Hewan Mamalia Endemik Di Indonesia
-
Upload
auroradanista -
Category
Documents
-
view
434 -
download
13
Transcript of Hewan Mamalia Endemik Di Indonesia
Tugas Mamalogi
HEWAN MAMALIA ENDEMIK DI INDONESIA
Oleh :
Afifi Rahamdetiassani
(083112620150008)
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2012
Kingdom animalia memiliki beberapa tingkatan untuk membagi hewan-hewan yang
terdapat di muka bumi ini. Tingkatan tertinggi pada kingdom animalia tersebut adalah mamalia.
Pada umumnya , semua jenis mamalia memiliki rambut yang menutupi tubuhnya. Jumlah rambut
tersebut berbeda-beda antara spesies yang satu dengan yang lain. Ada spesies yang seluruh
tubuhnya ditutupi oleh rambut dan ada pula spesies yang hanya memiliki rambut di tempat-
tempat tertentu pada bagian tubuhnya. Mamalia merupakan hewan yang bersifat homoioterm
atau sering disebut hewan berdarah panas. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar (Irvan,2011).
Sebutan mamalia berasal dari keberadaan kelenjar mamae pada tubuh mereka yang
berfungsi sebagai penyuplai susu. Seperti yang kita ketahui bahwa mamalia betina menyusui
anaknya dengan memanfaatkan keberadaan kelenjar tersebut. Walaupun mamalia jantan tidak
menyusui anaknya, bukan berarti mereka tidak memiliki kelenjar mamae. Semua mamalia
memiliki kelenjar mamae, tetapi pada mamalia jantan kelenjar ini tidaklah berfungsi
sebagaimana pada mamalia betina (Irvan,2011).
Indonesia memiliki hewan mamalia yang sangat beragam, dimana hewan-hewan tersebut
tersebar di seluruh Indonesia mulai dari pulau Sumatera sampai Papua. Hewan-hewan mamalia
yang hanya ditemukan di salah satu pulau di Indonesia dan tidak ditemukan di tempat lain
disebut dengan hewan endemik Indonesia (Alamendah,2011). Endemisme merupakan gejala
yang dialami oleh organisme untuk menjadi unik pada satu lokasi geografi tertentu, seperti
pulau, lungkang (niche), negara, atau zona ekologi tertentu (Alamendah,2011).
Indonesia adalah negara dengan endemisme yang tinggi. Diperkirakan terdapat lebih dari
165 jenis mamalia, 397 jenis burung, lebih dari 150 reptilia, dan lebih dari 100 spesies ampibi
yang tercatat endemik di Indonesia (Alamendah,2011). Berikut beberapa contoh hewan endemik
beserta deskripsinya.
1. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)
Morfologi :
Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis ) adalah satu-satunya badak Asia dengan dua
cula. Badak Sumatera juga dikenal memiliki rambut terbanyak dibandingkan seluruh sub-spesies
badak di dunia, sehingga sering disebut hairy rhino (badak berambut). Ciri-ciri lainnya adalah
telinga yang besar, kulit berwarna coklat keabu-abuan atau kemerahan - sebagian besar ditutupi
oleh rambut dan kerut di sekitar matanya.
Panjang cula depan biasanya berkisar antara 25-80 cm, sedangkan cula belakang biasanya
relatif pendek dan tidak lebih dari 10 cm. Saat anak badak Sumatera lahir hingga remaja
biasanya kulitnya ditutupi oleh rambut yang lebat berwarna coklat kemerahan. Bersamaan
dengan bertambahnya usia satwa ini, rambut yang menutupi kulitnya semakin jarang dan
berubah kehitaman. Panjang tubuh satwa dewasa berkisar antara 2 - 3 meter dengan tinggi 1 - 1,5
meter. Berat badan diperkirakan berkisar antara 600 - 950 kg (Anonim,2010).
