Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

58
HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan, Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat. Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi: a. Hubungan wewenang b. Keuangan c. Pelayanan umum d. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan. A. Hubungan Wewenang 1. Pembagian urusan Pemerintahan

description

Hubuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah

Transcript of Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Page 1: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan, Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat.

Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi:

a.       Hubungan wewenangb.      Keuanganc.       Pelayanan umumd.      Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.

Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.

A.    Hubungan Wewenang

1.      Pembagian urusan PemerintahanKetentuan hukum yang mengatur lebih lanjut hubungan antara pempus dan pemda sebagai penjabaran dari dasar konstitusioanal adalah Pasal 10-18 UU Nomor 32 Tahun 2004.Dalam kaitannya dengan hubungan pempus dan pemda maka adanya pembagian wewenang urusan pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia, pada hakekatnya dibagi dalam 3 kategori, yaitu :a). Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat (pemerintah)b). Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsic). Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota

2.      Kriteria Pembagian urusan antar Pemerintah, daerah Provinsi/Kabupaten/KotaUntuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurren (artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah) secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah Kabupaten/kota, atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis.

Page 2: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

a). EksternalitasAdalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.

b). AkuntabilitasAdalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

c). EfisiensiAdalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.

3.      Urusan Pemerintah yang menjadi urusan pempusUrusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi:

a.      Politik luar negeri; mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya

b.      Pertahanan; misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya;

Page 3: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

c.       Keamanan; misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya

d.      Yustisi; misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undangundang, Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya

e.       Moneter dan fiskal nasional; misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainyaf. Agama ; misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya.

Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yaitu semua urusan pemerintahan di luar urusan pempus meliputi :

a.       pendidikan;b.      kesehatan;c.       pekerjaan umumd.      pekerjaan umum;e.       perumahan;f.       penataan ruang;g.      perencanaan pembangunan;h.      perhubungan;i.        lingkungan hidup;j.        pertanahan;k.      kependudukan dan catatan sipil;l.        pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;m.    keluarga berencana dan keluarga sejahtera;n.      sosial;o.      ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;p.      koperasi dan usaha kecil dan menengah;q.      penanaman modal;r.        kebudayaan dan pariwisata;s.       kepemudaan dan olah raga;t.        kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;u.      otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah

kepegawaian, dan persandian;v.      pemberdayaan masyarakat dan desa;w.    statistik;x.      kearsipan;y.      perpustakaan;z.       komunikasi dan informatika;aa.   pertanian dan ketahanan pangan;bb.  kehutanan;cc.   energi dan sumber daya mineral;dd. kelautan dan perikanan;ee.   perdagangan . . .ff.    perdagangan; dangg.  perindustrian.4.      Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan

Page 4: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Dalam menyelenggarakan 6 urusan pemerintahan (pasal 10 ayat 3 UU No.32/2004) Pemerintah :

a)      Menyelenggarakan sendirib)      Dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau

wakil Pemerintah di daerah atauc)      Dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.

Di samping itu, penyelenggaraan di luar 6 urusan pemerintahan (Pasal 10 ayat 3) Pemerintah dapat :

a)      Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, ataub)      Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah,c)      atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa

berdasarkan asas tugas pembantuan.

5.      Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemdaUrusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria-kriteria, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

a)      Urusan wajib artinya : Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Urusan wajib menurut penjelasan UU No.32/2004 artinya suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara seperti perlindungan hak konstitusional, pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI; dan pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.

b)      Urusan pilihan artinya : baik untuk pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpetensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pilihan menurut PP No 38/2007 meliputi :

a.         kelautan dan perikanan;b.        pertanian;c.         kehutanan;d.        energi dan sumber daya mineral;e.         pariwisata;f.         industri;g.        perdagangan; danh.        ketransmigrasian

Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur juga disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi (Pasal 13 UU No 32 tahun 2004):

Page 5: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

a.       perencanaan dan pengendalian pembangunan;b.      perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;c.       penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;d.      penyediaan sarana dan prasarana umum;e.       penanganan bidang kesehatan;f.       penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;g.      penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;h.      pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;i.        fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas

kabupaten/kota;j.        pengendalian lingkungan hidup;k.      pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;l.        pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;m.    pelayanan administrasi umum pemerintahan;n.      pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;o.      penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapatdilaksanakan oleh

kabupaten/kotap.      urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota (psl 14) meliputi:

a.       perencanaan dan pengendalian pembangunan;b.      perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;c.       penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;d.      penyediaan sarana dan prasarana umum;e.       penanganan bidang kesehatan;f.       penyelenggaraan pendidikan;g.      penanggulangan masalah sosial;h.      pelayanan bidang ketenagakerjaan;i.        fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;j.        pengendalian lingkungan hidup;k.      pelayanan pertanahan;l.        pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;m.    pelayanan administrasi umum pemerintahan;n.      pelayanan administrasi penanaman modal;o.      penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

1.        Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.Pembagian urusan antar pemerintah, pemprov dan pemkab diatur lebih lanjut dalam PP No 38 tahun 2007.

2.        Hubungan Dalam bidang keuangan      Hubungan keuangan antara pempus dan pemda Pasal 15 ayat 1 UU No.32/2004 meliputi :a.    Pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan pemerintahan daerah;b.    pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; danc.    pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah      Hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah meliputi :

Page 6: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

a.    bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan. pemerintahan daerah kabupaten/kota;

b.    pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;c.    pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dand.   pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.

3.        Hubungan dalam bidang pelayanan umum      Antara Pempus dan pemda (vertikal) meliputi :

a.       kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;b.      pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; danc.       fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan

pelayanan umum.      Antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :

a.         pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;b.         kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelengaraan pelayanan umum; danc.         pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.

4.        Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya      Antara Pemerintah dan pemerintahan daerah

a.         kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;

b.         bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; danc.          penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan           Antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :a.         Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi

kewenangan daerah;b.         Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. dan sumber daya lainnya

antar pemerintahan daerah; danc.          Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya.Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber

daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut) meliputi:

a.       eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;b.      pengaturan administratif;c.       pengaturan tata ruang;d.      penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan

kewenangannya oleh Pemerintah;e.      ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; danf.        ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.

Page 7: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

FUNGSI DEWAN PERWAKILAN DAERAHDewan Perwakilan Daerah sejak awal perubahan UUD 1945 memang tidak

dimaksudkan sebagai unsur utama dalam pembuatan undang-undang, namun menjadi lembaga yang terkait dengan kelembagaan MPR. Adanya usulan atau pendapat untuk menguatkan kelembagaan DPD dalam pembuatan undang-undang, yang berarti akan memberi voting right yaitu hak untuk menolak atau menyetujui rancangan undang-undang tentunya harus dikaji secara komprehensif.

Apabila DPD diberi kewenangan voting right dalam pembuatan UU, haruslah dibedakan keterlibatannya, apakah anggota DPD yang diberi hak voting right, ataukah kelembagaan DPD yang diberi hak voting right tersebut. Apabila voting right tersebut diberikan kepada anggota DPD, maka tidak akan diperlukan forum pengambilan putusan yang terpisah antara DPR dan DPD, karena pada hakekatnya ada hak suara yang sama dalam memberikan sikap terhadap sebuah rancangan undang-undang antara anggota DPR dan DPD. Forum yang dihadiri oleh anggota DPD dan DPR menjadi forum dalam mekanisme pengambilan putusan pembuatan undang-undang. Apabila voting right diberikan kepada lembaga DPD dalam proses pembuatan UU, maka forum pengambilan keputusan haruslah terpisah antara DPR dan DPD. Mekanisme ini sesuai dengan model bicameral. Hal yang masih harus dipertimbangkan adalah posisi Presiden dalam pembuatan undang-undang. Apakah Presiden masih terlibat dalam pembuatan undang-undang sebagaimana dinyatakan dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan. Apabila campurtangan Presiden dalam pembuatan undang-undang dihapuskan, maka sistem pemisahan kekuasaan memang benar-benar terciptakan, artinya pembuatan undang-undang semata-mata urusan DPD dan DPR. Apabila Presiden masih terlibat dalam proses pembuatan undang-undang sehingga ketentuan Pasal 20 ayat (2) masih dipertahankan maka dalam pembuatan undang-undang akan melibatkan secara langsung tiga lembaga negara, yaitu DPR, DPD dan Presiden.

Disamping hal-hal sebagaimana diuraikan tersebut di atas, pertimbangan kesisteman perlu diperhatikan. Apabila dalam pembuatan undang-undang kepada DPD diberi hak voting, maka harus juga dipertimbangkan adanya lembaga MPR yang masih tetap eksis dalam UUD 1945 setelah perubahan. Keterlibatan DPD dalam pembuatan undang-undang akan berarti bahwa untuk membuat undang-undang ada tiga lembaga negara yang aktif, yaitu DPR, DPD dan Presiden. Sementara itu menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD setelah perubahan, MPR berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD, sedangkan MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Kedudukan sebuah UUD adalah lebih tinggi dibandingkan kedudukan sebuah undang-undang, sehingga terhadap sebuah undang-undang yang bertentangan dengan UUD dapat dilakukan pengujian materiil. Kesisteman dari UUD akan terganggu dan ketidaklogisan muncul karena untuk mengubah dan menetapkan UUD yang kedudukannya lebih tinggi dari UU cukup dilakukan oleh MPR yang keanggotaannya terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, sedangkan untuk membentuk undang-undang yang kedudukannya lebih rendah dari UUD akan melibatkan tiga lembaga negara, Presiden, DPD dan DPR.

Sehingga dari sudut pandang sebuah sistem konstitusi dengan mempertimbangkan hubungan antara kewenangan lembagaan negara yang diatur didalamnya, pemberian voting right kepada DPD dalam pembuatan undang-undang akan menimbulkan implikasi yang sangat luas, dan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengubah pasal-pasal yang mengatur kewenangan DPD saja, bahkan harus dilakukan strukturisasi ulang terhadap sistem UUD 1945 yang berhubungan dengan eksistensi lembaga negara yang lain.

Kewenangan yang diberikan oleh UUD kepada DPD akan menghasilkan suatu produk yang sangat penting apabila dapat dilakukan secara lebih profesional, dan proaktif. Hak DPD untuk ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 22D tidaklah menjadikan DPD hanya bersifat pasif menunggu adanya rancangan undang-undang

Page 8: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

dari Presiden atau DPR yang akan dibahas, tetapi secara proaktif dapat mengkaji materi-materi yang seharusnya ada dalam sebuah undang-undang, atau yang telah ada dalam sebuah undang-undang. Hasil kajian tersebut dapat diajukan kepada DPR dalam bentuk rancangan undang-undang, atau dapat dijadikan bahan dalam membahas rancangan undang-undang. DPD dapat menyusun sebuah "blue print"substansi undang-undang yang akan ditawarkan kepada DPR, baik dalam RUU versi DPD, maupun dalam pembahasan RUU. DPD cukup punya waktu untuk melakukan hal tersebut karena tidak terganggu oleh tugas-tugas lain, dan dalam melaksanakan fungsinya seharusnya DPD dapat lebih independent terhindarkan diri dari kepentingan politik. Nilai karya DPD bukan karena otoritas politiknya tetapi kualitas produknya yang semestinya lebih objektif, dimana fungsi konstitusional tersebut diperlukan dalam kesisteman UUD.

WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAHKEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH MENURUT PASAL 22D UUD 1945

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22D UUD 1945 (Perubahan), kewenangan DPD dapat dibedakan dalam beberapa bidang, yaitu:

1.        Bidang legislasi (pembentukan undang-undang).Dalam bidang legislasi DPD mempunyai wewenang untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang kepada DPR serta ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan:

a.       otonomi daerah,b.      hubungan pusat dan daerah,c.       pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,d.      pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, sertae.       perimbangan keuangan pusat dan daerah

2.        Bidang konsultasi (pemberian pertimbangan).Dalam bidang konsultasi atau pemberian pertimbangan, DPD mempunyai kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Termasuk pula dalam fungsi konsultatif DPD adalah terkait dengan dimilikinya wewenang untuk ikut memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan [Pasal 23F ayat (1) UUD 1945].

3.        Bidang kontrol (pengawasan).Dalam bidang kontrol (pengawasan), DPD mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:

a.       otonomi daerah,b.      pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,c.       hubungan pusat dan daerah,d.      pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,e.       pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama.

Hasil pengawasan terhadap hal-hal tersebut kemudian disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Page 9: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Dari ketiga bidang tersebut, kewenangan DPD yang berhubungan erat dengan pembentukan undang-undang adalah bidang legislasi dan bidang konsultasi. Namun demikian, oleh karena rumusan dalam Pasal 22D tersebut masih terlalu umum, maka pelaksanaan kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang perlu ditinjau dari undang-undang yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari UUD 1945.

HAK DEWAN PERWAKILAN DAERAHDPD mempunyai hak:

a.       mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;

b.      ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;

c.       memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

d.      melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.Hak Anggota DPD menurut Pasal 232 UUMD3Anggota DPD mempunyai hak:

a.       bertanya;b.      menyampaikan usul dan pendapat;c.       memilih dan dipilih;d.      membela diri;e.       imunitas;f.       protokoler; dan dang.      keuangan dan administrative

Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia

Hubungan keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah atau dalam arti sempit sering disebut perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian banyak hubungan antara pemeintah pusat dan daerah. Hal ini menjadi topik hangat yang sering muncul ke permukaan, bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan di daerah. Alasannya klasik yaitu adanya daerah yang tidak puas dan merasa tidak adil dalam pembagian keuangan pusat ke daerahnya. Lantas berkembanglah isu bahwa pemerintah pusat hanya mementingkan dirinya sendiri atau lebih berpihak pada daerah tertentu. Kekayaan yang dimiliki daerah selama ini dianggap dikuras oleh pemerintah pusat dan rakyat di daerah itu dibiarkan hidup miskin. Masalah perimbangan keuangan ini merupakan salah satu tuntutan reformasi. Dan sebagai jawaban atas tuntutan tersebut, pemerintah telah menetapkan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang lantas direvisi melalui

Page 10: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Aturan keuangan pusat dan daerah pada satu sisi mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dan disisi lain untuk memfasilitasi proses pembangunan daerah yang dijalankan atas skema otonomi daerah. Berbicara mengenia perimbangan keuangan pusat dan daerah tidak bisa lepas dari factor otonomi daerah. Secara teoritis dalam konteks Negara kesatuan dikenal ada dua cara dalam menghubungkan pemerintah pusat dan daerah yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi mencakup segala urusan, tugas, fungsi dan wewenang penelenggaraan pemerintah berada dalam genggaman pemerintah pusat pelaksanaannya dilakukan dengan dekonsentrasi. Sementara desentralisasi adalah semua urusan, tugas dan wewenang pelaksanaan pemerintah diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Selanjutnya dalam buku ini ada istilah Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Pelajari lebih lengkap semuanya dalam buku yang ditulis oleh Ahmad Yani SH, MM, Ak seorang pengajar di beberapa Perguruan Tinggi serta mantan pegawai Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. (nwn)

Hubungan politik-birokrasi di Indonesia pada saat ini menjadi wacana menarik untuk

dicermati. Pola hubungan politik-birokrasi yang diistilahkan oleh beberapa ahli yakni relasi

antara “cinta” dan “benci” menjadi topik yang hangat diperdebatkan. Politik-birokrasi adalah

“dua sejoli” yang dianalogikan sedang “berpacaran”. Layaknya “orang yang sedang

berpacaran” akan selalu ada dua perasaan yang muncul silih berganti yaitu perasaan “cinta “

dan “benci”. Di satu sisi mereka ingin selalu berdekatan dan bekerja sama, tetapi di sisi lain

ingin saling menjauh dan berdiri sendiri. Dengan analogi ini maka hubungan politik-birokrasi

ini seperti “dua sisi mata uang”1[1], yang tidak bisa dipisahkan (unseparated) tetapi berdiri

sendiri (integrated).

Dalam literatur Administrasi Publik hubungan politik-birokrasi sudah lama dibahas

oleh ilmuwan Administrasi Publik. Jika melihat konteks sejarahnya, Ilmu Administrasi

Publik lahir dan mendapat pengakuan dari para scientist berkat tulisan Woodrow Wilson

yang berjudul The Study of Administration yang dimuat pertama kali oleh The Journal

Political Science Quarterly pada tahun 1887. Menurut Wilson, perlu suatu ilmu untuk

mengkaji masalah administrasi dan membantu menerjemahkan kebijakan-kebijakan politik.

Kemudian, Wilson berpendapat bahwa politik dan administrasi harus dipisah karena

keduanya memiliki tugas yang berbeda. Pemisahan antara politik-administrasi dimaksudkan

agar birokrasi publik dapat bekerja secara profesional melayani kepentingan umum (public

interest) tanpa dibebani isu-isu politik.2[2]

1

2

Page 11: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Pendapat Wilson diperkuat oleh Frank J. Goodnow, menurut Goodnow ada dua fungsi

yang berbeda dari pemerintah (two distinc function of government) yaitu politik dan

administrasi. Politik menurut Goodnow, berhubungan dengan kebijakan atau berbagai

masalah yang berhubungan dengan kebijakan negara. Sedangkan administrasi, berkaitan

dengan pelaksanaan (implementasi) kebijakan tersebut3[3]. Namun pendapat ini ditentang

oleh Leonald D. White, menurutnya Ilmu Administrasi Publik hanya dapat dijalankan dengan

efektif jika dikawinkan dengan teori pemerintahan.4[4] Dari dua pemahaman tersebut

kemudian akan berimplikasi terhadap hubungan politik-birokrasi pada tataran paraktiknya.

Perbedaan pendapat dari para ahli di atas pada tataran keilmuannya juga memiliki dua

pemahaman yang berbeda. Ada kecenderungan untuk memisahkan Ilmu Politik dan

Administrasi Publik. Orang-orang yang menganut paham ini berpendapat bahwa antara

politik dan administrasi harus dipisahkan, karena politik dan administrasi tidak bisa

dicampuradukkan, begitupun sebaliknya. Di lain pihak, ada pemahaman yang ingin

menyatukan politik dan administrasi dengan argumen bahwa jika ingin membahas

administrasi (birokrasi) mau tidak mau harus mempelajari politik, dan sebaliknya. Tegasnya,

jika ingin mempelajari Teori Administrasi Publik maka harus paham Teori Politik, maupun

sebaliknya. Dari dua pemahaman ini maka anekdot “dua sejoli yang sedang berpacaran” dan

“dua sisi mata uang” dapat merepresentasikan pola hubungan politik-birokrasi dewasa ini.

Pada tataran praktisnya, hubungan politik-birokrasi yang ditandai oleh gabungan

perasaan “cinta” dan “benci” sudah berlangsung sejak lama di Indonesia. Jika dirunut

berdasarkan konteks sejarahnya kita bisa memetakannya ke dalam tiga periode. Pertama,

periode pra-kolonial (kerajaan), pada masa ini, jauh sebelum Indonesia merdeka sudah eksis

kerajaan-kerajaan lokal baik yang bercorak Hindu, Budha dan Islam seperti kerajaan Kutai,

Majapahit, Sriwijaya, Samudera Pasai, Mataram, Gowa-Tallo dan lain-lain. Pada masa ini

kegiatan politik lebih diarahkan pada usaha penaklukan wilayah-wilayah kerajaan lain untuk

memperluas kekuasaan. Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya misalnya melakukan ekspedisi

hampir ke seluruh wilayah nusantara bahkan sampai ke Negeri Sembilan (Malaysia),

Tahiland dan Vietnam sehingga kedua kerajaan ini disebut sebagai kerajaan nasional. Raja-

raja pada setiap kerajaan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kerajaan-kerajaan kecil lain

yang menjadi jajahannya. Namun, di setiap wilayah jajahan tetap diangkat pemimpin lokal

(local leaders), yang disebut juga sebagai bupati, sebagai perpanjangan tangannya, bupati-

3

4

Page 12: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

bupati tersebut diwajibkan membayar upeti setiap tahunnya, datang ke kerajaan pada hari-

hari dan upacara-upacara tertentu seperti acara Grebek Maulud sebagai wujud penghormatan

kepada raja.5[5]

Pola hubungan politik-birokrasi pada masa kerajaan maujud dengan kuatnya

kekuasaan raja-raja yang berkuasa terhadap aparat dan rakyatnya. Dominannya kekuasaan

raja sebagai pemegang otoritas tertinggi, menjadikan raja sangat berkuasa sehinggga raja

memiliki hak mutlak untuk menetapkan semua aturan yang menyangkut hajat hidup orang

banyak seperi hukum, politik, agama, ekonomi, sosial dan budaya. Birokrasi pada masa itu

hanya mengabdi pada kepentingan raja dan keluarganya, akibatnya fungsi pelayanan oleh

birokrasi tidak menjadi orientasi tetapi birokrasi lebih bersifat king oriented.

Kedua, Periode Kolonial (penjajahan). Dalam literatur-litarartur sejarah diketahui

bahwa bangsa asing yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis (1511), kemudian

Belanda (1818), disusul oleh Inggris dan terakhir Jepang (1942). Pada masa penjajahan,

pihak penjajah merupakan penguasa yang mengendalikan semua sendi-sendi kehidupan

bangsa Indonesia. Kebijakan-kebijakan umum ditetapkan secara sentralistis oleh penjajah dan

aparat birokrasi bertanggung jawab menjalankan kebijakan itu. Aparat-aparat birokrasi, mulai

dari hierarki yang tertinggi (Gubernur Jenderal) hingga jabatan yang terendah seperti kepala

desa hanya perpanjangan tangan penjajah untuk menerapkan kebijakan-kebijakannya kepada

rakyat.

