HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan...

23
23 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Wajo merupakan salah satu kabupaten yang berada dalam ruang lingkup daerah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan ibu kotanya Sengkang, dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan. Luas Wilayah Kabupaten Wajo ±2 506.19 km 2 (250.619 Ha) atau 4.01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan wilayah yang berbatasan dengan : Sebelah Utara : Kab. Luwu dan Kab. Sidenreng Rappang Sebelah Timur : Teluk Bone Sebelah Selatan : Kab. Soppeng dan Kab. Bone Sebelah Barat : Kab. Soppeng dan Kab. Sidrap Produksi Padi Tabel 6 Luas Tanam, Panen, Puso dan Produksi Padi Tiap Kecamatan di Kabupaten Wajo Tahun 2011 No. Kecamatan Luas Tanam (Ha) Luas panen (Ha) Puso (Ha) Produksi (ton) 1. Tempe 1 110 837 80 4 110 2. Tanasitolo 11 143 10 886 939 55 138 3. Maniangpajo 10 762 8 100 654 40 905 4. Belawa 10 269 9 684 295 49 466 5. Sabbangparu 8 851 6 713 533 34 538 6. Pammana 7 761 6 929 1 370 33 952 7. Takkalalla 15 573 13 336 716 67 213 8. Sajoanging 9 690 7 198 1 276 36 062 9. Majauleng 18 767 14 715 3 526 72 251 10. Pitumpanua 7 408 7 010 - 35 099 11. Bola 19 228 16 742 1 144 83 794 12. Keera 8 214 4 937 50 24 685 13. Gilireng 4 873 4 396 148 21 760 14. Penrang 12 906 13 098 771 65 490 Jumlah 146 555 124 581 11 502 623 777 2011 146 555 124 581 11 502 623 777 2010 146 412 100 924 8 173 443 763 2009 82 520 94 738 20 600 439 016 2008 133 779 117 748 3 613 544 409 2007 126 534 92 966 13 217 383 924 Sumber : Data Sekunder, Statistik Pertanian Kabupaten Wajo, 2011

Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan...

Page 1: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

23

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Wajo merupakan salah satu kabupaten yang berada dalam ruang

lingkup daerah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan ibu kotanya Sengkang,

dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan

daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan. Luas Wilayah Kabupaten Wajo

±2 506.19 km2

(250.619 Ha) atau 4.01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi

Selatan, dengan wilayah yang berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Kab. Luwu dan Kab. Sidenreng Rappang

Sebelah Timur : Teluk Bone

Sebelah Selatan : Kab. Soppeng dan Kab. Bone

Sebelah Barat : Kab. Soppeng dan Kab. Sidrap

Produksi Padi

Tabel 6 Luas Tanam, Panen, Puso dan Produksi Padi Tiap Kecamatan di

Kabupaten Wajo Tahun 2011

No. Kecamatan Luas Tanam

(Ha)

Luas panen

(Ha)

Puso

(Ha)

Produksi

(ton)

1. Tempe 1 110 837 80 4 110

2. Tanasitolo 11 143 10 886 939 55 138

3. Maniangpajo 10 762 8 100 654 40 905

4. Belawa 10 269 9 684 295 49 466

5. Sabbangparu 8 851 6 713 533 34 538

6. Pammana 7 761 6 929 1 370 33 952

7. Takkalalla 15 573 13 336 716 67 213

8. Sajoanging 9 690 7 198 1 276 36 062

9. Majauleng 18 767 14 715 3 526 72 251

10. Pitumpanua 7 408 7 010 - 35 099

11. Bola 19 228 16 742 1 144 83 794

12. Keera 8 214 4 937 50 24 685

13. Gilireng 4 873 4 396 148 21 760

14. Penrang 12 906 13 098 771 65 490

Jumlah 146 555 124 581 11 502 623 777

2011 146 555 124 581 11 502 623 777

2010 146 412 100 924 8 173 443 763

2009 82 520 94 738 20 600 439 016

2008 133 779 117 748 3 613 544 409

2007 126 534 92 966 13 217 383 924

Sumber : Data Sekunder, Statistik Pertanian Kabupaten Wajo, 2011

Page 2: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

24

Tanaman padi merupakan tanaman komoditas utama yang diusahakan

petani di kabupaten Wajo, namun produksi yang diperoleh petani masih sangat

bervariasi, hal ini disebabkan karena tingkat penerapan teknologi usahatani padi

juga bervariasi. Tingkat penerapan teknologi ini disebabkan karena tingkat

pengetahuan dan ketersediaan teknologi masih terbatas serta ketersediaan modal

yang kurang terutama untuk membeli sarana produksi.

Hasil observasi di tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Majauleng, Tanasitolo,

dan Maniangpajo, menunjukkan bahwa sebagian besar petani melakukan proses

pengeringan gabah dengan menggunakan lantai jemur atau sistem lamporan serta

proses pemanenannya sering mengalami penundaan dikarenakan fasilitas yang

akan digunakan mengalami kerusakan dan keterbatasan tenaga kerja. Tanaman

padi sawah merupakan tanaman yang bersifat musiman, sehingga setiap tahunnya

memerlukan tenaga kerja yang tidak tetap. Pada waktu tertentu memerlukan

tenaga kerja yang banyak, misalnya pada saat musim tanam dan saat panen.

Upaya mengatasi susut pascapanen terkendala bukan oleh minimnya penerapan

teknologi, melainkan oleh masalah nonteknis dan sosial. Nugraha et al. (1999)

melaporkan bahwa waktu panen yang tidak tepat bukan karena petani pemilik

sawah tidak mengetahui teknik penentuan umur panen, tetapi waktu panen sering

ditentukan oleh penderep.

Analisa Susut Mutu Beras

Pemanenan

Penyebaran varietas di Sulawesi Selatan, varietas Ciliwung yang dilepas

tahun 1988 atau 18 tahun yang lalu mempunyai penyebaran terluas mencapai

67-95% dalam setiap musim tanam, kemudian Way Apo Buru, Ciherang,

Cisantana, Membrano, IR64, masing-masing sekitar 20-30% dari luas tanam

setiap musim. Dari sejumlah varietas unggul yang dilepas pada periode tahun

2000an hanya sebagian kecil yang diadopsi. Varietas tersebut adalah Ciberang,

Cisantana dan Cigeulis dengan tingkat penyebaran yang luas. Sebanyak 11

varietas yang mempunyai penyebaran terluas dengan kisaran 2 825-196 591 ha

pada setiap musim tanam di Sulawesi Selatan yaitu Cisadane, Way Apo Buru,

Membrano, Cisantana, Ciherang, Ciliwung, IR64, Sintanur, IR66, Cigeulis dan

Selebes.

Varietas Way Apo Buru, Membrano, Cisantana, Ciliwung, IR64, Sintanur,

Cigeulis dan IR66 adalah varietas yang dikembangkan petani dalam setiap musim

tanam. Luas tanam varietas tersebut berkisar 3 342 ha sampai 19 659 ha. Varietas

Cigeulis yang dilepas tahun 2003, penyebarannya baru terlihat mulai MT.I tahun

2004/2005 seluas 4 096 ha. Varietas ini terlihat cepat menyebar dan disukai

petani dan konsumen sehingga pada MT.I 2005/2006 mempunyai penyebaran

seluas 12 572 ha. Varietas Diah Suci yang dihasilkan BATAN pada tahun 2000an

dikembangkan petani tahun 2005/2006 seluas 2 825 ha.

Ketersediaan benih menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap

penyebaran varietas. Varietas yang paling mudah diperoleh benihnya sampai saat

ini adalah Ciliwung, sedangkan varietas yang lainnya kurang terjamin

keberadaannya baik di PT. Shanghyangseri, PT. Pertani, Balai Benih maupun

di Kios atau Toko Tani. Itulah sebabnya varietas Ciliwung selalu menempati

Page 3: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

25

penyebaran varietas terluas dibandingkan dengan seluruh varietas lainnya

(Imran A, Suriani 2007).

Keterbatasan peralatan pascapanen yang dimiliki oleh kelompok maupun

pribadi petani, misalnya alat panen, alat perontokan maupun alat pengering.

Keterbatasan peralatan tersebut dapat menyebabkan lamanya rantai proses

penanganan pascapanen. Di lapangan masih dijumpai terjadinya ketelambatan

panen, penundaan perontokan padi karena kurangnya mesin perontok, penundaan

pengeringan karena terbatasnya sarana dan ketersediaan mesin pengering

(Ananto et al. 2002).

