orang, -Unsur Kedua secara

melawan hukum dalam hal ini melawan hukum materil dan formil;

-Unsur Ketiga memperkaya diri sendiri.

Tabel II

(Perkara Perdata)

KASUS IKHTISAR KRONOLOGI

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNGPN PT

186

Aphiao Sengketa penggunaan hak Aphiao sewenang-wenang oleh Hartopo dinilai Pasal 1365 KUH Perdata dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi Aphiao, (Kronologi terjadi di Kabupaten Katapang Pontianak Banjarmasin)

MembatalkanGugatan

Penggugat

Membatalkan Putusan PN

MengabulkanPermohonan Pembanding

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2030 K/Pdt/2003 Tanggal (29 Maret 2006)Membatalkan Putusan Judex Factie dan Mengadili Sendiri dari alasan-alasan tersebut berpendapat :Judex Factie Pengadilan Negeri telah salah menerapkan hukum tentang ketentuan hak milik mempunyai fungsi sosial;

- Karena itu Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan menambil alih Putusan Pengadilan Tinggi yang telah benar dalam putusan Rekonvensi.

PT. Ardo Indonesia

Saudara Yusran tidak terima kemudian dengan sengaja menghalang-halangi proses kegiatan perusahaan PT. Ardo Indonesia dengan memasang patok Kayu dan membentangkan tali di atas bidang tanah tersebut, akibat perbuatan hukum saudara Yusran maka PT. Ardo Indonesia menderita kerugian, (Kronologi terjadi di Banjarmasin)

Mengabulkan Gugatan

Penggugat Untuk

Sebagian

Membatalkan Putusan PN

MengabulkanPembanding/

Semula Tergugat

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2201 K/Pdt/2012 Tanggal (16 April 2013)Membatalkan Putusan Judex Factie karena Putusan Pengadilan Tinggi dengan Mengadili Sendiri:

Karena bertentangan dengan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Hj. Istiana Sari

Perbuatan Wanprestasi yang merugikan pihak Saipul Rahman dan Mr. An Do Kyung sebagai pembeli. (Kronologi terjadi di Banjarmasin)

Mengabulkan Gugatan

Membatalkan Putusan PN

Putusan Mahkamah Agung Nomor 3168 K/Pdt/2013 Tanggal (23 April 2014) Mengadili Sendiri dengan Membatalkan Putusan Judex Factie Pengadilan Tinggi dengan membenarkan Putusan Pengadilan Negeri Pelaihari, dengan pengembalian hak-hak pemohon kasasi.

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Tabel III

(Perkara Tata Usaha Negara)

187

KASUS IKHTISAR KRONOLOGI

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNGPN PT

Yeti Desmiati

Keputusan Divisi Sumber Daya Manusia No. KP/359/SDM/11/R tanggal 11 Oktober 2004 yang isinya antara lain memperkuat keputusan sanksi administratif terhadap Sdri. Yeti Desmiati NPP. 22877 berupa Pemberhentian Tanpa Predikat cfm. Surat Keputusan No. KP/DIR/040/R tanggal 15-01-2004. (Kronoligi terjadi di Jakarata)

Membatalkan Gugatan

Penggugat

Menguatkan Putusan PN

Putusan Mahkahmah Agung Nomor 315 K/TUN/2006Tanggal (23 Agustus 2007) Membatalkan putusan Judex Factie dengan Mengadili Sendiri dengan membuktikan Judex factie telah salah dan keliru menerapkan hukum, oleh karenanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut harus segera dibatalkan berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha negara berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai ganti rugi dan atau rehabilitasi.

PT. Arutmin Indonesia

Keputusan Bupati Tanah Laut Kepada PT. Arutmin Indonesia(Kronologi terjadi di Banjarmasin)

Mengabulkan Penggugat

Membatalkan Putusan PN

Putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 Tanggal (6 November 2007) membatalkan Putusan Judex Factie dengan Mengadili Sendiri:- Menyatakan batal

Keputusan Bupati Tanah Laut Nomor 545.3.006/PU/DPE/2004 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi Batubara kepada PT. Surya Kencana Jorong Mandiri (KW.106 TW.1) yang diterbitkan Bupati kepada PT. Surya Kencana Jorong Mandiri.

PERADILAN MILITER

Tabel IV

(Perkara Militer)

188

KASUS IKHTISAR KRONOLOGI

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNGP. Mil PT. Mil

M. Ali Kadar Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan.(Kasus Terjadi di Jakarta)

Mengabulkan Tuntutan Oditurat Militer

- Pidana penjara dengan pemberatan

- Pemecatan

Menguatkan Putusan

Pengadilan Militer

- Mengubah Putusan Pengadilan Militer.

- Tidak adanya Pemecatan

Putusan Mahkamah Agung Nomor 118 K/MIL/2010Tanggal (28 September 2010) membatalkan keputusan Judex Factie yang menurut Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP, mengingat Pasal 10 KUHP, Pasal 26 KUHPM dan ketentuan perundang-undangan lainnya merupakan pengabaian sanksi terhadap kejahatan Pidana dengan Mengadili Sendri memberikan pertimbangan hal yang memberatkan Penjatuhan hukuman.

Husin Tindak Pidana Disersi dalam Masa Damai(Kronologi terjadi di Palembang)

Membatalkan Tuntutan

Odiur MiliterMemberikan

Putusan Bebas

Putusan Mahkamah Agung Nomor 56 K/MIL/2009 Tanggal (8 April 2010) dapat diajukan Pengajuan Kasasi terhadap putusan Bebas selanjutnya Mengadili Sendiri:- Mahkamah Agung menilai

putusan Judex Factie telah salah menerapkan hukum.

- tidak tepat menilai fakta karena setelah pelimpahan Detasemen Polisi Militer II/2 Palembang Putusan Pengadilan Militer yang tidak menyebutkan Locus Delicti, hal itu adalah kewenangan Detasemen Polisi Militer II/2 Palembang dan Pengadilan Militer dianggap tidak tepat dalam memberikan putusan bebas karena dampaknya dapat membahayakan bila terjadi dimasa perang.

PERADILAN AGAMA

Tabel V

(Perkara Peradilan Agama)

189

KASUS IKHTISAR KRONOLOGI

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNGPA PT.A

Hj. Asni Kasus ini adalah sebuah perkara pembatalan pernikahan dikarenakan adanya penghalang perkawinan tanpa adanya izin berpoligami dari Pengadilan Agama(Kronologi Terjadi di wilayah Pekanbaru)

MengabulkanGugatan

Penggugat

Membatalkan Putusan

Pengadilan Agama

Sungaipenuh

Putusan Mahkamah Agung Nomor 02 K/AG/2001 Tanggal (30 Maret 1999), Mengadili Sendiri dan membatalkan putusan Judex Factie Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Sungaipenuh, Mahkamah Agung melihat surat-surat bersangkutan karena perbuatan Muhammad Nasir yang melaksanakan akad nikah baru tanpa izin poligami dinyatakan telah melanggar ketentuan Undang-Undang.

Noorliah dkkAhli Waris Keluarga Anang Harlansyah (Alm)

Tanah tersebut adalah tanah bersama yang dihibahkan kepada Balkansyah pada tanggal 9 Mei 1960 tanpa persetujuan Isteri Anang Healansyah yakni Aluh Arbayah dan anak-anak Anang Harlansyah, hingga wafatnya Anang Harlansyah pemberian hibah tanpa diketahui Ahli Waris.(Kronologi terjadi Banjarmasin)

Menolak Gugatan

Penggugatkarena

melanggar asas Legitima

Persona Stand in Judicio

Menguatkan Putusan

Pengadilan Agama

Banjarmasin

Putusan Mahkamah Agung Nomor 595 K/AG/2012 Tanggal (25 Juni 2013)Mengadili Sendiri perkara ini dengan mengabulkan Permohonan Kasasi dengan:- Membatalkan Putusan

Judex Factie Pengadilan Tinggi Agama yang menguatkan putusan Pengadilan Agama Banjarmasin yang tidak melihat konstruksi Hukum termasuk Substansi Kompilasi Hukum Islam.

Liza Faulina

Perkara Sengketa Harta Bersama dengan Penggugat Hamdi.(Kronologi terjadi di Banjarmasin)

Mengabulkan Gugatan

Penggugat untuk

Sebagian

Menguatkan Putusan

Pengadilan Agama

Banjarmasin

Putusan Mahkamah Agung Nomor 27/K/AG/2012 Tanggal (28 Mei 2013)Mengadili Sendiri:- Membatalkan Putusan

Pengadilan Tinggi yang menguatkan Pengadilan Negeri

- Mengabulkan untuk mendapat ½ (sebagian) dari harta bersama.

BAB IV

PEMBAHASAN PENELITIAN

190

A. Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara sebagai

Judex Juris Menurut Kajian Hukum Normatif dan Filosofis.

1. Landasan Kewenangan Mahkamah Agung secara Normatif dan

Filosofis.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar

1945 yang menyatakan:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian Mahkamah Agung memiliki kewenangan

Konstitusional sebagai puncak peradilan. Implementasi kewenangan

tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

Sejarah peradilan dalam perkembangan di Indonesia mengalami

berbagai pengaruh, yang berdampak terhadap kebebasan, padahal salah

satu ciri negara hukum adalah kebebasan Hakim (Independent of

Judiciary). Pengaruh Eksekutif terhadap badan Yudikatif terlihat dalam

BAB II Badan-Badan Peradilan dan Azas-Azasnya Pasal 11 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana pengaruh tersebut berlaku terhadap

Hakim yang harus berhadapan dengan dua institusi disatu pihak mengenai

Tekhnis Yuridis berada di bawah Mahkamah Agung sedangkan

191

Administratif dan finansial berada di bawah Departemen Kehakiman yang

pada dasarnya bagian dari Eksekutif, menyadari kemungkinan pengaruh

eksekutif terhadap Yudikatif maka dilakukan perubahan terhadap

Undang-Undang Nomo 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan

Kehakiman menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan terakhir

diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menghilangkan pengaruh eksekutif sehingga

segala sesuatu yang berkaitan baik tekhnis Yuridis maupun Administratif,

sepenuhnya menjadi dibawah Mahkamah Agung yang sering dikenal

dengan pembinaan satu atap. Dengan dapat diwujudkannya kemandirian

Hakim melalui perundang-undangan maka teori dari Montesque tentang

Trias Politica masih mempengaruhi sistem Ketatanegaraan Indonesia.

Secara terminologi bahasa, Kekuasaan melibatkan kekuatan dan

paksaan, wewenang merupakan bagian dari kekuasaan yang cakupannya

lebih sempit. Maka wewenang tidak menimbulkan implikasi kekuatan.

Wewenang adalah kekuasaan formal yang dimiliki oleh seseorang karena

posisi yang dipegang dalam organisasi119. Dengan demikian kekuasaan

mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan

kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat

bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi

(inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan

kewenangan jelas bersumber dari konstitusi. Kewenangan sering

119 http://muhammadkhadapi.blogspot.com/2010/12/pengertian-wewenang-kekuasaan-dan.html (diakses tanggal 21 Juni 2015)

192

disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam

bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid”

dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika

dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah

“bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya.

Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun

dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau

wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik120.

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,

kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-

undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”

(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat

wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Berkaian dengan

kewenangan Mahkamah Agung khususnya dalam literatur ilmu hukum

sering ditemukan istilah kewenangan sering memiliki persamaan dengan

kekuasaan, tidak jarang terjadi bertukar istilah kewenangan dengan

kekuasaan, demikian pula sebaliknya. Wewenang merupakan lingkup

tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya

meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi

meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan

wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang

120 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya,  tanpa tahun, hlm. 1

193

adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan

untuk menimbulkan akibat-akibat hukum121. Wewenang memiliki Akibat

hukum, wewenang itu lahir dari tindakan hukum maka akibat-akibatnya

memiliki relevansi dengan hukum seperti: penciptaan hubungan hukum

baru, atau pengakhiran hubungan hukum yang ada122.

Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan sebagai pelaksana

Kekuasaan Kehakiman sesuai Amanat Pasal 24 Undang-Undang Dasar

1945 versi Amandemen sebagai salah satu tugasnya demi menegakkan

supremasi hukum yang selama ini hanyalah sebagai permainan bahasa,

cenderung masih jauh dari harapan pencari keadilan. Oleh karena itu

harus dikembalikan kepada bagaimana substansi hukum dan unsur

pelaksananya memiliki harmonisasi dengan tatanan sosial, budaya dan

kelangsungan hidup suatu masyarakat yang mempunyai nilai berbeda satu

dengan lainnya. Konsekuensinya, ketika akan mengadopsi sebuah

ketentuan atau bentuk sistem hukum yang akan berlaku mengikuti

dinamisasi perkembangan masyarakat, maka setiap hasil pemikiran dunia

barat, atau hasil pemikiran pakar dan ahli dalam hukum dari wilayah

manapun harus benar-benar secara rasio (pemikiran kritis) disaring

apakah akan terjadi kontradiksi atau tidak dengan filosofi dasar negara

maupun hukum asli bangsa kita.

Secara normatif kewenangan Mahkamah Agung sebagai pelaksana

Kekuasaan Kehakiman memiliki kewenangan memeriksa dan memutus 121 Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung,

Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm. 65

122 HR. Ridwan. 2002. Hukum Administrasi Negara. UII Press, Yogyakarta. hlm 81

194

mengenai adanya pengajuan:

a) Permohonan kasasi;

b) Sengketa tentang kewenangan mengadili;

c) Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai Pasal 28 ayat (1) Undang-

Undang Mahkamah Agung (Lihat Putusan PK dari Mahkamah Agung

yang bersifat Judex Juris);

d) Disamping tiga wewenang tersebut Mahkamah Agung juga

mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap

peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang Pasal 31

ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung;

e) Berwenang melakukan pengawasan tertinggi terhadap

penyelenggaraan peradilan serta pengawasan administratif pada semua

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan

kekuasaan kehakiman. Maka dari poin-poin wewenang Mahkamah

Agung di tingkat kasasi sesuai Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang

Mahkamah Agung dinyatakan dapat “membatalkan putusan” atau

“mengabulkan penetapan pengadilan-pengadilan dari semua

lingkungan peradilan”, karena dengan pertimbangan yakni bahwa

pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung tidak berwenang

atau melampaui batas wewenang dan salah menerapkan atau

melanggar hukum yang berlaku termasuk lalai memenuhi syarat-syarat

195

yang diwajibkan oleh perundang-undangan yang mengancam kelalaian

itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan

Uraian tersebut di atas membuktikan secara yuridis formal

Mahkamah Agung hanya berwenang untuk menerapkan hukum oleh

karenanya dikenal dengan Judex Juris (membuktikan adanya

pengaruh Positivisme). Dengan demikian Mahkamah Agung harus

berani menyimpang dari Pasal 45A supaya ada kepastian hukum ke

depan. Mahkamah Agung secara fakta mampu Mengadili Sendiri

Permohonan Kasasi pada perkara sebagaimana Keputusan Bupati

Tanah Laut sebagai Pejabat Administrasi Negara, Putusan Bebas

Murni Serda Husin Kesatuan Puslatpur Kodiklat TNI-AD, atau

Kasus mengenai Klausula Cross Collateral. Sebab menurut hemat

penulis solusi penerapan makna gramatikal dari Pasal 45A bukan

menjadi masalah sebenarnya, ketentuan Pasal 45A hanya dibuat untuk

mengurangi beban Mahkamah Agung.

Maka menjadi suatu hal yang menarik apabila dikaji lebih

lanjut, mengenai filsafat yang tepat untuk Indonesia. Setiap ketentuan

hukum positif yang berlaku disebut sebagai istilah normatif yang

berkembang dan berubah seiring dinamisasi masyarakat, di dalam

dunia hukum ternyata masih menggunakan paradigma positivisme

yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis yang sejalan dengan

karakteristik manusia pada konteks multi kepentingan baik pada

proses maupun pada peristiwa hukumnya. Dimana hukum hanya

196

dipahami dalam artian sempit, yakni hanya sebatas undang-undang,

sedangkan nilai-nilai di luar undang-undang tidak dimaknai sebagai

sebuah hukum. Hukum merupakan bagian dari karya manusia yang

dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Undang-Undang

sebagai buah perwujudan nalar tidak selalu sebagai suatu kemutlakan,

tetapi hukum harus berkembang atau memiliki progres menurut

kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian yang memiliki

relevansi dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi

kemanusian yang adil dan beradab sebagaimana amanat sila kedua

Pancasila.

Perkembangan hukum akan muncul bila ditinjau secara

filosofis Eugenlightment artinya memiliki alur perkembangan yang

bertujuan pada perwujudan keadilan sebagaimana teori yang

dikemukakan John Rawls, termasuk konsep akses terhadap peradilan

dengan pemikiran Hukum Progresif yang pada saat ini berfungsi untuk

memecahkan kebuntuan menuntut keberanian aparat hukum

menafsirkan pasal-pasal sebagai substansi Undang-Undang untuk

lebih beradab. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun

dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa

mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek

ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga

Indonesia dimasa depan tidak ada lagi diskriminasi hukum, dengan

197

tujuan kesetaraan di depan hukum sebagaimana amanat Pasal 28 huruf

D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Manusia menciptakan hukum

bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk mendapatkan keadilan.

Putusan Mahkamah Agung mempunyai posisi yang sangat

penting dalam sistem peradilan di Indonesia, karena (a) putusannya

merupakan putusan terakhir dalam konteks upaya hukum biasa, dan

(b) putusan tersebut, jika memenuhi persyaratan, dapat dijadikan

yurisprudensi, sehingga dapat digunakan rujukan oleh Hakim Agung

lain atau hakim di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, sesuai

fungsinya sebagai Judex Juris. Dalam kapasitas melaksanakan tugas

dan fungsi tersebut, maka seorang Mahkamah Agung dituntut untuk

mampu melakukan peran dalam menegakkan hukum dan keadilan

serta melahirkan kaidah-kaidah hukum baru atau prinsip hukum baru

untuk mengisi kekosongan hukum. Tugas ini akan dapat dicapai,

apabila Hakim Agung yang mengadili perkara memiliki kompetensi

sesuai perkara yang ditangani.

Meskipun dipahami bahwa sistem peradilan di Indonesia tidak

menganut asas precedent, namun harus diakui bahwa putusan

Mahkamah Agung sering menjadi acuan bagi hakim lainnya. Maka

hasil adanya wewenang tersebut adalah Produk hukum Mahkamah

Agung salah satunya adalah putusan, dengan rincian :

a) Substansi Putusan :

Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung, mengatur bahwa,

198

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau

penetapan pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan

Peradilan karena:

1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

3) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan

batalnya putusan yang bersangkutan.

Melalui suatu substansi putusan, maka kewenangan

Mahkamah Agung dalam kapasitasnya sangat strategis, dengan

demikian memerlukan sikap adil yang sangat tinggi agar

diperoleh keseimbangan di kedua belah pihak yang berperkara.

b) Jenis putusan pada kasasi di Mahkamah Agung diatur sebagai

berikut:

1) Mengabulkan: dengan rincian sebagaimana Pasal 51 Undang-

Undang Mahkamah Agung, sebagaimana diuraikan pada

substansi dan amar putusan.

2) Membatalkan: putusan Pengadilan dan mengadili sendiri

perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang

berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama. Pasal 50 (2)

Undang-Undang Mahkamah Agung.

Putusan Mahkamah Agung perlu dieksekusi karena berkaitan

dengan orang-orang yang bersengketa dan biasanya bersifat

menghukum. Jadi, meskipun begitu putusan diucapkan telah terbit

199

keadaan hukum baru, dan pada saat itu pula sudah tercipta suatu

keadaan hukum baru, masih diperlukan eksekusi karena orang tidak

akan begitu saja bersedia dihukum.

Berdasarkan Perkembangan dinamika hukum kini

dilaksanakan Reformasi hukum (Law and Legal Reform) yang

melanda seluruh bidang kekuasaan di Indonesia, termasuk kekuasaan

kehakiman khususnya Mahkamah Agung sebagai pelaku Kekuasaan

Kehakiman menegaskan posisi Mahkamah Agung sebagai fungsi

Judex Juris diatur dalam Pasal 50 ayat (1) namun dapat dimungkinkan

bagi Mahkamah Agung untuk melaksanakan dua fungsi yang berbeda

sesuai Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung, yakni

sebagai :

1. Judex Juris: yaitu pemeriksaan dan penilaian terhadap suatu

perkara yang dilakukan dari segi hukum, melalui berkas-berkas

yang diajukan kepada hakim agung, seperti diatur dalam ayat (1) :

‘Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung,

berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu

Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para

saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau

Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut

mendengar para pihak atau para saksi’.

2. Judex Factie: pemeriksaan dan penilaian terhadap suatu perkara

dari segi hukum dan fakta atau peristiwa. Mengenai hal ini diatur

200

pada ayat (2): ‘Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan

Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai

hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat

Pertama’. Tuntutan agar putusan Mahkamah Agung berkualitas,

relevan dengan adanya kemungkinan untuk menggali informasi

secara langsung kepada pihak-pihak yang bersengketa maupun

kepada pencari keadilan lainnya. Peluang inilah yang diharapkan

mampu memberi ruang bagi untuk menghasilkan putusan yang

berkualitas (sesuai aturan hukum dan prinsip-prinsip keadilan).

2. Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memeriksa Perkara sebagai

Judex Juris terhadap Putusan-Putusan Lembaga Peradilan yang

Bernaung di bawah Mahkamah Agung.

Bukti empiris kewenangan Mahkamah Agung dalam

memeriksa Perkara sebagai Judex Juris yang saat ini lebih menitik

beratkan pengujian fakta di persidangan tampaknya kajian yang

menarik untuk dilakukan penelitian terhadap perkara-perkara yang

telah diuraikan sebelumnya, mengingat perkara-perkara tersebut telah

diputus Pegadilan-pengadilan sebagai Judex Factie di bawah naungan

Mahkamah Agung diantaranya Pengadilan Umum, Pengadilan Tata

Usaha Negara, Pengadilan Militer dan Pengadilan Agama, namun hasil

putusan pengadilan-penadilan tersebut tetap belum berhenti untuk

memperoleh rasa keadilan yang tertinggi dan hal tersebut merupakan

kewenangan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris namun saat ini

upaya hukum yang diajukan kepada Mahkamah Agung dengan alasan,

201

dari tiap putusan pengadilan belum memberikan rasa puas kepada

pencari keadilan sehingga tidak jarang Putusan Pengadilan-Pengadilan

tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung yang seolah-olah Mahkamah

Agung bertindak menilai fakta sebagai Judex Factie dengan Mengadili

Sendiri perkara tersebut hal ini merupakan suatu hukum yang

progresif dalam mewujudkan keadilan final bagi setiap orang. Adapun

mengenai perkara yang akan diteliti penulis adalah pekara-perkara

diantaranya sebagai berikut:

PERADILAN UMUM (PERKARA KASUS PIDANA)

1) Perkara Tindak Pidana Korupsi melalui Putusan Mahkamah

Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 (Angelina Patricia Pingkan

Sondakh).

Memperlihatkan bahwa hasil putusan yang dikenakan

berdasarkan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau Pasal

12 huruf A seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Angelina sondakh hanya oleh

Pengadilan Negeri memberikan Vonis 4 tahun 6 bulan. Namun

Mahkamah Agung melalui majelis hakim Agung yang di pimpin

Artidjo memperberat hukuman Angelina Patricia Pingkan Sondakh

menjadi 12 tahun penjara yang lebih berat dari sebelumnya.

