HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian Kondisi … · PNPM Mandiri Perdesaan yang disebut...

55
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian Kondisi Geografis dan Administrasi Kelurahan Kenanga terletak di Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Jarak dengan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon kurang lebih 2 km. Jarak dengan ibu kota provinsi kurang lebih 120 km dan jarak dengan ibu kota negara mencapai 220 km. Dilihat dari batas wilayah Kelurahan Kenanga berbatasan dengan desa atau kelurahan sebagai berikut: Sebelah Utara : Desa Kejuden Kecamatan Depok Sebelah Timur : Kelurahan Tukmudal Kecamatan Sumber Sebelah Selatan : Desa Sindang Jawa Kecamatan Dukuhpuntang Sebelah Barat : Desa Karang Wangi Kecamatan Depok Luas wilayah Kelurahan Kenanga mencapai 186,65 ha. Dilihat dari peruntukkan lahan, terdiri dari berbagai peruntukkan yaitu sebagai berikut: Jalan : 9,33 ha Sawah dan Ladang : 139,98 ha Bangunan Umum : 1,86 ha Pemukiman/perumahan : 31,75 ha Pemakaman : 3,73 ha Secara administratif pembagian wilayah, Kelurahan Kenanga terdiri dari tujuh RW dan 25 RT. Setiap RT terbagi menjadi beberapa blok atau kampung. Pembagian wilayah ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Pembagian wilayah RW Jumlah RT Blok yang Tergabung 01 4 RT Karang Gayam dan Blok Desa 02 3 RT Pesantren, Lebak Jambu dan Karang Mingkrik 03 4 RT Tengah dan Jorogan 04 3 RT Lebak dan Kedung Mara 05 3 RT Kenanga Sari, Tuan Rante dan Tanjung Sari 06 5 RT Palsanga, Kranten, Jamsari dan Pontas 07 3 RT Cigugur dan Warung Kidul Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010

Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian Kondisi … · PNPM Mandiri Perdesaan yang disebut...

59

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Obyek Penelitian

Kondisi Geografis dan Administrasi

Kelurahan Kenanga terletak di Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon

Provinsi Jawa Barat. Jarak dengan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon kurang

lebih 2 km. Jarak dengan ibu kota provinsi kurang lebih 120 km dan jarak dengan

ibu kota negara mencapai 220 km. Dilihat dari batas wilayah Kelurahan Kenanga

berbatasan dengan desa atau kelurahan sebagai berikut:

• Sebelah Utara : Desa Kejuden Kecamatan Depok

• Sebelah Timur : Kelurahan Tukmudal Kecamatan Sumber

• Sebelah Selatan : Desa Sindang Jawa Kecamatan Dukuhpuntang

• Sebelah Barat : Desa Karang Wangi Kecamatan Depok

Luas wilayah Kelurahan Kenanga mencapai 186,65 ha. Dilihat dari

peruntukkan lahan, terdiri dari berbagai peruntukkan yaitu sebagai berikut:

• Jalan : 9,33 ha

• Sawah dan Ladang : 139,98 ha

• Bangunan Umum : 1,86 ha

• Pemukiman/perumahan : 31,75 ha

• Pemakaman : 3,73 ha

Secara administratif pembagian wilayah, Kelurahan Kenanga terdiri dari

tujuh RW dan 25 RT. Setiap RT terbagi menjadi beberapa blok atau kampung.

Pembagian wilayah ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Pembagian wilayah RW Jumlah RT Blok yang Tergabung 01 4 RT Karang Gayam dan Blok Desa 02 3 RT Pesantren, Lebak Jambu dan Karang Mingkrik 03 4 RT Tengah dan Jorogan 04 3 RT Lebak dan Kedung Mara 05 3 RT Kenanga Sari, Tuan Rante dan Tanjung Sari 06 5 RT Palsanga, Kranten, Jamsari dan Pontas 07 3 RT Cigugur dan Warung Kidul

Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010

60

Kondisi Demografis

Kondisi demografis terdiri dari jumlah penduduk, jumlah penduduk

menurut jenis kelamin, tingkat pendidikan masyarakat, dan mata pencaharian

masyarakat.

Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga pada tahun 2010 mencapai 7.809

jiwa dengan 1.561 kepala keluarga (KK). Berdasarkan jenis kelamin penduduk

laki-laki 3.946 jiwa dan perempuan mencapai 3.863 jiwa. Adapun tingkat

penyebaran penduduk berdasarkan rukun warga (RW), dapat dilihat pada Tabel 3

berikut ini.

Tabel 3. Penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW

Lokasi Jumlah

Laki-Laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Total (jiwa)

RW 01 684 708 1392 RW 02 683 491 1174 RW 03 527 572 1099 RW 04 410 402 812 RW 05 517 526 1043 RW 06 713 720 1433 RW 07 412 444 856 Jumlah 3946 3863 7809

Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010

Berdasarkan tingkat pendidikan sebagaian besar penduduk Kelurahan

Kenanga berpendidikan sekolah dasar yang mencapai 2.985 orang. Hal ini

menunjukkan bahwa sumberdaya manusia di Kelurahan Kenanga masih rendah.

Sedangkan masyarakat yang pernah mengecap pendidikan tinggi sampai tahun

2010 mencapai 69 orang.

Berdasarkan sebaran tingkat rukun warga dilihat dari tingkat pendidikan

dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Tingkat pendidikan penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW

Lokasi Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Pendidikan Tinggi

RW 01 532 331 177 13 RW 02 449 279 149 9 RW 03 420 261 140 8 RW 04 310 193 103 6 RW 05 399 248 133 8 RW 06 548 341 182 12 RW 07 327 203 109 7 Jumlah 2985 1856 933 69

Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010

61

Dilihat dari jenis mata pencaharian, sebagian besar penduduk Kelurahan

Kenanga berprofesi sebagai buruh yang mencapai 2.244 orang. Sebagaian besar

diserap pada sektor usaha atau industri rotan. Keadaan ini disebabkan tingkat

pertumbuhan industri yang sangat tinggi di wilayah sekitar Kelurahan Kenanga

pada era 90an. Pada tahun tersebut pembangunan pabrik-pabrik di sekitar

Kelurahan Kenanga begitu pesat dengan konsep padat karya.

Perubahan mata pencaharian masyarakat, berimplikasi terhadap kegiatan

ekonomi lainnya seperti halnya di bidang pertanian. Usaha pertanian sekarang ini

hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat dari golongan tua hanya sebagian

kecil saja kelompok muda menjadi petani. Rendahnya masyarakat menggeluti

usaha pertanian dikarenakan tawaran usaha di sekor industri lebih menjanjikan

dan lebih praktis.

Dilihat dalam kajian gender, jumlah masyarakat yang bekerja tidak

didominasi oleh kaum laki-laki. Industrialisasi di bidang usaha rotan, telah

membuka peluang yang sangat luas bagi kaum perempuan untuk bekerja pada

sektor publik. Sebagaian besar mereka bekerja sebagai buruh kasar seperti bagian

ampelas (proses penghalusan produk hasil rotan), packing (mengemas produk

rotan yang sudah jadi).

Adapun tingkat penyebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian atau

pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga berdasarkan mata pencaharian

Lokasi

Jenis Mata Pencaharian atau Pekerjaan

PNS / BUMN Petani Pedagang /

Wiraswasta / Jasa

Buruh

RW 01 11 259 295 355 RW 02 9 237 275 332 RW 03 9 247 287 347 RW 04 8 200 232 280 RW 05 7 187 217 262 RW 06 11 282 327 395 RW 07 7 194 225 273 Jumlah 62 1606 1858 2244

Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010

62

Pelapisan Masyarakat dan Kegiatan PNPM Mandiri

Pelapisan masyarakat adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke

dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan

kelas-kelas rendah. Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan

dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai

sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. (Sorokin dalam

Soekanto 1990).

Pelapisan masyarakat menunjukkan adanya diferensiasi masyarakat.

Dalam konteks masyarakat Kelurahan Kenanga, dipetakan menjadi beberapa

diferensiasi, antara lain; (1). Kelompok alim ulama. (2). Kelompok kaya (3).

Kelompok masyarakat berpendidikan (4). Kelompok masyarakat biasa. Peran dan

kontribusi setiap kelompok bersifat khas dan memiliki keajegan. Artinya setiap

kelas ini memiliki job area tersendiri, khususnya dalam pembangunan

masyarakat.

Dari kelompok yang ada, alim ulama merupakan kelompok yang paling

dihormati dan paling banyak didengar suaranya. Karakter alim ulama di

Kelurahan Kenanga, dibangun sistem trah keluarga. Artinya kelompok ini hanya

muncul dari keluarga tertentu. Di Kelurahan Kenanga terdapat empat keluarga

besar alim ulama dan dominasi simbol-simbol ulama masih dipegang oleh

masyarakat dari empat keluarga tersebut.

Peran ulama di masyarakat cenderung memposisikan diri untuk bidang

pendidikan terutama pendidikan agama baik formal atau informal. Kegiatan

pendidikan lazimnya diselenggarakan di madrasah atau mushola. Mereka

mengelola majelis taklim dan kelompok jam’iyah yang telah eksis sangat lama.

Peran mereka telah menciptakan kultur beragama masyarakat Kelurahan Kenanga

dalam kultur beragama nahdliyin.

Peran alim ulama pada bidang lainnya masih sangat terbatas. Hal ini dapat

dilihat kiprah mereka pada lembaga formal seperti Lembaga Pemberdayaan

Masyarakat Kelurahan (LPMK) masih sangat rendah, termasuk dalam kegiatan

PNPM Mandiri.

Kelompok kedua adalah kelompok masyarakat kaya. Mereka terdiri dari

petani dan pedagang. Kelompok ini memiliki simbol atau ciri gelar keagamaan

63

seperti haji. Karakter mereka dalam pembangunan bersifat reaktif. Bahkan ada

kecenderungan kepedulian mereka terhadap refleksi kemiskinan sangat rendah.

Dalam konteks PNPM Mandiri, peran mereka masih sebatas sebagai

penyedia dana (donatur) dan tidak tidak terlibat secara teknis di lapangan. Salah

satu alasan yang pokok adalah kesibukan. Hal ini menunjukkan kesadaran

kelompok ini, masih bersifat kesadaran naif. Artinya kiprah mereka tidak didasari

atas kepedulian terhadap refleksi kemiskinan masyarakat melainkan akibat

stimuli-stimuli oleh relawan.

Kelompok ketiga adalah masyarakat berpendidikan tinggi. Mereka

memiliki kriteria yaitu gelar akademik yang dimilikinya. Kelompok masyarakat

pendidikan tinggi terpilah dalam dua kelompok yaitu kelompok tua dan muda.

Pembagian kelompok masyarakat pendidikan ini akan memiliki korelasi terhadap

peran mereka dalam pembangunan.

Sementara ini, kelompok masyarakat berpendidikan tinggi memiliki citra

positif dari masyarakat sebagai agen pembangunan. Masyarakat memiliki harapan

yang besar pada kelompok ini, karena mereka diyakini mampu untuk mengelola

berbagai program termasuk PNPM Mandiri. Dalam kegiatan PNPM Mandiri

kelompok masyarakat berpendidikan tinggi terutama dari kalangan muda,

memiliki peran yang sangat besar. Mereka terdistribusi di berbagai elemen yang

menggerakkan PNPM Mandiri salah satunya Badan Keswadayaan Masyarakat

(BKM). Dari 13 anggota BKM enam di antaranya memiliki jenjang pendidikan

tinggi. Selain itu, peran mereka banyak terdistribusi pada Kelompok Swadaya

Masyarakat (KSM). Namun dalam tinjauan kritis, peran mereka masih sebatas

dalam catatan administrasi. Dalam langkah praktis, kelompok masyarakat

pendidikan tinggi belum menunjukkan kinerja sebagai agen pembangunan. Hal ini

bisa terlihat dari kiprah mereka di BKM. Dari enam orang hanya seorang yang

memiliki kiprah yang aktif dalam kegiatan PNPM Mandiri.

Kelompok keempat adalah masyarakat umum yang terdiri dari kelompok

masyarakat yang tidak masuk dalam kriteria ketiga kelompok tadi. Secara

kuantitas, jumlah mereka dalam kegiatan PNPM Mandiri sangat signifikan.

Bahkan peran mereka dalam menggerakkan masyarakat sangat baik, termasuk

64

kontribusi mereka dalam pembuatan dasar-dasar pelaksanaan kegiatan PNPM

Mandiri.

Peran mereka terdistribusi dalam job area yang bervariatif, di antaranya

sebagai relawan yang terlibat dalam berbagai kegiatan PNPM Mandiri. Kegiatan

tersebut antara lain, pemetaan swadaya satu (PS1), pemetaan swadaya dua (PS2),

simpul komunikasi dan rembug-rembug warga. Alasan yang paling mendasar

tingginya peran serta mereka disebabkan ada sebuah harapan besar pada PNPM

Mandiri yaitu perubahan pada diri mereka. Hal ini disebabkan mereka dijadikan

sebagai prioritas pemanfaat pada kegiatan PNPM mandiri.

Diferensiasi masyarakat yang ada, tidak serta merta menimbulkan

polarisasi. Pada pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri, sudah memunculkan

kerangka yang sinergi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang

lainnya. Kondisi ini merupakan sebuah cerminan munculnya tapak-tapak

pembangunan yang berbasis masyarakat (bottom up) di Kelurahan Kenanga.

Sistem Komunikasi Masyarakat

Memaknai sistem komunikasi masyarakat memiliki peubah yang sangat

kompleks. Dalam kajian Lasswell, sebuah sistem komunikasi dapat ditelusuri dari

aspek komunikator, pesan, saluran komunikasi, komunikan dan efek yang

ditimbulkan. Dalam kajian ini, pemaknaan sistem komunikasi dibatasi pada kajian

komunikasi yang bersifat internal masyarakat dan komunikasi dengan unsur

eksternal masyarakat.

Komunikasi internal antar masyarakat lebih banyak dilakukan dengan

komunikasi primer. Hal ini disebabkan sarana-sarana interaksi sosial masyarakat

baik dalam suasana formal maupun informal masih tetap terpelihara. Misalnya

mushola yang tidak hanya difungsikan sebatas tempat beribadah, tapi juga

dijadikan sebagai sarana interaksi sosial antar masyarakat. Begitupun dengan

majelis-majelis taklim, acara-acara keagamaan yang eksistensinya tetap

terpelihara. Ini menunjukkan interaksi sosial antar masyarakat masih kuat yang

menjadikan tingkat kekerabatan masyarakat masih sangat tinggi.

Tingkat kekerabatan yang masih tinggi menjadikan corak saling tolong-

menolong dan gotong-royong masih menjadi warna dalam kehidupan masyarakat.

Hal ini dapat dilihat pada budaya sambatan (meminta bantuan) dalam acara

65

hajatan keluarga, kematian yang masih tetap terpelihara dengan baik. Meski

kekerabatannya masih sangat tinggi bukan berarti tidak ada konflik dalam

masyarakat.

Konflik yang ada dalam masyarakat memiliki dua bentuk yaitu konflik

yang bersifat domestik dan publik. Untuk konflik yang bersifat publik, biasanya

banyak bersentuhan dengan bantuan-bantuan program pemerintah, seperti

penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT), beras untuk miskin (Raskin),

program yang dilaksanakan oleh LPMK dan termasuk kegiatan dalam PNPM

Mandiri. Dari pemetaan dapat disimpulkan bahwa konflik yang bersifat publik

disebabkan distribusi keadilan yang tidak proporsional dan budaya saling

ketidakpercayaan antar komponen masyarakat.

