HARMONISASI ALAM DALAM TEKS KIDUNG JERUM KUNDANGDYA
Transcript of HARMONISASI ALAM DALAM TEKS KIDUNG JERUM KUNDANGDYA
TESIS
HARMONISASI ALAM DALAM
TEKS KIDUNG JERUM KUNDANGDYA
AYU PUTRI SURYANINGRAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
HARMONISASI ALAM DALAM
TEKS KIDUNG JERUM KUNDANGDYA
AYU PUTRI SURYANINGRAT
NIM 1190161023
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI LINGUISTIK-WACANA SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
HARMONISASI ALAM DALAM TEKS
KIDUNG JERUM KUNDANGDYA
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Linguistik-Wacana Sastra
Program Pascasarjana Universitas Udayana
AYU PUTRI SURYANINGRAT
NIM 1190161023
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI LINGUISTIK-WACANA SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
Tanggal 2 Juli 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma,M.S. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum.
NIP 19570618 198303 1 001 NIP 19621214 199010 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Linguistik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nyoman Suparwa,M.Hum Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K).
NIP 19620310 198503 1 005 NIP 19590215 198510 2 001
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis ini Telah Diuji pada
Tanggal 2 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana,
Nomor: 2056/UN14.4/HK/2014,Tanggal 2 Juli 2014
Ketua : Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma, M.S.
Anggota:
1. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum.
2. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum.
3. Dr. I Ketut Jirnaya, M.Hum.
4. Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ayu Putri Suryaningrat
NIM : 1190161023
Program studi : Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra
Judul Tesis : Harmonisasi Alam dalam Teks Kidung Jerum
Kundangdya
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.
Apabila pada di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas Republik Indonesia
Nomor 17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 2 Juli 2014
Yang membuat pernyataan,
Ayu Putri Suryaningrat
UCAPAN TERIMAKASIH
Pertama puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa atas karunia berupa kesehatan dan tuntunan-Nya sehingga tesis yang
berjudul "Harmonisasi Alam dalam Kidung Jerum Kundangdya" dapat
diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma,M.S, selaku
pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan kesabarannya pada saat
membimbing penulis. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum., selaku pembimbing II,
terima kasih atas waktu yang diluangkan selama membimbing dan saran-saran
yang diberikan untuk kemajuan tesis ini.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,
Sp.P.D.KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana dan Prof. Dr. dr. A.A. Raka
Sudewi, Sp.S(K)., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Demikian juga kepada Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana,
Prof. Dr.I Wayan Cika, M.S. terima kasih atas izin yang diberikan kepada penulis
untuk mengikuti pendidikan program Magister. Penulis juga menyampaikan rasa
terima kasih kepada Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., selaku Ketua Program
Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Dr.
Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum., Sekretaris Program Studi Magister Linguistik
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada para dosen di Program
Studi Magister Linguistik, khususnya di Konsentrasi Wacana Sastra yang selalu
memberikan dukungan dan ilmu tanpa pamrih, juga kepada para staf administrasi
I Ketut Ebuh, S.Sos., Nyoman Adi Triani, S.E., dan I Nyoman Sadra, S. S. yang
selalu dengan sabar memberikan pelayanan setiap kali penulis mengurus
administrasi. Terima kasih pada perpustakaan Program Magister/Doktor Studi
Linguistik dan para stafnya, yang selalu membantu penulis dengan penuh
kebaikan dan keramahan.
Kepada ayah (I Wayan Mendra) dan ibu (Ida Ayu Putu Sasih) yang selalu
memberikan dukungan baik moral maupun materi selaku orang tua, terima kasih
telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan studi S2. Kakak tercinta
(Putu Ayu Ningrat, SP) yang juga selalu memberikan bantuan dan dukungan baik
moral maupun materi, adik (Ayu Diah Lemantari) dan anaknya (Bagus Diahana
Dwipa) yang setia menemani penulis.
Kepada I Gde Anom Ranuara, S.Pd., S.Sn. yang sering membantu
memberi ide untuk penelitian ini. Kepada teman seperjuangan Wacana Sastra
2011 (Ari, Widhi, Wida, Dian, Alit, Gus Suputra, Widana, Suana, Ngurah,
Artayasa, Supertama) yang selalu memberikan masukan-masukan dan dukungan
selama ini. Kepada sahabat-sahabat tercinta yang tidak bisa disebutkan satu
persatu, terimakasih karena selalu memberikan dukungan.
Terakhir, kepada seluruh saudara, teman dan pihak yang tidak bisa
disebutkan semuanya, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini
bermanfaat untuk pembaca.
Denpasar, 2 Juli 2014
Penulis
ABSTRAK
Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu karya sastra tradisional
Bali dalam bentuk kidung dengan metrum jerum yang beberapa baitnya masih
sering dinyanyikan oleh masyarakat Bali dalam upacara tertentu khususnya yang
berkaitan dengan upacara Bhuta Yadnya. Bhuta Yadnya adalah upacara yadnya
(persembahan) terhadap lingkungan atau alam semesta yang dikenal dengan
upacara bhuta yadnya. Kidung Jerum Kundangdya menceritakan kehidupan
Jerum, Kundangdya, dan Liman Tarub yang tidak lepas dari peran para Dewa.
Sumber data penelitian ini adalah teks Kidung Jerum Kundangdya dari lontar
yang ada di Gedung Kertya yang telah ditransliterasi. Fokus penelitian ini adalah
mengenai bentuk, fungsi, dan makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum
Kundangdya. Teori yang digunakan adalah teori Semiotik dari Riffaterre. Dalam
penelitian ini, digunakan metode deskriptif-analitik yang dibantu dengan teknik
pencatatan kemudian menggunakan metode informal dalam tahap penyajian. Hasil
yang diperoleh dari analisis ini adalah mengetahui bentuk harmonisasi alam dalam
Kidung Jerum Kundangdya berkaitan dengan keberadaan alam beserta isinya
sehingga diciptakanlah keseimbangan yang menjadikan harmonis. Mengenai
fungsinya adalah landasan cinta yang mampu sebagai penyeimbang alam semesta
sekaligus penetralisasi dan kebahagiaan kehidupan. Selanjutnya, maknanya adalah
harmonisasi ajaran Hindu, Budha, Siwa Budha dan pencerahan Siwa-Budha
Tantra.
Kata kunci : Wacana, Harmonisasi Alam, Kidung Jerum Kundangdya dan Bhuta
Yadnya.
ABSTRACT
This research analyzed the text of Kidung Jerum Kundangdya. Kidung
Jerum Kundangdya is one of literature in the form of Kidung which is still being
sung by the society in certain ceremony, especially which has strong relationship
with Bhuta Yadnya ceremony. Bhuta Yadnya is a ceremony which is related with
the nature neutralization to harmonious. Kidung Jerum Kundangdya tells about
Jerum's life Kundangdya and Liman Tarub who has strong relationship with the
Gods. The resources of this research is a tekst and story of Kidung Jerum
Kundangdya which is compiled by the manuscript printing of Balinese Classical
Letters. The focus of this research shows the function of Nature Harmonic in
Kidung Jerum Kundangdya. The teory of this research to analyze the meaning of
Kidung Jerum Kundangdya is semiotic theory from Riffaterre. The method in
analyzing data is analytical descriptive which has been helped by note taking
technique and use informal method in the presentation stages.Product from
analyzing data is we know from about nature harmony in Kidung Jerum
Kundangdya link to cretaed universe and contents the same until a composition
balancing make harmony. About fungtion is love can make balanced harmony,
netralization, and love happy is life. Next, meaning is harmonization study of
Hindu, Budha, Siwa Budha and enlightenment Siwa-Budha Tantra.
Key word : Discourse, Nature Harmony, Kidung Jerum Kundangdya and Bhuta
Yadnya
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Bali adalah masyarakat yang dikenal memiliki nilai-nilai
budaya bersifat religius. Salah satu di antaranya berupa upacara keagamaan.
Masyarakat Bali tidak pernah bisa dilepaskan dari unsur adat dan budaya yang
bersifat religius. Setiap ritual keagamaan di Bali tidak jauh dari pengaruh sastra.
Salah satu di antaranya sastra kidung. Upacara agama Hindu di Bali dan sastra
kidung menjadi sebuah kesatuan. Sastra kidung selalu hadir sebagai pengiring
upacara keagamaan. Hal itu terjadi karena dalam agama Hindu di Bali dikenal
adanya panca nada yang berarti lima nada yang terdiri atas suara mantra, genta,
gamelan, kulkul, dan kidung. Kidung menjadi salah satu nada atau suara yang
wajib hadir setiap kali umat Hindu di Bali menjalankan ritual keagamaannya.
Sastra kidung dikenal masyarakat Jawa sebagai karya sastra berbentuk
puisi. Bentuk puisi kidung merupakan puisi asli Jawa dan bahan kisahnya juga
diambil dari Jawa (Sukesi, 1999:93). Keberadaan dan perkembangan karya sastra
kidung tidak hanya sebatas di pulau Jawa, tetapi juga tumbuh dan berkembang di
Bali bersamaan dengan karya sastra lainnya, seperti kakawin dan geguritan.
Kidung merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa Kawi Bali. Sastra
kidung berasal dari zaman Majapahit hingga abad ke-16 di Jawa Timur yang
kemudian diteruskan di Bali (Adiwimarta, 1999:93). Semua Sastra Jawa
Pertengahan yang dikenal dewasa ini berasal dari Bali, tetapi tetap dengan catatan
bahwa sastra kidung tidak lahir di Bali, kidung telah dikenal di Jawa sebelum
runtuhnya Kerajaan Majapahit (Zoetmulder, 1985:33).
Penelitian kidung sesungguhnya telah dilakukan sejak lama. Dimulai dari
tahun 1925 Callenfels menganalisis Kidung Sudamala. Muncul Berg yang
meneliti Kidung Sunda (1927), Kidung Ranggalawe (1930), dan Kidung
Harsawijaya (1931). Pada tahun 1938 Prijono meneliti Kidung Sri Tanjung dan
tahun 1940 Poerbatjaraka meneliti Kidung Dewa Ruci. Pada tahun 1971 Robson
meneliti Kidung Wangbang Wideya. Pada tahun 1989 Ambara meneliti Kidung
Jerum Kundangdya dan pada tahun 1992 kembali muncul sebuah penelitian
Kidung Bima Swarga oleh Nuarca. Hingga akhirnya pada era tahun 2000-an
muncullah Vickers yang meneliti Kidung Malat (Suarka, 2007: 126--130).
Terakhir pada tahun 2007 muncullah Suarka yang meneliti Kidung Tantri
Pisacarana.
Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu teks kidung yang
dinyanyikan dengan metrum Jerum. Metrum Jerum merupakan metrum kidung
yang umumnya dinyanyikan ketika berlangsungnya upacara bhuta yadnya. Dari
sekian kidung yang dikenal dan tersebar luas di masyarakat, metrum Jerum hanya
ditemukan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Lestarinya Kidung Jerum
Kundangdya diketahui dari pembacanya yang relatif sering ditemukan di
lingkungan masyarakat Bali hingga kini. Permasalahan cinta merupakan salah
satu topik yang diceritakan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Layaknya kisah
percintaan pada umumnya dalam teks ini juga ditemukan adanya penolakan
terhadap cinta melalui pertengkaran dan dendam. Teks Kidung Jerum
Kundangdya tersimpan dalam bentuk lontar di Gedong Kirtya Singaraja dan Unit
Pelayanan Teknis Perpustakaan Lontar Universitas Udayana. Teks Kidung Jerum
Kundangdya telah ditranskripsi, diterjemahkan, dan dicetak dalam sebuah buku
yang telah diterbitkan oleh Proyek Percetakan Naskah Sastra pada tahun
1985/1986.
Dari hasil pengamatan di lingkungan Kota Denpasar, diketahui bahwa
Kidung Jerum Kundangdya bahkan menjadi salah satu kidung yang bisa
dikatakan rutin dinyanyikan sebagai pengiring upacara bhuta yajnya. Umumnya
hanya ada beberapa bait di awal yang umum dinyanyikan, ini bisa disebabkan
karena durasi berlangsungnya upacara bhuta yadnya memang tidaklah lama. Teks
Kidung Jerum Kundangdya secara keseluruhan memang belum begitu di kenal
masyarakat, namum metrum Jerum sudah umum diketahui dilingkungan
masyarakat Hindu di Bali. Dikenalnya metrum Jerum dengan membawa beberapa
bait dari teks Kidung Jerum Kundangdya memunculkan sebuah pemikiran bahwa
Kidung Jerum Kundangdya yang dinyanyikan dengan metrum Jerum menyimpan
sebuah makna yang menjadikannya diterima sebagai kidung pengiring upacara
bhuta yajnya. Makna apa yang ada di balik cerita Kidung Jerum Kundangdya
inilah yang diungkap dalam penelitian ini. Kidung Jerum Kundangdya sebagai
sebuah objek dalam penelitian ini merupakan sebuah naskah kidung yang
mengangkat permasalahan mengenai cinta antara Jerum, Kundangdya, dan Liman
Tarub. Cerita cinta tersebut dilatarbelakangi perselingkuhan. Dilihat dari urat kata
dari judul Jerum Kundangdya dapat diartikan bahwa Jerum berasal dari urat kata
jih kemudian menjadi jyu yang berarti jiwa yang kemudian ditambah dengan kata
rum yang berarti harum atau indah. Arti urat kata tersebut seakan sesuai dengan
tokoh Jerum yang digambarkan sebagai sosok wanita cantik yang memiliki
kepribadian menarik dan mampu menampilkan pesonanya hingga di surga.