Ketiga, periode pasca-kolonial yang dibagi lagi kedalam tiga era, Orde Lama, Orde

Baru dan Reformasi. Pada dasarnya pola hubungan politik-birokrasi pada ketiga era ini tidak

jauh berbeda. Relasi perasaan “cinta” dan “benci” mewarnai hubungan politik-birokrasi

setelah Indonesia merdeka. Pola hubungan seperti ini yang kemudian menyebabkan politik

dan birokrasi di Indonesia tidak bebas nilai (unvalue free), sehingga pola “politisasi

birokrasi” lebih merefleksikan hubungan politik-birokrasi di Indonesia. Para pemimpin yang

menjadi penguasa ketiga era tersebut mempunyai style dan cara tersendiri menyangkut

kebijakan politik-birokrasi tergantung kepada pendekatan (approach) yang dipakai dalam

menata hubungan politik-birokrasinya. Masa Orde Lama memberikan pengalaman

bagaimana birokrasi dijadikan arena perebutan pengaruh politik antarberbagai partai politik

yang sedang berkuasa. Masa Orde Baru mengajarkan pada Orde Baru untuk menjadi ‘mesin

politik’ yng membuat birokrasi menjadi partisan untuk kepentingan partai Golkar.6[6]

5

6

Page 13: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Sedangkan pada era Reformasi, politik akomodasi dalam kabinet dan penempatan pejabat-

pejabat politik pada jabatan-jabatan karier merupakan dinamika umum hubungan politik-

birokrasi di Indonesia. Namun, pada dasarnya politisasi birokrasi lebih mewarnai hubungan

politik-birokrasi di Indonesia sehingga terjadi hubungan yang saling mempengaruhi.

Tulisan ini menganalisis tentang pola hubungan politik-birokrasi di Indonesia,

terutama pada masa pemerintahan SBY-JK. Penulis ingin mengidentifikasi dan menganalisis

mengenai politisasi birokrasi yang terjadi pada pemerintahan SBY-JK. Tulisan ini akan

diawali dengan membahas konteks historis politik-birokrasi pada masa prakolonial, kolonial

dan pascakolonial. Setelah itu, baru dilanjutkan ke politisasi birokrasi pada era Reformasi,

yang didahului dengan paparan mengenai politisasi pada pemerintahan Habibie, Gus Dur dan

Megawati, baru dibahas mengenai politisasi pada pamerintahan SBY-JK.

Konsep Politik dan Birokrasi

Politik pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan (power). Politik merupakan

sarana untuk memaksakan kehendak suatu pihak kepada pihak lain dengan cara-cara tertantu.

Seseorang berpolitik orientasinya adalah memperoleh kekuasaan, logikanya setelah berkuasa

dengan kekuasaan yang dimiliki maka ia akan menanamkan pengaruhnya kepada orang lain.

Anggota DPR misalnya, ia dicalonkan oleh partainya sehingga ia duduk di legislatif, maka

setelah ia menjabat sebagai legislator maka ia akan memasukkan kepentingan-kepentingan

partainya, kepentingan pribadinya dan kepentingan constituentnya dalam setiap kebijakan

yang dirumuskan oleh DPR.

Selain itu, menurut Budiardjo politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh

masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi (private goals).7[7] Dengan demikian

dapat dipahami bahwa politik yang dijalankan oleh sutu negara harus dilaksanakan dengan

tujuan menyejahterakan rakyat bukan hanya menguntungkan salah satu pihak. Singkatnya,

politik adalah instrumen untuk mewujudkan tujuan-tujuan seluruh masyarakat.

Konsep-konsep pokok yang terkait dengan politik adalah:8[8]

1. Negara (state)

2. Kekuasaan (power)

3. Pengambilan kebijakan (decesion making)

4. Kebijakan (policy)

7

8

Page 14: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

5. Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) kekuasan

Sedangkan birokrasi secara etimologi berasal dari kata Yunani yaitu biro yang artinya

kantor dan krasi yang artinya pemerintah. Jadi, secara etimologi birokrasi dapat didefinisikan

sebagai kantor pemerintah atau organisasi pemerintah. Sementara itu, menurut Wrong

birokrasi merupakan organisasi yang diangkat untuk mencapai satu tujuan tertentu dari

berbagai tujuan, diorganisir secara hierarki dengan jalinan komando yang tegas, menciptakan

pembagian kerja yang jelas, peraturan-peraturan umum, karyawan dipilih berdasarkan

kompetensi (merit system), dan pekerjaan sebagai birokrat merupakan pekerjaan seumur

hidup.9[9]

Tipe Ideal Birokrasi

Ketika membicarakan karakteristik birokrasi kita tidak bisa berpaling dari Max

Weber. Sosiolog asal Jerman ini merupakn orang pertama yang meletakkan dasar-dasar dan

karakteristik organisasi modern yang kemudian dikenal dengan birokrasi. Menurut Weber

ada beberapa karakteristik (ideal type) yang harus dimiliki oleh birokrasi. Karakteristik

tersebut sebagai berikut:10[10]

1. Pembagian kerja

  Adanya job descriptions yang jelas untuk setiap bawahan agar pekerjaan dapat dilakukan

dengan efektif dan efisien.

2. Hierarki kewenangan

  Jenjang kepangkatan yang disusun secara tegas yang mendiskripsikan kewenangan atasan dan

bawahan.

3. Formalisasi

9

10

Page 15: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

  Aturan-aturan formal yang mengatur tatahubungan anggota organisasi. Setiap orang dalam

organisasi bekerja sesuai dengan tuntunan yang telah tersedia sehingga pekerjaan-pekerjaan

dalam organisasi dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.

4. Impersonal

  Tidak mengenal adanya hubungan saudara, pertemanan dan perkoncoan karena pola hubungan

didasarkan atas rasionalitas.

5. Penempatan pegawai berdasarkan kemampuan

  Seleksi pegawai dilakukan dengan ketat sesuai dengan kompetensinya. Bagi pegawai yang

lulus seleksi, penggunaan standar kompetensi yang ketat, keilmuwan dan keterampilan

merupakam syarat yang harus dipenuhi.

6. Jenjang karier bagi pegawai

  Kenaikan pangkat, pendidikan dan pelatihan bagi pegawai untuk meningkatkan

kemampuannya karena intensitas pekerjaan yang semakin meningkat dan rumit.

7. Kehidupan organisasi dipisahkan dari kehidupan pribadi

  Organisasi dijalankan tanpa terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi.

Pada prinsipnya, tipe ideal birokrasi Weber ditujukan untuk menunjang efisiensi dan

efektivitas organisasi. Di samping itu, tipe ideal Weber sejalan dengan tuntutan demokrasi.

Birokrasi adalah konsekuensi logis dari kehidupan yang demokratis yang menghendaki

objektivitas dan konsistensi kebijakan. Oleh karena itu birokrasi bersifat impersonal.11[11]

Sifat-sifat impersonal birokrasi dibutuhkan agar pelayanan yang diberikan birokrasi kepada

masyarakat memenuhi asas keadilan (equiy) dan terhindar dari kultur partisan.

Namun, pada tataran praktisnya di Indonesia tipe ideal birokrasi Weber hanya sebatas

sketsa semata. Tipe ideal birokrasi Weber tidak ditemukan aplikasinya pada organisasi

pemerintah. Bahkan sebaliknya, birokrasi dianggap sebagai simbol kelambanan, kelalaian,

korupsi, tidak efisien dan partisan,12[12] sehingga kepercayaan (trust) publik semakin hilang.

Pejabat Politik dan Pejabat Birokrasi

11

12

Page 16: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap

tatanan birokrasi pemerintah.13[13] Jabatan-jbatan dalam suatu departemen di Indonesia

terdiri dari jabatan politik (non-karier) dan jabatan birokrasi (karier). Implikasinya adalah,

politisi-politisi yang memperoleh kekuasaan politik melalui pemilihan umum menempati

jabatan politik sebagai pimpinan departemen, sedangkan jabatan di bawahnya seperi jabatan

Sekjen, Dirjen dan Irjen dijabat oleh pegawai-pegawai profesioanal (birokrat karier). Oleh

karena itu, perlu dibedakan natar jabatan politikdan jabatan birokrasi. Perbedaan jabatan

politik dan jabatan birokrasi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan antara Jabatan Politik dan Jabatan Birokrasi

No Variabel Pembeda Jabatan politik Jabatan Birokrasi

1 Cara pengangkatan Dipilih melalui pemilu Diangkat berdasarkan kualifikasi tertentu

2 Masa jabatan Ditentukan (biasanya 5 tahun)

Seumur hidup

3 Sifat jabatan Sewaktu-waktu bisa diberhentikan Tidak bisa diberhentikan kecuali ybs meminta berhenti

4 Pertanggungjawaban Bertanggung jawab kepada konstituent yang memilihnya

Bertanggung jawab kepada negara

Konteks Historis Politik-Birokrasi di Indonesia

Hubungan politik-birokrasi di Indonesia pada sat ini tidak bisa dipisahkan dari

konteks sejarahnya. Hubungan itu tidak lahir dengan sendirinya, tetapi dibentuk oleh sejarah

yang telah mendahuluinya. Kajian historis politik-birokrasi di Indonesia dapat membantu kita

memahami fenomena birokrasi yang terjadi pada saat ini, terutama fenomena politisasi

birokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia pada saat ini. Selain itu, melalui kajian

sejarah kita akan mendapatkan pemahaman mengenai patologi birokrasi (bereaucrahcy

patology) yang kerap melanda birokrasi publik di Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan

oleh Dwiyanto, dkk keterkaitan sejarah menjadi bagian penting untuk melihat kemunculan

berbagai fenomena dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam tubuh birokrasi seperti

masalah korupsi, kolusi dan nepotisme serta tidak tumbuhnya budaya pelayanan dalam

birokrasi di Indonesia.14[14]

Oleh karena itu, sebelum membahas perkembangan hubungan politik-birokrasi pada

saat ini, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai konteks historis politik-birokrasi di

Indonesia.

