History of-java

82
History of Java Nusantara Kebudayaan Orang Jawa dapat dimulai dengan zaman perunggu (abad ke-3SM sampai abad ke- 3M). Kebudayaan perunggu Nusantara mempunyai kaitan erat dengan kebudayaan perunggu Dongson di Annam. Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indo-China pada masa peralihan dari periode Mesolitik ke Neolitik. Sebelum zaman Mesolitik, ada zaman Paleolitik dengan ditemukannya fosil Homo Erectus di Pulau Jawa khususnya di daerah Sangiran, Trinil, dan Ngandong. Homo Erectus tersebut umumnya dikenal dengan nama Homo Erectus Soloensis karena fosilnya ditemukan di daerah Bengawan Solo. Fosil Homo Erectus Soloensis tertua yang ditemukan di Jawa berumur sekitar 1 Ma atau 1 juta tahun. Pada umumnya Homo Erectus dianggap punah pada tahun 400.000SM namun berdasarkan analisis terhadap rahang tengkorak terhadap 17 specimen Homo Erectus Soloensis diperkirakan masih tetap eksis sampai tahun 50.000SM. Selain fosil Homo Erectus Soloensis, di Jawa juga ditemukan fosil Meganthropus. Umur fosil Meganthropus lebih tua dibanding dengan Homo Erectus Soloensis. Meganthropus kemudian lebih dikenal dengan nama Homo Erectus Paleo-javanicus Austronesia merupakan istilah yang diberikan oleh ahli lingustik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang dituturkan di Kepulauan Asia Tenggara, Micronesia, Melanesia, Polinesia. Austronesia berasal dari kata Ausro yang berarti Selatan dan Nesos yang berarti Pulau. William van Humbolt merupakan orang yang pertama kali mengajukan istilah Malayo-Polynesia untuk menyebut bahasa di kawasan Semenanjung Malaya di barat sampai Polynesia di timur. Kemudian Wilhem Schimdt mengajukan istilah Austronesia untuk menyebut bahasa Malayo-Polynesia. Selain itu dia juga mengajukan hipotesis Austric yang merupakan nenek moyang bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Bahasa Austronesia terdiri dari bahasa Malayu, Jawa, Tagalog, Sunda, Bugis, dan Cham. Ketiga bahasa yang disebut terawal merupakan bahasa terbesar yang digunakan di kawasan Malayo-Polynesia. Menurut Bellwood, Austronesia berasal dari Taiwan dan China selatan. Sedangkan bahasa Austroasiatic terdiri dari bahasa Thai, Lao, Mon, Khmer-Kamboja, dan Viet. Robert van Heien Geldern merupakan ahli arkeologi pertama yang memakai konsep budaya Austronesia dari para linguist. Dia berpendapat bahwa luas budaya Austronesia dapat ditunjukan dengan persebaran budaya Vierkantbeil Atze dengan ciri utamanya adalah dengan kehadiran beliung berpenampang lintang persegi. Wilheim G. Solheim mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran gerabah Sa Huynh dan Kalanay di Kepulauan Asia Tenggara dan Lapita di Melanesia memiliki hubungan dengan persebaran Austronesia. Dia mengajukan istilah “Nusantao” yang diambil dari kata “Nusantara” untuk menyebut kelompok Austronesia dan budayanya. Solheim memberi arti pada kata “ Nusantao” yaitu “ Orang Selatan” seperti halnya kata” Austronesia”. Malayo-Polynesia barat terdiri dari Sumatra dan pantai barat Semenanjung Malaya. Malayo Polynesia tengah terdiri dari Semenanjung Indochina, pantai timur Semenanjung Malaya, Luzon- Mindanao, Kalimantan, Jawa-Sumbawa, Sulawesi, dan Maluku. Malayo Polynesia timur terdiri dari Papua, Melanesia, Polynesia. Menurut Solheim, Malayo-Polynesia tengah berasal dari Semenanjung Indochina tepatnya di wilayah Cham. Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya bangsa Austronesia yang terutama menetap di Annam (Indochina). Penamaan kebudayaan ini sendiri diambil dari situs Dongson di Tanh Hoa. Jika ditarik kembali ke belakang kebudayaan Dongson di Annam berasal dari

description

 

Transcript of History of-java

History of Java Nusantara

Kebudayaan Orang Jawa dapat dimulai dengan zaman perunggu (abad ke-3SM sampai abad ke-3M). Kebudayaan perunggu Nusantara mempunyai kaitan erat dengan kebudayaan perunggu Dongson di Annam. Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indo-China pada masa peralihan dari periode Mesolitik ke Neolitik. Sebelum zaman Mesolitik, ada zaman Paleolitik dengan ditemukannya fosil Homo Erectus di Pulau Jawa khususnya di daerah Sangiran, Trinil, dan Ngandong. Homo Erectus tersebut umumnya dikenal dengan nama Homo Erectus Soloensis karena fosilnya ditemukan di daerah Bengawan Solo. Fosil Homo Erectus Soloensis tertua yang ditemukan di Jawa berumur sekitar 1 Ma atau 1 juta tahun. Pada umumnya Homo Erectus dianggap punah pada tahun 400.000SM namun berdasarkan analisis terhadap rahang tengkorak terhadap 17 specimen Homo Erectus Soloensis diperkirakan masih tetap eksis sampai tahun 50.000SM. Selain fosil Homo Erectus Soloensis, di Jawa juga ditemukan fosil Meganthropus. Umur fosil Meganthropus lebih tua dibanding dengan Homo Erectus Soloensis. Meganthropus kemudian lebih dikenal dengan nama Homo Erectus Paleo-javanicus

Austronesia merupakan istilah yang diberikan oleh ahli lingustik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang dituturkan di Kepulauan Asia Tenggara, Micronesia, Melanesia, Polinesia. Austronesia berasal dari kata Ausro yang berarti Selatan dan Nesos yang berarti Pulau. William van Humbolt merupakan orang yang pertama kali mengajukan istilah Malayo-Polynesia untuk menyebut bahasa di kawasan Semenanjung Malaya di barat sampai Polynesia di timur. Kemudian Wilhem Schimdt mengajukan istilah Austronesia untuk menyebut bahasa Malayo-Polynesia. Selain itu dia juga mengajukan hipotesis Austric yang merupakan nenek moyang bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Bahasa Austronesia terdiri dari bahasa Malayu, Jawa, Tagalog, Sunda, Bugis, dan Cham. Ketiga bahasa yang disebut terawal merupakan bahasa terbesar yang digunakan di kawasan Malayo-Polynesia. Menurut Bellwood, Austronesia berasal dari Taiwan dan China selatan. Sedangkan bahasa Austroasiatic terdiri dari bahasa Thai, Lao, Mon, Khmer-Kamboja, dan Viet. Robert van Heien Geldern merupakan ahli arkeologi pertama yang memakai konsep budaya Austronesia dari para linguist. Dia berpendapat bahwa luas budaya Austronesia dapat ditunjukan dengan persebaran budaya Vierkantbeil Atze dengan ciri utamanya adalah dengan kehadiran beliung berpenampang lintang persegi. Wilheim G. Solheim mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran gerabah Sa Huynh dan Kalanay di Kepulauan Asia Tenggara dan Lapita di Melanesia memiliki hubungan dengan persebaran Austronesia. Dia mengajukan istilah “Nusantao” yang diambil dari kata “Nusantara” untuk menyebut kelompok Austronesia dan budayanya. Solheim memberi arti pada kata “ Nusantao” yaitu “ Orang Selatan” seperti halnya kata” Austronesia”. Malayo-Polynesia barat terdiri dari Sumatra dan pantai barat Semenanjung Malaya. Malayo Polynesia tengah terdiri dari Semenanjung Indochina, pantai timur Semenanjung Malaya, Luzon-Mindanao, Kalimantan, Jawa-Sumbawa, Sulawesi, dan Maluku. Malayo Polynesia timur terdiri dari Papua, Melanesia, Polynesia. Menurut Solheim, Malayo-Polynesia tengah berasal dari Semenanjung Indochina tepatnya di wilayah Cham.

Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya bangsa Austronesia yang terutama menetap di Annam (Indochina). Penamaan kebudayaan ini sendiri diambil dari situs Dongson di Tanh Hoa. Jika ditarik kembali ke belakang kebudayaan Dongson di Annam berasal dari

Yunnan (China selatan). Dari Yunnan ini menyebar ke Asia Tenggara sampai ke pulau Jawa. Asumsi yang digunakan adalah benda-benda perunggu di Yunnan dengan benda-benda perunggu yang ditemukan di Dongson (Annam) dan di Nusantara (misalnya Pahang, Riau, Jambi, Palembang, Jawa, Bali, Sumbawa, Selayar) mempunyai kesamaan bentuk dan materi. Hal tersebut nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang sangat rumit sekali. Ukiran benda perunggu yang terdapat di Yunnan menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Scythian (Saka) berupa perburuan binatang seperti ox dengan cara mengendarai kuda. Nama “Saka” dalam bahasa China dikenal dengan nama “Sai/Sek”. Scythian sendiri merupakan salah satu cabang suku bangsa Iran. Benda-benda tersebut misalnya kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga, gerabah, jambangan rumah tangga, mata timbangan, kepala pemintal benang, dan perhiasan-perhiasan (gelang dari kerang, manik-manik dari kaca). Semua benda tersebut atau hampir semuanya diberi hiasan geometri. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini diantaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan. Hasil karya yang terkenal adalah Nekara Perunggu. Hasil karya ini merupakan benda religius pada masyarakat dahulu. Nekara ini sendiri dikaitkan dengan siklus pertanian. Dengan mengandalkan pengaruh ghaibnya, nekara ini ditabuh untuk menimbulkan bunyi petir yang berkaitan dengan datangnya hujan. Nekara perunggu ini dapat ditemukan di Jambi, Jawa, Bali, Sumbawa, dan Selayar. Bejana Perunggu dapat ditemukan di Jambi dan Madura. Arca Perunggu dapat ditemukan di Jambi, Palembang, dan Jawa. Perhiasan Perunggu ditemukan di Jawa dan Bali. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal. Mereka terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka menetap di pematang pesisir, terlindung dari bahaya banjir, dalam rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Selain bertani, masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan tetapi juga pelaut yang melayari seluruh laut China Selatan dengan perahu yang panjang. Kebudayaan Dongson di Annam ini kemudian menyebar ke delta sungai Mekong.

Kerajaan Funan (berdiri pada awal abad ke-2M) merupakan kerajaan Hindu pertama di sungai Mekong. Kerajaan Champa (berdiri pada awal abad ke-3M) yang terletak di sebelah utara Funan menjadi kerajaan Hindu karena adanya pengaruh interaksi dengan Kerajaan Funan. Jika dilihat dari budaya dan bahasa yang digunakan, orang Funan dan Champa termasuk dalam bangsa Austronesia. Pada masa pemerintahan Sri Mara (205M-225M) dari Funan, Kerajaan Funan mengalami puncak kejayaan karena adanya dominasi perdagangan di laut China Selatan. Pada tahun 270M Kerajaan Funan dan Champa beraliansi melakukan penyerangan terhadap wilayah China di Tonkin (Annam) tetapi serangan ini gagal. Ibukota Kerajaan Funan dinamakan Wyadhapura (Kota Para Pemburu) sekarang terletak di Banam, Kamboja. Menurut berita China bangsa ini suka berperang dan mempunyai ciri-ciri berambut hitam ikal dan bermata tajam. Bangsa Funan hidup dengan bercocok tanam padi dan berdagang. Pada masa pemerintahan Indrawarman (akhir abad ke-5M), Kerajaan Funan mempunyai beberapa kerajaan bawahan seperti Chenla-Kamboja (Champasak, berdiri pada awal abad ke-6M), Dwarawati-Mon (Lopburi, berdiri pada awal abad ke-6M), di Semenanjung Malaya ada Pan-Pan (Kelantan, berdiri pada awal abad ke-6M), Langkasuka (Pattani, berdiri pada awal abad ke-6M), dan Raktamaritika (Songkla, berdiri pada awal abad ke-6M). Setelah masa pemerintahan Rudrawarman (550M), Kerajaan Funan menjadi kacau akibat adanya serangan dari Bhawawarman dari Chenla-Kamboja. Bhawawarman dari Chenla-Kamboja sendiri merasa berhak atas tahta Funan. Kerajaan Chenla-Kamboja didirikan oleh Shrusthawarman (awal abad ke-6M). Pada masa pemerintahan Isanawarman (616M-635M) dari Chenla-Kamboja berhasil mengalahkan Funan. Kerajaan Chenla-Kamboja merupakan cikal bakal dari Kerajaan Khmer Kamboja (berdiri pada tahun 802M). Pada awal abad ke-7M Kerajaan Chenla-Kamboja menguasai Dwarawati (Mon) yang kemudian

menjadi Kerajaan Lavo (Mon). Kerajaan Lavo dibawah pengaruh Kerajaan Khmer Kamboja sampai akhir abad ke-13M. Pada abad ke-8M wilayah Thai dibawah pengaruh Kerajaan Lavo (Mon) bahkan raja Lavo mengangkat kepala suku Thai sebagai raja di Ngoenyang. Sedangkan putri dari raja Lavo dijadikan sebagai penguasa di Haripunchai. Pada tahun 1087, Kerajaan Lavo dapat menangkis serangan dari Kerajaan Pagan Burma (berdiri pada pertengahan abad ke-11M sampai akhir abad ke-13M). Sebelumnya pada tahun 1057M Kerajaan Pagan Burma juga dapat menaklukan Kerajaan Thaton-Mon (berdiri pada awal abad ke-9M).

Menurut sejarawan berdasarkan berita China pada abad ke-5M, ada beberapa kerajaan di Sumatra dan Jawa misal Holotan dari Shepo dan Kantoli. Nama tersebut kemudian diidentifikasi oleh para sejarawan misal Holotan dari Shepo dengan Harutan dari Jawa dan Kantoli dengan Kandali. Kerajaan Holotan dari Shepo pernah mengirim utusan ke Dinasti Sung China (420M-479M) pada tahun 430M, 437M, dan 452M. Kerajaan Kantoli pernah mengirim utusan ke Dinasti Sung China pada tahun 454M dan 461M. Menurut berita Dinasti Ming China, San Fo Tsi dulunya disebut dengan nama Kantoli. Para sejarawan kemudian mengindentifikasikan San Fo Tsi dengan Sumatra dan Kantoli dengan Kandali. Nama San Fo Tsi pertama kali muncul pada berita Dinasti Sung China. Letak Kerajaan Kantoli (Kandali) kemungkinan di Jambi. Kerajaan Kandali ini kemungkinan digantikan oleh Kerajaan Malayu (berdiri pada awal ke-7M). Menurut berita Dinasti Tang China, pada tahun 645M Kerajaan Malayu (Jambi) mengirim utusan ke Dinasti Tang China. Menurut Slamet Mulyana, ibukota Malayu terletak di daerah perbukitan di Muara Tebo, Jambi. Pada akhir abad ke-7M muncul Kerajaan Sriwijaya (berdiri pada akhir abad ke-7M) dengan pendirinya bernama Dapunta Hyang Jayanasa (prasasti Talang Tuo, 684M). Menurut Pierre-Yves Manguin, ibukota Sriwijaya terletak di daerah perbukitan di Bukit Siguntang. Hal ini didasarkan pada Sejarah Malayu (awal abad ke-17M) yang menyebutkan bahwa Parameswara pendiri Malaka (awal abad ke-15M) berasal dari Bukit Siguntang. Dengan berasumsi bahwa Parameswara merupakan seorang pangeran Sriwijaya. Padahal dalam Sejarah Malayu tidak terdapat nama Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya sendiri runtuh pada abad ke-11M akibat serangan Cola-India. Nama Parameswara sendiri beragama Hindu jika dibandingkan dengan Sriwijaya yang beragama Budha. Kerajaan Sriwijaya juga berafiliasi dengan Kerajaan Pala India (berdiri pada pertengahan abad ke-8M sampai akhir abad ke-12M) yang beragama Budha aliran Mahayana. Pada masa pemerintahan Dapunta Hyang Jayanasa banyak mengeluarkan prasasti misal prasasti Kedukan Bukit (682M) yang ditemukan di Palembang berisi penyerangan Sriwijaya ke Minanga Tamwa. Menurut I Tsing, pada tahun 671M ketika ia akan ke Nalanda dan singgah ke Moloyu (Jambi, berdiri pada pertengahan abad ke-7M), Kerajaan Moloyu (Jambi) masih merdeka. Namun pada tahun 685M ketika ia kembali ke Moloyu (Jambi), kerajaan ini sudah menjadi wilayah Shih Li Fo Tsi (Sriwijaya). Menurut berita Dinasti Tang China, pada tahun 704M Shih Li Fo Tsi (Sriwijaya-Palembang) mengirim utusan ke Dinasti Tang China. Prasasti yang berkaitan dengan Sriwijaya misal prasasti Kedukan Bukit (Palembang, 682M), prasasti Talang Tuo (Palembang, 684M), prasasti Kota Kapur (Bangka, 686M), prasasti Telaga Batu (Palembang, akhir abad ke-7M), prasasti Palas Pasemah (Lampung, akhir abad ke-7M), prasasti Karang Birahi (Jambi, akhir abad ke-7M) semuanya memakai Bahasa Malayu Kuno dengan Aksara Pallawa. Pada akhir abad ke-7M menurut catatan I Tsing peziarah Budha dari China, negeri di Shih Li Fo Tsi (Palembang) pada umumnya menganut agama Buddha aliran Mahayana, kecuali Mo-lo-yu (Jambi). Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu kemungkinan masih menganut agama Hindu atau Animisme. Kata Malayu berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu Malaya yang berarti bukit. Jambi merupakan penghasil emas terbesar di Sumatra karena hal itu Pulau Sumatra dinamakan Swarnadwipa

artinya Pulau Emas. Wilayah Sriwijaya pada akhir abad ke-7M adalah Lampung, Palembang, Bangka, dan Jambi.

Ada yang berpendapat bahwa Kerajaan Kelingga Jawa terletak di Jepara dimana terdapat daerah bernama Keling. Nama Keling juga terdapat di daerah Surabaya. Nama seperti Keling dan Kelinggapura merupakan salah satu daerah bawahan Majapahit (abad ke-14M) yang dipimpin oleh seorang Batara i (Bre) Keling dan Bre Kelinggapura. Bukti prasasti lain yang diduga berkaitan dengan keberadaan Kelingga adalah prasasti Tukmas yang ditemukan di lereng Gunung Merbabu (Boyolali) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa yang berisi deskripsi tentang keadaan alam setempat dan gambar-gambar peralatan manusia. Berdasarkan paleografinya prasasti Tukmas diperkirakan berasal pada akhir abad ke-6M. Berdasarkan berita Dinasti Tang (620M-930M), Holing (Kelingga) juga disebut dengan Shepo (Jawa). Nama “Chupo/Chopo/Shepo” sudah digunakan oleh Orang China untuk menunjuk “Jawa” sejak abad ke-5M (pada masa Dinasti Sung China). Pada tahun 627M, 649M, dan 666M Holing mengirim utusan ke Dinasti Tang China. Pada tahun 768M, 769M, dan 770M Holing mengirim utusan ke Dinasti Tang China kemungkinan pada masa Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (746M-784M). Pada tahun 767M disebutkan bahwa Chopo (Jawa) menyerang Tonkin (Annam) namun dapat dipukul mundur oleh Gubernur China yang bernama Chang Po Yi. Utusan tahun 768M kemungkinan merupakan isyarat perdamaian atau ganti rugi bagi pihak Jawa. Pada tahun 813M, 815M, 818M dan 820M Holing mengirim utusan ke Dinasti Tang China kemungkinan pada masa Maharaja Rakai Warak Dyah Manara (803M-827M). Sejak tahun 820M dalam pemberitaan China nama Holing diganti dengan nama Shepo. Pada tahun 831M dan 839M Shepo mengirim utusan ke Dinasti Tang China kemungkinan pada masa Maharaja Rakai Garung (828M-847M). Pada tahun 813M telah datang utusan dari Holing dengan memberikan hadiah berupa budak Seng qi (Jenggi) kepada Kaisar Dinasti Tang China. Jenggi merupakan orang kulit hitam yang berasal dari Afrika. Nama Jenggi juga tercantum dalam daftar abdi dalam prasasti Jawa Kuno tahun 860M. Budak Jenggi tersebut dikirim dari Afrika ke Jawa bahkan ada yang dikirim ke China. Cerita itu sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Ibn Lakis bahwa pada tahun 945M telah tiba kira-kira seribu kapal yang dinaiki Orang Wak-wak di daerah Sofala-nya Orang Zenggi/Jenggi (Mozambik Afrika). Orang Wak-wak disebutkan berasal dari kepulauan yang berhadapan dengan China. Kata “Wak-wak” kemungkinan diambil dari kata “Jawak” (Jawa-red). Orang Wak-wak menempuh pelayaran selama satu tahun untuk sampai ke tempat Orang Zenggi. Orang Wak-wak datang ke sana untuk mencari barang barang seperti Gading Gajah, Cula Badak, Kulit Penyu, Emas, Perak yang dibutuhkan di negeri mereka ataupun untuk diperdagangkan ke China. Selain itu mereka juga mencari Orang Zenggi (Jenggi) untuk dipekerjakan sebagai budak. Pelabuhan Sofala berdiri pada abad ke-8M. Penduduk asli pulau Madagaskar yang terletak di sebelah timur Mozambik kemungkinan berasal dari Jawa dilihat dari bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa Jawa dibandingkan dengan bahasa Malayu misal

Jawa Madagaskar1 Esa, Siji Isa2 Loro Roa3 Telu Telo4 Papat Efat-ra5 Limo Dimy6 enem Enin7 Pitu Fitu8 Wolu Volu

9 Sanga Sivy10 Se-puluh Fulo20 Rong-puluh Roapolo100 Satus Zato1000 Sewu Arivo

Dalam prasasti Kui (840M) disebutkan bahwa di Jawa terdapat banyak pedagang asing dari mancanagara untuk berdagang misal Cempa (Champa), Kmir (Khmer-Kamboja), Reman (Mon), Gola (Bengali), Haryya (Arya), Keling (Kelingga, pantai timur India), Cwalika (Tamil, pantai timur India), Singha (Sri Langka), Malayala (Malayalam, pantai barat India), Karnnake (Karnataka, pantai barat India). Di Jawa juga terdapat para pejabat lokal yang mengurusi para pedagang asing misal Juru China yang mengurusi para pedagang dari China dan Juru Barata yang mengurusi para pedagang dari India. Hal tersebut seperti Konsul yang bertanggung jawab atas kaum pedagang asing. Dalam prasasti Champa disebutkan bahwa Jaya Simhawarman (908M) dari Champa pernah mengirim utusan ke Jawa. Permasalahan terhadap para pedagang asing mungkin saja terjadi seperti apa yang tercantum dalam prasasti Wurada Kidul (922M). Prasasti tersebut berupa Keputusan Yuridis (Hukum) mengenai kasus Dhanadi, disebutkan bahwa dia dituduh oleh para penduduk desa Sima Swatantra (desa bebas pajak kerajaan) sebagai seorang Wika Kilatan (anak pemungut pajak). Di Jawa, kata “Desa” dulunya disebut juga dengan kata “Wanua”. Karena tidak terima tuduhan tersebut, Dhanadi kemudian mengajukan kasus tersebut ke pengadilan kerajaan. Hasil keputusan pengadilan menyatakan bahwa Dhanadi bukanlah seorang Wika Kilatan dan kemudian dibebaskan atas tuduhan. Tidak terima akan hasil tersebut para penduduk desa kembali menuduh Dhanadi sebagai seorang Wika Kmir (anak Khmer Kamboja). Hukum kerajaan menyatakan bahwa para pedagang asing dilarang masuk ke desa Sima Swatantra. Dhanadi kemudian mengajukan kasusnya kembali ke pengadilan dan menyatakan bahwa dia merupakan penduduk asli setempat yang sudah turun temurun tinggal disana. Keputusan pengadilan menyatakan bahwa Dhanadi bukanlah orang asing dan mengharapkan agar penduduk desa tidak mengusiknya lagi. Menurut berita Dinasti Tang China Kerajaan Holing (Kelingga) berbatasan dengan Poli (Bali) di sebelah timur, Topoteng di sebelah barat, Chenla (Kamboja) di sebelah utara dan lautan luas (Samudra Hindia) di sebelah selatan. Kerajaan Holing menghasilkan Cula Badak, Gading Gajah, Kulit Penyu, Emas, dan Perak. Masyarakat Holing disebutkan mengenal aksara dan ilmu perbintangan. Menurut I Tsing di Holing (Kelingga) pada tahun 664M-667M terdapat pendeta China bernama Hwining yang bekerja sama dengan pendeta Janabadra dalam rangka menerjemahkan kitab agama Budha aliran Hinayana. Selain itu berita China pada masa Dinasti Tang juga menyebutkan pada tahun 674M Kerajaan Holing dipimpin oleh Ratu Simha. Pada masa pemerintahan Ratu Simha terkenal karena adil dan bijaksana. Menurut berita China, pada masa pemerintahan Ratu Simha, Orang Tarshish pernah hendak menyerang Kelingga Jawa namun rencana mereka dibatalkan karena mereka takut akan kepemimpinan Ratu Simha yang terkenal tidak memandang bulu dalam menegakkan hukum. Kata “Simha” sama dengan kata “Singha” (Leo/Lion). Menurut van Orsoy, dalam berita China nama Medang Kamulan disebut dengan “Medang Kuwu-lang-piya” yang menunjuk tentang Holing/Kelingga. Nama Kamulan juga tercantum dalam prasasti Karang Tengah. Dalam legenda di Jawa disebutkan bahwa Kerajaan Medang Kamulan berkaitan dengan tokoh Haji Saka yang telah mengalahkan Dewata Cengkar dari Medang Kamulan dan mengajarkan aksara pertama kali kepada penduduk Jawa. Gelar “Sang Haji (Sangaji)” merupakan gelar dibawah “Sang Ratu”. Kemungkinan Haji Saka merupakan raja bawahan dari Dewata Cengkar dari Medang Kamulan. Seperti halnya Haji Sunda pada Suryawarman (536M) dari Taruma, Haji Dharmasetu pada Maharaja Dharanindra (782M) dari Medang. Haji Patapan pada Maharaja Samaratunggadewa (824M) dari Medang,

Haji Wurawari pada Maharaja Dharmawangsa (1016M) dari Medang, Haji Katong (Jaya-katwang) pada Maharaja Dhiraja Kertanagara (1292M) dari Tumapel/Singasari. Letak Medang Kamulan menurut Bujangga Manik (awal abad ke-16M) terletak di Grobogan. Menurut berita Dinasti Tang China, Kerajaan Holing mempunyai gua yang selalu memancarkan air garam. Di Jawa, gua tersebut dinamakan dengan Bledug “Kuwu” karena terletak di daerah Kuwu, Grobogan. Bledug Kuwu merupakan tempat satu-satunya di Jawa yang terdapat sumber air garam di pedalaman. Dalam legenda di Jawa, Bledug Kuwu berkaitan dengan tokoh Jaka Linglung putra Haji Saka. Menurut Bujangga Manik pada awal abad ke-16M perbatasan Kerajaan Hindu Sunda dengan Kerajaan Hindu Jawa adalah sungai Pamali (Brebes) di sebelah utara dan sungai Serayu (Cilacap) di sebelah selatan. Karena ekspansi Kesultanan Islam Jawa abad-16M) perbatasannya semakin ke arah barat yaitu sungai Cisanggalung (Cirebon) di sebelah utara dan sungai Citandui (Ciamis) di sebelah selatan. Dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Hindu di Jawa bermula di Kelingga (Jepara) lalu ke Medang i Kamulan (Grobogan) dan akhirnya ke Medang i Mataram (Magelang). Perpindahan pusat Kerajaan Hindu Jawa (abad ke-7M) tersebut mirip dengan perpindahan pusat Kerajaan Islam Jawa (abad ke-16M) yaitu dari Demak lalu ke Pajang (Boyolali) dan akhirnya ke Mataram (Yogyakata).

Berdasarkan Naskah Wangsakerta berbahasa Jawa dengan Aksara Jawa (awal abad ke-20M), Kerajaan tertua di Jawa adalah Kerajaan Salakanagara (berdiri pada awal abad ke-2M sampai pertengahan abad ke-4M). Pada mulanya ada seorang duta dari India yang datang ke Jawa. Duta dari India tersebut kemudian menikahi seorang putri dari Ki Tirem yang merupakan seorang kepala suku. Duta dari India tersebut kemudian mendirikan Kerajaan Salakanagara dan dinobatkan dengan nama Dewawarman. Gelar yang dipakai oleh Dewawarman adalah Haji. Duta dari India ini kemungkinan berasal dari Kerajaan Western Satrap (Sakas) India. Kemungkinan Dewawarman berasal dari bangsa Yavanas (Indo-Greek), Sakas (Indo Scythian), Pahlavas (Indo Parthian), Paradas (Indo-Parthian), Kambujas (Indo Persian). Berdasarkan Kitab Purana, bangsa Yavanas, Sakas, Pahlavas, Kambujas, Paradas dikenal sebagai Panca-Ganah (Gerombolan Lima) atau Kshatriya-Pungava (Ksatria Punggawa). Pada pertengahan abad ke-1M Orang Sakas dibantu teman-temannya (Yavanas, Pahlavas, Kambujas, Paradas) mendirikan Kerajaan Western Satrap. Kerajaan ini didirikan oleh Yopiraja (35M). Nama “Western Satrap” yang beribukota di Ujjain dipakai untuk membedakan dengan “Northern Satrap” (berdiri pada akhir abad ke-1SM) yang beribukota di Mathura. Northern Satrap (Sakas) dan Kelingga India pernah berperang bersama melawan Satakarni (143SM-87SM) dari Satawahana India. Kebanyakan raja-raja Kelingga India menganut agama Jain. Pada tahun 78M Western Satrap (Sakas) mengalahkan Wikramaditya dari Dinasti Wikrama India. Kemenangan pada tahun 78M dijadikan sebagai tahun dasar dari penanggalan (kalender) Saka. Wilayah Western Satrap mencakup Rajastan, Madya Pradesh, Gujarat, dan Maharashtra. Para raja dari Western Satrap biasanya memakai dua bahasa yaitu Sankrit (Sansekerta) dan Prakit serta dua aksara yaitu Brahmi dan Yunani dalam proses pembuatan prasasti dan mata uang logam kerajaan. Sejak pemerintahan Rudra-simha 1 (160M-197M) dari Western Satrap, dalam pembuatan mata uang logam kerajaan selalu mencantumkan tahun pembuatannya berdasarkan pada kalender Saka. Secara kebudayaan, Orang Satrap sangat terpengaruh oleh kebudayaan Yunani. Nama Satrap merupakan sebuah sistem pemerintahan yang diciptakan oleh Alexander The Great. Gelar Satrapvan sendiri setingkat dengan Viceroy atau Haji. Pada awal abad ke-4SM kekuasaan Alexander The Great dari Macedonia mencangkup bekas wilayah Kekaisaran Achaemenid yaitu Media, Persia, Elam, Babylonia (Chaldea), Assyria, Arabia, Egypt, Libya, Armenia, Lydia, Cilicia, Paphlagonia, Pamphylia, Caria, Carmania, Cappadocia, Thrace, Macedon, Yauna (Ionian), Gandara, Taxila, Gedrosia, Aria (Arya), Maka, Drangiana, Parthia, Sattagydia, Arachosia, Bactria, Sogdia, Kush, Sacae (Saka), Chorasmia, Hyrcania, Margu, Dahae. Western Satrap

dalam bahasa Yunani disebut juga dengan nama Ariaca (Arya). Kerajaan Western Satrap runtuh pada masa pemerintahan Rudra-simha 111 (388M-395M) akibat serangan dari Candragupta 11 (395M-413M) dari Dinasti Gupta India (berdiri pada pertengahan abad ke-3M sampai pertengahan abad ke-6M). Aliansi dari Panca Ganah inilah yang menemukan jalur perdagangan laut dari India ke China. Nama Yawa (Jawa-red) sendiri merupakan turunan dari kata Yawana dalam bahasa Sansekerta. Menurut berita China, pada tahun 132M, raja Tian Pian (Dian Bian) dari Ye Tiao pernah mengirim utusan ke Dinasti Eastern Han China. Disebutkan bahwa raja Tian Pian meminjam sebuah stempel emas milik Kaisar China. Biasanya stempel emas Kaisar China berbentuk Naga. Di Jawa juga ditemukan sebuah cincin emas berbentuk stempel. Menurut G. Ferrand, kata “Ye Tiao” merupakan ejaan China untuk “Yawadi” dalam bahasa Prakit atau “Yawadwipa” dalam bahasa Sansekerta. Sedangkan kata “Tian Pian” merupakan terjemahan China untuk “Dewa-warman”, “Warma-dewa”, “Tungga-dewa”. Kata “Tian” berarti “Dewa” atau “Batara” dan kata “Pian” berarti “Warman” atau “Tungga”. Nama “Warmadewa” biasanya digunakan oleh penguasa dari Bali misal Haji Kesari Warmadewa (890M) dan Haji Dharmodayana Warmadewa (990M) dan penguasa dari Malayu misal Maharaja Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1178M) dan Maharaja Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1275M). Nama penguasa dari Jawa biasanya memakai nama “Tunggadewa” misal Maharaja Dharmatunggadewa (792M) dan Maharaja Samaratunggadewa (824M). Nama Dewa-warman kemungkinan berkaitan tokoh Dewata (Dewa-nata) Cengkar, Sang Haji (Sang-aji) Saka, Jaka Linglung (Naga). Di dalam legenda Jawa mengenal adanya seorang tokoh bernama Haji Saka (akhir abad ke-1M) yang kemungkinan berasal dari Western Satrap (Sakas). Haji Saka merupakan raja bawahan dari Dewata Cengkar dari Medang Kamulan. Haji Saka kemudian berhasil mengalahkan Dewata Cengkar dari Medang Kamulan. Haji Saka mempunyai putra bernama Jaka Linglung yang berwujud Naga. Di dalam legenda Funan, Champa, dan Kamboja diceritakan asal mula dinasti mereka berasal dari seorang pangeran dari India bernama Kaundinya (awal abad ke-2M). Disebutkan bahwa Kaundinya menyelamatkan kapal Brahmana dari perompakan yang dilakukan oleh Soma putri dari raja Naga yang merupakan penguasa dari sebuah pulau. Setelah Kaundinya berhasil mengalahkan putri Soma, ia membujuk putri Soma agar mau menikah dengannya. Kaundinya dan putri Soma kemudian dikirim ke daratan (Kamboja) dan Kaundinya menjadi raja Funan yang pertama. Cerita Kaundinya pada awalnya berasal dari Funan pada awal abad ke-3M kemudian diambil oleh Isanawarman 1 (616M-635M) dari Chenla-Kamboja ketika berhasil menguasai seluruh wilayah Funan. Prakasadharma 1 (653M-687M) dari Champa mengambil cerita Kaundinya dari Chenla-Kamboja. Prakasadharma 1 dari Champa sendiri mengaku keturunan dari Isanawarman 1 dari Chenla Kamboja kemungkinan dari garis ibunya. Menurut legenda dari Pallawa (Pahlavas) disebutkan bahwa leluhur Dinasti Pallawa India bernama Aswataman putra dari Maharesi Druna. Di dalam legenda Pallawa India disebutkan bahwa Aswataman menikah dengan Bidadari Menaka dari Funan. Aswataman dan Maharesi Druna merupakan tokoh dalam Sage Mahabarata. Di dalam perang Barata, Aswataman dan Druna memihak pada Kurawa dibandingkan dengan pihak Pandawa. Di dalam sage Mahabarata, bangsa Yavanas, Sakas, Pahlavas, Kambujas, Paradas disebut sebagai pihak Kurawa. Dinasti Pallawa sendiri menyebut dirinya berasal dari campuran kasta Brahmana dan Ksatria. Jadi ada keterkaitan antara legenda di Jawa, Funan, Kamboja, Champa dengan Panca Ganah. Sejak abad ke-2M Funan dan Jawadwipa telah terjalin hubungan perdagangan yang erat. Menurut berita China pada masa Dinasti Wu (220M-280M) dan Dinasti Jin Timur (310M-420M) terdapat sebuah daerah bernama Koying yang menghasilkan emas, perak dan batu berharga. Berita mengenai Koying didapat dari para pedagang Jawadwipa karena Koying tidak mempunyai hubungan diplomatik dan perdagangan dengan China. Para pedagang China mendapat barang dari Koying melalui perantara para pedagang Jawadwipa. Koying terletak sekitar 5000 Li (2500 Km)

sebelah timur Chopo (Jawa). Di Koying terdapat sebuah gunung berapi yang aktif dan di sebelah utaranya terdapat sebuah Pu lei (Pulo). Penduduk Koying mempunyai kulit hitam kelam dan bergigi putih serta tidak berpakaian (koteka). Kemungkinan Koying terletak di Nusa Tenggara dimana terdapat sebuah gunung berapi yang terletak di pulau Sangeang (Sang Hyang). Nama Sangeang juga merupakan nama sebuah pulau di selat Sunda. Para pemimpin di Nusa Tenggara biasanya bergelar Sang-aji (Sang Haji). Baik gelar Sang Hyang dan Sang Haji merupakan gelar yang dipakai di Jawa. Nama Pulo dan Sangeang juga terdapat dalam Negarakertagama (1365M) yang terletak di Nusantara timur. Gelar Rama biasanya hanya dipakai di Jawa. Gelar Rakai biasanya dipakai di Pulau Jawa. Gelar Haji/Aji biasanya dipakai di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara (Bali, Lombok, Sumbawa). Gelar Aji juga digunakan di Kepulauan Ryukyu (Okinawa, Jepang) untuk menyebut bangsawan ataupun penguasa. Gelar Ratu biasanya dipakai di Pulau Jawa. Di Malayu kata “Ratu” berubah menjadi “Datu” dan di Maluku menjadi “Latu”. Gelar Ratu dan Hadi/Adi juga digunakan di Pulau Fiji (Samudra Pasifik selatan) untuk menyebut penguasa mereka. Gelar Maharaja biasanya digunakan di Jawa dan Sriwijaya. Gelar Rama (kepala suku) dipakai oleh pemimpin Jawa ketika pertama kali atau sebelum datang ke Pulau Jawa. Sedangkan kepala suku di Sumatra bergelar Peng-hulu. Gelar Rakai dipakai ketika Orang Jawa mulai berkembang di Pulau Jawa. Gelar Haji/Aji kemungkinan dipakai sejak abad ke-1M atau pada awal kedatangan pengaruh Hindu India. Gelar Ratu dipakai sejak abad ke-4M dan Maharaja sejak abad ke-8M serta Maharaja Dhiraja sejak abad ke-13M . Gelar Hyang dipakai di Jawa untuk menyebut konsep tentang alam yang abstrak selain dunia yang konkret ini kemudian berubah menjadi konsep tentang kedewaan bahkan digunakan untuk menyebut leluhur misal E-yang dan Mo-yang. Penguasa yang telah meninggal juga diberi gelar Sang-hyang dan Ra-hyang.

Berdasarkan Naskah Wangsakerta, pada masa pemerintahan Dewawarman ke-8 dari Salakanagara kedatangan Maharesi dari India dimana kerajaannya dihancurkan oleh Samudragupta (335M–380M) dari Dinasti Gupta India. Pada akhir abad ke-6M Dinasti Gupta India runtuh akibat serangan bangsa Hunas. Menurut Naskah Wangsakerta Maharesi ini berasal dari Kerajaan Salankayana India. Kerajaan Salankayana didirikan oleh para Brahmana beraliran Siwa pada awal abad ke-4M. Pendiri Salankayana bernama Hastiwarman yang merupakan raja bawahan dari Pallawa India. Penerus Hasti-warman adalah Nandi-warman dan Wijaya-dewa-warman. Pada pertengahan abad ke-4M Kerajaan Pallawa dan Salankayana dikalahkan oleh Samudragupta (335M-380M) dari Dinasti Gupta India. Kekalahan itu terjadi pada masa Wishnugopa (355M) dari Pallawa India. Maharesi dari Salankayana ini kemudian menikahi putri Dewawarman ke-8 dari Salakanagara kemudian diangkat menjadi penguasa dan bergelar Jaya-simha-warman (362M-382M). Kemudian ia mengubah Kerajaan Salakanagara menjadi Tarumanagara. Kerajaan Salankayana India sendiri runtuh pada awal abad ke-5M akibat serangan dari Madhawarman dari Dinasti Wisnukundis India. Madhawarman dari Dinasti Wisnukundis juga berperang melawan serangan dari Simhawarman 1V (436M) dari Pallawa India. Dinasti Wisnukundi (berdiri pada awal abad ke-5M sampai awal abad ke-7M) didirikan oleh Indrawarman. Dinasti Wisnukundi runtuh pada masa pemerintahan Manchana-bhataraka-warman (625M) akibat serangan dari Pulakesi 11 (609M-642M) dari Dinasti Chalukya India. Pada tahun 642M Narasimhawarman 1 dari Pallawa berhasil mengalahkan Pulakesi 11 dari Dinasti Chalukya India dan menduduki ibukota Chalukya selama 14 tahun. Wikramaditya dari Dinasti Chalukya berhasil mengusir prajurit Pallawa dari ibukota Chalukya pada tahun 656M. Dinasti Chalukya didirikan oleh Pulakesi 1 pada tahun 545M. Dinasti Chalukya merupakan penerus dari Dinasti Kadamba India (berdiri pada pertengahan abad ke-4M sampai pertengahan abad ke-6M). Dinasti Kadamba merupakan penerus dari Dinasti Chutus India (berdiri pada awal abad ke-4M) yang merupakan bawahan dari Pallawa India. Ketika Pallawa India dikalahkan oleh Samudragupta dari

Dinasti Gupta, Mayurasharma pendiri Dinasti Kadamba memerdekakan diri dari Pallawa India. Mayurasharma digantikan oleh putranya yaitu Kangawarman (365M) dari Dinasti Kadamba. Pada tahun 755M Kirtiwarman 11 dari Dinasti Chalukya dikalahkan oleh Dantidurga dari Dinasti Rashtrakuta India (753M-983M). Ketika Chalukya runtuh dinastinya terbagi menjadi dua yaitu Dinasti Western Chalukya dan Dinasti Eastern Chalukya. Dinasti Western Chalukya menjadi bawahan Dinasti Rashtrakuta. Pada tahun 973M Tailapa 11 (967-997M) dari Western Chalukya berhasil mengalahkan Indra 1V dari Dinasti Rashtrakuta. Dinasti Western Chalukya (973M-1200M) juga sering berperang melawan Kerajaan Chola India. Sedangkan Dinasti Eastern Chalukya menjadi bawahan Chola sejak dikalahkan Rajaraja Chola (985M-1014M). Pada akhir abad ke-12M Dinasti Western Chalukya India runtuh akibat meningkatnya para raja bawahan di daerah antara lain Dinasti Kakatiya India dan Dinasti Hoysala India. Western Chalukya kemudian digantikan oleh Dinasti Hoysala India (1184M-1343M).

Berdasarkan Naskah Wangsakerta, pada masa pemerintahan raja ke-3 Taruma yaitu Purnawarman cucu Jayasimhawarman. Ia melakukan ekspansi besar-besaran. Pada awal abad ke-5M wilayah kekuasaan Purnawarman membentang dari Pandeglang sampai Purwalingga (Purbolinggo). Ibukota Kerajaan Taruma dalam prasasti disebutkan terletak antara sungai Gomati dengan sungai Candrabaga di daerah Bekasi sekarang. Pada masa pemerintahan purnawarman banyak dijumpai prasasti dengan Aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta misal prasasti Tugu (Bekasi), prasasti Munjul (Pandeglang), prasasti Kebon Kopi (Bogor), prasasti Ciaruteun (Bogor), prasasti Telapak Gajah (Bogor), prasasti Pasir Awi (Bogor), dan prasasti Jambu (Bogor).

Berdasarkan Naskah Wangsakerta, pada masa pemerintahan raja ke-6 Taruma yaitu Candrawarman, ia pernah mengirim utusan ke Dinasti Liang China (502M-557M) pada tahun 528M dan 535M. Pada masa pemerintahan raja ke-7 Taruma yaitu Suryawarman terdapat sebuah prasasti Kebon Kopi 11 (536M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa yang berisi pengembalian kekuasaan kepada para raja bawahan. Dalam berita Dinasti Liang China, Taruma disebut dengan Talomo. Bukti keberadaan Taruma adalah candi Jiwa bercorak Budha di Batujaya (Karawang) pada abad ke-7M. Berdasarkan analisis Karbon 14 terhadap artefak yang ditemukan di Batujaya diperkirakan umurnya yang paling tua berkisar pada abad ke-2M dan yang paling muda berkisar pada abad ke-12M. Kerajaan Taruma sendiri merupakan penerus dari Kerajaan Salaka (berdiri pada awal abad ke-2M). Di sekitar candi Jiwa juga ditemukan makam prasejarah yang berisi tengkorak manusia dan barang-barang artefak. Hal ini menunjukkan keterhubungan antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah (abad ke-4M). Setelah menganut agama Hindu dan Budha, masyarakat Jawa yang sudah meninggal tidak lagi jenazahnya dimakamkan namun dibakar. Walaupun Hindu sudah datang pada abad ke-2M namun perkembangan Hinduisasi di Pulau Jawa baru signifikan pada abad ke-4M sedangkan agama Budha aliran Hinayana mulai masuk ke Jawa pada abad ke-5M. Seorang Pangeran India yang bernama Gunawarman ketika akan berlayar ke China, dia singgah di Pulau Jawa dan mulai menyebarkan agama Budha disana.

Berdasarkan Naskah Wangsakerta, pada pemerintahan raja ke-12 Taruma yaitu Linggawarman, ia pernah mengrim utusan ke Dinasti Tang China pada tahun 666M. Dalam berita Dinasti Tang China Taruma disebut dengan Talomo. Tarusbawa dari Sunda (bawahan Taruma) menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman dari Taruma. Pada akhir abad ke-7M Tarusbawa memindahkan ibukota kerajaan dari Bekasi ke Bogor dan kemudian mendirikan Kerajaan Sunda. Pendirian Kerajaan Sunda dijadikan alasan oleh Wretikandayun dari Kendan (bawahan Taruma) untuk memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Dengan dukungan militer dari Kerajaan Kelingga Jawa. Wretikandayun menekan dan

menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Taruma dipecah menjadi dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Kemudian wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda (Tarusbawa) dan Kerajaan Galuh (Wretikandayun) sedangkan sungai Citarum (Karawang-Bandung) sebagai batasnya. Sedangkan Mandiminyak putra dari Wretikandayun dari Kendan berjodoh dengan Parwati putri dari Ratu Simha dari Kelingga Jawa. Menurut Naskah Wangsakerta, Ratu Simha bertahta di Kelingga Jawa menggantikan suaminya yaitu Kerta-simha (Kretaya-singha). Kerajaan Kendan dulunya bernama Galuh Purba (pertengahan abad ke-4M) yang terletak di Purbalingga. Pada pertengahan abad ke-6M ibukota Galuh Purba dipindahkan ke arah barat dari Purbalingga ke Kendan (Garut). Kerajaan Kendan ini didirikan oleh Manikmaya menantu dari Suryawarman (535M-561M) dari Taruma. Wretikandayun merupakan cicit dari Manikmaya dari Kendan. Pemindahan Galuh Purba ke Kendan (Garut) ini kemungkinan disebabkan ekspansi dari Kerajaan Kelingga Jawa pada pertengahan abad ke-6M. Jadi perbatasan Jawa dengan Sunda pada abad ke-6M adalah Cilacap.