Menurut I Gde Anom Ranuara (praktisi dalang), Kundangdya secara garis besar
dapat diartikan dia yang mempunyai harapan utama. Dari penjabaran urat kata
judul Kundangdya telah memberikan sebuah gambaran mengenai Kidung Jerum
Kundangdya yang secara singkat menceritakan seluk-beluk percintaan antara
Jerum, Kundangdya, dan Liman Tarub. Diawali dengan pernikahan Jerum dengan
Liman Tarub hingga akhirnya terjadi perselingkuhan antara Jerum dan
Kundangdya. Tidak dapat dihindari perselisihan antara Kundangdya dan Liman
Tarub, bahkan dendam itu berlarut-larut hingga para Dewa ikut turun tangan
membantu melerai dan menasihati mereka berdua.
Kidung Jerum Kundangdya secara garis besar mengandung cerita antara
dua perbedaan, yaitu antara cinta dan dendam yang berasal dari kebencian. Cerita
tersebut secara implisit membuat perasaan pembaca bergejolak antara rasa
menarik dan menentang. Menarik karena terhanyut dengan ungkapan-ungkapan
cintanya dan menentang karena kemunculan latar belakang cinta berupa
perselingkuhan. Dalam ajaran Hindu di Bali, cinta dan benci dapat dikaitkan
dengan sifat rwa bhinēda1. Rwa Bhinēda dikenal sebagai kata-kata yang selalu
mengajarkan manusia untuk sadar dengan perbedaan, lawan, dan hal yang
bertolak belakang. Penyajian Kidung Jerum Kundangdya yang mengandung
konsep rwa bhinēda tentu memiliki sebuah alasan yang harus ditafsirkan.
1Kata rwa bhinēda berasal dua kata dalam bahasa Jawa Kuno, yaitu rwa dan bhinēda. Rwa „dua‟
dan bhinēda „membagi, memisahkan, memecah belah‟. Rwa bhinēda adalah dua yang terbagi,
terpisah, terpecah belah atau dengan kata lain dua yang berbeda (Zoetmulder, 1994: 122 dan 967).
Dilihat dari segi jumlah baitnya, Kidung Jerum Kundangdya terdiri atas
325 bait yang seluruhnya diikat oleh metrum macapat. Oleh karena itu, setiap bait
pupuhnya memiliki jumlah suku kata yang sama dalam setiap baris dan bunyi
akhir yang sama dalam setiap baris.
Munculnya sebuah perbedaan tentu memunculkan niat membentuk
persamaan. Demikian halnya dengan rwa bhinēda yang memunculkan konsep
nyomia2 yang bertujuan untuk menyeimbangkan makrokosmos dan mikrokosmos.
Pelaksanaannya sebagai sarana penetralisasi energi alam yang bersifat buruk atau
negatif menjadi sifat-sifat positif atau kebajikan. Dalam ajaran Hindu di Bali
konsep nyomia dilakukan melalui sebuah upacara yang bernama bhuta yadnya.
Nyomia dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk penetralisasian alam yang dipenuhi
oleh kekuatan negatif dan positif sehingga menciptakan keharmonisan alam.
Mengharmoniskan dua kutub3 yang berbeda antara positif dan negatif adalah
tradisi Bali yang merupakan bagian dari ajaran Hindu. Kekuatan negatif yang
pada akhirnya menjadi kekuatan positif tergambar dari cerita pertentangan antara
Kundangdya dan Liman Tarub. Kesabaran dan rasa cintanya yang tulus terhadap
Jerum menjadikan Kundangdya mampu memperoleh kemenangannya dan berhasil
hidup bahagia dengan Jerum, seperti yang tergambar dalam Kidung Jerum
Kundangdya. Alam pun dapat dibayangkan seperti demikian.
Disharmoni yang menjadi harmoni, kekacauan pada alam yang
dinetralisasi hingga menjadi harmonis kembali. Penetralisasian alam inilah di Bali
2 Nyomia berasal dari kata somia „tenang, tenteram‟(KBI, 2008: 675). Adanya awalan nasal ny-,
memberikan arti melakukan agar menjadi tenang, tentram. Dapat diartikan sebagai sebuah
penetralisasian. 3 Kuliah umum Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., tahun 2012
khususnya pada ajaran Hindu dikenal dengan upacara bhuta yadnya. Kesabaran
dan cinta adalah hal yang mampu mengalahkan permusuhan serta dendam. Sama
halnya seperti dasar seseorang melakukan yadnya juga disebabkan oleh adanya
cinta kasih dan keikhlasan.
Kemunculan Kidung Jerum Kundangdya sebagai sebuah nyanyian
pengiring dalam upacara bhuta yadnya tentu menimbulkan permasalahan yang
perlu diteliti lebih lanjut. Hipotesis awal bahwa Kidung Jerum Kundangdya
sebagai kidung bertema cinta memiliki kesamaan dan keterkaitan dengan
harmonisasi alam. Perjuangan yang dilakukan Kundangdya hingga akhirnya
mampu meraih keharmonisan dengan Jerum karena cinta, tampak sebagai
cerminan bahwa cinta jugalah yang mampu menetralisasi keadaan alam dari yang
disharmoni menjadi harmoni.
Sejak lama peneliti sastra Bali tradisional sudah berkeinginan untuk
mengungkap keberadaan Kidung Jerum Kundangdya. Hal ini dibuktikan dengan
adanya sebuah penelitian yang dilaksanakan pada tahun 1989 oleh I Gusti Ngurah
Putu Ambara. Penelitian Kidung Jerum Kundangdya dihasilkan dalam bentuk
skripsi dengan judul “Kidung Jerum Kundangdya Analisis Struktur dan Fungsi”.
Penelitiannya diawali dengan penelitian filologi terhadap teks Kidung Jerum
Kundangdya dengan kesimpulan teks Kidung Jerum Kundangdya yang berada di
Gedong Kirtya Singaraja menjadi naskah yang paling baik dan lengkap.
Dilanjutkan dengan analisis struktur naratif dan fungsi. Dalam analisis fungsi,
Ambara hanya mengungkapkan bahwa Kidung Jerum Kundangdya dihadirkan
dalam upacara bhuta yadnya dengan alasan upacara keagamaan Hindu di Bali
memerlukan adanya nyanyian-nyanyian suci sebagai pengiring persembahan.
Dalam penelitian tersebut belum disinggung tentang keterkaitan Kidung Jerum
Kundangdya dengan harmonisasi alam. Demikianlah gambaran ringkas penelitian
yang pernah dilakukan terhadap Kidung Jerum Kundangdya pada tahun 1989 dan
hingga kini belum pernah ada penelitian kembali terhadap kidung ini. Oleh karena
itu, Kidung Jerum Kundangdya memang layak diteliti kembali. Salah satu di
antaranya dengan meneliti dan mengungkap hubungan cinta yang berlatar
belakang perselingkuhan dalam Kidung Jerum Kundangdya dalam kaitannya
dengan hamonisasi alam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini dapat diperinci sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk harmonisasi alam dalam Kidung Jerum
Kundangdya?
2. Bagaimanakah fungsi harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya
bagi masyarakat Bali?
3. Bagaimanakah makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum
Kundangdya bagi masyarakat Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini memiliki tujuan umum menggali dan mengungkap
keberadaan naskah-naskah karya sastra tradisional berupa kidung dengan harapan
mampu memunculkan manfaat lebih bagi masyarakat luas. Selain sebagai salah
satu bentuk pelestarian terhadap karya-karya sastra lama, kidung juga salah satu
naskah karya sastra tradisional berbentuk nyanyian yang dikenal sebagai salah
satu budaya leluhur yang dahulu tersebar luas di Nusantara. Sebagai sebuah
warisan budaya Nusantara, pelestarian melalui sebuah penelitian mampu menjadi
sebuah cara yang tepat untuk mejaga kelestarian dan bahkan mampu
memunculkan minat masyarakat nusantara untuk tetap membaca kidung.
1.3.2 Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini adalah menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan dalam rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui bentuk harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya.
2. Mengetahui fungsi harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya
bagi masyarakat Bali.
3. Mengetahui makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya
bagi masyarakat Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan sumbangan
keilmuan dan praktis. Manfaat pertama adalah manfaat yang bersifat teoretis dan
manfaat kedua bersifat praktis yang dijabarkan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis sebuah penelitian diharapkan mampu memberikan sumber
informasi untuk penelitian berikutnya yang sejenis. Selain itu untuk menambah
khazanah bahan bacaan hasil penelitian kesusastraan Bali, khususnya yang
berkaitan dengan karya sastra kidung.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis ada manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah
memperkenalkan kepada masyarakat bahwa beberapa bait kidung yang umumnya
dinyanyikan ketika berlangsungnya upacara agama sesungguhnya memiliki
sebuah bangun karya yang utuh, di mana di dalamnya terjalin sebuah cerita yang
sarat akan makna kehidupan. Salah satu di antaranya adalah kidung Jerum
Kundangdya. Selain itu, mampu pula memberikan sebuah pemahaman kepada
masyarakat mengenai keterkaitan antara karya sastra kidung Jerum Kundangdya
yang bertema cinta dan harmonisasi alam.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kidung Jerum Kundangdya merupakan sebuah naskah yang sebelumnya
sudah pernah diteliti oleh I Gusti Ngurah Putu Ambara pada tahun 1989.
Penelitian Kidung Jerum Kundangdya dihasilkan dalam bentuk skripsi dengan
judul “Kidung Jerum Kundangdya Analisis Struktur dan Fungsi”. Penelitian
tersebut membahas dua masalah, yaitu struktur dan fungsi Kidung Jerum
Kundangdya. Diawali dengan peneltian filologi yang menyimpulkan naskah
Kidung Jerum Kundangdya di Gedong Kertya Singaraja menjadi naskah yang
paling baik dan lengkap. Dilanjutkan dengan analisis struktur naratif dan fungsi.
Analisis fungsi dalam penelitian Ambara lebih kepada fungsi kewacanaan dalam
Kidung Jerum Kundangdya, dimana dibagi kembali menjadi fungsi sosial,
pendidikan, dan keagamaan. Dengan penelitian fungsi yang lebih mengarah pada
fungsi sosial, pendidikan dan keagamaan tentu membedakan penelitian ini dengan
penelitian yang sebelumnya telah pernah dilakukan Ambara.
Penelitian terbaru terhadap kidung dilakukan oleh I Nyoman Suarka
(2007) dalam sebuah disertasi dengan judul Kidung Tantri Pisacarana. Penelitian
tersebut mengangkat empat permasalahan, yaitu: (1) penerimaan dan tanggapan
masyarakat Bali terhadap teks Tantri Kamandaka, (2) Tantri Pisacarana dengan
konvensinya dalam tradisi Bali, (3) keterbacaan teks Kidung Tantri Pisacarana
dalam suntingan dan terjemahan, dan (4) Kidung Tantri Pisacarana sebagai satu
fenomena semiotik. Dari keempat permasalahan tersebut dihasilkanlah sebuah
pemahaman yang kompleks mengenai Kidung Tantri Pisacarana, mulai dari
naskah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hingga makna yang
terkandung dalam Kidung Tantri Pisacarana. Hasil penelitian kidung ini dapat
dijadikan sumber inspirasi untuk meneliti naskah-naskah kidung mengingat
adanya kesamaan dari segi permasalahan yang diangkat, yaitu mencari makna
yang terkandung dalam naskah yang dibedah dengan teori semiotik.
Penelitian mengenai harmonisasi alam yang disertai dengan pelestarian
alam pernah dilakukan oleh Alit Udayana dalam sebuah penelitian yang berjudul
“Tumpek Kandang Kearifan Lokal Bali untuk Pelestarian dan Pengembangan
Sumber Daya Ternak”. Dalam penelitian tersebut, Alit Udayana menyampaikan
hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan lingkungan yang pada akhirnya bertujuan untuk menciptakan
kesejahteraan jagat beserta isinya. Tri Hita Karana merupakan sebuah konsep
tentang harmonisasi yang dikenal oleh masyarakat Bali. Keseimbangan dan
keharmonisan dikaitkan dengan aktivitas masyarakat Bali itu sendiri. Salah satu
diantaranya melalui upacara bhuta yadnya seperti perayaan Tumpek Kandang
(Alit Udayana, 2008: 79--80).