13

14

Page 17: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

1. Periode Prakolonial (Kerajaan)

Sebelum Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka pada

tahun 1945 dan sebelum kedatangan bangsa asing, jauh sebelum itu kira-kira pada abad ke 16

sudah ada kerajaan-kerajaan yang menghuni wilayah nusantara. Hampir seluruh wilayah

nusantara pada masa itu memiliki kerajaan-kerajaan lokal yang berdasarkan agama tertentu,

baik Hindu, Budha maupun Islam. Namun, hanya ada dua kerajaan yang dianggap sebagai

kerajaan yang bercorak nasional yaitu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya. Kedua

kerajaan ini disebut sebagai kerajaan nasional karena wilayah kekuasaannya yang tersebar

hampir di seluruh wilayah nusantara hingga ke luar tanah air. Bahkan, sejarah mencatat

bahwa Majapahit memiliki daerah kekuasaan hingga ke Negeri Sembilan (Malaysia),

Thailand dan Vietnam.

Secara umum sistem pemerintahan pada masa kerajaan bersifat feodal-sentralistik.

Raja merupakan penguasa tunggal yang harus dipatuhi. Segala keputusan ada di tangan raja

dan rakyat harus melaksanankannya. Birokrasi diorganisir untuk mengkomunikasikan

kebijakan-kebijakan raja kepada rakyat. Birokrasi pada masa itu adalah perpanjangan tangan

raja untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Ada beberapa ciri yang dimiliki oleh

birokrasi pada masa itu (1) Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik

untuk urusan pribadi, (2) Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana raja, (3) Tugas

pelayanan yang ditujukan kepada pribadi sang raja, (4) Gaji dari raja kepada pegawai

pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu

sekehendak raja dan (5) Para pejabat kerajaan dapat berbuat sekehendak hatinya kepada

rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.15[15]

Secara sosiologis, struktur masyarakat pada masa itu terbagi ke dalam dua lapisan,

yaitu golongan priyayi dan wong cilik (rakyat jelata). Golongan priyayi terdiri atas para

pejabat tinggi pusat mulai dari keluarga raja (pangeran), panglima perang (militer), penasihat

raja (patih), kemudian pejabat-pejabat di bawahnya seperti juru tulis (pejabat administrasi),

abdi dalem, para punggawa (hulubalang istana) dan para bangsawan yang diberi hak

istimewa dan pejabat daerah mulai dari adipati/bupati, kuwu (kepala daerah), demang (kepala

desa), bekel (kepala kampung), Sementara itu, wong cilik adalah rakyat jelata yang tidak

memiliki kekuasaan apa-apa seperti petani, pedagang, buruh, tukang, orang biasa dan lain-

15

Page 18: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

lain.16[16] Hubungan kedua lapisan tadi lebih bersifat patront client di mana wong cilik tidak

memiliki kekuasaan yang berarti.

Sistem politik yang dipakai pada masa itu lebih berorientasi kepada kekuasaan dengan

cara perluasan wilayah. Kerajaan-kerajaan besar mencoba melakukan ekspansi ke luar untuk

memperluas wilayahnya. Setelah berhasil, politik ekspansi ini mengharuskan sang raja

menempatkan orang kepercayaannya untuk memimpin wilayah jajahan. Maka ditunjuklah

pemimpin-pemimpin lokal (local leaders) sebagai perpanjangan tangan raja. Pemimpin lokal,

yang disebut bupati, bertugas mengimplementasikan kebijakan-kebijakan raja kepada

rakyatnya. Bupati diberikan keleluasaan oleh raja untuk menjalankan tugasnya, sehingga

tidak sedikit dari para bupati yang bertindak sewenang-wenang dan bahkan lebih kejam dari

raja.. Akhirnya dapatlah diketahui bahwa politisasi pada masa kerajaan dimaknai dengan

lemahnya kedudukan birokrasi di hadapan raja, akibatnya birokrasi lebih loyal kepada raja

dibandingkan bertanggung jawab kepada rakyat.

2. Periode Kolonial

Bangsa Indonesia pernah dijajah selama beberapa abad oleh bangsa asing. Bangsa

asing yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis (1511), kemudian Belanda

(1818), disusul oleh Inggris dan terakhir Jepang (1942). Pada awalnya mereka datang ke

Indonesia hanya untuk berdagang, namun lama kelamaan ingin menguasai. Dalam tulisan ini,

yang dijadikan pisau analisis untuk mengetahui pola politisasi birokrasi pada periode ini

hanya pada masa penjajahan Belanda dengan beberapa pertimbangan. Pertama, Belanda

merupakan bangsa yang paling lama menjajah Indonesia. Kedua, pola hubungan politik-

birokrasi lebih mudah diidentifikasi pada masa ini karena Belanda sudah menerapkan

administrasi pemerintahan yang cukup baik dan rapi di Indonesia.

Kolonialisme Belanda dimulai dengan munculnya VOC (Verenigde Oostindische

Compagnie) pada tahun 1862, yang merupakan organisasi dagang Timur Jauh yang diberi

wewenang besar untuk mengeksploitasi wilayah dagang atas nama raja Belanda.17[17]

Awalnya tujuan VOC datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, kemudian lama-kelamaan

niat busuk VOC terungkap. Dimulai dengan memonopoli rempah-rempah penduduk,

meminta tanah untuk mendirikan kantor hingga akhirnya ingin menguasai seluruhnya.

Melihat perkembangan VOC yang begitu pesat dan telah menguasai pusat

perdagangan rempah-rempah di Indonesia mendorong kerajaan Belanda di awal abad18

16

17

Page 19: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

menempatkan seorang Gubernur Jenderal (General Gouvenour) untuk mengkoordinir

wilayah jajahan. Akibatnya, struktur pemerintahan di wilayah jajahan menempatkan

Gubernur Jenderal pada posisi yang sangat berkuasa atas segala sesuatu urusan di negara

jajahan.18[18] Gubernur Jenderal diberi kekuasaan untuk mengatur wilayah jajahan, namun

tetap membayar upeti kepada kerajaan Belanda sebagai bukti kesetiaannya.

Pada masa itu, Belanda telah menerapkan sistem administrasi modern dalam

mengurus dan mengendalikan wilayah jajahannya, termasuk di Indonesia. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Sinambela, bahwa cara-cara yang dipakai Belanda melahirkan pola

birokrasi kolonial yang cukup maju, tanpa mengubah total tatanan yang ada.19[19]

Selanjutnya menurut Dwiyanto, pada masa kolonial terdapat dualisme sistem administrasi

pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi

kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang mengenalkan sistem administrasi dan birokrasi

modern, sedangkan pada sisi lain sistem administrasi tradisional (Inhemsche Bestuur) masih

tetap dipertahankan.20[20] Artinya, Belanda tetap memakai jasa-jasa pegawai pribumi yang

berasal dari priyayi untuk kegiatan-kegiatan birokratis-administratif. Sementara itu, untuk

mengawasi mereka diangkat pejabat Belanda dengan mengambil model Barat dengan jabatan

residen, asisten residen dan countreuler yang hierarkinya bertanggung jawab kepada

Gubernur Jenderal.

Pegawai pribumi berkewajiban melaksanakan (implementator) kebijakan-kebijakan

Belanda kepada masyarakat. Dalam realitanya, pegawai-pegawai ini lebih berorientasi pada

kepentingan kolonial (penjajah) karena diiming-imingi dengan gaji dan kedudukan, tanpa

mereka sadari bahwa gaji dan kedudukan yang diperoleh telah menyengsarakan rakryat.

Seperti yang dikemukakan oleh Tjokroamidjojo, orientasi dan kondisi kepegawaian pada

zaman penjajahan lebih ditujukan untuk kepentingan penjajah dan demi kepentingan

pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka.21[21] Jadi, dapat dipahami bahwa pola

politisasi birokrasi pada masa kolonial ini terlihat dalam pengangkatan pejabat-pejabat

pribumi (bupati) dari kalangan priyayi (bangsawan) tanpa kriteria yang jelas dan dominannya

orientasi birokrasi pada kepentingan-kepentingan politik penjajah dibanding melaksanakan

fungsi pelayanan (service functions) terhadap publik

18

19

20

21

Page 20: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

3. Periode Pascakolonial (Penjajahan)

Masa penjajahan Belanda berakhir di Indonesia dan Indonesia secara de facto telah

merdeka bersamaan dengan dibacakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno

dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya, dibentuklah pemerintahan yang

berdaulat sebagai pelaksana tujuan-tujuan negara. Sejak saat itu Indonesia dipimpin oleh

rezim-rezim pemerintahan. Adapun rezim yang pernah berkuasa di Indonesia adalah rezim

Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Pada bagian ini akan dibahas mengenai politisasi

birokrasi pada era Orde Lama dan Orde Baru, sedangkan politisasi birokrasi pada era

Reformasi akan dibahas pada bab selanjutnya.

3.1 Era Orde Lama

Setelah berakhirnya kekuasan Belanda di Indonesia, pemerintahan dijalankan oleh

Soekarno sebagi presiden dan Hatta sebagai wakil presiden. Seiring dengan perkembangan

bangsa pada sat itu, sistem pemerintahan selalu mengalami perubahan. Beberapa kali

Indonesia bongkar-pasang sistem pemerintahan. Dimulai dari sistem presidensial (1945-

1949), sistem Parlementer (1949-1950) dan kembali ke sistem presidensial (1959) hingga

sekarang.

Tabel 2. Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia

Periode Konstitusi Bentuk Negara Sistem Pemerintahan

18 Agustus 1945- 27 Desember 1949A. 18 Agt 1945 – 14 Nov 1945B. 14 Nov 1945 – 27 Des 1949

UUD 1945UUD 1945

KesatuanKesatuan

Kabinet PresidensialKabinet Parlementer

27 Des 1949 – 17 Agustus 1950 UUD RIS 1949 Serikat/Federal Kabinet Parlementer17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 UUD 1950 Serikat Kabinet Parlementer5 Juli 1959 – SekarangA. Orde Lama

5 Juli 1959 – 11 Maret 1966B. Orde Baru 11 Maret 1966 – 21 Mei 1998C. Reformasi 21 Mei 1998 – sekarang

UUD 1945

UUD 1945

UUD 1945

Kesatuan

Kesatuan

Kesatuan

Kabinet Presidensial

Kabinet Presidensial

Kabinet PresidensialSumber: Dimodifikasi dari Budianto (1995: 123).

Politisasi birokrasi pada era Orde Lama diawali dengan menjamurnya partai politik

setelah keluarnya Maklumat X wakil presiden tanggal 3 November 1945 tentang

pembentukan partai politik. Menguatnya posisi tawar partai politik sedikit banyaknya telah

mempengaruhi birokrasi publik karena hampir semua pegawai berafiliasi dengan partai

politik tertantu sehingga mereka pun terkotak-kotak.22[22] Birokrat-birokrat lebih senang

22

Page 21: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

berpolitik praktis dan mengurusi partai politik, daripada melakukan pelayanan kepada publik,

sehingga fungsi pelayanan tidak berjalan sebagaimana mestinya pada masa itu.

