Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis
-
Upload
ginarsih-hutami -
Category
Documents
-
view
18 -
download
0
description
Transcript of Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis
Disfungsi glotis dapat terjadi setelah hingga 8 jam pelepasan tabung dalam waktu
singkat. Risiko aspirasi dapat berkurang selama periode perioperatif langsung. Hal
ini perlu diperhatikan pada pasien yang mendapat analgesia narkotik, dengan efek
samping selain muntah, juga dapat menekan kesadaran.
Risiko aspirasi selama periode perioperatif langsung digambarkan dalam
survei pada lebih dari 215.000 prosedur anestesi umum yang dilakukan di Mayo
Clinic. Aspirasi didefinisikan sebagai keberadaan materi empedu atau partikulat
dalam saluran pernafasan jika terdapat infiltrate baru pada rontgen dada post operasi
langsung. Insiden aspirasi secara keseluruhan ada 0,03 persen, namun kejadian
aspirasi hampir empat kali lipat lebih tinggi (0,11 persen) terjadi dalam pengaturan
operasi darurat. Selain penggunaan anestesi umum, faktor predisposisi lain yang
terdapat pada lebih dari setengah pasien yang mengalami aspirasi, termasuk
obstruksi gastrointestinal, disfungsi menelan, perubahan sensorik, riwayat operasi
esofagus sebelumnya, dan riwayat makan makanan dalam waktu dekat sebelumnya.
Mayoritas kejadian terjadi selama laringoskopi (pada persiapan untuk memasukkan
tabung endotrakeal) dan selama ekstubasi trakea. Dua puluh persen dari pasien yang
diaspirasi membutuhkan ventilasi mekanik pasca operasi lebih dari 6 jam: persen
meninggal sebagai akibat langsung dari komplikasi ini.
Kandungan asam gaster yang mengenai saluran pernafasan di bronchus dan
parenkim paru, menimbulkan hampir seluruh chemical burn. Selain itu, aspirasi asam
memicu respon inflamasi yang tertunda (delayed response immune), dengan
melepaskan sitokin inflamasi dan merangsang pengumpulan neutrofil di paru-paru.
Hal tersebut dapat menyebabkan cedera pada membran pembuluh darah kapiler
alveolar, melalui edema cairan protein memenuhi interstitium dan rongga udara.
Kadar surfaktan menjadi turun drastis baik karena denaturasi langsung maupun
berkurangnya produksi asam, sehingga menyebabkan ketidakstabilan alveolar dan
atelektasis. Besarnya cedera paru secara langsung berhubungan dengan pH dan
volume material yang diaspirasi. Studi awal pada hewan menunjukkan bahwa pH
kurang dari 2,5 dan volume lebih dari 0,4 ml / kg merupakan nilai ambang batas kritis
untuk menginduksi cedera paru. Walaupun nilai-nilai ini sekarang sering dikutip pada
beberapa literatur, validitas nilai ini telah ditentang oleh penelitian terbaru yang
menunjukkan cedera yang signifikan bila berinteraksi dengan volume yang lebih
rendah dan pH tinggi. Selain itu, aspirasi empedu mampu menimbulkan cedera luas
bahkan pada pH setinggi 7.19. Adanya partikel makanan yang besar dapat
memperburuk kondisi lebih lanjut dengan menyebabkan obstruksi jalan napas dan
atelektasis. Infeksi biasanya tidak berperan penting dalam cedera paru awal yang
disebabkan aspirasi asam lambung. Asam dengan pH rendah berfungsi untuk menjaga
sterilitas relatif inokulum. Walaupun demikian, kolonisasi bakteri pada lambung juga
dapat terjadi pada pasien yang menkonsumsi obat penurun asam lambung, pasien
yang menerima enteral feeding, dan pasien dengan gastroparesis atau obstruksi usus
halus.
Aspirasi dapat didiagnosis secara jelas apabila pasien muntah dan disaksikan
orang lain atau terlihat pemulihan isi lambung dari saluran pernafasan. Aspirasi juga
dapat dicurigai terjadi pada pasien dengan faktor risiko aspirasi dan memiliki
gambaran clinicoradiographic yang sesuai dengan aspirasi. Aspirasi yang massif pada
pasien memiliki beberapa karakteristik, misalnya munculnya demam, takipnea, dan
munculnya crackles yang terdengar dalam beberapa jam. Mengi terjadi pada sekitar
sepertiga dari pasien dan mungkin terjadi karena obstruksi saluran pernafasan oleh
partikel dan umumnya terjadi karena refleks bronkospasme.
Hipoksemia umumnya terjadi disertai aspirasi massif yang cukup parah pada
sebagian besar pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Apabila hipoksemia
ditemukan di awal pengunnan, memiliki kecenderungan risiko tinggi kematian
dengan pola radiografi lebih awal muncul yaitu (1) konsolidasi bilateral yang luas
menyerupai edema paru difus; (2) infiltrasi diskrete yang luas dan merata tergantung
pada area paru-paru yang terkena; dan (3) konsolidasi focal, biasanya terlokalisasi
pada basis salah satu atau kedua paru-paru.
