Hi Per Bilirubin

85
BAB I PENDAHULUAN Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% neonatus cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan keadaan ini. Angka kejadian hiperbilirubinemia lebih tinggi pada neonatus kurang bulan. (1) Bilirubin berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen. Pada neonatus, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses konjugasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi didalam darah yang mengakibatkan neonatus terlihat bewarna kuning pada sklera dan kulit. Bilirubin dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk dan bilirubin indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin. Sedangkan bilirubin indirek tidak larut dalam air dan terikat pada albumin. Bilirubin total merupakan penjumlahan bilirubin direk dan indirek. Pada kebanyakan neonatus baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa neonatus, terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan menyebabkan kematian dan bila neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele nerologis. 1 Dengan demikian, setiap neonatus yang mengalami kuning harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat.

description

doc

Transcript of Hi Per Bilirubin

Page 1: Hi Per Bilirubin

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering

ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% neonatus cukup bulan yang kembali dirawat

dalam minggu pertama kehidupan disebabkan keadaan ini. Angka kejadian

hiperbilirubinemia lebih tinggi pada neonatus kurang bulan.(1)

Bilirubin berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen. Pada neonatus,

hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses konjugasi bilirubin tidak terjadi secara

maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi didalam

darah yang mengakibatkan neonatus terlihat bewarna kuning pada sklera dan kulit. Bilirubin

dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk dan bilirubin indirek. Bilirubin direk

larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin. Sedangkan bilirubin indirek tidak larut

dalam air dan terikat pada albumin. Bilirubin total merupakan penjumlahan bilirubin direk

dan indirek.

Pada kebanyakan neonatus baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan

fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa neonatus, terjadi peningkatan

bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan menyebabkan

kematian dan bila neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan

menimbulkan sekuele nerologis.1 Dengan demikian, setiap neonatus yang mengalami kuning

harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau

patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi

hiperbilirubinemia berat.

Tujuan utama dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia adalah untuk mengendalikan

agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus atau

ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung dari hiperbilirubinemia pada

neonatus. 1

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya

produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus

produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat

terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau

usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data

epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang

Page 2: Hi Per Bilirubin

dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus

ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan.

Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan

menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil

memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).1

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit

pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat

Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus

pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan

kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. Sedangkan di RS Dr

Sardjito, RS Dr Soetomo, RS Dr Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%. Insidensi ikterus

non fisiologis di RSU Dr Soetomo Surabaya 9,8% (tahun 2002) dan 15,66% (tahun 2008).

Page 3: Hi Per Bilirubin

BAB II

BILIRUBIN

II.1 Definisi

Bilirubin adalah pigmen kuning yang berasal dari perombakan heme dari hemoglobin

dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel retikuloendotel. Di samping itu sekitar 20% bilirubin

berasal dari perombakan zat-zat lain. Sel retikuloendotel membuat bilirubin tidak larut dalam air;

bilirubin yang disekresikan dalam darah harus diikatkan kepada albumin untuk diangkut dalam

plasma menuju hati. Di dalam hati, hepatosit melepaskan ikatan itu dan mengkonjugasinya

dengan asam glukoronat sehingga bersifat larut air. Proses konjugasi ini melibatkan enzim

glukoroniltransferase.(2)

Bilirubin terkonjugasi (bilirubin glukoronida atau hepatobilirubin) masuk ke saluran

empedu dan diekskresikan ke usus. Selanjutnya flora usus akan mengubahnya menjadi

urobilinogen dan dibuang melalui feses serta sebagian kecil melalui urin. Bilirubin terkonjugasi

bereaksi cepat dengan asam sulfanilat yang terdiazotasi membentuk azobilirubin (reaksi van den

Bergh), karena itu sering dinamakan bilirubin direk atau bilirubin langsung.

Bilirubin tak terkonjugasi (hematobilirubin) yang merupakan bilirubin bebas yang terikat

albumin harus lebih dulu dicampur dengan alkohol, kafein atau pelarut lain sebelum dapat

bereaksi, karena itu dinamakan bilirubin indirek atau bilirubin tidak langsung. Peningkatan kadar

bilirubin direk menunjukkan adanya gangguan pada hati (kerusakan sel hati) atau saluran

empedu (batu atau tumor). Bilirubin terkonjugasi tidak dapat keluar dari empedu menuju usus

sehingga akan masuk kembali dan terabsorbsi ke dalam aliran darah. Peningkatan kadar bilirubin

indirek sering dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis), seperti pada penyakit

hemolitik oleh autoimun, transfusi, atau eritroblastosis fatalis. Peningkatan destruksi eritrosit

tidak diimbangi dengan kecepatan kunjugasi dan ekskresi ke saluran empedu sehingga terjadi

peningkatan kadar bilirubin indirek.

Page 4: Hi Per Bilirubin

Gambar 1 Struktur Kimia Bilirubin(2)

II.2 Macam dan sifat bilirubin

II.2.1 Bilirubin terkonjugasi

Bilirubin terkonjugasi /direk adalah bilirubin bebas yang bersifat larut dalam air sehingga dalam

pemeriksaan mudah bereaksi. Bilirubin terkonjugasi (bilirubin glukoronida atau hepatobilirubin )

masuk ke saluran empedu dan diekskresikan ke usus. Selanjutnya flora usus akan mengubahnya

menjadi urobilinogen. Bilirubin terkonjugasi bereaksi cepat dengan asam sulfanilat yang

terdiazotasi membentuk azobilirubin.

Peningkatan kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi dapat disebabkan oleh

gangguan ekskresi bilirubin intrahepatik antara lain Sindroma Dubin Johson dan Rotor,

Recurrent (benign) intrahepatic cholestasis, Nekrosis hepatoseluler, Obstruksi saluran empedu.

Diagnosis tersebut diperkuat dengan pemeriksaan urobilin dalam tinja dan urin dengan hasil

negatif.

II.2.2 Bilirubin tak terkonjugasi

Bilirubin tak terkonjugasi (hematobilirubin) merupakan bilirubin bebas yang terikat

albumin, bilirubin yang sukar larut dalam air sehingga untuk memudahkan bereaksi dalam

pemeriksaan harus lebih dulu dicampur dengan alkohol, kafein atau pelarut lain sebelum dapat

bereaksi, karena itu dinamakan bilirubin indirek. Peningkatan kadar bilirubin indirek mempunyai

arti dalam diagnosis penyakit bilirubinemia karena payah jantung akibat gangguan dari distribusi

bilirubin ke dalam peredaran darah. Pada keadaan ini disertai dengan tanda-tanda payah jantung,

setelah payah jantung diatasi maka kadar bilirubin akan normal kembali dan harus dibedakan

dengan chardiac chirrhosis yang tidak selalu disertai bilirubinemia. Peningkatan yang lain

terjadi pada bilirubinemia akibat hemolisis atau eritropoesis yang tidak sempurna, biasanya

ditandai dari anemi hemolitik yaitu gambaran apusan darah tepi yang abnormal,umur eritrosit

yang pendek.

Page 5: Hi Per Bilirubin

II.3 Pembentukan Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir

dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.

Ganbar 2 Pembentukan Bilirubin(1)

Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan

bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati,

dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk

pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin

kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat

larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin

reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen

serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan

mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.

Page 6: Hi Per Bilirubin

II.4 Transportasi bilirubin

Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya dilapaskan

ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan

plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas

ikatan molar yang kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar

dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar. Bilirubin yang

terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat nontoksik.

Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat – obatan yang

bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut akan menempati tempat

utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula

melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.

Obat – obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:

2. Analgetik, antipiretik ( Natrium salisilat, fenilbutazon )

3. Antiseptik, desinfektan (isopropyl )

4. Antibiotik dengan kandungan sulfa ( Sulfadiazin, sulfamethizole, sulfamoxazole )

5. Penicilin ( propicilin, cloxacillin )

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:4

a) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian besar

bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.

b) Bilirubin bebas

c) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap dieksresikan melalui ginjal.

Page 7: Hi Per Bilirubin

d) Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga albumin serum.

II.5 Konjugasi Bilirubin

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam

air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl transferase

( UDPG – T ). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida

yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian

dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi

akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya.

II.6 Eksresi Bilirubin

Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam kandung

empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses. Setelah berada

dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika

dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase yang

terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk di

konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.

Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup bulan

sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang

diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per

kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek.

Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan

bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris,

yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain,

gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu,

kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menambah hiperbilirubinemia

dan gangguan proses ambilan bilirubin oleh hepatosit.

Page 8: Hi Per Bilirubin

Gambar 3 Ekskresi Bilirubin(3)

II. 7 Metabolisme bilirubin

Bilirubin diproduksi dari degradasi hemoglobin. Hemoglobin didegradasikan oleh heme

oxygenase, menghasilkan pelepasan besi dan pembentukan Carbon Monoksida dan biliverdin.

Biliverdin kemudian dikonversikan menjadi bilirubin oleh bilirubin reduktase. Bilirubin yang

terbentuk ini bersama albumin diangkut ke hepar. Bilirubin ini disebut bilirubin indirek yang

mempunyai sifat larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dapat melalui plasenta. Dalam bentuk

bilirubin indirek ini, bilirubin sulit untuk diekskresikan ( karena sifatnya yag larut lemak ) dan

bisa dengan mudah melewati sistem saraf pusat, toksik bagi saraf sehingga bisa terjadi

kernikterus.