Sejak awal abad ke-4M banyak dijumpai prasasti berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa dan menggunakan penanggalan (kalender) Saka. Aksara Pallawa berasal dari Kerajaan Pallawa India. Sedangkan kata “Pallawa” dalam bahasa Tamil India berarti “yang menggunakan atau yang terpengaruh Sansekerta”. Kebanyakan prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Pallawa berbahasa Prakit dan Sankrit (Sansekerta).Pada abad ke-6M pengaruh Pallawa India di Jawa sangat terlihat jelas pada prasasti yang dibuat yaitu prasasti Tukmas (akhir abad ke-6M) yang menggunakan Aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Pada abad ke-8M Aksara Pallawa di Jawa mulai digantikan dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno). Aksara Kawi sendiri merupakan turunan dari Aksara Pallawa. Nama penguasa Pallawa misalnya Skanda-warman 1 (akhir abad ke-3M), Skanda-warman 11 (awal abad ke-4M), Simha-warman 1 (327M-350M), Simha-warman 1V (436M-450M), Simha-warman (awal abad ke-6M), Simha-wisnu-warman (536M-570M), Mahendra-warman 1 (570M-610M), Nara-simha-warman 1 (610M-648M), Mahendra-warman 11, Parameswara-warman 1, Mahendra-warman 111, Nara-simha-warman 11/Raja-simha (695M-728M), Parameswara-warman 11. Nama penguasa Western Satrap (Sakas) misalnya Bhumaka, Nahapana, Chastana (120M), Jaya-daman, Rudra-daman, Rudra-simha 1, Rudra-sena 1, Brata-daman, Rudra-sena 11, Wiswa-sena, Rudra-simha 11 (awal abad ke-4M), Rudra-simha 111 (388M-395M). Aswataman putra Maharesi Druna yang merupakan leluhur Dinasti Palllawa India kemungkinan berasal dari Western Satrap. Dinasti Pallawa sendiri pindah dari India utara ke India selatan pada masa Kerajaan Satawahana India. Dinasti Pallawa mulai menguat sejak runtuhnya Kerajaan Satawahana India pada awal abad ke-3M. Nama penguasa Jawa misalnya Selendra (649M), Kerta-simha (666M), Simha (674M), Nara-yana/Nara-simha (703M), Dewa-simha (Kanjuruhan, 720M), Gaja-yana (Kanjuruhan, 740M), Uttajena (Kanjuruhan, 760M), Sanna/Sena (710M), Sannaha, Sanjaya (717M), dam Sankhara kemungkinan berhubungan Western Satrap (Sakas) dan Pallawa (Pahlavas) India. Menurut Wartika dari Katyayana (abad ke-4 SM) bahwa Orang Sakah (Sakas) sudah memiliki hubungan perdagangan dengan Orang Parthavah (Parthian). Selendra sendiri dalam prasasti Sojomerto (pertengahan abad ke-7M) dipuja sebagai Batara Parameswara. Ratu Simha (674M-703M) dalam berita China disebutkan pernah mendapatkan ancaman dari Orang Tarshish. Dalam berita China kemudian disebutkan bahwa Orang Tarshish tidak jadi menyerang karena takut pada kepemimpinan Ratu Simha. Nara-simha-warman 11/Raja-simha (695M-728M) dari Pallawa dalam sebuah prasasti disebutkan bahwa dia menawarkan bantuan perang kepada suatu kerajaan yang melawan Orang Tarshish. Nara-simha-warman 1 (610M-648M) dari Pallawa membangun sebuah candi di Mamalla-puram. Nara-simha-warman 11/Raja simha (695M-728M) dari Pallawa juga membangun sebuah candi yang besar di Maha-bali-puram. Sanjaya

(717M-746M) dari Medang Mataram sendiri mengeluarkan prasasti Canggal (732M) menggunakan Aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta dengan menggunakan penanggalan (kalender) Saka. Bentuk candi di Jawa pada abad ke-8M kemungkinan terpengaruh oleh arsitektur dari Pallawa India. Dalam sage Mahabarata diceritakan bahwa Kelingga India memihak pada Kurawa (Yavanas, Sakas, Pahlavas, Kambujas, Paradas, dll) ketika terjadi perang Barata melawan Pandawa (Satawahana). Kerajaan Kelingga India merupakan sebuah kerajaan maritime dan perdagangan. Para raja di Sri Langka dan Malwadewa sendiri mengklaim bahwa mereka merupakan keturunan dari Dinasti Kelingga India (berdiri pada abad ke-6 SM). Perdagangan merupakan penghubung antara Kelingga India dengan Panca-Ganah (Yavanas, Sakas, Kambujas, Pahlavas, Paradas). Kerajaan Kelingga India dan Panca Ganah inilah yang menemukan jalur perdagangan laut dari India ke China. Kerajaan Kelingga India dan Panca Ganah inilah yang memiliki keterkaitan dengan kerajaan di Asia Tenggara yaitu Jawa, Funan, Champa, Kamboja. Gautamiputra Satakarni (98M-119M) dari Satawahana India pernah berperang melawan Western Satrap (Sakas) dan Kelingga India. Pada tahun 119M Gautamiputra Satakarni berhasil mengalahkan Nahapana putra dari Bhumaka dari Western Satrap (Sakas). Pada tahun 150M Rudradarman dari Western Satrap berhasil mengalahkan Wasisthiputra Satakarni dari Satawahana. Yajna Satakarni (161M-190M) dari Satawahana berhasil memulihkan Kerajaan Satawahana kembali. Kerajaan Satawahana/Dinasti Satakarni (berdiri pada awal abad ke-3SM sampai awal abad ke-3M) mempunyai keterkaitan dengan tokoh Krishna dalam sage Mahabarata. Sedangkan Dinasti Ishwakus (berdiri pada awal abad ke-3M sampai awal ke-4M) yang merupakan penerus Satawahana/Dinasti Satakarni yang mempunyai keterkaitan dengan tokoh Rama dalam sage Ramayana. Dinasti Ishwaku didirikan oleh Santamula 1 (220M). Dalam Ramayana disebutkan bahwa musuh Rama yaitu Dasamuka/Rahwana merupakan seorang raja dari Sri Langka (Alengka). Diceritakan bahwa ketika Rama mencari Sinta, ia bertualang sampai ke Yawadwipa/Jawadwipa. Kerajaan Pallawa India dikalahkan oleh Aditya Chola 1 (871M-907M) dari Chola India dan kemudian dijadikan sebagai bawahan Chola. Pada awal abad ke-13M Pallawa digantikan oleh Dinasti Kadawa yang mengaku sebagai keturunan Pallawa. Kopperunchinga 1 (1216M-1246M) dari Dinasti Kadawa berhasil mengalahkan Rajaraja Chola 111 dari Chola kemudian dijadikan bawahan Kadawa-Pallawa.

Van der Mullen mengatakan bahwa Galuh berasal dari Kutai (Kalimantan Timur) yang pindah ke Jawa pada awal abad ke-4M sebelum berdirinya Dinasti Kudungga dan agama Hindu di Kutai Martadipura. Raja Kutai yang terkenal adalah cucu Kudungga yang bernama Mulawarman putra Aswawarman. Mulawarman adalah raja yang mengeluarkan prasasti Yupa (awal abad ke-5M) yang terdiri dari 7 buah. Menurut Nilakanta Sastri, Kudungga berasal dari Kerajaan Pallawa India. Nama Kutai merupakan nama daerah ditemukannya prasasti Yupa dan tidak diketahui nama sebenarnya dari Kerajaan itu. Jadi baik Kerajaan Kutai Martadipura (Kalimantan Timur) ataupun Kerajaan Tarumanagara (Jawa) berasal dari Kerajaan Pallawa India pada pertengahan abad ke-4M. Prasasti Purnawarman (395M-435M) dari Taruma, prasasti Mulawarman (400M) dari Kutai, dan prasasti Badrawarman (380M-413M) dari Champa merupakan prasasti beraksara Pallawa tertua di Asia Tenggara. Dalam berita China menyebutkan bahwa penguasa Funan bernama Shih li pa mo/Indrawarman (400M-435M). Kerajaan Kutai Martadipura sendiri sejak abad ke-6M tidak ditemukan lagi beritanya sampai abad ke-16M ketika ditaklukan Kerajaan Kutai Kartanagara. Pada abad ke-3M Kelompok Galuh Purba itu kemudian pindah ke Jawa dan mendarat di pantai Cirebon kemudian masuk semakin ke dalam sehingga sampai di lereng Gunung Ceremai. Ada yang menetap di lereng Gunung Ceremai dan juga ada yang meneruskan perjalanan hingga ke lereng Gunung Slamet. Penduduk yang menetap di lereng Gunung Ceremai (Kuningan) kemudian dikenal dengan Sunda dan penduduk yang menetap di lereng Gunung Slamet (Purbalingga) dikenal dengan Galuh

Purba. Berangsur-angsur Orang Sunda pindah ke arah barat yaitu ke Gunung Salak (Bogor). Menurut antropolog bahwa Orang Sunda hidup dengan berladang sedangkan Orang Jawa hidup dengan bertani. Berdasarkan mitos bahwa Suku Jawa dianggap lebih tua dari Suku Sunda karena Orang Jawa lebih dulu memdiami Pulau Jawa dibanding Orang Sunda yang pindah ke pulau Jawa pada abad ke-3M.

Hanya terdapat beberapa prasasti yang menggunakan Bahasa Sunda Kuno misalnya prasasti Rumatak (1411M), prasasti Kawali (pertengahan abad ke-15M), prasasti Galuh (1470M), prasasti Batu Tulis (1533M), prasasti Kebantenan (pertengahan abad ke-16M). Ketiga prasasti yang pertama tersebut ditemukan di daerah Ciamis dibuat pada masa pemerintahan Niskala Wastu Kencana sedangkan prasasti Batu Tulis di daerah Bogor dibuat pada masa pemerintahan Baduga Maharaja. Prasasti Kawali, prasasti Rumatak dan prasasti Galuh berisikan tentang pembangunan ibukota kerajaan di Kawali. Kerajaan Sunda juga tidak pernah menjalin hubungan diplomatik dengan China. Dengan sedikitnya prasasti berbahasa Sunda Kuno sehingga menyebabkan kurangnya informasi akan Kerajaan Sunda. Informasi tentang Kerajaan Sunda kebanyakan berasal dari Carita Parahyangan (akhir abad ke-16M) dan Carita Ratu Pakuan (abad ke-17M). Pada abad ke-17M wilayah Parahyangan Sunda menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Jawa. Menurut Rikjklof van Goens (1654M) yang merupakan seorang utusan VOC yang pernah datang ke ibukota Mataram. Dia melaporkan bahwa Mataram mempunyai basis militer dari Karawang hingga Blambangan. Di Cirebon, Mataram mempunyai basis kekuatan 100.000 prajurit. Di Blambangan, Mataram mempunyai basis kekuatan 20.000 prajurit. Di ibukota Mataram mempunyai basis kekuatan 500.000 prajurit. Total keseluruhan basis kekuatan Mataram di Jawa sekitar 920.000 prajurit dengan memiliki senapan api sekitar 115.000 buah. Van Goens menyebutkan bahwa pada tahun 1649M Amangku Rat hendak menyerang Banten dan Bali namun rencana ini ditentang oleh kaum Ulama yang disebutnya sebagai munafik fanatik. Kemudian beberapa Ulama berkerja sama dengan Pangeran Alit untuk menggulingkan Amangku Rat namun rencana ini gagal. Pangeran Alit kemudian dieksekusi. Sedangkan Ulama yang memihak Pangeran Alit dikumpulkan bersama keluarga dan kerabatnya di tengah alun alun. Setelah terkumpul kemudian Amangku Rat menyuruh prajuritnya untuk menembakkan meriam ke arah kumpulan tersebut. Van Goens yang menyaksikan pembantaian tersebut menyebutkan jumlah korban yang tewas sekitar 6000 orang. Sastra Jawa juga mempengaruhi perkembangan pada Sastra Sunda misal dalam Carita Waruga Jagad berbahasa Jawa (awal abad ke-18M) dan Carita Waruga Guru berbahasa Sunda (pertengahan abad ke-18M) dimana keduanya mempunyai isi yang hampir sama. Kedua naskah tersebut menyebutkan bahwa pendiri Majapahit bernama Banga sedangkan pendiri Pajajaran bernama Manara. Nama Banga dan Manara sendiri didasari dari legenda Ciung Wanara. Dalam legenda Ciung Wanara disebutkan bahwa Banga dan Manara adalah saudara seayah. Isi Waruga Jagad dan Waruga Guru juga tercantum nama-nama Sultan Mataram Jawa. Pengaruh itu diawali ketika pada tahun 1579M Kerajaan Pajajaran (penerus Kerajaan Galuh Sunda) runtuh akibat serangan dari Demak, Cirebon, Banten. Pada akhir abad ke-16M Kerajaan Pajajaran kemudian digantikan oleh Kerajaan Sumedang Larang yang dulunya merupakan bawahan Pajajaran. Sumedang Larang berdiri pada akhir abad ke-14M dan menjadi wilayah otonomi setelah Kerajaan Galuh dibawah naungan Kerajaan Majapahit Jawa. Jadi pada akhir abad ke-16M di Sunda ada tiga Kerajaan yaitu Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon dan Kerajaan Sumedang. Wilayah Kesultanan Banten in meliputi Karesidenan Banten. Wilayah Kesultanan Cirebon meliputi Karesidenan Cirebon. Wilayah Kerajaan Sumedang ini meliputi Karesidenan Parahyangan. Pada akhir abad ke-16M Kerajaan Sumedang Larang dan Kesultanan Cirebon diserang oleh Kesultanan Mataram Jawa dan wilayahnya kemudian dianeksasi. Pada tahun 1597M Kesultanan Mataram Jawa menyerang Kesultanan Banten namun gagal dimana kejadian tersebut disaksikan oleh para pelayar Belanda. Dalam Naskah Wangsakerta (awal abad ke-20M) disebutkan bahwa Dyah Lembu Tal menikah

dengan Jayadharma putra Dharmasiksa yang kemudian melahirkan Wijaya (pendiri Majapahit) sedangkan Carita Parahyangan (akhir abad ke-16M) sendiri tidak terdapat nama Jayadharma dan Dharmasiksa. Nama Dharmasiksa sendiri diambil dari teks Siksakanda (awal abad ke-16M). Dalam Kakawin Negarakertagama (1365M) karya Mpu Prapanca disebutkan bahwa Dyah Lembu Tal bukanlah seorang perempuan melainkan laki-laki, dia merupakan putra dari Narasinghamurti (Pararaton menyebut dengan nama Mahisa Cempaka) dan menjadi panglima perang dari Maharaja Dhiraja Kertanagara dari Tumapel. Narasinghamurti (Mahisa Cempaka) sendiri merupakan putra dari Parameswara (Mahisa Wunga Teleng). Dan Parameswara (Mahisa Wunga Teleng) merupakan putra dari Rajasa. Ketika Rajasa berkuasa di Tumapel tahun 1222M, Parameswara ditunjuk oleh ayahnya sebagai Yuwaraja di Daha. Cerita dari Kakawin Negarakertagama tersebut diperkuat dengan adanya prasasti Balawi (1305M) yang menyatakan bahwa Wijaya merupakan keturunan dari Rajasa. Jadi cerita dari Negarakertagama lebih dapat dipercaya karena ditulis 56 tahun setelah Wijaya meninggal. Dalam Negarakertagama disebutkan pada saat pemerintahan Maharaja Kartanagara dari Tumapel pernah menaklukan Sunda. Kemungkinan pada saat itu yang menjadi panglima dari Kerajaan Tumapel adalah Dyah Lembu Tal. Isi Naskah Wangsakerta sendiri dipengaruhi oleh cerita dalam Babad Tanah Jawi (1788M) yang menyebutkan bahwa pendiri Majapahit yaitu Wijaya disebut dengan nama Jaka Sesuruh. Dalam Babad Tanah Jawi juga terdapat nama Banga merupakan saudara dari Jaka Sesuruh. Diceritakan bahwa Banga diserang oleh Manara kemudian dia meminta bantuan kepada saudaranya yaitu Jaka Sesuruh. Dalam Babad Tanah Jawi, Banga dan Jaka Sesuruh merupakan keturunan dari Kuda Laleyan dari Kahuripan. Diceritakan bahwa Kuda Laleyan merupakan putra dari Panji dari Kahuripan (Jenggala) dengan Candra Kirana dari Daha (Panjalu/Kadiri). Dalam kenyataan sejarahnya bahwa Panji berasal dari Daha (Kadiri) sedangkan Candra Kirana berasal dari Kahuripan (Jenggala). Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Kuda Lalean pergi ke barat dan menjadi raja di Pajajaran. Kemungkinan ketika Panjalu/Kadiri diserang oleh Tumapel pada tahun 1222M, banyak bangsawan Panjalu/Kadiri yang melarikan diri ke arah barat ke Kerajaan Galuh dan kemudian mendirikan Kerajaan Panjalu Ciamis. Pada masa pemerintahan Maharaja Kartanagara dari Singosari (Tumapel), disebutkan bahwa wilayah kekuasaannya membentang hingga ke Sunda. Sebelumnya pada masa Maharaja Dhiraja Wisnuwardhana dari Tumapel juga pernah melakukan penyatuan Mandala Jawa kemungkinan dengan melakukan ekspansi ke Galuh dan Sunda seperti halnya pada zaman Maharaja Airlangga dimana pada waktu itu Haji Sunda yang bernama Jayabupati merupakan salah satu mandala dari Kerajaan Kahuripan sehingga Jayabupati mendapat gelar Mandalaswara sedangkan Airlangga bergelar Lokaswara (pusat dari Mandala). Sedangkan isi cerita dalam Babad Tanah Jawi sebelum abad ke-15M atau sebelum adanya pengaruh Islam (zaman Demak), kurang dapat dipercaya untuk menverifikasi isi babad diperlukan informasi dari teks Jawa Kuno dari zaman Majapahit misal Pararaton (awal abad ke-16M) dan Kakawin Negarakertagama (1365M). Cerita tentang Jaka Sesuruh dalam Babad Tanah Jawi (akhir abad ke-18M) kemungkinan dipengaruhi isi dari Carita Waruga Jagad (awal abad ke-18M). Menurut Waruga Jagad (awal abad ke-18M) cerita mengenai Banga dan Manara berasal dari zaman Majapahit, sedangkan menurut Naskah Wangsakerta (awal abad ke-20M) cerita mengenai Banga dan Manara berasal dari zaman Mataram Kuno. Menurut Naskah Wangsakerta, Sanjaya dari Mataram berhasil menguasai Pulau Jawa kemudian keturunannya yang bernama Banga menguasai wilayah barat (Sunda) sedangkan Manara menguasai wilayah timur (Galuh) dengan batasnya adalah sungai Citarum. Di dalam prasasti Wanua Tengah (908M) juga terdapat nama Manara yaitu Maharaja Rakai Warak Dyah Manara (803M-827M) dari Kerajaan Medang i Mataram yang merupakan keturunan dari Sanjaya (717M). Kemungkinan pembagian wilayah ini terjadi pada zaman Rakai Warak Dyah Manara. Pada abad ke-19M Sastra Sunda sendiri khususnya di Cirebon terpengaruh oleh Sastra Jawa Surakarta. Pengaruh ini

terlihat dari Serat Parwa (akhir abad ke-19M) dan Naskah Wangsakerta berbahasa Jawa dengan Aksara Jawa yang ditemukan di Cirebon dan ditulis sekitar awal abad ke-20M. Naskah Wangsakerta juga mendasari ceritanya dari Carita Parahyangan (akhir abad ke-16M) yang berisi sejarah awal Sunda hingga akhir Kerajaan Pajajaran akibat serangan Kesultanan Demak, Cirebon, dan Banten (akhir abad ke-16M). Dalam Carita Parahyangan tidak mengenal Kerajaan Taruma. Sedangkan menurut Naskah Wangsakerta (awal abad ke-20M) Kerajaan Sunda Galuh merupakan penerus Kerajaan Taruma. Nama Taruma baru dikenal pada akhir abad ke-19M setelah ditemukan prasasti tentang kerajaan itu. Dalam Carita Parahyangan tidak mengenal nama Tarusbawa. Selain sejarah Kerajaan Sunda, naskah ini juga menceritakan sejarah Kerajaan Jawa sejak zaman Kelingga sampai Majapahit. Namun demikian naskah ini tidak mencantumkan sejarah Kerajaan Tumapel. Para sejarawan sendiri meragukan isi Naskah Wangsakerta khususnya sebelum abad ke-15M untuk dijadikan sebagai sumber sejarah karena tidak ada adanya bukti yang mendukungnya misal prasasti yang beraksara Sunda Kuno ataupun naskah kuno. Prasasti tertua berbahasa Sunda Kuno dengan Aksara Sunda Kuno sendiri berasal dari abad ke-15M sedangkan naskah kuno Sunda tertua berasal dari abad ke-16M. Hal itu berbeda dengan Kerajaan Bali yang terdapat banyak prasasti dari pertengahan abad ke-9M hingga pertengahan abad ke-14M. Bukti lain keberadaan Kerajaan Galuh adalah candi Cangkuang (Garut) bercorak Hindu yang memiliki tipikal yang sama dengan candi Dieng Jawa yang dibuat pada awal abad ke-8M. Candi Cangkuang merupakan candi satu-satunya peninggalan Kerajaan Galuh.

Nama asli dari Negarakertagama adalah Desawarnana (penjelasan mengenai keadaan negara) sebuah nama yang diberikan oleh pengarangnya sendiri. Nama Prapanca merupakan sebuah nama samaran dari pengarangnya. Nama Prapanca dalam Bahasa Sansekerta berarti kesedihan, rintangan terhadap laku utama (kesesatan, kesombongan, kenginan). Pengarang Negarakertagama sendiri mengakui bahwa dia menggunakan nama samaran Prapanca karena merasa dirinya cacat/tercela. Dia sendiri memberikan arti nama Prapanca sebagai pra-lima yaitu Prapanca, Pracacah, Pracacad, Prapongpong, dan Pracongcong. Cara berbicaranya lucu, matanya terlinyap, kalau tertawa terbahak-bahak, terlalu bodoh untuk menerima tutur/nasihat, tidak patut ditiru, lebih baik dipukuli saja. Menurut Slamet Mulyana, nama asli dari Prapanca adalah Nadendra (Nada-Indra). Disebutkan bahwa nama asli dari Prapanca terdiri dari pancaksara (lima huruf). Kata Nadendra sendiri terdiri dari lima huruf yaitu Na Da Na Da Ra. Di Negarakertagama juga terdapat nama Mpu Wi-nada. Dia merasa tidak pantas menyandang nama Nadendra (sebuah nama yang bagus sekali) karena itulah dia memakai nama samaran yaitu Prapanca. Menurut Slamet Mulyana, Nadendra merupakan seorang mantan Dharmadhayaksa Kasogatan (Jaksa untuk pemeluk agama Budha) di Majapahit pada tahun 1358M. Dia menduduki jabatan Dharmadhayaksa Kasogatan sebagai ketika masih muda sebagai pengganti dari kedudukan ayahnya yang juga seorang Dharmadhayaksa. Disebutkan bahwa dia ketika masih kecil menyukai kakawin seperti halnya ayahnya. Pada tahun 1359M, Prapanca/Nadendra pernah ikut dalam sebuah rombongan plesir/piknik Maharaja Dyah Hayam Wuruk ketika sedang berkeliling ke wilayah Kerajaan Majapahit. Pengalaman itulah yang dikenang oleh dia saat membuat sebuah kakawin Negarakertagama/Desawarnana. Dalam sebuah prasasti disebutkan bahwa Nadendra merupakan seorang yang putus (khatam) ilmu. Menurut Slamet Mulyana, Nadendra dipecat dari jabatannya karena adanya fitnah/celaan terhadap dirinya yang dilakukan oleh seorang bangsawan. Pengarang Negarakertagama yaitu Prapanca mengakui bahwa dirinya dicela oleh seorang Dyah (Bangsawan). Namun dia tidak marah terhadap orang yang mencelanya itu. Kemungkinan fitnah yang ditujukan terhadapnya adalah mengenai harta kekayaannya yang banyak. Dalam Negarakertagama disebutkan bahwa setelah berhenti dari jabatan sebagai Dharmadhayaksa, dia mendermakan semua harta miliknya untuk kaum miskin. Kemudian menjadi seorang pertapa di desa

terpencil di Kamalasana, di lereng sebuah gunung. Tempat dia berperang melawan hawa nafsunya untuk mencapai nirwana. Nama Kamalasana dalam Bahasa Sansekerta berarti Karangasem. Di daerah Karangasem Bali dan Klungkung Bali juga terdapat kakawin Negarakertagama seperti halnya yang terdapat di Mataram Lombok. Ketika pertama kali tinggal di desa yang terpencil, dirinya merasa kikuk, berbeda dengan suasana di ibukota dekat Maharaja. Disebutkan bahwa ketika dirinya masih muda, dia sering menemui Hayam Wuruk. Dia merupakan teman sepermainan dari Hayam Wuruk saat masih kecil. Dia menggubah Kakawin Negarakertagama sebagai pujian untuk Maharaja Hayam Wuruk agar kerajaannya damai dan tentram. Dia memakai nama samaran supaya ciri-cirinya tidak mudah dikenali banyak orang. Dia tidak berharap kakawinnya sampai pada tempat Maharaja karena memang dirinya berada di tempat terpencil. Dan apabila kakawin ini sampai juga di tangan Maharaja, dia berharap Maharaja mengenalinya dan mengenangnya. Menurut Slamet Mulyana, Prapanca ingin dirinya diangkat kembali sebagai Dharmadhayaksa Kasogatan oleh Maharaja Hayam Wuruk. Namun ada rintangan yang menghalanginya kembali menduduki jabatannya. Menurut Slamet Mulyana rintangan itu adalah Mahapatih Gajah Mada, karena kakawin Negarakertagama diselesaikan pada tahun 1365M setelah kematian Gajah Mada pada tahun 1364M. Menurut Slamet Mulyana, kakawin ini tidak sampai ke tangan Maharaja Hayam Wuruk karena kakawin ini tidak terkenal di Jawa. Berbeda dengan keadaan di Bali dimana kakawin ini tersebar dan disimpan di tempat-tempat yang suci. Mungkin nama Prapanca tidak sampai ke telinga Hyam Wuruk pada abad ke-14M namun namanya akan dikenal dan dikenang berabad-abad setelah kematiannya.

Pada pertengahan abad ke-8M Sriwijaya dikuasai oleh Wangsa Sailendra dari Jawa dengan rajanya bernama Dharanindra. Kemudian Balaputradewa cucu Dharanindra/Sangramadhanamjaya menjadi raja Sriwijaya berdasarkan prasasti Nalanda. Pada abad ke-10M Lampung dan Barus (terletak di pesisi barat Sumatra) lebih dominan dipengaruhi Medang Jawa dibanding Sriwijaya dibuktikan dengan adanya prasasti Hujung Langit (Lampung, 997M). Pada abad ke-10M terjadi persaingan antara Jawa dengan Sriwijaya dalam memperebutkan dominasi selat Malaka seperti yang disebutkan dalam buku Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan dan yang memuncak pada tahun 990M saat pasukan Dharmawangsa Teguh dari Medang menyerang ke Palembang (Sriwijaya) dan mendudukinya sebentar sampai awal abad ke-11M sebelum Sriwijaya ditaklukkan oleh Kerajaan Chola India pada tahun 1025M. Penaklukan Chola menyebabkan Wangsa Sailendra di Sriwijaya runtuh dan perlahan-lahan pusat pemerintahan mulai bergeser dari Palembang ke Jambi pada akhir abad ke-11M. Bukti arkeologi di Kerajaan Barus (berdiri pada abad ke-9M) menunjukkan bahwa Barus tidak dibawah pengaruh Sriwijaya melainkan berhubungan dengan Kerajaan Jawa. Bukti pengaruh Jawa di Barus, misalnya temuan koin Jawa Kuno, prasasti berbahasa Jawa Kuno dan artefak dari zaman Kadiri. Menurut sejarawan, pada masa itu yang memakai mata uang koin dalam perdagangan adalah Jawa dan Barus. Seperti halnya dengan Kerajaan Jawa, Kerajaan Barus ini juga memiliki hubungan perdagangan yang erat sekali dengan para pedagang Chola-India. Dibuktikan dengan adanya prasasti Lobu Tua (1088M) berbahasa Tamil dengan Aksara Tamil di Barus. Di Pennai (berdiri pada abad ke-10M) juga ditemukan sebuah percandian bernama Candi Bahal. Candi ini didirikan pada abad ke-11M. Diperkuat dengan adanya prasasti Gunung Tua (abad ke-11M) di Padang Lawas yang menggunakan bahasa Malayu Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno) yang ditemukan di sekitar Candi Bahal. Selain itu di Pasaman juga ditemukan artefak berupa ukiran Ganesha yang memiliki gaya Jawa zaman Kadiri pada abad ke-12M. Lambang Ganesha merupakan lambang pasukan (seal) Kerajaan Panjalu/Kadiri yang membuktikan adanya pengaruh Jawa. Pada awal abad ke-12M pengaruh Chola India di Sumatra dan Semenanjung Malaya mulai menghilang. Di Semenanjung Malaya setelah pengaruh Chola menghilang, raja Kedah mulai beralih dari agama Hindu ke Islam pada

tahun 1160M (berdasarkan Hikayat Kedah awal abad ke-19M). Sedangkan di Sumatra setelah pengaruh Chola menghilang, muncul Wangsa Mauli mulai mengambil alih kekuasaan di Malayu (Jambi). Bukti keberadaan Wangsa Mauli dapat dilihat dari adanya nama Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa dalam prasasti Grahi (1183M) berbahasa Malayu Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno). Nama Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa mungkin merupakan leluhur dari Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa dari Malayu (Dharmasraya) dalam prasasti Padang Roco (1286M). Nama “Srimat” sendiri berarti “Tuan Pendeta”, tidak diketahui dengan pasti apakah ada kebangkitan kaum pendeta. Sejak tahun 1178M Kaisar Dinasti Sung China melarang utusan dari San-fo-tsi untuk datang lagi ke China. Dalam buku Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei (1178M) disebutkan bahwa terdapat dua kerajaan besar di Nusantara yaitu San fo Tsi (Sumatra) dan Shepo (Jawa). Menurut buku tersebut negara kaya selain China secara berurutan adalah Tarshish, Shepo (Jawa), San Fo Tsi (Sumatra). Dalam buku Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua (1225M) disebutkan San-fo tsi menguasai pesisir timur Sumatra dan Semenanjung Malaya sedangkan Shepo menguasai Kalimantan dan Nusantara bagian Timur. Disebutkan bahwa San-fo-tsi memiliki beberapa daerah bawahan, yaitu Kia-lo-hi (Grahi/Surat Thani), Tan-ma-lin (Tambalingga/Nakhon Thammarat), Pa-ta (Pathalung), Fo-lo-an (Kuala Berang), Ling-ya-si-kia (Langkasuka/Pattani), Ki-lan-tan (Kelantan), Tong-ya-nong (Trengganu), Pong-fong (Pahang), Tsien-mai (Saimwang), Ji-lo-ting (Jelotung/Penang), Sin-to (Sunda), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), Lan-mu-li (Lamuri/Banda Aceh), dan Si-lan. Dari daftar tersebut dapat diketahui bahwa Sriwijaya menguasai pantai timur Sumatra sedangkan kerajaan di pantai barat Sumatra seperti Barus dan Pennai tidak disebut sama sekali. Kemungkinan wilayah tersebut di luar pengaruh Sriwijaya. Selain itu dari daftar tersebut juga diketahui bahwa pada awal abad ke-13M. Kesultanan Pasai (berdiri pada akhir abad ke-13M) dan Kesultanan Haru (berdiri pada awal abad ke-14M) belum berdiri sedangkan Kesultanan Perlak (berdiri pada pertengahan abad ke-12M) mungkin juga belum menjadi pelabuhan yang besar. Dalam buku Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua (1225M) disebutkan Shepo (Jawa) memiliki beberapa daerah bawahan yaitu Pai-hua-yuan, Ma-tung, Jung-ya-luh, Ta-pen, Ta-kang, Tan-jung-wu-lo, Ma-li, Ping-yai, Ku-lun, Ti-wu, Wu-nu-ku, Huang-ma-chu, Hi-ning, Jeng-gi. Kerajaan Kadiri juga memiliki angkatan laut yang dipimpin oleh seorang Senopati Sarwwajala (Laksamana) dalam prasasti Jaring (1181M).

Sejak awal abad ke-8M hingga runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, tidak pernah lagi dijumpai prasasti berkaitan dengan Sriwijaya. Tidak seperti pada akhir abad ke-7M saat pemerintahan Dapunta Hyang Jayanasa yang banyak mengeluarkan prasasti yang berbahasa Malayu Kuno dengan Aksara Pallawa. Tidak adanya bukti prasasti tersebut menyebabkan kekurangan informasi akan kondisi internal Sriwijaya. Nama-nama yang diperoleh dari berita Dinasti Sung China tersebut bukanlah nama para Maharaja sebenarnya melainkan hanya nama duta ataupun raja bawahan (bergelar Haji) yang diutus oleh Maharaja Sriwijaya ke China. Nama-nama Maharaja Sriwijaya kebanyakan diperoleh dari India misal Cula-mani-warman, Mara-wijaya-tungga-warman, dan Sangrama-wijaya-tungga-warman dalam prasasti Chola India (1044M). Prasasti tersebut dibuat oleh Maharaja Rajendra Chola 1 dari Chola India setelah mengalahkan Sriwijaya. Jika melihat gelar “Tungga” yang dipakai oleh Maharaja Sriwijaya kemungkinan mendapatkan pengaruh dari Jawa. Dalam prasasti Kanton China (1079M) yang dibuat oleh Maharaja Kulothunga Chola 1 (1070M-1118 M) dari Chola India dalam rangka peresmian sebuah candi Budha di Kanton yang dibuat atas nama Sriwijaya. Maharaja Chola India sendiri beragama Hindu. Kulothunga Chola 1 dari Chola India juga pernah mengirim utusan ke Dinasti Sung China pada tahun 1077M.

Pada tahun 717M, Sanjaya naik tahta Kerajaan Medang menggantikan pamannya yaitu Sanna. Pada tahun 717 Masehi atau 639 Saka digunakan sebagai permulaan dari penanggalan/kalender Sanjaya

yang dibuat pada masa pemerintahan Maharaja Mpu Daksa dari Medang. Kerajaan Medang beribukota di Mataram berdasarkan prasasti Canggal (732M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa. Di dalam prasasti itu Sanjaya dikenal sebagai seorang yang ahli perang dan menguasai kitab suci yang menyatukan Jawa kembali setelah terjadi kekacauan akibat meninggalnya raja pendahulu yang bernama Sanna. Penggambaran Sanjaya (abad ke-8M, pendiri Kerajaan Medang) sebagai Raja-Resi atau Ratu-Pandhita mirip dengan penggambaran Purnawarman (abad ke-5M, Kerajaan Taruma), Airlangga (abad ke-11M, pendiri Kerajaan Panjalu/Kadiri), Sangramawijaya (abad ke-14M, pendiri Kerajaan Majapahit), dan Sutawijaya (abad ke-17M, pendiri Kesultanan Mataram Jawa) bahkan Soekarno (abad ke-20M, pendiri Republik Indonesia). Dalam Babad Tanah Jawi, Sutawijaya digambarkan sebagai raja dan panglima perang sekaligus pemimpin agama yang memiliki spiritualitas tinggi dan menyatukan kerajaan kembali. Hal ini dapat dilihat dari gelar yang dipakai Sultan Agung yaitu Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrakusuma Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayiddin Panatagama Khalifatullah yang berarti panglima perang, pelayan Tuhan, pemimpim agama, dan wakil Tuhan. Sultan Agung sendiri ingin menjadi Gung Binatara seperti halnya penguasa Singosari dan Majapahit yang memakai gelar Batara. Orang Belanda myebutnya sebagai Kaiser von Mataram Java (Kaisar i Jawi). Menuru Carita Parahyangan (akhir abad ke-16M), Sanjaya pernah menyerang Malayu. Sejak tahun 730M, Kerajaan Sriwijaya tidak diketahui beritanya lagi baik dalam bentuk prasasti maupun berita dari China. Pada tahun 960M hubungan diplomatik antara Sriwijaya dengan China muncul kembali sejak awal berdirinya Dinasti Sung China (pertengahan abad ke-10M) yang kali ini disebut sebagai San Fo Tsi bukan lagi Shih Li Fo Tsi seperti pada awal abad ke-8M.

Pada abad ke-8M selain Kerajaan Medang ada sebuah kerajaan di Jawa bernama Kanjuruhan (Malang). Raja Kanjuruhan bernama Gajayana putra Dewasimha hal tersebut didasarkan pada prasasti Dinoyo (Malang, 760M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno). Prasasti tersebut lebih muda sepuluh tahun dari prasasti Plumpungan (Salatiga, 750M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi. Dalam prasasti Canggal (732M) disebutkan bahwa Sanjaya putra Sannaha menggantikan kedudukan pamannnya yaitu Sanna. Dikatakan bahwa sepeninggalan (meninggal) Sanna, kerajaan menjadi terpecah.. Kemudian Sanjaya dapat menyatukan kerajaan kembali dan mendirikan kerajaan baru bernama Medang. Ketika Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang kemungkinan Gajayana putra Dewasimha ini pindah ke arah timur dan mendirikan Kerajaan Kanjuruhan. Dalam prasasti Dinoyo (760M), Gajayana disebutkan mempunyai seorang putri bernama Uttajena yang menikah dengan Jananiya. Dapat dipastikan bahwa pada tahun 760M Gajayana telah meninggal. Prasasti Dinoyo merupakan satu-satunya prasasti peninggalan Kerajaan Kanjuruhan dan setelah itu tidak diketahui beritanya lagi. Pada pertengahan abad ke-8M Kanjuruhan ini kemungkinan dianeksasi oleh Kerajaan Medang pada masa Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana putra Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Rakai Panangkaran merupakan penguasa pertama di Medang yang memakai gelar Maharaja. Bukti lain keberadaan Kerajaan Kanjuruhan adalah candi Badut (Malang) bercorak Hindu yang dibuat pada masa pemerintahan raja Gajayana. Candi Badut memiliki tipikal yang sama dengan candi Gedong Songo (Ungaran/sebelah utara Salatiga) yang dibuat pada masa Sanjaya dari Medang. Prasasti tertua lain yang memakai bahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi adalah prasasti Sukabumi (Kadiri, 804M).

Bosch dalam karangannya yang berjudul Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952M). Ia menyebutkan bahwa, di Kerajaan Medang terdapat dua Dinasti yang berkuasa, yaitu Dinasti Sanjaya dan Sailendra. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa, dan berkiblat ke Kunjaradari di daerah India.

Maharaja selanjutnya ialah Rakai Panangkaran yang dikalahkan oleh Dinasti lain bernama Wangsa Sailendra. Sejak saat itu di Medang terdapat dua Dinasti yaitu Sanjaya (di utara Jawa) dan Sailendra (di selatan Jawa). Sampai akhirnya seorang putri mahkota Sailendra yang bernama Pramodawardhani (putri Maharaja Samaratunggadewa) menikah dengan Rakai Pikatan, seorang keturunan Sanjaya. Rakai Pikatan kemudian mewarisi takhta mertuanya. Dengan demikian, Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di Medang. Bosch juga memberikan daftar silsilah para Maharaja Wangsa Sanjaya, sekaligus juga silsilah keluarga mulai dari Sanjaya sampai Balitung.

Daftar Wangsa Sanjaya berdasarkan prasasti Mantyasih (907M) oleh Bosch:Rakai Mataram SanjayaRakai PanangkaranRakai PanunggalanRakai WarakRakai GarungRakai PikatanRakai KayuwangiRakai WatuhumalangRakai Watukura

Asumsi yang dipakai oleh Bosch adalah bahwa nama rakai adalah nama silsilah wangsa. Tetapi banyak sarjana lain yang menolak teori ini contohnya Slamet Mulyana. Menurutnya, daftar tersebut bukanlah silsilah Wangsa Sanjaya, melainkan daftar para Maharaja yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang. Nama “Rakai” itu sendiri seperti nama “Batara” (Bre) dalam zaman Majapahit yang berarti (Penguasa di atau Pejabat di) misalnya Bre Kahuripan, Bre Daha, Bre Tumapel, Bre Kertabumi ataupun nama “Adipati” pada zaman Islam misalnya Adipati Demak, Adipati Pajang, Adipati Mataram. Biasanya sebelum menjadi Maharaja lebih dahulu menjadi penguasa daerah yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Maharaja yang masih menjabat. Misal Fatah (Adipati Demak) mendirikan Kesultanan Demak, Hadiwijaya (Adipati Pajang) mendirikan Kesultanan Pajang, dan Sutawijaya (Adipati Mataram) mendirikan Kesultanan Mataram. Menurut berita China dari Dinasti Tang bahwa Kerajaan Medang dipimpin oleh seorang Maharaja yang mempunyai 28 daerah bawahan yang merupakan wilayah ke-rakai-an. Dalam pusat pemerintahan, Maharaja Medang dibantu oleh 4 Rakaian Mahamantri Katrini yang dijabat keluarga Maharaja yaitu Rakaian i Hino, Rakaian i Halu, Rakaian i Sirikan, dan Rakaian i Wika yang merupakan jabatan untuk keluarga Maharaja. Selain itu ada Mantri yang kedudukannya dibawah kedudukan Mahamantri. Dewan Mantri ini disebut dengan nama Rakaian Mantri Pakira-kiran yang dipimpin seorang Mahapatih (Perdana Menteri), Dewan Mantri itu misalnya Rakaian i Kanuruhan, Rakaian i Rangga dan Rakaian i Demung.

Bosch juga mengatakan bahwa pendiri Wangsa Sailendra bernama Bhanu berdasarkan prasasti Plumpungan (Salatiga,750M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno). Bhanu kemudian mengalahkan Maharaja Rakai Panangkaran. Padahal dalam prasasti itu Bhanu hanya disebutkan memberikan sebidang tanah perdikan dengan persetujuan dari Sang Sidhadewi. Kemungkinan besar ia hanya menjabat sebagai bawahan pada Kerajaan Medang. Dan Bhanu sendiri tidak bergelar “Maharaja” namun hanya bergelar “Haji” (gelar setingkat dibawah Maharaja).

Analisis Slamet Mulyana terhadap beberapa prasasti, misalnya prasasti Kelurak, prasasti Kayumwungan, prasasti Siwagraha, dan prasasti Nalanda menyimpulkan bahwa Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Alasan yang

dipakai adalah bahwa Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana sendiri bergelar Sailendrawamsatilaka (Permata Wangsa Sailendra) berdasarkan prasasti Kalasan (778M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pranagari/ Siddham. Jadi Slamet Mulyana, menolak pendapat bahwa Rakai Panangkaran dikalahkan Wangsa Sailendra karena Panangkaran sendiri merupakan anggota Wangsa Sailendra. Dalam prasasti Mantyasih (907M) Rakai Panangkaran merupakan penerus Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Para penguasa Jawa dulu memakai gelar “Ratu” sebelum memakai gelar “Maharaja” misal Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Setelah masa pemerintahan Rakai Panangkaran Dyah Pancapana dan seterusnya, para pengusa Jawa memakai gelar Maharaja. Baik kata “Ratu” (prasasti Canggal) dan “Datu” (prasasti Talaga Batu) berasal dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti yang sama dengan “Raja”. Dalam prasasti Mantyasih (907M) dikatakan bahwa Maharaja Rakai Panangkaran (prasasti Kalasan, 778M) digantikan oleh Maharaja Rakai Panunggalan. Menurut Slamet Mulyana, Maharaja Rakai Panunggalan identik dengan Dharanindra/Sangramadhanamjaya dalam prasasti Kelurak (782M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pranagari/Siddham.

Menurut Slamet Mulyana pada masa pemerintahan Dharanindra dari Wangsa Sailendra penguasa Kerajaan Medang pada abad ke-8M menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menjadikannya sebagai raja bawahan didasarkan pada prasasti Kelurak (782M), prasasti Ligor B, prasasti Nalanda India. Kemudian Dharanindra menyerang Kerajaan Chenla-Kamboja dan Champa hal ini didasarkan pada prasasti Ligor sisi B dan diperkuat dengan adanya catatan Kerajaan Khmer-Kamboja (berdiri pada awal abad ke-9M) yaitu prasasti Sdok Kak Thom dan Kerajaan Champa (berdiri pada awal abad ke-3M dan menjadi Kerajaan Hindu pada awal abad ke-5M) yaitu prasasti Po Nagar. Ligor terletak di Nakhon Thammarat yang dulunya bernama Tambralingga (berdiri pada abad ke-8M). Disebutkan bahwa pada tahun 782M, pihak Jawa pernah menyerang Champa (prasasti Po Nagar). Dan Ada seorang pangeran Chenla dibawa ke Jawa yang bernama Jayawarman (prasasti Sdok Kak Thom). Ketika kembali ke Chenla dia mendirikan Kerajaan Khmer dan melepaskan diri dari Jawa pada tahun 802M. Sebelumnya dalam berita China disebutkan bahwa pada tahun 767M daerah Tonkin (Annam) pernah diserang oleh Chopo (Jawa) namun dapat dipukul mundur oleh Gubernur China di Tonkin yang bernama Chang Po Yi. Kemungkinan penyerangan ini dilakukan oleh Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana dari Medang. Menurut Coedes, prasasti Ligor A dan B dibuat pada waktu sama. Menurut Slamet Mulyana, prasasti Ligor A dan prasasti Ligor B sendiri mempunyai perbedaan dalam tata bahasa yang digunakan. Hal ini menunjukan bahwa waktu pembuatan antara prasasti Ligor A dan prasasti Ligor B berbeda. Prasasti Ligor A (775M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa dibuat oleh seseorang (tidak diketahui namanya). Sedangkan dalam prasasti Ligor B (dibuat sekitar tahun 775M sampai 782M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa dibuat oleh seseorang yang dipuja bagaikan Dewa Wisnu. Nama “Wisnu” sendiri mempunyai arti yang sama dengan nama “Dharanindra” dalam prasasti Kelurak (782M) yaitu “pelindung dunia”. Dharanindra sendiri mempunyai nama abhiseka yaitu Sri Sang-rama-dhanamjaya (prasasti Kelurak, 782M). Dalam mitogi Hindu, Sang Rama merupakan jelmaan dari Dewa Wisnu. Nama Wisnu pada prasasti Ligor B mempunyai julukan “Sarwwarimawimathana”, Dharanindra/Sangramadhanamjaya pada Prasasti Kelurak (782M) mempunyai julukan “Wairiwarawiramardana”, dan kakek dari Balaputradewa putra Samaragrawira dalam prasasti Nalanda mempunyai julukan “Wirawairimathana” dimana ketiga nama julukan itu mempunyai arti yang sama yaitu “pembunuh musuh musuh perwira”. Dalam prasasti Nalanda, kakek dari Balaputradewa disebut sebagai anggota Wangsa Sailendra dari Yawabhumi (Jawa) sedangkan Balaputradewa sendiri menyebut dirinya sebagai Maharaja dari Swarnadwipa (Sumatra). Menurut Coedes, tokoh “Wisnu” dan “Maharaja yang berjulukan Sarwwarimawimathana” yang terdapat dalam prasasti Ligor B merupakan dua orang yang berbeda. Jadi

tokoh ‘Wisnu” berbeda dengan tokoh “Dharanindra/Sangramadhanamjaya” walaupun memiliki arti nama dan julukan yang sama. Coedes berpendapat bahwa Maharaja yang berjulukan “Sarwwarimawimathana” merupakan penerus dari Wisnu. Menurut Slamet Mulyana, nama “Wisnu” hanyalah sebuah nama julukan dari Dharanindra/Sangramadhanamjaya. Jadi nama “Wisnu” bukanlah sebuah nama sebenarnya melainkan hanya sebuah julukan seseorang yang dipuja bagaikan Dewa Wisnu. Prasasti lain yang berhubungan dengan Wangsa Sailendra adalah prasasti Abhayagiriwihara (792M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pranagari/Siddham atas nama Dharmatunggadewa.

Menurut Slamet Mulyana, Maharaja Dharanindra kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Samaragrawira (prasasti Nalanda). Dewi Tara putri Dharmasetu bawahan Maharaja Dharanindra dinikahkan dengan Samaragrawira. Pendapat Coedes yang mengatakan bahwa Dharmasetu adalah Maharaja Sriwijaya ditolak Slamet Mulyana karena berdasarkan prasasti Kelurak (782M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pranagari/Siddham, Dharmasetu hanya ditugasi oleh Dharanindra untuk merawat bangunan suci di desa Kelurak dan juga Dharmasetu disebutkan berasal dari Jawa. Jadi Dharmasetu bukan Maharaja Sriwijaya melainkan hanya sebagai raja bawahan. Karena tidak ada satupun prasasti yang mengkaitkan Dharmasetu dengan Sriwijaya atau tidak ada satupun prasasti tentang Dharmasetu yang ditemukan baik di Sumatra maupun di Semenanjng Malaya. Dalam prasasti Kelurak (782M), Dharmasetu sendiri tidak bergelar sebagai Maharaja. Selain di prasasti Kelurak (782M) nama Dharmasetu hanya tercantum dalam prasasti Nalanda. Pada prasasti itu disebutkan bahwa Balaputradewa putra Samaragrawira putra dari seseorang yang berjulukan “Wirawairimathana” dari Wangsa Sailendra sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Kakek dari Balaputradewa disebutkan berasal dari Yawabhumi (Jawa). Balaputradewa menyebut dirinya sebagai sebagai Maharaja dari Swarnadwipa (Sumatra). Menurut Krom, bahwa Balaputradewa adalah putra Samaratunggadewa karena nama Samaratunggadewa (prasasti Kayuwungan, 824M) dianggap identik dengan nama Samaragrawira karena kemiripan namanya. Pendapat Krom ini ditolak Slamet Mulyana, karena Samaratunggadewa hanya memiliki satu anak yang bernama Pramowardhani berdasarkan prasasti Kayuwungun (824M) sedangkan julukan “Wirawairimathana” ditujukan ke Dharanindra. Samaratunggadewa lebih cocok dikatakan sebagai kakak dari Balaputradewa daripada sebagai ayahnya. Menurut Slamet Mulyana, dari pernikahan Samaragrawira dan Dewi Tara diberi dua anak yang bernama Samaratunggadewa dan Balaputradewa. Dari prasasti Nalanda dapat diambil kesimpulan bahwa Balaputradewa mempunyai dua kakek yaitu Dharanindra (dari sisi ayahnya) dan Dharmasetu (dari sisi ibunya). Lebih jauh lagi Slamet Mulyana mengatakan bahwa Samaragrawira putra Dharanindra nantinya membagi kerajaan menjadi dua yaitu Yawadwipa/Medang untuk Samaratunggadewa dan Swarnadwipa/Sriwijaya untuk Balaputradewa agar lebih mudah melakukan administrasi. Karena pada masa pemerintahan Samaragrawira, Kerajaan Khmer Kamboja lepas dari Jawa pada tahun 802M (prasasti Sdok Kak Thom). Dalam prasasti Mantyasih (907M) dikatakan bahwa Maharaja Rakai Panunggalan digantikan oleh Maharaja Rakai Warak. Menurut Slamet Mulyana, Maharaja Rakai Panunggalan identik dengan Dharanindra sedangkan Maharaja Rakai Warak identik dengan Samaragrawira.

