Hiperplasia Endometrium

22
12 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Siklus Haid Normal Haid merupakan perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai diskuamasi (pelepasan) dari endometrium. Panjang siklus haid ialah jarak tanggal mulainya haid yang lalu dan mulai haid berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus mengandung kesalahan ± 1 hari dikarenakan tidak diketahuinya jam awal terjadinya haid. Siklus haid yang normal adalah 28 hari, namun durasi ini memiliki variasi yang sangat luas antara satu wanita dengan wanita yang lain. Faktor utama yang mempengaruhi panjangnya siklus ini adalah faktor usia. Semakin tua, maka durasi siklusnya semakin lama. Dari pengamatan Hartman, panjang siklus yang biasa pada manusia adalah 25-32 hari dan kira-kira 97 % wanita yang berovulasi siklus haidnya berkisar antara 18- 42 hari. jika siklusnya kurang dari 18 hari atau lebih dari 42 hari biasanya siklusnya tidak berovulasi (anovulatoar). Lama haid juga bervariasi pada setiap wanita. Biasanya 3-5 hari, namun ada yang 1-2 hari, namun ada juga yang sampai 7-8 hari. pada setiap wanita biasanya lama haid itu tetap. Jumlah darah yang keluar rata-rata 33,2 ± 16 cc. pada wanita yang lebih tua atau kekurangan zat besi, darah haid yang keluar biasanya lebih banyak. Bila jumlah darah lebih dari 80 cc dianggap patologis. Darah haid ini tidak membeku yang disebabkan oleh faktor fibrinolisin. Usia pertama kali wanita mendapatkan haid berkisar antara 10-16 tahun dengan rata-rata 12,5 tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor genetik, keadaan gizi dan kesehatan umum. sebagian kecil wanita mengalami gejala seperti merasa berat di panggul atau nyeri (dismenorea) saat haid. A. Aspek Endokrin Dalam Siklus Haid Proses haid pada wanita sangat terkait dengan proses ovulasi yang baru bisa terjadi bila ada regulasi hormon yang melibatkan hypothalamic- pituitary/hipofisis-ovarian axis serta beberapa kalenjar hormon yang lain. Regulasi hormon ini bermula dari hipotalamus yang mensekresi GnRF

description

Perdarahan Uterus Abnormal Akibat Hiperplasia Endometrium Gagal Teraapi Hormonal

Transcript of Hiperplasia Endometrium

12

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Siklus Haid Normal

Haid merupakan perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai

diskuamasi (pelepasan) dari endometrium. Panjang siklus haid ialah jarak tanggal

mulainya haid yang lalu dan mulai haid berikutnya. Hari mulainya perdarahan

dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus mengandung kesalahan ± 1 hari

dikarenakan tidak diketahuinya jam awal terjadinya haid. Siklus haid yang normal

adalah 28 hari, namun durasi ini memiliki variasi yang sangat luas antara satu

wanita dengan wanita yang lain. Faktor utama yang mempengaruhi panjangnya

siklus ini adalah faktor usia. Semakin tua, maka durasi siklusnya semakin lama.

Dari pengamatan Hartman, panjang siklus yang biasa pada manusia adalah 25-32

hari dan kira-kira 97 % wanita yang berovulasi siklus haidnya berkisar antara 18-

42 hari. jika siklusnya kurang dari 18 hari atau lebih dari 42 hari biasanya

siklusnya tidak berovulasi (anovulatoar).

Lama haid juga bervariasi pada setiap wanita. Biasanya 3-5 hari, namun

ada yang 1-2 hari, namun ada juga yang sampai 7-8 hari. pada setiap wanita

biasanya lama haid itu tetap. Jumlah darah yang keluar rata-rata 33,2 ± 16 cc.

pada wanita yang lebih tua atau kekurangan zat besi, darah haid yang keluar

biasanya lebih banyak. Bila jumlah darah lebih dari 80 cc dianggap patologis.

Darah haid ini tidak membeku yang disebabkan oleh faktor fibrinolisin.

Usia pertama kali wanita mendapatkan haid berkisar antara 10-16 tahun

dengan rata-rata 12,5 tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor genetik,

keadaan gizi dan kesehatan umum. sebagian kecil wanita mengalami gejala seperti

merasa berat di panggul atau nyeri (dismenorea) saat haid.

A. Aspek Endokrin Dalam Siklus Haid

Proses haid pada wanita sangat terkait dengan proses ovulasi yang baru

bisa terjadi bila ada regulasi hormon yang melibatkan hypothalamic-

pituitary/hipofisis-ovarian axis serta beberapa kalenjar hormon yang lain.

Regulasi hormon ini bermula dari hipotalamus yang mensekresi GnRF

13

(Gonadotropin Releasing Hormone). Adanya hormon ini kemudian direspon

oleh hipofisis dengan mensekresikan LH (Luteinzing Hormone) dan FSH

(Follicle Stimulating Hormone). Pengeluaran LH dan FSH ini kemudian

mempengaruhi ovarium untuk memproduksi hormon steroid (estrogen) yang

memiliki mekanisme umpan balik terhadap kedua hormon hipofisis itu dengan

regulasi pada hipotalamus. Terhadap FSH, estrogen memberikan umpan balik

negatif, tetapi terhadap LH estrogen memberikan umpan balik positif jika

kadarnya banyak dan umpan balik negatif jika kadarnya sedikit.

