Hipertensi Sekunder

49
BAB I PENDAHULUAN Hipertensi hingga saat ini masih menjadi permasalahan utama di bidang kesehatan, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Menurut American Heart Association (AHA), sekitar 75 juta orang dewasa di Amerika Serikat mengalami hipertensi, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (TDS) 140 mm Hg atau lebih/tekanan darah diastolik (TDD) 90 mmHg atau lebih/telah meminum obat antihipertensi. [1] Berdasarkan rekomendasi dari JNC 8, klasifikasi tekanan darah normal untuk orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih adalah sistolik lebih rendah dari 120 mmHg, diastolik lebih rendah dari 80 mm Hg. [2] Penyakit kardiovaskular secara global bertanggung jawab atas 17 juta kematian per tahun, yang merupakan hampir sepertiga dari total kematian secara global. Dari jumlah tersebut, 9,4 juta kematian diakibatankan oleh komplikasi dari hipertensi. Hipertensi bertanggung jawab untuk setidaknya 45% dari kematian akibat penyakit jantung dan 51% kematian akibat stroke. Pada tahun 2008 sekitar 40% dari orang dewasa berusia 25 atau lebih telah didiagnosis dengan hipertensi; jumlah orang dengan kondisi tersebut meningkat dari 600 juta pada tahun 1980 menjadi 1 miliar dalam 2008. Prevalensi hipertensi tertinggi di wilayah Afrika pada 46% dari orang dewasa berusia 25 atau lebih, sedangkan prevalensi terendah 35% ditemukan di Amerika. Secara keseluruhan, negara-negara berpendapatan tinggi memiliki prevalensi lebih rendah dengan 35% jika dibandingkan dengan kelompok lain 40%. [3] Secara klinis dikenal dua jenis hipertensi yaitu hipertensi primer atau hipertensi esensial, yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder dengan penyebab diketahui. Pada anak, sebagian besar (>90%) hipertensi merupakan hipertensi sekunder 1

description

Hipertensi Sekunder

Transcript of Hipertensi Sekunder

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi hingga saat ini masih menjadi permasalahan utama di bidang kesehatan, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Menurut American Heart Association (AHA), sekitar 75 juta orang dewasa di Amerika Serikat mengalami hipertensi, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (TDS) 140 mm Hg atau lebih/tekanan darah diastolik (TDD) 90 mmHg atau lebih/telah meminum obat antihipertensi.[1] Berdasarkan rekomendasi dari JNC 8, klasifikasi tekanan darah normal untuk orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih adalah sistolik lebih rendah dari 120 mmHg, diastolik lebih rendah dari 80 mm Hg.[2]

Penyakit kardiovaskular secara global bertanggung jawab atas 17 juta kematian per tahun, yang merupakan hampir sepertiga dari total kematian secara global. Dari jumlah tersebut, 9,4 juta kematian diakibatankan oleh komplikasi dari hipertensi. Hipertensi bertanggung jawab untuk setidaknya 45% dari kematian akibat penyakit jantung dan 51% kematian akibat stroke. Pada tahun 2008 sekitar 40% dari orang dewasa berusia 25 atau lebih telah didiagnosis dengan hipertensi; jumlah orang dengan kondisi tersebut meningkat dari 600 juta pada tahun 1980 menjadi 1 miliar dalam 2008. Prevalensi hipertensi tertinggi di wilayah Afrika pada 46% dari orang dewasa berusia 25 atau lebih, sedangkan prevalensi terendah 35% ditemukan di Amerika. Secara keseluruhan, negara-negara berpendapatan tinggi memiliki prevalensi lebih rendah dengan 35% jika dibandingkan dengan kelompok lain 40%.[3]

Secara klinis dikenal dua jenis hipertensi yaitu hipertensi primer atau hipertensi esensial, yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder dengan penyebab diketahui. Pada anak, sebagian besar (>90%) hipertensi merupakan hipertensi sekunder yang diketahui penyebabnya, sedangkan pada orang dewasa sebagian besar (sekitar 90%) merupakan hipertensi primer, dan sisanya (10%) merupakan hipertensi sekunder yang penyebabnya diketahui.[4-6]

Setiap kali seorang pasien didiagnosis dengan hipertensi, salah satu tujuan dari penanganan awal adalah untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab sekunder. Walaupun pasien dengan hipertensi sekunder hanya sebagian kecil dari mereka dengan peningkatan tekanan darah, subkelompok ini tidak boleh diabaikan. Di antara sejumlah besar orang dengan hipertensi, akan sangat membantu untuk mengetahui apakah ada proses sekunder yang terjadi karena ini berpotensi dapat disembuhkan dengan terapi tertentu berdasarkan etiologi yang mendasari. Dalam banyak kasus, mengoreksi penyebab hipertensi sekunder dapat menyembuhkan, menghindari kebutuhan untuk terapi medis jangka panjang, meminimalisir risiko yang menyertainya dan dapat menghemat biaya.[6]

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Berdasarkan JNC 8 tekanan darah dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori seperti;

normal, prehipertensi, hipertensi stage 1 dan hipertensi stage 2. Prehipertensi bukan kategori

penyakit, itu adalah sebutan yang dipilih untuk mengidentifikasi individu yang berisiko tinggi

terkena hipertensi, sehingga pasien dan dokter lebih waspada terhadap risiko ini dan didorong

untuk mencegah atau menunda perkembangan penyakit.[2] Individu yang tergolong prehipertensi

bukan kandidat untuk terapi obat dan disarankan untuk memodifikasi gaya hidup untuk

mengurangi risiko mereka terserang hipertensi di masa depan. Individu dengan prehipertensi,

yang juga memiliki diabetes atau penyakit ginjal harus dipertimbangkan untuk mendapat terapi

obat yang sesuai jika modifikasi gaya hidup gagal untuk mengurangi tekanan darah hingga

dibawah 130/80 mmHg.[2]

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 8

Klasifikasi Tekanan Darah TDS TDD

Normal <120 dan <80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi stage 2 ≥160 atau ≥100

Diabetes adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan insulin yang

cukup, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Hal ini

menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (hiperglikemia).[7] Penegakan

diagnosis diabetes dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu : (1) Gejala klasik DM + Glukosa

2

sewaktu ≥200 gr/dL (2) Glukosa darah puasa ≥ 126 + Gejala klasik DM (3) Kadar gula plasma 2

jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL.[7]

Berdasarkan pedoman Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative (K/DOQI), definisi Penyakit

Ginjal Kronis (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga bulan atau lebih,

berdasarkan kelainan patologik atau pertanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada pemeriksaan

urinalisis, dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) ataupun tidak. Selain itu definisi ini

juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau LFG, seperti yang terlihat pada tabel 1.[8-10]

Tabel 2. Definisi PGK[8]

Kriteria

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural

atau fungsional dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi:

- kelainan patologis

- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah

atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)

2. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa

kerusakan ginjal.

