Hiv Neonatus

40
PENDAHULUAN Pada tahun 1981 di Los Angeles California, Amerika Serikat untuk pertama kali ditemukan suatu penyakit yang kemudian dikenal sebagai Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. Penyebabnya adalah virus HIV tipe-1 yang baru dua tahun sesudahnya diindentifikasi. HIV/AIDS telah menjadi masalah dunia pada saat ini. 12 Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di mana terjadi kegagalan sistem imun progresif. Virus ini ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, produk yang terkontaminasi darah, dan transmisi dari ibu ke bayi baik intrapartum, perinatal, atau ASI. Pada intrapartum, fetus dapat terinfeksi secara hematogen karena sirkulasi uteroplasenta melalui membran amnion, terutama apabila membran mengalami inflamasi atau infeksi. Pada periode perinatal, infeksi vertikal lebih banyak terjadi. Semakin lama dan besar jumlah kontak neonatus dengan darah ibu dan sekresi servikovaginal, resiko transmisi vertikal juga bertambah besar. Prematuritas dan berat badan lahir rendah pada neonatus juga meningkatkan resiko infeksi dalam persalinan karena menipisnya barier pertahanan dari kulit dan sistem imun. Pasca persalinan, transmisi vertikal dapat terjadi karena bayi mendapat ASI dari ibu yang menderita HIV. 12 1

description

mm

Transcript of Hiv Neonatus

PENDAHULUANPada tahun 1981 di Los Angeles California, Amerika Serikat untuk pertama kali ditemukan suatu penyakit yang kemudian dikenal sebagai Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. Penyebabnya adalah virus HIV tipe-1 yang baru dua tahun sesudahnya diindentifikasi. HIV/AIDS telah menjadi masalah dunia pada saat ini.12Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di mana terjadi kegagalan sistem imun progresif. Virus ini ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, produk yang terkontaminasi darah, dan transmisi dari ibu ke bayi baik intrapartum, perinatal, atau ASI. Pada intrapartum, fetus dapat terinfeksi secara hematogen karena sirkulasi uteroplasenta melalui membran amnion, terutama apabila membran mengalami inflamasi atau infeksi. Pada periode perinatal, infeksi vertikal lebih banyak terjadi. Semakin lama dan besar jumlah kontak neonatus dengan darah ibu dan sekresi servikovaginal, resiko transmisi vertikal juga bertambah besar. Prematuritas dan berat badan lahir rendah pada neonatus juga meningkatkan resiko infeksi dalam persalinan karena menipisnya barier pertahanan dari kulit dan sistem imun. Pasca persalinan, transmisi vertikal dapat terjadi karena bayi mendapat ASI dari ibu yang menderita HIV.12Meskipun telah ada kemajuan pesat dalam pengobatan orang dewasa dan anak-anak yang terinfeksi HIV dalam beberapa tahun terakhir , HIV tetap menjadi infeksi kronis dengan potensi gangguan serius jangka panjang. Identifikasi dan pengobatan ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat mencegah infeksi HIV pada anak-anak mereka. Pengaturan pengobatan klinis termasuk oleh rumah sakit, pusat diagnostik dan pengobatan, organisasi pemeliharaan kesehatan, dan pusat persalinan, harus memberikan konseling HIV dan harus merekomendasikan tes kepada semua wanita dalam pelayanan prenatal. Hal ini direkomendasikan sebagai standar pelayanan untuk semua wanita hamil . Tujuannya adalah untuk mendiagnosis infeksi HIV pada semua wanita hamil sedini mungkin agar memberikan pengobatan yang optimal untuk wanita dan ARV profilaksis bagi anak.4

