Hasyim, Bidawi - 2009

226
PENGELOLAAN ZONA PENANGKAPAN IKAN DI SELAT MADURA DAN SEKITARNYA DENGAN PENDEKATAN SPASIAL DAN TEMPORAL BIDAWI HASYIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Transcript of Hasyim, Bidawi - 2009

Page 1: Hasyim, Bidawi - 2009

PENGELOLAAN ZONA PENANGKAPAN IKAN DI SELAT MADURA DAN SEKITARNYA DENGAN

PENDEKATAN SPASIAL DAN TEMPORAL

BIDAWI HASYIM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 2: Hasyim, Bidawi - 2009

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengelolaan Zona

Penangkapan Ikan di Selat Madura dan Sekitarnya Dengan Pendekatan Spasial

dan Temporal adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum

pernah diajukan dalam bentuk apaun kepada kerguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2009

Bidawi Hasyim

NIM : C561 030 214

Page 3: Hasyim, Bidawi - 2009

ABSTRACT

Bidawi Hasyim. Management of Potential Fishing Zone in Madura Strait and its Surrounding Based on Spatial and Temporal Approaches. Supervised by M. Fedi A. Sondita, John Haluan and Mahdi Kartasasmita

Fish resources in the east part of Madura Strait has been traditionally utilized by Situbondo fishermen. This research was aimed at: (1) describing the dynamics of potential fishing zones (PFZ) by analyzing sea surface temperature and chlorophyll-a content, wind velocity and wave height, and (2) developing spatial and temporal direction of fishing operation and cooperative fishing operation based on the distribution of PFZ. This research synthesized 10-year weekly sea surface temperature (SST) data in the Madura Strait and its surroundings derived from satellite remote sensing becoming 48 weekly SST data, identified and synthesized 48 PFZs data becoming 12 monthly PFZs, then analyzed monthly PFZ based on its distribution and density classification in each spatial units. Based on regional planning, the fishing management zone of Situbondo can be distinguished into 3 areas: PPI Besuki zone in the west, PPI Tanjung Pecinan Zone in the middle and PPI Pondok Mimbo Zone in the east. Fishermen from the three PPIs have different capacity in accessing the PFZs identified in this research. The fishermen from PPI Besuki and Tanjung Pecinan, especially who operate fishing boats larger than 20 GT, have better technological capacity than the fishermen from PPI Pondok Mimbo, especially to operate during easterly wind season. The fishermen from the first two PPIs can access most part of the strait and its adjacent waters while those from the PPI Pondok Mimbo can access the PFZs as far as 20 kms from the shore. Cooperative fishing operation among the fishermen from various locations surrounding Madura Strait and its adjacent waters is needed to promote greater access to the PFZs identified in this research and prevent conflicts on fishing ground. Such cooperative operation needs to be supported by inter-regional governments (Kabupatens) in the area through wider integrated fisheries management, including development of regional fisheries industry network. Keywords: Capture fisheries management, remote sensing, sea surface

temperature, fishing ground, Madura Strait.

Page 4: Hasyim, Bidawi - 2009

RINGKASAN

Bidawi Hasyim. Pengelolaan Zona Penangkapan Ikan di Selat Madura dan Sekitarnya Dengan Pendekatan Spasial dan Temporal. Dibawah bimbingan M. Fedi A. Sondita, John Haluan, dan Mahdi Kartasasmita.

Secara tradisional nelayan Situbondo telah memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di bagian timur dari Selat Madura. Sementara itu, perairan di sebelah timur selat ini belum dimanfaatkan secara optimal karena berbagai kendala, seperti spesifikasi teknis unit penangkapan ikan, cuaca dan keterbatasan prasarana pendukung. Penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi dinamika zona potensi penangkapan ikan (ZPPI) di kawasan Selat Madura dan sekitarnya melalui analisis terhadap peta sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan khlorofil-a yang diperoleh dari citra penginderaan jauh; dan (2) mengembangkan pola spasial dan temporal kegiatan penangkapan ikan berdasarkan dinamika ZPPI yang difokuskan pada pengembangan kerjasama operasional perikanan tangkap di antara nelayan Situbondo, serta antara Kabupaten Situbondo dengan kebupaten sekitarnya. Daerah penelitian ini mencakup Selat Madura dan perairan sekitarnya yang meliputi Laut Bali bagian barat, Selat Bali bagian utara, dan Laut Jawa bagian timur sebelah utara Pulau Madura.

Data utama penelitian ini adalah suhu permukaan laut (SPL) yang diperoleh dari penginderaan jauh satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration – Advanced Very High Resoltion Radiometer) tahun 1996 – 2005, yaitu data NOAA-AVHRR kanal 4 dan 5. Perhitungan SPL dilakukan dengan menerapkan algoritma McMillin and Crossby (1984) yang sudah biasa dipakai di LAPAN, dengan rumus : SPL = TW4 + 2,702 (TW4 – TW5) – 273,582, dimana SPL dalam derajat Celcius; TW4 dan TW5 adalah citra suhu air laut dari masing-masing kanal 4 dan 5 tersebut; dan konstanta -273,582 adalah konstanta pengurangan untuk mengkonversi satuan suhu dari derajat Kelvin menjadi derajat Celcius.

Dalam penelitian ini dilakukan sintesis SPL mingguan selama 10 tahun (1996 -2005), menghasilkan 48 ZPPI mingguan. ZPPI ditentukan berdasarkan thermal front yang ditentukan berdasarkan gradien SPL dan kandungan klorofil-a dari citra satelit SeaWiFs dengan kriteria sebagai berikut : (1) pembuatan kontur SPL; (2) identifikasi dan analisis gradien SPL untuk setiap jarak 3 km (3 pixel) sebesar 0,5o C; dan (3) analisis nilai kandungan klorofil-a ( > 0,3 mg/l). Selanjutnya dilakukan sintesis 48 ZPPI mingguan menghasilkan 12 ZPPI bulanan yang selanjunya dijadikan dasar analisis dinamika ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya, dengan memperhatikan kondisi angin dan gelombang, serta serta kedalaman perairan berdasarkan peta laut yang dikerluarkan oleh Dishidros.

Citra-citra satelit menunjukkan bahwa variasi SPL di Selat Madura menunjukkan perubahan yang sangat dinamis. Suhu terendah terjadi pada bulan Desember dalam kisaran 26o - 30o C ketika angin bertiup dari barat, sedangkan suhu tertinggi terjadi pada bulan September dengan kisaran 28o – 32o C ketika angin bertiup dari timur, tenggara dan selatan. Kandungan klorofil-a di Selat Madura umumnya berada dalam kisaran 0,4 – 1,0 mg/m3. Sementara itu, kondisi

Page 5: Hasyim, Bidawi - 2009

gelombang di Selat Madura dipengaruhi oleh arah angin dan konfigurasi geografi di sekitar Selat Madura. Angin yang datang dari arah barat, barat laut, barat daya, utara dan selatan terhalang oleh daratan Pulau Madura, Pulau Jawa dan pulau Bali yang mengelilingi Selat Madura sehingga periode angin-angin tersebut menyebabkan Selat Madura relatif tenang sepanjang tahun, kecuali ketika angin bertiup dari timur yang umumnya berlangsung pada periode mulai dari bulan Juni hingga September. Sumberdaya ikan yang dominan tertangkap di Selat Madura oleh nelayan Situbondo adalah lemuru, tongkol, layang, kembung dan selar, dengan komposisi yang berubah-ubah berkaitan erat dengan musim.

Mengacu pada Rencana Tata Ruang Kabupaten Situbondo maka wilayah pengelolaan perikanan Kabupaten Situbondo dapat dibagi menjadi 3 zona berdasarkan lokasi pusat pendaratan ikan (PPI) yang ada, yaitu zona PPI Besuki yang terletak di sisi paling barat, zona PPI Tanjung Pacinan di bagian tengah, dan zona PPI Pondok Mimbo yang terletak di sisi paling timur. Ketika musim angin timur, zona penangkapan ikan PPI Pondok Mimbo mengalami dampak musiman berupa angin kencang dan gelombang tinggi, sementara itu zona PPI Besuki mengalami dampak musiman yang paling kecil.

Optimalisasi perikanan tangkap Situbondo dapat dilakukan dengan mengatur pola kegiatan penangkapan pada ZPPI dalam unit spasial yang dapat diakses oleh nelayan dari PPI bersangkutan. Ada 4 opsi pola kegiatan penangkapan ikan yang teridentifikasi, yaitu: (1) setiap nelayan beroperasi di dalam zona PPI masing-masing; (2) nelayan dari zona PPI yang berbeda bekerjasama di dalam wilayah pengelolaan perikanan Kabupaten Situbondo; (3) nelayan Situbondo bekerjasama dengan nelayan PPI lain di sekitarnya yang sama-sama beroperasi di Selat Madura; dan (4) nelayan Situbondo bekerjasama dengan nelayan dari PPI lain yang beroperasi di Selat Bali, Laut Bali dan Laut Jawa bagian timur sebelah utara Pulau Madura. Keempat opsi tersebut perlu diterapkan dalam pengelolaan perikanan tangkap Kabupaten Situbondo.

Berdasarkan dinamika ZPPI dan kapasitas teknis yang dimilikinya, nelayan Besuki selain beroperasi di dalam zona PPI Besuki sendiri, juga dapat memperluas daerah penangkapan ikan pada tiga arah, yaitu ke sebelah barat laut hingga di sebelah utara Paiton, ke utara hingga perairan di sebelah selatan Pamekasan, dan ke arah timur laut hingga ke sebelah barat atau barat laut Tanjung Pecinan. Nelayan Besuki yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT diarahkan untuk bekerjasama dengan nelayan lokal lain untuk mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di perairan yang jaraknya 10 – 20 km dari garis pantai di sisi timur laut Probolinggo, serta sebelah barat laut dan timur laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan Besuki yang menggunakan perahu motor di atas 20 GT diarahkan untuk bekerjasama dengan nelayan lokal untuk mengakses unit spasial ZPPI virtual dalam unit spasial di perairan yang jaraknya lebih dari 20 km sebelah utara sampai timur laut Pondok Mimbo, sebelah selatan Pamekasan hingga sebelah tenggara Sumenep. Selain itu, nelayan Besuki dapat melakukan kerjasama dengan nelayan lokal lainnya untuk mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di perairan Laut Jawa antara sebelah utara Pamekasan sampai utara Pulau Raas. Cakupan daerah penangkapan ikan yang luas ini menunjukkan keunggulan teknis dari armada penangkapan ikan yang berasal dari PPI Besuki dibandingkan dengan nelayan Situbondo lainnya.

Page 6: Hasyim, Bidawi - 2009

Lokasi ZPPI dalam unit spasial di zona PPI Tanjung Pecinan selalu mengalami perubahan di antara sebelah barat laut dan timur lautnya. Perubahan ini terutama disebabkan oleh pola lintasan pergerakan massa air laut dan sumberdaya ikan di antara zona Pondok Mimbo dan Besuki. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT dapat diarahkan untuk bekerjasama dengan nelayan Sitobondo lain untuk melakukan operasi penangkapan ikan di ZPPI virtual dalam unit spasial di perairan yang berjarak kurang dari 20 km dari pantai Besuki dan Pondok Mimbo. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu motor ukuran di atas 20 GT diarahkan untuk melakukan kerjasama dengan nelayan lokal lain untuk melakukan operasi penangkapan ikan pada perairan yang jaraknya lebih dari 20 km dari pantai Besuki dan Pondok Mimbo. Nelayan Tanjung Pecinan dan Besuki yang sama-sama menggunakan perahu/kapal motor di atas 20 GT dapat diarahkan untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan agar dapat mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di Selat Madura yang jaraknya lebih dari 20 km di sebelah Probolinggo, di sisi utara Selat Madura sebelah selatan Sampang sampai selatan pulau Raas, di Laut Jawa sebelah utara Pamekasan sampai Pulau Raas.

Lokasi dan jumlah ZPPI dalam unit spasial pada zona penangkapan ikan PPI Pondok Mimbo juga selalu berubah-ubah, tersebar dalam kawasan perairan yang lebih luas dibandingkan dengan unit spasial dalam zona PPI Besuki dan Tanjung Pecinan. Kondisi ini menunjukkan bahwa nelayan dari PPI Pondok Mimbo mempunyai potensi sumberdaya ikan yang lebih besar dibandingkan dengan nelayan dari PPI lain di sekitar Selat Madura. Namun demikian, spesifikasi teknis perahu motor yang digunakan tidak mampu untuk mengatasi angin kencang dan gelombang tinggi dari timur sehingga nelayan Pondok Mimbo tidak mampu mengakses ZPPI dalam unit spasial yang luas tersebar di perairan yang berjarak lebih dari 20 km dari pantai Pondok Mimbo. Nelayan Pondok Mimbo yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT dapat diarahkan untuk bekerjasama dengan nelayan lokal lain untuk mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di sebelah timur dan timur laut Tanjung Pecinan, serta dengan nelayan Banyuwagi untuk mengakses bagian utara dari Selat Bali

Kerjasama di antara nelayan dari berbagai lokasi di atas sudah seharusnya difasilitasi oleh beberapa Pemerintah Daerah yang bersangkutan, yaitu Kabupaten Situbondo, Probolinggo, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Banyuwangi, dan Provinsi Jawa Timur. Kerjasama antar Pemerintah Daerah ini tidak terbatas pada akses zona penangkapan ikan, tetapi juga termasuk pembangunan jaringan industri perikanan yang melibatkan sub-sistem penangkapan ikan yang berpusat di tepian selatan Selat Madura (di antaranya adalah Situbondo) dan sub-sistem pengolahan ikan yang saat ini berpusat di Banyuwangi. Melalui kerjasama ini diharapkan nelayan dapat mengakses ZPPI dalam unit spasial lebih banyak dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pengelolaan ikan hasil tangkapan untuk kesejahteraan nelayan dan pembangunan Kabupaten Situbondo.

Page 7: Hasyim, Bidawi - 2009

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB. 2. Dilarang mengumumkan sebagian atau seluruh karya tulis dalam

bentuk apapun tanpa izin IPB.

Page 8: Hasyim, Bidawi - 2009

PENGELOLAAN ZONA PENANGKAPAN IKAN DI SELAT MADURA DAN SEKITARNYA DENGAN

PENDEKATAN SPASIAL DAN TEMPORAL

BIDAWI HASYIM

Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Doktor Pada Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 9: Hasyim, Bidawi - 2009
Page 10: Hasyim, Bidawi - 2009

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.

: 2. Dr. Ir. Domu Simbolon, MS.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof (R). Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.Sc.

: 2. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Sc.

Page 11: Hasyim, Bidawi - 2009

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia rahmat dan nikmatNya sehingga disertasi dengan judul “Pengelolaan Zona Penangkapan Ikan di Selat Madura dan Sekitarnya Dengan Pendekatan Spasial dan Temporal”.ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan – Institut Pertanian Bogor, dan sebagai bagian dari upaya memberikan konstribusi bagi pembangunan perikanan tangkap khususnya untuk Kabupaten Situbondo. Penulis dapat mengikuti pendidikan sampai S3 dan menyelesaikan disertasi pada Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB ini, atas jasa serta do’a dari ayahanda H. Asna’i (alm) dan ibunda Hj Yatim yang paling penulis hormati, serta isteri tercinta Hj. Erna Marliana.

Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Profesor

Dr. Ir. John Haluan M.Sc. dan Dr. Ir. Mahdi Kartasasmita MS. selaku Anggota Komisi Pembimbing Disertasi;

2. Prof Dr Ir Indra Jaya, M.Sc., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang mewakili Rektor IPB pada Ujian Terbuka;

3. Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., Wakil Dekan yang mewakili Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Ujian Tertutup;

4. Profesor Dr. Ir. John Haluan M.Sc., selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB;

5. Dr. Ir. Budy Wiryawan M.Sc., dan Dr. Ir. Domu Simbolon MS. selaku penguji luar pada Ujian Tertutup;

6. Prof (R) Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.Sc. dan Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Sc. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka;

7. Profesor (Emeritus) Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc. yang selalu memberikan dorongan semangat sejak penulis mengikuti program studi S3 Teknologi Kelautan IPB;

Pada kesempatan ini, penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungannya dalam penyelesaian disertasi ini, kepada : 1. Dr. Adhyaksa Dault, S.H., M.Si., Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI,

sebagai pimpinan sekaligus sahabat sejak kuliah bersama pada Program Studi Teknologi Kelautan IPB;

2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., selaku dosen sekaligus teman diskusi sejak penulis mengikuti pendidikan S2 Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB;

3. Dr. Bambang Koesoemanto, M.Sc., Sekretaris Utama LAPAN; 4. Drs. Bambang Setiawan Tejasukmana, Dipl.Ing., Deputi Bidang Sains

Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN serta sahabat sejak kuliah bersama pada Departemen Fisika – Institut Teknologi Bandung (ITB);

5. Dra. Ratih Dewanti, M.Sc., selaku Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh (Pusbangja) LAPAN, dan Ir. Agus Hidayat, M.Sc. selaku Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN ;

6. Dra. Yuni Purwanti, M.Pd., Asisten Deputi Olahraga Pendidikan; Dra. Marheni Diah, M.Pd., Kepala Bidang Olahraga Kesiswaan; serta para Kepala

Page 12: Hasyim, Bidawi - 2009

Bidang dan kawan-kawan pada Asdep Olahraga Pendidikan, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora);

7. dr. Fatimah, Sp. KO., Asisten Deputi Standardisasi, Akreditasi, dan Sertifikasi (SAS) Keolahragaan - Kemenegpora, beserta para Kepala Bidang dan kawan-kawan pada Asdep SAS Keolahragan - Kemenegpora;

8. Prof. Dr. Husein Argasasmita, M.A., Ketua Lembaga Akreditasi Nasional Keolahragaan (LANKOR). Kemenegpora;

9. Dr. Orbita Roswintiarti, M.Sc., Kepala Bidang Pemanfaatan Penginderaan Jauh; Dr. Ir. Donny Kushardono, M. Eng. Sc., Kepala Bidang Pengembangan Teknologi Penginderaan Jauh; Ir. Totok Suprapto, MT., Kepala Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan; serta Ir. Nursaid, M.Si., Kepala Instalasi Lingkungan dan Cuaca, Pusbangja - LAPAN;

10. Prof (R) Dr. Ir. Asikin Djamali dan Dr. Ir. M. Hutomo, Lembaga Penelitian Oseanologi LIPI, juga atas bantuannya dalam pengadaan literatur oseanografi;

11. Dra. Maryani Hartuti, M.Sc., Teguh Proyogo ST., Sayidah Sulma, SPi., Suwarsono S.Si., Yudi Prayitno, ST., Drs. Islam Widya Bagja, sdr Bambang Susilo dan teman-teman di LAPAN Pekayon, dalam perolehan data dan pengolahan data satelit penginderaan jauh;

12. Roy Hidayat, S.Pi., M.Si, Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo atas bantuannya dalam pengadaan literatur tentang perikanan di Kabupaten Situbondo;

13. Teman-teman dari Sekretariat Pasca Sarjana IPB khususnya Pak Jayana, sekretariat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, serta Mbak Shinta, Mbak Hani dan Pak Iwan dari Sekretariat Program Studi Teknologi Kelautan IPB, dalam penyelesaian administratif perkuliahan dan disertasi;

14. Sanak saudara atas sambung do’a dan dorongan semangatnya untuk menyelesaikan pendidikan dan disertasi ini;

15. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyelesaian disertasi Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan IPB.

Penulis berharap, disertasi ini bermanfaat bagi penentu kebijakan dan pelaku perikanan tangkap khususnya di daerah penelitian yaitu Kabupaten Situbondo, penentu kebijakan dan pengambil keputusan di bidang penginderaan jauh LAPAN dalam meningkatkan penelitian pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan, serta memotivasi teman-teman peneliti di instansi penulis bekerja untuk meningkatkan kedewasaan ilmiah.

Semoga pendidikan yang telah penulis jalani dan disertasi ini menjadi contoh dan penyemangat bagi anak-anak dan menantu tersayang yaitu : Akhmad Ardiyansyah SE., Lita Aryani, SP., Muhammad Lukman, A.Md., Budi Muliawan, Arlina Ratnasari (penerus pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB), Aulia Irfana Perdani, ST., serta cucunda terkasih Naila Zahra Azalia Mayrani serta generasi penerus penulis untuk mencapai jenjang pendidikan tertinggi.

Jakarta, Juni 2009

Bidawi Hasyim

Page 13: Hasyim, Bidawi - 2009

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 19 Oktober 1953 di Situbondo - Jawa Timur, anak pertama dari 5 bersaudara dari pasangan ayah H. Asna’i dan ibu Hj. Yatim. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 pada Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1980, penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sejak 1 Maret 1980. Lulus S2 Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (PS-SPL) Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 31 Januari 2003, kemudian pada bulan Juni 2003 melanjutkan ke Program S3 pada Program Studi Teknologi Kelautan (PS-TKL) – Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Penulis pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam bidang teknologi pengolahan data dan komputer, serta penginderaan jauh dan sistem informasi geografis baik di dalam dan di luar negeri, antara lain di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Thailand, Kanada, Italia, dan Belanda. Secara khusus, penulis pernah belajar aplikasi penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan di Japan National Fisheries Risearch Institute, Tokyo tahun 1987-1988.

Penulis secara konsisten melakukan penelitian di bidang aplikasi data penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan sejak 1983. Menjadi Peneliti Utama pada kegiatan Riset Unggulan Terpadu (RUT) dalam bidang aplikasi data penginderaan jauh untuk kualitas perairan pantai. Pernah aktif menjadi anggota Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan Laut, kerjasama penelitian aplikasi data RADAR-SAR antara negara-negara ASEAN dengan Uni Eropa, serta angota Global Research Network System (GRNS) Jepang dalam bidang oseanografi. Mengembangkan inovasi dalam bidang aplikasi data penginderaan jauh untuk penentuan zona potensi penangkapan ikan (ZPPI), pemetaan terumbu karang seluruh perairan laut Indonesia menggunakan data penginderaan jauh LANDSAT-TM (kerjasama LAPAN – LIPI), serta proyek aplikasi data penginderaan jauh untuk bina usaha. Penulis terpilih sebagai Peneliti Terbaik LAPAN tahun 1995/1996, mendapat penghargaan Satya Lencana Karya Satya 10 dan 20 tahun, serta Satya Lencana Wira Karya Pembangunan dari Presiden RI.

Penulis juga banyak membimbing tugas akhir mahasiswa S1 untuk penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan data penginderaan jauh dari beberapa perguruan tinggi antara lain dari IPB, Universitas Diponegoro Semarang (UNDIP), Universitas Riau (UNRI), Universitas Hasanuddin Makassar (UNHAS), Universitas Hang Tuah Surabaya (UHT), Universitas YARSI Jakarta, serta mahasiswa S2 SPL-IPB. Penulis pernah berpartisipasi aktif pada pertemuan ilmiah dalam dan luar negeri seperti di Malaysia, Singapore, Thailand, Phillipina, China, dan Jepang. Penulis juga pernah menjadi Wakil Ketua Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).

Jabatan fungsional peneliti yang diemban saat ini adalah Ahli Peneliti Muda Bidang Penginderaan Jauh. Penulis sempat memegang jabatan struktural sebagai Kepala Unit Komputer Induk – Pusat Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN, Kepala Bidang Matra Laut – Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN, serta mendapat tugas sebagai Staf Ahli Kepala LAPAN Bidang Tekno Ekonomi. Selain jabatan struktural di LAPAN, penulis sempat ditugaskan untuk memangku jabatan struktural eselon I sebagai Staf Ahli Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Bidang Strategi Pembangunan Pemuda dan Olahraga, kemudian sebagai Deputi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Bidang Pemberdayaan Olahraga pada Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia.

Jakarta, Juni 2009

Page 14: Hasyim, Bidawi - 2009

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

bathymetry : kedalaman perairan laut (meter)

Caranx leptolepis : ikan selar kuning

Carangidae : famili ikan selar

Caranx sexfaciatus : ikan kuweh

cropping : pemotongan citra sesuai dengan batas-batas yang diinginkan/ditentukan

demersal : jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan mulai di lapisan dasar

Decapterus spp. : ikan layang

digital number : nilai digital yang diterima dari satelit NOAA-AVHRR dengan nilai antara 0 – 1023.

Euthynnus spp. : ikan tongkol

Feedback dari nelayan : data hasil tangkapan ikan dari nelayan yang beroperasi di lokasi yang diperkirakan sebagai tempat yang banyak ikan.

Fetch : jarak tempuh angin

fish finder : alat yang digunakan untuk mendeteksi adanya kumpulan ikan di laut dengan menggunakan gelombang suara (elektromagnetik)

fishing ground : lokasi yan diduga sebagai tempat berkumpul ikan

geografis : lokasi berdasarkan koordinat posisi

GPS : global positioning system

GT : gross tonage (ukuran perahu/kapal motor)

ikan pelagis : jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan di lapisan permukaan laut

isobath : garis/kontur yang menyatakan lapisan kedalaman laut yang sama

isohaline : ikan yang sensitif terhadap perubahan suhu

kerjasama penangkapan ikan

: kegiatan penangkapan ikan yang terkoordinasi di antara nelayan yang berasal dari tempat berbeda dengan tujuan untuk menghilangkan konflik di antara mereka

klorofil-a : kandungan hijau daun pada fitoplankton

koreksi geometrik : koreksi citra satelit untuk menghilangkan kesalahan akibat rotasi dan kelengkungan bumi.

Page 15: Hasyim, Bidawi - 2009

koreksi radiometrik : koreksi citra satelit untuk menghilangkan kesalahan akibat pengaruh partikel di atmosfir.

KUD : Koperasi Unit Desa

LAPAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

mil laut (nautical mile) ukuran jarak di laut sejauh 1.852 meter

Megalaspis cordyla : ikan selar

migrasi : perpindahan kelompok ikan dari satu lokasi ke lokasi perairan lainnya, karena faktor lingkungan atau proses pertumbuhan ikan.

MSY : maximum sustainable yield (potensi lestari) musim barat : musim yang didominasi oleh angin dari arah barat,

biasanya terjadi pada bulan Desember - Februari musim peralihan pertama : musim yang merupakan transisi dari musim barat ke

musim timur, dengan arah dan kecepatan angin yang berubah-ubah, terjadi pada bulan Maret – Mei

musim timur : musim yang didominasi oleh angin dari arah timur, biasanya terjadi pada bulan Juni – Agustus

musim peralihan kedua : musim yang merupakan transisi dari musim timur ke musim barat, dengan arah dan kecepatan angin yang berubah-ubah, biasanya terjadi pada bulan September – November

nelayan pandega : orang yang pekerjaannya hanya melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut

nelayan sambilan : orang yang kegiatannya menjadi nelayan pada waktu tidak mengerjakan pekerjaan utamanya, misalnya pekerjaan di pabrik gula.

nelayan pemilik : pemilik perahu/kapal motor dan ikut serta dalam kegiatan penangkapan ikan

Nelayan tradionil : nelayan yang melakukan penangkapan dengan perahu layar atau perahu motor di bawah 5 GT.

NOAA- AVHRR : National Oceanic and Atmospheric Administration - Advance Very High Resolution Radiometer

overfishing : kegiatan penangkapan ikan yang produksinya melebihi potensi lestasi sumberdaya ikan dan/atau upaya penangkapan ikan yang dikerahkan melebihi tingkat upaya untuk menghasilkan MSY

one day fishing : kegiatan penangkapan ikan yang lamanya satu hari atau satu malam per trip operasi penangkapan ikan

Page 16: Hasyim, Bidawi - 2009

paceklik : masa sulit bagi nelayan karena hasil tangkapan sangat rendah, baik akibat dari tidak adanya ikan di perairan maupun buruknya kondisi laut

pengelolaan : pengaturan penangkapan ikan berdasarkan zona potensi penangkapan ikan

penginderaan Jauh : ilmu dan seni untuk mendapatkan data atau fenomena suatu obyek dengan bantuan alat tanpa menyentuh objek yang diamati

piksel (pixel) : ukuran gambar terkecil yang dapat diamati dan dinyatakan dalam ukuran satuan dalam citra satelit penginderaan jauh, misalnya untuk citra NOAA-AVHRR adalah 1,1 km x 1,1 km.

pelagis kecil : jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan mulai dari lapisan permukaan laut sampai kedalaman 100 meter

pelagis besar : jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan mulai dari lapisan permukaan laut sampai kedalaman lebih dalam dari 100 meter

peta rupabumi : peta yang menggambarkan bentuk dan penggunaan lahan dengan skala tertentu

peta kedalaman laut : peta yang menggambarkan kedalaman laut dengan skala tertentu

prospektif : mempunyai peluang memberikan hasil yang tinggi

PPDI : Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan

PPI : Pusat Pendaratan Ikan

radiometer count atau digital count atau digital number

: Nilai digital dari setiap pixel terdiri dari 8 bit dengan nilai 0 – 255, atau 10 bit dengan nilai 0 – 1023.

Rastrelliger kanagurta : kembung laki-laki atau banyar

Rastrelliger neglectus : kembung perempuan

salinitas : kandungan garam di perairan laut dengan satuan o/oo.

Sardinella longiceps : jenis ikan lemuru di Selat Bali

Scomberomorus lineolatus

: tenggiri

SeaWiFS : Sea Wide Field of view Sensor

Selar cromenopthalmus : ikan selar bentong

Sempenit : ikan lemuru yang ukuran panjangnya kurang dari 11 cm.

scad mackerels : Ikan layang

Page 17: Hasyim, Bidawi - 2009

schooling : gerombolan ikan di laut

Situbondo : nama kabupaten di ujung timur dari Jawa Timur, berada di tepian selatan dari Selat Madura

spasial : ukuran luas tertentu berkorelasi dengan posisi koordinat.

SPL : Suhu Permukaan Laut (satuan 0C)

SST : Sea Surface Temperature (satuan 0C)

stenohaline : ikan yang sensitif terhadap perubahan salinitas

temporal : periode pengulangan tertentu (mingguan, bulanan, musiman)

trevallies Nama lain dari ikan selar purse seine : jaring ikan yang dikenal dengan nama pukat cincin protolan : lemuru yang ukuran panjangnya antara 11 – 15 cm.

Topex Poseidon : satelit penginderaan jauh yang memberikan data tentang ketinggian muka laut dan arah angin.

thermal front : pertemuan antara massa air yang lebih panas dengan yang lebih dingin

Thunnus albacares : madidihang

time series : deret waktu dengan periode yang berbeda, mingguan/bulanan/musiman

swimming layer : lapisan kedalaman berenang ikan

TPI tempat pendaratan ikan

unit spasial : ukuran sel (unit) terkecil dalam peta

WPP : Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (11 WPP)

ZEE : zona ekonomi ekslusif Zona A : zona penangkapan ikan PPI Besuki Zona B : zona penangkapan ikan PPI Tanjung Pecinan Zona C : zona penangkapan ikan PPI Pondok Mimbo

ZPPI : zona potensi penangkapan ikan

ZPPI virtual : ZPPI yang ada dalam zona penangkapan PPI lain.

Page 18: Hasyim, Bidawi - 2009

xvi

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Gambar ……………………………………………………………… xx

Daftar Tabel ………………………………………………………………… xxiii

Daftar Lampiran ……………………………………………………………. xxiv

1 PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1

1.1 Latar Belakang ……………………………………………………. 1

1.2 Permasalahan ……………………………………………………… 5

1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 5

1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………… 6

1.5 Hipotesis …………………………………………………………... 7

1.6 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….. 10

2.1 SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang …………………………... 10

2.2 Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Pelagis .………………………... 17

2.3 Data Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan ……………….. 23

2.4 Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia ....................................... 24

2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ............................................ 26

2.6 Kebutuhan Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan..... 28

2.7 Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial ZPPI LAPAN ..... 29

2.8 Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan buatan BRKP ................. 35

2.9 Tingkat Adopsi Pemanfaatan Informasi Spasial ZPPI ...................... 36

3 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN …………………….. 38

3.1 Kondisi Geografis Daerah Penelitian ............................................... 38

3.2 Potensi Wilayah Kabupaten Situbondo ............................................ 40

3.3 Pewilayahan Pembangunan Kabupaten Situbondo .......................... 40

3.4 Kelembagaan Kelautan dan Perikanan ............................................ 41

3.5 Usaha Penangkapan Ikan Laut ......................................................... 43

3.6 Permasalahan dan Peluang Dalam Pembangunan Perikanan ........... 46

Page 19: Hasyim, Bidawi - 2009

xvii

4 METODOLOGI ……………………………………………………….. 48 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian …………………………………….... 48

4.2 Metode Pengumpulan Data ................................................................ 49

4.2.1 Materi penelitian.…………………………………...………. 49

4.2.2 Perhitungan suhu permukaan laut .......................................... 50

4.2.3 Data klorofil-a ........................................…………………... 53

4.2.4 Data angin dan gelombang .................................................. 53

4.2.5 Data kedalaman perairan laut ………………….................... 54

4.3 Pengumpulan Data Perikanan Tangkap ............................................ 54

4.3.1 Pengumpulan data perikanan tangkap melalui survei lapangan................................................................................. 55

4.3.2 Pengumpulan data waktu, lokasi dan jenis ikan.................... 56

4.4 Design dan sintesis Informasi Spasial ZPPI ..................................... 56

4.5 Metode Analisis ................................................................................ 62

4.5.1 Pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan ukuran (jarak jangkau) perahu/kapal motor .........................................

62

4.5.2 Pengaturan zona penangkapan berdasarkan daya jangkau kapal dalam bentuk lingkaran .................................................. 63

4.5.3 Pengaturan zona penangkapan ikan dalam jarak sejajar garis pantai ....................................................................................... 64

4.5.4 Analisis pengelolaan zona penangkapan ikan ........................ 65

5 HASIL PENELITIAN ………………………………………………… 68 5.1 Kondisi Oseanografi Selat Madura dan Sekitarnya .......................... 68

5.1.1 SPL dan kandungan klorofil-a ............................................... 68

5.1.2 Angin dan gelombang............................................................. 69

5.1.3 Kedalaman perairan Selat Madura ........................................ 70

5.2 Kondisi Umum Perikanan Tangkap................................................... 71

5.3 Hasil Tangkapan dari Pemanfaatan Informasi Spasial ZPPI ............ 74

5.3.1 Hasil tangkapan ZPPI bulan Mei .......................................... 75

5.3.2 Hasil tangkapan ZPPI bulan Juni ......................................... 75

5.3.3 Hasil tangkapan ZPPI bulan Juli ........................................... 75

Page 20: Hasyim, Bidawi - 2009

xviii

5.3.4 Hasil tangkapan ZPPI bulan Agustus .................................... 76

5.3.5 Hasil tangkapan ZPPI bulan September ................................ 76

5.3.6 Hasil tangkapan ZPPI bulan Oktober .................................... 77

5.3.7 Hasil tangkapan ZPPI bulan November ................................ 77

5.4 Pengaturan Alokasi Perahu Motor ..................................................... 83

5.4.1 Distribusi perahu motor pada masing-masing PPI................. 83

5.4.2 Pengaturan berdasarkan zona dalam bentuk lingkaran ........... 84

5.4.3 Pengaturan berdasarkan zona dalam jarak sejajar garis pantai 86

5.5 ZPPI di Selat Madura dan Sekitarnya ……….................................... 87

5.5.1 ZPPI bulanan pada zona PPI Besuki ..................................... 94

5.5.2 ZPPI bulanan pada zona PPI Tanjung Pecinan ...................... 95

5.5.3 ZPPI bulanan pada zona PPI Pondok Mimbo …………........ 95

5.5.4 ZPPI bulanan pada peraian sekitar Selat Madura .................. 96

6 PEMBAHASAN ...................................................................................... 99

6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya ................................. 99

6.1.1 SPL, klorofil-a, angin, gelombang, dan arus ............................ 100

6.1.2 Kedalaman perairan Selat Madura ............................................ 109

6.1.3 Sumberdaya ikan Selat Madura................................................. 110

6.1.4 Kondisi spesifik Selat Madura ................................................. 112

6.2 Pengaturan Alokasi Perahu/Kapal Motor ......................................... 113

6.2.1 Pengaturan alokasi perahu/kapal motor dalam zona penangkapan ikan berbentuk lingkaran ................................... 114

6.2.2 Pengaturan alokasi perahu/kapal motor dalam zona penangkapan ikan sejajar garis pantai ................................... 115

6.2.3 Alternatif bentuk zona penangkapan ....................................... 117

6.3 Pengaturan Pola Kegiatan Penangkapan Ikan .................................... 117

6.3.1 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Besuki 118

6.3.2 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Tanjung Pecinan ..................................................................................... 125

6.3.3 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Pondok Mimbo ..................................................................................... 133

Page 21: Hasyim, Bidawi - 2009

xix

6.3.4 Pengembangan pemanfaatan hasil tangkapan .......................... 139

6.3.5 Diskusi pola penangkapan dan pengelolaan ikan hasil tangkapan ................................................................................. 140

7 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 143

7.1 Kesimpulan ........................................................................................ 143

7.2 Saran .................................................................................................. 145

8 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 146

Page 22: Hasyim, Bidawi - 2009

xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan zona penangkapan ikan di Selat Madura dan sekitarnya bagi nelayan Kabupaten Situbondo – Jawa Timur dengan pendekatan spasial dan temporal.. 9

2 Korelasi antara jarak dari titik pusat zona potensi penangkapan ikan dengan hasil tangkapan ikan ………………………………...

24

3 Pembagian wilayah perairan laut Indonesia menjadi 11 WPP................................................................................................... 25

4 Informasi spasial ZPPI tanggal 13 Juli 2002 yang digunakan pada uji coba penerapan ZPPI di perairan laut Pangandaran …………… 32

5 Contoh ZPPI di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura yang dipergunakan oleh nelayan Pekalongan …………………….. 33

6 Contoh penggunaan informasi spasial dengan 2 (dua) ZPPI di Laut Jawa sebelah utara Tuban dan Rembang oleh nelayan Pekalongan.. 34

7 Contoh Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang diproduksi dan didisribusikan oleh BRKP - DKP ….......................................... 36

8 Peta geografi wilayah Kabupaten Situbondo menunjukkan posisi wilayah Situbondo berada di sisi selatan Selat Madura, dan wilayah kabupaten sekitarnya di Provinsi Jawa Timur .................... 38

9 Cakupan wilayah penelitian dalam informasi spasial ZPPI.............. 48

10 Proses umum pembuatan informasi spasial ZPPI dalam penelitian identifikasi zona potensi penangkapan ikan di Selat Madura dan sekitarnya........................................................................................... 58

11 Proses sintesis untuk menghasilkan pola spasial ZPPI mingguan ... 59

12 Proses sintesis data untuk menghasilkan pola spasial ZPPI bulanan setiap tahun ....................................................................................... 60

13 Diagram alir proses pembuatan ZPPI bulanan ……………………. 61

14 Pembagian zona penangkapan berdasarkan jarak tempuh perahu motor pada masing-masing ukuran, berbentuk lingkaran dengan titik pusat pada PPI dan zona sejajar garis pantai ............................ 63

15 Batas zona pengelolaan penangkapan ikan Kabupaten Situbondo meliputi PPI Besuki, PPI Tanjung Pecinan dan PPI Pondok Mimbo............................................................................................... 66

Page 23: Hasyim, Bidawi - 2009

xxi

16 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan feedback hasil penangkapan pada bulan Mei tahun 2004 ............................... 78

17 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Juni tahun 2004`………… 78

18 Informasi spasial zona potensi ikan dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Juli tahun 2003 ......................................... 79

19 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Juli tahun 2004 ………… 79

20 Informasi spasial zona potensi penangkapan Ikan dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Agustus tahun 2003 ......... 80

21 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan September tahun 2004...... 80

22 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Oktober 2003.................... 81

23 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Oktober tahun 2005…….. 81

24 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Nopember 2003 ………... 82

25 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Nopember 2005 ………... 82

26 Perbandingan jumlah perahu motor masing-masing ukuran pada PPI Besuki, Tanjung Pecinan dan Pondok Mimbo .......................... 84

27 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Desember ....................................................................... 88

28 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Januari ............................................................................ 88

29 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Februari .......................................................................... 89

30 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Maret .............................................................................. 89

31 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan April ............................................................................... 90

32 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Mei ................................................................................. 90

33 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Juni ................................................................................. 91

Page 24: Hasyim, Bidawi - 2009

xxii

34 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Juli .................................................................................. 91

35 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Agustus .......................................................................... 92

36 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan September ...................................................................... 92

37 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Oktober .......................................................................... 93

38 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan November ....................................................................... 93

Page 25: Hasyim, Bidawi - 2009

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nama kecamatan dan desa pesisir yang mempunyai TPI ................ 39 2 Alat tangkap dan produksi ikan setiap jenis alat tangkap per tahun 43 3 Produksi ikan tangkap Kabupaten Situbondo untuk 5 (lima) jenis

ikan yang dominan pada tahun 2002 – 2006 (5 tahun) …………… 44 4 Jumlah armada perahu/kapal motor setiap kecamatan di

Kabupaten Situbondo tahun 2003 ………………………………… 45 5 Jumlah nelayan berdasarkan jenisnya pada masing-masing

kecamatan di Kabupaten Situbondo tahun 2003 ………………….. 45 6 Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan 5 sensor AVHRR .......... 52 7 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah

operasi serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Pondok Mimbo............................................................................................... 71

8 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Besuki.... 72

9 Distribusi jumlah dan ukuran perahu motor pada masing-masing PPI di wilayah Kabupaten Situbondo ............................................. 83

10 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu layar/motor di PPI Besuki .................................................... 85

11 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu layar/motor di PPI Tanjung Pecinan .................................... 85

12 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu layar/motor di PPI Pondok Mimbo ...................................... 85

13 Luas zona penangkapan per perahu/kapal motor (km2/unit) untuk masing-masing PPI dan seluruh Situbondo....................................... 86

14 Luas zona penangkapan sejajar garis pantai untuk masing-masing kategori perahu/kapal motor pada PPI ............................................. 86

15 Luas zona sejajar garis pantai untuk alokasi per unit perahu/kapal motor masing-masing untuk PPI Besuki, Tanjung Pecinan, dan Pondok Mimbo, dan rata-rata untuk seluruh Situbondo .................. 87

16 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Besuki ……………………... 94 17 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Tanjung Pecinan …………... 95 18 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Pondok Mimbo …………..... 96 19 Posisi ZPPI bulanan di perairan sekitar Selat Madura …………..... 98

Page 26: Hasyim, Bidawi - 2009

xxiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Contoh sebaran SPL ......................................................................... 152

2 Contoh sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya........................................................................................... 154

3 Tabel arah, kecepatan dan frekeensi angin di Selat Madura ……… 156

4 Tabel arah, ketinggian dan frekeensi gelombang di Selat Madura .. 160

5 Peta gelombang dan kecepatan angin di Laut Jawa dan sekitarnya.. 164

6 Gambar kontur kedalaman (batimetri) Selat Madura, Laut Bali bagian barat dan Selat Bali bagian utara .......................................... 164

7 Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi serta pendapatan bersih nelayan............................................................................................... 165

8 Tabel Feedback hasil tangkapan ikan di Selat Madura oleh nelayan Situbondo dalam penerapan informasi spasial ZPPI ........................ 167

9 Perhitungan alokasi perahu/kapal motor untuk setiap kategori perahu motor pada setiap zona penangkapan pada masing-masing PPI dengan pola pengaturan berbentuk lingkaran ............................ 170

10 Perhitungan alokasi perahu/kapal motor untuk setiap kategori perahu motor pada setiap zona penangkapan pada masing-masing PPI dengan pola pengaturan berbentuk sejajar garis pantai ………. 172

11 Sebaran ZPPI mingguan di perairan Selat Madura .......................... 174

11.1 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Desember di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh.... 174

11.2 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Januari di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ................ 176

11.3 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Februari di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ... 178

11.4 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Maret di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ................ 180

11.5 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan April di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ................ 182

11.6 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Mei di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ................ 184

11.7 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Juni di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ............... 186

Page 27: Hasyim, Bidawi - 2009

xxv

11.8 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Juli di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ................ 188

11.9 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Agustus di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ... 190

11.10 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan September di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ... 192

11.11 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Oktober di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ... 194

11.12 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan November di Selat Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ... 196

12 Grafik perbandingan antara ZPPI dengan ZPPI virtual yang dapat diakses melalui kerjasama operasional penangkapan ikan................ 198

12.1. Grafik perbandingan antara ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri dengan ZPPI virtual yang dapat diakses .................... 198

12.2. Grafik perbandingan antara ZPPI dalam zona PPI Tanjung Pecinan sendiri dengan ZPPI virtual yang dapat diakses ...... 198

12.3. Grafik perbandingan antara ZPPI yang ada dalam zona PPI Pondok Mimbo sendiri dengan ZPPI yang dapat diakses serta ZPPI virtual yang dapat diakses melalui kerjasama penangkapan ikan................................................................... 199

Page 28: Hasyim, Bidawi - 2009

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari

wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km2 dan zona ekonomi

ekslusif (ZEE) yang luasnya sekitar 2,7 juta km2. Ini berarti bahwa Indonesia

dapat memanfaatkan sumberdaya di perairan laut yang luasnya sekitar 5,8 juta

km2. Potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia diperkirakan

sebesar 6,4 juta ton per tahun. Potensi tersebut diantaranya terdiri dari ikan

pelagis besar sebesar 1,65 juta ton, ikan pelagis kecil sebesar 3,6 juta ton, dan ikan

demarsal sebesar 1,36 juta ton. Nilai produksi tersebut memberikan indikasi

bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia baru mencapai

58,80%, dan sebagian besar merupakan ikan pelagis (Dahuri, 2003).

Sumberdaya ikan Indonesia yang sangat besar merupakan potensi yang perlu

dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat memberikan keuntungan bagi

kesejahteraan masyarakat dan sumber devisa negara. Pemanfaatan sumberdaya

ikan laut Indonesia di berbagai wilayah tidak merata. Di beberapa wilayah

perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan pemanfaatannya,

sedangkan di beberapa wilayah perairan laut yang lain sudah mencapai kondisi

padat tangkap atau overfishing termasuk wilayah perairan Laut Jawa. Hal tersebut

dapat disebabkan karena pengelolaan sumberdaya perikanan belum dilaksanakan

dengan baik, sebagai akibat belum tersedianya perencanaan pengelolaan

sumberdaya perikanan secara akurat dan sesuai dengan kondisi spesifik perairan,

sumberdaya ikan, sarana dan prasarana perikanan serta sosial budaya masyarakat.

Selat Madura adalah salah satu wilayah yang mempunyai potensi perikanan

cukup baik namun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal. Wilayah

perairan laut ini menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Situbondo dan

kabupaten lain di sekitarnya. Wilayah Kabupaten Situbondo terletak di tepian

selatan Selat Madura dengan garis pantai sepanjang sekitar 150 km,

berseberangan dengan wilayah Kabupaten Sumenep yang terletak di tepian utara

selat ini. Kabupatan ini di sebelah timur berbatasan dengan Laut Bali dan Selat

Page 29: Hasyim, Bidawi - 2009

2

Bali, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo, sedangkan di

sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso.

Secara geografis, wilayah perairan Kabupaten Situbondo sangat strategis

karena merupakan pintu gerbang untuk mengakses perairan yang mempunyai

potensi sumberdaya ikan cukup tinggi, yaitu Selat Madura di bagian timur, Laut

Jawa bagian timur, Selat Bali bagian utara, Laut Bali dan Laut Flores, di utara

merupakan pintu gerbang menuju perairan sekitar Laut Jawa bagian timur dan

Selat Makassar bagian Selatan. Karena armada penangkapan ikan dan prasarana

perikanan yang tidak memadai maka nelayan Kabupaten Situbondo belum

seluruhnya mampu memanfaatkan potensi strategis tersebut secara optimal.

Perairan pantai Kabupaten Situbondo termasuk daerah penangkapan ikan

yang mudah diakses baik oleh nelayan Situbondo maupun oleh nelayan dari

wilayah lain. Selain ikan pelagis dan demarsal, kabupaten ini juga memiliki

beberapa kawasan terumbu karang yang kualitasnya masih dalam kategori baik.

Di bagian barat terdapat bentangan kawasan mangrove yang cukup luas dan

memanjang, sehingga merupakan lingkungan yang sangat baik untuk tetap

terpeliharanya keanekaragaman hayati laut, khususnya sumberdaya ikan di

perairan laut Kabupaten Situbondo.

Keberhasilan usaha perikanan tangkap di antaranya ditentukan oleh faktor

teknologi penangkapan, kualitas sumberdaya manusia khususnya nelayan,

teknologi informasi, dan potensi sumberdaya ikan (Dahuri, 2003). Tingkat

perkembangan perikanan di Kabupaten Situbondo saat ini masih berada pada

posisi yang paling rendah dibandingkan dengan tiga kabupaten di sekitarnya, yaitu

kabupaten Banyuwangi, Probolinggo dan Sumenep. Dari segi potensi sumberdaya

ikan, sarana dan prasarana penangkapan serta pengolahan ikan, Kabupaten

Situbondo masih jauh berada di bawah Kabupaten Banyuwangi. Demikian juga

dengan wilayah yang berada di sebelah barat, kondisi sarana dan prasarana

perikanan Kabupaten Situbondo masih berada dibawah Kabupaten Probolinggo.

Begitu juga di sebelah utara, tingkat kemajuan perikanan Kabupaten Situbondo

masih tertinggal dibandingkan dengan Kabupaten Sumenep.

Nelayan pada umumnya memerlukan waktu yang lama untuk melakukan

kegiatan penangkapan ikan karena harus mencari gerombolan (schooling) ikan

Page 30: Hasyim, Bidawi - 2009

3

terlebih dahulu atau dengan mencoba-coba (trial fishing) tanpa dukungan

informasi atau teknologi untuk penangkapan ikan. Pencarian lokasi gerombolan

ikan dan trial fishing memerlukan waktu cukup lama sehingga menghabiskan

bahan bakar cukup banyak, sehingga meningkatkan biaya kegiatan penangkapan

ikan sementara hasil tangkapannya tidak dapat dipastikan. Di sisi lain, banyak

faktor yang menentukan terjadinya gerombolan ikan, antara lain suhu, salinitas

dan klimatologi khususnya curah hujan (Wudianto, 2001).

Dalam upaya meningkatkan efisiensi kegiatan penangkapan ikan, diperlukan

informasi secara spasial dan temporal tentang lokasi yang prospektif untuk

kegiatan penangkapan ikan. Informasi tersebut seharusnya memiliki unit spasial

yang dapat dipergunakan secara operasional dan resolusi temporal dengan periode

yang sesuai dengan pola penangkapan ikan oleh nelayan Situbondo. Dengan

memperhatikan karakteristik nelayan Situbondo dan kondisi oseanografi Selat

Madura yang merupakan kawasan penangkapan ikan nelayan Situbondo,

dikembangkan informasi spasial zona potensi penangkapan ikan (ZPPI) untuk

kawasan Selat Madura dan sekitarnya. Pengembangan dan penerapan informasi

spasial tersebut didukung dengan pemahaman tentang potensi dan karakteristik

sumberdaya ikan dan klimatologi, khususnya tentang kecepatan angin dan

ketinggian gelombang di Selat Madura dan perairan sekitarnya.

