Himpunan Perundangan JAMSOSTEK
-
Upload
mbahsuro68 -
Category
Documents
-
view
1.642 -
download
2
Embed Size (px)
description
Transcript of Himpunan Perundangan JAMSOSTEK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992
TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spritual;
b. bahwa dengan semakin meningkatnya peranan tenaga kerja dalam perkembangan pembangunan nasional di seluruh tanah air dan semakin meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai sektor, kegiatan usaha dapat mengakibatkan semakin tinggi resiko yang mengancam keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja sehingga perlu upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja;
c. bahwa perlindungan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan baik dalam hubungan kerja maupun diluar hubungan kerja melalui program jaminan social tenaga kerja selain memberikan ketenangan kerja juga mempunyai dampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin dan produktivitas tenaga kerja;
d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3112) belum mengatur secara lengkap jaminan social tenaga kerja serta tidak sesuai lagi dengan kebutuhan;

e. bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu
ditetapkan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (lembaran Negara Tahun 1970 nomor 1 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3201).
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dan penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.
2. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
3. Pengusaha adalah : a. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik
sendiri; b. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya; c. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia dalam huruf a dan
huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia
4. Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang memperkerjakan tenaga kerja dengan tujuan mencari untuk atau tidak, baik milik swasta maupun milik negara
5. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya.
6. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
7. Cacad adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.
8. Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan.

9. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.
10. Pegawai Pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri.
11. Badan Penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan diperlakukan sama dengan perusahaan, apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan tenaga kerja.
BAB II PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
Pasal 3
(1) Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan social tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi.
(2) Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan social tenaga kerja.
Pasal 4
(1) Program jaminan social tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
(2) Program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.

Pasal 5
Kebijakan dan pengawasan umum program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
Bagian Pertama Ruang Lingkup
Pasal 6
(1) Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam Undang-undang ini meliputi : a. Jaminan Kecelakaan Kerja; b. Jaminan Kematian; c. Jaminan Hari Tua; d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
(2) Pengembangan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayau
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1) Jaminan Sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diperuntukkan bagi tenaga kerja.
(2) Jaminan Sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf d berlaku pula untuk keluarga tenaga kerja.
Bagian Kedua Jaminan Kecelakaan Kerja
Pasal 8
(1) Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima jaminan Kecelakaan
Kerja.
(2) Termasuk tenaga kerja dalam Jaminan Kecelakan Kerja ialah: a. magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah
maupun tidak; b. mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah
perusahaan; c. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

Pasal 9
Jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) meliputi : a. biaya pengangkutan; b. biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan; c. biaya rehabilitasi; d. santunan berupa uang yang meliputi : 1. santunan sementara tidak mampu bekerja; 2. santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya; 3. santunan cacad total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental; 4. santunan kematian.
Pasal 10
(1) Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerja kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggaran dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam.
(2) Pengusaha wajib melaporkan kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam setelah tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan oleh dokter yang merawatnya dinyatakan sembuh, cacad atau meninggal dunia.
(3) Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertmpa kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara sampai memperoleh hak-haknya.
(4) Tata cara dan bentuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 11
Daftar jenis penyakit yang timbul karena hubungan kerja serta perubahannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga Jaminan Kematian
Pasal 12
(1) Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak
atas Jaminan Kematian.
(2) Jaminan Kematian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. biaya pemakaman; b. santunan berupa uang.

Pasal 13
Urutan penerima yang diutamakan dalam pembayaran santunan kematian dan Jaminan Kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 hurf d butir 4 dan Pasal 12 ialah : a. janda atau duda; b. anak; c. orang tua; d. cucu; e. kakek atau nenek; f. saudara kandung; g. mertua.
Bagian Keempat Jaminan Hari Tua
Pasal 14
(1) Jaminan Hari Tua dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau sebagian dan berkala, kepada tenaga kerja karena :
a. telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, atau b. cacad total tetap setelah ditetapkan oleh dokter.
(2) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada janda
atau duda atau anak yatim piatu.
Pasal 15
Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat dibayarkan sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tehun, setelah mencapai masa kepesertaan tertentu, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Pasal 16
(1) Tenaga kerja, suami atau istri, dan anak berhak memperoleh Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
(2) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi : a.
b. c. d. e. f.
rawat jalan tingkat pertama; rawat jalan tingkat lanjutan; rawat inap; pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan; penunjang diagnostik; pelayanan khusus;

g. pelayanan gawat darurat.
BAB IV K E P E S E R T A A N
Pasal 17
Pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
Pasal 18
(1)
Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya, daftar upah beserta perubahan-perubahan dan daftar kecelakaan kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha wajib menyampaikan data ketenagakerjaan dan data perusahaan yangberhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara.
(3) Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial tenaga kerja, maka pengusaha wajib memberikan hak-hak tenaga kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
(4) Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan kepada tenaga kerja, maka pengusaha wajib memenuhi kekurangan jaminan tersebut.
(5) Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran jaminan, maka pengusaha wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Badan Penyelenggara.
(6) Bentuk daftar tenaga kerja, daftar upah, daftar kecelakaan kerja yang dimuat dalam buku, dan tata cara penyampaian data ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 19
(1) Pentahapan kepesertaan program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja disebabkan adanya pentahapan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pengusaha wajib memberikan JaminanKecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya sesuai dengan Undang-undang ini.

(3) Tata cara pelaksanaan hak tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri.
BAB V IURAN, BESARNYA JAMINAN DAN TATA CARA PEMBAYARAN
Pasal 20
(1) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, iuran Jaminan Kematian, dan iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditanggung oleh pengusaha.
(2) Iuran Jaminan Hari Tua ditanggung oleh pengusaha dan tenaga kerja.
Pasal 21
Besarnya iuran, tata cara, syarat pembayaran, besarnya denda, dan bentuk iuran program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Pengusaha wajib membayar iuran dan melakukan pemungutan iuran yang menjadi kewajiban tenaga kerja melalui pemotongan upah tenaga kerja serta membayarkan kepada Badan Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dalam hal keterlambatan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Besarnya dan tatacara pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan tatacara pelayanan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja dilakukan oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan menghitung kembali dan menetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Menteri menetapkan kecelakaan kerja, dan besarnya jaminan yang belum tercantum dalam peraturan pelaksanaan Undang-undang ini.
(4) Perbedaan pendapat dan perhitungan besarnya jumlah Jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) penyelesaiannya ditetapkan oleh Menteri.
BAB VI BADAN PENYELENGGARA
Pasal 25
(1) Penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja dialkukan oleh Badan Penyelenggara.
(2) Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya mengutamakan pelayanan kepada peserta dalam rangka peningkatan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja beserta keluarganya.
Pasal 26
Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), wajib membayar jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu tidak lebih dari 1 (satu) bulan.
Pasal 27
Pengendalian terhadap penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja oleh Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan dalam pengawasan mengikutsertakan unsur pengusaha dan unsur tenaga kerja, dalam wadah yang menjalankan fungsi pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 28
Penempatan investasi dan pengelolaan dana program jaminan sosial tenaga kerja oleh Badan Penyelenggara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
(1) Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
Pasal 30
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi administrasi, ganti rugi, atau denda yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII P E N Y I D I K A N
Pasal 31
(1) Selain penyisik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia juga kepada pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi ketenagakerjaan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76), Tambahan Lembaran tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang : a. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;

b. melakukan penelitian terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;
d. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti dan melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;
e. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian sehubungan dengan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja.
BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 32
Kelebihan pembayaran jaminan yang telah diterima oleh yang berhak tidak dapat diminta kembali.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33 (1) Selama peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-undang ini
belum dikeluarkan, maka semua peraturan perundang-undangan yang mengatur program asuransi sosial tenaga kerja dan penyelenggaraannya yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
(2) Selama peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka perusahaan yang telah menyelenggarakan program asuransi sosial tenaga kerja dan jaminan sosial tenaga kerja lainnya tetap melaksanakannya.
(3) Tenaga kerja yang telah menjadi tertanggung atau peserta dalam program asuransi sosial tenaga kerja dan jaminan sosial tenaga kerja lainnya dengan berlakunya Undang-undang ini tidak boleh dirugikan.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 3) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 35
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

UU 3/1992, JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:3 TAHUN 1992 (3/1992) Tanggal:17 PEBRUARI 1992 (JAKARTA) _________________________________________________________________ Tentang:JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a.bahwa pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual; b.bahwa dengan semakin meningkatnya peranan tenaga kerja dalam perkembangan pembangunan nasional di seluruh tanah air dan semakin meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai sektor kegiatan usalia dapat mengakibatkan semakin tinggi risiko yang mengancam keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja, sehingga perlu upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja; c.bahwa perlindungan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan baik dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja melalui program jaminan sosial tenaga kerja, selain memberikan ketenangan kerja juga mempunyai dampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin dan produktivitas tenaga kerja; d.bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3112) belum mengatur secara lengkap jaminan sosial tenaga kerja serta tidak sesuai lagi dengan kebutuhan; e.bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja; *6296 Mengingat: 1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2.Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk scluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4); 3.Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); 4.Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918); 5.Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3201); Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1.Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. 2.Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 3.Pengusaha adalah: a.orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b.orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; *6297 c.orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia, mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

4.Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik milik swasta maupun milik negara. 5.Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya. 6.Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui. 7.Cacad adalah keadaan hilang alau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan. 8.Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan. 9.Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. 10.Pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri. 11Badan penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja. 12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan. Pasal 2 Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan diperlakukan sama dengan perusahaan, apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan tenaga kerja. BAB II PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA Pasal 3

(1)Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja *6298 diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mckanisme asuransi. (2)Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Pasal 4 (1)Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. (2)Program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (3)Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 5 Kebijaksanan dan pengawasan umum program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. BAB III PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA Bagian Pertama Ruang Lingkup Pasal 6 (1)Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam Undang-undang ini meliputi: a.Jaminan Kecelakaan Kerja; b.Jaminan Kematian; c.Jaminan Hari Tua; d.Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. (2)Pengembangan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 7 (1)Jaminan sosial tenaga kerja sebagiamana dimaksud dalam Pasal 6 diperuntukkan bagi tenaga kerja. (2)Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 6

huruf d berlaku pula untuk keluarga tenaga kerja. Bagian Kedua Jaminan Kecelakaan Kerja Pasal 8 (1)Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima Jaminan Kecelakaan Kerja. *6299 (2)Termasuk tenaga kerja dalam Jaminan Kecelakaan Kerja ialah: a.magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak; b.mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan; c.narapidana yang dipekerjakan di perusahaan. Pasal 9 Jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)meliputi: a.biaya pengangkutan; b.biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan; c.biaya rehabilitasi; d.santunan berupa uang yang meliputi: 1.santunan sementara tidak mampu bekerja; 2.santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya; 3.santunan cacad total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental. 4.santunan kematian. Pasal 10 (1)Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerja kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam. (2)Pengusaha wajib melaporkan kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam setelah tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan oleh dokter yang merawatnya dinyatakan sembuh, cacad atau meninggal dunia. (3)Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara sampai memperoleh hak-haknya. (4)Tata cara dan bentuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 11 Daftar jenis penyakit yang timbul karena hubungan kerja serta perubahannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Bagian Ketiga Jaminan Kematian

Pasal 12 (1)Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas Jaminan Kematian. (2)Jaminan Kematian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a.biaya pemakaman; b.santunan berupa uang. Pasal 13 *6300 Urutan penerima yang diutamakan dalam pembayaran santunan kematian dan Jaminan Kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d butir 4 dan Pasal 12 ialah: a.janda atau duda; b.anak; c.orang tua; d.cucu; e.kakek atau nenck; f.saudara kandung; g.mertua. Bagian Keempat Jaminan Hari Tua Pasal 14 (1)Jaminan Hari Tua dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau sebagian dan berkala, kepada tenaga kerja karena: a.telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, atau b.cacad total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. (2)Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim piatu. Pasal 15 Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat dibayarkan sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, sctelah mcncapai masa kepesertaan tertentu, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pasal 16 (1)Tenaga kerja, suami atau isteri, dan anak berhak memperoleh Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan. (2)Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi: a.rawat jalan tingkat pertama; b.rawat jalan tingkat lanjutan; c.rawat inap; d.pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan; e.penunjang diagnostik; f.pelayanan khusus; g.pelayanan gawat darurat. BAB IV KEPESERTAAN Pasal 17 Pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja. Pasal 18 (1)Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya, daftar upah beserta perubahan-perubahan, dan daftar kecelakaan kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri. *6301 (2)Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha wajib menyampaikan data ketenagakerjaan dan data perusahaan yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara. (3)Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial tenaga kerja, maka pengusaha wajib memberikan hak-hak tenaga kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. (4)Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan kepada tenaga kerja, maka pengusaha wajib memenuhi kekurangan jaminan tersebut. (5)Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran jaminan, maka pengusaha wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Badan Penyelenggara. (6)Bentuk daftar tenaga kerja, daftar upah, daftar kecelakaan kerja yang dimuat dalam buku, dan tata cara penyampaian data ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan olch Menteri. Pasal 19

(1)Pentahapan kepesertaan program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2)Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja disebabkan adanya pentahapan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pengusaha wajib memberikan Jaminan Kecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya sesuai dengan Undang-undang ini. (3)Tata cara pelaksanaan hak tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. BAB V IURAN, BESARNYA JAMINAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN Pasal 20 (1)Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, luran Jaminan Kematian, dan Iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditanggung oleh pengusaha. (2)Iuran Jaminan Hari Tua ditanggung oleh pengusaha dan tenaga kerja. Pasal 21 Besarnya iuran, tata cara, syarat pembayaran, besarnya denda, dan bentuk iuran program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan *6302 dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 22 (1)Pengusaha wajib membayar iuran dan melakukan pemungutan iuran yang menjadi kewajiban tenaga kerja melalui pemotongan upah tenaga kerja serta membayarkan kepada Badan Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2)Dalam hal keterlambatan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 23 Besarnya dan tata cara pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua,dan tata cara pelayanan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 24 (1)Perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja yang harus dibayarkan

kepada tenaga kerja dilakukan oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2)Dalam hal perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan menghitung kembali dan menetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3)Menteri menetapkan kecelakaan kerja, dan besarnya jaminan yang belum tercantum dalam peraturan pelaksanaan Undang-undang ini. (4)Perbedaan pendapat dan perhitungan besarnya jumlah jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) penyelesaiannya ditetapkan oleh Menteri. BAB VI BADAN PENYELENGGGARA Pasal 25 (1)Penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja dilakukan oleh Badan Penyelenggara. (2)Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3)Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya mengutamakan pelayanan kepada peserta dalam rangka peningkatan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja beserta keluarganya. Pasal 26 *6303 Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), wajib membayar jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu tidak lebih dari 1 (satu) bulan. Pasal 27 Pengendalian terhadap penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja oleh Badan Penyelenggara sebaga imana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan dalam pengawasan mengikutsertakan unsur pengusaha dan unsur tenaga kerja, dalam wadah yang menjalankan fungsi pegawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 28 Penempatan investasi dan pengelolaan dana program jaminan sosial tenaga kerja oleh Badan Penyclenggara diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 29 (1)Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah). (2)Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kedua kalinya atau lebih, setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan. (3)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 30 Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi administratif, ganti rugi, atau denda yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII PENYIDIKAN Pasal 31 (1)Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi *6304 ketenagakerjaan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan

penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. (2)Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang a.melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja; b.melakukan penelitian terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja; c.meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja; d.melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti dan melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja; e.melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian sehubungan dengan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 32 Kelebihan pembayaran jaminan yang telah diterima oleh yang berhak tidak dapat diminta kembali. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 (1)Selama peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka semua peraturan perundang-undangan yang mengatur program asuransi sosial tenaga kerja, dan penyclenggaraannya yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, telah berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. (2)Selama peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka perusahaan yang telah menyelenggarakan program asuransi sosial tenaga kerja dan jaminan sosial tenaga kerja lainnya tetap melaksanakannya. (3)Tenaga kerja yang telah menjadi tertanggung atau peserta dalam program asuransi sosial tenaga kerja dan jaminan sosial tenaga kerja lainnya dengan berlakunya Undang-undang ini tidak boleh dirugikan.

*6305 BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 35 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memcrintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Repub lik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA UMUM Pembangunan sektor ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya pembangunan sumberdaya manusia merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur baik materiil maupun spiritual. Peranserta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraannya, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitias nasional. Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk

program jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong-royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan *6306 Undang-Undang Dasar 1945. Pada dasarnya program ini menekankan pada perlindungan bagi tenaga kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Oleh karena itu pengusaha memikul tanggung jawab utama, dan secara moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja. Di samping itu, sudah sewajarnya apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja demi terwujudnya perlindungan tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Sudah menjadi kodrat, bahwa manusia itu berkeluarga dan berkewajiban menanggung kebutuhan keluarganya. Oleh karenanya, kesejahteraan yang perlu dikembangkan bukan hanya bagi tenaga kerja sendiri, tetapi juga bagi keluarganya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas, yang harus tetap terpelihara termasuk pada saat tenaga kerja kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko sosial antara lain kecelakaan kerja, sakit, meninggal dunia, dan hari tua. Dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja, Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja sebagai perwujudan pertanggungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Pada hakekatnya program jaminan sosial tenaga kerja ini memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek, antara lain: a.memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya; b.merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga (dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja. Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan dalam Undang-undang ini sebagai pelaksanaan Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Akan tetapi mengingat objek yang mendapat jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-undang ini diprioritaskan bagi tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan, perorangan dengan menerima upah, maka kepada tenaga kerja di luar hubungan kerja atau dengan kata lain tidak bekerja pada perusahaan, pengaturan tentang jaminan sosial tenaga kerjanya akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Adapun ruang lingkup yang diatur di dalam Undang-undang ini meliputi:

1. Jaminan Kecelakaan Kerja. Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja merupakan risiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacad karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya jaminan Kecelakaan Kerja. Mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja sifatnya sangat relatif sehingga sulit ditetapkan derajat cacadnya, *6307 maka jaminan atau santunan hanya diberikan dalam hal terjadinya cacad mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bisa bekerja lagi. 2. Jaminan Kematian. Tenaga Kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan Jaminan Kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. 3. Jaminan Hari Tua. Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mampu bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi ketenangan kerja sewaktu mereka masih bekerja, terutama bagi mereka yang penghasilannya rendah. Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau memenuhi persyaratan tertentu. 4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan di bidang penyembuhan (kuratif). Oleh karena, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penanggulangan kemampuan masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja. Di samping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja yang meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Dengan demikian diharapkan tercapainya derajat kesehatan tenaga kerja yang optimal sebagai potensi yang produktif bagi pembangunan. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan selain untuk tenaga kerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya. Mengingat Jaminan sosial tenaga kerja merupakan program lintas sektoral yang saling mempengaruhi dengan usaha peningkatan kesejahteraan sosial lainnya, maka program jaminan sosial tenaga kerja dilaksanakan secara bertahap dan saling menunjang dengan usaha-usaha pelayanan masyarakat dalam

bidang kesehatan, kesempatan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja. Pengawasan terhadap Undang-undang ini, dan peraturan pelaksanaannya dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan Angka 12 Cukup jelas *6308 Pasal 2 Yang dimaksud dengan usaha sosial dan usaha-usaha lain yang diperlakukan sama dengan perusahaan adalah yayasan, badan-badan, lembaga- lembaga ilmiah serta badan usaha lainnya dengan nama apapun yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan tenaga kerja. Pasal 3 Ayat (1) Dalam penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja ini dapat digunakan mekanisme asuransi untuk menjamin solvabilitas dan kecukupan dana guna memenuhi hak-hak peserta dan kewajiban lain dari Badan Penyelenggara dengan tidak meninggalkan watak sosialnya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja adalah orang yang bekerja pada setiap bentuk usaha (perusahaan ) atau perorangan dengan menerima upah termasuk tenaga harian lepas, borongan, dan kontrak. Mengingat jaminan sosial tenaga kerja merupakan hak dari tenaga kerja, maka ketentuan ini menegaskan bahwa setiap perusahaan atau perorangan wajib menyelenggarakannya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 5

Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Lihat Penjelasan Umum Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur jaminan sosial tenaga kerja lainnya yang dapat diberikan kepada tenaga kerja dalam rangka meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja itu sendiri, beserta keluarganya antara lain program jaminan pesangon sebagai akibat pemutusan hubungan kerja. Pasal 7 *6309 Ayat (1) Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, setiap saat menghadapi risiko sosial berupa peristiwa yang dapat mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan perlindungan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang bertujuan untuk memberikan ketenangan bekerja dan menjamin kesejahteraan tenaga kerja berserta keluarganya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Magang merupakan tenaga kerja yang secara nyata belum penuh menjadi tenaga kerja atau karyawan suatu perusahaan, tetapi telah melakukan pekerjaan di perusahaan. Demikian pula murid atau siswa yang melakukan pekerjaan dalam rangka kerja praktek, berhak atas Jaminan Kecelakaan Kerja apabila tertimpa kecelakaan kerja. Huruf b Pemborong yang bukan pengusaha dianggap bekerja pada pengusaha yang memborongkan pekerjaan.

Huruf c Narapidana yang dipekerjakan pada perusahaan perlu diberi perlindungan berupa jaminan Kecelakaan Kerja, jika tertimpa kecelakaan kerja. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Santunan berupa uang diberikan kepada tenaga kerja atau keluarganya. Pembayaran santunan ini pada prinsipnya diberikan secara berkala dengan maksud agar tenaga *6310 kerja atau keluarganya dapat memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya secara terus menerus. Selain pembayaran santunan secara berkala dapat juga diberikan sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong ke arah kegiatan yang bersifat produktif dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Pasal 10 Ayat (1) Di samping pengusaha wajib melaporkan kejadian kecelakaan, maka keluarga, Serikat Pekerja, kawan-kawan sekerja serta masyarakat dibenarkan memberitahukan kejadian kecelakaan tersebut kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12

Ayat (1) Yang dimaksud dengan keluarga yang ditinggalkan adalah isteri atau suami, keturunan sedarah dari tenaga kerja menurut garis lurus ke bawah, dan garis lurus ke atas, dihitung sampai derajat kedua termasuk anak yang disahkan. Apabila garis lurus ke atas dan ke bawah tidak ada, diambil garis ke samping dan mertua. Bagi tenaga kerja yang tidak mempunyai keluarga, hak atas Jaminan Kematian dibayarkan kepada pihak yang mendapat surat wasiat dari tenaga kerja yang bersangkutan atau perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Dalam hal magang atau murid, mereka yang memborong pekerjaan, dan narapidana meninggal dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas Jaminan Kematian. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan biaya pemakaman antara lain pembelian tanah, peti mayat, kain kafan , transportasi, dan lain- lain yang bersangkutan dengan tata cara pemakaman sesuai dengan adat- istiadat, agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta kondisi daerah masing-masing *6311 tenaga kerja yang bersangkutan. Huruf b Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, maka hak atas Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala, diberikan kepada janda atau duda, atau anak yatim piatu. Apabila tenaga kerja meninggal dunia sebelum hak Jaminan Hari Tua timbul, maka.hak atas Jaminan Hari Tua tersebut diberikan kepada janda atau duda, atau anak yatim piatu secara sekaligus atau berkala. Yang dimaksud dengan yatim piatu adalah anak yatim atau anak piatu, yang ada pada saat janda atau duda meninggal dunia masih menjadi tanggungan janda atau duda tersebut. Pasal 15

Yang dimaksud dengan masa kepesertaan tertentu adalah jangka waktu tenaga kerja telah mencapai masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Pembayaran Jaminan Hari Tua berdasarkan masa kepesertaan tertentu dapat diberikan kepada tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Pasal 16 Ayat (1) Upaya pemeliharaan kesehatan meliputi aspek-aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara tidak terpisah-pisah. Namun demikian khusus untuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja lebih ditekankan pada aspek kuratif dan rehabilitatif tanpa mengabaikan dua aspek lain. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat pertama adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilakukan di Pelaksana Pelayanan kesehatan tingkat pertama. Huruf b Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat lanjutan *6312 adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang merupakan rujukan (lanjutan) dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan rawat jalan tingkat pertama. Huruf c Yang dimaksud dengan rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan rumah sakit dimana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan atau rumah sakit Pelaksana Pelayanan Kesehatan lain. Pelaksana Pelayanan Kesehatan rawat inap: 1. rumah sakit pemerintah pusat dan daerah; 2. rumah sakit swasta yang ditunjuk. Huruf d

Yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur kandungan. Huruf e Yang dimaksud dengan penunjang diagnostic adalah semua pemeriksaan dalam rangka menegakkan diagnosa yang dipandang perlu oleh pelaksana pengobatan lanjutan dan dilaksanakan di bagian diagnostic, rumah sakit atau di fasilitas khusus untuk itu, meliputi: 1. pemeriksaan laboratorium; 2. pemeriksaan radiologi; 3. pemeriksaan penunjang diagnosa lain. Huruf f Yang dimaksud dengan pelayanan termasuk perawatan khusus adalah pemeliharaan kesehatan yang memerlukan perawatan khusus bagi penyakit tertentu serta pemberian alat-alat organ tubuh agar dapat berfungsi seperti semula, yang meliputi: 1. kaca mata; 2. prothese gigi; 3. alat bantu dengar; 4. prothese anggota gerak; 5. prothese mata. Huruf g Yang dimaksud dengan keadaan gawat darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan pemeriksaan medis segera, yang apabila tidak dilakukan akan menyebabkan hal yang fatal bagi penderita. *6313 Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Daftar keluarga merupakan keterangan penting sebagai bahan untuk menetapkan siapa yang berhak atas jaminan atau santunan. Hal ini untuk mencegah agar hak tersebut tidak jatuh kepada orang lain yang bukan keluarganya. Daftar upah diperlukan untuk menentukan besarnya iuran dan jaminan atau santunan yang menjadi hak tenaga kerja. Daftar kecelakaan kerja diperlukan untuk mengetahui tingkat keparahan dan frekuensi kecelakaan kerja di perusahaan yang gunanya untuk tindakan preventif dan pelaksanaan pembayaran jaminan atau santunan.

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Sesuai dengan tahap perkembangan pembangunan nasional yang berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat pada umumnya dan perusahaan pada khususnya dalam membiayai program jaminan sosial tenaga kerja maupun kemampuan administrasi, dipandang perlu diadakan pentahapan kepesertaan. Ayat (2) Pada prinsipnya semua tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan jaminan sosial tenaga kerja. Dengan adanya pentahapan kepesertaan dan tidak diberlakukannya lagi Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia, maka terdapat tenaga kerja yang tidak mendapatkan perlindungan terhadap risiko kecelakaan kerja. Sesuai dengan prinsip risiko pekerjaan (risque profesionnel) dimana risiko ditimpa kecelakaan dalam menjalankan pekerjaan merupakan tanggung jawab *6314 pengusaha, maka pengusaha yang belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja tetap bertanggung jawab atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerjanya. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Kecelakaan kerja pada dasarnya merupakan suatu risiko yang seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Oleh karena itu, pembiayaan-program ini sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha, sedangkan jaminan sosial tenaga kerja lebih menekankan kepada aspek kemanusiaan, dimana pengusaha perlu memperhatikan nasib tenaga kerja serta keluarganya.

Oleh karena itu, beban Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dan Jaminan Kematian (ditanggung oleh pengusaha. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal pengusaha yang telah mempunyai itikad baik untuk membayar iuran dan mengumpulkan iuran tenaga kerjanya, tetapi ternyata terlambat membayarkan kepada Badan Penyelenggara dari waktu yang ditentukan, dapat diwajibkan membayar tambahan presentase pembayaran yang diperhitungkan dengan keterlambatannya. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Dalam rangka memberikan pelayanan, acara cepat kepada tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan, maka Badan Penyelenggara perlu segera mengadakan perhitungan, dan secepatnya membayarkan jaminan dimaksud kepada yang berhak. Ayat (2) Cukup jelas *6315 Ayat (3) Dalam hal ketetapan Menteri belum ada, maka untuk mempercepat dan memperlancar pemberian Jaminan Kecelakaan Kerja kepada tenaga kerja, maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan menetapkan sementara kecelakaan kerja, dan besarnya jaminan setelah memperoleh pertimbangan dokter penasihat, sedangkan penetapan akhir oleh Menteri. Yang dimaksud dengan dokter penasihat adalah dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan atas usul dan diangkat oleh Menteri untuk keperluan pelaksanaan Undang-undang ini.

Ayat (4) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Bentuk Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud adalah Perusahaan Perseroan (PERSERO). Mengingat luasnya program dan besarnya jumlah kepesertaan maka program jaminan sosial tenaga kerja bila dipandang perlu dapat diselenggarakan oleh lebih dari satu Badan Usaha Milik Negara. Ayat (3) Mengingat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja melaksanakan program peningkatan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja yang dananya berasal dari iuran pengusaha dan tenaga kerja, maka Badan Usaha Milik Negara yang diserahi tugas menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, sudah sewajarnya mengutamakan pelayanan kepada peserta di samping melaksanakan prinsip solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas. Dengan demikian Badan Penyelenggara dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik dan dapat membiayai kebutuhannya sendiri sebagai perusahaan, sehingga tidak akan membebani anggaran belanja Negara. Pasal 26 Yang dimaksud dengan tidak lebih dari 1 (satu) bulan adalah setelah dipenuhinya syarat-syarat teknis dan administratif oleh pengusaha dan atau tenaga kerja. Pasal 27 Pemberian peranan kepada unsur tenaga kerja, unsur pengusaha bersama-sama dengan unsur pemerintah dalam penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja akan meningkatkan rasa ikut memiliki, dan rasa ikut bertanggung jawab dalam rangka upaya menyukseskan penyelenggaraan program jaminan sosial *6316 tenaga kerja, mengingat sebagian besar dari kekayaan yang dimiliki oleh Badan Penyelenggara berasal dari iuran pengusaha dan tenaga kerja. Pasal 28

Upaya pengamanan kekayaan/asset Badan Penyelenggara dan investasinya harus memenuhi syarat aman, memberikan hasil, memenuhi kewajiban (likuid), dan diversifikasi dalam bentuk yang menguntungkan serta mencegah risiko yang tidak diinginkan. Mengingat program jaminan sosial tenaga kerja menyangkut kepentingan tenaga kerja yang sebagian besar mereka yang berpenghasilan rendah, maka upaya pengamanan kekayaan baik investasi, pengelolaan maupun penyimpanan uang harus terjamin. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 32 Kelebihan pembayaran jaminan disengaja ataupun tidak kepada yang berhak akibat kekeliruan penetapan perhitungan, oleh Badan Penyelenggara atau Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan tidak dapat diminta kembali mengingat keadaan sosial ekonomi tenaga kerja atau keluarganya. Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur program asuransi sosial tenaga kerja adalah semua peraturan perundang-undangan yang mengatur Asuransi Kecelakaan Kerja, Tabungan Hari Tua yang dikaitkan dengan Asuransi Kematian dan jaminan sosial tenaga kerja lainnya yang selama ini telah dilaksanakan. *6317 Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Dengan berlakunya Undang-undang ini perusahaan yang telah mempertanggungkan tenaga kerjanya pada program jaminan sosial tenaga kerja yang lebih baik atau lebih tinggi, maka tenaga kerjanya tidak boleh dirugikan. Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas -------------------------------- CATATAN Kutipan:LEMBAR LEPAS SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1992 _________________________________________________________________

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1993
TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, diperlukan adanya ketentuan yang mengatur penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2 Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan lembaran Negara Nomor 3468);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYELENGGA RAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.
BAB I
PENGERTIAN
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Badan Penyelenggaraan adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
2. Peserta adalah Pengusaha dan tenaga kerja yang ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
3. Upah sebulan adalah upah yang sebenarnya diterima oleh tenaga kerja selama satu bulan yang terakhir dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika upah dibayarkan secara harian, maka upah sebulan sama dengan upah sehari dikalikan 30 (tiga puluh);
b. Jika upah dibayarkan secara borongan atau satuan, maka upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir;
c. Jika pekerjaan tergantung dari keadaan cuaca yang upahnya didasarkan pada upah borongan, maka upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.

4. Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan adalah orang atau Badan yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara untuk memberikan pelayanan kesehatan.
5. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.
BAB II
KEPESERTAAN
Bagian Pertama
Persyaratan Kepesertaan
Pasal 2
(1) Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini,terdiri dari :
A. Jaminan berupa uang yang meliputi :
1. Jaminan Kecelakaan kerja; 2. Jaminan kematian; 3. Jaminan Hari Tua;
B. Jaminan berupa pelayanan, yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
(2) Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaumana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000; (satu juta rupiah) sebulan, wajib mengikut sertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang telah menyelenggarakan sendiri program pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat yang lebih baik dari Paket Jaminan pemeliharaan Kesehatan Dasar menurut Peraturan Pemerintah ini, tidak wajib ikut dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.
(5) Pengusaha dan tenaga kerja yang telah ikut program asuransi sosial tenaga kerja sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, melanjutkan kepesertaannya dalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(6) Pengusaha yang telah ikut program jaminan sosial tenaga kerja tetap menjadi peserta meskipun tidak memenuhi lagi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 3
Kepesertaan tenaga kerja harian lepas, tenaga kerja borongan dan tenaga kerja kontrak dalam program jaminan sosial tenaga kerja diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 4
Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja pengusaha wajib memberikan Jaminan Kecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Kedua

TATA CARA
Pendaftaran Kepesertaan
Pasal 5
(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) wajib mendaftarkan perusahaan dan tenaga kerjanya sebagai peserta program jaminan sosial tenaga kerja pada Badan penyelenggara dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Badan Penyelenggara.
(2) Pengusaha harus menyampaikan formulir jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Badan Penyelenggara selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya formulir dari Badan Penyelenggara.
(3) Bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 6
(1) Dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari sejak formulir pendaftaran dan pembayaran iuran pertama diterima, Badan Penyelenggara menerbitkan dan menyampaikan kepada pengusaha:
a.
Sertifikat kepesertaan untuk masing-masing perusahaan sebagai tanda kepesertaan perusahaan;
b. Kartu peserta untuk masing-masing tenaga kerja sebagai tanda kepesertaan dalam program jaminan sosial tenaga kerja;
c. Kartu Pemeliharaan Kesehatan untuk masing-masing tenaga kerja bagi yang mengikuti program jaminan pemeliharaan kesehatan.
(2) Pengusaha menyampaikan kepada masing-masing tenaga kerja kartu peserta program jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari sejak diterima dari Badan Penyelenggara.
(3) Kartu peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c berlaku sampai dengan berakhirnya masa kepesertaan tenaga kerja yang bersangkutan dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
(4) Tenaga kerja yang pindah tempat kerja dan masih menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja harus memberitahukan kepesertaannya kepada pengusaha tempat kerja yang baru dengan menunjukan kartu peserta.
(5) Bentuk sertifikat kepesertaan,kartu peserta dan kartu pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Badan Penyelenggara.
Pasal 7
Kepesertaan perusahaan dan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja berlaku sejak pendaftaran dan pembayaran iuran pertama dilakukan oleh pengusaha.
Pasal 8
(1) Pengusaha wajib melaporkan kepada Badan Penyelenggara apabila terjadi perubahan mengenai :
a. alamat perusahaan;
b. kepemilikan perusahaan;
c. jenis atau bidang usaha;

d. jumlah tenaga kerja dan keluarganya;dan
e. besarnya upah setiap tenaga kerja. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
terjadinya perubahan. (3) Tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja wajib menyampaikan daftar susunan
keluarga kepada pengusaha, termasuk segala perubahannya. (4) Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat : (1) huruf d,dalam waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak laporan diterima, Badan Penyelenggara wajib menerbitkan: a. Kartu peserta tenaga kerja baru, kecuali tenaga kerja yang bersangkutan telah mempunyai kartu
peserta; b. Kartu pemeliharaan kesehatan yang baru.
BAB III
IURAN
Bagian Pertama
Besarnya Iuran
Pasal 9
(1) Besarnya iuran program jaminan sosial tenaga kerja adalah sebagai berikut : a. Jaminan Kecelakaan Kerja yang perincian besarnya iuran berdasarkan kelompok jenis usaha
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1,sebagai berikut :
Kelompok I : 0.24 % dan upah sebulan;
Kelompok II : 0,54 % dari upah sebulan;
Kelompok III : 0,89 % dari upah sebulan;
Kelompok IV : 1,27 % dari upah sebulan;
Kelompok V : 1,74% dari upah sebulan.
b. Jaminan Hari Tua,sebesar 5,70% dari upah sebulan;
c. Jaminan Kematian,sebesar 0,30 % dari upah sebulan;
d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan,sebesar 6% dari upah sebulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga,dan 3 % dari upah sebulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga
(2) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha.
(3) Iuran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, sebesar 3,70 % ditanggung oleh pengusaha dan sebesar 2% ditanggung oleh tenaga kerja.
(4) Dasar perhitungan iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dari upah sebulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d,setinggi-tingginya Rp.1.000.000; (satu juta).
Bagian Kedua

Tata Cara Pembayaran Iuran
Pasal 10
(1) Penyetoran iuran yang dilakukan oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara,dilakukan setiap bulan dan disetor secara lunas paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya dari bulan iuran yang bersangkutan.
(2) Iuran Jaminan Hari Tua yang ditanggung tenaga kerja diperhitungkan langsung dari upah bulanan tenaga kerja yang bersangkutan dan penyetorannya kepada Badan Penyelenggara dilakukan oleh pengusaha.
(3) Keterlambatan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),dikenakan denda sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dan ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha.
(4) Pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),dilakukan sekaligus bersama-sama dengan penyetoran iuran bulan berikutnya.
(5) Iuran program jaminan sosial tenaga kerja dan denda yang belum dibayar lunas merupakan piutang Badan Penyelenggara terhadap pengusaha yang bersangkutan
Pasal 11
(1) Badan Penyelenggara menghitung kelebihan atau kekurangan iuran program jaminan sosial tenga kerja sesuai dengan upah tenaga kerja.
(2) Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Badan Penyelenggara memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha yang bersangkutan selambat-lambatnya 7(tujuh) hari sejak diterimanya iuran.
(3) Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),dapat diperhitungkan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya.
BAB IV
BESAR DAN TATA CARA
PEMBAYARAN DAN PELAYANAN JAMINAN
Bagian Pertama
Jaminan Kecelakaan Kerja
Pasal 12
(1)
Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak atas Jaminan Kecelakaan Kerja berupa penggantian biayai yang meliputi :
a. Biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja ke Rumah Sakit dan atau kerumahnya,termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan;

b. Biaya pemeriksaan,pengobatan, dan atau perawatan selama di Rumah Sakit,termasuk rawat jalan;
c. Biaya rehabilitasi berupa alat bantu (orthese) dan atau alat ganti (prothese) bagi tenaga kerja yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi akibat kecelakaan kerja.
(2)
Selain penggantian biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat(1),kepada tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja diberikan juga santunan berupa uang yang meliputi:
a. Santunan sementara tidak mampu bekerja;
b. Santunan cacat sebagai untuk selama-lamanya;
c. Santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental,dan atau d. Santunan kematian. (3) Besarnya jaminan kecelakaan kerja adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 13
Untuk keperluan perhitungan pembayaran Santunan Jaminan Kecelakaan kerja bagi tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja:
a. Magang atau murid ataunarapidana dianggap menerima upah sebesar upah sebulan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan yang sama pada perusahaan yang bersangkutan;
b. Perorangan yang memborong pekerjaan dianggap menerima upah sebesar upah tertinggi dari tenaga kerja pelaksana yang bekerja pada perusahaan yang memborongkan pekerjaan.
Pasal 14
Biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a dan b dibayar terlebih dahulu oleh pengusaha.
Pasal 15
(1) Badan Penyelenggaraan berdasarkan surat keterangan dari Dokter Pemeriksa dan atau Dokter Penasehat menetapkan dimaksud dalam pasal 12,paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya pengajuan pembayaran jaminan.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dibayarkan kepada pengusaha. (3) Santunan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan langsung kepada tenaga kerja. (4)
Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia,pembayaran santunan kematian dibayarkan kepada yang berhak sesuai urutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
Pasal 16
(1) Dalam rangka pembayaran santunan, penetapan akibat kecelakaan kerja dilakukan oleh Badan Penyelenggara berdasarkan surat keterangan Dokter Pemeriksa atau Dokter Penasehat.

(2) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penetapan akibat kecelakaan kerja dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
(3) Dalam hal penetapan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diterima oleh Badan Penyelenggara atau pengusaha atau tenaga kerja,maka penetapan akibat kecelakaan kerja dilakukan oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian perbedaan pendapat tentang penetapan akibat kecelakaan kerja ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai kecelakaan kerja atau bukan kecelakaan kerja, Menteri dapat menetapkan dan mewajibkan pengusaha untuk memberikan Jaminan Kecelakaan Kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 18
(1) Pengusaha wajib memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan bagi tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan.
(2) Pengusaha wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerjanya kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara setempat atau terdekat sebagai laporan kecelakaan kerja tahap I, dalam waktu tidak lebih dari 2x24 (dua kali duapuluh empat ) jam terhitung sejak terjadinya kecelakaan.
(3) Pengusaha wajib melaporkan akibat kecelakaan kerja tahap II dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah ada surat keterangan Dokter Pemeriksa atau Dokter Penasahat yang menyatakan bahwa tenaga kerja tersebut :
a. Sementara tidak mampu bekerja telah berakhir;
b. Cacat sebagian untuk selama-lamanya;
c. Cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental;
d. Meninggal dunia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. (5) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) sekaligus merupakan pengajuan pembayaran
Jaminan kecelakaan Kerja kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan :
a. foto copy kartu peserta;
b. surat keterangan Dokter Pemeriksa atau Dokter Penasehat yang menerangkan mengenai tingkat kecacatan yang diderita tenaga kerja;
c. kuitansi biaya pengobatan dan pengangkutan;
d. dokumen pendukung lain yang diperlukan oleh Badan Penyelenggara.

Pasal 19
Pengusaha wajib melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 jam setelah ada hasil diagnosis dari Dokter Pemeriksa.
Pasal 20
(1) Selama tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja masih belum mampu bekerja, pengusaha tetap
membayar upah tenaga kerja yang bersangkutan, sampai penetapan akibat kecelakaan kerja yang dialami diterima semua pihak atau dilakukan oleh Menteri.
(2) Badan Penyelenggara mengganti santunan sementara tidak mampu bekerja kepada pengusaha yang telah membayar upah tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam hal santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara lebih besar dari yang dibayarkan oleh pengusaha maka selisihnya dibayarkan langsung kepada tenaga kerja.
(4) Dalam hal penggantian santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara lebih kecil dari upah yang telah dibayarkan oleh pengusaha, maka selisihnya tidak dimintakan pengembaliannya kepada tenaga kerja.
Pasal 21
Dalam hal jumlah santunan kematian dari jaminan kecelakaan kerja lebih kecil dari Jaminan Kematian, maka yang didapatkan keluarga dari tenaga kerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja adalah
Jaminan Kematian.
Bagian Kedua
Jaminan Kematian
Pasal 22
(1) Jaminan kematian dibayar sekaligus kepada Janda atau Duda, atau Anak, dan meliputi:
a. Santunan kematian sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah);dan
b. Biaya pemakaman sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
(2) Dalam hal Janda atau Duda atau Anak tidak ada,maka Jaminan Kematian dibayar sekaligus kepada keturunan sedarah yang ada dari tenaga kerja, menurut garis lurus kebawah dan garis
lurus keatas dihitung sampai derajat kedua.
(3) Dalam hal tenaga kerja tidak mempunyai keturunan sedarah sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), maka Jaminan Kematian dibayarkan sekaligus kepada pihak yang ditunjuk oleh tenaga kerja dalam
wasiatnya.

(4) Dalam hal tidak ada wasiat, biaya pemakaman dibayarkan kepada pengusaha atau pihak lain guna pengurusan pemakaman.
(5) Dalam hal magang atau murid, dan mereka yang memborong pekerjaan, serta narapidana meninggal dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak
atas Jaminan Kematian.
Pasal 23
(1) Pihak yang berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengajukan pembayaran Jaminan kematian kepada Badan Penyelenggara dengan disertai bukti-bukti:
a. Kartu Peserta;
b. Surat keterangan kematian.
(2) Berdasarkan pengajuan pembayaran jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Badan Penyelenggra membayarkan santunan kematian dan biaya pemakaman kepada yang berhak.
Bagian Ketiga
Jaminan hari Tua
Pasal 24
(1) Besarnya Jaminan Hari Tua adalah keseluruhan iuran yang telah disetor, beserta hasil pengembangannya.
(2) Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun atau cacat total untuk selama-lamanya, dan dapat dilakukan:
a. Secara sekaligus apabila jumlah seluruh Jaminan Hari Tua yang harus dibayar kurang dari Rp.3.000.000,- atau
b. Secara berkala apabila seluruh jumlah Jaminan Hari Tua mencapai Rp.3.000.000,- atau lebih, dan dilakukan paling lama 5(lima) tahun.
(3) Pembayaran Jaminan Hari Tua secara berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b dilakukan atas pilihan tenaga kerja yang bersangkutan.
Pasal 25
(1) Dalam hal tenaga kerja meninggalkan wilayah Indonesia untuk selama-lamanya, pembayaran Jaminan Hari Tua dilakukan sekaligus.

(2) Tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengajukan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara.
Pasal 26
(1) Pembayaran Jaminan Hari Tua dilakukan sekaligus kepada Janda atau Duda dalam hal:
a. Tenaga kerja yang menerima pembayaran jaminan secara berkala meninggal dunia, sebesar sisa Jaminan Hari Tua yang belum dibayarkan;
b. Tenaga kerja meninggal dunia. (2) Dalam hal tidak ada Janda atau Duda maka pembayaran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan kepada Anak. (3) Janda atau Duda atau Anak mengajukan pembayaran Jaminan hari Tua kepada badan
penyelenggara.
Pasal 27 (1) Tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun tetapi masih tetap bekerja, dapat memiluh untuk
menerima pembayaran jaminan hari tuanya pada saat berusia 55 tahun atau pada saat tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja.
(2) Dalam hal tenaga kerja memilih untuk tidak menerima pembayaran Jaminan Hari Tua pada usia 55
tahun, maka pembayaran Jaminan Hari Tua dilakukan sejak tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat(2), mengajukan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara.
Pasal 28
Tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun dan tidak bekerja lagi mengajukan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara.
Pasal 29
Tenaga kerja yang cacat total tetap untuk selama-lamanya sebelum mencapai usia 55 tahun berhak mengajukan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara.
Pasal 30
Badan Penyelenggara menetapkan besarnya Jaminan Hari Tua paling lambat 30 hari sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 tahun dan memberitahukan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.

Pasal 31
Berdasarkan pengajuan pembayaran sebagimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 dan Pasal 29 Badan Penyelenggara membayarkan secara sekaligus atau
berkala sesuai dengan ketentuan pasal 24.
Pasal 32
(1) Dalam hal tenaga kerja berhenti bekerja dari perusahaan sebelum mencapai usia 55 tahun dan mempunyai masa kepesertaan serendah-rendahnya 5 tahun dapat menerima Jaminan Hari Tua secara
sekaligus.
(2) Pembayaran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan setelah melewati masa tunggu 6 bulan terhitung sejak saat tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Dalam hal tenaga kerja dalam masa tunggu sebagaimana diamksud dalam ayat (2) bekerja kembali, jumlah Jaminan Hari Tua yang menjadi haknya diperhitungkan dengan Jaminan Hari Tua
berikutnya.
Bagian Keempat
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Pasal 33
(1) Jaminan Pemeliharaan Kesehatah diberikan kepada tenaga kerja atau suami atau istri yang sah dan anak sebanyak-banyaknya 3 orang dari tenaga kerja.
(2) Tenaga kerja atau suami atau istri dan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak atas pemeliharaan kesehatan yang sekurang-kurangnya sama dengan Paket Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Dasar yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.
Pasal 34
(1) Jaminan Pemeliharaan kesehatan diselenggarakan secara terstruktur, terpadu dan berkesinambungan.
(2) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat menyeluruh dan meliputi pelayanan peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pemulihan
kesehatan.

Pasal 35
(1) Badan penyelenggara menyelenggarakan Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar, yang meliputi pelayanan:
a. rawat jalan tingkat pertama;
b. rawat jalan tingkat lanjutan;
c. rawat inap;
d. pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
e. penunjang diagnostik;
f. pelayanan khusus;
g. gawat darurat;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan.
Pasal 36
Dalam menyelenggarakan paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar, Badan Penyelenggara wajib:
a. memberikan kartu pemeliharaan kesehatan kepada setiap peserta; dan
b. memberikan keterangan yang perlu diketahui peserta mengenai paket pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan.
Pasal 37
(1) Pelaksanaan pemberian pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan berdasarkan perjanjian secara tertulis dengan Badan
Penyelenggara.
(2) Badan Penyelenggara melakukan pembayaran kepada Pelaksana Pelayanan Kesehatan secara praupaya dengan sistim kapitasi.
(3) Pemberian pelayanan oleh Pelaksana Pelayaran Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan kebutuhan medis yang nyata dan standar pelayanan medis yang berlaku
dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan.
Pasal 38
(1) Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak dapat memilih Pelaksana Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara.