Manifestasi klinis dan cara aspirasi massif pada pasien bervariasi, namun
biasanya dapat berupa satu atau beberapa cara / manifestasi klinis. Sebagian kecil
pasien dapat fulminan ditandai dengan hipoksemia refrakter dan shock yang berakibat
kematian dalam beberapa hari. Umumnya, pasien menunjukkan gambaran radiologi
yang progresif dan mengalami perbaikan klinis selama beberapa hari pertama.
Meskipun sebagian besar pasien dapat pulih sepenuhnya, ada bagian yang
menunjukkan kerusakan sekunder karena perkembangan ARDS atau pneumonia
nosokomial. Besar angka kematian secera keseluruhan yang berkaitan dengan aspirasi
adalah sekitar 30 persen dan melebihi 50 persen pada pasien dengan syok awal atau
apnea, pneumonia sekunder, atau ARDS.
Pengobatan gagal nafas sekunder karena aspirasi merupakan terapi supportif
meliputi strategi ventilator mekanik mengacu pada bentuk lain dari ARDS
(penjelasan rinci di bawah). Bronkoskopi diindikasikan hanya bila terjadi obstruksi
jalan napas oleh partikel yang dicurigai menyebabkan mengi local dasar atau lobar
atelektasis. Asam lambung yang menyebar luas secara endogen dapat dinetralkan
dengan lavage bronchoalveolar jumlah besar dalam hitungan detik. Cara ini tidak
efektif dan tidak dianjurkan untuk mengurangi cedera yang ditumbulkan.
Hasil penelitian mengenai terapi kortikosteroid sistemik pada pengobatan aspirasi
pneumonitis telah diakui dan saat ini penggunaan kortikosteroid tersebut tidak
dianjurkan. Selain itu, tidak terdapat pula data yang mendukung penggunaan
antibiotik profilaksis pada aspirasi, salah satunya karena kekhawatiran penggunaan
antibiotik ini dapat meningkatkan resistensi organisme. Beberapa peneliti
menganjurkan penggunaan antibiotik empiris untuk beberapa pasien yang beresiko
mengalami kolonisasi bakteri pada lambung, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Terdapat sekitar 40 persen pasien mengalami pneumonia bakteri superimposed dalam
beberapa hari setelah aspirasi yang ditunjukkan dengan munculnya demam baru,
infiltrat baru yang progresif, dan sputum purulen. Terapi antibiotik spektrum luas
dapat digunakan pada keadaan tersebut.
Morbiditas dan mortalitas tinggi yang terkait dengan aspirasi dan kurangnya
terapi yang efektif setelah aspirasi menjadi fokus utama untuk menyusun ukuran
tertentu sebagai pencegahan komplikasi ini. Ukuran yang paling mudah dan banyak
digunakan adalah konvensi puasa semalam sebelum operasi elektif. Meskipun sudah
berpuasa lama, sepertiga pasien tetap memiliki volume lambung lebih dari 0,4 ml / kg
(sekitar 25-0 ml dalam dewasa rata-rata), dan sekitar tiga perempat akan memiliki pH
lambung bawah 2,5. Penggunaan H2-blocker dan proton pump inhibitor secara efektif
meningkatkan H dan mengurangi volume isi lambung dan dapat dijadikan strategi
pengobatan yang berpotensi. Saat ini, pemberian profilaksis agen anti sekretorik
hanya disarankan untuk pasien yang dianggap memiliki risiko tinggi aspirasi.
Sayangnya, waktu yang memungkinkan agen ini bereaksi sebelum dilakukan operasi
darurat ketika risiko aspirasi tertinggi umumnya tidak cukup. Pada pasien berisiko
tinggi. induksi cepat urutan tindakan anestesi harus digunakan untuk mempersingkat
waktu antara intubasi trakea dan kehilangan kesadaran. Selama induksi, penekanan
manual pada tulang rawan cricoids (Sellick manuver) harus dilakukan dan
dipertahankan sampai tabung endotrakeal berada dalam posisi yang tepat dan cuff
terpasang. Setelah operasi, ekstubasi harus dilakukan hanya apabila kesadaran dan
refleks muntah telah kembali dan memberikan perlindungan yang memadai pada
saluran pernafasan.
Pneumonectomy pasca edema paru
Selama 25 tahun terakhir, beberapa laporan telah mendokumentasikan
perkembangan pesat edema paru pada paru-paru yang tersisa dari beberapa pasien
yang dilakukan pneumonectomy. Awalnya, edema paru dikaitkan dengan pemberian
cairan berlebihan di ruang operasi, sehingga menyebabkan komplikasi yang muncul
pada paru-paru dengan tekanan oklusi arteri normal. Selain itu, edema cairan yang
kaya protein juga memiliki kekuatan pendorong untuk menimbulkan edema dan lebih
dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dibandingkan peningkatan
tekanan hidrostatik. Studi postmortem mengkonfirmasi adanya fitur patologis
universal pada cedera paru akut. Mekanisme yang menyebabkan cedera paru setelah
pneumonectomy telah diketahui secara pasti. Teori terjadinya mekanisme tersebut
adalah adanya penekanan / stress mekanik karena ventilasi paru tunggal di ruang
operasi sehingga menyebabkan kerusakan ultrastuructural pada epitel alveolar
meningat pengalihan seluruh output jantung melalui paru-paru yang tersisa ini dapat
menyebabkan cedera endotel. Faktor lain yang dapat berkontribusi pada pembentukan
edema adalah trauma bedah dan gangguan drainase limfatik.
