hiv aids manajemen

32
BAB I PENDAHULUAN Masalah HIV-AIDS adalah masalah yang mengglobal dimana HIV/AIDS merupakan penyakit yang belum ada obatnya dan belum bisa disembuhkan. Human Immunedeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang dan merusak system kekebalan tubuh manusia. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Seseorang positif terkena HIV terlihat sehat untuk jangka waktu yang lama setelah terinfeksi. Namun lambat laun virus ini akan membunuh dan merusak system kekebalan tubuh sehingga tubuh kehilangan kemampuan untuk melawan infeksi dan penyakit lain. Definisi ini membuat seseorang sangat takut ketika mendengar tentang HIV/AIDS. 1 Sejauh ini, jumlah pengidap HIV/AIDS yang terlihat jauh lebih kecil dari jumlah sebenarnya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat masih enggan untuk memeriksakan diri karena masih ada stigma terhadap pengidap HIV/AIDS di masyarakat. Lebih dari 58% yang terkena HIV-AIDS adalah anak muda yang berusia sekitar 15-29 tahun dan mungkin terinfeksi HIV pada saat remaja. Sementara perkiran orang yang terinfeksi HIV-AIDS pada tahun 2010 di Indonesia berjumlah 1-5 1

description

hiv aids vct pict cst stigma arv

Transcript of hiv aids manajemen

Page 1: hiv aids manajemen

BAB I

PENDAHULUAN

Masalah HIV-AIDS adalah masalah yang mengglobal dimana HIV/AIDS

merupakan penyakit yang belum ada obatnya dan belum bisa disembuhkan.

Human Immunedeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang dan

merusak system kekebalan tubuh manusia. Acquired immunodeficiency syndrome

(AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia

setelah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Seseorang positif terkena

HIV terlihat sehat untuk jangka waktu yang lama setelah terinfeksi. Namun

lambat laun virus ini akan membunuh dan merusak system kekebalan tubuh

sehingga tubuh kehilangan kemampuan untuk melawan infeksi dan penyakit lain.

Definisi ini membuat seseorang sangat takut ketika mendengar tentang

HIV/AIDS.1 Sejauh ini, jumlah pengidap HIV/AIDS yang terlihat jauh lebih kecil

dari jumlah sebenarnya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat

masih enggan untuk memeriksakan diri karena masih ada stigma terhadap

pengidap HIV/AIDS di masyarakat. Lebih dari 58% yang terkena HIV-AIDS

adalah anak muda yang berusia sekitar 15-29 tahun dan mungkin terinfeksi HIV

pada saat remaja. Sementara perkiran orang yang terinfeksi HIV-AIDS pada tahun

2010 di Indonesia berjumlah 1-5 juta orang.1 Berdasarkan data orang yang

terinfeksi tersebut maka berbagai upaya dilakukan demi mencegah penyebaran

virus tersebut. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain melakukan pencegahan ke

berbagai status kehidupan social. Tidak hanya upaya pencegahan yang dilakukan

tetapi upaya perawatan untuk HIV-AIDS juga terus dikembangkan. Maka dari itu

kami akan membahas tentang pecegahan HIV-AIDS yaitu VCT, PICT, CST dan

perawatan HIV-AIDS dengan ARV.2

BAB II

ISI

1

Page 2: hiv aids manajemen

2.1 STIGMA HIV/AIDS

Stigma adalah pandangan negatif yang menempel pada pribadi seseorang

terhadap penderita HIV/AIDS karena pengaruh lingkungannya. Stigma terhadap

orang yang terkena HIV/AIDS atau disebut ODHA adalah suatu pandangan

negative terhadap Odha yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh

lingkungannya.3 Hal ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan penderita HIV/AIDS

meliputi masyarakat dan media massa, sedangkan faktor internal adalah faktor

yang berasal dari penderita itu sendiri.

2.1.1 Faktor Eksternal

Stigma dari masyarakat muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat

mengenai HIV/AIDS secara menyeluruh. Masyarakat mengetahui HIV/AIDS

sebatas “penyakit ini menular dan penderitanya berbahaya”. Adanya

ketidakpahaman ini menyebabkan timbulnya sikap seperti diskriminasi dengan

tidak mau bergaul dengan ODHA dan stigma bahwa penderita HIV harus

dihindari. Pemahaman yang setengah-setengah dan tidak menyeluruh tersebut

timbul karena adanya disfungsi media massa. Media massa yang merupakan

sumber informasi bagi masyarakat masih memberikan informasi yang kurang

jelas.4 Pemberitaan yang muncul lebih didominasi bahaya HIV/AIDS

dibandingkan upaya untuk mencegah penyebarannya. Adanya pemberitaan yang

kurang lengkap ini menyebabkan masyarakat melakukan interpretasi yang salah

dalam menyikapi kasus HIV/AIDS. Dampak lebih lanjut dari pemberitaan media

massa yang kurang menyeluruh ini menyebabkan masyarakat terpengaruh secara

mental untuk mendiskriminasikan penderita HIV/AIDS.

