HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PENGELOLAAN LIMBAH …
Transcript of HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PENGELOLAAN LIMBAH …
i
i
HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PENGELOLAAN LIMBAH
DENGAN INDIKATOR ANGKA KEPADATAN LALAT DI RUMAH
POTONG UNGGAS KOTA DEPOK TAHUN 2018
SKRIPSI
“Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KESEHATAB MASYARAKAT”
Oleh:
Saffanah Nuriyah
NIM : 11141010000061
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Saffanah Nuriyah, NIM : 11141010000061
Hubungan Sanitasi Lingkungan Pengelolaan Limbah dengan Indikator
Angka Kepadatan Lalat di Rumah Potong Unggas Kota Depok Tahun 2018
ABSTRAK
Angka kepadatan lalat yang tinggi disuatu tempat dapat menyebabkan
masalah kesehatan pada pemukiman di sekitar tempat tersebut. Salah satu tempat
yang keberadaan lalatnya perlu dikendalikan ialah Rumah Potong Unggas (RPU).
Sanitasi yang buruk serta perilaku pengelolaan limbah yang kurang baik dapat
menjadikan RPU sebagai tempat perkembangbiakan dan sumber makanan bagi
lalat didukung pula dengan faktor lingkungan seperti kelembaban dan suhu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan sanitasi
lingkungan pengelolaan limbah dengan indikator angka kepadatan lalat di
Rumah Potong Unggas (RPU) Kota Depok Tahun 2018. Desain penelitian yang
digunakan adalah cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan
ialah total sampling sehingga sampel diambil sebesar 12 RPU. Penelitian ini
menggunakan metode pengumpulan data primer berupa observasi, wawancara dan
pengukuran. Waktu penelitian dilaksakan pada Juli - September 2018.
Hasil penelitian terhadap angka kepadatan lalat tinggi ialah 66,7%. Hasil
analisis uji statistik menunjukan bahwa terdapat variabel yang berhubungan
dengan angka kepadatan lalat yakni ketersediaan tempat sampah (p value 0,015)
dan sanitasi tempat potong (p value 0,010) . Serta beberapa variabel yang tidak
berhubungan yakni perilaku pengelolaan limbah, ketersediaan SPAL, suhu dan
kelembaban (p value > 0,005).
Berdasarkan hasil tersebut pengelola RPU disarankan untuk menyediakan
tempat sampah yang sesuai standar, melakukan desinfektan, lebih bertanggung
jawab dalam pengelolaan limbah dan sanitasi lingkungan serta memperbaiki
kondisi bangunan RPU. Pihak Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan
pun diharapkan melakukan pembinaan dan pelatihan mengenai pengelolaan
limbah dan sanitasi lingkunga dan berkoordinasi dengan puskesmas setempat
dalam terkait kesehatan lingkungan.
Kata Kunci : Angka Kepadatan Lalat, Sanitasi Lingkungan, Pengelolaan Limbah,
Rumah Potong Unggas
iii
STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA SYARIF HIDAYATULLAH
FACULTY OF HEALTH SCIENCE
PUBLICH HEALTH STUDY PROGRAM
Saffanah Nuriyah, NIM : 11141010000061
Correlation Environmental Saniation of Waste Management with Indicator
of Fly Density in Poultry Abattoir Depok City 2018
The number of high fly density in one place can cause health problem in
settlements around the place. Poultry Abattoir is place that need to be contrrolled
the density of the fly. Poor environmental sanitation and waste management are
can cause breeding place and food source of fly and also supported by
environmental factor such as temperature and humidity.
This study aims to determine the relationship of the environmental
sanitation and waste management by the indicator of fly densities in poultry
abattoirs Depok City 2018. The study used is cross se sectional design. Sample
technique in this study is total sampling so sample in this study is 12 poultry
abattoirs. The methods used to collect the primary data such as interview,
observation and measurement. The research was conducted from June to August
2018.
The result of high fly densities is 66,7%. Statistical analysis show the
garbage dump (p value 0,015) and sanitation of abattoirs(p value 0,010) related
to fly densities. As well as some of the variables that are not related the waste
management, sewerage, temperature and humidity (p value > 0,005) are not
related with fly densities.
According to result, manager of poultry abattoirs advised to be more
responsible in waste management and environmental sanitation. Departemen of
food security, agriculture and fisheries is also expected to coaching and training
regarding waste management and environment sanitation and coordinate to local
health centre regarding environment health
Keyword : Fly Density, Environmental Sanitaion, Waste Management, Poultry
Abattoir
iv
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakart
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islar.n Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Oktober
2018
I
Saffanah Nuriyah
·
v
v
\
vi
vi
vii
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Saffanah Nuriyah
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 16 April 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Citra Gran Blok E 17 no. 10 Kelurahan Jatikarya
Kecamatan Jarisampurna Kota Bekasi
No. Hp : 089613022163 / 081212003334
Email : [email protected]
Fakultas/Jurusan : Fakultas Ilmu Kesehatan / Kesehatan Masyarakat
Riwayat Pendidikan
1. SDI Al-Azhar Syifa Budi Cibubur Cileungsi 2002-2008
2. SMPIT Al-Manar Azhari Islamic Boarding School 2008-2011
3. MAN 4 Jakarta 2011-2014
4. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014-sekarang
Riwayat Organisasi
1. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komfakkes
Cab Ciputat 2014– Sekarang
2. Volunteer Greenpeace Youth Indonesia 2015 – 2016
3. Centre for Primary Respon (CPR)
FKIK UIN Jakarta 2015 – 2016
viii
viii
4. Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA)
FKIK UIN Jakarta 2015 – 2017
5. KOPRI PMII Cabang Ciputat 2016 – 2017
6. ENVIHSA UIN Jakarta 2016 – 2017
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan nikmat, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “ Hubungan Sanitasi Lingkungan
Pengelolaan Limbah dengan Indikator Angka Kepadatan Lalat di Rumah Potong
Unggas Kota Depok Tahun 2018”
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Orang tua serta adik-adik penulis yang selalu mendukung secara moril
maupun material
2. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen
pembimbing yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini
3. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Pihak Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota Depok
terutama untuk Bapak Jarkasih yang telah memberikan data dan izin dalam
pelaksanaan penelitian ini.
5. Ibu Meliana, Ibu Rahmah dan Bapak Suharno selaku penguji yang telah
memberikan waktunya untuk menguji dan memberikan saran yang
membangun kepada penulis
x
x
6. Umi Ela dan Abi Mukhlis selaku orang tua kedua selama Aliyah yang selalu
mendukung dan mendoakan penulis
7. Teman-teman seperbimbingan Annisa Fitriana dan Rifqi Zakiyah yang selalu
memberikan semangat
8. Teman-teman Kesehatan Lingkungan angkatan tahun 2014; Anin, Siska,
Fathiyah, Ridho, Ita, Dwi, Nurul, Sarah, Annisa D, Julius, Maul, Nindy,
Fillah, Anya, Zaujah, Wulan, Ririn
9. Teman-teman Kesehatan Masyarakat angkatan tahun 2014 terutama Hana,
Sofy, Cindy dan Dinda yang selalu memberikan semangat dan saran kepada
penulis
10. Teman-teman DEMA khususnya Departement P2K 2016 dan Keilmuaan
2017 yaitu Farah, Icha, Ayu, Debi dan John
11. Teman-teman di kehidupan remaja penulis yaitu Nadia, Niki, Naja Tia,
Dhira,Ira, Sume.Sakina,Shally dan Muti
12. Bagus Riyadi yang telah menemai dan membantu dalam tindakan dan doa
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Dengan
segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam
penulisan. Sehingga, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang
bersifat membangun sehingga proposal ini dapat menjadi lebih baik.
Jakarta, Oktober 2018
Saffanah Nuriyah
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
ABSTRAK .................................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN ............................................................. v
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv
DAFTAR GRAFIK ..................................................................................... xvi
DAFTAR BAGAN .................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6
C. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 7
D. Tujuan ................................................................................................ 8
1. Tujuan Umum .............................................................................. 8
2. Tujuan Khusus ............................................................................. 8
E. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9
1. Bagi Pengelola Rumah Potong Unggas ........................................ 9
2. Bagi Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan ............. 9
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ............................................................. 9
F. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 12
A. Rumah Potong Unggas ................................................................... 12
1. Definisi Rumah Potong Unggas ............................................... 12
2. Penggolongan Rumah Potong Unggas ..................................... 13
3. Persyaratan Bangunan RPU ...................................................... 13
4. Proses Penyembelihan Halal ..................................................... 15
5. Limbah di Rumah Potong Unggas ............................................ 18
6. Pengelolaan Limbah .................................................................. 20
7. Sanitasi Lingkungan .................................................................. 23
B. Lalat................................................................................................. 26
1. Jenis Lalat ................................................................................. 26
2. Faktor Kepadatan ..................................................................... 34
3. Pengendalian Lalat .................................................................... 37
4. Pengukuran Kepadatan Lalat .................................................... 39
5. Indikator Angka Kepadatan Lalat ............................................. 41
xii
xii
C. Kerangka Teori................................................................................ 41
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS...................................................................................... 44
A. Kerangka Konsep ........................................................................... 44
B. Definisi Operasional........................................................................ 45
C. Hipotesis .......................................................................................... 49
BAB IV METODELOGI PENELITIAN ................................................... 50
A. Desain Penelitian ............................................................................ 50
B. Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 50
C. Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................... 50
1. Populasi .................................................................................... 50
2. Sampel ...................................................................................... 50
D. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ...................................... 51
1. Pengumpulan Data ................................................................... 51
2. Pengolahan Data ....................................................................... 51
E. Instrumen Penelitian ....................................................................... 52
1. Fly trap ...................................................................................... 52
2. Lembar Checklist ..................................................................... 53
3. Pedoman Wawancara ................................................................ 53
4. Thermohyrometer ...................................................................... 54
F. Validasi Instrumen .......................................................................... 54
G. Analisis Data ................................................................................... 55
1. Analisis Univariat...................................................................... 55
2. Analisis Bivariat ........................................................................ 55
BAB V HASILPENELITIAN ................................................................... 57
A. Gambaran Wilayah Penelitian ........................................................ 57
1. Rumah Potong Unggas .............................................................. 57
2. Letak Geografis ........................................................................ 58
B. Analisis Univariat ............................................................................ 59
1. Gambaran Angka Kepadatan Lalat .......................................... 59
2. Gambaran Perilaku Pengelolaan Limbah .................................. 61
3. Gambaran Sanitasi Lingkungan ............................................... 63
4. Gambaran Fakotor Lingkungan ................................................ 67
C. Analisis Bivariat .............................................................................. 69
1. Hubungan Perilaku Pengelolaan Limbah dengan Angka Kepadatan
lalat ........................................................................................... 70
2. Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Angka
Kepadatan lalat ......................................................................... 71
xiii
xiii
3. Hubungan Faktor Lingkungan dengan Angka
Kepadatan lalat .......................................................................... 74
BAB VI PEMBAHASAN .......................................................................... 76
A. Keterbatasan Penelitian .................................................................. 76
B. Gambaran Angka Kepadatan Lalat ................................................ 76
C. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Perilaku
Pengelolaan Limbah ....................................................................... 80
D. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Sanitasi Lingkungan ............. 83
E. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Faktor Lingkungan .............. 90
F. Kajian Keislaman ........................................................................... 94
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 98
A. Simpulan ........................................................................................ 98
B. Saran ............................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 101
LAMPIRAN....................................................... ............................ 106
xiv
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Lama Waktu Lalat Berdasarkan Suhu ................................ 36
Tabel 3.1 Definisi Operasional .......................................................... 45
Tabel 4.1 Waktu Pengukuran Penelitian .......................................... 53
Tabel 5.1 Lokasi Penelitian ................................................................ 57
Tabel 5.2 Distribusi Rata-Rata Angka Kepadatan Lalat di RPU
Kota Depok ....................................................................... 60
Tabel 5.3 Distribusi Perilaku Pengelolaan Limban ............................ 61
Tabel 5.4 Distribusi Item Pertanyaan terkait Pengelolaan Limbah ... 62
Tabel 5.5 Distribusi Ketersediaan Tempat Sampah .......................... 63
Tabel 5.6 Distribusi Item Pertanyaan terkait Ketersediaan
Tempat Sampah ................................................................ 64
Tabel 5.7 Distribusi Ketersediaan SPAL ........................................... 60
Tabel 5.8 Distribusi Item Pertanyaan terkait Ketersediaan SPAL .... 65
Tabel 5.9 Distribusi Sanitasi Tempat Pemotongan Unggas ............... 66
Tabel 5.10 Distribusi Item Pertanyaan terkait Sanitasi Tempat
Pemotongan Unggas ......................................................... 66
Tabel 5.11 Distribusi Suhu ................................................................ 62
Tabel 5.12 Distribusi Kelembaban ................................................... 69
Tabel 5.13 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Perilaku
Pengelolaan Limbah .......................................................... 70
Tabel 5.14 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan
Tempat Sampah ............................................................... 71
xv
xv
Tabel 5.15 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan SPAL . 72
Tabel 5.16 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan
Sanitasi Tempat Potong ..................................................... 73
Tabel 5.17 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Suhu ..... 74
Tabel 5.18 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan
Kelembaban ....................................................................................... 75
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan
Waktu Pengukuran...... ....................................................................... 59
Grafik 5.2 Identifikasi Lalat............................................................... 61
Grafik 5.3 Tren Suhu......................................................................... 67
Grafik 5.4 Tren Kelembaban............................................................. 68
xvii
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori ...................................................................... 43
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................. 44
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Musca domestica ............................................................... 27
Gambar 2.2 Sarcophaga sp ................................................................... 28
Gambar 2.3 Chrysomya megacephala .................................................... 30
Gambar 2.4 Calliphora .......................................................................... 32
Gambar 2.5 Drosophila melanogaster ................................................... 33
Gambar 6.1 Contoh Pembuangan Bangkai Unggas ............................... 82
xix
xx
xx
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit menular berbasis lingkungan adalah salah satu masalah
kesehatan di dunia. Faktor yang menunjang munculnya penyakit berbasis
lingkungan antara lain ialah sanitasi yang buruk, pengelolaan limbah yang
buruk dan vektor penyakit (Purnama,2017). Salah satu vektor yang dapat
menularkan penyakit ialah lalat. Lalat termasuk anthrophoda yang
tergolong dalam ordo Diptera, subordo Cyclorrhapha dan anggotanya
terdiri atas lebih dari 116.000 spesies lebih di seluruh dunia. Terdapat
beberapa jenis famili yang dapat menularkan penyakit ialah Muscidae
(jenis lalat rumah, lalat kandang, tanduk), Calliphoridae (jenis lalat hijau),
Sarcophagidae (jenis lalat daging) (Komariah, dkk, 2010).
Penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat ialah penyakit disentri, diare,
typhoid dan kolera (Dewi,2007).Berdasarkan data WHO diare termasuk
kedalam penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Setiap tahun diare
menyebabkan kematian sebanyak 525.000 balita. Prevalensi diare klinis
di Indonesia adalah 3,5% dan Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang
prevalensi diare klinisnya diatas 3,5% yaitu 4,9% (Kemenkes,2013).Pada
tahun 2017, jumlah kasus diare di Kota Depok tertinggi kedua diantara
tujuh kota lainnya di Jawa Barat mencapai 37 690 kasus (BPS Jawa
Barat, 2017).
2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Manalu et al., 2012) angka
kepadatan lalat tinggi berhubungan dengan kejadian diare. Untuk penyakit
tifoid juga dinyatakan berhubungan jika angka kepadatan lalat tinggi
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Lestari and Nirmala, 2017)
Penularan penyakit tersebut mulai dari lalat hinggap di sumber makan
mereka seperti kotoran hewan atau manusia, makanan manusia dan
sebagai parasit dalam atau diluar tubuh hewan. Sehingga mikroorganisme
penyakit akan menempel pada kulit tubuh dan kaki-kaki lalat selanjutnya
lalat akan pada makanan yang akan di makan manusia (Dewi,2007).
Lalat dapat berkembang biak pada kotoran hewan terutama kotoran
hewan. Hal ini dikarenakan kotoran hewan tidak terlalu basah dan
teskturnya tidak padat. Selain itu lalat juga dapat berkembang biak pada
penumpukan sampah seperti limbah dari proses memasak, penumpukan
limbah organik (darah, tulang, daging hewan dll), saluran pembuangan air
limbah yang buruk juga dapat menghambat pembuangan limbah sehingga
lalat dapat berkembang biak di lumpur limbah cair dan limbah padat
organik yang tidak dapat terolah dengan baik Maka dari itu, angka
kepadatan lalat disuatu tempat dapat menjadi indikator kebersihan
(WHO,1986).
Selama dua dekade akhir ini, para ahli entomologis media lebih
tertarik mempelajari biologi dan ekologi lalat yang berada di peternakan,
peternakan unggas, rumah potong, peternakan sapi, tempat makan,
3
pabrik,penampungan sampah, dan pabrik pengelolaan limbah (Nurita et
al., 2008). Sedangkan, pada penelitian yang dilakukan oleh (Al-Shami et
al., 2016) yang dilakukan pada empat lokasi penghasil limbah organik
yaitu pada rumah potong, peternakan, supermarket dan pasar menyatakan
bahwa rumah potong adalah tempat yang paling tinggi angka kepadatan
lalat dibandingkan ketiga lokasi tempat penelitian lainnya. Pada penelitian
(Bello and Oyedemi, 2009) juga menyatakan bahwa tingginya angka
kepadatan lalat di rumah potong berhubungan dengan kejadian diare,
demam tifoid, dan disentri pada masyarakat sekitar rumah potong.
Rumah potong adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan
dengan disain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat
memotong daging bagi konsumsi masyarakat (Permentan,2005).
Penyediaan fasilitas rumah potong di setiap wilayah adalah salah satu cara
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging untuk masyarakat wilayah
tersebut. Pada tahun 2017, produksi daging terbesar adalah ayam ras
pedaging yaitu 56,77% yaitu sebesar 1,9 juta ton. Provinsi Jawa Barat
menempati posisi pertama dalam produksi daging ayam yaitu sebesar
622.322 ton (Kementan,2017). Pada tahun 2016, Kota Depok menduduki
posisi ketiga kebutuhan daging ayam broiler dari kota lainnya yang berada
di Jawa Barat yaitu sebesar 494.049 Kg (BPS, 2016)
Pengelolaan limbah dan sanitasi di rumah potong yang kurang baik
dapat menyebabkan penumpukan limbah sehingga angka kepadatan lalat
pada RPU tinggi (Kurniawan,2013). Faktor lingkungan seperti suhu dan
4
kelembaban yang sesuai juga dapat membantu penyebaran lalat sehingga
angka kepadatan lalat menjadi tinggi (Kemenkes, 2014)
Pada studi pendahuluan yang dilakukan Rumah Potong Unggas (RPU)
Bubulak Kota Bogor di ketahui untuk pengelolaan limbah padatnya masih
belum memenuhi syarat karena tidak terdapat pemisahan antara tempat
penyimpanan sampah sementara (TPS) sampah organik dan anorganik.
Pada tempat pemotongan masih terdapat darah dan bulu unggas yang
mengundang lalat untuk hinggap. Sehingga kepadatan lalat di RPU
Bubulak tergolong tinggi. Setelah dilakukan pengukuran menggunakan
fly trap sederhana, pada TPS terdapat 190 ekor lalat, tempat pemotongan
terdapat 70 ekor lalat dan untuk tempat istirahat petugas terdapat 50 ekor
lalat. Untuk hasil pengukuran suhu di RPU bubulak rataa-rata 32,2oC dan
rata-rata kelembaban ialah 60%.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Potong
Unggas (RPU) Penggaron diketahui bahwa volume limbah padat yang
dihasilkan sebesar 2 m3/hari. Pengelolaan sampah sendiri belum ada
pemisahan antara organik dan anorganik dan tidak tersedia tempat sampah
di setiap los sehingga sampah banyak yang dibuang sembarangan. Selain
itu limbah padat dan limbah cair masih bercampur sehingga saluran
pembuangan limbah cair (SPAL) tidak lancar karena terjadi penumpukan
oleh limbah padatnhya. Hal tersebut dapat menarik perhatian dari lalat
untuk bersarang dan berkembang biak. Pada penelitian tersebut, ditemukan
bahwa 8 (delapan) los pemotongan unggas dan 1 (satu) TPS memiliki
kepadatan lalat yang sangat tinggi (37,5%) dan 14 los pemotongan unggas
5
memiliki kepadatan tinggi (58,3%) dan 1 (satu) los pemotongan unggas
berkategori sedang (4,17%). Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa
pengelolahan limbah padat maupun cair yang buruk dapat meningkatkan
populasi lalat dan kondisi tersebut dapat berdampak pada masyarakat yang
bermukim di sekitarnya (Kurniawan,2013).
Ngoen-klan et al., (2011) melakukan penelitian selama satu tahun
untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan seperti suhu dan
kelembaban dengan angka kepadatan lalat. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang berkorelasi positif antara
suhu dan angka kepadatan lalat. Sedangkan kelembaban berkorelasi
negatif dengan angka kepadatan lalat. Hal ini karena semakin tinggi suhu
maka akan semakin rendah kelembaban.
Dari gambaran penelitian diatas diketahui bahwasannya
pengelolaan limbah sebaiknya lebih diperhatikan sehingga tidak menarik
angka kepadatan lalat. Pengelolaan limbah ialah dari pemilahan dan
pengangkutan sampah dan memperhatikan perawatan saluran
pembuangan air limbah sehingga aliran dapat mengalir lancar. Pengelolaan
limbah tidak luput dari sanitasi lingkungan seperti ketersediaan tempat
sampah, ketersediaan SPAL dan sanitasi tempat potong. Faktor lingkungan
seperti suhu dan kelembaban juga dapat mempengaruhi populasi lalat di
suatu tempat. Melihat permasalahan yang terjadi antara pengelolaan
limbah yang buruk dengan kepadatan lalat maka peneliti ingin melakukan
penelitian dengan topik „Hubungan Sanitasi Lingkungan Pengelolaan
6
Limbah dengan Indikator Angka Kepadatan Lalat di Rumah Potong
Unggas Kota Depok‟.
