Hobibaca.com - Jilid 02 - Pedang Hati Suci - Chin Yung

download Hobibaca.com - Jilid 02 - Pedang Hati Suci - Chin Yung

of 10

description

buku cerita

Transcript of Hobibaca.com - Jilid 02 - Pedang Hati Suci - Chin Yung

  • HobiBaca.Com Menu

    HomeElectronic QuranBuku TamuDownload

    Info Admin

    Fasilitas Komentar

    2006-12-07, 11:48:32Khusus untuk Artikel, kita sudah menambahkan fasilitas untuk kirim komentar. Semoga dengan ini akan ada feedback buat kami dan juga menambah informasi lainnya bagi para pembaca. Terima Kasih

    Lainnya ...

    Partner

    Pengunjung

    Online : 9 UsersHari ini : 63 Users

    29286

    Sejak tanggal :25 September 2006

    Isi

    Cerita Silat Cina > Chin Yung > Pedang Hati Suci >

    Karya : Chin YungPenerjemah : -Pengirim : AdminTanggal : 2006-10-10, 12:36:44

    Pedang Hati Suci

    Jilid 02

    Serang-menjerang kedua orang dilakukan tjepat lawan tjepat, maka dalam sekedjap sadja sudah berlangsung belasan djurus.

    Sedjak ketjil Tik Hun mendapat didikan Djik Tiang-hoat, setiap hari selalu berlatih dengan sang Sumoay, jaitu Djik Hong, maka pengalamannja dalam hal bertempur sudah banjak baginja. Karena itu, meski Lu Thong adalah seorang tokoh kalangan bandit jang lihay, untuk sesaat djuga takbisa mengalahkan pemuda itu.

    Beberapa kali Lu Thong mengeluarkan Tiat-pi-kang untuk memukul, namun selalu dapat dihindarkan Tik Hun dengan gesit, dua kali pundak pemuda itu kena digebuk olehnja, namun dasar kekar kuat dan keras tulang Tik Hun, maka dianggap sepi sadja hantaman2 itu.

    Setelah beberapa djurus pula, Lu Thong mendjadi gopoh, ia pikir djauh2 dirinja

  • datang kemari hendak membalas sakit hati, tapi seorang muda kerotjo pihak lawan sadja tak mampu merobohkannja, kalau kedjadian ini tersiar, kemana mukanja harus disembunjikan? Segera Lu Thong ganti ilmu pukulannja, tiba2 ia tjampurkan Kau-kun dan lain2 gaja pukulan kedalam Liok-hap-kun kebanggaannja itu. Ia mentjakar, meraup, meraih, menarik dan menendang; lalu ditambah lagi dengan gaja kutjing andjlok, andjing lari, kelintji mentjolot, elang mabur, kuda mendepak dan gaja lain2nja jang serba aneh dan lutju perubahannja.

    Karuan Tik Hun bingung karena tidak pernah menjaksikan permainan silat aneh itu, ber-ulang2 ia kena didepak dua kali dipahanja.

    Melihat pemuda itu sudah pasti bukan tandingan musuh, kembali Ban Tjin-san membentak lagi: "Mundurlah Tik-hiantit, engkau tak dapat menangkan dia!"

    Namun watak Tik Hun sangat bandel, teriaknja: "Tak bisa menang djuga mesti lawan dia!"

    Tapi "blang", kembali dadanja kena digendjot sekali lagi.

    Menjaksikan sang Suko berulang kali dihadjar musuh, Djik Hong mendjadi ikut kuatir, segera iapun berseru: "Suko, berhentilah kau, biar Ban-supek jang bereskan keparat itu!"

    Akan tetapi Tik Hun masih terus menjeruduk madju dengan mati2an sambil mem-bentak2: "Aku tidak takut, aku tidak takut!"

    "Tjrot", batang hidung Tik Hun tepat kena ditojor musuh, karuan sadja terus keluar ketjapnja.

    Ban Tjin-san mengkerut kening melihat kebandelan pemuda itu, katanja kepada Djik Tiang-hoat: "Sute, dia tidak mau menurut perintahku, harap engkau suruh dia mundur."