Sebuah penelitian yang menggunakan kriteria ketat untuk tidak memasukan
pasien dengan gagal jantung kongestif (CHF) atau faktor risiko yang diketahui untuk
ARDS, menunjukkan kejadian edema paru postpneumonectomy adalah sebesar 2,6%.
Penelitian lain yang menggunakan beberapa kriteria menunjukkan kejadian 1 - 7 %.
Belum ada penjelasan yang tepat mengenai komplikasi edema paru yang terjadi lebih
sering pada pneumonectomy paru kanan yaitu sekitar 50 sampai 100 persen.
Cardiopulmonary Bypass
ARDS telah diteliti untuk dikembangkan segera setelah penggunaan
cardiopulmonary bypass pada sekitar 1 persen dari kasus. Terdapat beberapa faktor
yang tidak terkait dengan penggunaan CPB. Bukti kuat dari kedua model hewan dan
studi klinis menunjukkan CPB mengaktifkan sejumlah mekanisme inflamasi yang
dapat menyebabkan cedera paru akut. Hal ini mapan, misalnya. CPB menyebabkan
aktivasi neutrofil, kemungkinan melalui mekanisme stres menyimpang dan paparan
permukaan artificial pada sirkuit bypass. Selain itu, peningkatan ekspresi molekul
yang melekat pada permukaan sel telah dibuktikan dapat meningkatkan aktivitas
neutrofil dalam mengikat endotel paru dan melepaskan enzim proteolitik, dan
senyawa oksigen reaktif. Peran sentral neutrofil tersebut menyebabkan cedera paru
akut setelah CPB didukung oleh beberapa bukti bahwa: (1) terdapat peningkatan
jumlah neutrofil dalam cairan lavage bronchoalveolar dari pasien yang menjalani
CPB; (2) kadar neutrofil elastase dan myeloperoxydase plasma meningkat; dan (3)
inhibisi aktivasi neutrofil dengan pentoxifylline sebagai agen deplesi neutrofil dapat
menurunkan tingkat disfungsi paru. Sejumlah mediator inflamasi lainnya yang
dilepaskan berkaitan dengan CPR yaitu komplemen, sitokin proinflamasi dan
prostaglandin.
Post-CPB ARDS sering disertai dengan bukti adanya respon inflamasi
sistemik yaitu demam, leukositosis dan kegagalan sistem multi-organ. Kematian yang
berkaitan dengan komplikasi ini terjadi pada kisaran 60 sampai 90 persen.
Amiodarone
Amiodarone-induced pulmonary toxicity biasanya muncul sebagai penyakit
subakut yang ditandai dengan batuk, dyspnea, demam, dan infiltrat paru patchy.
Penggunaan amiodaron telah dikaitkan dengan perkembangan ARDS segera setelah
operasi jantung dan thorax. Pada kebanyakan kasus jantung, amiodarone diberikan
sebelum operasi dalam berbagai periode waktu untuk mengontrol aritmia. Tidak
terdapat bukti bentuk manifestasi yang lebih dari toksisitas paru akibat amiodaron
pada sebagian besar pasien sebelum operasi. Baru-baru ini, perkembangan ARDS
terjadi pada pasien yang hanya terpapar amiodaron pada periode pasca operasi, ketika
obat digunakan sebagai profilaksis atau pengobatan untuk aritmia atrium pada reseksi
paru. ARDS pasca operasi dilaporkan terjadi 11 persen dari pasien yang menerima
amiodarone dan pada 1,8 persen dari pasien yang tidak diobati. Faktor perioperatif
spesifik yang berhubungan dengan amiodaron sehingga menyebabkan cedera paru
akut adalah paparan oksigen kadar tinggi. Diagnosis berdasarkan eksklusi penyebab
lain, bukan dari berdasarkan tes diagnostik atau tes histologi tertentu.
Transfusion-Related Acute Lung Injury
Transfusi darah dan produk darah telah dikaitkan dengan perkembangan
ARDS melaui dua cara. Secara epidemiologi, hubungan antara transfusi darah masif
(lebih besar dari 15 U / 24 jam) dan ARDS telah dicatat, tetapi masih belum jelas
apakah hubungan ini benar-benar kausal atau tidak langsung maupun reflektif hanya
dari sifat kritis penyakit pasien yang membutuhkan transfusi dalam jumlah besar.