Pada saat komplek bilirubin mencapai membrane plasma hepatosit albumin terikat pada

reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel membrane yang berikatan

dengan ligandin (protein Y) mungkin juga dengan protein ikatan sistolik lainnya. Bilirubin

indirek dikonjugasikan oleh Uridine Diphophate Glucuronosyltransferase ( UDPGT ) dalam

bentuk bilirubin direk. Bilirubin direk tidak larut dalam lemak tetapi larut dalam air, non – toxic

dan tidak dapat melewati sawar darah otak. Kemudian dikeluarkan dari hepar melalui kanalikuli

empedu ke dalam traktus digestivus kemudian keluar bersama dengan feses atau direabsorpsi

kembali. Akan tetapi, bilirubin direk tidak dapat langsung direabsorpsi kecuali jika

dikonversikan kembali menjadi bentuk indirek oleh enzim b glukoronidase yang terdapat dalam

usus. Reabsorpsi bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonyugasi kembali

disebut sirkulasi entero hepatic.

Page 9: Hi Per Bilirubin

Gambar 4 Metabolisme Bilirubin(2)

Keterangan gambar :

Heme dilepaskan dari hemoglobin sel darah merah atau dari hemoproteins lainnya yang

terdegradasi oleh proses enzimatik yang melibatkan heme oxygenase, yang membutuhkan

NADPH dan oksigen, dan mengakibatkan pelepasan besi dan pembentukan karbon monoksida

dan biliverdin. Metalloporphyrins, analog sintetis heme, secara kompetitif dapat menghambat

heme oxygenase aktivitas (ditunjukkan oleh X). Biliverdin yang kemudian dirubah menjadi

bilirubin oleh reduktase biliverdin enzim. Karbon monoksida dapat mengaktifkan guanylyl

cyclase (GC) dan mengarah pada pembentukan guanosin monofosfat siklik (cGMP). Bilirubin

yang terbentuk diambil oleh hati dan terkonjugasi dengan glucuronides untuk membentuk

bilirubin monoglucuronide atau diglucuronide (BMG dan BDG, masing-masing), dalam reaksi

dikatalisis oleh uridin difosfat dan monofosfat glucuronosyltransferase. Para glucuronides

bilirubin kemudian diekskresikan ke dalam lumen usus tetapi dapat deconjugated oleh bakteri

sehingga bilirubin yang diserap ke dalam sirkulasi, seperti yang ditunjukkan.

Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produkis bilirubin berasal dari katabolisme heme

haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10

mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi

bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek ( 70-90 hari)

Page 10: Hi Per Bilirubin

dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom

yang meningkat, dan reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkuasi enterohepatik).

BAB III

HIPERBILIRUBINEMIA

III.1 Definisi

Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar

deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil

90.1 Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh produksi bilirubin yang melebihi kemampuan hati

normal untuk mengekskresikannya, atau dapat terjadi karena kegagalan hati yang rusak untuk

mengekskresikan bilirubin yang di hasilkan dengan jumlah normal. Pada semua keadaan ini,

bilirubin bertumpuk di dalam darah dan ketika mencapai suatu konsentrasi tertentu ( yaitu sekitar

2-2,5 mg/dL ), bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian warnanya berubah

menjadi kuning. Keadaan ini dinamakan jaundice atau ikterus.(3)

III. 2 Klasifikasi

III.2.1 Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologis adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir di minggu

pertama kehidupannya, transiet, murni disebabkan oleh peningkatan bilirubin tak terkonyugasi

akibat proses fisiologis pada neonates. Proses tersebut antara lain karena penurunan level

Page 11: Hi Per Bilirubin

glukoronil transferase, tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek

(80-90 hari) , belum matangnya fungsi hepar. Jika ikterus fisiologis, maka harus(2,3)

1. Tidak muncul pada hari pertama

2. Total bilirubin serum yang naik harus < 5 mg/dL dengan puncak < 12,9 mg/dL pada

hari ke 3 – 4 untuk bayi aterm dan kurang 15 mg/dL pada hari ke 5 – 7 untuk bayi

prematur

3. Bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL

4. Ikterus tidak menetap > 1 minggu pada bayi aterm dan > 2 minggu bagi bayi

prematur

III.2.2 Ikterus Patologis

Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan sebagai berikut :

1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam

2. Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam

3. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menetek,

penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil)

4. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi

kurang bulan

5. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5%

pada neonatus kurang bulan

6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%

III.3 Epidemiologi

Hiperbilirubinemia terjadi pada hampir setiap bayi baru lahir yang mengalami tingkat serum

bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 mmol /L (1,8 mg/dl) selama minggu pertama kehidupan.

Insidens hiperbilirubinemia di Indonesia pada bayi baru lahir di beberapa RS pendidikan antara

lain RSCM, RS Dr Sardjito, RS Dr Soetomo, RS Dr Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%.

Insidensi ikterus non fisiologis di RSU Dr Soetomo Surabaya 9,8% (tahun 2002) dan 15,66%

(tahun 2007).(3)

Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, sekitar 4,3% dari 47.801 bayi memiliki

total serum bilirubin yang tinggi. Insiden hiperbilirubinemia di dunia dipengaruhi oleh berbagai

Page 12: Hi Per Bilirubin

etnisitas dan kondisi geografis. Insiden lebih tinggi terjadi pada orang asia timur dan indian

amerika dibanding orang kulit hitam.

III.4 Etiologi

Berdasarkan penyebabnya(4):

1. Peningkatan produksi bilirubin melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya3 :

Hemolisis yang meningkat misalnya inkompabilitas darah fetomaternal (Rh dan

ABO)

Peningkatan jumlah hemoglobin polistemia (twin to twin sindrom).

Defisiensi enzim kongenital (G6PD, piruvat kinase)

2.Gangguan konjugasi dan transportasi

Defisiensi albumin

malnutrisi, obat-obatan(aspirin, sulfadiazin), hipoksia menggangu ikatan protein.

Defisiensi UDPGt

Criggler-Najjar Syndrome

Hipotiroidisme, imaturitas hepar, hipoglikemia.

Defisiensi ligandin (protein Y, glutation S-transferase B)

anoksia/hipoksia.

3. Gangguan ekskresi

Obstruksi pada hepar. Misalnya, hepatitis, toksoplasmosis dan sifilis yang menghasilkan

toksin yang langsung menyerang hati, anomali kongenital.

Obstruksi pada saluran empedu. Misalnya, batu saluran empedu.

Peningkatan siklus enterohepatik

Penurunan asupan enteral, stenosis pilorik, ileus mekonium,atresia/stenosis usus,

Etiologi Berdasarkan Waktu munculnya Ikterus :

1. Ikterus yang muncul pada 24 jam pertama

Eritroblastosis fetalis

Perdarahan tersembunyi

Page 13: Hi Per Bilirubin

Sepsis

Infeksi intrauterine termasuk: sifilis, CMV, Rubella, Toksoplasma congenital

Post intrauterine transfusion (bilirubin direk yang↑)

2. Ikterus yang muncul pada hari ke 2-3

Biasanya fisiologis tapi bisa juga patologis

Familial nonhemolitik icterus (Crigler Najjar Syndrome)

Early onset breast feeding

3. Ikterus yang muncul antara hari ke 3-ke7

Sepsis

Infeksi saluran kemih

Infeksi lainnya: sifilis, CMV, toksoplasmosis atau enterovirus

Hematoma, ekimosis (terutama pada prematur)

polisitemia

4. Ikterus yang muncul setelah hari ke 7

Breast milk jaundice, septicemia, atresia congenital, gangguan traktus bilier, hepatitis,

galaktosemia, hipotiroidisme, anemia hemolitik congenital(sferositosis) atau anemia

hemolitik lain seperti defisiensi enzim glikolitik seperti pyruvat kinase atau anemia

hemolitik non sferositosis, anemia hemolitik berkaitan dengan obat-obatan seperti:

defisiensi G6PD, glutation sintetase, reduktase atau peroksidase

5. Indirek Hiperbilirubinemia Persisten

Hemolisis, defisiensi glukuronil transferase, breast milk jaundice, hipotiroidisme dan

obstruksi intestinal

6. Ikterus yang menetap selama 1 bulan pertama kehidupan neonatus

Kolestasis berkaitan pemberian makanan tambahan berlebihan, hepatitis, CMV, sifilis

toksoplasmosis, ikterus familial non hemolitik, atresia duktus biliaris

kongenital,galaktosemia. Ikterus fisiologis dapat memanjang pada bayi dengan

hipotiroidisme dan stenosis pilori.

III.5 Patofisiologi

Mekanisme hiperbilirubinemia dan ikterus

Page 14: Hi Per Bilirubin

Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi : 1)

pembentukan bilirubin secara berlebihan, 2) gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi

oleh hati, 3) gangguan konjugasi bilirubin, 4) penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam

empedu akibat faktor intra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama.

1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan

Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan penyebab

utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus

hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak

terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah

hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah abnormal

( sterositosis herediter ), anti bodi dalam serum ( Rh atau autoimun), pemberian beberapa obat-

obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran ( limfa dan peningkatan hemolisis). Sebagaian

kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau

prekursornya dalam sum-sum tulang ( talasemia, anemia persuisiosa, porviria ). Proses ini

dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg /

100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.

2. Gangguan pengambilan bilirubin

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat albumin oleh sel-sel hati dilakukan dengan

memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya beberapa obat

yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati,

asam flafas pidat ( di pakai untuk mengobati cacing pita ), nofobiosin, dan beberapa zat warna

kolesistografik. Ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab dihentikan.