Pada individu dengan PGK, klasifikasi ditentukan atas dua hal yaitu atas dasar derajat

penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas

dasar LFG, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai LFG yang lebih rendah, yang

dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:[8]

LFG (ml/menit/1,73m2) =(140 – umur) x berat badan

*)72 x kreatinin plasma (mg/dL)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut tampak dalam tabel 3 berikut.

Tabel 3. Klasifikasi PGK atas Dasar Derajat Penyakit[8,10]

Derajat Penjelasan LFG

1

2

Kerusakan ginjal dengan LFG normal/↑

Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan

≥ 90

60 – 89

3

3a

3b

4

5

Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang

Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang

Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat

Gagal ginjal

45 – 59

30 – 44

15 – 29

< 15 atau dialisis

Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dibedakan menjadi penyakit ginjal

diabetes, non diabetes dan penyakit pada transplantasi. Klasifikasi tersebut tampak dalam

tabel 4 berikut.

Tabel 4. Klasifikasi PGK atas Dasar Diagnosis Etiologi[8-10]

Penyakit Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes

Penyakit ginjal non

diabetes

Penyakit pada

transplantasi

Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit glomerular

(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,

neoplasia)

Penyakit vaskular

(makroangiopati, hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstitial

(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan

obat)

Penyakit kistik

(ginjal polikistik)

Rejeksi kronik

Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

Diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan penyakit

ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes melitus ini kemudian lebih dikenal

dengan nama Diabetic Kidney Disease (DKD) yang sesungguhnya merupakan komplikasi

mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus.[7]

4

Komplikasi ini dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal yang

progresif dengan ekskresi protein pada urin yang berlanjut dengan penurunan fungsi ginjal.

Proteinuria pada umumnya ditemukan dalam perjalanan penyakit ginjal progresif, peran

proteinuria khususnya mikroalbuminuria sebagai petanda awal nefropati diabetik. Disebut

sebagai faktor kunci awal yang meramalkan progresivitas dari glomerulopati diabetik dan

dipandang sebagai ukuran keparahan dan pemicu terjadinya nefropati yang progresif. Pada

sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan

pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. DKD menduduki urutan ketiga (16,1%) setelah

glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefritis kronik (18,51%), sebagai penyebab paling

sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah. Perkembangan penyakit DM menjadi

penyakit ginjal stadium akhir diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terlibat, antara lain :

faktor genetik, diet, dan kondisi medis yang lain seperti hipertensi serta kadar gula darah yang

tinggi dan tidak terkontrol.[7]

2.2 Epidemiologi

Diabetes mellitus dan hipertensi adalah gangguan kronis umum yang sering muncul secara

berdampingan. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes dikaitkan dengan peningkatan

mortalitas kardiovaskular dan hipertensi yang mempercepat morbiditas dan mortalitas nyata pada

pasien tersebut. Kejadian kardiovaskular lebih dari dua kali lebih mungkin pada pasien dengan

diabetes dan hipertensi dibandingkan pasien dengan salah satu penyakit saja. Prevalensi

hipertensi pada pasien diabetes adalah sekitar dua kali lipat dari non diabetes.[11,12]

Insiden diabetes mellitus meningkat pesat dan akan segera mempengaruhi 300 juta orang di

seluruh dunia sementara lebih dari setengah dari mereka akan mengalami hipertensi. Diabetes

mellitus adalah penyebab paling umum dari penyakit ginjal tahap akhir di Barat. Laporan

terakhir dari Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa hampir dua pertiga dari populasi dewasa

dengan diabetes menggunakan terapi antihipertensi atau memiliki tekanan darah> 130/80 mmHg.[11,12] Estimasi 12 sampai 14 juta penderita DM di AS diperoleh bahwa 30% sampai 40%

penderita DM tipe I akan mengalami komplikasi menjadi gagal ginjal terminal sedangkan pada

penderita DM tipe II hanya sekitar 5-10% yang berkembang menjadi gagal ginjal terminal.[7]

5

2.3 Patofisiologi

Diabetes dan Hipertensi

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa hipertensi dan diabetes tipe 2 tampaknya terkait

secara klinis sebagai sindrom yang melibatkan juga kondisi lain seperti dislipidemia, obesitas

sentral, hyperuricemia dan mempercepat aterosklerosis. Sindrom ini telah digambarkan sebagai

sindrom resistensi insulin, sindrom metabolik atau "sindrom X". Walaupun penjelasan yang

mendasari gambaran klinis tetap tidak terjelaskan, resistensi insulin tampaknya memainkan

peran penting.[11]

Resistensi insulin adalah gangguan metabolisme, dimanifestasikan dengan penurunan

pemanfaatan glukosa di otot rangka perifer. Hasil gangguan ini adalah semakin banyak insulin

yang diperlukan untuk mencapai normoglycemia. Pada pasien dengan hipertensi esensial yang

tidak diobati, kadar insulin puasa dan postprandial lebih tinggi daripada kelompok kontrol

normotensif, terlepas dari indeks massa tubuh, dengan korelasi langsung antara konsentrasi

insulin plasma dan tingkat tekanan darah. Sebuah kecenderungan genetik untuk resistensi insulin

dan hipertensi hadir pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2.[11,12]

Sebuah kecenderungan genetik untuk resistensi insulin dan hipertensi hadir pada pasien dengan

diabetes mellitus tipe 2. Selain predisposisi genetik, resistensi insulin / hiperinsulinemia yang

dicurigai dalam perkembangann hipertensi melalui kelainan pada signaling insulin,

kardiovaskular terkait dan gangguan metabolik. Ini akan mencakup pertukaran ion membran sel,

aktivitas sistem simpatis dan peningkatan system renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) serta

menekan aktivitas atrial natriuretic peptide, retensi natrium dengan ekspansi volume konsekuen,

penyakit ginjal progresif, hiperaktif jantung, hipertrofi ventrikel kiri, dislipidemia, hiperglikemia

kronis dan peningkatan stres oksidatif.[11]

