Hipertensi Sekunder
description
Transcript of Hipertensi Sekunder
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi hingga saat ini masih menjadi permasalahan utama di bidang kesehatan, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Menurut American Heart Association (AHA), sekitar 75 juta orang dewasa di Amerika Serikat mengalami hipertensi, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (TDS) 140 mm Hg atau lebih/tekanan darah diastolik (TDD) 90 mmHg atau lebih/telah meminum obat antihipertensi.[1] Berdasarkan rekomendasi dari JNC 8, klasifikasi tekanan darah normal untuk orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih adalah sistolik lebih rendah dari 120 mmHg, diastolik lebih rendah dari 80 mm Hg.[2]
Penyakit kardiovaskular secara global bertanggung jawab atas 17 juta kematian per tahun, yang merupakan hampir sepertiga dari total kematian secara global. Dari jumlah tersebut, 9,4 juta kematian diakibatankan oleh komplikasi dari hipertensi. Hipertensi bertanggung jawab untuk setidaknya 45% dari kematian akibat penyakit jantung dan 51% kematian akibat stroke. Pada tahun 2008 sekitar 40% dari orang dewasa berusia 25 atau lebih telah didiagnosis dengan hipertensi; jumlah orang dengan kondisi tersebut meningkat dari 600 juta pada tahun 1980 menjadi 1 miliar dalam 2008. Prevalensi hipertensi tertinggi di wilayah Afrika pada 46% dari orang dewasa berusia 25 atau lebih, sedangkan prevalensi terendah 35% ditemukan di Amerika. Secara keseluruhan, negara-negara berpendapatan tinggi memiliki prevalensi lebih rendah dengan 35% jika dibandingkan dengan kelompok lain 40%.[3]
Secara klinis dikenal dua jenis hipertensi yaitu hipertensi primer atau hipertensi esensial, yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder dengan penyebab diketahui. Pada anak, sebagian besar (>90%) hipertensi merupakan hipertensi sekunder yang diketahui penyebabnya, sedangkan pada orang dewasa sebagian besar (sekitar 90%) merupakan hipertensi primer, dan sisanya (10%) merupakan hipertensi sekunder yang penyebabnya diketahui.[4-6]
Setiap kali seorang pasien didiagnosis dengan hipertensi, salah satu tujuan dari penanganan awal adalah untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab sekunder. Walaupun pasien dengan hipertensi sekunder hanya sebagian kecil dari mereka dengan peningkatan tekanan darah, subkelompok ini tidak boleh diabaikan. Di antara sejumlah besar orang dengan hipertensi, akan sangat membantu untuk mengetahui apakah ada proses sekunder yang terjadi karena ini berpotensi dapat disembuhkan dengan terapi tertentu berdasarkan etiologi yang mendasari. Dalam banyak kasus, mengoreksi penyebab hipertensi sekunder dapat menyembuhkan, menghindari kebutuhan untuk terapi medis jangka panjang, meminimalisir risiko yang menyertainya dan dapat menghemat biaya.[6]
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Berdasarkan JNC 8 tekanan darah dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori seperti;
normal, prehipertensi, hipertensi stage 1 dan hipertensi stage 2. Prehipertensi bukan kategori
penyakit, itu adalah sebutan yang dipilih untuk mengidentifikasi individu yang berisiko tinggi
terkena hipertensi, sehingga pasien dan dokter lebih waspada terhadap risiko ini dan didorong
untuk mencegah atau menunda perkembangan penyakit.[2] Individu yang tergolong prehipertensi
bukan kandidat untuk terapi obat dan disarankan untuk memodifikasi gaya hidup untuk
mengurangi risiko mereka terserang hipertensi di masa depan. Individu dengan prehipertensi,
yang juga memiliki diabetes atau penyakit ginjal harus dipertimbangkan untuk mendapat terapi
obat yang sesuai jika modifikasi gaya hidup gagal untuk mengurangi tekanan darah hingga
dibawah 130/80 mmHg.[2]
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 8
Klasifikasi Tekanan Darah TDS TDD
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 atau ≥100
Diabetes adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan insulin yang
cukup, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Hal ini
menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (hiperglikemia).[7] Penegakan
diagnosis diabetes dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu : (1) Gejala klasik DM + Glukosa
2
sewaktu ≥200 gr/dL (2) Glukosa darah puasa ≥ 126 + Gejala klasik DM (3) Kadar gula plasma 2
jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL.[7]
Berdasarkan pedoman Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative (K/DOQI), definisi Penyakit
Ginjal Kronis (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga bulan atau lebih,
berdasarkan kelainan patologik atau pertanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada pemeriksaan
urinalisis, dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) ataupun tidak. Selain itu definisi ini
juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau LFG, seperti yang terlihat pada tabel 1.[8-10]
Tabel 2. Definisi PGK[8]
Kriteria
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi:
- kelainan patologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
Pada individu dengan PGK, klasifikasi ditentukan atas dua hal yaitu atas dasar derajat
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas
dasar LFG, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai LFG yang lebih rendah, yang
dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:[8]
LFG (ml/menit/1,73m2) =(140 – umur) x berat badan
*)72 x kreatinin plasma (mg/dL)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut tampak dalam tabel 3 berikut.
Tabel 3. Klasifikasi PGK atas Dasar Derajat Penyakit[8,10]
Derajat Penjelasan LFG
1
2
Kerusakan ginjal dengan LFG normal/↑
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan
≥ 90
60 – 89
3
3a
3b
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat
Gagal ginjal
45 – 59
30 – 44
15 – 29
< 15 atau dialisis
Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dibedakan menjadi penyakit ginjal
diabetes, non diabetes dan penyakit pada transplantasi. Klasifikasi tersebut tampak dalam
tabel 4 berikut.
Tabel 4. Klasifikasi PGK atas Dasar Diagnosis Etiologi[8-10]
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes
Penyakit ginjal non
diabetes
Penyakit pada
transplantasi
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasia)
Penyakit vaskular
(makroangiopati, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan
obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikistik)
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
Diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan penyakit
ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes melitus ini kemudian lebih dikenal
dengan nama Diabetic Kidney Disease (DKD) yang sesungguhnya merupakan komplikasi
mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus.[7]
4
Komplikasi ini dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dengan ekskresi protein pada urin yang berlanjut dengan penurunan fungsi ginjal.