Pengembangan informasi spasial ZPPI untuk pengelolaan penangkapan ikan

di kawasan Selat Madura dan sekitarnya didasari oleh penelitian panjang tentang

pemanfatan data satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR untuk identifikasi

parameter oseanografi khususnya suhu permukaan laut (SPL), kemudian

dilanjutkan dengan penelitian pemanfaatan data sebaran SPL untuk identifikasi

fishing ground. Dalam upaya meningkatkan akurasi informasi yang dihasilkan,

penelitian penentuan fishing ground selanjutnya didukung dengan penggunaan

data kandungan klorofil-a dari data SeaWiFS. Penelitian pemanfaatan ZPPI untuk

nelayan Situbondo juga didasari oleh pengalaman penerapan informasi spasial

ZPPI di berbagai wilayah perairan Indonesia termasuk di kawasan Selat Madura.

Pengembangan informasi spasial ZPPI untuk Selat Madura dan sekitarnya

didasari oleh penelitian jangka panjang tentang pemanfaatan data NOAA-

AVHRR untuk pemetaan SPL (sejak 1983), dilanjutkan dengan deteksi thermal

Page 31: Hasyim, Bidawi - 2009

4

front/upwelling dalam kaitannya dengan lokasi penangkapan ikan (1995 -1997).

Pengembangan informasi spasial ZPPI oleh LAPAN sendiri melewati penelitian

dan uji coba penerapan cukup lama di beberapa daerah, mulai tahun 1999 dengan

nama informasi Zona Ikan (ZI), kemudian diberi nama informasi Zona Potensi

Ikan (ZPI) yang waktu itu hanya menggunakan data SPL yang dihitung

berdasarkan data NOAA-AVHRR. Berdasarkan Laporan Kegiatan LAPAN

(2002), telah dilakukan sosialisasi ZPPI dan penerapannya di beberapa lokasi di

antaranya di Situbondo, Pekalongan, Badung – Bali Selatan, dan Bengkulu. Nama

informasi zona potensi ikan tersebut terakhir diubah menjadi informasi spasial

Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) dengan mulai memasukkan parameter

kandungan klorofil-a dalam penentuan ZPPI. Dalam upaya mendapatkan feedback

hasil identifikasi ZPPI, telah dilakukan sosialisasi dan penerapan ZPPI ke

beberapa daerah seperti Pekalongan, Bangkalan (Madura), Bengkulu, Manado,

Biak, Padang, Balikpapan, Parepare (Sulawesi Selatan) dan Nusa Tenggara

Timur. Uji coba penerapan ZPPI ini mendapatkan feedback hasil penangkapan

pada lokasi yang ditentukan dan jenis ikan hasil tangkapan (Hartuti, 2006).

ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya diidentifikasi dengan

menggunakan data sebaran SPL dan kandungan klorofil-a yang masing-masing

diperoleh dari satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR dan SeaWiFS.

Berdasarkan informasi spasial ZPPI dan kedalaman perairan, teridentifikasi

bahwa sebaran ZPPI yang paling luas dan prospektif untuk penangkapan ikan bagi

nelayan Situbondo adalah di Selat Madura bagian timur dan Laut Bali bagian

barat (Hasyim et al, 2009). ZPPI berdasarkan data satelit penginderaan jauh,

beserta feedback dari nelayan tentang lokasi dan hasil tangkapan dari operasi

penangkapan ikan yang berpedoman pada informasi spasial ZPPI, dan

karakteristik oseanografi selat Madura, dipergunakan untuk menentukan pola

kegiatan penangkapan ikan bagi nelayan yang berpangkalan di PPI Besuki, PPI

Tanjung Peninan, dan PPI Pondok Mimbo. Dalam upaya meningkatkan

produktivitas hasil tangkapan dan mencegah terjadinya konflik antar nelayan, baik

antar nelayan dari PPI di Kabupaten Situbondo serta antara nelayan Situbondo

dengan nelayan dari PPI di sekitarnya, pola kegiatan penangkapan ikan tersebut

perlu didukung oleh kerjasama penangkapan ikan di kawasan Selat Madura dan

Page 32: Hasyim, Bidawi - 2009

5

sekitarnya. Pengembangan pengaturan kegiatan penangkapan ikan tersebut

diharapkan dapat menciptakan pengelolaan perikanan yang efektif dan efisien.

Dalam upaya meningkatkan percepatan pembangunan sektor perikanan di

Kabupaten Situbondo, pengelolaan perikanan tangkap seyogianya memanfaatkan

potensi sumberdaya perikanan yang ada, penguasaan teknologi termasuk

informasi spasial ZPPI yang dihasilkan dari data satelit penginderaan jauh.

1.2 Permasalahan

ZPPI pada umumnya berpindah-pindah secara spasial dan temporal,

sehingga nelayan selalu mengalami kesulitan dalam menentukan lokasi yang

prospektif untuk penangkapan ikan. Rendahnya produktivitas nelayan Situbondo

di antaranya adalah akibat dari keterbatasan teknis untuk mengakses perairan yang

mempunyai potensi sumberdaya ikan tinggi. Keterbatasan teknis tersebut

merupakan akibat keterbatasan ukuran perahu motor, pengaruh angin kencang dan

gelombang tinggi di musim timur, serta pangkalan perahu/kapal motor yang

kurang tepat sehingga tidak efisien. Hingga saat ini masih belum ada konsep

terpadu tentang pengelolaan zona penangkapan ikan terutama menyangkut

pengaturan kegiatan penangkapan ikan secara spasial dan temporal di Kabupaten

Situbondo dan kabupaten di sekitarnya.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Mengidentifikasi dinamika zona potensi penangkapan ikan (ZPPI) di kawasan

Selat Madura dan sekitarnya melalui pemetaan suhu permukaan laut dan

klorofil-a berdasarkan data satelit penginderaan jauh.

2) Mengembangkan pengaturan pola kegiatan penangkapan ikan secara spasial

dan temporal fokus pada kawasan pengembangan perikanan tangkap beserta

kerjasama operasional kegiatan penangkapan ikan antar Pusat Pendaratan Ikan

(PPI) di Kabupaten Situbondo serta dengan kabupaten sekitarnya berdasarkan

pola dinamika ZPPI.

Page 33: Hasyim, Bidawi - 2009

6

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian menghasilkan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai arahan

dalam penyusunan rencana opersioanal kegiatan penangkapan ikan di Kabupaten

Situbondo secara optimal untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, pemilik usaha penangkapan

ikan, serta pendapatan daerah Kabupaten Situbondo. Nelayan mempunyai

kepastian tentang lokasi prospektif untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan

sehingga terjadi peningkatan hasil tangkapan dan efisiensi penangkapan ikan

sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan dan para pelaku perikanan tangkap.

Melalui penelitian ini dilakukan sintesis dinamika thermal front dan

kandungan klorofil-a untuk mendapatkan informasi spasial ZPPI, selanjutnya

informasi spasial bulanan dan hasil analisis berorientasi pada unit spasial.

Dinamika ZPPI yang berorientasi pada dinamika unit spasial selanjutnya menjadi

arahan untuk pengelolaan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Situbondo di

kawasan Selat Madura. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih

untuk berbagai kawasan perairan sehingga pemanfaatan teknologi satelit

penginderaan jauh yang berbasis pada spasial dan temporal dapat digunakan

sebagai salah satu pendukung pengelolan perikanan tangkap di Indonesia.

Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk melakukan

prediksi ZPPI beberapa hari atau seminggu ke depan. Dalam upaya meningkatkan

penerapan informasi spasial ZPPI, diharapkan dapat mendorong penelitian lebih

lanjut tentang pengembangan metode pengolahan data satelit penginderaan jauh

untuk mendapatkan parameter oseanografi lebih akurat dan lebih cepat yang

berlaku untuk berbagai kawasan perairan, peningkatan dan perluasan uji coba

penerapan informasi spasial ZPPI untuk mendapatkan feedback berupa parameter

oseanografi, jumlah dan jenis ikan hasil tangkapan. Penelitian ini diharapkan

dapat dikembangkan lebih lanjut untuk kawasan selat yang terbuka seperti Selat

Makassar, Selat Sunda dan Selat Malaka, serta perairan laut yang terbuka seperti

Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, dan Samudera Hindia, dengan menggunakan

parameter oseanografi yang lebih .lengkap.

Page 34: Hasyim, Bidawi - 2009

7

1.5 Hipotesis

(1) ZPPI di kawasan Selat Madura dan sekitarnya memiliki dinamika secara

spasial dan temporal yang mengikuti angin musiman.

(2) Peluang nelayan Situbondo dalam mengakses ZPPI di Selat Madura dan

perairan sekitarnya tidak sama, ditentukan oleh posisi geografis, kondisi

oseanografi dan kemampuan teknis alat tangkap serta pola penangkapan ikan

oleh nelayan dari masing-masing PPI.

(3) Kerjasama perikanan tangkap secara terpadu di kawasan Selat Madura dan

perairan sekitarnya, akan meningkatkan produktivitas nelayan Situbondo dari

masing-masing PPI.

1.6 Kerangka Pemikiran

Nelayan Situbondo memanfaatkan sumberdaya ikan di Selat Madura, dan

harus berkompetisi dengan nelayan dari PPI sekitarnya, khususnya dari PPI

Probolinggo, Sampang, Pamekasan, Sumenep dan Banyuwangi yang

menggunakan perahu/kapal motor ukuran 20 GT ke atas. Nelayan Situbondo,

khususnya yang berasal dari PPI Pondok Mimbo kalah bersaing dengan nelayan

dari PPI di luar Situbondo karena alat tangkap yang dipergunakan kurang

memadai. Keterbatasan teknologi ini menyebabkan nelayan Situbondo pada

umumnya melakukan operasi penangkapan ikan dengan pola one day fishing atau

maksimum hanya 3 hari. Kondisi ini juga disebabkan oleh kendala angin dan

gelombang di musim timur untuk mengakses sumberdaya ikan di sisi timur Selat

Madura. Selain prasarana pendaratan yang kurang memadai, Situbondo juga

belum memiliki industri pengolahan ikan modern, misalnya untuk pengalengan

ikan. Pola penangkapan ikan yang mayoritas one day fishing dan trial fishing

menyebabkan produktivitas perikanan Situbondo lebih rendah dibandingkan

daerah lain di tepian Selat Madura dan perairan sekitarnya.

Dalam upaya mendukung pembangunan perikanan di Kabupaten Situbondo,

data satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengidentifikasi dinamika

ZPPI dalam kaitannya dengan kondisi oseanografi di Selat Madura dan perairan

sekitarnya. Penelitian ini memanfaatkan data suhu permukaan laut (SPL) yang

Page 35: Hasyim, Bidawi - 2009

8

diperoleh dari data satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR didukung dengan

data kandungan klorofil-a dari satelit SeaWiFS untuk mengidentifikasi dinamika

ZPPI secara spasial dan temporal. Selain itu, analisis dinamika ZPPI juga

didukung dengan data feedback hasil uji coba penangkapan ikan menggunakan

informasi spasial ZPPI, angin dan gelombang, serta data hasil survei lapangan.

Dengan demikian, ZPPI yang dimaksud dalam penelitian ini adalah area yang

diprediksi sebagai lokasi gerombolan ikan (fish schooling). Penelitian ini

merupakan pengembangan lanjut dari penelitian ZPPI yang hanya berorientasi

pada deteksi ZPPI harian menjadi penelitian dinamikan ZPPI dengan pendekatan

unit spasial sehingga dapat dipergunakan untuk pengelolaan penangkapan ikan di

Selat Madura dan sekitarnya bagi nelayan Kabupaten Situbondo.

Sesuai dengan tata ruang wilayah Situbondo maka analisis dinamika ZPPI

secara spasial dan temporal membagi wilayah penangkapan ikan bagi nelayan

Situbondo dibagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu zona paling barat yang berpusat di

PPI Besuki, zona di bagian tengah berpusat di PPI Tanjung Pecinan, dan zona

penangkapan paling timur berpusat di PPI Pondok Mimbo. Penelitian ini juga

menganalisis sebaran ZPPI yang ada dalam zona penangkapan ikan masing-

masing PPI, serta kemungkinan untuk mengakses ZPPI dalam zona PPI di

sekitarnya melalui kerjasama operasional penangkapan ikan.

Informasi spasial ZPPI yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah ZPPI

bulanan yang merupakan sintesis dari ZPPI mingguan. Informasi spasial ZPPI

bulanan dipergunakan untuk memberikan gambaran lokasi yang propektif untuk

melakukan penangkapan di kawasan Selat Madura dan perairan sekitarnya bagi

nelayan Situbondo yaitu nelayan dari PPI Besuki dan PPI Tanjung Pecinan di

perairan Selat Bali bagian utara, Laut Bali bagian Barat, dan Laut Jawa bagian

timur di utara kepulauan Madura. Informasi spasial ZPPI musiman dipergunakan

untuk memberikan gambaran zona penangkapan ikan jangka panjang bagi nelayan

Situbondo khususnya dari dua PPI tersebut untuk memperluas wilayah

penangkapannya di luar kawasan Selat Madura. Sementara nelayan dari PPI

Pondok Mimbo belum mampu melakukan kegiatan penangkapan ikan jangka

panjang karena keterbatasan ukuran perahu/kapal motor yang digunakan.

Page 36: Hasyim, Bidawi - 2009

9

Berdasarkan dinamika ZPPI, kondisi oseanografi Selat Madura dan

sekitarnya, serta kondisi pengelolaan ikan hasil tangkapan, dikembangkan pola

kerjasama penangkapan ikan antara PPI di Situbondo, serta kerjasama regional

penangkapan dan pengolahan ikan hasil tangkapan antara Situbondo dengan

daerah lain di sekitar Selat Madura, serta antara nelayan Situbondo dengan

nelayan dari PPI di luar Selat Madura yaitu sekitar Selat Bali, Laut Bali, dan di

sisi selatan Laut Jawa bagian timur. Gambaran singkat tentang pemikiran ini

disajikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan zona penangkapan ikan

di Selat Madura dan sekitarnya bagi nelayan Kabupaten Situbondo –

Jawa Timur dengan pendekatan spasial dan temporal.

Dinamika spasial dan temporal ZPPI

(mingguan, bulanan, musiman)

Klorofil-a SPL

Pola pengaturan operasi penangkapan ikan

Pengelolaan Perikanan Terpadu: Kerjasama nelayan dan pemerintah

daerah di tepian Selat Madura

Angin dan Gelombang

Teknologi Penangkapan

Pengelolaan Ikan Hasil Tangkapan

Page 37: Hasyim, Bidawi - 2009

10

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang

Narendra (1993) menggunakan data satelit NOAA-AVHRR kanal 4 dan

kanal 5 masing-masing dengan panjang gelombang 10,3 - 11,3 µm dan 11,5 - 12,5

µm serta resolusi spasial 1,1 km untuk menentukan suhu permukaan laut (SPL).

SPL yang dihasilkan selanjutnya menjadi data utama dalam menentukan zona

potensi penangkapan ikan. Dalam perhitungan SPL dilakukan 3 (tiga) tahap

proses yaitu : (1) koreksi radiometrik; (2) koreksi geometrik; (3) perhitungan SPL.

Koreksi radiometrik terhadap data NOAA-AVHRR dimaksudkan untuk

menghilangkan pengaruh atmosfir pada saat transmisi energi dari matahari ke

permukaan laut dan emisi dari permukaan laut ke sensor pada satelit. Koreksi

geometrik dilakukan untuk menghilangkan efek kelengkungan permukaan bumi

dan rotasi bumi pada saat observasi oleh satelit. Untuk mendapatkan data yang

lebih akurat dari segi geometrik juga digunakan beberapa titik kontrol peta

sebagai acuan pada saat koreksi geometrik. Sedangkan perhitungan suhu

permukaan laut menggunakan multi kanal yaitu kanal 4 dan kanal 5, dimaksudkan

untuk mendapatkan hasil perhitungan yang akurat.

Gastellu (1983) menyatakan bahwa, untuk keperluan pengguna ilmiah

sangat berkepentingan dengan data yang didapat dari satelit khususnya yang

berkaitan dengan determinasi dari SPL dan dinamika oseanografi (thermal front,

upwelling, dan arus eddy). Keterbatasan aspek fisik dan teknologi menyebabkan

kesulitan dalam mendapatkan hasil pengamatan SPL dari satelit. Permasalahan

utama disebabkan oleh kandungan uap air di atmosfir yang menyebabkan

kesalahan sampai 10o K. Keragaman emisivitas permukaan laut dan noise pada

sensor satelit juga merupakan faktor penyebab terjadinya kesalahan dalam

perhitungan SPL. Dengan menggunakan koreksi radiometrik dan proses

pengolahan yang baik memungkinkan untuk mendapatkan SPL yang cukup teliti.

Gordon (2005) menyimpulkan, berdasarkan penelitian menggunakan data

MODIS Aqua dan data Sea WiFS diketahui bahwa SPL, klorofil-a, dan upwelling

masing-masing sangat dipengaruhi oleh angin monsun. Dari hasil penelitian arus

Page 38: Hasyim, Bidawi - 2009

11

lintas kepulauan Indonesia diketahui bahwa, termoklin di Samudera Hindia

dengan suhu dingin dan salinitas rendah bergerak memotong arus lintas kepulauan

Indonesia dekat 12o LS. Perairan laut Indonesia mengalami penurunan disebabkan

oleh pergerakan arus lintas kepulauan Indonseia (ALKI) dan diganti oleh air laut

dari termoklin Pasifik Utara melintasi lapisan bawah termoklin dan masuk pada

lapisan lebih dalam, kemudian langsung diganti oleh air dari Pasifik Selatan. Air

masuk yang menggantikan nampak sebagai campuran utama pada perairan laut

Indonesia. Jika tidak ada arus lintas Indonesia dan air tidak menjadi dingin, dan

zona perairan dengan salinitas rendah memotong Samudera Hindia tropis maka

dapat dibuat satu asumsi bahwa air yang hangat akan terdapat di perairan tropis

dengan salinitas tinggi dan Samudera Hindia bagian utara.

Tangdom (2005) menyatakan bahwa, monsun Asia mempunyai pengaruh

dominan pada variasi SPL. Pada bulan Agustus, ketika angin monsun tenggara

bertiup dominan, area yang luas sebelah selatan lebih dingin 5oC, dengan suhu

minimum pada daerah upwelling sebelah selatan Pulau Jawa dan di atas paparan

Arafura. Air yang dingin digerakkan ke Laut Jawa bagian timur. Di Selat

Makassar, ketika parameter koreolis berakhir dan hilang maka air permukaan

mengalir ke arah utara searah dengan pergerakan angin. Dampak dari aliran air

permukaan diperkecil oleh perluasan aliran air bagian permukaan dari Samudera

Pasifik, dan sebagai hasilnya maka SPL di Selat Makassar selama musim

bersangkutan lebih tinggi dari 29o C. Angin monsun sebaliknya menggerakkan

massa air yang relatif dingin dan salinitas rendah dari Laut China Selatan ke

lapisan permukaan Laut Jawa bagian selatan. SPL terendah dari perairan laut

Indonesia terdapat di Laut Jawa bagian barat, yaitu ketika terjadi perluasan radiasi

panas permukaan sehingga SPL lebih tinggi dari 29o C.

Juga dinyatakan bahwa, mekanisme yang menyebabkan dan memelihara

SPL pada kondisi yang tetap di lautan Indonesia terjadi sebagai akibat dari

topografi yang komplek dan pertemuan antara Samudera Pasifik dan Samudera

Hindia. Sebagai tambahan terhadap radiasi panas permukaan, percampuran

pasang yang intensif dari permukaan laut dan termoklin yang digerakkan oleh

angin di atas Samudera Pasifik dan Samudera Hindia memainkan peran dalam

pergerakan dan pemeliharaan SPL. Konsekuensinya, dinamika regional lautan

Page 39: Hasyim, Bidawi - 2009

12

dan SPL menjadi faktor penting dalam iklim regional, yang berdampak penting

terhadap iklim global. Wilayah Indonesia, yang juga dikenal dengan “Maritime

Continent” telah diidentifikasi sebagai area yang sangat penting bagi iklim, baik

secara lokal maupun global.

Penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine di perairan tropis Asia

dicirikan pada penggunaan rumpon untuk mengumpulkan ikan pelagis kecil.

Sejak tahun 1971, fishing ground diperluas ke bagian timur Laut Jawa dengan

mengembangkan taktik dan strategi penangkapan yang selalu bergeser berkaitan

dengan perubahan lingkungan. Analisis hasil tangkapan ikan layang dalam

kaitannya dengan fishing ground di sekitar Bawean, Masalembo Matasiri, dan

kepulauan Kangean menunjukkan bahwa, keberhasilan penangkapan ikan terjadi

selama periode salinitas tinggi (340/00). Hasil tangkapan ikan tertinggi selama

periode tersebut didaratkan dari fishing ground di kepulauan Masalembo.

Fenomena ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang dapat diterangkan

dengan jelas bahwa pergeseran massa air dari arah timur ke barat menyebabkan

meningkatnya produktivitas ikan pelagis kecil di area tersebut.

Hasil tangkapan rata-rata sekitar kepulauan Masalembo dengan jelas

menunjukkan siklus musiman yang berkaitan erat dengan perubahan angin

monsun. Hasil tangkapan (ton/hari penangkapan) cenderung tinggi pada bulan

Agustus hingga November, pada kondisi perairan dengan salinitas tinggi dan suhu

lebih rendah, sebaliknya menurun pada bulan Desember hingga Juli dengan suhu

tinggi dan salintas rendah. Kondisi yang khusus terjadi pada bulan Januari – April

dengan hasil tangkapan sekitar 1,5 sampai 2,5 ton/hari.

Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang

dipengaruhi oleh kondisi oseanografi Selat Makassar dan Laut Flores dengan

kondisi yang bervariasi berkaitan dengan perubahan musiman. Hasil penelitian

pada stasiun dekat pulau Matasiri dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan

bahwa SPL maksimum mencapai 30o C selama angin dari barat laut atau musim

basah pada bulan Desember 1993, kemudian menurun hingga 26o C pada Februari

1994. Suhu minimum dengan nilai 28o C terjadi selama akhir musim angin

tenggara atau musim kering pada bulan September 1993.

Page 40: Hasyim, Bidawi - 2009

13

Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang

dipengaruhi oleh karakteristik perairan Selat Makassar dan perairan Laut Flores

dengan kondisi yang bervariasi berkaitan dengan perubahan musim. Hasil

penelitian dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan bahwa, SPL maksimum

mencapai 30o C selama angin dari arah barat laut atau musim barat pada bulan

Desember 1993 pada stasiun dekat pulau Matasiri, kemudian menurun hingga

26oC pada Februari 1994. Suhu minimum pada 28oC terjadi selama akhir musim

angin tenggara pada bulan September 1993. Salinitas permukaan laut mengikuti

bentuk yang berlawanan dengan nilai maksimum 34,5 o/oo terjadi pada bulan

September 1992 sampai Oktober 1993, kemudian turun menjadi 31 – 32 o/oo

pada bulan Februari 1994. Salinitas teringgi (34 o/oo) ditemukan pada fishing

ground utama dari Bawean, Masalembo dan kepulauan Matasiri.

Pengukuran secara khusus di perairaan sekitar kepulauan Masalembo

menunjukkan bahwa SPL cenderung tinggi (290 C) selama periode Mei,

November dan Desember 1992, juga pada bulan Juni, November dan Desember

1993. Kondisi lingkungan Laut Jawa; sangat dipengaruhi oleh perubahan

permukaan laut dan interaksi atmosfir pada saat arus permukaan timur – barat

mengikuti arah angin mengakibatkan terjadinya percampuran mulai sepanjang

permukaan ke perairan yang lebih dalam melalui pengadukan secara vertikal.

Proses pengadukan terus berlangsung sampai perairan laut mencapai kondisi

homogen dengan salinitas tinggi (340/00) yang terjadi selama musin angin tenggara

pada bulan Juli – Oktober. Proses sebaliknya terjadi dari barat laut selama monsun

barat laut pada bulan November sampai Februari dengan salinitas rendah (<32 0/00) berkaitan dengan masuknya air tawar dari beberapa sungai besar selama

musim hujan. Salinitas terendah pada permukaan laut terjadi pada bulan Mei

1992 (32 – 32,5 0/00) dan tertinggi tejadi pada bulan Oktober 1993 (33 – 34,5 0/00).

Sediadi (2004) menyatakan bahwa, pada waktu musim timur terjadi proses

upwelling di perairan Laut Banda. Untuk mengetahui effek upwelling terhadap

kelimpahan dan distribusi fitoplankton di perairan Laut Banda, dilakukan

penelitian pada bulan Agustus 1997 yang mewakili musim timur dan bulan

Oktober 1998 yang mewakili musim peralihan sebagai pembanding. Data

kelimpahan dan distribusi fitoplankton dengan mengambil contoh fitoplankton

Page 41: Hasyim, Bidawi - 2009

14

dari kedalaman 100 m ke permukaan menggunakan jaring plankton dengan

bukaan mulut berdiamter 31 cm, panjang 120 cm dan ukuran mata jaring 80 µm.

Hasil pengamatan pada musim timur (Agustus 1997) menunjukkan bahwa proses

taikan air (upwelling) masih berlangsung. Hal ini terlihat dari nilai regresi antara

suhu dan salinitas (r2 = 84,1 %), suhu dan nitrat (94,5%). Pada saat musim timur

tercatat 33 jenis fitoplankton, komposisi jenis fitoplankton lebih bervariasi

dibandingkan musim peralihan yang hanya 26 jenis fitoplankton.

Berdasarkan hasil penelitian klorofil-a di Selat Bali dengan menggunakan

data satelit SeaWiFS yang dilakukan oleh Gaol et al (2004) bahwa terjadi

peningkatan kandungan klorofil-a secara musiman. Konsentrasi klorofil-a

mengalami peningkatan pada bulan Mei dan mencapai kondisi tertinggi pada

bulan September, dan berkorelasi erat dengan fluktuasi SPL. Distribusi suhu

permukaan Selat Bali menunjukkan bahwa proses upwelling terjadi selama

monsun tenggara. Rata-rata kelimpahan fitoplankton selama monsun tenggara

adalah 35,5 x 103 cel/m3, sedangkan pada monsun timur laut adalah 35,5 x 103

cel/m3. Sementara proses upwelling di perairan Laut Jawa bagian selatan

mencapai puncaknya pada saat monsun tenggara.

Penelitian SPL dan klorofil-a menggunakan data SeaWiFS di perairan

sekitar Nias yang dilakukan oleh Lumban Gaol et al (2007) menunjukkan bahwa,

variasi SPL hasil estimasi dari sensor satelit NOAA-AVHRR dipengaruhi oleh

perubahan musim dan iklim global. Pada musim timur SPL cenderung lebih

rendah. Variasi SPL antara musim timur dan musim barat tidak terlalu tinggi

dengan rata-rata 1,5o C, namun variasi SPL akibat pengaruh iklim global cukup

tinggi, rata-rata 4 o C. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a hasil deteksi menggunakan

sensor satelit SeaWiFS menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a juga

dipengaruhi oleh perubahan musim dan iklim global.

Sugimory (2006) menyatakan bahwa, lama kegiatan penangkapan ikan

bervariasi mulai dari beberapa hari sampai orde satu musim, dengan liputan mulai

dari cakupan beberapa 1 km sampai 100 km, dengan memperhatikan masa

sirkulasi musim ikan. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan

memperhatikan kondisi nutrien di perairan laut, masa bertelur, pengasuhan dan

masa mencari makan. Deteksi ikan dengan teknologi satelit dilakukan dengan cara

Page 42: Hasyim, Bidawi - 2009

15

tidak langsung karena keterbatasan skala peta yang diperoleh dari citra satelit dan

ikan berada di bawah permukaan air laut, namun dilakukan dengan mendeteksi

distribusi produktivitas primer (klorofil-a) dengan menggunakan sensor visible.

Sulistya (2007) menyatakan bahwa, pemahaman tentang karakteristik dan

keanekaragaman SPL Laut Jawa belum memadai. Metode analisis spektral,

spasial dan temporal perlu digunakan untuk mempelajari karakteristik SPL dalam

kaitannya dengan musim. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, SPL tertinggi

di Laut Jawa pada umumnya terjadi pada bulan April – Mei dan bulan November,

sebaliknya SPL terendah umumnya terjadi pada bulan Februari dan Agustus.

Kostianoy (2004), melakukan penelitian thermal fornt menggunakan SST

rata-rata mingguan yang dihasilkan dari NOAA-AVHRR dengan resolusi 18 km.

Untuk mendapatkan data dengan resolusi spasial maksimum, analisis tidak

didasarkan pada data rata-rata bulanan, tetapi menggunakan rata-rata data

mingguan pada pertengahan tiap bulan dalam 3 tahun. Data yang digunakan

dalam penelitian terdiri dari 36 peta SPL (36 mingguan tiap pertengahan bulan).

Untuk mendapatkan gambar dari thermal front utama di bagian selatan dari

Samudera Hindia, peta SPL dikonversi menjadi peta gradien SPL. Gradien SPL

dihitung untuk tiap piksel berdasarkan operator gradien dua dimensi yang

menghitung perbedaan antara dua piksel yang berdekatan. Dengan menggunakan

36 peta gradien SPL mingguan untuk tiap pertengahan bulan, diperoleh indikasi

secara umum tentang struktur, perluasan, keragaman, dan intensitas dari thermal

front di bagian selatan Samudera Hindia.

Pengukuran arah dan kecepatan angin pada umumnya dilakukan di daratan

dengan sistem pengukuran yang bersifat statis. Secara teknis sangat sulit untuk

melakukan pengukuran arah dan kecepatan angin di suatu wilayah perairan,

karena pengukuran secara langsung di perairan laut hanya mungkin dilakukan

dengan peralatan yang ada di kapal-kapal berukuran besar, dan tidak tetap di suatu

tempat tergantung pada tujuan pelayaran itu sendiri. Dengan memperhatikan

keadaan tersebut maka arah dan kecepatan angin di perairan laut hanya dapat

diperoleh dari pemodelan berdasarkan hasil pengukuran angin di daratan.

Triatmojo (1996) menyatakan bahwa hubungan antara angin di daratan dan di

lautan dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

Page 43: Hasyim, Bidawi - 2009

16

Uw = R1 * Ul ............................................................................................1.

dengan : R1 = Faktor regangan yang nilainya sangat tergantung pada bentuk lahan

di wilayah pesisir serta jarak antara lokasi pengukuran dengan lokasi pengamatan

di perairan laut; Uw = kecepatan angin di laut terdekat dengan lokasi pengukuran;

Ul = kecepatan angin di daratan yang terdekat dengan lokasi perairan yang

diamati. Angin di laut kemudian dikonversi menjadi tegangan angin dan

dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :

UA = 0,71 * U 1,23 ...................................................................................2.

dengan UA = faktor tegangan angin, dan U = kecepatan angin dengan satuan

meter/detik.

Pembentukan gelombang oleh angin, fetch dibatasi oleh bentuk gelombang

yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukannya, gelombang tidak hanya

dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai

sudut terhadap arah angin. Angin sebagai pembangkit gelombang di perairan laut

juga sangat dipengaruhi oleh bentuk daratan yang mengelilingi lautan yang pada

umumnya dinyatakan dengan fetch. Hubungan antara arah angin dengan fetch

dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

∑ Xi coc α Feff = ..............................................................................3.

∑ coc α

dengan : Feff = fetch rerata efektif; Xi = panjang segmen diukur dari titik observasi

gelombang ke ujung akhir fetch; dan α deviasi pada kedua sisi arah angin dengan

menggunakan pertambahan 6o sampai sudut 45o pada kedua sisi dari arah angin.

Nontji (2002) menyatakan bahwa, air laut sebenarnya tidak pernah dalam

keadaan tenang sempurna, akan selalu terjadi gelombang bahkan gelombang besar

atau hanya sekedar riak kecil. untuk menjelaskan proses terjadinya gelombang di

lautan pada umumnya digunakan model, baik model yang sederhana maupun yang

kompleks. Gelombang mempunyai tiga unsur penting yaitu panjang, tinggi dan

periode. Panjang gelombang adalah jarak mendatar antara dua puncak gelombang

yang berurutan, tinggi gelombang adalah jarak menegak antara puncak dan

lembah, sedangkan periode gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh dua

puncak gelombang yang berurutan untuk melalui suatu titik. Ukuran besar

Page 44: Hasyim, Bidawi - 2009

17

kecilnya suatu gelombang pada umumnya ditentukan berdasarkan tinggi

gelombang. Gelombang yang diamati di laut disebabkan oleh hembusan angin.

Ada tiga fakor yang menentukan besarnya gelombang yang disebabkan oleh angin

yakni kuatnya hembusan, lamanya hembusan, dan jarak tempuh angin (fetch).

2.2 Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Pelagis

Pengetahuan mengenai penyebaran dan bioekologi berbagai jenis ikan

sangat penting artinya bagi usaha penangkapan. Data dan informasi tentang

penyebaran dan bioekologi ikan pelagis sangat diperlukan dalam mengkaji ZPPI

di suatu perairan. Berdasarkan habitatnya, ikan pelagis dibagi menjadi ikan jenis

pelagis besar dan pelagis kecil. Menurut Komnas Kajiskanlaut (1998), diantara

ikan-ikan utama dalam kelompok ikan pelagis besar adalah; tuna dan cakalang

(madidihang, tuna mata besar, albakora tuna sirip biru, cakalang), marlin (ikan

pedang, setuhuk biru, setuhuk hitam, setuhuk loreng, ikan layaran), tongkol dan

tenggiri (tongkol dan tenggiri), dan cucut (cucut mako). Sedangkan jenis ikan

pelagis kecil antara lain; karangaid (layang, selar, sunglir), klupeid (teri, japuh,

tembang, lemuru, Siro) dan skombroid (kembung).

Tuna dan cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol

(schooling) sewaktu mencari makan, kecepatan renang ikan dapat mencapai 50

km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan

penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas,

termasuk beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera.

Kedalaman renang tuna dan cakalang bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya

tuna dan cakalang dapat tertangkap di kedalaman 0 - 400 meter. Suhu perairan

berkisar 17 - 31o C. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32 – 35 ppt atau di

perairan oseanik. Madidihang (thunnus albacares) tersebar hampir di seluruh

perairan Indonesia. Panjang madidihang bisa mencapai lebih dari 2 meter. Jenis

tuna ini menyebar di perairan dengan suhu antara 17 -31o C dengan suhu optimum

yang berkisar antara 19o - 23o C (Nontji, 1987), suhu yang baik untuk kegiatan

penangkapan berkisar antara 20o - 28o C (Wudianto, 1993 dalam Yusuf, 2000).

Page 45: Hasyim, Bidawi - 2009

18

Ikan tongkol (Euthynnus spp) hidup pada suhu 20 – 22o C dengan salinitas

dalam kisaran 32,21–34,40 o/oo, tersebar di perairan Kalimantan, Sumatera, pantai

India, Filipina dan sebelah selatan Australia, sebelah barat Afrika Barat, Jepang,

sebelah barat Hawai dan perairan pantai Pasific – Amerika. Ikan tongkol memiliki

panjang tubuh mencapai 80 cm dan umumnya 30 – 50 cm. Jenis tongkol lainnya

adalah axuis thazard, hidup di daerah pantai, lepas pantai perairan Indonesia dan

berkelompok besar, panjangnya mencapai 50 cm, umumnya 25 – 40 cm.

Tenggiri (scomberomorus lineolatus), habitatnya di seluruh perairan pantai

sehingga daerah penangkapan ikan tenggiri di perairan pantai, pada salinitas

34,21–34,60 o/oo. Tenggiri tersebar di seluruh perairan Indonesia, Sumatera, Jaut

Jawa. Perairan Indo-Pasifik, Teluk Benggala, Laut Cina Selatan dan India. Semua

jenis tongkol dan tenggiri bersifat karnivora (makan ikan–ikan kecil, cumi-cumi)

dan predator serta merupakan ikan perenang cepat. Pada umumnya ketiga jenis

ikan tersebut ditangkap saat gelombang dan angin sedang.

Ikan layang (decapterus spp.) bersifat stenohaline, hidup secara

berkelompok pada kedalaman 20 – 25 meter, menghendaki perairan yang jernih

dan merupakan ikan karnivora (plankton, crustacea). Sebarannya di Indonesia

terdapat di perairan Ambon, Ternate, Laut Jawa. Selar atau bentong (selar

cromenopthalmus) hidup berkelompok di perairan pantai yang hangat sampai

kedalaman 80 m. Ikan ini bersifat karnivora (makan ikan kecil, crustacea),

panjang mencapai 30 cm, umumnya 20 cm. Tersebar di Sumatera, Nias, Jawa,

Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Ambon, Seram, Laut Merah, Natal, Zanzibar,

Madagaskar, Muskat, India, Cina, Jepang, Formosa, Filipina, sampai perairan

tropis Australia. Waktu siang dan malam, keadaan cuaca sedang, pada kedalaman

20 –25 m dan berjarak 1 – 3 mil.

Linting (1994) menyatakan bahwa, informasi tentang musim ikan

merupakan satu di antara unsur penunjang pengembangan usaha perikanan. Yang

dimaksud dengan musim ikan adalah melimpahnya hasil tangkapan yang

diperoleh dan didaratkan di suatu wilayah tanpa ada hubungan langsung dengan

kelimpahan stok ikan yang ada di suatu perairan. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa musim ikan dicirikan oleh tingginya hasil tangkapan dan bukan

oleh tingginya indeks kelimpahan stok. Dari data yang diperoleh di TPI Bau-Bau

Page 46: Hasyim, Bidawi - 2009

19

(Sulawesi Tenggara), dapat diketahui bahwa beberapa jenis ikan ekonomis yang

menonjol memperlihatkan fluktuasi hasil tangkapan bulanan. Fluktuasi hasil

tangkapan secara rinci menunjukkan pola yang sedikit berbeda satu sama lain.

Produksi rata-rata ikan layang selama periode 1985 – 1992 berkisar antara 65,7 –

191, 8 ton. Musim ikan layang dicirikan oleh tingginya produksi bulanan yang

melebihi 100 ton/bulan dan terjadi selepas puncak musim barat (Februari sampai

dengan Mei) dan mulai puncak musim timur sampai dengan Oktober. Ikan layang

yang didaratkan terdiri atas jenis layang biasa dan jenis layang berukuran besar

dari jenis Decapterus himimulatus .

Ikan selar atau megalaspis cordyla, hidup di perairan pantai sampai

kedalaman 60 m dan berkelompok, dari perairan tropis yang suhunya hangat.

Panjang tubuh ikan ini mencapai 40 cm dan umumnya 30 cm. Sebaran ikan ini di

Laut Jawa, Sulawesi, Sumatera, Selat Karimata, Bali, Sumbawa dan Ambon,

Madagaskar, Teluk Bengala, Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Formosa, Filipina,

Samoa, dan Hawaii. Selar kuning (caranx leptolepis) banyak ditemukan hidup di

perairan pantai sampai kedalaman 25 m dan hidup berkelompok. Ikan ini bersifat

karnivora (makan ikan-ikan kecil, udang-udangan) dan pada umumnya berukuran

15 cm. Ikan ini tersebar di daerah Sumatera (Bangka, Belitung, Selat Karimata),

Laut Jawa dan Selat Makasar. Ikan ini ditangkap pada kedalaman 20–25 m dan

berjarak 25–30 km dari pantai dengan waktu penangkapan menjelang subuh.

Kuweh (caranx sexfaciathus) hidup di perairan dangkal dan pantai, hidup

berkelompok, dan termasuk ikan karnivora (ikan kecil, crustacea), panjangnya

mencapai 40 cm umumnya 20 – 30 cm. Ikan ini dijumpai di perairan pantai

seluruh Indonesia, Nias, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, Filipina, Cina,

Formosa sampai ke perairan tropis Australia. Kuweh jenis lain yaitu alectis

indicus, hidup di perairan pantai yang dangkal sampai kedalaman 20 – 25 m,

termasuk ikan karnivora (makan crustacea, ikan kecil) dan hidup berkelompok.

Jenis ikan ini, panjangnya mencapai 75 cm dan umumnya 40 cm, terdapat di

perairan Sumatera, Laut Jawa, Bangka, Kalimantan dan Sulawesi, Teluk

Benggala, Teluk Siam, Pantai Cina Selatan sampai perairan tropis Australia. Ikan

ini tertangkap pada kedalaman 20 m dan berjarak 2–4 mil dari pantai.

Page 47: Hasyim, Bidawi - 2009

20

Kembung laki-laki atau banyar (rastelliger kanagurta), hidup di perairan

pantai dan lepas pantai dengan suhu 22 – 24o C, kedalaman 8 – 15 meter yang

perairannya berkadar garam tinggi dan hidup berkelompok. Bersifat karnivora,

dengan panjang mencapai 35 cm dan umumnya 20 –25 cm. Ikan ini terdapat

hampir di seluruh perairan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan

Barat, Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Arafuru, Teluk Siam.

Kembung perempuan (rastelliger neglectus), hidup di perairan neritik, mendekati

pantai dan membentuk kelompok besar. Bersifat karnivora (plankton, diatom,

copepoda), mengalami migrasi yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, makanan

dan arus. Panjangnya mencapai 30 cm dan umumnya 15 – 20 cm. Ikan ini banyak

terdapat di perairan Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa, Selat Malaka, Muna,

Buton, dan Arafuru.

Zainuddin (2007) menyatakan bahwa, ikan kembung di perairan Sulawesi

Selatan mempunyai hubungan yang signifikan antara hasil tangkapan dengan

faktor oseanografi yaitu SPL, salinitas dan kecepatan arus. Ini berarti bahwa

dengan ketiga faktor oseanografi tersebut, pada tingkat akurasi tertentu hasil

tangkapan ikan kembung dapat diprediksi dengan persamaan. Sedangkan uji

signifikansi parameter menunjukkan bahwa SPL dan kecepatan arus memberi

kontribusi yang lebih nyata dalam menjelaskan variasi hasil tangkapan. Hasil

pengukuran SPL yang diperoleh selama penelitian di Kabupaten Bantaeng

berkisar 29°C - 31°C. Kebanyakan upaya penangkapan gillnet dilakukan pada

kisaran suhu 29 - 29,5° C, yang sesuai dengan penangkapan ikan kembung. Hal

ini menunjukkan bahwa faktor SPL secara statistik berpengaruh nyata terhadap

variasi jumlah hasil tangkapan. Hal ini berarti bahwa variabel SPL memegang

peran penting dalam memprediksi hasil tangkapan ikan kembung.

Ikan lemuru termasuk jenis ikan stenohaline, pada umumnya hidup pada

kedalaman 70 – 200 meter di perairan dengan salinitas 30 o/oo. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Merta dan Badaruddin (1992) dalam Yusuf (2000),

diketahui bahwa ikan lemuru di Selat Bali hanya terdapat di paparan saja (baik

paparan Jawa maupun Bali) pada kedalaman kurang dari 200 m. Pada siang hari

ikan ini membentuk kelompok yang padat pada kedalaman sekitar 70 m. Sebagian

besar dari jenis-jenis ikan lemuru yang tertangkap di sebagian perairan Indonesia

Page 48: Hasyim, Bidawi - 2009

21

dan sekitarnya adalah sardinella fimbriata, sardinella gibbosa, sardinella sirm.

Khusus di Selat Bali, sardinella yang dominan adalah sardinella longiceps. Pet

(1997) menyatakan bahwa, puncak hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Madura

dan Selat Bali tercatat mulai awal musim hujan sekitar November dan Desember,

sedangkan di Samudera Hindia terjadi pada musim kemarau mulai bulan Juli

sampai Oktober. Kondisi menunjukkan bahwa aktivitas reproduksi ikan

Sardinella di Selat Madura terjadi pada bulan November dan Desember, dan

diperkirakan mengalami perkembangan sampai mencapai ukuran panjang sekitar

12 cm, 17 cm dan 19 cm masing-masing pada tahun pertama, kedua, dan ketiga.

Lumban Gaol (2004) menyatakan bahwa lemuru merupakan pemakan plankton,

namun hubungan antara fitoplankton dan lemuru di Selat Bali sampai saat ini

belum diketahui secara pasti karena keterbatasan data plankton dari hasil

pengukuran secara langsung. Namun demikian, citra satelit penginderaan jauh

dapat memberikan informasi dan kontribusi tentang hubungan antara konsentrasi

klorofil-a dan kelimpahan lemuru.

Pasaribu et al (2004) menyatakan bahwa, eksploitasi sumberdaya ikan

pelagis kecil di lepas pantai Laut Jawa telah dilakukan sejak tiga puluh tahun

terakhir. Alat tangkap (jaring) yang dipergunakan terdiri dari beberapa macam,

namun ikan yang didaratkan umumnya dilakukan dengan alat tangkap purse seine.

Tangkapan ikan paling tinggi didominasi oleh ikan jenis scads (deapterus spp.),

jack mackarel (rastrellin ger spp) dan sardines (sardinella spp.). Analisis upaya

yang didasarkan pada data statistik perikanan Pekalongan (Jawa Tengah) yang

merupakan pangkalan perikanan utama dengan alat tangkap purse seine dalam

periode tahun 1976 sampai 2000 menunjukkan bahwa, jumlah hasil tangkapan

cenderung meningkat sebanding dengan jumlah perahu/kapal motor.

Secara hirarkis, ikan pelagis kecil di Laut Jawa dapat dibagi menjadi 2

kategori yaitu ikan pelagis yang tertangkap oleh purse seine besar di wilayah laut

lepas, dan ikan pelagis yang tertangkap oleh mini purse seine di perairan dekat

pantai. Penyebaran ikan pelagis kecil juga ditemukan di sisi timur dari Selat

Makassar dan sekitar Laut Cina Selatan. Patir at al (1995) membagi ikan pelagis

kecil menjadi tiga tipe populasi yaitu :

Page 49: Hasyim, Bidawi - 2009

22

a. Oceanic, yang tertangkap ketika air laut dari Laut Banda masuk ke Laut Jawa

selama musim monsun tenggara antara Agustus dampai November.

b. Neritic, yang tertangkap sepanjang tahun.

c. Coastal, yang tertangkap sepanjang tahun dalam jumlah yang sedikit.

Habitat ikan pelagis juga banyak dipengaruhi oleh suhu perairan yang

menjadi tempat hidupnya. Pengaruh suhu secara vertikal diantaranya terlihat pada

saat suhu perairan tiba-tiba mengalami kenaikan cukup tajam akan meningkatkan

metabolisme dalam tubuh ikan, sehingga kebutuhan oksigen pada ikan juga

meningkat. Di sisi lain, kenaikan suhu justru akan menurunkan tingkat kelarutan

oksigen. Kondisi ini biasa terjadi pada siang hari dan akan menyebabkan ikan

lebih suka berada di lapisan lebih dalam dibandingkan di permukaan. Kepekaan

beberapa jenis ikan pelagis terhadap suhu, kedalaman, salinitas, dan kecerahan air

laut yang menjadi habitatnya.

Penelitian hubungan antara SPL dan kandungan klorofil-a berdasarkan data

Aqua Modis untuk pengkajian pendugaan hasil tangkapan ikan pelagis besar

(tongkol Dan cakalang) di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode Juli 2002 – Desember 2006,

rata-rata SPL tertinggi terjadi pada bulan April 2003 yakni sebesar 30,35o C.

Dengan kondisi suhu tersebut hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar

6,142 ton. Sedangkan rata-rata SPL terendah terjadi pada bulan Agustus 2006

yakni sebesar 25,64 o C, dengan hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar

65,195 ton. Produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002

sebesar 220 ton, dengan kondisi SPL adalah 26,65o C. Sedangkan berdasarkan

kandungan klorofil-a, pada periode Juli 2002 – Desember 2006, rata-rata

kandungan klorofil-a tertinggi terjadi pada bulan September 2006 yakni sebesar

1.0177 mg/m3. Dengan kondisi kandungan klorofil-a tersebut hasil produksi ikan

yang diperoleh adalah sebesar 145,5 ton, sedangkan rata-rata kandungan klorofil-a

terendah terjadi pada bulan Januari 2003 yakni sebesar 0.1083 mg/m3 dengan

hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 17,321 ton. Produksi hasil

tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002 sebesar 220 ton, dengan

kandungan klorofil-a adalah 0.3201 mg/m3 .

Page 50: Hasyim, Bidawi - 2009

23

2.3 Data Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan

Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kelautan dikembangkan

dengan alasan : (i) penggunaan sensor baru dengan meningkatkan resolusi

spektral dan spasial yang dapat mengamati/mengukur parameter oseanografi

dengan lebih teliti; (ii) kemudahan dalam mengakses data; (iii) kemampuan

mengolah dan mendisseminasikan data melalui sistem pengolahan digital; (iv)

meningkatnya kepedulian dari pengguna dalam memanfaatkan keunggulan dari

teknologi penginderaan jauh (Maryani, 2003).

Sumedi (2008), melakukan penelitian dengan membandingkan lokasi

penangkapan ikan dengan SPL dan kandungan klorofil-a yang dihitung dengan

menggunakan data MODIS. Dengan mengadopsi metode yang biasa dilakukan di

LAPAN, prediksi zona potensi penangkapan ikan dilakukan dengan analisis

overlay antara citra kantur SPL dengan citra kontur kandungan klorofil-a. Titik-

titik perpotongan antara kontur SPL dan kontur klorofil-a, dipredikasi sebagai

zona potensi penangkapan ikan pelagis. Hasil penelitian yang dilakukan

menujukkan bahwa ikan-ikan pelagis kecil (tembang, kembung, layang dan

cakalang) cenderung tertangkap di perairan dengan suhu dalam selang 260 – 290 C

dan konsentrasi klorofil-a 0,5 – 2,5 mg/m3. Di sisi lain, pemahaman tentang

interaksi antara lingkungan oseanografi dengan organisme laut masih sangat

minim dan sangat sulit untuk meneliti atau mengamati melalui kegiatan

eksperimen. Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh sangat penting untuk

memecahkan masalah perikanan untuk mengetahui hubungan antara lingkungan

oseanografi dengan penyebaran dan kelimpahan sumberdaya ikan (Santos, 2000).

Berdasarkan hasil uji coba penggunaan data suhu permukaan laut yang

diperoleh dari data NOAA-AVHRR dalam penentuan zona yang potensial untuk

penangkapan ikan yang dilakukan oleh Narendra (1993), dibuat grafik antara jarak

dari titik dengan daerah yang diduga sebagai lokasi berkumpulnya ikan dengan

hasil tangkapan tersebut nampak bahwa pada posisi yang ditunjuk mendapatkan

hasil yang paling tinggi. Pada uji coba dilakukan klasifikasi antara jarak setiap 5

km dalam bentuk lingkaran dari titik yang ditunjuk, sehingga pendugaan dibuat

dalam bentuk lingkaran dengan jari-jari 5 km, dan dikembangkan dengan jari-jari

10 km, 15 km dan 20 km (Gambar 2). Hasil penelitian yang dilakukan di

Page 51: Hasyim, Bidawi - 2009

24

Samudera Hindia menunjukkan bahwa, hasil tangkapan tertinggi berada tepat

pada titik tengah lingkaran dengan tangkapan lebih dari 600 kg. Hasil tangkapan

kedua berada dalam radius 5 km dengan tangkapan 250 kg – 300 kg. Uji coba

penangkapan dalam radius 10 km menghasilkan 150 kg – 250 kg, dan dalam

radius terluar yaitu 15 km menghasilkan tangkapan sekitar 25 kg.

