HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN -...
Transcript of HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN -...
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Fisik Daerah Penelitian
4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Tanjungsari
Kecamatan Tanjungsari termasuk kedalam salah satu kecamatan di
Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Adapun batasan-batasan administratif
Kecamatan Tanjungsari adalah sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rancakalong dan Kecamatan
Pamulihan.
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cimanggung dan Kecamatan
Jatinangor.
- Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sukasari dan Kecamatan
Jatinangor.
- Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pamulihan dan Cimanggung.
Secara topografi, bentang wilayah Kecamatan Tanjungsari adalah
berbukit, dengan ketinggian tempat terendah 500 meter dan tertinggi 2.000 meter
di atas permukaan laut (dpl).
4.1.2 Keadaan Lahan Pertanian dan Jenis Penggunaannya
Kecamatan Tanjungsari memiliki luas lahan pertanian 2.243.34 hektar
(Ha). Luas lahan ini digunakan untuk pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma,
padang rumput, kolam, hutan Rakyat, hutan Negara dan perkebunan.
52
Berikut tabel mengenai keadaan lahan pertanian berdasarkan jenis
penggunaannya :
Tabel 7. Keadaan Lahan Pertanian Kecamatan Tanjungsari Berdasarkan Jenis
Penggunaannya
No.Penggunaan Lahan Luas (Ha)
1. Pekarangan 317.682. Tegal / kebun 849.053. Ladang / huma 141.244. Padang rumput 43.465. Kolam 8.856. Hutan Rakyat 45.377. Hutan Negara 1.100748. Perkebunan 68.58
Jumlah 2.243.34Sumber : Profil Kecamatan Tanjungsari 2011
4.2 Keadaan Umum Usaha Hasil Tembakau Mole
4.2.1 Letak Fisik Usaha Hasil Tembakau Mole
Usaha hasil tembakau mole merupakan usaha yang tersebar di beberapa
desa di Kecamatan Tanjungsari, seperti Desa Tanjungsari, Desa Pasigaran, Desa
Kadakajaya, Desa Jatisari, dan Desa Margajaya. Letak fisik usaha hasil tembakau
mole ini didukung oleh letak sumber produksi yang mudah dijangkau oleh para
pengusaha karena sumber produksi hasil tembakau mole terdapat di Kecamatan
Tanjungsari dan Kecamatan Sukasari. Selain itu Kecamatan Tanjungsari juga
memiliki pusat pemasaran tembakau yang dinamakan dengan pusat agrobisnis
tembakau Jawa Barat.
53
4.3 Keragaan Usaha Hasil Tembakau
4.3.1 Proses Pengadaan Faktor Produksi
Menurut Gumbira Sa’id (2001), produksi agribisnis dapat diartikan
sebagai seperangkat prosedur dan kegiatan yang terjadi dalam penciptaan produk
agribisnis produk usaha pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan ataupun hasil
olahan dari produk-produk tersebut. Adapun yang dimaksud dari faktor-faktor
produksi antara lain modal, tenaga kerja, bahan baku, bahan penunjang serta
bangunan dan peralatan.
A. Pengadaan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam produksi hasil tembakau iris mole, yaitu
berupa tembakau dan obat perasa/aroma.
a. Tembakau
Umumnya bahan baku tembakau yang dipergunakan adalah 20 % tembakau
lokal atau tembakau mole Sumedang dan 80 % tembakau dari luar daerah
Sumedang biasanya para pengusaha menyebutnya tembakau jawa. Bahan baku
tembakau yang didapatkan oleh pengusaha didapatkan di Pasar tembakau/pusat
agrobisnis tembakau Jawa Barat yang terletak di Alun-alun Tanjungsari, terjalin
hubungan baik antara penjual hasil tembakau dengan pengusaha sehingga pada
pembelian hasil tembakau berikutnya hanya melalui pemesanan melalui telepon
yang kemudian dikirim langsung ke pabrik pengusaha tersebut. Harga bahan
bakau hasil tembakau selama lima tahun terakhir terus naik baik tembakau lokal
maupun tembakau luar.
54
Berikut data harga bahan baku tembakau selama lima tahun terahir yang
disajikan pada Tabel 8 .
Tabel 8 . Harga Bahan Baku Tembakau Tahun 2007-2011
TahunHarga
Tembakau Lokal (Rp) Tembakau Luar (Rp)2007 25.000 9.0002008 30.000 15.0002009 30.000 20.0002010 45.000 27.0002011 60.000 35.000
Sumber : Usaha Hasil Tembakau
Kenaikan harga bahan baku tembakau lokal dipicu oleh curah hujan yang
tinggi dan paling tinggi pada tahun 2010-2011, hal tersebut berkaitan karena
proses pengolahan daun tembakau hingga hasil rajangan tembakau memerlukan
sinar matahari yang cukup serta pada proses budidaya apabila terlalu banyak
terkena air hujan akan berakibat buruk pada hasil panen. Harga normal untuk
tembakau lokal yaitu berkisar antara Rp 25.000 – Rp 30.000.
Kenaikan harga bahan baku tembakau luar pada tahun 2008 diakibatkan
oleh kenaikan harga bahan bakar minyak, kenaikan harga dari Rp 9.000 menjadi
Rp 15.000 karena adanya biaya transportasi yang tinggi mengingat bahwa
tembakau ini berasal dari luar daerah Jawa Barat yaitu dari daerah Jawa Tengah.
Sementara itu cuaca juga sangat menentukan harga seperti halnya pada tembakau
lokal yang mengalami kenaikan harga akibat dari curah hujan yang tinggi. Harga
normal untuk tembakau luar ini berkisar antara Rp 15.000 – Rp 20.000.
55
b. Obat Perasa/Aroma
Obat perasa/aroma yang digunakan oleh tiap pengusaha racikan aromanya
selalu berbeda dengan tujuan agar tiap pengusaha mempunyai ciri khas produk
masing-masing. Cara untuk mendapatkan bahan baku tersebut yaitu dengan
membelinya di toko-toko yang menjual obat-obatan seperti Kimia Farma. untuk
takaran obat perasa/aroma yang dicampurkan dengan tembakau yaitu 4 liter obat
perasa/aroma berbanding 1 kilo gram tembakau. Harga pembelian obat
perasa/aroma ini terus naik, berikut harga harga bahan baku obat perasa/aroma
selama lima tahun terakhir yang disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 . Harga Bahan Baku Obat Perasa/Aroma Tahun 2007-2011
TahunHarga
Obat perasa/aroma(Liter)
Obat perasa/aroma(4 Liter)
2007 Rp 120.000 Rp 480.0002008 Rp 125.000 Rp 500.0002009 Rp 132.000 Rp 528.0002010 Rp 140.000 Rp 560.0002011 Rp 150.000 Rp 600.000
Sumber : Usaha Hasil Tembakau
B. Pengadaan Bahan Penunjang
Bahan penunjang untuk produksi hasil tembakau yaitu kemasan, tiap
perusahaan memiliki kemasan yang berbeda nama produknya, kemasan tersebut
harus ditutup rapat sehingga membutuhkan selotip untuk menutupnya, dalam satu
gulung selotip dapat digunakan untuk 250 kemasan. Berikut data isi kemasan tiap
perusahaan, yang disajikan pada Tabel 10.
56
Tabel 10 . Isi (gr) Kemasan Tembakau Mole Tiap Perusahaan
Nama perusahaan Isi kemasan (gr)A 65B 50 30 60 25C 30 55 60D 50 25 60 43
AX 40 60 40 85 100BX 100 120 60CX 50 80 65
Sumber : Usaha Hasil Tembakau
Harga bahan penunjang seperti kemasan, tiap tahun mengalami kenaikan
harga sama halnya dengan harga selotip yang terjadi kenaikan setiap tahun,
berikut data kenaikan harga kemasan selama lima tahun terakhir disajikan pada
lampiran 1, dan data kenaikan harga bahan penunjang selotip disajikan pada Tabel
11.
Tabel 11. Harga Bahan Penunjang Selotip Tahun 2007-2011
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011Harga Rp 2.000 Rp 2.200 Rp 2.400 Rp 2.600 Rp 2.800
Sumber: Usaha Hasil Tembakau
C. Tenaga Kerja
Tenaga kerja dalam faktor produksi mengandung unsur fisik, pikiran,
serta kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja itu sendiri. Tenaga kerja sebagai
faktor produksi mengandung arti bahwa tenaga kerja tersebut merupakan
subsistem produksi, dalam pengertian apabila faktor tenaga kerja itu tidak ada,
maka produksi suatu barang/tanaman dan ternak tidak akan terjadi, atau sistem
produksi tersebut tidak berjalan (Abdul Rojak, 2005). Tenaga kerja yang
digunakan oleh para pengusaha hasil tembakau mole, berkisar antara 1-25 orang,
jumlah tenaga kerja di sesuaikan dengan banyaknya produksi.
57
Produksi setiap pengusaha selalu berbeda jumlahnya bahkan setiap satu
perusahaan belum tentu jumlah produksinya sama dalam satu kali produksi.