Alat pemanenan padi berkembang dari ani-ani menjadi sabit biasa,

kemudian menjadi sabit bergerigi dengan bahan baja yang sangat tajam, dan

terakhir diintroduksikan reaper, stripper, dan combine harvester. Dengan

menggunakan combine harvester, kehilangan hasil tersebut dapat diminimalkan

menjadi hanya 2.5% karena panen, pengumpulan, dan perontokan digabung

menjadi satu tahapan kegiatan (Purwadaria dan Sulistiadji 2011). Untuk

mengatasi sifat subyektivitas pemanen, meningkatkan efisiensi kerja dan guna

mengantisipasi terjadinya kesulitan tenaga kerja, maka telah dilakukan pada

penelitian ini penggunaan mesin pemanen dan perontok combine harvester

kapasitas kerja 5 jam/ha dan petani banyak yang berminat setelah diintrodusir alat

panen ini, karena pengoperasiannya lebih mudah dan biaya lebih murah

dibandingkan sistem panen berkelompok.

Panen merupakan kegiatan akhir dari proses produksi di lapangan dan faktor

penentu proses selanjutnya. Pemanenan dan penanganan pascapanen perlu

dicermati untuk dapat mempertahankan mutu sehingga dapat memenuhi

spesifikasi yang diminta konsumen. Penanganan yang kurang hati-hati akan

berpengaruh terhadap mutu dan penampilan produk yang berdampak kepada

pemasaran. Menurut Suismono 2010; Nugraha S 2012) ketersediaan alat perontok

yang memadai akan lebih mudah mengatasi terjadinya keterlambatan atau

penundaan perontokan padi. Dampak yang lebih luas gabah yang dihasilkan

mempunyai kualitas yang bagus sehingga dapat mendukung program penyediaan

beras berkualitas, beras berlabel yang memenuhi standar SNI serta memberi nilai

tambah kepada petani dengan harga jual yang tinggi.

Waktu panen dilakukan berdasarkan umur tanaman sesuai dengan deskripsi

varietas Ciliwung yaitu 100 hari setelah tanam. Lama penundaan pemanenan

dapat menurunkan persentase mutu beras kepala dan meningkatkan persentase

butir patah dan butir rusak, hal tersebut dapat terlihat pada Tabel 7. Hasil

perhitungan kadar air setelah pemanenan dan perontokan yaitu pemanenan tanpa

penundaan (P0) 22.44%, penundaan panen 3 hari (P1) 22.02%, penundaan 6 hari

(P2) 21.5% dan penundaan 10 hari (P3) 19.26%.

Persentase butir kepala pada proses pemanenan menunjukkan hasil yang

diperoleh yaitu pemanenan tanpa penundaan (P0) 96.25%, penundaan panen

3 hari (P1) 94.95%, penundaan 6 hari (P2) 93.42% dan penundaan 10 hari

(P3) 90.68% (Tabel 7). Pemanenan yang dilakukan sebelum umur optimal

menyebabkan kualitas gabah yang kurang baik karena tingginya persentase butir

hijau pada gabah, sedangkan panen yang dilakukan setelah lewat masak akan

menyebabkan jumlah gabah yang hilang karena rontok pada saat pemotongan

akan besar dan menurunkan persentase butir kepala.

Page 4: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

26

Pada Tabel 7, penurunan mutu juga terjadi pada butir patah dan butir kuning

yaitu pemanenan tanpa penundaan (P0) 2.25% dan 0.27%, penundaan panen 3

hari (P1) 5.8% dan 0.77%, penundaan 6 hari (P2) 6.95% dan 1.03%, penundaan

10 hari (P3) 13.25% dan 1.48%. Menurut Nugraha et al. 1999; Nugraha S 2012

penurunan mutu dapat terjadi karena proses metabolisme di dalam biji tetap

berlangsung, walaupun padi telah dipanen. Aktivitas nikroorganisme dapat terjadi

bila kadar air gabah masih tinggi, sehingga dapat terjadi reaksi browning

enzymatis yang dapat berakibat butir beras berwarna kuning, busuk, rusak maupun

hitam.

Tabel 7 Hasil Analisis Mutu Pemanenan

Perlakuan Kadar

Air(%)

Butir

Kepala(%)

Butir

Patah(%)

Butir

Kuning(%)

P0 22.44±0.06d 96.25±0.14d 2.25±0.03d 0.27±0.04d

P1 22.02±0.03c 94.95±0.04c 5.8±0.16c 0.77±0.09c

P2 21.55±0.04b 93.42±0.19b 6.95±0.08b 1.03±0.005b

P3 19.26±0.10a 90.68±0.05a 13.25±0.1a 1.48±0.04a

Keterangan : P0, P1, P2, P3 (Penundaan pemanenan 0, 3, 6, 10 hari). Nilai ditampilkan

dalam bentuk rerata ± simpangan eror dari 3 ulangan. Huruf yang berbeda pada

baris yang sama menerangkan berbeda nyata secara statistik (P<0.05)

Hasil perhitungan susut mutu pada butir kepala yaitu penundaan pemanenan

selama 3 hari (P1) 1.29%, penundaan pemanenan selama 6 hari (P2) 2.82%, dan

penundaan pemanenan selama 10 hari (P3) 5.56%. Waktu panen yang terlalu awal

akan menyebabkan mutu beras rendah, sedangkan panen yang terlambat akan

menyebabkan produksi menurun dan mutu beras rendah, karena susut yang

diakibatkan oleh gabah rontok dan persentase gabah retak tinggi akibat proses

pemecahan oleh sinar matahari. Semakin tinggi kadar air awal maka semakin

banyak gabah retak dalam pengeringan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan penundaan pemanenan

berpengaruh secara signifikan (P<0.05) terhadap kadar air, butir kepala, butir

patah dan butir rusak. Ketepatan waktu panen sangat mempengaruhi kualitas bulir

padi dan kualitas beras. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 7, setiap

perlakuan penundaan pemanenan P0, P1, P2 dan P3 memiliki persentase mutu

beras yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugraha (2008) bahwa

berdasarkan kadar air, padi yang dipanen pada kadar air 21-26% memberikan

hasil produksi optimum dan menghasilkan beras bermutu baik. Umumnya panen

optimum dilakukan pada saat gabah menguning 90-95%. Peningkatan penyusutan

kadar air, beras kepala, butir patah dan butir rusak/kuning pada proses penundaan

pemanenannya. Semakin lama proses penundaan pemanenan dan perontokan

maka persentase susut mutunya meningkat. Hal ini didukung oleh (Juliano 2003)

bahwa meningkatnya beras patah dan butir kuning disebabkan oleh peningkatan

suhu dan kelembapan selama penumpukan. Peningkatan suhu akan merusak

sel-sel sehingga beras menjadi patah saat dilakukan penyosohan.

Page 5: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

27

Penjemuran

Secara biologis, gabah yang baru dipanen masih hidup sehingga masih

berlangsung proses respirasi yang menghasilkan CO2, uap air, dan panas sehingga

proses biokimiawi berjalan cepat. Jika proses tersebut tidak segera dikendalikan

maka gabah menjadi rusak dan beras bermutu rendah. Salah satu cara perawatan

gabah adalah melalui proses pengeringan dengan cara dijemur atau menggunakan

mesin pengering. Proses pengeringan yang tidak sempurna juga dapat

menimbulkan susut mutu pada produk selama proses penggilingan. Secara umum,

peningkatan susut mutu beras juga dipengaruhi oleh : varietas tanaman, kadar air

gabah saat panen, alat panen, cara panen, cara/alat perontokan, dan sistem

pemanenan padi.

Hasil observasi di 3 Kecamatan yang mewakili Kabupaten Wajo yaitu

Kecamatan Maniangpajo, Tanasitolo, dan Majauleng menunjukkan bahwa

sebagian besar petani melakukan penjemuran dengan lantai jemur. Kendala yang

dihadapi petani dalam penanganan pascapanen adalah ketidakmampuan petani

menerapkan inovasi teknologi baru dan mengubah kebiasaan yang sudah

berkembang dalam masyarakat. Untuk mengeringkan hasil panennya petani

setempat pada umumnya menggunakan sinar matahari, sebab sinar matahari

mudah didapat karena tersedia dalam jumlah yang banyak, sehingga relatif lebih

menguntungkan petani karena pelaksanaannya mudah. Motifasi dalam

pemanfaatan energi matahari terutama disebabkan karena proses kerjanya yang

sangat sederhana dan biaya operasinya yang relatif murah dibandingkan dengan

pemakaian mesin-mesin pengering. Disamping itu rendahnya modal usaha tani

rata-rata petani akan lebih mendorong digunakannya penjemuran.

