Historia Madania - · PDF fileJurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas ... timbul dan...
Transcript of Historia Madania - · PDF fileJurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas ... timbul dan...
1
2
Historia Madania Jurnal Ilmu Sejarah
Volume I, No. I, Januari - Juni 2011
ISSN 2088-2289
Penanggungjawab
Setia Gumilar
Pimpinan Redaksi
Moeflich Hasbullah
Sekretaris Redaksi
Ading Kusdiana
Dewan Redaksi
Sulasman, Asep A. Hidayat, Ajid Thohir, Fajriudin, Agus Permana
Staff Redaksi
M. Amaluddin Muslim, Suparman, Samsudin
Tata Usaha
Widiati Isana
Distributor
Dina Marlina, Fatmawati
Cover : http://ferdiardiantozer.blogspot.com/2010/06/peradaban-islam.html
Alamat Redaksi
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora
Jl. A.H. Nasution 105 Bandung Telp. (022) 7810790 Fax. (022) 7803936
3
4
PERBANDINGAN WARISAN PERADABAN MESIR
DAN AMERIKA TENGAH
(Lanjutan dan Perubahan)
Agus Permana
Abstrak
Sebagian besar peradaban Mesir Kuno mengalami diskontinuitas setelah penyerangan
dan penguasaan bangsa Romawi. Pola keberagamaan penduduk Mesir mengalami
perubahan yang dramatis mulai dari pengaruh Romawi sampai pada pengaruh Islam di
masa dinasti Fatimiah dan Mamluk. Dewasa ini sebagian besar penduduk Mesir
beragama Islam. Diskontinuitas juga terjadi pada bidang pengembangan arsitektur.
Pengetahuan dan kemampuan teknis arsitektur seperti tergamabar dalam pembangunan
piramida tidak pernah ada lagi. Demikian pula dengan peradaban Amerika Tengah yang
mengalami diskontinuitas dan terkubur bersama dengan berkembangnya kolonialisasi di
benua Amerika. Tetapi ada beberapa hal yang mengalami kesinambungan yaitu pada
sistem sosial dan kepercayaan di kalangan bangsa Indian. Pengetahuan tentang
arsitektur, penataan kota dan bidang matematika dan astronomi telah bergeser dan
dikuasai oleh kaum pendatang. Bahkan observatorium astronomi yang dulu di bangun
oleh bangsa Maya akhirnya dikembangkan oleh orang-orang Eropa, bukan oleh orang-
orang dari keturunan suku Aztek dan Maya.
Kata-Kata Kunci
Perbandingan, Peradaban, Kontinuitas dan Diskontinuitas.
Pendahuluan
Sejarah secara filosofis bertujuan memberikan arti kepada seluruh sejarah kegiatan
manusia, kepada pola keseragaman (uniformity) dan keragaman (variety) dari gerak-gerak
kegiatan manusia pada masa lalu, misalnya bagaimana timbul dan berkembangnya suatu bangsa
dan peradaban serta bagaimana pasang surut sampai pada keruntuhan bangsa dan
peradabannya. Ini merupakan suatu upaya pencarian dan pemahaman terhadap faktor-faktor,
5
tenaga-tenaga tetap dan mendasar (sebab-sebab dan kondisi-kondisi) di balik kesinambungan
(continuity) dan perubahan (change) dalam sejarah manusia itu (Helius Sjamsuddin, 2007:159).
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka pada makalah ini akan diketengahkan
suatu rekonstruksi historis mengenai warisan peradaban Mesir dan warisan peradaban di
Amerika Tengah. Fokus kajian pada tulisan ini adalah: pertama, studi perbandingan mengenai
peradaban di Mesir dan Amerika Tengah; dan kedua adalah analisis mengenai keberlanjutan dan
perubahan dari dua peradaban tertua di dunia tersebut.
Studi perbandingan dari dua warisan peradaban dunia ini didasari oleh asumsi dasar
bahwa pada kedua peradaban itu terdapat beberapa peninggalan sejarah yang menunjukkan
persamaan. Di antara persamaan itu adalah sistem kepercayaan yang sama sama bersifat
politeisme, kemajuan dalam rekayasa (engineering) dan matematika sehingga menghasilkan
karya arsitektur yang bernilai tinggi serta dalam bidang pertanian dan perdagangan yang telah
berkembang dengan pesat. Pada sisi lain ada perbedaan-perbedaan mendasar di antara
keduanya terutama bila dilihat dari perspektif geografis dan geneologis. Perbedaan inilah yang
dalam bebarapa hal menjadikan peradaban Mesir dan Amerika Tengah mempunyai ciri khas
masing-masing.
Kalau merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Toynbee (1946), berkembangnya
sebuah peradaban tergantung pada tantangan (chalange) dan jawaban (rensponse) yang
dihadapi oleh masing-masing komunitas. Dari proses inilah kemudian lahir perubahan yang pada
akhirnya tercipta peristiwa sejarah termasuk di dalamnya perkembangan peradaban di Mesir
dan Amerika Tengah. Sebagai contoh bisa dilihat pada kasus perdaban di Mesir. Banjir-banjir
tahunan dari sungai Nil menjadi tantangan (chalange) yang harus mendapat jawaban untuk
mengatasi dampak yang ditimbulkannya. Jawaban itu berupa pembangunan selokan dan
terusan-terusan air. Bangsa Mesir, sejak hidup dalam komunitas-komunitas di desa-desa sampai
pada perkembangan kota tampaknya harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu dalam suatu
suasana yang menuntut selama waktu-berabad-abad. Sehingga melahirkan peradaban yang
begitu tinggi (Helius Sjamsuddin, 1986: 122).
Kajian Perbandingan Warisan Peradaban Mesir Kuno dan Peradaban Amerika Tengah
6
Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika. Peradaban
ini terpusat sepanjang pertengahan hingga hilir Sungai Nil yang mencapai kejayaannya
pada sekitar abad ke-2 SM, pada masa yang disebut sebagai periode Kerajaan Baru.
Daerahnya mencakup wilayah Delta Nil di utara, hingga Jebel Barkal di Katarak
Keempat Nil. Pada beberapa zaman tertentu, peradaban Mesir meluas hingga bagian
selatan Levant, Gurun Timur, pesisir pantai Laut Merah, serta Gurun Barat (terpusat pada
beberapa oasis). Gambaran geografis Mesir Kuno dapat dilihat pada peta di bawah ini:
Peradaban Mesir Kuno didasari atas kontrol keseimbangan yang baik antara
sumber daya alam dan manusia, ditandai terutama oleh: irigasi teratur terhadap Lembah
Nil, eksploitasi mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya, perkembangan awal
sistem tulisan dan literatur independen, organisasi proyek kolektif, perdagangan dengan
wilayah Afrika timur dan tengah serta Mediterania timur dan aktivitas militer yang
menunjukkan karakteristik kuat hegemoni kerajaan dan dominasi wilayah terhadap
kebudayaan tetangga pada beberapa periode berbeda.
Sedangkan peradaban di Amerika Tengah telah muncul sekitar dua ribu tahu
yang silam. Pusat-pusatnya terdapat di pegunungan Andes (Amerika Selatan), di Amerika
Tengah dan Mexico. Kebudayaan-kebudayaan itu adalah kebudayaan bangsa Aztek di
dataran tinggi Mexico, Kebudayaan Maya di daerah Yucatan, Mexico dan Kebudayaan
Inca di Amerika Tengah. (Helius Syamsuddin, 1986: 240).
7
Kebudayaan Inca berkembang di sepanjang belahan barat Amerika Serikat
terutama Peru. Bukti-bukti arkeologis mengenai keberadaan kebudayaan Inca, yang
berasal dari fase Killke (1200-1380), ditemukan di daerah sekitar Cuzco di dataran tinggi
Peru bagian selatan. Berdasarkan hasil evakuasi terhadap sistus-situs di daerah tersebut
diperoleh gambaran bahwa Inca ketika itu hanyalah merupakan suatu wilayah yang kecil
saja.
Sistem pemerintahan yang berlaku di Mesir kuno adalah monarchi absolut.
Pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas.
Pengelolaan kegiatan-kegiatan dilakukan oleh elit sosial, politik, dan ekonomi yang
mencapai konsensus sosial melalui sistem yang rumit didasari kepercayaan agama di
bawah sosok penguasa setengah dewa (semi-divine), yang biasanya laki-laki, melalui
suatu suksesi dinasti penguasa yang dikenal oleh dunia luas sebagai kepercayaan
politeisme.
Hampir sama dengan di Mesir Kuno, peradababan di Amerika Tengah juga
menganut sistem kekuasaan monarki absolut. Di antara ketiga kebudayaan yang
berkembang itu hanya Aztek yang membentuk suatu imperium yang membentang hampir
di seluruh jazirah Mexico. Pada kebudayaan Maya yang berkembang adalah sistem kota-
kota yang independen. Bila dibandingkan dengan kebudayaan dunia yang lain, pola yang
terdapat di Maya lebih menyerupai sistem perkotaan di Yunani ketimbang dengan
peradaban Mesir.
Pada kebudayaan Maya organisasi sosial ditandai dengan berkuasanya golongan
elit yang kaya, yang juga melakukan perdagangan, golongan elit juga berfungsi sebagai
pemimpin upacara ritual dalam kepercayaan mereka. Mereka juga termasuk golongan
terdidik yang mempunyai hak istimewa untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Di luar
golongan itu, ada para petani dan budak yang memiliki oleh golongan lain. Bangsa Maya
telah memiliki sistem tulisan yang mirip dengan Hierogliyph. Tulisan ini digunakan
untuk mencatat peristiwa penting. Tulisan yang mereka kembangkan berfungsi pula
sebagai sejarah pencatat kelahiran, perkawinan, dan kematian raja-raja Maya.
Sistem kepercayaan yang berkembang baik di Mesir Kuno maupun di Amerika
Tengah adalah politheisme yaitu kepercayaan pada banyak dewa. Orang-orang Mesir
Kuno pada awalnya menyembah Dewa Osiris sebagai dewa utama. Dewa lainnya yang
8
disembah oleh orang Mesir kuno adalah dewa Thot (dewa pengetahuan), Anubis (dewa
kematian, dewa Apis dan dewa-dewa lainnya. Salah satu dewa yang kemudian
berkembang menjadi besar adalah dewa matahari (Dewa Re). Dewa Re sebagai dewa
matahari menjadi dewa utama yang disembah di Mesir kuno setelah salah seorang
pendeta rumah perdewaan memegang kekuasaan (N. Daljoeni, 1982: 24).
Bagi bangsa Aztec bangsa yang gemar berperang, perang merupakan bagian dari
budaya sendiri dan bagian dari sistem kepercayaan. Bangsa Aztec menyembah banyak
dewa atau politheisme. Mereka menyembah dewa matahari yaitu Huitzilochti. Mereka
mempercayai bahwa matahari adalah sumber kehidupan dan harus terus dipelihara, agar
terus beredar pada orbitnya dan berputar terbit dan tenggelam. Untuk itu diperlukan
pelumas yang murni yaitu darah manusia. Mereka meyakini bahwa pengorbanan manusia
merupakan tugas suci dan wajib dilakukan agar dewa matahari tetap memberikan
kemakmuran bagi manusia. Upacara pengorbanan dilakukan di atas altar dipuncak
piramid dengan cara mengambil jantung korban untuk pendeta. Upacara pengorbanan
manusia juga dilakukan secara masal dengan cara membunuh banyak orang.
Ada tiga hipotesis yang dilakukan oleh para Antropolog mengenai alasan pengorbanan
manusia di samping alasan untuk pengorbanan dewa, yaitu :
1. Pengorbanan dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk, terutama sejak jumlah
tawanan perang meningkat dengan pesat dibandingkan dengan jumlah kelahiran.
2. Untuk memberikan kepada rakyat mayat-mayat yang dikorbankan sebagai sumber
protein dan vitamin. Hipotesis ini snagat lemah, karena bangsa Aztec menghasilkan
jagung, kacang, serta memlihara anjing, ayam dan kalkun.
3. Pendapat yang lebih rasional adalah untuk menakut-nakuti para pembangkang dan
pemberontak, agar mereka tidak melakukan perlawanan terhadap penguasa raja. Para
tawanan perang banyak dijadikan korban dan jumlah besar untuk dewa matahari,
orang-orang yang bersalah juga jadi sasaran untuk jadi korban seperti jenderal yang
salah dalam memimpin perang, para koruptor, hakim yang keliru membuat keputusan,
serta pejabat negara yang berbuat salah, termasuk orang yang memasuki daerah
terlarang istana raja.
Dalam buku Negara dan Bangsa (1990: 208), disebutkan bahwa Huzlopochtli,
khususnya, demikian rakus sehingga pada upacara istimewa ribuan manusia dikorbankan
9
sebagai sesaji untuknya dalam waktu satu hari saja. Monte Zuma II pernah
mengorbankan 5100 orang korban dalam satu upacara peringatan tahtanya. Pada waktu
Ahuitzolt yang berkuasa pada abad ke-15, paling tidak 20.000 jiwa manusia dijadikan
korban dalam upacara. Calon korban digiring ke puncak piramid tempat pendeta saling
berebut bagian mereka masing-masing dan memotong jantung si korban dengan pisau
batu gelas, lalu mempersembahkannya hangat-hangat dan masih berlumur darah ke batu
altar sang dewa. Untuk sesaji yang sedemikian massalnya itu, bangsa Aztec tidak dapat
mengandalkan sukarelawan dan oleh sebab itu mereka sering mengirim rombongan
pejuang ke wilayah sekutunya untuk menangkapi calon-calon korban. Ritual yang
terkesan sadis ini hanya berlaku pada komunitas bangsa Aztek. Pada bangsa Maya dan
Inca ritual pengorbanan seperti ini tidak pernah terjadi.
Kegemaran berperang bukan hanya milik bangsa Aztek. Seperti suku bangsa lainnya di
Amerika, bangsa Inca memiliki watak militer sehingga perluasan wilayah Imperium dilakukan
dengan cara peperangan. Sejak kekuasaan dipegang oleh Pachacuti yang memerintah tahun 1438
– 1471, Inca memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah-daerah sekitarnya.
Selama pemerintahan Topa Inca sebagai pengganti Pachacuti, wilayah kekuasaan Inca diperluas
dengan manklukan daerah-daerah Pantai Peru bagian selatan, Bolivia Selatan., Argentina barat
laut, dan Chile. Pengganti Topa Inca adalah Huayna Capac yang memerintah dari tahun 1493
sampai tahun 1525 M. setelah meniggalnya Huayna Capac, terjadi perebutan kekuasaan antara
Huascar dan Attahualpa
Dalam bidang religi, bangsa Inca mempercayai dewa matahari. Raja-raja mereka
dipercaya memiliki hubungan genealogis atau asal-usul keturunan dengan dewa matahari.
Dewa matahari ternyata sangat besar pengaruhnya dalam masyarakat Inca dan bahkan
pada masyarakat Inca terdapat suatu kepercayaan bahwa dewa Matahari itulah yang
menurunkan keluarga raja Inca. Oleh karena itu, setiap raja yang sedang memerintah
dipandang sama dengan dewa matahari. Tidak diketahui dengan pasti, apakah bangsa
Inca juga melakukan upacara pengorbanan manusia seperti bangsa Aztec.
Peninggalan monumental dari peradaban Mesir kuno dan Amerika Tengah yang
sampai hari ini masih bisa disaksikan dan menunjukkan prestasi luar biasa dalam bidang
seni dan arsitekur adalah piramida. Dari peninggalan bangunan-bangunan yang masih
bisa disaksikan sampai sekarang ini menunjukkan bahwa bangsa Mesir telah memiliki
kemampuan yang menonjol di bidang matematika, geometri dan arsitektur.
10
Piamida dan kuil erat kaitannya dengan kehidupan keagamaan. Piramida
dibangun untuk tempat pemakaman Firaun. Arsitek terkenal pembuat piramida adalah
Imhotep. Bangunan ini biasanya memiliki kamar bawah tanah, pekarangan dan kuil kecil
di bagian luarnya. Tiang-tiang dan dindingnya dihiasi dengan hiasan yang indah. Di
bagian dalam terdapat lorong-lorong, lubang angin dan ruang jenazah raja. Di depan
piramida terdapat sphinx yaitu patung singa berkepala manusia. Fungsi sphinx adalah
penjaga piramida.
Piramida terbesar adalah makam raja Cheops, yang tingginya mencapai 137 meter
di Gizeh. Selain Cheops, di Gizeh juga terdapat piramida Chefren dan Menkaure. Di
Sakarah terdapat piramida firaun Joser. Selain piramida apakah ada tempat pemakaman
yang lain di Mesir? Berdasarkan penggalian di daerah El Badari ditemukan pemakaman
yang disebut Hockerbestattung (Hocker artinya jongkok dan bestattung artinya
pemakaman) karena orang yang meninggal dimasukkan dengan cara didudukkan
menjongkok. Ada pula pemakaman yang disebut mastaba untuk golongan bangsawan.
Bangunan kedua adalah kuil yang berfungsi sebagai tempat pemujaan dewa-dewa.
Kuil terbesar dan terindah adalah Kuil Karnak untuk pemujaan Dewa Amon Ra. Kuil
Karnak panjangnya ±433 m (1300 kaki), tiang-tiangnya setinggi 23,5 m dengan diameter
±6,6 m (20 kaki). Tembok, tiang dan pintu gerbang dipenuhi dengan lukisan dan tulisan
yang menceritakan pemerintahan raja.
Bangsa Aztec memiliki seni bangun atau arsitektur yang amat tinggi. Ketika
bangsa Spanyol datang ke kota Tenocl (Mexico City) mereka menyaksikan kemajuan
bangsa ini. Di sini terdapat bangunan-bangunan seperti aquadec atau bangunan lain,
tempat jalan raya menuju kota, jalan-jalan lebar, serta kanal yang melewati kota serta
jembatan diatasnya. Bangunan-bangunan tersebut menggunakan teknologi tinggi menurut
jamannya. Di pusat kota dibangun kuil-kuil besar sebagai persembahan kepada dewa
matahari. Tinggi bangunan tersebut 30 meter, terdiri atas tiga tingkat, yang masing-
masing tingkat memiliki 120 anak tangga. Di bangunnya jalan-jalan dan kanal-kanal yang
lebar adalah untuk memudahkan lalu lintas orang dan barang dagangan. Dalam kegitan
perdagangan tersebut mereka memperjualbelikan bebek, ayam, kalkun, kelinci, dan rusa.
Arsitektur bangsa Aztec tergolong sederhana, lebih mementingkan fungsi
daripada keindahan lahiriah. Di pegunungan, rumah orang Aztec terbuat dari batu bata
11
yang dijemur, mirip batako yang kita kenal di Indonesia. Di dataran rendah, rumah
mereka berdinding ranting-ranting atau batang padi yang diplester dengan tanah liat dan
beratapkan alang-alang. Sebagi tambahan pada tempat tinggal utama, umumnya mereka
mempunyai bangunan lain seperti tempat penyimpanan dan tempat seluruh keluarga
mandi uap. Orang Aztec yang kaya memiliki rumah dari batako atau batu yang dibangun
mengelilingi suatu Patio, yaitu ruang luas yang terbuka di tengah rumah.
Kuil Aztec dan bangunan lain dengan dekorasi patung merupkan salah satu karya
terindah di Amerika. Tetapi hanya sedikit peninggalan karya arsitektur Aztec yang masih
dapat ditemukan. Orang Spanyol, yang beragama kristen, telah memusnahkan kuil-kuil
dan segala peninggalan keagamaan orang Aztec. Mereka bahkan telah menghancurkan
kota lama Tenochitlan.
Piramida bangsa Maya dapat dikatakan merupakan bangunan piramida kedua
yang terkenal setelah piramida di Mesir. Kedua jenis bangunan piramida ini terlihat tidak
begitu sama, warna piramida Mesir adalah kuning keemasan, sebuah piramida bersudut
empat yang berbentuk kerucut, agak terkikis setelah berabad-abad tertiup angin dan
diterpa hujan. Piramida Maya lebih rendah sedikit, disusun dari bebatuan raksasa yang
berwarna abu-abu dan putih, tidak semuanya berbentuk kerucut, di puncaknya ada sebuah
balairung untuk memuja dewa. Di sekeliling piramida Maya masing-masing memiliki 4
tangga, setiap tangga memiliki 91 undakan, secara total 4 buah tangga ditambah satu
undakan bagian paling atas adalah berjumlah 365 undakan (91 x 4 + 1 = 365), tepat
merupakan jumlah hari dalam satu tahun.
Dinilai pada masa kini, bangunan tersebut cukup menakjubkan. Piramida Maya
misalnya, bagaimanakah caranya memotong bebatuan berukuran sangat besar, diangkut
ke tempat yang jauh dalam hutan belantara, bebatuan yang beratnya puluhan ton,
ditumpuk hingga mencapai tinggi 70 meter, jika tidak ditunjang dengan alat angkut dan
peralatan yang memadai, adalah sangat sulit untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Dan suku bangsa yang hidup dalam hutan belantara, mengapa harus mengerahkan upaya
dan tenaga sedemikian besar, membangun sebuah jaringan pengamat observatorium?
Ditilik dari sejarah, teleskop baru ditemukan pada abad ke-16 oleh Galileo, setelah itu
barulah muncul observatorium ukuran besar, dan konsep jaringan pengamat
12
observatorium baru muncul pada zaman modern. Kala itu konsep yang demikian dapatlah
dikatakan sangat maju dan canggih.
Peninggalan peradaban Mesir kuno dan Amerika tengah lainnya dalam bidang
ilmu pengetahuan adalah penguasaan dalam matematika, astronomi dan geometri. Secara
aplikatif pengetahuan ini mendasari pola arsitektural bangunan-bangunan di Mesir Kuno
dan di Amerika Tengah terutama bangunan piramida. Dengan pengetahuan yang
mendalam tentang astronomi, orang-orang Mesir kuno telah berhasil menentukan sistem
penanggalan.
Masyarakat Mesir mula-mula membuat kalender bulan berdasarkan siklus
(peredaran) bulan selama 291/2 hari. Karena dianggap kurang tetap kemudian mereka
menetapkan kalender berdasarkan kemunculan bintang anjing (Sirius) yang muncul
setiap tahun. Mereka menghitung satu tahun adalah 12 bulan, satu bulan 30 hari dan
lamanya setahun adalah 365 hari yaitu 12 x 30 hari lalu ditambahkan 5 hari. Mereka juga
mengenal tahun kabisat. Penghitungan ini sama dengan kalender yang kita gunakan
sekarang yang disebut Tahun Syamsiah (sistem Solar).
Penghitungan kalender Mesir dengan sistem Solar kemudian diadopsi (diambil
alih) oleh bangsa Romawi menjadi kalender Romawi dengan sistem Gregorian.
Sedangkan bangsa Arab kuno mengambil alih penghitungan sistem lunar (peredaran
bulan) menjadi tarikh Hijriah.
Penghitungan kalender juga telah terdapat pada bangsa Maya. Dengan
berkembangnya tulisan, ilmu pengetahuan pun berkembang, bangsa ini telah mengenal
kalender dengan tahunnya berjumlah 18 bulan yang tiap bulannya berjumlah 20 hari, dan
ada yang satu bulan berjumlah 5 hari. Sehingga pertahun ada 365 hari. Mereka juga telah
mengembangkan matematika. Selain itu, astronomi ialah salah satu ilmu yang mereka
kembangkan.
Pada bangsa Maya kemampuan di bidang astronomi terlihat dari beberapa
bangunan observatorium astronomi yang memiliki bentuk bangunan yang sangat spesifik.
Dilihat dari sudut pandang masa kini, secara fungsional maupun bentuk luar
observatorium bangsa Maya sangat mirip dengan observatorium masa kini, sebagai
contoh misalnya menara pengamat observatorium Kainuoka, di atas teras yang indah dan
sangat besar pada menara tersebut, terdapat undakan kecil bertingkat-tingkat yang
13
menuju ke teras. Ada beberapa kemiripan dengan observatorium sekarang, juga
merupakan sebuah bangunan tingkat rendah yang berbentuk tabung bundar, pada bagian
atas terdapat sebuah kubah yang berbentuk setengah bola, kubah ini dalam rancangan
observatorium sekarang adalah tempat untuk menjulurkan teropong astronomi. Empat
buah pintu di lantai yang rendah tepat mengarah pada 4 posisi. Jendela di tempat itu
membentuk 6 jalur hubungan dengan serambi muka, paling sedikit tiga di antaranya
berhubungan dengan astronomi. Salah satunya berhubungan dengan musim semi (musim
gugur), sedangkan dua lainnya berhubungan dengan aktivitas bulan.
Menara pengamat observatorium Kainuoka ini adalah peninggalan terbesar dalam
sejarah, peninggalan sejarah yang lain juga memiliki bangunan yang serupa. Semuanya
dalam posisi yang saling merapat dengan matahari dan bulan. Belakangan ini arkeolog
beranggapan bahwa astronom bangsa Maya pada zaman purbakala telah membangun
jaringan pengamat astronomi pada setiap wilayahnya.
Bangsa Inca memiliki ilmu pengetahuan yang maju dan berkembang. Walaupun
ilmu pengetahuan yang berkembang di Inca tidak dapat mengungguli perkembangan ilmu
pengatahuan di Aztec dan Maya. Dalam bidang Matematika dan Astronomi bangsa Inca
tidak dapat mengungguli kemajuan di Aztec dan Maya.
Bangsa Inca memiliki perkembangan yang pesat dalam bidang kesenian, terutama
seni bangun. Seperti dalam pembuatan tekstil dan keramik, pembangunan benteng-
benteng pertahanan, dan jalan-jalan raya yang lebar. Kemajuan bidang seni ini tidak
dapat dipisahkan dari kemampuan pemerintah mengatur masyarakat.
Bangsa Mesir juga telah mengembangkan sistem tulisan tersendiri. Masyarakat
Mesir mengenal bentuk tulisan yang disebut Hieroglyph berbentuk gambar. Tulisan
Hieroglyph ditemukan di dinding piramida, tugu obelisk maupun daun papirus. Huruf
Hieroglyph terdiri dari gambar dan lambang berbentuk manusia, hewan dan benda-benda.
Setiap lambang memiliki makna. Tulisan Hieroglyph berkembang menjadi lebih
sederhana kemudian dikenal dengan tulisan hieratik dan demotis. Tulisan hieratik atau
tulisan suci dipergunakan oleh para pendeta. Demotis adalah tulisan rakyat yang
dipergunakan untuk urusan keduniawian misalnya jual beli.
Huruf-huruf Mesir itu semula menimbulkan teka-teki karena tidak diketahui
maknanya. Secara kebetulan pada waktu Napoleon menyerbu Mesir pada tahun 1799
14
salah satu anggota pasukannya menemukan sebuah batu besar berwarna hitam di daerah
Rosetta. Batu itu kemudian dikenal dengan batu Rosetta memuat inskripsi dalam tiga
bahasa. Pada tahun 1822 J.F. Champollion telah menemukan arti dari isi tulisan batu
Rosetta dengan membandingkan tiga bentuk tulisan yang digunakan yaitu Hieroglyph,
Demotik dan Yunani. Dengan terbacanya isi batu Rosetta terbukalah tabir mengenai
pengetahuan Mesir kuno (Egyptologi) yang dikenal sampai sekarang.
Selain di batu, tulisan Hieroglyph juga ditemukan di kertas yang terbuat dari
batang Papirus. Dokumen Papirus sudah digunakan sejak dinasti yang pertama. Cara
membuat kertas dari gelagah papirus adalah dengan memotongnya. Kemudian kulitnya
dikupas dan intinya diiris/disayat tipis-tipis. Papirus inilah yan kemudian mengilhami
penemuan kertas yang digunakan pada masa sekarang ini sebagai bahan dasar untuk
menulis.
Pada bangsa Maya tulisan paling dini muncul menjelang dan sekitar Masehi,
namun batu prasasti pertama yang tergali memperlihatkan catatan yang menulis tahun
292 M. Sejak itu, tulisan bangsa Maya hanya tersebar pada areal terbatas. Dan pada
tarikh Masehi setelah pertengahan abad ke-5, tulisan bangsa Maya baru secara
menyeluruh tersebar ke semua kawasan Maya. Misalnya batu prasasti terakhir
diselesaikan pada 869 M, dan batu prasasti terakhir di seluruh kawasan Maya
diselesaikan pada 909 M.
Peradaban Mesir Kuno dan Amerika Tengah, Keberlanjutan dan Perubahan
Peradaban Mesir Kuno berkembang selama kurang lebih tiga setengah abad.
Dimulai dengan unifikasi awal kelompok-kelompok yang ada di Lembah Nil sekitar 3150
SM, peradaban ini secara tradisional dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, sewaktu
Kekaisaran Romawi awal menaklukkan dan manjadikan wilayah Mesir Ptolemi sebagai
bagian provinsi Romawi. Walaupun hal ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap
Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama
secara bertahap di Lembah Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan
peradaban independen Mesir.
15
Sebagian besar peradaban Mesir Kuno mengalami diskontinuitas setelah
penyerangan dan penguasaan bangsa Romawi. Pola keberagamaan penduduk Mesir
mengalami perubahan yang dramatis mulai dari pengaruh Romawi sampai pada pengaruh
Islam di masa dinasti Fatimiah dan Mamluk. Dewasa ini sebagian besar penduduk Mesir
beragama Islam. Diskontinuitas juga terjadi pada bidang pengembangan arsitektur.
Pengetahuan dan kemampuan teknis arsitektur seperti tergamabar dalam pembangunan
piramida tidak pernah ada lagi.
Ada beberapa bagian peradaban Mesir Kuno yang tampaknya berlanjut dan
mengalami perubahan. Sebagai contoh, sebelum tulisan hieroghlyph sama sekali hilang
dan tidak digunakan, telah mengalami berbagai adaptasi dan perubahan. Dari huruf
hieroglyph menjadi tulisan baru yang disebut hieratik. Huruf hieratik ini kemudian
berubah menjadi huruf demiotik yang pada akhirnya digunakan secara luas oleh rakyat.
