Herpes Zoo
-
Upload
silmi-noor-rachni -
Category
Documents
-
view
42 -
download
4
Transcript of Herpes Zoo
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada saat ini diketahui bahwa beberapa anggota kelompok virus herpes merupakan
patogen penting bagi manusia. Salah satu ciri penting virus herpes adalah kemampuannya untuk
menimbulkan infeksi akut, kronik/persisten dan laten pada penjamunya yang pada waktu –
waktu tertentu infeksi tersebut mengalami reaktifasi.
Saat ini di antara anggota virus herpes yang primer menimbulkan penyakit pada manusia
adalah virus herpes simpleks tipe 1 dan 2, virus Varisela zoster, cytomegalovirus, virus Epstein-
Barr, Human herpes virus 6,7 dan 8.
Infeksi laten sel oleh virus merupakan infeksi yang tidak disertai pembentukan virion.
Karena dalam replikasinya, virus mempergunakan perangkat metabolisme sel, maka
ketidakmampuan sel menghasilkan virion mungkin terjadi akibat ketidakcocokan antara
kebutuhan virus dan perangkat sel tersebut atau perangkat sel tersedia tetapi tidak berfungsi.
Selain sifat infeksi yang tidak boleh litik juga keberadaan genom virus dalam sel harus dapat
bertahan dan sel yang terinfeksi tersebut harus pula mampu menghindari kerja sistem kekebalan.
Secara umum cara penghindaran sel terinfeksi laten dari sistem kekebalan dapat terjadi karena
berbagai mekanisme, diantaranya adalah :
terbatasnya ekspresi genom virus.
tempat infeksi terjadi pada sel yang sukar dicapai oleh sistem kekebalan seperti epitel,
susunan syaraf pusat dan ginjal.
Supresi ekspresi dan presentasi antigen ke sel limfosit T.
Variasi antigenik.
Induksi toleransi.
Infeksi pada sel sistem kekebalan sendiri.
Pada kasus Varisela-Zoster, latensi banyak ditemukan pada ganglion trigeminus dan
ganglion dorsalis. Perbedaannya dengan tempat latensi virus Herpes simplex mungkin
2
merupakan cermin perbedaan distribusi lesi pada infeksi primernya. Pada infeksi Varisela, lesi
infeksi primer luas dan derajat viremianya juga lebih tinggi. Virus mencapai neuron tidak hanya
melalui translokasi retrograde tetapi juga melalui penyebaran hematogen. Selain itu, virus
Varisela-Zoster dapat menjadi laten pada sel satelit. Virus Varisela-zoster merupakan sinonim
dari virus Human Herpes 3. Pada infeksi awal, VVZ yang merupakan virus herpes yang
limfotropik, menginfeksi sel T CD4 dan CD8. Infeksi VVZ primer mempengaruhi sel T CD4 dan
CD8 untuk mengenal glikoprotein virus maupun protein-protein dengan fungsi regulasi.
Antibodi Ig M, Ig G, Ig A dapat dijumpai segera setelah terdeteksinya sel T spesifik terhadap
VVZ.
Virus Varisela zoster, dengan pintu masuknya di mukosa orofaring, dapat menjadi
penyebab varisela, herpes zoster, pneumonia dan meningoensefalitis.
Lebih dari 200.000 anak sehat di Amerika yang terkena Herpes zoster setiap tahunnya.
Anak - anak dengan riwayat terkena chicken pox yang berkembang sebelum usia 1 tahun
meningkatkan resiko terkena herpes zoster. Virus Varisela zoster (VVZ) adalah penyebab dari
varisela (chicken pox) pada anak - anak dan herpes zoster (shingles) pada dewasa ketika chicken
pox dan small pox dibedakan pada tahun 1767, dokter mengakui hubungan antara varisela dan
zoster tahun 1888. Varisela (cacar air) dan herpes zoster (shingles) adalah gambaran klinis yang
berbeda. Varisela, sebuah exanthem, akut yang sangat menular yang terjadi paling sering pada
masa kanak-kanak, adalah hasil dari infeksi primer dari individu yang rentan.
