Hipertensi pada kehamilan

47
REFERAT HIPERTENSI PADA KEHAMILAN DAN PENATALAKSANAANNYA Oleh : Iput Syarhil Musthofa G9911112081 Shinta Rizkiasih G9911112130 Pembimbing: dr. Agung Susanto, Sp. PD

description

penatalaksanaan hipertensi pada kehamilan (drug of choice)

Transcript of Hipertensi pada kehamilan

Page 1: Hipertensi pada kehamilan

REFERAT

HIPERTENSI PADA KEHAMILAN DAN

PENATALAKSANAANNYA

Oleh :

Iput Syarhil Musthofa

G9911112081

Shinta Rizkiasih

G9911112130

Pembimbing:

dr. Agung Susanto, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

S U R A K A R T A

Page 2: Hipertensi pada kehamilan

2013

1

Page 3: Hipertensi pada kehamilan

BAB I

PENDAHULUAN

Hingga saat ini, hipertensi dalam kehamilan masih

merupakan masalah kesehatan serius di bidang obstetri di

seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan

di dunia setiap menit perempuan meninggal karena komplikasi

yang terkait dengan kehamilan dan persalinan. Dari jumlah

kematian maternal, prevalensi paling besar adalah pre-eklampsia

dan eklampsia sebesar 12,9% dari keseluruhan kematian ibu.

Insidensi pre eklamsia di Indonesia sekitar 3 – 10%,

menyebabkan mortalitas maternal sebanyak 39.5% pada tahun

2001, dan sebanyak 55.56% pada tahun 2002 (Roeshadi, 2004).

Hipertensi gestasional diartikan sebagai setiap onset baru

hipertensi tanpa komplikasi selama kehamilan bila tidak ada

bukti jelas dari sindrom preeklampsia. Sedangkan pre eklamsia

sendiri merupakan hipertensi pada kehamilan yang disertai

dengan proteinuria (Cunningham, 2005).

Hipertensi dalam kehamilan terjadi pada wanita yang

sebelumnya memiliki penyakit hipertensi primer atau dapat juga

pada wanita dengan hipertensi sekunder kronik, dan pada wanita

tanpa riwayat hipertensi dengan onset terjadinya hipertensi yang

baru muncul setelah setengah masa kehamilan.

Hipertensi pada kehamilan memiliki resiko baik terhadap

ibu dan juga janinnya. Pada ibu, hipertensi dapat menjadi pre

eklamsia atau eklamsia yang mengancam jiwa. Sedangkan pada

bayi akan menyebabkan kematian perinatal, 5% bayi lahir

dengan kelainan congenital. Biasanya pada kehamilan pertama,

8 – 10% bayi akan lahir premature (kurang dari 34 minggu)

2

Page 4: Hipertensi pada kehamilan

sebagai konsekuensi dari pre eklamsia, tapi pada wanita dengan

pre eklamsia berat, 50%nya mengalami kelahiran preterm.

Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama

beberapa dekade, hipertensi yang dapat menyebabkan atau

memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum

terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan suatu

hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada

kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20

usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika

timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti

kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35

tahun dan sebab lainnya (Cunningham, 2005).

Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi

dalam kehamilan berhubungan secara langsung terhadap

penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi uteroplasental, juga

karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat.

Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab

sekunder terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali

dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR). Di negara

berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan

kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal

diakibatkan adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan

kerusakan end organ lainnya (Brooks, 2005).

3

Page 5: Hipertensi pada kehamilan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Definisi dan Klasifikasi

Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi

hipertensi pada hipertensi secara umum dengan hipertensi

dalam kehamilan. NHBPEP (National High Blood Pressure

Education Working Group Report on High Blood Pressure in

Pregnancy) memiliki klasifikasi tersendiri karena pada

kehamilan, terjadi beberapa perubahan hemodinamik yang

mempengaruhi tekanan darah.

Tabel 2.1. Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan

Tidak Hamil

Klasifikasi JNC 7 (Tidak

Hamil)

Klasifikasi NHBPEP

(Hamil)

Normal:

TDS ≤ 120 mmHg

TDD ≤ 80 mmHg

Normal/acceptable pada

kehamilan

TDS ≤ 140 mmHg

TDD ≤ 90 mmHg

Pre Hipertensi:

TDS 120 - 139 mmHg

TDD 80 - 89 mmHg

Hipertensi Stage 1:

TDS ≤ 120 mmHg

TDD ≤ 80 mmHg

Hipertensi Ringan:

TDS 140 -150 mmHg

TDD 90 - 109 mmHg

Hipertensi Stage 2

TDS 160 - 179 mmHg

TDD 100 - 110 mmHg

Hipertensi Berat

TDS ≥ 160 mmHg

TDD ≥ 110 mmHg

Hipertensi Stage 3

4

Page 6: Hipertensi pada kehamilan

TDS 180 - 209 mmHg

TDD 110 - 119 mmHg

Hipertensi dalam kehamilan memiliki terminology

tersendiri. Disadur dari Report on the National High Blood

Pressure Education Program Working Group on High Blood

Pressure in Pregnancy (AJOG Vol 183 : S1, July 2000),

hipertensi dalam kehamilan meliputi:

1. Hipertensi Gestasional

Didapatkan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg untuk

pertama kalinya pada kehamilan, tidak disertai dengan

proteinuria dan tekanan darah kembali normal < 12 minggu

pasca persalinan.