(2) Dalam hal tertentu yang ditetapkan oleh Menteri,tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak dapat memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan diluar Pelaksana Pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Untuk memperoleh pelayanan pelayanan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak harus menunjukan kartu pemeliharaan
kesehatan.
Pasal 39
(1) Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama harus memberikan pelayanan sesuai standar pelayanan rawat jalan tingkat pertama.
(2) Dalam hal diperlukan pemeriksaan tingkat lanjutan bagi tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak, Pelaksana pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama harus memberikan surat rujukan kepada
Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan yang ditunjuk.
Pasal 40
Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama atau Tingkat Lanjutan memberikan surat rujukan dalam hal tenaga kerja atau suami atau anak memerlukan pelayanan penunjang diagnostik atau rawat inap.
Pasal 41
(1) Tenaga Kerja, suami atau isteri atau anak yang memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung memperoleh pelayanan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan atau Rumah Sakit yang terdekat dengan menunjukan kartu pemeliharaan kesehatan.
(2) Dalam hal pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memerlukan rawat inap di Rumah Sakit, dalam waktu paling lambat 7 hari terhitung sejak mulai dirawat keluarga atau pihak lain menyerahkan surat pernyataan dari Perusahaan kepada Rumah Sakit yang bersangkutan bahwa tenaga kerja yang bersangkutan masih bekerja.
(3) Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak yang memerlukan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan memilih Rumah Sakit yang tidak ditunjuk, maka biayanya hanya ditanggung oleh Badan penyelenggara paling lama 7 hari sesuai dengan standar biaya yang telah ditetapkan.
Pasal 42
(1) Tenaga kerja atau isteri tenaga kerja yang memerlukan pelayanan pemerikasaan kehamilan dan atau persalinan, memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan dari Rumah Bersalin yang ditunjuk.
(2) Dalam hal menurut pemeriksaan akan terjadi persalinan dengan penyulit,maka tenaga kerja atau isteri tenaga kerja dapat dirujuk ke Rumah Sakit.
Pasal 43
(1) Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak yang mendapat resep obat, harus mengambil obat
tersebut pada apotik yang ditunjuk dengan menunjukan kartu pemeliharaan kesehatan. (2) Apotik yang ditunjuk harus memberikan obat yang diperlukan tenaga kerja atau suami atau isteri atau

anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan standar obat yang berlaku. (3) Dalam hal obat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diluar standar yang berlaku maka selisih biaya
obat tersebut ditanggung sendiri oleh tenaga kerja bersangkutan.
Pasal 44
Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (1) huruf f hanya diberikan kepada tenaga kerja, berupa:
a. kacamata, dengan mengajukan permintaan kepada Optik yang ditunjuk dan menunjukan resep kacamata dari dokter spesialis mata yang ditunjuk serta kartu pemeliharaan kesehatan;
b. prothese mata, dengan mengajukan permintaan kepada Rumah Sakit atau perusahaan alat-alat kesehatan yang ditunjuk dan menunjukan surat pengantar dari dokter spesialis mata serta kartu
pemeliharaan kesehatan;
c. prothese gigi, dengan mengajukan permintaan kepada Balai Pengobatan gigi yang telah ditunjuk dan menunjukkan resep dari dokter spesialis gigi yang ditunjuk serta kartu pemeliharaan kesehatan;
d. alat bantu dengar, dengan mengajukan permintaan kepada Rumah Sakit atau perusahaan alat-alat kesehatan yang ditunjuk dan menunjukan surat pengantar dari dokterspesialis THT yang ditunjuk serta
kartu pemeliharaan kesehtan;
e. prothese anggota gerak, dengan mengajukan permintaan kepada Rumah Sakit Rehabilitasi atau perusahaan alat-alat kesehatan yang ditunjuk dan menunjukan surat pengantar dari dokter spesialis
yang ditunjuk serta kartu pemeliharaan kesehatan.
Pasal 45
Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak yang memerlukan pelayanan rawat inap melebihi ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri, maka selisih biayanya menjadi tanggung jawab tenaga kerja yang
bersangkutan.
Pasal 46
(1) Dalam menjaga mutu pelayanan, Badan Penyelenggara melakukan pemantauan pemberian pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan dengan mengutamakan
kepentingan peserta.
(2) Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dapat melakukan pemantauan pemberian pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan kesehatan.
BAB V
SANKSI
Pasal 47

Tanpa mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka:
a. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimna dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat(2), Pasal 8 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 19 serta Pasal 20 ayat (1), dan telah diberikan peringatan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan ijin usaha.
b. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (3) dikenakan denda sebesar 2% untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang seharusnya dibayar.
c. Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dikenakan ganti rugi sebesar 1% dari jumlah jaminan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, untuk setiap hari keterlambatan dan dibayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 48
Tenaga kerja yang telah menjadi peserta Program Asuransi Tenaga Kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1977, tabungan hari tuanya, diperhitungkan dan dilanjutkan sebagai Jaminan
Hari Tua berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 49
(1) Dalam hal tenaga kerja telah mencapai usia 55 tahun tetapi tetap bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), maka kepesertaannya dalam program jaminan sosial tenaga kerja tetap dilanjutkan.
(2) Pengusaha tetap membayar segala kewajiban yang berhubungan dengan kepesertaan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 50
(1) Tenaga kerja yang berdasarkan keterangan dokter yang ditunjuk dinyatakan menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja, berhak memperoleh Jaminan Kecelakaan kerja meskipun hubungan kerja telah berakhir.
(2) Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan apabila penyakit tersebut timbul dalam jangka waktu paling lama 3 tahun terhitung sejak hubungan kerja berakhir.

Pasal 51
Hak peserta program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, tidak dapat dipindah tangankan, digadaikan, atau disita sebagai pelaksanaan putusan Pengadilan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah yang melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam peraturan pemerintah ini diselenggrakan oleh Perusahaan Perseroan Asuransi Sosial Tenaga Kerja.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 54
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Peraturan Kecelakaan Tahun 1947 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33
Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 55
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 1993
PERSIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 1993
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1993 NOMOR 20
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1933
TENTANG
PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
I. UMUM
Pembangunan nasional yang terus berlangsung selama ini telah memperluas kesempatan kerja dan memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi tenaga kerja dan keluarganya.Namun kemampuan bekerja dan penghasilan tersebut dapat berkurang atau hilang karena berbagai resiko yang
dialami tenaga kerja, yaitu kecelakaan, cacat, sakit, hari tua, dan meninggal dunia. Oleh karenannya untuk menanggulangi risiko-risiko tersebut, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja mengatur pemberian jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian.
Jaminan sosial tenaga kerja yang menanggulangi risiko-risiko kerja sekaligus akan menciptakan ketenangan kerja yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan produktivitas kerja. Ketenangan kerja
dapat tercipta karena jaminan sosial tenaga kerja mendukung kemandirian dan harga diri manusia dalam menghadapi berbagai risiko sosial ekonomi tersebut. Selain itu, jaminan sosial tenga kerja yang
diselenggarakan dengan metode pendanaan akan memupuk dana yang akan menunjang pembiayaan pembangunan nasional.
Agar kepersertaan dapat merata dan kemanfaatannya dinikmati secara luas, maka kepesertaan pengusaha dan tenaga kerja dalam jaminan sosial tenaga kerja bersifat wajib. Namun karena luasnya kepesertaan tersebut,maka pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan teknis, administratif dan
operasional baik dari Badan Penyelenggara maupun pengusaha dan tenaga kerja sendiri.
Pembiayaan jaminan sosial tenaga kerja ditanggung oleh pengusaha dan tenaga kerja s esuai dengan jumlah yang tidak memberatkan beban keungan kedua belah pihak.Pembiayaan Jaminan Kecelakaan Kerja
ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha, karena kecelakaan dan penyakit yang timbul dalam hubungan kerja merupakan tanggung jawab penuh dari pemberi kerja. Pembiayaan Jaminan Kematian dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan juga menjadi tanggung jawab pengusaha yang harus bertanggung jawab atas
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Sedangkan pembiayaan Jaminan Hari Tua ditanggung bersama oleh pengusaha dan tenaga kerja karena merupakan penghargaan dari pengusaha kepada tenaga
kerjanya yang telah bertahun-tahun bekerja di perusahaan dan sekaligus merupakan tanggung jawab tenaga kerja untuk hari tuanya sendiri.
Kemanfaatan jaminan sosial tenaga kerja pada hakekatnya bersifat dasar untuk menjaga harkat dan martabat tenaga kerja. Dengan kemanfaatan dasar tersebut, pembiayaannya dapat ditekan seminimal
mungkin sehingga dapat dijangkau oleh setiap pengusaha dan tenaga kerjanya. Pengusaha dan tenaga kerja yang memiliki kemampuan keuangan yang lebih besar dapat meningkatkan kemanfaatan dasar
tersebut melalui berbagai cara lainnya.
Agar kepesertaan wajib dari jaminan sosial tenaga kerja dipatuhi oleh segenap pengusaha dan tenaga kerja, maka Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah ini memberikan sanksi yang tujuannya untuk mendidik yang bersangkutan dalam memenuhi kewajibannya. Sanksi tersebut merupakan upaya terakhir, setelah upaya-upaya lain dilakukan, dalam rangka menegakan ketentuan-ketentuan yang
berlaku.
Untuk menjamin pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja sesuai maksud dan tujuannya, maka penyelenggaraannya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Perseroan
dengan mengutamakan pelayanan kepada peserta.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Yang dimaksud dengan Badan Hukum adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.

Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada dasarnya setiap tenaga kerja berhak mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara. namun mengingat kemampuan masyarakat pada umumnya dan perusahaan pada khususnya dalam membiayai program dan administrasi, maka perusahaan yang wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara adalah perusahaan yang mempekerjakan 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah). Namun demikian bagi perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara, dapat mengikuti program jaminan sosial tenga kerja kepada Badan Penyelenggara atas kemauan sendiri sukarela.
Ayat (4)
Mengingat sifat penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini adalah pelayanan kesehatan paket dasar, maka bagi pengusaha yang telah memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik pada saat ini tidak diperlukan lagi mengikuti program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara. Dengan demikian pengusaha tidak boleh mengurangi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang telah diberikan kepada tenaga kerja.
Ayat (5)
Peserta Asuransi Sosial Tenaga Kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja yang telah menjadi peserta Asuransi Sosial Tenaga Kerja pada Badan Penyelenggara tetap menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 3

Mengingat sifat kepesertaan tenaga kerja harian lepas,borongan dan kontrak mempunyai karakteristik tersendiri, maka penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerjanya perlu diatur dalam Peraturan menteri yang memuat hal-hal antara lain:
1. Persyaratan Kepesertaan;
2. Jenis program;
3. Besarnya iuran;
4. Besarnya jaminan;
5. Tata cara pelaksanaan.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Formulir dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai:
1. Data perusahaan;
2. Daftar tenaga kerja dan keluarganya;
3. Daftar upah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3)

Cukup jelas.
Ayat (4)
Dengan pindahnya tenaga kerja dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain, tidak berarti kepesertaannya pada program jaminan sosial tenaga kerja terputus. Pemberitahuan pindah
tempat kerja kepada Badan penyelenggara dimaksudkan agar tidak terjadi penerbitan dua kartu peserta atau lebih untuk satu tenaga kerja.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jangka waktu paling lambat 7 hari tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak tenaga kerja atas jaminan sosial atau tidak langsung akan mempengaruhi manfaat yang akan diperoleh tenaga
kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
cukup jelas.
Huruf b
cukup jelas
Huruf c
cukup jelas
Huruf d

Pembedaan besar iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga dan yang belum berkeluarga dimaksudkan agar ada keseimbangan antara kewajiban
pengusaha dan pelayanan yang diberikan kepada tenaga kerja itu sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan BAB V.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Upah tenaga kerja yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan daftar upah yang disampaikan oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghitung besarnya pembayaran santunan Jaminan Kecelakaan Kerja, karena tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
tidak menerima upah seperti tenaga kerja tetap.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b.
Yang dimaksud dengan tenaga kerja pelaksana,adalah tenaga kerja non manager.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Jangka waktu 1 bulan dihitung sejak dipenuhi syarat-syarat teknis dan administrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penunjukan Pasal 22 dalam ketentuan ini, dimaksudkan hanya dalam rangka penerapan urutan pihak yang berhak menerima santunan kematiaan dalam hal tenaga kerja meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.
Pasal 16

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Dokter Pemeriksa adalah dokter perusahaan atau dokter yang ditunjuk oleh perusahaan atau dokter pemerintah yang memeriksa dan merawat tenaga kerja.Yang dimaksud Dokter Penasehat adalah dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan atas usul Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Dalam rangka meningkatkan perlindungan tenaga kerja,apabila tenaga kerja mengalami kecelakaan tetapi sulit dibuktikan apakah kecelakaan tersebut akibat kecelakaan kerja atau bukan,maka Menteri dapat menetapkan bahwa Jaminan Kecelakaan kerja ditanggung oleh pengusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 19
Yang dimaksud dengan penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Pasal 20
Ayat (1)
Ketentuan ini dimasudkan untuk tetap menjamin kelangsungan penghasilan tenaga kerja yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini menegaskan bahwa pembayaran Jaminan Hari Tua secara sekaligus atau berkala,sepenuhnya merupakan pilihan tenaga kerja yang bersangkutan dan bukan ditetapkan oleh Badan Penyelenggara.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan ini mencakup tenag kerja yang meninggal dunia meskipun belum berusia 55 tahun ataupun telah berusia 55 tahun tetapi belum menerima Jaminan Hari Tua.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Walaupun tenaga kerja yang bersangkutan belum mencapai usia 55 tahun, namun mengingat tenaga kerja yang bersangkutan sudah cacat total tetap sehingga tidak mungkin bekerja lagi,maka kepada tenaga kerja diberikan Jaminan Hari Tua.
Pasal 30
Ketentuan ini dimaksudkan agar Jaminan Hari Tua dapat dibayarkan kepada tenaga kerja tepat pada waktunya. Selain itu, untuk memberikan kesempatan kepada tenaga kerja untuk memilih cara pembayaran Jaminan Hari Tua baik secara berkala maupun sekaligus.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan ini,maka tenaga kerja yang belum mencapai usia 55 tahun tetapi sudah mempunyai masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 tahun, dan tidak bekerja lagi, berhak menerima Jaminan Hari Tua secara sekaligus dengan memperhatikan masa tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini.Masa kepesertaan dalam ketentuan ini,mencakup masa kepesertaan aktif dan non aktif. Tenaga kerja mempunyai kepesertaan aktif, apabila selama masa kepesertaannya iuran tetap dibayarkan. Sedangkan kepesertaan non aktif, apabila iuran tidak lagi dibayarkan.
Ayat (2)
Ketentuan pembayaran setelah melewati masa tunggu 6 bulan berarti Badan Penyelenggara harus sudah membayar pada bulan ketujuh.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)

Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Pemeliharaan kesehatan secara terstruktur yaitu pelayanan yang mengikuti pola dan prinsip tertentu baik mengenai jenis maupun proses pembiayaannya. Terpadu dan berkesinambungan berarti pelayanan bagi tenaga kerja,suami atau isteri dan anak dijamin kelanjutannya sampai menuju suatu keadaan sehat.
Ayat (2)
Peningkatan kesehatan (prpmotif) misalnya pemberian konsultasi;pencegahan penyakit (preventif) misalnya imunisasi ; penyembuhan penyakit (kuratif) misalnya tindakan medik ; dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) misalnya pelayanan rehabilitasi dalam pelayanan yang diberikan secara terpadu oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan.
Pasal 35
Ayat (1)
Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar yaitu pelayanan kesehatan yang minimal diberikan oleh Badan Penyelenggara kepada tenaga kerja,suami atau isteri dan anak. Apabila dipandang perlu, Badan Penyelenggara dapat menyelenggarakan Paket Pemeliharaan Kesehatan Tambahan untuk tenaga kerja,suami atau isteri dan anak yang telah mengikuti Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar. Jenis pelayanan kesehatan dalam Paket Pemeliharaan Tambahan diberikan sesuai dengan kesepakatan antara Badan Penyelenggara dengan peserta.
Huruf a
Yang dimaksud rawat jalan tingkat pertama adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.
Huruf b
Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat lanjutan adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang merupakan rujukan (lanjutan) dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama.
Huruf c
Yang dimaksud dengan rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan Rumah Sakit di mana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari Pelaksana Pelayanan Pelayanan Kesehatan lain. Pelaksana Pelayanan Kesehatan Rawat Inap :
1. Rumah sakit pemerintah pusat dan daerah ; 2. Rumah sakit swasta yang ditunjuk.
Huruf d
Yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur kandungan.
Huruf e

Yang dimaksud dengan penunjang diagnostikadalah semua pemeriksaan dalam rangka menegakkan diagnosa yang dipandang perlu oleh Pelaksana Pengobatan Lanjutan dan dilaksanakan di bagian diagnostik,rumah sakit atau di fasilitas khusus itu, meliputi : 1. Pemeriksaan labotarium ; 2. Pemeriksaan radiologi ; 3. Pemeriksaan penunjang diagnosa lain.
Huruf f
Yang dimaksud dengan pelayanan termasuk perawatan khusus adalah pemeliharaan kesehatan yang memerlukan perawatan khusus bagi penyakit tertentu serta pemberian alat-alat organ tubuh agar dapat berfungsi seperti semula,yang meliputi : 1. Kacamata ; 2. Prothese gigi; 3. Alat bantu dengan 4. Prothese anggota gerak ; 5. Prothese mata.
Huruf g
Yang dimaksud dengan keadaan gawat darurat suatu keadaan yang memerlukan pemeriksaan medis segera,yang apabila tida dilakukan akan menyebabkan hal yang fatal bagi penderita.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak lain,antara lain: teman sekerja,pihak perusahaan atau orang lain yang mengurusnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud persalinan dengan penyulit adalah persalinan yang memerlukan khusus yang tidak mungkin dilakukan Rumah Sakit Bersalin,antara lain: operasi,persalinan dengan bantuan alat vacum dan pendarahan.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)
Selisih harga obat dibayarkan oleh tenaga kerja yang bersangkutan kepada apotik dan tidak dapat dimintakan penggantian kepada Badan Penyelenggara.
Pasal 44
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huerf e
Cukup jelas.
Pasal 45
Dalam menjaga kelangsungan Badan Penyelenggara yang harus selalu memelihara keseimbangan antara kewajiban Badan Penyelenggara dengan hak tenaga kerja, maka perlu ada pembatasan dalam pelayanan rawat inap baik jangka waktu maupun kelas Rumah Sakit.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup kelas.
Pasal 47
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b

Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan bahwa karena ke[esertaan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja masih berlanjut, maka Pengusaha tetap membayar Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, serta Jaminan Hari Tua yang menjadi kewajibannya.
Pasal 50
Ayat (1)
Mengingat penyakit yang timbul karena hubungan kerja tidak selalu dapat diketahui pada saat tenaga kerja masih terkait dalam hubungan kerja,melainkan dapat saja baru timbul setelah hubungan kerja berakhir maka tenaga kerja yang bersangkutan tetap harus dijamin untuk mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga kerja. Yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan Astek, adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1990.
Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520.
LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1993 TANGGAL 27 PEBRUARI 1993
LAMPIRAN I
KELOMPOK JENIS USAHA
I 1. Penjahitan/konveksi
2. Pabrik Topi
3. Industri pakaian lainnya (payung,kulit ikat pinggang, gantungan ( celana/bretel)
4. Pembikinan layar dan krey dari tekstil
5. Pabrik keperluan rumah tangga (sprei,selimut,terpal,gorden,dan lain-lain yang ditenun)
6. Perdagangan ekspor impor
7. Perdagangan besar lainnya (agen-agen perdagangan besar,distribotor,makelar,dan lain-lain).
8. Toko-toko Koperasi Konsumsi,dan lain-lain
9. Bank dan Kantor-kantor Dagang
10. Perusahaan pertamggungan
11. Jasa Pemerintahan (organisasi tentara,polisi,Departemen-departemen)
12. Pengobatan dan kesehatan lainnya
13.Organisasi - organisasi keagamaan
14. Lembaga kesejahteraan
15.Persatuan perdagangan dan organisasi buruh
16. Balai penyelidikan yang berdiri sendiri
17. Jasa-jasa umum lainnya seperti musium,perpustakaan, kebon binatang,perkumpulan sosial.

18. Pemangkas rambut dan salon kecantikan
19. Peternakan
20. Pabrik alkohol dan spiritus
21. Pabrik minuman dan alkohol
22. Pabrik alkohol
23. Pabrik bir
24. Pabrik air soda,sari buah dan limun
25. Pabrik pemintalan
26. Pemintalan tali sepatu,perban
27. Pertenunan
28. Permadani
29. Pabrik triko (kaus,kaus kaki,dan pabrik rajut)
30. Pabrik tali temali (kabel,pukat,rami,sabut dan lain-lain)
31. Industri tekstil lainnya
32. Pabrik keperluan kaki,terkecualisepatu karet,sandal plastik,dan lain-lain termasuk pabrik barang-barang plastik
33. Reparasi barang-barang keperluan kaki
34. Pabrik kayu gabus
35. Penggergajian kayu
36. Pabrik peti dan gentong kayu
37. Pembikinan barang-barang kayu lainnya
38. Pembikinan meubel dari rotan dan bambu
39. Pabrik meubel dan kayu dan bahan-bahan lainnya
40. Pabrik kertas koran dan karton
41. Pabrik barang-barang dari kertas dan karton
42. Perusahaan percetakan, penerbitan
43. Penyamakan kulit dan pekerjaan lanjutan
44. Pabrik barang dari kulit seperti kopor,tas dan lainnya
45.Remiling karet
46. Pabrik barang-barang dari karet (ban kendaraan luar dan dalam,mainan anak-anak,dan lain-lain)
47. Perusahaan vulkanisir
48. Asam garam
49. Pabrik gas/zat asam arang dsb
50. Industri kimia pokok lainya (celupkan warna bahan sintetis,dan lain-lain)
51. Terpentin dan damar

52. Industri minyak
53. Industri minyak kelapa sawit
54. Industri minyak dan gemuk dari tumbuh-tumbuhan
55. Minyak dan gemuk dari hewan
56. Pabrik sabun
57. Pabrik obat-obatan/farmasi
58. Pabrik wangi-wangian dan kecantikan/kosmetik
59. Pabrik barang-barang untuk mengkilap
60. Pabrik kimia lainnya(lilin gambar,obat nyamuk,DDT,dan lain-lain)
61. Cokes oven(distribusi gas)
62. Pabrik bahan bengunan dari tanah liat
63. Pabrik gelas dan barang-barang dari gelas
64.Pabrik barang-barang dari tanah liat dan poeselin
65. Pabrik semen
66. Pembakaran gamping
67. Pabrik tegel,ubin,pipa beton
68.Pabrik pengecoran besi dan pembuatan baja
69. Pabrik barang-barang dari logam (batangan besi,pipa,corong)
70. Pabrik timbangan
71. Pabrik klise dan huruf cetak
72. Pabrik galvanisir (parnikel)
73. Pabrik barang-barang logam lainnya
74. Pabrik dan reparasi mesin-mesin listrik
75. Pembikinan dan reparasi kapal dari kayu
76. Reparasi sepeda dan becak
77.Industri potret dan optik
78.Industri arloji dan lonceng
79. Perusahaan perak
80. Industri barang-barang dari logam mulia
81. Pabrik es
82. Industri-industri lain seperti
83. Perusahaan listrik/pembangkit,pemindahan dan distribusi tenaga listrik
84. Pabrik gas,gas bumi,dan distribusi untuk rumah tangga dan pabrik-pabrik
85. Industri uap untuk tenaga
86. Perusahaan air

87. Pembersihan(sampah dan kotoran)
88. Jasa pengangkutan seperti ekspedisi laut dan udara
89. Penyiaran radio
90. Rumah makan dan minuman
91. Hotel, penginapan dan ruang sewa
IV 1. Pabrik dari hasil minyak tanah
2. Pabrik barang-barang dari minyak tanah atau batu bara
3. Pabrik bata merah dan genteng
4. Pabrik dan reparasi dan mesin-mesin(bengkel motor,mobil dan mesin)
5. Pembikinan dan reparasi kapal dari baja
6. Pembikinan dan reparasi alat-alat perhubungan kereta api
7. Pabrik kendaraan bermotor dan bagian-bagiannya
8. Reparasi kendaraan bermotor
9. Pabrik dan reparasi kapal udara
10. Perusahaan kereta api
11. Perusahaan trem dan bus
12. Pengangkutan penumpang dijalan selain bus
13. Penimbunan barang/veem
V 1. Penebangan dan pemotongan kayu/panglong
2. Penangkapan ikan laut
3. Penangkapan ikan laut lainnya
4. Pengumpulan hasil laut,terkecuali ikan
5. Asam belerang
6. Pabrik pupuk
7. Pabrik kaleng
8. Perbaikan rumah,jalan-jalan,terus -terusan konstruksi berat,pipa air,jembatan kereta api dan instalasi listrik
9. Pengangkutan barang-barang dan penumpang laut
10. Pengangkutan barang-barang penumpang di udara
11. Pabrik korek api
12. Pertambangan minyak mentah dan gas bumi
13. Penggalian batu
14. Penggalian tanah liat
15. Penggalian pasir

16. Penggalian gamping
17. Penggalian belerang
18. Tambang intan dan batu perhiasan
19. Pertambangan lainnya
20. Tambang emas dan perak
21. Penghasilan batu bara
22. Tambang besi mentah
23. Tambang timah
24. Tambang bauksit
25. Tambang mangan
26. Tambang logam lainnya
27. Lori perkebunan
28. Pabrik bahan peledak,bahan petasan,pabrik kembang api.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
LAMPIRAN II
BESARNYA JAMINAN KECELAKAAN KERJA
A.Santunan.
1. Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) 4 bulan pertama 100% X upah sebulan,4 bulan kedua 75%X upah sebulan dan bulan seterusnya 50% X upah sebulan.
2. Santunan Cacad :
a. Santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus (Lumpsum) dengan besarnya % sesuai tabel X 60 bulan upah .
b. Santunan cacad total untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus (Lumpsum) dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah :
b.1. Santunan sekaligus sebesar 70% X 60 bulan upah
b.2. Santunan berkala sebesar Rp.25.000,- selama 24 bulan
c. Santunan cacad kekurangan fungsi dibayarkan secara sekaligus (Lumpsum) dengan besarnya santunan adalah : % berkurangnya fungsi X % sesuai tabel X 60 bulan upah.

3. Santunan Kematian dibayarkan secara sekaligus (Lumpsum) dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah :
a. Santunan sekaligus sebesar 60 % X 60 bulan upah,sekurang-kurangnya sebesar Jaminan Kematian.
b. Santunan berkala sebesar Rp.25.000,- bulan.
c. Biaya pemakaman sebesar Rp.200.000,-
B. Pengobatan dan perawatan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan:
1. Dokter;
2. Obat;
3. Operasi;
4. Rotgen,Labotarium;
5. Perawatan Puskesmas Rumah Sakit Umum kelas I;
6. Gigi;
7. Mata;
8. Jasa tabib/sinhse/tradisional yang telah mendapatkan ijin resmi dari instansi yang berwenang. Seluruhnya biaya yang dikeluarkan untuk satu peristiwa kecelakaan untuk satu peristiwa kecelakaan tersebut pada B1 sampai dengan B 8 dibayarkan maksimum Rp.3.000.000,-
C. Biaya rehabilitasi harga berupa penggantian pembelian alat bantu (orthose)dan atau alat pengganti (prothese) diberikan satu kali untuk setiap kasus dengan patokan harga yang ditetapkan oleh Pusat Rehabilitasi Profesor Dokter Suharso Surakarta dan ditambah 40% dari harga tersebut.
D. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja Besarnya santunan dan biaya pengobatan/perawatan sama dengan A dan B.
E. Ongkos pengangkutan tenaga kerja dari tempat kejadian kecelakaan kerja ke Rumah Sakit diberikan penggantian biaya sebagai berikut :
1. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan darat/sungaib maksimum sebesar Rp.1000.000,-
2. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan laut maksimum sebesar Rp.200.000,-
3. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan udara maksimum sebesar Rp.250.000,-
II. TABEL PERSENTASE SANTUNAN TUNJANGAN CACAD TETAP SEBAGIAN DAN CACAD- CACAD LAINNYA.

MACAM CACAD TETAP SEBAGIAN % X UPAH
* Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah 40
* Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35
* Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah 35
* Lengan kiri dari atau dari atas siku kebawah 30
* Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah 32
* Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah 28
* Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70
* Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35
* Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah 50
* Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah 25
* Kedua belah mata 70
* Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan dekat 35
* Pendengaran pada kedua belah telinga 40
* Pendengaran pada sebelah telinga 20
* Ibu jari tangan kanan 15
* Ibu jari tangan kiri 12
* Telunjuk tangan kanan 9
* Telunjuk tangan kiri 7
* Salah satu jari lain tangan kanan 4
* Salah satu jari lain tangan kiri 3
* Ruas pertama telunjuk kanan 4,5
* Ruas pertama telunjuk kiri 3,5
* Ruas pertama jari lain tangan kanan 2
* Ruas pertama jari lain tangan kiri 1,5
* Salah satu ibu jari kaki 5
* Salah satu jari telunjuk; kaki 3
* Salah satu jari kaki lain 2
CACAD - CACAD LAINNYA % X UPAH
* Terkelupasnya kulit kepala 10 - 30
* Impotensi 30
* Kaki memendek sebelah : kurang dari 5 cm 10
5 - 7,5 cm 20
7,5 cm atau lebih 30
* Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 desibel 6
* Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel 3
* Kehilangan daun telinga sebelah 5
* Kehilangan kedua belah daun telinga 10

* Cacad hilangnya cuping hidung 30
* Perforasi sekat rongga hidung 15
* Kehilangan daya penciuman 10
* Hilangnya kemampuan kerja phisik - 50 % - 70 % 40
- 25 %-50 % 20
- 10 %- 25 % 5
* Hilangnya kemampuan kerja mental tetap 70
* Kehilangan sebagian fungsi penglihatan 7
Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10 % Apabila efisiensi penglihatan kanan dan kiri berbeda,maka efisiensi penglihatan binokuler dengan rumus kehilangan
efisiensi penglihatan : (3 x % ef.peng.terbaik) + % ef.peng.terburuk.
Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10 % 7
Kehilangan penglihatan warna 10
Setiap kehilangan lapangan pandang 10 % 7
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 64 TAHUN 2005
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa besarnya santunan kematian dan biaya pemakaman bagi pekerja/buruh yang meninggal dunia sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan keluarga pekerja/buruh yang ditinggalkan;
b. bahwa besarnya biaya pengobatan dan perawatan untuk satu peristiwa kecelakaan bagi pekerja/buruh yang mengalami kecelakan kerja sudah tidak sesuai lagi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan huruf b perlu mengubah ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4023);
MEMUTUSKAN
Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2002, diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) diubah dan menambah 1 (satu) huruf yakni huruf c, sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 22
(1) Jaminan kematian dibayar sekaligus kepada janda atau duda atau anak, yang meliputi :
a. santunan kematian diberikan sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah)
b. santunan berkala sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) diberikan selama 24 (dua puluh empat) bulan;
c. biaya pemakaman sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah)
(2) Dalam hal janda atau duda atau anak tidak ada, maka jaminan kematian dibayar
sekaligus kepada keturunan sedarah yang ada dari tenaga kerja, menurut garis lurus ke bawah dan garis lurus ke atas dihitung sampai derajat kedua
(3) Dalam hal tenaga kerja tidak mempunyai keturunan sedarah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka jaminan kematian dibayarkan sekaligus kepada pihak yang ditunjuk oleh tenaga kerja dalam wasiatnya.
(4) Dalam hal tidak ada wasiat, biaya pemakaman dibayarkan kepada pengusaha atau pihak lain guna pengurusan pemakaman.
(5) Dalam hal magang atau murid, dan mereka yang memborong pekerjaan, serta
narapidana meninggal dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas jaminan kematian.
2. Ketentuan pada Lampiran II Romawi I huruf A angka 2 butir b. b2, angka 3 butir b dan c dan huruf B serta Romawi II diubah, sehingga Lampiran II berbunyi sebagai berikut :
LAMPIRAN II
I. BESARNYA JAMINAN KECELAKAAN KERJA A. Santunan 1. Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) 4 bulan pertama 100%
upah sebulan, 4 bulan kedua 75% x upah sebulan dan bulan seterusnya 50% x upah sebulan.

2. Santunan cacat : a. santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya dibayarkan secara
sekaligus (lumpsum) dengan besarnya % sesuai tabel x 70 bulan upah; b. santunan cacat total untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus
(lumpsum) dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah : b.1. santunan sekaligus sebesar 70% x 70 bulan upah; b.2. santunan berkala sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) selama
24 (dua puluh empat) bulan; c. santunan cacat kekurangan fungsi dibayarkan secara sekaligus (lumpsum)
dengan besarnya santunan adalah : % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 70 bulan upah.
3. Santunan kematian dibayarkan secara sekaligus (lumpsum) dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah :
a. santunan sekaligus sebesar 60% x 70 bulan upah, sekurang-kurangnya sebesar santunan kematian;
b. santunan berkala sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) selama 24 (dua puluh empat) bulan;
c. biaya pemakaman sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah)
B. Pengobatan dan perawatan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan : 1. dokter; 2. obat; 3. operasi; 4. rontgen, laboratorium; 5. perawatan Puskesmas, Rumah Sakit Umum Kelas I; 6. gigi; 7. mata; 8. jasa tabib/sinshe/tradisional yang telah mendapatkan ijin resmi dari instansi
yang berwenang.
Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk satu peristiwa kecelakaan tersebut pada BI sampai dengan B8 dibayarkan maksimum Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah)
C. Biaya rehabilitasi harga berupa penggantian pembelian alat bantu (orthose) dan atau alat pengganti (prothese) diberikan satu kali untuk setiap kasus dengan patokan harga yang ditetapkan oleh Pusat Rehabilitasi Profesor Dokter Suharso Surakarta dan ditambah 40% (empat puluh persen) dari harga tersebut.
D. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja. Besarnya santunan dan biaya pengobatan/perawatan sama dengan A dan B.
E. Ongkos pengangkutan tenaga kerja dari tempat kejadian kecelakaan kerja ke rumah sakit diberikan penggantian biaya sebagai berikut :
1. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan darat/sungai maksimum sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah);
2. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan laut maksimal sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah);
3. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan udara maksimal sebesar Rp.

400.000,- (empat ratus ribu rupiah); II. TABEL PERSENTASE SANTUNAN TUNJANGAN CACAT TETAP
SEBAGIAN DAN CACAT-CACAT LAINNYA MACAM CACAT TETAP SEBAGIAN % x UPAH
• Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah • Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah • Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah • Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah • Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke
bawah • Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke
bawah • Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah • Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah • Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah • Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah • Kedua belah mata • Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan
dekat • Pendengaran pada kedua belah telinga • Pendengaran pada sebelah telinga • Ibu jari tangan kanan • Ibu jari tangan kiri • Telunjuk tangan kanan • Telunjuk tangan kiri • Salah satu jari lain tangan kanan • Salah satu jari lain tangan kiri • Ruas pertama telunjuk kanan • Ruas pertama telunjuk kiri • Ruas pertama jari lain tangan kanan • Ruas pertama jari lain tangan kiri • Salah satu ibu jari kaki • Salah satu jari telunjuk kaki • Salah satu jari kaki lain
40 35 35 30 32
28
70 35 50 25 70 35
40 20 15 12 9 7 4 3
4,5 3,5 2
1,5 5 3 2
CACAT-CACAT LAINNYA % x UPAH
• Terkelupasnya kulit kepala • Impotensi • Kaki memendek sebelah :
o kurang dari 5 cm o 5 - 7,5 cm o 7,5 cm atau lebih
10 - 30 30
10 20 30

• Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 desibel
• Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel
• Kehilangan daun telinga sebelah • Kehilangan kedua belah daun telinga • Cacat hilangnya cuping hidung • Perforasi sekat rongga hidung • Kehilangan daya penciuman • Hilangnya kemampuan kerja fisik
o 51% - 70% o 25% - 50% o 10% - 25%
• Hilangnya kemampuan kerja mental tetap • Kehilangan sebagian fungsi penglihatan 10%,
Apabila efisiensi penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka efisiensi penglihatan binokuler dengan rumus kehilangan efisiensi penglihatan : (3 x % ef.peng.terbaik)+% ef.peng.terburuk
• Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10%
• Kehilangan penglihatan warna • Setiap kehilangan pandang 10%
6 3 5 10 30 15 10
40 20 5 70 7 7
10 7
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 22 Desember 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd
Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal : 22 Desember 2005
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
AD INTERIM ttd

YUSRIL IHZA MAHENDRA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 147
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2005
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
I. UMUM
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja merupakan program perlindungan dasar bagi tenaga kerja dan keluarganya, oleh karena itu perlu selalu diupayakan peningkatan jaminan sesuai perkembangan keadaan.
Tenaga kerja yang meninggal dunia atau mengalami cacat total atau cacat sebagian mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya penghasilan yang sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi tenaga kerja dan keluarganya. Sehubungan dengan hal itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberikan kepastian perlindungan melalui jaminan kematian dan cacat total atau cacat sebagian sebagai upaya meringankan beban tenaga kerja dan atau keluarga dalam bentuk santunan kematian, biaya pemakaman, santunan kematian karena kecelakaan kerja, santunan cacat total dan cacat sebagian karena kecelakaan kerja.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan ketersediaannya dana Badan Penyelenggara, maka besarnya jumlah santunan kematian, biaya pemakaman, santunan kematian karena kecelakaan kerja, santunan cacat total dan cacat sebagian karena hilangnya kemampuan kerja fisik yang telah diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 perlu diubah.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu untuk mengubah ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan Lampiran II Romawi I huruf A angka 2 butir b.b2, angka 3 butir b dan c dan huruf B serta Romawi II Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002, dengan Peraturan Pemerintah ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4528

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN NOMOR : KEP-338/BW/98
TENTANG
TATA CARA PENYELENGGARAAN JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN
DENGAN MANFAAT LEBIH BAIK
DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Menimbang
:
a. Bahwa untuk keseragaman pemberian persetujuan penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat lebih baik, maka perlu diatur tindak lanjut tugas Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja, Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, serta ditetapkan bentuk surat permohonan, laporan hasil pemeriksaan dan persetujuan permohonan ;
b. Bahwa sebagai pelaksanaan pasal 16 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja Dengan Manfaat lebih Baik Dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja, perlu ditetapkan bentuk formulir laporan secara triwulan yang disampaikan perusahaan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja kepada Direktur Jenderal Pembinaan Ketanagakerjaan ;
c. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.
Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara RI Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara RI. Nomor 3520) ;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 213/M Tahun 1997 tentang Pengangkatan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan ;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja Dengan Manfaat Lebih Baik Dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja ;
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 147/MEN/1998

tentang Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Kerja Bagi Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
M E M UT U S K A N :
Menetapkan : PERTAMA : Perusahaan yang menyelenggarakan program jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi tenaga kerja dan keluarganya dengan manfaat lebih baik harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat dengan tembusan disampaikan kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan kepada P.T. Jamsostek (Persero) setempat dengan menggunakan bentuk permohonan sebagaimana contoh Lampiran I Keputusan ini.
KEDUA : Setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Amar Pertama Kepala Wilayah Departemen Tenaga Kerja :
1. Menugaskan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Wilayah Departemen Tenaga Kerja dan atau Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat untuk melakukan pemeriksaan disertai Surat Perintah Tugas.
2. Surat Perintah Tugas sebagaimana dimaksud pada angka 1 memuat ketentuan : a. Pemeriksaan dilakukan selambat- lambatnya 2 (dua) hari setelah menerima Surat Perintah Tugas. b. Hasil pemeriksaan harus sudah dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku paling lama 4 (empat) hari terhitung sejak melakukan pemeriksaan.
KETIGA : Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Amar Kedua angka 2 huruf b dengan menggunakan bentuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini.
KEEMPAT : Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak menerima permohonan, memberikan persetujuan atau penolakan permohonan dengan menggunakan bentuk sebagimana tercantum dalam Lampiran III A dan III B Keputusan ini.
KELIMA : Dalam hal Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja menolak permohonan maka segera mewajibkan perusahaan untuk mengikuti Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang

diselenggarakan oleh P.T. Jamsostek (Persero). KEENAM : Perusahaan yang memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Amar Keempat harus menyampaikan laporan triwulan pelaksanaan penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat lebih baik kepada Kepala Kantor Wialayah Departemen Tenaga Kerja setempat dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dengan menggunakan bentuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Keputusan ini.
KETUJUH : Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja melaporkan setiap triwulan pemberian persetujuan atau penolakan permohonan kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industeri dan Pengawasan Ketenagakerjaan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Keputusan ini.
KEDELAPAN : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : J a k a r t a Pada tanggal : 20 Nopember 1998
DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN,
MOHD. SYAUFII SYAMSUDDIN NIP : 160008975

No. : B.337/DJPPK/IX/05 Jakarta, 29 September 2005 Lamp : Perihal : Masa tunggu pengambilan Jaminan Hari Tua Dalam Program Jamsostek Kepada Yth :
1. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi/Kabupaten dan Kota 2. Kepala Ka ntor Wilayah/Kepala Kantor Cabang PT. Jamsostek (Persero)
Di- Seluruh Indonesia
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada kami tentang masa tunggu 6 (enam) bulan pengambilan Jaminan Hri Tua, dimana ada beberapa pihak yang menghendaki agar masa tunggu tersebut dihapuskan, dengan ini dapat kami jelaskan hal-hal sebagai berikut :
1. Program Jaminan Hari Tua pada hakekatnya ditujukan untuk memberikan kepastian jaminan bagi tenaga kerja dan keluarganya mengenai keberlangsungan penerimaan penghasilan, sebagai pengganti penghasilan ya ng hilang apabila tenaga kerja mencapai usia pensiun.
2. Dalam ketentuan pasal 15 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 jo. Pasal 32 PP No. 14 tahun 1993, diatur tentang
pengecualian pembayaran Jaminan Hari Tua yang dapat dilakukan sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, apabila tenaga kerja tersebut mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tetapi telah mempunyai masa kepesertaan serendah-rendahnya 5 (lima) tahun dan telah melewati masa tunggu 6 bulan terhitung sejak saat tenaga kerja yang bersangkutan berhenti kerja. Maksud dari masa tunggu ini adalah untuk memberi kesempatan kepada PT. Jamsostek untuk mempersiapkan administrasinya dan kepada tenaga kerja, dimana apabila dalam masa tunggu tersebut yang bersangkutan bekerja kembali, maka jaminan hari tua tersebut diteruskan kepesertaannya pada perusahaan baru, sesuai hakekat dari program Jaminan Hari Tua itu sendiri untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja di masa tuanya pada saat bersangkutan tidak mampu bekerja lagi karena faktor lanjut usia.
3. Oleh karena itu Surat Edaran Direksi PT. Jamsostek (Persero) No. 13/4061/0698 tanggal 12 Juni 1998 mengenai penghapusan masa tunggu 6 (enam) bulan adalah bertentangan dengan ketentuan pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1993, sehingga Surat Edaran tersebut batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada. Untuk itu diminta agar Saudara tetap berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang no. 3 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1993. Demikian untuk menjadi perhatian dan atas kerjasamanya disampaikan terimakasih. Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Ttd. MSM. Simanihuruk, S.H.,M.M. Nip : 130 353 033 Tembusan kepada Yth :
1. Menteri Tenaga Kerja dan Transigrasi. 2. Direktur Utama PT. Jamsostek (Persero)

LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI NOMOR: KEP/289/112004
SISTEM DAN PROSEDURPELAYANAN TERPADU PROGRAM JAMSOSTEK
MODUL: AKUNTANSI DAN KEUANGAN
[ 214 ] J A M S O S T E K
LAPORAN KECELAKAAN TAHAP I
FormulirJAMSOSTEK
3
Wajib dilaporkan dalam 2 x 24 jamsetelah terjadi kecelakaan
Dibuat dengan sesungguhnya,
Nama dan tanda tangan pimpinan perusahaan Jabatan, Tanggal
NPP :
No. Telepon :
Rp.
BENTUKK.K.3
Diisi oleh Petugas Kantor Departemen Tenaga Kerja
Nomor KLUI
Nomor Kecelakaan
Diterima tanggal
Nomor Agenda JAMSOSTEK *)
1. Nama Perusahaaan
Alamat dan Nomor Telepon
Jenis Usaha
Nomor Pendaftaran (Bentuk K.K.1)
Nomor Akte Pengawasan
2. Nama Tenaga Kerja
Alamat dan Nomor Telepon
Tempat dan tanggal lahir
Jenis Pekerjaan/jabatan
Unit/Bagian Perusahaan
3. Upah Tenaga Kerja
a. Upah berupa uang (pokok dan tunjangan)
b. Penerimaan lain-lain
c. jumlah (a +b)
4. a. Tempat kecelakaan
b. Tanggal kecelakaan
5. a. Uraian kejadian kecelakaan :
1) Bagaimana terjadinya kecelakaan
2) Sebutkan bagian mesin, instalasi, bahan atau lingkungan
yang menyebabkan cidera atau meninggal
dunia.
b. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja :
1) Sebutkan jenis penyakit yang timbul karena hubungan
kerja : - jabatan/pekerjaan yang bersangkutan
- berapa lama kerja
2) Sebutkan bahan, proses, lingkungan atau cara
bekerja yang menyebabkan penyakit yang timbul
karena hubungan kerja.
6. a. Akibat yang diderita korban.
b. Jelaskan bagian tubuh yang sakit/luka
7. Nama dan alamat Dokter/Tenaga Medik yang memberikan
pertolongan pertama (dalam hal penyakit yang timbul
karena hubngan kerja, nama dokter yang pertama kali
mendiagnosa).
8. Keadaan penderita setelah pemeriksaan pertama :
a. Berobat jalan
b. Dirawat di Alamat
9. Kecelakaan dicatat dalam Buku Kecelakaan pada No. Urut
10. Perkiraan kerugian : a. Waktu (dalam Hari-Orang)
b. Material
11. Keterangan lain-lain yang perlu
Dalam waktu 2 x 24 jam setelah tenaga kerjameninggal dunia, atau sembuh baik cacadatau tidak (setelah menjalani perawatan). Perusahaan wajib memasukkan LaporanKecelakaan Kerja Bentuk K.K.3
*) Jika perlu dapat ditambah dalam kertas/lembaran lain**) Diisi oleh PT JAMSOSTEK
Kode Pos :
No. KPJ :
No. Telepon :Kode Pos :
Jenis Kelamin :Laki-laiki
Perempuan
BoronganSebulanSehari
Rp.
Rp.
Jam :
F **)
G **)
H **)
E **)
*)
*)
*)
*)
Luka-lukaSakitMeninggal Dunia
C **)
Tidak bekerjaSambil bekerja
PuskesmasRumah Sakit Poliklinik
Jam kerja :Rp.

LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI NOMOR: KEP/289/112004
SISTEM DAN PROSEDURPELAYANAN TERPADU PROGRAM JAMSOSTEK
MODUL: AKUNTANSI DAN KEUANGAN
J A M S O S T E K [ 217 ]
SURAT KETERANGAN DOKTER
FormulirJAMSOSTEK
3c
Dibuat dengan sesungguhnya,
Nama dan tanda tangan dokter pemeriksa Jabatan, Tanggal
No. KPJ :
No. Telepon :Kode Pos :
NPP :
No. Telepon :Kode Pos :
BENTUKK.K.5
(khusus untuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja)
Dengan ini saya, dokter
Nama :
Jabatan :
menerangkan dengan sesungguhnya :
Jenis Kelamin :Laki-laiki
Perempuan
Tidak dapat bekerja sama sekaliRinganBiasa
dari tanggal s/d tanggal
dari tanggal s/d tanggal
1. Nama Tenaga Kerja
Alamat dan Nomor Telepon
Tempat dan tanggal lahir
Jenis Pekerjaan/jabatan
Unit/Bagian Perusahaan
2. Nama Perusahaan
Alamat dan Nomor Telepon
Jenis Usaha
Nomor Pendaftaran (Bentuk K.K.1)
Nomor Akte Pengawasan
3. Tanggal diagnosis penyakit akibat kerja
4. a. Resume
Berpedoman kepada Kepmen No. 333.MEN/1989
dan Kepmen No. 62A/MEN/1992
b. Diagnosis
6. Setelah hasil pengobatan :
Sembuh tanpa cacad
Penilaian cacad penyakit akibat kerja
Berpedoman kepada Kepmen No. 333/MEN/1989
dan Kepmen No. 62A/MEN/1992
Memerlukan prothese/orthese
7. Setelah sembuh ia dapat melakukan pekerjaan
Terhitung tanggal
8. Lamanya perawatan/pengobatan
9. Diberikan Istirahat
10. Tanggal meninggal dunia
11. Keterangan lain-lain yang perlu
Dibuat oleh dokter
Alamat
PoliklinikPuskesmasRumah Sakit Dokter Swasta

LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI NOMOR: KEP/289/112004
SISTEM DAN PROSEDURPELAYANAN TERPADU PROGRAM JAMSOSTEK
MODUL: AKUNTANSI DAN KEUANGAN
[ 216 ] J A M S O S T E K
SURAT KETERANGAN DOKTER
FormulirJAMSOSTEK
3b
Dibuat dengan sesungguhnya,
Nama dan tanda tangan dokter pemeriksa Jabatan, Tanggal
No. KPJ :
No. Telepon :Kode Pos :
NPP :
No. Telepon :Kode Pos :
BENTUKK.K.4
(khusus untuk akibat kecelakaan kerja)
1. Nama Tenaga Kerja
Alamat dan Nomor Telepon
Tempat dan tanggal lahir
Jenis Pekerjaan/jabatan
Unit/Bagian Perusahaan
2. Nama Perusahaan
Alamat dan Nomor Telepon
Jenis Usaha
Nomor Pendaftaran (Bentuk K.K.1)
Nomor Akte Pengawasan
3. Kecelakaan pada tanggal
4. Pemeriksaan pada tanggal
5. Dari hasil pemeriksaan didapatkan :
a. Keadaan, tempat dan ukuran luka-lukanya
b. Diagnosis
c. Perlu Dirawat berobat jalan sambil bekerja
berobat jalan tidak bekerja
6. Tindakan medis yang dilakukan
7. Setelah hasil pengobatan
Sembuh tanpa cacad
Cacad anatomis akibat kehilangan anggota badan.
Jelaskan. (Tunjukkan juga pada gambar)
Apabila terdapat cacad tetapi tidak mengakibatkan
kehilangan anggota badan, berapa persen berku-
rangnya fungsi anggota badan yang cacad tersebut.
........... % terbilang (...................................................)
8. Setelah sembuh ia dapat melakukan pekerjaan
Terhitung tanggal
9. Lamanya perawatan/pengobatan
10. Diberikan Istirahat
11. Tanggal meninggal dunia
Dibuat oleh dokter
Alamat
Dengan ini saya, dokter
Nama :
Jabatan :
menerangkan dengan sesungguhnya :
Jenis Kelamin :Laki-laiki
Perempuan
Tidak dapat bekerja sama sekaliRinganBiasa
dari tanggal s/d tanggal
dari tanggal s/d tanggal
PoliklinikPuskesmasRumah Sakit Dokter Swasta

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP-67/MEN/IV/2004
TENTANG
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA BAGI TENAGA KERJA ASING
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan sosial Tenaga Kerja pelaksanaan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja diberlakukan kepada setiap tenaga kerja yang bekerja di Indonesia:
b. bahwa perlu ditetapkan kewajiban bagi pengusaha untuk mengukutsertakan tenaga kerja asing yang dipekerjakannya dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja dengan Keputusan Menteri;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4 );
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) ;
3. Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3520);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/ M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong ;

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA BAGI KERJA ASING.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud :
1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja,sakit,hamil,bersalin,hari tua dan meninggal dunia.
2. Pengusaha adalah : a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Pasal 2
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia wajib mengikutsertakan tenaga kerja asing yang bersangkutan dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Pasal 3

Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Pasal 4
Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Segala ketentuan bertentangan dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd
JACOB NUWAWEA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-24/MEN/VI/2006
TENTANG
PEDOMAN PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
BAGI TENAGA KERJA YANG MELAKUKAN PEKERJAAN DI LUAR HUBUNGAN KERJA
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja kemungkinan mengalami kecelakaan kerja, sakit, hamil. bersalin, hari tua dan meninggal dunia sehingga perlu mendapatkan perlindungan melalui program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
b. bahwa mengingat tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja mempunyai kekhususan tertentu maka program perlindungan jaminan sosial tenaga kerja tersebut perlu diatrur sendiri.
c. bahwa berdasarkan pertimbanganb pada huruf a dan huruf b perlu
ditetapkan Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja dengan Peraturan Menteri.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Badan Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4582);

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KESATU : Menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
KEDUA : Pedoman sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU sebagai dasar
penyelenggaraan program jaminan sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.
KETIGA : Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 2006.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd
ERMAN SUPARNO
Salinan sesuai dengan aslinya. Kepala biro Hukum

Andi Syahrul Pangerang, SH NIP. 160043638
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-24/MEN/VI/2006
TENTANG
PEDOMAN PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
BAGI TENAGA KERJA YANG MELAKUKAN PEKERJAAN DI LUAR HUBUNGAN KERJA
BAB I PENDAHULUAN
A . Latar Belakang.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 H menekankan bahwa setiap pekerja berhak atas atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga kerja menekankan bahwa "Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat". Namun hingga saat ini Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial tersebut baru berlaku efektif bagi tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 memerintahkan agar program jaminan sosial bagi bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja adalah tenaga kerja yang melakukan kegiatan ekonomi tanpa dibantu orang lain (berusaha sendiri tanpa buruh/pekerja). Berdasarkan hasil Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan oleh BPS pada bulan Februari tahun 2005, jumlah orang yang berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain (pekerja yang

melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja) berkisar 17.480.227. orang.
Orang yang berusaha sendiri atau tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja pada umumnya melakukan usaha-usaha pada ekonomi informal. Usaha ekonomi informal selama ini dianggap telah berjasa sebagai katub pengaman, karena mampu menyerap tenaga kerja yang tidak terserap oleh usaha-usaha ekonomi formal. Hal ini disebabkan usaha-usaha ekonomi formal tersebut mudah dimasuki oleh tenaga kerja karena pada umumnya tidak mensyaratkan tingkat pendidikan dan keterampilan tertentu. Pada umumnya tenaga kerja pada usaha-usaha ekonomi informal tersebut belum terjangkau oleh upaya-upaya pembinaan dan perlindungan tenaga kerja yang berkesinambungan. Jaminan Sosial Tenaga Kerja sangat diperlukan oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja yang pada umumnya berusaha pada usaha-usaha ekonomi informal dengan ciri-ciri antara lain : - berskala mikro dengan modal kecil; - menggunakan teknologi sederhana/rendah; - menghasilkan barang dan/atau jasa dengan kualitas relatif rendah; - tempat usaha tidak tetap; - mobilitas tenaga kerja sangat tinggi; - kelangsungan usaha tidak terjamin; - jam kerja tidak teratur; - tingkat produktivitas dan penghasilan relatif rendah dan tidak tetap; Selain tenaga kerja dengan ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas juga termasuk tenaga kerja di luar hubungan kerja yang profesional seperti dokter, pengacara artis, seniman dan sebagainya perlu mendapatkan perlindungan jaminan sosial.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersama dengan PT. Jamsotek (Persero) telah melakukan pengkajian tentang kebutuhan akan jaminan sosial bagi para tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja di beberapa Propinsi. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya para tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja mempunyai minat yang besar untuk menjadi peserta program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dalam rangka mengatasi resiko kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Namun kemampuan untuk membayar iuran terbatas karena penghasilan yang tidak teratur dan ada yang penghasilannya tergantung pada musim. Oleh sebab itu tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja tidak mungkin diwajibkan untuk mengikuti seluruh program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.
Sehubungan dengan keterbatasan kemampuan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja dalam membayar iuaran, maka program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi para tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan membayar iuaran

dari tenaga kerja yang bersangkutan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, pengertian jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang, dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Saat ini sedang dilakukan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja sambil menunggu ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja di luar hubungan kerja perlu disusun Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja.
B. .Tujuan.
Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja disusun dengan tujuan agar dapat digunakan sebagai acuan bagi para pihak yang berkepentingan/stakeholders dalam rangka penyelenggaraan program jaminan sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.
C. .Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja. 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja ; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Thaun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat
atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
6.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis, Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial

Tenaga Kerja.
D. . Ruang Lingkup.
Ruang lingkup pedoman ini dibatasi hanya bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja yaitu orang yang berusaha sendiri.
E.. Pengertian.
1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil.bersalin, ha ri tua dan meninggal dunia. 2. Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas resiko sendiri. 3. Peserta adalah tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja yang telah membayar iuran. 4. Wadah adalah organ yang dibentuk oleh, dari dan untuk peserta dalam rangka membantu penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja. 5. Penanggung Jawab Wadah adalah Pihak yang ditunjuk oleh peserta untuk mewakili peserta dalam hal menyelesaikan hak dan kewajiban para peserta yang meliputi pengumpulan iuran, penyetoran iuran dan pengurusan klaim. 6. Mitra Kerja adalah Wadah atau Institusi atau Organisasi yang telah melakukan Ikatan Kerjasama (IKS) dengan PT.Jamsotek (Persero) sebagai Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja di Luar Hubungan Kerja. 7. Penghasilan adalah perolehan dari hasil usaha atau pekerjaan dalam proses produksi barang dan jasa yang dinilai dalam bentuk uang. 8. Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi pada saat tenaga kerja melakukan aktifitas sesuai dengan pekerjaannya. 9. Cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan. 10. Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksanaan,

pengobatan dan atau perawatan.
F. Sistematika Penulisan.
Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja terdiri dari 6 (enam) BAB, sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, memuat latar belakang dan tujuan disusunnya Buku Pedoman,
Dasar Hukum, Ruang Lingkup,Pengertian dan Sistematika Penulisan BAB II Pengorganisasian, memuat pembinaan yang dilakukan Instansi Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah (Propinsi, dan Kabupaten/ Kota), Badan Penyelenggaraan dan Kelompok Peserta.
BAB III Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja, memuat Tujuan Program, Prinsip Penyelenggaraan, Jenis Program dan Mekanisme Pelaksanaan.
BAB IV Pembinaan memuat sasaran yang akan dibina melalui sosialisasi, materi sosialisasi yang akan diberikan dan metode sosialisasi untuk bimbingan masyarakat.
BAB V Pengendalian memuat monitoring pelaporan dan evaluasi. BAB VI
Penutup
BAB II PENGORGANISASIAN
Organisasi pembinaan penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui pembagian tugas dan tanggung jawab dari masing-masing instansi terkait yang terdiri dari : A . Instansi Pemerintah. 1. Instansi Pusat.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertugas menetapkan kebijakan, standar, prosedur, pengendalian program,bimbingan teknis dan pembinaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal yang secara teknis menangani pembinaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 2. Instansi Propinsi. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Propinsi, bertanggung jawab merumuskan kebijakan operasional di Propinsi melakukan pembinaan, pemantauan dan evaluasi dalam lingkup Propinsi. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Propinsi menyampaikan laporan pelaksanaan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. cq. Direktorat Jenderal yang secara teknis menangani pembinaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 3. Instansi Kabupaten. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas dilaksanakannya program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja dengan melakukan pembinaan dalam rangka perluasan kepesertaan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Bupati/Walikota menyampaikan laporan pelaksanaan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. B . Badan Penyelenggara. Badan Penyelenggara program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja adalah PT. Jamsostek (Persero). C. Penanggung jawab Wadah/Kelompok Penanggung jawab Wadah/Kelompok bertugas untuk : 1. Menghimpun tenaga kerja di luar hubungan kerja; 2. Mendaftarkan peserta ke PT. Jamsostek (Persero); 3. Menghimpun dan menyetor iuran kepada PT. Jamsostek (Persero); 4. Membantu mendistribusikan Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) kepada peserta; 5. Mengurus hak-hak peserta atas jaminan; 6. Memperingatkan peserta yang menunggak pembayaran iuran dan melaporkan kepada PT. Jamsostek (Persero).

BAB III
PENYELENGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA BAGI TENAGA KERJA
YANG BEKERJA DI LUAR HUBUNGAN KERJA
A. Tujuan Program 1. Memberikan perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja pada saat tenaga kerja tersebut kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko antara lain kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. 2. Memperluas cakupan kepesertaan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. B. Program. Jenis Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja terdiri dari : 1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); 2. Jaminan Kematian (JK); 3. Jaminan Hari Tua (JHT); 4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Tenaga Kerja di luar hubungan kerja dapat mengikuti seluruh program Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau sebagian sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta. C. Kepesertaan. Setiap tenaga kerja di luar hubungan kerja yang berusia maksimal 55 tahun dapat mengikuti program Jaminan Sosial Tenaga Kerja secara sukarela. D. Iuran. Iuran program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang bekerja di luar hubungan kerja ditetapkan berdasarkan nilai nominal tertentu. Niali nominal tertentu tersebut sekurang-kurangnya setara dengan Upah Minimum Provinsi/Kabupaten/ Kota setempat. Untuk menghitung besarnya iuran program jamsostek sebagai berikut :

a. Jaminan Kecelakaan Kerja, sebesar 1 % dari penghasilan sebulan; b. Jaminan Hari Tua, minimal sebesar 2 % dari penghasilan sebulan; c. Jaminan Kematian, sebesar 0,3 % dari penghasilan sebulan; d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, sebesar 6 % dari penghasilan sebulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3 % dari penghasilan sebulan bagi tenaga kerja lajang. Dasar perhitungan pembayaran iuran dari penghasilan sebulan tersebut di atas adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Pedoman ini.
Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh peserta. E. Cara Pembayaran Iuran. Pembayaran iuran dapat dilakukan secara bulanan atau setiap tiga bulan dengan menyetorkan langsung kepada Badan Penyelenggara atau melalui Penanggung Jawab Wadah/Kelompok secara lunas. a. Pembayaran iuran melalui Wadah/Kelompok. Pembayaran iuran secara bulanan dari peserta paling lambat tanggal 10 pada bulan berjalan. Penanggung Jawab Wadah/Kelompok diwajibkan menyetorkan dana iuran yang dikumpulkan dari peserta kepada Badan Penyelenggara paling lambat tanggal 13 bulan berjalan. Penanggung jawab Wadah/Kelompok wajib menjamin kelangsungan pembayaran iuran dari peserta setiap bulannya kepada Badan Penyelenggara.
Bagi peserta yang membayar iuran secara triwulan besarnya iuran adalah 3 (tiga) kali iuran bulanan yang dibayarkan untuk 3 bulan kedepan. Pembayaran iuran 3 bulan berikutnya paling lambat tanggal 10 bulan berjalan. Penanggung Jawab Wadah/Kelompok diwajibkan menyetorkan dana iuran yang dikumpulkan dari peserta kepada Badan Penyelenggara paling lambat tanggal 13 bulan berjalan.
Dalam hal peserta menunggak pembayaran iuran masih diberikan grace periode selama 1 (satu) bulan untuk mendapatkan hak jaminan program yang diikuti.
Peserta yang telah kehilangan hak untuk mendapatkan jaminan program dapat memperoleh haknya kembali apabila peserta kembali membayar iuran termasuk membayar satu bulan iuran yang tertunggak dalam masa grace periode. b. Pembayaran iuran secara langsung oleh peserta. Pembayaran iuran secara langsung oleh peserta kepada Badan Penyelenggara, dilakukan setiap bulan dan disetor paling lambat tanggal 15 bulan berjalan.

F. Manfaat. Manfaat program Jaminan Sosial tenaga Kerja yang diberikan kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja sesuai dengan jaminan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja beserta peraturan pelaksanaannya. 1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), terdiri : - Biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja; - Penggantian Upah Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB); - Biaya perawatan medis; - Santunan cacat tetap sebagian; - Santunan cacat total tetap; - Santunan kematian; - Santunan berkala bagi yang meninggal dunia dan cacat total tetap; - Biaya rehabilitasi. 2. Jaminan Kematian (JK), terdiri dari : - Jaminan Kematian; - Biaya pemakaman; - Santunan berkala. 3. Jaminan Hari Tua (JHT), terdiri dari keseluruhan iuran yang telah disetor beserta hasil pengembangannya.Dasar perhitungan pembayaran manfaat program JKK, JK dan JHT adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Pedoman ini. 4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), terdiri dari : - Rawat jalan tingkat pertama meliputi : pemeriksaan dan pengobatan dokter umum dan dokter gigi, pemeriksaan diberikan tindakan medis sederhana. - Rawat jalan tingkat lanjutan berupa pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis. - Rawat Inap; - Pertolongan persalinan; - Penunjang diagnostic berupa pemeriksaan laboratorium, radiologi, EEG, dsb. - Pelayanan khusus berupa penggantian biaya prothese, orthose dan kacamata; - Pelayanan gawat darurat; Tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja berhak atas Jaminan Kecelakaan Kerja berupa penggantian biaya yang meliputi : a. Biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja ke rumah sakit dan

atau ke rumahnya termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan; b. Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan selama di rumah sakit; termasuk rawat jalan; c. Biaya rehabilitasi berupa alat bantu (orthese) dan atau alat ganti (prothese) bagi tenaga kerja yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi akibat kecelakaan kerja; Selain penggantian biaya kepada tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja diberikan juga santunan berupa uang yang meliputi : a. Santunan sementara tidak mampu bekerja (STMB); b. Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya. c. Santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental; d. Santunan kematian dan uang kubur; e. Santunan berkala. Berdasarkan surat keterangan dari dokter pemeriksaan dan atau dokter penasehat PT. Jamsostek (Persero) menetapkan dan membayar semua biaya dan santunan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya pengajuan pembayaran jaminan. Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, pembayaran santunan kematian dibayarkan kepada ahli warisnya.
Berdasarkan surat keterangan dari dokter pemeriksa dan atau dokter penasehat PT. Jamsostek (Persero) menetapkan akibat kecelakaan kerja dan membayar santunan.
Peserta berhak atas manfaat program Jaminan Sosial Tenaga Kerja setelah membayar iuran. Pembayaran iuran untuk bulan tertentu merupakan jaminan untuk mendapatkan manfaat antara peserta mengalami risiko pada bulan berikutnya. Oleh sebab itu baik peserta maupun Penanggung Jawab Wadah/Kelompok, wajib menyetorkan iuran secara lunas kepada PT. Jamsostek (Persero) sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
BAB IV
PEMBINAAN
Untuk penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja secara efektif, efisien dan berkesinambungan, maka perlu dilakukan pembinaan antara lain melalui sosialisasi.
Adapun sasaran, materi dan metode sosialisasi adalah sebagai berikut :

A. Sasaran. Sosialisasi program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja dilakukan terhadapsemua pemangku kepentingan (stakeholder) baik di Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan maupun Desa. B. Materi Materi Sosialisasi berkaitan dengan manfaat program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja, jenis program ditawarkan, besarnya iuran, cara membayar iuran, serta hak dan kewajiban setelah menjadi peserta program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. C. Metode Metode sosialisasi disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi serta kebiasaan masing- masing daerah, misalnya penyuluhan melalui media elektronik, media cetak, atau tatap muka dengan masyarakat/tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.
BAB V PENGENDALIAN
Untuk mengetahui pelaksanaan penyelenggaraan program jamsostek bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja perlu dilakukan :
A. Monitoring
Monitoring dilaksanakan dengan tujuan untuk mengendalikan arah, kegiatan, memberikan bimbingan dan pengarahan dalam rangka pengelolaan kegiatan serta membantu mengatasi masalah-masalah yang timbul di lapangan. Monitoring dilaksanakan secara terus menerus dan dilaporkan secara periodik setiap 3 bulan sekali yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat (Deparemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) dan Pemerintah Provinsi (Unit kerja yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan).

B. Pelaporan.
Kantor Cabang PT. Jamsostek (Persero) wajib melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan tembusan ke Provinsi.
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja wajib melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Propvinsi.
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi yang berkaitan dengan penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja wajib melaporkan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
C. Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja. Berdasarkan kegiatan evaluasi ini akan diketahui keberhasilan, hambatan dan kendala di lapangan yang nantinya dapat dijadikan dasar penyempurnaan dan perumusan program pada tahun berikutnya.
BAB VI PENUTUP
Penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja pada dasarnya merupakan salah satu instrumen perlindungan dalam hal jaminan sosial dan peningkatan kesejahteraan.
Penyelengaaraan program Jamina Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja merupakan hal yang menjadi prioritas mengingat bahwa tenaga kerja di luar hubungan kerja mendominasi angkatan kerja di Indonesia. Namun demikian, efektifitas suatu rencana dan suatu program perlu didukung oleh hardware,

software dan brainware yang handal. Pedoman ini dimaksudkan sebagai salah satu software dalam melaksanakan penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd
ERMAN SUPARNO
Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum
Andi Syahrul Pangerang, SH NIP. 160043638. LAMPIRAN I - TABEL UMP, DASAR UPAH DAN IURAN LAMPIRAN II - TABEL MANFAAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004
TENTANG
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur;
b. bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara
mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
Mengingat
: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), dan Ayat (3), dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk

menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
2. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara
penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial.
3. Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
4. Tabungan wajib adalah simpanan yang bersifat wajib bagi peserta program jaminan sosial.
5. Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang mampu sebagai peserta program jaminan sosial.
6. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
7. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosia l.
8. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja
paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
9. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya.
10. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
11. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
12. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum

atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.
13. Gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan /atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
14. Kecelakaan kerja adalah kecelakaaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
15. Cacat adalah keadaan berkurangnya atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya.
16. Cacat total tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan.
BAB III
ASAS, TUJUAN, DAN PRINSIP PENYELENGGARAAN Pasal 2
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 3
Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.
Pasal 4
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip : a. kegotong-royongan;

b. nirlaba; c. keterbukaan; d. kehati-hatian; e. akuntabilitas; f. portabilitas; g. kepesertaan bersifat wajib; h. dan amanat , dan
i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
BAB III
BADAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL Pasal 5
1. Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang.
2. Sejak berlakunya Undang-Undang ini, badan penyelenggara
jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut Undang-Undang ini.
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES);
4. Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain
dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang.
BAB IV
DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL Pasal 6

Untuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan Undang-Undang ini dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Pasal 7
1. Dewan Jaminan Sosial Nasional bertanggung jawab kepada Presiden.
2. Dewan Jaminan Sosial nasional berfungsi merumuskan kebijakan umumdan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
3. Dewan Jaminan Sosial Nasional bertugas :
a. melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial;
b. mengusulkan kebijakan investasi dana Jaminan Sosial nasional ; dan
c. mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah.
4. Dewan Jaminan Sosial Nasional berwenang melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial.
Pasal 8
(1) Dewan Jaminan Sosial Nasional beranggotakan 15 (lima belas) orang, yang terdiri dari unsur Pemerintah, tokoh dan / atau ahli yang memahami bidang jaminan sosial, organisasi pemberi kerja, dan organisasi pekerja.
(2) Dewan Jaminan Sosial Nasional dipimpin oleh Ketua merangkap
anggota dan anggota lainnya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari unsur Pemerintah.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional dibantu oleh Sekretariat Dewan yang dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional .

(5) Masa jabatan anggotan Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah 5
(lima) tahun, dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
(6) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani; d. berkelakuan baik;
e. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan
setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat menjadi anggota;
f. lulusan pendidikan paling rendah jenjang strata 1 (satu); g. memiliki keahlian di bidang jaminan sosial; h. memiliki kepedulian terhadap bidang jaminan sosial; dan
i. tidak pernah dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan.
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat meminta masukkan dan bantuan tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 10
Susunan organisasi dan tata kerja Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagaimana dimaksud dalam Paal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Pasal 11
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat berhenti atau diberhentikan sebelum berakhir masa jabatan karena :
a. meninggal dunia; b. berhalangan tetap; c. mengundurkan diri; d. tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat

(6).
Pasal 12
(1) Untuk pertama kali, Ketua dan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional
diusulkan oleh Menteri yang bidang tugasnya meliputi kesejahteraan sosial.
(2) Tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
BAB V
KEPESERTAAN DAN IURAN Pasal 13
(1) Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan
pekerjaannya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.
(2) Pentahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Pasal 14
(1) Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
(2) Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Wajib memberikan nomor idntitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya.
(2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan

yang berlaku.
Pasal 16
Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti.
Pasal 17
(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
(2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya,
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
(3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhandasar hidup yang layak.
(4) Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah.
(5) Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan,
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PROGRAM JAMINAN SOSIAL Bagian Kesatu
Jenis Program Jaminan Sosial Pasal 18
Jenis program jaminan sosial meliputi : a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan hari tua; d. jaminan pensiun; dan

e. jaminan kematian.
Bagian Kedua Jaminan Kesehatan
Pasal 19
(1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas.
(2) Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Pasal 20
(1) Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.
(2) Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan.
(3) Setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran.
Pasal 21
(1) Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 6 (enam) bulan
belum memperoleh pekerjaaan dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah.
(3) Peserta yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Pasal 22

(1) Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.
(2) Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya.
(3) Ketentuan mengenai pelayanan kesehatan dan urun biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 23
(1) Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
diberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang menjalin kerjasama dengan Badan Penelenggara Jaminan Sosial.
(2) Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
(3) Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang
memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan Kompensasi.
(4) Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 24
(1) Besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut.
(2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatan
atas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima.

(3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan
kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan, kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
Pasal 25
Daftar dan harga tertinggi obat-obatan, serta bahan medis habis pakai yang dijamin oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 27
(1) Besarnya jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan
berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu, yang secara bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
(2) Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.
(3) Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk penerima bantuan iuran ditentukan berdasarkan nominal yang ditetapkan secara berkala.
(4) Batas upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditinjau secara berkala.
(5) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), serta batas upah sebagaimana pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 28
(1) Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan
ingin mengikutsertakan anggota keluarga yang wajib membayar tambahan iuran.
(2) Tambahan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga

Jaminan kecelakaan Kerja Pasal 29
(1) Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial.
(2) Jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah membayar iuran.
Pasal 30
Peserta jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah membayar iuran.
Pasal 31
(1) Peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat berupa pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mendapatkan manfaat berupa uang tunai apabila terjadi cacat total tetap atau meninggal dunia.
(2) Manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan
sekaligus kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja yang cacat sesuai dengan tingkat kecacatan.
(3) Untuk jenis-jenis pelayanan tertentu atau kecelakaan tertentu, pemberi kerja dikenakan urun biaya.
Pasal 32
(1) Manfaat jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) iberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang memenuhi syarat dan menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
(2) Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberkan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
(3) Dalam hal kecelakaan kerja terjadi disuatu daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat, maka guna memenuhi kebutuhan medis bagi peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan kompensasi.
(4) Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas

perawatan di rumah sakit diberikan kelas standar.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya manfaat uang tunai, hak ahli waris, kompensasi, dan pelayanan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja adalah sebesar persentase
tertentu dari upah atau penghasilan yang ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja.
(2) Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja untuk peserta yang tidak
menerima upah adalah jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala oleh Pemerintah.
(3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bervariasi untuk setiap kelompok pekerja sesuai dengan risiko lingkungan kerja.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Jaminan Hari Tua
Pasal 35
(1) Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib.
(2) Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar
peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Pasal 36
Peserta jaminan hari tua adalah peserta yang telah membayar iuran.
Pasal 37
(1) Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada
saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.

(2) Besarnya manfaat jaminan hari tua ditentukan berdasarkan seluruh akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya.
(3) Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun.
(4) Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima manfaat jaminan hari tua.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
(1) Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta penerima upah ditetapkan
berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan tertentu yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja
(2) Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta yang tidak menerima upah
ditetapkan berdasarkan jumlah nominal yang ditetapkan berdasarkan jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Jaminan Pensiun Pasal 39
(1) Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib.
(2) Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.
(3) Jaminan pensiun diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.
(4) Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40

Peserta jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar iuran.
Pasal 41
(1) Manfaat jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan sebagai :
a. Pensiun hari tua, diterima peserta setelah pensiun sampai meninggal dunia;
b. Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau akibat penyakit sampai meninggal dunia;
c. Pensiun janda/duda,diterima janda/duda ahli waris peserta sampai meninggal dunia atau menikah lagi;
d. Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23 (dua puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah; atau
e. Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap peserta atau ahli warisnya berhak mendapatkan pembayaran uang pensiun berkala setiap bulan setelah memenuhi masa iuran minimal 15 (lima belas) tahun, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan.
(3) Manfaat jaminan pensiun dibayarkan kepada peserta yang telah mencapai usia pensiun sesuai formula yang ditetapkan.
(4) Apabila peserta meninggal dunia masa iur 15 (lima belas) tahun ahli warisnya tetap berhak ,mendapatkan manfaat jaminan pensiun.
(5) Apabila peserta mencapai usia pensiun sebelum memenuhi masa iur (lima
belas) tahun, peserta tersebut berhak mendapatkan seluruh akumulasi iurannya ditambah hasil pengembangannya.
(6) Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak tersebut menikah, bekerja tetap, atau mencapai usia 23 (dua puluh tiga) tahun.
(7) Manfaat pensiun cacat dibayarkan kepada peserta yang mengalami cacat total tetap meskipun peserta tersebut belum memasuki usia pensiun.
(8) Ketentuan mengenai manfaat pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

Pasal 42
(1) Besarnya iuran jaminan pensiun untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan atau suatu jumlah nominal tertentu yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan pekerja.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Jaminan Kematian Pasal 43
(1) Jaminan kematian diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial.
(2) Jaminan kematian diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan
santunan kematian yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.
Pasal 44
Peserta jaminan kematian adalah setiap orang yang telah membayar iuran.
Pasal 45
(1) Manfaat jaminan kematian berupa uang tunai dibayarkan paling lambat 3
(tiga) hari kerja setelah klaim diterima dan disetujui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
(2) Besarnya manfaat jaminan kematian ditetapkan berdasarkan suatu jumlah nominal tertentu.
(3) Ketentuan mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 46
(1) Iuran jaminan kematian ditanggung oleh pemberi kerja.
(2) Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan.

(3) Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta bukan penerima upah ditentukan berdasarkan jumlah nominal tertentu dibayar oleh peserta.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENGELOLAAN DANA JAMINAN SOSIAL Pasal 47
(1) Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.
(2) Tata cara pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Pasal 49
(1) badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengelola pembukuan sesuai dengan standar akuntasi yang berlaku.
(2) Subsidi silang antar program dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana prgram lain yang tidak diperkenankan.
(3) Pesera berhak setiap saat memperoleh infromasi tentang akumulasi iuran
dan hasil pengembangannya serta manfaat dari jenis program jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
(4) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi
skumulasi iuran berikut hasil pengembangannya kepada setiap peserta jaminan hari tua sekurang-kurangnya sekali alam satu tahun.
Pasal 50
(1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dilakukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 52
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku :
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59), berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3468);
b. Perusahaan perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 38), berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang pensiun Pegawai dan pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Nomor 2906), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3014) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890), dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3200);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk

Perusahaan Umum (Perum) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Perusahaan perseroan (persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 88);
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) yang dibentuk denganPeraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Husada Bhakti menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 16);
tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
(2) Semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP Pasal 53
Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
TTD BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 150

Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris
Bidang Hukum dan perundang-undangan Lambock V. Nahattands
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2004
TENTANG
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
UMUM
Pembangunan sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional telah menghasilkan banyak kemajuan, diantaranya telah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat.
Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.

Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharakan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila tejadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderit a sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan beberapa program jaminan sosial. Undang-Undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tenang Jaminan Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian.
Untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), telah dikembangkan program Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun1981 dan program Asuransi Kesehatan (ASKES) yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 yang bersifat wajib bagi PNS/Penerima Pensiun/Perintis Kemerdekaan/Veteran dana anggota keluarganya.
Untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan PNS Departemen Pertahanan/TNI/POLRI beserta keluarganya telah dilaksanakan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) sesuai dengan Peraturan Pemrintah Nomor 67 Tahun 1991 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1971.
Berbagai program tersebut diatas baru mencakup sebagian kecil masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Disamping itu, pelaksanaan berbagai program jaminan sosial tersebut mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai kepada para peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak peserta.
Sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem Jaminan Nasional yang mampu mensinkronisasikan penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial yang dilaksanakan oleh beberapa penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta.
Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut :
• Prinsip kegotong royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong- royong dari peserta yang mampu kepada peserta yamg kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadalan sosial bagi keseluruhan rakyat Indonesia.
• Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan sosial, akan tetapi tujuan utama

penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
• Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
• Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menajdi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat.
• Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
• prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam Undang-Undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Dalam Undang-Undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib pekerja. Program-program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Undang-Undang ini adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembagan jaminan sosial.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas.
Pasal 2
Asas kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Asas manfaat merupakan asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Asas keadilan merupakan asas yang bersifat ideal. Ketiga asas tersebut dimaksudkan utnuk menjamin kelangsungan program dan hak peserta.

Pasal 3
Yang dimaksud dengan kebutuhan dasar hidup adalah kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 4
Prinsip kegotong-royongan dalam ketentuan ini adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya.
Prinsip nirlaba dalam ketentuan ini adalah prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta.
Prinsip keterbukaan dalam ketentuan ini adalah prinsip dalam ketentuan ini adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi setiap peserta.
Prinsip kehati-hatian dalam ketentuan ini adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib.
Prinsip akuntabilitas dalam ketentuan ini adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Prinsip portabilitas dalam ketentuan ini adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip kepesertaan wajib dalam ketentuan ini adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.
Prinsip dana amanat dalam ketentuan ini adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial.
Prinsip hasil pengelolaan dana Jaminan Sosial Nasional dalam ketentuan ini adalah hasil dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas

Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut ketentuan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan dinamika perkembangan jaminan sosial dengan tetap memberi kesempatan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang telah ada/atau yang baru, dalam mengembangkan cakupan kepesertaan dan program jaminan sosial.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Kajian dan penelitian yang dilakukan dalam ketentuan ini antara lain penyesuainan masa transisi, standar opersional dan prosedur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, besaran iuran dan manfaat, pentahapan kepesertaan dan perluasan program, pemenuhan hak peserta, dan kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Huruf b
Kebijakan investasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah penempatan dana dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, optimalisasi hasil, keamanan dana, dan transparansi.
Huruf c

Cukup jelas.
Ayat (4)
Kewenangan melakukan monitoring dan evaluasi dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya program jaminan sosial, termasuk tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Pasal 8
Ayat (1)
Jumlah 15 (lima belas) orang anggota dalam ketentuan ini terdiri dari unsur pemerintah 5 (lima) orang , unsur tokoh dan/ atau ahli 6 (enam) orang, unsur organisasi pemberi kerja 2 (dua) orang, dan unsur organisasi pekerja 2 (dua) orang
Unsur pemerintah dalam ketentuan ini berasal dari departemen yang bertanggung jawab di bidang keuangan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, dan kesejahteraan rakyat dan/atau bidang pertahanan dan keamanan, masing-masing 1 (satu) orang.
Unsur ahli dalam ketentuan ini meliputi ahli di bidang asuransi, keuangan, investasi, dan aktuaria.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Frasa "secara bertahap" dalam ketentuan ini dimaksudkan agar memperhatikan syarat-syarat kepesertaan dan program yang dilaksanakan dengan memperhatikan kemampuan anggaran negara, seperti diawali dengan program jaminan kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi yang dimaksud dalam ketentuan ini mencakup hak dan kewajiban sebagai peserta, akun pribadi secara berkala minimal satu tahun sekali, dan perkembangan program yang diikutinya.
Pasal 16

Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud pembayaran iuran secara berkala dalam ketentuan ini adalah pembayaran setiap bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Fakir miskin dan orang yang tidak mampu dalam ketentuan ini adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Prinsip asuransi sosial meliputi :
a. kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;
b.kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif;

c. iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;
d. bersifat nirlaba.
Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Anggota keluarga adalah istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang lain dalam ketentuan ini adalah anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.
Untuk mengikut sertakan anggota keluarga yang lain, pekerja memberikan surat kuasa kepada pemberi kerja untuk menambah iurannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini memungkinkan seorang peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan keluarganya tetap dapat menerima jaminan kesehatan hingga 6 (enam) bulan berikutnya tanpa mengangsur.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud pelayanan kesehatan dalam pasal ini meliputi pelayanan dan penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga Berencana, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat dan tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi jantung. Pelayanan ersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik mutu maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin kesinambungan program dan kepuasan peserta. Luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini diperlukan untuk kehati-hatian.
Ayat (2)
Jenis pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang moral hazaard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik.
Urun biaya harus menjadi bagian upaya pengendalian, terutama upaya pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan. Penetapan urun biaya dapat berupa nilai nominal atau persentase tertentu dari biaya pelayanan, dan dibayarkan kepada fasilitas kesehatan pada saat peserta memperoleh pelayanan kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, dokter praktek, klinik, laboratorium, apotek dan fasilitas kesehatan lainnya. Fasilitas kesehatan memenuhi syarat tertentu apabila kesehatan tersebut diakui dan memiliki izin dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Kompensasi yang diberikan pada peserta dapat dalam bentuk uang tunai, sesuai dengan hak pesera.
Ayat (4)
Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari haknya (kelas standar), dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini menghendaki agar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial membayar fasilitas kesehatan secara efektif dan efisien. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat memberikan anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di suatu daerah untuk melayani sejumlah peserta atau membayar sejumlah tetap tertentu per kapita per bulan (kapitasi). Anggaran tersebut sudah mencakup jasa medis, biaya perawatan, biaya penunjang, dan biaya obat-obatan yang penggunaan rincinya diatur sendiri oleh pimpinan rumah sakit. Dengan demikian, sebuah rumah sakit akan lebih leluasa menggunakan dana seefektif dan seefisien mungkin.
Ayat (3)
Dalam pengembangan pelayanan kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menerapkan sistem kendali mutu dan kendali biaya termasuk menerapkan iuran biaya untuk mencegah penyalahgunaan pelayanan kesehatan.
Pasal 25
Penetapan daftar dan plafon harga dalam ketentuan ini dimaksudkan agar mempertimbangkan perkembangan kebutuhan medik ketersediaaan, serta efektifitas dan efisiensi obat atau bahan medis habis pakai.
Pasal 26

Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengertian secara berkala dalam ketentuan ini adalah jangka waktu tertentu untuk melakukan peninjauan atau perubahan sesuai dengan perkembangan kebutuhan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kompensasi dalam ketentuan ini dapat berbentuk penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan, atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu.
Ayat (4)
Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari pada haknya (kelas standar), dapat meningkatkan kelasnya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Variasi besarnya iuran disesuaikan dengan tingkat risiko lingkungan kerja dimaksudkan pula untuk mendorong pemberi kerja menurunkan tingkat risiko lingkungan kerjanya dan teciptanya efisiensi usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Prinsip asuransi sosial dalam jaminan hari tua didasarkan pada mekanisme asuransi dengan pembayaran iuran antara pekerja dan pemberi kerja.

Prinsip tabungan wajib dalam jaminan hari tua didasarkan pada pertimbangan bahwa manfaat jaminan hari tua didasarkan pada pertimbangan bahwa manfaat jaminan hari tua berasal dari akumulasi iuran dan hasil pengembangannya.
Ayat (2)
Jaminan hari tua diterimakan kepada peserta yang belum memasuki usia pensiun karena mengalami cacat total tetap sehingga tidak bisa lagi bekerja dan iurannya berhenti.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah menjamin terselenggaranya pengembangan dana jaminan hari tua sesuai dengan prinsip kehati-hatian minimal setara tingkat suku bunga deposito bank Pemerintah jangka waktu satu tahun sehingga peserta memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
Ayat (3)
Sebagian jaminan hari tua dapat dibayarkan untuk membantu peserta mempersiapkan diri memasuki masa pensiun.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang akan diatur oleh Pemerintah adalah persentase iuran yang dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja.
Pasal 39
Ayat (1)
Pada dasarnya mekanisme jaminan pensiun berdasarkan asuransi sosial, namun ketentuan ini memberi kesempatan kepada pekerja yang memasuki usia pensiun tetapi masa iurannya tidak mencapai waktu ditentukan, untuk diberlakukan sebagai tabungan wajib dan dibayarkan pada saat yang bersangkutan berhenti bekerja, ditambah hasil pengembangannya.
Ayat (2)
Derajat kehidupan yang layak yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah besaran jaminan pensiun mampu memenuhi kebutuhan pokok pekerja dan keluarganya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan manfaat pasti adalah terdapat batas minimun dan maksimum manfaat yang akan diterima peserta.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b

Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Manfaat pensiun anak adalah pemberian uang pensiun berkala kepada anak sebagai ahli waris peserta, paling banyak 2 (dua) orang yang belum bekerja, belum menikah, atau sampai berusia 23 (dua puluh tiga) tahun, yang tidak mempunyai sumber penghasilan apabila seorang peserta meninggal dunia.
Huruf e
Manfaat orang tua adalah pemberian uang pensiun berkala kepada orang tua sebagai ahli waris peserta lajang apabila seorang peserta meninggal dunia.
Ayat (2)
Ketentuan 15 (lima belas) tahun diperlukan agar ada kecukupan dari akumulasi dana untuk memberi jaminan pensiun sampai jangka waktu yang ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang ini.
Ayat (3)
Formula jaminan pensiun ditetapkan berdasarkan masa kerja dan upah terakhir.
Ayat (4)
Meskipun peserta belum memenuhi masa iur selama 15 (lima belas) tahun, sesuai dengan prinsip asuransi sosial, ahli waris berhak menerima jaminan pensiun sesuai dengan formula yang ditetapkan.
Ayat (5)
Karena belum memenuhi syarat masa iur, iuran jaminan pensiun diberlakukan sebagai tabungan wajib.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)

Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan likuiditas adalah kemampuan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam memenuhi kewajibannya jangka pendek.
Yang dimaksud dengan solvabilitas adalah kemampuan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam memenuhi semua kewajiban jangka pendek dan jangka panjang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Subsidi silang yang tidak diperkenankan dalam ketentuan ini misalnya dana pensiun tidak dapat digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan dan sebaliknya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cadangan teknis menggambarkan kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban di masa depan kepada peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4456










PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: PER – 12/MEN/VI/2007
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PENDAFTARAN KEPESERTAAN, PEMBAYARAN IURAN, PEMBAYARAN SANTUNAN DAN PELAYANAN
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA. MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, perlu diatur petunjuk teknis pendaftaran kepesertaan, pembayaran iuran, pembayaran santunan, dan pelayanan jaminan sosial tenaga kerja;
b. bahwa Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-
05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja perlu diubah dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
tersebut pada huruf a dan huruf b perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Mengingat : 1. Undang–Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja ( LN RI Tahun 1992 No.14 Tambahan LN RI No. 3468).
2. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara RI Tahun 1993 No. 20, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3520):
3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Investasi Dana Jaminan sosial Tenaga Kerja;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
6. Keputusan Presiden RI Nomor 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja
7. Keputusan Presiden Nomor : 187/M tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-06/MEN/1990 tentang Kewajiban Pengusaha Untuk Membuat, Memiliki dan Memelihara Buku Upah;
9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dengan Manfaat Lebih Baik.

MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENDAFTARAN KEPESERTAAN, PEMBAYARAN IURAN, PEMBAYARAN SANTUNAN DAN PELAYANAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.
BAB I
PENGERTIAN Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : (1) Badan Penyelenggara adalah PT. Jamsostek (Persero). (2) Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat pertama adalah dokter umum, dokter gigi
Pusat Kesehatan Masyarakat atau pelayanan kesehatan lainnya yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara.
(3) Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat lanjutan adalah dokter spesialis dan rumah
sakit yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara. (4) Tertanggung adalah tenaga kerja dan atau keluarga yang terdaftar dalam program
jaminan pemeliharaan kesehatan. (5) Keluarga adalah :
a. Suami atau isteri yang sah menjadi tanggungan tenaga kerja dan terdaftar pada Badan Penyelenggara.
b. Anak kandung, anak angkat, anak tiri yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, belum menikah, tidak mempunyai pekerjaan, yang menjadi tanggungan tenaga kerja maksimal 3 (tiga) orang dan terdaftar pada Badan Penyelenggara.
(6) Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
BAB II PENDAFTARAN KEPESERTAAN
Pasal 2 (1) Setiap pengusaha yang mengajukan pendaftaran kepesertaan program jaminan
sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara harus mengisi formulir: a. Pendaftaran perusahaan (formulir Jamsostek 1). b. Pendaftaran tenaga kerja (formulir Jamsostek 1a). c. Daftar upah/rincian iuran tenaga kerja (formulir Jamsostek 2a).
(2) Setiap tenaga kerja yang telah menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja sebelum Peraturan Menteri ini berlaku yang akan diikutsertakan pada program jaminan pemeliharaan kesehatan harus mengisi formulir Jamsostek 1a dan menyerahkan kepada Badan Penyelenggara.
(3) Pengusaha harus menyampaikan formulir Jamsostek sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada Badan Penyelenggara selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya formulir tersebut oleh pengusaha yang bersangkutan yang dibuktikan dengan tanda terima atau tanda terima pengirirman pos dan diterima oleh Badan Penyelenggara sebelum efektif berlakunya kepesertaan.
(4) Kepesertaan dalam program jaminan sosial tenaga kerja dimulai sejak tanggal 1
(satu), bulan sebagaimana dinyatakan pada formulir Jamsostek 1.

Pasal 3 (1) Berdasarkan pengajuan pendaftaran dari pengusaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), Badan Penyelenggara menetapkan besarnya iuran Jaminan Kecelakaan Kerja sesuai dengan kelompok jenis usahanya dan memberitahukan besarnya iuran program jaminan sosial tenaga kerja kepada pengusaha.
(2) Badan Penyelenggara menerbitkan sertifikat kepesertaan, kartu peserta dan kartu
pemeliharaan kesehatan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan iuran pertama dibayar.
(3) Bentuk sertifikat kepesertaan untuk pengusaha, kartu peserta untuk tenaga kerja dan
kartu pemeliharaan kesehatan untuk tertanggung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Badan Penyelenggara.
Pasal 4
(1) Pengusaha wajib melaporkan kepada Badan Penyelenggara apabila terjadi :
a. Perubahan data perusahaan dengan mengisi formulir Jamsostek 1. b. Penambahan tenaga kerja dengan mengisi formulir Jamsostek 1a. c. Pengurangan tenaga kerja karena tenaga kerja berhenti bekerja atau meninggal
dunia dengan mengissi formulir Jamsostek 1b; d. Perubahan terhadap identitas data tenaga kerja dan susunan keluarga, dengan
mengisi formulir 1a; e. Perubahan upah dan atau tenaga kerja dengan mengisi formulir Jamsostek 2a.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan pada bulan terjadinya penambahan dan atau pengurangan tenaga kerja serta perubahan terhadap identitas data tenaga kerja dan susunan keluarga yang harus sudah diterima oleh Badan Penyelenggara paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadi perubahan.
(3) Dalam hal perubahan identitas data tenaga kerja dan keluarganya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlambat dilaporkan oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara, apabila terjadi risiko yang dialami oleh tenaga kerja dan keluarganya menjadi tanggung jawab pengusaha.
BAB III PEMBAYARAN IURAN
Pasal 5 (1) Pengusaha wajib membayar iuran pertama kali secara lunas untuk bulan mulainya
menjadi peserta sebagaimana dinyatakan oleh pengusaha dalam formulir Jamsostek 1, pada bulan yang bersangkutan.
(2) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan rincian
iuran untuk masing-masing tenaga kerja sesuai dengan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana tercantum dalam formulir Jamsostek 2a.
(3) Iuran setiap bulan wajib dibayar oleh pengusaha secara berurutan dihitung
berdasarkan upah bulan yang bersangkutan yang diterima oleh tenaga kerja dan dibayarkan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan formulir Jamsostek 2 dan formulir Jamsostek 2a untuk bulan yang bersangkutan beserta data pendukungnya.
(4) Dalam hal tidak terdapat perubahan upah, jumlah tenaga kerja dan program jaminan
sosial tenaga kerja yang diikuti pembayaran iuran setiap bulan oleh perusahaan kepada Badan Penyelenggara cukup dengan melampirkan formulir Jamsostek 2.
(5) Apabila pengusaha membayar iuran setiap bulan tidak berurutan, Badan
Penyelenggara memperhitungkan sebagian atau seluruh iuran bulan berikutnya untuk melunasi kekurangan iuran bulan sebelumnya.

