Hukum Islam

31
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Padahal kita sebagai seorang muslim telah memiliki pedoman hidup dan hukum yang sangat jelas, tetapi sebagai manusia kita tetap saja melakukan kesalahan yang merugikan dan menimbulkan dosa, oleh karena itu kita tidak bisa membayangkan jika hidup kita tidak terdapat pedoman yang jelas. Pedoman yang dimaksud adalah agama. Agama adalah salah satu puncak dari segala pedoman hidup yang mencangkup segala aspek yang didasari dari segi aspek Ketuhanan yang mempunyai diferensial berupa hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Dari kata pedoman tersebut dapat disimpulkan bahwa agama Islam mencangkup semua yang kita butuhkan dalam menjalani kehidupan. Dalam setiap sendi-sendi kehidupan, ada tata aturan yang harus ditaati. Jika kita berada dalam masyarakat maka hukum masyarakat harus dijunjung tinggi. Begitu pula karena kita memiliki agama islam, yaitu agama yang memiliki keteraturan. Dan aturan yang pertama kali harus kita pahami adalah aturan Allah. Segala aturan Allah dalam segala bentuk hukum-hukum kehidupan manusia tertuang dalam Al- Qur’an, yang dilengkapi penjelasannya dalam hadis Rosulullah. Setelah Rosulullah tiada, hukum-hukum islam 1

description

Penjelasan tentang Hukum Islam

Transcript of Hukum Islam

BAB IPENDAHULUANI.1 Latar BelakangDidalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Padahal kita sebagai seorang muslim telah memiliki pedoman hidup dan hukum yang sangat jelas, tetapi sebagai manusia kita tetap saja melakukan kesalahan yang merugikan dan menimbulkan dosa, oleh karena itu kita tidak bisa membayangkan jika hidup kita tidak terdapat pedoman yang jelas. Pedoman yang dimaksud adalah agama. Agama adalah salah satu puncak dari segala pedoman hidup yang mencangkup segala aspek yang didasari dari segi aspek Ketuhanan yang mempunyai diferensial berupa hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Dari kata pedoman tersebut dapat disimpulkan bahwa agama Islam mencangkup semua yang kita butuhkan dalam menjalani kehidupan. Dalam setiap sendi-sendi kehidupan, ada tata aturan yang harus ditaati. Jika kita berada dalam masyarakat maka hukum masyarakat harus dijunjung tinggi. Begitu pula karena kita memiliki agama islam, yaitu agama yang memiliki keteraturan. Dan aturan yang pertama kali harus kita pahami adalah aturan Allah. Segala aturan Allah dalam segala bentuk hukum-hukum kehidupan manusia tertuang dalam Al-Quran, yang dilengkapi penjelasannya dalam hadis Rosulullah. Setelah Rosulullah tiada, hukum-hukum islam dilengkapi dengan ijtihad para ulama. Semuanya itu menjadi dasar hidup kita dikehidupan manusia.Di dalam agama Islam terdapat hukum Islam yang didalamnya mencangkup aspek kerohanian yang membawahi segala makna kehidupan dan ketenangan jiwa di dunia maupun di akhirat. Hukum islam sendiri sudah banyak diterapkan dalam konteks yang melindungi manusia dari segala keburukan yang bersifat merusak dari segi jasmani maupun rohani. Namun selama ini hukum islam banyak disepelekan dan sengaja dilanggar untuk mendapatkan kenikmatan duniawi semata. Padahal, hukum islam sendiri bila di implementasikan akan menjadi sebuah cahaya yang menerangi jalan yang semu dalam mencapai kebaikan dunia maupun akhirat. Contohnya bila hukum islam di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka dapat meminimalisir tindak kriminalitas dari pelakunya sendiri dengan segi meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT Yang Maha Esa dan Maha mengetahui segalanya. Hukum islam sendiri jarang dikenal apalagi diterapkan di khalayak negeri ini. Hal itu disebabkan ketidakpekaan dan tidak mengetahui segala cangkupan yang dapat diraih dari segi sains teknologi dan imtaq. Maka dari itu kami mengangkat tema makalah yang berbunyi Hukum Islam dan Implementasinya untuk mengetahui secara detail dan menyeluruh apa yang dimaksud hukum islam dan implementasinya dalam kehidupan kita di dunia yang nanti hasilnya dapat dipetik di akhirat dan menjadikan kita orang-orang yang beriman.I.2 Rumusan MasalahMenurut uraian latar belakang di atas munculah masalah yang akan di bahas berkaitan dengan Negara kita. Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam belum siap menerapkan hukum-hukum islam secara semestinya.a. Bagaimana hal tersebut dapat terjadi ? b. Bagaimana implementasi hukum Islam di Indonesia yang telah nampak ?I.3 Tujuan PenulisanPenulisan makalah ini bertujuan untuk membahas secara teoritis tentang pengertian dari hukum Islam serta mengetahui ruang lingkup yang dicakup oleh hukum Islam, supaya kita bisa memahami tujuan dan fungsi hukum islam serta mengetahui implementasinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehingga diharapkan iman dan ketakwaan kita kepada Allah SWT semakin bertambah seiring dengan bertambahnya wawasan kita.

