hipertensi pKKlin

29
MAKALAH PELAYANAN KEFARMASIAN DI KLINIS “HIPERTENSI” Disusun Oleh : 1. Gary Ranteta’dung, S.Farm. (118115081) 2. Ika Lestari Budiningsih, S.Farm. (118115082) 3. Ika Puji Rahayu, S.Farm. (118115083) 4. Iryana Butar-Butar, S.Farm. (118115084) 5. Lusiana Dwi Aryanti, S.Farm. (118115085) 6. Lidya Valentina Guru, S.Farm. (118115086) 7. Mahendra Agil Kusuma, S.Farm. (118115087) 8. Marcella Pradita, S.Farm. (118115088) 9. Margareta Ratih Vitaningrum, S.Farm. (118115089) 10. Martina Tri Handayani, S.Farm. (118115090) 1

Transcript of hipertensi pKKlin

Page 1: hipertensi pKKlin

MAKALAH PELAYANAN KEFARMASIAN DI KLINIS

“HIPERTENSI”

Disusun Oleh :1. Gary Ranteta’dung, S.Farm. (118115081)2. Ika Lestari Budiningsih, S.Farm. (118115082)3. Ika Puji Rahayu, S.Farm. (118115083)4. Iryana Butar-Butar, S.Farm. (118115084)5. Lusiana Dwi Aryanti, S.Farm. (118115085)6. Lidya Valentina Guru, S.Farm. (118115086)7. Mahendra Agil Kusuma, S.Farm. (118115087)8. Marcella Pradita, S.Farm. (118115088)9. Margareta Ratih Vitaningrum, S.Farm. (118115089)10. Martina Tri Handayani, S.Farm. (118115090)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKERFAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2012

1

Page 2: hipertensi pKKlin

A. DEFINISI

Tekanan darah yaitu tekanan yang dialami darah pada pembuluh arteri ketika darah di

pompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia. Tekanan darah ditentukan oleh 2

faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer (Setyawati dan Bustami, 1995). Ada

dua macam tekanan darah yaitu tekanan darah sistolik dan diastolik. Tekanan darah sistolik

adalah kekuatan tekanan darah tertinggi terhadap dinding arteri sewaktu jantung berkontraksi.

Tekanan darah diastolik merupakan tekanan darah terendah terhadap pembuluh darah arteri

sewaktu jantung istirahat diantara dua denyut (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,

2006).

Hipertensi adalah penyakit umum yang diartikan sebagai peningkatan tekanan darah

arteri secara terus menerus sehingga melebihi batas normal (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke,

Wells and Posey, 2008). Hipertensi didefinisikan sebagai keadaan dimana kenaikan tekanan

darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih dan diukur

lebih dari satu kali kesempatan (Brunton, Parker, Blumenthal and Buxton, 2010). Hipertensi

merupakan masalah kesehatan besar di seluruh dunia karena prevalensinya yang tinggi dan

hubungannya dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.

B. EPIDEMIOLOGI HIPERTENSI

Di Amerika, diperkirakan 1 dari 4 orang dewasa menderita hipertensi. Apabila

penyakit ini tidak terkontrol, akan menyerang target organ, dan dapat menyebabkan serangan

jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa

penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar

terkena stroke, 6 kali lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar

terkena serangan jantung. Menurut World Health Organization (WHO) dan the International

Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia,

dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut

tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis,

yakni  mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Hipertensi

merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah di

atas normal, yaitu 140/90 mmHg. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes

tahun 2007 menunjukan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7% (Departemen

Kesehatan RI, 2010).

2

Page 3: hipertensi pKKlin

C. ETIOLOGI

Menurut etiologinya, hipertensi digolongkan menjadi dua macam, yaitu :

1. Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak (belum) diketahui

penyebabnya. Dari sejumlah penderita hipertensi secara umum, sebanyak 90-95%

termasuk dalam golongan ini. Diduga pemicu terjadinya hipertensi primer adalah

karena faktor usia, stress psikologis yang berkepanjangan, keturunan (hereditas),

gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah sehingga dapat memicu terjadinya

peningkatan tekanan darah. Umumnya penderita hipertensi jenis ini tidak

merasakan gejala apa – apa (Suenanto dan Hardi, 2009).

