HUBUNGAN SALING MENGUNTUNGKAN ANT ARA PSIKOLOGI …

11
144 Hukum dan Pembangunan HUBUNGAN SALING MENGUNTUNGKAN ANT ARA PSIKOLOGI DAN HUKUM Adrianus Meliala Penulis artikel ini membahas masalah hubungan antara psilwlogi dan hukum da/am leaitannya dengan upaya penegak/can hukum. Menurut penulis ini, petugas penegak hukum dapal mema- leai psilwlogi sebagai salah salu pisau analisis dalam mengenali learakter pelaku kejahatan, lerutama pelaku kejahatan yang memiliki sitat abnormal. Namun, harus disadari bahwa ada perbedaan dalam pendeleatan yang diteraplean dalam bidang ilmu hukum dan psilwlogi. Pendahuluan Rasanya, tak ada yang lebih menarik daripada mengamat apa yang orang lain lakukan dan mengapa mereka melakukan hal itu. Psikologi dalam hal ini beruntung karena secara khusus mempelajari perilaku dan pengalaman manusia tersebut. Secara garis besar, salah satu karakter psikologi ditandai dengan penggunaan metode empiris yang sistematis guna memperoleh data yang valid dan andal mengenai perilaku dan pengalaman khusus terten- tu guna dijadikan dasar prediksi atau analisis. Data tersebut dapat dipe- roleh dengan cara mengamati secara cermat terhadap apa yang disebut "dunia nyata" (the real world). Untuk itu, sebagian dari strukturnya di- tim, divariasikan atau dirnanipulasi secara sistematis guna mengetahui pengaruhnya pada perilaku yang secara sengaja hendak diamati. Sebagai hasilnya, psikologi konteks sosial atas perilaku, demikian pula kontribusi faktor biologis dan kondisi lingkungan pada umurnnya. Di pihak lain, disiplin hukum juga memfokuskan P?da perilaku Maret - April 1999

Transcript of HUBUNGAN SALING MENGUNTUNGKAN ANT ARA PSIKOLOGI …

144 Hukum dan Pembangunan

HUBUNGAN SALING MENGUNTUNGKAN ANT ARA PSIKOLOGI DAN HUKUM

Adrianus Meliala

Penulis artikel ini membahas masalah hubungan antara psilwlogi dan hukum da/am leaitannya dengan upaya penegak/can hukum. Menurut penulis ini, petugas penegak hukum dapal mema­leai psilwlogi sebagai salah salu pisau analisis dalam mengenali learakter pelaku kejahatan, lerutama pelaku kejahatan yang memiliki sitat abnormal. Namun, harus disadari bahwa ada perbedaan dalam pendeleatan yang diteraplean dalam bidang ilmu hukum dan psilwlogi.

Pendahuluan

Rasanya, tak ada yang lebih menarik daripada mengamat apa yang orang lain lakukan dan mengapa mereka melakukan hal itu. Psikologi dalam hal ini beruntung karena secara khusus mempelajari perilaku dan pengalaman manusia tersebut.

Secara garis besar, salah satu karakter psikologi ditandai dengan penggunaan metode empiris yang sistematis guna memperoleh data yang valid dan andal mengenai perilaku dan pengalaman khusus terten­tu guna dijadikan dasar prediksi atau analisis. Data tersebut dapat dipe­roleh dengan cara mengamati secara cermat terhadap apa yang disebut "dunia nyata" (the real world). Untuk itu, sebagian dari strukturnya di­tim, divariasikan atau dirnanipulasi secara sistematis guna mengetahui pengaruhnya pada perilaku yang secara sengaja hendak diamati. Sebagai hasilnya, psikologi konteks sosial atas perilaku, demikian pula kontribusi faktor biologis dan kondisi lingkungan pada umurnnya.

Di pihak lain, disiplin hukum juga memfokuskan P?da perilaku

Maret - April 1999

Psik%gi dan Hukum 145

manusia. Namun bedanya, hal itu tidak dikaitkan dengan tipologi peri­laku tertentu. Sebaliknya, hukum lebih mempakan sub-sistem sosial yang tercipta dengan suatu keinginan untuk mengatur perilaku anggota suatu komunitas. Dalam bahasa yang kebuh umum dapat dikatakan, hukum mempakan mekanisme formal untuk melahirkan dan mene­gakkan (to enforce) aturan yang berlaku dan diterapkan pad a setiap orang. Hukum sekaligus juga mengekspresikan perilaku apa yang bileh dan tidak boleh dilakukan dalam komunitas tersebut.