    "Biar, dia tahu rasa dulu, sebentar aku jang madju untuk melajani Djay-hoat-toa-tjat (badjingan perusak wanita) itu!" sahut Tiang-hoat.

    Pada saat itulah tiba2 dari luar berdjalan masuk seorang pengemis tua jang bermuka kotor, badju dekil dan rambut kusut, sebelah tangannja membawa sebuah mangkok butut, tangan lain memegang tongkat bambu dengan suaranja jang serak2 lemah sedang me-minta2: "Kasihan, tuan! Hari ini tuan besar ada hadjat, sudilah memberi sedekah barang sesuap nasi!"

    Tapi karena perhatian semua orang sedang ditjurahkan untuk mengikuti pertarungan Tik Hun jang mati2an sedang melawan Lu Thong, maka tiada seorangpun jang gubris pada pengemis tua itu

    "Kasihlah, tuan! Hamba sudah kelaparan. Kasihlah tuan!" demikian pengemis itu me-rintih2 pula sambil madju lebih dekat.

    Se-konjong2 pengemis itu terpeleset oleh kotoran jang berlumuran dilantai itu, ia mendjerit dan djatuh kedepan, tangannja kelabakan se-akan2 dipakai menahan

  • kelantai, dan karena itu mangkok dan tongkat bambu jang dipegangnja itu ikut mentjelat dari tjekalannja.

    Aneh djuga dan setjara sangat kebetulan, mangkok itu dengan tepat kena timpuk di "Tji-sit-hiat" ditengkuk Lu Thong, sedangkan tongkat bambu itu djuga menutuk "Kiok-tjoan-hiat" dibalik lutut.

    Seketika Lu Thong merasa kakinja mendjadi lemas dan tekuk lutut kelantai, berbareng antero tubuhnja terasa linu pegal se-akan2 kehabisan tenaga.

    Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Tik Hun, kedua kepalannja bekerdja susul-menjusul, "blang-bleng" dua kali, badan Lu Thong segede kerbau itu kena dihantam mentjelat dan tepat djatuh tengkurap ketengah petjomberan jang dibawanja sendiri tadi.

    Perubahan itu sungguh diluar dugaan siapapun djuga hingga semua orang ternganga heran.

    Sementara itu Lu Thong telah merangkak bangun dengan malu, tanpa menghiraukan lagi badannja jang bersemir "emas" itu, dengan sipat kuping ia berlari pergi.

    Semua tetamu ter-bahak2 geli, be-ramai2 merekapun mem-bentak2: "Tangkap dia. Djangan lepaskan!"

    "Tjegat badjingan itu, tangkap!"

    Sudah tentu gemboran orang2 itu hanja sebagai gertakan belaka, tapi Tik Hun sangka sungguh2, iapun ikut berteriak: "Bangsat, ganti dulu badju guruku!"

    Sembari berteriak, terus sadja ia hendak mengedjar benar2. Tapi baru dua langkah, tiba2 lengannja terasa dipegang orang dengan kuat hingga takbisa berkutik. Waktu berpaling, ia lihat orang jang memegangnja itu adalah sang guru.

    "Kemenanganmu hanja setjara kebetulan, masih kau hendak mengedjar apa?" kata Djik Tiang-hoat.

    Djik Hong lantas keluarkan saputangannja untuk mengusap darah dimuka Tik Hun. Ketika melihat badju baru sendiri djuga penuh berlepotan darah, Tik Hun mendjadi kuatir, serunja: "Wah, tjialat, badjuku djuga kotor!"

    Dalam pada itu sipengemis tua tadi tampak sedang berdjalan keluar sambil mengomel: "Minta nasi tidak dapat, malahan kehilangan mangkok!"

    Tik Hun tahu sebabnja bisa menangkan Lu Thong tadi adalah berkat djatuhnja pengemis itu. Maka tjepat ia merogoh keluar segenggam mata uang, ia lari mendekati pengemis itu dan taruh uangnja ditangan sipengemis.

    "Terima kasih, terima kasih!" kata pengemis itu sambil berdjalan pergi.