B. Rumusan Masalah
Lalat adalah salah satu vektor yang dapat menyebarkan penyakit
seperti diare, disentri, kolera dan demam tifoid pada manusia. Hal ini
dikarenakan lalat hinggap untuk berkembang biak dan mencari makan di
tempat-tempat yang kotor seperti pada penumpukan sampah dan saluran
pembuangan air limbah. Kulit tubuh dan kaki-kaki lalat yang kotor
tersebut pada akhirnya akan hinggap pada makanan yang akan di makan
manusia. Karena lalat dapat hinggap di penumpukan sampah dan saluran
pembuangan air limbah, maka dari itu, pengelolaan sampah yang buruk
dan saluran pembuangan yang terbuka dapat mengundang lalat untuk
hinggap.
Pengelolaan limbah yang baik harus didasari oleh sanitasi lingkungan
seperti ketersediannya tempat penampungan sampah, ketersediannya
saluran pembuangan air limbah dan sanitasi tempat potong. Selain kedua
hal tersebut faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban memiliki
peranan penting dalam penyebaran lalat. Rumah potong adalah salah satu
tempat yang tinggi angka kepadatan lalatnya karena terdapat tempat
berkembang biak dan sumber makanan lalat. Sedangkan daging ayam
adalah jenis daging yang paling diminati di kalangan masyarakat.
Berdasarkan data BPS (2017) Kota Depok termasuk kasus diare kedua
tertinggi di Jawa Barat dan konsumsi masyarakat Kota Depok terhadap
7
daging ayam termasuk tertinggi ketiga di Jawa Barat. Maka dari itu,
peneliti ingin melakukan penelitian dengan topik „Hubungan Sanitasi
Lingkungan Pengelolaan Limbah dengan Indikator Angka Kepadatan
Lalat di Rumah Potong Unggas Kota Depok‟.
C. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana gambaran angka kepadatan lalat di Rumah Potong Unggas
Kota Depok?
b. Bagaimana gambaran perilaku pengelolaan limbah di Rumah Potong
Unggas Kota Depok?
c. Bagaimana gambaran sanitasi lingkungan (ketersediaan tempat
sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat potong) Rumah Potong
Unggas Kota Depok?
d. Bagaimana gambaran faktor lingkungan (kelembaban dan suhu) di
Rumah Potong Unggas Kota Depok?
e. Apakah terdapat hubungan antara perilaku pengelolaan limbah dengan
kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok?
f. Apakah terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan (ketersediaan
tempat sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat potong) dengan
kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok?
g. Apakah terdapat hubungan antara faktor lingkungan (kelembaban dan
suhu) dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok?
8
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan
sanitasi lingkungan, pengelolaan limbah, faktor lingkungan dengan
indikator angka kepadatan lalat di Rumah Potong Unggas Kota Depok
Tahun 2018
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran angka kepadatan lalat di Rumah Potong
Unggas Kota Depok
b. Mengetahui gambaran perilaku pengelolaan limbah di Rumah Potong
Unggas Kota Depok?
c. Mengetahui gambaran sanitasi lingkungan (ketersediaan tempat
sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat potong) Rumah Potong
Unggas Kota Depok
d. Mengetahui gambaran faktor lingkungan (kelembaban dan suhu) di
Rumah Potong Unggas Kota Depok?
e. Mengetahui terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan
(ketersediaan tempat sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat
potong) dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok?
f. Mengetahui terdapat hubungan antara perilaku pengelolaan limbah
dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok
9
g. Mengetahui terdapat hubungan antara faktor lingkungan (kelembaban
dan suhu ) dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota
Depok?
E. Manfaat
1. Bagi Pengelola Rumah Potong Unggas
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan evaluasi
bagi pengelola rumah potong unggas untuk menjaga sanitasi
lingkungan sekitar pemotongan dan masukan dalam pengelolaan
limbah sehingga dapat menurunkan angka kepadatan lalat di rumah
potong unggas Kota Depok.
2. Bagi Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota
Depok
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi untuk
mengetahui gambaran kualitas sanitasi lingkungan tempat
pemotongan dan perilaku pengelolaan limbah yang dilakukan oleh
pengelola rumah potong unggas dilihat dari indikator angka
kepadatan lalat yang berada di rumah potong unggas Kota Depok.
Informasi ini juga dapat berguna untuk bahan perencanaan program
keamanan pangan hasil pemotongan daging unggas tersebut.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian
lebih lanjut mengenai sanitasi lingkungan pengelolaan limbah
10
berdasarkan indikator angka kepadatan lallat di rumah potong unggas
(RPU).
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengetahui
hubungan antara sanitasi lingkungan, pengelolaan limbah dan faktor
lingkungan dengan angka kepadatan lalat di rumah potong unggas Kota
Depok tahun 2018. Lalat menyukai tempat yang terdapat penumpukan
sampah, kotoran hewan dan saluran pembuangan air limbah yang tidak
terkelola dengan baik. Hal tersebut dapat mengundang lalat untuk singgah
sehingga terjadinya kepadatan lalat di tempat tersebut. Sanitasi lingkungan
yang diteliti ialah, ketersedian tempat sampah, ketersediaan saluran
pembuangan air limbah (SPAL) dan sanitasi tempat potong. Untuk
perilaku pengelolaan limbah yaitu pengelolaan limbah padat dan
perawatan SPAL. Sedangkan untuk faktor lingkungan yang akan diteliti
ialah suhu dan kelembaban.
Waktu pelaksanaan penelitian ini akan dilakukan pada Juli hingga
September 2018 . Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
desain studi cross sectional. Sumber data penelitian ini berasal dari data
sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari
Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota Depok untuk
mengetahui lokasi rumah potong unggas di Kota Depok. Pengumpulan
data primer diperoleh dari wawancara pengamatan tempat dan
pengukuran. Untuk wawancara ialah untuk variabel pengelolaan limbah
11
sedangkan untuk pengamatan ialah pengamatan sanitasi lingkungan
rumah potong unggas. Untuk pengukuran yang dilakukan ialah melakukan
pengukuran kepadatan lalat menggunakan fly trap dan mengukur suhu dan
kelembaban menggunakan thermohygrometer.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumah Potong Unggas
1. Definisi Rumah Potong Unggas
Rumah Potong Unggas adalah bangunan yang kompleks dengan
desain dan kontruksi bangunan khusus yang memenuhi persyaratan
teknis dan higiene tertentu serta digunkan sebagai tempat pemotongan
nggas untuk dikonsumsi masyarakat umum (Kementrian Pertanian,
2005). Rumah Potong Unggas terdapat dua jenis yaitu modern dan
tradisional. Perbedaan dari keduanya ialah dari alat yang digunakan
dalam penyembelihan unggas. Istilah unggas mencakup ayam, itik,
kalkun dan burung (burung unta/ostrich, puyuh dan burung dara)
Golongan unggas yang paling banyak dikonsumsi adalah ayam. Di
Indonesia dikenal dua jenis ayam yang biasa dikonsumsi yaitu ayam
ras (broiler) dan ayam lokal (bukan ras/buras). Kedua jenis ayam ini
sering diperdagangkan sudah dalam bentuk karkas. Karkas adalah
daging ayam tanpa kepala, kaki, jeroan dan bulu-bulunya, yang
diperoleh dari hasil pemotongan ayam yang tertib dan benar
(Koswara,2009).
13
2. Penggolongan Rumah Potong Unggas
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 556 tahun 1976 bahwa usaha
pemotongan unggas terbagi menjadi 4 (empat) kelas berdasarkan luasan
pedereadan daging sedangkan berdasarkan jenis kegiatam terbagi menjadi 3
(tiga) kategori.
a) Menurut Luasan Peredaran Daging:
1) Kelas A kebutuhan eksport
2) Kelas B antar propinsi
3) Kelas C antar kab/kodya dalam propinsi
4) Kelas D kebutuhan di kabupaten
b) Menurut Jenis Kegiatan
1) Katagori I pemotongan unggas sendiri di RPU sendiri
2) Katagori II jasa pemotongan unggas milik orang lain
3) Katagori III pemotongan/tempat pemotongan milik orang lain.
3. Persyaratan Bangunan RPU
Lokasi RPU sebaiknya tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran
lingkungan. Sehingga lokasi RPU tidak berada di kota yang padat penduduk serta
letaknya lebih rendah dari pemukiman penduuduk. RPU juga tidak berada di
dekat aliran air seperti sungai dan kali.
Berdasarkan SNI (1999), kompleks RPU minimal harus terdiri dari :
a. bangunan utama
b. tempat penurunan unggas hidup
c. tempat istirahat pegawai
14
d. tempat penyimpanan barang pribadi atau ruang ganti pakaian
e. kamar mandi dan WC
f. sarana penanganan limbah insenerator
g. tempat parkir
h. rumah jaga
i. menara air
j. gardu listrik.
k. ruang pembekuan cepat (blast freezer)
l. ruang penyimpanan beku (cold storage)
m. ruang pengolahan daging unggas
n. laboratorium
Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor 557 Tahun 1976
bahwa komplek RPU harus terdiri dari
a. Bangunan utama tempat pemotongan
Terdiri dari tempat penyembelihan, pencelupan, pembuluan,
evicerating, penanganan karkas, pengemasan, pencucian alat, alat
penggantung, pencelup, meja evicerating, wadah pencuci.
b. Penampungan unggas
c. Tempat pemeriksaan antemortem
d. Gudang alat
e. Septic tank
f. Kamar mandi dan WC
Pintu masuk unggas hidup sebaiknya terpisah dari pintu keluar daging unggas.
Dinding tembok di RPU sebaiknya 1,5 meter, kedap air terbuat dari porselin atau
keramik dan sudutnya melengkung sehingga mudah dibersihan. Lantai di RPU
15
sebaiknya kedap air, air mudah mengalir sehingga tidak licin ataupun tidak kasar.
Terdapat kawat kasa antata dinding untuk mengindari hewan seperti tikus dan
kucing masuk. Harus mempunyai pintu, ventilasi yang memadai, air panas dan
penerangan yang cukup (Kementrian Pertanian, 1976)
Pembagian ruang di RPU terbagi menjadi dua yaitu daerah kotor dan daerah
bersih. Untuk daerah kotor terdiri dari Daerah kotor meliputi penurunan,
pemeriksaan antemortem dan penggantungan unggas hidup, pemingsanan
(stunning), penyembelihan (killing), pencelupan ke air panas (scalding tank),
pencabutan bulu (defeathering), pencucian karkas, pengeluaran (evisceration) dan
pemeriksaan postmortem, penanganan jeroan. Sedangkan daerah bersih terdiri
dari Daerah bersih meliputi pencucian karkas, pendinginan karkas (chiling),
seleksi (grading), penimbangan karkas, pemotongan karkas (cutting),Pemisahan
daging dari tulang (deboning), pengemasan, penyimpanan segar(chiling room)
(SNI, 1999)
4. Proses Penyembelihan Halal
Berdasarkan pedoman produksi dan penanganan daging ayam yang higienis
(Dirjen PKH Kementan RI, 2010) berikut adalah proses penyembelihan halal.
a. Persyaratan Umum
Syarat umum penyembelihan ayam yang halal ada sebagai berikut :
1) Orang yang menyembeli harus beragama Islam, dewasa (baligh) dan
berakal sehat, baik laki-laki maupun perempuan
2) Membaca basmalah (bismillahi allahu akbar) sebelum penyembelihan
3) Pisau sebagai alat penyembelih harus tajam dan bersih
16
4) Penyembelihan dilakukan pada pangkal leher ayam dengan
memutuskan saluran pernafasan (trakhea/hulqum), saluran makan
(esofagus/marik) dan dua urat lehernya (pembuluh darah di kanan dan
kiri leher/ wadajain) dengan sekali sayatan.
b. Persyaratan Petugas Penyembelih
Petugas penyembelih harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Pada saat akan menyembelih disunnahkan membaca shalawat kepada
Rasullah SAW dan membaca takbir
2) Harus memiliki pengetahuan tentang ayam yang halal dan haram
disembelih serta cara penyembelihan halal
c. Persyaratan Ayam
Ayam yang akan disembelih harus dalam keadaan hidup, sehat dan bersih
d. Persyaratan Proses
Selain itu perlu diperhatikan adab penyembelihan hewan, yaitu :
1) Ayam yang akan disembelih disunnahkan untuk menghadap kearah
kiblat
2) Menghindari tindakan yang menyebabkan ayam menjadi stress
sebelum disembelih
3) Setelah penyembelihan, darah dibiarkan keluar sampai berhenti
mengalir, kemudian dilakukan pengerjaan berikutnya.
4) Penyembelihan dilakukan dengan baik, higienis dan menjaga
kebersihan lingkungan
e. Proses Penyembelihan dengan Pemingsanan
1) Penyembelihan
17
Penyembelihan harus dilakukan dengan menggunakan pisah yang
tajam dan bersih, sehingga penyembelihan hanya dilakukan sekali sayat
untuk memotong ketiga saluran (hulqum, marik dan wadajain). Pisau
yang digunakan oleh petugas hendaknya tidak hanya satu, sehingga
selalu ada pisau cadangan yang selalu terjaga ketajaman dan
kebersihannya. Untuk itu sebaikanya tersedia fasilitas air panas
(steam/boiler) untuk merendam pisau dan asahan yang digunakan
untuk menyembelih ayam, sehingga ketajaman dan kebersihannya
selalu dapat terjamin.
Penyembelihan harus segera dilakukan sesaat setelah ayam tersebut
pingsan. Ayam yang pingsan ditandai dengan adanya gerakan berkejut/
kejang (gerakan tetanis) pada leher dan kepala, sayap tidak terkulai
serta knjungtiva mata tidak tertutu sempurna. Sedangkan ayam yang
mati setelah pemingsinanan ditandai dengan kondisi kepala yang
terkulai lemas tanpa ada gerakan tetanis, konjuctiva mata tertutup
sempurna, dan sayap agak terkulai.
2) Penirisan Darah
Untuk RPU yang menggunakan sistem rel berjalan, waktu antara
penyembelihan sampai masuk ke air panas haruslah diperhitungkan
dengan benar (rata-raa waktu pengeluaran darah ayam sampai
sempurna adalah 3-5 menit). Untuk RPH-A yang menggunakan rak
penggantungan, maka pengangkatan ayam dari rak setelah
penyembelihan minimal 3-5 menit atau ayam sudah tidak bergerak
sama sekali dan tidak ada darah yang keluar dari leher.
18
f. Proses Penyembelihan tanpa Pemingsanan
1) Penyembelihan
Ayam dikeluarkan dari keranjang dengan memegang pada kedua paha dan
sayap. Kemudian ayam dipegang dengan satu tangan sementara tangan
yang lain memegang pisau dan bersiap-siap untuk menyembelih, Sama
seperti proses penyembelihan ayam dengan pemingsanan, pada proses ini
pemotong juga harus memiliki pisau cadangan, sehingga ketajaman dan
kebersihan selalu dapat terjamin.
2) Penirisan Darah
Setelah disembelih, ayam kemudian diletakan di dalam keranjang atau
tempat khusus (boks/ drum) yang mudah dibersihkan. Pada proses ini
perlu diperhatikan agar pengeluaran darah dari ayam betul-betul sempurna
atau ayam benar-benar mati
5. Limbah di Rumah Potong Unggas
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan atau usaha peternakan
seperti usaha pemeliharaan ternah, rumah potong hewan, pemgolahan produk
ternak dan lainnya. Limbah ternak tersebut meliputi limbah padat dan limbah
cair, sepeti feses, urin, sisa makanan, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk
dan isi rumen (Sihombing,2000).
Limbah peternakan pada usaha pemotongan unggas ialah sebagai berikut :
a. Manur
Manur atau ekskreta adalah campuran antara feses (faeces), urin (urine),
dan terkadang tercampur dengan bahan-bahan lain (seperti litter atau bedding
atau material yang digunakan sebagai alas kandang) yang disengaja maupun
19
tidak sengaja. Manur memang suatu bahan yang tidak ada gunanya, tetapi jika
diolah dengan baik manur dapat ada gunanya. Sehingga manur masuk
kedalam golongan limbah yang dapat diolah menjadi produk ternak (animal
product). (Parakkasi dan Hardini,2014)
1) Feses
Feses adalah ekskreta ternak yang dikeluarkan melalui anus. Materi
tersebut sebagian besar terdiri dari zat-zat makanan yang tidak tercerna
dalam saluran pencernaan dan ke luar (diekskresikan) melalui anus.
Terkadang meskipun tidak banyak, beberapa di antaranya sudah dapat
dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan. Di samping itu feses dapat
pula mengandung (sebagian kecil) bagian-bagian dari saluran pencernaan
yang terkelupas/terlepas, enzim-enzim yang digunakan untuk mencerna,
maupun mikroorganisme yang normalnya bersifat tidak patogen. Feses ini
sifat fisik dan kimianya ditentukan oleh banyak faktor misalnya jenis
hewan, umur, input makanan, keadaan kandang, suhu, presipitasi dan lain-
lain.
2) Urine
Adalah cairan yang diekskresikan melalui ginjal. Zat-zat yang didapatkan
di dalamnya adalah zat makanan yang sudah dicerna, diserap dan bahkan
sudah di metabolisme dalam sel-sel tubuh, kemudian oleh satu dan lain hal
dikeluarkan melalui ginjal dan saluran urin. Sifat fisik dan kimianya
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pada feses.
20
b. Limbah Cair
Dalam proses produksi dihasilkan limbah cair yang berasal dari darah
ayam, proses pencelupan, pencucian ayam dan peralatan produks (Erlita dan
Waridin,2007). Limbah cair mengandung Biological Oxygen Demand (BOD),
Chemial Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), minyak dan
lemak yang tinggi dengan komposisi berupa zat organik. Diperikan bahwa
jumlah limbah berupa lemak dari seekor ayam sega utuh adalah 7,80 – 17,7 %
dari bobot ayam tersebut. Sedangka, dari satu ekor ayam broiler berukuran
sedang dapat menghasilkan 100 gram lemak yang menempel pada bagian
ampela dan ekor dan sekita 2,10 % lemak terdapat pada bagian dada seekor
ayam (Moses Laksono, 2010).
c. Limbah Padat
Limbah padat pada industri Rumah Potong Unggas berupa unggas mati ,
sisa usus atau jeroan, bulu, tulang dan bagian lainnya yang tidak sengaja ikut
terbuang menjadi limbah yaitu kepala ayam dan lemak yang tedapat di dalam
rongga perut, ampela dan ekor(Erlita dan Waridin,2007). Namun, hampir
semua jenis limbah padat yang dihasilkan oleh RPU mempunyai potensi untuk
dimanfaatkan kembali sebagai bahan pakan sumber protein seperti ampela dan
hati unggas. Sedangkan untuk bulunya dapat diperjual belikan kepada
perusahaan industri yang membutuhkan bulu unggas sebagai bahan baku.
6. Pengelolaan Limbah
a. Pengelolaan Limbah Padat
Pengelolaan limbah padat atau sampah adalah kegiatan yang sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan
21
penanganan limbah padat atau sampah. Berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No.16 tahun 2011 tentang Pedoman Materi Muatan
Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
1) Tahap Pemilahan
Kegiatan pemilahan sampah dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan
sampah sesuai dengan jenis, jumlah dan/ atau sifat sampah. Pemilahan
sampah dilakukan oleh pengelola kawasan dalam hal ini ialah pengelola
RPU. Berdasarkan Permen LH No. 16 tahun 2011, pemilahan sampah
dilakukan mulai kegiatan pengelompokan sampah paling sedikit menjadi 5
(lima) jenis sampah yang terdiri atas sampah yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun, sampah yang mudah terurai, sampah yang dapat
digunakan kembali, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah lainnya.
Tetapi, untuk jenis sampah yang terdapat di RPU hanya sampah organik
dan anorganik sehingga pemilihannya hanya terbagi menjadi dua jenis
sampah.
2) Tahap Pengumpulan
Pengumpulan sampah dilakukan dalam bentuk pengambilan dan
pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan
sementar. Pengumpulan sampah dilakukan oleh pengelola kawasan dan
pengelola kawasan wajib menyediakan Luas lokasi dan kapasias sesuai
kebutuhan, lokasinya mudah diakses, tidak mencemari lingkungan dan
memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan.
22
3) Tahap Pengangkutan
Pengakutan sampah dilakukan dalam bentuk membawa sampah dari sumber
dan/atau dari TPS atau dari TPST menuju TPA. Berdasarkan Keputusan
Mentri Kesehatan No 519 Tahun 2008 Pengangkutan sampah dari TPS
atau dari TPST menuju TPA harus diangkut maksimal 1 x 24 jam.
4) Tahap Pengolahan
Pengolahan sampah dilakukan dalam bentuk mengubah karakteristik,
komposisi, dan jumlah sampah. Pengolahan sampah dilakukan oleh
pemerintah kabupaten/kota, orang perseorangan, kelompok orang dan/atau
badan hukum pada sumbernya, dan pengelola kawasan.
b. Pemeliharaan SPAL
Penanganan limbah cair salah satunya adalah melakukan pemeliharaan SPAL
atau saluran drainase. Fungsi dari SPAL ini ialah limbah cair dapat mengalir dan
dapat mengurangi tersebarnya limbah ke wilayah dalam dan di sekitar rumah potong
unggas. Isolasi limbah dalam SPAL ini dapat menurunkan frekuensi dampak negatif
dari limbah bahkan dapat meniadakannya.