Aturan-aturan yang diciptakan biasanya didisain guna mencegah dilakukannya perilaku-perilaku yang tidak dapat diterirna. Dengan pertirnbangan humanistik bahwa pasti akan muncul pelanggaran, maka hukum juga mengatur prosedur guna menangani setiap upaya penyirn­pangan terhadap hukum.

Dalam hal ini, hukum juga menggantungkan diri pad a data-data yang faktual. Sebagai contoh, bahwa pada kasus tertentu telah terjadi penyirnpangan perilaku (behavioral transgression) dengan karakteristik kondisional yang tertentu pula. Sekaligus, hukum kemudian merekam bagaimana hukum pada sa at itu menangani masalah tersebut dalam kaitannya dengan kemungkinan perkembangan hukum dimasa-masa selanjutnya.

Sebagai refleksi dari upaya komunitas sosial guna mengatur dirinya sendiri, hukum lalu menciptakan berbagai profesi bam di masyarakat. Kita kenaI, rnisalnya, mulai dari badan legislatif, penegak hukum, pem­bela, hakirn hingga petugas penjara. Semua peran ini diperlihatkan me­lalui perilaku individu-individu tertentu yang ditunjuk secara resmi oleh komunitasnya guna menjalankan tugas penataan perilaku melalui mekanisme hukum formal.

Terlepas daripada itu, segera ingin dikatakan bahwa psikologi dan hukum memiliki kesamaan kepentingan mengingat banyaknya tum­pang tindih an tara keduanya. Dalam kaitan itu, amat mengembirakan bahwa pada tahun-tahun belakangan ini tumbuh minat ilmiah yang besar mengenai masalah antara hukum dan psikologi tersebut (Tapp, 1976: Monahan & Lotfus, 1982).

Pada dekade '80-an, misalnya, the American Psychological Asso­ciation mendirikan divisi bam yakni Division of Psychology in Law sebagai Divisi ke-41. Di pihak lain, The British Psychological Society juga memulai divisi bam yakni Division of Criminological and Legal Psycho­logy.

Nomar 2 Tahun XXIX

146 Hukum dan Pembangunan

Khususnya di Amerika Serikat dan Inggeris, penelitian-penelitian ten tang psikologi dan hukum memang telah menjamur. Sebagian dian­taranya kemudian berkembang menjadi kajian yang otoritari. Untuk menyebut beberapa nama, antara lain, Ellison dan Buckout (1981), Feldman (1977), Konecni & Ebbesen (1982), Lipsett & Sales (1980), Lotfus (1979), Monahan (1981), Nietzel (1979), Reiser (1982), Sales (1977, 1981), Sprague (1982), Tapp & Levine (1977) dan Wexler (1981).

Perlu disebut secara khusus adalah upaya The Social Science Rese­arch Council di Inggeris yang mendukung pendanaan bagi penelitian tersebut serta merangsang diadakannya simposium ten tang psikologi dan hukum (lihat Farrington, Hawkins & L1yoyd Bostock, 1979: L1oyd­Bostock, 1981a, b) . Guna menampung hasil-hasil penelitian tersebut, juga telah ada jumal khusus seperti "Law and Human Behaviour)".

Persamaan Minat dalam Psikologi dan Hukum

Terdapat beberapa konteks dimana para penegak hukum mungkfu berpaling kepada psikologi.

Pertama, dalam hubungannya dengan pelaku kejahatan yang me­rniliki fudikasi abnormal. Adapun tujuannya untuk mendapatkan pem­buktian psikometris (psychometric evidence) atas tersangka/terdakwa.

Pertanyaan yang muncul dalam hal ini, baik di kalangan penegak hukum maupun psikologi sendiri, adalah: hingga tahap apa seseorang yang secara psikis dfuyatakan sakit jiwa (mental illness) atau yang men­derita keterbelakangan mental (mental retardation) hams bertanggung­jawab atas perbuatannya?