Sistem ilmu pengetahuan dalam bentuk matematika, astronomi dan geometri kemudian
ditransfer dan dikembangkan oleh orang-orang Romawi yang kemudian berlanjut pada
masa keemasan Islam di Mesir masa Dinasti Fatimiah. Sistem penanggalan mesir juga
terus berlanjut dan diadopsi oleh dua kutub kekuatan budaya saat ini yaitu sistem
kalender solar yang diadopsi oleh tahun Masehi dan sistem kalender lunar yang diadopsi
oleh tahun Islam (tahun Hijriyah).
Pada jaman Klasik, tahun 300-500 di Amerika Tengah, kebudayaan suku bangsa
Maya di daerah tengah ini mengalami puncak kejayaan. Arsitekturnya berkembang
dengan adanya peningkatan mutu bangunan. Salah satu cirinya adalah dikembangkannya
bangunan batu yang sebagian besar merupakan bangunan suci seperti kuil atau biara.
Kuil di Tikal yang tingginya mencapai sekitar 888 meter adalah kuil tertinggi. Biara
dalam kebudayaan Maya kadang-kadang mencakup area yang sangat luas sehingga
menyerupai kota, lebih cocok disebut tempat pusat upacara keagamaan dilangsungkan.
Namun antara tahun 800 sampai 950, pusat kegamaan tersebut satu-persatu dilupakan dan
ditinggalkan orang. Bangsa Maya mengalami keruntuhan karena penaklukan pasukan
Hernando Cortez pada tahun 1521. Demikian pula dengan peradaban Aztek, peradaban
ini runtuh karena penaklukan oleh bangsa Spanyol di bawah pimpinan Hernando Cortez
pada tahun 1521. Sedangkan peradaban Inca yang begitu tinggi akhirnya mengalami
kehancuran pula karena penaklukan pasukan Francisco Pizzaro tahun 1533.
16
Sebagian besar peradaban Amerika Tengah ini mengalami diskontinuitas dan
terkubur bersama dengan berkembangnya kolonialisasi di benua Amerika. Yang bisa
diamati mengalami kesinambungan adalah pada sistem sosial dan kepercayaan di
kalangan bangsa Indian. Pengetahuan tentang arsitektur, penataan kota dan bidang
matematika dan astronomi telah bergeser dan dikuasai oleh kaum pendatang. Bahkan
observatorium astronomi yang dulu di bangun oleh bangsa Maya akhirnya dikembangkan
oleh orang-orang Eropa, bukan oleh orang-orang dari keturunan suku Aztek dan Maya.
Penutup
Bisa saja sebuah bangsa dan peradaban yang besar hancur karena kondisi dan
tuntutan jaman, tetapi warisan peradaban dan kebudayaannya tetap akan hidup dan
senantiasa dikenang generasi sesudahnya. Bahkan secara kreatif warisan peradaban masa
lalu itu akhirya dapat mengilhami dan dikembangkan menjadi lebih baik oleh generasi
sesudahnya meski bukan dari ras dan etnik yang sama. Artinya setiap keudayaan yang
ada perlu diwariskan dan dikembangkan agar sesuai dengan tuntutan zaman. Bangsa yang
mempunyai kebudayaan dan peradaban besar adalah bangsa yang sanggup
mengembangkan warisan budaya masa lalu baik dalam bentuk inovasi mauupun
invention untuk kebutuhan sekarang ini. Inilah tugas generasi saat ini, agar budaya dan
peradaban masa lalu tidak hanya menjadi peninggalan arkeologis semata yang hanya
membangkitkan semangat historisisme dan kerinduan pada masa lalu belaka.
DAFTAR PUSTAKA
Basil Davidson dan Para Editor Time Life, ”Peradaban Sungai Nil” dalam Sumadia dan
Dicky Sutadi (Ed.), Abad Besar Manusia Sejarah Kebudayaan Dunia: Kerajaan-
Kerajaan Afrika, Alih Bahasa Murad, Jakarta, Tira Pustaka, 1984.
17
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007.
Helius Sjamsuddin, Buku Materi Pokok Sejarah Dunia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan:
Universitas Terbuka, 1986.
J.M. Roberts, History of the World, New York, Oxford University press, 1993.
Jonathan Norton Leonard dan Para Editor Pustaka Time Life, ”Orang Amerika paling
Awal”, dalam Sumadia dan Dicky Sutadi (Ed.), Abad Besar Manusia Sejarah
Kebudayaan Dunia: Amerika Kuno, Alih Bahasa Rochmini M. Noor, Jakarta,
Tira Pustaka, 1984.
----------------, ” Kebudayaan Tinggi di Andes”, dalam Sumadia dan Dicky Sutadi (Ed.)
Abad Besar Manusia Sejarah Kebudayaan Dunia: Amerika Kuno, Alih Bahasa
Rochmini M. Noor, Jakarta, Tira Pustaka, 1984.
Lionel Casson dan Para Editor Pustaka Time Life, ”Mesir, Negeri yang Awet” dalam
Sumadia dan Dicky Sutadi (Ed.), Abad Besar Manusia Sejarah Kebudayaan
Dunia: Mesir Kuno, Alih Bahasa Murad, Jakarta, Tira Pustaka, 1984.
----------------, ”Hasil Karya Pikiran” dalam Sumadia dan Dicky Sutadi (Ed.), Abad
Besar Manusia Sejarah Kebudayaan Dunia: Mesir Kuno, Alih Bahasa Murad,
Jakarta, Tira Pustaka, 1984.
N. Daldjoeni, Geografi Kesejarahan I (Peradaban Dunia), Bandung, Alumni, 1982.
18
EMANSIPASI WANITA, KESADARAN NASIONAL
DAN KESETARAAN GENDER DI PENTAS SEJARAH
NASIONAL INDONESIA
Ading Kusdiana
Abstrak
Dalam pentas sejarah nasional Indonesia, diskursus tentang emansipasi wanita, kesadaran
nasional dan kesetaraan gender merupakan persoalan aktual yang menarik dan penting untuk
dikaji, ketiganya memiliki keterkaitan yang kuat. Semangat kesetaraan gender, bagaimana pun
memiliki akar historis dengan semangat kesadaran nasional yang pernah muncul di kalangan
kaum wanita dan gerakan emansipasi wanita di masa sebelumnya. Munculnya gerakan
emansipasi wanita tidak bisa dipandang sebelah mata, justru dengan gerakan ini memberikan
sebuah momen kesadaran untuk maju bersama dengan kaum laki-laki mendobrak doktrin adat,
tradisi dan budaya kolot yang sudah tidak relevan. Di masa pergerakan nasional kiprah kaum
wanita mulai terlihat kontribusinya menanamkan kesadaran nasional serta pentingnya hidup
berbangsa dan bernegara dalam perjuangan mencita-citakan Indonesia merdeka. Partisipasinya
terlihat dalam lembaga pendidikan, organisasi politik dan sosial-religius. Akan tetapi pasca
kemerdekaan partisipasinya dalam pengelolaan pembangunan di Indonesia relatif masih kurang.
Hal ini, menuntut kembali adanya perjuangan kesetaraan peran wanita untuk terlibatan dalam
berbagai lini kehidupan.
Kata-kata Kunci:
Emansipasi Wanita, Gender, Kesetaraan, Kesadaran Nasional
Pendahuluan
Selama lebih satu abad ini diskursus tentang emansipasi wanita, kesadaran nasional dan
semangat kesetaraan gender dalam ruang lingkup perjalanan sejarah bangsa Indonesia tidak bisa
dipandang sebelah mata begitu saja. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan wanita
19
bagaimanapun memiki peranan yang sangat penting di dalam usahanya turut serta membesarkan,
membangun dan memajukan negeri ini.
Dalam perjalanan sejarah Nasional Indonesia, membincang tentang emansipasi wanita,
kesadaran nasional dan kesetaraan gender dalam hubungannya dengan kiprah atau peran kaum
wanita Indonesia, bagi bangsa Indonesia, atau lebih khusus lagi bagi kaum wanita Indonesia
ketiga hal tersebut dapat dipandang sebagai “ Tiga Tema Segitiga Emas” yang di samping
sangat penting untuk dikaji juga memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan di antara satu
dengan yang lainnya.
Pertama, tentang emansipasi wanita. Kemunculan gerakan emansipasi wanita dalam
kehidupan bangsa Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata, justru dengan kehadiran
gerakan emansipasi wanita telah memberikan sebuah momentum kesadaran di kalangan kaum
wanita untuk maju bersama kaum Adam mendobrak berbagai doktrin adat, tradisi dan budaya
kolot yang di pandang sudah tidak kondusif. Dalam konteks ini, bahwa gerakan emansipasi
wanita di Indonesia untuk yang pertama kali dalam taraf yang sederhana muncul pada awal abad
XX melalui kepeloporan Kartini yang termanifestasi dalam bentuk perlunya pemberian
pendidikan kepada kaum wanita yang sebelumnya hanya menjadi monopoli kaum laki laki-laki.
Apa yang terjadi pada awal abad XX ini merupakan langkah revolusif, karena sebelumnya tidak
ada perhatian terhadap keberadaan kaum wanita. Wanita hanya dipandang sebagai pelengkap di
rumah dengan tugas mengurus anak dan melayani suami, tanpa diharuskan mendapat pendidikan
yang cukup yang akan membakali terhadap pendidikan anak-anaknya di masa depan.
Kedua, tentang hubungannnya dengan kesadaran nasional di kalangan kaum wanita.
Perlu diketahui bahwa sejak awal abad XX sampai dengan proklamasi kemerdekaan, pada
periode ini dapat dikatakan sebagai periode kemunculan pergerakan nasional di kalangan bangsa
Indonesia. Seiring dengan berjalannya gerakan emansipasi di kalangan wanita Indonesia melalui
pemberian pendidikan, ternyata kemunculan gerakan ini telah memberikan pengaruh yang luar
biasa terhadap keberadaan kaum wanita Indonesia. Pada periode ini keberadaan kaum wanita
Indonesia selain mulai banyak yang telah mendapatkan pendidikan, di antara mereka mulai
banyak yang berkiprah dalam kegiatan pergerakan kebangsaan dengan aktif memberikan
kontribusi di dalam menanamkan kesadaran nasional akan pentingnya berbangsa dan bernegara
dalam perjuangan mencita-citakan sebuah negara Indonesia yang merdeka, lepas dari penjajah.
Di kalangan wanita Indonesia banyak yang memiliki kesadaran akan perlunya menanamkan
wawasan kebangsaan terhadap anak didiknya tentang arti sebagai bangsa Indonesia. Pada periode
20
ini telah mulai tampak keterlibatan para wanita Indonesia yang berpartisipsi dalam lembaga
pendidikan, organisasi sosial-politik dan religius dengan tujuan mencapai Indonesia Merdeka.
Kemudian ketiga, tentang kesetaraan gender. Sebenarnya diskursus tentang kesetaraan
gender merupakan istilah yang mengemuka sebagai tuntutan dari fenomena setelah Indonesia
merdeka. Walaupun semangat dari gerakan kesetaraan gender sebenarnya baru mengemuka
akhir-akhir ini, namun sesuai dengan tuntuan yang berkembang di alam kemerdekaan di mana
kegiatan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan menuntut adanya keterlibatan semua pihak
tanpa adanya diferensiasi jenis kelamin maka munculnya partisipasi wanita yang menempati
posisi dalam berbagai lini pembangunan sangat terbuka dan dapat dipandang sebagai sebuah
kondisi sine qua non. Hal ini merupakan sebuah kewajaran dan dapat dipahami karena tanpa
bermaksud mengurangi arti kodratnya sebagai wanita, kaum wanita pun memiliki potensi yang
sama dengan kaum laki-laki. Dengan demikian wacana kesetaraan jender perlu mendapat
apresiasasi positif, terlebih keberadaan kaum wanita yang jumlahnya cukup signifikan.
Berdasarkan realitas tersebut tulisan ini bermaksud memaparkan tentang bagaimana
dinamika perjalanan gerakan emansipasi wanita dalam kehidupan bangsa Indonesia serta
hubungannya dengan kemunculan kesadaran nasional di kalangan mereka dan perlunya
menanamkan semangat kesetaraan gender sebagai fenomena yang menjadi tuntutan aktual
dewasa ini, dilihat dalam perspektif sejarah nasional Indonesia. Selama lebih dari satu abad ini,
ketiga persoalan tersebut telah banyak mewarnai akan peran, dinamika dan keberadaan kaum
wanita Indonesia.
Menelusuri Gerakan Emansipasi Wanita di Kalangan Wanita Indonesia
Berbicara tentang gerakan emansipasi wanita, khususnya gerakan emansipasi yang
berkaitan dengan kehidupan kaum wanita Indonesia, bila ditelusuri sejarah keberadaannnya
sebenarnya memiliki akar keterkaitan dengan kemunculan seorang figur wanita Indonesia
kelahiran Jepara yang bernama R.A. Kartini. Dari R.A. Kartini-lah gerakan emansipasi di
Indonesia berakar.
R.A. Kartini (1879-1904 M) merupakan figur pelopor gerakan emansipasi wanita
Indonesia. Dalam perjuangannnya ia banyak menyerukan agar bangsa Indonesia, khususnya
kaum wanita Indonesia diberi pendidikan dengan pertimbangan bahwa kaum wanita memikul
21
tugas suci. Jika kaum wanita Indonesia mendapat pendidikan maka gambaran akan kemajuan
kaum wanita Indonesia di masa yang akan datang sebenarnya hanya tinggal menunggu soal
waktu saja. Hal ini telah terefleksi dalam buah pikirannya untuk memajukan wanita Indonesia
seperti yang ditemukan di dalam kumpulan surat-suratnya yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh
Ny. Abendanon dengan judul “Van Duisternis Naar Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang)”
yang ditulisnya pada tahun 1899-1904 di mana ia banyak mengungkapkan tentang kehidupan
keluarga, adat istiadat, keterbelakangan wanita, cita-cita terhadap kebahagiaan bangsanya.
Sebenarnya yang menjadi kunci dari keberhasilan gerakan emansipasi wanita yang
dipelopori Kartini ialah idealismenya yang tinggi dan suci terhadap keinginan untuk memajukan
kehidupan bangsanya. Idealisme itu tumbuh karena dipengaruhi oleh pergaulan Kartini dan
pemahamannya akan kebudayaan Barat yang dipelajarinya yang kemudian
mengkomparasikannya dengan kebudayaan sendiri serta keinginanannya yang sungguh-sungguh
untuk memajukan kebudayaan sendiri. Dengan demikian kaum wanita harus berpartisipasi
dalam kemajuan dan menolak konservatime dan untuk mencapai itu semua Kartini minta agar
kaum wanita diberi pendidikan (Suhartono, 1994: 28).
Tentang idealisme Kartini yang tinggi dan suci terhadap keinginan memajukan
kehidupan bangsa Indonesia tersebut, Sartono Kartodirdjo menuturkan:
Kesempatannnya bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Belanda [telah]
membukakan matanya serta membangkitkan kesadarannnya akan dunia luar yang lain
beserta nilai-nilai dan gaya hidupnya yang berbeda dengan apa yang dihayatinya.
Timbullah kejutan kebudayaan baginya, adanya hasrat besar untuk belajar, menuntut
ilmu pengetahuan, pendeknya mencapai kemajuan. Disadarinya situasi yang serba
terbelakang pada umunya serta rendahnya kedudukan wanita khususnya. Cita-citanya
untuk menjadi guru tidak lain berasal dari aspirasnya memajukan bangsanya (Sartono
Kartodirjdo, 1992: 85).
Dalam konteks ini tampaknya sangat jelas bagi Kartini bahwa pendidikan merupakan
persoalan pokok dalam masyarakat Indonesia. Pendidikan bukan hanya diperuntukkan kepada
kaum laki-laki untuk menjadi pegawai Pamongpraja, jaksa, guru dan lain-lain. Begitu juga yang
berhak untuk meneruskan meneruskan belajar ke luar negeri, seperti ke Belanda mesti tidak
hanya menjadi monopoli kaum laki-laki. Sebaliknya kaum wanita pun tetap harus mendapat
prioritas. Kaum wanita selain mendapat pelajaran untuk memajukan intelegensia, juga harus
mendapat pelajaran etika atau norma-norma kesusilaan. Jika kaum wanita telah mendapat
22
pendidikan di sekolah dan lingkungan keluarga maka sudah sewajarnya kaum wanita mendapat
panggilan suci dalam pendidikan.
Pengertian emansipasi sendiri yang terkandung dalam jiwa wanita pada waktu itu
adalah keinginan untuk mendapatkan persamaan hak dan kebebasaan dari kungkungan adat.
Tentang keinginan wanita Indonesia dalam mengejar kemajuan dapat terungkap dari informasi
yang diberikan oleh surat kabar Bintang Hindia yang dikutip kembali oleh Suhartono yang
menginformasikan bahwa :
Peradaban Rohani perlu bagi gadis Indonesia, agar supaya kemudian kalau sudah
menjadi seorang ibu dapat menunjukkan anak-anaknya ke arah kemajuan. Kalau Ibu
menjadi pengasuh utama anak-anak dan mempunyai pengaruh penting bagi masyarakat
kita di kemudian hari, mengapa mereka dibelakangkan terhadap kaum laki-laki
(Suhartono, 1994: 28).
Ide-ide atau pun gagasan-gagasan Kartini untuk memajukan derajat kaum wanita mulai
mendapat tempat. Adanya keinginan di kalangan elit aristokrasi untuk melakukan perubahan
keadaan dengan melepaskan adat yang menjadi pengekang kebebasan wanita sudah mulai
tampak. Meningkatkan martabat dan kedudukan seorang isteri diupayakan agar kedudukannnya
sejajar dengan suaminya dan sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya sudah
sepantasnya kalau mereka juga mendapat pendidik terlebih dahulu.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama cita-cita Kartini mulai dapat direalisasikan.
Sekolah-sekolah puteri mulai didirikan dan emansipasi wanita selalu dibicarakan. Pada tahun
1912 M di Semarang didirikan sekolah Kartini atas dorongan Van Deventer. Di tempat lain
sekolah yang sama didirikan di Malang, Jakarta, Madiun, Bogor dengan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantar. Selanjutnya, dengan pengantar bahasa Jawa, sekolah Kartini menyusul
bermunculan di Cirebon, Rembang, Pekalongan, Indramayu, dan Surabaya. Kemudian sekolah
puteri swasta mulai didirikan. Di wilayah Priangan berdiri Kautamaan Istri. Di Palembang
berdiri Sekolah Wanita. Selanjutnya Darmorini di Blora, Sisworini di di Solo, Mardi Kenya di
Surabaya, Mardi Puteri di Banyuwangi. Kartini pun mempunyai cita-cita untuk mengumpulkan
beasiswa, tetapi cita-cita ini baru bisa dilaksanakan oleh dr. Wahidin Sudiro Husodo (Sartono
Kartodirdjo, 1968: 58).
Apa yang menjadi cita-cita Kartini telah membawa dampak yang besar bagi masyarakat
sehingga menjadi bukti bagi kemajuan wanita dalam pendidikan. R.A. Kartini adalah puteri
23
pertama Indonesia yang mendapat ijazah guru. Konservatisme dan ikatan adat dapat ditembus
dan wanita Indonesia sudah mendapat kebebasan yang dikejarnya terus melalui organisasi
wanita. Jejak ini diikuti oleh Raden Dewi Sartika. Pada tahun 1915 Raden Dewi Sartika (1884-
1947) mendirikan perkumpulan Pengasah Budi di Bandung. Di semarang berdiri Budi Wanito
yang memperjuangkan kemajuan dan emansipasi wanita (Suhartono, 1994: 29).
Tidak hanya itu, para wanita progresif dari keluarga bangsawan pun turut mendirikan
surat kabar Putri Hindia pada tahun 1908. Kemudian di Pacitan pada tahun 1912 M majalah
bulanan Wanito Sworo diterbitkan. Pada tahun 1914 M di kota gadang berdiri Karajinan Amai
Setia yang akan berusaha meningkatkan derajat dan kehidupan wanita. Di tempat yang lain juga,
sekolah wanita mulai didirikan seperti di Padang Panjang dan Bukittinggi. Pada tahun 1917 M
Maria Walanda Maramis mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnnya (PIKAT) di
Manado untuk mendidik kaum wanita dalam keterampilan rumah tangga. Sejak saat itu idealisme
Kartini telah terwujud dan berkembang terus demi kemajuan wanita Indonesia.
Emansipasi Wanita dan Potret Kesadaran Nasional di Kalangan Wanita Indonesia
Adanya gerakan kesadaran emansipasi di kalangan wanita Indonesia yang dipelopori
Kartini melalui gagasan idealismenya telah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap
kemunculan kesadaran nasional di kalangan wanita Indonesia. Dalam pentas perjalanan sejarah
nasional Indonesia, fenomena emansipasi wanita tidak hanya membawa dampak terhadap
perlunya perhatian akan pentingnya pemberian pendidikan kepada kaum wanita Indonesia.
Seiring dengan kegiatan pendidikan yang diberikan kepada kaum wanita, kemunculan gerakan
emansipsi wanita yang dipelopori Kartini ternyata telah memberikan kontribusi di dalam
mendorong kemunculan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kebangsaan di kalangan kaum
wanita.
Secara singkat Susanto Tirtoprodjo mengemukakan bahwa Kartini adalah wanita yang
memiliki kesadaran nasional. Kebenaran pendapat itu dibuktikan dengan isi kutipan dari dua
surat R.A. Kartini yang berisi agar monopoli penjualan candu oleh pemerintah harus
dihapuskan, karena penghisapan candu dipandangnya sebagai hal yang melemahkan kesehatan
rakyat Indonesia. Yang kedua, mengenai tawaran beasiswa kepada Kartini untuk melanjutkan
pendidikannya di Nederland. Tawaran itu ditolak dengan alasan, bahwa pada waktu itu wanita
24
Indonesia tidak biasa melanjutkan pendidikannnya, namun ia menganjurkan supaya pemerintah
Hindia Belanda lebih banyak memberikan kesempatan kepada pemuda-pemuda Indonesia untuk
melanjutkan studinya di luar negeri (Susanto Tirtoprodjo, 1961: 7-8).
Memang R.A Kartini selama hidupnya tidak pernah mengadakan kegiatan pergerakan
yang berhubungan dengan wanita, tetapi kemunculan pergerakan kewanitaan di Indonesia pada
dasawarsa tahun 1920-an pada kenyataannnya memiliki keterkaitan langsung dengan ide-ide atau
gagasan yang pernah dikemukakan R.A. Kartini.
Sebagai manifestasi keberhasilan pendidikan yang telah dirintis oleh R.A. Kartini, pada
tahun 1912 M di Jakarta berdiri organisasi wanita pertama yang bernama Puteri Mardhika (A.K.
Pringgodigdo, 1992: 23). Organisasi wanita ini didirikan dengan tujuan untuk memajukan
pendidikan anak-anak terutama anak-anak perempuan. Dalam organisasi itu diajarkan berbagai
keterampilan yang sesuai dengan hal-hal yang berhubungan dengan kewanitaan. Selain itu
ditanamkan pula pesan-pesan yang berhubungan dengan penanaman nilai-nilai kesadaran
berbangsa dan bernegara.
Kemunculan organisasi kewanitaan yang pertama ini telah memberikan dampak yang
positif. Setelah organisasi Puteri Mardhika eksis dengan aktivitas-aktivitasnya di dalam
memajukan derajat kaum wanita Indonesia, kehadiran organisasi kemudian diikuti oleh
organisasi-organisasi wanita lainnnya yang kemudian berdiri di berbagai daerah di Indonesia.
Menurut A.K. Pringgodigdo, dalam masa pertama dari pergerakan Indonesia, pergerakan wanita
hanya berjuang untuk mempertinggi kedudukan sosial. Soal-soal politik seperti hak pemilihan
dan kemerdekaan tanah air sama sekali belum menjadi tema pembicaraan. Paham tentang budi
pekerti, keagamaan dan adat masih menjadi rintangan terbesar baginya untuk dapat bertindak ke
arah lebih jauh (Ading Kusdiana, 19985-6).
Di antara organisasi-organisasi yang berdiri itu, terdapat organisasi-organisasi wanita
yang berdiri sendiri, dan ada pula organisasi-organisasi wanita yang menjadi bagian dari partai
politik atau organisasi–organisasi lainnnya yang anggotanya laki-laki. Pada organisasi
kewanitaan yang disebutkan terakhir ini, biasanya organisasi tersebut merupakan perkumpulan
atau gerakan nasional yang merupakan bagian dari wanita. Kemudian muncul organisasi wanita
yang merupakan bagian dari organisasi seperti Jong Java, Jong Islamieten Bond, Partai Sarekat
Islam Islam, Muhammadiyah dengan Aisyiahnya dan lain-lain.
25
Pada mulanya organisasi-organisasi wanita tersebut merupakan organisasi yang bergerak
dalam bidang agama, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan. Pada organisasi wanita keagamaan
dikembangkan kegiatan-kegiatan pengajian. Kemudian pada organisasi wanita katolik dikupas
soal-soal kontribusi wanita pada gereja. Selain itu dikembangkan kegiatan mengumpulkan dan
mengadakan pasar amal. Selanjutnya orientasi gerakan organisasi–organisasi ini dalam
perkembangannnnya, kemudian menjadi berubah. Setelah timbulnya kesadaran nasional di
kalangan wanita, maka sifat organisasi wanita turut berubah. Sifat sosial-ekonomi lambat laut
hilang. Organisasi-organisasi wanita mulai terbawa arus politik.
Pada tanggal 17 Desember 1927 M partai-partai politik yang merupakan partai gerakan
nasional telah berfusi dalam suatu badan politik Permupakaan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Terjadinya peristiwa ini telah memberikan imbas terhadap
keberadaan organisasi-organisasi wanita di Indonesia, sehingga pada tanggal 22 Desember 1928
M organisasi-organisasi wanita di Indonesia, mengadakan Kongres I wanita Indonesia di
Yogyakarta. Dalam kongres itu hadir organisasi-organisasi wanita dari Budi Utomo, Sarekat
Islam, Puteri Indonesia, Wanita Katolik, Wanita Mulyo, Jong Islamieten Bond bagian Wanita,
Aisyiah, Wanita Taman Siswa dan Jong Java bagian wanita. Kongres ini memutuskan untuk
membentuk suatu badan yang dapat mengintegrasikan organisasi-organisasi wanita di seluruh
Indonesia. Oleh karena itu selang kemudian berdirilah suatu badan yang diberi nama Perikatan
Perempuan Indonesia (PPI). Peristiwa ini merupakan momentum peristiwa yang bersejarah bagi
kaum wanita Indonesia , karena tanggal 22 Desember dapat dipandang sebagai tanggal
berfungsinya organisasi-organisasi wanita di seluruh Indonesia. Selain itu, pada tanggal ini
dapat dikatakan sebagai hari lahirnya kesadaran nasional dalam perkumpulan ataupun
organisasi kewanitaan, karena pada saat itu sejumlah besar wanita Indonesia dengan jiwa besar
telah ikut berpartisipasi untuk melupakan berbagai ikatan yang berbau suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA). Tekad mereka hanya satu yaitu wanita Indonesia bersatu (Slamet
Mulyana, 1986: 111).
Pada tahun 1930 keberadaan gerakan wanita Indonesia sudah merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari gerakan nasional. Masing-masing kaum wanita merasa wajib untuk
ikut serta memperjuangkan hak dan martabatnya sesuai bakat, qodrat dan kemampuannnya.
Kaum wanita Indonesia menyadari bahwa wajib membantu suaminya dalam memperjuanghkan
nasib bangsanya. Kemajuan dan kejayaan bangsa sudah menjadi tugas bersamanya.
Ditegaskannnya pula, bahwa sudah sewajarnya kalau wanita Indonesia mulai menerjunkan diri
dalam bidang politik, kendati pun bidang kerjanya sosial dan menjadi anggota perkumpulan
26
sosial. Kaum wanita Indonesia juga tidak boleh ketinggalan dalam gerakan untuk mewujudkan
rasa kesadaran nasional (nasionalisme), sebab tanpa keterlibatan bersama tidak mungkin
kesadaran nasional dapat tercapai.
Selanjutnya pada tahun 1935 tepatnya dari tanggal 20 sampai 24 Juli, di Jakarta telah
diselenggarakan Kongres Perikatan Isteri Indonesia II. Dalam kongres ini diperoleh keputusan
penting yaitu menetapkan kegiatan kongres perempuan Indonesia, setiap tiga tahun sekali.
Selain itu ditetapkan bahwa dasar kongres perempuan Indonesia adalah nasionalisme,
sosialisme dan kewanitaan. Ditegaskannnya pula bahwa wanita Indonesia harus menjadi wanita
negaranya, artinya bahwa setiap wanita Indonesia wajib memiliki kesadaran nasional dan
menyadari panggilannnya untuk ikut serta dalam pembentukkan bangsa Indonesia baru (Slamet
Mulyana, 1986: 112).
Pada tanggal 23-28 Juli 1938 Kongres Perempuan Indonesia telah diselenggarakan di
Bandung. Kongres ini dipimpin oleh Ny. Puradiredja dari Pasundan Isteri. Salah satu keputusan
penting yang diambil dalam Kongres III ini adalah tuntutan agar kepada kaum wanita
Indonesia diberi hak dalam pemilihan anggota dewan, baik pada saat memilih maupun dipilih.
Keinginan ini dapat terlaksanakan. Dalam tahun itu juga telah ada wanita Indonesia yang
terpilih sebagai anggota Dewan. Demikian sejak saat itu dalam masa pergerakan dalam bidang
politik wanita Indonesia sedikit demi sedikit sudah mencapai hasil prestasi yang gemilang.
Keterlibatan Wanita dalam Revolusi Kemerdekan dan Pembangunan di Alam
Kemerdekaan
Kontribusi dan partisipsi kaum wanita Indonesia dalam pentas perjalanan sejarah nasional
Indonesia tidak pernah pudar. Sekalipun Indonesia pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang,
perjuangan yang dilakukan kaum wanita Indonesia tidak pernah berhenti untuk eksis.
Tanggal 17 Agustus tahun 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri. bangsa
Indonesia telah berhasil menjadi bangsa yang merdeka. Kemerdekaan yang diperoleh bangsa
Indonesia bukan pemberian bangsa asing. Kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia benar-
benar hasil perjuangan kolektif yang melibatkan seluruh komponen bangsa. Tidak terkecuali
dalam hal ini adalah kaum wanita.
