HG 5_Nilai dan Keyakinan.doc

69
KONSEP NILAI DAN KEYAKINAN PADA ANAK KELAS C HOME GROUP V Disusun oleh: Citra Hafilah Shabrina 1106089041 Dara Mustika 1106020466 Hanun Isna Mutia 1106012520 Ijang Awaludin 1106015491 Shofura Qonita Lillah 1106089086

Transcript of HG 5_Nilai dan Keyakinan.doc

KONSEP NILAI DAN KEYAKINAN PADA ANAK

KELAS CHOME GROUP VDisusun oleh:

Citra Hafilah Shabrina1106089041

Dara Mustika

1106020466

Hanun Isna Mutia

1106012520

Ijang Awaludin

1106015491

Shofura Qonita Lillah1106089086FAKULTAS ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS INDONESIA2014KATA PENGANTARPuji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena atas kelimpahkan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Konsep Nilai dan Keyakinan pada Anak. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Anak 3, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Penyusunan makalah ini dapat diselesaikan atas bantuan, dorongan, dan partisipasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nani Nurhaeni, MN. selaku Dosen Pembimbing Mata Ajar Keperawatan Anak 3 pada kelas C serta berbagai pihak yang ikut membantu dalam proses penyelesaian makalah ini. Tim penyusun menyadari isi dari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena, itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan. Tim penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Depok, 7 Maret 2014Tim PenyusunDAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL1KATA PENGANTAR..2DAFTAR ISI4BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang......4B. Rumusan masalah.5C. Tujuan penulisan..5D. Metode penulisan.6E. Sistematika penulisan...7BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Vulnerabilitas (Rentan) dan Konsep Risiko..................7B. Tumbuh Kembang pada Bayi.....................................................9C. Beberapa Resiko pada Neonatus................................................12BAB III ANALISA DAN APLIKASI KONSEP AT RISKA. Kasus.......14B. Pembahasan.................................................................................14BAB IV PEMBAHASAN

A. Manfaat dari Konsep At Risk.....................................................19

B. Asuhan Keperawatan pada Kasus.............................................19

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................41

B. Saran.........................................................................................42DAFTAR PUSTAKA.........43BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelompok bayi dan anak balita adalah salah satu kelompok umur yang rentan terhadap berbagai penyakit karena sistem kekebalan tubuh dan fisiologis tubuh mereka yang belum sempurna. Sebagian besar penyakit anak tidak berbahaya dan hanya menyebabkan ketidaknyamanan sementara. Beberapa jenis lainnya sangat berbahaya, bahkan mengancam jiwa. Gangguan kesehatan pada anak dan bayi merupakan kumulatif dari berbagai faktor baik yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung.

Konferensi internasional tentang at risk factors and the health nutrition of children, mengelompokkan faktor-faktor tersebut (berpengaruh langsung ataupun tidak langsung) menjadi 3 kelompok, yaitu at risk factors yang bersumber dari masyarakat meliputi struktur politik, kebijakan pemerintah, ketersediaan pangan, prevalensi berbagai pelayanan kesehatan, tingkat sosial ekonomi, pendidikan dan iklim. At risk factors yang bersumber pada keluarga mencakup tingkat pendidikan, status pekerjaan, penghasilan, keadaan perumahan, besarnya keluarga dan karakteristik khusus setiap keluarga dan at risk factors yang bersumber pada individu anak meliputi usia ibu, jarak lahir terhadap kakaknya, berat lahir, laju pertumbuhan, pemafaatan ASI, imunisasi, dan penyakit infeksi. Ketiga kelompok faktor itu secara bersama-sama menciptakan suatu kondisi yang membawa dampak tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak akibat makanan yang tidak adekuat atau tidak sesuai dengan tumbuh kembangnya (Mochji, 1992).

Risiko kurang gizi pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah atau masyarakat bahkan keluarga. Artinya, andaikan disuatu desa terdapat sejumlah anak yang menderita gizi kurang dan tidak segera menjadi perhatian karena anak tidak tampak sakit. Faktor timbulnya gizi kurang pada anak balita lebih kompleks, maka upaya penanggulangannya memerlukan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi. Artinya, tidak hanya memperbaiki aspek makanan saja tetapi juga lingkungan hidup anak seperti pada pengasuhan, pendidikan ibu, air bersih, kesehatan lingkungan, mutu layanan kesehatan dan sebagainya (Supariasa, 2004).

Anak bukanlah miniatur dari orang dewasa, mereka berbeda. Merawat dan mengasuh bayi semestinya bisa menjadi hal yang menyenangkan dan minim masalah jika orang tua bisa bertindak dengan tepat. Satu tahun pertama bayi adalah masa-masa penting menentukan perkembangannya kelak terutama perkembangan fisik, bahasa, intelektual, sosial, sikap, dan perilaku. Perkembangan dan pertumbuhannya sangat pesat di usia ini. Jika di masa-masa awal ini bayi tidak mendapat nutrisi yang tepat dan cukup, tidak mendapat pengasuhan yang tepat, stimulasi yang diberikan kurang atau tidak mendapat penanganan penyakit yang tepat, ini bisa menjadi kerugian besar bagi orang tua karena masa ini tidak bisa diulang kembali. Oleh karena itu, penulis membahas tentang tumbuh kembang bayi dengan keyakinan dan nilai yang ibu anut sebagai bagian dari komponen at risk bersumber keluarga dan individu serta masalah yang mungkin muncul dari sudut pandang konsep at risk pada bayi usia 0-1 bulan.B. Rumusan Masalah1. Apa yang dimaksud dengan konsep vulnerabilitas (rentan) dan konsep risiko?2. Bagaimana tumbuh kembang pada bayi?3. Apa saja resiko pada neonatus yang mungkin terjadi?4. Bagaimana fisiologi ASI?5. Bagaiman nilai dan keyakinan terkait dengan kasus?6. Bagaimana kaitan kasus dengan neonatus sebagai individu beresiko?7. Apa saja manfaat konsep at risk terkait kasus?8. Bagaimana asuhan keperawatan yang bisa diberikan pada ibu terkait nilai dan keyakinan?C. Tujuan Penulisan1. Mahasiswa mengetahui dan memahami konsep vulnerabilitas (rentan) dan konsep risiko.2. Mahasiswa mengetahui dan memahami konsep tumbuh kembang pada bayi.3. Mahasiswa mengetahui dan memahami konsep nilai dan keyakinan serta masalah yang muncul terkait dengan kasus.4. Mahasiswa mengetahui dan memahamikonsep neonatus sebagai individu beresiko.5. Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada neonatus terkait nilai dan keyakinan ibu.D. Metode Penulisan

Metode penyusunan makalah yang digunakan adalah problem based learning dan studi pustaka. Hal pertama yang dilakukan adalah brain storming terkait kasus yang diberikan. Kemudian, membuat poin-poin penting terkait kasus dan mengelompokkannya untuk dicari bahan literaturnya oleh setiap individu. Pencarian materi dilakukan melalui studi pustaka dari berbagai literatur dan pencarian melalui internet. Selanjutnya melakukan diskusi dari hasil studi pustaka yang didapat serta mensintesinya dan mengambil kesimpulan tentang kasus yang diberikan.1.5 Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari lima bab, yaitu bab satu pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab dua berisi tinjauan pustaka. Bab tiga terdiri dari analisa dan aplikasi konsep at risk. Bab empat terdiri dari pembahasan. Bab lima penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKAA. Konsep Vulnerabilitas (Rentan) dan Konsep Risiko

Konsep vulnerabilitas dan resiko ini sering sulit sepenuhnya dimengeri oleh perawat karena faktor-faktor yang menyebabkan keduanya. Walaupun kedua konsep ini saling berhubungan, namun terdapat perbedaan diantara keduanya. Resiko sering dikaitkan DENGAN perumusan sebuah penyakit. Dalam ilmu epidemiologi, resiko mengarah pada kondisi kesehatan yang dihasilkan dari interaksi beberapa faktor seperti genetik, pola hidup dan fisik serta lingkungan sosial (Karen & Sharyn, 2009). Dari beberapa faktor ini memungkinkan seseorang terpapar masalah kesehatan.