Herpes zoster adalah penyakit neurodermal ditandai dengan nyeri radikular unilateral
serta erupsi vesikuler berkelompok dengan dasar eritematosa pada daerah kulit yang dipersarafi
oleh saraf kranialis atau spinalis. Dalam referat ini akan dibahas mengenai herpes zoster yang
terjadi karena relaps endogen atau reaktivasi virus varisela zoster (VSV).
3
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny.W
Usia : 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Asrama Kodim - Magelang
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Menikah
B. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan di Poli kulit kelamin pada hari Selasa tanggal 11 Juli 2013
pukul 11.00 WIB.
Keluhan Utama :
Bintil – bintil kemerahan yang berisi cairan jernih disertai nyeri pada
selangkangan sebelah kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Kurang lebih 3 hari sebelum datang ke rumah sakit pasien mengeluhkan
muncuknya bintil-bintil kemerahan yang berisi cairan jernihdisertai rasa gatal, panas
dan nyeri pada selangkangan bagian kanan. Awalnya bintil-bintil muncul di
selangkangan didekat kemaluan kanan sebesar titik-titik kecil, kemudian menyebar ke
bagian bawah selangkangan kanan dan membesar sampai ukuran kacang hijau.
Keluhan nyeri pada bagian selangkangan kanan diakui penderita diserrtai lemas
pada badan. Keluhan demam dirasakan penderita 1 hari sebelum timbulnya bintil-
bintil. Penderita mengakui kurang istirahat dan kurang tidur.
Riwayat kontak dengan orang yang mengalami penyakit serupa dan lingkungan
sekitar yang mempunyai keluhanyang serupa disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat cacar air saat umur 9 tahun
4
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada
Tidak terdapat riwayat alergi di keluarga.
Riwayat Pengobatan :
Belum diobati
Riwayat Higiene :
Pasien mandi 2x sehari
Pasien mengganti pakaian luar dan dalam 2x sehari
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
o Tanda Vital : dalam batas normal
o Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Status Gizi : Cukup
Pemeriksaan thorax : tidak dilakukan
Pemeriksaan abdomen : tidak dilakukan
Pemeriksaan ekstremitas : tidak terdapat kelainan
Status Dermatologikus :
Lokasi : Inguinal dextrra
Distribusi : Regional, unilateral
Lesi : Multipel
Bentuk bulat dan ireguler
Batas tegas
Menimbul
Kering
Effloresensi :Kelompok vesikel dan papula diatas dasar makula eritem,
hiperpigmentasi
5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan tzanck
- Kultur virus dari apusan dasar vesikel
E. DIAGNOSA BANDING
Herpes Zooster
Herpes simpleks
F. DIAGNOSA KERJA
Herpes zooster sacralis dextra
G. PENATALAKSANAAN
Umum
- Memberikan informasi kepada pasien bahwa terkena penyakit yang disebabkan oleh
virus
- Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan obat secara teratur dan tidak
menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter.
- Menyarankan kepada pasien untuk lebih memelihara dan menjaga kebersihan.
Khusus
Sistemik:
1. Asiklovir tab 5x800 mg/hari selama 7-10 hari
2. Paracetamol tab 500 mg 3x1
3. Loratadin 1x1
6
H. PROGNOSIS
Quo ad sanam (Prognosis terhadap kesembuhan) : dubia ad bonam
Quo ad vitam (Prognosis untuk kehidupan) : dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum (Prognosis dari sisi kosmetik) : dubia ad bonam
Quo ad fungsional (Prognosis terhadap fungsional ) : dubia ad bonam
7
BAB III
HERPES ZOSTER
2.1 DEFINISI
Herpes zoster adalah infeksi viral kutaneus pada umumnya melibatkan kulit dengan
dermatom tunggal atau yang berdekatan. Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus
varisela zoster yang memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Shingles adalah
nama lain dari herpes zoster. Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi primernya
dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris yang
kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai herpes zoster.
