Hubungan Umur Dan Suhu Tubuh Dengan Kejadian Kejang Demam Pada Balita

59
Hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anak adalah permata harapan keluarga. Setiap orang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak agar tumbuh sehat dengan baik, sehat walafiat baik tubuh maupun jiwanya. Masa kanak – kanak adalah masa yang rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Pada masa ini sering kali anak ditimpa berbagai macam gejala penyakit salah satu gejalanya adalah kejang demam. ( Soetjiningsih, 2011). Menurut Abdoerrachman ( 2007 ) kejadian kejang demam banyak terjadi pada bayi dan anak yang berumur antara 6 bulan sampai 5 tahun, dimana kejang ini disebabkan oleh demam yang semakin tinggi (suhu mencapai 38 o C atau lebih), waktu terjadinya tidak lebih dari 30 menit. Kejang demam ini terbagi menjadi Kejang Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam Kompleks (KDK).

description

Perawat

Transcript of Hubungan Umur Dan Suhu Tubuh Dengan Kejadian Kejang Demam Pada Balita

Hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar belakangAnak adalah permata harapan keluarga. Setiap orang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak agar tumbuh sehat dengan baik, sehat walafiat baik tubuh maupun jiwanya. Masa kanak kanak adalah masa yang rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Pada masa ini sering kali anak ditimpa berbagai macam gejala penyakit salah satu gejalanya adalah kejang demam. ( Soetjiningsih, 2011).Menurut Abdoerrachman ( 2007 ) kejadian kejang demam banyak terjadi pada bayi dan anak yang berumur antara 6 bulan sampai 5 tahun, dimana kejang ini disebabkan oleh demam yang semakin tinggi (suhu mencapai 38oC atau lebih), waktu terjadinya tidak lebih dari 30 menit. Kejang demam ini terbagi menjadi Kejang Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam Kompleks (KDK). Kejadian kejang demam ini sendiri tidak terlalu banyak hanya 2 - 5%. Walaupun penderita kejang demam hanya sedikit tetapi masyarakat kerap kali mengganggap remeh hal tersebut. Mereka percaya anak yang tiba-tiba kejang itu menderita epilepsi ataupun kerasukan bahkan beranggapan bahwa hal tesebut merupakan suatu hal yang wajar yang akan sembuh dengan sendirinya tanpa perlu mendapatkan pengobatan intensif dari tenaga kesehatan ( Lumbantobing, 2007 ). Prevalensi kejang demam sekitar 2 - 5 persen pada anak balita. Umumnya terjadi pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi. Diantaranya; usia, jenis kelamin, riwayat kejang dan epilepsi dalam keluarga, dan normal tidaknya perkembangan neurologi. Menurut Nadirah (2011), di antara semua usia, bayi yang paling rentan terkena step atau kejang demam berulang. Risiko tertinggi pada umur di bawah 2 tahun, yaitu sebanyak 50 persen ketika kejang demam pertama. Sedang bila kejang pertama terjadi pada umur lebih dari 2 tahun maka risiko berulangnya kejang sekitar 28 persen. Selain itu, dari jenis kelamin juga turut mempengaruhi. Meskipun beberapa penelitian melaporkan bahwa anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam dibanding anak perempuan. Namun risiko berulangnya kejang demam tidak berbeda menurut jenis kelamin. Riwayat kejang dalam keluarga merupakan risiko tertinggi yang mempengaruhi berulangnya kejang demam, yaitu sekitar 50 - 100 persen. Dan anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan neurologi meningkatkan risiko terjadinya kejang demam berulang ( Ugart, 2011 ). Kejang dapat terjadi pada waktu demam. Dikatakan demam jika suhu mencapai 37,8 derajat celcius atau lebih yang diukur secara rektal. Kejang demam dapat dipicu karena faktor infeksi di bagian ekstrakranial (luar otak). Di antaranya karena penyakit diare, otitis media, pneumonia, faringitis. Beberapa penelitian, melaporkan kejang terjadi pada suhu 38 derajat celcius. Tapi ada juga demam suhu rendah, namun bisa membuat anak kejang (Teriosa, 2011).Komplikasi dari kejang demam ini masih kontraversi, ada beberapa peneliti mengatakan bahwa kejang demam ini tidak mengakibatkan kerusakan otak yang berarti seperti hasil penelitian dari The National Collaborative Perinatal Project di Amerika yang mengikuti 1706 anak kejang demam sampai berumur usia 7 tahun dan hasilnya tidak didapatkan adanya kematian sebagai akibat dari kejang demam. IQ anak kejang demam ini juga dibandingkan dengan saudara kandungnya yang normal dengan menggunakan WICS, hasilnya angka rata-rata untuk IQ pada setiap anak tidak berbeda dengan saudara kandung yang tidak menderita kejang demam, tetapi ada beberapa peneliti seperti Aicadi dan chevrie yang meneliti 402 anak yang menderita kejang demam dan didapat hasil 131 mendapatkan sekuele, yaitu : 114 penderita epilepsi, 54 retadansi mental, 37 menderita kelainan neurologi, 24 dengan hemiplegia (lumpuh sebelah). Mereka menderita skuele ini sebelum kejang demam adalah anak yang normal (Lumbantobing, 2007). Berdasarkan data yang diperoleh dari ruang Anak RSUD M.Yunus Bengkulu tercatat pada tahun 2010 ditemukan sebanyak 789 anak dirawat, sedangkan pada tahun 2011 ditemukan sebanyak 934 anak dirawat di ruang Anak RSUD M.Yunus. Sedangkan untuk kejang demam di RSUD M. Yunus Bengkulu penyakit kejang demam termasuk 5 besar penyakit yang paling banyak diderita disana. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan jumlah kasus kejang demam pada anak yang terjadi pada tahun 2010 sebanyak 127 kasus sedangkan pada tahun 2011 tercatat sebanyak 140 kasus kejang demam . dengan rincian sebagai berikut :Tabel 1Daftar frekuensi anak yang terserang Kejang Demamdi Ruangan anak RSUD. M. Yunus tahun 2010 dan 2011NoBulanTahun

