HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN KECERDASAN...
Transcript of HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN KECERDASAN...
1
HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN
KECERDASAN SPIRITUAL PADA KARYAWAN
Nama : Diana Rachmi Sari
NIM : 00 320 111
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dengan kecerdasan spiritual pada karyawan. Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang berlawanan antara stres kerja dan kecerdasan spiritual pada karyawan. Semakin tinggi stres kerja maka semakin rendah kecerdasan spiritual, sebaliknya semakin rendah stres kerja maka semakin tinggi kecerdasan spiritual.
Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang masih aktif bekerja. Stres kerja diungkap menggunakan aitem skala dari penulis yang mengacu pada aspek dari Jex dan Beerh (dalam Spector 1991), sedangkan kecerdasan spiritual diungkap dengan menggunakan aitem skala dari penulis yang mengacu pada aspek Tasmara (2001).
Perubahan ekonomi yang cepat, perampingan perusahaan, PHK, merger dan
bangkrutnya beberapa perusahaan sebagai akibat dari krisis yang berkepanjangan
telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi ribuan bahkan jutaan tenaga
kerja.
Dewasa ini tempat kerja yang berubah dan bersaing menambah tingkat stres di
kalangan para pekerja dan juga manajer. Misalnya, sebuah survei atas pekerja
Amerika Serikat menemukan
bahwa 46 persen merasakan pekerjaan mereka sebagai penuh dengan stres
dan 34 persen berpikir serius untuk keluar dari pekerjaan mereka 12 bulan
sebelumnya karena stres di tempat kerja. (Schellhardt : 1996 dalam Sasono, 2008).
2
Banyaknya tekanan dan tuntutan dari perusahaan dan konsumen menimbulkan
konflik bagi karyawan. Konflik yang berkelanjutan inilah yang menyebabkan stres
kerja bagi karyawan. Stres kerja merupakan kondisi yang muncul akibat reaksi
interaksi seseorang dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya (Anoraga, 2001).
Ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan yang harus
serba cepat dan tepat, konflik antar karyawan, terbatasnya bahan baku dan cuaca yang
tidak mendukung akan menyebabkan stres kerja pada karyawan. Sejalan dengan itu
Hariandja (2002) mengatakan stres merupakan situasi ketegangan atau tekanan
emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat
besar, hambatan-hambatan dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat
mempengaruhi emosi fikiran dan kondisi fisik seseorang.
Munculnya stres kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu stres
dalam pekerjaan itu sendiri sebagai faktor eksternal dan karakter individu yang
menjadi faktor internal. Dengan kata lain, stres akibat kerja ini tidak hanya
disebabkan masalah internal, sebab reaksi terhadap stimulus akan sangat tergantung
pada reaksi subyektif individu masing-masing. Ada tiga kategori sumber potensial
stres kerja menurut Sasono (2008), yaitu faktor lingkungan (ketidakpastian ekonomi,
politik, teknologi), faktor organisasional (tuntutan tugas, peran dan hubungan antar
pribadi, struktur kepemimpinan dan tahap hidup organisasi), faktor individu (masalah
keluarga, ekonomi dan kepribadian). Apakah faktor-faktor ini mengarah ke stres yang
aktual bergantung pada perbedaan individual seperti pengalaman kerja dan
3
kepribadian. Bila stres dialami oleh seorang individu, gejalanya dapat muncul sebagai
keluaran fisiologis (sakit kepala, tekanan darah tinggi, penyakit jantung), psikologis
(kecemasan, murung, berkurangnya kepuasan kerja), dan perilaku (produktivitas,
kemangkiran, tingkat keluarnya karyawan).
Adakalanya stres kerja yang dialami seseorang itu kecil dan hampir tidak
berarti, namun dapat dianggap sangat mengganggu dan berlanjut dalam waktu yang
relatif lama. Tidak semua stres kerja yang berdampak negatif, adakalanya seseorang
dapat merubah stres kerja menjadi sesuatu yang positif. Dampak negatif yang
ditimbulkan oleh stres kerja dapat berupa : turunnya produktivitas, adanya kekacauan
baik dalam manajemen maupun operasional kerja, mengganggu kenormalan aktivitas
kerja, menurunnya keuntungan perusahaan, dan lain sebagainya. Sebaliknya, bentuk
stres kerja yang berdampak positif adalah memotivasi diri, lebih disiplin, rangsangan
untuk bekerja keras, memunculkan inspirasi dan lain sebagainya.
Ada dua pendekatan yang bisa dipakai dalam mengelola stres yaitu
pendekatan individual dan pendekatan organisasional (Sasono, 2008)
1. Pendekatan Individual. Seorang karyawan dapat memikul tanggung jawab
pribadi untuk mengurangi tingkat stresnya. Strategi individu yang telah terbukti
efektif mencakup pelaksanaan teknik-teknik manajemen waktu, meningkatkan
latihan fisik, pelatihan relaksasi dan perluasan jaringan dukungan sosial.