Gambar 3.1. Mekanisme Regulasi Hormonal Dalam Proses Haid

Siklus haid normal dapat dipahami dengan membaginya kedalam tiga

bagian yakni :

Fase Folikuler. Di awali dengan regresi corpus luteum yang menyebabkan

kadar estrogen menurun membuat umpan balik positif terhadap FSH

(↓Estrogen ↑GnRH ↑FSH). Akibat kadar FSH yang meningkat, folikel mulai

berkembang dan kemudian mulai memproduksi estrogen lagi. Folikel yang

berkembang ini kemudian melindungi diri dan folikel yang lain mengalami

atresia. Pada saat ini LH juga mulai meningkat, namun perannya hanya

membantu folikel memproduksi estrogen. Semakin berkembang, folikel

semakin sensitif terhadap FSH sehingga dalam kondisi FSH yang tersupresi

13

(Gonadotropin Releasing Hormone). Adanya hormon ini kemudian direspon

oleh hipofisis dengan mensekresikan LH (Luteinzing Hormone) dan FSH

(Follicle Stimulating Hormone). Pengeluaran LH dan FSH ini kemudian

mempengaruhi ovarium untuk memproduksi hormon steroid (estrogen) yang

memiliki mekanisme umpan balik terhadap kedua hormon hipofisis itu dengan

regulasi pada hipotalamus. Terhadap FSH, estrogen memberikan umpan balik

negatif, tetapi terhadap LH estrogen memberikan umpan balik positif jika

kadarnya banyak dan umpan balik negatif jika kadarnya sedikit.

Gambar 3.1. Mekanisme Regulasi Hormonal Dalam Proses Haid

Siklus haid normal dapat dipahami dengan membaginya kedalam tiga

bagian yakni :

Fase Folikuler. Di awali dengan regresi corpus luteum yang menyebabkan

kadar estrogen menurun membuat umpan balik positif terhadap FSH

(↓Estrogen ↑GnRH ↑FSH). Akibat kadar FSH yang meningkat, folikel mulai

berkembang dan kemudian mulai memproduksi estrogen lagi. Folikel yang

berkembang ini kemudian melindungi diri dan folikel yang lain mengalami

atresia. Pada saat ini LH juga mulai meningkat, namun perannya hanya

membantu folikel memproduksi estrogen. Semakin berkembang, folikel

semakin sensitif terhadap FSH sehingga dalam kondisi FSH yang tersupresi

13

(Gonadotropin Releasing Hormone). Adanya hormon ini kemudian direspon

oleh hipofisis dengan mensekresikan LH (Luteinzing Hormone) dan FSH

(Follicle Stimulating Hormone). Pengeluaran LH dan FSH ini kemudian

mempengaruhi ovarium untuk memproduksi hormon steroid (estrogen) yang

memiliki mekanisme umpan balik terhadap kedua hormon hipofisis itu dengan

regulasi pada hipotalamus. Terhadap FSH, estrogen memberikan umpan balik

negatif, tetapi terhadap LH estrogen memberikan umpan balik positif jika

kadarnya banyak dan umpan balik negatif jika kadarnya sedikit.

Gambar 3.1. Mekanisme Regulasi Hormonal Dalam Proses Haid

Siklus haid normal dapat dipahami dengan membaginya kedalam tiga

bagian yakni :

Fase Folikuler. Di awali dengan regresi corpus luteum yang menyebabkan

kadar estrogen menurun membuat umpan balik positif terhadap FSH

(↓Estrogen ↑GnRH ↑FSH). Akibat kadar FSH yang meningkat, folikel mulai

berkembang dan kemudian mulai memproduksi estrogen lagi. Folikel yang

berkembang ini kemudian melindungi diri dan folikel yang lain mengalami

atresia. Pada saat ini LH juga mulai meningkat, namun perannya hanya

membantu folikel memproduksi estrogen. Semakin berkembang, folikel

semakin sensitif terhadap FSH sehingga dalam kondisi FSH yang tersupresi

14

oleh estrogen, folikel dapat berkembang dengan cepat. Kematangan folikel

ditandai dengan tercapainya kadar puncak dari estrogen disertai dengan umpan

balik positif terhadap LH sehingga terjadi lonjakan LH (LH-Surge) pada

pertengahan siklus yang menyebabkan terjadinya ovulasi.

Saat Ovulasi. Lonjakan LH menjadi pemicu dan kematangan folikel menjadi

syarat terjadinya ovulasi. Proses ovulasi diawali dengan pecahnya folikel

akibat perubahan degeneratif kolagen pada dinding folikel sehingga menjadi

lebih tipis.

Fase Luteal. Setelah ovulasi terjadi perubahan morfologi folikel yang

menyebabkan produksi estrogen menurun yang juga membuat kadar LH

menurun secara perlahan. Sel granulosa membesar, membentuk vakuola dan

bertumpuk pigmen kuning (lutein) disertai peningkatan vaskularisasi yang

membuat folikel menjadi korpus luteum setelah mengeluarkan sel telur saat

ovulasi. Pada korpus luteum ada 2 jenis sel granulosa yakni Luteinized

granulosa cells yang memproduksi progesteron dan Luteinized theca cells

yang memproduksi estrogen. Akibatnya pada fase ini kadar estrogen dan

progesteron meningkat. Produksi kedua hormon steroid ini (progesteron dan

estrogen) membutuhkan bantuan dari LH. Setelah 10-20 hari terjadi regresi

corpus luteum yang disertai dengan penurunan kadar hormon estrogen dan

progesteron yang menandai siklus berputar kembali ke fase folikuler.

B. Perubahan Histologik Pada Endometrium Dalam Siklus Haid

Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa pada

endometrium mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan aktivitas

ovarium. Perubahan ini dapat dibagi menjadi 4 fase endometrium, yakni :

1) Fase Menstruasi (Deskuamasi)

Fase ini berlangsung 3-4 hari. Pada fase ini terjadi pelepasan

endometrium dari dinding uterus yakni sel-sel epitel dan stroma yang

mengalami disintergrasi dan otolisis dengan stratum basale yang masih

utuh disertai darah dari vena dan arteri yang mengalami aglutinasi dan

hemolisi serta sekret dari uterus, serviks dan kalenjar-kalenjar vulva.

2) Fase Pasca Haid (Regenerasi)

15

Fase ini berlangsung ± 4 hari (hari 1-4 siklus haid). Terjadi regenerasi

epitel mengganti sel epitel endometrium yang luruh. Regenerasi ini

membuat lapisan endometrium setebal ± 0,5 mm.