Proteinuria pada umumnya ditemukan dalam perjalanan penyakit ginjal progresif, peran
proteinuria khususnya mikroalbuminuria sebagai petanda awal nefropati diabetik. Disebut
sebagai faktor kunci awal yang meramalkan progresivitas dari glomerulopati diabetik dan
dipandang sebagai ukuran keparahan dan pemicu terjadinya nefropati yang progresif. Pada
sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan
pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. DKD menduduki urutan ketiga (16,1%) setelah
glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefritis kronik (18,51%), sebagai penyebab paling
sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah. Perkembangan penyakit DM menjadi
penyakit ginjal stadium akhir diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terlibat, antara lain :
faktor genetik, diet, dan kondisi medis yang lain seperti hipertensi serta kadar gula darah yang
tinggi dan tidak terkontrol.[7]
2.2 Epidemiologi
Diabetes mellitus dan hipertensi adalah gangguan kronis umum yang sering muncul secara
berdampingan. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas kardiovaskular dan hipertensi yang mempercepat morbiditas dan mortalitas nyata pada
pasien tersebut. Kejadian kardiovaskular lebih dari dua kali lebih mungkin pada pasien dengan
diabetes dan hipertensi dibandingkan pasien dengan salah satu penyakit saja. Prevalensi
hipertensi pada pasien diabetes adalah sekitar dua kali lipat dari non diabetes.[11,12]
Insiden diabetes mellitus meningkat pesat dan akan segera mempengaruhi 300 juta orang di
seluruh dunia sementara lebih dari setengah dari mereka akan mengalami hipertensi. Diabetes
mellitus adalah penyebab paling umum dari penyakit ginjal tahap akhir di Barat. Laporan
terakhir dari Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa hampir dua pertiga dari populasi dewasa
dengan diabetes menggunakan terapi antihipertensi atau memiliki tekanan darah> 130/80 mmHg.[11,12] Estimasi 12 sampai 14 juta penderita DM di AS diperoleh bahwa 30% sampai 40%
penderita DM tipe I akan mengalami komplikasi menjadi gagal ginjal terminal sedangkan pada
penderita DM tipe II hanya sekitar 5-10% yang berkembang menjadi gagal ginjal terminal.[7]
5
2.3 Patofisiologi
Diabetes dan Hipertensi
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa hipertensi dan diabetes tipe 2 tampaknya terkait
secara klinis sebagai sindrom yang melibatkan juga kondisi lain seperti dislipidemia, obesitas
sentral, hyperuricemia dan mempercepat aterosklerosis. Sindrom ini telah digambarkan sebagai
sindrom resistensi insulin, sindrom metabolik atau "sindrom X". Walaupun penjelasan yang
mendasari gambaran klinis tetap tidak terjelaskan, resistensi insulin tampaknya memainkan
peran penting.[11]
Resistensi insulin adalah gangguan metabolisme, dimanifestasikan dengan penurunan
pemanfaatan glukosa di otot rangka perifer. Hasil gangguan ini adalah semakin banyak insulin
yang diperlukan untuk mencapai normoglycemia. Pada pasien dengan hipertensi esensial yang
tidak diobati, kadar insulin puasa dan postprandial lebih tinggi daripada kelompok kontrol
normotensif, terlepas dari indeks massa tubuh, dengan korelasi langsung antara konsentrasi
insulin plasma dan tingkat tekanan darah. Sebuah kecenderungan genetik untuk resistensi insulin
dan hipertensi hadir pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2.[11,12]
Sebuah kecenderungan genetik untuk resistensi insulin dan hipertensi hadir pada pasien dengan
diabetes mellitus tipe 2. Selain predisposisi genetik, resistensi insulin / hiperinsulinemia yang
dicurigai dalam perkembangann hipertensi melalui kelainan pada signaling insulin,
kardiovaskular terkait dan gangguan metabolik. Ini akan mencakup pertukaran ion membran sel,
aktivitas sistem simpatis dan peningkatan system renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) serta
menekan aktivitas atrial natriuretic peptide, retensi natrium dengan ekspansi volume konsekuen,
penyakit ginjal progresif, hiperaktif jantung, hipertrofi ventrikel kiri, dislipidemia, hiperglikemia
kronis dan peningkatan stres oksidatif.[11]
Hiperinsulinemia memberikan kontribusi dalam peningkatan tekanan darah melalui mekanisme
resistensi insulin yang terjadi pada DM tipe 2. Randeree et al. studi pada 80 pasien dengan DM
tipe 2 yang memulai pengobatan dengan insulin eksogen menunjukkan peningkatan tekanan
darah mereka dari 132/81 mmHg menjadi 149/89 mmHg. Respon hipertensi ini, meskipun tidak
dilaporkan dalam semua studi klinis, kemungkinan besar dimediasi oleh kenaikan berat badan
yang dikombinasikan dengan efek pro-hipertensi insulin. Hiperinsulinemia memiliki hubungan
6
dengan tekanan darah dan kelebihan berat badan pada pasien dengan atau tanpa DM diakibatkan
karena meningkatnya aktivitas simpatis dan retensi natrium di ginjal.[11,12]
Retensi natrium dan air diinduksi oleh insulin, sedangkan peningkatan filtrasi glukosa
disebabkan oleh hiperglikemia. Kelebihan glukosa akan diserap di tubulus proksimal melalui
natrium-glukosa co-transport, yang bersamaan menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium.