BAB IIKAJIAN PUSTAKAII.1 Syariah, Fikih, dan Hukum IslamIstilah syariah, fikih, dan hukum Islam sangat populer di kalangan para pengkaji hukum Islam di Indonesia. Namun demikian, ketiga istilah ini sering dipahami secara tidak tepat, sehingga ketiganya terkadang saling tertukar. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan masing-masing dari ketiga istilah tersebut dan hubungan antara ketiganya, terutama hubungan antara syariah dan fikih.

II.1.1 SyariahSecara etimologis (lughawi) kata syariah berasal dari kata berbahasa Arab alsyarat yang berarti jalan ke sumber air atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Secara harfiah kata kerja syaraa berarti menandai atau menggambar jalan yang jelas menuju sumber air. Dalam pemakaiannya yang bersifat religius, kata syariah mempunyai arti jalan kehidupan yang baik, yaitu nilainilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia. Alquran menggunakan kata syirat dan syarat (QS. al-Midat (5): 48 dan QS. al-Jsiyat (45): 18) dalam arti dn atau agama dengan pengertian jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia. Adapun secara terminologis syariah didefinisikan dengan berbagai variasi. Mahmd Syaltt, guru besar hukum Islam di Universitas Al-Azhar Kairo (Mesir), mendefinisikan syariah sebagai aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah agar digunakan oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dengan alam, dan dalam kaitannya dengan kehidupannya. Selanjutnya Syaltut menjelaskan bahwa syariah merupakan cabang dari akidah yang merupakan pokoknya. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Akidah merupakan fondasi yang dapat membentengi syariah, sementara syariah merupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam berakidah.II.1.2 FikihSecara etimologis kata fikih berasal dari kata berbahasa Arab: al-fiqh yang berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu. Dalam hal ini kata fiqh identik dengan kata fahm yang mempunyai makna sama. Kata fikih pada mulanya digunakan orang-orang Arab untuk seseorang yang ahli dalam mengawinkan onta, yang mampu membedakan onta betina yang sedang birahi dan onta betina yang sedang bunting. Dari ungkapan ini fikih kemudian diartikan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu hal. Adapun secara terminologis fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah (praktis) yang digali dari dalil-dalil terperinci. Dari definisi ini dapat diambil beberapa pengertian bahwa fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara.. Penggunaan kata syara (syari) dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fikih itu menyangkut ketentuan syara, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata syara ini juga menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat aqli atau yang bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas bukanlah cakupan ilmu fikih; fikih hanya membicarakan hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah (praktis). Kata amaliyah menjelaskan bahwa fikih itu hanya menyangkut tindak-tanduk manusia yang bersifat lahiriah.; pemahaman tentang hukum-hukum syara tersebut didasarkan pada dalil-dalil terperinci, yakni Alquran dan Sunnah. Kata terperinci (tafshli) menjelaskan dalil-dalil yang digunakan seorang mujtahid (ahli fikih) dalam penggalian dan penemuannya; fikih digali dan ditemukan melalui penalaran para mujtahid. Kata digali dan ditemukan mengandung arti bahwa fikih merupakan hasil penggalian dan penemuan tentang hukum.

II.1.3 Hukum Islam Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu hukum dan Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hukum diartikan dengan 1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2) undang-undang, peraturan, dsb. untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb.) yang tertentu; dan 4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis. Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Dalam wujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam. Adapun kata yang kedua, yaitu Islam, oleh Mahmd Syaltt didefinisikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dari gabungan dua kata hukum dan Islam itulah muncul istilah hukum Islam. Dengan memahami arti dari kedua kata yang ada dalam istilah hukum Islam ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw. untuk mengatur tingkah laku manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.