Akan tetapi masih ada beberapa masalah yang dapat timbul dengan pembuatan
SPAL jika tidak dikelola dengan baik. Limbah padat yang masuk kedalam SPAL
harus harus diangkut atau dikeluarkan sehingga aliran air tidak terhambat sehingga
dapat meluap dan menimbulkan bau (Parakkasi dan Hardini,2014).
23
7. Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah kondisi atau keadaan lingkungan yang sesuai
dengan persyaratan sehingga berpengaruh positif terhadap status kesehatan.
Ruang lingkup sanitasi lingkungan tersebut antara dibagi menjadi
sranapenyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air
limbah).
a. Tempat Sampah
Untuk persyaratan tempat sampah ialah harus terpisah antara sampah
organik dan sampah anorganik, kedap air, kuat, mudah dibersihkan dan mudah
dijangkau oleh petugas pengangkut sampah (Kemenkes,2008)
b. Saluran Pembuangan Air Limbah
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1098 tahun 2003 dan
Keputusan Mentri Kesehatan No 519 tahun 2008 tahun SPAL yang
digunakan harus memenuhi syarat: 1) air limbah dapat mengalir dengan
lancar, 2) saluran tertutup dan kedap air tertutup dengan kisi yang terbuat dari
logam sehingga mudah dibersihkan., 3) Tidak menimbulkan bau, 4) Terdapat
grease trap (perangkap lemak), 5) Tidak menjadi tempat berkembang biaknya
vektor sepert lalat.
Sedangkan berdasarkan SNI 01-6160-1999 sistem saluran pembuangan
limbah cair di RPU harus cukup besar dan didisain agar aliran limbah
mengalir dengan lancar, terbuat dari bahan yang mudah dirawat dan
dibersihkan, kedap air agar tidak mencemari tanah, mudah diawasi dan dijaga
agar tidak menjadi sarang tikus atau rodensia lainnya. Saluran pembuangan
24
dilengkapi dengan penyaring yang mudah diawasi dan dibersihkan. harus
selalu tertutup agar tidak menimbulkan bau. Di dalam bangunan utama,
saluran pembuangan dilengkapi dengan grill yang mudah dibuka-tutup dan
terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah korosif
c. Sanitasi Tempat Potong
Setelah melakukan pemotongan di RPU maka selanjutnya dilakukan
pembersihan sanitasi. Pembersihan dilakukan pada bangunan, perlengkapan
dan peralatan yang terkena kotoran. Pembersihan ini harus dilakukan secara
teratur dan benar untuk menghilangkan kotoran yang terlihat secara fisik.
Metode pembersihan yang dilakukan ialah pembersihan dapat dilakukan
dengan cara fisik, kimiawi ataupun keduanya. Pembersihan secara fisik dapat
dilakukan dengan cara menggosok dan cara kimiawi dengan menggunakan
deterjen dan zat-zat yang bersifat asam atau basa dibantu pula dengan air
bersih (Kementan, 2010).
Penyedian air bersih di rumah potong unggas bertujuan untuk
membantu dalam proses pembersihan sanitasi bangunan RPU dan peralatan.
Berdasarkan SNI 01-6160-199 Sumber air di rumah potong unggas harus
cukup sesuai dengak kebutuhan dan memenuhi persyaratan baku mutu air
minum sesuai dengan SNI 01-0220-1987. Persdiaan air yang dibutuhkan
minimum harus 25-35 liter/ekor/hari. Persediaan air yang bertekanan 1,05
kg/cm2 (15 psi) serta fasilitas air panas dengan suhu minimum 82
oC
(Kementan, 2010)
Berikut prosedur pembersihan tempat dan peralatan rumah potong unggas :
1) Pembuangan kotoran kasar yang terdapat di permukaan dapat
dilakukan dengan cara menyikat, menyedot dan mengerok atau dengan
25
cara lainnya. Ketersedian air bersih diperlukan untuk melakukan
penyiraman sehinnya sarat kebersihan terpenuhi. Suhu air yang
digunakan disesuaikan pada jenis kotoran yang akan dibuang. Prosedur
pertama ini biasanya digunakan untuk membersihkan lantai, dinding,
meja pengeluaran jeroan, bak perendaman karkas, mesin pencabut bulu
dan lainnya
2) Pembersihan harus menggunakan larutan deterjen untuk melarutkan
atau mensusipensi kotoran dan lapisan mikroorganisme. Prosedur
kedua ini biasanya dilakukan sebagai tahap awal proses pembersihan
terhadap peralat yang berukuran kecil misalnya pisau, talenan, krate
karkas dan lainnya. Waktu perendaman tergantung dengan jenis larutan
deterjen yang digunakan dan jumlah kotoran yang melekat pada alat.
Setelah peredaman akan dilanjutkan dengan penyikatan atau
pengerokan yang diakhiri dengan pembilasan.
3) Pembersihan menggunakan bahan pembersih yang tidak merusak
permukaan yang dibersihkan
4) Pembilasan untuk menghilangkan kotoran dan sisa deterjen dilakukan
menggunakan air yang memenuhi syarat air bersih
Disinfektan merupakan usaha untuk mengurangi jumlah
mikroorganisme yang hidup, tetapi pada umumnya tidak dapat membunuh
spora dan bakteri. Disinfektan yang aktif tidak membunuh seluruh
mikroorganisme tetapi hanya menurunkan jumlahnya hingga pada tingkat
yang tidak membahayakan kesehatan konsumen. Disinfektan yang dapat
digunakan ialah, klorin, iodofor, senyawa amonium kuartener serta asam dan
26
basa kuat. Setelah dilakukan desinfektan peralatan harus segera dikeringkan
secepatnya untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Kementan, 2010)
B. Lalat
Lalat umumnya berkembang biak pada habitat di luar hunian manusia yang telah
membusuk dan penuh dengan bakteri dan organisme patogen lainnya, seperti vegetasi
yang membusuk, kotoran hewan, sampah dan sejenisnya. (Sigit dan Hadi,2006)
Lalat penganggu kesehatan tergolong ke dalam ordo Diptera, subordo
Cyclorrhapha dan anggotanya terdiri atas lebih dari 116.000 spesies lebih di sluruh
dunia.
1. Jenis Lalat
Diantara berbagai jenis lalat yang merupakan masalah yang cukup banyak
mendapat perhatian di bidang kesehatan antara lain Musca domestica (lalat
rumah), Sarcophaga sp (lalat blirik/ lalat daging), Chrysomya megacephala (lalat
hijau), Calliphora sp (lalat hijau) dan Drosophila melanogaster (lalat buah).
Berikut penjelasan mengenai morfologi, perilaku dan daur ulang
a. Musca domestica (lalat rumah)
1) Morfologi
Ukuran lalat rumah relatif kecil dengan panjang tubuh berkisar antara 6
mm- 9 mm dan memiliki warna abu-abu kehitaman. Kepalanya besar
berwarna coklat gelap dan matanya besar meinonjol. Sepasang sungut
terletak di depan mata dan tiap sungut terdiri atas ruas dasar berbentuk gada
dengan sehelai rambut yang bercabang-cabang tumbuh diatasnya. Lalat
menghisap makanan dengan lidah pengisap. Lidah pengisapnya melebar di
27
bagian ujung dan berbentuk seperti parut. Pada bagian toraks dorsal (atas)
bertanda empat garis membujur. Abdomennya berwarna kekuning-kuningn
sedangkan untuk ruas terakhir berwarna coklat kehitaman. Tiga pasang
kakinya dituutpi oleh rambut lebat dan bercakar dua buah. Sayapnya
sepasang, tipis (cahaya dapat tembus), berwarna kelabu pucat dan
pangkalnya berwarna kekuningan. Urat-urat sayap tampak jelas
(Kemenkes,2014).
Gambar 2.1
Musca Domestica
2) Perilaku dan Daur Hidup
Lalat rumah mempunyai tingkat perkembangan telur, larva, pupa dan
dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa memerlukan 12-14 hari
daerah tropis. Lalat rumah jika betelur lebih memilih tempat-tempat yang
lembab yang banyak mengandung zat organiknya seperti sampah, kotoran
ternak, kotoran hewan, sisa sayuran dan bentuk busuk lainnya. Larva atau
belatung ini sangat rakus dan aktif dan jika larva sudah matang akan
mencari tempat yang kering untuk berkembang menjadi pupa setelah 4-7
hari (Kemenkes,2014)..
28
Pupa akan berubah menjadi lalat dewasa 4 hari kemudian. Lalat
dewasa muda sudah siap kawin dalam waktu beberapa jam setelah keluar
dari pupa, Setiap ekor betina mampu menghasilkan sampai 2000 butir terlus
selama hidupnya. Telur ditekkan secara berkelompok. Setiap kelompoknya
mengandung 75-100 butir. Umur lalat rumah ini ditaksir sekitar 1-2 bulan.
Terkadang lalat rumah bertelur pada luka hewan dan manusia, sehingga
belatung tumbuh dalam jaringan sekelilingnya. Kejadi ini biasa disebut
myasis (Kemenkes,2014)..
b. Sarcophaga sp (lalat blirik/ lalat daging)
1). Morfologi
Lalat ini berukuran besar dengan panjang antara 11 mm- 15 mm dan
berwarna abu-abu. Pada bagian toraksnya terdapat tiga garis hitam dan
abdomennya seperti catur memiliki pola berbintik-bintik hitam dan abu-
abu. Struktur mulutnya bukan tipe penusuk tetapi penjilat dan penyerap.
Arisannya hanya berambut pada setengah bagian frontal sedangkan
setengah bagian distalnya tidak berambut (Kemenkes,2014)..
Gambar 2.2
Sarcophaga sp
29
2). Perilaku dan Daur Hidup
Lalat ini disebut lalat daging karena larvanya sering ditemukan pada
daging Pada umumnya waktu yang diperlukan lalat daging dari telur hingga
menjadi lalat dewasa adalah 14-18 hari tergantung pada suhu dan
kelembaban dan jenisnya. Lalat betin bersifat larvipara yang meletakkan
larvanya pada bangkai, daging segar atau yang telah dimasak atau kotoran
hewan yang bahkan pada luka terbuka. Larva mempunyai spirakel posterior
da bahkan pada luka terbuka. Larva mempunyai spirakel posterior yang
khas dan tinggal serta makan jaringan daging sampai instar terakhir,
setelah itu meninggalkan tempat dengan instar terakhir, setelah itu akan
meninggalkan tempat tersebut menuju daerah yang terlindung untuk
melanjutkan stadium berikutnya, yaitu pupa. Pupa biasnaya ditemukan pada
tanah atau pasir yang terlindung oleh gangguang predator atau lingkungan.
Larva lalat ini tidak hanya suka pada jaringansegar yang hidup tetapi juga
bangkai, karena itu tergolong sebagai lalat penyebab myasis yang fakulatif
(Kemenkes,2014)..
c. Chrysomya megacephala (lalat hijau)
1). Morfologi
Lalat ini umumnya berwarna hijau metalik atau mengkilat dengan
ukuran yang kurang lebih 1,5 kali lalat rumah. Sayapnya jernih dengan
guratan urat-urat yang jelas. Seluruh permukaan tubuh tertutup dengan
bulu-bulu pendek diselingi dengan sederatan bulu yang keras dan jarang
letaknya. Struktur mulutnya termasuk termasuk tipe penjilat. Larvanya
30
berbentuk silinder memanjang terdiri dari 10 ruas dengan ujung depannya
meruncing. Pada tiap-tiap batas ruas dengan ujung depanya meruncing.
Pada tiap-tiap bats ruas terdapat duri-duri keras dan pendek yang melingkar
seperti sekerup. Larva yang cukup umur dapat berbentuk 1 cm dan
berwarna kuning keputih-putihan. Pupanya berwarna coklat berbentuk
seperti tong (Kemenkes,2014)..
Gambar 2.3
Chrysomya megacephala
2). Perilaku dan Daur Hidup
C. megacephala juga mengalami metamorfosis sempurna yang
diawali dari telur kemdian menjadi larva, pupa dan akhirnya bentuk
dewasa. Seama hidupnya lalat betina C. Megacephala meletakkan
telurnya sebanyak 4-6 kali. Jangka waktu hidup tahap pra dewasanya
lalat C. megacephala adalah sekitar 8,5-9 hari pada suhu 24-28,5ºC
dengan kelempababan 85-92%. Sedangkan tahap dewasanya berkisar
antara 37,6 – 41,2 hari pada suhu 24-28 ºC dengan kelembaban 85-92%
hari pada suhu 24- ºC dengan kelembaban 86-94 % (Kemenkes,2014).
31
Lalat ini biasanya berkembang biaka di bagian semi cair yang berasal
dari hewan , termasuk daging, ikan, daging busuk, bangkai, sampah
penyembelihan, sampah ikan, sampah dan tanah yang mengandung kotoran
hewan. Telur diletakkan oleh lalat dewasa dalam kelompok atau onggokan.
Lalat ini jarang berkembang biak di tempat kering atau bahan buah-buahan.
Beberapa jenis juga berkembang biak di tinja dan sampah hewan. Lainnya
bertelur pada luka hewan dan manusia. Ketika populasinya tinggi, lalat ini
akan memasuki dapur , meskipun tidak sesering lalat rumah. Lalat ini
banyak terlihat di pasar ikan dan daging yang berdekatan dengan kakus.
Lalat ini dilaporkan juga membawa telur cacing Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura yang menempel pada bagian luar tubuhnya
(Kemenkes,2014).
d. Calliphora sp (lalat hijau)
1). Morfologi
Lalat dewasa berukuran hampir sama degan lalat.Chrysomya
berwarna metalik hijau kebiru-biruan. Arista berbulu lebat (plumose),
bulu-bulu tersebut panjang sampai ke bagian ujung (apex) dari Arista.
Laat mulutnya tipe penjilat seperti lalat rumah. Larva berwarna
keputihan. Hidupnya dalam daging busuk atau sayuran busuk
(Kemenkes,2014)..
32
Gambar 2.4
Calliphora
2). Perilaku dan Daur Hidup
Untuk lalat Calliphora sp ditemukan dalam jumlah yang
cukup banyak pada lingkungan dekat dengan timbunan sampah
organik. Dekat tempat pemotongan hewan atau tempat
pengolahan daging ternak. Telur diletakan di daging binatang
mati atau tumpukan sayuran busuk. Larva muda akan menuju ke
bagian dasar dari tumpukan smapah untuk berkembang menjadi
larva instar selanjutnya, Larva instar lanjut akan meninggalkan
media makannanya dan menuju ke bagian dasar untuk
berkembang menjadi pupa. Dibutuhkan waktu 15 hari atau lebih
untuk perkembangan dari telur hingga menjadi lalat dewasa
(Kemenkes,2014)..
e. Drosophila melanogaster (lalat buah)
1) Morfologi
Lalat ini berkuran relatif kecil dengan panjang sekitat 3 mm.
Warna mata merah, bagian toraks berwarna coklat, abdomen dorsal
33
hitam dan bagian bawah keabau-abuan. Kepala lalat buah berbentuk
bulat agak lonjong dan merupakan tempat melekat dua ruas antena.
Palpi kecil dan berbulu. Urat sayap bagian psterior kuat dengan urat
yang menyilang. Alat mulut tipis, tarus pertama kaki belakang panjang
dan langsing (Kemenkes,2014)..
Gambar 2.5
Drosophila melanogaster
2) Perilaku dan Daur Hidup
Lalat buah meletakkan telur-telurnya dekat dengan permukaan
bahanpbahan yang merahi (fermentasi) seperti buah-buahan, wadah
sampah yang kotor, sisa-sisa sayuran atau kotoran pada saluran air.
Larva yang halus akan menetas setelah 30 jam dan makan pada
permukaan bahan-bahan yang meragi dan setelah matang larva akan
bergerak ke tempat kering untuk berkembang menjadi pupa. Pada
keadaan yang optimal dan lembab diperlkan waku 9-12 hari untuk
perkembangan dari telur menjadi dewasa (Kemenkes,2014).
Setiap lalat buah betina dapat bertelur sampai dengan 500 telur.
Kemampuan reproduksi dari lalat buah sangat besar karena dalam
34
waktu yang relatif singka dapat ditemukan populasi lalat buah yang
sangat banyak. Lalat buah adalah lalat yang kuat terbang dan dapat
menempuh jarak lebih kurang 10 Km dalam waktu 24 jam. Lalat buah
sangat tertarik pada bahan-bahan seperti buah dan sayurang yang
masak atau busuk, produk yang mengandung ragi, botol dan kaleng
minuman yang kosong, saluran air yang kotor atau tersumbat dan area-
area yang lembab (Kemenkes,2014).
2. Faktor Kepadatan Lalat
Beberapa hal yang dapat meningkatkan populasi lalat ialah, ketersedian tempat
perindukan yang cocok dan faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan
pencahayaan (Sigit dan Hadi,2006)
a. Terdapat Tempat Perindukan Lalat
Menurut WHO (1986) terdapat beberapa tempat perkembang biakan atau
perindukan dari lalat,yaitu :
1). Sampah Basah dan Sampah Organik
Sampah adalah hasil buangan dari kegiatan manusia beberapa bahan
atau benda yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia. Banyaknya
timbunan sampah yang dihasilkan dari aktifitas manusia, akan meningkat
terus menerus jika timbunan sampah tersebut tidak dapat dikelola dengan
baik, hal ini akan menjadi tempat perkembangbiakan vektor penyakit.
Hasil buangan dari kegiatan manusia ini seperti dari proses
pengolahan makanan ataupun industri seperti sayur-sayuran dan buah.
Hasil buangan dari pengelolaan daging dan ikan pun meninmbulkan bau
yang tidak sedap sehingga menarik lalat untuk hinggap biasanya hewan
35
yang dengan protein tinggi . Sisaanya pada daging seperti darah,jeroan,
dan tulang serta untuk ikan pada daging ikannya dan jenis hewan laut
lainnya yang telah mati (bangkai).
2). Kotoran Hewan
Kotoran hewan yang menumpuk secara kumulatif di kandang maupun
di luar kandang terutama hewan ternak dan burung yang memiliki
kelembaban yang tepat dan tekstur yang tidak terlalu padat (kotoran yang
masih baru sekitar satu minggu) dapat mengundang lalat. Lalat dapat
membiak di setiap zat organik yang lembab dan hangat. Sehingga
kebersihan kandang pun harus diperhatikan karena kotoran hewan ternak
yang menumpuk berhari-hari akan berpotensi menjadi tempat perkembang
biakan lalat.
3). Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)
Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) yang terbuka dapat
menyebarkan bau dan didukung dari kondisi yang kotor dapat menjadi
salah satu tempat yang akan disukai oleh lalat. Berdasarkan SNI 01-6160-
199 Saluran Pembuangan Air Limbah di Rumah Potong Hewan pun harus
dipisah dengan pembuangan dari kamar mandi.
b. Faktor Lingkungan
Penyebaran lalat dapat dipengaruhi oleh temperatur (suhu), kelembaban dan
pencahayaan (Kemenkes,2008)
1). Temperatur dan Kelembaban
36
Lalat mulai aktif terbang pada suhu 150 C dan jumlah lalat akan
semakin tinggi jika suhu disekitarnya 200 C- 25
0 C dan akan berkurang
jumlahnya pada temperatur <100C dan pada 7,50 C lalat sudah tidak
aktif dan pada diatas atau > 490 C terjadi kematian lalat (Kemenkes
RI,2008) Berikut tabel 2.1 memaparkan berapa lama daur hidup lalat
rumah sesuai dengan temperatur (suhu) yang ditentukan.
Tabel 2.1
Lama Waktu Lalat Berdasarkan Suhu
Temperatur
(0C)
Telur Menetas
(Jam)
Larva
(Hari)
Pupa
(Hari)
Total hari
16 49 11-26 18-21 44,8 (40-49)
18 33 10-14 12-15 26,7 (23-30)
20 23 8-10 10-11 20,5 (19-22)
25 14 7-8 7-9 16,1 (14-18)
30 10 5-6 4-5 10,4 (9-11)
35 8 3-4 3-4 7,0 (6-8)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ihsan (2013) yang mengukur
hubungan suhu dengan pradewasa lalat rumah menghasilkan bahwa suhu
tinggi dapat mempercepat periode perkembangan pradewasa, dan suhu
rendah dapat memperlambat periode perkembangan pradewasa
membentuk persamaan eksponensial, sehingga adanya pengaruh suhu
pada kecepatan perkembangan menyebabkan suhu lingkungan ikut
menentukan jumlah populasi lalat rumah yang dapat meningkatkan
37
potensi wabah penyakit yang diakibatkan oleh lalat rumah (Musca
domestica).
Kelembaban berhubungan erat dengan suhu setempat, jika
kelembaban rendah maka suhu tinggi dan jika kelembaban tinggi maka
suhu rendah. Lalat menyukai kondisi kelembaban 90% (Kemenkes
RI,2008)
2). Pencahayaan
Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik (menyukai
cahaya). Maka dari itu lalat pada malam hari tidak aktif tetapi dapat
diaktifkan jika menggunakan sinar buatan. Pada siang hari lalat akan
berkumpul dan berkembang biak di sekitar sumber makannya
(Kemenkes,2008).
3. Pengendalian Lalat
Dalam pengendalian artropoda ada beberapa prinsip yang perlu diketahui
dalam pelaksanaannya antara lain pengendalian lingkungan, pengendalian
biologi, pengendalian genetik dan pengendalian kimia Pengendalian lingkungan
merupakan cara terbaik untuk mengontrol artopoda karena bersifat permanen
untuk kedepannya (Sumantri,2010).
Pengendalian lingkungan pada lalat ialah perbaikan sanitasi dan penghalang
fisik. Tujuan dari pengendalian lalat ini ialah untuk menurunkan tingkat
kepadatan lalat sehingga tidak menjadi masalah dalam rangka mencegah
penebaran penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat (Kemenkes,2008).