Penajaman tentang komunikasi dengan dunia luar dapat dilihat pada aspek,

media atau gatekeeper, dan tingkat kosmopolitan masyarakat. Media untuk

berinteraksi dengan dunia luar banyak menggunakan sarana media elektronik.

Dalam kaitan ini budaya tutur lebih kuat dibandingkan dengan budaya literasi

dalam akses informasi dengan dunia luar. Hasil pengamatan menunjukkan di RT

01/02 (Blok Pesantren) hanya seorang kepala keluarga yang rutin berlangganan

surat kabar. Begitupun di RT 03/01 (Blok Karang Gayam Selatan), hanya satu

kepala keluarga yang berlangganan surat kabar.

Peran opinion leader atau gatekeeper sebagai penyambung pesan kepada

masyarakat sudah tidak berfungsi. Masyarakat secara mandiri telah mampu

mengakses sumber-sumber informasi.

Penetrasi media massa, diyakini dapat mempersempit ruang interaksi

sosial yang akan menimbulkan perubahan sosial, namun kondisi ini tidak berlaku

secara mutlak pada masyarakat Kelurahan Kenanga. Sementara ini perubahan-

perubahan sosial yang ada pada masyarakat masih dalam batas-batas kewajaran.

Hal ini dapat dilihat masih berfungsinya kontrol sosial antar masyarakat, budaya

saling menolong dan kepekaan sosial yang masih ada.

66

Komunikasi Tingkat Basis Kegiatan PNPM Mandiri

Komunikasi Tingkat Basis dalam Berbagai Dimensi

PNPM Mandiri pertama kali masuk ke Kelurahan Kenanga pada tahun

2006 dengan nama program program P2KP (program penanggulangan kemiskinan

perkotaan). Selanjutnya pada tahun 2009 program ini berganti nama dengan

PNPM Mandiri Perdesaan yang disebut dengan PNPM MP, yang kemudian lebih

banyak disebut sebagai PNPM Mandiri.

PNPM Mandiri memiliki berbagai siklus yang setiap siklus memiliki

kekhasan terhadap aspek komunikasi. Siklus yang ada dalam kegiatan PNPM

Mandiri dapat gambarkan sebagai berikut.

Gambar 7. Siklus kegiatan PNPM Mandiri

Tahap pelaksanaan: • Pembentukan KSM • Pembuatan skala

prioritas • Pembuatan proposal

kegiatan • LPJ

Tahap persiapan: • PS 1 (refleksi

kemiskinan) • PS2 • Pembentukan

kelembagaan

Tahap perencanan: • Legalitas

kelembagaan • Pembuatan PJM

Renta

Tahap evaluasi: Rapat warga tahunan

(RWT)

Dukungan komunikasi

Keputusan RKM

67

Berdasarkan Gambar 7 menunjukkan bahwa kegiatan PNPM Mandiri

memiliki mekanisme proses yang sirkular. Setiap proses terdapat indikator-

indikator kerja yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Untuk mencapai indikator

tersebut diadakan bimbingan oleh fasilitator kelurahan di setiap proses yang ada.

Selain itu, komunikasi antara masyarakat selalu dibangun baik dalam konteks

organisasi maupun individu. Oleh karena itu, komunikasi merupakan bagian

integral kegiatan PNPM Mandiri yang merupakan pilar penting dalam

pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri.

Tahap awal kegiatan PNPM Mandiri adalah rapat kesiapan masyarakat

(RKM). Untuk memahami situasi komunikasi pada siklus PNPM Mandiri di

Kelurahan Kenanga dapat dilihat pada matriks berikut.

Tabel 6 Matriks situasi komunikasi pada kegiatan rapat kesiapan masyarakat kegiatan PNPM Mandiri

No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku Komunikasi • Masyarakat

• Fasilitator • Aparat kelurahan

2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif dalam hal ini masyarakat diberikan pilihan untuk menerima atau menolak kegiatan P2KP.

• Linier dalam hal ini masyarakat diberikan pelatihan untuk menjalankan siklus-siklus PNPM Mandiri.

3 Bentuk Kegiatan • Rembug warga • Rekruitmen relawan

4 Output • Adanya persetujuan masyarakat terhadap kegiatan P2KP

• Terbentuknya tim relawan yang akan menjalankan siklus-siklus PNPM Mandiri.

• Terbentuknya kesadaran dan refleksi kemiskinan.

• Terbentuknya kesetiakawanan sosial masyarakat.

Pada kegiatan RKM dilihat pada tingkat partisipasi dari sisi gender banyak

didominasi oleh kelompok perempuan. Hal ini dapat dilihat dari proporsi relawan

yang direkrut dalam RKM yang kebanyakan perempuan.

Dalam kegiatan RKM terdapat catatan penting mengenai sinergitas

hubungan antara masyarakat dengan pihak Pemerintah Kelurahan Kenanga. Pada

saat itu pihak Kelurahan Kenanga kurang merespon positif kegiatan P2KP yang

68

dapat dilihat dari dukungan fasilitas Pemerintah Kelurahan Kenanga, yang tidak

maksimal. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh STR mantan koordinator

relawan berikut ini.

“Informasi yang saya dapatkan seolah-olah pihak kelurahan dalam hal ini Lurah Kenanga pada saat itu tidak merespon apa yang menjadi keinginan masyarakat. Namun untuk persoalan tersebut sudah menjadi ranah antara fasilitator kelurahan, koordinator kota, penanggung jawab operasional kecamatan (PJOK) dan satuan kerja kabupaten (Satker Kabupaten).”

Setelah adanya pakta integritas masyarakat terhadap kesiapan pelaksanaan

kegiatan, dan terbentuknya relawan, kegiatan PNPM Mandiri dilanjutkan dengan

siklus persiapan. Untuk memahami situasi komunikasi pada siklus tahap persiapan

dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 7. Matriks situasi komunikasi pada fase persiapan kegiatan PNPM Mandiri

No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku Komunikasi • Relawan

• Fasilitator 2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada

kegiatan pemetaan swadaya satu (PS1) dan pemetaan swadaya dua. (PS2)

• Linier dalam hal ini relawan diberikan pelatihan dalam melaksanakan kegiatan PS1 dan PS2.

3 Bentuk Kegiatan • Rembug warga dalam membuat batasan atau refleksi kemiskinan (kegiatan PS1)

• Kegiatan PS2 yaitu pembuatan data kuantitatif dan kualitatif dari hasil refleksi kemiskinan yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga.

• Pembentukan kelembagaan masyarakat yang menjalankan kegiatan PNPM Mandiri.

4 Output • Adanya refleksi kemiskinan yang sesuai dengan situasi yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga.

• Adanya data-data kuantitatif dan kualitatif tentang kondisi kemiskinan yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga.

• Terbentuknya Badan Keswadayaan Masyarakat.

Pada fase persiapan titik tolak kegiatan komunikasi pada lebih ditujukan

sebagai sarana untuk menstimuli kepekaan masyarakat terhadap kemiskinan yang

diharapkan munculnya sebuah langkah strategis yang bersifat swakelola, dan

swadaya dalam penanggulangan kemiskinan.

69

Kegaiatan yang dilakukan pada siklus tahap persiapan dapat digambarkan

sebagai berikut.

Gambar 8. Alur kegiatan PNPM Mandiri fase persiapan.

Pemetaan swadaya satu berupa refleksi kemiskinan dan pembuatan konsep

kemiskinan berdasarkan keadaan terkini masyarakat Kelurahan Kenanga.

Pemetaan swadaya dua yaitu mengimplementasikan PS1 yaitu dengan melakukan

pendataan kondisi-kondisi masyarakat, termasuk di dalamnya identifikasi

pemanfaat PNPM Mandiri.

Berdasarkan penelusuran lapangan data hasil PS2 tingkat akurasinya

sangat rendah terutama pada persoalan data pemanfaat program. Data-data yang

ada pada PS 2 banyak ketidakcocokan dengan kondisi yang ada. Salah satunya

banyak warga dari kelompok non miskin menjadi pemanfaat program.

Ketidakakurasian data ini dapat disebabkan beberapa faktor. Pertama, pemahaman

para relawan terhadap batas-batas kemiskinan (refleksi kemiskinan) yang tidak

dipahami dengan baik. Kedua, adanya persepsi bahwa kegiatan PS2 adalah

kegiatan pendataan masyarakat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Suasana ini bisa dipahami karena momen kegiatan PS2 berbarengan dengan

program-program pemerintah yang bersifat charity seperti halnya bantuan

langsung tunai dan kompensasi pemerintah kepada masyarakat berkaitan konversi

minyak ke gas.

Kegiatan PS 1

Kegiatan PS 2

Pembentukan Kelembagaan BKM

Hasil RKM

70

Ketidakakuratan data PS2 memiliki berbagai implikasi, di antaranya

pembuatan program jangka menengah (PJM), rencana tahunan (Renta) yang pada

akhirnya terdapat program-program yang tidak tepat sasaran.

Setelah kegiatan PS2 selesai, kegiatan dilanjutkan dengan pembentukkan

kelembagaan masyarakat dalam hal ini Badan Keswadyaan mayarakat (BKM).

BKM dipilih dengan mekanisme demokrasi. Setiap warga berhak mencalonkan

diri sebagai anggota BKM.

Kegiatan pembentukan kelembagaan dilakukan oleh panitia yang direkrut

dari para relawan. Sebelum pelaksanaan pemilihan, panitia diberikan pembekalan

dan diadakan sosialisasi kepada masyarakat.

Sosialisasi kepada masyarakat lebih cenderung dengan menggunakan

komunikasi sekunder dalam bentuk pamflet dan stiker yang dipasang pada

tempat-tempat strategis. Pendekatan komunikasi primer, dalam bentuk rembug

warga tidak dilaksanakan secara maksimal. Konsekuensi pendekatan sosialisasi

seperti ini menjadikan tingkat pemahaman masyarakat pada BKM menjadi tidak

terarah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kualitas pemahaman anggota-anggota

BKM priode 2007-2009 yang rendah terhadap tugas pokok fungsi BKM.

Secara teknis, pembentukan kelembagaan dapat digambarkan pada

Gambar 9 berikut ini.

Gambar 9. Alur pembentukan kelembagaan BKM

Pemilihan tingkat RT

Pemilihan tingkat kelurahan

Masyarakat pada tingkat RT, memilih perwakilan RT untuk dikompetisikan pada tingkat kelurahan.

Mekanisme pemilihan ini bisa dengan rembug warga atau pemilihan. Setiap warga berhak untuk

mencalonkan diri untuk menjadi perwakilan RT pada pemilihan tingkat kelurahan. Calon dari tiap RT yang

akan diikutkan dalam pemilihan tingkat kelurahan berjumlah minimal 7 orang.

Perwakilan dari tiap RT, akan dikompetisikan pada kegiatan pemilihan di tingkat kelurahan yang mengambil 13 orang sebagai anggota BKM. Pada kegiatan ini hak

pilih dan memilih adalah anggota perwakilan RT. Syarat sah pemilihan manakala dihadiri tiga perempat

perwakilan RT.

Berdirinya kelembagaan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)

BKM membuat legal formal pendirian kelembagaan dan AD ART dan membentuk unit-unit kerja yang terdiri dari Unit Pengelola Lingkungan (UPK), Unit Pengelola Sosial

(UPS) dan Unit Pengelola Keuangan (UPK).

71

Secara anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, anggota BKM Pondok

Pari Bangkit dipilih untuk masa bakti dua tahun. Berdasarkan penggalian data di

lapangan, kualitas SDM anggota BKM sangat rendah. Hal ini bisa dilihat dari

berbagai sudut pandang dan yang paling sederhana adalah kiprah anggota dalam

organisasi yang masih rendah. Dari 13 anggota BKM di antara dua priode ini

maksimal hanya 3 orang setiap priodenya yang memiliki kiprah yang aktif.

Rendahnya kualitas SDM BKM Pondok Pari Bangkit disebabkan berbagi

faktor. Pertama mekanisme pemilihan yang memberikan peluang seluas-luasnya

bagi siapa saja untuk dapat mencalonkan diri menjadi anggota BKM. Pola

pemilihan seperti seperti hanya mendapatkan anggota-anggota BKM berdasarkan

ketokohan atau kefiguran. Hal ini menjadikan BKM hanyalah kumpulan para

tokoh-tokoh masyarakat yang tingkat kompetensi dalam melaksanakan program

masih diragukan. Kedua pola organisasi BKM yang sangat berbeda antara filosofi

organisasi dan teknis operasi organisasi. Secara filosofi BKM merupakan

organisasi sosial yang berbasis keswadayaan, tetapi pada pelaksanaan organisasi

harus dijalankan dengan profesionalisme yang menuntut waktu, tenaga, pikiran

dan biaya yang tidak sedikit.

Ketimpangan antara filosofi dan teknik operasi organisasi, menjadikan

suasana organisasi tidak dapat berjalan dengan baik. BKM hanya bekerja sesuai

siklus-siklus yang telah ditentukan oleh regulator. Keadaaan ini menjadikan

kegiatan di BKM bersifat stagnan. Keadaan ini juga berlaku pada unit-unit yang

ada pada BKM, terkecuali unit pengelola keuangan (UPK).

Setelah terbentuknya kelembagaan BKM siklus berikutnya adalah

pembuatan perencanaan dalam bentuk program jangka menengah (PJM) dan

rencana tahunan (Renta). Sumber dalam membuat perencanaan program kerja

adalah data dari PS2. Pada pelaksanaannya tim perumus PJM tetap harus

membuat verifikasi data PS2 berdasarkan input dari masyarakat.

72

Situasi komunikasi dalam tahap perencanaan dapat digambarkan pada

matriks berikut ini.

Tabel 8. Matriks situasi komunikasi pada fase perencanan kegiatan PNPM Mandiri

No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku Komunikasi • Kelembagaan BKM

• Kelembagaan LPMK • Pemerintah Kelurahan

2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada rembug BKM dalam menyususn dokumen PJM dan Renta.

• Linier dalam hal ini anggota BKM diberikan pelatihan dalam menyusun program jangka panjang (PJM) dan rencana tahunan (Renta)

3 Bentuk Kegiatan • Rembug BKM, LPMK dan pihak kelurahan. 4 Output • Dokumen PJM selama 3 tahun

• Dokumen Renta selama 1 tahun • Data pemanfaat program

Pokok pemikiran dalam pembuatan perencanaan kerja BKM adalah

penanggulangan kemiskinan yang meliputi tiga aspek, yaitu di bidang lingkungan

sosial dan ekonomi. Proses siklus pembuatan perencanaan kegiatan BKM dapat

dilihat pada Gambar 10 berikut ini.

Gambar 10. Kegiatan pada fase perencanaan PNPM Mandiri

Pembentukkan tim perumus PJM dan

Renta

Perumusan PJM dan Renta

Tim perumus terdiri dari gabungan lintas lembaga dalam hal ini Lembaga Pemberdayaan Masyarakat

Kelurahan (LPMK) Kenanga, Pemerintahan Kelurahan Kenanga dan Badan Keswadayaan

(BKM) Pondok Pari Bangkit Kelurahan Kenanga.

Memasukkan data-data di PS2 dan data tambahan dari masyarakat (validasi) dalam dokumen PJM dan

Renta yang dituangkan dalam aksi kegiatan

Pengesahan PJM dan Renta

Data-data yang sudah terdokumentasikan di PJM, selanjutnya ditandatangani oleh tim perumus dan

seluruh anggota BKM.

