Hubungan Penerapan Pajak Rokok

10
Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id 1 HUBUNGAN PENERAPAN PAJAK ROKOK DENGAN DAYA BELI DAN TINGKAT KONSUMSI ROKOK (STUDI PENELITIAN PADA MAHASISWA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI BRAWIJAYA MALANG) Bani Alkausar Hamidah Nayati Utami Yuniadi Mayowan (PS Perpajakan, JurusanAdministrasiBisnis, FakultasIlmuAdministrasi, UniversitasBrawijaya) [email protected] ABSTRACT Cigarette consumption is increasing from year to year, the Government through the implementation of cigarette taxes policytries to solve this problem. The purpose of this study is to determine the relationship of the application of taxes on cigarettes by purchasing power and consumption levels, whether in the implementation of this policy cigarette consumption will be controlled. Variable application of cigarette tax istransformed to two variables: the variable cigarettes tax policy and cigarette tax variable. Based on the results of Spearman rank (1928) correlation test, cigarette tax policy variables have sig. rs of 0.486 against the purchasing power and variable cigarette tax has sig. rs of 0.002 against the purchasing power of the positive direction. Cigarette tax policy variables have sig. rs 0,001 on the level of consumption with positive direction and variable cigarette tax has sig. rs of 0.002 on the level of consumption with a positive direction. Keywords: Cigarette Tax Policy, Cigarette Tax, Purchasing Power, Consumption Levels ABSTRAK Konsumsi rokok dari tahun ketahun semakin meningkat, Pemerintah melalui kebijakan penerapan pajak rokok mencoba untuk mengatasi permasalahan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dari penerapan pajak rokok dengan daya beli dan tingkat konsumsi rokok, apakah dengan adanya kebijakan ini konsumsi rokok akan bisa dikendalikan. Variabel penerapan pajak rokok dirubah menjadi dua variabel yaitu : variabel kebijakan pajak rokok dan variabel pajak rokok. Berdasarkan hasil uji korelasi rank spearman (1928), variabel kebijakan pajak rokok memiliki sig. rs sebesar 0,486 terhadap daya beli dan variabel pajak rokok memiliki sig. rs sebesar 0,002 terhadap daya beli dengan arah positif.Variabel kebijakan pajak rokok memiliki sig. rs sebesar 0,001 terhadap tingkat konsumsi dengan arah positif dan variabel pajak rokok memiliki sig. rs sebesar 0,002 terhadap tingkat konsumsi dengan arah positif. Kata Kunci: Kebijakan Pajak Rokok, Pajak Rokok, Daya Beli, Tingkat Konsumsi PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi rokok terbesar kelima di dunia (Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,2012 : 7). Rokok dari sisi ekonomi memang menguntungkan, namun melihat kegiatan konsumsi rokok yang cenderung negatif maka pemerintah di seluruh dunia berkewajiban mengatur pola konsumsi rokok masyarakatnya. Pemerintah dalam upaya mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia dapat menggunakan elemen fiskal berupa pajak. Pengenaan pajak atas rokok akan mengakibatkan harga rokok meningkat sehingga dapat menurunkan jumlah permintaan rokok. Permintaan akan rokok memang bersifat inelastis, yaitu dimana besarnya penurunan konsumsi rokok lebih kecil dari pada peningkatan harganya, oleh karena itu pemerintah dapat meningkatkan tarif pajak atas rokok sehingga di dapat tarif yang ideal dimana dalam besarnya tarif ini jumlah konsumsi rokok dapat ditekan pada angka yang diinginkan oleh pemerintah. Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia menyatakan konsumsi rokok di Indonesia meningkat secara signifikan yaitu dari 182 milyar batang pada tahun 2001, menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009 (Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,2012 : 7). Peningkatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu meningkatnya pendapatan rumah tangga, pertumbuhan penduduk, rendahnya harga rokok dan mekanisme industri kretek. Konsumsi rokok di Indonesia menduduki peringkat keempat terbesar didunia setelah Cina

description

abcd

Transcript of Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Page 1: Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

1

HUBUNGAN PENERAPAN PAJAK ROKOK DENGAN DAYA BELI DAN TINGKAT KONSUMSI ROKOK (STUDI PENELITIAN PADA MAHASISWA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

BRAWIJAYA MALANG)

Bani Alkausar Hamidah Nayati Utami

Yuniadi Mayowan

(PS Perpajakan, JurusanAdministrasiBisnis, FakultasIlmuAdministrasi, UniversitasBrawijaya) [email protected]

ABSTRACT

Cigarette consumption is increasing from year to year, the Government through the implementation of cigarette taxes policytries to solve this problem. The purpose of this study is to determine the relationship of the application of taxes on cigarettes by purchasing power and consumption levels, whether in the implementation of this policy cigarette consumption will be controlled. Variable application of cigarette tax istransformed to two variables: the variable cigarettes tax policy and cigarette tax variable. Based on the results of Spearman rank (1928) correlation test, cigarette tax policy variables have sig. rs of 0.486 against the purchasing power and variable cigarette tax has sig. rs of 0.002 against the purchasing power of the positive direction. Cigarette tax policy variables have sig. rs 0,001 on the level of consumption with positive direction and variable cigarette tax has sig. rs of 0.002 on the level of consumption with a positive direction. Keywords: Cigarette Tax Policy, Cigarette Tax, Purchasing Power, Consumption Levels