Tabel I. Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskular

(Medical Review, 2008).

2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang sudah diketahui penyebabnya. Sekitar

5-10% pasien hipertensi diketahui penyebabnya melalui anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Penyebab hipertensi sekunder disajikan pada

tabel II di bawah ini.

3

Page 4: hipertensi pKKlin

Tabel II. Penyebab Hipertensi Sekunder

(Medical Review, 2008).

D. KLASIFIKASI

Klasifikasi hipertensi dibedakan berdasarkan tingginya Tekanan Darah (TD), derajat

kerusakan organ dan etiologinya.

1. Berdasarkan Tekanan Darah (TD)

Kategori TDD (mmHg) TDS (mmHg)Normal < 85 < 130Normal tinggi 85 – 89 130 – 139Hipertensi tingkat 1 (ringan) 90 – 99 140 – 159 tingkat 2 (sedang) 100 – 109 160 – 179 tingkat 3 (berat) 110 – 119 180 – 209 tingkat 4 (sangat berat) ≥ 120 ≥ 210*Klasifikasi baru menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, Amerika Serikat, dalam laporannya yang ke-5 pada tahun 1992.

Makin tinggi TD, makin besar risiko untuk mengalami komplikasi yang fatal dan

nonfatal. Risiko komplikasi pada setiap tingkat hipertensi ini meningkat beberapa kali lipat

bila telah terdapat kerusakan organ sasaran (target organ disease = TOD), misalnya

hipertrofi ventrikel kiri, serangan iskemia selintas (TIA), gangguan fungsi ginjal, atau

perdarahan retina.

2. Berdasarkan derajat kerusakan organ

Seseorang dikatakan menderita hipertensi labil, bila TD-nya tidak selalu berada dalam

kisaran hipertensif. Pada hipertensi akselerasi, peningkatan TD terjadi progresif dan cepat,

disertai kerusakan vaskular yang terlihat pada funduskopi sebagai perdarahan retina tetapi

tanpa udem papil. Hipertensi maligna adalah hipertensi akselerasi yang disertai udem papil;

pada keadaan ini TD seringkali lebih dari 200/140 mmHg.

4

Page 5: hipertensi pKKlin

3. Berdasarkan etiologi

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi

sekunder.

a. Hipertensi esensial

Hipertensi esensial juga disebut hipertensi primer atau idiopatik, adalah hipertensi

yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam

kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah

peningkatan resistensi perifer.

Penyebab hipertensi esensial adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan

lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat

penyakit kardiovaskular dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa

sensitivitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stres peningkatan reaktivitas vaskular

(terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan

yang dapat menyebabkan hipertensi, yakni makan garam (natrium) berlebihan, stres

psikis, dan obesitas.

b. Hipertensi sekunder

Prevalensi hipertensi sekunder ini hanya sekitar 5 – 8% dari seluruh penderita

hipertensi. Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal),

penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain.

Hipertensi renal dapat berupa hipertensi renovaskular, yakni hipertensi akibat lesi

pada arteri ginjal sehingga menyebabkan hipoperfulasi ginjal, misalnya stenosis arteri

ginjal dan vaskulitis intrarenal. Selain itu hipertensi ini merupakan akibat lesi pada

parenkim ginjal yang menimbulkan gangguan fungsi ginjal, misalnya glomerulonefritis,

pielonefritis, penyakit ginjal polikistik, nefropati diabetik, dan lain-lain.

Hipertensi endokrin terjadi misalnya akibat kelainan korteks adrenal (aldosteronisme

primer, sindrom Cushing), tumor di medula adrenal (feokromositoma), akromegali,

hipotiroidisme, hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, dan lain-lain.