Hiperinsulinemia memberikan kontribusi dalam peningkatan tekanan darah melalui mekanisme

resistensi insulin yang terjadi pada DM tipe 2. Randeree et al. studi pada 80 pasien dengan DM

tipe 2 yang memulai pengobatan dengan insulin eksogen menunjukkan peningkatan tekanan

darah mereka dari 132/81 mmHg menjadi 149/89 mmHg. Respon hipertensi ini, meskipun tidak

dilaporkan dalam semua studi klinis, kemungkinan besar dimediasi oleh kenaikan berat badan

yang dikombinasikan dengan efek pro-hipertensi insulin. Hiperinsulinemia memiliki hubungan

6

dengan tekanan darah dan kelebihan berat badan pada pasien dengan atau tanpa DM diakibatkan

karena meningkatnya aktivitas simpatis dan retensi natrium di ginjal.[11,12]

Retensi natrium dan air diinduksi oleh insulin, sedangkan peningkatan filtrasi glukosa

disebabkan oleh hiperglikemia. Kelebihan glukosa akan diserap di tubulus proksimal melalui

natrium-glukosa co-transport, yang bersamaan menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium.

Reabsorpsi natrium meningkatkan tekanan darah, yang dapat dicegah dan diatur oleh diet bebas

garam. Pasien dengan DM biasanya mengalami kekakuan arteri yang berkembang karena

meningkatnya glikasi protein dan berakibat pada arteriosclerosis. Penurunan elastisitas arteri

pada pasien dengan intoleransi glukosa atau DM berkontribusi untuk peningkatan tekanan

sistolik sebagai faktor risiko kematian independen.[11-13]

Peran hiperinsulinemia dalam patogenesis hipertensi arteri masih diperdebatkan. Sebagai contoh,

pasien dengan insulinoma tampaknya tidak mengalami peningkatan tekanan darah arteri. Dalam

keadaan resisten insulin ada penghambatan beberapa jalur sinyal insulin, sehingga memberikan

kontribusi untuk vasokonstriksi. Resistensi insulin sering hadir pada orang dengan kadar glukosa

puasa terganggu dan merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung bahkan tanpa adanya

hiperglikemia signifikan.[11]

Diabetic Nefrophaty

Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan pasti. Pengaruh

genetik, lingkungan, faktor metabolik dan hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria.

Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses

hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan pada diabetic

nefrophaty memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial

glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen dan eferen serta

fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut.

Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi

genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati.[14]

Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah dan hipertensi pada

pasien dengan diabetes dan nefropati. Penyebab utama hipertensi pada kedua DM1 dan DM2

termasuk ekspansi volume karena peningkatan reabsorpsi natrium ginjal dan vasokonstriksi

7

perifer karena disregulasi faktor yang mengatur resistensi pembuluh darah perifer. Aktivasi

RAAS, upregulation endothelin 1 (ET-1), upregulation spesies oksigen reaktif, dan

downrwgulation oksida nitrat (NO) berkontribusi untuk menghasilkan hipertensi.[15]

Renin-Angiotensin-Aldosterone System

Angiotensin II (Ang II) bertanggung jawab untuk banyak aktivitas dari RAAS. Ang II

mengikat angiotensin tipe 1 (AT1) reseptor di banyak jaringan menyebabkan vasokonstriksi

dalam sel otot polos pembuluh darah, peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus

proksimal ginjal, dan stimulasi pelepasan aldosteron dari korteks adrenal. Meskipun tingkat

aktivitas renin plasma (PRA) ditekan atau serupa pada penderita diabetes dibandingkan

dengan kontrol, ada bukti bahwa aktivitas RAAS intrarenal meningkat pada diabetes.[15]

Sodium Balance

Keseimbangan natrium juga memainkan peran besar dalam hipertensi terlihat pada penderita

diabetes dengan penyakit ginjal. Pasien dengan diabetes mengalami peningkatan jumlah

natrium tubuh bahkan tanpa adanya peningkatan aktivitas RAAS sistemik. Pada awal

diabetes, peningkatan aktivitas RAAS yang terjadi memungkinkan peningkatan independen

reabsorpsi natrium. Ini merupakan respon terhadap efek diuretik osmotik hiperglikemia

tubular. Insulin juga dikatakan mengurangi ekskresi natrium pada ginjal secara independen

dengan kadar glukosa serum. Semakin menurunnya GFR, kemampuan ginjal untuk

mengeluarkan sodium dan air berkurang lebih lanjut. Paparan terus menerus sodium juga

dapat menyebabkan perubahan dalam sel otot polos pembuluh darah yang memungkinkan

hipertensi untuk bertahan.[15]

Sympathetic Nervous System Activity

Peningkatan aktivitas SNS merupakan mekanisme penting yang berkontribusi pada

patogenesis hipertensi pada pasien dengan nefropati diabetes. Misalnya, peningkatan

tekanan darah nokturnal yang mendahului mikroalbuminuria diyakini sebagai manifestasi

dari neuropati otonom, komplikasi mikrovaskuler lain yang terkait dengan hiperglikemia.

Pola aktivitas adrenergik berkelanjutan berhubungan dengan tekanan darah tinggi nokturnal

juga terjadi pada pasien dengan DM2 dan nefropati. Pola denyut jantung nocturnal abnormal

pada individu non-diabetes dengan hiperinsulinemia, menunjukkan resistensi insulin sebagai

kemungkinan adanya hubungan antara aktivasi SNS dan hipertensi.[15]

8

Endothelial Cell Dysfunction

Disfungsi sel endotel melibatkan ketidakseimbangan dalam produksi atau fungsi

vasokonstriktor endogen dan vasodilator. Sel endotel mengandung nitric oxide synthase

(NOS), yang menghasilkan NO dari L-arginine. NO menginduksi sel otot polos pembuluh

darah relaksasi dan vasodilatasi. ET-1 juga dilepaskan dari endothelium, dan menginduksi

vasokonstriksi dengan mengikat reseptor endotelin A di sel otot polos pembuluh darah. ET-1

adalah vasokonstriktor kuat yang diproduksi di endotel pembuluh darah yang menyebabkan

vasokonstriksi setelah mengikat reseptor ETA di sel otot polos pembuluh darah. Insulin

dapat meningkatkan produksi endotel dari kedua NO dan ET-1 melalui jalur terpisah.