Reabsorpsi natrium meningkatkan tekanan darah, yang dapat dicegah dan diatur oleh diet bebas
garam. Pasien dengan DM biasanya mengalami kekakuan arteri yang berkembang karena
meningkatnya glikasi protein dan berakibat pada arteriosclerosis. Penurunan elastisitas arteri
pada pasien dengan intoleransi glukosa atau DM berkontribusi untuk peningkatan tekanan
sistolik sebagai faktor risiko kematian independen.[11-13]
Peran hiperinsulinemia dalam patogenesis hipertensi arteri masih diperdebatkan. Sebagai contoh,
pasien dengan insulinoma tampaknya tidak mengalami peningkatan tekanan darah arteri. Dalam
keadaan resisten insulin ada penghambatan beberapa jalur sinyal insulin, sehingga memberikan
kontribusi untuk vasokonstriksi. Resistensi insulin sering hadir pada orang dengan kadar glukosa
puasa terganggu dan merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung bahkan tanpa adanya
hiperglikemia signifikan.[11]
Diabetic Nefrophaty
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan pasti. Pengaruh
genetik, lingkungan, faktor metabolik dan hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria.
Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses
hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan pada diabetic
nefrophaty memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial
glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen dan eferen serta
fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut.
Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi
genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati.[14]
Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah dan hipertensi pada
pasien dengan diabetes dan nefropati. Penyebab utama hipertensi pada kedua DM1 dan DM2
termasuk ekspansi volume karena peningkatan reabsorpsi natrium ginjal dan vasokonstriksi
7
perifer karena disregulasi faktor yang mengatur resistensi pembuluh darah perifer. Aktivasi
RAAS, upregulation endothelin 1 (ET-1), upregulation spesies oksigen reaktif, dan
downrwgulation oksida nitrat (NO) berkontribusi untuk menghasilkan hipertensi.[15]
Renin-Angiotensin-Aldosterone System
Angiotensin II (Ang II) bertanggung jawab untuk banyak aktivitas dari RAAS. Ang II
mengikat angiotensin tipe 1 (AT1) reseptor di banyak jaringan menyebabkan vasokonstriksi
dalam sel otot polos pembuluh darah, peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus
proksimal ginjal, dan stimulasi pelepasan aldosteron dari korteks adrenal. Meskipun tingkat
aktivitas renin plasma (PRA) ditekan atau serupa pada penderita diabetes dibandingkan
dengan kontrol, ada bukti bahwa aktivitas RAAS intrarenal meningkat pada diabetes.[15]
Sodium Balance
Keseimbangan natrium juga memainkan peran besar dalam hipertensi terlihat pada penderita
diabetes dengan penyakit ginjal. Pasien dengan diabetes mengalami peningkatan jumlah
natrium tubuh bahkan tanpa adanya peningkatan aktivitas RAAS sistemik. Pada awal
diabetes, peningkatan aktivitas RAAS yang terjadi memungkinkan peningkatan independen
reabsorpsi natrium. Ini merupakan respon terhadap efek diuretik osmotik hiperglikemia
tubular. Insulin juga dikatakan mengurangi ekskresi natrium pada ginjal secara independen
dengan kadar glukosa serum. Semakin menurunnya GFR, kemampuan ginjal untuk
mengeluarkan sodium dan air berkurang lebih lanjut. Paparan terus menerus sodium juga
dapat menyebabkan perubahan dalam sel otot polos pembuluh darah yang memungkinkan
hipertensi untuk bertahan.[15]
Sympathetic Nervous System Activity
Peningkatan aktivitas SNS merupakan mekanisme penting yang berkontribusi pada
patogenesis hipertensi pada pasien dengan nefropati diabetes. Misalnya, peningkatan
tekanan darah nokturnal yang mendahului mikroalbuminuria diyakini sebagai manifestasi
dari neuropati otonom, komplikasi mikrovaskuler lain yang terkait dengan hiperglikemia.
Pola aktivitas adrenergik berkelanjutan berhubungan dengan tekanan darah tinggi nokturnal
juga terjadi pada pasien dengan DM2 dan nefropati. Pola denyut jantung nocturnal abnormal
pada individu non-diabetes dengan hiperinsulinemia, menunjukkan resistensi insulin sebagai
kemungkinan adanya hubungan antara aktivasi SNS dan hipertensi.[15]
8
Endothelial Cell Dysfunction
Disfungsi sel endotel melibatkan ketidakseimbangan dalam produksi atau fungsi
vasokonstriktor endogen dan vasodilator. Sel endotel mengandung nitric oxide synthase
(NOS), yang menghasilkan NO dari L-arginine. NO menginduksi sel otot polos pembuluh
darah relaksasi dan vasodilatasi. ET-1 juga dilepaskan dari endothelium, dan menginduksi
vasokonstriksi dengan mengikat reseptor endotelin A di sel otot polos pembuluh darah. ET-1
adalah vasokonstriktor kuat yang diproduksi di endotel pembuluh darah yang menyebabkan
vasokonstriksi setelah mengikat reseptor ETA di sel otot polos pembuluh darah. Insulin
dapat meningkatkan produksi endotel dari kedua NO dan ET-1 melalui jalur terpisah.
Resistensi insulin di DM2 menghasilkan peningkatan selektif dalam ET-1, tetapi menurun
produksi NO. Kehadiran dimethylarginine asimetris (ADMA), inhibitor kompetitif produksi
NO, mengurangi jumlah NO yang tersedia untuk menyebabkan vasodilatasi. Peningkatan
kadar ADMA sering terlihat pada pasien dengan DM2, pasien dengan CKD, dan orang-
orang dengan ESRD.[15]
Autoregulatory Impairment
Pada ginjal yang sehat, fungsi autoregulatory dari arteriol aferen melalui refleks myogenic
dan aparat juxtaglomerular melalui reaksi umpan balik tubuloglomerular berfungsi untuk
menjaga tekanan glomerulus konstan meskipun variasi tekanan darah sistemik. Ketika
mekanisme ini terganggu, seperti dalam nefropati diabetes, tekanan darah sistemik
meningkat secara langsung ditransmisikan ke microvasculature ginjal dan glomeruli.
Konsekuensi utama adalah hipertensi glomerulus dan aktivasi mediator lokal yang
menyebabkan peradangan, fibrosis, dan cedera.[15]
2.4 Diagnosis
Pada penilaian klinis dan investigasi pada pasien diabetes yang baru didiagnosis hipertensi,
beberapa poin penting yang harus dipertimbangkan. Jenis dan durasi diabetes, terapi diabetes,
riwayat keluarga hipertensi, dan adanya komplikasi mikrovaskuler atau makrovaskuler.