20102011

1Januari1615

2Februari149

3Maret1810

4April411

5Mei512

6Juni1412

7Juli128

8Agustus1218

9September1116

10Oktober49

11November511

12Desember129

JUMLAH127140

Sumber : Rekam medik RSUD. M. Yunus

Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa penderita kejang demam untuk untuk daerah Bengkulu pada dua tahun belakang ini mengalami kenaikan dari tahun 2010 yang jumlah penderita 127 meningkat menjadi 140 pada tahun 2011 sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita kejang demam masih tinggi, untuk itu masih perlu dapat perhatian yang lebih dari tenaga kesehatan.Berdasarkan data yang diambil dari ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara penyakit kejang demam masih cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya 23 anak yang menderita kejang demam pada tahun 2010 dan 32 anak terserang kejang demam pada tahun 2011 dengan rincian sebagai berikut :Tabel 2Daftar frekuensi anak yang terserang Kejang Demamdi Ruangan Melati RSUD Arga Makmur Tahun 2010 dan 2011

NoBulanTahun

20102011

1Januari22

2Februari11

3Maret14

4April51

5Mei14

6Juni-2

7Juli23

8Agustus23

9September13

10Oktober-5

11November51

12Desember23

JUMLAH2332

Sumber : Register Ruang Melati RSUD Arga Makmur

Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa penderita kejang demam pada dua tahun belakang ini mengalami kenaikan dari tahun 2010 yang jumlah penderita 23 meningkat menjadi 32 pada tahun 2011 sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita kejang demam masih tinggi, untuk itu masih perlu dapat perhatian yang lebih dari tenaga kesehatan. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik dan berkeinginan untuk mengetahui adakah Hubungan Umur Dan Suhu Tubuh Dengan Kejadian Kejang Demam Di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas yang telah dikemukakan, maka permasalahan yang akan peneliti angkat dalam karya tulis ilmiah ini adalah :1. Apakah ada hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.2. Apakah ada hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan UmumUntuk mengetahui hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.2. Tujuan Khususa. Untuk mengetahui gambaran umur balita yang dirawat di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011. b. Untuk mengetahui gambaran suhu tubuh balita yang dirawat di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011. c. Untuk mengethaui gambaran kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Tahun 2011.d. Untuk mengetahui gambaran kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.e. Untuk mengetahui hubungan umur dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.f. Untuk mengetahui hubungan suhu tubuh dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.D. Manfaat Penelitian1. Manfaat bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pelaksanakan penanganan pasien balita dengan kejang demam.2. Untuk Institusi Pendidikan Sebagai bahan bacaan untuk mahasiswa dan sumber pustaka tentang kejang demam.3. Manfaat bagi pengembangan penelitianDiharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi yang sangat berguna bagi penelitian lain yang ingin melanjutkan penelitian ini.E. Keaslian Penelitian 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi kejang demam pada anak di RSUD Saras Husada Purworejo tahun 2010 oleh Prasojo Nugroho.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kejang Demam1. Pengertian Kejang Demam adalah kejang yang terjadi pada saat suhu badan tinggi, suhu badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranium (Lumbantobing,2007).Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh rektal diatas 38C ( Sujono Riyadi, 2009).Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di intrakranial (Abdoerrachman, 2007).2. Etiologi Menurut Lumbantobing (2007) etiologi kejang demam adalah:a. Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, otitis media, pneumonia, gastroentritis dan infeksi saluran kemih.b. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme.c. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.d. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.e. Ensefalitis viral ( radang otak akibat virus ) yang ringan .3. Anatomi FisiologiSeperti yang dikemukakan Syaifuddin ( 1997) system saraf terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan piamater.Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :a. Cerebrum (otak besar)Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum cranialis anterior dan cavum cranialis media.Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan / visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri inilah yang disebut sebagai ganglia basalis. Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :1) Thalamus Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik. Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.2) HypothalamusTerletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya proses-proses patologik ekstrakranium.3) Formation ReticularisTerletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak (superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan dikirim ke cortex cerebri.b. SerebellumMerupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus cranialis ada 12 pasang :1) N. I: Nervus Olfaktorius2) N. II: Nervus Optikus3) N. III: Nervus Okulamotorius4) N. IV: Nervus Troklearis5) N. V: Nervus Trigeminus6) N. VI: Nervus Abducen7) N. VII: Nervus Fasialis8) N. VIII: Nervus Akustikus9) N. IX: Nervus Glossofaringeus10) N. X: Nervus Vagus11) N. XI: Nervus Accesorius12) N. XII: Nervus Hipoglosus.System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di mana keduanya mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system simpatis dan parasimpatis.Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus symphatis3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari ganglion kolateral.System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis: 1) Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak2) Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.4. PatofisiologiUntuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida. Akobatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion natrium rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis dan kimiawi, perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnay sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak yang menderita kejang demam pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu 38C sedangkan anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih (Abdoerrachman,2007).5. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejang demama. Faktor umurFaktor umur merupakan salah satu faktor resiko utama yang berhubungan dengan kejang demam karena hal ini erat kaitannya dengan kematangan otak, tingkat kematangan otak dalam bidang anatomi, fisiologi dan biokimiawi otak ( Lumbantobing,2007).Tahap perkembangan otak dibagi menjadi 6 fase, neurulasi, perkembangan prosensefali, proloferasi neuron, organisasi dan mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai pada fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun sampai pascanatal. Sehingga kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang terutama fase perkembangan organisasi meliputi: diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, pencocokan, orientasi, dan peletakan neuron pada korteks, pembentukkan cabang neurit dan dendrit, pemantapan kontak di sinapsis, kematian sel terprogram, proliferasi dan diferensiasi sel glia. Pada proses diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, terjadi diferensiasi neurotransmitor eksitator dan inhibitor. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan inhibitor. Pada proses pembentukkan cabang-cabang akson ( dendrit dan neurit ) serta pembentukan sinapsis, terjadi kematian sel terprogram dan plastisitas.Terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak terpakai. Sinapsis yang dieleminasi sekitar 40%. Proses ini disebut regeresif.Sel neuron yang tidak terkena proses kematian program bahkan terjadi pembentukan sel baru disebut palstisitas. Proses tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun. Apabila masa proses regresif terjadi bangkitan kejang demam dapat mengakibtakan trauma pada sel neuron sehingga mengakibatkan modifikasi proses regresif. Apabila pada fase organisasi ini terjadi rangsangan berulang-ulang seperti kejang demam akan mengakibatkan aberran palstisity, yaitu penurunan fungsi GABA-ergic dan desensitisasi reseptor GABA dan serta sensitisasi reseptor esksitator. Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat sebgaai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Corticotropin realising hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di hipokampus berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostatis pada otak belum matang atau masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan usia, meningkatkan eksitabilitas neuron. Atas dasar uraian di atas, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut developtmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dibandingkan inhibitor sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang pada usia awal developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eskitabilitas neural dibandingkan anak yang mendapatkan serangan kejang demam pada usia akhir masa developmental window. Apabila anak mengalami stimulasi demam pada otak fase ekstabilitas akan mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari 2 tahun ( Soetomenggolo, 2007 ).Umur dapat menentukan kemungkinan terjadinya penyakit tartentu sepanjang jangka hidup. Kerentanan terhadap infeksi berubah, bayi sangat rentan terhadap infeksi, lahir dengan hanya memiliki anti body dari ibu, sistem imunimatur bayi belum mampu menghasilkan immunoglobulin yang diperlukan. Kejang demam merupakan kelainan neorologis yg paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak 6 bulan sampai 5 tahun ( Ngastiyah 2007 ). Pada penelitian yang dilakukan oleh Lennox Buchthal didapatkan sebagian besar kejang demam yaitu 83,5% terjadi pada usia 0 bulan sampai 2 tahun dan 16,5 % terjadi pada usia diatas 2 tahun sampai 5 tahun ( Lumbantobing,2007).b. Faktor suhu tubuh. Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai diatas 37,8C aksila atau 38C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan ekstabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15% sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus skreb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi, hal ini akan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkanmasuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Selain itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu ( Abdoerrachman, 2007).Friedrichsen dan Melchior dalam penelitiannya membagi anak yang demam dalam 2 kelompok yaitu yang mempunyai suhu dibawah 39C dan yang di atasnya. Didapatkannya bahwa insiden kejang demam pada kelompok anak demam yang bersuhu dibawah 39C adalah 24% dan di atas 39C adalah 64%. Tingginya suhu tubuh pada keadaan demam sangat berpengaruh terjadinya bangkitan kejang demam karena pada suhu tubuh yang tinggi dapat meningkatkan metabolisme tubuh sehingga terjadi perbedaan potensial membran di otak yang akhirnya melepaskan muatan listrik dan menyebar ke seluruh tubuh ( Lumbantobing,2007).Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam mempunyai peranan untuk terjadi perubahan potensial membran dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang kejang memudahkan untuk timbul bangkitan kejang demam.c. Faktor riwayat keluargaTsuboi melaporkan penelitian terhadap 32 pasang anak kembar dan 673 kasus bersaudara kandung, didapatkan tingkat kesesuaian 56% pada monozigot dan 14% pada kembar dizigot. Pewarisan multifaktorial lebih banyak muncul pada kebanyakan keluarga, dan hanya sedikti yang melalui autosomal dominan. Walaupun demikian tsuboi mungkin sekali terdapat suatu sub kelompok anak yang mempunyai cara pewarisan autosomal dominan untuk kejang demam. Untuk mengetahui jenis gen dan linkage yang berpengaruh pada kejang demam amak perlu terlebih dahulu diketahui bebrapa sindrom yang terkait dengan kejang demam, karena masing-masing sindroma memiliki jenis mutasi gen yang berbeda.Mekanisme peranan faktor riwayat keluarga pada terjadinya kejang demam terutama disebabkan oleh adanya mutasi gen-gen tertentu yang mempengaruhi esktabilitas ion-ion pada membran sel. Mekanisme yang mempengaruhi peristiwa tersebut sangat kompleks. Secara teoritis defek yang diturunkan pada tiap-tiap gen pengkode protein yang menyangkut ekstabilitas neuron dapat mencetuskan bangkitan kejang (Lumbantobing,2007). Penelitian yang dilakukan oleh lumbantobing mendapatkan hasil bahwa 20-25% penderita kejang demam mempunyai riyawat keluarga yang juga pernah menderita kejang demam.d. Faktor usia saat ibu hamilMenurut Soetomenggolo(2007), usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan, komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi dan eklampsia, sedangkan ggangguan pada persalinan adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.e. Lama demam sebelum kejang. Makin pendek jarak antar mulainya demam dengan terjadinya kejang demam, makin besar risiko berulangnya kejang demam.