    Malamnja Ban Tjin-san mengadakan perdjamuan makan besar2an untuk menghormati tamu jang datang dari berbagai tempat.

    Ditengah perdjamuan sudah tentu banjak orang membitjarakan kedjadian lutju disiang hati itu. Semuanja menjatakan redjeki Tik Hun sangat baik, sudah terang

  • akan kalah, kebetulan datang seorang pengemis dan djatuh terpeleset hingga perhatian Lu Thong terkatjau dan kena dirobohkan Tik Hun.

    Ada pula jang memudji njali Tik Hun sangat besar, meski semuda itu, namun sudah berani menempur berpuluh djurus melawan seorang tokoh terkemuka seperti Lu Thong itu. Sudah tentu ada djuga jang menjatakan kemenangan siang tadi adalah berkat Ho-ki tuan rumah jang pandjang umur, kalau tidak, masakah begitu kebetulan datang seorang pengemis dan terpeleset djatuh, lalu musuh dapat dienjahkan.

    Dan karena semua orang ramai membitjarakan kemenangan Tik Hun itu, dengan sendirinja membikin kedelapan muridnja Ban Tjin-san merasa risih. Kedatangan Lu Thong itu sebenarnja hendak menuntut balas kepada Ban Tjin-san, tapi anak murid keluarga Ban tidak madju, sebaliknja seorang murid Susiok jang ke-tolol2an model anak desa itu telah madju dan melabrak musuh. Diam2 hati kedelapan murid Ban Tjin-san itu sangat mendongkol, tapi toh tidak terlampiaskan.

    Kedelapan murid Ban Tjin-san itu menurut urut2an masing2 bernama Loh Kun, Tjiu Kin, Ban Ka, Sun Kin, Bok Heng, Go Him, Pang Tan dan Sim Sia. Maka sesudah Ban Tjin-san sendiri menjuguhkan arak kepada para tetamu, kemudian bergiliran anak muridnja jang menjuguhkan arak kepada tetamu2 itu semedja demi semedja.

    Murid ketiga jang bernama Ban Ka itu adalah puteranja Ban Tjin-san sendiri. Ia berperawakan djangkung, mukanja agak kurus, tapi tjakap hingga mirip seorang pemuda hartawan, berbeda seperti Toasuheng dan Djisuhengnja jang lebih gagah dan kekar.

    Setiba kedelapan murid Ban Tjin-san itu dimedjanja Djik Tiang-hoat, habis mereka menjuguhkan arak kepada sang Susiok, kemudian gilirannja Tik Hun menerima suguhan mereka.

    Kata Ban-ka: "Hari ini Tik-suheng telah banjak berdjasa bagi ajahku, maka sebagai penghormatan, Tik-suheng harus menerima suguhan kami berdelapan masing2 setjawan!"

    Dasarnja Tik Hun memang tidak biasa minum arak, djangankan delapan tjawan, biarpun setjawanpun sudah tjukup membuatnja sinting. Tjepatan sadja ia gojang2 kedua tangannja sambil berseru: "Tidak, tidak, aku tidak biasa minum!"

    "Siang tadi ajahku berulang tiga kali suruh Tik-suheng mundur. Tapi Tik-suheng sama sekali tidak gubris, anggap suara ajahku seperti angin lalu sadja, sekarang Tik-suheng tidak sudi pula menerima arak suguhan kami, bukankah engkau terlalu memandang hina kepada keluarga Ban?"

    Tik Hun mendjadi bingung, sahutnja gelagapan: "Aku...... aku ti....... tidak ...."

    Mendengar nada utjapan Ban Ka itu rada tidak benar, tjepat Tiang-hoat menjela: "Hun-dji, minumlah arak mereka!"

    "Tapi..........tapi aku tidak biasa," sahut Tik Hun.

    "Minum!" kata Tiang-hoat pula dengan suara tertahan.

    Terpaksa Tik Hun menerima suguhan mereka, seorang setjawan hingga genap delapan

  • tjawan. Karuan mukanja mendjadi merah seketika bagai kepiting rebus, telinganja men-denging2 dan pikiran kabur...............

