hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

102
i HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING T E S I S Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Oleh : IBRAHIM IRSAN NASUTION FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK DAN BEDAH KEPALA LEHER MEDAN 2007 IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Transcript of hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

Page 1: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

i

HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING

T E S I S

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok dan Bedah Kepala Leher

Oleh :

IBRAHIM IRSAN NASUTION

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK DAN BEDAH KEPALA LEHER

MEDAN 2007

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 2: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Medan, Desember 2007

Tesis dengan judul

HUBUNGAN MEROKOK

DENGAN KARSINOMA NASOFARING

Diketahui oleh:

Ketua Departemen Ketua Program Studi Prof.dr.Abdul Rachman S, SpTHT-KL(K) Prof.dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K)

Telah disetujui dan diterima baik oleh Pembimbing:

Ketua

Prof.dr.Ramsi Lutan, SpTHT-KL(K)

Anggota

Dr.dr.Delfitri Munir, SpTHT-KL(K) dr. Hafni, SpTHT-KL(K)

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 3: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih

lagi maha penyayang atas segala rakhmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat

diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan

untuk memperoleh Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Saya menyadari, penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun

bahasanya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah

perbendaharaan penelitian tentang Hubungan Merokok dengan Karsinoma

Nasofaring (KNF).

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya

mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada yang terhormat :

Prof. dr. Ramsi Lutan, SpTHT-KL (K) atas kesediaannya sebagai ketua

pembimbing penelitian ini, begitu juga kepada dr. Hafni, SpTHT-KL (K), Dr. dr. Delfitri

Munir, SpTHT-KL (K) selaku anggota pembimbing dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, Mkes

sebagai konsultan statistik. Ditengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan

kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang

sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang

berbahagia ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr.

Gontar Alamsyah Siregar, SpPD (KGEH) dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran USU

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 4: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

iv

Prof. dr. Bahri Djohan SpJP (K) atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk

mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Direktur RSUP H.Adam Malik Medan, drg. Arman Daulay,

Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, dr. Syahrial Annas, Direktur RS Tembakau Deli

Medan, dr. Tuti R. Ketaren dan Direktur RSUD Lubuk Pakam yang telah memberikan

kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di Rumah Sakit yang beliau

pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. dr. Abdul Rachman Saragih,

SpTHT-KL (K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL FK-USU, Prof. dr.

Askaroellah Aboet, SpTHT-KL (K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu

kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi sampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran

USU / RSUP H.Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, SpTHT–KL, dr. Yuritna Haryono,

SpTHT–KL (K), dr. T. Sofia Hanum, SpTHT–KL (K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT–KL

(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT–KL, dr. Linda I. Adenin, SpTHT–KL (K), dr. Rizalina

A. Asnir, SpTHT–KL, dr. Ainul Mardhiah, SpTHT–KL, dr. Adlin Adnan, SpTHT–KL, dr.

Siti Nursiah, SpTHT–KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, SpTHT–KL, dr. Ida Sjailandrawaty,

SpTHT–KL, dr. Harry Agustaf Asroel, SpTHT–KL, dr. Farhat, SpTHT–KL, dan dr. T. Siti

Hajar H, SpTHT–KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya

selama ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas

Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa

pendidikan.

Yang terhormat perawat/paramedis dan seluruh karyawan/karyawati RSUP

H.Adam Malik Medan, khususnya Departemen/SMF THT-KL yang selalu membantu dan

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 5: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

v

bekerja sama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan

selama ini.

Yang saya hormati, seluruh pasien-pasien yang telah secara ikhlas telah banyak

memberikan banyak hal tentang penyakit yang dideritanya kepada saya. Terima kasih

yang tak terhingga atas semua hal tersebut. Tanpa itu semua, mustahil saya

mendapatkan ilmu dan keterampilan dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Yang saya hormati, guru-guru saya, seluruh penulis buku-buku dan jurnal-jurnal

yang pernah saya baca selama masa pendidikan, sejak pendidikan dasar hingga

pencapaian pendidikan saya sekarang ini. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas

segala didikan, ilmu dan informasi yang telah diberikan kepada saya.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda Sulaiman Nasution SmHk (Alm) dan Ibunda

Purnama Rangkuti, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan

yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah dilimpahkan kepada ananda sejak

dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang terbaik serta diberi

contoh suri tauladan sampai sekarang ini. Ya Allah ampunilah dosa kami dan dosa kedua

orangtua kami, serta kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak

kecil.

Yang tercinta almarhum Bapak mertua Ir. Abdullah dan almarhumah Ibu mertua

Ance Sarianah, yang semasa hidupnya selalu memberikan dorongan dan restu untuk

selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Terima kasih tiada terhingga pada istriku tercinta Dien Mediena Ssos, dan buah

hati kami tersayang Fikri Roja Nasution dan Fahri Zuhdi Nasution yang dengan penuh

kesabaran dan ketabahan telah memberikan dorongan, semangat dan inspirasi yang

tiada henti pada ayahanda dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada saudara-saudaraku tersayang kakanda Dra. Enny Sulprimawati Nasution,

Latifah Khairani Nasution, adinda dr. Akhmad Rusdy Nasution dan Yunita Nasution SH,

terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuannya selama ini.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 6: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

vi

Akhirnya saya haturkan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala

kesalahan dan terima kasih saya sampaikan kepada handai taulan, keluarga dan semua

pihak yang telah membantu saya dengan ikhlas dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Semoga Allah SWT membalas budi baik yang diberikan dengan berlimpah.

Amin, amin ya Rabbal alamin.

Medan, Desember 2007

Penulis

dr. Ibrahim Irsan Nasution

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 7: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

vii

ABSTRAK

Etiologi KNF adalah multifaktor, dan banyak dari faktor-faktor tersebut saling

tumpang tindih dimana salah satu faktor mungkin terjadi bersamaan dengan faktor lain

sebagai penyebab.

Merokok diduga berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring (KNF). Untuk

mengetahui hubungan merokok dengan KNF, dilakukan penelitian kasus kontrol,

dengan sampel kasus sebanyak 96 orang dan kontrol 96 orang. Sampel kelompok kasus

dan kontrol diambil dari RSUP H.Adam Malik Medan dan RSU dr. Pirngadi Medan.

Mayoritas penderita KNF adalah; laki-laki (perbandingannya dengan perempuan 2,84:1),

50-59 tahun (29,2%), dan bertani (32,3%). Suku batak merupakan kelompok suku

terbanyak yang menderita KNF 54 orang (56,3%) dan diikuti ditempat kedua terbanyak

adalah suku Jawa (29,2%). Jenis histopatologi terbanyak adalah WHO tipe 3 (38,6%).

Stadium terbanyak adalah III (58,4%), diikuti stadium IV (40,6%), stadium II (1%), dan

tidak terdapat penderita dengan stadium I.

Hasil analisis regresi logistik univariat, memperlihatkan hubungan yang bermakna

antara perokok dengan konsumsi rokok 11-20 batang perhari dengan nilai OR=2,530

(p=0,021) dengan terjadinya KNF. Namun dalam analisis regresi logistik multivariat,

jumlah batang rokok perhari tidak memperlihatkan hubungan yang bermakna (p=0,587).

Hasil analisis regresi logistik multivariat, karsinoma nasofaring berhubungan

secara bermakna dengan orang yang sudah mulai merokok sebelum usia 20 tahun

(p=0,000; OR 5,35 dan CI 95% 2,290 - 12,499), kebiasaan makan ikan asin sebelum

berusia 10 tahun dengan frekuensi konsumsi ikan asin kadang-kadang p=0,000;

OR 7,766 (CI 95% 2,937 - 20,538), sering p=0,000; OR 16,515 (CI 95% 5,300 -

51,463), dan kebiasaan memakai kayu bakar p=0,014; OR 3,147 (CI 95% 1,260 - 7,860).

Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama merokok (p=0,293), jumlah batang

rokok (p=0,021) dan jenis rokok yang dihisap (p=0,081) dengan kejadian KNF.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 8: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

viii

Merokok sebagai faktor risiko terjadinya KNF tidak dapat berperan sebagai faktor

risiko yang berdiri sendiri, namun ada peran faktor lain yang juga mempengaruhi sebagai

faktor risiko.

Kata kunci : KNF, merokok, konsumsi ikan asin sebelum berusia 10 tahun, kayu bakar.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 9: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

ix

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ................................................................................................... i

Halaman Pengesahan ....................................................................................... ii

Kata Pengantar .................................................................................................. iii

Abstrak ............................................................................................................... vii

Daftar isi ............................................................................................................. ix

Daftar tabel ......................................................................................................... xii

BAB 1. Pendahuluan ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 3

1.3. Hipotesis ...................................................................................... 4

1.4. Tujuan Penelitian ......................................................................... 4

1.5. Manfaat Penelitan ........................................................................ 4

1.6. Kontribusi Penelitian .................................................................... 4

BAB 2. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 5

2.1. Anatomi ....................................................................................... 5

2.1.1. Nasofaring .................................................................... 5

2.1.2. Batas-batas nasofaring ................................................ 5

2.1.3. Jaringan lunak pembentuk nasofaring ......................... 6

2.1.4. Pendarahan dan persarafan ........................................ 7

2.1.5. Sistem limfatik nasofaring ............................................ 7

2.2. Karsinoma Nasofaring ................................................................. 8

2.2.1. Karsinoma nasofaring (KNF) ........................................ 8

2.2.2. Patologi karsinoma nasofaring ..................................... 8

2.2.3. Epidemiologi .................................................................. 11

2.2.4. Etiologi dan faktor predisposisi .................................... 13

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 10: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

x

2.2.5. Karsinogenesis secara umum ....................................... 18

2.2.6. Zat-zat karsinogen berdasarkan struktur dan kerjanya.. 20

2.2.7. Mekanisme karsinogenesis ........................................... 22

2.2.8. Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring....... 24

2.2.9. Gejala Klinis .................................................................. 32

2.2.10. Diagnosis ...................................................................... 34

2.2.11. Stadium ......................................................................... 39

2.2.12. Diagnosis banding ........................................................ 40

2.2.13. Terapi ............................................................................ 41

2.2.14. Prognosis ...................................................................... 44

BAB 3. Metodologi Penelitian ........................................................................... 46

3.1. Rancangan Penelitian ................................................................. 46

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 46

3.3. Sampel ........................................................................................ 46

3.4. Kriteria Karsinoma Nasofaring .................................................... 46

3.5. Penentuan Besar Sampel ........................................................... 46

3.6. Teknik Pengambilan Sampel ...................................................... 47

3.7. Variabel Penelitian ...................................................................... 48

3.8. Kerangka Teori ............................................................................ 48

3.9. Kerangka Konsep Penelitian ....................................................... 48

3.10. Kerangkan Kerja .......................................................................... 49

3.11. Pengolahan Data ......................................................................... 49

3.12. Analisa Data ................................................................................ 50

3.13. Faktor Perancu (Confounding) .................................................... 51

3.14. Batasan Operasional ................................................................... 51

3.15. Etika Penelitian ............................................................................ 53

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 11: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

xi

BAB 4. Hasil Penelitian ...................................................................................... 54

4.1. Hasil Analisis Regresi Logistik Univariat ..................................... 54

4.2. Hasil Analisis Regresi Logistik Multivariat ................................... 59

BAB 5. Pembahasan ........................................................................................... 61

BAB 6. Kesimpulan dan Saran ............................................................................ 72

6.1. Kesimpulan .................................................................................. 72

6.2. Saran ........................................................................................... 72

Daftar Pustaka .................................................................................................... 74

Lampiran 1. Kuisioner ..................................................................................... 82

Lampiran 2. Tabulasi Data Kuisioner Kelompok Kasus .............................. 84

Lampiran 3. Tabulasi Data Kuisioner Kelompok Kontrol ............................ 86

Lampiran 4. Persetujuan Penelitian oleh Komite Etik ................................. 88

Riwayat Hidup ..................................................................................................... 89

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 12: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.1. Distribusi karakteristik subjek penelitian .......................................... 54

Tabel 4.1.2. Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis histopatologi dan

stadium tumor ................................................................................. 55

Tabel 4.1.3. Hubungan merokok dengan KNF berdasarkan status merokok,

usia mulai merokok, lama merokok, konsumsi rokok perhari dan

jenis rokok ....................................................................................... 56

Tabel 4.1.4. Hubungan antara konsumsi ikan asin dengan KNF ....................... 58

Tabel 4.1.5. Hubungan antara adanya keluarga yang menderita kanker,

pemakaian lampu minyak, kayu bakar dan obat anti nyamuk

bakar dengan KNF .......................................................................... 59

Tabel 4.2.1. Hasil analisis logistik multivariat hubungan antara usia mulai

merokok, pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin saat

berusia sebelum 10 tahun .............................................................. 59

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 13: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah penyakit yang penyebabnya multifaktor. Insiden

dan distribusi geografiknya tergantung pada beberapa faktor, seperti kerentanan genetik,

faktor-faktor lingkungan, diet dan kebiasaan personal (Dhingra, 2004). Banyak teori faktor-

faktor etiologi telah dikemukakan, tapi penyebab pasti masih belum ditemukan (Holt dan

Shockley, 1993). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa etiologi KNF adalah multifaktor,

termasuk genetik, lingkungan dan virus (Yang et al, 2005). Faktor-faktor etiologi ini akan

sangat bergantung kepada individu. Faktor-faktor tersebut saling tumpang tindih dan salah

satu faktor mungkin terjadi bersamaan dengan faktor lain sebagai penyebab terjadinya KNF

(McDermott, et al, 2001).

Hipotesis tentang etiologi KNF dimulai pada awal abad 20, pertama kali dikemukakan

oleh Jackson tahun 1901, yang mengajukan hipotesis bahwa iritasi debu pada pekerja gabus

akan merusak epitel saluran nafas. Sejak itu patogenesis KNF secara intensif diteliti,

khususnya ditujukan pada gambaran geografi dan variasi rasial. Tahun-tahun belakangan ini

banyak faktor lingkungan dan biologi telah menunjukkan hubungan risikio terjadinya KNF dan

hasil penelitian termutakhir menunjukkan adanya peran faktor genetik dan virus dalam

perkembangan penyakit ini (McDermott et al, 2001).

Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu oksigen,

nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa gas dan partikel yang

berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi akibat kontaminasi udara

adalah pengaruh asap rokok (Drastyawan et al, 2001).

Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa asap rokok tembakau

sebagai zat karsinogen. Karsinogen telah teridentifikasi dalam asap rokok tembakau, dan

kondensasi asap rokok dapat menyebabkan terjadinya tumor ketika dioleskan pada kulit tikus

percobaan. Pada akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang meyakinkan tentang hubungan

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 14: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

2

merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker lainnya telah diperoleh dari penelitian-

penelitian kasus kontrol dan kohort (Vinies et al, 2004).

Pada dekade sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok meningkat tajam, dimana

gambaran ini terjadi pada perokok-perokok berat. Pada tahun 1986, International Agency for

Research on Cancer (IARC) Working Group menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat

menyebabkan kanker pada manusia, dan disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan

tidak hanya kanker paru, tapi juga dapat terjadi pada saluran kemih, termasuk ginjal dan

kandung kemih, saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, esofagus,

dan pankreas. Vineis et al (2004) menemukan terjadinya peningkatan risiko kanker sinonasal

dan kanker nasofaring diantara para perokok, yang secara konsisten dilaporkan dalam

beberapa penelitian kasus-kontrol, dengan tren positive dose-response berhubungan dengan

banyaknya dan lamanya merokok.

Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan dalam analisis kimia

diketahui telah teridentifikasi sedikitnya 50 jenis karsinogen. Dari penelitian yang ada,

karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah polycyclic aromatic hydrocarbons

(PAHs), nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes, aldehydes, various organic compounds,

inorganic compounds; seperti hydrazine dan beberapa logam, dan beberapa radikal bebas

(Armstrong et al, 2000; Drastyawan et al, 2001).

Selain komponen gas, pada asap rokok terdapat komponen padat atau partikel yang

terdiri dari nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin merupakan

bahan adiktif yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001).

Letak nasofaring pada saluran napas bagian atas dimana merupakan tempat aliran

polusi udara dan asap rokok, serta merupakan lokasi yang dapat berpengaruh buruk terhadap

mukosa dilokasi tersebut. Karsinogen yang dibawa oleh udara dapat menginduksi kanker

(Zhuolin et al, 2005). Mukosa nasofaring dapat langsung terpapar oleh asap rokok yang

dihisap, dan kanker dapat diinduksi pada daerah kontak dengan karsinogen (Mabuchi et al,

1985).

Merokok sebagai faktor risiko, cukup berarti menyebabkan terjadinya kanker pada

berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk nitrosamine dan formaldehyde juga

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 15: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

3

mempunyai potensi karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan

karsinogenik yang ada di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring, dengan

demikian hubungan antara merokok dan KNF secara biologi cukup dapat diterima. Beberapa

hasil penelitian yang meneliti hubungan antara merokok dan KNF menunjukkan hasil yang

tidak sama. Namun, Lin et al pada tahun 1971, pada penelitian di Taiwan, melaporkan adanya

peningkatan risiko yang signifikan terjadinya KNF dengan peningkatan lamanya merokok.

Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian selanjutnya, akan tetapi beberapa

penelitian yang lain menunjukkan hasil yang berlawanan tentang hubungan antara merokok

dan KNF (Cheng et al, 1999).

Enzyme Cytochrome P450 2EI (CYP2EI) yang diketahui merupakan enzim aktivasi

pada nitrosamine dan karsinogen lainnya, mungkin terlibat dalam perkembangan terjadinya

KNF. Hildesheim et al (1997) dalam penelitian secara case control mengemukakan bahwa

asap rokok adalah sumber paparan nitrosamine, sehingga dapat mengaktivasi CYP2EI, dan

dia melihat efeknya sebagai faktor risiko pada KNF, dimana merokok mempunyai hubungan

dengan risiko terjadinya KNF.

Hubungan antara merokok dan KNF telah banyak diteliti di daerah geografik dengan

insiden tinggi dan sedang, seperti di China Selatan dan sebagian daerah di Asia Tenggara.

Hasil dari penelitian-penelitian tersebut bervariasi, ada yang mempunyai hubungan sampai

tidak jumpai adanya hubungan (Zhu et al, 1995). Di Indonesia, khususnya di Medan

Sumatera Utara dengan insiden KNF relatif sedang, belum ada penelitan tentang hubungan

merokok dengan KNF. Atas dasar inilah peneliti tertarik meneliti hubungan antara merokok

dengan KNF di Medan Sumatera Utara.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut :

Apakah merokok merupakan faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 16: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

4

1.3. Hipotesis

Ada hubungan antara merokok dengan karsinoma nasofaring.

1.4 Tujuan Penelitian

3.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah ada hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring.

3.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui risiko perokok dapat menderita karsinoma nasofaring.

2. Melihat karakteristik demografi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan

suku bangsa, pekerjaan, umur, dan jenis kelamin.

3. Melihat hubungan usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang dihisap perhari,

lama merokok, dan jenis rokok yang dihisap dengan risiko terjadinya karsinoma

nasofaring.

4. Melihat hubungan faktor-faktor lain selain rokok dengan terjadinya karsinoma

nasofaring.

1.5 Manfaat Penelitian

Sebagai bahan pertimbangan dalam usaha pencegahan risiko terjadinya karsinoma

nasofaring.

1.6 Kontribusi Penelitian

Sebagai pengembangan keilmuan dibidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok

dan Bedah Kepala Leher.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 17: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terletak di belakang rongga hidung di atas

tepi bebas palatum mole yang secara anatomis termasuk bagian faring (Chew, 1997).

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral (Ballenger,

1994). Disamping dilapisi jaringan limfoepitelium, di dinding nasofaring juga terdapat kelenjar

dan jaringan ikat yang dibentuk oleh tulang dan kartilago dari dasar tengkorak. Ukuran rata-

rata dimensi nasofaring pada orang dewasa adalah dengan tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan jarak

anteroposteriornya 3 cm (Chew, 1997).

2.1.2 Batas-batas nasofaring

• Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior dari septum nasi.

• Dinding bawahnya dibentuk oleh permukaan atas dari palatum mole yang membentuk

duapertiga depan nasofaring dan oleh itsmus nasofaringeal.

• Atap dan dinding posterior membentuk permukaan yang miring dibentuk oleh tulang

sfenoid, basioksiput dan dua tulang servikal yang paling atas sampai pada level

palatum mole. Bagian paling atas dari dinding posterior, tepat di depan dari tulang

atlas terdapat jaringan limfoid yang melekat pada mukosa (tonsil faringeal atau

adenoid) (Chew, 1997).

• Tiap dinding lateral nasofaring terdapat muara dari tuba faringotimpanik (tuba

eustakhius). Muara tuba ini terletak sekitar 1 cm dibelakang ujung posterior dari konka

inferior, sedikit di level bawah dari palatum durum. Ujung medial dari kartilago tuba

membuka, terbentuk seperti koma. Di belakang dan atas dari kartilago tuba terdapat

faringeal reses atau fossa Rosenmuller (Beasley, 1997).