38
a. Sanitasi
Pengendalian dengan menggunakan cara ini dapat ditujukan terhadap larva
dan lalat dewasa yang meliputi antara lain :
Menciptakan lingkungan yang tidak memberikan suatu bentuk
kehidupan larva lalat yaitu keadaan yang kering, udara sejuk dan
bersih
Membuat tempat-tempat lingkungan kerja yang bersih sehingga tidak
memungkinkan pupa lalat untuk hidup dan hinggap
Mencegah adanya bau yang dapat merangsang lalat dewasa datang,
dengan cara menurup sampah atau bagian yang bau dengan penutup
plastik yang langsung dibuang seperti sisa nakanan, ikan, kepala udang
dan sebagainya
Membuat tempat atau alat yang tidak disenangi lalat untuk istirahat
misalnya dinding vertikal yang bebas dari barang yang bergelantungan
Perbaikan lingkungan untuk mengurangi tempat-tempat yang potensial
sebagai tempat perindukan terutama tempat pembuangan sampah
Sampah terutama sampah dapur ditampung pada tempat sampah yang
baik dan tertutup
Pengangkutan dan pembuangan sampah dari setiap lokasi dilakukan
setiap hari dengan cara yang baik
Tempat pengumpulan sampah diberi alas yang kedap air misalnya
dengan besi plat, seng dan lain-lain
Untuk tempat pembuangan kotoran mrnggunakan kakus yang selalu
dalam keadaan bersih
39
b. Penghalang fisik
Pengendalian lalat menggunakan penghalang fisik antara lain :
Pemasangan kawat kasa pada pint dan jendela serta lobang angin
Membuat pintu dua lapis, daun pintu pertama kearah luar dan lapisan
kedua merupakan pintu kasa yang dapat membuka dan menurup
sendiri
Mengalirkan angin yang kencang pada dinding atas sampai bawah
pintu sehingga lalat atau serangga terjatuh bila masuk ke dalam rumah
4. Pengkuran Angka Kepadatan Lalat
Pengukuran kepadatan lalat juga bertujuan untuk menurunkan angka
kepadatan lalat. Kepadatan lalat dapat ditentukan melalui perhitungan dilakukan
dengan menempatka suatu alat di mana lalat terkonsentrasi kemudian diestimasi
ukuran relatif populasi lalat tersebut. Tujuan dari dilakukannya pengukuran
tingkat kepadatan lalat ialah untuk merencanakan upaya pengendalian, yaitu
kapan, dimana dan bagaimana pengendalian akan dilakukan. Dalam menentukan
kepadatan lalat, pengukuran terhadap populasi lalat dewasa lebih tepat dan bisa
diandalkan dari pada pengukuran populasi larva lalat Kemenkes,2008)
Terdapat beberapa peralatan pengukuran lalat yang umum dipakai untuk
mengetahui kepadatan popilasi lalat, antara lain :
a. Umpan Kertas Lengket Berbentuk Lembaran (Sticky Trap)
Alat umpan ini digantung diatap kemudian lalat dapat hinggap pada alat
sticky trap dengan karena alat umpan ini mengandung lem. Alat ini dapat
40
dipergunakan pada bagian dalam ruangan dan dilakukan pengukuran per hari
atau per mingu dan akan diperloleh rata-rata kepadatan lalat per ari dan dapat
diperoleh pula angka kepadatan lalat tertinggi pada daerah tersebut.
b. Perangkap Lalat (Fly trap)
Alat ini cocok untuk menangkap lalat dalam jumlah yang besar atau
jumlah yang banyak. Kontainer yang gelap menjadi tempat yang menarik lalat
untuk berkembangbiak dan mencari makanan saat lalat menoba makan dan
terbang akan tertangkap oleh perangkap yang sudah dilakukan di daerah mulut
kontainer yng terbuka. Alat ini cocok digunakan diluar rumah
Perangkap lalat diletakan setiap hari selama masa pengamatan. Lalat yang
masuk kedalam perangkap setiap hari, sehingga dapat diperoleh angka
kepadatan lalat setiap harinya. Hasil pengukuran ini akan diperoleh angka
kepadatan lalat setiap minggunya/bulannya/tahunnya
Fly trap adalah sebuang perangkap yang terdiri dari kawat kasa sebagai
penutup dan beralaskan kayu untuk menempatkan umpan, tutup kayu dengan
celah kecil dan sangkat di atas penutup. Celah berdiameter 2 cm antara pentup
yang berbentuk kerucut dengan puncak terbuka. Puncak terbuka tersebut untuk
memberikan kelonggaran kepada lalat untuk bergerak menuju penutup.
Perangkap harus ditempatkan di udara terbuka di bawah sinar cerah matahari,
jauh dari keteduhan pepohonan( Nida,2014).
c. Fly Grill
Fly grill adalah alat yang sederhana dan sering digunakan unuk mengukur
kepadatan lalat. Berdasarkan pada sifat lalat yang cenderung hinggap pada
tepi-tepi atau tempat yang berudut tajam dalam kurun waktu tertentu. Cara
kerja alat ini sederhana dalam pengukuran tingkat kepadatan lalat karena
41
dalam perhitungannya diperhatikan per block grill. Alat fly grill ini dapat
diwarnai dari beberapa macam warna dalam pengukuran kepadatan lalat,
warna yang cenderung disukai lalat adalah warna kayu, putih dan warna
kuning
5. Indikator Angka Kepadatan Lalat
Indeks kepadatan lalat dikategrikan sesuai dengan lalat yang tertangkap.
Terdapat 4 kategori indeks populasi lalat, sebagai berikut (Kemenkes,2014).:
0-2 Ekor : rendah atau tidak menjadi masalah
3-5 ekor : sedang atau perlu tindakan pengendalian terhadap tempat
perkembangbiakan lalat
6-20 ekor : tinggi atau populasi cukup padat, perlu pengamanan terhadap
tempat perkembangbiakan lalat
21 ekor : sangat tinggi hingga perlu dilakukan pengamanan terhadap
tempat-tempat perkembangbiakan lalat dan pengendalian
lalat
C. Kerangka Teori
Berdasarkan hasil kajian teori yang telah dipaparkan, faktor-faktor yang
mempengaruhi kepadatan lalat di Rumah Potong Unggas (RPU). Angka kepadatan
lalat di rumah potong unggas akan tinggi jika limbah yang dihasilkan dari
pemotongan unggas di RPU tidak dikelola dengan baik dan sanitasi lingkungan tidak
sesuai dengan persyaratan.
Perilaku pengelolaan limbah buruk baik limbah padat (pemilahan dan
pengangkutan limbah padat) dan limbah cair (perawatan saluran pembuangan air
limbah) dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan yaitu ketersediaan
42
tempat sampah dan ketersediaan saluran pembuangan air limbah serta sanitas tempat
potong yang buruk dapat menjadikan RPU sebagai salah satu tempat
perkembangbiakan dan tempat sumber makanan lalat. Faktor lingkungan seperti
suhu, kelembaban dan pencahayan juga dapamempengaruhi penyebaran lalat.
43
Bagan 2.1
Kerangka Teori
(WHO , 1986; Dirjen P2PL, 2008 dan Dirjen PKH Kementan RI, 2010)
Tempat Perindukan dan
Sumber Makanan Lalat
Sanitasi Lingkungan RPU
1. Ketersedian tempat
penampungan sampah dan
Tempat Pembuangan
Sementara (TPS)
2. Ketersedian Saluran
Pembuangan Air Limbah
(SPAL)
3. Sanitasi tempat potong
Faktor Lingkungan RPU
1. Suhu
2. Kelembaban
3. Pencahayaan
Limbah Padat dan Limbah
Cair
Pengelolaan Limbah
1. Penangangan limbah
padat
2. Perawatan SPAL
Angka Kepadatan
Lalat
Penyembelihan halal
Persyaratan bangunan
RPU
Rumah Potong Unggas
(RPU)
Pengendalian Lalat Non
Kimiawi
1. Sanitasi
2. Penghalang Fisik
44
BAB III
Kerangka Konsep, Definisi Operasional, dan Hipotesis
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori diatas, peneliti ingin melihat hubungan antara
sarana sanitas lingkungan pengelolaan limbah dengan kepadatan lalat di rumah
potong unggas. Variabel independen yang akan diteliti ialah sanitasi lingkungan
pengelolaan limbah (ketersediaan tempat sampah, ketersediaan SPAL dan sanitasi
tempat potong), perilaku pengelolaan limbah, faktor lingkungan (suhu dan
kelembaban). Sedangkan untuk variabel dependennya ialah angka kepadatan lalat
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Sanitasi Lingkungan
1. Ketersedian tempat sampah
2. Ketersediaan saluran
pembuangan air limbah
3. Sanitasi Tempat Pemotongan
Faktor Lingkungan
1. Suhu
2. Kelembaban
Angka Kepadatan
Lalat
Perilaku Pengelolaan Limbah
45
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
No
.
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur
Variabel Dependen
1. 1 Indikator Angka
Kepadatan Lalat
Rata-rata dari populasi lalat yang
terdapat pada perangkap lalat (fly
trap) yang di letakan di lokasi
pengukuran yaitu, tempat
pemotongan, tempat penampungan
sampah dan tempat istirahat
petugas potong.
Pengukuran
kepadatan lalat
Fly trap Ordinal
0 = Tinggi (Lebih
dari sama dengan 21)
1 = Rendah
(Kurang dari 21)
(Kementrian
Kesehatan, 2014)
46
Variabel Independen
1. Perilaku
Pengelolaan
Limbah
Tindakan petugas pemotongan
unggas dalam melakukan
pengelolaan limbah mulai dari
pengelolaan limbah padat dan
kebersihan saluran pembuangan air
limbah yang terdapat di rumah
potong unggas
(FAO,1985)
Wawancara Pedoman
Wawancara
Ordinal 0 = Buruk (bila
nilai dibawah rata-
rata )
1 = Baik (Jika nilai
diatas rata-rata)
(Kasiono et al.,
2016)
2. Tempat
pembuangan
sampah
Ketersediaan tempat penampungan
sampah hasil dari aktivitas rumah
potong unggas yang sesuai dengan
persyaratan.
(FAO,1985)
Observasi Lembar
Observasi
Ordinal 0 = Tidak
Memenuhi syarat
(bila nilai dibawah
rata-rata )
1 = memenuhi
47
syarat (Jika nilai
diatas rata-rata)
(Pebriyanti dan
Nirmala, 2017)
3. Saluran
Pembuangan air
limbah
Saluran Pembuangan Air Limbah
(SPAL) adalah saluran yang
digunakan untuk mengumpulkan
air buangan sisa pencucian dari
aktivitas RPU dan darah dari
pemotongan unggas (SNI,1999)
Observasi Lembar
Observasi
Ordinal 0 = Tidak
Memenuhi syarat
(bila nilai dibawah
rata-rata )
1 = memenuhi
syarat (Jika nilai
diatas rata-rata)
(Pebriyanti dan
Nirmala, 2017)
48
4. Sanitasi Tempat
Potong
Usaha dalam menjaga kebersihan
tempat pemotongan dari limbah
yang dihasilkan dari aktivitas
pemotongan (Kementrian
Pertanian, 2010)
Wawancara dan
Observasi
Pedoman
wawancara
dan Lembar
Observasi
0 = Buruk (bila
nilai dibawah rata-
rata )
1 = Baik (Jika nilai
diatas rata-rata)
(Pebriyanti dan
Nirmala, 2017)
5. Suhu Hasil pengukuran rata-rata kondisi
panas atau dinginnya udara dalam
dan luar ruangan rumah potong
unggas yang dinyatakan dalam
derajat celcius
Pengukuran Thermohygr
ometer
Interval
oC
6. Kelembaban Hasil pengukuran persentase
kandungan uap air di rumah potong
unggas
Pengukuran Thermohygr
ometer
Interval
%
49
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara perilaku pengelolaan limbah dengan kepadatan lalat Rumah
Potong Unggas Kota Depok
2. Ada hubungan antara ketersediaan tempat pembuangan sampah dengan kepadatan
lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok
3. Ada hubungan antara ketersediaan saluran pembuangan air limbah dengan
kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok
4. Ada hubungan antara sanitasi tempat potong dengan kepadatan lalat Rumah Potong
Unggas Kota Depok
5. Ada hubungan antara suhu dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota
Depok
6. Ada hubungan antara kelembaban dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas
Kota Depok
50
BAB IV
Metodologi Penelitian
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan bentuk desain studi
yaitu cross sectional study. Cross sectional study adalah penelitian yang mendesain
pengumpulan data variabel risiko atau sebab (independent variabel) maupun
variabel akibat (dependen variabel) dalam satu waktu dimana keadaan yang diteliti
adalah selama satu periode pengumpulan data (Notoatmodjo,2012). Variabel
Independen adalah, perilaku pengelolaan limbah, sanitasi lingkungan (ketersediaan
tempat sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat potong), faktor lingkungan
(suhu dan kelembaban). Untuk variabel depeden adalah indikator angka kepadatan
lalat.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - September 2018 terhitung sejak
pengambilan data hingga laporan hasil. Adapun lokasi penelitian yang dipilih adalah
rumah potong unggas yang terdapat di Kota Depok.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi merupakan objek yang mungkin terpilih atau keselurahn ciri yang
dipelajari (Nugroho,2017). Adapun populasi pada penelitian ini adalah rumah
potong unggas di Kota Depok pada tahun 2018. Jumlah populasi penelitian ini
adalah 12 rumah potong unggas. Penelitian ini menggunakan teknik total sampling,
dimana sampel penelitian ini merupakan seluruh anggota populasi. Hal ini
51
dikarenakan jumlah poplasi yang relatif kecil (Hermawanto, 2010). Sehingga jumlah
sampel pada penelitian ini adalah 12 rumah potong unggas.
D. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini bersumber dari data sekunder dan primer. Data
sekunder berupa lokasi rumah potong hewan dan tempat pemotongan hewan yang
berada di wilayah Kota Depok. Data primer yang digunakan adalah data mengenai
keberadaan lalat di tempat istirahat karyawan, keberadaan lalat pada tempat potong
dan keberadaan lalat di tempat penyimpanan sampah di setiap Rumah Potong Unggas
(RPU) di wilayah Kota Depok, data mengenai sanitasi lingkungan RPU, data
pengelolaan limbah di RPU, data suhu dan data kelembaban di RPU.
2. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan agar analisis penelitian menghasilkan informsai yang
benar dan berguna. Dalam proses pengolahan data, ada beberapa kegiatan yang
dilakukan peneiti yaitu (Notoatmodjo,2012)
a. Editing (Penyuntingan data) merupakan tahap dimana hasil pengumpulan data
disunting atau dilakukan pengecekan terlebih dahulu. Jika masih ada data atau
informasi yang tidak lengkap maka dilengkapi segera atau data yang tidak
lengkap tetapi tidak mungkin dilakukan wawancara ulang maka data tersebut
dikeluarkan.
b. Coding ialah tahap dimana mengubah data berbentuk kalimat atau huruf
menjadi data angka (pemberian kode) sesua dengan tujuan dikumpulkannya
data
52
c. Entry atau Processing ialah tahap memasukan data dimana hasil data yang
sudah dilakukan pengkodean dimasukan ke dalam program atau software
komputer. Program komputer yang digunakan pada penelitian ini ialah
menggunakan SPSS.
d. Cleaning merupakan tahap pembersihan data setelah data dimasukan. Tujuan
dari tahap cleaning ini ialah untuk melihat kemungkinan terjadinya kesalahan,
ketidaklengkapan dan sebagainya.
E. Instrumen Penelitian
1. Fly trap
Fly trap adalah perangkap lalat berbentuk kubus yang untuk mengukur
kepadatan lalat yang berada di rumah potong unggas (Tempat pembuangan
sampah, tempat pemotongan unggas dan tempat istirahat karyawan). Berikut
uji fungsi fly trap
Menentukan lokasi perhitungan kepadatan lalat
Memasukan fly trap yang sudah berisi umpan berupa udang busuk
Meletakan fly trap pada titik sampling yang telah ditentukan selama
seharian atau 24 jam
Menghitung kepadatan lalat setiap 4 jam sekali lalu di jumlahkan setiap
titiknya
Hasil dari setiap titik dijumlahkan dan dicari rata-rata sehigga didapatkan
angka kepadatan lalat di rumah potong unggas tersebut
Berikut waktu yang akan dilakukan pengukuran
53
Tabel 4.1
Waktu Pengukuran Penelitian
Pengukuran Waktu
1 07.00 - 11.00
2 11.00 – 15.00
3 15.00 – 19.00
4 19.00 – 23.00
5 23.00 – 03.00
6 03.00 – 07.00
2. Lembar Checklist
Merupakan lembar berisi list objek yang harus diamati untuk mengetahui
variabel memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat. Objek yang
memenuhi syarat diberikan tanda (check). Variabel yang diamati ialah
sanitasi lingkungan yaitu ketersediaan tempat sampah, ketersediaan SPAL
dan sanitasi tempat potong
3. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara merupakan daftar pertanyaan untuk mengumpulkan
data mengenai perilaku pengelolaan limbah dan sanitasi tempat potong.
4. Thermohygrometer
Thermohygrometer adalah alat untuk mengukur suhu dan kelembaban udara
dalam ruangan. Pengambilan sampel suhu dan kelembaban udara dalam ruangan
dilakukan di ruangan tempat
54
Berikut cara kerja dari thermohygrometer:
Masukkan baterai dan alat akan hidup secara otomatis.
Letakkan thermohygrometer pada titik tengah atau epicentrum tempat dengan
menaruh diatas meja atau digantung pada tempat yang ingin dikur suhu dan
kelembabannya.
Thermohygrometer akan otomatis mengukur suhu dan kelembaban udara di
tempat pengukuran.
Catat perubahan nilai dari suhu dan kelembaban ruangan tersebut setiap
menitnya selama 10 menit.
Hitung rata-rata dari nilai suhu dan kelembaban dalam ruangan.
F. Validasi Instrumen
Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ketepatan instrumen
dalam melakukan pengukuran. Uji validitas dilakukan pada subjek yang memiliki
karakterisik hampir sama dengan subjek penelitian yaitu petugas potong unggas.
Sampel pada uji validitas dalam penelitian ini ialah petugas potong unggas yang
terdapat di daerah Bekasi dan Bogor. Uji validitas dilakukan pada 20 orang
responden petugas potong unggas. Uji validitas yang dilakukan ialah uji validitas
muka. Validitas muka dilakukan dengan melihat muka responden apabila mengalami
kebingungan saat menjawab. Berdasarkan hasil uji validitas muka maka terdapat
satu item yang perlu dilakukan redaksi kata yaitu pada pertanyaan nomor pertama di
instrumen kuesioner.
55
G. Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
distribusi frekuensi dari setiap variabel penelitian baik variabel independen
maupun variabel dependen. Variabel independen yang diteliti berupa
perilaku pengelolaan limbah, sanitasi lingkungan (ketersediaan tempat
sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat potong) dan faktor lingkungan
(suhu dan kelembaban). Variabel depeden yang diteliti berupa angka
kepadatan lalat.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui
hubungan antara dua variabel yang berhubungan (variabel independen dan
variabel dependen). Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk
mengetahui hubungan antara, perilaku pengelolaan limbah, sanitasi lingkungan
dan faktor lingkungan dengan angka kepadatan lalat.
Untuk data numerik ( faktor lingkungan) dengan data kategorik (angka
kepadatan lalat) analisis menggunakan uji t independen apabila berdistribusi
normal dan menggunakan uji mann whitney apabila berdistribusi tidak normal.
Sedangkan untuk data kategorik (sanitasi lingkungan dan perilaku pengelolaan
limbah) dengan data kategorik ( angka kepadatan lalat) menggunakan uji chi
square. Penelitian ini menggunakan uji kemaknaan 5% dan derajat kepercayaan
(CI = 95%). Bila P-Value ≤ 0,05 maka hasil perhitungan secara statistik
menunjukan adanya hubungan antara variavel independen dengan variabel
56
dependen, sedangkan jika P-value > 0,05 maka hasil perhitungan secara statistik
tidak menunjukkan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen
57
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gamabaran Wilayah Penelitian
1. Rumah Potong Unggas
Penelitian ini berlokasi di Rumah Potong Unggas (RPU) di Kota Depok. RPU
adalah bangunan yang kompleks dengan desain dan kontruksi bangunan khusus yang
memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat
pemotongan unggas untuk dikonsumsi masyarakat umum (Kementrian Pertanian,
2005). Pada penelitian ini terdapat 12 RPU yang tersebar di Kota Depok berdasarkan
dengan data yang terdapat di Dinas Pertanian Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota
Depok.
Tabel 5.1
Lokasi Penelitian
RPU Kelurahan Kecamatan
1 Mekarsari Cimanggis
2 Tugu Cimanggis
3 Tugu Cimanggis
4 Beji Timur Pancoran Mas
5 Beji Timur Pancoran Mas
6 Tirtajaya Sukmajaya
7 Duren Mekar Bojongsari
8 Duren Mekar Bojongsari
9 Sawangan Bojongsari
10 Sawangan Bojongsari
11 Cilangkap Tapos
12 Tapos Tapos
58
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 556 Tahun 1976 RPU Kota
Depok termasuk kedalam kategori kelas D berdasarkan luasan peredaran
dagingnya. Hal ini karena peredaran daging unggas pada RPU Kota Depok hanya
untuk kebutuhan Kota Depok. Distribusi unggas yang telah dipotong pada RPU
Kota Depok mayoritas ke pasar yang berada di Kota Depok tetapi ada pula yang
diperuntungkan untuk hotel dan restauran.
