Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

10
173 8th Industrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017 Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi Perah di Lereng/Kaki Gunung Merbabu Trifani Taurusiana Prihantini 1 , Sobirin 2 , dan Tuty Handayani 3 1 Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424 E-mail : [email protected] 2 Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424 E-mail : [email protected] 3 Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424 E-mail : [email protected] ABSTRAK Wilayah lereng/kaki Gunung Merbabu merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah di Jawa Tengah yang secara klimatologis memiliki perbedaan curah hujan yang berdampak pada kekeringan yang terjadi. Penelitian ini menganalisis tingkat keterpaparan kekeringan dalam kaitannya dengan peternakan sapi perah. Keterpaparan kekeringan diperoleh dengan metode skoring dan overlay peta dari indikator durasi, intensitas, dan frekuensi penyimpangan kekeringan yang diolah dari data curah hujan harian dengan metode de Boer. Produktivitas sapi perah dan pengeluaran peternak diperoleh dari hasil wawancara pada 44 lokasi yang penentuannya mengikuti metode stratified proportional random sampling. Hasil analisis dari overlay peta dan komparasi ruang diperkuat dengan analisis uji T bahwa wilayah keterpaparan kekeringan tinggi cenderung terdapat di daerah yang membelakangi arah angin monsun barat. Pada wilayah yang keterpaparan kekeringan tinggi penurunan produktivitas sapinya rendah dan peningkatan pengeluaran peternaknya pun rendah. Sebaliknya pada wilayah keterpaparan kekeringan rendah penurunan produktivitas sapinya lebih tinggi dan peningkatan pengeluaran peternaknya yang juga tinggi. Kata Kunci Kekeringan,Keterpaparan, Produktivitas, Sapi Perah 1. PENDAHULUAN Lereng/kaki Gunung Merbabu merupakan dataran tinggi yang memiliki suhu sejuk yang mendukung bagi pertumbuhan sapi perah. Sapi perah di Indonesia hanya dapat tumbuh optimal pada ketinggian wilayah tertentu yang berkaitan erat dengan suhu udara. Sapi perah di Indonesia umumnya berjenis Fries Holland (FH) yang hidup pada daerah dengan suhu dingin agar dapat bereproduksi dan menghasilkan susu secara optimal, sementara Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan suhu yang hangat [1]. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki musim hujan dan musim kemarau yang dipengaruhi angin monsun barat dan timur. Namun ada saatnya terjadi penurunan curah hujan yang disebabkan oleh fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO), yaitu meningkat atau menurunnya suhu air laut jauh di atas atau di bawah kondisi normal (nilai rata-rata) di kawasan Samudera Pasifik sehingga terjadi kekeringan di wilayah Indonesia [2]. Bagi peternak sapi perah, kekeringan merugikan karena menyebabkan kematian ternak, kelangkaan air, nutrisi pakan yang buruk, dan wabah penyakit [3]. Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Kabupaten Boyolali terletak di lereng/kaki Gunung Merbabu sehingga menjadi sentra peternakan sapi perah di Provinsi Jawa Tengah. Sebagai wilayah peternakan sapi perah, kekeringan yang terjadi secara tidak langsung berdampak pada peternakan sapi perah. Kekeringan menyebabkan produktivitas sapi perah menurun sehingga para peternak harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli pakan ternak karena selama masa kekeringan pakan ternak berupa rumput hijauan sulit dicari. Selain itu kadar air dalam rumput hijauan pun berkurang, sehingga peternak juga harus menambah jumlah pakan konsentrat yang diberikan kepada ternak. Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga terletak di lereng/kaki Gunung Merbabu bagian utara yang langsung menghadap arah datangnya angin monsun barat, sementara Kabupaten Boyolali terletak di lereng/kaki Gunung Merbabu

Transcript of Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

Page 1: Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

173

8thIndustrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017

Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan

Sapi Perah di Lereng/Kaki Gunung Merbabu

Trifani Taurusiana Prihantini1, Sobirin2, dan Tuty Handayani3

1Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424

E-mail : [email protected] 2Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424

E-mail : [email protected] 3Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Wilayah lereng/kaki Gunung Merbabu merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah di Jawa Tengah yang secara klimatologis

memiliki perbedaan curah hujan yang berdampak pada kekeringan yang terjadi. Penelitian ini menganalisis tingkat keterpaparan

kekeringan dalam kaitannya dengan peternakan sapi perah. Keterpaparan kekeringan diperoleh dengan metode skoring dan overlay

peta dari indikator durasi, intensitas, dan frekuensi penyimpangan kekeringan yang diolah dari data curah hujan harian dengan

metode de Boer. Produktivitas sapi perah dan pengeluaran peternak diperoleh dari hasil wawancara pada 44 lokasi yang

penentuannya mengikuti metode stratified proportional random sampling. Hasil analisis dari overlay peta dan komparasi ruang

diperkuat dengan analisis uji T bahwa wilayah keterpaparan kekeringan tinggi cenderung terdapat di daerah yang membelakangi

arah angin monsun barat. Pada wilayah yang keterpaparan kekeringan tinggi penurunan produktivitas sapinya rendah dan

peningkatan pengeluaran peternaknya pun rendah. Sebaliknya pada wilayah keterpaparan kekeringan rendah penurunan

produktivitas sapinya lebih tinggi dan peningkatan pengeluaran peternaknya yang juga tinggi.

