HUKUM ADAT

20
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara mengenai masyarakat hukum adat, sudah sewajarnya kita harus melihat pada dasar Konstitusi kita yang menjamin eksistensinya. Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengamanatkan sebagai berikut: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang- undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup -dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dalam bukunya Prof. Soepomo, SH yang berjudul Bab-Bab tentang Hukum Adat 1 Beliau memberi gambaran bahwa di dalam masyarakat yang semata-mata berdasar atas lingkungan daerah dan tidak memerlukan pertalian keturunan, terdapat di Aceh, Sumatera Timur, Bangka dan Belitung, Sumatera 1 Prof. Dr. R Soepomo, SH, Bab-bab tentang Hukum Adat ,PT Pradnya Paramita Jakarta (Cetakan 17)

description

baca yach.....

Transcript of HUKUM ADAT

Page 1: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara mengenai masyarakat hukum adat, sudah sewajarnya kita harus

melihat pada dasar Konstitusi kita yang menjamin eksistensinya. Pasal 18B ayat (1)

dan (2) UUD 1945 mengamanatkan sebagai berikut:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup -dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dalam bukunya Prof. Soepomo, SH yang berjudul Bab-Bab tentang Hukum

Adat1Beliau memberi gambaran bahwa di dalam masyarakat yang semata-mata

berdasar atas lingkungan daerah dan tidak memerlukan pertalian keturunan, terdapat di

Aceh, Sumatera Timur, Bangka dan Belitung, Sumatera Selatan, Jawa, Madura, Bali,

Sulawesi Selatan, Minahasa dan Ambon.

Selain itu, adapula susunan masyarakat yang berdasar pada kedua faktor yaitu

lingkungan daerah dan keturunan, dimana setiap orang yang ada di dalamnya harus

memenuhi persyaratan, yaitu:

- termasuk dalam satu kesatuan geneologi, dan

- harus bertempat tinggal di dalam daerah persekutuan hukum.

Sesuai dengan perkembangan masyarakat dewasa ini dengan banyak sudah

diberlakukannya hukum modern, nampaknya tidak sedikit yang dapat

mempertahankan eksistensinyaa sebagai masyarakat hukum adat. Apalagi akibat dari

masa penjajakan yang sekian lama, dalam mempertahankan kehidupan mereka,

terpaksa “melepas” hak-hak atas tanah ulayatnya, walaupun dalam arti hanya

berbentuk sewa/erfpacht selama jangka waktu yang panjang (75 tahun).

1 Prof. Dr. R Soepomo, SH, Bab-bab tentang Hukum Adat ,PT Pradnya Paramita Jakarta (Cetakan 17)

Page 2: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 2

Peristiwa seperti itulah yang saat ini muncul sebagai permasalahan, tidak saja

permasalahan hukum tetapi juga konflik vertikal. Tanah yang semula berstatus tanah

adat, ketika para penjajah meninggalkan negara tercinta ini, tanah-tanah tersebut

praktis tidak diketahui siapa pemiliknya. Dan pemerintah yang sah mengklaim sebagai

tanah negara. Penguasaan tanah-tanah tersebut, saat-saat ini menjadi kerikil tajam bagi

penyelenggaraan pemerintahan.

Masyarakat-masyarakat adat dalam kehidupan yang terpuruk saat ini, seperti

orang yang baru bangun terhenyak mengambil alih tanah-tanah mereka yang tanpa

disadari bahwa semula sejak penjajah pergi dari bumi pertiwi, telah dikuasai oleh

pemerintah. Bahkan ada kalanya penguasaan oleh pemerintah ini telah jatuh ke tangan

swasta berdasar perjanjian-perjanjian yang dibuat tanpa mengikutsertakan masyarakat

itu sendiri.

Cilakanya masyarakat hukum adat tersebut tidak memiliki bukti-bukti

kepemilikan yang menurut peraturan perundang-undangan modern diwajibkan pemilik

harus dapat membuktikan dasar kepemilikannya yang diperolehnya melalui

pendaftaran tanah (Pasal 20 ayat (1) UU No 5 Tahun 1960 jo Pasal 6 UU No 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria jo Pasal 1 ayat (1) Peraturan

Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Bahkan belakangan ini setelah 62 tahun merdeka, di beberapa tempat terjadi

perebutan tanah-tanah yang diakui oleh masyarakat sekitarnya sebagai tanah ulayat,

sebagai harta bersama dari masyarakat hukum adatnya. Kalau dihitung-hitung sampai

saat ini, memang tepat timing-nya, kalau ditafsirkan bahwa tanah-tanah tersebut sudah

jatuh tempo dan sekarang jatuh ke tangan “penguasa” dikarenakan selesainya hak

erfpacht penyewa Belanda yang ditinggal pergi. Sehingga belakangan dikelola oleh

pemerintah cq Angkatan TNI – RI atau bahkan disewakan lagi (mungkin) dengan hak

bagi hasil dengan pihak-pihak swasta, sudah semestinya mengikutsertakan masyarakat

adat setempat sebagai pemilik asli atas tanah ulayat.