27
Sesuai dengan jiwa kesadaran nasional yang dimiliki wanita Indonesia yang sudah
dimiliki sebelumnya, partisipsi wanita Indonesia dalam perjuangan mendirikan republik ini
sangat besar. Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai negara yang merdeka, kita dapat
menyaksikan peran kaum wanita Indonesia di dalam mendampingi para founding father untuk
turut membidani kelahiran negeri ini. Munculnya figur S.K. Trimurti atau Fatmawati Soekarno
yang bersama-sama turut terlibat dan menjadi saksi dari detik-detik proklamasi telah
mengindikasikan bahwa peran kaum wanita Indonesia tidak kecil. Keberadaan mereka bisa
merefresentasi keberadaan kaum wanita Indonesia bahwa wanita Indonesia memang tidak pasif.
Banyak di antara mereka yang menjadi pendorong semangat dari para suaminya di belakang
layar untuk senantiasa teguh di dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Begitu
juga tidak jarang banyak di antara wanita Indonesia yang menerjunkan diri dalam laskar-laskar
kewanitaan untuk terjun di medan-medan pertempuran untuk bersama-sama bahu membahu
mempertahankan Republik ini (M.C. Ricklef, 1994: 315-316).
Sejak 17 Agustus 1945 sampai sekarang Indonesia telah menjadi negara yang merdeka.
Sebagai sebuah negara yang merdeka, maka yang menjadi fokus perhatiannnya di alam
kemerdekaan adalah bagaimana mengisi kemerdekaan ini dengan pembangunan dalam rangka
mewujudkan sebuah masyarakat yang adil dan berkemakmuran. Sesuai dengan tujuannya itu,
pembangunan Indonesia bagaimanapun menuntut keterlibatan semua komponen dari setiap
potensi yang ada. Di tengah kompleksitas kesulitan yang dihadapi, negara ini mesti dibangun
bersama dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Bila dicermati, setelah selama lebih enam dekade Indonesia merdeka ada sinyalemen
bahwa peran wanita Indonesia di dalam mengisi kemerdekaan lebih bertendensi seakan-akan
mengalami kurang berperan dan cenderung termarginalisasi. Hal ini tampak dari masih kurang
meratanya akan peran kaum wanita yang bisa banyak menempati dalam berbagai lini atau sektor
kegiatan pembangunan. Memang telah ada wanita Indonesia yang menjadi wanita karier, seperti
guru, dosen, polisi, militer, bupati, wakil bupati, gubernur, bankir, menteri, pimpinan partai,
anggota legislatif, bahkan menjadi presiden dan wakil presiden. Kendati demikian dilihat dari
prosentasenya secara umum tingkat partisipisinya masih kecil. Hal ini menunjukkan belum
sebanding antara partisipasi mereka dengan jumlahnya secara kuantitas, padahal jumlah kaum
wanita di Indonesia hampir sama bahkan bisa jadi jauh lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah kaum laki-laki.
28
Potret wanita Indonesia tempo dulu pasti berbeda dengan potret wanita Indonesia zaman
sekarang. Potret kaum Wanita Indonesia, kini sudah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi.
Idealnya kaum wanita di era sekarang sesuai dengan pendidikan dan kualitas yang dimilikinya
dapat bersama-sama dengan kaum laki-laki untuk bisa membawa negara ini ke arah
pembangunan dan perubahan kemajuan yang lebih baik. Bila Kartini dulu telah berhasil
meletakan pondasi yang kuat di dalam usaha memajukan kaum wanita melalui emansipasi dan
perhatian terhadap pendidikan, maka dalam konteks sekarang kaum wanita Indonesia bersama
kaum laki-laki dituntut untuk bisa menghasilkan karya-karya yang besar dan bermanfaat dengan
mengabdikan dirinya bagi kemajuan pembangunan dan kemakmuran negeri ini.
Kesetaraan Gender dan Signifikansinya dalam Usaha Memperjuangkan Hak-hak Kaum
Wanita
Pada substansinya masa depan negara Indonesia, hari ini dan ke depan ada di tangan
generasi yang hidup saat ini. Di tengah kompleksitas berbagai permasalahan yang dihadapi
negara Indonesia telah menuntut partisipasi seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama
membangun negeri ini. Begitu pun dengan keikutsertaan kaum wanita di dalamnya. Mau tidak
mau, keterlibatan mereka sangat penting, apalagi dengan keberadaan mereka yang dapat
dipandang sebagai salah satu asset yang sangat potensial.
Seperti yang telah dikemukaan dalam uraian sebelumnya, bahwa dewasa ini tingkat
partisipasi wanita Indonesia dalam kegiatan pengelolaan pembangunan di Indonesia masih
kurang. Secara umum keterlibatan kaum wanita dalam setiap sektor roda kegiatan pembangunan
masih banyak dipegang dan ditempati kaum laki-laki. Dengan gambaran kondisi ini,
bagaimanapun tuntutan tentang perlu adanya kesetaraan akan peran kaum laki-laki dan wanita
tidak perlu ditawar-tawar lagi. Kaum wanita Indonesia mulai saat ini sudah waktunya untuk dapat
duduk bersama dalam kesetaraan untuk memainkan peran yang aktif bersama kaum laki-kali.
Munculnya tuntutan di kalangan kaum wanita akan pentingnya keterlibatan peran kaum
wanita sebagai sebuah semangat dari kesetaraan gender dalam berbagai bidang tampaknya sah-
sah saja. Dalam kondisi sekarang keterlibatan mereka memang sangat diperlukan. Sementara itu
sumber daya manusia di kalangan kaum wanita Indonesia sendiri sudah jauh lebih baik. Dengan
demikian munculnya semangat akan perlunya kesetaraan akan peran kaum wanita pada dasarnya
29
merupakan hak setiap kaum wanita Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan
kodratnya. Dalam konteks ini, maka sudah sewajarnya kaum laki-laki pun memberikan
kesempatan yang besar kepada kaum wanita untuk dapat berkiprah di mana saja.
Potensi dan Prospek Wanita Indonesia : Sebuah Analisis Historis
Dalam sebuah adagium terungkap: belajarlah dari sejarah! Dengan mempelajari sejarah
orang akan memperoleh pengetahuan akan berbagai kejadian atau peristiwa di masa lalu untuk
dijadikan sebagai sebuah refleksi, pelajaran dan hikmah bagi kehidupan di masa kini. Dengan
mempelajari sejarah, orang akan bersikap bijak di dalam menatap kehidupan di masa yang akan
datang. Terkait dengan adagium ini yang kemudian dihubungkan dengan keberadaan kaum
wanita Indonesia terdapat beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama, bila menengok jauh ke
belakang dengan menelusuri jejak-jejak sejarah perjuangan yang telah dilakukan oleh kaum
wanita Indonesia di dalam meningkatkan harkat, derajat dan martabat kehidupannnya sebenarnya
keberadaan kaum wanita Indonesia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang pasif, tetapi
sebaliknya di dalam diri mereka terkandung berbagai bakat dan potensi untuk menjadi insan yang
maju. Sebenarnya hanya karena kungkungan adat dan budaya yang tidak kondusif yang
menyebabkan potensi kaum wanita di Indonesia tidak berkembang. Apa yang dilakukan Kartini
dan pejuang-pejuang wanita lainnya yang telah melakukan terobosan dan langkah-langkah
brilian di masa pergerakan dapat menjadi teladan bahwa wanita Indonesia bisa maju dan aktif
berkiprah bersama-sama membangun negeri.
Kedua, saat ini Indonesia merupakan negara yang besar dan kaya dengan sumber-sumber
kekayaan alam dan sumber daya manusia. Jumlah penduduk yang besar, di mana kaum wanita
terdapat di dalamnya merupakan asset yang potensial untuk dapat memajukan negeri ini. Namun
demikian, sangat ironis secara umum Indonesia masih mengalami ketertinggalan-ketertinggalan
dalam berbagai bidang. Pengelolaan-pengelolaan sumber kekayaan alam masih banyak yang
mempergunakan tenaga-tenaga asing sementara pemberdayaan sumber daya manusia belum bisa
berjalan secara maksimal. Dengan keadaan seperti ini, keterlibatan kaum wanita untuk banyak
berperan di dalamnya sebagai manifestasi dari semangat kesetaraan gender sudah merupakan
tuntutan sekaligus sebagai tugas yang harus mulai ditanamkan dari sejak dini. Dengan demikian,
30
bagi kaum wanita Indonesia jalan sangat terbuka untuk dapat bersama-sama berpartisipasi dalam
kesetaraan membangun dan mengelola negara ini.
Ketiga, kaum wanita Indonesia dengan jumlahnya yang besar, di masa mendatang masih
memiliki potensi dan prospek yang besar untuk maju. Hanya saja ke semua ini sangat berpulang
kepada semangat perubahan yang dimilikii oleh kaum wanita itu sendiri. Jika kaum wanita
Indonesia mau berpikiran maju dalam kesetaraan maka para wanita harus berusaha untuk bisa
merubah paradigma berpikirnya. Logikanya, jika Kartini pada masanya kurang lebih seabad yang
lalu bisa melakukan langkah-langkah brilian dan cemerlang yang kemudian dapat menyadarkan
kaum wanita sesudahnya, mengapa tidak kaum wanita sekarang melakukan terobosan-terobosan
baru untuk memperjuangkan semangat kesetaraan gender sebagai sebuah haknya? Bukankah
dalam konteks sekarang sistem, ruang dan kesempatan sudah sangat terbuka bagi kaum wanita
untuk banyak berkiprah di berbagai bidang kehidupan.
Penutup
Demikian tulisan tentang emansipasi wanita, kesadaran nasional dan kesetaraan jender di
pentas sejarah nasional Indonesia. Semoga dapat menjadi sebuah refleksi historis bagi wanita
Indonesia akan peranannya di masa mendatang untuk melangkah lebih dinamis dan hidup lebih
progresif.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono. 1968. “Peristiwa dan Tokoh dari Sejarah Pergerakkan Nasional”
dalam Lembaran Sejarah, No. 2 , hlm. 58.
-------------------------. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakkan
Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Kusdiana, Ading. 1998. “Lahirnya Hari Ibu” dalam Majalah Media Pembinaan, No.
9/XXV, Bulan Desember, hlm. 5-6.
31
Mulyana, Slamet. 1986. Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan.
Jakarta: PT Inti Idayu Press.
Ricklef, M.C. 1994. Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi
1908-1945. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Pringgodigdo, A.K. 1992. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta : Dian
Rakyat.
Tirtoprodjo, Susanto. 1961. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta : PT
Pembangunan.
32
SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT MENURUT ISLAM:
PANDANGAN MURTADHA MUTHAHHARI DAN KRITIKNYA TERHADAP
MATERIALISME SEJARAH
Widiati Isana
Abstrak
Perbedaan mendasar pandangan Islam dengan selain Islam (terutama kapitalisme dan
sosialisme) adalah tentang realisme, yaitu kenyataan yang hakiki. Kapitalisme dan
sosialisme berakar pada realisme material (materialisme), sebagai suatu pandangan
yang tidak mengakui hakikat kenyataan selain materi (matter) yang bisa diraba, diamati,
dan diukur. Islam memandang bahwa hakikat yang immaterial merupakan fondasi bagi
kenyataan yang bersifat material. Demikian juga pandangan Islam terhadap fakta
sejarah perkembangan masyarakat berbeda dengan materialisme. Materialisme
(materialisme sejarah) memandang bahwa sejarah perkembangan masyarakat pada
hakikatnya adalah perkembangan materi, dan didorong oleh faktor-faktor yang ada
dalam hubungan-hubungan atau bentuk-bentuk produksi materi, sedangkan Islam
memandang bahwa perkembangan masyarakat pada utamanya didorong oleh hakikat
yang bersifat ruhani.
Kata-kata Kunci
Perkembangan, Masyarakat, Materialisme, Sejarah
Pendahuluan
Muthahhari, sebagaimana menurut Haidar Bagir, adalah seorang ulama besar Iran
yang telah banyak berjasa dalam mengembangkan teori-teori filsafat dan ilmu-ilmu Islam
berdasarkan pendekatan filsafat dan irfan, yang diterima dari guru utamanya,
Thabathabai dan Khomeini. Pemikiran-pemikirannya telah mengantarkan dia menjadi
sosok ulama Islam peletak dasar-dasar epistemologi ilmu Islam yang khas, dan secara
33
jelas menentang berbagai pemikiran atas dasar materialisme dari Barat. Berbagai
gagasannya terkait dengan agenda besar dalam rangka mencerahkan dunia Islam.
Muthahhari mencurahkan banyak perhatian terhadap teori-teori yang menjelaskan
realitas masyarakat dan perkembangannya berdasarkan pendekatan Islam sebagaimana
pesan al-Qur’an dan al-Sunnah, dan tentunya dengan pemaham filosofis dan irfani.
Pemikiran-pemikiran Muthahhari lebih ditujukan untuk mempertahankan teori-teori yang
dikembangkan berdasarkan semangat monoteisme (tauhîd), yang mencakup berbagai
ruang lingkup kajian, seperti bidang filsafat manusia, pengetahuan ilmiah, agama, politik,
sejarah dan masyarakat. Dalam bidang sejarah perkembangan masyarakat, Muthahhari
selain mengemukakan pemikiran-pemikirannya pada tataran filosofis, juga pada tataran
teoretis dan praktis.
Masa hidup Muthahhari berada pada pergulatan pemikiran materialisme,
khususnya marxisme yang mendominasi Iran pada saat itu. Dengan demikian buah
pemikirannya banyak berdialog untuk memberikan kritik bantahan atas marxisme.
Marxisme percaya bahwa proses perubahan masyarakat berlangsung melalui
tahap komunisme primitif, zaman perbudakan, zaman feodalisme, beralih ke zaman
kapitalisme, terus ke sosialisme dan yang terakhir ke komunisme. Zaman yang terakhir
inilah (komunisme) yang menurut Marx merupakan muara terakhir dalam perkembangan
sejarah umat manusia. Laju perkembangan masyarakat secara bertahap seperti demikian
merupakan kemutlakan yang tidak bisa dihindari sebagai akibat laju produksi materi-
materi ekonomi masyarakat, sehingga hukum ini disebut determinisme historis (M.
Amien Rais, 1994: 102).
Sejarah pertumbuhan umat manusia berlangsung melalui corak yang berbeda dari
zaman ke zaman. Ketika zaman komunis primitif, Marx membagi kelas masyarakat itu
menjadi dua kelas, yaitu kelas yang tertindas dan kelas yang menindas. Pada zaman
perbudakan kelas penindas adalah master (majikan, sang tuan), sedangkan yang ditindas
adalah para budak yang menjual tenaganya. Di masa feodalisme, yang menindas adalah
kaum tuan tanah yang kaya raya, dan yang ditindas adalah para petani, buruh tani yang
mengerjakan sawah atau lahan milik tuan tanah tersebut.
34
Ketika perkembangan sejarah umat manusia bergerak dari feodalisme ke zaman
kapitalisme, masyarakat dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas kapitalis sebagai penindas
dan kelas proletariat sebagai tertindas. Sedangkan ketika zaman sosialis, kelas-kelas
sudah mulai mengalami pergeseran, yaitu kelas-kelas masih ada tetapi tidak terlalu tajam
perbedaannya, karena ada suatu kediktatoran yang dinamakan kediktatoran proletariat.
Para diktator secara kolektif menguasai negara dengan mengatasnamakan kaum proletar
untuk mengikis habis sisa-sisa kelas penindas, yang terdiri atas kaum borjuis kecil.
Adapun ketika sejarah umat manusia dalam masyarakat komunis, menurut Marx
tidak akan ada lagi kelas penindas dan kelas yang tertindas, semuanya sama rata sama
rasa. Komunis merupakan muara terakhir dalam perjalanan umat manusia. Bahkan Marx
menyebutkan bahwa masyarakat komunis akan bisa mengembangkan bakatnya secara
utuh, sehingga potensi dan bakat manusia bisa dikembangkan setinggi-tingginya.
Manusia akan mengalami kehidupan yang serba senang tanpa ada masalah-masalah yang
menyertainya.
Dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa pokok pikiran Muthahhari tentang
sejarah, terutama kritik-kritiknya terhadap teori materialisme sejarah, berdasarkan sumber
pokok karya Muthahhari yang cukup populer “Social and Historical Change: An Islamic
Perspective”, sebagai terjemahan dari bahasa Persia oleh R. Champbell.
Hakikat Sejarah
Menurut Muthahhari, ada tiga definisi sejarah yang saling berkaitan, yaitu sebagai
sejarah naratif (narative history), sejarah ilmiah (scientific history), dan filsafat sejarah
(philosophy of history). Pembagian tiga definisi sejarah ini berkaitan dengan kritik
Muthahhari terhadap materialisme sejarah, yang dianggap rancu dan terjadi tumpang
tindih dalam menentukan ruang lingkup bahasan sejarah, dan jelas-jelas dianggap
bertentangan dengan pandangan Islam. Bagi Muthahari baik sejarah naratif, sejarah
ilmiah, maupun filsafat sejarah mempunyai nilai manfaat untuk memahami karakteristik
kemanusiaan dari berbagai aspeknya. Namun demikian Muthahhari dalam berbagai
35
pemikirannya tentang sejarah lebih banyak mencurahkan perhatian untuk memahami
sejarah ilmiah dan filsafat sejarah berdasarkan pesan-pesan al-Quran dan al-Sunnah.
Sejarah Naratif (Narative History)
Sejarah naratif (narative history) adalah pengetahuan tentang berbagai kejadian,
peristiwa, dan kondisi manusia di masa lampau yang berbeda dengan keaadaan saat ini.
Sejarah naratif membahas fakta-fakta khusus tentang serangkaian fenomena pribadi dan
perorangan (individual), yang tidak dihubung-hubungkan dengan hukum-hukum yang
bersifat menyeluruh; bersifat naratif (telaah atas riwayat-riwayat dan tradisi-tradisi),
bukan ilmiah; merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang ada (“being”), bukan
pengetahuan tentang menjadi ada (“becoming”); berhubungan dengan masa lampau,
bukan masa kini. Sejarah naratif, merupakan objek kajian (ontologi) sejarah ilmiah dan
filsafat sejarah, dan secara aksiologis berguna sebagai teladan dan pelajaran di masa
lampau untuk kehidupan masa kini. Al-Quran menegaskan bahwa dalam sejarah pribadi
Rasulullah Muhammad SAW terdapat teladan moral dan kamanusiaan, sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 21 (Murtadha Muthahhari, 1986: 37-38)
.
Sejarah Ilmiah (Scientific History)
Sejarah ilmiah (scientific history) adalah pengetahuan tentang hukum-hukum dan
norma-norma yang mengatur kehidupan masyarakat di masa lampau, yang diperoleh
melalui penelitian, penyelidikan, dan analisis terhadap kejadian-kejadian dan peristiwa di
masa lampau. Objek kajian sejarah ilmiah adalah sejarah naratif. Sejarawan mengkaji
objek-objek telaahan berupa bukti-bukti catatan tentang peristiwa di masa lampau, yang
fenomenanya tidak dapat diuji dengan pengulangan peristiwa. Cara kerja sejarawan
berbeda dengan ilmuan bidang pengetahuan alam yang menelaah fenomena-fenomena
nyata saat ini dan dapat membuktikannya dengan pengulangan, atau perlakuan
(intervensi) uji coba. Kajian ilmiah bagi sejarawan adalah didasarkan analisis logis,
36
rasional, dan mental, oleh karena itu pekerjaan sejarawan lebih mendekati pekerjaan
filosof daripada sebagai ilmuan.
Dalam rangka mengkritisi kebenaran sejarah ilmiah seperti itu, Muthahhari secara
epistemologis mengajukan beberapa pertanyaan berikut: 1) Apakah rangkaian peristiwa
yang diungkap dalam sejarah naratif bisa dipercaya dan ajeg (valid dan reliabel)? 2) bila
jawabannya “ya” serta hakikat dan karakter masyarakat tidak bergantung kepada
individu, maka dari peristiwa-peristiwa sejarah naratif dapat diperoleh kesimpulan umum
berupa hukum dan aturan umum tentang hubungan sebab akibat. 3) Faktor apa yang
menjadi dasar adanya perubahan dalam sejarah masyarakat? Sejarah ilmiah pada
umumnya meyakini bahwa materi-lah yang merupakan dasar utama adanya perubahan.
Materi adalah penyebab, sedangkan masyarakat adalah akibat. Disebabkan oleh adanya
perubahan pada struktur materi, maka struktur masyarakat juga berubah. Dalam kata lain
faktor ekonomi merupakan penyebab utama perubahan masyarakat. Pendekatan sejarah
dengan dasar materi tersebut disebut “materialisme sejarah atau materialisme dialektis”.
Muthahhari sangat tidak setuju dan mengkritik terhadap materialisme sejarah.
Materialisme sejarah menggunakan lima dasar teoretik, yaitu: 1) keutamaan materi
daripada jiwa (matter over spirit), 2) keutamaan kebutuhan material daripada kebutuhan
ideal (ruhaniyah), 3) keutamaan tindakan daripada pikiran, 4) keutamaan eksistensi sosial
daripada eksistensi individual manusia, dan 5) keutamaan aspek-aspek material
masyarakat daripada aspek-aspek idealnya (Murtadha Muthahhari, 1986: 43-51).
Materialisme sejarah bardasarkan anlalisis Muthahhari, dapat disimpulkan dalam
enam pokok, yaitu: 1) menurut materialisme sejarah cara paling baik dan terpercaya
untuk menelaah dan menganalisis peristiwa-peristiwa sejarah dan masyarakat ialah
menyelidiki fondasi ekonominya; 2) hukum yang menguasai sejarah itu menentukan, tak
dapat diganggu gugat dan di luar kehendak manusia; 3) setiap periode sejarah secara
evolutif berbeda dengan periode lainnya, baik dalam watak maupun dalam sifat; 4)
perkembangan alat-alat produksi menimbulkan pemilikan pribadi, dan terbaginya
masyarakat menjadi dua kelas, yaitu kelas penghisap dan terhisap (penindas dan
tertindas); 5) peranan ideologi, bimbingan, propaganda, dan nasihat hanya efektif untuk
menggerakkan masyarakat secara terbatas sesuai tujuan yang dikehendaki pada kelasnya.
37
6) semua figur, pemimpin, pembimbing, dan pahlawan revolusi pada hakikatnya timbul
dari kelas tertindas (Murtadha Muthahhari, 1986: 106-121).
Menelaah, menganalisis, dan menyimpulkan hukum-hukum yang ada pada
berbagai peristiwa sejarah menurut Islam, sebagaimana dikemukakan Muthahhari, adalah
berkaitan dengan menyelidiki faktor-faktor yang sesungguhnya mampu menggerakkan
perubahan sejarah, yang mencakup: 1) psikologis–rohani individu anggota masyarakat, 2)
kekuatan dan ke-universalan ideologi Islam, 3) asal-usul kemasyarakatan dan keagamaan,
4) pentingnya struktur rohani masyarakat, 5) kepemimpinan pribadi unggul, dan 6)
kepastian kemenangan bagi pembela nilai-nilai kebenaran ilahiyah.
1. Pentingnya aspek ruhani (psikologis)
Beberapa ayat al-Quran mengemukan bahwa ruh (jiwa) bagi manusia merupakan
kenyataan yang hakiki, sebagai faktor utama penggerak jasad. Materi sama sekali tidak
mendahului rohani. Eksistensi kebutuhan rohani dan dorongan rohani dalam diri manusia
tak bergantung pada kebutuhan materialnya. Pikiran dan kerja adalah sama-sama
fundamental. Personalitas psikis manusia jauh lebih penting dibanding personalitas
sosialnya. Al-Qur'an menegaskan bahwa fitrah manusia adalah fundamental. Fitrah
bahkan terdapat juga pada diri orang-orang yang kemanusiaannya telah merosot
sedemikian rupa seperti Fir’aun. Musa diutus untuk membangkitkan fitrah kemanusiaan
Fir’aun untuk melawan kepribadian kemasyarakatannya yang buruk. Musa berusaha
membangkitkan sisa-sisa kemanu-siaan yang ada pada diri Firaun untuk melawan
kepribadian kemasyarakatannya. “Pergilah kepada Fir’aun; dia telah melampaui batas.
Dan katakanlah, ‘Adakah keinginan padamu untuk membersihkan diri, dan bahwa aku
hendak membimbingmu menuju Tuhanmu, maka kamu akan takut” (Q.S. 79: 17-19).
Al-Quran percaya pada kekuatan dan nilai bimbingan, nasihat, teguran,
peringatan, hujjah dan penalaran logis (yang dalam al-Quran disebut hikmah,
kebijaksanaan). Menurut al-Quran, sarana-sarana ini dapat mengubah seseorang,
mengubah jalan hidupnya, mengubah kepribadiannya, dan menciptakan perubahan ruhani
dalam dirinya. Pendekatan ini bertentangan dengan Marxisme dan materialisme, yang
membatasi peranan bimbingan hanya sebagai jalan untuk menimbulkan kesadaran akan
pertentangan kelas dan watak kelas.
38
Dengan demikian seseorang beriman atau menjadi kafir, bukan oleh karena
kesadaran yang diakibatkan oleh keadaan materialnya (jasad). Demikian pula adanya
perbedaan antara kelompok masyarakat yang beriman dan berbuat kebajikan, dengan
kelompok masyarakat yang kafir dan berbuat kerusakan adalah bukan sebagai akibat
adanya pertentangan antara kelompok masyarakat yang banyak harta (kelas penindas),
dengan kelompok yang serba kekurangan materi (kelas tertindas).
Menurut Muthahhari, pernyataan bahwa al-Quran telah membagi masyarakat
yang terdiri dari dua kelas material dan dua kelas ruhaniah yang saling bersesuaian, dan
bahwa konfrontasi antara kaum beriman dengan kaum kafir mencerminkan konflik
mendasar antara kaum tertindas dan kaum penindas, adalah tidak benar. Tipe persamaan
ini sama sekali tak diabsahkan oleh al-Quran. Al-Quran mengukuhkan tidak adanya
persamaan seperti itu. Isteri Fir’aun, yang kisahnya diungkapkan dalam Surat al-Mu‘min,
meski sebagai rekan hidupnya dan sama mengecap hidup mewah dengan Fir’aun, adalah
seorang beriman sejati kepada Allah (QS. 66: 11).
Bangkitnya Musa as., sebagaimana diungkapkan oleh al-Quran, bertentangan
dengan materialisme sejarah. Musa adalah dari suku Israil —ia bukan orang Mesir, bukan
pula keluarga Fir’aun— tetapi Musa dibesarkan sejak masa bayinya sebagaimana putra
mahkota dalam rumah tangga Fir’aun. Musa juga, yang dibesarkan oleh Fir’aun, yang
bangkit melawan sistem tirani pengasuhnya, suatu sistem yang di tengah-tengahnya ia
dibesarkan, mencampakkan Fir’aun dan memilih bekerja sebagai gembala pada si orang
tua Median, sampai ia dipilih oleh Allah menjadi nabi, ketika ia, secara resmi,
berkonfrontasi dengan Fir’aun.
Nabi Muhammad saw. adalah yatim ketika masih kanak-kanak, dan hidup dalam
kemiskinan sampai mudanya. Baru setelah menikah dengan Khadijah, ia menjadi
makmur dan kaya (Q.S. 93: 6-8). Dalam masa kemakmuran inilah Nabi saw.
mencurahkan waktunya untuk berdoa dan tafakur dalam kesunyian. Menurut doktrin
materialisme sejarah, dalam periode ini semestinya Nabi telah berubah menjadi seorang
pembela gigih status quo-nya. Namun, dalam masa inilah ia mulai mendakwahkan risalah
revolusionernya, bangkit melawan para kapitalis, para penghisap Makkah, dan bangkit
menentang praktik penyembahan berhala yang melambangkan kehidupan bobrok masa
itu. Demikian pula al-Quran memaparkan berbagai pandangan tentang orang-orang
39
tertindas tidak beriman yang terkena siksaan Allah (QS. 4: 97; 14: 21; 34: 31-37; 40: 47-
50). Jadi, tidak semua orang beriman itu tertindas, tidak pula semua orang tertindas itu
beriman.
2. Kekuatan dan keuniversalan ideologi Islam
Ideologi Islam bersumber dari Allah dan sesuai dengan keuniversalan fitrah
manusia, oleh karenanya seruan Islam ditujukan kepada manusia pada umumnya untuk
menerima kebenaran yang sesuai dengan tuntutan fitrah. Berbagai seruan ayat al-Qur’an
dengan menggunakan ungkapan nâs (umat manusia) merupakan seruan kepada manusia
terhadap keumuman fitrahnya.
Bagi kalangan yang sepakat dengan konsep materialisme sejarah, ungkapan nâs
yang digunakan Al-Quran, diartikan massa tertindas, sehingga dianggap bahwa Al-Quran
mengakui konsep kesadaran kelas, massa tertindas sebagai satu-satunya kelas yang
mampu menyambut seruan Islam, ideologi Islam berorientasi kelas, dan berarti bahwa
Islam merupakan agama massa tertindas.
Sesungguhnya tidak ada kamus yang mengartikan "nâs" massa tertindas. Kata ini
juga tidak digunakan oleh orang Arab dalam pengertian itu. Sesungguhnya kata ini tidak
menunjukkan kelas. Al-Qur'an menyatakan: “Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia (nâs) terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah” (QS, 3: 97). Islam berpihak kepada nilai-nilai kesetaraan, kesamaan, dan
keadilan, yang tujuan prinsipnya ialah mewujudkan nilai dan prinsip manusiawi
(Murtadha Muthahhari, 1986: 98, 108, 119).
Penegasan Muthahhari tentang universalisme Islam, sesungguhnya merupakan
pembenaran terhadap ideologi Islam sebagai kekuatan penggerak perubahan sejarah pada
seluruh lapisan masyarakat, seperti adanya revolusi.
3. Asal-usul kemasyarakatan dan keagamaan
Muthahhari menegaskan bahwa asal-usul kemasyarakatan dan keagamaan adalah
sejalan dengan awal sejarah manusia. Kemasyarakatan dan keagamaan bukan muncul
dari basis material, sebagai produk ekonomi, yaitu sebagai akibat ketertindasan kelas
ekonomi lemah. Al-Quran tidak pernah menyatakan bahwa para pemimpin, para nabi,
dan para syahid berasal dan kalangan tertindas. Kata umiyyin dalam al-Quran (62: 2)
40
adalah bentuk jamak dari kata ummi yang berarti seorang yang tak bisa membaca. Ummi
berasal dari umm, bukan ummah. Terlebih lagi, arti kata ummah ialah suatu masyarakat
yang terdiri atas berbagai kelompok berbeda, dan tidak dapat digunakan untuk
menunjukan ‘massa serba kekurangan’.