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 18: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

6

2.1.3 Jaringan lunak pembentuk rongga nasofaring

a. Selaput lendir (mukosa) nasofaring

Mukosa nasofaring permukaannya tidak rata dan mempunyai tonjolan dan

lekukan. Pada orang dewasa luasnya lebih kurang 50 cm persegi. Kira-kira 60% dari

total permukaan epitel dilapisi oleh epitel skuamosa stratified. Disekitar koana dan

atap nasofaring diliputi oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian atap

nasofaring terdiri dari kumpulan epitel skuamosa dan epitel bersilia, bercampur

dengan kumpulan-kumpulan epitel kecil transisional. Dinding belakang sebagian besar

terdiri dari epitel skuamosa (Chew, 1997).

Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel, jaringan limfoid dan kelenjar saliva.

Jaringan kelenjar limfoid terletak di dalam dan di bawah mukosa yang merupakan

kumpulan sel limfoid tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan pusat

germinal tanpa kapsul. Aliran limfe dari nasofaring bersifat bilateral dan langsung ke

bagian lateral kelenjar limfe retrofaringeal dari Rouviere, kelenjar limfe jugulodigastrik,

dan rantai kelenjar limfe spinalis. Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat

bervariasi dan terdiri dari epitel skuamosa bertingkat, pseudoepitel bertingkat bersilia

dan epitel tak beraturan. Selama masa kehidupan janin terdapat perubahan secara

bertahap dari epitel saluran nafas bersilia sampai epitel skuamosa di bagian bawah

dan belakang nasofaring (Chew, 1997; Witte dan Bryan, 1998).

b. Jaringan submukosa nasofaring

Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1) mukosa faring, (2)

aponeurosis faring, (3) otot konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal. Otot

dinding nasofaring tidaklah lengkap, pada bagian atas dinding lateral hanya terdiri atas

2 lapisan yaitu, mukosa dan aponeurosis faring. Daerah dengan struktur otot 2 lapis ini

disebut sinus morgagni.

Fasia faring dinding posterior dan lateral meekest at panda tuberculin faring

yang merupakan tonjolan tulang dari basis oksiput dan berada tepat di depan foramen

magnum. Ke arah lateral dari masing-masing sisi, fasia ini berada pada permukaan

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 19: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

7

bawah pyramid petrosus dan terdapat di depan kanalis karotikus dan anterior terdapat

pada apeks dari pars petrosus os temporal dan merupakan batas posterior dari lamina

pterigoid interna. Fasia ini melanjutkan diri sebagai jaringan fibrosa dan mengisi

foramen laserum yang hanya dipisahkan dari fossa kranii media oleh jaringan

fibrokartilago (Ackerman dan Del Regato, 1970; Cottrill dan Nutting, 2003).

2.1.4 Pendarahan dan persarafan

Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,

yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang

faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring

dan berhubungan dengan pleksus pterigoid di atas dan vena jugularis interna di bawah.

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot konstriktor

faringeus media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus

(IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus.

Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus hanya

daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan

sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila

saraf trigeminus (V1) (Ackerman dan Del Regato, 1970; Cottrill dan Nutting, 2003).

2.1.5 Sistem limfatik nasofaring

Nasofaring mempunyai anyaman limfatik submukosa yang banyak. Bagian

aliran limfe yang pertama adalah pada kelenjar di retrofaringeal yang terdapat diantara

dinding posterior nasofaring, fascia faringobasilar dan fascia prevertebra (Chew, 1997).

Pada nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral,

bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger, 1994).

Kumpulan jaringan limfe, disebut tonsil faringeal, dijumpai pada membran mukosa yang

melapisi basis sfenoid (Beasley, 1997).

Dibandingkan dengan mukosa saluran napas lainnya, mukosa nasofaring

mengandung banyak sekali jaringan limfoid. Struktur limfoid ini banyak terdapat di

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 20: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

8

dinding lateral terutama disekitar muara tuba eustakius, dinding posterior dan bagian

nasofaring di palatum mole. Struktur limfoid ini merupakan lengkung bagian atas dari

cincin Waldeyer (Chew, 1997).

2.2 Karsinoma Nasofaring (KNF)

2.2.1 Karsinoma nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamosa yang terjadi

pada lapisan epitel di nasofaring. Tumor ini menunjukkan derajat diferensiasi yang

bervariasi dan sering tampak pada pharyngeal recess (fossa Rosenmuller’s) (Wei dan

Sham, 2005). Karsinoma nasofaring termasuk karsinoma sel skuamosa kepala dan leher

yang unik. Insiden terjadinya secara geografis menunjukkan gambaran yang bervariasi.

Walaupun KNF jarang terjadi di seluruh dunia, tumor ini merupakan salah satu tumor

ganas yang sering terjadi di negara-negara Asia Tenggara maupun di China, dimana

insidennya dari 20 sampai 50 per 100.000 penduduk (Krishna et al, 2004).

2.2.2 Patologi Karsinoma Nasofaring

a. Makroskopis

Secara makroskopis pertumbuhan karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi

3 bentuk, yaitu ulseratif, nodular, dan berbentuk eksofitik. Dari 211 kasus KNF, Choa

mendapatkan 59% (124) berbentuk ulseratif, 25% (55) nodular, dan 15% (32) eksofitik.

1. Bentuk ulseratif

Bentuk ini paling sering dijumpai pada dinding posterior atau di daerah fosa

Rosenmuller. Kadang-kadang terdapat di dinding lateral di depan tuba eustakhius

dan di atap nasofaring. Lesi ini biasanya kecil disertai jaringan nekrotik dan sangat

mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Tumor bentuk ini dapat

berkembang dari dinding lateral atau atap nasofaring ke daerah petrosfenoid di basis

kranii melalui saluran yang dibentuk oleh faring. Penjalaran ke intrakranial sangat

mudah terjadi melalui daerah lemah foramen laserum dan ovale. Penjalaran secara

petrosfenoid ini akan mengenai ganglion Gaseri dan sinus kavernosus beserta saraf-

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 21: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

9

saraf kranial di sekitarnya. Tumor cepat membesar, meluas dan merusak foramen-

foramen di basis kranii dan masuk kedalam fosa kranii media.

2. Bentuk noduler/lobuler

Bentuk ini paling sering timbul di daerah tuba eustakhius, sehingga cepat

menyebabkan sumbatan tuba. Tumor ini biasanya berbentuk seperti anggur atau

polipoid tanpa ada ulserasi kecil bila dibandingkan dengan besarnya tumor yang

terlihat. Tumor ini mula-mula mengadakan infiltrasi di sekitar tuba eustachius dan

meluas masuk ke dalam ruang maksilofaring dan mengadakan kompresi cabang

mandibular saraf trigeminus (V2), tumor dapat menjalar ke bawah mendesak

palatum mole dan mudah menyebar ke daerah petrosfenoid di basis kranii.

Walaupun saraf-saraf kranial berada di sekitar tumor dan pertumbuhan tumor sangat

cepat, tetapi kompresi saraf-saraf kranial baru timbul setelah terjadi erosi basis kranii

dan masuk ke dalam fosa serebri media. Pada stadium lanjut tumor dapat

mengadakan invasi ke dalam rongga orbita melalui fisura orbita inferior dan melalui

sinus etmoid masuk ke sinus maksila.

3. Bentuk eksofitik

Bentuk ini biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak terdapat ulserasi,

kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor ini tumbuh dari atap

dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor dapat mendorong palatum mole ke

bawah dan tumbuh ke arah koana dan masuk ke kavum nasi. Tumor bentuk ini

cepat mencapai sinus maksila dan rongga orbita sehingga menyebabkan

eksoptalmus unilateral atau menonjol ke luar nares anterior. Pada daerah tuba

eustakhius, tumor bentuk ini lebih cenderung tumbuh secara submukosa ke arah

basis kranii. Kompresi saraf kranial terjadi bila besarnya tumor cukup besar

(Ackerman dan Del Regato, 1970, Armiyanto, 1993).

b. Mikroskopis (histopatologi)

Klasifikasi histologi secara garis besar membagi jenis histologi KNF menjadi 2

kelompok yaitu: karsinoma sel skuamosa dengan beberapa tingkat diferensiasi dan

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 22: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

10

karsinoma tidak berdiferensiasi dengan beberapa variasi sel limfoepithelioma (Cottrill

dan Nutting , 2003)

Tumor ganas nasofaring terdiri dari :

1. Karsinoma nasofaring (KNF)

a. WHO Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa keratinisasi

b. WHO Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi

c. WHO Tipe 3 : Karsinoma sel tidak berdiferensiasi

2. Limfoma non-Hodgkin’s (jarang terdapat limfoma Hodgkin’s)

3. Karsinoma adenoid kistik

4. Adenokarsinoma dan tumor-tumor kelenjar saliva minor

5. Placmacytoma

6. Melanoma

7. Sarkoma (terutama rabdomiosarkoma)

8. Chordoma (Cottrill & Nutting, 2003).

Klasifikasi menurut WHO sejak tahun 1978 ada tiga tipe histologik karsinoma

nasofaring (Chew, 1997; Licitra et al 2003) :

1. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi (keratinizing)

a. well differentiated

b. moderately differentiated

c. poorly differentiated

2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (non-keratinizing)

3. Karsinoma sel tidak berdiferensiasi (undifferentiated)

WHO tipe I. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi (keratinizing)

Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus aerodigestif.

Ditandai dengan adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian

sel mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel terutama pada sel

yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya jembatan intersel

(intercellular bridges). Jembatan intersel ini mungkin disebabkan karena sel

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 23: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

11

mengalami pengkerutan akibat dehidrasi pada waktu membuat sediaan. Dua puluh

lima persen KNF merupakan karsinoma WHO tipe 1 di Amerika Serikat, namun hanya

1-2% di populasi endemik

WHO tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (non-keratinizing)

Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa,

namun secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan

masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun

teratur/berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat sebagai sel

tumor yang jernih/terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel,

serta tidak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar.

WHO tipe 3. Karsinoma sel tidak berdiferensiasi (undifferentiated)

Sesuai pada reklasifikasi WHO (1991). Ditandai dengan susunan sel tumor

yang berbentuk sinsitial, batas sel yang satu dan lainnya sulit dibedakan, sel tumor

berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleolus (inti) yang hiperkromatik

dan sel ini sering bersifat dominan, sel tumor tidak memproduksi musin. KNF WHO

tipe 3 ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik, namun di

populasi risiko rendah seperti pada populasi kulit putih Amerika Utara hanya

ditemukan sebanyak 60% (Armiyanto, 1993; Witte dan Neel, 1998; Lin et al, 2003;

Zimmermann et al, 2006).

2.2.3 Epidemiologi

Karsinoma nasofaring mempunyai pola yang berbeda secara epidemiologi

(Chew, 1997). Tumor ganas ini termasuk penyakit yang jarang terjadi disebagian

besar bagian dunia, dimana insidennya secara umum rata-rata kurang dari 1 per

100.000 penduduk tiap tahunnya. Namun, penyakit ini merupakan salah satu tumor

ganas yang sangat biasa terjadi pada penduduk di China Selatan dan Asia Tenggara,

dengan insiden antara 20 sampai 50 per 100.000 penduduk tiap tahunnya (Wei dan

Sham, 2005; Yang et al, 2005).

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 24: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

12

Insidennya diantara penduduk China dan Asia Tenggara 10 – 50 kali lebih

tinggi dibanding dengan negara-negara lainnya. Tumor ini tidak secara kuat

berhubungan dengan ras mongoloid secara serta merta, seperti yang ada di China

bagian Utara, Korea, dan Jepang yang insidennya adalah rendah. Insiden paling

tinggi, 30 – 50 per 100.000 penduduk laki-laki, terjadi di China bagian Selatan, di pusat

Propinsi Guangdong dan di daerah otonomi Guangxi. Insiden tinggi, 15 – 30 per

100.000 penduduk laki-laki, terjadi di Hong Kong, ras china di Asia Tenggara dan

emigran ras china ditempat lainnya. Insiden sedang, 5 – 15 per 100.000 penduduk

laki-laki dijumpai diantara ras Asia Tenggara lainnya (orang Malaysia, Indonesia,

Thailand, Vietnam dan Filipina), orang Eskimo (di Kanada, Alaska dan Greenland) dan

beberapa orang Afrika Utara. Populasi di Malta, Tunisia, Algeria, Maroko dan Sudan

mempunyai insiden paling rendah dibanding negara-negara Asia, tapi tetap lebih tinggi

dibanding kejadian di Amerika dan Eropa (Chew, 1997).

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher

terbanyak ditemukan di Indonesia, menduduki urutan pertama dari seluruh keganasan

pada pria dan urutan ke-4 dari seluruh keganasan pada wanita setelah tumor ganas

mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi pada semua golongan umur, insiden

meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada usia 40-50 tahun

(Roezin, 1995; Susworo, 2004).

Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF, kemudian diikuti

oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas

rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah (Roezin dan Syafril, 2001).

Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk pertahun (Fachiroh et al,

2004).

Di RSUP H.Adam Malik Medan selama Januari 1991 sampai April 1996

didapatkan 94 kasus KNF dari 160 kasus tumor ganas (Adnan,1996), sementara pada

tahun 1998 – 2002 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi

kepala dan leher (Lutan, 2003). Dari data rekam medik jumlah pasien KNF yang

datang berobat dari tahun 2002 - Agustus 2007 ditemukan 924 orang, laki-laki

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 25: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

13

berjumlah 630 orang dan perempuan 294 orang, dengan rentang usia 15-82 tahun

(Devira, 2007).

Di Indonesia frekuensi penderita ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN

Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS

Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25

kasus, Denpasar 15 kasus, di Padang dan Bukit Tinggi 11 kasus. Demikian pula

angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan daerah lain

menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia (Roezin dan Syafril,

2001).

Dalam banyak studi dilaporkan insiden kejadian KNF menurut jenis kelamin,

penderita laki-laki selalu lebih banyak dibanding perempuan. Pada populasi dengan

risiko tinggi, perbedaan ini sangat signifikan, seperti di Cina dan Singapura, rasio laki-

laki dan perempuan adalah 2,3 : 1; dan di Hongkong rasionya 2,5 :1. Perbandingan di

Indonesia adalah 2-3 : 1 (Susworo, 2004). Berdasarkan umur, dilaporkan penderita

KNF termuda berumur 2 tahun dan paling tua 91 tahun (McDermott et al, 2001),

sedangkan di Indonesia umur termuda 4 tahun dan tertua 84 tahun (Roezin,1995).

2.2.4 Etiologi dan faktor predisposisi

Etiologi KNF masih belum pasti (Chew, 1997) Sekarang ini, sejumlah

penelitian menunjukkan bahwa etiologi KNF adalah multifaktor, termasuk genetik,

lingkungan dan virus (Licitra et al, 2003; Yang et al, 2005).

Spekulasi dan hipotesis tentang etiologi dari KNF dimulai pada awal abad 20.

Hipotesis tentang etiologi KNF pertama kali dikemukakan oleh Jackson tahun 1901,

yang mengajukan hipotesis bahwa iritasi debu pada pekerja gabus, merusak epitel

saluran nafas. Dia menyimpulkan iritasi tersebut tidak dapat menyebabkan KNF,

seperti kejadian pada kanker laring yang lebih sering. Sejak itu patogenesis KNF

secara intensif diteliti, khususnya perhatian ditujukan pada gambaran geografi dan

variasi rasial. Tahun-tahun belakangan ini banyak faktor lingkungan dan biologik telah

menunjukkan hubungan risikio terjadinya KNF, dan hasil riset termutakhir

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 26: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

14

menunjukkan adanya peran faktor genetik dan virus dalam perkembangan dari

penyakit ini (McDermott et al, 2001).

a. Faktor genetik

Pada sel normal pertumbuhan (pembelahan/proliferasi) dan diferensiasi diatur

oleh gen yang disebut proto-onkogen. Pembelahan pada sel normal terjadi bila ada

rangsang pertumbuhan yang diterima oleh reseptor faktor pertumbuhan (growth factor

receptor) yang terletak pada membran sel. Pesan tersebut kemudian diteruskan

melalui membran sel ke dalam sitoplasma, yang seterusnya melalui penghantar

isyarat di dalam sitoplasma akan disampaikan ke dalam inti. Rangsang pertumbuhan

selanjutnya akan mengaktifkan faktor pengatur inti untuk memulai transkripsi DNA

(Tjarta, 1998).

Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam keadaan normal

ekspresi proto-onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel dan tidak

mengakibatkan keganasan, karena aktivitasnya dikontrol secara ketat. Aktivasi proto-

onkogen menjadi onkogen dapat terjadi melalui perubahan struktural dalam gen,

translokasi kromosom, amplifikasi gen atau mutasi dalam berbagai elemen yang

dalam keadaan normal berfungsi untuk mengontrol ekspresi gen bersangkutan. Mutasi

proto-onkogen relatif sering terjadi dalam sel yang berproliferasi aktif, namun

perubahan ke arah ganas dapat dicegah dengan bantuan ekspresi berbagai gen

supresor (tumor suppresor genes atau anti-onkogen) yang berperan menginduksi

terhentinya siklus sel atau menginduksi proses apoptosis. Apabila fungsi gen-gen

yang berperan dalam pengawasan ini terganggu akibat mutasi atau hilang (delesi),

maka sel bersangkutan akan menjadi rentan terhadap transformasi ganas (Murphy

dan Levine, 2001; Kresno, 2005).

Perubahan yang dialami proto-onkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen

selalu menstimulasi suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan

diferensiasi sel. Sejauh aktivasi ini terjadi karena mutasi, hal ini disebut mutasi

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 27: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

15

dominan. Mekanisme onkogen merangsang pertumbuhan pada sel neoplastik adalah

sebagai berikut:

a. Mengkode pembuatan protein yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan (growth

factor) yang berlebihan (overekspresi) dan merangsang diri sendiri (autokrin),

misalnya c-sis (cellular-sis)

b. Memproduksi reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) yang tidak

sempurna, yang memberi isyarat pertumbuhan terus menerus, meskipun tidak ada

rangsang dari luar, misalnya c-erb B

c. Pada amplifikasi gen terbentuk reseptor faktor pertumbuhan yang berlebihan,

sehingga sel tumor sangat peka terhadap faktor pertumbuhan dengan konsentrasi

di bawah ambang rangsang normal, misalnya c-neu.

d. Memproduksi protein yang berfungsi sebagai penghantar isyarat di dalam sel yang

tidak sempurna, yang terus menerus menghantarkan isyarat, meskipun tidak ada

rangsang dari luar sel, misalnya c-K-ras

e. Memproduksi protein yang berkaitan langsung dengan inti yang merangsang

pembelahan sel, misalnya c-myc

Tumor tidak hanya terbentuk karena aktivasi onkogen yang bekerja dominan,

tetapi dapat terjadi akibat hilangnya atau tidak aktifnya gen yang bekerja menghambat

pertumbuhan sel yang disebut anti-onkogen atau gen supresor tumor. Pada

pertumbuhan dan diferensiasi sel normal, anti-onkogen bekerja menghambat

pertumbuhan dan merangsang diferensiasi sel. Beberapa anti-onkogen ialah gen p53,

Rb, APC, WT, DCC, NFI, NF-2 (Suryanto, 2006).

b. Faktor lingkungan

Sangkaan bahwa faktor genetik berperan jelas sebagai penyebab dan juga

peran beberapa kofaktor lingkungan adalah sama pentingnya. Berbagai faktor

lingkungan dan agent yang termasuk dalam etiologi karsinoma nasofaring adalah;

Virus Epstein-Barr (peningkatan antibodi, viral genome di dalam sel tumor), bahan

kimia (tembakau, obat-obatan, jamu-jamuan, produk tanaman, makanan atau diet

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 28: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

16

seperti ikan asin, nitrosamin, makanan fermentasi), kebiasaan memasak (asap

bakaran dan uap), praktek keagamaan (dupa cina dan harum-haruman), terpapar

lingkungan kerja (uap dan kimia industri, partikel logam, debu kayu, formaldehid), dan

lain-lain (status ekonomi, penyakit-penyakit THT sebelumnya, defisiensi gizi, logam

seperti arsenik, kromium, dan nikel) (Chew, 1997).

1. Infeksi Virus Epstein-Barr (VEB)

Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1960 dalam

biakan sel limfoblas dari pasien limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA yang

diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang saat ini telah

diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononukleosis infeksiosa,

penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp

dan memiliki kandungan guanin-plus-sitosin sebesar 59%. Melalui tempat replikasinya

di orofaring, VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada

sel ini, menetap pada pasien yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang

berarti (McDermott et al, 2001).

Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan

protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis

infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel

terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi

keganasan. Berbagai antigen yang disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam

nucleus, sitoplasma dan membrane sel terinfeksi. Antigen ini dapat menginduksi

respon imun seperti EBNA (Epstein-barr nuclear antigen) yang diekspresikan pada

infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi laten. Protein lain adalah

LMP (laten membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen). Infeksi VEB

mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro membuktikan bahwa

virus ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak tergantung pada sel

T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan mengalami

transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral

terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 29: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

17

terhadap antigen tersebutlah yang dapat memperantarai penolakan terhadap tumor

tersebut secara in vivo. Jadi untuk mengatasi infeksi VEB diperlukan respon imun

seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi respon imun seluler, dapat

mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara laten mengalami transformasi ganas

(McDermot et al, 2001).

2. Faktor makanan

Ho (1971) yang pertama kali menghubungkan ikan yang diasinkan yang

merupakan makanan kegemaran penduduk Cina Selatan kemungkinan sebagai salah

satu faktor etiologi terjadinya KNF. Teori ini didasarkan atas insiden KNF yang tinggi

pada masyarakat nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan yang

diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur dan

buah segar. Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250 pasien

KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata mengkonsumsi ikan asin

semenjak usia di bawah 10 tahun.Kebiasaan makan ikan yang diasinkan ini juga

terdapat pada penduduk keturunan Cina yang beremigrasi ke Negara lain seperti

Malaysia Timur (Kadazans) dan negara Asia Tenggara lainnya. Zat nitrosamin juga

didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina Selatan, dan

Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi (Ahmad, 2002).