Resistensi insulin di DM2 menghasilkan peningkatan selektif dalam ET-1, tetapi menurun

produksi NO. Kehadiran dimethylarginine asimetris (ADMA), inhibitor kompetitif produksi

NO, mengurangi jumlah NO yang tersedia untuk menyebabkan vasodilatasi. Peningkatan

kadar ADMA sering terlihat pada pasien dengan DM2, pasien dengan CKD, dan orang-

orang dengan ESRD.[15]

Autoregulatory Impairment

Pada ginjal yang sehat, fungsi autoregulatory dari arteriol aferen melalui refleks myogenic

dan aparat juxtaglomerular melalui reaksi umpan balik tubuloglomerular berfungsi untuk

menjaga tekanan glomerulus konstan meskipun variasi tekanan darah sistemik. Ketika

mekanisme ini terganggu, seperti dalam nefropati diabetes, tekanan darah sistemik

meningkat secara langsung ditransmisikan ke microvasculature ginjal dan glomeruli.

Konsekuensi utama adalah hipertensi glomerulus dan aktivasi mediator lokal yang

menyebabkan peradangan, fibrosis, dan cedera.[15]

2.4 Diagnosis

Pada penilaian klinis dan investigasi pada pasien diabetes yang baru didiagnosis hipertensi,

beberapa poin penting yang harus dipertimbangkan. Jenis dan durasi diabetes, terapi diabetes,

riwayat keluarga hipertensi, dan adanya komplikasi mikrovaskuler atau makrovaskuler.

Penekanan harus ditempatkan pada penilaian risiko kardiovaskular secara keseluruhan, faktor

penyebab (obesitas, konsumsi alkohol), dan penyebab sekunder hipertensi (aldosteronisme

primer, sindrom Cushing, pheochromocytoma, acromegaly, hiperparatiroidisme, thyreotoxicosis,

penyakit renovaskular). Pemeriksaan fisik meliputi indeks massa tubuh dan rasio pinggang

9

pinggul. Hemoglobin glikosilasi, profil lipid, ekskresi albumin urin, kreatinin dan elektrolit

serum harus ditentukan, dan hormon lain (katekolamin, hormon pertumbuhan, hormon tiroid)

jika perlu. Dianjurkan untuk rutin melakukan radiografi dada dan elektrokardiografi,

oftalmoskopi, neurologis dan pemeriksaan arteri perifer. Perhatian khusus harus diambil ketika

mengukur tekanan darah. Diagnosis harus didasarkan pada tiga atau lebih pengukuran yang

terpisah, yang harus akurat dilakukan setelah 5 menit istirahat.[6,16]

Pengukuran tekanan darah rawat jalan non-invasif semakin banyak digunakan pada pasien

diabetes karena memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sphygmomanometer standar.

Mengukur tekanan darah selama aktivitas normal sehari-hari dan periode tidur, dan biasanya

rata-rata lebih dari 20 pengukuran untuk mendapatkan status tekanan darah. Pengukuran tekanan

darah rawat jalan non-invasif lebih erat kaitannya dengan berbagai kerusakan organ target

dibandingkan dengan pengukuran klinis. Kerusakan organ target termasuk hipertrofi ventrikel

kiri, mikroalbuminuria, infark serebral, dan kelainan pembuluh retina.[6,16]

2.5 Penatalaksanaan

Modifikasi Gaya Hidup

Berdasarkan The Seventh Report of the Joint National Committee of Prevention, Detection,

Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) rekomendasi untuk menurunkan

tekanan darah dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular termasuk berikut ini, dengan hasil

yang lebih besar dicapai bila 2 atau lebih modifikasi gaya hidup digabungkan:[17]

Penurunan berat badan membantu untuk mencegah hipertensi (kisaran perkiraan

penurunan TDS, 5-20 mm Hg per 10 kg); rekomendasi termasuk diet DASH (Dietary

Approaches to Stop Hypertension) (kisaran perkiraan pengurangan tekanan Sistolik, 8-14

mm Hg) yang kaya buah-buahan dan sayuran serta mendorong penggunaan susu bebas

lemak atau rendah lemak dan produk susu

Batasi asupan alkohol tidak lebih dari 1 oz (30 ml) etanol per hari untuk pria atau 0,5 oz

(15 ml) etanol per hari untuk wanita dan orang dengan berat badan lebih ringan (kisaran

perkiraan pengurangan TDS, 2-4 mm Hg)

Kurangi asupan natrium tidak lebih dari 100 mmol/hari (2,4g sodium atau 6g sodium

klorida, kisaran perkiraan pengurangan TDS, 2-8 mm Hg)

10

Menjaga asupan kalium (sekitar 90 mmol/hari)

Menjaga asupan kalsium dan magnesium untuk kesehatan umum

Berhenti merokok dan mengurangi asupan makanan lemak jenuh dan kolesterol untuk

kesehatan jantung secara keseluruhan

Terlibat dalam latihan aerobik minimal 30 menit setiap hari (kisaran perkiraan

pengurangan TDS, 4-9 mm Hg)

Pharmacotheraphy

Untuk pasien berusia 18 tahun atau lebih tua dengan diabetes, the 2013 Eighth Report of the

Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure (JNC 8) merekomendasikan memulai pengobatan pada tekanan darah sistolik 140 mm

Hg atau lebih atau pada diastolik 90 mm mmHg atau lebih, dan kemudian mengobati tekanan

darah hingga di bawah 140/90 mmHg. The JNC 8 and the 2011 American Diabetes Association

(ADA) merekomendasikan kontrol tekanan darah pada individu diabetes dengan 130/180 mmHg

atau lebih rendah, terutama untuk mencegah atau menurunkan risiko perkembangan dari

nefropati diabetik hingga penyakit ginjal stadium akhir.[2]

Secara umum, pasien dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan hipertensi menunjukkan perbaikan

klinis dengan diuretik, ACE inhibitor, beta-blocker, ARB, dan antagonis kalsium. Kebanyakan

penelitian, telah menunjukkan keunggulan inhibitor ACE atau ARB dibandingkan dengan

antagonis kalsium pada pasien diabetes. Dua atau lebih obat antihipertensi pada dosis maksimal

harus digunakan untuk mencapai target tekanan darah optimal pada pasien dengan diabetes dan

hipertensi.[17] ACE inhibitor atau ARB biasanya diperlukan pada pasien dengan diabetes dan

hipertensi. Jika pasien tidak bisa mentolerir satu kelas obat, dapat diganti dengan obat kelas lain.