Tindakan dari Mahkamah Agung melalui Hakim Artidjo

Alkostar, diapresiasikan dapat menghilangkan kejahatan terhadap

kerugian negara yang timbul dari prilaku korupsi aparatur negara

dengan memberi efek jera bagi pelaku korupsi. Namun masa hukuman

yang diperberat itu dianggap merupakan keadilan dari sudut pandang

202

kerugian negara dan menjadi alasan penulis menilai keadilan yang

dicapai hanya sebagai keadilan dari sudut pandang spiritual justice,

moral justice dan social justice, tetapi belum secara tegas menyentuh

pada philosophy and legal justice yang sekiranya dapat menjembatani

penganut paham hukum doktrinal dan nondoktrinal, sehingga penulis

menambahkan satu solusi lagi agar terwujud keadilan, secara filosofis

tetap berpedoman kepada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 yang berisi mengenai visi dan misi bangsa dan negara

Indonesia, karena keadilan yang dicita-citakan dalam Pancasila dan

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di samping bersifat relijius-

sosialis, juga bersifat luhur, universal, dan jauh dari sifat sekuler-

individualistis-materialistis. Keduanya ini pun bisa sebagai perekat

bangsa dan negara Indonesia, yang saat ini sedang bercerai-berai

terutama kalangan atau penganut dua paham tersebut (doktrinal dan

non doktrinal). Karena Pancasila oleh kalangan ahli hukum doktrinal

di Indonesia diakui sebagai staatsfundamentalnorms, begitu pun dan

Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang sakral

keberadaannya, sehingga harus mereka ikuti. Sedangkan dari

pemikiran-pemikiran ahli hukum non doktrinal di Indonesia, Pancasila

maupun dan Pembukaan UUD 1945 sudah sesuai dengan alur pikirnya

atau konsep yang selama ini dibangun.

2) Perkara Kasus Tindak Pidana Penggelapan (Endang Surahman

bin Abdul Rahman Amir (Alm) Putusan Mahkamah Agung

Putusan Mahkamah Agung Nomor 271 K/PID/2013 Tanggal (28

Mei 2014).

203

Kasus yang dilakukan oleh Endang Surahman bin Abdul

Rahman Amir (Alm) merupakan pelanggaran terhadap perjanjian yang

mengarah pada tindakan penggelapan bertentangan dengan Pasal 372

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, membuktikan bahwa

Mahkamah Agung sebagai Judex Juris berkewenangan untuk

menganalisis putusan yang telah ditetapkan lembaga peradilan yang

berada di bawah naungan Mahkamah Agung seperti penerapan hukum

yang telah tepat menurut analisis Mahkamah Agung dari Putusan yang

diberikan oleh Pengadilan Negeri Batulicin, namun Mahkamah Agung

menilai adanya kesalahan dalam menilai fakta menyebabkan

penerapan hukum menjadi teidak sesuai terhadap suatu perkara atau

kasus yang diputus demi mewujudkan keadilan bagi setiap orang,

sebagaimana keputusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin dalam Putusan

Pengadilan Tinggi Nomor 108/PID/2012/PT.BJM, tanggal 20

Desember 2012, karena kesalahan dalam mengartikan secara sempit

makna gramatikal mengenai hak memiliki atau menguasasi yang pada

intinya adalah karena telah ditentukan oleh Undang-Undang, Aturan-

Aturan Hukum yang berlaku sebagaimana telah diperkuat oleh

Yurisprudensi Mahkamah Agung terdahulu tanggal 11 Agustus 1950

Nomor 69 K/Kr/1959, H.R. 26 Maret 1906, W.8355 24 Februari 1913,

N.J. 1913, 669.W.9469 tanggal 20 Juni 1944 Nomor 589, maka Judex

Factie salah mengartikan sehingga salah menerapkan hukum karena

bertentangan dangan kebenaran yang memiliki relevansi secara

Yuridis.

204

Jika setiap lembaga peradilan sebagai perpanjangan dari

Mahkamah Agung tidak memiliki pengetahuan yang baik dan melihat

tidak secara Mutatis-Mutandis maka Mahkamah Agung dapat

mengambil alih fungsi Judex Factie demi menegakkan keadilan dan

tidak hanya dalam mengakkan hukum saja sebagai Judex Juris.

3) Perkara Kasus Pidana Korupsi (Masitoh binti Abdul Wahab

Sirait) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1001 K/PID.SUS/2014

(Tanggal 27 Agustus 2014)

Secara empiris sering terjadi kontradiksi antara Lembaga

Pengadilan Negeri dengan Lembaga Pengadilan Tinggi sebab dalam

hal ini keduanya dikatan sebagai Judex Factie (Menegakkan

Keadilan), sebab apa yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri

sering dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi, untuk itu peran Mahkamah

Agung diharapkan mampu sebagai Judex Juris dalam menganalisis

kekuarangan atau kesalahan dalam menerapkan hukum atau

penemuan hukum membuktikan bahwa Mahkamah Agung tersebut

mempunyai Kewenangan Yudisial tidak terpaku terhadap peraturan

Undang-Undang, oleh sebab itulah dalam kasus Korupsi Putusan

yang diberikan Mahkamah Agung sering dipakai sebagai

Yurisprudensi Hukum demi memperkuat hukum materiil di

indonesia, faktanya adalah dalam setiap Tindak Pidana Korupsi

(TIPIKOR) putusan Mahkamah Agung jauh lebih memberikan unsur

penjeraan dari suatu pidana (nestapa) sebab agar Pelaku Tindak

205

Pidana Korupsi tidak sewenang-wenang demi stabilitas negara dan

bangsa.

Terbukti dalam Kasus Korupsi dengan putusan Terdakwa

Masitoh binti Abdul Wahab Sirait di vonis “turut serta melakukan

korupsi” Mahkamah Agung dapat menjatuhkan vonis lebih berat dari

setiap lembaga peradilan dengan memberikan sanksi tahanan yang

lebih lama denda yang lebih besar, dan dengan menjatuhkan Pidana

Tambahan. Padahal Mahkamah Agung tetap berpegang pada

ketentuan sebagaimana Undang-Undang Hukum Pidana sebagai

payung hukum bagi Perundang-Undangan lainnya sebagaimana Pasal

244 KUHP berlaku terhadap substansi Pasal 55 KUHAP Juncto Pasal

2 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak

Pidana Korupsi.

Mahkamah Agung dalam hal ini menilai fakta hukum yang

terjadi diantaranya menilai unsur setiap orang, dan menilai unsur

secara melawan hukum yang mencakup pengertiannya melihat secara

psikologis adanya sikap batin terdakwa yang berniat jahat melakukan

perbuatan tersebut yang memenuhi pengertian melawan hukum

formil saja, meskipun hal ini tidak diatur dalam Undang-Undang,

maka Putusan ini dapat diterapkan sebagai Yurisprudensi dikemudian

hari.

PERADILAN UMUM (PERKARA PERDATA)

206

1) Perkara Perdata mengenai Sengketa atas Tanah Milik melalui

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2030 K/Pdt/2003 (Aphiao).

Putusan Mahkamah Agung yang menolak Putusan Pengadilan

Negeri Nomor: 01/Pdt.G/2001/PN.Ktp. tanggal 15 Agustus 2002

Ketapang dan Putusan Pengadilan Tinggi Tinggi Pontianak Nomor:

54/Pdt/2002/PT.Ptk. tanggal 20 Januari 2003 karena telah menolak

pengajuan Gugatan Aphiao dinilai tidak mencerminkan rasa Keadilan.

Tindakan Mahkamah Agung dalam putusannya yang

mengabulkan Permohonan Kasasi Aphiao tersebut dinilai sebagai

penegakan hukum sebagai Judex Juris sekaligus Penegakan Keadilan

sebagai Judex Factie, Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan

seseorang lain, tanpa sesuatu perjanjian, maka berdasarkan Undang-

Undang jelas memenuhi unsur perbuatan melawan hukum juga timbul

atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan

kerugian itu. Hal tersebut diatur jelas dalam Pasal 1365 KUHPerdata,

sebagai berikut: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa

kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Namun menurut penulis kewenangan Mahkamah Agung

mengenai perkara perdata Aphiao tidak terpaku pada Undang-Undang

belaka, sebab Mahkamah Agung bertindak pula terhadap suatu

perbuatan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang sekalipun

perbuatan itu dinilai bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh

moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat dapat

menimbulkan rasa tidak nyaman, mengganggu dan merugikan pihak

207

lain tanpa adanya izin atau ikatan perjanjian merupakan suatu sebab

yang merugikan subjek hukum lainnya.

2) Perkara Perdata PT. Adaro Indonesia Putusan Mahkamah

Agung Nomor: 2201 K/Pdt/2012 Tanggal (16 April 2013)

Mahkamah Agung dalam sengketa pembebasan tanah

memperhatikan fakta mengenai putusan Pengadilan Tinggi

Banjarmasin atas Putusan Nomor 13/PDT/2012/PT.Bjm tanggal 15

Maret 2012 yang jelas bertentangan dengan Pasal 14 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman dinyatakan Dalam sidang permusyawarata, setiap

hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis

terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang

tidak terpisahkan dari putusan.

Alasan hukum Mahkamah Agung menilai fakta dikarenakan

bahwa Yusran bukanlah pemilik sah berdasarkan Surat Perjanjian

Penguasaan Fisik Bidang Tanah, namun milik Masrani dan

Muhraniansyah yang berdasarkan Surat Pernyataan Penguasaan

Fisik Bidang Tanah tertanggal 20 Oktober 2010 dan diketahui oleh

Kepala Desa Kasiau dengan demikian sah berada dalam

penguasaan saudara Arifin sebagai Turut Terbanding/semula Turut

Tergugat sehingga perbuatan Yusran sebagai Tergugat atau

Pembanding merugikan Pihak PT. Adro Indonesia sebagai

Pemohon Kasasi/semula Penggugat/Terbanding.

208

Hal ini sesuai dengan kewenangan Mahkamah Agung yang

membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin disebabkan

kurangnya pertimbangan hukum karena dalam putusan Pengadilan

Tinggi Banjarmasin tersebut hanya mempertimbangkan mengenai

keberatan-keberatan yang diajukan dalam Memori Banding tanpa

memriksa fakta-fakta mengenai soal penerapan hukumnya termasuk

putusan Pengadilan Negeri.

Dengan demikian menuntut Mahkamah Agung untuk dapat

menilai fakta di persidangan termasuk dalam ketentuan KUHAP.

mengingat Kekuasaan Kehakiman di Indonesia saat ini selain Civil

Law menganut pula sistim Anglo saxon atau Commond Law.

Dimana Mahkamah Agung pada perkembangannya ternyata dapat

bertindak sebagai Judex Factie apabila dalam hal yang menuntut

ditegakkannya Keadilan dan Hukum, dengan demikian hakikat

Mahkamah Agung Sebagai Judex Juris dianggap masih belum

mengakomodir rasa keadilan maka saat ini Mahkamah Agung

berperan sebagaimana Pasal 50 Undang-Undang Mahkamah Agung

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah

dan ditambah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005, dan

Perubahan II Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang

Mahkamah Agung termasuk Peraturan-Peraturan hukum lainnya.

209

3) Perkara Perdata Perbuatan Wanprestasi Hj. Istiana Sari

dalam Jual Beli Batubara Terhadap Saipul Rahman dan Mr.

An Do Kyung Putusan Mahkamah Agung Nomor 3168

K/Pdt/2013 Tanggal (23 April 2014)

Secara empiris dalam kajian perkara Perdata ini, membuktikan

bahwa Mahkamah Agung benar-benar tepat dalam wewenangnya

sebagai Judex Juris dengan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi

Banjarmasin Nomor 29/PDT/2012/PT.Bjm tanggal 21 Juni 2012 yang

telah salah menerapkan hukum dengan membatalkan Putusan

Pengadilan Negeri Pelaihari Nomor 25/Pdt.G/2011/PN.Plh tanggal 16

Februari 2012, yang pada Amar Putusan Mahkamah Agung mengadili

sendiri dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri yang

dinyatakan telah sesuai hukum.

Alasan hukum penulis pada bagian ini bermula dari adanya

Fakta perbuatan Hj. Istiana Sari sebagai Direktur CV. Anugra

Rimbatala Illahi merupakan perbuatan Wanprestasi atau ingkar janji

hingga merugikan Saipul Rahman dan Mr. An Do Kyung sebagai

Para Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi hingga menderita

kerugian.

Sebab wanprestasi atau kelalaian yang merupakan substansi

yang tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada

beberapa macam, yang meliputi:

- Tidak melaksanakan isi perjanjian sebagaimana disanggupinya;

- Melaksanakan isi perjanjian namun tidak sebagaimana

dijanjikan;

210

- Melaksanakan isi perjanjian namun terlambat;

- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya;

Menurut kajian ini bila kembali mengingat kekuatan

mengikatnya suatu perjanjian yang merupakan Amanat Pasal 1339

KUHPerdata (BW) sehingga pihak yang dirugikan oleh adanya

wanprestasi ini dapat melayangkan tuntutan atas kelalaian yang

terjadi, dalam hal ini Saudara Saipul Rahman dan Mr. An Do

Kyung sebagai Para Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi.