II.2 Ruang Lingkup Hukum IslamYang dimaksud dengan ruang lingkup hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum Islam atau bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum Islam di sini meliputi syariah dan fikih sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas.Ruang lingkup hukum Islam sangat berbeda dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang kajian hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia dalam melakukan hubungan. Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallh) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minanns). Bentuk hubungan yang pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang kedua disebut muamalah.Dengan mendasarkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran, Abd al- Wahhb Khallf membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukum-hukum itiqdiyyat (keimanan), hukum-hukum khulqiyyat (akhlak), dan hukum-hukum amaliyyat (aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum amaliyyat inilah yang identik dengan hukum Islam yang dimaksud di sini. Abd al-Wahhb Khallf membagi hukum-hukum amaliyyat menjadi dua, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup atau bidangbidang kajian hukum Islam ada dua, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah.Para ulama membagi ibadah menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdat (ibadahkhusus) dan ibadah ghairu mahdlat (ibadah umum). Ibadah khusus adalah ibadah langsung kepada Allah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dan ditetapkan olehAllah atau dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Adapun ibadah ghairu mahdlat (ibadah umum) adalah ibadah yang tata cara pelaksanaannya tidak diatur secara rinci oleh Allah dan Rasulullah. ibadah umum itu berupa muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan tujuan mencari rido Allah.Berbeda dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah muamalah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi Saw., kalaupun ada, tidak terperinci seperti halnya dalam bidang ibadah. Oleh karena itu, bidang muamalah terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad. Kalau dalam bidang ibadah tidak mungkin dilakukan modernisasi, maka dalam bidang muamalah sangat memungkinkan untuk dilakukan modernisasi. Dengan pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian maju, masalah muamalah pun dapat disesuaikan, sehingga mampu mengakomodasi kemajuan tersebut.Karena sifatnya yang terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang membatalkan dan melarangnya. Dari prinsip dasar ini dapat dipahami bahwa semua perbuatan yang termasuk dalam kategori muamalah boleh saja dilakukan selama tidak ada ketentuan atau nash yang melarangnya. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam.Jika dibandingkan dengan hukum Barat yang membedakan antara hukum privatdengan hukum publik, hukum Islam dalam bidang muamalah tidak membedakan antara keduanya, karena kedua istilah hukum itu dalam hukum Islam saling mengisi dan saling terkait. Akan tetapi, jika pembagian hukum muamalah yang tujuh di atas digolongkan dalam dua bagian sebagaimana yang ada dalam hukum Barat, maka susunannya adalah sebagai berikut:1. Hukum perdata (Islam), yang meliputi:a. Ahkm al-ahwl al-syakhshiyyat, yang mengatur masalah keluarga, yaituhubungan suami isteri dan kaum kerabat satu sama lain. Jika dibandingkandengan tata hukum di Indonesia, maka bagian ini meliputi hukum perkawinanIslam dan hukum kewarisan Islam.b. Al-ahkm al-madaniyyat, yang mengatur hubungan antar individu dalam bidangjual beli, hutang piutang, sewa-menyewa, petaruh, dan sebagainya. Hukum inidalam tata hukum Indonesia dikenal dengan hukum benda, hukum perjanjian, danhukum perdata khusus.2. Hukum publik (Islam), yang meliputi:a. Al-ahkm al-jiniyyat, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukanoleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya. Di Indonesia hukum inidikenal dengan hukum pidana.b. Ahkm al-murfat, yang mengatur masalah peradilan, saksi, dan sumpah untukmenegakkan keadilan. Di Indonesia hukum ini disebut dengan hukum acara.c. Al-ahkm al-dustriyyat, yang berkaitan dengan aturan hukum dan dasardasarnya,seperti ketentuan antara hakim dengan yang dihakimi, menentukan hakhakindividu dan sosial.d. Al-ahkm al-duwaliyyat, yang berhubungan dengan hubungan keuangan antaranegara Islam dengan negara lain dan hubungan masyarakat non-Muslim dengannegara Islam. Di Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum internasional.e. Al-ahkm al-iqtishdiyyat wa al-mliyyat, yang berkaitan dengan hak orangmiskin terhadap harta orang kaya, dan mengatur sumber penghasilan dan sumberpengeluarannya. Yang dimaksud di sini adalah aturan hubungan keuangan antarayang kaya dengan fakir miskin dan antara negara dengan individu.Itulah pembagian hukum muamalah yang meliputi tujuh bagian hukum yang objek