ABSTRAK Konsumsi rokok dari tahun ketahun semakin meningkat, Pemerintah melalui kebijakan

penerapan pajak rokok mencoba untuk mengatasi permasalahan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dari penerapan pajak rokok dengan daya beli dan tingkat konsumsi rokok, apakah dengan adanya kebijakan ini konsumsi rokok akan bisa dikendalikan. Variabel penerapan pajak rokok dirubah menjadi dua variabel yaitu : variabel kebijakan pajak rokok dan variabel pajak rokok. Berdasarkan hasil uji korelasi rank spearman (1928), variabel kebijakan pajak rokok memiliki sig. rs sebesar 0,486 terhadap daya beli dan variabel pajak rokok memiliki sig. rs sebesar 0,002 terhadap daya beli dengan arah positif.Variabel kebijakan pajak rokok memiliki sig. rs sebesar 0,001 terhadap tingkat konsumsi dengan arah positif dan variabel pajak rokok memiliki sig. rs sebesar 0,002 terhadap tingkat konsumsi dengan arah positif. Kata Kunci: Kebijakan Pajak Rokok, Pajak Rokok, Daya Beli, Tingkat Konsumsi PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi rokok terbesar kelima di dunia (Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,2012 : 7). Rokok dari sisi ekonomi memang menguntungkan, namun melihat kegiatan konsumsi rokok yang cenderung negatif maka pemerintah di seluruh dunia berkewajiban mengatur pola konsumsi rokok masyarakatnya. Pemerintah dalam upaya mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia dapat menggunakan elemen fiskal berupa pajak. Pengenaan pajak atas rokok akan mengakibatkan harga rokok meningkat sehingga dapat menurunkan jumlah permintaan rokok. Permintaan akan rokok memang bersifat inelastis, yaitu dimana besarnya penurunan konsumsi rokok lebih kecil dari pada peningkatan harganya, oleh karena itu

pemerintah dapat meningkatkan tarif pajak atas rokok sehingga di dapat tarif yang ideal dimana dalam besarnya tarif ini jumlah konsumsi rokok dapat ditekan pada angka yang diinginkan oleh pemerintah.

Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia menyatakan konsumsi rokok di Indonesia meningkat secara signifikan yaitu dari 182 milyar batang pada tahun 2001, menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009 (Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,2012 : 7). Peningkatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu meningkatnya pendapatan rumah tangga, pertumbuhan penduduk, rendahnya harga rokok dan mekanisme industri kretek. Konsumsi rokok di Indonesia menduduki peringkat keempat terbesar didunia setelah Cina

Page 2: Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

2

Amerika Serikat, dan Rusia (Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,2012 : 7).

Rokok dari segi ekonomi cukup menjanjikan, namun keberadaan tembakau banyak ditentang oleh penduduk dunia karena dianggap merugikan kesehatan dan dapat menimbulkan kematian. Kematian tahun 2012 diperkirakan terdapat 6 juta orang di dunia (190.260 orang di Indonesia) akibat penyakit terkait tembakau (Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,2012 : 55). Penyakit yang timbul sebagai akibat tembakau umumnya memerlukan waktu yang lama setelah perilaku mengkonsumsi rokok dimulai sehingga merupakan epidemi penyakit terkait tembakau dan jumlah kematian dimasa akan datang akan terus meningkat bila tidak ada usaha untuk mengurangi konsumsi rokok. Rokok selain merugikan kesehatan bagi si perokok itu sendiri, juga merugikan orang lain karena asap rokok yang ditimbulkan juga dapat mengganggu kesehatan orang lain yang bukan perokok.

Konsumsi rokok banyak menimbulkan efek negatif, oleh karena itu pada tahun 1988 WHO (World Health Organization) mengesahkan resolusi WHA (World Health Asosiation) 42.19 yang menyerukan dirayakannya Hari Tembakau Sedunia setiap tanggal 31 Mei(Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,2012 : 62). Peringatan ini ditujukan kepada para perokok agar berpuasa tidak mengisap tembakau selama 24 jam serentak di seluruh dunia. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk menarik perhatian dunia akan kebiasaan merokok dan dampak buruknya terhadap kesehatan.Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa regulasi untuk pengendalian konsumsi tembakau yang antara lain Undang Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi kesehatan yang dalam pasal 114 diatur bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.Pemerintah Bahkan akhir-akhir ini membuat regulasiyaitu mewajibkan

mencantumkan gambar yang mengerikan sebagai akibat merokok dalam setiap kemasan rokok. Namun usaha pemerintah ini belum membuahkan hasil.