Jika diperlukan untuk mencapai tekanan darah target, thiazide diuretik diindikasikan untuk

pasien dengan perkiraan GFR sebesar 30 mL/min/1.73 m2 atau lebih, dan loop diuretik

diindikasikan untuk orang-orang dengan perkiraan GFR kurang dari 30 mL / menit / 1,73 m2.

Terlepas dari obat antihipertensi yang digunakan, fungsi ginjal dan kadar kalium serum harus

dipantau.[18]

11

Tabel 5. Strategi untuk Dosis Obat Anti Hipertensi[2]

Strategi Keterangan Detail

A Mulai satu obat,

titrasi dengan dosis

maksimum, dan

kemudian

menambahkan obat

kedua

Jika TD target tidak dicapai dengan obat awal, titrasi dosis obat awal

sampai maksimum dosis yang dianjurkan untuk mencapai TD target

Jika TD target tidak tercapai dengan penggunaan satu obat meskipun

dengan titrasi maksimum dosis yang dianjurkan, tambahkan obat

kedua (diuretic tipe thiazide, CCB, ACEI, atau ARB) dan titrasi

sampai dosis maksimum yang dianjurkan dari obat kedua untuk

mencapai TD target

Jika TD target tidak dicapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga (diuretic

tipe thiazide, CCB, ACEI, atau ARB), hindari penggunaan kombinasi

ACEI dan ARB. Titrasi obat ketiga sampai dosis maksimum yang

dianjurkan untuk mencapai TD target

B Mulai satu obat dan

kemudian

menambahkan obat

kedua sebelum obat

awal mencapai dosis

maksimal

Mulailah dengan satu obat kemudian menambahkan obat kedua

sebelum obat awal mencapai dosis maksimum yang dianjurkan,

kemudian titrasi kedua obat sampai maksimum dosis yang dianjurkan

untuk mencapai TD target

Jika TD target tidak dicapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga diuretic

tipe thiazide, CCB, ACEI, atau ARB), hindari penggunaan kombinasi

ACEI dan ARB. Titrasi obat ketiga sampai dosis maksimum yang

dianjurkan untuk mencapai TD target

C Mulailah dengan 2

obat secara

bersamaan, baik

sebagai 2 pil yang

terpisah atau sebagai

kombinasi pil

tunggal

Memulai terapi dengan 2 obat secara bersamaan, baik sebagai obat 2

yang terpisah atau sebagai kombinasi pil tunggal.

Terapi dimulai dengan ≥ 2 obat ketika TDS> 160 mmHg dan / atau

TDD> 100 mmHg, atau jika TDS> 20 mmHg di atas target dan / atau

TDD> 10 mmHg di atas target.

Jika TD target tidak dicapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga (diuretic

tipe thiazide, CCB, ACEI, atau ARB), menghindari penggunaan

kombinasi ACEI dan ARB.

Titrasi obat ketiga samapai mencapai dosis maksimum yang

dianjurkan.

12

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Berdasarkan JNC 8[2]

13

BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : KYS

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 54 tahun

Alamat : Jl. Akasia No. 13 Denpasar

Bangsa : Indonesia

Suku : Bali

Agama : Hindu

Pekerjaan : Polisi

Pendidikan Terakhir : Sarjana

Status : Menikah

Tanggal Rawat Inap : 12 Juni 2014

Tanggal Pemeriksaan : 22 Juni 2014

ANAMNESIS

Keluhan utama : Lemas dan mual-mual

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah pada tanggal 12 Juni 2014 dengan keluhan lemas dan

mual yang dirasakan sejak beberapa hari belakangan. Lemas dan mual ini dirasakan seperti

tidak memiliki cukup tenaga untuk beraktivitas dan merasa enek ketika melihat makanan,

sehingga ia tidak nafsu makan. Lemas tidak membaik dengan istirahat, dan ini menyebabkan

pasien terbatas untuk beraktivitas sehari-hari. Pasien mengatakan sudah semenjak 1 bulan

yang lalu keluhan ini dirasakan, dan beberapa hari belakangan ini semakin memberat hingga

pasien tidak makan dan sulit beraktivitas. Pasien mengatakan beberapa minggu lalu sempat

panas, namun panasnya mau turun setelah minum obat penurun panas. Pasien mengatakan

kedua kakinya terasa lemas sehingga sulit digerakkan. Kedua kakinya juga terlihat

membengkak. Selain itu pasien mengatakan kelenjar di leher kirinya dan kedua ketiaknya

membengkak semenjak 2 minggu yang lalu. Pasien juga mengatakn dia sering kesemutan

14

pada kaki dan tangannya, dan pasien juga mengalami penurunan BB beberapa bulan

belakangan. BB awal pasien yaitu 108 Kg dan kini menjadi sekitar 70 Kg. Riwayat batuk ,

muntah darah/hitam, BAB darah/hitam, sesak nafas disangkal pasien. BAB dikatakan 1-2x

sehari, sedangkan BAK sedikit yaitu sekitar ¼ gelas perhari. Ini adalah hari ke-10nya dirawat

di RS dan keluhan yang dirasakan sudah lumayan membaik, meskipun lemas dan

kesemutannya masih dirasakan.

Riwayat Penyakit dan Pengobatan Sebelumnya

Pasien mengatakan sekitar 6 tahun yang lalu pernah terdiagnosis TB. Pasien dirawat di RS di

Kupang dan memperoleh pengobatan dengan 3 obat selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh

total oleh dokter. Sekitar 2 tahun kemudian, atau sekitar 4 tahun yang lalu pasien terdiagnosis

DM dan memperoleh pengobatan dengan 1 obat, yaitu Glinex yamg dikonsumsikan 3x

sehari. Pasien mengatakan dia juga minum obat-obatan tradisional yang digunakan untuk

mengobatan DMnya. Obat tradisional tersebut berupa air akar dan obat pil yang dikonsumsi

masing-masing 3x sehari bersama obat oral DM. Pasien mengatakan jarang kontrol ke dokter

dan ketika cek gula darah terdeteksi gula darah puasa pasien mencapai 170 dan pernah juga

gula darah acaknya mencapai 300. Pasien mengatakan jauh sebelum diagnosis diabetes

militusnya ditegakkan, pasien memiliki nafsu makan yang tak terkontrol, sering minum air

karena merasa cepat haus, dan menyebabkan pasien sering bung air kecil. Setelah beberapa

tahun mengidap DM, pasien dikatakan mengidap tekanan darah tinggi. Pasien mengatakan

sebelum-sebelumnya tekanan darahnya normal, namun setelah itu hingga kini tekanan

darahnya terus dikatakan tinggi.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan ibunya saat ini sedang mengidap DM. Riwayat penyakit jantung,

penyakit ginjal, hipertensi pada keluarga disangkal.