Penekanan harus ditempatkan pada penilaian risiko kardiovaskular secara keseluruhan, faktor
penyebab (obesitas, konsumsi alkohol), dan penyebab sekunder hipertensi (aldosteronisme
primer, sindrom Cushing, pheochromocytoma, acromegaly, hiperparatiroidisme, thyreotoxicosis,
penyakit renovaskular). Pemeriksaan fisik meliputi indeks massa tubuh dan rasio pinggang
9
pinggul. Hemoglobin glikosilasi, profil lipid, ekskresi albumin urin, kreatinin dan elektrolit
serum harus ditentukan, dan hormon lain (katekolamin, hormon pertumbuhan, hormon tiroid)
jika perlu. Dianjurkan untuk rutin melakukan radiografi dada dan elektrokardiografi,
oftalmoskopi, neurologis dan pemeriksaan arteri perifer. Perhatian khusus harus diambil ketika
mengukur tekanan darah. Diagnosis harus didasarkan pada tiga atau lebih pengukuran yang
terpisah, yang harus akurat dilakukan setelah 5 menit istirahat.[6,16]
Pengukuran tekanan darah rawat jalan non-invasif semakin banyak digunakan pada pasien
diabetes karena memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sphygmomanometer standar.
Mengukur tekanan darah selama aktivitas normal sehari-hari dan periode tidur, dan biasanya
rata-rata lebih dari 20 pengukuran untuk mendapatkan status tekanan darah. Pengukuran tekanan
darah rawat jalan non-invasif lebih erat kaitannya dengan berbagai kerusakan organ target
dibandingkan dengan pengukuran klinis. Kerusakan organ target termasuk hipertrofi ventrikel
kiri, mikroalbuminuria, infark serebral, dan kelainan pembuluh retina.[6,16]
2.5 Penatalaksanaan
Modifikasi Gaya Hidup
Berdasarkan The Seventh Report of the Joint National Committee of Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) rekomendasi untuk menurunkan
tekanan darah dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular termasuk berikut ini, dengan hasil
yang lebih besar dicapai bila 2 atau lebih modifikasi gaya hidup digabungkan:[17]
Penurunan berat badan membantu untuk mencegah hipertensi (kisaran perkiraan
penurunan TDS, 5-20 mm Hg per 10 kg); rekomendasi termasuk diet DASH (Dietary
Approaches to Stop Hypertension) (kisaran perkiraan pengurangan tekanan Sistolik, 8-14
mm Hg) yang kaya buah-buahan dan sayuran serta mendorong penggunaan susu bebas
lemak atau rendah lemak dan produk susu
Batasi asupan alkohol tidak lebih dari 1 oz (30 ml) etanol per hari untuk pria atau 0,5 oz
(15 ml) etanol per hari untuk wanita dan orang dengan berat badan lebih ringan (kisaran
perkiraan pengurangan TDS, 2-4 mm Hg)
Kurangi asupan natrium tidak lebih dari 100 mmol/hari (2,4g sodium atau 6g sodium
klorida, kisaran perkiraan pengurangan TDS, 2-8 mm Hg)
10
Menjaga asupan kalium (sekitar 90 mmol/hari)
Menjaga asupan kalsium dan magnesium untuk kesehatan umum
Berhenti merokok dan mengurangi asupan makanan lemak jenuh dan kolesterol untuk
kesehatan jantung secara keseluruhan
Terlibat dalam latihan aerobik minimal 30 menit setiap hari (kisaran perkiraan
pengurangan TDS, 4-9 mm Hg)
Pharmacotheraphy
Untuk pasien berusia 18 tahun atau lebih tua dengan diabetes, the 2013 Eighth Report of the
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure (JNC 8) merekomendasikan memulai pengobatan pada tekanan darah sistolik 140 mm
Hg atau lebih atau pada diastolik 90 mm mmHg atau lebih, dan kemudian mengobati tekanan
darah hingga di bawah 140/90 mmHg. The JNC 8 and the 2011 American Diabetes Association
(ADA) merekomendasikan kontrol tekanan darah pada individu diabetes dengan 130/180 mmHg
atau lebih rendah, terutama untuk mencegah atau menurunkan risiko perkembangan dari
nefropati diabetik hingga penyakit ginjal stadium akhir.[2]
Secara umum, pasien dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan hipertensi menunjukkan perbaikan
klinis dengan diuretik, ACE inhibitor, beta-blocker, ARB, dan antagonis kalsium. Kebanyakan
penelitian, telah menunjukkan keunggulan inhibitor ACE atau ARB dibandingkan dengan
antagonis kalsium pada pasien diabetes. Dua atau lebih obat antihipertensi pada dosis maksimal
harus digunakan untuk mencapai target tekanan darah optimal pada pasien dengan diabetes dan
hipertensi.[17] ACE inhibitor atau ARB biasanya diperlukan pada pasien dengan diabetes dan
hipertensi. Jika pasien tidak bisa mentolerir satu kelas obat, dapat diganti dengan obat kelas lain.
Jika diperlukan untuk mencapai tekanan darah target, thiazide diuretik diindikasikan untuk
pasien dengan perkiraan GFR sebesar 30 mL/min/1.73 m2 atau lebih, dan loop diuretik
diindikasikan untuk orang-orang dengan perkiraan GFR kurang dari 30 mL / menit / 1,73 m2.
Terlepas dari obat antihipertensi yang digunakan, fungsi ginjal dan kadar kalium serum harus
dipantau.[18]
11
Tabel 5. Strategi untuk Dosis Obat Anti Hipertensi[2]
Strategi Keterangan Detail
A Mulai satu obat,
titrasi dengan dosis
maksimum, dan
kemudian
menambahkan obat
kedua
Jika TD target tidak dicapai dengan obat awal, titrasi dosis obat awal
sampai maksimum dosis yang dianjurkan untuk mencapai TD target
Jika TD target tidak tercapai dengan penggunaan satu obat meskipun
dengan titrasi maksimum dosis yang dianjurkan, tambahkan obat
kedua (diuretic tipe thiazide, CCB, ACEI, atau ARB) dan titrasi
sampai dosis maksimum yang dianjurkan dari obat kedua untuk
mencapai TD target
Jika TD target tidak dicapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga (diuretic
tipe thiazide, CCB, ACEI, atau ARB), hindari penggunaan kombinasi
ACEI dan ARB. Titrasi obat ketiga sampai dosis maksimum yang
dianjurkan untuk mencapai TD target
B Mulai satu obat dan
kemudian
menambahkan obat
kedua sebelum obat
awal mencapai dosis
maksimal
Mulailah dengan satu obat kemudian menambahkan obat kedua
sebelum obat awal mencapai dosis maksimum yang dianjurkan,
kemudian titrasi kedua obat sampai maksimum dosis yang dianjurkan
untuk mencapai TD target
Jika TD target tidak dicapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga diuretic
tipe thiazide, CCB, ACEI, atau ARB), hindari penggunaan kombinasi
ACEI dan ARB. Titrasi obat ketiga sampai dosis maksimum yang
dianjurkan untuk mencapai TD target
C Mulailah dengan 2
obat secara
bersamaan, baik
sebagai 2 pil yang
terpisah atau sebagai
kombinasi pil
tunggal
Memulai terapi dengan 2 obat secara bersamaan, baik sebagai obat 2
yang terpisah atau sebagai kombinasi pil tunggal.
Terapi dimulai dengan ≥ 2 obat ketika TDS> 160 mmHg dan / atau
TDD> 100 mmHg, atau jika TDS> 20 mmHg di atas target dan / atau
TDD> 10 mmHg di atas target.
Jika TD target tidak dicapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga (diuretic
tipe thiazide, CCB, ACEI, atau ARB), menghindari penggunaan
kombinasi ACEI dan ARB.
Titrasi obat ketiga samapai mencapai dosis maksimum yang
dianjurkan.
12
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : KYS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 54 tahun
Alamat : Jl. Akasia No. 13 Denpasar
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pekerjaan : Polisi
Pendidikan Terakhir : Sarjana
Status : Menikah
Tanggal Rawat Inap : 12 Juni 2014
Tanggal Pemeriksaan : 22 Juni 2014
ANAMNESIS
Keluhan utama : Lemas dan mual-mual
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah pada tanggal 12 Juni 2014 dengan keluhan lemas dan
mual yang dirasakan sejak beberapa hari belakangan. Lemas dan mual ini dirasakan seperti
tidak memiliki cukup tenaga untuk beraktivitas dan merasa enek ketika melihat makanan,
sehingga ia tidak nafsu makan. Lemas tidak membaik dengan istirahat, dan ini menyebabkan
pasien terbatas untuk beraktivitas sehari-hari. Pasien mengatakan sudah semenjak 1 bulan
yang lalu keluhan ini dirasakan, dan beberapa hari belakangan ini semakin memberat hingga
pasien tidak makan dan sulit beraktivitas. Pasien mengatakan beberapa minggu lalu sempat
panas, namun panasnya mau turun setelah minum obat penurun panas. Pasien mengatakan
kedua kakinya terasa lemas sehingga sulit digerakkan. Kedua kakinya juga terlihat
membengkak. Selain itu pasien mengatakan kelenjar di leher kirinya dan kedua ketiaknya
membengkak semenjak 2 minggu yang lalu. Pasien juga mengatakn dia sering kesemutan
14
pada kaki dan tangannya, dan pasien juga mengalami penurunan BB beberapa bulan
belakangan. BB awal pasien yaitu 108 Kg dan kini menjadi sekitar 70 Kg. Riwayat batuk ,
muntah darah/hitam, BAB darah/hitam, sesak nafas disangkal pasien. BAB dikatakan 1-2x
sehari, sedangkan BAK sedikit yaitu sekitar ¼ gelas perhari. Ini adalah hari ke-10nya dirawat
di RS dan keluhan yang dirasakan sudah lumayan membaik, meskipun lemas dan
kesemutannya masih dirasakan.
Riwayat Penyakit dan Pengobatan Sebelumnya
Pasien mengatakan sekitar 6 tahun yang lalu pernah terdiagnosis TB. Pasien dirawat di RS di
Kupang dan memperoleh pengobatan dengan 3 obat selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh
total oleh dokter. Sekitar 2 tahun kemudian, atau sekitar 4 tahun yang lalu pasien terdiagnosis
DM dan memperoleh pengobatan dengan 1 obat, yaitu Glinex yamg dikonsumsikan 3x
sehari. Pasien mengatakan dia juga minum obat-obatan tradisional yang digunakan untuk
mengobatan DMnya. Obat tradisional tersebut berupa air akar dan obat pil yang dikonsumsi
masing-masing 3x sehari bersama obat oral DM. Pasien mengatakan jarang kontrol ke dokter
dan ketika cek gula darah terdeteksi gula darah puasa pasien mencapai 170 dan pernah juga
gula darah acaknya mencapai 300. Pasien mengatakan jauh sebelum diagnosis diabetes
militusnya ditegakkan, pasien memiliki nafsu makan yang tak terkontrol, sering minum air
karena merasa cepat haus, dan menyebabkan pasien sering bung air kecil. Setelah beberapa
tahun mengidap DM, pasien dikatakan mengidap tekanan darah tinggi. Pasien mengatakan
sebelum-sebelumnya tekanan darahnya normal, namun setelah itu hingga kini tekanan
darahnya terus dikatakan tinggi.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan ibunya saat ini sedang mengidap DM. Riwayat penyakit jantung,
penyakit ginjal, hipertensi pada keluarga disangkal.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien adalah seorang polisi dan seorang pengusaha yang memiliki beberapa usaha. Pasien
mengatakan dulu merupakan seorang peminum-minuman beralkohol. Pasien juga dulunya
adalah seorang perokok berat, dimana perhari pasien bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok.
Pasien juga dulunya sangat menyukai makan-makanan daging, terutama daging babi, dan
15
juga suka minum-minuman yang manis. Pasien mengatakan sering minum teh manis,
ataupun minum-minuman manis lainnya dengan gelas besar yang khusus ia beli untuk
minum-minuman manis kesukaannya tersebut. Namun kini setelah pasien terdiagnosis DM,
pasien mengatakan menyesal dengan pola hidupnya dulu, sehingga kini ia mulai tidak minum
alcohol, merokok, mengurangi makan daging dan minum minuman yang manis.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (GCS : E4V5M6 )
VAS : 0/10
Tekanan darah : 170/100 mmHg
Nadi : 90 x/ menit
RR : 20 x/mnt
Suhu badan : 36,5º C
Tinggi badan : 164 cm
Berat badan : 70 kg
BMI : 25,9 kg/m2
Status general :
Mata : Anemis +/+ , ikterus -/- , refleks pupil +/+ isokor
THT
Telinga : bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ataupun bekas
luka
Hidung : bentuk normal, tanda-tanda radang (-), ekskoriasi (-)
Tenggorokan : pembesaran tonsil (-)
Lidah : atropi papil lidah (-)
Leher : JVP PR + 0 cmH2O
Pembesaran Kelenjar parotid sinistra (+)
Thorax : Simetris (+), retraksi abnormal (-)
Cor
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V MCL (S), kuat angkat (-)
16
Perkusi : Batas atas jantung ICS II
Batas kanan jantung PSL (D)
Batas kiri jantung MCL (S)
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris sinistra dextra (statis dan dinamis)
Palpasi : Vocal fremitus N N
N N
N N
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi : Vesikuler + +, Rhonchi - - Wheezing - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-),
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-/-),
Hati : tidak teraba
Limfa : tidak teraba
Perkusi : timpani (+),
Ascites (-)
Ekstremitas:
akral hangat + + Edema - -
+ + + +
Pembengkakan + abses kelenjar limfa axilla dextra dan sinistra (+)
17
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urine Lengkap
Parameter Hasil Nilai Rujukan Remarks
pH 5 7,35-7,45 Low
Leukosit Negatif Negatif
Nitrat Negatif Negatif
Protein 500 (4+) Negatif High
Glukosa 300 (++++) Normal High
KET Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Bilirubin Negatif Negatif
ERY 25 (++) Negatif High
Warna Kuning Kuning
Sedimen Urin
Leukosit 4-5 <6
Eritrosit 4-5 <3
-Silinder Granula
cast +
Candida -
Sel Epitel
Gepeng 0-1
18
Bulat
Kristal
Lain-lain Bakteri +
Kimia Darah (16-6-2014)
Kimia Klinik Hasil Nilai Normal Remark
BUN 111,13 8,0-23,0 Tinggi
Creatinin 13,55 0,7-1,2 Tinggi
Uric Acid 9,33 2,0-7,0 Tinggi
Kalsium 4,24 8,4-9,7 Rendah
Phospor
Anorganik
10,22 2,7-4,5 Tinggi
Analisa Gas Darah
pH 7,24 7,35-7,45 Rendah
pCO2 25 35,0-45,0 Rendah
pO2 127 80-100 Tinggi
BEecf -16,7 -2 – 2
HCO3- 10,7 22,0-26,0 Rendah
S02c 98 95%-100%
TCO2 11,5 24,0-30,0 Rendah
19
Darah Lengkap (12-6-2014)
20
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks
WBC 15,02 103µL 4,1-11 Rendah
% NEUT 78,4 % 47,0-80,0
% LYMPH 10,6 % 13-40,0
% MONO 3,2 % 2,0-11,0
% EOS 7,1 % 0,0-5,00 Tinggi
% BASO 0,1 % 0,0-2,0
%LUC 0,6 % 0,0-4,0
Ne# 11,81 103µL 2,5-7,5 Tinggi
Ly# 1,6 103µL 1,0-4,0
MO# 0,48 103µL 0,1-0,6
EOS# 1,08 103µL 0,0-0,4 Tinggi
BASO# 0,01 103µL 0,0-0,1
RBC 3,01 106µL 4,5 – 5,9 Rendah
Hemoglobin 8,4 g/dL 13,2-17,3 Rendah
Hematokrit 23,6 % 40,0-52,0 Rendah
Platelet 243 103µL 150,0-400,0
MCV 78,3 Fl 80,0-100,0 Rendah
MCH 28 Pg 27,0-32,0
MCHC 35,7 g/dL 31,0-36,0
RDW 13,8 % 12,0-14,8
Radiologi BOF
Interpretasi BOF AP
1. Tak tampak bayangan radiopaque disepanjang traktus urinarius
2. Kontur ginjal kanan tak tampak jelas, kiri normal
3. Psoas line kanan kiri simetris
4. Distribusi gas usus normal bercampr fecal material
5. Bayangan hepar dan lien tak tampak membesar
6. Tampak ostheophyte VL 1-5, pedicle dan spatium intervertebralis baik
7. Tampak ostheophyte pada acetabulum kanan kiri
Kesan :
Tak tampak batu opaque disepanjang traktus uranirius
Spondylosis lumbalis
Ostheoarthritis hip bilateral
21
Foto Torax
Interpretasi :
Cor : Besar dan bentuk kesan normal
Pulmo : tampak fibroinfiltrat isuprahillar kanan
Sinus pleura kanan kiri tajam
Diafragma kanan kiri normal
Tulang-tulang : tidak tampak kelainan
Kesan : TB Paru
22
USG Urologi
Interpretasi
1. Ginjal kanan ukuran normal , echocortex meningkat, batas sinus cortex tak tampak jelas,
pelviocalyceal system melebar ringan, tak tampak batu/massa, tampak lesi kistik dipole
bawah ukuran + 1,69x1,52 cm
2. Ginjal kiri : terisi urine cukup, didinding buli tampak menebal, tak tampak batu/massa
3. Prostat : ukuran normal tak membesar, parenchym normal, tak tampak kalsifikasi
4. Tak tampak echocairan bebas pada cavum abdomen dan pelvis kanan kiri
Kesan :
1. Kista ginjal bilateral
2. Nefritis bilateral
3. Cystitis
V. DIAGNOSIS & DIAGNOSIS BANDING
1. CKD Stage V ec DKD
Anemia ringan
HT stage 2
Asidosis Metabolik
Parotid gland enlargement dan abses Axilary gland D/S
Hyperuricemia
2. DM tipe 2
3. Old Lung TB
VI. PENATALAKSANAAN
a. Terapi
IFVD NaCl 0,9% 8tpm
Diet tinggi kalori 35 kkal/kgBB/hari + rendah protein 0,8 gram protein/kgBB/hari
Captopril 2x12,5mg
Amlodipine 1x5g
CaCO3 3x1 tablet
Asam folat 2x2 tab
Cefoperazine 2x1 gr IV
23
Metronidazole 3x500mg IV
Actrapid 3x4 unit SC 15 menit sebelum makan
Hemodialisa Elektif
b. Planing diagnosis
Kontrol darah rutin, elektrolit, dan kimia darah pasca hemodialisa
Konsul bedah drainage pus
c. monitoring
Vital Sign, Keluhan
CMCK
Glukosa darah
Lab post HD
24
BAB IV
PEMBAHASAN
TEORI KASUS
1. Hipertensi sekunder muncul disebabkan oleh
adanya penyakit yang mendasari yang
menyebabkan tingginya tekanan darah. Renal
disease dan diabetes militus related hypertension
adalah penyebab tersering dari hipertensi sekunder
1. Pada pasien : ditemukan penyakit
diabetes yang tidak terkontrol yang
dicurigai menyebabkan adanya diabetic
kidney disease yang kemudian
menyebabkan mengalami progresivitas
sampai menyebabkan kerusakan ginjal
tahap akhir, yaitu CKD stadium 5.
2. Klasifikasi hipertensi
Normal : S < 120 dan D < 80
Prehipertensi : S 120-139 atau D 80-89
Hipertensi stage I : S 140-159 atau D 90-99
Hipertensi stage II : S ≥160 atau D ≥100
2. Pasien mengalami hipertensi stage II
dengan TD 170/100.
3. Prinsip managemen pasien dengan hipertensi yaitu :
Pre hipertensi : lifestyle modification
Hipertensi stg I : 1 obat + lifestyle modification
Hipertensi II : kombinasi 2 obat + lifestyle modification
3. Pasien terdiagnosa hipetensi stage II
dan mendapatkan kombinasi 2 obat
antihipertensi, yaitu captopril dan
amlodipine.
4. DM berdasarkan etiologi diklasifikasikan
menjadi DM tipe I dan DM tipe II. DM tipe I
disebabkan oleh defisiensi absolut insulin yang
diakibatkan gangguan sekresi insulin oleh pancreas.
DM ini dialami individu dengan onset muda.
4. Pasien terdiagnosa DM tipe 2 sejak 4
tahun yang lalu, saat pasien berusia 50
tahun.
25
Sedangkan DM tipe II disebabkan defisiensi relative
insulin, dimana terdapat kerusakan reseptor insulin,
sehingga terjadi keadaan insulin resisten. Onset
pasien yaitu onset usia dewasa sampai usia lanjut.
5. Penegakan diagnosis diabetes dapat dilakukan
dengan 3 metode, yaitu : (1) Gejala klasik DM +
Glukosa sewaktu ≥200 gr/dL (2) Glukosa darah
puasa ≥ 126 + Gejala klasik DM (3) Kadar gula
plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL. Gejala
klasik DM yaitu : poliuria, polidipsi, polifagi, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
5. Pasien memiliki riwayat banyak
makan karna sering merasa lapar,
banyak minum dan sering kencing.
Glukosa darah acak pasien pernah
terukur 300 dan gula darah puasa pasien
terukur 170.
6. Faktor resiko DM yaitu riwayat keluarga yang
mengidap DM, tingkat asupan nutrisi yang
berlebihan, obesitas, alcohol, merokok.
6. Pasien adalah seorang yang gemuk,
sering makan dalam porsi yang berlebih,
suka makan daging dan makanan yang
manis serta minum minuman yang
manis, seorang perokok, peminum
alcohol, dan memiliki riwayat keluarga,
yaitu ibunya yang terkena DM.
7. Prinsip managemen dan terapi diabetes adalah
pola gaya hidup sehat, mono terapi oral anti
diabetes, kombinasi 2 obat oral antidiabetes, 1
insulin basal dengan 2 obat oral antidiabetes, 1
insulin basal + 2 insulin prandial, dan 1 insulin
basal + 3 insulin prandial. Evaluasi dilakukan setiap
2-3 bulan, dan dikatakan gagal jika tidak mencapai
goal HbA1C <7% atau goal kadar glukosa darah
rata-rata 2x pengukuran. Penting ditekankan
pemriksaan gula darah mandiri rutin dan kontrol
7. Pasien mendapatkan penanganan
monoterapi glimex 3x sehari. Pasien
jarang megecek gula darahnya dan
mengontrolkan dirinya ke dokter. Gula
darah pasien pernah terdeteksi gula
darah puasa 170 gr/dL dan gula darah
acak 300 gr/dL.
26
rutin ke RS.
8. Komplikasi DM secara umum dibagi menjadi 2,
yaitu akut dan kronik. Komplikasi kronik dibagi
menjadi 2, yaitu mikrovaskuler dan makrovaskuler.
Mikrovakuler terdiri dari eye disease, neuropathy,
nephropathy. Sedangkan makrovaskuler terdiri dari
coronary heart disease, perihepral arterial disease,
dan cerebrovaskular disease.
8. Pada pasien di temukan gejala kerusakan ginjal/yang ditandai dengan kadar BUN SC yang tinggi, proteinuria dan glukosuria yang tinggi. Kadar GFR < 15 (6,1) disertai kerusakan struktur ginjal selama > 3bulan mengindikasikan pasien telah mengalami gagal ginjal tahap akhir (CKD stage V).
9. Kriteria diagnosis CKD :
a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan,
berupa kelainan struktural atau fungsional dengan
atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi:
- kelainan patologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk
kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
b. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Trias pada CKD : Anemia, Hipertensi, azotemia..
9. Pada pasien ditemukan adanya tanda
kerusakan ginjal yang dapat dilihat dari
hasil kimia darah dimana terjadi
kelainan azotemia (peningkatan kadar
urea dan creatinin serum), pada urine
ditemukan proteinuria, glukosuria, dan
pada DL ditemukan adanya anemia.
10. Stage of CKD
Derajat LFG
1
2
3a
≥ 90
60 – 89
45 – 59
10. Pasien didiagnosa CKD Stage V
dengan GFR yaitu 6,1 mL/min/1.73m2
27
3b
4
5
30 – 44
15 – 29
< 15 atau dialisis
11. Penyebab CKD yaitu :
a. Diabetic Kidney Disease
b. Hipertensi
c. Vascular disease
d. Glomerular disease
e. Cystic kidney disease
f. Urinary Tract obstruction or dysfunction
g.Reccurent kidney stone disease
11. Pada pasien CKD dicurigai
disebabkan oleh Diabetic Kidney
Disease dan Hipetensi
12. Dasar penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: Terapi konservatif dan
terapi pengganti
Terapi Konservatif1. Memperkecil beban ginjal atau mengurangi kadar toksin uremik:
-keseimbangan cairan-diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam bila ditemukan adanya oedema atau hipertensi-menghindarkan obat-obat nefrotoksik (NSAID, aminoglikosida, tetrasiklin, dll)
2. Memperbaiki faktor-faktor yang reversible- mengatasi anemia- menurunkan tekanan darah- mengatasi infeksi
3. Mengatasi hiperfosfatemia dengan memberikan Ca(CO)3 dan diet rendah fosfat4. Terapi penyakit dasar seperti DM5. Terapi keluhan:
12. pasien mendapatkan terapi
IFVD NaCl 0,9% 8tpm
Diet tinggi kalori 35
kkal/kgBB/hari + rendah
protein 0,8 gram
protein/kgBB/hari
Captopril 2x12,5mg
Amlodipine 1x5g
CaCO3 3x1 tablet
Asam folat 2x2 tab
Cefoperazine 2x1 gr IV
Metronidazole 3x500mg
28
-untuk mual/muntah diberikan Metoklopramid-untuk gatal-gatal diberikan Dipenhydramin
6. Terapi komplikasi-payah jantung dengan Diuretik, vasodilator, dan hati-hati terhadap pemberian digitalis
Terapi pengganti1. Dialisis-hemodialisis
-dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan
-indikasi: bila Klirens Kreatinin kurang dari 5
cc/menit.
2. Cangkok ginjal
IV
Actrapid 3x4 unit SC 15
menit sebelum makan
Hemodialisa Elektif
29
BAB V
KESIMPULAN
Hipertensi sekunder merupakan penyakit yang jarang, hanya sekitar 10% dari orang-orang yang
mengalami hipertensi. Walaupun persentasenya yang kecil, penyakit ini tidak dapat dihiraukan
karena dapat menyebabkan kesalahan dalam penanganan. Dalam hipertensi sekunder,
mengetahui proses sekunder yang menyebabkan kenaikan tekanan darah sangat penting karena
berpotensi untuk disembuhkan bila etiologinya ditangani dengan baik. Diabetes, CKD dan
Hipertensi sangat berhubungan satu sama lain. Hipertensi dapat diakibatkan oleh Diabetes, hal
ini terutama akibat kenaikan konsentrasi glukosa di ginjal sehingga merangsang kenaikan
tekanan darah. Selain itu Diabetes juga dapat memicu terjadinya CKD terlebih dahulu. Setelah
terjadi CKD, akibat rusaknya ginjal maka hipertensi dapat muncul. Sehingga pada pasien
Hipertensi dengan Diabetes dan CKD, perlu perhatian khusus untuk menangani keluhan-keluhan
yang timbul akibat penyakit tersebut.
30
DAFTAR PUSTAKA
1 Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al. Heart disease and stroke statistics--2012 update:
a report from the American Heart Association. Circulation. Jan 3 2012;125(1):e2-e220.
2 Report Fromthe Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).
2014 evidence-based guideline for themanagement of high blood pressure in adults. 2014.
311(5): 507-520
3 World Health Organization. A global brief on hypertension: silent killer, global public
health crisis. 2013
4 Nadeak B. Hipertensi sekunder akibat perubahan histologi ginjal. Sari Pediatri. 2012. 13(5);
311-315
5 Chiong JR et al. Secondary hypertension: current diagnosis and treatment. International
Journal of Cardiology. 2008. 124; 6-21
6 Viera AJ et al. Diagnosis of secondary hypertension: an age-based approach. American
Family Physician. 2010. 82(12); 1471-1478
7 Soewondo P,dkk. 2006. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
Di Indonesia 2011. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
8 Suwitra, Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II : Interna
Publishing. 2009. Pg 1035-40.
9 Perazella, Mark. CKD: A New Classification and Staging System. Turner White, 2003.
10 Levey, Andrew et al. The definition, classification and prognosis of CKD: a KDIGO
Controversies Conference Report. International Society of Nephrology, 2010
11 Sampanis C. Zamboulis C. Arterial hypertension in diabetes mellitus: from theory to clinical
practice. Hippokratia. 2008. 12(2); 74-80
31
12 Govindarajan G et al. Hypertension and diabetes mellitus. European Cardiovascular Disease.
2006.
13 Gross JL et al. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment. Diabetes Care.
2005. 28; 176–188
14 Sunaryanto A. Penatalaksanaan penderita dengan diabetik nefropathy. 2010
15 Van Buren PN. Toto R. Hypertension in diabetic nephropathy: epidemiology, mechanisms,
and management. Adv Chronic Kidney Dis. 2011. 18(1): 28–41
16 Duvnjak L et al. Approach to arterial hypertension in patients with diabetes mellitus.
Diabetologia Croatica. 2004. 33(3); 77-83
17 Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr, et al. Seventh
report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure. Hypertension. Dec 2003;42(6):1206-52.
18 American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes--2011. Diabetes Care.
Jan 2011;34 Suppl 1:S11-61
32