Pelaksanaan Program

73

Secara petunjuk teknis pembuatan PJM dan Renta harus melibatkan

berbagai elemen atau lembaga yang berkepentingan dengan pembangunan di

Kelurahan Kenanga sebagai tim perumus. Hal ini ditujukan untuk menciptakan

sinergitas program antarelemen lembaga yang ada di Kelurahan Kenanga. Dalam

aplikasinya, perumusan PJM dan Renta hanya dilakukan oleh BKM, termasuk

untuk PJM 2010 sampai 2013.

Komunikasi antarlembaga yang berkepentingan dengan pembangunan di

Kelurahan Kenanga, sementara ini tidak dibangun dengan baik. Hal ini

menimbulkan terjadinya tumpang tindih program, antara program dari pemerintah

kelurahan, LPMK dan BKM. Mensikapi keadaan ini BKM Pondok Pari bangkit

telah membangun rintisan komunikasi antarlembaga pemangku kepentingan

pembangunan, salah satunya membuka jalur komunikasi dengan forum

komunikasi RT dan RW Kelurahan Kenanga.

Setelah terbentuknya program kerja, baik jangka menengah dan rencana

tahunan siklus kegiatan PNPM Mandiri berikutnya adalah pelaksanaan kegiatan.

Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok swadaya

masyarakat (KSM).

Situasi komunikasi dalam tahap pelaksanaan dapat digambarkan pada

matriks berikut ini.

Tabel 9. Matriks situasi komunikasi pada fase pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri

No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku

Komunikasi • BKM • KSM • Masyarakat

2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada sosialisasi PJM dan Renta dan sosialisasi swadaya masyarakat

• Linier dalam hal ini KSM diberikan pelatihan dalam melaksanakan program dari tahap proposal sampai penyusunan laporan pertanggungjwaban.

3 Bentuk Kegiatan • Rembug masyarakat. • Pelatihan.

4 Output • Terlaksananya kegiatan sesuai dengan PJM dan Renta • Terlaksananya kegiatan PNPM Mandiri berdasarkan

aturan-aturan.

74

Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri terdiri dari tiga kegiatan yang

meliputi kegiatan bidang lingkungan, sosial dan ekonomi. Pelaksanaan kegiatan

tersebut dapat digambarkan pada Gambar 11 berikut ini.

Gambar 11. Proses kegiatan dalam siklus pelaksanaan

Dari sisi teknis pelaksanaan, pola komunikasi organisasi tidak dibangun

dengan baik. Hal ini dapat dilihat peran-peran KSM yang hanya sebagai pelaksana

lapangan. Untuk pekerjaan pembuatan proposal dan LPJ dibebankan kepada

BKM. Muncul kesan hubungan komunikasi antara BKM dengan KSM adalah

komunikasi transaksional. Hubungan komunikasi terselenggara hanya pada saat

pelaksanaan kegiatan.

Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri setiap tahun harus diadakan review.

Kegiatan ini bertujuan untuk membuat evaluasi-evaluasi selama satu tahun

kegiatan. Aspek-aspek yang direview adalah keuangan, kelembagaan dan program

kerja. Untuk aspek keuangan, selain review internal dilakukan juga audit oleh

pihak auditor independen. Salah satu dasar pembuatan review adalah hasil rapat

warga tahunan (RWT).

Sosialisasi PJM Renta

Pembentukkan dan pengajuan KSM ke

BKM

BKM bersama unit-unit pelaksana melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Setelah sosialisasi diharapkan masyarakat dapat membentuk KSM, dan mengajukan ke BKM.

Pelatihan KSM BKM bersama fasilitator kelurahan memberikan

pelatihan beupa petunjuk teknis pelaksanaan program

Pembuatan proposal

Sosialisasi kepada masyarakat

Pelaksanaan kegiatan

Laporan pertanggungjawaban

(LPJ)

Sosialisasi dalam rangka untuk mendapat dukungan dari masyarakat dalam bentuk partisipasi.

KSM mengajukan usulan program sesuai dengan berita acara penetapan prioritas kegiatan (BAPPUK)

Pelaksanaan kegiatan berbasis partispasi.

LPJ merupakan implementasi akuntabilitas, transparansi lembaga pengelola PNPM Mandiri.

75

RWT dilaksanakan sebagai bentuk komunikasi organisasi antara BKM

dengan masyarakat. Dalam kaitan ini BKM mempertanggungjawabkan kegiatan-

kegiatannya selama satu tahun. RWT juga bagian dari upaya untuk mendapatkan

input-input eksternal berkaitan peningkatan kinerja BKM.

Situasi komunikasi dalam tahap evaluasi dapat digambarkan pada matriks

berikut ini.

Tabel 10. Matriks situasi komunikasi pada fase evaluasi kegiatan PNPM Mandiri

No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan

1 Pelaku Komunikasi

• BKM • Unit-unit kerja BKM • Masyarakat

2 Pola Komunikasi

• Komunikasi partisipatif dalam kaitan ini BKM memberikan kesempatan yang luas pada masyarakat untuk memberikan kritik, saran dan masukan dalam rangka peningkatan kinerja BKM.

3 Bentuk Kegiatan

• Rembug masyarakat.

4 Output • Akuntabilitas dan transparansi kelembagaan BKM • Input masyarakat untuk penguatan kinerja BKM. • Input data kondisi terkini masyarakat (kondisi kemiskinan).

Dalam proses RWT, penyampaian pertanggungjawaban dilakukan oleh

BKM. Dalam hal ini unit-unit pelaksana memberikan progres kegiatan kepada

BKM yang kemudian BKM menyampaikan kepada masyarakat.

Kegiatan RWT dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga

dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini.

Gambar 12. Proses pada evaluasi kegiatan PNPM Mandiri

Kinerja UPK

Kinerja UPL

Kinerja UPS

BKM Masyarakat

76

Telah disebutkan sebelumnya bentuk kegiatan evaluasi adalah Rapat

Warga Tahunan (RWT). Kegiatan ini merupakan momentum untuk melakukan

introspeksi bersama terhadap pelaksana kegiatan PNPM Mandiri.

Pada pelaksanaan RWT partisipasi masyarakat sangat rendah. Dari 150

undangan yang disebarkan, hanya terdapat kurang lebih 30 peserta untuk RWT

tahun 2010. Hal ini sebagaimana yang disampaikan ASP sekretaris BKM Pondok

Pari Bangkit Kelurahan Kenanga.

“RWT merupakan momentum yang tepat khususnya bagi kami BKM tepat bagi kami (BKM) untuk memberikan akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat, namun partisipasi masyarakat untuk hadir masih sangat rendah.”

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam RWT, menunjukkan rendahnya

responsibilitas dan internalisasi terhadap kegiatan PNPM Mandiri. Masyarakat

masih belum memahami bahwa proses kegitan PNPM Mandiri memiliki siklus

kegiatan.

Aplikasi Model Komunikasi Tingkat Basis

Komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri mengisyaratkan proses

komunikasi dengan cakupan luas. Kondisi ini mengundang konsekuensi terhadap

pola komunikasi yang digunakan. Berdasarkan data di lapangan suasana aplikasi

pola komunikasi tingkat basis dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 11. Gambaran suasana aplikasi model komunikasi tingkat basis Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan

Bentuk Komunikasi Bentuk komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenangadilakukan secara primer dan sekunder.

Pola komunikasi Banyak tahap dalam hal ini proses komunikasi antara sumber dan penerima seringkali tidak bisa dilakukan secara langsung (face to face).

Simpul komunikasi Dalam konteks komunikasi primer Ketua RT, tokoh masyarakat di posisikan sebagai simpul komunikasi.

Nuansa komunikasi Komunikasi primer dengan mengandalkan Ketua RT menjadi simpul komunikasi menjadikan kesan proses komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga bernuansa komunikasi birokrasi.

Kredibilitas simpul komunikasi Rendah, hal ini dilihat dari sering terjadinya miscommunication antara BKM dengan masyarakat.

77

Komunikasi tingkat basis (antarmasyarakat) kegiatan PNPM Mandiri

menggunakan berbagai model komunikasi, yaitu partisipatif dan linier. Dilihat

dari arus informasi atau pola komunikasi, khususnya antara BKM dan masyarakat

lebih banyak menggunakan komunikasi banyak tahap.

Pola ini didasarkan pada suatu fungsi sekuensial yang tampaknya bisa

terjadi dalam kebanyakan situasi komunikasi, yang tidak menentukan secara

khusus jumlah tahapan (Mugniesyah 2010). Model komunikasi ini bersumberkan

dari teori komunikasi massa. Dalam kaitan ini antara sumber pertama dengan

sasaran khalayak tidak berhubungan secara langsung. Komunikasi antara

kelompok satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh bridge. Menurut Rogers

dan Kincaid (1981) dalam Saleh (2010), bridge adalah individu yang berperan

sebagai penghubung dan sekaligus menjadi anggota klik

Alasan penggunaan simpul-simpul komunikasi karena cover area atau

penetrasi komunikasi yang cukup luas. Kelurahan Kenanga terdiri dari 25 RT 7

RW dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) mencapai 2.000 KK dengan jumlah

penduduk lebih dari 7.000 jiwa. Hal ini sebagaimana yang disampaikan ASP

Sekretaris BKM Pondok Pari Bangkit Kelurahan Kenanga.

“Di Kelurahan Kenanga terdapat 7 RW, 25 RT dengan 2.000 kepala keluarga (KK). Oleh karena itu, dalam berkomunikasi dengan masyarakat kami lakukan dengan cara membangun simpul-simpul komunikasi. Simpul komunikasi adalah orang yang kita tunjuk sebagai perwakilan yang diharapkan dapat menyebarkan hasil keputusan rembug warga atau informasi kepada masyarakat. Simpul masyarakat diambil dari tiap perwakilan RT yang terdiri dari tokoh masyarakat yang berpengaruh, ketua RT atau relawan.”

Pola komunikasi sekuensial terutama antara BKM dan masyarakat dapat

digambarkan berikut ini.

Gambar 13. Sekuen-sekuen dalam komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga

BKM

Masyarakat

Simpul Komunikasi Simpul Komunikasi Simpul Komunikasi

78

Dalam pelaksanaan komunikasi yang bersifat sekuensial ini, figur simpul

komunikasi adalah masyarakat yang bersifat bridge, yaitu individu yang berperan

sebagai penghubung dan sekaligus menjadi anggota klik. Individu sentral yang

menjadi simpul komunikasi adalah ketua RT termasuk juga tokoh masyarakat atau

relawan.

Ketua RT sebagai simpul utama komunikasi menunjukkan bahwa

pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri masih menggunakan jalur komunikasi

birokrasi. Sementara ini, jalur komunikasi birokrasi di Kelurahan Kenanga

dianggap yang efektif dalam distribusi pesan. Hal ini disebabkan stigma yang

melekat pada masyarakat bahwa pembangunan masih identik dengan birokrasi.

Selain menggunakan simpul-simpul komunikasi kegiatan PNPM Mandiri

di Kelurahan Kenanga menggunakan komunikasi bermedia. Media yang

digunakan adalah media warga dalam bentuk buletin. Nama buletin tersebut

adalah Gema Bangkit yang diterbitkan satu kali dalam satu bulan. Selama proses

penerbitan, kebijakan isi merupakan instruksi atau arahan dari fasilitator

kelurahan. Hal ini menunjukan komunikasi bottom up melalui media warga belum

terbangun.

Buletin Gema Bangkit lebih diarahkan sebagai sarana pencitraan

kelembagaan BKM. Independensi buletin ini belum terbangun dengan baik hal ini

dapat dilihat dari pembiayaan penerbitan buletin yang dibiayai oleh pihak

regulator. Muncul kesan buletin ini sebagai sarana komunikasi antara BKM

dengan regulator bukan sarana komunikasi antara BKM dengan masyarakat.

Buletin Gema Bangkit disebarkan kepada masyarakat dengan cara

dititipkan di tempat strategis seperti toko, kantor kelurahan dan mushola. Buletin

ini diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat dengan jumlah 200 eksemplar

sekali terbit.

Selain buletin, BKM Pondok Pari Bangkit memasang enam buah papan

informasi di tempat-tempat strategis. Papan informasi dilengkapi dengan kotak

saran dan kritik sebagai sarana komunikasi timbal balik antara masyarakat dengan

BKM. Konten dari papan informasi adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan

BKM dan unit-unit kerja.

79

Hasil pengamatan menunjukkan papan informasi tidak dikelola secara

baik. Hal ini dapat dilihat dari updating informasi yang jarang dilakukan oleh

BKM. Updating konten papan informasi dilakukan jika ada instruksi dari

fasilitator.

Dilihat dari kontribusinya, keberadaan media warga di tengah masyarakat

belum memiliki kontribusi dalam diseminasi dan penguatan PNPM Mandiri. Hal

ini dapat dilihat dari respons masyarakat yang sangat rendah dan tidak

berfungsinya media warga sebagai media timbal balik komunikasi antara BKM

dan masyarakat.

Media warga masih belum dianggap penting sebagai sarana komunikasi

pembangunan. Hal ini dikarenakan pola-pola komunikasi dalam masyarakat

cenderung lebih banyak menggunakan pola-pola tutur daripada literasi.

Komunikasi word by mouth dianggap paling efektif dibandingkan dengan

komunikasi bermedia meskipun komunikasi seperti ini sangat rentan dengan

distorsi.

Komunikasi Kegiatan PNPM Mandiri dalam Isu Gender

Pelaksanaan PNPM Mandiri mengisyaratkan adanya keterbukaan pada

semua kelompok masyarakat tanpa harus dibedakan berdasarkan atribut-atribut

yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini

tersubordinasi diberi peluang yang sama dalam partisipasi pembangunan,

termasuk di dalamnya adalah perempuan.

Dalam kaitan isu gender, terlihat berbagai keragaman situasi antara isu-isu

gender dengan fase-fase kegiatan. Pembahasan isu gender akan dibatasi pada

aspek akses, partisipasi, pemanfaatan dan kontrol.

80

Kegiatan PNPM Mandiri diawali dengan rapat kesiapan masyarakat

(RKM). Berdasarkan data di lapangan komunikasi dalam isu gender pada kegiatan

rapat kesiapan masyarakat dapat dilihat pada matriks berikut ini.

Tabel 12. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap rapat kesiapan masyarakat pada kegiatan PNPM Mandiri

No Komunikasi dalam Isu Gender

Rapat Kesiapan Masyarakat

Hasil Amatan

1 Akses Pada kegiatan RKM membuka peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan.

2 Partisipasi Berdasarkan catatan kegiatan RKM dilihat dari jumlah peserta tidak ada perbedaan yang mencolok antara laki-laki dan perempuan.

3 Pemanfaatan RKM dijadikan sebagai sarana atau momentum masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam melakukan perubahan.

4 Kontrol Kontrol dalam kegiatan ini lebih cenderung dilakukan oleh laki-laki. Dalam RKM perempuan bersifat pasif.

Kegiatan RKM dilihat dari aspek komunikasi dalam isu gender tidak ada

perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan. Pada kegiatan ini pihak

Kelurahan Kenanga dan fasilitator kelurahan membuat jejaring kegiatan melalui

pendekatan kewilayahan. Dalam hal ini ketua RT dijadikan mobilisator RKM.

Suasana pada tahap kegiatan RKM akan berbeda dengan situasi fase

persiapan dilihat dari komunikasi dan isu gender. Situasi komunikasi dalam isu

gender pada aspek persiapan dapat dilihat pada matriks berikut ini.

