HUBUNGAN KEBIASAAN MINUM KOPI DENGAN DIABETES...
Transcript of HUBUNGAN KEBIASAAN MINUM KOPI DENGAN DIABETES...
HUBUNGAN KEBIASAAN MINUM KOPI DENGAN
KEJADIAN DIABETES MELLITUS DI INDONESIA
ANALISIS DATA RISKESDAS TAHUN 2013
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun oleh:
NUR RISTA AGRESTRYANA
NIM: 1113101000086
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
LEMBAR PERNYATAAN
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, Oktober 2017
Nur Rista Agrestryana, NIM: 1113101000086
Hubungan Kebiasaan Minum Kopi Dengan Kejadian Diabetes Mellitus di
Indonesia (Analisis Data Riskesdas Tahun 2013)
xvi + 102 Halaman, 8 Gambar, 19 Tabel, 6 Lampiran
ABSTRAK
Kopi merupakan minuman yang paling banyak di konsumsi masyarakat di
dunia. Berbagai senyawa terkandung di dalam kopi telah memperlihatkan adanya
hubungan dengan metabolisme glukosa. Beberapa penelitian di dunia melaporkan
adanya hubungan antara konsumsi kopi dengan diabetes mellitus (DM). Di
Indonesia belum ada penelitian dalam jumlah besar untuk melihat hubungan
antara konsumsi kopi dengan DM. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian DM di Indonesia. Data yang
digunakan merupakan data sekunder Riset Kesehatan Dasar 2013 menggunakan
desain studi cross sectional. Jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak 712.580
dari seluruh Indonesia. Analisis menggunakan uji regresi logistik biner dan
menggunakan desain complex. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan
antara konsumsi kopi dengan DM dengan nilai P value < 0,05 dan nilai
Prevalence Ratio (PR) < 1. Individu yang mengkonsumsi kopi lebih dari satu kali
per hari dapat mengurangi risiko DM sebesar 33,9% dari pada yang tidak
konsumsi kopi. Konsumsi kopi satu kali per hari menurunkan risiko DM sebesar
32,8%, 3-6 kali perminggu sebesar 36%, 1-2 kali perminggu 35,9%, kurang dari
tiga kali perbulan menurunkan risiko sebesar 18,9%. Variabel usia dalam
penelitian ini terbukti menjadi konfounding hubungan konsumsi kopi dengan
diabetes mellitus, sehingga untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti
lebih lanjut konsumsi kopi dengan DM dengan mengontrol variabel konfounding
dan interaksi, serta membedakan konsumsi kopi tanpa gula dan konsumsi kopi
dengan gula.
Daftar Bacaan: 72 (1952-2017)
Kata Kunci: Konsumsi kopi, Diabetes Mellitus
iii
ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH DEPARTEMENT
EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION
Thesis, September 2017
Nur Rista Agrestryana, NIM: 1113101000086
Association of Habit of Coffee Consumption with Diabetes Mellitus in
Indonesia (2013 Riskesdas Data Analysis)
xvi + 102 pages, 8 figures, 19 tables, 6 attachment
ABSTRACT
Coffee is one of the most commonly consumed beverages in the world.
Various compounds contained in coffee could support glucose metabolism.
Several studies reported coffee consumption is associated with a decreased risk of
diabetes mellitus. In Indonesia, there has been no research in large numbers to
see the relationship between coffee consumption with diabetes mellitus (DM). This
study aims to investigate relationship between coffee consumption and DM in
Indonesia. The data used are secondary data of Basic Health Research 2013
using cross sectional study design. The number of samples collected was 712,580
from all over Indonesia. Analysis used binary logistic regression test with
complex design. The results showed that there is a relationship between coffee
consumption with DM with P value < 0,05 and prevalence ratio (PR) was < 1.
Individuals who consume more than once per day can reduce risk of DM by
33,9% than those who do not consume. Consumption once per day decreased the
risk of DM by 32,8%, 3-6 times weekly by 36%, 1-2 times week 35.9%, less than
three times per month lowered the risk by 18,7%. Age have been shown to be
konfounding variables. So for the next research is expected to further examine the
consumption of coffee with DM by controlling the konfounding variable, and
distinguish the consumption of coffee without sugar and coffee consumption with
sugar.
Reading list: 72 (1952-2017)
Key words: Coffee consumption, Diabetes mellitus
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
HUBUNGAN KEBIASAAN MINUM KOPI DENGAN KEJADIAN
DIABETES MELLITUS DI INDONESIA
ANALISIS DATA RISKESDAS TAHUN 2013
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Sidang
Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh :
NUR RISTA AGRESTRYANA
1113101000086
Jakarta, Oktober 2017
Mengetahui,
Pembimbing
Meilani M. Anwar, M.T
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Nur Rista Agrestryana
Tempat, Tanggal Lahir : Serang, 17 Agustus 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Conggeang RT/RW 03/01 Desa Gunungsari,
Kec. Gungungsari, Kab.Serang, Prov. Banten
Email : [email protected]
No Tlp. : 0895373203936
RIWAYAT PENDIDIKAN
SDN Gunung Sari 1
SMP Negeri 6 Kota Serang
SMA Negeri 1 Kota Serang
Epidemiologi, Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil skripsi yang
berjudul ―Hubungan Kebiasaan Minum Kopi dengan Kejadian Diabetes Mellitus
di Indonesia (Analisis Data Riskesdas Tahun 2013)‖ Tidak lupa, shalawat serta
salam selalu tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Nabi Muhammad
Salallahu’alaihi Wassalam. Semoga laporan ini dapat membawa manfaat bagi
semua pembaca.
Dalam penyusunan laporan ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi, namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam menulis laporan ini
tidak lain dan tidak bukan berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat
3. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan Kemenkes RI yang telah
menyetujui permintaan penggunaan data dari peneliti
4. Ibu Meilani M. Anwar, MT dan Ibu Hoirun Nisa, Ph.D selaku dosen
pembimbing fakultas yang telah membimbing dari awal hingga akhir
penulisan laporan ini
5. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan doa, semangat dan
bantuan moril maupun materiil
6. Seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan semangat
kepada peneliti
7. Teman seperjuangan Citra dan Sabrina yang selalu memberikan semangat
yang luar biasa kepada peneliti
8. Teman seperjuangan epidemiologi 2013, teman seperjuangan kosan
Najma, serta kepada teman-teman kesehatan masyarakat angkatan 2013
yang selalu ada dan memberikan semangat kepada peneliti
9. Serta semua pihak yang selalu memberikan energi positif bagi penulis
yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
viii
Penulis mengakui masih banyak kekurangan dalam laporan ini, oleh
karena itu penulis sangat berterima kasih apabila ada masukan yang bersifat
membangun untuk kesepurnaan laporan ini. Akhir kata, semoga laporan ini dapat
memberikan manfaat bagi berbagai pihak, terutama bagi penulis, Aamiin.
Jakarta, Oktober 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i
ABSTRAK .......................................................................................................... ii
ABSTRACT ......................................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN .................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 7
1.4 Tujuan ......................................................................................................... 7
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 7
1.5 Manfaat ....................................................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup ............................................................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 10
2.1 Diabetes Mellitus ........................................................................................ 10
2.1.1 Etiologi .......................................................................................... 11
2.1.2 Patofisiologi .................................................................................. 12
2.1.3 Patogenesis DM ............................................................................ 13
2.1.4 Diagnosis ...................................................................................... 16
2.2 Kopi ............................................................................................................. 16
2.2.1 Struktur Buah Kopi ....................................................................... 16
2.2.2 Proses Pembuatan Kopi ................................................................ 18
2.3 Faktor Risiko DM ....................................................................................... 26
2.3.1 Konsumsi Kopi ............................................................................. 26
x
2.3.2 Usia ............................................................................................... 33
2.3.3 Jenis Kelamin ................................................................................ 33
2.3.4 Indeks Massa Tubuh ..................................................................... 35
2.3.5 Aktivitas Fisik ............................................................................... 35
2.4 Analisis Statistik ......................................................................................... 36
2.4.1 Analisis Univariat ......................................................................... 36
2.4.2 Nilai Risiko dan Keputusan Uji Statistik ...................................... 38
2.4.3 Analisis Bivariat ........................................................................... 42
2.4.4 Analisis Multivariat ...................................................................... 42
2.4.5 Konfounding .................................................................................. 43
2.4.6 Efek Modifikasi (Interaksi) ........................................................... 44
2.5 Kerangka Teori ........................................................................................... 45
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ......... 45
3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................ 45
3.2 Definisi Operasional ................................................................................... 47
3.3 Hipotesis Penelitian .................................................................................... 49
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................. 50
4.1 Desain Penelitian ........................................................................................ 50
4.2 Sumber Data Penelitian ............................................................................... 50
4.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 50
4.2.2 Populasi dan Sampel ..................................................................... 50
4.2.3 Pengumpulan Data ........................................................................ 52
4.2.4 Instrumen Penelitian ..................................................................... 53
4.3 Pengukuran Variabel Penelitian .................................................................. 53
4.4 Manajemen Data ......................................................................................... 56
4.4.1 Pengkodean Data (data coding) .................................................... 56
4.4.2 Penyuntingan Data (data editing) ................................................. 57
4.4.3 Memasukan Data (data entry) ...................................................... 57
4.4.4 Pembersihan Data (data cleaning) ................................................ 57
4.5 Analisis Data ............................................................................................... 58
4.5.1 Analisis Univariat ......................................................................... 58
xi
4.5.2 Analisis Bivariat ........................................................................... 58
4.5.3 Nilai Prevalence Ratio (95% Confident Interval) ........................ 59
4.5.4 Analisis Multivariat ...................................................................... 60
BAB V HASIL ................................................................................................. 62
5.1 Analisis Univariat ....................................................................................... 62
5.1.1 Frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan frekuensi
konsumsi kopi dan minuman berkafein bukan kopi ..................... 62
5.1.2 Frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan karakteristik
individu ......................................................................................... 63
5.2 Analisis Bivariat .......................................................................................... 64
5.2.1 Hubungan frekuensi konsumsi kopi terhadap kejadian diabetes
mellitus .......................................................................................... 65
5.3 Analisis Multivariat .................................................................................... 66
5.3.1 Uji Interaksi .................................................................................. 66
5.3.2 Uji Konfounding .......................................................................... 70
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................. 77
6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 77
6.2 Frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan frekuensi konsumsi
kopi dan karakteristik individu ................................................................... 79
6.3 Hubungan kebiasaan minum konsumsi kopi dengan kejadian diabetes
mellitus ........................................................................................................ 82
6.4 Hubungan frekuensi konsumsi kopi dengan diabetes mellitus berdasarkan
karakteristik individu .................................................................................. 87
6.4.1 Usia ............................................................................................... 87
6.4.2 Jenis Kelamin ................................................................................ 89
6.4.3 Status Gizi ..................................................................................... 90
6.4.4 Aktifitas Fisik ............................................................................... 91
6.4.5 Konsumsi Minuman berkafein non-kopi (softdrink dan minuman
berenergi) ...................................................................................... 92
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 94
7.1 Simpulan ..................................................................................................... 94
7.2 Saran ........................................................................................................... 95
xii
7.2.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI ................................................... 95
7.2.2 Bagi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI ............ 96
7.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya .......................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 97
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe 1 .......................................... 14
Gambar 2.2 Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe 2 .......................................... 15
Gambar 2.3 Struktur Buah Kopi ...................................................................... 17
Gambar 2.4 Standar Mutu Kopi di Indonesia .................................................. 25
Gambar 2.5 Kandungan cafestol dan kahweol berdasarkan cara penyajian
kopi .............................................................................................. 32
Gambar 2.6 Komposisi Zat Kimia dalam 100 ml kopi ................................... 32
Gambar 2.7 Kerangka Teori ............................................................................ 45
Gambar 3.1 Kerangka Konsep......................................................................... 46
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................ 47
Tabel 4.1 Contoh Hubungan antara Frekuensi Konsumsi Kopi dengan
Kejadian Diabetes Mellitus di Indonesia Tahun 2013 .................... 60
Tabel 5.1 Frekuensi DM berdasarkan Frekuensi Konsumsi Kopi ...................... 62
Tabel 5.2 Frekuensi DM berdasarkan Karakteristik individu .......................... 63
Tabel 5.3 Hubungan Frekuensi Konsumsi Kopi dengan Kejadian Diabetes
Mellitus............................................................................................ 65
Tabel 5.4 Model Lengkap Uji Interkasi Hubungan Konsumsi Kopi dengan
DM .................................................................................................. 67
Tabel 5.5 Model Pertama Uji Interkasi Hubungan Konsumsi Kopi dengan
DM .................................................................................................. 67
Tabel 5.6 Model Kedua Uji Interkasi Hubungan Konsumsi Kopi dengan
DM .................................................................................................. 68
Tabel 5.7 Model Ketiga Uji Interkasi Hubungan Konsumsi Kopi dengan
DM .................................................................................................. 68
Tabel 5.8 Model Akhir Uji Interkasi Hubungan Konsumsi Kopi dengan DM 69
Tabel 5.9 Kesimpulan Model Uji Interaksi ...................................................... 69
Tabel 5.10 Permodelan Lengkap Kandidat Konfounding dan Kandidat
Interaksi dari Hubungan antara Konsumsi Kopi dengan Kejadian
Diabetes Mellitus............................................................................. 70
Tabel 5.11 Model Pertama Uji Konfounding .................................................... 71
Tabel 5.12 Model Kedua Uji Konfounding ...................................................... 72
Tabel 5.13 Model Ketiga Uji Konfounding ...................................................... 72
Tabel 5.14 Model Keempat Uji Konfounding .................................................. 73
Tabel 5.15 Model Kelima Uji Konfounding ..................................................... 73
xv
Tabel 5.16 Model Akhir Uji Konfounding ....................................................... 74
Tabel 5.17 Simpulan Uji Konfounding Hubungan Konsumsi Kopi dengan
Kejadian Diabetes Mellitus ............................................................. 75
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Perizinan
Lampiran 2 Surat Permohonan Permintaan Data
Lampiran 3 Kuesioner
Lampiran 4 Output Analisis Univariat
Lampiran 5 Output Analisis Bivariat
Lampiran 6 Output Analisis Multivariat
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu dari empat penyakit tidak
menular (PTM) utama di dunia (WHO, 2016a). Prevalensi global diabetes
mellitus pada orang dewasa usia diatas 18 tahun meningkat dari 4,7% pada tahun
1980 menjadi 8,5% pada tahun 2014 (WHO, 2016a). Di Amerika Serikat
sebanyak 29 juta orang mengalami diabetes mellitus, sedangkan di Asia Tenggara
pada tahun 2010 sekitar 71 juta orang mengalami diabetes mellitus (WHO, 2012).
Di Indonesia diabetes mellitus merupakan salah satu dari lima PTM tertinggi pada
tahun 2013. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi diabetes
di Indonesia meningkat dari 5,7% pada tahun 2007 menjadi 6,9% atau sekitar 9,1
juta pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil laporan Diabetes Country Profiles
2016 melaporkan bahwa pada tahun 2015 prevalensi diabetes mellitus di
Indonesia mencapai 7% (WHO, 2016b).
Diabetes mellitus merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian utama
di dunia (WHO, 2017). Pada tahun 2012, sekitar 1,5 juta kematian di dunia
disebabkan oleh diabetes mellitus (WHO, 2016a). Berdasarkan laporan WHO,
Indonesia termasuk lima negara di dunia yang diperkirakan memiliki jumlah
kematian tertinggi akibat diabetes mellitus pada usia diatas 15 tahun. Selain itu,
Diabetes mellitus menjadi salah satu PTM penyebab kematian tertinggi di
Indonesia.
Peningkatan jumlah kematian akibat DM dapat mengakibatkan kerugian
bagi negara, yaitu meningkatkan beban epidemiologi dan beban ekonomi (Kirigia
2
dkk., 2009). Berdasarkan data estimasi World Economic Forum (WEF) tahun
2012-2030 kerugian negara yang diakibatkan oleh PTM khususnya diabetes
mellitus sebesar 4,5% dari 198 milyar dolar Amerika (P2PL, 2015). Diabetes
dapat mengurangi tingkat pendapatan, produktivitas kerja (Tunceli dkk., 2005),
dan penurunan kualitas hidup penyandang (Wändell, 2005). Beban pada penderita
diakibatkan oleh komplikasi DM yang dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit.
Dampak jangka panjang dari diabetes mellitus berhubungan dengan
kerusakan berbagai organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, pembuluh darah,
dan jantung (American Diabetes Association, 2010). Komplikasi penyakit ini
diantaranya dapat mengakibatkan retinopati (Nentwich dan Ulbig, 2015),
nefropati (Nathan dkk., 2009), dan disfungsi endotel yang menyebabkan penyakit
kardiovaskuler (Tabit dkk., 2010). Berdasarkan laporan Centers for Disease
Control (CDC) diabetes mellitus merupakan penyebab utama kebutaan, gagal
ginjal, amputasi anggota tubuh, serangan jantung, dan stroke (CDC, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO) orang yang menderita diabetes
mellitus dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke (WHO, 2016a).
Berdasarkan hasil studi kohor pada beberapa negara di Asia menggunakan
desain survival analisis, memperlihatkan bahwa ratio hazard (tingkat bahaya)
diabetes untuk penyakit kardiovaskular sebesar 1,97 kali (95% CI: 1,72-2,25)
(Woodward dkk., 2003). Berdasarkan hasil studi kohor lainnya yang melihat
hubungan diabetes mellitus dengan kejadian kanker pankreas menyatakan adanya
hubungan yang signifikan dengan nilai risiko relatif sebesar 1,94 (95% CI=1.66–
2.27) (Qiwen Ben dkk., 2011). Penelitian lain di RSUD dr. Moewardi Surakarta
3
menujukan bahwa ada hubungan antara kejadian diabetes mellitus dengan stroke
iskemik yang menghasilkan nilai odds ratio sebesar 3,8 (CI= 1.841-7.869)
(Ramadany dkk., 2013).
Diabetes mellitus merupakan penyakit multifaktorial yang dapat
disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, dan metabolisme (Fletcher dkk.,
2002). Faktor lainnya seperti usia, jenis kelamin, obesitas dan kurangnya aktivitas
fisik terbukti dapat meningkatkan risiko diabetes mellitus (Chen dkk., 2012).
Berdasarkan laporan Centers for Disease Control (CDC) di Amerika Serikat
penderita DM paling banyak pada laki-laki dan pada usia diatas 45 tahun (CDC,
2014). Penelitian di Kota Semarang menggunakan desain studi cross sectional
menunjukan bahwa, rata-rata usia pasien DM adalah 46-60 tahun, dan paling
banyak pada jenis kelamin perempuan (Adnan dkk., 2013). Faktor lain seperti
obesitas (Gill dan Cooper, 2008) dan aktivitas fisik (Jeon dkk., 2007) telah
terbukti berhubungan dengan kejadian DM.
Penelitian terbarukan telah memulai pencarian terkait hubungan antara
konsumsi kopi dengan kejadian diabetes mellitus. Penelitian di beberapa negara
seperti Amerika, Eropa, dan Asia memperlihatkan bahwa konsumsi kopi
menurunkan risiko diabetes mellitus (Akash et al., 2014). Berdasarkan hasil
penelitian meta analisis yang menggabungkan beberapa desain studi melaporkan
bahwa setiap konsumsi lebih dari enam atau tujuh cangkir perhari menghasilkan
nilai risiko relatif (RR) sebesar 0,65 (95% CI =0,54-0,78) daripada yang tidak
mengkonsumsi kopi (van Dam dan Hu, 2005). Penelitian meta analisis lain,
menggunakan desain studi kohor dari beberapa negara menunjukan bahwa setiap
4
cangkir tambahan kopi yang dikonsumsi dalam sehari dikaitkan dengan
penurunan 7% risiko DM (RR=0,93 [95% CI=0,91-0,95]) (Huxley dkk., 2009).
Kopi merupakan minuman yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.
Kopi memiliki berbagai senyawa didalamnya. Kandungan senyawa dalam kopi
diantaranya memiliki efek positif serta ada pula yang memiliki efek negatif.
Beberapa senyawa dalam kopi diantaranya adalah kafein, antioksidan (asam
klorogenat dan tocopherol), dan diterpenoid alkohol (cafestol dan kahweol)
(Ranheim dan Halvorsen, 2005). Selain itu, phytochemical seperti asam
klorogenat dan trigonelina, dapat meningkatkan metabolisme glukosa melalui
efek menguntungkan pada stres oksidatif dan glukoneogenesis (Wedick dkk.,
2011).
Kandungan kafein dalam kopi menunjukan hasil yang berbeda yaitu disisi
lain dapat menurunkan risiko DM ada pula yang menyatakan bahwa kafein
meningkatkan risiko DM. Kafein dilaporkan memberikan efek meningkatkan
oksidasi lemak yang berfungsi membantu menurunkan berat badan, membantu
mobilisasi glikogen, dan meningkatkan lipolisis (Ranheim dan Halvorsen, 2005).
Berdasarkan penelitian eksperimental kafein dapat menekan peningkatan tingkat
glukosa darah dan menurunkan insulin pankreas (Kagami dkk., 2008). Sedangkan
penelitian lain menunjukan efek lain dari kafein yaitu konsumsi kafein yang akut
memiliki efek negatif pada toleransi glukosa, pembuangan glukosa, dan
sensitivitas insulin pada orang kurus dan obesitas (Whitehead dan White, 2013).
Asam klorogenat disinyalir sebagai senyawa yang dapat menurunkan
risiko DM, fungsinya sebagai penghambat translokasi glukosa-6-fosfat yang dapat
5
menunda absorbsi glukosa dalam saluran gastrointestinal (Kobayashi dkk., 2017).
Selain itu, senyawa Cafestol dan kahweol berperan membantu memberikan sinyal
PPARγ (Peroxisome proliferator-activated receptors gamma) yang
mempengaruhi fungsi insulin atau sebagai aktor regulasi insulin (Ranheim dan
Halvorsen, 2005). Cafestol dan kahweol meskipun jumlahnya kurang melimpah
dalam kopi yang dikonsumsi akan tetapi dalam konsentrasi yang sedikit diyakini
berdampak pada penurunan risiko diabetes mellitus (Santos dan Lima, 2016).
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sekaligus konsumen
kopi. Konsumsi kopi di Indonesia pada tahun 2013 mengalami peningkatan
sebesar 28% atau sekitar 1,37 Kg/kapita/tahun setara dengan 3,75 gram/orang/hari
atau satu cangkir kopi perhari (Kemenpertan, 2015). Data Riskesdas Tahun 2013
proporsi responden yang pernah mengkonsumsi kopi pada usia diatas 15 tahun
adalah sebesar 60,2%. Akan tetapi kebiasaan minum kopi orang Indonesia
sebagaian besar mengkonsumsi kopi bubuk instan dan menggunakan tambahan
gula dan susu. Berdasarkan penelitian di Palembang tentang konsumsi kopi
dengan DM, prevalensi orang yang meminum kopi menggunakan tambahan gula
sebesar 95% (Tjekyan, 2007).
Di Indonesia penelitian terkait konsumsi kopi dan diabetes mellitus masih
jarang. Berdasarkan penelitian kasus kontrol di Palembang menunjukan ada
hubungan antara konsumsi kopi dengan DM dengan nilai odds ratio (OR) sebesar
0.63 (CI 95%= 0.48-0.82) untuk konsumsi satu sampai tiga cangkir kopi
(Tjekyan, 2007). Sedangkan penelitian lain menggunakan desain yang sama, di
RSUD Moewardi Surakarta menunjukan hasil yang berbeda, bahwa tidak ada
hubungan antara konsumsi kopi dengan diabetes mellitus p=0,695, OR=0,980 (
6
95% CI =0,408-2,358) (Fikasari, 2012). Perlu adanya penelitian menggunakan
sampel dalam jumlah besar untuk menjelaskan adanya hubungan serta yang bisa
digeneralisasikan pada populasi yang besar. Selain itu, untuk melihat hubungan
kebiasaan konsumsi kopi di Indonesia sebagai faktor risiko atau faktor protektif
terdahap DM. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara
kebiasaan minum kopi dengan kejadian diabetes mellitus di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013.
1.2 Rumusan Masalah
Diabetes mellitus merupakan salah satu masalah PTM utama di Indonesia.
Kondisi ini dapat menurunkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Penelitian
kesehatan saat ini sudah banyak melihat faktor risiko DM akan tetapi untuk
penelitian yang spesifik melihat hubungan konsumsi kopi dengan kejadian DM
masih jarang. Saat ini beberapa penelitian epidemiologi telah melaporkan adanya
hubungan antara kopi dengan diabetes mellitus. Selain itu, kandungan senyawa
dalam kopi telah dilaporan memiliki hubungan dengan metabolisme glukosa.