2.1.2 Faktor Internal

2

Page 3: hiv aids manajemen

Munculnya stigma di masyarakat diperkuat dengan perilaku yang timbul

dari ODHA yang diakibatkan oleh masalah psikososial. Ketidakmampuan

beradaptasi penderita HIV/AIDS terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya

dapat mengakibatkan rasa minder, stress, putus asa, frustasi, dan depresi.4 Segala

macam faktor psikososial ini memperngaruhi tingkah laku ODHA sehingga

mereka cenderung memilih untuk menutup diri dari masyarakat. Hal tersebut

justru menambah stigma masyarakat dan memicu diskriminasi terhadap ODHA.

2.2 VCT (Voluntary Counseling Testing)

2.2.1 Definisi Konseling dalam Voluntary Counseling and Testing (VCT)

Konseling dalam VCT adalah kegiatan yang menyediakan dukungan

psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV,

mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan

antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan

HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat

dan lebih aman.5

2.2.2 Definisi VCT

VCT atau Voluntary Counseling Testing adalah salah satu strategi kesehatan

masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS

berkelanjutan. Prinsip dari VCT yaitu Sukarela dalam melaksanakan testing HIV,

saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas, mempertahankan hubungan

relasi konselor dan klien yang efektif Konselor mendukung klien untuk kembali

mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk

mengurangi prilaku beresiko, testing merupakan salah satu komponen dari VCT.

2.2.3 Peran VCT sebagai pintu gerbang pencegahan dan perawatan HIV6

Pencegahan HIV yaitu untuk :

a) Memfasilitasi perubahan perilaku

b) Memfasilitasi intervensi MCTC

3

Page 4: hiv aids manajemen

c) Terapi pencegahan & perawatan reproduksi

Perawatan HIV yaitu untuk :

a) Manajemen dini infeksi oportunistik & IMS; introduksi ARV

b) Perencanaan masadepan, perawatan anak yatim piatu, pewarisan

c) Normalisasi HIV/AIDS

d) Rujukan dukungan social dan sebaya

e) Penerimaan sero-status, coping & perawatan diri.

2.2.4 Tahapan VCT5,6

a. Pre-test counseling

Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan

untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien

tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi pengetahuan

klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah

menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari depan, membantu klien

memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan informed consent dan konseling

seks yang aman.

b. HIV testing

Tes HIV yang umumnya digunakan adalah Enzyme Linked Imunosorbent

Assay (ELISA), Rapid Test dan Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah

kemampuan tes untuk mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan

spesifisitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang

sangat spesifik.

c. Post-test counseling

Post-test counseling adalah diskusi antara konselor dengan klien yang

bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan

4

Page 5: hiv aids manajemen

hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional

klien, membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna dalam

kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti

dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan perawatan, dan membuat

perencanaan dukungan.

GOLD STANDAR TAHAPAN VCT5

2.3 PICT (Provider Initiative Counseling and Testing)

5

Konseling pra tes mencakup penilaian kondisi perilaku berisiko dan kondisi psikososial, dan penyediaan informasi faktual tertulis ataupun lisan

Gejala atau kecemasan yang membawa seseorang memutuskan untuk tes status HIV

Beri waktu untuk berpikir

Penundaan pengambilan darah

Pengambilan darah

HIV Negatif :Mendorong mengubah prilaku kearah positif

Lakukan periksa ulang

HIV Positif:

Sampaikan berita dengan hati-hati, dan sediakan waktu yang cukup untuk berdiskusi

Gerakan keluarga dan masyarakat

Konseling berkelanjutan, dan motivasi

Page 6: hiv aids manajemen

2.3.1 Definisi PICT

Diperlukan deteksi dini penemuan kasus penderita HIV/AIDS dalam upaya

mengendalikan penyebaran penyakit HIV/AIDS. Mengapa deteksi dini ini begitu

penting? Deteksi dini dapat mencegah penderita HIV yang tidak tahu bahwa

dirinya terinfeksi untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain karena penderita

HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain meskipun

belum menunjukkan gejala klinis. Di Indonesia dan sebagian besar negara lain,

telah diadakan program konseling dan tes HIV sukarela atau VCT (Voluntary

Counseling and Testing). Program VCT ini dilakukan secara sukarela dan rahasia.

Namun, karena sifatnya sukarela, VCT belum dapat menjaring terlalu luas.

Masyarakat belum secara sukarela penuh untuk melakukan VCT karena minimnya

pengetahuan, stigma masyarakat, serta perasaan malu dan takut. Hal ini tentu saja

diperparah dengan suatu fakta bahwa gejala – gejala penyakit akibat infeksi HIV

baru muncul setelah beberapa tahun terinfeksi HIV. Sehingga, para penderita HIV

tidak merasa sakit sehingga menambah keengganan mereka untuk melakukan

VCT ini.