Tabel 13. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap persiapan kegiatan PNPM Mandiri

No Komunikasi dalam Isu Gender

Tahap Persiapan

Hasil Amatan

1 Akses Pada kegiatan RKM membuka peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan.

2 Partisipasi Perempuan mendominasi. Peran mereka dalam fase persiapan sebagai relawan yang ditugasi untuk membuat pemetaan swadaya satu (PS1) dan pemetaan swadaya dua (PS2)

3 Pemanfaatan Perempuan memaksimalkan diri memanfaatkan saluran komunikasi baik yang terselenggara dalam pola partisipatif atau linier. Laki lebih cenderung bersifat pasif.

4 Kontrol Dilihat dari kontrol kegiatan pada tahap persiapan, laki-laki mememgang peranan yang penting dan strategis. Mereka (laki-laki) ditunjuk oleh para relawan (sebagian besar kaum perempuan) sebagai koordinator relawan dan mobilisator. Begitupun dalam kepanitiaan pembentukkan BKM banyak di dominasi oleh laki-laki.

81

Pada fase persiapan, akses komunikasi terbuka untuk semua pihak. Akses

ini pada akhirnya diimplemenasikan dalam bentuk partisipasi. Dari penelusuran di

lapangan partisipasi pada kegiatan ini banyak di dominasi oleh perempuan. Faktor

utamanya adalah perempuan memiliki keluangan waktu yang lebih besar

dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, ada kecenderungan kepekaan dan

kepedulian sosial perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

Partisipasi perempuan dalam kegiatan perencanaan dibagi menjadi dua

kriteria, yaitu mereka yang partisipasi aktif dan pasif. Partisipasi perempuan

dalam tahap persiapan mengalami pasang surut. Untuk tahap-tahap awal kegiatan

partisipasi mereka cukup tinggi, namun pada tahap kegiatan PS2 partisipasi

mereka semakin berkurang. Hal ini disebabkan kegiatan PS2 terlalu menyita

waktu mereka. Kondisi ini menjadikan perbenturan waktu mereka dalam ranah

domestik dan publik. Pada saat ini banyak sekali ditemukan percekcokan keluarga

disebebabkan kegitan ini.

Secara kuantitatif, peran perempuan mendominasi pada kegiatan

perencanaan, namun secara kontrol kegiatan banyak didominasi oleh kelompok

laki-laki. Kaum laki-laki memiliki peran-peran yang strategis seperti halnya

sebagai koordinator relawan dan panitia pemilihan anggota BKM.

Pada kegiatan perencanaan, peran perempuan sangat minim sekali. Hal ini

disebabkan pola pembuatan perencanaan melalui mekanisme organisasi yang

sebagian besar di dominasi oleh kaum laki-laki. Situasi komunikasi dalam isu

gender pada aspek persiapan dapat dilihat pada matriks berikut ini.

Tabel 14. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap perencanaan kegiatan PNPM Mandiri

No Komunikasi dalam Isu Gender

Tahap Persiapan

Hasil Amatan

1 Akses Terbatas bagi laki-laki dan perempuan karena kegiatan ini menggunakan pola-pola organisasi.

2 Partisipasi Laki-laki mendominasi karena kelembagaan yang berwenang membuat perencanaan didominasi oleh laki-laki.

3 Pemanfaatan BKM paling banyak memanfaatkan kegiatan perencanaan.

4 Kontrol Kontrol kegiatan banyak didominasi oleh BKM

82

Pola pembuatan perencanaan kegiatan dalam kegiatan PNPM Mandiri

adalah menggunakan saluran komunikasi organisasi. Dalam hal ini BKM

merupakan leading sector dalam membuat perencanaan. Dalam isu gender,

lembaga BKM didominasi oleh kelompok laki-laki. Berdasarkan catatan yang ada

periode pertama (2007-2009) jumlah perempuan anggota BKM hanya berjumlah

dua orang dan periode kedua (2009-2011) jumlah perempuan anggota BKM

hanya berjumlah satu orang. Salah satu faktor dominan daya tawar politis

perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Dilihat dari partisipasi perempuan di kelembagaan BKM sangat rendah hal

ini dapat dilihat dari partisipasi mereka dalam rembug-rembug BKM. Hal ini

tentunya berkorelasi dengan minimnya peran mereka dalam pembuatan

perencanaan. Pemanfaatan lembaga BKM banyak didominasi oleh laki-laki

termasuk dalam kontrol organisasi.

Pada tingkat pelaksanaan kegiatan, telah mengkrucut kekhasan bidang

masing-masing antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki banyak mendominasi

untuk kegiatan lingkungan sedangkan perempuan untuk bidang sosial dan

keuangan.

Situasi komunikasi dalam isu gender pada aspek persiapan dapat dilihat

pada matriks berikut ini.

Tabel 15. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri

No Komunikasi dalam Isu Gender

Tahap Persiapan

Hasil Amatan

1 Akses Secara prinsip membuka peluang baik laki-laki dan perempuan.

2 Partisipasi Mengkrucut pada bidang kekhasan masing-masing. Laki-laki mendominasi pelaksanaan kegiatan bidang lingkungan, perempuan mendominasi bidang kegiatan sosial dan keuangan.

3 Pemanfaatan Bidang lingkungan dimanfaatkan oleh semua pihak, bidang sosial dan keuangan banyak dimanfaatkan oleh perempuan.

4 Kontrol Kontrol kegiatan lingkungan banyak dilakukan oleh laki-laki dan kegiatan sosial dan keuangan banyak dikontrol oleh perempuan.

Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok swadaya

masyarakat (KSM). Dalam petunjuk teknis representasi jumlah perempuan dalam

KSM minimal 30%. Secara aturan, menunjukkan akses, partisipasi, pemanfaatan

83

dan kontrol memberikan peluang yang sangat positif bagi perempuan. Ditinjau

dari sisi administrasi, kuota perempuan ini sudah terpenuhi. Hampir semua KSM

baik di bidang lingkungan, sosial dan ekonomi, memasukkan daftar perempuan

sebagai anggota KSM. Pada pelaksanaannya, kontrol kegiatan terbagi berdasarkan

kekhasan gender. Pada bidang lingkungan perempuan hanya diposisikan secara

administrasi belaka atau hanya dalam pelaporan, meskipun posisi mereka pada

posisi yang strategis, sebagai bendahara atau pengadministrasi kegiatan.

Kenyataan di lapangan kegiatan-kegiatan di bidang lingkungan banyak

dikendalikan oleh laki-laki baik secara keuangan dan administrasi.

Pada kegiatan sosial dan ekonomi akses, partisipasi, pemanfaatan dan

kontrol didominasi oleh perempuan. Hal ini disebabkan relawan-relawan yang

berkiprah pada kegiatan PNPM Mandiri memiliki pengalaman dalam kegiatan-

kegiatan sosial, seperti kegiatan di pos yandu, kelompok majelis taklim, dan

kegiatan PKK.

Pada fase evaluasi, secara prinsipil membuka kesempatan bagi masyarakat

untuk memberikan kontribusi. Kegiatan evaluasi dimanisfestasikan dalam bentuk

rapat warga tahunan. Secara umum komunikasi dalam evaluasi belum diterapkan

secara proporsional oleh masyarakat. Artinya evaluasi melalui jalur komunikasi

organisasi belum berjalan maksimal. Dalam aspek gender persoalan evaluasi tidak

ubahnya seperti gambaran umum.

Situasi komunikasi dalam isu gender pada aspek evaluasi dapat dilihat

pada matriks berikut ini.

Tabel 16. Matriks komunikasi dalam isu gender pada tahap evaluasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga

No Komunikasi dalam Isu Gender

Tahap Evaluasi

Hasil Amatan

1 Akses Secara prinsip membuka peluang baik laki-laki dan perempuan.

2 Partisipasi Dominasi laki-laki karena selama ini pelaksanaan kegiatan evaluasi belum mengakomodir suasana perempuan. Dalam kaitan ini kegiatan dilaksanakan pada malam hari.

3 Pemanfaatan Kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat

4 Kontrol Kontrol dalam forum lebih dominan laki-laki.

84

Secara umum pelaksanaan komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di

Kelurahan Kenanga banyak didominasi oleh kelompok laki-laki baik secara akses,

partisipasi, pemanfaatan dan kontrol. Keadaan ini disebabkan sistem yang

dibangun tidak mengakomodir suasana diri perempuan. Hal ini terlihat dari

penciptaan iklim komunikasi. Sementara ini, iklim komunikasi yang dibangun

dalam sistem komunikasi kegiatan PNPM Mandiri kurang memperhatikan budaya

waktu perempuan. Kegiatan komunikasi kegiatan PNPM Mandiri, lebih banyak

diselenggarakan pada malam hari. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh

WTM mantan ketua unit pelaksana keuangan berikut ini.

“Pelaksanaan komunikasi pada malam hari sering menjadi hambatan bagi saya. Hal ini disebabkan keberatan suami saya untuk mengikuti rembug warga pada malam hari. Ini berdasarkan penglaman saya, kegiatan rembug warga biasanya memakan waktu sampai larut malam.”

Namun demikian, penciptaan iklim komunikasi bukan dalam rangka untuk

menghalangi kiprah perempuan untuk aktif dalam proses komunikasi kegiatan

PNPM Mandiri. Hal ini semata-mata disebabkan waktu malam hari, merupakan

waktu yang netral untuk semua pihak, karena pada siang atau sore hari terbentur

dari kesibukan masing-masing aktivis. Hal ini sebagaimana yang disampaikan

oleh ASP sekretaris BKM berikut ini.

“Sebenarnya waktu malam hari sudah kami pertimbangkan secara psikologis terutama untuk perempuan. Pensiasatanya adalah dengan mengatur waktu pertemuan warga pukul 19.30 (ba’da isya). Namun karena keterlambatan pelaksanaan yang mencapai satu jam menjadikan rembug warga selesai pada larut malam.”

Penciptaan iklim yang tidak mengakomodir keadaan perempuan secara

tidak langsung menciptakan image negatif masyarakat pada program PNPM Hal

ini sebagaimana pengalaman IMH senior fasilitator tim 10 berikut ini.

“Salah satu permasalahan dalam kegiatan ini adalah partisipasi perempuan. Hampir sebagian besar desa atau kelurahan yang pernah saya dampingi berkultur patriarki, sehingga banyak tentangan ketika perempuan memasuki ranah publik. Hal yang pernah saya rasakan, ada sebagian masyarakat yang menganggap saya, khususnya program PNPM Mandiri telah mengajak perempuan untuk meninggalkan kewajiban sebagai istri (melawan suami), karena mereka sering mengikuti pertemuan-pertemuan warga.”

85

Selain persoalan penciptaan iklim komunikasi, konstruksi sosial

masyarakat Kelurahan Kenanga, belum mengakomodir perempuan secara penuh

peran perempuan dalam ranah publik. Konstruksi sosial seperti ini merupakan

bagian ideologi dan keyakinan yang telah tertanam kuat pada masyarakat

Kelurahan Kenanga.

Meski terdapat hambatan dalam proses komunikasi, tetapi pelaksanaan

kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga sudah menggunakan konsep

gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender (PUG). Hal ini dapat dilihat

dari kiprah perempuan baik sebagai pemanfaat program atau pengelola program.

Gambaran ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 17. Distribusi peran dan pemanfaatn program dalam aspek gender No. Kelembagan Kepengurusan Pemanfaatan

1 BKM Dominasi kepengurusan laki-laki

2 UPL Dominasi kepengurusan laki-laki

3 UPK Dominasi kepengurusan laki-laki

4 UPS Dominasi kepengurusan perempuan

5 KSM bidang lingkungan Dominasi kepengurusan laki-laki Laki-laki dan perempuan

6 KSM bidang pinjaman bergulir

Dominasi kepengurusan perempuan

Perempuan

7 KSM bidang sosial Dominasi kepengurusan laki-laki Perempuan

Dilihat dari kapasitas kehadiran perempuan cenderung bersifat pasif.

Kehadiran perempuan cenderung hanya menjadi pelengkap pertemuan. Ekspresi

perempuan terhadap pandangan pemikiran dan ketidaksetujuan dalam forum

komunikasi lebih banyak disalurkan melalui sarana lain-lain misalnya pertemuan

ibu-ibu PKK, arisan, dan obrolan antar tetangga. Imbas dari dari ekspresi ini

adalah multitafsir terhadap pesan komunikasi yang dapat menimbulkan suasana-

suasana yang tidak sehat.

Fenomena ini dapat ditelusuri dari pandangan Edwin dan Shirley Ardener

(antropolog) tahun 1975 (West & Turner 2008) yang menyatakan bahwa

kelompok yang menyusun bagian teratas dari hirarki sosial menentukan sistem

komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah

seperti kaum perempuan, kaum miskin dan kulit berwarna, harus belajar untuk

86

bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok

dominan.

Dibalik rendahnya kapasitas perempuan dalam kegiatan PNPM Mandiri,

ternyata mereka memiliki kontribusi pada bidang lainnya seperti pembinaan umat.

Hal ini dapat dilihat dari eksistensi kelompok-kelompok pengajian ibu-ibu. Di

Kelurahan Kenanga terdapat 13 kelompok pengajian yang eksis dan terorganisasi

dengan baik.

Selain kelompok pengajian ibu-ibu, eksistensi lembaga-lembaga formal

seperti Fatayat dan Muslimat sebuah lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama

(NU) berjalan dengan baik. Namun kearifan lokal yang dibangun oleh perempuan

ini belum tergarap dengan baik sebagai sarana komunikasi pembangunan.

Internalisasi Kegiatan PNPM Mandiri

Internalisasi program menunjukkan keberhasilan komunikasi program.

Berdasarkan amatan di lapangan menunjukkan bahwa internalisasi program di

masyarakat belum menunjukkan gambaran yang memuaskan hal ini dapat

digambarkan pada tabel berikut ini.

Tabel 18. Matriks gambaran internalisasi program No Obyek Amatan Deskripsi 1 Pencitraan PNPM

Mandiri Bias citra

2 Pemahaman terhadap program

Setiap karakteristik memiliki pemahaman yang berbeda. Data yang paling kontras adalah kelompok rumah tangga miskin (RTM) sebagai sasaran program sedikit sekali mengetahui dan memahami kegiatan PNPM Mandiri.

3 Kesadaran masyarakat

Menuju proses transisi dari kesadaran magis menuju kesadaran naif. Dalam kaitan ini masyarakat sudah menunjukkan untuk merefleksikan keadaan dirinya tapi masih ada sifat fatalis.

4 Partisipasi Masih dalam tahap partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan dalam hal ini BKM dan fasilitator.

Pencitraan Kegiatan PNPM

Internalisasi kegiatan PNPM Mandiri menunjukkan sejauh mana

pemahaman masyarakat terhadap filosofi, konsep dan aplikasi program.

Internalisasi program merupakan umpanbalik dari proses komunikasi. Sebagai

sebuah asumsi semakin tinggi tingkat pengkomunikasian program kepada

masyarakat akan menguatkan internalisasi program kepada masyarakat.

87

Data di lapangan menunjukkan bahwa internalisasi program dalam sudut

pengetahuan masih mengalami bias pencitraan. PNPM Mandiri bagi masyarakat

Kelurahan Kenanga masih dianggap sebagai program temporal yang tidak

ubahnya seperti program-program lainnya yang bersifat spontan dan dilaksanakan

dalam jangka pendek. Hal ini dapat terlihat dari wacana masyarakat Kelurahan

Kenanga yang mengalami pasang surut wacana Kegiatan PNPM Mandiri.