Penyebaran :
Pada kehidupan awalnya, badak Sumatera memiliki daerah penyebaran yang cukup luas,
yaitu meliputi Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Burma, Kamboja sampai dengan
Vietnam. Namun akibat perburuan yang berlangsung terus menerus sejak masa lalu hingga
sekarang, maka penyebaran di habitat alamnya menjadi terbatas di pulau Sumatera dan
Semenanjung Malaya saja, Sedangkan di Kalimantan dalam beberapa tahun belakangan tidak
pernah dijumpai lagi. Jumlah populasi badak Sumatera di kawasan hutan habitat alaminya
diperkirakan kurang dari 200 ekor, dan sebagian besar berada di Sumatera. Di Indonesia
penyebaran badak Sumatera pada habitat alamnya terdapat dalam kawasan hutan TN Gunung
Leuser (Provinsi Nangru Aceh Darusallam), TN Kerinci Seblat (Provinsi Jambi, Sumatera Barat,
Bengkulu dan Sumatera Selatan), TN Bukit Barisan Selatan (Provinsi Bengkulu) dan TN Way
Kambas (Provinsi Lampung) (Anonim,2010). Badak Sumatera termasuk Critically Endangered
(kritis) dalam status konservasi IUCN Redlist.
2. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)
Morfologi :
Harimau Sumatera mempunyai warna paling gelap diantara semua subspesies harimau
lainnya, pola hitamnya berukuran lebar dan jaraknya rapat kadang kala dempet. Belang harimau
sumatra lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Subspesies ini juga punya lebih banyak
janggut serta surai dibandingkan subspesies lain, terutama harimau jantan. Terdapat selaput di
sela-sela jarinya yang menjadikan mereka mampu berenang. Harimau sumatera umumnya
beraktifitas dimalam hari (Hariyanto,2010).
Harimau Sumatera bukan jenis satwa yang biasa tinggal berkelompok melainkan jenis
satwa soliter, yaitu satwa yang sebagian besar waktunya hidup menyendiri, kecuali selama
musim kawin atau memelihara anak. Panjang Harimau Sumatera jantan dapat mencapai 2,2 – 2,8
meter, sedangkan betina 2,15 – 2,3 meter. Tinggi diukur dari kaki ke tengkuk rata-rata adalah 75
cm, tetapi ada juga yang mencapai antara 80 – 95 cm, dan berat 130 – 255 kg. Hewan ini
mempunyai bulu sepanjang 8 – 11 mm, surai pada Harimau Sumatera jantan berukuran 11 – 13
cm. Bulu di dagu, pipi, dan belakang kepala lebih pendek. Panjang ekor sekitar 65 – 95 cm
(Hariyanto,2010).
Penyebaran :
Harimau Sumatera merupakan satwa endemik yang penyebarannya hanya terdapat di
Pulau Sumatera saja. Sebelumnya, populasi Harimau Sumatera sangat banyak tersebar, mulai
dari Aceh, di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalam, Sungai Litur, Batang Serangan,
Jambi dan Sungai Siak, Silindung, bahkan juga di daratan Bengkalis dan Kepulauan Riau. Pada
saat ini, jumlahnya jauh berkurang dengan penyebaran yang terbatas. Menurut catatan yang ada
pada tahun 1800 – 1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak, mencapai puluhan ribu
ekor (Hasiholan,2005).
Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah sekitar
1000 ekor dan saat ini berkisar 500-600 ekor. Diperkirakan pengurangan jumlah Harimau
Sumatera sebanyak paling tidak 30 ekor per tahun, dengan penyebab utama adalah : konversi
hutan, degradasi habitat, fragmentasi habitat, konflik harimau dengan Manusia, perburuan
harimau dan mangsa (Hasiholan,2005). Harimau Sumatera termasuk Critically Endangered
(kritis) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang menghadapi risiko
kepunahan di waktu dekat.
3. Kambing hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis sumatraensis)
Morfologi :
Ciri khas Kambing Hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis sumatraensis) ini adalah
bertanduk ramping, pendek dan melengkung ke belakang. Berat badannya antara 50 – 140 kg
dengan panjang badannya mencapai antara 140 – 180 cm. Tingginya bila dewasa mencapai
antara 85 – 94 cm. Pada dasarnya kambing hutan berbeda dengan kambing yang diternakkan,
karena kambing hutan merupakan perpaduan antara kambing dengan antelop dan masih
mempunyai hubungan dekat dengan kerbau. Kambing hutan merupakan satwa yang sangat
tangkas dan sering terlihat memanjat dengan cepat di lereng terjal yang biasanya hanya bisa
dicapai oleh manusia dengan bantuan tali (Alamendah, 2009).