6. Manifestasi Klinis Menurut Sujono (2009) manifestasi klinis yang muncul pada penderita kejang demam adalah :a. Suhu tubuh anak lebih dari 38C.b. Timbul kejang yang bersifat tonik-klonik, klonik, fokal atau akinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persyarafan.c. Terjadi penurunan kesadaran.Sedangkan menurut Arief Mansjoer ( 2008 ) umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral. Kejang yang lain juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.Abdoerrachman (2007) mengklasifikasikan kejang demam menjadi:a. Kejang demam sederhana ( simple febrile seizures )Merupakan kejang demam dengan karakteristik:1) Kejang demam yang berlangsung singkat, umumnya serangan akan berhenti sendiri dalam waktu kurang dari 15 menit.2) Bangkitan kejang tonik atau tonik-klonik, tanpa gerakan fokal.3) Kejang akan terjadi dengan peningkatan suhu 37,8 0C sampai dengan 38 0C. 4) Tidak berulang dalam waktu 24 jam, atau hanya terjadi sekali dalam 24 jam.5) Keadaan nurologi normal dan setelah kejang juga tetap normal.6) EEG ( electro enchephalography-rekaman otak ) yang dibuat setelah tidak demam adalah normal.b. Kejang demam kompleks ( complex febrile seizures )Merupakan kejang demam dengan karakteristik:1) Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit.2) Kejang fokal (parsial satu sisi), atau kejang umum didahului kejang parsial lebih dar 1 kali dalam 24 jam.3) Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam dengan suhu dengan ambang kejang tinggi yaitu pada suhu 40 0C.7. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium 1) Pemeriksaan darah perifer ( tepi ) lengkap2) Elektrolit3) Glukosa darah4) Kalsium serum5) Urinalisis6) Biakan darah, urin, atau feses (tinja).b. Pemeriksaan Lumbal 1) Jika bayi < 12 bulan, sangat dianjurkan dilakukan pungsi lumbal karena gejala meningitis sering tidak jelas.2) Jika bayi antara 12-18 bulan, dianjurkan pungsi lumbal kecuali pasti bukan meningitis.3) Jika bayi > 18 bulan, tidak rutin. Bila pasti bukan meningitis, pungsi lumbal tidak dianjurkan.c. Elektro Pemeriksaan foto kepala, CT Scan dan/ atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Indikasi pemeriksaan CT Scan dan MRI:1) Dijumpai kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis).2) Ada riwayat dan tanda klinis trauma kepala.3) Kemungkinan terdapat lesi struktural di otak (mirosefali, spastik).4) Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior menonjol, paresis saraf otak VI, edema papil) ( Arief Mansjoer, 2008).8. Komplikasi Komplikasi tergantung pada :a. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluargab. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita demam kejangc. Kejang berlangsung lama atau kejang tikalBila terdapat paling sedikit 2 atau 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13 % dibandingkan bila hanya 1 atau tidak ada sama sekali faktor tersebut. Serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja. Hemiparesis biasanya terjadi pada klien yang mengalami kejang lama ( berlangsung lebih dari 30 menit) ( Ngastiyah, 2007).Dari suatu penelitian, demam kejang sederhana menyebabkan kelainan pada IQ tetapi pada klien demam kejang yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologist akan didapat IQ yang lebih rendah disbanding dengan saudaranya, jika demam kejang diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar. Demam kejang yang beralngsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsy.( Ngastiyah, 2007).9. PenatalaksanaanMenurut Sujono Riyadi (2009)a. Penatalaksanaan di rumah sakit.1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan dengan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, di atas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan dosis pemberian maksimal 5 mg pada anak yang kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang sama, Apabila masih kejang maka tunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskuler.2) Pembebasan jalan nafas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi endotrakel atau trakeostomi.3) Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jam perlu dilakukan, karena pada penderita yang berisiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial juga pemberian cairan yang mengandung natrium ( Na Cl ) perlu dihindari. Kebutuhan cairan rata-rata untuk anak terlihat pada tabel sebagai berikutTabel 3Kebutuhan cairan pada anakUmurBB kgKebutuhan CairanKg BB