Penyakit lain yang dapat menimbulkan hipertensi adalah koarktasio aorta, kelainan

neurologik (tumor otak, ensefalitis, dsb), stres akut (luka bakar, bedah, dsb),

polisitemia, dan lain-lain.

Beberapa obat, misalnya kontrasepsi hormonal (paling sering), hormon

adrenokortikotropik, kortikosteroid, simpatomimetik amin (efedrin, fenilefrin,

5

Page 6: hipertensi pKKlin

fenilpropanolamin, amfetamin), kokain, siklosporin, dan eritropoietin, juga dapat

menyebabkan hipertensi.

E. PATOFISIOLOGI

Dalam kondisi normal, tekanan darah dalam tubuh diatur oleh banyak faktor, oleh

karena itu, banyak kemungkinan gangguan yang mungkin menyebabkan terjadinya kenaikan

tekanan darah. Faktor-faktor pengatur tekanan darah tersebut di antaranya sistem Renin-

Angiotensin-Aldosterone (RAA), hormon-hormon pengatur keseimbangan natrium, kalium,

dan kalsium, serta mekanisme neurologis.

Sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone (RAA). Merupakan sistem endogen

pengatur keseimbangan cairan, natrium, dan kalium, yang termasuk dalam komponen

regulasi tekanan darah di dalam tubuh. Sistem ini sendiri dikendalikan oleh ginjal. Pada

bagian arteriola ginjal terdapat sel juxtagloerular. Di dalamnya terdapat renin, suatu enzim

yang akan disekresikan jika sel juxtaglomerular menangkap sinyal berupa terjadinya

penurunan tekanan darah dalam tubuh. Setelah disekresikan, renin akan mengkatalisasi

konversi angintensinogen menjadi angiotensin I yang kemudian dikonversi lagi menjadi

angiotensin II oleh enzim angintensin-converting-enzyme (ACE). Enzim ini memiliki

beberapa reseptor di dalam tubuh yang dapat mempengaruhi tekanan darah, antara lain di

otak, ginjal, myocardium, pembuluh perifer, dan di kelenjar adrenal. Dihasilkannya

angiotensin II dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah melalui beberapa mekanisme,

antara lain terjadinya vasokonstriksi, peningkatan aktivitas saraf simpatik, pelepasan

katekolamin, serta pelepasan aldosterone, suatu hormon yang mengatur keseimbangan cairan,

natrium, dan kalium (Dipiro, et. al., 2008).

Tekanan darah juga dipengaruhi oleh diameter dalam pembuluh arteri yang akan

mempengaruhi nilai tahanan perifer pembuluh (tekanan darah = cardiac output x tahanan

perifer). Oleh karena itu, penyempitan pembulih darah karena terbentuknya plak (endapan

lipid, kalsium, sel darah) juga akan meningkatkan tekanan darah. Selain kedua gangguan di

atas, hipertensi juga dapat terjadi sebagai komplikasi penyakit diabetes melitus, hipertiroid,

dan sindrom Cushing (Anonim, 2010).

F. GEJALA HIPERTENSI

Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat pemeriksaan fisik karena alasan

penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai “silent killer“. Tanpa disadari penderita

6

Page 7: hipertensi pKKlin

mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti jantung, otak ataupun ginjal (Direktorat

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006). Kadang-kadang orang dengan tekanan darah

tinggi mengalami:

a. Sakit kepala

b. Vertigo

c. Penglihatan kabur

d. Mual dan muntah, dan

e. Nyeri dada dan sesak napas

(Wedro, B. and Stopler, M.C., 2012).

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan

mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh

seperti:

a) jantung

b) mata

c) ginjal

d) otak

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

G. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI

1. Tujuan terapi

Tujuan utama terapi antihipertensi adalah mengurangi angka morbiditas dan

mortalitas akibat hipertensi, yang terkait dengan kerusakan organ terutama jantung dan

ginjal. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui tekanan darah sistolik dan diastolik yang

terkontrol (Dipiro, et al., 2008; NHLBI, 2003).