2. Pendekatan Organisasional. Beberapa faktor yang menyebabkan stres
terutama tuntutan tugas dan peran, dan struktur organisasi dikendalikan oleh
4
manajemen. Dengan demikian faktor-faktor ini dapat dimodifikasi atau
diubah. Strategi yang mungkin diinginkan oleh manajemen untuk
dipertimbangkan antara lain : perbaikan seleksi personil dan penempatan
kerja, penggunaan penempatan tujuan yang realistis, perancangan ulang
pekerjaan, peningkatan keterlibatan karyawan, perbaikan komunikasi
organisasi, dan pelaksanaan program kesejahteraanperusahaan.
Sejalan dengan pendekatan individual, karyawan dapat memulai dengan
mengerti diri sendiri yakni berusaha melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari
diri kita sendiri dan mencakup apa yang diri kita lakukan. Mengerti cara berfikir,
berperasaan dan berperilaku, serta menjaga kondisi tubuh, sehingga keadaan tubuh
yang baik dan terawat akan dapat tahan terhadap segala macam stres.
Aspek lain yang tak kalah pentingnya dalam mempengaruhi pelaksanaan
suatu pekerjaan adalah lingkungan kerja. Lingkungan kerja merupakan salah satu
penyebab dari keberhasilan dalam melaksanakan suatu pekerjaan tetapi juga dapat
menyebabkan suatu kegagalan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan.
Satu hal yang paling penting dalam mencegah stres adalah dengan
mengembangkan kehidupan spiritual. Memberi makna hidup adalah sebuah proses
pembentukan kualias hidup, sedangkan tujuan hidup merupakan akhlak, rujukan,
dasar pijakan, dan sekaligus hasil yang ingin diraih (Tasmara, 2001).
5
Dengan kehidupan spiritual yang baik maka akan membantu kita untuk lebih
sabar, pasrah, dan ikhlas dalam menghadapi persoalan apapun. Seorang yang cerdas
secara ruhaniah adalah mereka yang menampilkan sosok dirinya sebagai profesional
yang berakhlak. Pekerja yang membawa misi cinta, mengisi kehidupan dengan cinta,
menjadikan hidup penuh arti (Tasmara, 2001).
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan bahwa permasalahan dalam
penelitian ini adalah permasalahan hubungan antara kecerdasan spiritual dengan stres
kerja pada karyawan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara stres
kerja dengan kecerdasan spiritual pada karyawan.
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Secara Teoritis
Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini memberikan sumbangan dalam
pengembangan teori di bidang psikologi khususnya psikologi industri.
2. Secara Praktis
Yang pertama secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
informasi kepada karyawan tentang ada atau tidaknya hubungan antara
kecerdasan spiritual terhadap stres kerja. Kedua, dapat mengembangkan
kecerdasan spiritual karyawan dalam melakukan pekerjaan.
6
Pengertian Stres Kerja
Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses
berfikir dan kondisi seseorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam
kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan (Handoko, 2000). Sejalan
dengan definisi diatas (Grath, 1976) mengemukakan bahwa stres meliputi interaksi
seseorang dengan lingkungannya.
Luthans (dalam Yulianti, 2000) mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan
dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses
psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang
terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang.
Secara sederhana stres merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang, baik
secara fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang
dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam (Anoraga, 2001).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Siagian (2004) mendefinisikan stres sebagai suatu
kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik
seseorang.
Stres kerja didefinisikan oleh NIOSH Research (dalam Widhiastuti, 2000 :
32) sebagai keadaan respon fisik dan emosi yang muncul ketika persyaratan-
persyaratan kerja tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan dari
pekerja.
Hariandja, (2002) mengatakan stres kerja merupakan situasi ketegangan atau
tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi tuntutan yang
sangat besar, hambatan-hambatan dan adanya kesempatan yang sangat penting yang
dapat mempengaruhi emosi pikiran dan kondisi fisik seseorang. Dalam hal ini stres
kerja terjadi karena ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian antara tuntutan
pekerjaan yang harus serba cepat dan tepat sedangkan waktu untuk menyelesaikan
7
pekerjaan tersebut sangat sempit dan terbatas. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu
dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah stres kerja di dalam organisasi
perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan
untuk efisien di dalam pekerjaan.
Pandangan ini diperkuat oleh Jex dan Beehr (1991) yang menyatakan bahwa
stres kerja adalah kondisi atau situasi dalam bekerja yang membutuhkan respon
adaptif pada sebagian karyawan, yang pada akhirnya menimbulkan ketegangan dalam
pekerjaan, seperti teguran dari atasan, bermain diwaktu bekerja. Ketegangan ini dapat
menyebabkan seseorang mengalami kecemasan, frustasi, dan gejala fisik lainnya.