Dahulu Ikterus Neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap disebabkan oleh

defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun pada

kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan

ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.

3. Gangguan konjugasi bilirubin

Page 15: Hi Per Bilirubin

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi pada hari

ke dua sampai ke lima lahir disebut ikterus fisiologis pada neonatus. Ikterus neonatal yang

normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas

glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke

dua, dan setelah itu ikterus akan menghilang.

Kern ikterus atau bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi

pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi

kematian atau kerusakan neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada neonatus

dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.

Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau ( gelombang yang

panjangnya 430 sampai dengan 470 nm ) pada kulit bayi. Penyinaran ini menyebabkan

perubahan struktural bilirubin ( foto isomerisasi ) menjadi isomer-isomer yang larut dalam air,

isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di konjugasi terlebih

dahulu. Fenobarbital ( Luminal ) yang meningkatkan aktivitas glukororil transferase sering kali

dapat menghilang ikterus pada penderita ini.

4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi

Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor fungsional maupun

obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi karena bilirubin terkonjugasi

larut dalam air, maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam urin, sehingga menimbulkan

bilirubin urin dan urin berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering

berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai bukti-

bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali dalam serum,

AST, kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah

menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia

terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.

Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi

obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang

merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel

hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ).(1-4)

Page 16: Hi Per Bilirubin

III.6 Manifestasi klinis

Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai

kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi

(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini

hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat.

Gambaran klinis ikterus fisiologis:

a) Tampak pada hari 3,4

b) Bayi tampak sehat(normal)

c) Kadar bilirubin total <12mg%

d) Menghilang paling lambat 10-14 hari

e) Tak ada faktor resiko

f) Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis)

Gambaran klinik ikterus patologis:

a) Timbul pada umur <36 jam

b) Cepat berkembang

c) Bisa disertai anemia

d) Menghilang lebih dari 2 minggu

Page 17: Hi Per Bilirubin

e) Ada faktor resiko

f) Dasar: proses patologis

III.7 Diagnosis

III.7.1 Anamnesis

1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi

intra uterin, infeksi intranatal)

2. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi

3. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya

4. Riwayat inkompatibilitas darah

5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.

III.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir (BBL)

tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl.

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari

kemudian. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan

penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.

Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.

Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan sederhana

adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada

tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat

yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting

pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai

kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut..

Pembagian derajat ikterus

Berdasarkan Kramer dapat dibagi :

Page 18: Hi Per Bilirubin

Tabel

1 Skor

Kramer(3,4)

Gambar 5 Skor Kramer(2)

III.7.3Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus yang

mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong resiko

Derajat Ikterus Daerah Ikterus Perkiraan kadar

bilirubin

I

II

III

IV

V

Kepala dan leher

Sampai badan atas (diatas umbilicus)

Sampai badan bawah (dibawah umbilicus

hingga lutut)

Sampai lengan, tungkai, bawah lutut

Sampai telapak tangan dan kaki

5,0 mg%

9,0mg%

11,4mg%

12,4mg%

16,0mg%

Page 19: Hi Per Bilirubin

tinggi terserang hiperbilirubinemia berat.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus

antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan darah, hitung

retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk.(6)

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan

tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan

terapi sinar ataukah tranfusi tukar.

Guna mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka perlu diketahui daerah letak kadar

bilirubin serum total beserta faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.

Page 20: Hi Per Bilirubin

Tabel 2 Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu kejadiannya

Page 21: Hi Per Bilirubin

Grafik 1 Grafik hubungan resiko hiperbilirubin dengan usia(7)

Faktor risiko mayor

Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada

daerah riiko tinggi

Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan

Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif atau penyakit

hemolitik lainnya (defisiensi G6PD)

Umur kehamilan 35-36 minggu

Riwayat aak sebelumnya yang mendapat fototerapi

Sefalhematom atau memar yang bermakna

ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat badan yang

berlebihan

Ras Asia Timur

Faktor risiko minor

Page 22: Hi Per Bilirubin

Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada

daerah risiko sedang

Umur kehamilan 37-38 minggu

Sebelum pulang, bayi tampak kuning

Riwayat anak sebelumnya kuning

Bayi makrosomia dari ibu DM

Umur ibu ≥25 tahun

Laki-laki

Faktor risiko kurang (faktor-faktor ini berhubungan dengan menurunnya risiko ikterus yng

signfikan, besarnya risiko sesuai dengan urutan yang tertulis makin ke bawah risiko makin

rendah)

Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko

rendah

Umur kehamilan ≥41 minggu

Bayi mendapat susu formula penuh

Kulit hitam

Bayi dipulangkan setelah 72 jam

Tabel 3 Faktor risiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan ≥35 minggu(7,8)

III.8 Algoritme Ikterus Neonatorum

Semua bayi baru lahir di klinik maupun di rumah sakit harus mengikuti alur manajemen/tata

laksana ikterus neonatorum untuk bayi baru lahir di ruang perawatan bayi.(6,7,8)

1. Setiap neonatus dinilai adakah ikterus pada usia 8-12 jam setelah lahir.

2. Jika ada ikterus cukup berat secara visual sebelum usia 24 jam periksa serum bilirubin

total (TSB) atau bilirubin kutaneus total (TCB).

3. Ukur TSB/TCB dan evaluasi setiap jam.

4. Jika TSB/TCB di atas 90 persentil, penyebab ikterus; terapi, bila memenuhi kriteria;

ulang TSB setiap 24 jam.

5. Jika tidak melebihi 95 persentil, evaluasi TSB, masa gestasi, usia dalam jam postnatal,

dan terapi jika memenuhi kriteria.

6. Jika fasilitas laboratorium ada, lakukan pemeriksaan.

bilirubin total serum dan bilirubin direk

Page 23: Hi Per Bilirubin

golongan darah ABO, Rhesus

uji antibodi direk (Coombs)

serum albumin

hitung eritrosit lengkap dengan hitung jenis, morfologi eritrosit, retikulosit.

enzim G6PD

bila mungkin ETCO, urin

Gambar 6 Algortima Hiperbilirubinemia(7)

Page 24: Hi Per Bilirubin

III.9. Tata laksana

Tata laksana umum meliputi, hidrasi pemberian cairan sesuai dengan berat badan dan usia

postnatal, obat obatan (fenobarbital, tin-protoporphyrin), dan pemberian albumin sebelum

dilakukan transfusi tukar.

III.9.1 Fototerapi

Fototrapi dapat menurunkan resiko yang berhubungan dengan unconjugated hyperbilirubinemia

dengan cara memproduksi fotoisomer yang siap dieksresi oleh hati dan ginjal. Hal ini dapat

dicapai dengan memaparkan neonatus pada sinar berspektrum 400-500 nm. Lampu halogen juga

efektif untuk mengatasi ikterus. Jumlah energi yang diterima bergantung pada jarak antara

sumber sinat dan kulit neonatus. Mengubah jarak antara sumber sinar dan bayi sebanyak 1 cm

akan mengubah tingkat iradiasi sebesar 3%. Jarak standar sinar fototerapi adalah 35-40 cm

(Nelson: 15-20 cm) dari bayi. Setiap lapisan fleksiglas, plastik, lembar pembungkus akan

menurunkan tingkat iradiasi sebesar 7-10%. Dosis iradiasi: minimum: 4 mW/cm2/nm 8 tabung

fluoresens putih; desirable 6 tabung fluoresens putih + 2 tabung fluoresens biru;kadar

saturasi :10-12 mW/cm2/nm 4 tabung fluoresens putih + 4 tabung fluoresens biru special.

Tujuan fototerapi: mencegah agar kadar bilirubin tidak meningkat sampai tingkat yang

memerlukan transfusi tukar. Fototerapi intensif akan mengurangi kadar bilirubin 1-2 mg/dL

dalam 4-6 jam (harus dibarengi dengan pemberian cairan 1-1,5 kali maintenance dan penyapihan

oral).(6)

Page 25: Hi Per Bilirubin

Gambar 7 Fototerapi(6)

Page 26: Hi Per Bilirubin

Gambar 8 Mekanisme Fotoerapi(6)

Tabel Pilihan tindakan fototerapi berdasarkan usia dan kadar bilirubin

Usia (jam) Kadar bilirubin total (dalam mg/dL)

Pertimbangan fototerapi Fototerapi

25-48 >12 >15

49-72 >15 >18

>72 >17 >20

Tabel Pilihan tindakan pada inkompatibilitas golongan darah berdasarkan usia dan kadar bilirubin

Usia (jam) Bilirubin total (mg/dL) Tindakan

<12 <10 Observasi

>10 Fototerapi

<18 <12 Observasi

>12 Fototerapi

Page 27: Hi Per Bilirubin

<24 <14 Observasi

>14 Fototerapi

>24 >15 Fototerapi

Tabel Kadar Bilirubin Indirek Maksimal (mg/dl) yang dianjurkan pada bayi prematur

Berat lahir

(gram)

Tanpa komplikasi Dengan komplikasi

<1000 12-13 10-12

1000-1250 12-14 10-12

1251-1499 14-16 12-14

1500-1999 16-20 15-17

2000-2500 20-22 18-20

Komplikasi yang dimaksud adalah asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia,

hipoalbuminemia, meningitis, pendarahan intraventrikular, hemolisis, hipoglikemi, tanda-

tanda Kernikterus

Tabel Penanganan Indirek Hiperbilirubinemia Pada Bayi Sehat Cukup Bulan Tanpa

Hemolisis

Umur

(jam)

Fototerapi Fototerapi Intensif dan

Persiapan Transfusi tukar

Transfusi tukar

bila fototerapi

gagal

24-48 ≥15-18 ≥25 ≥20

49-72 ≥18-20 ≥30 ≥25

>72 ≥20 ≥30 ≥25

Page 28: Hi Per Bilirubin

Gambar 9 Guidelines Fototerapi(7)

Komplikasi fototerapi: ruam makular eritematous, purpura berhubungan dengan

porfirinemia transient, overheating dan dehidrasi (akibat diare dan peningkatan insensible

water loss dan baby bronze syndrome (kulit bayi berubah menjadi abu-abu coklat tua

selama penyinaran, diduga karena modifikasi porfirin yang juga sering terjadi pada ikterik

kolestatik yang berlangsung berbulan-bulan). Berdasarkan pengalaman klinis, tidak

ditemukan adanya efek samping jangka panjang dalam penggunaan fototerapi asal

digunakan secara benar.