3) Fase Intermenstruum (Proliferasi)

Pada fase ini endometrium menebal hingga ± 3,5 mm. berlangsung

selama ± 10 hari (hari ke 5-14 siklus haid).

a) Fase proliferasi dini (early proliferation phase)

Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 5-7). Pada fase ini

terdapat regenerasi kelenjar dari mulut kalenjar dengan epitel

permukaan yang tipis. Bentuk kalenjar khas fase proliferasi yakni

lurus, pendek dan sempit dan mengalami mitosis.

b) Fase proliferasi madya (midproliferation phase)

Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 8-10). Fase ini

berupakan bentuk transisi dan dapat dikenal dari epitel permukaan

yang berbentuk torak dan tinggi. Kalenjar berlekuk-lekuk dan

bervariasi. Sejumlah stroma mengalami edema. Tampak banyak

mitosis dengan inti berbentuk telanjang (nake nucleus)

c) Fase proliferasi akhir (late proliferation phase)

Fase ini berlangsung selama ± 4 hari. Fase ini dapat dikenali dari

permukaan kalenjar yang tidak rata dengan banyak mitosis. Inti

epitel kalenjar membentuk pseudostratifikasi. Stroma semakin

tumbuh aktif dan padat.

4) Fase Pra Haid (Sekresi)

Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi yakni hari ke 14 sampai

hari ke 28. Pada fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun

yang berbeda adalah bentuk kalenjar yang berubah menjadi berlekuk-

lekuk, panjang dan mengeluarkan getah yang semakin nyata. Dalam

endometrium telah tersimpan glikogen dan kapur yang kelak

diperlukan sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan

perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium untuk

menerima telur yang dibuahi. Fase ini terbagi menjadi dua, yakni :

16

a) Fase sekresi dini

Dalam fase ini endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena

kehilangan cairan. Pada saat ini, endometrium dapat dibedakan

menjadi beberapa lapisan yakni :

Stratum basale, yakni lapisan endometrium bagian dalam

yang berbatasan dengan miometrium. Lapisan ini tidak

aktif, kecuali mitosis pada kalenjar.

Stratum spongiosum, yaitu lapisan tengah berbentuk

anyaman seperti spons. Ini disebabkan oleh banyaknya

kalenjar yang melebar, berkelok-kelok dan hanya sedikit

stroma di antaranya.

Stratum kompaktum, yaitu lapisan atas yang padat. Saluran-

saluran kalenjar sempit, lumennya berisi sekret dan

stromanya edema.

b) Fase sekresi lanjut

Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. dalam fase ini

terdapat peningkatan dari fase sekresi dini, dengan

endometrium sangat banyak mengandung pembuluh darah

yang berkelok-kelok dan kaya akan glikogen. Fase ini sangat

ideal untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel

stroma bertambah. Sel stroma ini akan berubah menjadi sel

desidua jika terjadi pembuahan.

C. Mekanisme Haid

Hormon steroid estrogen dan progesteron mempengaruhi pertumbuhan

endometrium. Di bawah pengaruh estrogen, endometrium memasuki fase

proliferasi, sesudah ovulasi endometrium memasuki fase sekresi. Dengan

menurunnya kadar estrogen dan progesteron pada akhir siklus haid, terjadi

regresi endometrium yang kemudian diikuti oleh perdarahan yang dikenal

dengan nama haid.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya proses haid, yakni :

Faktor Enzim

17

Di dalam fase proliferasi, estrogen mempengaruhi tersimpannya

enzim-enzim hidrolitik dalam endometrium serta merangsang

pembentukan glikogen dan asam-asam mukopolisakarida. Zat-zat yang

terakhir ini ikut serta dalam pembangunan endometrium, khususnya

dalam pembangunan stroma di bagian bawahnya. Pada pertengahan

fase luteal, sintesis mukopolisakarida terhenti sehingga akibatnya

pemeabilitas pembuluh darah meningkat yang sudah mulai

berkembang sejak awal fase proliferasi. Dengan demikian, lebih

banyak zat-zat makanan yang mengalir ke dalam stroma endometrium

sebagai persiapan impantasi ovum apabila terjadi pembuahan. Jika

pembuahan tidak terjadi, makan dengan menurunnya kadar

progesteron, enzim-enzim hidrolitik dilepaskan dan merusak bagian-

bagian sel yang berperan dalam sintesis protein. Karena itu, timbul

gangguan dalam metabolisme endometrium yang mengakibatkan

regresi endometrium dan perdarahan.

Faktor Vaskular

Mulai fase proliferasi terjadi pembentukan sistem vaskularisasi dalam

lapisan fungsional endometrium. Pada pertumbuhan endometrium, ikut

tumbuh pula arteri, vena dan hubungan antar keduanya. Dengan regresi

endometrium timbul stasis dalam vena-vena dan saluran yang

menghubungkannya dengan arteri dan akhirnya terjadi nekrosis dan

perdarahan disertai dengan pembentukan hematom baik dari arteri

ataupun dari vena.

Faktor Prostaglandin

Endometrium mengandung banyak prostaglandin E2 dan F2. Dengan

terjadinya disintegrasi endometrium, prostaglandin terlepas da n

mengakibatkan kontraksi miometrium sebagai salah satu faktor

pembatasan perdarahan pada haid.

18

3.2 Perdarahan Uterus Abnormal

3.2.1 Definisi

Peradarahan uterus abnormal merupakan masalah yang sering ditemui dan

penatalaksaannya juga bisa sangat kompleks. Dokter seringkali tidak dapat

mengidentifikasi penyebab dari peradarah abnormal dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Perdarahan uterus abnormal adalah perubahan pada

frekuensi menstruasi, durasi dari pengeluaran atau jumlah kehilangan darah

(Vilos, Lefebvre, Graves, & NS, 2001). Di dalamnya termasuk perdarahan

uterus disfungsional dan perdarahan akibat penyebab struktural seperti polip,

fibroid, hiperplasia endometrium dan komplikasi akibat kehamilan (Ara &

Roohi, 2011).