Penyebaran :
Kambing Hutan Sumatera ini mempunyai habitat di hutan-hutan pegunungan dataran
tinggi sumatera. Populasinya yang masih tersisa terdapat di Taman Nasional Kerinci Seblat
(Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan) juga dapat ditemukan di Taman
Nasional Batang Gadis (TNBG) yang secara administratif berlokasi di Kabupaten Mandailing
Natal (Madina) Provinsi Sumatera Utara dan Taman Nasional Gunung Leuser (Nanggroe Aceh
Darussalam) (Alamendah, 2009).
4. Kancil Jawa (Tragulus javanicus)
Morfologi :
Kancil atau Pelanduk (Tragulus javanicus) mempunyai ukuran tubuh yang kecil seukuran
dengan kelinci. Panjang tubuhnya sekitar 20-25 cm. Tubuh bagian atas kancil berwarna coklat
kemerahan, sedangkan tengkuk bagian tengah biasanya lebih gelap daripada bagian tubuh
lainnya. Bagian bawah berwarna putih dengan batas sedikit kecoklatan di tengah, tanda khusus
di kerogkongan dan dada bagian atas berwarna coklat tua (Alamendah, 2010).
Raut muka kancil berwarna putih, terlihat seperti sebuah garis dari dagu sampai dada.
Kancil jantan tidak mempunyai tanduk tetapi mempunyai gigi taring yang yang memanjang
keluar dari mulutnya. Kancil merupakan binatang herbivora yang menyukai rumput, daun-
daunan yang berair, kecambah, buah-buahan yang jatuh di tanah, kulit pisang, papaya, ubi, dan
ketela. Binatang ini mempunyai masa mengandung selama 137-155 hari dan akan menyusui
bayinya hingga berusia antara 60-70 hari (Alamendah, 2010).
Habitat :
Habitat pelanduk atau kancil (Tragulus javanicus) di hutan primer dan sekunder yang
cukup lebat atau tanah kering di dataran rendah atau kaki bukit tidak jauh dari sungai dengan
vegetasi lebat. IUCN Redlist memasukkannya dalam status konservasi “Data Deficient” (DD;
Informasi Kurang) yang berarti selama lima tahun terakhir belum diadakan evaluasi atau
penelitian ulang (Alamendah, 2010).
5. Anoa (Bubalus spp.)
Morfologi :
Anoa adalah hewan berkuku genap, bentuk kepala menyerupai kepala sapi, tanduk
mengarah ke belakang. Tinggi badan berkisar 69-106 cm. Saat ini, ada dua jenis anoa (Bubalus
spp.) yang kita kenal, yakni Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan Anoa gunung
(Bubalus quarlesi). Anoa dataran rendah memiliki warna putih di bagian metacarpal, panjang
ekor mencapai lutut, rambut lebih jarang pada individu dewasa, potongan melintang pangkal
tanduk ‘triangular atau bersegi tiga’ dan terdapat ‘wrinkled’ atau berupa spiral pada bagian dasar
sampai pertengahan panjang tanduk, panjang tanduk 27,1-37,3 cm pada anoa jantan dan 183-260
mm pada anoa betina; panjang tengkorak 29,8-32,2 cm pada jantan dan 290-300 mm pada betina
(Samuel, 2012).
Anoa gunung memiliki warna tungkai sama dengan warna badan, ekor pendek, tidak
mencapai lutut, potongan melingkar pangkal ekor bulat, tidak ada ‘wrinkled’ atau garis-garis
cincin pada setengah panjang tanduk, panjang tanduk berkisar 14,6-19,9 cm, dan panjang
tengkorak 24,4-29 cm. Anoa gunung memiliki rambut warna coklat cerah, terdapat bercak putih
kecil di bagian atas kuku, rambut panjang, lembut dan menyerupai wool, ekor pendek, sekitar 18
cm, jarang mencapai lebih dari setengah panjang pangkal ekor ke lutut belakang, bagian dalam
telinga berwarna coklat tua. Tinggi bahu 63 cm, dan panjang tanduk 15-25 cm (Samuel, 2012).
Penyebaran :
Sampai akhir abad ke-19, anoa dapat dijumpai hampir di seluruh daratan pulau Sulawesi.