Penyebab Stres Kerja
Pada penelitian yang dilakukan oleh NIOSH Research (dalam Widhiastuti,
2000:33) penyebab stres kerja dapat dibagi dua, yaitu :
a. Dari individu adalah usia, kondisi fisik dan faktor kepribadian. Apakah
kepribadian tipe A atau tipe B, pribadi ekstrovert atau introvert yang
secara keseluruhan dirangkum dalam 5 faktor kepribadian meliputi
ekstraversion, conscientiousness, emotional stability, agreeableness dan
openness to experience yang dalam hal ini emotional stability sangat
berhubungan dengan mudah tidaknya seseorang mengalami stress.
b. Faktor dari luar individu adalah lingkungan baik lingkungan keluarga
maupun lingkungan kerja, cita-cita atau ambisi.
c. Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau
yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu
macam pembangkit tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar
dari waktu manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai
pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja.
Pembangkit stres di pekerjaan merupakan pembangkit stres yang besar
8
perannya terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seseorang
tenaga kerja yang bekerja. Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan
penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima
kategori besar (lihat Gambar) yaitu faktor-faktor intrinsik dalam
pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam
pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi Hurrel (dalam Munandar,
2001:381).
Modifikasi dari model Cooper, C.L (dalam Munandar, 2001:380).
9
Gejala dan Aspek-Aspek yang Menimbulkan Stres Kerja
Jex dan Beehr (dalam Spector, 1991:284) aspek stres kerja dapat dibagi dalam
tiga aspek, yaitu gejala psikologis, gejala fisik, dan gejala perilaku.
Gejala psikologis Gejala fisik Gejala perilaku
Kecemasan, ketegangan,
bingung, marah, sensitif,
memendam perasaan,
komunikasi tidak efektif,
mengurungkan diri,
depresi, merasa terasing
dan mengasingkan diri,
kebosanan, ketidakpuasan
kerja, lelah mental,
menurunnya fungsi
intelektual, kehilangan
daya konsentrasi,
kehilangan spontanitas dan
kreativitas, kehilangan
semangat hidup,
menurunnya harga diri dan
rasa percaya diri.
Detak jantung dan tekanan
darah tinggi,
meningkatnya sekresi
adrenalin dan
neoadrenalin, gangguan
gastrointestinal seperti
gangguan lambung, mudah
terluka, mudah lelah
secara fisik, kematian,
gangguan kardiovaskuler,
gangguan pernafasan,
lebih sering berkeringant,
gangguan pada kulit,
migraine, kanker,
ketegangan otot, sulit
tidur.
Menunda pekerjaan/tugas,
penurunan prestasi dan
produktivitas,
meningkatnya penggunaan
minuman keras dan
mabuk, perilaku sabotase,
meningkatnya frekuensi
absensi, perilaku makan
yang tidak normal,
kehilangan nafsu makan
dan penurunan drastic
berat badan, meningkatnya
kecendrungan perilaku
beresiko tinggi seperti
berjudi, meningkatnya
agresivitas dan
kriminalitas, penurunan
kualitas hubungan
interpersonal dengan
keluarga dan teman,
kecendrungan bunuh diri.
10
Menurut Berry, 1998 stres dapat muncul karena beberapa hal, yaitu :
1. Peraturan kerja yang kaku
2. Atasan (bos) yang tidak bijaksana
3. Beban kerja yang terlalu berat
4. Ketidak adilan
5. Tekanan-tekanan kerja yang sulit bekerja sama
6. Waktu kerja yang panjang
7. Ketidaknyamanan psikologis
Dari uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa aspek-aspek yang dapat
menimbulkan stres kerja terdiri dari tiga aspek yaitu :
1. Aspek gejala psikologis yaitu respon dari keadaan tegang/tertekan karena
pekerjaan yang berhubungan dengan psiklogis seperti seseorang yang
mengalami kecemasan yang berlebihan, mudah marah dan mudah
tersinggung, menarik diri dari pergaulan, menurunnya kepercayaan diri, dan
lain sebagainya.
2. Aspek gejala fisiologis yaitu suatu respon tubuh terhadap kondisi
tertekan/stress, seperti detak jantung berdebar keras, tekanan darah tinggi,
gangguan pernafasan, migraine, sulit tidur dan lain sebagainya.
3. Aspek gejala perilaku., yaitu respon fisik yang dilampiaskan dalam sikap dan
perilaku yang muncul karena banyaknya stressor dari pekerjaannya, seperti
sikap menunda pekerjaan, turunnya hubungan interpersonal dengan keluarga
dan teman, kehilangan nafsu makan atau sebaliknya bertambahnya nafsu
makan, dan lain-lain
11
Pengertian Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual atau Spiritual intelligence dapat dikatakan sebagai
sebuah konsep baru dalam dunia psikologi. Konsep kecerdasan spiritual ini pertama
kali dikemukakan pada akhir abad ke dua puluh oleh Zohar dan Marshall, akan tetapi
kecerdasan spiritual barat atau Spiritual intelligence tersebut belum atau bahkan
tidak menjangkau ketuhanan.