Hasil pengamatan pada penjemuran gabah dengan lamporan dan

penjemuran dengan alas terpal, penjemuran gabah dilakukan selama ±2 hari

hingga diperoleh kadar air mendekati 14%. Waktu penjemuran gabah di mulai

jam 08.00 pagi sampai jam 16.00 sore dengan suhu gabah berkisar 32 hingga

47 oC, setiap 2 jam sekali dilakukan proses pembalikan gabah agar gabah yang

berada pada posisi bawah juga mendapatkan energi matahari, sehingga

mempercepat proses penguapan. Tingkat ketebalan gabahnya ±6 cm, hal ini

dilakukan untuk mengurangi tingkat keretakan gabah akibat suhu sinar matahari

yang tinggi. Ketebalan pengeringan dapat meningkatkan persentase beras pecah.

Hal ini karena biji yang berada pada kondisi tersebut mempunyai kadar air yang

tinggi akibat berkurangnya aliran udara dalam lingkungan, dan dengan

bertambahnya waktu, jaringan biji akan semakin rusak karena terjadi hidrolisis

karbohidrat dalam biji menjadi gula sederhana. Selain itu, dengan berkurangnya

oksigen akan terjadi proses fermentasi yang mengakibatkan biji mudah patah atau

rusak. Tingginya kadar air disebabkan oleh sifat higroskopis dari biji, yaitu dapat

menyerap air dari udara sekelilingnya dan dapat melepaskan sebagian air yang

terkandung di dalamnya. Dengan sifat higroskopis tersebut akan terjadi absorpsi

air antarbiji (Iswari K 2012). Sedangkan menurut Juliano (2003) yang

menjelaskan bahwa pada kadar air rendah, beras cenderung lebih kaku (rigid),

tidak elastis, dan mudah patah dibandingkan dengan pada kadar air yang lebih

tinggi.

Page 6: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

28

Pada Tabel 8 butir patah terjadi selama proses penjemuran, dimana butir

patah tertinggi terdapat pada penjemuran dengan lamporan dan penundaan

pemanenan 10 hari (A1P3) yaitu 20.69%, sedangkan butir patah terendah terdapat

pada penjemuran dengan alas terpal dan tanpa penundaan pemanenan (A2P0)

yaitu 5.06%. Tingginga butir patah tersebut terjadi dikarenakan suhu gabah yang

tidak merata dan proses pembalikan gabah tidak dilakukan secara sempurna. Hal

ini didukung oleh (Chen 2008) yang menyatakan bahwa suhu udara pengering

yang tinggi mampu mempercepat proses pengeringan dan penurunan kadar air.

Semakin lama waktu pengeringan dan semakin tinggi suhu operasi maka yield

head rice akan semakin menurun dan terjadi penurunan kualitas pada rasa dan

aroma beras. Rendemen beras kepala kemungkinan dipengaruhi oleh kandungan

protein dan suhu gelatinisasi.

Analisa mutu penjemuran pada Tabel 8 menunjukkan persentase terkecil

terhadap butir patah dan butir kuning terjadi pada penjemuran dengan alas terpal

dan tanpa penundaan pemanenan (A2P0) yaitu 5.06±0.06 dan 0.71±0.05%,

sedangkan untuk persentase tertinggi terhadap butir patah dan butir rusak terjadi

pada penjemuran dengan lamporan dan penundaan pemanenan selama 10 hari

(A1P3) yaitu 20.69±0.11 dan 4.52±0.13%. Hal tersebut disebabkan karena dengan

penggunaan alas terpal pada proses penjemuran gabah dapat mencegah

bercampurnya kotoran, kehilangan butiran gabah, memudahkan pengumpulan

gabah dan menghasilkan penyebaran panas yang merata, maka penjemuran

sebaiknya dilakukan dengan menggunakan alas (Wijaya 2005). Peranan udara

dalam proses penjemuran adalah sebagai medium pembawa uap air dari bahan

yang dikeringkan serta pengantar energi panas ke dalam bahan yang dikeringkan.

Keadaan sekeliling tempat penjemuran atau lamporan juga mempengaruhi

kelembaban, suhu, dan kecepatan udara yang melewati permukaan bahan.

Hasil perhitungan susut mutu (butir kepala) terendah terdapat pada

penundaan pemanenan selama 3 hari dengan penjemuran lamporan (A1P1) yaitu

1.76% sedangkan tertinggi terdapat pada penundaan pemanenan selama 10 hari

dengan penjemuran lamporan (A1P3) yaitu 6.33% (lampiran 01). Semakin lama

proses penundaan pemanenan pada penjemuran dengan lamporan akan

berpengaruh terhadap peningkatan susut mutu. Menurut Damardjati (1977), beras

yang mengandung protein lebih tinggi ternyata mempunyai persentase beras

kepala lebih tinggi serta persentase dedak lebih rendah (Damardjati 1977).

Sedangkan hasil penelitian lain menyebutkan bahwa rendemen beras kepala lebih

ditentukan oleh kondisi lingkungan seperti kadar air awal, kondisi dan cara

pengeringan setelah panen, sifat biji dan lama penyimpanan gabah atau padi

(Juliano 1971).

Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 07-10 menunjukkan

bahwa perlakuan penundaan pemanenan memberikan pengaruh nyata terhadap

penyusutan kadar air dengan nilai (p<0.05), sedangkan untuk interaksi penundaan

pemanenan dan penjemuran berpengaruh secara signifikan terhadap mutu butir

kepala, butir patah, dan butir rusak yaitu (p<0.05). Hal ini disebabkan karena

selama waktu panen, penurunan mutu dapat terjadi karena adanya proses

penundaan pemanenan dan kecepatan perputaran alat pada rangkaian mesin

panen. Penundaan panen juga dapat menyebabkan keretakan pada gabah sehingga

akan mudah rusak pada proses pengolahannya. Hal ini sesuai dengan pendapat

(Juliano 2003) bahwa penundaan panen akan menurunkan persentase beras kepala

Page 7: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

29

dan meningkatkan persentase beras patah. Hal ini disebabkan oleh terjadinya

proses senescence yang menurunkan kekompakan ikatan antara granula pati dan

jaringan dalam biji. Perbedaan umur panen optimum pada masing-masing varietas

disebabkan oleh faktor genetik.

Tabel 8 Hasil Analisis Mutu Penjemuran

Kombinasi Kadar

Air(%)

Butir

Kepala(%)

Butir

Patah(%)

Butir

Kuning(%)

A1P0 14.06±0.12a 92.67±0.20c 5.29±0.05d 0.79±0.15e

A1P1 14.04±0.03b 90.91±0.06b 10.14±0.15c 2.32±0.15c

A1P2 14.08±0.12c 89.01±0.13a 12.68±0.15b 3.38±0.14b

A1P3 14.04±0.14d 86.34±0.10a 20.69±0.11a 4.52±0.13a

A2P0 13.99±0.12a 93.21±0.03d 5.06±0.06e 0.71±0.05e

A2P1 14.01±0.04b 91.37±0.17c 8.92±0.10d 2.03±0.10d

A2P2 14.05±0.11c 89.88±0.15c 12.56±0.18b 3.20±0.13b

A2P3 14.08±0.21d 87.80±0.09d 20.52±0.11a 4.37±0.16a

Keterangan : A1, A2 (Pengeringan dengan lamporan dan pengeringan dengan alas terpal).

Nilai ditampilkan dalam bentuk rerata ± simpangan eror dari 3 ulangan. Huruf

yang berbeda pada baris yang sama menerangkan berbeda nyata secara statistik

(P<0.05)

Uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 8 bahwa masing-masing

kombinasi (interaksi) penundaan pemanenan dan penjemuran terhadap susut mutu

beras berbeda nyata pada taraf 5%. Pengeringan gabah dengan metode

penjemuran menyebabkan butir patah lebih tinggi sehingga kualitas beras yang

dihasilkan lebih rendah, waktu yang dibutuhkan juga lebih lama. Sistem

pengeringan yang umum dilakukan oleh para petani di Indonesia adalah sistem

penjemuran dengan bantuan sinar matahari. Prinsip pengeringan melibatkan dua

fenomena yakni peristiwa perpindahan panas dan perpindahan massa. Proses

perpindahan panas terjadi karena suhu bahan lebih rendah dari pada suhu udara

yang dialirkan di sekelilingnya. Ini berkaitan dengan diberikannya panas pada

bahan yang akan dikeringkan. Sedangkan proses perpindahan massa berkaitan

dengan dikeluarkannya sejumlah cairan dari bahan ke lingkungan. Panas dari

udara pengering akan menaikkan suhu bahan yang menyebabkan tekanan uap air

di dalam bahan lebih tinggi dari pada tekanan uap air di udara, sehingga terjadi

perpindahan uap air dari bahan ke udara (Wijaya 2005). Cara penjemuran gabah

ditumpuk di atas lantai jemur menghasilkan persentase biji rusak yang tertinggi

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena aerasi udara

pada gabah tidak merata dan terakumulasi di bagian tengah tumpukan, sehingga

pengeringan menjadi tidak merata. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian

Lubis et al. (1990), pada komoditas padi yang menunjukkan bahwa penumpukan

padi basah di lapangan selama 3 hari dapat menyebabkan kerusakan gabah sebesar

1.7-3.1% tergantung pada ketebalan tumpukan dan kehilangan kuantitas

sebesar 9%.