Implikasi dari stigma ini adalah rendahnya masyarakat dalam melakukan

pemberdayaan secara mandiri. Padahal, di Kelurahan Kenanga memiliki kearifan

lokal yang dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat.

Ini dapat dilihat dari budaya-budaya masyarakat Kelurahan Kenanga yang

bercirikan kebersamaan dan saling berbagi. Hal ini terlihat dari budaya sedekah

makaman, sebuah ritual budaya mendoakan orang-orang yang sudah meninggal

dengan saling berbagi makanan. Budaya ngapem (membuat kue apem) pada bulan

Safar (nama bulan pada sistem penanggalan jawa), budaya suraan (membuat

bubur) pada bulan sura (nama bulan pada sistem penanggalan jawa), peringatan

maulid nabi dengan acara pembacaan kitab barjanzi di rumah warga secara

bergiliran, yang semuanya biaya tersebut merupakan swadaya masyarakat.

Berikutnya PNPM Mandiri masih dicitrakan sebagai program parsial yang

hanya terfokus pada satu bidang kegiatan, dalam hal ini kegiatan pembangunan

infrastruktur lingkungan warga. Dalam uji petik pada masyarakat menunjukkan

sebagian besar masyarakat Kelurahan Kenanga mengidentikkan kegiatan PNPM

Mandiri dengan kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan warga. Hal ini

sebagaimana yang disampaikan KDR warga blok Kranten Kelurahan Kenanga

berikut ini.

“Saya hanya mengetahui PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga sebatas pembuatan rabat beton di blok kami. Untuk program-program yang lain saya tidak tahu.”

88

Kondisi ini jelas merupakan kondisi yang kurang terarah kalau

dimasukkan dalam konteks pengentasan kemiskinan. Hal ini sebagaimana yang

diungkapkan oleh IMH senior fasilitator tim 10 berikut ini.

“Memang diakui bahwa nuansa program PNPM Mandiri adalah pembangunan infrastruktur lingkungan warga karena leading sector-nya adalah instansi yang membidangi hal tersebut. Bagi saya pribadi hal ini kurang terarah, karena persoalan kemiskinan substansinya bukan mereka membutuhkan jalan, tapi bagaimana mereka bisa makan, bisa sekolah, bisa mengakses fasilitas kesehatan. Menurut hemat saya dalam kegiatan PNPM Mandiri harus dibentuk sebuah badan khusus setingkat kementerian, supaya pengentasan kemiskinan bersifat komprehensif.”

Terjadinya bias citra kegiatan PNPM Mandiri dalam aspek komunikasi,

disebabkan karena selama ini terpaan-terpaan komunikasi program lebih

memfokuskan pada muatan pesan pelaksanaan kegiatan pembangunan

infrastruktur lingkungan warga.

Hal ini dapat dipahami dalam ranah komunikasi massa yaitu teori agenda

setting. Disebutkan dalam teori ini jika media memberikan tekanan pada suatu

peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya

penting (Combs & Shaw 1972 dalam Effendy 1993).

Teori ini memiliki relevansi dengan kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan

Kenanga karena fakta di lapangan intensitas komunikasi pada tingkat basis lebih

banyak ditujukan untuk keberhasilan kegiatan pembangunan lingkungan. Untuk

bidang kegiatan lainnya tidak dilakukan komunikasi secara intensif.

Internalisasi Berdasarkan Keragaman Karakteristik

Selain persoalan pencitraan, yang menarik berkenaan dalam internalisasi

kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga adalah kelompok masyarakat

rumah tangga miskin sebagai sasaran program sebagian besar tidak tersentuh

informasi program. Ini mengindikasikan akses informasi program bagi kaum

miskin sangat rendah. Terdapat dua faktor dominan rendahnya akses informasi

program pada kelompok masyarakat miskin. Pertama adalah perlakuan

deskriminatif dalam distribusi informasi. Hal ini dapat dilihat pada acara-acara

rembug warga. Biasanya daftar urut prioritas undangan rembug warga adalah dari

89

kalangan masyarakat menengah ke atas. Hal ini sebagaimana yang disampaikan

STR anggota KSM Sakura berikut ini.

“Hampir sebagian besar dalam rembug warga di RT manapun pertama kali yang diajak bicara adalah tokoh masyarakat dan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Ini semata-mata untuk mendongkrak perolehan swadaya masyarakat, karena pola dalam pembiayaan kegiatan PNPM Mandiri adalah 30% dibiayai melalui swadaya masyarakat.”

Kedua, munculnya sifat fatalis dari kelompok masyarakat miskin itu

sendiri. Ada perasaan bagi masyarakat miskin bahwa program apapun tidak

memiliki efek yang signifikan terhadap perubahan nasib hidup mereka. Sifat

fatalis ini terdoktrinasi kuat dalam kelompok rumah tangga miskin. Fenomena ini

terjadi disebabkan mereka telah termarjinalkan dalam berbagai program-program

pemerintah. Hal ini sebagaimana yang disampaiakan oleh SBA warga blok

Pesantren Kelurahan Kenanga:

“Bagi saya program apa pun hampir tidak memiliki pengaruh terhadap perubahan nasib saya. Selama ini saya jarang tersentuh (sebagai pemanfaat) program, misalnya bantuan tunai langsung (BLT), asuransi kesehatan miskin (Askeskin), bahkan bedah rumah tidak layak huni (rutilahu) pun gagal, padahal rumah saya sudah dijanjikan untuk direhab.”

Hal ini menunjukkan simpul-simpul komunikasi dalam hal ini lembaga RT

belum membangun komunikasi dialogis pada tingkat basis. Lembaga RT belum

berfungsi sebagai agen perubahan, yang memperjuangkan kepentingan semua

pihak. Fungsi lembaga RT masih sebatas mengurus administratif kependudukan,

yang mendukung terlaksananya jalannya pemerintahan. Pihak Kelurahan Kenanga

tidak bisa menginstruksikan atau mengintervensi agar peran lembaga RT lebih

luas lagi dalam kaitan ini sebagai agen perubahan. Alasannya adalah tidak ada

dana operasional lembaga RT. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh

MSRKN sekretaris Kelurahan Kenanga berikut ini:

“Kami dari pemerintahan Kelurahan Kenanga tidak bisa berharap banyak agar peran ketua RT lebih luas, terlebih lagi sebagai agen perubahan. Pijakan dasar menjadi ketua RT adalah kerja sosial. Pemerintah sendiri tidak memiliki dana taktis untuk kegiatan lembaga RT. Artinya dalam hal ini kami tidak bisa menuntut banyak dari ketua RT.”

90

Secara teoritis persoalan kemiskinan yang terjadi pada SBA menunjukkan

adanya strukturalisasi kemiskinan. Hal sebagaimana yang disampaikan oleh kaum

teori demokrasi sosial yang memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan

individual, melainkan struktural. (Suharto 2005). Hal ini senada dengan pendapat

yang disampaikan oleh Mariana dan Purnama (2005) yang menyebutkan bahwa

kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk

dalam arti kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan,

tetapi juga kemiskinan identitas, informasi, akses, partisipasi dan kontrol.

Dari keragaman karakteristik, masyarakat ekonomi kelas menengah dan

tokoh masyarakat lebih mengetahui dan memahami kegiatan PNPM Mandiri

dibandingkan dengan masyarakat dari rumah tangga miskin. Hal ini dikarenakan

mereka lebih banyak diajak berkomunikasi baik oleh simpul komunikasi maupun

oleh pengurus BKM. Dengan dibangunnya komunikasi diharapkan muncul

kepedulian mereka terhadap fenomena kemiskinan yang ada di masyarakat.

Kecenderungannya peran mereka sangat pragmatis, yaitu dengan

memposisikan diri mereka sebagai penyandang dana atau donatur Hal ini

sebagaimana yang disampaikan SKR seorang pengusaha dari blok Pesantren

Kelurahan Kenanga berikut ini.

“Secara langsung keterlibatan saya dalam rembug warga sangat jarang, karena kesibukan mengurus usaha. Informasi PNPM Mandiri saya terima dari KSM yang menyampaikan proposal permohonan bantuan swadaya. Selama ini kalau saya dapat membantu pasti saya akan membantu kegiatan kemasyarakatan, namun untuk mengurus sampai detail saya belum bisa meluangkan waktu untuk itu.”

Pada sisi tokoh masyarakat mereka lebih memainkan peran sebagai

motivator. Kebanyakan dari tokoh masyarakat memfungsikan dirinya sebagai

mobilisator masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Hal ini sebagaimana yang

disampaikan DMYT seorang ulama warga blok Pesantren Kelurahan Kenanga

berikut ini.

“Selama pelaksanaan PNPM secara teknis detail saya tidak terlibat, biarlah yang muda-muda saja yang bergerak, saya selaku orang tua, hanya bisa memberikan restu dan membantu panitia untuk menggerakan warga masyarakat.”

91

Dari sisi gender, kebanyakan mereka yang mengetahui dan memahami

PNPM Mandiri adalah perempuan pemanfaat dana pinjaman bergulir. Dari data

yang ada menunjukkan sebagian besar pemanfaat dana pinjaman bergulir adalah

perempuan atau sebesar 58 persen. Pengetahuan mereka terhadap PNPM Mandiri

muncul setelah mereka menjadi pemanfaat langsung kegiatan. Hal ini

sebagaimana yang disampaikan IPH salah satu ketua KSM pinjaman dana bergulir

berikut ini.

“Sebelumnya saya tidak pernah mendengar adanya program PNPM Mandiri, karena selama pelaksanaan program wilayah di mana saya tinggal tidak pernah masuk kegiatan. Saya mengetahui adanya program PNPM setelah adanya informasi pinjaman bergulir dari ketua RT.”

Selain pemanfaat pinjaman bergulir, perempuan yang memiliki

pemahaman PNPM Mandiri adalah para aktivis perempuan yang langsung

bersentuhan dengan kegiatan PNPM Mandiri. Mereka terdiri dari para pengurus

baik di BKM, unit pelaksana, anggota KSM dan relawan.

Masyarakat Kelurahan Kenanga secara konseptual masih awam terhadap

PNPM Mandiri. Namun substansi pelaksanaan program sudah ada pencerahan

yang positif. Hal ini dilihat dari partisipasi yang antusias dari masyarakat yang

dibuktikan pencapaian program kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan

warga yang mengalami kenaikan volume yang signifikan dari target yang

diberikan oleh BKM.

Pengarusutamaan Gender Kegiatan Pinjaman Bergulir

Kegiatan Pinjaman Bergulir di Kelurahan Kenanga

Pelaksanaan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga pertama kali

digulirkan pada bulan Desember 2009. Sasaran utama pelaksanaan kegiatan

pinjaman bergulir adalah rumah tangga miskin di wilayah desa/kelurahan dimana

LKM/BKM berada, khususnya warga miskin yang sudah tercantum dalam daftar

warga miskin (hasil pemetaan swadaya atau PS2).

Sejak diluncurkan pada bulan Desember 2009 hingga Desember 2010 atau

dalam kurun waktu satu tahun telah tercatat 225 pemanfaat atau nasabah.

Pemanfaat ini tersebar di 23 Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Adapun

92

dana yang telah digulirkan kepada masyarakat per Desember 2010 mencapai Rp.

114.350.000 (seratus empat belas juta tiga ratus lima puluh ribu).

Kegiatan pinjaman bergulir melibatkan beberapa elemen. Elemen-elemen

tersebut adalah:

1. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Tugas BKM pada pelaksanaan

kegiatan adalah membentuk unit sebagai pengelola dalam hal ini adalah Unit

Pengelola Keuangan (UPK). Perangkat kerja UPK diangkat dan diberhentikan

oleh BKM berdasarkan musyawarah. Selanjutnya BKM berdasarkan rembug

warga menentukan besaran jasa/bunga serta besaran insentif pengelola dan

aturan-aturan pelaksanaan kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi

masyarakat setempat termasuk memiliki kewenangan memberikan persetujuan

atau penolakan atas ajuan pinjaman Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)

berdasarkan masukan dari UPK.

2. Unit Pengelola Keuangan (UPK). UPK adalah unit di bawah BKM yang

bertugas menjalankan kegiatan secara teknis, dimulai dari pengajuan usulan

KSM, sampai melakukan penerimaan setoran.

3. Dewan Pengawas Keuangan (DPK). DPK merupakan elemen yang

independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan secara

keseluruhan.

4. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), adalah kelompok pemanfaat

pinjaman bergulir.

Secara petunjuk teknis berdasarkan aturan-aturan regulator kegiatan

pinjman bergulir adalah sebagai berikut:

1. Pengajuan pinjaman dilakukan secara kelompok yaitu KSM.

2. KSM mengajukan usulan pinjaman yang disertai dengan surat keterangan dari

ketua RT.

3. Setiap pinjaman tidak terdapat agunan.

4. Nominal pinjaman yang diberikan nilainya beragam. Untuk peminjam awal

jumlah pinjaman maksimal Rp. 500.000/orang. Peminjaman yang bersifat

repeat order maksimal diberikan pinjaman Rp. 1.000.000/ orang.

5. KSM dibebankan biaya swadaya untuk pengadaan sarana kegiatan

peminjaman, seperti untuk pengadaan kartu pinjaman, bukti setoran, dll.

93

6. Lamanya masa kredit adalah 10 bulan.

7. Uang jasa dari pinjaman ditetapkan sebesar 2% per bulan.

8. Setiap peminjam diwajibkan membuka tabungan awal sebesar Rp. 25.000

untuk pinjaman Rp. 500.000 dan Rp. 50.000 untuk pinjaman Rp. 1.000.000.

9. Setiap bulan peminjam wajib melakukan setoran dengan membayar hutang

pokok, uang jasa dan simpanan wajib bulanan. Untuk pinjaman Rp. 500.000,

hutang pokok yang dibayarkan Rp. 50.000, dengan uang jasa Rp. 10.000, serta

simpanan wajib bulanan Rp. 2.500. Total yang disetorkan adalah Rp. 62.500.

Sedangkan untuk pinjaman yang bernilai 1.000.000, hutang pokok yang

dibayarkan Rp. 100.000, dengan uang jasa Rp. 20.000, serta simpanan wajib

bulanan Rp. 5.000. Total yang disetorkan adalah Rp. 125.000.

10. Pada masa akhir kredit atau pinjaman setoran tabungan awal dan setoran wajib

bulanan akan dikembalikan lagi ke peminjam dengan melihat aspek besaran

tunggakan.

Beberapa catatan penting pelaksanaan pinjaman bergulir di Kelurahan

Kenanga adalah sebagai berikut:

1. Belum ada aturan tertulis di perjanjian akad kredit mengenai peminjam yang

meninggal selama masa pinjaman belum selesai. Apakah pinjaman akan

diputihkan atau diteruskan kepada ahli warisnya. Termasuk juga peminjam

yang mengalami kecacatan permanen.

2. Belum ada aturan yang tertulis di perjanjian akad kredit berkenaan dengan

penambahan masa waktu pinjaman.

3. Tingkat selektivitas UPK terhadap calon peminjam tidak ada. Hal ini dapat

dilihat banyak sekali peminjam bukan dari kelompok rumah tangga miskin

(RTM) atau yang mereka terdata pada pemetaan swadaya tahap 2 (PS 2).

Kondisi ini menjadikan sasaran program tidak terarah dengan baik.