    Malam itu dalam keadaan lajap2 diatas tempat tidurnja, Tik Hun merasa dada, pundak, paha, tempat2 jang terkena pukulan dan tendangan Lu Thong itu, semuanja terasa bengkak kesakitan.

    Sampai tengah malam, tiba2 terdengar suara orang mengetok daun djendela dan suara orang memanggil: "Tik-suheng, Tik-suheng!"

    "Siapa?" tjepat Tik Hun terdjaga bangun.

    "Siaute adalah Ban Ka, ada sesuatu ingin kubitjarakan dengan Tik-suheng, harap keluar," demikian sahut orang diluar djendela.

    Tik Hun tertegun sedjenak, lalu iapun bangkit dari tempat tidurnja dan mengenahkan badju serta sepatu. Waktu ia membuka djendela, tertampaklah diluar sudah berdiri delapan orang berdjadjar, setiap orangnja menghunus pedang. Itulah kedelapan muridnja Ban Tjin-san.

    "Ada apakah memanggil aku?" tanja Tik Hun dengan heran.

    "Sebab kami ingin beladjar kenal dengan ilmu pedang Tik-suheng," sahut Ban Ka dengan djemawa.

    "Tapi aku sudah dipesan Suhu agar djangan bertanding dengan anak muridnja Ban-supek," kata Tik Hun.

    "Ha, rupanja Djik-susiok tahu diri djuga," djengek Ban Ka.

    "Tahu diri, apa maksudmu?" tanja Tik Hun dengan gusar.

    "Sret-sret-sret", se-konjong2 Ban Ka melontarkan tiga kali tusukan, udjung pedangnja selalu menjambar lewat ditepi pipi Tik Hun, selisihnja tiada satu senti djauhnja.

    Tik Hun merasakan pipinja dingin2 silir, ia terkedjut dan sikapnja agak lutju.

    Karuan anak murid Ban Tjin-san jang lain ter-kekeh2 geli.

    Tik Hun naik darah djuga achirnja. Tanpa pikir lagi ia samber pedang jang tergantung didinding dan melompat keluar djendela.

    Ia lihat kedelapan murid paman gurunja itu berwadjah djahat semua, diam2 ia mendjadi ragu2 lagi, teringat pula pesan Suhunja agar djangan sekali2 tjetjok dengan anak murid Supek.

    Maka dengan heran iapun menegur: "Sebenarnja kalian mau apa?"

    "Tik-suheng," kata Ban Ka sambil sabetkan pedangnja keudara hingga mengeluarkan suara mendengung, "hari ini kau sengadja menondjolkan diri, apa barangkali kau sangka keluarga Ban kami sudah kehabisan orang atau kau anggap tiada seorang pun diantara keluarga Ban jang lebih pandai daripada engkau?"

    "Hajo, madjulah anak desa!" edjek Ban Ka.

    Tanpa bitjara lagi pedang Tik Hun terus menusuk.

  • Tik Hun menggeleng kepala, sahutnja: "Aku hanja minta ganti kerugian kepada bangsat jang telah bikin kotor badju baru Suhuku itu, ada sangkut-paut apa dengan kau?"

    "Hm, dihadapan para tamu kau telah djundjung tinggi namamu dan memperoleh pudjian hingga kami berdelapan saudara kehilangan muka, djangankan lagi hendak mentjari makan dikangouw, sekalipun dikota Hengtjiu ini djuga nama kami sudah rusak. Tjoba, perbuatanmu harini itu tidakkah keterlaluan?"

    Tik Hun mendjadi heran, sahutnja bingung: "Mengapa bisa begitu? Aku.......... aku tidak tahu." ~ Pemuda tani seperti dia sudah tentu ia tidak mengarti seluk-beluk alasan orang.

    Loh Kun, itu murid tertua dari Ban Tjin-san, mendjadi tidak sabar, katanja: "Samsute, botjah ini pura2 dungu, buat apa banjak bitjara dengan dia? Berikan sadja hadjaran padanja!"