Kata Kunci

Kekeringan,Keterpaparan, Produktivitas, Sapi Perah

1. PENDAHULUAN

Lereng/kaki Gunung Merbabu merupakan dataran tinggi yang

memiliki suhu sejuk yang mendukung bagi pertumbuhan sapi

perah. Sapi perah di Indonesia hanya dapat tumbuh optimal

pada ketinggian wilayah tertentu yang berkaitan erat dengan

suhu udara. Sapi perah di Indonesia umumnya berjenis Fries

Holland (FH) yang hidup pada daerah dengan suhu dingin

agar dapat bereproduksi dan menghasilkan susu secara

optimal, sementara Indonesia merupakan negara beriklim

tropis dengan suhu yang hangat [1].

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki musim hujan dan

musim kemarau yang dipengaruhi angin monsun barat dan

timur. Namun ada saatnya terjadi penurunan curah hujan yang

disebabkan oleh fenomena El Nino Southern Oscillation

(ENSO), yaitu meningkat atau menurunnya suhu air laut jauh

di atas atau di bawah kondisi normal (nilai rata-rata) di

kawasan Samudera Pasifik sehingga terjadi kekeringan di

wilayah Indonesia [2]. Bagi peternak sapi perah, kekeringan

merugikan karena menyebabkan kematian ternak, kelangkaan

air, nutrisi pakan yang buruk, dan wabah penyakit [3].

Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Kabupaten Boyolali

terletak di lereng/kaki Gunung Merbabu sehingga menjadi

sentra peternakan sapi perah di Provinsi Jawa Tengah.

Sebagai wilayah peternakan sapi perah, kekeringan yang

terjadi secara tidak langsung berdampak pada peternakan sapi

perah. Kekeringan menyebabkan produktivitas sapi perah

menurun sehingga para peternak harus mengeluarkan biaya

lebih untuk membeli pakan ternak karena selama masa

kekeringan pakan ternak berupa rumput hijauan sulit dicari.

Selain itu kadar air dalam rumput hijauan pun berkurang,

sehingga peternak juga harus menambah jumlah pakan

konsentrat yang diberikan kepada ternak.

Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga terletak di

lereng/kaki Gunung Merbabu bagian utara yang langsung

menghadap arah datangnya angin monsun barat, sementara

Kabupaten Boyolali terletak di lereng/kaki Gunung Merbabu

Page 2: Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

174

8thIndustrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017

bagian selatan yang membelakangi arah datangnya angin

monsun barat. Berdasarkan kondisi tersebut, Kabupaten

Semarang, Kota Salatiga, dan Kabupaten Boyolali yang

memiliki karakteristik klimatologis berbeda yang berdampak

pada kekeringan yang terjadi. Kekeringan akan menyebabkan

ketersediaan pakan ternak sapi perah yang berkurang yang

kemudian akan berdampak pada produktivitas sapi perah

yang menurun dan diikuti oleh pengeluaran peternak yang

meningkat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

hubungan kekeringan meteorologis dengan peternakan sapi

perah di lereng/kaki Gunung Merbabu dengan melihat

perbedaan produktivitas sapi perah dan pengeluaran peternak

sapi perah saat kekeringan pada wilayah keteraparan

kekeringan yang berbeda.

2. LANDASAN TEORI

2.1. Keterpaparan

Keterpaparan merupakan tingkat tekanan iklim pada unit

analisis tertentu (yaitu lingkungan, sektor) dan dapat ditandai

dengan perubahan jangka panjang dalam kondisi iklim atau

perubahan variabilitas iklim, termasuk besarnya dan frekuensi

kejadian ekstrim dalam konteks perkotaan Keterpaparan

merupakan tren perubahan iklim di masa depan dan

merupakan potensi ancaman perubahan iklim berdasarkan

pada rekam pola meteorologi (meteorological pattern) [4].

2.2. Peternakan Sapi Perah

Usaha ternak sapi perah di Indonesia sudah dimulai sejak

abad 17 bersamaan dengan masuknya Belanda ke Indonesia.

Pada saat itu didatangkan sapi-sapi perah ke Indonesia untuk

memenuhi kebutuhan akan susu sapi untuk orang-orang

Belanda. Pada waktu itu bangsa sapi tipe perah yang

didatangkan adalah Fries Holland dari Belanda [1].

Keberhasilan usaha ternak sapi perah tergantung beberapa

faktor sebagai berikut [5]: (1) sumber daya manusia, bahwa

efesiensi usaha ternak tergantung dari peternak itu sendiri

dalam kaitannya dengan penguasaan ilmu pengetahuan,

keterampilan, dan teknologi pengelolaan secara efesien, (2)

sumber daya alam, bahwa pengadaan bahan makanan berupa

hijauan dan penguat memerlukan sumber daya alam yang

memadai, ternak perah memerlukan bahan makanan hijauan

dalam jumlah yang cukup banyak, maka perlu persediaan

lahan yang cukup, (3) sarana penunjang, seperti dukungan

dari pihak pemerintah dan swasta.