PICT (Provider Initiative Counseling and Testing) adalah suatu tes HIV

dimana inisiatifnya bukan berasal dari pasien seperti pada VCT melainkan berasal

dari penyedia layanan kesehatan. Penyedia layanan kesehatan berperan aktif untuk

melihat apakah pasien bersangkutan memiliki gejala-gejala terinfeksi HIV

ataupun faktor risiko tinggi terpapar HIV. Setiap pasien yang datang ke dokter

dengan indikasi gejala-gejala infeksi HIV dapat segera dideteksi apakah positif

atau tidak sehingga deteksi dini HIV dapat lebih efektifPasien akan mendapat

keuntungan dengan mengetahui status HIV, mereka dapat menentukan

pencegahan spesifik ataupun pengobatannya. Dalam keadaan seperti ini,

konseling dan tes HIV direkomendasikan oleh penyedia layanan kesehatan

sebagai suatu bagian dari paket yang disediakan untuk semua pasien selama

interaksi di fasilitas kesehatan.7

2.3.2 Keunggulan PICT

6

Page 7: hiv aids manajemen

Di Indonesia dan sebagian besar negara lain, telah diadakan program

konseling dan tes HIV sukarela atau VCT (Voluntary Counseling and Testing).

Program VCT ini dilakukan secara sukarela dan rahasia. Namun, karena sifatnya

sukarela, VCT belum dapat menjaring terlalu luas. Masyarakat belum secara

sukarela penuh untuk melakukan VCT karena minimnya pengetahuan, stigma

masyarakat, serta perasaan malu dan takut. Hal ini tentu saja diperparah dengan

suatu fakta bahwa gejala – gejala penyakit akibat infeksi HIV baru muncul

setelah beberapa tahun terinfeksi HIV. Sehingga, para penderita HIV tidak

merasa sakit sehingga menambah keengganan mereka untuk melakukan VCT ini.

Oleh karena itu munculah suatu gagasan untuk beralih ke Provider Initiated

Counseling and Testing (PICT).

Keuntungan dari PICT ini adalah provider kesehatan berperan aktif untuk

melihat apakah pasien bersangkutan memiliki gejala-gejala terinfeksi HIV

ataupun faktor risiko tinggi terpapar HIV. Setiap pasien yang datang ke dokter

dengan indikasi gejala-gejala infeksi HIV dapat segera dideteksi apakah positif

atau tidak sehingga deteksi dini HIV dapat lebih efektif. Penderita penyakit yang

memiliki kemungkinan menderita HIV/ AIDS adalah penderita penyakit infeksi

menular seksual (IMS), tuberculosis, dan beberapa penyakit lainnya. Selain itu,

provider kesehatan juga dapat mendatangi orang-orang yang memiliki risiko

tinggi tertular HIV, seperti WPS, lelaki pengguna WPS, homoseksual, pengguna

NAPZA suntik. PICT juga dapat disediakan sebagai salah satu asuhan

keperawatan sebelum melahirkan karena meningkatnya Mother to Child

Transmission (MTCT) pada beberapa tahun terakhir.

Pada Agustus 2006, dalam upaya untuk memberikan beberapa arahan,

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Program Bersama PBB tentang HIV

/AIDS (UNAIDS) mengeluarkan pernyataan yangmereka mempromosikan tes

HIV dan Konseling yang diprakarsai oleh penyedia layanan kesehatan di fasilitas

kesehatan, dan beberapa bulan kemudian WHO merilis guidelines untuk

pelaksanaan PICT.8

2.3.3 Elemen dan Proses PICT Elemen PICT

7

Page 8: hiv aids manajemen

Beberapa elemen seperti aspek sosial, peraturan dan kerangka pelaksanaan

yang harus ada untuk mendukung implementasi dari PICT di fasilitas kesehatan

antara lain adalah :9

Persiapan komunitas dan mobilisasi sosial

Kampanye kepada masyarakat harus dilakukan untuk meningkatkan

kepedulian mengenai HIV/AIDS, mempromosikan hak dari ODHA dan

keuntungan dari mengetahui status HIV, dan menyediakan informasi yang jelas

tentang ketersediaan tes HIV, pencegahan dan care and support treatment, serta

mengikutsertakan ODHA dalam implementasi dan monitoring kampanye tersebut.

Sumber Daya dan Infrastruktur yang Adekuat

Pembuat kebijakan dan perencana harus mengantisipasi kebutuhan sumber

daya tambahan yang diperlukan untuk mengimplementasikan PICT di fasilitas

kesehatan, mencakup training, infrastruktur klinis dan pembelian komoditas

seperti alat tes HIV. WHO dan UNAIDS merekomendasikan agar tidak ada biaya

tambahan yang dibebankan pada pelaksanaan PICT kepada pasien.

Health care provider training

Investasi utama yang harus dimiliki ketika ingin mengimplementasikan

PICT adalah training dan supervise terhadapa penyedia layanan kesehatan .

Training untuk orang yang akan memberikan pelayanan PICT juga harus

dilakukan pada staf yang akan berhubungan dengan pasien di fasilitas pelayanan

kesehatan, harus dikembangkan dan diimplementasikan ketika melakukan PICT.

Training harus berdasarkan protocol dan sesuai are sebagai berikut :

– Memastikan Proses Etik Dalam Melakukan Informed Consent

Pasien harus mendapatkan informasi yang adekuat sebagai dasar

pengambilan keputusan personal yang sukarela untuk melakukan tes,

dan memberikan kesempatan pada pasien untuk menolak rekomendasi

untuk tes dan konseling HIV tanpa ada paksaan.