Zohar dan Marshall (dalam Agustian, 2001) secara umum menjelaskan
kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk memecahkan persoalan makna dan
nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya serta kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan
hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan jalan yang lain. Pencarian akan
makna merupakan motivasi penting dalam hidup kita. Pencarian inilah yang
menjadikan kita makhluk spiritual, dan ketika kebutuhan makna ini tidak terpenuhi
hidup kita akan terasa dangkal dan hampa (frankl, 2002).
Tasmara (2001), mendefinisikan kecerdasan ruhaniah atau kecerdasan
spiritual sebagai kemampuan seseorang untuk menjalani hidupnya dengan tetap
berpadukan kepada cahaya Illahi yang menerangi qolbu sebagai pusat dirinya
mengambil keputusan. Qolbu atau hati nurani akan menjadi pembimbing seseorang
untuk menentukan apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat dalam
menghadapi perubahan kehidupan yang cepat dan dinamis.
Berdasarkan pemaparan beberapa ahli tentang pengertian kecerdasan spiritual,
maka dapat disimpulkan bahwa definisi kecerdasan spiritual dalam penelitian ini
adalah kemampuan seseorang dalam memberikan makna hidup dan menghadapi
masalah dengan nilai-nilai keimanan dalam perilaku yang bertanggung jawab.
12
Penggunaan Kecerdasan Spiritual
Berikut ini beberapa hal yang melibatkan kecerdasan spiritual manusia
berdasarkan telaah dan hasil-hasil penelitian pada ahli, yaitu:
a. Kecerdasan spiritual digunakan untuk menumbuhkan otak manusia, sehingga
manusia seperti adanya sekarang dan terus menerus berubah dalam menjalani
evolusinya. Penelitian Vaughan (2002) menyimpulkan bahwa seseorang yang
hari-harinya dilalui dengan peningkatan kecerdasan spiritual maka akan
semakin banyak mendapatkan keberhasilan dalam menjalani hidupnya.
b. Manusia menggunakan kecerdasan spiritual untuk menjadi kreatif.
Kecerdasan spiritual dihadirkan ketika manusia ingin menjadi luwes,
berwawasan luas atau kreatif secara spontan, sehingga mendorong manusia
untuk menemukan dan menumbuhkan gagasan-gagasan baru yang unik dan
‘segar’ (Sinetar, 2001).
c. Kecerdasan spiritual digunakan untuk menghadapi masalah eksistensial, yaitu
saat manusia secara pribadi terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran,
dan tekanan serta kesedihan. Kecerdasan spiritual menjadikan manusia
berpikir dengan rasio dan perasaan dalam satu kesatuan. Sehingga menjadikan
manusia mampu mengatasi atau setidaknya berdamai dengan masalah tersebut
(Rahardjo, 2006)
d. Kecerdasan spiritual adalah pemahaman yang mendalam terhadap makna dan
nilai, sehingga dapat menjadi petunjuk bagi manusia dalam upaya pencarian
identitas diri (Zohar dan Marshal, 2000).
e. Manusia dapat menggunakan kecerdasan spiritual untuk menjadi lebih cerdas
secara spiritual, dalam beragama. Seseorang yang memiliki kecerdasan
spiritual tinggi akan menjalani agamanya tidak secara fisik, fanatik, eksklusif,
dan penuh prasangka. Sinetar (2001) dalam penelitiannya membuktikan
bahwa kecerdasan spiritual mampu meningkatkan kedekatan seseorang
13
dengan Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan kebermaknaan dalam
hidup tanpa harus fanatik pada agama yang dianutnya.
f. Kecerdasan spiritual memungkinkan manusia untuk menyatukan hal-hal yang
bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan diri
sendiri dengan orang lain (Zohar dan Marshall, 2000).
g. Kecerdasan spiritual digunakan untuk mencapai perkembangan diri yang lebih
utuh, karena manusia memiliki potensi untuk berkembang sehingga manusia
mampu menghadapi kesedihan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
mendasar tentang dunia dan kehidupan (Zohar dan Marshall, 2000).
h. Kecerdasan spiritual dapat digunakan untuk berhadapan dengan berbagai
masalah, baik dan jahat, hidup dan mati, penderitaan dan keputusasaan
manusia, frustasi, stres dan gelisah (Khavari, 2000).
Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual
Aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada ciri-ciri penting
adanya kecerdasan spiritual dari Tasmara (2001), yaitu:
a. Memiliki visi
Individu yang ingin mempertajam kecerdasan ruhaniahnya, menetapkan visinya
melampaui daerah duniawi, sehingga menjadikan qalbunya sebagai suara hati (conscience)
yang selalu didengar. Visi dan tujuan setiap muslim yang cerdas secara spiritual itu akan
menjadikan pertemuan Allah sebagai puncak dari pernyataan visi pribadinya yang kemudian
dijabarkan dalam bentuk perbuatan baik yang terukur dan terarah. Individu kemudian akan
bertindak karena ada semacam keterpanggilan hati nurani. Individu yang sukses adalah
individu yang bertindak dengan penuh keikhlasan. Visi merupakan pengejawantahan
imajinasi kreatif dan merupakan motivasi utama dari tindakan manusia.
b. Merasakan kehadiran Allah
Manusia yang bertanggung jawab dan cerdas secara ruhaniah merasakan kehadiran
Allah di mana saja ia berada. Hal ini menimbulkan kecerdasan moral spiritual yang
14
menumbuhkan perasaan sangat dalam (zauq). Kesadaran bahwa Allah senantiasa bersamanya
(innallaha ma’ana), merupakan bentuk fitrah manusia. Karena sejak awal penciptaan
manusia, telah ada perjanjian moral dan pengakuan/potensi berketuhanan. Dengan kesadaran
itu pula, sebenarnya nilai – nilai moral akan terpelihara, karena seluruh tindakan yang berasal
pilihan qalbunya yang berbinar cahaya (nurani) akan melahirkan kemampuan untuk memilih
atau keberpihakan yang jelas dan lugas pada prinsip – prinsip iman yang sangat merindukan
pertemuan dengan-Nya.
c. Berdzikir dan berdoa
Dzikir memberikan makna kesadaran diri, “Aku dihadapan Tuhanku”, yang
kemudian mendorong individu secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk melanjutkan
misi hidupnya yang dinamis yaitu memberi makna melalui amal -amal saleh. Do’a bukanlah
sekedar hafalan tetapi sebuah ungkapan jiwa. Individu yang cerdas secara ruhaniah
menyadari bahwa doa mempunyai makna yang sangat mendalam bagi dirinya. Ada sesuatu
yang dituju dan diharapkan dalam doa. Sehingga dengan kandungan optimisme tersebut
mereka lebih bergairah untuk menyatakan dirinya secara aktual dan lebih bertanggung jawab
dalam menjalani hidupnya. Mengingat doa merupakan bagian dari dzikir, dan dzikir adalah
keyakinan yang mendalam bahwa ia selalu dilihat oleh Tuhan, maka dalam berdoa
tersebut individu merasakan dirinya sedang beraudiensi dengan Tuhannya.
d. Memiliki kualitas sabar
Sabar berarti sebuah harapan yang kuat untuk menggapai cita-cita. Dalam
kandungan kualitas sabar, terdapat sikap yang istiqomah. Sabar berarti tidak tergeser
dari jalan yang mereka tempuh. Individu yang sabar dapat bertoleransi dengan waktu,
mereka memiliki ketabahan dan daya sangat kuat untuk menerima beban, ujian atau
tantangan tanpa sedikitpun mengubah harapan untuk menuai hasil yang ditanamnya.
Kualitas sabar mendorong seseorang menjadi kuat, sehingga individu tidak tergoda
untuk menyimpang karena banyaknya pilihan yang dapat mengalihkan perhatian dari
harapan atau tujuannya yang semula. Sabar bisa diartikan sebagai kemampuan
mengendalikan diri dalam menghadapi berbagai tekanan (stressor).
15
Hubungan antara Kecerdasan Spiritual dengan Stres Kerja
Stres kerja pada intinya merujuk pada kondisi dari pekerja yang mengancam
individu. Ancaman ini dapat berasal dari tuntutan pekerjaan atau karena kurang
terpenuhinya kebutuhan individu. Stres kerja muncul sebagai bentuk ketidak
harmonisan individu dengan lingkungan sekitar.
Stres kerja dapat bersifat sementara atau jangka panjang, ringan atau berat,
sangat tergantung pada seberapa lama penyebab stres berlangsung, seberapa besar
kekuatan untuk menghadapinya. Stres kerja yang ringan kebanyakan orang dapat
menanganinya atau sekurang-kurangnya dapat mengatasi pengaruhnya dengan cepat.
Sebaliknya stres yang sifatnya temporer atau menetap akan berdampak buruk bagi
seseorang. Masalah kemudian timbul, karena tubuh tidak dapat membangun kembali
kemampuannya untuk menghadapi stres, karena itu dibutuhkan suatu kemampuan
yang dapat mengatasi permasalahan untuk menghindari adanya stres kerja.