Risiko dapat ditemukan dalam berbagai kategori menurut Stanhope dan Lancaster (2004), yaitu:1. Risiko Usia dan Biologis

Risiko usia dan biologis meliputi faktor genetika atau kondisi fisik tertentu yang dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang. Pertambahan usia tentunya menyebabkan terjadinya perubahan baik dalam bentuk peningkatan ataupun penurunan kondisi fisik seseorang dimana setiap fase kehidupan memiliki kekhasannya masing-masing.

2. Risiko Sosial

Risiko sosial dapat berupa ketidakharmonisan dalam keluarga, kriminalitas tinggi, lingkungan tercemar, kebisingan dan tercemar zat kimia, kurang rekreasi, dan tingginya stress lingkungan seperti diskriminasi ras dan kultural serta sulitnya akses sumber kesehatan yang mengkontribusi terjadinya masalah kesehatan yg menyebabkan stress.

3. Risiko Ekonomi

Kategori risiko ini erat kaitannya dengan kemiskinan. Tidak seimbangnya pengeluaran dengan pendapatan dapat menjadi faktor risiko terjadinya masalah kesehatan. Kemiskinan berkaitan dekat dengan risiko, meskipun faktor kemiskinan ini bukan menjadi satu-satunya faktor yang dapat menyebabkan individu ataupun agregat menjadi rentan (vulnerability) (Lundy & Janes, 2009).

4. Risiko Gaya Hidup

Gaya hidup individu ataupun keluarga yang kurang baik dapat menjadi faktor penyebab terjadinya penyakit atau bahkan kematian. Gaya hidup seperti makan dan minum yang kurang atau berlebihan, pola tidur yang tidak teratur, kebersihan yang tidak terjaga, serta penggunaan obat-obat terlarang dapat menjadi faktor risiko terjadinya masalah kesehatan.

5. Risiko Peristiwa Kehidupan

Sepanjang kehidupan ini, tentu banyak hal yang terjadi, kelahiran, kematian, pernikahan, perceraian, dan perubahan-perubahan lainnya tidak dapat dihindari. Perubahan yang terjadi sepanjang kehidupan memerlukan masa adaptasi dari individu ataupun keluarga. Tidak semua orang dapat menerima dan dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada dalam kehidupan ini. Alasan itulah yang menyebabkan peristiwa kehidupan ini dapat menjadi faktor risiko terhadap masalah kesehatan dimana perubahan yang tidak dapat diterima dapat menyebabkan stress emosional yang dapat menimbulkan masalah kesehatan lainnya.

Vulnerabilitas sendiri berarti kerentanan terhadap cedera dan kurangnya perlindungan dari bahaya. Secara spesifik vulnerabilitas adalah sekelompok orang yang lebih mungkin mengalami masalah kesehatan dan memiliki gejala lebih parah yang berasal dari paparan beberapa resiko (Karen & Sharyn, 2009). Banyak pendapat mengenai kerentanan sendiri. Seseorang dikatakan rentan karena kelemahan fisik, fisiologis atau lingkungan kesehatan. Ada pula yang berpendapat seseorang rentan karena umur, perilaku yang berhubungan dengan resikonya, dan tidak ada atau kurang akses ke pelayanan kesehatan. Konsep vulnaberabilitas sendiri sering dihubungkan dengan kemiskinan, tidak memadainya jaringan dan dukungan interpersonal terdegradasinya hubungan lingkungan dan bertetangga.

Bertumpuknya risiko yang dimiliki oleh individu dapat menyebabkan terjadinya kerentanan (vulnerable) pada individu tersebut. Keadaan rentan yang dialami oleh suatu populasi dapat mengarah kepada vulnerable population yaitu populasi yang memiliki risiko tinggi terjadinya masalah kesehatan dibandingkan populasi lain akibat suatu kondisi dan karakteristik tertentu. Kakteristik lainnya dari vulnerable population mencakup beberapa faktor yaitu (1) pendapatan dan pendidikan (2) usia dan jenis kelamin (3) ras dan etnik (4) penyakit kronik dan disabilitas (5) Penderita HIV/ AIDS (6) penyakit mental dan disabilitas (7) penyalahgunaan alkohol dan narkotika (8) kekerasan dalam keluarga (9) tuna wisma (10) risiko bunuh diri dan pembunuhan. (Aday, 2001 dalam Allender, Rector, & Warner, 2010.

Populasi berisiko (population at risk) adalah kumpulan orang-orang dengan masalah kesehatan yang kemungkinan akan berkembang karena dipengaruhi oleh adanya faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Allender, Rector, & Warner, 2010). Risiko ini dapat ditemukan dalam berbagai kategori meliputi risiko usia dan biologis, risiko sosial, risiko ekonomi, risiko gaya hidup dan risiko peristiwa kehidupan (Stanhope & Lancaster, 2004).

B. Tumbuh Kembang pada Bayi

Tumbuh kembang merupakan proses peningkatan dan matangnya seluruh aspek baik fisik maupun psikis. Proses tumbuh kembang yang dialami oleh bayi tentu akan sangat dinantikan oleh para orang tua terutama ibu. Tentu memperhatikan proses tumbuh kembang buah hati sendiri adalah suatu hal yang berkesan dan menyenangkan, karena setiap hari, minggu, dan bulan para orang tua bisa melihat pertambahan ukuran dan perubahan yang dialami bayinya.

Berikut tahapan tumbuh kembang bayi berdasarkan usia :

1. Usia 1 bulan

a. Di hari-hari pertama setelah kelahiran, bayi belum bisa membuka matanya. Namun setelah berjalan beberapa hari kemudian, ia akan bisa melihat pada jarak 20 cm.

b. Bulan pertama ini bayi akan memulai adaptasinya dengan lingkungan baru

c. Memiliki gerakan refleks alami.

d. Memiliki kepekaan terhadap sentuhan.

e. Secara refleks kepalanya akan bergerak ke bagian tubuh yang disentuh.

f. Sedikit demi sedikit sudah bisa tersenyum.

g. Komunikasi yang digunakan adalah menangis. Arti dari tangisan itu sendiri akan anda ketahui setelah mengenal tangisannya, apakah ia lapar, haus, gerah, atau hal lainnya.

h. Peka terhadap sentuhan jari

i. Tiada hari tanpa menghabiskan waktunya dengan tidur2. Usia 2 bulan

a. Sudah bisa melihat dengan jelas dan bisa membedakan muka dengan suara.

b. Bisa menggerakkan kepala ke kiri atau ke kanan, dan ke tengah.

c. Bereaksi kaget atau terkejut saat mendengar suara keras.

3. Usia 3 bulan

a. Sudah mulai bisa mengangkat kepala setinggi 45 derajat.

b. Memberikan reaksi ocehan ataupun menyahut dengan ocehan.

c. Tertawanya sudah mulai keras.

d. Bisa membalas senyum di saat Anda mengajaknya bicara atau tersenyum.

e. Mulai mengenal ibu dengan penglihatannya, penciuman, pendengaran, serta kontak.

4. Usia 4 bulan

a. Bisa berbalik dari mulai telungkup ke terlentang.

b. Sudah bisa mengangkat kepala setinggi 90 derajat.

c. Sudah bisa menggenggam benda yang ada di jari jemarinya.

d. Mulai memperluas jarak pandangannya.

5. Usia 5 bulan

a. Dapat mempertahankan posisi kepala tetap tegak dan stabil.

b. Mulai memainkan dan memegang tangannya sendiri.

c. Matanya sudah bisa tertuju pada benda-benda kecil.

6. Usia 6 bulan

a. Bisa meraih benda yang terdapat dalam jangkauannya.

b. Saat tertawa terkadang memperlihatkan kegembiraan dengan suara tawa yang ceria.

c. Sudah bisa bermain sendiri.

d. Akan tersenyum saat melihat gambar atau saat sedang bermain.

7. Usia 7 bulan

a. Sudah bisa duduk sendiri dengan sikap bersila.

b. Mulai belajar merangkak.

c. Bisa bermain tepuk tangan dan cilukba.