Sapi perah membutuhkan banyak air bersih, karena air

merupakan salah satu kebutuhan utama bagi sapi selain

pakan[6].Pada peternakan sapi perah, air tidak hanya

digunakan untuk konsumsi ternak secara langsung (minum),

tetapi juga digunakan secara tidak langsung dalam bentuk

pakan hijauan dan pakan kering (konsentrat), dan tanaman

lain yang digunakan sebagai pakan ternak [7].Produksi susu

yang tinggi menghendaki persediaan air dalam jumlah yang

besar dan tersedia secara terus menerus, diperlukan paling

sedikit 75 liter air per ekor per hari [8].

Kekeringan merupakan salah satu faktor lingkungan yang

paling mempengaruhi perubahan populasi sapi perah,

kekeringan menyebabkan kematian pada ternak sehingga

peternak banyak yang menjual ternak mereka. Faktor yang

menyebabkan kematian ternak pada saat kekeringan adalah

kelangkaan air, nutrisi pakan yang buruk, dan wabah penyakit

[8].

Perubahan iklim berupa berubahnya pola hujan berdampak

pada produktivitas ternak perah. Musim hujan yang lebih

pendek serta intensitas hujan yang kurang memadai

menyebabkan menurunnya hasil panen dan ketersediaan

pakan yang tidak memadai sehingga harga pakan ternak

meningkat selama musim kering [9].

3. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Kabupaten Boyolali

merupakan tiga kabupaten/kota yang masuk dalam

administrasi Provinsi Jawa Tengah. Ketiga wilayah ini saling

berbatasan, yaitu Kota Salatiga berada di tengah-tengah

Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Boyolali berada di

selatan dan timur Kabupaten Semarang (lihat Gambar 1).

Kabupaten Semarang secara astronomis terletak di

110°14’54,75”–110°39’3” Bujur Timur dan 7°3’57”–7°30’

Lintang Selatan; Kota Salatiga terletak antara 110°27'56,81”–

110°32'4,64” Bujur Timur dan 7°17'0”–7°17'23” Lintang

Selatan; dan Kabupaten Boyolali terletak antara 110°22'0”–

110°50'0” Bujur Timur dan 7°7'0”–7°36'0” Lintang Selatan.

Page 3: Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

175

8thIndustrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017

Gambar 1.Peta Administrasi Kabupaten/Kota Semarang,

Salatiga, dan Boyolali

Topografi Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan

Kabupaten Boyolali terdiri dari pegunungan dengan variasi

ketinggian mulai dari 75 mdpl pada Kabupaten Boyolali

hingga titik tertinggi pada Gunung Merbabu, yaitu 3.145

mdpl yang terletak di bagian barat. Bagian barat merupakan

dataran tinggi dengan ketinggian >1.000 mdpl, sementara

semakin ke timur ketinggian wilayahnya semakin rendah,

yaitu <500 mdpl (lihat Gambar 2).

Gambar 2.Peta Wilayah Ketinggian

Adanya variasi ketinggian menjadikan Kabupaten Semarang,

Kota Salatiga, dan Kabupaten Boyolali sebagai daerah yang

optimal untuk peternakan sapi perah. Populasi sapi perah di

Kabupaten Boyolali merupakan yang terbanyak di Provinsi

Jawa Tengah, yaitu mencapai 86.363 ekor dengan rumah

pemilik ternak sapi perah berjumlah 23.241 orang pada tahun

2015. Populasi sapi perah di Kabupaten Semarang berjumlah

25.780 ekor dengan pemilik ternak sapi perah berjumlah

8.539 orang pada tahun 2015. Sementara, populasi ternak sapi

perah di Kota Salatiga tidak sebanyak di Kabupaten Boyolali

dan Kabupaten Semarang, yaitu berjumlah 3.475 ekor pada

tahun 2015.

Gambar 3.Peta Arah Angin Monsun Barat dan Timur

Hujan di Kabupaten Semarang, Kabupaten Salatiga, dan

Kabupaten Boyolali dipengaruhi oleh angin monsun. Angin

monsun barat bergerak dari Benua Asia menuju Benua

Australia melewati Indonesia dengan membawa banyak uap

air yang memasuki Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan

Kabupaten Boyolali dari arah barat laut menuju ke arah timur

dan tenggara(lihat Gambar 3), sehingga Kabupaten Semarang

akan menerima curah hujan lebih dahulu dibanding

Kabupaten Boyolali.

Selain arah angina monsoon, arah hapadan lereng juga

berkaitan dengan banyak tidaknya hujan yang diterima oleh

suatu wilayah. Wilayah yang lerengnya menghadap arah

datangnya angin cenderung mendapatkan hujan lebih banyak

dibandingkan wilayah yang membelakangi arah datangnya

angin.

Gambar 4.Peta Arah Hadapan Lereng

Page 4: Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

176

8thIndustrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017

Wilayah Kabupaten Semarang bagian selatan serta Kota

Salatiga pada umumnya memiliki arah hadapan lereng yang

menghadap arah datangnya angin monsun barat (lihat Gambar

4). Wilayah ini cenderung mendapatkan hujan lebih banyak

dibandingkan wilayah Kabupaten Boyolali bagian barat dan

Kabupaten Semarang bagian barat laut yang lebih banyak

memiliki lereng menghadap timur, tenggara dan selatan.

Wilayah ini mendapatkan hujan lebih sedikit karena

membelakangi arah datangnya angin monsun barat yang

membawa uap air.