0-3 hari3150

3-10 hari3,5125-150

3 bulan5140-160

6 bulan7135-155

9 bulan8125-145

1 tahun9120-135

2 tahun11110-120

4 tahun16100-110

6 tahun2085-100

10 tahun2870-85

14 tahun3550-60

5) Pemberian kompres air hangat untuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan metode konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat yang tinggi ke derajat yang lebih rendah. Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti anyaman kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan pemebrian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 kali pemberian.6) Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi odema otak seperti deksametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik. Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan cara menaikkan tempat tidur bagian kepala lebih kurang 15 derajat.7) Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan 1 tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan teknik pemberian intramuskuler.b. Penatalaksanaan di rumah.1) Saat anak mengalami kejang demam, letakkan anak di lantai atau tempat tidur. Jauhkan semua benda yang keras, tajam, yang bisa membahayakan atau dapat menimbulkan luka.2) Jangan memasukkan atau menaruh apapun ke dalam mulut anak, misalnya jari tangan, sendok ataupun yang lain.3) Jangan menguncang-guncang atau berusaha membangunkan anak .4) Bila anak sudah berhenti kejang, miringkan tubuh anak atau palingkan kepalanya ke salah satu sisi sehingga saliva atau muntah dapat mengalir keluar dari mulut.5) Bila kejnag berlangsung lebih dari lima menit, penanganan gawat darurat harus dilakukan segera untuk mengehntikan kejang. Bila perlu panggil petugas medis untuk memberikan penanganan tersebut atau bawa anak ke rumah sakit ataupu pusat kesehatan masyarakat terdekat.10. Pencegahan Untuk mencegah terjadinya kejang demam dan komplikasinya, dapat diberikan fenobarbital serta fenitoin dengan indikasi khusus yang dapat diberikan 2 tahun bebas kejang atau sampai usia 6 tahun. Jika anak sudah diketahui mempunyai riwayat kejang demam, hindarkan anak dari penyebab-penyebab yang memungkinkan demam, hindarkan juga anak dari anggota keluarga yang sedang demam, misalnya influenza. Memberikan imunisasi yang lengkap merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi resiko sakit. Jika anak mengalami demam, sesegera mungkin berikan obat penurun panas untuk mencegah kemungkinan terjadinya kejang ( Tejani, 2010 ).B. Kerangka Konsep Kerangka konsep pada suatu penelitian pada dasarnya adalah gabungan atau menghubungkan bebrapa teori sehingga membentuk sebuah pola pikir atau kerangka pikir penelitian yang akan dilakukan, lazimnya berbentuk skema ( Suyanto, 2011 ).Untuk mengetahui bagaimana hubungan umur dengan kejang demam di ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara, maka peneliti membuat kerangka konsep yang dapat digambarkan sebagai berikut :Bagan 1Variabel Penelitian

Faktor kejang demam1. Umur2. Suhu Tubuh

Variabel IndependentVariabel dependent Kejang demam

3. Riwayat keluarga4. Usia ibu saat hamil5.Lama demam

Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti

C. Hipotesis 1. Ada hubungan antara umur dengan kejadian kejang demam pada balita yang dirawat di ruang melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011.2. Ada hubungan anatara suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita yang dirawat di ruang melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011.

BAB IIIMETODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah keseluruhan dari perencanaan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan mengantisipasi beberapa kesulitan yang mungkin timbul selama proses penelitian (Nursalam, 2008)Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analitik dengan rancangan cross sectional, dimana variabel sebab (umur dan suhu tubuh) dan variabel akibat (kejang demam) diukur dan dikumpulkan secara simultan atau dalam waktu yang bersamaan (Nursalam, 2008). Penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan umur dengan kejadian kejang demam di ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011. B. variabel penelitianVariabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain ( Notoatmodjo,2010).1. Variabel independenVariabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi variabel dependen, (Prof.DR.Elfindri,2011). Variabel independen pada penelitian ini adalah umur dan suhu tubuh balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga Makmur.2. Variabel dependenVariabel dependen (variabel terikat) adalah variabel yang berubah karena variabel bebas ((Prof.DR.Elfindri,2011). Variabel dependen pada penelitian ini adalag kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD Arga Makmur .C. Defenisi OperasionalDefinisi operasional adalah batasan yang harus dibuat oleh peneliti dalam istilah yang operasional sehingga untuk mengarahkan kepada pengukur atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument (alat ukur), (Notoadmodjo,2010).Tabel 4Defenisi OperasionalNoVariabelDefinisi OperasionalAlat ukurCara UkurHasil UkurSkala Ukur

1Umur

Umur adalah usia responden yang dihitung dalam tahun mulai dilahirkan sampai ulang tahun terakhir yang tertulis dalam register/status pasien.Cheklistobservasi1 : < 2 tahun (developmental window) 0 : 2 tahun 5 tahunordinal

2Suhu tubuhSuhu tubuh adalah hasil pengukuran derajat panas (kalor) tubuh pasien pada hari pertama di rawat yang tertulis di status pasien.Cheklistobservasi1 : 39 0 C0 : < 39 0 C