Gambar 2 Korelasi antara jarak dari titik pusat zona potensi penangkapan

ikan dengan hasil tangkapan ikan.

2.4 Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia

Dengan memperhatikan sebaran daerah penangkapan ikan, karakteristik bio-

ekologi dan oseanografi, wilayah perairan Indonesia dibagi kedalam 11 Wilayah

Pengelolaan Perikanan (WPP) sebagaimana Gambar 3. Pembagian wilayah

perairan Indonesia menjadi 11 WPP sebagai berikut : (1) Selat Malaka, WPP571;

(2) Samudera Hindia A, WPP572; (3) Samudera Hindia B, WPP573; (4) Laut

Cina Selatan, Laut Natuna dan Selat Karimata, WPP711; (5) Laut Jawa, WPP712;

(6) Selat Makassar dan laut Flores, WPP713; (7) Laut Banda WPP714; (8) Laut

Arafura dan Laut Aru, WPP715; (9) Laut Maluku, Laut Seram dan Teluk Tomini,

WPP716; (10) Laut Sulawesi dan Laut Halmahera, WPP717; (11) Samudera

Pasifik, WPP718. WPP Laut Jawa (WPP 712) berupakan bagian dari paparan

Hasil Tangkapan (Kg)

Jarak dari Titik Pusat

Page 52: Hasyim, Bidawi - 2009

25

Sunda yang merupakan perairan teritorial dengan kedalaman maksimal 70 meter.

Kegiatan penangkapan terutama terpusat di pantai utara Jawa, padatnya penduduk

di Pulau Jawa serta dekatnya dengan tempat pemasaran menjadi penyebab

tingginya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan ini.

Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan

Gambar 3 Pembagian wilayah perairan laut Indonesia menjadi 11 WPP.

Keberhasilan motorisasi perikanan tradisionil yang didukung oleh

peningkatan kemampuan tangkap dan daya jelajah perahu motor tempel di pesisir

utara Pulau Jawa telah menyebabkan tidak jelasnya batas-batas daerah

penangkapan antar konsentrasi desa-desa nelayan. Tumpang tindih daerah

penangkapan tidak dapat dihindari mengingat beberapa alat tangkap yang

dioperasikan dengan perahu motor tempel dan kapal (GT < 20) secara acak

melakukan aktifitasnya tersebar di jalur I ( 0 sampai 3 mil laut), jalur II (3 sampai

dengan 7 mil laut), dan jalur III ( 7 sampai dengan 12 mil laut). Perkembangan

terkini menunjukkan bahwa perubahan dan peningkatan efisiensi teknik

penangkapan yang dilakukan secara inovatif melalui modifikasi secara bertahap

merupakan fenomena yang banyak ditemukan di perairan ini (Nurhakim, 2007).

Selanjutnya dinyatakan bahwa Alat tangkap yang dioperasikan di perairan Laut

Jawa dapat dibagi menjadi 5 kategori yaitu, (1) pukat tarik (arad dan cotok atau

garuk); (2) pukat kantong (cantrang dan payang); (3) pukat cincin (purse seine);

Page 53: Hasyim, Bidawi - 2009

26

(4) Jaring insang (jaring kejer, jaring rampus atau kletek, jaring insang tetap, dan

trammel net; dan (5) perangkap (bubu).

WPP Laut Jawa bagian selatan, dari pulau Karimata ditarik garis ke

perbatasan Kabupaten Situbondo dengan Banyuwangi, provinsi Jawa Timur.

Batas selanjutnya mengikuti garis pantai utara Jawa sampai Kabupaten Serang,

Jawa Barat (Wirasantosa, 2007). Berdasarkan batas-batas dari WPP Laut Jawa

maka perairan Selat Madura berada dalam WPP Laut Jawa di sisi selatan paling

timur. Pembentukan WPP perlu diikuti dengan penetapan batas-batas, serta

penetapan Propinsi/Kabupaten/Kota yang diperkirakan sebagai pusat pendaratan

ikan hasil tangkap masing-masing wilayah pengelolaan.

2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Dahuri (1996) menyatakan bahwa meningkatnya kegiatan pemanfaatan

sumberdaya pesisir dan laut oleh berbagai pihak, mendorong adanya kompetisi di

antara pelaku penangkapan dan industri perikanan tangkap. Kompetisi ini

menyebabkan adanya konflik dan tumpang tindih perencanaan dan pengelolaan

wilayah pesisir dan lautan dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintah daerah,

masyarakat setempat dan swasta, disebabkan adanya perbedaan kepentingan

masing-masing pihak yang merasa berhak atas suatu wilayah pesisir dan lautan.

Konflik ini berakar dari masalah berikut: (1) Pihak yang berkepentingan

cenderung menyusun rencana kerja secara sendiri-sendiri, dan perencanaan

secara sektoral sering berbeda dengan kepentingan pemerintah daerah atau

masyarakat setempat, terutama nelayan tradisional yang merupakan obyek dari

perencanaan dan pengelolaan tersebut; (2) Belum ada pembagian wewenang dan

kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan

sumberdaya laut; (3) Belum ada instansi tersendiri atau instansi koordinasi yang

secara khusus menangani pengelolaan wilayah pesisir dan lautan; (4) Belum

tersedianya data dan informasi mengenai sumberdaya wilayah lautan secara

akurat; (5) Lemahnya kemampuan aparatur dan kelembagaan dalam mengelola

sumberdaya lautan secara lestari; (6) Jumlah dan tingkat laju kegiatan

pembangunan di kawasan pesisir dan lautan belum ditetapkan atas dasar

Page 54: Hasyim, Bidawi - 2009

27

pertimbangan daya dukung lingkungan, dan kemungkinan timbulnya dampak

negatif suatu sektor pembangunan terhadap sektor lainnya; (7) Pesatnya laju

degradasi dan depresi sumberdaya laut, dimana 60% ekosistem telah punah;

(8) Belum ada batas pengelolaan yang tegas dan jelas tentang kawasan (wilayah)

pesisir yang menjadi kewenangan setiap propinsi dan juga batas antar negara.

Kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang intinya

merupakan komponen pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai berikut :

(1) Pengumpulan dan analisis data, meliputi seluruh variable atau komponen yang

berkaitan dengan sumberdaya perikanan, meliputi data biologi, produksi dan

penangkapan ikan, data sosial ekonomi nelayan dan aspek legal perikanan;

(2) Penetapan cara-cara pemanfaatan sumberdaya perikanan, meliputi perizinan,

waktu serta lokasi penangkapan ikan; (3) Penetapan alokasi penangkapan ikan

(berapa banyak ikan yang boleh ditangkap) antar nelayan dalam satu kelompok,

antara kelompok nelayan yang berbeda, antara nelayan lokal dengan nelayan

pendatang dari tempat lain, atau antara nelayan yang berbeda alat tangkap dan

metode penangkapan ikan; (4) Perlindungan terhadap sumberdaya ikan yang

memang telah mengalami tekanan ekologis akibat penangkapan ikan atau

kejadian-kejadian alam, perlindungan terhadap habitat ikan, serta perlindungan

yang diarahkan untuk menjaga kualitas perairan supaya tetap dalam kondisi baik;

(5) Penegakan hukum dan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya

perikanan, sekaligus merupakan umpan balik yang digunakan untuk

meningkatkan kualitas hukum dan perundang-undangan; (6) Pengembangan dan

perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam jangka panjang yang

ditempuh melalui evaluasi terhadap program kerja jangka pendek atau yang saat

ini sedang diimplementasikan. Pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya

perikanan meliputi sumberdaya ikan itu sendiri maupun sumberdaya ikan beserta

seluruh aspek yang berpengaruh atau dipengaruhi sumberdaya ikan tersebut.

Vasconcellos (2003) menyatakan bahwa, ada tiga kriteria yang digunakan

dalam pengelolaan ikan Sardine di Brazilia, yaitu tangkapan rata-rata, tangkapan

yang bervariasi, dan kemungkinan pada stok pengalami penurunan drastis.

Kriteria pengelolaan penangkapan ini dipilih karena memberikan gambaran tiga

tujuan pengelolaan perikanan yaitu : (1) memaksimumkan hasil tangkapan,

Page 55: Hasyim, Bidawi - 2009

28

peningkatan jumlah ikan hasil tangkapan sehingga mempunyai dampak lebih

banyak ikan untuk industri, lebih banyak peluang keuntungan pada sektor

perikanan tangkap, yang berarti membuka lebih banyak lapangan kerja; (2)

memaksimumkan stabilitas penangkapan : paling sering, ketertarikan terbesar

dari perencanaan pengelolaan adalah untuk menjamin stabilitas hasil tangkapan,

karena itu memelihara pasokan ikan yang konstan untuk bahan baku industri;

(3) meminimalkan peluang kerugian pada sektor perikanan, ini merupakan tujuan

dasar untuk rencana pengelolaan perikanan, dengan mempertimbangkan ekologi,

faktor ekonomi biaya berhubungan dengan kerugian pada sektor perikanan.

2.6 Kebutuhan Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Dahuri (1996) menyatakan, agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan

secara berkelanjutan, pada dasarnya diperlukan informasi yang menyangkut sisi

penawaran dan permintaan dari sumberdaya perikanan termaksud. Informasi

utama untuk mengelola kegiatan pembangunan perikanan tangkap secara

berkelanjutan antara lain meliputi : (1) Distribusi spasial jenis-jenis sumberdaya

ikan; (2) Potensi lestari (MSY) setiap jenis sumberdaya ikan; (3) Persyaratan

ekologis bagi kehidupan dan pertumbuhan setiap jenis sumberdaya ikan; (4)

Transfer energi dan materi antar tingkat trofik dalam suatu ekosistem perairan

dimana sumberdaya ikan yang dikelola hidup; (5) Dinamika populasi sumberdaya

ikan; (6) Sejarah hidup dari sumberdaya ikan; (6) Kualitas perairan dimana

sumberdaya ikan hidup; (8) Tingkat penangkapan terhadap sumberdaya ikan

dalam bentuk upaya tangkap secara time series.

Pengelolaan informasi untuk lingkungan perairan bagi kegiatan perikanan

sangat diperlukan. Pengelolaan ini meliputi pengumpulan, pemprosesan,

penelusuran, dan analisis data menjadi informasi yang bermanfaat bagi

penggunanya pada waktu yang diinginkan. Dalam perspektif pembangunan

perikanan, suatu lingkungan perairan beserta sumberdaya yang ada didalamnya

secara garis besar dapat dimanfaatkan bagi tiga peruntukkan yaitu : (1) kegiatan

penangkapan; (2) budidaya perairan; dan (3) kawasan perlindungan.

Page 56: Hasyim, Bidawi - 2009

29

Data spasial atau sering juga disebut data keruangan adalah data yang terikat

dengan posisi koordinat ruang di permukaan bumi. Data spasial dapat berupa peta

dasar atau peta tematik, data/informasi yang diperoleh dari data penginderaan jauh

satelit, atau data hasil pengamatan lapangan yang dikaitkan dengan posisi

koordinat yang diukur dengan Global Positioning System (GPS) atau titik acuan

berdasarkan posisi koordinat pada peta dasar.

Data spasial berupa peta dasar atau peta tematik antara lain : (1) peta

rupabumi; (2) peta laut (kedalaman); (3) peta lingkungan pesisir dan laut. Data

spasial berupa parameter fisik dan lingkungan terkini yang diperoleh dari data

penginderaan jauh antara lain terdiri dari : (1) data daerah potensi penangkapan

ikan (fishing ground); (2) data lingkungan pesisir dan pantai seperti terumbu

karang, mangrove, dan kualitas perairan; (3) daerah potensi budidaya laut.

Berdasarkan catatan bahwa, hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali

pernah mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu dari melebihi 6.500 ton

pada tahun 1950 menjadi kurang 200 ton pada tahun 1956, tetapi kemudian naik

lagi disebabkan oleh faktor-faktor atau peristiwa yang tidak diketahui. Penurunan

stok ikan secara drastis dapat disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan

yaitu tekanan penangkapan berlebih dan pengaruh lingkungan oseanografi. Faktor

kedua disebabkan oleh ketidakpastian dalam estimasi sumberdaya ikan lemuru

(sandine) di Indonesia akibat kesenjangan informasi distribusi ikan lemuru secara

geografis dari stok ikan dalam potensi lestari (Pet, 1997).

2.7 Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial ZPPI LAPAN

Informasi spasial ZPPI telah dikembangkan di LAPAN beberapa tahun lalu

sebagai tindak lanjut dari penelitian suhu permukaan laut menggunakan data

NOAA-AVHRR yang telah dikembangkan sejak tahun 1984 (Hasyim, 1984).

Setelah melalui penelitian panjang tentang pemanfaatan data NOAA-AVHRR

untuk mendapat data suhu permukaan laut sesuai dengan karakteristik perairan

laut Indonesia, selanjutnya dikembangkan informasi spasial ZPPI sejak tahun

1999. Pengembangan informasi spasial ZPPI dilatar belakangi oleh :

Page 57: Hasyim, Bidawi - 2009

30

1) komitmen LAPAN dalam membantu menyediakan informasi spasial

sumberdaya alam pesisir dan laut terkait dengan program pengembangan

ekonomi masyarakat.

2) terbatasnya kemampuan nelayan dalam memahami kondisi oseanografi yang

berkaitan dengan daerah fishing ground sehingga hasil tangkapannya menjadi

tidak pasti.

3) terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan

erat dengan daerah potensi penangkapan ikan;

4) penelitian LAPAN dalam memanfaatkan teknologi penginderaan jauh satelit

guna memantau fisik perairan sudah dilakukan sejak tahun 1986.

5) diharapkan adanya informasi zona potensi penangkapan ikan dari

penginderaan jauh satelit dapat dipergunakan untuk mendukung pengamatan

dan pengelolaan perikanan tangkap.

Urgensi dari pengembangan dan penerapan informasi ZPPI adalah : (1)

pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pelatihan dan penyediaan informasi

ZPPI untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan; (2) adanya informasi spasial

ZPPI diharapkan dapat meningkatkan efisiensi biaya operasional dan efektivitas

dengan memperbanyak masa operasi penangkapan; dan (3) mendukung usaha

peningkatan produksi ikan daerah yang diharapkan dapat meningkatkan

pendapatan asli daerah (Pusbangja, 2003).

Pengembangan informasi spasial ZPPI dilanjutkan dengan kegiatan

sosialisasi yang terdiri dari 3 tahap kegiatan yaitu :

1) Penyuluhan dan pelatihan: meningkatkan pengetahuan para nelayan tentang

teknologi inderaja untuk kelautan dan perikanan, sistem navigasi laut,

pembacaan peta laut dan penggunaan alat bantu penangkapan ikan.

2) Aplikasi (uji coba) informasi spasial ZPPI menunjukkan dan membuktikan

kepada nelayan bahwa pada ZPPI terdapat gerombolan ikan.

3) Evaluasi dan implementasi dilakukan untuk mengetahui respon para nelayan,

lembaga swadaya masyarakat, staf dinas terkait tentang aplikasi ZPPI dan

rencana tindak lanjutnya.

LAPAN telah melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pelatihan penerapan

informasi spasial ZPPI bagi nelayan di wilayah Pangandaran pada tanggal 9-15

Page 58: Hasyim, Bidawi - 2009

31

Juli 2002. Kegiatan sosialisasi dan aplikasi diikuti oleh perwakilan nelayan dari

Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, dan beberapa perwakilan dari Dinas Kelautan

dan Perikanan Jawa barat, serta Lembaga Swadaya Masyarakat dari Bandung dan

Tasikmalaya. Pelaksanaan aplikasi data ZPPI dilaksanakan pada tanggal 11 – 13

Juli 2002 di Pangandaran.

Lapan melakukan uji coba hari pertama pada tanggal 11 Juli 2002

menggunakan data ZPPI tanggal 10 Juli 2002 di posisi titik ikan 108o 39’ 45.9”

BT – 7o 47’ 16.7” LS dan kapal yang digunakan berukuran 10 GT dengan alat

tangkap jaring ngambang. Hasil tangkapan yang diperoleh dalam operasi

penangkapan ikan sebesar 4 kg dengan jenis ikan tongkol dan layur. Uji coba hari

kedua tanggal 12 Juli 2002 dengan memakai data ZPPI 1 (satu) hari sebelumnya

pada koordinat 108o 9’ 3.8” BT – 7o 55’ 33.7” LS dan bobot kapal yang dipakai

berukuran sama hanya alat tangkapnya yang beda yaitu jaring gillnet. Pada posisi

titik ikan tersebut mendapatkan hasil tangkapan sebesar 30 kg dengan jenis ikan

tongkol dan tenggiri. Kegiatan uji coba hari ketiga tanggal 13 Juli 2002 dengan

menggunakan data ZPPI tanggal yang sama pada posisi titik ikan 108o 44’ 33” BT

– 7o 47’ 24.3” LS dengan hasil tangkapan ikan sebesar 40 kg dengan jenis ikan

Tongkol dan Tenggiri.

Data feedback bulan September didasarkan pada informasi ZPPI Seacorm –

DKP dan informasi ZPPI dari LAPAN. Informasi data ZPPI dari Seacorm – DKP

berdasarkan data Topex pada daerah penangkapan ikan sekitar perairan Gombong

– Yogyakarta dengan posisi koordinat 108o 49’ 43.8” BT – 7o 57’ 36.2” LS

mendapatkan jumlah hasil tangkapan ikan sebesar 945 kg. Sedangkan informasi

spasial ZPPI dari LAPAN pada daerah penangkapan ikan sekitar perairan

Sindangkerta dengan koordinat 107o 55’ 4.7” BT – 7o 50’ 12.4” LS memperoleh

hasil tangkapan ikan sebanyak 1.325 kg (Gambar 4).

Page 59: Hasyim, Bidawi - 2009

32

Gambar 4 Informasi spasial ZPPI tanggal 13 Juli 2002 yang digunakan pada uji

coba penerapan ZPPI di perairan laut Pangandaran.

Dari tingkat keberhasilan uji coba, data ZPPI tersebut cukup memberikan

pemahaman dan memuaskan para nelayan setempat tentang akurasi data dalam

menentukan posisi koordinat penangkapan ikan. Para nelayan menginginkan agar

informasi spasial dari LAPAN dikirim secara rutin setiap hari. Selain itu

informasi posisi titik-titik ikan diharapkan berada dibawah 10 mil dari TPI

setempat karena rata-rata nelayan daerah selatan Jawa Barat merupakan nelayan

pesisir yang menggunakan perahu motor dengan bobot antara 1 - 2 GT dan alat

tangkap masih tradisional.

Telah dilakukan juga kegiatan sosialisasi dan penerapan informasi spasial

ZPPI bagi para nelayan, pemilik kapal, dan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan

Kota Pekalongan. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan sosialisasi tersebut, telah

dilakukan uji coba penerapan informasi spasial ZPPI dengan menggunakan data

tanggal 2 Agustus 2002 (Gambar 5). Uji coba dilakukan dengan cara

menyampaikan informasi spasial ZPPI melalui komunikasi radio dengan

memberikan informasi titik-titik koordinat ZPPI kepada pimpinan awak kapal

yang berada di tengah laut dan nelayan yang akan berangkat melaut.

Page 60: Hasyim, Bidawi - 2009

33

Berdasarkan kesepakatan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota

Pekalongan yang berwenang memberikan dan mendistribusikan informasi harian

ZPPI tersebut, uji coba informasi spasial ZPPI diberikan kepada 5 (lima) kapal.

Hasil evaluasi uji coba menunjukan kapal yang menggunakan informasi ZPPI

tersebut mendapatkan hasil tangkapan sebesar 45.600 Kg, jauh lebih besar

dibandingkan yang tidak menggunakan informasi ZPPI. Di samping itu, bila

pengiriman informasi ZPPI terlambat dan posisi koordinat titik ikan jauh dari

posisi kapal mengakibatkan ikan yang berada di area tangkapan tersebut akan

berpindah lokasi atau migrasi. Berdasarkan informasi spasial ZPPI maka zona

yang potensial untuk penangkapan ikan adalah pada koordinat 113° - 114° BT dan

04 °50 - 05 °30 LS. Ketika kapal yang digunakan untuk uji coba penerapan

informasi spasial ZPPI sampai pada posisi yang ditunjuk dalam informasi spasial

ZPPI ternyata di lokasi tersebut sudah berkumpul 40 kapal asing sedang

melakukan penangkapan dengan alat tangkat purse seine. Ikan yang tertangkap

pada uji coba tersebut hanya jenis ikan layang kecil dan ikan banyar kecil.

Gambar 5 Contoh ZPPI di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura yang

dipergunakan oleh nelayan Pekalongan.

Page 61: Hasyim, Bidawi - 2009

34

Kegiatan uji coba penggunaan informasi spasial ZPPI lainnya, juga

dilakukan dengan kapal KM Sinar Kencana di sebelah utara pulau Bawean dengan

Feedback bahwa, penangkapan selama 4 (empat) hari yaitu tanggal 22-27 Agustus

2002 memperoleh hasil tangkapan total 45.600 kg (Gambar 6).

Gambar 6 Contoh penggunaan informasi spasial dengan 2 (dua) ZPPI di Laut

Jawa sebelah utara Tuban dan Rembang oleh nelayan Pekalongan.

Uji coba penerapan ZPPI dilakukan di perairan sebelah utara Rembang dan

Tuban pada tanggal 22 Agustus 2002 menggunakan kapal motor Sinar Kencana

berbobot 80 GT dan alat tangkap purse seine. Hasil tangkapan pada kegiatan uji

coba pada koordinasi posisi 110o 50’BT dan 5o20’ LS ini adalah 2,25 ton, serta

hasil tangkapan jenis ikan Layang dan Banyar sebanyak 3 ton pada koordinat

posisi 112o 35’BT dan 6o15’ LS.

Kegiatan sosialisasi dan aplikasi informasi spasial ZPPI di Makassar

dilaksanakan pada tanggal 22 – 24 September 2002 di perairan Selat Makasar

menggunakan kapal berukuran 6 GT dan alat tangkap jaring Purse Seine. Uji coba

menggunakan informasi spasial ZPPI tanggal 22 September 2002 dengan posisi

titik ikan 119o 7’ 54.8” BT – 5o 10’ 26.4” LS atau sekitar perairan Pulau Langkai

sejauh sekitar 8 mil dari PPI Paotere. Dalam perjalanan menuju lokasi titik ikan

Page 62: Hasyim, Bidawi - 2009

35

tersebut atau sekitar 4 mil dari PPI Paotere terjadi gelombang besar dan cuaca

buruk sehingga uji coba informasi spasial ZPPI dihentikan.

Pelaksanaan uji coba dilanjutkan pada tanggal 24 September 2002 dengan

menggunakan data ZPPI sebelumnya di posisi titik ikan yang sama. Perahu motor

berhenti pada jarak sekitar 3 mil dari data ZPPI yaitu posisi koordinat 119o 10’

14” BT – 5o 7’ 55” LS karena menurut informasi nahkoda bahwa daerah tersebut

merupakan daerah fishing ground. Namun jaring tidak dapat diturunkan karena

arus kuat dan gelombang tinggi. Selama pelaksanaan uji coba data ZPPI dapat

disimpulkan bahwa faktor cuaca dan kapal serta alat tangkap ikan yang kurang

mendukung akan menghambat penangkapan ikan pada saat itu. Selain itu

informasi ZPPI yang digunakan adalah data tanggal sebelumnya, sementara ikan

sudah bermigrasi sejauh sekitar 3 mil dari titik ikan yang dituju.

2.8 Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Buatan BRKP

Badan Riset Kelautan dan Perikanan - Departemen Kelautan dan Perikanan

(BRKP-DKP) juga mengembangkan informasi zona potensi penangkapan ikan

yang disebut dengan Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI)

berdasarkan data NOAA-AVHRR dan data Topex Poseidon. Data NOAA-

AVHRR digunakan untuk mendapatkan parameter oseanografi tentang sebaran

suhu permukaan laut, sedangkan data Topex Poseidon digunakan untuk

mendapatkan parameter oseanografi tentang arus dan gelombang. Informasi

spasial PPDPI yang diproduksi BRKP-DKP sudah diterapkan di Juwana (Pati),

Pelabuhan Ratu, Cilacap dan tempat lainnya (Gambar 7).

Peta prakiraan daerah penangkapan ikan yang dihasilkan oleh BRKP-DKP

mencakup area dari barat ke timur sepanjang 26o atau sama dengan 26 x 110 km =

2.860 km, dan cakupan area utara selatan sepanjang 12o atau sama dengan 12 x

110 km = 1.320 km, sehingga luas area informasi sama dengan 2.860 km x 1.320

km = 3.775.200 km2. Wilayah peta prakiraan daerah penangkapan ikan BRKP-

DKP dibagi-bagi menjadi sel-sel dengan ukuran panjang sisi-sisinya 2o x 2o,

sehingga luas per sel sama dengan 220 km x 220 km = 48.400 km2. Disamping

informasi tentang lokasi potensi penangkapan ikan, peta juga dilengkapi dengan

informasi arah gelombang, batas zota ekonomi eksklusif, dan data lainnya.

Page 63: Hasyim, Bidawi - 2009

36

Gambar 7 Contoh Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang diproduksi dan

didistribusikan oleh BRKP-DKP

2.9 Tingkat Adopsi Pemanfaatan Informasi Spasial ZPPI

Hadiat (2005) menyatakan bahwa pengenalan teknologi informasi spasial

ZPPI telah dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

(LAPAN) melalui program pemanfaatan informasi spasial ZPPI sejak tahun 1999,

kemudian diikuti oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen

Kelautan dan Perikanan melalui Program Pengenalan Peta Prakiraan Daerah

Penangkapan Ikan (PPDPI) di beberapa daerah yang mempunyai wilayah perairan

laut. Dalam pengenalan program penggunaan informasi spasial ZPPI yang

dilakukan oleh LAPAN tersebut, nelayan terlebih dahulu dibekali pengetahuan

tentang cara menggunakan alat bantu posisi yaitu global pisitioning system (GPS)

dan melalui kegiatan pelatihan dan sosialisasi informasi spasial ZPPI.

Diperkenalkan juga cara menggunakan fish finder untuk mendeteksi kepastian

keberadaan dan gerombolan ikan setelah nelayan sampai di lokasi yang

ditunjukkan pada informasi spasial ZPPI.

Page 64: Hasyim, Bidawi - 2009

37

Tingginya adopsi nelayan pada daerah-daerah yang telah dilakukan

sosialisasi dan penerapan ZPPI di wilayah pantai utara Pulau Jawa antara lain

didukung oleh : (1) Kondisi alat produksi dalam bentuk armada kapal yang relatif

cukup besar, yaitu rata-rata di atas 30 GT untuk lokasi Indramayu dan

Pekalongan, kecuali lokasi Situbondo dengan bobot rata-rata 10 GT; (2)Dengan

besarnya bobot kapal memungkinkan jangkauan penangkapan ikan nelayan cukup

jauh, sehingga kebutuhan alat bantu seperti informasi spasial ZPPI cukup besar

khususnya untuk nelayan di Pekalongan dan Indramayu; dan (3) Jenis informasi

spasial ZPPI yang digunakan memiliki tingkat kerincian yang tinggi, yaitu skala

yang lebih besar sehingga lokasi yang ditunjukkan dalam koordinat informasi

spasial ZPPI lebih rinci. Informasi spasial ZPPI tersebut pada umumnya berasal

dari LAPAN dengan tingkat akurasi untuk suatu area perairan laut lebih kecil dan

lebih rinci dibandingkan dengan Informasi Spasial Prakiraan Daerah Penangkapan

Ikan yang berasal dari BRKP-DKP.

Tingkat pemanfaatan informasi spasial ZPPI ditentukan oleh tinggi

rendahnya adopsi teknologi informasi bersangkutan, yang ditentukan oleh

keberhasilan penggunaan informasi tersebut dalam meningkatkan hasil tangkapan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan tingkat adopsi yang tinggi

oleh nelayan-nelayan di lokasi yang mendapatkan informasi spasial ZPPI dari

LAPAN, terutama berkaitan dengan skala spasial dalam informasi spasial tersebut

dibandingkan dengan yang menggunakan informasi spasial PPDPI dari BRKP-

DKP. Informasi spasial produksi LAPAN memiliki skala spasial lebih besar

sehingga lebih rinci dibandingkan dengan yang diproduksi BRKP-DKP. Dengan

skala spasial yang rinci, informasi spasial ZPPI LAPAN dapat menunjukkan

lokasi potensi penangkapan ikan sesuai koordinat yang ditunjukkan pada luasan

dengan radius 6 km, sedangkan informasi spasial BRKP-DKP jauh lebih luas.

Informasi spasial ZPPI LAPAN dengan skala yang lebih besar, nelayan lebih

mudah menentukan lokasi secara tepat sesuai titik koordinat yang ditentukan dan

dapat dijangkau oleh nelayan kecil, sedangkan informasi spasial yang diproduksi

oleh BRKP-DKP lebih dimungkinkan untuk nelayan besar.

Page 65: Hasyim, Bidawi - 2009

38

3 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN

3.1 Kondisi Geografis Daerah Penelitian

Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang

dikenal dengan daerah wisata pantai Pasir Putih dan cagar alam Gunung Baluran,

letaknya strategis karena dilalui oleh jalan arteri Surabaya – Banyuwangi yang

merupakan jalur lintasan menuju arah Bali dan jalan penghubung ke arah

Bondowoso dengan posisi geogafis di antara 113º 34' 21”- 114º 27' 57” BT dan 7º

36' 16” - 7º 59' 32” LS. Letak Kabupaten Situbondo di sebelah utara berbatasan

dengan Selat Madura (di selatan wilayah Kabupaten Sumenep), sebelah timur

berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi dan Selat Bali, sebelah selatan

berbatasan dengan kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi, dan di sebelah barat

berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo (Gambar 8).

Gambar 8 Peta geografi wilayah Kabupaten Situbondo menunjukkan posisi

wilayah Situbondo berada di sisi selatan Selat Madura, dan wilayah

kabupaten sekitarnya di Provinsi Jawa Timur,

Page 66: Hasyim, Bidawi - 2009

39

Luas Kabupaten Situbondo adalah 1.638,50 km2 atau 163.850 Ha,

bentuknya memanjang dari sisi barat ke timur dengan panjang garis pantai sekitar

150 km. Pantai utara umumnya berdataran rendah dan di sebelah Selatan

berdataran tinggi dengan rata-rata lebar wilayah (utara-selatan) sekitar 11 km.

Kabupaten Situbondo terdiri dari 17 wilayah kecamatan, 13 kecamatan

diantaranya memiliki pantai dan 4 kecamatan tidak memiliki pantai. Dalam 13

kecamatan tersebut terdapat beberapa desa pesisir yang memiliki tempat

pendaratan ikan (TPI), seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Nama kecamatan dan desa pesisir yang mempunyai TPI

NO Nama

Kecamatan Nama Desa Pesisir

yang Mempunyai TPI 1 Banyuglugur Banyuglugur dan Kalianget 2 Besuki Pesisir dan Demung 3 Suboh Ketah 4 Melandingan Selomukti dan Mlandingan Barat 5 Bungatan Mlandingan Timur, Bletok, Bungatan, dan

Pasir Putih 6 Kendit Pecaron 7 Panarukan Kilensari, Deleyan, Duwet, dan Gelung 8 Mangaran Kalbut, Tanjung Pecinan, danTanjung Kamal 9 Kapongan Landangan dan Seletreng 10 Arjasa Arjasa 11 Tanjung Jangkar Agel, Kumbangsari, dan Tanjung Jangkar 12 Asembagus Pondok Langar 13 Banyuputih Bugeman, Sukorejo, Pondok Mimbo, dan Pandean

Karena letak geografisnya maka perairan laut wilayah Situbondo dan

sekitarnya dipengaruhi oleh angin musim timur dan tenggara pada bulan April -

September dan angin barat laut pada bulan November-Maret. Arah dan kecepatan

angin ini sangat besar pengaruhnya pada bidang perikanan khususnya usaha

penangkapan ikan di laut. Bulan November sampai dengan Maret merupakan

musim yang baik untuk usaha penangkapan ikan di laut, sedangkan pada bulan

April – September bertiup angin timur dan tenggara disertai gelombang yang

cukup tinggi sehingga merupakan musim sulit atau paceklik bagi nelayan

Situbondo. Peralatan tangkap yang umum digunakan oleh para nelayan di wilayah

Kabupaten Situbondo antara lain purse seine, trawl mini, jaring insang, trammel

net, dan pancing.

Page 67: Hasyim, Bidawi - 2009

40

3.2 Potensi Wilayah Kabupaten Situbondo

Kabupaten Situbondo mempunyai ciri-ciri fisik yang menggambarkan

kondisi daratannya terdiri dari pegunungan, dataran rendah dan pantai, dengan

tingkat kesuburan tanah dan pola penggunaan lahan yang berbeda. Kondisi yang

bervariasi itu telah memperkaya sumberdaya alam yang dimiliki Kabupaten

Situbondo yang terdapat di darat dan laut, dalam bentuk flora dan fauna, tambang

dan sumberdaya air yang diharapkan dapat didayagunakan secara rasional dan

bertanggung jawab demi kesejahteraan masyarakat.

Potensi sumberdaya perairan umum dan sumberdaya laut di Kabupaten

Situbondo cukup besar, sehingga Situbondo merupakan daerah perikanan yang

sangat potensial baik untuk budidaya maupun perikanan laut, produksi perikanan

baik budidaya (tambak, kolam) maupun perikanan laut terus mengalami

peningkatan setiap tahunnya. Produksi perikanan laut sebagian besar terdiri dari

ikan-ikan jenis pelagis maupun demersal seperti tongkol, pare, layang-layang,

kembung, lemuru, kakap, bawal, dan lain-lain. Selain itu produksi perikanan darat

dihasilkan dari budidaya tambak, kolam dan penangkapan di perairan umum.

Potensi sumberdaya yang ada di Kabupaten Situbondo telah didayagunakan

untuk pembangunan daerah, baik berupa pemanfaatan sumberdaya alam,

sumberdaya manusia serta ditunjang dengan kondisi dan potensi ekonomi daerah

Kabupaten Situbondo yang semakin mantap. Berbagai indikator terukur mengenai

kondisi ekonomi Daerah Kabupaten Situbondo dapat diketahui dari

perkembangan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yang secara

makro dapat dipergunakan untuk menilai kondisi perkembangan ekonomi pada

suatu daerah. Berdasarkan gambaran statistik nilai PDRB Kabupaten Situbondo

selama 1993 - 1997 menunjukkan berbagai peningkatan nilai dari tahun ke tahun.

3.3 Pewilayahan Pembangunan Kabupaten Situbondo

Dalam rencana tata ruang wilayah tahun 2008/2009 dinyatakan bahwa

sistem pewilayahan pembangunan Kabupaten Situbondo yang ada saat ini menjadi

acuan dalam pengembangan wilayah. Wilayah Kabupaten Situbondo dibagi

menjadi 3 (tiga) pusat pertumbuhan yaitu:

Page 68: Hasyim, Bidawi - 2009

41

1) Pusat pertumbuhan bagian Timur dengan pusat pengembangan di Asembagus

yang meliputi wilayah kerja Pembantu Bupati di Asembagus diarahkan untuk

pengembangan produksi pangan dan perkebunan, peternakan, taman nasional

Baluran, pusat pendaratan ikan di Jangkar dan Pondok Mimbo, industri

menengah, dan pendidikan.

2) Pusat pertumbuhan bagian Tengah dengan pusat pengembangan di Situbondo

meliputi wilayah kerja Pembantu Bupati Situbondo dan Panarukan, diarahkan

untuk pengembangan industri rakyat, jasa-jasa, perdagangan regional,

sebagian untuk pengembangan produksi pangan dan perkebunan khususnya

tebu, serta pengembangan pelabuhan antar pulau di Panarukan, disamping

sebagai pusat pendaratan ikan.

3) Pusat pertumbuhan bagian Barat, dengan pusat pengembangan di Besuki

diarahkan untuk pengembangan tanaman perkebunan, peternakan terutama

untuk daerah-daerah lereng pegunungan serta tanah-tanah tegalan, tanaman

sayur-mayur di dataran tinggi, pengembangan perikanan tangkap dan

budidaya, dan industri kecil. Dataran rendah dan pantai untuk pengembangan

produksi pangan, pariwisata pantai Pasir Putih serta pusat pendaratan ikan.

Pemecahan pusat-pusat pertumbuhan lebih ditekankan pada pemerataan

pembangunan, sehingga daerah-daerah yang dianggap potensial untuk

berkembang perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai sesuai

dengan tingkat kebutuhannya.

3.4 Kelembagaan Kelautan dan Perikanan

Kelembagaan kelautan dan perikanan di Kabupaten Situbondo diatur dalam

Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Susunan dan Tata Kerja Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, dengan tugas pokok melaksanakan

kewenangan otonomi daerah Kabupaten dalam rangka pelaksanan tugas

desentralisasi di bidang kelautan dan perikanan.

Dalam usaha melaksanakan tugas pokok tersebut, Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Situbondo telah menetapkan visi, misi, dan tujuan stratejik

sebagai berikut. Visi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo adalah

terwujudnya masyarakat kelautan dan perikanan Situbondo yang sejahtera dan

Page 69: Hasyim, Bidawi - 2009

42

mandiri dengan bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan

secara efektif, efisien dan berkesinambungan. Misi Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Situbondo ada 6 yaitu :

1) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan

sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan.

2) Melakukan pembinaan yang intensif terhadap pemanfaatan Pusat Pelelangan

Ikan (PPI).

3) Memberikan pengetahuan dan keterampilan yang memadai bagi peningkatan

kualitas sumberdaya kelautan dan perikanan.

4) Membenahi secara terpadu sarana dan prasarana kelautan dan perikanan di

Kabupaten Situbondo.

5) Mengumpulkan dan mengolah bahan untuk penyusunan Peraturan Daerah

bidang Kelautan dan Perikanan.

6) Menjaga kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan guna menjamin

kesinambungan.

Sedangkan tujuan stratejik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Situbondo adalah sebagai berikut :

1) Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif berbasis sumberdaya kelautan

dan perikanan secara berkesinambungan.

2) Meningkatkan pendayagunaan Pusat Pelelangan Ikan dalam rangka

mendapatkan harga yang wajar bagi para nelayan.

3) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka pemanfaatan

sumberdaya kelautan dan perikanan yang berwawasan lingkungan.

4) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana dalam rangka

memberikan fasilitas yang memadai dan bermutu bagi usaha bidang kelautan

dan perikanan.

5) Memantapkan landasan hukum pembinaan dan pengembangan sektor kelautan

dan perikanan.

6) Mewujudkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan

perikanan secara bertanggungjawab demi pembangunan yang berkelanjutan.

Page 70: Hasyim, Bidawi - 2009

43

3.5 Usaha Penangkapan Ikan Laut

Usaha penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Situbondo menyebar di

semua kecamatan dan desa-desa pantai, tersebar pada sekitar 30 Tempat

Pendaratan Ikan (TPI) sebagai konsentrasi nelayan. Atas dasar potensi perikanan

yang ada, telah dibangun Pusat Pelelangan Ikan (PPI) pada beberapa pangkalan

ikan antara lain di desa pesisir Kecamatan Besuki, desa Ketah kecamatan Suboh,

desa Kilensari di desa Gelung kecamatan Panarukan, desa Semiring kecamatan

Mangaran, desa Landangan kecamatan Kapongan, desa Jangkar kecamatan

Jangkar, desa Sumber Anyar (Pondok Mimbo) dan desa Wonorejo (Pandean)

kecamatan Banyuputih. Pusat Pelelangan Ikan tersebut dibangun di lokasi

Koperasi Unit Desa (KUD) Mina, merupakan lembaga yang bertindak sebagai

pengelola PPI dan penyelenggara pelelangan ikan. Perdagangan ikan di

Kabupaten Situbondo bertumpu pada ikan hasil tangkapan di perairan Selat

Madura dengan tangkapan utama berupa ikan layang, ikan tongkol, ikan kembung

dan lemuru. Potensi perikanan ini perlu dikelola dengan baik sehingga dapat

dimanfaatkan secara optimal dan lestari. Usaha penangkapan ikan laut dilakukan

dengan berbagai jenis/ukuran juga dengan menggunakan berbagai alat tangkap.

Produksi ikan hasil penangkapan di laut pada tahun 2002 – 2006 berdasarkan alat

jenis tangkap yang digunakan mengalami penurunan (Tabel 2).

Tabel 2 Alat tangkap dan produksi ikan setiap jenis alat tangkap per tahun

Produksi Per Jenis Alat Tangkap (Ton) No. Jenis

Alat Tangkap 2002 2003 2004 2005 2006 1 Purse Seine 6.662,0 5.575,7 6.820,6 4.512,2 2.647,9 2 Payang 1.498,7 1.110,7 1.163,7 1.734,5 1.928,0 3 Jaring Insang 247,7 83,0 25,7 115,3 34,3 4 Tramel net 68,9 0,9 0,0 21,7 127,1 5 Pancing 754,2 901,2 546,0 530,2 1.542,7

Jumlah 9.231,5 7.671,5 8.556,0 6.913,9 6.279,9

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo Tahun 2002 - 2006.

Penurunan produksi ini antara lain disebabkan karena terjadinya penurunan

sumberdaya ikan, sedangkan aktivitas penangkapan oleh nelayan Situbondo dan

sekitarnya tidak mengalami perubahan yaitu tetap melakukan penangkapan di

Page 71: Hasyim, Bidawi - 2009

44

perairan Selat Madura. Berdasarkan alat tangkap yang dipergunakan, pukat cincin

(Purse Seine) adalah jenis alat tangkap penghasil ikan tangkapan terbanyak yaitu

sekitar 72% dari total tangkapan di Kabupaten Situbondo (Tahun 2002), alat

tangkap payang sekitar 16%, dan pancing sekitar 8%.

Ditinjau dari jenis ikan yang tertangkap di perairan Selat Madura oleh

armada penangkap ikan Kabupaten Situbondo pada tahun 2002 – 2006, ikan

lemuru adalah yang paling banyak tertangkap dibandingkan jenis ikan lainnya

dalam kategori ikan dominan. Hasil tangkapan ikan lemuru cukup berfluktuasi

dan cenderung mengalami penurunan dari 4.784,2 ton pada tahun 2002 menjadi

hanya 1.483,7 ton pada tahun 2006 (Tabel 3).

Tabel 3 Produksi ikan tangkap Kabupaten Situbondo untuk 5 (lima) jenis ikan

yang dominan pada tahun 2002 – 2006 (5 tahun)

Produksi (Ton) per Tahun No. Jenis Ikan Yang Dominan 2002 2003 2004 2005 2006

1 Lemuru 4.784,2 5.186,1 5.794,8 3.181,4 1.483,7 2 Layang 1.316,9 813,2 928,1 1.403,3 1.537,5 3 Tongkol 1.550,3 671,5 1.022,1 1.075,0 1.168,4 4 Kurisi 426,2 149,2 216,1 248,7 385,6 5 Kembung 317,8 178,4 132,2 288,8 223,8

Jumlah Tangkapan 8.395,4 6.998,4 8.093,3 6.197,1 4.798,9 Jenis Ikan Lainnya 836,9 673,1 481,7 735,4 1.584,8

Total Semua Jenis Ikan 9.232,3 7.671,5 8.575,0 6.932,5 6.383,7 Prosentasi Tangkapan Ikan Yang Dominan 90,94% 91,23% 94,38% 89,39% 75,17%

Prosentase Kenaikan (+) atau Penurunan (-) +0,29% +3,16% -4,99% -14,22%

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo Tahun 2002 - 2006.

Dari segi klasifikasi armada penangkap ikan di wilayah Kabupaten

Situbondo, yang terbanyak adalah perahu layar berjumlah 883 unit, perahu motor

masing-masing dengan kekuatan mesin 5 – 10 GT berjumlah 681 unit, 10 – 20 GT

berjumlah 524 unit dan diatas 20 GT berjumlah 432 unit (Tabel 4). Dari 12

kecamatan yang mempunyai TPI, perahu layar terdapat di 12 kecamatan, perahu

motor masing-masing dengan kekuatan mesin dibawah 5 GT hanya terdapat di

dua kecamatan, antara 5 - 10 GT terdapat di 8 kecamatan, antara 10 – 20 GT

terdapat di 5 kecamatan, dan diatas 20 GT hanya terdapat di 4 kacamatan.

Page 72: Hasyim, Bidawi - 2009

45

Tabel 4 Jumlah armada perahu/kapal motor setiap Kecamapan di Kabupaten

Situbondo tahun 2003

No. Kecamatan Perahu Perahu Motor (GT) Layar <5 5-10 10-20 >20 1. Banyuglugur 5 - 53 - 73 2. Besuki 27 - 80 - 176 3. Suboh 19 5 42 21 - 4. Melandingan 12 - 22 - - 5. Bungatan 189 - 70 - - 6. Kendit 100 - - 10 - 7. Panarukan 125 - 102 - - 8. Mangaran 237 - - 314 104 9. Kapongan 6 - - 70 79 10. Arjasa 45 2 - - - 11. Jangkar 78 - 188 - - 12. Banyuputih 40 - 124 109 -

Jumlah 883 7 681 524 432 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo.

Ditinjau dari segi klasifikasi jenis nelayan yang bekerja di sektor perikanan

tangkap, jumlah terbesar adalah nelayan pandega dengan jumlah 15.452 orang,

nelayan yang merupakan pemilik berjumlah 2.353 orang, dan yang paling sedikit

adalah nelayan sambilan berjumlah 366 orang (Tabel 5).

Tabel 5 Jumlah nelayan berdasarkan jenisnya pada masing-masing kecamatan di

Kabupaten Situbondo tahun 2003

Jumlah Nelayan (Orang) No Kecamatan Pemilik Sambilan Pandega Jumlah 1. Banyuglugur 148 14 456 616 2. Besuki 268 62 2.306 2.535 3. Suboh 91 29 1.183 1.303 4. Melandingan 34 19 306 359 5. Bungatan 259 - 356 615 6. Kendit 110 50 90 250 7. Panarukan 227 - 1.875 2.102 8. Mangaran 977 162 332 1.471 9. Kapongan 155 - 833 988 10. Arjasa 47 30 - 77 11. Jangkar 266 - 1.064 1.330 12. Banyuputih 273 - 3.932 4.205

Jumlah 2.855 366 12.733 15.954 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo.

Page 73: Hasyim, Bidawi - 2009

46

Jika ditinjau dari segi tempat PPI maka jumlah nelayan yang terbanyak

adalah di Kecamatan Banyuputih (PPI Pondok Mimbo) berjumlah 4.205 orang,

yang kedua adalah di Kecamatan Besuki (PPI Besuki) berjumlah 2.535 orang,

ketiga adalah di Kecamatan Panarukan berjumlah 2.102 orang, dan yang ke empat

adalah di Kecamatan Jangkar (PPI Jangkar) berjumlah 1.330 orang.

3.6 Permasalahan dan Peluang Dalam Pembangunan Perikanan Terdapat beberapa masalah dalam pembangunan kelautan dan perikanan di

Kabupaten Situbondo, antara lain adalah sebagai berikut :

1) Penyelenggaraan pelelangan ikan di pusat pelelangan ikan (PPI) yaitu PPI

Pondok Mimbo, Jangkar, Landangan, Mangaran, Panarukan, Gelung, Ketah,

dan Besuki belum berfungsi dengan baik. Jumlah ikan yang dilelang di

delapan PPI tersebut masih relatif kecil dibandingkan dengan produksi yang

dihasilkan para nelayan. Hal ini antara lain disebabkan oleh : Nelayan sudah

terikat/terjerat sistem pengambek; Di PPI tidak terjadi pelelangan ikan secara

murni, yang ada adalah sistem cawukan atau mengambil ikan seadanya,

kemudian hasil cawukan tersebut dijual untuk membiayai operasional KUD

dan sisanya untuk setoran; Sampai saat ini belum ada peraturan yang

mengatur tentang sistem pelelangan ikan di PPI; dan masih rendahnya kualitas

sumberdaya manusia nelayan dan pelaku perikanan, disisi lain KUD Mina

juga memiliki kemampuan manajerial yang masih sangat terbatas.

2) Adanya pengambilan terumbu karang untuk bahan-bahan hiasan yang

diperdagangkan di kawasan wisata Pasir Putih dan bahan baku pembakaran

kapur di beberapa daerah, mengakibatkan terjadinya kerusakan terumbu

karang dan mengancam terjadinya kerusakan habitat ikan karang.

3) Sering terjadi konflik berupa bentrok fisik dan perusakan alat tangkap sebagai

akibat sangat banyaknya perahu/kapal yang beroperasi di perairan Selat

Madura sehingga mendorong perebutan daerah operasi penangkapan.

4) Masih banyak nelayan yang menggunakan bahan peledak dalam penangkapan

ikan dan masih sulit dicegah/ditanggulangi karena rendahnya pemahaman

nelayan tentang bahaya serta kerusakan lingkungan akibat bahan peledak

Page 74: Hasyim, Bidawi - 2009

47

tersebut dan juga sangat terbatasnya aparat penjaga perairan laut di wilayah

perairan Situbondo dan sekitarnya.

Peluang dalam pelaksanaan pembangunan perikanan di Kabupaten

Situbondo antara lain dalah sebagai berikut :

1) Potensi sumberdaya ikan di perairan sekitar Situbondo khususnya Selat

Madura, Selat Bali dan Laut Bali cukup tinggi dalam segala musim;

2) Permintaan ikan hasil perikanan tangkap terus mengalami peningkatan;

3) Semakin terbukanya peluang pasar untuk penjualan ikan hasil tangkapan yang

mempunyai nilai ekonomi tinggi;

4) Sudah dibangun prasarana dan sarana untuk pengolahan ikan hasil tangkapan

khususnya untuk pemindangan ikan dan pembuatan tepung ikan meskipun

masih belum memadai;

5) Dekat dengan tempat pengolahan ikan (pengalengan ikan) skala besar di

wilayah Banyuwangi untuk pengalengan ikan lemuru dan ikan tongkol;

6) Dekat dengan kawasan wisata (Bali, Pasir Putih) yang membutuhkan ikan

segar berkualitas tinggi seperti kerapu, kakap, udang untuk konsumsi

wisatawan asing dan lokal.