2. Sasaran terapi

Sasaran terapi yang ingin dicapai adalah tekanan darah sistolik dan diastolik, yaitu

130/80 mmHg (NHLBI, 2003).

7

Page 8: hipertensi pKKlin

Gambar 1. Algoritma Terapi Hipertensi (NHLBI, 2003)

3. Terapi non-farmakologis

Terapi non-farmakologis pada pasien hipertensi adalah dengan modifikasi pola

hidup. Modifikasi pola hidup/lifestyle dapat mengurangi tekanan darah dengan

mengurangi tekanan darah sistolik, yang secara langsung juga mengurangi tekanan darah

diastolik. Selain itu modifikasi pola hidup yang meliputi mengurangi berat badan dan

mengatur pola makan juga dapat meningkatkan efikasi obat-obat antihipertensi dan

mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (Dipiro, et al., 2008; NHLBI, 2003). Selain

untuk terapi pada pasien hipertensi, modifikasi lifestyle dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya hipertensi.

8

Page 9: hipertensi pKKlin

Gambar 2. Modifikasi Lifestyle untuk Terapi Hipertensi (NHLBI, 2003)

4. Terapi farmakologis

Obat-obat yang digunakan sebagai agen antihipertensi adalah golongan ACE

(angiotensin converting enzyme) inhibitor, angiotensin receptor blocker (ARB), beta-

blocker (BB), calcium channel blocker (CCB), diuretika golongan tiazid dan obat-obat

yang bekerja pada reseptor α. Pilihan obat untuk terapi awal tergantung pada peningkatan

tekanan darah dan ada/tidaknya indikasi khusus pada pasien. Prinsipnya terapi hipertensi

stage I dimulai dengan diuretika tipe tiazid, ACE inhibitor, ARB atau CCB. Untuk pasien

dengan hipertensi stage II menggunakan kombinasi obat antihipertensi, dengan salah

satunya adalah diuretika tipe tiazid. Terapi kombinasi sangat efektif karena dosis masing-

masing obat dapat digunakan lebih rendah, selain itu efek samping tiap obat berkurang

(Tjay, 2007). Menurut NICE Clinical Guideline (2011), kombinasi ACE-I dan ARB tidak

disarankan untuk terapi hipertensi.

Menurut European Society of Hypertension (2003), kombinasi untuk dua antihipertesi

adalah sebagai berikut (garis tebal menunjukkan kombinasi yang efektif):

9

Page 10: hipertensi pKKlin

Gambar 3. Kombinasi Obat Antihipertensi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006)

a. Diuretika

Diuretika, terutama golongan tiazid, merupakan obat antihipertensi lini

pertama yang digunakan dalam terapi hipertensi. Golongan diuretika menurunkan

tekanan darah dengan meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga

mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. Golongan ini dapat digunakan secara

tunggal dalam penanganan hipertensi essensial ringan dan sedang, namun pada

hipertensi yang lebih berat dapat digunakan kombinasi diuretika dengan obat

simpatolitik dan vasodilator. Diuretika yang sering digunakan untuk terapi hipertensi

antara lain furosemid dan tiazid. Diuretika dapat meningkatkan efikasi antihipertensi

dalam penggunaan obat kombinasi (Katzung, 2001; NHLBI, 2003).

Tiazid

Mekanisme kerja tiazid (contoh Hydrochlorothiazida) adalah menghambat

reabsorpsi NaCl dari sisi luminal sel apitel dalam tubulus distal. Tiazid memiliki aksi

yang lebih rendah dari loop diuretika karena NaCl yang diserap oleh tubulus distal

sedikit jumlahnya hanya sekitar 10% dari NaCl tersaring daripada tubulus proksimal

dan cabang thick ascending limb karena sekitar 90% dari filtrasi Na+ diserap sebelum

mencapai tubulus distal (Katzung, 2001).