Biasanya pihak-pihak yang menguasai tanah-tanah tersebut dalam melakukan

pengelolaan dibantu dengan pihak-pihak keamanan/aparat kepolisian. Sehingga ketika

masyarakat yang mengakui memiliki hak atas tanah tersebut, ingin merebut kembali

tanahnya maka terjadilah bentrokan-bentrokan fisik yang tak berkesudahan. Tindakan

Page 3: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 3

“potong kompas tersebut”, pada umumnya karena terpaksa yaitu setelah dengan cara

musyawarah tidak pernah digubris. Akhirnya banyak korban berjatuhan yang tidak

saja dari pihak masyarakat sipil saja, tetapi juga ada kalanya dari kedua belah pihak.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaiman perjanjian bagi hasil menurut hukum adat?

2. Bagaimana system bagi hasil menurut hukum positif di Indonesia?

Page 4: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perjanjian Bagi Hasil Menurut Hukum Adat

Istilah bagi hasil, di dalam sistem hukum Adat kita walaupun disebut  dengan

nama dan sebutan yang berbeda tetapi dikenal dan dilaksanakan  hampir di seluruh

pelosok tanah air. Istilah tersebut di Sumatera Selatan khususnya di Kabupaten Lahat

disebut Paroan. 

Bagi hasil, merupakan suatu lembaga hukum Adat yang pada awalnya bersifat

sosial ekonomis yang bertujuan menolong sesama warga dan  tidak selalu dapat

dianggap sebagai usaha bisnis seperti di  negara-negara lain (Parlindungan, 1991)2.

Unsur positif bagi hasil  adalah perimbangannya didasarkan atas dasar keadilan dan

terjaminnya kedudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak-

hak  dan kewajiban, baik dari penggarap maupun pemilik (Wantjik Saleh,  1982).

Menurut ter Haar, maka transaksi ini merupakan suatu perikatan, dimana obyek

transaksi bukanlah tanah, akan tetapi pengolahan tanah dan tanaman di atas tanah tersebut.

Proses tersebut mungkin terjadi, oleh karena pemilik tanah tidak mempunyai kesempatan

untuk mengerjakan tanahnya sendiri, akan tetapi berkeinginan untuk menikmati hasil

tanah tersebut. Maka, dia dapat mengadakan perjanjiandengan fihak-fihak tertentu yang

mampu mengerjakan tanah tersebut, sengan mendapatkan sebagain dari hasilnya sebagai

upah atas jerih payahnya. Transaksi semacam ini dapat dijumpai hamper di seluruh

Indonesi, dengan pelbagai variasi, baik dari sudut penanamannya, pembagian hasilnya,

dan seterusnya3.

Di daerah Sumatera Barat (Minangkabau), transaksi ini dikenal dengan nama

“mampaduoi” atau “babuek sawah urang”. Perjanjian bagi hasil tersebut didalam

kenyataannya dilakukan secara lisan (dihadapan kepala adat), dan tergantung dari factor

kesuburan tanah, penyediaan bibit, jenis tanaman dan seterusnya. Apabila tanah yang akan

dikerjakan akan dijadikan sawah,

2 Parlindungan, A.P. (1993). Komentar atas undang-undang pokok agraria. Bandung: Mandar Maju, hlm 97

3 Parlindungan, A.P. (1991). Undang-undang bagi hasil di Indonesia.  Suatu Studi Komparatif. Bandung: Mandar Maju, hlm 48

Page 5: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 5

sedangkan benih padi disediakan oleh pemilik tanah, maka hasilnya dibagi dua

antara pemilik tanah dengan penggarap, tanpa memperhitungkan nilai benih serta

pupuknya. Perjanjian semacam ini disebut “mempaduoi”. Lain halnya, apabila tanah

keras, ldang atau sawah yang akan dikerjakan, ditanami dengan palawija, dimana pemilik

tanah menyediakan bibit serta pupuk. Hasilnya tetap dibagi dua, akan tetapi dengan

memperhitungkan harga bibit dan pupuk; perjanjian semacam ini disebut “saduo bijo”.