Akan tetapi, di Indonesia masih jarang penelitian terkait konsumsi kopi dengan
kejadian diabetes mellitus. Penelitian ini akan memberikan informasi tentang
konsumsi kopi di Indonesia yang berhubungan dengan kejadian DM dengan
menggunakan data Riskesdas 2013, sehingga dari hasil penelitian ini akan
diketahui bagaimana hubungan antara kebiasaan konsumsi kopi dengan kejadian
DM di Indonesia, serta dapat digeneralisasikan untuk populasi di Indonesia. Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti terkait konsumsi kopi dan terhadap
kejadian diabetes mellitus di Indonesia menggunakan data Riskesdas tahun 2013.
7
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan frekuensi
konsumsi kopi di Indonesia tahun 2013?
2. Bagaimana frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan
karakteristik individu (usia, jenis kelamin, status gizi, aktifitas fisik, dan
konsumsi minuman berkafein) di Indonesia tahun 2013?
3. Apakah ada hubungan frekuensi konsumsi kopi terhadap kejadian
diabetes mellitus di Indonesia tahun 2013?
4. Bagaimana hubungan frekuensi konsumsi kopi terhadap diabetes
mellitus berdasarkan karakteristik individu (usia, jenis kelamin, status
gizi, aktifitas fisik, dan konsumsi minuman berkafein) di Indonesia
tahun 2013?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kebiasaan minum kopi dengan kejadian
diabetes mellitus di Indonesia tahun 2013.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan
frekuensi konsumsi kopi di Indonesia tahun 2013
2. Untuk mengetahui frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan
karakteristik individu (usia, jenis kelamin, status gizi, aktifitas fisik,
dan konsumsi minuman berkafein) di Indonesia tahun 2013
8
3. Untuk mengetahui hubungan frekuensi konsumsi kopi dengan
diabetes mellitus di Indonesia tahun 2013
4. Untuk mengetahui hubungan frekuensi konsumsi kopi terhadap
diabetes mellitus berdasarkan karakteristik individu (usia, jenis
kelamin, status gizi, aktifitas fisik, dan konsumsi minuman berkafein)
di Indonesia tahun 2013
1.5 Manfaat
1. Bagi Kementerian Kesehatan RI
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi secara epidemiologi
analitik terkait hubungan konsumsi kopi dengan diabetes mellitus di
Indonesia
2. Bagi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi penelitian lanjutan
terkait dengan konsumsi kopi dan diabetes mellitus serta bisa digunakan
sebagai referensi untuk penambahan variabel riskesdas selanjutnya.
3. Bagi Pengembangan Pengetahuan
Hasil penelitian ini dapat mengembangkan pengetahuan terkait hubungan
konsumsi kopi dengan diabetes mellitus di Indonesia tahun 2013
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bahan bacaan untuk
penelitian selanjutnya terkait dengan konsumsi kopi dan diabetes mellitus
9
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini menggukan data sekunder Riskesdas 2013 dengan
desain studi cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan April-Agustus
tahun 2017. Variabel yang diteliti diantaranya konsumsi kopi, diabetes
mellitus, usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, aktifitas fisik dan
konsumsi minuman berkafein non-kopi (softdrink dan minuman berenergi).
Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat, dan multivariat.
Uji analisis menggunakan uji regresi logistik biner dan regresi logistik
menggunakan desain kompleks.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
Menurut WHO diabetes adalah kondisi dimana kadar glukosa darah di atas
normal. Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang timbul disebabkan
karena adanya peningkatan kadar gula atau glukosa darah yang ditandai oleh
defisiensi insulin relatif atau absolut, yang menyebabkan intoleransi glukosa
(Chandrasoma dan Clive, 2005). Glukosa yang diperoleh tubuh berasal dari
makanan, sebagian besar makanan yang kita makan berubah menjadi glukosa atau
gula, yang dapat tubuh kita gunakan sebagai penghasil energi.
Seseorang dalam kondisi diabetes, tubuhnya tidak dapat membuat cukup
insulin atau tidak dapat menggunakan insulin secara normal. Hal ini menyebabkan
insulin hanya akan beredar dalam darah (Chandrasoma dan Clive, 2005). Insulin
adalah polipeptida yang terdiri dari suatu rantai A dengan 21 asam amino dan
rantai B dengan 30 asam amino. Pelepasan insulin terjadi pada 3 fase. yang
pertama, sekresi basal merupakan kadar insulin di dalam serum pada keadaan
puasa. Kedua, Sekresi cepat setelah makan disebabkan oleh pelepasan cadangan
insulin pada sel beta dalam 10 menit setelah makan. Ketiga, pelepasan lambat
setelah makan disebabkan oleh rangsangan sintetis insulin sebagai respon
terhadap glukosa (Chandrasoma dan Clive, 2005).
11
2.1.1 Etiologi
Diabetes Mellitus yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau
absolut, terbagai menjadi dua yaitu diabetes primer (95% kasus) dan diabetes
sekunder (5% kasus).
A. Diabetes Primer
Terdapat dua tipe diabetes primer yang biasanya dijumpai yaitu Tipe 1 dan
Tipe 2 (Chandrasoma dan Clive, 2005).
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 merupakan diabetes yang jarang,
diperkirakan prevalensi untuk tipe ini kurang dari 5-10% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005).
Diabetes Tipe 1 atau sering disebut IDDM (Insulin dependent
diabetes mellitus) disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas.
Kadar insulin plasma sangat rendah dan terjadi ketoasidosis.
Diabetes tipe ini juga sering terjadi pada orang muda usia <30
tahun, atau sering disebut diabetes mellitus awitan juvenil.
2. Diabetes mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang paling
umum. Diabetes mellitus tipe 2 sering disebut NIDDM (non insulin
dependent diabetes mellitus). Diperkirakan prevalensi penderita
DM Tipe 2 ini mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi
penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-
akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak
populasinya meningkat (Depkes RI, 2005). Biasanya DM tipe ini
12
disebabkan karena gangguan pelepasan insulin atau resistensi
insulin. Sebagian besar pasien diabetes tipe 2 adalah orang dewasa.
Diabetes.
B. Diabetes Sekunder
Diabetes Sekunder terdiri dari (Depkes RI, 2005):
1. Diabetes Mellitus Tipe Lain
Diabetes tipe lain meliputi defek genetik fungsi sel β, defek
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, pankreatopati
fibro kalkulus, endokrinopati, diabetes karena obat/zat kimia
(glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor,
tiazid, dilantin, interferon), dan diabetes karena infeksi, diabetes
Imunologi (jarang), dan sidroma genetik lain (Sindroma Down,
Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea, Prader Willi).
2. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan,
umumnya bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk
DM Tipe 2
3. Prediabetes
Pra diabetes terdiri dari IFG (Impaired Fasting Glucose)
dan IGT (Impaired Glucose Tolerance).
2.1.2 Patofisiologi
Beberapa proses patologi terlibat dalam perkembang diabetes mellitus.
proses patologi biasanya berbeda dari tiap tipe diabetes mellitus. Proses yang
terjadi akibat proses autoimun biasanya terjadi pada DM tipe 1 dimana proses ini
13
menyebabkan rusaknya sel ß pankreas. Selanjutnya tubuh mengalami kekurangan
insulin yang seharusnya di produksi, sehingga mengakibatkan resistensi insulin
(American Diabetes Association, 2010). Kurangnya aktifitas insulin menyebabkan
kegagalan pemindahan glukosa dari plasma ke dalam sel. Tubuh merespon seakan
dalam keadaan puasa dengan stimulasi glikogenesis, glukoneogenesis, dan
lipolisis yang menghasilkan badan keton (Chandrasoma dan Clive, 2005).
Glukosa dalam tubuh tidak di metabolisme dengan normal sehingga
terkumpul di dalam darah, yang mana kondisi ini disebut dengan hiperglikemi.
Glukosa dalam darah diekskresi ke dalam urin mengakibatkan glikosuria sehingga
terjadi peningkatan produksi urin (poliuria) (Chandrasoma dan Clive, 2005).
Maka kebanyakan pasien diabetes mengalami poliuria atau sering mengalami
buang air kecil. Kehilangan cairan dan hiperglikemia meningkatkan osmolaritas
plasma, yang merangsang pusat rasa haus, gejala ini dinamakan polidipsia. Selain
itu, terjadi stimulasi penguraian protein untuk menyediakan asam amino dalam
proses glukoneogenesis menyebabkan pengecilan otot dan penurunan berat badan
(Chandrasoma dan Clive, 2005).
2.1.3 Patogenesis DM
Patogenesis DM tipe 1 dan DM tipe 2 memiliki perbedaan yang cukup
signifikan. DM tipe 1 biasanya ditandai oleh defisiensi absolut sekresi insulin
yang disebabkan oleh destruksi sel ß pankreas. Destruksi sel ß pankreas bisa
diakibatkan oleh beberapa kondisi. kondisi yang pertama adalah limfosit T
bereaksi terhadap antigen sel ß yang menyebabkan kerusakan sel. Kedua,
disebabkan oleh produksi sitokin yang merusak sel ß pankreas. Selanjutnya
autoantibodi terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin. Selain itu DM tipe 1
14
dapat disebabkan karena kerentanan genetik yang akhirnya mengakibatkan
autoimun (Mitchell dkk., 2009). Patogenesis DM tipe 1 digambarkan pada
(Gambar 2.1) berikut ini.
Gambar 2.1 Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe 1
Sumber: Journal of Physiology dan Pathophysiology (Ozougwu dkk., 2013)
Diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin dan disfungsi sel
ß pankreas. Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan
jaringan perifer untuk merespon hormon insulin. Resistensi insulin merupakan
fenomena kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik maupun
15
lingkungan. Resistensi insulin adalah penyebab utama diabetes tipe 2 yang terjadi
bertahun-tahun sebelum diabetes tipe 2 dimulai pada manusia. Beberapa faktor
telah diusulkan untuk menjelaskan mekanisme resistensi insulin. Ini termasuk
obesitas, peradangan, disfungsi mitokondria, hiperinsulinemia, lipotoksisitas/
hiperlipidemia, riwayat genetik, tekanan retikulum endoplasma, penuaan, stres
oksidatif, hati berlemak, hipoksia, dan lipodistrofi yang merupakan faktor risiko
utama resistensi insulin pada populasi umum (Ye, 2013).
Disfungsi sel ß pankreas bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang lemah
akibat resistensi insulin dan hiperglikemia. Disfungsi sel ß ditandai dengan
hilangnya pola sekresi normal insulin (kualitatif) maupun berkurangnya massa sel
ß dan degenerasi pulau langerhans (kuantitatif) (Mitchell dkk., 2009). Patogenesis
dari DM tipe 2 akan diperlihatkan pada gambar berikut (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe 2
Sumber: Journal of Physiology dan Pathophysiology (Ozougwu dkk., 2013)
16
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis klinis DM umumnya apabila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya (Depkes RI, 2005). Dalam penelitian epidemiologi atau
skrining untuk diabetes, pada umumnya menggunakan salah satu dari kriteria
berikut yang cukup untuk menunjukkan keadaan diabetes. Diagnosis diabetes
mellitus ditegakan dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah yang
ditentukan oleh salah satu kriteria berikut (American Diabetes Association, 2014):
a) Tes A1C ≥6,5%. Tes harus dilakukan di laboratorium dengan
menggunakan metode yang bersertifikat NGSP dan memiliki standar untuk
uji DCCT.
b) FPG (fasting plasma glucose) ≥126 mg/dL (7.0 mmol / L). FPG atau
glukosa darah puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori selama
minimal 8 jam atau tidak makan selama 8 jam.
c) Glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol / L)
d) Pada pasien dengan gejala klasik dari hiperglikemia atau hiperglikemik
kritis, glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol / L)
2.2 Kopi
2.2.1 Struktur Buah Kopi
Kopi adalah buah yang mengandung dua biji. Benih kopi terdiri dari
endosperma, embrio dan spermoderm atau kulit perak yang menebal. Dinding sel
endosperma terutama terdiri dari mannans dengan 2% galaktosa. Pada bagian
endosperm terbagi menjadi dua yaitu bagian luar yang keras dan bagian dalam
yang lunak serta memiliki kandungan polisakarida yang tinggi. Bagian endosperm
17
berada di depan radicle tip disebut dengan lateral endosperm dan endosperm cap.
Kandungan hemiselullosa utama terdapat pada dinding sel biji kopi yang tidak
larut dalam air. Protein, lipid, mineral dan kandungan lainnya terdapat pada
bagian sitoplasma di dalam sel endosperm (Eira et al., 2006). Berikut gambar
stryktur buah kopi (Gambar 2.4)
Gambar 2.3 Struktur Buah Kopi
Kandungan dalam biji kopi memiliki berbagai macam mineral seperti
potasium, magnesium, kalsium, sodium, besi, dan seng. Kandungan lainnya
seperti protein, lipid, asam amino, gula dan niacin terdapat dalam biji kopi.
Setelah dilakukan proses pemanggangan protein, asam amino, gula dan lipid
terdekomposisi. Kandungan kafein dalam kopi merupakan salah satu zat yang
tidak bisa dihancurkan meskipun zat lainnya bersifat termolabil. Selain itu pada
18
akhirnya kopi menjadi minuman masih memiliki ratusan volatil yang bertanggung
jawab atas aroma dan rasa bersama senyawa yang terlarut didalamnya seperti
asam klorogenik, trigonellin, dan sebagian besar mineral lainnya (Eira et al.,
2006).
Kandungan asam klorogenat bervariasi antar jenis kopi. Total kandungan
asam klorogenat mencapai 7-10 persen pada kopi robusta dan 5-8 persen kopi
arabika. Kandungan asam klorogenat dalam kopi instan mencapai 5,2-7,4 persen .
Dalam proses industri pembuatan kopi asam klorogenat mengalami perubahan
bentuk menjadi chlorogenic acid lactones (CGL) atau quino-lactones dimana
senyawa ini melepaskan satu molekul air. Isomer ini (lactones dan quinides)
merupakan kandungan yang bermanfaat bagi kesehatan salah satunya dapat
mencegah penyakit diabetes (Eira et al., 2006).
2.2.2 Proses Pembuatan Kopi
Kopi telah selama bertahun-tahun menjadi produk makanan yang paling
dikomersilkan dan minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Sejak
pembukaan rumah kopi pertama di Mekah di akhir dari abad kelima belas,
konsumsi kopi telah meningkat pesat di seluruh dunia. Pada tahun 2010, produksi
kopi mencapai 8,1 juta ton di seluruh dunia. Ini mewakili lebih dari 500 miliar
cangkir, dengan Amerika Serikat, Brasil, Jerman, Jepang, dan Italia menjadi yang
negara konsumen utama. Alasan untuk konsumsi kopi yang terus-menerus
meningkat kkarena kualitas yang lebih baik melalui pemilihan varietas dan
pembibitan, praktik pertanian yang lebih baik, penciptaan toko khusus, dan
perubahan citra kopi melalui penyebaran informasi tentang manfaat kesehatan dari
konsumsi kopi jangka panjang (Farah, 2012).
19
Saat ini, kopi dianggap sebagai makanan fungsional, terutama karena
kandungan senyawanya yang tinggi yang mengandung antioksidan dan sifat
biologis bermanfaat lainnya. Ciri khas dan aroma aroma kopi, dengan hampir
seribu senyawa volatil yang teridentifikasi dalam kopi panggang. Kopi Arabika
bertanggung jawab untuk sekitar 70% dari pasar kopi global, dan sisanya adalah
kopi Robusta (C. canephora). Arabika dan Robusta Kopi berbeda dalam banyak
hal, termasuk iklim pertumbuhan ideal, aspek fisik, komposisi kimia, dan
karakteristik minuman yang dibuat dengan tanah biji panggang (Farah, 2012).
2.2.2.1 Proses Produksi Kopi
Proses pembuatan kopi hingga menjadi minuman yang dapat dikonsumsi
melibatkan serangkaian langkah. Setiap langkah proses pembuatan kopi harus
melalui kontrol sehingga dapat menghasilkan kopi berkualitas baik. Setelah
panen, buah-buahan menjalani pengolahan primer untuk memisahkan bijinya.
Pengolahan secara langsung seperti dekafeinasi dan penguapan dilakukan sebelum
dipanggang. Setelah dipanggang, kopi digiling dan dikemas atau diproses lebih
lanjut untuk menghasilkan kopi instan (Farah, 2012).
2.2.2.2 Produksi biji kopi hijau
Buah kopi biasanya dipanen dengan salah satu dari tiga cara diantaranya
dipetik, dikupas, atau panen mekanik. Pada metode pertama, buah masak yang
dikenal sebagai ceri, dipetik satu per satu. Karena buah kopi biasanya tidak
matang sekaligus, metode ini memakan waktu yang cukup lama dan karena itu
lebih mahal Namun, namun cenderung untuk menghasilkan biji kopi yang
berkualitas. Pelepasan manual dari ranting mengumpulkan benih yang belum
matang, matang, dan matang bersama dengan dedaunan. Pemanenan mekanis
20
dilakukan dengan mengguncang pohon atau dengan cara melucuti cabang dengan
sebuah alat yang mirip dengan sisir fleksibel (Farah, 2012).
Setelah panen, buah kopi mengalami ekstraksi pulpa untuk menghasilkan
benih kopi hijau. Metode yang paling umum dari ekstraksi pulp dikenal sebagai
metode basah dan kering. Metode kering cara pengolahannya melalui biji terkena
sinar matahari langsung atau pengering udara sampai kadar airnya sekitar 10% -
12%. Jika pengering udara tidak tersedia, curah hujan rendah saat panen
diperlukan untuk memastikan kopi berkualitas baik. Setelah pengeringan, buahnya
dibersihkan dan dikeringkan, dan kemudian kulit kering dan pulpa dikeluarkan,
meninggalkan bahan mucilaginous (kulit perak) yang menempel pada permukaan
biji. Untuk mendapatkan minuman berkualitas baik, bijinya (dua biji per buah)
secara mekanis dan disortir secara elektronik untuk memisahkan benih yang cacat
dari benih bermutu tinggi. Metode ini biasa digunakan di Brasil dan Afrika,
dimana terdapat sinar matahari dan ruang luas terbuka dan buah dipanen dengan
metode stripping (Farah, 2012).
Teknik pengolahan basah lebih canggih dan umumnya menghasilkan
kualitas lebih tinggi kualitas. Sebelum memisahkan benih, ceri diseleksi yang
berlangsung di tangki flotasi, diikuti dengan perendaman dan fermentasi. Selama
fermentasi, enzim dapat ditambahkan, kulit perak dikeluarkan dan keasaman
meningkat, pH mungkin dikurangi menjadi 4,5. Benih (perkamen kopi) kemudian
dicuci, dipoles, dan dikeringkan dengan matahari dan atau dikeringkan dengan
udara. Pengolahan basah sering digunakan saat kopi dipanen dengan metode
picking, seperti di Kolombia, Asia, dan Amerika Tengah. Perbedaan utama antara
21
metode pengolahan adalah dengan benih pengolahan basah dipisahkan dari pulpa
dan kulit sebelum dikeringkan (Farah, 2012).
Metode alternatif (natural processing) yang menggabungkan aspek metode
kering dan basah telah dikembangkan di Brasil. Metode ini terdiri dari pencucian
dan pemilihan benih dalam tangki flotasi tanpa fermentasi. Biji kopi menjalani
proses alami sering digunakan dalam campuran kopi espresso, karena cenderung
untuk menambahkan lebihke minuman karena polisakarida di kulit perak tidak
difermentasi dan tetap pada biji. Setelah biji dikeringkan, kopi berubah ukuran
dan atau disortir secara elektronik untuk menghilangkan biji yang cacat. Proses ini
bisa diikuti dengan eksitasi ultraviolet (UV). Biji kopi hijau kemudian siap
dipanggang. Sebagai alternatif, mereka mungkin dilakukan dekafeinasi, diolah
dengan uap, atau disimpan sebelum dipanggang (Farah, 2012).
Kopi bisa diolah dengan uap sebelum dipanggang untuk membuat kopi
tidak membuat sakit perut atau gangguan lambung. iritasi perut berkurang
dikaitkan dengan pengurangan kandungan asam klorogenik selama penguapan.
Kopi yang dijemur adalah kopi spesial dimana biji Arabika dan Robusta hijau
kering kualitas yang tinggi secara alami selama 3-4 bulan dengan terpajan angin
yang lembab yang berlaku di pantai barat India Selatan (pantai Malabar), terutama
di daerah Mangalore dan Tellicherry. Ceri kopi menyerap kelembaban dari
atmosfer musim hujan yang lembab, menyebabkan benih membengkak, menjadi
kuning muda, dan mendapatkan rasa sangat lembut. Biji kopi ini memiliki bentuk
yang baik, rendah keasaman, dan aroma dan rasa yang menyenangkan di dalam
cangkir. Kopi ini diekspor dari India ke Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Utara
(Farah, 2012).
22
Aroma biji kopi hijau ini sangat berbeda dengan yang kita bayangkan saat
kita dengar kata kopi Hanya dengan memanggang, biji kopi memiliki aroma da
rasa yang khas meskipun pemanggangan tampak sederhana dalam pengolahan,
senyawa kimia yang mendasari perkembangan rasa ini sangat kompleks dan tidak
sepenuhnya dipahami. Suhu pemanggangan yang tinggi menyebabkan
serangkaian perubahan fisik dan kimiawi biji kopi. Kondisi pemanggangan
spesifik sangat mempengaruhi perubahan ini dan akibatnya mempengaruhi
bioaktivitas dan rasa minuman. Pemanggang yang paling umum tersedia pada
industri adalah seperti pemanggang roti, dimana biji tersebut bersentuhan
langsung dengan api dan atau permukaan yang panas. Pada pemanggang dengan
fluida yang lebih baru, bijinya bersentuhan dengan udara panas/ gas (Farah,
2012).
Suhu yang digunakan untuk memanggang biji tergantung pada jenis
pemanggang, namun maksimal Temperatur yang digunakan pada industri
umumnya bervariasi dari 210◦C sampai 240◦C. Saat suhu mencapai 130◦C,
sukrosa mengalami karamelisasi dan biji mulai coklat dan membengkak.
Perubahan kimia pada fase awal ini relatif kecil dibandingkan dengan yang terjadi
pada akhir proses pemasakan. Pada suhu di atas 160◦C, serangkaian reaksi
eksotermik dan endotermik terjadi biji kopi menjadi cokelat muda, volumenya
meningkat pesat,dan formasi aroma dimulai. Reaksi kimia yang bertanggung
jawab atas aroma dan rasa kopi panggang dipicu sekitar 190◦C. Selama reaksi
Maillard dan Strecker, yang melibatkan karbohidrat (pengurangan gula), protein,
dan kelas senyawa lainnya, senyawa dengan berat molekul rendah dan tinggi
seperti melanoidin secara simultan terdegradasi dan diproduksi. Setelah
23
dipanggang, bijinya digiling atau langsung dipasarkan digunakan untuk produksi
kopi instan. Kopi panggang tersedia secara komersial dalam berbagai warna
(tingkat pemanggangan) yang bervariasi dari yang sangat ringan hingga sangat
gelap, sesuai dengan preferensi nasional dan individu (Farah, 2012).
Di Inggris dan Amerika Serikat, misalnya, pemanggang ringan-medium
sampai medium lebih disukai, sedangkan kopi panggang gelap lebih populer di
beberapa wilayah di Eropa. Dark-medium untuk kopi panggang yang
gelapmerupakan tradisional di Brasil, meski konsumsi kopi panggang sedang
telah meningkat. Standar tingkat pemanggangan untuk tujuan komersial adalah
subyektif dan mungkin sangat bervariasi. Hilangnya massa saat memanggang bisa
bermanfaat parameter untuk mengevaluasi tingkat pemanggangan dalam produksi
skala kecil, namun mungkin sulit dilakukan kontrol dalam produksi berskala
besar. Inspeksi visual terus menjadi metode yang paling diterima untuk
menentukan tingkat pemanggangan. Untuk membantu mengembangkan standar
penilaian kolorimetrik, cakram warna diciptakan oleh Specialty Coffee
Association of America (SCAA). Kecepatan di mana biji mencapai warna yang
diinginkan mempengaruhi sejumlah parameter fisik-kimia karena itu rasanya dan
bioaktivitas minumannya. Kopi yang dipanggang sampai tingkat yang sama
mungkin memiliki komposisi kimia yang berbeda jika dipanggang di bawahnya
kondisi berbeda Misalnya, kopi dipanggang pada suhu yang lebih tinggi untuk
waktu yang lebih singkat cenderung menunjukkan keasaman yang lebih tinggi,
padatan yang lebih mudah larut, dan volatil yang berbeda dari pada yang
dipanggang untuk waktu yang lebih lama pada suhu yang lebih rendah (Farah,
2012).