Ikan asin ala orang Kanton dimakan dalam bentuk digoreng atau berupa sup

kepala ikan asin yang merupakan makanan tradisional penduduk Cina Selatan.

Makanan ini dibuat dari ikan laut yang isi perutnya dikeluarkan melalui mulut (tanpa

disayat) kemudian direndam dalam air garam dalam tong yang terbuat dari kayu

selama 1-5 hari, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 hari. Selama

pengeringan sering terdapat infestasi lalat yang menyebabkan pembusukan sebelum

terjadi proses pengasinan. Konsumsi ikan asin secara banyak dimasa kecil

mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya KNF. Yu dkk mendapatkan kira-kira 50 %

kasus KNF di kota Tianjin Cina selatan yang mempunyai insidens KNF yang rendah,

mengkonsumsi ikan asin sejak usia muda (Yu et al, 1990; McDermott et al, 2001)

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 30: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

18

Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung

nitrosamin dan nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya

KNF pada umur dewasa (Roezin, 1996).

3. Radang kronis

Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, maka mukosa nasofaring

menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (Ahmad, 2002).

4. Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup

Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu,

asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa (kemenyan), obat-obatan

tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum

dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan

pasien KNF. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai

resiko menderita KNF. Sedangkan peminum alkohol tidak dijumpai ada hubungan

resiko terjadinya KNF. Yu dkk tahun 1990, melaporkan bahwa pada orang merokok

lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali lebih besar daripada yang bukan perokok

(Yu et al, 1990). KNF juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan

karsinogen antara lain bezopyrenen, benzo anthrancene, gas kimia, asap industri,

asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan. Adanya peradangan menahun di

nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen

penyebab KNF (McDermott et al, 2001; Ahmad, 2002).

2.2.5 Karsinogenesis secara umum

Sel tumor ialah sel tubuh kita sendiri yang mengalami perubahan

(transformasi) sehingga bentuk, sifat dan kinetikanya berubah, sehingga tumbuhnya

menjadi autonom, liar tidak terkendali dan terlepas dari koordinasi pertumbuhan normal.

Akibatnya timbul tumor yang terpisah dari jaringan tubuh normal (Sukardja, 2000).

Transformasi sel terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan

diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau supresor gen (anti onkogen). Spektrum

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 31: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

19

kerusakan itu sangat luas, dapat dari ringan dan terbatas sampai berat serta luas

(Sukardja, 2000; Irish et al, 2003).

Pada manusia selama hidup diperkirakan rata-rata sel tubuh mengalami

sebanyak 1016 mitose, dengan masing-masing gen mempunyai kemungkinan 106

mengalami mutasi spontan dan menyalin (translate) 1010 mutasi. Jika tiap mutasi dapat

merubah sel normal menjadi kanker, maka kita tidak mungkin dapat berfungsi sebagai

makhluk hidup. Penelitian epidemiologi menunjukkan kemungkinan perubahan menjadi

kanker tidaklah konstan, tetapi bertambah dengan bertambahnya umur. Penelitian

komparatif dari berbagai tumor menunjukkan bahwa aktivasi gen myc dapat merubah

sel itu menjadi immortal (tidak dapat mati), dan aktivasi gen ras atau famili ras dapat

menjadikan transformed sel. Pada manusia gen yang sering mengalami mutasi ialah

gen c-myc, K-ras, hst-1 dan neu (Sukardja, 2000).

Penemuan dan uraian tentang onkogen dan tumor suppressor genes

meningkatkan pengetahuan kita tentang mekanisme genetik dan molekuler patogenesis

kanker. Pemahaman tentang patogenesis kanker tersebut diperoleh dari berbagai

percobaan binatang dan percobaan laboratorium yang mengungkapkan bahwa mutasi

satu atau lebih gen akan menyebabkan penyimpangan dalam pertumbuhan sel yang

berakibat transformasi sel kearah ganas. Sekalipun tampaknya sederhana, pada

hakekatnya tumorigenesis pada manusia tetap merupakan satu proses kompleks yang

berlangsung melalui berbagi tahapan (multistep/multistage process). Bahwa kanker

terjadi melalui proses multistep dibuktikan dengan berbagi penelitian, diantaranya bukti

tidak langsung yang diperoleh dari studi epidemiologi. Salah satu bukti epidemiologi

adalah bahwa insiden kanker meningkat sesuai peningkatan usia. Bukti lain adalah

bahwa diperlukan waktu yang cukup panjang antara paparan pertama terhadap bahan

karsinogen (rokok, asbes) dengan timbulnya kanker, demikian pula peningkatan insiden

kanker yang baru terjadi berpuluh tahun sesudah dijatuhkannya bom atom di Jepang.

Bila ditinjau dari aspek genetik dan molekuler, sudah diterima secara luas bahwa

perkembangan kanker disebabkan akumulasi kelainan atau mutasi beberapa gen

(multiple genetic alterations) yang berinteraksi satu dengan lain untuk pada akhirnya

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 32: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

20

menghasilkan transformasi sel. Mutasi beberapa jenis gen tertentu yang diwariskan

menyebabkan kecenderungan seseorang menderita kanker, jadi dalam hal ini faktor

keturunan merupakan faktor yang penting, tetapi penyebab kelainan gen yang berakibat

kanker sebagian besar berasal dari luar (eksogen). Di antara faktor eksogen adalah

berbagai jenis virus khususnya virus onkogenik, misalnya virus hepatitis B, Epstein Barr,

HTLV-1, berbagai bahan kimia dan radiasi khususnya radiasi pengion. Tetapi tidak

semua mutagen berasal dari luar (eksogen). Akhir-akhir ini diketahui bahwa kerusakan

DNA sebagi reaksi metabolik endogen yang menghasilkan reactive oxygen

intermediates (ROI) dalam jumlah besar juga berpotensi menimbulkan keganasan

(Kresno, 2004).

Mekanisme karsinogenesis baik biokimiawi maupun molekuler berbeda antara

satu karsinogen dengan yang lain, bergantung pada struktur dan sumber karsinogen

masing-masing, tetapi pada dasarnya sasaran karsinogen adalah menimbulkan lesi

pada untaian DNA yang mengandung berbagai jenis gen. Dalam beberapa tahun

terakhir telah terungkap bagaimana hubungan karsinogen dengan lesi DNA dan jenis

mutasi gen yang ditimbulkannya, demikian pula peran gen DNA repair dan respons

tubuh lainnya terhadap kerusakan DNA. Berbagai jenis onkogen dan gen supresor

(tumor suppressor gene) yang berperan sebagai regulator siklus sel atau pertumbuhan

dan diferensiasi sel pada umumnya merupakan sasaran lesi onkogenik (Kresno, 2004).

2.2.6 Zat-zat karsinogen berdasarkan struktur dan kerjanya

a. Karbohidrogen polisiklik

Dalam golongan ini termasuk bermacam-macam derivate batubara, seperti

dimetilbenzantrasen, benzpiren dan metilkolantren. Zat-zat ini dapat menginduksi tumor

pada jarak jauh baik atas dasar aplikasi maupun sesudah absorpsi. Tidak mustahil

bahwa benzpiren merupakan faktor penting dalam terjadinya karsinoma bronkus pada

perokok berat.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 33: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

21

b. Amina aromatik

Dalam golongan ini termasuk naftilamina, benzidin, asetilaminofluoren dan zat-

zat warna azo. Naftilamin merupakan salah satu penyebab terpenting kanker kandung

kemih. Terutama pekerja yang berhubungan dengan produksi dan pemrosesan zat

warna aniline, di antaranya di dalam industri tekstil, mendapat kontak dengan zat-zat ini.

c. Nitrosamina dan nitrosamida

Meskipun ada dugaan bahwa zat-zat tersebut dapat memicu terjadinya tumor

pada manusia belum dapat dibuktikan dengan meyakinkan. Zat-zat tersebut mempunyai

arti penting untuk onkologi eksperimental. Zat tersebut merupakan karsinogen distal

yang khas, yang seringkali menunjukkan spesifitas yang mencolok mengenai induksi

tumor-tumor dalam organ tertentu. Etylnitrosamina yang termasuk dalam golongan ini

pada tikus hamil dapat menembus plasenta yang mengakibatkan terjadinya tumor otak

pada anak-anaknya.

d. Karsinogen pengalkil

Dalam golongan ini termasuk beberapa siklofosfamid. Karena bentuk kanker

tertentu dapat disembuhkan dengan kemoterapi, harus diperhatikan sifat onkogen

golongan obat ini. Kemoterapetika kebanyakan merupakan karsinogen proksimal.

Malignitas kedua merupakan komplikasi yang telah dikenal dari kemoterapi (juga dari

radioterapi).

e. Asbestos dan beberapa logam karsinogen

Terutama frekuensi yang meningkat dari mesotelioma dan juga karsinoma

bronkus pada pekerja di dalam industri yang menggunakan asbes, juga di negeri kita,

telah sangat menarik perhatian. Berilium, kadmiun, kobalt, nikel dan timah sebagai ion

bersifat elektrofil, karena itu bahan mungkin dapat mengikatkan diri kepada molekul-

molekul yang aktif biologik dan itu menimbulkan tranformasi sel.

f. Karsinogen alamiah

Berlawanan dengan karsinogen yang disebutkan di atas, karsinogen alamiah ini

merupakan produk-produk metabolik sel terutama dari bermacam-macam jamur.

Mereka terdapat begitu saja di dalam lingkungan alamiah. Paling dikenal dari mikotoksin

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 34: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

22

ini adalah aflatoksin suatu produk dari Aspergillus flavus. Data epidemiologik

menunjukan kemungkinan bahwa toksin ini yang antara lain didapat dalam kacang-

kacangan yang jamuran, mempunyai peran dalam terjadinya kanker hepar pada

manusia (Bosman,1999).

2.2.7 Mekanisme karsinogenesis

Pada umumnya karsinogen kimia merupakan senyawa elektrofilik atau dapat

dimetabolisme menjadi senyawa yang memiliki sifat tersebut. Senyawa elektrofilik ini

dapat bereaksi dengan pusat nukleofilik (terutama atom N dan O, kadang-kadang S)

pada makromolekul seperti DNA, RNA dan protein. Pengikatan secara kovalen dan

perubahan pada molekul-molekul vital ini tidak dapat diperbaiki, menetap, dan

mengakibatkan hilangnya sifat serta kontrol pertumbuhan sel yang normal (transformasi

ganas). Perubahan pada DNA diyakini berkaitan dengan mutasi, seperti mutasi titik

(substitusi pasangan basa) atau mutasi frame-shift, yang berakibat pengaktifan onkogen

(misalnya ras proto-onkogen) dan inaktivasi gen supresor tumor. Karsinogen yang

menyebabkan perubahan pada metri genetic disebut genotoksik. Asbes merupakan

karsinogen non-genotoksik, menyebabkan disjunction melalui pengikatan pada spindle

fibers pada saat mitosis dan menyebabkan anueploidi (Bosman, 1999; Asikin, 2001).

Eksperimen Berendbulm pada tahun 1941 pada mencit yang dicat berulang

kali selama beberapa waktu dengan benzo [a]piren (= B[a]P, suatu hidrokarbon

aromatik) pada kulit yang telah dicukur, berakibat pertumbuhan tumor pada bagian kulit

tersebut. Pengecatan dengan B[a]P hanya satu kali, dan dilanjutkan dengan pemberian

minyak kroton beberapa kali, juga menyebabkan terjadinya tumor kulit. Perlakuan

dengan minyak kroton saja ternyata tidak berpengaruh. Berenblum sampai pada

kesimpulan yang diterima sampai kini bahwa karsinogenesis merupakan peristiwa yang

berlangsung melalui beberapa tahapan (multistep), dari tahap inisiasi yang bersifat

ireversibel dan memerlukan karsinogen, promosi yang reversible, dan selanjutnya

progresi dan metastasis (Bosman, 1999; Asikin, 2001; Irish, 2003).

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 35: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

23

Tahapan proses karsinogenesis dapat dirinci sebagai berikut :

1. Tahap 1 (bila perlu) biotransformasi suatu zat pro-karsinogen menjadi senyawa

yang reaktif (elektrofilik) terhadap DNA.

2. Tahap 2 (inisasi) pengikatan kovalen kepada DNA.

3. Tahap 3 (inisiasi) stabilisasi mutasi pada DNA (aktivasi onkogen atau inaktivasi

supresor).

4. Tahap 4 (promosi) ekspresi mutasi, perubahan fungsi selular (ekspresi gen,

fungsi reseptor).

5. Tahap 5 (promosi) pertumbuhan neoplastik, terdeteksi secara klinik atau

patologi.

6. Tahap 6 (progresi) manifestasi pertumbuhan tumor secara kualitatif dan

kuantitatif.

7. Tahap 7 (metastasis) penyebaran sel yang mengalami transformasi ke bagian

lain tubuh, berkembang menjadi tumor sekunder.

Proses karsinogenesis pada manusia dapat berlangsung selama 15-30 tahun.

Pada tahap inisiasi sel terpapar dengan dosis yang tepat dari suatu bahan karsinogen

inkomplit, menyebabkan kerusakan permanen pada DNA, yang bila sel membelah

diteruskan ke generasi berikutnya. Inisiasi diikuti dengan masa laten secara klinik.

Senyawa kimia yang dapat memulai (inisiasi) proses transformasi sel normal menjadi

ganas berbagai hidrokarbon aromatic dan aflatoksin B1 disebut sebagai prokarsinogen.

Beberapa senyawa dapat meningkatkan keampuhan karsinogen dan disebut

kokarsinogen, bekerja dengan mengubah ambilan atau metabolisme karsinogen oleh

sel. Contohnya alkohol pada karsinoma sel skuamosa (SCC), pirogalol pada SCC akibat

B[a]P, dan senyawa arsenit pada kanker akibat sinar ultraviolet (Asikin, 2001).

Faktor-faktor yang mempermudah karsinogenesis mempersingkat masa laten

tumor dan disebut promoter. Struktur kimia promoter sangat bervariasi, seperti sakarin,

fenobarbital, estrogen, prolaktin, dan ester forbol. Mekanisme promosi belum diketahui

dengan jelas, berbagai promoter kelihatannya bekerja dengan merangsang proliferasi

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 36: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

24

sel. Ester forbol diketahui mengakibatkan single-strand break pada DNA, disamping

berikatan dengan reseptor membran, suatu protein kinase C, yang merupakan

perantara dalam kegiatan PDGF (platelet derived growth factor), mitogen yang disandi

oleh proto-onkogen c-sis. Pengaktifan protein kinse tersebut mempengaruhi

metabolosme fosfat, meningkatkan ion Ca++ serta pH intraseluler, dan selanjutnya

memicu proliferasi sel (Asikin, 2001).

2.2.8 Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

a. Bahan karsinogen di dalam rokok

Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu

oksigen, nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa gas dan

partikel yang berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi akibat

kontaminasi udara adalah pengaruh asap rokok (Drastyawan dkk, 2001). Merokok

adalah suatu kebiasaan tanpa tujuan positif bagi kesehatan, pada hakekatnya

merupakan suatu proses pembakaran massal tembakau yang menimbulkan polusi

udara padat dan terkonsentrasi yang secara sadar langsung dihirup dan diserap oleh

tubuh bersama udara pernapasan (Situmeang et al, 2002)

Dewasa ini 80% perokok tinggal di negara-negara berkembang, Di tahun 1997

ada 5,7 triliun rokok yang dikonsumsi di dunia. Lima besar konsumen rokok di dunia

adalah China dengan 1,679 triliun batang setahunnya, Amerika Serikat 480 milyar

batang, Jepang 316 milyar batang, Rusia 230 milyar batang dan Indonesia diurutan

kelima yang mengkonsumsi 188 milyar batang rokok setahunnya (Aditama, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok

(LM3) di 14 Propinsi di Indonesia mendapatkan 59,04% laki-laki perokok berumur 10

tahun ke atas, sedangkan pada perempuan hanya 4,83%. Sementara itu data Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 2001,

menunjukkan secara keseluruhan (laki-laki dan perempuan) 31,5% penduduk Indonesia

merokok (Aditama, 2004). Di Indonesia jenis rokok yang terbanyak dikonsumsi adalah

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 37: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

25

rokok kretek (81,34%) yaitu rokok yang berisi campuran tembakau dengan cengkeh

(Caldwell, 2001).

Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan dalam analisis

kimia diketahui telah teridentifikasi sedikitnya 50 jenis kasinogen. Dari penelitian yang

ada, karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah polycyclic aromatic

hydrocarbons (PAHs), nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes, aldehydes, various

organic compounds, inorganic compounds; seperti hydrazine dan beberapa logam, dan

beberapa radikal bebas (Haugen, 2000; Drastyawan et al, 2001; Port et al, 2004).

Selain komponen gas ada komponen padat atau partikel yang terdiri dari

nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin bukan

karsinogen (Pfiefer et al,2002), tapi merupakan bahan adiktif yang menimbulkan

ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001).

Hubungan antara merokok dan KNF telah banyak diteliti di daerah geografik

dengan insiden tinggi dan sedang, seperti di China Selatan dan sebagian daerah di Asia

Tenggara. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut bervariasi, ada yang mempunyai

hubungan dan ada yang tidak mempunyai hubungan (Zhu et al, 1995).

Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa merokok

tembakau sebagai zat karsinogen. Di akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang meyakinkan

tentang hubungan merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker lainnya telah

diperoleh dari penelitian-penelitian kasus kontrol dan kohort, dan karsinogen telah

teridentifikasi dalam asap rokok tembakau. Asap rokok dapat menyebabkan terjadinya

tumor ketika tar asap rokok tersebut dioleskan pada kulit tikus percobaan. Pada dekade

sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok meningkat tajam, dimana gambaran ini

terjadi pada perokok-perokok berat (Sasco et al, 2004; Vinies et al, 2004).

b. Merokok dan kanker.

Karsinogenesis adalah suatu studi tentang asal muasal kanker. Penelitian

pada sistem biologi dapat dilakukan untuk menghasilkan suatu observasi yang dapat

mengetahui tentang tahap-tahap yang terjadi pada perubahan dari sel normal menjadi

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 38: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

26

sel kanker. Dugaan hubungan antara penggunaan tembakau dan kanker telah

dikemukakan oleh Hill (Marshal, 1993). Potensi bahan karsinogen di dalam asap rokok

dan hubungannya dengan kanker dapat dievaluasi dengan cara yang bervariasi, akan

tetapi sangatlah penting untuk mempertimbangkan komponen-komponen yang ada di

dalam asap rokok tersebut dan kemampuannya untuk menginduksi tumor dalam

percobaan pada hewan. (Pfiefer et al, 2002).

Bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa asap tembakau adalah

campuran bahan karsinogen yang multipoten. Dengan kemajuan dalam biokimia dan

biologi molekuler telah dilakukan riset-riset untuk mengukur bahan-bahan metabolit

rokok dalam cairan dan organ tubuh yang berbeda, untuk mengukur karsinogen-protein

dan karsinogen-DNA, dan untuk mengidentifikasi kerusakan genetik (mutasi atau

penyimpangan kromosom) yang berhubungan dengan merokok (Venies et al, 2004).

Pada kanker paru, terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa bahan

karsinogen polycyclic aromatic amines (PAHs) dan nitrosamines adalah bahan yang

sangat penting dalam menginduksi kanker paru. Bahan tersebut merupakan karsinogen

yang kuat, dan jumlahnya relatif banyak di dalam tembakau. Selanjutnya, penelitian ini

menunjukkan bahwa jaringan paru manusia dapat memetabolisme PAHs menjadi

metabolit yang reaktif, dimana dapat berinteraksi dengan DNA, membentuk DNA yang

mutagen. Terbentuknya DNA mutagen adalah suatu permulaan dalam proses

karsinogenesis. Konsentrasi nitrosamines yang ditemukan didalam tembakau relatif

tinggi, dan pada perokok berat mempunyai tingkat keterpaparan yang tinggi terhadap

nitrosamines. Penamaan tobacco spesific N-nitrosamines (TSNA), secara prinsip

4(methylnitrosamino) -3-(3-Pyridyl)-1-butanone (NNK), adalah bahan karsinogen yang

sangat kuat pada saluran napas yang teridentifikasi di dalam produk rokok (Haugen,

2000).

Pada asap rokok terdapat logam-logam yang relatif banyak. Sedikitnya 30

logam telah teridentifikasi. Kromium, kadmium dan nikel terdapat di dalam asap rokok.

Yang pasti logam-logam tersebut diketahui sebagai bahan karsinogen. Bukti eksperimen

mengindikasikan banyak bahan logam adalah efektif sebagai inisiator dalam proses

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 39: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

27

karsinogenesis, tapi dapat juga menjadi promotor yang potensial selama proses

karsinogenesis (Haugen, 2000).

Ivy dari Universitas Illinois Amerika Serikat yang telah bertahun-tahun

menyelidiki rokok, menemukan bahwa orang yang merokok sebungkus perhari selama

10 tahun, menghirup sekitar 7 liter tar dalam jangka waktu tersebut (Caldwell, 2001).

Selanjutnya pernyataan tersebut dikaji ulang oleh Graham dan Wynder.