4. METODOLOGI

Daerah penelitian, yaitu di lereng/kaki Gunung Merbabu yang

meliputi Kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, dan Kota

Salatiga. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

tingkat keterpaparan kekeringan, produktivitas sapi perah,

dan pengeluaran peternak sapi perah.

Kekeringan terjadi di daerah penelitian dengan tingkat

keterpaparan kekeringan yang berbeda. Perbedaan tingkat

keterpaparan kekeringan ini didapatkan berdasarkan tiga

indikator, yaitu durasi kekeringan yang dinyatakan dalam

dasarian, intensitas kekeringan yang dinyatakan dalam

mm/dasarian, serta frekuensi kekeringan yang dinyatakan

dalam kejadian penyimpangan kekeringan.Produktivitas sapi

perah dan pengeluaran peternak sapi perah dilihat

perbedaanya saat kondisi normal dan saat kekeringan.

Produktivitas ternak sapi perah dinyatakan dalam

liter/ekor/hari dan pengeluaran peternak sapi perah

dinyatakan dalam rupiah/ekor/hari. Perbedaan produktivitas

sapi perah dan perbedaan pengeluaran peternak sapi perah

dianalisis hubungannya dengan keterpaparan kekeringan di

daerah penelitian.

Alur pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5.Alur Pikir Penelitian

Data pada penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer didapat dari mewawancarai

responden untuk mengetahui pengaruh kekeringan yang

terjadi di daerah mereka terhadap produktivitas sapi perah

dan pengeluaran peternak sapi perah. Untuk mendapatkan

informasi yang sesuai dengan kebutuhan, responden yang

dipilih adalah penduduk dalam daerah penelitian yang

merupakan peternak sapi perah. Karena belum diketahui

wilayah keterpaparannya, maka diambil beberapa responden

sebagai sampel berdasarkan wilayah ketinggian, yaitu

ketinggian kurang dari 500 mdpl, ketinggian 500-1000 mdpl,

dan ketinggian lebih dari 1000 mdpl. Dalam penelitian ini,

pengambilan sampel menggunakan metode stratified

proportional random sampling yang berjumlah 44 responden,

yang terdiri dari 13 responden pada wilayah ketinggian <500

mdpl, 20 responden pada wilayah ketinggian 500-1000 mdpl,

dan 11 responden pada wilayah ketinggian >1000 mdpl.

Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan dari beberapa

instansi terkait. Data curah hujan harian selama periode 1990-

2015 pada 22 stasiun penakar didapat dari Balai Pengelolaan

Sumber Daya Air (BPSDA) Jawa Tengah dan BPSDA

Bengawan Solo. Data jumlah rumah tangga peternak sapi

perah tahun 2015 didapat dari Dinas Peternakan dan

Perikanan (Disnakkan) Kabupaten Semarang, dan Disnakkan

Kabupaten Boyolali. Selain itu data spasial yang dibutuhkan

untuk pembuatan peta dasar, yaitu data batas administrasi

skala 1:25.000 dan data kontur skala 1:25.000 dalam bentuk

Peternakan Sapi

Perah Curah Hujan

Tahun 1990 - 2015

Daerah Penelitian

(Lereng/Kaki Gunung Merbabu)

Keterpaparan

Kekeringan

Hubungan Kekeringan dengan Peternakan Sapi

Perahdi Lereng/Kaki Gunung Merbabu

Frekuensi Intensitas Durasi

Pengeluaran

Peternak

Produktivitas

Sapi Perah

Perbedaan

Pengeluaran

Peternak

Perbedaan

Produktivitas Sapi

Perah

Page 5: Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

177

8thIndustrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017

shapefile didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan

Informasi Geospasial (BIG).

Data curah hujan harian tiap tahun diolah menjadi data 10

harian (dasarian) menggunakan metode de Boer untuk

mendapatkan intensitas kekeringan, durasi kekeringan, dan

frekuensi kekeringan meteorologis. Durasi kekeringan

ditentukan dengan menghitung rata-rata curah hujan selama

27 tahun, kemudian dijumlahkan durasi musim kemaraunya.

Intensitas kekeringan ditentukan dengan menghitung rata-rata

curah hujan di musim kemarau setiap tahun, kemudian

dihitung rata-ratanya selama 26 tahun. Frekuensi kekeringan

ditentukan dengan menghitung simpangan baku terlebih

dahulu, kemudian dihitung berapa banyak durasi kekeringan

yang berada di atas nilai simpangan baku.Durasi kekeringan,

intensitas kekeringan, dan frekuensi kekeringan dibagi

menjadi 5 kelas yang diberi bobot nilai dari 1 sampai 5 sesuai

dengan kelasnya untuk mendapatkan tingkat keterpaparan

kekeringan. Nilai yang didapatkan dari durasi kekeringan,

intensitas kekeringan, dan frekuensi kekeringan dijumlahkan

untuk mendapatkan tingkat keterpaparan kekeringan.

Keterpaparan kekeringan dibagi menjadi 3 kelas, yaitu tingkat

keterpaparan kekeringan rendah, sedang, dan tinggi.

Kemudian dibuat peta durasi kekeringan, intensitas

kekeringan, frekuensi kekeringan, dan tingkat keterpaparan

kekeringan dengan metode interpolasi spline.