    Terus Ban Ka menusukan pedangnja kearah pundak kirinja Tik Hun. Namun Tik Hun tahu serangan itu tjuma pura2 sadja, maka diantapi sadja tanpa bergerak dan tidak menangkis.

    Benar djuga Ban Ka lantas menarik kembali pedangnja. Tapi ia mendjadi gusar karena maksudnja diketahui lawan, bentaknja: "Bagus, djadi engkau tidak sudi bergebrak dengan aku ja?"

    "Suhu telah pesan agar djangan tjektjok dengan anak muridnja Supek," sahut Tik Hun.

    "Bret", se-konjong2 Ban Ka menusuk pula dan sekali ini telah kena lengan badju Tik Hun hingga sobek satu lubang pandjang.

    Sebagai pemuda tani jang hidupnja sederhana dan hemat, maka terhadap setiap harta bendanja Tik Hun selalu mendjaganja dengan baik, terutama badju barunja jang baru dibikin dan baru pertama kali ini dipakai, tapi kini telah dirobek orang.

    Karuan ia mendjadi naik darah djuga. "Kau berani merusak badjuku? Hajo, kau harus ganti!" bentaknja tak tahan lagi.

    Namun Ban Ka mendjawabnja dengan tertawa dingin sambil menusuk pula dengan pedangnja kelengan badju jang lain.

    Tjepat Tik Hun menangkis dengan pedangnja. "Trang", ia sampok tusukan lawan, menjusul iapun balas menjerang.

    Dan sekali kedua pemuda itu sudah mulai bergebrak, segera tertjadilah tjepat lawan tjepat. Ilmu pedang jang dipeladjari kedua orang itu berasal dari satu sumber jang sama, setelah belasan djurus lagi, semangat tempur Tik Hun semakin kuat, setiap serangannja selalu mengintjar tempat bahaja ditubuh Ban Ka.

    Melihat itu, Tjiu Kin mendjadi kuatir, serunja: "Hai! Apa kau benar2 hendak mengadu djiwa? Samsute, tidak perlu lagi kau sungkan2!"

    Tik Hun terkesiap oleh teguran itu, pikirnja: "Ja, pabila ketelandjur aku membunuh dia, kan bisa runjam!" ~ Karena pikiran itu, daja serangannja mendjadi kendor.

  • Sebaliknja Ban Ka mendapat hati malah, disangkanja Tik Hun mulai kewalahan, ia mentjetjar semakin tjepat dengan serangan2 bagus dan lihay.

    Ber-ulang2 Tik Hun terdesak mundur, bentaknja: "Hai, aku tidak berkelahi sungguh2 dengan kau, tapi mengapa engkau begini?"

    "Begini apa? Aku ingin melubangi dadamu, tahu?" sahut Ban Ka, tiba2 pedangnja menusuk pula dengan tjepat.

    Sambil mengegos, Tik Hun melihat kesempatan baik, tjepat pedangnja membalik terus menabas. Kalau tabasan itu benar2 diteruskan, pundak Ban Ka pasti akan terkupas, namun Tik Hun telah ajun pedangnja dengan membudjur, "plak", pundak Ban Ka hanja digeblak sadja sekali dengan batang pedang.

    Dengan kedjadian itu Tik Hun anggap kalah-menang sudah terang, tentu Ban Ka akan mundur teratur, sebab biasanja kalau dia sedang latihan dengan Sumoay, Djik Hong,

    Asal salah seorang kena tersenggol sendjata lawan, selesailah sudah pertandingan itu.

    Tapi Ban Ka tidak mau peduli, dari malu ia mendjadi kalap malah, mendadak ia menusuk pula. Karena tidak ber-djaga2, "tjrat", Tik Hun merasa pahanja kesakitan sekali.

    Maka bersoraklah Loh Kun, Tjiu Kin dan lain2, mereka meng-olok2: "Nah, robohlah sekarang anak desa!"

    "Hajo, minta ampun tidak?"

    "Huh, murid anak kampung adjaran Djik-susiok tidak lebih tjuma beberapa djurus tjakar-kutjing seperti ini sadja !"