EPIDEMIOLOGI
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman.
Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan
varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan host-virus.
Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua.4,6,7 Insiden terjadinya herpes
zoster 1,5 sampai 3, 0 per 1.000 orang per tahun dalam segala usia dan 7 sampai 11 per 1000
orang per tahun pada usia lebih dari 60 tahun pada penelitian di Eropa dan Amerika Utara.
8
Diperkirakan bahwa ada lebih dari satu juta kasus baru herpes zoster di Amerika setiap tahun,
lebih dari setengahnya terjadi pada orang dengan usia 60 tahun atau lebih. Ada peningkatan
insidens dari zoster pada anak – anak normal yang terkena chicken pox ketika berusia kurang
dari 2 tahun. Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif memiliki
resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada individu imunokompeten pada
usia yang sama. Immunosupresif kondisi yang berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes
zoster termasuk “human immunodeficiency virus” (HIV), transplantasi sumsum tulang,
leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker, dan penggunaan kortikosteroid.
Herpes zoster adalah infeksi oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang terinfeksi
dengan HIV, dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun. Zoster mungkin
merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit AIDS pada individual dengan
resiko tinggi. Dengan demikian, infeksi HIV harus dipertimbangkan pada individu yang
terkena herpes zoster.
Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster termasuk jenis kelamin
perempuan, trauma fisik pada dermatom yang terkena, gen interleukin 10 polimorfisme, dan ras
hitam, tapi konfirmasi diperlukan. Paparan dari anak dan kontak dengan kasus varisela telah
dilaporkan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit herpes zoster. Episode kedua
dari herpes zoster jarang terjadi pada orang imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang.
Orang yang menderita lebih dari satu episode mungkin immunocompromised. Pasien
imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit herpes zoster yang mungkin
menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV) yang berulang.
Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien dengan varisela.
Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes zoster tanpa komplikasi sampai 7
hari setelah munculnya ruam, dan untuk waktu yang lebih lama pada individu
immunocompromised. Pasien dengan zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk
menyebarkan infeksi melalui kontak langsung dengan lesi mereka. Pasien dengan herpes zoster
dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol, sehingga tindakan
pencegahan udara, serta pencegahan kontak diperlukan untuk pasien tersebut.
9
2.3 PATOGENESIS
Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet respiratori. VVZ
bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang lebih 2 minggu sebelum
perkembangan kulit yang erupsi. Pasien infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta.
Selama terjadi kulit yang erupsi, VVZ menyebar dan menyerang saraf secara retrograde untuk
melibatkan ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi laten. Virus berjalan sepanjang saraf
sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan menimbulkan vesikel dengan cara yang sama
dengan cacar air. Zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion akar dorsal saraf
sensorik. Latensi adalah tanda utama virus Varisela zoster dan tidak diragukan lagi peranannya
dalam patogenitas. Sifat latensi ini menandakan virus dapat bertahan seumur hidup hospes dan
pada suatu saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi penularan
kepada seseorang yang rentan. Reaktivasi mungkin karena stres, sakit immunosupresi, atau
mungkin terjadi secara spontan. Virus kemudian menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala
prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal. Infeksi primer VVZ
memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam mempertahankan latensi, imunitas seluler
lebih penting pada herpes zoster. Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat
pada pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan orang normal.
10
Penyebab reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul pada keadaan imunosupresi.
Insidensi herpes zoster berhubungan dengan menurunnya imunitas terhadap VZV spesifik.
11
Pada masa reaktivasi virus bereplikasi kemudian merusak dan terjadi peradangan
ganglion sensoris. Virus menyebar ke sumsum tulang belakang dan batang otak, dari saraf
sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi kulit vesikuler yang khas. Pada daerah dengan
lesi terbanyak mengalami keadaan laten dan merupakan daerah terbesar kemungkinannya
mengalami herpes zoster.
Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit dan permukaan
mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara sentripetal, naik ke serabut sensoris
ke ganglia sensoris. Di ganglion, virus membentuk infeksi laten yang menetap selama
kehidupan. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom dimana ruam dari varisela
mencapai densitas tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf trigeminal
ganglion sensoris dan tulang belakang dari T1 sampai L2.
Depresi imunitas selular akibat usia lanjut, penyakit, atau obat-obatan mempermudah
reaktivasi. Herpes zoster pada anak kecil sehat mungkin berhubungan dengan perkembangan
imunitas selular yang kurang efisien pada saat terjadi infeksi VZV primer baik in utero maupun
pascalahir.
Gambaran perkembangan rash pada herpes zoster diawali dengan:
( seperti terlihat pada gambar di atas )
1. Munculnya lenting-lenting kecil yang berkelompok.
2. Lenting-lenting tersebut berubah menjadi bula-bula.
12
3. Bula-bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah.
4. Terbentuknya krusta (akibat bula-bula yang pecah).
5. Lesi menghilang.
(sekelompok vesikel – vesikel dalam bentuk bervariasi)
(vesikel berumbilikasi dan membentuk krusta)
13
(sekelompok vesikel – vesikel berkonfluens pada kasus inflamasi berat)
(vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi “scar” jika inflamasi berat)
2.4 GEJALA KLINIS
Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot, dan kelelahan
selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit. Inisial lesi kutaneus sangat gatal, makula dan
papula eritematosa pruritus yang dimulai pada wajah dan menyebar ke bawah. Papula ini
kemudian berkembang cepat menjadi vesikel kecil yang dikelilingi oleh halo eritematosa, yang
dikenal sebagai “tetesan embun pada kelopak mawar” ( “dew drop on rose petal” ). Setelah
vesikel matang, pecah membentuk krusta. Lesi pada beberapa tahapan evolusi merupakan
karakteristik dari varisela. Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit
yang sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik erupsi
kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.
Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan intermiten atau terus
menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir, beberapa dermatom atau difus. Nyeri
prodormal tidak lazim terjadi pada penderita imunokompeten kurang dari usia 30 tahun, tetapi
muncul pada penderita mayoritas diatas usia 60 tahun.4 Nyeri prodormal : lamanya kira –kira 2 –
3 hari, namun dapat lebih lama.
Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal, malaise, demam, nyeri kepala, dan
limfadenopati, gatal, tingling. Lebih dari 80% pasien biasanya diawali dengan prodormal, gejala
tersebut umumnya berlangsung beberapa hari sampai 3 minggu sebelum muncul lesi kulit.
14
Nyeri preeruptif dari herpes zoster (preherpetic neuralgia) dapat menstimulasi migrain,
nyeri pleura, infark miokardial, ulkus duodenum, kolesistitis, kolik renal dan bilier, apendisitis,
prolaps diskus intervertebral, atau glaucoma dini, dan mungkin mengacu pada intervensi
misdiagnosis yang serius.
Lesi kulit yang paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema di sekitarnya
herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral. Erupsi diawali dengan plak
eritematosa terlokalisir atau difus kemudian makulopapuler muncul secara dermatomal.
Lesi baru timbul selama 3-5 hari. Bentuk vesikel dalam waktu 12 sampai 24 jam dan
berubah menjadi pustule pada hari ketiga. Pecahnya vesikel serta pemisahan terjadi dalam 2 – 4
minggu. Krusta yang mongering pada 7 sampai 10 hari. Pada umumnya krusta bertahan dari 2
sampai 3 minggu. Pada orang yang normal, lesi – lesi baru bermunculan pada 1 sampai 4 hari
( biasanya sampai selama 7 hari). Rash lebih berat dan bertahan lama pada orang yang lebih tua.,
dan lebih ringan dan berdurasi pendek pada anak – anak.