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien adalah seorang polisi dan seorang pengusaha yang memiliki beberapa usaha. Pasien

mengatakan dulu merupakan seorang peminum-minuman beralkohol. Pasien juga dulunya

adalah seorang perokok berat, dimana perhari pasien bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok.

Pasien juga dulunya sangat menyukai makan-makanan daging, terutama daging babi, dan

15

juga suka minum-minuman yang manis. Pasien mengatakan sering minum teh manis,

ataupun minum-minuman manis lainnya dengan gelas besar yang khusus ia beli untuk

minum-minuman manis kesukaannya tersebut. Namun kini setelah pasien terdiagnosis DM,

pasien mengatakan menyesal dengan pola hidupnya dulu, sehingga kini ia mulai tidak minum

alcohol, merokok, mengurangi makan daging dan minum minuman yang manis.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present :

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis (GCS : E4V5M6 )

VAS : 0/10

Tekanan darah : 170/100 mmHg

Nadi : 90 x/ menit

RR : 20 x/mnt

Suhu badan : 36,5º C

Tinggi badan : 164 cm

Berat badan : 70 kg

BMI : 25,9 kg/m2

Status general :

Mata : Anemis +/+ , ikterus -/- , refleks pupil +/+ isokor

THT

Telinga : bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ataupun bekas

luka

Hidung : bentuk normal, tanda-tanda radang (-), ekskoriasi (-)

Tenggorokan : pembesaran tonsil (-)

Lidah : atropi papil lidah (-)

Leher : JVP PR + 0 cmH2O

Pembesaran Kelenjar parotid sinistra (+)

Thorax : Simetris (+), retraksi abnormal (-)

Cor

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis

Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V MCL (S), kuat angkat (-)

16

Perkusi : Batas atas jantung ICS II

Batas kanan jantung PSL (D)

Batas kiri jantung MCL (S)

Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo

Inspeksi : Simetris sinistra dextra (statis dan dinamis)

Palpasi : Vocal fremitus N N

N N

N N

Perkusi : Sonor Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikuler + +, Rhonchi - - Wheezing - -

+ + - - - -

+ + - - - -

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-),

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-/-),

Hati : tidak teraba

Limfa : tidak teraba

Perkusi : timpani (+),

Ascites (-)

Ekstremitas:

akral hangat + + Edema - -

+ + + +

Pembengkakan + abses kelenjar limfa axilla dextra dan sinistra (+)

17

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Urine Lengkap

Parameter Hasil Nilai Rujukan Remarks

pH 5 7,35-7,45 Low

Leukosit Negatif Negatif

Nitrat Negatif Negatif

Protein 500 (4+) Negatif High

Glukosa 300 (++++) Normal High

KET Negatif Negatif

Urobilinogen Normal Normal

Bilirubin Negatif Negatif

ERY 25 (++) Negatif High

Warna Kuning Kuning

Sedimen Urin

Leukosit 4-5 <6

Eritrosit 4-5 <3

-Silinder Granula

cast +

Candida -

Sel Epitel

Gepeng 0-1

18

Bulat

Kristal

Lain-lain Bakteri +

Kimia Darah (16-6-2014)

Kimia Klinik Hasil Nilai Normal Remark

BUN 111,13 8,0-23,0 Tinggi

Creatinin 13,55 0,7-1,2 Tinggi

Uric Acid 9,33 2,0-7,0 Tinggi

Kalsium 4,24 8,4-9,7 Rendah

Phospor

Anorganik

10,22 2,7-4,5 Tinggi

Analisa Gas Darah

pH 7,24 7,35-7,45 Rendah

pCO2 25 35,0-45,0 Rendah

pO2 127 80-100 Tinggi

BEecf -16,7 -2 – 2

HCO3- 10,7 22,0-26,0 Rendah

S02c 98 95%-100%

TCO2 11,5 24,0-30,0 Rendah

19

Darah Lengkap (12-6-2014)

20

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

WBC 15,02 103µL 4,1-11 Rendah

% NEUT 78,4 % 47,0-80,0

% LYMPH 10,6 % 13-40,0

% MONO 3,2 % 2,0-11,0

% EOS 7,1 % 0,0-5,00 Tinggi

% BASO 0,1 % 0,0-2,0

%LUC 0,6 % 0,0-4,0

Ne# 11,81 103µL 2,5-7,5 Tinggi

Ly# 1,6 103µL 1,0-4,0

MO# 0,48 103µL 0,1-0,6

EOS# 1,08 103µL 0,0-0,4 Tinggi

BASO# 0,01 103µL 0,0-0,1

RBC 3,01 106µL 4,5 – 5,9 Rendah

Hemoglobin 8,4 g/dL 13,2-17,3 Rendah

Hematokrit 23,6 % 40,0-52,0 Rendah

Platelet 243 103µL 150,0-400,0

MCV 78,3 Fl 80,0-100,0 Rendah

MCH 28 Pg 27,0-32,0

MCHC 35,7 g/dL 31,0-36,0

RDW 13,8 % 12,0-14,8

Radiologi BOF

Interpretasi BOF AP

1. Tak tampak bayangan radiopaque disepanjang traktus urinarius

2. Kontur ginjal kanan tak tampak jelas, kiri normal

3. Psoas line kanan kiri simetris

4. Distribusi gas usus normal bercampr fecal material

5. Bayangan hepar dan lien tak tampak membesar

6. Tampak ostheophyte VL 1-5, pedicle dan spatium intervertebralis baik

7. Tampak ostheophyte pada acetabulum kanan kiri

Kesan :

Tak tampak batu opaque disepanjang traktus uranirius

Spondylosis lumbalis

Ostheoarthritis hip bilateral

21

Foto Torax

Interpretasi :