Mekanisme ini terjadi karena suatu proses yang disebut sebagai "cedera paru akut
terkait transfusi" (TRALI) dengan cara induksi cedera paru akut oleh antibodi
leukoagglutinasi Antibodi ini biasanya terkandung dalam produk-produk darah yang
berasal dari donor perempuan multipara, yang terpapar antigen leukosit manusia
(HLA) atau antigen granulosit. Antibodi ini menyebabkan leukoagglutinasi dan
aktivasi granulosit resipien atau monosit dalam mikrovaskular paru, memicu
peningkatan permeabilitas kapiler dan perkembangan edema paru noncardiogenic.
TRALI juga dapat disebabkan oleh interaksi antara antibodi leukoagglutinasi dari
resipien dan leukosit dari donor yang terdapat pada resipien. TRALI jarang dikaitkan
dengan pemberian infus mediator biologis aktif yang berasal dari pemecahan
komponen seluler dari produk darah yang disimpan.
Insiden TRALI sulit ditentukan karena entitas subyek banyak dan sering salah
didiagnosis. Sebuah studi yang melibatkan 36 kasus selama 2 tahun menunjukkan
kejadian TRALI sebanyak 0,02 persen per unit dan 0,16 persen per pasien yang
ditransfusikan. Sebagian besar kasus terjadi pada pasien bedah pada periode awal
pasca operasi, dengan pengaturan dan pemantauan secara ketat fungsi
cardiolpulmonary pasien di ruangan tempat pemulihan postanesthesia.
Episode ringan TRALI dapat menimbulkan dyspnea dan demam. Kasus yang
lebih parah ditandai dengan timbulnya gangguan pernapasan mendadak, hipoksemia,
dan infiltrat paru yang terjadi dalam waktu 2 sampai 4 jam setelah transfusi. Gejala
penyerta seperti demam, menggigil, hipotensi, dan urtikaria muncul pada sebagian
kecil pasien. Gangguan pernapasan dan hipoksemia tersebut dapat menyebabkan
kondisi yang membutuhkan bantuan ventilasi mekanik pada kebanyakan pasien.
Diagnosis banding TRALI adalah volume overload, CHF, infark miokard, dan
aspirasi. Reaksi TRALI memiliki kecenderungan self limited, gejala dan tandanya
biasanya berupa munculnya infiltrat dan peningkatan oksigenasi mendadak dalam
beberapa hari. Reaksi ini dapat terjadi secara berlarut-larut selama lebih dari 1
minggu pada sekitar 20 persen pasien; dengan tingkat mortalitas 5 sampai 10 persen.
Ketika curiga terdapat kasus TRALI, bank darah harus diberitahu dan semua
unit yang telah ditransfusikan harus diuji adanya antibodi leukoagglunasi. Setiap
plasma darah atau produk protein plasma darah yang mengandung antibodi tersebut
dapat merangsang reaksi TRALI. Memang, packed red blood cells, yang hanya berisi
60 sampai 100 ml plasma, merupakan salah satu penyebab TRALI yang paling
umum.
Cedera iskemia reperfusi
Restorasi aliran darah ke jaringab iskemik sebelumnya mungkin berakibat
memburuk cedera pada jaringan. Efek iskemia reperfusi ini melibatkan mekanisme
‘two-hits’. Jaringan iskemia menyebabkan pembentukan oksidasi xantine dan
substrat, hipoksantin, sedangkan persediaan reperfusi molekul oksigen yang memicu
reaksi penghasilan oksigen yang bebas dari radikal bebas untuk disalurkan ke se-sel
yang terlukal. Netrophils berperan sebagai sumber tambahan radikal bebas oksigen
dan enzin proteolitik. Dalam paru-paru, iskemia-reperfusi dapat menyebabkan cedera
yang berbeda seperti cedera pada epitel alveolar dan resultan edema paru
noncardiogenic. Mekanisme ini menjadi dasar pengembangan transplatasi akut pada
paru (bab 101) dan thromboendarterectomy paru.
Non edema paru kardiogenik hampir mirip dengan fitur umum allograft paru yang
baru ditanam, hanya saja non edema paru kardiogenik ini ringan dan terbatas. Dari
sekitar 10 persen kasus, allograft yang terluka berat dan telah menyebar luas serta
adanya edema alveolar menyebabkan hipoksemia yang berat. Kondisi pulmonary
yang rendah menyebabkan diperlukannya ventilator mekanik di luar terapi post-
transplant langsung. Entitas, yang diistilahkan dengan disfungsi graft primer (primary
graft dysfunction) adalah nonimunologi secara alami dan diklaim sebagai contoh
cedera parah iskemia reperfusi- kegagalan graft primer terjadi selama 6 jam. Cedera
bisa saja terjadi pada allograft meskipun iskemik terjadi di bawah batas aman, yaitu
kurang dari 6 jam. Cedera terjadi pada allograft pada kasus kesulitan transplatasi paru
tunggal. Adanya luka paru unilateral mungkin akan menyebabkan kesulitan dalam
memasang ventilator mekanik. Hal ini benar-benar terjadi pada kasus PPOK di mana
saat nafas dengan tekanan positif dan PEEP yang lebih baik dipasangkan pada paru-
paru menyebabkan hiperinflasi progresif, pergeseran mediastinum, dan gangguan
yang berpotensi mengganggu pertukaran gas dan hemodinamik. Kondisi ini dapat
diatasi dengan cara menyisipkan tabung endotrakeal lumen ganda yang
memungkinkan tim medis untuk menggunakan ventilasi paru independen dan aplikasi
pilihan PEEP untuk dipasangkan pada edematous allograft, sementara itu memasang
ventilasi pada organ paru yang menggunakan jalan nafas bertekanan rendah dan
sebuah fase eskpirasi yang berkepanjangan dengan tujuan untuk meminimalisir
hiperinflasi.