Pengusaha hanya mematok harga untuk pekerja laki-laki Rp 50 dan untuk
perempuan Rp 38 untuk biaya satu bungkus hasil tembakau mole. Umumnya
pekerja memiliki patokan dalam satu hari kerja menghasilkan 500 bungkus untuk
laki-laki dan 400 bungkus untuk perempuan. Peran laki-laki yaitu memasukan
tembakau jawa kedalam mesin giling dan tembakau mole kedalam mesin pres
serta melakukan pengemasan, sedangkan perempuan berperan dalam pengemasan
saja. Biaya tenaga kerja tidak pernah naik dari tahun 2007 – 2011. Hal tersebut
dikarenakan biaya bahan baku terus naik sedangkan harga jual eceran tetap dari
tahun 2007-2011. Para pekerja memahami keadaaan tersebut maka dari itu para
pekerja tidak mempermasalahkan kenaikan upah.
D. Bangunan dan Peralatan
1. Bangunan
Bangunan merupakan sesuatu yang didirikan dan dapat digunakan untuk
berbagai aktivitas. Bangunan sebagai faktor produksi didefinisikan sebagai tempat
dimana aktivitas proses produksi dari suatu sistem produksi dilakukan. Sesuai
dengan PMK Nomor 200/PMK.04/2008, Perubahan ketentuan luas bangunan
yang dapat digunakan sebagai bangunan Pabrik hasil tembakau yang sebelumnya
paling sedikit 50 m2 menjadi paling sedikit 200 m2. Persyaratan yang diatur
dalam ketentuan baru (PP Nomor 72 Tahun 2008 jo. PMK 200/PMK.04/2008 ),
dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak peraturan tersebut diberlakukan (
paling lama tanggal 10 Desember 2011).
58
Jika sampai batas waktu tersebut NPPBKC Pengusaha Pabrik hasil
tembakau tidak diperbaharui, maka NPPBKC-nya dicabut karena tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan misalnya luas bangunan yang tidak memenuhi
syarat. Usaha hasil tembakau diharuskan memenuhi persyaratan yang berlaku
sesuai dengan Peraturan Mentri Keuangan (PMK), terdapat beberapa pengusaha
yang bisa mengikuti peraturan pemerintah, namun ada pula yang tidak mampu
untuk mengikuti peraturan pemerintah tersebut.
Terdapat empat pengusaha yang masih bisa bertahan mengikuti peraturan
pemerintah dan tiga pengusaha yang tidak mampu bertahan salah satu alasan para
pengusaha tersebut tidak dapat bertahan adalah mengenai luas bangunan paling
sedikit 200 m2. Berikut data para pengusaha yang masih bertahan (aktif) yang
mampu memenuhi syarat bangunan dengan luas minimal 200 m2 dan pengusaha
yang tidak dapat bertahan (tidak aktif) yang tidak mampu memenuhi syarat
bangunan dengan luas minimal 200 m2, yang disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Syarat Pemenuhan Luas Bangunan 50 m2 menjadi 200 m2 Tiap
Perusahaan Tahun 2007 -2011
TahunNama perusahaan
A B C D AX BX CX2007 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m22008 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m22009 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m22010 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m22011 200 m2 200 m2 200 m2 200 m2 50 m2 50 m2 50 m2
Sumber: Usaha Hasil Tembakau
Bangunan yang digunakan tidak boleh berhubungan langsung dengan
tempat tinggal, dapat dilewati oleh jalan umum. Selain itu, pengusaha harus
menempelkan papan nama pada bangunan gedung.
59
Identitas yang dicantumkan pada papan tersebut yaitu paling sedikit nama
perusahaan, alamat, dan NPPBKC dengan ukuran paling kecil 60 cm x 120 cm.
Biaya pembangunan dengan luas 50 m2 tahun 2007 ditaksir Rp 75.000.000
dengan perkiraan usia ekonomisnya 15 tahun. Biaya pembangunan dengan luas
200 m2 tahun 2011 ditaksir Rp 300.000.000 dengan perkiraan usia ekonomisnya
15 tahun.
2. Peralatan
Peralatan adalah kelengkapan yang digunakan untuk melakukan sesuatu dan
merupakan sarana penunjang yang sangat penting dalam proses produksi. Biaya
yang dikeluarkan untuk keseluruhan peralatan tersebut ditaksir sebesar Rp
3.540.000. Peralatan yang digunakan dalam proses produksi hasil tembakau mole
tersaji pada Tabel 13.
Tabel 13. Jenis, Nilai Ekonomis dan Usia Ekonomis Peralatan Usaha Hasil
Tembakau
NoJenis Alat
Nilai Ekonomis(Rp)
Usia Ekonomis(Tahun)
1 Mesin Pres Rp 1.000.000 102 Mesin Penggiling Rp 2.500.000 103 Pisau Rp 15.000 104 Spray Obat perasa/ aroma Rp 10.000 15 Dudukan Selotip Rp 15.000 1
Sumber : Usaha Hasil Tembakau
E. Modal
Modal merupakan faktor produksi yang memegang peranan yang penting
dalam suatu proses produksi. Faktor produksi modal merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari subsistem produksi. Sumber modal yang digunakan oleh
para pengusaha hasil tembakau berasal dari dana pribadi.
60
Seiring berjalannya waktu banyak perubahan-perubahan baik dari segi
peraturan pemerintah, kenaikan harga bahan baku dan lainnya yang
mengakibatkan para pengusaha perlu mengeluarkan modal yang lebih tinggi,
meskipun para pengusaha tersebut termasuk dalam pengusaha skala kecil. Tahun
2010 terdapat dua perusahaan yang tutup usaha, setelah itu tahun 2011 terdapat
satu perusahaan tutup usaha, hal tersebut diakibatkan dari tidak terpenuhinya
salah satu syarat mendapatkan nomor pokok pajak barang kena cukai yaitu luas
bangunan pabrik dengan luas minimal 200 m2. Ketidak sanggupan para pengusaha
memenuhi syarat tersebut dikarenakan tidak ada modal untuk membangun pabrik
dengan 200 m2.
4.3.2 Proses Pengolahan Faktor Produksi
Proses pengolahan hasil tembakau mole yaitu penyemprotan obat
perasa/aroma kepada tembakau yang kemudian dipotong, diukur berat gram
dalam satu kemasan yang kemudian dikemas rapih beserta pita cukai, dan dipack
kedalam plastik ukuran besar untuk siap didistribusikan.
A. Tahap-tahan Pengolahan
1. Penggilingan Tembakau Luar (jawa)
Tembakau yang berasal dari luar derah Tanjungsari, bentuk fisiknya kasar
dan mempunyai potongan yang kurang halus maka diperhalus menggunakan
mesin giling. Komposisi tembakau jawa yaitu 80 % dari tiap kemasan.
2. Memadatkan Tembakau Mole (Lokal)
Bentuk dari tembakau mole berbentuk lembaran namun lembarannya tidak
padat.
61
Untuk produksi hasil tembakau mole lembaran tembakaunya harus padat
agar mudah dibentuk menjadi lapisan luar penutup tembakau jawa, selain itu
pengepresan tembakau mole juga bertujuan agar tembakau tersebut tidak mudah
bubuk. Komposisi tembakau mole yaitu 20 % dari tiap kemasan.
3. Penyemprotan Obat Perasa /Aroma
Penyemprotan obat perasa/aroma ini bertujuan agar tiap kemasan tembakau
mempunyai rasa dan aroma yang berbeda dari kemasan perusahaan satu dengan
yang lainnya. Penyemprotan obat ini disemprotkan secara merata kepada seluruh
tembakau.
4. Pemotongan dan pengukuran hasil tembakau mole dalam satu kemasan
Lembaran tembakau mole ditambahkan tembakau jawa diatasnya kemudian
lembaran tersebut digulung dan dipotong sesuai dengan ukuran gram tiap
kemasan.
5. Pengemasan
Pengemasan bertujuan untuk menjaga kualiatas produk, kemasan yang
digunakan berupa plastik yang mempunyai merek dagang masing-masing
perusahaan, selain itu dalam kemasan tersebut harus mencantumkan nama
perusahaan, alamat perusahaan, peringatan bahaya merokok dan lain-lain.
Pengemasan hasil tembakau mole sangat sederhana, setelah tembakau iris mole
dan tembakau jawa dimasukan ke dalam plastik setelah itu plastik tersebut ditutup
rapat menggunakan selotip yang disertai dengan pita cukai.
62
B. Jumlah Produksi
Jumlah produksi tiap tahun dan tiap perusahaan selalu berbeda, sesuai
dengan modal para pengusahaan tersebut. Berikut data jumlah produksi tiap
perusahaan pada tahun 2007-2011 tersaji pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Jumlah Bahan Baku Tembakau Produksi Tiap Perrusahaan
Tahun 2007-2011
Proses produksi tidak dilakukan setiap hari, proses produksi dilakukan
dalam satu bulan sekali banyaknya hari yang digunakan sesuai dengan banyaknya
bahan baku yang digunakan, cepat tidaknya produksi dilakukan disesuaikan
dengan banyaknya tenaga kerja yang diperkerjakan. Tingginya rendahnya bahan
baku yang digunakan oleh tiap pengusaha berkaitan dengan modal, yaitu modal
untuk membeli bahan baku dan modal untuk membayar pajak. Intensitas
pemasaran dan perluasan lokasi pemasaran berpengaruh pula pada tinggi
rendahnya bahan baku yang digunakan. Perusahaan “A” mengalami penurunan
produksi pada tahun 2010, perusahaan “B” mengalami penurunan produksi pada
tahun 2008.
