Hukum Mentalkinkan Mayit Sesuai Syariat Islam

110
HUKUM MENALKINKAN MAYIT M A K A L A H Ditulis untuk Memenuhi Syarat Lulus dari Ma’had Al-Islam Tingkat ‘Ali Oleh: Munashihah Miftahul Jannah Binti Abu ‘Abdillah NM.235

description

Hukum Mentalkinkan Mayit Sesuai Syariat Islam

Transcript of Hukum Mentalkinkan Mayit Sesuai Syariat Islam

BAB IV

Hukum Menalkinkan Mayit 8Munashihah MJ 0235

HUKUM MENALKINKAN MAYIT

M A K A L A H

Ditulis untuk Memenuhi Syarat Lulus

dari Mahad Al-Islam

Tingkat Ali

Oleh:

Munashihah Miftahul Jannah

Binti Abu Abdillah

NM.235MAHAD AL-ISLAM SURAKARTA

1427 H / 2006 M

D A F T A R I S I

Halaman Judul

i

Halaman Pengesahan

ii

Halaman Kata Pengantar

iii

Halaman Daftar Isi

vi

BAB IPENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

1

2. Rumusan Masalah

2

3. Tujuan Penelitian

2

4. Kegunaan Penelitian

3

5. Metodologi Penelitian

3

6. Sistematika Penulisan

4

BAB IIPEMBAHASAN TENTANG MENALKINKAN MAYIT

1. Pengertian dan Penjelasan tentang Menalkinkan Mayit

6

2. Hadits-hadits dan Riwayat-riwayat yang Berkenaan denganMenalkinkan Mayit

8

2.1 Hadits Abu Said Al-Khudriy tentang Perintah untukMenalkin dengan Kalimat la ilaha illallah

8

2.2 Hadits Abu Umamah tentang Tata Cara Menalkinkan Mayit

11

2.3 Hadits Abdullah bin Abbas tentang Rasulullah Menalkin-kan Fathimah binti Asad

14

2.4 Riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib, dan Hakim bin

Umair tentang Praktik Menalkinkan Mayit yang Dilakukan

oleh Para Sahabat.

15

2.5 Riwayat-riwayat dari Abu Jafar tentang Perintah untuk

Menalkinkan Mayit

17

1.5.1 Riwayat Abu Jafar (dengan jalur Zurarah)

17

1.5.2 Riwayat Abu Jafar (dengan jalur Jabir)

18

BAB IIIPENDAPAT ULAMA PERIHAL HUKUM MENALKINKAN MAYIT1. Menalkinkan Mayit Hukumnya Sunnah

20

2. Menalkinkan Mayit Hukumnya Mubah

22

3. Menalkinkan Mayit Hukumnya Makruh

23

4. Menalkinkan Mayit merupakan perbuatan bidah

23

BAB IVANALISA1. Analisa Hadits-hadits dan Riwayat-riwayat yang Berkenaan dengan Menalkinkan Mayit

25

1.1 Hadits Abu Said

25

1.2 Hadits Abu Umamah

28

1.3 Hadits Ibnu Abbas

35

1.4 Riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Hamid, dan Hakim bin

Umair

35

1.5 Riwayat-riwayat dari Abu Jafar

362. Analisa Pendapat Ulama Perihal Hukum Menalkinkan Mayit

37

2.1 Analisa pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Sunnah

37

2.2 Analisa pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Mubah

45

2.3 Analisa pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Makruh

47

2.4 Analisa pendapat Menalkinkan Mayit Merupakan Perbuatan

Bidah

47

BAB VPENUTUP

1. Kesimpulan

53

2. Saran-Saran

53

Bibliografi

54

Lampiran

60

B A B I

P E N D A H U L U A N

Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini termaktub dalam firman-Nya, surat Adz-Dzariyat (51):56 yang artinya ((Dan tidaklah aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepada-Ku)).Berkenaan dengan masalah ibadah ini, dalam sebuah hadits disebutkan:

: (: 0

Artinya:

Dari Aisyah radliyallahu anha, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: Barangsiapa yang melakukan suatu amalan tanpa ada perintah kami padanya, maka amalan itu ditolak.

Berdasarkan hadits di atas, dapat diketahui bahwa seorang hamba tidak diperkenankan melakukan suatu amalan ibadah tanpa ada dalil yang benar, baik dari Al-Qur`an maupun sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Amal ibadah yang tidak disyariatkan dalam Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau dengan kata lain diada-adakan sendiri oleh pelakunya maka amalan tersebut tidak akan diterima oleh Allah.

1. Latar Belakang MasalahDi kalangan masyarakat di sekitar tempat tinggal penulis, penulis belum pernah mendengar adanya praktik menalkinkan mayit ini. Akan tetapi dari seorang teman yang berdomisili di Jawa Timur penulis mendapatkan informasi bahwa mayoritas muslimin di tempat ia bermukim biasa melakukan-nya.

Di dalam kitab-kitab fikih, di antaranya Fiqhus Sunnah dan Al-Fatawal Kubra. disebutkan adanya perselisihan ulama dalam masalah ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya sunnah,sedang pihak lain menganggap hukumnya makruh, bahkan ada yang memandang bahwa perbuatan itu adalah bidah, tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di samping beberapa pendapat yang bertolak belakang ini, ada di kalangan mereka yang memperbolehkannya; tidak menyuruh ataupun menganjurkannya, akan tetapi tidak pula melarangnya.

Banyak hadits yang mereka jadikan sebagai landasan pendapat mereka masing-masing, akan tetapi di antara hadits-hadits tersebut terdapat satu hadits yang dipermasalahkan perihal maksud serta pengamalannya,

yaitu hadits Abu Said Al-Khudriy riwayat Muslim yang berbunyi:

(( )).Lafal mauta dalam hadits tersebut, oleh sebagian ulama diterjemahkan dengan makna hakiki, yaitu: orang yang sudah meninggal dunia dan dijadikan sebagai dasar melakukan talkin di atas kubur. Sekelompok ulama yang lain berpendapat bahwa lafal mauta dalam hadits tersebut bermakna majasi, yaitu: orang yang sudah kelihatan tanda-tanda kematiannya.

Dengan adanya perbedaan pendapat dalam hal menalkinkan mayit ini, penulis terdorong untuk mengadakan studi lebih lanjut, kemudian menyusun hasilnya dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul: HUKUM MENALKINKAN MAYIT.

2. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang penulis paparkan di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah, yaitu:

Bagaimanakah hukum menalkinkan mayit?

3. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hukum menalkinkan mayit.

4. Kegunaan Penelitian

Penulis berharap penelitan ini dengan segala hasilnya dapat memberikan beberapa kegunaan, antara lain:

4.1 Memperluas wawasan dan meningkatkan pengetahuan tentang ilmu Ad-Din bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.

4.2 Sebagai pelengkap literatur-literatur yang membahas tentang hukum menalkinkan mayit

4.3 Untuk menghindarkan muslimin dari amalan bidah dan perbuatan taklid.

5. Metodologi Penelitian

5.1 Jenis penelitian

Menurut tempatnya, penelitian ini tergolong penelitian perpustaka-an. Ditinjau dari segi pemakaiannya, penelitian ini termasuk applied research (penelitian terpakai). Berdasarkan tujuan umumnya, penelitian ini merupakan riset verifikatif, yaitu riset yang ditujukan untuk menguji kebenaran suatu pengetahuan. Adapun menurut tarafnya, penelitian ini tergolong riset inferensial, yaitu menarik kesimpulan dengan jalan penganalisaan.

5.2 Metode Pengumpulan Data

Karena penelitian ini tergolong penelitian perpustakaan, maka penulis mengumpulkan data dengan membaca, menelaah dan meneliti kitab-kitab yang membahas tentang hukum menalkinkan mayit, baik berupa kitab hadits, kitab fikih, kitab syarh maupun kitab-kitab lain yang berberkaitan dengannya.

Sedangkan jenis data yang penulis kumpulkan adalah data primer dan data sekunder.

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya; diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.

Sedang data sekunder adalah;

Data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulan-nya oleh peneliti misalnya dari biro statistik, majalah, keterangan-keterangan, atau publikasi lainnya. Jadi, data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga, dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri.

Contoh data primer dalam makalah ini adalah hadits riwayat Muslim yang penulis kutip langsung dari kitab Shahih Muslim, susunan beliau. Adapun contoh data sekunder dalam makalah ini adalah riwayat Said bin Manshur yang penulis kutip dari kitab Nailul Authar karya Asy-Syaukani.

5.3 Metode Analisa Data

Untuk memberikan jawaban yang logis pada rumusan masalah yang penulis ajukan dalam makalah ini, penulis meng-analisis data-data yang terkumpul dengan menggunakan reflective thinking, yaitu mengombinasikan cara berfikir deduktif dan cara berfikir induktif. Berfikir Induktif adalah berfikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari data-data yang khusus, sedangkan yang dimaksud dengan berpikir deduktif adalah berpikir dengan bersandarkan pada data-data yang umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus.

6. Sistematika PenulisanSupaya pembaca dapat mengikuti alur pembahasan dalam makalah

ini dengan mudah, berikut ini penulis uraikan sistematika penulisannya.

Makalah ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian; bagian awal,

bagian tengah, dan bagian akhir.

Bagian awal makalah ini dimulai dengan halaman judul, halaman pengesahan, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi.

Adapun bagian tengah dibagi menjadi lima bab, yaitu:

Bab pertama adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi pembahasan tentang menalkinkan mayit yang terdiri dari dua subbab. Subbab pertama menjelaskan pengertian menalkinkan mayit, sedang subbab kedua menyebutkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan menalkinkan mayit, dimulai dengan lafal, terjemah, dan takhrijnya, kemudian maksudnya, dan dilengkapi dengan kedudukannya.

Bab ketiga memaparkan pendapat para ulama perihal menalkinkan mayit. Pendapat tersebut dibagi menjadi empat, yaitu: menalkinkan mayit hukumnya sunnah, menalkinkan mayit hukumnya mubah, menalkinkan mayit hukumnya makruh, dan menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah.

Bab keempat memuat analisa yang terdiri dari dua subbab, yaitu analisa hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan menalkinkan mayit, dan analisa pendapat ulama perihal hukum menalkinkan mayit.

Bab kelima, yakni bab terakhir, berisi kesimpulan dan saran-saran.

Pada bagian akhir makalah ini, penulis menyertakan bibliografi dan lampiran.

B A B I I

P E M B A H A S A N T E N T A N GM E N A L K I N K A N M A Y I TPada bab ini, penulis menguraikan pengertian menalkinkan mayit, serta menukilkan hadits-hadits yang berkenaan dengannya. Oleh karena itu, penulis membagi bab kedua ini menjadi dua subbab sebagai berikut:

1. Pengertian Menalkinkan Mayit

Untuk mempermudah pemahaman pembaca mengenai pengertian menalkinkan mayit, terlebih dahulu penulis kutipkan pengertian talkin dan mayit. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan:

Kata talkin merupakan bentuk masdar (infinitif/bentuk nomina yang diturunkan dari bentuk verba) dari kata laqqana-yulaqqinu yang secara etimologis berarti mendikte, mengajar dan memahamkan secara lisan.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kamus Lisanul Arab, yaitu:

Artinya:

Dan (lafal) at-talqin itu (artinya) seperti (lafal) at-tafhim (=me-mahamkan).

Dalam kamus Al-Munjid dijelaskan lebih terperinci, sebagai berikut:

:

Artinya:

(kalimat) laqqanahul kalama (artinya) seseorang memahamkan omongan itu kepada orang lain secara lisan.Adapun kata mayit () dalam bahasa Arab merupakan bentuk shifah musyabbahah (kata sifat yang dipersamakan dengan kata benda pelaku) yang berasal dari fiil -.

Mengenai bentuk jamak dan arti lafal mayit ini, dalam kamus Al-Munjid dituliskan:

:

Artinya:

Lafal al-mayyitu () bentuk jamaknya adalah: mayyitun (), (berarti) orang yang memisahi kehidupan. Sedangkan dalam kamus Al-Mujamul Wasith disebutkan:

: 0 : 0 : () .