Mekanisme kerja fototerapi

Baik sinar biru (400-550 nm), sinar hijau (550-800nm) maupun sinar putih (300-800 nm) akan

mengubah bilirubin indirek menjadi bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui

empedu atau urine dan tinja. Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi kimia yaitu

isomerisasi, selain itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yang

disebut lumirubin yang secara cepat dibersihkan dari plasma saluran empedu. Lumirubin

merupakan produk terbanyak dari degradasi bilirubin akibat terapi sinar (fototerapi). Sejumlah

kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan

lewat urin. Fotoisomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung

Page 29: Hi Per Bilirubin

bisa diekskresikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang dapat diekskresikan

melalui urin.(8,9)

Tabel 4 Pemberian fototepari pada BBLR(10)

III.9.2 Transfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien yang dilanjutkan

dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang

sampai sebagian besar darah pasien tertukar (Fried, 1982). Pada pasien hiperbilirubinemia,

tindakan tersebut bertujuan mencegah ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin

indirek dari sirkulasi. Pada bayi hiperbilirubinemia karena isoimunisasi, transfusi tukar

mempunyai manfaat lebih karena akan membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi

darah neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki

kondisi anemianya.

Gambar 10 Guideline Transfusi Tukar(7)

Page 30: Hi Per Bilirubin

Tabel 5 Pemberian Transfusi Tukar pada BBLR(10)

Indikasi transfusi tukar

• Gagal dengan intensif fototerapi.

• Ensefalopati bilirubin akut (fase awal, intermediate, lanjut/advanced) yang ditandai gejala

hipertonia, melengkung, retrocolli, opistotonus, panas, tangis melengking.

Darah donor untuk transfusi tukar

• Darah yang digunakan golongan O.

• Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood.

Pada penyakit hemolitik Rhesus, jika darah dipersiapkan sebelum persalinan harus golongan O

dengan Rhesus (-), lakukan cross match terhadap ibu. Jika darah dipersiapkan setelah kelahiran,

caranya sama, hanya dilakukan cross match dengan bayinya.

• Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, Rhesus (-) atau Rhesus yang sama

dengan ibu atau bayinya. Cross match terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah

antibodi anti A dan anti B. Biasanya memakai eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk

memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.

• Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen tersensitisasi

dan harus di-cross match terhadap ibu.(9)

Page 31: Hi Per Bilirubin

• Pada hiperbilirubinemia non imun, lakukan typing dan cross match darah donor terhadap

plasma dan eritrosit pasien/bayi.

• Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali exchange), yaitu 160 ml/kgBB sehingga

akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan transfusi tukar sekitar 87%.

III.10 Komplikasi

III.10.1 Kernikterus

Kernikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin

indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak. Bayi yang mempunyai kadar bilirubin lebih dari 20

mg/dL, akan mengalami kernikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan

hiperbilirubinemia adalah 2-16 %.

Sawar darah otak (blood brain barrier) adalah suatu lapisan yang terdiri dari pembuluh darah

kapiler yang mempunyai sel endotel dengan tight junction khas yang berfungsi membatasi serta

mengatur pergerakan molekul antara darah dan SSP. Pada kondisi sawar darah otak normal yang

dapat menembus barier ini adalah bilirubin indirek bebas (yang tidak terikat albumin). Pada

kondisi abnormal adanya brain injury (trauma serebral) diperberat keadaan hipoksemia,

acidemia, hiperkapnia, hipoalbumin, bilirubin yang terikat pun dapat melewati/menembus sawar

darah otak.(10)

Page 32: Hi Per Bilirubin

Gambar 11 Mekanisme deposisi asam bilirubin pada lapisan lipid membran sel dan mekanisme

masuknya bilirubin menembus sawar darah otak.(10)

Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik Bilirubin indirek bebas yang bersifat

lipofilik dapat menembus sawar darah otak dan masuk ke sel neuron otak, selanjutnya terjadi

presipitasi dalam memran sel syaraf. Keadaan asidosis, hipoalbulminemia akan meningkatkan

jumlah bilirubin bebas ke dalam jaringan otak. Bilirubin indirek dalam plasma berikatan dengan

albumin. Suasana asam bilirubin indirek cenderung membentuk mono-anion (bilirubin acid)

serta menyebabkan penurunan afinitas albumin-bilirubin indirek. Pada bentuk tersebut akan

meningkatkan presipitasi didalam jaringan serta dapat menembus sawar otak. P-glikoprotein (P-

gp) adalah suatu substrat dalam sawar darah otak yang dapat membatasi masuknya bilirubin ke

dalam SSP. Pada kerusakan sawar otak, zat tersebut mengalami penurunan sehingga bilirubin

indirek bebas dapat menembus sawar otak yang mengakibatkan presipitasi bilirubin indirek di

dalam SSP.

Berdasarkan temuan histologi dan biofisika mekanisme toksisitas bilirubin terhadap sel

syaraf adalah sebagai berikut:

Bilirubin masuk ke dalam sel-sel neuron sehingga menyebabkan,

- pertukaran Na – K berkurang.

Page 33: Hi Per Bilirubin

- akumulasi cairan sel syaraf meningkat

- pembengkakan akson syaraf

- menurunkan potensial membran dan potensial aksi

- mengurangi aktifitas ”auditory brain stem responses”

- mengurangi fosforilasi protein kinase dan synapstosis

- mengurangi tyrosin uptake sintesis dopamine

- mengurangi uptake methionine dan thymidine

- merusak mitokondria

- pada penelitian memakai isotop 31p secara invitro maupun invivo bilirubin dapat

menyebabkan perubahan metabolisme energi sel syaraf.

Gangguan neurotransmisi merupakan tahap awal dan toksisitas bilirubin yang bersifat

reversibel pada aktifitas auditory brain stem responses.

Gambar 12 Patogenesis kernikterus(10)

• Mekanisme penting terhadap toksisitas bilirubin adalah menghambat enzim fosforilase sinapsis

1 dan reseptor non channel N-methyl-D-aspartate yang berfungsi untuk pelepasan

Page 34: Hi Per Bilirubin

neurotransmiter. • Penumpukan bilirubin akan menimbulkan perubahan potensial membran dan

potensial aksi yang akan mempengaruhi transmisi neuro- transmiter sinaps. • Hal yang esensial

pada patogenesis ensefalopati bilirubin dan ireversibel adalah kerusakan mitokondria sebagai

akibat dari presipitasi bilirubin acid dalam membran fosfolipid, sehingga menyebabkan disfungsi

mitokondria.

Tab

el 6 Efek Toksik Bilirubin(10)

Page 35: Hi Per Bilirubin

Tabel 7 Manifestasi klinis ensefalopati bilirubin terdiri dari 2 tahapan sesuai dengan proses

perjalanan penyakit.(11)

Fase akut yang diikuti ensefalopati bilirubin akut, dan fase kronis yaitu ensefalopati bilirubin

kronis yang disebut juga kern ikterus.

1. Ensefalopati bilirubin akut.

a. Fase awal (early phase) Timbulnya beberapa hari pertama kehidupan. Klinis BBL tampak

ikterus berat (lebih dari Kramer 3). Terjadi penurunan kesadaran, letargi, mengisap lemah dan

hipotonia. Terapi dini dan tepat akan memberikan prognosis lebih baik.

b. Fase intermediate (intermediate phase) Merupakan lanjutan dari fase awal, tindakan terapi

transfusi tukar emergensi dapat mengembalikan perubahan susunan syaraf pusat dengan cepat.

Fase ini ditandai stupor yang moderat/sedang, ireversibel, hipertonia dengan retrocollis otot-otot

leher serta opistotonus otot-otot punggung, panas, tangis melengking (high-pitched cry) yang

berlanjut berubah menjadi mengantuk dan hipotonia.

c. Fase lanjut (advanced phase) Fase ini terjadi pada BBL setelah usia 1 minggu kehidupan yang

ditandai dengan retrocollis dan opistotonus yang lebih berat, tangisnya melengking, tak mau

minum/ menetek, apnea, panas, stupor dalam sampai koma, kadang-kadang kejang dan

meninggal. Dalam fase ini kemungkinan kerusakan SSP ireversibel/menetap.(10,11)

Page 36: Hi Per Bilirubin

2. Ensefalopati bilirubin kronis (chronic bilirubin encephalopathy/kern icterus) Ensefalopati

bilirubin kronis disebut juga kernikterus. Perjalanan penyakit berlangsung lamban setelah bentuk

akut terjadi awal tahun pertama kehidupan. Secara klinis dibedakan dalam 2 fase.