Di samping itu, diterapkannya bentuk pemerintahan parlementer dan sistem politik

yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 membawa konsekuensi seringnya terjadi

pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan. Akibatnya, birokrasi sangat

terfragmentasi secara politik.23[23] Pergantian pejabat-pejabat politik (menteri) secara silih

berganti berpengaruh pada birokrasi publik. Menteri-mentri yang berkuasa dengan leluasa

mengangkat pejabat-pejabat birokrasi dan pegawai-pegawai pemerintah yang berasal dari

partainya, sehingga warna politisasi birokrasi sangat kental terasa pada masa itu.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Thoha, aparat-aparat pemerintah yang diharapkan

bersikap netral sudah pandai bermain mata dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.24[24]

Selain itu, ideologi revolusi yang diusung oleh Soekarno juga berperan besar dalam

mempolitisasi birokrasi. Keinginan Soekarno untuk mengerahkan seluruh komponen bangsa,

termasuk birokrasi untuk mendukung revolusi yang digagasnya membuat birokrasi

terpolitisasi sedemikian rupa. Ideologi ini kemudian yang ditentang oleh Bung Hatta yang

menginginkan birokrasi profesional dan berfungsi secara total sebagi public servant. Puncak

dari perbedaan pemahaman ini adalah mundurnya Hatta dari jabatan wakil presiden.25[25]

3.2 Era Orde Baru

Pada tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan

pemerintah kepada Soeharto. Penyerahan kekuasan ini dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa

MPR. MPRS dalam ketetapannya No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasan Soekarno

dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden RI.26[26] Bersamaan dengan itu, maka

berakhirlah pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno dan digantikan oleh

rezim yang baru yang kemudian dikenal dengan Orde Baru di bawah komando Soeharto.

Pada dasarnya pola politisasi birokrasi masih tetap berlangsung, tetapi dengan model

yang berbeda. Pada era Orde Baru, Soeharto menggunakan jargon-jargon stabilitas,

ketahanan nasional, pembangunan, monoloyalitas dan lain sebagainya untuk memperkokoh

23

24

25

26

Page 22: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

kekuasaannya. Pendekatan developmentalism yang dipakai oleh Soeharto inilah yang

kemudian menuntunnya untuk memobilisasi seluruh kekuatan yang ada pada saat itu (Golkar,

militer dan birokrasi) untuk mendukung program-program pembangunan yang dicita-

citakannya.

Dampaknya adalah birokrasi terseret ke dalam pergulatan politik pemerintah, karena

birokrasi dijadikan alat yang ampuh oleh pemerintah untuk mengontrol kehidupan politik

rakyat. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Kurniawan, bahwa obsesi Orde

Baru menciptakan stabilitas ekonomi telah melahirkan kontrol terhadap kehidupan politik dan

merusak netralitas birokrasi. Birokrasi terseret ke dalam permainan politik dan bahkan

menjadi satu pilar kekuatan politik tertentu.27[27] Dengan demikian dapat diketahui bahwa

selama rezim Orde baru berkuasa telah terjadi semacam konspirasi antara pemerintah dan

birokrasi untuk memperkokoh kekuasaan pemerintah.

Di samping itu, kebijakan monoloyalitas yang diterapkan oleh Orde Baru berpengaruh

besar terhadap tumbuh-suburnya politisasi birokrasi di Indonesia. Birokrasi dan militer

dimobilisasi sedemikian rupa untuk mendukung salah satu partai politik (Golkar), yang tidak

mau disebut sebagai partai politik tetapi pada kenyataannya bepolitik. Pegawai-pegawai

pemerintah (PNS) hanya diperbolehkan meyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar, begitu

pula halnya dengan militer. Sehingga di Golkar ada tiga pintu yang mencirikan asal

simpatisannya yaitu, dari fungsionaris Golkar sendiri, militer dan birokrasi.28[28] Hal ini

menjadi dilematis karena birokrasi publik diperlukan sebagi public service actor yang netral

dan adil, namun pada masa Orde Baru telah terkontaminasi oleh manufer-manufer politik

pemerintah, sehingga birokrasi dijadikan instrumen untuk mendukung pemenangan partai

politik pemerintah.29[29]

Politisasi Birokrasi: Sebuah Fenomena Mutakhir

1. Era Transisi, Gusdur dan Megawati

Setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 199830[30] karena tuntutan dari

berbagai kalangan, yang menginginkan tatanan pemerintahan yang lebih bersih dan adil,

27

28

29

30

Page 23: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

maka muncullah suatu era baru, yang kemudian disebut dengan era Reformasi. Dimulainya

era Reformasi ditandai dengan peralihan kekuasaan dari presiden Soeharto kepada wakil

presiden Habibie pada tanggal 21 Mei 199831[31] dengan landasan pasal 8 UUD 1945. Maka

tampillah Habibie sebagai Presiden RI ketiga. Angin reformasi yang berhembus pada saat itu,

memberikan amanah yang begitu besar kepada Presiden Habibie untuk memperbaiki tatanan

kehidupan berbangsa dan bernegara dalam tempo yang cepat. Namun, hal ini tidak bisa

dipenuhi oleh Habibie sehingga memaksa MPR segera melakukan Sidang Istimewa.

Di samping itu, rasa tidak percaya dari masyarakat bahwa Habibie bisa menjalankan

roda pemerintahan dengan baik juga ikut andil dalam mengakhiri pemerintahannya. Menurut

penulis rasa tidak percaya tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Habibie masih

dianggap sebagai ‘antek-antek’ Golkar, karena ia merupakan kaki tangan Soeharto ketika

Orde Baru masih berkuasa. Kedua, Lambannya penegakan HAM, supremasi hukum,

pemulihan ekonomi dan pengusutan kasus-kasus korupsi mantan presiden Soeharto dan

kroni-kroninya. Ketiga, kebijakan pemerintahan Habibie yang memberikan opsi merdeka

kepada Timor-timur, sehingga provinsi termuda Indonesia itu akhirnya lepas dari NKRI.

Keempat, minimnya ‘jam terbang’ Habibie berpolitik karena ia lebih dikenal sebagai

teknokrat.

Dari hasil SI MPR tersebut, maka disepakati bahwa pelaksanaan pemilu dipercepat

dan akan dilaksanakan pada tahun 1999. Berkaitan dengan itu, disusunlah UU No. 2 tahun

1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, maka

secara otomatis kebijakan penyederhanaan partai politik pada masa Orde Baru tidak berlaku

lagi. Sejak saat itu, Indonesia kemudian kembali ke sistem multipartai sebagaimana yang

pernah dianut sebelumnya.32[32] Sejak saat itu, muncullah partai-partai baru dalam jumlah

yang banyak seperti cendawan di musim hujan. Namun, hanya 48 partai politik yang bersaing

pada pemilihan umum tahun 1999.

Melalui pergulatan politik yang cukup panjang, akhirnya Gus Dur (Abdurrahman

Wahid) terpilih sebagai Presiden RI yang keempat, setelah mengalahkan Megawati

Soekarnoputri dengan perolehan 373 suara, sedangkan Megawati hanya mendapatkan 313

suara melalui mekanisme pemilihan oleh parlemen.33[33]

31

32

33

Page 24: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Kembalinya Indonesia kepada sistem multipartai berpengaruh terhadap hubungan

politik-birokrasi di Indonesia karena partai politik mempunyai posisi tawar yang yang cukup

kuat. Posisi partai politik yang menguat tercermin dalam susunan kabinet yang disusun oleh

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dipilih oleh parlemen hasil multipartai pada

tahun 1999.34[34] Kabinet Gus Dur yang disebutnya dengan Kabinet Persatuan Pembangunan

lebih banyak mengakomodir kepentingan-kepentingan partai-partai politik yang telah

memilihnya, untuk menjaga stabilitas pemerintahannya. Berbagai upaya telah dilakukan Gus

Dur untuk menjaga eksistensi pemerintahnnya dengan melakukan beberapa kali reshuffle

kabinet. Namun, usaha ini tidak berhasil hingga akhirnya kabinet kemudian tidak lagi

mengakomodasi kepentingan partai politik yang telah mendukungnya. Akibatnya, Gus Dur

diimpeachment oleh MPR dan pada tanggal 23 Juli 2001 SI MPR mencabut mandat Gus Dur

sebagai presiden.35[35]

Pada tanggal 23 Juli 2001 Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai presiden dan

sehari sesudahnya Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden.36[36] Namun, jika

dibandingkan dengan Gus Dur Megawati sedikit lebih beruntung karena dapat menjalankan

pemerintahannya hingga akhir masa jabatannya

Satu hal yang perlu dicatat bahwa pola politisasi birokrasi tetap mewarnai

pemerintahan Megawati. Belajar dari pengalaman pendahulunya (Gus Dur), Megawati lebih

berhati-hati dalam menyusun kabinetnya. Politik akomodatif masih tetap dipertahankan guna

menghindari instabilitas kepemimpinannya dengan mengkooptasi kepentingan-kepentingan

partai politik yang ada. Dampaknya adalah sistem politik Indonesia telah mengkolaborasikan

sistem presidensial dan sistem parlementer karena parlemen (politik) telah mengintervensi

presiden dalam menetapkan susunan kabinetnya (birokrasi).

2. Politisasi pada Pemerintahan SBY-JK

Pada tanggal 4 oktober 2006 Pasangan SBY-JK ditetapkan oleh KPU sebagai

presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode 2004-2009 setelah unggul dengan

perolehan 69.266.350 suara (60,62 %) atas pasangan Megawati-Hasyim Muzadi yang hanya

memperoleh 44.990.704 suara (39,38 %).37[37] Setelah dua tahun kepemimpinan SBY-JK

(2004-2006), pola politisasi birokrasi warisan pendahulunya tetap dilestarikannya.

34

35

36

37

Page 25: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Untuk mengidentifikasi politisasi birokrasi pada pemerintahan SBY-JK, maka

menurut penulis ada beberapa pisau analisis (knife of analisis) yang dapat digunakan.

2.1 Analisis Komposisi dan Koalisi di Parlemen serta Isu-isu Kontemporer

Implikasi dari sistem multipartai yang kembali dipakai Indonesia adalah kompleksnya

komposisi partai politik yang mengisi parlemen (DPR). Hal ini berbeda jika dibandingkan

pada masa Orde Baru berkuasa, di mana parlemen pada umumnya diisi oleh Golkar yang

selalu meraih suara mayoritas dalam setiap pemilu yang digelar. Sedangkan pada saat ini,

ketika partai politik kontestan pemilu semakin banyak, sehingga tidak ada suara mayoritas di

DPR karena perolehan suara yang menyebar hampir ke setiap partai. Pada bagian ini akan

dianalisis komposisi anggota parlemen hasil pemilu 2004 dan hubungannnya dengan

politisasi birokrasi.