Beberapa hambatan yang dihadapi oleh nelayan Kabupaten Situbondo

mempunyai dampak negatif bagi usaha penangkapan ikan di perairan laut,

selanjutnya berdampak pada rendahnya produktivitas tangkapan karena belum

mampu memanfaatkan peluang yang ada sehingga pada akhirnya menyebabkan

rendahnya penghasilan nelayan.

Page 75: Hasyim, Bidawi - 2009

48

4 METODOLOGI

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan sejak bulan Juni 2005 sampai dengan Desember 2007,

dengan fokus daerah penelitian di kawasan laut Kabupaten Situbondo, Jawa

Timur dan perairan sekitarnya. Daerah penelitian meliputi Selat Madura bagian

timur, Laut Jawa bagian timur, Laut Bali bagian barat, dan Selat Bali bagian utara,

sebagaimana Gambar 9.

Gambar 9 Cakupan wilayah penelitian dalam informasi spasial ZPPI

Mengacu pada penelitian Narendra (1993), wilayah penelitian untuk

informasi spasial ZPPI mingguan terletak pada batas-batas geografi antara 1130 -

1150 BT dan 70 - 80LS, dalam kawasan berbentuk bujur sangkar atau unit spasial

yang sisinya mempunyai panjang sebesar 5’ (9.260 m). Penetapan ukuran unit

Page 76: Hasyim, Bidawi - 2009

49

spasial ini juga mengacu pada hasil uji coba dari sejumlah kegiatan yang pernah

dilakukan LAPAN serta sebuah pemikiran agar informasi ZPPI dapat digunakan

dengan mudah oleh nelayan, pembagian area yang diterapkan dalam penelitian ini

menggunakan unit spasial yang disesuaikan dengan sistem area pada peta dasar

yang digunakan sebagai referensi.

Wilayah penelitian ZPPI bulanan meliputi perairan Selat Madura, Laut Bali

bagian barat, Laut Jawa bagian selatan, sebelah utara Sumenep, Pamekasan

sampai Sampang, serta Selat Bali bagian utara, dengan batas-batas geografi pada

koordinat 1120 50’ - 1160 00’ BT dan 60 30’ - 80 10’ LS. Mengacu pada hasil

penelitian oleh Narendra (1993), wilayah penelitian kawasan ini dibagi menjadi

unit spasial dengan ukuran 10’. Ukuran unit spasial adalah 10’ x 10’ (18,52 km x

18,52 km). Panjang sisi dari unit spasial ini mendekati ukuran jarak lokasi daerah

penangkapan ikan seperti yang disarankan Narendra (1993), dengan catatan

bahwa 1° = 60’ dan 1’ = 1 mil laut atau 1.852 m.

4.2 Metode Pengumpulan Data

4.2.1 Materi penelitian

Materi utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data penginderaan

jauh dari satelit NOAA-AVHRR hasil akuisisi Stasiun Bumi Satelit Lingkungan

dan Cuaca LAPAN. Data NOAA-AVHRR yang digunakan adalah data time

series mingguan selama 10 tahun yaitu dari tahun 1996 sampai dengan 2005,

khususnya data NOAA-AVHRR kanal 4 dan kanal 5 (infra merah termal) yang

dipergunakan untuk menentukan sebaran suhu permukaan laut (SPL). Untuk

mendapatkan hasil perhitungan SPL yang baik, dilakukan 3 (tiga) kegiatan

penting yaitu : (1) pemisahan data hasil akuisisi pada saat terjadi El-Nino; (2)

pemilihan data yang bebas awan; dan (3) dilakukan cropping untuk cakupan data

NOAA-AVHRR wilayah Jawa Timur.

Selain data SPL yang diperoleh dari data NOAA-AVHRR dan data

kandungan klorofil-a bulanan yang diperoleh (download) dari situs internet

http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/brpuse.pl, dalam penelitian ini juga digunakan:

Page 77: Hasyim, Bidawi - 2009

50

1) Data kecepatan angin dan tinggi gelombang diperoleh dari laporan hasil survei

di Selat Madura yang dilakukan oleh Dinas Hidrooseanografi – TNI AL. Data

angin dan gelombang bulanan, dihasilkan dari perata-rataan data selama 10

tahun dan diperoleh dari Dinas Hidrooseanografi.

2) Data kedalaman laut Selat Madura dan perairan sekitarnya, yang dibuat

berdasarkan peta kedalaman laut yang diterbitkan Dinas Hidrooseanografi

nomor 1608 dan 1706.

3) Data feedback berupa lokasi penangkapan, jenis dan jumlah ikan hasil

tangkapan yang diperoleh dari uji coba penerapan ZPPI di Selat Madura mulai

Juli 2003 sampai dengan November 2005.

4) Data produksi perikanan tangkap dari statistik yang diterbitkan Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, tahun 2002 - 2003.

5) Data hasil survei lapangan pada bulan September 2007 meliputi jenis alat

tangkap, lokasi penangkapan, lama operasi penangkapan, dan penghasilan

nelayan per trip penangkapan untuk PPI Pondok Mimbo, TPI Jangkar, PPT

Besuki, PPI Probolinggo, PPI Pamekasan dan PPI Dungke – Sumenep.

Dalam perkembangan terakhir ini, satelit penginderaan jauh yang

menggunakan Radar-SAR dilengkapi dengan sensor altimeter untuk mengamati

ketinggian permukaan laut (sea surface height / SSH), dengan resolusi spasial

0,25o (27,5 km x 27,5 km). Karena resolusi spasial citra SSH yang bersifat global

sehingga sangat bermanfaat untuk mendeteksi SSH di perairan laut yang luas

seperti Samudera Hindia, namun tidak dapat dipergunakan untuk mendeteksi SSH

Selat Madura karena merupakan perairan yang sempit dan dangkal.

4.2.2 Perhitungan suhu permukaan laut

Suhu permukaan laut (SPL) diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan

data penginderaan jauh satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic and

Atmospheric Administration – Advanced Very High Resoltion Radiometer) 10 bit

selama 10 (sepuluh) tahun, yaitu dalam periode Januari 1996 sampai dengan

Desember 2005 hasil akuisisi Stasiun Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca

LAPAN Pekayon, Jakarta Timur. Perolehan SPL berdasarkan data NOAA-

AVHRR, dilakukan melalui proses sebagai berikut :

Page 78: Hasyim, Bidawi - 2009

51

1) Pengadaan dan kompilasi data NOAA-AVHRR mingguan hasil akuisisi

Stasiun Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca LAPAN selama 10 tahun yaitu

dari tahun 1996 sampai dengan 2005;

2) Pemisahan data hasil akuisisi pada waktu kondisi normal dan hasil akuisisi

pada waktu anomali iklim (terjadi El Nino);

3) Dilakukan cropping data hasil akuisisi pada waktu kondisi normal

berdasarkan batas-batas yang ditentukan;

4) Dilakukan koreksi geometrik dan radiometrik terhadap semua data NOAA-

AVHRR yang akan digunakan dalam penelitian dengan referensi batas-batas

peta dasar skala 1:200.000;

5) Proses pengolahan data NOAA-AVHRR untuk mendapatkan citra sebaran

SPL berdasarkan metode McMillin & Crossby (1984) yang biasa digunakan di

LAPAN, dengan menggunakan data NOAA-AVHRR kanal infra merah

termal 4 dan kanal 5 masing-masing dengan panjang gelombang 10,30 –

11,30 µm dan 11,50 – 12,50 µm.

Data NOAA-AVHRR yang diterima dan direkam dari satelit berbentuk nilai

radiometer setiap pixel data yang biasa disebut dengan radiometer count atau

pixel count. Tahap pertama dalam perhitungan SPL adalah melakukan kalibrasi

terhadap data digital setiap pixel data NOAA-AVHRR yang diterima langsung

dari satelit dengan rumus berikut :

Ln = Sn Cn + In ............................................................................................1

dengan Ln : radiasi setiap kanal radiometer; Sn : Koefisien slope; Cn :

radiometer count atau digital count setiap pixel; In : koefien intercept; dan n :

masing-masing 4 untuk kanal 4 dan 5 untuk kanal 5. Selanjutnya setelah diperoleh

nilai Ln masing-masing untuk kanal 4 dan kanal 5, dilakukan perhitungan

brighness temperature (temperatur kecerahan air laut) dinyatakan dengan TBn

untuk masing-masing kanal (kanal 4 dan 5) dengan rumus sebagai berikut :

TBn = ])[ln( aL

b

n − ......................................................................................2

dengan : TBn : Temperatur kecerahan air laut masing-masing kanal 4 dan kanal

5, sedangkan a dan b adalah nilai konstanta yang ditentukan berdasarkan panjang

Page 79: Hasyim, Bidawi - 2009

52

gelombang kanal 4 dan 5. Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan kanal 5

dinyatakan dengan Tabel 6 berikut :

Tabel 6 Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan 5 sensor AVHRR

Kanal Radimeter Sensor NOAA-AVHR

Nilai Konstanta A

Nilai Konstanta b

Kanal 4 9,213623 -1347,375

Kanal 5 8,947998 -1229,813

Langkah selanjutnya, dilakukan perhitungan temperatur air laut (sea water

temperature) yang didasarkan pada nilai temperatur kecerahan air laut (TBn)

untuk masing-masing kanal radiometer dengan memasukkan nilai koreksi

emisivitas air laut (e) yang nilainya 0,98. Persamaan yang dipergunakan untuk

menghitung temperatur air laut dinyatakan dengan TWn sebagai berikut :

TWn

)]2exp(1ln[

2

n

n

n

TBYCee

YC

+−= .....................................................................3

Dimana : C2 : konstanta radiasi sinar matahari dengan nilai 1,438833 cmK; Yn :

central wave number kanal infra merah jauh sensor AVHRR; Nilai Yn untuk kanal

4 dan kanal 5 masing-masing adalah 927,73cm dan 938,55cm.

Langkah terakhir adalah perhitungan SPL dengan menggunakan rumus

sebagai berikut :

SPL = TW4 + 2,702 (TW4 – TW5) – 273,582 ..............................................4

Dengan : SPL = Suhu Permukaan Laut (Sea Surface Temperature) dalam derajat

Celcius; TW4 = suhu air laut berdasarkan kanal 4; TW5 = suhu air laut

berdasarkan kanal 5; 273 = adalah pengurangan nilai derajat Kelvin (pada 0o

Celcius); dan 0,582 adalah koefisien koreksi.

Setelah diperoleh citra SPL dilakukan koreksi geometrik dan rektifikasi citra

SPL sebagai berikut :

1) Melakukan koreksi geometrik citra SPL dengan titik-titik referensi pada peta

dasar skala 1:200.000;

Page 80: Hasyim, Bidawi - 2009

53

2) Melakukan rektifikasi semua citra SPL hasil akuisisi mingguan yang akan

dikoreksi secara geomentrik dengan data yang sudah dikoreksi secara akurat

sebagai citra referensi;

4.2.3 Data klorofil-a

Data klorofil-a sebagai indikator kesuburan perairan diperoleh dari internet

http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/brpuse.pl karena di Indonesia belum ada

sistem yang mampu menerima data dari satelit SeaWiFS secara langsung. Data

SeaWiFS yang di download dari internet dan digunakan adalah data dengan waktu

yang berkorelasi dengan data NOAA-AVHRR yang digunakan. Karena data yang

di download dari internet bersifat global yaitu dalam area yang luas maka

dilakukan cropping hanya pada daerah penelitian, sehingga dapat diperoleh citra

sesuai dengan liputan dan skala citra untuk daerah penelitian. Nilai kandungan

klorofil-a pada citra dibaca dengan cara membandingkan warna pada citra dengan

warna pada legenda yang menyatakan konsentrasi klorofil dengan interval dari

0,1 – 5,0 mg/m3. Pengamatan konsentrasi klorofil-a di perairan laut dilakukan

dengan cermat terutama untuk area perairan di wilayah pesisir. Hal ini sangat

perlu untuk mencegah kerancuan antara kandungan klorofil-a yang dijadikan

indikator tingginya kesuburan perairan dengan kekeruhan.

4.2.4 Data angin dan gelombang

Data arah dan kecepatan angin serta tinggi dan arah gelombang diperoleh

dari Dinas Hidrooseanografi TNA-AL. Data angin dan gelombang di perairan laut

yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data peramalan gelombang yang

didasarkan pada kecepatan angin, lama hembus angin dan fetch. Data arah dan

kecepatan angin yang dipergunakan dibuat berdasarkan rata-rata bulanan arah dan

kecepatan angin di perairan Selat Madura dan sekitarnya dari tahun 1998 sampai

dengan tahun 2007. Tinggi gelombang diperoleh dari kecepatan angin yang

disesuaikan dengan skala beaufort dan arah gelombang disamakan dengan arah

angin. Data arah dan kecepatan angin yang diperoleh dari hasil rata-rata bulanan

dimasukkan kedalam distribusi prosentase frekwensi sehingga didapat tinggi dan

Page 81: Hasyim, Bidawi - 2009

54

arah gelombang yang dominan pada tiap-tiap bulannya. Data yang dipergunakan

adalah rata-rata bulanan arah dan kecepatan angin di perairan Selat Madura dan

sekitarnya dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2007.

Arah dan kecepatan angin rata-rata yang diperoleh dari Dinas

Hidrooseanografi TNL-AL. Kecepatan angin dikelompokkan menjadi 6 interval

kecepatan dalam satuan knot yaitu antara 0 - 1 knot, 1 – 3 knot, 4 – 6 knot, 7 – 10

knot, 11 – 16 knot dan lebih besar dari 17 knot. Tinggi gelombang rata-rata dibagi

menjadi 5 interval dalam satuan meter yaitu 0; 0,1 – 0,5; 0,6 – 1,0; 1,1 – 1,5; dan

> 1,5 meter. Arah angin dan gelombang dibagi menjadi 8 arah yaitu utara, timur

laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, dan barat laut.

4.2.5 Data kedalaman Selat Madura

Data kedalaman perairan laut diperoleh dari peta kedalaman laut buatan

Dinas Hidrooseanografi TNI AL sesuai dengan skala yang tersedia. Data

kedalaman perairan ini digunakan untuk mendukung analisis daerah-daerah yang

potensial terjadinya penaikan massa air laut yang disebabkan oleh terjadinya

perubahan kedalaman dasar laut. Karena gradasi kedalaman kawasan Selat

Madura antara di sisi timur yang berbatasan dengan Laut dan Selat Bali dengan

perairan di utara Situbondo ke arah barat maka isobath dibuat tidak liner,

tergantung pada karakteristik kedalaman perairan. Gradasi kedalaman sebelah

timur dengan isobath 1.000 meter, 500 meter, dan 200 meter. Gradasi kedalaman

Selat Madura yang masuk dalam kategori perairan dangkal mulai utara Pondok

Mimbo dengan kedalaman 100 meter ke arah barat sampai kedalaman 10 meter

dibuat isobath dengan gradasi 10 meter.

4.3 Pengumpulan Data Perikanan Tangkap

Pengumpulan data perikanan tangkap diperoleh melalui dua cara yaitu

melalui survei lapangan di PPI/TPI di Situbondo dan PPI di sekitarnya, dan

melalui feedback kegiatan uji coba penangkapan menggunakan informasi spasial

ZPPI oleh nelayan Situbondo yang melakukan penangkapan di Selat Madura.

Page 82: Hasyim, Bidawi - 2009

55

4.3.1 Pengumpulan data perikanan tangkap melalui survei lapangan

Pengumpulan data perikanan tangkap dilakukan melalui kegiatan survei

pengamatan secara langsung di lokasi penelitian melalui kegiatan wawancara,

kunjungan/peninjauan ke instansi terkait, dan literatur. Data tentang perahu motor

dan jenis-jenis alat tangkap yang dipergunakan oleh para nelayan di daerah

penelitian diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan setempat, buku Situbondo

Dalam Angka, Koperasi Unit Desa (KUD Nelayan), Kantor Desa dan kantor

Camat setempat, serta pengamatan langsung di pelabuhan dan tempat pendaratan

ikan melalui wawancara dengan nelayan secara langsung. Untuk mendapatkan

data tentang hasil penangkapan, dilakukan kegiatan wawancara dengan para

nelayan khususnya para nahkoda perahu motor serta pengamatan langsung

kegiatan penangkapan. Di samping itu juga diperoleh data tentang pembagian

zona-zona penangkapan yang telah disepakati oleh para nelayan serta pemerintah

setempat.

Kegiatan survei lapangan untuk mendapatkan data tentang ukuran perahu

motor yang dipergunakan, jenis alat tangkap, lama operasi penangkapan, daerah

operasi penangkapan dan pendapatan nelayan per rip. Perolehan data perikanan

tangkap melalui kegiatan survei lapangan dilakukan pada tanggal 4 - 11

September 2007 pada 3 PPI/TPI Situbondo 3 PPI di sekitarnya dengan perincian

sebagai berikut :

a. PPI Pondok Mimbo (Situbondo) pada tanggal 4 September 2007, data

diperoleh dengan mewawancarai 31 responden terdiri dari 28 nelayan dan 3

pemilik perahu motor.

b. TPI Tanjung Jangkar (Situbondo) pada tanggal 5 September 2007, diperoleh

dengan cara mewawancarai 33 responden terdiri 25 nelayan, dan 8 pemilik

perahu dan pengurus KUD Minaharta.

c. PPI Besuki, pada tanggal 6 September 2007, data diperoleh dengan

mewawancarai langsung 22 respoden nelayan.

d. PPI Probolinggo, pada tanggal 7 September 2007, data diperoleh 12

reponden terdiri dari 9 nelayan dan 3 respoden pemilik perahu motor.

Page 83: Hasyim, Bidawi - 2009

56

e. PPI Branta Pesisir – Pamekasan pada tanggal 10 September 2007, data

diperoleh dengan mewawancarai 29 responden terdiri dari 23 nelayan dan 6

pemilik perahu motor.

f. PPI Pelabuhan Dungkek – Sumenep, pada tanggal 11 September 2007, data

diperoleh 41 respoden terdiri dari 16 nelayan dan 25 pemilik perahu motor.

4.3.2 Pengumpulan data waktu, lokasi dan jenis ikan

Data lokasi, waktu dan jenis ikan diperoleh melalui kegiatan uji coba

penerapan informasi spasial ZPPI di Selat Madura, dilakukan atas kerjasama

antara Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh

LAPAN dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo. Penerapan

informasi spasial ZPPI dilaksanakan oleh personel LAPAN bersama nelayan dari

PPI Pondok Mimbo, TPI Tanjung Jangkar, dan PPI Besuki, dengan operasi

penangkapan ikan di Selat Madura. Lokasi penangkapan ikan ditentukan

berdasarkan informasi spasial ZPPI yang diproduksi oleh LAPAN, sementara

kegiatan penangkapan ikan dengan menerapkan informasi spasial ZPPI dilakukan

dengan dua pola yaitu, (1) penerapan informasi yang dilakukan secara bersama

oleh nelayan setempat dengan personel LAPAN beserta Dinas Kelautan dan

Perikanan Situbondo, dan (2) kegiatan penerapan informasi ZPPI dilakukan oleh

nelayan kemudian melaporkan hasil tangkapan (waktu, koordinat, jenis dan

jumlah berat ikan yang tertangkap) pada setiap ZPPI.

4.4 Design dan sintesis Informasi Spasial ZPPI

Informasi spasial ZPPI dibuat dengan menggunakan 2 parameter utama

yaitu SPL dari data satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR dan kandungan

klorofil-a yang diperoleh dari satelit SeaWifs. Dari sebaran suhu permukaan laut

dan kandungan klorofil-a perairan diperoleh data tentang beberapa fenomena

oseanografi khususnya fenomena thermal front yang berkaitan erat dengan

fishing ground. Untuk membuat informasi spasial ZPPI, pertama-tama dilakukan

pemetaan SPL menggunakan data NOAA-AVHRR untuk mendeteksi adanya

fenomena thermal fronts, dan eddies yang diindikasikan sebagai daerah fishing

Page 84: Hasyim, Bidawi - 2009

57

ground (Narendra, 1993). Informasi spasial ZPPI dihasilkan dari implementasi

parameter SPL dan kandungan klorofil-a yang berkaitan erat dengan kehidupan

ikan. Penentuan ZPPI dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1) Membuat citra SPL dalam sistem peta untuk mendapatkan kesamaan posisi

dari setiap piksel citra SPL dengan menggunakan rumus 1 - 4;

2) Melakukan penggabungan citra SPL mingguan berdasarkan urutan minggu

pada bulan yang sama setiap tahunnya, dengan menggunakan metode nilai

minimum yaitu mengambil nilai SPL minimum dari semua citra pada urutan

minggu dan bulan yang sama.

3) Pengumpulan data klorofil-a bulanan yang di download dari internet

http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/brpuse.pl

4) Identifikasi thermal front dari masing-masing citra SPL mingguan, dilakukan

dengan tahapan sebagai berikut : (1) pembuatan kontur SPL; (2) identifikasi

dan analisis gradien SPL untuk setiap jarak 3 km (3 pixel) sebesar 0,5o C; dan

(3) analisis nilai kandungan klorofil-a ( > 0,3 mg/l);

5) Penentuan ZPPI berdasarkan thermal front dari SPL mingguan tiap tahun;

6) Pembuatan ZPPI mingguan berdasarkan agregat dari ZPPI mingguan selama

10 tahun;

7) Pembuatan layout informasi spasial ZPPI mingguan dalam format peta;

8) Pembuatan ZPPI bulanan yang merupakan sintesis dari ZPPI mingguan dalam

bulan yang sama;

9) Pembuatan layout informasi spasial ZPPI bulanan dalam format peta.

10) Pembuatan layout informasi spasial ZPPI musiman dalam format peta.

Diagram alir pembuatan informasi spasial ZPPI secara umum sebagaimana

dinyatakan pada Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan informasi spasial

ZPPI sebagaimana Gambar 11, 12 dan 13.

Page 85: Hasyim, Bidawi - 2009

58

Gambar 10 Proses umum pembuatan informasi spasial ZPPI dalam penelitian

identifikasi zona potensi penangkapan ikan di Selat Madura dan

sekitarnya.

Koreksi Geometrik Dan Radiometrik

Penentuan Suhu Permukaan Laut (SPL)

Mingguan

Rektifikasi SPL dengan Titik Kontrol Peta

Cropping Citra Berdasarkan Daerah

Penelitian

Analisis deteksi ”Thermal front”

Informasi Spasial Zona Potensi

Penangkapan Ikan (ZPPI)

Batas-batas koordinat daerah

penelitian (peta dasar 1;200.000)

Peta Dasar Skala 1:200.000

Data kedalaman dan data lapangan

Kesuburan perairan dari data SeaWIFs

Data NOAA

Page 86: Hasyim, Bidawi - 2009

59

Gambar 11 Proses sintesis untuk menghasilkan pola spasial ZPPI mingguan,

i = 1-4, j = 1-12 dan k = 1-10.

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPLT minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi bulan Bj tahun Tk

SPL rata-rata minggu ke empat bulan Bj

SPL rata-rata minggu ke tiga bulan Bj

Thermal front minggu pertama bulan Bj

SPL rata-rata minggu pertama bulan Bj

Thermal front minggu ke dua bulan Bj

SPL rata-rata minggu ke dua bulan Bj

Thermal front minggu ke tiga bulan Bj

Thermal front minggu ke empat bulan Bj

ZPPI minggu ke tiga bulan 1 - 12

ZPPI minggu ke dua bulan 1 - 12

ZPPI minggu pertama bln 1-12

ZPPI minggu ke empat bulan 1-12

Page 87: Hasyim, Bidawi - 2009

60

Gambar 12 Proses sintesis data untuk menghasilkan pola spasial ZPPI bulanan

setiap tahun, dengan Tk adalah tahun data.

ZPPI minggu 2 Januari tahun Tk

ZPPI minggu 3 Januari tahun Tk

ZPPI minggu 4 Januari tahun Tk

SST minggu 1 – 4 Desember thn Tk

SST minggu 1 – 4 Desember tahun Tk

SST minggu 1 – 4 Desember tahun Tk

SST minggu 1 – 4 Desember tahun Tk

ZPPI bulan Januari tahun Tk

ZPPI bulan Februari tahun Tk

ZPPI bulan Maret tahun Tk

ZPPI bulan April tahun Tk

ZPPI bulan Mei tahun Tk

ZPPI bulan Juni tahun Tk

ZPPI bulan Juli tahun Tk

ZPPI bulan Agustus tahun Tk

ZPPI bulan September tahun Tk

ZPPI bulan Oktober tahun Tk

ZPPI bulan November tahun Tk

ZPPI bulan Desember tahun Tk

ZPPI minggu 1 Januari tahun Tk

Page 88: Hasyim, Bidawi - 2009

61

Gambar 13 Diagram alir proses ZPPI bulanan, dengan Ti menyatakan tahun data.

ZPPI bulan Januari tahun Tk

ZPPI bulan Februari tahun Tk

ZPPI bulan Maret tahun Tk

ZPPI bulan April tahun Tk

ZPPI bulan Mei tahun Tk

ZPPI bulan Juni tahun Tk

ZPPI bulan Juli tahun Tk

ZPPI bulan Agustus tahun Tk

ZPPI bulan September tahun Tk

ZPPI bulan Oktober tahun Ti

ZPPI bulan November tahun Tk

ZPPI bulan Desember tahun Tk

Sintesis ZPPI bulanan Bi dan tahun Tk

ZPPI bulan Januari

ZPPI bulan Februari

ZPPI bulan Maret

ZPPI bulan April

ZPPI bulan Mei

ZPPI bulan Juni

ZPPI bulan Juli

ZPPI bulan Agustus

ZPPI bulan September

ZPPI bulan Oktober

ZPPI bulan November

ZPPI bulan Desember

Page 89: Hasyim, Bidawi - 2009

62

Untuk setiap unit spasial diberikan satu klasifikasi kepadatan dan tingkat

prospek keberhasilan penangkapan ikan. Dalam penelitian diterapkan 4 kelas

kepadatan ZPPI yang menggambarkan tingkat prospek keberhasilan dari setiap

unit spasial, sebagai berikut:

1) kelas sangat padat : unit spasial yang didalamnya terdapat lebih dari 5 ZPPI;

2) kelas padat : unit spasial yang didalamnya terdapat 4 - 5 ZPPI;

3) kelas sedang : unit spasial yang didalamnya terdapat 2 – 3 ZPPI;

4) kelas rendah : unit spasial yang didalamnya terdapat hanya 1 ZPPI.

Klasifikasi kepadatan ZPPI ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran

tentang tinggi rendahnya kemungkinan keberhasilan operasi penangkapan ikan

yang berpengaruh terhadap produktivitas penangkapan.

4.5 Metode Analisis

4.5.1 Pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan ukuran (jarak

jangkau) perahu/kapal motor

Berdasarkan kategori ukuran perahu motor dan jarak tempuh perahu motor

dari PPI/TPI untuk masing-masing ukuran, dibuat skenario zona penangkapan

yang dibagi menjadi 2 jenis yaitu dalam bentuk lingkaran dan dalam bentuk

sejajar garis pantai. Skenario pertama yaitu zona berbentuk lingkaran dengan titik

pusat pada masing-masing PPI/TPI, sedangkan skenario kedua berbentuk zona

sejajar garis pantai (Gambar 14). Secara umum, zona penangkapan dibagi menjadi

4 (empat) zona yaitu : (1) zona dengan jarak 0 – 4 km; (2) zona dengan jarak

antara 4 km sampai 10 km; (3) zona berjarak antara 10 km sampai dengan 20 km,

dan (4) zona berjarak di atas 20 km. Berdasarkan batas masing-masing zona

tersebut, dihitung luas masing-masing zona yang dialokasikan untuk masing-

masing kelompok ukuran perahu motor. Pembagian zona penangkapan ini

diarahkan untuk mencegah terjadinya konflik perebutan penangkapan antar

perahu motor khususnya antara perahu motor tradisional dengan perahu motor

yang berukuran besar dan menggunakan peralatan modern, sekaligus untuk

meningkatkan efisiensi dan produktivitas penangkapan oleh nelayan Situbondo.

Page 90: Hasyim, Bidawi - 2009

63

Gambar 14 Pembagian zona penangkapan berdasarkan jarak tempuh perahu

motor pada masing-masing ukuran, berbentuk lingkaran dengan titik

pusat pada PPI dan zona sejajar garis pantai.

4.5.2 Pengaturan zona penangkapan berdasarkan daya jangkau kapal dalam

bentuk lingkaran

Dengan memperhatikan kategori ukuran perahu motor sebagaimana Tabel 4,

dilakukan pengaturan zona penangkapan berbentuk lingkaran dengan titik pusat

pada masing-masing PPI berdasarkan kategori ukuran dan jarak jangkau perahu

motor pada masing-masing kategori. Analisis pengaturan zona operasi

penangkapan ikan dibuat berdasarkan kriteria sebagai berikut:

a. Zona penangkapan disajikan dalam bentuk lingkaran paling dalam dengan

jari-jari 4 km dari PPI dialokasikan untuk perahu layar dan motor dengan

ukuran dibawah 5 GT.

b. Zona penangkapan berbentuk lingkaran dalam area antara jari-jari 4 – 10 km

dari PPI dialokasikan untuk perahu motor dengan ukuran 5 – 10 GT.

c. Zona penangkapan berbentuk lingkaran dalam area antara jari-jari 10 – 20 km

dari PPI, dialokasikan untuk perahu motor dengan ukuran 10 – 20 GT.

d. Zona penangkapan di luar lingkaran jari-jari 20 km, dialokasikan untuk

perahu motor dengan ukuran di atas 20 GT.

Page 91: Hasyim, Bidawi - 2009

64

Alokasi perahu motor didasarkan pada jarak tempuh untuk setiap kategori

ukuran perahu motor dalam bentuk lingkaran dengan titik pusat PPI, sehingga luas

zona penangkapan per unit perahu motor dapat diformulasikan sebagai berikut.

Wri = Lri / Jpm ........................................................................................5.

Dengan : Wri = luas zona per unit perahu layar/moror untuk setiap kategori (0 – 4

km, 4 – 10 km atau 10 – 20 km); Lri = luas zona ke i dalam masing-masing

kategori; Jpm = jumlah perahu layar layar/moro (unit); .

Analisis alokasi perahu/kapal motor pada masing-masing zona, dilakukan

dengan cara :

a. menghitung luas zona untuk setiap kategori perahu kapal motor dalam

masing-masing zona (km2/unit);

b. menghitung rata-rata luas zona untuk setiap kategori perahu/kapal motor pada

masing-masing zona untuk seluruh Situbondo.

c. menentukan jumlah perahu/kapal motor yang selayaknya berpangkalan pada

PPI bersangkutan.

d. menentukan perbandingan antara luas zona per perahu/kapal motor pada

masing-masing PPI dengan luas rata-rata per perahu/kapal motor seluruh

Situbondo.

e. menentukan PPI yang mempunyai luas zona per perahu/kapal motor di bawah

rata-rata yang berarti sudah melebihi daya tampung maksimum, dan PPI yang

mempunyai luas zona per perahu/kapal motor lebih tinggi dari rata-rata

sehingga mempunyai peluang menerima relokasi perahu/kapal motor dari PPI

lain, sesuai dengan zona dan kategori perahu/kapal motor.

4.5.3 Pengaturan zona penangkapan ikan dalam jarak sejajar garis pantai

Sebagaimana diuraikan pada Tabel 4 bahwa perahu/kapal motor tersebar

pada 13 kecamatan sepanjang pesisir Situbondo. Memperhatikan penyebaran

perahu/kapal motor tersebut, dikembangkan pengaturan zona penangkapan yang

sesuai dengan penyebaran PPI/TPI tersebut, dalam upaya memelihara kelestarian

sumberdaya ikan dan terjadinya konflik perebutan lokasi penangkapan ikan antara

nelayan besar (modern) dengan nelayan kecil (tradisionil). Dengan

Page 92: Hasyim, Bidawi - 2009

65

memperhatikan kategori ukuran perahu/kapal motor sebagaimana Tabel 3.4 pada

bagian 3.5, jarak jangkau perahu/kapal motor pada masing-masing kategori, dan

berdasarkan lokasi operasi penangkapan ikan, dibuat zona penangkapan ikan

sejajar garis pantai dengan kriteria sebagai berikut :

a. Zona pertama dengan garis terluar berjarak 4 km dari garis pantai dialokasikan

untuk perahu layar dan motor dengan ukuran dibawah 5 GT.

b. Zona kedua berjarak antara 4 km sampai 10 km dari garis pantai, dialokasikan

untuk perahu motor dengan ukuran 5 – 10 GT.

c. Zona ketiga berjarak antara 10 km sampai dengan 20 km dari garis pantai,

dialokasikan untuk perahu motor dengan ukuran 10 – 20 GT.

d. Zona keempat berjarak di atas 20 km dari garis pantai, dialokasikan untuk

perahu motor dengan ukuran diatas 20 GT.

Dengan memperhatikan jumlah perahu layar dan perahu motor yang ada di

wilayah Kabupaten Situbondo, dilakukan perhitungan luas area penangkapan per

perahu layar/motor pada tiap-tiap zona dengan persamaan sebagai berikut.

Wz = Lz / Jpm ............................................................................ ...........6.

Dengan : Wz = luas zona untuk setiap kategori perahu layar dan perahu motor

pada masing-masing zona (km2/unit); Lz = luas zona (km2); Jpm = jumlah

perahu/kapal motor (unit).

Analisis alokasi perahu/kapal motor pada masing-masing zona dan ukuran

perahu motor, dilakukan dengan kriteria sebagaimana analisis pada Bagian 4.6.1,

4.6.2 dan 4.6.4 di atas.

4.5.4 Analisis pengelolaan zona penangkapan ikan

Dengan mengacu pada rencana tata ruang Kabupaten Situbondo yang

membagi wilayah Kabupaten Situbondo menjadi 3 wilayah pengembangan,

pengelolaan penangkapan ikan Kabupaten Situbondo juga dibagi menjadi 3 zona

yaitu zona barat berpusat di PPI Besuki selanjutnya dinyatakan sebagai zona A,

zona di bagian tengah berpusat di PPI Tanjung Pacinan dinyatakan sebagai zona

B, dan zona paling timur berpusat di PPI Pondok Mimbo disebut sebagai zona C

(Gambar 15). Untuk memudahkan dalam analisis penggunaan informasi spasial

Page 93: Hasyim, Bidawi - 2009

66

pengelolaan penangkapan, dibuat batas masing-masing zona yaitu zona A dengan

batas koordinat 113o 30’ – 113 o 52’ BT dan 7 o 22’ 30” – 7 o 45’ LS, zona B

dalam koordinat 113 o 52’ – 114 o 6’ 30” BT dan 7 o 22’ 30” – 7 o 42’ 30” LS, serta

zona C dalam koordinat 114 o 6’ 30” – 115 o BT dan 7 o 20’ – 7 o 55’ 30” LS.

Gambar 15 Batas zona pengelolaan penangkapan ikan Kabupaten Situbondo

meliputi PPI Besuki, PPI Tanjung Pecinan dan PPI Pondok Mimbo.

Dengan memperhatikan wilayah kecamatan yang mempunyai pantai

sebagaimana Tabel 1 dalam Bab 3, dilakukan pengelompokan 13 wilayah

kecamatan di Kabupaten Situbondo ke dalam 3 PPI. Pengelolaan penangkapan

ikan zona A meliputi mengelolaan penangkapan dari 5 kecamatan yaitu

Banyuglugur, Besuki, Suboh, Melandingan dan Bungatan. Zona B meliputi

pengelolaan penangkapan untuk 4 kecamatan yaitu Kendit, Panarukan, Mangaran,

dan Kapongan. Zona C meliputi pengelolaan penangkapan untuk 4 kecamatan

yaitu Arjasa, Tanjung Jangkar, Asembagus, dan Banyuputih. Analisis zona

penangkapan ikan oleh nelayan Situbondo dibagi menjadi 4 (empat) pola

pengaturan penangkapan sebagai berikut:

(1) Nelayan dari masing-masing PPI melakukan kegiatan penangkapan ikan

dalam PPI yang bersangkutan;

Page 94: Hasyim, Bidawi - 2009

67

(2) Nelayan melakukan kerjasama penangkapan ikan antar PPI dalam wilayah

pengelolaan perikanan tangkap Kabupaten Situbondo (Besuki, Tanjung

Pecinan, dan Pondok Mimbo);

(3) Nelayan Situbondo (dari PPI Besuki, Tanjung Pecinan, dan Pondok Mimbo)

melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan nelayan dari PPI lain di

sekitar Selat Madura (Probolinggo, Sampang, Pamekasan, Sumenep);

(4) Nelayan Situbondo yang menggunakan kapal penangkapan ikan dengan

ukuran di atas 20 GT (khususnya dari PPI Besuki dan Tanjung Pecinan)

melakukan kerjasama dengan nelayan dari PPI lain yang beroperasi di Selat

Bali (PPI Banyuwangi), Laut Bali (PPI Singaraja) dan Laut Jawa bagian timur

khususnya PPI Sokabana (Sampang), PPI Pasongsongan (Pamekasan), PPI

Karanglanggar (Sumenep), nelayan dari pulau Sepudi dan Raas.

Page 95: Hasyim, Bidawi - 2009

68

5 HASIL PENELITIAN

5.1 Kondisi Oseanografi Selat Madura dan Sekitarnya

5.1.1 SPL dan kandungan klorofil-a

SPL Selat Madura dan perairan sekitarnya pada awal musim barat yaitu

bulan Desember, SPL berada bervariasi pada selang 26o - 30o C. Kandungan

klorofil-a berada pada kisaran 0,1 – 0,8 mg/m3, di perairan Laut Bali pada kisaran

0,1 – 0,4 mg/m3. Pada bulan Januari, SPL Selat Madura dan sekitarnya dengan

kisaran 28o - 30o C, dengan klorofil-a 0,1 – 3,0 mg/m3, di Laut Bali pada kisaran

0,2 – 0,6 mg/m3. Sebaran SPL Selat Madura pada bulan Februari pada kisaran 27o

– 28o C, konsentrasi klorofil-a pada kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3. SPL Laut Jawa dan

Laut Bali pada kisaran 30o – 31o C, konsentrasi kolofil 0,2 – 0,4 mg/m3.

SPL Selat Madura pada bulan pertama musim peralihan pertama yaitu bulan

Maret pada kisaran 30o – 32o C, dengan konsentrasi klorofil-a pada kisaran 0,4 –

1,0 mg/m3. SPL Laut Bali pada kisaran 28o - 30o C dan Laut Jawa pada kisaran

antara 28o – 31o C, dengan klorofil-a pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Pada bulan

April, SPL Selat Madura dalam kisaran 27o – 32o C, konsentrasi klorofil-a dalam

kisaran 0,3 – 1,5 mg/m3. SPL Jawa terjadi pada kisaran 30o - 31o C, dengan

konsentrasi klorofil-a dalam kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3. Pada bulan Mei, perairan

Selat Madura dan Laut Jawa didominasi oleh SPL 29o – 31o C, dengan konsentrasi

klorofil-a di Selat Madura pada kisaran 0,4 – 1,5 mg/m3, sedangkan di Laut Jawa

bagian timur pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Sebaran SPL di perairan Selat Bali

dengan kisaran 27o – 28o C.

Pada awal musim timur yaitu bulan Juni, SPL Selat Madura, Laut Jawa, dan

Laut Bali berada pada kisaran 29o - 31o C. Konsentrasi klorofil-a Selat Madura

pada 0,5 – 1,5 mg/m3, di Laut Jawa serta Laut Bali pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3.

Perairan sebelah timur Pulau Raas pada kisaran 0,6 – 3,0 mg/m3. Pada bulan Juli,

SPL Selat Madura pada kisaran 29o - 31o C, dengan klorofil-a pada kisaran 0,4 –

1,5 mg/m3, di Laut Jawa berkisar pada kisaran 0,3 – 0,8 mg/m3, perairan bagian

utara Selat Bali dengan kisaran 0,2 – 0,4 mg/m3 menyebar ke bagian barat Laut

Page 96: Hasyim, Bidawi - 2009

69

Bali. Konsentrasi klorofil-a di perairan sebelah timur Pulau Raas pada kisaran 0,6

– 1,5 mg/m3. Pada bulan Agustus yang merupakan bulan terakhir musim angin

timur, SPL pada perairan Selat Madura bagian timur di timur laut Pondok Mimbo

terjadi pada kisaran suhu 28o - 31o C. Konsentrasi klorofil-a di Selat Madura

dengan kisaran 0,4 – 1,0 mg/m3, di Laut Jawa juga pada kisaran 0,4 – 1,5 mg/m3.

Konsentrsi klorofil-a di Laut Bali didominasi oleh kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3, di

perairan antara Pulau Raas dan Kangean pada kisaran 2,0 – 3,0 mg/m3.

Pada awal musim peralihan kedua yaitu bulan September, SPL Selat

Madura dan Laut Jawa pada kisaran 28o - 32o C, dengan konsentrasi klorofil-a

pada kisaran 0,4 – 0,7 mg/m3, di Laut Bali pada kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3.

Konsentrasi klorofil-a sebelah timur Pulau Raas pada kisaran 2,0 – 3,0 mg/m3.

SPL bulan Oktober di Selat Madura dan Laut Jawa pada kisaran 28o - 30o C,

dengan konsentrasi klorofil-a didominasi oleh kisaran 0,5 – 1,5 mg/m3, pada sisi

timur berkisar antara 0,4 – 0,6 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa berada

dalam kisaran 0,2 – 0,4 mg/m3, di perairan Laut Bali dalam kisaran 0,3 – 0,5

mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di perairan sebelah timur Pulau Raas pada kisaran

1,5 – 3,0 mg/m3. Pada bulan Nopember yang merupakan bulan terakhir musim

peralihan kedua, SPL Selat Madura pada kisaran 28o - 30o C dengan konsentrasi

klorofil-a pada kisaran 0,2 – 0,8 mg/m3. Kosentrasi klorofil-a di Laut Bali pada

kisaran 0,3 – 0,8 mg/m3, di sebelah timur Pulau Raas pada 0,5 – 1,0 mg/m3.

Contoh citra SPL Selat Madura dan perairan sekitarnya berdasarkan satelit

penginderaan jauh NOAA-AVHRR sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 1 (a

sampai dengan d), sedangkan citra klorofil-a berdasarkan satelit SeaWiFS

sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 2 (a sampai dengan d).

5.1.2 Angin dan gelombang

Angin pada awal musim barat yaitu bulan Desember, dominan dengan

kecepatan 1 – 3 knot, ketinggian gelombang dominan 0,1 - 0,5 meter. Pada bulan

Januari, angin dominan datang dari arah barat dengan kecepatan 1 – 3 knot dan

ketinggian gelombang 0,1 - 0,5 meter. Pada akhir musim barat yaitu bulan

Februari, angin dari arah barat dengan kecepatan 4 – 10 knot dan ketinggian

gelombang dominan antara 0,1 - 0,5 meter.

Page 97: Hasyim, Bidawi - 2009

70

Pada awal musim peralihan pertama yaitu bulan Maret, angin dari barat

dengan kecepatan 1 - 6 knot, ketinggian gelombang 0,1 - 0,5 meter. Pada bulan

April, angin dari arah timur dengan kecepatan 1 – 6 knot, ketinggian gelombang

0,1 - 0,5 m. Pada akhir musim peralihan pertama yaitu bulan Mei, angin dari arah

timur dengan kecepatan 1 - 6 knot dan ketinggian gelombang 0,1 - 0,5 meter.

Pada awal musim timur yaitu bulan Juni, angin dominan dari timur dengan

kecepatan 1 - 10 dan gelombang dengan ketinggian 1 – 1,5 meter. Pada bulan Juli,

angin dominan dari timur dan tenggara dengan kecepatan 1 – 16 meter dan

gelombang mencapai ketinggian lebih dari 1,5 meter. Pada bulan terakhir musim

timur yaitu bulan Agustus, angin dari timur dengan kecepatan mulai dari 1 knot

sampai lebih dari 17 knot dan gelombang dengan ketinggian 1,1 - 1,5 meter,

kadang-kadang lebih dari 1,5 meter.

Pada bulan pertama musim peralihan kedua yaitu bulan September, angin

dominan datang dari arah timur dengan kecepatan berkisar mulai 4 sampai di atas

17 knot, dan ketinggian gelombang dominan antara 0,1 - 1,5 meter. Pada bulan

Oktober, angin dominan datang dari arah timur dan tenggara dengan kecepatan 11

– 16 knot. gelombang dominan dengan ketinggian maksimum 0,1 – 1,0 meter.

Pada bulan terakhir musim peralihan kedua yaitu November, angin dominan dari

selatan dan barat dengan kecepatan 1 - 6 knot dan gelobang dengan ketinggian 0,1

– 1,5 meter. Data arah, kecepatan dan frekuensi angin selengkapnya sebagaimana

dinyatakan dalam lampiran 3 (a sampai dengan l), sedangkan data arah, ketinggian

dan frekuensi gelombang dinyatakan pada lampiran 4 (a sampai dengan l). Contoh

arah dan kecepatan angin serta tinggi gelombang digambarkan secara tematik

sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 5.

5.1.3 Kedalaman perairan Selat Madura

Kedalaman Selat Madura bagian timur sama dengan kedalaman Selat Bali

bagian utara dan Laut Bali bagian barat. Kedalaman Selat Madura bagian timur

berkisar antara 500 m – 1.000 m, mengalami gradasi kedalaman sehingga antara

selatan Kangean ke selatan pulau Raas sampai utara Pondok Mimbo mempunyai

kedalaman antara 100 m – 200 m, antara selatan Kangean sampai selatan pulau

Raas dan utara Pondok Mimbo mempunyai kedalaman sekitar 90 m. Antara utara

Page 98: Hasyim, Bidawi - 2009

71

Besuki sampai utara Probolinggo mempunyai kedalaman 60 m – 70 m, sedangkan

mulai sebelah utara Probolinggo ke sebelah barat mempunyai kedalaman sekitar

50 m. Perairan mulai sebelah barat Besuki sampai perairan sebelah utara

Probolinggo, serta di selatan Pamekasan sampai Sampang mempunyai interval

kedalaman 10 – 40 meter. Peta kedalaman Selat Madura dan perairan sekitarnya

sebagaimana ditunjukkan dengan gambar pada lampiran 6.

5.2 Kondisi Umum Perikanan Tangkap

Berdasarkan wawancara dengan 28 nelayan dan 3 pemilik perahu motor di

Pondok Mimbo diperoleh data tentang ukuran perahu motor, jenis alat tangkap,

lama dan daerah operasi serta pendapatan bersih nelayan per trip sebagaimana

Tabel 7. Dari survei lapangan juga diketahui bahwa di Pondok Mimbo sudah ada

fasilitas pengolahan ikan yaitu pemindangan modern dan cold storage, namun

belum pernah dioperasikan. Data lapangan di TPI Jangkar diperoleh dengan

mewawancarai 25 nelayan dan 8 pemilik perahu serta pengurus KUD Minaharta –

Jangkar. Dari survei lapangan juga diketahui bahwa terdapat 391 buah perahu

motor yang berpangkalan di TPI Tanjung Jangkar. Data hasil survei lapangan

tentang ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi

penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip dari nelayan di TPI

Tanjung Jangkar sebagaimana tabel lampiran 7.a.

Tabel 7 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi

serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Pondok Mimbo

No Ukuran Perahu (GT)

Jenis Alat Tangkap

Lama Operasi (jam)

Daerah Operasi

Pendapatan Bersih per

orang-Trip (Rp) 1 2 Trawl Udang 12 Jangkar, Mimbo 10.000 – 50.000 2 6 Trawl 72 Jangkar, Merak 100.000 3 2 Trawl Udang 12 Mimbo 10.000 – 50.000 4 2 Trawl Udang 12 Jangkar, Merak 10.000 - 50.000 5 5 Purse Seine 8 Mimbo, Selat Madura 80.000 6 2 Trawl Udang 72 Jangkar, Merak 50.000 - 100.000 7 4 Purse Seine 12 Selat Madura 75.000 8 2 Trawl Udang 72 Jangkar, Merak 50.000 - 100.000

Page 99: Hasyim, Bidawi - 2009

72

Pada survei lapangan di PPI Besuki, berhasil mewawancarai langsung 22

responden nelayan, yang biasa melakukan penangkapan ikan dengan peralatan

tangkap berupa purse seine dan trawl. Menurut Ketua KUD, di wilayah TPI

Besuki terdapat sekitar 280 buah perahu/kapal motor, yang terdiri atas 80 buah

perahu motor berukuran antara 5 – 10 GT dengan alat tangkap purse seine, dan

150 buah perahu motor berukuran antara 2 – 10 GT dengan alat tangkap purse

seine atau trawl udang, dan perahu pancing dengan bobot 2 – 5 GT (Tabel 8).

Masalah utama dalam penangkapan yaitu belum adanya SPBU dan perusahaan es

di sekitar PPI Besuki, sehingga BBM dan es dibeli dari PPI lain. Juga diperoleh

informasi bahwa, di sekitar PPI Besuki banyak dijumpai penimbangan ikan secara

perorangan yang umumnya dilakukan oleh tengkulak yang bebas menentukan

harga ikan, Disamping itu ada perjanjian dibawah tangan tentang pinjaman

uang/modal oleh nelayan pada tengkulak yang berdampak pada tingkat

kesejahteraan nelayan. Bahkan para pemilik perahu juga sering terjerat utang

kepada para tengkulak khususnya akibat butuh uang untuk memperbaiki mesin

perahu/kapal motor atau alat tangkap, sementara suku cadang peralatan tangkap

tidak tersedia di sekitar PPI Besuki.

Tabel 8 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi

serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Besuki

No Ukuran Perahu (GT)

Jenis Alat Tangkap

Lama Operasi (jam)

Daerah Operasi Pendapatan

Bersih per Orang-Trip (Rp)

1 10 Purse seine 48 Selat Madura, Jangkar, Mimbo 10.000 – 100.000

2 2 Trawl Udang 12 Mimbo, Jangkar, Besuki 30.000 – 40.000

3 10 Purse seine 12 Mimbo, Jangkar, Probolinggo 20.000 – 80.000

4 10 purse seine 12 Mimbo, Jangkar, Probolinggo 20.000 – 80.000

5 10 Purse seine 48 Selat Madura, Jangkar, Mimbo 10.000 -100.000

6 2 Trawl Udang 12 Mimbo, Jangkar, Besuki 30.000 – 40.000

7 10 Purse seine 48 Selat Madura, Jangkar, Mimbo 10.000 -100.000

Page 100: Hasyim, Bidawi - 2009

73

Data lapangan tentang penangkapan ikan oleh nelayan yang berpangkalan di

PPI Probolinggo diperoleh dari 9 respoden nelayan, 3 respoden pemilik perahu

motor dan Kepala Kelurahan. Kepala Kelurahan yang membawahi wilayah PPI

Probolinggo menerangkan bahwa jumlah pemilik perahu yang berada

diwilayahnya kurang lebih 211 perahu motor. Alat tangkap yang biasa digunakan

adalah purse seine untuk penangkapan ikan pada malam hari dan trawl udang/teri

pada pagi/siang hari. Jumlah penduduk dengan pekerjaan sebagai nelayan di

kelurahannya kurang lebih 2.965 orang terdiri dari 20 orang nelayan remaja (umur

kurang dari 15 tahun), kurang lebih 1.200 orang nelayan pemuda (umur antara 15

– 35 tahun) dan kurang lebih 1.745 orang nelayan dewasa (umur di atas 35 tahun).