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
2007 2008 2009 2010
A
B
C
D
AX
BX
CX0
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
5,000,000
6,000,000
7,000,000
2010 2011
A
B
C
D
AX
63
Perusahaan “C” mengalami penurunan produksi pada tahun 2008 dan
2009, perusahaan “D” mengalami penurunan produksi pada tahun 2009, dan
untuk perusahaan “AX, BX, dan CX” mengalami penurunan produksi pada tahun
2009 dan 2010. Pada tahun akhir tahun 2010 perusahaan BX dan CX adalah
perusahaan yang sudah mengalami tutup usaha sehingga pada tahun 2011
perusaan tersebut tidak melakukan produksi.
C. Pendistribusian
Dalam agroindustri pendistribusian lebih sering digunakan istilah tata
niaga atau pemasaran. Sistem pemasaran produk pertanian merupakan satu
kesatuan urutan lembaga-lembaga pemasaran yang melakukan fungsi pemasaran
untuk memperlancar aliran produk pertanian dari produsen awal ke tangan
konsumen akhir dan sebaliknya. Pemasaran produk hasil agroindustri sangat
dipengaruhi oleh karakteristik produk itu sendiri.
Pemasaran langsung dilakukan apabila karakteristik produk tersebut tidak
tahan lama, sedangkan pemasaran tidak langsung dilakukan apabila produk yang
dipasarkan tahan lama. Berdasarkan hasil penelitian, pemasaran tembakau mole
saluran pemasarannya adalah secara tidak langsung. Tembakau mole tidak
langsung dipasarkan kepada konsumen, melainkan melalui perantara terlebih
dahulu. Peran perantara dalam saluran pemasaran tembakau mole ditempati oleh
pengumpul atau pedagang kecil di pasar-pasar tradisional. Pengusaha yang
memiliki lokasi pemasaran di luar Jawa Barat biasanya mereka menggunakan jasa
pengiriman barang (ekspedisi) yang nantinya akan diterima oleh pengumpul
tembakau mole.
64
Untuk pemasaran yang dilakukan di Jawa Barat sendiri dilakukan oleh
pengusaha tersebut, yang dikirimkan ke pasar-pasar tradisional yang kemudian di
pasarkan ketiap kios-kios yang ada di pasar tersebut. Data lokasi pemasaran serta
biaya pendistribusian para pengusaha tembakau mole pada tahun 2007-2011
tersaji pada lampiran 3 dan 4.
4.3.3 Pajak Hasil Tembakau
A. Pajak Cukai Hasil Tembakau
Kenaikan tarif pajak sesuai dengan peraturan pemerintah, setiap terjadi
kenaikan tarif kenaikan tersebut naik sebesar 4 % seperti yang terjadi pada tahun
2007 ke tahun 2008. Perubahan tarif persentase menjadi gramase pada tahun
2009, apabila dipersentasikan adalah sebesar 10 %, maka kenaikan tersebut terjadi
sebesar 2 % dari tahun 2008. Berikut adalah data jumlah pembayaran pajak yang
tersaji pada bentuk Gambar 6 dan 7.
Gambar 6. Grafik Pembayaran Pajak Cukai Tiap Perusahaan, Tahun 2007-2011
Rp-
Rp10,000,000
Rp20,000,000
Rp30,000,000
Rp40,000,000
Rp50,000,000
Rp60,000,000
Rp70,000,000
2007 2008 2009 2010 2011
A
B
C
D
AX
BX
CX
65
Gambar 7. Grafik Pembayaran Pajak Cukai Tiap Perusahaan “B dan C”Tahun 2010-2011
Besarnya tarif cukai yang harus dibanyar oleh pengusaha sesuai dengan
jumlah produksi (gr). Sehingga modal yang disiapkan sebagai pengusaha hasil
tembakau selain modal untuk bahan baku, modal untuk biaya pajak harus
disiapkan. Jika modal yang dimiliki pengusaha rendah maka perusahaan tersebut
akan mengalami kerugian, dan apabila terus mengalami kerugian maka
perusahaan tersebut akan mengalami tutup usaha. Pada tahun 2009-2011 tarif
pajak berdasarkan gram yaitu Rp 5 per gram tembakau dalam kemasan, tinggi
rendahnya produksi berpengaruh pula pada tingginya pajak yang harus dibayar.
B. Pajak Pertambahan Nilai
Hanya terdapat dua perusahaan yang dikukuhkan menjadi pengusaha kena
pajak (Pajak Pertambahan Nilai) pada tahun 2011. Pengusaha tersebut dikukuhkan
menjadi pengusaha kena pajak dikarenakan penerimaan bruto/omset nya melebihi
Rp. 600.000.000.000 yaitu perusahaan “B” dan perusahaan “C”. Data tersebut
tersaji pada Tabel 16.
Tabel 14. Total Biaya Pajak Pengusaha Kena Pajak PPN
Nama Perusahaan Tahun 2011B Rp 1.788.620.400D Rp 277.023.600
Sumber : Menteri Keuangan Direktorat Jendral Bea dan Cukai (diolah)
Rp-
Rp500,000,000
Rp1,000,000,000
Rp1,500,000,000
2010 2011
B
D
66
4.4 Analisis Pendapatan Usaha Hasil Tembakau Iris Mole
4.4.1 Analisis Biaya
Menurut Sukirno (2005) biaya produksi adalah semua pengeluaran yang
dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-
bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang
diproduksikan perusahaan tersebut. Biaya produksi tersebut dapat diartikan
sebagai uang, barang atau jasa yang dipakai dalam rangka menghasilkan suatu
produk. Menurut Sukirno (2005), biaya produksi dibagi menjadi dua jenis biaya
yaitu:
1. Biaya tetap
Biaya tetap merupakan biaya dengan jumlah totalnya tetap dalam kisaran
volume kegiatan tertentu, yang termasuk biaya tetap adalah pajak dan biaya
penyusutan alat. Pajak yang dimaksud adalah pajak bumi dan bangunan, pada
tahun 2007-2010 luas bangunan untuk usaha hasil tembakau diharuskan memiliki
luas 50 m2. Tahun 2011 adalah batas akhir perubahan luas bangunan usaha hasil
tembakau menjadi 200 m2. Tarif pajak bumi dan bangunan setiap tahun
mengalami perubahan berikut data perubahan tarif pajak bumi dan bangunan yang
tersaji pada Tabel 15.
Tabel 15. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Tahun 2007-2011
Sumber : Profil Kecamatan Tanjungsari
Tahun TarifBumi (Rp) Bangunan (Rp)
2007 36 3102008 36 3682009 48 6352010 48 6352011 48 700
67
Bumi yang dimaksud pada tabel di atas adalah luas tanah kosong tanpa
bangunan, sedangkan bangunan adalah luas bangunan yang berdiri kokoh di atas
tanah atau bumi yang dimaksud. Rata-rata tiap pengusaha memiliki 50 m2
bangunan dan 50 m2 bumi atau tanah tambahan yang berguna untuk halaman atau
tempat parkir kendaraan yang apabila ditotalkan menjadi 100 m2 luas bumi atau
tanah. Selain pajak bumi dan bangunan biaya penyusutan banguanan dan alat
juga termasuk biaya tetap, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 6,7,8,
9 dan 10. Penyusutan biaya tetap tertinggi adalah penyusutan bangunan yaitu ±
80%-90%, penyusutan peralatan hanya berkisar ± 1%-9% perbandingan antara
penyusutan bangunan dengan alat sangat berbeda jauh. Sedangkan untuk pajak
bumi dan bangunan meski tarif pajak tersebut berubah-rubah pengaruh terhadap
biaya tetap hanya berkisar ± 0%-2%.
2. Biaya variabel
Biaya variabel merupakan biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding
dengan volume kegiatan. Biaya variabel yang digunakan oleh para pengusaha
hasil tembakau iris mole yaitu, bahan baku (tembakau dan obat perasa/aroma),
bahan penunjang (plastik kemasan dan selotip), biaya tenaga kerja dan
transportasi. Alokasi biaya variabel tiap pengusaha usaha hasil tembakau iris mole
dapat dilihat pada lampiran 14-18. Biaya variabel paling tinggi dalam satu tahun
produksi adalah biaya bahan baku yang mencapai ± 60%-80% dari total biaya,
biaya tertinggi selanjutnya adalah biaya pajak cukai yang mencapai ± 8%-15%
dari total biaya. Sedangkan untuk pajak PPN hanya dua perusahaan dengan biaya
yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut mencapai ± 10%-22% dari total biaya.
68
Biaya pengadaaan bahan penunjang hanya mencapai ± 5%-8% dari total
biaya, untuk transportasi biaya yang dikeluarkan salam satu tahun ± 1%-20% dari
total biaya, besarnya persentasi tersebut tergantung dari jauh dekatnya pemasaran
yang dilakukan. Persentase paling kecil yaitu 0,01 %-6% dari total biaya,
dikeluarkan untuk biaya pembayaran administrasi CK-1 yang dilakukan pada
setiap pemesanan pita cukai, yang disebut (PNBP). Biaya tetap (fixed cost) dan
biaya variabel (variable cost) ditambahkan kemudian didapatkan hasil biaya total
(total cost) yang dikeluarkan oleh setiap pengusaha. Untuk lebih rinci mengenai
biaya total yang dikeluarkan oleh para pengusaha hasil tembakau iris mole dapat
dilihat pada lampiran 21-25.