Faktor penting yang dapat membantu dan mengarahkan seseorang agar
mampu menghadapi situasi lingkungan kerja yang menekan adalah dengan adanya
kecerdasan spiritual yang baik. Kecerdasan spiritual menurut Tasmara, (2001) adalah
kecerdasan manusia yang digunakan untuk “berhubungan” dengan Tuhan. Sebuah
kecerdasan yang berpusat pada rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan, dengan
menjadikan Tuhan sebagai landasannya ketika dihadapkan persoalan hidup.
Individu yang cerdas secara spiritual, tidak akan menyerah dan putus asa
dalam menghadapi berbagai persoalan, baik masalah dalam pekerjaan maupun
masalah di luar pekerjaan, tetapi sebaliknya dapat mereduksi munculnya stres yang
terjadi pada dirinya, karena setiap persoalan dapat diterima sebagai pelajaran dan
tempaan mental dari Tuhan untuk menjadikan dirinya semakin kuat dalam
menghadapai berbagai permasalahan hidup. Keberhasilan seseorang dalam mengatasi
setiap permasalahan, sangat dipengaruhi oleh kecerdasan spiritual yang dimilikinya.
16
Seseorang yang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi, hatinya senantiasa
merasa dekat dengan Tuhan, melakukan segala sesuatu berdasarkan motivasi yang
paling dalam, konsisten menjalankan setiap tugas dengan tulus dan ikhlas, walaupun
menghadapi berbagai permasalahan, sehingga ketika dihadapkan persoalan hidup
dirinya mampu menyelesaikannya dengan tenang, hati yang jernih, penuh optimis,
tidak bersikap emosional dan memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
(empati) serta mampu menemukan hikmah dibalik permasalahan yang menimpanya.
Hipotesis
Berdasarkan telaah teoritik diatas hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah ada hubungan negatif antara stress kerja dengan kecerdasan spiritual. Semakin
tinggi kecerdasan spiritual maka semakin rendah stres kerja. sebaliknya, semakin
rendah kecerdasan spiritual maka stres kerja semakin tinggi.
Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (x) : kecerdasan spiritual
2. Variabel tergantung (y) : stres kerja
Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Stres kerja merupakan suatu kondisi ketegangan yang dialami
seseorang/karyawan, akibat ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dengan
kemampuan yang dimiliki seseorang/karyawan serta pengaruh lingkungan kerja
yang kurang mendukung sehingga dapat mempengaruhi emosi dan proses berfikir
mereka. Stres kerja meliputi tiga aspek, yaitu : 1) gejala psikologis, 2) gejala
fisiologis, 3) gejala perilaku. Stres kerja dalam penelitian ini akan diungkap
dengan skala stres kerja. Semakin tinggi skor total stres kerja berarti semakin
tinggi stres kerja subjek, dan sebaliknya semakin rendah skor total stres kerja
maka stres kerja juga semakin rendah.
17
2. Kecerdasan spiritual merupakan suatu bentuk kesadaran yang berangkat dari
penggunaan nilai-nilai keimanan yang menjadi pedoman untuk bertingkah laku
dengan adanya rasa cinta dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Seseorang dapat
dikatakan cerdas secara spiritual apabila memiliki visi, merasakan kehadiran Allah
SWT, berzikir dan berdoa, memiliki kualitas sabar, yang menjadi aspek
kecerdasan spiritual dalam penelitian ini. Kecerdasan spiritual dalam penelitian ini
akan diungkap dengan skala kecerdasan spiritual. Semakin tinggi skor total yang
dimiliki subjek penelitian maka semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritualnya,
sebaliknya semakin rendah skor total yang dimiliki subjek maka semakin rendah
pula tingkat kecerdasan spiritualnya.
Subjek dalam penelitian ini adalah semua karyawan/karyawati yang bekerja di
bidang properti. Metode pengumpulan data yang ditetapkan pada penelitian ini
menggunakan metode skala. Skala adalah bentuk alat pengumpulan data yang bersifat
konstrak atau menggambarkan aspek kepribadian individu. Azwar (1999)
Pertimbangan dalam menggunakan skala ini menurut Azwar (1999) adalah
sebagai berikut :
1. Subjek adalah orang yang paling mengerti tentang dirinya sendiri
2. Apa yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat
dipercaya
3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya
adalah sama dengan apa yang dimaksud peneliti
Metode pemberian skor yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
likert, dengan skor yang bergerak dari 1 sampai 4 pilihan jawaban yang terdiri dari
empat kategori yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat
Tidak Sesuai (STS). Untuk butir yang bersifat favorable skor 4 diberikan untuk
jawaban Sangat Sesuai (SS), skor 3 untuk jawaban Sesuai (S), skor 2 untuk jawaban
Tidak Sesuai (TS), dan skor 1 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS). Untuk butir
18
yang bersifat unfavorable skor 1 diberikan untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), skor 3
untuk jawaban Sesuai (S), skor 2 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan skor 4 untuk
jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS).