Kendala utama bagi pemilik perahu tipe cakra adalah modal kerja untuk dapat

melakukan operasi penangkapan lebih dari 1 hari, naik turunnya harga ikan dan

rute pelayaran daerah fishing ground yang jadi rebutan sesama nelayan, Hasil

tangkapan utama adalah ikan tongkol dan lemuru, yang paling dominan adalah

ikan teri besar dan teri kecil, sedangkan tangkapan lainnya ikan cumi dan udang.

Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama

dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip dari

PPI Probolinggo sebagaimana dinyatakan pada lampiran lampiran 7.b.

Dari survei lapangan di PPI Branta Pesisir – Pamekasan diperoleh informasi

bahwa nelayan setempat rata-rata menggunakan peralatan tangkap tipe trawl

teri/udang. Hasil tangkapan ikan yang maksimal terjadi pada musim hujan atau

bulan September hingga bulan Maret dengan jenis tangkapan ikan yang dominan

adalah layang, tongkol dan lemuru. Masalah utama yang dihadapi adalah harga

ikan yang naik turun dan tidak adanya jaminan modal usaha berupa pinjaman

modal kerja, menambah perlengkapan perahu serta alat tangkap. Data hasil survei

lapangan tentang ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah

operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI

Pamekasan sebagaimana dinyatakan pada lampiran lampiran 7.c.

Data lapangan di PPI Dungkek diperoleh dari 16 respoden nelayan, 25

respoden pemilik perahu dan ketua kelompok nelayan. Berdasarkan keterangan

dari ketua kelompok nelayan Makmur bahwa nelayan umumnya menggunakan

alat tangkap trawl udang/teri dan gillnet, dengan ukuran perahu motor 3 GT. Selain

Page 101: Hasyim, Bidawi - 2009

74

bermitra dengan perusahaan, kelompok nelayan Makmur juga bekerja sama

dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep antara lain dalam

bentuk bantuan peralatan GPS dan penyuluhan. Permasalahan utama yang

dihadapi nelayan setempat adalah kesulitan mendapatkan tangkapan pada saat

bukan musim teri karena sebagian nelayan tidak mempunyai alat tangkap jenis

yang lain misalnya jaring untuk penangkapan ikan tongkol. Kendala utamanya

yang dihadapi adalah ukuran perahu motor yang kurang besar dan tidak tersedia

penerangan berupa lampu merkuri serta tidak mempunyai alat tangkap selain ikan

teri. Di saat selain musim hujan atau musim ikan teri, hasil pendapatan menurun

bahkan tidak ada penghasilan. Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu

motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi penangkapan ikan serta

pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Probolinggo sebagaimana dinyatakan

pada lampiran lampiran 7.d.

5.3 Hasil Tangkapan dari Pemanfaatan Informasi Spasial ZPPI

Uji coba penerapan informasi spasial ZPPI di Selat Madura oleh nelayan

Situbondo, dilakukan atas kerjasama antara Pusat Pengembangan Pemanfaatan

dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN dengan Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Situbondo. Penerapan informasi spasial ZPPI dilaksanakan oleh

nelayan dari PPI Pondok Mimbo, TPI Tanjung Jangkar, dan PPI Besuki, dengan

operasi penangkapan ikan di Selat Madura. Hasil uji coba penangkapan

berdasarkan informasi spasial ZPPI di Selat Madura untuk musim yang berbeda

menunjukkan bahwa, sumberdaya ikan yang paling dominan adalah ikan lemuru,

tongkol, layang, dan kembung. Feedback hasil tangkapan dibagi menjadi 3

kategori yaitu : (1) panangkapan pada unit spasial dengan hasil tangkapan ikan

diatas 200 kg; (2) unit spasial dengan tangkapan kurang dari 200 kg; dan (3) unit

spasial yang menunjukkan uji coba penangkapan ikan menggunakan informasi

spasial ZPPI yang dilakukan secara bersama oleh nelayan dan tim dari Pusat

Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN.

Page 102: Hasyim, Bidawi - 2009

75

5.3.1 Hasil tangkapan ikan pada bulan Mei

Informasi spasial ZPPI yang digunakan sebagai dasar operasi penangkapan

ikan pada bulan Mei 2004 yang menunjukkan adanya konsentrasi penangkapan

ikan dengan jumlah tangkapan yang sangat tinggi pada posisi 113° 33' 59” - 113°

44' 3” BT dan 7° 23' 56” - 7° 33' 41” LS atau sebelah utara antara Paiton dan

Besuki. Hasil tangkapan selama bulan Mei 2004 pada umumnya didominasi oleh

jenis ikan lemuru berjumlah antara 50 kg sampai 5.000 kg (Lampiran 8.a). Data

feedback lokasi penangkapan ikan oleh nelayan selanjutnya digabungkan dengan

ZPPI bulan Mei 2004 (Gambar 16). Masalah yang dihadapi dalam penangkapan

bulan Mei yaitu gelombang besar, angin kencang, dan arah arus sering berubah-

ubah, Masalah ini mengakibatkan jaring banyak yang rusak atau robek.

5.3.2 Hasil tangkapan ikan pada bulan Juni

Penerapan informasi ZPPI dalam kegiatan penangkapan pada bulan Juni

dilaksanakan di perairan Selat Madura pada posisi 113O 38' 20" - 113O 54' 50" BT

dan 7O 23' 57" - 7O 35' 56" LS, dengan hasil tangkapan ikan antara 260 – 4000 kg

dengan jenis ikan lemuru (Lampiran 8.b). Menurut keterangan nelayan saat

melakukan setting terjadi gelombang besar dan arus serta angin kencang sehingga

tidak bisa tebar jaring. Data feedback lokasi penangkapan ikan oleh nelayan

selanjutnya digabungkan dengan ZPPI bulan Juni 2004 (Gambar 17).

5.3.3 Hasil tangkapan ikan pada bulan Juli

Hasil pengolahan citra yang digunakan untuk uji coba bulan Juli 2003

menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 26 ZPPI, menyebar mulai dari Laut Jawa,

Selat Madura hingga Laut Bali, sedangkan nelayan melakukan operasi

penangkapan hanya pada 3 zona di Selat Madura. Dari penggabungan antara data

informasi ZPPI dengan operasi penangkapan ikan oleh nelayan, hanya ada 1 (satu)

zona yang sama, yaitu pada koordinat 113o 25’ – 113o 30’ BT dan 7o 30’ – 7o 35’

LS dengan jumlah hasil tangkapan cukup tinggi berupa ikan lemuru (Lampiran

8.c). Integrasi feedback kegiatan penangkapan ikan dengan ZPPI seperti

ditunjukkan pada Gambar 18.

Page 103: Hasyim, Bidawi - 2009

76

Penangkapan ikan pada bulan Juli 2004 dilakukan pada minggu kedua,

minggu ketiga dan minggu keempat, dengan hasil tangkapan sangat rendah. Dari

10 kegiatan penangkapan hanya 1 kali operasi yang mendapatkan hasil tangkapan

ikan. Rendahnya hasil tangkapan disebabkan karena kondisi gelombang besar,

arus dan angin kencang sehingga tidak memungkinkan untuk menebar jaring,

walaupun pada alat fishfinder menunjukkan banyak ikan. Kegiatan penangkapan

ikan hanya dilakukan tanggal 28 Juli 2004 pada posisi 113O 40' 45" BT dan 7O 29'

35" dengan tangkapan berupa lemuru sebanyak 200 kg (Lampiran 8.d). Di

samping itu jenis perahu dan alat tangkap nelayan kurang mendukung sehingga

menyulitkan dalam operasi penangkapan. Hasil integrasi data penangkapan

berdasarkan feedback dari nelayan dengan ZPPI menunjukkan distribusi potensi

ikan menyebar di perairan Selat Madura dan Laut Jawa. Zona penangkapan ikan

dari data feedback terkonsentrasi di sebelah utara Besuki pada koordinat 113° 36'

38” - 113° 42' 47” BT dan 7° 29' 5” - 7° 31' 0” LS, juga di utara Pondok Mimbo

pada jarak ± 13 mil dari garis pantai (Gambar 19).

5.3.4 Hasil tangkapan ikan pada bulan Agustus

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan untuk bulan Agustus 2003

dilakukan pada 5 (lima) ZPPI dari 19 ZPPI. Data feedback menunjukkan bahwa

kegiatan penangkapan ikan dilakukan di perairan selat Madura dengan jenis hasil

tangkapan berupa ikan lemuru (Lampiran 8.e). Penggabungan kedua data tersebut

menunjukkan bahwa ada 2 (dua) lokasi yang sama antara ZPPI dengan kegiatan

penangkapan ikan dengan hasil cukup tinggi (Gambar 20).

5.3.5 Hasil tangkapan ikan pada bulan September

Kegiatan uji coba penangkapan ikan bulan September di perairan Selat

Madura dilakukan di sebelah utara Besuki dan Tanjung Pecinan. Ikan hasil

tangkapan nelayan dari tanggal 6-9 September 2004 adalah jenis lemuru dengan

jumlah 700 – 1,500 kg (Lampiran 8.f). Integrasi ZPPI bulan September 2004

dengan hasil pelaksanaan operasi penangkapan ikan seperti pada Gambar 21.

Page 104: Hasyim, Bidawi - 2009

77

5.3.6 Hasil tangkapan ikan pada bulan Oktober

Berdasarkan data feedback dari nelayan bahwa kegiatan penangkapan pada

bulan Oktober 2003 dilakukan pada 9 lokasi dalam selang koordinat posisi 113O

26' 37" - 114O 7' 42" BT dan 7O 25' 58" - 7O 36' 24" LS, ikan yang diperoleh

umumnya lemuru, layang, tongkol, kembung, dan selar (Lampiran 8.g), Integrasi

antara ZPPI bulan Oktober 2003 dengan kegiatan penangkapan ikan pada bulan

Oktober 2003 sebagaimana Gambar 22.

Uji coba penangkapan untuk periode bulan Oktober (musim peralihan

kedua), dilakukan oleh nelayan dari PPI Besuki pada bulan Oktober 2005 pada 13

lokasi penangkapan ikan, Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah lemuru,

selar, layang dan tongkol (Lampiran 8.h). Integrasi antara ZPPI bulan Oktober

2005 dengan pelaksanaan penangkapan ikan ditunjukkan seperti Gambar 23.

5.3.7 Hasil tangkapan ikan pada bulan November

Uji coba penerapan informasi spasial dalam penangkapan ikan untuk

periode November dilakukan sebanyak 2 (dua) kali yaitu November 2003 dan

November 2005. Kegiatan penangkapan ikan pada bulan November 2003 dengan

hasil tangkapan mencapai 800 – 900 kg berupa ikan lemuru dan cakalang

(Lampiran 8.i). Berdasarkan informasi nelayan setempat, perairan Selat Madura

pada 1-18 November 2003 mengalami angin kencang dan gelombang tinggi,

sehingga sangat sulit untuk menebar jaring. Integrasi antara ZPPI bulan November

2003 dengan hasil tangkapan ikan sebagaimana dinyatakan pada Gambar 24.

Kegiatan uji coba penerapan ZPPI dalam penangkapan ikan di perairan Selat

Madura pada tanggal 10-29 November 2005 dilakukan dalam selang koordinat

113O 30' 57" - 114O 7' 35" BT dan 7O 24' 13" - 7O 33' 53" LS, dengan hasil

tangkapan adalah ikan tongkol, layang dan selar (Lampiran 8.j). Integrasi ZPPI

dengan operasi penangkapan pada bulan November 2005 seperti Gambar 25.

Page 105: Hasyim, Bidawi - 2009

78

Gambar 16 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan feedback

hasil penangkapan pada bulan Mei tahun 2004.

Gambar 17 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data

feedback hasil penangkapan pada bulan Juni tahun 2004.

Page 106: Hasyim, Bidawi - 2009

79

Gambar 18 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan

pada bulan Juli tahun 2003.

Gambar 19 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan pada

bulan Juli tahun 2004.

Page 107: Hasyim, Bidawi - 2009

80

Gambar 20 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan

pada bulan Agustus tahun 2003.

Gambar 21 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan

pada bulan September tahun 2004.

Page 108: Hasyim, Bidawi - 2009

81

Gambar 22 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan

pada bulan Oktober 2003.

Gambar 23 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan

pada bulan Oktober tahun 2005.

Page 109: Hasyim, Bidawi - 2009

82

Gambar 24 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan pada

bulan Nopember tahun 2003.

Gambar 25 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan pada

bulan Nopember 2005.

Page 110: Hasyim, Bidawi - 2009

83

5.4 Pengaturan Alokasi Perahu Motor

5.4.1 Distribusi perahu motor pada masing-masing PPI

Perahu motor di seluruh Situbondo berjumlah 1.644 unit, distribusi jumlah

dan ukuran perahu motor pada setiap PPI (Tabel 9) tidak sama dan tidak seimbang

dengan zona penangkapan yang harus diakses. Perahu motor dengan ukuran

dibawah 5 GT yang hanya bisa melakukan penangkapan di perairan pantai

jumlahnya hanya ada 7, sementara yang berukuran antara 5 – 10 GT berjumlah

681 unit dan terbanyak ada di PPI Pondok Mimbo. Perahu motor berukuran 10 –

20 GT yang melakukan penangkapan pada zona perairan 10 – 20 km berjumlah

624 unit dan terbanyak berpangkalan di PPI Tanjung Pecinan. Perahu motor

dengan ukuran diatas 20 GT hanya terdapat di PPI Besuki dan Tanjung Pecinan,

sedangkan PPI Pondok Mimbo yang mempunyai zona paling luas dan sebaran

ZPPI tinggi tidak mempunyai perahu motor ukuran di atas 20 GT.

Tabel 9 Distribusi jumlah dan ukuran perahu motor pada masing-masing PPI di

wilayah Kabupaten Situbondo.

Jumlah Perahu Layar dan Perahu Motor Tiap Zona No. Nama PPI Perahu Perahu Motor (GT) Jumlah Layar <5 5 – 10 10 – 20 >20 1 Besuki 252 5 267 21 249 794 2 Tanjung Pecinan 468 - 102 394 183 1.147 3 Pondok Mimbo 163 2 312 109 - 586

7 681 524 432 Jumlah 883 1.644 2.527

Distribusi jumlah dan ukuran perahu layar dan perahu motor menunjukkan

ketidak seimbangan antara PPI Besuki, Tanjung Pecinan dan Pondok Mimbo

(Gambar 26). PPI Besuki yang berada di sisi paling barat dari wilayah Situbondo

mempunyai perahu motor berukuran diatas 20 GT paling banyak. Hasil survei

lapangan menunjukkan bahwa perahu motor motor dari PPI Besuki, banyak

melakukan penangkapan di utara Pondok Mimbo. Kondisi ini menunjukkan

bahwa operasi penangkapan menjadi tidak efisien karena perahu motor harus

menempuh jarak yang cukup jauh. Perahu motor di PPI Tanjung Pecinan akan

mendominasi wilayah penangkapan dalam zona 12 mil, karena perahu motor yang

Page 111: Hasyim, Bidawi - 2009

84

ada didominasi ukuran 10 – 20 GT. Karena zona PPI Tanjung Pecinan paling

sempit maka membuka peluang terjadinya konflik perebutan lokasi penangkapan,

baik antara nelayan yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT, juga antara

nelayan yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT dengan nelayan yang

menggunakan perahu motor di atas 20 GT yang seharusnya melakukan

penangkapan pada zona di atas 12 mil.

Nelayan Pondok Mimbo kalah bersaing dari nelayan Besuki dan Tanjung

Pecinan. Karena perahu motor yang dipergunakan dominan berukuran 5 – 10 GT

maka nelayan Pondok mimbo hanya mampu melakukan penangkapan antara 5 –

10 mil, dan berpeluang konflik dengan nelayan yang menggunakan perahu motor

berukuran 10 – 20 GT yang juga melakukan penangkapan pada zona yang sama.

Kemungkinan konflik semakin tinggi akibat perluasan penangkapan oleh nelayan

dari PPI Tanjung Pecinan dan Besuki.

5 0 2

267

102

312

21

394

109

249

183

00

50

100

150

200

250

300

350

400

450

Besuki T. Pecinan P. Mimbo

Nama PPI dan Ukuran Perahu Motor

Jum

lah

Per

hu M

otor

<5 GT5-10 GT10-20 GT>20 GT

Gambar 26 Perbandingan jumlah perahu motor masing-masing ukuran pada PPI

Besuki, Tanjung Pecinan dan Pondok Mimbo.

5.4.2 Pengaturan berdasarkan zona dalam bentuk lingkaran

Berdasarkan data jumlah perahu motor pada masing-masing kategori ukuran

di PPI Besuki sebagaimana Tabel 9 di atas, dapat dilakukan perhitungan luas

alokasi zona penangkapan per unit perahu motor menggunakan persamaan 5,

sebagaimana dinyatakan dalam Tabel 10 berikut.

Page 112: Hasyim, Bidawi - 2009

85

Tabel 10 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu

layar/motor di PPI Besuki

No.

Zona Penangkapan

(km)

Ukuran Perahu/ Kapal Motor

(GT)

Luas Area (km2)

Luas zona Penangkapan per Perahu/Kapal Motor

(km2/unit) 1 0 – 4 < 5 37,39 0,15 2 4 – 10 5 - 10 165,44 0,62 3 10 - 20 10 - 20 414,15 19,72

Luas alokasi zona penangkapan per unit perahu motor di PPI Tanjung

Pecinan diperoleh dengan menggunakan persamaan 5 dan Tabel 9 di atas, dan

diperoleh hasil perhitungan sebagaimana dinyatakan pada Tabel 11.

Tabel 11 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu

layar/motor di PPI Tanjung Pecinan

No.

Zona Penangkapan

(km)

Ukuran Perahu/ Kapal Motor

(GT)

Luas Area (km2)

Luas zona Penangkapan per Perahu/Kapal Motor

(km2/unit) 1 0 – 4 < 5 23,21 0.05 2 4 – 10 5 - 10 174,13 1.71 3 10 - 20 10 - 20 568,25 1,44

Luas alokasi setiap ring/zona penangkapan ikan berdasarkan zona

penangkapan dan kategori perahu motor (Tabel 9 di atas) di PPI Pondok Mimbo

yang dihitung berdasarkan persamaan 5, selanjutnya dilakukan perhitungan rata-

rata alokasi luas penangkapan per unit perahu motor seluruh Situbondo yaitu luas

zona masing-masing zona dibagi jumlah perahu motor untuk kategori yang

melakukan penangkapan pada zona yang bersangkutan dengan hasil sebagaimana

Tabel 12 dan Tabel 13 berikut, serta pada Lampiran 9.

Tabel 12 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu

layar/motor dan zona penangkapan di PPI Pondok Mimbo

No.

Zona Penangkapan

(km)

Ukuran Perahu/ Kapal Motor

(GT)

Luas Area (km2)

Luas zona Penangkapan per Perahu/Kapal Motor

(km2/unit) 1 0 – 4 < 5 30,59 0.19 2 4 – 10 5 - 10 120,27 0,39 3 10 - 20 10 - 20 449,76 4,13

Page 113: Hasyim, Bidawi - 2009

86

Tabel 13 Luas zona penangkapan per perahu/kapal motor (km2/unit) untuk

masing-masing PPI dan seluruh Situbondo

Luas zona Penangkapan per Perahu/Kapal Motor (km2/unit) No

Zona Penangkapan

(km) Besuki Tanjung Pecinan

Pondok Mimbo Rata-rata

1 0 – 4 0,15 0.05 0.19 0,10 2 4 – 10 0,62 1.71 0,39 0,68 3 10 - 20 19,72 1,44 4,13 2,73

5.4.3 Pengaturan berdasarkan zona dalam jarak sejajar garis pantai

Dengan memperhatikan ukuran dan jarak jangkau perahu/kapal motor,

dibuat zona sejajar garis pantai dengan jarak yang berbeda-beda. Zona pertama

dengan garis terluar berjarak 4 km dari garis pantai, zona kedua berjarak antara 4

km sampai 10 km dari garis pantai, zona ketiga berjarak antara 10 km sampai

dengan 20 km dari garis pantai, zona keempat berjarak di atas 20 km dari garis

pantai (Gambar 18). Zona pertama dengan jarak maksimum 4 km dari garis pantai

dialokasikan untuk perahu motor dengan ukuran dibawah 5 GT . Perahu motor

dengan ukuran 5 – 10 GT dialokasikan pada zona penangkapan antara 4 – 10 km,

perahu motor dengan ukuran antara 10 – 20 GT dialokasikan zona penangkapan

antara 10 - 20 km dari garis pantai, diharapkan dapat melakukan penangkapan

antara 2 – 3 hari per trip. Perahu motor dengan ukuran lebih dari 20 GT diarahkan

melakukan penangkapan pada zona di atas 20 km sejajar garis pantai, diharapkan

dapat melakukan penangkapan beberapa hari per trip. Berdasarkan batas masing-

masing zona tersebut, dihitung luas masing-masing zona yang dialokasikan untuk

masing-masing kelompok ukuran perahu motor (Tabel 14).

Tabel 14 Luas zona penangkapan sejajar garis pantai masing-masing kategori

perahu/kapal motor pada setiap PPI

Luas Masing-Masing Zona (km2) No Zona PPI < 4 km 4 – 10 km 10 – 20 km 1 Besuki 182,06 261,60 416,90 2 Tanjung Pecinan 150,70 193,82 298,44 3 Pondok Mimbo 258,41 427,66 829,66

Jumlah luas 591,17 883,08 1.545,00

Page 114: Hasyim, Bidawi - 2009

87

Dengan asumsi bahwa perahu layar melakukan penangkapan pada perairan

pantai dalam zona di bawah 4 km bekerjasama dengan perahu motor dibawah 5

GT, sedangkan perahu motor di atas 20 GT melakukan penangkapan di luar zona

20 km. Dengan dasar kategori tersebut, dibuat perhitungan luas area penangkapan

untuk setiap perahu layar dan perahu motor untuk masing-masing ukuran pada

setiap zona penangkapan berdasarkan persamaan 6, dengan hasil perhitungan

sebagaimana dinyatakan pada Tabel 15 dan Lampiran 10.

Tabel 15 Luas zona sejajar garis pantai untuk alokasi per unit perahu/kapal motor

masing-masing untuk PPI Besuki, Tanjung Pecinan, dan Pondok

Mimbo, dan rata-rata untuk seluruh Situbondo

Luas zona Penangkapan per Perahu/Kapal Motor (km2/unit) No

Zona Penangkapan

(km) PPI Besuki PPI Tanjung Pecinan

PPI Pondok Mimbo Rata-rata

1 0 - 4 0,71 0,32 1,57 0,66 2 4 - 10 0,98 1,90 1,37 1,30 3 10 - 20 19,85 0,76 7,51 2,95

5.5 ZPPI di Selat Madura dan Sekitarnya

Penyediaan informasi spasial ZPPI yang diperoleh berdasarkan data dari

satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR didukung dengan data kandungan

Klorofil-a dari satelit SeaWiFS atau Modis secara rutin harian atau mingguan

sering mengahadapi kendala tingginya liputan awan, sehingga sulit untuk

menentukan lokasi yang potensial untuk penangkapan. Masalah penyediaan data

yang disebabkan oleh liputan awan tersebut, menghambat penyediaan informasi

spasial ZPPI secara rutin kepada pengguna baik melalui Dinas Kelautan dan

Perikanan, KUD, atau pemilik perahu motor. Dengan memperhatikan masalah

dalam penyediaan informasi spasial tersebut, dikembangkan informasi spasial

ZPPI bulanan. Informasi spasial ZPPI bulanan mencakup wilayah perairan laut

Selat Madura, Selat Bali, Laut Bali dan Laut Jawa bagian selatan (di utara Pulau

Madura sampai Kangean). Wilayah perairan laut yang tercakup dalam ZPPI

bulanan ini disebut sebagai wilayah penelitian 2, yang dibatasi oleh koordinat

112° 30’ BT - 116° 00’ BT dan 6° 00’ LS - 8° 30’ LS. (Gambar 27 - 38).

Page 115: Hasyim, Bidawi - 2009

88

Gambar 27 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada

bulan Desember.

Gambar 28 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada

bulan Januari

Page 116: Hasyim, Bidawi - 2009

89

Gambar 29 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya

pada bulan Februari

Gambar 30 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya

pada bulan Maret.

Page 117: Hasyim, Bidawi - 2009

90

Gambar 31 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya

pada bulan April.

Gambar 32 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya

pada bulan Mei.

Page 118: Hasyim, Bidawi - 2009

91

Gambar 33 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada

bulan Juni.

Gambar 34 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada

bulan Juli.

Page 119: Hasyim, Bidawi - 2009

92

Gambar 35 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada

bulan Agustus.

Gambar 36 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada

bulan September

Page 120: Hasyim, Bidawi - 2009

93

Gambar 37 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada

bulan Oktober.

Gambar 38 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada

bulan November.

Page 121: Hasyim, Bidawi - 2009

94

5.5.1 ZPPI bulanan pada zona PPI Besuki

Pada zona PPI Besuki (zona A), sebaran ZPPI paling tinggi selama musim

angin barat ada pada bulan Desember dengan penyebaran ZPPI pada 113°20’-

113° 50’ BT dan 7° 20’ - 7° 40’ LS, dari sebelah timur laut Probolinggo hingga

timur laut Besuki. Konsentrasi ZPPI paling tinggi pada musim peralihan pertama

terjadi pada bulan April pada perairan di atas 10 km dengan koordinat 113° 20’ -

113° 40’ BT dan 7° 20’ - 7° 40’ LS yaitu mulai utara Pasuruan sampai timur laut

Besuki. Sebaran dan konsentrasi ZPPI paling tinggi selama musim angin timur

ada pada bulan Juli, yaitu pada perairan diatas 10 km dalam koordinat 113° 20’ -

113° 40’ BT dan 7° 20’ - 7° 40’ LS, yaitu utara Pasuruan sampai dengan timur

laut Besuki. Sebaran ZPPI pada perairan di atas 10 km selama musim peralihan

kedua menunjukkan konsentrasi tinggi pada bulan September dan Oktober, serta

dalam zona 10 km pada bulan November mulai dari utara Probolinggo hingga

utara Besuki (Tabel 16).

Tabel 16 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Besuki

Posisi satuan spasial ZPPI Bulan Bujur Timur Lintang Selatan Arah/Posisi dari

PPI Besuki Desember 113°20’ 113° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Timur laut Probolinggo s/d

timur laut Besuki Januari 113° 10’ 113° 50’ 7° 20 7° 40’ Timur laut Probolinggo s/d

utara Besuki Februari 113° 10’ 113° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Dari utara Pajarakan s/d timur

laut Besuki Maret 113° 10’ 113° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Probolinggo s/d barat laut

Tanjung Pecinan April 113° 00’ 113° 40’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Pasuruan s/d timur laut

Besuki Mei 113° 20’ 113° 50’ 7° 10’ 7° 40’ Utara Probolinggo s/d timur

laut Besuki Juni 113° 00’ 114° 00’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Pasuruan s/d timur laut

Besuki Juli 113° 20’ 113° 40’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Pasuruan s/d timur laut

Besuki Agustus 113° 20’ 113° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Probolinggo s/d utara

Besuki September 113° 20’ 113° 50’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Probolinggo s/d timur

laut Besuki Oktober 113° 20’ 13° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Pasuruan s/d timur laut

Besuki November 113° 20’ 113° 40’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Probolinggo s/d utara

Besuki

Page 122: Hasyim, Bidawi - 2009

95

5.5.2 ZPPI bulanan pada zona PPI Tajung Pecinan

Pada zona PPI Tanjung Pecinan (zona B), selama musim angin barat

sebaran ZPPI paling luas terjadi pada bulan Februari dibandingkan bulan

Desember dan Januari, pada selang koordinat 113° 50’ - 114° 10’ BT dan 7° 20’ -

7° 40’ LS, yaitu di perairan utara Tanjung Pecinan. Pada musim peralihan

pertama, perairan ini menunjukkan kondisi yang sama, kecuali pada bulan Mei

karena ZPPI terkonsentrasi di perairan dalam 10 km dari garis pantai. Sebaran

terluas dan konsentrasi tertinggi terjadi selama musim angin timur terjadi pada

bulan Juli, pada musim ini juga terdapat sebaran ZPPI pada zona untuk nelayan

tradisionil. Pada musim peralihan kedua, sebaran ZPPI pada bulan September

sama dengan bulan Oktober tetapi mempunyai pola dan arah penyebaran yang

berbeda. Penyebaran paling sempit terjadi pada bulan November (Tabel 17).

Tabel 17 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Tanjung Pecinan

Posisi satuan spasial ZPPI Bulan Bujur Timur Lintang Selatan Arah/Posisi dari

PPI Tanjung Pecinan Desember 113 o 50’ 114 o 00’ 7 o 20’ 7 o 30’ Barat laut Tanjung Pecinan Januari 114 o 00’ 114 o 10’ 7 o 20’ 7 o 30’ Timur laut Tanjung Pecinan Februari 113° 50’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Tanjung Pecinan Maret 113° 50’ 114° 00’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan April 113° 50’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan Mei 113° 50’ 114° 05’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Tanjung Pecinan Juni 113° 50’ 114° 00’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan Juli 113° 50’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Tanjung Pecinan Agustus 113° 50’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan September 114° 00’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan Oktober 114° 00’ 114° 20’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan November 114° 00’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan

5.5.3 ZPPI bulanan pada zona PPI Pondok Mimbo

Pada zona PPI Pondok Mimbo (zona C), sebaran ZPPI selama musim angin

barat relatif sama, tetapi luas dan konsentrasi ZPPI paling tinggi terjadi pada bulan

Desember. Pada musim peralihan pertama, sebaran konsentrasi ZPPI relatif

sama, tetapi konsentrasi ZPPI terendah terjadi pada bulan Mei. Sebaran dan

konsentrasi ZPPI paling tinggi di perairan sekitar PPI Pondok Mimbo selama

musim angin timur terjadi pada bulan Juli, khususnya di sebelah utara dan

tenggara sampai dengan timur laut Pondok Mimbo. Sebaran konsentrasi ZPPI

Page 123: Hasyim, Bidawi - 2009

96

paling tinggi terjadi di sebelah utara Pondok Mimbo pada bulan September,

sedangkan di sebelah tenggara hingga timur laut terjadi sebaran konsentrasi paling

tinggi pada bulan Oktober dalam koordinat 114° 30’ - 115° 00’ BT dan 7° 20’ -

8° 00’ LS (Tabel 18).

Tabel 18 Posisi ZPPI dalam zona PPI Pondok Mimbo

Posisi satuan spasial ZPPI Bulan Bujur Timur Lintang Selatan Arah/Posisi dari

PPI Pondok Mimbo 114° 10’ 114° 20’ 7° 20’ 7° 30’ Desember 114° 20’ 115° 20’ 7° 20’ 7° 50’

Utara, timur ke timur laut Pondok Mimbo – Laut Bali bagian barat.

114° 10’ 114° 40’ 7° 20’ 4° 40’ Januari 114° 50’ 115° 00’ 7° 10’ 8° 00’

Utara - timur , tenggara - timur laut Pondok Mimbo.

Februari 114° 10’ 114° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Utara - timur laut P. Mimbo 114° 20’ 114° 40’ 7° 20’ 4° 40’ Maret 114° 40’ 115° 10’ 7° 20’ 8° 00’

Timur laut, tenggara sampai timur laut Pondok Mimbo.

114° 20’ 114° 40’ 7° 20’ 7° 40’ 114° 30’ 114° 50’ 7° 40’ 8° 00’

April

114° 50’ 115° 20’ 7° 30’ 7° 50’

Utara - timur laut, tenggara - timur laut, dan timur sampai timur laut Pondok Mimbo.

Mei 114° 10’ 114° 30’ 7° 20’ 7° 40’ 114° 30’ 115° 00’ 7° 20’ 8° 00’

Utara, dan tenggara sampai timur laut Pondok Mimbo.

114° 10’ 114° 50’ 7° 20’ 7° 30’ Juni 114° 30’ 115° 00’ 7° 40’ 8° 00’

Utara - timur laut, dan tenggara sampai timur Pondok Mimbo.

114° 10’ 114° 30’ 7° 20’ 7° 40’ Juli 114° 30’ 115° 10’ 7° 20’ 8° 00’

Utara, dan tenggara sampai timur laut Pondok Mimbo.

114° 10’ 114° 20’ 7° 20’ 7° 30’ Agustus 114° 30’ 115° 10’ 7° 20’ 8° 00’

Utara -b Laut, dan tenggara - timur laut Pondok Mimbo.

114° 10’ 114° 30’ 7° 20’ 7° 40’ September 114° 40’ 115° 00’ 7° 30 7° 50’

Utara, dan sebelah tenggara - timur Pondok Mimbo.

114° 10’ 114° 20’ 7° 20’ 7° 40’ Oktober 114° 30’ 115° 00’ 7° 20’ 8° 00’

Utara, dan sebelah tenggara - timur laut Pondok Mimbo.

November 114° 10’ 115° 00’ 7° 20’ 7° 70’ Barat laut – timur laut, tenggara - timur P. Mimbo.

5.5.4 ZPPI bulanan pada peraian sekitar Selat Madura

Pada awal musim barat yaitu bulan Desember, ZPPI terdapat di utara pulau

Bali, menyebar sampai ke perairan antara pulau Raas dan pulau Kangean.

Demikian juga di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura, terdapat

sebaran ZPPI di perairan antara utara Sumenep dengan pulau Kangean.

Konsentrasi ZPPI sekitar Selat Madura pada bulan Januari terdapat di perairan

Laut Jawa antara utara Bangkalan dan Sumenep. Sebaran ZPPI pada bulan

Page 124: Hasyim, Bidawi - 2009

97

Februari di perairan Laut Jawa bergeser lebih ke arah timur laut dibandingkan

bulan sebelumnya, tersebar antara utara Bangkalan sampai timur laut Kangean.

Pada awal musim peralihan pertama yaitu bulan Maret, ZPPI tersebar di

perairan Laut Jawa sebelah utara Kepulauan Madura, terkonsentrasi dalam antara

utara Bangkalan sampai barat laut Kangean. ZPPI pada bulan April di perairan

Laut Jawa, tersebar sebelah utara Pulau Madura terkonsentrasi dalam selang

antara utara Sokabana sampai Pasongsongan, serta antara Karanglanggar sampai

barat laut pulau Kangean. Sebaran ZPPI pada bulan Mei, tersebar mulai sebelah

selatan pulau Raas sampai ke sebelah selatan Kangean, di perairan sebelah utara

Pulau Madura terdapat mulai utara Sokabana sampai Karanglanggar.

Sebaran ZPPI pada awal musim timur yaitu bulan Juni, berada di perairan

Laut Jawa sebelah utara pulau Madura mengalami pergeseran ke sebelah barat,

menyebar mulai dari sebelah utara Bangkalan sampai ke sebelah utara pulau

Kangean dan Sumenep, terkonsentrasi antara utara Sokabana sampai Karang-

langgar. Sebaran ZPPI pada bulan Juli tidak banyak mengalami perubahan

dibandingkan bulan Juni. Penyebaran ZPPI di Selat Madura bersambung ke

perairan di Laut Bali sebelah utara sampai ke bagian timur Laut Bali. Sebaran

ZPPI di perairan sebelah utara Pulau Madura terdapat di perairan sekitar Sokabana

sampai Pasongsongan dan sebelah utara Karanglanggar. Sebaran ZPPI pada bulan

Agustus di perairan sebelah utara Pulau Madura mengalami penurunan

dibandingkan sebelumnya. ZPPI terdapat di perairan utara Sokabana, sebelah

utara Pasongsongan, sebelah utara Karanglanggar, serta beberapa ZPPI yang

menyebar mulai sebelah timur laut pulau Raas sampai Kangean.

Pada awal musim peralihan kedua yaitu bulan September, sebaran ZPPI di

perairan sebelah utara Pulau Madura juga mengalami penurunan. ZPPI terdapat di

perairan utara Pasongsongan, sebelah utara Karanglanggar, serta di sebelah utara

Pulau Sepudi. Terdapat sebaran ZPPI antara sebelah utara pulau Raas sampai

timur laut Kangean. Sebaran ZPPI pada bulan Oktober, terdapat di perairan laut

sebelah utara Pulau Madura, terdapat di perairan utara Sokabana sampai

Pasongsongan, juga terdapat ZPPI di sebelah utara pulau Sepudi. Pada bulan

November, konsentrasi ZPPI di perairan laut sebelah utara Pulau Madura terdapat

di perairan sebelah utara Sokabana, Pasongsongan, dan pulau Sepudi (Tabel 19).

Page 125: Hasyim, Bidawi - 2009

98

Tabel 19 Posisi ZPPI bulanan di Perairan Sekitar Selat Madura

Posisi satuan spasial ZPPI Bulan Bujur Timur Lintang Selatan Arah/Posisi dari

PPI Terdekat 1130 00’ 1130 20’ 60 20’ 60 40’ Sokabana 1130 20’ 1130 50’ 60 10’ 60 30’ Pasongsongan 1140 00’ 1140 10’ 60 20’ 60 50’ Karanglanggar 1140 20’ 1140 30’ 60 20’ 60 50’ Pulau Sapudi

Desember

1140 40’ 1140 50’ 60 20’ 60 50’ Pulau Raas 1130 20’ 1130 30’ 60 00’ 60 20’ Sokabana 1130 30’ 1130 50’ 60 30’ 60 50’ Pasongsongan 1130 50’ 1140 20’ 60 30’ 60 50’ Karanglanggar

Januari

114040’ 1140 40’ 60 50’ 70 00’ Pulau Raas Februari 1130 00’ 1130 30’ 60 40’ 60 50’ Sokabana

1140 10’ 1140 30’ 60 40’ 60 50’ Pulau Sepudi 1140 30’ 1150 00’ 60 30’ 60 40’ Pulau Raas 1150 10’ 1160 00’ 60 20’ 60 30’ Kangean

1120 50’ 1130 10’ 60 30’ 60 50’ Pasongsongan 1130 20’ 1130 50’ 60 20’ 60 50’ Sokabana 1130 00’ 1140 10’ 60 20’ 70 00’ Karanglanggar 1140 30’ 1150 00’ 60 30’ 60 50’ Pulau Raas

Maret

1150 20’ 1150 40’ 60 30’ 60 50’ Pulau Kangean 1150 00’ 1150 20’ 70 30’ 70 50’ Singaraja 1130 10’ 1130 40’ 60 30’ 60 40’ Sokabana 1130 50’ 1140 10’ 60 20’ 7010 Karanglanggar

April

1140 30’ 1150 10’ 60 20’ 7010 Pulau Raas 1130 10’ 1130 40’ 70 30’ 70 40’ Sokabana 1130 50’ 1140 00’ 60 20’ 60 50’ Pasongsongan 1130 50’ 1140 00’ 60 20’ 60 50’ Sumenep 1140 10’ 1140 30’ 60 30’ 70 00’ Pulau Raas

Mei

1150 10’ 1150 30’ 60 00’ 60 30’ Kalisangka 1130 20’ 1130 40’ 60 20’ 60 40’ Sokabana 1130 50’ 1140 10’ 60 30’ 60 40’ Karanglanggar

Juni

1150 00’ 1150 10’ 60 20’ 60 50’ Kangean 1130 00’ 1130 30’ 60 20’ 60 40’ Sokabana 1130 30’ 1130 50’ 60 20’ 60 40’ Pasongsongan

Juli

1140 00’ 1140 30’ 60 30’ 60 40’ Karanglanggar 1130 20’ 1130 30’ 60 20’ 60 40’ Sokabana 1130 40’ 1130 50’ 60 30’ 60 50’ Pasongsongan 1140 00’ 1140 20’ 60 30’ 60 50’ Karanglanggar

Agustus

1140 40’ 1150 00’ 60 30’ 60 50’ Pulau Raas 1130 30’ 1130 40’ 60 30’ 60 50’ Sokabana 1130 50’ 1140 00’ 60 20’ 60 50’ Pasongsongan

September

1140 20’ 1140 30’ 60 30’ 70 00’ Karanglanggar 1130 00’ 1130 20’ 60 10’ 60 30’ Sokabana 1130 30’ 1130 50’ 60 00’ 60 40’ Pasongsongan

Oktober

1140 10’ 1140 40’ 60 20’ 60 40’ Pulau Sepudi 1130 00’ 1130 20’ 60 10’ 60 40’ Sokabana 1130 20’ 1130 40’ 60 10’ 60 40’ Pasongsongan 1140 10’ 1140 30’ 60 20’ 60 50’ Pulau Sapudi 1140 30’ 1140 50’ 60 20’ 60 40’ Pulau Raas

November

1150 00’ 1150 10’ 60 30’ 60 50’ Pulau Kangean

Page 126: Hasyim, Bidawi - 2009

99

6 PEMBAHASAN

6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian

tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL,

kandungan klorofil-a, angin dan gelombang, serta kedalaman perairan

(bathymetry). Wilayah perairan yang menjadi titik berat bahasan adalah Selat

Madura dan sekitarnya yang meliputi Laut Bali bagian barat, Selat Bali bagian

utara, dan Laut Jawa bagian timur sebelah utara kepulauan Madura. Selat Madura

bagian timur berhadapan langsung dengan perairan Laut Bali bagian barat dan

Selat Bali bagian utara. Selat Madura bagian timur juga dipengaruhi oleh kondisi

perairan Laut Jawa melalui selat-selat sempit di antara Pulau Madura dengan

Pulau Sepudi, Pulau Raas dan Pulau Kangean, serta perairan yang terbuka di

sebelah timur Pulau Kangean. Sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a yang

berubah-ubah menyebabkan perubahan lokasi dan waktu terjadinya thermal front

yang merupakan indikator utama dalam penentuan ZPPI. Selat Madura termasuk

dalam kategori perairan dangkal dan semi tertutup sehingga perbedaan suhu baik

secara horizontal pada kawasan yang agak luas maupun vertikal sampai

kedalaman tertentu bahkan dasar perairan tidak terlalu besar. Hal ini dibuktikan

dengan pengukuran langsung yang menunjukkan bahwa kisaran suhu di Selat

Madura mendatar 26,5 – 30o C (Bintoro, 2005).

Selama ini sudah menjadi istilah umum bahwa musim barat adalah “neraka”

bagi kegiatan penangkapan ikan, namun Selat Madura berada dalam kondisi yang

sebaliknya. Angin yang datang dari arah barat dan barat laut terhalang oleh

dataran kabupaten Surabaya dan Gresik di Pulau Jawa serta kabupaten Bangkalan

di Pulau Madura, sehingga Selat Madura berada dalam kondisi tenang dan sangat

kondusif bagi kegiatan penangkapan ikan. Karena posisi geografisnya maka

perairan Selat Madura tidak banyak dipengaruhi oleh angin yang datang dari arah

selatan dan barat daya karena terhalang oleh pegunungan dan dataran tinggi di

bagian tengah yang terdapat di Jawa Timur (Pegunungan Semeru, Bromo,

Argopuro dan Raung). Angin yang datang dari arah utara terhalang oleh daratan

Formatted: Swedish (Sweden)

Page 127: Hasyim, Bidawi - 2009

100

Pulau Madura, sedangkan yang datang dari arah timur laut pengaruhnya menjadi

berkurang karena terhalang oleh dataran kepulauan di sebelah timur Pulau Madura

(Sumenep, Raas, Sepudi dan Kangean). Angin yang besar pengaruhnya terhadap

Selat Madura datang dari arah timur, berlangsung pada periode mulai dari bulan

Juni hingga September. Gelombang di Selat Madura pada musim timur lebih

tinggi dari gelombang pada periode waktu lainnya (Santos, 2005). Tinggi

gelombang di selat ini sangat tergantung pada perbedaan tekanan udara dan jarak

tempuh angin (Nontji, 2002). Kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura bagian

timur terutama antara timur laut sampai tenggara Pondok Mimbo selama musim

angin dari timur mengalami hambatan paling tinggi. Sedangkan angin dari arah

tenggara yang kecepatannya dapat mencapai di atas 17 knot, terhalang oleh

pegunungan antara Situbondo dan Banyuwangi serta daratan dan pegunungan di

Pulau Bali sehingga pengaruhnya bagi Selat Madura menjadi sangat berkurang.

6.1.1 SPL, klorofil-a, angin, gelombang, dan arus

Kondisi oseanografi pada bulan Desember yang merupakan awal musim

barat tergolong sangat baik untuk kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura.

Pada bulan tersebut thermal front terjadi pada pertemuan antara massa air dalam

kisaran SPL 26o - 30o C. Kandungan klorofil dalam kisaran 0,1 – 0,8 mg/m3,

angin dominan dari arah barat dengan kecepatan maksimum 7 – 10 knot dan

tinggi gelombang rata-rata kurang dari 0,5 m. Kondisi umum tersebut sesuai

dengan hasil pengamatan lapangan pada bulan Desember 2003 pada beberapa

stasiun di Oyong (sebelah tenggara Sampang), bahwa suhu permukaan dalam

kisaran 27,0o – 27,5o C. Arus laut mayoritas dari arah barat dan kadang-kadang

dari utara dengan kecepatan maksimum 0,18 m/detik dan rata-rata 0,08 m/detik

(Santos, 2005). Kisaran SPL tersebut juga masih sesuai dengan hasil pengukuran

suhu permukaan laut pada kawasan yang dangkal di bagian barat menunjukkan

kisaran 28,0o – 28,82o C (Bintoro, 2002). Kondisi lingkungan Selat Madura

bagian timur dengan SPL yang memungkinkan adanya thermal front dan

kandungan klorofil-a dalam kisaran tersebut sesuai untuk habitat ikan pelagis

kecil, seperti layang dan kembung (Widodo, 2003). Kondisi oseanografi Selat

Madura selama bulan Desember tersebut sangat menguntungkan bagi kegiatan

Page 128: Hasyim, Bidawi - 2009

101

penangkapan ikan, sebaliknya Laut Jawa sangat diperngaruhi oleh angin dari arah

barat sehingga menghambat kegiatan penangkapan ikan.

Sebaran SPL pada bulan Januari mengalami peningkatan dari sebelumnya

sehingga thermal front terjadi dalam kisaran 28o - 30o C. Kenaikan suhu dalam

periode tersebut yang dihitung berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR ini

sejalan dengan hasil pengamatan lapangan yang menunjukkan nilai kisaran suhu

28,5o – 29,0o C. Sebagaimana bulan sebelumnya, arus air laut mayoritas dari arah

barat dan kadang-kadang dari utara dengan kecepatan maksimum 0,19 m/detik

dan kecepatan rata-rata 0,07 m/detik (Santos, 2005). Hasil perolehan SPL dan

pengukuran suhu tersebut juga sesuai dengan hasil pengukuran oleh Bintoro

(2002) bahwa suhu di permukaan berada pada kisaran 28,5o – 28,88o C.

Kandungan khlorofil-a secara umum berada dalam kisaran 0,1 – 0,8 mg/m3.

Angin yang dominan datang dari arah barat dan barat laut tidak banyak

mempengaruhi Selat Madura sehingga sangat memungkinkan bagi nelayan

Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan dengan penuh selama bulan

Januari. Sebaliknya, kondisi angin dan gelombang di Laut Jawa dan Laut Flores

masih seperti bulan sebelumnya sehingga menimbulkan kesulitan bagi kegiatan

penangkapan ikan.

Sebaran SPL Selat Madura berdasarkan data NOAA-AVHRR pada bulan

Februari yang merupakan akhir musim barat mengalami perubahan dibandingkan

bulan Januari. Suhu terendah mengalami penurunan dari 28o C menjadi 27o C,

sedangkan suhu tertinggi mengalami peningkatan dari 30o C menjadi 31o C,

sehingga Thermal front terjadi dalam kisaran SPL 27o – 31o C. Nilai kisaran SPL

hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR ini sesuai dengan

hasil pengukuran lapangan di stasiun Oyong Sampang yang menunjukkan suhu

dalam kisaran 28,5o – 29,0o C, dengan arus air laut mayoritas dari arah timur dan

kadang-kadang dari utara dan selatan dengan kecepatan maksimum 0,19 m/detik

dan rata-rata dengan kecepatan 0,07 m/detik (Santos, 2005). Hasil pengukuran di

beberapa stasiun pengamatan menunjukkan bahwa suhu permukaan berada pada

kisaran 28,0o – 29,0o C (Bintoro, 2002). Konsentrasi klorofil-a yang berada pada

kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3 menunjukkan kesuburan perairan Selat Madura lebih

tinggi dibandingkan di perairan Laut Jawa dan Laut Bali dengan kandungan

Page 129: Hasyim, Bidawi - 2009

102

klorofil-a yang lebih rendah yaitu 0,2 – 0,4 mg/m3. Kecepatan angin dan

ketinggian gelombang yang dominan datang dari arah barat dan barat laut,

memberikan kemungkinan bagi nelayan Situbondo untuk melakukan kegiatan

penangkapan ikan di Selat Madura selama bulan Februari.