Gambar 8. Grafik Biaya Total Tiap Perusahaan, Tahun 2007-2010
Gambar 9. Grafik Biaya Total Tiap Perusahaan, Tahun 2010-2011
-50,000,000
100,000,000150,000,000200,000,000250,000,000300,000,000350,000,000400,000,000450,000,000
2007 2008 2009 2010
A
B
C
D
AX
BX
CX
-
2,000,000,000
4,000,000,000
6,000,000,000
8,000,000,000
10,000,000,000
2010 2011
A
B
C
D
AX
69
Hanya perusahaan yang dapat memanfaatkan peluang yang baik dan
modal tinggi yang dapat bertahan disaat kondisi harga bahan baku kian tinggi
sama halnya dengan tingginya tarif pajak. Batasan produksi terjadi pada tahun
2007 sampai dengan 2008, tahun 2009 pemerintah tidak membatasi produksi hasil
tembakau iris, sehingga pengusaha yang mempunyai modal dan pemasaran yang
luas keuntungan yang didapatkan akan tinggi karena jumlah produksi yang
dilakukan tinggi, hal ini terjadi pada perusahaan “A” yang mengalami kenaikan
produksi tinggi pada tahun 2009.
Perusahaan “B” juga mengalami kenaikan produksi yang kian tinggi pada
tahun 2009-2011 bahkan pada tahun 2011 produksi yang dilakukan amat sangat
tinggi dan mencapai omset lebih dari Rp 600 juta, sehingga pengusaha tersebut
terkena pajak pertambahan nilai. Perusahaan “B” memanfaatkan peluang pasar
dimana terdapat perusahaan yang tutup usaha maka perusahaan “B” langsung
memanfaatkan kekosongan pemasaran tersebut, dengan mendistribusikan
produknya pada lokasi pemasaran pengusaha yang telah tutup usaha. Peran
pelantara distribusi antar kota atau pulau juga bermanfaat dalam pemasaran,
sehingga diperlukan jalinan yang sangat baik antara pelantara dengan pengusaha,
untuk mengetahui informasi pasar.
Perusahaan “C, D, AX, BX dan CX” mengalami kenaikan produksi pada
tahun 2008 dan 2011, ketika tahun 2008 mengalami kenaikan namun turun pada
tahun 2009 dan 2010, kemudian naik kembali pada tahun 2011 untuk perusahaan
“C, AX, dan BX”. Kenaikan yang terjadi pada 2011 yaitu bertujuan untuk
mempertahankan usaha agar tidak terjadi kerugian atau tutup usaha.
70
Perusahaan “C” melakukan produksi tinggi sedangkan perusahaan “D”
sangat tinggi dan mencapai omset lebih dari Rp 600 juta, sehingga pengusaha
tersebut terkena pajak pertambahan nilai. Perusahaan “C dan D” kuat dalam
permodalan, sehingga tidak mengalami kerugian. Berbeda dengan perusahaan
“AX” yang mengalami tutup usaha akibat dari lemahnya permodalan dalam
memenuhi syarat perluasan bangunan pabrik seluas 200 m2, sehingga pada akhir
tahun 2011 perusahaan “AX” diberhentikan usahanya.
Perusahaan “CX dan BX” mengalami tutup usaha pada akhir tahun 2010,
dikarenakan oleh produksi yang rendah sedangkan tarif pajak naik, dan bahan
baku semakin tinggi harganya. Lemahnya permodalan yang dimiliki oleh
perusahaan “CX dan BX” mengakibatkan perusahaan tersebut tidak dapat
menyanggupi biaya pajak yang semakin tinggi, biaya bahan baku yang semakin
tinggi pula, dan kebijakan perluasan bangunan pabrik menjadi 200 m2.
4.4.2 Penerimaan
Penerimaan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi hasil
tembakau mole per gram dengan harga eceran per kemasan. Semakin tinggi
jumlah produksi yang dihasilkan dan harga yang diterima maka penerimaan juga
semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya.
Volume penjualan hasil tembakau iris mole terus mengalami fluktuasi,
banyak faktor yang membuat penjualan berfluktuasi. Faktor-faktor tersebut bisa
dikarenakan harga bahan baku yang tinggi sehingga kesanggupan para pengusaha
untuk memproduksi menjadi berkurang namun berimbas pada hasil penerimaan
dari penjualan tersebut juga menjadi berkurang.
71
Besarnya tarif pajak yang semakin tinggi mengakibatkan pengusaha
berfikir ulang untuk memproduksi lebih banyak lagi dan apabila penerimaan bruto
atau omset yang diperoleh lebih dari Rp 600.000.000 maka pengusaha tersebut
dapat terkena pajak pertambahan nilai. Pengusaha yang memiliki modal kuat akan
mempunyai kesanggupan dalam menghadapi tingginya harga pajak, tingginya
harga bahan baku dan kebijakan lainya. Hal ini dapat dilihat pada lampiran 26 dan
27. Berikut grafik volume penjualan dan nilai penjualan tiap perusahaan tersaji
pada Gambar 10 dan 11.
Gambar 10. Grafik Volume Penjualan (Kemasan) Tiap PerusahaanTahun 2007-2011
Gambar 11. Nilai Penjualan Hasil Tembakau, Tiap Perusahaan Tahun 2007-2011
020,00040,00060,00080,000100,000120,000140,000160,000180,000200,000
2007 2008 2009 2010
A
B
C
D
AX
BX
CX0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
2010 2011
A
B
C
D
AX
Rp-
Rp100,000,000
Rp200,000,000
Rp300,000,000
Rp400,000,000
Rp500,000,000
Rp600,000,000
Rp700,000,000
2007 2008 2009 2010 2011
A
B
C
D
AX
BX
CX Rp-
Rp5,000,000,000
Rp10,000,000,000
Rp15,000,000,000
Rp20,000,000,000
Rp25,000,000,000
2010 2011
B
D
72
Berdasarkan gambar 11, perusahaan “A” mengalami volume penjualan
paling tinggi pada tahun 2009, hal tersebut didasari oleh peraturan pemerintah
mengenai perubahan golongan pabrik yang awalnya tidak diperbolehkan lebih
dari 500 juta gram menjadi tanpa golongan dan tanpa batasan produksi.
Perusahaan “B” mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun 2011, hal
tersebut didasari oleh perluasan lokasi pemasaran yang kemudian volume
produksinya diperbesar hingga mencapai omset atau nilai penjualan Rp
22.421.850.000 dan perusahaan “B” menjadi perusahaan kena pajak pertambahan
nilai. Perusahaan “C” mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun
2011, hal tersebut didasari oleh volume produksinya diperbesar. Perusahaan “D”
mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun 2011, hal tersebut didasari
oleh volume produksi yang diperbesar, penjualan lebih banyak dibanding dengan
penjualan sebelumnya.
Peraturan pemerintah mengenai perubahan golongan pabrik yang awalnya
tidak diperbolehkan lebih dari 500 juta gram menjadi tanpa golongan dan tanpa
batasan produksi. Ketika pemerintah merubah peraturan batasan produksi menjadi
tanpa batasan produksi, pemerintah pun mengeluarkan peraturan baru mengenai
penerimaan bruto atau omset/nilai penjualan lebih dari Rp 600.000.000 maka
perusahaan tersebut terkena pajak pertambahan nilai. Tahun 2011 perusahaan “D”
terkena pajak pertambahan nilai karena omset/nilai penjualannya melebihi Rp
600.000.000. Perusahaan “AX” mengalami volume penjualan paling tinggi pada
tahun 2011, hal tersebut didasari oleh volume produksinya diperbesar, penjualan
lebih banyak dibanding dengan penjualan sebelumnya.
73
Tahun 2011 adalah tahun terakhir bagi perusahaan “AX” untuk bisa
menjalankan usahanya hal tersebut juga menjadi alasan untuk meningkatkan
volume produksi dengan melakukan pemesanan pita cukai yang banyak pada
bulan-bulan sebelum akhir tahun maka dari itu pihak Direktorat Jendral Bea dan
Cukai memberikan kesempatan untuk menghabiskan pita cukai yang dipesan oleh
perusahaan “AX”. Perusahaan “AX” tidak bisa menjalankan usahanya
dikarenakan salah satu syarat yaitu luas bangunan yang tidak memenuhi,
perusahaan “AX” hanya memiliki luas bangunan sebesar 50 m2 sedangkan dalam
persyaratannya pada akhir tahun 2011 harus diperluas menjadi 200 m2.
Perusahaan “BX” mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun
2008. Pada tahun 2009 perusahaan “BX” tidak mampuan dalam membayar pajak
yang tinggi serta peraturan mengenai luas bangunan yang harus diperluas. Luas
bangunan tersebut sebesar 200 m2 yang awalnya hanya 50 m2. Sehingga pada
akhir tahun 2010 perusahaan “BX” ditutup usahanya. Perusahaan “CX” tutup
usaha pada akhir tahun 2010, perusahaan “CX” mengalami volume penjualan
paling tinggi pada tahun 2008. Pada tahun 2009 perusahaan “CX” tidak mampu
dalam membayar pajak yang tinggi serta peraturan mengenai luas bangunan yang
harus diperluas.
Trend peningkatan penjualan terjadi pada tahun 2008, harapan pengusaha
menaikan produksi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dibanding
dengan tahun sebelumnya. Keuntungan tahun 2008 yang diperoleh memang lebih
besar dari tahun selumnya, namun apabila pemasaran tidak dilakukan dengan
efisien perusahaan akan mengalami penurunan nilai penjualan.