Isu Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri

Untuk menganalisis kegiatan pembangunan dalam aspek gender, dapat

dianalisis konsep isu gender. Isu gender dalam pembangunan terdiri dari: akses,

partisipasi, manfaat dan kontrol (Depdagri dan LAN RI 2007). Untuk melihat isu

gender dalam kegiatan pinjaman bergulir program PNPM Mandiri di Kelurahan

Kenanga dapat dilihat pada tabel berikut ini.

94

Tabel 19. Isu gender pada dalam kegiatan pinjaman bergulir No Isu Gender Hasil Amatan 1 Akses Pinjaman bergulir membuka peluang bagi kelompok manapun

terutama dari masyarakat miskin. 2 Partisipasi Partisipasi dalam kegiatan pinjaman bergulir dapat dilihat dari peran

masyarakat ditinjau dari aspek gender. Dilihat dari peran pengelolaan pada awalnya kegiatan pinjaman bergulir didominasi oleh kelompok perempuan. Begitupun peran perempuan pada Kelompok Swadaya masyarakat (KSM) didominasi oleh perempuan. Seiring dengan perjalanannya peran perempuan di kelembagaan kegiatan pinjaman bergulir (UPK) tidak lagi mendominasi.

3 Manfaat Pemanfaat kegiatan pinjaman bergulir sebagian besar adalah kelompok perempuan.

4 Kontrol Kontrol pemanfaat pinjaman bergulir dilihat dari aspek pertanggungjawaban pengembalian dana pinjaman bergulir, kelompok perempuan lebih bertanggung jawab dibandingkan kelompok laki-laki.

Akses Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri

Pelaksanaan PNPM Mandiri mengisyaratkan adanya keterbukaan pada

semua kelompok masyarakat tanpa harus dibedakan berdasarkan atribut-atribut

yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini

tersubordinasi diberi peluang yang sama dalam di dalam pembangunan.

Salah satu peluang yang diberikan adalah kegiatan pinjaman bergulir.

Kegiatan ini telah memberikan kemudahan akses bagi masyarakat. Tingginya

akses perempuan dalam pemanfaatan dana pinjaman bergulir dapat disebabkan

mekanisme pelaksanaan pinjaman bergulir yang sangat sederhana dan dipandang

lebih kooperatif dibandingkan dengan lembaga perbankkan konvensional. Syarat

menjadi pemanfaat pinjaman bergulir hanya menyerahkan photo copy KTP tanpa

memberikan agunan apapun. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh SNH

pemanfaat pinjaman bergulir Blok Jorogan.

“Dengan adanya kegiatan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga, setidaknya telah membawa angin segar bagi kami khususnya perempuan. Sementara ini, kami sering terhambat untuk mendapatkan permodalan dari bank seperti BRI atau BPR. Sedangkan apabila kami melakukan pinjaman melalui bank keliling, kami terkendala dengan persoalan pengembalian yang sangat berat.”

95

Partisipasi dalam Aspek Gender pada Kelembagaan UPK

Kegiatan pinjaman bergulir dilihat dari partisipasi pengelolaan

kelembagaan berdasarkan aspek gender memiliki dua fase besar. Fase pertama,

pengeloaan dilakukan oleh kaum perempuan. Mereka merupakan para aktivis

kegiatan kemasyarakatan seperti kader PKK, Posyandu dan ibu-ibu pengajian.

Pada fase ini telah menerapkan konsep pembangunan Gender and Devolopment.

Perempuan pada fase ini tidak hanya sebagai pemanfaat pembangunan tetapi

menjadi pengelola pembangunan.

Berkenaan dengan kesadaran kritis pengarusutamaan gender keadaan ini

menunjukkan sudah ada keterbukaan masyarakat untuk menerima perempuan

sebagai bagian pelaku pembangunan. Dari sisi kelembagaan keadaan ini

menunjukkan BKM telah membangun sikap yang positif dalam pengarusutamaan

gender.

Kepengurusan unit pengelola keuangan (UPK) oleh kaum perempuan

mengalami pasang surut yang sangat signifikan dalam kegiatan pinjaman bergulir.

Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian pinjaman masyarakat. Selama dua

bulan setoran yaitu bulan Januri-Februari 2010 dinamika kegiatan UPK dinilai

positif. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian dana bergulir oleh

masyarakat yang cukup signifikan yaitu di angka 95 persen. Pada saat kegiatan

pinjaman bergulir memasuki bulan ke tiga persoalan-persoalan mulai

bermunculan. Salah satunya adalah semakin merosotnya tingkat pengembalian

dana bergulir oleh masyarakat. Bahkan setelah dilakukan pemetaan masalah

ternyata permasalahn UPK tidak sebatas kepada masalah-masalah kemacetan

pengembalian masyarakat. Berdasarkan audit yang dilakukan oleh BKM terdapat

beberapa persoalan serius yaitu:

1. Tingkat pengembalian yang rendah kira-kira 50 persen.

2. Pengelolaan yang tidak profesional. Diantaranya persoalan pengadministrasian

yang tidak dilaksanakan dengan baik, laporan bulanan ke BKM yang tidak

dibuat, penarikan pungutan liar kepada pemanfaat, pemberian pinjaman di

bawah tangan yang non prosedural, dan pemanipulasian data.

3. Kapitalisasi dana oleh pengurus. Modus yang digunakan salah seorang

pengurus menggunakan atau meminjam nama orang untuk mendapatkan

96

pinjaman yang lebih besar (melebihi ambang kuota) yang menjadikan

pengurus ini tidak mampu untuk melakukan setoran bulanan.

4. Pudarnya integritas UPK dalam kaitan ini UPK masih dipandang atau

dianggap sama sebagai lembaga keuangan lainnya yang hanya berusia singkat

seperti halnya Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED SP), atau pinjaman

bergulir pada masa program Intensifikasi Desa Tertinggal (IDT)

5. Konflik internal antarpengurus. Hal ini diduga dipicu karena ketidakadilan

pemberian insentif hasil dari jasa perguliran.

Persoalan di atas secara umum dapat disebabkan beberapa hal yaitu:

Pertama, lemahnya kemampuan manajerial pengurus. Hal ini disebabkan

pembekalan kepada pengurus UPK sangat minim. Kedua, lemahnya pengawasan

BKM terhadap UPK. Pada kurun waktu Januari hingga Maret 2010 BKM belum

pernah diberikan laporan perkembangan kegiatan. Ketiga, tidak berfungsinya

dewan pengawas keuangan (DPK) dalam memantau pelaksanaan kegiatan

pinjaman bergulir. Keempat, persoalan karakter dan nilai-nilai moral dari setiap

individu pelaksana kegiatan pinjaman bergulir.

Menyikapi kondisi ini pada bulan Juni 2010, BKM melakukan

perombakan total di kepengurusan. Pada fase kedua ini dominasi perempuan

dalam mengelola UPK sudah tidak ada lagi. Komposisi pengelola pada aspek

gender sekarang ini lebih didominasi oleh laki-laki. Dari tiga pengurus hanya

terdapat satu orang pengurus perempuan yang ditugaskan sebagai tenaga teknis

lapangan (kolektor). Fase ini lebih tepat disebut sebagai fase pembenahan.

Pekerjaan yang berat yang dihadapi oleh kepengurusan baru yaitu menjaga

integritas lembaga. Sementara ini, lembaga keuangan yang dikelola masyarakat di

Kelurahan Kenanga memiliki integritas yang rendah. Dana pinjaman bergulir

masih dipandang dianggap sebagai dana yang tidak perlu di

pertanggungjawabkan. Selain itu, masalah sumberdaya manusia (SDM) menjadi

persoalan yang serius dalam pengelolaan pinjaman bergulir. Dalam kaitan ini

jarang sekali masyarakat yang mau terlibat dalam kepengurusan di UPK. Hal ini

disebabkan kontribusi dan penghargaan menjalankan kegiatan pinjaman bergulir

tidak seimbang. Sederhannya basis kegiatan UPK adalah kegiatan sosial yang

menitikberatkan pada jiwa kerelawanan sedangkan pelaksanaan harus bersifat

97

profesional sesuai standar baku pengelolaan perbankkan. Hal ini sebagaimana

yang dipertegas STR manajer UPK berikut ini:

“Persoalan UPK yang paling krusial adalah persoalan citra lembaga. Program apapun di masyarakat Kelurahan Kenanga dalam konteks keuangan semuanya gagal. Saya melihat persoalan tersebut dikarenakan integritas lembaga yang tidak dibangun dengan baik. Kondisi ini disebabkan persoalan SDM. Persoalan SDM yang paling krusial adalah minimnya relawan dari masyarakat yang mau menerjuni dunia sosial. Apalagi dalam kegiatan di UPK, landasan utamanya pekerjaan sosial tapi dilaksanakan secara profesional, artinya pekerjaannya berat, penghargaan atau insentif untuk pengelola sangat minim.”

Dengan berbagai macam pendekatan persoalan-persoalan sedikit demi

sedikit dibenahi. Pinjaman bergulir per Maret hingga Agustus 2010 pada bulan

September 2010, pinjaman bergulir kepada masyarakat kembali diputar.

Sementara ini tiap bulan UPK melakukan pencairan dana ke masyarakat yang

mencapai angka 5-10 juta rupiah per bulan, dengan pengembalian dana yang

sangat signifikan.

Pemanfaatan Pinjaman Bergulir dalam Aspek Gender

Seiring dengan digulirkannya program PNPM Mandiri setidaknya telah

membawa sebuah harapan bagi perempuan. Hal ini disebabkan program PNPM

Mandiri salah satu programnya adalah keuangan bergulir, yang dapat diakses oleh

semua pihak termasuk perempuan. Bahkan Ditjen Cipta Karya (2009) membuat

indikator keberhasilan kegiatan pinjaman bergulir manakala pemanfaat kegiatan

ini 30% adalah perempuan.

Komposisi pemanfaat dalam aspek gender, kaum perempuan lebih banyak

daripada kaum laki-laki. Dalam hal ini jumlah pemanfaat kaum perempuan

mencapai 129 pemanfaat atau 57 persen, sedangkan pemanfaat dari kaum laki-laki

mencapai 96 pemanfaat atau 43 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa akses

perempuan dalam kegiatan pinjaman bergulir sangat baik. Kondisi ini secara

teoretif telah membuka peluang gerakan pengarusutamaan gender dalam kegiatan

pinjaman.

Berdasarkan keragaman profil pemanfaat terdapat kondisi yang kontras

antara data administratif dan kondisi realitas. Berdasarkan data yang ada pada

UPK, menyebutkan bahwa pemanfaat masuk dalam kategori rumah tangga miskin

98

(RTM). Fakta riil di lapangan menunjukkan tidak semua pemanfaat tercantum

dalam data base kategori keluarga miskin yang tercantum dalam dokumen

Program Jangka Menengah (PJM) BKM Pondok Pari Bangkit atau kaum

perempuan dari keluarga RTM. Bahkan ada kecenderungan pemanfaat ini

sebagian besar bukan dari keluarga non RTM dengan indikasi kepemilikan rumah,

kepemilikan kendaraan dan tanggungan keluarga. Di antara mereka adalah WTM

warga blok Lebak Jambu, ASMR warga blok Desa, AMN warga blok Desa, AST

warga blok Tengah.

Persoalan RTM atau non RTM telah menjadi polemik sendiri bagi Badan

Keswadayaan Masyarakat (BKM). Pada satu sisi, pinjaman bergulir dikhususkan

untuk RTM namun pada sisi aturan teknis kegiatan pinjaman bergulir terlalu berat

bagi RTM dilihat dari sisi pengembalian yang mencapai 20% dari pokok hutang.

Dari sisi bentuk usaha, perempuan pemanfaat pinjaman bergulir sebagian

besar adalah pedagang dan pengusaha kecil, bahkan secara laporan administratif

100% peminjam adalah pelaku usaha kecil. Hal ini disebabkan penggunaan dana

pinjaman bergulir secara prosedur normatif diperuntukkan bagi usaha mikro kecil

menengah (UMKM). Artinya dana tersebut harus digunakan sebagai modal dan

pengembangan usaha. Keadaan ini tentunya berbeda dengan kondisi nyata di

lapangan. Berdasarkan penelusuran di lapangan ditemukan juga pemanfaat-

pemanfaat yang tidak memiliki usaha, seperti halnya KML warga blok Kenanga

Sari Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya adalah ibu rumah tangga, RBH

warga blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya sebagai buruh

tani, UNSR warga blok Lebak Jambu Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya

adalah ibu rumah tangga dan masih banyak lainnya.

Secara data kuantitatif menunjukkan perempuan adalah pemanfaat

terbanyak kegiatan pinjaman bergulir, namun pada tingkat pemanfaatan secara

domestik, dana tersebut tidak serta merta dimanfaatkan oleh perempuan.

Penelusuran di lapangan dana pinjaman bergulir sebagian ada yang digunakan

oleh kaum laki-laki (suami). Salah satu contohnya pemanfaat atas nama SMYT

warga Jamsari Kelurahan Kenanga, yang memanfaatkan dana tersebut untuk

kepentingan suaminya berangkat ke Jakarta begitupun dengan MSN warga blok

Desa Kelurahan Kenanga.

99

Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan dana secara domestik tidak

dibedakan berdasarkan aspek perbedaan gender. Dalam konteks masyarakat

Kelurahan Kenanga sistem ekonomi dibangun berdasarkan kemitraan antara

suami dan istri. Sederhananya harta istri adalah suami dan sebaliknya.

Inisiasi Perempuan dalam Pembentukan KSM

Tingginya pemanfaat dari kaum perempuan tidak selalu berkorelasi

dengan kesadaran kritis, partisipasi dan pemberdayaan kaum perempuan. Kondisi

ini cenderung sebagai bagian afirmasi terhadap perempuan. Untuk menelusuri hal

ini dapat dilihat dari kesadaran kritis perempuan dalam menginisiasi pembentukan

kelompok.

Pembentukan kelompok swadaya masyarakat (KSM) menunjukkan adanya

komitmen tanggung jawab dan menunjukkan adanya keberdayaan. Hal ini

disebabkan pembentukan kelompok merupakan kegiatan basis yang dilandasi dari

sebuah kesadaran kritis.

Proses pembentukan KSM mengalami dua histori yang keduanya memiliki

suasana dan keadaan yang berbeda. Histori pertama pada saat awal perguliran

yakni bulan Desember 2009 sampai bulan Maret 2010. KSM yang terbentuk pada

saat itu berjumlah 14 KSM yang tersebar di seluruh Kelurahan Kenanga dengan

jumlah pemanfaat 137 orang.

Komposisi pemanfaat dari aspek gender, menunjukkan bahwa jumlah

pemanfaat dari kelompok perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Pemanfaat

perempuan berjumlah 80 orang pemanfaat atau 58% sedangkan pemanfaat dari

kaum laki-laki berjumlah 57 orang atau 42 persen. Adapun nama-nama kelompok

tersebut dan komposisi pemanfaat dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 20. KSM yang dibentuk oleh kepengurusan sebelum pembenahan

Nama KSM Jumlah anggota Kelompok Laki-Laki (orang) Perempuan (orang)

Sekar Sari 4 8 Tanjung 9 1

Sumber Mulya 2 8 Sumber Sejati 2 3

Mangga 7 3 Jambu 0 10 Durian 4 6 Liwung 3 7

Sumber Toya 3 7

100

Nama KSM Jumlah Anggota Kelompok Laki-Laki (orang) Perempuan (orang)

Melati 6 4 Mawar 7 3

Sumber Rezeki 2 8 Terate 6 4

Anggrek 2 8 Sumber: UPK BKM Pondok Pari Bangkit 2010

Pola pembentukkan KSM pada histori pertama cenderung tidak sesuai

dengan pola-pola standar yang ditentukan. Pada saat itu, KSM dibentuk

berdasarkan mobilisasi pengurus, yang seharusnya KSM dibentuk dari ajuan

masyarakat (pemanfaat). KSM peminjam bergulir pada saat itu tidak dibentuk

berdasarkan realitas dan refleksi diri terhadap kebutuhan yang memiliki

konsekuensinya penyerapan dana kegiatan pinjaman bergulir menjadi tidak tepat

sasaran. Metode pembentukkan KSM yang dilakukan dapat digambarkan dalam

gambar berikut ini.