24
2.2.2.3 Metode Brewing
Variabel lain yang mempengaruhi komposisi kimia minuman adalah
metode brewing. Aspek yang umum untuk semua metode brewing yang
dipraktekkan di seluruh dunia adalah penggunaan air panas. Suhu air tidak boleh
melebihi 90◦C-95◦C namun, tidak jarang melihat orang mendidih kopi beberapa
menit sebelum penyaringan. Proporsi kopi yang diseduh ke air sangat bervariasi di
berbagai negara dan berdasarkan preferensi masing-masing individu, tapi
biasanya 8-20 g kopi/100 mL air, selain itu waktu ekstraksi juga bervariasi.
Metode brewing yang paling umum di seluruh dunia adalah perkolasi sederhana,
kopi rebus, pembuat kopi elektrik, mesin espresso, pembuat kopi Italia, dan pers
Prancis. Pertama Metode, kopi medium-ground tersebar merata pada filter kertas,
kain, atau nilon yang dipasang pada dukungan, dan air panas dituangkan di atas
kopi dalam gerakan melingkar ke arah tengah filternya Untuk kopi rebus atau
Turki, air dituangkan ke atas bubuk halus atau kopi bubuk dalam panci dan
dipanaskan, Saat air mulai mendidih, campuran tersebut dituangkan langsung ke
dalam cangkir. Untuk membuat kopi espresso, kopi kasar dan menengah dan air
ditempatkan di tempat kompartemen masing-masing. Air diserap melalui kopi
sekitar 90◦C dan 9 atm (Farah, 2012).
2.2.2.4 Produksi Kopi Instan
Produksi kopi instan biasanya melibatkan penanganan kopi panggang
dengan air panas dan tekanan tinggi untuk mengekstrak senyawa yang larut dalam
air. Bahan terlarut ini kemudian didinginkan dan terkadang disentrifugasi,
dipekatkan dengan pemanasan, dan dikeringkan sampai pengeringan beku
berkurang kelembaban sampai sekitar 5%. Proses pengeringan menggunakan suhu
25
tinggi dibawah tinggi tekanan untuk menguapkan ekstrak air. Proses pengeringan
beku menggunakan suhu yang sangat rendah untuk mencapai sublimasi dari
ekstrak air beku. Pabrik biasanya menggunakan teknik yang berbeda untuk
memperbaiki penampilan dan rasa produk akhir. Meski kopi panggang umumnya
terdiri dari arabika saja atau persentase arabika yang tinggi, kopi robusta sering
digunakan pada ketinggian persentase atau sendiri dalam campuran yang
ditujukan untuk produksi kopi instan, karena biji kopi obusta mengandung
padatan terlarut dalam jumlah yang lebih tinggi, yang meningkatkan hasil panen
(Farah, 2012).
Berikut ini merupakan standar mutu kopi instan di Indonesia berdasarkan
standar nasional Indonesia (Gambar 2.5) .
Gambar 2.4 Standar Mutu Kopi di Indonesia
26
Bidang Pengujian untuk memenuhi standar di lihat dari kriteria kimia,
fisika, dan mikrobiologi. Untuk biji kopi jenis pengujian diantaranya biji berbau
busuk atau berbau kapang. Kopi bubuk diantaranya acidity, aktifitas antioksidan,
dan chlorogenic acid. Kopi instan sifat yang diuji adalah acidity, aktifitas
antioksidan, pH, dan chlorogenic acid. Kopi liquid sifat yang di uji antara lain
acidity, aktifitas antioksidan, ochratoxin A, dan chlorogenic acid.
2.3 Faktor Risiko DM
Diabetes mellitus merupakan penyakit multifaktorial, sehingga terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian DM. Diantaranya faktor yang
berhubungan dengan DM adalah konsumsi kopi, usia, jenis kelamin, indeks masa
tubuh (IMT), dan aktifitas fisik. berikut ini merupakan penjelasan dari masing-
masing faktor.
2.3.1 Konsumsi Kopi
Efek kopi terhadap kesehatan masih menjadi perdebatan. Kopi secara
signifikan bermanfaat bagi kesehatan karena memiliki efek terhadap antioksidan
dalam plasma (Winarsi, 2007). Akan tetapi dari beberapa penelitian mekanisme
biologi dari senyawa dalam kopi tidak semua berhubungan secara positif, ada pula
yang memiliki hubungan negatif. Kopi mengandung ratusan senyawa aktif, serta
beberapa zat yang diduga dapat meningkatkan penyerapan glukosa dan
metabolisme glukosa. Biological plausaibility pada kopi yaitu sebagai efek
antiinflamasi yang dapat mendukung metabolisme glukosa (Kempf dkk., 2010).
Komponen utama kopi diantaranya adalah kafein, cafestol, kahweol, asam
klorogenat (CGA) (Ranheim dan Halvorsen, 2005) dan mikronutrien (Akash dkk.,
27
2014). Beberapa komponen kopi yang larut dalam air adalah polimer fenolat,
polisakarida, asam klorogenat, mineral, asam organik, gula, dan lipid (Winarsi,
2007). Senyawa kafein dalam kopi dislaporkan dapat mengurangi sensitivitas
insulin melalui antagonisme reseptor adenosin, atau dengan melintasi penghalang
darah-otak dan merangsang pelepasan epinefrin. Namun, toleransi terhadap efek
kafein ini dapat berkembang setelah asupan jangka panjang. Selain itu,
phytochemical seperti asam klorogenat dan trigonelina, dapat meningkatkan
metabolisme glukosa melalui efek menguntungkan pada stres oksidatif,
glukoneogenesis, hormon usus atau mikroflora usus (Wedick dkk., 2011).
Berdasarkan hasil penelitan kohor meta analisi tentang konsumsi kopi
dengan risiko diabetes mellitus menunjukan nilai relative risk (RR) DM tipe 2
sebesar 0,65 (95% CI, 0,54-0,78) untuk 6-7 cangkir per hari dan 0,72 (95% CI,
0,62-0,83) untuk 4-6 cangkir per hari, kategori konsumsi kopi dibandingkan
dengan kategori terendah 0-2 cangkir perhari (van Dam dan Hu, 2005).
Kemudian, penelitian meta analisis lain yang menunjukan adanya hubungan
konsumsi kopi dengan penurunan risiko diabetes mellitus dengan nilai RR sebesar
0.93 (CI 95% 0.91-0.95) (Huxley dkk., 2009)
Berdasarkan hasil penelitian desktiptif di RSUD Dr. Soekardjo
Tasikmalaya sebagian besar pasien diabetes mellitus mengkonsumsi kopi dengan
frekuensi rata-rata tiga gelas perhari (Kurniasih dan Rohimah, 2015). Sedangkan
penelitian lainnya menggunakan desain case control di RSUD Moewardi
Surakarta menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi kopi dengan
diabetes mellitus (p=0,695, OR=0,980; 95%CI =0,408-2,358) (Fikasari, 2012).
Begitupula berdasarkan penelitian eksperimental di Amerika Serikat menunjukan
28
bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi kopi dengan perubahan metabolisme
glukosa, hal tersebut di akui oleh peneliti bahwa kekurangan pada penelitian yang
menggunakan sampel kecil (Kempf dkk., 2010).
Mekanisme biologi antara kopi dengan DM sebenarnya masih belum jelas,
hal ini diutarakan oleh beberapa peneliti. Akan tetapi ada mekanisme biologi yang
dapat diterima secara logika. Beberapa senyawa yang terkandung di dalam kopi
diduga berhubungan dengan adanya efek proteksi terhadap DM, diantaranya
senyawa kafein, antioksidan (asam klorogenat dan tocopherol), dan diterpenoid
alkohol (cafestol dan kahweol) (Ranheim dan Halvorsen, 2005). Berikut
penjelasan terkait dengan mekanisme senyawa dalam kopi.
A. Kafein
Kafein telah menyita perhatian para peneliti untuk menyelidiki
efek beberapa masalah kesehatan, meskipun efeknya masih kontroversial.
Kafein merupakan salah satu senyawa yang paling umum dikonsumsi
masyarakat. Kafein (1,3,7-trimethylxanthine) adalah stimulan kimia yang
paling sering dijumpai di dunia. Kafein merupakan salah satu zat
psikoaktif yang dapat merangsang sistem saraf pusat sebagai antagonis
reseptor adenosin. Sumbernya ditemukan di kopi, teh, minuman ringan,
dan coklat (Harldan, 2000). Saat biji kopi dipanggang, digiling, dan
disiapkan Minum, ratusan senyawa larut dan kafein diketahui bervariasi
antara 80-100 mg dalam cangkir standar.
Konsumsi kafein yang akut memiliki efek negatif pada toleransi
glukosa, pembuangan glukosa, dan sensitivitas insulin pada orang kurus,
obesitas, dan diabetes tipe 2, namun senyawa lain yang ada dalam kopi
29
dapat melawan efek ini. Asupan kafein akut juga meningkatkan ekskresi
mineral urin seperti kalsium. Namun, setelah konsumsi jangka panjang,
sebagian besar efek akut ini cenderung hilang karena adaptasi metabolik di
tubuh (Farah, 2012).
Kafein dapat berdampak pada konsentrasi glukosa darah melalui
beberapa mekanisme. Kafein dapat menghambat transportasi glukosa dari
darah ke otot-otot melalui perannya sebagai antagonis reseptor adenosin
(Fisone dkk, 2004 dalam Whitehead dan White, 2013), selanjutnya
menghambat penyerapan glukosa ke dalam sel otot. Dalam studi
eksperimental, intake moderat kafein telah terbukti mengganggu kontrol
glikemik pada orang sehat, sehingga mendukung hipotesis bahwa kafein
mengganggu metabolisme glukosa pada pasien dengan diabetes
(Whitehead dan White, 2013).
Fungsi lain dari kafein yaitu dapat meningkatkan oksidasi lemak
yang berfungsi membantu menurunkan berat badan, membantu mobilisasi
glikogen, dan meningkatkan lipolisis (Ranheim dan Halvorsen, 2005).
Berdasarkan penelitian eksperimental kafein dapat menekan peningkatan
tingkat glukosa darah dan menurunkan insulin pankreas (Kagami dkk.,
2008). Apabila tingkat glukosa darah dapat ditekan kondisi hiperglikemi
dapat dicegah atau dapat menyeimbangkan tingkat glukosa darah sehingga
mencegah terjadinya resistensi insulin.
B. Antioksidan (asam klorogenat)
Asam klorogenik terdiri dari kelas utama senyawa fenolik,
terutama berasal dari esterifikasi asam trans-cinnamic (caffeic, ferulic, dan
30
P-coumaric). Dalam beberapa tahun terakhir, serangkaian penelitian
epidemiologi klinis telah melaporkan bahwa kopi konsumsi bebas kafein,
dikaitkan dengan manfaat kesehatan seperti penurunan risiko diabetes tipe
2. Sebelum studi epidemiologi melaporkan hubungan antara konsumsi
kopi dan kesehatan, sifat antimutagenik dari asam klorogenik dan
metabolitnya telah ditunjukkan oleh serangkaian penelitian hewan in vitro
(Farah, 2012).
Senyawa yang diduga sebagai antidiabetes adalah asam klorogenat
(Winarsi, 2007). Sebuah studi tentang komponen aktif kopi melaporkan
bahwa asam klorogenik sebagai antioksidan kuat yang dapat membantu
mengatur kadar gula darah dan mengurangi risiko diabetes. Asam
klorogenat menghambat penyerapan glukosa usus dan meningkatkan
sensitivitas insulin (Lee dkk., 2016). Berdasarkan penelitian asam
klorogenat dilaporkan sebagai penghambat translokasi glukosa-6-fosfat
yang dapat menunda absorbsi glukosa dalam saluran gastrointestinal
(Kobayashi dkk., 2017). Apabila absorbsi glukosa dapat ditunda maka
kadar glukosa dalam darah akan naik secara perlahan, sehingga dapat
menghindari terjadinya hiperglikemi yang merupakan salah satu penyebab
terjadinya resistensi insulin. Selain itu asam klorogenat berfungsi
mengurangi oksidasi small dense LDL (low density lipoprotein) (Ranheim
dan Halvorsen, 2005). Oksidasi small dense LDL ini dapat mempengaruhi
resistensi insulin yang dapat menyebabkan terjadinya diabetes mellitus
(Gerber dkk., 2012).
31
C. Cafestol dan kahweol
Senyawa kopi cafestol dan kahweol bersifat pentacyclic diterpene
alcohols. Senyawa bioaktif dan turunannya, terutama merupakan garam
atau ester asam lemak jenuh (predominan) dan asam lemak tak jenuh,
mewakili sekitar 20% fraksi lipida kopi. Cafestol adalah sumber utama
penyusun fraksi minyak kopi kira-kira 0,2%-0,6% dari berat kopi.
Kahweol lebih sensitif terhadap panas, oksigen, cahaya, dan asam, oleh
karena itu kurang berlimpah dibandingkan senyawa lainnya.
Secara alami kandungan cafestol dan kahweol terdapat dalam biji
kopi. Melalui proses pemanggangan biji kopi panggang dan bubuk dan
melalui proses penyeduhan dengan air panas akan menghasilkan
kandungan cafestol sebesar 0,5-8 mg/100ml dan kahweol sebesar 0,7-10
mg/100ml. Akan tetapi pada penggunaan filter jumlahnya semakin kecil
karena sebagian besar terjebak dalam filter.
Cafestol dan kahweol dilaporkan sebagai senyawa berperan
membantu memberikan sinyal PPARγ (Peroxisome proliferator-activated
receptors gamma). Fungsi PPARγ sebagai reseptor ligan yang terletak
dalam inti dan merupakan faktor transkripsi gen yang mempengaruhi
fungsi insulin atau sebagai aktor regulasi insulin (Ranheim dan Halvorsen,
2005). Berikut diperlihatkan kandungan cafestol dan kahweol berdasarkan
cara penyajian kopi (Gambar 2.3).
32
Gambar 2.5 Kandungan cafestol dan kahweol berdasarkan cara penyajian
kopi
Gambar 2.6 Komposisi Zat Kimia dalam 100 ml kopi
33
2.3.2 Usia
Usia merupakan salah satu faktor risiko DM yang tidak dapat di
modifikasi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa ada hubungan antara usia
dengan kejadian DM. Berdasarkan penelitian diabetes di Asia menunjukan bahwa
onset DM biasa terjadi pada usia >20-40 tahun (Kapoor dkk., 2014). Hasil
penelitian lain oleh Creatore (2010) menunjukan bahwa peningkatan risiko
diabetes mellitus terjadi pada usia 35-49 tahun (Creatore dkk., 2010). Peningkatan
usia yang meningakatkan risko diabetes mellitus berhubungan dengan faktor
degeneratif yang muncul seiring bertambahnya usia. Mengakibatkan penurunan
fungsi organ tubuh, terutama gangguang organ pankreas dalam memproduksi
insulin (Zahtmal dkk., 2007). Usia juga sering dikaitkan dengan risiko
peningkatan diabetes mellitus seiring bertambahnya usia. Ini mungkin karena
orang cenderung menambah berat badan dan olahraga kurang seiring
bertambahnya usia.
2.3.3 Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko DM yang tidak dapat di
modifikasi (Chen dkk., 2012). Beradasarkan hasil penelitian Creatore (2010)
menunjukan bahwa pada imigran dari Asia Selatan, laki-laki lebih berisiko
dibandingkan perempuan dengan hasil Laki-laki OR=4.01, 95% CI 3.82–4.21)
dan perempuan OR=3.22 (95% CI 3.07–3.37) (Creatore dkk., 2010). Hasil
penelitian lain dengan menggunakan desain studi kasus kontrol di Saudi Arabia,
terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian DM
(Murad dkk., 2014). Pada penelitian tersebut kasus DM lebih banyak ditemukan
pada jenis kelamin laki-laki.
34
Menurut hasil studi perbedaan hormon antara laki-laki dan perempuan
yang membuat perbedaan risiko pada jenis kelamin. Berdasarkan studi kasus
kontrol yang melihat perbedaan risiko hormon pada laki-laki dan perempuan
menunjukan hasil risiko DM meningkat pada perempuan dengan tingkat level
testosteron lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki tingkat
testosteron lebih rendah (Ding dkk., 2006). Tingkat testosteron yang tinggi pada
pria yaitu dapat menurunkan risiko DM (Kautzky-Willer dkk, 2016). Perbedaan
jenis kelamin menggambarkan perbedaan antara kondisi biologis wanita dan pria,
yang disebabkan oleh perbedaan kromosom seks, ekspresi gen spesifik seks
autosom, hormon seks, dan pengaruhnya terhadap sistem organ. Wanita
menunjukkan perubahan hormon dan tubuh yang lebih dramatis karena faktor
reproduksi (Kautzky-Willer dkk, 2016).
Keanekaragaman dalam biologi, budaya, gaya hidup, lingkungan, dan
status sosial ekonomi mempengaruhi perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam predisposisi, perkembangan, dan secara klinis. Efek genetik dan
mekanisme epigenetik, faktor gizi dan gaya hidup mempengaruhi risiko dan
komplikasi secara berbeda pada kedua jenis kelamin. Selanjutnya, hormon seks
memiliki dampak yang besar pada metabolisme energi, komposisi tubuh, fungsi
vaskular, dan respon inflamasi. Demikian pula, ketidakseimbangan endokrin
berhubungan dengan sifat kardiometabolik yang tidak menguntungkan, dapat
diamati pada wanita dengan kelebihan androgen atau pria dengan hipogonadisme.
Faktor biologis dan psikososial menjadi salah satu perantara antara perbedaan
jenis kelamin dan jenis kelamin dalam risiko diabetes. Secara keseluruhan, stres
35
psikososial tampaknya memiliki dampak lebih besar pada wanita dan bukan pada
pria (Kautzky-Willer dkk, 2016) .
2.3.4 Indeks Massa Tubuh
Epidemi global DM terkait dengan peningkatan kelebihan berat badan dan
obesitas pada orang dewasa maupun remaja. Prevalensi kelebihan berat badan
(BMI 25-30 kg/m²) atau obesitas (BMI ≥30 kg/m²). Prevalensi obesitas dan
overweight pada populasi dewasa di dunia diperkirakan meningkat dari 33% pada
tahun 2005 menjadi 57,8% pada tahun 2030 (Chen dkk., 2012). Obesitas dan
overweight merupakan salah satu prediktor untuk DM tipe 2. Berdasarkan hasil
penelitian di Amerika pada orang dewasa yang memiliki IMT >35 kg/m² memiliki
risiko 42-93 kali lipat terkena diabetes mellitus daripada orang dengan IMT < 22
kg/m² (Gill dan Cooper, 2008). Hasil penelitian case-control menunjukan peluang
pengembangan DM tipe 2 untuk individu yang kelebihan berat badan atau
obesitas sekitar 1,5-5 kali lebih tinggi daripada individu dengan IMT normal
(Ganz dkk ., 2014).
2.3.5 Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan
dan mengeluarkan tenaga dan energi. Kurangnya aktifitas fisik merupakan salah
satu faktor risiko diabetes mellitus (WHO, 2016c). Selain itu, berdasarkan hasil
penelitian kohor meta analisis menunjukan bahwa ada hubungan antara intensitas
aktifitas fisik dan diabetes mellitus tipe 2, dengan nilai RR= 0.69 (CI 95% 0.58 –
0.83) (Jeon dkk., 2007). Berdasarkan hasil systemativ review beberapa penelitian
menunjukan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan diabetes mellitus,
serta terjadinya penurunan risiko sebesar 3,5 kali pada responden yang memiliki
36
tingkat aktivitas fisik >5,5MET (Gill dan Cooper, 2008). Hasil penelitian lain di
Jakarta menunjukan secara signifikan ada hubungan antara aktifitas fisik dan
kejadian DM dengan nilai OR=0,239 (95%CI 0,071-0,802) (Trisnawati dan
Soedijono, 2013).
2.4 Analisis Statistik
Analisis statistik diantaranya terdapat analisis univariat, bivariat, dan
mutivariat.
2.4.1 Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang bertujuan untuk
mendeskripsikan masing-masing variabel yang di teliti, dengan cara
mengeluarkan ukuran tengah dan ukuran variasi.
A. Ukuran Tengah
Ukuran tengah merupakan teknik statistik yang digunakan untuk
menjelaskan kelompok berdasarkan gejala pusat (tendency central)
diantaranya adalah mean, median, dan modus. Berikut penjelasan
mengenai masing-masing nilai tengah (Sugiyono, 2010).
1. Mean
Mean merupakan teknik penjelasan kelompok yang didasarkan atas
nilai rata-rata dari kelompok. Nilai rata-rata diperoleh dengan
menjumlahkan data seluruh individu dalam kelompok.
37
2. Median
Median adalah teknik penjelasan kelompok yang didasarkan atas
nilai tengah dari kelompok data yang telah disusun urutannya dari
yang terkecil sampai yang terbesar, atau sebaliknya.
3. Modus
Modus merupakan teknik penjelasan kelompok yang didasarkan
atas nilai yang sedang populer atau nilai yang sering muncul.
B. Ukuran Variasi
Ukuran variasi digunakan untuk menjelaskan keadaan kelompok, yang
didasarkan pada tingkat variasi data yang ada pada kelompok. Untuk
mengetahui tingkat variasi kelompok data dapat melihat nilai rentang data
(range) dan standar deviasi. Berikut penjelasan masing-masing ukuran
variasi (Sugiyono, 2010).
1. Rentang Data (range)
Rentang data merupakan nilai yang diperoleh dari pengurangan
data terbesar dengan data yang terkecil, yang bermaksud untuk
melihat tingkat variasi dari kelompok data.
2. Standar Deviasi
Varians merupakan salah satu teknik statistik yang digunakan
untuk menjelaskan homogenitas kelompok. Varians merupakan
jumlah kuadrat semua deviasi nilai-nilai individual terhadap rata-
rata kelompok. Sedangkan standar deviasi merupakan akar dari
varians.
38
3. Proporsi
Proporsi adalah perbandingan yang pembilangnya
merupakan bagian dari penyebut. Proporsi digunakan untuk
melihat komposisi suatu variabel dalam populasi. Perhitungan
proporsi ialah sebagai berikut.
Proporsi :
x 100%
2.4.2 Nilai Risiko dan Keputusan Uji Statistik
Pengambilan keputusan terhadap suatu penelitian dapat dilihat dari uji
statistik pendekatan probabilistik menggunakan nilai P value. Dengan nilai P ini
menghasilkan keputusan uji statistik dengan membandingkan nilai P value dengan
nilai α (alpha). Tingkat kemaknaan atau alpha dalam penelitian kesehatan
masyarakat biasanya menggunakan α=0,05 dan Confident Interval 95% (Sabri and
Hastono, 2014). Keputusan uji statistik yang digunakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. P value > 0,05 berarti hipotesis nol gagal ditolak dengan kesimpulan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna.
2. P value < 0,05 berarti hipotesis nol ditolak dengan kesimpulan bahwa
ada hubungan yang bermakna.
Hasil dari keputusan uji statistik menggunakan nilai P value hanya untuk
menilai ada tidaknya hubungan, tidak bisa melihat derajat hubungan. Derajat
hubungan dalam bidang kesehatan di liat dengan menggunakan ukuran Risiko
relatif (RR), Odds Ratio (OR), dan Prevelensi ratio (PR). Ukuran RR digunakan
dalam penelitian kohor, OR digunakan pada penelitian kasus kontrol, sedangkan
39
PR digunakan pada penelitian cross sectional. Interpretasi nilai PR, RR, dan OR
antara lain sebagai berikut.
1. PR, RR, atau OR < 1, Variabel dikatakan sebagai faktor protektif
2. PR, RR, atau OR = 1, Variabel bukan faktor risiko
3. PR, RR, atau OR > 1, Variabel dikatakan sebagai faktor risiko
Pada kondisi kasus yang jarang nilai OR dan RR atau PR akan mengalami
kesetaraan. Nilai PR mungkin bisa menjadi lebih tinggi atau lebih rendah dari
nilai RR tergantung kepada bagaimana status eksposur memiliki efek survival.
Nilai POR akan setara dengan nilai PR ketika kondisi dimana prevalensi outcome
kecil, bahkan ketika dalan kondisi tidak berhubungan dengan survival. POR yang
diestimasi salah satu dari desain studi cross sectional maupun case control bisa
memiliki nilai yang sama dengan IDR ketika dalam kondisi eksposur bukan
merupaka faktor prognstik dan durasi rata-rata disease telah diidentifikasi untuk
eksposur dan non-eksposur (Kleinbaum et al., 1982). Dalam kondisi outcome
yang jarang nilai RR, OR, dan PR akan menjadi seperti berikut ini:
1RR = IDR
2POR = IDR
3ROR = RR = EOR (OR)
4PR = P1/P2 = IDR
5POR = ad/bc = EOR
RR = OR = PR
Keterangan:
IDR : Incidence density ratio
PR : Prevalence ratio
POR : Prevalence odds ratio
RR : Relative risk
ROR : Risk odds ratio
EOR : Exposure odds ratio
OR : Odds ratio
40
Nilai PR pada dasarnya memiliki perhitungan yang sama dengan RR, PR
biasa digunakan untuk desain studi cross sectional sedangkan RR bisa digunakan
untuk desain studi kohor, akan tetapi berbeda dengan OR perumusannya OR
biasanya digunakan untuk desain studi case control. Berikut ini rumus dari RR
dan OR (Kleinbaum et al., 1982).