8. Usia 8 bulan

a. Merangkak untuk mendekati seseorang atau mengambil mainannya.

b. Bisa memindahkan benda dari tangan satu ke tangan lainnya.

c. Sudah bisa mengeluarkan suara-suara seperti, mamama, bababa, dadada, tatata.

d. Bisa memegang dan makan kue sendiri.

e. Dapat mengambil benda-benda yang tidak terlalu besar.

9. Usia 9 bulan

a. Sudah mulai belajar berdiri dengan kedua kaki yang juga ikut menyangga berat badannya.

b. Mengambil benda-benda yang dipegang di kedua tangannya.

c. Mulai bisa mencari mainan atau benda yang jatuh di sekitarnya.

d. Senang melempar-lemparkan benda atau mainan.

10. Usia 10 bulan

a. Mulai belajar mengangkat badannya pada posisi berdiri.

b. Bisa menggenggam benda yang dipegang dengan erat.

c. Dapat mengulurkan badan atau lengannya untuk meraih mainan.

11. Usia 11 bulan

a. Setelah bisa mengangkat badannya, mulai belajar berdiri dan berpegangan dengan kursi atau meja selama 30 detik.

b. Mulai senang memasukkan sesuatu ke dalam mulut.

c. Bisa mengulang untuk menirukan bunyi yang didengar.

d. Senang diajak bermain cilukba.

12. Usia 12 bulan

a. Mulai berjalan dengan dituntun.

b. Bisa menyebutkan 2-3 suku kata yang sama.

c. Mengembangkan rasa ingin tahu, suka memegang apa saja.

d. Mulai mengenal dan berkembang dengan lingkungan sekitarnya.

e. Reaksi cepat terhadap suara berbisik.

f. Sudah bisa mengenal anggota keluarga.

g. Tidak cepat mengenal orang baru serta takut dengan orang yang tidak dikenal/asing.

C. Beberapa Risiko pada Neonatus

Pada masa neonatal berbagai bentuk infeksi dapat terjadi pada bayi. Di negara yang sedang berkembang macam infeksi yang sering ditemukan berturut-turut infeksi saluran pernapasan akut, infeksi saluran cerna (diare), tetanus neonatal, sepsis dan meningitis. Selanjutnya dikemukakan bahwa case fatality rate yang tinggi terjadi pada penderita tetanus dan sepsis atau meningitis neonatal. Kedua penyakit terakhir ini lebih banyak menimbulkan masalah bila dibandingkan dengan penderita infeksi lain. Di Indonesia mortalitas yang disebabkan oleh tetanus neonatorum sudah banyak mengalami perbaikan. Berlainan halnya dengan tetanus, case fatality rate yang tinggi pada penderita sepsis dan meningitis merupakan masalah yang belum terpecahkan sampai saat ini. Permasalahan tersebut dapat terjadi akibat berbagai factor termasuk diantaranya masalah kuman penyebab, masalah diagnosis ataupun masalah penatalaksanaan dan pencegahan sepsis.

BAB IIIANALISA DAN APLIKASI KONSEP AT RISK A. Kasus

Seorang bayi baru lahir berusia satu hari dilahirkan di rumah. Bayi tampak rewel dan menangis karena lapar. Ibu mengatakan ASI belum diberikan kepada bayi tersebut karena ASI belum ada. Kemudian Ibu memberikan pisang pada bayi sehingga bayi tampak lebih tenang dan tidur dengan nyenyak. Pemberian pisang sebanyak 3 x sehari hingga bayi berusia satu bulan.

B. PembahasanFisiologi ASIPAda masa kehamilan estrogen dan progesteron diproduksi dalam jumlah besar dan menrangsang sistem duktus dan alveolus payudara. Hal ini menyebabkan proliferasi dan diferensiasi glandula mammae dan kolostrum yang menyerupai serum, jernih, dan encer yang disekresi saat bulan ketiga kehamilan. Kolostrum terus disekresikan hingga kehamilan cukup bulan. Namun, kadar estrogen yang tinggi selama kehamilan menginhibisi pengikatan prolaktin (hPL) dalam jaringan payudara, sehingga air susu tidak dihasilkan. Setelah melahirkan kadar estrogen dan progesteron dan hCS (human chorionic somatomammotropin) turun secara tajam, dan hPL merangsang alveoli mammae untuk memproduksi air susu. Kadar optimal insulin serta hormon tiroid dan adrenal berperan sekunder dalam laktasi.Pengisapan oleh bayi tidak diperlukan untuk mengawali laktasi. Namun, menyusui diperlukan untuk produksi air susu yang berkesinambungan (pengisapan merangsang sekresi berkala hPL). Pengisapan juga merangsang pelepasan oksitosin dan hipofisis posterior melalui refleks neural payudara ke hipofisis. Selain efeknya terhadap otot polos uterus, oksitosin menimbulkan kontraksi serat otot periasinar payudara, menyebabkan pengeluaran air susu ke sinus-sinus pengumpul utama yang bertemu di puting susu. Keadaan ini disebut pengeluaran susu atau refleks pelepasan susu. Ketegangan dan keletihan menghambat refleks ini, tetapi tangisan bayi dan kegiatan menyusu dapat merangsang refleks ini.

Bayi menyusu dengan peremasan areola secara ritmis. Karena itu, susu akan mengalir masuk ke dalam mulut. Sedikit sekali tenaga yang dibutuhkan untuk menyusu karena penampungan dalam payudara dapat dikosongkan dan diisi kembali, tidak tergantung dari isapan. Ibu yang menyusui akan mengalami rasa penarikan dan pengetatan dalam payudara pada permulaan isapan setelah pembesaran awal payudara menghilang. Karena itu ibu menyadari adanya refleks pengeluaran susu yang bahkan dapat menyebabkan tersembur atau mengalir keluar. Pengeluaran susu dapat dihambat oleh obat-obatan, rasa sakit, pembengkakan payudara, atau keadaan psikologis yang menguntungkan seperti rasa malu.

Selama beberapa hari setelah produksi awal susu (pengisian payudara) refleks pengeluaran susu mungkin berkurang. Kemudian, payudara menjadi teregang sehingga puting susu tampak tertarik ke dalam, areola tidak terjangkau oleh bayi sehingga bayi hanya sedikit mengisap susu.

Nilai dan Keyakinan

Menururt konsep budaya Leininger, karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Budaya adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak ada dua budaya yang sama persis.

2. Budaya selain bersifat stabil, juga dinamis karena budaya tersebut diturunkan kepada generasi selanjutnya sehingga mengalami perubahan.

3. Budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan manusia sendiri tanpa disadari.

Intisari dari konsep budaya Leininger pada poin kedua yaitu budaya bersifat stabil atau bersifat dinamis untuk diturunkan kepada generasi selanjutnya. Jika dikaitkan dengan kasus budaya pemberian pisang kepada neonatus sebagai upaya untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya dan supaya neonatus tersebut berhenti menangis adalah memang budaya yang bersifat stabil atau lebih tepat juga dikatakan statis. Dalam artian dari generasi ke generasi budaya tersebut masih tetap dipertahankan. Merujuk pada bidang kesehatan, hal tersebut merupakan perilaku kurang baik karena dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan pada neonatus.