Sementara bagi kalangan yang telah menyimpangkan ayat-ayat al-Quran kepada
falsafah materialisme, al-Qur’an (62:2; 28:75) menunjukkan bahwa para pemimpin, para
pembaru (mushlihun), para pejuang di jalan Allah, para syuhada’ dan, akhirnya, para nabi
serta utusan Allah, muncul dari kalangan massa, bukan dari kalangan mewah, orang-
orang kaya dan kelas manja. Hal ini menunjukkan bahwa asal-usul kemasyarakatan dan
keagamaan adalah dasar ekonomi, yaitu dari ketertindasan kelas ekonomi lemah. Agama
merupakan produk sejarah material; seperti halnya filsafat, seni, dan ilmu pengetahuan,
agama juga muncul sebagai akibat dari tuntutan ekonomi yang sesusai dengan situasi
dan kondisi masyarakatnya. Oleh karena itu Agama selalu merupakan pengabsahan
terhadap perjuangan setiap kelas dalam masyarakat, sehingga ada dua jenis penyakit, dua
pola pikir filosofis, dua sistem moral, dua gaya seni, dan dua jenis sastra, dua pandangan
hidup, dan terkadang bahkan dua jenis pengetahuan ilmiah.
Marx secara pribadi, menerima dua pengecualian dari prinsip ini: agama dan
negara merupakan ciptaan khusus kelas penindas dan digunakan olehnya sebagai alat
penindasan. Agama dan negara dipaksakan kepada kelompok tertindas. Karena itu, tidak
pernah ada di mana pun dua sistem pemerintahan atau agarna.
Menurut Muthahhari, agama senantiasa ada di dunia, baik dalarn bentuk agama
tauhid atau kesyirikan, atau keduanya ada pada saat bersamaan. Dia menolak berbagai
pendapat sebagaimana dinyatakan oleh kebanyak sosiolog, yang menyatakan bahwa
ketauhidan dicapai melalui proses sejarah, atau sebaliknya, agama berawal dari
ketauhidan berproses menuju kemusyrikan (Murtadha Muthahhari, 1986: 99, 108-109).
Agama merupakan kenyataan yang tidak akan berakhir sepanjang sejarah manusia,
karena agama memiliki dua keistimewaan sekaligus, yaitu sebagai kebutuhan fitrah
manusia, dan sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan fitrah manusia
(Murtadha Muthahhari, 1995: 44). Agama adalah fitrah, yang Allah ciptakan dalam diri
manusia satu kesatuan dua macam fitrah yang tidak bisa dipisahkan. Pertama, fitrah
idrakiyah, yaitu fitrah manusia untuk dapat menerima penalaran pikiran tentang konsep-
41
konsep agama, khususnya tauhid. Sedangkan fitrah yang kedua adalah fitrah merasa (al-
fithrah al-ihsasiyyah), yaitu menghadapkan diri kepada Allah dan agama dengan
perasaan-perasaan dan kesadaran fitri. Dengan demikian, merupakan fitrah manusia
untuk mengetahui dan cenderung serta tertarik kepada Allah (Murtadha Muthahhari,
2001: 197-197).
4. Pentingnya Struktur Rohani Masyarakat,
Tujuan utama para nabi ialah menegakkan keadilan dan persamaan, memperkuat
hubungan manusia dengan Allah melalui keimanan dan pengetahuan. Menurut al-Quran
(3: 64): “Marilah kepada suatu kata bersama antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak
sebagian dari kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan selain Allah....”. Lebih jelas
lagi, sejarah dakwah Rasul Muhammad S.A.W, mengawali dakwahnya dengan menyeru
ummat manusia ke jalan tauhid selama 13 tahun periode Mekah, dan baru pada perbaikan
kesejahteraan masyarakat selama 10 tahun periode Madinah.
Kalangan materialisme sejarah meyakini bahwa tujuan tersebut hakikatnya adalah
gerakan pada infrastruktur, karena ‘sasaran antara’ missi para nabi adalah pembangunan
infra-struktur (ekonomi) dan baru kemudian pembangunan supra-struktur (aqidah dan
akhlak). Mereka mendasari dengan hadits "Barangsiapa tidak memiliki sarana
penghidupan, maka dia akan gagal di akhirat"; "Ya Allah, anugerahi kami roti yang
banyak, karena kalau tidak ada roti, maka kami tidak mungkin bersedekah, juga kami
tidak bisa shalat." Dalam hal ini mereka telah membuat dasar yang tidak layak untuk
mendukung argumentasi yang dikemukakannya (Murtadha Muthahhari, 2001: 99-100,
109-110).
5. Kepemimpinan pribadi unggul
Dalam setiap perubahan sejarah, pribadi seseorang yang unggul dan menjadi
sosok pemimpin revolusioner memiliki peranan penting. Muthahhari meyakini bahwa
keunggulan pemimpin revolusioner, merupakan fakta bahwa mereka adalah manusia
sempurna, pikiran dan sentimen mereka sepenuhnya matang. Dalam kenyataan, semakin
sempuma manusia, semakin kecil keberkaitan dan kebergantungannya pada lingkungan
alam dan masyarakatnya serta keadaan-keadaan material, dan semakin besar
42
kebebasannya. Logika para nabi merupakan logika dinamis, rasional dan tak terikat adat
serta tradisi, bukanlah hasil keterpaksaan dan refleksi dari rasa kepapaan mereka oleh
keharusan sejarah. Demikian pula penentang para nabi menggunakan logika konservatif,
dan dari kelas berkelimpahan, istimewa dan penghisap, Al-Quran menganggap bahwa
ragam pemikiran ini merupakan logika para pemimpin kaum penentang, para mala’ dan
mustakbirun yang, oleh Marx, dipandang sebagai para pemilik dan penyalur hasil-hasil
pemikiran masyarakat.
Menurut Muthahhari, para nabi memiliki tiga peranan penting dalam sejarah.
Pertama, pendidikan yang dapat menunjang pencapaian kesadaran sosial, kedua,
pengukuhan kesepakatan dan perjanjian dalam kehidupan sosial. Agama yang dibawa
para nabi telah memerankan sebagai sumber nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Ketiga,
pembebasan dari penindasan sosial, sebagai peran paling mendasar para nabi, dengan
berjuang, menentang kediktatoran, penindasan, dan memerangi wakil-wakil para
penentang terhadap perintah-perintah Tuhan. Demikian juga, orang-orang berbakat dan
unggul berperanan penting dalam perubahan masyarakat, untuk membawa masyarakat
kepada situasi yang lebih baik (Murtadha Muthahhari, 1991: 25-26, 143-144).
6. Kepastian kemenangan bagi pembela nilai-nilai kebenaran ilahiyah
Keadaan tertindas (istidh’af) bukan jaminan akan pencapaian kemenangan.
Istikhlaf (suksesi kepemimpinan) sebagai perwujudan kemenangan pasti bagi upaya
mewujudkan nilai-nilai kebenaran dari kesempurnaan ilahiyah.
Dalam Al-Quran, Surat an-nur (24), ayat 55, mengemukakan:
"Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman di antara kamu yang
mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia, sungguh, menjadikan yang sebelum
mereka menggantikan (yang lain), dan bahwa Dia, sungguh, akan menegakkan
bagi mereka agama mereka yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan akan
menganugerahi mereka keselamatan sebagai ganti ketakutan. Mereka tetap
menyembah-Ku, dengan tidak mempersekutukan apa pun dengan-Ku”.
Dalam ayat ini, yang dijanjikan kemenangan akhir, sebagai khalifah Allah serta
pewaris bumi, tak pelak lagi adalah kaum beriman yang saleh. Dengan kata lain, ayat ini
menjanjikan kemenangan akhir bagi manusia yang telah mencapai kekukuhan iman,
mengejawantahkan kebenaran dan ketinggian watak. Salah satu cakupan kemenangan
yang dijanjikan itu ialah ‘pengganti di bumi’, yakni merebut wewenang dari para
43
penguasa dan kekuatan-kekuatan sebelumnya. Cakupan lainnya ialah tegaknya aturan
agama, yakni terejawantahkannya semua nilai etika dan kemasyarakatan Islam, seperti
keadilan, ketakwaan, keberanian, pengorbanan diri, cinta, ibadah kepada Allah, kesetiaan,
kesucian jiwa, dan sebagainya.
Kekuatan penggerak sejati di balik perjuangan-perjuangan ini bukanlah kenaikan
suatu kelas tertentu, tetapi dorongan alami dan naluriah manusia untuk mencapai
kebenaran dan untuk memahami misteri keberadaan dan hasratnya akan keadilan, yang
bertujuan menciptakan suatu tatanan ideal masyarakat. Dasar berpijak perkembangan
sejarah bukanlah perjuangan-perjuangan untuk kepentingan kelas dan keuntungan
material, tetapi perjuangan ideologi dan ruhani yang berdasarkan keimanan kepada Allah.
Filsafat Sejarah
Filsafat sejarah adalah pengetahuan tentang tahapan dan hukum-hukum yang
menggerakkan transformasi (perubahan) dan perkembangan masyarakat. Filsafat sejarah
menjelaskan proses pembentukan masyarakat (the science of becoming societies), bukan
sekedar tentang masyarakat yang ada (being). Sebagaimana dikemukakan Muthahhari
landasan utama filsafat sejarah menurut Islam adalah prinsip basis spiritual masyarakat
lebih utama dibanding basis materialnya, sebagaimana diungkapkan al-Qur'an:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS, 13: 11). Dengan kata lain, Allah tidak
mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak mengubah semangat atau jiwa
mereka. Ayat ini dengan tegas menolak teori kekuatan materialisme sejarah (Murtadha
Muthahhari, 1991: 38, 126).
Hukum-hukum tentang transformasi dan perkembangan masyarakat dalam
penjelasan filsafat sejarah mencakup empat masalah pokok, yaitu: 1) strategi
mempengaruhi masyarakat, 2) terminologi aliran, 3) kondisi-kondisi yang diterima, dan
4) kejayaan dan keruntuhan suatu masyarakat. Berbagai sudut pandang aliran pemikiran
memberikan fokus perhatian yang berbeda terhadap keempat masalah pokok tersebut.
Berikut ini merupakan penjelasan Muthahhari atas berbagai pandangan tersebut dan
menurut pandangan Islam (Murtadha Muthahhari, 1991: 126-136).
44
1. Strategi mempengaruhi masyarakat
Setiap aliran pemikiran menyampaikan pesan pandangan dasarnya untuk
mempengaruhi masyarakat agar mencapai tujuan yang diharapkannya, dan melakukan
tekanan moral untuk memobilisasi mereka.
Selama perkembangan sejarah setiap aliran pemikiran juga menyajikan
pengesahan moralitas atas perilaku kekerasan dalam menyebarkan doktrin yang sesuai
dengan pandangan masing-masing tentang evolusi sejarah dan perkembangan manusia.
Menurut Islam, yang bermoral bukan saja kontak damai dan misi yang bersahabat
dan banyak membantu, tetapi terkadang penggunaan kekuatan juga bisa bermoral. Islam
menganggap memerangi kekerasan dan tirani sebagai kewajiban suci, dan memandang
jihad yang berarti perlawanan bersenjata, dalam keadaan tertentu, adalah wajib. Islam
berpikir dengan bahasa spiritual, oleh karena itu Islam percaya pada kekuatan argumen
dan nasihat. Penggunaan kekuatan terhadap kelompok anti-kemajuan baru dibolehkan
kalau cara-cara damai, seperti meyakinkan orang dengan argumen rasional, sudah
digunakan dan ternyata gagal. Para nabi baru menggunakan kekuatan setelah cara-cara
damai menemui kegagalan.
Tujuan missi Islam adalah pertama, membangkitkan kesadaran manusia akan
tanggung jawabnya. Metode yang digunakan untuk menyebarkan missinya adalah
menempatkan pentingnya keyakinan tentang Allah SWT sebagai sumber, dan keyakinan
tentang adanya Hari Kebangkitan. Surat-surat Al-Qur'an yang turun di Mekah selama 13
tahun pertama misi Nabi Muhammad saw hampir tidak membicarakan pokok masalah
lain selain tentang Tuhan sebagai Sumber dan tentang Hari Kebangkitan.
Dalam kategori kedua, ajaran Islam mengarahkan perhatian manusia kepada
martabat dan posisi unggulnya sendiri. Manusia bukanlah binatang yang pada awalnya
persis seperti primata lainnya, namun manusia begitu piawai dalam bertahan hidup
sehingga setelah beratus-ratus juta tahun posisinya jadi seperti sekarang ini. Dalam diri
manusia ada nuansa ruh ilahiah, yang di hadapannya para malaikat bersujud. Meskipun
ada sifat-sifat hewaniah seperti hawa nafsu dan sifat buruk, manusia itu sendiri tetap
merupakan esensi murni yang menentang penumpahan darah, kebohongan, kerusakan,
45
kehinaan, kebencian, kekerasan dan tirani. Manusia merupakan perwujudan kemuliaan
(kekuatan) ilahiah. Al-Qur'an mengatakan: “Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-
Nya dan orang-orang mukmin” (QS, 63: 8).
Tahap ketiga adalah tahap kesadaran akan hak dan tanggung jawab sosial. Dalam
Al-Qur'an dijumpai beberapa contoh yang menekankan hak yang hilang dengan tujuan
mendorong orang untuk melakukan gerakan. Al-Qur'an mengatakan:
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang
yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, yang semuanya
berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dan negeri ini (Mekah) yang zalim
penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami
penolong dari sisi-Mu!" (QS, 4: 75).
Dalam ayat ini, untuk meyakinkan orang agar berjihad, dua nilai spiritual mendapat
penekanan: (1) gerakan mereka adalah demi Allah. (2) orang-orang tak berdaya tengah
ditindas oleh tiran.
Islam juga memandang harta kekayaan, dan kehormatan dari segi nilai-nilai
manusiawinya. Menurut hadits, seseorang yang terbunuh karena membela
kehormatannya atau hartanya, maka dia dianggap syahid yang mengorbankan jiwanya
demi Allah SWT. Namun demikian Islam membenci orang-orang yang menimbun harta
atau untuk serakah. Islam hanya memintanya untuk mempertahankan hak-haknya. Juga,
bila Islam memandang wajib mempertahankan kehormatan, itu karena Islam memandang
kehormatan sebagai nilai sosial tertinggi dan memandang manusia sebagai penjaga nilai
ini.
2. Terminologi Ideologi
Setiap mazhab mengidentifikasi pengikutnya dengan nama khusus. Misalnya,
teori rasial mempunyai ciri khas penganutnya, sehingga bila mereka mengatakan "Kami",
maka yang mereka maksud adalah orang kulit putih. Teori Marxis adalah teori pekerja.
Bila mereka mengatakan "Kami", maka yang mereka maksud adalah pekerja. Kaum
Kristiani menganggap diri mereka berasal dari person Kristus, seakan-akan mereka tidak
46
memiliki doktrin atau ideologi. Tanda identitas mereka adalah mereka mencari Kristus
dan ingin bersamanya.
Ciri khas Islam adalah sesuai dengan arti Islam, yaitu tunduk kepada Allah. Kaum
Muslim adalah umat yang tunduk kepada Allah, kepada kebenaran dan kepada wahyu
dan ilham yang datang dari cakrawala kebenaran dan disampaikan kepada orang-orang
yang sangat mulia.
3. Syarat untuk Menerima
Agar bisa terjadi perubahan masyarakat, pandangan berbagai aliran pemikiran
mensyaratkan sebab-sebab, kondisi, dan rintangan-rintangan gerakan sejarah yang sesuai
dengan konsepsinya mengenai mekanisme gerakan sejarah.
Islam berpendapat bahwa syarat-syarat yang mendukung kemajuan dan rintangan
yang menghalangi jalannya kemajuan adalah berkisar seputar apa yang disebut kondisi
murni fitrah manusia. Dalam berbagai ayat al-Quran, disebutkan beberapa kondisi
seperti: mempertahankan kesucian asasi (“petunjuk bagi mereka yang takwa” –QS, 2: 2);
sinyal hati nurani yang muncul dari rasa tanggung jawab dan kewajiban terhadap dunia
(“orang-orang yang takut akan Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya” –QS,
21: 49, “yang takut kepada Tuhan Maha Pemurah walaupun dia tidak melihat-Nya” –QS,
36: 11); karakter hakiki (fitrah) yang hidup (“untuk memberikan peringatan kepada orang
yang hidup hatinya” –QS, 36: 70).
Islam berpandangan bahwa dakwahnya diterima oleh orang-orang yang bersih,
yang punya rasa tanggung jawab dan hidup wajar. Beda dengan sifat-sifat ini, Islam
menyebutkan sifat-sifat seperti kerusakan rohani dan moral, dosa hati, karat hati, hati
yang tertutup, hilangnya kemampuan untuk memahami kebenaran yang tersembunyi, hati
yang tak peduli, rusaknya jiwa, mengikuti adat dan kebiasaan leluhur, mengikuti jejak
sesepuh dan tokoh, berbuat berdasarkan dugaan, dan seterusnya. Al-Qur'an memandang
semua itu merintangi perkembangan masyarakat dan gerakan masyarakat menuju
47
kedamaian, kemakmuran dan kemenangan. Hidup berlebihan dan mewah juga dianggap
sebagai perintang, karena hidup seperti ini mengubah manusia menjadi hewan.
4. Jaya dan Jatuhnya Masyarakat
Setiap aliran pemikiran mengemukakan pandangan mengenai maju dan
mundurnya masyarakat, yang sejalan dengan pandangan tentang masyarakat, dan
mengenai gerakan evolusi sejarah dan kehancurannya.
Al-Qur'an, khususnya berkenaan dengan kisah dan anekdot yang berkaitan
dengan masalah-masalah ini, menjelaskan pada umumnya empat faktor yang
menyebabkan jaya dan jatuhnya suatu masyarakat.
a) Keadilan dan Kezaliman
Hal ini sudah disebutkan secara tidak langsung oleh Al-Qur'an dalam banyak
ayatnya, antara lain QS, 28: 2: "Sesungguhnya Fir'aun mengagungkan dirinya di muka
bumi, dan memecah belah kaumnya menjadi kasta-kasta. Sebagiannya dia tindas, dia
bunuh anak laki-laki mereka dan biarkan hidup perempuan-perempuan mereka.
Sesungguhnya dia termasuk orang yang berbuat kerusakan." Al-Qur'an menggambarkan
Fir'aun sebagai orang yang berbuat kerusakan. Gambaran ini menunjukkan bahwa tirani
sosial seperti yang dilakukan Fir'aun, dapat menghancurkan fondasi masyarakat.
b) Persatuan dan Perpecahan
Ayat 103 dari Surat Âli 'Imrân mendesak agar bersatu atas dasar iman dan
berpegang kuat pada tali Allah SWT. Ayat 105 dari Surat yang sama mengatakan, "Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih." Penegasan
yang sama juga ada pada ayat 65 dan 153 dari Surat al-An'âm, dan ayat 46 Surat Al-
Anfal.
48
c) Menaati atau Mengabaikan Perintah Allah tentang Amar Makruf Nahi Munkar
Banyak ayat al-Qur'an menekankan perlunya menaati perintah Allah tentang amar
makruf nahi munkar. Orang yang mengabaikan kewajiban penting ini akan hancur dan
dilupakan. Alasan Bani Isra'il kehilangan rahmat Allah adalah “Mereka satu sama lain
selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruk
apa yang selalu mereka perbuat itu” (QS, 5: 79).
d) Kerusakan Moral dan Tidak Peduli Hukum
Banyak ayat al-Qur'an yang mengungkapkan akibat kerusakan moral dan tidak
peduli hukum. Sebagiannya menggambarkan hidup mewah sebagai penyebab
kehancuran.
Metodologi Sejarah Islami
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Muthahhari menegaskan tentang
pentingnya basis ketauhid dalam memahami kenyataan, termasuk dalam memahami
berbagai peristiwa sejarah. Penentu sejarah adalah basis ruhaniah yang didasarkan atas
keyakinan terhadap ke-Esaan Allah SWT. Dasar ketauhidan dapat megatur kehidupan
manusia dalam berbagai aspeknya, terutama dalam mewujudkan moralitas manusia.
Marxisme memandang bahwa kepastian sejarah ditentukan oleh kesadaran kelas
masyarakat pekerja. Berdasarkan pendekatan metodologi materialisme sejarah, revolusi
Iran tahun 1979 disimpulkan Zayar, “Khomeini dan kaum fundamentalis mustahil akan
pernah mendapatkan kekuasaan jika tidak berkat adanya gerakan kaum buruh. Dengan
demikian untuk mencapai keberhasilan suatu revolusi diperlukan pengorganisasian kelas
pekerja untuk mencapai kesadaran sebagai kelas tertindas dan bersedia berkonflik dengan
kelas penindas.
49
Islam memandang bahwa perilaku bermoral adalah dari dasar ketundukan dan
kepatuhan, serta berbagai upaya untuk mencapai keridha-an Allah SWT. Berdasarkan
‘metodologi sejarah Islami’ yang dikembangkan berdasarkan irfan-nya Muthahhari
(Murtadha Muthahhari, 1993: 13-17), untuk mencapai kesadaran manusia yang hakiki
adalah dari hikmah nadhariyyah, yaitu kesadaran yang dibentuk dari pemikiran manusia
untuk mencapai keindahan dan moralitas agama, dan hikmah ‘amaliyah, sebagai bentuk
kesadaran yang menimbulkan tindakan individu dan sosial (Murtadha Muthahhari, 1993: 5,
15). Allah sebagai yang hakiki, dan sumber bagi segala yang ada. Perubahan-perubahan
sejarah terjadi sebagai upaya manusia untuk mewujudkan kehendak ilahi di muka bumi.
Penutup
Muthahhari telah banyak memberikan perhatian terhadap faktor-faktor sejarah
berdasarkan pemahaman Islami, yang jelas memiliki perbedaan yang kontras dengan
pandangan-pandangan materialisme. Perwujudan tauhid adalah inspirasi gerakan
perubahan di masyarakat di manapun dan sampai kapanpun, sejalan dengan fitrah
manusia yang tidak akan pernah berubah di setiap waktu dan tempat, yang diwujudkan
dalam berbagai pemikiran. Bagi Muthahhari pemikiran adalah tujuan hidup itu sendiri,
karena berpikir sejalan dengan titah agama. Pemikiran Islam adalah Islam, bukan
kapitalisme atau sosialisme. Islam memiliki ciri yang khas yang berbeda dari pemikiran
lainnya dengan ketauhidan.
Ketegasan pilihan Muthahhari merupakan sesuatu yang kontras dengan para
pemikir seperti Rodinson, yang menunjukkan tidak ada pilihan di antara dua alternatif
pemikiran tentang sejarah perkembangan masyarakat, yaitu kapitalisme atau sosialisme.
Tidak ada pilihan ketiga, seperti Islam, karena Islam meskipun memainkan peranan yang
berarti dalam politik, namun selalu berwajah konservatif. Dengan demikian bila
mengharapkan perubahan sejarah dalam dunia islam, mesti menentukan pilihan antara
kapitalisme atau sosialisme (Leonard Binder, 1988: 212). Menurut Rodinson, termasuk di
kawasan Timur Tengah bila diharapkan terjadi kemerdekaan yang sejati, maka
sosialisme-lah solusinya (Maxim Rodinson, tt: 463-464).
50
Muthahhari yakin, berdasarkan pandangan Islam, orang-orang yang menjunjung
tinggi nilai-nilai ketauhidan, keadilan, dan tatanan masyarakat berdasarkan keimanan
akan tetap mewarisi dunia, serta mengalahkan tirani-tirani yang menentangnya.
Fundamen masyarakat adalah nilai-nilai ruhaniahnya bukan pada material ekonominya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamain, Ervan. Iran between Two Revolutions. Princeton,
New Jersey: Princeton University Press. 1983.
Bagir, Haidar. Membincang Metodologi Ayatullah Murtadha
Muthahhari: Sebuah Uraian Pengantar. 1994
(http://icas-indonesia.org).
Binder, Leonard. Islamic Liberalism: A Critique of
Development Ideologies. Chicago and London: The
University Of Chicago Press. 1988.
Burke, Edmund, III. “Islam and Social Movement:
Methodological Reflections,” Islam, Politics, and
Social Movements. eds. Edmund Burke, III, and Ira M.
Lapidus. Berkeley and Los Angeles: University of
California Press. 1988.
Gellner, Ernest, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat
Menuju Kebebasan, terjemahan Ilyas Hasan.
Bandung: Mizan. 1995.
Marx, Karl and Fredrich Engels. ‘Materialism and the Theory
of Ideology,’ Three Sociological Traditions: Selected
Readings, ed. Randall Collins, New York: Oxford
University Press. 1986.
Mutahhari, Ayatullah Murtaza. Social and Historical Change:
An Islamic Perspective, translated from the Persian by
R. Campbell , Berkeley: Mizan Press, 1986.
Muthahhari, Murtadha. Filsafat Kenabian terjemahan Ahsin
Mohammad. Jakarta: Pustaka Hidayah. 1991.
Muthahhari, Murtadha. Fitrah, terjemahan H. Afif
Muhammad. Jakarta: PT. Lentera Basritama. 2001.
Muthahhari, Murtadha. Perspektif Al-Quran tentang Manusia
dan Agama, suntingan terjemah dari beberapa buku
berbahasa Inggris dan Arab karya Murtadha
Muthahhari oleh Haidar Bagir, Bandung: Penerbit
51
Mizan. 1995.
Muthahhari, Murtadha. الحكمة العملية terjemah dalam bahasa
Arab oleh ‘Abbas Nuruddin, Beirut: Dar al-Mahabbah
al-Baidho. 1993.
Muthahhari, Murtadha. العرفان terjemah dalam bahasa Arab oleh
‘Abbas Nuruddin, Beirut: Dar al-Mahabbah al-Baidho.
1993.
Rais, M. Amien. Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta.
Bandung: Penerbit Mizan. 1994.
Rodinson, Maxim. “Marxism and Socialism,” An Anthology of
Contemporary Midle Eastern History. ed. Syafiq
Mughni. Montreal: Indonesia-Canada Islamic Higher
Education Project. tt.
Sewell, Rob. Peran Penting Individu dalam Masyarakat,
penerjemah Ted Sprague., 2007
(www.marxist.com/peran-penting-individu-
masyarakat.html).
Turner, Jonathan H. The Structure of Sociology Theory.
London: The Dorsey Press, 1974.
52
PERKEMBANGAN ISLAM LIBERAL
DI INDONESIA
Samsudin
Abstrak
Pemikiran Liberal berkembang seiring dengan sekularisme. Sejak masuknya
kolonialisme di Indonesia pemikiran liberal selalu dihadapkan dengan Islam, yang oleh
Snouck Hurgronje dikategorikan sebagai Islam Politiek. Kebijakan-kebijakan politik
sekuler memberi ruang cukup potensial bagi perkembangan liberalisme di Indonesia,
baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang agama,
liberalisme mewujud dalam modernisme (paham pembaruan), yang berpandangan
bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Wacana
pemikiran Islam liberal diawali dengan gerakan pemikiran yang berlangsung di pusat-
pusat kegiatan intelektual di Arabia dan Mesir. Dengan semangat kembali kepada al-
Qur’an dan al-Sunnah, ajaran Islam harus dibersihkan dari pengaruh adat dan tradisi,
termasuk pengaruh dari para ulama-ulama besar pada waktu Islam menguasai
peradaban dunia. Perubahan zaman menuntut dibukanya pintu ijtihad. Umat Islam harus
mempelajari masa lalu dengan sikap kritis, adil dan tidak mesti dipertentangkan.
Pandangan keagamaan yang terbuka, plural dan humanis adalah salah satu nilai-nilai
pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis dan liberal.
Kata-kata Kunci
Islam, Pemikiran, Liberal, Sekular
Pendahuluan
Sejarah masuknya pemikiran liberal di Indonesia seiring dengan perkembangan
sekularisme di dunia. Sekularisme sebagai akar liberalisme masuk secara paksa ke Indonesia
melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular
telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan
bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama
atau mencampuri urusan agama (Aqib Suminto, 1986: 27).
Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada
pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam
menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik.
Inti Islam Politiek adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya
53
memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2) dalam
bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar
rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus
mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam (Aqib
Suminto, 1986: 12).
Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan
liberalisme di Indonesia. Salah
satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan
penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia.
Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam
proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek
sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama (Deliar Noer, 1991: 183).
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk
menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang
ditanamkan penjajah. Tapi sayang sekali ini tidak terjadi.
Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti
sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular.
Revolusi ini tak ubahnya seperti Revolusi Amerika tahun 1776, ketika Amerika memproklamirkan
kemerdekaannya dari kolonialisasi Inggris. Amerika yang semula dijajah lantas merdeka secara
politik dari Inggris, meski sesungguhnya Amerika dan Inggris sama-sama sekular.
Ketersesatan sejarah Indonesia itu terjadi karena saat menjelang proklamasi (seperti
dalam sidang BPUPKI), kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo,
dan M. Yamin telah memenangkan kompetisi politik
melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abdul Wahid
Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. (Endang Saifuddin Anshari, 1997: 42). Jadilah Indonesia
sebagai negara sekular.
Karena sudah sekular, dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal
sangat potensial untuk dapat
54
tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam
bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic
liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private
ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif
mencari untung (profit) (Ebenstein & Fogelman, 1994: 148).
Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang
meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu
mengagungkan kebebasan individu (Audi, 2002: 47). Dalam bidang agama, liberalisme mewujud
dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus
ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat (Said, 1995: 101).