– Memproteksi Kerahasian dan Privasi

training yang dilakukan harus melatih penyedia layanan kesehatan agar

bertanggung jawab untuk menjaga kerahasiaan hasil tes , walaupun

pasien telah menandatangani informed consent untuk melakukan tes

HIV secara sukarela, dan hasilnya akan dimasukan kedalam rekam

8

Page 9: hiv aids manajemen

medis pasien, penyedia layanan kesehatan yang bertugas untuk mencatat

hasil tes tersebut tidak boleh disebarluaskan sebagai tanggung jawab

terhadap pasien.

– Mencegah Stigma dan Diskriminasi di Fasilitas Kesehatan

Implementasi dari PICT merupakan kesempatan untuk meningkatkan

kepedulian mengenai HIV/AIDS dan HAM diantara penyedia layanan

kesehatan agar pasien mendapatkan pelayanan yang sesuai standar.

– Patient referral

Penyedia layanan kesehatan harus mendapatkan training tentang cara

rujukan yang diperlukan oleh pasien, pasangannya, serta keluarganya

dan menyediakan CST termasuk PICT.

Monitoring dan Sistem Evaluasi

Sistem yang memonitor implementasi dari penerapan PICT

Proses PICT

Berikut merupakan bagan dari proses PICT 10

9

Page 10: hiv aids manajemen

1. Interpretasi Hasil Tes

Hasil testing positif (disebut reaktif) dan testing negatif (disebut non- reaktif)

atau indeterminate. Hasil reaktif apabila pada hasil pemeriksaan pertama

10

Pasien datang dengan/tanpa keluhan yang mengarah pada

gejala/tanda HIV/AIDS atau dengan riwayat perilaku berisiko

(riwayat penggunaan napza, perilaku seksual berisiko riwayat

transfusi darah dan lainnya)

Dokter/Tenaga kesehatan memberikan KIE dan diskusi yang cukup

dan menginisiasi pasien untuk melakukan testing

Setuju Tidak

Penandatanganan informed consent

Testing HIV

Membuka hasil untuk dilanjutkan dengan tatalaksana selanjutnya sesuai kebutuhan pasien

Pemberian KIE dan anjuran untuk melakukan testing kembali

Page 11: hiv aids manajemen

reaktif, dilanjutkan kedua reaktif dan dilanjutkan keti ga tetap reaktif, atau

melewati hasil indeterminate namun hasil akhir akhir adalah reaktif (strategi

reaktif dan non reaktif bisa berupa dua kali reaktif atau dua kali non-reaktif

dengan melihat penilaian faktor risiko klien/pasien. Bila hasil indeterminate,

pemeriksaan harus diulang dengan spesimen baru setelah 2 minggu, 1 bulan, 3

bulan, 6 bulan, 1 tahun. Bila sampai 1 tahun hasil tetap indeterminate dan

faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan non reaktif.

2. Konseling Pasca Tes

Konseling pasca testing membantu klien/pasien dan orang terdekatnya untuk

memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes. Konselor mempersiapkan

klien untuk menerima hasil tes, memberikan hasil tes dan menyediakan

informasi selanjutnya.

3. Pemeriksaan Kesehatan

Pemeriksaan kesehatan rutin dilakukan kepada klien untuk mengetahui status

kesehatan mereka. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu :

a. Pemeriksaan fisik

b. Pemeriksaan penunjang lainnya: laboratorium darah rutin, hitung CD 4,

kadar virus dalam darah/viral load/VL, foto rontgen toraks dan lainnya sesuai

dengan indikasi.

4. Pemberian Profilaksis dan Terapi

Pemberian profilaksis dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi

oportunistik dilakukan sesuai dengan indikasi yaitu jumlah sel CD4 di darah

tepi kurang dari 200/µl

2.4 Care, Support and Treatment (CST)11

2.4.1 Definisi CST

11

Page 12: hiv aids manajemen

CST merupakan suatu layanan medis, psikologis dan sosial yang terpadu

dan berkesinambungan dalam menyelesaikan masalah terhadap ODHA selama

perawatan dan pengobatan.

Dalam pelaksanaan CST yang optimal, perlu adanya kerjasama dari

semua pihak, termasuk dari bagian pemerintah, praktisi kesehatan, LSM serta

elemen lainnya, dalam peningkatan akses pendanaan, perencanaan yang mapan

dan penataan manajemen progam untuk mempercepat langkah global

penanggulanggan HIV/AIDS jangka panjang.

a. Care (perawatan)

Implementasi perawatan (care) bersifat komprehensif berkesinambungan,

yaitu perawatan yang melibatkan jaringan sumberdaya dan pelayanan dukungan

secara holistik, komprehensif dan luas untuk ODHA maupun keluarganya dan

menghubungkan antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan di rumah

secara timbal balik sepanjang perjalanan penyakit. Pencapaian hal tersebut

merupakan tanggung jawab tenaga medis yang berperan pada perawatan rumah

sakit dan keluarga yang berperan pada perawatan di rumah, tindakan kedua pihak

terhadap perawatan ODHA harus dimaksimalkan agar pelayanan komprehensif

bisa tercapai.