(6) Apabila pengusaha membayar iuran kurang dari yang sebenarnya maka Badan Penyelenggara memperhitungkan sebagian atau seluruh iuran bulan berikutnya untuk melunasi kekurangan iuran bulan sebelumnya.
(7) Apabila pengusaha karena sesuatu hal tidak dapat memenuhi kewajibannya
membayar iuran setiap bulan, tetap wajib menyampaikan formulir Jamsostek 2 dan formulir Jamsostek 2a untuk bulan yang bersangkutan kepada Badan Penyelenggara atau hanya menyampaikan formulir Jamsostek 2 apabila pada bulan yang bersangkutan tidak terjadi perubahan upah, jumlah tenaga kerja dan program jaminan sosial tenaga kerja yang diikuti.
(8) Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3), dikenakan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan merupakan piutang Badan Penyelenggara terhadap pengusaha.
(9) Iuran yang diterima oleh Badan Penyelenggara diberikan bukti penerimaan
iuran yang bentuknya ditetapkan oleh Badan Penyelenggara.
Pasal 6 (1) Badan Penyelenggara wajib menyampaikan surat pemberitahuan kepada pengusaha
yang belum memenuhi kewajiban membayar iuran dan atau belum menyampaikan formulir 2a sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (3), paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah batas hari terakhir kewajiban pengusaha membayar iuran dengan tembusan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Badan Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan kelebihan atau
kekurangan pembayaran iuran kepada pengusaha yang bersangkutan selambat lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya iuran dan atau formulir Jamsostek 2a.
(3) Pengusaha wajib menyelesaikan kelebihan atau kekurangan iuran sebagaimana
dimaksud ayat (2), dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan dari Badan Penyelenggara, selambat-lambatnya bersamaan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya.
(4) Apabila terjadi kelebihan pembayaran iuran oleh pengusaha maka akan
diperhitungkan dengan iuran bulan berikutnya. (5) Apabila iuran yang diterima oleh Badan Penyelenggara belum sama dengan jumlah
iuran yang tercantum pada formulir Jamsostek 2a untuk bulan yang bersangkutan, maka iuran tersebut belum dapat dirinci kedalam akun individu Jaminan Hari Tua masing-masing peserta dan program lainnya oleh Badan Penyelenggara.
Pasal 7
Dalam hal pengusaha menunggak iuran 1 (satu) bulan maka: 1. Pengusaha wajib membayar terlebih dahulu Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan
Kematian yang menjadi hak tenaga kerja. 2. Pengusaha wajib memberikan terlebih dahulu pelayanan pemeliharaan kesehatan
kepada tenaga kerja. 3. Badan Penyelenggara akan mengganti jaminan yang menjadi hak tenaga kerja
kepada pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) dan angka 2 (dua) sesuai dengan ketentuan yang berlaku setelah pengusaha membayar seluruh tunggakan iuran beserta dendanya.
4. Permintaan penggantian jaminan yang menjadi hak tenaga kerja oleh pengusaha
kepada Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) dan angka 2 (dua), tidak boleh melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan.

5. Badan Penyelenggara wajib membayar penggantian jaminan sebagaimana dimaksud angka 4 (empat) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak dokumen pendukung dinyatakan lengkap.
BAB IV PELAPORAN PENGAJUAN DAN PEMBAYARAN JAMINAN KECELAKAAN
KERJA.
Pasal 8 (1) Pengusaha wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja yang menimpa tenaga
kerjanya kepada Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan dan Badan Penyelenggara setempat sebagai laporan kecelakaan kerja tahap I dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam terhitung sejak terjadinya kecelakaan dengan mengisi formulir Jamsostek 3, serta melampirkan foto copy kartu peserta.
(2) Pengusaha wajib mengirimkan laporan kecelakaan kerja tahap II kepada Instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan Badan Penyelenggara setempat dengan mengisi formulir Jamsostek 3a dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berdasarkan surat keterangan dokter yang menerangkan: a. keadaan sementara tidak mampu bekerja telah berakhir; atau b. keadaan cacat sebagian untuk selama-lamanya; atau c. keadaan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental; atau d. meninggal dunia.
(3) Surat keterangan dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menggunakan formulir Jamsostek 3b.
Pasal 9
(1) Pengusaha wajib melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja dalam
waktu tidak lebih dari 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam dengan mengisi formulir Jamsostek 3 sejak menerima hasil diagnosis dari dokter pemeriksa.
(2) Dalam hal penyakit yang timbul karena hubungan kerja surat keterangan dokter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menggunankan Formulir Jamsostek 3c.
Pasal 10 (1) Laporan Kecelakaan Kerja tahap II (Form.Jamsostek 3 a) yang disampaikan kepada
Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) berfungsi sebagai pengajuan permintaan pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja kepada Badan Penyelenggara.
(2) Penyampaian Formulir Jamsostek 3a sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai
bukti-bukti : a. Fotocopy kartu peserta ; b. Surat Keterangan Dokter formulir Jamsostek 3b atau 3c ; c. Kuitansi Biaya Pengobatan dan Pengangkutan ; d. Dokumen pendukung lain yang diperlukan.
(3) Dalam hal bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak lengkap, maka Badan Penyelenggara memberitahukan kepada Pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak Laporan Kecelakan Kerja tahap II diterima.

Pasal 11 (1) Berdasarkan pengajuan permintaan pembayaran jaminan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1), Badan Penyelenggara menghitung besarnya santunan dan penggantian biaya.
(2) Berdasarkan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Badan
Penyelenggara membayar penggantian biaya kepada pengusaha dan membayar santunan kepada tenaga kerja atau keluarga.
(3) Dalam hal Jaminan Kecelakaan Kerja dibayar terlebih dahulu oleh Pengusaha maka
Badan Penyelenggara membayar penggantian jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Pengusaha sebesar perhitungan Badan Penyelenggara.
(4) Dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) lebih besar dari
Jaminan Kecelakaan Kerja yang telah dibayarkan oleh Pengusaha, kelebihannya diserahkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.
Pasal 12
(1) Dalam hal terjadi perbedaan penetapan mengenai Kecelakaan Kerja atau bukan
Kecelakaan Kerja, maka Pengusaha atau tenaga kerja/keluarga atau Badan Penyelenggara mememinta Penetapan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
(2) Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pegawai
pengawas ketenagakerjaan dan petugas Badan Penyelenggara mengadakan penelitian dan pemeriksaan atas kecelakaan dimaksud;
(3) Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) pegawai pengawas ketenagakerjaan membuat penetapan kecelakaan kerja atau bukan kecelakaan kerja.
(4) Dalam hal penetapan pegawai pengawas ketenagakerjaan tidak dapat diterima oleh
salah satu pihak maka pihak yang bersangkutan mengajukan kepada Menteri. (5) Sambil menunggu penetapan Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
maka pengusaha wajib membayar terlebih dahulu biaya pengangkutan, pengobatan dan perawatan kepada tenaga kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
(6) Dalam hal menteri menetapkan kecelakaan kerja maka Badan Penyelenggara wajib
membayar Jaminan Kecelakaan Kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (7) Dalam hal Menteri menetapkan bukan kecelakaan kerja dan tenaga kerja yang
bersangkutan diikut sertakan dalam program JPK, maka biaya pengobatan dan perawatan dapat dibebankan dalam program JPK sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 13.
(1) Dalam hal terjadi perbedaan besarnya santunan yang diterima oleh tenaga
kerja/keluarganya disebabkan adanya pelaporan yang tidak benar oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara maka tenaga kerja yang bersangkutan meminta perhitungan kembali kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan.
(2) Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pegawai pengawas
ketenagakerjaan meminta pertimbangan dokter penasehat untuk menetapkan presentase cacat.
(3) Dalam hal penetapan pegawai pengawas ketenagakerjaan tidak dapat diterima oleh
salah satu pihak, maka pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada menteri.

(4) Sambil menunggu penetapan menteri sebagaimana dimaksud ayat (3) dan tenaga kerja dinyatakan sembuh oleh dokter yang merawat, Badan Penyelenggara membayar biaya penggantian pengangkutan, pengobatan, perawatan dan santuan sementara tidak mampu bekerja kepada pengusaha, sedangkan santuan cacat baru dibayarkan setelah ada penetapan menteri.
(5) Apabila Menteri menetapkan presentase cacat sebagaimana dimaksud ayat (3),
maka Badan Penyelenggara menghitung dan membayarkan besarnya JKK kepada yang berhak.
Pasal 14
(1) Dalam hal terjadi perbedaan besarnya santunan yang diterima oleh tenaga
kerja/keluarganya disebabkan adanya pelaporan yang tidak benar oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara maka tenaga kerja yang bersangkutan meminta perhitungan kembali kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan
(2) Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pegawai pengawas
ketenagakerjaan menghitung kembali besarnya santunan berdasarkan upah satu bulan terakhir sebelum terjadinya kecelakaan.
(3) Dalam hal besarnya santunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar
daripada santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara, maka pengusaha wajib membayar kekurangannya.
(4) Dalam hal penetapan pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) tidak dapat diterima oleh pengusaha atau tenaga kerja/keluarganya, maka pihak yang bersangkutan dapat mengajukan kepada menteri.
(5) Penetapan menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) merupakan keputusan
akhir dan wajib dilaksanakan oleh pihak yang bersangkutan.
BAB V PENGAJUAN DAN PEMBAYARAN JAMINAN KEMATIAN.
Pasal 15 (1) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, pengusaha
atau keluarga tenaga kerja mengajukan permintaan pembayaran Jaminan Kematian kepada Badan Penyelenggara dengan mengisi formulir Jamsostek 4. dengan melampirkan : a. Kartu peserta Jamsostek (KPJ) asli; b.Surat keterangan kematian dari rumah sakit/kepolisian/kelurahan c. Identitas keluarga yang masih berlaku (foto copy kartu tanda penduduk/Surat ijin
mengemudi dan kartu keluarga) yang masih berlaku.
(2) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Badan Penyelenggara membayar Jaminan Kematian dan santunan berkala kepada keluarga tenaga kerja yang bersangkutan.
Pasal 16
(1) Peserta program kematian masih berhak mendapat perlindungan Jaminan Kematian
selama 6 (enam) bulan sejak tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja (2) Keluarga dari peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permintaan
pembayaran Jaminan Kematian kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan : a. Formulir Jamsostek 4; b. Surat keterangan kematian dari rumah sakit/kepolisian/kelurahan;

c. Identitas keluarga yang masih berlaku (foto copy kartu tanda penduduk/Surat ijin mengemudi dan kartu keluarga) yang masih berlaku.
BAB VI PENGAJUAN DAN PEMBAYARAN JAMINAN HARI TUA
Pasal 17
(1) Tenaga kerja yang telah menerima pemberitahuan 30 (tiga puluh) hari sebelum usia
55 (lima puluh lima) tahun, maka tenaga kerja yang bersangkutan melalui pengusaha mengajukan permintaan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara dengan mengisi formulir Jamsostek 5 selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah menerima pemberitahuan tersebut.
(2) Berdasarkan pengajuan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Badan Penyelenggara menetapkan dan membayarkan Jaminan Hari Tua secara sekaligus atau berkala sesuai dengan pilihan tenaga kerja yang bersangkutan.
(3) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia dan masih berhak menerima Jaminan Hari
Tua secara berkala, maka keluarga tenaga kerja yang bersangkutan mengajukan permintaan pembayaran sisa jaminannya kepada Badan Penyelenggara dengan disertai surat kematian dan selanjutnya Badan Penyelenggara membayarkan secara sekaligus kepada ahli waris tenaga kerja yang bersangkutan
Pasal 18
(1) Tenaga kerja yang berhenti bekerja dari perusahaan sebelum usia 55 (lima puluh
lima) tahun dan telah mempunyai masa kepesertaan aktif (membayar iuran ) maupun non aktif (tidak membayar iuran) sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, dan setelah melewati masa tunggu 6 (enam) bulan maka tenaga kerja dapat mengajukan permintaan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara dengan mengisi formulir Jamsostek 5 dengan melampirkan: a. Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) asli. b. Surat keterangan pemberhentian bekerja dari perusahaan atau penetapan
pengadilan hubungan industrial; c. Kartu Identitas (foto copy kartu tanda penduduk/Surat ijin mengemudi dan kartu
keluarga) yang masih berlaku.
(2) Masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung sejak pembayaran iuran pertama program Jaminan Hari Tua berdasarkan PP No. 14 Tahun 1993.
(3) Berdasarkan pengajuan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) Badan Penyelenggara menghitung dan membayar Jaminan Hari Tua secara sekaligus kepada tenaga kerja yang bersangkutan.
Pasal 19
(1) Tenaga kerja yang meninggalkan wilayah Republik Indonesia untuk selama-
lamanya, dapat mengajukan permintaan pembayaran Jaminan Hari Tua dengan menyerahkan kartu peserta dan mengisi formulir Jamsostek 5 disertai dengan bukti-bukti: a. Pernyataan tidak bekerja lagi di Indonesia. b.Foto copy pasport. c. Foto copy Visa bagi tenaga kerja Warga Negara Indonesia.
(2) Berdasarkan pengajuan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) Badan Penyelenggara menghitung dan membayarkan Jaminan Hari Tua secara sekaligus kepada tenaga kerja yang bersangkutan.

Pasal 20 (1) Tenaga Kerja yang menyandang cacat total tetap untuk selama-lamanya, berhak
mengajukan permintaan pembayaran Jaminan Hari Tua dengan mengisi formulir Jamsostek 5, disertai bukti-bukti:
a. kartu peserta Jamsostek b. surat keterangan dokter.
(2) Berdasarkan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Badan Penyelenggara menghitung dan membayar Jaminan Hari Tua secara sekaligus atau berkala kepada tenaga kerja sesuai pilihan tenaga kerja yang bersangkutan.
Pasal 21
(1) Besarnya Jaminan Hari Tua adalah keseluruhan iuran Jaminan Hari Tua yang telah
disetorkan oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara beserta hasil pengembangannya.
(2) Hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Badan
Penyelenggara yang besarnya sesuai dengan hasil pengelolaan dan investasi dana iuran Jaminan Hari Tua.
(3) Hasil pengembangan Jaminan Hari Tua untuk masing-masing tenaga kerja dihitung
sejak tanggal iuran dibayar lunas. (4) Iuran dan hasil pengembangan akan dibukukan dalam akun individu masing-masing
tenaga kerja. (5) Tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun maka tenaga
kerja yang bersangkutan melalui pegusaha mengajukan permintaan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara dengan mengisi formulir Jamsostek 5
(6) Jaminan Hari Tua akan dibayar oleh Badan Penyelenggara sebesar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4). (7) Dalam hal terjadi kekurangan pembayaran Jaminan Hari Tua yang menjadi hak
tenaga kerja yang disebabkan pengusaha menunggak atau kurang membayar iuran maka pengusaha wajib membayar kekurangan Jaminan Hari Tua yang menjadi hak tenaga kerja
(8) Badan Penyelenggara membayar kekurangan Jaminan Hari Tua setelah pengusaha
melunasi kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (7). (9) Berdasarkan pengajuan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) Badan Penyelenggara menetapkan dan membayarkan Jaminan Hari Tua sekaligus atau berkala sesuai dengan pilihan tenaga kerja yang bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku.
(10) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia dan masih berhak menerima Jaminan Hari
Tua secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (9), maka keluarga tenaga kerja yang bersangkutan mengajukan permintaan pembayaran sisa Jaminan Hari Tuanya kepada Badan Penyelenggara dengan disertai surat kematian dan selanjutnya Badan Penyelenggara membayarkan secara sekaligus kepada ahli waris tenaga kerja yang bersangkutan.

BAB VII PENGAJUAN DAN PELAYANAN JAMINAN
PEMELIHARAAN KESEHATAN.
Pasal 22 Untuk memberikan pelayanan pemeliharaan kesehatan kepada peserta Badan Penyelenggara menunjuk Pelaksana Pelayanan Kesehatan terdiri dari : a. Balai Pengobatan; b. Puskesmas; c. Dokter praktek swasta; d. Rumah Sakit; e. Rumah Bersalin; f. Rumah Sakit Bersalin; g. Apotek; h. Optik; i. Perusahaan alat-alat kesehatan.
Pasal 23 (1) Badan Penyelenggara menyelenggarakan paket jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Dasar.
(2) Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pelayanan : a. Rawat jalan tingkat pertama; b.Rawat jalan tingkat lanjutan; c. Rawat inap; d.Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan; e. Penunjang diagnostik f. Pelayanan khusus; g.Gawat darurat.
Pasal 24
(1) Pelayanan rawat jalan tingkat pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, meliputi :
a. Bimbingan dan konsultasi kesehatan;
b.Pemeriksaan kehamilan,nifas dan ibu menyusui;
c. Keluarga berencana;
d.Imunisasi bayi, anak dan ibu hamil;
e. Pemeriksaan dan pengobatan dokter umum;
f. Pemeriksaan dan pengobatan dokter gigi;
g.Pemeriksaan laboratorium sederhana;
h.Tindakan medis sederhana.
i. Pemberian obat-obatan sesuai dengan standard program JPK Jamsostek yang berpedoman pada DOEN Plus.
j. Rujukan ke rawat tingkat lanjutan.
(2) Pelayanan rawat jalan tingkat pertama dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat pertama.
Pasal 25 (1) Pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf b, meliputi :
a. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis;
b.Pemeriksaan penunjang diagnostik lanjutan;

c. Pemberian obat-obatan sesuai dengan standard obat program JPK Jamsostek yang berpedoman pada DOEN Plus
d.Tindakan khusus lainnya.
(2) Pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan yang ditunjuk Badan Penyelenggara.
Pasal 26 (1) Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) huruf c
meliputi: a. Pemeriksaan dokter.
b.Tindakan medis
c. Penunjang diagnostik.
d.Pemberian obat-obatan DOEN Plus atau Generik.
e. Menginap dan makan. (2) Pelayanan rawat inap dilakukan di semua rumah sakit
Pasal 27
(1) Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 23 ayat (2) huruf d meliputi: a. Pemeriksaan kehamilan oleh dokter umum atau bidan. b.Pertolongan persalinan oleh dokter umum atau bidan atau dukun beranak yang
diakui. c. Perawatan ibu dan bayi. d.Pemberian obat-obatan sesuai dengan standar obat program JPK Jamsostek yang
berpedoman pada Daftar Obat Esensial Nasional Plus (DOEN Plus). e. Menginap dan makan. f. Rujukan ke Rumah Sakit atau Rumah Sakit Bersalin.
(2) Pelayanan persalinan (partus) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan kepada tenaga kerja atau istri tenaga kerja yang melahirkan anak setelah hamil sekurang-kurangnya 26 minggu.
(3) Pertolongan persalinan bagi tenaga kerja atau istri tenaga kerja dilakukan pada pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama atau Rumah Bersalin dengan ketentuan sebagai berikut: a. Persalinan kesatu, kedua dan ketiga; b.Tenaga kerja pada permulaan kepesertaan sudah mempunyai tiga anak atau lebih,
tidak berhak mendapat pertolongan persalinan. c. Untuk persalinan dengan penyulit yang memerlukan tindakan spesialistik maka
berlaku ketentuan rawat inap di Rumah Sakit. d.Rawat inap minimum 3 hari dan maksimum 5 hari .
(4) Biaya persalinan normal ditetapkan maksimal Rp. 500.000,- (Lima Ratus ribu rupiah).
Pasal 28 (1) Pelayanan penunjang diagnostik sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2)
huruf e meliputi :
a. Pemeriksaan laboratorium .
b.Pemeriksaan Radiologi.
c. Pemeriksaan :
− Electro Encephalograpy (EEG) − Electro Cardiografi (ECG) − Ultra Sonografi (USG). − Computerized Tomograpy Scaning (CT.Scaning).
d.Pemeriksaan diagnostik lanjutan lainnya.

(2) Pelaksanaan pelayanan diagnostik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disesuaikan dengan tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan daerah.
(3) Pemeriksaan diagnostik dilakukan di Rumah Sakit atau Pelaksana Pelayanan Kesehatan.
Pasal 29 (1) Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) huruf f,
meliputi: a. Kacamata. b. Prothese mata. c. Prothese gigi. d. Alat Bantu dengar e. Prothese anggota gerak.
(2) Pelayanan khusus dilakukan di optik, balai pengobatan, rumah sakit dan perusahaan alat kesehatan yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara.
(3) Penggantian biaya pelayanan khusus diberikan kepada tenaga kerja sesuai standard yang ditetapkan dan atas indikasi medis dengan pengaturan sebagai berikut :
a. Tenaga Kerja yang mendapat resep kacamata dari dokter spesialis mata dapat memperoleh kacamata dioptik dengan ketentuan:
a.1. biaya untuk frame dan lensa sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
a.2. penggantian lensa dua tahun sekali sebesar Rp. 80.000,- (delapan puluh ribu rupiah).
a.3. penggantian frame tiga tahun sekali sebesar Rp. 120.000,- (seratus dua puluh ribu rupiah).
b. Tenaga kerja yang memerlukan prothese mata dapat diberikan atas anjuran dokter spesialis mata dan diambil di rumah sakit atau perusahaan alat-alat kesehatan, dengan biaya penggatian maksimum Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah).
c. Tenaga kerja yang memerlukan prothese gigi dapat diberikan dibalai pengobatan gigi dengan maksimum biaya Rp. 408.000,- (empat ratus delapan ribu rupiah) dan prothese gigi yang diberikan adalah jenis Removable dengan bahan acrylic dengan ketentuan per rahang:
c.1. gigi pertama sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
c.2. gigi kedua dan seterusnya sebesar Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah)
(4) Tenaga kerja yang memerlukan prothese kaki dan prothese tangan dapat diberikan atas anjuran dokter spesialis di rumah sakit, dengan pengaturan sebagai berikut:
a. prothese tangan dengan penggantian biaya maksimum Rp. 350.000,- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah)
b.prothese kaki dengan penggantian biaya maksimum Rp, 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
c. Tenaga kerja yang memerlukan alat Bantu dengar atas anjuran dokter spesialis di rumah sakit dapat diberikan biaya maksimum sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah).
(5) Kerusakan atau kehilangan prothese dan orthese sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mendapat penggantian dari Badan Penyelenggara.
Pasal 30 (1) Pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) huruf g,
meliputi:
a. Pemeriksaan dan pengobatan.
b.Tindakan medik

c. Pemberian obat-obatan sesuai dengan standar obat program JPK Jamsostek yang berpedoman pada DOEN Plus atau Generik.
d.Rawat inap.
(2) Gawat Darurat yang memerlukan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a. Kecelakaan dan ruda paksa bukan karena kecelakaan kerja. b.Serangan jantung. c. Serangan Asma berat. d.Kejang. e. Pendarahan berat. f. Muntah berak disertai dehidrasi. g.Kehilangan kesadaran (koma) termasuk epilepsy atau ayan h.Keadaan gelisah pada penderita gangguan jiwa i. Colic renal/colic abdomen atau kelahiran mendadak, pendarahan, ketuban pecah
dini.
(3) Pelayanan gawat darurat dilakukan di semua pelaksana pelayanan kesehatan
Pasal 31 (1) Pelayanan kesehatan tingkat lanjutan harus melalui rujukan dari pelayanan
kesehatan tingkat pertama.
(2) Pelaksana pelayanan kesehatan tingkat lanjutan yang tidak lengkap dapat melakukan rujukan kepada pelaksana pelayanan kesehatan tingkat lanjutan yang lebih lengkap.
Pasal 32
Dalam hal tertanggung memerlukan rawat jalan tingkat pertama:
a. Tertanggung memlih satu pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama yang diingini
b. Setiap kali Tertanggung memerlukan pelayanan kesehatan harus menunjukkan kartu pemeliharaan kesehatan.
c. Tertanggung mendapat pelayanan kesehatan sesuai standard yang telah ditetapkan
d. Bila memerlukan pemeriksaan lebih lanjut Tertanggung dirujuk ke pelaksana pelayanan kesehatan tingkat lanjutan yang ditentukan.
Pasal 33
Dalam hal diperlukan rawat jalan tingkat lanjutan:
a. Tertanggung membawa surat rujukan dan kartu pemeliharaan kesehatan ke pelaksana pelayanan kesehatan tingkat lanjutan untuk mendapatkan pelayanan.
b. Apabila diperlukan konsultasi dengan bagian lain atau penunjang diagnostik maka dokter spesialis memberikan surat jalan.
c. Apabila diperlukan rujukan ke rumah sakit lain maka dokter spesialis memberikan surat rujukan.
d. Apabila tertanggung mendapat resep obat harus diambil di apotik yang sudah ditunjuk oleh Badan Penyelenggara
Pasal 34 (1) Dalam hal diperlukan rawat inap:
a. Tertanggung yang akan rawat inap harus membawa surat rujukan dari pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama atau surat rawat dari dokter poli rumah sakit dan kartu pemeliharaan kesehatan.

b.Bagi tertanggung yang memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung ke rumah sakit.
c. Dalam waktu 3 (tiga) hari sejak mulai dirawat tenaga kerja atau keluarganya harus mengurus surat jaminan dari Badan Penyelenggara.
(2) Jumlah hari rawat inap maksimum 60 (enam puluh) hari termasuk perawatan ICU/ICCU untuk setiap jenis penyakit dalam satu tahun.
(3) Jumlah hari perawatan ICU/ICCU sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maksimum 20 (dua puluh) hari.
(4) Standard rawat inap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. Kelas dua pada Rumah Sakit Pemerintah.
b.Kelas tiga pada Rumah Sakit swasta
Pasal 35 (1) Pelayanan Persalinan diberikan oleh pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama
atau rumah bersalin dengan membawa kartu pemeliharaan kesehatan
(2) Dalam hal persalinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat ditangani maka tenaga kerja/isteri dirujuk ke rumah sakit bersalin.
Pasal 36
(1) Pembayaran kepada pelaksana kesehatan dilakukan secara praupaya dengan
system kapitasi. (2) Badan Penyelenggara menunjuk pelaksana pelayanan kesehatan dengan
pembayaran system kapitasi yang disepakati oleh kedua belah pihak yang dituangkan dalam perjanjian tertulis
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya memuat:
a. Ruang lingkup pelayanan kesehatan. b. Pembiayaan. c. Tata cara pembayaran. d. Tata cara penagihan. e. Harga masing-masing jenis pelayanan. f. Kewajiban dan tanggung jawab pelaksana pelayanan kesehatan. g. Perselisihan. h. Masa berlaku.
Pasal 37
(1) Setiap peserta memilih pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama yang ada di
wilayah tempat tinggal atau tempat kerja. (2) Bagi peserta dan atau keluarganya yang sedang bepergian dapat memperoleh
pelayanan kesehatan pada pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara selain yang telah dipilih oleh peserta.
(3) Peserta dan keluarganya dapat dirujuk pada pelaksana pelayanan kesehatan lanjutan/lengkap di daerah lain dalam hal dipandang perlu oleh dokter yang merawat.
(4) Bagi peserta dan keluarga yang terpisah alamat domisilinya memperoleh pelayanan kesehatan pada pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara di masing-masing domisili sesuai dengan pilihannya.

(5) Biaya transportasi dan biaya akomodasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) menjadi beban peserta.
Pasal 38 Badan Penyelenggara menilai setiap pelaksana pelayanan kesehatan antara lain mengenai kunjungan, pemakaian obat, rujukan penunjang diagnostik, lamanya perawatan dalam rangka memenuhi efisiensi dan efektivitas pelaksana pelayanan kesehatan.
Pasal 39 Dalam pelaksanaan penilaian kerja sejawat dilakukan bersama-sama antara Badan Penyelenggara dengan kantor wilayah Departemen Kesehatan setempat dan dokter ahli atau direktur medik di rumah sakit, terutama bila terjadi keluhan pasien atas tindakan dokter kepada pasien.
Pasal 40 (1) Tiap pelaksana pelayanan kesehatan mengadakan administrasi yang khusus dalam
penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan termasuk pembuatan kartu pasien per keluarga (Family Folder) sesuai prinsip dokter keluarga
(2) Tiap pelaksana pelayanan kesehatan membuat laporan setiap bulan dan menyerahkan kepada Badan Penyelenggara selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
Pasal 41
Hal-hal yang tidak ditanggung dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan oleh Badan Penyelenggara:
a. Pelayanan: a.1 Pelayanan kesehatan diluar pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjuk. a.2 Penyakit atau cidera yang diakibatkan karena hubungan kerja dan karena
kesengajaan. a.3 Penyakit yang diakibatkan oleh alkohol dan narkotik, penyakit kelamin dan
AIDS. a.4 Perawatan kosmetik untuk kecantikan. a.5 Pemeriksaan kesehatan umum/berkala. a.6 Transplantasi organ tubuh termasuk sumsum tulang. a.7 Pemeriksaan dan tindakan untuk mendapatkan kesuburan. a.8 Penyakit kanker dan a.9 Hemodialisa
b. Obat-obatan: b.1 Obat-obatan kosmetik untuk kecantikan. b.2. Semua obat/vitamin yang tidak ada kaitannya dengan penyakit. b.3. Obat-obatan berupa makanan antara lain susu untuk bayi. b.4. Obat-obat gosok seperti minyak kayu putih dan sejenisnya. b.5. Obat-obatan untuk kesuburan dan. b.6. Obat-obat kanker.
c. Alat-alat perawatan kesehatan antara lain termometer, dan eskap. d. Pembiayaan :
d.1. Biaya pengangkutan untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pengurusan administrasi.
d.2. Biaya tindakan medik super spesialistik.
Pasal 42
(1) Pengusaha yang telah mengusahakan sendiri pelayanan kesehatan bagi tenaga kerjanya, diwajibkan melaporkan kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dengan tembusan kepada Badan Penyelenggara setempat.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara triwulan yang memuat:
a. Standar pelayanan yang diberikan.
b.Tertanggung yang mendapat pelayanan pemeliharaan kesehatan.
c. Jenis dan jumlah pelaksana pelayanan kesehatan.
d.Jumlah tenaga kerja dan keluarganya yang mendapat pelayanan pemeliharaan kesehatan.
Pasal 43 Peningkatan manfaat jaminan dan perluasan cakupan layanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27, pasal 29 dan pasal 41, untuk selanjutnya ditetapkan oleh Menteri.
BAB VIII BENTUK FORMULIR JAMSOSTEK
Pasal 44
(1) Bentuk-bentuk formulir yang dipergunakan dalam penyelenggaraan program
jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini yang terdiri dari : a. Formulir pendaftaran kepesertaan meliputi:
- Formulir Jamsostek 1 : Pendaftaran Perusahaan
- Formulir Jamsostek 1a : Pendaftaran Tenaga Kerja dan Pemberitahuan Perubahan Indentitas Tenaga Kerja dan Susunan Keluarga
- Formulir Jamsostek 1b : Daftar Tenaga Kerja Keluar
b. Formulir pembayaran iuran meliputi:
- Formulir Jamsostek 2 : Rekapitulasi Rincian Pembayaran Iuran
- Formulir Jamsostek 2a : Rincian Iuran Tenaga Kerja
c. Formulir pengajuan dan pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja meliputi:
- Formulir Jamsostek 3 : Laporan Kecelakaan Kerja Tahap I
- Formulir Jamsostek 3a : Laporan Kecelakaan Kerja Tahap II
- Formulir Jamsostek 3b : Surat Keterangan Dokter
- Formulir Jamsostek 3c : Surat keterangan dokter untuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja
d. Formulir pengajuan Jaminan Kematian:
- Formulir Jamsostek 4 : Pengajuan Pembayaran Jaminan Kematian, Santunan Berkala dan Jaminan Hari Tua.
e. Formulir pengajuan Jaminan Hari Tua:
- Formulir Jamsostek 5 : Pengajuan pembayaran Jaminan Hari Tua

(2) Contoh bentuk-bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terlampir dalam Peraturan Menteri ini.
(3) Perubahan bentuk Formulir Jamsostek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ditetapkan oleh Badan Penyelenggara.
BAB. IX KETENTUAN LAIN
Pasal 45
(1) Badan Penyelenggara wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha,
tenaga kerja atau ahli waris tenaga kerja mengenai perhitungan jaminan sosial tenaga kerja yang menjadi hak pengusaha, tenaga kerja atau ahli waris.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebanyak 3 (tiga)
kali dalam jangka waktu 70 (tujuh puluh) hari. (3) Dalam hal jangka waktu 70 (tujuh puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
telah berakhir maka perhitungan jaminan tersebut dibatalkan. (4) Dalam hal pengusaha, tenaga kerja atau ahli waris tenaga kerja mengajukan
permintaan pembayaran jaminan kembali setelah melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Badan Penyelenggara wajib menghitung dan membayar jaminan sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 46
(1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk
Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, masih tetap berlaku sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri ini.
(2) Bagi tenaga kerja yang menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja sebelum berlakunya peraturan Menteri ini wajib mengisi formulir Jamsostek 1a sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Menteri ini dan menyerahkan kepada Badan Penyelenggara.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47 Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-236/MEN/2003 tentang Perubahan Atas Pasal 23, Pasal 25, Pasal 27 dan Pasal 43 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-01/MEN/I/2005 tentang Perubahan Formulir Jamsostek 1, 1a, 1b, dan 2a pada Lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana diubah terakhir Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-03/MEN/2001, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 48 Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 – 6 – 2007

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 76 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa besarnya santunan cacat total dan cacat sebagian karena hilangnya kemampuan kerja fisik, penggantian biaya pengobatan, perawatan dan pengangkutan yang diberikan kepada pekerja/buruh serta santunan kematian karena kecelakaan kerja, santunan kematian bukan karena kecelakaan kerja, dan biaya pemakaman yang diberikan kepada keluarganya, tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan bagi pekerja/buruh yang mengalami cacat karena kecelakaan kerja perlu dilakukan pelayanan rehabilitasi medik untuk dapat mengembalikan fungsi tubuh yang mengalami kecacatan;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
3. Peraturan . . .

- 2 -
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520), sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4582);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN
KELIMA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Pemerintah: a. Nomor 79 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3792);
b. Nomor 83 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4003);
c. Nomor 28 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4023);
d. Nomor 64 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4582);
diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22 . . .

- 3 -
Pasal 22
(1) Jaminan kematian dibayar sekaligus kepada janda atau duda atau anak, yang meliputi:
a. santunan kematian sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah);
b. santunan berkala sebesar Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) per bulan diberikan selama 24 (dua puluh empat) bulan; dan
c. biaya pemakaman sebesar Rp2.000.000,- (dua juta rupiah).
(2) Dalam hal janda atau duda atau anak tidak ada, maka jaminan kematian dibayar sekaligus kepada keturunan sedarah yang ada dari tenaga kerja, menurut garis lurus kebawah dan garis lurus ke atas dihitung sampai derajat kedua.
(3) Dalam hal tenaga kerja tidak mempunyai
keturunan sedarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka jaminan kematian dibayarkan sekaligus kepada pihak yang ditunjuk oleh tenaga kerja dalam wasiatnya.
(4) Dalam hal tidak ada wasiat, biaya pemakaman
dibayarkan kepada pengusaha atau pihak lain guna pengurusan pemakaman.
(5) Dalam hal magang atau murid, dan mereka yang
memborong pekerjaan, serta narapidana meninggal dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas jaminan kematian.
2. Ketentuan pada Lampiran II Romawi I huruf A angka 2
dan angka 3 serta huruf B, huruf C dan huruf E dan Romawi II diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
LAMPIRAN II . . .

- 4 -
LAMPIRAN II I. BESARNYA JAMINAN KECELAKAAN KERJA A. Santunan. 1. Santunan Sementara Tidak Mampu
Bekerja (STMB) 4 bulan pertama 100% x upah sebulan, 4 bulan kedua 75% x upah sebulan dan bulan seterusnya 50% x upah sebulan.
2. Santunan cacat: a. santunan cacat sebagian untuk
selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus (lumpsum) dengan besarnya % sesuai tabel x 80 bulan upah.
b. santunan cacat total untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus (lumpsum) dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah:
b.1. santunan sekaligus sebesar 70% x 80 bulan upah;
b.2. santunan berkala sebesar Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) per bulan selama 24 (dua puluh empat) bulan.
c. Santunan cacat kekurangan fungsi dibayarkan secara sekaligus (lumpsum) dengan besarnya santunan adalah: % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 80 bulan upah.
3. Santunan kematian dibayarkan secara
sekaligus (lumpsum) dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah:
a. santunan sekaligus sebesar 60% x 80 bulan upah, sekurang-kurangnya sebesar santunan kematian.
b. santunan berkala sebesar Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) per bulan selama 24 (dua puluh empat) bulan.
c. Biaya pemakaman sebesar Rp2.000.000,- (dua juta rupiah).
B. Pengobatan . . .

- 5 -
B. Pengobatan dan perawatan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk: 1. dokter; 2. obat; 3. operasi; 4. rontgen, laboratorium; 5. perawatan Puskesmas, Rumah Sakit Umum
Pemerintah Kelas I atau Swasta yang setara; 6. gigi; 7. mata; dan/atau 8. jasa tabib/sinshe/tradisional yang telah
mendapat ijin resmi dari instansi yang berwenang.
Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk peristiwa kecelakaan tersebut pada B.1. sampai dengan B.8. dibayar maksimum Rp12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
C. Biaya rehabilitasi harga berupa penggantian
pembelian alat bantu (orthose) dan/atau alat pengganti (prothese) diberikan satu kali untuk setiap kasus dengan patokan harga yang ditetapkan oleh Pusat Rehabilitasi Rumah Sakit Umum Pemerintah dan ditambah 40 % (empat puluh persen) dari harga tersebut serta biaya rehabilitasi medik maksimum sebesar Rp2.000.000,- (dua juta rupiah).
D. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja.
Besarnya santunan dan biaya pengobatan/biaya perawatan sama dengan huruf A dan huruf B.
E. Ongkos pengangkutan tenaga kerja dari tempat
kejadian kecelakaan ke rumah sakit diberikan penggantian biaya sebagai berikut :
1.
Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan darat/sungai/danau maksimum sebesar Rp400.000,- (empat ratus ribu rupiah).
2. Bilamana . . .

- 6 -
2.
Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan laut maksimal sebesar Rp750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
3. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan udara maksimal sebesar Rp1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah).
II. TABEL PERSENTASE SANTUNAN TUNJANGAN CACAT TETAP SEBAGIAN DAN CACAT-CACAT LAINNYA.
MACAM CACAT TETAP SEBAGIAN % X UPAH
• Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah 40 • Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35 • Lengan kanan dari atau dari atas siku ke
bawah 35
• Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah 30 • Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah 32 • Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah 28 • Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70 • Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35 • Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah 50 • Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah 25 • Kedua belah mata 70 • Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan dekat 35 • Pendengaran pada kedua belah telinga 40 • Pendengaran pada sebelah telinga 20 • Ibu jari tangan kanan 15 • Ibu jari tangan kiri 12 • Telunjuk tangan kanan 9 • Telunjuk tangan kiri 7 • Salah satu jari lain tangan kanan 4 • Salah satu jari lain tangan kiri 3 • Ruas pertama telunjuk kanan 4,5 • Ruas pertama telunjuk kiri 3,5 • Ruas pertama jari lain tangan kanan 2
• Ruas . . .

- 7 -
MACAM CACAT TETAP SEBAGIAN % X UPAH
• Ruas pertama jari lain tangan kiri 1,5 • Salah satu ibu jari kaki 5 • Salah satu jari telunjuk kaki 3 • Salah satu jari kaki lain 2
CACAT-CACAT LAINNYA % X UPAH
• Terkelupasnya kulit kepala 10-30 • Impotensi 30 • Kaki memendek sebelah :
• kurang dari 5 cm • 5 cm sampai kurang dari 7,5 cm • 7,5 cm atau lebih
10 20 30
• Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 desibel
6
• Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel
3
• Kehilangan daun telinga sebelah 5 • Kehilangan kedua belah daun telinga 10 • Cacat hilangnya cuping hidung 30 • Perforasi sekat rongga hidung 15 • Kehilangan daya penciuman 10 • Hilangnya kemampuan kerja phisik • 51% - 70% • 26% - 50% • 10% - 25%
40 20 5
• Hilangnya kemampuan kerja mental tetap 70 • Kehilangan sebagian fungsi penglihatan.
Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10%. Apabila efisiensi penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka efisiensi penglihatan binokuler dengan rumus kehilangan efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik) + % efisiensi penglihatan terburuk
7
• Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10% 7 • Kehilangan penglihatan warna 10 • Setiap kehilangan lapangan pandang 10% 7
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .

- 8 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Desember 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Desember 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 160
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 76 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
I. UMUM
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja merupakan program perlindungan dasar bagi tenaga kerja dan keluarganya, oleh karena itu perlu selalu diupayakan peningkatan jaminan sesuai perkembangan keadaan.
Tenaga kerja yang meninggal dunia atau mengalami cacat total atau cacat sebagian mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya penghasilan yang sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi tenaga kerja dan/atau keluarganya.
Sehubungan dengan hal itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberikan kepastian perlindungan melalui jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja yang dapat mengakibatkan cacat total atau cacat sebagian.
Sebagai upaya meringankan beban tenaga kerja serta keluarganya, perlu peningkatan santunan cacat total, cacat sebagian karena kecelakaan kerja serta santunan kematian karena kecelakaan kerja, santunan kematian bukan karena kecelakaan kerja, dan biaya pemakaman.
Mengingat biaya pelayanan kesehatan dan pengangkutan semakin meningkat maka perlu penyesuaian penggantian biaya pengobatan, perawatan, dan pengangkutan akibat kecelakaan kerja serta rehabilitasi medik dalam rangka mengembalikan fungsi tubuh yang mengalami kecacatan.
Berdasarkan . . .

- 2 -
Berdasarkan pertimbangan di atas dan ketersediaan dana Badan Penyelenggara, maka besarnya jumlah santunan cacat total dan cacat sebagian karena hilangnya kemampuan kerja fisik, penggantian biaya pengobatan, perawatan dan pengangkutan yang diberikan kepada pekerja/buruh serta santunan kematian karena kecelakaan kerja, santunan kematian bukan karena kecelakaan kerja, biaya pemakaman yang diberikan kepada keluarganya perlu ditingkatkan sehingga ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ketentuan pada Lampiran II Romawi I huruf A angka 2 dan angka 3 serta huruf B, huruf C dan huruf E dan Romawi II Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005, perlu diubah dengan Peraturan Pemerintah ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I Cukup jelas.
Pasal II Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4789

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA R.I NOMOR: PER.02/MEN/1993
TENTANG
USIA PENSIUN NORMAL DAN BATAS USIA PENSIUN MAKSIMUM BAGI PESERTA PERATURAN DANA PENSIUN
MENTERI TENAGA KERJA;
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksana pasal 27 ayat (2) dan (5) Undang-undang no. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Menteri Tenaga Kerja perlu menetapkan usia pensiun normal dan batas usia pensiun maksimum bagi peserta peraturan dana pensiun;
b. bahwa penetapan usia pensiun sebagaimana tersebut pada huruf a merupakan upaya perlindungan terhadap tenaga kerja yang telah mencapai pensiun normal dan maksimum.
Mengingat : 1 Undang-undang no. 3 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara tahun 1951 No. 4).
2. Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara tahun 1969 No. 55, Tambahan Lembaran Negara No. 2912);
3. Undang-undang No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 No. 37, Tambahan Lembaran Negara No. 3477);
4. Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 1992 tentang dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun 1992, No. 126, Tambahan Lembaran negara No. 3507);
5. Keputusan Presiden Ri. No. 96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG USIA PENSIUN NORMAL DAN BATAS USIA PENSIUN MAKSIMUM BAGI PESERTA PERATURAN DANA PENSIUN.
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : a. Peserta adalah setiap orang yang memenuhi persyaratan peraturan dana pensiun

b. Usia pensiun normal adalah usia tertentu bagi peserta setelah memenuhi persyaratan peraturan Dana Pensiun berhak mendapat manfaat pensiun normal.
c. Batas usia pensiun maksimum adalah suatu batas usia tertentu bagi peserta peraturan Dana Pensiun yang telah mencapai usia pensiun normal yang belum mendapat manfaat pensiun dan wajib pensiun.
d. Pengusaha adalah: 1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya. 2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya. 3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Pasal 2
(1) Usia pensiun normal bagi peserta ditetapkan 55 (lima puluh lima) tahun (2) Dalam hal pekerja tetap dipekerjakan oleh Pengusaha setelah mencapai usia 55
(lima puluh lima tahun), maka batas usia pensiun maksimum ditetapkan 60 (enam puluh) tahun.
Pasal 3 Pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini dikerjakan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan
Pasal 4 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Mei 1995
MENTERI TENAGA KERJA R.I
ttd
Drs. ABDUL LATIEF


PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.17/MEN/XI/2008.
TENTANG
PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN, DAN TATA KERJA DOKTER PENASEHAT.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. Bahwa dalam rangka memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja yang
mengalami kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja perlu diangkat dokter penasehat yang dapat memberikan pertimbangan medis atas kasus kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan pengangkatan, pemberhentian, dan tata kerja dokter penasehat dengan Peraturan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520), sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4789);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Nomor 59);
4. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja;
5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2005 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
TENTANG PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN DAN TATA KERJA DOKTER PENASEHAT.
BAB I PENGERTIAN Pasal 1. Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan
hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang tejadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang kerumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
2. Penyakit Akibat Kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

3. Cacat anatomis adalah hilangnya sebagian atau seluruh anggota tubuh tenaga kerja akibat kecelakaan .
4. Cacat fungsi adalah keadaan berkurangnya kemampuan atau tidak
berfungsinya sebagian anggota tubuh tenaga kerja akibat kecelakaan kerja untuk selama-lamanya.
5. Dokter Penasehat adalah dokter yang berfungsi memberikan pertimbangan medis kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dan/atau badan penyelenggara atau Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
6. Dokter Pemeriksa adalah dokter yang memeriksa, mengobati, dan merawat tenaga kerja.
7. Badan penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
8. Pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai tehnis yang berkeahlian khusus di unit kerja yang membidangi ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
9. Direktur Jenderal, yang selanjutnya disebut Dirjen, adalah Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.
10. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. BAB II FUNGSI DAN TUGAS DOKTER PENASEHAT. Pasal 2 Dokter penasehat mempunyai fungsi memberikan pertimbangan medis kepada
pegawai pengawas ketenagakerjaan dan/atau badan penyelenggara atau menteri dalam menyelesaikan kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Pasal 3. Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dokter
penasehat mempunyai tugas : a. Melakukan pemeriksaan rekam medis dan bila dipandang perlu melakukan
pemeriksaan ulang kepada tenaga kerja; b. Menetapkan besarnya persentase cacat fungsi, cacat anatomis, dan/atau
penyakit akibat kerja bila tejadi perbedaan pendapat antara badan penyelenggara dengan pengusaha dan/atau tenaga kerja/ahli warisnya.
c. Memberikan pertimbangan medis kepada menteri untuk menetapkan besarnya persentase cacat dan penyakit akibat kerja yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
d. Mengadakan konsultasi dengan dokter pemeriksan dan/atau dokter spesialis bila terdapat keraguan dalam menetapkan penyakit akibat kerja atau persentase cacat.
Pasal 4. Dokter penasehat menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada menteri
setiap 3 (tiga) bulan melalui koordinator yang tembusannya disampaikan kepada unit kerja di bidang ketenagakerjaan setempat.
BAB III PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN DOKTER PENASEHAT Pasal 5 (1) Menteri mengangkat dan memberhentikan dokter penasehat.