Page 8: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

30

Penggilingan

Penggilingan merupakan proses untuk mengubah gabah menjadi beras.

Proses penggilingan gabah meliputi pengupasan sekam, pemisahan gabah,

penyosohan, pengemasan, dan penyimpanan beras. Penggilingan konvensional

memiliki 3 komponen utama, yaitu motor penggerak, pemecah kulit/sekam

(husker), dan penyosoh beras (polisher). Dengan tiga komponen tersebut, beras

yang dihasilkan belum memenuhi mutu yang ditetapkan SNI, karena masih

banyak gabah yang tidak tergiling dan adanya benda-benda asing seperti batu,

pasir ataupun biji rerumputan yang terikut bersama beras, serta persentase beras

patah lebih tinggi (Thahir et al. 2000).

Hasil pengamatan mutu penggilingan dapat dilihat pada Tabel 9

menunjukkan persentase tertinggi dan terendah masing-masing terdapat pada butir

kepala A2P0 (79.66%) dan A1P3 (63.07%), butir patah A1P3 (37.06%) dan A2P0

(10.35%), butir kuning A1P3 (8.08%) dan A2P0 (0.82%), rendemen giling A2P0

(67,88%) dan A1P3 (63.38%). Umumnya semakin tinggi derajat sosoh, persentase

beras patah menjadi semakin meningkat pula. Ukuran butir beras hasil giling

dibedakan atas beras kepala, beras patah, dan menir (Waries 2006). Untuk

mendapatkan beras bermutu baik dengan rendemen giling yang lebih tinggi,

Tjahjohutomo et al. (2004) menyatakan konfigurasi mesin penggilingan padi

perlu diperbaiki dengan menambahkan beberapa komponen, seperti pembersih

gabah (paddy cleaner) sebelum gabah dimasukkan ke dalam husker (mesin

pemecah kulit), serta pemisah gabah (paddy separator) setelah gabah melewati

husker sehingga gabah yang tidak terkelupas dipisahkan dari beras pecah kulit

(BPK). Selanjutnya BPK dimasukkan ke dalam polisher (penyosoh). Susut mutu

dari suatu hasil giling dapat diidentifikasikan dalam nilai derajat sosoh serta

ukuran dan sifat butir padi yang dihasilkan.

Tabel 9 Hasil Analisis Mutu Penggilingan

Kombinas

i

Kadar Air(%) Butir

Kepala(%)

Butir

Patah(%)

Butir

Kuning(%)

Rendemen(%

)

A1P0 14.01±0.02bc 77.92±0.03g 11.41±0.11f 1.01±0.08e 67.73±0.20a

A1P1 13.98±0.04bc 74.67±0.05e 18.76±0.16d 3.66±0.07d 66.81±0.07b

A1P2 13.95±0.05a 69.56±0.05c 24.04±0.22c 5.87±0.06b 64.03±0.07c

A1P3 14.01±0.01bc 63.07±0.14a 37.06±0.04a 8.08±0.09a 63.38±0.11d

A2P0 13.97±0.005c 79.66±0.14h 10.35±0.04g 0.82±0.02e 67.88±0.30a

A2P1 13.94±0.04b 75.36±0.13f 16.58±0.15e 3.47±0.01d 66.79±0.22b

A2P2 14.02±0.005bc 71.25±0.10d 21.11±0.19d 5.22±0.05c 64.08±0.07c

A2P3 14.04±0.02bc 65.13±0.07b 33.8±0.26b 7.84±0.10a 63.79±0.07c

Keterangan : A1, A2 (Pengeringan dengan lamporan dan pengeringan dengan alas terpal).

Nilai ditampilkan dalam bentuk rerata ± simpangan eror dari 3 ulangan. Huruf

yang berbeda pada baris yang sama menerangkan berbeda nyata secara statistik

(P<0.05)

Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada Tabel (lampiran 11-15)

menunjukkan perlakuan penundaan pemanenan, penjemuran serta interaksinya

memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air , butir kepala, butir patah dan butir

Page 9: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

31

kuning dengan nilai (p<0.05), sedangkan untuk rendemen hanya berpengaruh

nyata pada penundaan pemanenan (p<0.05). Adanya penundaan proses

pemanenan dan perontokan akan mempengaruhi terjadinya penurunan baik secara

kualitas maupun kuantitas padi serta gabah yang dihasilkan. Mutu beras giling

dikatakan baik jika hasil proses penggilingan diperoleh beras kepala yang banyak

dengan beras patah minimal. Mutu giling ini juga ditentukan dengan banyaknya

beras putih atau rendemen yang dihasilkan. Menurut Adnyana et al. (1994), upaya

perbaikan penanganan pascapanen melalui penyebaran komponen maupun paket

teknologi penanganan pascapanen belum memberi hasil yang memuaskan, karena

sebagian dari teknologi tersebut belum diadopsi oleh petani. Terhambatnya proses

adopsi teknologi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) teknologi yang

diciptakan belum sesuai dengan kebutuhan pengguna, 2) mekanisme penyampaian

hasil penelitian teknologi pascapanen relatif panjang dengan hierarki yang kaku,

3) tenaga penyuluh belum sepenuhnya melakukan tugas fungsionalnya dalam

penyampaian informasi teknologi pascapanen, dan 4) belum samanya persepsi dan

kemampuan peneliti dan penyuluh dalam memahami profil wilayah sasaran

pengembangan teknologi pascapanen.

Uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 9, bahwa masing-masing

kombinasi (interaksi) penundaan pemanenan dan penjemuran terhadap mutu beras

pada proses penggilingan berbeda nyata pada taraf 5%. Tingginya persentase butir

patah yang dihasilkan menunjukkan kualitas beras yang dihasilkan dan rendahnya

kualitas beras selain dipengaruhi oleh kualitas awal gabahnya juga berkaitan

dengan kondisi mesin giling yang sudah tua dengan perawatan yang kurang baik.

Petani belum semuanya menerapkan cara penggilingan yang baik (good miling

parctice) dan masih banyak dijumpai model penggilingan padi satu alur (phase)

dengan kondisi yang cukup tua. Kondisi tersebut menyebabkan banyak di antara

penggilingan padi tidak bekerja secara maksimal dengan kondisi mesin yang tidak

sempurna pula. Hal ini akan menyebabkan proses penggilingan yang tidak

berjalan dengan baik, dihasilkannya beras pecah dan menir yang tinggi, beras

giling yang kotor, serta rendemen giling yang rendah (Rachmat 2004).

Analisa Kualitas Beras

Di Kabupaten Wajo merupakan daerah penghasil beras, akan tetapi beras

yang diproduksi masih berada pada taraf mutu kurang baik. Penyebab utamanya

yaitu penanganan panen dan pascapanen padi yang kurang baik, serta proses

pemanenan dan pengeringan yang mengalami penundaan karena kurangnya

tenaga kerja dan fasilitas yang dimiliki oleh petani. Mutu beras sangat bergantung

pada mutu gabah yang akan digiling dan sarana mekanis yang digunakan dalam

penggilingan. Selain itu, mutu gabah juga dipengaruhi oleh genetik tanaman,

cuaca, waktu pemanenan, dan penanganan pasca panen. Diharapkan dengan

adanya pengkelasan mutu beras, maka pedagang atau pelaku pasar beras akan

lebih mudah memilih segmen pasar yang akan dituju khususnya di Kabupaten

Wajo Sulawesi Selatan. Namun, sebelum beras didistribusikan ke konsumen,

perlu dilakukan pengujian mutu beras.