Data hasil wawancara responden mengenai produktivitas sapi

perah dan pengeluaran peternak sapi perah dimasukkan ke

dalam software Microsoft Excel menjadi data tabular. Data

diolah untuk mengetahui perbedaan produktivitas sapi perah

dan pengeluaran peternak sapi perah dengan cara menghitung

selisih antara jumlah susu sapi yang dihasilkan dan

pengeluaran peternak sapi perah saat terjadi kekeringan dan

tidak kerjadi kekeringan (normal) dan kemudian selisih

tersebut dihitung rata-ratanya pada masing-masing wilayah

keterpaparan kekeringan.Data perbedaan produktivitas sapi

perah dan pengeluaran peternak sapi perah diklasifikasikan

menjadi 3 kelas perbedaan produktivitas sapi perah dan

pengeluaran peternak sapi perah untuk selanjutnya diolah

menjadi peta menggunakan software ArcMAP 10.1.

Data-data yang telah diolah kemudian dianalisis

menggunakan pendekatan keruangan dan kuantitatif untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Analisis

keruangan dilakukan dengan cara mendeskripsikan pola-pola

yang terbentuk dari hasil pengolahan data spasial berupa

overlay peta. Pertama adalah mendeskripsikan bagaimana

keterpaparan kekeringan di daerah penelitian yang terbentuk

pada peta. Kedua mendeskripsikan bagaimana produktivitas

sapi perah dan pengeluaran peternak sapi perah pada peta.

Ketiga mendeskripsikan pola yang terbentuk dari hasil

overlay antara keterpaparan kekeringan dengan perbedaan

produktivitas sapi perah dan perbedaan pengeluaran peternak

sapi perah. Hubungan tingkat keterpaparan kekeringan

terhadap produktivitas ternak sapi perah dan pengeluaran

peternak sapi perah dianalisis dengan cara komparasi ruang

antara tingkat keterpaparan kekeringan dengan perbedaan

produktivitas ternak sapi perah dan dengan perbedaan

pengeluaran peternak sapi perah pada saat normal dan

kekeringan.Analisis kuantitatif dilakukan dengan perhitungan

statistik untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-

rata produktivitas sapi perah dan rata-rata pengeluaran

peternak sapi perah saat kondisi normal dengan saat kondisi

kekeringan. Analisis yang digunakan adalah uji T

berpasangan (paired T test).

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Durasi Kekeringan

Durasi kekeringan di daerah penelitian semakin ke utara

memiliki durasi hujan yang lebih pendek, sementara di bagian

selatan memiliki durasi hujan yang cukup panjang. Sebagian

besar daerah penelitian memiliki durasi kekeringan ≤13

dasarian yang terletak di bagian tengah hingga utara serta di

bagian tenggara daerah penelitian. Daerah penelitian yang

memiliki durasi kekeringan terpanjang (>19 dasarian)

sebagian besar berada di bagian selatan daerah penelitian

(lihat Gambar 6).

Gambar 6. Peta Durasi Kekeringan

Durasi kekeringan ditentukan berdasarkan awal dan akhir

musim kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa pada bagian

Page 6: Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

178

8thIndustrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017

selatan daerah penelitian musim kemarau datang lebih cepat

atau musim kemarau berakhir lebih lambat.

5.2. Intensitas Kekeringan

Sebagian besardaerah penelitian memiliki intensitas

kekeringan rendah dengan rata-rata curah hujan saat

kekeringan adalah sebesar 17-20 mm/dasarian. Wilayah

dengan intensitas rendah ini terletak di bagian tengah daerah

penelitian. Bagian paling selatan daerah penelitian memiliki

intensitas kekeringan sangat tinggi dengan rata-rata curah

hujan ≤11 mm/dasarian. Daerah penelitian dengan intensitas

kekeringan sangat rendah, yaitu dengan rata-rata curah hujan

>20 mm/dasarian terletak pada bagian barat dan utara daerah

penelitian (lihat Gambar 7).

Gambar 7. Peta Intensitas Kekeringan

5.3. Frekuensi (Penyimpangan) Kekeringan

Sebagian besar daerah penelitian memiliki frekuensi

penyimpangan kekeringan sebanyak <1 kejadian yang

terletak pada bagian barat, timur, dan utara daerah penelitian.

Semakin ke bagian selatan daerah penelitian, frekuensi

penyimpangan kekeringan semakin tinggi.Wilayah paling

selatan memiliki frekuensi penyimpangan tertinggi, yaitu ≥4

kejadian (lihat Gambar 8).

Gambar 8. Peta Frekuensi Kekeringan

5.4. Keterpaparan Kekeringan

Keterpaparan kekeringan adalah tingkat tekanan kekeringan

di suatu wilayah yang disebabkan karena panjangnya durasi

kemarau, rendahnya curah hujan, dan banyaknya kejadian

penyimpangan kekeringan.

Semakin ke selatan durasi kekeringan daerah penelitian

semakin panjang, intensitas kekeringan semakin tinggi, dan

frekuensi penyimpangan kekeringan yang juga tinggi. Hal ini

menyebabkan daerah penelitian bagian selatan memiliki

tingkat keterpaparan yang tinggi (lihat Gambar 9).Wilayah

keterpaparan kekeringan tinggi memiliki luas 136,97 km2.