Artinya:

(lafal) al-maitu (artinya) orang yang memisahi kehidupan, sedang (lafal) al-mayyitu (artinya sama dengan lafal) al-maitu. (Lafal) al-

mayyitu (juga berarti) orang yang dapat dihukumi sebagai orang mati, tetapi dia bukan orang mati. Bentuk jamaknya amwatun () dan mauta ().Dari dua nukilan di atas, dapat diketahui bahwa lafal mayit mempunyai tiga bentuk jamak, yaitu: amwatun (), mauta () dan mayyitun () serta mempunyai dua makna yaitu orang yang memisahi kehidupan (mayit) dan orang yang dapat dikatakan sebagai mayit padahal dia belum mati. Hal ini senada dengan apa yang dituliskan oleh Ibnu Mandhur:

Artinya:

Dan sesungguhnya lafal mayit () pantas (digunakan) untuk (menyebut) orang yang sudah mati dan orang yang menjelang mati.

Adapun menalkinkan mayit menurut penjelasan ulama adalah:

Artinya:

Adapun (pengertian lafal) at-talkin adalah menyebutkan kalimat tauhid di hadapan orang yang menjelang mati

Dalam kitab Ibanatul Ahkam dijelaskan:

: ... ...Artinya:

Menalkinkan mayit itu ada dua macam: jenis yang pertama disepakati (oleh ulama) perihal disyariatkannya perbuatan tersebut.....Dan (talkin itu dilakukan) tatkala (orang) menjelang mati, sedangkan jenis talkin yang kedua diperselisihkan (oleh ulama) tentang pensyariatannya, yaitu talkin (yang dilakukan) di kubur setelah (selesai) pemakaman.....Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa menurut bahasa menalkinkan mayit berarti memahamkan/memberikan pengajaran ,secara lisan kepada orang yang menjelang mati, atau orang yang sudah mati. Adapun menurut istilah menalkinkan mayit berarti menyebutkan kalimat tauhid di hadapan orang yang menjelang mati atau mengajarkan secara lisan kepada orang yang sudah wafat dan telah dikuburkan. Adapun menalkinkan mayit yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Menalkinkan mayit dengan pengertian yang kedua.

2. Hadits-hadits dan Riwayat-riwayat yang Berkenaan dengan Menalkinkan Mayit

2.1 Hadits Abu Said tentang Perintah untuk Menalkin dengan Kalimat la ilaha illallah2.1.1 Lafal, terjemah dan takhrij

: : ( (( )).

.

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Umarah, dia berkata, Aku telah mendengar Abu Said Al-Khudriy ber-kata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Talkinkanlah oleh kalian orang yang menjelang mati di antara kalian (dengan) kalimat la ilaha illallah.

HR. Muslim dan lafal ini miliknya -, Ahmad, Abu Dawud,

At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Yala.

2.1.2 Maksud hadits

Matan hadits Abu Said ini berisi perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam supaya muslimin menalkinkan saudara mereka sesama muslim yang menjelang mati dengan kalimat tauhid, yaitu: la ilaha illallah.

2.1.3 Kedudukan hadits

Kedudukan hadits Abu Said di atas shahih.

2.1.4 Keterangan

Hadits yang berisi perintah Rasul untuk menalkinkan orang yang menjelang mati semisal hadits Abu Said ini diriwayatkan pula oleh para shahabi lain, yaitu:

1) Aisyah radliyallahu anha, dengan lafal sebagai ganti lafal .2) Jabir radliyallahu anhu, dengan lafal yang sama dengan lafal hadits Abu Said.

3) Urwah bin Masud radliyallahu anhu, dengan lafal yang sama dengan lafal hadits Abu Said.

4) Ibnu Abbas radliyallahu anhu, lafal haditsnya lebih panjang, yaitu:

.....

.

Artinya:

"Talkinkanlah oleh kalian orang-orang yang menjelang mati di antara kalian dengan persaksian la ilaha illallah, karena barang siapa yang mengucapkan kalimat tersebut tatkala menjelang matinya, maka wajib baginya (untuk masuk ke dalam) jannah......

Ath-Thabarani telah meriwayatkannya dengan sanad dlaif.

5) Abu Hurairah radliyallahu anhu. Hadits Abu Hurairah diriwayat-kan dari dua jalur; dari Abi Hazim dengan lafal yang sama, dan dari Salman Al-Aghar dengan tambahan sebagai berikut:

.

Artinya:

Talkinkanlah oleh kalian orang-orang yang menjelang mati di antara kalian dengan kalimat la ilaha illallah, karena barang siapa yang akhir kalimat (yang diucapkan)nya la ilaha illallah, dia pasti akan masuk jannah nanti pada suatu hari dalam suatu masa, meski-pun sebelum itu (ada) sesuatu yang menimpanya.

Ibnu Hibban telah meriwayatkannya dengan sanad shahih.

6) Watsilah bin Al-Asqa radliyallahu anhu. Abu Nuaim mengeluar-kan hadits Watsilah dengan lafal berikut:

.

.Artinya

Hadirilah orang-orang yang menjelang mati di antara kalian dan talkinkanlah mereka dengan kalimat la ilaha illallah, serta berikanlah kabar gembira kepada mereka dengan jannah.

Abu Nuaim telah meriwayatkannya dengan sanad dlaif.

Dengan adanya beberapa jalur periwayatan tersebut, maka hadits yang berisi anjuran untuk Menalkinkan orang yang menjelang mati ini dapat dikategorikan dalam kelompok hadits masyhur.

2.2 Hadits Abu Umamah tentang Tata Cara Menalkinkan Mayit

2.2.1 Lafal, terjemah dan takhrij

: : ( , ( : (( , : , , : , , : , : , : , , : , )) : : (( ))0

.

Artinya:

Dari Said bin Abdillah Al-Audi, dia berkata, Aku menyaksikan Abu Umamah tatkala dia dalam keadaan menjelang mati, dia (Abu Umamah) berkata, Apabila aku mati, maka perlakukan aku sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk memperlakukan mayit-mayit di kalangan kita. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kita seraya bersabda, Apabila salah seorang dari saudara kalian mati dan kalian telah meratakan tanah di atas kuburnya (mayit), maka hendaklah salah seorang di antara kalian berdiri pada arah kepala kuburnya, lalu hendaklah dia menyeru, Hai fulan bin fulanah! karena sesungguhnya dia (mayit itu) mendengarnya, akan tetapi tidak menjawab, kemudian dia menyeru, Hai fulan bin fulanah! maka sesungguhnya mayit itu tegak dalam keadaan duduk, kemudian dia menyeru lagi, Hai fulan bin fulanah! maka sesungguhnya dia (mayit itu) menjawab, Berilah petunjuk kepadaku, mudah-mudahan Allah mengasihimu! akan tetapi kalian tidak menyadari. Maka hendaklah dia menyeru, Ingatlah apa yang engkau keluar dari dunia dulu dengannya (melaziminya), yaitu persaksian la ilaha illallah wa anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu dan (ingatlah) bahwa engkau telah ridla dengan Allah sebagai Pemelihara, dengan Al-Islam sebagai agama, dengan Muhammad sebagai Nabi dan dengan Al-Qur`an sebagai panutan, maka sesungguhnya salah seorang dari malaikat Munkar dan Nakir itu memegang tangan temannya seraya berkata, Marilah kita pergi, kita tidak duduk (singgah) di hadapan orang yang hujjahnya telah diajarkan, maka Allah menjadi pembelanya (mengalahkan) keduanya. Bertanyalah seseorang, Wahai Rasulullah, (bagaimana) jika dia (orang yang Menalkinkan mayit itu) tidak tahu nama ibu mayit? bersabda Rasul, Hendaknya dia menasabkannya kepada Hawa Hai fulan bin Hawa.Ath-Thabarani telah meriwayatkannya dengan sanad dlaif.

2.2.2 Maksud hadits

Hadits di atas menceritakan bahwa Said bin Abdillah menyaksikan Abu Umamah tatkala dia sudah mendekati ajalnya. Abu Umamah berwasiat agar setelah dia wafat dan dikuburkan, hendaklah dia ditalkinkan sebagaimana telah diajarkan Rasulullah.

Cara menalkinkan mayit tersebut adalah dengan me-manggil nama mayit itu dengan menasabkannya kepada Ibunya, atau jika tidak diketahui nama ibunya, maka dinasabkan kepada Hawa, ibu sekalian manusia.

Panggilan kepada mayit ini diserukan tiga kali, karena pada seruan pertama ia hanya mendengar tapi tidak menjawab, kemudian pada seruan kedua ia mulai duduk tegak, setelah itu pada seruan ketiga barulah mayit itu menjawab seruan tersebut seraya memohon supaya diberi petunjuk.

Adapun isi talkin adalah mengingatkan mayit tentang persaksian bahwa tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah hamba serta utusan-Nya. Selain itu juga mengingatkan bahwa dia dulu di dunia telah ridla dengan Allah sebagai sesembahan, ridla dengan Al-Islam sebagai agama, ridla dengan Muhammad sebagai Nabi dan ridla dengan Al-Qur`an sebagai panutan.

Hadits Abu Umamah ini juga menjelaskan bahwa orang yang sudah ditalkinkan dengan kalimat itu tidak akan ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir. Tatkala keduanya datang ke kubur itu dan melihat bahwa mayit itu sudah ditalkinkan, maka keduanya memilih pergi dari tempat tersebut karena Allahlah yang akan membelanya dan mengalahkan keduanya.

Menalkinkan mayit setelah dikuburkan ini menurut Abu Umamah - sebagaimana tersebut dalam hadits tersebut - merupa-kan sunnah yang disuruhkan oleh Rasulullah.

2.2.3 Kedudukan hadits

Hadits Abu Umamah ini berkedudukan dlaif.

2.3 Hadits Ibnu Abbas tentang Rasulullah Menalkinkan Fathimah binti Asad

2.3.1 Lafal, terjemah dan takhrij

( ) ( ( : : : .

.

Artinya:

Muhammad bin Ali bin Al-Husain -dalam kitab Al-Majalis- (meriwayatkan) dengan sanad yang telah lewat pada (bab) berbuat keutamaan dengan mengafani (mayat), dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi saw. tatkala beliau meletakkan Fathimah binti Asad Ibu Ali bin Abi Thalib- alaihis salam pada kuburnya, beliau berjalan sampai berada di arah kepalanya kemudian beliau bersabda Wahai Fathimah! Apabila malaikat Munkar dan Nakir mendatangimu dan menanyaimu tentang Pemeliharamu, maka jawablah, Allah adalah Pemeliharaku, Muhammad adalah Nabiku, Al-Islam adalah agamaku, Al-Qur`an adalah kitabku, dan anakku (yakni Ali bin Abi Thalib) adalah pemimpin serta pengurusku, kemudian Nabi berdoa, Ya Allah! Teguhkanlah Fathimah dengan ucapan yang teguh lalu beliau keluar dari kuburnya dan menaburkan tanah di atasnya beberapa taburan.

Muhammad bin Al-Husain telah meriwayatkannya. Hadits ini adalah hadits maudlu.2.3.2 Maksud hadits

Hadits Ibnu Abbas tersebut menceritakan bahwa Rasulullah

shallallahu alaihi wa sallam tatkala meletakkan jasad Fathimah binti Asad Ibu Ali bin Abi Thalib/istri paman Rasul- ke dalam kubur, beliau Menalkinkannya dengan menghadap ke arah kepalanya. Adapun isi talkin yang beliau serukan adalah: jika malaikat Munkar dan Nakir mendatangimu dan menanyakan perihal Pemeliharamu, maka jawablah: Allah adalah Pemelihara-ku, Muhammad adalah Nabiku, Islam adalah agamaku, Al-Qur`an adalah kitabku, dan anakku yakni Ali bin Abi Thalib- adalah pemimpin dan pengurusku sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut. Selain Menalkinkan demikian, beliau juga mendoakan-nya serta menaburkan tanah di atas kuburnya.

2.3.3 Kedudukan hadits

Hadits Ibnu Abbas ini adalah hadits maudlu (palsu).