Thromboendaterectomy paru adalah teknik bedah yang dilakukan untuk terapi atau
pengobatan hipertensi pulmonal tromboembolik kronis (bab 82). Meskipun angka
kematian operasi telah menurun secara signifikan hingga kurang dari 10 persen,
reperfusi edema paru tetap menyisakan komplikasi pascaoperasi. Komplikasi paling
sering dialami 24 jam pertama pasca operasi. Akan tetapi onset yang nampak baru
akan muncul 72 jam pascaoperasi. Sebuah ciri yang mencolok yaitu pembatasan
radiografi edema terhadap area paru yang sebelumnya mendapatkan suplai dari
pembuluh yang kini tersumbat. Hal yang memperburuk shunt dan hipoksemia terkait
dengan komplikasi ini adalah reditribusi darah dari segmen yang sebelumnya
mengalami perfusi dengan baik menjadi endarterectomi baru yang memasok area
edema paru. Fenomena ini disebut dengan istilah “pulmonary artery steal”.
Beruntungnya, tingkat reperfusi edema dan hipoksemia ringan lebih banyak kasusnya
bila dibandingkan dengan hipoksemia berat yang memerlukan dukungan ventilator
mekanik yang harus dipasang terus menerus dengan tingkat oksigen dan aplikasi
PEEP.
Pengobatan dan Hasil
Informasi detail seputar manejemen ARDS dibahas pada bab ini dan dapat
dijumpai di bab lain (bab 145) serta review-review yang sedang banyak dibahas saat
ini. Meskipun demikian, beberapa aspek dasar perawatan wajib dipahami. Pertama
dan yang paling utama, manejemen klinik bersifat mendukung. Terapi khusus
bertujuan untuk mengameliorasi luka pada paru-paru atau akselerasi pemulihan yang
tak kunjung membaik. Perawatan fokus pada penggunaan mekanisme ventilasi dan
disesuaikan untuk mempertahankan pertukaran gas yang cukup sementara
meminimalisir efek berbahaya dari konsentrasi oksigen yang tinggi, volume tidal
yang tinggi, dan tekanan udara yang tinggi, yang mana semua ini dapat menginduksi
trauma akut lanjutan pada paru-paru. Segala usaha harus dilakukan untuk mengurangi
FIO2 hingga 0.6 atau kurang dari 0.6, yang mampu menerima saturasi arteri lebih
dari 90 persen dan menggunakan PEEP untuk membentuk area atelektasis paru serta
meningkatkan oksigenasi. Pola ventilasi ‘peregangan rendah’ harus digunakan
dengan cara menggunakan volume tidal kurang dari atau sama dengan 6 ml/ kg dan
batasan tekanan nafas maksimum kurang dari atau sama dengan 30 cm H2O. Strategi
ventilasi ini (yang wajib dokter harus patuhi) telah terbukti dapat mengurangi angka
kematian yang terkait dengan ARDS.
Menghirup oksida nitrat menyebabkan vasodilitasi pembuluh darah yang
mensuplai darah pada area paru yang berventilasi baik dan telah terbukti dapat
mengurangi fraksi yang tidak sesuai dan meningkatkan oksigenasi pada pasien yang
menderita ARDS parah. Sayangnya, dampak yang menguntungkan ini hanya sebentar
saja, dan sejumlah uji klinis fase III yang menunjukan dampak berarti pada durasi
ventilasi mekanis atau kematian pasien dinyatakan gagal. Hal yang sama juga terjadi
pada kasus yang satu ini. Menempatkan pasien pada posisi rawan dapat
meningkatkan oksigenasi, akan tetapi hingga saat ini belum menunjukan dampak
pada kelangsungan hidup.
Obat penenang harus diberikan untuk tetap membuat pasien merasa nyaman
dan memperkenalkan pernafasan yang sinkron dengan bantuan ventilator. Pasien
dalam kondisi tidak sadar terkadang diperlukan dalam situasi akut hipoksemia yang
bersifat mengancam jiwa atau hiperkania. Akan tetapi penggunaan obat
neuromuscular dalam kurun waktu yang lama sangat tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan risiko miopati yang bersifat melemahkan.
Meskipun mendapatkan perawatan dukungan yang baik, kematian akibat
ARDS mencapai 30 persen. Angka kematian lebih banyak dari kalangan para lansia
dan mereka yang mengalami gagal sistem organ. Di sisi lain, prognosis penyakit juga
dapat terjadi pada pasien dengan trauma pada paru-parunya akibat TRALI.
Trauma Nervus Phrenicusdan Disfungsi Diafragma
Trauma Nervus Phrenicus merupakan bentuk komplikasi CABG.