Gambar 9.Peta Keterpaparan Kekeringan

Tingkat keterpaparan kekeringan tidak lepas dari pengaruh

angin monsun dan arah hadapan lereng. Angin monsun barat

yang membawa uap air berhembus dari arah barat laut dan

menurunkan hujan di bagian utara daerah penelitian terlebih

dahulu. Selain itu arah hadapan lereng daerah penelitian

bagian selatan membelakangi arah datangnya angin monsun

barat.Sehingga hujan yang diterima daerah penelitian bagian

Page 7: Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

179

8thIndustrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017

selatan lebih sedikit dan memiliki tekanan kekeringan yang

lebih tinggi.

5.5. Produktivitas Sapi Perah

Produktivitas sapi perah di lereng/kaki Gunung Merbabu

lebih rendah saat kekeringan. Saat kondisi normal produksi

susu sapi perah berkisar antara 7-22 liter/ekor/hari dengan

rata-rata 14,82 liter/ekor/hari, sementara pada saat kekeringan

produktivitas sapi perah berkisar antara 6-22 liter/ekor/hari

dengan rata-rata 14,03 liter/ekor/hari (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Produktivitas Sapi Perah

Kondisi

Klimatologis

Produktivitas Sapi Perah

(liter/ekor/hari)

Minimum Maksimum Rata-rata

Normal 7 22 14,82

Kekeringan 6 22 14,02

Sumber: Pengolahan data, 2017

Jika dikaji secara spasial, produktivitas sapi perah

diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi, yaitu produksi susu

<12 liter/ekor/hari, 12-17 liter/ekor/hari, dan >17

liter/ekor/hari. Ketika kekeringan wilayah produktivitas sapi

perah <12 liter/ekor/hari lebih luas dibandingkan saat normal

terutama di bagian timur daerah penelitian, baik pada wilayah

keterpaparan tinggi maupun wilayah keterpaparan rendah.

Tidak demikian dengan wilayah produktivitas 12-17

liter/ekor/hari dan >17 liter/ekor/hari yang saat kekeringan

tidak lebih luas dari kondisi normal, baik pada wilayah

keterpaparan tinggi maupun rendah. Hal ini menunjukkan

bahwa produktivitas sapi perah lebih rendah saat kekeringan

(lihat Gambar 10).

Gambar 10.Produktivitas Sapi Perah saat Normal dan

Kekeringan

5.6. Pengeluaran Peternak Sapi Perah

Pengeluaran peternak sapi perah di lereng/kaki Gunung

Merbabu lebih tinggi saat kekeringan. Pengeluaran peternak

sapi perah saat normal berkisar antara Rp0,00 sampai

Rp53.260,00/ekor/hari dengan rata-rata pengeluaran

Rp27.147,00/ekor/hari, sementara saat kekeringan

pengeluaran peternak berkisar antara Rp10.000,00 sampai

Rp60.000,00/ekor/hari dengan rata-rata pengeluaran

Rp32.061,00/ekor/hari (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Pengeluaran Pernak Sapi Perah

Kondisi

Klimatologis

Pengeluaran Peternak Sapi Perah

(rupiah/ekor/hari)

Minimum Maksimum Rata-rata

Normal 0 53.260 27.146

Kekeringan 10.000 60.000 32.061

Sumber: Pengolahan data, 2017

Jika dikaji secara spasial, pengeluaran peternak sapi perah

diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi, yaitu

<Rp20.000,00/ekor/hari, Rp20.000,00–

Rp40.000,00/ekor/hari, dan >Rp40.000,00/ekor/hari. Wilayah

pengeluaran peternak sapi perah >Rp40.000,00/ekor/hari

yang pada mulanya terdapat di wilayah keterpaparan sedang,

menjadi bertambah luas ke arah wilayah keterpapapran tinggi

dan rendah ketika kekeringan. Selain itu di bagian barat pada

wilayah keterpaparan rendah juga muncul wilayah

pengeluaran peternak >Rp40.000,00/ekor/hari.

Gambar 11.Pengeluaran Peternak Sapi Perah saat Normal dan

Kekeringan

Page 8: Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

180

8thIndustrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017

Lain halnya pada peternak dengan wilayah pengeluaran

<Rp20.000,00 dan Rp20.000,00-Rp40.000,00/ekor/hari yang

luasnya berkurang saat kekeringan. Wilayah pengeluaran

peternak <Rp20.000,00/ekor/hari luasnya berkurang terutama

pada wilayah keterpaparan kekeringan tinggi. Sementara

wilayah pengeluaran peternak Rp20.000,00-

Rp40.000,00/ekor/hari pada umumnya luasnya berkurang di

wilayah keterpaparan kekeringan rendah (lihat Gambar 11).

5.7. Hubungan Kekeringan dengan Produktivitas Sapi

Perah

Rata-rata produktivitas sapi perah saat kondisi normal

sebanyak 14,82 liter/ekor/hari sementara saat kekeringan

sebanyak 14,02 liter/ekor/hari yang berarti terjadi penurunan

produktivitas sapi perah sebanyak 0,80 liter/ekor/hari atau

sebesar 5,37%. Hal tersebut menunjukkan ada perbedaan

produktivitas sapi perah saat kekeringan di lereng/kaki

Gunung Merbabu yang cukup signifikan. Sesuai dengan hasil

uji T, yaitu diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,015 (p<0,05)

dengan t hitung 2,54 (t hitung > t tabel 2,017).