b. ACE inhibitor

Mekanisme kerja ACE-I adalah dengan mengurangi pembentukan angiotensin

II. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang dapat meningkatkan tekanan darah

dan merangsang sekresi aldosteron, hormon yang menstimulasi retensi natrium dan

10

Page 11: hipertensi pKKlin

air. Dengan demikian ACE-I menyebabkan vasodilatasi dan menghambat

pembentukan aldosteron, sehingga mengurangi tekanan darah. ACE-I merupakan

golongan antihipertensi tahap pertama yang efektif untuk hipertensi ringan, sedang

dan berat, serta merupakan obat lini pertama untuk terapi hipertensi pada pasien

dengan gangguan ginjal, diabetes dan gagal jantung (Moser, 2008). Contoh obat

golongan ACEI adalah sebagai berikut: kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril,

kuinapril, perindopril, silazapril, benazepril, delapril dan fosinopril.

c. Angiotensin receptor blocker

Antagonis angiotensin II (ARB) mempunyai sifat yang mirip dengan ACE-I,

namun obat ini tidak memecah bradikinin yang dapat memicu timbulnya batuk kering

persisten yang merupakan efek samping dari penghambat ACE. Oleh karena itu, ARB

menjadi alternatif bila pasien tidak dapat mentoleransi batuk kering persisten sebagai

akibat penggunaan ACEI (Neal, 2005). Salah satu contoh ARB adalah Losartan.

d. Calcium channel blocker

Obat golongan ini bekerja dengan memperlambat pergerakan kalsium ke

dalam sel jantung dan dinding arteri yang membawa darah dari jantung ke jaringan

sehingga arteri menjadi relaks dan dapat menurunkan tekanan dan aliran darah di

jantung (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

Antagonis kalsium secara kimiawi dapat dibagi ke dalam 2 kelompok, yakni

derivat dihidropiridin, efek vasodilatasinya amat kuat maka digunakan sebagai obat

hipertensi. Contoh obat dari kelompok ini adalah amlodipin, nifedipin, nisoldipin,

felodipin. Kelompok yang kedua adalah kelompok non-dihidropiridin antara lain

diltiazem dan verapamil (Anonim, 2011).

e. Beta-blocker

Beta-blocker menghambat respon dari reseptor beta sehingga memperlambat

denyut jantung dan kontraktilitas miokardium serta mengurangi volume darah yang

dipompa jantung per menit. Dengan demikian mengurangi tekanan darah (Moser,

2008). Contoh obat golongan BB adalah propanolol, nadolol, atenolol dan pindolol.

11

Page 12: hipertensi pKKlin

f. Antagonis Reseptor α1-Adrenergik

Antagonis reseptor α1-adrenergik mengurangi resistensi arteriola dan

kapasitansi vena sehingga menyebabkan peningkatan refleks frekuensi jantung dana

aktifitas renin plasma yang diperantai saraf simpatik. Selama terapi jangka panjang,

vasodilatasi tetap terjadi, namun curah jantung, denyut jantung, dan aktivitas renin

plasma kembali ke normal. Aliran darah ginjal tidak berubah selama terapi. Antagonis

reseptor α1-adrenergik mengurangi konsentrasi trigliserida dan kolesterol total serta

kolesterol LDL dan meningkatkan HDL. Efek ini berpotensi menguntungkan untuk

mengontrol lipid ketika diberikan bersamaan diuretik tipe tiazid. Konsekuensi jangka

panjang pada perubahan-perubahan kecil dalam lipid yang diinduksi oleh obat ini

tidak diketahui. Contoh dari golongan ini misalnya prazosin, terazosin, dan doxazosin

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

g. Agonis α2 sentral

Golongan ini bekerja dengan merangsang reseptor α2 di otak sehingga terjadi

penurunan aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak dan meningkatkan tonus

vagal. Penurunan aktivitas simpatetik tersebut bersamaan dengan peningkatan

aktivitas parasimpatetik akan menurunkan denyut jantung, cardiac output, total

resistensi perifer, aktivitas plasma renin, dan reflex baroreseptor. Contoh obat

golongan ini adalah klonidin dan metildopa (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik, 2006).