Neonatus sebagai Individu berisiko

Karakteristik risiko terjadinya masalah kesehatan yang dapat diidentifikasi dan paling terlihat dari beberapa kategori risiko menurut Stanhope & Lancaster (2004) yaitu risiko usia dan biologis. Risiko usia dan biologis mencakup hal-hal yang berkaitan dengan fisiologis neonatus. Neonatus mengalami masa transisi dari bergantung pada ibu saat dalam kandungan menjadi individu yang mandiri setelah lahir keluar dari dalam kandungan. Karena adanya masa transisi ini, sistem tubuh neonatus melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Selama dalam kandungan, janin mendapatkan asupan nutrisi melalui plasenta. Setelah lahir, neonatus cukup bulan mampu menelan, mencerna, memetabolisme, dan mengabsorpsi protein dan karbohidrat sederhana, serta mengemulsi lemak. Karakteristik enzim dan pencernaan lainnya juga sudah ditemukan bahkan pada bayi lahir rendah, kecuali amilase pankreas yang baru berkembang pada usia 3-6 bulan. Amilase pankreas mengalami defisiensi selama 3-6 bulan pertama setelah lahir. Akibatnya, neonatus tidak bisa mencerna jenis karbohidrat yang kompleks seperti yang terdapat pada sereal atau juga pisang. Selain itu neonatus juga mengalami defisiensi lipase pankreas. Lemak yang ada di dalam ASI lebih bisa dicerna dan lebih sesuai untuk bayi dari pada lemak yang terdapat pada susu formula atau makanan lainnya. Zat gizi pada makanan lainnya seperti pisang bisa saja mencukupi atau bahkan melebihi kebutuhan neonatus, namun zat tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan sebaliknya dapat menyebabkan masalah lainnya seperti banyaknya serat dapat menyebabkan diare atau banyaknya zat-zat pembangun tubuh bayi yang belum dapat diuraikan oleh sistem pencernaan bayi sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan. (Bobak, Lowdermilk, Jansen, 2004).Dengan adanya keterbatasan enzim yang dimiliki bayi, makanan yang paling baik dan dianjurkan untuk neonatus adalah Air Susu Ibu (ASI). Ketika bayi diberikan makanan padat lainnya, akan meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan. Tidak adanya asupan ASI dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi karena neonatus mengandalkan kekebalan pasif dari ibu yang terkandung dalam ASI. Hal ini terjadi akibat tidak aktifnya sel-sel imun yang tidak aktif selama tiga bulan pertama kehidupan.. IgA tidak ditemukan pada saluran napas, saluran cerna, dan saluran kemih bayi neonatus. IgA dapat ditemukan dalam tubuh neonatus bila ibu memberikan ASI. Bayi mulai menyintesis IgG dan kadar 40% IgG orang dewasa akan ditemukan pada bayi setelah berusia 1 tahun. IgA, IgD, dan IgE diproduksi secara lebih bertahap dan kadar maksimum tidak dicapai pada masa kanak-kanak dini. Kekebalan pasif didapatkan bayi dari ASI. (Bobak, Lowdermilk, Jansen, 2004).Makanan padat juga dapat meningkatkan risiko terjadinya aspirasi pada neonatus. Hal ini dapat terjadi akibat belum matangnya spingter pada neonatus. Selain itu, makanan padat seperti pisang dapat pula menyebabkan terjadinya invaginasi usus pada bayi. Invaginasi ini dapat terjadi karena usus bagian distal memiliki diameter yang lebih besar daripada bagian proksimal. Invaginasi ini dapat menyebabkan terjadinya obstruksi pada saluran cerna bayi. Pada akhirnya, invaginasi ini menyebabkan gangguan pula pada sistem eliminasi fekal bayi dan hanya bisa diatasi dengan pembedahan.

Selain terjadinya masalah kesehatan, pemberian makanan padat pada neonatus juga dapat menyebabkan terjadinya kematian seperti yang terjadi di Banda Aceh. Selain di Banda Aceh, kebiasaan orang tua memberikan pisang kepada neonatus terjadi juga di Brebes dan Tegal. Selain dua wilayah tersebut, ada juga wilayah lain yang mempunyai kebudayaan sama dengan dua wilayah sebelumnya, yaitu masyarakat di Desa Latompe, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Di wilayah tersebut para orang tua juga memberikan pisang kepada bayinya dengan tujuan supaya bayi tidak menangis lagi karena kelaparan. Dan bagi mereka kalau ada bayi menangis, mereka merasa malu karena takut dikira mereka tidak memperhatikan bayinya. Risiko masalah kesehatan lainnya yang dapat muncul pada neonatus yaitu hiperbilirubinemia. Hati pada neonatus dapat dipalpasi sekitar 1 cm di bawah batas kanan iga karena hati menempati 40% rongga abdomen. Hati janin mulai menyimpan zat besi sejak masih dalam kandungan ibu. Jika ibu memiliki asupan zat besi yang cukup, maka janin memiliki simpanan zat besi yang cukup pula dan dapat bertahan hingga 5 bulan kehidupan. Dan pada umumnya neonatus masih kekurangan enzim glukoniltransferase yang berfungsi untuk mengubah bilirubin indirect menjadi bilirubin direct yang dapat dicerna oleh tubuh. Akibatnya, neonatus hiperbilirubinemia menjadi fenomena yang tidak asing lagi pada neonatus. BAB 4

PEMBAHASANA. Manfaat dari Konsep At Risk

Manfaat dari konsep at risk adalah kita dapat lebih memahami resiko-resiko kesehatan yang mungkin terjadi pada bayi. Jika dihubungkan dengan kasus, maka kita dapat mengetahui bayi tersebut memiliki sistem-sistem dan organ-organ tubuh yang belum matang, baik sistem pencernaan, sistem pernapasan, organ hati, dan lain sebagainya. Terlebih lagi dengan tambahan faktor resiko seperti kurangnya pengetahuan ibu terkait pentingnya ASI dan nilai dan keyakinan yang ibu miliki. Tambahan faktor resiko tersebut bisa menyebabkan semakin meningkatnya resiko gangguan kesehatan, khususnya pencernaan pada bayi. Penerapan konsep at risk , meskipun pada kasus belum dikatakan bayi mengalami gangguan pencernaan, namun kita dapat memahami jika tidak segera diatasi, maka bayi dapat mengalami gangguan pencernaan, gangguan keseimbangan nutrisi, dan bahkan berdampak pada perlambatan tumbuh kembang bayi.B. Asuhan Keperawatan pada Kasus

Pengkajian

1. Pengkajian BudayaPengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 2004). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen dari model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya yang digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model) yaitu (Leininger. M & McFarland. M.R, 2002): 1) Faktor Teknologi (Technological Factors)

Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji: persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.

Pada kasus, faktor teknologi yang terkait adalah kemajuan teknologi dan canggihnya komunikasi, banyak membuat produsen makanan bayi berperilaku agresif dengan gencar melakukan promosi makanan pendamping asi serta susu formula melalui media cetak dan elektronik sebagai pengganti ASI yang membuat masyarakat kurang mempercayai kehebatan ASI, sehingga masyarakat akhirnya memilih makanan pendamping atau susu formula.2) Faktor Agama dan Falsafah Hidup (Religious and Philosophical Factors)

Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan diatas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah: agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.3) Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga (Social Factors and Attachment to Family)

Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor: nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.4) Nilai-Nilai Budaya dan Gaya Hidup (Cultural Value and Life Ways)

Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Hal yang perlu dikaji pada faktor ini adalah: posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.5) Faktor Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku (Political and Legal Factors)

Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien.

Cuti melahirkan di Indonesia rata-rata tiga bulan. Ibu yang juga harus bekerja sehingga tidak dapat memberikan ASI eksklusif 4-6 bulan. Setelah itu, banyak ibu khawatir terpaksa memberi bayinya susu formula atau makanan pendamping lainnya karena ASI perah tidak cukup, berjalannya waktu memberi bayi dibawah 6 bulan dengan susu formula/makanan pendamping dipandang sebagai hal yang lumrah dan menjadi kebiasaan bagi ibu sebagai wanita karir.6) Faktor Ekonomi (Economical Factors)

Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya: pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.

Pada kasus, faktor ekonomi yang dapat dikaitkan adalah ibu dari golongan tingkat ekonomi rendah pada umumnya menderita kekurangan gizi (tingkat gizi yang terburuk) sehingga jumlah ASI secara kualitas dan kuantitas tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu, mereka biasanya memberikan makanan tambahan yang sangat dini kepada bayinya. Ibu dari golongan ekonomi tinggi lebih sadar manfaat pemberian ASI eksklusif, sedangkan ibu dari golongan ekonomi cukup tampak yang banyak "termakan" oleh iklan yang mempromosikan bahwa bayi akan lebih cepat tumbuh dengan pemberian makanan tertentu.7) Faktor Pendidikan (Educational Factors)

Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.

Pada kasus, faktor pendidikan yang dapat dikaitkan adalah pendidikan yang umumnya berkorelasi dengan faktor ekonomi. Ibu yang berpendidikan tinggi, umumnya mudah untuk diedukasi dan mampu mengolah semua informasi dengan baik termasuk menentukan bayi usia 0-6 bulan untuk di beri ASI eksklusif saja tanpa diberi makanan pendamping ASI.