Sebelumnya, komplikasi muncul akibat penggunaan saline dingin yang ditempatkan
di pericardium sebagai terapi pendinginan topikal pada jantung. Cedera termal
menyebabkan demielinasi dan degenerasi aksonal saraf dengan perlambatan konduksi
serta aktivasi diafragma. Penggunaan teknik pendinginan topical jauh dari nyaman
karena adanya potensi terjadinya komplikasi seperti ini. Namun, nervus phrenikus
juga bisa terluka oleh traksi, iskemia, penggunaan diathermy transeksi selama
retraksi sternum dan pengambilan arteri mamaria interna. Cedera nervus phrenikus
unilateral biasanya melibatkan nervus phrenikus kiri dan sebanyak 10 persen pasien
telah menjalani CABG. Cidera nervus phrenikus bilateral dilaporkan sering terjadi
dengan banyaknya kasus sekitar 1 hingga 3 persen dari total kasus penggunaan
cardioplegia topical. Kini kasus tersebut menjadi langka. Cidera nervus phrenikus
tidak hanya terbatas untuk CABG, melainkan juga dapat dijumpai pada kasus
jantung, bedah thoraric, operasi leher, dan transplatasi hati.
Meskipun biasanya tidak menjadi hal yang penting untuk pasien yang sehat,
kelumpuhan diafragma unilateral dapat menyebabkan gangguan pernafasan yang
signifikan pada pasien yang menderita penyakit paru-paru kronis sebelumnya atau
pada pasien marginal. Pada pasien dengan COPD, misalnya, durasi ventilasi mekanis
pasca operasi dan tingkat re-intubasi lebih tinggi daripada mereka yang tidak
menderita cidera nervus phrenikus unilateral plus CABG. Hasil kelumpuhan
diafragma bilateral dapat ditandai dari fungsi paru dan seringnya dapat menyebabkan
gagal nafas. Dengan pengaturan yang tepat, dugaan adanya cidera Nervus Phrenicus
muncul ketika sedang mencoba melepas ventilasi mekanik pasien pascaoperasi pada
atalektasis hypercapnia progresif. Secara spontan pasien akan sering mengeluhkan
othopnea yang dapat disalah-artikan oleh dokter sebagai indikasi CHF. Namun,
othopnea sebenarnya muncul karena adanya gangguan lebih lanjut pada fungsi
diafragma akibat hilangnya gravitasi ketika pasien dalam posisi terlentang. Detektor
pernafasan thoracoabdominal paradox-gerakan perut dengan ekspansi simultan
thorax- merupakan petunjuk yang dipasang di samping tempat tidur dan penting
untuk pasien yang menderita kelumpuhan diafragma bilateral. Hasil radiografi thorax
juga mungkin memegang peranan penting di mana radiografi thorax ini dapat
menunjukan elevasi, baik elevasi unilateral maupun elevasi bilateral pada diafragma
yang menyertai atelektasis basilar. Namun, temuan ini tidak diperuntukan bagi pasien
dengan cidera Nervus Phrenicus karena adanya distensi abdomen. Berkurangnya
tekanan inspirasi maksimum yang terlihat pada mulut merupakan indikasi lain yang
cukup sensitif, tapi tidak tergolong sebagai indikasi disfungsi diafragma yang
signifikan.
Kelumpuhan diafragma unilateral dapat diagnosis dengan cepat melalui
pemeriksaan fluoroskopik yang mana dengan pemeriksaan ini dapat diketahui
gerakan ke atas paradox dari hemidiafragma sebagai dampak dari respirasi maksimal
(contoh mengendus). Situasinya akan lebih rumit jika terjadi disfungsi diafragma
bilateral. Dalam hal ini, pasien sering menganggap perubahan pola nafas yang
ditandai dengan berkontraksinya otot-otot perut selama ekspirasi, memaksa
hemidiafragma melembek di bagian atas. Pada inspirasi selanjutnya, otot-otot perut
akan rileks and hemidiafragma turun sesaat. Gerakan otot perut dan hemidiafragma
ini menciptakan kesan yang salah bahwa keduanya berfungsi baik. Karena inilah
fluoroscopy mungkin tidak perlu diberikan untuk pasien jenis ini.
Gold standar untuk mengkonfirmasi cidera Nervus Phrenicus adalah dengan
pengujian elektrofisiologi, meskipun metode ini kadang-kadang tidak pas. Nervus
Phrenicus dirangsang di bagian leher dan elektromiogram diafragma (EMG) dicatat
oleh permukaan elektroda yang ditempatkan di ruang intercostalis ke-7 di
persimpangan costochondral. Gambaran laten yang berkepanjangan antara stimulasi
saraf dan fungsi diafragma yang potensial dapat memperjelas diagnosa cidera
demielinasi. Hal ini sebenarnya akan membuat tim medis kesulitan dalam
mengintepretasikan signifikansi amplitudo yang berkurang atau kelengkapan rekaman
EMG diafragma. Temuan ini dapat mewakili baik cidera Nervus Phrenicus ataupun
transaksi ataupun kegagalan untuk melokalisasi diafragma yang biasanya berpindah
pada pasien pascaoperasi. Oleh karena pasien perlu dijauhkan dari elektroda. Tusukan
langsung elektroda perekam pada diafragma memang dapat membantu
menyelesaikan masalah ini, akan tetapi dibutuhkan teknik yang tinggi serta dapat
berisiko menyebabkan pneumotoraks.