Menurut Coedes, pada akhir abad ke-8M Wangsa Sailendra dibawah pengaruh Sriwijaya dengan masih beranggapan bahwa Dharmasetu merupakan Maharaja Sriwijaya. Sedangkan menurut Slamet Mulyana, Sriwijaya dibawah kekuasaan Wangsa Sailendra. Manakah yang lebih dulu berpengaruh antara Dharmasetu dari Wangsa Soma dengan Wisnu dan Indra dari Wangsa Sailendra. Sudah diketahui bahwa Dharanindra dan Dharmasetu merupakan kakek dari Balaputradewa (prasasti Nalanda). Sedangkan

Coedes sendiri berpendapat Dharanindra (prasasti Kelurak, 782M) merupakan penerus dari Wisnu (prasasti ligor B).

Menurut Coedes bahwa nama “Wisnu” dan “Dharanindra/Sangramadhanamjaya” dianggap tidak identik walaupun memiliki makna nama dan julukan yang sama. Sedangkan menurut Slamet Mulyana, nama “Wisnu” dan “Dharanindra/Sangramadhanamjaya” dianggap identik. Menurut Krom bahwa nama “Samaragrawira” dan “Samaratunggadewa” dianggap identik. Sedangkan menurut Slamet Mulyana menganggap nama “Samaragrawira” dan “Samaratunggadewa” tidak identik.

Pada masa pemerintahan Samaratunggadewa, dia mempunyai raja bawahan bernama Rakai Patapan Mpu Palar (prasasti Kayuwungan, 824M). De Casparis menemukan bahwa, dalam prasasti Kedu terdapat informasi tentang desa Guntur yang masuk wilayah Garung, serta masuk pula wilayah Patapan. Atas dasar ini, Rakai Patapan dianggap identik dengan Maharaja Rakai Garung dalam daftar para Maharaja dalam prasasti Mantyasih (907M). Rakai Garung adalah Maharaja sebelum Rakai Pikatan, yang merupakan menantu dari Samaratunggadewa. Kesimpulannya ialah, Rakai Patapan Mpu Palar pada tahun 824M masih menjadi bawahan Samaratunggadewa. Kemudian pada tahun 827M ia sudah membangun Kerajaan sendiri dan memakai gelar Maharaja Rakai Garung. Putranya bernama Rakai Pikatan Mpu Manuku menikah dengan Pramodawardhani putri Samaratunggadewa sehingga bisa mewarisi takhta Kerajaan Medang. Teori De Casparis ini ditolak oleh Slamet Mulyana. Menurutnya, prasasti Gandasuli (827M) dikeluarkan ketika Mpu Palar sudah meninggal. Gelar terakhir Mpu Palar menurut prasasti Gandasuli ialah Haji, yaitu gelar di bawah Maharaja. Jadi Haji Rakai Patapan Mpu Palar tidak mungkin sama dengan Maharaja Rakai Garung. Kedudukan Haji Rakai Patapan Mpu Palar seperti kedudukan Haji Dharmasetu. Nama Rakai Garung juga terdapat dalam prasasti Pengging (819M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi. Selain itu, disebutkan dalam prasasti Ganadasuli (827M) bahwa anak-anak Mpu Palar semuanya perempuan, jadi tidak mungkin ia berputra Rakai Pikatan. Ditinjau dari tata bahasa prasasti Gandasuli (827M), tokoh Rakai Patapan Mpu Palar diperkirakan berasal dari pulau Sumatra. Dan juga prasasti yang berhubungan dengan Rakai Patapan Mpu Palar selalu menggunakan bahasa Malayu Kuno seperti prasasti Kayuwungan (824M) dan prasasti Gandasuli (827M). Dalam prasasti Kayuwungan (824M) sendiri terdapat dua bahasa yaitu bahasa Sansekerta yang berhubungan dengan Samaratunggadewa dan bahasa Malayu Kuno yang berhubungan dengan Rakai Patapan Mpu Palar. Dalam prasasti Munduan (807M) diketahui yang menjabat sebagai Rakai Patapan adalah Mpu Manuku. Kemudian pada prasasti Kayumwungan (824M) Rakai Patapan dijabat oleh Mpu Palar. Namun, pada Prasasti Tulang Air (850M) Mpu Manuku kembali memimpin daerah Patapan. Jadi tidak mungkin Mpu Manuku adalah anak Mpu Palar karena Mpu Manuku lebih dulu menjabat daripada Mpu Palar. Kesimpulannya ialah, Mpu Manuku mula-mula menjabat sebagai Rakai Patapan. Kemudian ia diangkat oleh Samaratunggadewa sebagai Rakai Pikatan, sehingga jabatannya digantikan oleh Mpu Palar, seorang pendatang dari Sumatra. Atas jasa-jasa dan kesetiaannya, Mpu Palar kemudian diangkat sebagai raja bawahan bergelar Haji. Rakai Pikatan Mpu Manuku berhasil menikahi Pramodawardhani sang putri mahkota bahkan berhasil menjadi Maharaja Kerajaan Medang sepeninggal Samaratunggadewa. Kemudian setelah Mpu Palar meninggal, daerah Patapan kembali diperintah Mpu Manuku. Mungkin dijadikan satu dengan daerah Pikatan. Dalam prasasti Munduan tahun 807M Mpu Manuku sudah menjabat sebagai Rakai Patapan, padahal pada tahun 824M Pramodawardhani masih menjadi gadis. Ini berarti di antara keduanya terdapat perbedaan usia yang cukup jauh. Mungkin usia Rakai Pikatan Mpu Manuku sebaya dengan mertuanya, yaitu Samaratunggadewa. Menurut Slamet Mulyana, Maharaja Rakai Garung (prasasti Gandasuli, 827M) identik dengan Maharaja Samaratunggadewa (prasasti Kayuwungan,

824M). Dalam daftar Maharaja Medang dalam prasasti Mantyasih (907M) disebutkan bahwa Maharaja Rakai Garung memerintah sebelum Maharaja Rakai Pikatan.

Samaratunggadewa kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Pramowardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan. Candi Borobudur sendiri didirikan pada masa pemerintahan Maharaja Samaratugga sedangkan candi Prambanan didirikan oleh pada masa Maharaja Rakai Pikatan dan Pramowardhani. Candi Borobudur didesain oleh seorang arsitek Jawa yang bernama Gunadharma. Candi Prambanan dilihat dari desainnya merupakan perpaduan arsitektural Hindu dan Budha seperti halnya perpaduan antara Maharaja Rakai Pikatan (Hindu) dengan Pramowardhani (Budha). Nama Pramowardhani putri Samaratunggadewa dalam prasasti Kayuwungan (824M) sendiri dianggap identik dengan nama Sri Kahuluan dalam prasasti Tri Tepusan (842M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Kawi. Pendapat lain dikemukakan oleh Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Misalnya, dalam Mahabharata tokoh Yudhisthira memanggil ibunya, yaitu Kunti, dengan sebutan Sri Kahulunan. Jadi, menurut Boechari, Sri Kahulunan bukan Pramodawardhani, melainkan ibunya. Kemungkinan pada tahun 842M, Samaratunggadewa sudah meninggal. Pramowardhani ini dianggap identik dengan Rakai Sanjiwana yang beragama Budha dan merupakan nenek dari Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung. Dia sendiri mempunyai gelar abhiseka Iswarakesawa Samaratunggadewa dimana hal tersebut menunjukkkan ada hubungan antara Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung dengan Samaratunggadewa. De Casparis juga menyatakan bahwa Pramowardhani dan Rakai Pikatan berselisih dengan Balaputradewa akibat perebutan tahta. Kemudian Balaputradewa menyingkir ke Sriwijaya dan menjadi Maharaja disana setelah kalah dari Rakai Pikatan. Hal tersebut didasarkan pada prasasti Siwagraha (855M) dimana disebutkan pernah terjadi pertempuran antara Rakai Mamrati Sang Jatiningrat (Rakai Pikatan) melawan musuh yang membangun benteng dari batu (Benteng Ratu Baka). Benteng ini dulunya merupakan sebuah candi Budha yang didirikan pada akhir abad ke-8M yang kemudian dirubah menjadi benteng pertahanan pada pertengahan abad ke-9M. Letak benteng ini sangat dekat dengan candi Prambanan. Dalam prasasti Wantil (856M) ditemukan istilah Walaputra yang menurut De Casparis dianggap identik dengan Balaputradewa dalam prasasti Nalanda (860M). Menurut Boechari pada Benteng Ratu Baka (yang dianggap sebagai tempat persembunyian Balaputradewa ketika terjadi pertempuran dengan Rakai Pikatan) sama sekali tidak ditemukan bukti-bukti peninggalan Balaputradewa malahan yang ditemukan adalah prasasti peninggalan bangsawan yang bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sesama keturunan Sanjaya. Rakai Walaing Mpu Kombhayoni berasal dari Grobogan-Blora. Karena kebanyakan prasasti tentangnya berasal dari wilayah tersebut. Bukti lain menunjukkan adanya kerusakan pada sebagian prasasti Pereng (863M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi yang mencatat urutan silsilah Rakai Walaing. Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni merupakan keturunan dari Sang Ratu Halu. Kerusakan ini seolah sengaja dilakukan oleh Rakai Pikatan. Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni mengaku cicit dari Sang Ratu Halu dan masih keturunan dari raja yang memerintah di Yawapura. Rakai Walaing merupakan pemuja Agastya dan penganut agama Siwa Hindu. Sang Ratu Halu menurut Boechari adalah adik dari raja yaitu Sang Ratu Sanjaya. Menurut prasasti Sdok Kak Thom pada tahun 802M negeri Kamboja berhasil melepaskan diri dari Jawa. Mungkin hal ini menjadi alasan Samaragrawira pada akhir pemerintahannya membagi kekuasaan Wangsa Sailendra untuk kedua putranya. Samaratunggadewa berkuasa di Yawadwipa (Jawa), sedangkan Balaputradewa berkuasa di Swarnadwipa (Sumatra). Balaputradewa mendapatkan Swarnadwipa memang karena dia mempunyai hak sebagai cucu dari Dharanindra. Jadi yang memberontak pada Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku bukanlah Balaputradewa melainkan Rakai Walangin Mpu Kumbhayoni yang sama-sama mengaku keturunan raja. Istilah Walaputra sendiri bukanlah identik dengan Balaputradewa. Justru istilah Walaputra

identik dengan “putra bungsu” yaitu Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan yang dipuji berhasil mengalahkan musuh kerajaan.

Daftar Wangsa Sailendra di Jawa yang diambil dari kesimpulan Coedes dan De Casparis:

Sangramadhanamjaya (prasasti Ligor B, prasasti Kelurak, 782M, prasasti Nalanda India) (775M-792M1)Samaratunggadewa (prasasti Kayuwungan, 824M) aka Samaragrawira (792M-827M2)

Daftar Wangsa Soma di Jawa :Dharmasetu, merupakan bawahan Dharanindra/Sangramadhanamjaya yang ditugasi untuk merawat

bangunan suci (prasasti Kelurak, 782M)Dewi Tara, merupakan putri dari Dharmasetu, istri dari Samaragrawira, ibu dari Balaputradewa, dan

menantu dari seorang yang bergelar “Wirawairimathana” (prasasti Nalanda). Nama Dewi Tara juga terdapat dalam prasasti Kalasan (778M) bersama nama Maharaja Rakai Panangkaran

1prasasti Abhayagiriwihara (792M) atas nama Dharmatunggadewa, Menurut De Casparis, prasasti tersebut dibuat oleh Samaratunggadewa walaupun namanya tidak tercantum. 2Prasasti Gandasuli (827M) atas nama Rakai Patapan Mpu Palar. Dalam prasasti Kayuwungan (824M) disebutkan Mpu Palar masih merupakan bawahan Samaratunggadewa. Menurut De Casparis, Rakai Patapan Mpu Palar identik dengan Rakai Garung. Menurut De Casparis, Mpu Palar merebut sebagian wilayah kekuasaan dari Samaratunggadewa pada tahun 827M. Kemudian putra Rakai Patapan Mpu Palar yang bernama Rakai Pikatan menikahi Pramowardhani putri Samaratunga dan dapat menjadi Maharaja. Akhirnya Rakai Pikatan dapat mengalahkan Balaputradewa saat terjadi perang perebutan tahta (prasasti Siwagraha, 855M) dan kemudian Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya serta menjadi Maharaja Swarnadwipa (prasasti Nalanda). Jadi sengketa antara Balaputradewa dengan Rakai Garung dan Rakai Pikatan berlangsung selama hampir 28 tahun? (827M-855M). Balaputradewa putra Samaragrawira (dianggap identik dengan Samaratunggadewa) dapat menjadi Maharaja Sriwijaya karena mewarisi tahta dari garis ibunya yang bernama Dewi Tara putri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Dengan berasumsi bahwa Dharmasetu dari Wangsa Soma merupakan Maharaja Sriwijaya, walaupun tidak ada prasasti yang mengkaitkan Dharmasetu dengan Sriwijaya. Bahkan Dharmasetu sendiri tidak bergelar sebagai “Maharaja” dan hanya bergelar “Haji” (prasasti Kelurak, 782M). Dan juga tidak ada satupun prasasti di Jawa pada zaman Medang yang menyebut adanya nama Sriwijaya. Dan juga nama Dharmasetu tidak terdapat di Sumatra dan Semenanjung Malaya.

Slamet Mulyana memberikan daftar para Maharaja Medang berdasarkan prasasti Mantyasih (907M) dikaitkan dengan Wangsa Sailendra sebagai berikut.

Rakai Panangkaran (prasasti Kalasan, 778M)Rakai Panunggalan aka Sangramadhanamjaya (prasasti Kelurak, 782M, prasasti Nalanda)Rakai Warak aka Samaragrawira (prasasti Nalanda)Rakai Garung aka Samaratunggadewa (prasasti Kayuwungan, 824M)

Kusen memberikan daftar para Maharaja Medang berdasarkan prasasti Wanua Tengah 111 (908M) sebagai berikut :

Rakai Medang (Sanjaya) 717M-27 November 746MRakai Panangkaran Dyah Pancapana 27 November 746M-1 April 784MRakai Panaraban Dyah Tamperan* 1 April 784M-28 Maret 803MRakai Warak Dyah Manara 28 Maret 803M-5 Agustus 827MDyah Gula 5 Agustus 827M-24 Januari 828MRakai Garung 24 Januari 828M-22 Februari 847M

Rakai Pikatan Dyah Saladu 22 Februari 847M-27 Mei 855MRakai Kayuwangi Dyah Lokapala 27 Mei 855M-8 Februari 885MDyah Tagwas 8 Februari 885M-27 September 885MRakai Limus Dyah Dawendra 27 September 885M-27 Januari 887MRakai Gurunwangi Dyah Badra 27 Januari 887M-24 Februari 887MVacuum of Power (krisis suksesi) 24 Februari 887M-27 November 894MRakai Wungkalhumalang Dyah Jibang 27 November 894M-23 Mei 898MRakai Watukura Dyah Balitung 23 Mei 898M-910M

*Dalam Carita Parahyangan Sunda (abad ke-16M), Rakai Panaraban mempunyai nama asli Dyah Tamperan. Prasasti Wanua Tengah 111 lebih lengkap daripada prasasti Mantyasih karena dilengkapi dengan penanggalan yang akurat dan daftar Maharaja Medang yang lebih lengkap.

Menurut Kusen, Rakai Panaraban dalam prasasti Wanua Tengah 111 (908M) merupakan Rakai Panunggalan dalam prasasti Mantyasih (907M) yang merupakan Maharaja setelah Rakai Panangkaran. Sedangkan Rakai Wungkalhumalang merupakan Rakai Watuhumalang, karena baik nama Wungkal maupun Watu mempunyai arti yang sama yaitu Batu. Menurut Kusen, Rakai Panaraban merupakan putra dari Rakai Panangkaran. Nama Panaraban dan Manara juga terdapat di Carita Parahyangan. Dalam cerita itu Panaraban mempunyai nama lain yaitu Dyah Tamperan. Selain itu disebutkan juga bahwa Manara merupakan putra dari Panaraban. Menurut Kusen, Rakai Garung merupakan putra dari Rakai Warak. Sedangkan Dyah Gula merupakan putra dari Rakai Warak. Kusen memberikan argumen kenapa dalam prasasti Mantyasih (907M) nama Dyah Tagwas, Dyah Dawendra, Dyah Badra tidak disebutkan karena ketiganya tidak memiliki kedaulatan penuh atas kerajaan. Menurut Kusen, ketiga nama tersebut diturunkan dari tahta. Krisis suksesi tersebut menyebabkan kekosongan kekuasaan dari tahun 887M sampai tahun 894M. Hal tersebut juga pernah terjadi di zaman Majapahit dari tahun 1453M sampai tahun 1456M. Menurut Kusen, Notosusanto dan Poesponogoro bahwa Rakai Panangkaran Dyah Pancapana identik dengan Sri Sangramadhanamjaya dalam prasasti Kelurak (782M) karena kedua nama tersebut sama-sama disanjung dengan nama Sailendrawamsatilaka. Dan juga prasasti-prasasti seperti prasasti Kalasan (778M), prasasti Ligor B, prasasti Kelurak (782M) dibuat pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (746M-784M). Menurut Kusen, baik nama Samaratunggadewa maupun Samaragrawira merupakan satu orang yang identik dan merupakan putra dari Rakai Panangkaran Dyah Pancapana aka Sangramadhanamjaya. Rakai Panangkaran Dyah Pancapana merupakan penguasa pertama di Jawa yang mempunyai gelar Maharaja. Dengan kata lain Rakai Panangkaran dapat disebut sebagai Maharaja pertama di Jawa.

Nama seorang penguasa Jawa biasanya mempunyai beberapa nama yaitu: nama jabatan (biasanya diawali dengan kata Rakai, Batara, Adipati), nama asli (biasanya diawali dengan kata Dyah, Mpu, Arya, Raden), dan nama gelar/abhiseka (biasanya diakhiri dengan kata Tunggadewa). Misalnya Rakai Watukura Dyah Balitung mempunyai nama abhiseka yaitu Iswarakesawat-samaratunggadewa.dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala mempunyai nama abhiseka yaitu Sajjanotsawattunggadewa.

Wissemen-Christie memberikan daftar para Maharaja Medang berdasarkan prasasti Wanua Tengah 111 dikaitkan dengan Wangsa Sailendra.

Rakai Panangkaran Dyah Pancapana abhisekanya Sangramadhanamjaya (prasasti Kalasan, 778M, prasasti Ligor B, prasasti Kelurak, 782M, prasasti Nalanda)

Rakai Panaraban Dyah Tamperan abhisekanya Dharmatunggadewa (prasasti Abhayagiriwihara, 792M)

Rakai Warak Dyah Manara abhisekanya Samaratunggadewa (prasasti Kayuwungan, 824M)

Menurut Wisseman-Christie, Balaputradewa merupakan putra dari Dyah Gula yang mempunyai gelar abhiseka Samaragrawira (prasasti Nalanda). Menurut prasasti tersebut Balaputradewa disebutkan sebagai anak dari Samaragrawira dan cucu dari seseorang yang bergelar “Wirawairimathana” dimana gelar tersebut sama seperti gelar yang dipakai Sangramadhanamjaya (prasasti Kelurak, 782M). Lebih cocok bila dikatakan bahwa Balaputradewa merupakan putra dari Rakai Panaraban (Dharmatunggadewa). Jadi Samaragrawira identik dengan Dharmatunggadewa. Dengan kata lain Balaputradewa merupakan adik dari Samaratunggadewa. Slamet Mulyana mengatakan bahwa Dharanindra/Sangramadhanamjaya berhasil menaklukan Sriwijaya. Menurut Kusen dan Wisseman-Christie bahwa Sangramadhanamjaya merupakan nama abhiseka dari Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (746M-784M). Penyerangan Tonkin-Annam (767M), Kamboja, dan Champa (775M dan 782M) serta pembuatan prasasti Ligor (775M) terjadi pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (746M-784M). Menurut Carita Parahyangan (abad ke-16M) disebutkan bahwa Sanjaya (717M-746M) pernah menyerang Malayu. Slamet Mulyana mengatakan bahwa Samaragrawira membagi kerajaan menjadi dua yaitu Yawadwipa/Medang untuk Samaratunggadewa dan Swarnadwipa/Sriwijaya untuk Balaputradewa agar lebih mudah melakukan administrasi. Karena pada masa pemerintahan Samaragrawira, Kerajaan Khmer Kamboja lepas dari Jawa pada tahun 802M (prasasti Sdok Kak Thom). Jika benar Samaragrawira sama dengan Rakai Panaraban (784M-803M) dimana mempunyai gelar abhiseka Dharmatunggadewa (prasasti Abhayagiriwihara, 792M) maka pembagian kekuasaan untuk Samaratunggadewa dengan Balaputradewa terjadi pada tahun 803M yaitu setahun setelah Khmer melepaskan diri dari Jawa. Pembagian tersebut seperti yang dkatakan oleh Slamet Mulyanan. Tahun 803M tersebut juga bertepatan dengan kenaikan tahta Rakai Warak Dyah Manara (803M-807M).

Daftar para Maharaja Jawa :

Rakai Medang i Mataram SanjayaRakai Panangkaran Dyah Pancapana abhisekanya Sri SangramadhanamjayaRakai Panunggalan/Panaraban Dyah Tamperan abhisekanya Sri DharmatunggadewaRakai Warak Dyah Manara abhisekanya Sri SamaratunggadewaDyah GulaRakai Garung aka Mpu Catura Rakai Pikatan Dyah Saladu aka Mpu ManukuRakai Kayuwangi Dyah Lokapala abhisekanya Sri SajjanotsawattunggadewaDyah TagwasRakai Limus Dyah DawendraRakai Gurunwangi Dyah BadraRakai Watuhumalang/Wungkalhumalang Dyah Jibang aka Mpu TeguhRakai Watukura Dyah Balitung abhisekanya Sri IswarakesawatsamaratunggadewaRakai Hino Mpu Daksa abhisekanya Sri DhaksotamatunggadewaRakai Layang Dyah Tulodong abhisekanya Sri SajjanasanmatanuratunggadewaRakai Sumba Dyah Wawa abhisekanya Sri WijayalakamamotunggadewaRakai Hino Mpu Sindok abhisekanya Sri Isyana WikramadharmatunggadewaPutri Mpu Sindok abhisekanya Sri Isyana WijayatunggadewiMakutawangsa abhisekanya Sri Isyana Makutawangsa Wardhana Wikramadharmatunggadewa Dharmawangsa abhisekanya Sri Isyana Dharmawangsa Teguh Ananta WikramadharmatunggadewaAirlangga abhisekanya Sri Lokaswara Dharmawangsa Airlangga Ananta WikramatunggadewaSamarawijaya abhisekanya Sri Samarawijaya Dharmasuparna Teguh Sakalabuwana Uttunggadewa

Poerbatjaraka menolak keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurutnya, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada, karena Sanjaya sendiri adalah anggota Wangsa Sailendra. Dinasti ini mula-mula beragama Hindu, karena nama “Sailendra” bermakna “penguasa gunung” yaitu sebutan untuk Dewa Siwa. Selain itu, istilah Sanjayawansa tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, sedangkan istilah Sailendrawansa ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Kalasan dari tahun 778M (Śailendrawańśatilakasya), prasasti Kelurak dari tahun 782M (Śailendrawańśatilakana), prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792M (Dharmatuńggadewa śailendra), dan Prasasti Kayumwuńgan dari tahun 824M (Sailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam Prasasti Ligor B dan Prasasti Nālanda India dari tahun 860M. Prasasti Kalasan (778M) untuk Rakai Panangkaran, prasasti Kelurak (782M) untuk Sangramadhanamjaya yang berjulukan “Wairiwarawiramardana”, prasasti Ligor B untuk Wisnu yang berjulukan “Sarwwarimawimathana”, prasasti Nalanda untuk Balaputradewa putra Samaragrawira putra seseorang yang berjulukan “Wirawairimathana”, prasasti Kayumwungan (824M) untuk Samaratunggadewa..

Poerbatjaraka berpendapat bahwa Sanjaya telah memerintahkan agar putranya yaitu Rakai Panangkaran pindah agama dari Hindu menjadi Buddha. Teori ini berdasarkan atas kisah dalam Carita Parahyangan berbahasa Sunda Kuno dengan Aksara Sunda Kuno (akhir abad ke-16M) bahwa Rahyang Sanjaya menyuruh anaknya Rahyang Panaraban untuk berpindah agama. Rahyang Panaraban kemudian diidentifikasikan dengan Rakai Panangkaran. Dalam prasasti Kalasan (778M), Maharaja Rakai Panangkaran disebut dengan “Sailendrawamsatilaka” (Permata Wangsa Sailendra).

Jadi, teori Poerbatjaraka menyebutkan bahwa hanya ada satu wangsa saja yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Hindu Siwa. Sejak pemerintahan Maharaja Rakai Panangkaran putra Sanjaya, Wangsa Sailendra terpecah menjadi dua. Agama Buddha dijadikan agama resmi negara, sedangkan cabang Sailendra lainnya ada yang tetap menganut agama Hindu, misalnya seseorang yang kelak menurunkan Rakai Pikatan. Pendapat Poerbatjaraka ini kemudian diperkuat dengan adanya penemuan prasasti Sankhara. Berdasarkan paleografinya, prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-8M. Prasasti Sankhara yang menyebutkan adanya seorang pangeran yang bernama Sankhara yang pindah agama karena ayahnya sakit selama 8 hari ketika menjalani ritual agama yang terlalu berat dan akhirnya meninggal. Sanjaya sendiri dikenal sebagai raja yang taat dalam menjalani perintah agama dan ahli dalam kitab suci (prasasti Canggal, 732M). Sankhara akhirnya meninggalkan agama yang lama dan kemudian memindahkan kerajaannya ke arah timur. Menurut berita Ying Huan Tche Lio, dikatakan bahwa Maharaja Shepo (Jawa) pada waktu itu yaitu Rakai Watukura Dyah Balitung (998M-910M) beribukota di Shepo Tcheng (Yawapura). Tetapi leluhurnya yang bernama Kiyen telah pindah ke arah timur yaitu ke kota Po Lu Chia Su pada masa Tien Pao China (sekitar tahun.742M sampai 755M). Masa Tien Pao China (742M-755M) bersamaaan dengan masa awal pemerintahan Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (746M-784M). Menurut Damais, kata “Kiyen” seharusnya menunjuk pada kata “Lokiyen” yang berarti “Rakriyan/Rakaian”. Jadi nama “Kiyen” menunjuk pada nama jabatan bukan nama orangnya. Sedangkan Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung sendiri beribukota di Medang i Poh Pitu yang kemungkinan terletak di daerah Kedu selatan (Purworejo). Dengan kata lain leluhur Maharaja Watukura Dyah Balitung telah pindah ke arah timur Kedu. Menurut berita China, Shepo merupakan Holing. Nama Holing digunakan dalam berita China sejak tahun 627M dan mulai diganti dengan nama Shepo sejak tahun 820M. Berdasarkan berita China, nama Holing merupakan tempat dimana Ratu Simha memerintah pada tahun 674M. Menurut van Orsoy, dalam berita China nama

Medang Kamulan disebut dengan “Medang Kuwu-lang-piya” yang menunjuk tentang Holing. Menurut berita Dinasti Tang China, Kerajaan Holing mempunyai gua yang selalu memancarkan air garam. Di Jawa, gua tersebut dinamakan dengan Bledug “Kuwu” yang terletak di Grobogan. Menurut Bujangga Manik (awal abad ke-16M) letak Medang Kamulan terletak di Grobogan. Di daerah Sela (Grobogan) terdapat sebuah sungai yang bernama Sanjaya yang berhubungan dengan Medang. Sang Ratu Sanjaya sendiri mempunyai gelar Rakai Medang Mataram. Menurut Damais kata Holing merupakan ejaan China untuk Walaing. Daerah Walaing merupakan tempat berkuasanya Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang terletak di sekitar Grobogan (kebanyakan prasasti tentang Mpu Kumbhayoni ditemukan disana). Rakai Walaing Mpu Kumbhyaoni disebutkan merupakan cicit dari Sang Ratu Halu. Berdasarkan prasasti Wanua Tengah 111 (908M), Sang Ratu Halu diidentifikasikan dengan Rakai Hara adik dari Rakai Medang Mataram (Sang Ratu Sanjaya). Kata “Halu” mempunyai arti “adik dari raja”. Jadi Lokiyen yang disebut Damais adalah Rakai Hara (Sang Ratu Halu). Nama seperti Santanu (ayah dari Sailendra), Sanna, Sannaha, Sanjaya, Sankhara memiliki kemiripan nama. Selain itu nama-nama tersebut saling berkaitan dan masih tercantum dalam satu sutra Hindu. Jika benar Wangsa Sailendra selalu dikaitkan dengan dengan agama Budha mengapa nama-nama penguasa Sailendra selalu memakai nama-nama Dewa Hindu. Menurut Notosusanto dan Poesponogoro, nama Sankhara diidentifikasikan dengan Rakai Panangkaran Dyah Pancapana sebelum pindah agama dari Hindu ke Budha.

Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa Sailendra berasal dari Nusantara. Pendapat Poerbatjaraka kemudian terbukti dengan adanya penemuan prasasti Sojomerto. Menurut Boechari, prasasti ini berbahasa campuran Sansekerta dan Malayu Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno) yang ditemukan di sebelah utara Dieng tepatnya di daerah Reban, Batang. Berdasarkan paleografinya, prasasti Sojomerto ini berasal dari pertengahan abad ke-7M. Terjemahan isi prasasti Sojomerto sebagai berikut “Sembah kepada Dewa Siwa Batara Parameswara, Saya hormat kepada Hiya Mih adalah yang mulia Dapunta Selendra, Santanu adalah nama ayahnya, Badrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama istri dari yang mulia Selendra”. Nama “Selendra” merupakan ejaan untuk kata “Sailendra” dalam bahasa Sansekerta. Menurut Boechari bahwa Dapunta Selendra merupakan cikal bakal Wangsa Sailendra di Jawa. Menurut Boechari, dalam prasasti itu juga mengindikasikan bahwa Selendra memberi pujian kepada Dewa Siwa (Hindu). Nama “Parameswara” merupakan julukan untuk “ Dewa Siwa”. Dalam mitologi Hindu, Dewa Siwa dianggap sebagai penguasa gunung (Sailendra). Oleh karena itu Siwa disimbolkan dengan Lingga. Dapat dikatakan bahwa pada waktu itu Sailendra masih menganut agama Hindu. Di daerah Dieng juga terdapat prasasti Dewa Drabya berbahasa Malayu Kunodengan Aksara Kawi yang berisi seseorang yang telah meninggal.

Goerge Coedes berpendapat Wangsa Sailendra Jawa berasal dari Funan. Lebih jauh lagi dia berpendapat kata “Sailendra” berkaitan dengan kata “Banam/Phnom” yang dalam bahasa Khmer Kamboja berarti Gunung. Menurutnya kata “Phnom” dieja dalam bahasa China menjadi “Funan”. Pendapat Coedes ini banyak ditentang oleh sejarawan karena tidak adanya bukti. Lagipula kata “Sailendra” berasal dari bahasa Sansekerta bukannya bahasa Khmer-Kamboja. Selain itu Kamboja hanya terdapat satu gunung saja yaitu gunung Deo Tu Na (1078 meter) yang lebih cocok disebut sebagai bukit bukannya gunung. Nilakanta Sastri berpendapat bahwa Wangsa Sailendra di Jawa berasal dari India Selatan (Pallawa). Slamet Mulyana berpendapat bahwa Wangsa Sailendra datang dari India, kemudian pindah ke Palembang dan akhirnya pindah ke Jawa. Jadi Wangsa Sailendra datang dari India ke Jawa. Menurut Slamet Mulyana, perpindahan Dapunta Selendra ke Jawa disebabkan adanya kekacauan politik di Palembang saat berdirinya Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya juga hendak berencana menyerang Bhumi

Jawa pada tahun 686M yang pada waktu itu dipimpin oleh Ratu Simha (674M-703M) dari Kelingga Jawa seperti yang tercantum dalam prasasti Kota Kapur (Pulau Bangka) berbahasa Malayu Kuno dengan Aksara Pallawa. Sriwijaya. Penyerang tersebut dilakukan oleh Dapunta Hyang Jayanasa (670M-695M). Tidak diketahui dengan pasti apakah penyerangan Sriwijaya berhasil atau tidak karena di Jawa. I Tsing dari China sendiri yang pernah tinggal di Sriwijaya sampai tahun 695M tidak pernah menyebutkan Sriwijaya menyerang Jawa. I Tsing pernah menyebutkan bahwa yang ditaklukan Shih Li Fo Tsi (Sriwijaya) adalah Mo Lo Yu (Malayu). Dan juga pada zaman Medang Jawa (717M-1016M) tidak pernah ditemukan prasasti mengenai Sriwijaya ataupun nama Sriwijaya. Pada akhir abad ke-7M kebanyakan wilayah yang dikuasai Sriwijaya sering diberi sebuah tugu peringatan yang berupa prasasti berbahasa Malayu Kuno dengan Aksara Palllawa yang berisi sebuah kutukan seperti prasasti Telaga Batu di Palembang, pasasti Kota Kapur di Bangka, prasasti Karang Birahi di Jambi, dan prasasti Palas Pasemah di Lampung. Nama Dapunta Hyang mirip seperti gelar yang dipakai oleh penguasa jawa yaitu Sang Hyang dan Ratu Hyang (Rahyang). Nama Hyang sendiri merupakan sebuah konsep yang terdapat di Jawa.

Dari pendapat Poerbatjaraka, Slamet Mulyana, Boechari, Kusen, Notosusanto dan Poesponogoro. mempunyai benang keterkaitan satu sama lain yaitu hanya ada satu Wangsa Sailendra yang dulunya beragama Hindu kemudian setelah pemerintahan Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (746M), Wangsa Sailendra pecah menjadi dua yaitu Sailendra Hindu dan Sailendra Budha. Kemudian pada masa Rakai Pikatan Dyah Saladu (Sailendra Hindu) dan Pramo-wardhani (Sailendra Budha) disatukan kembali setelah adanya pernikahan keduanya dan disimbolkan dengan adanya pembangunan candi Prambanan (850M) yang merupakan perpaduan arsitektural Hindu-Budha, dapat dilihat dari adanya bentuk Lingga (Hindu) dan Stupa (Budha).

Pada masa pemerintahan Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung dari Medang pernah melakukan ekspansi kerajaan. Pengaruh Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung bahkan sampai ke Bali diperkuat dengan adanya prasasti Blenjong (914M) berbahasa campuran Bali dan Sansekerta dengan Aksara Pranagari/Siddham dan Kawi yang menyebutkan adanya seorang Maharaja Jawa yang beragama Budha Mahayana. Raja Bali yang memerintah saat itu adalah Kesari Warmadewa (890M-916M). Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung merupakan salah satu anggota Wangsa Sailendra yang mempunyai gelar abhiseka Iswarakesawa Samaratunggadewa. Nenek Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung adalah Pramowardhani (Rakai Sanjiwana). Dengan perkataan lain Maharaja Rakai Dyah Balitung mrupakan cicit dari Samaratunggadewa. Maharaja Rakai Dyah Balitung juga dikenal aktif dalam menyebarkan agama Budha dimana dia pernah memberikan penghargaan kepada seorang Mpu yang telah berjasa dalam menggubah sutra Tantrayana. Salah satu kitab agama Budha yang dibuat di Jawa adalah kitab Sang Kamahayanikam yang berasal dari abad ke-10M. Pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung ia memindahkan ibukota kerajaan dari Medang i Mamrati (Magelang) ke Medang i Poh Pitu (Purworejo). Ibukota kerajaan kemudian dipindah lagi ke Medang i Mataram (Magelang) ketika pemerintahan Maharaja Rakai i Hino Mpu Daksa. Pada awal abad ke-10M Maharaja Isyana Wikramadharmatungga Mpu Sindok (929M-947M) memindahkan ibukota Medang ke timur, dari Medang i Mataram (Magelang) ke Medang i Watugaluh (Jombang) dikarenakan terjadinya bencana alam (meletusnya gunung Merapi). Pada akhir abad ke-10M terjadi persaingan antara Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan Kerajaan Medang di Jawa dalam memperebutkan dominasi perdagangan laut di Semenanjung Malaya. Pengaruh Medang bahkan sampai Lampung dan Barus (pantai barat Sumatra). Pengaruh itu dibuktikan dengan adanya candi Jepara yang didirikan pada abad ke-10M dan prasasti

Hujung Langit (997M). Candi Jepara bercorak Hindu dan ditemukan di sekitar danau Ranau pantai barat Sumatra. Ibunda Maharaja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah meminta untuk dibangunkan sebuah candi di Lampung. Pada masa pemerintahan Maharaja Dharmawangsa Teguh (885M-1016M) dari Medang pernah menyerang Ibukota Sriwijaya di Palembang sebanyak dua kali dan mendudukinya pada tahun 992M dan direbut kembali oleh Sriwijaya pada awal abad ke-11M. Di Palembang juga terdapat candi Bumiayu yang didirikan pada abad ke-11M. Di candi tersebut ditemukan sebuah patung Siwa bergaya zaman Jawa Timur yang menunjukkan adanya pengaruh Jawa.

Pada tahun 1016M terjadi peristiwa Mahapralaya dimana Maharaja Dharmawangsa Teguh dari Medang diserang oleh raja bawahannya yang bernama Haji Wurawari dari Lawram (Blora). Maharaja Dharmawangsa Teguh dari Medang diserang saat dirinya sedang merayakan upacara pernikahan putrinya dengan Airlangga (keduanya masih saudara sepupu). Airlangga adalah putra dari Dharmodayana Warmadewa dari Bali dengan Gunapriyadharmapatni (saudara perempuan Dharmawangsa Teguh) yang bergelar Mahendradatta. Pada tahum 990M Mahendradatta dan Dharmodayana Warmadewa memerintah bersama di Bali. Pengaruh Medang di Bali terlihat dari candi Gunung Kawi (abad ke-10M). Penghancuran Watan ibukota Medang diceritakan dalam prasasti Pucangan (1041M). Alasan penyerangan ini kemungkinan karena pinangan dari Wurawari dari Lwaram untuk menikahi putri Maharaja Dharmawangsa Teguh ditolak. Ada yang berpendapat bahwa Haji Wurawari dari Lwaram bersekutu dengan Sriwijaya (walaupun tidak ada bukti keterkaitan Sriwijaya dalam masalah ini semisal prasasti ataupun catatan kuno). Menurut prasasti Calcutta India (dibawa Rafles dari Jawa ke India pada awal abad ke-19M), peristiwa Mahapralaya di Jawa pada waktu itu diceritakan bagaikan diserang gelombang besar dan tercerai-berai. Pada tahun 1016M Maharaja Dharmawangsa Teguh terbunuh sedangkan Airlangga dapat meloloskan diri ke Wanagiri (Jombang) kemudian Airlangga diangkat oleh para Brahmana menjadi Maharaja pada tahun 1019M. Airlangga bersama sahabat sekaligus penasihatnya yang dikenal sebagai ahli strategi yaitu Mpu Narotama melakukan kampanye untuk mengalahkan para raja bawahan Medang misal Wisnuprabhawa dari Wuratan, Wijayawarman dari Wengker, Panuda dari Lewa, Haji Wurawari dari Lawram, Husin dll. Dan akhirnya Airlangga dapat menyatukan Kerajaan Medang kembali dan bergelar Maharaja Lokaswara Dharmawangsa Airlangga Ananta Wikramadharmatunggadewa pada tahun 1035M. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga mempunyai dua orang istri yaitu Dewi Laksmi dan Dewi Sri. Airlangga juga memiliki 5 orang anak yaitu 3 putra dan 2 putri yaitu Sangramawijaya Dharmaprasad Uttunggadewi (putri), Samarawijaya Dharmasuparna Teguh Sakalabuwana Uttunggadewa (putra), Mapanji Garasakan (putra), Mapanji Alanjung Ahyes (Putra), dan seorang lagi putri yang menikah dengan Samarotsaha. Ketika Airlangga menyatukan Medang kembali banyak musuh-musuhnya yang terbunuh atau melarikan diri ke arah barat kemungkinan ke Kerajaan Galuh. Pengaruh Airlangga bahkan sampai ke Kerajaan Sunda terbukti dengan ditemukannya prasasti Cibadak (Sukabumi, abad ke-11M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi. Penaklukan oleh Airlangga disimbolkan dalam Kakawin Arjunawiwaha (1030M) karangan Mpu Kanwa sebagai Arjuna yang mengalahkan para raksasa. Maharaja Lokaswara Dharmawangsa Airlangga juga memberikan penghargaan kepada adiknya yang bernama Rakai Pangkaja Dyah Tumambong. Dyah Tumambong ini kemudian menjadi raja di Bali dengan gelar abhiseka yaitu Dharmawangsa Marakatapangkaja Isyana Uttunggadewa. Kemudian pada tahun 1049M Marakatapangkaja digantikan oleh adiknya yang bernama Anak Wungsu (anak bungsu dari Gunapriyadharmapatni dengan Dharmodayana Warmadewa). Ketika Airlangga akan pensiun pada tahun 1042M, kerajaannya seharusnya diserahkan kepada putri Mahkota yang bernama Sangramawijaya Dharmaprasad Uttunggadewi (Dewi Kilisuci). Namun Sangramawijaya Dharmaprasad Uttunggadewi menolak untuk naik tahta karena ingin menjadi pertapa. Kemudian jabatan

putra mahkota diberikan kepada adiknya yang bernama Samarawijaya Dharmasuparna Uttunggadewa Teguh. Kemudian Airlangga membagi kerajaanya menjadi dua untuk kedua putranya yang saling bersaing dalam memperebutkan tahta yaitu Jenggala beribukota di Kahuripan (Sidoarjo) untuk Mapanji Garasakan dan Panjalu beribukota di Daha (Kadiri) untuk Samarawijaya Dharmasuparna Uttunggadewa Teguh berdasarkan prasasti panwatan dan prasasti Gandhakuti (1042M). Pembatas antara Kerajaan Panjalu dengan Kerajaan Jenggala adalah sungai Brantas. Pembagian Kerajaan Airlangga tersebut juga diceritakan dalam Negarakertagama (1365M). Pada tahun 1042M, Airlangga menjadi seorang pertapa dengan gelar Maharesi Jatiningrat. Pada tahun 1049M, Airlngga meninggal dunia. Kedua kerajaan yang bersaudara yaitu Panjalu dengan Jenggala kemudian saling berperang satu sama lain bahkan Mapanji Garasakan dari Jenggala meninggal akibat peperangan tersebut pada tahun 1052M. Kemudian Mapanji Garasakan dari Jenggala digantikan oleh adiknya yang bernma Mapanji Alanjung Ahyes dan dapat merebut kembali tahta Jenggala. Sedangkan penerus Samarawijaya dari Panjalu adalah Jayawarsa. Dalam prasasti Keting (1104M), Jayawarsa mengaku sebagai cicit dari Mapanji Wijayamertawardhana yang bergelar Dharmawangsa Teguh Anantawikradharmatunggadewa. Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala disatukan kembali oleh Jayabaya dari Panjalu (prasasti Ngantang, 1135M). Perang Panjalu-Jenggala disimbolkan dalam Kakawin Bharatayudha (1157M) karangan Mpu Panuluh dan Mpu Sedah sebagai sesama keturunan Bharata yang saling berperang yaitu Pandawa dan Kurawa. Maharaja Jayabaya sangat terkenal dalam cerita rakyat dan banyak ditulis dalam sastra Jawa karena kemampuannya dalam meramal masa depan Jawa. Ketika Jenggala disatukan oleh Panjalu, kemungkinan ada bangsawan Kahuripan (Jenggala) yang melarikan diri dan mendirikan Kerajaan Kuripan di Kalimantan Selatan. Pada awal abad ke-14M Kerajaan Kuripan di Kalimantan Selatan digantikan oleh Kerajaan Dipa yang didirikan oleh Mpu Jatmika. Menurut Hikayat Banjar, Mpu Jatmika berasal dari Keling. Kemungkinan Mpu Jatmika berasal dari Keling atau Kelinggapura di Jawa. Pada awal abad ke-14M baik Keling maupun Kelinggapura merupakan bagian dari Majapahit dan dipimpin oleh seorang bergelar Batara (Bre).

