Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

28
Disfungsi glotis dapat terjadi setelah hingga 8 jam pelepasan tabung dalam waktu singkat. Risiko aspirasi dapat berkurang selama periode perioperatif langsung. Hal ini perlu diperhatikan pada pasien yang mendapat analgesia narkotik, dengan efek samping selain muntah, juga dapat menekan kesadaran. Risiko aspirasi selama periode perioperatif langsung digambarkan dalam survei pada lebih dari 215.000 prosedur anestesi umum yang dilakukan di Mayo Clinic. Aspirasi didefinisikan sebagai keberadaan materi empedu atau partikulat dalam saluran pernafasan jika terdapat infiltrate baru pada rontgen dada post operasi langsung. Insiden aspirasi secara keseluruhan ada 0,03 persen, namun kejadian aspirasi hampir empat kali lipat lebih tinggi (0,11 persen) terjadi dalam pengaturan operasi darurat. Selain penggunaan anestesi umum, faktor predisposisi lain yang terdapat pada lebih dari setengah pasien yang mengalami aspirasi, termasuk obstruksi gastrointestinal, disfungsi menelan, perubahan sensorik, riwayat operasi esofagus sebelumnya, dan riwayat makan makanan dalam waktu dekat sebelumnya. Mayoritas kejadian terjadi selama laringoskopi (pada persiapan untuk memasukkan tabung endotrakeal) dan selama ekstubasi trakea. Dua puluh persen dari pasien yang diaspirasi

description

translete jurnal interna

Transcript of Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

Page 1: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

Disfungsi glotis dapat terjadi setelah hingga 8 jam pelepasan tabung dalam waktu

singkat. Risiko aspirasi dapat berkurang selama periode perioperatif langsung. Hal

ini perlu diperhatikan pada pasien yang mendapat analgesia narkotik, dengan efek

samping selain muntah, juga dapat menekan kesadaran.

Risiko aspirasi selama periode perioperatif langsung digambarkan dalam

survei pada lebih dari 215.000 prosedur anestesi umum yang dilakukan di Mayo

Clinic. Aspirasi didefinisikan sebagai keberadaan materi empedu atau partikulat

dalam saluran pernafasan jika terdapat infiltrate baru pada rontgen dada post operasi

langsung. Insiden aspirasi secara keseluruhan ada 0,03 persen, namun kejadian

aspirasi hampir empat kali lipat lebih tinggi (0,11 persen) terjadi dalam pengaturan

operasi darurat. Selain penggunaan anestesi umum, faktor predisposisi lain yang

terdapat pada lebih dari setengah pasien yang mengalami aspirasi, termasuk

obstruksi gastrointestinal, disfungsi menelan, perubahan sensorik, riwayat operasi

esofagus sebelumnya, dan riwayat makan makanan dalam waktu dekat sebelumnya.

Mayoritas kejadian terjadi selama laringoskopi (pada persiapan untuk memasukkan

tabung endotrakeal) dan selama ekstubasi trakea. Dua puluh persen dari pasien yang

diaspirasi membutuhkan ventilasi mekanik pasca operasi lebih dari 6 jam: persen

meninggal sebagai akibat langsung dari komplikasi ini.

Kandungan asam gaster yang mengenai saluran pernafasan di bronchus dan

parenkim paru, menimbulkan hampir seluruh chemical burn. Selain itu, aspirasi asam

memicu respon inflamasi yang tertunda (delayed response immune), dengan

melepaskan sitokin inflamasi dan merangsang pengumpulan neutrofil di paru-paru.

Hal tersebut dapat menyebabkan cedera pada membran pembuluh darah kapiler

alveolar, melalui edema cairan protein memenuhi interstitium dan rongga udara.

Kadar surfaktan menjadi turun drastis baik karena denaturasi langsung maupun

berkurangnya produksi asam, sehingga menyebabkan ketidakstabilan alveolar dan

atelektasis. Besarnya cedera paru secara langsung berhubungan dengan pH dan

volume material yang diaspirasi. Studi awal pada hewan menunjukkan bahwa pH

kurang dari 2,5 dan volume lebih dari 0,4 ml / kg merupakan nilai ambang batas kritis

Page 2: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

untuk menginduksi cedera paru. Walaupun nilai-nilai ini sekarang sering dikutip pada

beberapa literatur, validitas nilai ini telah ditentang oleh penelitian terbaru yang

menunjukkan cedera yang signifikan bila berinteraksi dengan volume yang lebih

rendah dan pH tinggi. Selain itu, aspirasi empedu mampu menimbulkan cedera luas

bahkan pada pH setinggi 7.19. Adanya partikel makanan yang besar dapat

memperburuk kondisi lebih lanjut dengan menyebabkan obstruksi jalan napas dan

atelektasis. Infeksi biasanya tidak berperan penting dalam cedera paru awal yang

disebabkan aspirasi asam lambung. Asam dengan pH rendah berfungsi untuk menjaga

sterilitas relatif inokulum. Walaupun demikian, kolonisasi bakteri pada lambung juga

dapat terjadi pada pasien yang menkonsumsi obat penurun asam lambung, pasien

yang menerima enteral feeding, dan pasien dengan gastroparesis atau obstruksi usus

halus.