Skala jumlah pemotongan termasuk skala pemotongan sedang. Setiap
harinya RPU Kota Depok dapat memotong sebanyak 500-1000 ekor unggas. RPU
di Kota Depok rata-rata masih melakukan pemotongan secara manual atau
tradisional. Hanya terdapat dua RPU yang sudah menggunakan mesin dalam
pemotongan yaitu RPU Tapos dan RPU di Tirtajaya.
2. Letak Geografis
Secara administratif luas wilayah Kota Depok ialah 20029 ha yang terdiri dari 11
Kecamatan dan 63 Kelurahan. 6º19‟00‟‟-6º28‟00‟‟ lintang selatan dan 106º43‟00‟‟ -
106º55‟30‟‟ bujur timur. Bentang alam Kota Depok dari selatan ke utara merupakan
daerah dataran rendah dan perbukitan bergelombang Wilayah Kota Depok berbatasan
dengan tiga kabupaten dan satu provinsi diantaranya. (BPS Depok, 2016).
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang
dan DKI Jakarta
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan
Kecamtan Gunung Putri Kabupaten Bogor
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan
Bojonggede Kabupaten Bogor
59
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung
Sindur Kabupaten Bogor
B. Analisis Univariat
Analisis univariat mendeskripsikan angka kepadatan lalat, perilaku pengelolaan
limbah, sanitasi lingkungan (ketersediaan tempat sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi
tempat potong), faktor lingkungan (suhu dan kelembaban).
1. Gambaran Angka Kepadatan Lalat
Hasil penelitian mengenai angka kepadatan lalat pada rumah potong
unggas di Kota Depok yang dilakukan dengan menggunakan alat fly trap.
Grafik 5.1
Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Waktu Pengukuran
Berdasarkan grafik 5.1 dapat dilihat bahwa pada pengukuran pukul
07.00 hingga 19.00 angka kepadatan lalat pada mayoritas RPU masih
tergolong tinggi. Pada pengukuran pukul 19.00 hingga 23.00 masih terdapat
0
50
100
150
200
250
300
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
07.00-11.00
11.00-15.00
15.00-19.00
19.00-23.00
23.00-03.00
03.00-07.00
60
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Musca domestica
Sarcophaga sp
Chrysomya megacepha
Tiotal
beberapa RPU yang terdapat lalat seperti pada RPU 1,3,5,6 dan 8. Sedangkan
pada pengukuran pukul 23.00 hingga 07.00 tidak terdapat lalat.
Tabel 5.2
Distribusi Rata-Rata Angka Kepadatan Lalat di RPU Kota Depok
Berdasarkan tabel 5.2 dari hasil analisis gambaran angka kepadatan
lalat di RPU, diperoleh bahwa 7 RPU (58,3%) memiliki angka kepadatan
lalat tinggi dan 5 RPU (41,7%) memiliki angka kepadatan lalat rendah. Dari
tabel tersebut dapat dilihat bahwa lebih banyak RPU yang memiliki angka
kepadatan lalat yang tinggi
Grafik 5.2
Identifikasi Lalat
Angka Kepadatan
Lalat
N Persentase (%)
Rendah 5 41,7
Tinggi 7 58,3
Total 12 100
61
Berdasarkan grafik 5.3 diketahui bahwa mayoritas lalat yang
teridentifikasi di RPU ialah jenis Musca Domestica.
2. Gambaran Perilaku Pengelolaan Limbah
Hasil penelitian mengenai perilaku pengelolaan limbah oleh pengelola
rumah potong unggas di Kota Depok yang dilakukan dengan menggunakan
pedoman wawancara
Tabel 5.3
Distribusi Perilaku Pengelolaan Limbah
Berdasarkan tabel 5.3 dari hasil analisis gambaran perilaku
pengelolaan limbah oleh pengelola RPU, diperoleh bahwa 7 RPU (58,3%)
memiliki perilaku pengelolaan limbah yang baik dan 5 RPU (41,7%)
perilaku pengelolaan limbah yang buruk. Dari tabel tersebut dapat dilihat
bahwa lebih banyak RPU yang memiliki perilaku pengelolaan limbah yang
baik.
Perilaku Pengolahan
Limbah
N Persentase (%)
Baik 7 58,3
Buruk 5 41,7
Total 12 100
62
Tabel 5.4
Distribusi Item Pertanyaan terkait dengan Pengelolaan Limbah
Tabel 5.4 menunjukan item pertanyaan terkait perilaku pengelolaan
limbah pada RPU Kota Depok. Terdapat dua item pertanyaan yang mayoritas
pengelola RPU tidak melakukan yaitu item pembakaran bangkai unggas dan
pembersihan kotorana unggas. Hanya terdapat 2 RPU (16,7%) yang
melakukan pembakaran bangkai unggas dan hanya terdapat 5 RPU (41,7%)
yang melakukan pembersihan kotoran unggas setiap harinya.
3. Gambaran Sanitasi Lingkungan
Hasil penelitian mengenai sanitasi lingkungan meliputi ketersediaan
tempat sampah, ketersediaan SPAL dan sanitasi tempat potong di RPU Kota
Depok tahun 2018.
a. Gambaran Ketersediaan Tempat Sampah
Hasil penelitian mengenai ketersediaan tempat sampah di rumah
potong unggas di Kota Depok yang dilakukan dengan menggunakan lembar
observasi atau pengamatan
Item Pengelolaan Limbah Ya Tidak
N % N %
Pemisahan sampah organik dan anorganik 9 75% 3 25%
Pemisahan sampah basah dan sampah kering 9 75% 3 25%
Pengangkutan sampah 1 x 24 jam 9 75% 3 25%
Pembakaran bangkai unggas 2 16,7% 10 83,3%
Pembersihan SPAL dari padatan 9 75% 3 25%
Pembersihan kotoran unggas setiap hari 5 41,7% 7 58,3%
Pembersihan kandang unggas 9 75% 3 25%
63
Tabel 5.5
Distribusi
Ketersediaan Tempat
Sampah
Berdasarkan tabel 5.5 dari hasil analisis gambaran ketersedian tempat
sampah di RPU, diperoleh bahwa 6 RPU (50%) memiliki ketersediaan
tempat sampah yang memenuhi syarat dan 6 RPU (50%) memiliki
ketersediaan tempat sampah yang tidak memenuhi syarat Dari tabel tersebut
dapat dilihat bahwa RPU yang memiliki ketersediaan tempat sampah yang
memenuhi syarat jumlahnya sama dengan RPU yang memiliki ketersediaan
tempat sampah yang tidak memenuhi syarat
Tabel 5. 6
Ketersediaan Tempat
Sampah
N Persentase (%)
Memenuhi Syarat 6 50
Tidak Memenuhi
Syarat
6 50
Total 12 100
Item Ketersediaan Tempat Sampah Ya Tidak
N % N %
Mempunyai Tempat Penampungan Sampah
Sementara
9 75 3 25
Tidak ada sampah yang terbuang sembarangan 1 8,3 11 91,7
Tersedia tempat sampah di tempat pemotongan 5 41,7 7 58,3
Tempat sampah bahan kedap air 11 91,7 1 8,3
64
Distribusi Item Pertanyaan terkait dengan Ketersediaan Tempat Sampah
Tabel 5.6 menunjukan item pertanyaan terkait ketersediaan tempat
sampah yang memenuhi persyaratan pada RPU Kota Depok. Terdapat tiga
item pertanyaan yang mayoritas pengelola RPU tidak memenuhi persyaratan
yaitu item mengenai sampah yang masih terbuang sembarangan, tidak
tersedianya tempat sampah di tempat pemotongan dan bahan tempat sampah
yang tidak mudah dibersihkan Hanya terdapat 1 RPU (16,7%) yang tidak
terdapat sampah terbuang sembarangan, hanya terdapat 5 RPU (41,7) yang
tempat sampahnya tertutup dan hanya terdapat 5 RPU (41,7%) yang tempat
sampahnya mudah dibersihkan
b. Gambaran Ketersediaan SPAL
Hasil penelitian mengenai ketersediaan Saluran Pembuangan Air
Limbah (SPAL) di rumah potong unggas di Kota Depok yang dilakukan
dengan menggunakan observasi atau pengamatan
Tabel 5.7
Distibusi Ketersediaan SPAL
Tempat sampah tertutup 11 91,7 1 8,3
Tempat sampah mudah dibersihkan 5 41,7 7 58,3
Sanitasi SPAL N Persentase (%)
Memenuhi Syarat 7 58,3
Tidak Memenuhi
Syarat
5 41,7
Total 12 100
65
Berdasarkan tabel 5.7 dari hasil analisis gambaran SPAL di RPU,
diperoleh bahwa 7 RPU (58,3%) memiliki ketersediaan SPAL yang
memenuhi syarat dan 5 RPU (41,7 %) memiliki ketersediaan SPAL yang
tidak memenuhi syarat Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa lebih banyak
RPU yang memiliki ketersediaan SPAL yang memenuhi syarat.
Tabel 5.8
Distribusi Item Pertanyaan terkait dengan Ketersediaan SPAL
Pada tabel 5.8 menunjukan item pertanyaan terkait saluran pembuangan
air limbah yang memenuhi syarat. Dari 4 item tersebut terdapat satu item
yang mayoritas RPU masih tidak memenuhi yaitu saluran air limbah yang
masih tidak tertutup. Hanya terdapat 2 RPU (16,7%) yang tidak memiliki
saluran air limbah tertutup.
c. Gambaran Sanitasi Tempat Pemotongan Unggas
Hasil penelitian mengenai sanitasi tempat pemotongan unggas di rumah
potong unggas di Kota Depok yang dilakukan dengan menggunakan lembar
observasi atau pengamatan dan pedoman wawancara.
Item Ketersediaan SPAL Ya Tidak
N % N %
Mempunyai saluran pembuangan air limbah 10 83,3 2 16,7
Kedap air (permanen disemen atau diubin) 10 83,3 2 16,7
Saluran air limbah cair tertutup 2 16,7 10 83,3
Aliran air limbah lancar 10 83,3 2 16,7
66
Tabel 5.9
Distribusi Sanitasi Tempat Pemotongan Unggas
Berdasarkan tabel 5.9 dari hasil analisis gambaran sanitasi tempat
pemotongan unggas, diperoleh bahwa 4 RPU (33,3%) memiliki sanitasi
tempat pemotongan unggas yang baik dan 8 RPU (66,7%) memiliki sanitasi
tempat pemotongan unggas yang buruk. Dari tabel tersebut dapat dilihat
bahwa lebih banyak RPU yang memiliki sanitasi tempat pemotongan unggas
yang buruk.
Tabel 5.10
Distribusi Item Pertanyaan terkait Sanitasi Tempat Potong
Pada tabel 5.10 menunjukan item pertanyaan terkait sanitasi tempat
potong yang baik. Dari 8 item tersebut terdapat tiga item yang mayoritas RPU
Sanitasi Tempat
Pemotongan Unggas
N Persentase (%)
Baik 4 33,3
Buruk 8 66,7
Total 12 100
Item Sanitasi Tempat Potong Ya Tidak
N % N %
Air bersih yang digunakan cukup untuk membersihkan 12 100 0 0
Menyikat tempat pemotongan 10 83,3 2 16,7
Pemberian desinfektan pada tempat pemotongan 5 41,7 7 58,3
Menyikat peralatan pemotongan 11 91,7 1 8,3
Pemberian desinfektan pada peralatan pemotongan 3 25 9 75
Tidak terdapat limbah padat pada tempat potong 6 50 6 50
Tidak terdapat limbah cair pada tempat potong 5 33,3 8 66,7
Peralatan bersih dari darah 9 75 3 25
67
0
5
10
15
20
25
30
35
40
RPU
1
RPU
2
RPU
3
RPU
4
RPU
5
RPU
6
RPU
7
RPU
8
RPU
9
RPU
10
RPU
11
RPU
12
Su
hu
(0
C)
07.00-11.00
11.00-15.00
15.00-19.00
19.00-23.00
23.00-03.00
03.00-07.00
masih tidak sesuai yaitu pemberian desinfektan pada tempat pemotongan
(41,7%), pemberian desinfektan pada peralatan (25%) dan tidak terdapat
limbah cair pada tempat potong (33,3%).
4. Gambaran Faktor Lingkungan
a. Gambaran Suhu
Grafik 5.3
Berdasarkan grafik 5.3 diketahui bahwa suhu tertinggi ialah pada
pengukuran 11.00 hingga 15.00 dan suhu terendah ialah pada pengukuran
pukul 23.00 hingga 03.00.
Tabel 5.11
Distribusi Suhu
Suhu Mean Median Min-Max SD
30,74 30,76 29,4-32,1 0,9016
68
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
RPU1
RPU2
RPU3
RPU4
RPU5
RPU6
RPU7
RPU8
RPU9
RPU10
RPU11
RPU12
07.00-11.00
11.00-15.00
15.00-19.00
19.00-23.00
23.00-03.00
03.00-07.00
Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa suhu di RPU Kota Depok
memiliki rata-rata 30,74o C dan nilai tengah 30,76
o C. Adapun standar
deviasinya adalah 0,9016. Suhu minimum RPU ialah 29,4 o C dan suhu
maksimum ialah 32,1 o C
b. Gambaran Kelembaban
Grafik 5.4
Tren Kelembaban
Berdasarkan grafik 5.4 diketahui bahwa kelembaban terendah pada
waktu pengukuran kedua (11.00-15.00) dan kelembaban tertinggi pada waktu
pengukuran kelima (23.00-03.00).
Tabel 5.12
Distribusi Kelembaban
Kelembaban Mean Median Min-Max SD
65% 67% 58%-69% 4,390
69
Berdasarkan tabel 5.12 diketahui bahwa kelembaban di RPU Kota
Depok memiliki rata-rata 65 % dan nilai tengah 67%. Adapun standar
deviasinya 4,390 Kelembaban minimum RPU ialah 58% dan kelembaban
maksimum ialah 69%
C. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. Uji yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara
perilaku pengelolaan limbah dengan angka kepadatan lalat, hubungan ketersediaan
tempat sampah dengan angka kepadatan lalat, hubungan ketersediaan SPAL dengan
angka kepadatn lalat, hubungan sanitasi tempat pemotongan dengan angka kepadatan
lalat menggunakan uji chi-square. Sedangkan untuk menganalisis hubungan antara
suhu dengan angka kepadatan lalat menggunakan uji t-independen dan kelembaban
dengan angka kepadatan lalat menggunakan uji mann whitney
1. Hubungan Perilaku Pengelolaan Limbah Dengan Angka Kepadatan
Lalat
Hasil penelitian ini mengenai hubungan perilaku pengelolaan limbah
dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai
berikut.
70
Tabel 5.13
Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Perilaku Pengelolaan Limbah
di RPU Kota Depok Tahun 2018
Berdasarkan tabel 5.13 diketahui bahwa RPU yang perilaku
pengelolaan limbah buruk dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 6
RPU (85,7 %). Sedangkan RPU yang perilaku pengelolaan limbahnya baik
dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 1 RPU ( 20%). Dari hasil uji
stastistik diperoleh nilai P value sebesar 0,072 artinya pada tingkat
kemaknaan 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku
pengelolaan limbah dengan angka kepadatan lalat.
`Perilaku
Pengelolaan
Limbah
Angka Kepadatan Lalat Pvalue
Tinggi Rendah Total
N % N % N %
Buruk 6 85,7% 1 14,3% 7 100% 0,072
Baik 1 20% 4 80 % 5 100%
71
2. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Angka Kepadatan Lalat
a. Hubungan Ketersediaan Tempat Sampah Dengan Angka Kepadatan
Lalat
Hasil penelitian ini mengenai hubungan ketersediaan tempat sampah
dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai
berikut
Tabel 5.14
Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Ketersediaan Tempat Sampah
di RPU Kota Depok Tahun 2018
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui bahwa RPU yang ketersediaan
tempat sampah tidak memenuhi syarat dan memiliki angka kepadatan lalat
tinggi yaitu 6 RPU (100%). Sedangkan RPU yang ketersediaan tempat
sampah memenuhi syarat dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 1
RPU (16,7%). Dari hasil uji stastistik diperoleh nilai P value sebesar 0,015
artinya pada tingkat kemaknaan 5% terdapat hubungan yang bermakna antara
ketersediaan tempat sampah dengan angka kepadatan lalat.
Ketersediaan
Tempat Sampah
Angka Kepadatan Lalat Pvalue
Tinggi Rendah Total
N % N % N %
Tidak Memenuhi
Syarat
6 100% 0 0% 6 100% 0,015
Memenuhi Syarat 1 16,7% 5 83,5% 6 100%
72
b. Hubungan Ketersediaan SPAL Dengan Angka Kepadatan Lalat
Hasil penelitian ini mengenai hubungan ketersediaan SPAL dengan
angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai berikut
Tabel 5.15
Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Ketersediaan
SPAL di RPU Kota Depok Tahun 2018
Berdasarkan tabel 5.15 diketahui bahwa RPU yang ketersediaan SPAL
tidak memenuhi syarat dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 4 RPU
(80%). Sedangkan RPU yang ketersediaan SPAL memenuhi syarat dan
memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 3 RPU ( 42,9%). Dari hasil uji
stastistik diperoleh nilai P value sebesar 0,293 artinya pada tingkat
kemaknaan 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediaan
SPAL dengan angka kepadatan lalat.
Ketersediaan
SPAL
Angka Kepadatan Lalat Pvalue
Tinggi Rendah Total
N % N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
4 80 1 20 5 100 0,293
Memenuhi
Syarat
3 42,9 4 57,1 9 100
73
c. Hubungan Sanitasi Tempat Potong Dengan Angka Kepadatan Lalat
Hasil penelitian ini mengenai hubungan sanitasi tempat potong dengan angka
kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai berikut
Tabel 5.16
Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Sanitasi Tempat Potong di RPU
Kota Depok Tahun 2018
Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa RPU yang sanitasi tempat
potong buruk dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 7 RPU (87,5 %).
Sedangkan tidak terdapat RPU yang sanitasi tempat potong baik dan memiliki
angka kepadatan lalat tinggi Dari hasil uji stastistik diperoleh nilai P value
sebesar 0,010 artinya pada tingkat kemaknaan 5% terdapat hubungan yang
bermakna antara sanitasi tempat potong dengan angka kepadatan lalat.
Sanitasi
Tempat
Potong
Angka Kepadatan Lalat Pvalue
Tinggi Rendah Total
N % N % N %
Buruk 7 87,5 1 12,5 8 100 0,010
Baik 0 0 4 80 4 100
74
3. Hubungan Faktor Lingkungan Dengan Angka Kepadatan Lalat
a. Hubungan Suhu Dengan Angka Kepadatan Lalat
Hasil penelitian ini mengenai hubungan suhu dengan angka kepadatan lalat di
RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai berikut
Tabel 5.17
Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Suhu di RPU Kota Depok Tahun
2018
Berdasarkan tabel 5.17 menunjukan bahwa dari 7 RPU yang memiliki
angka kepadatan lalat tinggi diketahui rata-rata suhunya adalah 31,11 oC
dengan standar deviasi 0,8855. Sedangkan dari 5 RPU yang memiliki angka
kepadatan lalat rendah diketahui rata-rata suhunya adalah 30.22 o
C. Hasil uji
statistik menujukan nilai p-value sebesar 0,461 artinya pada tingkat
kemaknaan 5% tidak terdapat hubungan bermakna rata-rata suhu antara RPU
yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi dengan RPU yang memiliki angka
kepadatan lalat rendah.
Angka Kepadatan Lalat Mean SD Pvalue N
Suhu
Tinggi 31,11 oC 0,8855 0,092 7
Rendah 30.22 oC 0,6955 5
75
b. Hubungan Kelembaban Dengan Angka Kepadatan Lalat
Tabel 5.18
Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Kelembaban di RPU Kota Depok
Tahun 2018
B
Berdasarkan tabel 5.18 menunjukan bahwa dari 7 RPU yang memiliki
angka kepadatan lalat tinggi diketahui rata-rata kelembabannya 64,71 %adalah
dengan standar deviasi 4,309. Sedangkan dari 5 RPU yang memiliki angka
kepadatan lalat rendah diketahui rata-rata kelembabannya adalah 65,40%
dengan standar deviasi 4,980. Hasil uji statistik menujukan nilai p-value
sebesar 0,102 artinya pada tingkat kemaknaan 5% tidak terdapat hubungan
bermakna rata-rata kelembaban antara RPU yang memiliki angka kepadatan
lalat tinggi dengan RPU yang memiliki angka kepadatan lalat rendah.
Angka Kepadatan
Lalat
Mean SD Pvalue N
Kelembaban
Tinggi 64,71 4,309 0,250
7
Rendah 65,40 4,980 5
76
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
1. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalahdesain studi cross sectional
sehingga tidak dapat melihat hubungan sebab akibat. Tetapi,penelitian ini dapat
mengetahui distribusi angka kepadatan lalat berdasarkan perilaku pengelolaan,
sanitasi lingkungan pengelolaan limbah (tempat sampah,, dan sanitasi tempat
pemotongan) serta lingkungan fisik (suhu dan kelembaban).
2. Pengukuran hanya dilakukan selama satu hari sehingga tidak bisa mengetehui
keefektifan pengendalian lalat dengan fly trap. Tetapi hanya untuk mengetahui
gambaran angka kepadatan lalat
3. Pengukuran faktor lingkungan pada penelitian ini hanya suhu dan kelembaban tidak
mengukur pencahayaan. Akan tetapi, pengukuran lalat dilakukan selama 24 jam
sehingga bisa dilihat pada waktu berapa tingkat angka kepadatan lalat tinggi.
B. Gambaran Angka Kepadatan Lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018
Lalat merupakan salah satu vektor mekanik yang seringkali ditemukan di sekitar
masyarakat. Penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat diantaranya demam thypus,
paratyphus, disentri, kholera dan sebagainya. Selain menimbulkan masalah
kesehahatan lalat juga sebagai indikator sanitasi suatu tempat dan menganggu
manusia secara psikologis (Subagyo,2008).