Jumlah perokok dewasa di Indonesia menurut hasil survey yang dilakukan oleh GATS (Global Adult Tobacco Society) pada tahun 2011 adalah 59,9 juta(57,6 juta pria dan 2,3 juta perempuan). Jumlah perokok harian adalah 50,3 juta dan jumlah perokok dengan intensitas lebih rendah adalah 9,6 juta. Perkiraan jumlah non perokok adalah 112,2 juta diantaranya 5,7 juta adalah mantan perokok harian dan 106,6 juta adalah bukan perokok harian. Merokok pada saat ini lebih umum pada kelompok usia 25-44 tahun dan 45-64 tahun dibandingkan dengan yang lebih muda (15-24 tahun) dan kelompok usia yang lebih tua (>65 tahun) (Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,2012 : 29).

Rata-rata jumlah rokok yang dikonsumsi penduduk Indonesia perhari adalah 11 batang (13 batang untuk laki laki dan 8 batang untuk perempuan). Rata-rata usia mulai merokok pada perokok harian adalah 17 tahun hasil ini didapat dari survey yang telah dilakukan oleh Global Adult Tobacco Survey pada tahun 2011 (Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,2012 : 29). Hasil survey diatas menunjukkan bahwa seorang perokok mulai aktif merokok secara harian adalah pada usia 17 tahun atau dengan kata lain rata-rata usia perokok tersebut adalah pelajar. Perilaku merokok dikalangan pelajar khususnya mahasiswa baik itu dilingkungan kampus maupun luar kampus sangat mudah kita temui. Hal ini disebabkan oleh perilaku merokok itu sendiri yang sudah merupakan hal biasa ataupun menjadi gaya hidup dari mahasiswa itu sendiri. Perilaku merokok ini akan semakin bertambah pesat seiring dengan berkembangnnya zaman, merokok bukan merupakan hal yang asing lagi dan merokok sudah menjadi kebutuhan pokok yang harus terpenuhi.

Penerapan pajak rokok diharapkan dapat menyebabkan harga dari rokok itu sendiri akan

Page 3: Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

3

mengalami kenaikan yang nantinya akan berdampak pada menurunya daya beli dari rokok, sehingga otomatis akan berpengaruh dengan menurunya tingkat konsumsi rokok. Harga rokok yang tinggi maka konsumsi akan rokok tentu akan berkurang, meskipun tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan perokok beralih mengkonsumsi rokok tanpa cukai dan rokok lintingan. Kebijakan pajak rokok ini diharapkan sudah bisa menjadi sebagai alat kendali konsumsi rokok agar tidak semakin meningkat.

Inilah yang menjadi dasar peneliti mengambil judul “Hubungan Penerapan Pajak Rokok Dengan Daya beli dan Tingkat Konsumsi Rokok (Studi Penelitian Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Brawijaya Malang).

TINJAUAN TEORI Kebijakan Pajak Rokok

Keberhasilan implementasi suatu kebijakan dapat diukur dengan melihat kesesuaian antara pelaksanaan atau penerapan kebijakan dengan desain, tujuan dan sasaran kebijakan itu sendiri serta memberikan dampak atau hasil yang positif bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi (Ekowati,2005 : 25).

Teori Implementasi menurut (Edward III dalam Juliartha, 2009 : 58) menjelaskan bahwa terdapat empat variabel kritis dalam implementasi kebijakan publik atau program diantaranya, komunikasi atau kejelasan informasi, konsistensi informasi (communications), ketersediaan sumberdaya dalam jumlah dan mutu tertentu (resources), sikap dan komitment dari pelaksana program atau kebijakan birokrat (disposition), dan struktur birokrasi atau standar operasi yang mengatur tata kerja dan tata laksana (bureaucratic strucuture).

Pajak Rokok Unsur – unsur pajak (Tjahjono,&Husein, 2009

: 21) terdiri dari : Subjek pajak, objek pajak, dan tarif pajak. Pajak rokok disini diukur dengan melihat tingginya tingkat pajak yang diterapkan yaitu sebesar 10% dari nilai cukai rokok berdasarkan beberapa unsur yaitu :

a) Objek Pajak : Dalam hal ini objek pajak rokok adalah rokok itu sendiri sehingga pajak rokok disini diukur berdasarkan kesesuaian tarif pajak yang dikenakan terhadap harga rokok itu sendiri.

b) Tarif Pajak : Dalam hal ini pajak rokok diukur berdasarkan tingginya tingkat pajak / prosentase pajak rokok yang dikenakan apakah sudah rasional.

c) Tarif Pajak : Dalam hal ini pajak rokok diukur berdasarkan intensitas kenaikan pajak rokok.