Hasil Penelitian
Hasil pengujian reliabilitas menghasilkan koefesien Alpha Cronbach pada
kuesioner Stres Kerja sebesar 0.9113, dan pada kuesioner kecerdasan spiritual sebesar
0.9335. Hasil lebih dari 0.7 menjelaskan bahwa kuesioner sudah reliabel, berarti
sudah dapat ditafsirkan sama atau konsisten oleh semua pengisi (responden).
Stres kerja dijaring menggunakan 41 aitem pernyataan dengan pilihan
jawaban 1 sampai 4, skor maksimal stres yang dapat dicapai oleh intrumen ini sebesar
41 x 4 = 164, dan minimal 41 x 1 = 41. Rerata hipotesis dari skor ini adalah
(maksimal + Minimal) / 2 = 102.5, dan standart deviasi hipotesis sebesar (maksimal –
minimal) / 6 = 20.5. Dengan parameter ini stres kerja dapat diklasifikasikan menjadi
4 katagori (menyesuaikan skala pilihan jawaban) dengan interval :
Interval Klasifikasi Stres Kerja
Klasifikasi Interval
Sangat Rendah M – 3SD s/d M – 1.5SD 41 s/d 71.75
Rendah M – 1.5SD s/d M – 0SD > 71.75 s/d 102.5
Tinggi M – 0SD s/d M + 1.5SD > 102.5 s/d 133.25
Sangat Tinggi M + 1.5SD s/d M + 3SD > 133.25 s/d 164
Dari hasil pengujian deskriptif diperoleh nilai rata-rata stres kerja sebesar
92.68, dalam tabel interval di atas termasuk dalam klasifikasi rendah.
19
Frek
uens
i
40
30
20
10
0
Stress KerjaTinggi (> 102.5 - 133.25)Rendah (> 71.75 - 102.5)
512.50%
3587.50%
No Parameter Skor
1 Mean 92.68
2 Median 92.50
3 Modus 81
4 Std. Deviation 7.836
5 Minimum 79
6 Maximum 112
Secara inidividual dari 40 karyawan yang menjadi sampel, diketahui sebanyak
35 karyawan atau 87.5% karyawan memiliki stres kerja rendah, sisanya sebanyak 5
karyawan atau 12.5% memiliki stres tinggi. Persentase ini menunjukan secara
individual mayoritas karyawan memiliki stres kerja yang rendah.
Histogram Stres Kerja
20
Kecerdasan spiritual dijaring menggunakan 54 aitem pertanyaan dengan
pilihan jawaban 1 sampai 4, skor maksimal kecerdasan spiritual yang dapat dicapai
oleh intrumen ini sebesar 54 x 4 = 216, dan minimal 54 x 1 = 54. Rerata hipotesis dari
skor ini adalah (maksimal + Minimal) / 2 = 135, dan Standart Deviasi hipotesis
sebesar (maksimal - minimal) / 6 = 27. Dengan parameter ini kecerdasan spiritual
dapat diklasifikasikan menjadi 4 katagori (menyesuaikan skala pilihan jawaban)
dengan interval :
Interval Klasifikasi Kecedarasan spiritual
Klasifikasi Interval
Sangat Rendah M – 3SD s/d M – 1.5SD 54 s/d 94.5
Rendah M – 1.5SD s/d M – 0SD > 94.5 s/d 135
Tinggi M – 0SD s/d M + 1.5SD > 135 s/d 175.5
Sangat Tinggi M + 1.5SD s/d M + 3SD > 175.5 s/d 216
Dari hasil pengujian deskriptif diperoleh nilai rata-rata kecedarasan spiritual
sebesar 174.5, dalam interval di atas termasuk klasifikasi tinggi. Berarti karyawan
secara rata-rata memiliki kecedarasan spiritual tinggi.
Hasil Pengujian Deskriptif
No Parameter Skor
1 Mean 174.78
2 Median 175.00
3 Modus 186
4 Std. Deviation 14.531
5 Minimum 134
6 Maximum 202
21
Frek
uens
i
20
15
10
5
0
Kecerdasan Spiritual
Sangat Tinggi (> 175.5 - 216)
Tinggi (> 135 - 175.5)Rendah (> 94.5 - 135)
2050.00%19
47.50%
12.50%
Secara individual dari 40 karyawan yang menjadi sampel, diketahui sebanyak
20 karyawan atau 50 % karyawan memiliki kecedarasan spiritual sangat tinggi,
sebanyak 19 karyawan atau 47.5 % tinggi, dan sebanyak 1 karyawan atau 2.5 %
karyawan memiliki kecedarasan spiritual rendah. Persentase ini menunjukan secara
individual mayoritas karyawan memiliki kecedarasan spiritual tinggi dan sangat
tinggi. Secara akumulasi jumlah karyawan yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi
dan sangat tinggi mencapai 97.5 %. Angka ini menjelaskan hampir semua karyawan
memiliki kecerdasan spiritual yang bagus.
Histogram Kecedarasan Emosional
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan pada analisis korelasi adalah uji normalitas dan uji
linearitas yang merupakan suatu uji prasyarat. Kedua pengujian tersebut
menggunakan program SPPS for windows.
a. Uji Normalitas dengan menggunakan teknik One Sample Kolmogrov-Smirnov
Test dari program SPSS 12.0 diperoleh sebaran skor pada variabel stres kerja
22
adalah normal (K-S Z = 0,913 ; p = 0,445 atau p > 0,05). Sebaran variabel
kecerdasan spiritual adalah normal (K-S Z = 0,907 ; p = 0,004 atau p < 0,05).
b. Uji Linearitas adalah uji yang digunakan untuk mengetahui apakah ada
hubungan antara stres kerja dengan kecerdasan spiritual. Dua variabel
dikatakan linear jika anova table menunjukkan p. linearity < 0,05 dan p.
deviation from linearity > 0,05. Uji linearitas dengan Analisisi Regresi
terhadap variabel stres kerja dan kecerdasan spiritual menunjukkan hasil yang
linear (F = 0,102).
Hasil Uji Hipotesis
Pengolahan data yang diawali dengan uji asumsi menunjukkan hasil yang
linier antara variabel stres kerja dan variabel kecerdasan spiritual. Uji hipotesis
dilakukan dengan menggunakan analisis regresi dengan melihat variabel stres kerja
dan kecerdasan spiritual. Melalui uji tersebut didapatkan kesimpulan bahwa Ada
hubungan yang signifikan antara stres kerja dengan kecerdasan spiritual pada
karyawan, yang dibuktikan dengan r = 0,445 dengan p = 0,002 (p < 0,01). Semakin
rendah stres kerja maka semakin tinggi kecerdasan spiritual karyawan, semakin tinggi
stres kerja maka semakin rendah kecerdasan spiritual karyawan. Dengan demikian
hipotesis penelitian diterima.
Pembahasan
Deskripsi tentang stres kerja telah menunjukan bahwa, mayoritas karyawan
memiliki stres kerja intensitas yang rendah (sebanyak 87.5%), hanya 12.5% yang
memiliki stres kerja dengan intensitas tinggi. Kondisi stres yang rendah ini diduga
berkaitan dengan kecerdasan spiritual mereka, diketahui dari hasil deskriptif di atas
hampir seluruh karyawan (97.5%) memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.
Dugaan keterkaitan keduanya terbukti setelah dilakukan pengujian korelasi
yang mendapatkan hasil korelasi signifikan sebesar -0.445. Tanda negatif
23
menunjukan keterkaitan yang berlawanan antara stres dengan kecerdasan spiritual,
yaitu bila karyawan memiliki stres rendah maka memiliki kecerdasan spiritual yang
tinggi.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dan temuan hubungan antara kecerdasan spiritual
dan stres kerja, peneliti menyimpulkan ;
1. Karyawan memiliki intensitas stres kerja yang rendah.
2. Karyawan memiliki kecedarasan spiritual tinggi.
3. Terdapat hubungan negatif yang signifikan sebesar -0.445 antara kecerdasan
spiritual dengan stres kerja pada karyawan.
Saran
Berkaitan dengan hasil penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran-saran
berikut :
1. Bagi Perusahaan
Adanya hubungan negatif signifikan antara kecerdasan spiritual dengan stres
kerja pada karyawan, menjadi dasar kuat untuk menyarankan kepada pihak terkait
khususnya manajer untuk berusaha meminimalkan stres kerja karyawan. Melalui
gejala perilaku, psikologis dan fisik yang ditunjukan karyawan, manajer harus
mampu menangkap perkembangan atau perubahan stres kerja yang dialami
karyawan.
Upaya meminimalkan stres ini dapat dilakukan dengan pengurangan beban
kerja, pengurangan tingkat kesulitan, atau pengurangan dalam faktor lain yang
memberatkan karyawan. Namun bila beban kerja dan target-target lain yang
berpeluang menumbuhkan stres kerja merupakan faktor kunci untuk kesinambungan
perusahaan, maka manajer harus membuka dialog yang lebih banyak dengan
karyawan sehingga mereka dapat mengerti sehingga dapat bekerja tanpa tekanan.
24
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Waktu pengambilan data hendaknya dilakukan pada saat karyawan istirahat
agar dalam pengisian skala karyawan tidak terburu-buru. Selain itu juga disarankan
untuk dapat melengkapi penelitian tersebut dengan observasi dan wawancara tidak
hanya pada karyawan yang bersangkutan saja melainkan juga kepada “key person”
seperti keluarga atau teman dekatnya sehingga data dan hasil yang didapat lebih
akurat.