Kajian pustaka-pustaka di atas dapat memberikan suatu gambaran dan
pemahaman kepada peneliti mengenai analisis karya sastra kidung kendatipun
analisis yang akan dilakukan pada naskah kidung dengan judul dan permasalahan
yang berbeda. Dalam hal ini, peneliti menganalisis Kidung Jerum Kundangdya
dilihat dari keterkaitan isi naskah dan wacana harmonisasi alam, hal itu dilakukan
karena keberadaan Kidung Jerum Kundangdya ini sebagai kidung pengiring
upacara bhuta yadnya yang merupakan upacara yang bertujuan sebagai
pengharmonis alam. Cerita yang secara eksplisit menceritakan cerita cinta
ternyata mengandung sebuah bahasan yang berkaitan dengan sebuah upacara yang
bertujuan untuk menetralisasi alam sehingga menjadi harmonis. Penelitian ini
diharapkan mampu memberikan sebuah gambaran keterkaitan upacara bhuta
yadnya dengan isi cerita Kidung Jerum Kundangdya, lebih tepatnya alasan
mengapa kidung ini dianggap pantas sebagai pengiring upacara untuk
pengharmonisan alam.
2.2 Konsep
Dalam penelitian ini dijelaskan dua konsep yang dianggap penting, yakni
terbatas pada konsep-konsep kontekstual yang benar-benar bermanfaaat untuk
memahami makna dari Kidung Jerum Kundangdya. Konsep-konsep yang perlu
dibahas di dalam tulisan ini adalah konsep kidung dan konsep harmonisasi alam.
2.2.1 Konsep Kidung Jerum Kundangdya
Kidung merupakan salah satu bentuk karya sastra Bali tradisional yang
diakui keberadaannya di samping kakawin, geguritan, dan palawakya. Istilah
kidung mempunyai dua pengertian, yaitu (1) kidung berarti nyanyian dan (2)
kidung adalah karya sastra yang menggunakan metrum berbeda dengan metrum
kakawin ataupun metrum macapat (Zoetmulder dkk,1995:498). Sebagai sebuah
bagian dari sastra, ada pandangan bahwa sastra kidung merupakan bentuk puisi
yang menggunakan matra Jawa Tengahan dan bentuk ini dinamakan pula Sekar
Tengahan (Sekar Madya) (Wicaksana dan Marhaeni, 2004: 14). Dari pandangan
di atas dapat disimpulkan bahwa kidung merupakan bentuk puisi yang mampu
dinyanyikan sesuai dengan metrumnya.
Kidung telah dikenal sejak zaman pra-Hindu dengan munculnya istilah
“mangidung” yang dipakai di Bali untuk menyebutkan suatu bentuk nyanyian
atau sekelompok orang yang sedang menyanyi. Suastika (1997: 305--307)
menjelaskan bahwa setelah masuknya pengaruh Jawa di Bali, sejak masa
pendudukan Majapahit pada tahun 1343, kegiatan sastra mengalami masa
keemasannya, khususnya pada zaman Kerajaan Gelgel dan Kerajaan Klungkung.
Pada zaman Kerajaan Gelgel lahir berbagai genre sastra. Salah satu diantaranya
adalah karya sastra kidung yang menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Pada
masa Bali Kuno di Bali, bentuk nyanyian dikenal dengan istilah gending. Pada
masa Jawa Kuno di Jawa bentuk nyanyian itu dinamakan kidung. Dapat dikatakan
bahwa tradisi mangidung di Jawa yang di Bali diperkirakan sama dengan tradisi
magending telah ada jauh sebelum kemunculan kidung dalam bentuk naskah
(Soedarsono, 1997).
Berdasarkan bahasa yang digunakan, sastra kidung dalam tradisi Bali
dapat dibedakan menjadi sastra kidung yang menggunakan bahasa Tengahan,
bahasa Bali dan sastra kidung yang menggunakan bahasa Sasak (Suarka, 2007:
135). Jika ditelusuri berdasarkan temanya, Zoetmulder (1985: 512--545) membagi
sastra kidung menjadi tiga jenis, yaitu (1) kidung historis, (2) kidung panji, dan (3)
kidung yang bersifat kerakyatan. Berbeda dengan pandangan Tim Pusat Bahasa
yang membedakan kidung berdasarkan temanya menjadi tiga yang terdiri atas (1)
kidung sejarah atau legenda, (2) kidung bertema panji, dan (3) kidung ruwat dan
penyucian diri. Kidung bersifat kerakyatan yang diungkapkan oleh Zoetmulder
kiranya dapat disamakan dengan kidung ruwat dan penyucian diri.
Dilihat dari metrumnya, sastra kidung dapat dibedakan atas kidung
bermetrum macapat dan kidung bermetrum tengahan. Metrum macapat yang
digunakan dalam kidung memiliki prosodi, antara lain terikat oleh jumlah baris
dalam satu bait, jumlah suku kata dalam setiap baris, dan bunyi akhir pada setiap
baris. Prosodi metrum kidung lebih banyak ditentukan oleh jumlah suku kata dan
bunyi akhir pada setiap bait daripada jumlah suku kata dan bunyi akhir pada setiap
larik atau baris. Dalam hal metrum, sebenarnya kidung tidak hanya mengadopsi
metrum macapat yang biasa digunakan dalam sastra geguritan atau peparikan
tetapi juga mengadopsi wirama dalam sastra kakawin. Di samping menggunakan
metrum macapat, ada pula jenis sastra kidung menggunakan metrum tengahan. Di
Bali metrum tengahan disebut sekar madia. Di Jawa dikenal istilah tembang
tengahan atau sekar madia. Sekar madia atau tembang tengahan sebagai jenis
metrum yang digunakan dalam karya sastra kidung mempunyai prosodi, terdiri
atas (1) jumlah suku kata dan bunyi akhir dihitung dalam bait, bukan setiap baris
sebagaimana dalam metrum macapat (Suarka, 2007: 133--134).
Sastra kidung sangat fungsional dalam kehidupan masyarakat Bali,
khususnya dalam bidang keagamaan. Pelaksanaan suatu upacara agama di Bali
tidak lepas dari kidung atau gita. Ada lima jenis upacara agama di Bali yang
disebut panca yajnya, yaitu upacara dewa yajnya, manusa yajnya, rsi yajnya,
bhuta yajnya dan pitra yajnya. Kidung yang dikategorikan kidung dewa yajnya
berisi hal-hal yang berkaitan dengan sistem dan praktik pemujaan kepada Dewa
sebagai manifestasi Tuhan dengan berbagai gelar dan atributnya. Kidung yang
dikategorikan sebagai kidung pitra yajnya berisi doa-doa yang ditujukan untuk
keselamatan roh mendiang agar mendapat tempat yang baik sesuai dengan
karmanya. Kidung manusa yajnya berisi doa-doa pengiring dalam upacara
manusa yajnya. Kidung rsi yajnya berisi doa-doa pengiring dalam upacara rsi
yajnya, Kidung bhuta yajnya berisi doa-doa pengiring dalam pelaksanaan upacara
bhuta yajnya yang bertujuan membersihkan dan menyucikan suatu tempat atau
alam beserta isinya dengan meruwat makhluk-makhluk halus atau bhuta kala
yang dianggap lebih rendah daripada manusia (Suarka, 2007: 139--140).
Kata Jerum Kundangdya merupakan dua kata yang diambil dari nama
tokoh, yaitu Jerum dan Kundangdya. Berdasarkan Kamus Bahasa Bali yang
disusun oleh Balai Bahasa Denpasar dan di bantu dengan Kamus Jawa Kuno
karya Zoetmulder dkk, dapatlah terungkap mengenai makna dari urat kata Jerum
dan Kundangdya. Jerum berasal dari urat kata bahasa Jawa Kuno jih dan rum. jih
yang berarti benih atau jiwa dan rum berarti harum. Jadi jerum dilihat dari arti
katanya dapat diartikan sebagai jiwa yang harum. Sedangkan berdasarkan Kamus
Bahasa Bali, Jerum adalah nama tempat tempat tidur/ peraduan dan nama salah
satu metrum kidung. Seperti yang digambarkan dalam Kidung Jerum
Kundangdya, tokoh Jerum merupakan sosok seorang wanita cantik dengan fisik
sempurna yang akhirnya memikat dua orang pria hingga tergila-gila dengannya.
Namun tidak lepas dari arti tempat tidur yang menyebabkan kehidupan Jerum
berubah. Kematian sekaligus kebahagiaannya berawal dari tempat tidur, yaitu saat
Kundangdya meniduri Jerum.
Selain dikenal sebagai judul dari kekidungan dalam Kidung Jerum
Kundangdya, Jerum juga merupakan salah satu nama metrum kidung dari prosodi
metrum macapat yang memang digunakan hanya untuk menyanyikan setiap bait
kidung Jerum Kundangdya itu sendiri. Sedangkang kata Kundangdya berasal dari
kata kundang yang artinya gadis/ gadis pilihan dan dia yang artinya rarē 'anak /
anak kecil'. Kundangdya dapat berarti anak gadis pilihan. Demikianlah seperti
yang digambarkan dalam cerita bahwa Tokoh Kundangdya memeperjuangkan
untuk dapat bersatu dengan gadis pilihannya yaitu Jerum.
Kidung Jerum Kundangdya merupakan kidung yang sering dinyanyikan
dalam upacara bhuta yadnya. Hingga kini masyarakat di Bali umumnya hanya
melantunkan satu sampai lima bait terdepan dari Kidung Jerum Kundangdya.
Didukung dengan terbitnya buku-buku Kidung Panca Yadnya yang hanya memuat
satu sampai lima bait Kidung Jerum Kundangdya dan hanya dikenal dengan
sebutan Kidung Jerum. Cerita dalam bait satu hingga lima hanya merupakan
sebuah pembukaan yang menghadirkan kata-kata awal pengarang yang
merendahkan dirinya karena telah berani membuat sebuah karangan hingga
pengenalan tokoh Kundangdya yang akan dijodohkan dengan Jerum oleh ibunya.
Dalam realitasnya sekarang, belum banyak masyarakat Bali yang mengenal
Kidung Jerum Kundangdya secara utuh dan keseluruhan namun sangat mengenal
metrum Jerum. Kidung Jerum lebih terkenal dengan bait-bait terdepan tersebut
yang memang lebih sering dinyanyikan dalam upacara-upacara keagamaan
khususnya dalam upacara bhuta yadnya. Sesungguhnya justru ada cerita menarik
dan penuh makna yang dimiliki Kidung Jerum Kundangdya dalam naskahnya
yang utuh.
2.2.2 Konsep Harmonisasi Alam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 390) harmonisasi
mengandung pengertian pengharmonisan; upaya mencari keselarasan dan alam
berarti segala yang ada di langit dan di bumi (seperti bumi, bintang, kekuatan).
Alam merupakan tempat makhluk hidup melangsungkan kehidupannya. Makhluk
hidup dan alam menjadi dua unsur yang saling membutuhkan. Alam memberikan
apa yang dibutuhkan makhluk hidup dan makhluk hidup pun berkewajiban
menjaga alam tersebut agar tidak rusak sehingga terciptalah hubungan harmonis
antara makhluk hidup dan alam.
Menurut pandangan agama Hindu, alam semesta yang mahaluas ini
disebut bhuwana agung, sedangkan manusia disebut bhuwana alit. Alam besar
disebut bhuwana agung atau macrocosmos dan alam kecil disebut bhuwana alit
atau microcosmos. Tuhanlah yang menjadi sumber awal, tengah, dan akhir dari
kedua alam tersebut. Unsur yang membentuk macrocosmos dan microcosmos
adalah unsur dasar yang sama yaitu yang disebut panca maha bhuta. Unsur panca
maha bhuta adalah prtiwi (zat padat), apah ( unsur cair), bayu (udara), teja (unsur
panas), dan akasa (eter). Itulah bahan dasar yang membentuk alam semesta dan
semua makhluk hidup yang menghuni alam semesta ini.
Alam dan isinya ini akan selalu berhubungan, saling ketergantungan, dan
merupakan suatu ekosistem. Diperlukan kebajikan manusia agar mampu
mempertahankan keharmonisan bhuwana agung dengan bhuwana alit. Di dalam
kitab Manava Dharmasastra Bab I. 5-19 dijelaskan mengenai penciptaan alam
sebagai berikut.
"Ketahuilah, mula pertama alam semesta ini gelap, tidak diketahui tanpa
ciri-cirinya, demikian pula tidak terpikirkan oleh daya akal, tidak diketahui,
sebagai halnya dengan orang yang tidur lelap.
Kemudian dengan kekuatan tapa-Nya, Ia Tuhan Yang Mahaada
menciptakan ini disebut maha bhuta (unsur alam semesta) dan lainnya, nyata
terlihat melenyapkan kegelapan.