Perjanjian tersebut dapat diteruskan (atau dihentikan) oleh ahli waris, apabila pemilik

tanah penggaranya meninggal.

Di Jawa Tengah, maka perjanjian tersebut tergantung pada kualitas tanah, macam

tanaman yang akan dikerjakan, serta penawaran buruh tani. Kalau kualitas tanah baik,

misalnya, maka pemilik tanah akan memperoleh bagian yang lebih besar. Dengan

demikian, maka ketentuan-ketentuannya adalah, sebagai berikut :

a. Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama (“maro”)

b. Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian (“mertebu”)

c. Pemilik tanah mendapat 1/5 bagian untuk tanaman kacang.

Khususnya di Bali Selatan, perjanjian bagi hasil penerapannya disebut “sakap

menyakap” (Koentjaraningrat 1967:60). Ketentuan-ketentuannya adalah, sebagai berikut :

a. Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama, yaitu

masing-masing ½ (”nandu”).

b. Pemilik tanah mendapat 3/5 bagian dan penggarap 2/5 bagian (“nelon”)

c. Pemilik tanah mendapat 2/3 bagian dan penggarap 1/3 bagian (“ngapit”).

d. Pemilik tanah mendapat ¾ bagian, sedangkan penggarap ¼ bagian

(“merapat”)

Mengenai perjanjian bagi hasil atau “sharecropping” ini, sebetulnya telah diatur

didalam Undang_Undang Nomor 2 tahun 1960, yang intinya adalah :

a. Penentuan bagian yang didasarkan pada kepentingan penggarap dan kualitas

tanah, dengan ketentuan penggarap memperoleh ½ bagian atau 2/3 bagian.

b. Atas dasar kualitas dan tipe tanah, perjanjian bagi hasil berjangka waktu antara

3 sampai 5 tahun.

c. Kepala Desa mengawasi perjanjian-perjanjian bagi hasil.

Page 6: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 6

B. Sistem Bagi Hasil Dalam Hukum positif Di Indonesia

Permasalahan penguasaan tanah (pemilikan dan penggarapan) pada 

hakikatnya sejak dahulu sudah merupakan masalah sosio-ekonomi dengan  gejala-

gejala yang tidak sehat bagi perkembangan masyarakat (Habibie, 1978). Masalah

tersebut kini menjadi kompleks karena perkembangan itu disertai pula oleh

permintaan terhadap tanah yang disebabkan oleh  bertambahnya penduduk,

meningkatnya lingkungan perumahan dan tanah  sebagai obyek investasi sementara

golongan ekonomi kuat yang bermukim  di kota semakin tinggi. 

Ketimpangan dalam pembagian pendapatan, pada dasarnya berawal dari 

ketimpangan dalam penguasaan tanah pertanian, baik fisik maupun  nonfisik yang

merupakan sumber pendapatan utama masyarakat desa. Upaya  mendorong pembagian

yang merata serta memperluas kesempatan kerja salah satunya dengan melaksanakan

bagi hasil atas tanah secara adil. Di Kabupaten Lahat, sistem sewa dan sistem lainnya

jarang sekali  dilakukan karena umumnya penggarap tidak mempunyai modal untuk 

membayar sewa yang biasanya dibayar dimuka dan risiko gagal panen  tidak

ditanggung bersama, sehingga hanya Bagi Hasil yang paling banyak  dan

memungkinkan untuk dilakukan (Hasmonel, 1997). 

Banyaknya praktek sistem bagi hasil ini dilakukan antara lain juga  disebabkan

sistem ini tidak merendahkan derajat petani penggarap,  tidak mengenal istilah

majikan dan buruh, pranata bagi hasil bersifat  tolong menolong dan kekeluargaan,

sehingga segala sesuatunya dapat  diselesaikan secara musyawarah, serta bagi hasil

sudah membudaya di  Indonesia (Mustara, 1993). Namun demikian tradisi Bagi Hasil

ini akibat pengaruh perkembangan ekonomi dan keuangan, nampaknya telah  bergeser

dari sistem yang mengandung prinsip pemerataan ke arah  kepentingan ekonomi

(Depdikbud, 1986). 