Mereka mengecat punggung tikus dengan tar tembakau. Eksperimen ini sebenarnya

sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, tetapi tidak menghasilkan kesimpulan yang

meyakinkan. Menurut kedua peneliti ini, penyebabnya adalah pada penelitian yang

terdahulu tidak dikerjakan dalam waktu yang lama, sehingga sebelum hasilnya terlihat

penelitian sudah dihentikan. Kali ini Graham dan Wynder akan menyempurnakan

penelitian itu, dengan menggunakan larutan tar yang lebih pekat dan periode percobaan

yang lebih panjang. Tar yang mereka gunakan diambil dari asap rokok yang dihasilkan

oleh sebuah mesin yang mampu menghisap 60 batang rokok sekaligus. Tar yang sudah

dikumpul dilarutkan oleh suatu pelarut, kemudian dioleskan pada punggung tikus yang

telah dicukur terlebih dahulu, tiga kali dalam seminggu. Selama dua bulan pertama,

secara bertahap mereka menaikkan kadar larutan tar sebesar tiga kali dari kadar

sebelumnya. Pada pekan ke-42, seekor tikus memperlihatkan gejala awal penyakit

kanker. Memasuki pekan ke-72, rata-rata setiap tikus telah terserang kanker (Caldwell,

2001).

Brennan et al (1991) dalam penelitiannya tentang hubungan antara merokok

dan mutasi gen p53 pada karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher menyatakan

bahwa dari sediaan tumor 129 penderita karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher,

didapati mutasi gen p53 yang mempunyai hubungan kuat dengan merokok.

Dalam analisis penelitian lainnya mendapatkan bahwa perokok merupakan

major risk factor untuk terjadinya kanker di kepala dan leher. Penelitian ini menunjukkan

hasil yang signifikan yang membandingkan perokok dengan bukan perokok, dimana

kemungkinan perokok menderita kanker kepala dan leher sangat besar (Daly, 1993).

Juga didapatkan hubungan antara lama merokok dan banyaknya rokok yang

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 40: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

28

dikonsumsi dengan tren positive dose-respons relationship (Uzcudun et al, 2002; Sasco

et al, 2004; Pinar et al, 2007). Pada hasil penelitian lainnya didapatkan bahwa risiko

terjadinya kanker pada faring lebih besar jika dihubungkan dengan lama merokok,

dibandingkan hubungan risiko dengan banyaknya rokok yang dikonsumsi (Pelucchi et

al, 2006).

Berikut ini ditampilkan skema tentang hubungan adiksi nikotin dan kanker paru

yang berkaitan dengan bahan karsinogen di dalam asap rokok. Dimana skema yang

hampir sama dapat dipertimbangkan untuk kanker-kanker lain yang mempunyai

hubungan dengan rokok (Hecht, 2003).

Skema ini menggambarkan peran utama perubahan DNA dalam proses

karsinogenesis. Dalam skema ini, nikotin menyebabkan sifat adiksi ingin terus merokok

dan menyebabkan pajanan kronis terhadap bahan karsinogen. Karsinogen secara

metabolik dapat diaktifkan untuk bereaksi dengan DNA, membentuk produk kovalen

gabungan yang disebut DNA yang berubah (DNA adducts). Bersaing dengan proses

metabolik ini, proses detoksifikasi produk karsinogen gagal untuk diekskresikan. Jika

DNA yang berubah tersebut dapat diperbaiki (repair) oleh enzim perbaikan selular, DNA

akan kembali kebentuk normalnya. Akan tetapi jika perubahan terus berlangsung

selama replikasi DNA, kegagalan pengkodean DNA dapat terjadi, yang cenderung untuk

menjadi mutasi permanen dalam urutan DNA. Sel-sel dengan DNA rusak atau

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 41: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

29

bermutasi dapat dilisiskan dengan proses apoptosis. Jika mutasi terjadi pada bagian

utama dalam gen-gen yang krusial, seperti pada RAS atau MYC onkogen atau TP53

atau CDKN2A tumor supresor gen, hasilnya dapat terjadi kehilangan kontrol regulasi

pertumbuhan sel-sel normal dan terjadi pertumbuhan tumor. Nikotin dan karsinogen

dapat juga berikatan secara langsung dengan reseptor beberapa sel, selanjutnya

mengaktifasi protein kinase B (AKT), protein kinase A (PKA) dan faktor-faktor lain. Hal

ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan proses apoptosis, peningkatan

angiogenesis dan peningkatan tranformasi sel. Bahan isi tembakau juga berisi promotor

tumor dan kokarsinogen, yang dapat mengaktifkan protein kinase C (PKC), aktivator

protein 1 (AP1) atau faktor lain, yang selanjutnya meningkatkan proses karsinogenesis

(Hecht, 2003).

c. Merokok sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring

Pada tahun 1986, International Agency for Research on Cancer (IARC)

Working Group menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker

pada manusia, dan disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan tidak hanya

kanker paru, tapi juga dapat terjadi pada saluran kemih, termasuk ginjal dan kandung

kemih, saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, esofagus, dan

pankreas. Pada tahun 2002, Vineis et al (2004) menemukan terjadinya peningkatan

risiko kanker sinonasal dan kanker nasofaring diantara para perokok, yang secara

konsisten dilaporkan dalam beberapa penelitian kasus-kontrol, dengan tren positive

dose-response berhubungan dengan banyaknya dan lamanya merokok.

Merokok telah memberi gambaran sebagai faktor risiko yang cukup berarti

untuk terjadinya kanker pada berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk

nitrosamine dan formaldehide, juga menunjukkan rokok mempunyai potensi

karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan karsinogenik yang ada di

dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring. Dengan demikian hubungan antara

merokok dan KNF secara biologi cukup dapat diterima. Beberapa hasil penelitian yang

meneliti hubungan antara merokok dan KNF menunjukkan hasil yang tidak sama.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 42: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

30

Namun, Lin et al (1971) di Taiwan, melaporkan adanya peningkatan risiko yang

signifikan terjadinya KNF dengan peningkatan lamanya merokok. Hasil penelitian ini

didukung oleh beberapa penelitian selanjutnya, akan tetapi beberapa penelitian yang

lain menunjukkan hasil yang berlawanan tentang hubungan antara merokok dan KNF

(Cheng et al, 1999).

Enzyme Cytochrome P450 2EI (CYP2EI) diketahui merupakan enzim aktivasi

pada nitrosamine dan karsinogen lainnya yang mungkin terlibat dalam perkembangan

terjadinya KNF. Hildesheim et al (1997) dalam penelitian case control mengemukakan

bahwa asap rokok adalah sumber penting paparan nitrosamine sehingga memodulasi

aktivitas CYP2EI, dan dia melihat efeknya sebagai faktor risiko pada KNF, dimana

merokok mempunyai hubungan dan merupakan risiko terjadinya KNF.

Vaughan et al (2000) menemukan bukti tentang hubungan antara risiko KNF

dan potensi paparan formaldehyde yang lebih kuat pada para perokok. Diantara orang

perokok dan mantan perokok, odds ratio dihubungkan dengan yang pernah bekerja

pada pekerjaan yang terpapar formaldehyde (OR 2,3), dibandingkan dengan orang-

orang yang tidak pernah merokok (OR 0,5).

d. Lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi

Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah

rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang turut

mempengaruhi akibat pajanan asap rokok antara lain usia mulai merokok, lama

merokok, dalamnya hisapan dan lain-lain (Drastyawan et al, 2001). Berdasarkan

lamanya, merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut; merokok selama kurang dari

10 tahun, antara 10 – 20 tahun, dan lebih dari 20 tahun (Kolappan dan Gopi, 2002;

Solak et al, 2005).

Jumlah rokok yang dihisap dapat dinyatakan dalam pack years, setara dengan

berapa bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1 bungkus = 20 batang) dikalikan

lamanya merokok dalam tahun (Drastyawan dkk, 2001). Klasifikasi menurut jumlah

rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan sebagai berikut; ringan (1-10

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 43: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

31

batang perhari), sedang (11-20 batang perhari) dan berat (lebih dari 20 batang perhari)

(Kolappan dan Gopi, 2002; Solak et al, 2005).

Mobuchi et al, dalam studi case control, menginvestigasi kemungkinan faktor-

faktor etiologi pada KNF. Hasil penelitiannya menunjukkan peningkatan odds ratio

dengan jumlah rokok yang dihisap, yang menggambarkan adanya positive dose-

response relationship (Mabuchi et al, 1985; Chen et al, 1990; Amrstrong et al, 2000;

Yang et al, 2005). Sementara itu, Nam et al (1992) dan Zhu et al (1995) mendapatkan

hasil yang sama mengenai hubungan peningkatan risiko terjadinya KNF dengan status

merokok, makin lama merokok dan jumlah rokok yang dihisap. Laki-laki yang secara

rutin merokok akan mempunyai risiko 2 kali kemungkinan menderita KNF dibanding

dengan yang tidak merokok.

Chow et al (1993) pada studi cohort meneliti hubungan merokok dengan KNF

pada lebih kurang 250.000 veteran Amerika Serikat. Selama 26 tahun penelitian

dijumpai 48 penderita KNF. Perokok berisiko 4 kali lebih besar kemungkinan terkena

KNF dibandingkan dengan bukan perokok, dan risiko tersebut akan meningkat lagi

menjadi 6,4 kali pada orang yang merokok lebih dari 2 bungkus perhari.

e. Faktor anatomi

Letak nasofaring pada saluran napas bagian atas dimana merupakan tempat

aliran dari polusi udara dan asap rokok adalah berpengaruh buruk terhadap mukosa

dilokasi tersebut, dimana karsinogen yang dibawa oleh udara dapat menginduksi kanker

(Zhuolin et al,2005). Mukosa nasofaring dapat langsung terpapar dari asap rokok yang

dihisap, dan kanker dapat diinduksi pada daerah kontak dengan karsinogen (Mabuchi et

al, 1985; Cheng et al, 1999).

Adanya variasi bentuk anatomi didalam struktur hidung dan terdapatnya

penyakit yang ada sebelumnya diketahui sebagai hal yang penting dalam etiologi tumor

ganas nasofaring. Konfigurasi dari saluran udara di hidung dan paranasal

memungkinkan terperangkap dan terkumpulnya gas karsinogen, dimana hal ini

berperan dalam perkembangan dari penyakit ini (McDermott et al, 2001).

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 44: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

32

2.2.9 Gejala klinis

a. Gejala akibat tumor primer

1. Gejala telinga

a. Kataralis / oklusi tuba eustakhius

Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannya

dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa penuh

ditelinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan

pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma

nasofaring. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul

tanpa penyebab yang jelas.

b. Otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan pendengaran

(Sudyartono dan Wiratno, 1996).

2. Gejala hidung

a. Epistaksis

Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapat

terjadi perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya

jumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah

jambu.

b. Sumbatan hidung

Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor kedalam

rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,

kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus

kental (Sudyartono dan Wiratno, 1996).

Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk

penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya rinitis kronis,

sinusitis dan lain-lainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak-anak yang

sedang menderita radang. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 45: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

33

penyebab yang jelas atau menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita

harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan yang lebih tinggi terhadap

rongga nasofaring, sampai terbukti bahwa bukan karsinoma nasofaring

penyebabnya.

b. Gejala akibat tumor yang mengadakan infiltrasi

1. Limfadenopati servikal

Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar

limfe leher dan tertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan

pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh

yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak

sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher

bagian samping. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri karenanya sering diabaikan

oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus

kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan

sulit digerakkan. Keadaaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.

Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien

datang ke dokter (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002 ).

2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar dan metastase jauh

Tumor meluas ke intra kranial menjalar sepanjang fosa medialis,

disebut penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan

mengenai grup anterior saraf otak yaitu n.II s/d n.VI. Perluasan ke atas lebih

sering ditemukan di Indonesia, tersering mengenai n.VI dengan keluhan berupa

diplopia, kemudian n.V cabang 1 dengan keluhan berupa hipestesia pipi/wajah.

Perluasan ke belakang secara ekstra kranial sepanjang fosa posterior,

disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior saraf otak

yaitu n.VII s/d n.XII beserta nervus simpatikus servikalis. Tumor dapat mengenai

otot dan menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga terjadi trismus

(Ahmad, 2002).

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 46: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

34

Sindrom retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan n.IX,X,XI, dan XII.

Manifestasi kelumpuhan ialah :

a. n.IX :Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior

serta gangguan pengecap pada sepertiga belakang lidah.

b. n.X :Hiper/hipo/anastesi mukosa palatum mole, faring dan laring

disertai gangguan respirasi.

c. n.XI :Kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius,

sternokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole.

d. n.XII :Hemiparalisis dan atropi sebelah lidah.

Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada

beberapa kasus pernah ditemukan bilateral. Nervus VII dan VIII, karena letaknya

agak tinggi serta terletak dalam kanalis tulang, sangat jarang terkena tumor

(Sudyartono dan Wiratno, 1996).

3. Gejala akibat metastase jauh

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening atau

darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering

ialah tulang (femur), hati dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan

prognosis sangat buruk (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002).

2.2.10 Diagnosis

Bila dicurigai kemungkinan adanya karsinoma nasofaring, maka dilakukan

rangkaian pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dan stadium penyakit.

a. Anamnesis

Keluhan penderita karsinoma nasofaring sangat bervariasi. Pada stadium

dini keluhan sering tidak menimbulkan kecurigaan atas adanya tumor ini. Keluhan

tersebut biasanya berupa keluhan telinga, hidung atau keduanya. Pada stadium lanjut,

kecurigaan pada penyakit ini akan mudah timbul dan sering ditemukan ialah

pembesaran kelenjar limfe leher, gejala kelainan saraf kranial atau gejala akibat

metastase jauh yang sangat berat dirasakan pasien (Mulyarjo, 2002).

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 47: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

35

b. Pemeriksaan nasofaring

Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyai atau daerah buta.

Karsinoma nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa Rosenmuller,

biasanya bersembunyi di dekat muara tuba eustakhius (Mulyarjo, 2002).

a. Pemeriksaan nasofaring secara konvensional adalah dengan menggunakan

kaca rinoskopi posterior, dengan atau tanpa menggunakan kateter.

Pemeriksaan yang lebih sempurna adalah dengan menggunakan

nasofaringoskopi baik yang fleksibel maupun yang kaku (Wei dan Sham,

1996).

b. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan Kateter

Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dewasa yang tidak sensitif. Tumor

yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah

(Ahmad, 2002; Mulyarjo, 2002).

c. Rinoskopi posterior menggunakan kateter

Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan

dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter terebut dijepit dengan

pinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung

kateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan kuat agar palatum mole

terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci

dengan klem. Dengan kaca besar (kaca laring), rongga nasofaring tampak

dengan jelas. Adanya kelainan yang minimal akan mudah tampak. Selanjutnya

dengan tang biopsi, daerah yang dicurigai diambil (Chew, 1997; Ahmad, 2002;

Mulyarjo, 2002).

d. Nasofaringoskopi

1. Nasofaringoskopi kaku

Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu sudut 0,

30, dan 70 derajat dan tang biopsi yang membuka ke kanan atau ke kiri (Chew,

1997).

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 48: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

36

Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara : transnasal (teleskop

dimasukkan melalui hidung) dan transoral (teleskop dimasukkan melalui

rongga mulut).

2. Nasofaringoskopi lentur

Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya dilengkapi alat biopsi. Biopsi massa

tumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran (Wei dan Sham,

1996).

e. Biopsi nasofaring

Obat anastesi lokal disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring. Melalui

tuntunan rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter, daerah yang

dicurigai diambil dengan tang biopsi. Biopsi dapat juga dilakukan melalui

tuntunan nasofaringoskopi kaku dengan cunam yang terdapat dalam perangkat

ini. Eksplorasi nasofaring bisa juga dilakukan dengan anastesi umum (Hold et

al, 1993; Wei dan Sham, 1996).

f. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi pada penderita yang dicurigai menderita karsinoma

bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring,

menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang

tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah : foto polos nasofaring dan dasar

tengkorak dan CT scan nasofaring. Pada karsinoma nasofaring yang tumbuh

secara endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT scan. Disamping itu

pemeriksaan ini dapat mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya

yang belum terlalu luas. Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan suatu

sarana pemeriksaan diagnostik yang terbaru dan canggih yang tidak

menggunakan sinar X tetapi dengan menggunakan medan magnit dan

gelombang radio untuk menghasilkan gambar (Wei dan Sham, 1996). Bone

Scintigraphy, jika dicurigai adanya metastase tulang, selanjutnya diikuti dengan

foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scantigraph (Brennan, 2006).

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 49: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

37

USG hepar, jika dicurigai metastase ke hati (Her, 2001). Positron Emission

Tomography (PET), merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk

mendeteksi adanya tumor residual atau rekuren pada nasofaring (Wei dan

Sham, 2005).

c. Pemeriksaan patologi anatomi

Pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan dapat berupa.

1. Sitologi

Sedian sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara

seperti : melalui kerokan (scraping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau

dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap.

Cara diagnosis ini sangat mudah, murah dan tak menimbulkan rasa sakit,

akan tetapi hasilnya sering meragukan walaupun diperiksa oleh seorang

ahli sitologi yang berpengalaman, sehingga pemeriksaan sitologi eksfoliatif

belum dapat diterima sebagai alat diagnosis untuk karsinoma nasofaring.

2. Biopsi aspirasi jarum halus

Sebagian besar karsinoma nasofaring ditemukan dengan pembesaran

kelenjar getah bening di leher. Untuk membuktikan pembesaran kelenjar

getah bening merupakan metastase karsinoma nasofaring dilakukan

pemeriksaan biopsi aspirasi. Dengan cara ini dapat diketahui massa

mengandung sel tumor ganas atau tidak dan jenis sel. Pemeriksaan ini

sangat sederhana dikerjakan dan hanya memerlukan sedikit peralatan dan

pengalaman (Kurniawan, 1995).

Biopsi aspirasi jarum halus juga dapat dilakukan pada massa tumor di

nasofaring. Teknik ini telah digunakan oleh Lubis dimana dia melaporkan

kegunaan teknik biopsi aspirasi jarum halus pada nasofaring (Lubis, 1993;

Mulyarjo, 2002).

d. Histopatologi

Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditegakkan dari pemeriksaan

histopatologi atas sediaan biopsi nasofaring. Disamping itu pemeriksaan

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 50: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

38

histopatologi dapat menentukan subtipe histopatologi (Sudyartono dan

Wiratno, 1996).

d. Pemeriksaan imunohistokimia

Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi

substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi

terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan

berikatan dengan antigen yang sesuai. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi

lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi

antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat flouresens atau suatu

enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk produk berwarna yang

dapat dilihat (Sudiana, 2005).

e. Pemeriksaan serologi

Akhir-akhir ini pemeriksaan serologi banyak digunakan untuk membantu diagnosis

karsinoma nasofaring, terutama di negara-negara dimana karsinoma nasofaring

merupakan penyakit endemi seperti Cina, Hongkong, Taiwan, dan di negara

ASEAN seperti Singapura dan Malaysia.

Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan

dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologis

ini. Pemeriksaan antibodi yang banyak dipakai dan diyakini paling menyokong

adalah immunoglobulin A (lgA) terhadap virus Epstein Barr (Epstein Barr virus /

EBV) spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen / VCA) dan antigen awal

(early antigen / EA). IgA EBV VCA mempunyai sensitifitas / kepekaan yang tinggi

tetapi tingkat spesifitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan lgA

EBV EA nilai sensifitasnya/kepekaannya kurang tetapi lebih spesifik dan titernya

akan menurun mendekati normal pada karsinoma nasofaring stadium lanjut dan

titer yang tinggi dapat merupakan indikator karsinoma nasofaring. Antibodi ini

hanya meninggi pada penderita karsinoma nasofaring tipe WHO-2 (non

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 51: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

39

keratinizing carcinoma) dan tipe WHO-3 (undifferentiated carcinoma), sedangkan

pada tipe WHO-1 (Squamous cell carcinoma) tidak ditemukan atau pun kalau ada

dalam titer yang rendah (Kurniawan, 1995; Wei dan Sham, 1996; Ahmad, 2002).

f. Polimerase chain reaction (PCR)

Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga

dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi,

amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri (Irish

et al, 2003).

2.2.11 Stadium

Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium KNF. Di beberapa negara

Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun 1978 (Ho’s

system), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer /

International Union Against Cancer).

Stadium karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi UICC 1992 (TNM) (Wei

dan Sham, 2005; Brennan, 2006).

T = Tumor pada nasofaring.

T1 Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring.

T2 Tumor meluas lebih dari satu lokasi tapi masih dalam rongga nasofaring

T3 Tumor meluas ke kavum nasi dan/atau ke orofaring.

T4 Tumor meluas ke tengkorak dan/atau saraf-saraf kranial.

N = Kelenjar limfe regional.

N0 Tidak ada metastase pada kelenjar regional.

N1 Metastase pada satu kelanjar lemife regional ipsilateral dengan ukuran lebih

kecil dari 3 cm

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 52: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

40

N2 N2a Metastase pada satu kelenjar limfe regional ipsilateral dengan ukuran

lebih dari 3 cm, tapi kecil dari 6 cm.

N2b Metastase pada beberapa kelenjar limfe regional ipsilateral dengan ukuran

tidak melebihi 6 cm.

N2c Metastase pada kelenjar limfe bilateral dan kontralateral dengan ukuran tidak

melebihi 6 cm.