Fase awal, terjadi dalam tahun pertama kehi-dupan dengan gejala klinis hipotonia, hiperefleksi,

keterlambatan perkembangan motorik milestone dan timbulnya refleks tonik leher.(11)

Fase setelah tahun pertama kehidupan. Gejala klinis refleks tonik leher (tonic-neck reflex)

menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan ekstrapiramidal, gangguan visual,

pendengaran, defek kognitif, gangguan terhadap gigi, gangguan intelektual minor dapat terjadi.

- Gangguan ekstrapiramidal, koreoathetosis merupakan kelainan umum yang nampak.

Ekstremitas atas biasanya lebih berat daripada ekstremitas bawah. Keadaan tersebut disebab- kan

adanya kerusakan pada ganglia basalis yang mana merupakan gambaran klasik/khas dari

ensefalopati bilirubin kronis.

- Gangguan penglihatan, gerakan bola mata terganggu, paralisis dari upward gaze. Kelainan

tersebut sebagai akibat dari kerusakan nukleus nervus kranialis di batang otak.

- Gangguan pendengaran, kelainan pendengaran merupakan kelainan yang menetap dan paling

berat ditemukan, tuli pendengaran terhadap frekuensi tinggi, baik derajat ringan sampai berat.

Kelainan ini disebabkan kerusakan nukleus kokhlearis di batang otak serta nervus auditorius

yang sangat peka terhadap toksisitas bilirubin indirek walaupun pada kadar yang relatif rendah.

Tampak secara klinis keterlambatan perkembangan bicara, oleh sebab itu pemeriksaan fungsi

pendengaran harus dilakukan secepat mungkin pada bayi berisiko tinggi terhadap ensefalopati

bilirubin kronis. Pada anak dengan gangguan ini sering diberikan alat bantu dengar atau implant

koklea dan memberikan hasil yang baik.(12)

- Gangguan pada gigi, dapat dijumpai adanya displasia dental-enamel setelah usia bayi bulan ke-

9.

- Gangguan/defek kognitif, pada kernikterus tidak mencolok atetosis atau korea dengan defek

pendengaran yang terjadi dapat memberikan impresi salah dari gangguan mental (mental

retardasi).

Tanda-tanda dan gejala-gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada

bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur. Tanda-tanda awal bisa tidak

terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan

Page 37: Hi Per Bilirubin

intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan

hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak

sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus,

dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking

bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan

pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam.

BAB IV

PENYEBAB TERSERING HIPERBILIRUBINEMIA

IV.1 Inkompatibilitas ABO

A. DefinisiDua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti bahwa serum

ibu mengandung anti-A atau anti-B. Inkompabilitas ABO nantinya akan menyebabkan penyakit

Page 38: Hi Per Bilirubin

hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana terdapat lebih dari 60% dari seluruh kasus. Penyakit

ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan akibat Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan

hiperbilirubinemia neonatus ringan sampai sedang serta kurang dari 1% kasus yang

membutuhkan transfusi tukar.Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu

penyebab hemolisis dan secara umum dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding

masalah kebidanan.

Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama, dan anak-anak berikutnya

makin lama makin baik keadaannya. Gambaran klinis penyakit hemolitik pada bayi baru lahir

berasal dari inkompabilitas ABO sering ditemukan pada keadaan dimana ibu mempunyai tipe

darah O, karena tipe darah grup masing-masing menghasilkan anti A dan anti B yang termasuk

kelas IgG yang dapat melewati plasenta untuk berikatan dengan eritrosit janin. Pada beberapa

kasus, penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24-48

jam pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang signifikan.Tingginya

jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus terutama pada neonatus preterm.Fototerapi pada

pengobatan awal dilakukan meskipun transfusi tukar yang mungkin diindikasikan untuk

hiperbilirubinemia. Seks predominan eritroblastosis fetalis akibat inkompatibilitas ABO adalah

sama antara laki-laki dan perempuan. Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan

pasangannya c, e, tapi tidak ada d. Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang

sekarang digunakan adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus.Sel rhesus (D) positif mengandung

substansi (antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif memproduksi antibodi.

Gen C dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa antibodi yantg

dihasilkan oleh wanita Rhesus negatif disebut anti-D (anti-rhesus D).(13)

B. Patofisiologi

Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan

antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya.Pada saat ibu hamil, eritrosit

janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan

fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada

eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untukmembentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe

IgG tersebut dapat melewati plasentadan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin

Page 39: Hi Per Bilirubin

sehingga sel-sel eritrosit janinakan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya

terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi

hipersensitivitas tipeII). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi

danmelepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut denganeritroblas

(yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.

Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati danlimpa yang

selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa.Produksi eritroblasini

melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti plateletdan faktor penting lainnya untuk

pembekuan darah.Pada saat berkurangnya faktorpembekuan dapat menyebabkan terjadinya

perdarahan yang banyak dan dapatmemperberat komplikasi.Lebih dari 400 antigen terdapat pada

permukaan eritrosit,tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit

hemolitik.Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi

jikaterpapar dengan antigen tersebut.Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiripada saat

transfusi atau berbahaya bagi janin.

Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternalsebelumnya,

misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,amniosentesis, transfusi darah

Rhesus positif atau pada kehamilan kedua danberikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah

dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan

bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh

dapatmengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu

waktu.Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang

dapatmenyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.Bayi

dapat berkembang menjadi kernikterus.(14)

C. Manifestasi Klinis

Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir (BBL)

tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg

mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis,

sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer. Caranya dengan jari telunjuk

ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan

Page 40: Hi Per Bilirubin

lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada

masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar

bilirubinnya.

D. Diagnosis

Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu.Metode paling

sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan

antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan anti

IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.

Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui

mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci.Suatu

substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang

penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs ditambahkan dan jika

imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan

evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik.(14)

Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang

dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin

darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali

dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.

E. Diagnosis Banding

Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan mungkin

sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela atau

toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam uterus,

mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya. Ikterus

yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat “fisiologik”, tetapi dapat pula

merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan hiperbilirubinemia neonatus.

Ikterus nonhemolitik familial (sindroma Criggler-Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada

hari ke-2 atau hari ke-3.Ikterus yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu pertama, harus

dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh

Page 41: Hi Per Bilirubin

infeksi-infeksi lain terutama sifilis, toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik.Ikterus yang

timbul sekunder akibat ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama

kelahiran atau sesudahnya, terutama pada bayi prematur.Polisitemia dapat menimbulkan ikterus

dini.(15)

Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan, memberi

petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis serum homolog,

rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia

hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti defisiensi

enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit

herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi

kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase, glutation reduktase

atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.

Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa

yang dinamakan “inspissated bile syndrome” (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik pada

bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus

nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus koledoskus

atau galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total. Kadang-kadang

ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu, seperti pada bayi

yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus.

Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus,

hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang lengkap, yang

mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin,

hitung leukosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi.

Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apus yang memperlihatkan bukti adanya

penghancuran eritrosit, memberi petunjuk adanya hemolisis; bila tidak terdapat ketidakcocokan

golongan darah, maka harus dipertimbangkan kemungkinan adanya hemolisis akibat

nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis, kelainan metabolisme

bawaan, fibrosis kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu kemungkinan diagnosis.Jika

hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk normal, maka mungkin terdapat

hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau patologik.

F. Penatalaksanaan

Page 42: Hi Per Bilirubin

Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan

bilirubin yang tidak wajar.Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya dilakukan

dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO).Jika tak ada donor Rhesus

negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif sesering mungkin sampai

semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi.Bentuk berat tampak sebagai

hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal

jantung.Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin.(16)

A. Transfusi tukar :

Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :

1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah

2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan

eritrosit normal.

3.Mengurangi kadar serum bilirubin

4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu

Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :

a. berikan darah donor yang masa simpannya ≤ 3 hari untuk menghindari

kelebihan kalium

b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus

negatif (D-)

c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells

d. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak

tersedia maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh

positif) untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali

dengan memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.

Page 43: Hi Per Bilirubin

e. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells

f. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan

lama pemberian transfusi ≥ 90 menit

g. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila

tidak memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah

ibunya, namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.

h. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37°C

C.Transfusi Albumin

Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat

sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko

terjadinyaoverloading sangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.

D. Fototerapi

Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin.

Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.

G. Prognosis

Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin

mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat

dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi

menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat.Titer pada ibu yang sudah

mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus

negatif.(16)

Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi

diperlukan.Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah

1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.

IV.2 Sepsis Neonatorum

Page 44: Hi Per Bilirubin

A. Definisi

Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan

bakteremia pada bulan pertama kehidupan. Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa

perkembangan baru mengenai definisi sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis

Definition Conferences , sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory

Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari

infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya

kematian.

Usia

Neonatus

Suhu Laju Nadi

Permenit

Laju Nafas

Permenit

Jumlah Leukosit

x 103/mm3

Usia 0-7 hari >38,5°C atau

<36,5 °C

> 180/<100 >50 >34

Usia 7-30

hari

>38,5°C atau

<36,5 °C

> 180/<100 >40 >19,5 atau <5

Tabel 8 Kriteria SIRS(18)

Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel. Salah

satu di antaranya adanya kelainan suhu atau leukosit.