3.2.2 Klasifikasi (PALM-COEIN)

Terdapat sembilan kategori dari perdarahan uterus abnormal (FIGO, 2011)

yakni polip (polyp), adenomiosis (adenomyosis), leiomioma (leiomyoma),

keganasan dan hiperplasia (malignancy and hyperplasia), koagulopati

(coagulopathy), disfungsi dari ovarium (ovulatory disfunction), endometrium

(endometrial), iatrogenik (iatrogenic) dan tidak terklasifikasikan (not yet

classified). Secara umum, komponen dari grup PALM merupakan kelainan

struktural yang dapat diukur secara visual dengan teknik pencitraan dan/atau

histopatologi, sedangkan grup COEIN terkait dengan entitas (non struktural)

yang tidak bisa ditentukan dengan teknik pencitraan atau histopatologi.

Penggunaan istilah PUD (perdarahan uterus disfungsional) yang

digunakan sebagai diagnosis jika tidak ada penyebab lokal atau sistemik, tidak

termasuk dalam klasifikasi ini dan seharusnya sudah ditinggalkan sejak

klasifikasi ini dibuat. Perempuan yang cocok dengan diagnosis ini secara

umum memiliki 1 atau kombinasi dari koagulopati, gangguan ovulasi atai

gangguan endometrium primer.

1) Polip/Polyp

2) Adenomiosis/Adenomyosis

3) Leiomioma/Leiomyoma

4) Keganasan dan Hiperplasia/Malignancy and Hyperplasia

19

5) Koagulopati/Coagulopathy

6) Gangguan Ovulasi/Ovulatory Disfunction

7) Endometrium/Endometrial

8) Iatrogenik/Iatrogenic

9) Tidak terklasifikasikan/Not yet Classified

3.2.3 Diagnosis

Analisis yang akurat dari sampel endometrium dan lokasi dari lesi intra

uterus merupakan tujuan untuk manjemen terapi yang efektif dan hasil yang

lebih baik. Teknik diagnostik yang tersedia untuk mengevaluasi perdarahaan

uterus abnormal adalah biopsi endometrium, ultrasonografi (USG),

histeroskopi, dan dilatasi kuretase (Ara & Roohi, 2011).

Biopsi endometrium menyediakan sampel yang adekuat untuk

mendiagnosis masalah pada endometrium pada lebih dari 90% kasus, tetapi

gagal untuk mendeteksi polip dan leiomioma. Pemeriksaan USG transvaginal

sangat baik untuk memeriksa kelainan patologis intrauterin. Histeroskopi

merupakan alat yang sangat akurat untuk mendiagnosis polip, fibroma

submukosa dan hiperplasia endometrium tetapi mungkin gagal dalam

mendiagnosis endometritis. Dilatasi kuretase memberikan sampel yang lebih

luar dari ruang uterus dan memiliki sensitivitas yang lebij tinggi daripada

biopsi endometrium terutama pada lesi in situ yang lebih kecil. Pemeriksaan

ini sering dilakukan saat biopsi endometrium tidak adekuat, stenosis pada

serviks atau perdarahan uterus disfungsional yang gagal pada pengobatan (Ara

& Roohi, 2011).

Pada pemeriksaan morfologi dengan histopatologi pada 161 pasien dengan

perdarahan uterus abnormal didapatkan hasil yakni (Ara & Roohi, 2011):

Jenis Lesi Jumlah pasien Persentase Usia

Hiperplasia Endometrium 35 21,74 %

Komplikasi Kehamilan 26 16,15 %

Hiperplasia Adenomatus 24 14,91 %

20

Secretory Endometrium 20 12,42 %

Cystic Glandular Hiperplasia 15 9,31 %

Endometritis 10 6,21 %

Atrofi Endometrium 7 4,34 %

Polip Endometrium dan Servikal 7 4,34 %

Hiperplasia Atipikal 6 3,72 %

Fibroma Submukosa 6 3,72 %

Karsinoma Endometrium 3 1,86 %

Karsinoma Serviks 2 1,24 %

Total 161 100 %

3.2.4 Penatalaksanaan

1) Penatalaksanaan Farmakologi

Usia, keinginan untuk subur, keadaan medis sebelumnya, dan pilihan

pasien merupakan pertimbangan yang sangat penting.

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

Prostaglandin endometrium meningkat pada wanita yang mengalami

perdarahan menstruasi yang berat. Obat anti inflamasi non steroid

menghambat siklo-oksigenase dan menurunkan kadar prostaglandin di

endometrium. Pada penelitian didapatkan bahwa terjadi penurunan

kehilangan daran 20-50 % dengan penggunaan obat ini. Obat ini juga

mengobati dismenorrhea pada lebih dari 70% pasien. terapi diberikan

pada awal menstruasi dan dilanjutkan hingga 5 hari atau sampai

menstruasi berhenti.

Agen Antifibrinolitik

Asam traneksamat, merupakan derivat sintetik dari asam amino

(lysine) yang bekerja dengan menghambat plasminogen secara

reversibel. Obat ini tidak memiliki efek pada parameter koagulasi

darah dan dismenorrhea. Sepertiga wanitaa yang menggunakan obat ini

mengalami efek samping berupa keram pada kaki dan mual. Asam

21

traneksamat 1 gram setiap 6 jam pada 4 hari siklus awal menurunkan

kehilangan darah hingga 40 %.

Danazol

Merupakan steroid sintetis dengan sifat androgenik yang ringan,

menghambat steroidogenesis pada ovarium dan memiliki efek yang

besar pada jaringan endometrium, menghentikan perdarahan hingga

80%. Pada penggunaan terapi ini (100-200 mg perhari), 20% pasien

mengalami amenorrhea dan 70 % mengalami oligomenorrhea. Hampir

50 % pasien dilaporkan tidak mengalami efek samping, dan 20 %

mengalami efek samping minor. Keluhan yang sering disampaikan

adalah peningkatan berat badan pada 60 % pasien. rekomendasi

dengan terapi ini adalah 100-200 mg per hari selama 3 bulan.