(2) Dokter penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari dokter penasehat pusat dan dokter penasehat wilayah.
(3) Pengangkatan dokter penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan penunjukkan dari Menteri Kesehatan dengan memperhatikan : a. Perkembangan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja dan/atau; b. Kejadian kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja. Pasal 6 (1) Untuk dapat diangkat menjadi dokter penasehat pusat dan wilayah, harus
memenuhi persyaratan : a. Warga Negara Indonesia; b. Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat/golongan paling rendah Penata
(III/c); c. Berbadan sehat; d. Dokter umum atau spesialis; e. Memiliki surat tanda registrasi dokter yang masih belaku; f. Tidak sedang bekerja sebagai dokter perusahaan; dan g. Memiliki keahlian hyperkes atau kesehatan keja. (2) Dokter penasehat yang telah pensiun dan Pegawai Negeri Sipil dapat
diangkat kembali sebagai dokter penasehat. (3) Pengangkatan kembali dokter penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali ketentuan huruf b, usia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun, dan pernah diangkat sebagai dokter penasehat.
(4) Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diangkat untuk masa kerja paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.
Pasal 7 (1) Usulan pengangkatan dokter penasehat pusat disampaikan oleh dokter yang
bersangkutan kepada menteri melalui dirjen. (2) Usulan pengangkatan dokter penasehat wilayah disampaikan oleh instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota atau provinsi kepada menteri melalui dirjen.
Pasal 8 Menteri atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan usulan nama-nama dokter
untuk mendapatkan surat penunjukan sebagai dokter penasehat kepada Menteri Kesehatan.
Pasal 9 Menteri mengangkat dokter penasehat berdasarkan surat penunjukan dari
Menteri Kesehatan. Pasal 10 (1) Usulan pengangkatan dokter penasehat pusat atau wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan melampirkan : a. Copy Kartu Tanda Penduduk. b. Copy surat kekeputusan kepengangkatan/golongan terakhir sebagai
Pegawai Negeri Sipil. c. Surat keterangan sehat dari dokter. d. Copy ijazah dokter umum atau spesialis. e. Copy surat tanda dokter registrasi yang masih berlaku.

f. Surat pernyataan tidak sedang bekerja sebagai dokter perusahaan; dan g. Copy sertifikat keahlian dibidang hiperkes atau kesehatan kerja. (2) Usulan pengangkatan dokter penasehat yang telah pensiun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali huruf b, copy surat keputusan pensiun dan copy surat keputusan pernah diangkat sebagai dokter penasehat.
Pasal 11 Pengangkatan sebagai dokter penasehat dapat berakhir karena : a. Berakhirnya masa pengangkatan sebagai dokter penasehat; b. Mengundurkan diri; c. Dicabut penunjukannya oleh Menteri Kesehatan; d. Mutasi ke luar wilayah kerjanya; e. Tidak menjalankan tugas dokter penasehat sebagaimana mestinya; f. Mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau g. Meninggal dunia. Pasal 12 (1) Untuk meningkatkan kelancaran tugas dokter penasehat, menteri
mengangkat seorang koordinator dokter penasehat untuk seluruh Indonesia yang berkedudukan di Ibukota Jakarta.
(2) Pengangkatan koordinator dokter penasehat sebagaimana dimaksud ada ayat (1) diusulkan oleh dirjen.
(3) Koordinator dokter penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas :
a. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dokter penasehat pusat; b. Melaksanakan pembinaan bersama-sama dengan badan penyelenggara
dan pegawai pengawas ketenagakerjaan; c. Melakukan koordinasi dengan instansi dan profesi terkait; d. Membantu menteri melakukan evaluasi kinerja dokter penasehat pusat
dan wilayah. Pasal 13 (1) Koordinator dokter penasehat dapat menunjuk dokter penasehat pusat
lainnya untuk membantu tugas-tugas koordinator. (2) Dalam melaksanakan tugas koordinator dokter penasehat dibantu oleh
kesekretariatan. (3) Susunan organisasi dan tata kerja kesekretariatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh dirjen. Pasal 14 Koordinator dokter penasehat melaporkan kegiatannya kepada menteri melalui
dirjen secara periodik setiap 6 (enam) bulan. BAB IV TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN MEDIS. Pasal 15 (1) Dalam hal badan penyelenggara memerlukan pertimbangan medis, maka
badan penyelenggara menyampaikan permintaan secara tertulis kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan.

(2) Pegawai pengawas ketenagakerjaan menyampaikan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada dokter penasehat dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permintaan tertulis.
(3) Permintaan pertimbangan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melampirkan rekam medis dan/atau data kecelakaan lainnya.
Pasal 16 (1) Dokter penasehat setelah menerima permintaan dari pegawai pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) harus segera mempelajari rekam medis dan/atau data kecelakaan kerja lainnya.
(2) Dalam hal rekam medis dan/atau data kecelakaan kerja lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih meragukan atau belum mencukupi, maka dokter penasehat melakukan pemeriksaan ulang.
(3) Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pemeriksaan penunjang diagnostik dan konsultasi kepada dokter spesialis.
Pasal 17 (1) Dokter penasehat setelah meneliti rekam medis, data kecelakaan kerja
lainnya dan/atau melakukan pemeriksaan ulang, memberikan pertimbangan medis mengenai :
a. Diagnosis penyakit akibat kerja atau bukan; b. Besarnya persentasi cacat akibat kecelakaan kerja dan/atau penyakit
akibat kerja yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. (2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter penasehat
pusat memberikan pertimbangan medis mengenai besarnya persentase cacat akibat kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pertimbangan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai masukan bagi pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam menetapkan besarnya penyakit akibat kerja atau bukan serta besarnya jaminan kecelakaan kerja.
Pasal 18 (1) Dokter penasehat memberikan pertimbangan medis secara tertulis kepada
pegawai pengawas ketenagakerjaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan dari pegawai pengawas ketenagakerjaan.
(2) Pemberian pertimbangan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
BAB V PEMBINAAN DAN PEMBIAYAAN Pasal 19 (1) Pembinaan operasional dokter penasehat dilakukan oleh menteri atau
pejabat yang ditunjuk. (2) Pembinaan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
antara lain dengan penataran, penyuluhan, atau temu konsultasi baik tingkat regional maupun tingkat nasional.
(3) Biaya operasional dan pembinaan dokter penasehat dibebankan kepada badan penyelenggara.

BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga
Kerta Nomor : PER-04/MEN/1998 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, dan Tata Kerja Dokter Penasehat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 6 November 2008. MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd
Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,
Sunarno, SH,MH. NIP. 730 001 630.

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-17/MEN/XI/2008.
TENTANG
PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN, DAN TATA KERJA DOKTER PENASEHAT.
FORMULIR DOKTER PENASEHAT.
Nomor : Lampiran : Perihal : Pertimbangan Medis Dokter Penasehat. Kepada Yth : Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. Di unit yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Provinsi/kabupaten/kota ………………………………….. Berdasarkan surat permintaan pertimbangan medis No……………, tanggal …………….. Dengan ini saya, Dokter …………………………., jabatan Dokter Penasehat, sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :………………….., menerangkan dengan sesungguhnya bahwa : 1. Nama tenaga kerja : Nomor KPJ (Kartu Peserta Jamsostek) : Jenis Pekerjaan Jabatan : 2. Nama Perusahaan : Jenis Usaha : NPP (Nomor Pendaftaran Perusahaan) : Alamat perusahaan : 3. Kecelakaan kerja pada tanggal : 4. Pemeriksaan pada tanggal : 5. Setelah membaca dan mempelajari : a. Laporan kecelakaan kerja Tahap I. b. Laporan kecelakaan kerja Tahap II.
c. Surat keterangan dokter bentuk KK4/KK5, yang ditandatangani oleh dokter …………………………, jabatan : dokter umum/spesialis……………………..dengan keterangan sebagai berikut : …………………………………………………………….. d. Melakukan pemeriksaan ulang pada tanggal ………………………… Kepada : Nama : …………………… Umur : …………………… Pekerjaan : …………………….

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diberikan pertimbangan medis sebagai berikut : - Penyakit akibat kerja/bukan penyakit akibat kerja. - Sembuh tanpa cacat. - Cacat fungsi : % - Cacat sebagian/anatomis : % - Cacat total : %
6. Keterangan lain-lain yang diperlukan. Dokter Penasehat (………………….) Ditetapkan di Jakarta. Pada tanggal 6 November 2008. MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK NDONESIA ttd Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, M.Si. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum, Sunarno, SH,MH NIP. 730 001 630

KEPUTUSAN MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP-227/MEN /XI /2008
TENTANG
PENGANGKATAN DOKTER PENASEHAT
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. Bahwa dalam rangka perlindungan bagi tenaga kerja peserta program jaminan sosial
tenaga kerja, perlu diangkat dokter penasehat untuk memberikan pertimbangan medis penetapan kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimkasud dalam huruf a perlu diatur mengenai pengangkatan dokter penasehat yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520), sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4789);
4. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja;
5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2005 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor :PER-04/MEN/1993 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja;
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :PER-12/MEN/2007 tentang Petunjuk Tehnis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :PER-17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, dan Tata Kerja Dokter Penasehat.
MEMUTUSKAN : Menetapkan : KESATU : Mengangkat Dokter Penasehat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana telah
diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :PER-17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, dan Tata Kerja Dokter Penasehat, yang nama-nama dan wilayah kerjanya sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri ini.
KEDUA : Masa Kerja Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU paling lama 5 (lima) tahun.
KETIGA : Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan..
KEEMPAT : Semua biaya yang timbul akibat dari ditetapkannya Keputusan Menteri ini dibebankan pada anggaran PT. Jamsostek (Persero).
KELIMA : Dengan ditetapkanya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Tansmigrasi Nomor KEP-204/MEN/2002 tentang pengangkatan Dokter Penasehat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
KEENAM : Keputusan Menteri ini mula belaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta. Pada tanggal 7 Nopember 2008 MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd
Dr.Ir. ERMAN SUPARNO,MBA,M.Si
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth : 1. Menteri Kesehatan R.I. 2. Menteri Keuangan R.I. 3. Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan R.I. 4. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; 5. Direktur Utama PT. Jamsostek (Persero). 6. Kepala Instansi yang betanggungjawab di bidang ketenagakejaan seluruh Indonesia.
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP-227/MEN/XI/2008
TENTANG PENGANGKATAN DOKTER PENASEHAT
DAFTAR NAMA DOKTER PENASEHAT
NO. NAMA/NIP/TGL. LAHIR WILAYAH KERJA KETERANGAN 1. Dr. Slamet chsan,M.S. Sp.Ok.
14006867. Tulung Agung, 20 Pebruari 1947.
Seluruh Indonesia Koordinator Dokter Penasehat
2. Dr. Kadwirini Lestari, M.K3. 140150349. Jakarta, 7 Juli 1953.
Seluruh Indonesia Dokter Penasehat
3. Dr. Huliselas Nicholas. 140221567. Namlea, 18 Agustus 1958.
Seluruh Indonesia Dokter Penasehat
4. Dr. Amarudin 160048072. Boyolali, 30 Desember 1964.
Seluruh Indonesia Dokter Penasehat
5. Dr. Sudi Astono, M.S. 160018141. Cilacap, 18 Juni 1966.
Seluruh Indonesia Dokter Penasehat
6. Dr. Erwin Anjasmara Ichsan 160049047. Tomohon, 18 Juli 1976.
Seluruh Indonesia Dokter Penasehat
7. Dr. Syaiful Bahri, Sp.M. 140135564. Padang, 16 April 1955.
Prov.Sumatera Utara Dokter Penasehat
8. Dr. Naik Suryanta. 040070669 Medan, 28 Agustus 1965.
Prov.Sumatera Utara Dokter Penasehat
9. Dr. Richard Andreas Hariandja. 160049154. Jakarta, 10 Agustus 1971.
Prov.Sumatera Utara Dokter Penasehat
10. Dr. M. Sobri. 140328451. Tebing Tinggi, 1 Juli 1966.
Kab.Indragiri Hulu, Kab. Indragiri Hilir, Prov. Riau
Dokter Penasehat

11. Dr. Desio Isanov, MARS 140140271. Sei Rampah, 10 Mei 1960.
Kota Dumai, Kab. Bengkalis, Kab. Rokan Hilir, Prov. Riau.
Dokter Penasehat
12. Dr. Nur Al Rasyid Saragih. 140354079. Medan, 8 Juli 1968.
Kab. Pelalawan, Kab Siak. Kab Kuantan Singingi, Prov. Riau.
Dokter Penasehat
13. Dr.SusanaEndangSusilowati. 140222067. Pasaman, 3 Juni 1957.
Prov. Kepulauan Riau. Dokter Penasehat
14. Dr. Yohanes Hilas H. Simorangkir. 140169958. Solo, 18 Maret 1957.
Prov. Bengkulu. Dokter Penasehat
15. Dr. Chairil Zaman, MSc. 140099879. Lahat, 29 Agustus 1952.
Prov. Sumatera Selatan. Dokter Penasehat
16. Dr. Hj. Rosdiana. 140255159. Palembang, 24 Agustus 1958.
Prov. Sumatera Selatan. Dokter Penasehat
17. Dr. Sri Rokhmani. 160048955. Karanganyar,26Oktober1968.
Prov. DKI Jakarta Dokter Penasehat
18. Dr.Hj. Sri Lestari,MS,Sp.OK. 14050490 Purwokerto,13 Januari 1957.
Kota Serang, Kab. Cilegon, Kab.Pandeglang, Kab. Lebak, Prov. Banten.
Dokter Penasehat
19. Dr.Hj. Kenalin Intan Poppy Antika. 140224109. Palembang, 3 November 1960.
Kab. Karawang. Prov. Jawa Barat. Dokter Penasehat
20. Dr. Diah Wahyuni. 160048843. Semarang, 15 Juni 1961.
Prov. Jawa Tengah. Dokter Penasehat
21. Dr. Budiastuti Dwi Hapsari.M.Kes. 160048688. Surakarta, 28 Juni 1967.
Prov. Jawa Tengah. Dokter Penasehat
22. Dr. Tinon Martanita. 160048111. Klaten, 23 Maret 1967.
Prov. Jawa Tengah. Dokter Penasehat
23. Dr. Maria Paulina Inggrid Tanesha, MBA 140166172. Jakarta, 3 Desember 1953.
Prov. Jawa Tengah. Dokter Penasehat
24. Dr. Ugik Setyo Darmoko. 140366596. Nganjuk, 5 Maret 1971.
Prov. Jawa Timur. Dokter Penasehat
25. Prof. Dr.Dr. Tjipto Suwandi, MOH, Sp.OK. 130517177. Bojonegoro, 17 Nopember 1946.
Prov. Jawa Timur. Dokter Penasehat
26. Dr. Jauhari. M.S. 140166037. Kebumen, 30 April 1954.
Prov. Jawa Timur. Dokter Penasehat
27. Dr. H. Faisal Lubis,MPH. 140122622. P.Sidempuan, 9 Agustus 1953.
Kota Pontianak, Prov. Kalimantan Barat.
Dokter Penasehat
28. Dr. Widi Rahardjo, M.Kes. 140219086. Surakarta, 1 Juni 1962.
Kota Pontianak, Prov. Kalimantan Barat.
Dokter Penasehat
29. Dr. Manahan K. Pangaribuan. M.Kes. 140081186. Laguboti, 25 Sept 1948.
Prov. Kalimantan Selatan. Dokter Penasehat

30. Dr. Murlin R. Simangunsong, M.Kes. 140191208. Tapanuli Utara, 8 Mei 1960.
Prov. Kalimantan Tengah. Dokter Penasehat
31. Dr. Samsudin, M.Kes. 140328800. Magelang, 21 Maret 1963.
Prov. Kalimantan Tengah. Dokter Penasehat
32. Dr. Jozeb HF. Rumouw. 140268392. Tahuna, 12 Sept 1964.
Kotawaringin Barat/Timur, Seruyan,Lamandau,Sukamara, Prov.Kalimantan Tengah.
Dokter Penasehat
33. Dr. Balerina Juul Plandrina Pontolumiju, MM. 140222149. Manado, 20 April 1959.
Kota Balikpapan, Kab. Panajam Paser Utara, Kab. Paser, Prov. Kalimantan Timur.
Dokter Penasehat
34. Dr. Muhammad Jabir. 160048133. Ganra, 26 Mei 1965.
Kota Bontang, Kab. Kutai Timur, Prov. Kalimantan Timur.
Dokter Penasehat
35. Dr. H.Khairul, M.Kes. 550014269. Pare-Pare, 3 Juni 1964.
Kota Tarakan, Kab.Bulungan, Kab. Nunukan, Kab. Malinau, Prov. Kalimantan Timur.
Dokter Penasehat
36. Dr. Mathius Maus Popang. 140327801. Rantepao, 13 Mei 1963.
Kab. Berau, Prov. Kalimantan Timur.
Dokter Penasehat
37. Dr. Sinatra Gunawan. MK3,SP.Ok. 550017916. Jakarta, 16 Nop 1968.
Kota Samarinda, Kab. Kutai Kertanegara, Kab.KutaiBarat, Prov. Kalimantan Timur.
Dokter Penasehat
38. Dr. Hj. Aminah AS 160048805. Ujung Pandang, 5 Peb. 1965.
Prov. Sulawesi Selatan. Dokter Penasehat
39. Dr. Hj. Andi Tjudai. 140344492. Ujung Pandang, 20 Jan 1958.
Prov. Sulawesi Selatan. Dokter Penasehat
40. Dr. Isharwati, M.Kes. 140203012. Ponorogo, 20 Jan 1959.
Prov. Sulawesi Tengah. Dokter Penasehat
41. Dr. Liem Lie Ping, M.Med (OM), SpOK. 140223715. Jakarta, 10 Jan 1955.
Prov. Sulawesi Utara. Dokter Penasehat
42. Dr. H. Tryogo Suhadi. 140363072. Manado, 10 April 1966.
Prov. Gorontalo. Dokter Penasehat
Ditetapkan di Jakarta. Pada tanggal 7 Nopember 2008. MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd
Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA,M.Si.

LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN
1. Identitas Perusahaan 1. Nama Perusahaan : 2. Alamat Perusahaan : 3. Jenis Usaha : 4. Kepemilikan / Status : PMA / PMDN 5. Nomor Pendaftaran Perusahaan ( NPP) Jamsostek : DD 6. Jumlah Tenaga Kerja + Keluarga : Orang : Lajang : Orang : Berkeluarga : Orang : Suami : Orang : Isteri : Orang : Anak : Orang _____________________ Jumlah : Orang II. Penyelenggara 1. Mempunyai PPK Sendiri : √ 2. Bekerjasama dengan PPK lain : √ 3. Bekerjasama dengan Badan Penyeleng : √ gara selain PT. Jamsostek 4. Bersama beberapa perusahaan menye : - lenggarakan suatu pelayanan kesehatan : III. Kepesertaan
- Tenaga Kerja : - Tenaga Kerja + Keluarga : - Jumlah Anak yang ditanggung perusahaan
untuk setiap pekerja paling banyak 3 ( tiga ) orang
IV. Paket Pelayanan Kesehatan * ) 1. Rawat jalan tingkat pertama : Ya Tidak
- Dokter Umum √ - Dokter Gigi √ - Obat – obatan √ - Imunisasi Dasar √
- Keluarga Berencana √ - Lab Sederhana √ - Pemeriksaan kehamilan √

2. Rawat jalan tingkat Lanjutan √ - Pemeriksaan Dokter Spesialis 3. Rawat Inap : **) Maksimum Rawat Inap : 62 hari Termasuk Perawatan Khusus ICCU : 21 hari JPK Dasar 60 hari termasuk ICCU 20 hari Kelas I Kelas II Kelas III
Ruang Rawat RS. Pemerintah ( JPK Dasar Kelas II )
RS. Swasta ( JPK Dasar Kelas III ) 4. Persalinan : **) Yang ditanggung : 3 Orang / Anak Biaya per- Kasus Persalinan Normal : Rp. 525.000,- JPK-Dasar Rp. 500.000,- Lama rawat inap yang ditanggung : 3 hari (kecuali ada indikasi medis) 5. Pelayanan Gawat Darurat : Ya Tidak
6. Penunjang Diagnostik Lanjutan Ya Tidak
- EKG
- EEG
- USG
- CT. Scanning - Lain – lain Radiologi, EMG, Endoscopy
7. Pelayanan Khusus : a. Kacamata : Rp. 175.000,- JPK Dasar Rp. 150.000,- b. Prothesa Mata : Rp. 300.000,- JPK Dasar Rp. 175.000,- c. Prothesa Gigi : Rp. 250.000,- JPK Dasar Rp. 250.000,- d. Alat Bantu Dengar : Rp. 500.000,- JPK Dasar Rp. 300.000,- e. Prothesa Anggota Gerak : Tangan : Rp. 500.000,- JPK Dasar Rp. 350.000,- Kaki : Rp. 700.000,- JPK Dasar Rp. 500.000,- f. Alat kesehatan ( Pen / penyam bung tulang : Rp. 350.000,- JPK Dasar Rp. ------

V. Lain – Lain Pengaturan Penyelenggaraan tercantum secara rinci :
a. Dalam Peraturan Perusahaan / KKB
b. Pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca oleh Pekerja
VI. Pendapat Pegawai Pengawas :
Berdasarkan hasil pemeriksaan angka I s/d V dapat disimpulkan bahwa : Perusahaan PT. ........................................ ternyata : ** )
1. Memenuhi Ketentuan Penyelenggaraan JPK dengan manfaat lebih baik. 2. Belum memenuhi ketentuan penyelenggaraan JPK dengan manfaat lebih baik Demikian hasil pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya. Batam tgl 2007 Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan : NIP : Catatan : *) Beri tanda pada kotak isian **) Isi Data Paket Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada Pekerja yang upah terendah ***) Lingkari salah satu. _____________________

Nomor : YTH Lampiran Perihal : Laporan Penyelenggaraan KEPALA DINAS JPK dari bulan TENAGA KERJA KOTA BATAM s.d DI BATAM Bersama ini kami sampaikan laporan penyelenggaraan pelayanan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat lebih baik dari Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar JAMSOSTEK , sebagai berikut :
I. Identitas Perusahaan 1. Nama Perusahaan : 2. Alamat Perusahaan : 3. Jenis Usaha : 4. Kepemilikan / Status : PMA / PMDN 5. Nomor Pendaftaran Perusahaan ( NPP) Jamsostek : DD 6. Jumlah Tenaga Kerja + Keluarga : Orang : Lajang : Orang : Berkeluarga : Orang : Suami : Orang : Isteri : Orang : Anak : Orang _____________________ Jumlah : Orang II.Persetujuan Nomor : Tanggal II. Penyelenggara *) TETAP BERUBAH 1. Mempunyai PPK Sendiri : / Bekerjasama dengan PPK lain :
2. Bekerjasama dengan Badan Penyeleng : gara selain PT. Jamsostek
3. Bersama beberapa perusahaan menye : lenggarakan suatu pelayanan kesehatan : III. Kepesertaan *)
- Meliputi Pekerja & : Keluarga Pekerja
IV. Paket Pelayanan Kesehatan * )

a. Rawat jalan tingkat I :
b. Rawat jalan tingkat II : (Dokter Spesialis)
c. Rawat Inap :
d. Penunjang Diagnostik :
e. Pertolongan Persalinan :
f. Pelayanan Khusus :
g. Pelayanan Gawat Darurat : Bila berubah , sebutkan perubahannya ** ):
a. ....................................................... b. ....................................................... c. ........................................................
Demikian kami sampaikan laporan ini untuk menjadi perhatian Batam , Tanggal ............................... Pimpinan Perusahaan (..........................................) Tembusan : 1.Yth KaKACAB PT.JAMSOSTEK (Persero) di BATAM Catatan : *) Beri tanda √ pada kotak isian **) Jika ada perubahan harus dilampirkan dokumen pendukung perubahan _____________________

Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 Tentang : Penyakit Yang Timbul Karena
Hubungan Kerja Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 22 TAHUN 1993 (22/1993) Tanggal : 27 PEBRUARI 1993 (JAKARTA)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,
Menimbang: bahwa untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menetapkan perlunya pengaturan mengenai penyakit yang timbul karena hubungan kerja dengan Keputusan Presiden. Mengingat: 1. Pasal (1)">4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3520);
MEMUTUSKAN: Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA.
Pasal 1

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Pasal 2 Setiap tenaga kerja yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja berhak mendapat jaminan Kecelakaan Kerja baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir.
Pasal 3 (1) Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang hubungan
kerjanya telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan, apabila menurut hasil diagnosis dokter yang merawat penyakit tersebut diakibatkan oleh pekerjaan selama tenaga kerja yang bersangkutan masih dalam hubungan kerja.
(2) Hak jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan, apabila penyakit tersebut timbul dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak hubungan kerja tersebut berakhir.
Pasal 4 Penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.
Pasal 5 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Pebruari 1993 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. SOEHARTO Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Hukum dan perundang-undangan ttd. Bambang Kesowo, S.H., LL.M.
CATATAN LAMPIRAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1993 TANGGAL 27 Pebruari 1993 PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA NO. PENYAKIT ----------------------------------------------------------------- 1. Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan
parut (silicosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkolosis yang silikosisnya merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
2. Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang
disebabkan oleh debu logam keras. 3. Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang
disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissinosis). 4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat
perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan. 5. Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat
penghirupan debu organik. 6. Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang
beracun. 7. Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang
beracun.

8. Penyakit yang disebabkan fosfor atau persenyawaannya yang beracun. 9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang
beracun. 10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaan-nya yang
beracun. 11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaan-nya yang
beracun. 12. Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaan-nya yang
beracun. 13. Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaan-nya yang
beracun. 14. Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaan-nya yang
beracun. 15. Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida. beracun. 16. Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan
hidrokarbon alifatik atau aromatik yang beracun. 17. Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang
beracun. 18. Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzena
atau homolognya yang beracun. 19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat
lainnya. 20. Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton. 21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau
keracunan seperti karbon monoksida, hidrogensianida, hidrogen sulfida, atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel.
22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan. 23. Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan
otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi. 24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang
berkenaan lebih.

25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetik dan radiasi yang mengion.
26. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik,
kimiawi atau biologik. 27. Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen,
minyak mineral, antrasena atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut.
28. Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes. 29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang
didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus.
30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau radiasi
atau kelembaban udara tinggi. 31. Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.
______________________________________




































































PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.25/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa penggunaan peralatan kerja, mesin dan bahan kimia berbahaya dalam proses produksi dapat menyebabkan tenaga kerja menderita kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
b. bahwa untuk menetapkan kompensasi bagi tenaga kerja yang menderita karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu dilakukan diagnosis dan penilaian serta penetapan tingkat kecacatannya;
c. bahwa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran yang berpengaruh terhadap penilaian cacat akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.79/MEN/2003 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, perlu dilakukan penyempurnaan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang pedoman diagnosis dan penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1951);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918);
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
1

4. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja;
5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja;
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja;
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
KESATU : Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini.
KEDUA : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU digunakan sebagai acuan untuk menetapkan diagnosis dan penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja guna menghitung kompensasi yang menjadi hak tenaga kerja.
KETIGA : Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 79/MEN/2003 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
KEEMPAT : Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si
MENTERI PARAF TANGGAL Pembuat draft Penanggung jawab materi Pengendali aspek hukum Penanggung jawab administrasi
Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum, Sunarno, SH, MH NIP. 730001630
2

3

3
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 25/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
BIDANG PENYAKIT KULIT I. BATASAN
Penyakit kulit akibat kerja, ialah setiap penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja yang berupa faktor risiko mekanik, fisik, kimia, biologik dan psikologik. Kelainan yang terjadi dapat berupa : – Dermatitis kontak – Dermatitis kontak foto – Acne – Infeksi kulit (bakteri, virus, jamur, infestasi parasit) – Neoplasi kulit – Kelainan pigmentasi kulit.
II. DIAGNOSIS
Setelah identifikasi dan assesment potensial hazards di tempat kerja, maka data pemeriksaan penderita dapat dievaluasi kemungkinannya berupa penyakit akibat kerja. A. Anamnesis.
1. Keluhan
2. Riwayat pekerjaan sekarang – sudah berapa lama bekerja di perusahaan ? – riwayat pekerjaan dalam perusahaan (pernah dibagian mana saja ?)
3. Riwayat pekerjaan sebelumnya.
– perusahaan apa saja ? – berapa lama ?
Dibandingkan catatan medik sebelum bekerja di perusahaan ("pre-employment medical check up").
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Riwayat perjalanan penyakit – Waktu kejadian ? – Rasa gatal ? – Perbaikan selama cuti ? – Pengobatan yang pernah/telah didapat ?

4
B. Pemeriksaaan Fisik
1. Inspeksi – Pemeriksaan seluruh badan termasuk lipatan kulit, misal lipat paha, celah
antar jari. – Kondisi higiene umum – Lokasi kelainan
2. Palpasi 3. Pemeriksaaan dengan kaca pembesar
C. Pemeriksaaan penunjang
1. Pemeriksaaan Laboratorium
1.1. Pemeriksaan hasil kerokan kulit dengan KOH 20% (pemeriksaan jamur). 1.2. Tes serologi untuk sifilis :
– VDRL < 1/4 bukan sifilis, bukan pada pasien berisiko tinggi. – VDRL > 1/4 kemungkinan sifilis (perlu dirujuk ke spesialis kulit dan
kelamin. 1.3. Kelainan kulit karena HIV :
– Western Blot, atau – Elisa 3x dengan metoda berbeda. – Bagi yang tidak punya fasilitas Western Blot dapat dikirim sample
darahnya ke laboratorium rujukan 2. Pemeriksaan dengan Lampu Wood :
2.1. Untuk perubahan warna kulit berupa hipo atau hiper pigmentasi tanpa disertai radang.
2.2. Untuk pemeriksaan psoriasis versicolor (panu)
3. Histopatologi.
Khususnya untuk neoplasma pada kulit. 4. Uji tempel.
Ada 2 (dua) cara :
4.1. Uji tempel terbuka. Terutama untuk bahan yang bersifat iritan (biasanya bahan mudah menguap, bahan yang dicurigai sebagai iritan dioleskan dibelakang telinga dan dievaluasi 24 jam kemudian).
4.2. Uji tempel tertutup
– Dilakukan baik dengan alergen standar ataupun bukan standar dengan pengenceran 1/1000 - 1/100.
– Lokasi penempelan di punggung atau lengan atas bagian lateral atau punggung, alergen dioleskan pada unit uji tempel dan setelah 48 jam dibuka, setelah terbuka 15 menit kemudian dievaluasi.
III. URAIAN PENILAIAN CACAT
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cacat bidang penyakit kulit sulit diperhitungkan terhadap penurunan kemampuan kerja dan tidak tercakup dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005.

5
BIDANG NEUROLOGI I. BATASAN
Penyakit akibat kerja bidang neurologi adalah penyakit yang mengenai sistem syaraf pusat dan perifer yang penyebabnya antara lain adalah trauma, gangguan vaskuler, infeksi, degenerasi, keganasan, gangguan metabolisme, dan intoksikasi yang bermanifestasi berupa keluhan-keluhan subjektif seperti nyeri, rasa berputar, kehilangan keseimbangan, penglihatan kabur/double, gangguan kognitif (atensi, bahasa, kalkulasi, memory) dan gangguan emosi. Dan keluhan objektif berupa gangguan fungsi sistem motorik, sistem sensorik, sistem autonom.
II. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis. 2. Pemeriksaan fisik :
a. Umum b. Pemeriksaan Neurologi
Pemeriksaan neurologis harus meliputi riwayat pekerjaan dan medis yang akurat mengenai fungsi saraf, hal-hal berikut perlu dievaluasi, status mental, saraf kranial, sistem motorik dan sensorik, refleks, koordinasi, gaya berjalan dan postur tubuh. Evaluasi sistem saraf otonom (refleks cahaya pupil dan fungsi kelenjar lakrimal, ludah, dan pencernaan, kencing dan seksual) harus dilakukan. Pemeriksaan refleks tendon dalam dan kekuatan otot di anjurkan diperiksa dan evaluasi dengan teliti.
3. Pemeriksaan Penunjang Neurologi :
a. Pengukuran sensitivitas getaran.
Pengukuran sensitivitas getaran memberi informasi tentang informasi serabut saraf yang membawa sensasi dalam, dan dianggap sebagai sarana yang baik untuk menilai ganggguan sensorik. Uji ini termasuk pemeriksaan garpu tala (antara 128 – 256 Hz) pada suatu tonjolan tulang. Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menghitung sensitivitas vibrasi dengan getaran yang ditimbulkan secara elektromagnetik atau elektrik.
b. Uji neurofisiologis.
Elektromiografi dapat membantu mendeteksi denervasi serat otot akibat degenerasi akson. Selain itu dapat pula mendemonstrasikan potensial llistrik pada otot yang sedang istirahat, menurunnya rekruitmen unit motorik saat kontraksi otot, dan variasi parameter unit motorik. Elektroneurografi memungkinkan pengukuran kecepatan konduksi impuls serabut motorik maupun sensorik.
c. Elektroensefalografi.
Elektroensefalografi tidak dapat dianjurkan sebagai uji deteksi dini gangguan fungsional sistem saraf pusat. Demikian pula teknik-teknik baru seperti analisis frekuensi elektroensefalografi dan potensial yang dibangkitkan otak.
d. Uji psikologis (neuro behavior).
Para pekerja yang berisiko tinggi terpapar zat neurotoksik hendaknya menjalani pemeriksaan psikologis secara berkala untuk mencegah terjadinya kemunduran fungsi yang irreversible pada sistem saraf yang lebih tinggi. Kalau mungkin, hendaknya didapat suatu profil dasar sebelum paparan, guna rujukan untuk

6
pemeriksaan selanjutnya. Uji profil dasar dan pengendalian lebih lanjut hendaknya meliputi : Pengukuran dinamisme intelektual (mis., tes RavenPM38) • uji daya ingat, meliputi komponen mekanis, visual dan logis (mis., uji daya
ingat Wechsler) • skrining kepribadian untuk melihat kemungkinan ciri-ciri kepribadian seperti
neurotik • waktu reaksi. Perhatian khusus hendaknya diberikan pada laporan subjektif tentang kegelisahan emosional dan mental. Perasaan-perasaan ini seringkali merupakan satu-satunya bukti dini dari gangguan fungsi saraf yang lebih tinggi. Bila gejala-gejala tersebut memberi kesan keterlibatan sistem saraf pusat yang lebih berat, pemeriksaan psikodiagnostik yang seksama hendaknya dilaksanakan untuk menggali integritas fungsi sistem saraf pusat termasuk : dinamisme mental dalam hubungannya dengan kapasitas intelektual budaya, daya ingat jangka pendek dan panjang, kemampuan menahan, menyimpan, mereproduksi informasi, kemampuan psikomotor, dan perubahan kepribadian yang mempengaruhi individu tersebut dan lingkungan sosial yang ada. Uji psikologis dianggap dengan indikator yang sensitif untuk gangguan mental dan emosional dini. Akan tetapi seringkali sulit membedakan gangguan psikogenik fungsional dari proses-proses kemunduran organik. Dalam hal ini, profil dasar individual tentu saja merupakan bantuan yang besar untuk diagnosis. Tetapi jika profil dasar tidak ada, hal-hal berikut hendaknya dipertimbangkan dalam diagnosis : • gangguan fungsional bersifat kurang spesifik dibandingkan tanda-tanda
proses kemunduran organik • gangguan fungsional mempunyai pengaruh yang lebih besar pada
kepribadian daripada fungsi mental • gangguan fungsional berubah sesuai dengan waktu dan dapat pulih. Dengan mempertimbangkan fasilitas yang terbatas untuk pemeriksaan psikologis yang seksama di banyak negara, maka sulit untuk menganjurkan selang waktu yang dapat diterapkan pada semua situasi. Akan tetapi, selang waktu yang pantas mungkin sekitar 2 tahun. Bilamana mungkin, subjek-subjek dengan gangguan kondisi emosional atau mental hendaknya tidak ditempatkan pada pekerjaan yang melibatkan paparan terhadap agen-agen neurotoksis.
e. Pemeriksaan Radiologi dengan CT Scan dan MRI Pemeriksaan penunjang
Lumbal punctie/cairan otak Elektro Fisiologi (EEG, EMG) Radiologi (foto kepala, CT Scan, MRI)
III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT
Penilaian cacat dilakukan sesuai dengan gangguan fungsi : A. Penilaian cacat factor motorik menggunakan metode Manual Muscle Test (MMT)
Nilai Tingkat Cacat Menurut MMT Penilaian tingkat cacat 0 Kelumpuhan sama dengan amputasi 100% 1 Ada gerak otot tanpa gerak sendi 80% 2 Dapat menggerakkan anggota badan
tersebut pada seluruh lingkup gerak sendi tanpa factor gravitasi
60%

7
3 Dapat menggerakkan anggota badan tersebut pada seluruh “LGS” dengan faktor gravitasi
40%
4 Nilai 3+ melawan tahanan ringan 20% 5 Nilai 3+ melawan tahanan kuat/penuh 0%
B. Penilaian cacat pada sistem saraf otonom
Ggn Fungsi Otonom Tak ada Ggn Sebagian Ggn Total Berkeringat 0% 50% 100% Miksi/defekasi 0% 50% 100%
C. Penilaian cacat penurunan libido
- untuk yang belum punya anak 40% - untuk yang sudah punya anak 20%
D. Syaraf Kranial - N.I. lihat bidang penyakit mata - N. VIII, lihat bidang penyakit THT - N, IX – X, lihat bidang penyakit orthopaedi.
E. Penilaian tingkat disabilitas dan cacat perdarahan subarachnoid traumatika. Penilaian dilakukan setelah menjalani neurorehabilitasi selama 6 bulan berdasarkan Glasgow Outcome Scale (GOS) : 0 = death 1 = vegetatif state (patients exhibits no obvious cortical functions) 2 = severe disability (concious but disable. Patients depends upon others for
daily support due to mental or physical disability or both) 3 = moderate disability (disable but independent. Patient is independent as far as
daily life is concerned. The disabilities found include. Varying degrees of dysphasia, hemiparesis, or ataxia, as well as intelectual and memory deficits and personal changes)
4 = Good recovery (resumption of normal activities even though there may be minor neurological or psychological deficits)
GOS 1 Status vegetatif, nilai fungsi yang hilang diatas 75% GOS 2 Disabilitas berat, nilai fungsi yang hilang 51 - 75% GOS 3 Disabilitas sedang, nilai fungsi yang hilang diatas 25 – 50% GOS 4 Disabilitas ringan, nilai fungsi yang hilang 1 – 25%
F. Penilaian kecacatan tetap fisik trauma Medula Spinalis.
Klasifikasi tingkat dan keparahan trauma medula spinalis ditegakkan pada saat 72 jam sampai 7 hari setelah trauma, kemudian penilaian kecacatan tetap fisik setelah dilakukan neurorehabilitasi 6 bulan. Impairment scale :
Grade Tipe Gangguan medula spinalis ASIA/IMSOP
Persentasi fungsi yang hilang
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
>75%
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai segmen sakral S4-S5
>50 – 75%
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot motorik utama masih punya kekuatan<3
>25 – 50%
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik utama punya kekuatan >3
1 – 25%
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal 0%

8
G. Penilaian gangguan fungsi Ischialgia dan Brachialgia.
Penilaian gangguan fungsi setelah program terapi selesai selama 6 bulan dengan kemampuan daya kerja > 50 – 75% sesuai persentase santunan 40%.
H. Penilaian gangguan fungsi neuritis akibat jebakan.
Penilaian gangguan fungsi setelah program terapi selesai selama 6 bulan dengan kemampuan daya kerja > 25 – 50% sesuai persentase santunan 20%.
I. Pekerja yang mengalami Stroke yang terjadi pada saat melaksanakan pekerjaan di tempat kerja kemudian dibawa ke Rumah Sakit dan mengakibatkan kematian tidak lebih dari 24 jam sejak terjadinya stroke dapat di kategorikan sebagai kecelakaan kerja.
Penentuan ganti rugi mengacu pada Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007. Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi neurologik 100% sama dengan 70% dari upah.
BIDANG PENYAKIT DALAM I. BATASAN
Penyakit akibat kerja dalam lingkup penyakit dalam adalah penyakit yang timbul akibat pemaparan oleh faktor risiko di tempat kerja yang mengenai organ : 1. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (sistem kardio vaskuler) 2. Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih 3. Penyakit Saluran Cerna dan Hati 4. Penyakit Sistem Endokrin 5. Penyakit Darah dan Sistem Pembentuk Darah (hemopoetik) 6. Penyakit Otot dan Kerangka 7. Penyakit Infeksi Kelainan yang terjadi dapat berupa kelainan akut, kelainan kronis dan penyakit keganasan. Yang tersering terjadi adalah penyakit otot dan kerangka, penyakit infeksi dan penyakit darah.
II. DIAGNOSIS
A. Secara umum sistematika pemeriksaan penderita adalah sebagai berikut :
1. Anamnesis Dalam melakukan anamnesis penyakit akibat kerja hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut : - Riwayat pekerjaan saat ini (apa yang dikerjakan setiap hari ?, bahan-bahan/alat
yang dipakai, lingkungan sekitar tempat kerja dan lain-lain) - Riwayat pekerjaan sebelumnya (sama seperti diatas) - Riwayat pekerjaan sampingan/hobi - Hubungan antara keluhan penyakit dan waktu kerja :
- Kapan keluhan paling sering timbul (bandingkan frekwensi keluhan waktu kerja/hari-hari kerja dengan hari libur)
- Kapan keluhan tersebut pertama kali timbul (dihitung mulai saat masuk kerja sampai timbulnya keluhan)
- Riwayat penyakit keluarga - Riwayat penyakit dahulu

9
2. Pemeriksaan Fisik Sama seperti penyakit pada umumnya disesuaikan dengan diagnosis yang ada.
3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan diagnosis yang dibuat meliputi pemeriksaan : - Laboratorium darah, urin, feses dan lain-lain - Radiologi - Patologi anatomi
B. Sistematika diagnostik dan penilaian tingkat cacat untuk kelainan setiap sistem adalah sebagai berikut : 1. Penyakit jantung dan pembuluh darah akibat kerja 2. Penyakit ginjal dan saluran kemih akibat kerja 3. Penyakit saluran pencernaan dan penyakit hati akibat kerja 4. Penyakit endokrin akibat kerja 5. Penyakit darah dan sistem pembentuk darah akibat kerja 6. Penyakit otot dan kerangka akibat kerja 7. Penyakit insfeksi akibat kerja
ad 1. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Akibat Kerja a. Iskemia dengan menyebabkan penyakit koroner (PJK)
1) Contoh penyebab : - karbon disulfida - karbon monoksida - metilin klorida - debu fibrogenik - nitrat - arsen
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - angina pektoris - faktor risiko PJK lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu - EKG : perubahan ST-T - Exercise stress test
3) Tingkat cacat menetap - ringan : tak ada angina pektoris pada beban fisik ringan (sesuai
Class I Canadian Cardiovascular Sosial Function Classification). - Sedang : angina pektoris pada beban fisik sedang (sesuai Class II –
III Canadian Cardiovascular Social Function Classification). - Berat : angina pektoris pada keadaan istirahat (sesuai Class IV
Canadian Cardiovascular Social Function Classification). b. Iskemia tanpa menyebabkan PJK
1) Contoh penyebab : - karbon monoksida - metilin klorida - nitrat
2) Kriteria diagnostik - ada kontak dengan agen - angina pektoris - faktor risiko dapat disingkirkan - EKG : perubahan ST-T - Exercise stress test
3) Tingkat cacat : tidak menimbulkan cacat menetap

10
c. Disritmia 1) Contoh penyebab :
- fluorocarbon - chlorinated hydrocarbon - nitrat - semua faktor risiko penyebab iskemia
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - palpitasi - sinkope - EKG : disritmia atrium atau ventrikel yang patologis
3) Tingkat cacat yang menetap : Disritmia yang menetap sesudah melalui pemeriksaan yang berulang baik yang berhubungan iskemia maupun tidak.
d. Kardiomiopati
1) Contoh penyebab : - cobalt - antimon
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - sesak nafas - tekanan darah yang rendah, tekanan nadi kecil - gallop - kardiomegali
3) Tingkat cacat menetap yang timbul adalah cacat menetap sedan.
e. Penyakit pembuluh darah perifer : 1) Contoh penyebab :
- karbon disulfida - karbon monoksida - metilin klorida
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klaudikasio/ fenomena Raynaud - faktor risiko penyakit pembuluh darah perifer lain harus disingkirkan
3) Tingkat cacat menetap yang timbul adalah cacat menetap sedang.
f. Cor pulmonale : 1) Contoh penyebab : debu fibrogenik 2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen - gagal jantung kanan - insufisiensi pernapasan (lihat penyakit paru akibat kerja)
3) Tingkat cacat menetap sesuai dengan penilaian tingkat cacat bidang paru : - ringan : tanpa gejala atau dalam stadium kompensasi (sesuai
Class I NYHA) - sedang : dengan gagal jantung ringan – sedang (sesuai Class II – III
NYHA) - berat : dengan gagal jantung berat (sesuai Class IV NYHA)
ad. 2. Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih Akibat Kerja
a. Gagal ginjal Akut 1) Contoh penyebab :
a) Langsung : - hidrokarbon halogenated misal karbon tetraklorid - glikol, misalnya etilen glikol - pestisida : - organopospat misal paration - organoklorin misal DDT - biripidil misal paraquat

11
b) Tak langsung : - agen hemolitik misal arsen - agen rabdomiolitik misal etilen-glikol - pelarut hidrokarbon - logam berat.
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gejala timbul dalam waktu kurang dari 1 minggu - gejala gastrointestinal misal mual, muntah - kreatinin serum > 1,5 mg% - asidosis metabolik - hiperkalemi (K>5.5 meq/l) - oliguri atau anuri
3) Tingkat cacat menetap penilaiannya dilakukan setelah fase akut diatasi.
b. Gagal ginjal kronik 1) Contoh penyebab :
- logam berat misal cadmium, timah hitam, berilium - fisik misal radiasi mengion
2) Kriteria diagnostik - ada kontak dengan agen - gangguan gastrointestinal misal mual, muntah - oliguria dan anuria - hipertensi - edema - kreatinin serum > 1,5 mg% - asam urat > 7 mg% - asidosis metabolik - hiperkalemia (K > 5,5 meq/l)
3) Tingkat cacat menetap :
- ringan : - tes kliren kreatinin 50 – 75 ml/menit - kreatinin serum 1,5 – 4 mg% - tidak ada asidosis metabolik - tidak ada hiperkalemia
- sedang : - tes kliren kreatinin 25 – 50 ml/menit - kreatinin serum 4 - 6 mg% - tidak ada asidosis metabolik - tidak ada hiperkalemia
- berat : - tes kliren kreatinin 5 - 25 ml/menit - kreatinin serum 6 - 8 mg% - tidak ada asidosis metabolik - tidak ada hiperkalemia
- sangat berat : - tes kliren kreatinin < 5 ml/menit - kreatinin serum > 8 mg% - ada asidosis metabolik - ada hiperkalemia
c. Neoplasma pada kandung kemih
1) Contoh penyebab : - beta naftilamin - benzidin - 4-aminodifenil - 4-nitrodifenil - auramin - magenta
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gangguan miksi misal sakit, berdarah dan susah pada waktu kencing - sistoskopi ada massa di kandung kemih - biopsi kandung kemih ditemukan tanda ganas

12
3) Tingkat cacat menetap tergantung pada jenis keganasan dan stadium pada waktu ditemukan
d. Neoplasma pada ginjal
1) Contoh penyebab : paparan asbes, coke-oven workers 2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen - gangguan miksi misal berdarah - benjolan pada daerah ginjal - pielografi intravena ditemukan gangguan fungsi dan ginjal yang
membesar - USG ginjal ditemukan ginjal membesar - Gambaran histopatologi keganasan ginjal
3) Tingkat cacat menetap tergantung kepada jenis keganasan dan stadium pada waktu diketemukan.
CATATAN : RUMUS PERHITUNGAN TES KLIREN KREATININ (TKK) : T.K.K (LAKI-LAKI) = (140 – UMUR) X BERAT BADAN
KREATININ PLASMA X 72 T.K.K (WANITA) = 0,85 X T.K.K LAKI-LAKI
Ad.3. Penyakit Saluran Pencernaan dan Penyakit Hati Akibat Kerja
a. Penyakit saluran pencernaan : 1) Esofagitis erosif korosif
a) Contoh penyebab adalah zat korosif asam/basa yang tertelan b) Kriteria diagnostik :
- Klinik : - Odinofagia (nyeri waktu menelan) - Heart burn (nyeri di bawah tulang dada) - Disfagia
- Esofagografi - Esofagoskopi
c) Tingkat cacat menetap :
- ringan misal odinofagia, heart burn - sedang :
- odinofagia, heart burn - disfagia makanan padat - makanan halus masih bisa ditelan
- berat : - odinofagia, heart burn - disfagia terhadap makanan cair ataupun halus
- berat sekali misal pada disfagia total
2) Pancreatitis akut a) Contoh penyebab adalah metanol, seng, cobalt, merkuri klorid,
cadmium, cresol b) Kriteria diagnostik :
- klinik - panas - nyeri epigastrium yang berat/hebat - muntah - nyeri tekan pada epigastrium bisa di seluruh abdomen - laboratorium : - lekositosis - amilase meningkat

13
- lipase meningkat - kalsium menurun - gula darah meningkat
- ultrasonografi
c) Tingat cacat menetap dinilai sesudah perawatan fase akut teratasi
3) Pankreatitis kronik a) Contoh penyebab :
- sama dengan pankreatitis akut - sebagai kelanjutan pankreatitis akut
b) Kriteria diagnostik
- klinik : - nyeri epigastrium yang menjalar ke punggung - rasa sakit hilang timbul - sindrom malabsorbsi - berat badan menurun - diare kronik
- laboratorium : dalam keadaan eksaserbasi didapat kenaikan kadar amilase
- ultrasonografi
c) Tingkat cacat menetap : - ringan :
- nyeri masih dapat di tolerir - diare yang dapat diatasi dengan diit dan obat preparat enzim.
- Sedang : - Nyeri tidak dapat ditolerir, harus dengan analgetik - Diare menimbulkan malnutrisi
- Berat : - Nyeri tidak dapat ditolerir, harus dengan analgetik - Diare menimbulkan malnutrisi
4) Kanker esofagus
a) Contoh penyebab : - asbestos - akrilonitrile
b) Kriteria diagnostik :
- klinik : disfagia
- endoskopi - biopsi
c) Tingkat cacat menetap dipandang cacat berat
5) Kanker lambung
a) Contoh penyebab sama dengan kanker esofagus b) Kriteria diagnostik :
- Klinik : - Nyeri epigastrium - Nausea - Anoreksia - Berat badan turun - Anemia
- Foto lambung - Gastroskopi - Biopsi
c) Tingkat cacat menetap dipandang tingkat cacat berat