2.4 Riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib, dan Hakim bin Umair tentang Praktik Menalkinkan Mayit yang Dilakukan oleh Para Sahabat

2.4.1 Lafal, terjemah dan takhrij

: : : - 0

.Artinya:

(Diriwayatkan) dari Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib dan Hakim bin Umair, mereka berkata, Apabila kubur seorang mayit telah diratakan, dan orang banyak telah meninggalkan kubur tersebut, mereka menyukai supaya diserukan kepada mayit tersebut dikuburnya, Hai fulan, katakanlah! tiada Sesembahan selain Allah, Aku bersaksi bahwa tiada Sesembahan selain Allah -sebanyak tiga kali- Hai fulan, katakanlah! Pemeliharaku adalah Allah, agamaku Islam, Nabiku Muhammad shallallahu alaihi wa alihi wa sallam. Kemudian (barulah) dia pergi.

Said bin Manshur telah meriwayatkannya dengan sanad dlaif.

2.4.2 Maksud riwayat

Asy-Syaukani menjelaskan maksud kalimat dalam riwayat di atas sebagai berikut:

( ) .

Artinya:

Perkataan rawi (= adalah mereka dulu me-

nyukai) secara dhahir, yang menyukai perbuatan tersebut adalah para sahabat yang mereka dapati (masa)nya.

Hal ini dinyatakan pula oleh Ash-Shanani dalam kitab Subulus Salam, Sulaiman An-Nuri, dan Abbas Alawi dalam kitab Ibanatul Ahkam.

Berpijak pada keterangan di atas, maka riwayat ini memberikan pengertian bahwa para sahabat dahulu biasa Menalkinkan mayit setelah dikuburkan. Menalkinkan mayit ini dilakukan setelah kubur mayit diratakan dan orang-orang yang menguburkannya meninggalkan tempat tersebut.

Adapun cara Menalkinkan mayit adalah dengan menyeru-nya kemudian menyuruhnya supaya mengucapkan kalimat tauhid la ilaha illallah, asyhadu an lailahailallah -sebanyak tiga kali-. Selain itu, mayit juga diseru supaya menyatakan bahwa Allah adalah Pemeliharanya, Islam adalah agamanya, dan Nabi Muhammad adalah Nabinya.

2.4.3 Kedudukan riwayat

Kedudukan riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib, dan Hakim bin Umair ini dlaif.

2.5 Riwayat-riwayat dari Abu Jafar tentang Perintah Menalkinkan Mayit

Terdapat dua jalur periwayatan dalam hal ini, yaitu:

2.5.1 Riwayat Abu Jafar (dengan jalur Zurarah)2.5.1.1 Lafal, terjemah dan takhrij

( : (( : ( ) : : ( ) ...

.

Artinya:

Dari Zurarah, dari Abu Jafar alaihis salam berkata, dia berkata, Apabila engkau meletakkan mayat pada liang lahadnya, maka katakanlah, Dengan (menyebut) nama Allah dan (berada) di jalan Allah, serta (tetap melazimi) agama Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi, dan bacalah ayat kursi, lalu tepuklah pundak kanannya dengan tanganmu kemudian serulah, Hai fulan bin fulan! Katakanlah, Aku telah ridla dengan Allah sebagai Pemelihara, dengan Al-Islam sebagai agama, dengan Muhammad sebagai Rasul, dan dengan Ali sebagai pemimpin kemudian (hendaklah) disebutkan (nama) imam pada zamannya

Abu Jafar telah meriwayatkannya dengan sanad dlaif.

Riwayat ini dikutip pula oleh Muhammad bin Al-Husain dalam kitab Wasailusy Syiah.

2.5.1.2 Maksud riwayat

Riwayat Abu Jafar dengan jalur Zurarah di atas menjelaskan bahwa orang yang mengikuti/membantu pelaksanaan penguburan mayit, hendaknya melakukan beberapa hal, di antaranya: tatkala dia meletakkan mayit ke liang lahad, hendaklah dia membaca doa: bismillah wa ala millati Rasulillah shallallahu alaihi wa alihi dan membaca ayat kursi. Kemudian setelah mayit diletakkan, hendaklah dia menepuk pundak kanan mayit itu, lalu Menalkinkannya supaya dia menyatakan bahwa dirinya telah ridla dengan Allah sebagai Pemelihara, ridla dengan Al-Islam sebagai agama, ridla dengan Muhammad sebagai Rasul, dan ridla dengan Ali sebagai pemimpin, demikian pula ridla dengan pemimpin pada zamannya.

2.5.1.3 Kedudukan riwayat

Riwayat ini tergolong riwayat dlaif.

2.5.2 Riwayat Abu Jafar (dengan jalur Jabir bin Yazid)

2.5.2.1 Lafal, terjemah dan takhrij

( : : ( ) .

.

Artinya:

Dari Jabir bin Yazid, dari Abu Jafar alaihis salam, dia berkata, Yang harus dilakukan oleh salah seorang diantara kalian apabila mayitnya telah dimakamkan dan sudah diratakan (tanah)nya, serta telah ditinggalkan kuburnya- adalah: dia tinggal di dekatnya, kemudian menyeru, Hai fulan bin fulan! Bukankah engkau tetap memegang perjanjian yang telah kami ikrarkan denganmu: persaksian bahwa tidak ada Sesembahan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah shallallahu alaihi wa alihi, dan bahwa Ali amirul mukminin- alaihis salam adalah pemimpinmu, begitu pula fulan dan fulan, sampai dia sebutkan pemimpin terakhir mereka. Maka sesungguhnya jika salah seorang dari kalian melakukan yang demikian itu, berkatalah seorang dari dua malaikat kepada temannya, Kita telah dicukupi dari mendatanginya dan menanyai-nya, karena dia telah ditalkinkan. Kemudian kedua malaikat itu berpaling darinya dan tidak menemui-nya.

Abu Jafar telah meriwayatkannya. Riwayat ini adalah riwayat maudlu.

2.5.2.2 Maksud riwayat

Riwayat Abu Jafar dengan jalur Jabir bin Yazid tersebut memberikan pengertian bahwa apabila seorang mayit telah dikuburkan dan makamnya telah diratakan hendaknya tidak semua hadirin meninggalkan tempat tersebut, akan tetapi ada salah seorang yang tetap tinggal di dekat makam itu untuk Menalkinkan si mayit, yaitu mengingatkannya tentang persaksian bahwa tiada Sesembahan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, selain itu juga mengingatkan bahwa Ali adalah pemimpinnya, demikian pula pemimpin-pemimpin lain semasa hidupnya hingga pemimpin di akhir hayatnya.

Jika seorang mayit telah ditalkinkan demikian, -menurut riwayat ini- kedua malaikat yang bertugas menanyai mayit di dalam kubur meninggalkan mayit tersebut tanpa menemuinya.

2.5.2.3 Kedudukan riwayat

Riwayat Abu Jafar dengan jalur Jabir bin Yazid di atas adalah riwayat maudlu.

B A B III

PENDAPAT ULAMA PERIHAL

HUKUM MENALKINKAN MAYIT

Masalah Menalkinkan mayit setelah dikuburkan merupakan suatu permasalahan yang diperselisihkan di kalangan ulama. Sepanjang pengkajian penulis terdapat empat pendapat ulama dalam masalah tersebut, yaitu: sunnah, makruh, mubah dan bidah. Berikut ini penulis paparkan pendapat-pendapat tersebut satu persatu:

1. Menalkinkan Mayit Hukumnya Sunnah

Pendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya sunnah ini dinyatakan oleh Asy-Syafii, ulama madzhab Asy-Syafii, Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, (menurut pandangan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dan Al-Baghdadi) ulama madzhab Hambali, Al-Qadli Husain, Al-Mutawalli, Asy-Syaikh Nashr Al-Maqdisi Ar- Rafii, Abu Amr bin Shalah, An-Nawawi, Ibnul Arabi, Al-

Qadli, Abul-Khaththab, Al-Qurthubi, Ats-Tsaalibi, Ibnu Hajar Al-Haitami, Khatib Syarbini, Imam Ramli, Sayyid Bakri Syatha, Syaikh Nawawi Al-Bantani, dan KH. Sirajuddin Abbas.

Pendapat Asy-Syafii dan Abu Hanifah dijelaskan dalam kitab Ibanatul Ahkam sebagai berikut:

, .....

Artinya:

Adapun Menalkinkan (mayit) di kubur sesudah pemakamannya, hal itu diperselisihkan. Menurut Asy-Syafii dan Abu Hanifah, (Menalkinkan mayit) itu disukai.....

2. Menalkinkan Mayit Hukumnya Mubah.

Pendapat kedua ini dinyatakan oleh Imam Ibnu Taimiyyah dan ulama madzhab Hanafi.

2.1 Ibnu Taimiyyah

( : 0 :

Artinya:

Jawabnya: Menalkinkan mayit sesudah wafatnya tidak wajib menurut kesepakatan (para ulama) (Menalkinkan mayit itu juga) bukan amalan muslimin yang terkenal di kalangan mereka pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para khalifah beliau, akan tetapi perbuatan tersebut diriwayatkan dari sekelompok sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, misal-nya Abu Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa. Maka sebagi-an dari para imam ada yang memperbolehkannya misalnya Imam Ahmad, bahkan sekelompok sahabat beliau (maksudnya pengikut Madzhab Hambali) serta sahabat-sahabat Asy-Syafii menyukainya. Dan dari kalangan ulama ada yang membencinya karena berpendirian bahwa Menalkinkan mayit itu merupakan (perbuatan) bidah. Maka, pendapat ulama dalam hal ini ada tiga macam: Istihbab (disukai), Karahah (dibenci), dan Ibahah (dibolehkan) Inilah (Ibahah) pendapat yang paling lurus (benar).

Fatwa ini beliau ungkapkan sebagai jawaban tatkala beliau ditanya apakah Menalkinkan mayit setelah dikuburkan itu wajib atau tidak.

2.2 Ulama madzhab HanafiPendapat ulama madzhab Hanafi dikutip oleh Al-Jaziri sebagai berikut:

...

Artinya:

Ulama madzhab Hanafi berpendapat, Menalkinkan mayit setelah selesai dari penguburannya tidak dilarang dan tidak pula disuruhkan3. Menalkinkan Mayit Hukumnya Makruh

Pendapat kedua ini merupakan pendapat Malik, ulama madzhab Maliki, dan ulama madzhab hanafi.

Pendapat Malik dijelaskan dalam kitab Ibanatul Ahkam, yaitu:

...

Artinya:

Adapun Menalkinkan (mayit) di atas kubur sesudah (selesai) penguburannya, maka (hal) itu diperselisihkan perihal (hukum)nya Menurut Imam Malik (Menalkinkan mayit itu) dibenci karena amalan penduduk Madinah tidak berlangsung dalam hal itu.

Adapun pendapat ulama penganut madzhab Maliki dijelaskan oleh Al-Jaziri sebagai berikut:

: .

Artinya:

Ulama madzhab Maliki mengatakan, Menalkinkan mayit sesudah dikuburkan dan (dalam) keadaan dikuburkan itu dibenci.

4. Menalkinkan Mayit Merupakan Perbuatan Bidah

Ulama yang berpendapat bahwa Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah adalah Izzuddin bin Abdussalam, Ash-Shanani, A. Hassan, dan Al-Albani. Berikut ini penulis nukilkan pendapat Al-Albaniyang beliau jelaskan setelah mengutip hadits Abu Said: ... ( )

Artinya:

Pada hadits (Abu Said) tersebut (terdapat dalil) disyariatkan-nya Menalkinkan orang yang menjelang mati dengan persaksian tauhid dengan harapan supaya dia mengucapkan-nya, sehingga dia beruntung (di akhirat)..... Adapun Menalkin-kan mayit setelah wafatnya, maka di samping perbuatan itu merupakan bidah (juga) tidak diriwayatkan dalam sunnah Rasul maka tidak ada faedah dari perbuatan tersebut, karena mayit itu telah keluar dari masa pembebanan (beralih) pada masa pembalasan dan karena dia tidak lagi (dapat) menerima peringatan (sebagaimana dalam ayat): (supaya engkau (wahai Rasulullah!) mengancam orang yang hidup).