Keperawatan transkultural mencakup pengintegrasian pandangan, pengetahuan, dan pengalaman budaya dalam semua area proses keperawatan; walau demikian, model ini tidak memberikan panduan untuk mengkaji klien-individu, kelompok, atau komunitas juga tidak memandu diagnosis, perencanaan, dan intervensi keperawatan (Christensen Paula & Kenney Janet, 2009). Model ini menjadi pedoman untuk membangkitkan teori-teori bagi praktik keperawatan dalam budaya khusus. Sehingga, diperlukan pengkajian lainnya terkait kasus yang berhubungan dengan nilai dan keyakinan, yaitu:2. Anamnesa :

1. Apakah anak anda mempunyai diet khusus?

a. Bayi menderita galaktosemia

ASI mengandung laktosa tinggi sehingga bayi harus disapih, diberi susu tanpa laktosa, penderita harus diet makanan tanpa galaktosa sepanjang hidupnya (Behrman, Kliegman & Arvin, 2001).b. Bayi menderita PKU (Phenyl Keton Uria)

Suatu penyakit gentik yang diturunkan dengan kecenderungan autosomal resesif, disebabkan tidak adanya enzim yang diperlukan untuk memetabolisme asam amino esensial fenilalanin.Dengan diet rendah fenilalanin, mencegah bayi mengalami retardasi mental dan memungkinkan terjadinya perkembangan normal. Diet rendah fenilalanin harus dimulai segera setelah kelahiran dan dipertahankan sampai remaja (Behrman, Kliegman & Arvin, 2001).c. Bayi menderita MSUD (Maple Syrup Urine Disease)

MSUD adalah suatu amino asidemia yang disebabkan oleh defisiensi rantai cabang enzim dekarboksilase. Bayi mengalami kekurangan enzim yang melibatkan metabolisme asam amino. Dicirikan dengan urin yang berbau seperti sirup maple. Bayi dengan gangguan ini tidak dapat memproses tiga rangkaian asam amino, yaitu leusin, isolusin dan valin di dalam darah sehingga menimbulkan gangguan otak. Selama serangan, didapatkan peningkatan kadar asam amino rantai bercabang di dalam urin dan darah. Ketiga asam ini ada dalam ASI. Bayi harus diet dengan menghentikan asupan ASI dan diet dengan susu yang diformulasikan khusus dengan level di bawah dari asam amino leusin, isoleusin dan valin dengan tujuan untuk menormalkan kembali cabang rantai asam amino dengan membatasi asupan cabang rantai asam amino tanpa pertumbuhan merusak dan pengembangan intelektual (Wilkins & Williams, 1995).2. Uraikan diet khas anak Anda selama 24 jam terkait makanan, cairan, jumlah, frekuensi ?3.Apakah anda mempunyai masalah yang berhubungan dengan menyusui? (Danuatmaja, Bonny & Meiliasari, Mila, 2003).a. Kontraindikasi pemberian ASI (Lawrence, 1999 dalam Wong, 2001)

Ibu menjalani terapi kanker

Ibu menderita hepatitis virus C (HCV)

Ibu menderita TBC yang tidak menjalani terapi

Ibu menderita HIV

Bayi menderita galaktosemia

Sitimegalovirus (CMV)

Ibu menyalahgunakan obat (mis. kokain & marijuana)

Human T-cell Leukimia virus tipe 1 (HTLV-1)

b. Kurang informasi

Akibat kurang informasi, banyak ibu menganggap susu formula sama baiknya, bahkan lebih baik dari ASI. Hal ini menyebabkan ibu lebih cepat memberikan susu formula jika merasa ASI-nya kurang atau terbentur kendala menyusui. Masih banyak pula petugas kesehatan tidak memberikan informasi pada ibu saat pemeriksaan kehamilan atau sesudah bersalin.

c. Puting susu yang pendek/terbenam

Ada beberapa bentuk puting susu, panjang, pendek, dan datar atau terbenam. Dengan kehamilan, biasanya puting susu menjadi lentur. Namun memang kerap terjadi sampai sesudah bersalin, puting belum juga menonjol keluar.Banyak ibu langsung menganggap hilang peluangnya untuk menyusui.Padahal, puting hanya kumpulan muara saluran ASI dan tidak mengandung ASI.ASI disimpan di sinus laktiferus yang terletak di daerah areola mamae.Jadi, untuk mendapatkan ASI, areola mamae yang perlu dimasukkan ke dalam mulut bayi agar isapan dan gerakan lidah dapat memerah ASI keluar.

d. Payudara bengkak

Tiga hari pasca persalinan payudara sering terasa penuh, tegang, dan nyeri.Kondisi ini terjadi akibat adanya bendungan pada pembuluh darah di payudara sebagai tanda ASI mulai banyak diproduksi. Jika karena ibu sakit malah berhenti menyusui, kondisi ini akan semakin parah, ditandai dengan mengkilatnya payudara dan ibu mengalami demam.

e. Puting susu nyeri/lecet

Ini masalah yang paling banyak dialami ibu menyusui.Puting nyeri atau lecet terjadi akibat beberapa faktor, yang dominan adalah kesalahan posisi menyusui saat bayi hanya menghisap pada puting.Padahal seharusnya sebagian besar areola masuk ke dalam mulut bayi.Puting lecet juga dapat terjadi jika pada akhir menyusui, bayi tidak benar melepaskan isapan atau jika ibu sering membersihkan puting dengan alkohol atau sabun.Puting yang lecet dapat membuat ibu merasa tersiksa saat menyusui karena rasa sakit.Jika ibu melewati waktu menyusui untuk menghindari rasa sakit, dapat menyebabkan tidak terjadinya pengosongan payudara, akibatnya produksi ASI berkurang.f. Saluran ASI tersumbat

Kelenjar air susu manusia memiliki 15-20 saluran ASI. Satu atau lebih saluran ini bisa tersumbat karena tekanan ibu jari saat menyusui, posisi bayi, atau bra yang terlalu ketat, sehingga sebagian saluran ASI tidak mengalirkan ASI.Sumbatan juga dapat terjadi karena ASI dalam saluran tersebut tidak segera dikeluarkan karena ada pembengkakan.

g. Radang payudara

Jika puting lecet, saluran payudara tersumbat, atau pembengkakan payudara tidak ditangani dengan baik, bisa berlanjut menjadi radang payudara. Payudara akan terasa bengkak, sangat sakit, kulitnya berwarna merah, dan disertai demam.

h. Abses payudara

Terdapat nanah pada payudara, sehingga perlu diinsisi.Selama bekas luka insisi belum sembuh, maka bayi hanya dapat menyusui dari payudara yang sehat.

i. Ibu hamil kembali ketika masih menyusui

Terkadang ibu sudah hamil kembali ketika masih menyusui.Jika tidak ada masalah dengan kandungannya, ibu masih dapat menyusui. Namun, ia harus makan lebih banyak lagi. Selain itu, mungkin ibu akan mengalami puting lecet, keletihan, ASI berkurang, rasa ASI berubah, daan kontraksi rahim.

4. Adakah faktor-faktor yang dapat menghambat pengeluaran ASI seperti obat-obatan yang dikonsumsi serta faktor psikologi (cemas) oleh ibu ketika hamil?

3. Pengkajian bayi :

1. Kaji kesiapannya dalam hal pemberian makan

Biasanya bayi yang baru lahir perlu tumbuh hingga tiga atau empat kali dari berat lahir awal untuk siap menerima makanan.

2.Kaji kebutuhan nutrisinya, dan keberhasilan program menyusui meliputi usia, keadaan bayi pada saat lahir, kematangan dan tingkat energinya.

3.Kaji kemampuan refleks menangkap (rooting), refleks menghisap, refleks menelan (Wong, 2001)

Setiap pemberian makanan yang memintas mulut menghalangi kesempatan bayi untuk mempraktikkan pengisapan dan penelanan, atau kesempatan untuk mengalami siklus lapar dan kenyang yang normal. Bayi dapat memperlihatkan keengganan terhadap pemberian makan oral dengan tingkah laku seperti memalingkan kepala dari puting yang disodorkan, mengeluarkan puting dengan dorongan lidah, memuntahkan atau bahkan muntah.