12

Page 13: hipertensi pKKlin

Gambar 4. Kombinasi Obat Antihipertensi Menurut JNC 7 (2003)

H. MONITORING KLINIS

Monitoring secara rutin yang dilakukan untuk memperkirakan perkembangan

penyakit, efek dari terapi antihipertensi (efektivitas), efek samping yang tidak diinginkan

(toksisitas), dan kepatuhan (adherence) diperlukan bagi seluruh pasien yang diterapi

dengan obat antihipertensi.

1. Perkembangan penyakit

Pasien harus dimonitoring untuk tanda dan gejala dari perkembangan penyakit

organ target. Sebuah riwayat untuk nyeri dada (atau tekanan), palpitasi, kepusingan,

13

Page 14: hipertensi pKKlin

dyspnea, orthopnea, sakit kepala, perubahan dalam pengelihatan secara tiba-tiba,

kelemahan pada satu sisi, berbicara dengan terbata-bata, dan kehilangan keseimbangan

dapat digunakan untuk mengetahui adanya komplikasi dari hipertensi. Parameter

monitoring klinis lain yang mungkin dapat digunakan untuk memprediksi penyakit pada

organ target antaralain perubahan funduskopik pada pemeriksaan mata, hipertrofi

ventricular kiri pada elektrokardiogram, proteinuria, dan perubahan pada fungsi ginjal.

Parameter - parameter tersebut harus dimonitor secara periodik karena beberapa tanda

penurunan memerlukan penaksiran dengan segera dan follow up (Dipiro, et al., 2008).

2. Efektivitas

Tujuan penanganan antihipertensi adalah untuk menjaga tekanan darah arteri

dibawah 140/90 mmHg guna mencegah morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler

(Sukandar, Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi, dan Kusnandar, 2008).

Monitoring klinis berbasis tekanan darah merupakan standar untuk memanage

hipertensi. Respon tekanan darah harus dievaluasi 2 sampai 4 minggu setelah memulai

atau membuat perubahan pada terapi. Apabila nilai tekanan darah tercapai, dan seandainya

tidak ada tanda atau gejala adanya penyakit akut pada organ target, monitoring tekanan

darah dapat dilakukan setiap 3 sampai 6 bulan. Evaluasi dengan frekuensi lebih sering

dibutuhkan oleh pasien dengan riwayat kontrol yang rendah, nonadherence, perkembangan

kerusakan organ target, atau gejala efek samping obat yang tidak diinginkan. Pengukuran

sendiri dari tekanan darah atau monitoring tekanan darah ambulatory dapat digunakan

secara efektif untuk pengontrolan 24 jam (Dipiro, et al., 2008).

3. Toksisitas

Pasien harus dimonitor secara rutin untuk efek samping obat yang tidak

diinginkan. Monitoring harus secara khusus dilakukan 2 sampai 4 minggu setelah

memulai sebuah obat baru atau peningkatan dosis obat, dan 6 sampai 2 bulan pada pasien

yang stabil. Monitoring tambahan mungkin diperlukan jika terdapat penyakit penyerta

(misalnya : diabetes, dyslipidemia, dan gout). Selain itu, pasien yang diterapi dengan

sebuah antagonis aldosterone (eplerenone atau spironolactone), harus memiliki perkiraan

konsentrasi potassium dan fungsi ginjal dalam 3 hari dan dilakukan kembali pada 1

minggu setelah memulai pengobatan untuk mendeteksi potensial hiperkalemia. Kejadian

dari sebuah efek samping obat yang tidak diinginkan mungkin memerlukan pengurangan

dosis obat atau penggantian dengan obat antihipertensi lain (Dipiro, et al., 2008).

14

Page 15: hipertensi pKKlin

4. Kepatuhan (adherence)

Hipertensi merupakan penyakit yang secara relative asimptomatik, sehingga

frekuensi kepatuhan terapi pasien menjadi rendah, terutama pada pasien yang baru saja

menjalani terapi. Hal ini diperhitungkan hanya mencapai 50% pasien dengan diagnosis

baru dari hipertensi yang melanjutkan terapinya pada 1 tahun. Oleh karenanya, penting

untuk penilaian ketaatan pasien secara teratur (Dipiro, et al., 2008).