Sebelum diundangkannya ketentuan tentang Bagi Hasil, di daerah-daerah 

padat seperti pulau Jawa, Madura, dan Bali sudah mengalami kondisi di  mana jumlah

lahan yang tersedia tidak seimbang dengan banyaknya jumlah  penggarap. Dalam

kondisi seperti ini penggarap terpaksa menerima syarat-syarat yang diajukan oleh

Page 7: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 7

pemilik tanah, walaupun syarat  tersebut sangatlah berat dan tidak adil. Misalnya

penggarap dengan  sangat terpaksa menerima upah yang rendah4.

Dampak negatif dari perkembangan ini adalah terjadinya proses  akumulasi

dan pemusatan pemilikan tanah ke tangan segolongan orang  yang berdomisili di

perkotaan. Penguasaan ini sangat erat hubungannya  dengan penguasaan yang bias

dikenal dengan pemilikan tanah  absentee/guntai. Proses akumulasi dan pemusatan

penguasaan tanah ini  di samping dapat semakin memperbesar frekuensi pelanggaran

pemilikan tanah absentee juga semakin memperlebar kesenjangan sosial antara 

pemilik dan penggarap tanah. Kondisi ini diperburuk dengan semakin  mudahnya

pemilik tanah untuk menambah tanah dengan cara absentee. 

Dalam perkembangannya penggarap yang tidak mempunyai lahan hanya bias

berangan-angan sebab tanah yang dikuasai oleh pemilik (absentee) nilai  jualnya akan

semakin sulit dijangkau oleh penggarap. Masalah yang  memerlukan perhatian khusus

adalah sampai saat ini larangan pemilikan  tanah absentee tetap berlaku seperti diatur

pasal 10 UUPA, akan tetapi  praktek pemilikan tanah absentee justru semakin

meningkat. Berbagai  cara dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan penduduk

setempat  atau menggunakan aturan pengecualian pemilikan tanah absentee oleh 

pegawai negeri, sehingga pemilik modal secara mudah memiliki tanah  dengan harga

yang murah.

Dengan demikian sebagai lembaga hukum Adat yang sudah membudaya  di

lingkungan masyarakat, bagi hasil ini sulit untuk dihapuskan. Oleh  karena itu agar

memberikan perlindungan kepada para petani, khususnya  petani gurem dan tunakisma

serta untuk menghindari adanya kesan  pemerasan diri manusia atas manusia, maka

perlu dikendalikan melalui  suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-

undang Nomor 2 Tahun  1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil. Peraturan

perundang-undangan inilah yang dapat dijadikan sarana  untuk mengatur hak-hak dan

kewajiban pemilik maupun penggarapnya. Pengendalian lembaga bagi hasil ini akan

membantu kesulitan-kesulitan yang mungkin akan terjadi terutama bila terjadi

pelanggaran hak kepada  penggarapnya. Maka dalam memori penjelasan undang-

undang perjanjian Bagi hasil dijelaskan bahwa : 

4 Wignjodipoero. (1985). Pengantar dan asas-asas hukum adat. Jakarta:  Gunung Agung,hlm 197

Page 8: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 8

(1) Biarpun tidak disebut dengan nama yang sama, tetapi perjanjian penguasahaan

tanah dengan bagi hasil umum dijumpai di Indonesia. Dalam perjanjian itu, yang

hukumnya berlaku sebagai ketentuan-ketentuan hukum adat yang tidak tertulis,

seseorang yang berhak atas suatu tanah, yang karena sesuatu sebab tidak dapat

mengerjakannya sendiri, tetapi ingin tetap mendapat hasilnya, memperkenankan

orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian atas tanah tersebut, yang

hasilnya dibagi antara mereka berdua menurut imbangan yang ditentukan

sebelumnya. Orang yang berhak mengadakan perjanjian tersebut menurut

hukumnya yang berlaku sekarang ini tidak saja terbatas pada pemilik tanah itu

sendiri, tetapi juga orang-orang lain yang mempunyai hubungan hukum tertentu

dengan tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang gadai, penyewa, bahkan

seorang penggarappun - yaitu fihak kedua yang mengadakan perjanjian bagi hasil -

dalam batas-batas tertentu berhak pula berbuat demikian.

(2) Mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing fihak tidak ada

keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang tersedia,

banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan

kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat/sedaerah dan lain-lainnya.