Dermatom yang terlibat : biasanya tunggal dermatom dorsolumbal merupakan lokasi
yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal oftalmika, kemudian servikal dan
sakral. Ekstremitas merupakan lokasi yang paling jarang terkena.
Keterlibatan saraf kranial ke 5 berhubungan dengan kornea. Pasien seperti ini harus
dievaluasi oleh optalmologi. Varian lain adalah herpes zoster yang melibatkan telinga atau
mangkuk konkhal – sindrom Ramsay-Hunt. Sindrom ini harus dipertimbangkan pada pasien
dengan kelumpuhan nervus fasialis, hilangnya rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai
tambahan lesi zosteriform di telinga. Secara klasik, erupsi terlokalisir ke dermatom tunggal,
namun keterlibatan dermatom yang berdekatan dapat terjadi, seperti lesi meluas dalam kasus
zoster-diseminata. Zoster bilateral jarang terjadi, dan harus meningkatkan kecurigaan pada
imunodefisiensi seperti HIV / AIDS.
Perkembangan rash pada herpes zoster
15
Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:
1. Herpes zoster oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenaibagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V),
ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi
kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal
berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata,
kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.
Gambar 1. . Herpes zoster oftalmikus sinistra.
2. Herpes zoster fasialis
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.
16
3. Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra.
4. Herpes zoster torakalis
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
5. Herpes zoster lumbalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
lumbalisyang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
17
6. Herpes zoster sakralis
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 5. Herpes zoster sakralisdekstra.
2.5 Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis klinis dibuat dalam kebanyakan kasus. Konfirmasi laboratorium biasanya tidak
perlu. Metode laboratorium untuk identifikasi adalah sama seperti orang-orang untuk herpes
simpleks. Tzanck smear , biopsi kulit, titer antibodi, cairan vesikuler antibodi immunofluorescent
(direct fluorescent antibody), mikroskop elektron, dan kultur dari cairan vesikel dari beberapa
studi patut dipertimbangkan.
Tes awal pilihan adalah apusan sitologi (Tzanck smear). Tes tersebut tidak membedakan
herpes simpleks dan varicella.
Dasar dari lesi pertama kali dikerok dan diwarnai dengan hematoxylin-eosin, Giemsa,
Wright’s, toluidine biru, atau tinta papanicolaou. Sel raksasa multinuklear dan sel epitel yang
mengandung inklusi intranuklear asidofilik dapat terlihat.
Direct fluorescent antibody : dilakukan untuk HSV-1. DFA adalah tes cepat (rapid test)
untuk membedakan VHS-1, VHS-2, dan VVZ.
Kultur virus : tes yang sangat spesifik, tetapi tidak sensitif. VVZ sulit untuk dikultur dan
tumbuh dengan lambat, minimal 1 minggu.
Herpes zoster terlihat kira –kira 7 kali lebih sering pada pasien HIV. Tes HIV dilakukan
jika ada indikasi yang jelas
18
2.6 Diagnosa
Diagnosa herpes zoster berdasarkan klinis.
Ditambahkan dengan berbagai prosedur diagnostik.
Apusan sitologik dari vesikel berupa sel raksasa multinuklear dan degenerasi balon dan /
degenerasi retikular.
Sel raksasa terdiri dari 8 -10 nukleus, dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi.
Biopsi kulit berupa lesi intraepidermal pada pertengahan sampai epidermis bagian atas,
degenerasi balon dan / degenerasi reticular dari sel, sel akantolisis, sel virus raksasa
multinuklear, intranuklear inklusi mungkin diidentifikasikan sebagai sel raksasa.
Virus dapat dikultur dari cairan vesikel.
Direct immunofluorescence menggunakan antibodi monoklonal.
Identifikasi virus dengan mikroskop elektron
2.7 Diagnosa Banding
Herpes simpleks zosteriform: karena herpes zoster dapat muncul di daerah genital.
Selulitis.
Erisipelas.
Eritema gangrenosum : bentuk atipikal.