Alasan Maharaja Rajendra dari Chola India (1012M-1044M) menyerang Sriwijaya pada tahun 1017M dan 1025M adalah untuk mendominasi perdagangan di Semenanjung Malaya. Maharaja Rajendra dari Chola berdasarkan prasasti Chola (1044M) berbahasa Tamil dengan Aksara Tamil dapat menguasai 13 daerah antara lain 1 daerah di Champa (Panduranga/Phan Rang), 6 daerah di Semenanjung Malaya (Kamalanka/Kra, Milinda-pandha/Surat Thani, Tambralingga/Nakhon Thammarat, Langkasuka/Pattani, Jelutong/Penang, Kedah), 4 daerah di Sumatra (Sriwijaya/Palembang, Malayu/Jambi, Pennai, Lamuri/Aceh), 1 daerah di Kepulauan Nicobar India, dan 1 daerah di Burma (Pegu). Selain menguasai beberapa daerah Sriwijaya, pada tahun 1030M Kerajaan Chola India berhasil menawan Maharaja Sangramawijaya Uttunggawarman dari Sriwijaya untuk dibawa ke India berdasarkan prasasti Chola (1044M). Sejak saat itu pemerintahan Sriwijaya dikendalikan dari Chola hingga awal abad ke-12M. Pengaruh Chola India di Semenanjung Malaya dapat dilihat dari adanya prasasti Kedah (1086M) berbahasa Tamil dengan Aksara Tamil yang dikeluarkan oleh Maharaja Kulothunga 1 dari Chola (1070M-1118M). Selain itu Maharaja Kulothunga 1 dari Chola India juga membuat sebuah prasasti Kanton (1079M) dalam rangka peresmian candi Budha yang didirikannya di Kanton China. Pada akhir abad ke-11M, setelah Palembang runtuh, pusat pemerintahan Sriwijaya mulai berpindah ke Jambi. Dalam berita China disebutkan bahwa pada masa Dinasti Sung menerima utusan dari Chen-pi (Jambi) tahun 1082M dan 1088M. Bukti keberadaan Kerajaan Malayu (Jambi) adalah dengan adanya candi Muara Jambi yang merupakan pusat pendidikan agama Budha terbesar di Sumatra yang didirikan pada abad ke-13M. Di Jambi ditemukan beberapa prasasti beraksara Dewanagari dan makara di candi Budha yang semuanya berkaitan dengan keagamaan bukan tentang pemerintahan. Selain itu di Muara Jambi juga

ditemukan keramik China pada masa Dinasti Sung dan Patung Prajnaparamitha bergaya Jawa zaman Kadiri sekitar abad ke-12M. Selain candi Muara Jambi juga terdapat candi Muara Takus (Kampar) yang didirikan sekitar abad ke-12M. Setelah masa pemerintahan Maharaja Kulothunga Chola 1 (1070M-1118M), Kerajaan Chola mulai kehilangan pengaruhnya di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Di Semenanjung Malaya setelah pengaruh Chola menghilang, pada tahun 1161M penguasa Kedah mulai beralih agama dari Hindu ke Islam pada masa Muzaffar Shah (1136M-1179M) berdasarkan Hikayat Kedah, awal abad ke-19M. Bukti keberadaan Kerajaan Kedah (berdiri pada abad ke-7M) adalah dengan ditemukannya candi Bukit Batu Pahat (abad ke-11M). Pada abad ke-12M lemahnya Sriwijaya menyebabkan meningkatnya pengaruh agama Islam yang beraliran Sunni ditandai dengan munculnya Kesultanan Perlak di Sumatra. Menurut Hikayat Aceh, penyebaran Islam di Aceh berasal dari tahun 1112M. Di Sumatra setelah pengaruh Chola menghilang, muncul Wangsa Mauli yang mengambil alih kekuasaan yang berpusat di Malayu (Jambi). Dinasti Mauli didirikan oleh Srimat Trailokyaraja Mauli Warmadewa pada tahun 1178M. Pada akhir abad ke-12M perbatasan antara Kerajaan Malayu dengan Kerajaan Khmer Kamboja di Semenanjung Malaya adalah Grahi (Surat Thani). Hal tersebut didasarkan pada prasasti Grahi (1183M) berbahasa Malayu Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno) berisi perintah dari Maharaja Srimat Trailokyaraja kepada Bupati Grahi supaya membuat sebuah patung perunggu. Nama “Srimat” sendiri berarti “Tuan Pendeta”, tidak diketahui apakah ada kebangkitan dari kaum Pendeta. Kemungkinan akibat pengaruh dari Kadiri Jawa. Nama “Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa” mungkin merupakan leluhur dari “Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa” dari Malayu (Dharmasraya) dalam prasasti Padang Roco (1286M). Kemungkinan pada pertengahan abad ke-13M Ibukota Malayu dipindah dari Jambi ke Dharmasraya. Pada pertengahan abad ke-13M ada bangsawan Malayu yang pindah ke Tambralingga (Nakhon Thammarat) yang terletak di sebelah selatan Grahi (Surat Thani) dan kemudian menyebut dirinya sebagai Candrabhanu dari Jawa. Kata “Raja” dalam bahasa Sansekerta dieja menjadi kata “Racha” dalam bahasa Pali/Sinhala. Sedangkan kata “Jawa” dieja menjadi kata “Chawa”. Kata “Dharmmaraja” dalam bahasa Sansekerta dieja menjadi kata “Thammaracha/Thammarat” dalam bahasa Pali. Jadi kata “Nakhon Thammarat” berarti “Nagara Dharmaraja”. Tokoh Candrabhanu (1247M) dari Jawa ini kemungkinan berkaitan dengan Trailokyaraja (1178M) dari Malayu (Jambi) dan Tribhuwanaraja (1275M) dari Malayu (Dharmasraya). Dalam Negarakertagama (1365M) juga terdapat nama Dharma-nagara (Nakhon Thammarat) dan Rajapuri (Rachaburi) masuk dalam wilayah Desantara (kerajaan-kerajaan yang terletak bersebelahan dengan Nusantara). Sedangkan Langkasuka (Pattani) yang terletak di sebelah selatan Tambralingga (Nakhon Thammarat) masuk dalam wilayah Nusantara. Candrabhanu dari Jawa inilah yang menyerang Sri Langka utara pada tahun 1247M. Kemudian Candrabhanu dari Jawa menyerang Sri Langka selatan pada tahun 1262M dan 1268M namun dapat dikalahkan oleh penguasa Sri Langka yang mendapatkan bantuan dari Jatawarman Sundara Pandya (1251M-1268M) dari Pandya India bahkan Candrabhanu meninggal dalam penyerangan itu. Jatawarman Sundara Pandya 1 kemudian mengangkat Jatawarman Weera (Wira) Pandya 1 menjadi raja bawahan di Sri Langka. Jatawarman digantikan oleh Marawarman Kuluswara Pandya 1 (1268M-1271M). Di Sri Langka juga terdapat nama tempat seperti Chawa-kacheri (perkampungan Jawa) dan Chawa-hokotai (pelabuhan Jawa) yang merupakan tempat pendaratan Candrabhanu dari Jawa. Kekuasaan Dinasti Candrabhanu di Sri Langka utara dapat bertahan hingga pertengahan abad ke-14M walaupun dibawah kendali dari Kerajaan Pandya India. Pada akhir abad ke-13M kerajaan-kerajaan di India selatan (Chola, Chera, Kadawa-Pallawa) juga dibawah pengaruh Pandya India. Pada awal abad ke-14M Kerajaan Pandya India sering mendapat serangan dari Kesultanan Delhi India. Pada awal abad ke-14M Pandya India juga memiliki hubungan dengan Majapahit Jawa. Dimana Maharaja Dhiraja

Jayanasara (1309M-1328M) dari Majapahit sendiri bergelar Wira-landa-gopala Sundara Pandya-dewa Adhiswara sedangkan penguasa dari Pandya hanya bergelar Sundara Pandya saja. Menurut Majumdar, Maharaja Pandya India ketika itu mendapat perlindungan dari Maharaja Majapahit. Pada tahun 1336M Kerajaan Pandya dikalahkan oleh Kesultanan Delhi India. Kemudian panglima dari Kesultanan Delhi mendirikan Kesultanan Madurai India di bekas wilayah Pandya. Pada tahun 1336M banyak Kerajaan Hindu di India selatan yang sudah takluk pada Kesultanan Delhi. Pada tahun 1343M Weera (Wira) Ballala 111 dari Hoysala India dikalahkan oleh Kesultanan Madurai India. Kerajaan Hoysala kemudian digantikan oleh Kerajaan Wijayanagara India (1336M-1646M). Kerajaan Wijayanagara didirikan oleh Harihara 1 yang merupakan panglima perang dari Hoysala India. Wijayanagara kemudian menyatukan kerajaan-kerajaan Hindu di India selatan untuk melawan kekuatan kesultanan Islam. Kerajaan Wijayanagara India juga memiliki hubungan dengan Majapahit Jawa. Pendiri majapahit yaitu Sangramawijaya (1293M-1309M) dianggap sebagai penjelmaan dari Harihara (gabungan Siwa dan Wisnu). Gelar ini mirip dengan nama Harihara 1 (1336M-1350M) dari Wijayanagara. Pada tahun 1370M Kesultanan Madurai India dikalahkan oleh Kerajaan Wijayanagara India. Kerajaan Wijayanagara juga sering berperang dengan Kesultanan Bahmani India (1347M-1527M). Kesultanan Bahmani didirikan di wilayah Deccan oleh seorang panglima perang dari Kesultanan Delhi India. Pada tahun 1526M Kesultanan Delhi digantikan oleh Kesultanan Mughal India. Pada tahun 1527M Kesultanan Bahmani runtuh dan kemudian pecah menjadi beberapa kesultanan kecil di Deccan India yaitu Bijapura, Ahmadnagara, Golkonda, Berar, dan Bihar. Kesultanan-kesultanan kecil di Deccan ini kemudian menjadi bawahan dari Kesultanan Mughal India. Maharaja Wijayanagara menyebut para Sultan Islam sebagai Orang Yawana karena berasal dari sebelah barat sungai Indus (Persia dan Asia Tengah). Pada tahun 1565M Kerajaan Wijayanagara India dikalahkan oleh gabungan Kesultanan Deccan. Pada tahun 1646M Wijayanagara runtuh akibat serangan dari Kesultanan Deccan dan kemudian pecah menjadi beberapa kerajaan kecil (Nayaks) di India Selatan yaitu Nayak Thanjavur (Chola), Nayak Madurai (Pandya), Nayaks Mysore (Hoysala) dll.

Pada tahun 1239M Orang Thai memberontak terhadap Kerajaan Lavo (Mon). Dan akhirnya Orang Thai mendirikan Kerajaan Sukhothai dan memisahkan diri dari Kerajaan Lavo (yang pada saat itu dibawah pengaruh Kerajaan Khmer Kamboja). Pada tahun 1283M Ramkhamhaeng (1277M-1293M) dari Sukhothai (Thai) menaklukan Kerajaan Lavo (Mon), Kerajaan Supannabhum (Mon) dan Sri Thanamkorn/Nakhon Thammarat (Malayu) serta mengakhiri pengaruh Kerajaan Khmer Kamboja. Kerajaan Sukhothai juga bekerja sama dengan kerajaan Thai lainnya yaitu Kerajaan Lanna (penerus Kerajaan Ngoenyang, berdiri pada pertengahan abad ke-13M). Pada akhir abad ke-13M Kerajaan Lanna/Chiang Mai (Thai) menguasai Kota Hariphunchai (Mon). Ramkhaheng sendiri disebutkan sebagai penemu dari aksara Thai. Banyak sejarawan yang meragukan keaslian dari prasasti Ramkhaheng karena prasasti itu ditemukan oleh Rama V/Chulalongkorn (1868M-1910M) dari Rattanakosin. Para sejarawan menduga bahwa prasasti itu dibuat oleh Chulalongkorn. Pada tahun 1351M Ramatibodi 1 dari Lavo (Mon) dan Borommaracha Thirat 1 dari Supannabhum (Mon) menggabungkan diri dan membentuk Kerajaan Ayutthaya. Pada tahun 1378M Borommaracha Thirat 1/Borommaraja Dhiraja 1 (1370M-1388M) dari Ayutthaya dapat menaklukan Thammaracha 11/Dharmaraja 11 (1374M-1399M) dari Sukhothai. Sejak tahun 1409M Ayuthaya dikuasai oleh Dinasti Supannabhum (Mon) yang diambil alih dari Dinasti Uthong/Lavo (Mon). Pada tahun 1431M Borommaracha Thirat 11 (1424M-1448M) dari Ayuthaya menyerang Borommaracha 11 (1393M-1463M) dari Khmer-Kamboja dan berhasil menduduki ibukotanya yaitu Angkor Wat. Borommaracha 11 merupakan cucu dari Borommaracha 1 (1363M-1373M) dari Khmer-Kamboja. Pada awal abad ke-16M Angkor Wat dapat direbut kembali oleh

Borommaracha 111 (1516M-1566M) dari Khmer-Kamboja dari tangan Ayuthaya. Pada tahun 1441M Kerajaan Thammarat/Dharmaraja (Tambralingga) di Semenanjung Malaya juga ditaklukan oleh Ayuthaya. Hal tersebut merupakan pengaruh pertama kali Siam di Semenanjung Malaya. Pada tahun 1448M Kerajaan Sukhothai dan Kerajaan Thammarat/Dharmaraja (Tambralingga) dianeksasi oleh Borommaracha Trailokanat (1448M-1488M) dari Ayuthaya. Pada abad ke-15M ada empat klan yang berkuasa di Ayuthaya yaitu Uthong/Lavo (Mon), Supannabhum (Mon), Sukhothai (Thai), Thammarat/Thanamkorrn (Malayu). Pada tahun 1453M dan 1455M Kerajaan Ayuthaya menyerang Malaka namun dapat digagalkan. Kemungkinan Ayuthaya mendapat bantuan kapal dari Thammarat/Dharmaraja (Tambralingga). Pada tahun 1453-1456M Majapahit sedang terjadi kekosongan pemerintahan. Pada tahun 1470s M Sultan Mansur Shah dari Malaka menaklukan Johor, Pahang, Kampar-Riau namun tidak dapat menaklukan Trengganu, Kelantan, Pattani, Kedah. Dalam Sejarah Malayu disebutkan bahwa Sultan Malaka datang/sowan ke Majapahit meminta persetujuan mendapatkan Indragiri-Riau kepada Maharaja Majapahit. Pada awal abad ke-14 peranan agama Budha aliran Mahayana mulai digantikan dengan aliran Therawada yang berasal dari Sri Langka. Aliran Therawada sendiri berasal dari Budha Hinayana. Pada abad ke-9M para bhiksu Budha dari Sri Langka mulai mengembangkan aliran Therawada di Kerajaan Thaton-Mon. Dari Thaton-Mon kemudian menyebar ke Kerajaan Pagan Burma pada abad ke-11M. Pada pertengahan abad ke-13M agama Budha aliran Therawada mulai berkembang di Kerajaan Dharmaraja (Tambralingga). Pada abad ke-14M Therawada menyebar ke Kerajaan Siam, Kerajaan Khmer-Kamboja dan Kerajaan Lang Xang-Lao (berdiri pada tahun 1350M, setelah memisahkan diri dari Kerajaan Khmer Kamboja). Sedangkan Kerajaan Dai Viet tetap menganut agama Budha aliran Mahayana. Pada abad ke-13M aliran agama Budha yang berkembang di Jawa dan Sumatra adalah Tantrayana seperti yang dianut oleh Maharaja Kartanagara dari Singasari/Tumapel. Aliran Tantrayana merupakan cabang dari Budha Mahayana. Aliran Budha Mahayana sendiri masuk ke Jawa pada abad ke-8M terbukti dengan adanya candi Borobudur (824M) dan ajaran Tantrayana mulai dipelajari sejak abad ke-9M dimana pada masa pemerintahan Maharaja Mpu Sindok dari Medang pernah memberikan penghargaan kepada seorang bhiksu Budha karena telah menggubah sutra Tantrayana. Aliran Tantrayana sulit dipelajari karena mempunyai berbagai bentuk interpretasi dan pratek. Salah satu metode untuk memahami Tantrayana adalah dengan Wajrayana atau yang lebih dikenal dengan nama Mantrayana karena menggunakan mantra-mantra ghaib. Di Sumatra sendiri Wajrayana berkembang pada abad ke-11M terbukti dengan adanya candi Bahal (berdiri pada abad ke-11M) dimana dekorasinya mencerminkan aliran Wajrayana ini yaitu dengan ditemukannya tulisan mantra-mantra ghaib pada dindingnya.

Pada awal abad ke-13M Kerajaan Panjalu/Kadiri runtuh akibat serangan dari Tumapel. Kemudian ada bangsawan Panjalu yang kemudian pindah ke wilayah Kerajaan Galuh dan mendirikan Kerajaan Panjalu Ciamis. Peninggalan Kerajaan Panjalu/Kadiri ini adalah komplek candi Panataran yang digunakan sebagai candi utama kerajaan yang dibangun selama hampir 200 tahun dari zaman Panjalu (abad ke-12M) hingga Majapahit (abad ke-14M) dan situs Tondowongso yang merupakan bekas ibukota Kerajaan Panjalu/Kadiri. Seperti halnya Airlangga (1019M), Rajasa mendirikan Kerajaan Tumapel pada tahun 1222M karena atas bantuan para Brahmana dan Bhiku seperti halnya Airlangga.pada tahun 1019M. Pada tahun 1194M saat awal pemerintahan Maharaja Kartajaya dari Panjalu juga pernah diserang oleh raja bawahan yang berasal arah timur Kadiri kemungkinan oleh Tumapel (Malang). Serangan raja bawahan yang berasal dari timur tersebut menyebabkan Kartajaya dari Panjalu harus mengungsi dari ibukota kerajaan tetapi kemudian raja bawahan tersebut dapat dikalahkan oleh Kartajaya. Pada tahun 1222M Maharaja Kartajaya dari Panjalu/Kadiri kembali mendapat serangan dari raja bawahannya yaitu

Tumapel dan akhirnya Kartajaya dapat dikalahkan. Maharaja Rajasa dari Tumapel kemudian menunjuk anaknya yaitu Parameswara (Mahisa Wunga Teleng) untuk menjadi Yuwaraja di Panjalu yang beribukota di Daha sedangkan Jayasabha putra Kartajaya diangkat menjadi raja bawahan di Wuratan yang beribukota di Gelang-gelang. Dalam cerita Panji, ada empat kerajaaan yang bersaudara yaitu Daha (Panjalu/Kadiri), Kahuripan (Jenggala/Jiwana), Gelang-gelang (Wuratan), dan Singosari (Tumapel). Tahta Tumapel sendiri jatuh ke tangan anak tiri Rajasa yaitu Anusapati pada tahun 1227M. Maharaja Rajasa meninggal saat sedang di atas tahta kencana (prasasti Mulamanurung, 1255M) yang mengindikasikan Anusapati merebut tahta Tumapel dari ayahnya (seperti yang diberitakan Pararaton). Parameswara dari Panjalu kemudian digantikan oleh adiknya yaitu Guningbhaya. Pada tahun 1248M Guningbhaya digantikan oleh kakak tirinya yaitu Tohjaya putra Rajasa. Sedangkan Narasinghamurti/Narajaya putra Parameswara menjadi raja bawahan di Hering. Menurut Slamet Mulyana, Tohjaya merebut tahta Panjalu dari tangan Guningbhaya dan bukannya merebut tahta Tumapel dari Anusapati seperti apa yang diberitakan dalam Pararaton. Analisis Slamet Mulyana didasarkan pada prasasti Mulamanurung (1255M) dan Kakawin Negarakertagama sendiri menyebutkan bahwa Maharaja Anusapati dari Tumapel digantikan oleh putranya yaitu Wisnuwardhana/Seminingrat. Maharaja Dhiraja Wisnuwardhana dari Tumapel sendiri menikah dengan Waning Hyun putri Parameswara dari Panjalu. Pada tahun 1250M terjadi peperangan antara Tohjaya dari Panjalu dengan Wisnuwardhana dari Tumapel dan Narajaya (adik dari Waning Hyun) dari Hering. Akhirnya Tohjaya dapat dikalahkan dan Wisnuwardhana menunjuk anaknya yaitu Kartanagara menjadi Yuwaraja di Daha. Sedangkan Narajaya dan Wisnuwardhana memerintah bersama di Tumapel dan mengganti nama ibukota Tumapel dari Kutaraja menjadi Singosari. Pada tahun 1272M Wisnuwardhana dari Tumapel digantikan oleh putranya yaitu Kartanagara seperti diberitakan dalam Negarakertagama (1365M). Maharaja Kartanagara dari Tumapel kemudian menunjuk sepupunya yaitu Jayakatwang dari Wuratan menjadi raja bawahan di Daha. Jayakatwang putra dari Sastrajaya dari Wuratan menikahi Curuk Bali putri dari Wisnuwardhana dari Tumapel. Sastrajaya merupakan putra dari Jayasabha dari Wuratan atau dengan kata lain merupakan cucu dari Kartajaya dari Panjalu yang dikalahkan Rajasa dari Tumapel.

. Pada tahun 1292M Maharaja Kartanagara dari Tumapel diserang oleh Jayakatwang dari Daha saat sedang mengadakan upacara Tantrayana yang mengakibatkan runtuhnya Tumapel. Jayakatwang kemudian memindahkan ibukota kerajaan dari Singosari (Tumapel) ke Daha (Panjalu/Kadiri). Nama lain dari Jayakatwang adalah Haji Katong. Dulunya Jayakatwang merupakan raja bawahan di Wuratan yang beribukota di Gelang-gelang (Magetan) kemudian diangkat menjadi raja bawahan di Daha oleh Maharaja Dhiraja Kertanagara dari Tumapel. Penyerangan Jayakatwang/Haji Katong ke Tumapel ini mirip dengan penyerangan Haji Wurawari ke Watan dimana Maharaja Kartanagara dari Tumapel dan Maharaja Dharmawangsa Teguh dari Watan diserang ketika sedang mengadakan acara kerajaan. Wijaya menantu dari Kartanagara mendapatkan pengampunan dari Jayakatwang dan diberikan daerah Tarik (Sidoarjo). Daerah Tarik dekat dengan Kahuripan (Sidoarjo) ibukota Jenggala. Di daerah Tarik itulah Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1293M terjadi peperangan antara Jayakatwang dengan Wijaya yang bersekutu dengan pasukan Mongol. Dalam perang itu Jayakatwang dapat dikalahkan. Kemudian Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit setelah memukul mundur pasukan Mongol yang kembali ke China. Wijaya bergelar Maharaja Kartarajasa Jayawardhana dari Majapahit. Wijaya putra Lembu Tal (panglima perang Tumapel) merupakan cucu dari Narasingamurti yang memerintah bersama dengan Maharaja Dhiraja Wisnuwardhana di Tumapel. Menurut Negarakertagama, Wijaya menikahi dua putri dari Kartanagara yaitu Tribuwaneswari dan Gayatri (Rajapatni). Maharaja Kartarajasa dari Majapahit digantikan oleh putranya yang bernama Jayanasara. Ibukota Majapahit kemudian dipindah dari

Tarik (Sidoarjo) ke Wirasaba (Mojokerto) setelah kejadian pemberontakan Ra Kuti pada tahun 1319M. Pemberontakan Ra Kuti mengakibatkan Maharaja Dhiraja Jayanasara dari Majapahit harus mengungsi ke Padender karena keraton sudah dikuasai para pemberontak. Namun akhirnya pemberontakan Ra Kuti dapat diredamkan oleh Gajah Mada. Pada waktu itu Gajah Mada menjabat sebagai kepala pasukan Bhayangkari (pasukan khusus pengawal Maharaja). Maharaja Dhiraja Jayanasara dari Majapahit kemudian memberikan penghargaan kepada Gajah Mada dengan mengangkatnya menjadi Patih di Daha. Nama Gajah Mada sendiri berarti gajah yang pandai (Ganesha). Dan akhirnya Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih di Majapahit tahun 1334M sampai tahun 1364M. Ketika Tumapel runtuh ada bangsawan yang pindah ke Kalimantan Timur dan mendirikan Kerajaan Kutai Kartanagara (akhir abad ke-13M). Pada awal abad ke-16M Kerajaan Kutai Kartanagara berhasil menaklukan Kerajaan Kutai Martadipura (berdiri pada abad ke-4M). Kerajaan Kutai Kartanagara sendiri menjadi kesultanan pada akhir abad ke-17M. Di Kalimantan timur juga terdapat pengaruh Majapahit yaitu dengan berdirinya Kerajaan Berau (akhir abad ke-14M) dengan pendirinya bernama Raden Suryanata Kesuma. Kerajaan Berau menjadi kesultanan pada akhir abad ke-17M. Pada awal abad ke-19M kesultanan Berau pecah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung. Pada akhir abad ke-13M selain di Kalimantan timur ada juga bangsawan Tumapel yang pindah ke Lombok dan kemudian mendirikan Kerajaan Seloparang dengan rajanya bergelar Indrajaya.

Kerajaan Malayu (Dharmasraya) ditaklukan oleh Maharaja Kartanagara dari Tumapel pada saat ekspedisi Pamalayu tahun 1275M. Dimana Maharaja Srimat Tribhuwanaraja dari Malayu (Dharmasraya) memberikan kedua putrinya untuk diserahkan ke Tumapel. Ternyata Tumapel sudah runtuh dan sudah digantikan oleh Majapahit (1293M). Akhirnya kedua putri tersebut yang bernama Dara Petak (Indrewari) dan Dara Jingga diberikan ke Majapahit. Dari Dara Petak lahir Jayanasara putra dari Maharaja Dhiraja Kertarajasa dari Majapahit sedangkan dari Dara Jingga lahir Adityawarman putra dari Adwayawarman. Nama Adwayawarman kemungkinan orang yang sama dengan Adwayabrahma yang merupakan seorang Mahamantri dari Singasari dan masih kerabat dekat dengan Maharaja Dhiraja Kertanagara dari Singasari. Dengan kata lain Adityawarman masih kerabat dekat dari Maharani Tribhuwana Tunggadewi dari Majapahit. Nama Adityawarman juga terdapat pada prasasti Manjusri (1343M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Kawi yang terletak pada candi Jago (Jawa). Pada saat ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit, Adityawarman ditugasi untuk menaklukan wilayah Malayu yang tersisa. Adityawarman merupakan pendiri Kerajaan Minang Pagaruyung berdasarkan prasasti Kubu Rajo (1347M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Kawi. Pada awalnya Adityawarman berkedudukan di Siguntur/Sijujung (1347M) kemudian pindah ke Pagaruyung (1357M). Dalam prasasti Suroaso (1357M) menunjukkan bahwa Adityawarman merupakan penganut agama Budha aliran Tantrayana seperti yang dianut oleh Maharaja Kartanagara dari Tumapel. Bukti keberadaan Kerajaan Malayu (Dharmasraya) adalah candi Padang Roco (abad ke-13M). Pada akhir abad ke-13M lemahnya Malayu (Dharmasraya) menyebabkan munculnya kesultanan-kesultanan baru yaitu Kesultanan Pasai di Sumatra sedangkan di Semenanjung Malaya ada Kesultanan Beruas. Malik az Zahir putra Malik al Saleh (pendiri Kesultanan Pasai) menikah dengan putri Sultan Perlak. Kesultanan Pasai dan Kesultanan Perlak kemudian disatukan oleh Malik al Zahir pada awal abad ke-14M. Pada pertengahan abad ke-14M Kesultanan Pasai ditaklukan oleh Majapahit. Kesultanan Pasai ini sejak awal abad ke-15M tidak ditemukan beritanya lagi sampai awal abad ke-16M ketika Kesultanan Pasai ditaklukan Portugise dan kemudian direbut kembali oleh Kesultanan Aceh. Bukti Keberadaan Kesultanan Pasai ini adalah makam dari Malik al Saleh (1297M). Kesultanan Beruas merupakan penerus dari Kerajaan Gangganagara (bediri pada abad ke-7M). Gangganagara dari

Semenanjung Malaya kemungkinan berhubungan dengan Kerajaan Ganga India (berdiri pada pertengahan abad ke-4M) yang merupakan bawahan dari Kerajaan Pallawa India.

Pada tahun 1377M terjadi pemberontakan tiga kerajaan bawahan Majapahit di Sumatra yaitu Seng-kia-lie-yulan (Adityawarman dari Minang Pagaruyung), Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Mauli dari Malayu (Dharmasraya)) dan Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang) terhadap Majapahit sesuai berita China, Maharaja Hayam Wuruk kemudian dapat meredamkan pemberontakan dan ketiga kerajaan kemudian dijadikan menjadi satu administrasi di Palembang. Pada pertengahan abad ke-14M di Palembang dipimpin oleh Arya Damar (1350M) seorang pangeran dari Majapahit. Sedangkan di Minang Pagaruyung dibawah pimpinan Adityawarman (1347M-1376M) seorang pangeran keturunan campuran dari Malayu (Dharmasraya) dan Jawa. Pada tahun 1377M pasukan Majapahit juga dapat mencegah dan membunuh utusan Dinasti Ming China yang hendak ke Sumatra. Pada tahun 1381M Majapahit mengirim utusan ke Dinasti Ming China yang bertujuan menolak membayar upeti. Pada masa Dinasti Ming China, Kaisar China memberlakukan larangan perdagangan bebas dengan luar negeri dimana negara yang ingin berdagang dengan China harus membayar upeti ke China. Kemungkinan larangan ini dilakukan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan China. Kerajaan yang bersedia membayar upeti kepada Dinasti Ming China adalah Dai Viet, Champa, Khmer-Kamboja, dan Siam. Pada tahun 1396M Parameswara (pendiri Malaka) pindah dari Palembang ke Temasek kemungkinan karena tidak mau dikendalikan oleh Maharaja Majapahit. Temasek sendiri merupakan daerah kekuasaan Majapahit sejak ekspedisi Gajah Mada. Ketika di Temasek, Parameswara dapat merebut kekuasaan dari penguasa Temasek dan membunuh seorang utusan dari Siam di Temasek bernama Temagi dari Thammaracha/Dharmaraja (Tambralingga). Parameswara lalu dituntut oleh Siam dan Majapahit kemudian ia melarikan diri ke Malaka. Menurut Summa Oriental (Tome Pires), Parameswara diserang oleh Batara Tumavil (Batara Tumapel dari Majapahit), sewaktu dia menunjuk dirinya sebagai seorang “Mjeura” ( pemberontak). Kerajaan Majapahit dan Siam merupakan mitra dagang dimana Langkasuka (Pattani) di Semenanjung Malaya merupakan batas kekuasaan kedua kerajaan. Di Malaka, Parameswara mendirikan sebuah kerajaan pada tahun 1400M. Penuntutan Siam terhadap Parameswara dari Malaka terus berlanjut dan dia disuruh membayar ganti rugi kepada Siam (pada waktu ini Majapahit masih dalam masa perang paregreg). Pada tahun 1409M Kerajaan Malaka mendapat perlindungan dari Dinasti Ming China terhadap ancaman Siam. Perang paregreg (1403M-1406M) di Majapahit terjadi akibat dari adanya perseteruan antara Maharaja Dhiraja Wikramawardhana dari Majapahit dengan Batara (Bre) Wirabumi. Pada tahun 1404M pihak Batara Wirabumi mengirim utusan ke China guna mendapatkan dukungan. Pada tahun 1406M utusan Kaisar Dinasti Ming China yaitu Cheng Ho datang ke Majapahit untuk memberikan jawaban ke Batara Wirabumi. Maharaja Dhiraja Wikramawardhana dari Majapahit kemudian mengirim pasukan untuk menyerang keraton Batara Wirabumi. Penyerangan tersebut mengakibatkan 150 orang utusan China mati terbunuh. Batara Wirabumi sendiri melarikan diri dengan sebuah kapal namun dapat dikejar oleh pasukan Majapahit dan akhirnya dipenggal kepalanya. Maharaja Majapahit kemudian dituntut membayar ganti rugi kepada Kaisar Dinasti Ming China sebanyak 10.000 tahil emas atas meninggalnya 150 orang utusan China. Pada tahun 1407M Majapahit mengirim utusan ke Dinasti Ming China guna membayar separuh dari ganti rugi atas meninggalnya 150 utusan China. Kaisar Dinasti Ming China kemudian merelakan menghapus separuh sisa ganti rugi. Dari tujuh pelayaran Cheng Ho pada tahun 1405M sampai 1433M, kerajaan di Asia Tenggara yang sering dikunjunginya adalah 1; Champa (sebanyak 6 kali), 2; Majapahit Jawa (sebanyak 6 kali), 3; Malaka (sebanyak 5 kali), 4; Lamuri (sebanyak 4 kali); 5; Palembang (sebanyak 3 kali), 7; Siam (sebanyak 2 kali). Parameswara dari Malaka sendiri menikah dengan Ratna putri dari Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Pada tahun 1414 M, Parameswara

berpindah agama dari Hindu ke Islam dan kemudian namanya diganti menjadi Iskandar Shah. Sedangkan Bendahara Temasek (bawahan Parameswara terdahulu) melarikan diri ke Kampar-Riau dan kemudian mendirikan kerajaan disana. Pada tahun 1409M Ananggawarman putra Adityawarman memberontak lagi terhadap Majapahit seperti tahun sebelumnya 1377M, kemudian pasukan Majapahit yang ada di Palembang menyerang Pagaruyung. Namun pasukan Majapahit dapat dikalahkan di Padang Sibusuk (Sijunjung) pada tahun 1409M. Pada tahun 1411M Maharaja Dhiraja Wikramawardhana dari Majapahit mengirim pasukan dari Jawa untuk menyerang kembali Kerajaan Pagaruyung. Dan akhirnya Kerajaan Pagaruyung dapat ditaklukan kembali oleh Majapahit tahun 1411M. Setelah ditaklukan kembali oleh Majapahit, Kerajaan Pagaruyung mulai melemah dan banyak daerah bawahan Pagaruyung di Minangkabau yang mulai melakukan otonomi sendiri. Kerajaan Pagaruyung tidak diketahui beritanya lagi karena tidak mengeluarkan prasasti lagi, tidak seperti pada masa Adityawarman yang banyak mengeluarkan prasasti dan membuat candi.

Pada awal abad ke-16M banyak bermunculan kesultanan-kesultanan baru di Semenanjung Malaya semenjak runtuhnya Majapahit (1527M) misal raja Gombak (1526M) dari Kelantan, raja Phay Tu Napak/Ismail (1530M) dari Pattani. Sejarawan dan Antropolog mengatakan bahwa penduduk dari Grahi (Surat Thani) sampai Terengganu di Semenanjung Malaya berasal dari etnik Jawa-Malayu terlihat dari bahasa dan budaya yang mereka miliki. Orang Siam sendiri menamakan penduduk Nakhon Thammarat/Nagara Dharmaraja (Tambralingga) yang terletak di sebelah selatan Surat Thani (Grahi) sebagai Orang Chawa (Jawa). Menurut Hikayat Pattani, pada akhir abad ke-16M Palembang pernah menyerang Pattani namun dapat dipukul mundur. Kemungkinan penyerangan itu dilakukan oleh Orang Jawa Palembang pada masa Ki Gede Sura 11 (1572M) dari Palembang. Kesultanan Palembang dan Kesultanan Jambi merupakan bawahan Kesultananan Jawa. Pada tahun 1573M Sultan Patik Siam (1572M-1573M) dari Pattani dibunuh oleh saudara tirinya yaitu raja Bambang (dari Jawa?). Patik Siam dan Bambang merupakan putra dari Mudhaffar (1564M) putra dari Ismail dari Pattani. Muddhaffar dari Pattani kemungkinan menikah dengan putri dari Ki Gede Sura 1 (1550M) dari Palembang. Setelah Patik Siam terbunuh kekuasaan di Pattani jatuh kepada sepupunya yaitu Bahadur (1573M-1584M) putra dari Mansur (1564M-1572M).

Pengaruh Jawa di Semenanjung Malaya dapat terlihat dari penggunaan Aksara Jawi disana. Aksara Jawi di Pattani dinamakan dengan nama Aksara Yawi. Aksara Jawi adalah Aksara Arab (abad ke-3M) yang dimodifikasi agar dapat menuliskan bahasa Malayu dengan menambah beberapa tanda baca untuk kosakata yang tidak ada dalam Bahasa Arab. Aksara Jawi digunakan untuk menulis Sastra Malayu misal Malaka (Hikayat Malayu, awal abad ke-17M), Aceh (Hikayat Aceh, awal abad ke-17M), Barus (Hikayat Barus, awal abad ke-17M), Pattani (Hikayat Pattani, awal abad ke-19M), Kedah (Hikayat Kedah, awal abad ke-19M), Johor (Hikayat Johor tapi lebih cocok disebut Hikayat Selangor karena berisi sejarah Selangor, akhir abad ke-19M). Siak-Riau (Hikayat Siak, pertengahan abad ke-19M), dan Minang (Tambo Minang, akhir abad ke-19M). Tambo Minang sendiri kebanyakan ditulis dengan Aksara Latin (abad ke-20M). Bukti keberadaan Aksara Jawi tertua adalah dari adanya prasasti Minye Tujuh (1380M) dan prasasti Terengganu (1386M). Aksara Jawi menyebar ke seluruh Nusantara hingga Pulau Mindano (Filipina Selatan) misal Kesultanan Sulu (berdiri pada pertengahan abad ke-15M dan dianeksasi Amerika Filipina pada awal abad ke-20M) dan Kesultanan Mangundanao (berdiri pada awal abad ke-16M dan dianeksasi Spanyol Filipina pada akhir abad ke-19M). Alasan dibuatannya Aksara Jawi karena mulai berkembangnya pengaruh agama Islam di Nusantara. Ada yang berpendapat kata “Jawi” berasal dari Bahasa Minang yang berarti “Kerbau”. Hal itu dapat dimengerti karena Pulau Sumatra khususnya Malayu

(Dharmasraya) dibawah kuasa Jawa ketika Ekspedisi Pamalayu yang dilancarkan oleh panglima Mahisa (kebo) Anabrang atas perintah Maharaja Kartanagara dari Tumapel. Kata “Kerbau” dalam Bahasa Jawa disebut dengan nama “Kebo”. Menurut sejarawan Mahisa (kebo) Anabrang ini diindentifikasikan sebagai Adwayawarman ayah dari Adityawarman yang merupakan pendiri Kerajaan Minang Pagaruyung (prasasti Kubu Rajo, 1347M). Adwayawarman dalam prasasti Bukit Gombak berbahasa Sansekerta dengan Aksara Kawi dinamakan sebagai Adwayadwaja. Pada masa itu di Jawa nama binatang sudah digunakan untuk menunjuk seseorang berdasarkan sifatnya sejak zaman Panjalu terbukti dengan ditemukannya prasasti Jaring (1181M). Nama-nama itu misalnya Mahisa (kebo) Cempaka, Lembu (sapi) Tal. Gajah Mada (Mahapatih Majapahit), Gajah Enggon (Mahapatih Majapahi pengganti Gajah Mada). Mahisa Anabrang (Mahamantri Tumapel) seorang tokoh yang meredamkan pemberontakan Ranggalawe/Arya Adikara (Bupati Tuban) putra Arya Wiraraja (Mahamantri Majapahit) terhadap Majapahit. Kemudian Mahisa Anabrang dibunuh oleh Lembu Sora paman dari Ranggalawe. Sebenarnya pemberontakan Ranggalawe/Arya Ardikara (Bupati Tuban) putra Arya Wiraraja (Mahamantri Majapahit) tahun 1295M, Lembu Sora (Patih Daha) tahun 1300M, dan Nambi (Mahapatih Majapahit) putra Arya Pranaraja (Mahamantri Majapahit) tahun 1316M adalah fitnah yang dibuat oleh Halayudha untuk meningkatkan jabatannya menjadi Mahapatih Majapahit. Mahapatih Halayudha sendiri dihukum mati (1319M) oleh Maharaja Dhiraja Jayanasara dari Majapahit karena dianggap telah menyebabkan pemberontakan para Dharmaputra (kelompok yang terdiri dari 7 orang dan merupakan prajurit kesayangan Maharaja Kartarajasa dari Majapahit) yang dipimpin Ra Kuti tahun 1319M. Alasan Ra Kuti dan teman-temannya memberontak adalah karena tidak puas dengan kepemimpinan Mahapatih Halayudha.

Selain Aksara Jawi ada juga Aksara Pegon, Aksara tersebut merupakan hasil modifikasi dari Aksara Jawi. Aksara Pegon digunakan untuk dapat menuliskan Bahasa Jawa. Kata “pegon” berasal dari kata “pego” dalam Bahasa Jawa yang artinya menyimpang karena tidak umum menggunakan Aksara Arab untuk menulis Bahasa Jawa. Perbedaan antara Aksara Jawi dengan Aksara Pegon adalah pada Aksara Pegon terdapat tanda baca vokal yang tidak ada dalam Aksara Jawi. Karena dalam Bahasa Jawa lebih banyak kosakata vokalnya (sembilan vonem) jika dibanding dalam Bahasa Malayu. Aksara Pegon digunakan mulai akhir abad ke-15M dalam teks sastra Jawa Islam misal suluk. Orang yang membuat suluk dinamakan dengan “salik” yang berarti “pencari”. Jika Aksara Jawi merupakan hasil modifikasi dari Aksara Arab pada abad ke-14M maka Aksara Kawi merupakan hasil modifikasi dari Aksara Pallawa-India pada abad ke-7M. Aksara Pallawa-India (abad ke-3M) sendiri hadir di Nusantara pada abad ke-4M terbukti dari adanya prasasti Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Kutai. Dari Aksara Pallawa India lahir Aksara Kawi/Jawa Kuno (abad ke-7M), Aksara Khmer-Kamboja (abad ke-7M), Aksara Champa (abad ke-7M) dan Aksara Mon (abad ke-7M). Dari Aksara Khmer-Kamboja lahir Aksara Thai (abad ke-14M) dan Aksara Lao (abad ke-14M). Dari Aksara Mon lahir Aksara Burma (abad ke-12M). Kata “kawi” berasal dari kata “Kakawin” yang berarti “Puisi”. Orang yang membuat kakawin disebut dengan “Rakawi” yang berarti “Orang Bijak”. Aksara Kawi digunakan di Jawa dari abad ke-7M sampai abad ke-15M misal pada prasasti Plumpungan (Salatiga, 750M) dan prasasti Dinoyo (Malang, 760M). Aksara Kawi (Jawa Kuno) menyebar ke seluruh Nusantara hingga Pulau Luzon terbukti dengan ditemukannya prasasti Laguna (900M) di Manila. Prasasti Laguna mengunakan campuran Bahasa Tagalog Kuno, Bahasa Malayu Kuno dan Bahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno) yang berisi pembebasan pembayaran hutang bagi yang pembawa pesan ini sebesar 1 Kati dan 8 Swarna. Prasasti ini juga menyebutkan beberapa tempat seperti Tondo, Pailah (Paila), Polilan (Poliran), Binwangan (Binwangan) yang terletak di Manila (Luzon) dan Diwata di Butuan (Mindanao) serta

Medang (Kerajaan Medang di Jawa) seperti yang dikemukakan oleh Anton Postma. Kerajaan Hindu Tondo (berdiri pada awal abad ke-10M) telah menjalin hubungan perdagangan dengan Dinasti Sung China (abad ke-11M) dan semakin erat pada zaman Dinasti Ming China (abad ke-15M). Prasasti Laguna (900M) merupakan prasasti satu-satunya peninggalan Kerajaan Tondo (berdiri pada abad ke-9M). Pada awal abad ke-16M Kesultanan Brunei (berdiri pada abad ke-9M menjadi kesultanan pada awal abad ke-15M) menyerang sebagian wilayah Kerajaan Tondo dan mendirikan Kerajaan Selorong yang kemudian berubah menjadi Manila yang berbasis agama Islam. Pada tahun 1565M Kerajaan Manila dikalahkan oleh Spanyol. Manila kemudian dijadikan basis pertahanan Spanyol di Filipina. Pada tahun 1589 Kerajaan Tondo juga dikalahkan oleh Spanyol. Di Pulau Luzon selain Kerajaan Hindu Tondo ada juga Kerajaan Hindu Namayan (berdiri pada abad ke-10M). Walaupun begitu Kerajaan Namayan ini tidak memiliki bukti prasasti. Kerajaan Namayan dipimpin oleh seseorang yang bergelar Lakan. Kata “Lakan” ini kemungkinan berasal dari kata “Rakayan” atau “Rakaian” dalam bahasa Kawi. Nama tersebut sering dipakai di Jawa untuk menyebut seorang pejabat. Pada tahun 1571M Kerajaan Namayan dikalahkan oleh Spanyol. Di Pulau Mindanao juga terdapat Kerajaan Hindu Butuan (berdiri pada awal abad ke-11M). Di wilayah Kerajaan Butuan (berdiri pada abad ke-10M) ditemukan sebuah segel yang terbuat dari cula badak yang bergaya Jawa Kuno. Kata “Butuan” sendiri berasal dari bahasa Kawi (Jawa Kuno) yaitu “Butwan”. Kerajaan Butuan ini ditaklukan oleh Spanyol pada akhir abad ke-16M.

Sastra Jawa tertua yang pernah ditemukan adalah pada prasasti Siwagraha (855M) yang merupakan kakawin tertua. Sedangkan naskah kakawin Sastra Jawa tertua yang pernah ditemukan adalah Kakawin Ramayana (870M). Pada abad ke-8M banyak teks Hindu berbahasa Sansekerta yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno. Pada abad ke-9M banyak teks prosa Hindu yang dibuat dalam bahasa Jawa Kuno dalam misal Brahmandapurana dan Agastyaparwa. Selain itu juga teks prosa Budha tentang ajaran Tantrayana dan Mahayana seperti Kitab Sang Kamahayanikam (sutra tentang ajaran Mahayana). Sastra Jawa dikelompokan menjadi 4 yaitu 1; Sastra Jawa Kuno yang dipengaruh Hindu-Budha (abad ke-8M sampai abad ke-15M) memakai Bahasa Jawa Kuno dan ditulis dalam Aksara Kawi (Jawa Kuno), Hasil sastra yang dihasilkan pada zaman Jawa Kuno berupa kakawin (puisi) dan parwa (prosa). Dalam zaman ini kata-kata dalam Bahasa Sansekerta India mulai banyak diserap ke dalam Bahasa Jawa. 2; Sastra Jawa Madya yang dipengaruhi Islam (abad ke-16 sampai abad ke-18M) memakai Bahasa Jawa Madya dan ditulis dalam dua Aksara yaitu Aksara Jawa dan Aksara Pegon (dipakai dalam teks Islam yang kebanyakan berasal dari daerah pesisir Jawa), Hasil sastra yang dihasilkan pada zaman Jawa Madya berupa kidung dan suluk yang merupakan bentuk dari Macapat. Teks Macapat diciptakan oleh Wali Sanga pada akhir abad ke-15M. Macapat terdiri dari sebelas bagian yang merupakan simbol perjalanan hidup manusia dari lahir sampai mati yaitu Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmarandana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pocong. Suluk Sunan Bonang (awal abad ke-16M) merupakan salah satu suluk yang terkenal yang berisi ajaran mistisisme Islam Jawa. Dalam zaman ini kata-kata dalam Bahasa Arab mulai banyak diserap ke dalam Bahasa Jawa. 3; Sastra Jawa Baru (zaman Surakarta, separuh kedua abad ke-18M) dengan memakai Bahasa Jawa Baru dan ditulis dengan Aksara Jawa. Hasil sastra yang dihasilkan pada zaman Jawa Baru ini berupa serat. Pada zaman Surakarta inilah muncul renaissance Sastra Jawa yang dipelopori Yasadipura dan sastrawan yang terkenal adalah Ranggawarsita. Pada zaman renaissance Sastra Jawa ini banyak ditemukan Sastra Jawa Kuno yang digubah kembali dalam Bahasa Jawa Baru dan ditulis dengan Aksara Jawa. Tidak berapa lama kemudian karya teks Islam Jawa Pesisir yang ditulis dalam Aksara Pegon juga mulai banyak disadur dalam Bahasa Jawa Baru dan ditulis dalam Aksara Jawa. 4; Sastra Jawa Modern dipengaruhi Belanda (akhir abad ke-19M) dengan memakai Bahasa Jawa Baru dan ditulis dengan Aksara Latin. Hasil sastra

yang dihasilkan pada zaman Jawa Modern ini berupa novel. Sastrawan Jawa Modern yang terkenal adalah Sasradiningrat 1V dan Padmasusastra. Dalam zaman ini kata-kata dalam Bahasa Belanda mulai banyak diserap ke dalam Bahasa Jawa. Di antara teks Sastra Jawa Kuno yang yang paling luas penyebarannya adalah Cerita Panji (ditulis pada abad ke-13M) berlatar belakang di lingkungan Kerajaan Panjalu/Kadiri (abad ke-11M sampai abad ke-12M). Cerita ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa misalnya Sunda, Bali, Malayu, Siam, Khmer Kamboja. Dalam Sastra Malayu terdapat versi yang ditulis dalam bentuk Syair yaitu Syair Ken Tambuhan dan juga dalam bentuk hikayat yaitu Hikayat Anda-ken Penurat. Karya teks Islam Jawa Pesisir juga mempengaruhi teks Sastra Malayu misal Suluk Aceh dan Suluk Johar Mungkin.

Sejarahwan menyebutkan bahwa Aksara Kawi (Jawa Kuno) merupakan induk dari aksara yang ada di Nusantara misal Aksara Buda (Jawa, abad ke-14M), Aksara Sunda Kuno (Sunda, akhir abad ke-14M), Aksara Malayu Kuno (Malayu, akhir abad ke-14M), Aksara Baybayin-Tagalog (Luzon Filipina), Aksara Buhid-Mangyan (Mindoro Filipina), Aksara Hanuno (Mindoro Filipina), dan Aksara Tagbanwa (Palawan Filipina). Dari Aksara Buda lahir Aksara Hanacaraka (Jawa, abad ke-16M) dan Aksara Bali (Bali, abad ke-16M). Dari Aksara Malayu Kuno lahir Aksara Kaganga yang berasal dari selatan Sumatra (Jambi, Palembang, Bengkulu) yang dikenal sebagai Aksara Ulu (Gunung) karena aksara ini banyak dijumpai di daerah pegunungan dari Kerinci-Jambi sampai Ranau-Lampung. Aksara Kaganga merupakan kumpulan beberapa aksara yang terdiri dari Aksara Rencong (Kerinci-Jambi, abad ke-16M), Aksara Rejang (Rejang-Bengkulu, abad ke-16M), dan Aksara Had Lappung (Pasemah-Lampung, abad ke-16M) sedangkan perbedaan ketiga aksara tersebut adalah pada letak urutan huruf dan bahasa yang dipakai. Selain itu terdapat Aksara Surat (Batak Toba, abad ke-17M) yang masih bersaudara dengan Aksara Kaganga/Ulu. Dalam Aksara Surat ini ada beberapa konsonan yang hilang yang seharusnya ada seperti halnya dalam Aksara Kaganga. Aksara Surat ini kemungkinan berasal dari Pennai (Padang Lawas) kemudian menyebar ke arah Toba. Dari Aksara Kaganga/Ulu lahir Aksara Lontara (Bugis, abad ke-17M).

Aksara Jawi mulai dikembangkan di Sumatra (akhir abad ke-14M) dimana pada waktu itu dikuasai oleh Majapahit sedangkan Aksara Pegon dikembangkan di Jawa (akhir abad ke-15M). Selain Aksara Jawi pengaruh Jawa Islam di Nusantara juga terlihat dari bentuk bangunan masjid Jawa (tipikal Masjid Demak, 1481M) yang menyebar ke seluruh Nusantara bahkan sampai Pattani dan Mindanao seperti yang dinyatakan oleh G.F. Pijper (1947M) dan Hugh Oneil (1994M). Masjid Jawa sangat unik dan memiliki perbedaan sangat mencolok jika dibandingkan dengan bentuk arsitektur masjid di belahan dunia lainnya. Masjid Jawa berbentuk persegi empat (bujur sangkar) dengan atap yang tumpeng dua sampai tiga dan landasannya berundak.