Hipertensi gestasional terjadi sekitar 6% dari total

kehamilan dan separuhnya berkembang menjadi

preeklamsia dengan ditemukannya proteinuri. Diagnosis

pasti sering dibuat di belakang, Jika tes laboratorium tetap

normal dan tekanan darah menurun pasca melahirkan,

maka diagnosisnya adalah hipertensi gestational

(sebelumnya disebut transcient hypertension). Wanita

dengan hipertensi gestational harus dianggap beresiko

terjadinya preeklamsia, yang dapat berkembangkan setiap

saat, termasuk minggu pertama pasca melahirkan. Sekitar

15% hingga 45% perempuan awalnya didiagnosis dengan

hipertensi gestational akan mengembangkan preeklamsia,

dan kemungkinan lebih besar pada pasien yang memiliki

riwayat preeklamsia sebelumnya, miscarriage, dan riwayat

hipertensi kehamilan sebelumnya (Davis et.al, 2007).

2. Preeklamsi

5

Page 7: Hipertensi pada kehamilan

Preeclampsia adalah sindrom yang memiliki

manifestasi klinis seperti new-onset hypertension pada saat

kehamilan (setelah usia kehamilan 20 minggu, tetapi

biasanya mendekati hari perkiraan lahir), berhubungan

dengan proteinuria: 1+ dipstick atau 300 mg dalam 24 jam

urin tampung. Sindrom ini terjadi pada 5 - 8 % dari seluruh

kehamilan. Pengobatan antihipertensi pada pasien ini bukan

ditujukkan untuk menyembuhkan atau memulihkan

preeklamsia. Preeklamsia dapat berkembangkan secara

tiba-tiba pada wanita muda, pada wanita yang sebelumnya

normotensive, sehingga perlu pencegahan gangguan

kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai konsekuensi

dari berat dan cepat peningkatan tekanan darah, hal ini

adalah tujuan utama manajemen klinis yang membutuhkan

kebijaksanaan penggunaan obat antihipertensi (Levine et.al,

2004).

3. Eklamsi

Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia

yang tidak dapat dihubungkan dengan sebab lainnya

disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara general dan dapat

terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada

studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama

nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah

postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik,

banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat

dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan bahwa

seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam

postpartum (Cunningham, 2005).

4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi

6

Page 8: Hipertensi pada kehamilan

Timbulnya proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam pada wanita

hamil yang sudah mengalami hipertensi sebelumnya.

Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu.

5. Hipertensi kronik (preexisting hypertention)

Ditemukannya tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg,

sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan

tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan.

Wanita usia subur dengan hipertensi esensial stage I yang

tidak memiliki kerusakan organ target dan dalam kondisi

kesehatan yang baik memiliki prognosis yang baik dalam

kehamilan. Walaupun terdapat peningkatan resiko terjadi

superimposed preeclampsia, akan tetapi secara fisiologi

akan terjadi penurunan tekanan darah selama kehamilan

dan penurunan kebutuhan terhadap agen antihipertensi.

Capaian tatalaksananya adalah mempertahankan tekanan

darah pada level yang memiliki resiko gangguan

kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu yang minimal

(Abalos et.al, 2007).

Kadang-kadang, wanita dengan hypertensi kehamilan

akan tetap hipertensi setelah melahirkan. Pada pasien ini

kemungkinan besar memiliki hipertensi kronis yang sudah

ada sebelumnya, yang tertutup/tak tampak di awal

kehamilan oleh karena respon fisiologis dari kehamilan yakni

vasodilasi. Kejadian hipertensi pada periode pasca

melahirkan dan waktu maksimum untuk normalisasi tekanan

darah belum diketahui. Pada umumnya, hipertensi >

140/90 mm Hg menetap lebih dari 3 bulan pasca melahirkan

didignosis sebagai hipertensi kronis.

B.DIAGNOSIS

7

Page 9: Hipertensi pada kehamilan

Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan

pemeriksaan laboratorium guna memantau perubahan dalam

hematologi, ginjal, dan hati yang dapat mempengaruhi

prognosis pasien dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium

yang dianjurkan untuk memantau pasien hipertensi dalam

kehamilan adalah hemoglobin dan hematokrit untuk

memantau hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis

hipertensi gestasional. Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH

untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk

mengetahui adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein

urin 24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui

fungsi ginjal, yang umumnya pada kehamilan kreatinin serum

menurun. Asam urat perlu diperiksa karena kenaikan asam

urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya pre eklampsia.

Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik. Seperti

juga pada kehamilan tanpa hipertensi, perlu pula dilakukan

pemeriksaan gula darah dan kultur urin (Suhardjono, 2007).

Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah

ditemukannya peningkatan tekanan darah pada pemeriksaan

vital sign. Standar pengukuran tekanan darah adalah sebagai

berikut. Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk

dengan posisi cuff setinggi jantung. Adanya penekanan vena

kava inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat

mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang

lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan

untuk duduk tenang 5-10 menit (Gipson dan Carson, 2009).

Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu

beristirahat 140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff

digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik. Dahulu

telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik

8

Page 10: Hipertensi pada kehamilan

15 mmHg atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria

diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di

bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi

dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut

tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek samping

merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah

biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan

diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi

kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah

ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena hal tersebut

juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi.

Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi

tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak

selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi

(Brooks, 2005).

Kriteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan

rekomendasi dari The Associety of Obstetrician and

Gynaecologists of Canada (JOGC Vol 30 number 3, March

2008) adalah: 1. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan

di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan primer, 2.

Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan

diastolic >90 mmHg, didapatkan pada minimal 2 kali

pemeriksaan pada lengan yang sama, 3.Wanita dengan sistolik

>140mmHg harus dipantau untuk mengawasi adanya

perkembangan kea rah hipertensi diastolic, 4. Hipertensi berat,

didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau

tekanan darah diastolic ≥110mHg,5. Untuk hipertensi tidak

berat, pemeriksaan tekanan darah serial harus dicatat

sebelum menegakkan diagnosis hipertensi, 6. Pada hipertensi

9

Page 11: Hipertensi pada kehamilan

berat, konfirmasi pemeriksaan ulang dilakukan setelah 15

menit

1.Hipertensi Gestasional

Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :

TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama

kehamilan.

Tidak ada proteinuria.

TD kembali normal < 12 minggu postpartum.

Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul,

contohnya nyeri epigastrium atau trombositopenia

(Cunningham, 2005).

2.Pre Eklamsia dan Eklamsia

Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :

Kriteria minimal, yaitu :

TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.

Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi :

TD 160/110 mmHg.

Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.

Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya

diketahui sudah meningkat.

Trombosit <100.000/mm3.

Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).

Peningkatan ALT atau AST.

Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau

cerebral lain.

Nyeri epigastrium persisten. (Cunningham, 2005)

10

Page 12: Hipertensi pada kehamilan

Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan

intensitas abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut,

semakin besar kemungkinan harus dilakukan terminasi

kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat

sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan

dapat berkembang dengan cepat menjadi berat.

Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam

mendiagnosis preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan

merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi

dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda

mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan

tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan

wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg

tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang

cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri

kepala berat yang persisten atau gangguan visual.

Pada preeklamsia dapat terjadi komplikasi akibat

tekanan darah yang tinggi sehingga terjadi kejang. Kejang

terjadi tanpa adanya riwayat epilepsy dan bukan merupakan

proses intracranial. Keadaan ini dikenal sebagai keadaan

eklamsia.

Tabel 2.2. Gejala berat hipertensi dalam kehamilan

(Cunningham, 2005)

Abnormalitas < 100 mmHg ≥ 110 mmHg

Tekanan

darah

diastolik

Trace - 1+ Persisten ≥ 2+

Proteinuria Tidak ada Ada

11

Page 13: Hipertensi pada kehamilan

Sakit kepala Tidak ada Ada

Nyeri perut

bagian atas

Tidak ada Ada

Oliguria Tidak ada Ada

Kejang

(eklamsi)

Tidak ada Ada

Serum

Kreatinin

Normal Meningkat

Trombositope

ni

Tidak ada Ada

Peningkatan

enzim hati

Minimal Nyata

Hambatan

pertumbuhan

janin

Tidak ada Nyata

Oedem paru Tidak ada Ada

3.Superimposed Preeclampsia

Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :

Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan

hipertensi yang belum ada sebelum kehamilan 20

minggu.

Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah

atau jumlah trombosit <100.000/mm3 pada wanita

dengan hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan

20 minggu (Brooks, 2005).

4.Hipertensi Kronis

Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan

apabila :

12

Page 14: Hipertensi pada kehamilan

Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului

kehamilan.

Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20

minggu, kecuali bila ada penyakit trofoblastik.

Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.

Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis

apalagi wanita hamil tidak mengetahui tekanan darahnya

sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis

didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada

beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat

sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan

tanda awal terjadinya preeklamsi.

Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang

mendasari dan dialami selama kehamilan dicatat pada Tabel

2.2. Hipertensi esensial merupakan penyebab dari penyakit

vaskular pada > 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan

diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada beberapa

wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari

penyakit parenkim ginjal yang mendasari.Seperti:

1

.

Obesitas

2

.

Hipertensi esensial

3

.

Kelainan arterial :

Hipertensi renovaskular

Koartasi aorta

4

.