    Memangnja Tik Hun sudah gusar karena dilukai, mendengar nama Suhunja dihina pula, karuan seperti api disiram minjak, dengan murka ia putar pedangnja menjerang serabutan.

    Melihat Tik Hun mengamuk seperti banteng ketaton, Ban Ka mendjadi djeri malah. Sedjak ketjil ia sangat dimadjakan orang tua, meski ilmu pedangnja terlatih dengan bagus, namun menghadapi pertarungan sengit begitu, betapapun belum pernah dialaminja. Dan karena bingungnja itu, permainan pedangnja mendjadi katjau.

    Diantara murid2 Ban Tjin-san itu, Bok Heng adalah jang paling tjerdik. Melihat Samsuhengnja ketjetjar, segera ia djemput sepotong batu dan menimpukan sekuatnja kepunggung Tik Hun.

    "Plok", Tik Hun jang lagi pusatkan perhatiannja untuk merangsak Ban Ka, punggungnja mendjadi kesakitan tertimpuk batu itu.

    Ia menoleh sambil memaki: "Tidak tahu malu!Main membokong, huh!"

    "Adaapa?Kau bilang apa?" Bok Heng berlagak pilon.

  • Namun Tik Hun sudah nekad, ia pikir biarpun mereka berdelapan madju semua djuga ia akan lawan mati2an untuk mendjaga nama baik gurunja. Saking kalapnja permainan Tik Hun mendjadi tak karuan.

    Namun kesempatan itu tidak berani digunakan Ban Ka untuk menjerang.

    Tiba2 Bok Heng mengedipi Laksute Go Him, katanja: "Ilmu pedang Samsuheng terlalu hebat, anak desa ini sudah kewalahan, kalau djiwanja sampai melajang, tentu kita akan dimarahi Djik-susiok, marilah kita berdua madju untuk mendjaga segala kemungkinan!"

    Go Him paham maksud Gosuhengnja itu, sahutnja: "Benar, kita harus hati2, djangan sampai pedang Samsuheng mentjelakai anak kampung itu."

    Berbareng mereka terus melompat madju, tapi pedang mereka terus menusuk Tik Hun dari kanan-kiri

    Memangnja ilmu pedang Tik Hun tidak banjak lebih unggul daripada Ban Ka, tjuma ia merangsak dengan mati2an, maka Ban Ka terdesak.

    Tapi kini dikerojok Bok Heng dan Go Him pula, dengan satu lawan tiga, tentu sadja ia kerepotan, segera paha jang lain tertusuk lagi. Luka sekali ini sangat berat, ia takbisa berdiri tegak lagi dan djatuh terduduk, namun pedangnja masih terus dilantjarkan.

    Tiba2 Lok Kun mendengus, sekali kakinja melajang, pedang Tik Hun kontan terpental dari tjekalan. Terus sadja Ban Ka antjam tenggorokan Tik Hun dengan udjung pedangnja, sedang Bok Heng dan Go Him ter-bahak2 sambil melompat mundur.

    "Sekarang aku takluk tidak, anak desa?" tanja Ban Ka dengan senang.

    "Takluk kentutmu!" semprot Tik Hun. "Kalian berempat mengerojok aku, terhitung orang gagah matjam apa?"

    "Kau masih berani mengotjeh?" teriak Ban Ka dengan gusar sambil surung sedikit pedangnja hingga udjungnja masuk beberapa mili didaging leher Tik Hun. "Hm asal sedikit kutusukkan lagi, tenggorokanmu seketika akan putus!"

    "Tusuklah, tusuklah lekas, kalau tidak berani, kau sendiri adalah anak kura2," seru Tik Hun.

    Karuan Ban Ka semakin murka, mendadak ia tendang perut Tik Hun sambil memaki: "Mulutmu masih berani kotor tidak?"

    Tendangan itu membuat isi perut Tik Hun se-akan2 terdjungkir balik, hampir2 ia mendjerit, namun ia bertahan sedapat mungkin dan tetap memaki: "Haram djadah, anak kura2!"