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

1) Perkara Mengenai Pemecatan melalui Keputusan Tata Usaha

Negara yang Diberikan Kepada Karyawati PT. Bank Negara

Indonesia Melalui Putusan Mahkahmah Agung Nomor 315

K/TUN/2006 (Yeti Desmiati).

Putusan Mahkamah Agung yang menerima Permohonan Kasai

oleh Yeti Desmiati oleh karena keputusan Surat Keputusan Direksi PT.

Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. No. KP/DIR/040/R tanggal 15

Januari 2004 perihal Pemberhentian yang berisi memutuskan antara

lain hal-hal sebagai berikut: “Mengakhiri hubungan kerja antara PT.

Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. dan Sdr. Yeti Desmiati NPP.

22877 pada tanggal 12 Januari 2004. Putusan mana kemudian

diperkuat oleh Surat Keputusan Divisi Sumber Daya Manusia No.

KP/359/SDM/11/R tanggal 11 Oktober 2004 yang isinya antara lain

memperkuat keputusan sanksi administratif terhadap Sdr. Yeti

Desmiati NPP. 22877 berupa Pemberhentian tanpa predikat cfm.

211

Surat Keputusan No. KP/DIR/040/R tanggal 15 Januari 2004. Sebelum

menjatuhkan putusan mengakhiri hubungan kerja dengan Yeti

Desmiati, pada bagian mengingat berpedoman pada Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 158 Jo Surat

Kesegenap Divisi/Satuan/wilayah No. SDM/1/091/R tanggal 12

Januari 2004;

Saat Yeti Desmiati menggugat ke Pengadilan Negeri

Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang no. 5 Tahun

1986 dinyatakan setiap Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat

konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum Perdata karena ”Keputusan Tata Usaha

Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan

atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata

Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undngan yang

berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan

akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”;

PT. Bank Negara Indonesia tersebut telah menimbulkan akibat

hukum yang merugikan Penggugat karena dengan dikeluarkannya

obyek gugatan maka Penggugat telah kehilangan pekerjaan yang

menjadi tulang punggung hidup keluarga;

Mahkamah Agung membuktikan bahwa penegakan keadilan

sebagai fungsinya sebagai Judex Juris sekaligus sebagai Judex Factie

dari permohonan kasasi yang diajukan Yeti Desmiati apabila dilihat

dari maksud putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta

tanggal 8 Desember 2005 No. 160/G/2005/PT.TUN.JKT. yang telah

212

menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No.

25/G.TUN/2005/PTUN.JKT. (sebagai Judex Factie) telah salah dan

keliru menerapkan hukumyang mencoba mengalihkan permasalahan

yang sudah masuk masalah materiil menjadi masalah formil berkaitan

dengan prosedur banding administratif. Karena gugatan Penggugat

yang pertama diajukan oleh Penggugat kemudian dicabut, sudah

menjelang kadaluarsa, yaitu hari yang ke 89 (delapan puluh sembilan),

dan seharusnya dari awal Penggugat mengajukan gugatan ini terpisah

atau tidak digabung, karena baik subyek hukum maupun obyek

sengketanya satu sama lain berlainan (berbeda) dengan demikian

adalah berdasar dan beralasan menurut hukum apabila Majelis Hakim

Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.

Mahkamah Agung dituntut untuk dapat menilai fakta yang ternyata

Yeti Desmiati Setelah dilakukan pemeriksaan untuk didengar

keterangannya sebagai saksi dan yang bersangkutan tidak terdapat

unsur pidana ataupun keterlibatan dalam kasus BNI KCU Cabang

Kebayoran Baru (LC) tidak sesuai dengan Keadilan, diungkapnya

fakta oleh Mahkamah Agung sangat penting karena demi mencari

kepastian hukum secara Individiu dan substantif sebagaimana L.

Pospisil yang melawan Legalisme maka Putusan yang diambil

Mahkamah Agung sangat manusiawi bagi Yeti Desmiati. Oleh

karenanya, obyek sengketa tersebut sangat berdasar untuk dibatalkan

menurut hukum dan keadilan, dan nyata beralasan secara formal

mengandung cacat hukum. Fakta ini diperkuat lagi dari dikeluarkannya

213

Surat Keterangan dari Mabes No. Pol. SK/110/III/2004/Dit II Eksus

tanggal 19 Maret 2004.

2) Perkara Peradilan Tanah Tata Usaha Negara dari adanya

Keputusan Bupati Tanah Laut Kepada PT. Arutmin Indonesia

Putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 (tanggal 6

November 2007)

Mahkamah Agung memperhatikan bahwa berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001 Bupati Tanah Laut adalah

Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang berwenang menerbitkan

keputusan kuasa pertambangan di wilayahnya, walaupun berdasarkan

pengecualian Pasal 45 huruf A ayat (2) sub huruf c, Mahkamah Agung

tidak dapat mengadili perkara tata usaha negara yang objek gugatannya

berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya

berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan, namun mengenai

Pembatasan tersebut Mahkamah Agung menilai bahwa Pasal 45 huruf

A ayat (4) dengan memperhatikan substansi ayat (3) karena telah

diterima dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri untuk mengadili

perkara tersebut maka pengecualian pengajuan Kasasi masih dapat

ditempuh melalui Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung

selanjutnya Mahkamah Agung memperhatikan kronologis yang mana

dengan diketahui dan disadari adanya area pertambangan PT. Arutmin

Indonesia di Wilayah Kabupaten Tanah Laut (dalam kawasan Bupati

sebagai Tergugat), mengingat masa berlaku masa kontrak kerja yang

diberikan kepada PT. Arutmin Indonesia selama 30 (Tiga Puluh)

Tahun. Seharusnya Mahkamah Agung memperhatikan wewenang

214

Bupati Tanah Laut yang tidak berhati-hati dalam mempertimbangkan

secara cermat mengenai waktu persiapan kepututsan a quo dengan

terlebih dahulu mencari tanah yang jelas (fakta yang relevan) maupun

kepentingan pihak ketiga, sebelum Bupati Tanah Laut mengambil

keputusan untuk memberlakukan Surat Keputusan memberikan Kuasa

pertambangan kepada pihak kedua di wilayah Tanah Laut.

Perbuatan yang dilakukan Bupati Tanah Laut menurut

Mahkamah Agung dalam kedudukannya sebagai Judex Juris: sungguh

tidak beralasan apabila Bupati tidak mengetahui, sebab pengesahan

keputusan Menteri telah lebih dahulu ada dan mengikat menjadi satu

hak bagi PT. Arutmin Indonesia sebelum disahkannya Keputusan

Bupati Tanah Laut, menyebabkan permasalahan hukum dikemudian

hari, karena pemberian Kuasa Pertambangan yang ada di Tanah Laut

saling bertumpang tindih. Dalam perkara ini Mahkamah Agung

menilai Bupati Tanah Laut melanggar asas-asas kecermatan dan

Kehati-hatian, menurut Analisis penulis bahwa Putusan Gubernur

Tanah Laut adalah bertentangan dengan asas hukum pemerintahan

yang baik dapat pula melanggar Undang-Undang namun penulis

melihat dari sudut pandang kebiasaan berdasarkan pelanggaran

prinsip kehati-hatian dalam asas kecermatan merupakan tindakan

yang tidak cermat dalam mengeluarkan Keputusan.

Putusan Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara ternyata

memutuskan untuk menunda Keputusan Bupati tersebut, hal ini

menurut pertimbangan Mahkamah Agung telah tepat, namun

pembatalan melalui Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

215

menjadi kewenangan Mahkamah Agung untuk memperhatikan bahwa

keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara telah salah dalam

menerapkan hukum dan benar-benar cacat hukum dan Mahkamah

Agung berwenang untuk memeriksa upaya hukum yang diajukan

Pemohon Kasasi.

Mengenai Duplikasi disini Mahkamah Agung ternyata

memeriksa Gugatan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 1976 dan PP 75 Tahun 2001 dapat disimpulkan bahwa

Eksplorasi dan Eksploitasi adalah: Jenis usaha di bidang pertambangan

yang berbeda dan tidak baerkaitan satu sama lain. Dengan demikian,

antara gugata penggugat atas objek sengketa perkara Nomor

02/G/2006/PTUN.Bjm dalam keputusan Bupati Tanah Laut Nomor

545.2.012.I/PU/PDE/2004 tanggal 17 Juni 2004 dan dalam gugatan

Nomor 15/G/2006/PTUN.Bjm Jo. Nomor 176/B/2006/PT.TUN.Jkt,

apabila kita telah melihat hasilnya adalah bahwa tidak terjadi Duplikasi

gugatan dan bukan meriupakan Nebis in Ideem;

PERADILAN MILITER

1) Perkara Kejahatan Pidana Militer Melalui Putusan

Mahkamah Agung Nomor 118 K/MIL/2010 yang diajukan

Oditur Militer pada Oditurat Militer II-09 Bandung, Kasus

Pidana (Sertu M.Ali Kadar).

Penilaian Mahkamah Agung terhadap kasus yang diajukan

Oditur Militer II-09 Bandung dengan Termohon Kasasi M. Ali Kadar

terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Pencurian diancam pidana

216

yang dilakukan oleh tentara yang berpangkat Sertu menurut Pasal 363

ayat (1) ke-3 KUHP. Jo. Pasal 10 KUHP dan Pasal 26 KUHPM yang

pada intinya menyatakan “ketentuan perundang-undangan lain yang

berhubungan. Kewenangan Mahkamah Agung dalam memberikan

menegakkan hukum dengan dengan memperberat hukuman M. Ali

Kadar yang telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Militer Jakarta sebab

putusan Pengadilan Militer sudah tidak dapat dipertahankan karena

seolah-olah mengisyaratkan hukum sangat ringan diberikan terhadap

suatu kejahatan pidana. Oleh karena kewenangan sebagai Judex Juris

dalam upaya hukum terakhir maka Mahkamah Agung menegakkan

Keadilan sebagaimana Judex Factie yang dapat menilai fakta bila

dirasakan tidak mencerminkan keseimbangan (balances) antara hukum

dan sanksi karena melihat jabatannya sebagai prajurit tentara yang

wajib melindungi negara dan berpangkat Sersan Satu M. Ali Kadar

adalah ternyata bertindak melanggar hukum dan melakukan kejahatan

pidana sebagai seorang Residivis yang membuat rusak nama baik

korps TNI.

Selain itu melakukan pencurian dan penghilangan terhadap

nyawa orang lain walau merupakan kealpaan namun patut disadari

oleh pelaku bahwa tindakannya menyebabkan hilangnya nyawa

seseorang, maka scara tegas harus dibatalkan oleh Mahkamah Agung

yang mengadili sendiri perkara tersebut dengan pidana tambahan

pemecatan dari kesatuannya sebagai tentara yang berpangkat Sersan

Satu.

217

2) Perkara Militer Tindak Pidana Disersi dalam Masa Damai

(Sersan Dua TNI-AD Husin) Tanggal Putusan Mahkamah

Agung Nomor 56 K/MIL/2009 Tanggal (8 April 2010)

Mahkamah Agung memiliki Pasal 131 Undang-Undang Nomor

1 tahun 1950 sebagai landasan hukum untuk beracara Kasasi. Dalam

tahun 1963 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963,

Mahkamah Agung memperluas Pasal 113 Undang-Undang No. 1

tahun 1950 dengan menentukan bahwa Permohonan Kasasi dapat

diajukan di Pengadilan Tingkat Pertama. Semula dalam pasal 113

tersebut, permohonan kasasi harus diajukan kepada Pengadilan yang

putusannya dimohonkan kasasi". Dengan perkara ini Oditur Militer

pada Oditurat Militer I-04 Palembang mengajukan Kasasi dari Putusan

Pengadilan Militer I-04 Nomor: PUT/34-K/PM I-04/AD/II/2009

Tanggal 12 Maret 2009, mengenai Tindak Pidana yang dilakukan

Anggota TNI-AD Berpangkat Sersan Dua bernama Husin yang murni

melakukan Disersi dalam Masa Damai, yang meninggalkan kewajiban

dalam tugasnya lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari.