Ordinal

3Kejang demamVariabel dependent Kejang demam bangkitan kejang yang terjadi pada suhu 37,8C atau lebih yang ditandai dengan pergerakan tonik,klonik yang tertulis pada status pasien.Cheklistobservasi1 : Kejang demam 0 : Tidak kejang demam

nominal

D. Populasi dan Sampel1. PopulasiPopulasi dalam penelitian adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan ( Nursalam, 2008 ). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang dirawat karena demam dengan kejang demam maupun yang demam tanpa kejang demam di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011 yang berjumlah 70 balita . 2.Sampeladalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling ( Nursalam, 2008 ). Sedangkan sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada. Menurut Prof. Dr Sunarsini Arikunto prosedur penelitian (2007), cara menentukan sampel, yaitu: a) Jika jumlah subjeknya kurang dari 100, lebih baik sampel diambil semua b) Jika jumlah subjeknya besar, dapat di ambil antara 10-15 % dan 20-25%. Penetapan sampel pada penelitian ini berdasarkan teknik total sampling,dimana sampel diambil secara keseluruhan dari total populasi yaitu sebanyak 70 balita.D. Tempat dan waktu penelitian1. TempatTempat penelitian ini dilakukan di ruang Melati RSUD Arga Makmur.2. Waktu Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 2 Maret 20 Juni 2012.E. Teknik Pengumpulan Data1. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder (untuk memperoleh data umur, suhu tubuh, dan kejang demam ). 2. Cara Pengumpulan DataData dikumpulkan dengan cara melihat status pasien dan buku register di ruang Melati RSUD Arga Makmur 2011.3.Instrument pengumpulan dataAlat yang digunakan untuk mengumpulkan data ini adalah dengan menggunakan format pengumpulan data. F. Teknik Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data1. Teknik pengolahan data Untuk memperoleh pengolahan data dlakukan teknik teknik pengolahan data sebagai berikut : a. Editing ( Pengeditan data )Langkah ini dilakukan peneliti untuk memeriksa kembali kelengkapan data yang diperlukan untuk mecapai tujuan penelitian maka dilakukan pengelomokkan dan penyusunan data. b. Koding ( Pengkodean )Coding adalah mengalokasikan jawaban jawaban yang ada menurut macamnya kedalam bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode kode agar lebih muda dan sederhana. 1) Kejang demam: 1Tidak kejang demam: 02) Umur < 2 tahun: 1Umur 2 tahun 5 tahun : 03) Suhu Tubuh 39 C: 1 Suhu Tubuh < 39 C: 0c. Tabulating ( tabulasi data ) Tabulasi yaitu melakukan tabulasi dari data yang diperoleh dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi d. Entri dataData yang telah dikelompokkan kemudian dimasukkan kedalam program statistic computer ( SPSS ).e. Cleaning Data yang sudah benar benar tidak ada kesalahan dilanjutkan dengan pengujian data dengan menggunakan uji statistik.2. Analisa DataData di analisis secara :a. Analisa UnivariatAnalisa univariat yaitu seluruh variabel yang akan digunakan kemudian ditampilkan ke dalam distribusi frekuensi dari masing masing variabel dengan menggunakan rumus :

FP = x 100% NKeterangan : P : Persentase yang ingin dicariF: Jumlah frekuensi dari setiap alternative jawabanN: Jumlah sample / respondenb. Analisa BivariatAnalisa Bivariat adalah analisa yang digunakan untuk melihat hubungan antara umur dan suhu tubuh dengan kejang demam dengan menggunakan uji statistic menggunakan rumus Chi-Square ( X2 ) dengan tingkat kepercayaan 95 % atan = 0,05. Aturan yang berlaku pada Chi-Square adalah sebagai berikut :1) Bila pada tabel 2 x 2 dijumpai nilai E ( harapan ) kurang dari 5, maka uji yang digunakan adalah fisher exact2) Bila pada tabel 2 x 2 dan tidak ada nilai E < 5, maka uji yang pakai adalah Continuity Corection3) Bila pada tabel lebih dari 2x2 misalnya 3 x 2, 3 x 3 maka digunakan uji Pearson Chi SquareKeterangan :X: Chi Squaren: Jumlah sampelA,B,C,D: Nilai Observasi3. Kriteria pengujian Hasil perhitungan diterjemahkan apabila X2 hitung > X2 tabel atau < = 0,05 maka hipotesis diterima berarti hasil uji bermakna sehingga ada Hubungan Umur Dan Suhu Tubuh Dengan Kejang Demam di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011. Akan tetapi jika X2 hitung < X2 tabel atau > = 0,05 maka hipotesis ditolak sehingga tidak menyatakan adanya hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejang demam. 4. Teknik Penyajian Data Setelah dianalisa, data data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan narasi, kemudian diinterpretasikan.