Demikianlah uraian pendapat ulama perihal hukum Menalkinkan mayit berdasarkan pengkajian penulis dari beberapa kitab.

BAB IV

ANALISA

Analisa perihal Menalkinkan mayit ini berfokus pada dua objek pem-bahasan, yaitu: analisa hadits-hadits yang berkenaan dengan Menalkinkan mayit dan analisa pendapat ulama perihal hukum Menalkinkan mayit.

1. Analisa Hadits-hadits dan Riwayat-riwayat yang Berkenaan dengan Menalkinkan Mayit

1.1 Hadits Abu Said

Kedudukan hadits Abu Said ini shahih, sehingga dapat dijadikan sebagai hujah dalam beramal.

Matan hadits ini berisi perintah Rasul yang berbunyi:

(( ))Jumhur ulama berpendapat bahwa perintah Rasul dalam hadits ini merupakan perintah yang berarti sebuah anjuran (bukan sebagai kewajib-an) sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qari:

.

Artinya:Jumhur ulama (berpendapat) bahwa Menalkinkan (mayit) ini dianjurkan.

Hal ini dinyatakan pula oleh An-Nawawi.

Pada hadits ini terdapat lafal mauta. Pada kamus al-Mujamul Wasith disebutkan bahwa lafal mauta merupakan bentuk jamak dari lafal mayyit yang mempunyai dua makna; yaitu orang yang sudah mati dan orang yang menjelang mati, sedangkan pada kamus Al-Munjid disebutkan bahwa lafal mauta merupakan bentuk jamak dari lafal mait yang berarti orang yang sudah mati.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa lafal mauta merupakan bentuk jamak dari lafal mayyit dan lafal mait. Oleh karena itu lafal tersebut dapat diartikan dengan dua makna, yaitu orang-orang yang menjelang mati dan orang-orang yang sudah mati.

Berdasarkan dua makna ini, ulama juga berbeda pendapat dalam memahami maksud hadits Abu Sa'id tersebut.

Apabila lafal mauta diterjemahkan dengan arti orang yang sudah mati (mayit) maka maksud hadits ini adalah perintah untuk Menalkinkan orang yang sudah mati. Ulama yang berpendapat bahwa lafal mauta berarti orang yang sudah mati adalah ulama madzhab Asy-Syafii sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Allan. Menurut mereka, makna

orang yang sudah mati merupakan makna hakiki, sedangkan dalam kaidah ushul fikih disebutkan bahwa (makna hakiki didahulukan daripada makna majasi).

Adapun jika makna yang dipakai adalah makna majasi, maka hadits ini menunjukkan perintah untuk Menalkinkan orang yang menjelang mati. Ulama yang memandang bahwa lafal mauta dalam hadits tersebut bermakna majasi di antaranya adalah An-Nawawi, As-Sindi, Ash-Shanani, Sayyid Alawi, Abut Thayyib Abadi, As-Saharanfuri, Ath-Thayyibi, Al-Mubarakfuri, Abdul Baqi, Ibnu Allan, Sulaiman bin Abdillah Sulaiman An-Nuri, Abbas Alawi, Al-Albani dan Kamal bin Sayyid Salim. Alasan yang mendasari pengambilan makna majasi ini adalah adanya qarinah bahwa orang yang dapat mengakhiri hidupnya dengan kalimat la ilaha illallah pasti masuk ke dalam jannah. Qarinah tersebut terdapat pada hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dan hadits Muadz yang berkedudukan shahih. Hadits Muadz tersebut diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Hakim.

Berdasarkan pengkajian penulis, lafal mauta dalam konteks kalimat (( )) ini lebih tepat diterjemahkan dengan makna majasi, yakni orang yang menjelang mati dengan beberapa alasan berikut:

1. Menurut Ilmu Ushul Fikih, makna hakiki didahulukan daripada makna majasi karena makna hakiki tidak membutuhkan qarinah, sedangkan makna majasi membutuhkannya. Makna majasi dapat dipergunakan apabila terdapat qarinah yang menafikan makna hakiki dari suatu lafal. Berdasarkan hal ini, penulis menyimpulkan bahwa kaidah:

(makna hakiki didahulukan daripada makna majasi) hanya diberlakukan apabila tidak terdapat qarinah yang menafikan makna hakiki dari suatu lafal. Pada lafal mauta dalam konteks kalimat (( )) ini, qaidah tersebut tidak dapat diberlakukan karena terdapat qarinah yang menafikan makna hakiki dari lafal tersebut.

2. Penggunaan makna majasi pada suatu lafal dapat dibenarkan apabila terdapat qarinah yang menafikan makna hakiki dari lafal tersebut. Dalam hal ini, lafal mauta mempunyai qarinah yang menunjukkan bahwa tujuan Menalkinkan adalah supaya mayit dapat mengakhiri hidupnya dengan kalimat la ilaha illallah sehingga ia mendapat jaminan masuk jannah. Adanya qarinah ini menafikan makna hakiki pada lafal mauta dalam konteks kalimat tersebut, sebab bagaimana mayit akan mengakhiri hidupnya dengan kalimat la ilaha illallah sedangkan ia telah mati?

3. Pengambilan makna majasi dalam konteks ini didukung pula dengan pernyataan ulama bahwa penyebutan orang yang yang menjelang mati dengan kata mayit itu lazim digunakan, dan hal ini termasuk dalam bab menamakan sesuatu dengan menyebutkan perubahan yang akan terjadi padanya, bahkan dalam Al-Qur`an juga terdapat bentuk seperti ini sebagaimana dinyatakan oleh Sayyid Bakri Syatha berikut ini:

( ) ( ( [ :36 ].

Artinya:

Perkataannya (Imam Al-Malibari) (ai: man hadlarahul maut) itu merupakan penafsiran yang dimaksud dari kata al-amwat artinya bahwa yang dimaksud dengan al-amwat itu adalah orang yang kematiannya sudah dekat. Maka hal itu termasuk dalam bab menamakan sesuatu dengan (menyebut perubahan) yang akan terjadi padanya, seperti firman-Nya yang mahatinggi {Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku memeras khamr [Yusuf: 36].

Jadi, maksud hadits Abu Said ini adalah perintah untuk Menalkinkan orang yang menjelang mati.

Berdasarkan kesimpulan di atas, jelaslah bahwa hadits Abu Said tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk menyatakan sunnahnya Menalkinkan mayit. Wallahu alam.1.2 Hadits Abu Umamah

Hadits Abu Umamah ini berkedudukan dlaif. Hadits dlaif tergolong khabar mardud (yang tertolak) sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujah.

Akan tetapi meskipun hadits Abu Umamah ini dla'if, sebagian ulama berpendapat bahwa hadits tersebut mempunyai beberapa syahid, sehingga kedudukannya menjadi hadits hasan lighairihi dan dapat dijadikan sebagai hujah dalam beramal.

Berikut ini penulis nukilkan hadits-hadits yang mereka jadikan sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah:

1) Hadits Amr bin Ash radliyallahu anhu........ .... .

.

Artinya:

.....Dari Ibnu Syumasah Al-Mahriy, dia berkata, Kami menghadiri Amr bin Ash sedang dia dalam keadaan (menghadapi) sakaratul maut . (dia berkata), 'Dan apabila kalian telah menguburkanku maka benar-benar taburkanlah tanah di atas (kubur)ku, kemudian tinggallah di sekitar kuburku sekira (waktu) seekor onta disembelih dan dibagikan dagingnya, sehingga aku dapat merasa senang dengan (keberadaan) kalian, dan aku menunggu apa yang akan aku jawabkan kepada utusan-utusan Pemeliharaku.

Muslim telah meriwayatkannya.

2) Hadits Anas radliyallahu anhu2.1 Hadits Anas radliyallahu anhu tentang mayit mendengar derap sandal orang-orang yang menguburkannya. Hadits ini diriwayat-

kan oleh Al-Bukhari, dan An-Nasai.

2.2 Hadits Anas radliyallahu anhu tentang Nabi menyeru mayat orang-orang musyrik di Badar yang diriwayatkan oleh Muslim.

3)

Hadits Bara` bin Azib radliyallahu anhu yang menjelaskan bahwa apabila seorang hamba mukmin telah meninggal dunia, ruhnya akan dikembalikan ke jasadnya dan dua malaikat akan datang kepadanya untuk menanyakan beberapa hal. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad shahih.

4) Hadits Utsman bin Affan radliyallahu anhu..... ( .

.Artinya:

.....Dari Utsman bin Affan, dia berkata, Adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila selesai mengubur mayit, beliau berhenti pada (kubur)nya seraya bersabda, Kalian mintakanlah ampun untuk saudara kalian dan kalian mintakanlah keteguhan baginya karena sesungguhnya sekarang dia (akan) ditanyai

Abu Dawud telah meriwayatkannya dengan sanad shahih.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Al-Hakim, dan Al-Baihaqi.

5) Hadits Ibnu Umar radliyallahu anhu yang menceritakan bahwa Ibnu Umar mendoakan mayit tatkala dimulai perataan batu bata di atasliang lahadnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad dlaif.

6) Hadits Al-Hakam bin Al-Harits As-Sulami radliyallahu anhu tentang pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam supaya para sahabat mendoakan beliau apabila beliau telah dimakamkan dan mereka telah memercikkan air di atas kubur beliau. Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan sanad dlaif.

7) Hadits Ummu Salamah radliyallahu anha tentang perintah untuk mengucapkan perkataan yang baik tatkala menjenguk orang sakit atau melawat mayit. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah.

8) Hadits Aisyah radliyallahu anha yang menyatakan bahwa Rasulullah diperintahkan untuk mendatangi para penghuni pekuburan Baqi serta memintakan ampun untuk mereka. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.

An-Nawawi menyatakan bahwa hadits Abu Umamah mempunyai beberapa syahid, di antaranya hadits (yaitu hadits

Utsman bin Affan: no.4) dan hadits tentang wasiat Amr bin Ash (no.1).

Ibnu Hajar juga menyebutkan beberapa hadits yang dapat dijadikan syahid bagi hadits Abu Umamah, yaitu riwayat Rasyid bin Sad, hadits Al-Hakam bin Al-Harits (no.6), hadits Ibnu Umar (no.5), hadits Amr bin Ash (no.1), dan hadits Utsman bin Affan (no.4).

Sedangkan KH. Sirajuddin Abbas menukilkan hadits Amr bin Ash (no.1), hadits Utsman bin Affan (no.4), hadits Abu Said, dua hadits Anas (no.2.1 dan 2.2), hadits Bara`bin Azib (no.3), hadits Ummu Salamah (no.7), hadits Aisyah (no.8) dan riwayat Rasyid bin Sad dalam pembahasan dalil-dalil yang menyokong hadits Abu Umamah tentang talkin.Jadi, ada sembilan hadits dan satu riwayat yang dijadikan sebagi syahid bagi hadits Abu Umamah.

Apabila dicermati, di antara sepuluh hadits dan riwayat tersebut, hanya hadits Rasyid bin Sadlah yang membicarakan perihal Menalkinkan mayit sebagaimana hadits Abu Umamah. Makna hadits-hadits tersebut selain hadits Abu Said- hanya berkisar pada dua pengertian; pertama, bahwa mayit dapat mendengar (lihat hadits no.1, no.2.1, 2.2, dan no.3). Kedua, adanya anjuran untuk mendoakan mayit yang menunjukkan bahwa mayit mendapatkan manfaat dari doa orang yang masih hidup (Lihat hadits no.4, no.5, no.6, no.7 dan no.8). Adapun hadits Abu Said sebagaimana telah lewat- menyatakan anjuran Menalkinkan orang yang menjelang mati, bukan Menalkinkan orang yang sudah mati.