RR=
OR=
Keterangan:
RR: Prevalensi atau insidens outcome pada kelompok terpajan dibagi
dengan prevalensi atau insidens pada kelompok yang tidak
terpajan.
OR: kelompok terpajan dibagi dengan kelompok yang tidak terpajan
pada kelompok kasus dibagi dengan kelompok terpajan dibagi
dengan kelompok tidak terpajan pada kelompok kontrol
Rumus umum untuk OR dalam model regresi logistik yang dinyatakan
dalam nilai eksponensial β merupakan variabel outcome (0,1) dan variabel
eksposur (0,1) dan beberapa variabel covariat dinyatakan sebagai X1, X2, .... Xk.
Terdapat beberapa rumus yang bisa digunakan untuk nilai PR dan RR yang
bergantung pada desain studi. Apabila penelitian diasumsikan bahwa memiliki
kasus/outcome yang jarang, maka rumus untuk OR yang telah disebutkan diatas
dapat digunakan sebagai perkiraan nilai PR dan RR. Apabila kasus/outcome tidak
dapat diasusmsikan jarang, maka rumus yang digunakan harus berbeda karena
ketika membagi pernyataan untuk risiko nilai-nilai individual X yang tidak
41
terpajan pada dua kelompok yang dibandingkan jangan hilang dari pernyataan
untuk RR yang disesuaikan (Personal communication dengan Dr. Kleinbaum, 18
Sep 2017). Berikut ini merupakan contoh ekspresi nilai RR dan PR berbanding
dengan OR.
D (+) D (-)
E (+) 103 12
E (-) 75 102
OR =
RR = 5,5
Nilai OR meningkat secara relatif terhadap nilai RR dan PR pada kondisi
kasus yang tidak jarang pada desain studi kohor dan cross sectional. Nilai RR
lebih mudah di interpretasikan, serta nilai OR lebih sering di interpretasikan
menggunakan gaya bahasa RR (Kleinbaum, 2017). Nilai OR kebanyakan
menyebutkan bahwa interpretasinya adalah sama dengan PR dan RR, akan tetapi
menurut cohcran kurang tepat karena pembandingnya berbeda (Higgins and
Green, 2011).
Berdasarkan referensi cohcran menyatakan bahwa penarikan kesimpulan
berdasarkan OR dan RR adalah berbeda (Higgins and Green, 2011). Pengambilan
interpretasi untuk nilai OR adalah (contoh: OR= 1:3) kemungkinan terjadi sakit
adalah sepertiga dari kemungkinan tidak sakit, satu orang sakit setiap tiga yang
tidak sakit. Nilai OR=0,79 berarti interpretasinya adalah kemungkinan faktor x
42
tidak sakit adalah 21%, sedangkan untuk interpretasi dari nilai RR (contoh:
RR=0,79) dengan demikian faktor X dapat menurunkan risiko sakit sebesar 21%
(Higgins and Green, 2011).
2.4.3 Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis yang digunakan untuk melihat
hubungan antara kedua kelompok yang diteliti. Analisis tersebut dilakukan untuk
menguji hipotesis dari suatu penelitian, apakah ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen (Hastono, 2006). Analisis bivariat untuk
menguji hipotesis pada kondisi variabel lebih dari dua katagori salah satunya
adalah uji regresi logistik. Analisis regresi logistik adalah salah satu pendekatan
model matematis yang digunakan untuk menganalisis hubungan satu atau
beberapa variabel independen dengan sebuah variabel dependen katagorik yang
bersifat dikotom/binary. Variabel katagorik yang dikotom adalah variabel yang
mempunyai dua nilai variasi. Metode regresi telah menjadi komponen integral
dari setiap analisis data yang digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antara
variabel respon (dependen variabel) yang memiliki dua kategori atau lebih dengan
satu atau lebih variabel penjelas (independen variabel) berskala kategori (Hosmer
dkk ., 2013). Uji tersebut juga dapat digunakan pada desain studi cross sectional.
2.4.4 Analisis Multivariat
Proses analisis multivariat dengan menghubungkan beberapa variabel
independen dengan satu variabel dependen pada waktu yang bersamaan. Dari
analisis multivariat kita dapat mengetahui (Hastono, 2006):
43
a. Variabel independen mana yang paling besar pengaruhnya terhadap
variabel dependen?
b. Apakah variabel independen berhubungan dengan variabel dependen
dipengaruhi variabel lain atau tidak?
c. Bentuk hubungan beberapa variabel independen dengan variabel
dependen, apakah berhubungan langsung atau pengeruh tidak langsung.
Uji statistik yang digunakan pada sampel yang banyak dan menggunakan
teknik pengambilan sampel multistage adalah uji regresi logistik dengan desain
kompleks. Uji tersebut lebih sensitif untuk mendapatkan nilai yang sebenarnya
dan untuk menghindari adanya kesalahan analisis dikarenakan jumlah sampel
yang banyak. Uji regresi logistik dengan desain kompleks diperlukan adanya
variabel pembobotan dan variabel strata untuk diikutsertakan kedalam uji analisis.
2.4.5 Konfounding
Konfounding merupakan kondisi bias dalam mengestimasi efek pajanan
terhadap kejadian penyakit atau masalah kesehatan, akibat dari perbandingan
tidak seimbang antara kelompok terpajan dan tidak terpajan. Bias oleh
konfounding terjadi dikarenakan pada dasarnya sudah ada perbedaan risiko
terjadinya penyakit pada kelompok terpajan dengan kelompok tidak terpajan
(Hastono, 2006). Risiko terjadinya penyakit pada kedua kelompok itu berbeda
meskipun variabel eksposur dihilangkan pada kedua kelompok tersebut.
Konfounding merupakan variabel pengganggu atau faktor ketiga dari hubungan
antara eksposur dan outcome. Efek penyimpangan ini dapat terjadi karena
peningkatan atau penurunan kekuatan dari hubungan antara eksposur dan
outcome, sehingga mengurangi penarikan kesimpulan terhadap hubungan
44
eksposur dan outcome. Konfounding juga dapat terjadi karena sistematik eror atau
bias. Efek konfounding dapat terjadi dalam penelitian apabila memenuhi syarat-
syarat berikut (Bailey dan Handu, 2012).
A. Konfounding memiliki pengaruh terhadap variabel faktor penyebab atau
penyakit, atau konfounding memiliki asosiasi dengan variabel dependen.
B. Konfounding mempunyai pengaruh terhadap variabel independen
C. Konfounding bukan merupakan variabel intermediet antara eksposur dan
outcome
Pengukuran variabel konfounding dapat dilakukan dengan cara
mebandingkan ratio kasar (crude) dengan ratio adjusted. Apabila memiliki
perbedaan miniman 10% maka variabel tersebut dapat dikatakan sebagai variabel
konfounding (Newman, 1952).
2.4.6 Efek Modifikasi (Interaksi)
Efek modifikasi atau interaksi dapat terjadi apabila kekuatan atau arah
hubungan antara eksposur dan outcome berbeda antara subgrup. Penelitian dengan
menghitung efek modifikasi ini juga bisa memberikan informasi tambahan
tentang hubungan antara pajanan dan onset penyakit. Efek modifikasi disebut
sebagai heterogenitas efek dari satu pajanan pada tingkat pajanan yang lain. Jadi
efek satu pajanan pada outcome berbeda pada kelompok pajanan lainnya
(Hastono, 2006). Tidak adanya modifikasi efek, berarti efek terhadap pajanan
homogen. Istilah efek modifikasi diterapkan pada situasi di mana besarnya efek
pemaparan berbeda-beda tergantung pada tingkat variabel ketiga. Untuk melihat
ada atau tidaknya efek modifikasi ini dapat dilihat melalui stratifikasi atau uji
multivariat (Bailey dan Handu, 2012).
45
2.5 Kerangka Teori
Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan teori yang telah dikumpulkan
maka disusunlah kerangka teori berikut (Gambar 2.3)
Gambar 2.7 Kerangka Teori
Kerangka teori ini diadaptasi dari penelitian, (Ozougwu dkk., 2013) (Kapoor dkk.,
2014)1, (Creatore dkk., 2010)
2, (Murad dkk., 2014)
3, (Gill dan Cooper, 2008)
4,
dan (Jeon dkk., 2007)5
GAYA HIDUP
GANGGUAN
SEKRESI INSULIN
GEN
RESISTENSI
INSULIN
GANGGUAN TOLERANSI
GLUKOSA
DIABETES MELLITUS
KONSUMSI KOPI
IMT4
AKTIFITAS FISIK4,5
USIA1,2
JENIS KELAMIN2,3
KONSUMSI MINUMAN
BERKAFEIN NON-KOPI
(SOFTDRINK DAN
MINUMAN BERENERGI)
45
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Penelitian ini akan menggambarkan hubungan antara Kebiasaan
konsumsi kopi di Indonesia terhadap kejadian diabetes mellitus. Konsumsi
kopi di ukur dari orang yang mengkonsumsi berdasarkan kriteria Riskesdas
2013 dengan yang tidak mengkonsumsi. Selain itu, untuk menghindari efek
bias yang mungkin dapat ditimbulkan, maka dilakukan analisis multivariat
model faktor risiko terhadap faktor karakteristik individu diantaranya usia,
jenis kelamin, status gizi, dan aktifitas fisik. Penambahan faktor
karakteristik individu dalam penelitian ini berdasarkan dari penelitian
sebelumnya yang menunjukan adanya efek konfounding dari konsumsi kopi
dengan risiko diabetes mellitus. Maka disusunlah kerangka konsep sebagai
berikut:
46
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
(Adaptasi Penelitian (van Dam dan Hu, 2005), (Ozougwu dkk., 2013) (Kapoor
dkk., 2014), (Creatore dkk., 2010), (Murad dkk., 2014), (Gill dan Cooper, 2008),
dan (Jeon dkk., 2007))
Diabetes Mellitus
Frekuensi Konsumsi
Kopi
Variabel Independen Variabel Dependen
Karakteristik Individu:
Usia
Jenis Kelamin
Status Gizi
Aktifitas Fisik
Konsumsi
minuman
berkafein non-kopi
(minuman
berenergi dan
softdrink)
Keterangan:
Variabel Independen
Variabel untuk melihat
hubungan langsung
terhadap diabetes mellitus
Variabel karakteristik
individu untuk
pengendalin efek modifikasi
dan konfounding
menggunakan analisis
multivariat
47
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variable Definisi
operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
1 Diabetes
mellitus
Status diabetes
mellitus yang
diagnosis oleh
dokter atau belum
pernah didiagnosis
menderita
kencing manis oleh
dokter tetapi dalam
satu bulan terakhir
mengalami gejala:
sering lapar dan
sering
haus dan sering
buang air kecil
dalam jumlah
banyak dan berat
badan turun
berdasarkan
wawancara riskesdas
2013
Wawancara Kuesioner
individu
Blok XI-B
(B12 &
B14)
Status DM
0 = Non-
DM
1= DM
Nominal
2 Frekuensi
Konsumsi
Kopi
Frekuensi konsumsi
kopi responden
Wawancara Kuesioner
individu
Blok XI-G
(G27-g)
Frekuensi
konsumsi
kopi:
0=Tidak
konsumsi
kopi
1= >1 Kali
sehari
2=1 kali
sehari
3= 3-6 kali
perminggu
4= 1-2 kali
perminggu
5= < 3 kali
perbulan
Ordinal
3 Frekuensi
Konsumsi
minuman
berkafein
non-kopi
Frekuensi konsumsi
minuman berkafein
non-kopi
diantaranya sofdrink
dan atau minuman
Wawancara Kuesioner
individu
Blok XI-G
(G27-h)
Frekuensi
konsumsi
minuman
berkafein
non-kopi:
Ordinal
48
No Variable Definisi
operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
(softdrink
dan
minuman
berenergi)
berenergi 0=Tidak
konsumsi
1= >1 Kali
sehari
2=1 kali
sehari
3= 3-6 kali
perminggu
4= 1-2 kali
perminggu
5= < 3 kali
perbulan
4 Usia Usia responden yang
dilihat berdasarkan
tanggal lahir
dihitung dalam hari,
bulan, dan tahun
(Pedoman Riskesdas
2013)
Wawancara Kuesioner
rumah
Tangga
Blok IV
Usia dalam
angka
Rasio
5 Jenis
kelamin
Jenis kelamin
responden yang
ditanyakan langsung
kepada responden
Wawancara Kuesioner
rumah
Tangga
Blok IV
Jenis
Kelamin:
0 = Laki-
laki
1 =
Perempuan
Nominal
6 Status
Gizi
Hasil perhitungan
berat badan dibagi
dengan pangkat dua
tinggi badan dalam
satuan Kg/m2
Pengukuran
BB dan TB
Kuesioner
individu
Blok XI-K
(BB: K01
dan TB:
K02)
Status Gizi
0 = Kurus
1 = Normal
2 = Gemuk
3 =Obesitas
(Depkes RI,
2003)
Ordinal
7 Aktifitas
Fisik
Status aktifitas fisik
responden yang
tergolong dalam
salah satu kategori
berikut: aktivitas
fisik berat adalah
lamanya waktu
(menit) melakukan
aktivitas dalam satu
minggu dikalikan
Wawancara Kuesioner
individu
Blok XI-G
(G16-G22)
Aktifitas
Fisik
0 = Ringan
1 = Sedang
2 = Berat
(IPAQ,
2004)
Ordinal
Tabel 3.1 (Lanjutan)
49
No Variable Definisi
operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
bobot sebesar 8
kalori; Aktivitas
fisik sedang apabila
melakukan aktivitas
fisik sedang
(menyapu,
mengepel, dll)
minimal lima hari
atau lebih dengan
total lamanya
beraktivitas 150
menit dalam satu
minggu; Selain dari
dua kondisi
tersebut
termasuk dalam
aktivitas fisik ringan
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan kejadian diabetes
mellitus di Indonesia Tahun 2013
Tabel 3.1 (Lanjutan)
50
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional untuk
menjelaskan hubungan frekuensi konsumsi kopi terhadap kejadian diabetes
mellitus di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data dari Riset Kesehatan
Dasar tahun 2013.
4.2 Sumber Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang di ambil dari dataset
Riskesdas 2013. Beberapa komponen data yang diperlukan diantaranya variabel
status diabetes mellitus, frekuensi konsumsi kopi dan konsumsi minuman
berkafein bukan kopi (minuman berenergi dan softdrink) dan karakteristik
individu (usia, jenis kelamin, tinggi badan dan berat badan, serta aktifitas fisik).
4.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian Riskesdas 2013 dilakukan di 33 Provinsi di Indonesia yang
dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013. Untuk penelitian ini diambil semua provinsi
di Indonesia.
4.2.2 Populasi dan Sampel
Jumlah rumah tangga (RT) sampel Riskesdas sebanyak 294.959 dari
300.000 RT yang ditargetkan (98,3%) dengan jumlah anggota rumah tangga
(ART) 1.027.763 orang. Berdasarkan Survei Penduduk 2010, dengan rata-rata
jumlah ART per RT adalah 3.8 orang, maka response rate untuk ART adalah
93%. Dari 294.959 RT, ada sejumlah 77.830 ART yang tidak bisa
51
dikumpulkan informasinya, karena tidak ada di tempat pada kurun waktu
pengumpulan data Riskesdas 2013.
A. Populasi
Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga
biasa yang mewakili 33 provinsi. Populasi target dalam penelitian ini
adalah seluruh masyarakat indonesia, karena dari penelitian ini diharapkan
dapat di generalisasikan pada populasi luas yaitu seluruh penduduk di
Indonesia. Sedangkan untuk populasi sumber atau populasi studi adalah
yang telah memenuhi kriteria inklusi. Terkahir adalah populasi eligible
yakni populasi sumber yang telah memenuhi kriteria eksklusi.
B. Sampel
Kerangka sampel Riskesdas 2013 terdiri dari dua jenis, yaitu
kerangka sampel untuk penarikan sampel tahap pertama dan kerangka
sampel untuk penarikan sampel tahap kedua.
1. Kerangka sampel pemilihan tahap pertama adalah daftar
primary sampling unit (PSU) dalam master sampel. Jumlah
PSU dalam master sampel adalah 30.000 yang dipilih secara
probability proportional to size (PPS) dengan jumlah rumah
tangga hasil sensus penduduk (SP) 2010. PSU adalah
gabungan dari beberapa blok sensus (BS) yang merupakan
wilayah kerja tim pencacahan SP2010. PSU juga dilengkapi
informasi jumlah dan daftar nama kepala rumah tangga, alamat,
tingkat pendidikan kepala rumah tangga berdasarkan klasifikasi
wilayah urban/rural.
52
2. Kerangka sampel pemilihan tahap kedua adalah seluruh
bangunan sensus yang didalamnya terdapat rumah tangga biasa
tidak termasuk institutional household (panti asuhan, barak
polisi/militer, penjara, dsb) hasil pencacahan lengkap SP2010
(SP2010-C1). Bangunan sensus terpilih dan rumah tangga di
dalam bangunan sensus terpilih terlebih dahulu dilakukan
pemutakhiran. Pemutakhiran dilakukan oleh enumerator
Riskesdas 2013 sebelum mulai melakukan wawancara.
C. Kriteria Sampel
Jumlah Sampel pada penelitian riskesdas untuk usia ≥15 tahun
sebesar 712.580. Berikut merupakan kriteria inklusi dan eksklusi dari
penelitian:
a. Kriteria Inklusi
Responden pada riset kesehatan dasar tahun 2013 yang berusia ≥15
tahun
b. Kriteria Eksklusi
Data responden tidak lengkap, yaitu tidak tersedia salah satu atau
lebih dari data berikut: status penyakit diabetes, konsumsi kopi,
konsumsi minuman berkafein bukan kopi, dan karakteristik individu
(usia, jenis kelamin, tinggi badan dan berat badan, serta aktifitas
fisik).
4.2.3 Pengumpulan Data
Pengumpulan data telah dilakukan oleh enumerator dari Riset Kesehatan
Dasar 2013. Pengumpulan data Riskesdas 2013, dibedakan menjadi dua yaitu
53
data rumah tangga (RT) dan data anggota rumah tangga (ART). Data RT
dikumpulkan melalui teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.RT
dan Pedoman Pengisian Kuesioner, sedangkan data ART menggunakan Kuesioner
RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner.
4.2.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian menggunakan Kuesioner Rumah Tangga dan
Kuesioner Individu Riskesdas 2013. Kuesioner Riskesdas diambil beberapa
variabel diantaranya Diabetes mellitus, frekuensi konsumsi kopi, frekuensi
minuman berkafein bukan kopi usia, jenis kelamin, IMT (berat badan dan tinggi
badan), dan aktivitas fisik.
4.3 Pengukuran Variabel Penelitian
1. Diabetes Mellitus
Variabel diabetes mellitus diukur berdasarkan hasil jawaban
wawancara pada Riskesdas tahun 2013, penetapan status penyakit diabetes
berdasarkan pasien yang telah di diagnosis dokter atau berdasarkan
diagnosis gejala dalam kurun waktu satu bulan terakhir mengalami sering
lapar dan sering haus dan sering buang air kecil dalam jumlah banyak dan
berat badan turun.
2. Konsumsi Kopi
Variabel konsumsi kopi diukur melalui hasil jawaban kuesioner.
Jawaban akan dikategorikan kedalam 6 kategori yaitu termasuk katagori 1
apabila menjawab >1 kali perhari; katagori 2 apabila menjawab 1 kali
perhari; katagori 3 menjawab 3-6 kali perminggu; katagori 4 menjawab 1-
54
2 kali perminggu; dan katagori 5 menjawab < 3 kali perbulan, sedangkan
katagori 0 yang tidak mengkonsumsi kopi apabila menjawab tidak pernah.
3. Frekuensi Konsumsi Minuman Berkafein non-kopi (minuman berenergi
dan softdrink)
Variabel konsumsi kopi diukur melalui hasil jawaban kuesioner.
Jawaban akan dikategorikan kedalam 6 kategori yaitu termasuk katagori 1
apabila menjawab >1 kali perhari; katagori 2 apabila menjawab 1 kali
perhari; katagori 3 menjawab 3-6 kali perminggu; katagori 4 menjawab 1-
2 kali perminggu; dan katagori 5 menjawab < 3 kali perbulan, sedangkan
katagori 0 yang tidak mengkonsumsi apabila menjawab tidak pernah.
4. Usia
Variabel usia di ukur berdasarkan jawaban responden saat
penelitian Riskesdas 2013. Variabel usia dibiarkan menjadi data numerik,
akan tetapi dalam analisis multivariat di golongkan dalam 2 katagori
berdasarkan cut off point nilai median, karena data usia tidak berdistribusi
normal maka menggunakan nilai median yaitu < 39 tahun dan ≥ 39 tahun.
5. Jenis Kelamin
Variabel jenis kelamin diukur melalui hasil jawaban wawancara
Riskesdas 2013. Variabel ini dikatagorikan dalam 2 katagori yaitu 0. Laki-
Laki dan 1. Perempuan.
6. Status Gizi
Indeks massa tubuh dihitung dari dari pengukuran berat badan di
bagi dengan tinggi badan kuadrat (Kg/m2). Alat untuk mengukur tinggi
badan dan berat badan sudah melalui uji coba. Alat yang digunakan untuk
55
mengukur tinggi badan berbahan dasar aluminium, serta penimbangan
berat badan menggunakan timbangan digital dengan ketepatan 0,1 kg
menggunakan merek Fesco. Pemilihan merek timbangan didasarkan
pada akurasi dan presisi, kekuatan timbangan, bobot timbangan, dan
pertimbangan harga. Katagori status gizi dibedakan menjadi tiga katagori
berdasarkan IMT per jenis kelamin (Depkes RI, 2003). 0= kurus;
1=Normal; 2=gemuk; 3=obesitas, diantaranya:
Perempuan
Kurus : < 17 Kg/m2
Normal : 17-23 Kg/m2
Gemuk : 23-27 Kg/m2
Obesitas : > 27 Kg/m2
7. Aktivitas Fisik
Status aktivitas fisik diukur melalui pengukuran hasil jawaban
kuesioner Riskesdas 2013. Selanjutnya dilakukan perhitungan
menggunakan MET (metabolic equivalent). Perhitungan berdasarkan
katagori dari international physical activity questionare (IPAQ) adalah
sebagai berikut (IPAQ, 2004):
a) Aktifitas Sedang MET-menit/minggu = 4.0 x intensitas sedang
aktivitas menit x moderat hari
b) Aktifitas Berat MET-menit / minggu = 8,0 x intensitas aktivitas
berat menit x intensitas hari
Hasil perhitungan akan dikategorikan dalm 3 katagori diantaranya:
Laki-laki
Kurus : < 18 Kg/m2
Normal : 18-25 Kg/m2
Gemuk : 25-27 Kg/m2
Obesitas : > 27 Kg/m2
56
a) 0 = Aktifitas fisik ringan selain dari dua kondisi tersebut
termasuk dalam aktivitas fisik ringan
b) 1 = Aktivitas fisik sedang apabila memiliki nilai MET value ≥600
MET
c) 2 = Aktivitas fisik berat apabila atau memiliki nilai minimum
≥3000 MET
4.4 Manajemen Data
Proses manajemen data Riskesdas 2013 terdiri dari dua tahap, tahap
pertama dilakukan di kabupaten/kota yang terdiri dari kegiatan: pengumpulan
data, receiving-batching (penerimaan-pembukuan), editing (kontrol kualitas
data), data entry, dan pengiriman data elektronik. Tahap kedua dilakukan di
satuan kerja Badan Litbangkes pusat yang terdiri dari kegiatan: penerimaan
dan penggabungan data seluruh kabupaten/kota, cleaning data, penggabungan
data provinsi, penggabungan data nasional, cleaning data nasional, imputasi,
pembobotan, dan penyimpanan data elektronik. Sedangkan manajemen data
penelitian ini adalah sebagai berikut.
4.4.1 Pengkodean Data (data coding)
Pengkodean yakni mengubah data dari bentuk huruf kedalam
angka yang dapat dimengerti oleh peneliti. Pengkodean dilakukan untuk
mempermudah peneliti dalam menganalisis data. Beberapa variabel yang
sudah terkumpul akan di koding ulang sesuai dengan definisi operasional
yang ada.
57
4.4.2 Penyuntingan Data (data editing)
Data yang dikumpulkan di cek kembali kelengkapannya.