Dalam kaitan itu, bisa dikatakan bahwa para psikolog dilatih untuk mengenali dan menggambarkan gejala (simtom) sakit jiwa dan keterbe­lakangan mental dalam upaya mengindentifikasi proses psikologis yang telah, tengah atau bahkan yang akan terjadi pada penderita. Hal ini dikaitkan dengan kefuginan untuk memperoleh dan mengembangkan metode yang efektif guna menolong atau menangani pasien dengan karakteristik tertentu. Dalam kaitan itu, para psikolog telah mengaku­mulasikan berbagai fuformasi empiris mengenai perilaku abnormal yang bersifat melengkapi (komplementer) dengan diagnosa medis yang dilakukan psikiater.

Satu karakteristik dari analisis psikologis adalah, selalu enggan

Maret - April 1999

Psikologi dan Hukum 147

mendiagnosa sakit jiwa atau keterbelakangan mental sebagai penyebab atau kausa dari dilakukannya perilaku abnormal seperti tindak keja­hatan. Sebaliknya, sakit jiwa menurut kacamata psikologi lebih dilihat sebagai "label" terhadap perilaku menyirnpang atau yang keluar dari kebiasaan (abberant behavior). Dikatakan sebagai label mengingat sebutan itu lebih merupakan konstruksi sosial dari kondisi kesakit jiwaan atau keterbelakangan mental seseorang.

Kedua, psikologi juga mernilik.i peran penting berkaitan dengan ma­salah penghukuman dan penanganan non-hukum (non-legal treatment).

Suatu problem yang sudah banyak muncul dalam berbagai kasus litigasi khususnya di Amerika Serikat adalah bagairnana memberikan penanganan non-hukum bagi pelaku kejahatan, baik yang secara psi­kologis normal maupun abnormal.

Penelitian psikologi telah memunculkan berbagai metode baru perawatan bagi pelanggar hukurn dengan kelainan jiwa atau keterbela­kangan mental. Sebagai contoh, studi empiris dari proses belajar telah memunculkan aneka teknik modifikasi perilaku. Teknik-teknik tersebut telah telah banyak dipergunakan baik dalam institusi yang bersifat punitif (seperti penjara) maupun terapetis (rumah sakit).

Penanganan ala psikologis ini, sebagai lawan dari pendekatan me­dis, memang masih memerlukan kajian dalam konteks penghukuman pada umurrmya. Bila hendak diterapkan secara massal; perkembangan ini akan menandai era yang lebih jauh dari filosofi penghukuman.

Ketiga, riset psikologis juga dapat merniliki irnplikasi bagi praktek hukum berkaitan dengan terdapatnya fakta-fakta yang menarik dan relawan tentang upaya pengungkapan dan penyidikan suatu kejahatan.

Contoh yang paling terkenal adalah berkaitan dengan studi menge­nai saksi mata (eyewitness testimony). Penelitian yang menguji kelemahan pada selektifitas persepsi, perubahan terstruktur yang terjadi pada me­tode investigasi yang dapat memunculkan informasi yang berbeda pula dari saksi, adalah beberapa contoh topik populer.

Riset-riset tersebut secara jelas mengindikasikan, misalnya, bahwa tindak kejahatan tidak mungkin diulangi atau direkonstruksi secara persis dalam tahap penyidikan atau di muka sidang. Bila selalu mung­kin terjadi penekanan pada salah satu hal dalam rekonstruksi, maka se­lalu mungkin pula ada bagian yang terlewat, tidak teringat atau sengaja tidak ditekankan oleh orang yang sarna.

Psikologi dalam hal ini berada pada posisi pihak yang menawarkan

Nomar 2 Tahun XXIX

148 Hukum dan Pembangunan

cara lain yang lebih baik pada aparat pengadilan, dengan harapan dapat mengurangi kelemahan-kelemahannya. Sayangnya, psikologi sesekali juga berada pada posisi menan tang karena cenderung memberikan informasi yang melemahkan fakta hukum dan selalu mengingatkan akan bahaya dari pemfaktaan suatu kasus.