Heller (1889) menyatakan bahwa anoa terdapat di Gorontalo, sekitar Minahasa, Likupang,
Lempias dan hutan antara Langowan dan Pangku. Mohr (1921) menggambarkan penyebaran
anoa di Sulawesi Utara meliputi daerah Minahasa, Klabat, Teluk Tomini, Matinang dan
Randangan. Anoa di Sulawesi Tengah, dijumpai di sekitar danau Lindu, daerah Besoa, Bada,
Topebatu Toli-Toli Banggai dan Tobungku. Wilayah Sulawesi Selatan mencatat adanya anoa di
sekitar danau Matana, danau Towuti dan Lalangatu. Harper (1945) menulis mengenai
keberadaan anoa di Mamuju, Mamasa, Makale-Rantepao, Palopo, Buton, Kendari, Kolaka,
Malili dan Masamba.
Perambahan hutan dan perburuan liar terhadap satwa ini menyebabkan tidak semua
daerah yang tersebut di atas pada saat ini dihuni oleh anoa (Mustari, 1997). Berdasarkan data
dari IUCN (2001) sejak tahun 1979, secara pasti jumlah anoa kian merosot bahkan di beberapa
wilayah yang dekat dengan desa/kampung, keberadaannya telah menghilang sama sekali. Daftar
Merah (Red List Book) IUCN memasukkan anoa dalam status “Endangered”. Anoa pada dewasa
ini hanya dapat ditemukan di dalam hutan primer. Wilayah Sulawesi Utara mencatat adanya anoa
di Taman Nasional (TN) Dumoga Nani Warta Bone, Cagar Alam (CA) Panua dan beberapa
kawasan hutan konsesi HPH (Hak Penebangan Hutan). Anoa di Sulawesi Tengah masih dapat
dijumpai di Besoa (Sugiharta, 1994) dan TN Lore Lindu. Keberadaan anoa di Sulawesi Tenggara
ditemukan di hutan Suaka Margasatwa (SM) Kolaka Utara, TN Rawa Aopa, SM Tanjung
Peropa, SM Tanjung Batikolo, SM Tanjung Amolengu dan SM Buton Utara. Belum
ditemukannya pemahaman yang sempurna untuk upaya budidayanya menyebabkan
perkembangbiakan anoa menjadi terhambat.
6. Babi rusa Sulawesi (Babyrousa babyrussa celebensis)
Morfologi :
Sejak tahun 1996 hewan ini telah masuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh
IUCN dan CITES. Babirusa termasuk dalam famili Suidae dan merupakan salah satu anggota
famili yang tertua diwakili oleh subfamili Babyrousinae yang dipisahkan dari warthog cabang
dari famili Suidae (Subfamilii Phacochoerini) selama zaman Oligocene atau awal Miocene.
Babirusa hanya ada satu spesies dalam sub-famili Babyrousinae (Ordo Artiodactyla, Sub Ordo
Suiformes, famili Suidae). Babirusa yang dapat dibedakan berdasarkan geografi, ukuran tubuh,
jumlah rambut pada tubuh dan bentuk dari gigi taring pada jantan. Sebelumnya terdapat empat
subspesies babirusa yaitu Babyrousa babyrussa babyrussa terdapat di Pulau Buru, Babyrousa
babyrussa celebensis menghuni daratan utama Sulawesi (Sulawesi minland), Babyrousa
babyrussa togeanesis terdapat di Kepulauan Togean, dan Babyrousa babyrussa bolabatuensis,
yang habitatnya di Sulawesi Selatan namun dinyatakan sudah punah (Groves, 1980). Groves
(2001) dan Meijaard dan Groves (2002) telah mengusulkan keempat subspesies tersebut menjadi
spesies yang berbeda.
Salah satu ciri penting babirusa pada satwa jantan memiliki taring yang tersulut keluar
melalui kedua sisi mulutnya dan melingkar ke atas dan melengkung ke belakang. Taring ini
berfungsi sebagai senjata. Babirusa jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ada
tidaknya taring, karena babirusa betina tidak memiliki taring yang tersulut ke luar dari kedua sisi
mulutnya dan warna tubuhnya putih keabu-abuan. Ukuran tubuh babirusa jantan juga relatif
lebih besar bahkan terlihat lebih besar dari ukuran tubuh babi jenis lainnya. Bentuk tubuh lebih
panjang, dengan kaki depan lebih pendek dari kaki belakang (Siswiyanti, 2011).