BAB IVHASIL PENELITIAN

A. Gambaran RSUD Arga MakmurRSUD Arga Makmur merupakan rumah sakit tipe C yang beralamatkan di jalan Siti Khadijah nomor 8 kecamatan Arga Makmur Bengkulu Utara.Jumlah ketenagaan RSUD Arga Makmur berjumlah 365 orang yang terdiri dari dokter spesialis 9 orang, dokter umum 8 orang,dokter gigi 1 orang, Strata 2 6 orang, strata 1 73 orang, Diploma IV 7 orang, Diploma III 168 orang, Diploma 1 2 orang , SLTA 79 orang ,SLTP 6 orang dan SD 6 orang. Saat ini RSUD Arga Makmur memiliki 8 unit rawat inap yang terdiri dari ruang bedah, ruang penyakit dalam, ruang anak, ruang Jamkesmas, ruang isolasi, ruang kebidanan, ruang VIP, ruang VVIP dan ruang ICU. Selain itu RSUD memiliki instalasi gawat darurat ( IGD ), instalasi laboratorium, instalasi radiologi, ruang operasi dan instalasi rawat jalan yang terdiri dari poli umum, poli anak, poli penyakit dalam, poli paru, poli kulit, poli syaraf, dan poli kandungan .B. Jalannya PenelitianPelaksanaan penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Pada saat persiapan meliputi kegiatan konsultasi dengan pembimbing, studi pustaka untuk menentukan acuan penelitian, menyiapkan instrumen penelitian dan mengurus surat izin penelitian dari institusi pendidikan dan tempat penelitian.Tahap pelaksanaan, peneliti melakukan pengumpulan data penelitian yang dilakukan tanggal 11 s.d 13 Juni 2012 dengan mengumpulkan data sekunder yaitu berupa data yang diambil dari status pasien yang berjumlah 70 pasien selama penelitian. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan data secara univariat dan bivariat yang kemudian hasilnya diinterpretasikan.C. Hasil PenelitianPenelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011.1. Analisa UnivariatAnalisa ini dilakukan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan masing-masing variabel yang diteliti baik independen (umur dan suhu tubuh) maupun variabel dependen ( kejadian kejang demam). Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan hasil sebagai berikut :Tabel 5Distribusi Frekuensi Umur Balita di Ruang MelatiRSUD Arga Makmur Tahun 2011.NoUmur FrekuensiPresentase ( % )

1< 2 tahun3854,28 %

22 5 Tahun3245,72 %

Jumlah70100 %

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 70 balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011 umur < 2 tahun berjumlah 38 balita ( 54,28 % ) dan umur 2 5 tahun berjumlah 32 balita ( 45,72 % ).Tabel 6Distribusi Frekuensi Suhu Tubuh Balita di Ruang Melati RSUDArga Makmur tahun 2011.NoSuhu Tubuh FrekuensiPresentase ( % )

1 39 C3347,14 %

2< 39 C3752,86 %

Jumlah 70100 %

Tabel 6 menunjukkan bahwa dari 70 balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011 suhu tubuh 39C berjumlah 33 balita ( 47,14 % ) dan suhu tubuh < 39C berjumlah 37 balita ( 52,86 % ).Tabel 7Distribusi Frekuensi Kejadian Kejang Demam Balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011.NoKejadian Kejang DemamFrekuensiPersentase

1Kejang demam 3245,7 %

2Tidak kejang demam3854,3 %

Jumlah 70100%

Tabel 7. menunjukkan bahwa dari 70 balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011 kejang demam berjumlah 32 balita ( 45,7 % ) dan tidak kejang demam berjumlah 38 balita ( 54,3 % ).

2. Analisa BivariatAnalisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen ( umur dan suhu tubuh ) dan variabel dependen ( kejadian kejang demam ) yaitu menggunakan analisis Chi-Square dengan derajat kepercayaan 95% ( = 0,05) adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:Tabel 8.Hubungan Umur Dengan Kejadian Kejang Demam Pada Balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011.

NoUmurKejang DemamTidak Kejang DemamTotalX2POR

N%N%N%

1< 2 Tahun2332,851521,433854,286,101

0,014

3,9

22 - 5 Tahun912,862332,863245,72

Jumlah3245,713854,2970100

Berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa balita dengan umur < 2 tahun yang mengalami kejang demam yaitu 23 balita ( 32,85% ) dan yang tidak mengalami kejang demam yaitu 15 balita ( 21,43 ). Balita dengan umur 2-5 tahun yang mengalami kejang demam yaitu 9 balita ( 12,86 % ) dan yang tidak mengalami kejang demam yaitu 23 balita ( 32,86% ).Selanjutnya berdasarkan uji Chi-Square didapat X2 hitung :6,101 > X2 tabel : 3,481 nilai = 0,014 karena nilai < 0,05 pada taraf signifikansi 5% ( = 0,05) sehingga hipotesis diterima dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011. OR 3,9 artinya balita usia kurang dari 2 tahun mempunyai resiko mengalami kejang demam 3,9 kali lebih besar dibandingkan dengan balita usia lebih dari 2 tahun sampai 5 tahun. Tabel 9.Hubungan Suhu tubuh Dengan Kejadian Kejang Demam Pada Balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011.

NoSuhu TubuhKejang DemamTidak Kejang DemamTotalX2POR

N%N%N%

1 39C2332,851014,293347,1412,69

0,000

7,15

2< 39C912,8628403752,86

Jumlah3245,713854,2970100

Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa balita yang mengalami kejang pada suhu tubuh 39C yaitu 23 balita ( 32,85% ) dan pada suhu tubuh X2 tabel : 3,481 nilai = 0,000 karena nilai < 0,05 pada taraf signifikansi 5% ( = 0,05) sehingga hipotesis diterima dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011. OR 7,15 artinya balita dengan suhu tubuh 39C mempunyai resiko mengalami kejang demam 7,15 kali lebih besar dibandingkan dengan balita dengan suhu tubuh < 39C.

D. Pembahasan1. Hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD Arga Makmur kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011.Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 23 balita ( 32,85% ) yang berumur < 2 tahun menderita kejang demam dan yang tidak menderita kejang demam 15 balita ( 21,43% ). Sedangkan untuk balita yang berumur 2-5 tahun yang menderita kejang demam sebanyak 9 balita ( 12,86% ) dan yang tidak menderita kejang demam sebanyak 23 balita ( 32,85% ). Selanjutnya dari hasil analisis chi- square diperoleh X2 Hitung : 6,101 > X2 tabel : 3,481 nilai = 0,014 karena nilai < 0,05 pada taraf signifikansi 5% ( = 0,05) sehingga hipotesis diterima dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011. Pada penelitian ini diketahui sebagian besar kejadian kejang demam terjadi pada usia < 2 tahun sebanyak 23 balita ( 32,85% ). Hal ini sesuai dengan pendapat Nadirah ( 2011 ) yang mengatakan bahwa resiko tertinggi untuk terjadi bangkitan kejang demam adalah pada anak usia dibawah 2 tahun sebanyak 50 %, sedangkan resiko terjadinya bangkitan kejang demam pada usia 2-5 tahun hanya 28%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lennox Bucthal yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi bangkitan kejang demam pada balita didapat hasil sebagian besar yaitu 83,5% terjadi pada usia 0 sampai 2 tahun dan 16,5% terjadi pada usia diatas 2 tahun sampai 5 tahun. Sedangkan penelitian oleh Prasojo Nugroho yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi kejang demam pada anak di RSUD Purworejo tahun 2010 didapatkan hasil sebagian besar kejang demam terjadi pada usia < 17 bulan ( 58,9 % ). Pada keadaan otak belum matang, reseptor asam glutamat baik ionotropik meliputi NMDA, AMPA dan KA maupun metabopropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang ekstitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Corticotropin Realising Hormon ( CRH ) merupakan neuropeptid eksitator , berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang demam apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostatis pada otak belum matang dan masih lemah. Hal ini akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur. Masa perkembangan otak yaitu pada waktu anak berumur kurang dari 2 tahun. Sehingga anak yang berumur dibawah 2 tahun mempunyai resiko bangkitan kejang demam ( Soetomenggolo, 2007 ). Sedangkan untuk umur diatas 2-5 tahun bangkitan kejang demam bisa disebabkan oleh karena faktor riawayat keluarga. Lumbantobing ( 2007 ) mengatakan 20-25% penderita kejang demam mempunyai keluarga dekat ( orang tua dan saudara kandung ) yang juga pernah menderita kejang demam.2. Hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD Arga Makmur kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011.Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian kejang demam pada balita terjadi pada suhu 39C sebanyak 23 balita ( 32,85% ) . Selanjutnya dari hasil analisis chi- square diperoleh didapat X2 Hitung : 12,699 > X2 tabel : 3,481 nilai = 0,000 karena nilai < 0,05 pada taraf signifikansi 5% ( = 0,05) sehingga hipotesis diterima dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011. Hal ini sesuai dengan pendapat Abdoerrachman ( 2007 ) yang mengatakan bahwa kejang demam disebabkan oleh demam yang semakin tinggi, yakni suhu tubuh mencapai diatas 38C. Pada penelitian yang dilakukan oleh Prasojo Nugroho ( 2010 ) didapat bahwa bangkitan kejang demam terjadi pada suhu rata-rata mencapai 38,8C. Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Pada penelitian ini kami mengambil batas tinggi demam 39C sebagai rata-rata. Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan ekstabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15% sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus skreb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi, hal ini akan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkanmasuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Selain itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu ( Abdoerrachman, 2007).Sedangkan suhu dibawah 39C terjadi bangkitan kejang demam bisa disebabkan oleh lamanya demam dan cepatnya suhu menaik. Penelitian yang dilakukan oleh wegman mendapatkan bila anak kucing diberikan kenaikan suhu yang cepat maka serangan kejang sering terjadi. BAB VKESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang Melati RSUD Arga Makmur kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :1. Dari 70 balita, sebagian besar mengalami kejang demam yaitu sebanyak 32 balita .2. Dari 70 balita yang mengalami kejang demam umur < 2 Tahun yaitu 23 balita .3.Dari 70 balita yang mengalami kejang demam pada suhu tubuh 39 0C yaitu sebanyak 23 balita.4. Terdapat hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011. Semakin muda usia balita maka semakin tinggi resiko untuk menderita kejang demam.5. Terdapat hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011. Semakin tinggi suhu tubuh balita maka semakin tinggi resiko untuk menderita kejang demamB. Saran1. Bagi Rumah Sakit.Diharapkan perawat dapat memberikan penyuluhan kepada orang tua balita tentang penanganan kejang demam karena pada balita sangat rentan untuk terjadi kejang demam. 2. Institusi Pendidikan.Diharapkan dapat melengkapi referensi tentang kejang demam pada perpustakaan D-3 Keperawatan Universitas Ratu Samban Arga Makmur. 3. Bagi Peneliti selanjutnyaPeneliti lain hendaknya dapat mengembangkan penelitian ini dengan meneliti variabel lain seperti faktor riwayat keluarga, lama kejang dan faktor lainnya .

.