Berhubung dengan kenyataan, bahwa umumnya tanah yang tersedia tidak banyak,

sedang jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya sangat besar, maka

seringkali terpaksalah penggarap menerima syarat-syarat perjanjian yang memberi

hak kepadanya atas bagian yang sangat tidak sesuai dengan tenaga dan biaya yang

telah dipergunakannya untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan. Lain dari

pada itu perjanjian tersebut menuntut hukumnya umumnya hanya berlaku selama

jangka waktu satu tahun yang kemudian atas persetujuan kedua belah fihak dapat

dilanjutkan lagi atau diperbaharui. Tetapi berlangsungnya perjanjian itu umumnya

hanyalah tergantung semata-mata pada kesediaan yang berhak atas tanah, hingga

bagi penggarap tidak ada jaminan akan memperoleh tanah garapan selama waktu

yang layak. Hal inipun, kecuali berpengaruh pada pemeliharaan kesuburan

tanahnya, menjadi sebab pula mengapa penggarap seringkali bersedia menerima

syarat-syarat yang berat dan tidak adil. Akhirnya oleh karena jarang sekali

perjanjian bagi hasil itu dilakukan secara tertulis dan menurut hukumnya juga

Page 9: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 9

tidak ada keharusan untuk dibuatnya dimuka pejabat-pejabat adat setempat, maka

seringkali terdapat keragu-raguan, yang menimbulkan perselisihan-perselisihan

antara pemilik dan penggarap.

(3) Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya, lemah terhadap

praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat

sebagaimana halnya dengan hubungan perjanjian bagi hasil yang diuraikan diatas,

maka dalam bidang agraria diadakanlah Undang-undang ini, yang bertujuan

mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud : a.agar pembagian hasil

tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil dan

b.dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan

penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap,

yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak

kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedang jumlah

orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar. c. dengan

terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b diatas, maka akan bertambahlah

kegembiraan bekerja pada para petani - penggarap, hal mana akan berpengaruh

baik pada caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan tanahnya. Hal itu

tentu akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang

berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi

"sandang-pangan" rakyat. Dengan diadakannya peraturan ini maka lembaga bagi

hasil yang didalam susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini pada

kenyataannya masih hidup dan mempunyai segi-segi sosial maupun ekonomis

yang tidak dapat dengan sekaligus diganti dan dilenyapkan - akan dapat

dipergunakan dan dilangsungkan sesuai dengan fungsinya dalam masyarakat

karena akan dapat diakhiri dan dicegah penyalah-gunaan dalam

penyelenggaraannya.

(4) Dalam pada itu perlu diinsyafi, bahwa selama imbangan antara luasnya tanah

pertanian dan jumlah kaum tani yang memerlukan tanah disementara daerah -

Jawa, Madura, Bali dan lain- lainnya - belum dapat ditingkatkan pada tingkatan

yang layak, dengan hanya memberi ketentuan-ketentuan mengenai *2567

perjanjian bagi hasil itu saja, tujuan tersebut diatas belumlah akan tercapai. Lebih-

Page 10: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 10

lebih karena lembaga bagi hasil itu baru merupakah salah satu saja dari bentuk-

bentuk perjanjian pengusahaan tanah dimana golongan petani yang lemah terpaksa

berhadapan dengan yang kuat. Berhubung dengan itu maka dalam rangka dan

sejalan dengan usaha untuk menyelenggarakan perlindungan sebagai yang

dimaksudkan itu sedang dan akan melanjutkan tindakan-tindakan untuk

memperbaiki keadaan para petani yang lemah itu. Misalnya usaha-usaha

perkreditan yang disalurkan melalui Bank Tani dan Nelayan, memberikan tanah

kepada para petani yang belum mempunyai tanah sendiri atau yang tanah usahanya

tidak mencukupi, misalnya dengan pembukaan tanah secara besar-besaran diluar

Jawa, yang diikuti dengan transmigrasi, baik secara teratur yang diselenggarakan

oleh Jawatan Transmigrasi maupun yang spontan. Usaha-usaha dalam bidang

industrialisasi akan membawa perbaikan pula pada imbangan antara tanah dan

orang yang kami maksudkan diatas. Penetapan batas maksimum luas tanah yang

kini sedang difikirkan, dibeberapa tempat/daerah akan berarti pula bertambahnya

tanah yang tersedia bagi para petani yang dimaksudkan itu. Lain dari pada itu

sering dengan keluarnya peraturan mengenai perjanjian bagi hasil ini dikalangan

rakyat sendiri diperlukan pula adanya Undang-undang tentang persewaan tanah,

yang akan memberi perlindungan pula pada para petani kecil penyewa tanah

terhadap praktek-praktek yang tidak baik dari sementara golongan pemilik tanah.