Dikarenakan data berupa dataset, maka dilkukan pengecekan ulang
dataset Riskesdas 2013 apakah data yang dibutuhkan sudah terisi
seluruhnya dan mendapatkan jawaban yang diinginkan dan jelas.
4.4.3 Memasukan Data (data entry)
Data yang digunakan telah melalui proses entry data sebelumnya
sehingga proses ini tidak dilakukan kembali.
4.4.4 Pembersihan Data (data cleaning)
Proses permbersihan data yakni memasitikan bahwa data yang
dalam program komputer telah tertata rapi dan tidak ada kesalahan dalam
pengetikan atau pemasukan data serta menghindari terjadinya missing
data. Cleaning yang dilakukan salah satunya untuk melihat jumlah sampel
tiap variabel. Karena penelitian ini menggunakan sampel besar maka perlu
dilakukan cleaning untuk melihat distribusi data tiap variabel.
Cleaning variabel dilakukan dengan melihat distribusi frekuensi
dari-masing-masing variabel. Cleaning dilakukan pada tiap variabel
diantaranya usia, jenis kelamin, aktifitas fisik, status gizi, konsumsi kopi,
konsumsi minuman berkafein non-kopi, dan DM. Semua variabel setelah
dilakukan cleaning berjumlah 712.580. Tidak ada satu variabel yang
mengalami missing data, sehingga semua variabel dapat dianalisis.
58
4.5 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program statistik. Analisis
data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat, dan multivariat.
4.5.1 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk memperoleh distribusi
mengenai masing-masing variabel (independen dan dependen). Variabel
independen terdiri dari konsumsi kopi dan variabel karakteristik individu
(usia, jenis kelamin, IMT, dan aktivitas fisik), sedangkan variabel
dependen adalah kejadian diabetes mellitus. Hasil dari analisis ini berupa
tabel distribusi frekuensi diantanya:
1. Tabel distribusi frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan
konsumsi kopi di Indonesia.
2. Tabel distribusi frekuensi diabetes mellitus berdasarkan
karakteristik responden (usia, jenis kelamin, status gizi, dan
aktivitas fisik).
Rumus Analisis Univariat
Nilai Mean :
Nilai Median : Nilai tengah dari data yang telah diurutkan
Proporsi :
x 100%
4.5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
antara variabel dependen dan independen. Analisis bivariat juga memberikan hasil
59
terhadap hipotesis yang diajukan oleh peneliti. Uji statistik yang digunakan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara konsumsi kopi terhadap kejadian
diabetes mellitus. Uji statistik yang digunakan adalah uji regresi logistik biner,
untuk melihat nilai P value dan nilai risiko dari tiap katagori variabel dengan
ketentuan apabila nilai P value < 0,05 dikatakan ada hubungan antara variabel
dependen dengan variabel independen, sedangkan untuk nilai risiko menggunakan
Prevalence ratio (PR) dengan ketentuan:
1. PR < 1 berarti konsumsi kopi meruakan faktor protektif terhadap DM
2. PR = 1 berarti konsumsi kopi bukan faktor risiko ataupun faktor protektif
3. PR > 1 berarti konsumsi kopi merupakan faktor risiko terhadap DM
Uji regresi logistik biner digunakan untuk melihat nilai risiko yang terjadi
pada tiap katagori konsumsi kopi, karena dalam penelitian ini rumus
perhitungannya tidak menggunakan tabel 2x2 melainkan 2x6, maka digunakan uji
regresi logistik biner untuk melihat nilai eksponensial ß yang diasumsikan sebagai
nilai PR. Pada katagori konsumsi kopi yang menjadi referensi dengan nilai PR=1
adalah yang tidak mengonsumsi kopi. Selanjutnya dibadingkan dengan nilai PR
pada tiap katagori konsumsi kopi.
4.5.3 Nilai Prevalence Ratio (95% Confident Interval)
Penelitian ini menggunakan nilai Prevalence Ratio (PR) untuk
memperlihatkan derajat hubungan konsumsi kopi terhadap diabetes mellitus.
Berdasarkan hasil nilai PR dapat melihat nilai ratio prevalensi dari tiap katagori
pada variabel independen dapat terukur dengan jelas. Peneliti menggunakan nilai
PR dalam penelitian cross sectional bertujuan untuk melihat peluang penurunan
risiko diabetes mellitus antara yang mengkonsumsi kopi dibandingkan dengan
60
yang tidak konsumsi kopi. Nilai ini menggunakan derajat kemaknaan sebesar
95%. Berikut ini merupakan contoh tabel analisis dengan nilai PR.
Tabel 4.1 Contoh Hubungan antara Frekuensi Konsumsi Kopi dengan
Kejadian Diabetes Mellitus di Indonesia Tahun 2013
Frekuensi konsumsi Pvalue PR (95% CI)
Tidak konsumsi kopi Referensi
>1 Kali sehari
1 kali sehari
3-6 kali perminggu
1-2 kali perminggu
< 3 kali perbulan
4.5.4 Analisis Multivariat
Proses analisis multivariat dengan menghubungkan beberapa variabel
independen dengan satu variabel dependen pada waktu yang bersamaan. Analisis
multivariat digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen
berhubungan dengan variabel dependen dipengaruhi variabel lain atau tidak.
Variabel yang diduga menjadi konfounding diantaranya usia, jenis kelamin,
aktifitas fisik, status gizi dan konsumsi kafein, sedangkan variabel yang diduga
secar substantif berinteraksi adalah kopi dengan jenis kelamin, kopi dengan usia,
kopi dengan aktifitas fisik, kopi dengan status gizi, dan kopi dengan kafein.
Berikut tahap-tahap yang dilakukan untuk analisis multivariat model risiko
(Hastono, 2006).
1) Melakukan pemodelan lengkap, mencakup variabel utama, semua
kandidat konfounding dan kandidat interaksi (interaksi dibuat antara
variabel utama dengan semua variabel konfounding). Variabel interaksi
yang di buat diantaranya yang memiliki hubungan secara substansi
61
memiliki keterkaitan diantaranya kopi dengan jenis kelamin (kopi by
jenis kelamin), kopi berdasarkan usia, kopi berdasarkan aktifitas fisik,
kopi berdasarakan status gizi, dan kopi berasarkan konsumsi minuman
berkafein.
2) Tahap kedua yaitu melakukan penilaian interaksi, dengan cara
mengeluarkan variabel interaksi yang nilai p value nya tidak signifikan
(P value >0,05) dikeluarkan dari model secara berurutan satu per satu
dari nilai yang terbesar, setelah dikeluarkan satu persatu apabila terbukti
bahwa ada variabel yang berinteraksi maka selanjutnya diikutsertakan
dalam model uji konfounding.
3) Tahap ketiga yaitu melakukan penilaian konfounding, dengan cara
mengeluarkan variabel kovariat/ konfounding satu per satu dimulai dari
yang memiliki nilai P value terbesar, bila setelah dikeluarkan diperoleh
selisih PR faktor/variabel utama antara sebelum dan sesudah variabel
kovariat dikeluarkan lebih besar dari 10%, maka variabel tersebut
dinyatakan sebagai konfounding dan harus tetap berada dalam model.
62
BAB V
HASIL
5.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi prevalensi diabetes
mellitus berdasarkan konsumsi kopi dan karakteristik individu.
5.1.1 Frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan frekuensi konsumsi
kopi dan minuman berkafein bukan kopi
Distribusi kasus diabetes mellitus digambarkan berdasarkan frekuensi
konsumsi kopi. Hasil prevalensi akan menunjukan proporsi diabetes mellitus
berdasarkan frekuensi konsumsi responden.
Tabel 5.1 Frekuensi DM berdasarkan Frekuensi Konsumsi Kopi
Frekuensi Konsumsi
Kopi
DM Non-DM Total
N % N % N %
>1 Kali sehari 2299 2 111757 98 114056 100
1 kali sehari 2291 1,9 117317 98,1 119608 100
3-6 kali perminggu 885 1,8 48361 98,2 49246 100
1-2 kali perminggu 1402 1,9 71364 98,1 72766 100
< 3 kali perbulan 1776 2,4 71470 97,6 73246 100
Tidak konsumsi kopi 8265 2,9 275393 97,1 283658 100
Total 16918 2,4 695662 97,6 712580 100
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa prevalensi kasus DM paling tinggi
pada responden yang tidak mengkonsumsi kopi sebesar 2,9%. Sedangkan proporsi
terendah pada responden yang mengkonsumi kopi 3-6 kali perminggu sebesar
1,8%.
63
5.1.2 Frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan karakteristik
individu
Distribusi kasus DM dan Non-DM dilihat berdasarkan karakteristik
individu, sehingga dapat dilihat persebaran proporsi tiap variabel karakteristik
individu berdasarkan penelitian Riskesdas 2013.
Tabel 5.2 Frekuensi DM berdasarkan Karakteristik individu
Karakteristik
Individu
DM Non-DM Total
N % N % N %
Usia
Mean ± SD 50.75 ± 13.754
52
39.48 ±15.969
38
39.75±16.012
Median 39
Jenis Kelamin
Laki-Laki 7445 2,2 335549 97,8 342994 100
Perempuan 9473 2,6 360113 97,4 369586 100
Total 16918 2,4 695662 97,6 712580 100
Status Gizi
Kurus 1039 2,1 48447 97,9 49486 100
Normal 8429 2,0 413285 98 421714 100
Gemuk 3682 2,7 134995 97,3 138677 100
Obesitas 3768 3,7 98935 96,3 102703 100
Total 16918 2,4 695662 97,6 712580 100
Aktifitas Fisik
Ringan 3658 3,6 96757 96,4 100415 100
Sedang 9818 2,4 398143 97,6 407961 100
Berat 3442 1,7 200762 98,3 204204 100
Total 16918 2,4 695662 97,6 712580 100
Konsumsi minuman berkafein non-kopi (softdrink dan
minuman berenergi)
>1 Kali sehari 367 2,6 13607 97,3 13983 100
1 kali sehari 643 2,4 26385 97,6 27028 100
3-6 kali perminggu 449 1,6 27169 98,4 27618 100
1-2 kali perminggu 998 1,7 57145 98,3 58143 100
< 3 kali perbulan 2059 1,9 104869 98,1 106928 100
64
Karakteristik
Individu
DM Non-DM Total
N % N % N %
Tidak konsumsi 12393 2,6 466487 97,4 478880 100
Total 16918 2,4 695662 97,6 712580 100
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui proporsi masing-masing variabel
karakteristik individu berdasarkan katagori non-DM dan DM. Pada variabel Usia
nilai rata-rata usia responden sebesar 39,75 tahun dengan standar deviasi 16,012
dan median 39 tahun. Usia rata-rata reponden yang mengalami DM lebih tinggi
daripada Non-DM yaitu sebesar 50,75 tahun, sedangkan non-DM 39,48 tahun.
Standar deviasi pada kelompok DM sebesar 13.754 lebih rendah dari pada
kelompok non-DM sebesar 15.969.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi kasus DM paling banyak pada
perempuan sebesar 2,6%, sedangkan pada laki-laki sebesar 2,2%. Berdasarkan
status gizi, prevalensi kasus DM paling tinggi pada responden yang mengalami
obesitas sebesar 3,7%, sedangkan yang paling rendah pada responden dengan
status gizi normal sebesar 2%. Variabel aktifitas fisik prevalensi kasus DM paling
tinggi pada responden yang beraktifitas fisik ringan sebesar 3,6%, sedangkan
paling rendah pada aktifitas fisik berat sebesar 1,7%. Berdasarkan konsumsi
minuman berkafein non-kopi (softdrink dan minuman berenergi) prevalensi kasus
DM paling tinggi pada konsumsi lebih dari satu kali per hari sebesar 2,6%,
sedangkan paling rendah pada konsumsi minuman 3-6 kali perminggu.
5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara konsumsi kopi
dengan kejadian diabetes mellitus. Analisis ini menggunakan uji regresi logistik
Tabel 5.2 (Lanjutan)
65
biner untuk mengeluarkan nilai PR pada tiap katagori konsumsi kopi
dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi kopi.
5.2.1 Hubungan frekuensi konsumsi kopi terhadap kejadian diabetes
mellitus
Hubungan frekuensi Konsumsi kopi dengan kejadian diabetes mellitus
dilihat berdasarkan frekuensi konsumsi kopi dengan mengeluarkan nilai P value
dan prevalence ratio (PR). Penggunaan nilai PR agar dapat terlihat derajat
hubungan antara kopi yang dikonsumsi apakah hubungannya menjadi faktor
risiko atau faktor protektif antara frekuensi konsumsi kopi dengan diabetes
mellitus, serta diperlihatkan nilai Confidence Interval (CI) dengan kekuatan 95%
agar dapat memperkuat hubungan antara eksposur dan disease.
Tabel 5.3 Hubungan Frekuensi Konsumsi Kopi dengan Kejadian Diabetes
Mellitus
Frekuensi Konsumsi Kopi Kejadian DM P-value
PR ( 95% CI )
>1 Kali sehari 0.661 0.658-0.663
0,000
1 kali sehari 0.672 0.670-0.674
3-6 kali perminggu 0.640 0.637-0.643
1-2 kali perminggu 0.641 0.639-0.644
< 3 kali perbulan 0.811 0.808-0.814
Tidak konsumsi kopi 1 Referensi
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa ada hubungan signifikan antara
konsumsi kopi dengan kejadian diabetes mellitus dengan nilai p-value <0,05.
Nilai PR pada setiap katagori konsumsi kopi adalah kurang dari satu menunjukan
bahwa konsumsi kopi sebagai efek protektif. Meskipun semua katagori konsumsi
kopi menunjukan nilai PR kurang dari satu, akan tetapi hasilnya fluktuatif pada
setiap peningkatan frekuensi konsumsi kopi. Konsumsi kopi lebih dari satu kali
perhari menurunkan risiko DM sebesar 33,9%, konsumsi satu kali perhari
66
menurunkan risiko DM sebesar 32,8%, konsumsi 3-6 kali perminggu dapat
menurunkan risiko DM sebesar 36%, konsumsi 1-2 kali perbulan menurunkan
risiko sebesar 35,9%, sedangkan konsumsi < 3 kali perbulan menurunkan risiko
sebesar 18,9%. Efek proteksi paling tinggi pada terjadi pada katagori konsumsi 3-
6 kali perbulan.
5.3 Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk menguji faktor karakteristik individu
sebagai faktor konfounding atau tidak, sehingga diperoleh hubungan antara
konsumsi kopi dengan diabetes mellitus yang sesungguhnya setelah di kontrol
dengan variabel konfounding. Uji interaksi dilakukan sebelum uji konfounding,
dengan membuat variabel baru antara faktor utama dengan variabel karakteristik
individu.
5.3.1 Uji Interaksi
Interaksi merupakan keadaan dimana hubungan antara satu variabel
independen dengan dependen berbeda menurut tingkat variabel independen yang
lain. Pemilihan variabel sebagai interaksi didasari oleh secara substansi memiliki
keterkaitan serta berdasarkan hasil analisis sebelumnya, bahwa pada beberapa
karakteristik individu mengalami perbedaan proporsi antar katagori terhadap
konsumsi kopi dengan DM diantaranya adalah kopi dengan usia, kopi dengan
jenis kelamin, kopi dengan status gizi, kopi dengan aktifitas fisik, dan kopi
dengan kafein. Penilaian interaksi dilakukan dengan cara mengeluarkan variabel
interaksi dengan nilai p value lebih dari 0,05 atau tidak signifikan maka
dikeluarkan dari model secara berurutan satu per satu dari nilai P value paling
67
besar. Berikut merupakan tabel model lengkap untuk uji interaksi hubungan
konsumsi kopi dengan kafein (Tabel 5.4).
Tabel 5.4 Model Lengkap Uji Interkasi Hubungan Konsumsi Kopi dengan
DM
No Variabel P-value
1 Konsumsi Kopi 0,000
2 Usia 0,000
3 Jenis Kelamin 0,000
4 Status Gizi 0,000
5 Aktifitas Fisik 0,000
6 Konsumsi Minuman
berkafein
0,002
7 Kopi*Usia 0,178
8 Kopi*Jenis kelamin 0,918
9 Kopi*Status gizi 0,614
10 Kopi*Aktifitas fisik 0,872
11 Kopi*kafein 0,025
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa nilai p value paling besar pada
variabel interaksi kopi dengan jenis kelamin sebesar (P value= 0,918), sehingga
variabel kopi berdasarkan jenis kelamin yang menjadi variabel pertama yang
dikeluarkan dalam model uji interaksi. Berikut merupakan tabel model pertama
uji interaksi setelah dikeluarkan variabel jenis kelamin (Tabel 5.5).
Tabel 5.5 Model Pertama Uji Interkasi Hubungan Konsumsi Kopi dengan
DM
No Variabel P-value
1 Konsumsi Kopi 0,000
2 Usia 0,000
3 Jenis Kelamin 0,000
4 Status Gizi 0,000
5 Aktifitas Fisik 0,000
6 Konsumsi Minuman berkafein 0,002
7 Kopi*Usia 0,178
8 Kopi*Aktifitas Fisik 0,878
9 Kopi*Status gizi 0,626
10 Kopi*kafein 0,025
68
Berdasarkan tabel 5.5 semua variabel interaksi memiliki nilai P value
>0,05 kecuali variabel kopi berdasarkan kafein. Variabel yang memiliki nilai
Pvalue terbesar yang akan dikeluarkan dalam model selanjutnya adalah variabel
kopi berdasarkan aktifitas fisik. Berikut merupakan tabel model kedua uji
interaksi setelah dikeluarkan variabel kopi berdasarkan aktifitas fisik (Tabel 5.6).
Tabel 5.6 Model Kedua Uji Interkasi Hubungan Konsumsi Kopi dengan DM
No Variabel P-value
1 Konsumsi Kopi 0,000
2 Usia 0,000
3 Jenis Kelamin 0,000
4 Status Gizi 0,000
5 Aktifitas Fisik 0,000
6 Konsumsi Minuman berkafein 0,002
7 Kopi*Usia 0,178
8 Kopi*status gizi 0,623
9 Kopi*kafein 0,024
Berdasarkan tabel 5.6 setelah dikelurakan variabel kopi berdasarkan
aktifitas fisik terjadi perubahan nilai p-value pada beberapa variabel. Variabel
yang memiliki nilai p value >0,05 yang dikeluarkan dari model selanjutnya adalah
kopi berdasarkan status gizi karena memiliki nilai p-value paling besar. Berikut
merupakan tabel model ketiga uji interaksi setelah dikeluarkan variabel kopi
berdasarkan status gizi (Tabel 5.7).
Tabel 5.7 Model Ketiga Uji Interkasi Hubungan Konsumsi Kopi dengan DM
No Variabel P-value
1 Konsumsi Kopi 0,000
2 Usia 0,000
3 Jenis Kelamin 0,000
4 Status Gizi 0,000
5 Aktifitas Fisik 0,000
6 Konsumsi
Minuman berkafein
0,002
69
No Variabel P-value
7 Kopi*usia 0,154
8 Kopi*kafein 0,025
Berdasarkan tabel 5.7 variabel interaksi yang akan dikeluarkan dari model
adalah variabel kopi berdasarkan usia karena memiliki nilai >0,05. Berikut
merupakan tabel model keempat uji interaksi setelah dikeluarkan variabel kopi
berdasarkan usia (Tabel 5.8).
Tabel 5.8 Model Akhir Uji Interkasi Hubungan Konsumsi Kopi dengan DM
No Variabel P-value
1 Konsumsi Kopi 0,000
2 Usia 0,000
3 Jenis Kelamin 0,000
4 Status Gizi 0,000
5 Aktifitas Fisik 0,000
6 Konsumsi
Minuman berkafein
0,002
7 Kopi*kafein 0,018
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa hanya variabel interaksi kopi
berdasrkan kafein saja yang memiliki nilai p value < 0,05 sehingga variabel ini
akan diikutsertakan untuk uji selanjutnya. Berikut ini erupakan kesimpulan dari
uji interkasi konsumsi kopi dengan kejadian diabetes mellitus (Tabel 5.9).
Tabel 5.9 Kesimpulan Model Uji Interaksi
No Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5
1 Konsumsi Kopi 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
2 Usia 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
3 Jenis Kelamin 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
4 Status Gizi 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
5 Aktifitas Fisik 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
6 Konsumsi
Minuman
berkafein
0,002 0,002 0,002 0,002 0,002
7 Kopi*kafein 0,025 0,025 0,024 0,025 0,018
8 Kopi*Jenis 0,918 - - - -
Tabel 5.7 (lanjutan)
70
No Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5
kelamin
9 Kopi*Aktifitas
fisik
0,872 0,878 - - -
10 Kopi*Status gizi 0,614 0,626 0,623 - -
11 Kopi*Usia 0,178 0,178 0,178 0,154 -
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa variabel kopi by usia merupakan
variabel interaksi dari hubungan antara konsumsi kopi dengan DM, sehingga
variabel ini diikutsertakan untuk uji analisis konfounding.
5.3.2 Uji Konfounding
Uji konfounding dilakukan untuk mengukur variabel independen
berhubungan dengan variabel dependen dipengaruhi variabel lain atau tidak.
Variabel yang diduga menjadi konfounding diantaranya usia, jenis kelamin,
aktifitas fisik, status gizi dan konsumsi kafein, serta termasuk kandidat interaksi
yang dimasukan kedalam model uji konfounding yaitu kopi berdasarkan konsumsi
kafein. Berikut merupakan model lengkap uji konfounding (Tabel 5.10).
Tabel 5.10 Permodelan Lengkap Kandidat Konfounding dan Kandidat
Interaksi dari Hubungan antara Konsumsi Kopi dengan Kejadian Diabetes
Mellitus
No Variabel P-value Crude PR
1 Konsumsi Kopi
0,000
>1 kali perhari 0,620
1 kali perhari 0,632
3-6 kali perminggu 0,663
1-2 kali perminggu 0,659
< 3 kali perbulan 0,822
2 Usia 0,000 4,743
3 Jenis Kelamin 0,000 0,830
4 Status Gizi 0,000 1,240
5 Aktifitas Fisik 0,000 0,678
6 Konsumsi Minuman berkafein 0,002 0,967
7 Kopi by kafein 0,025 1,009
Tabel 5.9 (lanjutan)
71
Berdasarkan tabel 5.10 merupakan model lengkap kandidat konfounding
dan kandidat interaksi. Variabel kopi by kafein diketahui memiliki nilai pvalue
paling tinggi sehingga untuk uji model selanjutnya akan dikeluarkan terlebih
dahulu dari permodelan uji konfounding. Berikut merupakan tabel model pertama
uji konfounding setelah dikeluarkan variabel kopi by kafein (Tabel 5.11).
Tabel 5.11 Model Pertama Uji Konfounding
No Variabel P-value PR ada kopi
by kafein
PR tidak ada
kopi by
kafein
Perubahan
PR >10%
1 Konsumsi Kopi
0,000
>1 kali perhari 0,620 0,617 0,4%
1 kali perhari 0,632 0,637 0,7%
3-6 kali perminggu 0,663 0,677 2,1%
1-2 kali perminggu 0,659 0,684 3,7%
< 3 kali perbulan 0,822 0,872 6,1%
2 Usia 0,000 4,743 4,748 0,1%
3 Jenis Kelamin 0,000 0,830 0,831 0,1%
4 Status Gizi 0,000 1,240 1,240 0%
5 Aktifitas Fisik 0,000 0,678 0,678 0%
6 Konsumsi Minuman
berkafein
0,002 0,967 0,986 1,9%
Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa setelah dikeluarkan variabel kopi
by kafein dari uji konfounding tidak merubah nilai PR secara signifikan, atau
tidak ada perubahan nilai PR >10%. Berdasarkan hal tersebut variabel kopi by
kafein dikeluarkan dalam model karena bukan termasuk variabel konfounding.
Selanjutnya, tabel model kedua uji konfounding setelah dikeluarkan variabel
konsumsi minuman berkafein (Tabel 5.12).
72
Tabel 5.12 Model Kedua Uji Konfounding
No Variabel P-value
PR ada
konsumsi
kafein
PR tidak ada
konsumsi
kafein
Perubahan
PR >10%
1 Konsumsi Kopi
0,000
>1 kali perhari 0,617 0,610 1,1%
1 kali perhari 0,637 0,629 1,2%
3-6 kali perminggu 0,677 0,667 1,4%
1-2 kali perminggu 0,684 0,673 1,6%
< 3 kali perbulan 0,872 0,855 1,9%
2 Usia 0,000 4,748 4,772 0,5%
3 Jenis Kelamin 0,000 0,831 0,835 0,4%
4 Status Gizi 0,000 1,240 1,238 0,2%
5 Aktifitas Fisik 0,000 0,678 0,677 0,1%
Berdasarkan tabel 5.12 diketahui bahwa variabel yang dikeluarkan dalam
model adalah variabel konsumsi minuman berkafein karena memiliki nilai p-value
paling besar. Hasil dari uji konfounding menghasilkan bahwa tidak merubah nilai
PR secara signifikan, atau tidak ada perubahan nilai PR >10%. Berdasarkan hal
tersebut variabel konsumsi minuman berkafein dikeluarkan dalam model karena
bukan termasuk variabel konfounding. Selanjutnya, tabel model ketiga uji
konfounding setelah dikeluarkan variabel aktifitas fisik (Tabel 5.13).