Penurunan produksi susu ketika kekeringan terjadi pada 25%

sapi perah di lereng/kaki Gunung Merbabu (lihat Tabel 3),

terutama di wilayah keterpaparan tinggi (lihat Gambar

12).Penurunan produktivitas sapi perah di wilayah

keterpaparan kekeringan tinggi berkisar antara 2-6

liter/ekor/hari dengan rata-rata penurunan 4 liter/ekor/hari.

Tabel 3. Persentase Sapi Perah Berdasarkan Perbedaan

Produktivitas

Tingkat

Keterpaparan

Kekeringan

Perbedaan Produktivitas Sapi Perah Total

(%) Meningkat

Tidak

Berubah Menurun

Rendah 2,27% 31,82% 4,55% 38,64

Sedang 2,27% 25,00% 6,82% 34,09

Tinggi 0,00% 13,64% 13,64% 27,27

Total 4,55% 70,45% 25,00% 100

Sumber: Pengolahan data, 2017

Gambar 12.Perbedan Produktivitas Sapi Perah saat Normal

dan Kekeringan

Rata-rata penurunan produktivitas sapi perah di wilayah

keterpaparan rendah, yaitu sebanyak 5 liter/ekor/hari dengan

kisara antara 2-9 liter/ekor/hari. Namun penurunan

produktivitas di wilayah keterpaparan kekeringan rendah

hanya terjadi pada 4,55% sapi perah (lihat Tabel 4).

Tabel 4. Penurunan Produktivitas Sapi Perah

Tingkat

Keterpaparan

Kekeringan

Penurunan Produktivitas Sapi Perah

(liter/ekor/hari)

Minimum Maksimum Rata-

rata

Rendah 2 9 5

Sedang 2 4 3

Tinggi 2 6 4

Rata-rata 4

Sumber: Pengolahan data, 2017

Penurunan produktivitas sapi perah di lereng/kaki Gunung

Merbabu lebih banyak terjadi pada sapi perah di wilayah

keterpaparan kekeringan tinggi karena tekanan kekeringan

yang terjadi berdampak pada ketersediaan pakan ternak yang

berkurang. Curah hujan yang sedikit tidak mencukupi untuk

pertumbuhan tanaman, termasuk rumput gajah yang menjadi

pakan utama sapi perah. Selain faktor pakan yang kurang,

saat kekeringan sapi perha juga mengurangi konsumsi pakan

untuk mengatur suhu tubuhnya agar tidak terlalu panas. Hal

ini sesuai dengan pendapat Tjatur dan Ihsan (2011) yang

menyatakan bahwa konsumsi pakan berkaitan dengan DMI

(Dry Matter Index). Ketika konsumsi pakan berkurang,

kinerja reproduksi sapi perah akan menurun. Hal ini berkaitan

dengan produksi susu yang akan ikut berkurang.

Page 9: Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

181

8thIndustrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017

5.8. Hubungan Kekeringan dengan Pengeluaran Peternak

Sapi Perah

Rata-rata pengeluaran peternak sapi perah saat kondisi normal

sebesar Rp27.146,00/ekor/hari sementara saat kekeringan

sebesar Rp32.061,00/ekor/hari yang berarti terjadi

peningkatan pengeluaran peternak sapi perah sebesar

Rp4.915,00/ekor/hari. Hal tersebut menunjukkan ada

perbedaan pengeluaran peternak sapi perah di lereng/kaki

Gunung Merbabu yang cukup signifikan. Sesuai dengan hasil

uji T, yaitu diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,00 (p<0,05)

dengan t hitung -5,46 (-t hitung <-t tabel 2,02) yang dapat

disimpulkan bahwa ada beda nyata antara produtivitas sapi

perah saat kondisi normal dan saat kekeringan.

Tabel 5. Persentase Peternak Sapi Perah Berdasarkan Perbedaan

Pengeluaran

Tingkat

Keterpaparan

Kekeringan

Perbedaan Pengeluaran Peternak Total

(%) Menurun

Tidak

Berubah Meningkat

Rendah 2,27% 9,09% 27,27% 38,64

Sedang 0,00% 13,64% 20,45% 34,09

Tinggi 0,00% 9,09% 18,18% 27,27

Total 2,27% 31,82% 65,91% 100

Sumber: Pengolahan data, 2017

Peningkatan pengeluaran saat kekeringan terjadi pada 65,91%

peternak sapi perah (lihat Tabel 5) yang pada umumnya

terjadi di wilayah keterpaparan kekeringan rendah (lihat

Gambar 13). Peningkatan pengeluaran peternak di wilayah

keterpaparan rendah berkisar antara Rp850,00–

Rp25.000,00/ekor/hari dengan rata-rata peningkatan

Rp8.640,00/ekor/hari.

Gambar 13.Perbedan Pengeluaran Peternak Sapi Perah saat

Normal dan Kekeringan

Sementara di wilayah keterpaparan kekeringan tinggi

peningkatan pengeluaran hanya terjadi pada 18,18% peternak

sapi perah. Rata-rata peningkatan pengeluaran peternak di

wilayah ini adalah Rp7.527,00/ekor/hari dengan kisaran

antara Rp5.000,00–Rp18.214,00/ekor/hari (lihat Tabel 6).