    Kembali Ban Ka menendang pula, sekali ini kena pilingan Tik Hun hingga matanja ber-kunang-kunag, hampir2 djatuh kelengar. Ia hendak memaki lagi, namun mulutnja sudah tak kuasa lagi.

    "Biarlah harini kuampuni kau, bolehlah kau pergi lapor kepada gurumu, katakanlah kami mengerojok dan menghadjar kau! Hm, matjammu pasti djuga akan pakai menangis

  • segala!" kata Ban Ka.

    "Menangis apa?" seri Tik Hun. "Seorang laki2 kalau mau membalas sakit hati, harus dikerdjakan oleh tangan sendiri, buat apa mesti lapor guru?"

    Memang Ban Ka sangat mengharapkan utjapan seperti itu dari Tik Hun, kembali ia memantjing: "Atau kutambahi sedikit tanda dimukamu, biar gurumu jang akan tanja padamu."

    Berbareng ia ajun kakinja lagi menendang mukanja Tik Hun, kontan sadja mukanja matang-biru dan air mata hampir menetes.

    "Haha, katanja laki2 segala, begitu sadja sudah menangis! Laki2 telah berubah mendjadi wanita!" sindir Bok Heng dengan tertawa.

    Hampir meledak dada Tik Hun saking gusarnja. Tempo hari waktu Bok Heng bertamu kerumah gurunja, Tik Hun telah membelikan arak dan sembelihkan ajam, tapi pembalasannja sekarang ternjata begitu kedji.

    "Nah, kau takbisa menangkan aku, boleh djuga kau laporkan kepada ajahku agar ajah memarahi aku untuk melampiaskan rasa dendammu ini," kata Ban Ka.

    "Huh, kau sangka semua orang pengetjut seperti kau hingga mesti mengadu-biru kepada orang tua?" sahut Tik Hun.

    Ban Ka saling pandang dengan Loh Kun dan Bok Heng, mereka merasa sudah tjukup melampiaskan dongkol mereka harini, segera Ban Ka masukan pedangnja dan berkata pula: "Anak desa, kalau kulitmu tjukup tebal dan ingin dihadjar pula, boleh kau datang kesini lagi besok malam. Sekarang tuan muda ingin pulang tidur dulu!"

    Sambil memandangi bajangan kedelapan orang itu, hati Tik Hun mendjadi gusar dan gemas, tapi tidak mengarti pula sebab apakah mereka telah menghadjarnja begitu rupa? Apa barangkali semua orang kota memang djahat begini?

    Ia tjoba merangkak bangun, tapi terasa pujeng kepalanja, kembali ia terduduk.

    "Ai, kalau tidak bisa melawan orang, seharusnja lekas mendjura dan minta ampun, tapi kalau dihadjar mentah2 seperti ini, bukankah sangat penasaran?" tiba2 suara seorang menggerundel dibelakangnja.

    Tik Hun mendjadi gusar, teriaknja: "Biarpun dipukul mati orang, tidak nanti aku mendjura dan minta ampun!"

    Waktu ia menoleh, ia lihat seorang tua sedang mendekatinja sambil mem-bungkuk2. Segera dapat dikenalnja sebagai pengemis tua siang tadi.

    "Ai, kalau sudah tua, entjok dipunggung selalu kumat sadja," demikian pengemis itu mengomel pula. "Eh, anak muda, maukah kau memidjat punggungku ini?"

    Cerita Silat Cina > Chin Yung > Pedang Hati Suci >

    Buku

    Politik

    Cerita Silat Cina

  • Chin YungGan KLKho Ping HooKhu LungTjan ID

    Cerita Silat Lokal

    A. Merdeka PermanaBastian TitoKho Ping HooSH. Mintarja

    Novel

    Misteri

    Pengetahuan

    BudayaIlmuwanInternetPengusaha Luar Negeri

    Artikel

    AA GymAyah - BundaBiografiBisnisCintaEkonomiHumorIptekHarun YahyaIslamiKarirKehidupanKeluargaKesehatanKomputerMakananPemerintahanPemudaPertanianPolitikPropertiPsikologiTransportasiWanita

    Copyright 2006, hobibaca.com, All right reserved.