Gangguan-gangguan

endokrin :

Diabetes mellitus

Sindrom cushing

Aldosteronism primer

Pheochromocytoma

Thyrotoxicosis

13

Page 15: Hipertensi pada kehamilan

5

.

Glomerulonephritis (akut dan

kronis)

6

.

Hipertensi renoprival :

Glomerulonephritis kronis

Ketidakcukupan ginjal kronis

Diabetic nephropathy

7

.

Penyakit jaringan konektif :

Lupus erythematosus

Systemic sclerosis

Periarteritis nodosa

8

.

Penyakit ginjal polikistik

9

.

Gagal ginjal

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis,

tekanan darah dapat meningkat sampai tingkat abnormal,

khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria,

maka preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis.

Preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis ini sering

berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi

murni, dan hal ini cenderung akan menjadi lebih berat dan

sering menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan janin.

Indikator tentang beratnya hipertensi sudah diperlihatkan

pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk menggolongkan

preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis tersebut

(Cunningham, 2005).

C.PENATALAKSANAAN

Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk

menentukan kondisi tekanan darahnya. Jika terdapat

hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder yang

mungkin, kerusakan target organ, dan rencana strategis

penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita penderita hipertensi

14

Page 16: Hipertensi pada kehamilan

yang merencanakan kehamilan harus menjalani skrining

adanya faeokromositoma karena angka morbiditas dan

mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini tidak

terdiagnosa pada ante partum.

Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi

sering pada akhir trimester untuk menemukan awal

preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah yang tinggi

(140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari

untuk menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan

hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan

dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan

penyakit yang ringan dapat menjalani rawat jalan.

Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan

kehamilan, penting diketahui mengenai penggantian medikasi

anti hipertensi yang telah diketahui aman digunakan selama

kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat

ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi

atau segera setelah kehamilan terjadi.

Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita

dengan hipertensi berat, terutama apabila terdapat hipertensi

yang persisten atau bertambah berat atau munculnya

proteinuria. Evaluasi secara sistematis meliputi :

Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap

gejala klinis seperti sakit kepala, pandangan kabur, nyeri

epigastrium, dan penambahan berat badan secara cepat.

Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan

setiap hari setelahnya.

Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2

hari.

15

Page 17: Hipertensi pada kehamilan

Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4

jam kecuali saat pertengahan tengah malam dengan pagi

hari.

Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan

serum enzim hati, frekuensi pemeriksaan tergantung

beratnya penyakit.

Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion

secara klinis dan dengan menggunakan ultrasonografi

(Brooks, 2004).

Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas

sehari-harinya yang berlebihan. Tirah baring total tidak

diperlukan, begitu pula dengan pemberian sedatif. Diet harus

mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup.

Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak berlebihan

(Cunningham, 2005).

16

Page 18: Hipertensi pada kehamilan

1. Pengobatan Hipertensi Kronis

Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko

rendah untuk komplikasi kardiovaskular selama kehamilan

dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup karena

tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan

prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah

biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu

hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi.

Modifikasi gaya hidup, latihan aerobik ringan harus dibatasi

berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran darah

plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko

preeklampsia. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi,

banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam

sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus

dihentikan (Gibson dan Carson, 2007).

Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus

dievaluasi sebelum kehamilan sehingga obat-obat yang

memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti

dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil dopa

merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan

tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan

efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi

dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik

dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan

perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan

hipertensi sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel.

Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi

preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat.

Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada

hipertensi kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada

17

Page 19: Hipertensi pada kehamilan

tidaknya penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan

potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama yang

biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat

kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat

lain seperti nifedipin atau labetalol dapat digunakan

(Cunningham, 2005).

18

Page 20: Hipertensi pada kehamilan

Tabel 2.3. Pilihan obat pada hipertensi gestasional dan

hipertensi kronis dalam kehamilan

Obat (resiko

FDA)

Dosis Keterangan

Agen yang

umum

diberikan:

Methyldopa

0.5- 3.0

gram/hari

Pilihan obat berdasar

NHBEP, tercatat aman

pada trimester awal

Lini kedua

Labetalol 200-1200

mg/hari

Dapat dikaitkan dengan

fetal growth restriction

Nifedipin 30-120 mg/hari

dengan

preparat lepas

lambat

Dapat menghambat

persalinan dan memiliki

efek sinergis dengan

MgSO4 untuk menurunkan

tekanan darah

Hydralazin 20-300 mg/hari

dibagi dalam 2-

4 dosis

pemberian

Dapat digunakan bersama

agen simpatolitik, dapat

menyebabkan

trombositopenia neonates

Β-Blocker Tergantung

pada agen

yang dipilih

Menurunkan tekanan

darah uretroplasenta,

menyebabkan stress

hipoksia janin, resiko

growth restriction pada

trimester I-II (atenolol),

dosis terlalu tinggi

menyebabkan hipoglikemi

neonates

Hidrochlortiazid 12.5 – 25

mg/hari

Menyebabkan gangguan

elektrolit, dapat digunakan

sebagai kombinasi dengan

metildopa dan vasodilator

19

Page 21: Hipertensi pada kehamilan

untuk mengurangi retensi

cairan.