Tabel 4. Perolehan Kursi Partai Politik DPR Hasil Pemilu 2004

No. Nama Partai Jumlah Suara % Kursi

1 PNI Marhaenisme 906,739 0.80 12 Partai Buruh Sosial Demokrat 634,515 0.56 03 Partai Bulan Bintang 2,965,040 2.62 114 Partai Merdeka 839,705 0.74 05 Partai Persatuan Pembangunan 9,226,444 8.16 586 Partai Pers. Demok. Kebangsaan 1,310,207 1.16 47 Partai Perhimpunan Ind. Baru 669,835 0.59 08 Partai Nas. Banteng Kemerdekaan 1,228,497 1.09 09 Partai Demokrat 8,437,868 7.46 55

10 Partai Keadilan dan Pers. Ind. 1,420,085 1.26 111 Partai Penegak Demokrasi Ind. 844,480 0.75 112 Partai Persatuan Nahdatul Ulama 890,980 0.79 013 Partai Amanat Nasional 7,255,331 6.41 5314 Partai Karya Peduli Bangsa 2,394,651 2.12 215 Partai Kebangkitan Bangsa 12,002,885 10.61 5216 Partai Keadilan Sejahtera 8,149,457 7.20 4517 Partai Bintang Reformasi 2,944,529 2.60 1418 PDI Perjuangan 20,710,006 18.31 10919 Partai Damai Sejahtera 2,424,319 2.14 1320 Partai Golongan Karya 24,461,104 21.62 12821 Partai Patriot Pancasila 1,178,738 1.04 022 Partai Sarikat Indonesia 677,259 0.60 023 Partai Persatuan Daerah 656,473 0.58 024 Partai Pelopor 896,603 0.79 3

Total 113,125,750 100.00 550Sumber: KPU, 2004; CETRO, 2004 (Kumorotomo, 2005B: 16)

Pemilu legislatif yang digelar pada tanggal 5 Juli 2004 diikuti oleh 24 kontestan

paserta pemilu. Namun, dari hasil akhir pemilihan anggota DPR tersebut diketahui tidak ada

partai yang memperoleh suara mayoritas (lihat tabel 4). Akibatnya adalah tidak adanya

Page 26: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

kesatuan suara di DPR sehingga pembentukan koalisi-koalisi di DPR merupakan sesuatu

yang tidak bisa dihindari (rasion de etre). Maka atas prakarsa Akbar Tadjung dibentuklah

koalisi kebangsaan yang terdiri dari gabungan politisi PDI-P, Golkar dan beberapa partai

lainnya yang beroposisi dengan pemerintah dan koalisi kerakyatan yang didukung oleh

gabungan Partai Demokrat, partai-partai Islam dan gabungan anggota DPD.38[38]

Terpolarisasinya parlemen ke dalam dua koalisi ini ikut mempengaruhi pemerintahan

dan kebijakan yang akan diambil oleh presiden (SBY). Dalam menetapkan calon panglima

ABRI saja misalnya keinginan SBY untuk mempertahankan Jenderal Endriartono Soetarto

sebagai panglima ABRI tidak terealisasi karena tidak ‘direstui’ oleh DPR sehingga SBY

berpaling kepada Marsekal Djoko Suyanto. Artinya, politisi di DPR telah melakukan

intervensi terhadap pemerintah dalam menetapkan kebijakan, padahal kebijakan tersebut

merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara.

Di samping itu, polarisasi anggota DPR ke dalam koalisi kebangsaan dan koalisi

kerakyatan berdampak juga terhadap tarik-ulur kebijakan yang dirumuskan oleh DPR. UU

tentang Dewan Penasihat Presiden (DPP) contohnya, telah disyahkan oleh DPR baru-baru ini.

Dengan disayahkannya UU tersebut maka secara otomatis UKP3R (Unit Kerja Presiden

untuk Pengelolaan Program dan Reformasi) yang telah dibentuk oleh presiden dengan

Keppres No. 17 Tahun 2006 dibubarkan dan dilebur ke dalam DPP. Adapun partai yang

paling vokal membahas masalah ini adalah fraksi PDI-P, Fraksi PKB, Fraksi Partai Golkar

dan Fraksi Partai Amanat Nasional yang notabene adalah anggota koalisi kebangsaan.39[39]

Menurut analisis penulis, koalisi kebangsaan di DPR telah berhasil menggagalkan kebijakan

presiden membentuk UKP3R.

2.2 Analisis Komposisi Kabinet Indonesia Bersatu

Setelah resmi menjadi menjadi Presiden RI keenam pemerintahan SBY-JK segera

menyusun kabinetnya. Kabinet yang telah disusun tersebut kemudian dinamai dengan

Kabinet Indonesia Bersatu dan diumumkan kepada publik pada tanggal 20 Oktober 2004.

Akan tetapi, politik akomodatif warisan Gus Dur dan Megawati ketika memerintah tidak bisa

dilepaskan oleh pemerintahan yang baru. Seperti yang diungkapkan oleh Kumorotomo,

melalui pergulatan politik internal diantara aktor-aktor lingkaran dalam pemerintah SBY

mengumumkan susunan kabinetnya. Politik akomodasi SBY tampak sekali dalam daftar

38

39

Page 27: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

nama kabinet tersebut.40[40] Meskipun pemilihan dan pengangkatan para menteri-menterinya

merupakan hak prerogatif presiden yang dijamin oleh konstitusi, akan tetapi SBY tidak bisa

objektif dalam menetapkan susunan kabinetnya. Politik ‘balas budi’ harus dilakukan dengan

mengangkat orang-orang dari partai politik yang telah berkoalisi dengan partainya ketika

pemilu putaran kedua diselenggarakan. Eksesnya adalah “kabinet pelangi”41[41]

merefleksikan wajah Kabinet Indonesia Bersatu. Selajutnya, dampak yang ditimbulkan

sebagai konsekuensi dari terbentuknya kabinet kompromi tersebut yaitu politisasi dalam

banyak aspek pemerintahan.

Dari komposisi kabinet, tampak jelas politik akomodasi yang dilakukan oleh SBY-JK

baik sebelum direshuffle maupun setelah direshuffle. Partai Demokrat yang berhasil

memenangkan pasangan SBY-JK dalam pemilu presiden dua tahun silam hanya mendapat

jatah dua buah kursi di kabinet Indonesia Bersatu. Hal ini dapat dimaklumi karena jatah kursi

di kabinet harus dibagi-bagi lagi kepada partai-partai politik lain yang telah berjasa

memenangkan pasangan SBY-JK melalui koalisi yang telah dilakukan dengan Partai

Demokrat pada pemilu presiden. Di samping itu, Pengaruh partai-partai politik pendukung

SBY-JK cukup kentara dalam formasi kabinet. Tercatat bahwa ada enam orang menteri yang

masuk karena jasanya sebagi tim sukses atau pendukukung Partai Demokrat.42[42]

Selain itu, politik safety search juga berlangsung, jika kita melihat hasil reshuffle

pertama kabinet Indonesia Beratu. Dengan dalih ingin mengoptimalkan kinerja kabinet, SBY

mereshuffle kabinetnya. Namun, ada keganjilan yang kita temukan dari hasil reshuffle

tersebut. Abu rizal Bakrie (menteri perekonomian), Siti Fadilah Supari (menteri kesehatan)

dan yusuf Anwar (menteri keuangan) yang sebelumnya santer diberitakan oleh media massa

sebagai menteri yang akan dipecat karena kinerja mereka yang kurang memuaskan. Aburizal

Bakrie dan Yusuf Anwar dinilai gagal oleh banyak ekonom telah gagal mengangkat laju

pertumbuhan ekonomi Indonesia, sedangkan Siti Fadilah Supari dinilai lamban dalam

menangani masalah flu burung di Indonesia. Namun, Abu Rizal Bakrie dan Siti Fadilah

Supari tetap dipertahankan oleh SBY.

Selanjutnya dari hasil reshuffle perrtama Kabinet Indonesia Bersatu hanya tiga orang

menteri yang benar-benar diberhentikan dari jabatannya. Pertama, Alwi Shihab (menko

kesra), kedua Andung Nitimihardja (menteri perindutrian) dan ketiga Yusuf Anwar (menteri

40

41

42

Page 28: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

keuangan). Namun, khusus untuk Alwi Shihab ia diminta oleh SBY untuk menjadi utusan

khusus presiden untuk Timur Tengah. Sedangkan tiga orang men-

Tabel 5. Komposisi Kabinet Indonesia Bersatu

No. Jabatan Nama Latar belakang

1 Menko Pol. Huk. dan Kea. Widodo A.S Militer (Angkatan Laut)2 Menko Perekonomian Budiono Akdemisi3 Menko Kesra Aburizal Bakrie Pengusaha, Golkar4 Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra PBB5 Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf Militer (AD), Ketua Tim

Sukess SBY-JK6 Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda Diplomat Karir7 Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono Akademisi8 Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin Mantan anggota KPU,

pendukung Golkar dari Makassar

9 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Akademisi10 Menteri Pertamb. dan Energi Purnomo Yusgiantoro Profesional11 Menteri Perindustrian Fahmi Idris Golkar12 Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu Peneliti CSIS13 Menteri Pertanian Anton Apriantono PKS14 Menteri Kehutanan M.S Kaban PBB15 Menteri Perhubungan Hatta Radjasa PAN16 Menteri Kelautan dan Perika. Freddy Numberi Militer dari Papua17 Menteri Ten. Kerja dan Trans. Erman Suparno18 Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto Profesional20 Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo PAN20 Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo PAN21 Menteri Sosial Bachtiar Chamysah PPP22 Menteri Agama M. Maftuh Basyuni Pendukung dari NU23 Menteri Kebud. dan Pariwisata Jero Wacik Partai Demokrat24 Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman Akademisi, ITB25 Menteri Koperasi dan UKM Suryadarma Ali PPP26 Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar Pengusaha, Golkar27 Menteri Pemberd. Perempuan Meutia Farida Hatta Akademisi, Partai Keadilan

dan Persatuan28 Menteri Pendy. Aparatur Neg. Taufiq Effendi Parati Demokrat29 Menteri Negara Pembangunan

Daerah TertinggalSyaifullah yusuf PKB

30 Menteri Perenc. Pemb Nasio. Paskah Suzetta Profesional31 Menteri BUMN Sugiharto PPP32 Menteri Kom. dan Inform. Sofyan Djalil Tim Sukses SBY-JK33 Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault PKS, mantan ketua KNPI34 Menteri Perumahan Rakyat M. Yusuf Ashari PKS35 Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi36 Jaksa Agung Abdurrahman Saleh Profesional

Sumber: Kumorotomo (2005B: 20-21) dengan penyesuaian hasil reshuffle pertama

Page 29: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Tabel 6. Pergeseran Jabatan pada Reshuffle Pertama Kabinet Indonesia Bersatu

No. Jabatan Pejabat Sebelumnya Pejabat Sekarang

1 Menko Perekonomian Abu Rizal Bakrie Budiono2 Menko Kesra Alwi Shihab Abu Rizal Bakrie3 Menteri Keuangan Yusuf Anwar Sri Mulyani Indrawati4 Menteri Perindustrian Andung Nitimihardja Fahmi Idris5 Menakertrans Fahmi Idris Erman Suparno6 Meneg PPN Sri Mulyani Indarawati Paskah Suzetta

teri yang benar-benar diberhentikan dari jabatannya. Pertama, Alwi Shihab (menko kesra),

kedua Andung Nitimihardja (menteri perindutrian) dan ketiga Yusuf Anwar (menteri

keuangan). Namun, khusus untuk Alwi Shihab ia diminta oleh SBY untuk menjadi utusan

khusus presiden untuk Timur Tengah. Sedangkan tiga orang menteri lainnya hanya berpindah

jabatan. Pertama, Abu Rizal Bakrie yang sebelumnya menjabat sebagai menteri

perekonomian dipindahkan ke menteri kesejahteraan rakyat. Kedua, Sri Mulyani Indrawati

dari jabatan menteri negara perencanaan pembangunan nasional ke jabatan menteri keuangan.

ketiga, Fahmi Idris dari jabatan menteri tenaga kerja dan transmigrasi menjadi menteri

perindustrian. Sementara itu, muka-muka baru yang dipasang SBY hanya tiga orang yaitu

Budiono (menteri perekonomian), Erman suparno (menakertrans) dan Paskah Suzetta

(menteri perencanaan pembangunan nasional).