14
6) Kanker kolon a) Contoh penyebab :
- asbestos - akrilonitrile
b) Kriteria diagnostik : - klinik :
- perubahan pola defekasi - diare atau obstipasi - perdarahan per-anum - mules - feses berlendir - berat badan turun
- foto kolon - kolonoskopi
c) Tingkat cacat menetap dipandang tingkat berat.
b. Penyakit hati 1) Penyakit hepatitis akut
a) Contoh penyebab : - Anorganik : bahan kimia anorganik misal tembaga, timah hitam,
fosfor, antimon, thallium, krom, brom, merkuri. - Organik : bahan kimia organik misal senyawa hidrokarbon alifatik
dan aromatik dengan ikatan klor maupun lain (dinitro benzene, hidrazin, eter, alkohol).
b) Kriteria diagnostik :
- klinik : - riwayat adanya pemaparan dengan agen sebelum timbulnya
gejala - rasa lemas, cepat lelah, mual, intoleransi lemak, urin warna air
teh/kopi - ikterus, hepatomegali dan nyeri tekan - singkirkan penyebab lain (alkohol, obat, infeksi)
- laboratorium : - hiperbilirubinemia (libirubin D>1) - SGOT dan SGPT ↑↑
SGOT < SGPT - Fosfatase lindi dan GGT sedikit ↑ - HBs Ag negatif
IgM anti HAV negatif IgM anti HCV negatif
c) Tingkat cacat menetap : tidak ada.
2) Hepatitis akut kolestatik a) Contoh penyebab : resin b) Kriteria diagnostik : sama dengan penyakit hepatitis akut yang sering
disertai keluhan gatal. c) Tingkat cacat menetap : sama dengan penyakit hepatitis akut
3) Disfungsi hepatoseluler kronik persisten
a) Contoh penyebab : aromatik “chlorinated” (bifenil poliklorida, benzen heksaklorida, dioksin, pestisida).
b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gangguan faal hati hilang timbul (bilirubin, SGOT, SGPT) - sering disertai kelainan kulit (porfiria tarda) - singkirkan penyakit hati kronik lain (histopatologik tidak khas)
c) Tingkat cacat menetap : ringan

15
4) Sirosis hati a) Contoh penyebab :
- ikatan logam (arsenik) - haloalkil (vinil klorida) - hidrokarbon “chlorinated” (CCI4) - aromatik “chlorinated” (PCB, benzen heksaklorida, dioksin,
pestisida). b) Kriteria diagnostik :
- riwayat adanya penyakit yang disebut di atas (pernah alami penyakit 1 s/d 3)
- tanda/ stigmata sirosis hati - USG untuk usus yang stigmatanya minimal
c) Tingkat cacat menetap : berat
5) Hepatoma (karsinoma hepatoseluler) a) Contoh penyebab :
- ikatan logam (arsenik) - haloalkil (vinil klorida) - hidrokarbon chlorinated (CCI4, CHCI3, trikloroetilin)
b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - eksklusi penyebab lain (virus hepatitis B, aflatoksin) - asites - hepatomegali, keras, berbenjol, kadang terdengar “bruit” - gangguan faal hati - AFP meninggi - Lesifokal (SOL) pada USG
c) Tingkat cacat menetap : berat
6) Angiosarkoma a) Contoh penyebab :
- ikatan logam (arsenik) - haloalkil (vinil klorida)
b) Kriteria diagnostik : - riwayat adanya paparan dengan agen - hepatomegali, nyeri spontan dan nyeri tekan - asites - gangguan faal hati - lesi fokal (SOL) pada USG
c) Tingkat cacat menetap berat
7) Hepatitis granulomatosa (beriliosis) a) Contoh penyebab : ikatan logam (berilium) b) Kriteria diagnostik :
- riwayat paparan dengan agen - demam lama - anikterik - fosfatase alkali ↑ - transaminase dan globulin sedikit ↑ ,
bilirubin normal - berilium dalam urin dan kulit (skin patch) - laparoskopi – biopsi
c) Tingkat cacat menetap : - sedang :
- kenaikan SGOT dan atau SGPT sampai dengan 2 x nilai normal tertinggi
- Berat :
- Kenaikan SGOT dan atau SGPT lebih dari 2 x normal tertinggi

16
8) Sklerosis hepatoportal. a) Contoh penyebab :
- ikatan logam (arsenik, torium dioksida) - haloalken (vinil klorida)
b) Kriteria diagnostik : - adanya kontak dengan agen - kelainan fisik tidak jelas, dapat timbul manifestasi hipertensi
portal (asistes, edema) - kelainan histologik khas perlu untuk diagnosis pasti - gangguan faal hati ringan, tidak khas
c) Tingkat cacat menetap :
- ringan : - tes faal hati (bilirubin dan transaminase) sedikit meninggi - tidak ada tanda-tanda hipertensi portal
- berat - tes faal hati jelas meninggi - ada tanda-tanda hipertensi portal ( asites, edema, varises
esofagus dan hemoroid) Dalam penyakit hati :
- klasifikasi tingkat cacat menetap berat berarti nilai cacat 70% dari upah sehari
- klasifikasi tingkat cacat menetap sedang berarti nilai cacat 50% dari upah sehari
- klasifikasi tingkat cacat menetap ringan berarti nilai cacat adalah 30% dari upah sehari.
ad.4. Penyakit Endokrin Akibat Kerja.
Sistem endokrin.
Masalah terpenting dalam sistem ini ditemukan pada fungsi gonad, yaitu gangguan fungsi reproduksi. Bahan yang sudah diketahui dapat menyebabkan kemandulan ialah : - dibromklorpropan - kepone (klordekon = insektisida organoklor) - timah hitam (batere) - timah putih organik (plastik, cat, pestisida) - dietilstilbestrol (produksi DES) - radiasi mengion
Derajat cacat untuk kemandulan sukar ditetapkan. Walaupun demikian kewaspadaan harus ditingkatkan demi keselamatan pekerja.
ad.5. Penyakit Hematologi Akibat Kerja
a. Anemia hemolitik
1) Contoh penyebab : - arsen - stibine - trinitrotoluen (TNT) - naftalen - timah hitam - oksigen hiperbarik (lebih-lebih pada G6PD)
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis - kelelahan umum

17
- sakit kepala difus - mata : - konjunctiva pucat
- sklera ikterik +/- - laboratorium : - Hb ↓ - Rt ↑ - SDM : - sferosit
- fragmented - basophilic stippling (timah hitam dan arsen) - Hein’bodies (naftalen dan TNT)
- Kimia darah : bilirubin indirek - Urin : hemosiderin (+) ↑
3) Tingkat cacat menetap dinilai sesudah fase akut diatasi.
b. Anemia hipoplasia 1) Contoh penyebab : radiasi mengion, benzene, timah hitam 2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen - klinis :
Gejala umum : - konstipasi, muntah - lead line (pada gusi) - neuritis perifer - pucat
- hematologi : - Hb - SDM : - basophilic stippling
- normokrom, normositer - Kimia darah : kadar timah dalam darah > 40 Ug/ dl
3) Tingkat cacat menetap : dinilai setelah fase akut diatasi
c. Methemoglobinemia 1) Contoh penyebab :
- aniline dyes - aromatic amine - senyawa nitro substituted benzene - organic/inorganic nitrit/nitrat
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : sianosis - laboratorium : - darah warna coklat
- methemoglobin ↑ 3) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah fase akut diatasi
d. Trombositopenia 1) Disertai depresi sumsum tulang
a) Contoh penyebab : - benzene - pestisida - radiasi mengion - arsen - TNT
b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - ptekia, purpura, ekimosis
- perdarahan mukosa
- laboratorium : trombosit ↓ - aspirasi sumsum tulang : hipoplasia
c) Tingkat cacat menetap dinilai sesudah pengobatan.

18
2) Dengan sumsum tulang normal a) Contoh penyebab : oksigen hiperbarik (scuba divers) b) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen - klinis : seperti pada trombositopenia yang disertai depresi
sumsum tulang - laboratorium : trombosit ↓ - aspirasi sumsum tulang: normal atau megakariosit ↑
c) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah pengobatan
e. Anemia aplasi 1) Contoh penyebab :
- benzene - arsen - pestisida - TNT - Radiasi
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis :
- kelelahan umum - pucat - sering infeksi - perdarahan mukosa - ptekia, purpura, ekimosis
- laboratorium : - HB ↓ , Rt ↑ - Lekosit ↓ - Trombosit ↓
- Aspirasi sumsum tulang : hypoplasia 3) Tingkat cacat menetap :
- ringan : HB : 10 – 12 gr% L : 3.000 – 4.000
Tr : 80 – 140.000 - sedang : Hb : 7,5 – 9,9 gr%
L : 1500 – 2900 Tr : 30.000 – 79.000
- berat : Hb : < 7,49 L : < 1500 Tr : < 30.000
f. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria 1) Contoh penyebab :
- benzene - radiasi
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis :
- pucat - urin : coklat kehitam-hitaman - sering nyeri pada abdomen
- laboratorium : Hb ↓ 3) Tingkat cacat menetap :
- ringan : Hb : 10 – 12 gr% - sedang : Hb : 7,5 – 9,9 gr% - berat : Hb : < 7,4%
g. Leukemia akut 1) Contoh penyebab
- benzene - etilen

19
- pestisida - arsen - TNT - Radiasi
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis :
- kelelahan umum - sering infeksi - perdarahan mukosa - pucat - ptekia, purpura, ekimosis - hepatosplenomegali
- laboratorium : - HB - Leukosit ↑ - Trombosit - Sel blas (+)
- Aspirasi sumsum tulang : sel blas > 30% 3) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah pengobatan (sedang sampai
berat)
h. Leukemia limfositik kronik 1) Contoh penyebab :
- benzen - radiasi
2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis :
- kelelahan umum - pucat - hepatosplenomegali - limphadenopati
- laboratorium : - HB N / ↓ - Leukosit ↑ ↑ - Trombosit N / ↓ - Sel blas (+)
3) Tingkat cacat menetap : - Ringan : - HB, trombosit normal
- Limfosit > 15.000 - Limfoid terkena < 3 area
- Sedang : - HB, trombosit normal - Limfoid terkena > 3 area - Splenomegali/ hepatomegali
- Berat : - Hb < 10 g% - Tr < 100.000 - Hepatosplenomegali - Limfoid terkena > 3 area
i. Leukemia mielositik kronik
1) Contoh penyebab : - benzen - radiasi
2) Kriteria penyebab : - ada kontak dengan agen - klinis :
- kelelahan umum - pucat - hepatosplenomegali

20
- laboratorium : - Hb ↓ - Leukosit ↑ - Trombosit N / ↓
- Aspirasi sumsum tulang : sel blas (+) 3) Tingkat cacat menetap :
- ringan : - HB, 10 – 12 g% - leukosit < 100.000 - trombosit normal - sel blas 1 – 5%
- Sedang : - HB, 7,5 – 9,9 g%
- leukosit 101 – 200.000 - trombosit normal
- sel blas 6 – 25 %
- Berat : - Hb < 7,5 g% - leukosit > 200.000 - trombosit < 100.000
- sel blas > 25 % Dalam hal penyakit hematologi akibat kerja :
- klasifikasi tingkat cacat menetap berat berarti nilai cacat adalah 70% dari upah sehari
- klasifikasi tingkat cacat menetap sedang berarti nilai cacat adalah 50% dari upah sehari
- klasifikasi tingkat cacat menetap ringan berarti nilai cacat adalah 30% dari upah sehari
ad.6. Penyakit Otot dan Kerangka Akibat Kerja
a. Fenomena Raynaud :
- vibration white finger - akroosteolisis 1) Contoh penyebab :
- trauma vibrasi - vinil klorida
2) Kriteria diagnostik : - pemaparan terhadap pekerjaan atau alat tersebut, beberapa bulan
hingga lebih dari 20 tahun - gejala prodromal : parastesia, anestesia, ujung jari pucat - radiologi : adanya ostreoporis falang distal/ perubahan-perubahan
kistik kecil
b. Carpal tunnel syndrome 1) Contoh penyebab : sering pada macam-macam pekerjaan operator
mesin asembling, yang melakukan pengepakan, pekerjaan tekstil, pekerja lainnya (vibrasi & fleksi yang kuat pada pergelangan tangan maupun ekstensi atau deviasi)
2) Kriteria diagnostik :
- karakteristik parastesia, nyeri, lemah pada jari-jari menurut distribusi N. medianus distal
- gejala khas tadi memburuk malam hari ataupun sesudah fleksi yang lama misal : pengemudi mobil
- hilangnya rasa raba permukaan tangan sebelah medial - kelemahan tenar/atrofi - kesemutan dari pergelangan ke bawah

21
- EMG, hubungan dengan kerja dinilai secara hati-hati, penggunaan tangan, posisi tangan & sering atau beratnya kekuatan atau tekanan pada pergelangan tangan atau vibrasi.
- Gejala berkurang sesudah istirahat kerja
c. Sindroma kompresi lain : 1) Sindroma pronator
a) Contoh penyebab - pronasi yang kuat berlangsung lama menjepit N. medianus di
lengan bawah - tugas kerja memutar tuas atau roda.
b) Kriteria diagnostik : mirip carpal tunnel syndrome, tetapi kesemutan
meluas ke lengan bawah
2) Cubital tunnel syndrome a) Contoh penyebab : N. ulnaris dapat rusak pada siku oleh tekanan
langsung atau oleh fleksi ekstensi yang berulang b) Kriteria diagnostik :
- pekerja kantor, supir, operator mesin dan juru gambar - semutan daerah ulnar dari telapak tangan dan kelemahan-
kelemahan otot-otot tangan yang dipersarafi N. ulnaris.
3) Wrist drop a) Contoh penyebab :
- N. radialis oleh tekanan langsung pada humerus posterior - Mengangkat barang berat yang terus menerus atau menggunakan
ban kompresif yang dipakai terus menerus
b) Kriteria diagnostik : kelemahan pada pergelangan dan gejala Wirst Drop
4) Obstruksi mulut rongga dada
a) Contoh penyebab : - mengangkat barang berat di bahu dan bekerja dengan lengan ke
belakang kepala - penggunaan otot-otot bahu yang berlebihan menyebabkan
hipertropi otot subclavius.
b) Kriteria diagnostik : - riwayat adanya paparan dengan agen - kompresi plexus Brachialis dan arteri Brachialis - insuffisiensi intermitten neurovasculer lengan.
5) Ischialgia
a) Contoh penyebab : kompresi eksternal saraf ischiadicus oleh karena duduk yang lama atau duduk pada tempat yang sempit.
b) Kriteria diagnostik : gejala sama dengan akibat penyakit discus intervertebrata lumbalis.
6) Sindroma N. cutaneous femoralis lateralis.
a) Contoh penyebab : – Kompresi saraf sensoris – Trauma pada pelvis oleh tempat duduk ataupun oleh sabuk yang
digunakan. – Tarikan atau gerakan-gerakan tubuh maupun tungkai bawah
pada posisi tertentu yang berlebihan.
b) Kriteria diagnostik : gejala nyeri yang terasa seperti terbakar dan parestesia pada paha lateral.

22
7) Foot Drop a) Contoh penyebab : N. Peroneous mengalami kompresi langsung
atau akibat posisi bungkuk atau melipat badan, jongkok, berlutut. b) Kriteria diagnostik : kelemahan dorsofleksi kaki, bisa juga
kehilangan sensoris pada punggung kaki dan tungkai bawah lateral.
8) Tarsal Tunnel Syndrome
a) Contoh penyebab : N. tibialis posterior yang melalui bagian bawah pergelangan kaki medial tertekan sepatu yang tidak tepat dan terlalu sempit sebagai penyebab utama.
b) Kriteria diagnostik : seperti pada syndrome carpal tunnel menyebabkan parestesia dan rasa terbakar pada jari-jari kaki dan telapak bagian distal.
d. Artritis degeneratif (termasuk pinggang)
1) Contoh penyebab : Sehubungan dengan pekerjaan tertentu yaitu penggunaan berulang dan pembebanan pada sendi-sendi tertentu : - pergelangan siku & bahu : alat-alat vibrasi (bor, gerinda,
gergaji) - kaki & pergelangan kaki : penari - siku : pekerja pengecoran - siku & genu : pekerja tambang - genu : pramu wisma - jari tangan dan pergelangan : pekerja tekstil - jari tangan : pemetik kapas
2) Kriteria diagnostik :
Kelainan radiologi yang jelas disertai pemeriksaan fisik : - Lokasi sesuai dengan pekerjaan (hanya beberapa sendi) - Telah melakukannya sedikit-dikitnya 10 th dengan gerakan berulang
dari sendi yang terkena. - Struktur kontra-lateral tidak kena kecuali pengunaan secara simetris.
e. Tendinitis
1) Contoh penyebab : – Inflamasi bursa, tendo, ligamen ataupun jaringan sekitar sendi
lainnya – Gerakan yang berulang atau trauma langsung.
2) Kriteria diagnostik : – Nyeri setempat atau bengkak. Nyeri terutama pada gerakan tertentu
yang diberi perlawanan (tahanan) misal : epicondilitis di samping nyeri setempat juga pronasi yang ditahan.
– Radiologi menyingkirkan kelainan pada sendi atau tulang – Jelas pekerjaannya mengenai gerakan berulang atau keras pada
sendi tersebut. – Perlu disingkirkan faktor bukan pekerjaan (Gout, RA, GO)
f. Kontraktur Dupuytren's
1) Contoh penyebab : – Adanya proliferasi noduler jaringan fibrosa pada fascia palmaris – disangka ada kaitannya dengan trauma pekerjaan yang berulang – sekarang diragukan benar tidaknya pengaruh kerja dan trauma
2) Kriteria diagnostik : – Gejala dan tanda jelas – Menimbulkan fleksi jari-jari yang menetap dan progresif – Singkirkan penyebab lain.

23
g. Nyeri pinggang bawah 1) Contoh penyebab :
– Sering menyebabkan cacat temporer – Ada kaitannya kerja mengangkat ataupun mengerjakan & mengepak
barang – Walaupun pekerjaan apapun sering menunjukkan hampir sama
terjadinya kelainan ini.
2) Kriteria diagnostik : – Osteofit maupun penyempitan diskus (radiologi) – Perlu disingkirkan adanya infeksi atau penyakit tulang, saraf,
vaskuler dan lain-lain. – Kecenderungan eksaserbasi pada waktu bekerja.
h. Nekrosis tulang yang aseptik
1) Contoh penyebab :
– Penyelam atau pekerja di bawah air lainnya mempunyai risiko meningkat terutama mengenai tulang panjang.
– Ada kaitannya dengan obstruksi vaskuler oleh gelembung nitrogen atau oleh karena dekompresi yang terlalu cepat mengakibatkan ischemia dan infark tulang.
2) Kriteria diagnostik :
– Radiografi dan/atau radionuklir – Genu, coxae, bahu, dengan mulainya pelan-pelan berbulan-bulan
dan berulang-ulang.
i. Kelainan kolagen 1) Skleroderma
a) Contoh penyebab : – Pelarut hidrokarbon aromatik – Debu silikon – Debu karbon (batu bara).
b) Kriteria diagnostik :
– Kecenderungan pada penderita pneumokoniosis dan silikosis – Kriteria diagnostik sama dengan skleroderma sebab lain.
2) Akroosteolitis
a) Contoh penyebab : vinyl clorida monomer b) Kriteria diagnostik :
– Kontak dengan vynil chlorida monomer – Waktu laten kurang dari 2 tahun – Hiperglobulinemia – Tes fungsi hati terganggu – Biopsi : - kulit
- pembuluh darah
j. Gout sekunder 1) Contoh penyebab :
– Timah hitam (Pb) – Berilium
2) Kriteria diagnostik : – Pemaparan sedikitnya 10 - 20 tahun – Klinis sama seperti Gout Primer – Gangguan fungsi organ (hati, ginjal, otak) – Kadar Pb dalam darah tinggi.

24
k. Gangguan tulang metabolik 1) Fluorosis
a) Penyebab : fluor b) Kriteria diagnostik :
– Kontak kronik (beberapa tahun) dengan fluorida pada tulang dan jaringan
– Mobilitas tulang punggung berkurang – Radiologis :
- bentuk tulang berubah, ligamen dan tendon mengalami kalsifikasi
- osteosklerosis dan kalsifikasi pelvis dan ligamen spinal – laboratorium :
- kadar fluor di urine 24 jam, > 1,5 Ng/dl kreatinin - kadar fluor di darah - biopsi tulang.
2) Phosphorous (Phossy Jaw)
a) Contoh penyebab : posfor b) Kriteria diagnostik :
– Sakit gigi – Gigi tanggal secara progresif – Pyorhea – Disfungsi rahang – Radiologik : nekrosis aseptik progresif pada tulang rahang
l. Artralgia & myalgia difus
1) Akut difus
a) Contoh penyebab :
– Uap logam – Pestisida – Pelarut kimia
b) Kriteria diagnostik :
– Nyeri difus akut – Myalgia difus
2) Kronik difus
a) Artralgia Pb
(1) Penyebab : timah hitam inorganik (2) Kriteria diagnostik :
– Kontak kronik – Myalgia difus kronik – Terkena sendi besar – Gejala tidak khas, ada gejala umum akibat keracunan Pb. – Kadar timah hitam > 40 Ug/dl
b) Fluorosis sistemik
(1) Penyebab : fluor (2) Kriteria diagnostik :
– Biopsi tulang – Kadar fluor dalam darah.

25
Penyakit kelainan otot dan kerangka akibat kerja, penentuan tingkat cacat menetap dengan menggunakan kriteria tingkat cacat pada orthopaedi.
III. PENENTUAN TINGKAT CACAT
PENYAKIT OTOT DAN KERANGKA AKIBAT KERJA GANGGUAN FUNGSI 1. Keterbatasan ROM (RGS = Ruang Gerak Sendi)
a. Ringan : Keterbatasan sendi 30% b. Sedang : Keterbatasan sendi 30 - 70% c. Berat : Keterbatasan sendiri 70 - 100%
2. Stabilitas sendi
a. Ringan : Sendi masih dapat digunakan dengan sedikit gangguan b. Sedang : Sendi sukar digunakan/terbatas c. Berat : Sendi sangat sukar digunakan/sangat terbatas
3. Deviasi/Malformasi a. Ringan : Sedikit menimbulkan kesukaran b. Sedang : Menyukarkan gerakan sendi c. Berat : Sangat terbatas dalam gerakan sendi/tak dapat digunakan
4. Kelemahan otot / Syaraf Tepi
a. Ringan : Kekuatan otot 4 - 5 b. Sedang : Kekuatan otot 3 - 2 c. Berat : Kekuatan otot 1 - 0
SENDI – SENDI YANG DAPAT TERKENA - Bahu − Coxae - Siku − Genu - Pergelangan − Subtarsal - MCP (Metacarpo Phalangeal) − Tarso - Metatarsal - PIP (Proximal Inter Phalangeal) − MTP (Metatarso Phalangeal) - DIP (Distal Inter Phalangeal) GANGGUAN FUNGSI (STEINBROCKER) 1. Dapat melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari : 25% 2. Ada beberapa kesukaran dalam melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari : 50% 3. Melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan terbatas / perlu dibantu : 75 % 4. Sangat sukar melaksanakan kegiatan / tugas sehari-hari : 100% Penyakit infeksi akibat kerja a. Hepatitis B/C
1. Penyebab : virus hepatitis B/C 2. Kriteria diagnostik :
– Adanya riwayat kontak dengan cairan tubuh penderita (petugas kesehatan, laboratorium, kebersihan), demam/sindroma flu (tak selalu), rasa kelemahan umum, cepat lelah, mual, intoleransi lemak, urin berwarna coklat tua (teh), konjungtiva ikterik, hepatomegali.
– Laboratorium: SGOT/SGPT ↑, Bilirubin↑ (direk > indirek), Fosfat alkali↑.
Hbs Ag (+), lg M Anti HCV (+)
3. Tingkat kecacatan : Tingkat kecacatan menetap tidak ada bila sembuh Ringan : bila menjadi hepatitis kronis Sedang : bila menjadi sirosis hati Berat : bila menjadi hepatoma atau fulminan

26
b. Tuberkulosis
1. Penyebab : Mycobacterium tuberculosis 2. Kriteria diagnostik :
– Ada kontak dengan droplet (petugas kesehatan, laboratorium), batuk-batuk, demam tak tinggi, hemoptoe, berat badan↓.Paru: ronchi basah, efusi pleura, CNS : meningitis dll.
– Laboratorium : ditemukan kuman Mycobacterium tubercolusis, – Pemeriksaan Radiologis.
3. Tingkat kecacatan : dinilai setelah terapi. c. HIV (Human Immunodeficiency Virus)
1. Penyebab : virus HIV 2. Kriteria diagnostik :
– Adanya kontak dengan cairan tubuh penderita (petugas kesehatan, laboratorium, kebersihan). Gejala sindrom flu, bila sudah menjadi AIDS terdapat infeksi oportunistik seperti : TBC, Pneumonia P. carinii, infeksi jamur, infeksi virus Citomegalo, virus Epstein Barr, mudah terjadi infeksi.
– Laboratorium : serologi HIV (+), Western Blot (+)
3. Tingkat kecacatan : Berat BIDANG PSIKIATRI I. BATASAN
Psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa adalah cabang dari ilmu kedokteran yang menangani sebab-musabab (patogenesis), diagnosis, prevensi, terapi dan rehabilitasi gangguan jiwa serta promosi kesehatan jiwa (Maramis, 1980). Psikiatri industri atau psikiatri okupasional berkaitan dengan prevensi, diagnosis, terapi dan rehabilitasi di tempat kerja
Penyakit akibat kerja dan cacat akibat kecelakaan kerja di bidang psikiatri adalah gangguan jiwa yang bersifat sementara maupun menetap, yang berhubungan dengan pekerjaan. Gangguan jiwa yang dapat terjadi berupa : A. Kondisi kejiwaan yang khas di tempat kerja :
Anxiestas, depresi, lesu kerja (burn-out), absenteisme dan Histeria Massal
B. Gangguan jiwa yang paling banyak terkait dengan kondisi kerja menurut ICD - 10 adalah : 1. Gangguan Neurotik 2. Gangguan Somatoform 3. Gangguan yang berkaitan dengan Stress
C. Gangguan jiwa yang kadang-kadang terkait dengan kondisi kerja menurut ICD - 10 adalah : 1. F00-F09 : 1. Gangguan Organik, termasuk Gangguan Mental
Simptomatik : Demensia dan Delirium 2. Anxietas, Depresi dan Gangguan Kepribadian Akibat Zat
Toksik. 2. F10-F19 : Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif. 3. F30-F39 : Gangguan Suasana Perasaan (Mood) 4. F50-F59 : Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan
Fisiologik dan Faktor Fisik : Disfungsi Seksual, Gangguan Makan dan Tidur yang Berkaitan dengan pekerjaan.

27
D. Gangguan jiwa yang mengakibatkan cacat mental 1. Skizofrenia 2. Gangguan Paranoid 3. Psikosis Organik
II. DIAGNOSIS
Diagnosis psikiatri didasarkan atas gejala-gejala yang diperoleh atas dasar wawancara psikiatrik dan pengamatan (observasi) klinik. Kemudian gejala-gejala tersebut disusun menurut kriteria diagnostik yang sudah dibakukan dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia. Gangguan jiwa biasanya terjadi melalui suatu proses perjalanan penyakit yang panjang. Gangguan ini dilandasi oleh faktor-faktor dasar (predisposing factors) dan dibangkitkan oleh faktor pencetus (precipitating factor). Faktor dasar sudah ada sejak awal perkembangan kepribadian seseorang. Individu tersebut telah memiliki kondisi-kondisi tertentu yang diperolehnya melalui proses genetik (herediter, keturunan), atau kondisi yang telah ada pada saat itu, yaitu proses konstitusional. Kondisi awal ini berkembang, baik melalui proses maturasi (pematangan) akibat bertambahnya usia, maupun akibat pengaruh lingkungan. Faktor herediter, organobiologik, konstitusional dan psikososial dapat berkembang menjadi kekuatan dan kelemahan pada individu tersebut. Apabila mendapat pencetus yang berat dan tepat (spesifik), jatuhlah orang tersebut dalam keadaan terganggu jiwanya. Pencetus tersebut misalnya adalah stresor dalam pekerjaan. Kesulitan untuk menentukan adanya hubungan kausalistas antara gangguan jiwa dan kondisi kerja adalah karena hakikat gangguan jiwa yang multi-kasual dan multifaktorial. Lain halnya dengan gangguan mental organik seperti demensia, delirium dan epilepsi yang dapat secara kausal dihubungkan dengan akibat kerja yang bersifat fisik seperti cedera kepala dan intoksikasi otak. Dalam psikiatri, penyebab umum gangguan jiwa terdiri dari faktor organobiologik misalnya faktor hereditas dan lingkungan yang mempengaruhi tubuh, faktor psikologis terutama dari pengalaman belajar dari lingkungan, terutama hubungan interpersonal, dan faktor sosio-kultural yang dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya yang ia hidup di dalamnya. Manusia bereaksi secara holistik (keseluruhan) yaitu secara somato-psikososial, sehingga yang sakit dan menderita adalah manusia seutuhnya. Perlu ditentukan seberapa jauh hubungan antara akibat kerja sebagai kausa dan gangguan jiwa sebagai akibatnya. Kadang-kadang faktor predisposisinya terlalu kuat, misalnya Skizofrenia dan Psikosis Afektif yang bersifat endogen, artinya memang telah terdapat kelainan neurotransmiter di dalam otak seperti dopamin dan serotonin. Gangguan jiwa tersebut akan timbul walaupun faktor pencetusnya tidak spesifik, misalnya setelah giginya dicabut, dimarahi oleh atasan atau tidak dinaikkan pangkatnya. Dengan demikian keterkaitan dengan kondisi kerja sangat lemah. Berbeda dengan gangguan jiwa yang dikelompokkan dalam Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform, dan Gangguan yang Berhubungan dengan Stres (di tempat) kerja dapat lebih mudah ditentukan. Telah terbukti secara empiris bahwa untuk timbulnya gangguan jiwa kelompok ini memerlukan waktu sedikitnya enam bulan. Misalnya seorang pekerja yang menderita Fobia untuk naik helikopter ke lepas pantai. Depresi Reaktif setelah merasa pekerjaannya tidak cocok dengan yang dijanjikan atau gangguan Stres Pasca-trauma setelah mendapat kecelakaan kerja. Gangguan jiwa atau kondisi kejiwaan yang dianggap khas akibat kerja ialah gangguan jiwa ringan seperti anxietas dan depresi akibat stres yang tak dapat ditanggulangi, gangguan psikosomatik, kecelakaan kerja, absenteisme, lesu kerja (burn-out), histeria massal (mass hysteria atau behavioral contagion), writer's cramp dan sebagainya.

28
Ditentukan melalui pemeriksaan : A. Anamnesis
1. Identitas : nama, umur, gender 2. Riwayat :
a. Perkembangan kepribadian b. Pendidikan c. Penyakit dalam keluarga
3. Riwayat penyakit :
a. Timbul mendadak atau pelan-pelan b. Apakah pernah menderita gejala semacam ini sebelumnya c. Adakah stresor psiko-sosial
4. Riwayat pekerjaan : a. Hubungan dengan stres b. Hubungan dengan kelainan organik pada susunan saraf-pusat akibat
pekerjaan (pada gangguan psikosis organik)
B. Pemeriksaan Fisik Diagnostik
C. Pemeriksaan Neurologik
D. Pemeriksaan Psikiatrik Khusus
1. Penampilan umum : a. Kesadaran b. Perilaku dan aktivitas psikomotor c. Pembicaraan d. Sikap
2. Keadaan afektif :
a. Perasaan dasar b. Ekspresi afektif c. Empati
3. Fungsi kognitif
a. Daya ingat b. Daya konsentrasi c. Orientasi d. Kemampuan menolong diri sendiri
4. Gangguan persepsi : halusinasi, ilusi, depersonalisasi, derealisasi
5. Proses pikir : waham, gangguan asosiasi pikiran
6. Daya nilai sosial
7. Persepsi tentang diri dan kehidupannya
E. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium 2. Pemeriksaan rontgen 3. Pemeriksaan psikologik, laporan social worker
F. Penentuan Hubungan Kausatif Atau Kausalitas Antara Kondisi Kerja Dengan Gangguan Psikiatrik
1. Pasien telah bekerja selama minimal 6 (enam) bulan. Hal ini untuk menghindari
kemungkinan bahwa gangguan psikiatrik diakibatkan oleh stress atau kausa sebelum bekerja.

29
2. Didapatkan faktor pencetus yang objektif pada tempat kerja yang dinyatakan tidak hanya oleh pasien tersebut.
3. Apabila ditemukan beberapa faktor pencetus, harus dapat ditentukan bahwa
kondisi kerja merupakan faktor yang paling dominan. III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT
Penilaian tingkat cacat penyakit akibat kerja bidang psikiatrik diberikan apabila : Menurut perjalanan penyakit, gangguan jiwa dapat menimbulkan cacat mental(mental disability) misalnya pada gangguan mental organik, skizofrenia, neurosis berat, gangguan kepribadian dan ketergantungan zat. Hal ini dapat ditentukan apabila gangguan jiwa tersebut masih terdapat gejala sisa sehingga merupakan hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Cacat Mental Akibat Kecelakaan Kerja American Medical Association pada tahun 1985 menerbitkan Guides to the Evaluation of Permanent Impairment. Sedangkan Pemerintah Federal Amerika Serikat (1980) mendefinisikan disabilitas sebagai ketidakmampuan untuk berperan dalam setiap aktivitas substansial karena sebab medik yang ditentukan oleh hendaya mental yang berlangsung terus menerus lebih dari 12 bulan. Kaplan (1995) dalam upaya rehabilitasi psikiatrik mendefinisikan sebagai berikut : 1. Hendaya (impairment) adalah gejala positif dan negatif yang khas dan gangguan
yang berhubungan dengan abnormalitas kognitif dan afektif, seperti pada Skizofrenia, Gangguan Autistik dan Gangguan Bipolar.
2. Disabilitas (disability) adalah pembatasan (restriksi) yang diakibatkan oleh hendaya dalam ranah (domain) fungsi kehidupan seperti higiene pribadi, mengelola pengobatan sendiri, rekreasi pada waktu luang, dan hubungan keluarga dan sosial.
3. Cacat (handicap) kondisi yang dirugikan sebagai akibat hendaya dan disabilitas yang membatasi atau mencegah pemenuhan peranan yang normal, seperti sebagai pekerja, mahasiswa, warga negara dan anggota keluarga.
Pedoman yang diterbitkan oleh American Medical Association tersebut mempunyai lima asas, yaitu : 1. Asas I :
Dalam menentukan hendaya yang diakibatkan oleh gangguan mental dan fisik, kriteria empirik harus dilaksanakan secara tepat. Penilaian perlu diperhatikan tiga faktor yaitu derajat hendaya, derajat disabilitas dan derajat kecacatannya. Pada gangguan jiwa, hendaya dapat ditujukan sebagai kehilangan fungsi penting yang disebabkan oleh gangguan mental organik, gangguan fungsi pikir atau gangguan afektif. Disabilitas merujuk pada taraf fungsi sosial dan pekerjaan yang telah diubah oleh hendaya , misalnya seseorang dapat tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang normal karena pikiran yang menetap, atau tidak mampu berhubungan secara produktif terhadap teman sekerjanya karena anxietas atau persepsi yang salah terhadap tindakannya. Untuk menentukan tingkat disabilitas, dapat terjadi dilema untuk membedakan antara orang-orang yang tidak mampu bekerja dan mereka yang tidak mau bekerja karena keuntungan sekunder (secondary gain) yang mereka peroleh dari hendaya. Seorang penyandang cacat (mental) apabila kemampuannya untuk berfungsi dalam sosial dan pekerjaan menghilang atau berkurang karena hendaya yang menetap, dan tidak ada gejala atau perubahan fundamental yang diharapkan. Seorang penyandang cacat mental tidak mampu untuk berfungsi secara memuaskan karena

30
defisit yang khas seperti gangguan pikiran dengan interpretasi salah terhadap realitas. Derajat kecacatan sosial atau pekerjaan sebagian ditentukan oleh reaksi individu terhadap hendaya.
2. Asas II Diagnosis adalah diantara faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menilai parahnya dan lamanya hendaya, untuk kriteria diagnostik dan deskriptif, penilaian harus menggunakan Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorders dari American Pshychiatric Association, Edisi ke empat (DSM-IV). Karena DSM-IV telah diterbitkan pada tahun 1994, maka evaluasi multiaksialnya sudah berubah. Evaluasi multiaksial tersebut juga sudah diresmikan oleh Depkes RI pada tahun 1995 melalui buku Suplemen Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (Suplemen PPDGJ-III), sebagai berikut : Aksis I : Gangguan Klinis Kondisi Lainnya yang Mungkin Merupakan Fokus Perhatian Klinis
Aksis II : Gangguan Kepribadian Retardasi Mental
Aksis III : Kondisi Medis Umum
Aksis IV : Problem Psikososial dan Lingkungan
Aksis V : Penilaian Fungsi Secara Global Penggunaan sistem multiaksial memungkinkan evaluasi yang komprehensif dan sistematik dengan memperhatikan berbagai gangguan jiwa dan kondisi medis umum, problem psikososial dan lingkungan, dan taraf fungsional, yang mungkin saja terlewatkan bila fokus perhatian hanya pada penilaian terhadap problem utama yang diungkapkan saja. Misalnya seorang yang mendapat kecelakaan kerja hingga mengakibatkan cacat fisik, dapat ditegakkan diagnosisnya menurut evaluasi multiaksial sebagai berikut :
Aksis I : Depresi Aksis II : Gangguan kepribadian Organik Aksis III : Post-contusio cerebri
Epilepsi Aksis IV : Problem pekerjaan Problem yang berkaitan dengan lingkungan sosial Aksis V : Skala GAF (Global Assessment of Functioning Scale) = 41 - 50 : Gejala berat, hendaya berat. Dari semua aksis yang banyak terkait dengan cacat karena kecelakaan kerja adalah aksis V, karena Aksis V digunakan untuk melaporkan penilaian klinik terhadap taraf seseorang secara menyeluruh. Informasi ini berguna dalam perencanaan terapi dan pengukuran hasilnya, memprediksi hasil terapi dan taraf pemulihan, serta derajat kecacatan mentalnya. Pada kondisi tertentu, mungkin bermanfaat untuk menilai disabilitas sosial dan okupasional.
3. Asas III
Dalam hal terdapat ketidaksamaan pada evaluasi terhadap sistem organ yang lain, faktor-faktor yang berkaitan dengan situasi keluarga, pendidikan keuangan dan sosial hendaknya diperhatikan, demikian pula taraf fungsi seseorang.
Evaluasi perlu dilakukan terhadap fungsi yang sekarang dan masa lampau, dan potensi untuk fungsi yang akan datang. Hal ini meliputi perawatan diri, tanggung jawab terhadap anggota keluarga yang lain dan rumah tangga, serta tanggung jawab terhadap masyarakat.
Fungsi pekerjaan pasien yang sekarang harus ditentukan, ketrampilan apa yang masih utuh, dan keterbatasan apa yang terjadi. Misalnya apakah orang tersebut dapat bekerja kembali pada taraf yang lebih rendah daripada sebelum sakit.

31
Pemeriksaan status mental merupakan hal yang utama terhadap evaluasi menyeluruh, atau membantu untuk menentukan derajat defisit yang mempengaruhi cacat kerja dalam taraf berat, sedang atau tidak ada sama sekali. Penilaian juga harus menentukan derajat dan kemungkinan lamanya hendaya, sebagian atau seluruh, merupakan problem jangka pendek atau panjang, dan apakah akan makin memburuk.
4. Asas IV
Karakter (kepribadian) dan sistem nilai dari seseorang merupakan faktor yang penting dalam perjalanan gangguan jiwa fisik. Motivasi untuk sembuh merupakan faktor utama untuk prognosisnya.
Untuk beberapa orang, motivasi yang kurang merupakan suatu penyebab utama untuk berlanjutnya malfungsi. Kepribadian seseorang dapat pula merupakan faktor dominan dalam memperoleh keuntungan pada rehabilitasi.
Keuntungan sekunder (secondary gain) timbul tidak hanya karena besarnya kompensasi atau keuntungan finansial yang akan diperoleh, tetapi juga gaya hidup seseorang. Hendaya ditambah motivasi yang rendah dapat mengakibatkan cacat menyeluruh, sedangkan hendaya ditambah motivasi yang tinggi dapat mengakibatkan cacat yang minimal.
5. Asas V
Suatu tinjauan yang berkali-kali harus dilaksanakan terhadap metode terapi dan rehabilitasi. Keputusan akhir belum boleh diambil hingga seluruh riwayat penyakit, fase terapi dan rehabilitasi, status mental, fisik dan perilaku yang sekarang terus diperhatikan.
Penilaian yang penting adalah terhadap derajat keterbatasan kerja yang diderita oleh seseorang, yang dapat mulai dari minimal hingga menyeluruh. Rehabilitasi merupakan hal yang mutlak untuk dilaksanakan dalam pengobatan pasien yang telah sembuh dari fase akut pada gangguan jiwa, terutama gangguan jiwa yang berat. Dengan upaya rehabilitasi yang tepat, jarang didapati hendaya total yang permanen, kecuali pada pasien dengan penyakit organik. Terdapat berbagai derajat hendaya, dan rehabilitasi total dapat dimungkinkan. Sebagai contoh kedokteran fisik, tungkai yang diamputasi dapat diganti dengan tungkai palsu, yang diharapkan dapat berjalan kembali walaupun tidak seperti semula.
Analog dengan kehilangan tungkai adalah kehilangan kemampuan sebagai akibat dari gangguan jiwa. Hendaya yang tersisa dari gangguan jiwa berat, dapat seperti hendaya berat sebagai akibat dari penyakit fisik atau kecelakaan. Hubungan antara motivasi dan pemulihan memerlukan pengamatan pada orang-orang yang menderita penyakit fisik dan gangguan jiwa, dan hal ini merupakan tugas dari psikiatri rehabilitasi.
Dengan mempertimbangkan latar belakang seseorang dan kepribadian serta sistem nilainya, taraf pendidikan dan sumber keuangan keluarga perlu diperhatikan.
Metode untuk penilaian hendaya psikiatrik dapat dilihat pada Tabel I, Tabel ini digunakan apabila telah dilakukan keputusan klinik yang cermat, setelah semua faktor diagnosis, klinik, terapi dan rehabilitasi telah dilaksanakan. Suatu contoh kasus yang memberikan derajat menyeluruh dari seorang pasien setelah dievaluasi menurut status mental seperti pada Tabel II.

32
Tabel I. Evaluasi Hendaya Psikiatrik
Derajat Hendaya
1 2 3 4 5
Persentase Hendaya
0 - 5 % 10 - 20% 25 - 50% 55 - 75% >75%
1. Inteligensi 2. Daya fikir 3. Persepsi 4. Daya nilai 5. Afek 6. Perilaku
Normal atau lebih baik Tak ada defisit Tak ada defisit Tak ada defisit Normal Normal
Retartasi ringan Defisit ringan Defisit ringan Defisit ringan Problem ringan Problem ringan
Retadarsi sedang - ringan Defisit sedang Defisit sedang Defisit sedang Problem sedang Problem sedang
Retardasi sedang-berat Defisit sedang-berat Defisit sedang- berat Defisit sedang-berat Problem sedang- berat Problem sedang- berat
Retardasi berat Defisit berat Defisit berat Defisit berat Problem berat Problem berat
AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Kemampuan Mandiri Perlu sedikit
bantuan Perlu bantuan teratur
Perlu bantuan besar
Tidak dapat dibantu
AKTIVITAS REHABILIASI DAN TERAPI
Potensi Baik sekali Baik Baik untuk
pemulihan parsial
Kondisi statis Kondisi akan lebih buruk
Tabel II. Contoh profil Hendaya Psikiatrik
Kategori Deskripsi Hendaya Gabungan Hendaya
Setatus Mental 1. Intelegensi 2. Daya fikir 3. Persepsi 4. Afek 5. Perilaku
Normal Defisit sedang-berat, tidak mampu menarik kesimpulan minimal dari pernyataan tunggal Defisit ringan, tetapi tidak ada gejala waham Antara defisit sedang dan berat, suasana perasaan dari permusuhan hingga ramah Defisit sedang hingga berat
1 4 2 4 4
Aktivitas kehidupan sehari-hari
Mandiri
1
Potensi rehabilitasi Dan terapi
Baik untuk pemulihan parsial
3
Hendaya kolektif
Sedang hingga berat 55% - 75% 4
A. Telah dilakukan terapi psikiatrik yang optimal selama 1 (satu) tahun B. Terdapat cacat psikiatrik yang menyebabkan pekerja sama sekali tidak mampu bekerja.

33
BIDANG PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROK (THT)
I. BATASAN
Penyakit akibat kerja bidang Telinga, Hidung, dan Tenggorok adalah penyakit atau kelainan pada telinga, hidung dan tenggorok akibat pemaparan faktor-faktor risiko di tempat kerja Kelainan bidang THT yang terjadi dapat berupa : A. Gangguan telinga, sistem pendengaran dan keseimbangan, antara lain :
– Gangguan pendengaran akibat bising – Gangguan pendengaran akibat cedera kepala – Gangguan keseimbangan
B. Gangguan hidung dan sistem penciuman, antara lain :
– Rinitis alergi – Rinitis dan sinusitis kronis – Hiposmia atau anosmia (gangguan penciuman)
C. Gangguan tenggorok, antara lain : – Gangguan suara - afoni (tidak ada suara)
- disfoni (suara parau) – Cidera laring dan trakea – Gangguan menelan/disfagia, misalnya pada Esofagitis korosi.
II. DIAGNOSIS
A. TELINGA, SISTEM PENDENGARAN DAN KESEIMBANGAN
Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis
a. umur penderita b. riwayat gangguan pendengaran dalam keluarga c. riwayat penyakit :
1) penyakit telinga yang diderita sebelumnya 2) riwayat trauma sebelumnya 3) gangguan pendengaran datangnya mendadak atau berlahan. 4) Riwayat menggunakan bahan-bahan toksik 5) Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising 6) Apakah ada gangguan keseimbangan
d. Riwayat pekerjaan :
1) Apakah pernah atau sedang bekerja di tempat yang bising, apakah pernah ada ledakan keras dekat telinga ?
2) Apakah menggunakan alat pelindung telinga ? kalau ya jenis apa ? 3) Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan berkala, khususnya
pendengaran ? 4) Lama bekerja di tempat bising perhari kerja dan lamanya masa kerja .
2. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum dan pemeriksaan THT lengkap b. Pemeriksaan telinga bagian luar yang mencakup :
– Liang telinga, apakah ada serumen, sekret, perdarahan – Membran timpani, apakah ada tanda-tanda peradangan Otitis Media Akut
(OMA), Otitis Media Efusi (OME), Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). c. Pemeriksaan keseimbangan dengan cara :
– Pemeriksaan keseimbangan sederhana seperti : Tes Romberg, Stepping, Nudge, Past pointing dan tes tunjuk hidung.
– Tes posisi dan tes Perasat Hallpike – Tes posturografi (keseimbangan postural) – Tes kalori menggunakan elektro nistagmografi (ENG)

34
d. Pemeriksaan pendengaran untuk menentukan : – Apakah ada kesulitan ? – Apakah jenis kesulitan ?
Cara : - tes berbisik jarak 6 meter - tes garpu tala - tes audiometrik
e. Pemeriksaan laboratorium f. Pemeriksaan audiometri, dengan persiapan optimal terhadap individu dan
tempat (16 – 36 jam bebas pajanan bising).
Diagnosis Tuli akibat Bising :
1. Keadaan sebelum kerja : umur, penyakit telinga, pemeriksaan THT, Audiometri.
2. Keadaan bising lingkungan kerja 3. Pekerja : lama pajanan/hari, alat pelindung telinga, pemeriksaan
pendengaran tiap 6 bulan. 4. Pemeriksaan pendengaran : tes berbisik dalam jarak 6 meter, audiometri
nada murni dengan waktu 16 – 36 jam bebas pajanan bising, dan perhatikan malingering.
GANGGUAN KESEIMBANGAN Keseimbangan tergantung dari sistem visual, proprioseptif dan sistem vestibuler sendiri. Untuk mempertahankan keseimbangan sedikitnya 2 atau 3 sistem tersebut dapat berfungsi dengan baik. Bentuk gangguan keseimbangan yang sering dijumpai adalah rasa tidak seimbang (sempoyongan), kepala terasa ringan (melayang), vertigo (berputar). Gangguan keseimbangan tersering dijumpai disebabkan karena gangguan fungsi vestibuler perifer. Hal ini dapat terjadi unilateral atau bilateral dan dapat terjadi kompensasi sentral. Keluhan vertigo dapat disertai rasa mual, muntah dan timbulnya nistagmus. Keluhan ini sering berhubungan dengan gangguan pendengaran dan tinitus. Diagnosis gangguan keseimbangan : 1. anamnesis :
ditanyakan apakah timbulnya gangguan keseimbangan bila terjadi perubahan sikap atau posisi tertentu?. Adakah rasa tidak stabil, takut berjalan atau bertambah buruk pada kegelapan. Apakah ada rasa mual dan muntah. Apakah disertai gangguan pendengaran atau keluhan berdenging.
2. Pemeriksaan keseimbangan dengan cara : a. Pemeriksaan keseimbangan sederhana seperti : Tes Romberg, Shap
Romberg, Stepping, Post pointing dan tes ujung hidung b. Tes posisi dan tes perasat Hallpike c. Tes postugrafi (keseimbangan postural) d. Tes kalori menggunakan elektro nystagmography (ENG).
B. HIDUNG DAN SISTEM PENGHIDU
Batasan : Gangguan pada mukosa hidung yang dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan tekanan udara serta polusi. Pengaruh pajanan polusi terhadap mukosa saluran napas dapat menimbulkan berbagai gangguan pada saluran nafas terutama mukosa hidung dan sistem penciuman, terutama disebabkan asap, iritasi bahan industri.

