Hipersensitivitas Tipe 1

download Hipersensitivitas Tipe 1

of 19

description

Analis Kesehatan

Transcript of Hipersensitivitas Tipe 1

Kata PengantarPuji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME ,bahwa kami telah menyelesaiakan tugas mata kuliah Imunologi Serologi 2 dengan membahas materi Hipersensitivitas 1 .Dalam penyusunan dan penulisan tugas atau makalah ini,tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.Sehingga dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik dalam penulisan maupun materi,mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi menyempurnakan pembuatan makalah ini.Dalam pembuatan makalah ini penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu dalam memberikan informasi tentang materi yang terkait.Semoga materi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan menjadi motifasi,khususnya bagi kami.

Bandung, 02 Januari 2016

Penulis

Daftar IsiKata Pengantar 1Daftar isi 2BAB 1 Pendahuluan 31.1 Latar Belakang 31.2 Rumusan Masalah 41.3 Tujuan 4BAB 2 Pembahasan 52.1 Definisi Hipersensitivitas 52.2 Klasifikasi Hipersensitivitas 62.3 Hipersensitivitas tipe 1 62.4 Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1 82.5 Urutan Fase Hipersensitifitas Tipe 1 9BAB 3 Kesimpulan 17Daftar Pustaka 18

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara aktif dan didapat secara pasif.Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka berikut beberapa masalah diantaranya :1. Apa defenisi hipersensitivitas?2. Berapa klasifikasi hipersensitivitas?3. Apa Definisi Hipersensitivitas 1?4. Bagaimana siklus hipersensitivitas type 1?

1.3 Tujuan1. Mengetahui definisi Hipersensitivitas2. Mengetahui klasifikasi hipersensitivitas type 13. Mengetahui siklus hipersensitivitas type 1

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Definisi HipersensitivitasHipersensitivitas menunjukkan suatu kondisi respon imunitas yang menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya bagi penjamu. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang kedua dengan antigen spesifik(alergen). Kontak yang pertama kali merupakan kejadian yang diperlukan untuk menginduksi sensitisasi terhadap alergen tersebut. Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:1.Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.2.Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.

2.2KlasifikasiReaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell diklasifikasikan menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu Hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.

2.3Hipersensitivitas Type 1Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit) stelah terjadi interaksi antara alergen dengan antibody IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas tipe 1 dapat terjadi sebagai reaksi local yang benar-benar mengganggu (misalnya rhinitis alergi) atau sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).Reaksi hipersensitifitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen. Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinassi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast pada individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen. Reaksi ini seringkali disebut sebagai alergi dan antigen yang berperan disebut sebagai alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria, asma dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitifitas yang paling sering terjadi.Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga, merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin. Sementara itu, ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi hipersensitifitas tipe I yang berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang terhirup atau tertelan. Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA.Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase sensitisasi, fase aktivasi dan fase efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan. Fase aktivasi merupakan waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.2.4 Reaksi Hipersensitivitas tipe 1 berdasarkan waktu1) Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepatReaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.2) Reaksi intermedietTerjadi setelah beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen. Reaksi intermediet diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel netrofil atau sel NK. Manifestasinya berupa:a) Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun.b) Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan LES.

3) Reaksi lambatTerlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada DTH yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Manifesstasi klinisnya yaitu dermatitis kontak, reaksi mikobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

2.5 Urutan Fase Reaksi Hipersensitivitas tipe 11. Fase SensitisasiHampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput kelopak mata dan bola mata, yang merupakan fase sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis setelah terpapat alergen dari udara. Respom-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.2. Fase AktivasiUkuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen menunjukan derajat sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit dapat menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang diujikan.Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada jaringan ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga berperan.Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa:1. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE2. hubungan silang dengan antibodi anti IgE3. hubungan silang dengan antibodi-antireseptorNamun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE atau reseptornya. Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen dan berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid. Faktor fisik seperi suhu panas, dingin dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu dingin.Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali dengan perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cAMP dan cGMP berperan dalam regulasi tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan degranulasi. Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi cAMP merupakan mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis.3. Fase EfektorGejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik aktif yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase efektor.

Sel Mast dan Mediator pada Reaksi Tipe ISel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT dan PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme aksinya adalah sebagai berikut:1) Respon awal ditandai dengan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF, Leukotrien C4 D4 E4, protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin D2. Biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit stelah terpajan oleh allergen dan menghilang setelah 60 menit.2) Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel radang akut dan kronis lainnya, sitokin ( kemokin, TNF ), dan leukotrien B4, yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan respon jaringan yang terjadi karena adanya ikatan silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi cepat, reaksi alergi, atau reaksi anafilaksis. Mekanisme umum dari reaksi ini sebagai berikut :a. Alergen berikatan silang dengan IgEb. Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi lainnyac. Timbul manifestasiManifestasi yang ditimbulkan dari reaksi ini berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronkial atau dermatitis atopi.

Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik)Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi, terjadi perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini, energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh pada degranulasi. Peningkatan cAMPakan mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan memacu degranulasi. Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh dari anafilatoksis, c3a dan c5a.Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul. Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin, menunjukan berbagai efek.Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin di antaranya adalah bintul dan kemerahan kulit di samping pengaru lain seperti perangsangan saraf sensoris yang dirasakan gatal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan edema. Pada saluran pernafasan, dapat terjadi sesak yang disebabkan oleh kontaksi otot-otot polos dan kelenjar saluran pernafasan.Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada membran mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan balik negatif. Hal tersebut karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru menghambat pelepasan histamin oleh sel mastosit tersebut.Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara cepat saat mastosit teraktivasi. Ada dua macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor id anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam2-8 jam, terjadi kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil dan basofil, sedang dalam 24 jam yang lebih dominan adalah sel limfosit. Meski dilepaskan secara cepat, inflitrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga perannya akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat.

Mediator SekunderMediator ini mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin. Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam arakhidonat dan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien tipe C4 dan D4 merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasar molar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit. Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mucus. Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolism asam arakhidonat. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.Manifestasi KlinisReaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local. Seringkali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Emberian antigen protein atau obat (misalnya bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan anafilaksis. Dalam beberapa menit stelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Salian itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit.Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic, dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma) seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic atopi belum dimengerti secara jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.

BAB 3KesimpulanJadi, berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme memerantai reaksi hipersensitivitas tipe 1. Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.

Daftar PustakaKumar. Cotran. Robbins. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC. 2007Baratawidjaja KG. imunologi dasar. Ed 6. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2004http://www.medicinesia.com/kedokterandasar/imunologi/hipersensitifitas-tipe-i/http://qurratulaeni48.blogspot.co.id/2015/07/hipersensitivitas-tipe-1.html

17 | Hipersensityvitas Type 1