Yang perlu disosialisasikan adalah kesinambungan perawatan di rumah,

seperti pendanaan dan informed consent tertulis antara ODHA, keluarga, dokter

dan elemen terkait. Perbekalan untuk ODHA dan perawatan di rumah, seperti

sarung tangan lateks sekali pakai, masker, juga perlu penyediaan obat demam,

diare, anti mual, anti nyeri jika sewaktu waktu diperlukan. Diet gizi seimbang,

kebersihan pengolahan bahan mentah, kesterilan alat dan proses memasak serta

kematangan penyajian makanan dan minuman bagi ODHA penting diperhatikan.

Serta Kenyamanan perawatan bagi ODHA.

b. Support (dukungan)

Dukungan merupakan pengobatan aspek psikologis klinis dan sosial. Upaya

dapat berupa konseling pendampingan psikoterapi oleh konselor dan psikoreligi

12

Page 13: hiv aids manajemen

oleh pemuka agama sesuai keyakinan ODHA. Dalam bentuk kunjungan terbuka

atau konsultasi via telepon/internet.

Masyarakat perlu diberikan edukasi yang benar tentang HIV/AIDS berupa

penyuluhan dan diskusi terbuka, termasuk menghilangkan stigma negatif dan

diskriminasi untuk mengurangi beban psikis, stres dan depresi pada ODHA sebab

ODHA juga memiliki hak-hak asasi. Kestabilan emosional mempengaruhi

peningkatan ketahanan tubuh sehingga menurunnya pertumbuhan virus. Berada di

komunitas yang menghormati dan menghargai keberadaannya akan membuat

ODHA betahan hidup.

Dukungan pendanaan dari pemerintah dan LSM terkait, diperlukan bagi

ODHA dan keluarga, sebab progam pengobatan jangka panjang berdampak pada

peningkatan kebutuhan biaya. Pemerintah perlu membuat anggaran khusus terkait

dengan hal ini.

c. Treatment (pengobatan)

Pada dasarnya mencakup aspek medis klinis, psikologi klinis dan sosial.

Pengobatan medis klinis meliputi pengobatan suportif yang mencakup penilaian

gizi ODHA dari awal untuk mencegah gangguan nutrisi yang memperburuk

kondisi, bila nafsu makan sangat turun, pertimbangkan pemberian obat anabolik

steroid. Profilaksis infeksi oportunistik (IO), dimana IO yang sering terjadi adalah

renitis, kebutaan bahkan ensefalitas akibat sitomegalovirus, tuberkolosis,

toksoplasma, PCP, jamur kanida, pengobatan profilaksis bisa didapatkan di RS

rujukan khusus penanganan HIV/AIDS.

Terapi Antiretroviral (ARV), yang berfungsi untuk memperlambat

perjalanan penyakit, meningkatkan jumlah sel CD4 dan mengurangi jumlah virus

dalam darah. Pertimbangan memulai ARV adalah jika CD4 berjumlah 200-350

/mm3. Sebelum memulai terapi ARV, ODHA perlu mendapatkan konseling

kepatuhan tentang cara penggunaan, efek samping, tanda bahaya dan semua yang

terkait dengan terapi agar tidak terjadi resistensi. Bila terjadi kegagalan terapi di

masa depan akibat resistensi, semua obat harus diganti dengan kombinasi baru.

Jika semua ODHA terjangkau mendapatan akses layanan CST. Dan Negara

bersama rakyat memilih visi dan misi yang sama dalam penanggulangan

13

Page 14: hiv aids manajemen

HIV/AIDS maka progam ini akan mencapai puncak keberhasilan selaras dengan

progam universal access WHO.

2.5 ANTIRETROVIRAL (ARV)

Saat ini tidak ada vaksin atau obat yang dapat menyembuhkan secara total

pasien dengan HIV atau AIDS. Beberapa obat antiretroviral telah dikembangkan

guna mengurangi risiko infeksi dan viral load dalam tubuh pasien. Berdasarkan

mekanisme kerjanya, obat antiretroviral (ARV) atau obat anti-AIDS ini

diklasifikasikan menjadi lima golongan, yaitu : 12,13,14

1. Reverse Transcriptase Inhibitors (RTIs) yang terdiri dari golongan

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs) dan Non-Nukleoside

Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTIs).

2. Protease Inhibitors (PIs).

3. Fusion Inhibitor.

4. Entri Inhibitor.

5. Integrase Inhibitor.

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini diuraikan golongan obat-obat tersebut.

2.5.1 REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITORS (RTI)

Dalam tahap replikasi virus HIV, enzim reverse transcriptase yang terdapat

pada sel host berfungsi untuk mengubah genom virus HIV dari bentuk RNA rantai

tunggal menjadi DNA rantai ganda sehingga akan terbentuk virus DNA yang akan

berintegrasi dengan kromosom DNA sel host yang kemudian akan

memungkinkan terjadinya proses seluler sel host seperti transkripsi dan translasi

untuk memproduksi virus. Proses inilah yang menyebabkan virus HIV

berkembang dan tumbuh di dalam tubuh. Peran Reverse Transcriptase Inhibitor

(RTI) adalah untuk memblokir aktivitas enzim reverse transcriptase, menggangu

pembentukan DNA virus rantai ganda sehingga dapat mencegah

perkembangbiakan virus HIV. Reverse Transcriptase Inhibitor dapat

diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu 1) Nucleoside Reverse Transcriptase