Pada penelitian ini pengukuran angka kepadatan lalat menggunakan fly trap
dengan umpan udang busuk. Sesuai dengan WHO (1986), pengukuran angka
kepadatan lalat yang paling tepat pada tempat yang terdapat aktivitas manusia dan
77
unggas seperti rumah potong unggas ialah menggunakan fly trap . Sedangkan, pada
penelitian yang dilakukan oleh Nadeak et al., (2017) menyatakan bahwa bentuk fly
trap yang paling baik ialah bentuk kubus. Karena lalat menyukai sesuatu yang
berujung tajam. Untuk umpan yang paling baik ialah menggunakan udang yang telah
busuk.
Pengukuran angka kepadatan lalat dilakukan pada tiga titik tempat pemotongan
unggas, tempat penampungan sampah dan tempat istirahat petugas. Penetuan titik
pengukuran di tempat pemotongan unggas dan tempat penampungan sampah ialah
karena pada titik tersebut penumpukan limbah terjadi sehingga ada kemungkinan
angka kepadatan lalat tinggi. Sedangkan untuk tempat istirahat petugas menjadi titik
pengukuran karena tingginya akivitas manusia pada tempat istirahat ini dan tempat
istirahat petugas di RPU Kota Depok mayoritas berdekatan dengan tempat
pemotongan unggas.
Berdasarkan hasil pengukuran angka kepadatan lalat diketahui bahwa dari 12
RPU yang diteliti terdapat 7 RPU (58,3%) yang memiliki angka kepadatan lalat
tinggi. Faktor yang mempengaruhi angka kepadatan lalat tinggi ialah terdapatnya
tempat perindukan lalat dan faktor lingkungan (Sigit dan Hadi, 2006). Tempat
perindukan lalat seperti sampah terutama sampah basah dan sampah organik seperti
sayur-sayuran, buah, sisaan pada daging hewan (darah, jeroaan dan tulang) dan
bangkai hewan. Selain itu, lalat juga dapat berkembang biak pada penumpukan
kotoran hewan dan pada saluran pembuang air limbah (WHO,1986).
Bangunan RPU Kota Depok mayoritas masih tidak sesuai dengan persyaratan
yang telah ditentukan. Pada SNI (1999) menghimbau untuk RPU memiliki pintu yang
terpisah antara pintu keluar daging yang telah dipotong dengan pintu masuknya
78
unggas hidup. Tetapi, RPU Kota Depok Mayoritas masih tidak memiliki pintu yang
dapat menutup ruangan. Chaiwong et,al (2014) menyatakan bahwa bahwa lalat dapat
masuk melalui ventilasi seperti pintu dan jendela terbuka. Bangunan RPU Kota
Depok yang mayoritas masih semi terbuka karena tidak terdapat ventilasi seperti pintu
dan jendela sehingga dapat membantu lalat untuk masuk dengan mudah.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran lalat ialah suhu, kelembaban
dan pencahayaan (WHO,1986). Hasil pengukuran pada penelitian ini ditemukan
bahwa pada pukul 07.00 hingga 19.00 lalat dapat tertangkap dalam jumlah yang
banyak (dapat dilihat pada grafik 5.1). Hal ini karena lalat adalah hewan yang
fototropik sehingga pada siang hari lalat lebih aktif untuk mencari makan dan
berkembang biak.
Lalat masuk kedalam golongan ordo Diptera, subordo Cyclorrhapha dan
anggotanya terdiri lebih dari 116.000 spesies di seluruh dunia. Berbagai jenis famili
yang penting antara lain adala Muscidae (berbagai jenis lalat rumah, lalat kandang,
lalat tanduk). Calliphoridae (berbagai jenis lalat hijau) dan Sarcophagidae (berbagai
jenis lalat daging) (Sigit dan Hadi,2006). Pada hasil penelitian ini teridentifikasi
beberapa jenis lalat yaitu, Musca domestica (lalat rumah), Sarcophaga sp (lalat blirik
atau lalat daging) dan Chrysomya megacepha (lalat hijau). Jenis lalat yang paling
banyak teridentifikasi ialah Musca domestica (lalat rumah). Penelitian yang dilakukan
oleh (Nurita et al., 2008) juga menyatakan bahwa lalat yang paling banyak ditemukan
di rumah potong unggas adalah Musca domestica (lalat rumah). Hal ini kemungkinan
karena letak 12 RPU di Kota Depok yang berada di kawasan pemukiman dimana
lalat rumah seringkali ditemukan di pemukiman. Ukuran lalat rumah berkisar antara 6
mm – 9 mm dan memiliki warna abu-abu kehitaman.
79
Kedekatan lalat dengan pemukiman penduduk juga dapat mempengaruhi
kesehatan masyarakat. Kontak antara manusia (pejamu) dan lalat (vektor) pada suatu
tempat dan waktu dapat mengetahui kemungkinan bahaya epidemi penyakit yang
akan ditularkan oleh lalat (vektor). Besar kontak antara vektor dan pejamu tergantung
kepada kebiasana lalat dalam mencari makan dan ketersediaan manusia (pejamu) pada
tempat dan waktu tersebut (Sumantri,2010). Lalat dapat menyebarkan patogen yang
berada di kaki dan sayapnya. Sehingga jika lalat hinggap di dalam makanan dan
minuman yang akan dikonsumsi manusia maka akan menyebabkan masalah
kesehatan. (Dewi,2007)
Lalat tidak hanya mengganggu secara estetika tetapi yang lebih penting adalah
lalat sebagai vektor mekanis berbagai penyakit yang bersifat wabah. Bakteri yang
banyak mengkontaminasi lalat adalah E. coli, Klebsiella pneumoniae, dan Bacillus sp.
Selain bakteri tersebut, lalat juga membawa Enterobacter aerogenes, Enterococcus
sp, Proteus morgani, Proteus mirabilis, Providencia rettgeri, Pseudomonas
aerogenosa, Serratia marcessense, Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp.4
(Adenusi and Adewoga, 2013). Bakteri tersebut adalah bakteri yang dapat
menyebabkan berbagai masalah kesehatan salah satunya adalah diare.
Berdasarkan penelitian Kurniawan (2013), menyatakan bahwa pemukiman
penduduk yang tinggal berjarak 0-100 m dari RPU memiliki angka kepadatan lalat
tinggi sebesar 65,6%. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya masalah
kesehatan terhadap masyarakat sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Vellore,
India yang menyatakan angka kepadatan lalat di rumah tinggi adalah salah satu
penyebab terjadinya diare (Collinet-Adler et al., 2015).
80
C. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Perilaku Pengelolaan Limbah Tahun 2018
Limbah yang terdapat di RPU terdiri dari limbah padat dan limbah cair. Limbah
padat ialah manur, bangkai unggas, sisa usus atau jeroan, bulu, tulang dan bagian
lainnya yang tidak sengaja ikut terbuang menjadi limbah yaitu kepala ayam dan lemak
yang tedapat di dalam rongga perut, ampela dan ekor. Sedangkan limbah cair ialah
darah ayam, proses pencelupan, pencucian ayam dan peralatan produksi (Erlita dan
Waridin,2007). Pengelolaan limbah yang baik adalah salah satu cara dalam
melakukan pengendalian terhadap lalat. Hal ini dapat mengurangi tempat-tempat yang
pontesial sebagai tempat perindukan lalat (Kemenkes,2004) Perilaku pengelolaan
limbah yang dinilai pada penelitian ini dimulai dari pemisahan sampah, pengakutan
sampah, pemeliharaan SPAL dan pembersihan kotoran dan kandang atau keranjang
unggas.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa distribusi RPU yang memiliki perilaku
pengelolaan limbah yang baik diperoleh 7 RPU (58,3%), sedangkan terdapat 5 RPU
(41,7%) yang perilaku pengelolaan limbah yang masih buruk. Mayoritas pengelola
RPU telah melakukan pengelolaan limbah dengan cara yang benar. Tetapi terdapat
beberapa pengelolaan limbah yang masih buruk pada mayoritas RPU yaitu,
pembakaran unggas (16,7%) dan pembersihan kotoran unggas (41,7%)
Hasil uji chi square pada penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara pengelolaan limbah dengan angka kepadatan lalat.
Terdapat RPU yang perilaku pengelolaan limbah buruk dan memiliki angka
kepadatan tinggi yaitu 6 RPU (85,7%).Sedangkan RPU yang perilaku pengelolaan
limbahnya baik dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 1 RPU (20%).
81
Penelitian inisesuai dengan penelitian yang dilakukan (Masyudi, 2018) bahwa tidak
terdapat hubungan antara pengelolaan limbah dengan angka kepadatan lalat.
Sampah organik umumnya bersifat basah dan lebih mudah mengalami
kebusukan. Penggabungan sampah antara sampah organik dan sampah anorganik
meningkatkan bau busuk dan menyebabkan tempat pembuangan sampah menjadi
lembab. Tempat yang lembab dan bau busuk tersebutlah yang dapat mengundang lalat
sehingga angka kepadatan lalat akan tinggi. Pemisah sampah adalah salah satu cara
untuk menurunkan angka kepadatan lalat di suatu tempat (Nida,2014). Ketersediaan
tempat sampah yang minim menjadi alasan penggabungan antara sampah organik dan
sampah anorganik disatukan.
Pengangkutan sampah di RPU Kota Depok mayoritas sudah sesuai ketentuan
yaitu setiap 24 jam sekali sampah dari aktivitas RPU sudah diangkut. Metode
pengangkutan sampah yang dilakukan oleh RPU Kota Depok pun beragam seperti
diangkut langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Depok, dijual kembali kepada
pihak ketiga, dan ada pula yang mengangkut sendiri dan membuangnya langsung ke
tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang terdapat di pasar ataupun
diberikan di kolam ikan (empang). Pengangkutan sampah yang rutin ini bertujuan
untuk menghindari terjadinya penumpukan sampah sehingga tidak mengundang lalat.
Salah satu sumber makanan lalat ialah sampah sisa dari aktivitas pemotongan unggas
seperti jeroan, bulu, kepala unggas dan lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Moreki dan Keaikitse (2013) menyatakan bahwa frekuensi pengangkutan limbah
berkontribusi pada tingginya angka kepadatan lalat.
Pemusnahan bangkai unggas dilakukan dengan cara pembakaran dan tidak boleh
dijadikan pakan ikan.. Mayoritas pengelola RPU masih tidak mengelola bangkai
82
unggas sesuai dengan ketentuan. Bangkai unggas masih disatukan dengan limbah
lainnya dan dibuang pada tempat terbuka bahkan beberapa RPU menjadikan bangkai
unggas sebagai pakan untuk ikan (SNI,1999). Hanya terdapat 2 RPU di Kota Depok
yang melakukan pemusnahan bangkai unggas dengan cara dibakar. Pembakaran
bangkai unggas ini bertujuan untuk tidak mengjindari agar lalat tidak hinggap pada
bangkai unggas. Salah satu makanan lalat ialah bangkai hewan terutama unggas.
Gambar 6.1
Contoh Pembuangan Bangkai Unggas
Pengelolaan sampah (limbah padat) seperti sisa usus atau jeroan, bulu, tulang dan
bagian lainnya ada benarnya telah dikelola dengan baik tetapi untuk manur atau
kotoran unggas masih belum diperhatikan. Berdasarkan hasil wawancara mayoritas
pengelola RPU masih tidak terlalu memperhatikan pengelolaan kotoran unggas.
Kotoran unggas masih dibiarkan menumpuk di kandang ataupun keranjang
pengangkutan unggas. Beberapa RPU membersihkan kotoran pada kandang unggas
melebihi dari dua minggu bahkan sampai dua bulan sekali. Hal yang menyebabkan
pengelola RPU tidak memedulikan perihal pembersihan kotoran unggas karena bau
83
yang dihasilkan tidak begitu mengganggu bagi mereka. Penumpukan kotoran unggas
adalah tempat perindukan yang paling disukai oleh lalat. Kelembaban (tidak terlalu
basah), tekstur (tidak terlalu padat) dan kesegaran dari manur unggas sangat sesuai
untuk menjadi tempat perindukan. Sedangkan untuk kotoran yang terdapat pada
keranjang unggas hanya di siram air sehingga ada kemungkinan masih menempelnya
kotoran pada keranjang unggas. Berdasarkan hasil observasi peneliti seringkali
ditemukan lalat hinggap pada keranjang unggas.
Pembuangan limbah cair di RPU dialiri dengan saluran pembuangan. Perawatan
saluran pembuangan air limbah harus diperhatikan sehingga aliran pembuangan dapat
mengalir lancar. Karena seringkali limbah padat seperti penumpukan bulu atau jeroan
unggas masuk kedalam saluran sehingga aliran tidak lancar dan dapat terjadi
genangan disekitar rumah potong. Genangan tersebut dapat menyebabkan bau dan
mengundang lalat untuk hinggap (Naik and Stenstrom, 2012).
D. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Sanitasi Lingkungan
1. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Ketersediaan Tempat Sampah
Sampah organik adalah salah satu tempat yang disukai lalat untuk berkembang
biak. Lalat betina menyimpan telurnya pada sampah organik yang telah membusuk
baik dari hewan maupun dari sayuran. Pada RPU, sampah organik adalah sisa dari
aktivitas pemotongan seperti jeroan unggas, bulu unggas manur unggas maupun
bangkai unggas. Untuk menghindari sampah di RPU menjadi tempat
perkembangbiakan lalat perlu adanya tempat penampungan sampah yang memenuhi
standar. Tempat sampah yang baik ialah tempat sampah yang berbahan kedap air,
kuat dan mudah dibersihkan. Tempat sampah pun sebaiknya tertutup sehingga tidak
menyababkan bau busuk. Peletakan tempat sampah juga sebaiknya yang mudah
84
dijangkau oleh petugas sehingga pembuangan sampah atau limbah padat mudah
dilakukan dan tidak terbuang sembarangan. Selain tempat sampah, ketersediaan
tempat pembuangan sampah sementara (TPS) pada RPU perlu diperhatikan sehingga
sampah dapat dipindahkan dari tempat sampah yang sudah penuh ke TPS terlebih
dahulu sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir atau dikelola dengan cara
lainnya.
Hasil penelitian diketahui masih terdapat RPU yang ketersediaan tempat
sampahnya tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 6 RPU (50%). Mayoritas pada RPU
masih ditemukan sampah yang terbuang sembarangan (8,3%), tempat sampah di
tempat pemotongan pun masih mayoritas masih tidak ada (41,7%), tempat sampah
yang tertutup dan mudah dibersihkanpun masih rendah (41,7%). Sedangkan, hasil uji
chi square menunjukan bahwa nilai P value sebesar 0,015 (p < 0,05) yang artinya
terdapat hubungan yang signifikan antara ketersediaan tempat sampah dengan angka
kepadatan lalat di suatu RPU. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kwasi
dan Kuitunen (2005) .
Berdasarkan hasil observasi peneliti melihat bahwa ketersedian TPS di RPU tidak
dipergunakan dengan maksimal. Tempat pembuangan sampah sementara pada
beberapa RPU masih diperuntukan hanya untuk sampah kering seperti daun kering,
ranting daun, karung yang tidak lagi terpakai, dan sebagainya. Sedangkan, sampah
basah dari sisa aktivitas pemotongan tidak di tampung pada TPS tetapi diletakan pada
karung ataupun keranjang unggas yang dijadikan tempat sampah dan diletakan di luar
RPU. Untuk RPU yang tidak memiliki TPS, sampah basah seperti bulu maupun
sampah kering dibuang diluar RPU berdekatan dengan kali atau sungai sehingga bau
busuk dari sampah tersebut dapat menarik lalat. Hal ini sesuai dengan penelitian
85
Dogra dan Aggarwal (2010) menyatakan bahwa pembuangan sampah di tempat
terbuka tanpa dapat meningkatkan angka kepadatan lalat.
Ketersediaan tempat sampah di tempat pemotongan di RPU Kota Depok masih
kurang sedangkan mayoritas limbah yang dihasilkan pada RPU ialah pada aktivitas
pemotongan. Tempat penampungan sampah khususnya bulu unggas yang digunakan
oleh RPU rata-rata menggunakan keranjang (untuk mengangkut unggas) ataupun
karung. Keranjang unggas yang digunakan pada RPU ialah berbahan plastik sehingga
masih dapat dikategorikan berbahan kedap air. Tetapi, keranjang unggas tersebut tidak
tertutup dan terdapat banyak lubang sehingga memungkinkan sampah akan terjatuh
jika diangkut. Beberapa alasan RPU lebih memilih menggunakan keranjang unggas
untuk dijadikan tempat sampah karena mudah diangkat, mudah dibersihkan dan
memanfaatkan barang yang ada. Sedangkan, untuk RPU yang menggunakan karung
sebagai tempat sampah meskipun tertutup tetapi memiliki kekurangan karena tidak
kedap air dan tidak mudah dibersihkan. Bahan karung yang tidak kedap air ini dapat
membuat air lindi dari sampah menetes. Mayoritas RPU yang mengunakan karung
hanya digunakan sekali pakai saja sehingga tidak perlu membersihkan karung lagi.
Ketidaktersediaan TPS dan tempat sampah pada tempat pemotongan yang
memenuhi syarat ini menyebabkan masih adanya sampah yang berserakan pada RPU
Kota Depok. Berdasarkan hasil dari observasi bahwa hanya terdapat satu RPU (8,3%)
yang tidak terdapat sampah terbuang sembarangan. Terdapat tiga metode
pengendalian lalat salah satunya ialah perbaikan sanitasi. Pada metode tersebut
bertujuan untuk mengurangi populasi dengan meminimalkan habitat larva lalat, yaitu
dengan cara mengurangi sumber. Pada RPU sumber dari habitat larva ialah sampah
dari hasil aktivitas pemotongan. Ketersediaan tempat sampah yang tidak memenuhi
syarat pada mayoritas RPU ini bisa diganti dengan kantong plastik yang dapat diikat
86
dengan rapat atau di tempat sampah dengan tutup rapat Penumpukan sampah dalam
keadaan suhu yang hangat dapat membantu mencegah lalat bertelur di sampah.
2. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Ketersediaan SPAL Tahun 2018
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia terkair RPU (1999), diharuskan untuk
RPU memiliki sarana penanganan limbah. Untuk limbah cair dari proses pemotongan
ditampung sementara kemudian dilakukan pengurasan jika sudah penuh. Berdasarkan
Keputusan Mentri Kesehatan No 519 Tahun 2014 menyatakan bahwa SPAL untuk
tempat pemotongan ayam sebaiknya dapat mengalir dengan lancar, kedap air
(permanen terbuat dari semen atau ubin), tidak menimbulkan bau, saluran tertutup
atau terdapat grease trap atau (perangkap lemak) dan tidak menjadi tempat
berkembang biaknya vektor sepert lalat.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa distribusi RPU yang ketersediaan SPAL
memenuhi syarat sebanyak 7 RPU (58,3%) sedangkan yang tidak memenuhi syarat 5
RPU (41,7%). Mayoritas RPU sudah memiliki SPAL yang memenuhi syarat. Tetapi,
mayoritas masih terdapat SPAL yang tidak tertutup atau tidak terdapat grease trap
(16,7%). Sedangkan untuk persyaratan lainnya seperti kepemilikan, kedap air dan
aliran limbah lancar mayoritas sudah memenuhi pesyaratan.
Berdasarkan hasil uji chi square menunjukan bahwa nilai P value sebesar 0,293
(p < 0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ketersediaan
SPAL dengan angka kepadatan lalat di suatu RPU. Hal ini tidak sesuai pada
penelitian yang dilakukan oleh Collinet-Adler et al., (2015), ditemukan bahwa angka
kepadatan lalat tinggi pada saluran pembuangan air limbah.
87
Saluran pembuangan air limbah bertujuan untuk mengumpulkan pembuangan air
buangan sisa pencucian dari aktivitas RPU dan darah dari pemotongan unggas. Air
limbah yang dialiri dari saluran pembuangan tersebut akan diolah pada Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL). Akan tetapi, kepemilikan IPAL pada mayoritas RPU
masih tidak ada sehingga pembuangan air limbah dari saluran tersebut langsung
dibuang ke sungai atau kali di samping RPU. Dimana letak kedua belas RPU Kota
Depok berada di dekat sungai ataupun kali. Hal ini tidak sesuai dengan SNI (1999),
menyatakan bahwa RPU tidak boleh di dirikan di dekat sungai atau kali. Metode
pembuangan langsung ke sungai atau kali ini dianggap metode paling mudah dalam
pembuangan limbah. Namun, metode ini tidak dapat direkomendasikan mengingat
dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi sumber air.
Kondisi SPAL yang bersifat permanen (disemen ataupun dengan ubin) tidak
terbuat dari tanah bertujuan untuk menghindari kontaminasi langsung air limbah
terhadap tanah. Mayoritas RPU di Kota Depok pun sudah memenuhi persyaratan ini
tetapi ukuran diameter saluran yang masih tergolong kecil. Sehingga terdapat
kemungkinan air limbah masih dapat meluap dari saluran dan mengotori lantai RPU.
Genangan air limbah pada RPU ini dapat menyebabkan bau sehingga mengundang
lalat.
Saluran pembuangan air limbah pada mayoritas RPU masih terbuka dan tidak
terdapat grease trap sehingga limbah padat dapat terperangkap di saluran. Akan
tetapi, berdasarkan hasil observasi bahwa SPAL di RPU masih dapat mengalir lancar
meskipun tidak tertutup ataupun tidak terdapat grease trap. Hal ini karena perilaku
perawatan saluran pembuangan yang rutin dilakukan oleh pengelola RPU sehingga
tidak terdapat limbah padat yang dapat menghambat saluran limbah.