35
Rongga hidung merupakan lapisan pertama bagi udara yang diisap dari lingkungan. Faktor yang mempengaruhi mukosa hidung ialah suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara serta polusi. Polusi udara sering kali terjadi dan mempunyai dampak negatif terhadap mukosa hidung, sehingga insidens rinosinusitis dan alergi meningkat oleh pemaparan asap, seperti asap rokok. Selain itu akibat iritasi bahan industri dapat menyebabkan penyakit kanker. Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis
a. umur. b. riwayat keluarga c. riwayat penyakit :
- penyakit hidung yang pernah diderita - keluhan yang dirasakan saat ini - kapan mulai dirasakan - apakah ada : - trauma
- infeksi kronis - alergi - terpajan oleh zat tertentu
d. Riwayat pekerjaan : - Apakah bekerja di tempat dengan faktor risiko kimia ? Kalau ya bahan
kimia apa ? dan berapa lama ? - Apakah menggunakan alat pelindung pernapasan ? - Apa jenis alat pelindungnya, apakah selalu digunakan dengan baik?
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum b. Pemeriksaan THT lengkap c. Pemeriksaan hidung dan penciuman :
Rinoskopi anterior : - Dilihat keadaan mukosa , konka : edema, hipertrofi, hiperemis atau livide - Apakah ada polip atau sekret di meatus medius - Kelainan sinus paranasal
d. Pemeriksaan penciuman secara subyektif Kehilangan penciuman disebut anosmia Pemeriksaan penciuman secara subyektif, dipakai 2 zat yaitu: - amonia, selain merangsang alat penciuman, juga merangsang
N.Trigeminus - Kopi, hanya merangsang alat penciuman, Cara pemeriksaan penderita
diminta untuk menyebutkan nama zat yang diciumkan pada penderita dengan mata tertutup. Perlu diingat adanya malingering
3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium.
Sekret hidung dan darah tepi , biasanya jumlah eosinofil meningkat dan konsentrasi lgE total meningkat pada alergi.
b. Pemeriksaan tes kulit Dilakukan dengan alergen yang terdapat di tempat kerja (pabrik)
c. Pemeriksaan radiologik Dilakukan dengan posisi Waters dan lateral untuk melihat keadaan sinus paranasal.
d. Pemeriksaan Histopatologik e. Bila ditemukan jaringan yang mencurigakan pada mukosa hidung maka
dilakukan usapan mukosa hidung untuk pemeriksaan sitologi dan diambil jaringan dengan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Hal ini dilakukan pada industri seperti tempat produksi nikel, krom, pembuat sepatu dan tukang kayu/mebel, karena berdasarkan kepustakaan, lingkungan tersebut bersifat karsinogen. Bahan karsinogen dapat menyebabkan displasia epitel mukosa hidung yang merupakan keadaan prekanker.

36
Diagnosis Rinitis Alergi akibat kerja : 1. Pemeriksaan klinis : anamnesis, rinoskopi antrior 2. Pemeriksaan laboratorium : skret hidung, darah tepi (eosinofil, IgE total) 3. pemeriksaan kulit : dengan jenis alegen yang ada di tempat kerja. Diagnosis Rinitis Kronis dan Rinosinusitis Akibat Kerja : 1. Pemeriksaan klinis : anamnesis, rinoskopi anterior 2. Pemerikaan radiologi : posisi waters, lateral 3. pemeriksaan histopatologi : jaringan abnormal pada industri nikel, krom, sepatu,
kayu (diplasia epitel mukosa , merupakan tanda pre kanker) 4. pemeriksaan penghidu : rinitis kronis (hiposmia, anosmia)
C. TENGGOROK 1. Anamnesis
a. umur b. Riwayat penyakit keluarga c. Riwayat penyakit :
1) Apakah ada gangguan menelan ? 2) Apakah ada sakit tenggorok ? 3) Apakah ada suara parau ? 4) Apakah ada gangguan pernapasan ?
d. Riwayat pekerjaan : 1) Apakah ada trauma (mekanis, kimia) di daerah leher ? 2) Apakah bekerja di tempat kerja dengan risiko faktor kimia? kalau ya : - apa saja
- sudah berapa lama 2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan pemeriksaan THT lengkap b. Pemeriksaan tenggorok secara khusus :
1) Inspeksi Apakah ada tanda cidera - Bengkak/kemerahan - Perdarahan atau luka pada selaput lendir
2) Palpasi Apakah ada krepitasi pada struktur laring dan trakea ?
3) Pemeriksaan laring tidak langsung dengan kaca tenggorok 3. Pemeriksaan penunjang
Radiologik : foto jaringan lunak leher .
D. CIDERA LARING DAN TRAKHEA
Cidera laring atau trakea dapat berupa cedera tumpul atau tajam akibat luka sayat, luka tusuk dan luka tembak. Cedera tumpul pada daerah leher selain dapat menghancurkan struktur laring juga dapat menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah dll. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti leher terbentur alat-alat kerja. Cedera dapat ringan, hanya terdapat edema atau laserasi mukosa saja. Pada cedera berat, tulang rawan laring dan trakea hancur serta sebagian jaringan hilang. Selain itu dapat ditemukan luka terbuka atau luka tertutup.
Ballanger membagi penyebab cedera laring atas : 1. Cidera mekanik eksternal (cedera tumpul dan tajam) dan mekanik internal 2. Cidera akibat luka bakar oleh panas (gas, cairan panas) dan kimia (cairan
alkohol, amoniak, natrium hipoklorid dan lisol) yang terhirup. 3. Cidera Otogen akibat pemakaian pita suara yang berlebihan.

37
Boyes membagi cedera laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul, dalam 3 golongan : 1. Cidera dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema
submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan. 2. Cidera yang mengakibatkan tulang rawan hancur. 3. Cidera yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang. Pembagian ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan trakea, yaitu sebagai saluran napas yang adekuat.
Penegakan Diagnosis 1. Gejala
Suara parau, rasa nyeri di daerah yang terkena cedera. Pada keadaan yang berat terdapat sesak napas dan sianosis. Pada luka terbuka terdapat perdarahan.
2. Pemeriksaan 2.1. Inspeksi : Melihat daerah yang terkena cedera, bengkak dan kemerahan,
perdarahan ringan atau berat. 2.2. Palpasi : Meraba struktur laring dan trakea, adakah krepitasi 2.3. Pemeriksaan laring tak langsung dengan kaca tenggorok. Kadang-kadang
sukar untuk menentukan kelainan. 2.4. Pemeriksaan laring langsung: dapat dilihat kelainan di laring berupa edema,
Hiperemis dan perdarahan. 2.5. Pemeriksaan Radiologik : foto jaringan lunak leher.
Prognosis : 1. Pada luka terbuka, dengan melakukan penjahitan luka akan dapat sembuh
sempurna. 2. Pada kerusakan tulang rawan serta mukosa laring dan trakea mungkin terdapat
gejala sisa : 2.1. Suara tetap parau 2.2. Tidak dapat bernafas melalui laring, sehingga harus dilakukan
trakeostomi permanen.
E. CIDERA KEPALA
Cidera kepala dapat disebabkan oleh kecelakaan yang menyebabkan benturan di kepala.
Kelainan THT yang disebabkan oleh cedera kepada ialah : 1. Tuli saraf yang disebabkan oleh kerusakan di koklea 2. Kelainan alat keseimbangan 3. Kelumpuhan saraf wajah (nervus fasial) 4. Tuli konduktif, karena membran timpani pecah. 5. Kebocoran likuor serebrospinal ke telinga Pemeriksaan
Pada pemeriksaan, selain memperhatikan keadaan kesadaran dengan
menentukan skala Glasgow, perlu dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: 1. Keadaan umum dan kesadaran 2. Adanya sekret di liang telinga, dapat berupa darah atau likuor serebrospinal. 3. Keadaan membran timpani :
Terdapat ruptur, dan tampak darah mengalir ke liang telinga. Membran timpani utuh, tetapi berwarna kebiruan, berarti terdapat darah di kavum timpani.
4. Pemeriksaan audiologik : tuli konduktif atau tuli saraf. 5. Pemeriksaan alat keseimbangan :
5.1. Memeriksa adanya nistagmus posisi. Penderita yang ditidurkan telentang tiba-tiba kepalanya diangkat dan dimiringkan ke satu sisi. Diperhatikan adanya nistagmus yang timbul
5.2. Tes kalori cara Halklpike – Fitzgeral.

38
5.3. Pemeriksaan yang lebih canggih ialah dengan melakukan pemeriksaan elektronistagmosgrafi (ENG).
6. Pemeriksaan gerak otot wajah, untuk memeriksa adanya kelumpuhan nervus fasial perifer atau sentral. Penderita diminta untuk menutup mata, mengernyitkan dahi, menggelembungkan pipi dan lain-lain. Dilihat apakah simetris atau tidak.
F. OESOFAGITIS KOROSIF
Kecelakaan karena terminum zat korosif di suatu industri yang menggunakan zat korosif besar kemungkinan terjadi.
Keluhan dan gejala yang timbul sebagai akibat tertelannya zat korosif tergantung pada jenis zat korosif (basa kuat, asam kuat atau zat organik). Konsentrasi zat korosif (zat dengan konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan yang lebih hebat), volume yang tertelan, serta lama zat korosif melalui saluran cerna (kerusakan oleh benda padat lebih berat dibandingkan dengan zat cair).
Diagnosis
1. Anamnesis : rasa terbakar di mulut dan tenggorok setelah meminum zat korosif. Keluhan ini dapat lebih berat sampai sama sekali tidak dapat menelan.
2. Pemeriksaan fisik : dapat berbagai tingkat, dari keadaan umum masih baik, sampai syok.
3. Pemeriksaan radiologik : dilakukan setelah seminggu kejadian, untuk melihat apakah ada penyempitan esofagus.
4. Esofagoskopi : untuk diagnostik dan terapi dengan melakukan businasi pada penyempitan esofagus.
Gambaran Klinik Esofagitis Korosif
Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada jenis
zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat korosif, lamanya kontak dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak. Bila muntah, maka mukosa esofagus dua kali dikenai zat korosif, sehingga kerusakan lebih berat.
Esofagitis korosif dibagi dalam 5 bentuk klinis berdasarkan beratnya luka bakar
yang ditemukan yaitu :
1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi. Penderia mengalami ganguan menelan yang ringan. Pada esofagoskopi tampak mukosa hiperemis tanpa disertai ulserasi.
2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan
Penderita mengeluh disfagia ringan. Pada esofagoskopi tampak ulkus yang tidak dalam yang mengenai mukosa esofagus saja.
3. Esofagitis korosif ulserasi sedang Ulkus sudah mengenai lapisan otot. Biasanya ditemukan satu ulkus atau lebih (multipel)
4. Esofagitis korosif ulserasi berat tanpa komplikasi Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan telah mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika dibiarkan akan menimbulkan striktur esofagus.
5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan peritonitis. Kadang-kadang ditemukan tanda-tanda obstruksi jalan napas atas dan gangguan keseimbangan asam dan basa.
Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi dalam 3 fase, yaitu; fase akut, fase laten (intermediate) dan fase kronik (obstruktif).

39
III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT
A. TELINGA DAN SISTEM PENDENGARAN
1. Tingkat cacat ditentukan dengan mengukur nilai ambang dengar (Hearing Threshold Level = HTL), yaitu angka rata-rata penurunan ambang dengan dengan dB pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz.
Penurunan nilai ambang dengar dilakukan pada kedua telinga 1.1. Telinga normal : Pada pemeriksaan audio metrik ambang dengar
tidak melebihi 25 dB dan di dalam pembicaraan biasa tidak ada kesukaran mendengar suara perlahan
1.2. Tuli ringan : Pada pemeriksaan audio-metrik ambang dengar 25 - 40 dB dan terdapat kesukaran mendengar.
1.3. Tuli sedang : Pada pemeriksaan audio-metrik terdapat ambang dengar antara 40 – 55 dB Seringkali terdapat kesukaran untuk mendengar pembicaraan biasa.
1.4. Tuli sedang berat : Pada pemeriksaan audiometri terdapat ambang dengar rata-rata antara 55 - 70 dB. Kesukaran mendengar suara pembicaraan kalau tidak dengan suara keras.
1.5. Tuli berat : Ambang dengar rata-rata antara 70 - 90 dB. Hanya dapat mendengar suara yang sangat keras.
1.6. Tuli sangat berat : Ambang dengar 90 dB atau lebih. Sama sekali tidak mendengar pembicaraan.
Tingkat cacat : American Medical Association (AMA) Committee on Medical Rating of Physical Imparment, menyatakan bahwa cacat total pendengaran, apabila ambang dengar diatas 92 dB. Jadi ambang tertinggi ialah 93 dB dan batas terendah untuk tuli ialah 25 dB.
2. Penentuan tingkat cacat a. Ketulian monaural dinilai sebagai berikut :
1) Periksa pendengaran pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz, kemudian ambil rata-ratanya.
2) Kurangi dengan 25 dB. 3) Perkalikan sisanya dengan 1,5%, Hasilnya ialah persentase ketulian dari
suatu telinga (monaural)
b. Ketulian-binaural dihitung sebagai berikut : 1) Perkalikan monaural pada telinga yang lebih baik dengan 5. 2) Perkalikan monaural pada telinga yang lebih buruk dengan 1 3) Tambahkan nilai ketulian monaural dari telinga yang lebih baik dan lebih
buruk 4) Bagi jumlah ini dengan 6. Hasilnya persentase ketulian binaural (dua
telinga).
c. Pada pekerja di atas usia 40 tahun, dikurangi 0,5 dB per tahun, tetapi tidak melebihi 12,5 dB.
Contoh penentuan tingkat cacat Penentuan tingkat cacat, dilakukan dengan pemeriksaan monaural (satu telinga) dan binaural (dua telinga) 1) Cara perhitungan cacat dengan monaural :
Tentukan nilai ambang dengan pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz.

40
Contoh : Telinga kanan : Telinga kiri : - 500 Hz = 35 cB - 500 Hz = 40 dB - 1000 Hz = 40 dB - 1000 Hz = 50 dB - 2000 Hz = 45 dB - 2000 Hz = 50 dB - 4000 Hz = 60 dB - 4000 Hz = 60 dB
180 dB 200 dB
Hasil penjumlahan di bagi 4, didapat nilai ambang dengan rata-rata (average Hearing Threshold Level = HTL rata -rata) : Telinga kanan : 180 : 4 = 45 dB Telinga kiri : 200 : 4 = 50 dB
2) Cara perhitungan cacat pendengaran monaural Pada orang muda (usia di bawah 40 tahun) : HTL rata-rata dikurangi 25 dB : Telinga kanan : 45 - 25 = 20dB Telinga kiri : 50 - 25 = 25 dB Konversi HTL rata-rata yang melebihi 25 dB ke dalam presentasi daya dengan dengan mengalikan 1,5 % : Telinga kanan : 20 x 1,5 % = 30% (penurunan) pendengaran monaural Telinga kiri : 25 x 1,5 % = 37,5% (penurunan) pendengaran monaural
3) Cara perhitungan cacat pendengaran binaural adalah 5 (lima) kali penurunan pendengaran monaural terkecil ditambah 1 (satu) kali penurunan pendengaran monaural terbesar dibagi 6 (enam). Konversikan penurunan pendengaran monaural kedalam presentasi binaural. Telinga kanan (lebih baik) : 30% x 5 = 150 % Telinga kiri (lebih buruk) : 37,5 % x 1 = 37,5 % Jumlah : 150 % + 37,5% = 187,5 Jumlah ini dibagi 6 = 187,5 % : 6 = 31,25% Jadi nilai penurunan pendengaran binaural ialah : 31,25%. Penentuan ganti rugi cacat di dasarkan pada cacat pendengaran binaural, sesuai dengan lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005. Pada contoh diatas perhitungan presentase cacatnya adalah : 31,25% x 40% = 12,5%.
4) Cara perhitungan cacat pendengaran pada orang tua (presbiakusis) Presbiakusis diasumsikan menyebabkan kenaikan ambang dengar 0,5 dB tiap tahun, dimulai dari usia 40 tahun. Misalnya seorang pekerja sekarang berusia 43 tahun, maka kenaikan ambang dengar karena faktor usia ialah : (43-40) x 0,5 dB = 1,5 dB Contoh pada butir a di atas : - HTL rata-rata dikurangi 25 dB, dikurangi lagi dengan ambang dengan
oleh presbiakusis (pada contoh ini = 1,5 dB), sehingga : Telinga kanan : 45 - 25 - 1,5 = 18,5 dB Telinga kiri : 50 - 25 - 1,5 = 23,5 dB
- Konversikan HTL rata-rata ke dalam presentase penurunan daya dengan, dengan mengalikan 1,5 : Teling kanan : 18,5 x 1,5 % = 25,75 % (penurunan pendengaran monaural) Telinga kiri : 23,5 x 1,5% = 35,25 % (penurunan pendenganran monaural)
- Konversikan penurunan pendengaran monaural ke dalam presentase binaural :

41
Telinga kanan (lebih baik) = 25,75% x 5 = 128,75% Telinga kiri (lebih buruk) = 35,25 % x 1 = 35,25 % Jumlah : 128,75 % + 35,25 % = 164 % Jumlah ini dibagi 6 : 164 % : 6 = 27,33%.
- Jadi nilai prosentase penurunan pendengaran binaural ialah 27,33% x 40% = 10,93 %.
Penilaian cacat juga dapat dilakukan dengan melihat tabel. Contoh : Pasien A. Telinga kanan Telinga kiri - 500 Hz = 15 dB - 500 Hz = 30 dB - 1000 Hz = 25 dB - 1000 Hz = 45 dB - 2000 Hz = 45 dB - 2000 Hz = 60 dB - 4000 Hz = 55 dB - 4000 Hz = 85 dB 140 dB 220 dB
Pasien B. Telinga kanan Telinga kiri - 500 Hz = 80 dB - 500 Hz = 75 dB - 1000 Hz = 90 dB - 1000 Hz = 80 dB - 2000 Hz = 100 dB - 2000 Hz = 90 dB - 4000 Hz = 100 dB - 4000 Hz = 95 dB 370 dB 340 dB
Dapat dilihat pada tabel 1 (di halaman berikut) Perhitungan persentase kehilangan pendengaran monaural, pada: Pasien A : tingkat pendengaran telinga kanan adalah 140 dB sesuai
dengan 15%, pendengaran telinga kiri adalah 220 dB Pasien B : tingkat pendengaran telinga kanan adalah 370 dB sesuai
dengan 100%, pendengaran telinga kiri adalah 340 dB sesuai dengan 90%
Dilihat pada tabel 2 (halaman berikut) Perhitungan persentase kehilangan pendengaran binaural, pada : Pasien A : Jumlah tingkat pendengaran telinga kanan adalah 140 dB (lebih
baik) kombinasi dengan jumlah tingkat pendengaran telinga kiri yaitu 220 dB (lebih buruk), maka didapat persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 20 %
Pasien B : Jumlah tingkat pendengaran telinga kiri adalah 340 dB (lebih
baik), kombinasi dengan jumlah tingkat pendengaran telinga kanan yaitu 370 dB (lebih buruk), maka didapat persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 92 % (catatan : digunakan jumlah tingkat pendengaran maksimum yaitu 368 dB.
Dilihat pada tabel 3 (dibawah) : Perhitungan persentase kehilangan pendengaran dari seluruh tubuh manusia. Pasien A : Persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 20% sesuai
dengan 7 % dari kecacatan seluruh tubuh. Pasien B : Persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 92 %
sesuai dengan 32% dari kecacatan seluruh tubuh.

42
Tabel 1. Monaural Hearing Loss Impairment (%). *
DSHL = % DSHL % DSHL % 100 105 110 115 120 125 130 135 140 145 150 155 160 165 170 175 180 185
0.0 1.9 3.8 5.6 7.5 9.4 11.2 13.1 15.0 16.9 18.8 20.6 22.5 24.4 26.2 28.1 30.0 31.9
190 195 200 205 210 215 220 225 230 235 240 245 250 255 260 265 270 275 280
33.8 35.6 37.5 39.4 41.2 43.1 45.0 46.9 48.9 50.5 52.5 54.4 56.2 58.1 60.0 61.9 63.8 65.6 67.5
285 290 295 300 305 310 315 320 325 330 335 340 345 350 355 360 365 368 or greater
69.3 71.2 73.1 75.0 76.9 78.8 80.6 82.5 84.4 86.2 88.1 90.0 90.9 93.8 95.6 97.5 99.4 100.0
TABLE 3 Relationship of Binaural Hearing Impairment to Impairment of the Whole person
% Binaural hearing Impairment
% Impairment of the whole person
% Binaural hearing Impairment
% Impairment of the whole person
0 - 1.7 1.8 - 4.2 4.3 - 7.4 7.5 - 9.9 10.0 - 13.1
0 1 2 3 4
50.0 - 53.1 54.2 - 55.7 55.8 - 58.8 58.9 - 61.4 61.5 - 64.5
18 19 20 21 22
13.2 - 15.9 16.0 - 18.8 18.9 - 21.4 21.5 - 24.5 24.6 - 27.1
5 6 7 8 9
64.6 - 67.1 67.2 - 70.0 70.1 - 72.8 72.9 - 75.9 76.0 - 78.5
23 24 25 26 27
27.2 - 30.0 30.1 - 32.8 32.9 - 35.9 36.0 - 38.5 38.6 - 41.7
10 11 12 13 14
78.6 - 81.7 81.8 - 84.2 84.3 - 87.4 87.5 - 89.9 90.0 - 93.1
28 29 30 31 32
41.8 - 44.2 44.3 - 47.4 47.5 - 49.9
15 16 17
93.2 - 95.7 95.8 - 98.8 98.9 - 100.0
33 34 35

43
Guides to the Evaluation of Permanent Impairment
Table 2. Computation of Binaural Hearing Impairment Worse ear 100 105 110 115 120
0 0.3 1.9 0.6 2.2 3.8 0.9 2.5 4.1 5.6 1.3 2.8 4.4 5.9 7.5
125 130 135 140 145
1.6 3.1 4.7 6.3 7.8 1.9 3.4 5 6.6 8.1 2.2 3.8 5.3 6.9 8.4 2.5 4.1 5.6 7.2 8.8 2.8 4.4 5.9 7.5 9.1
9.4 9.7 11.3 10 11.6 13.1 10.3 11.9 13.4 15 10.6 12.2 13.8 15.3 16.9
150 155 160 165 170
3.1 4.7 6.3 7.8 9.4 3.4 5 6.6 8.1 9.7 3.8 5.3 6.9 8.4 10. 4.1 5.6 7.2 8.8 10.3 4.4 5.9 7.5 9.1 10.6
10.9 12.5 14.1 15.6 17.2 11.3 12.8 14.4 15.9 17.5 11.6 13.1 14.7 16.3 17.8 11.9 13.4 15 16.6 18.1 12.2 13.8 15.3 16.9 18.4
18.6 19.1 20.6 19.4 20.9 22.5 19.7 21.3 22.8 24.4 20 21.6 23.1 24.7 26.3
175 180 185 190 195
4.7 6.3 7.8 9.4 10.9 5 6.6 8.1 9.7 11.3 5.3 6.9 8.4 10 11.6 5.6 7.2 8.8 10.3 11.9 5.9 7.5 9.1 10.6 12.2
12.5 14.1 15.6 17.2 18.8 12.8 14.4 15.9 17.5 19.1 13.1 14.7 16.3 17.8 19.4 13.4 15 16.6 18.1 19.7 13.8 15.3 16.9 18.4 20
20.3 21.9 23.4 25 26.6 20.6 22.2 23.8 23.8 26.9 20.9 22.5 24.1 25.6 27.2 21.3 22.8 24.4 25.9 27.5 21.6 23.1 24.7 26.3 27.8
28.1 28.4 30 28.8 30.3 31.9 29.1 30.6 32.2 33.8 29.4 30.9 32.5 34.1 35.6
200 205 210 215 220
6.3 7.8 9.4 10.9 12.5 6.6 8.1 9.7 11.3 12.8 6.9 8.4 10 11.6 13.1 7.2 8.8 10.3 11.9 13.4 7.5 9.1 10.6 12.2 13.8
14.1 15.6 17.2 18.8 20.3 14.4 15.9 17.5 19.1 20.6 14.7 16.3 17.8 19.4 20.9 15 16.6 18.1 19.7 21.3 15.3 16.9 18.4 20 21.6
21.9 23.4 25 26.6 28.1 22.2 23.6 25.3 26.9 28.4 22.5 24.1 25.6 27.2 28.8 22.8 24.4 25.9 27.5 29.1 23.1 24.7 26.3 27.8 29.4
29.7 31.3 32.8 34.4 35.9 30 31.5 33.1 34.7 36.3 30.3 31.9 33.4 35 36.6 30.6 32.2 33.8 35.3 36.9 30.9 32.5 34.1 35.6 37.2
37.5 37.8 39.4 38.1 39.7 41.3 38.4 40 41.6 43.1 38.8 40.3 41.9 43.4 45
225 230 235 240 245
7.8 9.4 10.9 12.5 14.1 8.1 9.7 11.3 12.8 14.4 8.4 10 11.6 13.1 14.7 8.8 10.3 11.9 13.4 15 9.1 10.6 12.2 13.8 15.3
15.6 17.2 18.8 20.3 21.9 15.9 17.5 19.1 20.6 22.2 16.3 17.8 19.4 20.9 22.5 16.6 18.1 19.7 21.3 22.8 16.9 18.4 20 21.6 23.1
23.4 25 26.6 28.1 29.7 23.8 25.3 26.9 28.4 30 24.1 25.6 27.2 28.8 30.3 24.4 25.9 27.5 29.1 30.6 24.7 26.3 27.8 29.4 30.9
31.3 32.8 34.4 5.9 37.5 31.6 33.1 34.7 36.3 37.8 31.9 33.4 35 36.6 38.1 32.2 33.8 35.3 36.9 38.4 32.5 34.1 35.6 37.2 38.8
39.1 40.6 42.2 43.8 45.3 39.4 40.9 42.5 44.1 45.6 39.7 41.3 42.8 44.4 45.9 40 41.6 43.1 44.7 46.3 40.3 41.9 43.4 45 46.6
46.9 47.2 48.8 47.5 49.1 47.8 49.4 48.1 49.7
250 255 260 265 270
9.4 10.9 12.5 14.1 15.6 9.7 11.3 12.8 14.4 15.9 10 11.6 13.1 14.7 16.3 10.3 11.9 13.4 15 16.6 10.6 12.2 13.8 15.3 16.9
17.2 18.8 20.3 21.9 23.4
25 26.6 28.1 29.7 31.3
32.8 34.4 35.9 37.5 39.1
40.6 42.2 43.8 45.3 46.9
48.4 50 48.8 50.3 49.1 50.6 49.4 50.9 49.7 51.3
275 280 285 290 295
10.9 12.5 14.1 15.6 17.2
300 305 310 315 320
325 330 335 340 345
350 355 360 365 368
ANSI 1969
100 105 110 115 120
125
Catatan : Tuli saraf penilaiannya sama seperti pada tuli akibat bising. Tuli hantar dan
campuran : tambahnya nilai hantaran udara dan hantaran tulang pada 500, 100, 2000 dan 4000 Hz, kemudian dibagi 8 (delapan). Selanjutnya perhitungannya sama dengan tuli akibat bising.
Penentuan ganti rugi mengacu lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005. GANGGUAN KESEIMBANGAN Evaluasi gangguan keseimbangan sebaiknya dilakukan bila kondisi tubuh telah stabil, sehingga dapat dilakukan penilaian secara adekuat. Penilaian gangguan keseimbangan dibagi sebagai berikut: 1. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 0%, bila terdapat gejala
gangguan keseimbangan tanpa ditemukan gejala klinis yang obyektif dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan.
2. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 5 - 10 %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali aktivitas yang kompleks seperti bersepeda.

44
3. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 15 - 30 %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali aktivitas ringan seperti berjalan, pekerjaan rumah ringan dan menolong diri sendiri.
4. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 35 - 60%, bila terdapat gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali menolong diri sendiri.
5. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 65 - 95 %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan dan menjalani perawatan di rumah.
B. HIDUNG DAN SISTEM PENCIUMAN Penentuan Tingkat Cacat
1. Terdapat perubahan suhu dan kelembaban udara, pada umumnya hidung dapat menyesuaikan diri, sehingga tidak menyebabkan kelainan.
2. Tentang rinitis alergi akibat kerja, disebabkan oleh kontak alergen di lingkungan kerja. Bila pekerja dipindahkan dari lingkungan itu, maka gejala akan berkurang atau hilang sama sekali, Hal ini tidaklah mudah, oleh karena : 2.1. Kemampuan/keahlian pekerja pada pekerjaan yang khusus, yang kebetulan
di daerah yang mengandung alergen itu. 2.2. Lowongan kerja di tempat kerja itu akan dipindahkan, tidak ada atau tidak
cocok dengan keahliannnya. 3. Kelainan penciuman dapat merupakan cacat, oleh karena sering kali tidak dapat
sembuh lagi, misalnya yang disebabkan oleh trauma. Penentuan tingkat cacatnya ialah dengan menghitung persentase zat yang dapat dicium oleh penderita pada waktu pemeriksaan, misalnya yang tidak dapat diketahuinya zat yang diciumnya sebanyak 5 buah dari 10 zat yang harus diciumnya = 50% apabila ditentukan bahwa anosmia merupakan cacat 40%, maka tingkat cacat disini ialah 50 x 40% = 20%.
4. Kelainan hidung yang menyebabkan keluhan menahun / berulang : 4.1. Sinusitis kronis yang meskipun telah dilakukan pengobatan dengan operasi,
akan selalu kambuh, apabila lingkungannya mengandung polusi. Hal ini dapat disebut sebagai cacat. Jadi cacatnya 40%.
4.2. Hidung tersumbat sebagai akibat konka hipertrofi pada rinitis kronis, meskipun telah dilakukan tindakan operasi dengan melakukan konkotomi untuk mengurangi konka yang hipertrofi, kadang-kadang akibatnya akan ditemukan gejala "open space syndrome", penderita terus menerus merasakan pusing dan kepala nyeri. Pada keadaan yang demikian pekerja tidak dapat berproduksi dengan baik. Nilai cacatnya ialah 40%.
5. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal : Bila tumor ganas ditemukan pada stadium dini, dan diobati secara dini juga dengan tepat, maka masa bertahan 5 tahun dapat mencapai 90 - 100%. Akan tetapi bila diketahui setelah dalam stadium lanjut, maka prognosisnya tidak baik. Perlu diingat, bahwa waktu inkubasi untuk terjadinya tumor ganas memerlukan waktu, sehingga ada kemungkinan setelah pekerja tidak terpapar lagi oleh zat karsinogenik barulah penyakit itu tampak.
Penentuan ganti rugi mengacu kepada lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 yang disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005. Ganti rugi fungsi penciuman sama dengan 10% dari upah.
C. TENGGOROK
CIDERA LARING DAN TRAKEA
Penentuan tingkat cacat. 1. Suara tidak keluar sama sekali : 40% 2. Suara parau masih dapat dimengerti kata-kata yang diucapkan : 50 x 40% = 20%.

45
3. Tidak dapat bernafas melalui laring/trakea, sehingga bernafas melalui lubang trakeostomi : 40%.
Presentase cacat akibat kerja atau kecelakaan diambil dari buku tentang perubahan kemampuan daya kerja pekerja di Hongaria : 0 - 40% = sakit akibat kecelakaan 0 - 15% = sakit ringan, kesembuhan dalam waktu singkat dan setelah sembuh
dapat bekerja pada profesi semula. 15 - 40% = sakit berat, kesembuhan dalam waktu lama, setelah sembuh dapat
bekerja pada profesi semula. 40 - 90% = cacat 40 - 67% = cacat sementara akibat kecelakaan, diharapkan akan tetap bekerja
ringan pada profesi lain tanpa mengganggu kesehatannya. 67 - 90% = cacat tetap akibat kecelakaan, tidak dapat bekerja sama sekali, dan
karena itu mempunyai hak pensiun.
D. CIDERA KEPALA Penilaian cacat : 1. Tuli saraf yang terjadi tidak dapat sembuh. Untuk penilaian cacatnya dihitung seperti
pada tuli akibat bising. 2. Kelainan alat keseimbangan dapat disembuhkan, tetapi pengobatannya lama. 3. Kelumpuhan saraf wajah yang letaknya perifer, bila sarafnya tidak terputus, dapat
disembuhkan dengan jalan operasi apabila dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2 minggu.
E. ESOFAGITIS KOROSIF
Penilaian Cacat : Sebagai komplikasi esofagitis korosif ialah terjadinya striktur esofagus. Hanya sebagian kecil dari striktur esofagus yang dapat disembuhkan dengan businasi. Bila tidak tertolong, maka dilakukan reseksi esofagus, serta mengganti esofagus dengan kolon, atau dengan membuat gastrostomi untuk makan penderita. Pada keadaan ini tingkat cacat 40%.
BIDANG ORTHOPAEDI
I. BATASAN
Orthopaedi adalah suatu spesialisasi yang mencakup investigasi, prevensi, restorasi dan perkembangan dari bentuk dan fungsi ekstremitas, tulang belakang dan struktur yang berkaitan secara medikamentosa, pembedahan dan dengan metoda fisik (AAOS 1960). Sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan penyakit orthopaedi adalah penyakit yang mengenai sistem muskuloskeletal sehingga menimbulkan gangguan fungsi pergerakan yang kemudian menimbulkan hambatan pada kegiatan si penderita. Terdapat 3 stadia gangguan kegiatan penderita akibat dari suatu penyakit.
1. Stadia 'Impairment' (cacat)
Stadia dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk merawat diri (self care) sebagai akibat penyakit yang diderita, baik secara anatomi-fisiologis maupun psikologis. Dalam stadia ini penderita tidak mampu melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari, yang biasanya dapat dilaksanakan. Penderita masih memerlukan terapi aktif.
2. Stadia 'Disability' (ilat) Stadium dimana seseorang mendapatkan keterbatasan atau kekurangan kemampuan (akibat impairment) dalam melaksanakan kegiatan dibanding dengan orang sehat. Penderita masih mengalami perbaikan, sehingga sedikit demi sedikit dapat kembali melaksanakan beberapa macam pekerjaan walaupun masih terbatas; dalam stadia ini mungkin masih diperlukan terapi atau modalitas alat bantu.

46
3. Stadia 'Handicapped' (tuna) Stadia keadaan akhir dimana keadaan penyakit dan gejala sesudah menetap dan disebut cacat menetap (tuna), baik sebagian maupun keseluruhan. Tindakan yang diperlukan, tujuannya adalah membantu semaksimal mungkin agar si penderita secara keseluruhan dapat mandiri (independent) dengan bantuan modalitas untuk mengatasi kecacatan.
Gangguan fungsi muskuloskeletal dapat terjadi sebagai akibat : 1. Kelainan sebagian atau seluruh anggota tubuh 2. Kelainan bentuk / anatomi 3. Kekakuan sendi 4. Kelumpuhan
Penentuan tingkat kecacatan secara medis sangat penting karena konsekuensinya pada bidang administrasi, finansial dan sosial dalam menentukan bahwa seseorang tidak lagi dapat melakukan pekerjaan seperti semula. Karena itu perlu ada keseragaman dan ketepatan dalam penentuan kecacatan secara medis.
II. DIAGNOSIS
A. Anamnesis 1. Apa ada trauma ? 2. Apakah penderita tak dapat kerja sama sekali ? 3. Kidal atau kinan ? 4. Sudah berapa lama ? 5. Sudah dapat terapi ? 6. Sejak kapan dapat terapi ? 7. Masih perlu pengobatan rehabilitasi ? 8. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk kembali kerja ? 9. Keadaan tersebut sudah hasil maksimum/stabil (permanen)?
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum 2. Pemeriksaan orthopaedik tentang anggota gerak atas, bawah dan tulang
belakang secara keseluruhan dengan dasar pemeriksaan : – Look (inspeksi) – Feel (palpasi) – Move (gerakan aktif dan pasif) Kelainan yang dapat ditemukan : – Amputasi – Kelainan sensorik dan motorik – Kelainan tonus otot/lingkar (diameter) – Ukuran panjang atau pendek – Kekakuan atau kelainan sendi – Stabilitas dan gerak lingkup sendi – Kelainan lain seperti: sikatriks, trofi (pertumbuhan), deformitas. – Kelemahan (manual Muscle Test)
3. Pemeriksaan laboratorium rutin
4. Pemeriksaan penunjang :
a. Pemeriksaan rongent minimal dalam 3 proyeksi Bila perlu dilakukan : – Proyeksi khusus untuk daerah tertentu – Tomografi – Kontras (arthrografi, mielografi, arteriografi) – CT scan/scintigrafi – M.R.I (Magnetic Resonance Imaging) / N.M.R (Nuclear Magnetic
Resonance) b. Ultrasonografi (U.S.G) c. Pemeriksaan neurologik
Dengan pemeriksaan EMG (Elektromyography) untuk menyatakan apakah gangguan fungsi akibat neurogical deficit, saraf perifer, neuro muscularfunction atau otot.

47
C. Penyakit pada Ortopaedi 1. Trauma
Trauma pada muskuloskeletal dapat menimbulkan penyakit/kerusakan fungsi akibat kecelakaan kerja : a. kerusakan/perlukaan jaringan lunak b. kerusakan tulang (patah/fraktur) c. kerusakan persendian (merupakan kombinasi 1&2) a. Jaringan lunak
- gangguan pada sirkulasi (peredaran darah) dan perdarahan - gangguan pada persyarafan tepi (peripheral nerve) - kerusakan pada otot dan jaringan komponen sendi (ligament serupa
sendi)
b. Tulang - Patah tulang - Patah tulang rawan
c. Sendi - Cerai sendi/dislokasi - Perdarahan sendi - Kerusakan ligament dan simpai sendi (capsul) mengakibatkan:
ketidakstabilan (instability) dan kekakuan.
2. Penyakit Menahun Beberapa macam penyakit pekerjaan dapat timbul akibat keadaan kerja antara lain: - Caisar`s disease : tekanan tinggi yang mendadak berkurang dapat
menimbulkan avasculair necrosis dari kaput femoris, menyebabkan kerusakan tulang dan sakit di pinggul
- Postural/sikap posisi mengerjakan pekerjaan secara menahun yang dikenal sebagai Low Back Pain (LBP) otot-otot menjadi fatigue menimbulkan unstability dari tulang belakang sehingga timbul proses degenerasi yang dapat menimbulkan keluhan sakit, pegal di daerah pinggang
- Pekerjaan kasar, yang harus mengangkat beban, dapat cedera pada diskus yang dikenal sebagai HNP (Hernia Nucleus Pulposus)
III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT A. Amputasi
Sebagian atau seluruhnya dari bagian anggota gerak Uraian : – Jelaskan bagian yang hilang – Tentukan daerah / regio amputasi – Tentukan tinggi / level amputasi – Tentukan tingkat gangguan fungsi – Penilaian tingkat cacat mengacu pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor :
14 tahun 1993 dan telah disempurnakan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005.
B. Kelumpuhan (plegia) atau kelemahan (parese)
Kelumpuhan dan kelemahan Tentukan daerah/gerakan sendi yang terganggu Tentukan tingkat kekuatan otot (Manual Muscle Test : 0 sampai 5) Tentukan tingkat gangguan fungsi Nilai :
– 0 : tidak ada gerakan otot kehilangan fungsi 100 % – 1 : Ada gerakan otot, tanpa gerakan sendi kehilangan fungsi 80 % – 2 : Dapat menggerakkan sendi pada seluruh lingkup gerak sendi, dan dapat
melawan gravitasi kehilangan fungsi 60% – 4 : Nilai 3 ditambah dengan tahanan ringan kehilangan fungsi 20% – 5 : Nilai 3 ditambah dengan tahanan penuh (normal kehilangan fungsi 0 %.

48
C. Kekakuan
Kehilangan fungsi dihitung dari perubahan derajat lingkup gerak sendi (LGS)/ range of motion (ROM) dengan cara : 1. Membandingkan dengan catatan medik awal 2. Bandingkan dengan LGS sisi yang lain 3. Bandingkan dengan LGS pemeriksa yang normal
Contoh : 1) LGS awal 90 ’ (normal)
Setelah terjadi kekakuan 60o : kehilangan LGS 90o - 60o = 30o Maka kehilangan fungsi menjadi 30/90 x 100% = 33,3%.
2) Bila suatu sendi terdapat gerakan yaitu fleksi, ekstensi dan abduksi : Gerak Normal Hasil pemeriksaan Kehilangan LGS
Fleksi 175 90 85 Ekstensi 45 30 15 Abduksi 180 30 150 400 150 250
250 Maka kehilangan fungsi akibat kekakuan : x 100% = 62,5%
400 D. Perpendekan (discrepancy)
Cacat akibat perpendekan hanya berlaku untuk anggota gerak bawah (tungkai). Setiap perpendekan 0,5 inchi (2,5 cm) salah satu tungkai, mengakibatkan kehilangan fungsi sebesar 5% dari fungsi kedua tungkai dari pangkal paha ke bawah. Penilaian tingkat cacat mengacu pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor : 14 tahun 1993 dan telah disempurnakan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005.
E. Kasus khusus 1. Sendi panggul (nilai/terhadap seluruh badan 50%) :
– Non union tanpa koreksi perbaikan : 75% – Dengan arthroplasti, dapat jalan dan berdiri waktu bekerja 40% gerak : 50% – Lingkup gerak dan kedudukan kelainan : 50%
2. Sendi lutut :
– Pasca minisektomi 5 % – Ruptur ligament krusiatum : 20 % - 30% – Patelektomi 20% – Gangguan gerak : 0 - 110 5%
0 - 80 15% 0 - 60 35% 15 - 90 40%
3. Pergelangan kaki/kaki
Impairment and loss physical handicap (diperhitungkan 80% dari anggota gerak bawah) Sedangkan kekakuan sendi pergelangan kaki lebih besar dari tulang-tulang tarsalia dan tarsal - metatarsal lebih dari jari-jari kaki.
4. Nyeri pada anggota gerak dan tulang belakang : Nyeri sulit dinilai secara objektif dan harus ditentukan apakah merupakan suatu akibat kelainan fisik atau bukan. Bila bukan maka pemeriksaaan dilakukan sesuai dengan pemeriksaan psikiari/psikologi. Penentuan kecacatan sebaiknya dilakukan setelah menjalani pengobatan minimal 6 bulan untuk periode penyembuhan luka dan selama lamanya 24 bulan untuk penyembuhan komplikasi vaskuler.

49
Penilaian kecacatan juga ditentukan sisi mana yang terkena. Sisi yang bukan sisi dominan maka nilai kecacatan dikurangi 5% bila penurunan fungsi sebesar 5% - 50% dan dikurangi 10% bila penurunan fungsi sebesar 51% - 100%. Penilaian kecacatan yang disebabkan oleh penyakit akibat kerja, sebaiknya dilakukan dengan membandingkan dengan kondisi / kemampuan penderita sebelum mengalami penyakit tersebut. Karena itu penting adanya catatan kecacatan yang telah ada pada setiap pekerja saat akan mulai bekerja. Penilaian akhir suatu kecacatan sebaiknya juga dengan mempertimbangkan kemampuan pasien bekerja kembali dibandingkan dengan kemampuannya sebelum mengalami penyakit tersebut. Karena itu juga penting mengetahui kemampuan bekerja pekerja (misalnya : jumlah huruf yang mampu diketik oleh seorang juru ketik dalam waktu satu menit). Sebagai pertimbangan dapat digunakan pedoman penentuan kecacatan yang dikemukakan oleh Steinbocker (kemampuan penderita setelah penyembuhan untuk kegiatannya sehari-hari) : a. Dapat melakukan tugas / kegiatan sehari-hari : 25 % b. Terdapat kesukaran melakukan tugas /kegiatan sehari-hari : 50% c. Dapat melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari dengan bantuan : 75% d. Dapat melakukan tugas / kegiatan sehari-hari dengan banyak kesulitan :
100%
F. Ketentuan dalam bidang orthopaedi :
1. Penilaian cacat bidang orthopaedi meliputi : a. Penilaian cacat Anatomi akibat kecelakaan kerja / Penyakit Akibat Kerja bisa
dilakukan kurang dari 6 bulan s/d 2 tahun setelah luka sembuh.
b. Penilaian cacat Fungsi anggota tubuh akibat kecelakaan kerja / Penyakit Akibat Kerja selambat-lambatnya 6 bulan s/d 2 tahun setelah usaha medis secara maksimal dilakukan termasuk rehab medis.
2. Kriteria akibat kecelakaan kerja bidang orthopaedi yaitu :
a. Sembuh sempurna : 1) Luka sembuh. 2) Radiologi Union (pada kasus fraktur). 3) Tidak di dapat komplikasi. 4) Fungsi kembali lagi 100%. 5) Waktu maksimal 2 tahun. 6) Tidak ada implant kecuali protesa.
b. Sembuh belum sempurna
1) Luka sembuh. 2) Radiologi Union (pada kasus fraktur). 3) Tidak di dapat komplikasi. 4) Fungsi bisa kembali normal, bisa berkurang. 5) Waktu maksimal 2 tahun. 6) Masih ada implant.
c. Sembuh tidak sempurna (fungsi berkurang).
1) Telah dilakukan terapi medis secara maksimal. 2) Fungsi berkurang dan dianggap tidak bisa pulih serta tidak dapat
dikoreksi dengan terapi medis apapun (hasil akhir). 3) Waktu maksimal 2 tahun.
d. Tidak sembuh.
1) Tidak sembuh setelah menjalani terapi maksimal selama 2 tahun karena penyakit tersebut.
2) Selanjutnya pasien dapat ditentukan kecacatannya.
3. Penetapan cacat di bidang Orthopaedi dilakukan setelah dilaksanakan terapi maksimal selambat-lambatnya sampai dengan 2 tahun.