74
Pada tahun 2009 terjadi penurunan produksi secara masal yaitu lima
perusahaan dari tujuh perusahaan, hal tersebut terjadi dikarenakan biaya pajak
yang tinggi dan tingginya harga bahan baku yang membuat pengusaha untuk
berfikir ulang untuk memproduksi lebih banyak, semua permasalahan mengenai
penurunan produksi berawal dari kekuatan modal yang dimiliki oleh masing-
masing pengusaha.
Pengusaha yang akan mampu bertahan adalah pengusaha yang mempunyai
modal yang kuat. Pemasaran yang luas namun pendistribusinnya dilakukan secara
efisien. Jika produksi yang dilakukan sebanyak puluhan ribu kemasan maka
penerimaan yang akan diterima sebesar puluhan juta rupiah , jika produksi yang
dilakukan ratusan ribu kemasan maka penerimaan yang akan diterima sebesar
ratusan juta rupiah, dan jika produksi yang dilakukan jutaan ribu kemasan maka
penerimaan yang akan diterima sebesar milyaran rupiah. Perusahaan “B”
merupakan perusahaan yang memiliki perluasan pemasaran dari tahun ke tahun,
begitu pula dengan produksi yang dilakukan yang semakin tinggi. Dibandingkan
dengan perusahaan “CX” dan “BX” pemasaran yang dilakukan tidak semakin
meluas dan produksi yang dilakukan terus menurun.
Jika dalam lima tahun terjadi penurunan produksi lebih dari satu kali, hal
tersebut mengindikasikan kebangkrutan. Pada tahun 2010 perusahaan “CX” dan
“BX” mengalami tutup usaha atau kebangkrutan akibat dari lemahnya modal yang
dimiliki untuk memenuhi prosedur dan syarat usaha hasil tembakau iris mole.
75
4.4.3 R/C Rasio
Untuk Mengetahui kelayakan usaha agroindustri dapat dilihat dengan
pendekatan R/C rasio, R/C rasio merupakan perbandingan antara penerimaan
dengan biaya total. Layak atau tidaknya suatu usaha dapat dilihat dari nilai RC
rasio. Apabila nilai R/C rasionya > 1 suatu usaha dikatakan layak dan
memberikan keuntungan, jika nilai R/C rasionya < 1 maka usaha dikatakan tidak
layak dan merugikan. Jika nilai R/C rasionya = 1 maka usaha tidak mendapatkan
untung dan tidak juga merugi. Nilai R/C rasio pada usaha hasil tembakau iris mole
perusahaan A, B, C, D, AX, BX. dan CX tahun 2007-2011, tersaji gambar 12.
Gambar 12. Nilai R/C Rasio Usaha Hasil Tembakau Tiap Pengusaha tahun 2007-2011
Tahun 2011 nilai R/C rasio perusahaan “A” = < 1, sehingga dinyatakan
rugi, tahun 2007 nilai R/C rasio perusahaan “A” = > 1, sehingga dapat dinyatakan
menguntungkan, untuk tahun 2008 - 2010 nilai R/C rasio perusahaan “A” = 1
dapat dinyatakan tidak untung dan tidak rugi. Penurunan nilai R/C rasio
perusahaan “A” tahun 2007 ke tahun 2008-2011 dikarenakan oleh tarif pajak yang
terus naik, harga bahan baku yang semakin tinggi, kemudian proses perubahan
luas banguanan pabrik pada tahun 2011 membutuhkan modal yang besar.
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
2007 2008 2009 2010 2011
A
B
C
D
AX
BX
CX
76
Tahun 2010 nilai R/C rasio perusahaan “B” = < 1,sehingga dinyatakan
mengalami kerugian tahun 2011 nilai R/C rasio perusahaan “A” = > 1, sehingga
dapat dinyatakan menguntungkan. Tahun 2007 - 2009 nilai R/C rasio perusahaan
“B” = 1 dapat dinyatakan tidak untung dan tidak rugi. Penurunan nilai R/C rasio
perusahaan “B” tahun 2007 ke tahun 2009 dikarenakan oleh jauhnya lokasi
pemasaran sehingga membutuhkan biaya pendistribusian yang cukup tinggi,
jumlah biaya pendistribusian hampir sama dengan biaya pajak cukai. Pemasaran
yang dilakukan hanya satu lokasi yaitu antara Aceh dan Sulawesi, tingginya biaya
pemasaran berakibat pada jumlah keuntungan. Jumlah produksi yang yang
dilakukan oleh perusahaan “B” relatif kecil dibanding dengan tahun 2011 hal
tersebut akan berpengaruh pada keuntungan dari hasil penjualan, sehingga pada
tahun 2007-2009 nilai R/C perusahaan “B” = 1.
Tahun 2010 perusahaan “B” melakukan pemasaran didua lokasi
pemasaran yaitu Aceh dan Sulawesi, dengan jumlah produksi lebih 14% dari
tahun 2009, biaya pendistribusian yang dilakukan sangat tinggi dan jumlah
produksi yang hanya lebih 14% dari tahun 2009 mengakibatkan kerugian bagi
perushaaan “B” sehingga pada tahun 2010 nilai R/C perusahaan “B” < 1. Tahun
2011 perusahaan “B” melakukan pemasaran ditiga lokasi pemasaran yaitu Aceh,
Sulawesi dan Sumatera dengan jumlah produksi 50 kali lipat dari produksi 2010.
Dengan produksi yang sangat tinggi akan menghasilkan penerimaan yang tinggi
pula sehingga pada tahun 2011 nilai R/C perusahaan “B” > 1. Meskipun biaya
pajak cukai ditambah dengan pajak pertambahan nilai tinggi apabila produksi
yang dilakukan tinggi pula hal tersebut, tidak berpengaruh besar pada penerimaan.
77
Tahun 2010 nilai R/C rasio perusahaan “C” = < 1, sehingga dinyatakan
mengalami kerugian, hal tersebut terjadi dikarenakan penurunan jumlah produksi
dan produksi paling rendah juga terjadi pada tahun 2010. Tahun 2007-2009 dan
tahun 2011 nilai R/C rasio perusahaan “C” = > 1 hal tersebut dikarenakan
produksi yang dilakukan seimbang dengan lokasi pemasaran yang dekat yaitu
Garut dan Subang sehingga pengeluaran biaya tidak terlalu besar. Tahun 2007
tarif pajak belum mengalami kenaikan serta biaya bahan baku masih murah
sehingga nilai R/C rasio perusahaan “C” = > 1 yaitu mencapai 2.04.
Tahun 2008 dan 2009 terjadi penurunan nilai R/C rasio terjadi dikarenakan
jumlah tarif pajak naik, kenaikan harga bahan baku, serta pada tahun 2009 terjadi
penurunan produksi. Tahun 2011 kenaikan produksi sangat tinggi, penerimaan
yang didapatkan juga tinggi sehingga nilai R/C rasio perusahaan “C” = > 1 yaitu
mencapai 1.99. Tahun 2009 nilai R/C rasio perusahaan “C” = < 1, sehingga
dinyatakan mengalami kerugian, hal tersebut terjadi dikarenakan penurunan
jumlah produksi dan produksi paling rendah juga terjadi pada tahun 2009.
Tahun 2007, 2008, 2010 dan tahun 2011 nilai R/C rasio perusahaan “C” =
> 1 hal tersebut dikarenakan produksi yang dilakukan seimbang dengan lokasi
pemasaran yang dekat yaitu Garut dan Tanjungsari sehingga pengeluaran biaya
tidak terlalu besar. Tahun 2007 tarif pajak belum mengalami kenaikan serta biaya
bahan baku masih murah sehingga nilai R/C rasio perusahaan “C” = > 1 yaitu
mencapai 1.88, nilai R/C rasio paling tinggi terjadi pada tahun 2007. Tahun 2008
dan 2010 terjadi penurunan nilai R/C rasio terjadi dikarenakan jumlah tarif pajak
naik, kenaikan harga bahan baku.
78
Tahun 2011 kenaikan produksi sangat tinggi, penerimaan yang didapatkan
juga tinggi sehingga nilai R/C rasio perusahaan “C” = > 1 yaitu mencapai 1.77,
produksi tinggi yang dilakukan oleh perusahaan “C” mengakibatkan perusahaan
tersebut terkana pajak pertambahan nilai, pengaruh dari tarif pajak cukai dan
pajak pertambahan nilai tidak terlalu signifikan dikarenakan produksi yang tinggi.
Perusahaan “AX” tidak mengalami kerugian dari tahun 2007-2011, dilihat
dari nilai R/C rasio = >1. Produksi yang seimbang dengan pemasaran membuat
perusahaan “AX” tidak mengalami kerugian . Produksi yang dilakukan pada
tahun 2007 dan 2011 hanya berbeda 12 % lebih tinggi tahun 2011 namun
keuntungan yang didapatkan lebih tinggi pada tahun 2007, hal tersebut terjadi
dikarenakan tarif pajak yang semakin tinggi, serta harga bahan baku yang tinggi.