88
Ketersediaan saluran pembuangan air limbah pada RPU ada benarnya telah
memenuhi persyaratan. Tetapi, berdasarkan hasil observasi letak saluran mayoritas
hanya terdapat di pinggir tempat pemotongan saja sehingga masih terdapat genangan
darah dan limbah sisa aktivitas pemotongan lainnya seperti pencucian pisau.
Sehingga, angka kepadatan lalat pada tempat pemotongan pada beberapa RPU masih
tergolong tinggi meskipun perilaku pengelolaan limbah mayoritas telah tergolong
baik.
3. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Sanitasi Tempat Potong
Perilaku pengelolaan limbah yang baik serta ketersediaan tempat sampah dan
ketersediaan SPAL yang memenuhi syarat dapat mempengaruhi sanitasi tempat
pemotongan. Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan
melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya (Depkes RI,2014). Maka dari itu,
sanitasi tempat pemotongan dapat diperoleh dari adanya pembersihan tempat
pemotongan dan desinfeksi.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa distribusi RPU yang sanitasi tempat
potong baik diperoleh 4 RPU (33,3%) dan sanitasi tempat potong buruk diperoleh 8
RPU (66,7%). Mayoritas RPU masih memiliki sanitas tempat potong yang buruk.
Terdapat beberapa hal indikator sanitasi yang kurang seperti pemberian desinfektan
pada tempat potong dan peralatan serta masih terdapatnya limbah padat maupun
limbah cair pada RPU.
Dari hasil uji stastistik diperoleh nilai P value sebesar 0,010 artinya pada tingkat
kemaknaan 5% terdapat hubungan yang bermakna antara sanitasi tempat potong
dengan angka kepadatan lalat. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Candra et, al
89
(2016) yang menyatakan bahwa sanitasi tempat terdapat hubungan dengan angka
kepadatan lalat.
Sanitasi tempat potong yang baik pada RPU dilakukan dengan cara melakukan
pembersihan pada tempat potong dan peralatan serta pemberian desinfektan sehingga
tidak akan terdapat limbah pada tempat potong maupun peralatan pemotongan.
Pembersihan bangunan, perlengkapan dan peralatan harus dilakukan secara teratur
dan benar untuk menghilangkan kotoran yang terlihat secara fisik seperti darah dan
bulu. Pembersihan dapat dilakukan dengan cara fisik dengan menggosok misalnya,
cara kimia dengan menggunakan deterjen dan zat-zat yang bersifat asam atau basa,
ataupun gabungan keduanya
Ketersedian air bersih untuk membersihkan RPU (100%) dan pembersihan
dengan cara menyikat pada tempat potong (83,3%) dan peralatan (91,7) mayoritas
sudah sesuai. Akan tetapi untuk pemberian desinfektan pada tempat potong maupun
pada peralatan masih kurang.Hanya terdapat 5 RPU (41,7%) yang sudah melakukan
desinfektan pada tempat pemotongan dan hanya terdapat 3 RPU (25%) . Tujuan dari
dilakukannya pemberian desinfektan pada RPU ialah usaha untuk mengurangi jumlah
mikroorganisme yang hidup, tetapi pada umumnya tidak dapat membunuh spora
bakteri. Disinfektan yang aktif tidak membunuh seluruh mikroorganisme tetapi
menurunkan jumlahnya sampai pada tingkat yang tidak membahayakan kesehatan
konsumen.
Disain dan kontruksi bangunan di RPU harus sesuai dengan tujuan penggunaan
serta mudah untuk dirawat dan mudah dibersihkan. Lantai harus kedap air, tidak licin,
rata, tidak berlubang atau tidak retak, kuat menahan beban, serta landai ke arah
saluran pembuangan, mudah dibersihan dan didisinfeksi (Kementan,2005). Namun,
90
pada kenyataannya terdapat beberapa RPU yang lantai bangunannya tidak terbuat dari
keramik sehingga tidak kedap air dan licin. Lantai hanya menggunakan semen dan
terdapat banyak lubang sehingga seringkali terdapat genangan air di lubang tersebut.
Lantai bangunan yang tidak sesuai ini yang menyebabkan pemeliharaan dan
pembersihan setelah aktivitas pemotongan menjadi sulit. Pembersihan ada benarnya
sudah dilakukan tetapi masih tersisa limbah padat maupun limbah cair yang terdapat
di tempat pemotongan. Hal ini mengundang lalat untuk hadir di tempat pemotongan
karena luputnya pengangkutan sampah dan pembersihan limbah cair tersebut.
Berdasarkan SNI (1999) RPU memiliki daerah bersih dan daerah. Kedua daerah
tersebut dibuat terpisah antara daerah bersih (clean area) dan daerah kotor (dirty
area). Daerah kotor ialah daerah tempat untuk melakukan aktivitas pemotongan dari
penurunan unggas sampai penanganan jeroan. Sedangkan untuk daerah bersih lebih
diperuntukan untuk penanganan karkas setelah pemotongan. Pemisahan daerah kotor
dan bersih ini untuk menghindari kontaminasi bakteri terhadap daging unggas
(Kementan,2005). Akan tetapi, RPU di Kota Depok sebagian besar masih RPU
tradisional yang dikelola secara perseorangan dan kurang memperhatikan sanitasi
tempat potong sehingga daerah bersih dan daerah kotor tidak terpisah Pada penelitian
Komba et al., (2012) menyatakan bahwa lalat dapat menyebarkan bakteri E.colli dan
Salmonela pada daging unggas karena sanitasi tempat potong yang buruk. Maka dari
itu, pentingnya menjaga sanitasi tempat potong sehingga daging unggas dapat Aman
Sehat Utuh dan Halal (ASUH).
91
E. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Faktor Lingkungan
1. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Suhu
Faktor meteorologis seperti temperatur (suhu) ataupun hujan dapat
mempengaruhi jumlah lalat yang tertangkap pada fly trap (Tahir. dkk, 2008). Lalat
mulai aktif terbang pada suhu 150 C dan jumlah lalat akan semakin tinggi jika suhu
disekitarnya 200 C- 25
0 C dan akan berkurang jumlahnya pada temperatur <100C
dan pada 7,50 C lalat sudah tidak aktif dan pada diatas atau > 490 C terjadi kematian
lalat (Kemenkes RI,2008). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ihsan
(2013), pada suhu 30 oC -35
oC perkembangan pradewasa lalat semakin cepat
dibandingkan suhu 16oC.
Pada tabel 5.6 diketahui bahwa rata-rata suhu RPU Kota Depok ialah 30,74oC.
Sedangkan suhu minimumnya mencapai 29,4oC dan suhu maksimumnya mencapai
32,1oC. Hasil uji statistik menujukan tidak terdapat hubungan bermakna rata-rata
suhu antara RPU yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi dengan RPU yang
memiliki angka kepadatan lalat rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Susilowati (2017) bahwa suhu tidak mempengaruhi terhadap angka
kepadatan lalat.
(Jaal, 2009) menyatakan bahwa lalat lebih menyukai daerah tropis karena suhu
yang hangat yaitu 250C hingga 35
0C khususnya pada tempat yang terdapat unggas
seperti peternakan dan tempat potong karena terdapat sumber makanan lalat yaitu
kotoran unggas. Suhu bukanlah faktor iklim utama yang mempengaruhi fluktuasi
populasi lalat karena suhu tidak mengalami perbahan yang signifikan sepanjang
tahun. Pada hasil pengukuransuhu di RPU Kota Depok pun tidak terdapat perbedaan
yang sangat signifikan. RPU yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi memiliki
92
rata-rata suhu 30,6oC. Sedangkan, RPU yang memiliki angka kepadatan lalat rendah
memiliki rata-rata suhu 31oC. Pengukuran pada penelitian ini dilakukan pada bulan
Juli pada bulan ini Kota Depok masih musim kemarau (BMKG,2018). Angka
kepadatan lalat lebih tinggi pada musim panas dibandingkan pada musim
dingin(Ngoen-klan et al., 2011) Faktor lain yang mempengaruhi angka kepadatan lalat
ialah curah hujan dan kelembaban(Jaal, 2009).
Pada pengukuran kedua dan ketiga (07.00-11.00 dan 11.00-15.00), lalat yang
tertangkap pada fly trap lebih banyak dibandingkan pengukuran pada waktu lainnya
yang memiliki suhu lebih rendah. Pada waktu tersebut suhu bumi mengalami
peningkatan sehingga suhu di RPU pun menjadi lebih tinggi dibandingkan pada waktu
lainnya. Rata-rata bangunan RPU Kota Depok yang tidak memiliki jendela dan pintu
sehingga tidak ada pengaturan suhu di dalam ruangan. Berdasarkan SNI (1999), suhu
ruangan di rumah potong unggas maksimum adalah 35oC. Penghalang fisik berupa
kawat kasa pada pintu, jendela serta lobang angin dan membuat pintu dua lapis selain
dapat mencegah lalat masuk juga dapat mengatur suhu dalam ruangan tempat
pemotongan.
Saat ini perubahan suhu di dunia mengalami perubahan yang drastis. Perubahan
suhu di dunia saat ini adalah salah satu dampak dari pemanasan global dan perubahan
iklim. Keadaan ini dapat memicu perubahan kehidupan biologis berbagai agen
patogen seperti virus, bakteria, parasiter atau kapang, berbagai spesies hewan dan
berbagai vektor seperti lalat. Pada sebuah studi baru-baru ini mengidentifikasi bahwa
peningkatan suhu yang terkait dengan perubahan iklim yang diperkirakan akan secara
dramatis meningkatkan kepadatan populasi lalat dengan M. Domestica. (Alexander et
al., 2013)
93
2. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Kelembaban
Kelembaban adalah kandungan uap air yang terdapat di rumah potong unggas.
Pada penelitian ini kelembaban diukur dengan menggunakan thermohygrometer
setiap 4 jam sekali. Kelembaban berhubungan erat dengan suhu setempat, jika
kelembaban rendah maka suhu tinggi dan jika kelembaban tinggi maka suhu rendah.
Lalat akan mencapai kondisi fisik optimum pada suhu tinggi dan kelembaban yang
rendah. (Chandra, 2007). Kondisi lingkungan dengan kelembaban yang rendah sangat
mendukung lalat dapat hidup dan berkembang biak secara optimal
Pada tabel 5.7 diketahui bahwa rata-rata kelembaban RPU Kota Depok ialah
65%. Sedangkan kelembaban minimumnya mencapai 58% dan suhu maksimumnya
mencapai 69% . Hasil uji statistik menujukan tidak terdapat hubungan bermakna
rata-rata kelembaban antara RPU yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi dengan
RPU yang memiliki angka kepadatan lalat rendah RPU yang memiliki angka
kepadatan lalat tinggi memiliki rata-rata kelembaban. 66,13%. Sedangkan, RPU yang
memiliki angka kepadatan lalat rendah memiliki rata-rata kelembaban 62,75%.
Penelitian (Susanna et al., 2012) menyatakan bahwa kelembaban tidak mempengaruhi
terhadap angka kepadatan lalat. Seperti dengan suhu, kelembaban juga kurang
tergambar karena tidak ada perbedaan signifikan disetiap waktu dan tempatnya.
Lalat aktif pada suasana kelembaban antara 45% sampai dengan kelembaban
yang paling optimal yaitu 90% sesuai dengan kebutuhan hidup lalat (Kemenkes
,2008). Pada penelitian Ngoen-klan et al.,(2011), menyatakan terdapat hubungan
korelasi negatif antara lalat dengan kelembaban. Semakin kelembaban tinggi maka
angka kepadatan lalat semakin rendah Pada pengukuran malam hari sedari pukul
19.00 hingga 03.00 lalat yang tertangkap pada fly trap cenderung tidak ada. Pada
waktu tersebut kelembaban rata-rata sudah mencapai diatas 60%.
94
Lokasi RPU Kota Depok berada di sekitar pemukiman penduduk. Berdasarkan
hasil penelitian Ngoen-klan et al., (2011) terdapat beberapa tempat yang faktor
lingkungan (suhu dan kelembaban) tidak terlalu mempengaruhi angka kepadatan lalat
salah satunya ialah pemukiman penduduk. Hal ini karena pemukiman adalah
lingkungan yang cocok dengan kehidupan lalat atau mikrohabitat. Sehingga
perkembangbiakan lalat dapat terbentuk dengan baik.
F. Kajian Keislamaan
Lalat adalah serangga bersayap dua yang termaksud kedalam dari ordo
diptera. Pada Al-Quran lalat disebutkan sebanyak dua kali. Salah satunya ialah pada
pada penggalan surat Al-Hajj ayat 73 Allah menjadikan lalat sebagai perumpamaan.
قر ه ئب ل ست ثبة ش إى سلجن الر
Artinya : Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat
merebutnya kembali dari lalat itu.
Pada penggalan ayat tersebut lalat menjadi perumpamaan karena seringkali lalat
dianggap sebagai serangga yang lemah sehingga manusia menyepelekan lalat padahal
apa yang sudah diambil lalat tidak akan dapat direbut kembali. Seiring perkembangan
sains modern diketahui bahwa lalat dapat menuturkan kekuatan enzim yang luar
biasa dalam proses pencernaan. Ketika lalat mengambil sesuatu di makanan lalat akan
mengeluarkan getah khusus yang berasal dari air liurnya. Lalu dengan kecepatan
tinggi mencapai sepersekian detik getah tersebut akan tercampur dengan makanan
sehingga lalat akan mudah menyerapnya. Dari kelebihan lalat tersebut, sains pun
menemukan bahwa lalat dapat menularkan virus-virus penyebab penyakit. {Citation}
95
Selain ayat tersebut terdapat pula hadist Nabi yang menerangkan mengenai
kelebihan tersebut
داع إبء أحدكن فلغوس فإأحد جبح ثبة ف قع الر قبل : إذا اخس شف ي أس أى الج ف ء
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda : “Jika ada lalat jatuh ke
dalam minuman salah satu seorang di antara kamu, maka benamkanlah lalat itu lalu
buanglah. Sebab, pada salah satu lalatnya terdapat penyakit, dan pada satunya lagi
terdapat obat.” (HR.Bukhari).
Pada buku karya Nadiah Thayyarah (2014) menjelaskan bahwa apabila seekor
lalat hinggap di atas minuman atau makanan tubuhnya miring ke kiri maka akan
melepaskan bakteri dan parasit yang dibawanya. Apabila kita menenggelamkan
seluruh tubuhnya kedalam air, maka lalat merasa berada dalam bahaya. Sehingga ia
akan melepaskan antibiotik terhadap bakteri dan parasit yang telah dilepaskan
sehingga antibiotik tersebut membunuh bakteri dan parasit yang telah masuk ke dalam
minuman.
Meskipun lalat memiliki obat pada dirinya tetapi manusia tetap dianjurkan untuk
tidak menggap permasalahan lalat adalah hal yang kecil. Karena lalat dapat
menularkan lebih dari 30 jenis kuman penyakit dan membawa sekitar 5 juta pada
tubuhnya dan hidup diatas kotoran. Thayyarah (2014) menyataan bahwa obat dalam
tubuh lalat tidak selalu ada tetapi penyakit dalam tubuh lalat selalu ada sehingga
manusia masih perlu memperhatikan terhadap permasalahan lalat
Angka kepadatan lalat di suatu tempat tergolong tinggi maka perlu adanya
pengendalian lalat. Salah satu cara pengendalian lalat bisa dengan perbaikan
lingkungan.Tujuan dari perbaikan lingkungan ialah menjaga lingkungan sekitar untuk
tidak menjadi tempat perkembang biakan lalat (Kemenkes, 2004). Islam adalah
96
agama yang mengajarkan kebersihan. Islam sangat peduli dengan kebersihan manusia,
kebersihan rumah, kebersihan jalan, kebersihan masjid dan yang lainnya. Bahkan
Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa (Erwan, 2008)
وبى ا لظبفة هي ال
Artinya : Kebersihan sebagian dari iman (HR. Muslim)
Majelis Ulama Indonesia (2014) pun telah mengeluarkan fatwa mengenai
pengelolaan sampah untuk mencegah kerusakan lingkungan. Salah satu hadis yang
menjadi pengingat dalam memutuskan fatwa tersebut ialah sebagai berikut
اد حت الجد ف إ ت ظف حت الظبفة كسن حت الكسم ج طت حت الط ا أفتكن ى الل ظ
(ا التسهريز )
Artinya : ”Sesungguhnya Allah Ta‟ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih
(dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus (dan) menyukai
kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah lingkunganmu”. (HR. At-Tirmidzi)
Dari hadis diatas menerangkan bahwa Allah menyukai kebersihan. Selain
kebersihan pada diri manusia sendiri kebersihan lingkungan harus dijaga dan
dipelihara. Dalam fatwa tersebut MUI merekomendasikan pada pelaku usaha untuk
mendorong kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan
pengelolaan sampah untuk kelestarian lingkungan dan menciptakan peluang ekonomi
ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem.
Maka dari itu, memperhatikan sanitasi tempat pemotongan unggas adalah salah satu
cara untuk menjaga kelestatrian lingkungan.
97
Rumah Potong Unggas (RPU) adalah bangunan yang kompleks dengan desain
dan kontruksi bangunan khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene
tertentu serta digunakan sebagai tempat pemotongan unggas untuk dikonsumsi
masyarakat umum (Kementrian Pertanian, 2005). Persyaratan pemotongan di rumah
potong unggas ialah harus sesuai dengan syariat Islam Pada Surat Al-An‟ aam ayat
121 menjelaskan bahwa pemotongan hewan untuk dikonsumsi manusia harus dengan
mengucapkan nama Allah pada saat penyembelihan.
بطي لحى إلى أ إى الش لسق إ عل ب لن ركس اسن الل ل تأكلا هو تون إكن إى أط ن لجبدلكن لب
لوشسكى
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu
kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar
mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.
Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa menjaga lingkungan dalam kasus ini
ialah rumah potong unggas adalah salah satu cara untuk terhindar dari penyakit yang
dapat disebabkan oleh lalat. Menjaga lingkungan ini dapat di lakukan dengan
pengelolaan limbah yang baik di RPU dengan memenuhi sanitasi lingkungan sesuai
dengan syarat yang telah ditentukan.
98
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait angka kepadatan lalat berdasarkan
perilaku pengelolaan limbah, sanitasi pengelolaan limbah dan faktor lingkungan di
Rumah Potong Unggas Kota Depok, didapatkan simpulan sebagai berikut :
1. Distribusi angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok mayoritas tinggi yaitu 7
RPU (58,3%) yang memiliki angka kepadatan lalat kategori tinggi (>21 ekor).
2. Perilaku pengelolaan limbah di RPU Kota Depok mayoritas telah berperilaku
baik. Sebanyak 7 RPU (58,3%) yang telah memiliki perilaku pengelolaan
limbah baik.
3. Sanitasi lingkungan pengelolaan limbah di RPU Kota Depok Tahun 2018
meliputi ketersediaan tempat sampah yang memenuhi syarat sebanyak 6 RPU
(50%), ketersedian SPAL yang memenuhi syarat sebanyak 7 RPU (58,3%), dan
Sanitas tempat potong unggas yang baik sebanyak 4 RPU (33,3%).
4. Faktor lingkungan yang diukur ialah suhu di RPU Kota Depok tahun 2018 rata-
rata 30,74o C. Sedangkan rata-rata kelembaban di RPU Kota Depok tahun 2018
ialah 65%.
5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antra perilaku pengelolaan limbah di
RPU dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 (p value
0,072)
6. Sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan angka kepadatan lalat di RPU
Kota Depok Tahun 2018 yakni ketersediaan tempat sampah (p value 0,015) dan
sanitasi tempat potong (p value 0,010). Sedangkan untuk ketersediaan SPAL
99
tidak terdapat hubungan bermakna dengan angka kepadatan lalat (p value
0,293) di RPU Kota Depok Tahun 2018 .
7. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antra suhu dan kelembaban di RPU
dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018
B. Saran
1. Bagi Rumah Potong Unggas
a. Pengelola RPU diharapkan menyediakan tempat sampah yang sesuai standar
di tempat-tempat yang dapat menghasilkan limbah seperti tempat
pemotongan dan tempat istirahat karyawan. Khususnya untuk RPU
1,2,3,5,6,8, 9 dan 12
b. Pengelola RPU diharapkan melakukan desinfektan di lingkungan RPU
setidaknya satu bulan sekali Khususnya untuk RPU 1,2,3,4,5,6,7,8,dan 9
c. Perlu adanya perbaikan kontruksi bangunan seperti menggunakan keramik
untuk lantai dan dinding sehingga pembersihan bangunan lebih mudah
dilakukan. Khususnya RPU 1,2,3,4,5,6 dan 12
d. Pengelola RPU diharapkan lebih memperhatikan pengelolaan limbah manur
dan bangkai ungggas sehingga tidak menarik lalat untuk datang. Khususnya
untuk RPU 1,2,3,5,6,7,8,dan 9
e. Perlu ada petugas khusus yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan
sanitasi dan kesehatan lingkungan. Khususnya untuk RPU 1,2,3,4,5,6,7,8,9
dan 12
f. Perlu melakukan monitoring terhadap sanitasi lingkungan di RPU
2. Bagi Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan
a. Dinas diharapkan melakukan pembinaan dan pelatihan kepada pengelola
RPU di Kota Depok terkait pengelolaan limbah baik sarana sanitasi (tempat
100
sampah dan SPAL) dan sanitiasi tempat pemotongan sesuai dengan yang
telah ditetapkan
b. Dinas diharapkan melakukan koordinasi dengan puskesmas terkait kesehatan
pekerja dan masyarakat sekitar pemukiman di RPU
b. Dinas diharapkan dapat memberikan desinfektan serentak setidaknya satu
sekali dalam setahun kepada RPU di Kota Depok
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian mengenai faktor
lingkungan lainnya yang mempengaruhi angka kepadatan lalat seperti
pencahayaan
b. Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan pengukuran angka
kepadatan lalat menggunakan fly trap selama 3 hari. Selain mendapatkan
gambaran angka kepadatan lalat hal ini juga sebagai bentuk pengendalian
lalat di RPU.
