HPII Firdauz

download HPII Firdauz

If you can't read please download the document

description

Hukum perdata islam indonesia

Transcript of HPII Firdauz

Perkawinan Wanita Hamil dan Perkawinan Beda Agama MAKALAHDisusun Guna Memenuhi TugasMata Kuliah: Hukum Perdata Islam Indonesia IDosen Pengampu: Dr. H. Ali Imron, M.Ag.

OlehMochamad Firdaos122111137Muhammad Rifqi Ihsani122111138Zumrotus Saadah122111134

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAMINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGOSEMARANG2013

BAB IPendahuluan

Latar BelakangPerkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubumg anatara seorang pria dengan wanita dalam membentuk suatu keluarga yang sakinah , mawaddah dan warrahmah.

Di dalam perkawinan mempunyai tujuan untuk mencegah perzinaan agar tercipta ketenangan dan ketentraman bagi yang bersangkutan , keluarga dan masyarakat tujuan yang lebih utama adalah menjaga ras manusia dari keturunan yang rusak, sebab dengan perkawinan akan jelas nasabnya. Perkawinan beda agama dan perkawinan wanita hamil adalah salah satu permasalahan klasik yang hingga saat ini masih sering dibicarakan oleh umat Islam. Bahkan banyak terjadi perbedaan pendapat diantara kalangan ulama tentang hukumnya. Didalam makalah ini, kami akan sedikit membahas permasalahan tentang perkawinan beda agama dan perkawinan wanita hamil.Rumusan MasalahApa definisi perkawinan wanita hamil ?Bagaimana pendapat para ulama tentang perkawinan wanita hamil ?Bagaimana perkawinan wanita hamil di dalam hukum islam di Indonesia dan akibat hukumnya ?Bagaimana hukumnya perkawinan beda agama ?Bagaimana perkawinan beda agama di dalam hukum islam di Indonesia serta akibat hukumnya ?

BAB IIPembahasanDefinisi perkawinan wanita hamilPerkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi baik oleh pria yang menghamilinya maupun pria yang bukan menghamilinya. Zinuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2007), Cet 2, hal.45 Oleh karena itu kawin dengan perempuan hamil memerlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana terutama pegawai pencatat nikah. Hal ini disebabkan semakin kurangnya kesadaran masyarakat muslim terlebih mereka yang masih remaja terhadap kaidah-kaidah moral, agama dan etika. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. 2 Hal. 164

Pendapat para ulama tentang hukum perkawinan wanita hamilHukum kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut.

Ulama madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya tetap sah dan boleh bercampur sebagai suami istri. Dengan ketentuan, bila si pria yang menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.Ibnu Hazm (Zahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur dengan ketentuan, bila mereka telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berbuat zina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah diterapkan oleh para shahabat, antara lain:

Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina, beliau berkata: boleh mengawinkannya, asal keduanya telah bertaubat dan telah memperbaiki sifat-sifatnya.Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada khalifah Abu Bakar dan berkata: Ya Amirul mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan keduaanya dikawinkan. Ketika itu Khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya. M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. 1 Hal, 96-97

Selanjutnya, problematika mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat diantara kalangan ulama:Imam Abu yusuf mengatakan keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid). Ibid. Hal 97 Pendapat beliau berdasarkan firman Allah SWT QS. An-Nur: 3

Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukminAyat Al-Quran di atas menunjukkan bahwa kebolehan perempuan hamil kawin dengan laki-laki yang menghamilinya merupakan pengecualian. Oleh karena itu, laki-laki yang menhamili itulah yang tepat menjadi suaminya. Selain itu pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukkan keharaman wanita yang hamil dimaksud menjadi syarat larangan terhadap laki-laki yang baik untuk mengawininya. Persyaratan tersebut diperkuat lagi dengan kalimat penutup pada ayat Al-Quran dalam surat Al-Baqarah: 221 (Wahurrima dzalika ala almuminin) bahwa selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil diharamkan oleh Allah untuk meikahinya. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2007) cet.2 hal 46Ibnu Qadamah sependapat dengan dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan syarat:Wanita itu telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawinWanita itu telah menjalani hukuman dera (cambuk), baik ia hamil maupun tidak.

Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir. Pendapat ini berdasarkan hadits: Janganlah engkau campuri wanita yang hami, sehingga lahir (kandungannya).Imam Abu Hanifah dan imam Syafii berpendapat bahwa perkawinan itu tetap sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa iddah). Wanita itu juga boleh dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandungnya itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak luar nikah).M. Ali Hasan. Op. Cit, Hal. 98-99

Perkawinan wanita hamil dalam Hukum Islam di Indonesia serta akibat hukumnyaProblematika perkawinan dengan wanita hamil di Indonesia diatur di dalam kompilasi hukum islam yaitu dalam pasal 53, sebagaiman diungkapkan dibawah ini: Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2007) cet.2 hal.45

Sementara itu kejelasan status anak yang lahir akibat pernikahan dikarenakan wanita yang melahirkannya telah hamil terlebih dahulu, maka status anak tersebut menurut pandangan Ulama fiqh, yaitu: Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan keatas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah.Bayi tersebut termasuk anak zina, Karena anak itu adalah anak di luar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya karena hasil dari sperma dan ovum dari bapak dan ibunya.Menurut Imam Syafii: Kalau kandungan itu terlahir setelah 6 bulan waktu dari waktu nikah, maka sang ayah (siapa saja yang menikah dengan ibu hamil tadi) bisa menjadi wali nikah. Kalau kandungan itu terlahir kurang dari 6 bulan setelah umur pernikahan maka walinya adalah wali hakim. Ini didasarkan usia minimal bayi dalam kandungan adalah enam bulan, jadi selama enam bulan itu ada kemungkinan janin yang ada dalam kandungan ibu adalah janin dari orang yang menikahinya.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam selama status perkawinan yang telah dilakukan memang sah, baik dilakukan saat hamil atau setelah melahirkan. Maka status anaknya adalah sah. Dan hal ini membawa implikasi bahwa anak yang pada hakikatnya anak zina, serta formal dianggap menjadi anak yang sah. .Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. 2 Hal. 226

Hukum Perkawinan Beda AgamaAllah memperbolehkan seorang muslim mengawini perempuan ahli kitab yaitu wanita Yahudi dan Nasrani dengan tetap memeluk agama masing-masing, yang tercantum di dalam Al-Quran QS.Al-maidah ayat 5 :

Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang yang baik-baik . Makanan (sembelihan) orang-orang yang di beri Al-kitab itu halal bagimu dan makananmu halal pula bagi mereka. ( Dan di halalkan mengawini) dengan wanita-wanita yang menjaga kehormatan mereka dari kalangan orang-orang yang di beri Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya dan tidak menjadikannya sebagai gundik. Alhamdani ,Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam ( Jakarta: pustaka amani 1989) cet 3 hal 44Terhadap ayat tersebut al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut Imam Syafii, kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya Al-Quran. Namun setelah diturunkannya Al-Quran dan mereka tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, tidak termasuk ahli kita. Sementara menurut tiga madzhab lainnya Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama ahli kitab tersebut telah dinaskh.. Drs. Ahmad Rofiq, M.A, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. 2 Hal. 344-345 Kebanyakan para ulama mutaqaddimin dan ulama-ulama ahli hadist menghalalkan perkawinan semacam ini, mereka beralasan bahwa ayat di atas membantah pendapat yang melarang nikah dengan wanita kitabiyah. Kebanyakan para ulama menganggapnya makruh tanzih bukan makruh tahrim, maksudnya bahwa seorang muslim sebaiknya kawin dengan wanita muslimah, berarti berlawanan dengan yang lebih utama, tetapi perbuatanya tidak berdosa .AlhamdanI, Op. Cit.. hal. 44-45H. Moh. Daud Ali berpendapat bahwa dalam surah Al-Maidah ayat 5 tersebut Allah memberi dispensasi berupa hak kepada pria muslim untuk menikahi wanita Ahli kitab, yakni wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Hak atau kewenangan terbuka itu dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan oleh pria muslim tergantung pada situasi, kondisi dan keadaan dirinya.Selanjutnya ia menegaskan bahwa dispensasi itu hanya berlaku kepada pria muslim, tidak kepada wanita muslim. Pendapat inilah yang berkembang di Negara-negara Arab misalnya Syiria, Aljazair, Libanon, Yaman Utara, Yordania, Irak dan sebagainya. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2007) cet.2 hal 99-100

Hukum Islam di Indonesia tentang Perkawinan Beda Agama Kompilasi Hukum Islam mengungkapkan larangan terhadap orang muslim mengawini orang yang tidak beragama Islam, diatur dalam pasal 40 dan 44.