Hasil pengukuran persentase kadar air terhadap kualitas beras varietas

Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa

masing-masing interaksi antara penundaan pemanenan dan sistem penjemurannya

tidak berbeda nyata, yaitu 13.89-14.04%. Pengeringan gabah dengan metode

Page 10: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

32

penjemuran menyebabkan kadar beras patah dan susut bobot lebih tinggi sehingga

kualitas beras yang dihasilkan lebih rendah, waktu yang dibutuhkan pun lebih

lama. Peneliti lain menyebutkan diperlukan waktu 3-4 hari. Kelemahan sistem

pengeringan ini antara lain ketergantungan terhadap cuaca, pemakaian lahan yang

luas, waktu pengeringan yang lama, kualitas produk yang tidak seragam serta

mudahnya kontaminasi benda asing (Wijaya 2005).

Penggilingan gabah menjadi beras sosoh, dimulai dengan pengupasan kulit

gabah. Syarat utama proses pengupasan gabah adalah kadar keringnya gabah yang

akan digiling. Gabah kering giling berarti gabah yang sudah kering dan siap

digiling. Bila diukur dengan alat pengukur air, maka angka kekeringannya

mencapai 14-14.5%.

Rendahnya kadar air gabah di tingkat petani dikarenakan keterbatasan

pengetahuan petani dalam menentukan kadar air giling yang tepat, disamping

secara umum petani tidak mempunyai alat untuk mengukur kadar air gabah

(moisture tester). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya proses penjemuran gabah

berkepanjangan. Kadar air gabah kering giling yang lebih rendah dari 14% dapat

mengurangi rendemen giling maupun penurunan kualitas beras. Gabah yang

dilakukan penggilingan pada kadar air rendah akan mengalami kerusakan, banyak

terjadi beras pecah (broken), menir, dan bekatul. Hal ini akan berpengaruh

terhadap penurunan rendemen giling dan penurunan kualitas beras.

Gambar 3 Hasil Pengukuran Persentase Beras Kepala Terhadap Kualitas Beras

Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

Pada Gambar 3 pengukuran persentase beras kepala tidak berbeda nyata

pada penundaan proses pemanenan dan penjemurannya, hal ini disebabkan karena

proses senescence yang dapat menurunkan kekompakan ikatan granula pati dan

jaringan dalam biji-bijian. Menurut (Juliano 2003) menyatakan bahwa penundaan

panen akan menurunkan persentase beras kepala dan meningkatkan persentase

beras patah. Hal ini disebabkan karena terjadinya proses senescence yang

menurunkan kekompakan ikatan antara granula pati dan jaringan dalam biji.

Perbedaan umur panen optimum pada masing-masing varietas disebabkan oleh

faktor genetik. Sedangkan menurut Wiset et al. (2001) mengemukakan bahwa

b d

f h

a c

e g

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 3 6 10

% B

eras

Kep

ala

Penundaan Pemanenan (Hari)

Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal

Page 11: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

33

metode pengeringan berpengaruh nyata terhadap persentase beras kepala yang

dihasilkan. Proses pengeringan di pedesaan umumnya masih menggunakan cara

penjemuran dengan menggunakan alas plastik, tikar atau anyaman bambu . Gabah

yang terlambat dikeringkan akan berakibat tidak baik terhadap kualitas berasnya.

Hal ini disebabkan gabah hasil panen dengan kadar air tinggi dan kondisi lembab

mengalami respirasi dengan cepat. Akibatnya butir gabah busuk, berjamur,

berkecambah maupun mengalami reaksi “browning enzimatis” sehingga beras

berwarna kuning/kuning kecoklatan (Ismail M, Tjahyono E. 2001).

Pada Tabel 3, menunjukkan persentase mutu beras kepala yang digunakan

sebagai standar pengklasifikasian mutu yaitu berada pada kisaran 63.12-79.61%.

Dengan standar SNI No. 01-6128-2008 yang digunakan sebagai standar mutu,

maka terlihat bahwa mutu beras varietas Ciliwung yang dihasilkan, tergolong

pada kelas mutu III, IV, dan V. Menurut Waries (2006) sebagian besar beras yang

beredar di beberapa daerah di Indonesia memiliki derajat sosoh 80% atau lebih

dan persentase beras kepala lebih besar dari 75% dan mengandung butir patah

kurang dari 30%. Berbagai faktor yang meliputi keadaan lingkungan, panen

hingga penanganan lepas panen mempengaruhi mutu giling disamping faktor

genetik.

Gambar 4 Hasil Pengukuran Persentase Butir Patah Terhadap Kualitas Beras

Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

Persentase butir patah (Gambar 4) terhadap kualitas beras varietas Ciliwung

di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa masing-masing

kombinasi (interaksi) antara penundaan pemanenan dan penjemuran berbeda

nyata pada taraf 5%. Tingginya persentase beras patah yang dihasilkan

menunjukkan kualitas beras yang dihasilkan. Menurut Waries (2006) menyatakan

bahwa mutu giling mencakup berbagai ciri, yaitu rendemen beras giling,

rendemen beras kepala, persentase beras pecah, dan derajat sosoh beras. Sebagian

besar beras yang beredar di beberapa daerah di Indonesia memiliki derajat sosoh

80% atau lebih dan persentase beras kepala lebih besar dari 75% dan mengandung

butir patah kurang dari 30%. Berbagai faktor yang meliputi keadaan lingkungan,

panen hingga penanganan lepas panen mempengaruhi mutu giling disamping

faktor genetik. Mutu beras giling dikatakan baik jika hasil proses penggilingan

g

e

c

a

h

f

d

b

0

5

10

15

20

25

30

35

40

0 3 6 10

% B

uti

r P

atah

Penundaan Pemanenan (Hari)

Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal

Page 12: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

34

diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah minimal. Mutu giling ini

juga ditentukan dengan banyaknya beras putih atau rendemen yang dihasilkan.

Mutu giling ini sangat erat kaitannya dengan nilai ekonomis dari beras. Salah satu

kendala dalam produksi beras adalah banyaknya beras pecah sewaktu digiling.

Hal ini dapat menyebabkan mutu beras menurun.

Hasil Penelitian Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian tahun

2003 menunjukan, bahwa rendemen penggilingan padi yang telah dicapai sebagai

berikut : Penggilingan Padi Kecil (PPK) memiliki rendemen rata-rata 55.7%

dengan kualitas beras kepala 74.25% dan beras patah 14.99%. Penggilingan Padi

Menengah (PPM) memiliki rendemen rata-rata 59.69% dengan kualitas beras

kepala 75.73% dan beras patah sebesar 12.52%. Penggilingan Padi Besar (PPB)

memiliki rendemen rata-rata 61.48% dengan kualitas beras kepala 82.45% dan

beras patah sebesar 11.97%.

Gambar 5 Hasil Pengukuran Persentase Butir Menir Terhadap Kualitas Beras

Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

Gambar 5, hasil pengukuran persentase butir menir menunjukkan bahwa

semakin lama proses penundaan pemanenan maka persentase butir menirnya

semakin meningkat yaitu pada penjemuran lamporan berturut-turut 2.06, 3.47,

6.85, 10.09% sedangkan pada penjemuran dengan alas terpal berturut-turut 1.38,

3.45, 6.15, 10.05%. Susut mutu dari suatu hasil giling dapat diidentifikasikan

dalam nilai derajat sosoh serta ukuran dan sifat butir padi yang dihasilkan.

Umumnya semakin tinggi derajat sosoh, persentase beras patah menjadi semakin

meningkat pula. Ukuran butir beras hasil giling dibedakan atas beras kepala, beras

patah, dan menir. Berdasarkan persyaratan yang dikeluarkan oleh Bulog, beras

kepala merupakan beras yang memiliki ukuran lebih besar dari 6/10 bagian beras

utuh. Beras patah memiliki ukuran butiran 2/10 bagian sampai 6/10 bagian beras

utuh. Menir memiliki ukuran lebih kecil dari 2/10 bagian beras utuh atau

melewati lubang ayakan 2.0 mm (Waries 2006).

e d

b

a

f

d

c

a

0

2

4

6

8

10

12

0 3 6 10

% B

uti

r M

enir

Penundaan Pemanenan (Hari)

Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal

Page 13: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

35

Gambar 6 Hasil Pengukuran Persentase Butir Rusak Terhadap Kualitas Beras

Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

Hasil pengukuran persentase butir rusak terendah terdapat pada (A2P0)

yaitu 0.75% sedangkan persentase butir rusak tertinggi pada (A1P3) yaitu 8.08%

(Gambar 6). Hal ini disebabkan karena aerasi udara pada gabah tidak merata dan

terakumulasi di bagian tengah tumpukan, sehingga pengeringan menjadi tidak

merata. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lubis et al. (1990), pada komoditas

padi yang menunjukkan bahwa penumpukan padi basah di lapangan selama 3 hari

dapat menyebabkan kerusakan gabah sebesar 1.7-3.1% tergantung pada ketebalan

tumpukan dan kehilangan kuantitas sebesar 9%.