Tabel 5.13 Model Ketiga Uji Konfounding
No Variabel P-value PR ada
aktifitas fisik
PR tidak ada
aktifitas fisik
Perubahan
PR >10%
1 Konsumsi Kopi
0,000
>1 kali perhari 0,610 0,566 7,2%
1 kali perhari 0,629 0,603 4,1%
3-6 kali perminggu 0,667 0,645 3,2%
1-2 kali perminggu 0,673 0,658 2,2%
< 3 kali perbulan 0,855 0,840 1,7%
2 Usia 0,000 4,772 4,706 1,3%
3 Jenis Kelamin 0,000 0,835 0,890 6,5%
4 Status Gizi 0,000 1,238 1,242 0,3%
Berdasarkan tabel 5.13 diketahui bahwa variabel yang dikeluarkan dalam
model adalah variabel aktifitas fisik. Hasil dari uji konfounding menghasilkan
73
bahwa tidak ada perubahan nilai PR secara signifikan, atau tidak ada perubahan
nilai PR >10%. Berdasarkan hal tersebut variabel aktifitas fisik dikeluarkan dalam
model karena bukan termasuk variabel konfounding. Selanjutnya, tabel model
keempat uji konfounding setelah dikeluarkan variabel status gizi (Tabel 5.14).
Tabel 5.14 Model Keempat Uji Konfounding
No Variabel P-value PR ada
status gizi
PR tidak ada
status gizi
Perubahan
PR >10%
1 Konsumsi Kopi
0,000
>1 kali perhari 0,566 0,552 2,4%
1 kali perhari 0,603 0,598 0,8%
3-6 kali perminggu 0,645 0,645 0%
1-2 kali perminggu 0,658 0,661 0,4%
< 3 kali perbulan 0,840 0,845 1,6%
2 Usia 0,000 4,706 4,897 4%
3 Jenis Kelamin 0,000 0,890 0,980 10,1%
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui bahwa variabel yang dikeluarkan dalam
model adalah variabel status gizi. Hasil dari uji konfounding menghasilkan bahwa
tidak ada perubahan nilai PR secara signifikan, atau tidak ada perubahan nilai PR
>10% pada variabel faktor utama yaitu kopi, akan tetapi terjadi perubahan
terhadap variabel jenis kelamin. Berdasarkan hal tersebut variabel status gizi
dikeluarkan dalam model karena bukan termasuk variabel konfounding terhadap
kopi dengan DM. Selanjutnya, tabel model kelima uji konfounding setelah
dikeluarkan variabel usia (Tabel 5.15).
Tabel 5.15 Model Kelima Uji Konfounding
No Variabel P-value PR ada usia PR tidak
ada usia
Perubahan PR
>10%
1 Konsumsi Kopi
0,000
>1 kali perhari 0,552 0,668 21,1%
1 kali perhari 0,598 0,677 13,2%
3-6 kali perminggu 0,645 0,645 0%
1-2 kali perminggu 0,661 0,644 2,5%
< 3 kali perbulan 0,845 0,813 3,7%
2 Jenis Kelamin 0,000 0,980 1,023 4,3%
74
Berdasarkan tabel 5.15 diketahui bahwa variabel yang dikeluarkan dalam
model adalah variabel usia. Hasil dari uji konfounding menghasilkan bahwa usia
mempengaruhi peningkatan nilai PR pada katagori konsumsi kopi > 10%,
sehingga variabel usia dikatakan sebagai faktor konfounding. Oleh karena itu,
variabel usia tetap dimasukan kedalam model. Selanjutnya, tabel model keenam
uji konfounding setelah dikeluarkan variabel jenis kelamin (Tabel 5.16).
Tabel 5.16 Model Akhir Uji Konfounding
No Variabel P-value PR ada jenis
kelamin
PR tidak
ada jenis
kelamin
Perubahan
PR >10%
1 Konsumsi Kopi
0,000
0,552 0,557 0,9%
>1 kali perhari 0,598 0,602 0,6%
1 kali perhari 0,645 0,649 0,6%
3-6 kali perminggu 0,661 0,664 0,4%
1-2 kali perminggu 0,845 0,847 0,2%
< 3 kali perbulan
2 Usia 0,000 4,897 4,894 0,2%
Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa variabel yang dikeluarkan dalam
model adalah variabel jenis kelamin dengan mempertahan kan variabel usia yang
diyakini sebagai konfounding. Hasil dari uji konfounding menghasilkan bahwa
jenis kelamin tidak mempengaruhi peningkatan nilai PR > 10%, sehingga variabel
jenis kelamin dikatakan bukan sebagai faktor konsfounding. Oleh karena itu,
variabel jenis kelamin dikeluarkan dari model. Selanjutnya merupakan tabel
simpulan seluruh model uji konfounding (Tabel 5.17).
Tabel 5.16 (Lanjutan)
75
Tabel 5.17 Simpulan Uji Konfounding Hubungan Konsumsi Kopi dengan
Kejadian Diabetes Mellitus
Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Model 6
Konsumsi Kopi
>1 kali perhari 0,620 0,617 0,610 0,552 0,668 0,557
1 kali perhari 0,632 0,637 0,629 0,598 0,677 0,602
3-6 kali
perminggu
0,663 0,677 0,667 0,645 0,645 0,649
1-2 kali
perminggu
0,659 0,684 0,673 0,661 0,644 0,664
< 3 kali perbulan 0,822 0,872 0,855 0,845 0,813 0,847
Usia 4,743 4,748 4,772 4,897 - 4,894
Jenis Kelamin 0,830 0,831 0,835 0,980 1,023 -
Status Gizi 1,240 1,240 1,238 - - -
Aktifitas Fisik 0,678 0,678 0,677 - - -
Konsumsi
Minuman
berkafein
0,967 0,986 - - - -
Kopi by kafein 1,009 - - - - -
Berdasarkan Tabel 5.17 diketahui bahwa hasil akhir dari uji konfounding
ditemukan bahwa usia menjadi konfounding hubungan konsumsi kopi dengan
kejadian diabetes mellitus. Variabel usia harus tetap diikutsertakan dalam analisis
untuk melihat hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian diabetes mellitus.
Selanjutnya merupakan tabel hubungan konsumsi kopi dengan DM setelah
dikontrol dengan usia (Tabel 5.18).
Tabel 5.18 Hubungan Konsumsi Kopi dengan Kejadian Diabetes Mellitus
setelah di kontrol dengan Variabel Usia
Konsumsi Kopi Pvalue PR CI 95%
>1 kali perhari
0,000
0,557 0,512-0,607
1 kali perhari 0,602 0,555-0,653
3-6 kali perhari 0,649 0,567-0,730
1-2 kali perminggu 0,664 0,603-0,731
<3 kali perbulan 0,847 0,775-0,925
76
Berdasarkan tabel 5.18 diketahui bahwa hubungan konsumsi kopi dengan
diabetes mellitus di pengaruhi oleh variabel usia. Hasil analisis multivariat
menyatakan bahwa setiap penambahan konsumsi kopi meningkatkan efek proteksi
terhadap DM meskipus setelah dikontrol dengan variabel konfounding usia.
Individu yang mengkonsumsi kopi lebih dari satu kali perhari dapat menurunkan
prevalensi DM sebesar 44,3%. Nilai PR semakin tinggi maka penurunan risiko
semakin rendah. Penurunan risiko DM seiring dengan penurunan konsumsi kopi.
Penurunan risiko terendal pada inividu yang mengkonsumsi kopi < 3 kali
perbulan sebesar 15,3%.
77
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2013, sehingga
memiliki keterbatasan penelitian yang tidak terukur oleh penelti. Pengukuran
dilakukan variabel berdasarkan wawancara petugas enumerator Riskesdas 2013,
sehingga peneliti sendiri tidak mengetahui secara langsung bagaimana
pengambilan data yang dilakukan oleh enumerator. Beberapa pengukuran variabel
dilakukan berdasarkan wawancara terhadap responden, seperti variabel usia, jenis
kelamin, aktifitas fisik, konsumsi kopi, konsumsi minuman berkafein (softdrink
dan minuman berenergi), dan diabetes mellitus. Selain itu, dilakukan juga
pengukuran tinggi badan dan berat badan responden yang dibutuhkan untuk
melihat indeks massa tubuh responden (IMT). Beberapa keterbatasan dalam
penelitian ini diantaranya sebagai berikut.
1. Desain Studi Cross Sectional
Penelitian ini menggunakan data sekunder Riset Kesehatan Dasar
2013 dimana pengukurannya dilakukan sekali waktu. Kelemahan
menggunakan desain ini adalah peneliti tidak dapat melihat hubungan
temporal dari variabel dependen dengan variabel independen, sehingga
tidak diketahui secara pasti apakah konsumsi kopi mendahului terjadinya
efek proteksi terhadap DM atau tidak. Selain itu tidak diketahui onset DM
dari responden sehingga tidak dapat diketahui lama responden yang telah
mengalami DM.
78
2. Bias Informasi
Bias informasi dapat terjadi saat pengukuran tinggi badan dan berat
badan. Pada penelitian Riskesdas sendiri telah menggunakan alat ukur
yang cukup sensitif, apabila dilihat dari pedoman pengukuran. Tiap
variabel pengukuran telah tercantum dalam buku panduan Riskesdas
2013, sehingga enumerator dapat mempelajari sebelum dilakukannya
pengukuran dan wawancara. Akan tetapi bisa terjadi kesalahan pada saat
pengukuran dari enumerator, karena peneliti tidak mengetahui kondisi
dilapangan sehingga bisa saja terjadi kesalahan dalam pengukuran. Selain
itu, bisa terjadi bias recall dari responden pada pertanyaan variabel usia
dan aktifitas fisik.
Pada penelitian ini tidak membedakan antara variabel kopi tanpa
gula dan kopi dengan gula, sehingga informasi yang diperoleh hanya
konsumsi kopi secara keseluruhan tanpa membedakan intake gula dari
tiap responden. Keterbatasan ini karena menggunakan data sekunder dari
Riskesdas 2013 yang tidak mencantumkan jenis kopi yang dikonsumsi
oleh responden. Selain itu dalam penelitian ini juga tidak diketahui
bagaimana cara penyajian kopi yang dikonsumsi responden yang
menyebabkan perbedaan kandungan senyawa dalam kopi tidak terukur.
3. Konfounding
Variabel konfounding yang utama dari konsumsi kopi dengan DM
adalah status merokok, akan tetapi data status merokok tidak dapat
diperoleh, sehingga efek rokok sebagai salah satu konfounding pada yang
mengkonsumsi kopi tidak dapat di analisis.
79
6.2 Frekuensi kejadian diabetes mellitus berdasarkan frekuensi konsumsi
kopi dan karakteristik individu
Diabetes adalah kondisi ketika kadar glukosa darah diatas normal, serta
merupakan penyakit menahun yang timbul akibat adanya peningkatan kadar gula
atau glukosa darah yang ditandai oleh defisiensi insulin relatif atau absolut, yang
menyebabkan intoleransi glukosa (Chandrasoma dan Clive, 2005). Diabetes
mellitus adalah penyakit multifaktorial yang terjadi akibat beberapa faktor
diantaranya, faktor genetik, lingkungan, dan metabolisme (Fletcher dkk., 2002).
Faktor seperti usia, jenis kelamin, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik terbukti
dapat meningkatkan risiko diabetes mellitus (Chen dkk., 2012).
Berdasarkan hasil penelitian, usia rata-rata responden kelompok DM
adalah 50,75 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang
menyatakan rata-rata onset diabetes mellitus pada usia diatas 35 tahun (Creatore
dkk., 2010) dan 40 tahun (Ozougwu dkk., 2013). Penelitian diabetes di Asia juga
menunjukan bahwa onset DM biasa terjadi pada usia lebih dari 20 sampai 40
tahun (Kapoor dkk., 2014). Hal tersebut terjadi karena DM merupakan penyakit
degeneratif yang biasa timbul pada usia dewasa. Diabetes mellitus merupakan
penyakit yang terjadi akibat penurunan fungsi organ tubuh (degeneratif)
terutama gangguan organ pankreas dalam menghasilkan hormon insulin
sehingga kasus DM akan meningkat sejalan dengan pertambahan usia (Erris,
2015).
Berdasarkan jenis kelamin, hasil analisis menunjukan prevalensi
responden yang mengalami DM lebih banyak pada perempuan dari pada laki-laki.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang mengobservasi terkait prevalensi DM dari
80
berbagai negara di dunia, hasil penelitiannya menunjukan proporsi perempuan
lebih banyak mengalami DM dari pada laki-laki (Creatore dkk., 2010). Sama
halnya pada penelitian kasus kontrol di Saudi Arabia menunjukan hasil yang
sama, memperlihatkan proporsi jenis kelamin yang paling banyak menderita DM
adalah perempuan sebesar 62% (Murad dkk., 2014). Tingginya prevalensi kasus
pada perempuan di Saudi Arabia karena jumlah sampel didominasi oleh
perempuan sebesar 72% dari seluruh jumlah sampel.
Faktor yang mempengaruhi perbedaan prevalensi DM disebabkan karena
keanekaragaman biologi, budaya, gaya hidup, lingkungan, dan status sosial
ekonomi mempengaruhi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
perkembangan secara klinis. Efek genetik dan mekanisme epigenetik, faktor gizi
dan gaya hidup mempengaruhi risiko dan komplikasi secara berbeda pada kedua
jenis kelamin (Kautzky-Willer dkk, 2016). Menurut hasil studi perbedaan hormon
antara laki-laki dan perempuan yang membuat perbedaan risiko pada jenis
kelamin. Perbedaan risiko hormon pada laki-laki dan perempuan menunjukan
hasil risiko DM meningkat pada perempuan dengan tingkat level testosteron lebih
tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki tingkat testosteron lebih
rendah (Ding dkk., 2006). Faktor biologis dan psikososial menjadi salah satu
perantara antara perbedaan jenis kelamin. Secara keseluruhan, stres psikososial
juga memiliki dampak lebih besar pada wanita dan bukan pada pria (Kautzky-
Willer dkk ., 2016).
Faktor lainnya adalah status gizi, merupakan hasil pengkatagorian dari
IMT per jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian status gizi responden paling
banyak adalah normal. Prevalensi DM paling tinggi pada kelompok obesitas dan
81
paling rendah pada kelompok status gizi normal. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian di Amerika Serikat yang menunjukan bahwa risiko diabetes mellitus
meningkat pada individu yang mengalami overweight dan obesitas (Gill dan
Cooper, 2008).
Kurang aktifitas fisik merupakan salah satu faktor risiko diabetes mellitus.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa prevalensi DM paling tinggi
pada kelompok individu yang melakukan aktifitas fisik ringan, sedangkan
prevalensi terendah pada individu melakukan aktifitas fisik berat. Hal ini sejalan
dengan penelitian di Jakarta menunjukan bahwa tingginya aktifitas fisik dapat
menurunkan risiko diabetes mellitus (Trisnawati dan Soedijono, 2013)
Konsumsi minuman berkafein non-kopi termasuk didalamnya softdrink
dan minuman berenergi, merupakan salah satu minuman manis yang diteliti dalam
penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukan proporsi DM paling tinggi pada
responden yang mengkonsumsi minuman lebih dari satu kali perhari. Hal ini
sejalan dengan penelitian di Amerika Serika yang menyatakan bahwa konsumsi
minuman softdrink dan minuman manis lainnya dapat meningkatkan risiko
diabetes mellitus (Schulze et al., 2004). Pada pengukuran ini memungkinkan
terjadinya efek bias dalam rentang penelitian, karena pegukuran dilakukan dalam
satu waktu, sehingga berpotensi terjadi perubahan pola konsumsi minuman yang
diakibatkan oleh efek onset DM yang lebih dahulu diderita responden.
Berdasarkan variabel konsumsi kopi, hasil penelitian menunjukan
responden yang mengkonsumsi kopi lebih banyak dari pada yang tidak
mengkonsumsi kopi, prevalensi DM paling tinggi pada responden yang tidak
82
mengkonsumsi kopi sedangkan paling rendah pada responden yang
mengkonsumsi kopi 3-6 kali perminggu. Dalam penelitian ini dapat terjadi bias
informasi karena hubungan antara onset DM dengan konsumsi kopi pada
individu yang telah mengalami DM sebelum penelitian Riskesdas bisa mengalami
perubahan pola konsumsi. Mereka yang terdiagnosa DM bisa mengurangi
konsumsi kopi, sehingga prevalensi DM paling rendah pada kelompok yang
mengkonsumsi kurang dari tiga kali perbulan. Hal ini seharusnya bisa dilihat dari
variabel diet yang ada pada Riskedas 2013 dimana orang yang melakukan diet
akan cenderung mengurangi konsumsi makanan/minuman yang mengandung
gula, akan tetapi variabel tersebut tidak termasuk dalam penelitian ini.
6.3 Hubungan kebiasaan minum konsumsi kopi dengan kejadian diabetes
mellitus
Kopi merupakan salah satu minuman yang paling banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Berbagai senyawa terkandung dalam kopi, beberapa diantaranya
dapat memberikan efek positif terhadap kesehatan salah satunya dapat
meningkatkan metabolisme glukosa dalam tubuh (Akash dkk ., 2014). Penelitian
epidemiologi telah melaporkan ada hubungan antara kopi dengan diabetes
mellitus. Meskipun belum ditemukan secara jelas biologi mekanisme antara kopi
dengan DM, akan tetapi beberapa penelitian telah memulai identifikasi kandungan
dalam kopi terhadap DM.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan antara
konsumsi kopi dengan diabetes mellitus. Analisis dilakukan menggunakan uji
regresi logistik dengan desain complex untuk memperlihatkan risiko dari tiap
katagori konsumsi kopi. Hasil menunjukan nilai PR (prevalence risk ratio) kurang
83
dari satu pada tiap katagori konsumsi kopi, yang memperlihatkan bahwa
konsumsi kopi sebagai efek proteksi terhadap kejadian diabetes mellitus.
Berdasarkan hasil analisis, konsumsi kopi lebih dari satu kali perhari dapat
mengurangi risiko DM sebesar 33,9% Hasil ini sejalan dengan penelitian kohor
meta analisis tentang konsumsi kopi dengan risiko diabetes mellitus yang
memperlihatkan nilai relative risk (RR) diabetes mellitus tipe 2 sebesar 0,65 (95%
CI, 0,54-0,78) untuk konsumsi 6-7 cangkir per hari dan 0,72 (95% CI, 0,62-0,83)
untuk 4-6 cangkir per hari, kategori konsumsi kopi dibandingkan dengan kategori
terendah 0-2 cangkir perhari (van Dam dan Hu, 2005).
Meskipun pada setiap katagori frekuensi konsumsi kopi menunjukan hasil
PR kurang dari satu, akan tetapi nilai PR tidak konsisten pada setiap penurunan
frekuensi konsumsi. Secara logika semakin tinggi konsumsi kopi semakin tinggi
penurunan risiko terhadap diabetes mellitus. Hasil analisis menunjukan setiap
konsumsi 3-6 kali perminggu menurunkan risiko DM sebesar 36% lebih tinggi
dibandingkan dengan konsumsi lebih dari satu kali perhari dan satu kali perhari.
Konsumsi 1-2 kali perbulan menurunkan risiko sebesar 35,9% hampir sama
dengan konsumsi 3-6 kali perminggu, sedangkan konsumsi sangat jarang yaitu
kurang dari tiga kali kali perbulan menurunkan risiko sebesar 18,9%.
Peningkatan konsumsi kopi berhubungan dengan peningkatan jumlah
kafein dalam kopi. Setiap cangkir kopi mengandung kafein sebesar 80-100 mg
kafein, sehingga setiap tambahan cangkir kopi akan meningkatkan intake kafein
dalam tubuh. Berdasarkan studi eksperimental konsumsi empat cangkir kopi
meningkatkan intake kafein dalam tubuh sebesar 2-4 kali dibandingkan dengan
84
yang tidak mengkonsumsi kopi (Kempf et al., 2010). Di Indonesia tidak
membedakan antara konsumsi kopi berkafein dan kopi tanpa kafein maka peneliti
mengasumsikan bahwa kopi yang dikonsumsi responden adalah kopi yang
mengandung kafein. Efek kafein berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat
mengurangi sensitivitas insulin sehingga meningkatkan risiko terjadi DM (Wedick
dkk., 2011). Oleh karena itu semaking tinggi konsumsi kopi maka peluang untuk
terjadi penurunan sensitifitas insulin semakin tinggi, sehingga efek proteksi
terhadap DM menjadi berkurang.
Konsumsi kopi yang meningkat seiring dengan peningkatan jumlah kafein
dalam kopi serta terjadi peningkatan intake gula yang dikonsumsi apabila kopi
yang dikonsumsi diberi tambahan gula atau kopi instan termasuk gula. Karena
dalam penelitian ini tidak mengukur kadar gula yang dikonsumsi responden
sehingga tidak diketahui jumlah takaran gula yang dikonsumsi responden. Efek
peningkatan konsumsi gula bisa terjadi seiring dengan peningkatan konsumsi kopi
dimana setiap tambahan cangkir kopi, mengalami penambahan kadar gula yang
dikonsumsi. Hal ini yang dapat menyebabkan penurunan efek proteksi dari kopi,
karena konsumsi gula disandingkan dengan peningkatan risiko DM.
Penurunan efek proteksi tidak hanya pada peningkatan konsumsi, akan
tetapi terjadi penurunan efek proteksi untuk konsumsi 1-2 kali per minggu dan
kurang dari tiga kali perbulan. Penurunan efek proteksi berhubungan dengan
penurunan jumlah senyawa bermanfaat dalam kopi seperti asam klorogenat,
kafestol dan kahweol. Ketika frekuensi konsumsinya berkurang maka fungsi
senyawa bermanfaat yang dapat mengurangi resistensi insulin juga menjadi
berkurang.
85
Meskipun hubungan antara konsumsi kopi dengan DM menunjukan
adanya efek proteksi. Nilai proteksi paling tinggi pada katagori konsumsi 3-6 kali
perminggu untuk konsumsi kopi di Indonesia. Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian lainnya yang menunjukan bahwa setiap tambahan cangkir kopi dapat
menurunkan risiko DM sebesar 7% (Huxley et al., 2009). Perbedaan hasil ini
diakibatkan oleh pola konsumsi kopi yang berbeda, kemungkinan adanya variasi
tentang jenis kopi dan cara penyajiannya misalnya penambahan susu atau gula,
penggunaan filter dan tanpa filter, kopi tanpa kafein dengan kopi berkafein, serta
ukuran cangkir dan variasi lainnya (Huxley et al., 2009).
Pola konsumsi kopi di Indonesia sendiri tidak diketahui secara pasti dalam
penelitian ini. Berdasarkan laporan studi diet total tahun 2014 diketahui sebanyak
25,1% orang Indonesia mengkonsumsi kopi bubuk dalam kemasan dengan
berbagai merek (Kemenkes RI, 2014). Rata-rata konsumsi gula orang indonesia
sebesar 13,6 gram/orang/hari (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan hasil
pengamatan dari 10 sampel kopi sashet bubuk instan yang biasa di konsumsi
masyarakat rata-rata berat gula dalam kemasan kopi bubuk sebesar 8-23 gram per
kemasan, sedangkan untuk kemasan minuman kopi botol, kaleng, dan kotak, rata-
rata kadar gula sebesar 12-32 gram. Berdasarkan penelitian kohor terkait
konsumsi minuman bergula berisiko meningkatkan diabetes mellitus sebesar 1,83
kali (RR=1.83; 95% CI, 1.42-2.36) (Schulze dkk., 2004). Faktor gula yang
terkandung dalam kopi tidak di analisis dalam penelitian ini, sehingga menjadi
salah satu keterbatasan penelitian. Ada efek lain dari gula yang terkadung dalam
kopi yang dapat menjadi efek bias dari penelitian ini.
86
Efek protektif dari konsumsi kopi pada penelitian ini bisa disebabkan
karena mekanisme biologi antara kopi dengan DM. Meskipun masih menjadi
perdebatan, akan tetapi ada mekanisme biologi yang dapat diterima secara logika.
Beberapa senyawa yang terkandung di dalam kopi diduga berhubungan dengan
efek proteksi terhadap DM, diantaranya senyawa antioksidan (asam klorogenat
dan tocopherol), diterpenoid alkohol (cafestol dan kahweol) (Ranheim dan
Halvorsen, 2005) dan trigonelline (Akash dkk., 2014).