Keempnt, evaluasi persidangan dengan pendekatan prinsip-prinsip psikologi sosial. Telah diketahui melalui berbagai berbagai penelitian bahwa perbedaan sekuen dalam menyajikan informasi oleh jaksa pe­nuntut dapat mempertinggi probabilitas tertuduh akan diputusl divonis brsalah. Karakteristik fisik, sebagai contoh lain, juga dapat merupakan "dramatis personae" di muka sidang. Banyak pula riset telah menyelidiki efek dari komposisi juri terhadap putusan yang muncul. Demikian pula hubungan komposisi juri (dalam persidangan adversarial) dengan dina­mika sosial yang mungkin terjadi di saat-saat sebelum keputusan di­ambil.

Bagaimana hakim dapat sampai pada pertimbangan-pertimbangan yang kemudian menjadi dasar putusannya juga telah banyak dipelajari secara psikologis. Cukup banyak riset yang mengungkapkan inkonsis­tensi hakim dalam mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu kasus. Yang cukup kontroversial adalah kenyataan bahwa terdapat inkonsis­tensi dalam penentuan lama hukuman (time dicrepancy of judicial senten­cing).

Riset dalam kategori ini umumnya kembali menekankan bahwa soal kekaburan fakta dalam proses peradilan bukanlah persoalan mu­dah. Riset-riset tersebut juga mengindikasikan bahwa para partisipan dalam proses peradilan (seperti hakim, terdakwa dan sebagainya) jelas­jelas dipengaruhi oleh lebih dari sekedar fakta yang ada ketika menja­lankan proses tersebut.

Kesadaran yang besar mengenai dinamika psikologis dari situasi seperti ini, sayangnya, dapat berkembang secara negatif. Yang muncul kemudian bukannya upaya mengontrol kemungkinan bias-bias tadi, tapi malah skeptisme (terutama di kalangan psikolog sendiri). Tentu saja adanya bias dalam proses peradilan juga dapat dieksploitasi untuk tujuan tertentu, misalnya untuk melepaskan atau menghukum ringan terdakwa, dengan cara memanipulasi faktor-faktor yang secara alami sulit terkontrol dalam persidangan.

Kelima, evaluasi atas penggunaan metode yang berbeda yang dite­rapkan bagi tersangka berstatus tahanan dan bagi narapidana. Kontro-

Maret - April 1999

Psikologi dan Hukum 149

versi yang muncul adalah: mana yang lebih baik, apakah penghukuman (punishment) atau perawatan (treatment).

Studi psikologis sendiri telah mempelajari efek penghukuman (im ­

prisonment) terhadap kesehatan mental narapidana. Demikian pula ada studi psikologis yang berupaya melihat efek penghukuman dengan keinginan menangkal dilakukannya tindak kriminal oleh mantan pelaku kejahatan.

Psikolog dalam hal ini telah mengevaluasi efek dari metode alter­natif guna merehabilitasi para pelaku kejahatan, sperti probation (bebas bersyarat) dan community seroice centre. Evaluasi mengenai efektifitas program-program itu tidak saja hanya dilakukan pada tingkat makro, tetapi sampai juga ke tingkat individual. Yang berusaha diperlihatkan

. pada tingkat ini adalah, misalnya, efek perbedaan gaya kepemimpinan dalam manajemen penjara (prison regimes) dan keputusan probation. Yang menjadi variabel tergantungnya adalah sikap pelaku dan tingkat pelanggaran pasca penghukuman.

Psikolog juga telah lama memiliki perhatian dalam konteks sosial dari penegakan hukum dan legislasi. Hukum anti diskriminasi, misal­nya dianggap sebagai contoh dari upaya masyarakat guna memerangi prasangka rasial atau sosial.

Keenam, adalah menarik saat menyadari bahwa beberapa instru­men pengujian psikometrik yang dikembangkan oleh psikolog telah menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli hukum pula. Sebagai con­toh, tes psikometrik menerima banyak tantangan perihal validitas dan keterandalannya sebagai instrumen edukasional (membedakan anak cerdas dan tidak cerdas). Juga terhadap kemampuan tes yang tidak membedekan gender orang yang diuji. Singkatnya, tes psikometrik juga dituntut memperhitungkan dampak sosial yang dihasilkan oleh te­muannya.