II.3 Tujuan dan Fungsi Hukum IslamTujuan hukum Islam, baik secara global maupun secara detail, mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka: mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan kebajikan, serta menerangkan jalan yang harus dilalui oleh manusia.Hukum Islamdisyariatkan oleh Allah dengan tujuan utama untuk merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik individu ataupun kolektif untuk menjamin, melindungi dan menjaga kemaslahatan tersebut Islam menetapkan sejumlah aturan, baik berupa perintah atau larangan. Perangkat aturan ini disebut hukum pidana Islam. Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan hukum dalam syariat Islam ialah pencegahan dan pengajaran serta pendidikan.Oleh karena tujuan hukum adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Dengan demikian, maka hukuman dapat berbeda-beda terutama hukuman tazir.Adapun Menurut Abu Ishaq As-Sathibi merumuskan lima tujuan hukum Islam(al-maqasid al-khamsah) yaitu :a. Memelihara Agamab. Memelihara Jiwac. Memelihara Akald. Memelihara KeturunanMenurut definisi mutakalimin, agama ditujukan untuk kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Islam sebagai agama memiliki hukum yang fungsi utamanya terhadap kemaslahatan umat. Adapun fungsi adanya hukum Islam adalah sebagai berikut:Fungsi IbadahHukum Islam adalah aturan Tuhan yang harus dipatuhi umat manusia dan kepatuhan merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.Fungsi Amar Maruf Nahi MungkarHukum Islam telah ada dan eksis mendahului masyarakat karena ia adalah bagian dari kalam Allah yangqadim. Namun dalam prakteknya hukum Islam tetap bersentuhan dengan masyarakat. Penetapan hukum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Contoh: Riba dan khamr tidak diharamkan secara sekaligus tetapi secara bertahap oleh karena itu kita memahami fungsi kontrol sosial yang dilakukan lewat tahapan riba dan khamr.FungsiZawajirFungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan.FungsiTanzim wa Islah al-UmmahFungsi tersebut adalah sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial sehingga terwujudnya masyarakat harmonis, aman dan sejahtera.