Antioksidan asam klorogenat dan tochoperol diduga sebagai senyawa
yang bermanfaat terhadap penurunan risiko DM. Berdasarkan penelitian
sebelumnya asam klorogenat disinyalir sebagai penghambat translokasi glukosa-
6-fosfat yang dapat menunda absorbsi glukosa dalam saluran gastrointestinal
(Kobayashi dkk., 2017). Apabila absorbsi glukosa dapat ditunda maka peluang
terjadinya hiperglikemi sebagai salah satu penyebab resistensi insulin akan
terhambat. Selain itu asam klorogenat berfungsi mengurangi oksidasi small dense
LDL (low density lipoprotein) (Ranheim dan Halvorsen, 2005). Oksidasi small
dense LDL ini dapat mempengaruhi resistensi insulin yang dapat menyebabkan
terjadinya diabetes mellitus (Gerber dkk., 2012).
Senyawa lainnya yang berhubungan dengan DM adalah cafestol dan
kahweol. Senyawa ini berperan membantu memberikan sinyal Peroxisome
proliferator-activated receptors gamma (PPARγ). Fungsi PPARγ sebagai reseptor
ligan yang terletak dalam inti dan merupakan faktor transkripsi gen yang
mempengaruhi fungsi insulin atau sebagai aktor regulasi insulin (Ranheim dan
Halvorsen, 2005).
87
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa kopi sebagai efek
proteksi terhadap diabetes mellitus. Hal ini diperkuat dari penelitian sebelumnya
yang menunjukan adanya hubungan antara kopi dengan DM. Selain itu,
mekanisme biologi dari berbagai senyawa yang terkandung dalam kopi berfungsi
membantu dalam penurunan resistensi insulin. Akan tetapi peneliti tidak bisa
mencegah efek gula yang terdapat dalam kopi yang dikonsumsi oleh responden.
Selain itu, tidak diketahui pula kadar senyawa bermanfaat yang terkadung dalam
kopi yang dikonsumsi orang Indonesia. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut
terkait dengan kopi murni dan konstituen dalam kopi. Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan efek dari konsumsi gula responden dan memberikan manfaat lebih
bagi intervensi kesehatan.
6.4 Hubungan frekuensi konsumsi kopi dengan diabetes mellitus
berdasarkan karakteristik individu
Analisis multivariat dilakukan untuk mengontrol efek konfounding yang
dapat mengganggu hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian diabetes
mellitus. Variabel yang diduga sebagai konfounding termasuk dalam variabel
karakteristik individu diantaranya usia, jenis kelamin, aktifitas fisik, status gizi,
konsumsi minuman berkafein dan kopi dengan minuman berkafein.
6.4.1 Usia
Usia merupakan salah satu faktor risiko diabetes mellitus yang tidak dapat
dimodifikasi. Usia juga berhubungan dengan konsumsi kopi, sehingga usia bisa
menjadi efek confounding antara kopi dengan DM. Usia dapat mempengaruhi
hubungan antara kopi dengan DM, karena berhubungan dengan onset DM, rata-
88
rata usia responden yang mengalami DM adalah 50 tahun. Berdasarkan beberapa
penelitian usia menjadi salah satu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Berdasarkan hasil analisis multivariat menujukan hasil yang berbeda
antara nilai adjusted PR dengan nilai crude PR lebih dari 10% setelah
dikeluarkannya variabel usia, sehingga usia dinyatakan sebagai variabel
konfounding. Hal ini sejalan dengan penelitian (Choi dan Shi, 2001) bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian diabetes mellitus.
Selain itu, penyakit ini meningkat seiring dengan peningkatan usia. Penelitian lain
melaporkan peningkatan risiko DM terjadi pada usia diatas 35 tahun (Creatore
dkk., 2010). Peningkatan usia dari risko diabetes mellitus berhubungan dengan
faktor degeneratif yang muncul seiring bertambahnya usia. faktor degeneratif
dapat mengakitbatkan penurunan fungsi organ tubuh, terutama gangguang organ
pankreas dalam memproduksi insulin (Zahtmal dkk., 2007).
Adanya usia sebagai konfounding membuat pengambilan kesimpulan
terhadap hubungan antara konsumsi kopi dengan DM menjadi lemah, sehingga
dipertimbangkan untuk dilakukan analisis dengan mengontrol variabel usia.
Meskipun variabel usia dengan DM berhubungan dalam penelitian ini, akan tetapi
ada kelemahan untuk melihat hubungan sebab akibat yang mendahului onset DM
tidak diketahui. Hal ini terjadi karena usia responden yang dikumpulkan adalah
usia saat responden di wawancara, bukan merupakan usia saat terjadinya DM
pertama kali sehingga, seseorang bisa didiagnosa DM lebih dahulu sebelum usia
saat wawancara. Hal ini menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini.
89
6.4.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko DM yang tidak dapat di
modifikasi (Chen dkk., 2012). Selain itu jenis kelamin juga berhubungan dengan
konsumsi kopi, karena individu lebih banyak mengkonsumsi kopi adalah pria
dibandingkan wanita. Berdasarkan hasil penelitian setelah dilakukan analisis
multivariat diketahui bahwa tidak ada perbedaan nilai PR lebih dari 10% setelah
dikeluarkannya variabel jenis kelamin, sehingga jenis kelamin bukan termasuk
variabel konfounding dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya jenis kelamin berhubungan
dengan diabetes mellitus pada imigran dari Asia Selatan, yang melaporkan laki-
laki lebih berisiko terkena DM dibandingkan perempuan dengan hasil Laki-laki
OR=4.01, 95% CI 3.82–4.21) (Creatore dkk ., 2010). Penurunan risiko DM pada
laki-laki dapat dipengaruhi tingkat hormon testosteron. Laki-laki yang memiliki
tingkat testosteron yang lebih tinggi dilaporkan dapat menurunan risiko DM
sedangkan tingkat testosteron yang tinggi pada wanita dapat menjadi faktor risiko
DM (Kautzky-Willer et al., 2016).
Berdasarkan asumsi peneliti jenis kelamin bukan termasuk faktor
konfounding karena tidak ada asosiasi yang kuat antara konsumsi kopi dengan
jenis kelamin. Meskipun individu yang mengkonsumsi kopi lebih banyak pada
laki-laki dibandingkan perempuan hasil ini tidak mempengaruhi hubungan antara
konsumsi kopi dengan diabetes mellitus.
90
6.4.3 Status Gizi
Status gizi atau indeks massa tubuh merupakan salah satu faktor yang
berhubungan dengan diabetes mellitus. Berdasarkan teori status gizi yang
mempengaruhi peningkatan risiko diabetes mellitus adalah obesitas dan
overweight (gemuk) (Ozougwu dkk., 2013) atau indeks massa tubuh yang tinggi
(van Dam dan Feskens, 2002). Selain itu, konsumsi kopi berhubungan dengan
penurunan indeks masa tubuh, sehingga dilakukan analisis berdasarkan kriteria
status gizi untuk melihat adanya efek konfounding.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tidak ada perubahan nilai PR
lebih dari 10% setelah dikeluarkannya variabel status gizi, sehingga dapat
dikatakan bahwa status gizi bukan termasuk variabel konfounding dalam
penelitian ini. Hal ini menunjukan bahwa status gizi tidak mempengaruhi
hubungan antara konsumsi kopi dengan DM. Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa kandungan kafein dalam kopi
ditemukan menunjukkan efek neurologis yang menyebabkan penurunan berat
badan pada individu yang kelebihan berat badan dan obesitas (Kale and Reddy,
2017).
Dalam penelitian ini peneliti tidak dapat mengesampingkan potensi bias
dalam informasi pengumpulan data. Karena pengukuran status gizi dilakukan
bersamaan dengan pengukuran DM. Hal ini dapat menimbuklan kesalahan
pengambilan kesimpulan ketika individu yang sebelumnya telah terdiagnosa DM
sejak lama lalu melakukan diet yang menyebabkan perubahan status gizi,
sehingga hubungan sebab akibat menjadi samar.
91
6.4.4 Aktifitas Fisik
Aktifitas fisik dilaporkan berhubungan dengan diabetes mellitus. Kurang
aktifitas fisik dapat menyebabkan peningkatan risiko diabetes mellitus (Ozougwu
dkk., 2013). Selain itu aktifitas fisik juga dapat berhubungan dengan konsumsi
kopi. Orang yang mengkonsumsi kopi biasanya memiliki aktifitas fisik yang
tinggi untuk meningkatkan kinerja tubuh.
Berdasarkan hasil analisis multivariat tidak terjadi perubahan nilai PR
yang signifikan setelah dikeluarkanya variabel aktifitas fisik, sehingga aktifitas
fisik bukan termasuk dalam variabel konfounding hubungan konsumsi kopi
dengan DM. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukan
bahwa aktifitas fisik yang tinggi dilaporkan dapat menurunkan risiko DM,
sedangkan aktifitas fisik rendah dapat meningkatkan risiko DM. Aktifitas fisik
yang cukup dilaporkan dapat meningkatkan sintesis glikogen yang merangsang
insulin melalui peningkatan insulin stimulasi transportasi glukosa oleh GLUT4
transporter glukosa dan aktivitas sintesis glikogen yang meningkat. Selain itu,
peningkatan kapiler pada otot, peningkatan massa otot, serta berhubungan dengan
pengingkatan sensitivitas insulin (Jeon et al., 2007).
Pada variabel aktifitas fisik dalam penelitian ini bisa terjadi bias
pengukuran karena ada perubahan kondisi aktifitas fisik responden. Ketika
responden lebih dahulu terdiagnosa DM, otomatis mereka mengubah perilaku
hidupnya. Termasuk mengubah pola aktifitas fisik, sehingga aktifitas fisik yang
dilaporkan pada saat wawancara adalah aktifitas ketika telah terdiagnosa DM. Hal
ini menjadi salah satu kelemahan yang tidak bisa dihindari dari penelitian ini.
92
6.4.5 Konsumsi Minuman berkafein non-kopi (softdrink dan minuman
berenergi)
Kafein merupakan salah satu senyawa yang paling umum dikonsumsi
masyarakat. Kafein telah ditemukan di lebih dari 60 tanaman, senyawa ini bisa
ditemukan dalam kopi, teh, cokelat, beberapa minuman ringan, minuman energi
dan obat-obatan tertentu (Henderson dkk, 2002; Frary dkk, 2005 dalam
Whitehead dan White, 2013). Kandungan kafein bervasiasi pada setiap minuman
kafein pada kopi kadungan kafein mencapai 60-150 mg per cangkir, sedangkan
pada minuman berenergi hanya sekitar 45 mg (Schulze dkk., 2004).
Berdasarkan hasil analisis tidak terjadi perbedaan nilai adjusted PR
dengan nilai crude PR lebih dari 10% setelah dikeluarkannya variabel konsumsi
kafein, sehingga dapat dikatakan bahwa konsumsi kafein bukan termasuk variabel
konfounding dalam penelitian ini. Namun, terjadi interaksi antara konsumsi kopi
dengan konsumsi kafein yang memperlihatkan hubungan yang signifikan.
Minuman berkafein yang termasuk softdrink dan minuman berenergi
didalamnya adalah minuman yang memiliki kadar gula yang cukup tinggi.
Berdasarkan hasil observasi peneliti, diketahui bahwa kadar gula dalam satu botol
minuman softdrink dan minuman berenergi mencapai 25-46 gram. Kadar gula
pada minuman tersebut tiga kali lebih tinggi dari kopi bubuk instan. Hal ini
menjadi salah satu efek yang dapat meningkatkan risiko DM pada individu yang
mengkonsumsi minuman berkafein non-kopi. Meskipun terdapat kandungan
kafein didalam jenis minuman tersebut, akan tetapi efek gula yang lebih utama
mempengaruhi DM. Hasil in perkuat dari penelitian yang menunjukan bahwa
93
konsumsi minuman manis dan softdrink dapat meningkatkan risiko diabetes
mellitus (Schulze dkk., 2004).
94
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Prevalensi kasus DM paling tinggi pada responden yang tidak
mengkonsumsi kopi sebesar 2,9%. Sedangkan prevalensi terendah pada
responden yang mengkonsumi kopi 3-6 kali perminggu sebesar 1,8%.
2. Usia rata-rata responden adalah 39,75 tahun, dengan usia rata-rata
kelompok DM lebih tinggi daripada Non-DM yaitu sebesar 50,75 tahun
dan 39,48 tahun. Standar deviasi pada kelompok DM sebesar 13.754 lebih
rendah dari pada kelompok non-DM sebesar 15.969. Berdasarkan jenis
kelamin, prevalensi kasus DM paling banyak pada perempuan sebesar
2,6%, sedangkan pada laki-laki sebesar 2,2%. Berdasarkan status gizi,
prevalensi kasus DM paling tinggi pada responden yang mengalami
obesitas sebesar 3,7%, sedangkan yang paling rendah pada responden
dengan status gizi normal sebesar 2%. Variabel aktifitas fisik prevalensi
kasus DM paling tinggi pada responden yang beraktifitas fisik ringan
sebesar 3,6%, sedangkan paling rendah pada aktifitas fisik berat sebesar
1,7%. Berdasarkan konsumsi minuman berkafein non-kopi (softdrink dan
minuman berenergi) prevalensi kasus DM paling tinggi pada konsumsi
lebih dari satu kali per hari sebesar 2,6%, sedangkan paling rendah pada
konsumsi minuman 3-6 kali perminggu.
95
3. Ada hubungan signifikan antara konsumsi kopi dengan kejadian diabetes
mellitus dengan nilai p-value <0,05 dan 95% CI. Nilai PR pada setiap
katagori konsumsi kopi adalah kurang dari satu menunjukan bahwa
konsumsi kopi sebagai efek protektif. Konsumsi kopi lebih dari satu kali
perhari menurunkan risiko DM sebesar 33,9%, konsumsi satu kali perhari
menurunkan risiko DM sebesar 32,8%, konsumsi 3-6 kali perminggu
dapat menurunkan risiko DM sebesar 36%, konsumsi 1-2 kali perbulan
menurunkan risiko sebesar 35,9%, sedangkan konsumsi < 3 kali perbulan
menurunkan risiko sebesar 18,9%. Efek proteksi paling tinggi pada terjadi
pada katagori konsumsi 3-6 kali perbulan.
4. Hubungan antara konsumsi kopi dengan DM dipengaruhi oleh variabel
konfounding Usia. Hubungan konsumsi kopi dengan diabetes mellitus
setelah dikontrol variabel usia mengalami perubahan diantaranya,
konsumsi kopi lebih dari satu kali perhari menurunkan risiko DM sebesar
44,3%, konsumsi satu kali perhari menurunkan risiko DM sebesar 39,8%,
konsumsi 3-6 kali perminggu dapat menurunkan risiko DM sebesar
35,1%, konsumsi 1-2 kali perbulan menurunkan risiko sebesar 33,6%,
sedangkan konsumsi < 3 kali perbulan menurunkan risiko sebesar 15,3%.
7.2 Saran
Saran dari hasil penelitian ini antara lain sebagai berikut.
7.2.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI diharapkan dapat memfasilitasi
penelitian terkait dengan konsumsi kopi dengan DM di Indonesia,
sehingga Indonesia memiliki data yang akurat terkait dengan hubungan
96
konsumsi kopi dengan DM baik dalam penelitian observasional maupun
penelitian eksperimental.
7.2.2 Bagi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI
Balitbangkes Kemenkes RI diharapkan dapat menambahkan
keterangan dalam kuesioner Riskesdas periode selanjutnya terkait
frekuensi konsumsi kopi, jenis kopi (gula dan non-gula), merk kopi yang
dikonsumsi serta penambahan kriteria usia onset DM pada kuesioner
terkait DM.
7.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya
Diharapkan bagi penelitian selanjutnya untuk membedakan
frekuensi konsumsi kopi berdasarkan jumlah cangkir kopi yang diminum.
Selain itu, dibedakan jenis kopi yang dikonsumsi responden agar diketahui
kopi apa yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia. Serta di tambah
keterangan jumlah takaran gula pada kopi yang dikonsumsi. Cara
penyajian kopi dan merk kopi yang dikonsumsi. Variabel konfounding
seperti merokok juga perlu di ukur agar dapar melihat hubungan yang
akurat dari kopi dengan DM. Bisa juga dengan melakukan penelitian
eksperimental pada beberapa senyawa dalam kopi, agar dapat melihat
senyawa apa yang paling mempengaruhi penurunan risiko DM
97
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M., Mulyati, T., Isworo, J.T., 2013. Hubungan Indeks Massa Tubuh
(IMT) Dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus (DM) Tipe
2 Rawat Jalan Di RS Tugurejo Semarang. J. Gizi 2.
Akash, M.S.H., Rehman, K., Chen, S., 2014. Effects of coffee on type 2 diabetes
mellitus. Nutrition 30, 755–763. doi:10.1016/j.nut.2013.11.020
American Diabetes Association, 2014. Diagnosis and classification of diabetes
mellitus. Diabetes care, S81 37.
American Diabetes Association, 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care 33, S62–S69. doi:10.2337/dc10-S062
Bailey, S., Handu, D., 2012. Introduction to Epidemiologic Research Methods in
Public Health Practice. Jones & Bartlett Publishers.
CDC, 2014. National Diabetes Statistic Report 2014.
____, 2011. National Diabetic fact Sheet 2011 [WWW Document]. URL
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/ndfs_2011.pdf (accessed 11.25.16).
Chandrasoma, P., Clive, R.T., 2005. Patologi Anatomi. EGC, Jakarta.
Chen, L., Magliano, D.J., Zimmet, P.Z., 2012. The worldwide epidemiology of
type 2 diabetes mellitus—present and future perspectives. Nat. Rev.
Endocrinol. 8, 228–236. doi:10.1038/nrendo.2011.183
Choi, B.C.K., Shi, F., 2001. Risk factors for diabetes mellitus by age and sex:
results of the National Population Health Survey. Diabetologia 44, 1221–
1231. doi:10.1007/s001250100648
Creatore, M.I., Moineddin, R., Booth, G., Manuel, D.H., DesMeules, M.,
McDermott, S., Glazier, R.H., 2010. Age- and sex-related prevalence of
diabetes mellitus among immigrants to Ontario, Canada. Can. Med. Assoc.
J. 182, 781–789. doi:10.1503/cmaj.091551
Depkes RI, 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Dirjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta.
Depkes RI, 2003. Pedoman praktis terapi gizi medis.
Ding, E.L., Song, Y., Malik, V.S., Liu, S., 2006. Sex Differences of Endogenous
Sex Hormones and Risk of Type 2 Diabetes: A Systematic Review and
Meta-analysis. JAMA 295, 1288–1299. doi:10.1001/jama.295.11.1288
98
Eira, M.T.S., Silva, E.A.A. da, Castro, D., D, R., Dussert, S., Walters, C., Bewley,
J.D., Hilhorst, H.W.M., 2006. Coffee seed physiology. Braz. J. Plant
Physiol. 18, 149–163. doi:10.1590/S1677-04202006000100011
Erris, 2015. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Millitus Di Wilayah Kerja
Puskesmas Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2015.
Scientia Jurnal 04.
Farah, A., 2012. Coffee Constituents, in: Chu, Y.-F. (Ed.), Coffee. Wiley-
Blackwell, pp. 21–58.
Fikasari, Y., 2012. Hubungan Antara Gaya Hidup Dan Pengetahuan Pasien
Mengenai Diabetes Mellitus Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus
Tipe 2 Di Rsud Dr.Moewardi. Universitas Muhamadiyah Surakarta,
Surakarta.
Fletcher, Lamendola C, Gulanick M, 2002. Risk factors for type 2 diabetes
mellitus. Pubmed.
Ganz, M.L., Wintfeld, N., Li, Q., Alas, V., Langer, J., Hammer, M., 2014. The
association of body mass index with the risk of type 2 diabetes: a case–
control study nested in an electronic health records system in the United
States. Diabetol. Metab. Syndr. 6, 50. doi:10.1186/1758-5996-6-50
Gerber, P.A., Kaspar Berneis, Giatgen A Spinas, 2012. Small dense low-density
lipoprotein particles: priority as a treatment target in Type 2 diabetes?
Future medicine 65–74. doi:10.2217/DMT.11.73
Gill, J.M.R., Cooper, A.R., 2008. Physical Activity and Prevention of Type 2
Diabetes Mellitus. Sports Med. 38, 807–824. doi:10.2165/00007256-
200838100-00002
Hastono, S.P., 2006. Analisis Data. Universitas Indonesia, Jakarta.
Higgins, J.P.T., Green, S., 2011. Cochrane Handbook for Systematic Reviews of
Interventions. John Wiley & Sons.
Hosmer, D.W., Lemeshow, S., Sturdivant, R.X., 2013. Applied Logistic
Regression. John Wiley & Sons.
Huxley, R., Lee, C.M.Y., Barzi, F., Timmermeister, L., Czernichow, S., Perkovic,
V., Grobbee, D.E., Batty, D., Woodward, M., 2009. Coffee, Decaffeinated
Coffee, and Tea Consumption in Relation to Incident Type 2 Diabetes
Mellitus: A Systematic Review With Meta-analysis. Arch. Intern. Med.
169, 2053–2063. doi:10.1001/archinternmed.2009.439
IPAQ, 2004. Guidelines for Data Processing and Analysis of the International
Physical Activity Questionnaire (IPAQ) - Short Form.
99
Jeon, C.Y., Lokken, R.P., Hu, F.B., Dam, R.M. van, 2007. Physical Activity of
Moderate Intensity and Risk of Type 2 Diabetes. Diabetes Care 30, 744–
752. doi:10.2337/dc06-1842
Kagami, K., Morita, H., Onda, K., Hirano, T., Oka, K., 2008. Protective effect of
caffeine on streptozotocin-induced beta-cell damage in rats. J. Pharm.
Pharmacol. 60, 1161–1165. doi:10.1211/jpp.60.9.0007
Kapoor, D., Bhardwaj, A.K., Kumar, D., Raina, S.K., 2014. Prevalence of
Diabetes Mellitus and Its Risk Factors among Permanently Settled Tribal
Individuals in Tribal and Urban Areas in Northern State of Sub-Himalayan
Region of India. Int. J. Chronic Dis. 2014, e380597.
doi:10.1155/2014/380597
Kautzky-Willer, A., Harreiter, J., Pacini, G., 2016. Sex and Gender Differences in
Risk, Pathophysiology and Complications of Type 2 Diabetes Mellitus.
Endocr. Rev. 37, 278–316. doi:10.1210/er.2015-1137
Kemenkes RI, 2014. Studi Diet Total (Servei Konsumsi Makanan Individu)
Indonesia 2014. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI,
Jakarta.
Kemenpertan, 2015. Outlook Kopi 2015 [WWW Document]. Pus. Data Dan Inf.
URL
http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Perkebuna
n/Outlook%20Kopi%202015/files/assets/common/downloads/Outlook%2
0Kopi%202015.pdf (accessed 11.21.16).
Kempf, K., Herder, C., Erlund, I., Kolb, H., Martin, S., Carstensen, M., Koenig,
W., Sundvall, J., Bidel, S., Kuha, S., Jaakko, T., 2010. Effects of coffee
consumption on subclinical inflammation and other risk factors for type 2
diabetes: a clinical trial. Am. J. Clin. Nutr. 91, 950–957.
doi:10.3945/ajcn.2009.28548
Kirigia, J.M., Sambo, H.B., Sambo, L.G., Barry, S.P., 2009. Economic burden of
diabetes mellitus in the WHO African region. BMC Int. Health Hum.
Rights 9, 6. doi:10.1186/1472-698X-9-6
Kleinbaum, D.G., Kupper, L.L., Morgenstren, H., 1982. Epidemiologic Research.
Van Nostrand Reinhold Company, New York.
Kobayashi, M., Kurata, T., Hamana, Y., Hiramitsu, M., Inoue, T., Murai, A.,
Horio, F., 2017. Coffee Ingestion Suppresses Hyperglycemia in
Streptozotocin-Induced Diabetic Mice. J. Nutr. Sci. Vitaminol. (Tokyo)
63, 200–207. doi:10.3177/jnsv.63.200
Kurniasih, E., Rohimah, S., 2015. Gambaran Peminum Kopi Pada Pasien
Penderita Diabetes Mellitus Di Ruang Vi Penyakit Dalam Rsud Dr.
Soekardjo Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada 13.
100
Lee, J.-H., Oh, M.-K., Lim, J.-T., Kim, H.-G., Lee, W.-J., 2016. Effect of Coffee
Consumption on the Progression of Type 2 Diabetes Mellitus among
Prediabetic Individuals. Korean J. Fam. Med. 37, 7–13.
doi:10.4082/kjfm.2016.37.1.7
Mitchell, R.N., Vinay, K., Abul, K.A., Nelson, F., 2009. Buku Saku Dasar
Patofisiologis Penyakit, 7th ed. EGC, Jakarta.