Kontraindikasi

ACE-inhibitor

dan ARB tipe I

Menyebabkan fetal death,

gangguan jantung,

fetophaty,

oligohidramnion, growth

restriction, renal agenesis

dan neonatal anuric renal

failure

Tidak ada agen antihipertensi yang aman digunakan

pada trimester pertama. Terapi dengan obat diindikasikan

pada hipertensi kronis tanpa komplikasi dan saat tekanan

diastolic ≥100mmHg. Tatalaksana dengan dosis yang lebih

rendah diberikan pada pasien dengan diabetes mellitus,

gagal ginjal, atau kerusakan organ target.

2. Pilihan obat antihipertensi pada Preeklampsia dan

Eklamsia

Prinsip pengobatan antihipertensi pada pasien dengan

preeklamsia dan eklamsia adalah untuk mencegah

hipertensi meningkat secara progresif, mempertahankan

tekanan darah pada level yang memiliki resiko terendah

terhadap gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular

pada ibu (Abalos et.al, 2007). Pada keadaan hipertensi yang

berat dalam kehamilan, didefinisikan sebagai tekanan darah

> 160/110mmHg, keadaan ini membutuhkan pengobatan

karena pada keadaan ini terjadi peningkatan resiko

terjadinya perdarahaan cerebral, terapi pada keadaan ini

untuk mencegah kematian ibu. Target pengobatan terhadap

kedaruratan hipertensi berat dalam kehamilan adalah

penurunan tekanan diastolic menjadi 90-100mmHg.

20

Page 22: Hipertensi pada kehamilan

Tabel 2.4 Pilihan obat dalam control kedaruratan pada

Hipertensi Berat dalam kehamilan

Obat (resiko

FDA)

Dosis dan

pemberian

Keterangan

Labetalol 10-20 mg IV,

dilanjutkan 20-80 mg

setiap 20-30 menit.

Maksimal 300mg,

dengan infuse

kecepatan

1-2mg/menit

Insidensi hipotensi

maternal lebih rendah

dan efek samping,

penggunaan labetalol

saat ini menggantikan

hydralazin, tidak

diperbolehkan pada

wanita dengan asma

dan CHF.

Hydralazin 5 mg, IV atau IM,

dilanjutkan 5-10 mb

tiap 20-40 menit.

Evaluasi tekanan

darah setiap 3 jam.

Kecepatan infuse 0.5-

10mg/jam, bila tidak

berhasil diturunkan

dengan 20 mg IV atau

30mg IM, diganti obat

lain

Merupakan pilihan

obat dari NHBEP,

telah lama diketahui

keamanan dan

efikasinya

Nifedipin Hanya direkomendasi

dengan tablet,

diberikan 10-30mg

per oral, diulang

setiap 45 menit bila

perlu

Lebih disarankan

preparat yang long

acting, akan tetapi

pada bidang obstetric

lebih banyak disukai

preparat short acting

Diazoxide 30-50mg IV setiap 5-

15 menit

Jarang digunakan,

menyebabkan

berhentinya

21

Page 23: Hipertensi pada kehamilan

persalinan,

hiperglikemia

Kontraindikasi

relatif

nitroprusid

Drip 0.25-5

ug/kgBB/menit

Dapat menyebabkan

keracunan sianoda

bila digunakan >4 jam

Pada keadaan hipertensi ensefalopati, perdarahan,

atau eklamsia membutuhkan terapi antihipertensi

parenteral untuk menurunkan mean arterial pressure.

Wanita dengan preeklamsia,perlu pertimbangan dalam

memberikan terapi hipertensi berat yang akut. Diberikan

dosis yang lebih rendah karena pada pasien ini terjadi

deplesi volume intravascular dan meningkatnya resiko

terjadi hipotensi.

3. Pengelolaan hipertensi pasca melahirkan

Pada masa post partum, wanita hamil yang

sebelumnya normotensive mengalami peningkatan tekanan

darah, maksimum pada hari kelima post partum, dan pada 1

penelitian 12% pasien mencapai tekanan diastolik yang

melebihi 100 mmHg. Hal ini diduga konsekuensi dari

ekspansi volume fisiologis dan pergerakan cairan pada

periode post partum. Periode pemulihan tekanan darah

secara alamiah dalam hipertensi gestational dan

preeklamsia tidak diketahui. Tidak ada literature yang pasti

mengenai obat antihipertensi pada periode post partum. Tan

dan de Swiet (2002) menyarankan bahwa obat-obatan

antihipertensi diberikan jika tekanan darah sistolik melebihi

150 mmHg atau tekanan darah diastolic melebihi 100

mmHg dalam 4 hari pertama periode post partum. Pilihan

agen antihipertensi pada periode post partum dipengaruhi

juga dengan keadaan menyusui, tetapi pada umumnya agen

22

Page 24: Hipertensi pada kehamilan

yang digunakan dalam periode antepartum dilanjutkan

hingga post partum (tabel 2.3). Medikasi dihentikan ketika

tekanan darah berangsur normal. Hal ini dapat terjadi dalam

hari bahkan hingga beberapa minggu pasca melahirkan

(Beardmore dan Morris, 2002).