II.4 Perbandingan HAM Islam dengan HAM Buatan ManusiaDiperlukan adanya studi komparatif antara konsep islam dengan konsep buatan manusia untuk memperjelas kehebatan dan kemulian islam dari selainnya. Diantara sisi yang dapat di sampaika disini adalah:1.Sisi Sumber Pengambilan HukumnyaHAM versi Konsep dan piagam dunia adalah buatan manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan. Manusia banyak salah daripada benarnya. Sedangkan HAM versi Islam sumber pengambilannya adalah kitab suci al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah yang tidak berbicara dengan hawa nafsu. Sehingga Ham versi syariat adalah Rabbaniyatul mashdar.2.Konsekuensi hukumanPerbedaan ini adalah konsekwensi dari yang pertama. Piagam buatan manusia hanyalah sekedar konsep dan harapan yang berasal dari PBB tidak ada paksaan dan konsekwensi hukum (ilzaam) dan tidak juga ada konsekwensi bila tidak dapat dijalankan dengan satu hukum undang-undang. Sedanagkan islam maka HAM nya bersifat abadi, pati, memiliki konsekuensi hukum dan tidak menerima pelaksanaan parsial, penghapusan dan perubahan. Setiap individu harus melaksanakannya dengan berharap pahala dari Allah dan takut dari adzab-Nya. Siapa yang sengaja mentelantarkannya maka pemerintah dalam islam berhak memaksanya untuk melaksanakan dan menerapkan hukuman syari atasnya pada keadaan tidak dilaksanakannya hal tersebut.3.TerdahuluPiagam HAM dunia pertama kali ada pada tahun 1215 M atau diabad ke 13 Masehi. Sedangkan islam mengenal konsep dan piagam HAM sejak awal munculnya Islam.4.Perlindungan HAM dan JaminannyaHal ini akan jelas dari perbandingan berikut ini:Dalam piagam HAM dunia buatan manusia dan juga perlindungan internasional tidak ada kecuali hanya himbauan etika dan usaha-usaha yang belum sampai pada batas pelaksanaan dilapangan. Piagam ini tegak diatas dua hal:A.Usaha kesepakatan diatas dasar umum dan pengakuan antara seluruh negaraB.Usaha meletakkan hukuman yang dipakai untuk menghukum negara yang melanggar HAM.Himbauan-himbauan ini pada hakekatnya hanya diatas kertas aja. Peletaknya memainkannya sesuka hati, syahwat dan kepentingannya saja. Sedangkan dalam Islam, Ham tersebut adalah anugerah Allah kepada manusai sebagai pelindung dan penjamin. Hal itu karena:a.Suci yang terselubungi kewibawaan dan pemuliaan, karena ia turun dari sisi Allah sehingga menjadi penghalang bagi pribadi dan pemerintah secara sama dari melanggar dan melampai batasannya.b.Pemuliaanya bersumber dari dalam diri yang beriman kepada Allah.c.Tidak bisa di hilangkan, dihapus dan dirubah.d.Tidak ada sikap ektrim baik terlalu melampaui batas atau tidak dihiraukan.Ditambah lagi untuk menjaga HAM dan syariat, diadakan Hudud syariat dan aturan peradilan untuk melindungi HAM.5.Bersifat universalDalam HAM islam memiliki keistimewaan atas selainnya dalam keuniversalan konsep HAM nya. Kami sampaikan disini sebagian hak-hak manusia yang belum di cantumkan dalam piagam HAM dunia, diantaranya:1.Hak anak yatim, dalam piagam HAM internasional hanya ada isyarat pemeliharaan anak yatim saja. Sedangkan dalam islam ada perhatian khusus terhadap anak yatim, penjagaan hak-haknya dan anjuran berbuat baik pada mereka dengan seluruh jenis kebaikan. Bahkan memberikan pahala atas hal tersebut. Allah berfirman: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (an-Nisaa: 2 ).Bahkan memberikan balasan yang mengerikan pada orang yang memakan harta yatim dengan zhalim seperti dalam firman Nya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (an-Nisa`: 10)2.Hak orang yang lemah akalnya. Islam memberikan perhatian dan menjaga hak-hak mereka, seperti dijelaskan dalam firman Allah : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (an-Nisaa: 5)3.Hak Waris. Hak ini banyak dilalaikan dan tidak diperhatikan dalam banyak piagam HAM, namun islam memberikan perhatian yang besar atasnya hingga menjelaskan semua tata cara pembagiannya dengan lengkap dalam al-Qur`an. Seperti dijelaskan dalam firman Allah: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.(an-Nisaa`: 7).Bahkan nabi shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: Sampaikan bagian warisan kepada ahlinya lalu yang tersisa untuk lelaki yang paling berhak. (HR al-Bukhori)4.Hak membela diri. Hak ini tidak disampaikan juga dalam Piagam HAM dunia, padahal disampaikan Allah dalam beberapa ayat dan juga dalam beberapa hadits, seperti firman Allah: Bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati Berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 194)Bahkan Allah perintahkan Jihad dan mempersiapkannya untuk itu, seperti firman Allah : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (al-Anfaal:60)5.Hak memaafkan.Pernah ada muktamar HAM yang diadakan kementrian hukum (Wizarah al-Adl) Saudi Arabia pada bulan shofar 1392 H bertepatan dengan bulan maret 1972 M dengan dihadiri sebagian tokoh HAM dunia. Setelah adanya penjelasan tentang HAM versi Syariat, maka Pimpinan delegasi Komisi HAM dunia dalam pertemuan tersebut bernama Mr. Max Braid menyatakan: Dari sini dan dari negeri islam ini, wajib untuk menampakkan HAM bukan dari negara lain dan wajib bagi ulama muslimin untuk mengiklankan hak-hak yang tidak diketahui khalayak internasional dan ketidak tahuan hal ini yang menjadi sebab rusaknya wajah islam dan muslimin serta hukum islam.Bahkan salah seorang anggota delegasi sempat berkomentar: Saya sebagai seorang nashrani mengumumkan bahwa dinegeri ini Allah disembah secara hakekatnya (benar) dan para ilmuwan sepakat menyatakan hukum-hukum al-Qur`an telah menjelaskan masalah HAM setelah mendengarnya dan melihat langsung realita penerapannya melebihi secara pasti- semua piagam Ham (yang ada).6.Setiap hak manusia dalam islam dilihat dari tinjauan ia sebagai manusia adalah hasil dari ketetapan hukum syariat bukan dari perkembangan sosial atau politik, sebagaimana keadaan dalam konsep pemikiran barat.[4]Manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab. Lihatlah firman Allah : Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra` :70).7.HAM dalam Islam menafikan adanya perbedaan ras dan warna dan ada sebagai bagian syariat dan memiliki hubungan sangat erat dan kokoh dengan pembentukan akidah dan akhlak. Sehingga hak-hak manusia terjamin dengan nash-nash syariat8.Pemulian manusia dalam islam sejak turunnya al-Qur`an bukan sekedar syiar umum semata bahkan sudah menjadi sitem syariat yang ada dalam bangunan aqidah dan akhlak islami.