Kondisi oseanografi di perairan Selat Madura pada bulan Maret yang

merupakan bulan pertama musim peralihan pertama, mengalami perubahan

dibandingkan bulan terahir musim barat. Thermal front terjadi pada pertemuan

antara massa air dalam kisaran SPL 28 o - 32o C. Konsentrasi klorofil-a di Selat

Madura mengalami peningkatan terutama mulai dari bagian tengah hingga bagian

timur dengan kisaran 0,4 – 1,0 mg/m3. Kisaran SPL berdasarkan data NOAA-

AVHRR berkorelasi dengan hasil pengukuran suhu lapangan pada bulan Maret

2003 di beberapa stasiun Oyong yang berada dalam kisaran 28,0o – 28,5o C

(Santos, 2005), sementara hasil pengukuran oleh Bintoro (2002) diketahui bahwa

suhu permukaan dalam kisaran 28,0o – 29,0o C. Di sisi lain, hasil pengukuran

klorofil-a di perairan Selat Bali yang dilakukan pada bulan yang sama tahun 1975,

menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu 0,13 – 0,40 mg/m3 (Ilahude, 1978). Thermal

front di Laut Jawa terjadi pada pertemuan massa air yang berada dalam kisaran

suhu lebih tinggi, demikian juga konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali

mengalami sedikit peningkatan dibandingkan pada akhir musim barat yaitu pada

kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di perairan Laut Jawa bagian timur

khususnya antara Pulau Raas dan Pulau Kangean didominasi oleh kisaran 0,4 –

1,0 mg/m3. Kecepatan dan ketinggian angin dominan di Selat Madura yang datang

dari barat dan barat laut memberi peluang bagi nelayan Situbondo untuk

melakukan penangkapan ikan, sebaliknya angin di Laut Jawa yang datang dari

arah utara dan barat sangat menghambat kegiatan penangkapan ikan di Laut Jawa

bagian timur sebelah utara Kepulauan Madura.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan April yang merupakan bulan

kedua musim peralihan pertama, menunjukkan keadaan yang bervariasi. SPL

beberapa lokasi di perairan Selat Madura berada dalam kisaran 27o – 29o C,

lokasi-lokasi lainnya mempunyai kisaran lebih tinggi yaitu 30o – 32o C. Nilai

kisaran SPL hasil perhitungan menggunakan data NOAA-AVHRR ini sesuai

dengan hasil pengukuran lapangan pada beberapa stasiun di selatan Sampang

Page 130: Hasyim, Bidawi - 2009

103

yaitu dalam kisaran 29,5o – 30,0o C (Santos, 2005), sedang di beberapa lokasi

lainnya berada dalam kisaran 28,0o – 29,0o C (Bintoro, 2002). Hasil pengamatan

SPL berdasarkan data NOAA-AVHRR yang menunjukkan suhu tinggi sejalan

dengan penelitian Sulistya (2007), yang menyatakan bahwa suhu tertinggi Laut

Jawa (termasuk Selat Madura) diantaranya terjadi pada bulan April. SPL Selat

Madura umumnya berada pada kisaran lebih rendah dibandingkan di Laut Jawa,

sehingga thermal front di Selat Madura juga terjadi pada suhu lebih tinggi

dibandingkan sebelumnya. Hasil pengamatan SPL di Selat Madura menggunakan

data NOAA-AVHRR sebanding dengan hasil pengukuran suhu di Selat Makassar

dengan kisaran 28,2 – 30,0 o C (Soegiharto, 1976). Konsentrasi klorofil-a di Selat

Madura sedikit mengalami penurunan walaupun beberapa lokasi mengalami

peningkatan, sebaliknya di Pulau Jawa dan Laut Bali sedikit mengalami

peningkatan terutama di perairan timur Pulau Raas dan sekitar Pulau Kangean.

Selat Madura sudah mulai dipengaruhi oleh angin dan gelombang yang berubah-

ubah yaitu dari arah timur, barat dan utara, sedangkan Laut Jawa sudah

dipengaruhi oleh angin dari arah timur, tenggara, dan barat laut. Nelayan

Situbondo dapat melakukan penangkapan ikan selama bulan April karena kondisi

angin dan gelombang mayoritas cukup baik untuk kegiatan penangkapan ikan,

namun nelayan tradisionil atau nelayan dengan perahu/kapal motor ukuran kecil

yang berpangkalan di Pondok Mimbo harus mulai memperhatikan perubahan

angin dan gelombang yang datang dari timur dan tenggara.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Mei yang merupakan akhir

musim peralihan pertama, menunjukkan mulai adanya pengaruh musim timur

yang semakin kuat. Berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR bahwa sebaran SPL

di perairan Selat Madura pada bulan Mei pada kisaran 29o – 31o C, sesuai dengan

hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan suhu dalam kisaran 29,0o – 29,5o C

(Santos, 2005), juga dengan hasil pengukuran suhu rata-rata yaitu 28,36 o C

(Bintoro, 2002). Hasil pengamatan SPL menggunakan data NOAA-AVHRR juga

relatif sama dengan hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan Soegiharto

(1976) bahwa SPL di perairan Selat Madura berada dalam kisaran 29,2 – 30,2 oC,

dengan suhu terendah berada di sisi antara timur laut Pondok Mimbo membentang

ke utara sampai perairan selatan Raas dan suhu tertinggi terdapat di sebelah utara

Page 131: Hasyim, Bidawi - 2009

104

Tanjung Pecinan membentang ke utara sampai perairan antara Sumenep dan

Pamekasan (Soegiharto, 1976). Thermal front di perairan Selat Madura berada

dalam kondisi yang sangat subur, ditandai dengan tingginya konsentrasi klorofil-a

yang berada pada kisaran 0,4 – 1,5 mg/m3, lebih tinggi dari perairan Laut Jawa

bagian timur yang berada pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Tingginya konsentrasi

klorofil-a di Selat Madura diduga disebabkan oleh gerakan massa air yang

memiliki kesuburan tinggi dari Selat Bali dan Laut Bali yang didorong oleh angin

dari arah timur dan tenggara. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan bahwa

angin dominan di Selat Madura datang dari arah timur dan selatan, sedangkan

angin di Laut Jawa datang dari arah timur dan tenggara. Karena kecepatan angin

sewaktu-waktu dapat mencapai kecepatan lebih dari 17 knot dan gelombang

diatas 1,5 m, nelayan Situbondo terutama yang berpangkalan di PPI Pondok

Mimbo sudah harus mulai berhati-hati dalam melakukan penangkapan ikan. Hal

ini juga dapat dibuktikan pada saat uji coba penerapan ZPPI di Situbondo pada

bulan Mei, banyak nelayan Pondok Mimbo yang tidak bersedia melakukan

penangkapan, namun nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor 20

GT ke atas masih bersedia melakukan kegiatan penangkapan ikan antara utara

Besuki dan Tanjung Pecinan. Kondisi ini juga didukung oleh hasil pengamatan

gelombang pada stasiun pengamatan Oyong bahwa ketinggian gelombang rata-

rata mulai mengalami peningkatan berada di atas 0,5 meter dibandingkan

sebelumnya berada di bawah 0,5 meter (Santos, 2005).

Kondisi oseanografi perairan Selat Madura pada bulan Juni yang merupakan

awal musim timur, dipengaruhi oleh angin dari arah timur dan tenggara. Thermal

front terjadi pada SPL yang lebih tinggi dari sebelumnya yaitu dalam kisaran 29o

– 31o C. Di sisi lain konsentrasi klorofil-a cukup tinggi yaitu pada kisaran 0,5 –

1,5 mg/m3, lebih tinggi dibandingkan konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut

Bali yang berada pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Nilai kisaran SPL hasil

perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR ini masih sesuai dengan

hasil pengukuran lapangan di perairan selatan Sampang yang menunjukkan suhu

dalam kisaran 28,5o – 29,0o C. Arus laut mempunyai kecepatan maksimum 0,20

m/detik dan kecepatan rata-rata 0,07 m/detik, dengan arah yang berubah-ubah dari

timur, utara dan barat (Santos, 2005). Klorofil-a yang tinggi (0,6 – 3,0 mg/m3)

Page 132: Hasyim, Bidawi - 2009

105

sebagai indikator perairan yang subur juga terdapat di sekitar Kepulauan Kangean

dan sebelah timur pulau Raas. Sejalan dengan datangnya angin dari arah timur dan

selatan yang kadang–kadang mengganggu kegiatan penangkapan ikan karena

kecepatannya dapat mencapai lebih dari 17 knot dengan gelombang mencapai

ketinggian lebih dari 1,5 meter, sehingga cukup menyulitkan penangkapan ikan

oleh nelayan Situbondo terutama dari PPI Pondok Mimbo.

Kondisi oseanogafi di Selat Madura pada bulan Juli khususnya SPL hampir

sama dengan bulan sebelumnya yaitu dalam kisaran 29o – 31o C. Thermal front di

perairan Selat Madura bagian timur terjadi pada pertemuan massa air dengan SPL

dalam selang 29o - 30o C. Suhu hasil pengukuran lapangan menunjukkan

terjadinya penurunan yaitu dalam kisaran 28,0o – 28,5o C. Hasil pengukuran

menujukkan menunjukkan bahwa kecepatan arus laut tidak banyak mengalami

perubahan dibandingkan sebelumnya yaitu maksimum 0,20 m/detik dan rata-rata

0,07 m/detik, dengan arah dominan dari timur (Santos, 2005). Konsentrasi

klorofil-a di perairan Selat Madura lebih tinggi dibandingkan Laut Jawa (0,4 – 1,5

mg/m3) dan perairan bagian utara Selat Bali dan Laut Bali (0,2 – 0,4 mg/m3).

Hasil pengukuran klorofil-a di perairan Selat Bali yang dilakukan pada bulan yang

sama tahun 1973, menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu 0,31 – 2,85 mg/m3

(Ilahude, 1978). Konsentrasi klorofil-a yang tinggi di perairan sebelah timur Pulau

Raas mengalami pergeseran lebih ke arah timur dari bulan sebelumnya. Angin

dari arah timur dan tenggara dengan kecepatan lebih dari 17 knot semakin

mendominasi perairan Selat Madura, dan menimbulkan gelombang dengan

ketinggian lebih dari 1,5 meter. Kecepatan angin dan ketinggian gelombang

selama bulan Juli sangat berpengaruh bagi kegiatan penangkapan ikan di Selat

Madura, sehingga nelayan Situbondo terutama yang berpangkalan di PPI Pondok

Mimbo mayoritas tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Agustus yang merupakan

bulan terakhir musim timur, thermal front terjadi dalam kisaran SPL 28o - 31o C,

sesuai dengan hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan suhu dalam kisaran

27,5o – 28,0o C (Santos, 2005). Pengukuran di stasiun pengamatan Oyong

menunjukkan bahwa arus air mempunyai kecepatan dan arah dominan sama

dengan bulan sebelumnya yaitu kecepatan maksimum 0,20 m/detik dan rata-rata

Page 133: Hasyim, Bidawi - 2009

106

0,07 m/detik, dengan arah dominan dari timur. Kisaran SPL di Selat Madura

berdasarkan satelit NOAA juga masih sesuai dengan hasil pengukuran di lapangan

yang dilakukan pada bulan Agustus tahun 1975 bahwa sebaran mendatar berada

dalam kisaran 28,0 – 28,8o C dengan suhu terendah terdapat di perairan antara

Pondok Mimbo hingga Pulau Raas, sedangkan suhu tertinggi terdapat di perairan

sebelah utara Besuki (Soegiharto A, 1976). Sebaran SPL ini juga masih sesuai

dengan hasil pengamatan oleh Tangdom (2005), yang menyatakan bahwa SPL di

bagian selatan dari Selat Makassar adalah 29o C. Thermal front banyak terjadi di

perairan sebelah timur hingga timur laut Pondok Mimbo dengan konsentrasi

klorofil-a 0,4 – 1,0 mg/m3. Pergerakan massa air dari arah Laut Flores

menyebabkan pengayaan klorofil-a di Laut Jawa (0,4 – 1,5 mg/m3) dan di Laut

Bali (0,3 – 0,5 mg/m3) serta di perairan antara Pulau Raas dan Pulau Kangean (2,0

– 3,0 mg/m3) sehingga menjadi perairan yang potensial untuk penangkapan ikan.

Namun demikian, angin timur yang mencapai kecepatan lebih dari 17 knot dan

gelombang lebih dari 1,5 meter semakin dominan dan menghambat kegiatan

penangkapan ikan terutama di perairan Selat Madura bagian timur. Kondisi ini

diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan bahwa ketinggian gelombang rata-

rata pada bulan Agustus berada dalam kisaran 1,0 - 1,5 meter, sedangkan

gelombang maksimum berada dalam kisaran 2,5 – 3,0 meter (Santos, 2005).

Bulan Agustus merupakan masa yang sulit bagi nelayan Situbondo terutama dari

Pondok Mimbo karena angin yang dominan dari arah timur mempunyai kecepatan

lebih dari 17 knot dan ketinggian gelombang rata-rata lebih dari 1,5 meter.

Kondisi kecepatan angin dan ketinggian seperti ini menyebabkan terjadinya

musim paceklik ikan bagi nelayan dari PPI Pondok Mimbo.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada awal musim peralihan kedua yaitu

bulan September masih dipengaruhi oleh angin dan gelombang dari timur.

Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR bahwa

nilai SPL Selat Madura dalam kisaran 28o – 32o C, sehingga thermal front terjadi

pada pertemuan massa air dengan suhu dalam kisaran tersebut. Hasil pengukuran

lapangan pada beberapa stasiun pengamatan di selatan Sampang menunjukkan

terjadinya peningkatan SPL, namun masih dalam kisaran 27,5o – 28,0o C (Santos,

2005). Konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi terjadi pada perairan sebelah

Page 134: Hasyim, Bidawi - 2009

107

timur Pulau Raas dan sebelah utara Kepulauan Kangean (2,0 – 3,0 mg/m3),

diduga disebabkan oleh pergerakan massa air dari Laut Flores. Angin dari timur,

selatan dan tenggara mencapai kecepatan lebih tinggi dari 17 knot dan gelombang

dengan ketinggian mencapai di atas 1,5 meter sangat menghambat kegiatan

penangkapan ikan, sehingga nelayan Situbondo khususnya nelayan Pondok

Mimbo masih menghadapi kesulitan dan masa paceklik yang lebih berat.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Oktober, memunjukan SPL

berada dalam kisaran 27o - 31o C. Sebaran suhu ini sesuai dengan hasil

pengukuran lapangan pada beberapa stasiun yang menunjukkan suhu rata-rata

adalah 28,5o C (Santos, 2005). Konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali

mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Konsentrasi klorofil-a

yang sangat tinggi (1,5 – 3,0 mg/m3) terdapat pada perairan yang lebih luas di

sebelah timur Pulau Raas dan sekitar Kepulauan Kangean. Angin dan gelombang

di Selat Madura yang dominan datang dari timur dan tenggara, frekuensi dan

kecepatannya sudah mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya,

menunjukkan mulai terdapat situasi yang menguntungkan bagi kegiatan

penagkapan ikan. Kondisi ini diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan bahwa

ketinggian gelombang rata-rata pada bulan Oktober berada dalam kisaran 0,5 – 1

meter (Santos, 2005). Kondisi angin dan gelombang bulan Oktober menunjukkan

bahwa nelayan Situbondo khususnya dari Pondok Mimbo sudah dapat melakukan

kegiatan penangkapan ikan, terutama yang menggunakan perahu/kapal motor

diatas 10 GT, sedangkan nelayan tradisionil terutama yang menggunakan perahu

layar atau perahu/kapal motor sampai ukuran 10 GT harus berhati-hati karena

angin kadang-kadang mencapai 17 knot dan gelombang yang mencapai 1,5 meter.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Nopember yang merupakan

bulan terakhir musim peralihan kedua, kembali mengalami perubahan dan

perbaikan dibandingkan sebelumnya. SPL di perairan Selat Madura, Laut Jawa

dan Laut Bali secara umum lebih tinggi dari sebelumnya yaitu dalam kisaran 28 o

– 30o C. SPL ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan pada beberapa stasiun

pengamatan yang menunjukkan bahwa sebaran suhu di permukaan laut adalah

29,0o C, lebih tingi 1o C dari bulan sebelumnya (Santos, 2005). Sebaran klorofil-a

yang agak tinggi (0,2 – 0,8 mg/m3) bergeser ke arah timur sebagai akibat

Page 135: Hasyim, Bidawi - 2009

108

pergerakan massa air dari arah barat yang disebabkan oleh pergantian musim

peralihan kedua menuju musim Barat. Konsentrasi klorofil-a pada perairan bagian

timur Selat Madura mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya,

demikian juga konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa, Laut Bali dan Laut Flores

bagian barat mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Sebagai

indikator pergeseran dari musim peralihan kedua ke musim barat maka angin

dengan frekuensi dan kecepatan yang dominan datang dari arah selatan dan barat

dengan kecepatan mencapai lebih dari 17 knot. Gelombang dominan dengan

ketinggian dalam kisaran 0,1 – 0,5 meter, memberi peluang bagi nelayan

Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan di Selat Madura dan sekitarnya.

Uraian tentang kondisi oseanografi di atas menunjukkan bahwa perairan

Selat Madura mengalami perubahan sangat dinamis dan berdampak pada pola

penangkapan ikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa penentuan zona yang

berpotensi untuk penangkapan ikan harus selalu memperhatikan kondisi

oseanografi Selat Madura dan sekitarnya. Secara umum, kondisi oseanografi yang

diidentifikasi berdasarkan citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini

berkorelasi dengan hasil beberapa pengamatan lapangan (Bintoro, 2002; Santos,

2005; Illahude, 1978; dan Soegiharto, 1976). Perolehan data SPL dari satelit

NOAA-AVHRR dan hasil pengukuran lapangan menunjukkan bahwa suhu di

Selat Madura pada kawasan tertentu dalam kisaran cukup sempit (0,5o – 1,5o C ),

meskipun kisaran antara suhu yang terendah dengan yang tertinggi dapat

mencapai 3o sampai 4o C. Semakin kecil perbedaan suhu antara massa air yang

berbeda maka semakin sulit menemukan thermal front, menandakan air laut

semakin homogen sehingga thermal front sulit dideteksi, berarti ikan menyebar di

seluruh kawasan perairan. Penyebab terjadinya konsentrasi ikan pada lokasi

tertentu berarti bukan karena suhu tapi parameter lainnya, misalnya klorofil-a atau

salinitas. Selat Madura yang seperti jebakan sangat menguntungkan karena ikan

masuk dari sisi timur yang terbuka sehingga menjadi pintu masuk ikan dari laut

Bali dan Laut Flores. Kondisi ini berbeda dengan Laut Jawa yang merupakan laut

terbuka sehingga lebih sulit mencari tempat kumpulan (schooling) ikan.

Page 136: Hasyim, Bidawi - 2009

109

6.1.2 Kedalaman perairan Selat Madura

Selat Madura bagian timur berhubungan langsung dengan Laut Bali dan

Selat Bali sehingga kedalamannya hampir sama dengan kedalaman perairan Laut

Bali bagian barat dan Selat Bali bagian utara. Berdasarkan informasi spasial

kedalaman Selat Madura dan sekitarnya, perairan antara selatan Pulau Kangean

dan utara Pulau Bali sampai ke sebelah timur dan timur laut Pondok Mimbo

mengalami gradasi kedalaman yang cukup tajam. Kondisi ini memungkinkan

terjadi pergerakan air naik dari Laut Bali bagian barat dan Selat Bali bagian

tengah yang dalamnya 1.000 m, ke perairan Selat Madura bagian timur yang

mempunyai kedalaman 500 m, selanjutnya dari kedalaman 500 m ke kedalaman

200 m yang didorong oleh angin dari arah timur dan tenggara. Pada saat angin

dari arah timur, juga akan mendorong massa air dari sekitar Pulau Raas dan Pulau

Kangean dengan kedalaman sekitar 200 m memasuki perairan Selat Madura.

Setelah perairan dengan kedalaman sekitar 80 mil, perairan antara utara Besuki

sampai sebelah utara Probolinggo mempunyai kedalaman sekitar 70 m – 60 m.

Perairan mulai utara Probolinggo ke sebelah barat, membentang dari sisi utara dan

selatan sampai perairan pantai mempunyai kedalaman sekitar 50 m, selanjutnya ke

perairan pantai dengan kedalaman sekitar 10 meter. Gradasi kedalaman ini

berkaitan erat dengan jenis ikan yang ada di perairan tersebut. Kondisi ini

diperkuat oleh hasil penelitian di lapangan bahwa perairan Selat Madura dangkal

di bagian barat dengan kedalaman rata antara 2 – 30 meter, dan menjadi lebih

dalam di bagian timurnya dengan kedalaman 20 – 70 meter (Santos, 2005).

Perubahan kedalaman Selat Madura mulai dari bagian timur yang agak

dalam dan bagian tengah yang relatif dangkal tersebut, berpengaruh terhadap

keberadaan jenis ikan di perairan tersebut. Perubahan kedalaman perairan Selat

Madura ini juga berkaitan erat dengan jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan

Situbondo. Memperhatikan kedalaman, Selat Madura khususnya di sekitar

Situbondo termasuk dalam kategori perairan dangkal berupa paparan karena

kedalamannya berada dalam kisaran 60 – 200 m (Nontji, A. 2002).

Page 137: Hasyim, Bidawi - 2009

110

6.1.3 Sumberdaya ikan di Selat Madura

Memperhatikan gradasi kedalaman perairan dan angin, dapat diduga bahwa

ikan yang dominan tertangkap di Selat Madura pada akhir musim peralihan kedua,

musim barat dan pada awal musim peralihan pertama diduga datang dari Laut

Jawa dan Laut Flores masuk ke perairan Selat Madura melalui selat antara pulau

Sapudi dan Raas, antara pulau Raas dan Kangean, serta perairan terbuka di

sebelah timur pulau Kangean. Ikan yang tertangkap pada akhir musim peralihan

pertama, musim timur, dan awal musim peralihan kedua diduga berasal dari

perairan Laut Jawa bagian timur dan Laut Bali. Sedangkan ikan jenis lemuru yang

sangat dominan tertangkap di perairan Selat Madura dapat diduga berasal dari

Selat Bali dan Laut Bali masing-masing yang dibawa oleh pergerakan massa air

yang digerakkan oleh angin dari arah tenggara dan timur.

Memperhatikan kedalaman perairan Selat Madura maka ikan yang hidup

pada kedalaman (swiming layer) lebih dari 50 m hanya akan ditemukan mulai

bagian timur Selat Madura sampai sebelah timur laut Probolinggo. Ikan lemuru

yang hidup pada kedalaman sekitar 80 m, hanya akan tertangkap paling barat

sampai perairan sebelah barat laut Besuki atau paling jauh hanya sampai utara

Pajarakan. Begitu juga dengan jenis ikan lainnya yang mempunyai nilai ekonomi

cukup baik seperti ikan tongkol hanya akan ditemukan mulai perairan bagian

timur Selat Madura sampai perairan laut sebelah utara Besuki atau Pajarakan.

Disamping berhubungan dengan kedalaman yang bersifat statis, sumberdaya

ikan di Selat Madura juga berkaitan erat dengan pergerakan massa air yang

digerakkan oleh angin dan gelombang yang berubah-ubah setiap musim.

Berdasarkan hasil uji coba penangkapan menggunakan informasi spasial ZPPI dan

survei lapangan, pada saat musim barat, sumberdaya ikan di Selat Madura

didominasi oleh ikan tongkol, layang, kembung dan selar. Hal ini diperkuat

dengan pernyataan Widodo (2003), bahwa ikan pelagis kecil di Laut Jawa adalah

ikan layang atau scad mackerels, decapterus spp. (Carangidae), sardines,

Sardinella spp. (Clupeidae); ikan kembung atau Indo Pacific mackerels,

Rastrelinger spp. (Scombridae); dan ikan selar atau travallies, Selar spp.

(Carangidae). Melalui penerapan informasi spasial ZPPI di Selat Madura yang

dilakukan pada musim yang berbeda dan survei lapangan di daerah penelitian

Page 138: Hasyim, Bidawi - 2009

111

dapat diketahui bahwa jenis ikan yang tertangkap selama musim barat berlanjut

pada musim peralihan pertama, namun pada pertengahan musim pertama sudah

mulai ditemukan ikan lemuru. Jenis ikan lemuru mendominasi sumberdaya ikan

selama musim timur sampai menjelang akhir musim peralihan kedua, setelah itu

terjadi campuran ikan tongkol, layang, kembung, selar dan lemuru. Dari hasil uji

coba penangkapan ikan di Selat Madura oleh nelayan Situbondo menggunakan

informasi ZPPI diketahui bahwa ikan lemuru berada di Selat Madura paling lama

dibandingkan jenis ikan lain. Hasil tangkapan ini berkorelasi dengan jenis ikan

terbanyak bahkan sangat dominan yang tertangkap oleh nelayan Situbondo adalah

lemuru, diikuti oleh tongkol, layang dan kembung (Dinas Perikanan dan Kelautan

Situbondo, 2003). Hasil tangkapan oleh nelayan Situbondo, berkorelasi dengan

hasil tangkapan ikan oleh nelayan Sampang bahwa ikan pelagis kecil yang paling

banyak tertangkap adalah lemuru, tembang, selar dan kembung (Santos, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian lapangan, jenis ikan yang tertangkap pada

pelaksanaan kegiatan penangkapan ikan menggunakan informasi spasial ZPPI

didukung dengan referensi diatas, dapat dilakukan pengelompokan sumberdaya

ikan di Selat Madura dalam kaitannya dengan musim sebagai berikut :

(1) Selama musim barat yaitu bulan Desember, Januari dan Februari, sumberdaya

ikan didominasi oleh tongkol, layang, kembung, dan selar.

(2) Pada bulan Maret yang merupakan bulan pertama musim peralihan pertama

yaitu bulan Maret jenis ikan didominasi oleh tongkol, layang, kembung, dan

selar, namun sudah mulai ada terdapat ikan lemuru. Pada bulan kedua musim

peralihan pertama yaitu bulan April, sumberdaya ikan sudah mulai campuran

antara tongkol, layang, kembung, selar, dan lemuru yang semakin banyak.

Pada bulan terakhir musim peralihan pertama yaitu bulan Mei, sumberdaya

ikan sudah didominasi oleh lemuru.

(3) Pada musim timur yaitu bulan Juni, Juli dan Agustus, sumberdaya ikan

didominasi oleh lemuru, sehingga alat tangkap dan pengelolaan ikan hasil

tangkapan perlu disesuaikan dengan karakteristik ikan lemuru.

(4) Pada bulan pertama musim peralihan kedua yaitu bulan September,

sumberdaya ikan masih didominasi oleh Lemuru. Jenis sumberdaya ikan pada

bulan Oktober, masih didominasi oleh ikan lemuru, namun sudah mulai

Page 139: Hasyim, Bidawi - 2009

112

banyak tertangkap ikan tongkol, layang dan selar. Pada bulan terakhir musim

peralihan kedua yaitu bulan November, sumberdaya ikan sudah campuran

antara lemuru, tongkol, layang, kembung, dan selar.

Produktivitas ikan lemuru hasil tangkapan oleh nelayan Situbondo dan

Sampang berkorelasi dengan produktivitas lemuru yang tinggi di perairan Selat

Bali pada bulan April sampai dengan Oktober yang mencapai 78,5% dari total

ikan hasil tangkapan (Merta, 2003). Berdasarkan ukuran panjangnya, ikan lemuru

(sardinela longiceps) dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu : lemuru yang panjangnya

kurang dari 11 cm disebut sempenit ditemukan mulai bulan Mei/Juni dampai

September; yang panjangnya antara 11 - 15 cm disebut protolan ; dan yang

panjangnya lebih dari 15 cm disebut dengan lemuru. Lemuru di Selat Bali terdiri

dari 4 jenis yaitu sardinella longiceps, sardinella aurita, sardinella lelogaster,

dan sardinella clupeoides. Dibandingkan dengan ikan pelagis kecil lainnya,

lemuru di Selat Bali mempunyai sifat yang khusus, hidup dan berkembang di

kawasan perairan yang sempit, dan melimpah pada saat terjadi uppwelling

dengan salinitas 34 o/oo dan suhu 24,5o C. Perkembangan lemuru belum diketahu

dengan pasti, ada yang menyatakan bahwa lemuru bertelur pada akhir musim

hujan dan pada kawasan perairan dalam sehingga tidak terjangkau oleh alat

tangkap jaring. Ada yang menyatakan bahwa lemuru bertelur pada perairan pantai

atau tidak jauh dari perairan pantai karena air laut mempunyai salinitas rendah

(Merta, 2003). Uraian di atas memberikan gambaran atau dugaan bahwa ikan

lemuru bertelur pada waktu musim hujan, yang di daerah Situbondo dan

Banyuwangi terjadi sekitar pertengahan musim barat sampai bulan pertama

musim peralihan pertama. Ini berarti bahwa pada musim hasil tangkapan lemuru

melimpah, pada waktu yang sama juga terdapat sempenit dan protolan. Namun

demikian, sempenit akan ditemukan pada perairan dekat dari pantai sedangkan

protolan akan ditemukan lebih ketengah (lebih dalam).

6.1.4 Kondisi spesifik Selat Madura

Berdasarkan perhitungan SPL menggunakan data satelit penginderaan jauh

NOAA-AVHRR di Selat Madura dan sekitarnya, suhu terendah terjadi pada bulan

Page 140: Hasyim, Bidawi - 2009

113

Desember dalam kisaran 26o C – 30o C. Nilai minimum dan maksimum SPL Selat

Madura berdasarkan data NOAA-AVHRR mencakup kisaran suhu hasil

pengukuran lapangan di stasiun Oyong yaitu 27,0o – 27,5o C (Santos, 2005), juga

hasil pengukuran lapangan pada beberapa lokasi di Selat Jawa dengan kisaran

suhu 28,0o – 28,82o C (Bintoro, 2002). Kandungan klorofil terendah terjadi pada

bulan Desember dengan nilai 0,1 mg/m3, sedangkan yang tertinggi terjadi pada

bulan April, Juli dan Oktober yaitu dengan nilai 1,4 mg/m3. Angin dan

gelombang yang paling besar pengaruhnya terhadap Selat Madura adalah yang

datang dari arah timur, dan menjadi kendala besar bagi kegiatan penangkapan

ikan oleh nelayan Situbondo Situbondo untuk mengakses ZPPI virtual yang

tersebar di utara, timur laut sampai timur PPI Pondok Mimbo. Arus air laut di

Selat Madura yang dominan searah dengan arah angin dengan kecepatan

maksimum 0,2 m/detik atau rata-rata 0,07 m/detik, berarti kecepatannya sangat

rendah karena bentuk Selat Madura yang semi tertutup.

Memperhatikan kedalaman perairan, kawasan yang mempunyai kedalaman

cukup untuk lapisan renang ikan pelagis (lemuru, layang, kembung, tongkol)

hanya sampai di perairan utara Pajarakan dengan kedalaman 60 m. Berdasarkan

hasil kegiatan penangkapan ikan dengan menerapkan informasi spasial ZPPI dan

hasil survei lapangan, jenis ikan yang dominan tertangkap di Selat Madura adalah

lemuru, tongkol, layang, kembung, dan selar. Komposisi hasil tangkapan

berkorelasi dengan musim yang mempengaruhi Selat Madura, sedangkan

sumberdaya ikan yang paling dominan tertangkap adalah ikan lemuru.

Beradasarkan data statistik produksi ikan tangkap ikan hasil tangkapan oleh

nelayan yang dominan adalah lemuru, layang, tongkol, kembung, dan kurisi

(Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, 2002 -2006).

6.2 Pengaturan Alokasi Perahu/kapal Motor

Pengaturan alokasi perahu/kapal motor didasarkan pada aspek, luas zona

masing-masing PPI, jumlah perahu/kapal motor tiap PPI di wilayah Situbondo

untuk masing-masing kategori ukuran, sebaran ZPPI untuk masing-masing PPI,

dan kondisi oseanografi pada masing-masing zona PPI serta perairan sekitarnya

Page 141: Hasyim, Bidawi - 2009

114

termasuk perairan sekitar Selat Madura bagian timur. Pengaturan alokasi

perahu/kapal motor dilakukan dengan menggunakan pola zona penangkapan

berbentuk lingkaran dan zona penanangkapan berbentuk sejajar garis pantai.

6.2.1 Alokasi perahu/kapal motor dalam zona penangkapan ikan berbentuk

lingkaran

Berdasarkan hasil perhitungan luas area rata-rata yang dapat diakses oleh

nelayan Situbondo (Lampiran 9.c) maka perahu/kapal motor ukuran 0 – 5 GT

mempunyai peluang mengakses area dengan luas terkecil yaitu 0,10 km2/unit,

zona 5 – 10 GT mempunyai luasan 0,68 km2/unit, perahu/kapal motor dengan

kategori ukuran 10 – 20 GT berpeluang mengakses area paling luas yaitu 2,73

km2/unit. Dari hasil perhitungan luas perairan yang diperlukan untuk kegiatan

penangkapan ikan berdasarkan rata-rata luas operasi penangkapan dikalikan

jumlah perahu/kapal motor (Lampiran 9.d), dapat diketahui bahwa perahu/kapal

motor PPI Tanjung Pecinan dengan kategori ukuran 10 -20 GT memerlukan area

penangkapan paling luas yaitu 1.076,85 km2. Kondisi ini cukup beralasan karena

berdasarkan parbandingan jumlah perahu/kapal motor yang ada di masing-masing

PPI (Lampiran 9.a) maka PPI Tanjung Pecinan mempunyai jumlah perahu/kapal

motor dengan kategori ukuran 10 – 20 GT paling banyak yaitu 394 unit,

dibandingkan PPI Besuki yang hanya mempunyai 21 unit dan PPI Pondok Mimbo

mempunyai 109 unit.

Dengan memperhatikan area yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan

ikan pada setiap zona penangkapan berdasarkan luas rata-rata yang diperlukan

untuk kegiatan penangkapan dan kategori perahu/kapal motor dibandingkan area

yang ada pada masing-masing PPI, diketahu bahwa:

a. PPI Besuki kekurangan area penangkapan seluas 14,85 km2 dalam zona 4 – 10

km, yaitu dalam zona penangkapan ikan oleh perahu/kapal motor pada

kategori ukuran 5 – 10 GT.

b. PPI Tanjung Pecinan kekurangan area penangkapan paling luas (kritis) yaitu

508,60 km2 pada zona 10 – 20 km untuk penangkapan ikan oleh perahu/kapal

motor 10 – 20 GT, juga pada zona untuk penangkapan ikan oleh nelayan

Page 142: Hasyim, Bidawi - 2009

115

tradisional (perahu/kapal motor < 5 GT), karena kekurangan area

penangkapan seluas 24,74 km2.

c. PPI Pondok Mimbo akan mengalami kondisi kritis pada zona penangkapan 4

– 10 km, karena kekurangan luas penangkapan 90,41 km2 yang berkorelasi

dengan jumlah perahu/kapal motor terbanyak yang mempunyai ukuran 5 – 10

GT yaitu 312 unit.

Dalam upaya pemerataan hasil tangkapan ikan oleh nelayan di Kabupaten

Situbondo perlu dilakukan kerjasama penangkapan oleh perahu/kapal motor dari

masing-masing PPI, terutama menata kerjasama realokasi perahu/kapal motor

antar PPI untuk mencegah terjadinya konflik antar nelayan, baik antar PPI asal

nelayan atau antar nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor berbeda

ukuran. Dengan memperhatikan hasil perhitungan area yang dibutuhkan dan yang

tersedia untuk kegiatan penangkapan ikan pada masing-masing PPI (Lampiran 9.d

dan 9.e), hasil perhitungan jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima untuk

melakukan kerjasama penangkapan ikan pada PPI bersangkutan atau yang

seharusnya direlokasi untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan di PPI

sekitarnya, dibuat skenario sebagaimana dinyatakan pada Tabel 20 berikut.

Tabel 20 Skeario jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima dari PPI lain atau perahu/kapal motor setempat yang harus direlokasi melakukan kerjasama penangkapan ke PPI sekitarnya

Skenario Jumlah Perahu/Kapal Motor yang Diterima dari PPI lain atau Direlokasi ke PPI Sekitarnya.

Besuki Tanjung Pecinan Pondok Mimbo Kategori

Perahu/Kapal Motor (GT) Terima Relokasi Terima Relokasi Terima Relokasi

< 5 107 - - 241 134 -

5 - 10 - 22 156 - - 134

10 - 20 130 - - 186 56

6.2.2 Alokasi perahu/kapal motor dalam zona penangkapan ikan sejajar

garis pantai

Berdasarkan hasil perhitungan area untuk tiap unit perahu/kapal motor yang

diperoleh dari hasil pembagian luas masing-masing zona terhadap jumlah

perahu/kapal motor untuk setiap kategori yang beroperasi pada zona

Page 143: Hasyim, Bidawi - 2009

116

bersangkutan, dapat diperoleh perbedaan luas perairan yang dapat diakses oleh

tiap kategori perahu/kapal motor pada masing-masing PPI (Lampiran 10.a).

Dengan dasar hasil perhitungan luas rata-rata yang dapat diakses oleh setiap

kategori perahu/kapal motor di Situbondo, diperoleh luas perairan yang diperlu-

kan untuk kegiatan penangkapan ikan pada masing-masing PPI (Lampiran 10. c).

Selanjutnya berdasarkan perhitungan selisih antara luas zona dikurangi luas yang

diperlukan untuk kegiatan penangkapan ikan bagi masing-masing kategori

perahu/kapal motor, diketahui bahwa :

a. PPI Besuki mengalami kekurangan area penangkapan seluas 84,63 km2,

sehingga berada dalam kondisi kritis dan berpeluang terjadi konflik perebutan

lokasi penangkapan antar nelayan setempat.

b. PPI Tanjung Pecinan, mengalami kondisi sangat kritis dan berpeluang konflik

tinggi pada zona penangkapan 10 – 20 km karena kekurangan area

penangkapan seluas 863,26 km2, juga pada zona penangkapan < 5 km karena

kekurangan area penangkapan seluas 160,16 km2.

c. PPI Pondok Mimbo, dalam kondisi aman karena luas zona untuk semua

kategori melebihi luas yang diperlukan untuk penangkapan ikan.

Dengan memperhatikan hasil perhitungan area yang dibutuhkan dan tersedia

untuk kegiatan penangkapan pada masing PPI (Lampiran 10.c dan 10.d) dan hasil

perhitungan jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima melakukan kerjasama

penangkapan pada PPI bersangkutan atau perahu/kapal motor setempat yang

seharusnya direlokasi untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan di PPI

sekitarnya, dibuat skenario sebagaimana dinyatakan pada Tabel 21 berikut.

Tabel 21 Skenario jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima atau direlokasi melakukan kerjasama penangkapan ke PPI sekitarnya dengan pola pengaturan sejajar garis pantai

Skenario Jumlah Perahu/Kapal Motor yang Diterima dari PPI lain atau Direlokasi ke PPI Sekitarnya.

Besuki Tanjung Pecinan Pondok Mimbo Kategori

Perahu/Kapal Motor (GT) Terima Relokasi Terima Relokasi Terima Relokasi

< 5 17 - - 241 224 -

5 - 10 - 65 47 - 18 -

10 - 20 120 - - 293 173 -

Page 144: Hasyim, Bidawi - 2009

117

6.2.3 Alternatif bentuk zona penangkapan

Pembagian zona penangkapan berdasarkan ukuran perahu/kapal motor ini

dapat dipergunakan sebagai sarana pengendalian mencegah overfishing untuk

kelestarian sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Situbondo dan Selat Madura,

untuk kesinambungan usaha penangkapan ikan dan kesejahteraan nelayan

Situbondo. Pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan jarak dari garis pantai

lebih memungkinkan untuk diterapkan, terutama dalam upaya melindungi nelayan

yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran kecil (nelayan tradisionil) yang

jumlahnya sangat banyak. Hasil analisis menunjukkan bahwa :

a. PPI Besuki berpeluang menerima perahu/kapal motor ukuran 10 - 20 GT dari

PPI Tanjung Pecinan sebanyak 120 unit, sebaliknya zona penangkapan ikan

untuk perahu motor ukuran 5 – 10 GT sudah melebihi daya dukung luas

perairan sehingga diarahkan melakukan relokasi sebanyak 65 unit ke PPI

diantaranya 47 unit ke zona penangkapan PPI Tanjung Pecinan.

b. Perahu motor Tanjung Pecinan ukuran < 5 GT sudah melebihi daya tampung

zona penangkapannya sehingga harus dilakukan relokasi melalui kerjasama

penangkapan yaitu 224 unit ke zona Pondok Mimbo dan 17 unit ke zona

Besuki. Begitu juga perahu/kapal motor ukuran 10 – 20 GT sudah melebihi

daya dukung zona penangkapannya, sehingga 120 unit direlokasi melakukan

bekerjasama penangkapan dengan nelayan lokal dari PPI Besuki dan 173 unit

melakukan kerjasama penangkapan dengan nelayan Pondok Mimbo.

c. PPI Pondok Mimbo dengan zona penangkapan yang paling luas mempunyai

peluang menerima perahu/kapal motor dari PPI sekitarnya untuk semua

kategori perahu/kapal motor untuk melakukan kerjasama penangkapan dalam

zona PPI Pondok Mimbo.

6.3 Pengaturan Pola Kegiatan Penangkapan Ikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada musim timur, kecepatan angin di

perairan Selat Madura dan sekitarnya kadang-kadang di atas 17 knot dan

ketinggian gelombang di atas 1,5 meter yang sangat menghambat kegiatan

penangkapan ikan. Angin dan gelombang tersebut mempunyai dampak yang

Page 145: Hasyim, Bidawi - 2009

118

berbeda-beda terhadap kegiatan penangkapan oleh nelayan dari PPI yang ada di

Situbondo. Kegiatan penangkapan ikan di sekitar PPI Pondok Mimbo yang

berlokasi di sisi timur dari Situbondo khususnya di perairan sebelah timur laut

hingga tengara Pondok Mimbo mengalami hambatan angin dan gelombang paling

besar, sebaliknya nelayan dari Besuki yang terletak di sisi paling barat mengalami

dampak paling kecil. Kondisi ini mengakibatkan, kegiatan penangkapan ikan oleh

nelayan Pondok Mimbo lebih pendek dibandingkan waktu efektif penangkapan

ikan oleh nelayan dari PPI Besuki. Terlebih lagi nelahan Besuki dan Tanjung

Pecinan banyak yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran di atas 20 GT,

sehingga mampu menempuh jarak lebih jauh dan lebih tahan mengadapi

hambatan angin dan gelombang di musim timur.

Dalam upaya mendukung peningkatan produktivitas perikanan tangkap

Kabupaten Situbondo, dilakukan analisis sebaran ZPPI bulanan dan arahan

pengaturan zona penangkapan ikan di Selat Madura dan perairan sekitarnya.

Pengaturan zona penangkapan ikan bulanan bagi nelayan Situbondo mengacu

pada pembagian wilayah penelitian menjadi 3 zona yaitu wilayah PPI Besuki, PPI

Tanjung Pecinan, dan PPI Pondok Mimbo. Pembahasan pengaturan zona

penangkapan ikan bulanan ini juga termasuk pengaturan kerjasama antar 3 PPI

yang ada di Kabupaten Situbondo serta kerjasama masing-masing PPI tersebut

dengan PPI dari kabupaten sekitarnya khususnya kabupaten Probolinggo,

Sampang, Pamekasan, Sumenep dan Banyuwangi.

6.3.1 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Besuki

Dari segi peluang untuk melakukan penangkapan sepanjang tahun, nelayan

Besuki mempunyai keuntungan dibandingan nelayan dari PPI Tanjung Pecinan

dan PPI Pondok Mimbo karena PPI Besuki terlatak pada posisi paling barat

sehingga menghadapi hambatan angin dan gelombang musim timur paling kecil

dibandingkan PPI lainnya yang berada di sisi timur Selat Madura. Demikian juga

pada saat musim barat, perairan sekitar Besuki terkena pengaruh angin dan

gelombang musim barat paling kecil karena kecepatan gerakan merambat massa

air dari arah barat dan timur sudah mempunyai kecepatan yang rendah. Jika

Page 146: Hasyim, Bidawi - 2009

119

ditinjau dari segi geografis dan peluang untuk melakukan kegiatan penangkapan

ikan maka posisi PPI Besuki paling strategis, karena punya peluang melakukan

kegiatan penangkapan dalam zona Besuki dan melakukan kerjasama penangkapan

dengan nelayan Probolinggo dan Pamekasan sepanjang tahun. Namun demikian,

nelayan Besuki mempunyai kelemahan dari segi efisienai jika harus melakukan

penangkapan pada ZPPI di sisi timur Selat Madura khususnya disekitar PPI

Pondok Mimbo, dan perairan mulai sebelah selatan Sumenep sampai Kangean.

Melalui kerjasama operasional penangkapan ikan maka nelayan dari PPI Besuki

berpeluang mengakses ZPPI virtual jauh lebih banyak dibandingkan dalam PPI

Besuki sendiri (Lampiran 12.1).

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Besuki selama bulan Desember

diarahkan pada 4 unit spasial dalam kelas sedang dan padat yang berada di

sebelah utara Besuki mulai dari perairan pantai sampai di atas zona 20 km antara

Besuki dan Pamekasan, serta di timur laut Besuki di atas zona 20 km. Dalam

memanfaatkan ZPPI di Selat Madura, nelayan Besuki yang menggunakan

perahu/kapal motor diatas 20 GT dapat diarahkan melakukan kerjasama

penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam 2 unit spasial dengan kategori rendah

di sebelah utara Probolinggo, sebelah barat laut Tanjung Pecinan dengan kategori

rendah, serta sebaran ZPPI virtual di sebelah utara, timur laut hingga timur

Pondok Mimbo dalam kategoti rendah dan sedang. Disamping melakukan

kerjasama dengan nelayan dari PPI di Situbondo, nelayan Besuki yang

menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan untuk melakukan

kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam 2 unit spasial dengan kategori

rendah dan sedang di sebelah selatan dan timur laut PPI Dungke (Sumenep).

Nelayan tidak disarankan melakukan penangkapan di Laut Jawa pada unit spasial

antara utara Sumenep sampai utara Pulau Raas pada kelas rendah dan sedang.

ZPPI sekitar PPI Besuki pada bulan Januari mengalami pergeseran

dibandingkan sebelumnya. Nelayan Besuki diarahkan melakukan penangkapan

mengakses ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang dan 1 unit spasial kelas

rendah di sebelah utara Besuki mulai dari perairan dekat pantai sampai di atas 20

km. Disamping mengakses ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri, nelayan juga

diarahkan melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam 2 unit

Page 147: Hasyim, Bidawi - 2009

120

spasial dengan kelas sedang di antara barat laut Paiton dan timur laut Pamekasan.

Nelayan dengan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan melakukan

kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual pada unit spasial pada zona di

atas 20 km yang tersebar antara utara hingga timur laut Pondok Mimbo dengan

kategori kelas rendah dan sedang. Nelayan Besuki dengan perahu/kapal motor

ukuran diatas 20 GT juga diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual pada 3

unit spasial dengan kelas rendah di antara utara Pamekasan dan pulau Raas,

Memperhatikan perubahan sebaran ZPPI pada bulan Februari, pola kegiatan

penangkapan ikan juga harus disesuaikan dengan perubahan sebaran ZPPI

dibandingkan bulan sebelumnya. Nelayan Besuki dengan perahu/kapal motor

sampai ukuran 10 GT diarahkan pada ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas

sedang di utara dan sisi barat laut PPI Besuki, sementara nelayan dengan

perahu/kapal motor antara 10 – 20 GT diarahkan melakukan kerjasama

mengakses ZPPI pada unit spasial dengan kelas sedang di barat laut Paiton.

Nelayan dengan perahu/kapal motor di atas 20 GT disamping diarahkan

mengakses ZPPI pada unit spasial dengan kelas rendah juga diarahkan mengakses

ZPPI virtual pada 2 unit spasial dengan kelas sedang di barat laut Paiton. Nelayan

Besuki tersebut, juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses

ZPPI virtual dengan kategori kelas sedang sampai sangat padat di utara dan timur

laut PPI Pondok Mimbo. Disamping melakukan kerjasama penangkapan di

perairan Selat Madura, nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor di

atas 20 GT juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI

virtual pada unit spasial dengan kelas sedang di perairan Laut Jawa sebelah utara

Sumenep dan pulau Raas.

Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Maret berpeluang mendapatkan

hasil tangkapan lebih baik karena sebaran ZPPI mengalami perluasan

dibandingkan sebelumnya. Nelayan dengan perahu/kapal motor sampai 20 GT

diarahkan melakukan penangkapan mengakses ZPPI pada 2 unit spasial kelas

rendah di utara Besuki dalam zona 20 km, sementara nelayan yang menggunakan

perahu/kapal motor di atas 20 GT diarahkan mengakses 2 ZPPI lainnya di atas

zona 20 km, masing-masing dengan kelas rendah dan sangat padat. Nelayan

Besuki dengan perahu motor di bawah 20 GT juga dapat diarahkan melakukan

Page 148: Hasyim, Bidawi - 2009

121

kerjasama penangkapan mengakses 1 ZPPI virtual kelas sedang di utara

Probolinggo, serta mengakses ZPPI virtual kelas rendah dan sedang dalam zona

penangkapan ikan Pondok Mimbo. Disamping itu, nelayan Besuki dengan

perahu/kapal motor di atas 20 GT dapat juga diarahkan melakukan kerjasama

penangkapan mengakses ZPPI virtual dengan kelas yang bervariasi mulai rendah

sampai sedang di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Sampang sampai timur

laut pulau Raas .

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Besuki pada bulan April

mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya. Kondisi ini ditandai dengan

semakin meluasnya sebaran ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri, baik dalam zona

20 km untuk nelayan sampai 20 GT maupun zona di atas 20 km untuk nelayan di

atas 20 GT. Nelayan Besuki dengan perahu motor sampai 20 GT diarahkan

mengakses ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang sampai padat. Nelayan

dengan perahu/kapal motor di atas 20 GT diarahkan mengakses ZPP dalam 3 unit

spasial dengan kelas rendah dan padat antara Besuki dan Pamekasan. Disamping

itu, nelayan tersebut juga diarahkan melakukan kerjasama mengakses sebaran

ZPPI virtual dengan kelas rendah sampai padat antara timur laut Tanjung Pecinan

hingga timur Pondok Mimbo. Nelayan Besuki dengan perahu motor di atas 20 GT

juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan mengakses sebaran ZPPI

virtual pada unit spasial dengan kelas rendah dan sedang di perairan Laut Jawa

bagian timur antara utara Sampang sampai utara pulau Sepudi.

Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Mei akan mendapatkan hasil

tangkapan lebih rendah dibandingkan bulan April, ditandai dengan berkurangnya

sebaran ZPPI di perairan sekitar PPI Besuki. Nelayan Besuki dengan perahu

motor sampai 20 GT berpeluang melakukan penangkapan pada ZPPI dalam 2 unit

spasial kelas sedang di utara PPI Besuki. Dalam upaya meningkatkan hasil

tangkapan maka nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor 20 GT ke

atas diarahkan melakukan kerjasama penangkapan pada 3 arah, yaitu mengakses

ZPPI virtual dalam unit spasial kelas rendah di barat laut Paiton, mengakses ZPPI

virtual pada unit spasial kelas padat di utara Tanjung Pecinan, dan mengakses

ZPPI virtual dalam unit spasial kelas rendah sampai sedang yang tersebar mulai

sebelah utara hingga timur Pondok Mimbo. Nelayan Besuki yang menggunakan

Page 149: Hasyim, Bidawi - 2009

122

perahu/kapal motor di atas 20 GT juga diarahkan melakukan kerjasama

penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas rendah sampai

sedang di perairan Laut Jawa bagian timur mulai sebelah utara Sampang sampai

utara pulau Raas.

Perairan Selat Madura pada bulan Juni sudah mulai dipengaruhi oleh angin

dari arah timur dan tenggara. Gejala tersebut menyebabkan adanya pergeseran

ZPPI ke arah barat dan utara sehingga sebaran ZPPI yang dapat dijadikan sasaran

kegiatan penangkapan mengalami pergeseran ke arah utara, namun hanya

memberikan peluang bagi nelayan dengan perahu/kapal motor di atas 20 GT yang

mampu mengakses ZPPI tersebut. Nelayan dengan perahu/kapal motor dibawah

20 GT sulit untuk mengakses ZPPI di utara Besuki karena jaraknya terlalu jauh,

sehingga lebih baik diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI dalam unit spasial

kelas padat di barat laut Paiton. Nelayan Besuki dengan perahu motor di atas 20

GT diarahkan melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual pada 4 unit

spasial dengan kelas sedang dan padat di perairan dalam zona di atas 20 km antara

utara Besuki dan Probolinggo dengan Besuki. Jika kondisi angin dan gelombang

memungkinkan untuk kegiatan penangkapan ikan, nelayan Besuki dapat

diarahkan melakukan kerjasama mengakses sebaran ZPPI virtual pada unit spasial

dengan kelas rendah dan sedang di utara, timur laut sampai timur Pondok Mimbo.