Daya Beli Daya beli adalah kemampuan membayar

untuk memperoleh barang yang dikehendaki atau diperlukan (Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2001 : 241). Daya beli memiliki hubungan yang erat dengan hukum permintaan akan suatu barang atau jasa. Ini sesuai dengan teori permintaan (Samuelson dan Nordhaus, 2003 : 26)yang mengatakan bahwa bila harga suatu barang atau jasa naik, maka jumlah barang dan jasa yang diminta konsumen akan mengalami penurunan. Sebaliknya bila harga dari suatu barang atau jasa turun, maka jumlah barang dan jasa yang diminta konsumen akan mengalami kenaikan (ceteris paribus).Daya beli disini diukur berdasarkan permintaan efektif dari konsumen rokok yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1. Harga Barang itu sendiri : Kemampuan membeli rokok diukur dengan membuat persepsi dengan harga rokok yang tinggi apakah kemauan konsumen untuk membeli rokok akan tetap tinggi.

2. Tingkat Pajak rokok : Kemampuan membeli rokok diukur dengan membuat persepsi apakah kemauan seorang perokok dalam membeli rokok dipengaruhi oleh aspek pajaknya.

3. Pendapatan Konsumen : Kemampuan membeli rokok diukur dengan membuat persepsi bahwa aspek pendapatan yang mencukupi menjadi dorongan pembeli rokok dalam membeli rokok.

4. Kebiasaan Konsumen rokok : Kemampuan membeli rokok diukur dengan membuat persepsi bahwa dorongan perokok membeli rokok adalah karena mengkonsumsi

Page 4: Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

4

Penerapan Pajak Rokok

Daya Beli dan Tingkat Konsumsi

merupakan kebiasaan (dalam hal ini gaya hidup).

Tingkat Konsumsi (Todaro, 2002 : 213) konsumsi secara umum

diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa yang secara langsung untuk memenuhi kebutuhan manusia.Tingkat konsumsi disini mempengaruhi jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi oleh konsumen sehingga yang menjadi acuan dalam hal ini adalah tinggi rendahnya jumlah konsumsi yang dilakukan oleh konsumen.Tingkat konsumsi diukur berdasarkan jumlah konsumsi rokok (batang) yang dilakukan oleh perokok setiap harinya.

Hubungan Penerapan Pajak Rokok (Kebijakan Pajak Rokok dan Pajak Rokok) Dengan Daya Beli

Pemerintah membuat regulasi terkait rokok ini adalah bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok agar tidak semakin menigkat dan tidak terkendali. Menurut asas pemungutan pajak (Suandy, 2002 : 25), Asas ini mencari dasar pembenaran terhadap pengenaan pajak oleh negara yaitu “ Teori daya beli ” teori ini, pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang / anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat.

Pajak disini digunakan sebagai alat untuk mengendalikan daya beli atas barang atau jasa yang dilakukan oleh anggota masyaraka, sehingga penerapan pajak rokok memiliki pengaruh kepada menurunya daya beli akan rokok itu sendiri. Penerapan pajak rokok memiliki hubungan dengan daya beli terhadap konsumsi rokok.

Hubungan Penerapan Pajak Rokok (Kebijakan Pajak Rokok dan Pajak Rokok) Dengan Tingkat Konsumsi

Tujuan dari pemerintah untuk menerapkan pajak rokok ini sendiri adalah untuk menurunkan konsumsi rokok yang semakin meningkat.Mengingat dampak yang ditimbulkan dari rokok itu sendiri sangat merugikan maka perlu adanya alat pengendali dari konsumsi rokok itu sendiri.(J. M Keynes dalam Boediono, 2002 : 79) berpendapat tingkat

konsumsi seseorang atau rumah tangga ditentukan oleh pendapatannya. Tingkat konsumsi juga dipengaruhi oleh faktor lain salah satunya adalah kebijakan fiskal. Salah satu instrument kebijakan fiskal yaitu pajak sangat mempengaruhi besarnya pendapatan yang digunakan untuk konsumsi.Semakin besar tarif pajak yang berlaku terhadap barang dan jasa, semakin tinggi harga tersebut. Harga barang dan jasa meningkat sehingga konsumsi yang akan dilakukan akan menurun juga.

Kerangka Pemikiran

Gambar 1 : Model Hipotesis Sumber: Data diolah peneliti(2015) Keterangan: Hubungan Berdasarkan pada model hipotesis diatas maka hipotesis dapat dinyatakan: H1: Terdapat hubungan antara variabel

kebijakan pajak rokok dengan daya beli rokok.

H2 : Terdapat hubungan antara variabel kebijakan pajak pajak rokok dengan daya beli rokok.

H3 : Terdapat hubungan antara variabel kebijakan pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok.