Dalam hal ini, KH.Sirajuddin Abbas menjadikan hadits Amr bin Ash sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah bukan dari pengertian

bahwa mayit dapat mendengar. Beliau menerjemahkan kalimat

dalam hadits tersebut dengan arti dan aku ketahui apa yang harus aku jawabkan kepada malaekat-malaekat yang menjadi persuruh Tuhanku. Selanjutnya beliau menyimpulkan bahwa Amr bin Ash berwasiat supaya setelah kuburnya diratakan, hendaknya orang-orang yang menguburkannya tinggal beberapa saat di sekitar kuburnya sehingga dia merasa tenang dengan keberadaan mereka dan ia dapat mengetahui jawaban apa yang akan ia hadapkan kepada malaikat yang menanyainya. Jika mayit dalam hal ini Amr bin Ash- dapat mengetahui jawaban yang harus dia hadapkan kepada malaikat dengan sebab keberadaan orang-orang yang ada di sekitar kuburnya, secara implisit dapat difaham bahwa dia meminta supaya orang-orang yang berada di sekitar kuburnya Menalkinkannya sehingga ia dapat menjawab pertanyaan malaikat dengan mudah.

Penjelasan KH.Sirajuddin Abbas tentang persaksian hadits Amr bin Ash di atas tidak dapat diterima dengan alasan berikut:

Dalam beberapa kamus yang menjadi rujukan penulis, di antaranya Lisanul Arab, Al-Mujamul Wasith, dan Al-Munjid, pada lafal - tidak terdapat arti mengetahui. Dari hasil kajian penulis dalam masalah ini, penulis menyimpulkan bahwa arti yang tepat bagi lafal tersebut adalah menunggu. Di samping itu, dalam kitab-kitab syarah tidak terdapat keterangan sebagaimana penjelasan KH. Sirajuddin Abbas di atas. An-Nawawi, -dalam kitab Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi- memberikan tiga kesimpulan dari hadits ini, di antaranya, disunnahkannya tinggal sejenak di sekitar pekuburan setelah selesai pemakaman dan mayit dapat mendengar. Adapun Al-Qadli Iyadl memberikan penjelasan, di antaranya: hadits ini menunjukkan bahwa mayit pada saat itu dapat mendengar.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sembilan hadits di atas tidak semakna dengan hadits Abu Umamah, maka hadits-hadits tersebut tidak dapat menjadi syahid bagi hadits Abu Umamah sebab salah satu kriteria syahid adalah apabila suatu hadits semakna dengan hadits yang disaksikannya.

Sedangkan riwayat Rasyid bin Sad, meskipun riwayat tersebut semakna dengan hadits Abu Umamah, akan tetapi riwayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah karena riwayat tersebut adalah riwayat mauquf yang berkedudukan dlaif.

Berkenaan dengan hal ini, Al-Albani memberikan tanggapan atas pernyataan Ibnu Hajar yang berpendapat bahwa hadits Abu Umamah dapat dijadikan sebagai dalil karena terdapat beberapa syahid yang me-nopangnya. Berikut ini kutipan penjelasan Al-Albani:

(( )) ! ! , , , , (( : ! , , .

Artinya:

Pada perkataannya (Ibnu Hajar) ((hadits Abu Umamah mempunyai beberapa syahid)) terdapat toleransi yang banyak!, karena semua (hadits) yang dia sebutkan tidak layak menjadi syahid sebab semuanya tidak (mengandung) makna talkin sedikit pun secara mutlak, semuanya (hanya) berkisar di sekitar (makna) doa bagi mayit! Karena itulah aku tidak memuat hadits-hadits tersebut dalam sejumlah perkataannya yang aku sebutkan, kecuali riwayat Said bin Manshur sebab riwayat tersebut menjelaskan tentang talkin. Akan tetapi di samping itu riwayat tersebut merupakan syahid yang sangat ringkas (kurang) karena hadits (Abu Umamah) lebih lengkap dan lebih banyak materinya dibanding dengan riwayat Said bin Manshur, sebab di dalamnya (disebutkan) ((bahwa malaikat Munkar dan Nakir mengatakan, kita tidak akan tinggal (singgah) pada orang yang telah ditalkinkan hujahnya. Manakah (pengertian) seperti ini dalam syahidnya (riwayat Said bin Manshur)? Di samping itu riwayat Said bin Manshur tidak layak menjadi syahid karena riwayat tersebut adalah riwayat mauquf bahkan riwayat maqthu. Aku tidak tahu kenapa perkara seperti ini dapat tersamar bagi Al-Hafidz, semoga Allah memaafkan kita serta beliau.

Menurut Al-Albani, di antara sekian banyak hadits yang diajukan Ibnu Hajar sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah hanya riwayat Said bin Manshur yaitu hadits Rasyid bin Sad- yang menjelaskan tentang talkin. Adapun hadits-hadits lain hanya membicarakan tenang doa bagi mayit. Meskipun demikian, hadits Rasyid bin Sad merupakan syahid yang sangat ringkas; maksudnya ada beberapa hal yang dimuat dalam hadits Abu Umamah akan tetapi tidak disebutkan dalam hadits tersebut, misalnya pernyataan dua malaikat bahwa mereka tidak akan singgah kepada orang yang telah ditalkinkan hujahnya. Di samping itu, hadits ini tidak layak dijadikan syahid bagi hadits Abu Umamah karena hadits tersebut adalah hadits maqthu.

Walhasil, karena tidak terdapat syahid yang menopangnya, maka hadits Abu Umamah tetap berkedudukan dlaif sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujah dalam beramal. Wallahu alam.1.3 Hadits Ibnu Abbas

Hadits Ibnu Abbas ini menceritakan bahwa Rasulullah Menalkin-kan Fathimah binti Asad setelah menguburkannya.

Hadits tersebut adalah hadits maudlu. hadits maudlu tergolong hadits mardud (tertolak) dan menduduki tingkat hadits dlaif yang terburuk, bahkan Ibnu Ajjaj menegaskan bahwa hadits maudlu tidak dianggap sebagai hadits.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits Ibnu Abbas tidak dapat dijadikan hujah. Wallahu alam.1.4 Riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib, dan Hakim bin Umair

Riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib dan Hakim bin Umair ini adalah riwayat mauquf yang berkedudukan dlaif.

Pada asalnya riwayat mauquf tidak dapat dijadikan sebagai hujah, hanya saja hadits tersebut apabila berkedudukan shahih dapat menguatkan hadits dlaif.

Dalam hal ini, riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib dan Hakim bin Umair adalah riwayat mauquf yang berkedudukan dlaif sehingga riwayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujah dan tidak dapat menguatkan hadits dlaif. Wallahu alam.

1.5 Riwayat-riwayat Abu Jafar

Berkenaan dengan Menalkinkan mayit ini, terdapat dua jalur periwayatan dari Abu Jafar, yaitu riwayat Abu Jafar dengan jalur Zurarah dan riwayat Abu Jafar dengan jalur Jabir bin Yazid.

Dua riwayat tersebut adalah riwayat maqthu. Kedudukan riwayat Abu Jafar dengan jalur Zurarah dlaif, sedangkan riwayat Abu Jafar dengan jalur Jabir bin Yazid adalah riwayat maudlu.

Riwayat maqthu tidak dapat dijadikan hujah meskipun ber-kedudukan shahih, sehingga dapat disimpulkan bahwa riwayat Abu Jafar baik dengan jalur Zurarah maupun dengan jalur Jabir tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujah dalam beramal. Wallahualam.

Dari uraian analisa hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Menalkinkan mayit tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Tidak terdapat hadits shahih yang dapat dijadikan rujukan untuk men-talkinkan mayit.

2. Hadits Abu Said yang berkedudukan shahih tidak dapat dijadikan sebagai dalil Menalkinkan mayit karena pengamalan yang benar dari hadits tersebut adalah Menalkinkan orang yang menjelang mati, bukan Menalkinkan mayit.

2. Analisa Pendapat Ulama Perihal Hukum Menalkinkan Mayit

Masalah Menalkinkan mayit merupakan salah satu permasalahan fikih yang diperselisihkan di kalangan ulama. Berdasarkan data yang telah penulis kumpulkan, terdapat empat pendapat ulama tentang masalah tersebut, yaitu: Menalkinkan mayit hukumnya sunnah, Menalkinkan mayit hukumnya makruh, Menalkinkan mayit hukumnya mubah, dan Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah.

Berikut ini penulis uraikan analisa pendapat ulama tersebut dalam empat subbab:

2.1 Analisa Pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Sunnah (lihat kembali bab III, hlm.20-21)

Ulama yang berpendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya sunnah serta menyatakan alasan mereka adalah Asy-Syafii, Abu Hanifah, Ulama madzhab Asy-Syafii, Ahmad bin Hambal, Abu Amr bin Shalah, An-Nawawi, Ibnul Arabi Al-Maliki, Asy-Syarbini, Imam Ramli, Sayyid Bakri Syatha, dan KH.Sirajuddin Abbas,Alasan Asy-Syafii dan Abu Hanifah dijelaskan dalam kitab Ibanatul Ahkam sebagai berikut:

.

Artinya:

Dan (Menalkinkan mayit itu) disyariatkan menurut (pandangan) dua Imam yaitu Abu Hanifah dan Asy-Syafii karena (berpegang pada) keumuman hadits Barangsiapa yang dapat memberikan manfaat kepada saudaranya, hendaklah dia melakukannya dan karena terbukti (bahwa) mayit dapat mendengar perkataan orang-orang hidup serta derap sandal mereka, juga (berpegang) pada hadits Abu Umamah ini. Hadits tersebut meskipun dlaif, akan tetapi pengamalannya terus berlangsung di kalangan penduduk Syam.

Jadi, ada tiga hal yang mendasari pendapat mereka, yaitu: Pertama, keumuman hadits:

(barangsiapa di antara kalian dapat memberikan manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah dia memperbuatnya). Artinya, Abu Hanifah dan Asy-Syafii menganggap bahwa Menalkinkan mayit termasuk perbuatan yang bermanfaat dalam hal ini bagi mayit yang ditalkinkan-, sehingga orang yang mampu memperbuatnya dihasung untuk melakukannya. Kedua, mayit dapat mendengar perkataan orang yang masih hidup serta derap sandal mereka. Ketiga, hadits Abu Umamah. Hadits tersebut meskipun dlaif, akan tetapi penduduk Syam mengamalkannya.

Menurut penulis, alasan tersebut tidak dapat diterima karena:

Tidak ada nas yang menyatakan bahwa talkin ini bermanfaat bagi mayit yang ditalkinkan, sehingga tidak mungkin mengambil keumuman hadits (barangsiapa di antara kalian dapat memberikan manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah dia memperbuatnya) sebagai dalil sunnahnya Menalkin-kan mayit. Pernyataan bahwa mayit dapat mendengar tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar Menalkinkan mayit. Artinya meskipun seruan talkin dapat didengar oleh mayit yang ditalkinkan, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk Menalkinkan mayit, sebab setiap perbuatan ibadah harus berdasar pada sebuah dalil yang menunjukkan perintah.

Hadits dlaif dalam hal ini hadits Abu Umamah- tidak dapat dijadi-kan sebagai hujah dalam beramal.

Ulama madzhab Asy-Syafii berpegang pada hadits Abu Said dengan mengambil makna hakiki pada lafal mauta, sebagaimana di-

utarakan oleh Ibnu Allan.

Sebagaimana telah penulis ulas di muka, pengambilan makna hakiki pada lafal mauta (yaitu mayit) dalam hadits Abu Said tidak tepat, sehingga menjadikan hadits tersebut sebagai dasar Menalkinkan mayit tidak dapat dibenarkan pula. Wallahu alam.Adapun tentang pendapat Imam Ahmad, penulis mendapatkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menilai pendapat beliau. Menurut Ibnul Qayyim, Imam Ahmad berpendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya sunnah berdasarkan adanya pengamalan men-talkinkan mayit di kalangan muslimin. Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa beliau memperbolehkannya, sedangkan A.Hassan menyata-kan bahwa beliau membidahkannya.

Adapun pernyataan Imam Ahmad sendiri disebutkan pada kitab Fiqhus Sunnah sebagai berikut:

: : ...: .

Artinya:

Al-Atsram berkata, Aku bertanya kepada Ahmad: Apakah ini yang biasa mereka lakukan apabila mayit telah dikuburkan, (yaitu) seseorang berhenti seraya menyeru, Hai fulan bin fulanah!...Ahmad menjawab, Aku tidak melihat seorang pun melakukannya selain penduduk Syam tatkala Abul Mughirah wafat.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Imam Ahmad hanya menyatakan bahwa beliau tidak pernah melihat seorang pun mengamalkan talkin selain penduduk Syam tanpa menjelaskan hukumnya.