Murad, M.A., Abdulmageed, S.S., Iftikhar, R., Sagga, B.K., 2014. Assessment of
the Common Risk Factors Associated with Type 2 Diabetes Mellitus in
Jeddah. Int. J. Endocrinol. 2014, e616145. doi:10.1155/2014/616145
Nathan, D.M., Zinman, B., Cleary, P.A., Backlund, J.-Y.C., Genuth, S., Miller,
R., Orchard, T.J., 2009. Modern-Day Clinical Course of Type 1 Diabetes
Mellitus After 30 Years’ Duration. Arch. Intern. Med. 169, 1307–1316.
doi:10.1001/archinternmed.2009.193
Nentwich, M.M., Ulbig, M.W., 2015. Diabetic retinopathy—ocular complications
of diabetes mellitus. World J Diabetes 6(3), 489–499.
Newman, S.C., 1952. Biostatistical in Epidemiology. JOHN WILEY & SONS,
New York.
Ozougwu, C, J., Obimba, C, K., Belonwu, D, C., Unakalamba, B, C., 2013. The
pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus.
J. Physiol. Pathophysiol. 4, 46–57. doi:10.5897/JPAP2013.0001
P2PL, 2015. Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan Tahun 2015-2019.
Qiwen Ben, Maojin Xu, Xiaoyan Ning, Jun Liu, Shangyou Hong, Wen Huang,
Zhaoshen Li, Huagao Zhang, 2011. Diabetes mellitus and risk of
pancreatic cancer: A meta-analysis of cohort studies. EUROPEAN
JOURNAL OF CANCER 47, 1928–1937.
Ramadany, A.F., Anika C, Listyo A. P, 2013. Hubungan Diabetes Melitus
Dengan Kejadian Stroke Iskemik Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta Tahun
2010. Jurnal Biomedika 2.
Ranheim, T., Halvorsen, B., 2005. Coffee consumption and human health--
beneficial or detrimental?--Mechanisms for effects of coffee consumption
on different risk factors for cardiovascular disease and type 2 diabetes
mellitus. Mol. Nutr. Food Res. 49, 274–284. doi:10.1002/mnfr.200400109
Riskesdas, 2013. Balitbangkes Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Sabri, L., Hastono, S.P., 2014. Statistik Kesehatan. Rajawali Press, Jakarta.
101
Santos, R.M.M., Lima, D.R.A., 2016. Coffee consumption, obesity and type 2
diabetes: a mini-review. Eur. J. Nutr. 55, 1345–1358. doi:10.1007/s00394-
016-1206-0
Schulze, M.B., Manson, J.E., Ludwig, D.S., Colditz, G.A., Stampfer, M.J.,
Willett, W.C., Hu, F.B., 2004. Sugar-Sweetened Beverages, Weight Gain,
and Incidence of Type 2 Diabetes in Young and Middle-Aged Women.
JAMA 292, 927–934. doi:10.1001/jama.292.8.927
Sugiyono, 2010. Statistika untuk Penelitian. IKAPI, Bandung.
Tabit, C.E., Chung, W.B., Hamburg, N.M., Vita, J.A., 2010. Endothelial
dysfunction in diabetes mellitus: Molecular mechanisms and clinical
implications. Rev. Endocr. Metab. Disord. 11, 61–74. doi:10.1007/s11154-
010-9134-4
Tjekyan, R.S., 2007. Risiko Penyakit Diabetes mellitus Tipe 2 di Kalangan
Peminum Kopi di Kota Madya Palembang Tahun 2006-2007 [WWW
Document]. URL http://journal.ui.ac.id/health/article/viewFile/250/246
(accessed 12.19.16).
Trisnawati, S.K., Soedijono, S., 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus
Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012.
Jurnal Ilmiah Kesehatan 5.
Tunceli, K., Bradley, C.J., Nerenz, D., Williams, L.K., Pladevall, M., Lafata, J.E.,
2005. The Impact of Diabetes on Employment and Work Productivity.
Diabetes Care 28, 2662–2667. doi:10.2337/diacare.28.11.2662
van Dam, R.M., Feskens, E.J., 2002. Coffee consumption and risk of type 2
diabetes mellitus. The Lancet 360, 1477–1478. doi:10.1016/S0140-
6736(02)11436-X
van Dam, R.M., Hu, F.B., 2005. Coffee consumption and risk of type 2 diabetes: a
systematic review. JAMA 294, 97–104. doi:10.1001/jama.294.1.97
Wändell, P.E., 2005. Quality of life of patients with diabetes mellitus. An
overview of research in primary health care in the Nordic countries.
Scand. J. Prim. Health Care 23, 68–74. doi:10.1080/02813430510015296
Wedick, N.M., Brennan, A.M., Sun, Q., Hu, F.B., Mantzoros, C.S., van Dam,
R.M., 2011. Effects of caffeinated and decaffeinated coffee on biological
risk factors for type 2 diabetes: a randomized controlled trial. Nutr. J. 10,
93. doi:10.1186/1475-2891-10-93
Whitehead, N., White, H., 2013. Systematic review of randomised controlled
trials of the effects of caffeine or caffeinated drinks on blood glucose
concentrations and insulin sensitivity in people with diabetes mellitus. J.
Hum. Nutr. Diet. 26, 111–125. doi:10.1111/jhn.12033
102
WHO, 2017. The top 10 causes of death [WWW Document]. WHO. URL
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/ (accessed 2.4.17).
_____, 2016a. WHO | Diabetes [WWW Document]. WHO. URL
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ (accessed 10.30.16).
_____, 2016b. WHO | Diabetes country profiles 2016 [WWW Document].
Diabetes Ctry. Profiles. URL http://www.who.int/diabetes/country-
profiles/en/ (accessed 11.1.16).
_____, 2016c. Physical activity [WWW Document]. WHO. URL
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs385/en/ (accessed 1.24.17).
_____, 2012. Fact Sheet Diabetes [WWW Document]. URL
http://www.searo.who.int/entity/noncommunicable_diseases/topics/SDE_
Diabetes-FS.pdf?ua=1 (accessed 1.15.17).
Winarsi, H., 2007. Antioksidan Alami Dan Radikal. Kanisius, Yogyakarta.
Woodward, M., Zhang, X., Barzi, F., Pan, W., Ueshima, H., Rodgers, A.,
MacMahon, S., Asia Pacific Cohort Studies Collaboration, 2003. The
effects of diabetes on the risks of major cardiovascular diseases and death
in the Asia-Pacific region. Diabetes Care 26, 360–366.
Ye, J., 2013. Mechanisms of insulin resistance in obesity. Front. Med. 7, 14–24.
doi:10.1007/s11684-013-0262-6
Zahtmal, F.C., Suyanto, Tuti R., 2007. Faktor-faktor pasien diabetes mellitus.
Berita Kedokteran Masyarakat 23.
LAMPIRAN
103
LAMPIRAN 1 SURAT PERIZINAN
104
LAMPIRAN 2 SURAT PERMOHONAN PERMINTAAN DATA
105
106
LAMPIRAN 3 KUESIONER
Pertanyaan Diabetes Mellitus
Pertanyaan Konsumsi Kopi dan Minuman Berkafein
Usia dan Jenis Kelamin
107
Berat Badan dan Tinggi Badan
Aktifitas Fisik
108
LAMPIRAN 4 OUTPUT ANALISIS DATA UNIVARIAT
Frekuensi Konsumsi Kopi dengan DM
g. Kopi * DMbaru Crosstabulation
Dmbaru
Total Non-DM DM
g. Kopi > 1 kali per hari; Count 111757 2299 114056
% within DMbaru 16.1% 13.6% 16.0%
1 kali per hari; Count 117317 2291 119608
% within DMbaru 16.9% 13.5% 16.8%
3 - 6 kali per minggu; Count 48361 885 49246
% within DMbaru 7.0% 5.2% 6.9%
1 - 2 kali per minggu; Count 71364 1402 72766
% within DMbaru 10.3% 8.3% 10.2%
< 3 kali per bulan; Count 71470 1776 73246
% within DMbaru 10.3% 10.5% 10.3%
Tidak pernah Count 275393 8265 283658
% within DMbaru 39.6% 48.9% 39.8%
Total Count 695662 16918 712580
% within DMbaru 100.0% 100.0% 100.0%
Usia
Usia Responden Non-DM DM
Statistics
Usia tahun
N Valid 712580
Missing 0
Mean 39.75
Median 39.00
Mode 15
Std. Deviation 16.012
Statistics
Usia tahun
N Valid 695662
Missing 0
Mean 39.48
Median 38.00
Mode 15
Std. Deviation 15.969
Statistics
Usia tahun
N Valid 16918
Missing 0
Mean 50.75
Median 52.00
Mode 53
Std. Deviation 13.754
109
Usia Katagori
Crosstab
DMbaru
Total Non DM DM
Usia_New < 39 tahun Count 365149 3237 368386
% within Usia_New 99.1% .9% 100.0%
% within DMbaru 52.5% 19.1% 51.7%
>=39 tahun Count 330513 13681 344194
% within Usia_New 96.0% 4.0% 100.0%
% within DMbaru 47.5% 80.9% 48.3%
Total Count 695662 16918 712580
% within Usia_New 97.6% 2.4% 100.0%
% within DMbaru 100.0% 100.0% 100.0%
Jenis Kelamin
Crosstab
Dmbaru
Total Non-DM DM
Jenis Kelamin laki-laki Count 335549 7445 342994
Expected Count 3.3E5 8143.3 3.4E5
% within DMbaru 48.2% 44.0% 48.1%
Perempuan Count 360113 9473 369586
Expected Count 3.6E5 8774.7 3.7E5
% within DMbaru 51.8% 56.0% 51.9%
Total Count 695662 16918 712580
Expected Count 7.0E5 16918.0 7.1E5
% within DMbaru 100.0% 100.0% 100.0%
110
Status Gizi
IMT_kat_Baru * DMbaru Crosstabulation
DMbaru
Total Non DM DM
IMT_kat_Baru Kurus Count 48447 1039 49486
% within IMT_kat_Baru 97.9% 2.1% 100.0%
% within DMbaru 7.0% 6.1% 6.9%
Normal Count 413285 8429 421714
% within IMT_kat_Baru 98.0% 2.0% 100.0%
% within DMbaru 59.4% 49.8% 59.2%
Gemuk Count 134995 3682 138677
% within IMT_kat_Baru 97.3% 2.7% 100.0%
% within DMbaru 19.4% 21.8% 19.5%
Obesitas Count 98935 3768 102703
% within IMT_kat_Baru 96.3% 3.7% 100.0%
% within DMbaru 14.2% 22.3% 14.4%
Total Count 695662 16918 712580
% within IMT_kat_Baru 97.6% 2.4% 100.0%
% within DMbaru 100.0% 100.0% 100.0%
Aktifitas Fisik
Crosstab
DMbaru
Total Non DM DM
FisikBaru Ringan Count 96757 3658 100415
% within FisikBaru 96.4% 3.6% 100.0%
% within DMbaru 13.9% 21.6% 14.1%
Sedang Count 398143 9818 407961
% within FisikBaru 97.6% 2.4% 100.0%
% within DMbaru 57.2% 58.0% 57.3%
111
Berat Count 200762 3442 204204
% within FisikBaru 98.3% 1.7% 100.0%
% within DMbaru 28.9% 20.3% 28.7%
Total Count 695662 16918 712580
% within FisikBaru 97.6% 2.4% 100.0%
% within DMbaru 100.0% 100.0% 100.0%
Minuman berkafein non-kopi
Crosstab
DMbaru
Total Non DM DM
Kafein Tidak Pernah Count 466487 12393 478880
% within Kafein 97.4% 2.6% 100.0%
% within DMbaru 67.1% 73.3% 67.2%
> 1 kali perhari Count 13607 376 13983
% within Kafein 97.3% 2.7% 100.0%
% within DMbaru 2.0% 2.2% 2.0%
1 kali sehari Count 26385 643 27028
% within Kafein 97.6% 2.4% 100.0%
% within DMbaru 3.8% 3.8% 3.8%
3-6 kali perminggu Count 27169 449 27618
% within Kafein 98.4% 1.6% 100.0%
% within DMbaru 3.9% 2.7% 3.9%
1-2 kali perminggu Count 57145 998 58143
% within Kafein 98.3% 1.7% 100.0%
% within DMbaru 8.2% 5.9% 8.2%
> 3 kali perbulan Count 104869 2059 106928
% within Kafein 98.1% 1.9% 100.0%
% within DMbaru 15.1% 12.2% 15.0%
Total Count 695662 16918 712580
112
% within Kafein 97.6% 2.4% 100.0%
% within DMbaru 100.0% 100.0% 100.0%
LAMPIRAN 5 OUTPUT ANALISIS DATA BIVARIAT
Kopi dengan DM
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 1.393E5a 5 .000
Likelihood Ratio 1.379E5 5 .000
Linear-by-Linear Association 5.296E4 1 .000
N of Valid Cases 2.E8
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 267665,3.
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for
EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Kopi 1.375E5 5 .000
Kopi(1) -.415 .002 6.184E4 1 .000 .661 .658 .663
Kopi(2) -.398 .002 5.996E4 1 .000 .672 .670 .674
Kopi(3) -.446 .002 3.710E4 1 .000 .640 .637 .643
Kopi(4) -.444 .002 5.032E4 1 .000 .641 .639 .644
Kopi(5) -.209 .002 1.314E4 1 .000 .811 .808 .814
Constant -3.640 .001 2.202E7 1 .000 .026
a. Variable(s) entered on step 1: Kopi.
113
LAMPIRAN 6 OUTPUT ANALISIS DATA MULTIVARIAT
Uji Interaksi
Tests of Model Effects
Source df1 df2 Wald F Sig.
(Corrected Model) 15,000 11041,000 159,564 ,000
(Intercept) 1,000 11055,000 7275,439 ,000
Kopi 5,000 11051,000 28,253 ,000
Umur_kat 1,000 11055,000 1326,987 ,000
Jenisklmn 1,000 11055,000 27,057 ,000
FisikBaru 1,000 11055,000 211,140 ,000
Statusgizikat 1,000 11055,000 138,454 ,000
Kafein 1,000 11055,000 9,364 ,002
Kopibyumur 1,000 11055,000 1,814 ,178
Kopibyjk 1,000 11055,000 ,010 ,918
kopibyAF 1,000 11055,000 ,026 ,872
Kopibygizi 1,000 11055,000 ,254 ,614
Kopibykafein 1,000 11055,000 5,021 ,025
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn, FisikBaru, Statusgizikat,
Kafein, kopibyumur, kopibyjk, kopibyAF, kopibygizi, kopibykafein
Tests of Model Effects
Source df1 df2 Wald F Sig.
(Corrected Model) 14,000 11042,000 170,857 ,000
(Intercept) 1,000 11055,000 7379,116 ,000
Kopi 5,000 11051,000 27,919 ,000
Umur_kat 1,000 11055,000 1326,026 ,000
Jenisklmn 1,000 11055,000 44,354 ,000
FisikBaru 1,000 11055,000 211,755 ,000
Statusgizikat 1,000 11055,000 139,100 ,000
Kafein 1,000 11055,000 9,368 ,002
Kopibyumur 1,000 11055,000 1,812 ,178
kopibyAF 1,000 11055,000 ,024 ,878
Kopibygizi 1,000 11055,000 ,238 ,626
Kopibykafein 1,000 11055,000 5,055 ,025
114
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn, FisikBaru, Statusgizikat,
Kafein, kopibyumur, kopibyAF, kopibygizi, kopibykafein
Tests of Model Effects
Source df1 df2 Wald F Sig.
(Corrected Model) 13,000 11043,000 183,805 ,000
(Intercept) 1,000 11055,000 7963,798 ,000
Kopi 5,000 11051,000 27,758 ,000
Umur_kat 1,000 11055,000 1327,004 ,000
Jenisklmn 1,000 11055,000 44,390 ,000
Statusgizikat 1,000 11055,000 139,060 ,000
Kafein 1,000 11055,000 9,380 ,002
FisikBaru 1,000 11055,000 321,067 ,000
Kopibyumur 1,000 11055,000 1,814 ,178
Kopibygizi 1,000 11055,000 ,241 ,623
Kopibykafein 1,000 11055,000 5,062 ,024
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn, Statusgizikat, Kafein,
FisikBaru, kopibyumur, kopibygizi, kopibykafein
Tests of Model Effects
Source df1 df2 Wald F Sig.
(Corrected Model) 12,000 11044,000 198,909 ,000
(Intercept) 1,000 11055,000 8563,529 ,000
Kopi 5,000 11051,000 28,488 ,000
Umur_kat 1,000 11055,000 1340,823 ,000
Jenisklmn 1,000 11055,000 44,508 ,000
Statusgizikat 1,000 11055,000 190,351 ,000
Kafein 1,000 11055,000 9,342 ,002
FisikBaru 1,000 11055,000 321,476 ,000
Kopibyumur 1,000 11055,000 2,031 ,154
Kopibykafein 1,000 11055,000 5,032 ,025
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn, Statusgizikat, Kafein,
FisikBaru, kopibyumur, kopibykafein
115
Uji Konfounding
Parameter Estimates
DMbaru Parameter B
Std.
Error
95% Confidence
Interval Design
Effect Exp(B)
95% Confidence
Interval for Exp(B)
Lower Upper Lower Upper
DM (Intercept) -4,339 ,047 -4,431 -4,248 2,859 ,013 ,012 ,014
[Kopi=1] -,478 ,046 -,569 -,387 2,757 ,620 ,566 ,679
[Kopi=2] -,458 ,042 -,541 -,376 2,530 ,632 ,582 ,687
[Kopi=3] -,411 ,063 -,534 -,288 2,818 ,663 ,586 ,750
[Kopi=4] -,417 ,050 -,515 -,318 2,267 ,659 ,597 ,728
[Kopi=5] -,196 ,053 -,300 -,092 2,398 ,822 ,741 ,912
[Kopi=6] ,000a . . . . 1,000 . .
Umur_kat 1,557 ,037 1,485 1,628 3,402 4,743 4,415 5,096
Jenisklmn -,186 ,028 -,240 -,131 2,196 ,830 ,787 ,877
Statusgizikat ,215 ,016 ,185 ,246 2,449 1,240 1,203 1,279
Kafein -,033 ,011 -,054 -,012 2,182 ,967 ,947 ,988
FisikBaru -,389 ,022 -,431 -,346 2,640 ,678 ,650 ,707
kopibykafein ,009 ,004 ,001 ,016 2,235 1,009 1,001 1,016
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn, Statusgizikat, Kafein, FisikBaru, kopibykafein
a. Set to zero because this parameter is redundant.
Tests of Model Effects
Source df
Wald Chi-
Square Sig.
(Corrected Model) 9,000 2333,998 ,000
(Intercept) 1,000 9584,628 ,000
Kopi 5,000 215,249 ,000
Umur_kat 1,000 1817,821 ,000
Jenisklmn 1,000 42,412 ,000
Statusgizikat 1,000 189,140 ,000
FisikBaru 1,000 322,145 ,000
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn, Statusgizikat,
FisikBaru
116
Parameter Estimates
DMb
aru Parameter B Std. Error
95% Confidence
Interval Design
Effect Exp(B)
95% Confidence
Interval for Exp(B)
Lower Upper Lower Upper
DM (Intercept) -4,361 ,046 -4,452 -4,270 2,890 ,013 ,012 ,014
[Kopi=1] -,495 ,046 -,585 -,405 2,768 ,610 ,557 ,667
[Kopi=2] -,463 ,042 -,545 -,380 2,561 ,629 ,580 ,684
[Kopi=3] -,404 ,061 -,524 -,284 2,791 ,667 ,592 ,753
[Kopi=4] -,395 ,050 -,493 -,298 2,547 ,673 ,611 ,742
[Kopi=5] -,157 ,045 -,245 -,068 2,502 ,855 ,783 ,934
[Kopi=6] ,000a . . . . 1,000 . .
Umur_kat 1,563 ,037 1,491 1,635 3,423 4,772 4,441 5,127
Jenisklmn -,180 ,028 -,234 -,126 2,200 ,835 ,791 ,882
Statusgizika
t ,214 ,016 ,183 ,244 2,439 1,238 1,201 1,277
FisikBaru -,389 ,022 -,432 -,347 2,640 ,677 ,649 ,707
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn, Statusgizikat, FisikBaru
a. Set to zero because this parameter is redundant.
Tests of Model Effects
Source df
Wald Chi-
Square Sig.
(Corrected Model) 8,000 2115,464 ,000
(Intercept) 1,000 14178,462 ,000
Kopi 5,000 265,250 ,000
Umur_kat 1,000 1796,286 ,000
Jenisklmn 1,000 17,432 ,000
Statusgizikat 1,000 187,376 ,000
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn, Statusgizikat
117
Parameter Estimates
DMbar
u
Paramete
r B
Std.
Error
95% Confidence
Interval Design
Effect Exp(B)
95% Confidence
Interval for Exp(B)
Lower Upper Lower Upper
DM (Intercept) -4,784 ,043 -4,868 -4,701 2,906 ,008 ,008 ,009
[Kopi=1] -,570 ,046 -,659 -,480 2,730 ,566 ,517 ,619
[Kopi=2] -,506 ,042 -,589 -,423 2,562 ,603 ,555 ,655
[Kopi=3] -,438 ,061 -,558 -,318 2,785 ,645 ,572 ,728
[Kopi=4] -,418 ,050 -,516 -,321 2,542 ,658 ,597 ,725
[Kopi=5] -,175 ,045 -,263 -,086 2,507 ,840 ,768 ,917
[Kopi=6] ,000a . . . . 1,000 . .
Umur_kat 1,549 ,037 1,477 1,620 3,434 4,706 4,381 5,055
Jenisklmn -,116 ,028 -,171 -,062 2,205 ,890 ,843 ,940
Statusgizi
kat ,217 ,016 ,186 ,248 2,444 1,242 1,204 1,281
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn, Statusgizikat
a. Set to zero because this parameter is redundant.
Tests of Model Effects
Source df
Wald Chi-
Square Sig.
(Corrected Model) 7,000 2016,096 ,000
(Intercept) 1,000 17437,728 ,000
Kopi 5,000 274,943 ,000
Umur_kat 1,000 1866,287 ,000
Jenisklmn 1,000 ,579 ,447
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn
Parameter Estimates
DMb
aru Parameter B
Std.
Error
95% Confidence
Interval Design
Effect Exp(B)
95% Confidence Interval
for Exp(B)
Lower Upper Lower Upper
DM (Intercept) -4,528 ,037 -4,600 -4,456 2,890 ,011 ,010 ,012
[Kopi=1] -,593 ,046 -,683 -,504 2,740 ,552 ,505 ,604
[Kopi=2] -,514 ,042 -,597 -,431 2,572 ,598 ,551 ,650
118
[Kopi=3] -,439 ,061 -,559 -,319 2,796 ,645 ,572 ,727
[Kopi=4] -,413 ,050 -,511 -,316 2,537 ,661 ,600 ,729
[Kopi=5] -,169 ,045 -,257 -,080 2,511 ,845 ,773 ,923
[Kopi=6] ,000a . . . . 1,000 . .
Umur_kat 1,589 ,037 1,517 1,661 3,471 4,897 4,556 5,263
Jenisklmn -,020 ,027 -,073 ,032 2,236 ,980 ,929 1,033
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Umur_kat, Jenisklmn
a. Set to zero because this parameter is redundant.
Tests of Model Effects
Source df
Wald Chi-
Square Sig.
(Corrected Model) 6,000 222,006 ,000
(Intercept) 1,000 33301,394 ,000
Kopi 5,000 181,060 ,000
Jenisklmn 1,000 ,675 ,411
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Jenisklmn
Parameter Estimates
DMb
aru Parameter B
Std.
Error
95% Confidence
Interval Design
Effect Exp(B)
95% Confidence Interval
for Exp(B)
Lower Upper Lower Upper
DM (Intercept) -3,656 ,027 -3,709 -3,602 2,309 ,026 ,025 ,027
[Kopi=1] -,404 ,045 -,492 -,316 2,662 ,668 ,611 ,729
[Kopi=2] -,389 ,042 -,472 -,306 2,570 ,677 ,624 ,736
[Kopi=3] -,439 ,061 -,558 -,319 2,777 ,645 ,572 ,727
[Kopi=4] -,439 ,049 -,536 -,343 2,526 ,644 ,585 ,710
[Kopi=5] -,207 ,045 -,295 -,119 2,504 ,813 ,745 ,888
[Kopi=6] ,000a . . . . 1,000 . .
Jenisklmn ,022 ,027 -,031 ,076 2,220 1,023 ,969 1,079
Dependent Variable: DMbaru (reference category = Non DM)
Model: (Intercept), Kopi, Jenisklmn
a. Set to zero because this parameter is redundant.
119