Keterlambatan perkembangan tampak pada daerah kinerja motorik perseptual yang dapat diukur dengan uji standar, meskipun area fungsi intelektual terukur masih tetap dalam batas normal. Observasi lain menunjukkan ketidaktertarikan atau resistensi aktif terhadap permainan oral, rendahnya motivasi dan spontanitas, dan hubungan interpersonal yang dangkal, kemungkinan berhubungan dengan tidak adanya beberapa pola keterlibatan pengalaman oral normal. Semakin lama periode pemberian makan non oral, semakin berat masalah pemberian makan, terutama bila periode ini muncul ketika bayi dengan cepat berkembang dari aksi reflektif ke pembelajaran dan makan volunter. Masa bayi merupakan periode ketika mulut merupakan instrumen primer untuk menerima rangsang dan kenikmatan.

Bayi yang diidentifikasi mengalami resiko resistensi pemberian makan harus diberi rangsang oral reguler seperti menggosok daerah mulut dari pipi ke bibir, menyentuh lidah, meneteskan sedikit makanan ke bibir dan lidah, dan menghubungkan makan dengan aktivitas kenikmatan (menggendong, berbicara, melakukan kontak mata) berdasarkan tingkat perkembangan bayi. Mereka yang memperlihatkan keengganan pemberian makanan harus memulai program rangsangan untuk mengatasi penolakan dan mencapai kemampuan untuk menerima makanan melalui rute oral. Karena manajemen ini memerlukan komitmen jangka panjang, implementasi rencana perangsangan oral yang berhasil sangat bergantung pada keterlibatan orang tua yang maksimal dan peningkatan asuhan keperawatan primer.

4. Pengkajian tumbuh kembang bayi usia 0-1 bulan, kaji (Muscari, Mary E, 2001) :

a. Perkembangan fisik

1) Tinggi Badan

Antara usia 0-6 bulan, bayi tumbuh 2,5 cm per bulan hingga panjang tubuh rata-rata 63,8 cm.

2) Berat Badan

- Antara usia 0-6 bulan berat bayi bertambah 682 g per bulan. - Berat badan bayi lahir meningkat dua kali ketika usia 5 bulan. - Berat badan rata-rata usia 6 bulan adaah 7,3 kg.

3) Lingkar Kepala (LK) atau Lingkar Front

Anak usia 0-6 bulan, LK bertambah 1,32 cm per bulan hingga ukuran rata-rata 37,4 cm.

4) Lingkar Dada

Ukuran normal sekitar 2 cm lebih kecil dari LK

5) Perubahan Fontanel

- Saat lahir, bagian terlebar fontanel anterior yang berbentuk berlian berukuran sekitar 4-5 cm; fontanel ini meutup pad usia 12-18 bulan.

- Saat lahir, bagian terlebar fontanel posterior yang berbentuk segitiga sekitar 0,5-1 cm; fontanel ini menutup pada usia 2 bulan.

b. Aktivitas Psikoseksual

1) Tinjauan (Freud)

1. Tahap oral pada perkembangan dimulai dari lahir sampai usia 18 bulan.

2. Bayi menghisap untuk kesenangan sama seperti makanan dan juga mencapai kepuasan dengan menelan, mengunyah, dan menggigit.

2) Manifestasi

1. Pada tahap ini, bayi memenuhi kebutuhan oralnya dengan menangis, mengecap, makan, dan bersuara dini.

2. Bayi menggunakan gigitan untuk mengendalikan lingkungan dan untuk mencapai rasa kontrol yang lebih besar.

3. Bayi menggunakan genggaman dan sentuhan untuk menggali variasi di lingkungan.

c. Aktivitas Kognitif

1) Tinjauan (Piaget)

Selama tahap sensorimotorik (antara lahir dan 18 bulan), kemampuan intelektual berkembang dan bayi memperoleh pengetahuan tentang lingkungan melalui indra. Perkembangan mengalami kemajuan dari aktivitas reflektif ke tindakan yang memiliki tujuan. Ada pun untuk bayi usia antara lahir sampai 1 bulan masuk dalam tahap pertama dimana periode ini ditandai dengan penggunaan refleks yang dibawa sejak lahir dan dapat diduga untuk bertahan hidup (mis. menghisap dan menggenggam)

2) Bahasa

Alat komunikasi pertama bayi adalah menangis. Orang tua biasanya bisa membedakan tangisan (mis. antara lapar dan letih).d. Eliminasi

1) Pola eliminasi biasanya berkembang pada usia minggu kedua kehidupan dan dikaitkan dengan frekuensi dan jumlah pemberian makan.

2) Konsistensi dan warna feses tergantung pada apa yang bayi makan. Pada semua bayi, perubahan kualitas defekasi bayi sejalan dengan diperkenalkannya makanan padat.

3) Pengeluaran urin rata-rata 200 sampai 300 mL pada akhir minggu pertama kehidupan dengan sekitar 20 kali berkemih per hari. Rata-rata 350 sampai 550 mL/hari selama masa bayi.

e. Pola Tidur

1) Kebanyakan bayi tidur saat sedang tidak makan selama bulan pertama.

2) Kebanyakan bayi tidur 9 sampai 11 jam di malam hari antara usia 3 dan 4 bulan.

3) Kebanyakan bayi tidur pada pagi dan sore hari di usia 12 bulan.

4) Ritual tidur harus di mulai pada masa bayi untuk mempersiapkan bayi tidur dan mencegah masalah tidur di kemudian hari.

f. Nutrisi

1) Sumber makanan awal

Air susu ibu adalah sumber makanan lengkap yang paling disenangi selama 6 bulan pertama. Air susu ibu secara gizi adalah yang paling unggul, aman dari bakteri, dan sedikit menyebabkan alergi. Air susu ibu juga mengandung faktor anti-infeksi dan sel-sel imun.

2) Kebutuhan cairan

a. Susu (dan makanan saring lanjutan) merupakan sumber air utama bagi bayi.

b. Kebutuhan air rata-rata 125 sampai 150 mL/kg/hari dari usia 0 sampai 6 bulan, dan 120 sampai 135 mL/kg/hari dari usia 6 sampai 12 bulan.

3) Makanan padat tidak dianjurkan sebelum usia 4 sampai 6 bulan

Karena penonjolan refleks menghisap dan imaturitas saluran gastrointestinal dan sistem imun, ASI atau susu formula tetap sebagai sumber nutrisi utama untuk usia 6 sampai 12 bulan, meskipun makanan padat sudah harus diberikan.

5.Pengkajian terhadap masalah yang timbul dari kebiasaan makan

Kolik, regurgitasi, diare, konstipasi, invaginasi, sindrom mulut botol dan ruam adalah masalah umum yang berhubungan dengan pemberian makan pada bayi.4. Pengkajian orang tua :

1. Kemampuan fisik dan kesiapan psikologis untuk memberi makan bayi baru lahir.2. Pengetahuan menyusui, stimulasi pengeluaran ASI, dan pemberian makanan selain ASI selama masa ASI eksklusif sehingga dapat memutuskan metode yang ingin dilakukan setelah mengetahui keuntungan dan kerugian masing-masing metode.3. Mengkaji pengetahuan pentingnya/ pernah melakukan IMD atau juga stimulasi putting susu oleh mulut bayi (isapan).

4. Kaji pengetahuan tentang kebutuhan dan kapabilitas nutrisi bayi, keterampilan cara pemberian makan dan pengetahuan tentang diet yang aman dan cukup selama masa ASI eksklusif.

5. Kaji pemahaman tentang tingkah laku bayi

Sesuai sifat individu, setiap bayi akan mengubah dan membentuk lingkungannya dan berpengaruh pada perkembangannya, pola tidur bayi yang lama dibanding yang sedikit dalam sehari tentunya akan lebih sedikit terpajan rangsang, dan memunculkan respon yang tenang, tidak menuntut dan pasif. Karakter seperti iritabilitas dan konsolabilitas, dapat mempengaruhi kemudahan transisi ke peran orang tua dan persepsi orang tua terhadap bayinya.