Mutu gabah pada saat digiling terutama akan ditentukan oleh kadar air

gabah. Pada kadar air yang tinggi, gabah relatif lunak dan akan diperlukan energi

yang lebih banyak untuk menghasilkan beras pecah kulit, serta tingginya

rendemen beras patah saat proses penyosohan. Sebaliknya kadar air gabah yang

terlalu rendah akan menyebabkan banyaknya gabah yang retak, sehingga

meningkatkan jumlah rendemen beras patah saat penggilingan. Dengan demikian,

tinggi rendahnya kadar air dalam gabah saat digiling akan mempengaruhi mutu

beras yang dihasilkan. Selanjutnya mutu beras akan menentukan nilai jual kepada

konsumen (Soemardi dan Thahir 1991). Menurut Gaybita (2009) penggilingan

padi merupakan kunci dalam penentu mutu beras yang beredar di pasar. Untuk

bersaing di pasaran mutu beras diharapkan memenuhi persyaratan yang sesuai

dengan kebutuhan pasar, baik pasar lokal maupun internasional. Untuk itu,

perbaikan mutu ditingkat penggilingan padi harus menjadi fokus dalam perbaikan

mutu beras.

e

d

b

a

e

d

c

a

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 3 6 10

% B

uti

r R

usa

k

Penundaan Pemanenan (Hari)

Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal

Page 14: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

36

Gambar 7 Hasil Pengukuran Persentase Butir Kapur Terhadap Kualitas Beras

Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

Dari Gambar 7 menunjukkan bahwa penundaan proses pemanenan dan

penjemuran berpengaruh nyata terhadap peningkatan persentase butir kapur.

Kriteria mutu beras ditentukan berdasarkan kriteria atas : bentuk, ukuran

keseragaman dan penampilan biji antara lain kadar air, derajat sosoh, rendemen

beras kepala, persentase butir kapur, butir kuning, benda asing/kotoran dan bau

tidak sehat (Van Ruiten 1978; Jastra 1982). Penentuan mutu beras pasar secara

objektif lebih didasarkan pada sifat fisik dan tampilan butir beras. Kebeningan

butir ditentukan oleh kekeruhan endosperma, seperti bagian putih mengapur baik

pada sisi dorsal (white belly), tengah (white central) maupun sisi ventral (white

back). Butir beras yang mengapur memiliki ikatan butir pati yang kurang kompak

akibat adanya rongga udara di antara granula pati sehingga beras mudah patah

saat digiling (Damardjati dan Purwani 1991). Varietas–varietas padi memiliki

ketahanan yang berbeda-beda terhadap moisture stress. Ketahanan ini dikenal

sebagai crack resistance. Secara umum, varietas atau galur yang berukuran beras

panjang (6.61 mm) dan yang mempunyai pengapuran dalam endospermanya akan

menghasilkan beras kepala lebih sedikit

c c bc

a

c c c

ab

0

1

2

3

4

5

6

7

0 3 6 10

% B

uti

r K

apur

Penundaan Pemanenan (Hari)

Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal

Page 15: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

37

Gambar 8 Hasil Pengukuran Persentase Rendemen Giling Terhadap Kualitas

Beras Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

Hasil pengukuran persentase rendemen giling (Gambar 8) menunjukkan

bahwa semakin lama proses penundaan pemanenan maka persentase rendemen

gilingnya semakin menurun yaitu pada penjemuran lamporan berturut-turut 67.73,

66.81, 64.03, 63.38% sedangkan pada penjemuran dengan alas terpal berturut-

turut 67.88, 66.79, 64.08, 63.79%. Menurut Nugraha et al. (1999), nilai rendemen

beras giling dipengaruhi oleh banyak faktor yang terbagi dalam tiga kelompok.

Kelompok pertama adalah faktor yang mempengaruhi rendemen melalui

pengaruhnya terhadap mutu gabah sebagai bahan baku dalam proses penggilingan

yang meliputi varietas, teknik budidaya, cekaman lingkungan, agroekosistem, dan

iklim. Kelompok kedua merupakan faktor penentu rendemen yang terlibat dalam

proses konversi gabah menjadi beras, yaitu teknik penggilingan dan alat

penggilingan. Kelompok ketiga menunjukkan kualitas beras terutama derajat

sosoh yang diinginkan karena semakin tinggi derajat sosoh maka rendemen akan

semakin rendah. Penanganan pascapanen padi merupakan upaya sangat strategis

dalam rangka mendukung peningkatan produksi padi. Kontribusi penanganan

pascapanen terhadap peningkatan produksi padi dapat tercermin dari penurunan

hasil dan tercapainya mutu gabah/ beras sesuai persyaratan mutu. Setyono (2010)

menyatakan masalah utama dalam penanganan pascapanen padi adalah tingginya

kehilangan hasil serta gabah dan beras yang dihasilkan bermutu rendah. Hal

tersebut terjadi pada tahapan pemanenan, perontokan dan pengeringan.

Hasil pengukuran kualitas beras varietas Ciliwung termasuk dalam kategori

mutu III, IV dan V. Dikarenakan penanganan pascapanen khususnya di

Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan belum maksimal,

sehingga beras yang dihasilkan baru dapat memenuhi persyaratan mutu III dan IV

pada SNI beras No. 01-6128-2008. Hal ini disebabkan karena kualitas beras giling

yang dihasilkan memiliki kandungan beras kepala yang masih rendah dan

kandungan butir patah dan menir yang relatif tinggi. Beras giling dengan

kandungan beras pecah yang tinggi akan dihargai rendah dan tidak memenuhi

standar beras mutu I sampai II. Standar mutu beras pada dasarnya sangat

diperlukan karena dengan adanya standar mutu beras ini, baik konsumen dan

produsen akan mendapatkan kepastian terhadap mutu yang diinginkan. Manfaat

a

b

c d

a

b

c c

61

62

63

64

65

66

67

68

69

0 3 6 10

% R

end

emen

Gil

ing

Penundaan Pemanenan (Hari)

Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal

Page 16: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

38

lainnya adalah bahwa standar ini dapat pula digunakan sebagai pembinaan

perbaikan mutu beras di tingkat petani, penggilingan maupun pedagang.

Penanganan pascapanen padi perlu diperhatikan dengan baik. Pemanenan,

perontokan, penjemuran, dan penggilingan padi harus dilakukan dengan cara dan

teknologi yang tepat, untuk menekan susut mutu. Penggilingan padi mempunyai

peranan yang sangat vital dalam mengkonversi padi menjadi beras yang siap

diolah untuk dikonsumsi maupun untuk disimpan sebagai cadangan. Peningkatan

produktivitas padi ini juga harus dibarengi dengan peningkatan mutu beras yang

dihasilkan, yaitu beras yang mampu memenuhi tuntutan dan sesuai dengan

preferensi konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut maka teknologi pasca panen

yang tepat akan mampu meningkatkan mutu beras yang dihasilkan. Peningkatan

mutu beras ini mampu memberikan nilai tambah pada beras. Dengan demikian

teknologi yang tepat sejak produksi, panen, dan pascapanen harus dilakukan

secara terpadu untuk keberhasilan peningkatan mutu beras dan mengurangi susut

mutu.

Beras yang bermutu baik dihargai lebih tinggi daripada beras biasa. Standar

mutu beras pasar bersifat subjektif, dan dikenal adanya kriteria mutu beras yang

bersifat lokal dengan kriteria tertentu yang berlaku dan dapat diterima oleh

produsen, pedagang, dan konsumen beras (Damardjati dan Purwani 1991).

Tingkat kekerasan beras pada varietas Ciherang dan Ciliwung sangat

berbeda. Basit (2010) menyatakan bahwa tingkat kekerasan varietas Ciherang

secara konsisten sepanjang posisi batang malai dan cabang malai lebih rendah

daripada varietas Ciliwung. Pola ini diduga memiliki kontribusi yang signifikan

terhadap tingkat beras patah hasil penggilingan varietas Ciherang yang selalu

lebih tinggi dari pada varietas Ciliwung sebagaimana ditemukan oleh Asmawati

(2009).