H4 : Terdapat hubungan antara variabel pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan Jenis penelitiankorelasional dengan pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian survey.Berdasarkan data yang diperoleh, populasi Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brwaijaya Malang yang merupakan perokok aktif.Dengan menggunakan rumus Hair (Hair, Black , Babin, Anderson,&Tatham, 2006 : 79) maka jumlah sampel yang ditentukan

Page 5: Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

5

dalam penelitian berjumlah 80 Mahasiswa. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling (Sugiyono, 2012 : 30) Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, analisis inferensial, uji instrumen penelitian, uji korelasi Rank Spearman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Korelasi Rank Spearman

Variabel Rs Sig Interpretasi Arah Hubungan

X1 dengan Y1

0,079

0,486

Hubungan Tidak Sinifikan

-

X1 dengan Y2

0,347

0,002

Terdapat Hubungan yang Signifikan

Positif

X2 dengan Y1

0,371

0,001

Terdapat Hubungan yang Signifikan

Positif

X2 dengan Y2

0,342

0,002

Terdapat Hubungan yang Signifikan

Positif

Sumber :Data diolah (2015)

Pembahasan Penelitian Hubungan Kebijakan Pajak Rokok Dengan Daya Beli H1 : Terdapat hubungan antara variabel kebijakan pajak rokok dengan daya beli rokok.

Hasil penelitian menunjukkan variabel kebijakan pajak tidak memiliki hubungan dengan daya beli rokok. Hal ini bisa dilihat dari hasil uji rank spearman yang diperoleh nilai korelasi spearman sebesar 0,079, rs hitung 0,079 < rs tabel 0,220 maka Ho diterima dan H1 ditolak. Hal ini dapat diartikan bahwa tidak terdapat hubungan antara kebijakan pajak rokok dengan daya beli rokok. Tingkat signifikan sebesar 0,486 >α maka Ho diterima dan H1 ditolak, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan pada taraf nyata 0,01.

Penerapan suatu kebijakan rokok yang baik ternyata tidak berhubungan dengan daya beli rokok, Berarti pemahaman seseorang akan baik tidaknya suatu kebijakan diterapkan tidak

memiliki hubungan dengan daya beli. Hal ini dapat dibuktikan dengan mayoritas responden menjawab setuju bahwa penerapan kebijakan pajak rokok sudah baik namun responden mengindikasikan memiliki daya beli yang tinggi juga. Berarti disini responden masih belum memiliki kesadaran akan tujuan penerapan kebijakan rokok ini untuk mengendalikan konsumsi rokok dengan jalan menurunkan daya beli dari konsumen rokok.

Responden mengabaikan seberapapun baik suatu kebijakan tentang rokok diterapkan mereka tetap akan membeli rokok bahkan daya beli mereka malah meningkat bukan menurun. Kesadaran responden tentang tujuan penerapan kebijakan rokok masih kurang, responden menganggap penerapan kebijakan pajak rokok sudah baik. Hal ini terbukti dengan mayoritas responden menjawab setuju pada item pertanyaan kuesioner untuk variabel kebijakan pajak namun daya beli responden juga tinggi.

Daya beli yang tinggi dari responden bertolak belakang dengan tujuan dari penerapan kebijakan pajak rokok. Dari segi pengetahuan tentang implementasi suatu kebijakan responden bisa dikatan cukup baik karena sudah bisa mengukur baik tidaknya suatu kebijakan diterapkan. Namun kesadaran responden masih sangat kurang mereka tidak sadar bahwa tujuan dari penerapan kebijakan pajak rokok ini adalah salah satunya untuk mengendalikan konsumsi rokok dengan cara menurunkan daya beli responden untuk membeli rokok. Penerapan suatu kebijakan dengan baik ternyata masih belum bisa digunakan sebagai acuan suatu tujuan dari diterapkannya kebijakan tersebut bisa tercapai.

Hubungan Pajak Rokok Dengan Tingkat Konsumsi H2 : Terdapat hubungan antara variabel kebijakan pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok.

Hasil penelitian menunjukkan variabel pajak rokok memiliki hubungan yang signifikan dengan daya beli rokok, Hal ini bisa dilihat dari hasil uji rank spearman diatas diperoleh nilai korelasi spearman sebesar 0,347, rs hitung 0,347 > rs tabel 0,220 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat

Page 6: Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

6

hubungan antara pajak rokok dengan daya beli rokok. Tingkat signifikan sebesar 0,002 <α maka Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan pada taraf nyata 0,01. Arah hubungan antara pajak rokok dan daya beli adalah positif, ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi pajak rokok maka daya beli rokok akan semakin tinggi pula atau semakin tinggi daya beli rokok maka akan semakin tinggi pula pajak rokok.

Meskipun pajak rokok memiliki hubungan yang signifikan dengan daya beli namun arah hubungannya adalah positif.Arah hubungan positif ini banyak dipengaruhi banyak faktor salah satunya adalah faktor kebiasaan dari perokok itu sendiri..Faktor kebiasaan menjadi alasan terbanyak responden untuk membeli rokok hal ini terbukti mayoritas responden menyatakan setuju bahwa mereka membeli rokok karena membeli rokok sudah menjadi kebiasaan.Faktor kebiasaan disini menyebabkan meningkatnya daya beli seseorang. Ini rasional apabila sudah menjadi kebiasaan maka berapa tinggipun harga dari barang tersebut maka akan dibeli oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhannya. Bisa dikatakan apabila sudah menjadi kebiasaan maka barang tersebut sudah menjadi barang kebutuhan pokok dalam hal ini rokok.Selain itu hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa pajak yang dikenakan atas barang tertentu ternyata tidak bisa menurunkan daya beli dari konsumen (Raja ,2014 : 6).