Inhibitors (NRTI) dan 2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors

(NNRTI).12,13

14

Page 15: hiv aids manajemen

1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)

NRTI adalah analog alami deoxyribonucleoside yang kekurangan kelompok

3'-hidroksi pada gula ribosa.12 Kebanyakan NRTI merupakan prodrugs yang harus

mengalami fosforilasi untuk diubah oleh enzim kinase sel host menjadi bentuk

aktif 5'-triphosphate. Triphosphate ini bersaing dengan analog substrat

deoxyribonucleotide triphosphates (dNTP) dan masuk ke dalam rantai DNA virus

yang sedang disintesis.13,14 Hal ini menyebabkan penghentian perpanjangan lebih

lanjut atau terminasi dari rantai DNA karena kurangnya 3'-hidroksil pada gula

ribosa sehingga tidak terjadi penempelan nukleotida.12 Golongan obat ini tidak

dimetabolisme oleh enzim cytochrome P (CYP).14 Resistensi golongan obat ini

dapat terjadi bila terdapat mutasi pada pol gen virus yang dapat mencegah obat ini

menempel pada target kerjanya. Selain itu, resistensi juga dapat terjadi jika obat

yang sudah menempel terlepas kembali akibat dimana terjadinya tymidin analog

mutasi. Mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya cross resistence.15

Golongan NRTI merupakan inhibitor lemah pada DNA polymerase manusia

seperti obat Tenofovir Disoproxil Fumarate (TDF) dan Emtricitabine.12,14 Obat-

obat yang tergolong NRTI antara lain adalah Zidovudine (ZDV), Didanosine

(ddI), Zalcitabine (ddC), Stavudine (d4T), Lamivudine (3TC), Abacavir,

Tenofovir Disoproxil Fumarate (TDF), dan Emtricitabine. Efek samping dari

penggunaan golongan obat ini antara lain myopati atau kelemahan otot

(Zidovudine), pancreatitis (Didanosine dan Zalcitabine, Lamivudine), kelainan

saraf (Zalcitabine, Stavudine dan Lamivudine), pembesaran dan gagal hati parah

(Stavudine), dan efek samping umum, seperti demam, mual, muntah, nyeri perut,

sakit kepala, ruam pada kulit, dan diare.12,13

2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)

NNRTI memiliki tempat ikatan yang berbeda dengan tempat ikatan NRTI

pada reverse transcriptase. NNRTI tidak memerlukan proses fosforilasi untuk

menjadi aktif dan tidak berkompetisi dengan nukleosida triphosphate.12,13 NNRTI

merupakan kelompok kecil molekul hidrofobik dengan struktur berbeda yang

spesifik menghambat reverse transcriptase HIV-1 secara langsung dengan

berikatan pada enzim dan mengganggu fungsinya. Tempat ikatan pada enzim

15

Page 16: hiv aids manajemen

adalah P66 sub unit dari P66/5 hetero dimeric enzim, yang dikenal sebagai

NNRTI-binding pocket (NNRTI-BP).12,15 NNRTI merupakan substrat bagi enzim

CYP 3A4 or 2B6 hati.14 Tidak ada cross-resisten dengan NRTI. Resistensi dapat

terjadi jika ada mutasi pada pol gen yang biasanya diakibatkan oleh pemakaian

monoterapi, sehingga afinitas obat berkurang dan mencegah penempelan obat dan

transkripsi berjalan kembali.15 Obat-obat yang tergolong NNRTI antara lain

adalah Nevirapine (NVP), Delavirdin (DLV), Efavirenz (EFV), dan Etravirine.

NNRTI kadang-kadang dapat menginduksi terjadinya toksisitas pada hati. Efek

samping lain yang umum ditimbulkan dari penggunaan obat ini antara lain,

pusing, mual, muntah, kelelahan, ruam, dan diare.12,13

2.5.2 PROTEASE INHIBITORS (PI)

Protease virus merupakan suatu enzim yang berfungsi untuk memotong-

motong rantai polipeptida untuk membentuk suatu struktur virus yang esesnsial

dan komponen enzim yang fungsional. Dengan memblok enzim protease tersebut,

menggunakan protease inhibitor, HIV dapat membuat salinan dirinya sendiri

tetapi tidak dapat menginfeksi sel-sel baru. Dengan demikian, dapat mengurangi

jumlah virus dalam darah dan meningkatkan jumlah CD4 dalam tubuh.12,13

Namun, telah diamati bahwa efek menguntungkan dari protease inhibitor

berkurang seiring berjalannya waktu. Hal ini terjadi karena selama produksi setiap

HIV yang baru, virus yang dihasilkan akan mengalami sedikit modifikasi.