Analisis Nilai Tambah

Kegiatan agroindustri yang dapat meningkatkan nilai tambah komoditas

pertanian dalam operasionalnya membutuhkan biaya pengolahan. Salah satu

konsep yang sering digunakan untuk membahas biaya pengolahan hasil pertanian

adalah nilai tambah. Menurut (Hayami et al. 1987; Sudiyono 2002) ada dua cara

untuk menghitung nilai tambah yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai

tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah

pengolahan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan faktor pasar.

Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku

yang digunakan dan tenaga kerja. Faktor pasar yang berpengaruh adalah harga

output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai input lain selain bahan baku

dan tenaga kerja.

Nilai tambah adalah selisih antara pendapatan yang diperoleh dari penjualan

barang/jasa dan biaya untuk pembelian bahan-bahan yang diperlukan guna

menghasilkan barang atau jasa tersebut. Pendapatan tenaga kerja dalam analisis

nilai tambah dipengaruhi oleh koefisien tenaga kerja dan upah tenaga kerja.

Koefisien tenaga kerja menyatakan perbandingan antara input tenaga kerja dengan

bahan baku yang digunakan. Dalam penelitian ini dianalisis rata-rata penggunaan

tenaga kerja dalam proses produksi. Pendapatan tenaga kerja sama dengan hasil

kali antara koefisien tenaga kerja dengan upah per jam.

Page 17: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

39

Nilai tambah ekonomi dapat menggambarkan tingkat kemampuan dalam

menghasilkan pendapatan di suatu wilayah. Pada umumnya yang termasuk dalam

nilai tambah dalam suatu kegiatan produksi atau jasa adalah berupa upah atau

gaji, laba, sewa tanah dan bunga yang dibayarkan (berupa bagian dari biaya),

penyusutan dan pajak tidak langsung (Tarigan 2004). Berdasarkan analisis nilai

tambah ekonomi ini dapat diketahui besarnya imbalan yang diterima oleh

pengusaha dan tenaga kerja. Analisis nilai tambah ekonomi juga berguna untuk

mengetahui berapa tambahan nilai yang terdapat pada suatu output yang

dihasilkan. Pada prinsipnya nilai tambah ekonomi ini merupakan keuntungan

kotor sebelum dikurangi biaya tetap.

Analisis perhitungan dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai

produksi dan harga jual yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap

pendapatan petani dalam berusahatani. Sebelum melakukan analisis usahatani

perlu kita ketahui beberapa hal menyangkut analisis ini, yaitu:

1. Usahatani adalah suatu jenis kegiatan pertanian rakyat yang diusahakan oleh

petani dengan mengkombinasikan faktor alam, tenaga kerja, modal dan

pengelolaan yang ditujukan pada peningkatan produksi.

2. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan yang diterima pada

akhir produksi dengan biaya riil (tunai) yang dikeluarkan selama proses

produksi.

3. Penerimaan usahatani adalah jumlah yang diterima petani dari suatu proses

produksi, dimana penerimaan tersebut didapatkan dengan mengalikan

produksi dengan harga yang berlaku saat itu.

4. Biaya usahatani adalah biaya yang dikeluarkan oleh seorang petani dalam

proses produksi. Dalam hal ini biaya diklasifikasikan ke dalam biaya tunai

(biaya riil yang dikeluarkan) dan biaya tidak tunai (diperhitungkan).

5. Keuntungan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan biaya total

(biaya tunai dan tidak tunaiatau biaya tetap & tidak tetap atau fixed cost &

variable cost).

6. Kepala rumah tangga adalah seorang pria atau wanita yang dianggap

bertanggung jawab dalam rumah tangga itu oleh anggota rumah tangga.

7. Satu musim adalah 100–120 hari, terhitung dari saat awal pengolahan tanah

sampai dengan panen terakhir.

Page 18: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

40

Tabel 10 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen Tanpa Penundaan

Pemanenan untuk Satu Kali Produksi

Variabel Nilai

I. Output, Input, dan Harga

1. Output (kg) 677.3

2. Input (kg) 1 000

3. Tenaga Kerja (HOK) 1.37

4. Faktor Konversi 0.67

5. Koefisien Tenaga Kerja Langsung (HOK/kg) 0.0013

6. Harga Output (Rp/kg) 7 000

7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 50 000

II. Penerimaan dan Keuntungan

8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) 3 400

9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) 542.2

10.Nilai Output (Rp/kg) 4 741.1

11.a. Nilai Tambah (Rp/kg) 798.9

b. Rasio Nilai Tambah (%) 16.85

12.a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/kg) 68.75

b. Pangsa Tenaga Kerja Langsung (%) 8.60

13.a. Keuntungan (Rp/kg) 730.15

b. Tingkat Keuntungan (%) 91.39

III. Balas jasa Pemilik Faktor - Faktor Produksi

14. Marjin (Rp/kg) 1 341.1

a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) 5.12

b. Sumbangan Input lain (%) 40.42

c. Keuntungan Pemilik Pengolahan (%) 54.44

Nilai tambah produk beras pada penanganan pascapanen tanpa penundaan

pemanenan sebesar Rp798.9/kg sedangkan untuk persentase rasio nilai tambah

yang dihasilkan untuk satu kali produksi sebesar 16.85%, rasio nilai tambah

menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk (Tabel 10). Besaran nilai

tambah yang dihasilkan dapat ditaksir besarnya balas jasa yang diterima pemilik

faktor produksi yang digunakan dalam proses perlakuan tersebut. Dalam analisis

nilai tambah, terdapat tiga komponen pendukung, yaitu faktor konversi yang

menunjukkan banyak output yang dihasilkan dari satu-satuan input, faktor

koefisien tenaga kerja yang menunjukkan banyaknya tenaga kerja langsung yang

diperlukan untuk mengolah satu-satuan input, dan nilai produk yang menunjukkan

nilai output yang dihasilkan dari satu-satuan input.

Nilai tambah dalam penelitian ini (Tabel 10) adalah identik dengan margin

keuntungan. Jumlah biaya produksi yang dihasilkan yaitu sebesar Rp542 200

dengan demikian untuk produk beras pada penanganan pascapanen tanpa

penundaan pemanenan mempunyai margin keuntungan Rp5 444/kg. Berdasarkan

hasil penelitian ini, maka perlu diketahui bahwa pada usahatani padi sawah di

Kabupaten Wajo perlu melakukan perbaikan alokasi penggunaan faktor-faktor

produksi atau biaya. Dikarenakan masih banyak dari para petani yang tingkat

Page 19: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

41

efisiensi secara ekonomi masih sangat rendah dalam penggunaan faktor-faktor

produksi. Penyebab nilai efisiensi faktor produksi yang rendah disebabkan karena

kesulitan petani dalam hal mendapatkan faktor produksi yang langka. Selain

sulitnya untuk memperoleh input tersebut. Petani juga memiliki keterbatasan

dalam mengelola usahatani padi sawah mereka. Sehingga dengan adanya

permasalahan tersebut menjadikan para petani padi sawah melakukan proses

usahataninya dengan kemampuan yang mereka miliki dengan kata lain tidak

sesuai dengan anjuran menurut Dinas-Dinas yang terkait. Akibatnya adalah hasil

yang diperoleh kurang memuaskan.

Harga gabah dan beras umumnya sangat ditentukan oleh mutu atau

kualitasnya, selain itu juga ditentukan selera masyarakat setempat. Mutu gabah

dan beras yang baik akan menentukan nilai tambah yang lebih banyak, karena

selain harganya lebih baik juga pemasarannya akan lebih cepat. Menurut Efferson

(1985) konsumen menentukan harga dan mutu beras dari penampilan fisiknya,

tanpa beras tersebut diproses atau dimasak. Konsumen mempunyai aturan

tersendiri tentang mutu beras tersebut. Konsumen menginginkan butir patah yang

sedikit, tidak ada campuran benda asing, gulma dan gabah yang tak tergiling,

bentuk biji relatif seragam, tidak ada campuran varietas lain, penyosohan

sempuma dan warna beras bening, serta aroma yang menarik. Secara ringkas

terlihat bahwa ukuran, bentuk dan penampilan beras menentukan tingkat

penerimaan pasar terhadap beras (Khush, et al. 1979).