N3 Metastase pada kelenjar limfe : N3a. Dengan ukuran lebih dari 6 cm.

N3b. Meluas ke fossa supraklavikula.

M = Metastase jauh.

M0 Tidak ada metastase jauh.

M1 Ada metastase jauh.

Berdasarkan TNM di atas stadium karsinoma nasofaring ditentukan sebagai

berikut (Wei dan Sham, 2005; Brennan, 2006) :

Stadium I T1 N0 M0

Stadium II T2 N0 M0

Stadium III T3 N0 M0

T1-3 N1 M0

Stadium IVA T4 N0-1 M0

Stadium IVB Setiap T N1-3 M0

Stadium IVC Setiap T Setiap N M1

2.2.12 Diagnosis banding

a. Angiofibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam jaringan, yaitu

jaringan vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan radiologis dengan

menggunakan foto polos didapatkan gambaran masa jaringan lunak di nasofaring

ataupun dapat digunakan pemeriksaan yang lebih sensitif seperti CT Scan, MRI,

dan angiografi.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 53: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

41

c. Limfoma, terlihat licin, eksofitik, sub mukosal, non ulseratif. Limfoma yang terjadi di

nasofaring biasanya dapat terdeteksi jauh lebih cepat daripada di daerah lain,

karena akibat dari oklusi tuba eustakhius menyebabkan munculnya penyakit otitis

media serosa.

d. Kordoma, biasanya memiliki komponen intrakranial terutama mengisi sphenoid,

mengandung kalsifikasi ireguler dan dapat melibatkan jaringan retrofaringeal.

e. Rhabdomiosarkoma, yang biasanya terjadi pada anak-anak dan invasi dasar

tengkorak ditemukan pada 1/3 pasien dan biasanya melibatkan sinus kavernosus.

f. Adenoid kistik karsinoma (Dhingra, 2004).

2.2.13 Terapi

Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan

radioterapi sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan

harapan hidup 5 tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar

pasien datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian lagi datang

dengan keadaan umum yang jelek. Disamping itu KNF dikenal sebagai tumor ganas

yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastasis regional maupun jauh.

Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium (Licitra et al, 2003).

Keterlambatan untuk mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil

terapi jauh dari menggembirakan (Mulyarjo, 2002). Prognosis KNF stadium lanjut

biasanya buruk dengan angka harapan hidup 5 tahun hanya 25-30% pada regimen

tunggal radioterapi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh

kebanyakan ahli onkologi sebagai standar terapi KNF stadium lanjut (Lin et al, 2003).

A. Radioterapi

Radioterapi sebagai terapi standar KNF sudah dimulai sejak lama. Hasil

radioterapi untuk KNF stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-

100%. Sedangkan untuk KNF stadium lanjut loko-regional, respon radioterapi

menurun tajam dengan angka ketahanan hidup 5 tahun kurang dari 40% (Kentjono,

2003). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 54: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

42

Kegagalan radioterapi konvensional dalam memberantas sel kanker di nasofaring

maupun anak sebarnya di kelenjar getah bening leher mencapai angka 40-80%.

Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi

akibat lokasi tumor yang sangat dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi

terbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus

temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Kentjono,

2003; Wei dan Sham, 2005).

Seiring dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir

ini dan didukung oleh hasil penelitian dari para ahli, sekarang telah ditemukan

beberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada pasien KNF, yaitu (Cottrill dan

Nutting, 2003; Kentjono, 2003; Wei dan Sham, 2005):

1. Radioterapi konvensional (2 DRT) dengan teknik fraksinasi yang dipercepat

(accelerated fractination radiotherapy)

2. Peningkatan dosis, misalnya dengan stereotactic radiotherapy, intracavitary

brachytherapy

3. Three - Dimensional Radiation Therapy (3 DRT), IMRT (Intensity Modulated

Radiation Therapy)

4. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi (2 DRT / 3 DRT / IMRT)

5. Pembedahan pada tumor yang rekuren

6. Brachytherapy (radiasi interna)

Radiasi interna pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis

tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasinya adalah sebagai

booster bila masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh (Wei

dan Sham, 2002).

B. Kemoterapi

Alternatif lain untuk mengobati pasien karsinoma sel skuamosa kepala dan

leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan

kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada pasien dengan respon yang

baik terhadap kemoterapi induksi.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 55: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

43

Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli

onkologi sebagai standar terapi KNF stadium lanjut (Lin et al, 2003). Beberapa

penelitian yang dilakukan dalam dua dekade terakhir ini melaporkan keberhasilan

penggunaan kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi dalam penanganan

kasus KNF stadium lanjut loko-regional (Wei dan Sham, 2005).

Jenis-jenis obat sitostatika yang digunakan pada tumor kepala leher ialah:

a. Anti metabolit

Kerjanya dengan menghambat biosintesa purin dan pirimidin. Misalnya:

methotrexate, 5-fluorouracil, bleomycin.

b. Obat yang mengganggu struktur dan fungsi molekul DNA

o Alkilating agent, seperti: cyclophosphamide yang mengubah struktur DNA

sehingga dapat menahan replikasi sel.

o Golongan antibiotik, seperti: dactinomycin dan doxorubicin yang mengikat

dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA sehingga dapat

menyebabkan kegagalan replikasi DNA dan translasi RNA.

c. Inhibitor mitosis

Termasuk alkaloid vinka seperti vincristin, vinblastin, vindesine yang kerjanya

dengan menahan pembelahan sel dan mengganggu filamen mikro pada

kumparan mitosis.

d. Lain-lain

Misalnya cisplatin yang mempunyai toksisitas hematologi yang rendah serta

nilai respon keseluruhan rata-rata 30% (Armiyanto, 1993; Weiss, 1993).

Kontraindikasi kemoterapi:

a. Kontraindikasi absolut: mendekati meninggal (stadium terminal), hamil

(trimester I), septikemia, koma.

b. Kontraindikasi relatif : bayi di bawah 3 bulan, usia lanjut ( terutama bila tumor

tumbuh lambat atau kurang sensitif terhadap kemoterapi), keadaan umum

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 56: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

44

buruk (karnofsky kurang dari 40, pasien sangat lemah), gangguan organ

tertentu seperti ginjal, hati, jantung, sumsum tulang, metastase ke otak,

demensia, resisten terhadap obat anti kanker yang diberikan (Armiyanto,

1993).

C. Pembedahan

Terapi bedah sedikit sekali mendapat tempat pada penatalaksanaan KNF.

Pembedahan yang pernah dilaporkan adalah diseksi paska radioterapi. Ini

dikerjakan apabila tumor primer sudah menghilang sedang kelenjar leher masih

tersisa. Syarat lainnya adalah tidak ada metastase jauh.

Pembedahan pada tumor di nasofaring melalui berbagai pendekatan

seperti rinotomi lateral, mid facial degloving, trans-antral dan sebagainya.

Tentunya ini dilakukan untuk tumor yang masih terbatas di nasofaring. Mungkin ini

lebih cocok pada tumor residif (Mulyarjo, 2002).

2.2.14 Prognosis

Dalam dua dekade terakhir ini, walaupun pendidikan tentang kesehatan

ataupun kewaspadaan tentang penyakit kanker ataupun kemajuan yang pesat dalam

peralatan maupun teknik diagnostik lebih baik dibandingkan dengan dekade

sebelumnya, namun stadium I karsinoma nasofaring yang datang berobat ke institusi

kesehatan kurang dari 10% dari seluruh kasus nasofaring. Sedangkan pembesaran

kelanjar getah bening leher masih tetap merupakan gejala pertama yang paling sering

(lebih dari 70%) yang mendorong pasien untuk datang berobat dan berarti sudah

merupakan gejala stadium lanjut. Jika sudah terdapat metastase, survival rate kira-kira

25% untuk 5 tahun dan jika terjadi penekanan intrakranial, survival rate kira-kira 10%.

Dari banyak hasil penelitian didapatkan angka survival rate 5 tahun secara

keseluruhan berkisar antara 30% sampai 48% (Witte dan Bryan, 1998).

Selain stadium tumor, faktor lain yang juga mempengaruhi prognosis

karsinoma nasofaring adalah jenis histologis, usia, jenis kelamin dan bentuk

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 57: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

45

pengobatan yang diberikan. Disamping itu faktor keadaan umum, termasuk keadaan

gizi, jumlah hemoglobin dan faktor ras, sosial ekonomi serta lingkungan berpengaruh

terhadap prognosis karsinoma nasofaring (Hold et al, 1993).

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 58: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

46

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan penelitian

Penelitan ini dilakukan secara kasus kontrol (case control).

3.2 Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen / SMF THT-KL FK-USU / RSUP H.Adam Malik

Medan, mulai April 2007.

Tempat pengambilan sampel dilakukan di Departemen/SMF THT-KL FK-USU / RSUP

H.Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan.

3.3 Sampel

Seluruh penderita karsinoma nasofaring dan sebagai kontrol adalah orang yang tidak

menderita penyakit keganasan.

3.4 Kriteria Karsinoma Nasofaring

• Penderita KNF diagnosisnya ditegakkan berdasarkan hasil biopsi histopatologi,

baik laki-laki maupun perempuan pada semua kelompok umur.

• Bersedia diikutsertakan dalam penelitian.

Kriteria kontrol

• Orang yang bukan penderita penyakit dengan keganasan dengan padanan

(matching) menurut umur dan jenis kelamin.

3.5 Penentuan Besar Sampel

Penentuan besar sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus

(Budiarto, 2003) :

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 59: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

47

2 p q ( Zα + Zβ )2 n = -----------------------------------------

( p1 - po )2

n = besarnya sampel tiap kelompok

c = banyaknya kontrol per kasus ≈ 1

po = proporsi terpajan pada kelompok kontrol ≈ 30 % = 0,3

p1 = proporsi terpajan yang diharapkan terjadi pada kelompok kasus sesuai dengan

peningkatan atau penurunan besarnya odds ratio (R), dimana R = 2,7

po R = ----------------- ≈ 0,5364 1 + Po ( R – 1 )

( p1 + c po ) p = --------------- ≈ 0,4182 1 + c

q = 1 – p ≈ 0,5818

Zα = nilai simpangan rata-rata pada distribusi normal standard yang dibatasi oleh α ≈ 1,96

Zβ = nilai simpangan rata-rata distribusi alternatif yang dibatasi oleh β ≈ 1,28

Maka besar sampel yang didapat untuk tiap kelompok : 2 . 0,4182 . 0,5818 ( 1,96 + 1,28 )2

n = ----------------------------------------------------------- ( 0,5364 - 0,3 )2

2 . 0,2433 . 10,4976 5,1083 n = --------------------------- = -------------------

0,0558 0,0558

n = 91,407 ≈ 92 kasus

Jadi jumlah minimal sampel kasus adalah 92 orang dan jumlah sampel kontrol 92

orang.

3.6 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive sampling.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 60: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

48

3.7. Variabel Penelitian

a. Variabel tergantung (dependen) adalah : penderita KNF

b. Variabel bebas (independen) adalah : Perokok, umur mulai merokok, lama merokok,

jumlah rokok yang dikonsumsi, jenis rokok, mengkonsumsi ikan asin pada usia

kurang 10 tahun, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar dan asap lampu

minyak.

3.8. Kerangka Teori Asap Rokok

(Bahan Karsinogenik)

aktifasi

detoksifikasi

Ekskresi

Mukosa Nasofaring Terpapar Lama

Merusak Metabolisme DNA

DNA DNA DNA

repair repair repair

Initiated cells

Normal cells

Preneoplastic cells

Progression

KNF

3.9. Kerangka Konsep Penelitian

KARSINOMA NASOFARING

MEROKOK

Usia mulai merokok Lama

Jumlah Jenis KONTROL

Ikan Asin

Asap Kayu Bakar Asap Obat Nyamuk Bakar

Asap Lampu Minyak

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 61: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

49

3.10. Kerangka Kerja

SAMPEL

KARSINOMA NASOFARING

KONTROL

JENIS HISTOPATOLOGI TANPA KEGANASAN

WAWANCARA WAWANCARA

MEROKOK (+) MEROKOK (-) MEROKOK (+) MEROKOK (-)

Confounding Factors Confounding Factors

3.11. Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahapan sebagai berikut :

a. Editing (pemeriksaan data)

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan jawaban atas

pertanyaan. Apabila terdapat jawaban yang belum lengkap atau terdapat kesalahan

maka data harus dilengkapi dengan cara wawancara kembali terhadap sampel.

b. Coding (pemberian kode)

Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya

kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer.

c. Entry (pemasukan data ke komputer)

Data yang telah diklarifikasi kemudian dimasukkan ke program komputer untuk

diolah.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 62: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

50

d. Cleaning data entry

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer

guna menghindari terjadinya kesalahan pemasukan data.

3.12. Analisa Data

Data yang diperoleh diuji dengan chi square (X2). Untuk menentukan bahwa

merokok merupakan faktor risiko terjadinya KNF dipakai uji regresi logistik.

a. Analisa univariat

Analisa univariat untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi atau

besarnya proporsi menurut berbagai karakteristik variabel yang diteliti, baik variabel

bebas maupun variabel terikat.

b. Analisa bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel,

yaitu variabel bebas dengan variabel terikat, dengan menggunakan uji Chi square

dengan derajat kepercayaan 95% dengan rumus :

( Fo – Fe )2 X2 = ∑ ---------------------- Fe

X2 = Harga Chi-kuadrat yang dihitung dan dibandingkan dengan Chi-kuadrat tabel

Fo = Frekuensi yang didapat dari wawancara atau frekuensi empiris

Fe = Frekuensi yang diharapkan atau frekuensi teoritis.

Dari hasil perhitungan statistik akan diketahui ada tidaknya hubungan yang

signifikan antara variabel yang diteliti, yakni dengan melihat nilai p. Bila dari hasil

perhitungan statistik nilai p < 0,05 berarti terdapat hubungan yang bermakna antara

kedua variabel.

Selain itu dilakukan juga perhitungan odds ratio (OR) yaitu rasio perbandingan

pajanan diantara kelompok kasus dengan pajanan pada kelompok kontrol. Estimasi

confidence interval (CI) untuk odds ratio ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 63: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

51

c. Analisa multivariat

Analisa multivariat diperlukan untuk melihat hubungan antara satu variabel

terikat dengan seluruh variabel bebas, sehingga diketahui variabel bebas yang paling

dominan berpengaruh terhadap kejadian KNF, dengan menggunakan regresi logistik

dengan rumus :

ln = Bo + B1X1 +…… +BpXp = Bo +∑ B1X1

Tahapan dalam proses analisis multivariat meliputi :

1. Memasukkan variabel kandidat dalam proses analisis multivariat regresi logistik

dengan cara memilih variabel bebas yang memiliki p < 0,25.

2. Melakukan analisis semua variabel bebas yang masuk dalam pemodelan, dengan

cara mengeluarkan variabel bebas yang memiliki nilai p terbesar, sehingga

didapatkan model awal dengan variabel faktor penentu yang memiliki nilai p ≤ 0.05.

3. Hasil uji multivariat yang mempunyai nilai p ≤ 0.05, merupakan model akhir dari

penentu faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian karsinoma nasofaring.

3.13. Faktor Perancu (Confounding)

Perancu merupakan pengaruh variabel eksterna yang seluruhnya atau sebagian dapat

mempengaruhi efek hubungan antara pajanan dan penyakit yang sesungguhnya. Untuk

mengendalikan faktor perancu dapat dilakukan dengan cara membuat perhitungan secara

terpisah, stratifikasi dan matching (Budiarto, 2003).

3.14. Batasan Operasional

a. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamosa yang terjadi pada

lapisan epitel di nasofaring.

b. Diagnosis KNF berdasarkan diagnosis pasti dengan pemeriksaan biopsi

histopatologi.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 64: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

52

c. Stadium tumor

Definisi : Penentuan stadium penyakit

Alat ukur : Klasifikasi berdasarkan AJCC/UICC tahun 1992

Cara ukur : Menilat derajat T, status N dan M

o Derajat tumor:

Definisi : Besar dan perluasan tumor primer sesuai kriteria AJCC/

UICC tahun 1992

Alat ukur : Pemeriksaan nasoendoskopi dan CT-scan

Cara ukur : Pemeriksaan nasoendoskopi dan CT-scan untuk menilai

perluasan tumor

Hasil ukur : T1,T2,T3,T4

o Status kelenjar getah bening leher

Definisi : Metastasi tumor ke kelenjar leher

Alat ukur : Pemeriksaan secara palpasi dan CT-scan

Cara ukur : Penilaian hasil pemeriksaan

Hasil ukur : N0,N1,N2,N3

o Status Metastasis

Definisi : Terdapat metastasis ke organ jauh

Alat ukur : Dari gejala klinis, pemeriksaan laboratorium (darah lengkap,

faal hati, faal ginjal), foto toraks, USG abdomen

Cara ukur : Penilaian hasil pemeriksaan

Hasil ukur : M0 dan M1

d. Kontrol adalah orang yang bukan penderita penyakit keganasan.

e. Merokok adalah suatu proses pembakaran tembakau yang menimbulkan asap yang

secara sadar langsung dihisap atau dihirup oleh tubuh bersama udara pernapasan.

f. Rokok putih adalah rokok yang dibuat hanya dari bahan tembakau.

g. Rokok kretek adalah rokok yang dibuat dari tembakau dan cengkeh.

h. Rokok linting adalah rokok yang dibuat/diracik sendiri oleh perokok dengan bahan

daun nipah kering dan tembakau.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 65: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

53

i. Perokok putih adalah seseorang yang menghisap rokok putih sedikitnya satu

batang/hari selama sekurang-kurangnya satu tahun dan atau tanpa menghisap

bukan rokok putih < 20% dari lama jumlah rokok putih.

j. Perokok kretek adalah seseorang yang menghisap rokok kretek sedikitnya satu

batang/hari selama sekurang-kurangnya satu tahun dan atau tanpa menghisap

bukan rokok kretek < 20% dari lama jumlah rokok kretek.

k. Perokok linting adalah seseorang yang menghisap rokok linting sedikitnya satu

batang/hari selama sekurang-kurangnya satu tahun dan atau tanpa menghisap

bukan rokok linting < 20% dari lama jumlah rokok putih.

l. Perokok campuran adalah seseorang yang menghisap rokok putih, kretek, dan

linting sedikitnya satu batang/hari selama sekurang-kurangnya satu tahun dan

menghisap rokok putih, kretek dan atau linting ≥ 20 % dari lama tiap jenis rokok.

m. Bukan perokok adalah seseorang yang tidak pernah merokok sebanyak satu

batang/hari selama satu tahun.

n. Lamanya merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut ; merokok selama < 10

tahun, antara 10 – 20 tahun, dan > 20 tahun.

o. Jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan :

• ringan (1-10 batang perhari)

• sedang (11-20 batang perhari)

• berat ( > 20 batang perhari)

p. Batasan kriteria frekuensi konsumsi ikan asin :

• Jarang adalah frekuensi mengkonsumsi ikan asin tidak lebih dari 1 kali tiap 1

bulan.

• Kadang-kadang adalah frekuensi mengkonsumsi ikan asin lebih kurang 2-3

kali tiap 1 bulan.

• Sering adalah frekuensi mengkonsumsi ikan asin sedikitnya 1 kali tiap minggu.

3.15. Etika Penelitian

Sebelum pelaksanaan penelitian terlebih dahulu akan diminta persetujuan

panitia etik penelitian kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 66: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

54

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FKUSU / RSUP H.Adam Malik Medan

sejak April 2007 sampai Desember 2007 dengan jumlah sampel 192 orang yang terdiri dari 96

orang penderita karsinoma nasofaring (KNF) dan 96 orang bukan penderita penyakit

keganasan yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan di

RSUP H.Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan.

4.1 Hasil Analisis Regresi Logistik Univariat (statistik deskriptif-analitik)

Tabel 4.1.1 Distribusi karakteristik subjek penelitian Kasus Kontrol

Variabel Jumlah % Jumlah %

P*

Jenis Kelamin Laki-laki 71 74,0 70 72,9 0,870 Perempuan 25 26,0 26 27,1 Usia < 10 tahun 1 1,0 1 1,0 0,998 10 - 19 tahun 7 7,3 6 6,3 20 - 29 tahun 5 5,2 5 5,2 30 - 39 tahun 19 19,8 16 16,7 40 - 49 tahun 23 24,0 24 25,0 50 - 59 tahun 28 29,2 29 30,2 > 60 tahun 13 13,5 15 15,6 Suku Batak 54 56,3 49 51,0 0,722 Jawa 28 29,2 28 29,2 Aceh 6 6,3 11 11,5 Melayu 4 4,2 4 4,2 Minang 3 3,1 4 4,2 Cina 1 1,0 0 0,0 Pekerjaan Petani 31 32,3 35 36,5 0,441 Buruh 4 4,2 5 5,2 Rumah Tangga 17 17,7 13 13,5 Pedagang 5 5,2 9 9,0 Wiraswasta 19 19,8 17 17,7 Guru 1 1,0 2 2,1 Pegawai Negeri Sipil 2 2,1 5 5,2 Pelajar 8 8,3 7 7,3 Montir 3 3,1 0 0,0 Supir 3 3,1 2 2,1 Nelayan 3 3,1 0 0,0 Satuan Pengamanan 0 0,0 1 1,0

* p value with chi-square

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 67: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

55

Dari tabel 4.1.1 diperoleh data bahwa berdasarkan jenis kelamin, pada kelompok

kasus lebih banyak laki-laki (74%) dari pada perempuan (26%) dengan perbandingan 2,84:1,

begitu juga pada kelompok kontrol lebih banyak laki-laki (72,9%) dari pada perempuan

(27,1%) dengan perbandingan 2,69:1. Secara statistik dapat dinyatakan bahwa tidak ada

perbedaan proporsi kejadian KNF menurut jenis kelamin (p=0,87).