Aspirasi dapat didiagnosis secara jelas apabila pasien muntah dan disaksikan

orang lain atau terlihat pemulihan isi lambung dari saluran pernafasan. Aspirasi juga

dapat dicurigai terjadi pada pasien dengan faktor risiko aspirasi dan memiliki

gambaran clinicoradiographic yang sesuai dengan aspirasi. Aspirasi yang massif pada

pasien memiliki beberapa karakteristik, misalnya munculnya demam, takipnea, dan

munculnya crackles yang terdengar dalam beberapa jam. Mengi terjadi pada sekitar

sepertiga dari pasien dan mungkin terjadi karena obstruksi saluran pernafasan oleh

partikel dan umumnya terjadi karena refleks bronkospasme.

Hipoksemia umumnya terjadi disertai aspirasi massif yang cukup parah pada

sebagian besar pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Apabila hipoksemia

ditemukan di awal pengunnan, memiliki kecenderungan risiko tinggi kematian

dengan pola radiografi lebih awal muncul yaitu (1) konsolidasi bilateral yang luas

menyerupai edema paru difus; (2) infiltrasi diskrete yang luas dan merata tergantung

pada area paru-paru yang terkena; dan (3) konsolidasi focal, biasanya terlokalisasi

pada basis salah satu atau kedua paru-paru.

Manifestasi klinis dan cara aspirasi massif pada pasien bervariasi, namun

biasanya dapat berupa satu atau beberapa cara / manifestasi klinis. Sebagian kecil

Page 3: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

pasien dapat fulminan ditandai dengan hipoksemia refrakter dan shock yang berakibat

kematian dalam beberapa hari. Umumnya, pasien menunjukkan gambaran radiologi

yang progresif dan mengalami perbaikan klinis selama beberapa hari pertama.

Meskipun sebagian besar pasien dapat pulih sepenuhnya, ada bagian yang

menunjukkan kerusakan sekunder karena perkembangan ARDS atau pneumonia

nosokomial. Besar angka kematian secera keseluruhan yang berkaitan dengan aspirasi

adalah sekitar 30 persen dan melebihi 50 persen pada pasien dengan syok awal atau

apnea, pneumonia sekunder, atau ARDS.

Pengobatan gagal nafas sekunder karena aspirasi merupakan terapi supportif

meliputi strategi ventilator mekanik mengacu pada bentuk lain dari ARDS

(penjelasan rinci di bawah). Bronkoskopi diindikasikan hanya bila terjadi obstruksi

jalan napas oleh partikel yang dicurigai menyebabkan mengi local dasar atau lobar

atelektasis. Asam lambung yang menyebar luas secara endogen dapat dinetralkan

dengan lavage bronchoalveolar jumlah besar dalam hitungan detik. Cara ini tidak

efektif dan tidak dianjurkan untuk mengurangi cedera yang ditumbulkan.

Hasil penelitian mengenai terapi kortikosteroid sistemik pada pengobatan aspirasi

pneumonitis telah diakui dan saat ini penggunaan kortikosteroid tersebut tidak

dianjurkan. Selain itu, tidak terdapat pula data yang mendukung penggunaan

antibiotik profilaksis pada aspirasi, salah satunya karena kekhawatiran penggunaan

antibiotik ini dapat meningkatkan resistensi organisme. Beberapa peneliti

menganjurkan penggunaan antibiotik empiris untuk beberapa pasien yang beresiko

mengalami kolonisasi bakteri pada lambung, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Terdapat sekitar 40 persen pasien mengalami pneumonia bakteri superimposed dalam

beberapa hari setelah aspirasi yang ditunjukkan dengan munculnya demam baru,

infiltrat baru yang progresif, dan sputum purulen. Terapi antibiotik spektrum luas

dapat digunakan pada keadaan tersebut.

Morbiditas dan mortalitas tinggi yang terkait dengan aspirasi dan kurangnya

terapi yang efektif setelah aspirasi menjadi fokus utama untuk menyusun ukuran

tertentu sebagai pencegahan komplikasi ini. Ukuran yang paling mudah dan banyak

Page 4: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

digunakan adalah konvensi puasa semalam sebelum operasi elektif. Meskipun sudah

berpuasa lama, sepertiga pasien tetap memiliki volume lambung lebih dari 0,4 ml / kg

(sekitar 25-0 ml dalam dewasa rata-rata), dan sekitar tiga perempat akan memiliki pH

lambung bawah 2,5. Penggunaan H2-blocker dan proton pump inhibitor secara efektif

meningkatkan H dan mengurangi volume isi lambung dan dapat dijadikan strategi

pengobatan yang berpotensi. Saat ini, pemberian profilaksis agen anti sekretorik

hanya disarankan untuk pasien yang dianggap memiliki risiko tinggi aspirasi.

Sayangnya, waktu yang memungkinkan agen ini bereaksi sebelum dilakukan operasi

darurat ketika risiko aspirasi tertinggi umumnya tidak cukup. Pada pasien berisiko

tinggi. induksi cepat urutan tindakan anestesi harus digunakan untuk mempersingkat

waktu antara intubasi trakea dan kehilangan kesadaran. Selama induksi, penekanan

manual pada tulang rawan cricoids (Sellick manuver) harus dilakukan dan

dipertahankan sampai tabung endotrakeal berada dalam posisi yang tepat dan cuff

terpasang. Setelah operasi, ekstubasi harus dilakukan hanya apabila kesadaran dan

refleks muntah telah kembali dan memberikan perlindungan yang memadai pada

saluran pernafasan.