Dalam suatu kasus wanita dengan preeklamsia berat,

tampak beberapa manfaat pemberian diuresik furosemide

pada periode pasca melahirkan, khususnya untuk pasien

dengan hipertensi disertai gejala edema paru dan edema

perifer.

4. Penggunaan antihipertensi masa menyusui

Belum ada penelitian yang dirancang dengan baik

untuk menilai efek neonatal dari obat antihipertensi yang

dikonsumsi ibu dan kemudian dikeluarkan melalui ASI.

Pengaruh obat yang ditelan oleh bayi menyusu tergantung

pada volume yang ditelan, interval antara minum obat dan

menyusui, oral bioavailability, dan kapasitas bayi untuk

mengekskresi obat. Neonatus yang terpapar methyldopa

saat menyusu masih dalam batas aman dan biasanya

kemungkinannya kecil (tabel 2.5). Atenolol dan metoprolol

yang terkonsentrasi di ASI, dapat mencapai konsentrasi

yang memiliki efek terhadap bayi. Sebaliknya, paparan

labetalol dan propranolol konsentrasinya rendah. Meskipun

konsentrasi diuretik dalam susu rendah dan dianggap aman,

agen ini dapat secara signifikan mengurangi produksi susu.

Terdapat laporan bahwa Calsium channel blocker dapat

masuk ke dalam air susu ibu, akan tetapi tanpa efek

samping. Terdapat cukup data yang memaparkan

keamanan 2 obat dari golongan ACEinhibitor, yakni captopril

23

Page 25: Hipertensi pada kehamilan

dan enalapril; konsentrasi captopril adalah 1% dari yang

ditemukan dalam darah, dengan konsentrasi yang diterima

bayi 0.03% dari dosis reguler (Shannon et.al, 2000). Kadar

enalapril tidak signifikan berada di ASI, berdasarkan

penelitian ini, American Academy of Pediatrics menganggap

obat ini dapat diterima pada masa menyusui. Saat ini tidak

cukup data pada penelitian terhadap angiotensin II receptor

blocker; variasi kadar obat dalam ASI hewan coba sangat

tinggi dan sebagai rekomendasi keamanan, obat jenis ini

tidak diberikan (Tiina dan Phyllis, 2008).

Tabel 2.5. Pengobatan antihipertensi ibu yang dapat

digunakan saat masa menyusui

Captopril

Diltiazem

Enalapril

Hydralazine

Hydrochlorothiazide

Labetalol

Methyldopa

Verapamil

Minoxidil

Nadolol

Nifedipine

Oxprenolol

Propranolol

Spironolactone

Timolol

Diuretik (furosemid, hidrochlortiazid, dan spironolacton)

dapat menurunkan produksi ASI. Metroprolol dapat

digunakan pada masa menyusui meskipun terkonsentrasi

dalamASI. Acebutolol dan atenolol tidak boleh digunakan.

D. PILIHAN OBAT ANTIHIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam

kehamilan adalah menurunkan risiko maternal, tetapi

pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan

24

Page 26: Hipertensi pada kehamilan

keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah

metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran

darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan

efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang

terpapar metil dopa saat dalam kandungan (Abalos, 2007).

Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan

maternal. Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian

tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan

terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih

disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol

oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat

dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian

antihipertensi parenteral lebih praktis dan efektif. Anti

hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan pada tekanan

darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan

menurunkannya sampai 95-105 mmHg (Cunningham, 2005).

Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan

hipertensi dalam kehamilan :

1. Metildopa

Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan

satu-satunya obat anti hipertensi yang telah terbukti

keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini

menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan

perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini

menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi

reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang

merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan,

dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer lewat

efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan

sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti

25

Page 27: Hipertensi pada kehamilan

hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa

biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi

pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali

sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma

terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam.

Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral.

Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang

sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural.

Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat

menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi

untuk memberhentikan obat ini (Cunningham, 2005).

2. Hidralazin

Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri

secara langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan

meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis

sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek

meningkatkan cardiac output penting karena dapat

meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin

dimetabolisme oleh hepar.

Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika

tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau

tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis

hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit

sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan

darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak

terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak

tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek

samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina.

Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka

kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam

26

Page 28: Hipertensi pada kehamilan

menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi

(Cunningham, 2005).

3. Labetalol

Labetalol merupakan penghambat beta non selektif

dan penghambat α1-adrenergik post sinaps yang tersedia

dalam bentuk oral maupun intra vena.

Labetalol diberikan secara intravena, merupakan

pemblok β 1 dan non selektif β, dan digunakan juga untuk

mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah

penelitian yang membandingkan labetalol dengan

hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan

tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal,

tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata

lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena.

Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka

diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya

40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai

dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan

darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek

puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam.

Pemberian labetalol secara intra vena tidak

mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman

membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh

ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol

tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan (Reynold

et.al, 2003).

4. Klonidin

Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi

biasanya dimulai dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan

ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai

27

Page 29: Hipertensi pada kehamilan

2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek

maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah

ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi

cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap

latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi.

Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi

yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin.

Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang

mempelajari klonidin seperti metil dopa (Reynold, 2003).

5. Prazosin

Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-

adrenergik. Obat ini dapat menyebabkan vasodilatasi

pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga

menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan

tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah

jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus.

Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar.

Sekitar 90% ekskresi obat melalui kandung empedu ke

dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi menjadi

lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam

sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165

menit pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan

hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah

pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian

sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak

ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat

yang kuat sehingga sering dikombinasikan dengan beta

bloker (Reynold, 2003).

6. Diuretik

28

Page 30: Hipertensi pada kehamilan

Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF

sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun, juga

menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi

sodium interselular pada sel otot polos.

Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan

penurunan perfusi plasenta karena efek segera meliputi

pengurangan volume intravaskular, dimana volume

tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan

dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak

lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena

dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan

menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin.

Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada

kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat

diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan

antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko

defek janin (Reynold, 2003).

7. ACE-inhibitor

Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi

enzim yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi

angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan

curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga

meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan

menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten).

Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril

(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2004).

8. Obat anti hipertensi lain

NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel

blocker). Obat ini menginhibisi influk transmembran ion

kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok

29

Page 31: Hipertensi pada kehamilan

eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan

menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi

perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis

10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin

merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga

memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin

secara sub lingual, menurut penelitian yang dilakukan

oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat

terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga

dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin

tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut

jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih

potensial, obat ini masih memerlukan penelitian lebih

lanjut untuk digunakan dalam kehamilan (Reynold, 2003).

Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti

verapamil lewat infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan

tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain

seperti nimodipin dapat digunakan baik secara oral

maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan

darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini

dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts

dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra

vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian

Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak

direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada

respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau

nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan

vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan

saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak

kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit.

30

Page 32: Hipertensi pada kehamilan

Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah

dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan

obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu

non parturien karena efek samping toksisitas sianida dan

tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok

ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam

menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan

intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap

janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan

secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak

aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi

potensi sedang (Cunningham, 2005).

31

Page 33: Hipertensi pada kehamilan

BAB III

SIMPULAN

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group

of the NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu hipertensi

gestasional, preeklamsi, eklamsi, preeklamsi superimposed pada

hipertensi kronis, dan hipertensi kronis.

Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3

bagian, yaitu faktor risiko maternal, faktor risiko medikal

maternal, dan faktor risiko plasental atau fetal.

Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab

preeklamsi adalah invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah

uterus, intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan

janin, maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau

inflamasi dari kehamilan normal, faktor nutrisi, dan pengaruh

genetik.

Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110

mmHg. Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah

menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100 mmHg.

Penggunaan antihypertensive agen di kehamilan untuk

mengendalikan hipertensi ringan-sedang atau untuk

mengendalikan hipertensi parah diringkas dalam tabel 2 dan 3.

Saat ini, ada sedikit bukti untuk mendukung konsep bahwa BP

kontrol pada wanita hamil dengan hipertensi kronis akan

mencegah terjadinya berikutnya Preeklamsia, itu sendiri

penyebab untuk hasil yang paling merugikan pada pasien ini.

Seperti BP jatuh di awal kehamilan, mengurangi atau bahkan

menghentikan obat dan pemantauan sering mungkin pada

wanita dengan hipertensi ringan atau sedang. Mengakui

32

Page 34: Hipertensi pada kehamilan

keterbatasan dalam terbukti berbasis data dan lainnya masalah

yang dibahas di atas mengenai usia kehamilan, sebaiknya

ambang batas untuk pengobatan paling hipertensi hamil 140-150

mm Hg sistolik, dan/atau 95 hingga 100 mm Hg diastolik untuk

mencegah memburuknya hipertensi ibu. Agen dapat diterima

termasuk methyldopa, labetalol, dan nifedipine dalam dosis stan-

dard. Penggunaan Atenolol mungkin harus dihindari dalam

kehamilan, karena telah dikaitkan dengan sedikit lebih rendah

beban kelahiran. ACE-adalah dan angiotensin reseptor blocker

harus dihindari di semua trimesters; Ketika diberikan dalam

trimesters kedua dan ketiga, mereka berhubungan dengan

karakteristik fetopathy, neonatal gagal ginjal, dan kematian, dan

dengan demikian, kontraindikasi. Data terbaru menunjukkan

bahwa mereka seharusnya juga dihindari di trimester pertama.