50
4. Apabila tenaga kerja dinyatakan sembuh akibat kecelakaan kerja/penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa maka selanjutnya diberikan surat keterangan dengan mengisi formulir bentuk KK4 untuk kecelakaan kerja, KK5 untuk penyakit akibat kerja dan ditulis bahwa penilaian kecacatan klinis dilakukan pada hari/dan tanggal penilaian, serta apabila nilai kecacatan dimungkinkan dapat berubah, pasien diberi formulir inform concern yang ditanda tangani oleh pasien. Apabila kondisi tenaga kerja belum sembuh Badan Penyelenggara belum wajib membayar santunan / Jaminan Kecelakaan Kerja.
5. Hernia Nucleus Pulposus (HNP) termasuk kasus Kecelakaan Kerja apabila
memenuhi kriteria : Ada riwayat trauma ditempat kerja; ada keluhan akut/mendadak dan ada penyebabnya.
6. Penyakit yang berkaitan dengan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah
tepi atau syaraf tepi dapat di kategorikan sebagai penyakit akibat kerja apabila dapat dibuktikan faktor penyebabnya dalam pekerjaan atau lingkungan kerja.
7. Orthose/prothese dan alat bantu lainnya diberikan saat layanan rehabilitasi
medik dalam masa pemulihan fungsi mencapai stadium lanjut dengan keadaan cacat yang sudah menetap atau permanen.
BIDANG PENYAKIT PARU
I. BATASAN Penyakit paru akibat kerja adalah penyakit atau kelainan paru yang disebabkan oleh pajanan faktor-faktor risiko di tempat kerja antara lain berupa : debu, gas dan uap. Kelainan yang terjadi dapat berupa : A. Kelainan akut
1. Trauma inhalasi akut akibat gas iritan, fosgen, asap ; termasuk Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS)
2. Toxic Pneumonitis 3. Edema paru akut, misalnya akibat asap, nitrogen, SO2, fosgen 4. Bronkitis akut 5. Hipersensitiviti pneumonitis
B. Kelainan kronik 1. Pneumokoniosis
Misalnya akibat debu asbes (asbestosis), batubara (pneumoconiosis batubara), silica (silicosis), beryllium (beriliosis) dan lain lain
2. Penyakit pleura (efusi pleura, mesotelioma, plak pleura) Misalnya akibat pajanan debu asbes
3. Bronkitis kronik Misalnya akibat pajanan debu tambang, tepung, talk, asap, gas
4. Asma kerja Misalnya akibat : • Isosianat ; Heksametilen diisosianat (HDI), toluene diisosianat (TDI) • Tepung gandum • Kolofoni pada proses solder elektronik • Enzim, seperti alkalase, makstalase, lipase dan amilase • Lateks • Bulu binatang tertentu • Dan lain-lain
5. Bisinosis Timbul akibat pajanan debu kapas
6. Hipersensitiviti pneumonitis Timbul akibat respons hiperimun terhadap antigen inhalasi antara lain berasal dari mikroorganisme, binatang, tumbuhan dan zat kimia.

51
7. Kanker paru Kanker paru akibat pajanan di tempat kerja dapat disebabkan antara lain oleh arsen, asbes, krom, uranium, metal eter, nikel, cadmium.
8. Penyakit infeksi : • Antraks • Coccodiodomycosis • Echinococcosis • Psitacosis • Tuberkulosis
II. DIAGNOSIS
A. Anamnesis
1. Riwayat pekerjaan. a. Pencatatan pekerjaan dan kegemaran/hobby yang terus menerus atau “part
time “ secara kronologis b. Identifikasi bahan berbahaya di tempat kerja :
- bahan yang digunakan oleh pekerja - bahan yang digunakan oleh pekerja pembantu.
c. Hubungan antara paparan dan gejala yang timbul : - waktu antara mulai bekerja dan gejala pertama - urutan-urutan dan perkembangan gejala - hubungan antara gejala dengan tugas tertentu - perubahan gejala dan waktu libur, jauh dari tempat kerja
2. Keluhan penyakit : Ditanyakan tentang adanya keluhan penyakit berupa : a. Batuk :
• sifat batuk (kering atau berdahak) • waktu batuk (pagi/siang/malam/terus-terusan) • frekuensi • sejak kapan ?
- batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun - peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun
terakhir b. Dahak
• Warna • Jumlah • Konsistensi • Waktu (pagi/siang/malam/terus-menerus) • Sejak kapan ?
- batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun - peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun
terakhir. c. Sesak napas/Napas pendek
• Ditanyakan sesuai dengan kriteria sesak napas menurut American Thoracic Society (ATS) 0 tidak ada Tidak ada sesak napas kecuali
exercise berat 1 ringan Rasa napas pendek bila berjalan
cepat mendatar atau mendaki 2 sedang Berjalan lebih lambat dibandingkan
orang lain sama umur karena sesak atau harus berhenti untuk bernapas saat berjalan mendatar
3 berat Berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100 meter/beberapa menit, berjalan mendatar
4 Sangat berat Terlalu sesak untuk keluar rumah, sesak saat mengenakan/ melepaskan pakaian

52
• Sejak 12 bulan terakhir pernah mengalami/tidak waktu terbangun dari tidur malam
d. Nyeri dada • Lokasi • Waktu nyeri dada (inspirasi atau ekspirasi) • Deskripsi nyeri dada • Sejak 3 tahun terakhir pernah mengalami/tidak, yang lamanya 1 minggu
e. Mengi • Waktu mengi (pagi/siang/malam) ; Inspirasi/ekspirasi • Disertai napas pendek atau napas normal • Sejak kapan?.
3. Riwayat Penyakit Dahulu Ditanyakan tentang adanya penyakit / keluhan penyakit yang pernah dideritanya berupa : a. Penyakit-penyakit lain yang pernah diderita :
- kecelakaan / operasi daerah dada - gangguan jantung - bronkitis - pneumoni - pleuritis - T B paru - Asma bronkial - Gangguan dada yang lain - Hay fever - Dal lain-lain
b. Riwayat atopi/alergi.
4. Riwayat kebiasaan Ditanyakan kebiasaan merokok meliputi : a. Jumlah rokok yang dihisap :
- 1 (satu) batang rokok perhari atau 1 batang rokok perbulan atau lebih dari 1 batang rokok
- jumlah batang rokok / tembakau perhari / perminggu. b. Lama merokok :
Kurang dari 1 tahun / lebih dari 1 tahun. c. Cara mengisap rokok :
- dangkal - sedang - dalam
d. Umur waktu mulai merokok dengan teratur. e. Jenis rokok :
- buatan pabrik / buatan sendiri - menggunakan filter / tidak - rokok tipe kecil / sedang - sering berganti-berganti rokok / kombinasi / tidak - kretek / putih
f. Kontinuitas merokok : - pernah mengalami / berhenti merokok / tidak, lamanya - jumlah hari selama merokok (jumlah bulan / tahun )
g. Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : - Ringan : 1 – 200 - Sedang : 201 – 600 - Berat : >600
B. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum dan tanda vital 2. Pemeriksaan pulmonologik
a. Inspeksi b. Palpasi

53
c. Perkusi d. Auskultasi
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Rutin :
- laboratorium : darah, urine - foto toraks : PA dan lateral - spirometri.
2. Khusus :
- uji alergi pada kulit - uji provokasi bronkus dengan bahan spesifik/non spesifik di tempat kerja - sputum BTA 3x - Sputum sitologi - bronkoskopi - patologi anatomi : biopsi - radiologi : tomogram, bronkografi, CT – scan - kapasitas difusi terhadap CO (DLCO) - uji Cardio Pulmonary Exercise (CPX).
D. Penetapan diagnosis Penyakit Akibat Kerja dalam bidang paru diperlukan data pendukung berupa kondisi lingkungan kerja apakah terdapat faktor dan bahan-bahan yang menimbulkan penyakit akibat kerja.
III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT
A. Uraian Cacat.
1. Kelainan fungsi paru (restriktif dan obstruktif atau campuran) Restriksi
(KVP% atau KVP/prediksi%)
Obstruksi (VEP1/KVP)% atau VEP1%
(VEP1/prediksi) Normal >80% >75% Ringan 60-79% 60-74% Sedang 30-59% 30-59% Berat <30% <30% 2. Kelainan anatomi seperti kehilangan sebagian jaringan paru, misalnya lobektomi.
B. Penilaian derajat sesak
Derajat O : Tidak sesak kecuali exercise berat Derajat I : Sesak ringan, rasa napas pendek bila berjalan cepat mendatar atau
mendaki Derajat II : Sesak sedang, berjalan lebih lambat dibandingkan orang lain sama
umur karena sesak atau harus berhenti untuk bernapas saat berjalan mendatar
Derajat III : Sesak berat, berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100 meter/beberapa menit, berjalan mendatar
Derajat IV : Sangat berat terlalu sesak untuk keluar rumah, sesak saat mengenakan/melepaskan pakaian

54
C. Penilaian Cacat.
Penilaian cacat pada penyakit paru akibat kerja didasarkan kepada hasil penentuan pemeriksaan spirometri dan derajat sesak sebagai berikut: Derajat sesak VEP 1 Persentase cacat fungsi (fungsional disability) 0 > 2,5 L - 1 Ringan 1,6 – 2,5 L 25 % 2 Sedang 1,1 – 1,5 L 50 % 3 Berat 0,5 - 1 L 75 % 4 Sangat berat < 0,1 L 100 %
Penilaian dilakukan setelah penderita mendapat terapi maksimal (bronkodilator) selama 3 bulan dengan hasil menetap.
Cara menetapkan penilaian kecacatan fungsi (Functional disability) ditentukan dengan menilai secara subyektif keluhan sesak napas dan penilaian obyektif dengan pemeriksaan spirometri
Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi 100% sama dengan 70%.
BIDANG PENYAKIT MATA I. BATASAN
Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) bidang mata adalah penyakit atau kelainan pada mata akibat pemaparan antara lain faktor-faktor risiko di tempat kerja yang dapat menyebabkan gangguan fungsi penglihatan yang dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan dan menjalankan aktivitas normal.
Kelainan mata akibat kecelakaan kerja dan PAK yang terjadi dapat berupa:
1. Kelainan jaringan penunjang dan adneksa mata: - Kelopak mata : laserasi atau ruptur kelopak mata akibat trauma - Tulang orbita : fraktur dinding orbita akibat trauma - Sistem air mata (lakrima): sumbatan sistem lakrima oleh trauma - Konjungtiva : radang konjungtiva (konjungtivitis) akibat kontak iritan atau bahan
kimia, benda asing di konjungtiva - Otot mata : kelumpuhan otot mata akibat trauma.
2. Kelainan bola mata - Kornea : ruptur kornea akibat trauma, trauma kimia asam dan basa, trauma
termal (panas atau dingin), trauma radiasi (misalnya akibat lampu ultraviolet, ledakan nuklir, sinar-X atau radio-isotop), trauma akibat kontak dengan serangga/tumbuhan, benda asing kornea, dan erosi / abrasi kornea, dry eye syndrome
- Sklera : ruptur sklera akibat trauma

55
- Lensa : katarak traumatik, luksasi/subluksasi lensa - Bilik mata depan : hifema akibat trauma - Iris : iridodialisis, siklodialisis, ruptur iris akibat trauma, midriasis atau miosis
traumatik - Badan kaca (vitreus) : perdarahan vitreus akibat trauma, benda asing dalam
vitreus, endoftalmitis pasca trauma - Koroid : ruptur koroid akibat trauma
3. Kelainan saraf/jaras penglihatan - Retina : edema makula, komosio retina, perdarahan retina dan/atau robekan
retina akibat trauma, retinopati toksik (terutama kloroquin), retinopati radiasi (misalnya pada radioterapi), atau retinopati akibat cahaya (efek mekanik, termal atau fotokimia, contohnya solar retinopathy pada pekerja las)
- Saraf optik : neuropati optik akibat kontak, inhalasi atau ingesti zat toksik atau nutrisional (lihat tabel), neuropati optik akibat trauma, neuropati akibat radiasi (> 3000 rad), dan avulsi papil n.optik.
Berbagai Zat yang dapat menyebabkan Neuropati Optik Toksik
• Metanol • Etilen glikol (antifreeze) • Kloramfenikol • Isoniazid • Etambutol • Digitalis • Klorokuin • Streptomisin • Amiodaron • Kuinin • Vinkristin and metotreksat • Sulfonamides • Melatonin dengan Zoloft dalam diet protein tinggi • Karbon monoksida • Timah • Merkuri • Talium • Malnutrisi dengan defisiensi vitamin B-1 • Anemia pernisiosa (fenomena malabsorpsi vitamin B-12) • Arsenik pentavalen • Nitrobenzol • Karbon disulfida • Disulfiram
- Korteks penglihatan : akibat trauma kepala atau intoksikasi, misalnya oleh metil merkuri
II. DIAGNOSIS
Diagnosis gangguan mata akibat kerja harus dilaksanakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis yang baik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat.

56
A. Anamnesis: 1. Umur penderita 2. Jenis pekerjaan 3. Apa keluhan okular yang dirasakan pasien? Perlu dirinci: penglihatan buram, mata
merah, nyeri pada mata, keluar darah dari mata, melihat ganda/diplopia, floaters, atau fotopsia, dll
4. Apakah terdapat trauma? Bila ya, kapan terjadinya trauma? 5. Bagaimana perjalanan penyakit (misalnya: akut atau kronik)? 6. Apakah terdapat risiko di lingkungan kerja? (termasuk: iritan/polutan, tidak adanya
sarana proteksi, dsb) 7. Berapa lama terpapar faktor risiko? 8. Dicari apakah terdapat penyakit sistemik, penyakit dalam keluarga atau riwayat
penyakit mata mata sebelumnya.
B. Pemeriksaan fisik 1. Keadaan umum 2. Pemeriksaan oftalmologis
a. Pemeriksaan tajam penglihatan, baik monokular maupun binokular b. Pemeriksaan mata luar, meliputi pemeriksaan terhadap:
• kelopak mata
• konjungtiva
• sklera
• kornea
• bilik mata depan
• iris
• pupil
• lensa Pemeriksaan menggunakan loupe dan senter atau biomikroskop slit lamp di tingkat rujukan. Semua kelainan yang dicatat harus dideskripsikan secara sistematis. Pada kasus trauma, jenis luka (tajam/tembus atau tumpul atau trauma kimia) harus dideskripsikan.
c. Pemeriksaan refleks pupil. Dilakukan dengan menyinari mata dengan senter, dicari kelainan pupil seperti anisokoria atau afferent pupillary defect.
d. Posisi (alignment) dan gerakan bola mata; dinilai secara binokular ke 8 arah (cardinal gaze). Pada pemeriksaan posisi bola mata dicari tanda-tanda strabismus (esotropia, eksotropia, dan hipertropia). Pada pemeriksaan gerakan bola mata dicari tanda-tanda hambatan gerak.
e. Pemeriksaan lapang pandang. Cara paling sederhana yang dapat dilakukan di layanan primer adalah tes Konfrontasi, namun pemeriksaan di tingkat rujukan adalah dengan kampimetri Goldmann.
f. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop. Dilakukan penilaian terhadap bagian dalam mata meliputi badan kaca, retina dan pupil saraf optik.

57
g. Pemeriksaan khusus, antara lain meliputi :
• Tonometri : mengukur tekanan intraokular (TIO). Nilai normal adalah 10-21 mmHg; peningkatan TIO dapat ditemukan pada glaukoma.
• Penglihatan warna : menilai kemampuan melihat warna, mendeteksi buta warna.
• Binokularitas : menilai kemampuan kedua mata saat melihat secara bersamaan. Dinilai adakah penglihatan ganda, dan apakah kedua mata melihat secara stereoskopis .
Berdasarkan Lampiran II, PP No.14 tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, paramater gangguan mata akibat kerja adalah tajam penglihatan, lapang pandang, penglihatan warna dan binokularitas. Pemeriksaan terhadap keempat parameter ini akan dibahas dalam uraian di bawah.
C. Pemeriksaan terhadap parameter gangguan fungsi penglihatan.
1. Pemeriksaan tajam penglihatan a. Pemeriksaan tajam penglihatan jauh
Dasar pemeriksaan: 2 buah titik akan terlihat terpisah bila kedua titik sudah membentuk 1 (satu) menit busur derajat sudut penglihatan mata.
Peralatan yang digunakan: Kartu Snellen (Snellen Chart) dan Kartu Kipas Astigmatisme. Alat tersebut dapat tersedia baik di pelayanan mata tingkat primer, sekunder maupun tersier. 1) Untuk penilaian tajam penglihatan jauh:
- Setiap huruf tertentu pada jarak tertentu akan membentuk 5 menit busur derajat sudut penglihatan
- Besar huruf pada kartu untuk dapat dilihat, telah diatur - Warna huruf/angka hitam dengan dasar putih; dan warna huruf/angka
putih di atas dasar hitam - Pencahayaan latar belakang sebesar 50 lux, sedangkan pencahayaan
pada Kartu Snellen (yang menggunakan lampu) adalah sebesar 500 lux - Jarak baca 6 meter, atau setidaknya 3 meter dengan menggunakan
cermin. Pada jarak ini dianggap mata yang diperiksa tidak lagi berakomodasi
- Kedua mata diperiksa bergantian, dengan cara menutup satu mata bergantian
- Pada orang buta huruf dapat digunakan kartu E atau kartu Landolt dengan prinsip yang sama

58
2) Refraksi dengan set lensa dan bingkai coba (trial lens dan trial frame) Lensa coba yang tersedia naik bertahap sebesar minimal 0.5 dioptri dimulai dari lensa terkecil 0.5 dioptri. Kekuatan lensa silinder bertahap naik sebesar minimal 0.5 dioptri dimulai dari lensa terkecil 0.5 dioptri dan tersedia minimum sampai 3 dioptri.
Teknik pemeriksaan :
• Pemeriksaan dilakukan dalam jarak 6 meter
• Dipasang bingkai coba, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan occluder
• Penderita diminta untuk membaca sampai baris terkecil yang masih dapat dibaca olehnya.
• Hasil yang didapat merupakan tajam penglihatan sebelum koreksi.
• Apabila hasil tajam penglihatan yang didapat tidak mencapai penglihatan normal (6/6), dilakukan koreksi kacamata.
• Dicoba dengan lensa negatif/positif terkecil dan bila tajam penglihatan menjadi lebih baik ditambah kekuatannya perlahan-lahan hingga dapat membaca huruf pada baris terbawah.
• Apabila dengan penambahan lensa negatif/positif belum juga dapat mencapai tajam penglihatan normal, dilakukan pemeriksaan melalui lubang intip (pinhole). Apabila dengan teknik ini tidak terdapat kemajuan tajam penglihatan, maka penglihatan tidak bisa diperbaiki lebih lanjut (kelainan retina / saraf optik).
• Apabila terdapat kemajuan tajam penglihatan maka diperiksa kemungkinan adanya astigmatisme.
• Dengan lensa negatif/positif yang memberi hasil terbaik pada masa tersebut ditambahkan lensa positif yang cukup besar (kira-kira S+3 dioptri), membuat kekaburan penglihatan, kemudian diminta untuk melihat kartu kipas astigmat.
• Ditanyakan adanya garis pada kipas yang paling jelas terlihat (yang paling hitam dan tajam gambarannya). Apabila belum terlihat perbedaan tebal garis kipas astigmat, maka lensa S+3.0 dioptri diperlemah sedikit demi sedikit, hingga penderita dapat menentukan perbedaan garis yang terjelas dan terkabur.
• Lensa silinder negatif dipasang dengan sumbu sesuai dengan garis terkabur pada kipas astigmat.
• Lensa silinder negatif diperkuat sedikit demi sedikit hingga semua garis terlihat sama tebalnya pada kipas astigmat tersebut.
• Pembacaan kartu Snellen dilanjutkan sampai baris terkecil, dengan pengurangan lensa positif yang terpasang atau penambahan lensa negatif.
• Diperiksa mata sebelahnya, seperti di atas.

59
Penilaian :
• Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan dengan pembilang merupakan jarak pemeriksaan (biasanya 6 meter) dan penyebut adalah angka yang terkecil yang masih dapat dibaca.
• Contoh:
• Tajam penglihatan 6/12 berarti penderita tersebut hanya dapat membaca dalam jarak 6 meter huruf/gambar yang seharusnya dapat dibaca oleh orang normal pada jarak 12 meter.
• Tajam penglihatan normal adalah 6/6
• Hasil koreksi kacamata sesuai dengan ketentuan lensa negatif / positif, dengan / tanpa lensa silinder negatif pada sumbu terpasang.
• Apabila penderita tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu Snellen, maka dilakukan hitung jari (counting fingers=CF). Tajam penglihatan pada tes hitung jari diberi simbol angka 1/60 hingga 5/60. Pembilang merupakan jarak yang masih dapat dilihat oleh penderita dalam satuan meter.
• Apabila penderita tidak juga dapat menghitung jari, maka dilakukan tes gerakan tangan (hand movement = HM). Tajam penglihatan pada tes ini diberikan simbol angka 1/300.
• Apabila penderita hanya dapat membedakan gelap dan terang, tajam
penglihatannya diberikan simbol 1/∼ (light perception = LP). Ditentukan pula kemampuan menentukan arah sumber cahaya (proyeksi baik atau salah)
• Bila sama sekali tidak dapat menerima langsung rangsang cahaya dinyatakan tajam penglihatan nol (no light perception = NLP)
b. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Dekat
Dasar : sama dengan dasar penglihatan jauh. Daya akomodasi yaitu kemampuan mata untuk menambah daya bias lensa dengan kontraksi otot siliar, yang menyebabkan penambahan tebal dan kecembungan lensa sehingga bayangan benda pada jarak yang berbeda akan terfokus di retina
Peralatan dan persyaratan :
Besar huruf bervariasi dalam ukuran 0.5 mm hingga 19.5 mm, dan dinyatakan dalam tingkat Jaeger 1 sampai dengan Jaeger 20. Pencahayaan minimal 100 footcandles pada kartu.
Teknik Pemeriksaan :
• Penderita diperiksa terlebih dahulu penglihatan jauhnya, kemudian diberikan ukuran kacamata yang sesuai.
• Mata yang tidak diperiksa ditutup.
• Jarak baca 30-40 cm.
• Penderita diminta untuk membaca huruf terkecil yang masih bisa dibaca pada kartu baca

60
Penilaian Tajam penglihatan dekat normal adalah Jaeger 1 Kriteria klinik ini dapat dilihat kuantifikasinya secara fungsional sebagai Efisiensi Penglihatan.
2. Pemeriksaan Lapang Pandang
Lapang pandang adalah bagian dari ruang di mana semua obyek dapat dilihat secara serentak pada waktu mata berfiksasi ke suatu arah.
Dasar :
• Retina perifer mempunyai kemampuan melihat yang berbeda dengan retina sentral
• Perimetri merupakan metode klinis untuk mengukur fungsi penglihatan di luar daerah sentral (fovea).
• Perimetri mampu mendeteksi berbagai kelainan fungsi penglihatan akibat kelainan saraf optik maupun retina.
Peralatan :
• Pada pelayanan mata tingkat primer dan sekunder, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu tes konfrontasi di mana tidak diperlukan alat.
• Perimeter Goldmann tersedia di pelayanan mata tingkat rujukan/tersier
Tes Konfrontasi : Dasar : membandingkan lapang pandang penderita dengan lapang pandang pemeriksa. Pemeriksa harus mempunyai fungsi mata yang baik, sehingga lapang pandangnya dianggap normal
Teknik pemeriksaan :
• Penderita dan pemeriksa berhadapan muka dengan jarak kira-kira 75 cm (dua kali jarak baca).
• Mata kiri pemeriksa dan mata kanan penderita ditutup.
• Mata yang terbuka saling berpandangan; sebuah obyek (misalnya tangan pemeriksa) pada jarak yang sama dari pemeriksa-penderita (bidang tengah) digerakkan dari tidak terlihat ke arah tengah pada 8 meridian.
• Penderita diminta menyebutkan dengan segera, pada saat obyek (benda, warna) terlihat.
• Dibandingkan luasnya lapang pandang antara pemeriksa dan penderita
• Cara lain adalah dengan menyuruh penderita menghitung jari pemeriksa pada ke-empat kuadran yaitu superotemporal. Inferotemporal, superonasal dan inferonasal.
• Pemeriksaan dilakukan pada mata sebelahnya

61
Penilaian
• Lapang pandang dianggap normal apabila sama luasnya dengan pemeriksa.
• Lapang pandang dianggap menyempit apabila lebih kecil dari lapang pandang pemeriksa.
• Apabila penderita tidak dapat menghitung jumlah jari di salah satu kuadran atau lebih, dianggap sebagai abnormal
Pada tingkat rujukan (pelayanan mata tingkat tersier) dilakukan pemeriksaan lapang pandang dengan Perimeter Goldmann Perimeter Goldmann : Berupa mangkuk besar berwarna putih (kepala pasien dihadapkan pada alat tersebut, dengan pemeriksa di balik mangkuk tersebut). Pencahayaan 10 apostilb, diameter obyek target 64 mm, persegi (V), pencahayaan obyek 1000 apostilb (4) dan warna obyek target putih.
Teknik pemeriksaan : • Perlu diterangkan terlebih dahulu perlunya kerjasama pada pemeriksaan dan
perlunya fiksasi terus menerus, serta penderita diminta untuk bereaksi cepat bila sudah melihat sinar yang datang dari arah pinggir.
• Penderita duduk di depan perimetri dengan dagu pada bantalan dagu, mata sebelah ditutup.
• Mata yang terbuka diberi koreksi penglihatan jauh dan adisi penglihatan dekatnya, lalu diminta berfiksasi pada target yang terletak 33 cm di depan matanya.
• Obyek yang bercahaya digeser dari pinggir (tidak terlihat), ke arah sentral (daerah terlihat) daerah fiksasi.
• Penderita diminta segera memberitahu bila melihat cahaya, dengan cara memencet bel yang tersedia, kemudian dicatat pada kartu lapang pandang. Bila ditemukan defek lapang pandang, pemeriksaan diulang
• Hal ini dilakukan pada 18-20 meridian
• Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya diplopia (diplopia chart)
Penilaian :
• Gambaran normal adalah apabila batas lapang pandang di daerah temporal 85o, daerah nasal 60 o, superior 45 o, dan inferior 65 o.
• Hasil pemeriksaan dengan ukuran obyek IV atau V dan pencahayaan obyek 4 pada alat perimetri.
• Hasil perhitungan dapat menyatakan hilangnya persentase lapang pandang
• Bentuk defek lapang pandang umumnya menunjukkan lokasi kelainan pada jaras penglihatan.
• Contoh: neuropati optik akibat intoksikasi akan memberikan skotoma (defek lapang pandang) sekosentral atau sentral

62
3. Pemeriksaan binokularitas Penglihatan binokular terdiri atas beberapa gradasi yaitu :
a. Penglihatan serentak (simultaneous perception), yaitu keadaan di mana kedua mata dapat melihat sekaligus.
b. Fusi, yaitu keadaan di mana kedua mata dapat bekerja sama c. Stereopsis, yaitu kemampuan untuk membedakan ruang. Pemeriksaan terhadap binokularitas dapat dilakukan dengan: Tes Worth Four-Dot Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya supresi, deviasi, ambliopia dan fusi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di pelayanan mata baik tingkat primer, sekunder maupun tersier.
Dasar : Melalui suatu filter berwarna hanya dapat dilihat benda dengan warna filternya. Warna putih akan berubah oleh filter sesuai dengan warna filternya Peralatan :
• Kacamata filter merah (pada mata kanan)
• Kotak hitam dengan 4 lubang (diameter 2-3 cm), susunan ketupat; 2 lubang lateral atau horizontal berwarna hijau, lubang di atas berwarna merah dan lubang bawah berwarna putih. Kotak berjarak 6 meter dari tempat pemeriksaan.
• Kotak hitam di atas dapat digantikan oleh slide Worth Four-Dot Test, yang umumnya termasuk dalam proyektor Snellen yang dapat tersedia di pelayanan mata tingkat primer, sekunder maupun tersier.
Teknik pemeriksaan :
• Penderita memakai kacamata koreksi diberikan sesuai kacamata dan diberi kaca filter merah pada mata kanan dan filter hijau pada mata kiri.
• Penderita diperiksa pada jarak 6 meter dan 30 cm
• Kepala penderita harus dalam posisi tegak dan melihat lurus ke depan.
• Penderita diminta menerangkan apa yang dilihat dengan kedua mata, sewaktu melihat ”Worth Four Dot”
Penilaian :
Bila terlihat :
• 4 sinar berarti ada fusi (melihat dengan 2 mata)
• 2 merah atau 3 hijau saja, berarti penderita hanya melihat dengan salah satu matanya dan mata lain dalam keadaan tersupresi.
• Sumber cahaya putih kadang-kadang berwarna merah dan berganti menjadi hijau, berarti pada setiap saat penderita hanya melihat dengan satu mata, berganti-ganti.
• Bila terlihat 5 titik berarti terdapat diplopia.

63
Catatan :
• Penilaian ini hanya bermakna apabila tajam penglihatan mata terburuk minimal 6/18
• Penilaian ini harus ditunjang dengan pemeriksaan obyektif untuk menilai adanya juling.
• Bila terdapat diplopia dianggap kehilangan satu mata dengan tajam penglihatan terburuk.
• Dinilai adanya diplopia pada penglihatan jauh dan penglihatan dekat.
• Pemeriksaan ini hanya untuk posisi primer, keluhan pada posisi lain harus diperiksa di tingkat rujukan.
4. Penglihatan Warna
Orang normal memiliki kemampuan untuk membedakan warna sinar yang masuk berdasarkan fotoreseptor dan reaksi fotokimia retina yang berbeda. Warna dasar yang terlihat adalah hitam-putih, hijau-merah dan kuning-biru.
Tes Ishihara : Dasar : dipakai untuk mengenal adanya cacat warna merah-hijau
Peralatan : Kartu Ishihara
Teknik pemeriksaan :
• Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan dengan pencahayaan yang cukup
• Penderita diminta melihat kartu dan menentukan gambar yang terlihat dalam waktu tidak lebih dari 10 detik
Penilaian : • Ditentukan ada atau tidaknya buta warna hijau merah. Orang normal dapat
mengenali warna gambar dalam waktu 3-10 detik, bila terdapat kelambatan atau kesalahan dalam pengenalan gambar berarti terdapat kelainan penglihatan warna.
• Dari aspek kompensasi cacat penglihatan penilaian ini hanya bermakna apabila keadaan sebelumnya diketahui, tajam penglihatan 6/6 (dengan koreksi), dan lapang pandang normal.
III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT
Perhitungan kecacatan dilakukan adalah setelah semua usaha medis yang optimal telah dilakukan, berdasarkan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik (baik dengan kacamata, lensa kontak maupun lensa intraokular). Perhitungan kecacatan dilakukan dalam waktu 3 bulan setelah usaha medis optimal selesai dilakukan. Penghitungan tingkat cacat dilakukan dengan menilai komponen – komponen fungsi penglihatan. Komponen ini dinilai masing-masing mata dan kemudian diberikan nilai dalam fungsi binokular.

64
A. Tajam penglihatan
Pada pemeriksaan tajam penglihatan jauh dan dekat, dilakukan koreksi kacamata yang terbaik.
Dilakukan konversi ke dalam nilai kehilangan penglihatan. 1. Persentase kehilangan penglihatan jauh (dengan koreksi terbaik)
2. Persentase kehilangan tajam penglihatan dekat (dengan koreksi terbaik)
3. Persentase kehilangan tajam penglihatan Jumlah aljabar penglihatan jauh dan dekat dibagi 2. Nilai kehilangan penglihatan jauh dan penglihatan dekat adalah sama. Contoh : penglihatan jauh 6/24 efisiensi penglihatan 40%; penglihatan dekat Jaeger 6 efisiensi penglihatan 50%
Tajam Penglihatan
Efisiensi Tajam Penglihatan
% Kehilangan
6/6
6/7,5 6/12 6/15 6/24 6/30 6/48 6/60 3/60 1/60
100 95 85 75 60 50 30 20 10 5
0 5
15 25 40 50 70 80 90 95
Tajam Penglihatan
Efisiensi Tajam Penglihatan
% Kehilangan
Jaeger 1 Jaeger 2 Jaeger 3 Jaeger 6 Jaeger 7
Jaeger 11 Jaeger 14
100 100 90 50 40 15 5
0 0
10 50 60 85 95

65
berarti orang ini mempunyai kehilangan tajam penglihatan sebesar : ( % kehilangan X.P.jauh ) + ( % kehilangan X.P. dekat) 2 = 40 % + 50 % = 45 % 2
4. Perhitungan Efisiensi Tajam Penglihatan
Rumus :
Efisiensi penglihatan = 100 % - % kehilangan penglihatan
Efisiensi tajam penglihatan pada contoh di atas adalah 100 - 45 = 55% B. Lapang Pandang
1. Lapang pandang dilakukan pemeriksaan lapang pandang dengan perimeter Goldman 2. Dihitung luasnya lapang pandang yang hilang 3. Dihitung luas pandang yang masih ada
C. Binokularitas 1. Dilakukan pemeriksaan ”Worth Four Dot” atau dengan perimeter Goldmann 2. Bila terdapat diplopia pada posisi utama dan konvergensi (penglihatan dekat) dianggap
telah kehilangan satu mata terburuk 3. Pada pemeriksaan dengan perimeter Goldman, diplopia pada daerah 20 derajat berarti
kehilangan penglihatan 100%.
D. Penglihatan warna 1. Hanya berlaku apabila keadaan penglihatan warna sebelumnya diketahui 2. Dilakukan pemeriksaan Ishihara 3. Dinilai ada tidaknya kehilangan penglihatan warna merah-hijau 4. Pada kehilangan penglihatan warna, dianggap kehilangan efisiensi penglihatan sebesar
10%
Efisiensi penglihatan satu mata Menggunakan rumus efisiensi tajam penglihatan.
Efisiensi penglihatan dua mata
( Efisiensi penglihatan terbaik X 3 ) + ( Efisiensi penglihatan terburuk X 1 ) 4

66
• Hasil yang didapat dikalikan dengan persentase kompensasi kecacatan dua mata (Lampiran II, PP No.14 tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja)
Bila Kehilangan efisiensi penglihatan hanya terjadi pada satu mata, maka penilaian tingkat cacat didasarkan pada rumus efisiensi penglihatan satu mata.
BIDANG PENYAKIT AKIBAT RADIASI MENGION I. BATASAN
Penyakit akibat kerja karena radiasi mengion ialah ganguan kesehatan yang disebabkan pemaparan radiasi mengion ditempat kerja. Kelainan yang terjadi dapat berupa : A. Gangguan Stokastik
Perubahan biologis karena radiasi mengion yang menimbulkan perubahan sifat sel kearah teratogenik dan karsiogenik, terjadi karena pemaparan dalam waktu yang lama yang tidak tergantung pada Nilai yang Boleh Diterima, antara lain : • Kanker:
- tulang - paru - thiroid - payudara
• Leukemia.
B. Gangguan non Stokastik Efek biologis yang bersifat akut dan kronik akibat radiasi mengion yang menimbulkan kerusakan sel / jaringan akibat pemaparan diatas Nilai Batas Dosis (NBD), antara lain : - luka bakar - radiodermatitis - sindroma radiasi akut - katarak - infertilitas / sterilitas
II. DIAGNOSIS
A. Anamnesis 1. Umur penderita 2. Riwayat penyakit Keluarga 3. Riwayat Penyakit :
a. Timbul gejala mendadak b. Penyakit-penyakit yang pernah diderita sebelumnya.
4. Riwayat Pekerjaan : a. Apakah pernah atau sedang bekerja di lingkungan radiasi mengion. Kalau ya,
sudah berapa lama ? b. Apakah menggunakan alat pelindung diri? Terus menerus atau terputus-
putus. Kalau ya, jenis apa? Apakah selalu digunakan dengan baik?. c. Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan kesehatan badan berkala?
Apakah selalu menggunakan alat pantau diri (misal: film badge). d. Apakah pernah dinyatakan melebihi dosis nilai batas hasil pemantauan? Bila
ya, kapan?.

67
B. Pemeriksaan Fisik. 1. Diagnosis fisik secara umum 2. Pemeriksaan lokal sesuai dengan kelainan / penyakit.
C. Pemeriksaan Laboratorium.
1. Rutin : - Hb - Iekosit - S.D.M. - Hitung jenis
2. Khusus :
- morfologi lekosit - hitung thrombosit - hitung retikulosit
D. Pemeriksaan penunjang.
1. Patologi anatomi 2. Radiologi
III. PENILAIAN TINGKAT CACAT
Penentuan tingkat cacat penyakit akibat radiasi mengion didasarkan pada penilaian tingkat cacat pada masing-masing sistem organ yang terkena.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2008
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum, Sunarno, SH, MH NIP. 730001630
MENTERI PARAF TANGGAL Pembuat draft
Penanggung jawab materi
Pengendali aspek hukum
Penanggung jawab administrasi

68

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA
NOMOR : PER-01/MEN/1998.
TENTANG
PENYELENGGARAAN PEMELIHARAAN KESEHATAN BAGI TENAGA KERJA DENGAN MANFAAT LEBIH BAIK
DARI PAKET JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.
MENTERI TENAGA KERJA,
Menimbang : a. Bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, pengusaha yang menyelenggaraan sendiri program pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat lebih baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar, tidak wajib ikut dalam pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.
b. Bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan kesatuan pendapat dalam pelaksanaan di lapangan mengenai penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat yang lebih baik maka perlu pengaturan lebih lanjut.
c. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Mengingat : 1. Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1992 No.14. Tambahan Lembaran Negara No.3468).
2 Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 No.1100. Tambahan Lembaran Negara No.3495).
3. Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1993 No.20. Tambahan Lembaran Negara R.I. No.3520).
4. Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1995 No.59).
5. Keputusan Presiden R.I. No.96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembanguan VI.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pedaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-02/MEN/1997 tentang Peningkatan Biaya Bersalin, Kacamata dan Prothesa Gigi Bagi Tenaga Kerja Peserta Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG
PENYELENGGARAAN PEMELIHARAAN KESEHATAN BAGI TENAGA KERJA DENGAN MANFAAT LEBIH BAIK DARI PAKET JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.
BAB I
PENYELENGGARA
Pasal 1 Perusahaan yang menyelenggarakan sendiri pemeliharaan
kesehatan dapat dengan cara : a. Menyediakan sendiri atau bekerjasama dengan
fasilitas Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK). b. Bekerjasama dengan badan yang menyelenggarakan
pemeliharaan kesehatan; dan c. Bersama beberapa perusahaan menyelenggarakan
suatu pelayanan kesehatan. Pasal 2 Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dinyatakan dengan manfaat lebih baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Liputan pelayanan kesehatan yang diberikan sekurang-kurangnya harus memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam BAB II dan BAB III peraturan ini.
b. Pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjuk harus memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pelaksana pelayanan kesehatan harus mudah dijangkau oleh tenaga kerja dan keluarganya.

BAB II KEPESERTAAN
Pasal 3 (1) Kepesertaan meliputi seluruh tenaga kerja baik laki-laki
maupun wanita dan keluarga yang terdiri dari suami atau istri dan anak yang sah.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah anak kandung, anak angkat dan anak tiri yang berusia sampai dengan 21 tahun, belum bekerja, belum menikah dengan pembatasan jumlah sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang anak.
BAB III
PAKET PELAYANAN KESEHATAN Pasal 4 Paket jaminan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat
lebih baik daripada jaminan pemeliharaan kesehatan dasar Jamsostek yang diberikan kepada tenaga kerja dan keluarganya sekurang-kurangnya meliputi :
a. Rawat jalan tingkat pertama; b. Rawat jalan tingkat lanjutan; c. Rawat inap; d. Pemeriksaan kehamilan dan persalinan; e. Penunjang diagnostik; f. Pelayanan khusus; dan g. Gawat darurat. Pasal 5 (1) Pelayanan rawat jalan tingkat pertama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, sekurang-kurangnya meliputi :
a. Bimbingan dan konsultasi kesehatan; b. Pemeriksaan kehamilan, nifas dan ibu menyusui; c. Keluarga berencana; d. Imunisasi bayi, anak dan ibu hamil; e. Pemeriksaan dan pengobatan dokter umum; f. Pemeriksaan dan pengobatan dokter gigi; g. Pemeriksaan laboratorium sederhana; h. Tindakan medis sederhana; i. Pemberian obat-obatan dengan berpedoman kepada
daftar obat esensial nasional plus (DOEN PLUS) atau generik; dan
j. Rujukan ke rawat tingkat lanjutan. (2) Pelayanan rawat jalan tingkat pertama dilakukan di
Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat pertama.

Pasal 6 (1) Pelayanan rawat jalan tingkat jalanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b sekurang-kurangnya meliputi :
a. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis; b. Pemeriksaan penunjang diagnostik lanjutan; c. Pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik;
dan d. Tindakan khusus lainnya. (2) Pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan dilakukan di
Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat lanjutan, atas dasar rujukan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat pertama.
Pasal 7 (1) Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf c sekurang-kurangnya meliputi : a. Pemeriksaan dokter; b. Tindakan medis; c. Penunjang diagnostik; d. Pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik;
dan e. Menginap dan makan. (2) Pelayanan rawat inap dilakukan di rumah sakit yang
ditunjuk. Pasal 8 (1) Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, sekurang-kurangnya meliputi :
a. Pemeriksaan kehamilan oleh dokter umum atau bidan;
b. Pertolongan persalinan oleh dokter umum atau bidan atau rumah bersalin;
c. Perawatan ibu dan bayi; d. Pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik; e. Menginap dan makan; dan f. Rujukan ke rumah sakit atau rumah bersalin. (2) Pertolongan persalinan bagi tenaga kerja atau istri tenaga
kerja diberikan untuk : a. Persalinan kesatu, kedua dan ketiga; b. Rawat inap sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari.

(3) Biaya persalinan normal tiap anak sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi peserta program jaminan sosial tenaga kerja.
Pasal 9 (1) Pelayanan penunjang diagnostik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf e, meliputi : a. Pemeriksaan laboratorium. b. Pemeriksaan radiologi. c. Pemeriksaan : - Electro Encephalography (EEG). - Electro Cardiolography (ECG). - Ultra Sonography (USG). - Computerized Tomography Scanning (CT
Scanning) dan d. Pemeriksaan diagnostik lanjutan lainnya. (2) Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan daerah.
(3) Pemeriksaan diagnostik dilakukan di Rumah Sakit atau Pelaksana Pelayanan Kesehatan.
Pasal 10 (1) Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf f, sekurang-kurangnya meliputi : a. Kacamata; b. Prothesa mata; c. Prothesa gigi; d. Alat bantu dengar; dan e. Prothesa anggota anggota gerak. (2) Pelayanan khusus dilakukan di Pelaksana Pelayanan
Kesehatan yang ditunjuk. (3) Standar yang ditetapkan atas indikasi medis dengan
pengaturan sebagai berikut : a. Peserta yang mendapat resep kacamata dari dokter
spesialis mata dapat memperoleh kacamata di Optik dengan ketentuan :
- Harga pembelian untuk frame dan lensa harus lebih besar dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.
- Penggantian lensa sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali dan 50 % dari harga pembelian untuk frame dan lensa; dan
- Penggantian frame sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sekali dan 50 % dari harga pembelian untuk frame dan lensa.

b. Peserta yang memerlukan prothesa mata dapat diberikan atas anjuran dokter spesialis mata dan diambil di Rumah Sakit atau perusahaan alat-alat kesehatan, dengan penggantian harus lebih besar dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.
c. Peserta yang memerlukan prothesa gigi dapat diberikan di Balai Pengobatan Gigi dengan penggantian harus lebih besar dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.
d. Peserta yang memerlukan prothesa kaki dan prothesa tangan dapat diberikan atas anjuran dokter spesialis di Rumah Sakit, dengan penggantian harus lebih besar dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.
e. Peserta yang memerlukan alat bantu dengar dapat diberikan atas anjuran dokter spesialis di Rumah Sakit dengan penggantian harus lebih besar dari ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.
Pasal 11 (1) Pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf g, meliputi : a. Pemeriksaan pengobatan; b. Tindakan medik; c. Pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik;
dan d. Rawat inap. (2) Gawat darurat yang memerlukan pelayanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Kecelakaan dan ruda paksa bukan karena kecelakaan
kerja; b. Serangan jantung; c. Serangan asma berat; d. Kejang; e. Pendarahan berat; f. Muntah berak disertai dehidrasi; g. Kehilangan kesadaran (koma) termasuk epilepsi atau
ayan; h. Keadaan gelisah pada penderita gangguan jiwa; dan i. Persalinan dengan melahirkan mendadak,
pendarahan, ketuban pecah dini.

(3) Pelayanan gawat darurat dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk.
Pasal 12 (1) Batas maksimal hari rawat inap harus lebih besar dari 60
(enam puluh) hari termasuk perawatan ICU/ICCU untuk setiap jenis penyakit dalam satu tahun.
(2) Batas maksimal hari perawatan ICU/ICCU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari 20 (dua puluh) hari.
(3) Standar rawat inap ditetapkan sebagai berikut : a. Sekurang-kurangnya kelas dua pada rumah sakit
pemerintah atau b. Sekurang-kurangnya kelas tiga pada rumah sakit
swasta. Pasal 13 Ketentuan mengenai dasar perhitungan Iuran Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja tidak berlaku dalam perhitungan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dengan manfaat lebih baik.
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 14 (1) Pengaturan Penyelenggaraan Program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja dan keluarganya harus tercantum secara rinci dalam Peraturan Perusahaan dan Kesepakatan Kerja Bersama atau pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca oleh pekerja.
(2) Pengaturan penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lengkap meliputi : penyelenggaraan kepesertaan dan paket pelayanan.
Pasal 15 (1) Dalam hal perusahaan telah menyelenggarakan program
jaminan pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerja dan keluarganya dengan manfaat lebih baik, pengusaha harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat dengan dilampiri data Penyelenggara, Kepesertaan, dan paket pelayanan.

(2) Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat memberikan rekomendasi persetujuan atau menolak permohonan pengusaha berdasarkan hasil pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
(3) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat belum memberikan jawaban atas permohonan pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan pengusaha tersebut dianggap disetujui.
Pasal 16 (1) Perusahaan yang telah mendapat persetujuan untuk
menyelenggarakan sendiri program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerja dan keluarganya, wajib membuat laporan secara triwulan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.
(2) Laporan secara triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan mengisi formulir yang akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Dan Pengawasan Ketenagakerjaan.
Pasal 17 (1) Penyelenggara Pemeliharaan Kesehatan yang telah
disetujui oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja tidak boleh meniadakan Pelayanan Kesehatan Kerja yang telah ada di perusahaan dan harus memanfaatkannya untuk meningkatkan penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan.
(2) Tata cara dan mekanisme pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Perusahaan yang memenuhi ketentuan Peraturan Menteri
ini dinyatakan telah menyelenggarakan program pemeliharaan kesehatan dengan manfaat lebih baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Pasal 19 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka
Pasal 4, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 20 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 17 Februari 1998 MENTERI TENAGA KERJA R.I.
ttd
DRS. ABDUL LATIEF

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR: 01 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEENAM ATAS PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. Bahwa program Jaminan Hari Tua yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja pada prinsipnya merupakan program pemupukan dana untuk jangka panjang, yang tujuannya memberikan kepastian adanya dana pada saat tenaga kerja yang bersangkutan tidak produktif lagi;
b. Bahwa Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberi peluang bagi tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, untuk mencairkan Jaminan Hari Tua sebelum waktunya, dengan masa tunggu 6 (enam) bulan;
c. Bahwa masa tunggu 6 (enam) bulan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini sehingga perlu diubah;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520) sebagaimana telah lima kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4789);

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN
KEENAM ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.
Pasal 1 Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520) sebagaimana telah 5 (lima) kali diubah dengan Peraturan Pemerintah :
a. Nomor 79 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3792);
b. Nomor 80 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4003);
c. Nomor 28 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4023);
d. Nomor 64 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4582);
e. Nomor 76 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4789);
Diubah sebagai berikut : Ketentuan Pasal 32 ayat (2) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni
ayat (4), sehingga keseluruhan Pasal 32 menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 32 (1) Dalam hal tenaga kerja berhenti bekerja sebelum mencapai
usia 55 (lima puluh lima) tahun dan mempunyai masa kepesertaan serendah-rendahnya 5 (lima) tahun dapat menerima Jaminan Hari Tua secara sekaligus.
(2) Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak saat tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Dalam hal tenaga kerja dalam masa tunggu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja kembali, jumlah Jaminan Hari Tua yang menjadi haknya diperhitungkan dengan Jaminan Hari Tua berikutnya.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal II Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 12 Januari 2009. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. Diundangkan di Jakarta. Pada tanggal 12 Januari 2009.
MENTERI HUKUM DAN
HAK MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
ttd
ANDI MATTALATTA.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 6.
Salinan Sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA R.I.
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
ttd
Wisnu Setiawan.

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR. 01 TAHUN 2009.
TENTANG
PERUBAHAN KEENAM ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN
PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA I. UMUM. Jaminan Hari Tua merupakan program jangka panjang yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian tersedianya sejumlah dana bagi tenaga kerja pada saat yang bersangkutan tidak produktif lagi. Namun dalam beberapa kondisi tertentu, dana jaminan hari tua yang sebagian dihimpun dari tenaga kerja sangat diperlukan juga untuk menopang kehidupannya walaupun yang bersangkutan masih dalam usia produktif. Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberi peluang bagi tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja untuk mencairkan Jaminan Hari Tua dengan masa tunggu 6 (enam) bulan. Ketentuan masa tunggu tersebut dirasakan tidak sesuai lagi mengingat kebutuhan tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, sehingga masa tunggu perlu diubah menjadi 1 (satu) bulan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I. Pasal 32.
Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4961.