Pneumonectomy pasca edema paru

Selama 25 tahun terakhir, beberapa laporan telah mendokumentasikan

perkembangan pesat edema paru pada paru-paru yang tersisa dari beberapa pasien

yang dilakukan pneumonectomy. Awalnya, edema paru dikaitkan dengan pemberian

cairan berlebihan di ruang operasi, sehingga menyebabkan komplikasi yang muncul

pada paru-paru dengan tekanan oklusi arteri normal. Selain itu, edema cairan yang

kaya protein juga memiliki kekuatan pendorong untuk menimbulkan edema dan lebih

dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dibandingkan peningkatan

tekanan hidrostatik. Studi postmortem mengkonfirmasi adanya fitur patologis

universal pada cedera paru akut. Mekanisme yang menyebabkan cedera paru setelah

pneumonectomy telah diketahui secara pasti. Teori terjadinya mekanisme tersebut

adalah adanya penekanan / stress mekanik karena ventilasi paru tunggal di ruang

Page 5: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

operasi sehingga menyebabkan kerusakan ultrastuructural pada epitel alveolar

meningat pengalihan seluruh output jantung melalui paru-paru yang tersisa ini dapat

menyebabkan cedera endotel. Faktor lain yang dapat berkontribusi pada pembentukan

edema adalah trauma bedah dan gangguan drainase limfatik.

Sebuah penelitian yang menggunakan kriteria ketat untuk tidak memasukan

pasien dengan gagal jantung kongestif (CHF) atau faktor risiko yang diketahui untuk

ARDS, menunjukkan kejadian edema paru postpneumonectomy adalah sebesar 2,6%.

Penelitian lain yang menggunakan beberapa kriteria menunjukkan kejadian 1 - 7 %.

Belum ada penjelasan yang tepat mengenai komplikasi edema paru yang terjadi lebih

sering pada pneumonectomy paru kanan yaitu sekitar 50 sampai 100 persen.

Cardiopulmonary Bypass

ARDS telah diteliti untuk dikembangkan segera setelah penggunaan

cardiopulmonary bypass pada sekitar 1 persen dari kasus. Terdapat beberapa faktor

yang tidak terkait dengan penggunaan CPB. Bukti kuat dari kedua model hewan dan

studi klinis menunjukkan CPB mengaktifkan sejumlah mekanisme inflamasi yang

dapat menyebabkan cedera paru akut. Hal ini mapan, misalnya. CPB menyebabkan

aktivasi neutrofil, kemungkinan melalui mekanisme stres menyimpang dan paparan

permukaan artificial pada sirkuit bypass. Selain itu, peningkatan ekspresi molekul

yang melekat pada permukaan sel telah dibuktikan dapat meningkatkan aktivitas

neutrofil dalam mengikat endotel paru dan melepaskan enzim proteolitik, dan

senyawa oksigen reaktif. Peran sentral neutrofil tersebut menyebabkan cedera paru

akut setelah CPB didukung oleh beberapa bukti bahwa: (1) terdapat peningkatan

jumlah neutrofil dalam cairan lavage bronchoalveolar dari pasien yang menjalani

CPB; (2) kadar neutrofil elastase dan myeloperoxydase plasma meningkat; dan (3)

inhibisi aktivasi neutrofil dengan pentoxifylline sebagai agen deplesi neutrofil dapat

menurunkan tingkat disfungsi paru. Sejumlah mediator inflamasi lainnya yang

dilepaskan berkaitan dengan CPR yaitu komplemen, sitokin proinflamasi dan

prostaglandin.

Page 6: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

Post-CPB ARDS sering disertai dengan bukti adanya respon inflamasi

sistemik yaitu demam, leukositosis dan kegagalan sistem multi-organ. Kematian yang

berkaitan dengan komplikasi ini terjadi pada kisaran 60 sampai 90 persen.

Amiodarone

Amiodarone-induced pulmonary toxicity biasanya muncul sebagai penyakit

subakut yang ditandai dengan batuk, dyspnea, demam, dan infiltrat paru patchy.

Penggunaan amiodaron telah dikaitkan dengan perkembangan ARDS segera setelah

operasi jantung dan thorax. Pada kebanyakan kasus jantung, amiodarone diberikan

sebelum operasi dalam berbagai periode waktu untuk mengontrol aritmia. Tidak

terdapat bukti bentuk manifestasi yang lebih dari toksisitas paru akibat amiodaron

pada sebagian besar pasien sebelum operasi. Baru-baru ini, perkembangan ARDS

terjadi pada pasien yang hanya terpapar amiodaron pada periode pasca operasi, ketika

obat digunakan sebagai profilaksis atau pengobatan untuk aritmia atrium pada reseksi

paru. ARDS pasca operasi dilaporkan terjadi 11 persen dari pasien yang menerima

amiodarone dan pada 1,8 persen dari pasien yang tidak diobati. Faktor perioperatif

spesifik yang berhubungan dengan amiodaron sehingga menyebabkan cedera paru

akut adalah paparan oksigen kadar tinggi. Diagnosis berdasarkan eksklusi penyebab

lain, bukan dari berdasarkan tes diagnostik atau tes histologi tertentu.