Tokoh-Tokoh Liberal Indonesia
Komaruddin Hidayat dalam tulisannya Islam Liberal di Indonesia dan Masa Depannya
(Republika, 17-18 Juli 2001) memasukkan Soekarno dan Hatta sebagai tokoh-tokoh Islam Liberal
(Husaini & Hidayat, 2002: 34). Benar, Komaruddin Hidayat tidak sedang mengigau, Soekarno dan
Hatta memang tokoh liberal di Indonesia karena keduanya ngotot menyerukan sekularisme
bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Soekarno adalah seorang sekular. Pada tahun 1940 Soekarno pernah menulis artikel Apa
Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, yang mempropagandakan sekularisme Turki sebagai
suatu teladan yang patut dicontoh (Deliar Noer, 1991: 302).
Beberapa buku telah ditulis khusus untuk membongkar sekularisme Soekarno, seperti
buku Sekularisme Soekarno dan
Mustafa Kamal karya Abdulloh Shodiq (1992) dan buku Islam Ala Soekarno Jejak Langkah
Pemikiran Islam Liberal di Indonesia karya Maslahul Falah (2003).
Hatta juga seorang sekular. Prof. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 menggambarkan
pendirian sekular dari Hatta dalam sidang BPUPKI dengan berkata,"Memang di sini terlihat ada
dua paham, ialah : paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya
Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan
55
Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan
Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam." (Endang Saefuddin Anshari, 1997: 27).
Pemikiran Islam Liberal
Wacana pemikiran Islam liberal merupakan bagian dari mata rantai gerakan
pemikiran dunia Islam yang berlangsung selama dua abad. Gerakan ini, menurut Charles
Kurzman (2003: 69), mempunyai pusat-pusat kegiatan intelektual di sekolah terkemuka
yaitu; di Arabia dan Mesir. Kaum muslimin dari seluruh dunia berkunjung ke sana
sebagai jemaah haji di Arabia dan sebagian tinggal sebagai pelajar di Arabia dan Mesir.
Di antara mahasiswa yang belajar di wilayah itu ada yang dari wilayah Nusantara, seperti
Haji Miskin dari Sumatra, Syeh Muhammad Tahir Jalaluddin dari Sumatra-Malaysia,
Ahmad Dahlan dari Jawa-Indonesia, Ahmad Surkati dari Sudan-Indonesia. Setelah
kembali kenegaranya masing-masing, mereka terinspirasi untuk melakukan pembaharuan
di tempat asalnya, dengan mendirikan sekolah-sekolah reformis dan modern di Indonesia.
Ahmad Dahlan merupakan salah satu warga Indonesia yang berhasil bertemu
dengan Rasyid Ridha yang merupakan salah satu tokoh pembaharu di Timur Tengah.
Pertemuan itu menurut Deliar Noer sangat mengesankan bagi Ahmad Dahlan (Greg
Barton, 1999: 9). Beliau membawa gagasan Islam yang relatif baru dan modern itu, ke
tempat asalnya. Kemudian idenya itu di sosialisasikan pada masyarakat umum dan
golongan priyayi. Puncaknya berdirilah organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta.
Dalam organisasi inilah, beliau melakukan gerakan pemurnian ajaran Islam dari pengaruh
tardisional dan mendirikan lembaga pendidikan modernnya.
Upaya Ahmad Dahlan ini diikuti oleh Ahmad Hasan yang mendirikan organisasi
Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Organisasi ini memiliki kemiripan dengan
Muhammadiyah yang melakukan pemurnian ajaran Islam dari pengaruh tradisi lokal,
dengan semangat kembali pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Kemudian mereka juga
mendirikan sekolah-sekolah modern.
Corak pemikiran dua organisasi ini bersifat reformis modern, dengan semangat
kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Untuk itu, menurut mereka ajaran Islam harus
dibersihkan dari pengaruh adat atau tradisi, termasuk pengaruh dari para ulama-ulama
56
besar pada waktu Islam menguasai peradaban dunia. Mereka menganggap bahwa apa
yang telah difatwakan para mujtahid itu sesuai dengan zamannya, sekarang zaman sudah
berubah, sehingga harus di buka lagi pintu ijtihad.
Sebenarnya gerakan reformis modern yang terkenal dengan slogannya kembali pada
al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi menurut Harun Nasution ketemunya hanya soal Qunut,
talkin, ushalli dan lainnya (Harun Nasution, 1983: 189-190). Tidak ada pemikiran yang
langsung di ambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang bisa merubah masyarakat.
Kemudian menurut Harun, mereka juga membuka pintu ijtihad dan memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memahami doktrin Islam, tetapi baru bisa melakukan
tarjih atau membandingkan pendapat ulama terdahulu dengan memilih mana yang lebih
kuat, tema sentralnya hanya di dominasi oleh persoalan fiqh.
Dengan kondisi demikian, pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah masih
sangat terbatas, ini dikarenakan organisasi Muhammadiyah dan Persis yang dianggap
modernis, pada hakekatnya sama dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang dianggap
tradisional, yang bermazhab Asy’ariyah dalam bidang kalam. Menurut Harun Nasution,
Asy’ariyah itu termasuk mazhab kalam yang statis, tidak memberikan kebebasan yang
luas pada kekuatan akal, padahal akallah yang menjadi lambang kekuatan manusia.
Karena akal dapat memilih mana perbuatan baik dan benar, serta mana yang buruk dan
salah. Islam mengalami kejayaan, tidak lepas dari kontribusi pemikiran Mu’tazilah yang
memberikan penghargaan sangat tinggi terhadap akal dan kebebasan manusia (Harun
Nasution, 1983: 92).
Pemikiran Harun Nasution ini, berkembang di lingkungan perguruan tinggi Islam
atau IAIN atau UIN sekarang. Tetapi ada juga yang melakukan kritikan terhadap
pemikirannya, di antaranya Nurcholish Madjid, yang setuju dengan pendapat Harun
bahwa ajaran Islam itu bukan hanya fiqh, tetapi juga teologi. Nurcholish membalikannya,
dengan mengatakan bahwa dalam ajaran Islam itu bukan hanya teologi, yang lebih
banyak mengangkat masalah ketuhanan, tetapi menyeluruh termasuk masalah sosial
kemasyarakatan. Muhammadiyyah telah berhasil meloncat dari persolan teologi ke
persoalan sosial (Nurcholish Madjid, 1992: 46).
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, umat Islam harus mempelajari masa lalu
dengan sikap kritis, adil dan tidak mesti dipertentangkan. Untuk itulah perlu ada sikap
57
menghargai pendapat orang lain, dan inilah yang disebut humanisme dan pluralisme yang
harus di pegang teguh oleh umat Islam. Karena dalam Islam semuanya sepakat bahwa
Allah itu Esa, namun kenyataannya memiliki beberapa interpretasi yang berbeda-beda
(Abdul Halim, 2001: 73).
Perspektif humanisme dan pluralisme itu merupakan salah satu ciri pemikiran
modern Islam. Corak pemikiran ini dikembangkan juga oleh Abdurahman Wahid
terutama kepada warga NU. Sehingga mempengaruhi anggota muda NU dan
memunculkan pemikir baru di lingkungan organisasi itu, seperti yang ada di Jakarta dan
Yogyakarta. Selain dengan pemikiran tentang pluralisme, dia juga terkenal dengan
mengangkat diskursus Islam kultural yang merupakan bagian dari proses demokratisasi
yang di lakukan oleh kalangan Islam bersama dengan kekuatan-kekuatan bangsa lainnya.
Sehingga sebelum Abdurrahman Wahid menjadi presiden beliau sangat terkenal dengan
sebutan ‘bapak demokrasi Indonesia’.
Ketiga pemikir itu, seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid dan Abdurahaman
Wahid dianggap sebagai pembaharu Islam Indonesia yang bercorak neo-modernisme
Islam. Karena mereka menghadirkan tradisi Islam untuk menjawab tantangan modernitas.
Tetapi gerakan pembaharuan mereka menurut Ulil Abshar Abdalla tidak tuntas, mereka
hanya tertuju pada permasalahan sosial-politik-kultural-ekonomi dari sudut ajaran Islam.
Untuk menuntaskan pembahruan itu diperlukan pembebasan (liberasi) pemahaman
terhadap Islam di Indonesia, melalui kritik di wilayah metodologi Islam dan pencarian
terhadap substansi Islam secara lebih mendalam. Mereka juga tidak melakukan
desakralisasi terhadap sumber-sumber khazanah Islam yang selama ini di sakralkan.
Kemudian menurut Ulil Abshar Abdalla (aktivis muda NU), yang berpendapat
bahwa perlu diteruskan gagasan sosial kultural yang sempat terhenti, karena
pendahulunya Abdurahman Wahid tergoda masuk ke wilayah struktural. Ia melakukan
kritik terhadap kalangan Islam yang masih menyimpan suatu imajinasi utopis untuk
tujuan yang bersifat struktural.
Karena tidak tuntasnya pembaharuan pemikiran neo-modernisme itulah,
mengakibatkan pemikirannya tidak sampai kepada masyarakat umum. Masyarakat malah
memilih pemikiran Islam yang bercorak revivalis yang bertentangan dengan pemikiran
neo-modernisme, bahkan akhir-akhir ini muncul kelompok “Islam militan” yang
58
dipengaruhi juga oleh perubahan politik secara umum. Sejak menganut sistem
multipartai, sehingga muncul partai Islam. Hal ini menimbulkan gejala baru, yakni
penggunaan agama sebagai isu untuk menggalang dukungan massa. Karena begitu
ketatnya, tidak jarang persaingan antar partai berbasis agama untuk menarik dukungan
massa itu menggiring kepada kecendrungan menunjukan sebagai partai yang paling
“berwajah Islam” (Ulil Abshar Abdalla, 2003: 54).
Selain faktor kurang tuntasnya pembaharuan neo-modernisme dan perubahan politik
nasional yang menumbuhkan “Islam militan”. Juga dipengaruhi oleh kepintaran orang
militan sendiri, yang melalui alat-alat komunikasi modern untuk mempengaruhi pendapat
umum. Sehingga walaupun mereka sedikit jumlahnya, sangat agresif dalam menyebarkan
pandangan-pandangan dan sangat mempengaruhi masyarakat.
Selanjutnya menurut Ulil Abshar Abdalla seperti dikutip temannya Luthfi
Assyaukanie, sekali lagi menyatakan bahwa pemikiran Islam neo-modernis yang di
anggap liberal telah gagal total, karena Islam militan sangat mendominasi khususnya
pada priode sekarang, sehingga terjadi saling bunuh antara sesama muslim dan non
Muslim. Serta kekerasan di mana-mana. Sehingga pemikiran liberal telah gagal total
dalam arti luas itu.
Dengan demikian pandangan keagamaan yang terbuka, plural dan humanis adalah
salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis dan liberal.
Pandangan ini baru sampai pada kalangan akademisi dan kalangan terdidik di kelas
menengah. Kemudian para penyokong gerakan liberal itu, sedikit pengaruhnya
dibandingkan dengan kelompok “Islam militan”. Maka untuk mencegah dominasi
mereka, harus melakukan kampanye guna mendukung dan mengembangkan gagasan
yang terbuka, pluralis dan humanis, dengan bahasa yang populer serta menjangkau
khalayak luas (Ulil Abshar Abdalla, 2002: 4-5).
Mengingat pentingnya mengkampanyekan ide-ide Islam liberal, maka muncullah
kesadaran akan perlunya membentuk organisasi yang khusus mengangkat diskursus
Islam liberal yang pada periode sebelumnya belum dilakukan. Untuk itu maka Ulil
Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukanie, Burhanuddin Muhtadi, Anick dan beberapa
intelektual muda lainnya membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tanggal 8 Maret
2001 di Jakarta.
59
Selain menggunakan nama JIL, mereka juga sering menamakan Komunitas Utan
Kayu (KIUK). Ini didasarkan pada alamat mereka yang berada di Jalan Utan Kayu No 68
H Jakarta Timur. Meskipun nama itu dipakai dalam iklan “Islam Warna-Warni” yang
disiarkan stasion televisi swasta. Tetapi mereka sendiri menamakan dirinya secara resmi
JIL dalam situs internetnya.
Sedangkan alasan nama organisasinya Islam liberal adalah untuk menggambarkan
prinsip yang mereka anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi sesuai dengan
doktrin kaum Mu’tazilah tentang kebebasan manusia, dan pembebasan struktur sosial
politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Ajektif “liberal” di sana mempunyai
dua makna sekaligus “kebebasan” (being Liberal) dan pembebasan (liberating). Sebagai
catatan, kami tidak percaya pada Islam “as such”, Islam tanpa embel-embel seperti
dikemukan sebagian orang. Islam tidak mungkin tanpa “ajektif”, tanpa kata sifat, sebab
pada kenyataannya Islam mengalami penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan penafsirnya. Kami memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian kami
memilih salah satu “kata sifat” atau ajektif untuk Islam, yaitu “liberal”(Ulil Abshar
Abdalla, 2004: 16).
Keanggotaan JIL
Dalam struktur keanggotaan dan kepengurusan JIL terdiri dari dua bentuk
keanggotaan. Yaitu anggota senior yang menjadi inspirasi atau kontributor. Walaupun
ada anggota yang tidak berhubungan langsung, tetapi pemikirannya dijadikan acuan.
Kemudian anggota yang lainnya yang tidak terikat secara formal dalam organisasi JIL,
karena bersifat kordinatif. Kemudian para kontributor JIL yang di tulis dalam situs
internetnya itu, seperti:
a. Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Jakarta.
b. Charles Kurzman, University of North Carolina.
c. Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
d. Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
e. Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat Jakarta.
f. Goenawan Mohamad, Majalah Tempo Jakarta.
g. Edward W. Said, Columbia University AS.
h. Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
i. Abdullahi Ahmad an-Naim, Emory University, Atlanta.
j. Jalaluddin Rakhmat, Yayasan Muthahhari Bandung.
60
k. Moeslim Abdurrahman Jakarta.
l. Asghar Ali Engineer.
m. Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
n. Mohammed Arkoun, University of Sorbonne Prancis.
o. Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina Jakarta.
p. Arief Budiman, University of Melbourne Australia.
q. Sadeq Jalal Azam, Damascus University Suriah.
r. Said Agil Siraj, PBNU Jakarta.
s. Masdar F. Masudi, LP3M Jakarta.
t. Budi Munawar-Rahman, Yayasan Paramadina Jakarta.
u. Zuhairi Misrawi, P3M Jakarta.
v. Sukidi, Puan Amal Hayati Jakarta.
Sedangkan keanggotaan yang merangkap menjadi pengurus, di antaranya :
Kordinator : Ulil Abshar Abdalla
Anggota : Luthfi Assyaukanie, Nong Darol
Mahmada, Novriantoni, Burhanuddin,
Rizal Malaranggeng, Saeful Mujani,
Hamid Basayib, Taufiq Adnan Amal,
Syamsurizal Pangabean, AE Priyono,
Putut Wijanarko, Ahmad Sahal Ade,
Nirwan Asyuka, Armando, Budi
Munawwar-Rahman, Ihsan Ali-Fauzi,
Anick, Abdul Moqsith Ghazali, Ichan
Loulembah, Robin Bush, Zulfiani
Lubis, al-Asmawi, Ahmad Baso, Zaenal
Abidin, dll.
Program Kerja JIL
Ada beberapa kegiatan atau program kerja yang mereka lakukan untuk
menyebarkan gagasan liberalnya, seperti:
Pertama, Sindikasi Penulis Islam Liberal
Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini
dikenal (atau belum dikenal) oleh publik luas sebagai pembela pluralisme dan
inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan
artikel yang baik untuk koran-koran (melalui Jaringan Jawa Pos Group) dan koran-koran
di daerah yang biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan penulis yang baik.
Dengan adanya “otonomi daerah”, maka peran media lokal makin penting, dan suara-
suara keagamaan yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui daerah ini. Setiap
minggu, akan disediakan tiga artikel untuk koran-koran daerah.
61
Kedua, Talk-show di Kantor Berita Radio 68 H
Talk-show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai
“pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial
keagamaan di tanah air. Dan dipandu oleh Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar Abdalla.
Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan oleh seluruh jaringan KBR
68 H di seluruh Indonesia. Talk-show ini akan diikuti oleh 10 radio, di Jakarta radio
Attahiriyah FM dan Muara FM, di Tangerang Radio Star FM, di Depok Radio Ria FM, di
Manado Radio Smart, di Maluku Radio DMS, di Yogyakarta Radio Unisi, Di solo Radio
PTPN, di Bandung Radio Mara, di Aceh Radio Prima FM.
Ketiga, Penerbitan Booklet
Booklet setebal 40-50 halaman ini berisi utuh, wawancara, atau ringkasan dari
tulisan yang sudah ada, berisi isu-isu yang acapkali menjadi bahan perdebatan dalam
agama dan seringkali menjadi “alat” buat kelompok-kelompok tertentu untuk
melancarkan kampanye mereka, seperti: Jihad, penerapan syariat Islam, penerapan
ajaran “memerintah yang baik, dan mencegah yang jahat” (amr ma’ruf, nahyi al-
munkar), konsep tentang pembangunan rumah ibadah, dll. Booklet ini diterbitkan dua
bulan sekali dan dicetak sebanyak 1000 eksemplar.
Empat, Website www http: //islamlib.Com.
Program ini berawal dari dibukannya milis Islam Liberal
([email protected]) yang mendapat respon positif. Ada usulan dari
beberapa anggota untuk meluaskan milis ini kedalam bentuk website yang bisa diakses
oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk terbatas saja.
Semua program kampanye, buletin, sindikasi media, talk-show radio akan dimuat dalam
website ini. Web ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel, atau apa pun
yang berkaitan dengan misi Jaringan Islam Liberal (JIL).
Sedangkan tema-tema pokok yang menjadi perhatian JIL ini adalah:
Pertama, Pemikiran dalam bidang teologis. Meliputi beberapa aspek di antaranya;
a) tentang Islam, di mana di dalamnya mengkaji persoalan definisi, signifikansi, peran,
tokoh, pengaruh dan lain-lainnya b) tentang al-Qur’an, di dalamnya mengkaji persolan
wahyu, sejarah, pengaruh, perbandingan dengan kitab suci lain, literatur dan lain-lainnya
62
c) tentang doktrin-doktrin Islam, di mana di dalamnya mengkaji persolan shalat, zakat,
haji, perbuatan baik dan lain-lainnya.
Kedua, Pemikiran dalam bidang sosiologis. Meliputi beberapa aspek di antaranya;
a) tentang sistem hukum b) sistem ekonomi c) sistem budaya.
Ketiga, Pemikiran dalam bidang politik. Meliputi beberapa aspek di antaranya, a)
konsep negara dalam Islam b) sistem politik, di mana di dalamnya mengkaji persoalan
syura, demokrasi, teokrasi, dan lain-lainnya (Ulil Abshar Abdalla, 2003: 24).
Tentunya tema-tema ini belum mewakili karakter pemikirannya secara utuh,
karena kajiannya terlalu luas. Sehingga belum bisa dijadikan ciri khusus pemikiran
Jaringan Islam Liberal. Untuk itu perlu juga di lihat sisi lainnya, di antaranya bisa dilihat
dalam misinya, di mana misinya itu adalah:
Untuk menghadapi (tepatnya menghancurkan) gerakan Islam fundamentalis,
Islam radikal, Islam militan, dan sejenisnya. Jadi, secara ringkas, “misi suci” (baca: misi
busuk) JIL adalah untuk membunuh perkembangan Islam militan atau Islam ekstrim atau
Islam fundamentalis, atau Islam radikal. Penggunaan istilah tersebut adalah bagian
dari pengacauan (disinformasi) atau teror terhadap umat Islam, dalam lapangan opini
publik. Sebab, istilah itu sendiri tidak jelas maknanya, dan secara akademis sangat sulit
dipertanggungjawabkan.
Upaya untuk menumpas Islam fundamentalis itu sudah pernah digaungkan oleh
Nurcholish Madjid dalam pidatonya di TIM, 21 Oktober 1992, yang dia beri judul
“Beberapa renungan tentang kehidupan keagamaaan di Indonesia untuk generasi
mendatang”. Di situ Nurcholish Madjid mengatakan: “Karena itu, bagaimana pun kultus
dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam keadaan tidak berdaya. Sebagai sesuatu
yang hanya memberi hiburan ketenangan semu atau palliatif. Kultus dan
fundamentalisme adalah sama bahayanya dengan narkotika. Namun, narkotika
menampilkan bahaya hanya melalui pribadi yang tidak memiliki kesadaran penuh
(“teler”), baik secara perorangan maupun kelompok sehingga tidak akan menghasilkan
sesuatu “gerakan” sosial dengan sesuatu bentuk kedisiplinan keanggotaan para pengguna
narkotika bukan keanggotaan sindikat para penjualnya. Adapun kultus dan
funmentalisme dengan sendirinya melahirkan gerakan dengan disiplin tinggi. Maka
penyakit yang terakhir ini adalah jauh lebih bahaya daripada yang pertama…
63
sebagaimana mereka memandang narkotika dan alkoholisme sebagai ancaman kepada
kelangsungan daya tahan bangsa, mereka juga berkeyakinan bahwa kultus dan
fundamentalisme adalah ancaman yang tidak kurang gawatnya (Nurcholish Madjid,
1994: 56).
Untuk menekan berkembangnya Islam ‘radikal’, umat Islam perlu melanjutkan
transfer ide-ide Islam liberal melalui lembaga pendidikan, media masa seperi penerbitan
buku dan jurnal, fasilitas internet. Serta mendukung lembaga pendidikan IAIN yang
telah berhasil melakukan transfer ide-ide Islam progresif dan inklusif terutama terlihat
jelas pada tahun 1980-an. Corak pemikirannya lebih nampak pada IAIN Syarif
Hidayatullah dengan tokohnya Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Serta IAIN
Sunan Kalijaga dengan tokohnya Mukti Ali. Gagasan intelektual Islam Liberal di
Indonesia, khususnya yang diproduksi IAIN terus berkembang, sehingga memunculkan
intelektual Islam baru .
Selanjutnya mereka mentransfer ide-idenya dalam organisasi, yang melanjutkan
pendahulunya Abdurahman Wahid. Sehingga muncul tokoh-tokoh Islam liberal muda
dari kalangan NU yang belajar di IAIN maupun di luar negeri. seperti Ahmad Baso,
Marzuki Wahid, Anom Surya Putra, Zuhairi Misrawi, dan Jadual Maula yang berbasis di
LkiS. Dan melalui lembaga Lakspendam NU yang diketuai oleh Ulil Abshar Abdalla (Air
Langga Pribadi, 2002: 34).
Kemudian tranformasi ide-ide liberal dilakukan juga melalui penerbitan buku
seperti di Yogyakarta membentuk LkiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) yang
bergerak dengan penerbitan buku-buku kajian Islam kritis dan normatif. Di Jakarta,
Yayasan Wakaf Paramadina, sebuah lembaga keagamaan yang didirikan oleh Nurcholish
Madjid yang dahulu menyebarkan gagasan Islam yang mendorong nilai-nilai pluralisme,
toleransi dan inklusivitas. Juga menerbitkan buku-buku yang membantu perkembangan
Islam liberal di Indonesia. Selanjutnya di Bandung terdapat penerbit Mizan, yang
merupakan salah satu penerbitan yang mendorong penyebaran gagasan Islam liberal di
Indonesia. Seperti buku-buku Nurcholish Madjid banyak diterbitkan oleh Mizan.
Seperti telah dijelaskan tadi, bahwa JIL menyiapkan beberapa artikel untuk
mengisi beberapa media cetak, seperti koran-koran nasional maupun daerah. Seperti
dalam harian Kompas salah satu artikelnya yang di tulis oleh Ulil Abshar Abdalla
64
(Kordinator JIL) berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Yang menjelaskan
jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah mempersolkan kembali cara
menafsirkan ajaran agama. Untuk menuju ke arah itu kita memerlukan beberapa hal:
Pertama, Penafsiran (Islam yang non–literal, subtansial, kontekstual dan sesuai
dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua, Penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya
yang merupakan kreasi budaya lokal dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita
harus bisa membedakan, mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab
dan mana yang tidak.
Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilai yang universal yang harus
diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah dan
seterusnya. Tetapi bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan
kita tidak diwajibkan mengikutinya.
Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya tidak
usah diikuti, contoh soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah. Tidak
wajib diikuti karena itu hanya ekspresi budaya lokal partikular Islam di Arab.
Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktek-praktek itu.
Jilbab intinya mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public
decency). Kepantasan umum tentunya fleksibel dan berkembang sesuai dengan
kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Ketiga, Umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat”
atau “umat” yang terpisah dari golongan lain. Umat manusia adalah keluarga universal
yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan,
bukan berlawanan dengan Islam.
Larangan kawin beda agama dalam hal ini perempuan Islam dengan non Islam
sudah tidak relevan lagi. Al-Qur’an sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu,
karena al-Qur’an menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang
sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang
membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen
berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
65
Keempat, Kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana
kekuasaan politik dan mana kekuasaaan agama. Agama adalah urusan pribadi, sementara
pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui
prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-
nilai publik tetapi doktrin dan praktek peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah
urusan, masing-masing agama (Kompas, 2002: 4-5).
Menurut saya tidak ada yang namanya “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti
difahami kebanyakan orang Islam. Misalnya hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli,
pernikahan, pemerintahan dan sebagainya, yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang
universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut maqashid al-
syari’ah atau tujuan umum syariat Islam.
Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal, pemilikan,
keluarga/keturunan dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan
dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah manusia muslim sendiri.“
Tulisan dalam H.U. Kompas pada tanggal 8 November 2002 itu, mendapat
perhatian cukup besar dari masyarakat. Karena mendapat kecaman yang keras dari
Forum Ulama Umat (FUU) Indonesia yang ketuanya K.H. Athian Ali M. Da’i, MA.
Bahkan mengeluarkan ultimatum ‘hukuman mati’ bagi penulisnya. Karena dianggap
menghina Allah, Nabi Muhammad, dan Islam serta umatnya (Hedi Muhammad, 2004).
Tentunya pernyataan FUU Indonesia itu menimbulkan polemik yang
berkepanjangan, karena muncul kelompok pemikir yang mendukung Ulil, seperti tokoh-
tokoh seniornya, yaitu Goenawan Muhammad dan teman-teman anggota JIL lainnya
yang menyayangkan pernyataan itu. Dan ada yang mendukung pendapat FUU Indonesia
dalam memposisikan Ulil sebagai orang yang ingkar dan menghina Tuhan, Nabi
Muhammad dan ajaran Islam.
Meskipun pihak FUU Indonesia memberikan klarifikasi tetapi tetap saja menjadi
polemik yang terus berlanjut, terutama sejak tulisan itu dimuat sampai awal tahun 2003.
Bisa di lihat dalam berbagai media cetak, seperti majalah GATRA, Tempo, Panjimas,
H.U. Kompas, Pikiran Rakyat, dan sebagainya. Di media elektronik, seperti di stasiun
Metro TV dan di Lativi. Dibahas secara khusus wacana pemikiran Ulil Abshar Abdalla.
66
Perkembangan terakhir kelompok JIL terutama tokohnya Ulil Abshar Abdalla
beberapa kali mendengungkan gagasan pluralisme Islam sehingga membela kelompok
non muslim yang bermaksud mendirikan gereja di wilayah nusantara termasuk di
Cikalong Bandung Barat. Ia juga kerapkali membela kelompok Ahmadiyyah yang
dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam Indonesia dan MUI. Semua tindakannya
itu membuat kesal sebagian umat Islam Indonesia sehingga ia termasuk salah satu orang
yang diberi buku yang berisi ”paket bom”. Walaupun tidak sampai melukai dirinya.
Kejadian ini menjadi salah satu kejadian yang paling fenomenal pada bulan Maret akhir-
akhir ini.
Penutup
Polemik di atas merupakan dampak dari paradigma dan metodologi berfikir Islam
Liberal yang berbeda dengan masyarakat umum. JIL menggunakan paradigma liberalis,
silent syariat, rasionalis dan substantivistik. Liberalis diartikan sebagai suatu paradigma
berfikir yang menekankan pada penafsiran progresif terhadap ajaran Islam dan khazanah
tradisi awal Islam agar menerima dan menikmati modernitas. Silent syariat diartikan
bahwa Islam tidak menjawab semua persoalan, tetapi hanya menjawab topik-topik
tertentu. Sehingga dalam bidang itu manusia di beri kebebasan untuk membuat aturan
atau hukum yang sesuai dengan masyarakatnya. Rasionalistik diartikan bahwa dalam
ajaran Islam menganjurkan pendekatan akal pikiran, karena akallah yang menjadi
pembeda antara manusia dengan mahluk lainnya. Substantivistik diartikan adalah isi atau
yang mendasari sesuatu yang tidak berubah (Burhanudin, 2003: 55). Langkah mencari
nilai substansi itu dilakukan untuk menemukan semangat yang terkandung dalam ajaran
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional (Apresiasi Terhadap Wacana Praksis Harun Nasution),
Ciputat Press, Jakarta, 2001.
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal,
Gema Insani Press, Jakarta, 2005.
67
Adian Husaini, dan Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan
Jawabannya, Gema Insani Press, Jakarta, 2002.
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1986.
Busthami Muhammad Said, Gerakan Pembaruan Agama (Mafhum Tajdid Al-Din), Penerjemah
Ibnu Marjan & Ibadurrahman, PT Wacaralazuardi Amanah, Bekasi, 1995.
Burhanuddin (ed), Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal, Jaringan Islam Liberal dan
The Asia Foundation, Jakarta, 2003.
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global,
Paramadina, Jakarta, 2001.
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1991.
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang
Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Gema Insani Press), Jakarta, 1997.
Maslahul Falah, Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2003.
Fauzan al-Anshari, Melawan Konspirasi JIL (Jaringan Islam Liberal), Pustaka al-Furqan, Jakarta,
2003.
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Insdonesia Pemikiran Neo-moderniosme Nurcholish
Madjid, Djohan Efendi, Ahamad Wahib dan Abdurahman Wahid, Paramadina, Jakarta,
1999.
Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman,
Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2004.
Luthfi Asyaukanie, Agama dan Pencerahan, www httf://islamlib.com, 7 Mei 2004.
Leonard Binder, Islamic Liberalism : A Critique of Development Ideologies, The
University of Chicago Press, Chicago & London, 1988.