Hal tersebut dipandang perlu oleh karena sewa-menyewa itu merupakan pula

bentuk perjanjian tanah, dimana ada kemungkinan dijalankannya praktek-praktek

yang sangat merugikan golongan petani yang lemah.

(5) Akhirnya perlu ditegaskan, bahwa didalam menyusun peraturan mengenai bagi

hasil ini diusahakan didapatnya imbangan yang sebaik-baiknya antara kepentingan

pemilik dan penggarap, karena yang menjadi tujuan bukanlah mendahulukan

kepentingan golongan yang satu dari pada yang lain, tetapi akan memberi dasar

untuk mengadakan pembagian hasil tanah yang adil dan menjamin kedudukan

hukum yang layak bagi para penggarap. Adalah bukan maksudnya akan memberi

perlindungan itu sedemikian rupa hingga keadaannya menjadi terbalik, yaitu

kedudukan penggarap menjadi sangat kuat, tetapi sebaliknya bagi yang berhak atas

tanah lalu tidak ada jaminan sama sekali. Kiranya telah dimaklumi pula, bahwa

Page 11: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 11

tidaklah selalu penggarap itu ada pada fihak yang lemah. Tidak jarang justeru

pemiliknya yang merupakan tani-tani kecil yang memerlukan perlindungan sedang

penggarapnya termasuk golongan yang kuat ekonominya.

(6) Undang-undang ini akan berlaku serentak untuk seluruh Indonesia. Biarpun tidak

disemua daerah ada ketegangan didalam hubungan pemilik dan penggarap, tetapi

dengan mendiskriminasikan berlakunya Undang-undang ini untuk daerah satu

dengan daerah lain, artinya diperlakukan disesuatu daerah dan didaerah lain tidak

atau menangguhkan berlakunya dikhawatirkan timbulnya kesukaran-kesukaran

yang terus-menerus meluas dari satu daerah kelain daerah karena berbeda-bedanya

peraturan. Dalam pada itu perumusan pasal yang terpenting dari Undang-undang

ini, yaitu pasal 7 memberikan flexibilitet yang cukup luas untuk menyesuaikan

pelaksanaannya dengan keadaan-keadaan yang khusus didaerah yang

bersangkutan.

Page 12: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bagi hasil, merupakan suatu lembaga hukum Adat yang pada awalnya bersifat

sosial ekonomis yang bertujuan menolong sesama warga dan  tidak selalu dapat

dianggap sebagai usaha bisnis seperti di  negara-negara lain. Unsur positif bagi hasil 

adalah perimbangannya didasarkan atas dasar keadilan dan terjaminnya kedudukan

hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak-hak  dan kewajiban, baik

dari penggarap maupun pemilik. Oleh  karena itu agar memberikan perlindungan

kepada para petani, khususnya  petani gurem dan tunakisma serta untuk menghindari

adanya kesan  pemerasan diri manusia atas manusia, maka perlu dikendalikan melalui 

suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun  1960

Tentang Perjanjian Bagi Hasil. Peraturan perundang-undangan inilah yang dapat

dijadikan sarana  untuk mengatur hak-hak dan kewajiban pemilik maupun

penggarapnya. Pengendalian lembaga bagi hasil ini akan membantu kesulitan-

kesulitan yang mungkin akan terjadi terutama bila terjadi pelanggaran hak kepada 

penggarapnya

B. Saran

Batas maksimum pemilikan tanah sebagaimana diatur dalam UU No.

56/Prp/1960 jo Pasal 3a - e PP No. 41 Tahun 1964 tidak sesuai lagi  dengan pesatnya

perkembangan penduduk. Lahan pertanian seharusnya  dimiliki oleh petani, oleh

karena itu dibutuhkan aturan yang  memfasilitasi pemilikan tanah pertanian oleh

petani dan memproteksi  pemilikan oleh bukan petani. 

Page 13: HUKUM ADAT

Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 13

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. R Soepomo, SH, Bab-bab tentang Hukum Adat ,PT Pradnya Paramita

Jakarta (Cetakan 17)

Parlindungan, A.P. (1991). Undang-undang bagi hasil di Indonesia.  Suatu

Studi Komparatif. Bandung: Mandar Maju.

Parlindungan, A.P. (1993). Komentar atas undang-undang pokok agraria. 

Bandung: Mandar Maju

Wignjodipoero. (1985). Pengantar dan asas-asas hukum adat. Jakarta:  Gunung

Agung.

Undang Undang Dasar 1945

Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria

Undang-undang Nomor 2 Tahun  1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil