Hukum Adat
-
Upload
eko-budi-santoso -
Category
Documents
-
view
148 -
download
0
Transcript of Hukum Adat
Hukum adat “sasi” di Maluku Tenggara. Melarang warganya untuk
mengambil sumber daya alam di suatu kawasan dalam jangka waktu
tertentu, biasanya enam bulan sampai satu tahun, dengan tujuan menjaga
kelestarian lingkungan dan menjamin hasil lebih berkualitas dan berlipat di
masa depan. Bagi para pelanggarnya akan dikenakan sangsi adat berupa
pemberian lela (miniatur meriam berwarna emas) dan mas adat (berbentuk
gelang dari emas). Satu lela bisa berharga Rp10 juta. Sedangkan, satu mas
adat bisa berharga Rp500.000. Jumlah lela dan mas adat yang diberikan
tergantung keputusan tetua adat.
Komentar : cara seperti ini sangat baik dilakukan. Karena sekarang pengambilan sumber daya alam tidak lagi diperhitungkan. Dengan adanya cara seperti ini maka kelestarian alam pun akan terjaga. Sehingga akan timbul kenyamanan dan keasrian lingkungan.
KASUS pembakaran rumah 1 Gede Dangin di Dusun Dukuh, Kubu dan larangan
mengu- burkan jenazah istri Wayan Kertiana di Desa Adat Pempatan Keeamatan
Rendang Karangasem yang hingga kini belum tuntas merupakan kasus adat yang perlu
mendapat perhatian dan kesadaran dari warga adat sendiri untuk menyelesaikan. Parisada
Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Badan Pembina Lembaga Adat bersama Pemda
Karan.,asem sudah berupaya menyelesaikan kasus-kasus adat itu, namun upaya
penyelesaian itu masih menemui jalan buntu karena masing-masing mengaku benar.
Seperti kasus pelarangan penguburan jenazah istri 1 Wayan Kertiana. Kasus ini muncul
karena kesalahpahaman prajuru adat dengan Kertiana. Kemudian adat mengenakan
sanksi kesepekan (pengucilan) terhadap Kertiana dan keluarganya termasuk larangan
memanfaatkan kuburan desa adat.
Sanksi kesepekan itu dikenakan, karena Kertiana dianggap melakukan pen -
ingkaran dan tidak mau mentaati dresta atau awigawig yang berlaku di desa setempat.
Tapi sebaliknya Kertiana justru menyalahkan desa adat-terutama prajuru adat yang
melarang dirinya masuk adat. Karena tidak diterima sebagai warga adat, maka kewajiban
kewajiban sebagai warga puii belum bisa dilaksanakan. Malah karena tidak diterima
sebagai warga adat Kertiana merencanakan menggugat prajuru adatnya melalui perdata
di pengadilan.
Kemudian kasus . adat berupa pembakaran rumah Gede Dangin terkait masalah
tanah. Gede Dangin disebut-sebut telah mengangkangi tanah desa adat. Akibatnya rumah
Dangin dibakar oleh massa. Baru setelah terjadi kasus pembakaran itu Dangin
mengiklaskan tanah yang sudah ditempati cukup lama itu dikembalikan ke desa adat.
Komentar : pembakaran rumah tersebut bukanlah cara yang yang baik untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Semestinya masyarakat melakukan negosiasi ataupun
mediasi terlebih dahulu, sehingga tidak terjadi tindakan tindakan yang menjurus kearah
anarkisme.
Peristiwa Memicu Tragedi Sampit Dayak vs Madura
Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh. Perkelahian antara satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tigapuluh orang madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.
Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri, dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum terhadap orangDayak adalah dihukum berat.
Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura tukang jualan sate. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat lebih dari 30 tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian saja.
Komentar : masalah ini bukan lagi masalah antar individu, melainkan masalah antar suku. Untuk menyelesaikan masalah masalah tersebut harus ada pihak ketiga. Pihak ketiga berperan sebagai penengah dan tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Dengan demikian, masalah mungkin akan terselesaikan.
Selasa, 06 Oktober 2009 , 10:44:00Hukum Adat Jadi Pilihan
SENDAWAR - Hukum adat di Kutai Barat (Kubar) bisa “mengalahkan” hukum formal. Ini diterapkan lembaga adat, jika korban dari masyarakat adat meminta. Realisasinya selama ini, banyak warga yang menuntaskan persoalan di masyarakat yang berhasil diselesaikan secara adat.
Ketua Presidium Dewan Adat Kubar Yustinus Dullah kepada media ini belum lama ini mengatakan, persoalan yang terjadi di masyarakat secara hukum adat, tidak saja satu kasus melainkan berbagai kasus. Baru-baru ini, kasus kecelakaan lalu lintas (lakalantas) berhasil diselesaikan secara adat. Korban meninggal dunia, penabrak adalah warga etnis dayak. “Keduanya sepakat menyelesaikan secara adat.Meski kasus kecelakaan ini sempat ditangani kepolisian. Ya, kita tarik kembali kasusnya di polisi untuk dialihkan diselesaikan secara adat,” Yustinus Dullah. Penyelesaian secara adat ini, sanksinya hanya denda adat, bukan hukuman kurungan.
Saat itu, pelakunya belum bisa memenuhi denda adat berupa uang tunai. Tapi diganti dengan sejumlah tanah yang berada di Tenggarong, Kutai Kartanegara. Maksud dari denda adat ini, agar pelaku memberikan biaya pemakaman kepada korban dan sejumlah dana bagi keluarga yang ditinggalkan. “Aturan adat, jika seseorang menghilangkan nyawa seseorang harus Uliq (bahasa Dayak Tunjung) artinya nyawa diganti nyawa. Tapi yang dilakukan bukan demikian, melainkan denda adat saja,” terangnya.
Terkait berlakunya hukum adat yang dilakukan sebagian warga Kubar ini menurut Yustinus Dullah, bukan berarti mengabaikan hukum formal. Sebagai bentuk aturan leluhur yang memberikan tempat bagi keluarga korban. “Misalnya kasus lakalantas tadi, jika dibawa ke jalur hukum pelaku hanya dipenjara. Sementara bagi keluarga korban selain kehilangan keluarga juga harus membiayai pemakaman dan lainnya,” pungkasnya.
Menanggapi ada keraguan bagi warga lain terhadap hukum adat tidak tertulis? Yustinus Dullah mengakui, hukum adat di Kubar ada yang tertulis dan tidak. Untuk hukum adat yang tidak tertulis, jika berhubungan dengan sakral. Artinya, sebelum diputuskan, harus melakukan melalui kegiatan Tutus (upacara adat yang memohon restu dengan leluhur). Di antara kasusnya adalah lakalantas, dan kasus-kasus hukum lainnya. Sedangkan secara tertulis sambungnya, aturan upacara adat yang sudah dibuatkan secara tertulis oleh lembaga adat. Aturan ini mengacu kepada budaya leluhur. Seperti pelaksanaan upacara adat Ngugu tahun dilakukan 4x8 (32 hari), Kwangkay 3x7 (21 hari). “Ini tidak boleh dilanggar waktunya, karena bisa dikenakan sanksi,” tegasnya.
Komentar : dalam hal ini jelas salah satu asas hukum digunakan, yaitu lex spesialis derogate lex generalis. Hukum pidana yang digunakan bersifat umum, yaitu berlaku diseluruh wilayah Indonesia, sedangkan hukum adat yang digunakan bersifat khusus, yaitu hanya berlaku dalam masyarakat dayak saja. Seharusnya hukum pidana diterapkan
dalam kasus ini, bukan hanya hukum adat. Hal demikian harus dilakukan agar tidak terjadi kecemburuan sosial dari daerah lain, sehingga akan tercipta keadilan diseluruh wilayah Indonesia.
Ketua Umum IPPMI, M Raffik menilai, aparat kepolisian dinilai masih tebang
pilih dalam menindak pelaku kejahatan. Pelaku pencuri kotak amal dan curanmor yang
notabene anak di bawah umur, diperlakukan tidak baik, sedangkan tersangka korupsi
diperlakuan Kasus kematian kakak beradik itu memantik reaksi dari masyarakat Minang
seluruh Indonesia. Salah satunya dari pemuda pemudi Minang yang tergabung dalam
Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia (IPPMI).khusus,” ujarnya kepada Padang
Ekspres kemarin.
Dia meminta Mabes Polri turun tangan mengusut tuntas kasus ini dan menghukum
oknum polisi yang terbukti melakukan pelanggaran sehingga mengakibatkan kedua
kakak beradik itu tewas. Dia juga mengimbau tokoh masyarakat aktif menyikapi kasus-
kasus tersebut, dengan menggerakkan kembali hukum adat.
Raffik mencontohkan beberapa daerah telah menerapkan hukum adat salah satunya
Bali, dan hasilnya pun bagus. Di Bali masyarakat lebih takut dengan hukum adat.
Penerapan hukum adat ini akan berdampak positif terhadap semua bidang. ”Kalau dalam
waktu 3 bulan ke depan tidak ada kemajuan, kita akan audiensi langsung dengan Kapolri
atau mungkin presiden,” sebut Raffik.
Komentar : untuk memberlakukan hokum adapt tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Butuh proses yang panjang. Semua harus turut campur tangan masyarakat. Untuk
daerah Bali mungkin bias diterapkan hukum adat karena masyarakat disana sudah
mengunakan hukum adat sejak lama. Sehingga pelaksanaannya berjalan dengan lancar.
Hukum adat menekankan nilai gawai atau denda adat, yang disesuaikan dengan kondisi sekarang. Sedangkan penguasaan hutan adat memberi rambu kepada perusahaan, yang wajib melibatkan lembaga adat.
UNTUK besaran denda adat yang diatur pada hukum adat, dilihat dari tingkat pelanggaran. Misalnya upacara adat pernikahan, maka memakai nilai gawai senilai Rp 400 ribu. Bila dipakai dalam denda adat, maka memakai harga antang senilai Rp 1 juta. Melemahnya nilai rupiah telah mengakibatkan nilai gawai yang dinyatakan dalam jumlah uang, dipandang sudah tidak relevan dengan situasi sekarang.Melalui Seminar dan lokakarya (Semiloka) bertajuk Musyawarah adat (Musdat) ke-2 kawasan Linggang dan Rumpun Asa di Lamin Adat Luuq Kerai, Kecamatan Linggang Bigung, Kamis (8/12) sampai Sabtu (10/12), menyepakati bertambahnya nilai gawai. Untuk gong menjadi Rp 2 juta, tombak Rp 400 ribu, mekau Rp 200 ribu, jie solai Rp 100 ribu, jie keding Rp 50 ribu, dan satu buah piring Rp 10 ribu.Terkait soal penguasaan hutan adat, diwajibkan semua perusahaan dan pelaku industri mematuhi ketentuan hukum adat. Ditekankan, semua perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan, baik dalam pembukaan maupun dalam pengelolaan lahan harus melibatkan pihak lembaga adapt terkait. Kemudian, dalam pemanfaatan kayu maupun hasil hutan adat untuk keperluan kehidupan dan pembangunan harus ada rekomendasi dari lembaga adat dan petinggi kampung setempat. Juga disesuaikan dengan keperluan yang bersangkutan dengan ketentuan harus melampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Kartu Keluarga (KK). Selanjutnya, izin pengangkutan atau pengelolaan kayu diterbitkan oleh Kepala Adat Besar Kecamatan setempat. Diatur juga, kasus kecelakaan lalu lintas (Lakalantas) harus terlebih dahululu diurus oleh pihak lembaga adat kampung, kecamatan kalau sudah ada surat pelepasan baru pihak berwajib/kepolisian. Para pihak yang menyepakati aturan adat ini ditandatangani oleh Kepala Adat Besar Kecamatan Linggang Bigung Yustinus Dullah, Kepala Adat Besar Kecamatan Barong Tongkok Antonius Juut, Kepala Adat Besar Kecamatan Sekolaq Darat Yurang, dan Kepala Adat Besar Kecamatan Melak Petrus Senuk. Kemudian, Kepala Adat Besar Kecamatan Mook Manaar Bulatn Ardiansyah, Kepala Adat Besar Kecamatan Muara Lawa Penyawer ST, atas nama Kepala Adat Besar Kecamatan Nyuatan Imanuel Rana Wijaya SH dan Kepala Adat Besar Kecamatan Damai UM Effendy Jayapatie. Itu disahkan Ketua Presidium Dewan Adat Kubar Yustinus Dullah AMPd (Mangku Jaya Kesuma V).
Komentar : memang kebanyakan dari sanksi hukum adat adalah denda. Denda digunakan sebagai alternatif hokum karena denda tidak menberi penyiksaan fisik kepada para pelanggarnya. Denda hanya memberikan sanksi psikis dan efek jera bagi pelanggarnya.