Identifikasi ketidakpatuhan pasien harus ditunjang dengan edukasi secara tepat

bagi pasien, konseling, dan intervensi. Regimen dosis harian lebih disukai pada sebagian

besar pasien untuk meningkatkan kepatuhan. Pasien dengan terapi antihipertensi harus

ditanya secara periodik tentang perubahan pada persepsi kesehatannya secara umum,

tingkat energi, fungsi fisik, serta kepuasan secara kseluruhan mengenai pengobatannya.

Modifikasi gaya hidup harus selalu direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah

dan memperoleh potensial keuntungan kesehatan yang lainnya (Dipiro, et al., 2008).

I. KASUS

Tuan A 56 tahun adalah seorang perokok berat (25 batang perhari). Berat 90 kg,

tinggi 160 cm. Ia bekerja di klub malam sebagai bartender dan juga minum alkohol dalam

jumlah yang tidak sedikit. Ia mengeluhkan satu minggu terakhir ini ia mengalami sakit yang

hebat di pinggang sebelah kirinya. Sebelumnya Tuan A mengkonsumsi suplemen yang

mengandung Kalium atas saran dokter. Tuan A belum pernah menggunakan terapi hipertensi

sebelumnya. Orang tuanya meninggal pada umur 65 tahun karena serangan jantung. Setelah

dilakukan pemeriksaan terhadap pasien diperoleh data sebagai berikut:

1. Tekanan darah pasien : 180/130

2. Kreatinin serum 2.8 mg/dl (0.7-1.5)

3. Kolesterol : 230 mg/dl (s/d 220 mg/dl)

4. K serum : 4.5 mEq/L (3.5-5.2)

Adapun terapi yang diterima pasien adalah

1. Captopril 12,5 mg 2 x 1

2. Bisoprolol fumarat 5 mg 1×1

3. Simvastatin 10 mg 1×1

4. Aspirin 81 mg 1×1

Problem: Hipertensi stage II, Penurunan fungsi ginjal

15

Page 16: hipertensi pKKlin

Assesment:

Tekanan darah pasien adalah 180/130 mmHg. Menurut JNC 7, tekanan darah

160/100 merupakan hipertensi stage II. Dari hasil laboratorim pasien diketahui pula bahwa

nilai kreatinin serum pasien berada di atas range normal yaitu 2,8 mg/dl. Pasien diberi

kombinasi dua macam antihipertensi yaitu captopril (golongan ACE-Inhibitor) dan

Bisoprolol fumarat (golongan β-blocker). Selain itu pasien juga diberi Simvastatin (untuk

menurunkan kadar kolesterol) dan pasien juga diberikan aspirin (sebagai anti agregasi

platelet). Menurut JNC 7, untuk terapi hipertensi stage II dapat digunakan diuretika golongan

tiazid atau dengan kombinasi ACEI, β-blocker, ARB, atau CCB. Karena pasien menderita

hipertensi stage II dan memiliki kadar kolesterol total yang tinggi serta memiliki riwayat

keluarga penyakit jantung maka pasien diberikan aspirin sebagai anti-agregasi platelet untuk

mencegah terbentuknya agregat platelet yang dapat menyumbat pembuluh darah dan

menghambat aliran darah ke jantung.

Rekomendasi:

1. Farmakologis

Berdasarkan JNC 7, tatalaksana hipertensi stage II yang efektif adalah kombinasi dua

antihipertensi, yaitu diuretika dan ACE inhibitor, ARB atau β-blocker. Namun karena hasil

pemeriksaan laboratorium menunjukkan pasien mengalami penurunan fungsi ginjal, maka

obat diuretika tidak dianjurkan untuk pasien. Oleh karena itu digunakan kombinasi dua

antihipertensi, yaitu golongan ACE inhibitor (captopril) dan β-blocker (bisoprolol fumarat).