Islam berkembang di Jawa pada saat zaman kejayaan Majapahit dibuktikan dengan ditemukannya sebuah batu nisan di Troloyo, Trowulan (Mojokerto) yang berasal dari tahun 1366M, 1370M, 1407M, 1418M, 1427M, 1467M, dan 1475M, yang ditulis dengan Aksara Kawi dengan penanggalan Saka. Selain itu ada juga tahun 1469M dan 1533M yang ditulis dengan Aksara Arab dengan penanggalan Hijriah. Hal itu menandakan bahwa makam tersebut milik orang Muslim Jawa bukannya orang asing. Dan menurut Damais kemungkinan makam tersebut milik bangsawan Majapahit. Karena didasarkan pada bentuk dekorasi makam dan kedekatannya makam tersebut dengan ibukota Majapahit. Dapat dikatakan bahwa ada beberapa bangsawan Majapahit yang sudah mengadaptasi Islam ketika Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Berita Ma Huan (1433M) menunjukkan bahwa Islam sudah diadaptasi oleh beberapa bangsawan Jawa di ibukota Majapahit sebelum Islam berkembang di daerah pesisir Jawa pada awal abad

ke-15M. Ricklef berpendapat bahwa Majapahit sejak awal sudah berhubungan dengan para pedagang Muslim. Para bangsawan Majapahit tertarik dengan agama yang dibawa oleh para pedagang Muslim khususnya tentang ajaran mistik Sufi Islam. Ketertarikan tersebut karena para bangsawan Majapahit sudah terbiasa dengan hal yang berbau mistik seperti halnya dalam agama Hindu-Budha. Ibnu Batutah (1346M) mengatakan bahwa Islam yang berkembang pada waktu itu di Nusantara kebanyakan menganut Mazhab Syafii, kebiasaan yang sama seperti yang dia lihat di India. Ibnu Batutah juga mengatakan bahwa penguasa Samudra Pasai juga menganut Mazhab Syafii. Mazhab ini sendiri lebih cenderung bersifat moderat dan mistik dibandingkan dengan mazhab lainnya. Dalam Negarakertagama (1365M) dikatakan bahwa Maharaja Hayam Wuruk dari Majapahit menyuruh para pemuka Hindu-Budha untuk menyebarkan agama mereka di Nusantara namun tidak boleh menyebarkannya kepada penduduk di sebelah barat pulau Jawa (Samudra Pasai) karena sudah berbeda agama. Hubungan antara Majapahit dengan Islam diperkuat dengan adanya prasasti Minye Tujuh (Pasai, 1380M) berbahasa campuran Malayu Kuno dan Jawa Kuno yang ditulis dengan Aksara Kawi dan Jawi. Aksara Jawi juga digunakan untuk menulis Hikayat Raja Pasai (akhir abad ke-15M) yang merupakan sastra malayu tertua yang berisi legenda raja Pasai. Kemungkinan Aksara Jawi ini dibuat pada masa itu karena ada konsonan huruf dalam Aksara Jawi yang sebenarnya tidak ada dalam Aksara Arab, kemudian mengambil konsonan dalam Aksara Kawi (Jawa Kuno) untuk melengkapi konsonan dalam Aksara Jawi. Pengambilan itu agar lebih mudah menuliskan bahasa pribumi dalam tulisan Arab. Makam lainnya pada zaman Majapahit adalah makam milik Malik Ibrahim (Gresik, 1419M) dan makam milik putri Champa (1449M) yang terletak di ibukota Majapahit. J.J Meinsma berpendapat bahwa Sunan Gresik atau Malik Ibrahim Asmarakandi (awal abad ke-15M) sebagai pelopor agama Islam di Jawa berasal dari Samarkand Asia Tengah. Menurut Babad Tanah Jawi, Malik Ibrahim adalah putra dari Jumadil Qubro. Menurut Martin van Bruinessen nama Jumadil Qubro sama dengan Jamaluddin Akbar. Menurutnya bahwa nama Jumadil Qubro sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa. Jamaluddin Akbar merupakan putra dari Ahmad Jalal Shah (Persia) dan cucu dari Abdullah Khan (Asia Tengah). Jamaluddin Akbar sendiri kemungkinan datang ke Jawa melalui Gujarat, India. Makam Jumadil Qubro terletak di pemakaman Troloyo, Trowulan yang dekat dengan situs ibukota Majapahit. Makam Jumadil Qubro juga berdekatan dengan makam bangsawan Jawa misal Tumenggung Satim Singomoyo dan Tumenggung Patas Angin. Sedangkan J.P. Moqueite berdasarkan analisis terhadap bait terakhir tulisan pada makam Sunan Gresik diperkirakan tokoh ini berasal dari daerah Kashan di Persia. Kedua pendapat tersebut mungkin benar karena pada akhir abad ke-14M baik Persia maupun Asia Tengah dibawah kekuasaan Dinasti Timur Lenk yang berpusat di Samarkand Asia Tengah. Dalam konteks India dan Jawa, Orang Persia dan Asia Tengah dinamakan sebagai Orang Yawana. Dalam Negarakertagama (1365M) disebutkan bahwa hubungan antara Majapahit Jawa dengan Yawana disebut sebagai Mitreka-Satata (Negara sahabat). Sebelum zaman Majapahit, Islam juga sudah datang di Pulau Jawa dibuktikan dengan adanya makam milik Fatimah binti Maimun (Gresik, 1081M) dan beberapa makam penggiringnya yang merupakan makam Islam tertua di Asia Tenggara. Dikatakan bahwa Fatimah binti Maimun merupakan seorang putri dari negeri Gedah yang datang ke Pulau Jawa bersama beberapa penggiringnya untuk menemui Maharaja Jawa. Kemudian penduduk Jawa memberikan nama baru kepada Fatimah binti Maimun yaitu Ratna Swari. Dalam Serat Jayabaya dikatakan bahwa Maharaja Jayabaya dari Panjalu (awal abad ke-12M) pernah berguru pada seorang ahli mistik Islam bernama Ali Syamsuddin dari Kesultanan Rum Turki (1077M-1300M). Walaupun Islam sudah datang pada abad ke-12M namun perkembangan Islam di Pulau Jawa baru signifikan pada abad ke-15M.

Menurut Slamet Mulyana, para tokoh Wali Sanga (penyebar agama Islam) yang ada di Jawa merupakan keturunan China. Hal ini berawal dari kedatangan Ekspedisi Cheng Ho ke Jawa pada awal abad ke-15M. Selain sebagai utusan Kaisar Dinasti Ming China, Cheng Ho juga berniat menyebarkan agama Islam. Nama asli Cheng Ho adalah Ma (Muhammad) Ho yang berasal dari Yunnan dan beretnik Hui. Orang Hui memeluk agama Islam sejak zaman Dinasti Tang China dikarenakan adanya interaksi perdagangan dengan Orang Asia Tengah dan Persia yang melalui jalur Sutra. Pada abad ke-11M Sultan Uzbekistan mengungsi ke China dan meminta perlindungan ke Kaisar Dinasti Sung China dikarenakan adanya serangan dari Turki Seljuk. Kemudian sultan tersebut diberikan jabatan tinggi di China. Pada zaman Dinasti Yuan China, Orang Muslim China khususnya Orang Hui mendapatkan kedudukan tinggi di ibukota dikarenakan penguasa Mongol menduduki sebagian besar wilayah Islam misal Asia Tengah dan Persia. Kebanyakan penguasa Mongol di wilayah Islam kemudian beralih ke agama Islam. Pada akhir abad ke-13M Kaisar Dinasti Yuan China menempatkan seorang gubernur muslim China untuk mengurus wilayah Yunnan. Pada zaman Dinasti Yuan China, Islam mulai berkembang di wilayah Yunnan. Pada akhir abad ke-14M Dinasti Yuan runtuh digantikan Dinasti Ming China. Pada tahun 1380M Kaisar Dinasti Ming China menyerang wilayah Kerajaan Dali di Yunnan dan kemudian menganeksasinya. Pada waktu serangan itu orang tua Cheng Ho terbunuh dan Cheng Ho sendiri ditangkap untuk dijadikan kasim kerajaan. Kemudian karir Cheng Ho semakin menanjak dan dijadikan sebagai penasihat Kaisar Dinasti Ming China. Pada 1406M-1430M Kaisar Dinasti Ming China melalui Ekspedisi Cheng Ho mulai memberikan pengaruhnya di Asia Tenggara. Cheng Ho juga mulai menyebarkan agama Islam terutama untuk kalangan Orang China yang berdagang dan menetap di Asia Tenggara. Pada tahun 1449M terjadi perseteruan politik di China dan peperangan dengan pasukan Mongol kembali menguat. Pada tahun 1449M dalam sebuah pertempuran, pasukan China dapat dikalahkan oleh pasukan Mongol bahkan Kaisar Dinasti Ming China dapat ditawan tetapi akhirnya dipulangkan kembali dengan uang tebusan. Pasukan Mongol juga mengepung ibukota namun dapat dipukul mundur oleh pasukan China.

Dalam Naskah Sam Po Kong disebutkan bahwa pada tahun 1409M, Cheng Ho menempatkan Bong Tak Keng di Champa untuk mengurusi kepentingan dagang China disana. Kemudian Bong Tak Keng mengirim Gan Eng Cu ke Tuban untuk mengurusi kepentingan dagang China di Jawa. Gan Eng Cu dikenal sangat dekat dengan bangsawan Majapahit sehingga dia ditunjuk oleh Hyang Wisesa (Maharaja Dhiraja Wikramawardhana dari Majapahit) sebagai Juru bandar di Tuban pada tahun 1423M. Gan Eng Cu menikahi Ayu Teja putri dari Bupati Arya Ardikara dari Tuban. Sedangkan Gan Eng Wan (adik Gan Eng Cu) menikahi putri Bupati Tuban yang lainnya. Pada tahun 1430M Gan Eng Cu mendapatkan gelar Arya dari Sung Ki Ta (Maharani Suhita dari Majapahit) sehingga namanya menjadi Arya Teja. Dalam Pararaton disebutkan bahwa Suhita menikah dengan Renamanggala (Raden Ratnapangkaja) yang bergelar Batara Parameswara yang meninggal pada tahun 1443M. Pada tahun 1430M Gan Eng Wan ditunjuk menjadi Bupati Tuban oleh Sung Ki Ta untuk menggantikan Bupati yang lama. Gan Eng Wan mendapatkan gelar Arya Wira (Tumenggung Wilwatikta) dari Sung Ki Ta. Gan Eng Cu (Arya Teja) mempunyai anak bernama Gan Si Cang (Said/Sunan Kalijaga). Bong Swi Ho (Rahmat/Sunan Ampel) cucu Bong Tak Keng dari Champa mengunjungi bibinya di Jawa pada tahun 1445M. Dalam Babad Tanah Jawi, Rahmat (Sunan Ampel) merupakan putra dari Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dengan putri Champa. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bibi Sunan Ampel adalah istri dari Maharaja Majapahit kemungkinan adalah istri dari Maharaja Dhiraja Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya (Bre Wijaya 1, 1447M-1451M). Sedangkan dalam Naskah Sam Po Kong bibi Sunan Ampel adalah istri dari Duta Besar China untuk Majapahit yang bernama Ma Hong Fu (1424M-1449M). Baik Ma (Muhammad) Hong Fu maupun putri Champa itu beragama Islam. Putri Champa tersebut meninggal pada tahun 1449M

dan dimakamkan di dekat ibukota Majapahit dengan menggunakan Sangkakala (penanggalan) Jawa. Menurut Naskah Sam Po Kong, Ma Hong Fu ditarik kembali ke China pada tahun 1449M. Menurut Naskah Sam Po Kong, Bong Swi Ho (Sunan Ampel) menikahi putri dari Gan Eng Cu (Arya Teja). Bong Swi Ho mempunyai anak bernama Bong Ang (Ibrahim/Sunan Bonang). Pada tahun 1448M Gan Eng Wan (Arya Wira) tewas ditangan penduduk pribumi yang tidak puas. Menurut Pararaton (awal abad ke-16M), disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Maharaja Kertawijaya dari Majapahit (1447M-1451M) pernah terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap orang China yang dilakukan oleh Bre Paguhan (keponakan dari Kertawijaya). Pada tahun 1450M sepeninggalan Gan Eng Cu (Arya Teja), banyak keturunan China yang mulai beralih dari agama Islam ke agama semula (Kong Hu Cu) dan Masjid dirubah menjadi Kelenteng. Pada tahun 1451M Bong Swi Ho (Sunan Ampel) pindah ke Surabaya dan mulai menyebarkan agama Islam ke kalangan pribumi Jawa. Bong Swi Ho (Sunan Ampel) menggunakan metode akulturasi dan menggunakan bahasa Jawa dalam menyebarkan agama Islam. Menurut Naskah Sam Po Kong, tidak lama setelah Bong Swi Ho (Sunan Ampel) datang ke Jawa, Kerajaan Champa diserang oleh Dai Viet. Menurut Sejarah Banten, tidak lama setelah Sunan Ampel datang ke Jawa, Champa diserang oleh Orang Kafir dari Koci. Menurut Sejarah Champa, ibukotanya yang bernama Wijaya jatuh ke tangan Dai Viet pada tahun 1470M. Nama Dai Viet dalam Sejarah Malayu dinamakan dengan Koci. Nama Koci juga terdapat di dalam teks-teks Jawa Kuno seperti Kakawin Negarakertagama dan Kakawin Harsawijaya. Menurut Sejarah Malayu, setelah Champa jatuh banyak warganya termasuk para pangerannya yang melarikan diri ke Malaka dan Aceh. Selain itu banyak juga warga yang terbunuh dan menjadi tawanan yang dibawa ke Dai Viet untuk dijadikan sebagai budak.

Dyah Kertawijaya (Wijayaparakramawardhana) mempunyai beberapa putra yaitu Dyah Wijayakumara (Bre Kahuripan), Dyah Suryawikrama (Bre Wengker), Dyah Suraprabhawa (Bre Tumapel). Dalam Pararaton yang menjabat sebagai Bre Kahuripan saat itu adalah Sang Sinagara. Dia naik tahta Majapahit bergelar Rajasawardhana yang menggantikan kedudukan Kertawijaya. Sebelum menjabat sebagai Bre Kahuripan, Sang Sinagara menjabat sebagai Bre Pamotan dan Bre Keling. Dalam sebuah prasasti, Rajasawardhana memiliki beberapa putra yaitu Wijayaparakramawardhana Dyah Samarawijaya (Bre Kahuripan) dan Girindrawardhana Dyah Wijayakirana (Bre Mataram). Dalam Pararaton, Rajasawardhana/Sang Sinagara memliki empat putra yaitu Bre Kahuripan, Bre Mataram, Bre Pamotan, Bre Kertabumi (putra bungsu). Dalam Pararaton disebutkan bahwa putra Sang Sinagara yaitu Bre Kahuripan dan Bre Mataram menikahi putri dari Bre Wengker (dengan kata lain menikahi putri dari paman mereka sendiri). Dyah Suryawikrama (Bre Wengker) kemudian naik tahta Majapahit bergelar Girishawardhana menggantikan Rajasawardhana (Sang Sinagara). Pada tahun 1466M, Dyah Suraprabhawa (Bre Tumapel) naik tahta Majapahit bergelar Singhawikrawardhana menggantikan Girishawardhana. Dalam Pararaton disebutkan bahwa pada tahun 1468M putra-putra dari Sang Sinagara (Rajasawardhana) yaitu Bre Kahuripan (Wijayaparakramawardhana Dyah Samarawijaya) , Bre Mataram (Girindrawardhana Dyah Wijayakirana), Bre Pamotan, dan Bre Kertabumi meninggalkan kraton Majapahit dan kemudian tinggal di Mungging Jinggan. Penyebab Bre Kahuripan dan adik-adiknya meninggalkan kraton Majapahit kemungkinan karena adanya perebutan tahta dengan paman mereka yaitu Singhawikrawardhana Dyah Suraprabhawa (Bre Tumapel). Dalam prasasti petak disebutkan bahwa Batara di Mungging Jinggan (Bre Kahuripan dan adik-adiknya) pernah menyerang Majapahit (Singhawikrawardhana). Peperangan tersebut kemungkinan terjadi pada tahun 1468M setelah Bre Kahuripan dan adik-adiknya meninggalkan kraton. Dalam pertempuran tersebut Bre Kahuripan terbunuh namun adik-adiknya memenangkan peperangan. Kemungkinan tahta Majapahit jatuh kepada adik pertama dari Bre Kahuripan yaitu Girindrawardhana Dyah Wijayakirana (Bre Mataram). Dalam prasasti

Jiyu (1486M) dikatakan bahwa Maharaja Majapahit saat itu adalah Girindrawardhana Dyah Renawijaya. Prasasti Jiyu (1486M) sendiri dibuat untuk memperingati 12 tahun meninggalnya (1474M) Bre Daha. Girindrawardhana Dyah Renawijaya kemungkinan merupakan putra dari Girindrawardhana Dyah Wijayakirana (Bre Mataram). Jabatan sebagai Bre Daha dipakai oleh Girindrawardhana Dyah Renawijaya (Bre Mataram) sebagai warisan dari ibunya (istri dari Rajasawardhana Dyah Wijayakumara). Seperti halnya Wijayaparakramawardhana Dyah Wijayakumara dulunya menjabat sebagai Bre Pamotan kemudian menjadi Bre Kahuripan sebagai warisan dari ayahnya yaitu Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Dalam prasasti Jiyu juga terdapat nama Singhawardhana Dyah Wijayakusuma (Bre Keling) kemungkinan merupakan saudara dari Girindrawardhana Dyah Renawijaya. Setelah Girindrawardhana Dyah Wijayakirana (Bre Mataram) meninggal tahta Majapahit kemungkinan jatuh ke tangan adiknya yang bungsu yaitu Bre Kertabumi. Menurut Naskah Sam Po Kong, Pa Bu Ta La (Prabu Nata Girindrawardhana Dyah Renawijaya) menikah dengan putri dari Kung Ta Bu Mi (Bre Kertabumi). Dengan kata lain Girindrawardhana Dyah Renawijaya menikahi putri dari pamannya sendiri. Menurut Tome Pires (1515M) bahwa Batara Vigaya (Bre Wijaya) di Dayo (Daha) dulunya menggantikan kedudukan dari Bre Mataram. Jika Bre Wijaya yang disebut Tome Pires adalah Girindrawardhana Dyah Renawijaya, maka Bre Mataram yang dimaksud adalah Girindrawardhana Dyah Wijayakirana.

Dalam Naskah Sam Po Kong disebutkan bahwa Swan Liong putra Hyang Wisesa dari selir China ditunjuk di Kukang (Palembang). Hyang Wisesa ini kemungkinan adalah Girishawardhana (1456-1466M) jika dibandingkan dengan Wikramawardhana (1389M-1427M). Kemudian selir China dari Kung Ta Bumi (Bre Kertabumi) dihadiahkan kepada Swan Liong. Dari pernikahan Bre Kertabumi dengan selir China putri dari Bang Hong (Sunan Bantong) lahir Jin Bun (Jimbun/Fatah, 1456M). Sedangkan dari pernikahan Swan Liong dengan selir China lahir Kin San (Kusen, 1457M). Berdasarkan pada prasasti yang terdapat dalam Masjid Mantingan dan makam Ratu Kalinyamat Jepara (cucu dari Jimbun/Fatah) menyebutkan bahwa Fatah merupakan keturunan dari Kertawijaya. Dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa Jimbun (Jin Bun) merupakan putra dari (Dyah) Angkawijaya. Kemungkinan Bre Kertabumi (Pararaton) atau Kung Ta Bumi (N. Sam Po Kong) mempunyai nama asli Dyah Angkawijaya (Babad). Menurut Naskah Sam Po Kong, pada tahun 1474M Jin Bun (Jimbun) dan Kin San (Kusen) pindah ke Jawa dan belajar agama Islam kepada Bong Swi Ho (Sunan Ampel). Jin Bun menikahi putri dari Bong Swi Ho. Pada tahun 1475M Jin Bun diakui sebagai anak oleh Kung Ta Bumi (Bre Kertabumi) dan diangkat sebagai Adipati Bintara. Sedangkan Kin San mengabdi kepada Maharaja Majapahit dan diangkat menjadi Adipati Terung. Pada tahun 1477M Jin Bun menyerang Semarang. Kin San ditunjuk oleh Kung Ta Bumi untuk memanggil Jin Bun menghadap ke Majapahit namun Jin Bun menolak. Pada tahun 1478M setelah Bong Swi Ho meninggal, Jin Bun (Jimbun) menyerang kraton ayahnya sendiri yaitu Kung Ta Bumi (Bre Kertabumi) dan dibawa ke Bintolo (Bintara). Menurut Babad Tanah Jawi, penyerangan Jimbun/Fatah ke Majapahit terjadi pada tahun Sangkakala yang berbunyi Sirna (0) Ilang (0) Kerta (4) ning Bumi (1) yang menunjuk pada Bre Kerta-bumi. Angka 0041 kemudian dibalik menjadi 1400 Saka atau 1478 Masehi. Kemudian Kin San diangkat Jin Bun menjadi Adipati Semarang. Cerita dalam kitab Pararaton (awal abad ke-16M) sendiri berakhir dengan perkataan bahwa Bre Kertabumi, paman raja yang meninggal di kraton pada tahun 1478M. Kemungkinan Maharaja Majapahit yang berkuasa saat pembuatan kitab Pararaton (awal abad ke-16M) adalah Girindrawardhana Dyah Renawijaya (prasasti Jiyu, 1486M). Jadi Bre Kertabumi merupakan paman dari Girindrawardhana Dyah Renawijaya. Dari berita Pararaton mengindikasikan bahwa meninggalnya Bre Kertabumi adalah tidak wajar. Kemungkinan Bre Kertabumi diserang oleh Jimbun/Fatah (putranya sendiri) atau oleh Girindrawardhana Dyah Renawijaya (menantunya sendiri). Perang tersebut dinamakan perang Sudhamani yaitu perang

antara anak/menantu dengan ayahnya. Kemungkinan yang lebih besar adalah ibukota Majapahit yaitu Wirasaba diserang oleh Bintara (Jimbun/Fatah), kemudian Girindrawardhana Dyah Renawijaya memindahkan ibukota Majapahit ke Daha (Kadiri). Menurut Naskah Sam Po Kong setelah kota Majapahit (Wirasaba) dikuasai, Jin Bun (Jimbun) menunjuk seorang China bernama Nyo Wa La sebagai administator di kota tersebut. Pada tahun 1486M, Nyo Wa La dibunuh oleh penduduk pribumi Jawa yang tidak senang. Kemudian Jin Bun memberikan Wirasaba kepada Pa Bu Ta La (Prabu Nata Girindrawardhana). Atau mungkin pada tahun 1486M Girindrawardhana merebut kembali Wirasaba dari Demak. Menurut prasasti Jiyu (1486M), Girindrawardhana berkuasa atas Wilwatikta (Majapahit), Jenggala, dan Kadiri. Menurut Tome Pires (1515M) dari Portugise menyebutkan bahwa Adipati Tuban dan Adipati Surabaya masih mengabdi pada Batara Wijaya di Daha. Menurut berita Dinasti Ming China, tahun 1499M merupakan utusan terakhir dari Majapahit yang datang ke China. Sejak tahun 1481M hingga 1499M Majapahit mulai sering mengirim utusan dan upeti ke Dinasti Ming China. Sejak adanya Kesultanan Jawa (awal abad ke-16M) tidak ada lagi mengirim perutusan ke China karena dianggap sebagai kafir. Kerajaan yang yang sering mengirim perutusan ke Dinasti Qing China adalah Dai Viet, Kamboja, Laos, Siam, Burma. Kesultanan Aceh sendiri sering mengirim perutusan dan meminta bantuan kepada Kesultanan Usmani Turki. Sedangkan menurut berita Portugise, Kesultanan Demak berencana menjadi seperti Kesultanan Usmani Turki yaitu Segundo Turco (Turki Kedua) di Nusantara. Sultan Usmani Turki sendiri bergelar Kayser (Kaisar) Rum setelah menaklukan Konstantinopel pada tahun 1453M.

Menurut Sejarah Banten, pendiri Sultan Demak pertama adalah Ki Gede Palembang putra dari Arya Sumangsang. Disebutkan bahwa ada seseorang yang bernama Cek Ko Po bersama dua putranya yaitu Cek Ban Cun dan Cu Cu datang dari Mongol China ke Jawa untuk mengabdi kepada Majapahit. Cek Ko Po merupakan seorang mantan menteri China. Cek Ban Cun (putra yang sulung) meninggal pada usia yang masih muda. Maharaja Majapahit menyuruh Cek Ko Po dan Cucu untuk meredamkan pemberontakan Arya Damar (Jaka Dilah) Adipati Palembang. Setelah berhasil meredamkan pemberontakan Palembang, Cu Cu diberi gelar dengan nama Arya Sumangsang dan dinikahkan dengan putri Majapahit. Arya Sumangsang dengan putri Majapahit mempunyai putra yang kemudian disebut sebagai Ki Gede Palembang. Dalam Sejarah Banten juga terdapat nama Kiai Gede (K.G) Bintara (Husein) dan Ki Gede Terung (Hasan). Cerita mengenai K.G. Bintara dan K.G. Terung ini sama dengan yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi mengenai Jimbun/Fatah (Adipati Bintara) dan Kusen (Adipati Terung). Dalam Sejarah Banten disebutkan bahwa Maharaja Majapahit memberikan selirnya yaitu putri China kepada Arya Damar Adipati Palembang. Arya Damar yang dimaksud di sini bukanlah Adipati Palembang pada pertengahan abad ke-14M melainkan pada masa pertengahan abad ke abad ke-15M. Dari perkawinan putri China dengan Maharaja Majapahit memperoleh putra bernama Husein sedangkan dari Arya Damar Adipati Palembang memperoleh putra bernama Hasan. Cerita selanjutnya sama dengan yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Tetapi perbedaannya adalah setelah K.G. Bintara (Husein) berhasil menyerang dan menguasai ibukota Majapahit serta berhasil menangkap Arya Sumangsang dan K.G Palembang, Malah K.G.Bintara ingin memberikan kota ini kepada K.G. Palembang. Namun K.G. Palembang menolak tawaran tersebut. Setelah itu K.G. Bintara memberikan daerah Bintara kepada K.G. Palembang. Setelah itu K.G. Palembang bersama ayahnya (Arya Sumangsang) dan keluarganya pindah ke Bintara. Kemudian K.G. Palembang merubah gelarnya menjadi Pangeran Palembang.dan mendirikan Demak. Sedangkan K.G. Bintara dan K.G.Terung pindah ke timur namun tidak diketahui tujuannya. Jadi K.G. Palembang dan K.G. Bintara dalam Sejarah Banten merupakan dua orang yang berbeda. Menurut Babad Tanah Jawi, K.G. Palembang dan Adipati Bintara (Jimbun/Fatah) merupakan satu orang yang

sama. Nama Bintara sendiri merupakan nama ibukota dari Demak. Dalam Babad Tanah Jawi sendiri dikatakan bahwa Fatah/Jimbun (Adipati Bintara) bergelar Panembahan Jimbun saking Palembang. Gelar Panembahan Palembang sendiri sepadan dengan gelar Pangeran Palembang. Lebih tepat dikatakan dalam Sejarah Banten bahwa yang menjabat sebagai K.G. Bintara adalah Hasan bukannya Husein karena dalam sejarah Islam, nama cucu Muhammad yang tertua adalah Hasan bukanya Husein. Jadi Husein sama dengan Kusen (Adipati Terung). Nama Chinanya adalah Jimbun dan nama Islamnya adalah Hasan. Setelah menyerang Ibukota Majapahit pada tahun 1478M dan mendirikan Masjid Demak pada tahun 1481M, Jimbun/Hasan merubah gelarnya dari Adipati menjadi Panembahan. Setelah mendeklarasikan kesultanan (Islam) di Jawa pada tahun 1504M dan memperbaiki kembali Masjid Demak pada tahun 1507M, Panembahan Jimbun merubah gelarnya menjadi Sultan Alam al Fatah (Pembuka Alam Keislaman di Jawa). Seperti halnya Sutawijaya (Adipati Mataram) mendirikan Masjid Kuta Gede pada tahun 1587M dan tidak lama kemudian mendeklarasikan diri menjadi Panembahan Senopati. Cerita mengenai Cek Ko Po dan Cu Cu (Arya Sumangsang) kemungkinan berasal dari abad ke-14M. Dalam sejarah China disebutkan bahwa keruntuhan Dinasti Yuan (Mongol) China terjadi pada tahun 1370M. Kemungkinan Cek Ko Po yang merupakan mantan mentri Mongol tersebut, pindah ke Jawa setelah Dinasti Yuan runtuh dan digantikan dengan Dinasti Ming China. Menurut berita China disebutkan bahwa pemberontakan Palembang terhadap Majapahit terjadi pada tahun 1377M (13 tahun setelah Gajah Mada meninggal). Menurut Pararaton, Arya Damar sendiri menduduki jabatan sebagai Adipati Palembang sekitar tahun 1350M. Pada tahun 1378M inilah kemungkinan Cek Ko Po dan Cucu (Arya Sumangsang) berhasil meredamkan pemberontakan Palembang. Jadi Sejarah Banten, mengkaitkan cerita pemberontakan Palembang tahun 1378M dengan cerita penguasaan ibukota Majapahit oleh Fatah/Jimbun/Hasan (Adipati Bintara) tahun 1478M (Babad Tanah Jawi). Diceritakan dalam Sejarah Banten bahwa Cek Ko Po dan Cu Cu yang berasal dari Munggul (Mongol) datang ke Jawa untuk mencari Syekh Jumadil Qubro. Menurut cerita babad, Jumadil Qubro merupakan ayah dari Sunan Gresik (Malik Ibrahim Asmarakandi). Jumadil Qubro dan Sunan Gresik datang ke Jawa pada akhir abad ke-14M. Menurut salah satu sumber, Syekh Jumadil Qubro dimakamkan di Trowulan (Ibukota Majapahit) sedangkan Sunan Gresik dimakamkan di Gresik pada tahun 1419M. Sunan Gresik (Malik Ibrahim Asmarakandi) sendiri kemungkinan berasal dari Samarkand Asia tengah yang pada waktu itu dikuasai oleh Dinasti Timur Lenk yang merupakan keturunan Mongol. Menurut Babad Tanah Jawi bahwa adik perempuan dari Sultan Trenggana dari Demak (putri dari Panembahan Jimbun) menikah dengan Panembahan Cirebon. Dalam Sejarah Banten disebutkan bahwa Panembahan Cirebon mempunyai putra bernama Hasanuddin. Dengan kata lain Hasanuddin merupakan cucu dari Jimbun/Hasan. Hasanuddin diangkat oleh ayahnya menjadi Adipati Banten. Dalam Sejarah Banten disebutkan bahwa Panembahan Hasanuddin menikah dengan putri dari Sultan Trenggana dari Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, putri dari Sultan Trenggana dari Demak menikah dengan Panembahan Banten. Jadi Panembahan Banten yang disebut Babad Tanah Jawi adalah Hasanuddin. Pada tahun 1549M terjadi pertempuran dalam merebutkan tahta antara Sunan Prawata dari Demak (pengganti Trenggana) dengan Adipati Arya Panangsang dari Jipang. Keduanya merupakan saudara sepupu (keduanya merupakan cucu dari Fatah/Jimbun). Peperangan tersebut berakibat pada runtuhnya Demak. Sunan Prawata dari Demak berhasil dibunuh oleh Adipati Arya Panangsang dari Jipang. Sedangkan Arya Panangsang berhasil dibunuh oleh Hadiwijaya Adipati Pengging (menantu dari Trenggana). Kemudian Adipati Pengging mendirikan Kesultanan Pajang dan bergelar Sultan Hadiwijaya. K.G. Sura yang merupakan keturunan dari Arya Panangsang dari Jipang kemudian melarikan diri ke Palembang dan mendirikan dinasti baru disana. K.G. Sura mendapatkan daerah Palembang karena masih keturunan dari Fatah/Jimbun. Di daerah Palembang terdapat tempat yang

bernama Sabakingking. Nama Sabakingking sendiri merupakan nama ayah dari Arya Panangsang Adipati Jipang. Setelah runtuhnya Kesultanan Demak pada tahun 1550M, Panembahan Hasanuddin dari Banten kemudian memproklamasikan berdirinya Kesultanan Banten pada tahun 1552M. Dalam Sejarah Banten sendiri tidak terlalu senang dengan kehadiran Palembang karena Panembahan Muhammad (cucu dari Hasanuddin) meninggal ketika mengadakan serangan ke Palembang pada tahun 1596M. Sejak saat itu Banten berniat membalas dendam kematian Muhammad kepada Palembang. Ditambah lagi Palembang menjadi bawahan Mataram yang pada waktu itu merupakan ancaman besar bagi Banten sejak tahun 1597M.

Pada awal abad ke-16M ada dua kekuatan besar di Jawa yaitu Kesultanan Demak yang dipimpin Fatah dan Kerajaan Majapahit dipimpin Girindrawardhana. Menurut Naskah Sam Po Kong, pada tahun 1517M Jin Bun (Jimbun/Fatah) menyerang Girindrawardhana di Daha karena telah bekerja sama dengan Portugise. Pada saat itu Girindrawardhana kalah namun dimaafkan karena dia merupakan adik ipar dari Jin Bun (Jimbun/Fatah). Peperangan tersebut bukanlah perang antar agama Islam-Hindu melainkan hegemoni kekuasaan karena dipihak Majapahit ada beberapa bangsawan yang telah memeluk Islam misal Pate Vira (Adipati Wira dari Tuban). Menurut Naskah Sam Po Kong, Jin Bun (Jimbun/Fatah) mempunyai putra bernama Tung Ka Lo (Trenggana) dan Yat Sun (Yunus). Tung Ka Lo mempunyai putra bernama Muk Ming (Mukmin) dan Toh Abo. Pada tahun 1518M Jin Bun digantikan oleh putranya yaitu Yat Sun (Yunus). Menurut Tome Pires dari Portugise berpendapat bahwa Pate Onuz (Adipati Yunus) merupakan menantu dari Pate Rodin Sr. (Raden Fatah) dan lebih muda dari Pate Rodin Jr. (Trenggana). Nama “Raden” dalam Bahasa Jawa dieja dalam Bahasa Malayu menjadi “Radin”. Nama Raden merupakan gelar kebangsawan Jawa seperti halnya gelar Dyah, Mpu, Nararrya (Nara-arya). Gelar Raden umumnya baru dipakai pada abad ke-15M. Gelar Raden juga terdapat dalam Pararaton (awal abad ke-16M). Tome Pires (1515M) menyebut kakek dari para Adipati Demak, Adipati Tuban, Adipati Surabaya berasal dari orang yang tidak baik, ada yang dikatakan sebagai budak dan perompak. Dapat dipahami bahwa pada waktu itu Portugise sedang bermusuhan dengan orang Islam. Babad Tanah Jawi menyebut Pangeran Sabrang Lor (Yunus) sebagai putra dari Raden Fatah. Portugise mengira Yunus sebagai menantu dari Fatah karena Yunus menjabat sebagai Adipati Jepara bukannya Adipati Demak. Menurut Naskah Sam Po Kong, pada tahun 1521M Yat Sun (Yunus) meninggal ketika menyerang Moloksa (Malaka). Menurut Babad Tanah Jawi, Yunus diberikan gelar anumerta Pangeran Sabrang Lor yang artinya pangeran yang menyebrang ke utara (Malaka). Setelah Yat Sun (Yunus) meninggal terjadi perebutan tahta antara Tung Ka Lo (Trenggana) dengan saudara tirinya yang lebih tua yaitu Kikin (Sabakingking). Yang disebut terakhir merupakan putra dari Jin Bun (Fatah) dengan putri dari Adipati Jipang. Kemudian Kikin dibunuh oleh Muk Ming (Mukmin) putra dari Tung Ka Lo (Trenggana) dan akhirnya Tung Ka Lo dapat menjadi Sultan Demak. Kikin dalam Babad Tanah Jawi mendapatkan gelar anumerta yaitu Pangeran Seda Ing Lepen (pangeran yang meninggal di sungai). Perebutan tahta di Demak dimanfaatkan Majapahit untuk menyerang sekutu Demak yaitu Giri Kedaton di Gresik. Pada tahun 1527M terjadi peperangan kembali antara Majapahit dengan Demak yang menyebabkan runtuhnya Majapahit. Diantara bangsawan Majapahit ada yang melarikan diri ke Pasuruan dan Panarukan (Situbondo). Sultan Demak kemudian dapat menguasai Jawa dan Madura. Selain itu Tung Ka Lo (Trenggana) juga melakukan ekspansi ke arah barat yaitu ke Banten pada tahun 1527M. Tung Ka Lo (Trenggana) mengirim Kin San (Kusen) dan panglima Demak untuk menguasai Cirebon, Banten, dan Sunda Kelapa. Pada tahun 1546M, Tung Ka Lo (Trenggana) digantikan oleh putranya yang bernama Muk Ming (Mukmin/Sunan Prawata). Muk Ming (Mukmin/Sunan Prawata) diserang oleh pasukan Ji Pang (Arya Panangsang Adipati Jipang putra dari Kikin) kemudian melarikan diri ke Semarang dan meninggal disana. Penyerangan tersebut menyebabkan

Demak menjadi luluh lantak kecuali Masjid Demak. Di dalam Masjid Demak terdapat komplek pemakaman para Sultan Demak. Pasukan Ji Pang (Arya Panangsang Adipati Jipang) dapat dikalahkan oleh pasukan Peng-ging (Hadiwijaya Adipati Pengging menantu dari Trenggana) yang kemudian mendirikan Kesultanan Pajang. Panglima Demak yang ada di Cirebon tidak mau mengakui kekuasaaan Pajang dan kemudian mendirikan Kesultanan Cirebon pada tahun 1552M. Menurut berita Portugise disebutkan bahwa pada tahun 1527M Demak telah berhasil menaklukan Cirebon, Banten, dan Sunda Kelapa. Menurut Sejarah Banten, Makhdum Jati (Sunan Gunung Jati) pendiri Banten dan Cirebon merupakan seorang dari Pasai. Menurut berita Portugise, penguasa Banten saat itu adalah seseorang yang berasal dari Pasai dan merupakan adik ipar dari Sultan Demak. Sedangkan menurut Carita Purwaka Caruban Nagari (ditemukan pada akhir abad ke-20M), nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah yang ayahnya merupakan seorang keturunan Arab. Carita Purwaka Caruban Nagari sendiri sezaman dengan Naskah Wangsakerta yang masih disangsikan oleh para sejarahwan. Selain itu dikatakan bahwa Banten merupakan bawahan Demak. Disebutkan bahwa pada tahun 1546M, penguasa Banten dan orang Portugise dibawah pimpinan Sultan Demak menyerang benteng Panarukan. Nama Hasanuddin (Sultan pertama Banten) sendiri diambil dari nama kakeknya yaitu Hasan aka Fatah (Sultan pertama Demak). Menurut Naskah Sam Po Kong alasan panglima Demak tidak mau ke Pajang karena penduduk Pajang menganut Islam Syiah. Lebih cocok jika dikatakan bahwa yang berkembang di Jawa pada zaman Pajang adalah Islam Sunni mazhab Shafii. Dikarenakan pendiri mazhab ini yaitu Imam Shafii dikenal sangat menghormati dan menjunjung tinggi Ahlu Bait (keluarga dan keturunan Muhammad) seperti halnya dalam ajaran Islam Syiah. Hal tersebut berbeda dengan Islam Sunni mazhab Hanbali yang tidak terlalu senang dengan Ahlu Bait. Penganut Mazhab Syafii kebanyakan terdapat di Kepulauan Indonesia, Semenajung Malaya (Malaysia), Pattani (Siam Selatan), Mindanao (Filipina Selatan), Coromandel (pantai timur India), Malabar (pantai barat India), Oman, Yaman, dan pantai timur Afrika. Mazhab Syafii berkembang melalui pusat perdagangan sedangkan Mazhab Hanafi melalui pusat kekuasaan Kekhalifahan. Mazhab Hanafi dianut oleh Khalifah Abbasiyah, Turki, Mughal. Penganut Mazhab Hanafi kebanyakan terdapat di Asia Tengah, India, Turki, Iran sebelum berdirinya Dinasti Safawi (awal abad ke-16M). Di Jawa sendiri terdapat sebuah tradisi upacara yang dilakukan setiap tanggal 10 Muharram yaitu dengan membuat sebuah bubur Ashura. Tradisi tersebut seperti yang dilakukan oleh penganut Syiah dalam memperingati Hari Ashura (kematian Husein cucu Muhammad).

Nama-nama seperti Ma (Muhammad) Ho (Cheng Ho), Ma Huan, Ma Hong Fu, Bong Tak Keng, Bong Swi Ho, Bong Ang, Gan Eng Cu, Gan Eng Wan, Gan Si Cang merupakan marga dari Yunnan China khususnya Orang Hui yang menganut Islam Sunni mazhab Hanafi. Sedangkan Swan Liong (Naga Berlian), Jin Bun (Orang Kuat), Kin San (Gunung Emas) merupakan nama dialek Yunnan. Islam Sunni Mazhab Hanafi yang ada di Yunnan berasal dari Asia Tengah dimana mayoritas penduduknya menganut aliran tersebut. Nama Malik Ibrahin Asmarakandi (Sunan Gresik) kemungkinan berasal dari wilayah Samarkand Asia Tengah. Pada pertengahan abad ke-13M wilayah Asia Tengah dan Iran pada waktu itu dikuasai oleh Dinasti Mongol. Pada akhir abad ke-14M Timur Lenk yang merupakan keturunan Mongol menguasai wilayah Asia Tengah dan Iran dengan pusat kekuasaan di Samarkand. Timur Lenk sendiri berencana menguasai China namun meninggal dalam perjalanan ke China pada tahun 1405M. Sedangkan Babur pendiri Kesultanan Mughal India (abad ke-16M) merupakan keturunan dari Timur Lenk (abad ke-14M).

Pendapat Slamet Mulyana mengenai Wali Sanga merupakan keturunan China didasarkan pada naskah Sam Po Kong dan analisis perbandingan dengan Babad Tanah Jawi dan berita Portugise. Dalam

naskah itu ada nama-nama yang tercantum seperti yang ada dalam Pararaton misal Wisesa, Suhita, Kertabumi dan juga yang ada dalam Babad Tanah Jawi misal Bintara, Jipang, Pengging, Slamet Mulyana mengenal isi naskah itu dari Onggong Perlindungan dalam bukunya Tuanku Rao dan tidak melihatnya sendiri naskah tersebut. Sedangkan Onggong Perlindungan hanya diberitahu mengenai naskah tersebut dari Resident Poortman yang mendapatkan naskah tersebut dari Kelenteng Sam Po Kong. Penggeledahan yang dilakukan oleh Resident Poortman di kelenteng tersebut bertujuan untuk mencari tahu apakah Raden Fatah itu memang keturunan China atau bukan. Sampai saat ini keberadaan naskah tersebut tidak diketahui dengan baik di Belanda maupun Indonesia. Sejarawan Eropa sendiri meragukan eksistensi dari Resident Poortman karena namanya tidak tercantum dalam administrasi Belanda.

Menurut Babad Sengkala, Serat Kanda, dan Babad Tanah Jawi pada awalnya Kesultanan Pajang hanya berkuasa di Jawa Tengah karena para Adipati di Jawa Timur tidak mengakui Hadiwijaya sebagai penerus Demak. Atas prakarsa dari Sunan Giri (Prapen), akhirnya para Adipati di Jawa Timur dan Madura kemudian mengakui kedaulatan Sultan Hadiwijaya dari Pajang atas mereka. Sultan Hadiwijaya yang nama aslinya adalah Mas Karebet merupakan putra dari Kebo Kenanga dari Pengging. Sedangkan Kebo Kenanga merupakan putra dari Andayaningrat dari Pengging. Dikatakan Andayaningrat telah berjasa kepada Maharaja Majapahit dalam meredamkan pemberontakan Blambangan sehingga dia mendapatkan daerah Pengging. Dalam sebuah versi, Andayaningrat disebut juga dengan nama Jaka Sengara. Dia dikatakan menikah dengan putri dari Kiai Ageng (K.A) Pengging. Versi lain menyebutkan bahwa Jaka Sengara yang nama aslinya Raden Sahasah menikah dengan putri dari Ki Juru. Dengan kata lain Andayaningrat aka Raden Sahasah aka Jaka Sengara merupakan kakek dari Hadiwijaya aka Mas Karebet. Sedangkan K.A Pengging yang dimaksud sebagai mertua dari Jaka Sengara (Raden Sahasah) adalah Ki Juru. Nama “Juru” merupakan sebuah nama jabatan setingkat diatas Wedana atau dengan kata lain setingkat dengan Bupati. Di Mataram juga terdapat nama jabatan seperti Ki Juru Martani yang merupakan paman dari Sutawijaya yang bertugas sebagai Patih. Disebutkan bawah Ki Juru merupakan adik dari Mahapatih Mahudara dari Majapahit. Menurut Tome Pires (1515M) yang pernah ke Majapahit menyebutkan bahwa Pate Udara (Mahapatih Mahudara) merupakan mertua dari Batara Vigaya (Bre Wijaya). Dengan kata lain Ki Juru masih kerabat dari Be Wijaya dari Majapahit. Tome Pires (1515M) menyebutkan bahwa Adipati Blambangan merupakan keponakan dari Mahapatih Mahudara. Tome Pires (1515M) menyebutkan bahwa orang tua dari Mahapatih Mahudara merupakan seorang petinggi dari Majapahit yang kemungkinan keturunan dari Bre Pajang. Bre Wijaya yang disebut Tome Pires kemungkinan adalah Maharaja Dhiraja Girindrawardhana Dyah Renawijaya (1486M-1527M) dari Majapahit. Menurut Tome Pires, pemerintahan di Dayo (Daha) dikendalikan oleh Mahapatih Mahudara. Menurut Sejarah Banten, Jaka Sengara (Andayaningrat) menikah dengan putri dari seorang petinggi di Kedung Lo mungkin seorang kerabat dari Maharaja Majapahit. Menurut cerita-cerita babad disebutkan bahwa Jaka Sengara merupakan perwujudan seekor buaya. Pengertian “buaya” disini mungkin dapat diartikan sebagai seseorang yang suka bermain dengan banyak wanita. Dari riwayat tentang Jaka Sengara dan Jaka Tingkir yang ada dalam cerita babad memang menunjukkan seperti itu. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa ketika terjadi perang antara Demak dan Majapahit, Andayaningrat dari Pengging berpihak kepada Majapahit. Ketika itu Andayaningrat dibunuh oleh Sunan Ngudung yang merupakan panglima dari Kesultanan Demak. Menurut Naskah Sam Po Kong, perang tersebut terjadi pada tahun 1517M. Kebo Kenanga putra Andayaningrat kemudian memeluk agama Islam dan berguru pada Syekh Siti Jenar. Ketika Sultan Demak (Fatah) menganggap ajaran dari Syekh Siti Jenar telah menyimpang dari agama Islam dan dianggap membuat kerusuhan maka Sultan Demak menghukum mati Syekh Siti Jenar. Sedangkan Kebo Kenanga putra Andayaningrat dibunuh oleh Sunan Kudus putra Sunan Ngudung.

Kemungkinan peristiwa itu terjadi pada tahun 1518M. Kemungkinan setelah daerah Pengging dikuasai, Sultan Demak kemudian mengangkat seorang Bupati disana. Mas Karebet yang kehilangan kedua orang tuanya, kemudian diangkat anak oleh seorang janda kaya dari Tingkir. K.A. Tingkir sendiri merupakan saudara seperguruan dari K.A. Pengging. Oleh karena itu Mas Karebet terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Setelah dewasa Mas Karebet (Jaka Tingkir) mengabdi kepada Sultan Trenggana dari Demak yang kemudian dijadikan sebagai menantu dan diangkat menjadi Adipati Pengging. Di daerah Pengging ini banyak ditemukan barang artefak dan keramik yang berasal dari abad ke-13M sampai abad ke-17M dan sebuah parit tembok yang terbuat dari batu bata. Pengging dulunya merupakan daerah kekuasaan Bre Pajang dari Majapahit. Adik perempuan Maharaja Dhiraja Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk dari Majapahit yaitu Rajasaduhitaiswari Dyah Nertaja dulunya menjabat sebagai Bre Pajang. Sedangkan putra Rajasaduhitaiswari yaitu Wikramawardhana Dyah Wijayawikrama menjabat sebagai Bre Mataram. Pada tahun 1546M, Sultan Trenggana dari Demak dibunuh oleh seorang abdinya (putra Adipati Surabaya) di kemahnya ketika dia sedang mengadakan penyerangan dan pengepungan di Panarukan (Situbondo). Adipati Surabaya dan keluarganya kemudian dihukum mati oleh pasukan Demak. Sultan Trenggana dari Demak kemudian digantikan oleh putranya yaitu Mukmin yang bergelar Sunan Prawata. Pada tahun 1549M, Kesultanan Demak menjadi runtuh akibat serangan dari Arya Panangsang Adipati Jipang. Sunan Prawata kemudian melarikan diri ke Semarang dan meninggal akibat dari adanya serangan terhadapnya. Sunan Prawata dimakamkan di Bukit Brogota (Semarang). Arya Panangsang Adipati Jipang juga berhasil membunuh Pangeran Kalinyamat (Hadirin) Adipati Jepara. Ratu Kalinyamat yang merupakan istri dari Pangeran Kalinyamat sekaligus adik perempuan dari Sunan Prawata, meminta bantuan kepada Hadiwijaya Adipati Pengging untuk membalaskan dendamnya kepada Arya Panangsang. Akhirnya pada tahun 1550M, Hadiwijaya mampu mengalahkan Arya Panangsang. Kemudian Hadiwijaya mendirikan Kesultanan Pajang dengan pengesahan dari Sunan Giri. Dimana disebutkan bahwa dia menaklukan banyak daerah (para Adipati) di Jawa. Kesultanan Banjar merupakan bawahan dari Kesultanan Demak dimana para penguasa Demak disebut dengan nama Sultan Alam. Sultan Hadiwijaya dari Pajang memberi hadiah kepada para abdinya yaitu K.A. Pamanahan berupa daerah Mataram dan K.A. Penjawi berupa daerah Pati karena telah berjasa dalam mengalahkan Arya Panangsang Adipati Jipang. K.A. Pamanahan dan K.A Penjawi berserta ayah mereka yaitu K.A.Ngenis pindah dari Sela ke Pengging untuk mengabdi kepada Hadiwijaya ketika dirinya belum lama menjadi Adipati Pengging. Bahkan sejak kecil putra K.A Pamanahan yang bernama Mas Danang dijadikan sebagai putra angkat oleh Hadiwijaya yang kemudian diberi nama Sutawijaya yang berarti putra dari Wijaya. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa K.A. Ngenis merupakan putra dari K.G. Sela yang berasal dari daerah Grobogan. Di daerah Sela (Grobogan) ini terdapat sebuah sungai yang bernama Sanjaya yang merupakan pendiri dari Kerajaaan Medang Mataram (717M). K.G. Sela merupakan putra dari K.G. Getas Pendowo putra dari K.G. Tarub (Bondan Kejawen).