Gambar 14. Metode pelaksanaan pinjaman bergulir sebelum pembenahan

Pola seperti itu menunjukkan tidak terbangunnya komunikasi pada tingkat

basis yang menciptakan kelommpok dengan keragaman yang tinggi, yang

berkecenderungan antara anggota kelompok yang satu dengan yang lainnya tidak

saling mengenal.

Secara umum, terlihat apa yang menjadi dinamika masyarakat pada

kegiatan pinjaman bergulir pada saat itu menunjukkan tingkat partisipasi

masyarakat yang baik tetapi ditinjau secara teoretif partisipasi tersebut bukan

Calon pemanfaat menyerahkan sejumlah KTP kepada pengurus UPK

Penyeleksian calon peminjam oleh UPK: Aspek hubungan emosional menjadi bahan

pertimbangan utama

Pembuatan berkas pengajuan oleh UPK

Pembentukan kelompok oleh UPK

Akad kredit pinjaman

101

partisipasi sebenarnya. Secara teoretif partisipasi masyarakat seperti ini dikatakan

sebagai partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau

kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan

masyarakat hanya sekadar obyek.

Pada saat itu pembentukkan KSM lebih diarahkan sebagai media aspirasi

kepentingan beberapa pihak diantaranya:

1. BKM berkepentingan dengan persoalan penyerapan dana ke masyarakat,

karena pada saat itu dana kegiatan ekonomi bergulir sudah cukup lama

mengendap di rekening BKM.

2. Fasilitator Kelurahan (Faskel) mereka berkepentingan dengan persoalan

progres laporan ke konsultan.

3. Pengurus UPK berkepentingan dengan pengakomodasian kelompok-kelompok

mereka serta ada efek ekonomis dalam penyaluran dana UPK (pungutan liar).

Faktor dominan penyebab rendahnya kemampuan masyarakat khususnya

perempuan dalam menginisiasi pembentukan kelompok, disebabkan persiapan

yang kurang matang baik oleh BKM maupun UPK. Hal ini disebabkan surat

rekomendasi pencairan dana dari satuan kerja (Satker) PNPM Mandiri Kabupaten

Cirebon untuk kegiatan pinjaman bergulir bersifat mendadak. Hal ini sebagaimana

yang dipertegas oleh ASP Sekretaris BKM:

“Pelaksanaan kegiatan PNPM di Kelurahan Kenanga ada kecenderungan dilaksanakan secara mendadak. Keadaan ini hampir terjadi di semua program baik pinjaman bergulir, lingkungan dan program sosial. Kami yang ada di lapangan sering direpotkan dengan keadaan seperti ini.”

Selain itu, rendahnya kemampuan perempuan dalam menginisiasi

kelompok pinjaman bergulir dalam perspektif komunikasi disebabkan minimnya

sosialisasi pada tingkat basis dan rendahnya informasi program yang menerpa

kaum perempuan. Hal ini disebabkan penciptaan ruang komunikasi yang kurang

mengakomodir keadaan perempuan. Implikasinya hampir sebagian besar

perempuan tidak mengetahui mekanisme pelaksanaan program pinjaman bergulir.

Hal ini sebagimana yang terjadi pada ATN warga blok Kranten Kelurahan

Kenanga yang kebingungan untuk mendapat informasi tentang pinjaman bergulir.

102

Pola pembentukan KSM dengan dimobilisasi pengurus menimbulkan

beberapa masalah, salah satunya tidak berjalannya mekanisme kegiatan berbasis

kelompok. Pengumpulan uang setoran yang harusnya dilakukan secara

berkelompok pada pelaksanaannya dilakukan secara individu. Hal ini yang

menjadi pemicu kemacetan pinjaman bergulir. Langkah yang dilakukan BKM

pada saat itu menghentikan sementara pencairan dana ke masyarakat dan

melakukan pembenahan baik secara kelembagaan dan mengembalikan lagi proses

pengajuan pinjaman oleh KSM sesuai aturan-aturan yang berlaku.

Pasca pembenahan atau pada bulan September 2010 kegiatan pinjaman

bergulir kembali dijalankan. Kelompok-kelompok pemanfaat yang sebelumnya

merupakan hasil mobilisasi pengurus UPK, telah diarahkan berdasarkan

komunikasi tingkat basis. Mekanisme rembug warga dalam membentuk kelompok

merupakan syarat mutlak dalam pengajuan dana bergulir ke UPK.

Pendirian kelompok pasca pembenahan merupakan inisiasi murni

masyarakat. Karakter kelompok pada pasca pembenahan bercirikan jarak simbolik

antar anggota yang semakin sempit. Dalam kaitan ini sesama anggota cenderung

saling mengenal antara satu anggota dengan lainnya dan memiliki kesamaan

pandangan mengenai pelaksanaan pinjaman bergulir.

Mekanisme pembentukan kelompok dengan mengutamakan konsep

bottom up, merupakan upaya untuk terciptanya kegiatan pinjaman bergulir yang

lebih baik. Hal ini sebagaimana yang dipertegas oleh STR Manajer UPK berikut

ini:

“Belajar dari pengalaman, UPK sekarang ini lebih selektif dalam perekrutan kelompok peminjam. KSM yang mengajukan pinjaman harus dilakukan berdasarkan aturan terutama proses rembug warga. Inisiatif pendirian KSM bukan inisiatif pengelola tapi murni inisiatif masyarakat.”

Kelompok pasca pembenahan mulai dibentuk pada bulan September 2010.

Sampai bulan Desember 2010 kelompok dengan paradigma baru berjumlah 13

KSM dengan 88 orang pemanfaat. Komposisi pemanfaat dalam aspek gender

perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Jumlah pemanfaat dari

kelompok perempuan berjumlah 46 pemanfaat atau 53% sedangkan kelompok

pemanfaat kaum laki-laki berjumlah 42 pemanfaat atau 47 persen.

103

Nama-nama KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat dapat

dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 21. KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat

Nama KSM Jumlah Anggota (orang) Jumlah Anggota Perempuan (orang)

Sekar Wangi 7 4 Pancuran Gading 15 4

Tanjakan 9 5 Bunga Soka 10 6 Sekar Maju 5 5

Tiga 5 2 Empat 5 0

Bunga Kenanga 7 6 Adenium 4 4 Maribang 6 3 Mingkrik 5 4

Pandan Wangi 5 2 Pandan 5 3

Sumber: UPK BKM Pondok Pari Bangkit 2010

Berdasarkan gambaran di atas pada kegiatan pinjaman bergulir,

menunjukkan bahwa perempuan di Kelurahan Kenanga masih di posisikan

sebagai obyek pembangunan bukan sebagai pelaku pembangunan. Mengambil

konsep pembangunan dan gender, keadaan ini menunjukkan bahwa kegiatan

pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga masih menggunakan konsep women in

development (WID) bukan gender and development.

Konsep WID lebih mengarah kepada acuan-acuan teknis berdasarkan

standar operasional prosedur (SOP) yang telah digariskan oleh regulator, dalam

kaitan ini pemanfaat kegiatan adalah 30% dari kaum perempuan. Selain itu pula

kuatnya WID menunjukkan pendidikan untuk kesadaran kritis yang

diimplementasikan dengan keberdayaan dan partisipasi belum terbangun pada

kegiatan pinjaman bergulir.

Dalam perspektif kesadaran kritis kondisi ini dapat disimpulkan bahwa

perempuan di Kelurahan Kenanga belum terbangun kesadaran kritis yang ideal.

Idealnya sebuah kesadaran kritis memunculkan kedalaman menafsirkan masalah-

masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak.

Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan

melihat hubungan sebab-akibat. Dalam kaitan ini perempuan masih dalam taraf

104

kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan

dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif,

seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau

menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan

berdebat tetapi bukan dialog. Freire dalam Manggeng (2005)

Meski secara kuantitatif inisiasi pembentukkan kelompok banyak

didominasi oleh kaum laki-laki, namun geliat kesadaran perempuan sebagai agen

perubahan sudah menunjukkan tanda-tanda yang positif. Di antara kelompok yang

dibentuk pasca pembenahan, di antaranya dibentuk berdasarkan inisiasi kaum

perempuan. Kelompok tersebut adalah KSM Pandan yang diinisiasi oleh IPH,

KSM Adenium yang diinisiasi oleh WTM, KSM Mingkrik yang diinisiasi oleh

RMD, KSM Sekar Maju yang diinisiasi oleh SNH. Bahkan SNH telah

memfasilitasi pembentukan kelompok lainnya seperti KSM Tanjakan dan Pandan

Wangi.

Rendahnya perempuan dalam menginisiasi pembentukkan kelompok pada

kegiatan pinjaman bergulir, tidak serta merta menunjukkan rendahnya kapasitas

perempuan di Kelurahan Kenanga. Pada bidang lain perempuan di Kelurahan

Kenanga mampu menginisiasi kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Pada sisi lain

perempuan di Kelurahan Kenanga kemampuan berorganisasi yang baik. Hal ini

dapat dilihat pada lembaga-lembaga yang didirikan dan dikelola oleh perempuan,

memiliki eksistensi yang baik. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi lembaga

pendidikan pra sekolah dan sekolah dasar, majelis taklim yang sebagian besar

dikelola oleh perempuan.

Kontrol dan Tanggung Jawab pada Kegiatan Pinjaman Bergulir

Analisis mengenai kontrol atau tanggung jawab perempuan terhadap

pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir dipetakan dalam beberapa aspek yaitu:

1. Pemanfaatan atau penggunaan dana

2. Kesadaran untuk melakukan pengembalian

3. Menjalankan konsep tanggung renteng

Dilihat dari sisi pemanfaatan atau penggunaan dana, kecenderungan dana

pinjaman bergulir digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat

domestik (rumah tangga). Hanya sedikit pemanfaat yang menggunakan dana

105

pinjaman bergulir untuk kepentingan usaha. Bahkan, pemanfaat yang jelas-jelas

pelaku UMKM tidak serta merta memanfaatkan dana tersebut untuk modal atau

pengembangan UMKM. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh WKN warga

blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga berikut ini:

“Dana yang saya dapatkan dari pinjaman bergulir saya gunakan untuk merehab dapur, sebagian lagi saya gunakan untuk menambah barang dagangan saya.”

Pengalihan pemanfaatan dana pinjaman bergulir dari dana pengembangan

usaha menjadi dana untuk kegiatan lainnya, disebabkan beberapa faktor yaitu:

Pertama, rendahnya dana pinjaman yang diberikan kepada masyarakat. Sementara

ini, dana yang diberikan kepada pemanfaat hanya sebesar Rp. 500.000 (lima ratus

ribu). Tentunya dengan dana yang relatif kecil, kurang signifikan sebagai sarana

peningkatan usaha, ditambah lagi dengan uang jasa yang melebihi suku bunga

pasar, sebesar dua persen per bulan dengan tenor (jangka waktu) pinjaman selama

sepuluh bulan. Artinya uang jasa pinjaman bergulir mencapai 20 persen.

Kedua, pengalihan pemanfaatan memang suatu keadaan yang disengaja

oleh masyarakat itu sendiri. Mereka yang terdesak dengan kebutuhan rumah

tangga sangat berharap banyak dari pinjaman bergulir karena mekanisme

pinjaman bergulir yang mudah.

Dianalisis dari aspek peningkatan taraf ekonomi masyarakat, pengalihan

pemanfaatan dana, jelas tidak akan mendongkrak perekonomian masyarakat,

karena dengan adanya pinjaman malah akan menjadi beban bagi masyarakat itu

sendiri, namun pada posisi lain dana pinjaman bergulir dapat dijadikan solusi

untuk memecahkan persoalan keuangan yang bersifat mendesak. Sementara ini

belum ditemukan penggunaan dana pinjaman bergulir oleh masyarakat khususnya

perempuan untuk kepentingan kebutuhan non primer.

Pada aspek tanggung jawab terhadap pengembalian secara umum memiliki

gambaran yang sangat kontras antara fase sebelum pembenahan dan pasca

pembenahan. Pada fase sebelum pembenahan, secara umum kegiatan pinjaman

bergulir mengalami berbagai hambatan, salah satunya adalah masalah

pengembalian dana. Dari 12 KSM yang memiliki masa akhir kredit per Oktober

2010, hanya 52 orang dari 127 orang atau hanya 42% yang sudah menyelesaikan

pinjaman. Sisanya yang berjumlah 75 orang atau 58% belum menyelesaikan

106

pinjaman meski sudah diberikan perpanjangan masa kredit sampai Desember

2010. Total tunggakan pada 12 KSM per desember 2010 mencapai Rp.

15.542.500 (lima belas juta lima ratus empat puluh dua ribu lima ratus).

Dalam aspek gender, pemanfaat yang mengalami tunggakan untuk

pinjaman jatuh tempo Oktober 2010 sebagian besar adalah dari kaum laki-laki

yang berjumlah 45 orang atau 60%. Sedangkan penunggak dari kaum perempuan

berjumlah 30 orang atau 40%. Meskipun dilihat dari sisi jumlah memiliki

perbedaan angka yang signifikan, namun dilihat dari nilai nominal tunggakan

antara laki-laki dan perempuan hampir tidak berbeda. Secara nominal tunggakan

pemanfaat dari kaum perempuan berjumlah Rp. 7.560.000 (tujuh juta lima ratus

enam puluh ribu).

Dua KSM yang dibentuk sebelum pembenahan kondisinya tidak jauh

berbeda dengan 12 KSM sebelumnya. Untuk kedua KSM ini tingkat

pengembaliannya hanya mencapai 67% per Desember 2010. Dari 20 pemanfaat

hanya dua pemanfaat yang tidak memiliki tunggakan, selebihnya memiliki

tunggakan dengan nominal yang bervariatif. Dari aspek gender penunggak

pinjaman bergulir banyak dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki.

Pasca pembenahan UPK telah mencairkan dana pinjaman bergulir kepada

sembilan KSM. Tingkat pengembalian untuk sembilan KSM sementara ini dinilai

sangat baik. Data per Desember 2010 tingkat pengembalian mencapai 92%.

Tunggakan yang lebih cenderung pada aspek keterlambatan dari jatuh tempo

pembayaran. Adapun dari komposisi gender, laki-laki lebih banyak sebagai

penunggak dibandingkan perempuan.

Secara umum antara masa sebelum pembenahan dan pasca pembenahan,

tanggung jawab perempuan lebih baik daripada laki-laki. Meski demikian terdapat

kasus tunggakan yang paling mencuat yang dilakukan oleh perempuan. Dalam hal

ini nilai tunggakannya mencapai, Rp. 4.187.500 (Empat juta seratus delapan puluh

tujuh lima ratus). Besarnya tunggakan ini, disebabkan kapitalisasi pinjaman

bergulir. Adapun modusnya adalah dengan meminjam KTP orang lain, untuk

diajukan sebagai peminjam namun dana yang didapat digunakan sendiri.