Ia hanya terlihat oleh pikiran, suksma (= gaib), tak terbagikan, kekal, citta
(bersifat berpikir), dari pada-Nya-lah semua ciptaannya ini, yang tak terkirakan
banyaknya memancar laksana kemauan sendiri.
Ia yang menciptakan berbagai ciptaan, menjadi dari diri-Nya sendiri,
diciptakannya makhluk-makhluk hidup yang beraneka ragam, mulai dengan
memikirkannya, diciptakannya air dan meletakkan benih di dalamnya.
Benih menjadi telur alam semesta yang mahasuci, cemerlang laksana
jutaan sinar; dari dalam telur itu, ia dijadikan menjadi brahman, pencipta cikal
bakal alam semesta.
Air, Nara namanya, karena sesungguhnya air itu dari Nara dan sebagai
delapan tempat (ayana) dari yang pertama, karena itu Ia digelari Narayana.
Dari asal itu, ia yang tak nyata, kekal dan nyata tak nyata, Ia menciptakan
Purusa. Dikenal di dunia dengan gelar Brahma.
Di dalam telur itu, Ia Bhagawan, telah tinggal, selama setahun, kemudian
melalui daya pikirnya sendiri, Ia bagi dirinya menjadi dua bagian. Dari dua bagian
itu ia ciptakan langit dan bumi. Di tengah-tengahnya Wyoma (atmosfer) delapan
penjuru mata angin dan tempat abadi untuk air.
Ia juga ciptakan manah (akal budi) dari dirinya dengan sifatnya yang tak
nyata, demikian selanjutnya dari akal budi diciptakannya ahamkara yang
menguasai kesadaran.
Laksana Yang Mahaagung, demikian pula atman dan ciptaan-Nya
dipengaruhi oleh tri guna, dan menurut sifatnya panca indria mengenal benda-
benda lahiriah itu.
Dengan menggabung-gabungkan unsur-unsur yang enam dengan unsur
lain dari diri-Nya sendiri yang mempunyai kekuatan yang tak terkirakan, Ia
ciptaan makhluk seisi alam semesta.
Karena bentuk ciptaan itu bersifat gaib (sukma), menjiwai (a-sri) serba ada
(saat) ini, tak termusnahkan (siryate), orang bijaksana menamakan bentuk sarira
(badan).
Bhuta-bhuta dengan fungsi mereka bersama dan pikiran, ia jadikan badan-
badan gaib yang abadi menjadi sarwa bhuta (semua makhluk hidup).
Dari ketujuh unsur itu, Purusa Yang Mahasakti, terjadilah alam semesta ini
dari yang termusnahkan menjadi termusnahkan" (Pudja dan Sudharta, 2002: 28--
42).
Planet bumi tempat semua makhluk hidup menyelenggarakan
kehidupannya ini dibangun oleh lima unsur yang disebut panca maha bhuta dalam
ajaran agama Hindu. Panca maha bhuta itu terdiri atas unsur padat seperti tanah
yang disebut prthivi. Unsur cair seperti air yang disebut apah, unsur panas yang
disebut teja, unsur udara yang disebut bayu, dan unsur eter yang disebut akasa.
Semua unsur alam ini memiliki hukum-hukumnya sendiri untuk bisa bereksistensi
memberikan kontribusi pada kehidupan makhluk lain isi alam ini. Angin
berembus dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Air selalu mengalir
dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Sifat api membakar, sifat air
membasahi dst. Semua gerak laku alam itu memiliki makna bagi kehidupan
makhluk hidup isi alam ini (Wiana, 2007: 155). Eksistensi fungsi unsur alam
tersebut tentunya akan berjalan lancar kalau aspek asasi dari unsur alam itu tidak
terganggu. Unsur-unsur alam itu akan tidak dapat berfungsi sesuai dengan hukum
alam apabila unsur alam tersebut diganggu asasinya. Jika keberadaan alam itu
dilindungi dengan sebaik-baiknya, maka semua bentuk dan kontribusi alam itu
akan memberikan kontribusi pada kehidupan semua makhluk hidup di dunia ini.
Demikianlah penciptaan alam semesta yang diuraikan dalam kitab Manava
Dharmasastra dan manusia menjadi makhluk yang mengisi alam semesta yang
berkewajiban menjaga keharmonisan alam semesta tersebut karena di antara
makhluk hidup yang lain hanya manusia yang memiliki "idep" atau kecerdasan
spiritual dan kecerdasan intelektual. Banyak hal dapat dilakukan manusia untuk
menjaga keharmonisan alam salah satunya dimulai dengan menjaga keharmonisan
diri.
Di lingkungan masyarakat Hindu di Bali dikenal sebuah upacara yang
bertujuan untuk mengharmoniskan kekuatan alam. Upacara tersebut disebut bhuta
yadnya. Bhuta yadnya di kalangan umat Hindu di Bali masih dianggap sebagai
persembahan yang disuguhkan kepada bhuta kala, agar bhuta kala tersebut
menyantapnya dan dibayangkan rupa bhuta kala sangat mengerikan. Pandangan
demikian dianggap keliru oleh I.B. Sudarsana melalui bukunya yang berjudul
Ajaran Agama Hindu Makna Upacara Bhuta Yajnya. Menurut pandangan beliau,
kata bhuta berasal dari suku kata “bhu” yang artinya menjadi, ada, gelap,
berbentuk, makhluk, kemudian menjadi kata “bhuta” yang artinya telah dijadikan
atau diwujudkan. Kata “kala” artinya energi, waktu. Bhuta kala berarti: energi
yang timbul dan mengakibatkan kegelapan (Sudarsana, 2001: 19).
Umat Hindu di Bali meyakini bahwa bhuta kala sebagai kekuatan-
kekuatan yang bersifat negatif yang sering menimbulkan gangguan serta bencana.
Dengan melakukan upacara bhuta yajnya, maka kekuatan-kekuatan tersebut akan
dapat menolong dan melindungi kehidupan manusia. Butha yajnya bermakna
upacara pengorbanan/persembahan suci yang tulus ikhlas, dengan makhluk-
makhluk yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), yang bertujuan
untuk menjaga keseimbangan, kelestarian, dan keselarasan antara jagat raya ini
dan diri kita. Hal yang dapat memunculkan keseimbangan alam disebabkan oleh
adanya cinta kasih. Dari cinta menjadikan seimbang, lestari, dan selarasnya
hubungan antara alam atau jagat raya ini dan makhluk hidup, tentu memunculkan
sebuah keharmonisan yang pada akhirnya menciptakan kedamaian dunia. Dalam
teks Siwagama termuat bahwa upacara yadnya wajib dilakukan oleh penganut
ajaran karma sanyasa yang berpandangan bahwa upacara yadnya sangat penting
dilaksanakan untuk menyucikan alam semesta. Jika alam semesta tidak dibuatkan
upacara yajnya, maka segalanya akan menjadi kotor, dunia bagaikan tanpa
kekuatan spiritual, tanah akan menjadi tandus dan gersang, hasil bumi menjadi
tidak suci dan tidak mempunyai rasa. Agama Hindu mengajarkan keseimbangan.
Untuk itu, dilakukan upacara yajnya sebagai salah satu cara memelihara
keseimbangan (Suarka dkk, 2005: 318--320).
Wiana (2004 : 153--154) dalam bukunya yang berjudul Mengapa Bali
disebut Bali? menulis bahwa makna upacara bhuta yadnya menanamkan nilai-
nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dan dengan kesadaran ini
melakukan upaya untuk melestarikan kesejahteraan alam. Upacara bhuta yadnya
di Bali sering diterjemahkan sebagai yadnya dengan persembahan berupa
binatang. Masyarakat di Bali mengenal sebuah kepercayaan bahwa tumbuh-
tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara yadnya akan
mengalami peningkatan pada reinkarnasi kehidupan berikutnya. Oleh karena itu,
tumbuhan dan binatang sering kali digunakan sebagai sarana upacara yadnya di
Bali sebagai salah satu wujud tolong-menolong dan saling mencintai antara
manusia dan lingkungan (termasuk di dalamnya tumbuhan dan binatang) sehingga
pada akhirnya menciptakan keharmonisan alam. Dalam upacara bhuta yadnya,
binatang bahkan menjadi persembahan pokok yang bertujuan untuk meningkatkan
sitat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan hingga
akhirnya meningkat menuju sifat-sifat kedewaan. Bhuta yadnya jika dimaknai
lebih dalam tidak hanya sebatas persembahan kepada bhuta kala, tetapi
merupakan salah satu wujud manusia memperbaiki dan introspeksi diri untuk
berusaha menghilangkan sifat-sifat bhuta layaknya sifat binatang yang
dikorbankan hingga akhirnya sang manusia mampu menciptakan sebuah
keharmonisan.
Dalam Konsep Hindu di Bali mengenal Tri Hita Karana membahas
tentang cara menjaga hubungan baik antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan),
hubungan baik antara manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan baik
antara manusia dengan alam sekitar (Palemahan). Tri Hita Karana adalah filosofi
hidup yang menjadi bagian dari hidup manusia. Ketika sikap hidup dibentuk
karena pola pikir menerapkan Tri Hita Karana, disitulah keharmonisan akan
selalu terjaga.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan semiotik sebagai teori utama untuk
menganalisis Kidung Jerum Kundangdya. Semiotika berasal dari kata semeion,
yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika
berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara
kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia
dipenuhi oleh tanda. Dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi
efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan
sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia.
Dengan demikian, manusia adalah homo semioticu (Ratna, 2004: 97).
Dalam konteks semiotik, tanda mempunyai dua aspek, yakni aspek
penanda signifian/signified dan aspek petanda atau signifie (Sudjiman dan Zoest,
1992: 59). Lebih lanjut Sudjiman dan Zoest menjelaskan berdasarkan hubungan
antara penanda dan petanda maka tanda dapat dipilih menjadi ikon, indeks, dan
simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya keserupaan yang bersifat
alamiah antara penanda dan petandanya. Keserupaan itu adalah hubungan
persamaan. Misalnya gambar kuda sebagai penanda, menandai kuda sebagai
petanda atau artinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal
atau sebab akibat antara penanda dengan petandanya. Misalnya adanya asap
menandai api, penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya. Simbol
adalah kesepakatan atau konvensi umum tentang tanda-tanda yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petanda, hubungannya
bersifat arbitrer atau semau-maunya. Dalam hal ini arti tanda sangat diperlukan
oleh konvensi. Misalnya ibu adalah simbol, artinya ditentukan oleh masyarakat
Indonesia, orang Inggris menyebutnya mother (Sudjiman dan Zoest, 1992:59--60).
Karya sastra merupakan aktivitas bahasa yang secara tidak langsung
bersifat hipogramatik. Fenomena sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan
pembaca serta dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu
didasarkan atas prinsip bahwa puisi (karya sastra) merupakan suatu aktivitas
bahasa. Akan tetapi, aktivitas bahasa itu adalah tidak langsung. Ada tiga hal yang
menyebabkan ketidaklangsungan itu, yakni displacing of meaning, distorting of
meaning, dan creating of meaning. Displacing of meaning muncul ketika tanda-
tanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu kata “menggantikan”
kata yang lain sebagai metafora dan metonimi. Distorting of meaning terjadi
akibat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsens. Sementara itu, creating of meaning
ditentukan oleh suatu organisasi prinsip untuk tanda-tanda di luar item-item
linguistik (Riffaterre, 1978: 1--2).
Dalam penelitian ini, pemilihan teori semiotik akan lebih mengacu pada
pendapat Riffaterre mengingat kidung juga merupakan salah satu bentuk puisi
tradisional. Penelitian mengenai representasi cinta dalam kidung Jerum
Kundangdya memuat tanda-tanda yang dapat diinterpretsikan. Interpretasi tanda-
tanda dapat mengarahkan pada suatu pemahaman yang kompleks mengenai isi
karya. Dalam konteks penelitian ini, teori semiotik digunakan untuk
mengungkapkan bentuk, fungsi, dan makna harmonisasi alam dalam kidung
Jerum Kundangdya.
2.4. Model Penelitian
TEORI SEMIOTIK
HARMONISASI
ALAM DALAM
KIDUNG JERUM
KUNDANGDYA
MAKROKOSMOS
DAN
MIKROKOSMOS
Fungsi Harmonisasi Alam
dalam Kidung Jerum
Kundangdya
Makna Harmonisasi
Alam dalam Kidung
Jerum Kundangdya
Bentuk Harmonisasi
Alam dalam Kidung
Jerum Kundangdya
Keterangan Model Penelitian
= Merupakan Objek Penelitian
= Merupakan teori yang dipakai dalam penelitian
= Merupakan hasil penelitian
= Merupakan garis penghubung antara sesama objek,
dari teori ke objek, dan dari objek ke hasil
penelitian.