Progestin

Pada penelitian Randomized Controlled Trial menunjukkan bahwa

progestin tidak efektif dalam mengontrol perdarahan dibandingkan

dengan asam traneksamat ataupun OAINS. Progestin mungkin bisa

sangat berguna pada wanita dengan siklus yang ireguler dan pada

siklus anovulatoar yang diberikan untuk 12-14 hari setiap bulan.

Medroxyprogesteron asetat digunakan untuk kontrasepsi yang

menyebabkan amenorrhea pada 80 % pasien meskipun sekitar 50 %

pasien mengalami perdarahan ireguler.

Pil Kombinasi

Penurunan kehilangan darah pada saat menstruasi dengan penggunaan

pil kombinasi mungkin merupakan akibat atrofi endometrium.

Penggunaan obat ini dapat menurunkan kehilangaan darah hingga

43%. Keuntungan tambahan dari penggunaan pil kombinasi adalah

dapat sekaligus menjadi alat kontrasepsi dan menurunkan angka

dismenorrhea.

Progestin Intrauterine System

Progesterone pada IUD dilaporkan dapat menurunkan perdarahan pada

menstruasi. Yang paling baru adalah Levonorgestrel Intra Uterine

22

System (LNG-IUS) merupakan IUD dengan bentuk T yang

melepaskan levonorgestrel dalam jumlah yang stabil (20 µg/24 jam).

Pada penelitian yang lain didapatkan bahwan pengggunaan LNG-IUS

dengan melepaska 14 µg/24 jam merupakan metode yang efektif untuk

mensupresi endometrium pada wanita dengan hiperplasia atipikal

ataupun non atipikal.

GnRH Agonist

GnRH agonist menginduksi kondisi hipoestrogenik yang reversibel.

Efektif untuk menurunkan kehilangan darah menstruasi pada wanita

perimenopause, tetapi terbatas dengan efek sampingnya yakni rasa

panas dan penurunan densitas tulang.

2) Penatalaksanaan Bedah

Dilatasi dan Kuretase (DC)

Pada penelitian yang mengukur jumlah darah menstruasi sebelum dan

setelah dilakukan DC didapatkan bahwa terjadi penurunan jumlah

perdarahan. DC memiliki peran diagnosis saat hasil biopsi

endometrium tidak meyakinkan dan gejala masih ada atau dicurigai

adanya kelainan yang mendasari.

Penghancuran Endometrium/Endometrial Destruction

Pengancuran endometrium dapat dilakukan dengan beberapa teknik

pembedahan. Histeroskopi ablasi endometrium dengan fotokoagulasi,

rollerball, elektrokoagulasi atau loop resection dan hasil jangka

panjangnya telah di tinjau oleh Martyn. Metode ini telah ditinjau

secara klinis selama 20 tahun. Dari penelitian didaptkan hasil yang

memuaskan pada 85 % kasus, 10 % pasien dilakukan histerektomi dan

10 % pasien dilakukan ablasi ulang.

Histerektomi

Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapu menorrhagia dan

perdarahan uterus abnormal dan ini terkait dengan angka kepuasan

pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup memiliki anak dan

23

sudah mencoba terapu konservatif dengan hasil yang tidak

memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik.

3.3 Hiperplasia Endometrium

Hiperplasia endometrium merupakan prekursor terjadinya kanker

endometrium yang terkait dengan stimulasi estrogen yang tidak terlawan pada

endometrium uterus. Stimulasi estrogen yang tidak terlawan dari siklus

anovulatory dan penggunaan dari bahan eksogen pada wanita post-

menopause menunjukkan peningkatan kasus hiperplasia endometrium dan

karsinoma endometrium. Kelainan ini biasanya muncul dengan perdarahan

uterus abnormal. Resiko terjadinya progresifitas sangat terkait dengan ada atau

tidak adanya sel atipik. The American Cancer Society (ACS) memperkirakan

ada 40.100 kasus baru dari kanker rahim yang didiagnosis pada tahun 2003,

dimana 95 % berasal dari endometrium. Sistem klasifikasi dari hiperplasia

endometrium sudah dibuat berdasarkan kompleksitas dari kalenjar

endometrium dan sel-sel atipik pada pemeriksaan sitologi. Hiperplasia atipikal

sangat terkait dengan progresifitas menjadi karsinoma endometrium.

Progesifitas dari hiperplasia endometriu, menjadi kondisi patologis yang

lebih agresif sangat terkait dengan diagnosis awal pada endometrium.

Hiperplasia sederhana (simple hyperplasia) lebih sering mengalami regresi

jika sumber estrogen eksogen dihilangkan. Bagaimanapun, hiperplasia atipikal

seringkali berkembang menjadu adenojkarsinoma kecuali diintervensi dengan

terapi medis.

Terapi dengan penggantian hormon sedang dalam penelitian untuk

menentukan dosis dan tipe dari progestin untuk melawan efek stimulasi

berlebihan estrogen pada endometrium.

Hiperplasia endometrium biasanya didiagnosis dengan biopsi

endometrium atau kuretase endometrium setelah seorang wanita menemui

dokter kandungan dengan perdarahan uterus abnormal. Modalitas terapi

tergantung dengan usia pasien, keinginan untuk memiliki anak, dan

keberadaan dari sel atipik pada bahan endometrium. Progestin telah sukses

24

digunakan pada wanita dengan hiperplasia endometrium yang memilih untuk

tidak dilakukan pembedahan.

3.3.1 Definisi

Hiperplasia endometrium didefiniskan sebagai proliferasi dari kalenjar

endometrium dengan bentuk dan ukuran yang ireguler dengan peningkatan

pada rasio kalenjar/stroma. Hiperplasia endometrium lebih jauh

diklasifikasikan menjadi hiperplasia sederhana dan kompleks berdasarkan

kompleksitas dan kerumunan dari struktur kalenjar.

3.3.2 Patogenesis

Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari

onkogen bcl-2 sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang

terletak pada kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma folikuler,

tetapi telah dilaporkan juga terdapat padaa neoplasma lainnya.