Protease yang baru memungkinkan virus dapat menolak obat protease inhibitor

tersebut dimana hanya bekerja pada protease jenis virus yang lama, sehingga

dalam perkembangannya dapat menimbulkan resistensi dan penggunaan protease

inhibitor menjadi kurang efektif.12,15 Untuk menghindari terjadinya resistensi

tersebut, tentu penting untuk menghentikan atau mengurangi produksi berulang

HIV dalam tubuh. Dengan demikian, untuk menjaga kadar HIV dalam tubuh agar

tetap rendah, pemberian protease inhibitor sebaiknya dikombinasikan dengan

setidaknya dua obat anti HIV yang lain seperti NRTI.12,16

Protease inhibitor yang dikombinasikan dengan obat analog nukleosida

antiretroviral, dapat menekan lebih kuat replikasi virus, sehingga mengurangi

morbiditas dan memperpanjang lama hidup pasien dengan infeksi HIV.12 Protease

16

Page 17: hiv aids manajemen

inhibitor dapat menghambat metabolism yang dimediasi oleh CYP3A.14 Beberapa

efek samping yang ditemukan dalam penggunaan protease inhibitor antara lain

adalah dislipidemia, lipodistrofi, resistensi insulin, dan aterosklerosis dini. Selain

itu, efek samping yang umum ditimbulkan antara lain, mual, muntah, nyeri perut,

dan sakit kepala.12,13

Obat-obat yang tergolong ke dalam protease inhibitor dibedakan menjadi

dua, yaitu sebagai berikut.12

a) Generasi pertama Protease Inhibitor HIV : Saquinavir, Ritonavir,

Indinavir, Nelfinavir, Amprenavir, Lopinavir, Fosamprenavir.

b) Generasi kedua Protease Inhibitor HIV : Atazanavir, Tipranavir, dan

Darunavir.

2.5.3 FUSION INHIBITORS (FI)

Fusion inhibitor adalah senyawa yang mengganggu virus HIV-1 pada tahap

akhir fusi dengan sel target dan mencegah agar sel-sel lain yang sehat tidak ikut

terinfeksi. Golongan obat ini bertindak pada tahap awal siklus hidup virus, dimana

fusion inhibitor ini berfunsi untuk mencegah masuknya virus ke dalam sel target,

dan memiliki mekanisme kerja yang sangat spesifik dengan tingkat toksisitas yang

rendah. Golongan obat ini akan berikatan dengan molekul subunit gp41 yang

terdapat pada kapsul glikoprotein virus. Hal ini bertujuan untuk mencegah

terjadinya perubahan struktur virus yang dapat membentuk lubang pada membran

sel target sehingga tidak terbentuk fusi antara virus dan sel taget.12,13 Reisitensi

terhadap obat ini bila terjadi mutasi pada pol gen pengkode molekul gp 41.15

Enfuvirtide, merupakan satu-satunya obat anti HIV yang termasuk golongan

fusion inhibitor. Jika dikombinasikan dengan obat anti HIV yang lain, enfuvirtide

sangat efektif digunakan pada orang yang telah gagal dengan obat anti HIV

sebelumnya.12,13,14 Karena strukturnya yang rapuh, enfuvirtide tidak dapat

diberikan secara oral, sehingga harus diberikan dalam bentuk injeksi subkutan.12

Enfuvirtide tidak dimetabolisme oleh cytochrome P450.14 Efek samping yang

ditimbulkan dari penggunaan obat ini antara lain reaksi penolakan pada tempat

injeksi, neuropati perifer, insomnia, depresi, batuk, anoreksia, infeksi, demam,

mual, muntah, dan hipotensi.12,13

17

Page 18: hiv aids manajemen

2.5.4 ENTRY INHIBITOR

Entry inhibitor yang merupakan senyawa CCR5 antagonis yang berfungsi

untuk memblokir CCR5, dimana CCR5 ini merupakan co-reseptor penempelan

utama virus HIV pada sel target.12,134,14 Golongan obat ini merupakan substrat bagi

enzim cytochrome P450.14 Selzentry dan maraviroc, merupakan obat yang bekerja

sebagai CCR5 antagonis dengan berikan langsung pada CCR5. Dengan demikian

penempelan virus pada sel target dapat dihambat sehingga dapat mencegah virus

masuk ke dalam sel target.12,14 Namun, seiring berlangsungnya penyakit, domain

ikatan co-reseptor gp 120 dapat bermutasi sehingga dapat tetap dapat menempel

pada bagian lain reseptor CCR5. Selain itu, virus ini dapat menyesuaikan diri

dengan menggunakan jalan masuk alternatif seperti menggunakan reseptor

CXCR4. Efek samping yang dirtimbulkan dari penggunaan obat ini antara lain

batuk, demam, pilek, ruam, nyeri otot dan sendi, dan pusing. Selain itu, efek

samping serius yang dapat ditimbulkan adalah toksisitas pada hati dan masalah

kardiovaskular seperti serangan jantung.12

2.5.5 INTEGRASE INHIBITOR

Integrase merupakan enzim virus yang esensial untuk replikasi virus HIV-1,

dimana enzim ini berfungsi untuk transfer strain virus dan mengkatalisis

penyisipan DNA provirus ke dalam genom sel host. Peran integrase inhibitor

adalah untuk mencegah pertumbuhan virus dengan memblok enzim integrase ini.