Penjelasan Model Penelitian
Kidung Jerum Kundangdya dikaji dengan teori semiotika. Teori semiotik
digunakan untuk menemukan keterkaitan makrokosmos yaitu alam semesta dan
isinya yaitu mikrokosmos dengan wacana harmonisasi alam dalam Kidung Jerum
Kundangdya. Pada akhirnya penelitian ini memiliki hasil akhir berupa
pemahaman mengenai harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya, baik
dari segi bentuk, fungsi maupun makna.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian memiliki empat tahapan penting. Tahapan-tahapan tersebut
meliputi tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap
penyajian hasil analisis. Tahap persiapan dalam hal ini meliputi pemilihan judul,
studi pustaka, perumusan masalah, perumusan tujuan, penentuan metode
penelitian, dan penetapan waktu penelitian. Pemilihan judul dilakukan dengan
terlebih dahulu membaca kidung Jerum Kundangdya. Setelah membaca dan
memahami isinya dilanjutkan dengan mencari suatu permasalahan yang menjadi
titik kemenarikan dari karya tersebut.
Langkah selanjutnya dalam tahap persiapan adalah studi pustaka. Studi
pustaka dilakukan untuk mengumpulkan bahan-bahan serta literatur yang
menunjang proses penelitian. Pemilihan dan pengumpulan bahan-bahan serta
literatur penunjang tentu saja dikaitkan dengan rumusan masalah serta tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini. Perumusan masalah dalam penelitian ini
dilakukan dengan pola pemikiran yang diutarakan oleh Marzuki (1989:26), yaitu
manageable (topik penelitian terjangkau oleh peneliti), ontainable (permasalahan
dirumuskan dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan-bahan pustaka),
significance (masalah yang digarap cukup penting untuk diteliti), dan interest
(masalah yang diangkat mengaktifkan niat).
Selanjutnya adalah tahapan analisis yang meliputi editing dan coding.
Tahapan editing bertujuan untuk melihat keakuratan dan reliabilitas data dengan
permasalahan yang hendak dipecahkan. Coding merupakan tahap memberikan
tanda pada data-data yang telah ditemukan untuk selanjutnya diklasifikasikan
sesuai dengan yang dibutuhkan dalam penelitian. Kemudian, tahap terakhir dalam
sebuah penelitian adalah tahap penyajian hasil analisis data.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian ini bersifat kualitatif dengan data primer berupa teks
Kidung Jerum Kundangdya yang telah melalui proses transliterasi dari naskah asli
yang masih berbetuk lontar yang disimpan di Gedong Kirtya Singaraja. Didukung
juga dengan naskah Kidung Jerum Kundangdya yang disusun oleh Proyek
Percetakan Naskah Sastra Klasik Daerah Bali dan dari Perpustakaan Lontar milik
Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Selain dari teks Kidung Jerum
Kundangdya, sumber data juga diperoleh dari informan yang mengetahui Kidung
Jerum Kundangdya dalam posisinya sebagai kidung pengiring upacara bhuta
yajnya.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data paling berperan untuk berhasil tidaknya suatu
penelitian. Kesalahan dalam penggunaan metode pengumpulan data berakibat
fatal terhadap hasil penelitian yang dilakukan. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembacaan teks. Pembacaan teks
yang dilakukan bertujuan untuk pemaknaan terhadap karya sastra Kidung Jerum
Kundangdya. Dengan kata lain, peneliti berusaha untuk menemukan sumber-
sumber atau bahan bacaan yang ada relevansinya dengan topik penelitian.
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam tahap analisis data adalah deskriptif-
analitik. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan terlebih dahulu untuk
menemukan unsur-unsurnya yang kemudian dilanjutkan dengan analisis, tentunya
juga dengan bantuan teknik pencatatan. Dalam penelitian ini, data yang telah
ditemukan dideskripsikan kemudian dianalisis dengan teori semiotik untuk
mengungkap makna yang terkadung dalam kidung yang kemudian dikaitkan
dengan harmonisasi alam. Dengan munculnya keterkaitan Kidung Jerum
Kundangdya dengan harmonisasi alam di Bali menjadikan metode hermeneutik
tidak bisa dilepaskan dari penelitian ini mengingat perlunya sebuah penafsiran dan
interpretasi, baik untuk karya maupun dalam kaitannya dengan harmonisasi alam
di Bali. Untuk mendapatkan data tambahan untuk melengkapi penelitian,
dilakukan juga metode wawancara yang dibantu dengan teknik catat dan
perekaman dengan bantuan alat perekam.
3.5 Penyajian Hasil Penelitian
Tahap terakhir dalam sebuah penelitian adalah tahap penyajian hasil
analisis data. Pada tahapan ini metode yang digunakan adalah metode informal,
yaitu cara penyajian dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145). Dalam
penelitian ini penyajian akan dilakukan dengan menggunakan kalimat dan kata-
kata dalam bahasa Indonesia.
BAB IV
BENTUK WACANA HARMONISASI ALAM DALAM KIDUNG JERUM
KUNDANGDYA
4.1 Deskripsi Teks Kidung Jerum Kundangdya
Teks Kidung Jerum Kundangdya yang digunakan dalam penelitian ini
diambil dari sebuah naskah yang telah berbentuk buku dengan tulisan Latin.
Berikut identifikasi naskah Kidung Jerum Kundangdya yang digunakan dalam
penelitian ini :
1. Judul : Kidung Jerum Kundang Dia
2. Jumlah bait : 325 bait
3. Jumlah hal. buku : 105 halaman
4. Kalimat awal : Om awignam astu nama sidam. Tangeh ana
munturida........
5. Kalimat akhir : ......genep muang Paduka matur
6. Tahun ditranskripsi : 1985/ 1986
7. Pentranskripsi : dikerjakan dalam sebuah proyek Percetakan Naskah
Sastra Klasik Daerah Bali
Buku yang berjudul Kidung Jerum Kundang Dia ini merupakan hasil
transkripsi dari lontar milik Gedong Kirtya di Singaraja no. 845, yang aslinya
berasal dari milik Nang Rembun, Desa Lenganan, Kecamatan Bajra dan disalin
oleh Ketut Rumiasta asal Banjar Paketan, Singaraja. Pentranskripsian lontar ini
dikerjakan pada tahun 1985/1986 dalam sebuah proyek percetakan naskah sastra
klasik daerah Bali. Dalam kata pengantar buku tersebut, telah disinggung
bagaimana kepopuleran Kidung Jerum Kundangdya di masyarakat pada era tahun
1920-an hingga 1930-an. Ketika itu kidung ini banyak dinyanyikan oleh
kelompok-kelompok atau sekaa-sekaa. Kidung ini umumnya diiringi oleh rebab,
suling, dan kadang juga gēnggong. Ada beberapa sekaa yang terkenal dari daerah
Kabupaten Buleleng, seperti sekaa dari Desa Pengelatan, Padangbulia,
Nagasepeha, dan Kubutambahan.
"Kidung Jerum Kundangdya". Judul kidung ini diambil dari dua orang
nama tokoh utama. Ini sesuai dengan isi cerita yang sebagian besar menceritakan
kehidupan dua tokoh dalam judul tersebut, yaitu Jerum dan Kundangdya. Cinta
menjadi permasalahan yang mendominasi diceritakan dalam teks, dimulai dari
penolakan sebuah perjodohan Kundangdya terhadap Jerum lalu munculnya rasa
cinta Kundangdya terhadap Jerum hingga membuat Kundangdya nekat meniduri
Jerum yang ketika itu telah sah menjadi saudara sepupunya, yaitu Liman Tarub.
Perjuangan Kundangdya untuk dapat bersatu dengan Jerum yang disertai dengan
dendam Liman Tarub terhadap Kundangdya menjadi sebuah jalinan cerita
menarik. Cinta dan dendam menjadi hal yang paling berperan menghidupkan
cerita dari teks ini. Kemunculan tokoh para Dewa dan adanya cerita mengenai
reinkarnasi menjadi sebuah pendukung cerita yang menambahkan sisi menarik di
dalam teks.
Kidung Jerum Kundangdya dalam kesehariannya lebih dikenal sebagai
kekidungan atau nyanyian pengiring upacara Bhuta Yadnya. Di Bali, upacara
bhuta yadnya merupakan salah satu upacara keagamaan yang berkaitan dengan
sebuah persembahan terhadap bhuta. Bhuta diidentikkan dengan kekuatan waktu
yang mampu memberikan pengaruh terhadap keharmonisan alam semesta. Oleh
karena itu, masyarakat Hindu di Bali memiliki sebuah kepercayaan untuk
melakukan sebuah ritual persembahan terhadap bhuta dengan diiringi oleh Kidung
Jerum Kundangdya. Seperti yang disampaikan dalam Suarka (2007: 139--140),
Kidung Bhuta Yajnya berisi doa-doa pengiring dalam pelaksanaan upacara bhuta
yajnya yang bertujuan membersihkan dan menyucikan suatu tempat atau alam
beserta isinya dengan meruwat makhluk-makhluk halus atau bhuta kala yang
dianggap lebih rendah daripada manusia.
4.2 Sinopsis
Kidung Jerum Kundangdya yang diambil dari buku dapat diceritakan
sebagai berikut.
Bait 12
Permulaan yang diawali dengan latar belakang pengarang hingga akhirnya
menggubah sebuah kidung yang mengangkat asmara
Bait 35
Kundangdya akan dijodohkan dengan Nini Jerum oleh ibunya. Dalam bait
ini disampaikan bagaimana kecantikan paras Nini Jerum. Niat ibunya ditolak
begitu saja oleh Kundangdya dengan alasan nama Nini Jerum yang buruk tentu
akan berpengaruh dengan parasnya.
Bait 616
Di tempat lain diceritakan saudara sepupu Kundangdya yang bernama
Liman Tarub ingin menikahi Nini Jerum. Dilanjutkan dengan cerita persiapan
untuk melangsungkan pernikahan yang begitu mewah. Dari makanan, tamu,
hiburan hingga keindahan pakaian diceritakan dengan lengkap. Semua undangan
terpana dan bahagia melihat pernikahan Liman Tarub dan Nini Jerum. Pesta
pernikahan benar-benar meriah.
Bait 17
Diceritakan Kundangdya hingga pingsan melihat kecantikan Nini Jerum
dan melihat Nini Jerum menjadi milik Liman Tarub. Ketidakrelaannya melihat hal
itu membuat ia kehilangan tenaga hingga jatuh pingsan.
Bait 1823
Mulai diceritakan Liman Tarub telah di peraduan bersama Nini Jerum.
Siang malam bermesraan dan saling memberikan rayuan.
Bait 2428
Kembali diceritakan Kundangdya yang akhirnya siuman dan berkeinginan
pulang. Dia benar-benar merasa lesu dan kehilangan semangat karena tidak bisa
mendapatkan Nini Jerum.
Bait 2935
Diceritakan Liman Tarub mohon izin pada Nini Jerum untuk pergi ke
Jimur untuk mengambil perhiasan dan kain sutra. Mimpi buruk yang dialami oleh
Nini Jerum membuat ia melarang suaminya untuk pergi. Namun, larangan itu
tidak diindahkan oleh Liman Tarub dan ia akhirnya pergi meninggalkan istrinya
dalam keadaan menangis karena tidak rela ditinggalkan.
Bait 3653
Kundangdya diceritakan sudah pulang ke rumah dengan wajah murung
karena sakit asmara. Banyak kata kiasan yang melukiskan sakitnya perasaan
Kundangdya karena tidak mampu mendapatkan Ni Jerum. Hingga akhirnya
ibunya berusaha menenangkan Kundangdya dengan menyarankan untuk menikah
dengan wanita cantik lainnya, hal itu ditolaknya dan bersikeras untuk tetap
mendapatkan Nini Jerum. Siang malam Kundangdya menyebut-nyebut nama
Jerum karena kerinduannya. Ibunya pun menjadi semakin pusing menghadapi
tingkah anaknya yang sedang terkena sakit asmara karena Ni Jerum
Bait 5481
Diceritakan Kundangdya nekat mendatangi Nini Jerum. Ia meloncati
tembok dan memasuki kamar tidur Jerum. Kerinduannya pada Nini Jerum
membuat ia lupa diri hingga berani menggagahi dan meniduri Jerum. Diceritakan
bagaimana keindahan tubuh Jerum yang membuat Kundangdya semakin tergila-
gila. Ketika Jerum tersadar didatangi oleh Kundangdya, ia mulai takut dan
meyuruh Kundangdya untuk segera pergi sebelum ada yang mengetahui
keberadaannya. Kata-kata cinta yang disampaikan oleh Kundangdya pada Jerum
membuatnya benar-benar terpesona hingga akhirnya mereka berjanji untuk selalu
bersama, dalam keadaan mati sekalipun. Mereka berdua seakan yakin akan mati
bersama karena kesalahannya.