Infeksi jamur diseminata.
Infeksi mikobakterium diseminata.
Dermatitis kontak.
Drug eruptions.
Pemphigus dan bulosa lainnya yang melepuh tapi tidak ada distribusi dermatomal
klasik.
Molluscum contagiosum dengan papul putih atau kuning dengan umbilikasi sentral
yang disebabkan oleh pox virus. Lesinya lebih lunak dan tidak ada dasar eritem
seperti zoster.
19
Scabies dapat muncul dengan rash pustul yang tidak tebatas pada dermatom dan
mengikuti jaringan laba – laba.
Gigitan serangga (Insect bite).
Folikulitis.
2.8 Komplikasi
Sepsis kulit sekunder, biasanya akibat Streptococcus pyogenes atau Staphylococcus
aureus.
Okular: pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi komplikasi diantaranya ptosis
paralitik, skleritis, korioretinitis, neuritis optik, konjungtivitis, keratitis, uveitis, nekrosis
retina, parut kelopak mata. Herpes zoster oftalmikus (HZO) dapat muncul di kemudian
hari dan menyebabkan komplikasi okular dan nyeri neuralgik.
Diseminasi kutan pada pasien immunocompromised.
Pasien transplantasi dan limfoma memiliki resiko tertinggi (hingga 40%)
Diseminasi visceral terjadi pada 5-10% pasien.
Zoster paralitik :
akibat keterlibatan saraf motorik seperti sindrom Ramsay Hunt (erupsi nyeri pada dan
sekitar telinga, palsi saraf ipsilateral VII dengan atau tanpa gangguan vestibular),
oftalmoplegia eksternal, gangguan kandung kemih, dan kelemahan otot ekstremitas.
Komplikasi SSP :
Pleiositosis limfositik CSS asimtomatik dengan protein meningkat ringan serta kadar
glukosa normal sering terjadi. Meningoensefalitis, mielitis, dan hemiplegia kontralateral
akibat angitis granulomatosa jarang terjadi.
Neuralgia pascaherpes :
Komplikasi paling sering, keadaan yang dirasakan paling menganggu pada herpes zoster
dirasakan sebagai nyeri dermatomal yang menetap setelah penyembuhan walau lesi sudah
hilang. Insidensi keseluruhan adalah 9-15%, 10 – 15 % >40 tahun mencapai 50% pada
usia > 60 tahun nyeri biasanya menghilang dalam 3 -6 bulan namun pada beberapa pasien
nyeri hebat ini bisa menetap selama 6 bulan. Neuralgia ini bervariasi dalam hal
keparahan, tipe, dan kualitasnya.
20
Zoster sakralis :
Keterlibatan segmen – segmen sakral bisa menyebabkan retensi urin akut di mana hal ini
bisa dihubungkan dengan adanya ruam kulit.
Zoster trigeminalis :
Herpes zoster bisa menyerang setiap bagian dari saraf trigeminus, tetapi paling sering
terkena adalah bagian oftalmika. Gangguan mata seperti konjungitvitis, keratitis, dan/atau
iridosiklitis bisa terjadi bila cabang nasosiliaris dari bagian oftalmika terkena
(ditunjukkan oleh adanya vesikel –vesikel di sisi hidung), dan pasien dengan zoster
oftalmika hendaknya diperiksa oleh oftalmolog.
Herpes keratokonjungtivitis : termasuk HZO, dalam waktu 3 minggu selama rash,
terdapat ulkus kornea, keratitis punctata
21
Infeksi pada bagian maksila dari saraf trigeminus menimbulkan vesikel – vesikel unilateral pada
pipi dan pada palatum.
Zoster motoris :
Kadang-kadang selain lesi kulit pada dermatom sensoris, serabut saraf motoris bisa juga
terserang, yang menyebabkan terjadinya kelemahan otot.
Infeksi juga dapat menjalar ke alat dalam, misalnya paru, hepar dan otak.