Golongan usia penderita KNF yang terbanyak adalah antara usia 50 sampai 59 tahun

yaitu sebanyak 28 orang. Dari 96 penderita KNF terdapat usia termuda 9 tahun dan paling tua

74 tahun. Secara statistik dapat dinyatakan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian

KNF menurut golongan usia (p=0,998).

Suku Batak merupakan suku terbanyak pada kelompok kasus (56,3%) dan kontrol

(51%), dimana dengan uji statistik tidak dijumpai perbedaan proporsi kejadian KNF menurut

suku (p=0,722).

Berdasarkan jenis pekerjaan didapat pekerjaan terbanyak adalah bertani, baik

kelompok kasus (32,3%) maupun kelompok kontrol (36,5%). Dengan uji statistik tidak

dijumpai perbedaan proporsi kejadian KNF menurut jenis pekerjaan (p=0,411).

Tabel 4.1.2 Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis histopatologi dan

stadium tumor

Kasus Variabel

Jumlah % Jenis Histopatologi Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (WHO Tipe 1) 27 28,1 Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (WHO Tipe 2) 32 33,3 Karsinoma sel tanpa diferensiasi (WHO Tipe 3) 37 38,6 Stadium KNF Stadium I 0 0,0 Stadium II 1 1,0 Stadium III 56 58,4 Stadium IV 39 40,6

Dari hasil penelitian ini didapatkan penderita KNF dengan jenis sel tumor terbanyak

yaitu karsinoma sel tanpa diferensiasi sebanyak 37 orang (38,6%), diikuti karsinoma sel

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 68: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

56

skuamosa tanpa keratinisasi sebanyak 32 orang (33,3%), dan karsinoma sel skuamosa

dengan keratinisasi 27 orang (28,1%), seperti terlihat pada table 4.1.2.

Distribusi penderita KNF berdasarkan stadium tumor, didapatkan bahwa sebagian

besar penderita merupakan stadium III yaitu 56 orang (58,4%), dan penderita dengan stadium

I tidak dijumpai.

Tabel 4.1.3 Hubungan merokok dengan KNF berdasarkan status merokok, usia

mulai merokok, lama merokok, konsumsi rokok perhari dan jenis rokok

Kasus Kontrol

Variabel Jumlah % Jumlah %

P* OR CI (95%)

Status merokok Perokok 67 69,8 55 57,3 0,072 1,722 0,950 - 3,121 Bukan perokok 29 30,2 41 42,7 Usia mulai merokok

10 - 19 tahun 49 51,0 16 16,7 0,000 4,330 2,070 - 9,057 >20 tahun 18 18,8 39 40,6 0,653 0,313 - 1,35 Tidak merokok 29 30,2 41 42,7 Lama merokok 1 - 10 tahun 6 6,3 7 7,3 0,293 1,212 0,369 - 3,982 11 - 20 tahun 13 13,3 11 11,5 1,671 0,657 - 4,248 >20 tahun 48 50,0 37 38,5 1,834 0,967 - 3,476 Bukan perokok 29 30,3 41 42,7 Batang rokok perhari

1 - 10 batang 12 12,5 21 21,9 0,021 0,808 0,344 - 1,898 11 - 20 batang 34 35,4 19 19,8 2,530 1,212 - 5,280 >20 batang 21 21,9 15 15,6 1,979 0,876 - 4,474 Tidak merokok 29 30,3 41 42,7 Jenis rokok Putih 11 16,4 10 18,2 0,081 1,555 0,584 - 4,142 Kretek 35 52,2 21 38,2 2,356 1,147 - 4,842 Linting 1 1,5 5 9,1 0,283 0,031 - 2,550 Campuran 20 29,9 19 34,5 1,488 0,677 - 3,271 Tidak merokok 29 30,3 41 42,7

* p value with chi-square

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 69: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

57

Pada tabel 4.1.3 dapat dilihat bahwa pada kelompok kasus, penderita KNF yang

merokok sebanyak 67 orang (69,8%) dibandingkan dengan perokok pada kelompok kontrol

sebanyak 55 orang (57,3%), dimana secara uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna

antara kedua kelompok tersebut (p=0,072)

Berdasarkan usia mulai merokok, sebanyak 49 orang (51%) dari kelompok kasus

sudah mulai merokok sejak berusia kurang dari 20 tahun, sedangkan dari kelompok kontrol

hanya 16 orang (16,7%). Dari uji statistik terdapat hubungan yang bermakna terhadap usia

mulai merokok (p=0,000). Dari tabel di atas dapat ditentukan nilai OR 4,330 (CI 95%, 2,070 -

9,057) yang berarti risiko terjadinya KNF 4,330 kali pada orang yang mulai merokok sebelum

usia 20 tahun dibandingkan dengan yang bukan perokok.

Berdasarkan lama merokok, didapatkan kelompok kasus yang merokok selama lebih

dari 20 tahun sebanyak 48 orang (50%) dan merokok kurang dari 10 tahun sebanyak 6 orang

(6,3%), sedangkan pada kelompok kontrol yang merokok selama lebih dari 20 tahun

sebanyak 37 orang (38,5%) dan merokok kurang dari 10 tahun sebanyak 7 orang (7,3%).

Secara uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut

(p=0,293).

Jumlah perokok pada kelompok kasus yang menghisap antara 11-20 batang adalah

34 orang (35,4%) dan lebih dari 20 batang rokok perhari pada adalah 21 orang (21,9%),

sedangkan pada kelompok kontrol yang menghisap antara 11-20 batang adalah 15 orang

(15,6%) dan lebih dari 20 batang rokok perhari pada adalah 21 orang (21,9%). Dari uji statistik

terdapat hubungan yang bermakna ( p=0,021) antara kedua kelompok tersebut. Dari tabel di

atas dapat ditentukan nilai OR 2,530 (CI 95%, 1,212 - 5,280) pada kelompok orang yang

merokok 11-20 batang perhari. Walaupun hubungan pengaruh bertambahnya jumlah batang

rokok yang dihisap perhari dengan peningkatan risiko terjadinya KNF kurang konsisten,

namun orang yang merokok lebih dari 11 batang rokok perhari, tetap mempunyai risiko yang

tinggi untuk menderita KNF.

Jenis perokok, dikategorikan sebagai tidak perokok, perokok putih, perokok kretek,

perokok linting dan perokok campuran. Ditemukan pada kelompok kasus, jumlah perokok

kretek adalah yang terbanyak yaitu 35 orang (52,2%) sedangkan pada kelompok kontrol

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 70: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

58

didapatkan bahwa yang paling banyak adalah bukan perokok diikuti perokok kretek 21 orang

(38,2%). Pada uji statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna menurut jenis perokok

(p=0,081).

Tabel 4.1.4 Hubungan antara konsumsi ikan asin dengan KNF

Kasus Kontrol Konsumsi ikan asin saat berusia < 10

tahun Jumlah % Jumlah % P* OR CI (95%)

Tidak pernah 20 20,8 44 45,8 0,000 Jarang 16 16,7 28 29,2 1,257 0,559 - 2,827 Kadang-kadang 30 31,3 17 17,7 3,882 1,752 - 8,605 Sering 30 31,3 7 7,3 9,429 3,546 - 25,068

* p value with chi-square

Pada tabel 4.1.4 menunjukkan hubungan antara riwayat mengkonsumsi ikan asin

pada usia penderita KNF kurang dari 10 tahun. Riwayat mengkonsumsi ini dikategorikan

sebagai tidak pernah, jarang, kadang-kadang dan sering. Pada kelompok kasus, jumlah

penderita yang mengkonsumsi ikan asin dengan kategori kadang-kadang dan sering adalah

yang terbanyak, yaitu masing-masing 30 orang (31,3%), sedangkan pada kelompok kontrol

yang terbanyak adalah pada kategori tidak pernah, berikutnya diikuti pada kategori jarang

sebanyak 20 orang (29,2%). Dengan uji statistik terdapat hubungan yang bermakna antara

konsumsi ikan asin dengan KNF (p=0,000). Dari tabel di atas dapat ditentukan masing-

masing nilai OR, yaitu 1,257; 3,882; 9,429 pada orang-orang yang jarang, kadang-kadang

dan sering mengkonsumsi ikan asin pada usia kurang dari 10 tahun, yang berarti risiko

terjadinya KNF akan meningkat jika frekuensi makan ikan asin ini semakin tinggi pada rentang

usia tersebut.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 71: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

59

Tabel 4.1.5 Hubungan antara adanya keluarga yang menderita kanker, pemakaian lampu minyak, kayu bakar dan obat anti nyamuk bakar dengan KNF

Kasus Kontrol

Variabel Jumlah % Jumlah %

P*

Keluarga yang menderita kanker

Tidak 93 96,9 94 97,9 0,650 Ya 3 3,1 2 2,1 Pemakaian lampu minyak Tidak 21 21,9 16 16,7 0,360 Ya 75 78,1 80 83,3 Pemakaian kayu bakar Tidak 25 26,0 16 16,7 0,113 Ya 71 74,0 80 83,3 Pemakaian obat anti nyamuk bakar

Tidak 25 26,0 31 32,3 0,341 Ya 71 74,0 65 67,7

* p value with chi-square Pada tabel 4.1.5 merupakan data tentang hubungan antara adanya keluarga yang

menderita kanker, pemakaian lampu minyak, penggunaan kayu bakar dan obat anti nyamuk

bakar dengan risiko kemungkinan terjadinya KNF, dengan uji statistik tidak dijumpai

hubungan yang bermakna tentang hubungan antara keempat variabel tersebut dengan KNF

(p=0,650, p=0,360, p=0,113 dan p=0,341).

4.2 Hasil Analisis Regresi Logistik Multivariat (statistik analitik) Tabel 4.2.1 Hasil analisis logistik multivariat hubungan antara usia mulai merokok,

pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin saat berusia sebelum 10 tahun.

Variabel P* OR CI (95%)

Usia mulai merokok 10 - 19 tahun 0,000 5,350 2,290 - 12,499 >20 tahun 0,253 0,609 0,261 - 1,426 Pemakaian kayu bakar 0,014 3,147 1,260 - 7,860 Konsumsi ikan asin saat berusia < 10 tahun

Jarang 0,082 2,367 0,896 - 6,255 Kadang-kadang 0,000 7,766 2,937 - 20,538 Sering 0,000 16,515 5,300 - 51,463

* p value with chi-square

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 72: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

60

Tabel 4.2.1 merupakan hasil analisis regresi logistik multivariat, dimana didapatkan

variabel-variabel usia mulai merokok antara 10–19 tahun, pemakaian kayu bakar dan

konsumsi ikan asin pada usia kurang dari 10 tahun dengan frekuensi kadang-kadang dan

sering mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian KNF, masing-masing dengan

OR=5,350 (p=0,000), OR=3,147 (p=0,014), OR=7,766 (p=0,000) dan OR=16,515 (p=0,000).

Selanjutnya, varibel-variabel yang merupakan confounders (faktor perancu), dengan

uji statistik dicoba dikeluarkan, dan didapatkan bahwa faktor pemakaian kayu bakar dan

konsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun adalah tetap merupakan faktor yang

berpengaruh sebagai faktor risiko, sehingga tidak dapat dikeluarkan perannya sebagai faktor-

faktor risiko terjadinya KNF.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 73: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

61

BAB 5

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan

karsinoma nasofaring (KNF). Berdasarkan dari perhitungan besar sampel minimal, penelitian

ini menggunakan sampel 192 orang yang terdiri dari 96 orang penderita karsinoma nasofaring

(KNF) sebagai kasus dan 96 orang bukan penderita penyakit keganasan sebagai kontrol yang

sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian dengan studi

kasus kontrol dengan membandingkan pajanan merokok dan beberapa confounding factors

pada penderita KNF dan bukan penderita penyakit keganasan. Kemaknaan perbedaan antara

merokok serta beberapa confounding factors pada kasus dan kontrol ditentukan dengan uji

chi-square. Risiko terkena penyakit ditetapkan dengan risiko relatif yaitu Odds ratio. Odds

ratio (OR) sama dengan 1 berarti bukan merupakan faktor risiko, bila OR kurang dari 1 berarti

merupakan faktor protektif, dan bila OR lebih dari 1 berarti merupakan faktor risiko.

Pada penelitian ini subjek kasus dan kontrol dengan jenis kelamin laki-laki lebih

banyak daripada perempuan, pada subjek kasus perbandingannya 2,84:1, dan pada subjek

kontrol 2,69:1. Secara statistik tidak dijumpai perbedaan bermakna menurut jenis kelamin

antara subjek kasus dan kontrol (sepadan usia antara kasus dan kontrol). Pada penelitan ini

didapatkan hasil lebih kurang sama dengan penelitian Douglas et al (1996) di RSUP

Dr.Kariadi Semarang yang mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang

menderita KNF 1,87:1. Magdalena et al (1996) di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta melaporkan

perbandingan laki-laki dan perempuan 2,47;1. Vaughan et al (1996) di Amerika Serikat

melaporkan dengan perbandingan 1,88:1, sedangkan Adnan (1996) di Medan 3,67:1,

Armstrong (2000) di Malaysia 2,24:1, Lutan (2003) di Medan 2,3:1, Susworo (2004) di

Indonesia 2-3:1, dan Sun (2005) di Amerika 2,25:1.

Tingginya persentase laki-laki dibandingkan perempuan kemungkinan disebabkan

kebiasaan hidup yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, seperti kebiasaan merokok

dimana jumlah laki-laki yang merokok lebih banyak dibanding perempuan. Pada beberapa

penelitian didapatkan hubungan yang bermakna antara merokok dengan KNF. Kemungkinan

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 74: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

62

lain laki-laki lebih banyak beraktifitas di luar rumah dibanding perempuan. Akibatnya laki-laki

lebih sering mengalami stres yang menyebabkan penurunan respon imun. Selain itu laki-laki

relatif lebih sering kontak dengan bahan-bahan karsinogen di tempatnya bekerja. Vaughn et

al (2000) menemukan bukti tentang hubungan antara risiko KNF dan potensi paparan

formaldehyde yang lebih kuat pada para perokok. Diantara orang perokok dan mantan

perokok, odds ratio dihubungkan dengan yang pernah bekerja pada pekerjaan yang terpapar

formaldehyde (OR 2,3), dibandingkan dengan orang-orang yang tidak pernah merokok (OR

0,5).

Pada penelitian ini, usia subjek penderita KNF paling muda adalah 9 tahun dan paling

tua 74 tahun. Roezin (1995) di Jakarta melaporkan bahwa di Indonesia rentang umur termuda

penderita KNF adalah 4 tahun dan tertua 84 tahun, sedangkan McDermott et al (2001) di

Inggris mendapatkan yang termuda berusia 2 tahun dan tertua 91 tahun. Dari distribusi data

pengelompokan usia penderita KNF dengan uji statistik tidak ada perbedaan bermakna antara

kelompok kasus dan kontrol, dan didapatkan penderita terbanyak pada kelompok usia 40-49

tahun dan 50-59 tahun, masing-masing 23 orang (24%) dan 28 orang (29,2%). Hal ini hampir

sama dengan yang dilaporkan oleh Roezin (1995) yang mendapatkan kelompok usia 40-49

tahun 25,92% dan 50-59 tahun 19,75% dan Douglas dkk (1996) di RSUP Dr.Kariadi

Semarang yang mendapatkan usia 40-49 tahun 22,2% dan 50-59 tahun 27,8%. Magdalena

et al (1996) di Yogyakarta yang mendapatkan insiden tertinggi KNF pada kelompok usia 40-

49 tahun sebanyak 42,4%, Lutan (2003) di Medan mendapatkan insiden tertinggi pada

kelompok usia 41-50 tahun sebanyak 40%, Abdi (2005) di Medan mendapatkan insiden

tertinggi pada kelompok usia 40-49 tahun sebanyak 37 kasus (35,1%).

Pada manusia selama hidup diperkirakan rata-rata sel tubuh mengalami sebanyak

1016 mitose, dengan masing-masing gen mempunyai kemungkinan 106 mengalami mutasi

spontan dan menyalin (translate) 1010 mutasi. Jika tiap mutasi dapat merubah sel normal

menjadi kanker, maka kita tidak mungkin dapat berfungsi sebagai makhluk hidup. Penelitian

epidemiologi menunjukkan kemungkinan perubahan menjadi kanker tidaklah konstan, tetapi

bertambah dengan bertambahnya umur (Sukardja, 2000; Irish et al, 2003).

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 75: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

63

Penemuan dan uraian tentang onkogen dan tumor suppressor genes meningkatkan

pengetahuan kita tentang mekanisme genetik dan molekuler patogenesis kanker.

Pemahaman tentang patogenesis kanker tersebut diperoleh dari berbagai percobaan

binatang dan percobaan laboratorium yang mengungkapkan bahwa mutasi satu atau lebih

gen akan menyebabkan penyimpangan dalam pertumbuhan sel yang berakibat transformasi

sel ke arah ganas. Sekalipun tampaknya sederhana, pada hakekatnya tumorigenesis pada

manusia tetap merupakan satu proses kompleks yang berlangsung melalui berbagai tahapan

(multistep/multistage process). Bahwa kanker terjadi melalui proses multistep dibuktikan

dengan berbagi penelitian, diantaranya bukti tidak langsung yang diperoleh dari studi

epidemiologi. Salah satu bukti epidemiologi adalah bahwa insiden kanker meningkat sesuai

peningkatan usia. Bukti lain adalah bahwa diperlukan waktu yang cukup panjang antara

paparan pertama terhadap bahan karsinogen (rokok, asbes) dengan timbulnya kanker,

demikian pula peningkatan insiden kanker yang baru terjadi berpuluh tahun sesudah

dijatuhkannya bom atom di Jepang (Kresno, 2004). Dengan demikian dapat dimengerti bahwa

proses keganasan berlangsung melalui berbagai tahapan dan diperlukan waktu cukup

panjang antara paparan pertama terhadap bahan karsinogen sampai timbulnya kanker,

sehingga jumlah penderita akan meningkat setelah usia dewasa.

Sedangkan McDermott et al (2001) menulis bahwa penderita KNF di Magreb Arab

Afrika Utara dan di Tunisia, didapatkan distribusi usia berbentuk kurva bimodal, dimana

peningkatan pertama pada kelompok usia 10-20 tahun dan peningkatan kedua usia 55-65

tahun. Kurva bimodal yang hampir sama juga terjadi di beberapa tempat di India. Namun

belum ada observasi secara khusus dan lebih jauh bagaimana terjadinya distribusi bimodal

tersebut.

Suku batak merupakan kelompok suku terbanyak, baik pada kelompok kasus KNF 54

orang (56,3%) dan kelompok kontrol 49 orang (51%), diikuti ditempat kedua terbanyak adalah

suku Jawa. Menurut suku, antara kelompok kasus dan kontrol terdapat kesepadanan (uji

statistik tidak ada perbedaan bermakna). Hal ini mungkin berkorelasi dengan proporsi

penduduk kota Medan yang memang mayoritas penduduknya adalah suku Batak dan Jawa.

Zhu et al (1995) di Amerika Serikat mendapatkan distribusi penderita KNF menurut ras (etnik)

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 76: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

64

terbanyak adalah ras Orang Kulit Putih (White-non Hispanic) 56,6%, diikuti selanjutnya secara

berurutan ras Kulit Hitam, ras Asia dan ras Hispanic, sedangkan Vaughan et al (2000) di

Amerika Serikat juga mendapatkan hasil yang hampir sama yaitu ras terbanyak adalah Orang

Kulit Putih (White) 76%, diikuti ras Asia, Kulit Hitam, dan Amerika-Indian/Eskimo. Sementara

itu Cheng et al (1999) di Taiwan mendapatkan ras terbanyak adalah Fukienese 308 orang

(82,1%), diikuti ras Hakka, Han, dan Guangdong.

Sebanyak 31 orang (32,3%) penderita KNF bekerja sebagai petani, diikuti wiraswasta

19 orang (19,8%) dan pekerjaan rumah tangga 17 orang (17,7%). Melihat gambaran distribusi

menurut jenis pekerjaannya pada tabel 4.1.1, dapat dikatakan bahwa sebagian besar

penderita KNF (kelompok kasus) dan kelompok kontrol yang berobat ke RSUP H.Adam Malik

Medan dan RSU dr.Pirngadi Medan mempunyai tingkat sosioekonomi menengah ke bawah.

Pada uji statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok tersebut.

Douglas et al (1996) di RSUP dr.Kariadi Semarang mendapatkan gambaran yang lebih

kurang sama mengenai distribusi penderita KNF menurut jenis pekerjaan, yaitu petani 38,54%

diikuti secara berurutan wiraswasta 18,57 %, buruh 14,93%, dan PNS 12,85%.

Banyaknya penderita pada petani, dimungkinkan akibat lebih sering terpapar bahan

karsinogen, seperti insektisida, benzo pyrenen, benzo anthracene, dan beberapa ekstrak

tumbuhan sebagai faktor yang memicu terjadinya KNF (Ahmad, 2002; Delfitri, 2007).