6. Kaji pengetahuan tentang manfaat kelekatan ibu dan anak dengan ASI

Terdapat banyak bukti bahwa semakin tinggi kontak ibu-anak akan mendorong pemberian ASI jangka lama dan dapat meminimalkan risiko gangguan asuhan orang tua.7. Mitos-mitos yang diajarkan secara turun temurun sehingga dapat membuat ibu kurang percaya diri serta menurunkan semangatnya untuk menyusui (Danuatmaja, Bonny & Meiliasari, Mila, 2003)a. Menyusui mengubah bentuk payudara wanita

Menyusui tidak mengubah payudara wanita secara permanen.Yang mengubah bentuk payudara adalah kehamilan. Kehamilan menyebabkan dikeluarkannya hormon-hormon dan menyebabkan terbentuknya air susu yang mengisi payudara. Payudara yang sudah penuh terisi air susu tentu akan berbeda bentuknya dengan payudara yang belum pernah terisi susu. Besarnya perubahan bentuk payudara sangat tergantung turunan (herediter), usia dan juga penambahan berat badan pada waktu kehamilan.

b. Menyusui menyebabkan kesukaran menurunkan berat badan

Dengan menyusui, timbunan lemak sewaktu hamil akan digunakan dalam proses menyusui. Wanita yang tidak menyusui akan sukar menghilangkan timbunan lemak karena lemak memang khusus dipersiapkan tubuh untuk menyusui.

c. Payudara ibu kecil, sehingga tidak menghasilkan cukup ASI

Besar kecilnya payudara tidak menentukan banyak sedikitnya produksi ASI karena payudara yang besar hanya mengandung lebih banyak jaringan lemak dibandingkan yang kecil.ASI dibentuk oleh jaringan kelenjar pembentuk ASI (alveoli), bukan jaringan lemak. Jadi, besar-kecilnya payudara tidak menentukan banyak-sedikitnya produksi ASI.

d. ASI yang keluar pertama kali harus dibuang karena kotor

ASI yang keluar pada hari ke-1 hingga ke-5 atau ke-7 yang disebut kolostrum (berwarna jernih kekuningan) ini mengandung zat putih telur atau protein dalam kadar tinggi, zat anti infeksi, atau zat daya tahan tubuh (immunoglobulin) dalam kadar yang lebih tinggi daripada susu mature. Di samping itu,kolostrum juga mengandung laktosa atau hidrat arang dan lemak dalam kadar yang rendah sehingga mudah dicerna. Volume kolostrum bervariasi antara 10 cc sampai 100 cc per hari. Volume yang rendah ini memberikan beban minimal bagi ginjal bayi yang belum matang. Kolostrum melindungi bayi pada saat ia sangat rentan. Tugas utama kolostrum tampaknya memang melindungi bayi terhadap penyakit-penyakit infeksi selain sebagai nutrisi.Kolostrum terbukti sangat bermanfaat bagi bayi prematur dan bayi sakit.Apabila kolostrum dibuang, bayi tidak atau kurang mendapat zat-zat pelindung penyakit infeksi.

e. ASI ibu kurang gizi biasanya kualitasnya tidak baik

Bayi dan ASI sebenarnya bersifat parasit. Sampai batas tertentu, kualitas dan kuantitas ASI akan tetap dipertahankan walaupun harus mengorbankan gizi ibu. Kualitas ASI baru berkurang apabila ibu menderita kekurangan gizi tingkat ke-3.

f. ASI mengandung residu pestisida dan bahan beracun

Banyak ibu gelisah dengan adanya laporan menakutkan tentang tercemarnya susu sapi juga ASI oleh zat beracun seperti dioxin atau logam berat berbahaya yang akan membahayakan bayi. Para ahli yang mempelajari hal ini berulang-ulang meyakinkan masyarakat keuntungan menyusui jauh melebihi bahaya menyusui dengan ASI yang tercemar zat-zat racun sehingga pemberian ASI tetap dianjurkan. Padahal, racun-racun ini sebenarnya lebih berbahaya pada masa kehamilan, terutama pada bulan ke-6 sampai ke-8 dibandingkan dengan saat menyusui. Jadi, jika didapatkan racun pada bayi, kemungkinan bayi mendapatkan sewaktu dalam kandungan.Terdapat bukti bahwa menyusui mungkin dapat memberikan perlindungan terhadap beberapa zat kimia beracun. Pada kecelakaan kebocoran reaktor di Chernobyl didapatkan bahwa kadar zat radioaktif dalam ASI jauh lebih sedikit dari kadar zat ini di dalam tubuh ibu. Keadaan ini membuat para ahli berkesimpulan adanya suatu mekanisme tubuh yang menyaring racun sehingga didapatkan konsentrasi yang rendah dalam ASI.

g. Bayi tidak cukup mendapat ASI karena rakus/minumnya banyak

Apabila bayi kuran mendapat ASI atau kurang minum, terkadang bukan karena ibu yang tidak memproduksi ASI sebanyak diperlukan. Namun, si bayi tidak dapat menghisap ASI sebanyak yang ia perlukan, misalnya karena posisi menyusui yang tidak benar. Produksi ASI dirangsang oleh pengosongan payudara dan berlaku prinsip supply and demand (semakin banyak ASI dikeluarkan, semakin banyak ASI yang diproduksi). Air susu ibu diproduksi sesuai jumlah permintaan dan kebutuhan bayi. Selama bayi masih melanjutkan permintaannya dengan menghisap ASI, selama itu payudara ibu tetap bereproduksi. Apabila bayi berhenti meminta ASI dengan cara berhenti menghisap, payudara ibu pun berhenti memproduksi ASI.

Diagnosa-Evaluasi

DiagnosaTujuan UmumIntervensiEvaluasi

Defisit Pengetahuan IbuIbu memahami pentingnya ASI untuk bayi Mempersiapkan ibu baru untuk menyusui bayinya

Konseling Laktasi: Menggunakan proses bantuan interaktif untuk membantu mempertahankan keberhasilan menyusui

Memberi edukasi terkait pemberian nutrisi bayi dan praktik menyusui selama satu tahun pertama kehidupan

Memberi edukasi mengenai keutamaan dan pentingnya ASI Ibu mengidentifikasi kebutuhan informasi terkait ASI

Ibu memperlihatkan kemampuan memberikan ASI pada bayi

Ketidakefektifan Pemberian ASIKeberlangsungan pemberian ASI secara efektif untuk menyediakan nutrisi bagi bayi

Kaji pengetahuan dan pengalaman ibu dalam pemberian ASI

Kaji kemampuan bayi untuk latch on dan mengisap secara efektif

Pantau berat badan dan pola eliminasi bayi

Konseling laktasi:

Evaluasi pola mengisap/ menelan bayi

Tentukan keinginan dan motivasi ibu untuk menyusui

Evaluasi pemahaman ibu tentang isyarat menyusu dari bayi

Pantau ketrampilan ibu dalam menempelkan bayi ke puting

Pantau integritas kulit puting

Evaluasi pemahaman tentang sumbatan kelenjar susu dan mastitis

Intervensi untuk keluarga:

Instruksikan ibu dalam teknik menyusui yang menigkatkan ketrampilan dalam menyusi bayinya

Instruksikan ibu untuk menggunakan kedua pyudaranya setiap kali menyusu, dimulai dengan satu sisi payudara secara bergantian

Instruksikan kepada ibu tentang alat pompa payudara dan teknik untuk mempertahankan suplai ASI selama penundaan atau penghentian refleks menghisap bayi.

Instruksikan ibu, tentang kebutuhan untuk istirahat yang adekuat dan asupan cairan.