Bait 82114
Ni Jerum bersiap-siap akan menyambut kedatangan suaminya. Dengan
penuh hormat Jerum menyambut dan melayani suaminya hingga akhirnya pada
saat makan, Jerum disuruh untuk memanggil adik Liman Tarub, yaitu Ki
Panamun. Saat itu Ki Panamun menceritakan kedatangan seseorang yang
mendatangi Jerum. Ni Jerum akhirnya menceritakan semuanya bahwa
Kundangdya telah datang menginap. Liman tarub menjadi sangat marah dan
memburu istrinya, keris pun segera digerinda dan ia pun datang ke rumah
Kundangdya dan membunuhnya. Nini Jerum yang mendengar kabar Kundangdya
telah dibunuh oleh Liman Tarub akhirnya bergegas untuk berdandan. Ia
berdandan layaknya akan menikah dan akan memenuhi janjinya untuk bertemu
dengan lelaki tampan, yaitu Kundangdya. Ki Liman Tarub akhirnya menikam
Nini Jerum karena telah berani berbuat serong. Setelah keduanya meninggal,
Liman Tarub masih menahan marah hingga ia menyumpah dan mengutuk istrinya.
Bait 115149
Liman Tarub memutuskan pergi ke gunung, berjalan dengan wajah sendu.
Diceritakan keindahan alam yang dilalui oleh Liman Tarub. Hingga akhirnya ia
bertemu dengan Hyang Batur. Dengan rambut dipotong dan menggenakan sinjang
Ki Liman Tarub berganti nama menjadi Ki Sarayuda.
Bait 150167
Diceritakan roh Kundangdya akhirnya bertemu dengan roh Nini Jerum.
Mereka benar-benar saling menepati janji. Mereka disambut oleh Hyang Indra dan
ditujukan menuju sebuah wisma kosong yang berhiaskan emas.
Bait 168213
Ki Sarayuda diutus oleh Hyang Guru melaksnakan upacara besar. Hyang
Guru bersabda mengenai keterkaitan alam dengan tubuh manusia (hubungan
bhuwana agung dan bhuwana alit) dan ajaran dharma. Ki Sarayuda akhirnya
berangkat menuju surga dan tanpa sengaja bertemulah ia dengan Kundangdya dan
Jerum yang sedang berjualan. Ki Sarayuda mengamuk dan datanglah Sri
Bhagawan yang memegangnya hingga akhirnya ia diinterogasi dan menceritakan
semua kejadian yang menimpanya. Singkat cerita Sarayuda dinobatkan menjadi
Dewa karena dianggap telah melewati tapanya di gunung.
Bait 214254
Kundangdya dan Jerum menghadap Bhatara Wisnu. Bhatara Wisnu
kembali menghidupkan mereka. Mereka pun mendatangi badan kasarnya. Hyang
Narada menyuruh mereka memasuki badan kasarnya dan diperciki air suci,
kemudian mereka hidup kembali. Kundangdya bergegas menemui ibunya yang
selama ini sangat tersiksa karena ditinggalkan olehnya. Setelah kembali bersama,
ketiganya diceritakan merasakan kebahagiaan
Bait 255325
Ki Sarayuda sudah mendengar kabar bahwa Kundangdya dan Jerum telah
kembali ke dunia. Ia pun diam-diam turun ke dunia berniat mencari musuhnya.
Terjadilah pertempuran antara Ki Sarayuda dan Kundangdya. Wibawa perang
antara mereka berdua tidak ada yang kalah menyebabkan Bhatara Narada tergesa-
gesa turun ke dunia. Sarayuda diborgol dan tidak diizinkan menghadap ke surga
karena telah berbuat salah. Hyang Guru akhirnya datang memberikan Ki Sarayuda
sabda untuk menaati ajaran kependetaan dan Ki Sarayuda pun akhirnya diajak
kembali ke gunung. Sebaliknya Kundangdya dan Jerum hidup bahagia menjadi
raja dan ratu yang sangat arif dan bijaksana.
Dilihat dari penggunaan bahasanya, Kidung Jerum Kundangdya
menggunakan bahasa Bali yang banyak mendapat pengaruh bahasa Kawi Bali.
Unsur kata nira 'aku' dan ngawe 'membuat' yang merupakan unsur bahasa
tengahan juga tampak dalam tampak. Tindakan memasukkan unsur bahasa yang
dianggap lebih tua daripada bahasa Bali disebut ngwayahang basa bertujuan
membuat sesuatu agar terkesan lebih arkais (Suarka, 2007: 136).
Zoetmulder (1985 : 512-545) membagi sastra kidung berdasarkan tema-
nya menjadi tiga jenis, yaitu (1) kidung-kidung historis, (2) kidung panji, dan (3)
kidung yang bersifat kerakyatan. Sementara itu, Tim Pusat Bahasa (2001: 270-
273) juga membagi sastra kidung berdasarkan temanya menjadi tiga jenis, yaitu
(1) kidung sejarah atau legenda, (2) kidung bertema panji, dan (3) kidung ruwat
dan penyucian diri. Istilah kidung ruwat dan penyucian diri tampak dipakai
menggantikan istilah sastra kidung yang bersifat kerakyatan menurut Zoetmulder
(1985) (dalam Suarka, 2007 :136).
4.3 Bahasa dan Gaya (Estetika) dalam Teks Kidung Jerum Kundangdya
Penciptaan karya-karya sastra dalam tradisi Bali secara dinamik
memperlihatkan adanya saling keterkaitan antar unsur, seperti unsur pengarang,
unsur kepada siapa karya itu diciptakan, unsur materi cerita, unsur pilihan genre
dan tematik yang diangkat. Unsur-unsur tersebut terjalin dalam suatu sistem yang
"mapan". Proses Kreatif dan penciptaan itu secara esensial berorientasi kepada
suatu nilai penciptaan yang menganut prinsip-prinsip: (a) ibadat kepada
keindahan; (b) karya sastra sebagai persembahan; dan (c) karya sastra sebagai
bagian integral (fungsional) dalam sistem religius atau karya sebagai bagian dari
tindak kebaktian dan adat (Pusat Bahasa, 2001: 35).
Setiap karya sastra sudah tentu mengandung nilai estetika termasuk karya
sastra kidung. Zoetmulder (1985: 203-218) menjelaskan bahwa sang kawi
memulai karya kakawinnya dengan menyembah dewa pilihan atau istadewata,
yang dipuja sebagai dewa keindahan. Sang kawi memohon bantuan dan mencoba
mempersatukan diri degan dewa pilihannya. Persatuan dengan dewa pilihannya
sebagai dewa keindahan merupakan sarana dan sekaligus tujuan sang kawi.
Sebagai sarana, persatuan itu menyebabkan sang kawi "bertunas keindahan"
sehingga ia berhasil menggubah kakawin.
Sebagai tujuan, persatuan dengan dewa pilihan itu sang kawi berharap
dapat mencapai kelepasan. Pada tataran ini dapat dikatakan bahwa penciptaan
kakawin adalah dalam rangka ibadat keindahan. Kakawin menjadi candi atau
tempat semayam dewa keindahan dan silunglung atau bekal kematian sang kawi.
Persatuan dengan dewa keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang
khas sebagai sang kawi, yakni yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa keindahan
sebagai Yang Mutlak dalam alam transenden, berkat semadi sang kawi berkenan
turun dan bersemayam di atas padma di dalam hati atau jiwa sang kawi sebagai
alam imanen-transenden. Karena itu, sang kawi berharap mampu melihat dewa
keindahan menjelma di alam imanen melalui pengembaraan dan sekaligus
perburuannya ke tengah hutan, pegunungan, pantai, desa-desa, medan
pertempuran ataupun dalam kecantikan wanita, dalam percintaan, dan dalam
bunga itu sendiri. Penciptaan karya sastra kidung pun tidak jauh berbeda dengan
penciptaan kekawin. Bahasa Kawi Bali adalah bahasanya kidung, diketahui diberi
nama Kawi Bali dikarenakan itu merupakan bahasanya para pengawi atau
pengarang.
Mengingat Kidung adalah karya sastra puisi, jika dilihat dari unsur-
unsurnya, puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur yaitu struktur batin dan
struktur fisik. Struktur batin puisi sering pula disebut dengan hakikat puisi, yang
meliputi Tema/ makna, Rasa (feeling), Nada (tone), dan Amanat/ tujuan/ maksud
(itention) (http://riniintama.wordpress.com). Tataran bahasa sudah tentu
berhubungan dengan makna. Sudah tentu puisi juga memiliki makna, baik makna
tiap kata, baris, bait maupun makna keseluruhan. Seperti halnya dalam Kidung
Jerum Kundangdya, yang masing-masing kata, baris, bait maupun keseluruhan
katanya yang dalam bahasa Kawi juga mengandung makna. Kidung Jerum
Kundangdya merupakan salah satu puisi tradisional.
Bahasa puisi adalah bahasa yang melewati batas-batas maknanya yang
lazim. Melewati maknanya yang harfiah. Dengan makna yang konotatif itu ingin
dibentuk suatu imaji atau citra tertentu di dalam sebuah puisi (Esten, 1992: 37).
Pembicaraan tentang denotasi dan konotasi tidak bisa dilepaskan dari puisi.
Sebuah kata memiliki dua aspek arti yaitu denotasi, ialah artinya yang menunjuk
benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu sedangkan konotasi adalah arti
tambahannya (Pradopo, 1987: 58). Dalam Kidung Jerum Kundagdya, jika dilihat
dari alur cerita keseluruhan secara makna denotatif akan tampak sebagai cerita
yang bertemakan cinta yang lengkap dengan konflik perselingkuhan. Jika lebih
mendalami lagi barulah tampak bahwa dalam Kidung Jerum Kundangdya ada
sebuah makna untuk sebuah penyadaran pentingnya menjaga keharmonisan.
Sebelum masuk ke dalam makna secara keseluruhan yang dimunculkan dalam
Kidung Jerum Kundangdya, dapat ditemukan beberapa makna denotatif maupun
konotatif dalam beberapa bait atau pada berikut yang akhirnya mendukung
munculnya makna keseluruhan.
"Siwa Madia manca warna, "Siwa di tengah beraneka warna,
tumpuking ati nggon ipun, berada di hati,
sami mangke ingitung!" semua sudah disebut!"
Sarayuda mojar alon : Sarayuda berkata perlahan :
"Kamoksan lan kalepasan, "Kamoksan dan Kalepasan,
darma muang ta pujan ipun, Dharma dan mantra pujaannya,
trusakena alon ala, diteruskanlah,
amerih pinegating laku". sebagai tali ikatan tingkah laku".
pada ke- 174
Hyang Guru lingniangucap : Hyang Guru lalu bersabda:
"Sarayuda anak ingsun, "Sarayuda anakku,
tan akeh darma iku, dharma itu tidak banyak,
tindak tanduk eling mangko, hanyalah kesadaran tindak dan tanduk,
lintang kena ginamelan, diabaikan untuk di terapkan,
agung tan kena pinanduk". besar namun tidak kena perhatian".
"Ewuh kaki sang atapa, "Karena itu sulit bagi seorang pertapa,
unggwanira Sang Hyang Ayu". menuju tempatnya Sang Hyang Ayu".
pada ke-175
Dari keseluruhan bait Kidung Jerum Kundangdya, bagian di atas
merupakan bait yang menceritakan ketika Liman Tarub telah diberi nama
Sarayuda dan ia mulai memilih untuk menjadi orang suci. Dalam bait di atas ada
baris yang berbunyi Siwa Madia manca warna yang artinya 'Siwa di tengah
beraneka warna'. Dalam ajaran Hindu di Bali, ada sebuah pandangan bahwa
masing-masing Dewa memiliki arah dan warnanya masing-masing yang berfungsi
untuk menjaga keseimbangan tempat dan menjaga kerharmonisannya, sedangkan
Siwa berada di tengah-tengah dengan aneka warna. Dari sekian bait yang
menceritakan tentang percintaan dan keindahan Jerum sebagai wanita paling
cantik dalam cerita, ada bait-bait seperti yang di kutip di atas yang mengajarkan
akan pentingnya sebuah ajaran kebaikan (dharma). Ajaran dharma yang sangat
sederhana, hanya dengan kesadaran tindak tanduk. Dari bait-bait ini mengandung
makna yang juga menyumbangkan makna bagi teks Kidung Jerum Kundangdya
secara keseluruhan, yaitu mengenai ajaran kebenaran untuk bertindak selalu
dalam kesadaran hingga mampu menciptakan lingkungan harmonis. Kesadaran
tindak tanduk yang yanng diucapkan dengan mudah namun susah untuk
diterapkan, untuk itu diperlukan keyakinan diri untuk tetap mampu menjaga setiap
tindak tanduk agar selalu melangkah di jalan yang benar. Dua bait di atas seakan
mampu mewakilkan isi teks yang tidak hanya mengangkat tema cinta, tetapi lebih
kepada bagaimana menjaga cinta tersebut agar mampu menjadikan seseorang
selalu menjaga hubungan baik dengan siapapun dan mampu menciptakan alam
yang harmonis.