Transfusion-Related Acute Lung Injury

Transfusi darah dan produk darah telah dikaitkan dengan perkembangan

ARDS melaui dua cara. Secara epidemiologi, hubungan antara transfusi darah masif

(lebih besar dari 15 U / 24 jam) dan ARDS telah dicatat, tetapi masih belum jelas

apakah hubungan ini benar-benar kausal atau tidak langsung maupun reflektif hanya

dari sifat kritis penyakit pasien yang membutuhkan transfusi dalam jumlah besar.

Mekanisme ini terjadi karena suatu proses yang disebut sebagai "cedera paru akut

terkait transfusi" (TRALI) dengan cara induksi cedera paru akut oleh antibodi

leukoagglutinasi Antibodi ini biasanya terkandung dalam produk-produk darah yang

Page 7: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

berasal dari donor perempuan multipara, yang terpapar antigen leukosit manusia

(HLA) atau antigen granulosit. Antibodi ini menyebabkan leukoagglutinasi dan

aktivasi granulosit resipien atau monosit dalam mikrovaskular paru, memicu

peningkatan permeabilitas kapiler dan perkembangan edema paru noncardiogenic.

TRALI juga dapat disebabkan oleh interaksi antara antibodi leukoagglutinasi dari

resipien dan leukosit dari donor yang terdapat pada resipien. TRALI jarang dikaitkan

dengan pemberian infus mediator biologis aktif yang berasal dari pemecahan

komponen seluler dari produk darah yang disimpan.

Insiden TRALI sulit ditentukan karena entitas subyek banyak dan sering salah

didiagnosis. Sebuah studi yang melibatkan 36 kasus selama 2 tahun menunjukkan

kejadian TRALI sebanyak 0,02 persen per unit dan 0,16 persen per pasien yang

ditransfusikan. Sebagian besar kasus terjadi pada pasien bedah pada periode awal

pasca operasi, dengan pengaturan dan pemantauan secara ketat fungsi

cardiolpulmonary pasien di ruangan tempat pemulihan postanesthesia.

Episode ringan TRALI dapat menimbulkan dyspnea dan demam. Kasus yang

lebih parah ditandai dengan timbulnya gangguan pernapasan mendadak, hipoksemia,

dan infiltrat paru yang terjadi dalam waktu 2 sampai 4 jam setelah transfusi. Gejala

penyerta seperti demam, menggigil, hipotensi, dan urtikaria muncul pada sebagian

kecil pasien. Gangguan pernapasan dan hipoksemia tersebut dapat menyebabkan

kondisi yang membutuhkan bantuan ventilasi mekanik pada kebanyakan pasien.

Diagnosis banding TRALI adalah volume overload, CHF, infark miokard, dan

aspirasi. Reaksi TRALI memiliki kecenderungan self limited, gejala dan tandanya

biasanya berupa munculnya infiltrat dan peningkatan oksigenasi mendadak dalam

beberapa hari. Reaksi ini dapat terjadi secara berlarut-larut selama lebih dari 1

minggu pada sekitar 20 persen pasien; dengan tingkat mortalitas 5 sampai 10 persen.

Ketika curiga terdapat kasus TRALI, bank darah harus diberitahu dan semua

unit yang telah ditransfusikan harus diuji adanya antibodi leukoagglunasi. Setiap

plasma darah atau produk protein plasma darah yang mengandung antibodi tersebut

dapat merangsang reaksi TRALI. Memang, packed red blood cells, yang hanya berisi

Page 8: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

60 sampai 100 ml plasma, merupakan salah satu penyebab TRALI yang paling

umum.

Cedera iskemia reperfusi

Restorasi aliran darah ke jaringab iskemik sebelumnya mungkin berakibat

memburuk cedera pada jaringan. Efek iskemia reperfusi ini melibatkan mekanisme

‘two-hits’. Jaringan iskemia menyebabkan pembentukan oksidasi xantine dan

substrat, hipoksantin, sedangkan persediaan reperfusi molekul oksigen yang memicu

reaksi penghasilan oksigen yang bebas dari radikal bebas untuk disalurkan ke se-sel

yang terlukal. Netrophils berperan sebagai sumber tambahan radikal bebas oksigen

dan enzin proteolitik. Dalam paru-paru, iskemia-reperfusi dapat menyebabkan cedera

yang berbeda seperti cedera pada epitel alveolar dan resultan edema paru

noncardiogenic. Mekanisme ini menjadi dasar pengembangan transplatasi akut pada

paru (bab 101) dan thromboendarterectomy paru.