Dari hasil reshuffle kabinet Indonesia beratu dapat diketahui bahwa: (1) SBY sangat

berhati-hati sekali dalam meyusun kembali kabinetnya, agar tetap dapat mengakomodir

kepentingan-kepentingan partai politik pendukungnya sehingga pemerintahan tetap berjalan

dengan stabil, (2) Ia tidak mau terlalu radikal dalam mereshuffle kabinetnya, (3) SBY sangat

menjaga eksitensi pemerintahannya dengan hanya mengganti tiga orang menteri saja, (4)

SBY tidak mau hubungan baiknya dengan partai politik pendukungnya menjadi rusak hanya

karena reshuffle kabinet karena dapat membahayakan posisinya.

2.3 Analisis Hubungan Golkar, Jusuf Kalla dan Pemerintah

Pada pemilu legislatif tahun 2004 silam tampilnya Golkar sebagai pemenang dengan

perolehan 21% suara merupakan sebuah kejutan besar. Partai yang ingin dibubarkan oleh

kalangan reformis pada masa transisi ini, ternyata menemukan kembali jati dirinya pada

pemilu legislatif 2004. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Kumorotomo,

bahwa pemilu legislatif menunjukkan kembalinya kekuatan partai Golkar yang pernah

berjaya pada Orde Baru dengan perolehan suara sebesar (21,6%), diikuti oleh PDI-P dengan

Page 30: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

perolehan (18,3%) suara, PKB (10,6%), PPP (8,2%), Partai Demokrat (7,5%), PAN (6,4%)

dan partai-partai lainnya.43[43] Selanjutnya, menurut Kumorotomo, ada dua kemungkinan

yang meyebakan kembalinya Golkar sebagai partai yang merupakan mesin politik orde Baru.

Pertama, banyak masyarakat di tingkat bawah yang merindukan kembalinya stabilitas dan

taraf hidup yang relatif lebih baik seperti pada masa Orde Baru. Kedua, Kemenangan Golkar

menunjukkan bahwa mesin partai politik ini di daerah masih sangat kuat dan menentukan.44

[44]

Kembalinya Partai Golkar sebagi patai pemenang pemilu mengharuskannya mencari

seorang sosok pemimpin yang dekat dengan pemerintah yang bisa membimbing partai ini

kembali ke masa-masa kejayannya seperi dulu. Dalam Musyawarah Nasional (Munas)

Golkar yang diselenggarakan pada pertengahan Desember 2004, Memilih Jusuf Kalla sebagai

ketua umum partai itu menggantikan Akbar Tandjung.45[45] Terpilihnya Jusuf Kalla sebagai

ketua umum Golkar merupakan sebuah siasat politik yang dimainkan oleh Golkar sebagai

batu loncatan, karena Jusuf kalla saat ini menjabat sebagai wakil presiden. Golkar

membutuhkan seorang pemimpin yang dekat dengan pemerintah untuk mendukung

konsistensi partainya dan terpilihnya jusuf Kalla merupakan pilihan yang tepat. Terpilihnya

Jusuf Kalla telah menyeret haluan politik Golkar sebagai partai politik pendukung pemerintah

(government supporter). Tidak ada pilihan lain kecuali mendekat kepada orang-orang yang

sedang berkuasa. Namun, setelah dua tahun kepemimpinan SBY-JK mulai muncul riak-riak

kecil memgiringi pemerintahannya. Dalam Rapat Pimmpian Nasional (rapimnas) Golkar

yang diselenggarakan pada tanggal 13-16 November 2006, daerah mengangkat wacana

reshuffle kabinet yang kedua. Bahkan, beberapa Dewan Pimpinan Daerah (DPD) berniat

menarik dukungannya terhadap pemerintahan SBY karena kekecewaan beberapa DPD di

daerah karena SBY tidak mengikutsertakan Jusuf Kalla dalam membentuk Unit kerja

Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R).46[46] Akan tetapi,

permasalahan ini dapat segera diatasi dengan dikeluarnya hasil rapimnas pada tanggal 16

November 2006 bahwa Partai Golkar tetap menyatakan diri sebagai partai politik pendukung

pemerintah

43

44

45

46

Page 31: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Gerak politik Golkar yang selalu ingin mendekat dengan para penguasa ini menarik

untuk dicermati. Ternyata, Golkar masih melestarikan budaya politik (politcal culture)

mereka selama Orde Baru dulu. Sikap selalu beriringan dan saling mendukung dapat dilihat

dari pola politik Golkar saat ini.

Penutup

Secara umum dapat disimpulkan bahwa politisasi birokrasi di Indonesia telah

berlangsung sejak lama, hingga saat ini. Dimulai dari periode prakolonial (kerajaan), kolonial

(penjajahan) dan pascakolonial. Politisasi birokrasi pada masa kerajaan mengambil bentuk

dari lemahnya posisi tawar birokrasi terhadap raja, karena dominannya kekuasaan raja.

Akibatnya, birokrasi lebih berorientasi kepada kepentingan raja dan keluarga raja,

dibandingkan melayani rakyat. Pada periode kolonial, kuatnya dominasi penjajah Belanda

telah berimplikasi menyebabkan terjadinya politisasi birokrasi. Belanda memiliki otoritas

penuh untuk memilih pejabat-pejabat pribumi (birokrat) dari kalangan priyayi untuk

menerapkan kebijakannya kepada rakyat. Rakyat semakin menderita karena birokrasi publik

sebagai aktor pelayanan publik (public service actor) lebih mengabdi kepada kepentingan-

kepentingan Belanda ketimbang melayani rakryat.

Sedangkan, pada masa Orde Lama gerakan revolusi yang dirancang oleh Soekarno

membuat birokrasi ikut terseret dalam permainan politik pemerintah, sehingga birokrasi

menjadi tidak bebas nilai (unvalue free). Selanjutnya, Pada masa Orde Baru dominannya

kekuasaan presiden yang ditopang oleh kekuatan militer dan birokrasi mengharuskan

birokrasi bersikap loyal terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Monoloyalitas yang telah

diterapkan, memaksa birokrasi untuk memainkan peranan politiknya secara intens. Pada era

Reformasi, dengan diterapkannya sistem multipartai di Indonesia berdampak pada kuatnya

posisi tawar partai politik di parlemen. Sehingga Gus Dur, Megawati dan SBY di dalam

kabinetnya harus mengakomodasi kepentingan-kepentingan partai-partai politik yang telah

memilih dan mendukungnya. Penentuan susunan kabinet yang merupakan hak prerogatif

presiden tidak dapat terwujud secara nyata karena SBY harus mengakomodasi pihak-pihak

yang telah mendukungnya untuk menjamin stabilitas pemerintahannya.

Tipe Birokrasi dan Reformasi Administrasi Negara di Indonesia

Birokrasi merupakann sebuah entitas pada sebuah negara. Secara etimologi, birokrasi

merupakan berasal dari kata biro yang berarti meja dan kratein yang berarti pemerintah. Jika

Page 32: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

disintesakan, maka birokrasi memiliki pengertian sebuah pemerintahan yang dijalankan dari

balik meja. Artinyaa adalah dalam birokrasi semua dikendalikan oleh orang-orang yang

bekerja di meja masing-masing. Menurut Michael G. Roskin, pengertian birokrasi adalah

"setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, di mana

fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang telah

diambil oleh para pembuat keputusan (decision makers). Birokrsi juga memiliki beberapa

tipe. Berikut merupakan tipe-tipe birokrasi yang dilihat dari berbagai perspektif:

1.      Perspektif Sumber Otoritas

a.    Birokrasi Tradisional

b.    Birokrasi Karismatik

c.    Birokrasi Legal-Rasional

2.      Perspektif Derajat keterbukaan

Derajat keterbukaan birokrasi dapat dilihat dari aksesibilitas masyarakat untuk

berhubungan dengan birokrasi, luasnya pelaksanaan recruitment, kebebasan kelompok lain

untuk memasuki jajaran eselon birokrasi untuk mendistribusikan kekuasaanya pada

kelompok lain. Klasifikasi ini sangatlah relevan dengan reformasi administrasi. Hal ini

berkaitan erat dengan tingkat keseringan birokrasi melakukan kontak dan transaksi dengan

masyarakat luas, sehingga akan tampak derajat kepekaan birokrasi terhadap perubahan yang

terjadi yang mana umumnya terjadi di kebanyakan negara yang sedang berkembang.

Perspektif Derajat keterbukaan (menurut Hahn Been Lee), dibagi menjadi :

a.    Birokrasi Terbuka

Ditandai dengan adanya pola recruitment yang relatif fleksibel atau bahkan tidak ada

pola recruitment sama sekali. Semua orang tanpa terkecuali, dipandang dapat memenuhi

syarat untuk menjadi anggota birokrasi. Kualifikasi untuk menduduki suatu jabatan birokrasi

seperti tingkat pendidikan, tidaklah dituntutdengan ketat. Antara pemerintah dan perusahaan

industri sering dilakukan saling tukar dan kontak.