Pengadilan Militer I-04 Palembang memutus pada salah satu

Amar yang mengadili bahwa Serda Husin tidak terbukti bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwanaan dengan memberikan

pertimbangan tidak adanya Lotus Delicti dan Dakwaan yang diajukan

tidak mencantumkan Dakwaan Alternatif. Dari Putusan Pengadilan

Militer I-04 Palembang tersebut kemudian Oditur Militer dari Oditurat

Militer I-04 secara langsung mengajukan Kasasi kepada Mahkamah

Agung sesuai Pasal 113 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 sebagai

218

landasan hukum untuk beracara Kasasi mengingat Pengadilan Militer

I-04 Palembang telah salah dalam menerapkan hukum, dan pada

perkara tersebut merupakan perkara pidana militer yang tergolong

putusan bebas saat ini dapat saja dilakukan Permohonan Kasasi

mengingat permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas

tidak memberikan upaya hukum biasa terhadap putusan bebas.

Alasan bahwa bila putusan Pengadilan Militer I-04 Palembang

bukan terhadap Putusan bebas murni bukan berarti fungsi Mahkamah

Agung sebagai pengadilan kasasi terhadap putusan bebas yang

dijatuhkan oleh Pengadilan Militer I-04 Palembang diabaikan, penulis

sependapat dengan Oditur Militer I-04 yang dapat mengajukan Kasasi.

Namun kajian penulis dalam hal ini menempatkan adanya Pergeseran

Paradigma dalam perkara a quo sebab Indonesia menganut dua sistem

hukum sehingga bila Putusan Pengadilan Militer I-04 Palembang salah

menerapkan hukum dan keliru dalam menerapkan hukum, mengingat

Kewenangan Mahkamah Agung Adalah Judex Juris sebagaimana

Amanat Pasal 50 Undang-Undang Mahkamah Agung maka

Mahkamah Agung berhak memeriksa apakah Putusan Lembaga

Peradilan yang ada di bawahnya telah tepat, jika tidak demikian maka

pengajuan memori kasasi dan permohonan kasasi kepada Mahkamah

Agung dapat diterima dan tidak melebihi batas pengajuan permohnan

kasasi sebagaimana ketentuan Undang-Undang.

219

PERADILAN AGAMA

1) Perkara Pembatalan Perkawinan Tanpa Izin Berpoligami

melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 02 K/AG/2001 (Hj.

Asni bini H. Syafe’i).

Mahkamah Agung dalam kapasitas sebagai Judex Juris akan

memperhatikan sejauhmana suatu perkara dalam kaidah hukum yang

saling bertentangan apabila dalam perkara Hj. Asni mengenai

perkawinan yang tanpa izin berpoligami baik dari Isteri maupun dari

Pengadilan Agama setempat sesuai ketentuan dalam Pasal 27 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga dapat secara

kias (analogi) diatur dalam Pasal 72 tentang Kompilasi Hukum Islam

pada hakikatnya diajukan paing lambat 6 bulan sejak yang

bersangkutan menyadari dan atau mengetahui perkawinan dimaksud.

Putusan pengadilan Agama dibatalkan oleh Mahkamah Agung

dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Tinggi agama telah mencoba

untuk mempermainkan keadilan oleh karena itu telah melanggar

ketentuan Pasal 3, Pasal 9 Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, oleh karenanya perkawinan

tersebut harus dibatalkan dan Akta Nikah dari kantor Urusan Agama

Kayu Aro tidak berkekuatan hukum, Mahkamah Agung dalam

kewenangannya sebagai Judex Juris juga telah menilai fakta yang

nyata yang dilakukan Ketua Pengadilan Tinggi Agama yang dalam

kaidah putusan tidak berkekuatan hukum, kewenangan Mahkamah

Agung dala perkara a quo bertindak sebagai Judex Factie, apabila

kembali kepada tidak adanya izin poligami dari Pengadilan Negeri

220

setempat ada dua kemungkinan yang terjadi dapat membatalkan

perkawinan walaupun telah lama pernikahan tersebut dilakukan tanpa

izin poligami telah dikarunia anak, disisi lain ada yang tidak dapat

dibatalkan, untuk yang tidak dapat dibatalkan apabila melindungi

pihak isteri dari pelanggaran hukum dengan tidak mengetahui bahwa

perkawinan itu merupakan perkawinan seorang laki-laki yang masih

terikat perkawinan dengan perempuan lain, dan oleh karena tidak ada

unsur kesengajaan melanggar hukum hanya dengan itikad baik maka

seorang isteri yang melakukan pernikahan dengan seorang laki-laki

yang telah melakukan perbuatan pemalsuan dan pendustaan maka

isteri tersebut harus dilindungi sebagaimana (Q.S. Al-An’am 6 : 164):

Bismillahirrahmanirrahim:

Artinya : Katakanlah apakah aku mencari Tuhan Selain Allah,

Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu dan tidaklah

seseorang yang berbuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain.

Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-

Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.

221

dan (Q.S. Al-Isra’ 17: 15):

Bismillahirrahmanirrahim:

Artinya: Barang siapa yang berbuat sesuai Hidayah Allah, maka

sesungguhnya dia berbuat itu untuk keselamatan dirinya sendiri dan

barang siapa yang sesat, maka dia tersesat bagi kerugian dirinya

sendiri dan seorang yang berdosa.

Namun lain halnya bila dalam kasus ini bahwa Mahkamah Agung

hanya sebagai Penegak Hukum (Judex Juris) sebab tidak

mempertimbangkan itikad baik dari isteri perama, dalam kasus ini

Mahkamah Agung menerapkan Ijtihad IntiQa’I.

2) Perkara Pembatalan Hibah (Tuntutan Ahli Waris Keluarga

Anang Harlansyah (Alm) kepada Pewaris Keluarga

Balkansyah Putusan Mahkamah Agung Nomor 595 K/AG/2012

Tanggal (25 Juni 2013)

Putusan karena adanya kesalahan aspek formil dari gugatan

Para Penggugat yang kemudian ditolak oleh Pengadilan Agama dan

diperkuat ptusan pengadilan Agama Banjarmasin oleh Pengadilan

Tinggi Agama Banjarmasin sehingga pihak para penggugat

tersebutkan Noorliah binti Anan Harlansyah dan para penggugat

222

lainnya mengajukan Permohonan kepada Mahkamah Agung untuk

mendapatkan keadilan dan Mahkamah Agung tetap pada kewenangan

sebagai Judex Juris karena walaupun Lembaga Peradilan Agama yang

dibawah naungannya menolak gugatan yang diajukan Para Penggugat

namun Mahkamah Agung sebagai pilar menegakkan hukum dan

keadilan mampu melihat pengajuan para Pemohon Kasasi yang tepat

sesuai Undang-Undang dan peraturan lainnya, kemudian

memperhatikan pertimbangan Memori Kasasi yang diajukan termasuk

mengkoreksi terhadap putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan

Tinggi Agama.

Ternyata walaupun pengajuan gugatan tersebut tidak tepat

secara formil, namun Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan

yudisiumnya berhak menilai sekaligus berperan sebagai Judex Factie

yang kurang memperhatikan unsur-unsur yang menjadi maksud

Permohonan Kasasi, adanya klausul bahwa tanpa sepengetahuan dari

Pewaris Anang Harlansyah kepada Isteri dan Anak-Anaknya setelah

diketahui adanya surat hibah dari pewaris kepada Balkansyah, dari

tindakan tersebut dapat dikaji bahwa perbuatan Pewaris tersebut dapat

dimohonkan untuk pembagian yang wajar kepada Pengadilan Agama

dan Pengadilan Tinggi Agama, oleh sebab lembaga peradilan tersebut

menolak maka dianggap telah menyimpang dari ketentuan Kompilasi

Hukum Islam Pasal 210 ayat (1) dinyatakan bahwa seseorang yang

223

menghibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta bendanya

kepada orang lain atau lembaga yang ditunjuknya.

Menurut kajian Penulis Putusan Mahkamah Agung dengan

Mengadili sendiri telah tepat dan mengabulkan Permohonan Kasasi

Para Pemohon Kasasi, dengan demikian dalam perkara in casu penulis

akan menjawab bahwa Mahkamah Agung harus membagi hanya

kepada para Termohon Kasasi diberikan 1/3 (sepertiga) bagian dan

kepada para Pemohon Kasasi sisanya setalah bagi 1/3 (sepertiga) yakni

2/3 (dua pertiga) bagian.

3) Perkara Sengketa Harta Bersama (Antara Hamdi dan Liza

Faulina) Putusan Mahkamah Agung Nomor 27/K/AG/2012

Tanggal (28 Mei 2013)

Kajian ini merupakan penilaian kewenangan yang dimiliki

Mahkamah Agung sebagai Judex Juris sebab tidak mengkoreksi

putusan Pengadilan di bawahnya sebagai Judex Factie, terjadi suatu

masalah yang bertumpang tindih apabila kajian ini melihat perkara

antara Hamdani dan Liza Faulina sebab menjadi satu kesatuan yang

mana perlu ditegaskan bahwa tidak adanya relevansi antara perkara

harta bersama dengan Hadhanah (yang merupakan ranah Personal

Recht) namun Mahkamah Agung dengan kewenangannya mampu

memprioritaskan apa yang menjadi tujuan utama dari Permohonan

Kasasi yang diajukan Liza Faulina mengenai Permohonan Kasasi

dalam menanggapi gugatan Hamdi sebagai Termohon Kasasi/dahulu

224

Penggugat mengenai pembagian harta bersama, yang pada dasarnya

Mahkamah Agung mempertimbangkan beberapa aspek dengan tetap

berpegang pada ketentuan Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Rumusan Harta bersama dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 sangat jelas, karena harta yang diperoeh Suami dan Isteri

sebagaimana ketentuan Kompilasi Hukum Islam Psal 86 (KHI)

dinyatakan “Pada dasarnya tidak ada percampuran harta suami dan

isteri” yang pengertiannya segala harta yang diperoleh suami atau isteri

baik sebelum dan sesudah perkawinan tidak dengan sendirinya

menjadi harta bersama, namun ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 35

ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan segala harta

yang diperoleh suami atau isteri selama perkawinan menjadi harta

bersama, kecuali harta yang diperoleh dari warisan atau hadiah baik

bagi isteri maupun suami.

Mahkamah Agung Mengadili Sendiri dalam Putusan Kasasi

Mahkamah Agung memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Agama

dan Pengadilan Agama dengan memberikan seperdua 1/2 bagian

sebagaimana Permohonan Kasasi dari Liza Faulina, dalam pembahasan

ini penulis mengkaji Mahkamah Agung akan memperhatikan aturan

dalam Pasal 96 dan Pasal 97 KHI. Mempertimbangkan menurut

penulis pada Perkara a quo kewenangan Mahkamah Agung tidak lepas

dari tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia walaupun demikian

225

jika berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 yang menitik beratkan pada pembagian menurut hukum masing-

masing, dan pada setiap kajian empiris menyatakan Mahkamah Agung

senantiasa memutus sengketa harta bersama dengan membagi dua

walaupun Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama tidak

selalu memutus harta bersama dibagi sebagian.

Sebagaimana surat Annisa ayat 32 yang diuraikan sebagai

berikut:

Bismillahirrahmannirrahim:

Artinya:

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan

Allah S.W.T, kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang

lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang

mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari mereka

yang mereka usahakan dan Mohonlah Kepada Allah S.W.T, sebagian

dari Karunia Allah S.W.T. Sesungguhnya Allah S.W.T Maha

Mengetahui segala sesuatu.

226

B. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam mewujudkan

keadilan.

Sistem hukum dimanapun yang berlaku di seluruh dunia tetap akan

memprioritaskan keadilan sebagai objek utama khususnya dalam kewenangan

Kekuasaan Kehakiman yang dilaksanakan Mahkamah agung melalui lembaga

pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu

sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu

struktur atau kelengkapan dengan menerapkan konsep akses terhadap

peradilan. Upaya Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi bidang

peradilan di lingkungan Peradilan Umum baik Perdata maupun Pidana, Tata

Usaha Negara, Agama dan Militer dalam mengarahkan semua hakim untuk

berpikir progresif walau tidak mudah, karena sampai saat ini masih ada hakim

yang cenderung berpikir legalistik-formalistik dengan selalu bersandar pada

pemikiran yang positivistik yang menempatkan peraturan perundang-

undangan sebagai inti hukum. Satjipto Rahardjo justru menegaskan bahwa

sebagian besar hakim di Indonesia cenderung menggunakan paradigma

berpikir rule making, yaitu berpikir dengan mengeja pasal-pasal undang-

undang sehingga biasa disebut cara berhukum yang legalistic dan positif-

analitis. Eksesnya, putusan hakim tidak signifikan dengan tujuan hukum.

Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan

dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain diperlukan ditransformasikan

melalui langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan

“mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”. didasarkan pada “logika

227

kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan

“logika peraturan” saja, yang tujuannya kepada Hakim-Hakim di Pengadilan

di bawah Mahkamah Agung. Mengenai tujuan hukum dalam mewujudkan

keadilan maka perlu merumuskan konsep keadilan progresif ialah bagaimana

bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur.

Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek

prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara

pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi.

Dengan demikian konsep keadilan progresif diterapkan bukanlah

ditekankan pada prosedur, melainkan keadilan keadilan substantif. Sehingga

kewenangan Mahkamah Agung dituntut untuk dapat melaksanakan

transformasi agar tidak menimbulkan kerusakan dan kemerosotan keadilan.

melalui hukum modren disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan

timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau

kemenangan”. Proses ini seringkali menjadi hal yang dilematis dalam suatu

proses penegakan hukum di negara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly

proceduralizied). Dalam menjalankan prosedur butuh perhatian Mahkamah

Agung dalam kewenangan yudisialnya sebagai pelaksana Kekuasaan

Kehakiman yang menempatkan penegakan hukum dan keadilan diatas segala-

galanya, bahkan diatas penanganan substantif terhadap isi suatu putusan.

Mahkamah Agung menjadikan keadilan subtantif sebagai inti

transformasi bagi pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung

memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan

228

pengadilan, Mahkamah Agung memiliki kekuasaan untuk mendorong

(encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan

yang progresif tersebut. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan,

bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari

kemenangan semata dalam penanganan perkara terhadap salah satu pihak yang

berperkara, melainkan mencari kebenaran dan keadilan.

Keadilan progrsif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat,

sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh

“permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini

hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang

kendali aktif untuk mencari kebenaran. Kehadiran hukum progresif bukanlah

sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan

sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses

pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti.

Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari

jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum

dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan

kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.

Keadaan hukum di Indonesia secara empiris terbukti sangat

memprihatinkan selaras ungkapan para pengamat hukum. Pada tahun 1970-an

sudah ada istilah “Mafia Peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada

orde baru hukum sudah bergeser dari law is a tools of social engineering ke

arah ketersesatan karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada

229

era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. inti dari

kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi

dalam menjalankan hukum, Agenda besar gagasan hukum progrsif adalah

menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan

mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum progresif mengajak untuk

memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum progresif

menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum

didalam masyarakat.

Disinilah arti penting pemahaman gagasan hukum progesif, bahwa

konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang

bersifat utuh (holistik) dalam memahami problem-problem kemanusiaan.

Gagasan hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum

pada sifat yang dogmatis, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang

empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh

berorientasi keadilan substantif.

1. Hukum Merupakan Faktor Dinamis

Hukum harus disinergikan dengan adanya pola pikir pembentukan

hukum khusunya peraturan-peraturan perundang-undangan harus

disesuaikan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Segala jenis peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan

sistem hukum yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Oleh

sebab itu, tata urutan, kesesuaian isi antara berbagai peraturan

230

perundang-undangan tidak boleh diabaikan dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan. 

2) Tidak semua aspek kehidupan masyarakat dan bernegara harus diafur

dengan perafuran perudang-undangan. Berbagai tatanan yang hidup

dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan cita hukum, asas

yang terkandung dalan pancasila dan UUD 1945 dapat dibiarkan dan

diakui sebagai subsistem hukum nasional dan karena ifu mempunyai

kekuatan hukum sepeti perafuran perundang-undangan. 

3) Pembentukan peraturan pemndang-undangan, selain mempunyai

dasar- dasar yuridis, harus dengan saksama mempertimbangkan dasar-

dasar filosofis dan kemasyarakatan tempat kaidah tersebut akan

berlaku. 

4) Pembentukan peraturan perundang-undangan selain mengafur keadaan

yang ada harus mempunyai jangkauan masa depan. 

5) Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan sekadar

menciptakan instrumen kepastian hukum, tetapi instrumen keadilan

dan kebenaran. 

6) Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada

partisipasi langsung atau tidak langsung masyarakat.

Mahkamah Agung kini diefektifkan sebagai institusi hukum yang

final dan mutlak, itu sebabnya kewenangan Mahkamah Agung melalui

lembaga peradilan dalam naungannya sangat ditentukan oleh

231

kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia, dalam konteks

pemberian keadilan dan menegakkan hukum.

Pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses

untuk terus menjadi panglima. Hukum adalah institusi yang secara terus

menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat

kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa

diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian

kepada rakyat dan lain-lain. Keseluruhan ini menuntut adanya upaya

transformatif dalam konteks menegakkan hukum sebagai Judex Juris,

sehingga hal yang demikian itu, ditafsirkan sebagai hukum yang akan

tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia.

Apabila dilaksanakan maka akan berpengaruh pada cara dalam proses

hukum, yang dapat terhindar dari jebakan dalam alur “kepastian hukum”,

status quo dan hukum sebagai skema yang final dan supremasi hukum

selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun

pada kultur hukumnya. Pada saat Mahkamah Agung dalam

kewenangannya menjadi sebuah skema yang final dan diterima

masyarakat, maka hukum tidak hanya tampil sebagai solusi bagi persoalan

kemanusiaan, melainkan setiap subjeknyalah yang dipaksa untuk

memenuhi kepentingan kepastian hukum. Dengan menempatkan aspek

perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia

dan kemanusiaan inilah selalu menjadi wacana yang wajib adapun unsur

dimaksud adalah compassion (perasaan baru), empathy, sincerety

232

(ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare (keberanian)

dan determination (kebulatan tekad).

Mahkamah Agung yang mengutamakan faktor kemanusiaan di atas

faktor peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan

perilaku dari bagi upaya transformasi sebagai Judex Juris ke ranah

keadilan bagi kemanusiaan secara utuh (holistik), hal ini merupakan

perubahan yang mampu disebut sebagai kewenangan Judex Factie

Mahkamah Agung yang bertanggungjawab secara sosial bagai produk

hukumnya untuk memberikan keadilan kepada siapapun.

2. Alternatif Putusan Judex Juris.

Perkembangan kemampuan Mahkamah Agung yang tidak hanya

menganalisis putusan Judex Juris lembaga pengadilan saja, namun dapat

menilai fakta sebagai maksud bukan berarti menjurus kepada tindakan

arogansi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada

“logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata

berdasarkan “logika peraturan” saja. Di sinilah hukum sebagai

pencerminan sikap Mahkamah Agung dalam kewenangannya yang sejalan

dengan makna pemikiran hukum progresif itu.

Salah satu faktor yang patut dibuktikan dengan menjunjung tinggi

moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penegakan hukum,

yang menjelma sebagai pendorong sekaligus pengendali yang membuat

semangat mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang

tepat untuk mewujudkan keadilan sustantif yang lebih baik.

233

Mahkamah Agung sebagai penjaga konsistensi putusan pengadilan

agar dalam Perkara-perkara yang serupa dapat diputus sama ditingkat

kasasi. Karena apabila hakim-hakim agung tersebut memutus perkara

yang serupa diputus berbeda ditingkat kasasi, hal ini berbahaya bagi

perkembangan hukum, khususnya kepastian hukum dan keadilan di

Indonesia. Itulah peran Mahkamah Agung dalam upaya mentransformasi

kewenangan sebagai Judex Juris yang pula mampu berperan sebagai

Judex Factie yang wajib menggunakan prinsip penyusunan kebijakan

hukum diantaranya melalui aspek keadilan (gerechtigkeit), aspek

kepastian hukum (rechtszekerheit), aspek kemanfaatan (zweckmassigkeit).

Secara yuridis sekaligus empiris, proses pengadilan di Indonesia

telah menampakkan perubahan yang progresif bilamana yang menjadi

tolok ukur (parameter) salah satu prinsip yang harus diemban oleh

kekuasaan kehakiman apa yang dikenal sebagai Speedy of Justice atau

Administration of Justice sebagai mana dinyatakan secara eksplisit dalam

ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

kekuasaan Kehakiman yaitu: “Pengadilan membantu pencari keadilan dan

berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.

Sebagaimana telah digunakan dalam ketentuan yaitu :

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar

klausul arbitrase sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari

perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase

Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur

234

arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang

bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir" sesuai

Pasal 60 UU Arbitrase menyebutkan kalau putusan arbitrase bersifat final

dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat para pihak.

Teorinya, setelah ada putusan arbitrase tidak ada upaya hukum lain yang

bisa diajukan oleh pihak yang kalah dan pihak yang menang tinggal

menjalankan eksekusi. Artinya, Pengadilan Negeri tidak diperkenankan

untuk memeriksa pokok perkaranya lagi. Tugasnya hanya mengijinkan

atau menolak eksekusi. Kalau menolak, alasannnya hanya yang secara

limitatif ditentukan dalam Pasal 62 ayat (2) di antaranya apabila putusan

arbitrase melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Terhadap penolakan

eksekusi karena alasan sebagaimana diatur Pasal 62 ayat (2) tidak ada

upaya hukum apapun.

Hal yang sama diatur sebagaimana Pasal 56 undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial menyebutkan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial bertugas

dan berwenang memeriksa dan memutus :

1) di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;

2) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;

3) di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;

4) tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Namun bagi perkara kepailitan dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-

undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

235

Kewajiban membayar Utang dinyatakan “Upaya hukum yang dapat

diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah

Kasasi ke Mahkamah Agung”. tidak berlebihan bilamana proses

penyelesaian perakara oleh peradilan-peradilan di bawah Mahkamah

Agung Termasuk Mahkamah Agung dengan proses penyelesaian perkara-

perkara oleh Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat akhir dan

mengikat (Final and Binding, sebagaimana Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi), sejalan dengan BAB III mengenai Kekuasaan Mahkamah

Agung dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan

Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua

Lingkungan Peradilan. Perkembangan ini belum diikuti oleh peradilan

umum, sehingga demikian seyogianya penyederhanaan proses

pemeriksaan peradilan mengikuti pula peradilan-peradilan lainnya,

sekaligus merupakan perwujudan dari prinsip kemanfaatan yang

dikemukaan oleh Jeremy Bentham "the greatest happiness of the greatest

number" (mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk

sebanyak-banyaknya orang), sekaligus juga merupakan perwujudan dari

konsep keadilan substantif yang dikembangkan oleh Sartjipto Rahardjo,

bilamana hal ini dapat diwujudkan sudah barang tentu salah satu problem

sistem peradilan yang relatif lama maka akan dapat dirasakan lebih cepat.

Sebagaimana teori hukum pembangunan menurut Mochtar

Kusumaatmadja dalam Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,

236

memiliki pokok-pokok pikiran tentang hukum yaitu; Pertama, arti dan

fungsi hukum dalam masyarakat direduksi pada satu hal yakni ketertiban

(order) yang merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala hukum.

Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental)

bagi adanya suatu masyarakat yang teratur dan merupakan fakta objektif

yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya.

Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat maka diperlukan adanya

kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Disamping

itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda

isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.

Kedua, hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti pergaulan antara

manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum, namun juga

ditentukan oleh agama, kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan

dan kaidah-kaidah sosial lainya. Oleh karenanya, antara hukum dan

kaidah-kaidah sosial lainnya terdapat jalinan hubungan yang erat antara

yang satu dan lainnya. Namun jika ada ketidaksesuaian antara kaidah

hukum dan kaidah sosial, maka dalam penataan kembali ketentuan-

ketentuan hukum dilakukan dengan cara yang teratur, baik mengenai

bentuk, cara maupun alat pelaksanaannya.