Non edema paru kardiogenik hampir mirip dengan fitur umum allograft paru yang

baru ditanam, hanya saja non edema paru kardiogenik ini ringan dan terbatas. Dari

sekitar 10 persen kasus, allograft yang terluka berat dan telah menyebar luas serta

adanya edema alveolar menyebabkan hipoksemia yang berat. Kondisi pulmonary

yang rendah menyebabkan diperlukannya ventilator mekanik di luar terapi post-

transplant langsung. Entitas, yang diistilahkan dengan disfungsi graft primer (primary

graft dysfunction) adalah nonimunologi secara alami dan diklaim sebagai contoh

cedera parah iskemia reperfusi- kegagalan graft primer terjadi selama 6 jam. Cedera

bisa saja terjadi pada allograft meskipun iskemik terjadi di bawah batas aman, yaitu

kurang dari 6 jam. Cedera terjadi pada allograft pada kasus kesulitan transplatasi paru

tunggal. Adanya luka paru unilateral mungkin akan menyebabkan kesulitan dalam

memasang ventilator mekanik. Hal ini benar-benar terjadi pada kasus PPOK di mana

saat nafas dengan tekanan positif dan PEEP yang lebih baik dipasangkan pada paru-

paru menyebabkan hiperinflasi progresif, pergeseran mediastinum, dan gangguan

yang berpotensi mengganggu pertukaran gas dan hemodinamik. Kondisi ini dapat

Page 9: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

diatasi dengan cara menyisipkan tabung endotrakeal lumen ganda yang

memungkinkan tim medis untuk menggunakan ventilasi paru independen dan aplikasi

pilihan PEEP untuk dipasangkan pada edematous allograft, sementara itu memasang

ventilasi pada organ paru yang menggunakan jalan nafas bertekanan rendah dan

sebuah fase eskpirasi yang berkepanjangan dengan tujuan untuk meminimalisir

hiperinflasi.

Thromboendaterectomy paru adalah teknik bedah yang dilakukan untuk terapi atau

pengobatan hipertensi pulmonal tromboembolik kronis (bab 82). Meskipun angka

kematian operasi telah menurun secara signifikan hingga kurang dari 10 persen,

reperfusi edema paru tetap menyisakan komplikasi pascaoperasi. Komplikasi paling

sering dialami 24 jam pertama pasca operasi. Akan tetapi onset yang nampak baru

akan muncul 72 jam pascaoperasi. Sebuah ciri yang mencolok yaitu pembatasan

radiografi edema terhadap area paru yang sebelumnya mendapatkan suplai dari

pembuluh yang kini tersumbat. Hal yang memperburuk shunt dan hipoksemia terkait

dengan komplikasi ini adalah reditribusi darah dari segmen yang sebelumnya

mengalami perfusi dengan baik menjadi endarterectomi baru yang memasok area

edema paru. Fenomena ini disebut dengan istilah “pulmonary artery steal”.

Beruntungnya, tingkat reperfusi edema dan hipoksemia ringan lebih banyak kasusnya

bila dibandingkan dengan hipoksemia berat yang memerlukan dukungan ventilator

mekanik yang harus dipasang terus menerus dengan tingkat oksigen dan aplikasi

PEEP.

Pengobatan dan Hasil

Informasi detail seputar manejemen ARDS dibahas pada bab ini dan dapat

dijumpai di bab lain (bab 145) serta review-review yang sedang banyak dibahas saat

ini. Meskipun demikian, beberapa aspek dasar perawatan wajib dipahami. Pertama

dan yang paling utama, manejemen klinik bersifat mendukung. Terapi khusus

bertujuan untuk mengameliorasi luka pada paru-paru atau akselerasi pemulihan yang

tak kunjung membaik. Perawatan fokus pada penggunaan mekanisme ventilasi dan

Page 10: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

disesuaikan untuk mempertahankan pertukaran gas yang cukup sementara

meminimalisir efek berbahaya dari konsentrasi oksigen yang tinggi, volume tidal

yang tinggi, dan tekanan udara yang tinggi, yang mana semua ini dapat menginduksi

trauma akut lanjutan pada paru-paru. Segala usaha harus dilakukan untuk mengurangi

FIO2 hingga 0.6 atau kurang dari 0.6, yang mampu menerima saturasi arteri lebih

dari 90 persen dan menggunakan PEEP untuk membentuk area atelektasis paru serta

meningkatkan oksigenasi. Pola ventilasi ‘peregangan rendah’ harus digunakan

dengan cara menggunakan volume tidal kurang dari atau sama dengan 6 ml/ kg dan

batasan tekanan nafas maksimum kurang dari atau sama dengan 30 cm H2O. Strategi

ventilasi ini (yang wajib dokter harus patuhi) telah terbukti dapat mengurangi angka

kematian yang terkait dengan ARDS.

Menghirup oksida nitrat menyebabkan vasodilitasi pembuluh darah yang

mensuplai darah pada area paru yang berventilasi baik dan telah terbukti dapat

mengurangi fraksi yang tidak sesuai dan meningkatkan oksigenasi pada pasien yang

menderita ARDS parah. Sayangnya, dampak yang menguntungkan ini hanya sebentar

saja, dan sejumlah uji klinis fase III yang menunjukan dampak berarti pada durasi

ventilasi mekanis atau kematian pasien dinyatakan gagal. Hal yang sama juga terjadi

pada kasus yang satu ini. Menempatkan pasien pada posisi rawan dapat

meningkatkan oksigenasi, akan tetapi hingga saat ini belum menunjukan dampak

pada kelangsungan hidup.

Obat penenang harus diberikan untuk tetap membuat pasien merasa nyaman

dan memperkenalkan pernafasan yang sinkron dengan bantuan ventilator. Pasien

dalam kondisi tidak sadar terkadang diperlukan dalam situasi akut hipoksemia yang

bersifat mengancam jiwa atau hiperkania. Akan tetapi penggunaan obat

neuromuscular dalam kurun waktu yang lama sangat tidak dianjurkan karena dapat

meningkatkan risiko miopati yang bersifat melemahkan.