Kriteria Definisi

Infeksi Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman

penyebab, atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila

terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan penunjang lain)

Sepsis SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka

Syok Sepsis Sepsis dan disfungsi organ kardiovaskular

Tabel 9 Kriteria Infeksi, Sepsis, sepsis Berat, Syok Sepsis(18)

B. Epidemiologi

Angka kejadian sepsis neonatorum di dunia diperkirakan 1-10 kasus per 1000 kelahiran

hidup dan 1 per 250 kelahiran prematur. Angka kejadian sepsis neonatorum di negara maju 1-4

per 1000 kelahiran, di Asia Tenggara berkisar 2,1-16 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk

angka kejadian sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan di Indonesia berkisar antara

1,5%-3,72% dengan angka kematian mencapai 37,09%-80% Keragaman angka kejadian pada

Page 45: Hi Per Bilirubin

masing-masing rumah sakit dapat dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan prenatal,

pelaksanaan persalinan, dan kondisi lingkungan di ruang perawatan.

Angka sepsis neonatorum meningkat secara bermakna pada bayi dengan berat badan lahir

rendah dan bila ada faktor risiko ibu (obstetrik) atau tanda-tanda korioamnionitis seperti ketuban

pecah lama (>18 jam), demam intrapartum ibu(>37,5°C), leukositosis ibu (>18.000), pelunakan

uterus, dan takikardia janin (>180 kali/menit). Sedangkan faktor risiko host untuk sepsis

neonatorum adalah jenis kelamin laki-laki, cacat imun didapat atau kongenital, galaktosemia

(Escherichia coli), pemberian besi intramuskular, anomali kongenital (saluran kencing, asplenia,

myelomeningokel, saluran sinus), omfalitis, dan kembar (terutama kembar kedua dari janin yang

terinfeksi). Prematuritas merupakan faktor risiko baik pada SNAD maupun SNAL.

C. Etiologi

Penyebab dari timbulnya sepsis pada neonatus dapat berupa bakteri, virus, jamur, dan

protozoa (jarang). Bakteri penyebab SNAD umumnya berasal dari traktus genitalia maternal

yang tidak menimbulkan penyakit pada ibu seperti Streptococcus Grup B dan bakteri enterik.

SNAL umumnya disebabkan oleh infeksi nosokomial seperti Enterococcus, dan Staphylococcus

aureus. Penyebab SNAL lainnya seperti Streptococcus Grup B, E. coli, Listeria monocytogenes,

virus herpes simpleks, enterovirus, serta bakteri Staphylococcus coagulase-negatif dan jamur

Candida albicans yang menjadi penyebab SNAL tersering pada bayi dengan berat badan lahir

rendah.(17)

D. Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua

bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum

awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) merupakan

infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya

diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang

ditemukan pada kasus SNAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia

coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang

termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gramnegatif. Sepsis

Page 46: Hi Per Bilirubin

neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka

mortalitas sebesar 15-50%.

Sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72

jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses

infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas

SNAL lebih rendah daripada SNAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-

negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SNAL,

sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli,

Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).

E. Patofisiologi

Patofisiologi sepsis bayi baru lahir merupakan interaksi respon kompleks antara

mikroorganisme patogen dan pejamu. Keadaan hiperinflamasi yang terjadi pada sepsis

melibatkan beberapa komponen, yaitu : bakteri, sitokin, komplemen, sel netrofil, sel endotel, dan

mediator lipid. Faktor inflamasi, koagulasi dan gangguan fibrinolisis memegang peran penting

dalam patofisiologi sepsis. Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molecular dan seluler

untuk menimbulkan respons sepsis tergantung mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapan-

tahapan pada respons sepsis sama dan tidak tergantung penyebab. Respons inflamasi terhadap

bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari

dinding sel yang dilepaskan pada saat lisis, yang kemudian mengaktifasi sel imun non spesifik

(innate immunity) yang didominasi oleh sel fagosit mononuklear. LPS terikat pada protein

pengikat LPS saat di sirkulasi.

Kompleks ini mengikat reseptor CD4 makrofag dan monosit yang bersirkulasi. Kompleks

lipopolisakarida berinteraksi dengan kelompok molekul yang disebut toll like receptor (TLR).

Reseptor TLR menterjemahkan sinyal ke dalam sel dan terjadi aktifasi regulasi protein (nuclear

factor kappa β /NFkB). Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respons inflamasi

dengan pelepasan eksotoksin / superantigen dan komponen antigen sel. Eksotoksin bakteri gram

positif juga dapat merangsang proses yang sama. Molekul TLR2 leukosit berperan terhadap

pengenalan bakteri gram positif dan TLR4 untuk pengenalan endotoksin bakteri gram negatif.

Sitokin proinflamasi primer yang diproduksi adalah tumour necrosis factor (TNF) α, interleukin

(IL)1, 6, 8, 12 dan interferon (IFN) γ. Peningkatan IL-6 dan IL-8 mencapai kadar puncak 2 jam

Page 47: Hi Per Bilirubin

setelah masuknya endotoksin. Sitokin ini dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau

tidak langsung melalui mediator sekunder (nitricoxide, tromboksan, leukotrien, platelet

activating factor (PAF), prostaglandin), dan komplemen. Mediator proinflamasi ini mengaktifasi

berbagai tipe sel, memulai kaskade sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel Imunoglobulin

pertama yang dibentuk fetus sebagai respons infeksi bakteri intrauterin adalah Ig M dan Ig A. Ig

M dibentuk pada usia kehamilan 10 minggu yang kadarnya rendah saat lahir dan meningkat saat

terpapar infeksi selama kehamilan. Peningkatan kadar IgM merupakan indikasi adanya infeksi

fetal. Ada 3 mekanisme terjadinya infeksi neonatus yaitu saat bayi dalam kandungan / pranatal,

saat persalinan / intranatal, atau setelah lahir / pascanatal.(18)

Gambar 13(19)

Interaksi faktor inisiasi dan mediator proinflamasi host (+) dan antiinflamasi (-) pada infeksi dan

proses terjadinya SIRS dan syok sepsis

Paparan infeksi pranatal terjadi secara hematogen dari ibu yang menderita

Page 48: Hi Per Bilirubin

penyakit tertentu, antara lain infeksi virus atau parasit seperti Toxoplasma,Rubella,

Cytomegalovirus, Herpes (infeksi TORCH), ditansmisikan secara hematogen melewati plasental

ke fetus. Infeksi transplasenta dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan. Infeksi dapat

menyebabkan aborsi spontan lahir mati, penyakit akut selama masa neonatal atau infeksi

persisten dengan sekuele. Infeksi bakteri lebih sering di dapat saat intranatal atau pascanatal.

Selama dalam kandungan janin terlindung dari bakteri ibu karena adanya cairan dan lapisan

amnion. Bila terjadi kerusakan lapisan amnion, janin berisiko menderita infeksi melalui

amnionitis.

Neonatus terinfeksi saat persalinan dapat disebabkan oleh aspirasi cairan amnion yang

mengandung lekosit maternal dan debris seluler mikroorganisme, berakibat pneumonia. Paparan

bayi terhadap bakteri terjadi pertama kali saat ketuban pecah atau dapat pula saat bayi melalui

jalan lahir. Pada saat ketuban pecah, bakteri dari vagina akan menjalar ke atas sehingga

kemungkinan infeksi dapat terjadi pada janin (infeksi transmisi vertikal).

Paparan infeksi yang terjadi saat kehamilan, proses persalinan dimasukkan ke dalam

kelompok infeksi paparan dini (early onset of neonatal sepsis) dengan gejala klinis sepsis,

terlihat dalam 3-7 hari pertama setelah lahir. Infeksi yang terjadi setelah proses kelahiran

biasanya berasal dari lingkungan sekitarnya. Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui udara

pernapasan, saluran cerna, atau melalui kulit yang terinfeksi. Bentuk sepsis semacam ini dikenal

dengan sepsis paparan lambat (late onset of neonatal sepsis). Selain perbedaan dalam waktu

paparan kuman, kedua bentuk infeksi ini (early onset dan late onset) sering berbeda dalam jenis

kuman penyebab infeksi. Walaupun demikian patogenesis, gejala klinik, dan tata laksana dari

kedua bentuk sepsis tersebut tidak banyak berbeda.(18)

Page 49: Hi Per Bilirubin

Gambar 14 Patofisiologi Sepsis Neonatorum

Faktor risiko terjadinya sepsis pada neonatus dapat berasal dari faktor

ibu, bayi dan faktor lain.

Faktor risiko ibu:

1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24

jam maka kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai

korioamnionitis maka kejadian sepsis meningkat menjadi 4 kali.

2. Infeksi dan demam (> 38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi

saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (group B streptococi = GBS),

kolonisasi perineal oleh E. Coli, dan komplikasi obstetric lainnya.

3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau

4. Kehamilan multipel.

Faktor risiko pada bayi:

Page 50: Hi Per Bilirubin

1. Prematuritas dan berat lahir rendah.

2. Resusitasi pada saat kelahiran misal pada bayi yang mengalami fetal distress, dan trauma

pada proses persalinan.

3. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan.

4. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek imun atau

asplenia.

5. Asfiksia neonatorum

6. Cacat bawaan.

7. Tanpa rawat gabung.

8. Pemberian nutrisi parenteral.

9. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.