Jika menginginkan keuntungan yanggi produksi yang dilakukan harus lebih tinggi
dari tahun 2007. Produksi yang dilakukan tahun 2008 tinggi dibanding dengan
tahun 2009-2010 namun pemasaran yang dilakukan sebanyak empat kali dengan
lokasi pemasaran di Medan, biaya pemasaran yang dilakukan tinggi sehingga
keuntungan yang diterima perusahaan “AX” rendah. Produksi yang dilakukan
tahun 2009 relatif tinggi dibanding dengan tahun 2010 namun pendistribusian
yang dilakukan hanya dua kali dengan lokasi pemasaran di Medan, dengan
produksi yang tinggi dan jumlah pendistribusian hanya dua kali membuat
perusahaan “AX” mendapatkan keuntungan yang relatif tinggi. Produksi yang
dilakukan tahun 2010 merupakan produksi paling rendah selama kurun waktu
lima tahun, produksi yang rendah dengan tarif pajak yang tinggi, bahan baku yang
tinggi namun harga jual tetap, mengakibatkan penurunan keuntungan.
79
Jumlah produksi perusahaan “BX” Tahun 2009-2010 mengalami
penurunan produksi sangat drastis hampir 90% dari tahun sebelumnya, jumlah
produksi yang sedikit dengan tarif pajak yang tinggi dan harga bahan baku yang
tinggi membuat perusahaan “BX” mengalami kerugian. Jumlah produksi yang
rendah diakibatkan dari ketidak mampuan modal yang tinggi, dan kemampuan
membayar pajak. Tahun 2011 perusahaan “BX” tidak melanjutkan usahanya
dikarenakan salah satu syarat yaitu perluasan bangunan.
Jumlah produksi perusahaan “CX” tahun 2007 lebih rendah dari tahun
2008 sehingga keuntungan yang didapatkan lebih besar tahun 2008. Tahun 2009-
2010 penurunan produksi sangat drastis hampir 90% dari tahun sebelumnya,
jumlah produksi yang sedikit dengan tarif pajak yang tinggi dan harga bahan baku
yang tinggi membuat perusahaan “CX” mengalami kerugian. Jumlah produksi
yang rendah diakibatkan dari ketidak mampuan modal yang tinggi, dan ketidak
mampuan membayar pajak. Tahun 2011 perusahaan “CX” tidak melanjutkan
usahanya dikarenakan salah satu syarat yaitu perluasan bangunan.
Hampir semua pengusaha mengalami kerugian pada tahun – tahun tertentu
hal tersebut bisa diakibatkan dari tingginya tarif pajak hasil tembakau, tidak
efisiennya pendistribusian, penurunan produksi, tingginya harga bahan baku dan
tingginya biaya perluasan bangunan yang harus dipenuhi sebesar 200 m2. Bagi
pengusaha-pengusaha yang mampu bertahan dari permasalah tersebut meskipun
mengalami kerugian, namun pada tahun berikutnya mampu bangkit kembali untuk
memproduksi dan mampu mempertahankan nilai penjualan agar tidak mengalami
kerugian.
80
4.6 Prosedur dan Persyaratan Usaha
1. UU RI No.11 Tahun 1995
A. Kebijakan Tarif Pajak Cukai
Kenaikan pajak terjadi pada tahun 2008 yaitu 8% dari omset satu kali
pemesanan pita cukai, yang sebelumnya sebesar 4% tahun 2007, kemudian pada
tahun 2009 berubah menjadi Rp 5 per gram. Dapat dilihat pada table 18-19
terlihat jelas pajak cukai berpengaruh pada pendapatan. Pajak cukai yang harus di
bayar semakin tinggi baik jumlah produksinya tetap maupun naik. Besarnya
penurun pendapatan yang dialami oleh pengusaha yaitu 4%-10% dari penerimaan
total pada tahun 2007-2011. Untuk lebih rinci mengenai pengaruh pajak cukai
dapat dilihat pada lampiran 21-25 terlihat nilai persentase dari pengaruh pajak
cukai terhadap biaya total sebesar 8%-14% sedangkan pengaruh pajak cukai
terhadap pendapatan sebesar 4%-10%.
Dengan menggunakan analisis R/C rasio pada lampiran 28, terlihat nilai
R/C rasio perusahaan “A” tahun 2011 senilai 0.88 yang artinya perusahaan
tersebut mengalami kerugian. Selain modal yang kurang, persentase pajak yang
dikeluarkan sebesar 9% dari total biaya menjadi salah satu faktor perusahaan “A”
mengalami kerugian. Nilai R/C rasio perusahaan “B” sebesar 0.81 pada tahun
2010 disebabkan oleh produksi yang rendah namun pajak yang harus dibayarkan
tinggi, persentase pajak cukai yang dikeluarkan sebesar 9% dari total biaya,
sedangkan keuntungan yang didapatkan -23% dari penerimaan total.
81
Pada tahun 2011 perusahaan “B” melakukan produksi 50 kali lipat
produksi dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2010, persentase pajak cukai yang
dikeluarkan sebesar 11.8% dari total biaya. Nilai R/C rasio perusahaan “C”
sebesar 0.91 pada tahun 2010, dengan nilai R/C rasio kurang dari satu maka
perusahaan “C” dinyatakan mengalami kerugian, kerugian yang terjadi
disebabkan dari penurunan produksi. Penurunan produksi yang tinggi namun
biaya pajak yang harus dikeluarkan juga tinggi berakibat pada keuntungan yang
didapatkan. Persentase pajak cukai yang dikeluarkan sebesar 9.3% dari total
biaya, sedangkan keuntungan yang didapatkan -9% dari penerimaan total. Pada
tahun 2011 perusahaan “C” melakukan produksi 17 kali lipat produksi dari tahun
sebelumnya yaitu tahun 2010, persentase pajak cukai yang dikeluarkan sebesar
8.6% dari total biaya.
Nilai R/C rasio perusahaan “D” sebesar 0.77 pada tahun 2009 dengan nilai
R/C rasio kurang dari satu maka perusahaan “D” dinyatakan mengalami kerugian,
kerugian yang terjadi disebabkan dari penurunan produksi yang dilakukan sebesar
25 kali lipat dari tahun sebelumnya, dapat dilihat pada lampiran 26. Penurunan
produksi yang tinggi namun biaya pajak yang harus dikeluarkan juga tinggi
berakibat pada keuntungan yang didapatkan. Persentase pajak cukai yang
dikeluarkan sebesar 7,6% dari total biaya. Nilai R/C rasio perusahaan “AX”
paling rendah dibanding dengan tahun sebelumnya, namun perusahaan tersebut
masih dikatakan tidak rugi karena nilai R/C rasio sebesar 1.03.
82
Nilai R/C rasio perusahaan “BX” pada dua tahun terakhir yaitu tahun
2009-2010 kurang dari satu, perusahaan tersebut dinyatakan mengalami kerugian
selama dua tahun dan akhirnya pada akhir tahun 2010 perusahaan “BX” ditutup
usahanya dikarenakan ketidak sanggupan modal untuk membayar pajak. Nilai
R/C rasio perusahaan “CX” pada tahun 2007 senilai 2.23 namun pada tahun 2008
menjadi 1.80, penurunan nilai R/C rasio terjadi pada tahun 2008 penurunan nilai
R/C rasio tersebut diakibatkan dari jumlah biaya total yang lebih tinggi pada tahun
2008, salah satunya dari kenaikan tarif pajak yang terjadi pada tahun 2008.
B. Batasan Jumlah Produksi Pabrik
Tahun 2007 pengusaha tidak diperbolehkan untuk memproduksi lebih dari
50.000.000 gram, tahun 2008 pengusaha tidak diperbolehkan untuk memproduksi
lebih dari 500.000.000 gram, sedangkan pada tahun 2009-2011 para pengusaha
dibebaskan untuk memproduksi lebih banyak tanpa ada batasan produksi.
Tabel 16. Pemenuhan Syarat Batasan Jumlah Produksi Pabrik TiapPerusahaan
NamaPerusahaan
Produksi 1 Tahun/ gr2007 2008 2009 2010 2011
A 6.006.000 5.056.000 11.603.000 6.533.000 8.288.000B 8.000.000 4.125.000 5.250.000 5.850.000 96.575.000C 2.587.000 2.674.000 2.049.000 602.000 5.876.000D 459.000 1.830.000 72.000 372.000 42.965.000AX 7.733.000 7.132.000 10.55.000 786.000 6672.000BX 616.000 9.648.000 1.68.000 168.000CX 4.186.000 7.070.000 49.98.000 2.268.000
Sumber : Usaha Hasil Tembakau
Semua pengusaha mampu dalam memenuhi batasan jumlah produksi,
namun pada tahun 2011 perusahaan BX dan CX tidak dapat memproduksi
kembali hasil tembakau iris mole dikarenakan perusahaan tersebut sudah tidak
melangsungkan usahanya kembali.
83
C. Harga dasar (Batasan harga jual eceran)
Tahun 2007 minimal Rp 35/gr, tahun 2008 minimal Rp 40/gr dan pada
tahun 2009 – 2011 paling rendah Rp 40/gr sampai dengan Rp 149/gr . Berikut
tabel pemenuhan batas minimal harga jual eceran tiap perusahaan yang telah
dipenuhi, tersaji dalam Tabel 21.