Didera Nervus Phrenicus nontraumatic dan disfungsi diafragma juga dapat
menyebabkan gagal nafas berkepanjangan dan tertundanya pemulihan pasien bedah.
Neuropati frenikus dapat menjadi komponen dari polineuropati yang lebih umum dari
penyakit kritis dan umumnya dapat dijumpai pada saat munculnya episode sepsis
berat atau sistemik inflamantory respon syndrome (SIRS). Penyakit miopati yang
dapat mempengaruhi bagian diafragma dan otot-otot respirasi lain dapat dijumpai
dalam waktu yang bersamaan. Akhirnya, disfungsi diafragma dapat muncul sebagai
bagian dari miopati yang mana disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid sistemik
dan agen block neuromuscular dengan dosis tinggi.
Pasien dengan disfungsi diaphragmatic umumnya cocok dan terbiasa dengan
bantuan ventilasi nonsensitif bertekanan positif ketika mereka sedang terjaga.
Bantuan ventilasi nonsensitif ini juga efektif menangani sekresi pernafasan.
Trakeostomi diindikasikan untuk pasien dengan batuk dan yang tidak bisa
dihilangkan dari ventilasi mekanik konvensional. Prognosis pada pasien yang
mengalami cidera termal atau traksi Nervus Phrenicus jauh diuntungkan karena
proses pemulihanya umumnya cepat dan lengkap, akan tetapi sering mengalami
protaksi. Pada pasien dengan gejala kelumpuhan diafragma unilateral akibat transeksi
nervus phrenikus, lipatan bedah dari hemidiafragma biasanya dapat menjadikan
fungsi paru menjadi membaik dan juga dapat membebaskan pasien dari alat ventilasi.
Emboli Paru
Peningkatan emboli paru (PE) ada kaitanya dengan sejumlah prosedur bedah,
termasuk bedah perut bagian atas, bedah saraf, jantung, urologis, dan prosedur
ortopedi ekstremitas inferior. Faktor nonbedah yang dapat mempengaruhi pasien
menderita PE, antara lain obesitas, imobilitas, dan keganasan.
Adanya perubahan ketika terjadi pertukaran gas menandakan adanya emboli
paru. Gagal nafas hypoxemic frank relatif jarang terjadi dan memperlihatkan
terbentuknya klot dalam jumlah banyak. Suhu yang lebih rendah pada klot dapat
menghasilkan gangguan psikologis yang sama berbahanya untuk pasien seperti
bahayanya penyakit paru lainnya. Dengan adanya hypoxemia berat, ada sedikit
cadangan kardiopulmoner yang tersisa.
Sayangnya, baru sedikit informasi yang membahas secara khusus mengenai
diagnose PE yang mudah diperoleh. Pasien sering mengalami dispneic, tachypne dan
tachycardia yang dapat diamati melalui pemeriksaan fisik. Namun gejala ini sering
muncul pada pasien-pasien pasca operasi karena sakit atau atelektasis. Informasi lebih
detail mengenai cor pulmonale acute (misal, distensi pembuluh darah pada leher,
beban parasternal, pada sisi kanan jantung terdengar bunyi jantung ketiga, dan
aksentuasi pada bagian pulmonal bunyi jantung kedua) memang jarang terjadi.
Elektrokardiogram juga menunjukan bukti adanya regangan pada jantung kanan yang
berpola “SIQ3T3 “ atau cabang baru bundle di jantung sebelah kanan. Penanganan
PE yang paling dianjurkan adalah melalui radiografi thorax. Penggunaan radiografi
thorax dapat pula digunakan untuk mengindentifikasi penyebab lain hipoksemia
seperti pneumonia, pneumothorax, atau RADS. Echocardiografi umumnya dilakukan
untuk pasien yang juga menderita hipotensi; adanya pembuktian yang menunjukan
dilatasi ventrikel kanan untuk mengkompensasi ventrikel kiri yg normal atau
abnormal (bagian bawah tersisi) seharusnya dicurigai sebagai PE.
Sementara itu, antikoagulasi dengan heparin membentuk terapi main-stay
untuk pasien dan hebatnya terapi ini membuahkan kondisi yang stabil. Adanya
hipoksemia yang membahayakan nyawa dan/ atau ketidakstabilan hemodinamik
mendorong untuk dilakukan penanganan medis tambahan atau alternatif. Karena
tambahan klot bisa berakibat fatal, penyisipan filter vena cava inferior sangat
disarankan. Terapi ini wajib dilakukan apabila antikoagulasi merupakan
kontraindikasi. Terapi trombolitik juga dianjurkan untuk diberikan pada pasien yang
menderita sakit kritis, hanya saja penggunaan terapi ini perlu dibatasi untuk pasien
pascaoperasi karena dapat memicu terjadinya pendarahan di lokasi luka baru sayatan
operasi dengan catatan adanya kontraindikasi penggunaan trombolitik selama 2
bulan. Sejumlah intervensi radiologis teknik fragmentasi trombus, suction
embolektomi, dan infus intraembolik berdosis rendah, serta bedah embolektomi
menjadi pengobatan alternatif untuk pasien yang menderita trombolitik sistemik yang
juga mengalami kontraindikasi atau gagal terapi.