Konteks sosial dari penegakan hukum, khususnya oleh polisi, juga merupakan ajang penting bagi riset psikologis. Di Inggeris, misalnya ada studi yan menarik mengenai keuntungan relatif dari pemolisian ko­munitas (community policing) khususnya bila dibandingkan dengan ke­bijakan yang lebih populer yakni yang koersif. Contoh lainnya, studi yang melihat kemungkinan terdapatnya sikap atau perilaku yang mem­bedakan (diskriminatif) pada sebagjan anggota kepolisian terhadap ke­lompok etnis atau minoritas lainnya. Demikian pula studi mengenai aspek psikolegal mengenai persepsi tentang kekejaman (severity). Juga

NomoT 2 Tahun XXIX

150 Hukum dan Pembangunan

studi ten tang bagaimana prevalensi kejahatan di suatu masyarakat dapat mempengaruhi bentuk dan format statistik kriminal.

Ketujuh, kini semakin luas area bagi psikologi terapan khususnya guna mengevaluasi tuntutan kerja dan karakteristik pribadi dari orang­orang yang dicalonkan untuk mengisi jabatan tertentu. Psikologi dengan demikian memberikan kontribusi penting dalam seleksi dan pelatihan yang efektif bagi profesional di bidang hukum seperti polisi, pengacara atau hakim. Khususnya di Eropa Barat, telah cukup banyak anggota­anggota dari profesi ini semakin menghargai relevansi psikologi dalam tugas mereka.

KedeJapan, penting pula untuk dikatakan bahwa psikologi sendiri adalah subyek yang diawasi hukum. Konsekwensi hukum dari penggu­naan tes-tes psikologi kini berkembang sedemikian rupa sehingga pihak kalangan psikologi sendiri merasakan kebutuhan untuk meregulasi penggunaan tes psikologi tersebut, khususnya untuk tingkat terapan.

Jadi psikolog atau siapapun yang mengklaim telah merniliki kuali­fikasi menggunakan tekni psikologis perlu mendaftarkan diri. Registrasi seperti itu memungkinkan profesi psikologi untuk mengatur dirinya sendiri dalam suatu kerangka hukum yang jelas.

Isyu Mutakhir

Minat yang besar di bidang ini tidak dengan sendirinya meniada­kan perbedaan prinsipil antara dua disiplin tersebut. Sedikitnya terda­pat satu isu besar, yakni bahwa terdapat benturan pola pikir (paradigm clash) antara keduanya.

Untuk mudahnya, hukum dianggap merefleksikan anggapan do­rninan dari anggota masyarakat yang diatumya. Gambaran umum dari masyarakat barat kontemporer misalnya meneknakn filosofi hak asasi dan perilaku individual yakni bahwa individu bertanggung-jawab atas perilaku mereka. Jadi hukum berasumsi bahwa individu sadar dan be­bas atas apa yang mereka kerjakan. Jadi konsep tanggungjawab krimi­nal meyakini bahwa niat dan keinginan individu mengatasi perila­kunya. Juga bahwa diri (mind) terpisahkan dari perilaku.

Di pihak lain, psikologi kontemporer membangun model yang menekankan bahwa perilaku (sebagai variabel tergantungl dipengaruhi oleh hal-hal lain secara sedemikian rupa. penetian ermpiris telah me­nunjukan bagaimana perilaku sebagian besar dapat diterangkan secara

Maret - April 1999

Psikologi dan Hukum 151

biologis atau sosial (pengaruh lingkungan) ketimbang sebagai buah refleksi dari otonomi dan kehendak pribadi.

Psikologi kontemporer sendiri dibangun atas suatu kerangka kerja analisis perilaku deterministik yang memunculkan atribusi dari masya­rakat ten tang adanya tanggungjawab pribadi seseorang terhadap perila­kunya. Jadi, bukan individu yang secara sadar bertanggungjawab atas perbuatannya, melainkan masyarakatlah yang menyadarkannya.

Dari sudut psikologik, implikasi dari perbedaan filosofis ini muncul dalam bentuk pendekatan psikologs terhadap penggunaan pragmatis dari konsep-konsep penting dalam hukum seperti tanggungjawab pidana (criminal responsibility), baik terhadap pelaku kejahatan abnormal maupun normal. Paradigma psikologik ini juga terlihat dalam analisis­nya mengenai putusan bebas terhadap pelaku tindak pidana.