Meskipun mendapatkan perawatan dukungan yang baik, kematian akibat

ARDS mencapai 30 persen. Angka kematian lebih banyak dari kalangan para lansia

Page 11: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

dan mereka yang mengalami gagal sistem organ. Di sisi lain, prognosis penyakit juga

dapat terjadi pada pasien dengan trauma pada paru-parunya akibat TRALI.

Trauma Nervus Phrenicusdan Disfungsi Diafragma

Trauma Nervus Phrenicus merupakan bentuk komplikasi CABG.

Sebelumnya, komplikasi muncul akibat penggunaan saline dingin yang ditempatkan

di pericardium sebagai terapi pendinginan topikal pada jantung. Cedera termal

menyebabkan demielinasi dan degenerasi aksonal saraf dengan perlambatan konduksi

serta aktivasi diafragma. Penggunaan teknik pendinginan topical jauh dari nyaman

karena adanya potensi terjadinya komplikasi seperti ini. Namun, nervus phrenikus

juga bisa terluka oleh traksi, iskemia, penggunaan diathermy transeksi selama

retraksi sternum dan pengambilan arteri mamaria interna. Cedera nervus phrenikus

unilateral biasanya melibatkan nervus phrenikus kiri dan sebanyak 10 persen pasien

telah menjalani CABG. Cidera nervus phrenikus bilateral dilaporkan sering terjadi

dengan banyaknya kasus sekitar 1 hingga 3 persen dari total kasus penggunaan

cardioplegia topical. Kini kasus tersebut menjadi langka. Cidera nervus phrenikus

tidak hanya terbatas untuk CABG, melainkan juga dapat dijumpai pada kasus

jantung, bedah thoraric, operasi leher, dan transplatasi hati.

Meskipun biasanya tidak menjadi hal yang penting untuk pasien yang sehat,

kelumpuhan diafragma unilateral dapat menyebabkan gangguan pernafasan yang

signifikan pada pasien yang menderita penyakit paru-paru kronis sebelumnya atau

pada pasien marginal. Pada pasien dengan COPD, misalnya, durasi ventilasi mekanis

pasca operasi dan tingkat re-intubasi lebih tinggi daripada mereka yang tidak

menderita cidera nervus phrenikus unilateral plus CABG. Hasil kelumpuhan

diafragma bilateral dapat ditandai dari fungsi paru dan seringnya dapat menyebabkan

gagal nafas. Dengan pengaturan yang tepat, dugaan adanya cidera Nervus Phrenicus

muncul ketika sedang mencoba melepas ventilasi mekanik pasien pascaoperasi pada

atalektasis hypercapnia progresif. Secara spontan pasien akan sering mengeluhkan

othopnea yang dapat disalah-artikan oleh dokter sebagai indikasi CHF. Namun,

Page 12: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

othopnea sebenarnya muncul karena adanya gangguan lebih lanjut pada fungsi

diafragma akibat hilangnya gravitasi ketika pasien dalam posisi terlentang. Detektor

pernafasan thoracoabdominal paradox-gerakan perut dengan ekspansi simultan

thorax- merupakan petunjuk yang dipasang di samping tempat tidur dan penting

untuk pasien yang menderita kelumpuhan diafragma bilateral. Hasil radiografi thorax

juga mungkin memegang peranan penting di mana radiografi thorax ini dapat

menunjukan elevasi, baik elevasi unilateral maupun elevasi bilateral pada diafragma

yang menyertai atelektasis basilar. Namun, temuan ini tidak diperuntukan bagi pasien

dengan cidera Nervus Phrenicus karena adanya distensi abdomen. Berkurangnya

tekanan inspirasi maksimum yang terlihat pada mulut merupakan indikasi lain yang

cukup sensitif, tapi tidak tergolong sebagai indikasi disfungsi diafragma yang

signifikan.

Kelumpuhan diafragma unilateral dapat diagnosis dengan cepat melalui

pemeriksaan fluoroskopik yang mana dengan pemeriksaan ini dapat diketahui

gerakan ke atas paradox dari hemidiafragma sebagai dampak dari respirasi maksimal

(contoh mengendus). Situasinya akan lebih rumit jika terjadi disfungsi diafragma

bilateral. Dalam hal ini, pasien sering menganggap perubahan pola nafas yang

ditandai dengan berkontraksinya otot-otot perut selama ekspirasi, memaksa

hemidiafragma melembek di bagian atas. Pada inspirasi selanjutnya, otot-otot perut

akan rileks and hemidiafragma turun sesaat. Gerakan otot perut dan hemidiafragma

ini menciptakan kesan yang salah bahwa keduanya berfungsi baik. Karena inilah

fluoroscopy mungkin tidak perlu diberikan untuk pasien jenis ini.