Menurut penulis, pendapat yang menyatakan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya sunnah berdasarkan pengamalan Menalkinkan mayit di kalangan muslimin tidak dapat diterima, sebab setiap amal ibadah dalam hal ini Menalkinkan mayit- harus berdasarkan nas yang menunjukkan perintah. Wallahu alam.

Adapun Abu Amr, tatkala beliau ditanya perihal Menalkinkan mayit, beliau menjawab:

.

Artinya:

Menalkinkan (mayit) itulah yang kami pilih dan kami amalkan. Kami telah meriwayatkan sebuah hadits dari hadits Abu Umamah yang sanadnya tidak tetap (tidak dapat dijadikan sebagai hujah), akan tetapi dikuatkan dengan beberapa syahid dan dengan amalan penduduk Syam (pada jaman) dahulu.Pernyataan Abu Amr di atas tidak dapat diterima karena hadits Abu Umamah yang dijadikan rujukan adalah hadits dlaif. Hadits-hadits yang dijadikan sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah tidak dapat menguatkan hadits Abu Umamah karena hadits-hadits tesebut tidak berkenaan dengan talkin. Demikian pula amalan penduduk Syam tidak dapat menguatkan hadits Abu Umamah yang berkedudukan dlaif. Pada kitab Qawaidut tahdits disebutkan bahwa menurut Abul Hasan bin Al-Qaththan, hadits dlaif dapat diamalkan dengan beberapa syarat, di antaranya apabila dikuatkan dengan adanya pengamalan yang terus berlangsung, akan tetapi hal ini menyelisihi pendapat jumhur yang menetapkan bahwa hadits dlaif hanya dapat diamalkan dalam hal fadlailul amal (keutamaan amalan) dengan beberapa syarat tertentu. Berdasarkan keterangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa amalan penduduk Syam tidak dapat dijadikan sebagai penguat hadits Abu Umamah yang berkedudukan dlaif. Wallahu alam.Adapun An-Nawawi berdalil dengan hadits Abu Umamah yang berkedudukan dlaif. Menurut An-Nawawi, meskipun berkedudukan dlaif, hadits Abu Umamah tetap dapat diamalkan, sebab ulama ahli hadits telah bersepakat memberikan kelonggaran dalam mengamalkan hadits dlaif perihal fadlailul amal, targhib dan tarhib. Selain itu, hadits Abu Umamah mempunyai beberapa syahid, di antaranya hadits Utsman bin Affan dan hadits Amr bin Ash. Beliau juga menegaskan bahwa penduduk Syam terus melakukannya sejak jaman dahulu hingga sekarang.

Pengambilan hadits Utsman dan hadits Amr bin Ash serta praktik penduduk Syam sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah tidak dapat dibenarkan sebagaimana telah lewat penjelasannya.

Adapun perihal pengamalan hadits dlaif dalam hal fadlailul amal, jumhur ulama bersepakat untuk memperbolehkannya dengan beberapa syarat. Dalam hal ini, hadits Abu Umamah memang menjelaskan tentang keutamaan Menalkinkan mayit, yaitu bahwa mayit yang sudah ditalkinkan tidak akan ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir. Akan tetapi mengamalkan hadits Abu Umamah dengan alasan tersebut tidak cukup, sebab terdapat syarat yang tidak terpenuhi dalam hal ini, yaitu bahwa hadits dlaif tersebut harus tercakup dalam suatu dalil yang dapat diamalkan. Walhasil, hadits Abu Umamah yang berkedudukan dlaif tersebut tidak dapat diamalkan karena tidak terdapat dalil yang menjadi dasar Menalkinkan mayit itu sendiri.

Selain itu, Al-Albani menjelaskan bahwa maksud fadlailul amal adalah keutamaan amalan-amalan yang disyariatkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Dalam hal ini, tidak terdapat syariat Menalkinkan mayit dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah, sehingga tidak dibenarkan meng-amalkan hadits Abu Umamah yang berkedudukan dlaif ini dengan dalih mengamalkan hadits dlaif dalam hal fadlailul amal. Wallahu alam.

Ibnul Arabi Al-Maliki menyatakan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya sunnah berdasarkan amalan penduduk Madinah.

Pernyataan Ibnul Arabi Al-Maliki bahwa Menalkinkan mayit adalah amalan penduduk Madinah di atas perlu dipertanyakan, sebab menurut Imam Malik seorang tokoh panutan penduduk Madinah yang lahir dan wafat di Madinah- penduduk Madinah tidak melakukannya (lihat hlm.47).Selain itu, -meskipun amalan penduduk Madinah merupakan pengamalan suatu hukum yang menjadi kesepakatan (ijmak) penduduk Madinah- jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan penduduk Madinah tidak dapat dijadikan sebagai hujah dengan dasar bahwa kesepakatan tersebut merupakan ijmak. Mereka berpendapat bahwa ijmak yang menjadi hujah setelah Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam atas suatu hukum syari'at pada satu masa sesudah wafat beliau. Wallahu alam.

Asy-Syarbini menyatakan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya sunnah berdasarkan hadits Abu Umamah yang pada asalnya berkedudukan dlaif, akan tetapi dikuatkan dengan beberapa hadits shahih sebagai syahid serta berlangsungnya pengamalan Menalkin-kan mayit tersebut pada masa orang yang dapat diikuti.

Selain itu, beliau juga merujuk kepada firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat (55):51 yang berisi perintah untuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang beriman

Tentang pengambilan hadits Abu Umamah sebagai dalil men-Menalkinkan mayit, hal ini tertolak sebagaimana telah dijelaskan di muka.

Adapun mengamalkan talkin berdasarkan surat Adz-Dzariyat (55):51, pendapat ini tidak dapat diterima karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diberi wewenang untuk men-jelaskan Al-Qur`an tidak pernah memperbuatnya.

Selain itu, setiap peribadatan tidak boleh dilakukan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan perintah. Berdasarkan hal ini, maka Menalkinkan mayit tidak boleh dilakukan karena tidak terdapat dalil yang menunjukkan perintah. Wallahu alam.

Adapun menurut Imam Ramli, Menalkinkan mayit setelah dikuburkan itu disukai karena terdapat hadits yang menyatakan bahwa mayit dapat mendengar derap sandal orang-orang yang menguburkan-nya tatkala mereka pergi meninggalkannya.

Hadits yang dijadikan dalil tersebut adalah hadits riwayat Al-Bukhari sebagaimana telah disebutkan di muka. Hadits tersebut hanya menyatakan bahwa mayit dapat mendengar, sedangkan pernyataan bahwa mayit dapat mendengar tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar Menalkinkan mayit sebagaimana dijelaskan di muka. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka pengambilan hadits riwayat Al-Bukhari di atas sebagai dalil Menalkinkan mayit tidak dapat dibenarkan. Wallahu alam.

Sayyid Bakri Syatha menyatakan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya sunnah berdasarkan surat Ad-Dzariyat (55):51. Beliau juga menegaskan bahwa pada saat setelah dikuburkan itulah mayit sangat membutuhkan peringatan.

Alasan ini tidak dapat dibenarkan sebagaimana telah diuraikan di muka.

Adapun menurut KH.Sirajuddin Abbas, dalil yang mendasari pendapat sunnahnya Menalkinkan mayit ini adalah hadits Abu Umamah. Beliau menjelaskan bahwa hadits tersebut dikuatkan dengan beberapa syahid, yaitu: hadits Amr bin Ash, hadits Utsman bin Affan, hadits Abu Said, dua hadits Anas, hadits Bara` bin Azib, hadits Ummu Salamah, hadits Aisyah, hadits Rasyid bin Sad dan ayat 56 surat Adz-Dzariyat.

Tentang ayat 56 surat Adz-Dzariyat ini, beliau memberikan penjelasan sebagai berikut:

Perkataan muminin dalam ayat ini meliputi orang mumin yang masih hidup dan sudah mati.

Pernyataan di atas tidak dapat diterima dengan dua alasan, yaitu: pertama, apabila dilihat dari sebab turun ayat tersebut, dapat diketahui bahwa ayat itu berlaku untuk orang-orang beriman yang masih hidup. Pada kitab Syuabul Iman disebutkan sebuah riwayat dari Ali binAbi Thalib berkenaan dengan sebab turun ayat 56 surat Adz-Dzariyat, yaitu:

(: ( ( ( (.

Artinya:

Ali radliyallahu anhu berkata, Tatkala turun (ayat) Dan berpalinglah engkau (wahai Muhammmad!) dari mereka, maka engkau tidak tercela, (hal) itu membuat kami sedih, dan kami menyangka (bahwa) Rasulullah diperintahkan untuk berpaling dari kami, maka turunlah (ayat) Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.

Riwayat di atas menceritakan bahwa sahabat merasa sedih dengan turunya ayat 55 surat adz-Dzariyat, mereka menyangka bahwa Rasulullah diperintahkan untuk berpaling dari mereka, maka Allah turunkan ayat 56 surat Adz-Dzariyat. Apabila pengertian ayat tersebut dipahami secara umum, maka ayat itu berlaku bagi setiap muslim yang masih hidup sebagaimana para sahabat yang mendapati turunnya ayat tersebut. Kedua, tidak terdapat riwayat shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallalahu alaihi wa sallam pernah memberikan peringatan dalam bentuk pentalkinan mayit ini, sedangkan beliaulah yang diberi wewenang untuk menjelaskan Al-Qur`an.

Demikian pula hadits Amr bin Ash, hadits Utsman bin Affan, hadits Abu Said, dan hadits-hadits semisalnya tidak dapat menguat-kan hadits Abu Umamah yang berkedudukan dlaif sebagaimana telah diuraikan di muka. Wallahu alam.

Berdasarkan uraian analisa di atas, dapat diketahui bahwa alasan yang mendasari pendapat Menalkinkan mayit hukumnya sunnah tersebut tidak kuat, sehingga pendapat tersebut tidak dapat diterima. Wallahu alam bish shawab.

2.2 Analisa Pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Mubah (Lihat kembali bab III, hlm.22-23)

Pendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya mubah ini dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah dan ulama madzhab Hanafi.

Dalam kitab Al-Fatawal Kubra Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa pendapat yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya mubah. Beliau tidak menyertakan dalil yang mendasari pendapat tersebut, akan tetapi beliau memberikan penjelasan bahwa:

1. Menurut kesepakatan ulama, Menalkinkan mayit itu hukumnya tidak wajib.2. Menalkinkan mayit itu bukan amalan yang dikenal di kalangan muslimin pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para khalifah beliau, akan tetapi perbuatan tersebut merupakan atsar dari sekelompok sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, di antaranya

Abu Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa.

3. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini; Imam Ahmad mem-perbolehkannya, sedang sahabat-sahabat beliau (maksudnya pengikut Madzhab Hambali) serta sahabat-sahabat Asy-Syafii menyukainya. Ada pula sebagian ulama yang membencinya karena berpendirian bahwa Menalkinkan mayit itu merupakan perbuatan bidah.

Berkenaan dengan penjelasan di atas, penulis memberikan beberapa komentar sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa adalah hadits dlaif. Selain itu, hadits Watsilah bin Al-Asqa tidak berkenaan dengan Menalkinkan mayit, sebab hadits tersebut menyatakan anjuran Menalkinkan orang yang menjelang mati sebagaimana hadits Abu Said.

2. Imam Ahmad sebagaimana telah dijelaskan pada hlm.45- hanya menyatakan bahwa beliau tidak pernah melihat seorang pun melakukan talkin selain penduduk Syam tatkala Abul Mughirah wafat.Adapun pernyataan beliau bahwa pendapat yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya mubah tidak dapat diterima, sebab setiap perbuatan ibadah pada asalnya bathil sampai terdapat dalil yang menunjukkan perintah. Berdasarkan hal ini, maka pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya mubah itu tidak dapat dibenarkan.Sedangkan Ulama madzhab Hanafi hanya menyatakan bahwa Menalkinkan mayit itu tidak disuruhkan dan tidak pula dilarang.