BAB IIIPEMBAHASAN

III.1Implementasi Hukum Islam di Indonesia

Sebenarnya istilah syariat Islam dapat mengandung dua makna, yaitu dalam makna luas dan makna yang sempit. Dalam makna yang luas syariat Islam mencakup seluruh ajaran Islam yang terkandung dalam Al Quran dan As Sunnah termasuk aspek aqidah, ahlak, ibadah serta hukum-hukum muamalah. Sedangkan dalam arti sempit Syariah Islam adalah hukum-hukum ibadah maupun muamalah (termasuk hukum pidana) yang biasa disebut fiqh. Istilah syariat Islam dalam makalah ini adalah dalam pengertian yang sempit itu dan lebih khusus lagi adalah mengenai hukum pidana Islam.Sebelum kedatangan penjajah Belanda hukum Islam ini sudah berlaku di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini. Akan tetapi setelah kedatangan penjajah Belanda penerapan syariat Islam di persempit dalam bidang keperdataan saja khsususnya bidang hukum keluarga (pernikaran). Adapun bidang hukum pidana dan bidang hukum yang lainnya hanya dapat diterima apabila telah diresepsi ke dalam hukum adat sehingga menjadi kewenangan pengadilan Bumi Putera pada saat itu yaitu Landraad. Karena itulah Belanda mendirikan berbagai peradilan agama di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda di berbagai daerah, antara lain : Kerapatan Qadi, Mahkamah Syariyah dan lain-lain.Setelah Indonesia merdeka, sumber pembentukan hukum nasional Indonesia adalah bersumber dari atau memperoleh pengaruh dari hukum Eropa warisan Belanda, hukum Islam serta hukum. Akan tetapi tetap membiarkan dan meneguhkan berlakunya hukum Islam bagi pemeluk Agama Islam pada bidang-bidang hukum keluarga (hukum perkawinan, hukum waris, waqaf, hibah dan wasiat) yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Usaha-usaha untuk menerapkan syariat Islam baik secara formal dengan melakukan transplantasi syariah ke dalam hukum nasional Indonesia maupun dengan proses resepsi nilai-nilai syariah Islam tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh kalangan Islam.Terdapat perkembangan yang semakin menarik setelah 50 tahun Indonesia merdeka. Saling pengaruh ketiga kelompok hukum ini mewarnai perdebatan politik hukum nasional Indonesia bahkan nampak terjadi gesekan-gesekan sosial dalam pembangunan hukum Indonesia, seperti dalam pembahasan mengenai undang-undang perkawinan, undang-undang pengadilan agama dan pada saat ini rancangan undang-undang hukum pidana. Walaupun harus diakui bahwa hingga saat sekarang ini pengaruh hukum Eropa bahkan hukum Anglo-Amerika mendapat kedudukan yang semakin kuat terutama dalam bidang hukum bisnis dan perdagangan, dan disusul oleh syariat Islam terutama dalam bidang bisnis keuangan dan perbankan. Sementara hukum Adat jauh tertinggal dan hanya bertahan untuk sebahagiannya dalam hukum pertanahan.Pada bidang ibadah pemberlakuan syariat Islam tidak mendapat halangan sedikitpun. Hal ini disebabkan oleh faham sekularisme yang memandang bahwa hal-hal yang terkait dengan ibadah adalah urusan prinadi setiap orang dan urusan internal agama masing-masing yang tidak bisa dicampuri oleh negara. Pada sisi lain, pemberlakuan hukum pidana atau hukum perdata Islam dalam negara mendapatkan tantangan perdebatan yang luas dari masyarakat karena akibat pandangan sekularisme juga, yang memandang bahwa hukum agama tidak bisa masuk dalam ranah negara atau publik.III.2Tarik Menarik Penerapan Hukum Islam di IndonesiaIndonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sebuah komunitas Muslim terbesar di dunia. Ironisnya, dengan jumlah yang besar tersebut tidaklah cukup menggambarkan bagaimana umat Islam di Indonesia menjadi umat yang terhormat di bawah naungan syariat Islam yang mulia tersebut. Singkatnya, kalau kita ingin melhat kemiskinan, kebodohan, korupsi, kriminalitas tengoklah masyarakat Indonesia. Contoh di atas adalah sebuah kondisi yang amat kontradiktif dengan apa ajaran yang dianut oleh Muslim, idealnya, Indonesia sebagai negeri Muslim adalah negeri yang dalam al-Quran dinyatakan sebagai baldatun warobbun ghofurkarena islam sebagai agama yang syumul wa mutakamil adalah seperangkat ajaran yang jika diamalkan dengan baik-baik oleh umatnya maka akan menghantarkan manusia kea rah kejayaan di dunia dan juga diakhirat.Hal ini bukanlah isapan jempol, sejarah telah mencatatnya dengan tinta emas, hal ini juga telah diakui ilmuan barat bahwa umat islam di bawah naungan syariat pernah memimpin paradaban baik peradaban ilmu, ekonomi, budaya, social, dan pertahanan keamanan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena syariat islam diturunkan Allah SWT sebagai pembawa misirahmatan lil alamin. Secara umum, memiliki