Pendapatan dari responden juga mempengaruhi tingginya daya beli rokok.Mayoritas besarnya uang saku responden diatas 1 Juta rupiah, untuk biaya hidup di Kota Malang sudah bisa dianggap cukup besar.Biaya hidup di Kota Malang masih relatif rendah sehingga alokasi uang saku mahasiswa untuk membeli rokok besar.Hal ini yang menyebabkan daya beli konsumen rokok masih tinggi, sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan bahwa faktor pendapatan disini sangatlah berpengaruh kepada pola konsumsi yang mempengaruhi daya beli seseorang oleh (Mahyu, 2013 : 10).

Selain itu hal ini bisa diartikan bahwa sebenarnya pajak rokok diterapkan bukan untuk menurunkan daya beli rokok namun hanya bertujuan untuk mengendalikan daya beli rokok

agar tidak naik terus menerus.Disini penerapan pajak rokok hanya digunakan untuk mengimbangi kenaikan dari daya beli rokok itu sendiri. Karena pada dasarnya rokok tidak memiliki barang penggantinya sehingga konsumen tidak mempunyai alternatif lain untuk dikonsumsi, sehingga meskipun harga rokok mahal konsumen tetap akan membeli rokok.

Hubungan Kebijakan Pajak Rokok Dengan Daya Beli H3 : Terdapat hubungan antara variabel kebijakan pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok.

Hasil penelitian menunjukkan variabel kebijakan pajak rokok memiliki hubungan yang signifikan dengan daya tingkat konsumsi rokok.Hal ini bisa dilihat dari hasil uji rank spearman diatas diperoleh nilai korelasi spearman sebesar 0,371, rs hitung 0,371 > rs tabel 0,220 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antara kebijakan pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok. Tingkat signifikan sebesar 0,001 < α maka Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan pada taraf nyata 0,01. Arah hubungan antara kebijakan pajak rokok dan tingkat konsumsi adalah positif, ini dapat diartikan bahwa semakin baik kebijakan pajak rokok maka tingkat konsumsi rokok akan semakin tinggi pula, atau semakin tinggi tingkat konsumsi rokok maka akan semakin baik pula kebijakan pajak rokok diterapkan.

Responden memiliki pengetahuan yang cukup suatau kebijakan diterapkan dengan baik atau tidak dalam hal ini kebijakan pajak rokok.Meski responden setuju bahwa penerapan kebijakan rokok sudah baik hal ini terbukti dengan mayoritas responden menjawab setuju pada variabel kebijakan pajak rokok.Namun tingkat konsumsi rokok masih tetap tinggi, berarti disini responden mengabaikan kebijakan pajak rokok mereka mengetahui bahwa kebijakan pajak rokok diterapkan untuk mengandalikan konsumsi rokok namun mereka masih saja mengkonsumsi rokok bahakan konsumsi rokok mereka semakin meningkat. Tingkat kesadaran akan bahaya rokok dari

Page 7: Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

7

responden masih rendah mereka tahu bahawa rokok itu berbahaya namun mereka tetap melakukan konsumsi rokok.

Disini penerapan kebijakan yang baik masih belum cukup untuk menurunkan tingkat konsumsi rokok. Faktor kesadaran akan kesehatan masih rendah dari responden. Hal ini terbutkti dengan jumlah konsumsi rokok yang semakin meningkat bukannya malah menurun.Pendapatan juga sangat mempengaruhi konsumsi seseorang, brarti disini bisa diartikan bahwa kenaikan harga yang disebabkan adanya pajak rokok ini masih terlalu rendah sehingga masih terjangkau oleh konsumen rokok.Pemerintah masih perlu memikirkan lagi solusi selain menaikkan harga rokok karena terbukti maikkan harga rokok tidak bisa menurunkan tingkat konsumsi rokok itu sendiri.

Penerapan kebijakan pajak rokok disini bisa dianggap langkah awal dari pemerintah dalam mengandalikan tingkat konsumsi rokok, secara perlahan lahan tingkat konsumsi rokok akan ditekan. Pajak akan konsumsi rokok akan terus ditingkatkan oleh pemerintah sehingga nantinya konsumsi rokok akan benar-benar menurun. Untuk mengisi kekosongan pos penerimaan negara dari pajak rokok bila nantinya industri rokok melemah, pemerintah perlu mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor lain yang potensial. Salah satu penerimaan pajak potensial yang belum optimal adalah pajak atas mineral tambang, sehingga kedepannya negara sudah tidak bergantung lagi pada penerimaan pajak dari rokok ini.

Hubungan Pajak Rokok Dengan Tingkat Konsumsi H4 : Terdapat hubungan antara variabel pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok.