Obstructive sleep apnea
OSA merupakan gangguan umum yang menyerang 2 hingga 4 persen
populasi orang dewasa. Hal ini ditandai dengan adanya obstruksi jalan nafas bagian
atas yang terus berulang selama tidur sehingga terjadi desaturasi arteri periodic,
hiperkapnia, dan aritmia. Karena perubahan pada anatomi orofaringeal yang biasanya
dialami oleh penderita obesitas dan OSA, intubasi orotrakea pada saat induksi
mungkin sulit dilakukan. Periode pascaoperasi langsung merupakan waktu harus
sangat diperhatikan pasien dengan OSA. Mengapa? Karena pasien pascaoperasi
masih terpengaruh oleh penggunaan anastesi volatil, opioids, dan sedative yang akan
berdampak pada berkurangnya aktivitas otot pernafasan-atas dan meningkatkan
frekuensi dan durasi OSA. Kegagalan dalam mediagnosa OSA secara benar dan tepat
dapat berpotensi menyebabkan komplikasi serius pada pasien, seperti komplikasi
pernafasan, hipoksemia, kebingungan, dan artimia ventrikel. Pemasangan tekanan
positif saluran pernafasan pada nasal setelah ekstubasi memungkinkan pemberian
obat analgesic dan obat pemenang yang aman pada penderita OSA tanpa harus
mengalami risiko yang tidak diinginkan seperti risiko yang memicu terjadinya
obstruksi jalan nafas yang mengancam jiwa. Diperkirakan sebanyak 80 persen pasien
pengidap OSA tidak terdiagnosis. Oleh karenanya diperlukan tindakan bedah untuk
mencegah atau mengamati obstruksi jalan nafas bagian atas.
Penggunaan ventilasi bertekanan positif noninvasif (NIPPV)
Untuk pasien dengan keluhan gagal nafas, intubasi endotrakeal adalah sarana
standard untuk memfasilitasi pasien dengan bantuan ventilasi. Bahkan, beberapa
tahun terakhir, intubasi dianggap jauh memberikan hasil yang lebih baik bagi pasien
seperti minimnya efek samping yang dialami oleh pasien. Selain trauma tambahan
yang ada kaitanya dengan gangguan jalan nafas (seperti meningkatnya risiko
pneumonia nosocomial, sinusitis, dan besarnya kebutuhan sedasi berat yang
seringnya membuat pasien merasa tak nyaman) sering memperpanjang proses
pelepasan ventilator dan ekstubasi. Keinginan untuk menghindari intubasi
endotrakeal telah mendorong meningkatnya penggunaan NIPPV, yang mana alat ini
menyertakan penggunaan sebuah alat yang dipasang dihidung atau sebuah masker
yang berperan sebagai media penghubung pasien dengan ventilator.
Ada banyak bukti yang mendukung manfaat dari penggunaan NIPPV sebagai
bagian dari terapi pengobatan berbagai jenis gagal nafas yang dialami oleh pasien.
Sayangnya baru beberapa data saja yang telah dikonfirmasi keamanan dan
efektifitasnya dalam pemulihan pasca operasi. Studi yang paling menarik yang
meneliti kasus gagal nafas yaitu penelitian yang meneliti pasien yang menderita gagal
nafas hipoksia pasca operasi reseksi paru dengan terapi standard (oksigen tambahan,
bronkodilator, fisioterapi dada) dengan atau tanpa NIPPV. Dibandingkangan dengan
kelompok kontrol, penggunaan NIPPV dikaitkan dengan penurunan akan kebutuhan
intubasi endotrakeal (20,8 persen vs 50 persen) dan angka immortalitas dalam kurun
waktu 3 bulan (12.5 persen vs 37.5 persen). Meskipun masih ada kekhawatiran
tentang penggunaan NIPPV pasca operasi esophagus dan lambung, beberapa
pengalaman menunjukan bahwa semua akan berjalan dengan baik dan aman. Namun
perlu adanya perawatan untuk menghindari distensi lambung, menggunakan tabung
decompressi bila diperlukan, dan besarnya ventilasi tekanan positif yang digunakan
harus dibatasi, yaitu kurang dari 12 cm H2O. Karena NIPPV memerlukan waktu
aklimatisasi, NIPPV tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien yang sedang
dalam kondisi tidak stabil. Kontra indikasi lainnya dari penggunaan NIPPV yaitu
status mental pasien seperti gelisah atau stress, dan pasien yang sedang menjalani
pembersihan jalan nafas karena sekret atau batuk-batuk lemah.