Selain tema, juga ada rasa. Pengungkapan rasa (feeling) dalam puisi erat
kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair. Kidung Jerum
Kundagdya merupakan karya anonim, hingga kini tidak diketahui siapa yang
mengarang Kidung Jerum Kundangdya. Oleh karena itu, cukup sulit menemukan
latar belakang atau psikologi penyair layaknya karya-karya puisi modern. Namun
di bait awal tampak bahwa sang pengarang tidak ingin menonjolkan dirinya dalam
karya. Ungkapan-ungkapan kerendahan hati ia selipkan di bait-bait awal, seperti
dalam bait pertama berikut :
Tangeh anamun turida, Banyak kejadian kalau ditimpa asmara,
salimur tan kasalimur, dihibur tak terhibur,
prakerti ya bayeng dangu, janji lahir semenjak dahulu,
tumuwuh anadi wong, hidup sebagai manusia,
rasa tan kadi ageman, seperti memang bukan pegangan,
marmanira misreng kidung, makanya menggubah kidung,
tan atuting pupuh basa, tak sepadan antara lagu dan bahasa,
pinahēwa dē Sang Wiku. menimbulkan gusar Sang Pendeta.
pada ke-1
Dari bait tersebut tampak pengarang ingin menggubah sebuah kidung yang
menceritakan tentang perasaan yang sedang tertimpa asmara, namun dengan
segala kerendahan hatinya ia mengatakan bahwa karyanya tidaklah sepadan antara
lagu dan bahasa yang bisa kita simpulkan bahwa karyanya menurut dia belumlah
baik sehingga dianggap menimbulkan kegusaran para pendeta yaitu orang-orang
suci yang juga pintar. Dengan melihat isi karyanya, dapat dijelaskan bahwa
pengarang memahami ajaran agama Hindu dengan baik, ini dibuktikan dengan
ditemukannya konsep ajaran-ajaran Hindu yang disampaikan secara implisit
melalui percakapan tokoh seperti dalam kutipan berikut:
"Siwa Madia manca warna, "Siwa di tengah beraneka warna,
tumpuking ati nggon ipun, berada di hati,
sami mangke ingitung!" semua sudah disebut!"
Sarayuda mojar alon : Sarayuda berkata perlahan :
"Kamoksan lan kalepasan, "Kamoksan dan Kalepasan,
darma muang ta pujan ipun, Dharma dan mantra pujaannya,
trusakena alon ala, diteruskanlah,
amerih pinegating laku". sebagai tali ikatan tingkah laku".
Pada ke- 174
Pengarang membahas tentang ajaran moksa dan kalepasan, yaitu ajaran mengenai
perjalanan arwah ketika telah lepas dari badannya. Dengan mampu
menyampaikan hal itu melalui karyanya, menandakan pengarang paham mengenai
ajaran tersebut dan tidaklah serendah seperti ia merendahkan dirinya seperti dalam
bait di awal.
Selain Rasa (feeling), ada Nada (tone) adalah sikap peyair terhadap
pembacanya. Nada berhubungan dengan tema dan rasa. Berbicara nada dikaitkan
dengan Kidung yang merupakan bagian dari puisi tradisional, tentu ada yang
berbeda. Nada yang dalam puisi modern akan berkaitan dengan intonasi yang
disampaikan penyair dalam karyanya, sedangkan dalam nada Kidung khususnya
Kidung Jerum Kundangdya berkaitan dengan gending atau nyanyian. Jika pada
masa Bali Kuna di Bali, bentuk nyanyian dikenal dengan istilah gending maka
pada masa Jawa Kuna di Jawa bentuk nyanyian ini dinamakan kidung (Suarka,
2007: 128). Menurut lontar Prakempa, dalam instrumen dan nyanyian Bali
tradisional dikenal nada-nada, terdiri atas nada dasar, yaitu dong, deng, dung,
dang, ding atau ndong, ndeng, ndung, ndang, nding. Nada-nada tersebut
menempati penjur alam, yaitu nada dong bersama ndong berada di tengah, nada
deng berada di barat, nada ndeng berada di barat laut, nada dung berada di utara,
nada ndung berada di timur laut, nada dang berada di timur, nada ndang berada di
tenggara, nada ding berada di selatan, dan nding berada di barat daya (Bandem,
1986: 42--43). Sesungguhnya kidung diesensikan oleh bunyi-bunyi o, e, u, a, i.
Dalam bahasa Bali, bunyi o, e, u, a, i dinamakan aksara suara atau bunyi vokal.
Untuk bisa menjadi nada, maka suara o, e, u, a, i,harus disusun secara beraturan
menurut tinggi rendah bunyi-bunyi tersebut. Dengan demikian, prinsip dasar
penyusunan metrum kidung menurut Kidung Rangsang, adalah dimulai dengan
menyusun bunyi-bunyi itu secara teratur, lalu menghitung jumlah suku kata
menurut melodi, dan menyusun kembali pada baris berikutnya (Suarka, 2007:
129). Jadi, jika berbicara tentang nada dari Kidung Jerum Kundangdya akan
berkaitan dengan nada-nada lagu dengan suara o, e, u, a, i. Setelah nada, ada
Amanat/ tujuan/ maksud (itention) yaitu berkaitan tujuan penyair menciptakan
puisi. Kidung Jerum Kundangdya memanglah merupakan kidung yang
menceritakan tentang cerita asmara antara Kundangdya, Jerum dan Liman Tarub.
Dari cinta yang terjalin dalam sebuah pernikahan hingga akhirnya muncul pihak
ketiga dan mengalami perselingkuhan. Secara garis besar, hal itu yang dapat
diketahui, namun berbeda ketika setelah mendalami dan memahaminya. Dalam
teks Kidung Jerum Kundangdya banyak muncul ajaran-ajaran keagamaan yang
menyadarkan pembacanya untuk menjadi seseorang yang selalu dalam kesadaran
hingga mampu tetap di jalan yang benar. Dengan sadar akan setiap tindak tanduk
itu, barulah seseorang mampu menemukan tempat yang indah. Sebuah sikap yang
yang dituntut untuk melihat keindahan itu adalah awal terciptanya keharmonisan
alam.
Jika melihat dari struktur fisiknya, yang disebut pula metode puisi, ada
sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi
seperti Perwajahan Puisi, Diksi, Imaji, Kata Kongkret, dan Bahasa Figuratif. Dari
keseluruhan unsur-unsur ini tidak semuanya digunakan dalam Kidung Jerum
Kundangdya karena mengingat Kidung merupakan puisi tradisional. Dalam karya
sastra termasuk puisi tradisional, alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran
sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan
dalam mempergunakan kata-kata dan segala kemungkinan di luar kata tak dapat
dipergunakan (Slametmuljana, 1956: 7). Ada pemilihan kata-kata yang tepat
untuk mengungkapkan setiap keindahan objek yang hidup maupun tidak hidup di
dalam karya sastra. Sebagai sebuah karya yang berbentuk puisi, Kidung Jerum
Kundangdya juga tetap mengenal diksi atau pilihan kata. Menurut Gorys Keraf,
ada tiga kesimpulan mengenai pilihan kata yang tepat atau diksi. Pertama, pilihan
kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata
yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana
yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi
adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan
yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai
(cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat
pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh
penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu.
Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa
adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa (Keraf, 2008: 24).
Sesuai degan pengertian diksi di atas, dalam Kidung Jerum Kundangdya
ada penggunaan diksi yang digunakan untuk mengungkapkan keindahan sekaligus
juga merupakan wujud harmonisasi alam. Harmonis sudah tentu memiliki
keserasian, ketika mata mampu memandang suatu objek yang dapat dianggap
serasi muncul kedamaian. Sebuah kepiawaian pengarang untuk memilih dan
merangkai kata sehingga maksud yang dituju tidak hanya tersampaikan begitu
saja, tapi melainkan didukung dengan ungkapan tertentu untuk lebih meyakinkan
dan memperindah kata ketika dibaca. Dalam naskah tampak ketika Pernikahan
Jerum dan Liman Tarub. Jerum yang cantik bersanding dengan Liman Tarub yang
tampan, yang akhirnya membuat orang-orang yang melihat ikut bahagia. seperti
dalam kutipan berikut:
Lalampahan silih-asih, Lakon bernama silih-asih,
ujar ikang wong andulu, kata orang melihat,
kepenetan tingal ipun : terpesona matanya :
"I Panganten pekik anom, "Si pengantin muda dan tampan,
rupane tinimbang worat, rupa tampak sepadan,
pekike masanding ayu, tampan bersanding ayu,
sama ya panuwuhira", usianya sama-sama bersesuaian",
sami ya masahur manuk. mereka berkata sahut menyahut.
pada ke- 12
Sakwehing wong kalulutan, Banyak orang jadi terpana,
sami ya suka andulu, sama-sama suka melihat,
sakweh pada wong gumuyu, orang-orang pada tertawa,
bingar pada anonton, semua gembira yang menonton,
semunē karagan-ragan, air muka merasakan cinta,
kasmaran kandehan lulut, kasmaran menahan kasih sayang,
kuneng sira si pangantian, tersebutlah kini sang pengantin ,
munggah kapasilih sampun. sudah berada di balai upacara.
pada ke- 13
Keserasian antara wajah pengantin pria dan wanita, antara Liman Tarub
dan Jerum adalah sesuatu yang indah di lihat orang. Ketika itu seseorang
menganggap itu adalah keharmonisan. Keharmonisan terkadang sesuatu yang
sederhana yang membuat nyaman yang melihat. Ketika sesuatu itu dipandang
baik, orang yang melihat juga menjadi senang maka disitulah letaknya harmonis.
Keharmonisan mampu menciptakan kebahagiaan.
Dilihat dari segi bahasanya, dalam kutipan di atas ada pemilihan bahasa
dalam bahasa kawi yang memang sengaja ditambahkan pengarang untuk
menggambarkan begitu serasinya pengantin pria dan pengantin wanita ketika
bersanding. Tidak hanya ungkapan keserasian dari wajah cantik pengantin wanita
yang serasi dengan ketampanan pengantin pria, namun ditambahkan bagaimana
orang-orang yang melihat menjadi terpesona dan ikut merasakan cinta. Di situ
seakan keserasian pengantin ikut juga memeberi kebahagiaan bagi yang melihat.
Pilihan kata di pada ke-13 hanya untuk lebih meyakinkan pembaca bahwa
pengantin tersebut sangatlah serasi hingga yang melihatpun ikut bahagia dan
merasakan cinta.
Selain tersebut di atas, umumnya karya sastra tradisional selain membahas
cinta, perempuan merupakan salah satu objek yang sangat dikagumi dalam sastra.
Para pengawi seringkali mengungkapkan keindahan seorang wanita dengan
bahasa yang sempurna yang membuat pembaca ikut berfantasi membayangkan
kecantikan wanita yang hanya disampaikan berbentuk tulisan dalam bait-bait
kidung, seperti dalam Kidung Jerum Kundangdya terdapat dalam kutipan berikut :
Sampun kēsah paduning sinjang, Setelah lepas paduan kain dalam,
sinimpenan sinjang kampuh, bersama kain sudah disimpan,
arsania apulang lulut, dengan senang melampiaskan asmara,
sundarin sang ari mangko, si adik lalu diliat lewat lampu penerang,
dēnira Ki Kundangdya, oleh Ki Kundangdya
katon ayu rupanipun, nampak cantik rupanya,
rupa kaya Dēwi Kēndran, wajah seperti Dewi Keindran,
tuhu guruning wong ayu. benar-benar gurunya wanita ayu.
pada ke- 60
Rahinane mulan purnama, Wajah bak bulan purnama,
rambutē gempuk mabelun, rambutnya tebal dan empuk,
alisē tajep nyalikur, alisnya lancip melengkung,
luir sasangka tanggal pindo, bagaikan bulan sabit,
susu nyangkih bunter nyalang, susu ramping bulat terang,
raga lempung luir mas tabur, tubuhnya padat berisi bagaikan emas urai,
madianē meros anglunggang pinggang ramping elok gemulai,
sumangkin mahimbuh ayu. makin bertambah-tambah ayu.
pada ke- 61
Sarira angwlaseng cita, Tubuhnya membuat hati terpesona,
pupu lempung gading lumlum, paha montok indah kekuning-kuningan,
warnanen mingsoring pupu, tersebutlah di bawah paha,
luir pudak cinaga karo, bagaikan dua buah bunga pudak,
tan ilang takonakena, yang tak tersurat rasakan sendiri,
Kundangdya tan pangitung, Kundagdya tak terkatakan,
garegetan magaras-aras, mencium-cium dengan bernafsu,
Ni Jerum nora awungu. Ni Jerum tak terjaga.
pada ke- 62
Dalam untaian pilihan kata yang digunakan untuk mengungkapkan
kecantikan Jerum, pengarang mulai menggunakan gaya bahasa kiasan. Gaya
bahasa kiasan pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan.
membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba
menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut
(Keraf, 2008: 136).