EPIDEMIOLOGIWalaupun infeksi nasional HIV di Asia lebih rendah dibandingkan dengan benua lain (misalnya Afrika), populasi dari banyak negara di Asia sangat besar sehingga bahkan prevalensi yang rendah mencerminkan populasi penderita HIV yang sangat banyak. Kecenderungan peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS dari tahun ke tahun tersebut membutuhkan penanganan serius.8Di Indonesia, satu orang terinfeksi HIV setiap 25 menit. Satu dari setiap lima orang yang terinfeksi di bawah usia 25 tahun. Proyeksi Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa tanpa percepatan program penanggulangan HIV, lebih dari setengah juta orang di Indonesia akan positif HIV pada tahun 2014. Epidemi tersebut dipicu terutama oleh penularan seksual dan penggunaan narkoba suntik. Provinsi Papua, Jakarta dan Bali menduduki tempat teratas untuk tingkat kasus HIV baru per 100.000 orang. Jakarta memiliki jumlah kasus baru tertinggi (4.012 pada tahun 2011).8

Kementerian Kesehatan telah memproyeksikan peningkatan infeksi pada anak-anak, seiring dengan meningkatnya infeksi HIV baru pada perempuan. Temuan awal studi terakhir yang dilakukan oleh UNICEF dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menunjukkan kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak yang terkena dampak dan terinfeksi HIV/AIDS. Akses mereka ke pelayanan pendidikan dan kesehatan mengalami keterbatasan karena diskriminasi, kesulitan keuangan keluarga karena penyakit, kesehatan anak yang buruk dan kebutuhan untuk merawat orang tua yang sakit. Perkiraan jumlah anak yang terinfeksi setiap tahun diproyeksikan meningkat dari 1.070 pada tahun 2008 menjadi 1.590 pada tahun 2014.8Diperkirakan risiko transmisi melalui ASI adalah 15%. Apabila ibu terinfeksi pada saat hamil tua atau pada saat menyusui maka risiko tersebut meningkat sampai 25 %. HIV-1 berada di dalam ASI dalam bentuk terikat dalam sel atau virus bebas, namun belum diketahui bentuk mana yang ditularkan ke bayi. Beberapa penelitian yang perlu dikonformasi lagi oleh karena hanya melibatkan kasus yang tidak banyak memperlihatkan bahwa prevalensi dan konsentrasi DNA HIV-1 tertinggi pada 6 bulan pertama. Beberapa zat antibodi yang terdapat di dalam ASI dapat bekerja protektif terhadap penularan melalui ASI seperti laktoferin, secretory leukocyte protease inhibitor. Status vitamin A pada ibu juga penting karena terbukti laju penularan lebih tinggi pada ibu dengan defisiensi vitamin A.2