Pada penelitian ini sebagian besar penderita KNF mempunyai jenis histopatolgi WHO

tipe 3 yaitu karsinoma sel tidak berdiferensiasi 37 orang (38,6%), WHO tipe 2 (karsinoma sel

tanpa keratinisasi) 32 orang (33,3%) dan WHO tipe 1 (karsinoma sel dengan keratinisasi) 27

orang (28,1%). Beberapa penelitian mendapatkan bahwa WHO tipe 3 merupakan jenis paling

banyak dijumpai, seperti Magdalena et al (1996) di Yogyakarta mendapatkan WHO tipe 3

(88,98%), WHO tipe 1 (7,26%), dan WHO tipe 2 (3,74%), Sudyartono dan Wiratno (1996) di

Semarang mendapatkan WHO tipe 3 (60,9%), WHO tipe 2 (29,7%) dan WHO tipe 1(9,4%),

Erkal et al (2001) di Turki mendapatkan WHO tipe 3 (60,8%), WHO tipe 1 (34,7%), dan WHO

tipe 2 (4,5%). Berbeda dengan yang dilaporkan oleh Vaughan et al (1996) di Amerika Serikat

dimana WHO tipe 1 adalah yang terbanyak (61%), diikuti WHO tipe 3 (26%) dan WHO tipe 2

(13%), begitu juga Sun (2005) di Amerika mendapatkan WHO tipe 1 (40,8%), WHO tipe 3

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 77: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

65

(36,9%), dan WHO tipe 2 (22,3%). Dari gambaran distribusi jenis histopatologi tampaknya

terdapat perbedaan jenis tipe yang terbanyak pada penderita KNF, di Asia jenis yang paling

banyak adalah karsinoma sel tidak berdiferensiasi, sedangkan di Amerika Serikat yang paling

banyak adalah jenis karsinoma dengan keratinisasi. Dengan adanya perbedaan dominasi

jenis histopatologi pada masing-masing penelitian di tempat yang berbeda, perlu dilakukan

penelitian lanjutan untuk mencari faktor yang mempengaruhi jenis histopatologi.

Derajat tumor (T), status kelenjar (N), metastasis (M), dan stadium karsinoma

nasofaring berdasarkan klasifikasi UICC 1992 (TNM). Berdasarkan klinis, stadium dapat

dikategorikan stadium I dan II adalah stadium dini, dan stadium III dan IV adalah stadium

lanjut. Dari hasil penelitan didapatkan paling banyak subjek kasus KNF adalah dengan

stadium III (58,4%), diikuti stadium IV (40,6%), stadium II (1%), dan tidak terdapat penderita

dengan stadium I. Penelitian ini sama dengan yang didapatkan Armiyanto (1993) di Jakarta

sebanyak 93,34% dari 30 kasus adalah stadium III-IV, Magdalena et al (1996) di Yogyakarta

mendapatkan stadium lanjut 91,26% dari 454 kasus KNF, Sudyartono dan Wiratno (1996) di

Semarang mendapatkan stadium lanjut 50% dari 64 kasus, Erkal et al (2001) di Turki

mendapatkan stadium lanjut 93% dari 447 kasus, dan Krishna (2004) di India mendapatkan

stadium lanjut 58,6% dari 29 kasus.

Diagnosis KNF sering terlambat ditegakkan, disebabkan karena letak nasofaring

tersembunyi di belakang rongga hidung dan di bawah dasar tengkorak sehingga penderita

KNF pada umumnya datang berobat dalam stadium lanjut (Hold dan Shockley,1993; Roezin,

1996).

Bila ditinjau berdasarkan usia mulai merokok, maka terdapat perbedaan pada

kelompok kasus lebih muda usia mulai merokok dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari

hasil analisis regresi logistik univariat menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai

OR=4,330 (p=0,000). Usia mulai merokok juga merupakan variabel primer dalam penelitian

ini, maka dari hasil uji analisis regresi logistik multivariat terdapat hubungan yang bermakna

dengan nilai OR=5,350 (p=0,000).

Proses karsinogenesis pada manusia dapat berlangsung selama 15-30 tahun. Pada

tahap inisiasi sel terpapar dengan dosis yang tepat dari suatu bahan karsinogen inkomplit,

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 78: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

66

menyebabkan kerusakan permanen pada DNA, bila sel membelah diteruskan ke generasi

berikutnya. Inisiasi diikuti dengan masa laten secara klinik (Asikin, 2001). Dengan kata lain,

bila kebisaan merokok seseorang ditunda 10 tahun dari usia tertentu, maka ia akan

mendapat risiko KNF lebih kurang seperlima kalinya, atau dapat dikatakan bila usia mulai

merokok 10 tahun lebih awal dari usia tersebut akan mempunyai risiko KNF sebesar

limakalinya. Hal ini dapat dipahami dimana jika seseorang semakin muda usia saat terpapar

dengan bahan karsinogen yang ada pada rokok, maka proses multi step karsinogenesis

sampai terjadinya KNF telah dimulai juga sejak usia muda.

Pelucchi et al (2006) di Italia mendapatkan pada orang-orang yang mulai merokok

sebelum berusia 17 tahun mempunyai risiko yang tinggi (OR=13,6) untuk terjadinya KNF.

Chow et al (2006) di Amerika Serikat melaporkan suatu studi cohort selama 26 tahun pada

veteran perang Amerika Serikat dengan hasil bahwa orang-orang yang mulai merokok

sebelum berusia 15 tahun mempunyai risiko sangat tinggi untuk terjadinya KNF. Sementara

itu Friborg et al (2007) di Singapura mendapatkan hasil yang berbeda dimana umur mulai

merokok tidak mempunyai hubungan dengan terjadinya KNF, tapi mendapatkan hubungan

antara umur mulai merokok dengan kejadian karsinoma orofaring.

Jika dilihat dari lama merokok, pada kelompok kasus relatif lebih lama dibandingkan

kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat menunjukkan tidak ada hubungan

bermakna dengan nilai p=0,293. Lama merokok berhubungan dengan usia mulai merokok,

semakin muda usia mulai merokok semakin lama penderita tersebut merokok. Chow et al

(2006) di Amerika Serikat melaporkan suatu studi cohort dengan hasil bahwa tidak ada

hubungan yang jelas antara lama merokok dengan kejadian KNF. Berbeda dengan Chen et al

(1990) di Taipei yang mendapatkan peningkatan risiko merokok pada kejadian KNF akan

meningkat jika semakin lama mengkonsumsi rokok, Nam et al (1992) di Amerika Serikat

mendapatkan peningkatan risiko terjadinya KNF pada orang yang konsumsi rokoknya

semakin banyak dan lama, Zhu et al (1995) di Amerika Serikat pada studi kasus-kontrol

dengan sampel seluruhnya laki-laki mendapatkan bahwa laki-laki yang merokok selama 25

tahun atau lebih mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya KNF (tanpa menyingkirkan faktor

perancu ikan asin). Sementara itu Hildesheim et al (1997) di Taiwan mendapatkan pada

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 79: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

67

orang yang merokok lebih dari 30 tahun mempunyai risiko 2,1 kali terjadi KNF dibandingkan

orang yang tidak merokok dengan CI 95% = 1,2-3,7. Cheng (1999) di Taiwan mendapatkan

peningkatan risiko menurut lama merokok, dimana orang yang merokok selama kurang 25

tahun OR=1,1 dan yang merokok selama lebih 25 tahun OR=1,7 (p=0,03), dan Friborg et al

(2007) di Singapura mendapatkan pada orang yang merokok selama lebih dari 40 tahun

mempunyai risiko ganda untuk terjadinya KNF (OR=2,0; CI 95% 1,2-3,3).

Bila dilihat dari jumlah batang rokok yang dikonsumsi setiap hari, pada kelompok

kasus lebih banyak batang rokok dihisap perharinya dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Hasil analisis regresi logistik univariat, memperlihatkan perbedaan bermakna dengan nilai

OR=2,530 (p=0,021) pada perokok dengan konsumsi rokok 11-20 batang perhari. Pada

analisis regresi logistik multivariat, jumlah batang rokok perhari tidak memperlihatkan

perbedaan bermakna dengan nilai p=0,587. Hasil yang lebih kurang sama dilaporkan oleh

Friborg (2007) di Singapura yang mendapatkan tidak ada hubungan antara banyaknya jumlah

batang rokok yang dikonsumsi dengan kejadian KNF, Cheng et al (1999) di Taiwan

mendapatkan bahwa banyaknya rokok yang dikonsumsi tidak mempunyai efek yang

signifikan untuk terjadinya KNF. Berbeda dengan Zhu et al (1995) di Amerika Serikat yang

mendapatkan bahwa semakin banyak batang rokok dikonsumsi, semakin meningkat pula

tingkat estimasi risiko relatif untuk terjadinya KNF. Chow et al (2006) di Amerika Serikat

mendapatkan peningkatan risiko terjadinya KNF sebanyak 6,4 kali pada orang yang

mengkonsumsi rokok lebih dari 2 bungkus perhari.

Ditinjau dari jenis rokok ditemukan perokok dengan jenis kretek lebih banyak pada

kelompok kasus dibanding kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat

menunjukkan perbedaan tidak bermakna dengan nilai p=0,081. Pada analisis regresi logistik

multivariat, jenis rokok yang dikonsumsi tidak memperlihatkan perbedaan bermakna dengan

nilai p>0.05. Sebagai perbandingan yang lain, Pelucchi et al (2006) di Italia mendapatkan

terjadinya peningkatan kejadian kanker faring dan oral pada perokok dengan jenis rokok

berfilter dibandingkan dengan yang tidak berfilter.

Pada varibel lama merokok, jumlah batang rokok dan jenis rokok yang dikonsumsi,

dari analisis regresi logistik univariat dan multivariat didapatkan hasil bahwa tidak terdapat

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 80: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

68

hubungan yang bermakna dengan terjadinya KNF. Hasil ini berbeda dengan beberapa

peneliti sebelumnya yang mendapatkan hubungan yang bermakna. Perbedaan ini mungkin

akibat dari perbedaan disain penelitian yang dilakukan, dimana beberapa penelitian

menggunakan studi secara case control, sementara yang lain dengan studi prospektif kohort.

Begitu juga dengan cara pengambilan sampel kelompok kontrol, dimana pada penelitian ini

sampel kontrol diambil dari pasien-pasien yang juga dirawat di rumah sakit yang sama

dengan sampel kelompok kasus (hospital based controls), sementara beberapa peneliti

terdahulu mengambil sampel kontrol bukan pasien rumah sakit. Dengan kata lain, disain

penelitian dan cara pengambilan sampel yang berbeda memungkinkan mendapatkan hasil

penelitian yang berbeda pula, selain faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya

perbedaan hasil penelitian yang didapatkan.

Bila dilihat dari varibel diluar pengaruh rokok (faktor perancu), orang yang

mengkonsumi ikan asin pada usia kurang 10 tahun lebih banyak dan frekuensi konsumsinya

lebih sering pada kelompok kasus dibandingkan kelompok kontrol. Hasil analisis regresi

logistik univariat memperlihatkan hubungan sangat bermakna p=0,000 dengan masing-

masing OR menurut frekuensi konsumsinya adalah; jarang OR 1,257, kadang-kadang OR

3,882, dan sering OR 9,429. Pada analisis regresi logistik multivariat, mengkonsumsi ikan

asin pada usia kurang 10 tahun memperlihatkan hubungan bermakna dengan nilai p=0,000

pada tingkat frekuensi konsumsi kadang-kadang dan jarang, dengan masing-masing OR

menurut frekuensi konsumsinya adalah; kadang-kadang OR 7,766, dan sering OR 16,515.

Pada penelitian ini berarti setiap peningkatan frekuensi makan ikan asin pada usia kurang 10

tahun maka risiko mendapatkan KNF tersebut akan lebih besar.

Bahan makanan dan zat kimia tertentu dicurigai berperan dalam terjadinya KNF.

Makanan yang mengandung nitrosamine yang dikonsumsi pada usia kurang 10 tahun,

mempunyai risiko untuk terjadinya KNF pada usia dewasa. Bahan kimia ini merupakan

mediator yang dapat mengaktifkan VEB dan bersifat pro-karsinogen (Ning et al, 1990).

Nitrosamine banyak dijumpai pada bahan makanan yang diawetkan dengan cara diasinkan

seperti ikan asin ataupun dengan cara pengasapan (Yu et al, 1990). Pada proses pengasinan

atau pengeringan ikan dengan pemanasan sinar matahari, terjadi reaksi biokimia berupa

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 81: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

69

nitrosasi oleh sinar ultrviolet. Gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk akan bereaksi dengan

ekstrak ikan asin menjadi nitrosamine dan beberapa volatile nitrosamine (Zheng et al, 1994).

Ho (1985) di Hongkong dalam studi kasus kontrol dengan jumlah kasus 250 orang

penderita KNF mendapatkan bahwa pada orang-orang yang mengkonsumsi ikan asin pada

usia dini dengan frekuensi sedikitnya mengkonsumsi 1 kali dalam seminggu mempunyai OR

37,7 dibanding orang yang mengkonsumsi hanya 1 kali perbulan, sementara itu dalam

penelitiannya di Malaysia dengan jumlah kasus 100, didapatkan pada orang yang

mengkonsumsi ikan asing pada usia dini mempunyai risiko relatif 17,4 dibandingkan dengan

orang yang tidak mengkonsumsi. Yu et al (1989) di Guangzhou-China dan mendapatkan hasil

bahwa mengkonsumsi ikan asin, baik pada masa anak-anak dan dewasa mempunyai

hubungan yang signifikan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya KNF. Ning et al (1990)

di Tianjin-China mandapatkan bahwa mengkonsumsi ikan asin pada usia dini dengan

konsumsi yang lama dan tingkat frekuensi yang semakin meningkat, akan mempunyai risiko

yang tinggi pula terjadinya KNF. Zheng et al (1994) di Guangxi-China mendapatkan bahwa

orang yang mengkonsumsi ikan asin sebelum berusia 2 tahun mempunyai risiko untuk

terjadinya KNF dengan OR 3,8. Sedangkan Zou et al (1994) di Beijing-China mendapatkan

hasil yang mendukung kesimpulan risiko tinggi terjadinya KNF di china selatan mungkin

akibat dari konsumsi ikan asin yang didalamnya terdapat level N-nitrosamines yang tinggi.

Armstrong et al (1998) di Malaysia mendapatkan terdapat hubungan yang sangat jelas antara

terjadinya KNF dengan konsumsi ikan asin. Yang et al (2005) di Taiwan mendapatkan

adanya hubungan kejadian KNF pada usia dini pada orang yang mengkonsumsi ikan asin

sebelum usia 10 tahun dengan OR 3,94 (CI 95% 1,47-10,55).

Bila ditinjau dari pemakaian kayu bakar, ditemukan pengguna kayu bakar lebih banyak

pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat

menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna dengan nilai p=0,113. Pada analisis regresi

logistik multivariat, pemakai kayu bakar memperlihatkan hubungan yang bermakna dengan

nilai p=0,014 dengan OR 3,147 (CI 95% 1,26-7,86). Hasil yang lebih kurang sama dilaporkan

Zheng (1994) di Guangxi-China, dimana pada orang yang terpapar asap pembakaran kayu

bakar rumah tangga mempunyai risiko untuk terjadinya KNF dengan OR 5,4. Armstrong et al

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 82: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

70

(2000) di Malaysia mendapatkan adanya hubungan antara pajanan asap kayu bakar dengan

KNF dengan OR 1,65 (CI 95% 0,69-3,92).

McDermott et al (2004) dalam jurnal tentang etiologi KNF menuliskan pada populasi di

Kenya yang terpajan dengan asap kayu bakar mempunyai hubungan dengan KNF, dimana

dalam analisa asap kayu bakar tersebut didapatkan tingginya kadar zat karsinogenik

hidrokarbon, yaitu benzpyrene dan benzanthracene, hasil lain yang sama dan konsisten juga

didapat pada populasi di Alaska dan Indonesia pada orang-orang yang sering menggunakan

kayu bakar.

Frekuensi KNF tersering adalah pada usia 40 sampai 59 tahun dan kebiasaan

merokok umumnya dimulai di usia antara 10 sampai 30 tahun. Berdasarkan analisis regresi

logistik multivariat dapat dilihat dari usia mulai merokok, jumlah batang per hari, jenis rokok

yang dihisap, serta pengaruh faktor lain selain rokok yaitu pemakaian kayu bakar dan

konsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun, maka dapat dilihat berbagai besarnya risiko

mendapatkan KNF (odds rasio) pada perokok, pemakai kayu bakar dan pengkonsumsi ikan

asin pada usia kurang 10 tahun, seperti dapat dilihat dalam table 4.2.1. Hasil analisis regresi

logistik multivariat, variabel-variabel usia mulai merokok antara 10–19 tahun, pemakaian

kayu bakar dan konsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun dengan frekuensi konsumsi

kadang-kadang dan sering mempunyai asosiasi yang bermakna dengan kejadian KNF,

masing-masing dengan OR 5,350 (p=0,000), OR 3,147 (p=0,014), OR 7,766 (p=0,000) dan

OR 16,515 (p=0,000).

Setelah dilakukan uji analisis regresi logistik multivariat secara bertahap, maka

didapatkan bahwa hanya faktor usia mulai merokok, mengkonsumsi ikan asin pada usia

kurang 10 tahun dan pemakaian kayu bakar saja yang dapat diuji secara statistik sebagai

faktor-faktor risiko terjadinya KNF. Kemudian dua faktor perancu yaitu konsumsi ikan asin

sebelum berusia 10 tahun dan pemakaian kayu bakar dengan uji statistik dicoba dikeluarkan,

dan didapatkan hasil bahwa faktor pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin sebelum

usia 10 tahun adalah tetap merupakan faktor perancu yang berpengaruh sebagai faktor risiko,

sehingga tidak dapat dikeluarkan sebagai faktor-faktor risiko terjadinya KNF.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 83: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

71

Dari keseluruhan hasil ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara rokok dengan

KNF, dimana rokok dapat merupakan sebagai faktor risiko terjadinya KNF jika sudah mulai

dihisap pada usia kurang dari 20 tahun. Faktor selain rokok (faktor perancu), yaitu faktor

konsumsi ikan asin sebelum berusia 10 tahun dan faktor pemakaian kayu bakar juga

mempunyai hubungan dengan KNF sebagai faktor risiko. Sehingga faktor rokok sebagai

faktor risiko terjadinya KNF tidak dapat berperan sebagai faktor risiko yang berdiri sendiri,

namun faktor konsumsi ikan asin sebelum berusia 10 tahun dan faktor pemakaian kayu bakar

juga merupakan faktor-faktor yang akan saling mempengaruhi sebagai faktor risiko terjadinya

KNF. Hal ini sesuai dengan apa yang dilaporkan banyak penelitian pada kepustakaan bahwa

etiologi KNF adalah multifaktor, dan banyak dari faktor-faktor tersebut saling tumpang tindih

dimana salah satu faktor mungkin terjadi bersamaan dengan faktor lain sebagai penyebab.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 84: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

72

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Ada hubungan yang bermakna antara mulai merokok sebelum berusia 20 tahun

dengan KNF (p=0,000; OR 5,35 dan CI 95% 2,290 - 12,499)

2. Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama merokok (p=0,293), jumlah batang

rokok (p=0,021) dan jenis rokok yang dihisap (p=0,081).

3. Dijumpai hubungan yang bermakna antara penderita KNF dengan yang bukan

penderita KNF pada orang yang mengkonsumsi ikan asin pada usia kuang 10 tahun,

dengan frekuensi konsumsi ikan asin kadang-kadang p=0,000; OR 7,766 (CI 95%

2,937 - 20,538), sering p=0,000; OR 16,515 (CI 95% 5,300 - 51,463), dan pemakai

kayu bakar p=0,014; OR 3,147 (CI 95% 1,260 - 7,860),

4. Merokok sebagai faktor risiko terjadinya KNF tidak dapat berperan sebagai faktor risiko

yang berdiri sendiri, namun diperlukan juga faktor konsumsi ikan asin pada usia

kurang 10 tahun dan faktor pemakaian kayu bakar.

6.2 Saran

1. Karena etiologi terjadinya KNF masih belum jelas dan belum sepenuhnya dimengerti,

maka dibutuhkan penelitian lanjutan secara kohort untuk melihat bahan karsinogenik

tertentu di dalam rokok yang paling berperan menyebabkan terjadinya KNF.

2. Perlu penelitian lebih lanjut dengan hewan percobaan untuk melihat patogenesis

terjadinya KNF dengan menggunakan bahan-bahan karsinogenik yang ada pada

rokok.

3. Selain penelitian yang mencari faktor-faktor risiko terjadinya KNF, peneliti

menyarankan dilakukan penelitian untuk mencari faktor-faktor protektif yang dapat

mencegah maupun menghambat terjadinya KNF, seperti vitamin-vitamin, buah-

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 85: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

73

buahan, sayuran, herbal ataupun faktor lain yang diduga dapat berperan sebagai

faktor protektif terjadinya KNF.

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 86: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

74

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, LV & Del Regato, JA 1970, Cancer Diagnosis and Treatment and Prognosis, 4th

ed, The CV Mosby Company, St. Louis, pp. 254-76

Aditama TJ, 2001, Masalah Merokok dan Penanggulangannya. Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia – Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok dengan Yayasan penerbitan

IDI, pp. 1-19

Aditama TJ, 2003, Rokok di Indonesia (Editorial). Jurnal Respirologi Indonesia, vol. 23, no.4,

pp. 214-7

Aditama TJ, 2004, Sepuluh Program Penganggulangan Rokok, Majalah Kedokteran

Indonesia, vol. 54, no.7, pp. 255-9

Adnan A, 1996, Tesis, Beberapa Aspek Karsinoma Nasofaring di Bagian THT FK-USU /

RSUP H.Adam Malik, Medan.