Banyak reaksi kutaneus yang berkembang selama masa penyembuhan lesi Herpes zoster.
Granuloma annulare (GA) dilaporkan pada beberapa kasus bekas luka (“scars”) Herpes
zoster.
Telah dilaporkan bahwa pruritus paska herpes (PPH) dapat muncul di bagian yang telah sembuh
dari herpes zoster dengan sakit atau tanpa rasa sakit, dan dihubungkan dengan kehilangan saraf
sensorik
2.9PENATALAKSANAAN
PENGOBATAN
Tujuan dari pengobatan adalah menekan inflamasi, nyeri dan infeksi. Pengobatan zoster akut
mempercepat penyembuhan, mengkontrol sakit, dan mengurangi resiko komplikasi. Obat yang
biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir. Obat yang lebih baru
ialah famsiklovir dan pensiklovir yang mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih lama
sehingga cukup diberikan 3x250 mg sehari. Obat – obat tersebut diberikan dalam 3 hari pertama
sejak lesi muncul.16 Untuk zoster yang menyebar luas yang timbul pada orang – orang yang
mengalami imunosupresi, asiklovir intravena mungkin dapat menyelamatkan jiwa.
Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan biasanya diberikan 7 hari, paling
lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul berupa rejimen yang dianjurkan.
Indikasi pemberian asiklovir pada herpes zoster :
1. Pasien berumur ≥ 60 tahun dengan lesi muncul dalam 72 jam.
2. Pasien berumur ≤ 60 tahun dengan lesi luas, akut dan dalam 72 jam.
3.Pasien dengan lesi oftalmikus, segala umur, lesi aktif menyerang leher, alat gerak, dan
perineum (lumbal – sakral).
22
Valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Jika
lesi baru masih tetap timbul obat – obat tersebut masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah
2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi. Valasiklovir terbukti lebih efektif dibandingkan asiklovir
sedangkan famsiklovir sama dengan asiklovir.
Pengobatan lain yang juga dipakai antara lain kortikosteroid jangka pendek dan diberikan
pada masa akut, pemberian steroid ini harus dengan pertimbangan ketat. Indikasi pemberian
kortikosteroid ialah sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus sedini – dininya untuk mencegah
terjadinya paralisis. Diberikan prednison dengan dosis 3 x 20 mg sehari, setelah seminggu dosis
diturunkan bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih
baik digabung dengan obat anti viral. Dikatakan kegunaanya mencegah fibrosis ganglion.
Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah
pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalo
terjadi ulserasi dapat diberikan salep antibiotik.
Anestesi lokal misalnya krim lidokain 5% memberikan perbaikan dibandingkan kontrol.1
Antiinflamasi nir steroid juga dikatakan menolong, namun hasilnya tidak dapat
disimpulkan.
Untuk neuralgia pasca herpes, pemberian awal terapi anti virus telah diberikan untuk
mengurangi insidens.
Menurut FDA, obat pertama yang dapat diterima untuk nyeri neuropatik pada neuropati
perifer diabetik dan neuralgia paska herpetic ialah pregabalin. Obat tersebut lebih baik daripada
obat gaba yang analog yaitu gabapentin, karena efek sampingnya lebih sedikit, lebih poten (2 – 4
kali), kerjanya lebih cepat, serta pengaturan dosisnya lebih sederhana.16 Dosis awal 2 x 75 mg
sehari, setelah 3 – 7 hari bila responnya kurang dapat dinaikkan menjadi 2 x 150 mg sehari.
Dosis maksimum 600 g sehari. Efek sampingnya berupa dizziness, dan somnolen yang akan
menghilang sendiri, jadi obat tidak perlu dihentikan.
Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain patches, dan krim capsaicin dapat digunakan
untuk neuralgia paska herpes. Solutio Burrow dapat digunakan untuk kompres basah. Kompres
diletakkan selama 20 menit beberapa kali sehari, untuk maserasi dari vesikel, membersihkan
serum dan krusta, dan menekan pertumbuhan bakteri. Solutio Povidone- iodine sangat membantu
membersihkan krusta dan serum yang muncul pada erupsi berat dari orang tua.7 Acyclovir
23
topikal ointment diberikan 4 kali sehari selama 10 hari untuk pasien imunokompromised yang
memerlukan waktu penyembuhan jangka pendek.
Pada kasus berat dapat diberikan Gabapentin oral (300 – 600 mg per oral TID selama 7
hari). Tidak lebih dari 150 mg/d. Penderita AIDS dengan CD4+ <100 sel/mm3 dan transplantasi
resipien, khususnya sumsung tulang mungkin mengalami infeksi VVZ dengan resistan acyclovir.
Perlu diawali pengobatan dengan foscarnet 40 mg/kg IV setiap 8 jam selama 7 – 10 hari pada
pasien dengan suspek infeksi VVZ dengan resisten acyclovir. Pengobatan foscarnet diperlukan
setidaknya sampai 10 hari atau sampai lesi sembuh.
Anti depresi antisiklik ( misalnya nortriptilin dan aminotriptilin): amitriptilin 30 – 100 mg
per oral QHS. Pengobatan dengan amiptriptilin dan obat sejenisnya, blok saraf, dan / opioid
nantinya setelah perkembangan nyeri akut dapat mencegah sensitisasi SSP yang menyebabkan
nyeri persisten. Efek sampingnya ialah gangguan jantung, sedasi, dan hipotensi.16 Dosis
nortriptilin 50 – 150 mg/hari.
Rejimen terapi untuk Varisela-zoster :
PENCEGAHAN
Vaksin Zostavax℗ : strain hidup yang dilemahkan dari VVZ. Berhubungan dengan Varivax℗,
tetapi diperkirakan 14 kali lebih terkonsentrasi. Telah disetujui oleh FDA untuk pasien > 60
tahun tanpa riwayat penyakit herpes zoster sebelumnya. Zostavax telah diketahui untuk
mengurangi penyakit herpes zoster dan neuralgia paska herpes.
24
2.11 PROGNOSA
Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan perawatan
secara dini.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002.
2. Habif, T.P. Viral Infection. In : Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2011 .p. 235 -239.
3. Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In : Lippincott’s Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer Health. 2011 .p. 148 -151.
4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in General Medicine. 7 thed. New York : McGraw Hill Company.2008.p. 1885-1898.
5. James, W.D. Viral Diseases. In : Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. 11th ed. USA : Elseiver Saunder. 2011 .p. 372 – 376.
6. Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and Marks’ Principles of Dermatology. 4th ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2006 .p.145-148.
7. Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In : Clinical Dermatology. 5 thed. United States of America : Elseiver Saunders. 2010.p. 479 – 490.
8. Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta : Erlangga Medical Series. 2008 : 115 – 119.
9. Sehgal, V.N. Herpes Zoster. In : Textbook of Clinical Dermatology. 4th ed. New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers. 2006.p. 83 – 84.
10. Mayeaux EJ. Viral Infection. In : The Color Atlas of Family Medicine. United State of America : Mc Graw-Hill Companies, 2009 : 493 – 502.
11. Brown, R.G. Lecture Notes Dermatology: Penyakit Infeksi.8th ed. Jakarta : Erlangga Medical Series. 2005 : 29 – 31.
12. Brown, R.G.Dermatology Fundamentals of Practice. Philadelphia : Mosby Elseiver. 2008.p. 212-214.
13. Chang Sung Eun, Bae Gee Young, Moon Kee Chan, Do Sang Hwan, Lim Young Jin. Subcutaneous granuloma annulare following herpes zoster. In : International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 298 – 299.
14. The International Society of Dermatology.Herpes zoster and pruritus. In : International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 779 -780.
15. Ali Asra. Varicella zoster virus (VZV). In : Dermatology a Pictorial Review. New York : Mc Graw Hill Companies. 2007.p. 22 -23.