ETIOLOGIVirus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika, dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus. Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.4RISIKO TRANSMISISeorang neonatus yang mendapatkan eksposur HIV, seperti pada kondisi dilahirkan oleh ibu yang mengidap infeksi HIV memiliki resiko untuk tertular virus tersebut. HIV dapat ditransmisikan melalui darah dan cairan tubuh. Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi pada masa gestasi, persalinan maupun menyusui. Kejadian transmisi paling sering terjadi pada masa perinatal yang mana terjadi pada 50-65% kasus. Penularan HIV dari ibu ke janin dapat terjadi pada trimester pertama maupun kedua, yang dibuktikan dengan analisis virologi pada janin yang mengalami abortus. Sekitar 20-30% transmisi HIV terjadi pada masa gestasi tersebut. Selebihnya, transmisi dapat terjadi pada masa menyusui pada 12-20% kasus.1Risiko transmisi akan meningkat apabila viral load ibu pada saat melahirkan tinggi serta apabila tidak dilakukan profilaksis antepartum dan atau postpartum. Selain itu, metode persalinan pervaginam memiliki resiko transmisi HIV yang lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan sectio caesario. Kondisi lain yang meningkatkan resiko terjadinya transmisi HIV dari ibu ke anak antara lain adalah wanita hamil yang mendapatkan antiretroviral antepartum dan intrapartum tetapi memiliki supresi virus yang suboptimal saat persalinan, terutama apabila persalinan dilakukan pervaginam. Resiko akan semakin tinggi apabila wanita hamil tersebut hanya mendapatkan antiretroviral intrapartum saja atau bahkan tidak mendapatkan sama sekali. Selain itu, resiko penularan juga tinggi pada ibu yang diketahui memiliki infeksi vius yang resisten terhadap ARV.1Terdapat 3 pola penurunan CD4+ pada bayi. Pola pertama, Sekitar 15-25% neonatus yang terinfeksi HIV di negara miskin dan berkembang mengalami perkembangan penyakit yang cepat dan gejalanya pada bulan-bulan awal kehidupan dan jika tidak dirawat maka harapan hidup berkisar antara 6-9 bulan. Kebanyakan anak-anak pada kelompok ini memiliki kultur HIV-1 positif atau virus terdeteksi pada plasma dalam 48 jam pertama kehidupan, menunjukkan bahwa neonatus mungkin terinfeksi in utero. Viral load secara cepat meningkat pada usia 2-3 bulan dan menurun secara lambat. Berbeda pada dewasa, viral load pada bayi tetap tinggi pada setidaknya dua tahun pertama kehidupan.2Mayoritas neonatus yang terinfeksi secara perinatal (60-80%) pada negara maju muncul dengan pola kedua, yaitu progresi lebih lambat dengan kemungkinan hidup 6 tahun. Banyak pasien di kelompok ini memiliki kultur virus yang negatif atau PCR yang negatif pada minggu pertama kehidupan dan mungkin terinfeksi intrapartum. Biasanya, viral load secara cepat meningkat pada usia 2-3 bulan pertama kehidupan dan secara lambat mengalami penurunan sekitar usia 24 bulan. Pola ketiga yaitu 32 bulan dan dalam kondisi stabil, harus segera dimandikan dengan menggunakan chlorhexidine 1% (hindari pajanan ke mata bayi). Setelah bayi dimandikan lalu dapat diberikan injeksi vitamin K IM (berat badan 1500 gram diberikan 1 mg vitamin K). Pemberian vaksin BCG (Bacille Calmette Guerin) dan vaksin hidup lainnya tidak diberikan pada bayi dengan status HIV yang belum jelas.10Segera setelah lahir, neonatus yang terekspos HIV harus mendapatkan terapi antiretroviral, termasuk bayi yang lahir dari ibu yang sudah mendapatkan regimen ARV standar, viral load yang rendah serta persalinan dengan sectio cesario. Regimen yang digunakan adalah zidovudin, selama 6 minggu pertama. Penggunaan ARV oleh ibu juga perlu dilanjutkan baik untuk kesehatannya sendiri maupun pencegahan penularan. Dosis yang diberikan tergantung pada usia gestasi dari neonatus tersebut. Apabila usia gestasi >35 minggu, dosis zidovudin adalah 4 mg/kgBB/dosis yang diberikan peroral, dua kali sehari. ARV tersebut diberikan sesegera mungkin, dalam 6-12 jam setelah persalinan. Jika tidak dapat mentoleransi pemberian secara oral, dapat diberikan secara iv dengan dosis 3 mg/kgBB/dosis dalam 6-12 jam pascapersalinan, kemudian diberikan setiap 12 jam.10Pada bayi yang terlahir pada usia gestasi antara 30-34 minggu, dosis yang diberikan adalah 2 mg/kgBB/dosis peroral atau 1,5 mg/kgBB/dosis iv. Pada saat usia 15 hari, dosis dapat ditigkatkan hingga 3 mg/kgBB/dosis peroral atau 2,3 mg/kgBB/dosis IV. Sementara itu, pada neonatus dengan usia gestasi kurang dari 30 minggu, dosis awal sama, yaitu 2 mg/kgBB/disis PO atau 1,5 mg/kgBB/dosis IV, yang ditingkatkan hingga 3 mg/kgBB/dosis PO atau 2,3 mg/kgBB/dosis IV setiap 12 jam sesudah usia 4 minggu. Apabila profilaksis dengan antiretroviral antepartum tidak diberikan pada si ibu saat hamil atau hanya dilakukan profilaksis pada saat persalinan saja, dilakukan pemberian tambahan ARV yang juga diinisiasi segera setelah persalinan. Sebagai tambahan zidovudin, diberikan nevirapine (NVP) sebanyak 3 dosis. Dosis pertama dibeikan dalam 48 jam pasca persalinan. Dosis kedua diberikan setelah 48 jam dosisi pertama. Dosis ketiga diberikan setelah 96 jam dosis kedua diberikan. Bayi dengan berat lahir antara 1,5-2 kg, mendapatkan total 8 mg untuk masing-masing dosis sedangkan mereka dengan berat lahir >2kg mendaptkan total 12 mg untuk masing-masing dosis.10Sementara itu, untuk bayi dari ibu dengan virus yang resisten, saat ini belum ada regimen profilaksis optimal yang diketahui. Saat ini, dalam metode yang direkomendasikan, zidovudine tetap diberikan. Pada beberapa studi didapatkan bahwa virus dapat mengalami penurunan kapasitas replikatif (penurunan kekuatan virus) dan kemampuan untuk transmisi. Meskipun begitu, kejadian transmisi virus yang resisten obat ARV tetap masih ada. Secara garis besar, untuk anak di bawah usia 1 tahun, semua individu dengan HIV ditatalaksana dengan ARV. Begitu juga dengan balita, yang mana jika memungkinkan tetap diterapi dengan ARV. Hanya saja, prioritas pemberian ARV adalah pada balita kurang dari 2 tahun. Rekomendasi rejimen inisial (first line) untuk kasus yang belum pernah mendapa ARV sebelumnya.10Anak usia 3 tahun:10 Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP) ATAU Stavudine (D4T) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP)