Hasil penelitian menunjukkan variabel pajak rokok memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat konsumsi rokok. Hal ini bisa dilihat dari hasil uji rank spearman diatas diperoleh nilai korelasi spearman sebesar 0,342, rs hitung 0,342 > rs tabel 0,220 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan subtansial antara pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok. Tingkat signifikan sebesar 0,002 < α maka Ho ditolak

dan H1 diterima, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan pada taraf nyata 0,01. Arah hubungan antara pajak rokok dan tingkat konsumsi adalah positif, ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi pajak rokok maka tingkat konsumsi rokok akan semakin tinggi pula, atau semakin tinggi tingkat konsumsi rokok maka akan semakin tinggi pula pajak rokok diterapkan.

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan penerapan pajak rokok memiliki hubungan dengan daya beli dan tingkat konsumsi rokok.Hal ini selaras dengan yang disampaikan (J. M Keynes),tingkat konsumsi seseorang atau rumah tangga ditentukan oleh pendapatannya. Tingkat konsumsi juga dipengaruhi oleh faktor lain salah satunya adalah kebijakan fiskal. Salah satu instrumen kebijakan fiskal yaitu pajak sangat mempengaruhi besarnya pendapatan yang digunakan untuk konsumsi.Semakin besar tarif pajak yang berlaku terhadap barang dan jasa, semakin tinggi harga tersebut. Harga barang dan jasa meningkat sehingga konsumsi yang akan dilakukan akan menurun juga. Namun meskipun menurut teori penerapan pajak nantinya bisa membuat konsumsi akan rokok menurun namun hasil dari penelitian menunjukkan bahwa arah hubungan adalah positif yang artinya penerapan kebijakan pajak rokok tidak bisa membuat tingkat konsumsi rokok menurun. Hal ini banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor kebiasaan sehingga kebiasaan untuk mengkonsumsi rokok sulit untuk ditinggalkan. Selain itu bisa disebabkan masih kurangnya kesadaran akan bahaya merokok. Faktor kebiasaan dan kesdaran kesehatan disini sangat mempengaruhi tingkat konsumsi sehingga disini penerapan pajak rokok hanya digunakan sebagai alat pengendali tingkat konsumsi agar tidak meningkat namun terbukti tidak menurunkan tingkat konsumsi rokok.

Harga rokok yang masih belum terlalu mahal juga bisa menjadi penyebab tingkat konsumsi rokok tidak dapat ditekan. Pemerintah kesulitan dalam menerapkan kebijakan terkait rokok ini, disisi lain pemerintah berupaya untuk menekan konsumsi rokok namun disisi lain penerimaan

Page 8: Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

8

pajak melalui rokok juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Bukan tidak mungkin bila harga rokok sengaja dinaikkan para konsumen rokok akan beralih dari rokok bercukai resmi ke rokok yang tidak memiliki cukai karena harganya yang lebih murah. Hal ini berpotensi merugikan penerimaan negara dari sektor pajak rokok.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan uji statistik dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel kebijakan pajak rokok dengan daya beli rokok. Ini terbukti dengan hasil uji rank spearman yang diperoleh nilaikorelasi spearman sebesar 0,079, rshitung0,079 < rs tabel 0,220 maka Ho diterima dan H1 ditolak. Hal ini dapat diartikan bahwa tidak terdapat hubungan antara kebijakan pajak rokok dengan daya beli rokok. Tingkat signifikan sebesar 0,486 > α maka Ho diterima dan H1 ditolak, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan pada taraf nyata 0,01. Baik tidaknya suatu kebijakan diterapkan ternyata tidak memiliki hubungan dengan naik dan turunya daya beli rokok. Hal tersebut disebabkan karena masih kurangnya kesadaran konsumen tentang bahaya merokok sehingga kebijakan pajak rokok perlu diterapkan.

2. Terdapat hubungan yang signifikan antara variabel pajak rokok dengan daya beli rokok. Dari hasil uji rank spearman diperoleh nilai korelasi spearman sebesar 0,347, rs hitung 0,347 > rs tabel 0,220 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antara pajak rokok dengan daya beli rokok. Tingkat signifikansebesar 0,002 < α maka Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan pada taraf nyata 0,01.Meskipun pajak rokok dan daya beli rokok memiliki hubungan yang signifikan, namun arah hubungan tersebut adalah positif. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya tarif pajak rokok yang masih relatif rendah dan kebiasaan dari

konsumen dalam membeli rokok, sehingga konsumen mengabaikan mahalnya harga rokok dan tetap membeli rokok.

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara kebijakan pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok. Hal ini terbukti dari hasil uji rank spearman diperoleh nilai korelasi spearman sebesar 0,371, rs hitung0,371 > rs tabel 0,220 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antara kebijakan pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok. Tingkat signifikan sebesar 0,001 < α maka Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan pada taraf nyata 0,01. Arah hubungan kebijakan pajak rokok dengan tingkat konsumsi adalah positif, konsumen masih belum sadar tentang bahaya mengkonsumsi rokok. Penerapan kebijakan pajak rokok terbukti tidak bisa menurunkan konsumsi rokok yang malah sebaliknya semakin meningkat. Kesadaran konsumen akan bahaya mengkonsumsi rokok masih sangat rendah, konsumen mengabaikan aspek kesehatan dan lebih memilih untuk mengkonsumsi rokok.