Faktor risiko lain:

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada

bayi laki-laki daripada bayi perempuan, lebih sering pada bayi kulit hitam daripada bayi kulit

putih, lebih sering pada bayi dengan status sosial ekonomi yang rendah, dan sering terjadi akibat

prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien.

F. Manifestasi Klinis

Tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik, berhubungan dengan karakteristik kuman

penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman. Neonatus dengan sepsis hipertermia, distres

pernapasan, apnea, sianosis, kuning, hepatomegali, hipotermia, anoreksia, letargi, kesulitan minum,

muntah, distensi abdomen, dan diare.

Keadaan umum Demam, hipotermia, “tidak merasa baik”,tidak mau makan, sklerema

Sistem Gastointestinal Perut kembung, muntah, diare, hepatomegali

Sistem Pernapasan Apnea, dispnea, takipnea, retraksi, grunting, sianosis

Sistem Saraf Pusat Iritabilitas, lesu, tremor, kejang, hiporefleksia, hipotonia, refleks Moro abnormal, pernapasan tidak teratur,

Page 51: Hi Per Bilirubin

fontanela menonjol, tangisan nada tinggi

Sistem Kardiovaskuler Pucat, mottling, dingin,kulit lembab, takikardi, hipotensi, bradikardi

Sistem Hematologi Ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura, perdarahan

Sistem Ginjal Oliguria

Tabel 10 Manifestasi klinis sepsis neonatorum.(18,19)

Neonatus dengan sepsis bakterialis dapat disertai dengan gejala-gejala nonspesifik atau

tanda-tanda fokal infeksi antara lain; temperatur yang tidak stabil, hipotensi, perfusi buruk (pucat

dan atau berbercak-bercak), asidosis metabolik, takikardi atau bradikadi, apnoe, distres

pernafasan, merintih, sianosis, irritable, letargi, kejang, intoleransi makanan, distensi abdomen,

ikterus, petechiae, purpura, dan perdarahan. Manifestasi awal biasanya terbatas pada gejala pada

satu sistem organ saja seperti apnoe saja atau takipnu dengan retraksi atau takikardi. Tetapi dapat

pula langsung bermanifestasi berat dengan disfungsi multiorgan. Bayi harus dire-evaluasi secara

berkala untuk menilai apakah gejala telah berkembang dari ringan menjadi berat. Komplikasi

lanjut dari sepsis meliputi gagal nafas, hipertensi pulmonal, gagal jantung, syok, gagal ginjal,

disfungsi hepar, udem serebral atau trombosis, perdarahan atau insufisiensi adrenal, disfungsi

sum-sum tulang (neutropenia, trombositopenia, anemia), dan DIC.

G. Diagnosis

Seorang bayi memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor. Kriteria tersebut yaitu:

FAKTOR RISIKO MAYOR FAKTOR RISIKO MINOR

Ketuban pecah dini >18 jam Ketuban pecah dini >12jamDemam intrapartum >38 C Demam intrapartum >37,5 CKorioamnionitis Skor APGAR rendahKetuban berbau BBLSR Denyut jantung janin >160 x/menit Usia kehamilan <37 minggu

KembarKeputihanInfeksi Saluran kemih

Tabel 11 Faktor Risiko Sepsis(18,19)

Page 52: Hi Per Bilirubin

Sepsis neonatorum didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan disertai dengan

pemeriksaan penunjang berupa:

H. Laboratorium

1. Darah rutin

Darah rutin yaitu jumlah leukosit PMN, jumlah trombosit, dan preparat darah hapus.

Pada preparat darah hapus yang perlu diperhatikan adalah jumlah leukosit imatur (neutropenia <

1800/ul) sehingga dapat diperhitungkan rasio netrofil imatur dengan netrofil total. Dimana

dikatakan terinfeksi apabila I:T rasio > 0,2. Preparat darah hapus menunjukkan gambaran

hemolisis, hipergranulasi, hipersegmentasi, toksik granulasi. Pemeriksaan darah yang dilakukan

untuk mendukung diagnosis neonatus sepsis menurut sistem skor.

Tabel 12 Sistem skor hematologis untuk prediksi sepsis neonaturum (Kriteria Rodwell)(19)

Jika jumlah skor lebih atau sama dengan 3 maka kemungkinan besar sepsis.

1. Kultur

Untuk membuktikan adanya sepsis bakterial, organisme harus diisolasi dari kultur darah

atau cairan tubuh steril seperti cairan cerebrospinal, cairan sendi, cairan peritoneal dan pleura.

Kultur darah merupakan gold standard dalam diagnosis sepsis. Cairan lumbal diperiksa pada

neonatus sakit kritis dengan kultur darah positif, gambaran klinik septikemia, sebab meningitis

ditemukan pada 1 dari 4 sepsis neonatorum. Hasil kultur positif merupakan tanda definitif

terdapatnya bakteri patogen, hasil biakan baru diperoleh minimal 3-5 hari. Kultur dapat negatif

disebabkan oleh bakteremia transien, spesimen darah kurang, proses spesimen yang tidak

optimal dan antibiotik diberikan intrapartum.

2. C-Reaktif Protein (CRP)

Pada proses inflamasi sintesis CRP meningkat dalam waktu 4-6 jam dengan puncaknya

36-50 jam. Kadar CRP cepat menurun setelah sumber infeksi tereliminasi. Kadar normal CRP

bayi cukup bulan dan prematur 2-5 mg/L, kadar >10 mg/L berhubungan dengan infeksi-sepsis.

Page 53: Hi Per Bilirubin

Karena protein ini meningkat pada berbagai kerusakan jaringan tubuh maka pemeriksaan ini

tidak dapat dipakai sebagai indikator tunggal dalam menegakkan diagnosis sepsis neonatal.

Nilainya bermakna apabila dilakukan pemeriksaan serial karena dapat mengevaluasi respon

antibiotik, menentukan lamanya pengobatan dan kekambuhan.

3. Prokalsitonin

Prokalsitonin dikatakan lebih superior daripada protein fase akut lainnya termasuk CRP,

dengan sensitivitas dan spesifisitas berkisar dari 87-100%. Selain itu prokalsitonoin juga berguna

untuk mengindikasikan keparahan infeksi, memantau kemajuan pengobatan dan memperkirakan

hasil keluaran. Pengukuran kuantitatif dilakukan dengan menggunakan immunoluminometric

assay (ILMA) dengan 2 antibodi monoklonal.

4. Interleukin

Interleukin -6 (IL-6) adalah sitokin pleiotropic yang terlibat dalam berbagai aspek dari

sistem imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel, dan

fibroblas, setelah stimulasi TNF dan IL-1. Petanda ini mengindukasi sintesis protein fase akut

hepatik termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis neonatorum, interleukin-

6 meningkat secara cepat. Peningkatan terjadi beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi

CRP dan akan menurun sampai kadar tidak terdeteksi dalam 24 jam.

5. Gangguan fungsi organ

Adanya proses inflamasi sistemik akan mengakibatkan gangguan fungsi organ yang

selanjutnya menimbulkan gangguan koagulasi, hipotensi, gangguan perfusi jaringan, dan

akhirnya kegagalan fungsi organ serta kematian. Manifestasi klinis gangguan fungsi paru berupa

takipnu, hipoksemia, dan alkalosis respiratorik. Jika keadaan berat terjadi ARDS (acute

respiratory distress syndrome). Pemeriksaan untuk mengetahui fungsi paru adalah Analisis Gas

Darah (AGD).

Adanya kerusakan hati dapat diketahui dengan peningkatan Serum Glutamic Oxaloacetat

Transaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvat Transaminase (SGPT) bilirubin serum, amonia,

dan alkali fosfatase.

Gangguan fungsi ginjal terjadi karena adanya hipovolemia dan vasodilatasi yang

menyebabkan hipoperfusi renal, sehingga menimbulkan akut tubular nekrosis, uropati obstruktif,

nefritis interstisial rabdomiolisis dan glomerulonefritis. Gagal ginjal akut terjadi pada 50%

penderita sepsis.

Page 54: Hi Per Bilirubin

Keterlibatan sistem hematologi ditandai dengan adanya anemia, leukopenia dan

trombositopenia. Diseminated Inntravascular Coagulophaty (DIC) menyebabkan terjadinya

konsumsi trombosit yang berlebihan. Akibat adanya pembentukan formasi trombus

mikrovaskular dan inhibisi dari fibrinolisis menyebabkan semakin banyaknya pelepasan sitokin,

molekul adhesi dari sel proinflamasi dari kaskade sepsis. Petanda yang dapat dijumpai adalah

kenaikan Prothrombin Time, Partial Thromboplastine Time, D-Dimer dan produk-produk

pemecahan fibrinogen.

I. Penatalaksanaan

Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidensi sepsis

neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan insidens sepsis yang

disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten terhadap ampisilin. Ampisilin dan

sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan

organisme Gram negatif memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi.

Oleh karena itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan

untuk mencegah resistensi tersebut.

Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme pembawa gen

beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan memproduksi beta-laktamase.

Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara berlebihan justru akan menyebabkan

organisme memproduksi beta-laktamase. Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan

secara luas di unit perawatan intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya

pada kasus berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase.

Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan intubasi, memakai

kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif untuk pencegahan sepsis. Bila

bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti telah terjadi kolonisasi dan pengobatan

profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi (kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta

tidak akan mencegah sepsis, tetapi justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.(18,19)

a. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan dini

Pada bayi dengan SNAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan Listeria

monocytogenes. Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai

aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab

SNAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.