Anak usia 3 tahun:10 Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP) atau Evavirenz (EFV) Stavudine (D4T) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP) atau Evavirenz (EFV)

AIR SUSU IBU (ASI)Pemberian ASI eksklusif 6 bulan menurunkan risiko transmisi HIV dibandingkan ASI dicampur dengan susu formula. Sang ibu harus terus mendapatkan rejimen ART, tetapi ibu dengan HIV diharapkan untuk tidak memberikan ASI meskipun dia mendapatkan terapi antiretrovirus. Pada negara dengan angka infeksi, malnutrisi dan infant mortality rate yang tinggi direkomendasikan oleh WHO untuk memberikan ASI minimal 6 bulan dan dapat diperpanjang hingga tersedia pengganti ASI yang memenuhi kriteria AFASS (acceptable, feasible, affordable, sustainable and safe). Ketika sang ibu hendak menghentikan pemberian ASI, proses penghentiannya sebaiknya dilakukan bertahap dalam 1 bulan.6Apabila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat beberapa alternatif yang dapat diberikan dan setiap keputusan ibu setelah mendapat penjelasan perlu didukung:6 Bila ibu memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan memberikan makanan alternatif yang baik dengan cara yang benar, misalnya pemberian dengan cangkir jauh lebih baik dibandingkan dengan pemberian melalui botol. Di negara berkembang sewajarnya makanan alternatif ini disediakan secara cuma-cuma untuk paling kurang 6 bulan. Bila ibu memilih memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan kemungkinan yang terjadi, maka dianjurkan untuk memberikan ASI secara eksklusif selama 3-4 bulan kemudian menghentikan ASI dan bayi diberikan makanan alternatif. Perlu diusahakan agar puting jangan sampai luka karena virus HIV dapat menular melalui luka. Jangan pula diberikan ASI bersama susu formula karena susu formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang menyebabkan virus dalam ASI lebih mudah masuk.5