Akan tetapi menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2006), kombinasi terapi

ACE inhibitor dan β-blocker kurang efektif digunakan. β-blocker efektif dikombinasikan

dengan Ca-channel blocker, maka dapat diberikan amlodipin 2,5-10 mg/hari untuk Tuan A.

16

Page 17: hipertensi pKKlin

2. Non-farmakologis

(National Institutes of Health, 2011).

Monitoring

1. Memantau tekanan darah pasien sehingga dapat diketahui efektivitas dari antihipertensi

yang digunakan.

2. Memantau profil lipid pasien meliputi nilai LDL, HDL, kolesterol total, dan trigliserida.

3. Memantau resiko terjadinya efek samping obat yang merugikan, seperti batuk kering

persisten akibat penggunaan kaptopril.

4. Memantau kadar kreatinin pasien untuk mengetahui fungsi ginjal.

Selain hal-hal diatas, perlu dilakukan edukasi terhadap pasien dan keluarga pasien

dalam membantu kelancaran penatalaksanaan terapi yang diberikan. Adapun informasi yang

diberikan yaitu:

17

Page 18: hipertensi pKKlin

Aturan minum antihipertensi harus diperhatikan seperti kaptopril diminum 1 jam

sebelum makan dan hidroklortiazid diminum setelah makan.

Mengatur jenis makanan yang dikonsumsi seperti buah-buahan, sayuran, produk susu

rendah lemak, makanan rendah lemak dan kolesterol.

Cukup istirahat dan olahraga secara teratur.

Mengurangi konsumsi kafein dan alkohol.

Mengurangi asupan natrium.

Daftar Pustaka

18

Page 19: hipertensi pKKlin

Anonim, 2010, An Overview to Hypertension, http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000468.htm, diakses tanggal 25 Agustus 2010

Brunton, Parker, Blumenthal, and Buxton, 2010, Goodman and Gilman Manuals of Pharmacology and Therapeutics, McGrawHill, New York, pp.507.

Departemen Kesehatan RI, 2010, Hipertensi Penyebab Kematian Nomor Tiga, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, diakses dari http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/810-hipertansi-penyebab-kematian-nomor-tiga.html.

Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey, L. M., 2008, Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, 7th edition, McGrawHill, New York, pp. 157-162.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Katzung, B. G., 2001, Farmakologi dasar dan klinik, EGC penerbit kedokteran, Jakarta.

Medical Review Hipertensi Sekunder, Vol. 21, No. 3, Edisi Juli-Sepetember 2008.

Moser, M., 2008, High Blood Pressure, Yale University School of Medicine Heart Book, USA, pp. 163-165.

National Heart, Lung, and Blood Institute, The Executive Committee, 2003, JNC 7 Express, The Seventh Report of the Joint National Committee on : Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, U.S. Department of Health and Human Service, http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/express.pdf.

National Institute of Health and Clinical Excellence, 2011, Hypertension, NICE, London, pp. 18-20.

Neal, M.J., 2005, At A Glance Farmakologi Medis, Penerbit Erlangga, Jakarta, pp.78-79.Anonim, 2011, Amlodipin, http://www.drugbank.ca/drugs/DB00381, diakses tanggal 3 Maret 2012.

Rahajeng, E., dan Tuminah, S., 2009, Prevalensi Hipertensi dan Determinasinya di Indonesia, Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Setiawati, A., dan Bustami, Z. S., 1995, Antihipertensi, dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, edited by S.G. Ganiswara, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pp. 315-342.

19

Page 20: hipertensi pKKlin

Suenanto, dan Hardi, 2009, 100 Resep sembuhkan Hipertensi, Obesitas, dan Asam Urat, 3-4, Gramedia, Jakarta.

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P., dan Kusnandar, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta, hal. 133.

Wedro, B. dan Stopler, M.C., 2012, High Blood Pressure Symptoms, http://www.emedicinehealth.com/high_blood_pressure/page3_em.htm, diakses tanggal 25 Februari 2012.

20