Muhammad, Hedi (Sekjen FUUI), (8 Mei 2004), Wawancara. Bandung
Nurcholish Madjid (Ed), Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
_________, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1992.
_________, Islam Ke Moderenan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1987.
_________, Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1994.
Nasution, Harun, (1983), Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press
_________, (1985), Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press Pribadi, Airlangga
dan Yudi R. Haryono, (2002), Post Islam Liberal (Membangun Dentuman Mentradisikian
Eksperimentasi). Bekasi: Gugus Press
Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, UII Press,Yogyakarta, 2002.
68
Sayyed Hussein Nasr, Islam Di Dunia (Keragaman Budaya Dalam Kesatuan Spiritual), Ulumul
Qur’an No I Vol 1, 1989.
Ulil Abshar Abdala, dkk, Islam Liberal dan Fundamental (Sebuah Pertarungan Wacana), eLSAQ
Press, Jogjakarta, 2003.
_________, Menghindari “Bilbliolatri” Tentang Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman
Islam, yang disampaikan di Paramadina, Pebruari 2003.
_________, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, yang di
muat dalam H.U. Kompas, h. 4-5, 8 November 2002.
_________, Muhammad: Nabi dan Politikus, H.U. Media Indonesia, h. 1 dan 9, 4 Mei
2004.
_________, (12 Januari 2004), Saya Ingin Meniru Al-Tahtawi.
Willam Ebenstein & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms), Penerjemah Alex
Jemadu, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1984.
69
Critical Review
THE DIVERSITY AND UNITY OF HISTORY REINHOLD NIEBUHR
Ajid Thohir [email protected]
Abstrak
Memahami arti sejarah dari pandangan keyakinan umat Kristen, harus meliputi tiga aspek,
yakni: (1) Kebangkitan dan kejatuhan berbagai peradaban dan kebudayaan sebagai
pemenuhan dari perwujudan sejarah; (2) Keunikan kehidupan orang perorang; dan (3)
Proses sejarah sebagai suatu dari keseluruhan. Dalam mempertimbangkan ketiga aspek
tersebut maka akan menjadi jelas, bahwa keyakinan “dari atas” sangat menentukan,
meskipun hal ini dapat menjadi eksklusif, untuk pertimbangan dua aspek dari yang pertama.
Keyakinan hari “akhir” harus sangat menentukan tetapi tidak menjadi tertutup dalam
memandang sejarah sebagai suatu keseluruhan. Sejarah penuh dengan banyaknya
pencapaian dan pembangunan yang “mempunyai masa jaya dan masa kehancuran”.
Kebangkitan dan keruntuhan berbagai kekaisaran dan peradaban adalah contoh-contoh yang
paling jelas di antara aspek sejarah yang pluralis.
Kata-kata Kunci
Keragaman, Kesatuan, Kebangkitan dan Keruntuhan, Pluralisme Sejarah.
Pendahuluan
Bangkit dan jatuhnya berbagai pemerintahan yang khusus dan para penguasa dari kelompok
kecil dalam suatu peradaban tertentu, muncul dan musnahnya berbagai tradisi kebudayaan
tertentu, atau berbagai keluarga yang unggul dalam sebuah masyarakat, atau beberapa tipe
berbagai ikatan sukarela, atau perwujudan-perwujudan sejarah yang lebih kecil pun adalah
merupakan penggambaran yang sama tentang pluralisme sejarah.
Arti apa pun akan ditemukan dalam barisan sejarah kehidupan yang berulang-ulang dan
kematian haruslah dilihat khususnya “dari atas”, walaupun tidak secara keseluruhannya.
Setiap perwujudan (fenomena) sejarah bisa juga dianggap sebagai suatu bidang yang
mengandung arti secara menyeluruh (holistik), karena hubungannya antar keseluruhan dalam
proses sejarah meskipun bersifat minimal atau bagaimana pun bentuknya amat samar dan
kompleks, antar berbagai faktor yang mendukung bagi terciptanya sebuah perwujudan sejarah.
Penafsiran yang pluralistik mengenai sejarah telah menerima dorongan baru
dalam beberapa tahun belakangan berkat karya Oswald Spengler The Decline of the West
dan yang lebih baru lagi oleh penelitian yang monumental Arnold J. Toynbee The Study
70
of History, khususnya mengenai timbul dan tenggelamnya berbagai peradaban. Hal
tersebut dengan berbagai penafsiran pluralistik yang sejenis sangat sesuai dengan dasar-
dasar penafsiran sejarah versi Ranke yang diringkaskan dalam pemahamannya tentang
kesamaan rentang jarak semua kejadian duniawi ke alam yang abadi. Akan tetapi,
pluralisme sejarah pun tidak dapat keluar dari pertanyaan tentang arti yang meliputi
banyak hal. Pluralisme tersebut berupaya untuk menemukan dasar pertalian dalam timbul
dan tenggelamnya berbagai peradaban. Kebangkitan dan Keruntuhan Berbagai Kebudayaan dan Peradaban
Spengler berkeyakinan bahwa proses-proses alam hanyalah penunjuk pada arti tentang bangun
dan ambruknya berbagai kebudayaan dunia. Menurut tesisnya, tidak terdapat kesatuan dalam
sejarah akan tetapi merupakan nasib umum bagi peradaban-peradaban yang berbeda-beda dan
tidak seimbang. Nasib yang umum tersebut diatur oleh hukum-hukum alam. Semua peradaban
berlalu melalui rotasi berbagai zaman sebagaimana yang sejalan dengan perubahan musim
seperti halnya musim semi, musim panas, musim rontok, dan musim dingin; yang katakanlah
bahwa berbagai organisme sejarah bisa disamakan dengan organisme alam. Jadi, kebebasan
sejarah bisa dipandang sebagai ilusi secara keseluruhannya atau setidak-tidaknya tunduk
dengan sepenuh hati kepada alam. Tidaklah dapat dibantah bahwa, karena kebebasan sejarah
muncul pada latar kebutuhan alam, maka pernasiban sejarah sebagiannya selalu ditentukan
oleh kekuatan hidup dan kerusakan faktor-faktor alam yang mengorganisir pencapaian sejarah
yang mana pun. Berbagai kekaisaran dan kebudayaan mungkin “semakin tua” akan gagal
untuk bertahan hidup karena resiko di usia mereka yang tua itu. Berbeda halnya ketika di masa
muda, biasanya ia telah dapat mengatasinya.
Namun sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Toynbee, kegagalan berbagai peradaban
senantiasa melibatkan sesuatu yang lebih dari sekedar kelemahan masa tua. Mereka binasa
karena mereka membuat berbagai kekeliruan dalam menghadapi suatu tantangan yang baru
atau biasa disebut “kerumitan sejarah”. Setiap peradaban seringkali membuat kekeliruan yang
fatal dan pada akhirnya kemudian ia binasa. Akan tetapi kekeliruan tersebut tidak di bawah
hukum tekanan alam. Tidak seperti kehidupan orang-perorang, organisme sejarah yang
bersifat kolektif dan sosial secara idealnya dapat diisi secara terus-menerus dengan kehidupan
dan kekuatan yang baru. Tetapi hal ini akan mensyaratkan bahwa kehidupan dan kekuatan
tersebut akan disesuaikan dengan berbagai keadaan sejarah yang baru. Kegagalan akhir dari
mereka untuk penyesuaian diri merupakan nasib tersendiri dalam kehidupan sejarah, dan
kekuatannya dimainkan oleh kebebasannya, bukan oleh tekanan alam. Terkadang, kehidupan
dan kekuatan itu binasa karena kesombongan kekuasaannya, yang mendorongnya untuk
memperluas dirinya di luar batas-batas kemungkinan secara manusiawi. Terkadang
pemerintahan oleh kelompok kecil yang telah menjadi alat dalam mengatur masyarakat
menjadi betul-betul penindas dan meruntuhkan apa-apa yang telah diciptakannya. Terkadang
berbagai strategi dan teknis kemudian diterapkan secara tidak benar dalam situasi dan masalah
baru yang tidak relevan dengannya. Kekeliruan-kekeliruan tersebut mungkin bisa dipandang
sebagai suatu bentuk kebanggaan intelektual tersendiri yang secara tidak sadar akan
menimbulkan berbagai faktor yang dalam sejarah, akan bergantung kepada hal-hal jelas-jelas
salah. Terkadang, berbagai peradaban binasa karena peradaban-peradaban ini terpedaya oleh
filsafat-filsafat dari “detachmenti” (sikap tidak terpengaruh). Para pemuka spiritual peradaban,
secara prematur lari pada suatu bidang illusi dari ketenangan dan ketentraman supra-historis
dan menghianati pertanggungjawaban mereka dalam sejarah. Peradaban teknologi modern
mungkin binasa karena dengan tidak sadar ia telah menyembah kemajuan teknik sebagai
tujuan akhirnya. Sebagian masyarakat teknologi mungkin mempergunakan teknik-teknik
untuk tujuan penghancuran dan melepaskan kemarahannya kepada peradaban yang lain.
71
Padahal mestinya menjadikan teknologi sebagai sesuatu yang lembut dan menggunakannya
dengan kesenangan hati, yang diberikan dengan kelimpahan besar oleh zaman teknik, sebagai
kebaikan akhir.
Apabila kita berupaya untuk berbuat keadilan secara penuh kepada semua kemungkinan
tentang kemerosotan yang bermacam-macam dan sebab-sebab kerusakan peradaban, pastilah
kita akan menemukan diri kita yang semata-mata menghitung berbagai tipe dosa manusia
yang bermacam-macam itu. Mereka akan jatuh ke dalam dua kategori yang umum, yakni dosa
hawa nafsu dan dosa kebanggaan. Dalam dosa hawa nafsu, kebebasan sejarah diabaikan dan
manusia merangkak mundur kepada ketiadaan tanggung jawab atas alam. Dalam dosa
kebanggaan, kebebasan manusia dianggap terlalu tinggi. Manusia berusaha untuk
menyempurnakan sejarah tanpa memandang karakter diri yang bergantung dan terbatas, baik
perorangan atau pun kolektif dari alam atau peradabannya, yang oleh mereka mesti dijadikan
dasar dalam keinginannya. Ini adalah dosa imperialisme. Atau mereka berupaya untuk
melepaskan kebebasan manusia dari sejarah. Kebanggaan mistis dunia lain tersebut membuat
ruh manusia menjadi bukan penguasa sejarah tetapi wakil kebebasannya sendiri dari sejarah.
Semua bentuk kemerosotan dan kehancuran sejarah yang beraneka ragam tersebut tidak
mempunyai karakteristik yang umum. Bentuk-bentuk itu bukan semata kematian biologis.
Ketetapan Augustinian: “Bukanlah dengan kematian bahwa kita berdosa tetapi dengan dosalah
kita meninggal dunia.” Sebagiannya mungkin tidak benar ketika diterapkan kepada kehidupan
orang perorangan; sebab keberadaan orang perorangan berakar dalam organisme alam yang
tunduk kepada berbagai kondisi keterbatasannya. Akan tetapi ketetapan itu adalah gambaran
yang sangat tepat tentang matinya berbagai peradaban. Maka dengan “dosalah sehingga
peradaban itu mati”. Peradaban-peradaban tersebut tidak ditentukan oleh kebutuhan alam yang
mutlak. Berbagai kekeliruan dan kesalahan peradaban itu dibuat dalam kebebasan yang sama,
yang dari padanya kreativitas kebudayaan itu muncul. Kekeliruan-kekeliruan itu tidak pernah
didorong oleh ketidaktahuan semata. “Imaginasi yang sia-sia” tentang dosa ada di dalam
kekeliruan tersebut.
Bagaimana pun juga, adalah suatu kesalahan apabila memandang kemerosotan sejarah
berbagai budaya dan peradaban dunia hanya dengan sebelah mata. Kebudayaan dan
peradaban, meskipun pada akhirnya mati, akan tetapi keduanya juga masih ingin
mempertahankan kehidupannya. Kehidupan keduanya adalah sebuah kesaksian dalam
kreativitas sejarah. Besarnya keanekaragaman organisme sejarah, kekayaan penguraiannya
tentang berbagai kemampuan manusia, kayanya berbagai bentuk budaya dan susunan sosial
mereka, tentunya sebagai sebuah kesaksian bagi bukti-bukti ilahiah yang dengannya mereka
telah tumbuh, sebagaimana juga kehancuran mereka menjadi pertahanan bagi putusan yang
abadi. Semua realitas tersebut tidak mungkin bisa ditentang oleh peradaban dan kebudayaan
dengan melepaskan kebebasannya dari hukum sejarah. Dalam kelemahan dan masa mudanya,
sambil membuat jalannya sendiri dalam sejarah dengan menghadapi segala resiko dan bahaya
kehidupan, peradaban dan kebudayaan itu merupakan pengungkapan kemahakuasaan Tuhan
yang “telah memilih… berbagai hal yang tidak ada, menghancurkan hal-hal yang ada” (I. Cor,
1: 28).
Di masa kejayaannya, ketika kejahatan telah tampak dalam kehidupan kedua-duanya, namun
kehancuran yang pamungkas bisa ditangguhkan begitu lama, maka nasib peradaban dan
kebudayaan itu sedang menyingkapkan “lamanya penderitaan” dari rahmat ilahiah. Karena
putusan-putusan Tuhan tidak pernah tergesa-gesa, dan berbagai kemungkinan untuk bertobat
dan berbalik (arah) dari jalan yang jahat sangatlah banyak. Menurut tingkat yang oleh berbagai
peradaban dan kebudayaan dipakai menerima berbagai kemungkinan pembaharuan kembali,
peradaban dan kebudayaan tersebut memperpanjang kehidupannya secara tidak menentu.
Akan tetapi dalam satu atau lain hal, peradaban dan kebudayaan membuat kesalahan yang
72
fatal atau keseluruhan rangkaian kekeliruan-kekeliruan yang fatal. Kemudian binasalah
peradaban dan kebudayaan itu, dan keagungan ilahiah dipertahankan dalam kehancuran
tersebut. Di sini, kami harus menyebut kembali relevansi konsepsi ramalan tentang kemunculan dan keruntuhan berbagai kekaisaran dan kepercayaan bahwa kehancuran kekaisaran-kekaisaran tersebut mewakili suatu putusan dari keagungan ilahiah menentang kemegahan keagungan yang palsu. Bandingkan dengan Ezekiel, 28: 17-28 : “Hatimu diangkat karena keindahanmu, kamu telah merusak kebijaksanaanmu dengan alasan kecerdasanmu: Aku akan melemparkanmu ke bawah. Aku akan membawamu ke debu-debu di atas bumi sesuai dengan wawasan mereka semua yang melihatmu.” Ini dan banyak ramalan ajal yang serupa atas beraneka ragam kekaisaran selalu diiringi dengan nada-nada ulang: “Pada hari itu akankah mereka mengetahui bahwa Aku adalah Tuhan.”
Tidaklah mungkin membuat suatu pembedaan yang sederhana antara periode kreativitas dalam
sebuah peradaban dan periode kemerosotan, karena setiap peradaban dan kebudayaan setiap
kekaisaran dan bangsa, menyingkapkan berbagai elemen kehancuran dalam periode
penciptaannya, meskipun terdapat berbagai elemen penciptaan dalam periode keruntuhannya.
Akan tetapi kita mengetahui bahwa ada berbagai periode di mana kreativitas itu menentukan;
dan masa-masa lainnya di mana kerusakan dan penghancuran yang menentukan.
Apabila keseluruhan sejarah hanya dipandang hanya dari sisi periode tertentu dalam
kreativitasnya, maka akan mengandung arti yang bias. Karena keseluruhan proses sejarah
secara keliru dipahami hanya dengan garis singgung di masa yang khusus saja dari sebuah
budaya yang khas. Apabila keseluruhan sejarah dipandang dari tempat periode kemerosotan
saja, maka sejarah itu terancam dengan ketiadaan arti. Karena jalan alur sejarah secara keliru
dikenali dengan ajal suatu peradaban tertentu.
Arti apapun yang ada dalam kebangkitan dan keruntuhan peradaban hanya dapat diketahui
“dengan keimanan”, karena arti tersebut harus dipandang dari tempat keuntungan keabadian di
atas sejarah, yang tidak dipunyai oleh seorang pun sebagai sebuah kepemilikan tetapi hanya
dengan iman. Dari tempat keuntungan seperti itu, sejarah sangat berarti, kalau pun seharusnya
tidaklah mungkin melihat kesatuan apa pun dalam proses kesinambungannya. Sejarah sangat
berarti karena dasar-dasar yang abadi dipertahankan baik dalam kehidupan yang mengatasi
kematian dalam berbagai peradaban yang sedang bangkit, maupun dalam kematian yang
menyusul kehidupan yang dibanggakan dalam berbagai peradaban yang menuju kematian.
Individualitas dan Sejarah
Keberadaan orang-perorang dalam hubungannya dengan universalitas proses sejarah, terdapat
hubungan yang sangat kompleks dengan proses sejarah. Kreativitas individual selalu
mengarahkan dirinya pada kemapanan, keabadian, dan penyempurnaan dengan berbagai
kondisi masyarakat sejarah. Karena itu, arti kehidupannya selalu diperoleh melalui
hubungannya dengan proses sejarah. Akan tetapi kebebasan, yang membuat kreativitas ini
bersifat mungkin untuk melampaui segala loyalitas komunal dan bahkan dengan sejarah itu
sendiri. Setiap perorangan mempunyai suatu hubungan yang langsung dengan keabadiannya;
karena dia berusaha untuk mendapatkan penyelesaian arti hidupnya di luar berbagai kesadaran
yang terpisah-pisah tentang arti yang akan dilihat pada sudut mana pun dalam proses di mana
seseorang mungkin terjadi hidup dan mati.
Ujung kehidupan perorangan adalah ujung sejarah baginya; dan setiap perorangan adalah
seorang Musa yang meninggal dunia di luar tempat yang dijanjikan. Akan tetapi setiap
perorangan juga mempunyai sebuah hubungan langsung dengan keabadian. Selama dia
73
mengambil berbagai pertanggungjawaban sejarah dengan serius, dia harus memandang
masalah pelaksanaan dari pendirian “tujuan” yang puncak dan akhir (Ezra Apocalypse, 5: 4).
Apabila pemenuhan hidup perorangan yang abadi dipahami hanya dari “atas”, maka arti
kehidupan sosial dan historis termusnahkan. Hidup perseorangan dianggap sebagai sebuah
tujuan yang sebenarnya. Persisnya, ini adalah pengaruh yang bukan hanya dari doktrin
pelaksanaan mistis saja tetapi juga dari banyak versi eskatologi Protestan Ortodok, di mana
“tujuan” hanya ada di atas sejarah dan gagasan Bibel tentang “tujuan” yang disamarkan. Teologi reformasi pada keseluruhannya adalah tidak sempurna dalam kegagalan memelihara berbagai konsep Bibel tentang tujuan; eschatology modern kubu Barth menekankan kerusakan tersebut. Kubu ini mencurahkan sedikit perhatian terhadap arti sejarah yang mungkin sebagai suatu rangkaian kesatuan dan berbicara tentang eschatology dalam berbagai hubungan dengan keabadian yang kena kepada setiap tahapan waktu.
Di lain pihak berbagai protes modern terhadap bentuk-bentuk “garis dunia lain” (ala) orang
Kristen tersebut (dan terkadang bukan umat Kristen pula) membuat kekeliruan pada upaya
memenuhi arti hidup dalam proses sejarah itu sendiri. Dengan demikian, garis-garis dunia lain
bukan melulu realitas kebebasan perorangan yang samar dalam keluhurannya di atas sejarah,
tetapi juga mengabaikan watak dasar tertentu dari proses sejarah.
Di dalam bentuk-bentuknya yang paling sederhana, berbagai penafsiran sosial dan historis
yang polos meminta perorangan untuk melaksanakan hidupnya dalam masyarakat
lingkungannya. Nafas kehidupan masyarakat dan keagungan kekuasaannya, menurut suatu
perkiraan, bisa menyelesaikan dan memenuhi sebagian dari berbagai kepentingan dan
kekuasaan perorangan yang tidak memadai. Relatifnya keabadian masyarakat lingkungan
dimaksudkan untuk mengimbangi singkatnya kehidupan seseorang. Kesulitan dengan
pemecahan ini adalah bahwa setiap perorangan itu, walau ketika ia sangat kurang pun, adalah
begitu lebih jauh dari pada masyarakat lingkungan. Tahun-tahun (usia)-nya lebih singkat dari
pada tahun-tahun masyarakatnya; akan tetapi baik ingatan maupun antisipasinya mempunyai
jangka waktu yang lebih lama. Masyarakat hanya mengetahui tentang permulaan-permulannya
sendiri tetapi orang perorangan mengetahui tentang kemunculan dan keruntuhan berbagai
peradaban yang sebelum (diri)-nya. Masyarakat menyongsong berbagai kemenangan, dan
merasa takut akan kekalahan-kekalahan sejarah; tetapi orang perorang memandang kepada
putusan yang terakhir. Apabila bangsa-bangsa juga berdiri di depan putusan terakhir tersebut,
maka berbagai bangsa tersebut berbuat demikian itu menurut kesadaran dan pemikiran orang
perorangan yang peka. Persaudaraan masyarakat benar-benar menjadi latar di mana orang
perorang disadari secara etis. Meskipun masyarakat adalah prestasi dan juga perwujudan
kehidupan orang perorang, kesombongan kolektifnya akan menjadi sebuah serangan bagi
kesadarannya. Ketidakadilan kelembagaannya meniadakan cita-cita keadilan; dan
persaudaraan semacam itu sebagaimana yang dicapainya dibatasi dengan batas-batas etnis dan
geografis. Secara ringkas, berbagai masyarakat sejarah lebih terlibat secara mendalam pada
alam dan zaman dari pada orang perorang yang secara terus-menerus menghadapi keabadian
di atas dan di akhir proses waktu.
Bentuk-bentuk berbagai bagan sosial dan sejarah pembebasan yang lebih terbina meminta
orang perorang untuk memenuhi hidupnya dan mengimbangi keringkasan tahun-tahun (usia)-
nya dengan berhubungan dengan proses sejarah itu sendiri (Carl L. Backer, tt: 140), bukan
hubugan dengan komunitas sejarah yang khas mana pun.
Sebelumnya kami telah mempertimbangkan berbagai alasan mengapa tidaklah mungkin
memandang sejarah sebagai pembebasan dan mengapa harapan terhadap putusan yang
memadai dan pemenuhan yang cukup atas hidup perseorangan dalam proses sejarah harus
mengarah kepada kekecewaan yang paling menyedihkan. Mungkin cukuplah pada bidang ini
74
untuk menggambarkan dan memperhitungkan analisa sebelumnya terhadap masalah ini
dengan jalan membayangkan kita yang sederhana sebagai “keturunan” yang diserukan oleh
abad delapan belas dan (dengan) mencatat ganjilnya keadaan yang dipandang sebagai “para
penyokong bagi orang-orang yang ditindas,” sebagai ”yang kudus dan suci,” ringkasnya
sebagai yang berguna atau dapat menjadi putusan akhir atau penebus orang-orang yang telah
pergi sebelum kita. Lebih dari itu, secara lebih dalam kita terlibat dalam dan diasyikkan
dengan kebingungan kita sendiri, bahwa kita sebagai yang tidak sudi, sebagaimana kita tidak
berguna untuk bertindak sebagai pengganti Tuhan.
Namun, senantiasa ada elemen kebenaran dalam berbagai seruan yang sederhana kepada
sejarah tersebut sebagai pemenuhan hidup; karena arti hidup akan ditemukan sebagiannya dari
keterlibatan manusia dalam berbagai tugas dan kewajiban sejarah.
Jawaban Perjanjian Baru kepada masalah orang perorang tersebut diberikan dari pendirian
baik tentang keabadian yang “di atas” maupun tentang keabadian yang ada di akhir sejarah.
Gagasan tentang “kebangkitan umum”, di mana setiap orang yang binasa sebelum memenuhi
sejarahnya akan dibawa kembali untuk berperan serta dalam kemenangan akhir. Membuat
keadilan bagi nilai hidup orang perorang yang bila tidak ada maka pemenuhan sejarah akan
menjadi tidak sempurna; maupun bagi keseluruhan jalan sejarah orang perorang. Sebab
apabila tidak ada jalan tersebut, maka hidupnya tidak akan bisa terlaksana.
Lambang kebangkitan tubuh, tanpa pemahaman kebangkitan umum pun pada akhir sejarah,
adalah lebih bersifat orang-perorang dan dalam berbagai penekanannya lebih bersipat sosial
juga dari pada gagasan alternatif tentang keabadian akal. Lambang kebangkitan tersebut lebih
bersifat perorangan karena menyatakan keberartian yang abadi, bukan untuk suatu akal
impersonal yang tidak mempunyai hubungan nyata dengan diri yang sebenarnya; tetapi untuk
diri sebagaimana yang benar-benar ada dalam jasad. Di dalamnya, diri ini membawa
kegelisahan dan ketidakamanan dari perwujudan yang terbatas di satu pihak, dan kemampuan
untuk menggapai kaki langit yang abadi di pihak lain. Harapan kepada kebangkitan kembali
menegaskan bahwa pada akhirnya keterbatasan akan dilepaskan dari kegelisahan dan diri akan
mengenal dirinya sebagaimana yang diketahui.
Gagasan kebangkitan lebih bersifat sosial karena konstruksi sejarah keberadaan manusia,
berbagai kebudayaan dan peradaban, berbagai kekaisaran dan bangsa-bangsa dan akhirnya
keseluruhan proses sejarah, sebagaimana hidupnya perseorangan, adalah hasil dari ketegangan
antara berbagai kondisi alam dan kebebasan yang melebihi alam. Gagasan kebangkitan
kembali menyiratkan bahwa perluasan sejarah tentang kekayaan penciptaan, dalam segala
keanekaragaman-nya, akan berperan serta dalam penyempurnaan sejarah. Gagasan ini
memberikan perjuangan di mana orang-orang asyik untuk memelihara berbagai peradaban,
dan untuk melaksanakan kebaikan dalam sejarah, keberartian yang kekal, dan tidak
membuang-buangnya kepada perubahan terus-menerus yang tanpa arti dan yang sama sekali
tidak akan mempunyai gema dalam keabadian.
Tidak ada konsepsi pemenuhan dari penganut negara idaman dan tidak pula konsepsi
pemenuhan yang murni tentang dunia lain yang memenuhi keadilan bagi hubungan per-
tentangan orang perorang dengan proses sejarah. Orang perorang menghadapi keabadian pada
setiap saat dan dalam setiap tindakan kehidupannya; dan dia berhadapan dengan akhir sejarah
beserta kematiannya sendiri. Dimensi kebebasannya melebihi semua kenyataan sosial.
Ruhaninya tidak dipenuhi dalam pencapaian sejarah yang paling tinggi sekalipun;
Kesadarannya tidak diberhentikan dengan penerimaan baik yang paling samar-samar atas
pengadilan putusan sejarahpun; pada akhirnya tidak perlu diancam dengan berbagai
penyalahan sejarah. Di lain pihak, hidup orang-perorang hanya sangat berarti dalam hubungan
organiknya dengan berbagai masyarakat, tugas, dan kewajiban sejarah.
75
Hubungan arti kehidupan dengan kedudukan sebagai orang tua adalah sebuah contoh
mikrokosmik yang paling baik dari dimensi ganda kehidupan orang perorang tersebut. Tidak
ada orang tua perorangan yang memenuhi keseluruhan arti hidupnya dalam hubungannya
dengan anak-anaknya. Ada berbagai fakta yang tidak bisa disebutkan satu persatu tentang arti
yang termasuk tidak relevan dengan kesatuan lahir kedudukan sebagai orang tua. Akan tetapi,
di lain pihak tidaklah mungkin memisahkan arti hidup dari kesatuan lahir kedudukan sebagai
orang tua. Para orang tua harus “dibenarkan” dalam berbagai kehidupan anak-anak mereka.
Akan tetapi anak-anak adalah orang-orang sanderaan yang ditahan oleh masa depan.
Pemenuhan hidup para orang tua tergantung kepada realisasi watak di anak-anak mereka. Jadi,
masa kini harus melayani masa depan untuk pemenuhan akhirnya.
Proses Sejarah Sebagai Kesatuan Sejarah
Bagaimana pun, kehidupan yang sangat berarti mungkin berada dalam pola-pola perorangan
dan berbagai susunan kolektif yang dihormati “dari atas” atau dari sudut hubungan langsung
mereka dengan sumber yang abadi dan tujuan arti, sejarah semacam itu mewakili keseluruhan
bidang pertalian yang menuntut pemahaman dari sudut telos pamungkasnya.
Tanpa dasar pemahaman yang tersurat mana pun, atau filsafat mana saja yang memadai atau
bahkan teologi sejarah, pengujian yang paling sepintas lalu terhadap sejarah akan memberikan
garis-garis singgung pertalian tertentu dan menyingkapkan berbagai hubungan minimal dari
suatu kesatuan. Pemahaman pluralistik tentang sejarah tetap saja tidak dapat dipertahankan,
atau masuk akal. Mungkin saja, sebagaimana yang diamati oleh Aristoteles, bahwa berbagai
seni hilang dan sering kali ditemukan dalam jalan sejarah. Boleh jadi bahwa peradaban bangsa
Roma harus mencapai berbagai standar de novo sosial tertentu secara sempurna, tanpa
perujukan atau ketergantungan kepada pencapaian atas standar-standar tersebut dari bangsa
Babilonia atau bangsa Mesir. Akan tetapi di pihak lain, senantiasa ada suatu peninggalan yang
minimum dari pengalaman sosial atau budaya yang ditaruh oleh sebuah peradaban dan
digunakan oleh peradaban yang lain. Sejarah ilmu tidak dapat ditelusuri tanpa memulai
dengan matematika dan astronomi para imam bangsa Mesir. Ilmu dan filsafat peradaban Barat
dengan jelas terletak pada dasar-dasar Yunani; dan keahlian Barat tidak dapat dijelaskan tanpa
suatu pemahaman terhadap perkiraan Stoic bangsa Roma. Penfasiran orang Yahudi-Kristen
atas sejarah, yang telah kami upayakan untuk menguraikannya dalam beberapa halaman ini,
mempu-nyai akar dalam berbagai bentuk Messianisme bangsa Babilonia, Mesir, dan Persia.
Ringkasnya, terdapat berbagai pengaruh yang terhimpun dalam sejarah. Spengler pun terpaksa
mengakui bahwa, berbagai peradaban yang baru dibangun di atas reruntuhan peradaban-
peradaban yang lama, karakter peradaban-peradaban itu sebagiannya ditentukan dengan cara-
cara kehidupan yang baru itu merembes, mengangkat dirinya kepada, dan tumbuh berkembang
di sekitar reruntuhan yang tua tersebut.