maksud dan tujuan untuk mendatangkan kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia. Selanjutnya, konsep ini dikenal denganmaqashid syariahh.Ada lima kebutuhan kehidupan primer manusia yang mesti ada, yang dilindungi oleh syariat yaitu:1.Agama2.Jiwa3.Akal4.Nasab5.HartaPelanggaran terhadap salah satu daripadanya dianggap sebagai suatu criminal (jarimah). Apabila diterapkan dan ditegaskan secara benar, maka akan berdampak positif terhadap kualitas kehidupan manusia.Dalam system hukum Indonesia, dikenal berbagai sumber hukum nasional yang berasal dari hukum adat, hukum islam dan hukum barat. Ketiga sumber hukum tersebut selalu berlomba untuk menjadi hukum nasional sehingga berlakulah berbagai teori hukum. Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan warga Negara dalam menjalankan ibadahnya. Dalam perspektif tata hukum Indonesia, fungsi Negara adalah melindungi setiap agama dan pemeluknya melalui peran menjamin pelaksanaan ibadah, memberikan dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Secara normative, menjalankan syariat islam secarakaffahmerupakan perintah Allah swt dan mengabaikannya adalah sebagai manusia kafir, zalim atau fasik.Dalam beberapa kelompok islamis, hukum islam memiliki kesakralan yang tidak bisa diganggu gugat. Terutama menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yangqathi.Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut bisa dianggap sebagai kekufuran. Meski demikian, masyarakat islam secara luas nampaknya kurang begitu bersemangat dengan isu penerapan hukum islam ini.Demokrasi liberal lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warganegara, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Dan karenanya lebih bertujuan menjaga tingkat representasi warganegara dan melindunginya dari tindakan kelompok lain ataupun dari Negara. Negara dalam hal ini tidak berposisi sebagai operator kehendak mayoritas, karena mungkin saja akan bertabrakan dengan kepentingan minoritas. Negara lebih berfungsi sebagai wasit untuk menjamin terpeliharanya tingkat representasi dan perlindungan bagi segenap warga negaranya.Kelompok yang berwawasan demokrasi radikal adalah mereka yang pro syariat. Dengan argument utama bahwa karena mayoritas warga Negara beragama islam maka sudah sewajarnya pula jika hukum yang diimplementasikan bersumber dari syariat. Namun karena menyadari bahwa implementasi syariat hanya bisa dilakukan melalui mekanisme konstitusional, maka mereka percaya bahwa usaha tersebut baru dapat tercapai jika mereka mampu mendominasi panggung politik. Titik tolak upaya kelompok ini adalah Negara. Karena Negara dengan otoritas yang dimilikinya dipercayai akan mampu mengimplementasikan syariat secara efektif di kalangan umat Islam. kata kunci demokrasi bagi kelompok ini jelas sekali, yaitu kehendak mayoritas yang diimplementasikan oleh Negara. Demokrasi semacam ini, dimata Judith Miller (1993), tampaknya merupakan tren umum di hampir semua kalangan islam politik di dunia muslim.Sedangkan kelompok demokrasi liberal kurang berminat mendukung perjuangan penerapan hukum islam. hal itu karena mereka melihat perjuangan semacam itu akan melanggar prinsip kesetaraan semua warganegara di depan hukum sebagai slaah satu pilar demokratisasi. Karena itu, Negara tidak boleh mengabulkan tuntutan penegakan syariat dalam sebuah Negara yang multi varian seperti Indonesia ini. Sebab jika tidak, pemberlakukan syariat akan berakibat uniformasi dan hal itu akan melanggar kebebasan beragama sebagai bagian dari hak-hak harus didistribusikan secara setara dan universal atas basis keanggotaan territorial politik dan bukan atas dasar keanggotaan dalam suatu komunitas keagamaan.Lahirnya beberapa undang-undang yang bernuansa Islam, atau mengakomodasi kepentingan umat Islam seperti undang-undang zakat, haji, perbankan syariah, anti pornografi, dan lain-lain. Juga perda-perda di banyak daerah yang bernuansa syariah adalah seperti perda miras dan larangan prostitusi. Lebih hebatnya pemberian hak-hak khusus kepada provinsi aceh untuk menerapkan syariat Islam disana melalui undang-undang qonun, sesungguhnya memberikan angin sejuk untuk umat islam memperjuangkan penerapan syariat islam di negeri ini. Upaya positifisasi syariat islam (penerapan syariat menjadi hukum public) yang berhubungan dengan pidana islam (jinayah/uqubat)sampai saat ini masih dalam bentuk wacana atau masih menjadi hukum yang dicita-citakan. Pemikiran kearah itu banyak disampaikan oleh berbagai kalangan, seperti para ulama, praktisi dan ahli hukum, cendekiawan muslim dan masyarakat lain yang concern terhadap hukum pidana islam.