Tabel 17. Pemenuhan Batas Minimal Jarga Jual Eceran/Gram Tiap Perusahaan
Nama HJE Kemasan HJE (Rp)Nerusahaan Rp Gram Kemasan (gr)
2011-2007 3,250 65 502011-2007 2,600 65 40
2007 2,300 65 35.42011-2007 2,150 50 43
2011 2,150 25 862011 3,500 30 116.72011 3,600 50 722010 3,000 50 602007 2,000 50 402011 3,550 30 118.3
2011-2007 2,200 55 402011-2008 3,250 60 54.2
2007 2,000 55 36.42007 3,000 60 502011 3,500 25 140
2011-2007 3,000 50 602010-2007 3,000 60 502008-2007 2,500 50 50
2007 2,150 43 502011 2,400 40 602011 3,600 60 60
2010-2009 3,000 40 752010-2009 5,000 85 58.8
2009 5,000 60 83.32009-2007 3,400 85 402008-2007 2,400 60 40
2007 2,100 60 352007 3,500 100 352007 4,000 100 40
Tahun
AX
D
A
B
C
Nama HJE Kemasan HJE (Rp)Nerusahaan Rp Gram Kemasan (gr)
2011-2007 3,250 65 502011-2007 2,600 65 40
2007 2,300 65 35.42011-2007 2,150 50 43
2011 2,150 25 862011 3,500 30 116.72011 3,600 50 722010 3,000 50 602007 2,000 50 402011 3,550 30 118.3
2011-2007 2,200 55 402011-2008 3,250 60 54.2
2007 2,000 55 36.42007 3,000 60 502011 3,500 25 140
2011-2007 3,000 50 602010-2007 3,000 60 502008-2007 2,500 50 50
2007 2,150 43 502011 2,400 40 602011 3,600 60 60
2010-2009 3,000 40 752010-2009 5,000 85 58.8
2009 5,000 60 83.32009-2007 3,400 85 402008-2007 2,400 60 40
2007 2,100 60 352007 3,500 100 352007 4,000 100 40
Tahun
AX
D
A
B
C
84
Tabel 17. Pemenuhan Batas Minimal Jarga Jual Eceran/Gram Tiap Perusahaan(Lanjutan)
Sumber : Usaha Hasil Tembakau2. Pemberian Nomor Pokok Pajak Barang Kena Cukai, PMK
No.200/PMK.04/2008
Tahun 2007-2010 para pengusaha sanggup untuk memenuhi seluruh syarat
yang disyaratkan oleh pihak Direktorat Jendral Bea dan Cukai, namun yang
memberatkan bagi para pengusaha yang tidak mempunyai modal yang besar pada
tahun 2011. Perusahaan “BX” dan “CX” tutup pada awal tahun 2011
sedangkan perusahaan “AX” tutup pada akhir tahun 2011. Kebijakan perubahan
luas bangunan dari 50 m2 menjadi 200 m2 dikeluarkan pada tahun 2008 namun
batas akhir pemenuhan syarat tersebut diberi batas waktu samapai akhir tahun
2011 sehinga para pengusaha lebih memilih memperluas bangunan pada tahun
2011 dan yang tidak memperluas bangunan dengan luas tersebut tidak dapat
meneruskan usahanya. Prosedur yang yang telah dilalui oleh para pengusaha
untuk mendapatkan nomor pokok pajak kena cukai dengan alur seperti berkikut :
Nama HJE Kemasan HJE (Rp)Nerusahaan Rp Gram Kemasan (gr)
2010-2007 4,200 100 422008 5,000 120 41.72008 4,000 100 402007 3,200 60 53.32007 3,900 100 392007 3,450 60 57.52007 3,500 100 35
2010-2007 2400 50 482010-2007 3,550 65 54.62010-2008 5,000 80 62.5
2007 2,200 50 442007 3,300 65 50.8
BX
CX
TahunNama HJE Kemasan HJE (Rp)Nerusahaan Rp Gram Kemasan (gr)
2011-2007 3,250 65 502011-2007 2,600 65 40
2007 2,300 65 35.42011-2007 2,150 50 43
2011 2,150 25 862011 3,500 30 116.72011 3,600 50 722010 3,000 50 602007 2,000 50 402011 3,550 30 118.3
2011-2007 2,200 55 402011-2008 3,250 60 54.2
2007 2,000 55 36.42007 3,000 60 502011 3,500 25 140
2011-2007 3,000 50 602010-2007 3,000 60 502008-2007 2,500 50 50
2007 2,150 43 502011 2,400 40 602011 3,600 60 60
2010-2009 3,000 40 752010-2009 5,000 85 58.8
2009 5,000 60 83.32009-2007 3,400 85 402008-2007 2,400 60 40
2007 2,100 60 352007 3,500 100 352007 4,000 100 40
Tahun
AX
D
A
B
C
85
1. Pengusaha pabrik terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis
kepada kepala kantor yang mengawasi untuk dilakukan pemeriksaan
lokasi, bangunan atau tempat usaha, dilampiri dengan
Fotokopi tanda daftar industri
Gambar denah bangunan
Fotokopi IMB
Fotokopi Izin yang dikeluarkan pemerintah daerah setempat
berdasarkan UU mengenai gangguan.
2. Dilakukannya wawancara terhadap pemohon dalam rangka memeriksa
kebenaran data lampiran dan data pemohon sebagai penanggung jawab
usaha, kemudian pejabat bea dan cukai membuatkan berita acara
wawancara tersebut.
3. Pejabat bea dan cukai melakukan pemeriksaan lokasi, bangunan tempat
usaha. Lokasi, bangunan usaha yang dimaksud harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
Tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-
tempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin.
Tidak berhubungan langsung dengan tempat tinggal.
Memiliki luas bangunan paling sedikit 50 m2 dalam ketentuan (PP No.
5 Tahun 1997) kemudian diperbaharui menjadi 200 m2 pada tahun
2008 dalam ketentuan (PP No. 72 Tahun 2008 jo. PMK
No.200/PMK.04/2008). Untuk memenuhi ketentuan baru tersebut para
pengusaha diberi tenggang waktu selama tiga tahun sejak PP No. 72
86
Tahun 2008 jo. PMK No.200/PMK.04/2008 paling lama sampai
tanggal 10 Desember 2011.
4. Pejabat bea dan cukai membuat berita acara pemeriksaan yang disertai
gambar denah lokasi, bangunan usaha dalam jangka waktu 30 hari sejak
surat permohonan diterima. Serangkaian berita acara pemeriksaan tersebut
digunakan sebagai syarat untuk memperoleh NPPBKC dalam jangka
waktu 3 bulan sejak tanggal berita acara pemeriksaan.
5. Pengusaha pabrik melakukan permohonan nomor pokok pajak kena cukai
sebagai pengusaha hasil tembakau secara tertulis kepada Menteri
Keuangan u.p kepala kantor yang mengawasi.
6. Kepala kantor atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan
Permohonan dikabulkan atas pemberian nomor pokok pajak kena cukai,
dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
7. NPPBKC untuk pengusaha pabrik tembakau berlaku selama masih
menjalankan usaha.
Pengusaha pabrik yang medapatkan NPPBKC harus memasang nama yang
memuat paling sedikit nama perusahaan, alamat, dan NPPBKC dengan ukuran
lebar paling kecil 60cm dan panjang paling kecil 120cm.
Diperlukan modal yang cukup besar untuk memenuhi persyaratan dalam
perluasan bangunan seluas 200 m2, pengusaha harus mengeluarkan biaya hampir
Rp 300.000.000 sedangkan sebelum adanya PMK No.200/PMK.04/2008
pengusaha diperbolehkan memiliki luas bangunan sebesar 50 m2.
87
Dengan keterbatasan modal yang dimiliki para pengusaha mengalami
penurunan pendapatan bahkan sampai tutup usaha. Hanya empat perusahaan dari
tujuh perusahaan yang mampu memenuhi syarat PMK No.200/PMK.04/2008
dalam perluasan bangunan yaitu perusahaan “A”, “B”, “C” dan perusahaan “D”.
Dibutuhkan pengorbanan biaya yang dikeluarkan oleh pengusah hasil tembakau
iris mole, biaya yang dikeluarkan berasal dari pendapatan usaha. Pemenuhan syarat
dan prosedur mendapatkan nomor pokok pajak barang kena cukai dapat dilihat
pada lampiran???????????
3. Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai PMK No.68/PMK.03/2010
Pengusahan wajib dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, apabila
sampai dengan satu bulan dalam tahun buku jumlah penerimaan bruto/omsetnya
melebihi Rp 600.000.000, dilakukan paling lamabat akhir bulan berikutnya
setelah bulan saat jumlah penerimaan bruto/omset melebihi Rp 600.000.000.
Apabila diperoleh data yang menunjukan adanya kewajiban pajak tidak dipenuhi
oleh pengusaha Direktur Jendral Pajak dapat mengukuhkan pengusaha tersebut
sebagai pengusaha kena pajak secara jabatan.
Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dan
jumlah penerimaannya kurang dari Rp 600.000.000. Pengusaha kena pajak dapat
mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai pengusaha kena pajak.
Jika perusahaan tidak ingin menjadi pengusaha kena pajak maka penerimaan
bruto atau omset mereka tidak boleh melebihi Rp 600.000.000.
88
Pada tahun 2011 perusahaan B dan perusahaan D mengalami kenaikan
produksi hingga perusahaan “B” mencapai omset hingga Rp 21.380.175.000
sedangkan perusahaan “D” mencapai omset sebesar Rp 4.767.900.000. Data
tersebut tersaji pada lampiran 32 dan 33. Tahun 2010 pemerintah mengeluarkan
kebijakan melalui PMK No.68/PMK.03/2010 mengenai pengusaha kena pajak
pertambahan nilai yaitu pengusaha yang omset penjualnnya melebihi Rp
600.000.000 maka perusahaan tersebut harus membayar pajak pertambahan nilai,
pada lampiran 28, terlihat nilai persentase dari pengaruh pajak cukai terhadap
biaya total sebesar 10% bagi perusahaan “D” dan 21% bagi perusahaan “B”.