Hubungan batiniah berbagai peradaban pengganti antara satu dengan lainnya mungkin
digambarkan sebagai “kesatuan dalam perpanjangan” atau dalam waktu. Hubungan batiniah
berbagai peradaban yang modern antara satu dengan yang lainnya mungkin digambarkan
sebagai “kesatuan secara luas” atau dalam ruang. Kesatuan dalam perpanjangan lebih jelas
dari pada hubungan dalam luas. Sejarah peradaban Barat, sebagai contoh, lebih jelas
hubungannya dengan Yunani dan Roma dari pada hubungannya dengan Cina modern. Namun,
terdapat hubungan-hubungan saling ketergantungan yang minimal dalam “luas” pun.
Semenatara dunia Barat telah menguraikan ilmu dan teknik dalam tingkatan yang lebih besar
dari pada dunia Timur, tidak akan mungkinlah untuk memahami perkembangan ilmiah Barat
kita tanpa memahami berbagai sumbangan penemuan-penemuan ilmiah (dunia) Timur ke
arahnya.
76
Barangkali perkembangan yang paling berarti pada masa kita sekarang adalah bahwa berbagai
pengaruh kesatuan yang terhimpun dalam perpanjangan sejarah adalah peningkatan kesatuan
dalam luasnya sehari-hari. Peradaban teknik modern sedang melahirkan segala peradaban dan
kebudayaan, segala kekaisaran dan bangsa ke dalam pem-barisan yang lebih dekat antara satu
dengan lain. Fakta bahwa kedekatan dan hubungan yang lebih besar tersebut lebih mendorong
“berbagai perang dunia” dari pada suatu keadaan saling merembeskan kebudayaan yang
mudah dan sederhana, meminta kita agar tidak menganggap suatu “budaya yang universal”
atau “pemerintahan dunia” sebagai telos yang alami dan tidak dapat dielakkan yang akan
memberikan arti bagi semua proses sejarah.
Akan tetapi di lain pihak, amat jelaslah bahwa saling ketergantungan teknik dunia modern
menempatkan kita di bawah kewajiban untuk memerinci instrumen politik yang akan
membuat kedekatan dan saling ketergantungan yang baru tersebut menjadi dapat diderita.
Tugas yang baru dan sangat mendesak itu sendiri adalah sebuah bukti berbagai pengaruh
sejarah yang tertimbun. Bukti ini secara progresif meng-hadapkan kita dengan berbagai tugas
yang sulit dan membuat kelangsungan hidup kita tergantung kepada pemecahan tugas-tugas
ini. Jadi, perkembangan kesatuan dalam luas adalah salah satu aspek dari kesatuan
perpenjangan dalam sejarah.
Fakta-fakta tersebut nampak cukup jelas untuk menda-tangkan suatu kesepakatan dalam
penafsirannya, sekalipun ketika berbagai perkiraan yang menentukan penafsiran itu berbeda.
Haruslah disepakati bahwa sejarah berarti pertumbu-han, bagaimana pun banyaknya pola
pertumbuhan yang mungkin dikaburkan dengan kebangkitan dan keruntuhan peradaban.
Walaupun satu masa mungkin harus memperoleh kembali apa-apa yang pada masa-masa
sebelumnya diketahui dan dilupakan, dengan jelas sejarah itu bergerak ke arah berbagai akhir
yang mencakup (banyak hal), ke arah berbagai hubungan manusiawi yang lebih komplek, ke
arah peningkatan teknik berbagai kekuasaan dan timbunan pengetahuan manusia.
Akan tetapi ketika berbagai penekakanan gagasan “pertumbuhan” yang beraneka ragam di
buat lebih dinyatakan, maka perbedaan yang amat penting antara umat Kristen dan penafsiran
modern tentang takdir manusia menjadi nampak. Seperti yang telah kita catat sebelumnya,
keseluruhan budaya modern yang sekuler (dan bersamanya juga bagian dari budaya umat
Kristen yang tergantung kepadanya) menganggap bahwa pertumbuhan berarti kemajuan.
Budaya sekuler memberi gagasan pertumbuhan dengan penekanan moral. Budaya ini percaya
bahwa sejarah bergerak dari kekacauan ke alam dengan berbagai kekuatan yang tetap ada di
dalamnya. Kami telah berupaya untuk membuktikan bahwa sejarah tidak menyokong
kesimpulan ini. Bahaya ketidakteraturan yang lebih positif tersirat dalam aturan yang lebih
tinggi dan lebih kompleks yang dibangun oleh kebebasan manusia di atas dasar keharmonisan
dan keamanan alam. Kebencian ruhaniah dan kegunaan berbagai konflik “berbudaya” yang
mematikan, yang disejajarkan dengan peperangan atau pertempuran suku dalam dunia
binatang, adalah salah satu dari banyak contoh kejahatan baru yang timbul dalam tingkat
kematangan yang baru.
Dua contoh lainnya dari aspek sejarah tersebut mungkin disebutkan. Kesehatan ruhaniah
perorangan yang dewasa menggabungkan ke-kompleks-an dan ketegangan psikis ke dalam
suatu kesatuan yang dapat ditolerir, lebih kaya, dan lebih baik dari pada kesatuan kekanak-
kanakan yang sederhana. Akan tetapi kesehatan tersebut tunduk juga kepada penyimpangan
yang menjadi kekebalan anak-anak. Anak-anak mungkin menjadi abnormal akan tetapi
biasanya tidak tunduk kepada sakit jiwa. Kepaduan politik masyarakat nasional atau
kekaisaran yang besar mempunyai keluasan dan sebaran di luar kepaduan suku yang primitif.
Lebih jauh lagi, kepaduan tersebut mewujudkan ke-kompleksan sosial yang bukan merupakan
kesalahan kesatuan suku. Pencapaian kesatuan dalam ke-kompleks-an tersebut mewakili
pertumbuhan ke arah “kematangan.” Akan tetapi setiap bidang aturan politik seperti itu diisi
77
dengan berbagai ketegangan yang mungkin menjadi berbagai konflik yang jelas apabila tidak
“dikelola” secara hati-hati. Berbagai masyarakat sejarah adalah artefak-artefak politik.
Artefak-artefak ini kekurangan keamanan alam dan dihadapkan kepada bahaya kesalahan
manusia, dan penyele-wengan kebebasan manusia. Karena itu, tidak ada pertumbuhan sejarah
yang masuk akal yang dapat membuat pemerintahan dunia masa depan menjadi mungkin
seperti aturan yang sama stabil dan amannya dengan aturan masyarakat nasional; sebagaimana
tidak adanya masyarakat nasional yang keke-balannya terhadap kesemrawutan sama dengan
keluarga atau suku.
Simbol Perjanjian Baru untuk aspek kenyataan sejarah serta bahaya yang baru dari kejahatan
tersebut bagi setiap tingkat kebaikan yang baru adalah bentuk anti-Kristus. Anti-Kristus ini
tergolong dalam eschata, (termasuk dalam) “hal-hal terakhir” yang menggembor-gemborkan
berakhirnya sejarah. Penolakan yang paling tersurat terhadap norma sejarah harus diharapkan
dalam perkembangan sejarah yang paling puncak (Johannie, 2: 18). Yang dikaitkan secara
dekat dengan gagasan kejahatan akhir pada akhir sejarah tersebut adalah antisipasi umum
terhadap kejahatan dalam perjalanan sejarah yang akan dipahami oleh orang-orang yang
beriman akan tetapi dengannya dunia akan diperlakukan tidak sadar.
Simbul Perjanjian baru tentang Antichrist disediakan oleh Katolicisme terutama untuk tujuan
menandai musuh-musuh gereja yang keras. Polemik pemakaian simbol tersebut mengaburkan
fakta bahwa kejahatan yang akhir mungkin bukan penolakan, tetapi gangguan terhadap
kebenaran akhir. Ini adalah hal yang dibuat oleh Pembaharuan Protestan dalam
menyamaratakan tuduhan Antichrist kepada gereja itu sendiri. Akan tetapi bukanlah
Katolicisme dan bukan pula Reformasi yang secara berdaya guna menggunakan simbol
Antichrist sebagai dasar penafsiran sejarah yang umum. Protestantisme modern telah tidak
memahami kegunaan simbol untuk berbagai pertimbangan yang jelas tersebut. Karena itu,
simbol tersebut telah dipergunakan dan disalahgunakan terutama oleh orang-orang yang
secara harfiah telah berupaya membuktikan bahwa seorang Napoleon, Hitler, Caesar hingga
sekarang zaman modern sesuai dengan ramalan-ramalan Antichris, atau mempunyai istilah,
yang hurup-hurupnya dapat dianiaya untuk memberikan angka 666 (Rev, 13: 18).
Kecenderungan literalisme millenarian modern untuk mengenali suatu perwujudan kejahatan
masa sekarang dengan Antichrist, bersesuaian dengan kecenderungan yang berulang-ulang
dalam segala penyingkapan. Barangkali, kecenderungan ini sebagai yang alami bagi suatu
masa untuk berpikir tentang kejahatan. Leteralisme berpendapat tentang kejahatan ini sebagai
bentuk kejahatan yang akhir supaya membuat kekeliruan dalam menganggap kebaikan yang
diwujudkannya sebagai kebaikan yang terakhir (Adam Welch, tt: 124). Kepercayaan suatu
masa bahwa masa itu telah mencapai akhir sejarah adalah menye-dihkan, meski dapat
dimengerti sekalipun. Apabila kami harus mmpunyai berbagai bayangan seperti itu maka versi
penying-kapan tentangnya mempunyai kebaikan, setidak-tidaknya, menggambarkan sejarah
sebagai yang bergerak ke arah puncak, dan memandang penyempurnaan bukan melulu sebagai
penjajakan kemenangan pihak yang baik atas kejahatan tetapi juga sebagai konflik yang
menyedihkan antara dua kubu tersebut.
Akan tetapi filsafat umat Kristen yang mapan tentang sejarah menuntut penggunaan yang
lebih baik atas simbol Antichrist dari pada sebagai sebuah senjata yang berpolemik terhadap
musuh-musuh yang mutakhir atau sebagai pengemban berbagai wawasan yang tidak berhati-
hati, yang tersebar di antara berbagai ilusi literalistik. Dalam Perjanjian Baru, simbol itu
menyatu kepada keseluruhan dan pandangan sejarah yang bersesuaian yang menurutnya masa
depan tidak pernah disaji-kan sebagai bidang keamanan yang lebih besar dari pada masa
sekarang atau sebagai penjamin keutamaan yang lebih tinggi. Antichrist berdiri di akhir
sejarah untuk menunjukkan bahwa sejarah menimbun berbagai permasalahan keberadaan
manusia yang inti, lebih banyak dari pada pemecahan-pemecahannya.
78
Ini tidak berarti bahwa kejahatan mempunyai sejarah-nya sendiri yang mandiri, yang
memuncak dalam pemujaan berhala yang akhir dan penghujahan Antichrist. Baik civitas Dei
maupun civitas Terenna bertumbuh kembang dalam sejarah sebagaimana yang diamati oleh
Augustine. Tetapi kedua kubu ini tidak mempunyai sejarah mereka yang terpisah-pisah.
Kejahatan yang muncul di penghujung sejarah adalah apakah suatu gangguan terhadap
kebaikan yang akhir atau ia merupakan sebuah penolakan yang tegas dan tantangan terhadap
kebaikan yang tidak akan mungkin tanpa penjajaran kebaikan. Katakan saja bahwa kejahatan
tersebut pada aslinya adalah negatif dan bersipat benalu, meskipun begitu berbagai
pengaruhnya adalah positif dan kekuatannya suatu yang lebih dari pada penolakan yang
lamban. Berbagai kelaliman modern bukanlah akhir produk dari sejarah kelaliman yang sudah
lama di mana kejahatan-kejahatan yang kuno dengan sadar telah menjadi beradab hingga
ketetapan jahatnya mereka sekarang ini. Kelaliman-kelaliman tersebut gangguan-gangguan
yang lebih baik karakteristiknya pada suatu peradaban yang matang di mana berbagai
perlengkapan teknik telah menjadi peralatan yang lebih berdaya guna untuk maksud-maksud
yang lalim. Agama-agama pemujaan berhala modern, yang begitu sesuai sepenuhnya dengan
visi tentang “Binatang” (buas), yang “memperdayakan pilihan itu sendiri,” bukanlah buah
akhir dari suatu sejarah yang mandiri tentang pemujaan terhadap berhala. Agama-agama
keberhalaan itu adalah berbagai bentuk pemu-jaan terhadap diri yang memperoleh kekuatan
mereka dengan secara sadar menentang berbagai agama dan standar-standar moral yang lebih
tinggi. Kekacauan internasional modern bukan buah sejarah kekacauan yang sudah lama. Hal
itu lebih pada berbagai gangguan dan keruntuhan sistem aturan. Itu adalah sebegitu sulit
karena mempersyaratkan kerjasama yang potensial dan nyata dalam skala yang lebih luas dari
pada yang telah dicapai dalam berbagai peradaban sebelumnya.
Jadi, kejahatan yang ahkir tergantung kepada kebaikan yang akhir. Apakah kejahatan ini
dengan sengaja dan secara tegas menantang Kristus, yang dalam kasus ini Kristus diperlukan
sebagai kertas perak; ataukah kejahatan ini makin kurang baik yang mengaku menjadi puncak
kebaikan; dalam kasus ini diperlukanlah Kristus sebagai mantel. Sebuah bentuk adalah
Antichrist orang-orang yang berdosa dan yang lainnya Antichrist orang-orang baik. Tetapi
dalam setiap kasus keku-atan Antichrist, meskipun pada asalnya sebagai benalu yang bersifat
negatif, berlaku begitu positif, dan begitu bandel dalam maksud sehingga tidak ada kekuatan
yang melekat dalam sejarah, yang mampu meliputi kekalahannya. Antichrist yang nampak
pada ujung sejarah hanya dapat dikalahkan oleh Kristus yang mengakhiri sejarah.
Semua fakta sejarah yang telah diketahui mentahkikkan penafsiran takdir manusia yang
tersirat dalam eskatologi Perjanjian Baru. Namun kebanyakan dari berbagai filsafat sejarah,
baik yang kuno maupun yang modern telah berupaya mengaburkan kedua aspek sejarah yang
disingkapkan oleh eskatologi Bibel. Filsafat-filsafat sejarah kuno baik yang meno-lak
keberartian sejarah keseluruhannya atau yang hanya meli-hat keberartian yang terbatas dari
perputarannya, yang kata orang, berulang-ulang. Filsafat-filsafat modern telah memper-tegas
kesatuan sejarah dan timbunan berbagai kecenderu-ngannya; akan tetapi filsafat-filsafat itu
berupaya mengaburkan dan menolak berbagai bahaya dan kejahatan dalam berbagai timbunan
sejarah, supaya mereka dapat menganggap sejarah itu sendiri sebagai sebuah pembebasan
Tuhan.
Apabila kita meneliti lebih dekat lagi mengapa berbagai kekeliruan tersebut dibuat,
pertimbangan kita pada akhir takdir manusia membawa kita kembali kepada berbagai
permasalahan tentang permulaan. Sebab penjelasan yang paling masuk akal tentang berbagai
kekeliruan tersebut adalah bahwa kekeliruan itu didorong oleh keinginan untuk mendapatkan
suatu jalan penyempurnaan nasib manusia yang akan memelihara akhir manusia di bawah
pengawasannya dan di dalam kekuatannya. Dunia kuno berupaya membuat hal ini dengan
membebaskan ruh manusia dari perubahan keterbatasan atau dengan menem-patkan
79
kebebasannya di bawah perubahan tersebut. Dunia modern telah mencari pembebasan dengan
menganggap proses sejarah itu sendiri sebagai penjamin atas pemenuhan hidup manusia.
Dalam setiap kasus, “imajinasi yang sia-sia” dari kebanggaan manusia masuk ke dalam
berbagai perhitungan tersebut dan menentukan akibatnya. Kekeliruan-kekeliruan yang “paling
jujur” mungkin bertanggung jawab atas suatu kebingungan. Kebebasan manusia melampaui
perubahan alam dalam cara seperti itu sehingga harapan untuk memutuskan ruhani
sepenuhnya dari ketertutupan (oleh) alam adalah ilusi yang tidak dapat dimengerti. Lebih jauh
lagi proses partum-buhan dalam sejarah adalah begitu jelasnya sehingga kekeli-ruan modern
yang membingungkan pertumbuhan dengan kemajuan boleh dianggap sebagai kekeliruan
yang sama-sama tidak dapat dielakkan. Namun, kedua kekeliruan tersebut juga terletak pada
sikap acuh tak acuh yang disengaja terhadap beberapa bukti yang jelas. Jelaslah bahwa
manusia tidak mempunyai kekuatan untuk melepaskan dirinya dari perubahan dan
keterbatasan, sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang idealis dan mistis dari dunia yang
kuno dan modern. Samalah juga jelasnya bahwa sejarah tidak memecahkan permasalahan
yang mendasar tentang keberadaan manusia tetapi menying-kapkan permasalahan tersebut
secara progresif dalam tahapan-tahapan yang baru. Kepercayaan bahwa manusia dapat meme-
cahkan masalahnya apakah dengan suatu jalan keluar dari sejarah atau dengan proses sejarah
itu sendiri adalah suatu kekeliruan yang sebagiannya didorong oleh yang paling universal di
antara segala noda ideologis; kebanggaan, bukan dari orang-orang dan budaya-budaya
tertentu, tetapi dari manusia sebagai manusia.
Karena alasan tersebut, mungkinlah membuat analisa takdir manusia yang paling benar atas
dasar keimanan agamawi yang telah mengingkari kebanggaan manusia dalam dasar, meskipun
tidak usah diduga bahwa analisa umat Kristen tertentu yang mana pun sebenarnya tidak akan
memper-tunjukkan apa-apa yang pada dasarnya telah ia pungkiri. Akan tetapi apabila
kepercayaan umat Kristen benar-benar mene-mukan keamanan puncaknya di atas segala
keamanan dan keti-dakamanan sejarah; apabila benar-benar “dikejar, maka bukan kematian
bukan pula hidup, bukan malaikat, bukan pula kepangeranan, bukan berbagai kekuatan, bukan
hal-hal yang ada, bukan hal-hal yang mendatang, bukan ketinggian, bukan kedalaman, bukan
pula ciptaan lain yang mana pun, yang akan dapat memisahkan kita dari kecintaan kepada
Tuhan yang menurut Kristus Jesus adalah Tuhan kita,”(Romans, 8: 38-39) hal ini meminta
manusia agar menahan diri dari mencari pemberhalaan terhadap keamanan dan pembebasan
yang palsu dalam hidup dan sejarah. Dengan keyakinannya terhadap latar yang abadi bagi
keberadaannya, namun demikian, terlibat dalam usaha keras sejarah manusia sampai titik
penderitaan itu dengan dan baginya, kepercayaan ini dapat mendorong manusia untuk
menerima berbagai pertanggungjawaban sejarah mereka dengan senang hati. Dari pendirian
keimanan seperti itu, maka sejarah bukanlah tanpa arti karena sejarah tidak dapat
menyempurnakan dirinya; walaupun tidaklah dapat ditolak bahwa hal itu adalah tragis karena
manusia selalu berusaha untuk menyempurnakannya dalam keadaan belum matang.
Jadi, kebijaksanaan tentang takdir kita tergantung atas pengakuan yang sederhana terhadap
serba keterbatasan pengetahuan kita dan kekuasaan kita. Pemahaman kita yang paling handal
adalah buah “keanggunan” di mana keimanan memperbaiki kedunguan kita tanpa
menganggap diri mempunyai kepastiannya sebagai pengetahuan; dan di mana kesedihan yang
mendalam meredakan kesombongan kita tanpa menghancurkan harapan kita.***
Komentar Tentang Pemikiran
Reinhold Niebuhr (1892-1970) bekerja sebagai Pastor di Detroit selama 13 tahun.
Ia mendapat pendidikan B.D dan M.A dari Yale Divinity School. Pengalaman selama ini
sangat menentukan pikirannya, ia menyatakan: “pengalaman sebagai Pastor ini
80
menentukan perkembanganku, lebih dari pada buku-buku yang saya baca”. Tahun 1928
ia bergabung dengan Union theological Seminary, New York sebagai Profesor of
Christian Ethics sampai ia mengundurkan diri tahun 1960. Karya besar yang utama
Moral Man and Immoral Society (1932), yang menguraikan thesis-nya bahwa gerakan
liberal baik yang bersifat keagamaan atau sekular adalah tidak menyadari akan perbedaan
pokok antara moralitas pribadi dan moralitas kelompok. Tahun 1939 sebagai orang
Amerika kelima yang diundang untuk memberi “Gifford Lectures” di Universitas
Edinburg. Perkuliahan itu menjadi buku yang berjudul The Nature and Destinity of Man,
di mana ia membandingkan konsep Bibel dengan konsep klasik dan modern tentang
watak manusia.
Ia kemudian menggabungkan diri dalam penyelidikan-penyelidikan yang
dilakukan “Lyman Beecher Lectures” di Yale, dan “Lecturship” di Universitas Uppsala,
Swedia, dan menerbitkan buku Faith and History (1949). Tulisan Niebuhr di atas adalah
bagian di antara pemikiran filosofisnya tentang sejarah. Buku-buku dia mengantarkan
pada thesis, bahwa pandangan tentang watak manusia yang tersebut dalam Bibel lebih
tinggi dari pada pandangan pemikiran Klasik dan Modern. Di samping itu ia juga
memiliki kumpulan-kumpulan tentang khutbah yang membangkitkan inspirasi dan berpe-
ngaruh, di antaranya The Children of Light and The Children of Darkness (1944), dan
Discerning the Signs of the Times (1946).
Di samping kemauannya yang luar biasa sebagai penceramah, Reinhold Niebuhr
bekerja sebagai penasehat pada beberapa presiden dan para politisi Amerika Serikat.
Tahun 1946, ia memperoleh “Presidential Freedom Award for Distinguished Service”.
Harold H.Titus et.al, dalam Living Issues in Philosophy (1979), memasukan dia
sebagai tokoh gerakan Kristen Neo-Ortodox Amerika Serikat, bersama-sama dengan Paul
Tillich. Tahun 1950-an Neo-Ortodox merupakan gerakan yang ber-pengaruh dalam
teologi Protestan. Tahun 1960-an gerakan tersebut menunjukkan gejala perpecahan
karena kecenderungan berkembangnya tradisi keagamaan yang sekular. Tahun 1970,
gerakan tersebut menjurus kepada dasar pengalaman ke-agamaan. Membaca pikiran
Niebuhr nampaknya tidak akan jauh dari realitas seperti pergolakan yang ada dalam
zaman itu. Untuk mendalami realitas ini John E Smith telah menulisnya, Experience and
God (Oxford University Press, 1968) Dalam tulisannya tentang “Keragaman dan Kesatuan dalam Sejarah”, Niebuhr sekali lagi ingin
meyakinkan bahwa etika Kristen telah dan akan mengantarkan pada proses kesatuan sejarah
yang baik. Agama merupakan acuan bagi jalannya sejarah manusia. Apa pun yang terjadi,
realitas kehan-curan manusia, adalah akibat mengumbar nafsunya secara berlebihan. Beberapa
kali ia menunjukkan bahwa konsep-konsep yang ada dalam Bibel adalah jalan kebaikan umat
manusia. Meskipun uraian dia mengutip banyak pikiran Spengleer dan Toynbee, untuk
menegaskan bahwa kebudayaan atau sejarah manusia ada tumbuh, berkembang dan dan mati.
Maka sinkronisasi dari pikiran Spengleer dan Toynbee bisa di satukan. Jika Spengleer
memandang bahwa kehancuran sejarah itu akibat tekanan hukum alam, namun Toynbee
kehancuran sejarah (kebudayaan) manusia tidak sepenuhnya oleh hukum alam, tapi oleh
ketidakmampuan manajemen manusia dalam mengatasi masalahanya. Atau akibat kegagalan
melakukan adaptasi dalam mengatasi masalahnya. Kedua pemikiran ini mempengaruhi
Niebuhr dalam mengartikulasi pikiran tentang sejarah manusia. Sehingga berujung pada
kesimpulan bahwa sejarah (kebudayaan) manusia memang memiliki jalan sejarahnya masing-
masing. Variasi dan keragaman sejarah umat manusia menunjukkan bentuk keragaman, dan
keraga-mannya bisa ada yang menyatukannya, itulah spirit of history. Spiritualitas sejarah
81
terbelah antara yang baik dan buruk. Keburukan akibat mereka tidak dilandasi norma-norma
dan nilai-nilai ketuhanan.
Sejarah yang baik adalah selalu dalam bimbingan Tuhan, sebaliknya sejarah yang buruk
adalah yang lepas dari Tuhan, Antichrist. Dunia kejahatan juga bisa menyatukan jalannya
sejarah, meskipun kejahatan itu akan juga berujung pada kerinduan manusia akan sejarah
kebaikan. Ia mengakui gagasan klasik Kristiani yang diungkapakn oleh Augustinus, bahwa
dunia sejarah terbelah dua, kerajaan Tuhan dan kerajaan Iblis, Civitas Dei dan Civitas
Terenna. Namun bagi Niebuhr kejahatan sendiri pada ujungnya akan kembali pada kerinduan
akan nilai-nilai kebaikan. Lebih tegas pandangan Niebuhr tentang ini ia menyatakan: “Baik
Civitas Dei maupun Civitas Terenna tumbuh kembang dalam sejarah sebagaimana yang
diamati oleh Augustine. Tetapi kedua kubu ini tidak mempunyai sejarah mereka yang
terpisah-pisah. Kejahatan yang muncul di peng-hujung sejarah adalah apakah suatu gangguan
terhadap keba-ikan yang terakhir, atau ia merupakan sebuah penolakan yang tegas dan
tantangan terhadap kebaikan yang tidak akan mungkin tanpa penjajaran kebaikan. Katakan
saja bahwa kejahatan tersebut pada aslinya adalah negatif dan bersifat benalu, meskipun
begitu berbagai pengaruhnya adalah positif dan kekuatannya suatu yang lebih dari pada
penolakan yang lamban. Berbagai kelaliman modern bukanlah akhir produk dari sejarah
kelaliman yang sudah lama di mana kejahatan-kejahatan yang kuno dengan sadar telah
menjadi beradab hingga ketetapan jahatnya mereka sekarang ini. Kelaliman-kelaliman tersebut
gangguan-gangguan yang lebih baik karak-teristiknya pada suatu peradaban yang matang di
mana berbagai perlengkapan teknik telah menjadi peralatan yang lebih berdaya guna untuk
maksud-maksud yang lalim. Agama-agama pemujaan berhala modern, yang begitu sesuai
sepe-nuhnya dengan visi tentang “Binatang” (buas), yang “memper-dayakan pilihan itu
sendiri,” bukanlah buah akhir dari suatu sejarah yang mandiri tentang pemujaan terhadap
berhala…”.
DAFTAR PUSTAKA
Arnold J. Toynbee, The Study of History, Jilid IV.
Adam Welch, Visions of the End, tt.
Carl L. Backer, The Heavenly City of Eighteenth Century Philosophers, tt.
Oswald Spengler, The Decline of the West, tt.
Harold H.Titus et.al, Living Issues in Philosophy, 1979.
John E Smith, Experience and God, Oxford University Press, 1968.
Reinhold Niebuhr, Lyman Beecher Lectures, Universitas Upsalla, Swedia, 1949.
_______________ , The Diversity and Unity of History, tt.
_______________ , The Children of Light and The Children of Darkness, 1944.
_______________ , Discerning the Signs of the Times, 1946.
82
MENDEFINISI ULANG MAKNA SAHABAT
Ajid Hakim
Abstrak
Makna sahabat menjadi beda tergantung pada perspektif dan kepentingan si penafsir.
Ada yang melihat sahabat sebagaimana manusia biasa umumnya, profan. Akan tetapi
ada juga yang menganggap sahabat sebagai manusia “terjaga” kulluhum ‘uduul.
Sehingga apa pun tradisi, perilaku dan track record yang telah terjadi dalam kehidupan
mereka, kita hanya naskut, menerima secara taken for granted bagian dari kehidupan
“kurun yang baik’. Gugatan dan proses penafsiran ulang makna sahabat menjadi perlu
dilakukan ketika sikap kultus masyarakat sudah berlebihan dan membawa pengaruh
pada hilangnya spirit makna Islam dan esensi risalah Rasulullah Saw. Untuk itu
dipandang perlu memberikan batasan secara ketat agar seseorang masuk pada kategori
sahabat, sehingga jumlah sahabat tidak terjadi pembengkakan. Sahabat definitif inilah
yang mampu merasa, menginternalisasi dan mampu menangkap makna keislaman,
sekaligus muncul ruhul jihadnya sebagai pendamping-pendamping setia Nabi dalam
proses islamisasi masyarakat yang belum tercerahkan.
Kata-kata Kunci
Makna, Sahabat, Iman, Hijrah, Jihad
Pendahuluan
Tulisan ini sejatinya diilhami Diskusi Buku Dr. Fu’ad Jabali dan Dr. Jalaludin
Rakhmat. Kedua panelis itu sama-sama membicarakan para sahabat. Hanya saja yang
satu melihat sahabat sebagai manusia biasa, manusia profan (Fu’ad Jabali, 2010: xivi).
Karena biasa kata Jalaludin Rakhmat dalam tulisannya, Sahabat Nabi; Kemusykilan
Sejarah, sahabat akan mudah ditiru oleh manusia-manusia kita yang bukan sahabat (Fuad
Jabali, 2010: xix).
Pembicara kedua lebih memandang sahabat sebagai sosok yang problematik.
Contoh sikap problematiknya para sahabat, Jalaludin Rakhmat menafsirkan pernyataan
tentang orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit (fi qulubihim maradl) dalam QS.
al-Mudatsir ayat 31, adalah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ketiga orang ini bermaksud
83
membunuh Nabi di Bukit Aqobah, dengan cara melemparkan batu ke atas Nabi. Sebuah
fakta yang cukup menarik, seandainya hal ini betul terjadi.