III.3 Faktor-faktor Pendukung Penerapan Syariat IslamSetidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat islam, yaitu:1.Jumlah umat islam cukup signifikan2.Maraknya gerakan-gerakan islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat islam3.Gagalnya beberapa system hukum dan bernegara yang bukan islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternative-alternatif yang lain, diantara alternative tersebut adalah agama islam4.Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan islam dan partai-partai politik islam di beberapa negeri Muslim5.Sejarah umat islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat islam. sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.

III.4Kendala-kendala Penerapan Syariat IslamSecara umum, hambatan-hambatan atau kendala-kendala yang ada dalam penerapan syariat islam adalah sebagai berikut:1.Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antisipasi terhadap islam dan syariat islam. mereka adalah para pengusung agama dawn ideology tertentu diluar islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. mereka senantiasa menyebar luaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat islam, misalnya dengan menjelek-jelekan islam dengan slogan Harem dan Pedang (sebagai symbol bagi pengungkapan kaum wanita dan kekerasan.2.Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa islam disebut sebagaiahlul maashiy.3.Hambatan dari pihak-pihak yang menolak islam karena belum memahami syariat islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa islam disebut sebagaiahlul jahl.4.Disamping itu, usaha-usaha untuk menuju penerapan syariat islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat islam dan penerapanya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda.

BAB IVPENUTUPIV.1 Kesimpulan

Berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas, maka kami dapat mengatakan bahwa syariat islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang dilaksanakan secara ritual saja. Tetapi merupakan pragmatism ajaran yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, bila syariat islam tidak dapats dilaksanakan secara kolektif melalui formalisasi atau otoritas Negara, maka ia harus dilaksanakan secara individual sebagai tuntutan akidah. Pelaksanaan syariat islam secara individual memang hanya bisa pada tataran normative yang berkaitan dengan ubudiah dan muamalah, sedangkan penegakan hukum islam yang berhubungan dengan hukum public, memang tetap mesti ada campur tangan Negara, tentunya dengan mempertimbangkan segala aspek-aspek sosiologis sehingga dapat mendukung proses implementasinya.Perjuangan penerapan syariat islam adalah sebuah jalan yang panjang yang harus dilakukan oleh seluruh elemen umat. Edukasi dan dakwah, tekanan politik, penyebarlausan wacana dan juga perumusan lebih jauh hukum islam dalam bentuk hukum positif haruslah terus dilaksanakan. Insya Allah penerapan syariat islam adalah sebuah keniscayaan yang tinggal menunggu waktu saja hal itu akan diterapkan.

Daftar Pustaka

Abdul Gani Abdullah,Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan Bima (1947-1957),Yayasan Lengge, Mataram, 2004.

Daniel S. Lev,Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990.

Rifyal Kabah,Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999.

Jamal D. Rahman, (Ed)., Ali Yafie,Wacana Baru Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1997).

Ahmad hanafi,Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967).

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam diIndonesia, Jakarta: Rajawali Pers, Edisi 5, Cet. V, 1996, h. 38.

T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. VI, 1980, h.

5