Akhirnya, mengendalikan hipertensi parah telah belajar di hari

meta-anal-ysis, dan ini menunjukkan bahwa labetalol intravena

atau oral nifedipine adalah sebagai efektif sebagai intravena

hydralazine, dengan efek samping yang lebih sedikit.

Banyak pertanyaan penelitian yang mengelilingi hipertensi

dalam kehamilan dan Preeklamsia tetap tak terjawab. Advance-

ment pengetahuan klinis memerlukan studi yang besar,

kolaboratif, dan multicentered. Misalnya, untuk lebih memahami

perlunya antihypertensive terapi ringan-sedang kronis hipertensi,

sebuah studi yang dirancang untuk mendeteksi penurunan risiko

relatif moderat (20%) di Preeklamsia atau pembatasan

intrauterine pertumbuhan akan memerlukan uji coba secara acak

dengan pendaftaran 1000 atau 3000 wanita dengan hipertensi

kronis. Pengelolaan prasangka hipertensi, kebutuhan untuk

antihypertensive agen, agen obat tertentu, perbedaan ras, BP

tingkat inisiasi terapi, dan perawatan target semua tetap harus

33

Page 35: Hipertensi pada kehamilan

ditentukan. Current pedoman hanya mengandalkan bukti dari

kecil, sebagian besar di bawah - powered cobaan dan pendapat

ahli. Akhirnya, studi obat antihy-pertensive di kehamilan sering

mengevaluasi geografis di-tiveness obat tanpa memeriksa hasil

janin yang terkait dengan harm105; Studi masa depan harus

mencakup rinci hasil risiko dan manfaat bagi ibu dan bayi.

Sistem surveilans yang lebih baik untuk rutin memantau

peristiwa-peristiwa buruk dan jumlah perempuan yang terpapar

dengan agen tertentu diperlukan untuk memandu kemanjuran

pengobatan, memajukan kami pengalaman-tepi drug safety, dan

pada akhirnya meningkatkan pilihan pengobatan.

34

Page 36: Hipertensi pada kehamilan

DAFTAR PUSTAKA

Abalos E, Duley L, Steyn D, dan Henderson-Smart D. 2007. Antihypertensive drug therapy for mild to moderate hypertension during pregnancy. http: //hyper.ahajournals.org/content/51/4/960. (3 Januari 2013)

August P. 2009. Management of Hypertension in Pregnancy. http ://www.uptodate.com/patients/content/topic. (29 Desember 2012)

Beardmore KS dan Morris JM. 2002. Excretion of antihypertensive medication into human breast milk: a systematic review. Hypertensi Pregnancy.

Brooks M. 2005. Pregnancy and Preeclampsia. http : //www.emedicine.com. (1 Januari 2013).

Cunningham FG. 2005. Obstetri William Edisi 21. Jakarta: EGC.

Davis GK, Mackenzie C, Brown MA, Homer CS, Holt J, dan McHugh MG. 2007. Predicting transformation from gestational hypertension preeclampsia in clinical practice: a possible role for 24 hour ambulat blood pressure monitoring. Hypertens Pregnancy.

Gibson P dan Carson M. 2009. Hypertension and Pregnancy. http : //emedicine.medscape.com/article/261435. (3 Januari 2013)

Levine RJ, Maynard SE, Qian C, Lim KH, England LJ, Yu KF, Schisterman EF, Thadhani R, Sachs BP, Epstein FH, Sibai BM, Sukhatme VP, dan Karumanchi SA. 2004. Circulating angiogenic factors and the risk of preeclampsia. N Engl J Med. 350: 97-110.

National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee. NIH publication,.

Purwanto B. 2009. Pathogenesis, Etiology, and Management of Hypertension and Nefrotoxic Agents. Disampaikan pada

35

Page 37: Hipertensi pada kehamilan

Half Day Simposium: Renal Disease Induced by Nefrotoxic Agents. Surakarta

Roeshadi RH. 2004. Hipertensi dalam Kehamilan. In: Hariadi R. Ilmu kedokteran fetomaternal. Surabaya: Himpunan Kedokteran fetomaternal POGI.

AJOG. 2000. Working group on high blood pressure in keywords: Eclampsia, hypertension, preeclampsia, pregnancy, treatment. American Journal of Obstetrics and Gynecology. 183(1).

Shannon ME, Malecha SE, dan Cha AJ. 2000. Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs) and angiotensin II receptor blockers (ARBs) and lactation: an update. J Hum Lact. 16:152–155.

Suhardjono. 2007. Hipertensi pada Kehamilan. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 614-15.

Tan LK dan de Swiet M. 2002.The management of postpartum hypertension. Bjog. 109:733–736.

Tiina P dan August P. 2008. Update on the Use of Antihypertensive Drugs in Pregnancy. http://hyper.ahajournals.org/. (26 Desember 2012)

Reynolds C, Mabie W, dan Sibai B. 2003. Hypertensive States of Pregnancy. In: Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9. New York : McGraw-Hill, pp: 338-353 .

Yogiantoro M. 2007. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 610-14.

36