Namun keputusan pemberian ASI diserahkan sepenuhnya kepada ibu bayi yang sebelumnya telah diberikan edukasi oleh tenaga kesehatan tentang risiko-risiko penularan infeksi HIV yang salah satunya dapat melalui ASI. Hal ini juga dilakukan untuk menghargai hak ibu dalam mengasuh anaknya. Jumlah CD4+ pada bayi sehat yang tidak terinfeksi HIV lebih tinggi daripada orang dewasa yang sehat, dan akan menurun sampai nilai orang dewasa pada usia 5-6 tahun. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menetapkan ambang batas tunggal untuk menentukan kapan harus memulai ART.11IMUNISASIBeberapa peneliti menyatakan bahwa bayi yang tertular HIV melalui transmisi vertikal masih mempunyai kemampuan untuk memberi respons imun terhadap vaksinasi sampai umur 1-2 tahun. Oleh karena itu di negara-negara berkembang tetap dianjurkan untuk memberikan vaksinasi rutin pada bayi yang terinfeksi HIV melalui transmisi vertikal. Namun dianjurkan untuk tidak memberikan imunisasi dengan vaksin hidup misalnya BCG, polio, campak. Untuk imunisasi polio OPV (oral polio vaccine) dapat digantikan dengan IPV (inactivated polio vaccine) yang bukan merupakan vaksin hidup. Imunisasi Campak juga masih dianjurkan oleh karena akibat yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah pada pasien ini lebih besar daripada efek samping yang ditimbulkan oleh vaksin campak.5

PROGNOSISTujuh puluh puluh delapan persen (78%) bayi yang terinfeksi HIV sudah akan menunjukkan gejala klinis menjelang umur 2 tahun dan biasanya 3-4 tahun kemudian meninggal.5KESIMPULAN1. Infeksi HIV-1 maternal sebaiknya diidentifikasi sebelum atau selama kehamilan. 2. Operasi caesar elektif juga dapat mencegah transmisi vertikal HIV. Pemeriksaan penunjang memungkinkan diagnosis dini HIV dan inisiasi terapi serta pencegahan infeksi oportunistik. Bahkan bila tes negatif, bayi perlu dimonitor ketat hingga usia 18 bulan untuk mengeksklusi infeksi HIV. 3. Keputusan pemberian ASI diserahkan sepenuhnya kepada ibu bayi yang sebelumnya telah diberikan edukasi oleh tenaga kesehatan tentang risiko-risiko penularan infeksi HIV yang salah satunya dapat melalui ASI.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson J. The Hopkins HIV Report July 2001 Perinatal Transmission and HIV http://www.hopkinsaids. edu/publications/report/july01_3.html)2. Beckenman KP. Identification, evaluation and care of human immunodeficiency virus exposed neonate. Dalam: Adams CI, Anne AM, et al. Averys disease of the newborn. Edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier Churcill Livingstone; 2008. 475-92 3. Canterbury District Health Board. Guidelines for the management of HIV-infected women during pregnancy and childbirth. New Zealand; 2009. Diunduh dari: http://www.cdhb.govt.nz/cwh/maternity/maternity_guidelines/linked_content/WCHGLM0033-HIV-Infection-During-Pregnancy-and-Childbirth-Iss1.pdf. 4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL. et al. Sexually transmitted diseases: human immunodeficiency virus (HIV) infection. Dalam: Williams Obstetrics. Edisi ke-23. USA: The Mc Graw Hill Companies; 2010. 1246-535. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tatalaksana infeksi HIV pada anak dan terapi antiretroviral di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008 6. Gray GE, Saloojee H. et al. Breastfeeding, antiretroviral prophylaxis and HIV. NEJM 2008;359:189-91 7. Katz A. The evolving art of caring for pregnant women with HIV infection. Journal of Obstetric, Gynecologic, and Neonatal Nursing 2003; 32:102-8.8. Ministry of Health (2008): Mathematic Model of HIV Epidemic in Indonesia, 2008-2014. Jakarta: Ministry of Health. Cited in Indonesian National AIDS Commission (2012)9. National Department of Health, South Africa, South African National AIDS Council. Clinical guidelines: PMTCT. South Africa: National Department of Health; 2010.10. WHO. Consolidated Guidelines on the Use of Antiretroviral Drugs for Treating and Preventing HIV Infection. London: World Health Organization; 2013. p. 100-8, 234-511. World Health Organization. WHO antiretroviral therapy for HIV infection in infants and children : towards universal access. Recommendation for public approach 2010 revision. Austria; 2010. Diunduh dari http://whqlibdoc.who. int/publications /2010/9789241599801_eng.pdf)12. Yogev R, Chadwick EG. Acquired immunodeficiency syndrome (human immunodeficiency virus). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. New York: Elseviers; 2007. 1022-32

1