Gold standar untuk mengkonfirmasi cidera Nervus Phrenicus adalah dengan

pengujian elektrofisiologi, meskipun metode ini kadang-kadang tidak pas. Nervus

Phrenicus dirangsang di bagian leher dan elektromiogram diafragma (EMG) dicatat

oleh permukaan elektroda yang ditempatkan di ruang intercostalis ke-7 di

persimpangan costochondral. Gambaran laten yang berkepanjangan antara stimulasi

saraf dan fungsi diafragma yang potensial dapat memperjelas diagnosa cidera

demielinasi. Hal ini sebenarnya akan membuat tim medis kesulitan dalam

Page 13: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

mengintepretasikan signifikansi amplitudo yang berkurang atau kelengkapan rekaman

EMG diafragma. Temuan ini dapat mewakili baik cidera Nervus Phrenicus ataupun

transaksi ataupun kegagalan untuk melokalisasi diafragma yang biasanya berpindah

pada pasien pascaoperasi. Oleh karena pasien perlu dijauhkan dari elektroda. Tusukan

langsung elektroda perekam pada diafragma memang dapat membantu

menyelesaikan masalah ini, akan tetapi dibutuhkan teknik yang tinggi serta dapat

berisiko menyebabkan pneumotoraks.

Didera Nervus Phrenicus nontraumatic dan disfungsi diafragma juga dapat

menyebabkan gagal nafas berkepanjangan dan tertundanya pemulihan pasien bedah.

Neuropati frenikus dapat menjadi komponen dari polineuropati yang lebih umum dari

penyakit kritis dan umumnya dapat dijumpai pada saat munculnya episode sepsis

berat atau sistemik inflamantory respon syndrome (SIRS). Penyakit miopati yang

dapat mempengaruhi bagian diafragma dan otot-otot respirasi lain dapat dijumpai

dalam waktu yang bersamaan. Akhirnya, disfungsi diafragma dapat muncul sebagai

bagian dari miopati yang mana disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid sistemik

dan agen block neuromuscular dengan dosis tinggi.

Pasien dengan disfungsi diaphragmatic umumnya cocok dan terbiasa dengan

bantuan ventilasi nonsensitif bertekanan positif ketika mereka sedang terjaga.

Bantuan ventilasi nonsensitif ini juga efektif menangani sekresi pernafasan.

Trakeostomi diindikasikan untuk pasien dengan batuk dan yang tidak bisa

dihilangkan dari ventilasi mekanik konvensional. Prognosis pada pasien yang

mengalami cidera termal atau traksi Nervus Phrenicus jauh diuntungkan karena

proses pemulihanya umumnya cepat dan lengkap, akan tetapi sering mengalami

protaksi. Pada pasien dengan gejala kelumpuhan diafragma unilateral akibat transeksi

nervus phrenikus, lipatan bedah dari hemidiafragma biasanya dapat menjadikan

fungsi paru menjadi membaik dan juga dapat membebaskan pasien dari alat ventilasi.

Page 14: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

Emboli Paru

Peningkatan emboli paru (PE) ada kaitanya dengan sejumlah prosedur bedah,

termasuk bedah perut bagian atas, bedah saraf, jantung, urologis, dan prosedur

ortopedi ekstremitas inferior. Faktor nonbedah yang dapat mempengaruhi pasien

menderita PE, antara lain obesitas, imobilitas, dan keganasan.

Adanya perubahan ketika terjadi pertukaran gas menandakan adanya emboli

paru. Gagal nafas hypoxemic frank relatif jarang terjadi dan memperlihatkan

terbentuknya klot dalam jumlah banyak. Suhu yang lebih rendah pada klot dapat

menghasilkan gangguan psikologis yang sama berbahanya untuk pasien seperti

bahayanya penyakit paru lainnya. Dengan adanya hypoxemia berat, ada sedikit

cadangan kardiopulmoner yang tersisa.

Sayangnya, baru sedikit informasi yang membahas secara khusus mengenai

diagnose PE yang mudah diperoleh. Pasien sering mengalami dispneic, tachypne dan

tachycardia yang dapat diamati melalui pemeriksaan fisik. Namun gejala ini sering

muncul pada pasien-pasien pasca operasi karena sakit atau atelektasis. Informasi lebih

detail mengenai cor pulmonale acute (misal, distensi pembuluh darah pada leher,

beban parasternal, pada sisi kanan jantung terdengar bunyi jantung ketiga, dan

aksentuasi pada bagian pulmonal bunyi jantung kedua) memang jarang terjadi.

Elektrokardiogram juga menunjukan bukti adanya regangan pada jantung kanan yang

berpola “SIQ3T3 “ atau cabang baru bundle di jantung sebelah kanan. Penanganan

PE yang paling dianjurkan adalah melalui radiografi thorax. Penggunaan radiografi

thorax dapat pula digunakan untuk mengindentifikasi penyebab lain hipoksemia

seperti pneumonia, pneumothorax, atau RADS. Echocardiografi umumnya dilakukan

untuk pasien yang juga menderita hipotensi; adanya pembuktian yang menunjukan

dilatasi ventrikel kanan untuk mengkompensasi ventrikel kiri yg normal atau

abnormal (bagian bawah tersisi) seharusnya dicurigai sebagai PE.