Pasal 40 KHIDilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:Karena wanita yang bersangkutan masih terikats satu perkawinan dengan pria lain.Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.Seorang wanita yang tidak beragama Islam.Pasal 44 KHISeorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 dan 44 KHI tersebut, secara rinci mengatur larangan perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda sehingga dapat dipahami bahwa bila terjadi perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda berarti perkawinannya tidak sah. Perkawinan yang tidak sah akibat hukumnya bila melahirkan anak berarti anak yang tidak sah.. Ibid. Hal 98 Apabila diperhatikan ketentuan hukum dalam pasal 40 dan 44 KHI, pasal tersebut mengambil pendapat Imam Syafii yang melihat keberadaan kitab mereka Taurat dan Injil dinaskh oleh Al-Quran. Sehingga perkawinan antar pemeluk agama Islam dan selain Islam tidak diperbolehkan, juga dibangun atas dasar kajian empiris, bahwa realitasnya perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, lebih banyak menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal prinsipal yang berbeda. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. 2 Hal. 345Pertimbangan lain yang ditempuh dalam kompilasi hukum Islam juga mengambil pendapat para ulama Indonesia, termasuk di dalamnya Majelis Ulama Indonesia yang tidak memperbolehkan perkawinan antar pemeluk agama. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 221 menyatakan. Artinya: dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.Tidak diketahui secara tegas apakah kompilasi hukum Islam mengacu pada ayat di atas , yang mempertanyakan masihkah originalitas wanita kitabiyah seperti yang dimaksud Taurat dan Injil. Sulit untuk mengatakan sudah tidak ada wanita kitabiyah pada zaman sekarang dengan melihat realita saat ini Ibid, Hal. 346

BAB IIIPenutupKesimpulanPerkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi baik oleh pria yang menghamilinya maupun pria yang bukan menghamilinya.

Pendapat para ulama mengenai perkawinan wanita hamil terjadi banyak perbedaan, problematika yang pertama apabila yang menikahi wanita tersebut adalah pria yang menghamilinya maka perkawinan tersebut sah dan boleh bercampur, ada pula ulama yang mengesahkan perkawinan tersebut dan membolehkan bercampur akan tetapi setelah ke-dua pihak tersebut telah bertaubat dan dihukum (dera). Problematika yang kedua apabila yang menikahi wanita tersebut bukanlah pria yang menghamilinya para ulama juga berbeda pendapat ada yang berpendapat tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah SWT, QS. An-Nur: 3. Ada juga yang mengatakan bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir. Pendapat ini berdasarkan hadits: Janganlah engkau campuri wanita yang hami, sehingga lahir (kandungannya). Sedangkan Imam Abu Hanifah dan imam Syafii berpendapat bahwa perkawinan itu tetap sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa iddah). Wanita itu juga boleh dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandungnya itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak luar nikah.Problematika perkawinan dengan wanita hamil di Indonesia diatur di dalam kompilasi hukum islam yaitu dalam pasal 53Menurut Kompilasi Hukum Islam selama status perkawinan yang telah dilakukan memang sah, baik dilakukan saat hamil atau setelah melahirkan. Maka status anaknya adalah sah. Dan hal ini membawa implikasi bahwa anak yang pada hakikatnya anak zina, serta formal dianggap menjadi anak yang sah.Hukum perkawinan dengan wanita beda agama dalam Islam di perbolehkan dengan syarat bahwa wanita yang yang kawini tersebut adalah wanita kitabbiyah yang masih memegang teguh pada pada kitabnya (Taurat dan Injil) hal ini sesuai dengan firman Allah QS. Al-Maidah: 5Kompilasi Hukum Islam mengungkapkan larangan terhadap orang muslim mengawini orang yang tidak beragama Islam, yang diatur dalam pasal 40 dan 44.Ketentuan hukum dalam pasal 40 dan 44 KHI yang tidak memperbolehkan orang Islam kawin dengan orang yang tidak beragama Islam, pasal tersebut mengambil pendapat Imam Syafii yang melihat keberadaan kitab mereka Taurat dan Injil dinaskh oleh Al-Quran. Sehingga perkawinan antar pemeluk agama Islam dan selain Islam tidak diperbolehkan, juga dibangun atas dasar kajian empiris, bahwa realitasnya perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, lebih banyak menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal prinsipal yang berbeda.

PenutupSyukur Alhamdulillah dengan rahmat dan hidayah Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari dalam penulisan dan pembahasan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun isinya. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin . . . . . . . .

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zinuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani 1989.Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.