Ahmad A, 2002, Diagnosis dan Tindakan Operatif Pada Penatalaksanaan Karsinoma

Nasofaring, Simposium Perkembangan Multimodalitas Penatalaksanaan Kanker

Nasofaring Dan Pengobatan Suportif, Hotel Millenium, Jakarta.

Armiyanto, 1993, Tesis. Pemeriksaan immunoglobulin A terhadap virus Epstein-Barr spesifik

untuk “viral capsid antigen: dan “early antigen” pada karsinoma nasofaring, FK-UI.

Jakarta

Asikin N, 2001, Karsinogenesis Kimia, Course and Workshop, The 4th Basic Sciences in

Oncology, Perhimpunan Onkologi Indonesia, Jakarta.

Armstrong RW, Imrey PB, Lye MS, et al, 1998, Nasopharyngeal Carcinoma in Malaysian

Chinese: Salted Fish and Other Dietary Exposures, International Journal Cancer, vol.

77, no. 2, pp. 228-35

Armstrong RW, Imrey PB, Lye MS, et al, 2000, Nasopharyngeal Carcinoma in Malaysian

Chinese: Occupational Exposure to Particles, Formaldehyde and Heat, International

Journal of Epidemiology, vol. 29, no. 6, pp. 991-8

Ballenger JJ, 1994, Anatomy Bedah Faring dan Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala

dan Leher, Binarupa Aksara, Edisi 13, Jilid 1, pp. 318-27

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 87: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

75

Ballenger JJ, 1994, Tumor dan Kista di Muka, Faring dan Nasofaring, Penyakit Telinga

Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Binarupa Aksara, Edisi 13, Jilid 1, pp. 371-96

Beasley P, 1997, Anatomy of the Pharynx and Oesophagus, Scott-Brown’s Otolaryngology,

6th ed., Butterworth-Heinemann, Great Britain, vol.1, pp.1/10/1-40

Bosman FT, 1999, Aspek-aspek Fundamental Kanker, Onkologi, Gajah Mada University

Press, Yogyakarta, pp. 3-35

Brennan B, 2006, Nasopharyngeal carcinoma, Orph J Rare Dis, vol.1, no.23, pp. 1-5

Brennan JA, Boyle JO, Koch WM, et al, 1995, Association Between Cigarette Smoking and

Mutation of the p53 Gene in Squamous-Cell Carcinoma of the Head and Neck, The

New England Journal of Medicine, pp. 712-7

Budiarto E, 2003, Penelitian Kasus-Kontrol, Metodologi Penelitian Kedokteran : Sebuah

Pengantar, EGC, Jakarta, pp. 96-145

Caldwell E, 2001, Kasus-Kasus Medis Mengenai Merokok, Berhenti Merokok, LKiS. Pustaka

Populer, Yogyakarta, pp. 5-29

Chen CJ, Liang KY, Chang YS et al, 1990 Multiple Risk Factors of Nasopharyngeal

Carcinoma: Epstein-Barr Virus, Malarial Infection, Cigarette Smoking and Familial

Tendency, Anticancer Res, vol 10, no 2B, pp. 547-53

Cheng YJ, Hildsheim A, Hsu mm, et al, 1999, Cigarette Smoking, Alkohol Consumption and

Risk of Nasopharyngeal Carcinoma in Taiwan, Cancer Causes and Control, vol. 10,

pp. 201-7

Chew CT, 1997 Nasopharynx (the Postnasal Space), Scott-Brown’s Otolaryngology, 6th

edition, Butterworth-Heinemann, Great Britain, vol 5, pp. 5/13/1-30

Chow WH, McLaughlin JK, Hrubec Z et al, 2006, Tobacco Use and Nasopharyngeal

Carcinoma in a Cohort of US Veterans, International Journal of Cancer, vol 55, no.4,

pp. 538-40

Cottrill CP & Nutting CM, 2003, Tumours of the Nasopharynx, Evans PHR, Montgomery PQ,

Gullane PJ, ed. Principle and Practice of Head and Neck Oncology, London, Martin

Dunitz, pp. 193-218

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 88: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

76

Daly MB, 1993, Epidemiology of Cancer, Clinical Oncology, Prentice-Hall International Inc, a

Lange Medical Book, pp. 19-27

Delfitri M, 2007, Disertasi, Asosiasi Antara Alel Gen HLA-DRB1 dan HLA DQB1 dengan

Kerentanan Timbulnya Karsinoma Nasofaring pada Suku Batak, Universitas Sumatra

Utara, Medan

Dhingra PL, 2004, Tumours of Nasopharynx, Disease of Ear, Noses, and Throat, Third

edition, Elsevier, New Delhi, pp. 299-01

Drastyawan B, Aditama TY, Yunus F, 2001, Pengaruh Asap Rokok Terhadap Saluran Napas.

Jurnal Respirologi Indonesia, Official Journal of the Indonesian Association of

Pulmonologists, vol.1, no.1, pp.31-7

Erkal HSSerin M, Cakmak A, 2001, Nasopharyngeal Carcinomas: Analysis of Patient, Tumor

and Treatment Characteristics Determining Outcome, Radiotherapy and Oncology,

vol. 61, pp. 247-56

Fachiroh J, Schouten T, Hariwiyanto B et al, 2004, Molecular Diversity of Epstein-Barr Virus

IgG and IgA Antibody Responses in Nasopharyngeal Carcinoma: A Comparison of

Indonesian, Chinese, and European Subjects, The Journal of Infectious Diseases, pp.

53-62

Friborg JT, Yuan JM, Wang R et al, 2007, A Prospective Study of Tobacco and Alcohol Use

as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas in Singapore Chinese, American Cancer

Society, vol 109, pp. 1183-91

Haugen A, 2000, Etiology of Lung Cancer, Textbook of Lung Cancer, Edited: Hansen HH,

Denmark, pp. 1-9

Her C, 2001, Nasopharyngeal Cancer and the Southeast Asian Patient. American Family

Physician, vol.63, no.9, pp. 1776-80

Hecht SS, 2003, Tobacco Carcinogens, Their Biomarkers and Tobacco-Induced Cancer,

Nature Reviews Cancer, vol. 3, pp. 733-44

Hildesheim A, Anderson LM, Chen CJ, et al, 1997, CYP2E1 Genetic Polymorphisms and

Risk of Nasopharyngeal Carcinoma in Taiwan, Journal of the National Cancer Institute,

vol. 89, no.16, pp. 1207-12

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 89: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

77

Ho JHC, 1985, Nasopharyngeal Carcinoma, The Western Journal of Medicine, vol.143, pp.

70-73

Holt GR & Shockley WW, 1993, Head & Neck Cancer, Clinical Oncology, A Lange Medical

Book, London, pp. 214-37

Irish JC, Kammel S, Gullane PJ, et al, 2003, Molecular Biology, Principles and Practice at

head and neck oncology, Martin Dunitz, London, pp.15-30

Kentjono WA, 2003, Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring,

Naskah Lengkap Simposium Bedah Kepala Leher, FKUNAIR, Jakarta.

Kolappan C & Gopi PG, 2002, Tobacco Smoking and Pulmonary Tuberculosis, Thorax,

vol.57, no.11, pp. 964-6

Kresno SB, 2004, Karsinogenesis Secara Umum, Disajikan pada : The 7th Course Basic

Sciences in Oncology Modul C & D Putaran ke-2, Jakarta, pp. 101-11

Krishna SM, James S, Kattor J, et al, 2004, Serum EBV DNA As a Biomarker in Primary

Nasopharyngeal Carcinoma of Indian Origin, Japanese Journal of Clinical Oncology,

vol. 34, no.6, pp. 307-11

Kurniawan AN, 1995, Diagnosis Patologik Karsinoma Nasofaring, Pencegahan dan Deteksi

Dini Penyakit Kanker, Perhimpunan Onkologi Indonesia, pp. 289-93

Licitra L, Bernier J, Cvitkovic E, et al, 2003, Cancer of the Nasopharynx, Critical Reviews in

Oncology Haematology, Elsevier, vol. 45, pp. 199-214

Lubis MND, 1993, The Technical Procedure and the Value of Fine Needle Aspiration Biopsy

of the Nasopharyx, Patology, pp. 25 : 35-8

Lutan R, 2003, Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring, Kumpulan Naskah

KONAS XIII PERHATI, Bali, pp. 16

Mabuchi K, Bross DS, Kessler II, 1985, Cigarette Smoking and Nasopharyngeal Carcinoma.

Cancer, vol. 55, pp.2874-6

Marshal MV, 1993, Carcinogenesis, Clinical Oncology, A Lange Medical Book. London, pp.

11-8

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 90: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

78

Mathur SJN, 2003, Epidemiological and Etiological Factors Associated with Nasopharyngeal

Carcinoma, Indian Council of Medical Research, New Delhi, vol.33, no.9

McDermott AL, Dutt SN, Watkinson JC, 2001, The Aetiology of Nasopharyngeal Carcinoma,

Clin. Otolaryngol, vol. 26, pp. 82-92

Mulyarjo, 2002, Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring, Perkembangan

Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas THT-KL, FK UNAIR, Surabaya,

pp.149-55

Myers JN, 1996, Molecular Pathogenesis of Squamous Cell Carsinoma of The Head & Neck.

In: Myers EN, Suen JY, ed., Cancer of The Head & Neck, Philadelphia: WB Saunders

Company, pp. 5-13

Nam J, McLaughlin JK, Blot WJ, 1992, Cigarette Smoking, Alcohol, and Nasopharyngeal

Carcinoma : A Case-Control Study Among U.S. White, Journal of the National Cancer

Institute, vol 84, no 8, pp. 619-22

Ning JP, Yu MC, Wang QS et al, 1990, Consumption of Salted Fish and Other Risk Factors

for Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) in Tianjin, a Low-Risk Region for NPC in the

People’s Republic of China, Journal of the National Cancer Institute, vol 82, no 4,

pp.291-6

Pelucchi C, Gallus S, Garavello W, et al, 2006, Cancer Risk Associated with Alcohol and

Tobacco Use : Focus on Upper Aerodigestive Tract and Liver, Health Risks, vol.29,

no.3, pp.193-8

Pfeifer GP, Denissenko MF, Olivier M, et al, 2002, Tobacco Smoke Carcinogens, DNA

Damage and p53 Mutations in Smoking-Associated Cancers, Oncogene, pp.7435-51

Pinar T, Akdur R, Tuncbilek, et al, 2007, The Relationship Between Occupations and Head

and Neck Cancers, Journal of the National Medical Association, vol.99, no.1, pp.64-71

Port JL, Yamaguchi K, Du B, et al, 2004, Tobacco Smoke Induces CYP1B1 in the

Aerodigestive Tract, Carcinogenesis, vol. 25, no.11, pp. 2275-81

Roezin A, 1995, Deteksi dan Pencegahan Karsinoma Nasofaring, Pencegahan dan Deteksi

Dini Penyakit Kanker, Perhimpunan Onkologi Indonesia, pp. 274-88

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 91: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

79

Roezin A, 1996, Faktor Predisposisi Kanker Nasofaring. Kumpulan Naskah Ilmiah, Batu-

Malang, pp. 833-40

Roezin A & Syafril A, 2001, Karsinoma Nasofaring, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher, Balai Penerbit FK-UI, Edisi Kelima, Jakarta, pp.146-50

Sasco AJ, Secretan MB, Straif K, 2004, Tobacco Smoking and Cancer: a Brief review of

Recent Epidemiological Evidence, Lung Cancer , Elsevier, vol. 4, no.2, pp. 53-9

Situmeang SBT, Jusuf A, Arief N, dkk, 2002, Hubungan Merokok Kretek Dengan Kanker

Paru, Jurnal Respirologi Indonesia. Official Journal of the Indonesian Association of

Pulmonologists, vol.22, no.3, pp.109-17

Soetjipto D, 1989, Karsinoma Nasofaring, Tumor Telinga Hidung dan Tenggorok, Diagnosis

dan Penatalaksanaan, FK-UI, Jakarta, pp. 71-84

Soetjipto D, 1993, Karsinoma Nasofaring Mungkinkah Melakukan Diagnosa Dini?, Kumpulan

Naskah Ilmiah PIT PERHATI, Bukit Tinggi, pp. 284-96

Solak ZA, Kabaroglu C, Cok g, et al, 2005, Effect of Different levels of Cigarette Smoking on

Lipid Peroxidation, Glutathione Enzymes and Paraoxonase 1 Activity in Health People,

Clin Exp Med, vol.5, pp. 99-105

Sudiana IK, 2005, Teknologi Ilmu Jaringan dan Immunohistokimia, Sagung Seto, Jakarta,

pp. 36-40

Sudyartono T & Wiratno, 1996, Manifestasi Klinik Sebagai Dasar Diagnosis Karsinoma

Nasofaring, Kumpulan Naskah Ilmiah, Batu-Malang, pp 841-60

Sukardja IDG, 2000, Biologi Tumor. Onkologi Klinik, Airlangga University Press, Surabaya,

pp. 13-8

Sung FL, Poon TCW et al, 2005, Anti Tumor Effect and Enhancement of Cytotoxic Drug

Activity by Cetuximab in Nasopharyngeal Carsinoma Cells. In Vivo, vol.19, no.1,

pp.237-46

Susworo R, 2004, Tinjauan Kepustakaan Kanker Nasofaring Epidemiologi dan Pengobatan

Mutakhir, Cermin Dunia Kedokteran, vo.144, pp. 16-18

Thompson LDR, 2005, Nasopharyngeal Carsinoma, ENT Journal, vol.84, no.7, pp. 404-5

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 92: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

80

Tjarta A, 1995, Onkogenesis, Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker, Jakarta, pp.

2-12

Uzcudun AE, Retolaza IR, Grande AG et al, 2002, Pharyngeal Cancer Prevention : Evidence

from a Case-Control Study Involving 232 Consecutive Patients, The Journal of

Laryngology & Otology, vol.116, pp.523-31

Vaughan TL, Shapiro JA, Burt RD, et al, 1996, Nasopharyngeal Cancer in a Low-Risk

Population: Defining Risk Factors by histological Type, Cancer Epicemiology,

Biomarkers and Prevention, vol 5, pp 587-93

Vaughan TL, Stewart PA, Teschke K, et al, 2000, Occupational Exposure to Formaldehyde

and Wood Dust and Nasopharyngeal Carcinoma, Occupational and Environmental

Medicine, vol. 57, no. 6, pp. 376-84

Vinies P, Alavanja M, Buffler P, et al, 2004, Tobacco and Cancer : Recent Epidemiological

Evidence, Journal of the National Cancer Institute, vol. 96, no.2, pp. 96-106

Wei WI & Sham JST, 2005, Nasopharyngeal Carcinoma, The Lancet, vol. 365, no.9476, pp.

2041-54

Wei WI, 2006, Nasopharyngeal Cancer, Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery

Otolaryngology, 4th ed,vol 2, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia USA, pp.1657-

71

Wei WI & Sham JST, 1996, Cancer of the Nasopharynx, Cancer of the Head and Neck.

Philadelphia, 3rd ed, pp. 277-91

Weiss GR, 1993, Drugs in the Treatment of Cancer, Clinical Oncology, Appleton & Lange,

USA, pp.97-100

Yang XR, Diehl S, Pfeiffer R, et al, 2005, Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal

Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan, Cancer

Epidemiology Biomarkers Prevention, vol.14, no.4, pp. 900-5

Yu MC, Gabrant DH, Huang TB, Henderson BE, 1990, Occupational and Others Non Dietary

Risk Factor for NPC, Int. Journal Cancer, vol. 45, pp. 1033-9

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 93: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

81

Yu MC, Huang TB, Henderson BE, 1989, Diet and Nasopharyngeal Carcinoma: A Case-

Control Study in Guangzhou-China, International journal Cancer, vol 43, no 6, pp. 1077-

82

Yu MC, Mo CC, Chong WX et al, 1988, Preserved Food and Nasopharyngeal Carcinoma: A

Case-Control Study in Guangxi-China, Cancer Res, vol 48, no 7, pp. 1954-9

Zachreni, 1999, Tesis, Hubungan Virus Epstein-Barr dengan Karsinoma Nasofaring secara

Immunohistokimia, FK-USU, Medan.

Zheng YM, Tuppin P, Hubert A et al, 1994, Environmental and Dietary Risk Factors for

Nasopharyngeal Carcinoma: a Case-Control Study in Zangwu County, Guangxi, China,

Br Journal Cancer, vol 63, no 3, pp. 508-14

Zhu K, Levine RS, Brann EA, et al, 1995, A Population-Based Case-Control Study of the

Relationship Between Cigarette Smoking and Nasopharyngeal Cancer (United States),

Cancer Causes and Control, vol. 6, pp. 507-12

Zhuolin D, Yiping W, Wei L, et al, 2005, Glutathione S-transferase M1 and T1 Gene Deletion

Associated with Increased Susceptibility to Nasopharyngeal Carcinoma, The Chinese-

German Journal of Clinical Oncology, vol. 4, no.5, pp. 276-8

Zou XN, Lu SH, Liu B, 1994, Volatile N-nitrosamines and Their Precursor in Chinese Salted

Fish – a Possible Etiological Factor fo NPC in China, International Journal Cancer, vol

59, no 2, pp 155-8

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 94: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

82

Lampiran 1

KUESIONER

No. Urut :

Tanggal :

Tempat pengambilan sampel :

Data-data Pasien

No. MR :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Suku :

Pekerjaan :

Alamat :

Telepon / Hp :

Hasil Biopsi histopatologi :

Diagnosis :

Stadium :

Merokok : ya / tidak

Umur mulai merokok : ................. tahun

Lama merokok : ................. tahun

Batang rokok perhari : ................ batang

Jenis rokok : putih / kretek / lintingan / campuran

Pernah berhenti merokok : ya / tidak

Jika ya, berapa lama : ................. tahun

Riwayat makan ikan asin : ya / tidak

Umur < 10 tahun frekuensi makan ikan asin : sering / kadang-kadang / jarang

Jumlah ikan asin yang dimakan : ................. / hari

Anggota keluarga menderita kanker : ya / tidak

Jika ya, hirarki keluarga : ....................

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 95: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

83

Di rumah memakai lampu minyak : ya / tidak

Jika ya, sudah berapa lama : ................... tahun

Di dapur memakai kayu bakar : ya / tidak

Jika ya, sudah berapa lama : ................... tahun

Dapur menyatu dengan rumah utama : ya / tidak

Di rumah memakai obat nyamuk bakar : ya / tidak

Jika ya, sudah berapa lama : ................... tahun

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 96: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

84

Lampiran 2

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 97: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

85

Keterangan :

Sex : L = Laki-laki

P = Perempuan

Histopatologi : 1 = Karsinoma sel skuamosa keratinizing 2 = Karsinoma sel skuamosa nonkeratinizing 3 = Karsinoma sel undifferentiated

Jenis rokok : P = Rokok putih K = Rokok kretek L = Rokok linting C = Rokok campuran

Frekuensi : Jrg = Jarang Kdg = Kadang-kadang Srg = Sering

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 98: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

86

Lampiran 3

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 99: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

87

Keterangan :

Sex : L = Laki-laki P = Perempuan

Jenis rokok : P = Rokok putih K = Rokok kretek L = Rokok linting C = Rokok campuran

Frekuensi : Jrg = Jarang Kdg = Kadang-kadang Srg = Sering

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 100: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

88

Lampiran 4

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 101: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

89

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap : Ibrahim Irsan Nasution, dr

NIP : 140 356 395

Tempat dan tanggal lahir : Medan, 6 Desember 1970

Agama : Islam

Status perkawinan : Kawin

Nama istri : Dien Mediena, Ssos

Jumlah anak : 2 (dua)

Nama anak : 1. Fikri Roja Nasution

2. Fahri Zuhdi Nasution

Pangkat / Golongan : Penata Muda / III b

RIWAYAT PENDIDIKAN

Pendidikan Dasar dan Menengah

Tahun 1983 : Tamat Sekolah Dasar Perguruan Nasional Khalsa Medan

Tahun 1986 : Tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan

Tahun 1989 : Tamat Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Medan

Pendidikan Tinggi

Tahun 1996 : Lulus dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

PENDIDIKAN TAMBAHAN

Tahun 2002 : Mengikuti Advance Trauma Life Support Course, Cirebon.

Tahun 2006 : Mengikuti Temporal Bone Dissection Course, Langkawi-Malaysia.

Tahun 2006 : Mengikuti Workshop Esofago-bronkoskopi, FK USU Medan

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.

Page 102: hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

90

RIWAYAT PEKERJAAN

Tahun 1997-2000 : Kepala Puskesmas Sungai Tering Nipah Panjang, Tanjung

Jabung - Jambi

Tahun 2001-2003 : Kepala Puskesmas Polak Pisang, Indragiri Hulu – Riau

Tahun 2004-sekarang : Asisten dokter (PPDS) Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala Leher Fak. Kedokteran USU / RSUP H.Adam Malik

Medan

ORGANISASI PROFESI

Tahun 1997-2000 : Anggota IDI Cabang Tanjung Jabung – Jambi

Tahun 2001-2003 : Anggota IDI Cabang Indragiri Hulu – Riau

Tahun 2004-sekarang : Anggota Muda Perhati Cabang Sumatera Utara

IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.