Konseling laktasi

Sediakan informasi tentang keuntungan pemberian ASI dan kerugian bila tidak diberikan ASI

Diskusikan metode alternatif pemberian makan bayi

Perbaiki salah konsepsi, salah informasi, dan ketidakakuratan tentang pemberian ASI Ibu akan mempertahankan keefektian pemberian ASI selama yang diinginkan bayinya

Ibu akan menggambarkan peningkatan kepercayaan diri terkait pemberian ASI

Ibu mengenali tanda-tanda penurunan suplai ASI

Ibu mengenali isyarat bayi lapar dengan segera

Gangguan Keseimbangan Nutrisi: Kurang dari KebutuhanNutrisi anak tercukupi Mengukur dan mencatat BB pasien

Mempersiapkan ibu untuk menyusui bayinya

Mengajarkan ibu konseling laktasi

Bayi melekat ke dan mengisap payudara ibu untuk memperoleh nutrisi selama 3 minggu pertama menyusu

Bayi memiliki BB dan TB yang normal

Keadekuatan pola asupan gizi

Resiko Gangguan Proses Tumbuh KembangKemajuan normal perkembangan fisik dan mental anak Mengatur struktur lingkungan dan memberikan perawatan dalam berespon terhadap penanda perilaku dan status bayi kurang bulan

Memberikan perawatan berpusat pada keluarga yang sesuai tahap perkembangan untuk anak berusia dibawah 1 tahun

Melakukan penatalaksanaan neonatus selama transisi kehidupan ekstruteri dan periode stabilisasi selanjutnya

Membantu atau menyediakan asupan diet makanan dan minuman yang seimbang

intervensi keluarga

Membantu orang tua memahami dan meningkatkan tumbuh kembang fisik, psikologis, dan sosial anak

Menyediakan informasi bagaimana menjadi orang tua, bantuan, dan koordinasi yang komprehensif bagi keluarga yang beresiko tinggi

Mengajarkan orang tua dan pengasuh untuk memberikan aktivitas sensorik yang sesuai tahap perkembangan untuk memfasilitasi perkembangan dan pergerakan selama usia satu tahun pertama Penanda perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial usia 1 bulan

Resiko InfeksiFaktor resiko infeksi akan hilang Pantau tanda dan gejala infeksi

Memantau status imunisasi, memfasilitasi akses untuk memperoleh imunisasi, dan memberikan imunisasi untuk mencegah penyakit menular

Instruksikan untuk menjaga kebersihan diri untuk melindungi tubuh terhadap infeksi

intervensi keluarga:

Ajarkan orang tua jadwal imunisasi yang dianjurkan untuk difteria, tetanus, pertusis, polio, gondong, campak, dan rubella. Jika pada kasus, maka bayi tersebut baru dapat diberikan imunisasi Hepatitis B Anak akan terbebas dari tanda dan helaja infeksi

Anak mengindikasikan status gastrointestinal, pernapasan, genitourinaria, dan imun dakam batas normal

BAB 5PENUTUPA. Kesimpulan

Masa bayi (neonatus) merupakan masa penting pada hidup manusia. Pada masa ini, sistem organ bayi masih mengalami masa penyempurnaan, terutama sistem pencernaan. Sistem pencernaan mulai melakukan tugasnya untuk mencerna makanan atau nutrisi yang dikunsumsi oleh bayi setelah sebelumnya bayi hanya mendapatkan nutrisi dari plasenta ibu. Bayi hanya bisa mencerna makanan yang memiliki struktur sederhana. Pola makan serta jenis makanan yang dikonsumsi bayi sangat dipengaruhi oleh nilai dan keyakinan yang dianut oleh keluarga sebagai pemberi asuhan. Di dalam budaya tertentu, bayi yang seharusnya hanya mendapatkan makanan atau nutrisi dari air susu ibu (ASI) justru diberi makanan atau nutrisi yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan sistem-sistem organ di dalam tubuhnya, misalnya pisang.

Perawat perlu memberikan pengkajian secara kemprehensif meliputi kondisi fisik, psikologis, dan budaya ibu dan pemberi asuhan agar dapat menentukan masalah keperawatan yang ada. Masalah keperawatan yang timbul dari kasus tersebut adalah defisit pengetahuan ibu dan ketidakefektifan pemberi ASI. Setelah menentukan diagnosa maka perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada bayi, ibu, serta keluarga. Asuhan keperawatan yang diberikan tentunya harus memperhatikan nilai, keyakinan, dan budaya ibu sebagai pemberi asuhan. Hal tersebut dilakukan agar asuhan keperawatan yang dilakukan dapat efektif dan memberikan hasil yang optimal.B. Saran

Sebagai perawat profesional, perawat harus memahami nilai dan keyakinan yang ada di masyarakat. Perawat perlu memahami budaya yang diterapkan masyarakat. Pemahaman tersebut akan membuat perawat mengetahui faktor-faktor ataupun kemungkinan yang terjadi pada kesehatan anak akibat nilai dan keyakinan. Setelah mengetahui kemungkinan-kemungkinan tersebut, perawat dapat mencegah terjadinya masalah kesehatan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Clark, M. (2003). Community Health : caring for Population 4th Ed. USA : Pearson EducationKaakinen, R. Duff, V. and Hanson, S. (2010). Family Health Care Nursing Theory, Practice, and Research, 4th Ed.Karen, dan Sharyn, .(2009). Communitu Health Nursing: Caring for The Publics Helath2nd Ed.USA: Jones and Barlett PublisherKliegman, R, et.al. (2007). Kliegman : Nelson Textbook of Pediatrics18th Ed. USA : Saunders ElsevierMarks, G .(1998). Broadribbs Introductory Pediatric Nursing5th Ed. Philadelphia : LippincottPotter, P.A.,& Perry, A.G. (2005). Fundamental Nursing : Concepts, Process, and Practice. Sixth edition. St. Louis: Mosby Year Book

Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community & Public Health Nursing 6th Ed. Missouri: Mosby Elsevier Inc.Widyastuti, Danis & Widyani, Retno. (2008). Panduan Perkembangan Anak 0-1 Tahun. Jakarta: PUSPA SWARAhttp://brebesnews.co/2013/10/bahaya-bayi-belum-usia-6-bulan-di-beri-pisang/ (diakses pada tanggal 2 Maret 2014)http://theglobejournal.com/kesehatan/diberi-makan-pisang-bayi-bisa-meninggal/index.php (diakses pada tanggal 2 Maret 2014)Leininger, M & Mc Farland, M.R. (2002). Transcultural Nursing: Concepts, Theories, Research, and Practice. 3rd Ed. USA: Mc-Graw Hill CompeniesYuliarti, Nurheti. (2010). Keajaiban ASI: Makanan Terbaik untuk Kesehatan, Kecerdasan, dan Kelincahan Si Kecil. Yogyakarta: ANDIhttp://melindahospital.com/modul/user/detail_artikel.php?id=1504_Pertumbuhan-Bayi:-Tahap-Tumbuh-Kembang-Bayi-Setiap-Usianya (diakses pada 5 Maret 2014)http://www.academia.edu/4257378/BAB_II_Tinjauan_Pustaka (diakses pada 5 Maret 2014)Wilkinson & Ahern. (2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGCNANDA. (2011). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGCDaftar Pustaka:Behrman, Kliegman & Arvin. (2001). Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol 1 Edisi 15 (Terj: Wahab, Samik). Jakarta: EGC.

Christensen, Paula & kenney, Janet. (2009). Proses Keperawatan: Aplikasi Model Konseptual, ed 4 (Terj: Yuningsih, Yuyun & Asih, Yasmin). Jakarta: EGC.

Danuatmaja, Bonny & Meiliasari, Mila. (2003). 40 Hari Pasca Persalinan (Masalah dan Solusinya). Jakarta: Puspa Suara.Giger Joyce Newman & Davidhizar Ruth Elaine. (2004). Transcultral NursingAssessment and Intervention, Fourth Edition. Philadelphia: Mosby.Leininger. M & McFarland. M.R, (2002). Transcultural Nursing: Concepts, Theories, Research and Practice, 3rd Ed. USA: Mc-Graw HillCompanies.

Mochji. (1992). Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta: Penerbit Bharata.Muscari, Mary E. (2001). Lippincott's Reviews Series: Pediatric Nursing, 3 edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins inc.Supariasa, I Dewa Nyoman. (2004). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Wilkins & Williams. (1995). Clinical Handbook of Pediatrics. Maryland: East Preston Street.Wong. (2001). Wong's Essentials of Pediatric Nursing, 6 edition. Philadelphia: Mosby El-Sevier.2