101
DAFTAR PUSTAKA
Adenusi, A.A., Adewoga, T.O.S., 2013. Human Intestinal Parasites In Non-Biting
Synanthropic Flies In Ogun State, Nigeria. Travel Med. Infect. Dis. 11, 181–189.
Alexander, K.A., Carzolio, M., Goodin, D., Vance, E., 2013. Climate Change Is Likely To
Worsen The Public Health Threat Of Diarrheal Disease In Botswana. Int. J. Environ.
Res. Public. Health 10, 1202–1230.
Al-Shami, S.A., Panneerselvam, C., Mahyoub, J.A., Murugan, K., Naimah, A., Ahmad,
N.W., Nicoletti, M., Canale, A., Benelli, G., 2016. Monitoring Diptera Species Of
Medical And Veterinary Importance In Saudi Arabia: Comparative Efficacy Of Lure-
Baited And Chromotropic Traps. Karbala Int. J. Mod. Sci. 2, 259–265.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 2019. Perkiraan Musim Kemarau Tahun
2018 di Indonesia.
Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2016. Provinsi Jawa Bara Dalam Angka 2016
Badan Statistik. 2017. Jawa Barat dalam Angka 2017
Bello, Y.O., Oyedemi, D.T.A., 2009. The Impact Of Abattoir Activities And Management In
Residential Neighbourhoods: A Case Study Of Ogbomoso, Nigeria. J. Soc. Sci. 19, 121–
127.
Candra, A., Tang, U.M., Nazriati, E., 2016. Analisis Sanitasi Dan Strategi Pengendalian Lalat
Di Pelabuhan Kawasan Industri Dumai (Kid) Pelintung. J. Ilmu Lingkung. 10, 162–
178.
Chandra, B. (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Collinet-Adler, S., Babji, S., Francis, M., Kattula, D., Premkumar, P.S., Sarkar, R., Mohan,
V.R., Ward, H., Kang, G., Balraj, V., 2015. Environmental Factors Associated With
High Fly Densities And Diarrhea In Vellore, India. Appl. Environ. Microbiol. AEM–
01236.
Dewi,Dian Indra.2007. Lalat Dan Kehidupannya. BALABA, Ed 004.
Dogra, V., Aggarwal, A.K., 2010. Association Of Poultry Farms With Housefly And
Morbidity: A Comparative Study From Raipur Rani, Haryana. Indian J. Community
Med. Off. Publ. Indian Assoc. Prev. Soc. Med. 35, 473–477.
Https://Doi.Org/10.4103/0970-0218.74342
Ertlita, Dila Cahya Dan Waridin. 2007. Pengelolaan Dampak Limbah Pemotongan Ayam
Dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Sekitar. Universitas Diponegoro
102
Erwan, A., 2008. Higienitas Perspektif Hadis: Kajian Hadis-Hadis Tentang Kebersihan
Makanan, Sumber Air, Rumah Dan Jalanan.
Food and Agriculture Organization. 1985. Slaughterhouse Cleaning and Sanitation.
Hermawanto, Hery. 2010. Biostatistika Dasar. Jakarta Timur : Trans Info Media.
Ihsan, Iif Miftahul.2013. Pengaruh Suhu Udara Terhadap Perkembangan Pradewasa Lalat
Rumah (Musc Domestica). Institut Pertanian Bogor
Iskandar, I., Rwanda, T. And Nadeak, E.S.M., 2015. Efektifitas Variasi Umpan Dalam
Penggunaan Fly Trap Di Tempat Pembuangan Akhir Ganet Kota
Tanjungpinang. Andalas Journal Of Public Health, 10(1).
Jaal, Z., 2009. Temporal Changes In The Abundance Of Musca Domestica Linn (Diptera:
Muscidae) In Poultry Farms In Penang, Malaysia. Trop. Biomed. 26, 140–148.
Kasiono, A.M., Umboh, J.M., Boky, H., 2016. Hubungan Antara Sanitasi Dasar Dengan
Tingkat Kepadatan Lalat Di Rumah Makan Pasar Tuminting Kota Manado. Ikmas 8.
Kementrian Lingkungan Hidup RI . 2011. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.16
Tahun 2011 Tentang Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
Kementrian Kesehatan RI. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan No 1098 Tahun 2003
Tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan Dan Restoran
Kementrian Kesehatan RI. 2008. Keputusan Mentri Kesehatan No. 519 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pasar Sehat
Kementrian Kesehatan. 2008. Pedoman Pengendalian Lalat Di Pelabuhan
Kementrian Kesehatan. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Tentang Pedoman
Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah
Kementrian Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar
Kementrian Kesehatan. 2014. Pedoman Pengendalian Lalat
Kementrian Kesehatan. 2016. Profil Kesehatan Tahun 2016
Kementrian Pertanian. 2005. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381 Tahun 2005 Tentang
Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan
Kementrian Pertanian RI. 2010. Peraturan Mentri Pertanian No 13 Tahun 2010 Tentang
Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia Dan Unit Penanganan Daging (Meat
Cutting Plant)
103
Kementrian Pertanian RI. 2010. Produksi Dan Penanganan Daging Ayam Yang Higienis
Kementrian Pertanian. 2017. Statistik Peternakan Dan Kesehatan Hewan
Kurniawan, Habib Alfa Eni. 2013. Studi Deskriptif Tingkat Kepadatan Lalat Di Pemukiman
Sekitar Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Penggaron Kelurahan Penggaron Kidul
Kecamatan Pedurungan Kota Semarang. Universitas Negeri Semarang
Komba, Erick VG, Komba, Ewaldo V., Mkupasi, E.M., Mbyuzi, A.O., Mshamu, S., Mzula,
A., Luwumba, D., 2012. Sanitary Practices And Occurrence Of Zoonotic Conditions In
Cattle At Slaughter In Morogoro Municipality, Tanzania: Implications For Public Health.
Tanzan. J. Health Res. 14.
Koswara,Sutrisno. 2009. Pengolahan Unggas. Universitas Muhamadiyah Semarang
Lestari, Y., Nirmala, F., 2017. Analisis Dampak Kepadatan Lalat, Sanitasi Lingkungan Dan
Personal Higiene Terhadap Kejadian Demam Tifoid Di Pemukiman Uptd Rumah
Pemotongan Hewan (Rph) Kota Kendari Tahun 2017. J. Ilm. Mhs. Kesehat. Masy. 2.
Manalu, M., Marsaulina, I., Ashar, T., 2012. Hubungan Tingkat Kepadatan Lalat (Musca
Domestica) Dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita Di Pemukiman Sekitar Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2012. Lingkung. Dan Keselam. Kerja 2.
Masyudi, M., 2018. Pengaruh Sanitasi Dasar Terhadap Kepadatan Lalat Pada Warung Nasi
Dan Kantin (Studi Kasus Di Kecamatan Tangan-Tangan Kabupaten Aceh Barat Daya).
Maj. Kesehat. Masy. Aceh Makma 1.
Majelis Ulama Indonesia. 2014. Fatwa Pengelolaan Sampah Untuk Mencegah Kerusakan
Lingkungan. Diakses Dari Https://Mui-Lplhsda.Org/Fatwa-Majelis-Ulama-Indonesia-
Nomor-47-Tahun-2014-Tentang-Pengelolaan-Sampah-Untuk-Mencegah-Kerusakan-
Lingkungan/ Pada 15 Agustus 2018
Moses Laksono S. Dan Mera Kariana. 2010. “Peningkatan Produktivitas Dan Kinerja
Lingkungan Dengan Pendekatan Green Productivity Pada Rumah Pemotongan Ayam”.
Jurnal Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
Penggunaan Fly Trap Di Tempat Pembuangan Akhir Ganet Kota Tanjungpinang. J.
Kesehat. Masy. Andalas 10, 82–86.
Nadeak, E.S.M., Rwanda, T., Iskandar, I., 2017. Efektifitas Variasi Umpan Dalam
Naik, K.S., Stenstrom, M.K., 2012. Evidence Of The Influence Of Wastewater Treatment On
Improved Public Health. Water Sci. Technol. 66, 644.
104
Nida, Kotrun. 2014. Hubungan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dengan Daya Tarik
Vektor Musca Domestica (Lalat Rumah) Dengan Risiko Diare Pada BADUTA Di
Kelurahan Ciputat Tahun 2014. Universitas Islam Negeri Jakarta
Ngoen-Klan, R., Moophayak, K., Klong-Klaew, T., Irvine, K.N., Sukontason, K.L., Prangkio,
C., Somboon, P., Sukontason, K., 2011. Do Climatic And Physical Factors Affect
Populations Of The Blow Fly Chrysomya Megacephala And House Fly Musca
Domestica? Parasitol. Res. 109, 1279–1292.
Nurita, A.T., Abu Hassan, A., Nur Aida, H., 2008. Species Composition Surveys Of
Synanthropic Fly Populations In Northern Peninsular Malaysia. Trop. Biomed. 25, 145–
153.
Notoatmodjo Soekidjo. 2012. Metodelogi Penelitian Kedokteran. Rineka Cipta, Jakarta
Parakkasi, A. And Hardini, S.Y.P.K., 2014. Pengolahan Limbah Ternak.
Pebriyanti, I.R., Nirmala, F., 2017. Vol. 2/No. 6/Mei 2017; Issn2502-731x, Identifikasi
Kepadatan Lalat Dan Sanitasi Lingkungan Sebagai Vektor Penyakit Kecacingan Di
Pemukiman Sekitar Rumah Pemotongan Hewan (Rph) Kota Kendari Tahun 2017. J. Ilm.
Mhs. Kesehat. Masy. 2.
Purnomo, H.P., 2005. Identifikasi Jenis Dan Kepadatan Lalat Di Kandang Peternakan Ayam
Desa Serdang Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan Species (Phd
Thesis). Diponegoro University
Savithra, Wahyu Khairani. 2018. Analisis Higiene Sanitasi, Tingkat Pengetahuan Pengelola
Dan Kadar Timbal Pada Daging Bebek Di Tempat Potong Unggas Tahun 2017.
Universitas Sumatera Utara Medan
Sihombing, D.T.H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.
Sumantri, Arif. 2010. Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam. Jakarta;Pranada Media
Group
SNI 01-6160-1999. Rumah Potong Unggas Diakses Di
Https://Dokumen.Tips/Documents/Sni-Rumah-Potong-Unggas-Rpu.Html Pada
Tanggal 1 April 2018
.
Rejeki, S., 2015. Sanitasi Hygiene Dan K3 (Kesehatan Dan Keselamatan Kerja). Cetakan
Pertama Penerbit Rekayasa Sains Bdg.
Tanjung, N., 2017. Efektifitas Berbagai Bentuk Fly Trap Dan Umpan Dalam Pengendalian
Kepadatan Lalat Pada Pembuangan Sampah Jalan Budi Luhur Medan Tahun
2016. Pannmed, 11(3), P.217
105
Thayyarah, Nadia. 2014. Buku Pintar Sains Dalam Al-Quran. Jakarta; Zaman
Yunita, Lestari Dkk . 2017. Analisis Dampak Kepadatan Lalat, Sanitasi Lingkungan Dan
Personal Higiene Terhadap Kejadian Demam Tifoid Di Pemukiman Uptd Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Kota Kendari Tahun 2017. Universitas Halu Oleo
World Health Organization,1986. Vector Control Series The Housefly Training And
Information Guide
106
LAMPIRAN
107
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PENGELOLAAN LIMBAH DENGAN
INDIKATOR ANGKA KEPADATAN LALAT DI RUMAH POTONG UNGGAS
KOTA DEPOK TAHUN 2018
Saya Saffanah Nuriyah, mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat saat ini sedang melakukan penelitian skripsi
dengan judul
“ Hubungan Sanitasi Lingkungan Pengelolaan Limbah Dengan Indikator Angka
Kepadatan Lalat Di Rumah Potong Unggas Kota Depok Tahun 2018 “ . Untuk itu saya
mohon bantuan kepada Bapak / Ibu unruk mengisi kuesioner ini dengan sebaik-baiknya.
Kerahasiaan dari jawaban anda pada kuesioner ini daat dijamin, untuk itu saya mohon isilah
pertanyaan sesuai dengan kondisi yang sebenar-benarnya dan mendekati kenyataan. Terima
kasih
Depok,......Juli 2018
Responden
(.....................................)
108
Identitas Responden :
Nama Petugas :
No. Hp :
Alamat RPU :
Tanggal Wawancara :
Jumlah unggas potong/ hari :
No Pertanyaan Jawaban Ruang Entri
A. Perilaku Penanganan Limbah
A1. Apakah sampah dipisah antara
organik dan anorganik?
0 = Tidak
1 = Ya
A2. Apakah sampah dipisah antara
sampah basah dan sampah
kering?
0 = Tidak
1 = Ya
A3. Apakah sampah selalu diangkut 1
x 24 jam ?
0 = Tidak
1 = Ya
A4. Apakah bangkai unggas dibakar
di tempat terpisah?
0 = Tidak
1 = Ya
A5. Apakah saluran pembuangan air
limbah (SPAL) atau drainase
selalu dibersihkan dari padatan?
0 = Tidak
1 = Ya
A6. Apakah kotoran unggas selalu
dibersihkan setiap harinya?
0 = Tidak
1 = Ya
A7. Apakah kandang unggas selalu
dibersihkan setiap harinya?
0 = Tidak
1 = Ya
B. Sanitasi Tempat Potong
B1. Apakah air bersih yang digunakan
untuk unggas cukup untuk
melakukan pembersihan?
0 = Tidak
1 = Ya
B2. Apakah pembersihan tempat
pemotongan dilakukan dengan
cara menyikat?
0 = Tidak
1 = Ya
B3. Apakah tempat pemotongan
dilakukan dengan pemberian
desinfektan?
0 = Tidak
1 = Ya
B4. Apakah pembersihan peralatan
pemotongan dilakukan dengan
cara menyikat ?
0 = Tidak
1 = Ya
B5. Apakah pembersihan peralatan
pemotongan dilakukan dengan
cara pemberian desinfektan?
0 = Tidak
1 = Ya
109
LEMBAR OBSERVASI
Inspeksi Sanitasi Pengelolaan Limbah di Rumah Potong Unggas
No. Objek Ya Tidak
B. Sanitasi Tempat Potong
B6. Tidak terdapat limbah padat (kotoran,
bulu dll) di area pemotongan
B7. Tidak terdapat limbah cair (darah, sisa
pencucian dll) di area pemotongan
B8. Peralatan bersih dari darah
B9. Tidak terdapat limbah padat (kotoran,
bulu dll) di area pemotongan
C. Ketersediaan Tempat Sampah
C1. Mempunyai Tempat Penampungan
Sampah Sementara
C2. TPS tidak bau, tidak ada sampah
berserakan
C3. Tersedia tempat sampah di tempat
pemotongan
C4. Tempat sampah bahan kedap air
C5. Tempat sampah tertutup
C6. Tempat sampah mudah dibersihkan
D. Saluran Pembuangan Air Limbah
D1. Mempunyai saluran pembuangan air
limbah
D2. Saluran pembuangan air limbah hasil
pemotongan terpisah dengan saluran dari
jamban
D3. Saluran limbah cair tertutup
D4. Aliran air limbah lancar
110
FORMULIR PENGUKURAN KEPADATAN LALAT
1. Lokasi Pengamatan :
2. Waktu Pengukuran :
Pengukuran 1 :
Pengukuran 2 :
Pengukuran 3 :
Pengukuran 4 :
Pengukuran 5 :
Pengukuran 6 :
3. Lingkungan Fisik
P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6
Temperatur
Kelembaban
4. Hasil Pengamatan
Titik P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 Total
(N)
Tempat istirahat
petugas potong
Tempat pemotongan
Tempat
Pembuangan
Sampah Sementara
5. Rata-rata kepadatan Lalat :
(X) = Total (N) / 6
111
OUTPUT ANALISIS UNIVARIAT
A. Angka Kepadatan Lalat
Kat_lalat
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tinggi 7 58,3 58,3 58,3
Rendah 5 41,7 41,7 100,0
Total 12 100,0 100,0
B. Perilaku Pengelolaan Limbah
Statistics
PengelolaanLimbah
N Valid 12
Missing 0
PengelolaanLimbah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid buruk 7 58,3 58,3 58,3
baik 5 41,7 41,7 100,0
Total 12 100,0 100,0
C. Ketersediaan Tempat Sampah
TempatSampah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 6 50,0 50,0 50,0
Memenuhi Syarat 6 50,0 50,0 100,0
Total 12 100,0 100,0
112
D. Ketersediaan SPAL
SaluranLimbah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 5 41,7 41,7 41,7
Memenuhi Syarat 7 58,3 58,3 100,0
Total 12 100,0 100,0
E. Sanitasi Tempat Potong
Tempat_potong
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buruk 8 66,7 66,7 66,7
Baik 4 33,3 33,3 100,0
Total 12 100,0 100,0
F. Suhu
Statistics
Rata_Suhu
N Valid 12
Missing 0
Mean 30,742
Median 30,767
Mode 29,4a
Std. Deviation ,9016
Minimum 29,4
Maximum 32,1
a. Multiple modes exist. The
smallest value is shown
113
G. Kelembaban
Statistics
Rata_Lembab
N Valid 12
Missing 0
Mean 65,00
Median 67,00
Mode 69
Std. Deviation 4,390
Minimum 58
Maximum 69
OUTPUT ANALISIS BIVARIAT
A. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Pengelolaan Limbah
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
PengelolaanLimbah *
Kat_lalat 12 100,0% 0 0,0% 12 100,0%
PengelolaanLimbah * Kat_lalat Crosstabulation
Kat_lalat
Total Tinggi Rendah
PengelolaanLimbah buruk Count 6 1 7
% within PengelolaanLimbah 85,7% 14,3% 100,0%
baik Count 1 4 5
% within PengelolaanLimbah 20,0% 80,0% 100,0%
114
Total Count 7 5 12
% within PengelolaanLimbah 58,3% 41,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5,182a 1 ,023
Continuity Correctionb 2,831 1 ,092
Likelihood Ratio 5,555 1 ,018
Fisher's Exact Test ,072 ,045
Linear-by-Linear Association 4,750 1 ,029
N of Valid Cases 12
a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,08.
b. Computed only for a 2x2 table
B. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Ketersediaan Tempat Sampah
TempatSampah * Kat_lalat Crosstabulation
Kat_lalat
Total Tinggi Rendah
TempatSampah Tidak Memenuhi Syarat Count 6 0 6
% within TempatSampah 100,0% 0,0% 100,0%
Memenuhi Syarat Count 1 5 6
% within TempatSampah 16,7% 83,3% 100,0%
Total Count 7 5 12
% within TempatSampah 58,3% 41,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 8,571a 1 ,003
Continuity Correctionb 5,486 1 ,019
Likelihood Ratio 10,894 1 ,001
Fisher's Exact Test ,015 ,008
115
Linear-by-Linear Association 7,857 1 ,005
N of Valid Cases 12
a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,50.
b. Computed only for a 2x2 table
C. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Ketersediaan SPAL
SaluranLimbah * Kat_lalat Crosstabulation
Kat_lalat
Total Tinggi Rendah
SaluranLimbah Tidak Memenuhi Syarat Count 4 1 5
% within SaluranLimbah 80,0% 20,0% 100,0%
Memenuhi Syarat Count 3 4 7
% within SaluranLimbah 42,9% 57,1% 100,0%
Total Count 7 5 12
% within SaluranLimbah 58,3% 41,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1,656a 1 ,198
Continuity Correctionb ,480 1 ,488
Likelihood Ratio 1,736 1 ,188
Fisher's Exact Test ,293 ,247
Linear-by-Linear Association 1,518 1 ,218
N of Valid Cases 12
a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,08.
b. Computed only for a 2x2 table
D. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Sanitasi Tempat Potong
Tempat_potong * Kat_lalat Crosstabulation
Kat_lalat
Total Tinggi Rendah
Tempat_potong Buruk Count 7 1 8
% within Tempat_potong 87,5% 12,5% 100,0%
116
Baik Count 0 4 4
% within Tempat_potong 0,0% 100,0% 100,0%
Total Count 7 5 12
% within Tempat_potong 58,3% 41,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 8,400a 1 ,004
Continuity Correctionb 5,186 1 ,023
Likelihood Ratio 10,272 1 ,001
Fisher's Exact Test ,010 ,010
Linear-by-Linear Association 7,700 1 ,006
N of Valid Cases 12
a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,67.
b. Computed only for a 2x2 table
E. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Suhu
Group Statistics
Kat_lalat N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Rata_Suhu Tinggi 7 31,112 ,8855 ,3347
Rendah 5 30,223 ,6955 ,3110
F. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Kelembaban
Group Statistics
Kat_lalat N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Rata_Lembab Tinggi 7 64,71 4,309 1,629
Rendah 5 65,40 4,980 2,227
117
Ranks
Kat_lalat N Mean Rank Sum of Ranks
Rata_Lembab Tinggi 7 5,50 38,50
Rendah 5 7,90 39,50
Total 12
Test Statisticsa
Rata_Lembab
Mann-Whitney U 10,500
Wilcoxon W 38,500
Z -1,151
Asymp. Sig. (2-tailed) ,250
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,268b
a. Grouping Variable: Kat_lalat
b. Not corrected for ties.
118
Hasil Pengukuran
Angka Kepadatan Lalat
Hasil Pengukuran
Angka Kepadatan Lalat
Konstruksi RPU
Penyedian Air Penumpukan Bulu
Pembersihan Keranjang Unggas Wawancara