Page 20: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

42

Tabel 11 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen dengan Penundaan

Pemanenan Selama 3 Hari untuk Satu Kali Produksi

Variabel Nilai

I. Output, Input, dan Harga

1. Output (kg) 668.1

2. Input (kg) 1 000

3. Tenaga Kerja (HOK) 1.37

4. Faktor Konversi 0.66

5. Koefisien Tenaga Kerja Langsung (HOK/kg) 0.001

6. Harga Output (Rp/kg) 6 725

7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 50 000

II. Penerimaan dan Keuntungan

8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) 3 285

9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) 542.2

10.Nilai Output (Rp/kg) 4 509.67

11.a. Nilai Tambah (Rp/kg) 682.47

b. Rasio Nilai Tambah (%) 15.13

12.a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/kg) 68.75

b. Pangsa Tenaga Kerja Langsung (%) 10.07

13.a. Keuntungan (Rp/kg) 613.72

b. Tingkat Keuntungan (%) 89.92

III. Balas jasa Pemilik Faktor - Faktor Produksi

14. Marjin (Rp/kg) 1 224.67

a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) 5.61

b. Sumbangan Input lain (%) 44.27

c. Keuntungan Pemilik Pengolahan (%) 50.11

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 11) terlihat bahwa, nilai tambah yang

diperoleh pada penanganan pascapanen dengan penundaan pemanenan selama

3 hari sebesar Rp682.47/kg dengan jumlah bahan baku yang digunakan sebesar

1 000 kg, maka diperoleh nilai konversi 0.66. Nilai koefisien tenaga kerja

diperoleh dari pembagian jumlah total hari kerja untuk satu kali produksi dengan

jumlah bahan baku yang digunakan untuk satu kali produksi. Nilai koefisien

tenaga kerja diperoleh sebesar 0.001 2HOK/kg. Menurut Hayami et al. (1987) ada

dua cara untuk menghitung nilai tambah ekonomi yaitu nilai tambah untuk

pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi

nilai tambah untuk pengolahan dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan

faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah

bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar yang

berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan nilai

input lain.

Page 21: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

43

Tabel 12 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen dengan Penundaan

Pemanenan Selama 6 Hari untuk Satu Kali Produksi

Variabel Nilai

I. Output, Input, dan Harga

1. Output (kg) 640.3

2. Input (kg) 1 000

3. Tenaga Kerja (HOK) 1.37

4. Faktor Konversi 0.64

5. Koefisien Tenaga Kerja Langsung (HOK/kg) 0.001

6. Harga Output (Rp/kg) 6 400

7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 50 000

II. Penerimaan dan Keuntungan

8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) 3 125

9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) 542.2

10.Nilai Output (Rp/kg) 4 097.92

11.a. Nilai Tambah (Rp/kg) 430.72

b. Rasio Nilai Tambah (%) 10.51

12.a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/kg) 68.75

b. Pangsa Tenaga Kerja Langsung (%) 15.96

13.a. Keuntungan (Rp/kg) 361.97

b. Tingkat Keuntungan (%) 84.03

III. Balas jasa Pemilik Faktor - Faktor Produksi

14. Marjin (Rp/kg) 972.92

a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) 7.06

b. Sumbangan Input lain (%) 55.72

c. Keuntungan Pemilik Pengolahan (%) 37.20

Pada Tabel 12, hasil perhitungan nilai tambah produk beras pada

penanganan pascapanen dengan penundaan pemanenan 6 hari sebesar

Rp430.72/kg sedangkan untuk persentase rasio nilai tambah yang dihasilkan

untuk satu kali produksi sebesar 10,51%, nilai koefisien tenaga kerja diperoleh

dari pembagian jumlah total hari kerja untuk satu kali produksi dengan jumlah

bahan baku yang digunakan untuk satu kali produksi. Nilai koefisien tenaga kerja

diperoleh sebesar 0.001 2HOK/kg. Upah tenaga kerja didasarkan upah harian

yang diterima masing-masing tenaga kerja bagian produksi yang terlibat langsung

dalam kegiatan penanganan pascapanen padi menjadi beras. Upah yang diterima

tenaga kerja bagian produksi per hari sebesar Rp50 000 per orang. Besar kecilnya

proporsi tersebut tidak berkaitan dengan imbalan yang diterima tenaga kerja

(dalam rupiah). Besar kecilnya imbalan tenaga kerja tergantung pada kualitas

tenaga kerja itu sendiri seperti keahlian dan keterampilan. Kualitas bahan baku

juga berpengaruh terhadap distribusi nilai tambah apabila dilihat dari produk

akhir. Jika faktor konversi bahan baku terhadap produk akhir semakin lama

semakin kecil, artinya pengaruh kualitas bahan baku semakin lama semakin

besar.

Page 22: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

44

Menurut Sobichin M (2012) mayoritas petani menjual hasil panen mereka

kepada pedagang pengumpul dengan sistem tebasan. Sistem penjualan dengan

tebasan merupakan cara pembelian yang tidak transparan yang mana petani

menjual hasil panen mereka di sawah tanpa mengetahui jumlah produksi gabah

dari hasil panen. Dalam hal ini petani tidak melakukan pemanenan, pemanenan

dilakukan oleh pedagang pengumpul setelah ada kesepakatan harga pembelian

Sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi di bidang sarana pascapanen

serta meningkatnya kebutuhan sarana pascapanen oleh petani, di sisi lain harga

sarana pascapanen yang umumnya masih belum terjangkau petani, maka

pemerintah berupaya memfasilitasi kebutuhan tersebut melalui Bantuan Sarana

Pascapanen.

Tabel 13 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen dengan Penundaan

Pemanenan Selama 10 Hari untuk Satu Kali Produksi

Variabel Nilai

I. Output, Input, dan Harga

1. Output (kg) 633.8

2. Input (kg) 1 000

3. Tenaga Kerja (HOK) 1.37

4. Faktor Konversi 0,63

5. Koefisien Tenaga Kerja Langsung (HOK/kg) 0.001

6. Harga Output (Rp/kg) 6 150

7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 50 000

II. Penerimaan dan Keuntungan

8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) 3 050

9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) 542,2

10.Nilai Output (Rp/kg) 3 897

11.a. Nilai Tambah (Rp/kg) 305.67

b. Rasio Nilai Tambah (%) 7.84

12.a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/kg) 68.75

b. Pangsa Tenaga Kerja Langsung (%) 22.49

13.a. Keuntungan (Rp/kg) 236.92

b. Tingkat Keuntungan (%) 77.50

III. Balas jasa Pemilik Faktor - Faktor Produksi

14. Marjin (Rp/kg) 847.87

a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) 8.10

b. Sumbangan Input lain (%) 63.94

c. Keuntungan Pemilik Pengolahan (%) 27.94

Perhitungan nilai tambah ekonomi pada penelitian ini menggunakan metode

Hayami, yaitu diketahui besarnya nilai tambah produk beras yaitu Rp305.67/kg

sedangkan rasio nilai tambahnya diperoleh dari perbandingan antara nilai tambah

dengan nilai produk (Tabel 13). Rasio nilai tambah yang diperoleh pada

penundaan 10 hari yaitu 7.84%. kategori rasio nilai tambah pada penundaan

proses pemanenan selama 10 hari adalah kategori nilai tambah rendah. Menurut

Syahza (2003) disparitas antara harga gabah dan beras yang tinggi merupakan

Page 23: HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ... - repository.ipb.ac… · dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan.

45

akibat dari panjangnya rantai distribusi komoditas pertanian. Keadaan ini akan

menyebabkan besarnya biaya distribusi (marjin pemasaran yang tinggi), serta ada

bagian yang harus dikeluarkan sebagai keuntungan pedagang. Kendati pada

umumnya petani tidak terlibat dalam rantai pemasaran produk, sehingga nilai

tambah pengolahan dan perdagangan produk pertanian hanya dinikmati oleh

pedagang. Hal ini cenderung memperkecil bagian yang diterima petani dan

memperbesar biaya yang harus dibayarkan oleh konsumen. Rasio nilai tambah

dapat digolongkan menjadi tiga kelas, yaitu dikatakan memiliki nilai tambah

rendah apabila nilai rasio <15%, nilai tambah sedang apabila nilai rasio antara

16-40 %, dan nilai tambah tinggi apabila nilai rasio >40%.

Pengusaha penggilingan padi umumnya belum mengejar target mutu dan

masih mengutamakan hasil utamanya yaitu beras giling saja. Kualitas beras yang

tinggi akan meningkatkan daya saing maupun nilai tawar dari beras itu sendiri.

Kondisi iklim Indonesia dimana suhu tinggi yang diikuti dengan kelembaban yang

tinggi menjadi faktor pendorong terjadinya kerusakan beras. Penanganan

pascapanen padi harus memperhatikan titik kritis setiap kegiatan proses yang

memberikan andil besar terhadap terjadinya susut hasil dan terjadinya penurunan

kualitas gabah/beras (Sutrisno 2007; Nugraha S 2012).