Cor : Besar dan bentuk kesan normal

Pulmo : tampak fibroinfiltrat isuprahillar kanan

Sinus pleura kanan kiri tajam

Diafragma kanan kiri normal

Tulang-tulang : tidak tampak kelainan

Kesan : TB Paru

22

USG Urologi

Interpretasi

1. Ginjal kanan ukuran normal , echocortex meningkat, batas sinus cortex tak tampak jelas,

pelviocalyceal system melebar ringan, tak tampak batu/massa, tampak lesi kistik dipole

bawah ukuran + 1,69x1,52 cm

2. Ginjal kiri : terisi urine cukup, didinding buli tampak menebal, tak tampak batu/massa

3. Prostat : ukuran normal tak membesar, parenchym normal, tak tampak kalsifikasi

4. Tak tampak echocairan bebas pada cavum abdomen dan pelvis kanan kiri

Kesan :

1. Kista ginjal bilateral

2. Nefritis bilateral

3. Cystitis

V. DIAGNOSIS & DIAGNOSIS BANDING

1. CKD Stage V ec DKD

Anemia ringan

HT stage 2

Asidosis Metabolik

Parotid gland enlargement dan abses Axilary gland D/S

Hyperuricemia

2. DM tipe 2

3. Old Lung TB

VI. PENATALAKSANAAN

a. Terapi

IFVD NaCl 0,9% 8tpm

Diet tinggi kalori 35 kkal/kgBB/hari + rendah protein 0,8 gram protein/kgBB/hari

Captopril 2x12,5mg

Amlodipine 1x5g

CaCO3 3x1 tablet

Asam folat 2x2 tab

Cefoperazine 2x1 gr IV

23

Metronidazole 3x500mg IV

Actrapid 3x4 unit SC 15 menit sebelum makan

Hemodialisa Elektif

b. Planing diagnosis

Kontrol darah rutin, elektrolit, dan kimia darah pasca hemodialisa

Konsul bedah drainage pus

c. monitoring

Vital Sign, Keluhan

CMCK

Glukosa darah

Lab post HD

24

BAB IV

PEMBAHASAN

TEORI KASUS

1. Hipertensi sekunder muncul disebabkan oleh

adanya penyakit yang mendasari yang

menyebabkan tingginya tekanan darah. Renal

disease dan diabetes militus related hypertension

adalah penyebab tersering dari hipertensi sekunder

1. Pada pasien : ditemukan penyakit

diabetes yang tidak terkontrol yang

dicurigai menyebabkan adanya diabetic

kidney disease yang kemudian

menyebabkan mengalami progresivitas

sampai menyebabkan kerusakan ginjal

tahap akhir, yaitu CKD stadium 5.

2. Klasifikasi hipertensi

Normal : S < 120 dan D < 80

Prehipertensi : S 120-139 atau D 80-89

Hipertensi stage I : S 140-159 atau D 90-99

Hipertensi stage II : S ≥160 atau D ≥100

2. Pasien mengalami hipertensi stage II

dengan TD 170/100.

3. Prinsip managemen pasien dengan hipertensi yaitu :

Pre hipertensi : lifestyle modification

Hipertensi stg I : 1 obat + lifestyle modification

Hipertensi II : kombinasi 2 obat + lifestyle modification

3. Pasien terdiagnosa hipetensi stage II

dan mendapatkan kombinasi 2 obat

antihipertensi, yaitu captopril dan

amlodipine.

4. DM berdasarkan etiologi diklasifikasikan

menjadi DM tipe I dan DM tipe II. DM tipe I

disebabkan oleh defisiensi absolut insulin yang

diakibatkan gangguan sekresi insulin oleh pancreas.

DM ini dialami individu dengan onset muda.

4. Pasien terdiagnosa DM tipe 2 sejak 4

tahun yang lalu, saat pasien berusia 50

tahun.

25

Sedangkan DM tipe II disebabkan defisiensi relative

insulin, dimana terdapat kerusakan reseptor insulin,

sehingga terjadi keadaan insulin resisten. Onset

pasien yaitu onset usia dewasa sampai usia lanjut.

5. Penegakan diagnosis diabetes dapat dilakukan

dengan 3 metode, yaitu : (1) Gejala klasik DM +

Glukosa sewaktu ≥200 gr/dL (2) Glukosa darah

puasa ≥ 126 + Gejala klasik DM (3) Kadar gula

plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL. Gejala

klasik DM yaitu : poliuria, polidipsi, polifagi, dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya.

5. Pasien memiliki riwayat banyak

makan karna sering merasa lapar,

banyak minum dan sering kencing.

Glukosa darah acak pasien pernah

terukur 300 dan gula darah puasa pasien

terukur 170.

6. Faktor resiko DM yaitu riwayat keluarga yang

mengidap DM, tingkat asupan nutrisi yang

berlebihan, obesitas, alcohol, merokok.

6. Pasien adalah seorang yang gemuk,

sering makan dalam porsi yang berlebih,

suka makan daging dan makanan yang

manis serta minum minuman yang

manis, seorang perokok, peminum

alcohol, dan memiliki riwayat keluarga,

yaitu ibunya yang terkena DM.

7. Prinsip managemen dan terapi diabetes adalah

pola gaya hidup sehat, mono terapi oral anti

diabetes, kombinasi 2 obat oral antidiabetes, 1

insulin basal dengan 2 obat oral antidiabetes, 1

insulin basal + 2 insulin prandial, dan 1 insulin

basal + 3 insulin prandial. Evaluasi dilakukan setiap

2-3 bulan, dan dikatakan gagal jika tidak mencapai

goal HbA1C <7% atau goal kadar glukosa darah

rata-rata 2x pengukuran. Penting ditekankan

pemriksaan gula darah mandiri rutin dan kontrol

7. Pasien mendapatkan penanganan

monoterapi glimex 3x sehari. Pasien

jarang megecek gula darahnya dan

mengontrolkan dirinya ke dokter. Gula

darah pasien pernah terdeteksi gula

darah puasa 170 gr/dL dan gula darah

acak 300 gr/dL.

26

rutin ke RS.

8. Komplikasi DM secara umum dibagi menjadi 2,

yaitu akut dan kronik. Komplikasi kronik dibagi

menjadi 2, yaitu mikrovaskuler dan makrovaskuler.

Mikrovakuler terdiri dari eye disease, neuropathy,

nephropathy. Sedangkan makrovaskuler terdiri dari

coronary heart disease, perihepral arterial disease,

dan cerebrovaskular disease.

8. Pada pasien di temukan gejala kerusakan ginjal/yang ditandai dengan kadar BUN SC yang tinggi, proteinuria dan glukosuria yang tinggi. Kadar GFR < 15 (6,1) disertai kerusakan struktur ginjal selama > 3bulan mengindikasikan pasien telah mengalami gagal ginjal tahap akhir (CKD stage V).