Apoptosis seluler secara parsial dihambat oleh ekspresi gen bcl-2 yang

menyebabkan sel bertahan lebih lama. Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya

sebagian diregulasi oleh faktor hormonal dan ekspresinya menurun dengan

signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi.

Kemunduran ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel

apoptosis pada endometrium yang dilihat dengan mikroskop elektron selama

fase sekresi siklus menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi

normal endometrium sedang dalam penelitian tentang bagaimana perannya

dalam terjadinya hiperplasia endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada

hiperplasia endometrium tetapi terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara

mengejutkan, ekspresi gen ini justru menurun pada hiperplasia atipikal dan

karsinoma endometrium.

Peran dari gen Fas/FasL juga telah diteliti akhit-akhir ini tentang kaitannya

denga pembentukan hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari

keluarga tumor necrosis factor (TNF)/Nerve Growth Factor (NGF) yang

berikatan dengan FasL (Fas Ligand) dan menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen

Fas dan FasL meningkat pada sampel endometrium setelah terapi progesteron.

Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2 dapat memberikan kontribusi

25

pembentukan dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2 menurun saat

terdapat progesteron intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat.

Studi diatas telah memberikan tambahan wawasan tentang perubahan

molekuler yang kemudian berkembang secara klinis menjadi hiperplasia

endometrium. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran

bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis molekular terbentuknya hiperplasia

endometrium dan karsinoma endometrium.

3.3.3 Faktor Resiko

Sekitar usia menopause

Didahului dengan terlambat haid atau amenorea

Obesitas

Penderita Diabetes melitus

Pengguna estrogen dalam jangka panjang tanpa disertai pemberian

progestin pada kasus menopause

PCOS – polycystic ovarian syndrome

Penderita tumor ovarium dari jenis granulosa theca cell tumor

3.3.4 Klasifikasi

Hiperplasia endometrium terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi pada

pemeriksaan patologi anatomi, yakni :

Sederhana/simple. Terdapat proliferasi jinak dari kalenjar

endometrium yang berbentuk ireguler dan juga berdilatasi, tetapi tidak

menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling tumpang tindih atau

sel yang atipik

Kompleks/complex. Terdapat proliferasi dari kalenjar endometrium

dengan tepi yang ireguler, arsitektur yang kompleks dan sel yang

tumpang tindih tetapi tidak terdapat sel yang atipik.

Atipikal. Terdapat derajat yang berbeda dari nukleus yang atipik dan

kehilangan polaritassnya,

26

3.3.5 Manifestasi Klinis

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejaka yang paling sering muncul

pada hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari

penggunaan eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hiperplasia

endometrium dengan perdarahan yang banyak. Pasien yang lebih muda pada

usia produktif biasanya muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat

Polycystic Ovarian Syndrome (POCS). POCS menghasilkan stimulasi

estrogen yaang tidak terlawan secara sekunder ke siklus anovulatori. Pada

pasien yang lebih muda dapat juga terdapat peningkatan estrogen secara

sekunder dari konversi perifer dari androstenedione pada jaringan adiposa

(pasien yang obesitas) atau tumor ovarium yang mensekresikan estrogen (pada

granulosa cell tumors dan ovarian thecomas). Konversi perifer dari androgen

menjadi estrogen pada tumor yang mensekresikan androgen pada cotex

adrenalis merupakan etiologi yang jarang dari hiperplasia endometrium.

Pada pasien menopause dengan hiperplasia endometrium hampir selalu

datang dengan perdarahan pervaginam. Meskipun karsinoma harus

dipertimbangkan pada usia ini, atropi endometrium merupakan penyebab yang

sering dari perdarahan pada wanita menopause. Dalam penelitian dengan 226

wanita dengan perdarahan post menopause, 7 % ditemukan dengan karsinoma,

56 % dengan atrofi dan 15 % dengan beberapa bentuk hiperplasia. Hiperplasia

dan karsinoma secara khusus memiliki gejala perdarahan pervaginam yang

berat sedangkan pasien dengan atrofi biasanya hanya muncul bercak-bercaak

perdarahan.

Pap Smear yang spesifik menemukan peningkatan kemungkinan deteksi

kelainan pada endometrium. Resiko dari karsinoma endometrium pada wanita

post menopause dengan perdarahan uterus abnormal meningkat 3-4 lipat saat

Pap Smear menunjukkan histiosit yang mengaandung sel inflamasi akut yang

difagosit atau sel endometrium yang normal. Biarpun begitu, penemuan yang

tidak sengaja dari histiosit pada wanita postmenopause tanpa gejala tidak

memiliki kaitan dengan peningkatan resiko hiperplasia endometrium ataupun

karsinoma endometrium.

27

Usia memiliki efek yang signifikan untuk menindaklaanjuti kelainan pada

AGC pap smear. Pada studi retrospektif pada 281 wanita dengan AGC pap

smear, 90 wanita (32%) memiliki kelainan signifikan yang membutuhkan

intervensi. Pada pasien dengan usia < 50 tahun, hanya 7 pasien (5%) memiliki

lesi non skuamosam sedangkan 19 pasien (15%) yang berusia > 50 tahun

memiliki lesi non skuamosa. Pasien diatas 50 tahun dengan AGC pap smear

memiliki kemungkinan 13 kali lipat menderita kanker rahim dibandingkan

wanita yang berusia kurang dari 50 tahun.

Perjalanan Klinis Hiperplasia Endometrium

Pada penelitian retrospektif, Kurman menjelaskan perjalanan alami dari

hiperplasia endometrium. Pada penelitian ini, 170 wanita dengan hiperplasia

endometrium yang diikuti selama 1 tahun tanpa histerektomi. Hanya 2 pasien

(2%) yang didiagnosis hiperplasia tanpa sel atipia yang menajdi

koriokarsinoma. Pada kedua pasien tersebut, diagnosis awalnya adalah

hiperplasia tanpa sel atipik yang kemudian berkembang menjadi hiperplasia

atipikal sebelum didiagnosis karsinoma endometrium. Walaupun begitu, pada

pasien dengan diagnosis hiperplasia (simpleks dan kompleks), 11 berkembang

menjadi karsinoma endometrium (23%) dan 29 % pasien dengan hiperplasia

kompleks dengan sel atipik berkembang menjadi karsinoma endometrium.