Dampak tarif pajak terhadap pendapatan berpengaruh pada penurunan
keuntungan, sebelum adanya pajak penerimaan yang didapatkan para pengusaha
tidak berkurang sedangkan dengan adanya pajak penerimaan yang diterima oleh
pengusaha menjadi berkurang. Pembayar pajak mengakibatkan penurunan
penerimaan akibat dari pembayarn pajak cukai sebesar 8,4% dari penerimaan
total, yang apabila digabungkan antara pembayaran pajak cukai dan pajak
pertanmahan nilai maka jumlah penurunan penerimaan perusahaan tersebut
menjadi 18,4% pada tahun 2011.
4.7 Dampak Kebijakan Pajak Hasil Tembakau Terhadap PendapatanUsaha Hasil Tembakau Mole Iris
Perbedaan kondisi tarif pajak cukai dari tahun 2007 sampai 2009 menjadi
berbeda. Apabila diperkirakan akan ada kondisi tanpa adanya program kenaikan
tarif pajak pada tahun 2008 dan 2009 dan produksi yang dilakukan tetap, maka
nilai pajak akan tetap, omset yang didapatkan juga tetap. Hal tersebut dapat dilihat
pada Tabel 16.
89
Tabel 18. Kondisi Tanpa Adanya Program Kenaikan Pajak Cukai Hasil TembakauDengan Jumlah Produksi Tetap
Sumber : Data Primer
Apabila diperkirakan akan ada kondisi tanpa adanya program kenaikan
tarif pajak pada tahun 2008 dan 2009, namun produksi yang dilakukan lebih
tinggi dari tahun sebelumnya maka nilai pajak akan naik mengikuti jumlah
produksi, omset yang didapatkan juga akan naik, dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 19. Kondisi Tanpa Adanya Program Kenaikan Pajak Cukai Hasil TembakauDengan Kenaikan Jumlah Produksi
Sumber : Data Primer
Apabila diperkirakan akan ada kenaikan tarif pajak pada tahun 2008 dan
2009 terjadi dan produksi yang dilakukan tetap, maka omset yang akan
didapatkan tetap sedangkan nilai pajak cukai yang harus dibayar semakin tinggi
sesuai dengan tarif pajak yang terus naik, meskipun omset yang didapatkan tetap
tetapi keuntungan yang didapatkan lebih kecil dibanding dengan tanpa kenaikan
tarif pajak. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 18 :
Tabel 20. Kondisi Dengan Adanya Program Kenaikan Pajak Cukai HasilTembakau Tanpa Kenaikan Jumlah Produksi
JUMLAH Kemasan Tarif Nilai PajakKEMASAN (gr) Cukai (Rp)
2007 82,500 50 2,150 4% 7,095,000 177,375,0002008 82,500 50 2,150 4% 7,095,000 177,375,0002009 82,500 50 2,150 4% 7,095,000 177,375,000
HJE OmsetTAHUN
TAHUN JUMLAH Kemasan Tarif Nilai PajakKEMASAN (gr) Cukai (Rp)
2007 82,500 50 2,150 4% 7,095,000 177,375,0002008 105,000 50 2,150 4% 9,030,000 225,750,0002009 121,500 50 2,150 4% 243,000 261,225,000
HJE Omset
TAHUN JUMLAH Kemasan Tarif Nilai PajakKEMASAN (gr) Cukai (Rp)
2007 82,500 50 2,150 4% 7,095,000 177,375,0002008 82,500 50 2,150 8% 14,190,000 177,375,0002009 82,500 50 2,150 5Rp 20,625,000 177,375,000
HJE Omset
90
Apabila diperkirakan akan ada kenaikan tarif pajak pada tahun 2008 dan
2009 terjadi namun produksi yang dilakukan lebih tinggi dari tahun sebelumnya
maka nilai pajak akan naik mengikuti jumlah produksi, omset yang didapatkan
juga akan naik. meskipun omset yang didapatkan naik namun keuntungan yang
didapatkan lebih kecil dibanding dengan tanpa kenaikan tarif pajak. Hal tersebut
dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 21. Kondisi Dengan Adanya Program Kenaikan Pajak Cukai HasilTembakau Dan Kenaikan Jumlah Produksi
Sumber : Data Primer
4.7 Kelangsungan Usaha Hasil Tembakau Iris Mole
Tebel 21. Indicator Kelangsungan Usaha Tiap Perusahaan
PerusahaanIndikator Keberlangsungan
UsahaAnalisis Pendapatan(R/C Rasio)
Pemenuhan Syaratdan Prosedur
A 0.88 Terpenuhi DilanjutkanB 2.57 Terpenuhi DilanjutkanC 1.95 Terpenuhi DilanjutkanD 1.77 Terpenuhi Dilanjutkan
AX 1.03 Tidak dapatterpenuhi
Tidak dapatdilanjutkan pada
tahun 2011
BX 0.68 Tidak dapatterpenuhi
Tidak dapatdilanjutkan pada
tahun 2010
CX 1.26 Tidak dapatterpenuhi
Tidak dapatdilanjutkan pada
tahun 2010
TAHUN JUMLAH Kemasan Tarif Nilai PajakKEMASAN (gr) Cukai (Rp)
2007 82,500 50 2,150 4% 7,095,000 177,375,0002008 105,000 50 2,150 8% 18,060,000 225,750,0002009 121,500 50 2,150 5Rp 30,375,000 261,225,000
HJE Omset
91
Dampak kebijakan pajak terhadap kelangsungan usaha berpengaruh pada
berlangsung atau tidaknya perusahaan tembakau di Kecamatan Tanjungsari.
Pengusaha tembakau mole merupakan pengusaha yang mengusahakan barang
kena cukai, sehingga segala bentuk pengawasan yang dilakukan Direktorat
Jendral Bea dan Cukai mulai dari syarat membuka usaha, syarat mendapatkan
nomor pokok pajak kena cukai, syarat produksi dan harga jual serta ketentuan
kemasan hingga pembayaran pajak baik cukai maupun pajak pertambahan nilai,
dilakukan secara ketat. Dalam memenuhi syarat dan prosedur yang dilakukan oleh
pengusaha terdapat permasalahan terutama berkaitan dengan modal, sehingga
terjadi kerugian usaha ataupun pemberhentian usaha akibat dari modal yang
dimiliki rendah.
Pemenuhan syarat dan prosedur yang telah ditempuh oleh para pengusaha
tidak selamanya terpenuhi, ketika tahun 2007-2010 kebijakan pajak terhadap
kelangsungan usaha masih dapat dipenuhi oleh pengusaha, namun semakin
berkembangnya kebijakan yang dilakukan baik dari kenaikan tarif pajak, apabila
produksi yang dilakukan tinggi hingga mencapai penerimaan lebih dari Rp 600
juta maka perusahaan tersebut terkena PPN, perluasan luas bangunan dengan
biaya hingga Rp. 300 juta yang memberatkan para pengusaha terutama pengusaha
yang tidak mempunyai modal besar adalah kebijakan mengenai pemenuhan syarat
dalam mendapatkan nomor pokok pajak kena cukai yang salah satunya adalah
perluasan bangunan dari 50 m2 menjadi 200 m2.
92
Dapat dilihat pada tabel 21, Perusahaan “A” meskipun mengalami
kerugian pada saat itu, namun perusahaan tersebut mampu memenuhi syarat dan
prosedur yang diajukan oleh pihak direktorat jendaral bea dan cukai sehingga
usahanya tersebut masih bisa berlangsung pada tahun 2011. Perusahaan “B”, “C”
dan “D” tidak mengalami kerugian dalam usahanya, dan perusahaan tersebut juga
mampu memenuhi syarat dan prosedur. Turunya pendapatan yang diterima oleh
pengusaha, kerugian dalam usaha dengan nilai nilai R/C rasio kurang dari 1,
tutupnya usaha yang terjadi pada pengusaha hasil tembakau diakibatkan dari
kebijakan mengenai barang kena cukai yaitu tembakau, yang diatur dalam
kebijakan hasil tembakau melalui pajak.
Pengusaha yang mengusahan barang kena cukai diharuskan mempunyai
nomor pokok pajak kena cukai yang syarat dan prosedur harus dipenuhi
seutuhnya, jika tidak maka akan berimbas pada kelangsungan usaha.
Terpenuhinya syarat dan prosedur oleh perusahaan “B”, “C” dan “D” membuat
usaha yang dijalaninya masih bisa berlangsung. Berbeda halnya dengan
perusahaan “AX, “BX” dan “CX” yang mengalami gulung tikar diakibatkan dari
tidak terpenuhinya syarat dan prosedur yang diajukan oleh pihak direktorat jendral
bea dan cukai. Perusahaan “AX” tidak dapat meneruskan usahanya pada tahun
2011 sedangkan perusahaan “BX” dan “CX” tidak dapat meneruskan usahanya
pada tahun 2010. Tiga perusahaan tidak dapat melanjutkan usahanya yaitu “AX”,
“BX” dan “CX” dikarenakan ketidak mampuan dalam memenuhi syarat dan
prosedur yang disyaratkan yaitu tidak terpenuhinya PP nomor 72 tahun
2008.jo.PMK.No 200.PMK.04/2008 mengenai perluasan bangunan seluas 200 m2.