Menurut Sejarah Banten, K.A. Pamanahan disebut juga dengan nama Surubut. Perbedaannya dengan Babad Tanah Jawi adalah K.A. Pamanahan dan K.A. Penjawi merupakan putra dari Bondan Kejawen. Dalam Sejarah Banten disebutkan bahwa Bondan Kejawen kawin dengan perempuan bangsa Jin yang kemudian melahirkan K.A. Pamanahan. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa K.A. Tarub menikah dengan Dewi Bulan (Nawang Wulan) kemudian memperoleh putri bernama Nawangsih. Yang disebut terakhir ini yang kemudian menikah dengan Bondan Kejawen. Sejarah Banten dengan bernada negatif menyebut Surubut (K.A.Pamanahan) sebagai seorang budak pembawa sirih untuk Adipati Pajang dan ada juga menyebutnya sebagai seorang perampok. Memang dalam Sejarah Banten sendiri tidak terlalu menyukai kehadiran Mataram karena merupakan ancaman besar bagi Banten. Sejarah Banten

sendiri mengakui bahwa Mataram merupakan negara besar dan Banten merupakan negara kecil. Menurut Sejarah Banten, K.A. Pamanahan merupakan leluhur orang Pati dan K.A. Panjawi merupakan leluhur orang Mataram. Padahal kenyataan yang sebenarnya adalah kebalikannya. Menurut Babad Tanah Jawi, Bondan Kejawen merupakan putra dari Bre Wijaya dari Majapahit. Maharaja Dhiraja Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya (Bre Wijaya 1) dan Girindrawardhana Dyah Renawijaya (Bre Wijaya terakhir) sebelum naik tahta pada awalnya menjabat sebagai Bre Mataram. Kemungkinan Bondan Kejawen merupakan keturunan dari Kertawijaya (Bre Wijaya 1) ini. Pada tahun 1583M, K. A. Pamanahan digantikan oleh Sutawijaya yang kemudian diangkat oleh Sultan Hadiwijaya dari Pajang sebagai Adipati Mataram. Tidak berapa lama kemudian, Sutawijaya Adipati Mataram tidak bersedia menghadap kepada Sultan Hadiwijaya dari Pajang sehingga menyebabkan ketegangan diantara keduanya. Bahkan Sutawijaya menghina beberapa utusan dari Sultan Pajang dan menganggap Sultan terlalu sering bermain dengan banyak wanita. Sutawijaya bersedia menghadap Sultan Pajang asalkan tahta putra mahkota Pajang belum terisi. Pada tahun 1586M, konflik memuncak ketika ada beberapa bawahan Sultan Pajang yang membelot dan memihak kepada Mataram. Persoalan tersebut menyebabkan terjadinya peperangan antara Pajang dengan Mataram. Di pihak Sultan Pajang terdiri dari para Adipati pesisir misal Adipati Demak, Adipati Tuban, Adipati Banten yang semuanya merupakan para menantu Sultan. Saat itu jumlah kekuatan antara Pajang dengan Mataram tidaklah sebanding. Pertempuran terjadi di daerah Prambanan. Sebelum bertempur ternyata terjadi bencana alam yaitu meletusnya Gunung Merapi yang menyebabkan penyerangan Pajang terhadap Mataram dibatalkan. Menurut De Graaf yang merujuk pada Crawfurd menyebutkan bahwa letusan Gunung Merapi tersebut terjadi pada tahun 1586M yang kemudian menyebabkan awan menjadi gelap selama tiga hari. Dimana letusan tersebut disaksikan oleh para pelayar Portugise. Pada tahun 1584M (saat pengangkatan Sutawijaya sebagai Adipati Mataram) pernah terjadi gempa bumi. Setelah gagal menyerang Mataram, Hadiwijaya kembali pulang ke Pajang. Ketika sedang dalam perjalanan pulang, gajah yang sedang ditunggangi Sultan Hadiwijaya menjadi mengamuk dan menyebabkan dia terjatuh. Kemudian dia dibawa dengan tandu oleh para prajurit menuju makam Sunan Tembayat. Ketika Sultan Pajang hendak berziarah ke makam Sunan Tembayat, ternyata pintu gerbang gapura tidak dapat dibuka oleh dia. Akhirnya juru kunci makam tersebut menyuruh Sultan untuk sebaiknya pulang saja ke Pajang. Akibat dari kejadian itu, Sultan Pajang menjadi jatuh sakit. Sutawijaya kemudian menjenguk Sultan Pajang yang sedang sakit itu. Dan Sultan Hadiwijaya dari Pajang dapat memaafkan Sutawijaya karena sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Pada tahun 1586M Sultan Hadiwijaya meninggal dunia kemudian dimakamkan di Desa Butuh, Boyolali. Terjadi perebutan tahta antara Pangeran Benawa putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri Adipati Demak putra Mukmin (Sunan Prawata). Arya Pangiri Adipati Demak merupakan menantu dari Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Pada tahun 1586M dengan bantuan Panembahan Kudus (keturunan Sunan Kudus), Arya Pangiri dapat menjadi Sultan Pajang dan Benawa dijadikan sebagai Adipati Jipang. Penempatan Benawa sebagai Adipati Jipang merupakan taktik dari Arya Pangiri agar Benawa tidak berkutik. Karena daerah Jipang merupakan bekas wilayah musuh Pajang terdahulu yaitu Arya Panangsang sebelum dikalahkan oleh Hadiwijaya. Selain itu taktik Arya Pangiri tersebut bertujuan untuk menjauhkan Benawa Adipati Jipang dengan Sutawijaya Adipati Mataram, karena keduanya dapat menjadi sebuah ancaman sebagai pewaris tahta Pajang. Pada tahun 1587M terjadi peperangan antara Arya Pangiri dari Pajang dan Demak melawan koalisi Benawa Adipati Jipang dan Sutawijaya Adipati Mataram. Dalam peperangan tersebut Arya Pangiri dapat dikalahkan dan dijadikan sebagai Adipati Demak. Kemudian Benawa menjadi Sultan Pajang tetapi tidak berapa lama kemudian dia turun tahta. Disebutkan ketika Benawa turun tahta, dia pergi ke arah barat sekitar Pemalang. Pada tahun 1587M Sutawijaya Adipati Mataram mengambil alih kekuasaan di Pajang.

Kemudian Sutawijaya Adipati Mataram ditasbihkan menjadi Panembahan oleh Sunan Giri dan mengirim adiknya yaitu Gagak Bening untuk menjadi Adipati Pajang. Pada awalnya kekuasaan Mataram hanya meliputi Jawa Tengah karena para Adipati di Jawa Timur dan Madura tidak mengakui kekuasaan Panembahan Senopati (Sutawijaya) sebagai penerus tahta Pajang. Akhirnya Panembahan Senopati dari Mataram menaklukan para Adipati di Jawa Timur dan Madura. Menurut Sejarah Banten, kekuasaan Mataram mencapai Karawang hingga Blambangan. Daerah Pajajaran (Bogor) dan Pringgalaya (Bandung) juga termasuk di dalamnya. Menurut Sejarah Banten jika tidak ada VOC yang berkuasa di Batavia mungkin Banten akan dikuasai oleh Mataram. Disebutkan bahwa Batavia merupakan benteng terhadap ekspansi Mataram. Sejak tahun 1597M Mataram berusaha mengirim armadanya untuk melakukan penyerangan terhadap Banten. Penyatuan Pulau Jawa juga pernah terjadi pada masa Sanjaya dari Medang Mataram (717M-746M). Kejatuhan Jayakarta oleh VOC pada tahun 1619M merupakan kesalahan dari adanya intrik di Banten sendiri. Didahului dengan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh para pangeran terhadap Sultan Banten yang kemudian dimanfaatkan oleh VOC. Masyarakat Jawa menyebut Orang Eropa dengan nama Orang Prenggi. Pandangan politik VOC adalah jangan sampai Mataram terlalu kuat dan Banten jangan sampai terlalu lemah. Dalam Sejarah Banten sendiri disebutkan bahwa sejak tahun 1597M Banten selalu ketakutan dan siap siaga terhadap segala kemungkinan adanya serangan dari Mataram.

Dalam budaya Islam di Jawa, peranan para tokoh Sunan Jawa sangatlah penting karena dapat dianggap sebagai Raja-Pandhita. Di dalam budaya Hindu, Sunan dapat disebut sebagai Resi. Para Sunan ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap para Adipati di Jawa, tidak hanya sebagai guru spiritual melainkan juga sebagai tempat pengesahan/pentasbihan seorang Sultan atau Adipati. Para tokoh Sunan ini dapat dijadikan sebagai mediator antara rakyat dengan Sultan. Di Jawa tempat seperti Bintara-Demak dapat dianggap sebagai Mekah sedangkan Kadilangu-Demak dianggap sebagai Madinahnya. Ada juga tempat seperti Kudus yang diambil dari kata Al Quds yang berarti Jerussalem. Daerah Pati dianggap sebagai Mesir dan daerah Jepara sebagai Suriah. Daerah seperti Demak, Kudus, Jepara, Pati semuanya terletak di pesisir Pulau Jawa. Jika tempat suci agama Hindu-Budha di Jawa umumnya terletak di dekat gunung (pedalaman) maka tempat suci agama Islam di Jawa umumnya terletak di dekat pantai (pesisir). Di daerah pedalaman inilah kedudukan Keraton Sultan Jawa berada. Para tokoh Islam ini umumnya berprofesi tidak hanya sebagai seorang Ulama melainkan juga seorang pedagang maka dari itu daerah pesisirlah (pusat perekonomian) yang dijadikan sebagi tempat menetap dan mengajarkan agama Islam. Keraton Sultan sendiri dapat dianggap sebagai pusat budaya lokal Jawa. Daerah pedalaman dijadikan sebagi tempat kedudukan Sultan karena mengacu pada konsep budaya Jawa dimana dinyatakan bahwa Sultan haruslah berada pada tempat yang tinggi (gunung). Selain itu daerah pedalaman merupakan daerah yang subur dan tenang yang cocok untuk stabilisasi politik. Gunung dianggap sebagai paku/pasak bumi agar tidak mudah guncang. Daerah pesisir (pantai) dianggap sebagai pusat dinamika ekonomi yang selalu bergejolak yang berorientasi perubahan, Jika daerah pedalaman merupakan pusat stabilitas dan keberlangsungan (continuitas) budaya maka daerah pesisir merupakan pusat dinamika dan perubahan (change) budaya. Daerah pedalaman (gunung) selain sebagai benteng alam agar tidak mudah diserang oleh musuh dari luar juga sebagai tempat pemulihan dan penghimpuanan kekuatan kembali. Walaupun demikian hubungan antara daerah pesisir dengan pedalaman tidaklah begitu bertentangan karena jaraknya tidaklah terlalu berjauhan maka timbulah apa yang dinamakan akulturasi antara budaya Islam dengan budaya Jawa. Selain itu di daerah pedalaman juga terdapat beberapa tempat pengajaran Islam yang berupa pesantren (tradisional Islam Jawa).

Pada tahun 1488M Malaka mengalami penurunan diakibatkan perpecahan dan perebutan tahta. Pada masa pemerintahan Mahmud Shah cucu dari Mansur Shah dari Malaka, Portugise dapat mengambil alih Malaka pada tahun 1511M. Sebelumnya Goa India jatuh ke tangan Portugise pada tahun 1510M. Mahmud Shah melarikan diri ke Pulau Bintan dan meninggal di Kampar.Riau pada tahun 1528M, anak-anaknya kemudian mendirikan Kesultanan Johor (berdiri pada awal abad ke-16M) dan Kesultanan Perak. Wilayah Kesultanan Johor pada abad ke-16M meliputi Kampar-Riau, Indragiri-Riau, Johor, dan Pahang. Tujuan kedatangan Portugise di Nusantara selain berdagang adalah menyebarkan agama Kristen Katolik dengan mengirimkan missionaries kebanyakan beraliran Jesuit. Pengaruh Portugise ini dapat terlihat di Pulau Flores dan Pulau Timor (Nusa Tenggara Timur). Pada tahun 1550M Sultan Johor meminta bantuan kepada Ratu Kalinyamat (Adipati Jepara) dalam rangka merebut kembali Malaka dari Portugise. Ratu Kalinyamat mengirimkan 4.000 pasukan Jawa dengan 40 buah kapal perang untuk menyerang Malaka. Pasukan Jawa kemudian bergabung dengan Persekutuan Malayu (Johor, Pahang, Riau) sehingga gabungan aliansi ini mencapai 200 buah kapal perang dengan 12.000 pasukan. Aliansi ini dapat dihalau oleh Portugise. Pasukan dari persekutuan Malayu ini dapat dipukul mundur sedangkan pasukan Jawa dapat bertahan sampai panglimanya tewas barulah kemudian kembali mundur. Pasukan Jawa yang kembali ke Jepara hanya setengahnya saja.

Pada tahun 1512M setahun setelah Malaka jatuh, Portugise menyerang Kesultanan Pasai dan akhirnya runtuh. Kesultanan Aceh didirikan oleh Ali Mughayat (1522M-1530M) yang kemudian digantikan oleh Salahuddin (1530M-1539M). Kesultanan Aceh dulunya merupakan bawahan dari Kesultanan Pidie (berdiri pada tahun 1470M). Kesultanan Ternate didirikan oleh Zainal Abidin (1486M-1500M) yang kemudian digantikan oleh Bayanullah (1500M-1521M). Pada tahun 1512M yang sama pasukan Jawa dibawah pimpinan Adipati Yunus dari Jepara Jawa menyerang Malaka Portugise tapi gagal. Pada tahun 1515M Sultan Aceh dengan bantuan dari Jawa dapat merebut kembali Pasai dari Portugise. Pada tahun 1521M Adipati Yunus dari Jepara setelah naik tahta Sultan Demak (1518M) kembali menyerang Malaka Portugise namun meninggal dalam penyerangan itu. Pada tahun 1530M wilayah Kesultanan Aceh meliputi Aceh, Pidie, Pasai, dan Perlak. Pada tahun 1564M Sultan Aceh meminta bantuan kepada Arya Pangiri (Adipati Demak Jawa) dalam rangka menyerang Malaka Portugise. Karena curiga terhadap utusan dari Aceh itu maka Arya Pangiri kemudian membunuh utusan tersebut. Pada tahun 1567M Aceh tetap melancarkan serangan ke Malaka Portugise walaupun tanpa bantuan dari pihak Jawa akhirnya pasukan Aceh ini dapat dikalahkan oleh Portugise. Pada tahun 1574M Sultan Aceh kembali meminta bantuan ke Jawa kali ini kepada Ratu Kalinyamat (Adipati Jepara Jawa). Ratu Kalinyamat mengirimkan kembali pasukan Jawa untuk menyerang Malaka Portugise dengan kekuatan 15.000 pasukan dengan 300 buah kapal perang. Ketika pasukan Jawa (yang datang terlambat) tiba di Malaka ternyata pasukan Aceh sudah dikalahkan Portugise. Akhirnya pasukan Jawa dapat merebut sebelah utara Malaka dan membentuk benteng pertahanan. Portugise kemudian membakar 30 kapal perang Jawa. Kemudian Portugise meminta perjanjian damai dengan pasukan Jawa namun ditolak karena terlalu menguntungkan Portugise. Setelah perjanjian gagal Portugise menghancurkan 6 buah kapal logistik/perbekalan Jawa yang datang dari Jepara untuk pasukan Jawa di Malaka. Karena pasukan Jawa di Malaka sudah mulai melemah akibat kekurangan logistik akhirnya kembali ke Jepara. Pasukan Jawa yang kembali ke Jepara hanya sepertiga saja. Pengaruh Jawa di Aceh terlihat dari adanya Gampong Jawa seperti tercantum dalam Hikayat raja Aceh (abad ke-17M).berbahasa Malayu Kunodengan Aksara Jawi. Pada tahun 1594M Kesultanan Johor yang dibantu oleh raja dari Panduranga Champa kembali menyerang Malaka Portugise namun kali ini kembali dapat dikalahkan bahkan ibukota Johor dapat dihancurkan oleh Portugise. Sultan Khairun (1535M-1570M) dari Ternate pada tahun 1565M meminta bantuan ke Ratu

Kalinyamat (Adipati Jepara Jawa) untuk mengusir Portugise dari Kepulauan Maluku. Pangaruh Jawa ini terlihat dari adanya perkawinan politik antara Sultan Bayanullah dari Ternate dengan Putri Jawa dimana ibu dari Sultan Khairun berasal dari Jawa dan juga panglima perang pada masa Sultan Baabullah (1570M-1583M) dari Ternate yang bernama Adi Cokro yang bergelar Mumbo Doi Jawa juga berasal dari Jawa. Dimana anak Adi Cokro yang bernama Mandapar yang bergelar Mombu Doi Godong menjadi raja pertama Kerajaan Banggai pada tahun 1600M. Ratu Kalinyamat juga memberikan bantuan militer kepada Kerajaan Hitu dalam menghadapi Portugise di Ambon. Selain Kesultanan Ternate di Maluku Utara juga terdapat kesultanan antara lain Tidore, Bacan, Jailolo yang berdiri pada awal abad ke-16M.

Pada awal abad ke-16M setelah Malaka jatuh ke tangan Portugise, banyak para pedagang yang mengalihkan pelayarannya ke pantai barat Sumatra munculah pelabuhan-pelabuhan baru misalnya Singkil, Barus, Pariaman, Bengkulu, Lampung. Pada pertengahan abad ke-16M karena adanya peningkatan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan baru tersebut, Sultan Alauddin (1539M-1570M) dari Aceh mulai memberikan pengaruhnya ke Singkil dan Barus. Pada tahun 1565M Sultan Alaudin dari Aceh mengakui Sultan Sulaiman Agung (1520M-1566M) dari Turki Usmani sebagai Kalifah. Baik Sultan Usmani Turki, Shah Safawi Persia, Sultan Mughal India sendiri bergelar Padishah (Kaisar) yaitu Padishah i Rumi (Kaisar i Rumi), Padishah i Farisi, Padishah i Hindi (Kaisar i Hindi). Sultan Alauddin dari Aceh meminta bantuan pasukan dan senjata dari Kesultanan Turki Usmani dalam menghadapi Portugise Malaka. Pada tahun 1567M Aceh menyerang Portugise Malaka namun dapat digagalkan. Pada tahun 1569M Kesultanan Turki Usmani mengirim kapal perangnya yang dipimpim Laksamana Kurtoglu Hizir ke Aceh untuk menghadapi Portugise Malaka. Pada tahun 1570M, Aceh menyerang Johor dan berhasil menangkap Sultan Abdul Jalil 1 dari Johor. Setelah meninggalnya Sultan Alauddin, Aceh mengalami perebutan tahta dan selama 20 tahun dipimpin oleh para Sultan Asing (bukan dari Aceh). Di pesisir barat Sumatra Utara muncul Kesultanan Barus (berdiri pada pertengahan abad ke-16M). Pada Kesultanan Barus juga terdapat Naskah Barus beraksara Jawi (abad ke-17M) yang berisi silsilah raja Barus. Dalam naskah tersebut disebutkan banyak pedagang Jawa yang tinggal di sana. Kerajaan Minang Pagaruyung menjadi kesultanan pada awal abad ke-17M karena mendapatkan pengaruh dari Aceh. Sedangkan Bengkulu dan Lampung pada pertengahan abad ke-16M menjadi bawahan Kesultanan Jawa. Di pantai timur Sumatra pada abad ke-16M terjadi persaingan antara kesultanan Aceh dan Johor dalam memperebutkan pengaruhnya pada Kesultanan Haru. Sedangkan Kesultanan Kampar-Riau dan Indragiri-Riau menjadi bawahan Kesultanan Johor. Sedangkan Kesultanan Jambi dan Kesultanan Palembang menjadi bawahan Kesultanan Jawa. Pendiri Kesultanan Palembang yaitu K.G. Sura (1550M) berasal dari bangsawan Kesultanan Demak yang melarikan diri akibat kekacauan politik di Jawa antara peralihan Demak dengan Pajang. K.G.Sura ini merupakan keturunan dari Adipati Arya Panangsang dari Jipang. Pengaruh Jawa ini terlihat dari adanya sastra Jawa-Palembang. Sedangkan di wilayah timur Nusantara pada akhir abad ke-16M Kesultanan Ternate menguasai Buru, Seram dan Ambon. Sultan Ternate dengan bantuan dari Jawa dapat mengalahkan Portugise dari Kepulauan Maluku, sehingga Portugise harus pindah ke Pulau Flores.

Pada awal abad ke-17M perseteruan Aceh dan Johor memuncak ketika Aceh dipimpin Sultan Iskandar (1607M-1636M) menaklukan pesisir timur Sumatra yaitu Langkat (berdiri pada awal abad ke-17M), Deli (berdiri pada awal abad ke-17M), Asahan (berdiri pada awal abad ke-17M), sedangkan di Semenanjung Malaya yaitu Kedah, Perak, Johor dan Pahang. Pengaruh Aceh di Semenanjung Malaya tidak berjalan lama sampai meninggalnya Iskandar Tsani (1641M). Pada tahun 1646M Johor dibantu VOC menyerang dan mengalahkan Aceh dimana sebelumnya Johor dan VOC juga bekerja sama merebut

Malaka dari tangan Portugise (1641M). Kekalahan Portugise di Malaka menyebabkan Portugise harus pindah ke Pulau Timor. Melemahnya pengaruh Aceh pada pertengahan abad ke-17M menyebabkan banyak kerajaan bawahan Aceh di pesisir timur Sumatra Utara yang melepaskan diri yaitu Kesultanan Langkat, Deli, Asahan sedangkan pengaruh di pesisir barat Sumatra Utara yaitu Singkil dan Barus mulai menghilang. Kesultanan Deli pada akhir abad ke-17M juga mengalami perpecahan akibat perebutan tahta dan menyebabkan wilayahnya dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Pada tahun 1680sM terjadi pertempuran antara Kesultanan Johor dan Kesultanan Jambi. Dimana Kesultanan Johor menggunakan Orang Bugis sebagai prajurit bayaran melawan Kesultanan Jambi. Peperangan dipicu oleh persaingan dagang. Peperangan ini dimenangkan oleh Jambi sampai Johor harus memindahkan ibukotanya beberapa kali seperti Kota Batu, Seluyut, Tanah Puteh, Batu Sawar and Kota Tinggi namun dipihak lain menyebabkan perdagangan Jambi menjadi menurun dan para pedagang mulai mengalihkan perdagangannya di Kesultanan Palembang.

Pada awal abad ke-18M perebutan tahta menyebabkan Kesultanan Johor terpecah yaitu Kesultanan Siak-Riau dan Kesultanan Johor. Dan juga pada waktu yang sama Dinasti Malaka Johor digantikan oleh Dinasti Bendahara Johor. Melemahnya kekuatan Johor menyebabkan Kerajaan bawahan Johor di Riau yang melepaskan diri misal Kesultanan Kampar-Riau dan Kesultanan Indragiri-Riau. Kesultanan Kampar-Riau nantinya ditaklukan oleh Kesultanan Siak-Riau dan namanya diganti menjadi Kesultanan Palalawan pada tahun 1811M. Pada awal abad ke-18M melemahnya kekuatan Johor dan konflik politik menyebabkan adanya infiltrasi dari Orang Bugis dan Minang. Dimana Orang Bugis meminta daerah Selangor (berdiri pada pertengahan abad ke-18M) sedangkan Orang Minang meminta daerah Nagari Sambilan (berdiri pada pertengahan abad ke-18M) kepada Sultan Johor. Orang Bugis di Johor mendapatkan Selangor karena telah membantu Sultan Johor ketika terjadi perebutan tahta sedangkan Orang Minang di Johor mendapatkan Nagari Sambilan atas bantuan dari Sultan Minang Pagaruyung. Motivasi Orang Minang di Nagari Sambilan dimotivasi oleh kepentingan dagang mereka terganggu jika Kesultanan Johor mengalami kekacauan politik. Kesultanan Minang Pagaruyung menguat kembali setelah pengaruh Kesultanan Aceh memudar pada pertengahan abad ke-17M. Dan juga pada waktu ini Kesultanan Minang Pagaruyung mulai mengadakan kerja sama dalam perdagangan dengan VOC. Kesultanan Minang Pagaruyung pada saat itu mulai dibawah pengaruh VOC. Sedangkan Johor pada waktu itu juga dibawah pengaruh VOC. Jika banyak terdapat Orang Bugis di Selangor maka Orang Minang terdapat di Nagari Sambilan. Perebutan tahta di Kesultanan Mataram Jawa juga menyebabkan Kesultanan Jambi dan Kesultanan Palembang melepaskan diri. Pada akhir abad ke-17M melemahnya Kesultanan Banten menyebabkan wilayah Bengkulu jatuh ke tangan EIC (Inggris) dan Lampung ke tangan VOC (Belanda).

Orang Bugis mulai terlibat dalam kekacauan politik pada kesultanan-kesultanan yang ada di Nusantara pada akhir abad ke-17M. Dimulai ketika VOC dibantu oleh Kerajaan Gelgel Bali dan Orang Bugis untuk menyerang Kesultanan Makassar Goa Tallo dan Portugise di Makassar pada tahun 1670M. Sejak berdirinya Kerajaan Goa-Tallo (awal abad ke-16M) sudah bekerja sama dengan Portugise. Ketika pertama kali Portugise datang ke Makassar mengatakan bahwa Makassar merupakan pelabuhan yang kecil. Kerajaan Goa dan Tallo kemudian menggabungkan diri dan menjadikan Makassar menjadi pelabuhan yang besar. Nama Goa sendiri seperti nama Goa Portugise di India. Pada abad ke-18M setelah Makassar jatuh (1670M) ke tangan VOC, banyak Orang Bugis yang menjadi prajurit bayaran dan mulai terlibat dalam kekacauan politik (perebutan tahta) misal Orang Bugis Luwu pada Kesultanan Johor (1720M), Orang Bugis Wajo pada Kesultanan Mempawah (pertengahan abad ke-18M), Wajo dan Bone

umumnya berdiri pada awal abad ke-16M dan menjadi kesultanan pada abad ke-17M akibat pengaruh dari Kesultanan Makassar Goa Tallo. Pada abad ke-16M Bone, Wajo masih dibawah dominasi Kerajaan Luwu. Selain Kerajaan Bugis tersebut di Sulawesi ada Kerajaan Buton yang berdiri pada awal abad ke-15M dan menjadi kesultanan pada awal abad ke-16M.

Pada akhir abad ke-18M wilayah Pattani dibawah pengaruh Kerajaan Siam. Kerajaan Toungo-Burma (berdiri pada awal abad ke-16M sampai pertengahan abad ke-18M) dapat menaklukan Kerajaan Pegu-Mon (berdiri pada akhir abad ke-13M) pada tahun 1540M dan Kerajaan Shan (berdiri pada awal abad ke-13M) pada tahun 1544M. Pada tahun 1548M. Kerajaan Toungo-Burma menyerang Kerajaan Ayuthaya Siam dan menghancurkan ibukotanya pada tahun 1569M. Penyerangan Burma ini dibantu oleh Kesultanan Pattani (berdiri pada awal abad ke-16M) namun Sultan Muddhafar dari Pattani meninggal pada tahun 1564M di Ayuthaya-Siam. Pada tahun 1576M Khmer-Kamboja menyerang Ayuthaya-Siam namun dapat dipukul mundur oleh pasukan Siam yang mendapatkan bantuan dari pasukan Burma. Pada tahun 1590M Ayuthaya-Siam membebaskan diri dari Burma dan dapat memukul mundur pasukan Burma. Kekuasaan di Ayuthaya-Siam kemudian diambil alih oleh Dinasti Sukhothai (Thai) dari tangan Dinasti Supannabhum (Mon). Pada tahun 1632M, 1634M, 1638 Ayuthaya-Siam menyerang Kesultanan Pattani namun dapat dipukul mundur. Pada tahun 1649M wilayah Pattani dikuasai oleh raja Bahal (1649M-1690M) putra dari raja Sakti (1637M-1649M) dari Kelantan. Sedangkan wilayah Kelantan dikuasai oleh raja Loyor (1649M) putra dari raja Sakti dari Kelantan. Pada akhir abad ke-17M wilayah Dinasti Sakti mencakup Senggora (Songkla), Pattani, Kelantan, dan Terengganu. Raja Sakti sendiri kemungkinan berasal dari Champa. Pada tahun 1767M Kerajaan Ayuthaya Siam diserang kembali oleh Kerajaan Konbaung-Burma (berdiri pada pertengahan abad ke-18M sampai akhir abad ke-19M) dan Ibukota Ayuthaya Siam kembali dapat dihancurkan oleh pasukan Burma. Namun pendudukan Kerajaan Konbaung-Burma terhadap Siam tidak berlangsung lama, pada tahun 1769M Ayuthaya-Siam dibawah pimpinan Tak Sin dapat memukul mundur pasukan Burma. Tak Sin merupakan gubernur di wilayah Tak (Mon). Pusat kekuasaan Siam kemudian dipindah dari Ayuthaya ke Thonburi oleh Tak Sin. Pada tahun 1776M Kerajaan Lanna (Thai) ditaklukan oleh Thonburi-Siam. Pada tahun 1782M kekuasaan Siam diambil alih oleh Rama 1 dari tangan Tak Sin. Rama 1 merupakan bekas panglima perang Tak Sin dari Thonburi. Pusat kekuasaan Siam kemudian dipindah dari Thonburi ke Rattanakosin (Bangkok). Rama I kemudian mendirikan Dinasti Cakri (Thai). Pada tahun 1785M Kerajaan Konbaung-Burma kembali menyerang Siam namun dapat dipukul mundur. Kerajaan Konbaung Burma juga menaklukan Kesultanan Arakhan-Rakhin. Pada tahun 1786M Kesultanan Pattani dapat ditaklukan oleh Rama 1 (1782M-1809M) dari Rattanakosin-Siam dan kemudian dijadikan sebagai raja bawahan. Sultan Long Muhammad dari Pattani sendiri terbunuh ketika terjadi penyerangan dari Siam. Pada tahun 1791M Kesultanan Pattani dibantu Kerajaan Panduranga Champa memberontak terhadap Siam namun dapat diredamkan. Pada tahun 1796M Kerajaan Panduranga Champa sendiri dengan bantuan dari Kesultanan Kelantan (berdiri pada awal abad ke-17M) memberontak terhadap Dai Viet namun dapat diredamkan. Pada abad ke-18M ada keterkaitan dinasti antara Long Bahar (1721M) dari Kelantan, Long Yunus (1721M) dari Pattani dan Po Sakti-ray Da Patih/Dhipati (1695M) dari Panduranga Champa. Nama Long sendiri berasal dari Champa. Pada paruh awal abad ke-19 Kamboja menjadi ajang pertempuran antara Siam dengan Dai Viet. Pada tahun 1811M, Rama 11 (1809M-1824M) dari Rattanakosin-Siam menyerang Kesultanan Kedah yang menyebabkan Sultan Kedah melarikan diri untuk meminta bantuan ke Inggris di Pulau Penang. Inggris sendiri mendapatkan Pulau Penang sebagai hadiah dari Sultan Kedah pada tahun 1785M. Perjanjian damai antara Kedah dengan Siam menyebabkan Kesultanan Kedah harus membagi wilayahnya menjadi dua yaitu Kesultanan Kedah dan Kesultanan Perlis (berdiri pada awal abad ke-19M). Pada tahun 1824M

Kesultanan Kedah, Kesultanan Kelantan, dan Kesultanan Terengganu (berdiri pada awal abad ke-18M) dijadikan sebagai raja bawahan oleh Kerajaan Siam dengan pengakuan dari Inggris. Dimana sebagai imbalannya Inggris mendapatkan hak perdagangan di Siam. Tetapi kemudian Kesultanan Kedah, Kelantan dan Terengganu tersebut dibawah pengaruh Inggris sedangkan Kesultanan Pattani dianeksasi oleh Kerajaan Siam setelah adanya perjanjian Inggris-Siam pada tahun 1909M.

Pada awal abad ke-19M Kesultanan Langkat, Deli, Asahan di Sumatra Utara dibawah pengaruh Kesultanan Siak. Nantinya ketika Siak-Riau ditaklukan oleh Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19M, kesultanan-kesultanan di Sumatra Utara tersebut juga jatuh pada pengaruh Hindia Belanda. Kesultanan Johor kembali pecah yaitu Kesultanan Johor dan Kesultanan Lingga (Kepulauan Riau) pada tahun 1824M akibat perebutan tahta. Kesultanan Johor dibawah pengaruh Inggris sedangkan Kesultanan Lingga-Riau dibawah pengaruh Hindia Belanda. Pada akhir abad ke-19M Kesultanan Johor kembali pecah menjadi dua yaitu Kesultanan Johor dan Kesultanan Pahang (berdiri pada akhir abad ke-19M). Dan juga pada waktu itu Dinasti Bendahara Johor digantikan oleh Dinasti Temenggung Johor. Ketika Inggris dan Hindia Belanda mengadakan perjanjian Selat Malaka (1824M) dan perjanjian Brunei (1826M) secara otomatis wilayah Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara dibawah pengaruh Inggris sedangkan Sumatra dan Jawa di bawah pengaruh Hindia Belanda. Wilayah Serawak diberikan oleh Kesultanan Brunei kepada James Brooke dari Inggris yang kemudian mendirikan Kerajaan Serawak pada tahun 1843M dan menjadi wilayah okupasi Inggris. Wilayah Sabah diberikan oleh Kesultanan Brunei kepada Kesultanan Sulu pada pertengahan abad ke-17M kemudian wilayah ini diokupasi oleh Inggris (pertengahan abad ke-19M). Pulau Palawan diberikan oleh Kesultanan Brunei kepada Kesultanan Sulu pada awal abad ke-18M kemudian diberikan ke Kesultanan Manguindanao pada tahun 1703M. Kesultanan Manguindanao sendiri nantinya memberikan Pulau Palawan kepada Spanyol pada tahun 1705M. Kesultanan Brunei sendiri menguasai Kalimantan Utara dan Pulau Palawan pada akhir abad ke-15M. Selain itu Kesultanan Brunei juga mengadakan kerja sama dengan Kesultanan Demak. Misal Sultan Brunei meminta pada Sultan Demak agar didatangkan Orang Jawa untuk mengembangkan sistem pertanian di Brunei dengan imbalan akan diberikan sebidang tanah di Brunei.

Pada abad ke-19M banyak kesultanan di Nusantara yang dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda misal Kesultanan Aceh, Kesultanan Pagaruyung, Kesultanan Lingga Riau, Kesultanan Palembang, Kesultanan Jambi , Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banjar, Kesultanan Goa Tallo, Kerajaan Mataram Lombok. Sedangkan Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli, dan Kesultanan Asahan di Sumatra Utara; Kesultanan Siak. Kesultanan Palalawan, Kesultanan Indragiri di Riau; Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta di Jawa; Kesultanan Pontianak (pecahan dari Kesultanan Mempawah yang berdiri pada akhir abad ke-18M atas pengesahan dari VOC), Kesultanan Kubu (pecahan dari Kesultanan Mempawah yang berdiri pada akhir abad ke-18M atas pengesahan dari VOC), dan Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat; Kesultanan Kutai Kartanagara, Kesultanan Berau Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur; Kerajaan Bali; Kesultanan Wajo dan Kesultanan Soppeng di Sulawesi Selatan; Kesultanan Bima dan Kesultanan Dompu di Sumbawa; Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku dibawah pengaruh Hindia Belanda. Ketika Kesultanan Aceh dihapuskan oleh Hindia Belanda (1903M), Sultan terakhir Aceh ini dibuang ke Batavia dan tinggal disana dengan mendapatkan biaya hidup dari pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan ketika Kesultanan Pagaruyung dihapuskan (1835M), Sultan terakhir Pagaruyung dibuang ke Banten. Kesultanan-Kesultanan di Sumatra Timur (dari Langkat hingga Siak) runtuh akibat revolusi sosial pada tahun 1946M dan banyak bangsawan Kesultanan Malayu disana yang terbunuh.

Ada yang berpendapat kata “Jawa” berasal dari bahasa Jawa yaitu “Jawa-wut” yang berarti sejenis tanaman padi dimana tanaman ini banyak ditemukan di Pulau Jawa. Dalam bahasa Sansekerta kata Yawa (Jawa) memiliki arti sejenis tanaman padi. Nama Yawadwipa tercantum dalam cerita Ramayana karya Mpu Walmiki pada abad ke-2M. Mpu Walmiki menyebut Kepulauan Indonesia (Nusantara) dengan nama Yawa Swetadwipa yang terdiri dari 8 pulau dan salah satunya tertutup oleh es (Papua). Swetadwipa (Nusantara) kemungkinan adalah Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua. Pada zaman itu dalam sejarah Jawa dapat disebut dengan nama Jawa Kanda. Barisan kepulauan itu kemudian dikenal dengan nama Yawa Swetadwipa (abad ke-2M), Dwipantara (Medang, abad ke-8M), Nusantara (Majapahit, abad ke-14M) dan Indonesia (abad ke-20M). Kata “Dwipantara” dan “Nusantara” dalam bahasa Sansekerta mempunyai arti yang sama yaitu “Pulau Seberang/Luar”. Kata Dwipantara tercantum dalam kakawin Jawa Kuno sedangkan kata Nusantara tercantum dalam Kakawin Negarakertagama (1365M). Pada waktu itu Maharaja Jawa menyebut Pulau Jawa sebagai pusat dari Mandala Dunia. Simbol Surya Majapahit sendiri merupakan sebuah bentuk Mandala. Simbol Surya Majapahit ini juga digunakan pada zaman Kesultanan Demak dan Kesultanan Mataram Jawa. Benedict Anderson menyebutkan bahwa penguasa Jawa menganggap dirinya sebagai pusat alam dan menaungi alam itu sendiri dilihat dari gelar yang dipakai seperti Amangku Rat, Paku Buwana, Hamangku Buwana, Mangku Nagara dan Paku Alam seperti halnya yang gelar dipakai Sultan Demak yaitu Alam Akbar. Kata “Paku” berarti “Pasak”, “Lingga”, “Gunung” yang merupakan simbol dari Siwa atau Pusat Jagad. Seperti kata “Sailendra” (zaman Medang), “Girinatha”, “Girisha”, “Giripati”,“Girindra” (zaman Tumapel & Majapahit) yang berarti “Penguasa Gunung”. Kata “Amangku” atau “Hamangku” berarti “Memangku”, “Merangkul”, “Memeluk”, “Menaungi”. Sedangkan kata “Rat” dan “Buwana” berarti “Jagad”, “Alam”. Semua elemen tersebut merupakan simbol Pantheisme dan Monisme Jawa. Orang Arab pada abad ke-14M menamakan barisan kepulauan dengan nama Jazirah al Jawa. Orang Arab dan Persia menyebut Jawa dengan nama Jawa al Kabir (Jawa Raya). Marcopolo dari Venesia menyebut Jawa dengan nama Java Mayora (Jawa Raya). Sedangkan Sumatra disebut dengan nama Java Minora. Pada tahun 1748M ketika VOC membuat mata uang dengan pengesahan dari penguasa Mataram Jawa, dalam mata uang tersebut tertulis kata Jawa al Kabir dalam aksara Arab. Mata uang tersebut dinamakan Rupiah Jawa yang digunakan dalam perdagangan dengan Jazirah Arab dan Persia. Sebelumnya pada abad ke-17M Mataram Jawa menyebut mata uangnya dengan nama “Rial” seperti halnya yang digunakan di Jazirah Arab dan Persia. Dalam bahasa Arab (abad ke-14M) juga dikenal nama Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai Jazirah al Jawa. Orang Tamil menamakan kepulauan ini sebagai Jawar. Pada abad ke-17M Orang Eropa menyebut barisan kepulauan dengan nama India Timur karena terletak di sebelah timur India misal Inggris menyebutnya sebagai East Indian dengan mendirikan East-Indian Company (EIC) dan Belanda menyebutnya sebagai Oost Indiesche dengan berdirinya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Pada abad ke-20M Orang Eropa menyebutnya dengan nama Indonesian Archipelago. Nama Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh James Richardson Logan (1850M) diambil dari kata India dan nesos (dalam bahasa Yunani berarti pulau). Dan kata Indonesia dipopulerkan oleh Adolf Bastian (1884M). Pribumi yang pertama kali menggunakan kata Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat dengan mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau (1913M). Nama lain dari Jawa misal Yawa (Sansekerta-India), Yawa (Prakit-India), Chawa (Pali-India, Sri Langka), Yawi/Jawi (Arab), Yava/Java (Eropa), Jawa (Kawi, Khmer-Kamboja dan Champa),, dan Shepo/Zhaowa (China), Pulau Jawa disebut dengan Yawadwipa (Sansekerta-India), Yawadi (Prakit-India). Kata “Yawadi” dalam bahasa Yunani dieja menjadi “Labadi-um” (Ptolomeus, 150M). Tanah Jawa

disebut dengan Yawa-bhumi atau Bhumi Jawa (Sansekerta India). Kotanya disebut dengan Yawapura (Sansekerta India).

Orang China menyebut Jawa dengan nama Chopo/Shepo sejak awal abad ke-5M. Kerajaan Panjalu/Kadiri pada tahun 1109M masa pemerintahan Maharaja Bameswara (1104M-1130M) pernah mengirim utusan ke Dinasti Sung China, Orang China pada waktu itu menyebutnya sebagai utusan dari Shepo (Jawa). Pada tahun 1127M Dinasti Sung China memindahkan ibukotanya ke arah selatan akibat dikalahan oleh Dinasti Jin China. Pada tahun 1178M Kerajaan Panjalu/Kadiri dalam buku Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei (1178M) disebut dengan nama Shepo (Jawa). Pada masa Kerajaan Kadiri meningkatnya perdagangan dengan China menimbulkan permintaan akan mata uang koin semakin banyak di Jawa. Sehingga banyak mata uang koin/Kepeng China yang diselundupkan oleh para pedagang China ke Jawa. Pada waktu itu Kepeng China mulai digunakan dalam perdagangan di Jawa sampai abad ke-16M. Pada awal abad ke-12M Kaisar Dinasti Sung China mulai memperketat peredaran mata uangnya. Ma Huan (1414M) menyebutkan bahwa kepeng China dari berbagai dinasti China (Sung, Yuan, Ming) telah digunakan di Jawa. Sejak abad ke-8M di Jawa sudah menggunakan mata uang koin emas dalam perdagangan dibuktikan dengan adanya penemuan mata uang emas di Wonoboyo. Koin tersebut di cetak dengan huruf Kawi (Jawa Kuno) dengan berbagai ukuran (Ka) Kati, (Ta) Tahili, (Ma) Masa, Kupang. Logam emas banyak diambil dari pertambangan di Barus. Hubungan perdagangan antara Jawa dengan Barus terjalin dengan sangat baik. Ketika ekspedisi Mongol (akhir abad ke-13M) dan ekspedisi Cheng Ho (awal abad ke-15M) menyebut Kerajaan Tumapel dan Kerajaan Majapahit dengan nama Shepo (Jawa). Setelah ekspedisi Mongol pertama (1293M) gagal dalam menaklukan Jawa maka Kaisar Dinasti Yuan China kembali melancarkan ekspedisi Mongol kedua untuk menaklukan Majapahit pada awal abad ke-14M. Serangan Mongol ke Jawa ini gagal seperti yang diceritakan oleh rahib italia yang bernama Odorico da Pordonone (1321M) dan berita Dinasti Ming China. Odorico yang pernah berkungjung ke Majapahit, mengatakan bahwa kerajaan ini makmur sekali. Pada tahun 1325M Maharaja Dhiraja Jayanagara dari Majapahit mengirim utusan ke Dinasti Yuan China dalam rangka untuk memperbaiki hubungan diplomatik dengan Mongol.

Orang India menyebut Pulau Sumatra dengan nama Swarna-dwipa (Pulau Emas). Dalam bahasa Sansekerta, “Tanah Emas” disebut dengan nama “Swarnabhumi”. Nama Swarnadwipa tercantum dalam cerita Ramayana karya Mpu Walmiki pada abad ke-2M. Ptolomeus (150M) menyebut Sumatra dengan Chersonesos (Pulau Emas). Dalam prasasti Nalanda India disebutkan bahwa Balaputradewa merupakan seorang Maharaja Swarnadwipa (Sumatra) sedangkan kakeknya berasal dari Wangsa Sailendra Yawabhumi (Jawa), Dengan kata lain, Balaputradewa merupakan pendiri cabang Wangsa Sailendra di Sumatra. Dan sejak saat itulah, para penguasa di Sriwijaya memakai gelar Sailendrawangsa. Dalam prasasti Padang Roco (1286M) disebutkan bahwa Kertanagara dari Singosari memberikan hadiah sebuah patung untuk Tribuwanaraja dari Dharmasraya dimana patung tersebut dikirim dari Yawabhumi (Jawa) ke Swarnabhumi (Sumatra). Dalam prasasti Kubu Rajo (1347M), Adityawarman dari Pagaruyung menyebut dirinya sebagai Maharaja Swarnadwipa (Sumatra). I Tsing (671M) menyebut Pulau Sumatra dengan nama Chin Chou (Pulau Emas). Orang Arab menyebut Pulau Sumatra dengan nama Sarandib. Kata “Sarandib” merupakan ejaan Arab untuk kata “Swarnadwipa”. Kakawin Negarakertagama (1365M) karya Mpu Prapanca menyebut Pulau Sumatra dengan nama Malayu sedangkan Semenanjung Malaya dengan Hujung Medini. Nama “Semenanjung Malaya” baru digunakan sejak abad ke-17M oleh Orang Eropa sedangkan kata “ Malayu” baru dikenal sejak abad ke-7M. Dalam bahasa Jawa kata “Malayu” mempunyai arti “pelarian” . Berita Dinasti Sung China dan Dinasti Ming China, menyebut Pulau Sumatra

dengan nama San Fo Tsi. Sedangkan nama Sumatra baru muncul pada tahun 1017M dimana dalam berita China disebutkan bahwa Haji Sumatrabumi telah mengirimkan utusan ke China. Orang Malayu menyebut Pulau Sumatra dengan nama Pulau Perca. Orang Minangkabau menyebut Pulau Sumatra dengan nama Pulau Andalas. Nama lain dari Pulau Sumatra misal Swarnadwipa (Sansekerta-India), Chersonesis (Yunani), Chin Chou (China), Sarandib (Arab), Malayu (Jawa, Khmer-Kamboja dan Champa), San Fo Tsi (China), dan Samathrah (Arab), Sumatran (Eropa). Perca, Andalas. Tanah Sumatra disebut dengan Swarna-bhumi (Sansekerta India). Kotanya disebut dengan Malayupura (Sansekerta India).

Nama Zabaj muncul dalam beberapa buku Arab misal karangan Ibn Hardadzbeh (843M), Sulaiman (851M), Ibn Fakih (902M), dan Abu Zayd (916M). Nama “Zabaj” dalam bahasa Arab (abad ke-9M) mempunyai kesamaan toponim “Jawah” dalam bahasa Arab (abad ke-12). Seperti halnya kata “Sunda” menjadi “Sundah” dan “Sumatra” menjadi “Samatrah”. Menurut sejarawan kata Zabaj berkaitan dengan Wangsa Sailendra Jawa. Dalam buku karangan para pujangga Arab tersebut disebutkan bahwa Zabaj dipimpin oleh seorang Maharaja yang kaya dan berkuasa. Disebutkan pula bahwa Maharaja Zabaj (Jawa) menguasai Sribuza (Sriwijaya) dan Kalah (Kedah). I Tsing (671M) dan berita Dinasti Tang China, menyebut nama “Sriwijaya” dengan nama “Shih Li Fo Tsi” sedangkan nama “Malayu” dengan nama “Mo lo yu”. Sejarawan Arab yaitu Ibn Masud (947M) yang mengutip berita dari Sulaiman (851M), menyebutkan bahwa Maharaja Zabaj pernah menyerang Khmer-Kamboja. Hal ini diperkuat dengan adanya berita Kamboja dalam prasasti Sdok Kak Thom dan berita Champa dalam prasasti Po Nagar yang menyebutkan bahwa Jawa pernah menyerang mereka pada tahun 775M dan 782M. Penyerangan tersebut kemungkinan dilakukan oleh kakek dari Balaputradewa yang memiliki julukan “Wirawairimathana” dari Wangsa Sailendra Yawabhumi (prasasti Nalanda India), “Wairiwarawiramardana” dari Wangsa Sailendra (prasasti Kelurak, 782M), “Sarwwarimawimathana” dari Wangsa Sailendra (prasasti Ligor B), Ketiga julukan tersebut memiliki arti yang sama yaitu “pembunuh musuh-musuh perwira” dan julukan tersebut dipakai oleh kakek dari Balaputradewa yang bernama Dharanindra/Sangramadhanamjaya dari Wangsa Sailendra Jawa berdasarkan prasasti Kelurak (782M). Maharaja Dharanindra/Sangramadhanamjaya dari Wangsa Sailendra Jawa tersebut dapat menguasai Kamboja pada akhir abad ke-8M. Sebelumnya dalam berita China disebutkan bahwa pada tahun 767M daerah Tonkin (Annam) pernah diserang oleh Chopo (Jawa) namun dapat dipukul mundur oleh gubernur China di Tonkin yang bernama Chang Po Yi. Seorang penjelajah Arab yang bernama Ibnu Batutah (1345M) menyebut penduduk Nusantara sebagai Jazirah al Jawa bahkan menyebut Sultan Pasai dengan nama Sultan Jawi. Karena pada waktu Pasai dikuasai Kerajaan Majapahit saat ekpedisi Gajah Mada pada tahun 1340M dan diperkuat dengan adanya prasasti Minye Tujuh (Aceh, 1380M) berbahasa Malayu Kuno dan Jawa Kuno dengan Aksara Jawi dan Kawi. Diperkuat dengan berita dari Hikayat Pasai (abad ke-15M). Sedangkan Ibnu Batutah menyebut Pulau Jawa dengan “Mul Jawa” yang berarti “Jawa yang asasi” (Mula = asal). Nama “Jawi” juga sudah dikenal dalam buku al Kamil fi al Tarikh (1230M) karangan Ibnu Athir (1160M-1233M). Orang Arab terbiasa menggunakan akhiran/sufiks “i” untuk sebuah nama misal “Arab” menjadi “Arabi”, “Rome” menjadi “Rumi”, “Persia” menjadi “Farisi”, “Sumatra” menjadi “Samatrani”, “Banjar” menjadi “Banjari”, Makassar menjadi “Makassari”, “Barus” menjadi “Fansuri”, “Singkil” menjadi “Singkili”, “Pattani” menjadi “ Fatani”. Para pedagang Arab ini, selain mengenal nama Jawah (Jawa) juga mengenal nama Samatrah (Sumatra), Sundah (Sunda), Sholibis (Sulawesi), Sejak abad ke-16M dalam sastra Malayu yang ditemukan di Pulau Sumatra menunjukan bahwa kata Jawi dipakai untuk menyebut bahasa percakapan dan tulisannya disebut dengan Aksara Jawi.