Hiperplasia tanpa sel atipia cenderung mengalami regresi secara spontan,

sedangkan hiperplasia atipikal lebih sering berkembang menjadi karsinoma

endometrium. Karsinoma endometrium yang muncul bersamaan dengan

hiperplasia berkaitan dengan agresifitas penyakit yang rendah. Pada sebuah

penelitian dengan 214 wanita dengan karsinoma endometrium, 43% pasien

didiagnosa dengan hiperplasia endometrium juga. Pad kelompok wanita ini,

sel karsinoma mengalami diferensiasi yang lebih baik. Resiko rekurensi dan

angka bertahan hidup (5-year survival) juga lebih rendah pada wanita dengan

karsinoma endometrium beserta hiperplasia bila dibandingkan dengan wanita

yang hanya didapatkan karsinoma endometrium (rekurensi 4% vs 17%, 5-year

survival 96% vs 85%).

28

Hubungan yang erat antara kanker dengan hiperplasia atipikal

menunjukkan saat diagnosis hiperplasia atipikal ditegakkan, dokter harus

memperhatikan adanya karsinoma endometrium di saat yang sama dalam

uterus. Bila pada pemeriksaan biopsi endometrium atau spesimen kuret

didiagnosis sebagai hiperplasia atipikal , resiko di saat yang sama juga

terdapat karsinoma endometrium adalah 17%-25%. Walaupun begitu, dalam 2

penelitian terbaru, menyimpulkan kemungkinan adanya karsinoma

endometrium pada sampel hiperplasia endometrium sangat tinggi dan

jumlahnya bermakna. Pada penelitian analisis retrospektif pada 44 wanita

dengan rencana histerektomi dalam waktu 10 minggu dengan sampel

endometrium menunjukkana adanya hiperplasia, 19 pasien menunjukkan

adanya karsinoma endometrium. 17 pasien mengalami invasi pada

miometrium dan 7 pasien dengan invasi dalam (FIGO stadium IC atau lebih

tinggi)

3.3.6 Diagnosis

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering

dikeluhkan oleh wanita dengan hiperplasia endometrium. Wanita dengan

perdarahan postmenopause, 15% persen ditemukan hiperplasia endometrium

dan 10% ditemukan karsinoma endometrium. Penemuan penebalan dinding

uterus secara tidak sengaja dengan USG harus diperiksa lebih lanjut untuk

mendiagnosis hiperplasia endometrium. Pada sebuah penelitian dengan 460

wanita usia ≤ 40 tahun dengan perdarahan uterus abnormal, didapatkan hanya

6 wanita (1,3%) yang mengalami hiperplasia endometrium. Tidak ada kasus

hipeplasia atipikal yang ditemukan pada kelompok wanita ini. walaupun

begitu, wanita dibawah usia 40 tahun yang memiliki faktor predisposisi seperti

obesitas dan PCOS harus dievaluasi secara menyeluruh, biasanya dengan USG

dan terkadang dengan biopsi endometrium. Pada penelitian 36 wanita dengan

PCOS, ketebalan endometrium kurang dari 7 mm dan interval antar

menstruasi kurang dari 3 bulan hanya terkait dengan proliferasi endometrium

dan tidak ditemukan adanya hiperplasia endometrium.

29

Banyak modalitas diagnostik yang telah diteliti untuk mendiagnosis secara

optimal penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal dan untuk

mengidentifikasi apakah pada pasien tersebut memiliki resiko untuk terjadinya

hiperplasia atau karsinoma endometrium.

1. Ultrasonografi (USG)

USG menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan

gambaran dari lapisan rahim. Hal ini membantu untuk menentukan

ketebalan rahim. USG transvaginal merupakan prosedur diagnosis yang

non invasif dan relatif murah untuk mendeteksi kelainan pada

endometrium. Walaupun begitu, pada wanita postmenopause, efikasi alat

ini sebagai pendeteksi hiperplasia endometrium ataupun karsinoma tidak

diketahui. Pada percobaan PEPI (Postmenopausal Estrogen/Progestin

Intervensions), dengan batas ketebalan endometrium 5 mm didaptkan

positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV),

sensitifitas, dan spesifisitas untuk hiperplasia endometrium atau karsinoma

adalah 9%, 99%, 90%, 48%.

USG dapat digunakan sebagai panduan untuk menentukan jika

wanita mengalami perdarahan post menopause (PMB) membutuhkan tes

diagnostik yang lebih spesifik lagi (seperti pipelle EMB atau kuret) untuk

menentukan adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium. Pada 339

wanita dengan PMB, tidak ada wanita dengan ketebalan endometrium ≤ 4

mm yang berkembang menjadi karsinoma endometrium selama 10 tahun.

2. Pipelle Endometrial Biopsy

Pengambilan sampel endometrium dengan pipelle merupakan cara yang

efektif dan relatif tidak mahal untuk mengambil jaringan untuk diagnosis

histologi pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Pada penelitian

prospektif, acak untuk membandingkan antara pipelle (n = 149) dan kuret

(n = 126) pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal, sampel

jaringan yang kurang hanya 12,8% dan 9,5%. Perbedaan ini tidak

30

signifikan (P<0,05). Pada kedua kelompok pasien, memiliki kesamaan

diagnosis dengan diagnosis histerektomi sebesar 96%. Studi sebelumnya

menjelaskan wanita dengan banyak penyebab perdarahan uterus abnormal,

bagaimanapun sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan pipelle EMB

untuk membuat diagnosis yang benar. Pada penelitian meta analisis pada

7914 pasien, pipelle memiliki sensitifitas 99% untuk mendeteksi kanker

endometrium pada wanita post menopause, tetapi pada wanita dengan

hiperplasia endometrium, sensitivitas menurun hingga 75%.