Raltegravir, merupakan obat pertama yang dirancang sebagai inhibitor enzim

integrase HIV. Biasanya obat ini digunakan secara kombinasi dengan obat

antiretroviral yang lain. Obat ini dapat menurunkan viral load dalam tubuh pasien

dan meningkatkan kadar sel darah putih seperti kadar sel CD4+. Raltegravir akan

memblok enzim integrase sehingga tidak terjadi penyisipan DNA virus ke dalam

DNA sel target pada tahap awal replikasi virus HIV ini.12,13,1417 Selain raltegravir,

obat yang termasuk golongan ini adalah elvitegravir dan dolutegravir.17 Resistensi

obat ini bisa terjadi bila terjadi mutasi pada pol gen yang mengkode terbentuknya

enzim integrase.15 Efek samping dari penggunaan obat ini antara lain adalah

meningkatkan kreatinin kinase, myopati, and rabdomyolisis.18

18

Page 19: hiv aids manajemen

Pemberian obat antiretroviral (ARV) dalam menangani pasien HIV/AIDS

secara tunggal tidak dapat dianggap benar-benar efektif dan ideal. Untuk itu, guna

mencapai pengobatan yang lebih efektif dan menguntungkan, terapi antiretroviral

(ARV) diadopsi sebagai terapi kombinasi yang dikenal sebagai Highly Active

Antiretroviral Therapy (HAART). Kombinasi antiretroviral merupakan dasar

penatalaksanaan pemberian antiretroviral terhadap pasien HIV/AIDS, karena

dapat mengurangi resistensi dan mampu menekan replikasi HIV secara efektif.12,16

Dua golongan antiretroviral yang dianjurkan oleh World Health Organization

dalam terapi HAART adalah kombinasi dari dua Nucleoside Reverse

Transcriptase Inhibitors (NRTI) ditambah satu Protease Inhibitor (PI) atau satu

Non-Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI).18,19 Kombinasi ini

biasanya menyebabkan peningkatan jumlah sel CD4+ dan mengurangi viral load

dalam tubuh, sehingga penularan, infeksi oportunistik, dan komplikasi lainnya

dapat dihindari serta meningkatkan kualitas dan harapan hidup dari pasien

HIV/AIDS.12,16

Di Indonesia, pilihan kombinasi ARV lini pertama yang ditetapkan dalam

Pedoman Nasional Antiretroviral adalah kombinasi Lamivudin + Zidovudin +

Nevirapin, Lamivudin + Zidovudin + Efavirenz, Lamivudin + Stavudin +

Nevirapin dan Lamivudin + Stavudin + Efavirenz.20

BAB III

KESIMPULAN

19

Page 20: hiv aids manajemen

Kasus HIV/AIDS merupakan kasus yang mengglobal. Tiap tahun kasusnya

terjadi peningkatan. Salah satu penyebabnya adalah mereka enggan untuk

memeriksakan dirinya karena ada stigma dari masyarakat mengenai penderita

HIV/AIDS. Stigmanya itu bisa berasal dari lingkungan tempat mereka tinggal dan

dari diri mereka sendiri. Dengan adanya stigma dan dikriminasi dari masyarakat

maka diperlukan pencegahan dan perawatan HIV yaitu VCT. VCT merupakan

pintu gerbang pencegahan dan perawatan HIV yang bersifat sukarela dan rahasia.

Tahapan-tahapan dari VCT yaitu pre-test counseling,test HIV, dan post-test

counseling. VCT masih banyak memiliki kekurangan diantaranya sulitnya

membuat masyarakat secara sukarela untuk mengikuti VCT, hal ini dikarenakan

mereka tidak tahu keuntungan dari mengetahui status HIV serta masyarakat juga

tidak bisa mengenali gejala dan tanda HIV/AIDS pada fase awal, oleh karena itu

munculah gagasan untuk membuat suatu tes dan konseling yang diprakarsai oleh

penyedia layanan kesehatan yang sekarang program itu dikenal dengan PICT

( Provider Initiated Counseling and Testing). PICT memiliki tahapan yang sama

dengan VCT perbedaanya terletak pada penyedia layanan kesehatan yang

memiliki inisiatif untuk melakukan konseling dan tes dengan persetujuan pasien.

Selain juga memerlukan konseling dan test, seseorang yang melakukan VCT atau

PICT juga memerlukan layanan secara medis,psikologis dan social dimana

dipenuhi oleh program CST . CST merupakan suatu layanan medis, psikologis

dan sosial yang terpadu dan berkesinambungan dalam menyelesaikan masalah

terhadap ODHA selama perawatan dan pengobatan. Tahapan-tahapan CST yaitu

care,support and treatment. Seseorang yang telah memiliki hasil tes HIV positif

maka penanganan yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan memberikan

antiretroviral (ARV). Berdasarkan mekanisme kerjanya, ARV terbagi menjadi 5

golongan yaitu 1) Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI) yang terdiri dari

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) dan Non-Nucleoside Reverse

Transcriptase Inhibitor (NNRTI), 2) Protease Inhibitor, 3) Fusion Inhibitor, 4)

Entry Inhibitor, dan 5) Integrase Inhibitor. ARV ini digunakan secara kombinasi

guna meningkatkan efektivitas kerja obat sehingga dapat menurunkan penularan,

infeksi oportunistik, dan komplikasi lainnya,serta meningkatkan kualitas dan

harapan hidup pasien.

20

Page 21: hiv aids manajemen

21