Sankrit/Sansekerta Swarna-dwipa/Swarna-bhumi Yawa-dwipa/Yawa-bhumi/Yawa-pura

Prakrit Yawa-diPali JawakYunani (Ptolomeus) Chersos-nesos Laba-diumKawi (Jawa) Malayupura Jawa-dwipa/Bhumi Jawa/Jawa-puraKhmer-Kamboja Malayu JawaChampa Malayu JawaTamil-India JawaSinhala-Sri Langka ChawaArab Sribuza ZabajArab Samatrah, Samatrani Jawah, Jawi/Yawi, Jawa al Kabir (Jawa Raya)Italia (Marcopolo) Java Minora Java/Yava Mayora (The Great Java) Eropa Sumatra JavaChina Chin Chao Ye TiaoChina Shih Li Fo Tsi/San Fo Tsi Chopo/Shepo/ZhaowaMalayu Perca JawaMinang Andalas Jawa

Jawa NusantaraSansekerta-India DwipantaraArab Jazirah al JawaChina Nan Hai (Austro-nesos/Kepulauan Selatan)Eropa Indian Archipelago, Indonesian Archipelago (Kepulauan Indonesia)

Menurut sejarahwan nama Yava (Jawa-red) berasal kata Yavana (Sansekerta) atau Yona (Pali). Kata Yavana diambil dari nama sebuah suku bangsa bernama Yavanas. Bahasa Pali merupakan turunan dari bahasa Prakrit. Bahasa Prakit merupakan penyederhanaan dari bahasa Sansekerta/Sankrit. Nama Yona merupakan terjemahan Pali untuk kata Ionians. Kata “ Javan” juga terdapat dalam kitab Kejadian dimana disebutkan bahwa Noeh (Nuh) mempunyai putra bernama Javan yang tinggal di Isle of Gentile (Kepulauan Gentile). Nama Gentile sendiri digunakan oleh Orang Yahudi untuk menyebut orang selain Yahudi atau daerah diluar negara Israel. Di negara Yordania (Arab) juga terdapat tempat peradaban yang bernama Tall Jawa. Sejarahwan berpendapat bahwa Isle of Gentile berada di Yunani. Nama Isle of Gentile tersebut kemungkinan dapat dipadankan dengan nama Nusantara/Dwipantara (Pulau seberang/luar). Di dalam kitab Kejadian disebutkan bahwa Javan mempunyai beberapa anak yaitu Elishah, Tarshish, Kittim, dan Dodanim. Keturunan Javan sendiri kemungkinan berkembang di wilayah Austro-nesos (Kepulauan Selatan) atau Nusantara/Dwipantara.

Turunan kata Ionians (old Greek : Iawones) misalnya :

Egyptians menggunakan kata j-v-n/j-w-nIsrael menggunakan kata JāvānAssyrians menggunakan kata Iawanu Persians menggunakan kata Yavanu/YawanuSansekerta Indians menggunakan kata Yavana/Yawana Pali India menggunakan YonaArab menggunakan kata Yunani

Hal ini dimulai ketika Alexander The Great dari Macedonia mulai melakukan kampanye untuk meluaskan kekuasaannya pada awal abad ke-4SM. Wilayahnya mencakup dari Mesir sampai barat daya India. Di India Alexander mengalahkan Kerajaan Puru. Ketika Alexander meninggal dalam usia yang

masih muda kerajaannya dibagi menjadi beberapa wilayah Satrap. Pada awal abad ke-4SM Candragupta Maurya dari Dinasti Maurya India dengan bantuan raja Himalaya dapat memukul mundur serangan Orang Yunani di India dan membuat kesepakatan damai dengan Seleucius dari Yunani. Kerajaan Maurya beribukota di Pataliputra (Patna). Pada masa pemerintahan Ashoka The Great (275SM-232SM) dari Dinasti Maurya yang merupakan cucu Candragupta Maurya untuk pertama kalinya menyatukan seluruh India. Ada yang berpendapat bahwa Ashoka merupakan hasil perkawinan campuran antara orang Yunani dengan India. Pada akhir abad ke-2SM Dinasti Maurya runtuh dan digantikan oleh Dinasti Sunga India. Pada masa Ashoka inilah banyak ditemukan prasasti yang beraksara Bhrami yang merupakan induk dari Aksara Pallawa. Ashoka juga banyak membangun candi Budha karena dia merupakan penganut Budha yang taat.

Yavanas (Greek) beraliansi dengan suku-suku bangsa yaitu Sakas, Pahlavas, Paradas, Kambujas, Parasikas, Hunas, Gandharas, Kiratas, Darunas, Kinaras, Tusharas, Sindhus, Madras, Ramanas, Dasamalikas, Kekeyas, Sukritvahas, Kulatthas, Abhiras, Daradas, Darvas, Chauras, Varvaras, Kasmiras, Pattis, Khasiras, Atreyas, Pulindas, Pulandas, Balhikas, Talavanas, Utrakarnikas, Sivis, Vasatis, Usinaras, Khasas, Dharvabhisaras, Hangsapadas, Samthanas, Surasenas, Venikas, Kukkuras, Rechakas, Trigartas, Madrakas, Chulikas, Tukharas, Parvatas, Samsaptakas, Karnatas, Barbaras, Tamraliptas, Valhikas, Kalingas, Amvashtas, Pisachas, Tanganas, Kolisarpas, Mahisakhas, Mekalas, Lathas, Konwasiras, Saundikas, Braradwajas, Savaras, Kancis, Khasas, Chivukas, Haritas, Kankas, Pathavas, Andras, Pulindas, Paundras, Sinhalas, Dravidas, Keralas dll mulai melakukan penetrasi ke India dan menetap disana. Terjadilah pertempuran besar antara Aliansi Yavanas dengan Kerajaan Kuru (berbudaya Veda). Aliansi Yavanas kemudian menyerang Saketa, Panchala, Mathura dan Pataliputra (Patna) tetapi dapat dipukul mundur di Pataliputra oleh Satakarni (143SM-87SM) dari Satawahana India (berbudaya Veda) yang sebelumnya mengalahkan Dinasti Sunga di Pataliputra (Patna). Dinasti Sunga digantikan oleh Dinasti Kanwa (berdiri pada akhir abad ke-1SM sampai awal abad ke 1SM). Kerajaan Satawahana (berdiri pada awal abad ke-3SM) dulunya merupakan bawahan dari Dinasti Maurya India. Aliansi Yavanas juga dibantu oleh Kerajaan Kelingga India. Aliansi itu diasosiasikan dengan pihak Kurawa.

Aliansi itu menempati wilayah Barat India (Gujarat, Rajastan, Madya Pradesh, Maharastha) dan mendirikan kerajaan-kerajaan baru termasuk Satrap. Kata “Satrap” memepunyai arti yang sama dengan nama “Ksatria”. Aliansi suku bangsa itu termasuk dalam Indo-Iranian yang merupakan Sub Indo-Eropa. Kitab Purana menggambarkan mereka sebagai bangsa barbar (Mlechas). Kitab Purana juga mengakui bangsa ini mempunyai pengetahuan yang luas terutama dalam astronomi dan sains, mempunyai banyak keahlian terutama dalam seni berperang dan membuat senjata serta juga pandai dalam berdagang. Kitab Purana menyebut bangsa ini berasal dari kasta Ksatria dan Waisya. Bangsa yang dikutuk karena suka berperang yang akan terdegradasi menjadi Sudra karena tidak mau menjalani kode Brahmana. Ada yang berpendapat bahwa kata Ionian berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Ayonija yang berarti seseorang yang lahir bukan dari rahim manusia atau seseorang yang berasal diluar kewajaran. Hal ini diasosiasikan dengan kelahiran Kurawa. Pada abad ke-1SM terjadi akulturasi antara aliansi Yavanas dengan kebudayaan Veda.

Yavanas, Kambujas, Pahlavas, Sakas, Paradas dikenal sebagai Panca-Ganah (Gerombolan Lima) atau Kshatriya-pungava (Ksatria Punggawa) berdasarkan pada Kitab Purana. Selain itu mereka juga dikenal karena ahli berdagang dan aktif dalam proses Sansekertanisasi di India Selatan (Pallawa). Agastya (abad ke-2M) tokoh yang dikenal sebagai orang yang menyebarkan budaya Veda ke India

Selatan (Pallawa) berasal dari golongan Panca Ganah. Agastya kemungkinan berasal dari Kerajaan Western Satrap (Sakas). Maharesi Agastya merupakan tokoh yang seringkali dipuja di Jawa. Pada abad ke-1M aliansi ini sudah mempunyai jalur perdagangan laut dari India ke China.

Menurut sejarahwan Kerajaan Pallava (Pallawa-red) di pantai timur India Selatan berasal dari Pahlavas. Hal itu didasarkan pada kitab Purana dan Mahabarata. Menurut P. Carnegy, Pahlava adalah orang yang berbicara dengan menggunakan bahasa Pahluvi atau Pehlevi yang merupakan bahasa Parthian. Buhler juga berpendapat dengan nada yang sama bahwa Pahlava adalah bentuk Indic dari Parthava yang berarti Parthian. Parthian sendiri merupakan suku bangsa Indo-Aryas. Menurut Sejarawan orang-orang dari aliansi inilah yang menemukan jalur perdagangan laut dari India ke Asia Tenggara dan China. Berdasarkan mitologi orang-orang Funan, Kamboja, Jawa ada kaitan antara asal-usul mereka dengan orang-orang Yavanas, Kambujas, Pahlavas, Sakas, dan Paradas. Kata Kamboja merupakan turunan dari bahasa Sansekerta Kambuja pronunsiasinya Kom-Bu-Ja. Kambujas sendiri merupakan suku Indo-Persian yang masih ada sampai sekarang di India Utara dan Pakistan. Beberapa sejahrawan seperti J. Fergusson, B. R. Chatterjee, Buddha Prakash, dan lainnya menerima hubungan sejarah kuno, politik, dan budaya antara Kambuja India dengan Khmer-Kamboja. Hal ini berkaitan dengan pencampuran darah antara antara kedua kebudayaan. Aliansi ini (Yavanas, Kambujas, Sakas, Pahlavas, Paradas) menyebarkan budaya Veda ke Kepulauan Asia tenggara.

. Selain mengembangkan pengaruh kekuasaannya di India, Orang Yunani juga membawa kesenian terutama kesenian arca dan relief. Di wilayah Gandhara (abad ke-3SM) kesenian Helenistic berlangsung dengan pesat, sehingga lahirlah kesenian Yunani sebagai ukuran keindahan.seni Gandhara terutama dikenal karena mengembangkan kesenian Budha. Kesenian inilah yang pertama kali melukiskan tokoh Budha sendiri (abad ke-2SM). Sebelum itu tokoh Budha hanya digambarkan dengan berbagai lambang misal cakra, tapak kaki dan petarana kosong. Kesenian Mathura yang berkembang agak lebih muda dari Gandhara, banyak terpengaruh pula oleh kesenian Gandhara terutama dalam penggambaran arca Budha dan Bodhisattva. Kelenturan plastis yang dikembangkan oleh seni arca Mathura sebenarnya memperoleh pengaruh dari seni Gandhara, karena sejak abad ke-1SM, kesenian Gandhara masih menjadi acuan pengembangan kesenian Mathura. Pada awalnya seni arca Maurya (abad ke-3SM) digambarkan dalam wujud yang serba besar dan bersifat statis setelah mendapat anasir seni arca Archaemid dan Hellas, maka bentuk arca Maurya mengarah pada bentuk yang halus dan bersifat plastis. Kesenian klasik India memuncak pada zaman Gupta di Pataliputra (abad ke-3M sampai abad ke-6M) merupakan pengembangan dan perpaduan lebih lanjut antara seni arca Gandhara dengan Mathura. Jadi secara tidak langsung kesenian Gupta juga menyimpan pengaruh seni arca Gandhara. Sebagaimana telah diketahui Orang India membawa pengaruh kesenian arca di Pulau Jawa. Dengan demikian dari seni arca Gupta, Mathura, dan Gandhara yang Hellenistik juga memasuki dan mempengaruhi seni arca dan relief candi di Pulau Jawa. Bentuk arca pada candi di Jawa selain mendapatkan pengaruh India juga terdapat unsur-unsur lokal dalam pembuatan arca misal dalam seni arca Jawa seringkali menampilkan tokoh arca dengan memakai keris dimana pada seni arca India tidak memilikinya. Bentuk karakter wayang Jawa juga diambil dari seni relief candi di Jawa Timur misal candi Panataran. Ketika seorang Maharaja Jawa yang beragama Hindu ataupun Budha meninggal maka jasadnya akan dibakar dan abunya akan disimpan atau dibuang ke laut. Abu hasil pembakaran tersebut akan disimpan dalam sebuah candi pendharmaan yang khusus dibuat untuk Maharaja tersebut. Dan untuk menandakan candi tersebut milik Maharaja yang meninggal maka dibuatlah sebuah arca yang menunjukkan sifat Maharaja tersebut baik itu berupa simbol dewa ataupun dengan nama aslinya. Jadi peranan candi bukan saja sebagai tempat ibadah melainkan juga

sebagai tempat penyimpanan abu jenasah. Pada zaman Islam seorang Sultan Jawa yang meninggal akan dimakamkan pada tempat yang khusus atau yang dianggap suci biasanya terletak di bukit misal Astana Imogiri, Astana Mangandeg, dan Astana Girilayu. Untuk menandakan makam Maharaja tersebut maka dibuatlah sebuah nisan bukan lagi sebuah arca.

Ekspansi Kerajaan Jawa dari abad ke-8M sampai 17M

Pada zaman Medang (abad ke-8M sampai awal abad ke-10M) saat ekspansi Maharaja Dharanindra/Sangramadhanamjaya. Ia dapat menaklukan Sriwijaya dan menyerang Kerajaan Kamboja dan Champa pada akhir abad ke-8M berdasarkan prasasti Ligor B, prasasti Kak Thom (Kamboja), dan prasasti Po Ngar (Champa). Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898M-910M) melakukan ekspansi ke arah timur misal ke Kerajaan Bali (berdiri pada awal abad ke-9M). Pengaruh Medang bahkan sampai di Pulau Luzon (Filipina) dengan ditemukannya prasasti Laguna (900M). Pada zaman Medang Timur (abad ke-10M) saat ekspansi Maharaja Dharmawangsa Teguh (985M-1016M). Menurut berita China ia melakukan ekspedisi dengan menyerang Kerajaan Sriwijaya dua kali tetapi serangan ini gagal. Selain itu Dharmawangsa juga melakukan ekspansi ke timur Nusantara. Sri Jayabupati dari Kerajaan Galuh sendiri mengeluarkan prasasti Cibadak (Sukabumi, abad ke-11M) yang menggunakan Bahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi. Ada pendapat yang mengatakan prasasti itu membuktikan ada pengaruh Airlangga menantu dari Dharmawangsa dari Kerajaan Medang terhadap Kerajaan Galuh. Gelar yang dipakai Sri Jayabupati mirip dengan dipakai oleh para Maharaja Jawa pada waktu itu. Dan juga julukan Sri Jayabupati seperti yang dipakai oleh Airlangga yaitu Wisnumurti. Selain prasasti Cibadak ada juga prasasti menggunakan Bahasa Jawa Kuno di daerah Pasundan yaitu prasasti Mandiwungan (Ciamis, abad ke-11M). Pada tahun 1025M Airlangga menyatukan Kerajaan Medang Kembali setelah terjadinya Mahapralaya (1016M) yang menyebabkan perpeecahan dengan mengalahkan para raja bawahan Medang.

Pada zaman Panjalu (abad ke-12 sampai awal abad ke-13M) saat ekspansi Maharaja Jayabaya (1135M-1159M). Menurut berita China (1178 M) Kerajaan ini menguasai wilayah timur Nusantara misal Pai-hua-yuan, Ma-tung, Jung-ya-luh, Ta-pen, Ta-kang, Tan-jung-wu-lo, Ma-li, Ping-yai, Ku-lun, Ti-wu, Wu-nu-ku, Huang-ma-chu, Hi-ning, Jeng-gi. Berita China berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178M tersebut juga menyebutkan bahwa pada masa itu negeri yang paling kaya selain China secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu.

Pada zaman Tumapel (abad ke-13M) saat ekspansi Maharaja Dhiraja Kertanagara (1272M-1292M) dengan mengadakan ekspedisi Pamalayu (1275M). Saat itu penguasa Pulau Sumatra adalah Kerajaan Malayu (Dharmasraya). Kerajaan ini akhirnya tunduk dengan ditemukannya bukti prasasti Padang Roco (1286M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Kawi dan Arca Amoghapasa yang dikirim Kertanagara untuk Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Dalam prasasti itu Srimat bergelar Maharaja sedangkan Kertanagara bergelar Maharaja Dhiraja. Tumapel juga menaklukan wilayah misal Sunda, Pahang di Semenanjung Malaya, Bakulapura (Tanjungpura) di Kalimantan Barat, Bali dan Gurun dll. Ketika ekspedisi Pamalayu ada seorang panglima dari Tumapel yang bernama Indrawarman yang mendirikan Kerajaan Silo Simalungun. Indrawarman sendiri tidak mengakui Majapahit sebagai penerus Tumapel. Kerajaan Silo

Simalungun ini hancur ketika ekspedisi Gajah Mada dari Majapahit dan raja Indrawarman sendiri terbunuh ketika serangan tersebut. Anak-anak dari Indrawarman kemudian pindah ke Pematang Siantar dan Toba kemudian mendirikan Kerajaan baru disana. Di Simalungun sendiri terdapat daerah bernama Tanah Jawa. Pada tahun 1289M Tumapel kedatangan utusan dari Mongol dan meminta Kartanagara untuk tunduk pada Kaisar Dinasti Yuan China namun permintaan ini ditolak. Maharaja Dhiraja Kertanagara juga beraliansi dengan Kerajaan Champa dalam menghadapi ekspansi Mongol ini. Dinasti Yuan China telah menundukkan Kerajaan Pagan-Burma, Kerajaan Dai Viet, Kerajaan Champa, Kerajaan Khmer-Kamboja, dan Kerajaan Lavo-Mon untuk membayar upeti.

Pada zaman Majapahit (Abad ke-14M sampai abad ke-15M) saat ekspansi Mahapatih Gajah Mada (1335M-1364M) untuk menyatukan Nusantara. Saat itu hanya satu Kerajaan yang belum takluk yaitu Kerajaan Galuh. Oleh karena itu untuk menaklukan Kerajaan Galuh diadakannya perkawinan politik dimana Maharaja Hayam Wuruk (1350M-1389M) meminta pada raja Linggabhuwana dari Galuh agar menyerahkan putrinya Dyah Pitaloka untuk dijadikan istri. raja Linggabhuwana bersedia asalkan anaknya dijadikan permaisuri agar kelak cucunya dapat mewarisi tahta. Tetapi usul ini ditolak oleh Gajah Mada kemungkinan karena Hayam Wuruk telah mempunyai seorang permaisuri dan menganggap bahwa hal ini merupakan serahan sebagai bukti ketertundukan raja Linggabhuwana dari Galuh terhadap Majapahit seperti Maharani Tribhuwanaraja dari Dharmasraya terhadap Tumapel. Ekspansi Gajah Mada dimotivasi ambisinya agar Majapahit seperti Tumapel. Karena hal inilah terjadi kesalahpahaman dan menimbulkan perang bubat (1357M) berdasarkan Carita Parahyangan (akhir abad ke-16M) berbahasa Sunda dengan Aksara Sunda Kuno dan Kidung Sunda berbahasa Jawa dengan Aksara Kawi (awal abad ke-16M). Kerajaan Galuh akhirnya mengakui kekuasaan Majapahit sampai akhir abad ke-15M. Setelah berhasil menyatukan Nusantara, Gajah Mada melakukan moksa di Madakaripura (Pasuruan) tahun 1365M. Bukti Kekuasaan Majapahit antara lain prasasti Minye Tujuh (Aceh, 1380M) berbahasa Malayu Kuno dan Jawa Kuno dengan Aksara Jawi dan Kawi, prasasti Terengganu (Trengganu, 1386M) berbahasa Malayu Kuno dengan Aksara Jawi, serta Hikayat raja Pasai (akhir abad ke-14M) berbahasa Malayu Kunodengan Aksara Jawi yang menceritakan penyerangan dari Majapahit. Pengaruh Majapahit di Sulawesi terlihat dari adanya gelar Batara yang digunakan oleh pendiri kerajaan pada Kerajaan Luwu dan Kerajaan Buton. Gelar “Batara i” berarti “Penguasa di” dimana di Majapahit disingkat menjadi “Bre”. Dalam La Galigo (berbahasa Bugis dengan Aksara Lontara, abad ke-18M) pendiri Kerajaan Luwu adalah La Tagelangi/Batara Guru (gelar bercorak Hindu). I La Galigo juga menyebutkan adanya Kerajaan Senrijawa (Sri Jawa) yang kemungkinan asal dari Batara Guru pada awal abad ke-15M. La Tagelangi kemudian digantikan anaknya yang bernama La Tialeng/Batara Lattu. Pada masa La Madukelleng/Sawarigading putra Batara Lattu pernah singgah ke beberapa tempat misal Taranate (Ternate), Gima (Bima), Jawa, Sunra (Sunda) dan Malaka kemungkinan pada pertengahan abad ke-15M. Dan La Galigo putra La Madukelleng juga melakukan perjalanan yang sama seperti ayahnya terdahulu. Dikatakan bahwa La Tagelangi, La Tialeng, La Madukelleng, La Galigo tidak berkedudukan di Luwu (dengan kata lain suka mengembara) dan tidak diketahui tempatnya sedangkan raja pertama yang berkedudukan di Luwu adalah anak dari La Galigo kemungkinan pada awal abad ke-16M. Di Kerajaan Buton diperintah oleh raja yang bergelar Batara Guru, Tuarade dan Rajamulae. Pada masa pemerintahan raja Buton ke-4 yaitu Tuarade pernah berkunjung (sowan) ke Majapahit. Dan pada masa raja Buton ke-5 yaitu Rajamulae

kedatangan bangsawan Jawa dari Majapahit kemungkinan pada akhir abad ke-15M saat diserang Demak. Pada awal abad ke-16M pada saat pemerintahan raja Buton ke-6 yaitu putra Rajamulae berpindah agama ke Islam dan bergelar Sultan Murhum. Pengaruh Majapahit di Bali terlihat dari adanya Kerajaan Gelgel dimana pendirinya bernama Kresna Kepakisan berasal dari Majapahit. Pengaruh Majapahit di Bima Sumbawa juga terlihat dari adanya istilah raja Ngampo Jawa. Di Sumbawa juga terdapat prasasti tentang Majapahit. Di Temasek/Singhapura juga terdapat prasasti tentang Majapahit. Ketika Majapahit runtuh ada bangsawan yang melarikan diri ke Sambas dan kemudian mendirikan Kerajaan Sambas. Dalam Negarakertagama (1365M). Majapahit mempunyai hubungan diplomatik dengan kerajaan di wilayah Desantara yaitu Dharmanagari (Nagara Dharmaraja/Nakhon Thammarat), Rajapura (Rajapuri/Ratchaburi), Ayodyapura (Ayutthaya), Kamboja, Champa, Marutma (Martaban), Singhanagari, dan Syangka (Sri Langka). Kerajaan di wilayah Dwipantara yaitu China dan India. Kerajaan yang disebut Mitreka Satata (yaitu Negara Sahabat) yaitu Yawana (Persia-Asia Tengah). Wilayah kekuasaan Majapahit dicatat dalam buku Tao I Chih Lueh (1349M) karya Wang Ta Yuan.

Pada zaman Demak (1500M-1549M) saat ekspansi Sultan Trenggana (1521M-1546M). Pada awal abad ke-16M Kesultanan Demak mengirimkan armada perangnya ke Cirebon untuk menjaga daerah tersebut dari serangan Pajajaran. Untuk menghadapi ancaman penyerangan dari Kesultanan Demak maka Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugise (1522M) agar mendapatkan bantuan militer. Untuk memperlemah Pajajaran, Kesultanan Demak menaklukan daerah pesisir Pajajaran yaitu Cirebon (1526M), Banten (1526M) dan Sunda Kelapa (1527M) yang kemudian namanya dirubah menjadi Jayakarta. Penguasaan daerah tersebut oleh Demak menyebabkan banyak penduduk Jawa yang menetap di Cirebon, Banten, dan Jayakarta yang kemudian melahirkan sastra Jawa-Cirebon dan Jawa-Banten misal Babad Banten (akhir abad ke-19M) berbahasa Jawa dengan Aksara Pegon dan Babad Cirebon. Pada tahun 1535M Kesultanan Demak menyerang Pajajaran yang berakhir dengan adanya perjanjian damai. Setelah Kesultanan Demak runtuh maka Banten (1551M-1811M) dan Cirebon (1551M-1906M) memisahkan diri dari Kesultanan Demak dan mendirikan kesultanan sendiri. Kerajaan Pajajaran runtuh akibat serangan dari Kesultanan Banten pada tahun 1567M dan 1579M. Pengaruh Jawa di pesisir Sunda terlihat dari adanya Bahasa Jawa-Banten dan Bahasa Jawa-Cirebon. Kesultanan Demak juga mendirikan Kesultanan Banjar dan Kesultanan Pasir di Kalimantan pada awal abad ke-16M.

Pada zaman Pajang (1550M-1587M) pernah terjadi pertempuran antara Sultan ke-3 Banten yaitu Muhammad dengan Adipati Jepara. Dimana Adipati Jepara merasa berhak atas tahta karena ia adalah adik dari Sultan ke-2 Banten Yusuf dan Sultan Muhammad putra Yusuf masih terlalu kecil untuk menerima tahta. Serangan Adipati Jepara ini digagalkan oleh pihak Banten (1580M). Sebelumnya Adipati Jepara pada masa Ratu Kalinyamat juga pernah menyerang Malaka tahun 1550M dan 1574M. Orang Portugise menyebut Ratu Kalinyamat sebagai “Rainha de Jepara, senhora paderosa e rica, de kranige dame” yang berarti Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang wanita yang pemberani”. Adipati Tuban dibantu Adipati Surabaya juga pernah menyerang Kesultanan Banjar. Kesultanan Banjar berdiri pada awal abad ke-16M.atas bantuan Kesultanan Demak Jawa. Setelah Demak runtuh Banjar memisahkan diri. Adipati Gresik (Giri) juga menaklukan Lombok dan Sumbawa pada akhir abad ke-16M. Pada zaman Kesultanan Pajang (1550M-1587M) inilah para Adipati Pesisir Jawa mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang cukup besar misal Adipati Jepara, Adipati Tuban, Adipati Surabaya, dan Adipati Madura.

Menurut De Cauto dari Portugie disebutkan bahwa Banten termasuk dalam kekuasaan Pajang. Ketika terjadi Perang antara Pajang dengan Mataram pada tahun 1586M, Adipati Demak, Adipati Tuban, Adipati Banten bertempur pada dipihak Sultan Pajang.

Pada zaman Mataram Jawa (1587M-1755M) saat ekspansi Sultan Agung (1613M-1645M). Ia gagal merebut Batavia dari VOC (1627M dan 1629 M) dalam upaya menyatukan Pulau Jawa walaupun telah menaklukan Kesultanan Cirebon bahkan sampai Pakuan (Bogor). Penyerangan ke Batavia dilakukan dibawah pimpinan para Bupati pesisir Jawa misal Bahureksa dari Kendal, Upasanta dari Batang, Mandurareja dari Pekalongan juga dibantu Adipati Cirebon, Adipati Sumedang, dan Adipati Galuh. Pembuatan kapal perang dan perencanaannya dilakukan di Semarang. Ketika pasukan Jawa gagal merebut Batavia, banyak dari mereka yang kemudian menetap di pesisir Pasundan yaitu Karawang dan Subang dikarenakan jika mereka kembali lagi ke Mataram Jawa, mereka akan dihukum mati oleh Sultan Agung. Kekalahan peperangan itu menyebabkan Sultan Agung menghukum mati Adipati Ukur dari Sumedang. Sultan Agung juga melakukan Ekspansi ke utara dan diantara ke Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan dan Kesultanan Sukadana di Kalimantan Barat. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Dipa (abad ke-14M) dimana pada waktu itu menjadi bagian Majapahit dan dipimpin oleh seorang pangeran Majapahit bernama Suryanata. Kerajaan Dipa merupakan penerus dari Kerajaan Kuripan (berdiri abad ke-12M). Nama Kuripan sendiri kemungkinan berasal dari Jawa. Dimana pada abad ke-12M menurut berita China Kerajaan Jawa menguasai wilayah timur Nusantara. Bukti keberadaan Kerajaan Kuripan adalah candi Agung beraliran Hindu yang dibuat ada abad ke-12M. Sedangkan Kesultanan Sukadana (abad ke-16M) merupakan penerus dari Kerajaan Tanjung Pura dimana pada abad ke-14M menjadi bagian Majapahit dan dipimpin oleh seorang yang bergelar Bre Tanjung Pura (prasasti Wingun Pitu, 1447M). Pada abad ke-13M Tanjungpura atau Bakulapura menjadi bagian wilayah Kerajaan Tumapel. Pada abad ke-12M dam berita China Chu-fan-chi disebutkan bahwa Kerajaan Tanjungpura merupakan bagian wilayah dari Kerajaan Panjalu. Bukti keberadaan Kerajaan Tanjung Pura adalah candi Tanjungpura bercorak Hindu yang dibuat pada abad ke-14M. Sultan Agung juga beraliansi dengan Kesultanan Goa Tallo Makassar dalam upaya membendung pengaruh VOC. Kesultanan Goa Tallo Makassar dengan bantuan pasukan Jawa menyerang Kerajaan Bima di Sumbawa. Kerajaan Goa Tallo sendiri berdiri pada awal abad ke-16M dan menjadi kesultanan pada awal abad ke-17M. Pada awal abad ke-17M Kerajaan Bima menjadi kesultanan akibat pengaruh Kesultanan Goa Tallo Makassar sedangkan Kerajaan Dompu menjadi Kesultanan akibat pengaruh dari Jawa. Pengaruh Kesultanan Goa Tallo Makassar di Kesultanan Bima berkurang pada akhir abad ke-17M setelah Makassar jatuh ke tangan VOC pada tahun 1670M. Selain melakukan ekspansi Sultan Agung juga membuat penanggalan sendiri yang dinamakan Kalender Jawa untuk menggantikan Kalender Saka. Tahun dasar penanggalan ini adalah 1633 Masehi atau 1555 Saka. Perbedaan Kalender Jawa dengan Kalender Saka adalah jika Kalender Saka memakai dasar peredaran matahari (Solar/Syamsiah) maka Kalender Jawa memakai dasar peredaran bulan (Lunar/Qomariah). Tujuan pembuatan Kalender Jawa ini adalah untuk menyelaraskan dengan Kalender Hijriah supaya mudah dalam melaksanakan ibadah Islam. Pada tahun 1654M, Amangku Rat Agung (1645M-1677M) juga melakukan upaya penyerangan ke Kesultanan Banten. Amangku Rat Agung menyuruh Cirebon untuk menyerang Sultan Banten tetapi serangan ini dapat digagalkan akibatnya Panembahan Cirebon ditawan oleh Amangku Rat Agung. Amangku

Rat Agung juga bekerja sama dengan VOC dimana Kesultanan Mataram Jawa dapat berdagang di wilayah yang dikuasai VOC dan sebaliknya VOC dapat berdagang di wilayah Mataram Jawa.

Kegiatan kemaritiman Orang Jawa, baik perdagangan maupun pelayaran dimulai dari abad ke-4M dan mencapai puncaknya dari abad ke-7M sampai 17M. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya relief kapal pada candi Borobudur (825M) dan dinamakan sebagai “kapal Borobudur” yang memiliki dua tiang layar dan bercadik. Bukti arkeologis juga dikuatkan dengan adanya penemuan kapal kuno di Punjulharjo, Rembang, Jawa. Kapal tersebut kondisinya masih utuh berukuran 16m x 4m berasal dari abad ke-7M. Sebelumnya pada abad ke-5M kapal yang digunakan dibuat berdasarkan pada bentuk perahu bercadik dengan badan yang panjang dan sebuah tiang layar. Memasuki awal abad ke-9M peranan kapal Borobudur digantikan dengan “kapal Jung Jawa” yang memiliki tiga sampai empat tiang layar. Pada zaman Tumapel dan Majapahit merupakan puncak keberadaaan kapal Jung Jawa dengan tiang layar mencapai lima buah. Jung Jawa berbeda dengan Jung China baik karakteristik maupun bentuk. Jika kapal Jung China memakai paku sebagai perekat dan hanya terdapat satu kemudi maka Jung Jawa hanya memakai pasak sebagai perekat dan mempunyai dua kemudi. Kata “Jung” merupakan turunan kata “Jong” dalam Bahasa Jawa yang berarti “Kapal”. Kata Jong tersebut dapat ditemukan pada prasasti Jawa Kuno pada abad ke-9M. Orang Itali menyebut kata Jung dengan Zonchi dan orang Portugise menyebut dengan Juncos. Bukti lain keunggulan maritime Jawa adalah adanya pengakuan dari Rahib Odrico de Pordonone, Johan de Marignolli, Ibnu Battuta dalam catatan perjalanan mereka. Bahkan seorang pelaut Portugise bernama Tom Pires dalam bukunya “Summa Oriental, 1514 M” menyebutkan bahwa bobot rata-rata kapal perang Jung Jawa (armada Kesultanan Demak) mencapai 600 Ton dan kapal terbesar dapat mencapai 1000 Ton dengan empat buah tiang layar. Tom Pires juga menyebutkan bahwa Anunciada (kapal terbesar Portugise yang berada di Malaka tahun 1511 M) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa. Kapal Jung Jawa sulit dihancurkan dengan meriam Portugise karena struktur kapalnya berlapis dan tebal (tiga lapisan). Pada zaman Majapahit juga pernah melakukan hubungan dagang dengan Kerajaan Ryukyu di Okinawa Jepang pada pertengahan abad ke-14M. Hubungan dagang Majapahit dengan China pada masa Dinasti Yuan Mongol kembali membaik pada tahun 1325M setelah pasukan Mongol gagal dalam ekspedisi kedua mereka dalam memerangi Majapahit berdasarkan berita dari Rahib Italia bernama Odorico de Pordonone (.1321M) dan berita China pada masa Dinasti Ming. Pada abad ke-14M Ryukyu terdiri dari tiga Kerajaan (Sanzan) yaitu Hokuzan (utara), Chuzan (tengah) dan Nanzan (selatan) dimana pada awal abad ke-15M ketiga Kerajaan disatukan oleh Kerajaan Chuzan. Kerajaan inilah yang diakui Dinasti Ming China sebagai penguasa tunggal di Ryukyu. Di dalam kuil Enkakuji istana Shurijo Kerajaan Ryukyu ditemukan sebuah keris Majapahit yang terkubur sejak abad ke-15M dimana menandakan ada hubungan dengan kerajaan yang ada di Nusantara pada saat itu. Relief keris tertua dapat ditemukan di candi Prambanan. Pada abad ke-14M Kerajaan Ryukyu sendiri menjadi tributary state kepada China. Orang Ryukyu mulai menyemarakan perdagangan di Nusantara dari abad ke-14M sampai abad ke-17M. Kerajaan Ryukyu Okinawa dikalahkan Jepang pada akhir abad ke-16M dan akhirnya dianeksasi Jepang pada akhir abad ke-19M.

Banyak pedagang dari Jawa yang berdagang sampai mancanegara. Cauto (pelaut portugise pada awal abad ke-17M) menyatakan bahwa penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit coklat seperti orang Jawa dan mereka mengaku keturunan Jawa. Ada pendapat yang mengatakan bahwa rencana penyerangan Demak ke Malaka sudah ada jauh hari sebelum Malaka diduduki Portugise pada tahun 1511M. Demak berencana menguasai jalur selat Malaka yang ketika itu dikuasai Kesultanan Malaka dengan cara membuat kapal perang yang banyak di Semarang. Sebelum rencana itu dieksekusi,

Kesultanan Malaka sudah jatuh ke tangan Portugis. Demak melihat kemenangan Portugise atas Malaka ditunjang oleh penggunaan sistem meriam kapal yang canggih oleh karena itu Demak memakai cara yang sama yaitu menggunakan meriam kapal. Penyerangan ke Malaka pada tahun 1521M yang dilakukan Yunus (Adipati Jepara) gagal karena adanya kebocoran informasi dimana pada waktu itu mata-mata/telik sandi Demak yang ada di Malaka tertangkap terlebih dahulu oleh Potugise sedangkan Adipati Yunus dari Jepara sendiri meninggal dalam peperangan tersebut. Sebenarnya Demak mempunyai visi wawasan Nusantara.

Kegiatan kemaritiman Jawa mulai berkurang sejak separuh kedua abad ke-18M dimana terlihat tidak banyak lagi ditemukannya Kapal Jung Jawa yang besar. Pada abad ke-18M di pelabuhan Jawa hanya ditemukan kapal-kapal kecil dengan tiang layar dua. Alasan penurunan karena adanya hegemoni VOC di Nusantara yang mencapai puncaknya pada abad ke-18M dan disewakannya daerah pesisir Pulau Jawa oleh Paku Buwono 11 kepada VOC pada tahun 1746M. Pada abad ke-18M Kesultanan Mataram Jawa lebih condong pada kegiatan agraria. Kapal Jung Jawa menjadi punah dan digantikan oleh Kapal Pinisi dari Bugis. Karena adanya kerja sama antara VOC dengan orang Bugis, perdagangan diantara keduanya berjalan baik pada abad ke-18M. Banyak kapal Pinisi melintasi Nusantara dan juga banyak Orang Bugis yang menjadi prajurit bayaran misalnya pada Kesultanan Johor Malaya, Kesultanan Aceh Sumatra, Kesultanan Yogyakarta Jawa, Kerajaan Karangasem Bali (berdiri pada awal abad ke-18M). Misal raja Karangasem Bali menggunakan Orang Bugis untuk menyerang Kesultanan Salaparang Lombok pada tahun 1750M. Kerajaan Lombok didirikan oleh seorang pangeran Majapahit bernama Mpu Nala pada abad ke-14 dan menjadi kesultanan pada akhir abad ke-16M akibat pengaruh dari Jawa. Di Lombok sendiri terdapat beberapa kerajaan kecil yang masih mmpunyai ikatan persaudaraan yaitu Salaparang, Pejanggik, Bayan, dan Langko. Kerajaan Karangasem merupakan pecahan dari Kerajaan Gelgel Bali yang runtuh pada tahun 1686M. Kerajaan Gelgel Bali digantikan oleh Kerajaan Klungkung pada awal abad ke-18M. Pada zaman Klungkung inilah muncul Kerajaan-Kerajaan kecil di Bali yaitu Klungkung, Karangasem, Buleleng, Badung, Bangli, Tabanan, Gianyar, dan Jembrana. Diantara Kerajaan kecil di Bali, Kerajaan Karangasem merupakan yang paling kuat. Pada pertengahan abad ke-18M muncul Kerajaan Mataram Lombok yang berafiliasi dengan Kerajaan Karangasem Bali. Kerajaan Mataram Lombok ini didirikan oleh orang-orang Bali yang bermukim di Lombok pada awal abad ke-17M ataupun ada hubungannya dengan eksodus dari Kesultanan Mataram Jawa yang pecah akibat perang saudara pada pertengahan abad ke-18M. Hal tersebut juga berkaitan dengan adanya sastra Jawa-Lombok. Baik Kesultanan Mataram Jawa maupun Mataram Lombok sama-sama menggunakan sinkretisme Islam sebagai basis. Pada tahun 1764M Kerajaan Mataram Lombok menaklukan Kerajaan Pejanggik. Dan akhirnya Kerajaan Mataram Lombok dapat menguasai seluruh Lombok setelah mengalahkan Kerajaan kecil lainya pada awal abad ke-19M. Pengaruh Bali pada Lombok berakhir pada akhir abad ke-19M ketika Kerajaan Mataram Lombok ditaklukan oleh Hindia Belanda.

Kemunduran kemaritiman Jawa dimulai akibat dari peperangan yang melibatkan Trunojoyo dari Madura, Sultan Tirtayasa dari Banten, dan Orang Makassar melawan Amangku Rat 11 dari Mataram Jawa, VOC, dan Orang Bugis pada tahun 1677M. Sultan Tirtayasa dari Banten menggunakan orang Makassar sebagai prajurit bayaran untuk melepaskan Panembahan Cirebon yang dulunya ditawan oleh Amangku Rat 1. Amangku Rat 11 menggunakan Orang Bugis sebagai prajurit bayaran dalam mempertahankan kekuasaannya akibat pemberontakan Trunojoyo dari Madura. Amangku Rat 11 juga bekerja sama dengan VOC dalam menghadapi Sultan Tirtayasa dari Banten dan Trunojoyo dari Madura. Pada tahun 1679M Trunojoyo akhirnya dapat ditangkap oleh VOC dan diserahkan kepada Amangku Rat

11. Trunojoyo kemudian ditusuk dengan keris melalui tangan Amangku Rat 11 sendiri. Sebagai kompensasinyapada tahun 1681M Mataram Jawa memberikan daerah Karawang dan daerah Priyangan sebelah barat (batasnya sungai Citarum) kepada VOC. Namun demikian Amangku Rat 11 juga membeci VOC. Pada tahun 1686M, Amangku Rat 11 menyuruh Surapati untuk membunuh Kapten Tack dari VOC dengan keris di Keraton Kartasura. Kapten Tack pernah bertindak lancang kepada Amangku Rat 11, dengan beraninya menjual mahkota emas yang berasal dari Majapahit kepada Amangku Rat 11. Kemudian Surapati diangkat oleh Amangku Rat 11 sebagai Adipati Pasuruan.

VOC mendapatkan juga mendapatkan hak monopoli perdagangan di wilayah pesisir Mataram Jawa. Selain itu VOC juga mendapatkan hak monopoli di Banten setelah mengalahkan Sultan Tirtayasa dari Banten. Walaupun VOC sudah mendapatkan hak monopoli perdagangan di pesisir pulau Jawa namun banyak terjadi penyelundupan sehingga merugikan VOC. Oleh karena itu VOC meminta kepada Mataram Jawa untuk menyewakan daerah pesisir Jawa pada tahun 1746M. Sejak saat itulah kegiatan kemaritiman Jawa mulai mati. Pada pertengahan abad ke-18M Sultan Mataram Jawa mulai memperkerjakan Orang China untuk mengelola kota-kota pelabuhan sebagai Juru Bandar terutama di Karesidenan Pekalongan. Posisi orang-orang China di pesisir bertambah kuat ketika diangkat menjadi Bupati oleh Sultan Mataram Jawa (sejak Paku Buwana 11) terutama peranakan China Muslim. Sebagai contoh pada akhir abad-ke-18M Bupati Jayaningrat dari Pekalongan dan Bupati Pusponagara dari Batang.

Pada abad ke-18M konflik suksesi tahta Kerajaan menyebabkan kekuatan Mataram Jawa menjadi melemah. Perang Suksesi ke-1 pada tahun 1703M-1708M antara Amangku Rat 111 dibantu Suropati Adipati Pasuruan melawan pamannya yaitu P. Puger (Paku Buwana 1) yang dibantu VOC. Hasilnya dimenangkan P. Puger dan sebagai kompensasinya pada tahun 1705M Mataram Jawa memberikan daerah Cirebon dan daerah Priyangan bagian timur kepada VOC. Walaupun sudah lepas pengaruh Jawa terhadap daerah Cirebon dan Priyangan masih tetap ada sampai tahun 1810M terlihat dari adanya Sastra Jawa-Sunda. Perang suksesi ke-2 pada tahun 1719M-1724M antara Amangku Rat 1V dibantu VOC melawan P. Purbaya (paman), P. Dipanagara (saudara), P. Blitar (saudara), P. Arya Mangkunagara (anak). Hasilnya dimenangkan Amangku Rat 1V dan sebagai kompensasinya Mataram Jawa memberikan Madura bagian timur. Pada tahun 1740M-1743M terjadi pemberontakan orang China melawan VOC dan Mataram Jawa. Hasilnya dimenangkan oleh VOC dan sebagai kompensasi pada tahun 1744M Mataram Jawa memberikan daerah Madura bagian barat dan daerah sebelah timur Pasuruan kepada VOC. Pada tahun 1746M Mataram Jawa juga menyewakan daerah pesisir Jawa kepada VOC dan sebagai gantinya VOC memberikan uang sewa kepada Mataram Jawa. Perang suksesi ke-3 pada tahun 1746M-1757M antara Paku Buwana 111 dibantu VOC melawan P. Mangkubumi (paman) dan P. Said (sepupu). Hasilnya pada tahun 1755M Mataram Jawa dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta (1755M-1945M) untuk Paku Buwana 111 dan Kesultanan Yogyakarta (1755M-1945M) untuk P. Mangkubumi (Hamengku Buwana 1) dan juga pada tahun 1757M Surakarta dibagi lagi menjadi 2 yaitu Kasunanan untuk Paku Buwana 111 dan Mangkunagaran untuk P. Said (Mangkunagara 1). Perang suksesi internal terus menerus menyebabkan Paku Buwana 11 pada tahun 1749M memberikan kewenangan kepada VOC untuk melantik Sultan Mataram Jawa yang baru. Hal tersebut berarti Mataram Jawa menyerahkan kedaulatannya kepada VOC. Dan sejak saat itu kebijakan politik luar negeri Kerajaan dipengaruhi VOC dengan menempatkan seorang residen VOC sebagai penasihat raja. Perpecahan Mataram Jawa tersebut dicatat dalam Babad Giyanti (akhir abad ke-18M) karangan Yasadipura. Pada tahun 1767M Blambangan (Banyuwangi Selatan) mengadakan kerjasama dengan EIC karena hal itulah VOC menyerang Blambangan (1770M) dengan alasan bahwa Mataram Jawa telah menyewakan daerah pesisir Jawa

kepada VOC termasuk wilayah Blambangan. Pada tahun 1546M Sultan Trenggana dari Demak meninggal ketika sedang mengadakan penyerangan ke Panarukan (Situbondo) sehingga Blambangan (Banyuwangi) masih bebas menganut agama Hindu. Pada tahun 1597M Adipati Pasuruan menyerang dan menaklukan Adipati Blambangan. Penaklukan Pasuruan pada Blambangan ini menyebabkan Kerajaan Gelgel Bali mengadakan penyerangan terhadap wilayah Blambangan namun dapat dikalahkan. Pada awal abad ke-17M Adipati Pasuruan ditaklukan oleh Sultan Agung dari Mataram Jawa. Kesempatan inilah yang digunakan Kerajaan Gelgel untuk menyerang kembali Blambangan. Pada tahun 1635M Sultan Agung dari Mataram menaklukan wilayah Blambangan. Pada tahun 1686M Kerajaan Gelgel Bali runtuh dan terpecah-pecah. Pada tahun 1697M salah satu pecahan Kerajaan Gelgel Bali yang bernama Kerajaan Buleleng Bali menaklukan wilayah Blambangan (Banyuwangi). Raja Buleleng Bali saat itu adalah Panji Sakti (1660M-1699M). Pada tahun 1711M Blambangan dapat direbut kembali oleh Mataram. Salah satu pecahan Kerajaan Gelgel lainnya yaitu Kerajaan Mengwi Bali mengadakan serangan ke Blambangan pada tahun 1726M dan 1730M namun semuanya dapat dipukul mundur. Penyerangan tersebut dilakukan Gusti Agung Alangkajeng (1722AD-1740AD) dari Mengwi. Pada tahun 1732M Kerajaan Buleleng Bali dikuasai oleh Kerajaan Mengwi Bali dan baru kembali merdeka pada tahun 1752M. Dan tidak berapa lama kemudian Kerajaan Buleleng Bali ditaklukan oleh Kerajaan Karangasem Bali pada tahun 1757M. Menurut sumber VOC wilayah Banyuwangi ini jarang sekali penduduknya dan masih menganut agama Hindu. Pada tahun 1745M Paku Buwana 11 (1726M-1749M) dari Mataram memberikan Blambangan kepada VOC. Baru pada tahun 1770M wilayah Blambangan (Banyuwangi) dibawah naungan VOC.