Page 55: Hi Per Bilirubin

a. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan lambat

Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga digunakan untuk

terapi awal SNAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab infeksi nosokomial telah

mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena telah terjadi peningkatan resistensi

terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin. Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih

dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang

dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat

menginaktifkan aminoglikosida lain.

Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti

stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal.

Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko infeksi Pseudomonas

(terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum

luas) atau sefoperazon dan seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim

lebih aktif terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin. Di beberapa

tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin atau ampisilin, digunakan

sebagai terapi awal pada SNAD dan SNAL. Keuntungan utama menggunakan sefalosporin

generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis,

termasuk bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga

juga dapat menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin

generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif

terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan mempercepat

munculnya mikroorganisme yang resisten dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida.

Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin (ampisilin

atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi ketiga yang

dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi

sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.

Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain

adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati dengan a cell-wall

active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan aminoglikosida. Staphilococci

sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin,

dan metisilin). Pemberian antibiotik pada SNAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak

Page 56: Hi Per Bilirubin

bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya disesuaikan

dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan neonatus. Oleh karena itu,

studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan secara rutin untuk memudahkan para dokter

dalam memilih antibiotik.

b. Terapi suportif (adjuvant)

1. Immunoglobulin intravena

Imunoglobulin intravena saat ini belum dianjurkan untuk pemberian rutin sebagai

profilaksis maupun terapi SNAD. Banyak penelitian mengenai hal ini menggunakan jumlah

sampel yang kecil dan belum ada sediaan imunoglobulin yang spesifik, beberapa efek samping

dan komplikasi telah dilaporkan seperti infeksi, hemolisis, dan supresi kekebalan tubuh pada

pemberian imunoglobulin hiperimun. Pada kondisi tertentu seperti sepsis berat atau infeksi

berulang pada neonatus kurang bulan, ada penelitian yang menganjurkan pemberian

imunoglobulin intravena dengan dosis 500-1000 mg/kg/kali setiap dua minggu.

2. Transfusi fresh frozen plasma (FFP)

Fresh frozen plasma (FFP) mengandung antibodi, komplemen, dan protein lain seperti C-

Reactive Protein dan fibronektin. Antibodi bayi baaru lahir terbatas pada spesifikasi yang

dihasilkan oleh ibunya, tidak termasuk antibodi protektif terhadap patogen patogen tertentu. FFP

mengandung antibodi protektif, namun dalam dosis 10 ml/kg, jumlah antibodi tidak adekuat

untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada pemberian secara kontinu (seperti 10 ml/kg

setiap 12 jam), kadar proteksi dapat tercapai.

3. Transfusi sel darah putih

Transfusi sel darah putih sebagai terapi ajuvan pada SNAD dan infeksi neonatus

umumnya masih dalam tahap uji coba dan belum dianjurkan penggunaannya. Hanya beberapa

pusat kesehatan di Amerika Serikat yang mampu mengisolasi granulosit untuk sediaan transfusi.

Transfusi granulosit juga potensial mempunyai komplikasi seperti infeksi dan reaksi transfusi di

samping biaya yang tinggi dan teknik pembuatannya yang sulit.10,28

4. Pemberian G-CSF dan GM-CSF

Saat ini, banyak peneliti yang mempelajari tentang colony-stimulating factors, yaitu suatu

protein spesifik yang penting untuk proliferasi dan diferensiasi progenitor granulosit serta

mempengaruhi fungsi granulosit matang. Saat ini terdapat 2 jenis protein tersebut yang banyak

diteliti berkaitan dengan infeksi neonatus yaitu granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF)

Page 57: Hi Per Bilirubin

dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). Suatu penelitian melaporkan

peningkatan jumlah neutrofil absolut, eosinofil, monosit, limfosit, dan trombosit dengan

pemberian GM-CSF rekombinan pada neonatus yang sepsis. Namun masih diperlukan penelitian

lebih lanjut untuk mengetahui efektifitas terapi ini.

5. Transfusi tukar

Secara teoretis, transfusi tukar menggunakan whole blood segar pada sepsis neonatorum

bertujuan: 1) mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediator-mediator

penyebab sepsis, 2) memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas

oksigen dalam darah, dan 3) memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahn neutrofil dan

berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor. Transfusi tukar juga memiliki

beberapa kelemahan seperti kesulitan teknik pelaksanaan, potensial terjadinya infeksi, dan

reaksi transfusi.

6. Kortikosteroid

Terapi kortikosteroid intravena pada sepsis neonatorum masih kontroversial. Walaupun

kortikosteroid pernah digunakan sebagai terapi sepsis, namun kemanjurannya masih diragukan,

karena pemberiannya berlangsung setelah kaskade mediator inflamasi dimulai.

J. Prognosis

Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda dan

gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian.

Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis

neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio

kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SNAD adalah 2 – 30

%) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SNAL kira – kira 2

%).

Page 58: Hi Per Bilirubin

BAB V

KESIMPULAN

Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau

lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90.1 Ikterus

pada bayi yang baru lahir dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25%

– 50% pada bayi yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis.

Gambaran klinis ikterus fisiologis: Tampak pada hari 3, Bayi tampak sehat(normal), Kadar

bilirubin total <12mg% , Menghilang paling lambat 10-14 hari, Tak ada faktor resiko, Sebab:

proses fisiologis. Gambaran klinik ikterus patologis: Timbul pada umur <36 jam, Cepat

berkembang , Bisa disertai anemia, Menghilang lebih dari 2 minggu, Ada faktor resiko, Dasar:

proses patologis. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan

penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap dan

hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Penatalaksanaan dapat

dilakukan fototerapi dan transfusi tukar untuk mencegah terjadinya komplikasi kern ikterus.

Page 59: Hi Per Bilirubin

DAFTAR PUSTAKA

1. Sukadi A. Hiperbilirubinemia in Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A.

Buku Ajar Neonatologi. 1st Edition. Jakarta:Ikatan Dokter Anak Indonesia;2010. p 147-

69.

2. Hansen TWR, Rosenkrantsz T. Neonatal Jaundice. Available at ;

http://emedicine.medscape.com/article/974786-overwiew. Accessed on May 10th 2014 at

17.00 pm.

3. Mishr S, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Jaundice in the Newborns. Division of

Neonatology, Departmenets of Pediatrics All India Institute of Medical Sciences. New

Delhi;Department of Pediatrics;2007.

4. Kulkarni SK, Dolas AL, Doibale MK. Profle & Causes of Neonates With Indirect

Hyperbilirubinemia in a Tertiary care Centre. Journal of Basic and Applied Medical

Scienes 3(2):New York;2013. p 110-5

5. Kosim, M Sholeh, et al. Dampak Lama Fototerapi Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

Total Pada Hiperbilirubinemia Neonatal. Sari pediatric Vol 10 No. 3. Oktober 2008.

6. Maisels, Jeffrey, et al. Phototherapy for neonatal jaundice. The New England Journal of

Medicine. San Francisco 2013.

7. American Academy of Pediatrics. Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn

Infant 35 or More Weeks of Gestations. Available at :

http://pediatrics.aappublications.org/content/114/1/297.full.pdf. Acessed on May 10th

2014 at 17.15 pm.

8. Vinod K, Bhutani, et all. Phototherapy to Prevent Severe Neonatal Hyperbilirubinemia in

the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Official Journal of The American

Academy of Pediatrics 1542(10):Illinois;2011. p 1046-53.

9. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline. Neonatal Jaundice : prevention,

assessment and management. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline.

Queensland: 2012

Page 60: Hi Per Bilirubin

10. Usman, Ali. Ensefalopati Bilirubin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. Sari

Pediatri 8 (4):Bandung;2007. p 94-104.

11. Springer SC. Kernicterus. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/975276-

overview . Accessed on May 10th 2014 at 18.00 pm.

12. Centers for Disease Control and Prevention. Jaundice & Kernicterus. Available at :

http://www.cdc.gov/ncbddd/jaundice/facts.html . Accessed on May 10th 2014 at 18.15

pm.

13. Waagle S. Hemolytic Disease of Newborn Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/974349-overview . Accessed on May 10th 2014 at

18.30 pm.

14. Rizenberg HM, Mazzi E, MacDonald MG, Peralta M, Heldrich F. Correlation of Cord

Bilirubin levels with Hyperbilirubinaemia in ABO Incompatibility. Available at :

http://adc.bmj.com/content/52/3/219.short. Acessed on 11th May 2014 at 15.00 pm.

15. Osborn LM, Lenarsky C, Oakes RC, Reiff MI. Available at :

http://Pediatrics.aapublications.org/content/74/3/371.short. Acessed on 11th May 2014 at

15.15 pm.

16. Hafidh Y, Hidayah D, Sunyataningkamto in Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,

Usman A. Buku Ajar Neonatologi. 1st Edition. Jakarta:Ikatan Dokter Anak

Indonesia;2010. p 199-209

17. Aminullah A. Sepsis Pada Bayi Baru Lahir in Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa

GI, Usman A. Buku Ajar Neonatologi. 1st Edition. Jakarta:Ikatan Dokter Anak

Indonesia;2010. p 170-87

18. Bernstein J, Brown AK. Sepsis and Jaundice in Early Infancy. Available at :

http://Pediatrics.aapublications.org/content/29/6/873.short. Accessed on 11th May 2014 at

15.45 pm.

19. Berry ALA. Neonatal Sepsis. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview. Accessed on may 10th 2014 at

16.00 pm.

Page 61: Hi Per Bilirubin