4. Terdapat hubungan yang signifikan antara pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok. Hal ini terbukti dari hasil uji rank spearman diperoleh nilai korelasi spearman sebesar 0,342, rshitung0,342 > rs tabel 0,220 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antara pajak rokok dengan tingkat konsumsi rokok. Tingkat signifikan sebesar 0,002 < α maka Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan pada taraf nyata 0,01. Pajak rokok terbukti tidak bisa menurunkan konsumsi rokok, hal ini terbukti dengan hasil hubungan yang memiliki arah positif. Tingkat konsumsi semakin meningkat meskipun pajak rokok sudah dikenakan atas rokok. Bisa dikatakan bahwa sebenarnya tarif pajak yang dikenakan masih rendah. Penerapan pajak rokok

Page 9: Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

9

disini dimaksudkan bukan untuk menurunkan tingkat konsumsi tapi lebih untuk mengikuti kenaikan tingkat konsumsi rokok agar tidak terlalu tinggi.

Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut, maka peneliti merekomendasikan saran berupa :

1. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu memikirkan jalan lain dalam mengendalikan tingkat konsumsi rokok dari masyarakat mengingat bahaya yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok, contoh : selain menaikkan harga rokok kesadaran dari masyarakat akan bahaya rokok juga perlu ditingkatkan dengan sosialisasi bahaya rokok.

2. Pemerintah disarankan menciptakan lapangan kerja baru apabila nantinya harga rokok dinaikkansehingga daya beli masyarakat menurun yang menyebabkan menurunnya volume penjualan rokok, dan akhirnya industri rokok akan melemah dan menimbulkan pengurangan pekerja oleh perusahaan rokok. Contoh : pemerintah bisa memaksimalkan investasi dibidang padat karya seperti pada bidang pertanian dan perkebunan untuk menyerap tenaga kerja.

3. Pemerintah membuat earmarking dari penerimaan pajak rokok yang lebih besar untuk pembangunan fasilitas kesehatan yang diakibatkan dari dampak negatif rokok.

4. Regulasi tentang rokok harus dibuat lebih tegas agar dampak bahaya rokok tidak menyebar luas, contoh : regulasi pelarangan penjualan produk rokok di dekat lingkungan instansi pendidikan yaitu sekolah.

5. Sosialisi tentang dampak bahaya merokok harus lebih ditingkatkan mengingat merokok sudah menjadi kebiasaan yang ada dikalangan masyarakat, contoh : pemerintah melaksanakan penyuluhan bahaya rokok secara berkala dikalangan pelajar.

Page 10: Hubungan Penerapan Pajak Rokok

Jurnal Administrasi Bisnis - Perpajakan (JAB)|Vol. 5 No. 1 April 2015| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

10

DAFTAR PUSTAKA

Boediono, (2002). Pengantar Ekonomi. Jakarta : Erlangga.

Ekowati, (2005). Perencanaan, Implementasi, dan Evaluasi Kebijakan atau Program, Surakarta: Pustaka Cakra.

Hair, J.F., W.C. Black , B.J. Babin, R.E.

Anderson,&R.L. Tatham. (2006). Multivariate Data Analysis, 6 Ed., New Jersey : Prentice Hall

Juliartha, (2009). Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta : Trio Rimba Persada.

Kamus besar bahasa Indonesia. (2001). Jakarta : Balai Pustaka.

Mahyu, Danil.(2013). Pengaruh Pendapatan

Terhadap Tingkat Konsumsi Pada Pegawai Negeri Sipil Di Kantor Bupati Kabupaten Bireuen.

Raja, Abdurrahman. (2014). Analsis Pengaruh Pajak Pertambahan Nilai (Ppn) Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Ppnbm) Terhadap Daya Beli Konsumen Pada Kendaraan Bermotor.Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang No.36 Tentang Pengamanan Produk Zat Adiktif bagi Kesehatan.Jakarta : Kementrian Kesehatan.

Samuelson,& Nordhaus. (2003). Ilmu Mikro Ekonomi. PT. Media Global Edukasi.

Suandy, Erly. (2002). HukumPajak, Jakarta : Salemba Empat

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Tjahjono Achmad,& Husein.(2009). Perpajakan. Edisi Keempat. Jakarta : UPP STIM YKPN.

Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia.(2012). Buku Fakta Tembakau. Fromhttp://tcsc-indonesia.org/wp-

content/uploads/2012/12/Buku-Fakta-Tembakau.pdf, (Diakses 1 November 2014).

Todaro. (2002).Ekonomi dalam Pandangan Modern (Terjemahan).Jakarta :BinaAksara.