Keadaan Kerajaan Jawa diperparah akibat pergantian VOC ke tangan pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1808M Hindia Belanda membuat jalan raya dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Besuki) tujuannya sebagai pos pertahanan untuk menghadapi Inggris. Selain itu Pemerintahan Hindia Belanda juga menjadikan para Bupati di pesisir Jawa sebagai pegawai negeri dengan mendapatkan gaji tetap dari pemerintah Hindia Belanda (1808M). Pada tahun 1811M Hindia Belanda tidak mau membayar uang sewa lagi atas daerah pesisir kepada Kerajaan. Hal inilah yang menjadi kerisauan kerajaan karena pendapatannya akan berkurang. Alasan Hindia Belanda melakukan kebijakan ini agar dapat menutupi kerugian dan hutang VOC yang besar pada pemerintahan Kerajaan Belanda dan mengefisienkan administrasi pemerintahan. Administrasi VOC dianggap sebagai biang kebangkrutan yang selama ini terjadi akibat tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pegawai VOC. Perbedaan VOC dengan Hindia Belanda adalah VOC tidak bertanggungjawab terhadap kepada Kerajaan Belanda sedangkan Hindia Belanda merupakan perpanjang tangan dari Kerajaan Belanda. Sedangkan tujuan VOC melakukan hak monopoli perdagangan dengan menganut sistem Marchantilisme sedangkan Hindia Belanda penguasaan daerah dan eksploitasi sumber daya alam untuk industrialisasi.

Kerajaan Belanda berdiri pada tahun 1815M setelah memerdekakan diri dari Kekaisaran Perancis. Sebelum dianeksasi oleh Kekaisaran Perancis, negeri Belanda masih berbentuk Republik Belanda yang merupakan konfederasi dari tujuh provinsi bekas wilayah dari Kekaisaran Spanyol (berdiri pada tahun 1516M). Kerajaan Spanyol merupakan gabungan dari Kerajaan Castille dan Kerajaan Aragon pada akhir abad ke-15M. Belanda menyatakan kemerdekaannya dari Kekaisaran Spanyol pada tahun 1581M walaupun demikian baru diakui Spanyol pada tahun 1648M setelah terjadi peperangan selama enam puluh tahun. Republik Belanda ini merupakan sebuah bentuk negara kapitalis pertama di Eropa dengan memakai perusahaan VOC sebagai basis perdagangan global. Pada abad ke-18M pemerintahan Republik Belanda ini mengalami kebangkrutan akibat berbagai peperangan dan akhirnya dikalahkan oleh Perancis tahun 1795M. Pada saat yang yang sama VOC juga mengalami kebangkrutan. Pada tahun

1805M.Kekaisaran Perancis (berdiri pada tahun 1795M) menganeksasi wilayah Republik Belanda dan kemudian membentuk Kerajaan Belanda-Perancis. Ketika Republik Belanda dikalahkan Perancis, wilayah Batavia-Belanda di Jawa menyatakan kemerdekaan diri dan membentuk pemerintahan Republik Batavia sendiri (1795M-1805M) namun akhirnya dibubarkan oleh Kerajaan Belanda-Perancis dengan membentuk pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1806M. Pada tahun itu Kekaisaran Perancis sedang berhadapan dengan Inggris, hal inilah yang membawa dampak pada pemerintahan di Hindia Belanda. Pada tahun 1815M Inggris mengalahkan Perancis dan akhirnya Kerajaan Belanda-Perancis dibubarkan dengan terbentuknya Kerajaan Belanda atas bantuan dari Inggris.

Konflik antara pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Jawa terinterupsi dengan pendudukan Inggris di Jawa. Inggris mengalahkan Hindia Belanda pada tahun 1811M di Semarang ketika terjadi Perang Jawa Inggris-Belanda. Perang Jawa Inggris-Belanda merupakan akibat dari adanya perang Eropa pada waktu itu. Kemudian kekuasaan Hindia Belanda di Jawa dikembalikan lagi oleh Inggris ke Kerajaan Belanda pada tahun1816M. Pernah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh prajurit Sepoy India (prajurit bayaran inggris) terhadap pemerintahan Inggris. Dimana waktu itu Orang Sepoy diprovokasi oleh Paku Buwana 111 untuk memberontak. Tetapi pemberontakan ini dapat diredamkan oleh Inggris. Pemerintahan Inggris juga menghapuskan Kesultanan Banten pada tahun 1813M. Penghapusan Kesultanan Banten ini merupakan klimaks dari penghancuran Surosowan (Istana Banten) oleh Hindia Belanda pada tahun 1808M. Penghapusan ini dipicu oleh pemberontakan bangsawan Banten dengan bantuan Inggris terhadap Sultan Banten. Pada waktu itu Sultan Banten ditangkap dan kemudian diasingkan. Bangsawan Banten memberontak dikarenakan Sultan Banten dianggap bekerja sama dengan Hindia Belanda dengan memberikan pekerjaan yang berat kepada para bangsawan dalam pembuatan jalan. Sultan Banten sendiri pada waktu itu dibawah tekanan Hindia Belanda. Pada tahun 1811M Inggris juga memberikan bantuan kepada Madura untuk melepaskan diri dari Kerajaan Jawa. Kemudian Madura mendirikan kesultanan baru yang bernama Kesultanan Sumenep. Tetapi setelah Hindia Belanda berkuasa kembali, Kesultanan Sumenep dihapuskan (1854M) kemudian dijadikan karesidenan oleh Hindia Belanda dan pada akhir abad ke-19M dijadikan regent dibawah Karesidenan Surabaya.

Pemerintahan Inggris di Jawa pada tahun 1811M-1816M dibawah pimpinan Rafles. Setelah Rafles memberikan kekuasaan kembali kepada Hindia Belanda di Jawa, dia membuat sebuah buku berjudul History of Java tahun 1830M. Rafles termotivasi ketika dia melihat Candi Borubudur dan adanya pemberontakan Orang Sepoy (prajurit bayaran Inggris dari India) terhadap pemerintahan Inggris di Jawa. Rafles melihat adanya keterkaitan antara Orang India dengan Orang Jawa dalam masalah kebudayaan. Salah satu rujukan Rafles sebagai sumber bukunya adalah Babad Tanah Jawi karangan Carik Braja (1788M). Sejarah pembagian Kerajaan Mataram dan perang saudara di Jawa, diceritakan dalam Babad Giyanti karangan Yasadipura 1(akhir abad ke-18M). De Graaf sendiri berpendapat bahwa isi Babad Tanah Jawi masih dapat dipercaya sebagai sumber sejarah dengan batasnya hingga sampai zaman Kesultanan Pajang yang dapat diverifikasi dengan berita VOC. Sedangkan untuk isi dari Babad Tanah Jawi dari akhir abad ke-15M hingga zaman Kesultanan Demak dapat diverifikasi dengan Pararaton (awal abad ke-16M), berita China dari Naskah Sam Po Kong (akhir abad ke-16M) dan berita Portugise. Isi Pararaton sendiri dapat dipercaya sebagai sumber sejarah dengan batasnya hingga sampai awal berdirinya Majapahit. Sedangkan untuk zaman Tumapel dalam Pararaton dapat diverifikasi dengan Kakawin Negarakertagama (1365M). Tokoh sejarah yang ada dalam Pararaton juga terdapat dalam Naskah Sam Po Kong. Isi Naskah Sam Po Kong berisi sejarah Kerajaan Jawa dari pertengahan abad ke-15M hingga pertengahan abad ke-16M. Rafles berpendapat bahwa Kerajaan Champa terletak di Aceh. Dimana di

Aceh terdapat daerah bernama Jeumpa. Pendapat Rafles ini disanggah oleh para sejarawan pada abad ke-19M. Para sejarawan mengatakan bahwa Champa berasal dari Indo-China dengan banyak ditemukannya bukti arkeologi (candi, artefak, prasasti). Hubungan Majapahit dengan dengan Champa sangat dekat dalam masalah budaya misalnya bentuk candi Pari di Majapahit mirip dengan yang ada di Champa. Disebutkan bahwa istri dari Jaya Singhawarman 111 dari Champa (1285M-1307M) yaitu Ratu Tapasi berasal dari Jawa. Kemungkinan Ratu Tapasi merupakan putri dari Kertanagara dari Tumapel/Singasari. Pada tahun 1318M Jaya Indrawarman V putra dari Jaya Indrawarman 111 dari Champa melarikan diri ke Jawa akibat adanya serangan Dai Viet. Pada tahun 1471M Kerajaan Dai Viet menaklukan Champa dan kemudian wilayahnya dianeksasi (1485M). Ketika dianeksasi oleh Dai Viet banyak penduduk Champa yang kemudian pindah dan meminta suaka ke Kesultanan Malaka dan Kesultanan Pasai. Wilayah Champa yang masih tersisa akibat aneksasi dari Dai Viet adalah Kauthara dan Panduranga. Pada tahun 1640M Kauthara Champa ditaklukan oleh Dai Viet. Pada tahun 1695M Panduranga Champa ditaklukan oleh Dai Viet dan kemudian dijadikan sebagai bawahan Dai Viet. Wilayah Panduranga Champa kemudian dianeksasi oleh Dai Viet pada tahun 1832M. Aneksasi Dai Viet menyebabkan penduduk Panduranga Champa banyak yang mengungsi ke Kerajaan Kamboja.

Konflik mulai memanas kembali antara pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Jawa pada tahun 1816M. Konflik memuncak ketika terjadi Perang Jawa yang dipimpin oleh P. Diponogoro pada tahun 1825M-1830M. Konflik ini dimenangkan oleh pihak Hindia Belanda dengan cara tidak sehat karena tidak dapat memenangkan pertempuran secara frontal. Dimana Diponogoro ditangkap ketika sedang mengadakan perundingan dengan Hindia Belanda. Perang ini dimotivasi oleh pembunuhan Hamangku Buwana 1V oleh agen Belanda dan penggunaan makam leluhur Mataram Jawa sebagai jalan raya oleh Belanda. Kekalahan dalam Perang Jawa ini menyebabkan para Sultan Jawa menyerahkan daerah mancanagara kepada Hindia Belanda. Sulatan hanya berkuasa pada wilayah Karesidenan Surakarta dan Karesidenan Yogyakarta. Pada tahun 1830M merupakan penjajahan sebenarnya oleh pemerintahan Hindia Belanda di Jawa. Hindia Belanda mengganti kedudukan residen Hindia Belanda setara dengan Sultan yang dapat mencampuri urusan dalam negeri kerajaan dimana sebelumnya residen VOC hanya berfungsi sebagai penasihat urusan luar negeri kerajaan. Selain itu kerajaan harus melakukan demiliterisasi sehingga Sultan tidak mempunyai kekuatan militer lagi. Bekas prajurit Surakarta dan Yogyakarta dijadikan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai prajurit KNIL yang terdiri dari orang-orang pribumi. Selain itu pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Legiun Mangkunagara dan Korps Paku Alam. Kebanyakan prajurit KNIL berasal dari Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Prajurit KNIL ini misalnya digunakan Hindia Belanda dalam melakukan penyerangan ke Kerajaan Nusantara lainnya misal Perang Paderi (1835M) dan Perang Aceh (1873M). Ketika Perang Aceh pasokan senjata Hindia Belanda dibawa dari gudang senjata di Toba dan Karo Sumatra Utara.

Pada tahun 1835M wilayah mancanagara (diluar karesidenan Surakarta dan Yogyakarta) dijadikan pemerintah Hindia Belanda sebagai lahan tanam paksa yang berlangsung hampir 40 tahun. Lahan rakyat yang diwajibkan untuk tanam paksa hanya 1/5 dari miliknya tapi pada prateknya 1/2 lebih lahan digunakan. Lahan rakyat itu ditanami produk-produk pertanian yang mempunyai harga jual tinggi. Sejak saat itu diperkenalkan produk pertanian yang baru di Jawa. Kesenjangan sosial antara golongan priyayi (bangsawan-red) dengan rakyat semakin besar. Sebaliknya pada tahun 1840M perdagangan dan pelayaran Orang Jawa mulai marak kembali karena pemerintah Hindia Belanda mulai memberikan keluasaan. Dibuktikan dengan adanya pelayaran Orang Jawa yang naik haji ke Mekah meningkat dratis sejak separuh kedua abad ke 19M. Golongan yang naik haji terutama adalah golongan pedagang karena

meningkatnya perekonomian terutama perdagangan pada paruh abad ke-19M. Pada pertengahan abad ke-19M pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah modern di Pulau Jawa. Alasan didirikanya sekolah ini adalah untuk mendapatkan tenaga kerja yang professional yang lebih murah dibandingkan dengan tenaga kerja dari Belanda. Kebanyakan yang sekolah disini adalah golongan bangsawan dan pemangku pemerintahan. Kapal yang digunakan sudah menggunakan tenaga uap sehingga lama waktu perjalanan menjadi singkat. Pada pertengahan abad ke-19M pemerintah Hindia Belanda mulai memberikan keluasannya untuk para missionaris Kristen Protestan dan melarang missionaris Kristen Katolik. Missionaris Kristen Protestan tersebut kemudian mendirikan zending (sekolah kebiaraan). Tanam paksa berakhir sejak dibuatnya UU Agraria tahun 1870M. Sejak saat itulah muncul privatisasi dan liberalisasi di Hindia Belanda. Para petani tidak lagi diwajibkan bercocok tanam secara paksa tetapi mulai menjadi buruh kontrak ataupun menyewakan lahan tanahnya bagi perusahaan swasta asing. Buruh kontrak tersebut dipekerjakan pada perkebunan dan pabrik milik perusahaan asing. Sejak saat itu diperkenalkan produk perkebunan yang baru di Jawa. Dan sejak saat itulah kapitalisasi dan industrialisasi hadir di Pulau Jawa.

Hubungan perdagangan Orang China dengan Orang Jawa sebenarnya sudah terjalin sejak masa Dinasti Eastern Jin (abad ke-4M). Pedagang China yang berdagang ke Nusantara kebanyakan berasal dari Nan Yue/Kanton (Guangzhou) dan Min Yue (Fuzhou). Intensitas hubungan itu mulai meningkat pada abad ke-15M di masa Kerajaan Majapahit dan Dinasti Ming China. Orang China pada waktu itu banyak yang menikah dengan penduduk pribumi yang kemudian disebut China Peranakan. China Peranakan inilah yang kemudian mengembangkan agama Islam di Jawa. Sebenarnya Islam dibawa ke Jawa oleh Orang India, Iran, dan Asia Tengah dimana ketiga wilayah tersebut dikuasai oleh Dinasti Timur Lenk yang beribukota di Samarkand pada akhir abad ke-14M. Menurut J.J Meinsma berpendapat bahwa Sunan Gresik atau Malik Ibrahim (awal abad ke-15M) sebagai pelopor agama Islam di Jawa berasal dari Samarkand berdasarkan pada Babad Tanah Jawi. Sedangkan J.P. Moqueite berdasarkan analisis terhadap bait terakhir tulisan pada makam Sunan Gresik diperkirakan tokoh ini berasal dari daerah Kashan (sebelah utara Isfahan) di Iran. Kedua pendapat tersebut ada benarnya karena pada pertengahan abad ke-14M sudah banyak penduduk asing misal India, Iran, Asia Tengah yang tinggal di ibukota Majapahit. Orang-orang yang berasal dari Iran dan Asia Tengah disebut sebagai Yawana. Banyak Orang China Peranakan yang nantinya terpengaruh dan memeluk agama Islam pada pertengahan abad ke-15M. Pada akhir abad ke-15M Orang China Peranakan Muslim inilah yang mengembangkan agama Islam di kalangan Orang Jawa. Selain Orang China Peranakan, Islam disebarkan ke Jawa juga oleh Orang Champa yang meminta suaka ke Jawa pada akhir abad ke-15M. Para tokoh Islam di Jawa pada abad ke-15M yang merupakan keturunan dari Orang Champa misalnya Wali Sanga dan Syeikh Siti Jenar. Dan Orang Champa lebih dulu berasimilasi dengan penduduk Jawa pada abad ke-15M dibandingkan Orang China yang mulai berasimilasi pada penduduk Jawa pada abad ke-16M. Karena Orang Champa secara budaya mirip dengan budaya Jawa (dulunya beragama Hindu) dan juga secara fisik mirip dengan penduduk pribumi. Oleh karena itulah lebih mudah diterima oleh penduduk pribumi. Pada awalnya penyebaran Islam oleh Wali Sanga lebih pada pendekatan kultural lalu kemudian berubah menjadi pendekatan struktural ketika bersinggungan dengan kekuasaan. Hal tersebutlah yang menjadi polemik antara Wali Sanga dengan Syeikh Siti Jenar dan akhirnya menjadi perselisihan yang membawa-bawa paham keagamaan. Keduanya beradu argumentasi dan akhirnya dimenangkan oleh Wali Sanga karena mempunyai basis kekuasaan di Demak. Syeikh Siti Jenar dikenal karena membawa Islam Kerakyatan yang dikenal dengan nama Islam Jawa. Istilah “rakyat” pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Siti Jenar kepada Orang Jawa. Turunan kata rakyat adalah masyarakat.

Pada awal abad ke-17M VOC merebut Jayakarta dari Banten dan kemudian namanya diganti menjadi Batavia. Untuk mengembangkan Batavia sebagai pusat perdagangan di Nusantara VOC mengirim Orang China dari Formosa (Taiwan) ke Batavia.VOC. Formosa dikuasai VOC sejak tahun 1610M sampai 1660M. kemudian menarik Orang China yang ada di Malaka untuk memindahkan perdagangan mereka ke Batavia setelah VOC merebut Malaka dari Portugise (1641M). Pada akhir abad ke-17M karena adanya gejolak politik di China pada akhir masa Dinasti Ming, banyak Orang China Selatan membawa keluarganya pindah ke Formosa lalu ke Batavia. VOC kemudian melarang imigran gelap China Selatan ini datang ke Batavia pada akhir abad ke-17M karena jumlah penduduk Batavia sudah terlalu banyak. Pada awal abad ke-18M VOC melakukan tindakan represif terhadap imigran gelap yang datang dari China Selatan. Tindakan represif VOC ini menimbulkan pemberontakan Orang China di Batavia dan menyebar di pesisir Jawa kemudian dapat diredamkan VOC pada pertengahan abad ke-18M.

Pada awal abad ke-19M VOC diganti dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu ini pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Sambas (Kalimantan Barat) banyak mengirim tenaga kerja dari China Selatan sebagai tenaga kerja pertambangan di Belitung dan Kepulauan Riau. Pada pertengahan abad ke-19M pemerintahan Hindia Belanda melakukan tindakan politik rasis dengan memasukan Orang China (Timur Jauh) dan Arab (Timur Dekat) dalam kelompok kelas kedua (1850M) sedangkan pribumi biasa dalam kelas ketiga. Pembagian ini karena adanya kepentingan Hindia Belanda dalam perdagangan yang pada waktu ini diberlakukan sistem tanam paksa pertanian. Orang China dan Arab dijadikan sebagai penyalur dan para bangsawan sebagai pengumpul dalam perdagangan sedangkan pribumi sebagai tenaga kerja. Pada akhir abad ke-19M pemerintah Hindia Belanda memasukan Orang China dalam kelas satu sejajar dengan Orang Eropa (1880M). Kebijakan Hindia Belanda ini juga karena adanya kepentingan perdagangan karena sistem tanam paksa sudah dihapus dan digantikan dengan sistem sewa tanah untuk perkebunan dan industri. Dimana Orang China pada waktu ini banyak yang menjadi penyewa tanah. Pada akhir abad ke-19M karena adanya gejolak politik di China pada akhir masa Dinasti Ching, banyak imigran Orang China yang membawa keluarganya pindah ke Semenanjung Malaya dan Jawa. Jika dilihat secara antropologi Orang China yang ada di Nusantara berasal dari China Selatan. Sub Suku Orang China tersebut misalnya Hokkien/Min Yue (Fujian), Kantonis/Nan Han (Guangdong), Teochew (Guangxi), Hainan, Hoklo (Taiwan), Hui (Yunnan) dan Hakka (Orang Han yang pindah ke China Selatan). Orang India yang datang ke Jawa kebanyakan berasal dari Bengali (Bengal), Keling (Orissa), Tamil (Tamil Nandu), Sinhala (Sri Langka), Malayalam (Kerala), Telugu (Karnataka dan Andra Pradesh).

Hubungan perdagangan Orang Arab dengan Orang Jawa sudah berlangsung sejak dari abad ke-7M. Intensitas kedatangan imigran Arab ke Jawa dimulai pada akhir abad ke-18M. Biasanya kebanyakan imigran Orang Arab yang datang ke Jawa berasal dari Hadhramaut (Yaman), Haramain (Hejaz), Mesir, dan Maghribi (Marocco). Keluarga Hadhrami dari Bani Alawi misalnya al Kadrie yang merupakan pendiri Kesultanan Pontianak (1771M) dan al Idrus yang pendiri Kesultanan Kubu (1772M). Banyak kesultanan-kesultanan di Nusantara dihapus oleh pemerintah Republik Indonesia dari tahun 1950M sampai 1960M. Bani Alawi merupakan keturunan dari Ahmad al Muhajir yang pindah dari Baghdad ke Hadhramaut pada pertengahan abad ke-9M. Ahmad al Muhajir sendiri merupakan keturunan dari Jafar ash Shadiq yang merupakan salah satu Imam Syiah. Pada abad ke-19M Orang Arab Hadhrami mempunyai pengaruh besar dalam bidang keislaman di Nusantara. Orang Hadhrami tersebut mengaku mempunyai garis keturunan dari Muhammad dengan memdapatkan gelar Sayid, Syarif, dan Habib. Orang Hadhrami pindah ke Jawa karena adanya gejolak politik di Arab dimana pada waktu itu terjadi

peperangan antar suku. Pada waktu itu kelompok aliran Wahhabi yang bermazhab Hambali (berdiri pada akhir abad ke-18M) melakukan ekspansi wilayah untuk mendapatkan pengaruhnya. Aliran ini bertujuan melakukan purifikasi Islam dengan menghancurkan lokalitas budaya setempat. Aliran Wahhabi sendiri berasal dari daerah Najed yang disokong oleh keluarga al Saud pada akhir abad ke-18M. Pengaruh aliran Wahhabi ini misalnya menyebabkan terjadinya perang Paderi di Sumatra Barat. Perang Paderi ini menyebabkan banyak bangsawan Minang yang terbunuh. Aliran ini dibawa ke Minang oleh tiga orang haji yang terpengaruh aliran Wahhabi yang baru saja datang dari Mekah. Ketiga peziarah ini disebut "Padri" sesuai dengan nama pelabuhan Pidie di Aceh sebagai tempat keberangkatan orang-orang yang naik haji.. Sebenarnya penyebaran paham Wahhabi di Arab pada abad ke-19M terkait dengan kepentingan politik keluarga al Saud dengan bantuan Inggris dalam menghadapi Turki di Mekah dan Madinah. Pada awal abad ke-20M keluarga al Saud melengserkan Syarif Mekah dan Madinah.

Pada akhir abad ke-19M intensitas imigran Arab meningkat hal ini disebabkan oleh dibukanya jalur pelayaran dari Jawa ke Mesir melalui terusan Suez yang baru dibuka pada tahun 1870M. Pada waktu itu penduduk Hindia Belanda yang ingin naik haji diwajibkan memiliki passport dan membayar pajak kepada pemerintah Hindia Belanda. Selain itu pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan swasta melakukan tindakan monopoli pelayaran bagi calon haji yang ingin ke Mekah. Pada akhir abad ke-19M banyak jamaah haji dari Jawa yang terpengaruh oleh gerakan paham pembaharuan Islam baik yang moderat ataupun ekstrim yang digencar-gencarkan pada waktu itu. Jamaah Haji tersebut kemudian membawa paham tersebut ke Jawa. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu menamakannya sebagai Haji Politik. Para Haji Politik yang baru saja datang dari Arab itu dengan membawa paham baru tersebut, mulai bergesekan dengan Ulama pesantren ataupun tarekat yang sudah mempunyai paham keagamaan sendiri sejak abad ke-15M. Paham pembaharuan Islam mengutamakan purifikasi dengan dalih sebagai tameng dalam menghadapi Kolonialisme Barat. Dalam prateknya paham tersebut mempunyai kekakuan tersendiri terhadap budaya lokalitas setempat sehingga mengalami rigiditas. Lebih mengutamakan struktur dan formalitas daripada essensi, lebih mengutamakan tekstual daripada kontekstual masyarakat.

Pada akhir abad ke-19M selain aliran pembaharuan Islam Ekstrim di Saudi ada juga aliran pembaruan Islam Moderat di Mesir yang didengungkan oleh Muhhammad Abduh dan Jamaluddin Afghani (Pan Islamis). Pada akhir abad ke-19M selain kedua aliran tersebut juga ada juga Ulama Haramain (Mekah) yang mengajarkan aliran tradisional Islam Moderat misal Imam Nawawi al Bantani al Jawi (Banten), Ahmad Khotib al Sambas, Ahmad Termas al Jawi (Jawa Tengah). Ketiga Ulama tersebut berasal dari Nusantara khususnya Jawa yang mengajar di Mekah pada akhir abad ke-19M. Kebanyakan sistem pengajaran Islam/pesantren di Nusantara bahkan sampai di Pattani dan Mindanao bersumber dari Ulama tersebut. Kebanyakan aliran Islam di Nusantara adalah bermazhab Syafii. Mazhab Syafii sendiri lebih bersifat mistik dan moderat dibandingkan dengan mazhab Hambali yang agak kaku. Sedangkan mazhab Hanafi kebanyakan dianut oleh China Muslim dan India Muslim yang lebih bersifat rasionalitis dan moderat. Karena mazhab Syafii kebanyakan diterima oleh masyarakat maka bermunculah tarekat-tarekat yang ada di Nusantara misal tarekat Syatariyah, tarekat Nasyabandiyah dan tarekat Qodiriyah. Bahkan pendiri Muhammadiyah yaitu Ahmad Dahlan (1912M) di Yogyakarta dan Nadhatul Ulama (NU) yaitu Hasyim Asyari (1926M) di Jombang merupakan murid dari Ulama ini. Pada awal abad ke-20M ketika al Saud menguasai Mekah-Madinah dan hendak menghancurkan warisan Nabi maka Ulama tradisional (NU) yang ada di Jawa menyampaikan petisi keberatan kepada Raja al Saud untuk mempertahankan warisan Nabi dan petisi tersebut diterima.

Sastra Malayu juga mulai berkembang pada abad ke-18M misalnya Hikayat Hang Tuah (abad ke-18M). Hikayat ini kebanyakan berisi kritik yang ditujukan kepada Orang Jawa bersetting pada zaman Sultan Mahmud Shah (1488M-511M) dari Malaka hingga penaklukan Malaka oleh Portugise. Meskipun begitu senjata paling ampuh, yaitu sebilah keris yang berasal dari Majapahit. Malah Hang Tuah dan lima bersaudara dikatakan menuntut banyak ilmu dari pertapa Jawa. Bahkan disebutkan bahwa Sultan Mahmud Shah (1488M-1511M) dari Malaka pernah berkunjung ke Jawa untuk sowan kepada Maharaja Majapahit. Mitos Hang Tuah ditulis kira-kira 250 tahun sesudah penaklukan Malaka oleh Portugise bersamaan dengan terpecahnya Kesultanan Mataram Jawa. Hikayat ini dibuat pada masa Dinasti Bendahara di Johor dimana dinasti terdahulu yaitu Dinasti Malaka runtuh padatahun 1699M. Gangguan Portugise menyebabkan Kesultanan Johor harus berkali-kali memindahkan ibukotanya ke daerah rawa-rawa dan militernya di Selat Malaka telah musnah bersamaan takluknya Malaka. Di samping itu permusuhan dan peperangan dengan Kesultanan Jambi (dibawah pengaruh Jawa) dan ketegangan internal yang menyebabkan terbunuhnya sultan terakhir membuat Johor menjadi lemah. Dalam masa sulit seperti inilah hikayat ini ditulis.

Pada abad ke-19M Bahasa Malayu mulai dijadikan sebagai lingua franca yang digunakan dalam perdagangan di Nusantara. Pada abad 19M banyak diciptakan karya sastra Malayu baik syair maupun hikayat. Pada awal abad 20M pemerintah Hindia Belanda menjadikan Bahasa Malayu sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Maka dibuatlah ejaan Malayu dalam Aksara latin oleh van Ophuijsen (1901M). Ejaan van Ophuijsen bertujuan mengganti ejaan Malayu dalam Aksara Jawi dengan Aksara latin. Nantinya ejaan van Ophuijsen digantikan dengan ejaan Soewandi untuk Bahasa Indonesia (1947M) lalu diganti lagi menjadi ejaan Mashuri (1973M). Setelah dikeluarkan ejaan baru inilah pengaruh Bahasa Jawa terhadap Bahasa Indonesia begitu kuat menggantikan Bahasa Malayu dan kata-kata dalam Bahasa Inggris mulai banyak diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Banyak Sastra Barat (novel) diterjemahkan ke dalam Bahasa Malayu dan Sastra Malayu karangan peranakan Eropa, peranakan China ataupun Pribumi pada awal abad ke-20M. Pada tahun 1920M Balai Pustaka didirikan dengan tujuan untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan liar yang dihasilkan oleh Sastra Malayu dari barat yang dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Malayu, Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda serta dalam jumlah terbatas dalam Bahasa Bali dan Bahasa Madura. Pada zaman Balai Pustaka inilah mulai terbit Sastra Indonesia. Sedangkan Bahasa Indonesia merupakan perpaduan antara Bahasa Malayu dan Bahasa Jawa yang muncul setelah dikumandangkan oleh M. Yamin dalam Sumpah Pemuda pada Konggres Pemuda 11 (1928M) dengan ketuanya bernama Soegondo Joyohadikusoemo. Draft Sumpah Pemuda sendiri pada awalnya tertulis Bahasa Malayu sebagai bahasa nasional yang diajukan oleh ketua panitia pembuatan draft Sumpah Pemuda (M. Yamin) namun atas usulan ketua Konggres Pemuda 1 (1926M) yang bernama M. Tabrani kata Bahasa Malayu diganti dengan kata Bahasa Indonesia. Alasannya karena kelogisan ketika dalam draft itu tertulis bahwa Bangsa Indonesia sebagai bangsa pemersatu, oleh karena itu yang dijadikan sebagai bahasa pemersatu adalah Bahasa Indonesia bukannya Bahasa Malayu. Kata Indonesia pada tahun 1917M diperkenalkan oleh van Volenhoven kepada mahasiswa Hindia Belanda yang ada di negeri Belanda untuk menggantikan kata Indies. Dalam Sumpah pemuda (1928M) sendiri dihadiri oleh para pemuda Indonesia misal Jong Java, Jong Sumatran, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Islamiten. Setelah tahun 1930M muncul sastrawan Pujangga Baru (1930M-1945M) yang didirikan oleh Sutan Takdir Alihsyabana yang kebanyakan anggotanya berasal dari Minang dan Batak Mandailing. Dimana ia menyarankan untuk memutus sejarah kebudayaan pra-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19M) dengan kebudayaan sesudah Indonesia (awal abad ke-20M), serta merta menghasilkan mata rantai yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir mulai tahun

1900M sekaligus menafikan perjalanan sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun. Lompatan yang dilakukan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) itu sejalan dengan politik etis yang tengah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tapi, hal itu mengaburkan jati diri Bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane sejalan dengan Poerbatjaraka dalam menanggapi STA. Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu saja. Ia pun menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia lama dan pengaruh Barat yang diformulasikan menjadi kebudayaan Indonesia baru. Pengaruh Eropa merupakan babakan kecil dalam sejarah Indonesia. Selain pengaruh Eropa ada pengaruh Hindu-Budha dan Islam yang lebih dulu hadir di dalam sejarah Indonesia. Walaupun demikian budaya lokal masih tetap terjaga hingga terjadilah akulturasi dengan budaya luar tersebut. Dalam bahasa Sanusi Pane sebaiknya kebudayaan Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur). Tidak begitu saja melupakan pujangga-pujangga lama seperti Ranggawarsita.

Pada awal abad ke-20M pemerintah Hindia Belanda melakukan politik etis (Edukasi, Transmigrasi, Irigasi) sebagai tindakan balas budi kepada penduduk kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda cenderung memusatkan pembangunan di Jawa. Banyak dibangun waduk sebagai sistem irigasi untuk pertanian dan perkebunan. Sebenarnya pembangunan waduk ini tidak terlepas dari adanya kepentingan industrialisasi dan perkebunan swasta milik asing. Pada awal abad ke-20M banyak dibangun universitas lokal untuk kalangan pribumi. Sebenarnya di Jawa pada pertengahan abad ke-19M sudah didirikan sekolah administrasi (birokrasi) dan sekolah kedokteran. Pemerintah Hindia Belanda juga mulai melakukan program transmigrasi bagi penduduk Jawa dimana Pulau Jawa pada waktu itu sudah padat sekali. Para trasmigran ini kebanyakan dikirim ke Pulau Sumatra untuk mengolah lahan pertanian yang masih kosong. Daerah tujuan transmigrasi ini misalnya Lampung, Palembang dan Jambi. Pada awal abad ke-20M karena berkembangnya perkebunan di Pulau Sumatra, banyak penduduk Jawa yang kemudian menjadi buruh kontrak pada perkebunan asing terutama di Riau dan Sumatra Utara. Selain di Sumatra banyak juga penduduk Jawa yang menjadi buruh kontrak pada perusahaan perkebunan Inggris di Johor.

Pada awal abad ke-20M merupakan awal munculnya kebangkitan nasional. Sebelum ada kebangkitan berskala nasional Indonesia pada tahun 1920 M, terlebih dulu didahului oleh kebangkitan nasional Jawa pada tahun 1900M. Kebangkitan nasional Jawa ditandai dengan pendirian Budi Utomo oleh Soetomo. Sebenarnya Budi Utomo (1908M) yang didirikan di Yogyakarta hanya untuk kalangan anggota yang berasal dari Jawa-Madura saja. Pada tahun 1910-an M muncul perdebatan diantara intelektual muda di Jawa yaitu tentang Nasionalisme Jawa (Soetatmo) atau Nasionalisme Indies (Cipto Mangoenkoesoemo). Perdebatan pemikiran kedua orang tersebut tertulis di koran-koran pers di Jawa. Nama Indies kemudian diganti dengan nama Indonesia (1920M). Nama Indonesia dipopulerkan oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda dan mendirikan perkumpulan yang bernama Perhimpunan Indonesia atas prakarsa Cipto dengan anggota M. Hatta, Sutan Syahrir, Ali Sastroadmijoyo. Perkumpulan inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927M yang didirikan oleh Soekarno (dengan bimbingan dari Cipto) dan salah satu anggotanya M. Hatta, Sutan Syahrir, Ali Sastroadmijoyo. Ketika adanya Sumpah Pemuda (1928M), Budi Utomo berubah menjadi Jong Java. Selain Budi Utomo di Jawa juga didirikan Serikat Dagang Islam (1909M) oleh Samanhudi di Surakarta. Tujuan didirikan Serikat Dagang Islam (SDI) adalah adanya kepentingan perdagangan diantara anggotanya. Sebelum didirikan SDI para anggotanya merupakan anggota dari kongsi dagang Jawa-China. Ketika orang China melakukan protes dan pemogokan kerja yang menyebabkan kemungkinan perekonomian akan lumpuh. Oleh karena itu para anggota yang berasal dari Jawa memisahkan diri dan

untuk mengimbangi pengaruh perdagangan China didirikanlah SDI. Nantinya SDI berubah menjadi Serikat Islam (SI) yang didirikan oleh Cokroaminoto pada tahun 1911M. Tujuan SI bukan lagi masalah ekonomi saja melainkan menjadi mesin politik. Pada tahun 1920M anggota SI meluas di seluruh wilayah Hindia Belanda. Pada tahun 1912M baik SI (Surakarta) maupun Muhammadiyah (Yogyakarta) merupakan aliran pembaharuan Islam Moderat di Jawa. Soekarno sendiri merupakan anak asuh dari Cokroaminoto. Diantara anggota SI ada yang berhaluan kiri dan disebut sebagai SI merah (Semaun dan Sutan Malaka) di Semarang. Anggota SI merah (Islam Sosialis) membentuk Serekat Rakyat yang nantinya merupakan cikal bakal berdirinya Partai Komunis Indonesia (1920M). Salah satu anggota PKI yang terkenal adalah Muso. Sedangkan SI yang berhaluan kanan (SI putih) membentuk Partai Serikat Islam (PSI). Ada sekelompok anggota PSI (Kartosuwiryo) yang memisahkan diri dan kemudian pindah ke Bandung (1939M). Kelompok inilah yang nantinya membentuk Darul Islam (DI). Kelompok DI merupakan aliran pembaharuan Islam Ekstrim.

Pada tahun 1926M, Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan tetapi dapat diredamkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Baik Semaun maupun Sutan Malaka melarikan diri ke Uni Soviet. Akibat pemberontakan ini pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan pengawasan ketat terhadap partai politik. Banyak mahasiswa dalam Perhimpunan Indonesia yang ada di Belanda yang ditangkap atas tuduhan menerima dana dari Komunis Internasional (Comintern). Perhimpunan Indonesia nantinya dikuasai oleh kaum sosialis dan akhirnya memecat, M. Hatta dan Ali Sastroadmidjoyo dari keanggotaan. Pada tahun 1931M dibentuk Partai Indonesia (Partindo) sebagai ganti PNI yang dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pendiri Partindo adalah Soeroto dan salah satu anggotanya adalah Soekarno. Partindo sendiri dibubarkan pada tahun 1936M. Pada tahun 1937M dibentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Nasionalis Sosialis) dimana M. Yamin dan Amir Syarifuddin Harahap menjadi salah satu anggotanya. Pada tahun yang sama juga dibentuk Majelis Islam Alaa Indonesia (MIAI) yang merupakan organisasi kerjasama antara Muhammadiyah (pembaharuan Islam Moderat), Nadhatul Ulama (tradisonal Islam Moderat), dan Persatuan Islam (pembaharuan Islam Ekstrim). Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada tahun 1923M dan salah satu anggotanya adalah M. Natsir. MIAI berubah menjadi Majelis Syuro Indonesia (Masyumi) pada tahun 1943M.

Pada tahun 1942M pemerintah Hindia Belanda dikalahkan oleh Jepang pada waktu Perang Dunia 11. Sehingga secara otomatis wilayah Hindia Belanda dibawah naungan Jepang. Untuk mempertahankan kekuasaannya di Hindia Belanda pemerintah Jepang meminta bantuan kepada penduduk pribumi dalam menghadapi Perang Dunia 11 dengan janji akan diberikan kemerdekaan bagi penduduk Hindia Belanda. Pada tahun 1943M Soekarno dan M. Hatta diberangkatkan ke Jepang untuk menemui Kaisar Jepang. Pemerintah Jepang juga membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian namanya diganti menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan ketuanya bernama Radjiman Wedyodiningrat. Tujuan BPUPKI adalah untuk membuat Dasar Negara dan Konstitusi Negara. Pembuatan Dasar Negara dikemukakan oleh Soekarno. Dasar Negara dinamakan sebagai Pancasila oleh Soekarno. Kata “Pancasila” diambil dari Bahasa Sansekerta yang berarti “lima dasar” yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular. Pada sila pertama Pancasila, masih diikuti dengan kata kewajiban menjalankan Syariat Islam. Oleh karena adanya keberatan dari golongan Kristen, maka kata Syariat Islam dalam sila pertama Pancasila itu dihilangkan. Ketika Jepang menyatakan menyerah kepada sekutu maka terjadilah Vacuum of Power. Saat itulah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Soekarno diangkat sebagai presiden sedangkan M. Hatta sebagai wakil presiden.

Ketika awal kemerdekaan Indonesia mengalami banyak gejolak politik baik dalam negeri maupun dari serangan dari luar (Belanda). Gangguan internal pertama terjadi pada tahun 1946M ketika Sutan Malaka (baru datang dari Uni Soviet) dan M. Yamin meminta dibubarkannya Kabinet Syahrir dengan cara menculik Sutan Syahrir tetapi akhirnya dapat dibebaskan. Permintaan Sutan Malaka dan M. Yamin ditolak dan akhirnya mereka dipenjara selama dua tahun. Setelah dua tahun M. Yamin mendapatkan amnesti dari Soekarno dan dijadikan menteri sedangkan Sutan Malaka dieksekusi oleh pemerintah. Pada tahun 1946M juga terjadi revolusi sosial terhadap kesultanan yang ada di Sumatra Utara dimana banyak bangsawan Malayu yang terbunuh. Konflik internal menyebabkan Belanda melakukan agresi militer. Pemerintah Indonesia (Kabinet Syarifuddin) mengadakan perundingan perdamaian dengan pemerintah Belanda walaupun harus banyak kehilangan wilayah kekuasaan. Karena dianggap gagal dalam menjaga wilayah Indonesia akhirnya Amir Syarifuddin Harahap diberhentikan. Pada tahun 1948M terjadi pemberontakan kaum sosialis (PKI) di Madiun yang dilakukan oleh Muso (baru datang dari Uni Soviet) dan Amir Syarifuddin Harahap dengan menuntut dibubarkannya Kabinet Hatta. Pemberontakan ini akhirnya dapat diredamkan dan pelakunya dapat dieksekusi. Pemberontakan ini menyebabkan banyak Ulama di Madiun yang terbunuh. Pemberontakan internal dan kelemahan Indonesia dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk melakukan agresi militer kembali (1949M). Akhirnya Soekarno dan M. Hatta dapat ditangkap dan dibuang oleh pemerintah Belanda. Sebelum ditangkap Soekarno mendelegasikan kekuasaan sementara kepada Safruddin Prawiranagara. Kemudian Soekano menunjuk Safruddin Prawiranagara sebagi ketua dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Pada tahun 1949M atas desakan United Nation (UN) pemerintah Belanda akhirnya membebaskan Soekarno dan Hatta. Pemerintah Belanda akhirnya juga mengakui kedaulatan Indonesia dan akan dibentuk pemerintahan Serikat Indonesia serta Uni Indonesia-Belanda. Kemudian Syafruddin Prawiranagara mengembalikan kewenangannya kepada Soekarno. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) Presiden Soekarno memerintahkan sebuah tim yang dikoordinir oleh Abdul Hamid al Kadri dengan salah satu anggotanya adalah Poerbatjaraka untuk mengadakan sayembara bagi masyarakat dalam rangka pembuatan lambang negara. Kemudian seorang seniman bernama Basuki Resobowo memenangkan sayembara tersebut. Simbol Burung Garuda sendiri diambil dari Kakawin Ramayana (abad ke-9M) dan sebagai kendaraan Dewa Wisnu seperti dalam arca Maharaja Airlangga (awal abad ke-11M). Gambar burung Garuda tersebut masih berupa mahluk mitologi Hindu yaitu mahluk berbadan setengah manusia dan setengah hewan dengan tangannya membawa perisai Pancasila. Airlangga disimbolkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu yang diturunkan ke bumi untuk menyelamatkan manusia dan dunia dari angkara. Bahkan istri dari Airlangga yaitu Dewi Laksmi dan Dewi Sri memiliki kesamaan nama dengan istri-istri Dewa Wisnu. Oleh karena adanya keberatan dari golongan Islam, maka gambar burung Garuda tersebut kemudian dirubah dengan menghilangkan unsure manusia dari burung Garuda dan perisainya diletakan di badan burung Garuda. Sedangkan motto Bhineka Tunggal Ika diambil dari Bahasa Sansekerta yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular yang merupakan seorang Bhiksu Budha. Dari situlah terbentuk simbol Garuda Pancasila. Abdul Hamid al Kadri sendiri kemudian terlibat dalam pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Westerling dengan menggerakan mantan tentara KNIL Belanda. Akhirnya APRA dapat diredamkan namun Westerling dapat melarikan diri ke Belanda sedangkan Abdul Hamid Aal Kadri dijatuhi hukuman penjara. Pemerintahan RIS tidak berjalan lama karena dianggap sebagai bentukan Belanda oleh karena itu rakyat memilih kembali pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada tahun 1950M wilayah Kasunanan Surakarta masuk dalam provinsi Jawa Tengah sedangkan Kasultanan Yogyakarta membentuk sebuah provinsi tersendiri. Provinsi Yogyakarta disebut sebagai daerah istimewa karena para

Sultan Yogyakarta berhak menduduki jabatan gubernur provinsi seumur hidup. Dari tahun 1945M-1959M sistem pemerintahan Indonesia berbentuk sistem parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Setelah terbentuk NKRI yang berdaulat (1950M) terjadi persaingan antar partai politik Indonesia di parlementer dengan membawa kepentingan masing-masing. Kekuatan utama yang bersaing di parlementer misal Islam yang dibawa oleh Masyumi dan Nasionalis yang dibawa oleh PNI. Pada awalnya dominasi di parlementer dibawah pengaruh Masyumi tetapi setelah tahun 1952M dikuasai golongan nasionalis (PNI). Soekarno juga menumbuhkan kembali golongan sosialis (PKI) yang dipimpin oleh Dipo Nusantara Aidit (nama aslinya Ahmad Aidit) pada tahun 1953M. Dengan syarat kesetiaan kepada Soekarno. Ketika Soekarno menghidupkan kembali golongan sosialis ini banyak yang menentangnya terutama Ali Sastroadmijoyo yang tidak mau memasukkan PKI dalam kabinet. Maka dari situlah Kabinet Ali dibubarkan pada tahun 1954M digantikan oelh Kabinet Burhanudin. Pada tahun 1955M diadakan pemilu pertama di Indonesia. Hasil pemilu 1955M sebagai berikut posisi pertama diduduki oleh PNI, kedua; Masyumi, ketiga; NU, keempat; PKI. Kemudian Ali Sastroadmijoyo dari PNI diangkat kembali menjadi perdana menteri. Pada tahun 1956M, M. Hatta mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden karena tidak sejalan dengan tindakan Soekarno lagi. Pada tahun 1957M, Soekarno menunjuk Djuanda yang berasal dari non partisan sebagai perdana menteri. Tokoh nasionalis seperti M. Hatta, Sutan Syarir, Ali Sastroadmijoyo mempunyai pengalaman buruk dengan golongan sosialis ketika mereka masih menjadi mahasiswa di Belanda ataupun ketika mereka sudah memduduki jabatan. Perbedaan paham nasionalis diantara ketiga tokoh tersebut dengan Soekarno adalah jika ketiga tokoh tersebut cenderung lebih elitis dalam memahami demokrasi maka Soekarno lebih cenderung kerakyatan. Hal tersebut dapat dipahami karena ketiga golongan tersebut (berpendidikan di Belanda) lebih paham tentang Demokrasi Barat dibandingkan Soekarno (berpendidikan di Hindia Belanda). Golongan Masyumi juga terpecah dimana NU memisahkan diri dan membentuk partai sendiri. Sehingga Masyumi hanya tersisa dari golongan Persis yang beraliran Islam ekstrim. Golongan Islam yang ekstrim lain yaitu Darul Islam yang kecewa pada pemerintah akhirnya memberontak tetapi dapat diredamkan dan pemimpinnya yang bernama S.M. Kartosuwiryo dapat dieksekusi. Pada tahun 1956M terjadi pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra dan Permesta di Sulawesi yang kecewa pada pemerintahan pusat di Jawa. M.Natsir dan Syafruddin Prawiranagara dari Masyumi memihak pada PRRI dan melarikan diri ke PRRI Sumatra Barat, dimana daerah tersebut dibawah pimpinan Ahmad Husein. Pada tahun 1958M pemberontakan PRRI dan Permesta dapat diredamkan oleh pemerintah pusat dengan dengan mengirimkan pasukan TNI dalam jumlah besar ke daerah-daerah tersebut. Kemudian banyak anggota PRRI yang melarikan diri ke hutan dan mengadakan perang gerilya. Pada tahun 1961M pimpinan PRRI Sumatra Barat yaitu Ahmad Husein menyerahkan diri dan kemudian diberi amnesti oleh Soekarno. Pada tahun 1959M Soekarno mengeluarkan dekrit yang isinya menghapus sistem parlementer dan mengganti menjadi sistem presidensil. Dekrit ini ditentang oleh golongan Masyumi dan hasilnya Soekarno menghapus Masyumi (1960M).