9. Kriteria diagnosis CKD :

a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan,

berupa kelainan struktural atau fungsional dengan

atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi:

- kelainan patologis

- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk

kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau

kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)

b. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3

bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Trias pada CKD : Anemia, Hipertensi, azotemia..

9. Pada pasien ditemukan adanya tanda

kerusakan ginjal yang dapat dilihat dari

hasil kimia darah dimana terjadi

kelainan azotemia (peningkatan kadar

urea dan creatinin serum), pada urine

ditemukan proteinuria, glukosuria, dan

pada DL ditemukan adanya anemia.

10. Stage of CKD

Derajat LFG

1

2

3a

≥ 90

60 – 89

45 – 59

10. Pasien didiagnosa CKD Stage V

dengan GFR yaitu 6,1 mL/min/1.73m2

27

3b

4

5

30 – 44

15 – 29

< 15 atau dialisis

11. Penyebab CKD yaitu :

a. Diabetic Kidney Disease

b. Hipertensi

c. Vascular disease

d. Glomerular disease

e. Cystic kidney disease

f. Urinary Tract obstruction or dysfunction

g.Reccurent kidney stone disease

11. Pada pasien CKD dicurigai

disebabkan oleh Diabetic Kidney

Disease dan Hipetensi

12. Dasar penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat

dibagi menjadi dua, yaitu: Terapi konservatif dan

terapi pengganti

Terapi Konservatif1. Memperkecil beban ginjal atau mengurangi kadar toksin uremik:

-keseimbangan cairan-diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam bila ditemukan adanya oedema atau hipertensi-menghindarkan obat-obat nefrotoksik (NSAID, aminoglikosida, tetrasiklin, dll)

2. Memperbaiki faktor-faktor yang reversible- mengatasi anemia- menurunkan tekanan darah- mengatasi infeksi

3. Mengatasi hiperfosfatemia dengan memberikan Ca(CO)3 dan diet rendah fosfat4. Terapi penyakit dasar seperti DM5. Terapi keluhan:

12. pasien mendapatkan terapi

IFVD NaCl 0,9% 8tpm

Diet tinggi kalori 35

kkal/kgBB/hari + rendah

protein 0,8 gram

protein/kgBB/hari

Captopril 2x12,5mg

Amlodipine 1x5g

CaCO3 3x1 tablet

Asam folat 2x2 tab

Cefoperazine 2x1 gr IV

Metronidazole 3x500mg

28

-untuk mual/muntah diberikan Metoklopramid-untuk gatal-gatal diberikan Dipenhydramin

6. Terapi komplikasi-payah jantung dengan Diuretik, vasodilator, dan hati-hati terhadap pemberian digitalis

Terapi pengganti1. Dialisis-hemodialisis

-dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan

-indikasi: bila Klirens Kreatinin kurang dari 5

cc/menit.

2. Cangkok ginjal

IV

Actrapid 3x4 unit SC 15

menit sebelum makan

Hemodialisa Elektif

29

BAB V

KESIMPULAN

Hipertensi sekunder merupakan penyakit yang jarang, hanya sekitar 10% dari orang-orang yang

mengalami hipertensi. Walaupun persentasenya yang kecil, penyakit ini tidak dapat dihiraukan

karena dapat menyebabkan kesalahan dalam penanganan. Dalam hipertensi sekunder,

mengetahui proses sekunder yang menyebabkan kenaikan tekanan darah sangat penting karena

berpotensi untuk disembuhkan bila etiologinya ditangani dengan baik. Diabetes, CKD dan

Hipertensi sangat berhubungan satu sama lain. Hipertensi dapat diakibatkan oleh Diabetes, hal

ini terutama akibat kenaikan konsentrasi glukosa di ginjal sehingga merangsang kenaikan

tekanan darah. Selain itu Diabetes juga dapat memicu terjadinya CKD terlebih dahulu. Setelah

terjadi CKD, akibat rusaknya ginjal maka hipertensi dapat muncul. Sehingga pada pasien

Hipertensi dengan Diabetes dan CKD, perlu perhatian khusus untuk menangani keluhan-keluhan

yang timbul akibat penyakit tersebut.

30

DAFTAR PUSTAKA

1 Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al. Heart disease and stroke statistics--2012 update:

a report from the American Heart Association. Circulation. Jan 3 2012;125(1):e2-e220.

2 Report Fromthe Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).

2014 evidence-based guideline for themanagement of high blood pressure in adults. 2014.

311(5): 507-520

3 World Health Organization. A global brief on hypertension: silent killer, global public

health crisis. 2013

4 Nadeak B. Hipertensi sekunder akibat perubahan histologi ginjal. Sari Pediatri. 2012. 13(5);

311-315

5 Chiong JR et al. Secondary hypertension: current diagnosis and treatment. International

Journal of Cardiology. 2008. 124; 6-21

6 Viera AJ et al. Diagnosis of secondary hypertension: an age-based approach. American

Family Physician. 2010. 82(12); 1471-1478

7 Soewondo P,dkk. 2006. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2

Di Indonesia 2011. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.

8 Suwitra, Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II : Interna

Publishing. 2009. Pg 1035-40.

9 Perazella, Mark. CKD: A New Classification and Staging System. Turner White, 2003.

10 Levey, Andrew et al. The definition, classification and prognosis of CKD: a KDIGO

Controversies Conference Report. International Society of Nephrology, 2010

11 Sampanis C. Zamboulis C. Arterial hypertension in diabetes mellitus: from theory to clinical

practice. Hippokratia. 2008. 12(2); 74-80

31

12 Govindarajan G et al. Hypertension and diabetes mellitus. European Cardiovascular Disease.

2006.

13 Gross JL et al. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment. Diabetes Care.

2005. 28; 176–188

14 Sunaryanto A. Penatalaksanaan penderita dengan diabetik nefropathy. 2010

15 Van Buren PN. Toto R. Hypertension in diabetic nephropathy: epidemiology, mechanisms,

and management. Adv Chronic Kidney Dis. 2011. 18(1): 28–41

16 Duvnjak L et al. Approach to arterial hypertension in patients with diabetes mellitus.

Diabetologia Croatica. 2004. 33(3); 77-83

17 Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr, et al. Seventh

report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment

of High Blood Pressure. Hypertension. Dec 2003;42(6):1206-52.

18 American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes--2011. Diabetes Care.

Jan 2011;34 Suppl 1:S11-61

32