Sementara itu, antikoagulasi dengan heparin membentuk terapi main-stay

untuk pasien dan hebatnya terapi ini membuahkan kondisi yang stabil. Adanya

hipoksemia yang membahayakan nyawa dan/ atau ketidakstabilan hemodinamik

Page 15: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

mendorong untuk dilakukan penanganan medis tambahan atau alternatif. Karena

tambahan klot bisa berakibat fatal, penyisipan filter vena cava inferior sangat

disarankan. Terapi ini wajib dilakukan apabila antikoagulasi merupakan

kontraindikasi. Terapi trombolitik juga dianjurkan untuk diberikan pada pasien yang

menderita sakit kritis, hanya saja penggunaan terapi ini perlu dibatasi untuk pasien

pascaoperasi karena dapat memicu terjadinya pendarahan di lokasi luka baru sayatan

operasi dengan catatan adanya kontraindikasi penggunaan trombolitik selama 2

bulan. Sejumlah intervensi radiologis teknik fragmentasi trombus, suction

embolektomi, dan infus intraembolik berdosis rendah, serta bedah embolektomi

menjadi pengobatan alternatif untuk pasien yang menderita trombolitik sistemik yang

juga mengalami kontraindikasi atau gagal terapi.

Obstructive sleep apnea

OSA merupakan gangguan umum yang menyerang 2 hingga 4 persen

populasi orang dewasa. Hal ini ditandai dengan adanya obstruksi jalan nafas bagian

atas yang terus berulang selama tidur sehingga terjadi desaturasi arteri periodic,

hiperkapnia, dan aritmia. Karena perubahan pada anatomi orofaringeal yang biasanya

dialami oleh penderita obesitas dan OSA, intubasi orotrakea pada saat induksi

mungkin sulit dilakukan. Periode pascaoperasi langsung merupakan waktu harus

sangat diperhatikan pasien dengan OSA. Mengapa? Karena pasien pascaoperasi

masih terpengaruh oleh penggunaan anastesi volatil, opioids, dan sedative yang akan

berdampak pada berkurangnya aktivitas otot pernafasan-atas dan meningkatkan

frekuensi dan durasi OSA. Kegagalan dalam mediagnosa OSA secara benar dan tepat

dapat berpotensi menyebabkan komplikasi serius pada pasien, seperti komplikasi

pernafasan, hipoksemia, kebingungan, dan artimia ventrikel. Pemasangan tekanan

positif saluran pernafasan pada nasal setelah ekstubasi memungkinkan pemberian

obat analgesic dan obat pemenang yang aman pada penderita OSA tanpa harus

mengalami risiko yang tidak diinginkan seperti risiko yang memicu terjadinya

obstruksi jalan nafas yang mengancam jiwa. Diperkirakan sebanyak 80 persen pasien

Page 16: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

pengidap OSA tidak terdiagnosis. Oleh karenanya diperlukan tindakan bedah untuk

mencegah atau mengamati obstruksi jalan nafas bagian atas.

Penggunaan ventilasi bertekanan positif noninvasif (NIPPV)

Untuk pasien dengan keluhan gagal nafas, intubasi endotrakeal adalah sarana

standard untuk memfasilitasi pasien dengan bantuan ventilasi. Bahkan, beberapa

tahun terakhir, intubasi dianggap jauh memberikan hasil yang lebih baik bagi pasien

seperti minimnya efek samping yang dialami oleh pasien. Selain trauma tambahan

yang ada kaitanya dengan gangguan jalan nafas (seperti meningkatnya risiko

pneumonia nosocomial, sinusitis, dan besarnya kebutuhan sedasi berat yang

seringnya membuat pasien merasa tak nyaman) sering memperpanjang proses

pelepasan ventilator dan ekstubasi. Keinginan untuk menghindari intubasi

endotrakeal telah mendorong meningkatnya penggunaan NIPPV, yang mana alat ini

menyertakan penggunaan sebuah alat yang dipasang dihidung atau sebuah masker

yang berperan sebagai media penghubung pasien dengan ventilator.

Ada banyak bukti yang mendukung manfaat dari penggunaan NIPPV sebagai

bagian dari terapi pengobatan berbagai jenis gagal nafas yang dialami oleh pasien.

Sayangnya baru beberapa data saja yang telah dikonfirmasi keamanan dan

efektifitasnya dalam pemulihan pasca operasi. Studi yang paling menarik yang

meneliti kasus gagal nafas yaitu penelitian yang meneliti pasien yang menderita gagal

nafas hipoksia pasca operasi reseksi paru dengan terapi standard (oksigen tambahan,

bronkodilator, fisioterapi dada) dengan atau tanpa NIPPV. Dibandingkangan dengan

kelompok kontrol, penggunaan NIPPV dikaitkan dengan penurunan akan kebutuhan

intubasi endotrakeal (20,8 persen vs 50 persen) dan angka immortalitas dalam kurun

waktu 3 bulan (12.5 persen vs 37.5 persen). Meskipun masih ada kekhawatiran

tentang penggunaan NIPPV pasca operasi esophagus dan lambung, beberapa

pengalaman menunjukan bahwa semua akan berjalan dengan baik dan aman. Namun

perlu adanya perawatan untuk menghindari distensi lambung, menggunakan tabung

decompressi bila diperlukan, dan besarnya ventilasi tekanan positif yang digunakan

Page 17: Hasil Translate Final Jurnal Interna Iis

harus dibatasi, yaitu kurang dari 12 cm H2O. Karena NIPPV memerlukan waktu

aklimatisasi, NIPPV tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien yang sedang

dalam kondisi tidak stabil. Kontra indikasi lainnya dari penggunaan NIPPV yaitu

status mental pasien seperti gelisah atau stress, dan pasien yang sedang menjalani

pembersihan jalan nafas karena sekret atau batuk-batuk lemah.