Rendahnya tingkat pengembalian masyarakat terutama pada masa sebelum

pembenahan tidak selalu mengindikasikan rendahnya kesadaran warga terhadap

107

tanggung jawab pada pinjaman bergulir. Secara prinsip masyarakat siap untuk

mengembalikan dana pinjaman bergulir. Dari aspek gender, perempuan yang

mengalami tunggakan banyak disebabkan persoalan teknis domestik. Hal ini

seperti yang terjadi pada pemanfaat RBH warga blok Tanjung Sari Kelurahan

Kenanga, yang terlambat membayar dikarenakan untuk biaya pendidikan anaknya

yang melanjutkan ke sekolah tingkat menengah atas. Begitupun dengan UNSR

warga blok Lebak Jambu Kelurahan Kenanga yang terlambat membayar

dikarenakan suaminya terkena musibah, RN warga Karang Gayam Kelurahan

Kenanga yang belum mendapat kiriman dari suaminya yang bekerja di luar kota.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh STR Manajer UPK berikut ini.

“Pada umumnya masyarakat Kelurahan Kenanga secara prinsip adalah masyarakat yang bertanggung jawab. Ini terbukti dengan adanya kenaikan yang signifikan pengembalian dana pinjaman bergulir setelah pembenahan. Kemacetan yang ada sementara ini, masih dalam tahap yang wajar, meski kitapun punya catatan pemanfaat yang benar-benar tidak bertanggung jawab, tapi jumlahnya hanya satu atau dua orang.”

Selain dari ranah domestik, latar belakang kemacetan pinjaman bergulir

dapat ditelusuri dari aspek kelembagaan UPK. UPK pada fase sebelum

pembenahan dikelola tidak profesional yang menciptakan kesalahan-kesalahan

manajemen (mismanagement). Persoalan mismanagement berkorelasi dengan

persoalan pencitraan kelembagaan UPK. Adanya penggunaan dana setoran oleh

salah satu pengurus secara langsung akan berpengaruh terhadap tingkat

kepercayaan masyarakat. Wujud dari ketidakpercayaan ini, salah satunya

ditunjukkan oleh sikap KSM Mawar dan Melati yang seolah acuh tak acuh dengan

permasalahan tanggung jawab pengembalian dana pinjaman.

Secara aspek hubungan eksternal dengan pemanfaat, UPK pada saat itu

tidak mengedepankan prinsip-prinsip kekeluargaan. Pelaksanaan pinjaman

bergulir lebih mengedepankan aspek-aspek baku secara umum. Pendekatan

hubungan manusiawi, tidak diterapkan pada pelaksanaan pinjaman bergulir. Salah

satu bentuknya adalah cara penagihan kemacetan yang tidak mendatangkan

simpati. Seperti halnya yang dirasakan oleh SL pemanfaat warga Blok Desa

Kelurahan Kenanga yang ditagih di depan umum. Begitupun ASP pemanfaat

108

warga blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga yang ditagih di forum rembug

warga.

Selain persoalan simpati, terdapat kebijakan dari pengelola pada saat itu

yang tidak dikomunikasikan kepada masyarakat, seperti pencabutan insentif bagi

ketua KSM yang berfungsi sebagi juru tagih. Padahal kesepakatan awal yang

dibangun adalah adanya insentif bagi juru tagih. Implikasinya adalah tidak ada

juru tagih pada masyarakat pemanfaat.

Dalam tinjauan aspek komunikasi, kemacetan ini disebabkan pengendalian

informasi tidak dikontrol. Informasi tentang kemacetan selalu diceritakan oleh

pengelola kepada masyarakat. Keadaan ini menciptakan rumor yang negatif

tentang keberlanjutan kegiatan. Rumor ini secara langsung akan melunturkan

kesadaran warga yang memiliki itikad atau kemampuan untuk melakukan

pembayaran. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masyarakat blok Jamsari

Kelurahan Kenanga yang mengkuatirkan berhentinya program. Mereka secara

sepihak TRH tidak menyetorkan uang nasabah ke pengelola tetapi menggulirkan

kepada masyarakat yang lainnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan SMN

suami TRH warga blok Jamsari Kelurahan Kenanga berikut ini:

“Terus terang saya melakukan hal ini tanpa koordinasi dengan pengelola, hal ini semata-mata ada informasi bahwa kegiatan pinjaman bergulir akan berhenti. Sedangkan banyak warga yang mendesak saya untuk mendapatkan pinjaman. Dari pada warga saya tidak mendapatkan pinjaman, lebih baik dana ini saya gulirkan kepada warga. Dan saya bertanggung jawab penuh terhadap tindakan saya.”

Komunikasi antara pengelola dengan pemanfaat pada saat itu, lebih

diutamakan komunikasi yang bersifat linier. Padahal komunikasi yang terbuka

dan bersifat sirkular timbal balik sangat dibutuhkan. Harapan dari pemanfaat

adalah adanya pendampingan (komunikasi) sehingga kendala-kendala teknis

terutama dalam persoalan pengembalian dapat dipecahkan secara baik. Hal ini

sebagaimana yang disampaikan ANWR Ketua KSM Sekar Sari berikut ini:

“Persoalan pinjaman bergulir bagi KSM kami bukan sebatas bagaimana meminjam dan mengembalikan, tapi yang lebih kami butuhkan adalah arahan atau rembug bersama antara UPK dengan pemanfaat. Saya sebagai ketua kadang tidak bisa menjawab pertanyaan dari masyarakat, seperti penangguhan setoran,

109

pelunasan dipercepat, pemanfaat yang meninggal, pemanfaat yang mengalami ketidakberdayaan permanen karena sakit, dll.” Dari data yang ada dapat dipetakan bahwa kemacetan pinjaman bergulir

bukan disebabkan oleh rendahnya kesadaran pemanfaat. Kemacetan setoran

pinjaman dana bergulir dapat dipetakan menjadi beberapa latar belakang yaitu:

(1) Kondisi internal pemanfaat atau suasana domestik. (2) Kredibilitas pengelola.

(3) Komunikasi yang tidak terbangun. Upaya-upaya yang dilakukan untuk

pembenahan adalah: (1) Pembenahan kelembagaan dalam hal ini pengangkatan

manajer UPK yang memiliki kredibilitas. (2) Menerapkan konsep kekeluargaan

dengan mengedepankan simpati, salah satunya memberikan perhatian khusus

dalam bentuk insentif kepada juru tagih tingkat kelompok. (3) Melakukan

pembelajaran masyarakat melalui pendampingan bagi peminjam atau calon

peminjam. (4). Membangun komunikasi dengan berbagai dengan unsur-unsur

yang ada di masyarakat.

Pembenahan yang dilakukan oleh kepengurusan yang baru, sedikit demi

sedikit menampakkan hasil yang positif. Hal ini dapat dilihat pada indikasi,

kepercayaan masyarakat terhadap UPK yang semakin kuat dan tingkat

pengembalian yang sangat baik.

Perubahan yang positif dalam pengembalian pinjaman merupakan suatu

bukti bahwa kesadaran dan tanggung jawab itu ada. Kesadaran akan tanggung

jawab merupakan modal sosial dalam pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir.

Aspek lain berkenaan dengan tanggung jawab perempuan terhadap

kegiatan adalah pelaksanaan konsep tanggung renteng. Sebagai gambaran

pinjaman yang diberikan kepada masyarakat bukan bersifat pribadi tetapi adalah

kelompok dengan sistem tanggung renteng. Pengertian sistem tanggung renteng

diartikan tanggung jawab bersama setiap orang anggota kelompok peminjam,

untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali kredit dari bank bilamana ada

salah satu anggota menunggak atau macet. Sistem tanggung renteng adalah

perwujudan paling tinggi dan kepercayaan serta merupakan rasa setia kawan antar

anggota dalam kelompok (Suharni 2003).

Prinsip tangung renteng, merupakan sarana menggairahkan kembali

kearifan lokal yang ada di masyarakat. Diharapkan dengan adanya tanggung

renteng bisa menumbuhkan rasa tolong menolong dan kesetiakawanan sosial.

110

Kegiatan pinjaman bergulir dengan sistem tanggung renteng merupakan standar

operasional yang ditetapkan oleh tim regulator PNPM Mandiri. Pada

pelaksanaannya konsep tanggung renteng pada kegiatan pinjaman bergulir di

Kelurahan Kenanga belum dilaksanakan.

Dari perjalanan kegiatan pinjaman bergulir baik pada fase sebelum

pembenahan dan dan pembenahan ternyata tidak ada satu kelompok pun yang

menerapkan sistem tanggung renteng. Alasan yang paling mendasar dari

masyarakat adalah beratnya setoran pribadi sehingga tidak mampu untuk

menanggung tunggakan setoran anggota kelompok lainnya.

Dalam kajian kritis alasan tersebut sebenarnya kurang mendasar. Dilihat

dari karakter ekonomi peminjam, sebenarnya pemanfaat mampu untuk melakukan

tanggung renteng. Persoalan yang paling mendasar adalah rasa kesetiakawanan

yang belum terbangun dengan baik.

Meski demikian kepengurusan UPK yang baru akan menerapkan sistem

tanggung renteng pada masa akhir kredit. Hal ini sebagaimana yang disampaikan

oleh STR Manajer UPK berikut ini:

“Sementara ini kita akui tanggung renteng belum bisa dilaksanakan oleh masyarakaat. Sehingga upaya yang kami lakukan adalah menerapkan tanggung renteng pada masa akhir kredit. Pada masa akhir kredit, setiap pemanfaat akan mendapatkan tabungan sesuai dengan besaran pinjaman. Tabungan ini dapat kita kembalikan ke masyarakat atau kelompok pemanfaat manakala kelompok tersebut tidak ada tanggungan ada tunggakan.”

Pembangunan Sistem Kontrol Kegiatan Pinjaman Bergulir

Kegiatan PNPM Mandiri adalah kegiatan yang berbasis masyarakat, yang

bercirikan asas-asas demokrasi. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang

diterapkan harus berorientasi pada masyarakat. Keadaan ini, menunjukkan PNPM

Mandiri telah membuka peluang yang besar bagi masyarakat untuk terlibat dalam

pengelolaan program termasuk di dalamnya menjalankan fungsi kontrol. Elemen

yang terlibat adalah BKM, UPK, DPK dan masyarakat.

111

Gambaran fungsi kontrol kegiatan pinjaman bergulir dapat dilihat pada

matriks berikut ini.

Tabel 22. Matriks sistem kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir No Fungsi Kontrol Hasil Amatan 1 BKM kepada UPK Pada awalnya fungsi ini tidak berjalan, namun setelah

pembenahan fungsi kontrol sudah berjalan. Setiap bulan UPK memberikan progres kegiatan pinjaman bergulir. Pola komunikasi organisasi antara UPK dengan BKM sudah dibangun dengan baik.

2 Dewan Pengawas Keuangan kepada UPK

Pada saat ini peran DPK dalam kegiatan pinjaman bergulir kembali di aktifkan, dan progres bulanan selalu dilaporkan kepada DPK, namun proses komunikasiorganisasi antara DPK dan UPK belum dilaksanakan dengan baik.

3 UPK kepada Pemanfaat

Kontrol UPK kepada pemanfaat dilakukan secara simultan, dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi baik secara tatap muka maupun dengan tertulis.

4 Pemanfaat kepada Pemanfaat

Sementara ini, kontrol yang dilakukan antarpemanfaat sudah menunjukkan gambaran yang positif, hal ini terlihat dari berfungsinya organisasi KSM pinjaman bergulir salah satunya diwujudkan dengan adanya juru tagih di KSM

Kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir dilakukan bulanan dan tahunan.

Kontrol yang bersifat bulanan adalah progres UPK kepada BKM dan DPK, UPK

kepada KSM. Kontrol yang bersifat tahunan adalah audit keuangan UPK yang

dilakukan oleh auditor independen.

Adanya progres laporan bulanan oleh UPK kepada BKM dan DPK serta

UPK kepada masyarakat menunjukkan pola komunikasi organisasi sudah berjalan

dengan baik. Hal ini tentunya berimplikasi positif kepada hasil audit. Selama dua

kali diaudit keuangan UPK dinyatakan wajar meski dengan catatan. Pola kontrol

dalam kegiatan pinjaman bergulir dapat digambarkan pada Gambar 15 berikut ini.

Gambar 15. Pola kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir

Dewan Pengawas Keuangan (DPK)

Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)

Unit Pelaksana Keuangan (UPK)

Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)

Pembuatan Kebijakan Program

Pelaksana Program

Pemanfaat Program

Kontrol Internal

112

Dari gambar di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan terdapat

siklus organisasi yang jelas terutama masalah pembagian wewenang dan fungsi

kontrol. Pada tingkat kelembagaan, BKM memberikan wewenang kepada UPK

untuk melaksanakan program pinjaman bergulir. Wewenang ini diantaranya

adalah melakukan persetujuan atau penolakkan atas usulan pinjaman bergulir

kelompok dan pengaturan mekanisme standar operasional prosedur pelaksanaan

pinjaman bergulir. Sedangkan kontrol yang dilakukan BKM adalah pemantauan

atas tingkat kemacetan atau keamanan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).

Persoalan utama mengenai sistem kontrol pinjaman bergulir adalah belum

terbangunnya kontrol di antara anggota kelompok dalam sebuah KSM. Padahal

fungsi kontrol tingkat basis inilah yang seharusnya menjadi pilar utama.

Dalam aspek gender, pelaksanaan kontrol lebih banyak dilakukan oleh

laki-laki. Hal ini disebabkan laki-laki cenderung lebih terbuka dalam

berkomunikasi, yang tentunya berbeda dengan perempuan yang cenderung pasif.

Selain itu, keadaan ini tidak bisa terlepas dari konstruksi sosial masyarakat yang

berlaku. Kondisi norture perempuan dipandang oleh masyarakat adalah sebagai

kelompok yang dibungkam. Sehingga ekspresi perempuan dalam ranah publik

dianggap sebagai kondisi yang abnormal.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan WTM relawan blok Lebak Jambu

Kelurahan Kenanga berikut ini.

“Saya kalau di forum lebih memilih diam, karena saya malu untuk mengutarakan pendapat. Apalagi dalam rembug warga memunculkan perdebatan.”

Meski demikian, bukan berarti perempuan tidak memiliki kontribusi pada

kontrol sosial, seperti halnya RMD, IPH, SNH yang berperan aktif menciptakan

kontrol pada tingkat kelompok.

Jawaban Hipotesis Pengarah

Berdasarkan kajian dan analisis hasil penelitian ditemukan hal-hal sebagai

berikut:

1. Komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri tidak semuanya merupakan

bentuk komunikasi partisipatif, tetapi juga terdapat komunikasi linier. Hal

113

ini menunjukkan apa yang menjadi hipotesis pengarah tidak sesuai apa

yang menjadi kondisi di lapangan.

2. Internalisasi program masih belum optimal hal ini dapat dilihat dari

pencitraan dan aktivasi masyarakat terhadap PNPM Mandiri. Hal ini

menunjukkan apa yang menjadi hipotesis pengarah tidak sesuai dengan

kondisi di lapangan.

3. Isu gender dalam kegiatan pinjaman bergulir telah menggunakan konsep

keadilan gender. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi hipotesis

pengarah. Namun dalam kajian kritis, keadilan ini masih tampak terihat di

permukaan.