Sebagian dari nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor di atas 20

GT dapat melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan nelayan lokal

mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial dengan kelas rendah dan sedang di

perairan Laut Jawa bagian timur antara utara Sampang dan Sumenep.

Pada bulan Juli, angin dan gelombang dari arah timur dan tenggara dengan

frekuensi yang semakin meningkat, terus mendorong pergerakan massa air dari

arah timur. Terjadi peningkatan sebaran ZPPI dalam zona PPI Besuki, sehingga

nelayan dengan perahu/kapal motor sampai ukuran 20 GT berpeluang mengakses

ZPPI dalam unit spasial kelas sedang di sisi barat laut dan timur laut PPI Besuki

dalam zona 20 km. Nelayan Besuki juga masih mempunyai peluang

meningkatkan hasil tangkapannya melalui kerjasama penangkapan mengakses

ZPPI virtual dalam unit spasial kelas sangat padat di barat laut Paiton. Walaupun

terdapat ZPPI virtual sampai sisi barat laut Probolinggo, namun hasil

Page 150: Hasyim, Bidawi - 2009

123

tangkapannya kemungkinan berupa ikan yang kurang ekonomis. Dalam upaya

mengakses ZPPI yang ada di Selat Madura, nelayan diarahkan melakukan

kerjasama dengan nelayan dari PPI Tanjung Pecinan dan nelayan dari Pulau

Madura. Nelayan diarahkan melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam

unit spasial kelas rendah sampai padat yang sersebar mulai timur laut Tanjung

Pecinan sampai utara Pondok Mimbo. Di sebelah timur Pondok Mimbo terdapat

sebaran ZPPI virtual yang luas, namun nelayan harus memperhatikan kondisi

angin dan gelombang jika akan mengakses ZPPI tersebut. Nelayan Besuki

dengan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga dapat memperluas wilayah

penangkapannya melalui kerjasama dengan nelayan lokal mengakses ZPPI virtual

dengan kelas rendah dan sedang yang tersebar dari sebelah utara Sampang dampai

utara pulau Raas.

Angin timur yang dominan pada bulan Agutus, mendorong sebaran ZPPI di

sebelah utara Besuki bergeser ke utara, yaitu pada perairan di atas 20 km. Jika

dibandingkan dengan bulan sebelumnya maka jumlah ZPPI dalam zona PPI

Besuki yang dapat diakses oleh nelayan Besuki sendiri mengalami penurunan.

Kondisi ini akan menyulitkan bagi nelayan Besuki karena ZPPI yang harus

diakses berada pada jarak yang agak jauh. Nelayan Besuki dengan perahu/kapal

motor ukuran di atas 20 GT diarahkan melakukan kerjasama dengan nelayan

Probolinggo, Sampang dan Pamekasan mengakses ZPPI dalam 3 unit spasial

kelas jarang dan padat di sebelah utara sampai timur laut Besuki, sedang ZPPI

dalam unit spasial kelas sedang di sisi timur PPI Besuki dialokasikan untuk

nelayan dengan perahu motor sampai 20 GT. Nelayan Besuki dengan perahu

motor di atas 20 GT diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses

sebaran ZPPI virtual dalam kelas yang bervariasi mulai rendah sampai padat di

perairan sebelah utara sampai sebelah timur PPI Pondok Mimbo, namun

kemungkinan agak sulit bahkan tidak mungkin mengakses ZPPI virtual tersebut

karena pengaruh angin dan gelombang yang sangat kuat. Nelayan dengan

perahu/kapal motor di atas 20 GT dapat juga diarahkan melakukan kerjasama

penangkapan di perairan Laut Jawa mengakses sebaran ZPPI virtual dalam unit

spasial kelas rendah dan sedang yang ada di utara Sumenep sampai pulau Raas.

Page 151: Hasyim, Bidawi - 2009

124

Kegiatan penangkapan ikan pada bulan September harus disesuaikan dengan

perubahan sebaran ZPPI yang masih dipengaruhi oleh angin timur, sehingga ZPPI

dalam zona PPI Besuki yang dapat dijadikan sasaran penangkapan ikan berada

dalam zona di atas 20 km. Nelayan dengan perahu/kapal motor sampai 20 GT

masih berpeluang mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas padat yang

terdapat di utara Besuki, serta melakukan kerjasama mengakses ZPPI dalam unit

spasial kelas sedang timur laut PPI Besuki. Nelayan juga diarahkan melakukan

kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI virtual dalam 2 unit spasial kelas

padat di antara utara Probolinggo dan selatan Pamekasan. Nelayan Besuki juga

dapat diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual

dalam unit spasial kelas rendah sampai padat di timur laut Tanjung Pecinan dan

utara Pondok Mimbo. Memperhatikan frekuensi serta kecepatan angin dan

gelombang, belum memungkinkan mengarahkan nelayan untuk melakukan

penangkapan pada sebaran ZPPI dalam unit spasial virtual kelas rendah sampai

padat mulai timur sampai timur laut Pondok Mimbo. Nelayan Besuki yang

menggunakan perahu/kapal motor ukuran di atas 20 GT dapat juga melakukan

kerjasama penangkapan di perairan Laut Jawa bagian timur khususnya

memperluas zona penangkapannya pada ZPPI virtual dalam unit spasial kelas

rendah sampai sedang antara utara Sumenep sampai utara pulau Raas.

Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Oktober yang merupakan bulan

kedua dari musim peralihan kedua harus disesuaikan dengan pergeseran ZPPI

yang menguntungkan bagi nelayan Besuki. Peluang untuk meningkatkan hasil

tangkapan ikan bagi nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor sampai 20

GT kembali terbuka dengan adanya ZPPI dalam unit spasial kelas sedang di sisi

barat laut dan timur laut PPI Besuki, serta melakukan kerjasama penangkapan

ikan dengan nelayan Probolinggo mengakses ZPPI dalam unit spasial kelas

rendah di utara barat laut Paiton. Berdasarkan sebaran ZPPI, nelayan dapat

memperluas wilayah penangkapannya lebih ke barat lagi dan mempunyai peluang

hasil tangkapan cukup tinggi, tetapi kemungkinan mendapatkan ikan tangkapan

yang kurang ekonomis. Nelayan Besuki dengan perahu motor di atas 20 GT dapat

diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan menagkses ZPPI dalam unit

spasial kelas sedang antara timur laut Tanjung Pecinan dan utara Pondok Mimbo.

Page 152: Hasyim, Bidawi - 2009

125

Karena pengaruh angin timur di perairan bagian timur Selat Madura sudah

menurun maka nelayan Besuki dapat diarahkan melakukan kerjasama

penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam sebaran unit spasial kelas rendah

sampai padat yang tersebar mulai timur laut sampai timur Pondok Mimbo.

Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor di atas 20 GT juga dapat

diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit

spasial kelas rendah dan sedang di sebelah di perairan Laut Jawa bagian timur

antara utara Pamekasan sampai utara pulau Raas.

Berdasarkan informasi spasial ZPPI pada bulan November, kegiatan

penangkapan ikan oleh nelayan Besuki berpeluang mendapatkan hasil lebih baik

dan dapat dilakukan secara lebih efisien. Kondisi ini berpeluang memberikan

peluang baik bagi nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor sampai ukuran

20 GT mengakses ZPPI dalam 3 unit spasial kelas rendah dan sedang di utara

Besuki, dan melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial

kelas rendah di sebelah utara Probolinggo. Nelayan Besuki yang menggunakan

perahu/kapal motor di atas 20 GT mempunyai peluang diarahkan bekerjasama

mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas padat di utara Probolinggo,

antara Besuki dan pamekasan, timur laut Tanjung Pecinan, serta ZPPI virtual

dalam 2 unit spasial kelas rendah dan sedang di utara Pondok Mimbo, serta ZPPI

virtual dalam unit spasial kelas rendah sampai padat mulai timur laut hingga timur

Pondok Mimbo. Nelayan dari PPI Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor

ukuran di atas 20 GT juga dapat diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual

dalam unit spasial kelas rendah hingga sedang antara utara Sumenep sampai Raas.

6.3.2 Pengaturan pola kegiatan penangkapan ikan bagi nelayan

Tanjung Pecinan

Zona penangkapan ikan PPI Tanjung Pacinan yang terletak di antara Besuki

di sebelah barat dan Pondok Mimbo di sebelah timurnya, secara geografis sangat

menguntungkan karena merupakan lintasan migrasi ikan baik dari arah timur

maupun perjalanan kembali dari arah barat. Dari segi peluang untuk melakukan

penangkapan sepanjang tahun, nelayan Tanjung Pecinan juga mempunyai

Page 153: Hasyim, Bidawi - 2009

126

keuntungan karena pengaruh angin musim timur tidak terlalu kuat dibandingkan

PPI Pondok Mimbo. Zona PPI Tanjung Pecinan juga tidak terkena pengaruh angin

dan gelombang musim barat karena kecepatan gerakan merambat massa sudah

berkurang setelah melalui bagian barat dan timur dari Selat Madura. Karena

secara segi geografis PPI Tanjung Pecinan terletak di tengah, mempunyai peluang

melakukan kerjasama penangkapan ikan ke beberapa arah yaitu ke arah barat

bekerjasama mengakses ZPPI virtual dalam zona Besuki, Probolinggo, ke arah

utara melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual di selatan Pamekasan,

kesebelah timur dan timur laut bekerjasama mengakses ZPPI virtual dalam zona

penangkapan nelayan Pondok Mimbo dan Sumenep. Nelayan Tanjung Pecinan

juga berpeluang bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama dengan nelayan

Pamekasan, Sumenep, Raas dan Kangean melakukan penangkapan di Laut Jawa.

Berdasarkan sebaran ZPPI di Selat Madura dan sekitarnya pada bulan

Desember, kegiatan penangkapan ikan diarahkan pada ZPPI dalam unit spasial

kelas rendah di sebelah barat laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan Tanjung Pecinan

yang menggunakan perahu/kapal motor 10 - 20 GT dapat memperluas wilayah

penangkapannya melalui kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam

unit spasial di utara Besuki sampai Probolinggo. Nelayan dengan perahu motor

diatas 20 GT dapat diarahkan ke sisi timur Selat Madura melakukan kerjasama

dengan nelayan Besuki mengakses ZPPI virtual di sebelah utara, timur laut hingga

timur Pondok Mimbo di luar zona 20 km. Nelayan Tanjung Pecinan yang

menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan untuk bersama

nelayan Besuki melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial

di sebelah selatan dan tenggara PPI Dungke (Sumenep), dan tidak diarahkan

melakukan penangkapan di Laut Jawa pada unit spasial antara utara Sumenep

sampai utara Pulau Raas karena kondisi angin barat.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan

Januari, hanya berpeluang diarahkan pada ZPPI dalam unit spasial kelas sedang di

sebelah timur laut PPI Tanjung Pecinan sendiri. Dalam usaha meningkatkan

produktivitas hasil tangkapan ikan, nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan

perahu/kapal motor 10 – 20 GT dibagi menjadi 2 kelompok yaitu diarahkan ke

barat melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam zona PPI

Page 154: Hasyim, Bidawi - 2009

127

Besuki dan melakukan penangkapan bersama pada ZPPI virtual di perairan utara

Pajarakan, serta ke arah timur mengakses ZPPI dalam unit spasial di sisi barat laut

Pondok Mimbo. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal

motor diatas 20 GT juga dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu ke arah barat dan

barat laut mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di atas zona 20 km melalui

kerjasama dengan nelayan Besuki, Probolinggo dan Pamekasan, sedangkan

kelompok lainnya diarahkan ke arah timur mengakses ZPPI virtual dalam unit

spasial yang tersebar antara utara hingga timur laut Pondok Mimbo. Prospek

penangkapan ikan di Laut Jawa bagian timur kurang baik, ditandai dengan

rendahnya ZPPI virtual di sebelah utara Sumenep hingga utara Pulau Raas.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan

Februari harus diarahkan pada ZPPI dalam 2 unit spasial masing-masing kelas

rendah dan sedang di utara PPI Tanjung Pecinan sendiri. Nelayan dengan

perahu/kapal motor 10 – 20 GT dapat diarahkan melakukan kerjasama mengakses

ZPPI virtual dalam unit spasial kelas sedang di utara Pondok Mimbo, juga

melakukan bekerjasama penangkapan pada ZPPI virtual kelas sedang dalam zona

PPI Besuki. Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT

diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama dengan nelayan lokal

mengakses ZPPI virtual di perairan utara Probolinggo dan selatan Pamekasan.

Nelayan Tanjung Pecinan tersebut bersama nelayan Besuki,selain diarahkan

melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di

utara dan timur laut Pondok Mimbo, juga diarahkan bekerjasama dengan nelayan

lokal mengakses ZPPI dalam unit spasial di perairan Laut Jawa sebelah utara

Sumenep sampai utara Pulau Raas.

Pola kegiatan penangkapan ikan dalam zona PPI Tanjung Pecinan pada

bulan Maret relatif sama dengan bulan sebelumnya. Nelayan Tanjung Pecinan

yang menggunakan perahu/kapal motor dibawah 20 GT berpeluang diarahkan

melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di

utara Besuki. Nelayan yang meggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT,

diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual

pada zona diatas 20 km di utara Besuki sampai utara Probolinggo dan di timur

laut Pamekasan, juga mengakses ZPPI virtual dalam zona di atas 20 km sebelah

Page 155: Hasyim, Bidawi - 2009

128

utara sampai timur laut Pondok Mimbo dan tenggara Sumenep. Nelayan juga

diarahkan bersama dengan nelayan Besuki, melakukan kerjasama penangkapan

ikan pada ZPPI virtual di perairan Laut Jawa bagian timur antara utara Sampang

sampai utara Pulau Sepudi.

Pada bulan April, kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan

mulai dari nelayan tradisional sampai yang menggunakan perahu/kapal motor

diatas 20 GT berpeluang mendapatkan hasil lebih banyak dari sebelumnya karena

terjadinya peningkatan sebaran ZPPI pada 3 unit spasial di sekitar Tanjung

Pecinan dengan kelas sedang sampai padat. Nelayan tradisionil dan yang

menggunakan perahu/kapal motor sampai 10 GT dapat diarahkan ke unit spasial

sebelah barat dan barat laut PPI Tanjung Pecinan, serta bekerjasama dengan

nelayan Besuki. Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT

diarahkan mengakses ZPPI dalam unit spasial kategori padat di utara Tanjung

Pecinan. Untuk meningkatkan hasil tangkapannya, nelayan Tanjung Pecinan

diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI

virtual yang ada di dalam zona PPI Besuki, Probolinggo dan Pamekasan. Nelayan

yang akan melakukan penangkapan ke arah timur diarahkan bekerjasama dengan

nelayan dari Pondok Mimbo dan Sumenep agar dapat mengakses ZPPI virtual

antara timur laut Tanjung Pecinan hingga timur laut Pondok Mimbo. Disamping

itu, untuk memanfaatkan ZPPI virtual di sisi utara Selat Madura, nelayan dengan

perahu/kapal motor diatas 20 GT diarahkan bersama nelayan Besuki bekerjasama

dengan nelayan lokal mengakses ZPPI virtual antara selatan Sumenep hingga

selatan Pulau Raas, juga pada ZPPI virtual di perairan Laut Jawa bagian timur

antara utara Sumenep sampai utara Pulau Sepudi.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan Mei,

harus dilakukan perubahan lokasi karena sebaran ZPPI bergeser lebih ke utara

diatas zona 20 km. ZPPI untuk nelayan tradisional yang pada bulan sebelumnya

berada di sebelah barat sampai barat laut Tanjung Pecinan sudah tidak ada lagi.

Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor 10 – 20 GT diarahkan

melakukan kerjasama penangkapan pada 2 arah yaitu ke arah barat melakukan

kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di utara Besuki, yang

lainnya ke arah timur mengakses ZPPI di sisi barat Pondok Mimbo. Nelayan

Page 156: Hasyim, Bidawi - 2009

129

Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT diarahkan

bekerjasama dengan nelayan Besuki dan Probolinggo mengakses ZPPI virtual di

utara Probolinggo sampai selatan Pamekasan, juga mengakses ZPPI virtual antara

utara Pondok Mimbo hingga selatan Sumenep dan Pulau Raas. Nelayan dapat

juga diarahkan untuk melakukan penangkapan ikan bersama nelayan Besuki

bekerjasama dengan nelayan lokal mengakses ZPPI virtual yang tersebar antara

utara Sampang dan Sumenep.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan Juni

kembali mengalami perubahan dibandingkan sebelumnya. Nelayan yang

menggunakan perahu/kapal motor sampai ukuran 10 GT melakukan kegiatan

penangkapan ikan pada perairan sebelah timur laut Tanjung Pecinan sendiri,

sementara nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor 10 – 20 GT diarahkan

melakukan penangkapan ikan pada ZPPI sebelah barat laut PPI Tanjung Pecinan.

Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT

dapat diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual antara timur laut Besuki dan

barat laut Tanjung Pecinan serta di utara Besuki. Nelayan Tanjung Pecinan juga

diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan nelayan Besuki dan

Probolinggo mengakses ZPPI virtual dalam zona di atas 20 km di utara

Probolinggo, atau mengakses ZPPI virtual di tenggara Pamekasan. Nelayan

Tanjung Pecinan yang melakukan penangkapan ikan ke arah timur hanya

berpeluang mengakses ZPPI virtual yang tersebar di utara Pondok Mimbo dan

tenggara Sumenep. Nelayan harus mulai berhati-hati mengakses sebaran ZPPI

virtual di timur laut sampai timur Pondok Mimbo karena angin dan gelombang

yang datang dari arah timur dan tenggara berpeluang menghambat kegiatan

penangkapan ikan. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal

motor diatas 20 GT juga dapat diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan

kerjasama penangkapan dengan nelayan dari PPI Dungkek mengakses ZPPI

virtual dalam unit spasial dengan kelas rendah dan sedang di perairan Laut Jawa

bagian timur antara utara Sampang dan Sumenep

Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Juli khususnya dalam zona Tanjung

Pecinan kembali mengalami perubahan dibandingkan bulan sebelumnya, ditandai

dengan terjadinya pergeseran ZPPI yang semula berada di sebelah timur bergeser

Page 157: Hasyim, Bidawi - 2009

130

ke sebelah barat hingga barat laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan Tanjung Pecinan

yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT mempunyai peluang

keberhasilan lebih tinggi dari bulan sebelumnya karena terdapat sebaran ZPPI

dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang dalam zona di atas 20 km. Nelayan

Tanjung Pecinan diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI

virtual di utara Besuki, serta antara Probolinggo dengan Pamekasan. Nelayan

Tanjung Pecinan yang biasa melakukan penangkapan ke arah timur, diarahkan

bekerjasama dengan nelayan Besuki melakukan penangkapan mengakses ZPPI

virtual di perairan antara utara Pondok Mimbo dengan selatan Sumenep. Nelayan

Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT bersama

nelayan Besuki memperluas zona penangkapannya melalui kerjasama dengan

nelayan lokal mengakses ZPPI virtual antara utara Sumenep dan utara Pulau Raas.

Berdasarkan informasi spasial ZPPI bulan Juli, terdapat sebaran ZPPI virtual yang

luas mulai dari timur laut hingga timur Pondok Mimbo, namun sulit diakses

karena hambatan angin kencang dan gelombang tinggi yang datang dari arah

timur dan tenggara.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dalam zona Tanjung Pecinan pada

bulan Agutus harus dilakukan dengan pola yang sama dengan bulan Juli karena

sebaran ZPPI sama dengan bulan sebelumnya. Karena terjadi penurunan ZPPI

virtual dalam zona 20 km di utara Besuki maka hanya nelayan dengan

perahu/kapal motor diatas 20 GT yang dapat diarahkan melakukan kerjasama

pada perairan di atas 20 km antara sisi barat Besuki, juga antara Probolinggo

dengan Pamekasan. Nelayan dengan perahu/kapal motor diatas 20 GT dan biasa

melakukan penangkapan ke arah timur, diarahkan bersama nelayan Besuki

mengakses ZPPI virtual di selatan Sumenep dan di utara Pondok Mimbo. Kondisi

angin dan gelombang di bagian timur Selat Madura tidak memungkinkan bagi

nelayan Tanjung Pecinan dan Besuki mengakses ZPPI virtual di sebelah timur

Pondok Mimbo. Jika kondisi angin dan gelombang di Selat Madura bagian timur

tidak memungkinkan melakukan penangkapan, nelayan Tanjung Pecinan juga

bersama nelayan Besuki dapat diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual

antara utara Sumenep sampai utara Pulau Raas.

Page 158: Hasyim, Bidawi - 2009

131

Zona penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan

September sedikit mengalami perubahan lokasi karena terjadinya pergeseran ZPPI

dibandingkan bulan sebelumnya. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan yang

menggunakan perahu/kapal motor dibawah 10 GT diarahkan mengakses ZPPI

dalam unit spasial dengan kelas sedang yang bergeser dari sebelah barat ke

sebelah timur Tanjung Pecinan, sedangkan untuk nelayan yang menggunakan

perahu/kapal motor diatas 10 GT masih diarahkan pada ZPPI dalam 2 unit spasial

masing-masing kelas sedang dan padat pada lokasi yang sama dengan bulan

sebelumnya. Nelayan Tanjung Pecinan diarahkan bekerjasama dengan nelayan

Besuki melakukan penangkapan pada ZPPI virtual di perairan utara sampai timur

laut Besuki. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor

diatas 20 GT juga diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan penangkapan

masing-masing pada ZPPI virtual di utara Probolinggo dan selatan Pamekasan.

Kelompok nelayan lainnya diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan

kerjasama penangkapan pada ZPPI di utara Pondok Mimbo, serta antara selatan

hingga tenggara Sumenep. Jika kondisi angin dan gelombang memungkinkan,

nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT

juga diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan penangkapan pada ZPPI

virtual di sebelah utara, serta mulai timur sampai timur laut Pondok Mimbo.

Nelayan Tanjung Pecinan bersama nelayan Besuki juga dapat diarahkan

melakukan kerjasama penangkapan di perairan Laut Jawa bagian timur khususnya

memperluas wilayah penangkapannya pada ZPPI virtual dalam unit spasial kelas

rendah sampai sedang antara utara Sumenep sampai utara Pulau Raas.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan

Oktober, harus dilakukan lokasi yang berbeda khususnya bagi yang menggunakan

perahu/kapal motor ukuran sampai 20 GT. Perubahan lokasi penangkapan ini

perlu dilakukan karena ZPPI yang sebelumnya berada dalam unit spasial kelas

sedang di sebelah timur sampai timur laut Tanjung Pecinan telah berpindah ke

sebelah barat sampai barat laut PPI Tanjung Pecinan, sedangkan 2 unit spasial

yang sebelumnya dalam kelas sedang dan padat mengalami penurunan menjadi

kelas rendah dan sedang. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan

perahu/kapal motor diatas 20 GT diarahkan bekerjasama dengan nelayan Besuki

Page 159: Hasyim, Bidawi - 2009

132

dan Probolinggo mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial pada perairan di atas

20 km antara sebelah barat laut Besuki dan Probolinggo. Nelayan Tanjung

Pecinan yang melakukan kegiatan penangkapan ke arah timur diarahkan

melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan nelayan Besuki mengakses ZPPI

virtual di utara Pondok Mimbo dan selatan Sumenep, serta di sebelah selatan

Pulau Sepudi. Nelayan juga diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan

kerjasama mengakses ZPPI virtual di perairan sebelah timur laut sampai timur

Pondok Mimbo. Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT

dan sanggup melakukan kegiatan penangkapan minimal satu minggu, dapat

diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama dengan nelayan

Sumenep dan Pulau Sepudi mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas

rendah dan sedang di perairan Laut Jawa bagian timur antara utara Pamekasan

sampai utara Pulau Raas.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan

November, harus dilakukan dengan pola yang berbeda dibandingkan bulan

sebelumnya. Perubahan pola penangkapan ikan harus dilakukan oleh nelayan

Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT karena

ZPPI yang dapat dijadikan sasaran lokasi penangkapan hanya terdapat dalam unit

spasial dalam kelas padat di timur laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan yang

menggunakan perahu/kapal motor sampai 20 GT juga dapat diarahkan melakukan

kerjasama mengakses ZPPI virtual di sisi timur laut sampai utara PPI Besuki.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan ke arah barat diarahkan

bekerjasama dengan nelayan Besuki mengakses ZPPI virtual antara barat laut

Besuki dan timur laut Probolinggo. Nelayan Tanjung Pecinan bersama nelayan

Besuki bekerjasama dengan nelayan lokal mengakses ZPPI virtual dalam zona

PPI Probolinggo. Nelayan Tanjung Pecinan bersama nelayan Besuki juga

diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI di selatan

Pamekasan dan di selatan Sumenep. Kelompok nelayan lain yang mampu

melakukan kegiatan penangkapan beberapa hari dapat diarahkan bersama nelayan

Besuki yang juga menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT bekerjasama

mengakses ZPPI virtual antara perairan dalam zona Pondok Mimbo hingga

perairan selatan sampai tenggara Pulau Raas, juga bekerjasama dengan nelayan

Page 160: Hasyim, Bidawi - 2009

133

Sumenep melakukan penangkapan di perairan Laut Jawa bagian timur mengakses

ZPPI virtual dalam unit spasial kelas rendah hingga sedang antara utara Sumenep

sampai utara Pulau Raas.

Melalui kerjasama operasional penangkapan ikan maka nelayan dari PPI

Tanjung Pecinan dapat mengakses antara 1 sampai 3 ZPPI (bulanan) dalam zona

PPI Tanjung Pecinan. Dengan melaksanakan kerjasama operasional penangkapan

ikan maka nelayan Tanjung Pecinan dapat mengakses antara 21 sampai dengan 39

ZPPI virtual dala zona PPI di sekitarnya (Lampiran 12.2).

6.3.3 Pengaturan pola kegiatan penangkapan ikan bagi nelayan

Pondok Mimbo

PPI Pondok Mimbo mempunyai keuntungan dari segi geografi karena

terletak di sisi timur Selat Madura bagian selatan sehingga nelayan berpeluang

mengakses sebaran ZPPI pada perairan yang luas sampai Laut Bali bagian barat.

Namun demikian, nelayan Pondok Mimbo mempunyai kelemahan teknis dari

segi ukuran perahu/kapal motor serta kendala akibat angin dan gelombang pada

waktu musim timur. Kelemahan ini mengakibatkan nelayan Pondok Mimbo tidak

mampu mengakses sebaran ZPPI yang ada di perairan sekitar Pondok Mimbo

yang berada di atas zona 20 km. Kelemahan ini juga berdampak pada keterbasan

bahkan ketidakmampuan nelayan Pondok Mimbo melakukan kerjasama

penangkapan ikan untuk mengakses ZPPI virtual dalam zona PPI sekitarnya.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan

Desember yang merupakan bulan pertama musim barat, hanya dapat dilakukan

dengan mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas rendah dalam zona 20

km dan di perbatasan zona di atas 20 km yang terdapat di sebelah utara, timur dan

timur laut PPI Pondok Mimbo. Dalam upaya memelihara keseimbangan hasil

tangkapan oleh nelayan Pondok Mimbo maka nelayan yang menggunakan

perahu/kapal motor ukuran sampai 10 GT diarahkan melakukan penangkapan ikan

pada ZPPI dalam zona 20 km di sebelah utara dan sebelah timur Pondok Mimbo,

sedangkan nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor 10 – 20 GT diarahkan

melakukan penangkapan pada ZPPI terdekat di luar zona 20 km sebelah timur dan

Page 161: Hasyim, Bidawi - 2009

134

timur laut PPI Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan tidak dapat dilakukan

pada sebaran ZPPI lainnya karena berada di luar jangkauan perahu/kapal motor

Pondok Mimbo. Nelayan Pondok Mimbo hanya mempunyai peluang melakukan

kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI virtual di sisi barat laut PPI

Tanjung Pecinan. Nelayan Pondok Mimbo dapat melakukan kegiatan

penangkapan ikan selama bulan Desember sepenuhnya karena tidak terpengaruh

oleh angin dan gelombang musim barat.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Januari

hanya berpeluang dilakukan pada ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang

dalam zona 20 km di sebelah utara dan sebelah timur laut PPI Pondok Mimbo.

Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran 20 GT masih berpeluang

memperluas zona penangkapannya mengakses ZPPI dalam unit spasial kelas

sedang di sebelah utara Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan tidak dapat

dilakukan pada ZPPI lainnya dalam zona penangkapan PPI Pondok Mimbo

sebagai akibat keterbatasan ukuran perahu/kapal motor dan kebiasaan kegiatan

penangkapan ikan one day fishing. Nelayan juga diarahkanbekerjasama

mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas sedang di sebelah timur laut

Tanjung Pecinan. Kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan sepenuhnya karena

tidak terpengaruh oleh angin dan gelombang musim barat.

Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Februari yang merupakan akhir

musim barat yaitu, dapat dilakukan oleh nelayan yang menggunakan perahu/kapal

motor sampai ukuran 10 GT mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas

sedang yang berlokasi di sebelah utara Pondok Mimbo, sedangkan perahu/kapal

motor dengan ukuran 10 – 20 GT dapat diarahkan mengakses ZPPI dalam unit

spasial kelas sedang di timur laut Pondok Mimbo. Disamping meningkatkan

kegiatan penangkapan ikan dalam zona PPI Pondok Mimbo sendiri, nelayan yang

menggunakan perahu/kapal motor ukuran 10 – 20 GT juga dapat diarahkan

melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual antara timur laut hingga barat laut

Tanjung Pecinan. Pada akhir musim barat, nelayan Pondok Mimbo masih dapat

melakukan kegiatan penangkapan ikan sepenuhnya karena tidak berpengaruh oleh

angin musim barat, sedangkan angin dari arah timur masih sangat lemah dengan

frekuensi yang rendah.

Page 162: Hasyim, Bidawi - 2009

135

Kegiatan penagkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Maret,

mempunyai pola yang berbeda dibandingkan bulan sebelumnya. Nelayan

berpeluang diarahkan untuk melakukan penangkapan pada ZPPI dalam unit

spasial masing-masing kelas sedang dan rendah di sebelah utara dan timur laut

Pondok Mimbo. Namun demikian, sebagai akibat keterbatasan perahu/kapal

motor dan sistem penangkapan one day fishing maka kegiatan penangkapan tidak

dapat dilakukan pada sebaran ZPPI dalam wilayah yang cukup luas di utara, timur

laut dan timur Pondok Mimbo. Memperhatikan faktor efisiensi dan ukuran

perahu/kapal motor yang ada, nelayan hanya berpeluang diarahkan melakukan

kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam unit spasial di barat laut dan

timur laut Tanjung Pecinan. Angin yang dominan di Selat Madura datang dari

barat dan barat laut mempunyai kecepatan rendah, memberi peluang bagi nelayan

Pondok Mimbo untuk melakukan penangkapan ikan sepenuhnya.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan April,

berpeluang memperoleh hasil yang baik jika dilakukan pada ZPPI dalam unit

spasial kelas sedang dan rendah di perairan dalam zona 20 km di sisi utara, timur

laut dan sebelah timur PPI Pondok Mimbo. Sebaran ZPPI di luar zona 20 km di

sebelah utara, timur laut dan timur Pondo Mimbo berada di luar jangkauan

perahu/kapal motor yang ada di PPI Pondok Mimbo. Nelayan Pondok Mimbo

juga dapat diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI

yang ada di sebelah timur laut Tanjung Pecinan. Nelayan Pondok Mimbo dapat

melakukan kegiatan penangkapan ikan selama bulan April karena kecepatan

angin memungkinkan bagi nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan,

namun nelayan tradisional atau yang menggunakan perahu/kapal motor kecil (<5

GT) harus memperhatikan perubahan angin yang datang dari timur.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Mei

hanya berpeluang mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang pada

jarak sekitar 20 km di sebelah utara, timur laut dan tenggara PPI Pondok Mimbo.

Kegiatan penangkapan ikan tidak dapat dilakukan pada ZPPI lainnya karena

lokasinya berada di luar jangkauan perahu/kapal motor Pondok Mimbo. Nelayan

Pondok Mimbo dapat memperluas zona penangkapannya melalui kerjasama

penangkapan mengakses ZPPI virtual sebelah timur laut dan barat laut PPI

Page 163: Hasyim, Bidawi - 2009

136

Tanjung Pecinan. Angin sewaktu-waktu datang dari timur dapat mencapai

kecepatan lebih dari 17 knot meskipun dengan frekuensi yang rendah, namun

nelayan harus mulai berhati-hati dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Juni

yang merupakan bulan pertama musim timur, sudah mulai terkendala oleh angin

dan gelombang yang datang dari arah timur dan tenggara. Meskipun terdapat

ZPPI di sebelah timur Pondok Mimbo dan dari segi jaraknya dapat diakses oleh

nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran maksimum 10 GT, namun

terkendala oleh angin dan gelombang. Karena hambatan angin maka nelayan yang

menggunakan perahu/kapal motor 10 – 20 GT juga akan menghadapi kesulitan

untuk mengakses ZPPI dalam 3 unit spasial dengan kelas sedang dan rendah di

sebelah timur PPI Pondok Mimbo pada perbatasan zona 20 km. Faktor angin dan

gelombang perlu mendapat perhatian karena kondisi angin kencang dan

gelombang tinggi dapat menggagalkan penangkapan ikan akibat jaring yang

melipat. Kondisi ini dibuktikan pada saat uji coba penerapan ZPPI dalam

penangkapan ikan pada 10, hanya 1 lokasi yang mendapatkan ikan hasil

tangkapan hanya 200 kg. Nelayan trandisional dan yang menggunakan

perahu/kapal motor sampai 10 GT juga diarahkan melakukan kerjasama

penangkapan ikan pada ZPPI antara Pondok Mimbo dan Tanjung Pecinan,

sementara nelayan dengan perahu/kapal motor 20 GT juga diarahkan melakukan

kerjasama penangkapan pada ZPPI di barat laut Tanjung Pecinan. Nelayan

Pondok Mimbo tidak mungkin diarahkan melakukan penangkapan pada ZPPI lain

dalam zona PPI Pondok Mimbo atau mengakses ZPPI virtual dalam zona PPI lain

karena terkendala oleh angin dan gelombang.

Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Juli, dapat diarahkan pada ZPPI

yang terdekat dalam unit spasial masing-masing dengan kelas rendah dan sedang

di sebelah timur dan utara Pondok Mimbo. Meskipun di sebelah timur Pondok

Mimbo terdapat zona penangkapan yang cukup luas, namun hanya ZPPI terdekat

saja yang berpeluang diakses karena keterbatasan ukuran perahu/kapal motor serta

kondisi angin dan gelombang yang menghambat kegiatan penangkapan ikan.

Nelayan Pondok Mimbo yang menggunakan perahu/kapal motor 20 GT dapat

memperluas wilayah penangkapannya ke sebelah barat melalui kerjasama

Page 164: Hasyim, Bidawi - 2009

137

penangkapan pada ZPPI virtual dalam zona PPI Tanjung Pacinan. Meskipun

terdapat ZPPI dalam area yang luas di sebelah timur laut sampai tenggara PPI

Pondok Mimbo, namun tidak mungkin diakses oleh nelayan Pondok Mimbo

karena jaraknya terlalu jauh serta terkendala oleh angin dan gelombang.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan

Agutus, harus bergeser lebih ke barat dibandingkan sebelumnya. ZPPI untuk

lokasi penangkapan nelayan Pondok Mimbo, terdapat dalam unit spasial dengan

kelas sedang di sebelah utara serta mulai dari sebelah timur laut sampai tenggara

PPI Pondok Mimbo, namun kondisi angin dan gelombang yang sudah sangat

didominasi oleh angin kecang dan gelombang tinggi hanya mampu mengakses

ZPPI terdekat. Akibat keterbatasan teknis perahu/kapal motor serta kondisi angin

dan gelombang maka nelayan hanya berpeluang melakukan kegiatan penangkapan

pada ZPPI di sebelah barat laut PPI Pondok Mimbo. Nelayan diarahkan

melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual di sebelah barat, barat laut dan

timur laut Tanjung Pecinan.

Kegiatan penangkapan ikan di sekitar PPI Pondok Mimbo pada bulan

September, masih terkendala oleh angin kencang dan gelombang tinggi dari arah

timur. Jika kondisi angin dan gelombang memungkinkan, nelayan dapat diarahkan

pada ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang di sebelah barat laut PPI

Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan juga tidak mungkin diarahkan ke

ZPPI dalam wilayah perairan yang luas di sebelah timur Pondok Mimbo karena

jaraknya terlalu jauh untuk dapat dijangkau oleh perahu/kapal motor yang ada

serta terkendala oleh angin dan gelombang musim timur. Nelayan Pondok Mimbo

dengan perahu/kapal motor 10 - 20 GT dapat diarahkan melakukan kerjasama

mengakses ZPPI virtual di sebelah timur dan timur Tanjung Pecinan.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan

Oktober, berpeluang mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang dan

rendah yang ada di sebelah timur PPI Pondok Mimbo karena sudah tidak

terkendala oleh angin dan gelombang. Sebaran ZPPI yang mencakup wilayah

perairan yang luas di sebelah timur PPI Pondok Mimbo tidak mungkin diakses

karena keterbatasan jangkauan perahu/kapal motor, dan hanya berpeluang

diarahkan pada ZPPI terdekat di sebelah timur dan timur laut Pondok Mimbo.

Page 165: Hasyim, Bidawi - 2009

138

Nelayan juga berpeluang diarahkan melakukan penangkapan ikan pada ZPPI di

sebelah utara Pondok Mimbo. Agar mempunyai peluang keberhasilan cukup baik

maka nelayan tradisional diarahkan pada beberapa unit spasial dalam zona 20 km

sampai perairan pantai di sebelah timur laut Pondok Mimbo. Nelayan yang

menggunakan perahu/kapal motor sampai ukuran 10 GT diarahkan melakukan

kerjasama dengan nelayan Tanjung Pecinan melakukan penangkapan pada ZPPI

virtual di sebelah barat laut PPI Tanjung Pecinan, sedangkan yang menggunakan

perahu/kapal motor ukuran 10 - 20 GT diarahkan melakukan kerjasama

penangkapan pada ZPPI virtual sebelah timur laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan

Pondok Mimbo sudah dapat melakukan kegiatan penangkapan sepenuhnya,

karena kecepatan dan frekuensi angin dari arah timur sudah rendah dan tidak

menghambat kegiatan penangkapan ikan.

Pada akhir musim peralihan kedua yaitu bulan November, kegiatan

penangkapan ikan diarahkan pada 3 lokasi yaitu pada ZPPI dalam unit spasial

dengan kelas rendah di sebelah utara, sebelah timur dan timur laut Pondok Mimbo

masing-masing dalam kelas sedang dan rendah. Kegiatan penangkapan ikan oleh

nelayan Pondok Mimbo yang menggunakan perahu/kapal motor dibawah 10 GT

diarahkan pada unit spasial sebelah utara dan timur Pondok Mimbo, sedangkan

perahu/kapal motor 10 – 20 GT diarahkan pada ZPPI lainnya di sebelah timur laut

PPI Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo

juga dapat diarahkan memperluas zona penangkapannya melalui kerjasama

mengakses ZPPI virtual di perairan sebelah timur laut PPI Tanjung Pecinan,

sedangkan nelayan tradisionil yang berada di sisi barat Pondok Mimbo diarahkan

melakukan kerjasama penangkapan ikan sesama nelayan tradisional pada ZPPI

virtual sebelah barat – barat laut Tanjung Pecinan. Nelayan Pondok Mimbo dapat

melakukan penangkapan ikan selama bulan November karena tidak terkendala

oleh angin dan gelombang.

Zona PPI Pondok Mimbo mempunyai cukup banyak ZPPI, namun tidak

dapat diakses karena keterbatasan kemampuan teknis perahu/kapal motor, hanya

sedikit ZPPI yang dapat diakses dan tidak mampu memanfaatkan ZPPI virtual

yang ada pada zona PPI di sekitarnya (Lampiran 12.3). Disamping keterbatasan

kemampuan teknis, nelayan Pondok Mimbo juga masih dihadapkan pada kendala

Page 166: Hasyim, Bidawi - 2009

139

angin dari timur yang bertiup kencang disertai gelombang tinggi, sehingga hanya

ZPPI dalam 5 unit spasial yang dapat diakses dari antara 8 sampai 15 unit spasial

yang ada di sekitar PPI Pondok Mimbo.

6.3.4 Pengembangan pemanfaatan hasil tangkapan

Secara geografis PPI di wilayah Kabupaten Situbondo mempunyai

keuntungan karena merupakan titik penghubung dengan Surabaya ke arah barat,

dengan Banyuwangi dan Bali di sebelah timur, serta dengan Bondowoso di

sebelah selatan. Dalam upaya pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten

Situbondo perlu dilakukan kerjasama antara Kabupaten Situbondo dengan

kabupaten sekitarnya terutama yang meluputi 2 (dua) lingkup kerjasama yaitu

kerjasama penangkapan dan kerjasama pengelolaan ikan hasil tangkapan.

Untuk meningkatkan nilai jual hasil tangkapan ke masing-masing daerah

sekitar Kabupaten Situbondo dapat dilakukan pembagian jenis ikan hasil

tangkapan untuk masing-masing daerah tujuan sebagai berikut :

1) Banyuwangi : penjualan ikan hasil tangkapan ke Banyuwangi untuk bahan

baku industri ikan adalah ikan lemuru dan tongkol. Hal ini dilakukan dengan

alasan karena Banyuwangi memiliki industri pengolahan ikan yang dapat

menampung ikan lemuuru dan ikan tongkol untuk bahan baku ikan kaleng,

sedangkan kualitas ikan yang tidak masuk dalam kualifikasi ikan kaleng dapat

diolah menjadi tepung ikan.

2) Bali : penjualan ikan hasil tangkapan ke Bali khusus untuk ikan berkualitas

dan bermutu untuk konsumsi ikan bagi wisatawan seperti ikan kerapu dan

udang. Jika diperhatikan dari segi nilai ekonomi maka pengiriman dan

penjualan ikan tersebut ke Bali sebenarnya mempunyai keuntungan, namun

ikan hasil tangkapannya kurang memadai sehingga perlu pengaturan

penangkapan ikan tersebut yang lebih baik lagi.

3) Bondowoso : Penjualan ikan hasil tangkapan ke Bondowoso untuk memenuhi

keperluan konsumsi ikan baik berupa ikan tongkol, kembung, layang, dan

kakap. Pemasaran ikan ke Bondowaso mempunyai prospek untuk

dikembangkan karena Kabupaten Bondowoso tidak memiliki perairan laut,

Page 167: Hasyim, Bidawi - 2009

140

sehingga tidak ada saingan produksi dalam daerahnya sendiri. Namun

demikian, pemasaran ikan hasil tangkapan ke Bondowoso kemungkinan besar

akan bersaing dengan pasokan ikan dari Jember yang terletak di sebelah

selatan Bondowoso dan menangkap ikan di Samudera Hindia.

4) Surabaya : penjualan ikan hasil tangkapan ke Surabaya untuk memenuhi

keperluan konsumsi ikan jenis tongkol, layang, kerapu, kakap, dan kembung.

Pasokan ikan ke Surabaya harus mengandalkan kualitas ikan hasil tangkapan

karena kemungkinan besar akan bersaing dengan pasokan ikan dari

Probolinggo dan Malang yang secara geografis lebih dekat ke Surabaya

dibandingan Situbondo. Jarak antara Situbondo dengan Surabaya yang lebih

jauh juga akan berdampak pada biaya pengangkutan ikan menjadi lebih tinggi

dibandingkan dari Probolinggo dan Malang.

Jenis ikan lain yang banyak tertangkap oleh nelayan Situbondo bahkan

kadang-kadang melimpah dan tidak masuk dalam kategori di atas seperti ikan

layang dan kembung, dapat diperoses melalui sistem pemindangan modern yang

sudah mulai dirintis untuk dikembangkan di PPI Pondok Mimbo, atau untuk

konsumsi lokal masyarakat Kabupaten Situbondo.

6.3.5 Diskusi pola penangkapan dan pengelolaan ikan hasil tangkapan

Unit spasial dalam zona PPI Besuki yang dapat dijadikan arahan kegiatan

penangkapan ikan selalu mengalami perubahan baik dari segi distribusi maupun

kelas kepadatannya. Dibandingkan unit spasial untuk kegiatan penangkapan ikan

di atas 20 km, distribusi unit spasial untuk sasaran kegiatan penangkapan ikan

yang paling banyak mengalami perubahan adalah yang mencakup zona

penangkapan ikan di bawah 20 km. Demikian juga dengan unit spasial dalam

kegiatan penangkapan ikan dalam zona PPI Tanjung Pecinan yang paling banyak

mengalami perubahan adalah yang di sebelah barat dan timur PPI Tanjung

Pecinan, dibandingkan unit spasial dalam zona penangkapan di atas 20 km.

Perubahan distribusi unit spasial untuk kegiatan penangkapan ikan di sekitar PPI

Pondok Mimbo mengalami perubahan pada tiga posisi yaitu sebelah utara Pondok

Mimbo dengan perubahan arah barat – timur, sebelah timur laut dengan

Page 168: Hasyim, Bidawi - 2009

141

perubahan barat – timur dan utara – selatan, serta sebelah timur Pondok mimbo

dengan pergeseran barat timur. Demikian juga dengan kelas kepadatan ZPPI

dalam masing-masing unit spasial selalu mengalami perubahan mulai dari kelas

rendah sampai kelas sangat padat, dan kepadatan ZPPI yang paling sering adalah

dalam kelas sedang.

Dinamika ZPPI dalam unit spasial secara mingguan dan bulanan didukung

dengan data tentang fenomena oseanografi, klimatologi dan prilaku ikan pelagis

yang ada di Selat Madura, dapat digunakan untuk melakukan peramalan tentang

ZPPI untuk beberapa waktu kedepan, juga pada saat kesulitan mendapatkan data

SST dan klorofil-a dari satelit penginderaan jauh karena hambatan tutupan awan.

Hal ini sangat penting untuk memelihara kontinuitas informasi spasial ZPPI

kepada nelayan untuk mendukung kegiatan dan produktivitas penangkapan ikan.

Nelayan Besuki memiliki kemampuan teknis yang tinggi karena dalam

melaksanakan kegiatan penangkapan didukung oleh perahu/kapal motor ukuran di

atas 20 GT paling banyak (249 unit) dibandingkan nelayan dari PPI lainnya,

sehinggan disamping mampu mengakses zona penangkapan diatas 20 km di utara

Besuki juga mampu mengakses daerah penangkapan ikan yang jauh lebih luas,

dapat mencapai kawasan lain di Selat Madura dan bagian timur Laut Jawa bagian

selatan secara lebih aman. Nelayan Tanjung Pecinan meskipun memiliki zona

penangkapan yang paling sempit, namun memiliki kemampuan teknis yang dapat

mengakses kawasan Selat Madura dan sekitarnya secara lebih aman karena

kegiatan penangkapan ikan didukung oleh perahu/kapal motor ukuran di atas 20

GT sebanyak 183 unit. Nelayan Pondok Mimbo mempunyai prospek ZPPI yang

paling tinggi tersebar dalam zona penangkapan paling luas dibandingkan dengan

nelayan Besuki dan Tanjung Pecinan, namun karena memiliki kemampuan teknis

yang paling rendah (tidak punya perahu/kapal motor ukuran di atas 20 GT),

sehingga tidak mampu mengakses sebaran ZPPI yang ada di sekitarnya. Nelayan

dari PPI Pondok Mimbo, juga menghadapi kendala angin kencang dan gelombang

tinggi di musim timur sehingga tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan

selama Selat Madura bagian timur dipengaruhi oleh angin timur dan tenggara.

Beradasarkan sebaran ZPPI dan jumlah perahu motor pada masing-masing

kategori ukuran untuk zona penangkapan ikan bagi perahu motor kategori

Page 169: Hasyim, Bidawi - 2009

142

bersangkutan, nelayan Besuki yang menggunakan perahu motor 5 – 10 GT

diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI virtual dalam

zona 4 – 10 km sekitar PPI Probolinggo, PPI Tanjung Pecinan dan PPI Pondok

Mimbo. Perbandingan antara luas zona penangkapan ikan dengan jumlah

perahu/kapal motor untuk kategori yang bersangkutan, nelayan Tanjung Pecinan

yang menggunakan perahu motor ukuran sampai 5 GT juga perahu motor 10 – 20

GT diarahkan melakukan kerjasama dengan nelayan Besuki dan Pondok Mimbo,

masing-masing melakukan penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam zona 0 –

4 km dan 10 – 20 km. Nelayan Besuki dan Tanjung Pecinan yang menggunakan

perahu motor diatas 20 GT diarahkan melakukan kerjasama mengakses ZPPI

virtual dalam zona di atas 20 km mulai sebelah utara Probolinggo sampai timur

laut Pondok Mimbo. Pada waktu musim timur, diarahkan melakukan kerjasama

dengan nelayan setempat mengakses ZPPI virtual di Laut Jawa antara utara

Sampang sampai sebelah utara Pulau Raas. Jika ditinjau dari segi peluang

terjadinya konflik antar nelayan akibat ketidak seimbangan antara luas zona

penangkapan dengan jumlah perahu/kapal motor pada masing-masing kategori,

nelayan Pondok Mimbo dalam kondisi paling aman dan perlu mengoptimalkan

pemanfaatan ZPPI di sebelah utara, timur laut dan timur laut PPI Pondok Mimbo

sendiri. Namun demikian, nelayan Pondok Mimbo akan menghadapi kendala

dalam melakukan penangkapan ikan pada musim timur karena kendala angin

kencang dan gelombang tinggi. Hanya nelayan dengan perahu motor 5 – 10 GT

yang berpeluang melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual di sebelah timur

dan timur laut PPI Tanjung Pecinan.

Melalui kerjasama, nelayan dapat mengakses ZPPI dalam unit spasial lebih

banyak dalam rangka meningkatkan produktivitas hasil tangkapan ikan untuk

kesejahteraan nelayan dan pembangunan perikanan Kabupaten Situbondo,

meningkatkan pendapatan nelayan serta pelaku perikanan tangkap dari penjualan

ikan hasil tangkapan, dan mencegah terjadinya overfishing.