Penyebaran :
Babirusa endemik Sulawesi dan beberapa pulau kecil di sekitarnya yaitu Togian, Sula
dan Buru. Keberadaan babirusa di dua lokasi yang terakhir diperkirakan melalui introduksi
(Groves, 1980). Penyebaran babirusa mengalami penyempitan habitat yang sangat
tajam. Sebagai contoh, di bagian utara Pulau Sulawesi, satwa ini hanya ditemukan di bagian
barat di kawasan TN Bogani Nani Wartabone dan di SM Nantu-Boliyohuto, Provinsi
Gorontalo. Populasi babirusa juga ditemukan di sebelah barat pada hutan-hutan yang masih
tersisa di daerah Randangan, Kabupaten Pahuwato Provinsi Gorontalo. Demikian pula di daerah
Buol Toli-Toli yang merupakan batas paling barat dari bagian utara Sulawesi. Di Sulawesi
Tengah babirusaa terdapat di TN Lore Lindu, CA Morowali dan di daerah Luwuk dan Balantak
Sulawesi Tengah bagian timur. Di Sulawesi Selatan, babirusa dapat dijumpai di bagian utara
provinsi ini di kawasan hutan yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah. Sedangkan di Sulawesi
Tenggara tidak banyak yang diketahui keberadaannya (Siswiyanti, 2011).
Daftar Pustaka
Alamendah. Kambing Hutan Sumatera Masikah Tersisa.
http://alamendah.wordpress.com/2009/10/20/kambing-hutan-sumatera-masihkah-tersisa/,
2009. Diakses pada tanggal 6 Mei 2012.
Alamendah. Pelanduk (Kancil) Populer Tapi Data Deficient.
http://alamendah.wordpress.com/2010/02/11/pelanduk-kancil-populer-tapi-data-
deficient/, 2010. Diakses pada tanggal 6 Mei 2012.
Alamendah. Daftar Hewan Endemik Indonesia.
http://alamendah.wordpress.com/2011/02/01/daftar-hewan-endemik-indonesia/, 2011.
Diakses pada tanggal 6 Mei 2012.
Anonim. Dicerorhinus sumatrensis. http://forestcreator.wordpress.com/2010/03/10/badak-
sumatera/, 2010. Diakses pada tanggal 6 Mei 2012.
Groves C.P. 1980. Notes on the systematics of Babyrousa (Artiodactyla, Suidae). Zoologische
Mededelingen, 55: 29-46.
Groves C.P. 2001. Mammals in Sulawesi: Where did they come from and when, and what
happened to them when they got there? In: Metcalfe I., Smith J.M.B., Morwood M., and
Davidson I. (eds.). 2001. “Faunal and floral migration and evolution in SE Asia-
Australasia”. A.A. Balkema Publishers, Lisse, Netherlands. Pp 333-342.
Hariyanto M. Si Belang Harimau Sumatera.
http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/harimau-sumatera-panthera-tigris.html,
2010 . Diakses pada tanggal 6 Mei 2011.
Hasiholan w. Konservasi Harimau Sumatera Secara Komprehensif. http://harimau-
sumatera.blogspot.com/2005/12/konservasi-harimau-sumatera-secara.html. 2005.
Diakses pada tanggal 6 Mei 2011.
Irvan Slamet. Mamalia. http://slametirvan.blogdetik.com/2011/02/09/hewan-mamalia/, 2011.
Diakses pada tanggal 6 Mei 2012.
IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). 2001. IUCN Red
List Categories and Criteria: Version 3.1. IUCN Spesies Survival Commision. IUCN,
Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Meijaard E. and Groves C. 2002. Proposal for taxonomic changes within the genus Babyrousa.
Asian Wild Pig News, 2: 1, 9-10.
Mustari, A.H. 1997. Kebutuhan Nutrisi Anoa (Bubalus sp.) di Kebun Binatang Ragunan Jakarta.
Laporan Penelitian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Samuel. ANOA : Satwa Endemik Sulawesi. http://ksdasulsel.org/fauna/165-anoa-satwa-
endemik-sulawesi, 2012. Diakses pada tanggal 6 Mei 2012.
Siswiyanti Y. Starategi Konservasi Babi Rusa Sulawesi (Babyrousa babyrussa celebensis).
http://pemodelanku.blogspot.com/2011/06/strategi-konservasi-babirusa-sulawesi.html,
2011. Diakses pada tanggal 6 Mei 2012.