Parpol pada birokrasi ini sangatlah berkuasa dan pengaruhnya bersifat langsung

terhadap birokrasi. Berlakunya sistem spoil pada semua birokrasi. Birokrasi menjadi semakin

terpolitisasi karena sering terjadi pengaruh dan intervensi dari legislatif dan partai terhadap

birokrasi. Pamong praja dalam hal ini hanya sekedar kelompok elite dalam masyarakat,

sedangkan kelompok swasta sangat kuat, baik dalam bidang bisnis maupun bidang

pendidikan. Mudahnya keluar masuk dalam birokrasi , karena pintu masuk dan keluar dari

jajaran birokrasi terbuka lebar.

Page 33: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Contoh dari birokrasi ini (menurut Siagian;1967) yaitu : Indonesia dibawah pimpinan

Soekarno dan Filipina di bawah pimpinan Raymond Magsaysay.

b.    Birokrasi Tertutup

Ditandai dengan adanya ciri yang sangat elitis dikalangan birokrasi dan menjadi kelas

yang memiliki hak privelese tertentu. Untuk bisa menjadi anggota birokrasi harus melalui

ujian pamong praja yang dikaitkan dengan lamanya kuliah di perguruan tinggi. Sekali

seseorang menjadi pamong praja, maka pelayanan terhadap birokrat akan dijamin terus tanpa

harus melakukan kegiatan dengan masyarakat luas. Terjadi rotasi antar bagian namun tidak

diikuti dengan pemberian fasilitas. Kesetiaannya hanya pada pekerjaanya. Moral mereka

tinggi namun orientasinya sempit. Keunggulan pun diutamakan pada fase pertama masuk

jajaran birokrasi, tapi fase berikutnya aturan senioritaslah yang diutamakan dan diberlakukan.

Para anggota birokrasi sering curiga pada kelompok lain seperti perguruan tinggi, pers,

militer, usahawan, dll. Jadi jika terdapat perubahan sosial yang mengakibatkan kelompok lain

berkuasa birokrasi akan menentangnya dan menghalanginya dalam melakukan kegiatan

politik. Sehingga kelompok lain tidak bisa maju dan menentang birokrasi.

Contoh birokrasi ini banyak dijumpai di negara-negara bekas jajahan inggris, atau

menganut paham inggris. Misal klasiknya India dan Pakistan.

c.    Birokrasi Campuran

Tipe birokrasi ini merupakan hasil kontak yang sangat terbatas antara birokrasi

dengan masyarakat. Hal ini berawal dengan masuknya individu ke dalam jajaran birokrasi

pemerintahan guna mengurangi kelemahan birokrasi, seperti kekurangmampuan birokrasi

(lama) untuk membuat perencanaan, statistik, industrialisasi,dll. Posisi tersebut diharuskan

untuk diisi dan ditempati oleh orang-orang yang ahli dalam birokrasi, yang memungkinkan

proses recruitment agak bersifat fleksibel, yang sebenarnya tidak terjadi pada birokrasi

tertutup. Hal ini pun bersifat parsial, dan secara subtantif tidaklah mengubah corak dan warna

birokrasi secara keseluruhan.

Perubahan besar-besaran dalam birokrasi hanya akan terjadi jika terdapat perubahan

sosial politik yang mendasar seperti perang, revolusi, coup d’etat. Dan sebagai akibatnya

birokrasi pun mengalami perkembangan dalam bentuk menerima masukan besar-besaran dari

kelompok sosial lain, misal dari golongan intelektual mahasiswa dan militer sebagai motor

penggeraknya. Birokrasi ini pun sering terdapat pada negara yang sedang berkembang yang

berbentuk aliansi sipil dan militer.

Pada birokrasi ini perlu dilakukan perbaikan yang mendasar terhadap prosedur dan

tata cara recruitment dan promosi yang disesuaikan dengan tuntutan baru, meskipun hal

Page 34: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

tersebut mempunyai kecenderungan menghantam tatanan birokrasi yang relatif sudah mapan,

lama kelamaan akan menjadi harmonis. Contoh birokrasi ini (menurut Bent;1969) Korea,

Thailand, dan Turki pada masa tahun 1970-an.

Tipe Birokrasi di Indonesia

Bisa dikatakan tipe birokrasi di Indonesia agak aneh. Disatu sisi seperti tipe birokrasi

terbuka dan di sisi lain seperti birokrasi tertutup. Birokrasi Indonesia bertipe terbuka pada

jabatan-jabatan puncak atau pimpinan-pimpinan dari birokrasi tersebut. Untuk menjadi

pimpinan dalam sebuah birokrasi di Indonesia, proses recruitment cukup fleksibel karena

semua orang bisa mendapatkannya karena tidak perlu kualifikasi pendidikan yang tinggi atau

melalui serangkaian test yang rumit. Satu-satunya kualifikasi yang wajib dimiliki adalah

kemampuan berpolitik yang cakap. Contoh adalah Presiden maupun Menteri-Menteri.

Sementara itu, birokrasi Indonesia bertipe tertutup pada jabatan-jabatan yang bukan

termasuk pimpinan atau pegawai biasa. Mereka yang ingin menduduki posisi ini haruslah

memiliki kualifikasi pendidikan yaang tinggi dan melakukan serangkaian test untuk bisa

masuk ke dalam birokrasi tersebut. Contoh yang paling sederhana adalah tes PNS.

Akan tetapi jika melihat penjelasan tipe-tipe birokrasi yang ada di atas, maka dengan

pertimbangan-pertimbangan yang sudah dijelaskan kami mengambil sebuah kesimpulan

bahwa Birokrasi di Indonesia bertipe campuran walaupun tidak sepenuhnya sama dengan

penjelasan mengenai tipe biorkrasi campurang yang telah dijelaskan di atas.

Tipe Birokrasi dalam Reformasi Administrasi

Reformasi pada dasarnya merupakan suatu gerakan yang menjadikan administrasi

sebagai instrumen yang lebih baik dalam mencapai tujuan umum masyarakat.

Konsekuensinya tersedia beragam alternatif pilihan alat (instrumen) untuk mencapai tujuan

tersebut. Pada negara yang sedang berkembang kebanyakan pilihan terhadap tujuan

mengikuti pilihan terhadap alat yang dipakai, serta apa yang perlu disempurnakan lebih

penting dari bagaimana cara menyempurnakannya. Perbaikan pendekatan dalam hal ini

sangat penting dalam permulaan kegiatan reformasi administrasi. Reformasi administrasi

dalam suatu birokrasi dengan tipe yang berbeda-beda maka reformasi administrasinya pun

juga berbeda, antara lain :

Page 35: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

1.      Reformasi administrasi dalam birokrasi tertutup

Struktur birokrasi tertutup dalam masyarakat sedang berkembang perlu dibuka agar

tuntutan perubahan sebagai akibat logis dari perkembangan ilmiah dapat terpenuhi. Salah satu

instrumen yang cocok yaitu penciptaan program baru atau penciptaan organisasi baru.

Walaupun program ini dari luar tampak menopang reformasi namun realitasnya menunjukkan

sebaliknya. Jika birokrasi tertutup ini diciutkan dengan reformasi administrasi, terdapat

kecenderungan terjadi hilangnya fleksibilitas, sehingga birokrasi akan bertambah tertutup dan

kaku.

Reformasi yang benar di negara sedang berkembang yakni yang bersifat programatik.

Jadi jika pemerintah melansir suatu program substantif seperti program pertanian, ekonomi,

politik, pendidikan, pembangunan masyarakat desa, dll.memobilisasikan sebagian sumber

daya insani dan keuangan serta melenturkan struktur dan prosedur organisasi untuk

melaksanakan program tersebut, baru kegiatan ini dapat disebut dengan reformasi

administrasi. Dalam kegiatan ini para administrator, teknisi, serta golongan birokrat

profesional dilibatkan untuk menyukseskan program ini.

Contohnya ketika india menjadi negara birokrasi tertutup, pembentukan korporasi

publik menyebabkan india bergeser ke arah birokrasi campuran. Contoh klasik yaitu

pengalaman Brazilia dengan Administrative Department of The Public Service (DASP) yang

pada tahun 1940-an mengintroduksi adanya reformasi manajemen dan personalia yang

dilakukan dengan kontrol yang sangat ketat. Kegfiatan ini dilakukan setelah mendapat

rekomendasi dari Brownlow Committee Report dari Amerika Serikat.

2.      Reformasi administrasi dalam birokrasi terbuka

Birokrasi terbuka di negara sedang berkembang secara terus-menerus memerlukan

infusi keteraturan. Selain itu juga diperlukan pengawasan dan penjagaan itu juga diperlukan

pengawasan dan penjagaan. Pada tahap awal kegiatan prosedur dan struktur organisasi

haruslah sederhana, karena jika tidak akan menjadi penghalang bagi reformasi berikutnya.

3.      Reformasi administrasi dalam birokrasi campuran

Pada birokrasi sedang berkembang kebanyakan sifat ketertutupannya berangsur-anggsur

berubah ke terbuka dan masuk taraf birokrasi campuran. Birokrasi ini dituntut untuk terus

membuka diri sembari meningkatkan efisiennya. Maka dari itu reformasi yang dibutuhkan

Page 36: Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah

adalah reformasi yang sifatnya programatik dan teknis. Birokrasi campuran punya

kecenderungan untuk kembali ke bentuknya semula yaitu birokrasi tertutup. Karena itu pada

birokrasi ini perlu dijaga dan diwaspadai agar tidak kembali ke bentuknya semula, jika ini

terjadi akan meningkatkan derajat kekakuannya dan menurunkan adaptabilitas dan daya

tanggapnya.

Reformasi Administrasi di Indonesia

            Sesuai dengan tipe birokrasinya, dalam melakukan reformasi administrasi juga

sesperti reformasi administrasi yang telah dijelaskan di atas, yaitu reformasi administrasi

pada birokrasi bertipe campuran. Seperti pada penjelasan di atas mengenai reformasi

administrasi dalam birokrasi campuran, maka di Indonesiapun juga harus dilakukan langkah-

langkah tersebut. Meningkatkan efisiensi kerja birokrasi merupakan kebutuhan yang utama

dalam birokrasi di Indonesia. Adanya birokrasi yang terbelit-belit dan terkesan eksklusif

harus sedikit dirubah menjadi lebih sederhana dan mampu berinteraksi dengan masyarakat

luas. Selain itu, yang juga perlu direformasi adalah mind-set dan culture-set dari birokrat-

birokratnya.

            Pertama, penigkatan kinerja harus berbanding lurus dengan peningkatan imbalan.

Kedua, memperbaiki budaya kerja agar berorientasi pada pelayanan publik. Ketiga,

melakukan internalisasi dan konsistensi pada proses penataan dan penjalanan pemerintahan

yang baik. Dan yang menjadi pusat perhatian kami disini adalah birokrasi boleh bekerja atau

dijalankan seperti swasta yang mengutamakan profesionalisme, akan tetapi orientasi dan

prinsip utama yang harus dipahami dan dilakukan yaitu birokrasi merupakan pelayan publik

yang harus melayani publik bukan profit oriented.