Page 170: Hasyim, Bidawi - 2009

143

7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan sintesis dari suhu permukaan laut (1996 – 2005) dan klorofil-a di

Selat Madura dan perairan sekitarnya yang diperoleh dari data satelit

penginderaan jauh, dapat diperoleh informasi bahwa ZPPI dalam unit spasial

dan unit spasial yang prospektif untuk penangkapan ikan berubah-ubah secara

spasial dan temporal. ZPPI di sekitar PPI Besuki mengalami pergeseran arah

barat timur dalam selang koordinat 113o 30’ – 113 o 50’ BT dan 7 o 20’ – 7 o

45’ LS, ZPPI di sekitar Tanjung Pecinan juga mengalami pergeseran arah

barat timur dalam koordinat 113 o 50’ – 114 o 6’ 30” BT dan 7 o 20’ – 7 o 40’

LS, sedangkan ZPPI sekitar PPI Pondok Mimbo mengalami pergeseran arah

barat timur serta utara selatan dalam koordinat 114 o 6’ 30” – 115 o BT dan 7 o

20’ – 7 o 55’ 30” LS. Sebaran ZPPI yang paling banyak mengalami perubahan

adalah dalam zona 20 km yaitu untuk kegiatan penangkapan ikan bagi

perahu/kapal motor sampai ukuran 20 GT.

2. Menurut keberadaan dan sebaran ZPPI serta kemampuan teknis, nelayan

Besuki memiliki daerah penangkapan ikan yang jauh lebih luas dari nelayan

lokal lain karena dapat mencapai kawasan lain secara lebih aman. Nelayan

Tanjung Pecinan memiliki zona penangkapan yang paling sempit, namun

kemampuan teknis yang dapat mengakses kawasan Selat Madura dan

sekitarnya secara lebih aman. Sebaliknya, nelayan Pondok Mimbo mempunyai

prospek potensi sumberdaya ikan yang paling tinggi dibandingkan dengan

nelayan Besuki dan Tanjung Pecinan, namun mempunyai kemampuan teknis

paling rendah, sehingga tidak mampu mengakses sebaran ZPPI yang ada di

sekitarnya. Nelayan dari PPI Pondok Mimbo, disamping faktor rendahnya

kemampuan teknis, juga menghadapi kendala angin kencang dan gelombang

tinggi di musim timur, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan

ikan selama musim timur.

Page 171: Hasyim, Bidawi - 2009

144

3. Untuk memanfaatkan ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya,

dikembangkan skenario kerjasama penangkapan ikan oleh nelayan Kabupaten

Situbondo sebagai berikut :

a. Nelayan Besuki yang menggunakan perahu motor 5 – 10 GT diarahkan

melakukan kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI virtual dalam

zona 4 – 10 km sekitar PPI Probolinggo dan Tanjung Pecinan.

b. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu motor ukuran sampai

5 GT juga dengan ukuran 10 – 20 GT diarahkan melakukan kerjasama

dengan nelayan lokal, masing-masing melakukan penangkapan mengakses

ZPPI virtual dalam zona 0 – 4 km dan 10 – 20 km dalam zona PPI Besuki

dan Pondok Mimbo

c. Nelayan Pondok Mimbo perlu mengoptimalkan pemanfaatan ZPPI di

sebelah utara, timur laut dan timur PPI Pondok Mimbo. Namun demikian,

nelayan Pondok Mimbo akan menghadapi kendala dalam melakukan

penangkapan ikan pada musim timur karena kendala angin kencang dan

gelombang tinggi. Hanya nelayan dengan perahu motor 5 – 10 GT yang

berpeluang melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual di sebelah timur

dan timur laut PPI Tanjung Pecinan.

d. Nelayan Besuki dan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu motor di

atas 20 GT diarahkan melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam

zona di atas 20 km mulai sebelah utara Probolinggo sampai timur laut

Pondok Mimbo. Pada waktu musim timur, diarahkan melakukan kerjasama

dengan nelayan setempat mengakses ZPPI virtual di Laut Jawa antara utara

Sampang sampai sebelah utara Pulau Raas.

Melalui kerjasama penangkapan ikan regional (kabupaten di sekitar Selat

Madura dan sekitarnya), nelayan dapat mengakses ZPPI dalam unit spasial

lebih banyak dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pengelolaan ikan

hasil tangkapan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembangunan

perikanan tangkap Kabupaten Situbondo.

Page 172: Hasyim, Bidawi - 2009

145

7.2 Saran

Sebagai penutup dari disertasi ini disampaikan saran yang diharapkan dapat

ditindak lanjuti oleh pihak pemangku kepentingan di Kabupaten Situbondo atau

penelitian lainnya, sebagai berikut :

1. Perlu mengembangkan dan menerapkan informasi spasial ZPPI dengan

menggunakan data SPL dan kandungan klorofil-a yang diperoleh dari

penginderaan jauh MODIS, karena data SPL dan klorofil-a mempunyai

resolusi spasial dan diperoleh pada waktu yang sama.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut termasuk kerjasama dengan instansi

terkait dan perguruan tinggi untuk meningkatkan akurasi informasi spasial

ZPPI berdasarkan data satelit penginderaan jauh dengan menggunakan

parameter oseanografi yang lebih lengkap seperti : sumberdaya ikan, arus,

klimatologi, ketinggian muka air laut (SSH) untuk wilayah perairan laut yang

luas, serta untuk karakteristik perairan laut yang berbeda.

3. Pemerintah Kabupaten Situbondo selayaknya memfasilitasi kerjasama

perikanan tangkap terpadu dengan kabupaten Probolinggo, Sampang,

Pamekasan, Sumenep, Banyuwangi, dan Provinsi Jawa Timur. Kerjasama

antar Pemerintah Daerah ini tidak terbatas pada akses zona penangkapan ikan,

tetapi juga termasuk pembangunan jaringan industri perikanan yang

melibatkan sub-sistem penangkapan ikan yang berpusat di tepian selatan Selat

Madura (diantaranya adalah Situbondo) dan sub-sistem pengolahan ikan yang

saat ini berpusat di Banyuwangi.

Page 173: Hasyim, Bidawi - 2009

146

8 DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Laporan Kegiatan Sosialisasi dan Penerapan Informasi Zona

Potensi Ikan di Kota Bengkulu. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan

Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional. 53 halaman.

Anonim. 2002. Laporan Kegiatan Sosialisasi dan Penerapan Informasi Zona

Potensi Ikan di Kabupaten Badung, Bali Selatan. Pusat Pengembangan

Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan

Antariksa Nasional. 63 halaman.

Anonim. 2002. Laporan Kegiatan Sosialisasi dan Penerapan Informasi Zona

Potensi Ikan di Kabupaten Kota Pekalongan. Pusat Pengembangan

Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan

Antariksa Nasional. 66 halaman.

Bappenas. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Jakarta. 98

halaman.

Barnes R. S. K., and R. N. Hughes. 1988. An Introduction to Marine Ecology.

Bintoro G. 2005. Pemanfaatan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Tembang

(Sardinella Funbriata Valenciennes, 1847) di Selat Madura Jawa Timur.

Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 291 halaman.

BPS dan Bappeda Tingkat II Situbondo. 1996. Situbondo Dalam Angka 1996. 293

halaman.

Brandt A.V. 1984. Fish Catching Methods of the World. Fishing News Books Ltd.

Farnham – Surrey – England. 418 halaman.

Dahuri R., Rais J., Ginting S.P., dan Sitepu J. 1996. Pengelolaan Sumber Daya

Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. 292 halaman.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia. Jakarta. 412 halaman.

Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.

Jakarta. 233 halaman.

Page 174: Hasyim, Bidawi - 2009

147

Gastellu E. and Mardio P. 1983. The Remote Sensed Sea Surface Temperatue A

Case Study In Indonesia. The Indonesian Journal of Geography. Volume

13, Number 46. Page 13 – 27.

Gordon A.L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow.

Journal Oceanography, Vol. 18, No. 4. 27 Pages.

Hadiat. 2005. Adopsi Informasi Spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan Dengan

Studi Kasus Proses Intermediasi Teknologi Dalam Sistem Inovasi.

Disertasi. Institut Pertanian Bogor. 147 halaman.

Harger J.R.E. 1995. ENSO Variations and Drought Occurrence in Indonesia

and the Philippines. Atmospheric Environment; 29 (16): 1943-1955.

Hartuti M., Manoppo A.K.S., Prayitno Y., dan Noor M. 2006. Laporan Kegiatan

Produksi Informasi bagi Nelayan Perikanan Tangkap Di Wilayah Timur

Indonesia (Pekalongan, Bali, Parepare, Balikpapan, Situbondo, Nusa

Tenggara Timur, dan Biak). Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan

Teknologi Penginderaan Jauh, Deputi Bidang Penginderaan Jauh, Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional. 79 halaman.

Hasyim B. 1986. Penentuan Temperatur Permukaan Laut Mempergunakan Data

AVHRR dengan Analisa Berbagai Saluran. Majalah LAPAN No. 41 Tahun

ke XI. Halaman 31 – 38.

Hasyim B. 2003. Kajian Daerah Penangkapan Ikan dan Budidaya Laut

Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Wilayah Kabupaten Situbondo. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

Lautan IPB. Tesis. 138 halaman.

Hasyim B., Sondita F., Haluan J., dan Kartasasmita M. 2009. Identifikasi Zona

Potensi Penangkapan Ikan di Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

Berdasarkan Data Penginderaan Jauh. Jurnal Kelautan Nasional, Vol. 1

Edisi Khusus Januari 2009. Halaman 165 – 181.

Hela and Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography : The Effect of Environment on

Fish Behaviour and Abundance Fishing News Book. London. 104 halaman.

Hendiarti N., Suwarso, Aldrian E, Amri K, Andiatuti R, Sachomar A, and

Wahyono I.B. 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around

Java. Journal Oceanography Vol. 18, No. 4. Page 113 – 123.

Page 175: Hasyim, Bidawi - 2009

148

Ilahude AG. 1978. On the Factors Affecting the Productivity of the Southern

Makassar Straith. Marine Research in Indonesia. Lembaga Oseanologi

Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Halaman 81 – 106.

Kantor Statistik dan Bappeda Tk. II Situbondo. 1997. Situbondo Dalam Angka

Tahun 1996. Kabupaten Situbondo.

Kostianoy A.G., Ginzburg A.I., Frankignoulle M., and Delille B. 2004. Fronts in

the Southern Indian Ocean as Inferred from Satellite Sea Surface

Temperature Data. Journal of Marine Systems 45. Page 55 – 73.

Lintin M., Badrudin, Wirdaningsih N. 1994. Indeks Kelimpahan Stok Sumber

Daya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian

Perikanan Laut No. 87 Tahun 1994. Halaman 48 – 55.

Lumban Gaol J., Pasaribu B.P., Manurung D., and Endriani R. 2004. The

Fluctuation of Chlorophyl-a Concentration Derived from Satellite and Cath

of Oily Sardine (Sardinela lemuru) in Bali Strait. International Journal

Remote Sensing and Earth Sciences, Vol 1 No. 1. Page 24 – 60.

Lumban Gaol J., Endriani R. A., Manurung D., and Kawaru M. 2007. Pemetaan

Sumber Daya Laut Pulau Nias Dengan Teknologi Penginderaan Jauh Satelit

Pasca-Tsunami 2004. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 12 No. 3.

Halaman 131 - 139.

Laurs M. R. 1993. Integration of Various Satellite – Derived Oceanography

Information for the Identification of Potenstial Fishing Zones. U.S. National

Marine Fisheries Service, Southwest Fisheries Scence Center. La Jolla,

California. 6 pages.

Merta G.S. 2003. Review of the Lemuru Fishery in the Bali Strait. Bology,

Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea.

(Biodinex). The Agency of Marine and Fisheries Research. Jakarta. Page 97

– 105.

Merta G.S. and Eidman F.M. 2003. Prediction of Biomass, Yield and Value of the

Lemuuru (Sardinela lemuru) Fishery in the Bali Strait. (Biodinex). The

Agency of Marine and Fisheries Research. Jakarta. Page 137 – 153.

Page 176: Hasyim, Bidawi - 2009

149

Nahib I., Kaidati B., Fitriah N. 2007. Pemanfaataan Data Aqua Modis untuk

Pengkajian Pendugaan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Besar (Tongkol Dan

Cakalang) di Perairan Teluk Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

Proceeding Geo-Marine Research Forum. Halaman 71 – 92.

Narendra Nath A. 1993. Retrieval of Sea Surface Temperature Using NOAA-

AVHRR Data for Identification of Potential Fishing Zone – Dissemination

and Validation. National Remote Sensing Agency. Hiyderabad, India. 40

pages.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Jambatan. Jakarta. 367 halaman.

Nurhakim S., Nikijuluw V., Nogroho D., and Prisantoso B. 2007. Status

Perikanan Menuurut Wilayah Pengelolaan (Informasi Dasar Pemanfaatan

Berkelanjutan). Pusat Riset Perikanan Tangkap – Badan Riset Kelautan dan

Perikanan. Jakarta. 47 halaman.

Nikijuluw V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat

Pemberdayaan dan Pembangunan Regional dan PT. Pustaka Cidesindo.

Jakarta. 254 halaman.

Pasaribu B.P., Manurung D., and Nugroho D. 2004. Fish Stock Assessment Using

Marine Acoustics Detection And Oceanographical Characteristics In Java

Sea. Jurnal Gayana 68(2): 1-5. Page 466-475.

Pemerintah Kabupaten Sitbondo. 2001. Program Pembangunan Daerah

(PROPEDA) Kabupaten Situbondo 2001-2005. Situbondo.

Pet J.S., Densen W.L.T, Machiels M.A.M,. Sukkel M, Setyohadi D, and

Tumuljadi A. 1997. Length-based Analysis of Population Dynamics and

Stock Identification in the Sardine Fisheries around East Java, Indonesia.

Journal of Fisheries Research 31. Page 107 – 120.

Potier M. and Sadhotomo B. 2003. Exploitation of Large and Medium Seiners

Fisheries. Biodinex. The Agency of Marine and Fisheries Research. Jakarta.

Page 195 – 214.

Qu T., Du Y., Strachan J., Meyer G. S., and Slingo J. 2005. Sea Surface

Temperature And Its Variability In The Indonesian Region Sea Surface

Temperature And Its Variability In The Indonesian Region. Journal

Oceanography Vol. 18, No. 4. Page 51 – 61.

Page 177: Hasyim, Bidawi - 2009

150

Reddy M.P.M. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the

Abundance of Fish Catch. Department of Fishery Oceangraphy. University

of Agricultural Sciences – College of Fisheries. Magalore. 15 halaman.

Sadhotomo G. and Potier M. 2003. Exploratory Scheme for the Recruitment

Migration of the Main Pelagic Species. (Biodinex). The Agency of Marine

and Fisheries Research. Page 155 – 168.

Santos. 2005. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan

Lingkungan. BPMIGAS. Jakarta. 266 halaman.

Santos M. 2000. Fisheries oceanography using satellite and airborne remote

sensing methods: a review. Journal of Fisheries Research 49. Page 1 – 20.

Sediadi A. 2004. Effek Upwelling Terhadap Kelimpahan dan Distribusi

Fitoplankton di Perairan Laut Banda dan Sekitarnya. Jurnal Makara, Sains,

Vol. 8, No. 2. Halaman 43-51

Soegiarto A., Birowo S, dan Sukarno. 1976. Atlas Oseanografi Perairan

Indonesia dan Sekitarnya. Lembaga Oseanologi Nasional – Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia. Buku No. 3. 327 Halaman.

Sugimory Y., Moriyama T., Tejasukmana B., Soesilo I., Swardika K,. 2006.

Estimation of Fishery resources by M-F GIS Using Satellite Data and Its

Application to TAC for Sustainable Fishery Production. International

Journal of Remote Sensing and Earth Sciences. International Society of

Remote sensing and Earth Sciences IeReSES, Volume 3. Denpasar Bali.

112 pages.

Sulistya W., Hartoko A., and Prayitno B. 2007. The Characteristics and

Variability of Sea Surface Temperatur in Java Sea. International Journal of

Remote Sensing and Earth Sciences. International Society of Remote

sensing and Earth Sciences IeReSES, Volume 4. Denpasar Bali. 162 pages.

Sumedi B. 2009. Kebutuhan dan Pengalaman Memanfaatkan Data Satelit

Penginderaan Jauh untuk Perikanan Tangkap di Selat Makassar. Berita

Inderaja LAPAN, Volume VII, No. 13. Halaman 38 – 42.

Page 178: Hasyim, Bidawi - 2009

151

Susilo E. and Ismadi. 2003. The Mobility of Andhon Fishermen in East Java.

Proceeding of Socio Economics, Innovation and Management of the Java

Sea Pelagic Fisheries. Seminar Sosekima. The Agency for Marine and

Fisheries Research. 407 pages.

Triatmodjo B. 1996. Pelabuhan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 299

halaman.

Trisakti B., Hasyim B., Dewanti R., Hartuti M., dan Winarso G. Editor. 2003.

Teknologi Penginderaan Jauh Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Lautan. Jakarta. 109 halaman.

Vasconcellos M,. 2003. An Analysis of Harvest Strategies and Information Needs

in the Purse Seine Fishery for the Brazillian Sardine. Journal of Fisheries

Research 59. Page 363 – 378.

Widodo J. and Burhanuddin. 2003. Systematics of the Small Pelagic Fish Species.

Bology, Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea.

(Biodinex). Page 39 – 48.

Widodo J. 2003. Population Dynamics of Ikan Layang, Scads (Decapterus spp.).

Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea

(Biodinex). The Agency of Marine and Fisheries Research. Page 125 – 136.

Widodo J., Aziz, K.A., Priyono, B.E., Tampubolon T.H., Namin N., dan Djamali

A. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan

Indonesia. Jakarta, 251 halaman

Wirasasmita S. 2007. Penataan Wilayah Pengelolaan Perikanan. Pusat Riset

Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen

Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 48 halaman.

Wudianto. 2001. Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sadinela lemuru

Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali : Kaitannya Dengan Optimasi

Penangkapan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

221 halaman.

Zainuddin M. 2007. Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Kembung

Lelaki (Rastrelliger Kanagurta) di Perairan Kabupaten Bantaeng, Sulawesi

Selatan. Jurnal Sains & Teknologi Vol. 7 No. 2. Halaman 57–64.

Page 179: Hasyim, Bidawi - 2009

1

Lampiran 1 Contoh sebaran SPL a. Sebaran SPL Selat Madura dan sekitarnya bulan Februari

b. Sebaran SPL Selat Madura dan sekitarnya bulan Maret

Page 180: Hasyim, Bidawi - 2009

2

c. Sebaran SPL Selat Madura dan sekitarnya bulan Agustus

d. Sebaran SPL Selat Madura dan sekitarnya bulan Oktober

Page 181: Hasyim, Bidawi - 2009

3

Lampiran 2 Contoh sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya

a. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan Januari

b. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan April

Page 182: Hasyim, Bidawi - 2009

4

c. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan Juli

d. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan Oktober

Page 183: Hasyim, Bidawi - 2009

5

Lampiran 3 Tabel arah, kecepatan dan frekuensi angin di Selat Madura a. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Desember

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 860 - - - - - 860 U - 166 78 27 3 1 275 TL - 108 44 49 11 8 220 T - 100 60 74 11 4 249

TG - 106 22 29 7 21 185 S - 766 92 54 2 1 915

BD - 332 85 63 3 1 484 B - 198 168 88 14 - 468

BL - 172 88 93 6 1 360 TOTAL 860 1948 637 477 57 37 4.016

b. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Januari

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 204 - - - - - 204 U - 33 31 22 2 - 88 TL - 23 16 8 - - 47 T - 17 20 15 2 - 54

TG - 13 21 11 - - 45 S - 31 27 5 - - 63

BD - 15 14 9 - - 38 B - 56 58 44 21 - 179

BL - 31 37 55 19 - 142 TOTAL 204 219 224 169 44 - 860

c. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Februari

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 316 - - - - - 316 U - 31 22 6 1 - 60 TL - 13 4 1 1 - 19 T - 27 15 3 - 1 46

TG - 52 23 3 1 - 79 S - 29 24 6 1 - 60

BD - 21 21 26 6 6 80 B - 99 180 151 33 2 465

BL - 23 32 36 18 - 109 TOTAL 316 295 321 232 61 9 1.234

Page 184: Hasyim, Bidawi - 2009

6

d. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Maret

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 749 - - - - - 749 U - 148 55 14 3 - 220 TL - 85 23 15 - - 123 T - 75 53 13 1 - 142

TG - 11 8 2 - - 21 S - 65 32 8 - - 105

BD - 45 14 6 - 1 66 B - 210 153 105 10 - 478

BL - 70 51 44 12 - 177 TOTAL 749 709 389 207 26 1 2.081

e. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan April

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 709 - - - - - 709 U - 109 35 6 - - 150 TL - 79 24 6 - - 109 T - 135 141 85 1 2 364

TG - 20 34 20 2 - 76 S - 80 46 13 1 - 140

BD - 29 18 2 - - 49 B - 105 45 10 2 - 162

BL - 33 7 4 1 - 45 TOTAL 709 590 350 146 7 2 1804

f. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Mei

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 709 - - - - - 709 U - 106 19 3 1 - 129 TL - 87 23 6 3 1 120 T - 144 153 90 11 4 402

TG - 29 43 31 - 1 104 S - 83 58 20 1 - 162

BD - 30 20 4 - - 54 B - 86 32 4 - - 122

BL - 38 8 1 - - 47 TOTAL 709 603 356 159 16 6 1.849

Page 185: Hasyim, Bidawi - 2009

7

g. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Juni

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 652 - - - - - 652 U - 44 6 - 1 - 51 TL - 50 7 4 - - 61 T - 136 170 140 15 6 467

TG - 40 73 54 6 - 173 S - 84 44 20 2 1 151

BD - 24 3 - - - 27 B - 56 15 2 - - 73

BL - 11 2 1 - - 14 TOTAL 652 445 320 221 24 7 1.669

h. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Juli

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 658 - - - - - 658 U - 32 3 - - - 35 TL - 27 7 2 - - 36 T - 127 177 184 23 4 515

TG - 49 70 62 8 4 193 S - 115 57 25 1 - 198

BD - 19 7 2 2 - 30 B - 54 5 2 - - 61

BL - 11 2 1 - - 14 TOTAL 658 434 328 278 34 8 1740

i. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Agustus

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 637 - - - - - 637 U - 44 9 - - - 53 TL - 32 7 7 - 2 48 T - 155 239 258 24 9 685

TG - 71 126 99 20 1 317 S - 125 68 24 2 1 220

BD - 22 3 1 - - 26 B - 46 15 2 1 - 64

BL - 9 2 - 1 - 12 TOTAL 637 504 469 391 48 13 2.062

Page 186: Hasyim, Bidawi - 2009

8

j. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan September

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 63 - - - - - 63 U - 1 - - - - 1 TL - 4 6 - 1 1 12 T - 52 160 190 190 3 595

TG - 33 86 89 9 2 219 S - 13 30 26 1 - 70

BD - 6 1 1 1 - 9 B - 23 12 1 - - 36

BL - 1 - - - - 1 TOTAL 63 133 295 307 202 6 1.006

k. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Oktober

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 775 - - - - - 775 U - 91 43 - - - 134 TL - 54 37 9 4 - 104 T - 128 162 136 11 - 437

TG - 55 56 39 1 1 152 S - 141 77 33 - - 251

BD - 18 19 6 - - 43 B - 76 39 8 - 1 124

BL - 21 4 - - - 25 TOTAL 775 584 437 231 16 2 2.045

l. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan November

Kecepatan (Knot) dan Frekuensi Arah 0 - 1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17 Total

KALM 844 - - - - - 844 U - 127 61 8 - - 196 TL - 82 20 2 - 1 105 T - 87 81 25 2 - 195

TG - 97 65 41 9 - 212 S - 200 153 72 8 1 434

BD - 49 27 2 4 1 83 B - 153 97 25 1 1 277

BL - 77 70 12 1 1 161 TOTAL 844 872 574 187 25 5 2.507

Page 187: Hasyim, Bidawi - 2009

9

Lampiran 4 Tabel arah, ketinggian dan frekuensi gelombang di Selat Madura a. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Desember

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 Total

TENANG 860 - 27 - - 860 U - 244 49 3 1 275 TL - 152 74 11 8 220 T - 160 31 11 4 249

TG - 126 52 7 21 185 S - 860 64 2 1 915

BD - 416 90 3 1 484 B - 364 93 14 - 468

BL - 260 480 6 1 360 TOTAL 860 2582 57 37 4.016

b. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Januari

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 Total

TENANG 204 - - - - 204 U - 66 20 2 - 88 TL - 39 8 - - 47 T - 35 17 2 - 54

TG - 34 11 - - 45 S - 60 3 - - 63

BD - 29 9 - - 38 B - 112 46 21 - 179

BL - 68 55 19 - 142 TOTAL 204 443 169 44 - 860

c. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Februari

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 Total

TENANG 316 - - - - 316 U - 53 6 1 - 60 TL - 16 2 1 - 19 T - 42 3 - 1 46

TG - 74 4 1 - 79 S - 53 6 1 - 60

BD - 42 26 6 6 80 B - 274 156 33 2 465

BL - 55 36 18 - 109 TOTAL 316 609 239 61 9 1.234

Page 188: Hasyim, Bidawi - 2009

10

d. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Maret

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 Total

TENANG 749 - - - - 749 U - 200 17 3 - 220 TL - 108 15 - - 123 T - 130 11 1 - 142

TG - 19 2 - - 21 S - 97 8 - - 105

BD - 59 6 - 1 66 B - 360 108 10 - 478

BL - 121 44 12 - 177 TOTAL 749 1094 211 26 1 2.081

e. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan April

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 Total

TENANG 709 - - - - 709 U - 144 6 - - 150 TL - 103 6 - - 109 T - 273 88 1 2 364

TG - 54 20 2 - 76 S - 125 14 1 - 140

BD - 47 2 - - 49 B - 152 8 2 - 162

BL - 40 4 1 - 45 TOTAL 709 938 148 7 2 1.804

f. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Mei

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 Total

TENANG 709 - - - - 709 U - 125 3 1 - 129 TL - 110 6 3 1 120 T - 295 92 11 4 402

TG - 71 32 - 1 104 S - 141 20 1 - 162

BD - 52 2 - - 54 B - 118 4 - - 122

BL - 45 2 - - 47 TOTAL 709 957 161 16 6 1.849

Page 189: Hasyim, Bidawi - 2009

11

g. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Juni

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 Total

TENANG 652 - - - - 652 U - 50 - 1 - 51 TL - 57 4 - - 61 T - 304 142 15 6 467

TG - 110 57 6 - 173 S - 128 20 2 1 151

BD - 27 - - - 27 B - 70 3 - - 73

BL - 13 1 - - 14 TOTAL 652 759 227 24 7 1.669

h. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Juli

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 Total

TENANG 658 - - - - 658 U - 35 - - - 35 TL - 34 2 - - 36 T - 299 189 23 4 515

TG - 117 64 8 4 193 S - 171 26 1 - 198

BD - 26 2 2 - 30 B - 59 2 - - 61

BL - 13 1 - - 14 TOTAL 658 754 286 34 8 1.740

i. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Agustus

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 Total

TENANG 637 - - - - 637 U - 53 - - - 53 TL - 39 7 - 2 48 T - 392 260 24 9 685

TG - 195 101 20 1 317 S - 192 25 2 1 220

BD - 25 1 - - 26 B - 61 2 1 - 64

BL - 11 - 1 - 12 TOTAL 637 968 396 48 13 2.062

Page 190: Hasyim, Bidawi - 2009

12

j. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan September

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 TOTAL

TENANG 63 - - - - 63 U - 1 - - - 1 TL - 10 - 1 1 12 T - 207 195 190 3 595

TG - 115 93 9 2 219 S - 43 26 1 - 70

BD - 7 1 1 - 9 B - 33 3 - - 36

BL - 1 - - - 1 TOTAL 63 417 318 202 6 1.006

k. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Oktober

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 TOTAL

TENANG 775 - - - - 775 U - 134 - - - 134 TL - 91 9 4 - 104 T - 288 138 11 - 437

TG - 110 40 1 1 152 S - 196 35 - - 231

BD - 37 6 - - 43 B - 115 8 - 1 124

BL - 25 - - - 25 TOTAL 775 996 236 16 2 2.025

l. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan November

Tinggi (meter) dan Frekuensi Arah 0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5 TOTAL

TENANG 844 - - - - 844 U - 188 8 - - 196 TL - 102 2 - 1 105 T - 168 25 2 - 195

TG - 162 41 9 - 212 S - 355 70 8 1 434

BD - 76 2 4 1 83 B - 248 27 1 1 277

BL - 147 12 1 1 161 TOTAL 844 1446 187 25 5 2.507

Page 191: Hasyim, Bidawi - 2009

13

Lampiran 5 Peta gelombang dan kecepatan angin di Laut Jawa dan sekitarnya

Lampiran 6 Gambar kontur kedalaman (batimetri) Selat Madura, Laut Bali bagian

barat dan Selat Bali bagian utara

Page 192: Hasyim, Bidawi - 2009

14

Lampiran 7 Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis

alat tangkap, lama dan daerah operasi serta pendapatan bersih

nelayan

a. Data ukuran perahu perahu/kapal motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah

operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip dari TPI

Tanjung Jangkar

No Ukuran Perahu (GT)

Jenis Alat

Tangkap

Lama Operasi (jam)

Daerah Operasi Pendapatan Bersih per

orang-Trip (Rp) 1 2 Trawl Teri 12 Jangkar, Tuban 10,000 - 30,0002 2 Gillnet 72 Jangkar, Raas, Sapudi 100,0003 2 Trawl 12 Jangkar 30,000 - 50,0004 2 Trawl 6 Jalur 2 Selat Madura 30,000 - 50,0005 6 Purse Seine 72 Sapudi, Raas, Kangean 200,0006 6 Purse Seine 12 Selat Madura 50,0007 2 Purse Seine 12 Jangkar, Mimbo 30,000 - 50,0008 6 Purse Seine 6 Jalur 2 Selat Madura 50,000-100,0009 2 Trawl Teri 12 Jangkar 10,000 - 30,000

10 6 Purse Seine 12 Jalur 2 Selat Madura 50,000-100,000

b Data hasil survei tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis alat tangkap, lama

dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip

dari PPI Probolinggo

No Ukuran Perahu (GT)

Jenis Alat Tangkap

Lama Operasi (jam)

Daerah Operasi Pendapatan per

orang-Trip (Rp)

1 4 Trawl 12 Selat Madura 20,000 – 50,0002 4 Trawl 360 Selat Madura 100,000-200,0003 6 Trawl 216 Selat Madura 50,000- 100,0004 2 Trawl Teri 12 Selat Madura 300,000 - 100,000 5 15 Trawl 12 Selat Madura 100,000 - 500,0006 5 Trawl Udang 4 Selat Madura 25,000

Page 193: Hasyim, Bidawi - 2009

15

c. Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis alat

tangkap, lama dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih

nelayan per trip dari PPI Pamekasan

No Ukuran Perahu (GT)

Jenis Alat Tangkap

Lama Operasi (jam)

Daerah Operasi

Pendapatan per Orang-Trip

(Rp) 1 4 Trawl 12 Selat Madura 20,000-50,0002 4 Trawl 360 Selat Madura 100,000-100,0003 6 Trawl 216 Selat Madura 50,00 - 100,0006 2 Trawl Teri 12 Selat Madura 300,000- 400,0008 15 Trawl 12 Selat Madura 100,000- 500,0009 5 Trawl Udang 4 Selat Madura 25,000

d. Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis alat

tangkap, lama dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih

nelayan per trip dari PPI Dungkek (Sumenep)

No Ukuran Perahu (GT)

Jenis Alat Tangkap Lama

Operasi (jam)

Daerah Operasi

Pendapatan per Orang-Trip

(Rp) 1 3 Trawl Teri 12 Jadung 10,000- 30,0002 3 Trawl dan Gilnet 12 Jadung 10,000- 50,0005 3 Trawl Teri 12 Jadung 10,000- 30,0009 3 Trawl dan Gilnet 12 Jadung 15,000- 50,0008 3 Trawl Udang dan Gilnet 12 Jadung 25,000- 50,0009 3 Trawl Udang dan Gilnet 12 Jadung 25,000- 40,000

Page 194: Hasyim, Bidawi - 2009

16

Lampiran 8 Tabel Feedback hasil tangkapan ikan di Selat Madura oleh nelayan

Situbondo dalam penerapan informasi spasial ZPPI

a. Feedback hasil tangkapan pada bulan Mei 2004

Posisi Hasil Tangkapan No, Tanggal

Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan 1 10-5-2004 113O 29' 48" 7O 31' 02" 170 Lemuru 2 11-5-2004 113O 40' 01" 7O 27' 29" 1.500 Lemuru, selar 3 12-5-2004 113O 48' 13" 7O 20' 48" 150 Lemuru 4 13-5-2004 113O 36' 38" 7O 31' 04" 100 Lemuru 5 17-5-2004 113O 47' 01" 7O 35' 53" 50 Lemuru 6 18-5-2004 113O 59' 30" 7O 28' 17" 500 Lemuru 7 19-5-2004 113O 19' 42" 7O 19' 20" 2.000 Lemuru 8 21-5-2004 113O 39' 10" 7O 32' 27" 4.000 Lemuru 9 24-5-2004 113O 39' 33" 7O 23' 56" 700 Lemuru

10 25-5-2004 113O 43' 52" 7O 33' 52" 1.700 Lemuru 11 26-5-2004 113O 33' 59" 7O 28' 21" 5.000 Lemuru 12 27-5-2004 113O 44' 03" 7O 33' 41" 1.000 Lemuru

b. Feedback hasil tangkapan pada bulan Juni 2004

Posisi Hasil Tangkapan No, Tanggal

Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan 1 16-6-2004 113O 48' 37" 7O 35' 56" 260 Kg Lemuru 2 21-6-2004 113O 46' 37" 7O 25' 54" 1.000 Kg Lemuru 3 22-6-2004 113O 38' 20" 7O 27' 30" 4.000 Kg Lemuru 4 23-6-2004 113O 41' 15" 7O 29' 56" 500 Kg Lemuru 5 24-6-2004 113O 54' 50" 7O 23' 57" 2.500 Kg Lemuru

c. Feedback hasil tangkapan pada bulan Juli 2003

Posisi Hasil Tangkapan No, Tanggal

Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan 1 28-7-2003 113O 32' 7" 7O 27' 10" 120 Kg Lemuru 2 29-7-2003 113O 42' 5" 7O 30' 21" 250 Kg Lemuru 3 30-7-2003 113O 28' 12" 7O 30' 15" 215 Kg Lemuru 4 31-7-2003 113O 27' 33" 7O 33' 40" 230 Kg Lemuru

Page 195: Hasyim, Bidawi - 2009

17

d. Feedback hasil tangkapan pada bulan Juli 2004

Posisi Hasil Tangkapan No, Tanggal

Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan 1 12-7-2004 113O 42' 47" 7O 29' 56" 0 - 2 13-7-2004 113O 35' 50" 7O 23' 24" 0 - 3 14-7-2004 113O 36' 29" 7O 25' 44" 0 - 4 19-7-2004 113O 33' 42" 7O 25' 14" 0 - 5 20-7-2004 113O 41' 22" 7O 29' 5" 0 - 6 21-7-2004 113O 42' 13" 7O 21' 35" 0 - 7 22-7-2004 113O 36' 38" 7O 30' 13" 0 - 8 26-7-2004 113O 38' 18" 7O 31' 1" 0 - 9 27-7-2004 113O 41' 26" 7O 30' 20" 0 -

10 28-7-2004 113O 40' 45" 7O 29' 35" 200 Lemuru

e. Feedback hasil tangkapan pada bulan Agustus 2003

Posisi Hasil Tangkapan No,

Bujur (BT) Lintang (LS) Perairan

Kg Jenis Ikan 1 113O 25' 20" 7O 20' 0" Selat Madura 160 Lemuru 2 113O 25' 20" 7O 22' 30" Selat Madura 220 Lemuru 3 113O 40' 10" 7O 25' 42" Selat Madura 200 Lemuru 4 113O 25' 0" 7O 27' 20" Selat Madura 360 Lemuru 5 113O 30' 40" 7O 32' 32" Selat Madura 310 Lemuru

f. Feedback hasil tangkapan pada bulan September 2004

Posisi Hasil Tangkapan No, Tanggal

Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan 1 6-9-2004 113O 56' 12" 7O 24' 35" 1.500 Lemuru 2 7-9-2004 113O 51' 50" 7O 34' 59" 700 Lemuru 3 9-9-2004 113O 42' 28" 7O 28' 17" 1.200 Lemuru

g. Feedback hasil tangkapan pada bulan Oktober 2003

Posisi Hasil Tangkapan No Tanggal

Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan 1 16-10-2003 113O 33' 34" 7O 25' 58" 250 Lemuru 2 17-10-2003 113O 52' 07" 7O 30' 56" 2.000 Lemuru

3 20-10-2003 113O 53' 10" 7O 29' 28" 1.500 Lemuru, Layang, Tongkol

4 20-10-2003 114O 07' 42" 7O 36' 24" 1.500 Lemuru 5 21-10-2003 113O 44' 46" 7O 33' 35" 1.000 Lemuru dan tongkol 6 22-10-2003 113O 47' 17" 7O 30' 12" 1.800 Lemuru dan tongkol 7 23-10-2003 113O 46' 14" 7O 31' 58" 1.500 Lemuru 8 24-10-2003 113O 46' 48" 7O 26' 36" 900 Lemuru dan tongkol 9 30-10-2003 113O 44' 54" 7O 27' 49" 20 Selar dan tongkol

Page 196: Hasyim, Bidawi - 2009

18

h. Feedback hasil tangkapan pada bulan Oktober 2005

Posisi Hasil Tangkapan No Tanggal

Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan 1 10-10-2005 113O 44' 37" 7O 25' 12" 800 Lemuru 2 11-10-2005 113O 44' 35" 7O 25' 20" 1.200 Lemuru dan Selar 3 12-10-2005 113O 41' 46" 7O 36' 11" 600 Lemuru 4 13-10-2005 113O 44' 09" 7O 32' 02" 1.000 Layang dan Tongkol 5 14-10-2005 113O 40' 40" 7O 25' 11" 700 Lemuru 6 15-10-2005 113O 40' 09" 7O 28' 11" 600 Lemuru dan Selar 7 22-10-2005 113O 40' 06" 7O 26' 11" 800 Tongkol dan Layang 8 24-10-2005 113O 41' 10" 7O 30' 14" 650 Lemuru dan Selar 9 25-10-2005 113O 55' 38" 7O 18' 42" 1.300 Lemuru dan Layang

10 26-10-2005 114O 05' 07" 7O 20' 32" 700 Layang 11 27-10-2005 113O 42' 06" 7O 33' 53" 600 Tongkol 12 28-10-2005 113O 30' 57" 7O 24' 13" 200 Layang 13 29-10-2005 113O 53' 43" 7O 27' 21" 850 Lemuru dan Tongkol

i. Feedback hasil tangkapan pada bulan November 2003

Posisi Hasil Tangkapan No Tanggal

Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan 1 1-11-2003 113O 39' 43" 7O 26' 31" 170 Lemuru 2 2-11-2003 113O 43' 30" 7O 31' 20" 120 Lemuru 3 4-11-2003 113O 50' 30" 7O 22' 35" 300 Lemuru 4 14-11-2003 113O 37' 41" 7O 24' 47" 900 Lemuru 5 15-11-2003 113O 45' 34" 7O 29' 15" 800 Lemuru 6 16-11-2003 113O 44' 57" 7O 33' 18" 20 Tongkol 7 17-11-2003 113O 45' 10" 7O 33' 15" 300 Lemuru 8 18-11-2003 113O 39' 34" 7O 23' 22" 800 Lemuru

j. Feedback hasil tangkapan pada bulan November 2005

Posisi Hasil Tangkapan No Tanggal

Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan 1 10-11-2005 113O 40' 06" 7O 26' 11" 2.000 Tongkol 2 11-11-2005 113O 41' 10" 7O 30' 14" 1.200 Tongkol/Selar 3 12-11-2005 113O 42' 6,1" 7O 33' 53 " 800 Tongkol 4 14-11-2005 113O 30' 57" 7O 24' 13" 400 Layang/Selar 5 19-11-2005 113O 36' 25" 7O 35' 39" 700 Tongkol 6 21-11-2005 114O 07' 05" 7O 27' 29" 4.000 Tongkol 7 22-11-2005 114O 07' 15" 7O 28' 00" 600 Tongkol 8 23-11-2005 114O 07' 05" 7O 28' 03" 1.700 Tongkol 9 24-11-2005 114O 07' 25" 7O 28' 05" 900 Tongkol

10 25-11-2005 114O 07' 35" 7O 27' 39" 1.200 Tongkol 11 26-11-2005 114O 07' 30" 7O 27' 50" 1.300 Tongkol 12 28-11-2005 113O 41' 46" 7O 36' 11" 800 Tongkol 13 29-11-2005 113O 42' 06" 7O 33' 53" 400 Layang

Page 197: Hasyim, Bidawi - 2009

19

Lampiran 9 Perhitungan alokasi perahu/kapal motor untuk setiap kategori perahu motor pada setiap zona penangkapan pada masing-masing PPI dengan pola pengaturan berbentuk lingkaran

a. Jumlah perahu/kapal motor pada setiap PPI dan secara keseluruhan untuk

masing-masing kategori

Jumlah Perahu/Kapal Motor pada PPI (unit)

Kategori Ukuran Perahu/Kapal Motor

(GT) Besuki T. Pecinan P. Mimibo Jumlah

< 5 257 468 165 890 5 - 10 267 102 312 681

10 - 20 21 394 109 524

b. Hasil perhitungan luas zona penangkapan masing-masing PPI

Luas masing-masing kategori zona ring penangkapan (km2)

Kategori Zona Penangkapan

Berdasarkan Jarak dari Titik Pusat (km) Besuki T. Pecinan P. Mimibo

Jumlah (km2)

< 4 37,39 23,21 30,59 91,19 4 - 10 165,44 174,13 120,27 459,84

10 - 20 414,15 568,25 449,76 1432,16 c. Hasil perhitungan alokasi luas rata-rata per perahu/kapal motor untuk tiap

kategori zona penangkapan di Situbondo

Kategori Zona Penangkapan Berdasarkan Jarak dari Titik Pusat

(km)

Alokasi luas rata-rata per perahu/kapal motor (km2/unit)

0 - 4 0,10 4 - 10 0,68

10 - 20 2,73 d. Hasil perhitungan area yang diperlukan/dipergunakan untuk kegiatan

penangkapan ikan berdasarkan rata-rata luas operasi penangkapan dikalikan jumlah perahu/kapal motor

Area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan pada masing-masing

(km2)

Kategori Zona Penangkapan

Berdasarkan Jarak dari Titik Pusat (km) Besuki T. Pecinan P. Mimbo

< 4 26,33 47,95 16,914 - 10 180,29 68,87 210,6810 - 20 57,40 1.076,85 297,91

Page 198: Hasyim, Bidawi - 2009

20

e. Selisih (kelebihan atau kekurangan) area pada masing-masing zona (luas zona dikurangi area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan pada masing-masing PPI

Selisih (kelebihan atau kekurangan) area

pada masing-masing zona PPI (km2) Kategori Zona Penangkapan

Berdasarkan Jarak dari Titik Pusat (km) Besuki T, Pecinan P, Mimbo

< 4 11,06 -24,74 13,68 4 - 10 -14,85 105,26 -90,41 10 - 20 356,75 -508,60 151,85

f. Jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima (potisif) dari PPI lain atau

direlokasi (negatif) direlokasi ke PPI lain untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan (diperoleh dari selisih (kelebihan atau kekurangan) area pada masing-masing zona (luas zona dikurangi area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan pada masing-masing PPI dibagi dengan luas rata-rata alokasi area penangkap)

Jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima dari PPI lain atau direlokasi

direkali ke PPI lain (unit)

Kategori Zona Penangkapan Berdasarkan Jarak dari

Titik Pusat (km) Besuki T. Pecinan P. Mimbo < 4 107 -241 134

4 - 10 -22 156 -134 10 - 20 131 -186 56

Page 199: Hasyim, Bidawi - 2009

21

Lampiran 10 Perhitungan alokasi perahu/kapal motor untuk setiap kategori perahu motor pada setiap zona penangkapan pada masing-masing PPI dengan pola pengaturan berbentuk sejajar garis pantai

a. Hasil perhitungan luas zona penangkapan masing-masing PPI

Luas masing-masing kategori zona ring penangkapan (km2)

Kategori Zona Penangkapan Sejajar Garis Pantai (km) Besuki T. Pecinan P. Mimbo

Jumlah (km2)

< 4 182,06 150,7 258,41 591,17 4 - 10 261,6 193,82 427,66 883,08

10 - 20 416,9 298,44 829,66 1545,00 b. Hasil perhitungan alokasi luas rata-rata per perahu/kapal motor untuk tiap

kategori zona penangkapan di Situbondo

Kategori Zona Penangkapan Sejajar Garis Pantai (km)

Alokasi luas rata-rata per perahu/kapal motor (km2/unit)

0 - 4 0.66 4 - 10 1.30 10 - 20 2.95

c. Hasil perhitungan area yang diperlukan/dipergunakan untuk kegiatan

penangkapan ikan berdasarkan rata-rata luas operasi penangkapan dikalikan jumlah perahu/kapal motor

Area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan pada masing-masing (km2)

Kategori Zona Penangkapan Sejajar Garis Pantai (km) Besuki T. Pecinan P. Mimbo

< 4 170,71 310,86 109,60 4 - 10 346,23 132,27 404,58 10 - 20 61,92 1.161,70 321,38

d. Selisih (kelebihan atau kekurangan) area pada masing-masing zona (luas zona

dikurangi area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan pada masing-masing PPI

Selisih (kelebihan atau kekurangan) area

pada masing-masing zona PPI (km2) Kategori Zona Penangkapan

Sejajar Garis Pantai (km) Besuki T. Pecinan P. Mimbo < 4 11,35 -160,16 148,81

4 - 10 -84,63 61,55 23,0810 - 20 354,98 -863,26 508,28

Page 200: Hasyim, Bidawi - 2009

22

g. Jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima (potisif) dari PPI lain atau direlokasi (negatif) ke PPI lain untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan (diperoleh dari selisih (kelebihan atau kekurangan) area pada masing-masing zona (luas zona dikurangi Area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan pada masing-masing PPI dibagi dengan luas rata-rata alokasi area penangkap)

Jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima dari PPI lain atau direlokasi direkali ke PPI lain

(unit)

Kategori Zona Penangkapan sejajar garis pantai

(km) Besuki T. Pecinan P. Mimbo < 4 17 -241 224

4 - 10 -65 47 18 10 - 20 120 -293 173

Page 201: Hasyim, Bidawi - 2009

23

Lampiran 11 Sebaran ZPPI mingguan di perairan Selat Madura Lampiran 11.1 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Desember di Selat Madura

bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Desember

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Desember

Page 202: Hasyim, Bidawi - 2009

24

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Desember

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Desember

Page 203: Hasyim, Bidawi - 2009

25

Lampiran 11.2 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Januari di Selat Madura

bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Januari

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Januari

Page 204: Hasyim, Bidawi - 2009

26

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Januari

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Januari

Page 205: Hasyim, Bidawi - 2009

27

Lampiran 11.3 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Februari di Selat Madura

bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Februari

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Februari

Page 206: Hasyim, Bidawi - 2009

28

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga. bulan Februari

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Februari

Page 207: Hasyim, Bidawi - 2009

29

Lampiran 11.4 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Maret di Selat Madura bagian

timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Maret

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Maret

Page 208: Hasyim, Bidawi - 2009

30

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Maret

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Maret

Page 209: Hasyim, Bidawi - 2009

31

Lampiran 11.5 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan April di Selat Madura bagian

timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan April

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan April

Page 210: Hasyim, Bidawi - 2009

32

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan April

.

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan April

Page 211: Hasyim, Bidawi - 2009

33

Lampiran 11.6 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Mei di Selat Madura bagian

timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Mei

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Mei

Page 212: Hasyim, Bidawi - 2009

34

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Mei

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Mei

Page 213: Hasyim, Bidawi - 2009

35

Lampiran 11.7 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Juni di Selat Madura bagian

timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Juni

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Juni

Page 214: Hasyim, Bidawi - 2009

36

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Juni

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Juni

Page 215: Hasyim, Bidawi - 2009

37

Lampiran 11.8 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Juli di Selat Madura bagian

timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Juli

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Juli

Page 216: Hasyim, Bidawi - 2009

38

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Juli

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Juli

Page 217: Hasyim, Bidawi - 2009

39

Lampiran 11.9 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Agustus di Selat Madura

bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Agustus

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Agustus

Page 218: Hasyim, Bidawi - 2009

40

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Agustus

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Agustus

Page 219: Hasyim, Bidawi - 2009

41

Lampiran 11.10 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan September di Selat Madura

bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama September

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua September

Page 220: Hasyim, Bidawi - 2009

42

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga September

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat September

Page 221: Hasyim, Bidawi - 2009

43

Lampiran 11.11 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Oktober di Selat Madura

bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Oktober

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Oktober

Page 222: Hasyim, Bidawi - 2009

44

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Oktober

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Oktober

Page 223: Hasyim, Bidawi - 2009

45

Lampiran 11.12 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan November di Selat Madura

bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama pada bulan November

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua pada bulan November

Page 224: Hasyim, Bidawi - 2009

46

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga pada bulan November

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat pada bulan November

Page 225: Hasyim, Bidawi - 2009

47

Lampiran 12 Grafik perbandingan antara ZPPI dengan ZPPI virtual yang dapat

diakses melalui kerjasama operasional penangkapan ikan

Lampiran 12.1 Grafik perbandingan antara ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri

dengan ZPPI virtual yang dapat diakses

4 3 3 46

3 3 3 2 35 4

32

23

17

30

25

32

23

15

2624

30

34

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov

Bulan

Jum

lah

Uni

t Spa

sial

ZPPI Dalam Zona Besuki ZPPI Virtual Bagi Nelayan Besuki

Lampiran 12.2 Grafik perbandingan antara ZPPI dalam zona PPI Tanjung

Pecinan sendiri dengan ZPPI virtual yang dapat diakses

1 1 2 2 3 2 2 3 3 3 3 2

35

2321

39

2931

2832

25 2529

31

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov

Bulan

Jum

lah

Uni

t Spa

sial

ZPPI Dalam Zona T PecinanZPPI Virtual Bagi Nelayan T. Pecinan

Page 226: Hasyim, Bidawi - 2009

48

Lampiran 12.3 Grafik perbandingan antara ZPPI yang ada dalam zona PPI

Pondok Mimbo sendiri dengan ZPPI yang dapat diakses serta

ZPPI virtual yang dapat diakses melalui kerjasama penangkapan

ikan.

15

12

7

10 10

12 12

14

12

8

14

12

56

45 5

45 5

3 3

5

3

1 12 2 2 2 2

3 3 3 32

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov

Bulan

Jum

lah

Uni

t Spa

sial

ZPPI Dalam Zona P MimboZPPI Yang Dapat DiaksesZPPI Virtual Bagi Nelayan P Mimbo