Tentang kisah ini dalam pandangan Jalaludin dinilai dha’if. Karena ada salah satu
rowi yang cacat. Namun katanya Hadits ini dinilai shahih oleh Ibn Katsir sebagaimana
tercantum dalam Kitab Tafsir Ibn Katsir. Jalaludin mengkritik habis Al-Raji dalam
Mafatih al-Ghaib, tafsir besarnya. Karena Raji menfsirkannya sebagai munafik. Padahal
kata Jalaludin, pada waktu itu “munafik” belum ada. Karena surat ini diturunkan di
Makkah. Bahkan menurut satu riwayat, surat yang pertama kali bukanlah surat al-‘Alaq.
Menurut Jalaludin Al-Raji dipandang ragu menafsirkannya. Ia sangat terpaksa
menafsirkan munafik, walau belum ada orang munafik pada saat itu. Beliau sekali lagi
menggiring, orang-orang munafik itu adalah yang ketiga orang tadi yaitu, Abu Bakar,
Umar dan Utsman.
Saya merasa penasaran tentang penilaian terhadap Ibn Katsir ini. Karena beliau
sangat otoritatif dalam tafsir maupun al-Hadits. Ternyata setelah diteliti Ibn Katsir lebih
tegas dalam memaknai penggalan ayat fi qulubihim maradhun. Belaiu dengan singkat dan
tegas menyatakan al-munafiqiin (yaitu orang-orang munafik) (Ibnu Katsir, 1989: 513).
Ternyata hal ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas ulama). Setelah saya melakukan
konfirmasi dengan Tafsir Ibn Abbas, al-Thabari, dan Dzur al-Mantsur semuanya
menafsirkan dengan makna yang sama, yaitu merujuk pada orang-orang munafik. Lagi
pula sebelum ayat itu ada kata liyaqula. Kata ini jelas berbentuk fi’l al-mudhari’. Jadi
bermakna akan terjadi (di Madinah). Juga di akhir ayat tersebut terdapat prasa, madza
aradallahu bihadza matsala (mengapa Allah membuat perumpamaan seperti itu), dalam
hal ini tentang penjaga neraka yang banyaknya 19 buah itu (alaiha tis’ata asyar/untuk
neraka Syaqor ada 19 penjaga neraka). Ini jelas merupakan omongan orang-orang kafir.
Tipis kemungkinan itu merupakan omongan Abu Bakar, dkk.
Diskusi itu betul-betul semarak. Namun ada dua hal yang sangat mengganggu
pikiran saya, yaitu tentang tujuan hidup sahabat dan metode memahami sahabat. Dalam
Hayat al-Shabah, Syekh Maulana Yusuf menyimpulkan tujuan hidup sahabat merupakan
tujuan hidup Nabi. Karena kesamaan tujuan inilah mereka disebut sahabat. Dakwah dan
jihad merupakan tujuan dan sekaligus metode untuk mendapatkan iman sempurna
(Syeikh Maulana Yusuf, 2007). Dengan keimanan yang sempurna inilah mereka sanggup
84
mengamalkan agama secara sempurna pula. Kalau mereka tidak sempurna, mereka tidak
akan diberi gelar radhiallahu anhum.
Metode
Metode memahami sahabat tentunya harus berbeda dengan pandangan para
orientalis. Mereka hanya terpaku pada teks ansich. Saya kira metode napak tilas,
merupakan cara terbaik dalam memahami sahabat. Mereka mendapatkan iman bukan dari
tek-teks wahyu yang berserakan, tapi mereka menemukan iman di medan-medan dakwah
dan medan jihad bersama Rasulullah. Kitab Hayat al-Shahabah merupakan gambaran
lengkap mengenai kehidupan sahabat, yang bersifat profan tapi juga bersifat ideal.
Metode napak tilas ini penting dipahami untuk mendapatkan ruh agama. Apalagi
dikatakan bahwa merekonstruksi sahabat Nabi adalah sama dengan dengan
merekonstruksi agama. Seseorang tak akan paham pahit manisnya agama kecuali
melakukan apa yang dilakukan oleh para sahabat, yaitu menjadikan hidupnya sebagai
dakwah dan jihad. Kalau tidak demikian, kita akan sama dengan orientalis dalam
memahami agama, dalam hal ini memahami sahabat.
Dua hal inilah yang tidak begitu jelas dalam diskusi itu. Tulisan ini berisi kesan-
kesan penulis mengenai diskusi tentang Sahabat-Sahabat Nabi itu. Dan penulis
menambahkan sedikit dari hasil resume itu.
Definisi Sahabat: Sepanjang Zaman
Mendefinisikan sahabat secara konseptual menurut Fuad Jabali (2010: 39-63)
ternyata bukan perkara yang mudah. Bahkan lebih dari itu, mendefinisikan sahabat
memiliki efek sensitif secara teologis. Karena sahabat secara rasional dan teologis
dipandang sebagai fondasi agama di samping teks-teks kewahyuan.
Setidaknya ada empat golongan sahabat yang berusaha mendefinisikan sahabat
yang satu sama lain berbeda. Pertama, definisi yang di buat oleh Anas ibn Malik, seorang
bekas khadam-nya Rasulullah SAW selama 10 tahun. Said ibn Musayab walau bukan
sahabat, penulis kategorikan pada kelompok awal. Anas ibn Malik mendefinisikan
sahabat sebagai orang yang berteman (shuhbah) dengan Rasulullah. Shuhbah disini
bermakna tinggal bersama Nabi. Said ibn Musayyab merupakan seorang tabi’in besar dan
85
sekaligus ulama ahli al-Hadits, menyebut sahabat sebagai orang yang shuhbah dengan
Rasulullah setahun atau dua tahun dan ikut berperang dengan Rasulullah satu atau dua
kali. Dalam definisi ini orang yang hanya sekedar melihat saja kemudian pergi, tidak
dikatakan sahabat. Oleh karena itu Anas ibn Malik tidak mengkategorikan Abu Tufal
sebagai sahabat, meski bertemu dengan Rasulullah.
Kedua, Ahl al-Hadits. Definisi ini lahir sekitar 200 tahun setelah Hijrah. Tokoh
utama dalam definisi ini adalah Imam al-Bukhari, penulis Kitab Jami’ Shahih Muslim
yang terkenal itu. Beliau mendefinisikan sahabat sebagai orang yang bertemu Nabi,
beriman dan mati dalam keadaan iman. Terkadang konsep bertemu diidentikan dengan
konsep “melihat” (ra’a). Definisi ini sangat terbuka, karena memasukan semua orang-
orang yang pernah bertemu Nabi, iman dan mati dalam keadaan iman. Karena sangat
terbukanya definisi ini, sehingga orang-orang yang pernah murtad pun dikatakan sebagai
sahabat.
Definisi ini bersifat politis semata. Karena jika tidak dimasukan secara terbuka
dan sedemikian ketat, maka akan banyak sahabat yang tidak layak disebut sahabat,
padahal ada di antaranya banyak meriwayatkan al-Hadits, seperti Abdullah ibn Abi Sarah
(Fu’ad Jabali, 2010: 41). Oleh karena sangat ketatnya kalangan Mu’tazilah
mendefinisikan sahabat, mereka mensinyalir hanya ada sekitar 4000 sahabat saja.
Dampaknya jumlah al-Hadits akan menyusut drastis dari definisi yang dikemukakan oleh
al-Bukhari.
Oleh karena itu kaum Mu’azilah yang berada dalam kelompok Ushuliyun,
mendefinisikan sahabat sebagai orang yang bertemu, tinggal dan menjadi pengikut Nabi.
Demikian dikemukakan salah seorang tokohnya Ibn Shabbagh. Atau Abu Husain,
membatasi sahabat sebagai orang yang banyak menghadiri majelis-majelis Rasul
(majalis) dan tinggal bersama Rasulullah. Dari definisi ini maka orang-orang yang hanya
bertemu saja, tidak tinggal bersama, bukanlah sahabat. Inilah kelompok ketiga.
Keempat, Syi’ah. Syi’ah membatasi sahabat dengan sangat ketat dan bersifat
provokatif. Syi’ah berpendapat, semua sahabat adalah fasik kecuali Ali dan pengikutnya
(kulluhum fusuk illa ‘ali wa syi’atihi) (Said Nusawi, 1967: 57). Oleh karena itu dalam
pandangan Syi’ah banyak sekali sahabat yang gugur untuk sampai kepada keadilan
sahabat (‘adalah al-shahabah). Otomatis mereka hanya punya sedikit kitab al-Hadits.
86
Salah satunya adalah Al-Kafi yang ditulis oleh Imam Kullani. Itupun menurut Muthahhari
tidak semuanya shahih. Bahkan ada di antaranya berderajat mawdhu’.
Definisi Ulang
Siapa sesungguhnya sahabat? Definisi yang masyhur, yang dipakai kalangan
Sunni, adalah orang yang melihat/ bertemu Nabi, beriman, dan mati dalam keadaan iman.
Melihat mempunyai kedudukan penting (jelaskan Shuhbah). Sebab melihat Nabi bisa
mendatangkan iman. Amr ibn al-‘Ash adalah sahabat yang dianggap paling terbelakang
masuk Islam. Dia sangat membenci Nabi. Cita-citanya adalah membunuh Nabi. Tapi
ketika melihat Rasulullah, beliau tidak bisa mengangkat kepalanya di hadapan
Rasulullah. Rasa benci berubah menjadi rasa cinta kepada Nabi yang luar biasa (Maulana
Yusuf, 2003: 206). Dan sejarah menunjukkan, bahwa beliau terbukti mampu menunjukan
keislaman yang sangat baik. Sehingga Umar ibn Khatab mengangkatnya sebagai
gubernur di Mesir. Demikian kuatnya pengaruh melihat, sehingga terbukti bisa
meningkatkan keimanan. Oleh karena itu kata Nabi, sebaik-baik orang adalah yang di
mana engkau melihat, mampu meningkatkan keimanan. Jadi betapa penting melihat
Nabi. Oleh karena itu Najasyi, meski beriman tapi tidak pernah shuhbah dengan Rasul,
tidak bisa dikatakan sahabat. Dengan dasar inilah para ulama Hadits, semacam al-
Bukhari memasukan konsep “melihat” sebagai batas pertama untuk dijadikan sahabat. Ini
hal yang pertama.
Kedua, beriman. Ini saya kira konsep yang tidak diperdebatkan lagi. Hanya saya
tambahkan, inherent ke dalam konsep ini adalah bai’at (janji setia kepada Rasulullah
untuk memperjuangkan Islam dan membela Rasulullah). Ketiga, mati dalam keadaan
iman. Dalam kisah Para Sahabat, Syekh Zakariya, pada waktu sebelum hijrah ke Yatsrib,
ada seorang sahabat yang murtad menjadi Nasrani. Kejadian ini terjadi pada saat kaum
Muslimin berhijrah ke Habsyah. Dan atas peristiwa ini, Ummu Habibah, sebagai istrinya,
dinikahi oleh Rasulullah. Fuad Jabali (2010: 46) mencatat ada 100 orang yang murtad di
kalangan sahabat pada zaman Rasulullah, seperti Abdullah ibn Abi Sarrah. Namu
umumnya mereka kembali lagi ke dalam Islam.
Berikut ini kita akan mendiskusikan tentang konsep sahabat secara historis dan
nash. Pertama, hijrah. Hijrah ini sangat penting. Bahkan maha penting. Bahkan hijrah
87
lebih penting dari hijrah. Hijrah pada masa awal disebut sebagai salah satu rukun iman
terpenting, setelah syahadat. Dua ayat dalam al-Qur’an (4: 98 dan 16: 28) menjelaskan
tentang sahabat yang tidak hijrah. Asbab al-nuzul kedua ayat itu adalah sama, yaitu
terjadi pada perang Badar Kubra, tahun ke-1 Hijrah. Kaum Muslimin mengalami
kemenangan telak. Pasukan Quraisy yang jumlahnya tiga kali lipat kalah. Abu Jahal
(Umar ibn Hiyam), komandan tertinggi kaum kafirin mati terbunuh oleh dua anak remaja
Anshar. Di antara yang terbunuh adalah para sahabat Nabi yang telah bersyahadat kepada
Rasul. Namun mereka tidak mau berhijrah dengan alasan dunia. Ketika itu ada dialog
antara Malaikat dan sahabat yang tidak ikut hijrah. “Mengapa kalian berada dipihak
musuh?”, tanya Malaikat. “Kami adalah orang-oang lemah.” “Tidakkah bumi Allah itu
luas?”. Akhir dari ayat itu, mereka orang-orang beriman itu masuk neraka jahanam,
dengan abadi. Oleh karena itu Nabi bersabda berkaitan dengan kisah itu, man tasyabbaha
biqaumin fahwa minhum (barang siapa menyerupai sesuatu kaum, maka mereka sama
dengan kaum itu). Jadi sahabat itu karena berada di kelompok kafir, maka sama
kedudukannya dengan orang-orang kafir yang terbunuh pada perang Badar. Dengan
demikian hijrah merupakan ciri utama sahabat. Ketiadaan hijrah, menyebabkan
dipecatnya seseorang dari gelar kesahabatan. Bahkan mereka digolongkan menjadi
orang-orang kafir (Imam Suyuthi dan Al-Mahalli, 1991). Hijrah menjadi esensi
keimanan. Tidak ada iman kecuali dengan hijrah. Al-Qur’an menyebut sahabat-sahabat di
Makkah sama dengan orang yang belum iman. Allah selalu memanggil dengan sebutan
al-naas (manusia). Bukan dengan sebutan beriman (amanu). Jadi Allah seolah-olah
berkata, meskipun kalian sudah beriman namun tidak sah tanpa hijrah. Dan konsep al-
naas, kelak akan menjadi penghuni bahan bakar api neraka bersama batu-batu
(waquuduha al-naas wa al-hijaaratu u’iddat li al-kafirin). Sedemikian penting, makna
hijrah dan kaitannya dengan iman, seseorang yang beriman bisa kehilangan gelar sahabat
Nabi, disebabkan tidak ikut hijrah.
Ciri kedua adalah jihad. Jihad dalam kontek asal dan historis setidaknya mengacu pada
dua hal: dakwah dan perang. Dakwah disebut sebagai jihad yang sangat besar (jihadan
kabiira), demikian Maulana Yusuf (2007) dalam Muntakhob Ahadits. Justeru inilah jihad
yang asal dan prinsip. Adanya perang dalam sejarah karena untuk menyelamatkan
dakwah. Dakwah ditekan dan mau dibinasakan. Lebih dari itu orang-orang kafir
88
bermaksud menghancurkan kaum muslimin sebagai pembawa dakwah. Maka dengan
sangat terpaksa jihad dilakukan. Jadi jihad pada pengertian kedua adalah perang, yakni
dengan maksud defensif. Sama sekali tidak ada motivasi yang bersifat opensif.
Jihad ini jauh lebih penting dari hijrah dan lebih penting dari iman. Karena hijrah
merupakan metode untuk mendapatkan iman yang sempurna. Untuk melihat urgensi
jihad, mari kita telaah kisah-kisah sahabat setelah hijrah di Madinah. Dalam sejarah,
Rasulullah mengislamkan orang Madinah hanya sampai satu atau dua minggu. Semuanya
masuk Islam kecuali suku kecil dari Bani Khajraj dan bangsa Yahudi. Jadi mayoritas
penduduk Madinah masuk Islam, baik laki-laki atau pun perempuan. Hal ini merupakan
proses islamisasi yang sangat cepat (Syari’ati, 2010: 55).
Tapi tak lama kemudian lahir konsep munafik di kalangan kaum Anshar
(Muhammad Haikal, 1994: 513). Jumlahnya cukup fantastis, sekitar 300 orang. Al-
Qur’an menyebut orang munafik dengan kata munafiq sendiri atau dengan alladzina fii
qulubihim maradl (orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit). Penyait itu dalam
bentuk keraguan, lemah keyakinan, memilih dunia dari pada agama, dll. Tapi masalahnya
mengapa mereka jadi munafik, padahal pada awalnya mereka adalah Muslim dan
beriman. Kata kuncinya terletak pada jihad --memperjuangkan Islam dalam suka dan
duka dengan sungguh-sungguh.
Dengan kata lain, sahabat yang tidak jihad, jadilah munafik. Dan kemunafikan ini
adalah pasti (qath’i). Dalam al-Qur’an Surat al-Ankabut (29): 69 Allah berfirman: “Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”. Oleh karena itu sahabat yang tidak jihad
akan menanggung konsekuensi kemunafikan. Mereka tidak akan diberi faham agama (laa
yafqohuun fi al-din), tidak memperoleh iman dan hati mereka sakit. Dengan jihad, cahaya
(nur) iman akan masuk ke dalam hati. Karena hati yang bermujahadah dalam jihad akan
bersih dari nafsu. Dan ketika hati bersih dari nafsu, iman pun masuk. Maka dengan nur
iman inilah, manusia mampu melihat kebesaran Allah, menangkap alam akhirat dan
semangat mengamalkan agama. Karena dalam agama mereka melihat ada kejayaan dan
kebahagiaan yang sangat besar daripada sekedar keuntungan duniawi. Maka pantas orang
yang berjihad mendapat gelar orang yang beriman. Dan orang yang tidak berjihad akan
menjadi kafir. Karena menyatakan kafir tidak mungkin--berdasarkan pengakuan dan
89
lingkungan--maka akhirnya mereka memiliki keperibadian ganda: dalamnya kafir dan
luarnya muslim. Itulah munafik. Jadi aspek kedua yang menggagalkan gelar kesahabatan
adalah jihad fi sabilillah.
Ada lagi kasus tiga orang sahabat. Bahkan mereka sebagai ahli Badar. Dan
karenanya punya kedudukan tinggi. Kisahnya sebagai berikut: Tiga orang sahabat itu
adalah Ka’ab ibn Malik, Hilal ibn Umayah dan Murrah ibn Rafi (Syeikh Zakariya, 2003:
698-699).
Waktu itu terjadi perang Tabuk. Yakni perang melawan bangsa Romawi. Tidak
seperti biasanya Rasulullah mengumumkan tujuan perang secara jelas. Karena biasanya
Rasulullah tidak meyebutkan rute. Waktu itu musim panas, Rasulullah memberikan
targhib pengorbanan baik diri dan harta dengan sangat serius. Para sahabat
memperlihatkan pengorbanannya, Abu Bakar membawa seluruh harta, Umar sepertiga
harta, Utsman separuh harta, dan Ali karena tidak punya harta, menggadaikan dua
anaknya Hasan dan Husen, kepada seorang Yahudi tengik. Sahabat lain pun ikut
berkorban sesuai dengan kemampuannya. Maka singkat cerita berangkatlah perang ke
Tabuk, pada musim panas dan paceklik. Kecuali tiga orang sahabat yang sebagaimana
tersebut di atas.
Ka’ab ibn Malik tidak ikut berperang karena sibuk dengan urusan keluarga.
Keluarganya baru datang dari luar kota. Maka dia ingin membahagiakan keluarganya.
Nanti akan menyusul pada sore hari, pikirnya. Tapi sampai sore kesibukan itu masih
belum berakhir. Akhirnya Ka’ab tidak ikut perang sampai pasukan Rasulullah tiba
kembali.
Hilal ibn Murrah. Dia bermaksud tidak ikut perang dengan alasan Rasulullah
tidak akan marah, karena sebelumnya selalu terlibat dalam berbagai peperangan. Tak
apalah untuk sekali ini pikirnya, dia mengkhususkan untuk bercengkrama dengan
keluarga. Lagi pula pikirnya umur sudah tua. Pasti tidak dipersoalkan oleh Rasulullah. Ia
pun akhirnya tidak ikut berperang.
Murrah ibn Abi Rafi. Beliau punya kebun kurma yang banyak kebetulan saat itu
musim panen tiba. Kalau kurma tidak segera dipanen saat itu, maka akan gagal dan
merugi, kurma menjadi busuk. Maka tak apalah pikirnya, dia tidak terlibat dalam Perang
Tabuk. Akhirnya ia pun tidak jadi ikut ke Tabuk.
90
Dampak dari kelakuan itu adalah tidak diterimanya tobat tiga orang sahabat itu
selama hampir dua bulan. Mengenai penderitaan ini, Allah memuatnya dalam al-Quran
surat al-Taubah. Mereka tidak diajak bicara oleh Rasulullah selama 50 hari. Dan akhirnya
seluruh sahabat memboikot ketiga sahabat tadi. Rasulullah memerintahkan agar anak dan
istrinya ikut memboikot tiga sahabat tadi, tanpa kecuali.
Demikianlah ancaman Rasulullah terhadap orang yang tidak ikut jihad, meski
hanya satu kali. Bagaimana kalau meninggalkan jihadnya beberapa kali, seperti yang
terjadi pada orang-orang munafik. Sedemikian pentingnya jihad, hampir saja tiga ahli
Badar tersebut tergolong kelompok munafik, dikelurkan dari kemuliaannya sebagai
sahabat, jihadlah yang menjadi pembatas antara orang beriman dan orang munafik.
Dari paparan di atas menjadi jelas bahwa ciri esensial sahabat ada tiga aspek,
iman, hijrah dan jihad. Ketiadaan ciri-ciri ini, menegasikan gelar kesahabatan mereka.
Sebenarnya masih ada satu ciri lagi, tapi tidak mutlak, yaitu batas waktu. Batas itu
adalah futuh Makkah. “Tidak akan sama orang yang berjuang dan berinfak sebelum dan
sesudah futuh Makkah” (Q.S, 50: 10). Al-Qur’an pada dasarnya adalah kisah dua
makhluk, Rasulullah dan para sahabat. Kisah itu adalah sekitar perjuangan Nabi dan
sahabat dalam memperjuangkan agama ke seluruh alam. Kemudian kisah itu direkan
secara global dalam al-Qur’an. Jadi al-Qur’an adalah merupakan sirrah Nabi dan sahabat
sekaligus. Dan kisah perjuangan itu berakhir sampai dengan futuh Makkah. Maka setelah
futuh Makkah tidak ada lagi ayat yang menceritakan tentang kisah perjuangan Nabi dan
sahabat. Kecuali satu ayat pada Q.S. al-Maidah: 3. Atau menurut pendapat lain, al-Fath
yang jumlahnya hanya 4 ayat. Pada kedua ayat ini hanya menceritakan kesempurnaan
Islam dan tentang kemenangan perjuangan Nabi dan sahabat.
Maka otomatis orang-orang yang masuk Islam pada hari futuh Makkah, baik
secara sukrela atau pun terpaksa, tidak masuk dalam khitab sebagai sahabat. Betul
mereka--katakanlah--beriman, tapi mereka tidak pernah hijrah dan jihad, sebagaimana di
khitab dalam al-Qur’an. Maka secara substansi keislaman mereka diragukan. Kalau
masa-masa sulit saja banyak orang yang murtad dan munafik, bagaimana orang-orang
yang berislam tanpa perjuangan kecuali pengalaman berjuang memusuhi Rasulullah dan
Islam. Tentu akan banyak menimbulkan masalah kelak dikemudian hari. Dengan kata
lain kemurtadan dan kemunafikan akan jauh lebih banyak. Pertama, mereka tidak
91
berjuang bersama Rasulullah, karenanya tidak punya rasa memiliki kepada Islam. Kedua,
Rasulullah sebagai figur yang berwibawa dan otoritatif sudah tidak ada. Bisa
dibayangkan, tokoh-tokoh penting yang mungkin terpaksa masuk Islam antara lain Abu
Sufyan ibn Harb, yang cita-citanya menghancurkan Rasulullah dan Islam; Amru ibn
‘Ash. Masih saudara sesuku dengan Abu Sufyan, yakni suku Bani Umayah; dan Ikrimah
ibn Abu Jahal. Ia betul-betul terpaksa masuk Islam. Setelah dikejar-kejar oleh istrinya
sampai ke tepi laut. Oleh karena itu Ulama Sunni memasukkan orang seperti ini sebagai
sahabat generasi terakhir, yaitu generasi ke lima.
Belum lagi kasus Abdullah ibn Abi Sarah (Fuad Jabali, 2010: 49). Dia pernah
ikut perang Badar. Namun dalam pribadi dia ada ketidakikhlasan dalam keislamannya,
akhirnya murtad kembali. Kemudian dia kembali ke Makkah dan kerjanya merubah-
merubah al-Qur’an dan Hadits-hadits Rasulullah. Kemudian disebarkannya kepada kaum
Quraisy. Nasibnya sama dengan Amr ibn Ash dan Ikrimah, mereka divonis hukuman
mati oleh Rasulullah. Namun eksekusi itu terpaksa dibatalkan karena mereka merengek
kepada Utsman ibn ‘Affan. Akhirnya mereka menjadikan Utsman sebagai jaminan.
Mereka aman dibawah perlindungan Utsman. Dan Utsman punya kedekatan dengan Nabi
sebagai sahabat besar (akaabir al-shahabah). Untung saja kaum Sunni masih berbaik
hati, memasukan mereka dalam katagori sahabat yang mulia. Kalau tidak, bisa
dibayangkan. Sedangkan jumlah orang yang masuk Islam setelah futuh Makkah pasti
jumlahnya lebih banyak daripada sahabat yang telah hijrah ke Madinah. Belum lagi
dengan mereka yang masuk Islam dari Provinsi Thaif. Jadi secara faktual jumlah mu’allaf
setelah futuh Makkah jauh lebih berlimpah daripada sahabat. Oleh karena itu serentetan
fitnah sepeninggal Rasulullah bisa dilacak akar-akarnya dari masa ini.
Tapi secara teologis orang termulia itu bukan hanya sahabat, tapi ada juga yang
disebut orang-orang yang mengikuti jejak sahabat (wa man tabi’ahum bi ihsan ila yaum
al-diin). Demikian dalam Q.S. Al-Taubah: 100. Dengan kata lain yang disebut tabi’in
secara de jure adalah manusia-manusia yang yang mengikuti langkah sahabat. Apa
langkah-langkah sahabat itu? Pertama, iman. Setelah iman mereka diperintah untuk
memperkuat keimanannya, wahai orang-orang yang beriman, berimanlah! (yaa ayyuha
al-ladzina aamanu, aminu). Maka untuk mendapatkan iman sempurna mereka harus
jihad. Ini metode iman. Dan supaya iman tersebar ke seluruh alam mereka diwajibkan
92
oleh Rasul untuk berhijrah (QS. 2: 18, 8: 72, 8: 74 dan 8:75). Iman merupakan tujuan
hidup sahabat. Dakwah, jihad dan hijrah merupakan langkah-langkah untuk mencapai
tujuan itu.
Di samping hijrah ada juga konsep anshar (nushrah). Mengapa konsep nushrah
menjadi penting, karena jihad dan hijrah tak akan berjalan dengan baik tanpa kehadiran
orang-orang Anshar. Kerjasama antara muhajirin dan anshar itulah yang menjadikan
agama tersebar ke seluruh alam.
Bukti ini ada dalam sejarah. Untuk pertama kali Nabi dan sahabatnya hijrah ke
Habsyah, mereka menyambutnya dengan baik. Mereka menyediakan tempat saja, sedang
soal penyebaran agama, tidak tahu menahu, terserah. Dampaknya agama tidak tersebar.
Karena kerjasama yang kurang baik antara Anshar dan Muhajirin. Bukti kedua, ketika
Nabi bermaksud hijrah ke Bani Tsaqif, Thaif. Untuk kali ini sama sekali tidak ada
kerjasama. Hampir saja nyawa Nabi melayang, karena habis dikejar dan dilempari batu
hingga berlumuran darah. Hidayah tak mungkin tersebar.
Baru ketika ke Yatsrib Nabi dan sahabat mendapat sambutan. Mereka sanggup
membela Nabi dan Islam dengan diri dan harta. Bahkan dengan kematian sekalipun.
Bai’at al-Ridlwan menjadi saksi ketulusan orang-orang Madinah. Saking senangnya
Allah dengan perjanjian ini, hingga turunlah Q.S. Al-Fath (48): 18. Dengan kerja yang
baik ini, agama yang tadinya kecil tersebar ke seluruh dunia. Inilah bukti kerja sama yang
baik antara Anshar dan Muhajirin.
Inilah pola hijrah dan nushrah dalam memperjuangkan agama. Manusia yang
datang setelah sahabat, lalu mengambil pola pergerakan sahabat dalam perjuangan
agamanya, disebut tabi’in. Ketiga kelompok ini akan mendapat derajat tertinggi di sisi
Allah berupa keridhaan-Nya, radhiallahu ‘anhum wa radhuu ‘anh (Allah meridhai para
sahabat, dan mereka pun riha terhadap Allah). Tidak ada derajat paling tinggi kecuali
ridha Allah.
Penutup
Demikian ulasan tentang makna sahabat yang perlu pendefinisian ulang agar
betul-betul selektif. Sahabat sebagai transmitter bagi sabda dan sunnah Rasul bisa
93
menjadi rujukan otoritatif sebagai pelaku-pelaku utama dalam mengisi dan menjalankan
perannya sebagai pengikut-pengikut Nabi pada kurun yang terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Syari’ati, Muhammad SAW Khatim al-Nabiyyin min al-Hijrat Hatta al-Wafat,
terjemahan Afif Muhammad, Mizan, Bandung, 2010.
Al-Raji, Mafatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Saudi Arabia, tt.
Fu’ad Jabali, Sahabat Nabi; Siapa, Kemana dan Bagaimana, Mizan, Jakarta, 2010.
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim, Maktabah Syamilah, Saudi Arabia, 1989.
Imam Suyuthi dan Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Darul Fikr, Beirut, 1991.
Said Nusawi, As-Syi’ah Hum Ahlu Sunnah wal Jamaah, Mizan, Teheran, 1967.
Safiuddin Raifuri, Sirah Nabawiyyah, Syamil, Jakarta, 2007.
Syeikh Maulana Yusuf, Hayat al-Shahabah, terjemahan Ahmad Dusturi Jilid I dan II,
Pustaka Ramadhan, Bandung, 2007.
Syekih Zakariya, Kisah–kisah Para Sahabat, terjemahan Maulana Nanang, Pustaka
Ramadhan, Bandung, 2003).
Maulana Yusuf, Muntakhab Ahadits, terjemahan Ahmad Nurcholis Adab, Ashaf,
Yogyakarta, 2003.
Muhammad Haikal, Hayat Muhammad, terjemahan Ali Audah, Litera Antar Nusa,
Jakarta, 1994.
94