Ketegangan antara psikologi dan hukum dapat pula muncul dalam konteks yang lebih spesifik. Ini rnisalnya tergambar lewat kajian-kajian hukum yang bertendensi menantang legitimasi dan campur tangan psikologi dalam prosedur hukum.

Salah satu contoh ekstrim adalah kontroversi mengenai penggu­naan teknik modifikasi perilaku terhadap pasien gangguan jiwa (Wexler, 1973). Sebagaimana diketahui, salah satu aspek penting dari modifikasi perilaku adalah penekanannya pada efek dinamika perilaku khususnya mengenai probabilita kemunculannya di waktu-waktu tertentu. Sebagai kalangan yang mengkhususkan diri dalam pengubah­an perilaku, psikolog biasanya berupaya mempertinggi kemunculan perilaku yang diinginkan dengan cara memanipulasi variabel indepen­dennya. Sebagai contoh, setiap kali pasien memperlihatkan perilaku kekerasan (expressive violence), maka jam makannya ditunda selama waktu tertentu.

Menurut Wexler, hal ini bertentangan dengan hukum. Litigasi di AS menurut Wexler telah sampai pada pemahaman bahwa pasien dalam institusi seperti rumah sakit jiwa juga masih memiliki hak legal. Hukum dengan demikian jelas-jelas membatasi "class of event" yang dikaitkan dengan program modifikasi perilaku.

Dengan demikian, dalam hal kebutuhan akan makanan, pasien memiliki hak hukum untuk mempeolehnya secara tidak bersyarat (un­conditional). Maksudnya, ketersediaan makanan tidak boleh tergantung pada muncul tidaknya perilaku tertentu. Intervensi modifikasi perilaku yang mengaitkan faktor makanan pada perilaku oleh karenanya diang-

Nomor 2 Tahun XX IX

152 Hukum dan Pembangunan

gap ilegal. Dalam kasus ini, jelas pasien "terperangkap" dalam situasi dimana

hak hukum menekankan bahwa pemberian makanan tidak boleh dijadi­kan sumber manipulasi pengubahan tingkah laku. Sementara di pihak lain, cara itulah yang dianggap terbaik guna menghilangkan atau meng­ubah perilaku yang tidak dikehendaki.

Kombinasi, dengan demikian memang cara terbaik. Dengan cara itu, perilaku yang diinginkan bisa tetap muncul semen tara makanan cukup gizi juga diberikan. Namun tentu saja irnplementasinya tidaklah mungkin.

Dalarn kaitan perbedaan dan persaaam fundamental antara hukum dan psikologi, Monahan dan Lotfus (1982) mengidentifikasi tiga isu yang muncul berkaitan dengan tujuan, metode dan dampak dari riset­riset yang dilakukan di kedua bidang ini:

Pertama, dapat dibedakan antara riset yang ditujukan untuk mem­bantu efisiensi dari prosedur hukum dan riset yang didisain untuk me­ngembangkan dan menguji teori psikologis. Monahan dan Lotfus ber­pendapat, amatlah penting bagi keduanya untuk saling mendukung ke­tirnbang saling menyalahkan. Perbedaan antara psikologi dan hukum, menurut Monahan dan Lotfus, tak lebih dari sekedar perbedaan tujuan pragmatik.

Kedua, perihal adanya beberapa pilihan dalam metode empiris bagi riset psikologi yang bisa disesuaikan dengan relevansi hukum. Metode analogi atau sirnulasi, rnisaInya, berupaya mengidentifisir efek dari pengaruh yang mungkin terjadi dalam konteks legal. Mengingat keti­dakrnungkinan melakukan riset secara langsung di ruang sidang, maka direkonstruksilah (set-up) model atau situasi yang mirip dirnana varia­bel-variabel yang hendak diteliti dapat dirnanipulasi secara terkontrol.

Contoh nyata dari pendekatan ini berupa studi tentang peng­arnbilan keputusan oleh sirnulasi juri. Demikian pula ten tang efek dari variasi sejumlah kondisi bagi kesaksian saksi mata. Dapat dijadikan contoh di sini adalah studi ten tang efek keramaian pada akurasi kesak­sian. Di mata Manahan dan Lotfus, strategi ini menarik bagi psikologi yang secara tradisional dilatih untuk menganggap pendekatan ekspe­rimental sebagai metode ilrniah paling akurat.