Pernyataan tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab yang dijadikan patokan dalam masalah ibadah dalam hal ini Menalkinkan mayit- adalah adanya perintah, bukan ketiadaan larangan. Maksudnya, apabila tidak terdapat perintah -meskipun tidak terdapat larangan-, maka setiap perbuatan ibadah itu bathil. Dalam hal ini, ketiadaan perintah Menalkinkan mayit menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bathil, meskipun tidak terdapat larangan tentang hal itu.

Berdasarkan uraian analisa Menalkinkan mayit hukumnya mubah di atas, penulis menyimpulkan bahwa pendapat tersebut tidak dapat dipertahankan kebenarannya. Wallahu alam bish shawab.

2.3 Analisa Pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Makruh (lihat kembali bab III, hlm.23)

Pendapat ini merupakan pendapat Malik dan ulama penganut madzhab Maliki.

Imam Malik berpendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya makruh karena tidak ada pengamalan penduduk Madinah dalam hal ini.

Alasan Iman Malik tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab amalan penduduk Madinah tidak dapat dijadikan sebagai hujah menurut jumhur ulama; Artinya, apabila penduduk Madinah tidak melakukan suatu amalan, maka hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menetapkan bahwa amalan tersebut makruh. Demikian pula sebaliknya, apabila penduduk Madinah melakukan suatu amalan, maka hal itu tidak dapat dijadikan sebagai hujah untuk menetapkan bahwa amalan tersebut sunnah.

Selain itu, setiap perbuatan ibadah termasuk juga men-talkinkan mayit dalam hal ini- harus didasari dengan adanya nas yang menunjukkan perintah sebagaimana telah lewat penjelasannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya makruh tidak mempunyai alasan yang benar sehingga pendapat tersebut tidak dapat dipegang. Wallahu alam bish shawab.

2.4 Analisa Pendapat Menalkinkan Mayit merupakan perbuatan Bidah

(lihat kembali bab III, hlm.23-24)

Ulama yang menyatakan bahwa Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah adalah Izzuddin bin Abdussalam, Ash-Shanani, A.Hassan, dan Al-Albani.

Izzuddin menyatakan bahwa Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah karena tidak terdapat dalil yang benar dalam hal itu.

Pernyataan Izzudin ini dapat diterima, sebab berdasarkan penelitian penulis- tidak terdapat dalil yang benar dalam hal Menalkinkan mayit ini, sedangkan setiap perbuatan -dalam konteks ibadah- yang diadakan sesudah wafat Rasul tanpa ada dalil yang benar merupakan perbuatan bidah. Hal ini sesuai dengan definisi bidah, yaitu:

: ( .

Artinya:

Bidah menurut istilah (terminologi): adalah sesuatu yang baru dalam agama sesudah dia disempurnakan, atau sesuatu yang diadakan sesudah Nabi SAW yang berupa kehendak dan amal.

Adapun Ash-Shanani menyimpulkan bahwa hadits Abu Umamah adalah hadits dlaif, kemudian beliau menegaskan bahwa mengamalkan hadits Abu Umamah berarti melakukan perbuatan bidah.

Hal ini dapat dibenarkan karena hadits dlaif tidak dapat dijadikan hujah dalam beramal, sedangkan melakukan perbuatan ibadah tanpa contoh dari Nabi berarti melakukan perbuatan bidah sebagaimana telah dijelaskan. Wallahu alam.

A.Hassan menjelaskan bahwa Menalkinkan mayit itu tidak dilakukan dan tidak diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak dilakukan pula oleh para sahabat, tabiin serta imam madzhab yang empat.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa menurut A.Hassan Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah.

Beliau menegaskan bahwa hadits Abu Umamah adalah hadits dlaif berdasarkan kesepakatan para ahli hadits. Selain itu, beliau menyatakan bahwa mayit tidak dapat mendengar talkin yang diajarkan kepadanya. Beliau juga menyatakan bahwa dan taubat orang yang

menjelang mati tidak diterima; jika orang yang menjelang mati tidak diterima taubatnya, bagaimana mungkin pengajaran orang hidup kepada mayit dalam bentuk talkin akan bermanfaat baginya?

Untuk menguatkan pernyataan tersebut, A. Hassan me-nyebutkan beberapa ayat Al-Quran, yaitu:

a) Surat An-Naml (27): 80

.Artinya:

Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) tidak dapat menjadikan orang-orang yang sudah mati menjadi mendengar dan tidak pula dapat menjadikan orang-orang yang tuli mendengar seruan itu apabila mereka telah berpaling dalam keadaan membelakangb) Surat Fathir (35): 22

.Artinya:

Dan tidaklah engkau dapat menjadikan orang-orang yang ada di dalam kubur menjadi mendengar.

c) Surat An-Nisa (4): 18

.

Artinya:Dan taubat itu tidak (diberikan) kepada orang-orang yang berbuat kejelekan-kejelekan, (yang) hingga tatkala kematian salah seorang dari mereka telah tiba, (barulah) dia berkata, Sesungguhnya sekarang aku bertaubat.

Penjelasan beliau bahwa Menalkinkan mayit itu tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, tabiin, serta imam-imam madzhab yang empat dapat diterima, sebab tidak terdapat riwayat shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah dan para sahabat melakukannya, serta tidak terdapat riwayat dari tabiin maupun imam-imam madzhab yang empat perihal Menalkinkan mayit ini selain riwayat Imam Ahmad yang menyatakan bahwa beliau tidak melihat seorang pun melakukan talkin tersebut selain penduduk Syam tatkala Abul Mughirah wafat. Demikian pula pernyataan beliau bahwa hadits Abu Umamah adalah hadits dlaif dapat diterima sebagaimana telah dijelaskan di muka.

Adapun tentang pernyataan beliau bahwa mayit tidak dapat mendengar talkin yang diajarkan kepadanya berdasarkan ayat 80 surat An-Naml dan ayat 22 surat Fathir, menurut penulis penggunaan ayat-ayat tersebut sebagai dalil tidak tepat. Maksud ayat 80 surat An-Naml adalah: Rasul tidak dapat menjadikan orang kafir mendengar dan tertunjuki dengan pendengaran tersebut. Jadi, lafal mauta pada ayat itu bukan berarti orang mati dengan terpisahnya ruh dari jasadnya, akan tetapi maksud lafal tersebut adalah orang yang mati karena kekafiran dan kecelakaan. Orang kafir diserupakan dengan mayit karena mereka tidak mempunyai perasaan dan tidak berakal. Demikian pula ayat 22 surat Fathir; ayat tersebut tidak dapat menguatkan pernyataan bahwa mayit tidak dapat mendengar dalam hal ini mendengar talkin-, sebab maksud lafal man fil qubur pada ayat tersebut sama dengan maksud lafal mauta, yaitu orang kafir. Selain itu, banyak hadits shahih yang menyatakan bahwa mayit dapat mendengar, di antaranya dua hadits Anas yang telah lewat (lihat kembali hlm.35-36, no.5.1 dan no.5.2).

Demikian pula pernyataan beliau bahwa pengajaran orang hidup kepada mayit dalam bentuk talkin tidak bermanfaat bagi mayit berdasarkan ayat 18 surat An-Nisa, penulis tidak melihat adanya hubungan antara pernyataan tersebut dengan ayat 18 surat An-Nisa yang dijadikan dasar, sehingga penulis tidak dapat membenarkan pernyataan tersebut.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada prisipnya pendapat A.Hassan di atas dapat diterima, hanya saja sebagian alasan yang beliau paparkan tidak dapat diterima. Wallahu alam.Menurut Al-Albani, Menalkinkan yang disyariatkan adalah Menalkinkan orang yang menjelang mati. Adapun Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah, selain itu perbuatan tersebut tidak diriwayatkan dalam sunnah Rasul. Beliau juga menjelaskan bahwa Menalkinkan mayit adalah perbuatan yang sia-sia, karena mayit itu telah keluar dari masa pembebanan dan beralih pada masa pemabalas-

an dan karena dia tidak lagi dapat menerima peringatan sebagaimana disebutkan dalam ayat: (supaya engkau (wahai Rasul!)

memberikan peringatan kepada orang yang hidup).

Penjelasan Al-Albani bahwa Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah dapat diterima, sebab tidak terdapat contoh dari Nabi dalam hal itu. Akan tetapi pernyataan beliau bahwa mayit tidak lagi dapat menerima peringatan berdasarkan firman Allah dalam surat Yasin di atas menurut penulis kurang tepat, sebab maksud ayat 70 surat Yasin tersebut adalah: Rasulullah diperintahkan untuk memberikan peringatan kepada orang yang beriman. As-Suyuthi menjelaskan bahwa maksud lafal man kana hayyan pada ayat tersebut adalah orang yang hidup hatinya, yaitu orang yang beriman.

Dari hasil analisa pendapat Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah di atas dapat diketahui bahwa pendapat inilah yang terkuat di antara pendapat-pendapat yang lain. Wallahu alam bish shawab.

Selanjutnya, tentang perbuatan bidah ini, dalam sebuah hadits disebutkan:

... ( ... .

.

Artinya:

...Maka Al-Irbadl bin Sariyah berkata, Pada suatu hari Rasulullah melakukan shalat bersama kami, lalu beliau menghadap kepada kami seraya memberikan nasihat: .....dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena

setiap perbuatan bidah itu sesat.

Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad yang shahih.

Selain Abu Dawud, Ahmad, At-Turmudzi, Ibnu Majah dan

Ad-Darimi juga meriwayatkan hadits Al-Irbadl bin Sariyah tersebut.

Lafal dalam hadits tersebut berarti Jauhilah oleh kalian dan menunjukkan perintah untuk meninggalkan perbuatan yang disebutkan sesudahnya, yaitu perbuatan bidah. Pada kitab Ushulul Fiqhil Islami dijelaskan bahwa kalimat yang menunjukkan perintah untuk meninggalkan suatu hal merupakan salah satu bentuk nahy (larangan), sedangkan asal setiap larangan itu menunjukkan peng-haraman.

Berdasarkan keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa melakukan perbuatan bidah termasuk di antaranya Menalkinkan mayit- hukumnya haramWalhasil, dari uraian analisa pendapat ulama perihal hukum Menalkinkan mayit di muka, penulis menyimpulkan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya haram. Wallahu alam bish shawab.

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari hasil analisis semua data-data yang penulis kumpulkan, baik itu hadits-hadits maupun pendapat ulama, penulis menarik beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:

1.1 Lafal mauta pada hadits Abu Said bermakna majasi, yaitu orang yang menjelang mati.

1.2 Karena lafal mauta pada hadits Abu Said bermakna majasi, maka maksud hadits tersebut adalah perintah untuk Menalkinkan orang yang menjelang mati. Dengan demikian, hadits ini menjadi dalil sunnahnya Menalkinkan orang yang menjelang mati, bukan Menalkinkan orang yang sudah mati.

1.3 Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah, sehingga hukumnya haram. Wallahu alam bis shawab.2. Saran

Berkaitan dengan pembahasan perihal hukum Menalkinkan mayit ini, penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut:

2.1 Hendaknya muslimin tidak Menalkinkan mayit -baik yang belum dikuburkan maupun yang sudah dikuburkan-, akan tetapi hendaknya mereka mendoakannya sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.2.2 Khusus dalam perbuatan yang berkenaan dengan ibadah, muslimin seharusnya mempunyai landasan dalil yang benar dalam meng-amalkannya.2.3 Dalam menyikapi perbedaan pendapat perihal hukum Menalkinkan mayit, muslimin hendaknya merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk mengambil dalil yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan pada kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat.

Demikianlah akhirnya makalah ini dapat diselesaikan dengan ijin Allah.

BIBLIOGRAFI

1. Mushaf Al-Qur`anul KarimKelompok Kitab Tafsir

2. As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Al-Imam, Ad-Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma`tsur, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet, I, 1411 H / 1990 M.

3. Asy-Syanqithi, Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar, Asy-Syaikh, Adlwaul Bayan fi Idlahil Qur`an bil Qur`an, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1417 H / 1996 M.

4. Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fathul Qadir Al-Jami baina Fannayir Riwayah wad Dirayah min Ilmit Tafsir, Darul Fikr, Beirut, Cet.III, 1393 H / 1973 M.

Kelompok Kitab Hadits

5. Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asyats As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Darul Fikr, Tanpa Kota, Cet.I, 1410 H / 1990 M.

6. Abu Yala, Ahmad bin Ali bin Al-Mutsanna Al-Maushuli, Al-Imam, Al-Hammam, Saikhul Islam, Musnad Abi Yala Al-Maushuli, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1418 H / 1986 M.

7. Ahmad bin Hambal, Abu Abdillah Asy-Syaibani, Musnadul Imam Ahmadibni Hambal, Al-Maktabul Islami, Darus Shadir, Beirut, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

8. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Silsilatul Ahaditsidl Dlaifah wal Maudluah, Al-Maktabul Islami, Beirut, Cet.I, 1399 H.9. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Silsilatul Ahaditsis Shahihah, Al-Maktabul Islami, Beirut, Cet.IV, 1405 H / 1985 M.10. Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali, As-Sunanul Kubra, Majlis Dairatul Maarif Al-Utsmaniyyah, Hindi, Tanpa Nomor Cetakan, 1352 H.

11. Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain, Syuabul Iman, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1410 H / 1990 M.12. Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Jufi, Al-Imam, Al-Allamah, Matnul Bukhari Masykul bi Hasyiyatis Sindi, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1414 H / 1994 M.

13. Al-Bushairi, Abul 'Abbas Ahmad bin Abu Bakr bin 'Abdurrahman bin Isma'il, Al-Kinani, Al-Qahiri, Asy-Syafi'i, Asy-Syaikh, Syihabuddin, Zawa`idubni Majah 'alal Kutubil Khamsah, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Cet.I, 1414 H / 1993 M.14. Al-Haitsami, Nuruddin Ali bin Abi Bakr, Al-Hafidz, Majmauz Zawa`id, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1408 H / 1988 M.

15. Al-Hakim, Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Naisaburi, Al-Imam, Al-Hafidh, Al-Mustadrak Alash Shahihain, Maktabul Mathbuatul Islamiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

16. Al-Hurr Al-Amili, Muhammad bin Al-Husain, Al-Muhaddits, Al-Mutabahhir, Al-Imam, Al-Muhaqqiq, Al-Allamah, Asy-Syaikh, Wasailusy Syiah ila Tahshili Masa`ilisy Syariah, Daru Ihya`it Turatsil Arabi, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

17. An-Nasa`i, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Bahr, Al-Imam, Al-Alim, Al-Hafidz, Al-Hujjah, Sunanun Nasa`i, Al-Mathbaatul Mishriyyah, Tanpa Kota, Cet.I, 1348 H / 1930 M.

18. Ath-Thabarani, Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad, Al-Hafidz, Al-Mujamul Kabir, Daru Ihya`it Turatsil Arabi, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1405 H / 1985 M.

19. Ath-Thusi, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Jafar, Syaikhut Tha`ifah, Tahdzibul Ahkam, Darul Kutubil Islamiyyah, Tamran, Bazar Sulthani, Cet.II, Tanpa Tahun.

20. At-Turmudzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Al-Jamius Shahih wa Huwa Sunanut Tirmidzi, Mathbaah Mushthafa Al-Babil Halabi, Mesir, Cet.II, 1388 H / 1968 M.21. Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad Al-Kufi Al-Abasi, Al-Mushannaf Fil Ahadits Wal Atsar, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1416 H / 1995 M.

22. Ibnu Balban, Alauddin Ali bin Balban Al-Farisi, Al-Ihsan bi Tartibi Shahih Ibni Hibban, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1407 H / 1987 M.

23. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar Al-Kinani Al-Asqalani, Al-Hafidz, Syihabuddin, Asy-Syafii, Talkhisul Habir fi Takhriji Ahaditsir Rafiil Kabir, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1419 H / 1998 M.24. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin Ali bin Hajar, Al-Asqalani, Al-Imam, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Nomor Cetakan, 1409 H /1989 M25. Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Al-Qazwini, Sunanunbni Majah, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

26. Muslim, Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Al-Qusyairi, An-Naisaburi, Al-Imam, Al-Jamius Shahih, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa tahun.

27. Sayyid Alawi bin As-Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Husaini, Al-Allamah, Al-Muhaqqiq, Al-Muhaddits, Al-Imam, Fathul Qaribil Mujib ala Tahdzibit Targhib wat Tarhib, Al-Haramain, Cet.IV, Tanpa Tahun. Kelompok Kitab Fiqih

28. Al-Baghdadi, Abdurrahman bin Muhammad bin Askar, Syihabuddin, Al-Maliki, Irsyadus Salik, Tanpa Nama Penerbit, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

29. Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqhu Alal Madzahibil Arbaah, Darul Fikr, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1411 H / 1990 M.

30. As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Darul Kitabil Arabi, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa tahun.31. Asy-Syarbini, Muhammad, Al-Khathib, Al-Iqna, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

32. Ibnu Qudamah, Abdullah Al-Maqdisi, Abu Muhammad, Syaikhul Islam, Al-Kafi Fi Fiqhil Imami Ahmad, Al-Maktabatut Tijariyah, Mushthafa Ahmad Al-Baz, Mekah, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

33. Ibnu Taimiyyah, Taqiyyuddin, Al-Imam, Al-Fatawal Kubra, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1408 H / 1987 M.

34. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Syamsyuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr Az-Zurai Ad-Dimasqi, Al-Imam, Al-Muhaddits, Al-Mufassir, Al-Faqih, Zadul Maad, Maktabatul Mannaril Islamiyyah, Kuwait, Cet.XXIV, 1412 H / 1992 M.

35. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Syamsyuddin Abu Abdillah, Al-Imam, Ar-Ruh, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.II, 1422 H / 2002 M.

Kelompok Kitab Syarh

36. Abbas Alawi Al-Maliki dan Hasan Sulaiman An-Nuri, Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram, Tanpa Nama Penerbit, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

37. Abut Thayyib Abadi, Muhammad Syamsul Haqqil Adhim, Al-Allamah, Aunul Mabud, Al-Maktabatus Salafiyyah, Tanpa Kota, Cet.III, 1388 H / 1968 M.

38. Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Taudlihul Ahkam, Al-Khidmatut Thibaiyyah, Lebanon, Cet.II, 1414 H / 1994 M.

39. Al-Mubarakfuri, Abul Ali Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Al-Imam, Al-Hafidz, Tuhfatul Ahwadzi, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, 1399 H / 1979 M.

40. Al-Qadli Iyadl, .Abul Fadll Iyadl bin Musa bin Iyadl, Ikmalul Mulim, Darul Wafa, Tanpa Kota, Cet.I, 1419 H / 1998 M.

41. An-Nawawi, Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf, Al-Imam, Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.42. An-Nawawi, Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf, Shahih Muslim Bi Syarhin Nawawi, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

43. Ash-Shanani, Muhammad bin Ismail, Al-Amir, Al-Yamani, Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1411 H / 1991 M.

44. As-Saharanfuri, Khalil Ahmad, Al-Allamah, Al-Muhadditsul Kabir, Asy-Syaikh, Badzlul Majhud Fi Hilli Abi Dawud, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

45. As-Sindi, Abul Hasan Al-Hanafi, Al-Imam, Syarh Sunanibni Majah, Darul Marifah, Beirut, Lebanon, Cet II, 1418 H / 1997 M.

46. Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Asy-Syaikh Al-Mujtahid Al-Alamah, Nailul Authar, Mathbaah Al-Musthafa Al-Babil Halabi, Mesir, Tanpa Nomor Cetakan, 1347 H.47. Ibnu Allan, Muhammad Ash-Shiddiqi, Asy-Syafii, Al-Asyari, Al-Makki, Dalilul Falihin Syarh Riyadlus Shalihin, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

48. Ibnu Hajar, Abul Fadll, Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar, Al-Kinani, Al-Asqalani, Al-Hafidh, Syihabuddin, Fathul Bari, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun49. Nawawi, Abu Abdil Muthi Muhammad bin Umar bin Ali, Al-Jawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi`in Syarh ala Qurratil Ain bi Mubhamatiddin fil fiqh ala Madzhabil Imamisy Syafii, Maktabah Daru Ihya`il kutubil Arabiyyah, Indonesia, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

50. Sayyid Bakri Syatha, Abu Bakr Utsman bin Muhammad Ad-Dimyati, Al-Allamah, Ianatut Thalibin, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.III, 1415 H / 1995 M.

Kelompok Kitab Rijal51. Abu Nuaim, Ahmad bin Abdillah, Al-Asfahani, Al-Hafidz, Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Ashfiya`, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

52. Adz-Dzahabi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman, Mizanul Itidal fi Naqdir Rijal, Darul Marifah, Beirut, Cet.I, 1382 H / 1963 M53. Al-Uqaili, Abu Jafar Muhammad bin Amr bin Musa bin Hammad, Al-Makki, Al-Hafidz, Adl-Dluafa`ul Kabir, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.II, 1418 H / 1998 M.

54. Ibnu Abi Hatim, Abdurrahman Ar-Razi, Al-Jarhu Wat Tadil, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1372 H / 1952 M.

55. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin Ali Al-Asqalani, Al-Hafidh, Lisanul Mizan, Mu`assasatul Alamil Mathbuah, Beirut, Lebanon, Cet.II, 1390 H / 1971 M.56. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar, Al-Kinani, Al-Asqalani, Al-Hafidh, Syihabuddin, Tahdzibut Tahdzib, Darul Fikr, Tanpa Kota, Cet.I, 1415 H / 1995 M.

57. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar, Al-Kinani, Al-Asqalani, Al-Hafidh, Syihabuddin, Taqribut Tahdzib, Darul Fikr, Tanpa Kota, Cet.I, 1415 H / 1995 M.

58. Ibnu Sad, Muhammad Al-Hasyimi, Al-Bashri, Ath-Thabaqatul Kubra, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.II, 1418 H / 1997 M.Kelompok Kitab Ushul Fiqih

59. Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, CV. Saadiyah Putra, Jakarta, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

60. Abdul Hamid Hakim, As-Sullam, CV. Saadiyah Putra, Jakarta, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.61. Abu Zahrah, Muhammad, Al-Imam, Ushulul Fiqh, Darul Fikril Arabi, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

62. Az-Zuhaili, Dr. Wahbah, Ushulul Fiqhil Islami, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Cet. II 1422 H/2001 M.

Kelompok Kitab Ilmu Mushthalah Hadits

63. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, CV. Diponegoro, Bandung, Cet.VI, 1994 M.

64. Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawaidut Tahdits min Fununi Mushthalahil Hadits, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun65. An-Nawawi, Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf Ad-Dimasyqi, At-Taqrib wat Taisir, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1407 H / 1987 M.66. Ath-Thahhan, Mahmud, Ad-Duktur, Taisir Mushthalahil Hadits, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.67. Ibnu Ajjaj, Muhammad, Al-Khatib, Ad-Duktur, Ushulul Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1409 H / 1989 M.

Kelompok Kitab Kamus

68. Abdul Aziz Dahlan et al., Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cet.I, 1996 M.

69. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, et al., Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, Cet. IV, 1997 M.

70. Ibnu Mandhur, Al-Imam Al-Alamah, Lisanul Arab, Daru Ihyait Turatsil Arabi, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1408 H / 1988 M.

71. Ibrahim Unais et al., Al-Mujamul Wasith, Tanpa Nama Penerbit, Tanpa Kota, Cet.II, Tanpa Tahun.

72. Luwais Maluf, Al-Munjid Fil Lughah Wal Alam, Darul Masyriq, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1986 M.

73. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi III, Cet.I, 2001 M.

Lain-Lain

74. A.Hassan, Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, CV. Diponegoro, Bandung, Cet.V, 1980.

75. Abu Muhammad, Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Ad-Duktur, Asy-Syaikh, Thuruqu Takhrijil Ahaditsi Rasulillah shallallahu alaihi wa sallam, Darul Itisham, Kairo, Tanpa Nomor Cetakan, 1987