3. Histeroskopi dan/atau Dilatasi dan Kuretase

Histeriskopi secara umum telah disepakati sebagai “gold standard” untuk

mengevaluasi kavitas uterus. Polip endometrium dan mioma submukosa

dapat dideteksi dengan histeroskopi dengan sensitivitas 92% dan 82%.

Walaupun begitu, histeroskopi sendiri untuk mendeteksi hiperplasia dan

atau karsinoma endometrium meghasilkan angka false-positive yang tinggi

dan membutuhkan penggunaan dilatasi dan kuret untuk diagnosis.

Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 98%, spesifisitas 95%, PPV 96%

dan NPV 98% bila dibandingkan dengan diagnosis hasil pemeriksaan

jaringaan setelah histerektomi.

4. Sonohisterografi

Sonohisterografi merupakan pendekatan yang relatif baru untuk

mendiagnosis penyebab dari perdarahan uterus abnormal. Keuntungan dari

sonohisterografi yang melebihi dari USG transvaginal adalah

kemampuannya yang lebih baik untuk mengevaluasi kelainan intrauterin

seperti polip dan mioma submukosa. Walaupun begitu, sonohisterografi

sendiri memiliki nilai terbatas untuk mendiagnosis hiperplasia dan

karsinoma endometrium. EMB dengan pipelle merupakan pembuktian

yang efektif untuk mendiagnosis hiperplasia dan karsinoma namun

memiliki sensitifitas yang rendah untuk mendiagnosa lesi yang jinak di

dalam uterus. Beberapa penelitian telah mengkombinasikan transvaginal,

sonohisterografi dan EMB dengan pipelle untuk mengidentifikasi

penyeban dari perdarahan uterus abnormal dan secara spesifik perdarahan

31

post menopause. Bila dibandingkan dengan DC-histeroskopi sebagai

standar utama, transvaginal, sonohisterografi, dan EMB dengan pipelle

memiliki sensitivitas lebih dari 94%.

Wanita dengan perdarahan post menopause harus menjalani

pemeriksaan fisik yang menyebluruh untuk menentukan sumber

perdarahan. Jika pemeriksaan fisik tidak dapat menjelaskan penyebab

perdarahan, USG transvaginal dapat digunakan sebagai panduan untuk

pemeriksaan lebih lanjut. Wanita post menopause dengan penebalan

dinding uterus (>5mm) atau wanita dengan perdarahan persisten yang

tidak bisa dijelaskan membutuhkan biopsi endometrium. Diagnosis

hiperplasia atau karsinoma endometrium pada pemeriksaan biopsi

enometrium harus dievaluasi dengan DC untuk memperoleh spesimen

yang lebih luas.

Gambar. Algoritma Pemeriksaan Penunjang Kelainan Dinding Uterus

USG

> 5 mm< 5mm

Observasi PipelleEMB

PerarahanRekuren Hiperplasia Lain-lain (Proliferasi

endometrium, atropi,kanker)

DC denganHisteroskopi

32

3.3.7 Penatalaksanaan

Pada sebagian besar kasus , terapi hiperplasia endometrium atipik

dilakukan dengan memberikan hormon progesteron. Dengan pemberian

progesteron, endometrium dapat luruh dan mencegah pertumbuhan kembali.

Kadang kadang disertai dengan perdarahan per vaginam. Besarnya dosis dan

lamanya pemberian progesteron ditentukan secara individual. Setelah terapi ,

dilakukan biopsi ulang untuk melihat efek terapi. Umumnya jenis progesteron

yang diberikan adalah Medroxyprogetseron acetate (MPA) 5 – 10 mg per hari

selama 10 hari setiap bulannya dan diberikana selama 3 bulan berturut turut.

Pada pasien hiperplasia komplek harus dilakukan evaluasi dengan D & C

fraksional dan terapi diberikan dengan progestin setiap hari selama 3 – 6

bulan. Pada pasien hiperplasia komplek dan atipik sebaiknya dilakukan

histerektomi kecuali bila pasien masih menghendaki anak. Pada pasien dengan

tumor penghasil estrogen harus dilakukan ekstirpasi.

3.3.8 Progresifitas

Seperti diketahui bahwa hiperplasia endometrium berpotensi berubah

menjadi progresif ke arah karsinoma endometrium. Namun selain menjadi

progresif, hiperplasia endometrium juga dapat mengalami regresi dan juga

dapat persisten.

Tipe Jumlah Sampel % Regresi % Persisten % Progressif

Sederhana 93 80 % 19 % 1 %

Sederhana

dengan Atipia

13 69 % 23 % 8 %

Kompleks 29 80 % 17 % 3 %

Kompleks

dengan Atipia

35 57 % 14 % 29 %

Semua lesi

dengan Atipia

48 58 % 19 % 23 %

37

DAFTAR PUSTAKA

Ara, S., & Roohi, M. (2011). Abnormal Uterine Bleeding; Histipathological

Diagnosis by Conventional Dilatation and Curretage. The Professional Medical

Journal , 587-591.

Elly, J. W., Kennedy, C. M., Clark, E. C., & Bowdler, N. C. (2006). Abnormal

Uterine Bleeding: A Management Algortihm. JABFM , 590-602.

Montgomery, B. E., Daum, G. S., & Dunton, C. J. (2004). Endometrial

Hyperplasia: A Review. Obstetrical and Gynecological Survey , 368-378.

Munro, M. G., Critchley, H. O., Broder, M. S., & Fraser, I. S. (2011). FIGO

Classification System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine Bleeding

in Non Gravid Women of Reproductive Age. International Journal of Gynecology

and Obstetrics , 3-12.

Vilos, G. A., Lefebvre, G., Graves, G. R., & NS, H. (2001). Guideline For The

Management Of Abnormal Uterine Bleeding. Journal Of Obstetrics and

Gynecologics Canada , 1-6.

Wildemeersch, D., & Dhont, M. (2003). Treatment of Non Atypical and Atypical

Endometrial Hyperplasia With a Levonorgestrel-Releasing Intra Uterine System .

American Journal of Obstretics and Gynecologics , 1-4.