Namun kepentingan hukum terhadap studi analogis seperti ini tetap tergantung pada ekstrapolasinya pada dunia nyata. Hal ini tentu saja bukannya tanpa masalah, khususnya bila dibandingkan dengan

Maret - April 1999

Psiknlogi dan Hukum 153

pendekatan yang dilakukan oleh studi lapangan (field studies) yang mengumpulkan data empiris dengan mempelajari situasi dan prosedur hukum secara riil dan langsung. Studi lapangan dalam konteks legal menurut Monahan dan Lotfus telah memberi kontribusi yang signifikan bagi perkembangan yang menggembirakan dari metode empiris non eksperimental.

Isu Ketiga, atau terakhir yang diidentifikasi oleh Monahan dan Lotfus berkaitan dengan pengaruh riset psikologis pada hukum. Ada pertanyaan mengenai: seharusnyakah bagi psikologi untuk berupaya menolong hukum guna mencapai tujuan yang telah mereka (baca: hu­kum) tentukan sendiri? Sudah seharusnyalah bagi psikologi untuk ber­upaya memperkenalkan tujuan dan nilai-nilai lain? Atau, seharusnya­kah mereka membatasi diri sebagai penemu fakta yang netral.

Hal ini jelas merupakan isu yang kompleks. Walau demikian, perlu ditekankan bahwa tanpa menunculkan penemuan dan informasi psiko­logis yang relevan mengenai fakta empiris, psikolog jelas tidak memiliki peran dalam konteks hukum.

Monahan dan Lotfus juga menarik perhatian pada distorsi dari riset psikolegal dengan penekanan pada situasi nyata. Terdapat ketidak­seimbangan yang lebih menitikberatkan hukum pidana. Padahal hukum tentu saja jauh lebih luas dari sekedar hukum pidana. Monahan dan Lotfus tepat sekali saat mengingatkan psikolog terhadap bidang-bidang lain dalam hukum yang memerlukan perhatian dan keahlian mereka.

Daftar Pus taka

Ellison, K.W., & Buckout, R., (1981), Psychology and Criminal Justice, New York: Harper & Row.

Farrington, D.P., Hawkins, K. & Lloyd-Bostock, S., 1979, Psychology, Law and Legal Processes, London: Macmillan.

Feldman, V.]., and Ebbesen, E.B., 1982, The Criminal Justice System: A Social Psychological Analysis, San Francisco: Freeman.

Lipsett, p.o., and Sales, BD., 1980, New Directions In Psychological Research, New York: Van Nostrand Reinhold.

Namar 2 Tahun XXIX

154 Hukum dan Pembangunan

Lloyd-Bostock, S., 1981 (b), Psychology in Legal Contexts: Applications and Limitations, London: Macmillan.

Lotfus, E.R, 1979, Eyewitness Testimony, Cambridge, Mass: Harvard Univ. Press.

Monahan J., 1981, Predicting Violent Behavior, Beverly Hills, California: Sage Books.

Monahan, J. & Lotfus, E.R, 1982, The Psychology of Law, Annual Review of Psychology, 33, 441-475.

Nietzel, M.T., 1979, Crime and Its Modification, New York: Pergamon Press.

Reiser, M., 1982, Police Psychology: Collected Papers, Los Angeles California: Lexington.

Sales, B.D., 1977, Perspectives in Psychology and Law, Vol. 1, The Criminal Justice System (J.), New York: Plenum.

Sprague, RJ., 1982, Advances in Law and Child Development, Greenwich, Conn:JAP.

Tapp, J.L., 1976, Psychology and Law; an Overture, Annual Review of Psychology, 27, 359-404.

Tapp, J.L., & Levine, F.J., 1977, Law, Justice and the Individual in Society, New York: Holt, Rienhart and Winston.

Wexler, D.B., 1973, Token and Taboo: Behavior Modification, Token Economies and the Law, Californian Law Review, 61, 81-107.

Wexler, D.B., 1981, Perspectives in Law and Psychology, vol. 4, Mental Health Law: Major Issues, New York: Plenum.

Maret - April 1999