Tabel 6.Peningkatan Pengeluaran Peternak Sapi Perah

Tingkat

Keterpaparan

Kekeringan

Peningkatan Pengeluaran Peternak Sapi

Perah (Rp/ekor/hari)

Minimum Maksimum Rata-rata

Rendah 850 25.000 8.640

Sedang 3.333 15.000 6.703

Tinggi 5.000 18.214 7.527

Rata-rata 7.623

Sumber: Pengolahan data, 2017

Pengeluaran peternak sapi perah meningkat karena

kekeringan yang terjadi di daerah penelitian menyebabkan

rumput hijauan yang merupakan pakan utama ternak sapi

perah berkurang sehingga menuntut peternak untuk

mengeluarkan biaya lebih untuk mencukupi kebutuhan pakan

ternak. Pada saat kekeringan peternak harus membeli rumput

hijauan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak, disamping

itu beberapa peternak juga mengganti kebutuhuan rumput

hijauan dengan membeli jerami. Selain itu kadar air yang

terkandung dalam rumput hijauan berkurang, sehingga

peternak harus menambah jumlah konsentrat atau ampas tahu

dan kulit singkong yang dikonsumsi ternak. Hal ini selaras

dengan pendapat Moreki (2013) yang menyatakan bahwa

musim hujan yang lebih pendek serta intensitas hujan yang

kurang memadai menyebabkan menurunnya hasil panen dan

ketersediaan pakan yang tidak memadai sehingga harga pakan

ternak meningkat selama musim kering.

6. KESIMPULAN

Wilayah keterpaparan kekeringan tinggi di lereng/kaki

Gunung Merbabu cenderung terletak di bagian selatan daerah

penelitian yang membelakangi arah datang angin monsun

barat. Wilayah ini memiliki durasi kekeringan yang panjang,

intensitas kekeringan yang tinggi, serta frekuensi kejadian

penyimpangan kekeringan yang tinggi.

Produktivitas sapi perah di lereng/kaki Gunung Merbabu saat

kekeringan lebih rendah dibandingkan saat kondisi normal

terutama di wilayah keterpaparan tinggi. Sementara itu,

pengeluaran peternak sapi perah di lereng/kaki Gunung

Merbabu saat kekeringan lebih tinggi dibandingkan saat

kondisi normal terutama di wilayah keterpaparan rendah.

Terdapat beda nyata antara produktivitas sapi perah saat

kondisi normal dan saat kekeringan, serta antara pengeluaran

peternak sapi perah saat kondisi normal dan saat kekeringan.

Pada wilayah keterpaparan kekeringan rendah produktivitas

Page 10: Hubungan Keterpaparan Kekeringan dengan Peternakan Sapi ...

182

8thIndustrial Research Workshop and National Seminar Politeknik Negeri Bandung July 26-27, 2017

sapi perah cenderung tidak berubah, namun peternak sapi

perah harus menambah pengeluaran rata-rata sebesar

Rp8.640,00/ekor/hari. Sementara pada wilayah keterpaparan

kekeringan tinggi produktivitas sapi perah cenderung

menurun dengan pengeluaran peternak sapi perah yang

cenderung meningkat hanya rata-rata sebesar

Rp7.527,00/ekor/hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada pembimbing, staf Balai Pengelolaan

Sumber Daya Air (BPSDA) Jawa Tengah danBengawan

Solo, staf Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakkan)

Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, serta pihak-

pihak lain yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1]Adger, W.N. 2006. Vulnerability. Tyndall Center for

Climate Change Research. UK.

[2] Kodoatie, R.J., & Roestam S. 2010. Tata Ruang Air.

Yogyakarta: Andi.

[3]Oba, G. 2001. The effect of multiple droughts on cattle in

Obbu, Northern Kenya. Journal of Arid Environments

(2001) 49: 375-386.

[4]USAID. (2014). Kajian Kerentanan Terhadap Perubahan

Iklim Kota Manado. Kota Kita. Manado.

[5] Nuraini, P. 2006. Potensi Sumber Daya dan Analisis

Pendapatan Usaha Peternakan Sapi Perah di Kabupaten

Sinjai. Jurnal Agrisistem, Juni 2006, Vol 2 No. 1.

[6]House, J. 2011. A guide to dairy herd management. Meat

& Livestock Australia Limited. North Sydney, Australia.

[7] Singh, O.P., Singh, P.K., Singh, R., Singh, H.P., & Badal,

P.S. 2004. Water Intensity of Milk Production: A

Comparative Analysis from Waterscarce and Water Rich

Regions of India. Economic Affairs: 59 (2): 299-309. [8]Adriyani, Y.H.S., Aunorohman, P., & Priyono, A. 1980.

Pengantar Ilmu Peternakan. Fakultas Peternakan

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

[9] Moreki, J.C., & Tsopito, C.M. 2013. Effect of Climate

Change on Dairy Production in Botswana and Its Suitable

Mitigation Strategies. Online Journal of Animal and Feed

Research Volume 3. Issue 6: 216-221.

[10] Tjatur N.K., Aju, & Ihsan, M.N. 2011. Penampilan

Reproduksi Sapi Perah Friesian Holstein (FH) pada

Berbagai Paritas dan Bulan Laktasi di Ketinggian

Tempat yang Berbeda. Jurnal Ternak Tropika Vol. 11,

No.2: 1-10, 2011.