Ketiga bahwa hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal

balik, dimana hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaanya karena

tanpa kekuasaan hukum itu tidak lain akan merupakan kaidah sosial yag

berisikan anjuran belaka. Sebaliknya kekuasaan ditentukan batas-batasnya

oleh hukum. Secara populer dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan

adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.

237

Keempat, bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari

nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan

bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku

dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum yang baik

adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (The living law)

dalam masyarakat yang tentunya merupakan pencerminan nilai-nilai yang

berlaku dalam masyarakat itu sendiri.

Kelima, hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat artinya

hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam

masyarakat. Fungsi hukum tidak hanya memelihara dan mempertahankan

dari apa yang telah tercapai, namun fungsi hukum tentunya harus dapat

membantu proses perubahan masyarakat itu sendiri. Penggunaan hukum

sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan kemasyarakatan harus

sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian dalam masyarakat sehingga

harus mempertimbangkan segi sosiologi, antroplogi kebudayaan

masyarakat.

Namun Teori Mochtar Kusumaatmadja mengenai hukum

pembangunan selanjutnya dimodifikasi untuk menutup kekurangannya

oleh Romli Atmasasmita (Teori Hukum Pembangunan II) dengan

menambahkan teori hukum progresif yaitu teori yang diperkenalkan oleh

seorang ahli hukum yaitu Satjipto Rahardjo kedalam Teori Pembangunan

menurut Mochtar Kusumaatmadja beranjak dari bagaimana menfungsikan

hukum dalam proses pembangunan nasional, sedangkan Satjipto Rahardjo

beranjak dari kenyataan dan pengalaman tidak bekerjanya hukum sebagai

238

sistem perilaku. Perbedaan lain terlihat pada bagaimana hukum

pembangunan menegaskan bahwa kepastian hukum dalam arti keteraturan

atau ketertiban (order) dipertahankan sebagai pintu masuk menuju arah

kepastian hukum dan keadilan, sedangkan hukum progresif menegaskan

bahwa demi kepentingan manusia hukum tidak dapat memaksakan

ketertiban kepada manusia, tetapi hukumlah yang harus ditinjau kembali.

Perbedaan lain, dalam hukum pembangunan adalah hukum

seyogyanya diperankan sebagai sarana (bukan alat) pembaruan masyarakat

(Law as a tool of social engineering), akan tetapi Satjipto Rahardjo lebih

menegaskan bahwa model pemeranan hukum demikian dikhawatirkan

menghasilkan dark engineering jika tidak disertai dengan hati nurani

manusianya dalam hal ini penegak hukumnya. Sehingga menurut hemat

penulis Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam mewujudkan

keadilan dapat menerapkan pemikiran Satjito Rahardjo untuk dapat

mengakomodir persoalan hukum dalam masyarakat, sebagaimana Model

Hukum Integratif menurut Romli Atmasasmita yang memberikan

alternatif solusi terdiri dalam tiga paradigma hukum pembangunan

nasional. Prinsip hukum model integratif tersebut diyakini dapat

memberikan konstribusi yang signifikan terhadap pembangunan nasional

terutama dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum yang

memberikan keadilan.

239

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berlandaskan Kewenangan mahkamah agung sebagai Judex Jurist

dalam menilai fakta untuk mewujudkan keadilan yang di dalamnya termasuk

nilai-nilai akan kebenaran dan keadilan yang menjadi titik pembahasan

hukum, sehingga faktor etika dan moralitas tidak terlepas dari pembahasan

tersebut. Sehingga dapat diambil kesimpulan dalam penelitian ini dengan

karakteristik penemuan hukum yang progresif adalah:

1. Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara sebagai Judex

Juris normatif, didasarkan pada ketentuan Pasal 50 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Bilamana

dicermati secara seksama kewenangan mahkamah agung tersebut tidaklah

hanya dalam makna keberlakuan yuridis belaka, namun memiliki pula

dalam makna Filosofis, karena putusan Mahkamah Agung tersebut

dirasakan tidak sekedar berlandasakan kepada kepastian hukum belaka

sekaligus memenuhi rasa keadilan, bahkan dalam perkara-perkara tertentu

dapat disimpulkan putusan Mahkamah Agung memberikan kemanfaatan.

2. Kewenangan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam menilai fakta

untuk mewujudkan keadilan, bilamana dicermati secara seksama akan

memberikan dampak yang positif, karena Mahkamah Agung kini

diisyaratkan dapat mengambil alih kewenangan peradilan di bawahnya

240

maka seperti halnya proses peradilan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

membayar Utang tidak mengenai proses banding, langsung menempuh

Upaya Hukum Kasasi.

B. Rekomendasi

Mahkamah Agung dalam mewujudkan keadilan dalam rekomendasi

ini akan menjadi alternatif dalam mempertegas sebagai wacana dengan

memberi argumentasi membangun yang disampaikan, agar dalam setiap

pengambilan putusan Mahkamah Agung yang sekaligus sebagai

Yurisprudensi sesuai dengan kewenangannya sebagai Judex Juris untuk

menggunakan metode penemuan hukum yang progresif yang mempengaruhi

produk hukum Mahkamah Agung diantaranya:

1. Mahkamah Agung harus menjadi Judex Juris yang menurut dinamisasi

reformasi hukum yang benar-benar sebagai lembaga pemutus terakhir

(bersifat Final) dan Binding (mengikat) dalam menegakkan keadilan bagi

Pencari keadilan sebab pada kenyataannya Undang-Undang Perselisihan

Hubungan Industrial, Undang-Undang Kepailitan, dan Undang-Undang

Arbitrase sebagai fakta bahwa proses peradilan menuntut penegakan

keadilan tertinggi;

2. Mahkamah Agung dituntut mampu efektif melaksanakan prinsip-prinsip

peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sehingga tidak lagi

memperlama proses hukum yang merupakan bentuk pengabaian Pasal 4

241

ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, dan disebut pelanggaran terselubung yang selama ini terjadi;

3. Mahkamah Agung dalam putusannya tidak hanya sekedar memenuhi

formalitas hukum atau sekedar memelihara ketertiban saja, tetapi putusan

itu harus berfungsi membangun harmonisasi dan mendorong perbaikan

dalam mewujudkan keadilan bagi Pencari Keadilan.

4. Mahkamah Agung harus mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner),

yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum

(rule breaking) dalam Putusannya, dimana dalam hal suatu ketentuan

undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum,

kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan yakni nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat, maka hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan

contra legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal

undang-undang yang bersangkutan dengan tujuan untuk mencapai

kebenaran dan keadilan.

5. Mahkamah Agung dituntut untuk peka pada keadaan masyarakat dan

selalu berfikir dengan nurani oleh karena segala ptusan yang diambil tetap

dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai

konsekuensi logis amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang

berlaku versi Amandemen bukan menjadi suatu putusan yang kontroversi

dan monoton karena berdampak pada keterpurukan hukum sekaligus

menjadikan kebobrokan mental penegakan hukum.

242

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Hakim G Nusantara,(1988), Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH

Indonesia, Jakarta.

Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi,

Kencana, Jakarta.

Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Andi. M. Nasrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah

Soeharto, Elsam, Jakarta.

Andre Ata, 2001, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John

Rawls, Kanisius, Yogyakarta.

Anthon F. Susanto, 2007, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma

Hukum Konsruktif-Transgresif, Refika Aditama, Jakarta.

Ata Ujan, Andre, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009.

Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung,

LPPM-UNISBA.

Bagir Manan, 2005, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman

Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah

Agung, Jakarta.

C.F.Strong, 2011, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Studi Perbandingan

Tentang Sejarah dan Bentuk Terjemahan “Derta Sri Widowatie”,

Nusa Media, Bandung,

243

C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, 1984, Hukum Tata Negara RI Jilid I,

Rineka Cipta, Jakarta.

Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan

Nuansa Media, Bandung.

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

F. Budiman Hardiman, 2007, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai

Nietzsche, Gramedia, Jakarta.

H. Priyono, 1993, Teori Keadilan John Rawls, dalam: Tim Redaksi

Driyarkarya (Ed.), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan,

PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law And State, translated by Anders

Wedberg, New York: Russell & Russell A Division of Atheneum

Publishers, Inc.

Harold J. Laski, 1957, A Grammar of Politics, London: George, Allen &

Unwin Ltd., dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, 1996,

Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

HR. Ridwan. 2002. Hukum Administrasi Negara. UII Press, Yogyakarta.

Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus

Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Jimly Asshiddiqie, 2000, Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan, Makalah

Seminar, Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Jakarta.

244

John Gilissen., Frits Gorle, (2005), “Sejarah Hukum Suatu Penghantar”,

(diterjemahkan oleh Freddy Tengker), Refika Aditama, Bandung.

John Rawls, (2005) dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta.

John Rawls, 1999, A Theory of Justice, The President and Fellowship of

Harverd University, Cambridge Press, Massachusetts, New York.

Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.

L.J. van Apeldoorn dalam Oetarid Sadino, 1975, Inleiding tot de studie van

het Nederlandse Recht, terjemahan Cet. 13, Prednya Paramitha,

Jakarta.

Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2002,

Komisi yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, Jakarta.

Lihat Nasikin, 1997, "Hukum Dalam Paradigma Sistem Sosial" dalam Artidjo

Alkostar (ed), ldentitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta..

M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et al), 1989, De

Rechtsstaat Herdacht, Zwolle: Tjeen Willink dalam Bagir Manan,

1995.

Moh. Koesnoe, 1997, Yuridisme Yang Dianut Dalam Tap MPRS

No.XIX/1966, Varia Peradilan, No.143 Tahun XII.

Montesque yang diterjemahkan oleh Anne .M. Cohler, 1992, The Spirit of The

Law Cambridge University Press Cet. 3, Cambridge.

Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, eds, 1994, Hanbook of Qualitative

Research, Sage Publication, London.

245

Oemar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga,

h.251; International Covenant on Civil and Political Rights, Adopted

and opened for signature, ratification and accession by General

Assembly resolution 2200 A (XXI) of 16 December 1966, Entry Into

Force: 23rd March 1976.

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,

Surabaya,  tanpa tahun.

Prodjodikoro, 1981, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Eresco, Bandung.

Purnadi Purbacaraka, (1980), Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan

Hukum, Bandung Penerbit: Alumni.

R. Tresna , 1977, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”, Pradnya

Paramitha, Jakarta.

Romli Atmasasmita, 2012, Teori hukum pembangunan diperkenalkan, Teori

Hukum Integratif, Rekonstruksi terhadap Teori Hukum

Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing,

Yogyakarta.

Russell, Peter H., and David M. O’Brien, 1985, Judicial Independence In The

Age Of Democracy, Critical perspectives from around the world,

Toronto: Constitutionalism & Democracy Series, McGraw-Hill.

Saldi Isra; 2013, Pergeseran Fungsi Legislasi, PT. Raja Grafindo Persada

Jakarta.

Satjipto Rahardjo, (2006), Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku

Kompas, Jakarta.

246

Satjipto Rahardjo, 2000, “Ilmu Hukum”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sebastian Pompe, 2012, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Lembaga

Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Jakarta.

Sirajuddin, (2006), Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Soedikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di

Indonesia Sejak tahun 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita

Bangsa Indonesia”, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Liberty,

Jogyakarta (Tanpa Tahun Terbit)

Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandagangan Hidup

Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta.

Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup

Bangsa, Kompas, Jakarta.

Soerjono Sukanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Rajawali Pers, Jakarta.

_______________, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas

Indonesia, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers, Jakarta.

Soetandyo Wignjosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional,

Raja Grafino Persada, Jakarta.

Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,

Bandung.

247

Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, 2007, Hukum Acara Perdata dan

perkembangannya Di Indonesia, Yogyakarta. Gama Media.

Sunaryati Hartono, 1982, Apakah The Rule of Law Itu ?, Alumni, Bandung.

_______________, 2006, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum

Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti Bandung.

Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,

Yogyakarta.

____________, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.

Yahya Harahap. 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan

Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Yesmil Anwar & Adang. (2008), Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta,

Grasindo.

Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas

Pancasila, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

B. Sumber Artikel, Karya Ilmiah, Perundang-Undangan, Majalah dan

lainnya.

Arief Sidharta, 2006, Filsafat Hukum Pancasila, Materi Kuliah sistem filsafat

hukum Indonesia, Program Pascasarjana Studi Doktor Ilmu Hukum,

Bandung.

Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non-Struktural

Deputi Hubungan Bidang Kelembagaan dan Kemasyarakatan, 2012,

Profil Lembaga negara Rumpun Yudikatif, Kemenetrian Sekretaris

Negara Republik Indonesia. Jakarta.

248

Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26, UU No.4 Tahun

2004, tentang Kekuasaan Kehakiman; Lihat pula Kesimpulan

seminar “Pemberdayaan dan Tanggungjawab Mahkamah Agung

Republik Indonesia Dalam Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman

Yang Mandiri”, IKAHI, Varia Peradilan, No.178, Juli 2000.

Delmar Karlen dalam Danbury: Glorier), 2002, “Court in Common law

Countries”, dalam Ensiklopedia Amerika, 28thed, vol. 8.

Dicky Andika, 2008, Jurnal Kapita Selekta Ilmu Sosial, Universitas

Mercubuana, Jakarta.

Diimplementasikan dalam Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi

Manusia, yang menyatakani: “Setiap orang, tanpa diskriminasi,

berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan

permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,

perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan

yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang

menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil

untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.

Harifin A. Tumpa, 2009, Mahkamah Agung Pasca Perubahan Undang-undang

Dasar Negara Republik indonesia.

Harun Alrasyid, 1989, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik

Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

IHW/Ali, 26 Januari 2009, “Sejarah Mahkamah Agung (dulu - sekarang)”,

Hukum Online.com.

Jimly Asshiddiqie, 2000, Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda

Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum Dan

249

Keberdayaan Masyarakat Madani, Makalah Konggres Mahasiswa

Indonesia Sedunia, Chicago, Amerika Serikat.

Kelompok Kerja Akses Terhadap Keadilan, 2009, Strategi Nasional Akses

Terhadap Keadilan, Bappenas Direktorat Hukum dan Hak Asasi

Manusia, Jakarta. hlm. 5.

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Rekrutmen dan Karir di

Bidang Peradilan, Laporan Akhir. Kelompok Kerja A.2 Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Lembaga Peneliti Hukum Independen, Selasa, 17 Juli 2012, Pengamat Hukum

Indonesia, Pemerhati Mahkamah Agung.

Lihat Paulus Effendie Lotulung, 1999, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman

Dalam Konteks Pembagian Kelkuasaan Dan Pertanggungan Jawab

Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-VII Reformasi Hukum

Menuju Masyarakat Madani, BPHN Departemen Kehakiman,

Jakarta.

Lilik Mulyadi. Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar

Kusumaatmadja, Sebuah Kajian Deskriptif Analitis tanpa tahun.

M. Scheltema, 1995. dalam Bagir Manan: Negara berdasarkan atas hukum

mempunyai empat asas utama yaitu (i) asas kepastian hukum (het

rechtszekerheids beginsel); (ii) asas persamaan (het gelijkheids

beginsel); (iii) asas demokrasi (het democratische beginsel); dan (iv)

asas bahwa pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan

terhadap masyarakat (het beginsel van de dienende overheid;

government for the people); (M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam

250

J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle: Tjeen

Willink).

Mauro Cappelletti dan Bryant Garth (Eds), 1978, Access to Justice Book I,

Giuffre-Stijhoff, Milan.

Moch. Yulihadi, (2002), Artikel “Sejarah Lembaga Peradilan di Indoensia”.

Muchsin, 2004, Ikhtisar Sejarah Hukum, STIH IBLAM, Jakarta

Naskah dari Ernst Renan dalam bahasa Prancis itu telah diterjemahkan oleh

Prof. Mr. Sunario, yang adalah ayah dari Sunaryati Hartono. Kutipan

teks di atas diambil dari naskah Orasi Dies ke 50 Fakuftas Hukum

Universitas Katotik Parahyangan Bandung, yang disampaikan oleh

Sunaryati Hartono, 15 September 2008, dengan judul

“Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian Dari

Sistem Hukum Nasional Indonesia Di Abad ke 21.

Paulus E Lotulung, Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan (makalah)

disampaikan pada dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun

2011 di Jakarta.

Reformasi Peradilan Dalam Rangka Reformasi Birokrasi, dalam Seminar:

Effective and Efficient Bureaucracy Reform in Indonesia Hotel

Indonesia Kempinski, Jakarta 3-4 Desember 2008

Stephan Golub, 2003, Beyond Rule of Law Orthodocy: The Legal

Empowerment Alternative, Rule of Law Series, Democracy and Rule

of Law Project I.

Sunaryati Hartono, tanggal 5 Desember 1994, Potitik Pembaharuan Hukum

Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia, Forum Komunikasi

Penelitian Bidang Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,

251

di Bandungan-Semarang; dan dalam Langkah Kebijaksanaan

Pembinaan Hukum Nasional Pada Pembangunan Jangka Panjang

Tahap II.

Sunaryati Hartono, Jakarta 21-22 Januari 1986, Landasan, Kerangka, Struktur

dan Materi Sistem Hukum. Nasional Kita, Pra Seminar Hukum

Nasional V Babinkumnas, Departemen Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

UU No.4 Tahun 2004, Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal

26. Asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik, yaitu asas

kebebasan; asas larangan menolak memeriksa dan mengadili

perkara; asas hakim aktif; asas kesamaan; asas penyelesaian perkara

secara tuntas; dan asas pengawasan peradilan; (kesimpulan seminar

“Pemberdayaan dan tanggungjawab Mahkamah Agung Republik

Indonesia dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri”,

diselenggarakan oleh IKAHI, tanggal 22 Maret 2000 di Jakarta,

Varia Peradilan, No.178, Juli 2000.

C. Sumber Akses Websites

Agus Pranki Pasaribu, http://applawbuss.blogspot.com/2010/11/mahkamah-

agung-dalam-lintas-sejarah.html (diakses pada 23 Mei 2015)

http://www.komisiyudisial.go.id/files/Bunga%20Rampai/bunga-rampai-2012-

dialektika-pembaharuan-sistem-hukum-indonesia.pdf

(diakses tanggal 19 Juni 2015)

https://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/186/ (diakses Tanggal 15 Mei

2015).

252

https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/01/ (diakses pada tanggal 17 Juni

2015)

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1679/perbedaan-sifat-mengikat-

antara-preseden-dengan-yurisprudensi (diakses pada 22 April 2015)

http://suarakebebasan.org/id/suara-muda/item/399-john-rawls-dan-konsep-

keadilan (diakses pada tanggal 18 Juni 2015)

http://wahy.multiply.com/journal/item/23/Sejarah_Mahkamah_Agung

(diakses 16 April 2015)

http://adekendari.blogdetik.com/2010/04/23/sejarah-legal-review-oleh-extra-

judicial (diakses 7 Mei 2015)

http://aliwangsa.blogspot.com/2011_10_01_archive.html (diakses pada 4 Mei

2015)

http://mahkamahagung.go.id data diperbaharui dalam penyesuaian Undang-

Undang (diakses tanggal 21 Mei 2015).

http://muhammadkhadapi.blogspot.com/2010/12/pengertian-wewenang-

kekuasaan-dan.html (diakses tanggal 21 Juni 2015).

253

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A) Latar Belakang Masalah........................................................ 1

B) Perumusan Masalah............................................................... 20

C) Tujuan Penelitian.................................................................... 21

D) Kegunaan Penelitian............................................................... 21

1) Kegunaan Teoritis............................................................... 21

2) Kegunaan Praktis................................................................ 21

E) Kerangka Teoritis dan Konseptual....................................... 23

1. Kerangka Teori................................................................. 23

a) Teori Pengertian Negara Hukum (Grand Theory)........ 26

b) Teori Pemisahan Kekuasaan (Middle Range Theory). . 26

c) Teori Lembaga Peradilan.............................................. 34

d) Teori Hukum Pembangunan (Applied Theory)............. 35

e) Teori Etis dan Teori Utilitarianisme............................. 38

f) Teori Keadilan dan Judicial Activisme......................... 47

2. Kerangka Konsep............................................................. 58

a) Konsep Akses Terhadap Keadilan................................ 58

b) Konsep Peradilan.......................................................... 67

c) Konsep Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka............ 73

1) Mahkamah Agung................................................... 73

2) Kewenangan oleh Mahkamah Agung..................... 77

3) Fungsi Mahkamah Agung....................................... 79

iv

F) Metode Penelitian................................................................... 79

1. Metode Filosofis................................................................. 80

2. Metode Konseptual............................................................. 81

3. Metode Pendekatan Normatif............................................. 88

4. Teknik Pengumpulan Data.................................................. 89

5. Jenis dan Sumber Data........................................................ 89

6. Analisis Data....................................................................... 90

G) Orisinalitas Penulisan............................................................. 91

H) Sistematika Penulisan............................................................. 92

BAB II MAHKAMAH AGUNG MELALUI SEJARAH

DAN DINAMIKA PERKEMBANGAN

A. Tinjauan Sejarah dan Dinamika Perkembangan

Mahkamah Agung................................................................. 92

a) Sejarah Peradilan Mula-Mula Di Indonesia....................... 92

b) Masa Pemerintahan Hindia Belanda................................... 96

c) Masa Pemerintahan Inggris................................................ 98

d) Masa Penjajahan Kembali Pemerintahan Hindia

Belanda (1816-1942).......................................................... 98

e) Masa Penjajahan Jepang (1942 – 1945)............................. 100

f) Masa Terbentuknya Republik Indonesia............................ 101

1) Masa menjelang pengakuan Kedaulatan....................... 103

2) Masa Republik Indonesia Serikat................................. 105

3) Masa Pemerintahan Sejak Tahun 1966......................... 108

4) Perkembangan Mahkamah Agung Sebagai

Lembaga Peradilan Tertinggi Dewasa ini..................... 110

5) Perkembangan Fungsi dan Tugas

v

Mahkamah Agung Setelah Pasca Reformasi................ 112

g) Pembaharuan Mahkamah Agung........................................ 123

1) Mediasi......................................................................... 126

2) Class Action.................................................................. 127

3) Perluasan Wewenang Pengadilan Niaga...................... 127

4) Perkara Persaingan Tidak Sehat dan Anti Monopoli. . . 127

5) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi................. 128

1) Transparansi Putusan.............................................. 131

2) Pengembangan Sistem Teknologi Informasi.......... 134

B. Visi Dan Misi Mahkamah Agung.......................................... 151

C. Tugas dan Kewenangan Mahkamah Agung........................ 151

D. Fungsi Mahkamah Agung...................................................... 155

1) Fungsi Peradilan................................................................. 155

2) Fungsi Pengawasan............................................................. 156

3) Fungsi Mengatur................................................................. 156

4) Fungsi Nasihat.................................................................... 157

5) Fungsi Administratif........................................................... 159

6) Fungsi Lain-Lain................................................................ 159

E. Keputusan Bersama Mahkamah Agung

dan Komisi Yudisial mengenai Kode Etik

dan Pedoman Perilaku Hakim dalam Mewujudkan

Keadilan................................................................................... 160

BAB III PENGATURAN MAHKAMAH AGUNG MENURUT

KAPASITAS SEBAGAI JUDEX JURIS

BERKAITAN DENGAN KEMAMPUAN MENILAI

FAKTA SEBAGAI JUDEX FACTIE

vi

A. Sejarah Mahkamah Agung Melalui Pengaturan

Sebagai Judex Juris sekaligus Berkemampuan Menilai

Fakta Sebagai Judex Factie................................................ 163

B. Perkara Hukum berhubungan dengan Putusan

Mahkamah Agung................................................................ 185

BAB IV PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa

perkara sebagai Judex Juris Menurut Kajian

Hukum Normatif dan Filosofis

1. Landasan Kewenangan Mahkamah Agung secara

Normatif dan Filosofis..................................................... 191

2. Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memeriksa

Perkara sebagai Judex Juris terhadap

Putusan-Putusan Lembaga Peradilan yang Bernaung

di bawah Mahkamah Agung............................................... 201

B. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris

dalam mewujudkan keadilan................................................. 227

1. Hukum Merupakan Faktor Dinamis................................... 230

2. Alternatif Putusan Judex Juris........................................... 233

BAB V PENUTUP

A. Simpulan.................................................................................. 240

B. Rekomendasi........................................................................... 241

DAFTAR PUSTAKA

vii