Jika ditemukan yang lebih spesifik lagi dari penggunaan gaya bahasa
kiasan di atas, gaya bahasa persamaan atau simile menjadi pilihan utama.
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit yaitu secara
langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf, 2008: 138). Wajah
ayunya diandaikan seperti Dewi Keindran yaitu dewi cantik yang tinggal di
keindran atau surga dengan bentuk wajah seperti bulan purnama yang tampak
cerah dan bersinar. Rambut yang tebal dan empuk yang menandakan rambutnya
sehat dan indah. Alis yang lancip melengkung seperti bulan tanggal dua yaitu
bulan sabit dengan lengkungan yang indah. Susu atau payudara yang bulat dengan
warna yang cerah menandakan payudaranya indah dan montok. Badan yang
ramping elok gemulai yang memesona. Keindahan badan Jerum itu yang
membuat Kundangdya tertarik dan semakin bernafsu. Keindahan Jerum yang
ditatap oleh Kundangdya dari lampu penerang digambarkan dengan sempurna.
Seorang wanita dengan paras ayu tanpa satu bagian pun yang kurang. Dari wajah,
rambut, payudara, pinggang hingga paha semuanya digambarkan dengan
pengandaian yang pas.
Demikian lengkapnya pengarang menggambarkan kecantikan seorang
wanita seperti Jerum. Kecantikan merupakan sesuatu yang indah, dan dalam
kodratnya manusia akan selalu tertarik dengan keindahan. Dari hanya menatap
keindahan manusia mampu bahagia, karena keindahan mampu menjadikan pikiran
seseorang harmonis. Lepas dari perselingkuhan yang dilakukan Kundangdya
terhadap Jerum, pada mulanya Kundangdya tertarik pada Jerum dikarenakan
kecantikan Jerum. Kecantikan yang memesona hingga ketertarikan itu menjadikan
perasaan nyaman dan bahagia yang menimbulkan keharmonisan.
Terlepas dari pilihan kata yang digunakan untuk mengungkapkan wanita,
pengarang juga menggambarkan panorama alam dengan segala keasriannya.
seperti yang tampak dalam kutipan berikut :
manuknia keh asawuran, banyak burung-burung bersahut-sahutan,
muni ring luhur ikang kayu, berbunyi di atas pohon kayu,
kasidan adulur-dulur, bisa datang berbondong-bondong,
ramē pada ngrebut anggon, ramai pada berebut tempat,
angrak suarania sawuran, suaranya menjerit hingar bingar,
lanang wadon samadulur, bersama datang betina dan jantan,
wanciran anjrit ring jurang, wancira menjerit di dalam jurang,
pada ngrebut buktinipun. sama-sama merebut makanan.
pada ke- 125
Kungkang muni asahuran, Kungkang berbunyi bersahut-sahutan,
aganti muani umung, bergantian bersuara ramai,
umuni Lor ana Kidul, di Utara dan di Selatan,
karungu suarane alon, terdengar bunyinya perlahan,
ana ta mangkē pangagan, dan kini ada tegal-tegal pesawahan,
ana jenar ana biru, ada yang kuning ada yang biru,
tales ring pinggiring marga, pohon talas di pinggir jalan,
adas panyelag tan kantun. tak ketinggalan menyela pohon adas.
pada ke- 128
Pilihan kata yang digunakan untuk mengajak pembaca ikut
membayangkan situasi latar cerita. Kicauan suara burung dan indahnya tetanaman
digambarkan ketika Liman Tarub dalam keadaan bersedih sedang menyusuri
jalanan hutan mau menuju gunung. Pengarang dengan lengkap menggambarkan
panorama hutan sepanjang perjalanan Liman Tarub, dari kicauan para burung
yang saling bersahutan, binatang-binatang yang sedang berebut makanan,
indahnya tegal-tegal persawahan hingga tanaman-tanaman yang tumbuh dipinggir
jalan. Diksi demikian menjadikan pembaca ikut berimajinasi tentang keadaan
alam yang digambarkan pengarang dalam karya.
Berbicara tentang imaji bisa mengungkapkan pengalaman indrawi seperti
penglihatan, pendengaran dan perasaan. Jadi ada sebuah kesan yang ditangkap
pembaca, baik itu dari suara, penglihatan maupun dari sentuhan. Imajinasi yang
muncul dari suara dapat ditemukan dalam bait berikut:
Kendang gong muniasawuran, Suara gong dan gendang bersahut-sahutan,
sangka parērēt ambarung, sangka kerang dan terompet beradu tenaga,
tuwek dadap supenuh, perisai dan tombak penuh berjajar,
pajeng kober pajeng ijo, payung bendera payung hijau,
umiang suaraning Gandarwa, para Gandarwa riuh rendah,
asurak-surak gumuruh, gemuruh sorak sorai,
ring tengah jempana emas, di dalam usungan emas.
gagrantangan abra murub. gagrantangan bercahaya gemerlap.
pada ke-164
Dengan apik pengarang menggambarkan suara gong dan gendang yang
bersahut-sahutan di surga ketika arwah Jerum dan arwah Kundangdya bertemu.
Ini mengantarkan pembaca ikut berada dalam kondisi itu. Selain dari segi suara,
muncul pula imaji yang ditangkap dari penglihatan, seperti dalam kutipan berikut:
Tuhu asri papajangan, Perhiasan sangat indahnya,
pamreman asri dinulu, tempat tidur sangat asri dilihat,
gagandania mrebuk arum, wangi-wangian harum semerbak,
pamreman aris kang Lor, balai-balai sebelah utara,
wus sinrung binalungbang, di sekelilingnya dihiasi dengan membuat
telaga,
tinanem tunjung biru, dan tanaman teratai biru,
langsēnē malalampahan, rentangan kain dengan lakon,
mapinda wedus katempur menggambarkan domba bertarung.
pada ke-9
Sarira angwlaseng cita, Tubuhnya membuat hati terpesona,
pupu lempung gading lumlum, paha montok indah kekuning-kuningan,
warnanen mingsoring pupu, tersebutlah di bawah paha,
luir pudak cinaga karo, bagaikan dua buah bunga pudak,
tan ilang takonakena, yang tak tersurat rasakan sendiri,
Kundangdya tan pangitung, Kundangdya tak terkatakan,
garegetan mangaras-aras, mencium dengan bernafsu,
Ni Jerum nora awungu. Ni Jerum tak terjaga.
pada ke- 62
Dalam kutipan di atas ampak di mata pembaca bagaimana pengarang
menggambarkan keindahan tempat tidur pengantin yang sangat indah sehingga
pembaca ikut berimajinasi seakan berada dalam ruangan tersebut. Demikian juga
dalam bait berikutnya ketika Kundangdya diam-diam masuk ke kamar Jerum dan
melihat kemolekan tubuh Jerum. Pembaca seakan membayangkan bagaimana
kemolekan Jerum hingga akhirnya Kundangdya hingga bernafsu untuk memeluk
dan mencium Jerum. Pelukan dan Ciuman tentu merupakan kontak fisik berupa
sentuhan. Di situ pembaca berimaji dalam sentuhan. Demikianlah kepiawaian
pengarang untuk mengajak pembaca terhanyut dalam cerita karya, dan semua itu
hanya disampaikan dalam betuk rangkaian bahasa. Dari bahasa mampu
menjadikan pembaca seperti ikut melihat, mendengar dan merasakan sentuhan.
Mendukung munculnya imaji, ada yang disebut kata kongkret, kata yang
berhubungan dengan kiasan atau lambang yang akhirnya memunculkan imaji.
Dalam Kidung Jerum Kundangdya misalnya ditemukan ada kata sorga smaralaya
'surga dengan penuh cinta' dalam pada ke-28. Harapan Kundangdya untuk dapat
bersama Jerum di sorga smaralaya, bayangannya adalah sebuah tempat di surga
yang tentunya penuh dengan keindahan ditambah dengan mampu bersama dengan
orang yang dicintai. Demikian juga dalam kata sumengkēng gunung 'naik gunung'
dalam pada ke-161. Liman Tarub yang diceritakan menaiki gunung dan
meninggalkan kerajaannya, ketika itu gunung merupakan tempat untuk
menyucikan diri. Liman Tarub yang menuju gunung menandakan ia ingin melepas
sifat keduniawiannya. Dalam kata Tirta Kamandalu 'air suci kehidupan' dalam
pada ke-218. Ketika Hyang Narada ingin menghidupkan kembali Jerum dan
Kundangdya, ia membawa tirta kamandalu yaitu air suci yang dipercaya mampu
menghidupkan kembali makhluk hidup yang telah mati. Demikianlah contoh-
contoh kata konkret yang ditemukan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Seluruh
bahasa maupun gaya merupakan sebuah estetika karya. Dengan keindahan
penikmat akan mampu mencerna karya dengan baik sehingga dengan mudah
mampu menerima ajaran-ajaran positif yang menjadi tujuan pengarang membuat
karya.
Keindahan yang mampu terjaga dan dapat dinikmati sewajarnya, disitulah
muncul kebahagiaan yang merupakan bentuk dari harmonis itu sendiri. Di dalam
alam terdapat bhuana alit seperti manusia, hewan maupun tumbuhan. Ketika ini
semua mampu hidup berdampingan dengan penuh kedamaian, disitulah letak
keharmonisan. Harmonis mampu berawal dari sebuah keindahan yang akhirnya
menciptakan kedamaian. Salah satunya saja, dengan mengajak pembaca
berimajinasi dengan keindahan alam yang masih asri dengan tetanaman dan
hewan-hewan yang masih hidup bebas di alam terbuka, tentu meninggalkan kesan
bahagia di hati pembaca. Dengan harapan manusia itu haruslah mampu menjaga
alam sekitarnya sehingga keharmonisan itu terwujud.
4.4 Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit
Alam dalam konsep Hindu dapat dibagi menjadi 2 yaitu Bhuwana Agung
dan Bhuwana Alit. Bhuwana Alit sebutan badan jasmani dan Bhuwana Agung
sebutan alam semesta. Tantra mengajarkan segala yang ada di Bhuwana Agung
juga ada di Bhuwana Alit, dan sebaliknya. Apa yang ada di sini ada juga di tempat
lain, apa yang tidak ada di sini tidak ada di tempat lain. Segala jenis air di dalam
Bhuwana Alit dianggap samudra di dalam Bhuwana Agung. Semua pembuluh-
nadi di Bhuwana Alit dipandang sebagai sungai di Bhuwana Agung. Substansi
Bhuwana Alit seperti daging, darah, kulit, lemak dipandang sebagai tujuh pulau di
Bhuwana Agung. Jiwa yang menghidupkan Bhuwana Alit disebut jiwatma, dan
jiwa yang menghidupkan bhuwana semesta raya adalah paramatma (Palguna,
2008: 17).
Bhuwana Agung dibagi menjadi tiga lapisan alam semesta yang disebut
Tri Loka, yakni Bhur Loka, Bwah Loka dan Swah Loka. Bhur Loka sering
diistilahkan sebagai alam kegelapan atau alam bawah. Disebut alam kegelapan
karena suasana alam ini memang cukup remang-remang atau bahkan gelap.
Disebut alam bawah bukan karena lokasinya di bawah, tapi karena tingkat
kesadaran jiwa-jiwa di alam ini rendah atau lebih di bawah. Bhur loka adalah
alam yang dihuni oleh jiwa-jiwa yang bathinnya dalam avidya dan hidupnya
penuh adharma atau mereka yang menyalahgunakan kesaktian semasa hidupnya.
umumnya kita menyebut mereka sebagai makhluk-makhluk alam bawah (Bhuta
Kala). Bwah Loka sering diistilahkan sebagai alam tengah, disebut alam tengah
bukan karena lokasinya di tengah, tapi karena tingkat spiritual jiwa-jiwa di alam
ini terletak di tengah, bisa buruk yang dianggap turun ataupun baik yang dianggap
naik. Bwah Loka adalah alam siklus samsara, siklus kehidupan dan kematian.
Swah Loka sering diistilahkan sebagai alam terang alam cahaya atau alam atas.
Disebut alam terang karena suasana alam ini memang terang dengan cahaya yang
indah dan damai. Disebut alam atas bukan karena lokasinya di atas, tapi karena
tingkat kesadaran jiwa-jiwa di alam ini tinggi atau lebih di atas. Jadi alam atas
adalah alam yang dihuni oleh mereka yang tingkat kesadaran dan tingkat
kebijaksanaannya paling tinggi. Swah Loka adalah alam yang di huni oleh jiwa-
jiwa yang batinnya bersih, serta hidupnya penuh welas asih dan kebaikan, sampai
pada yang kesadarannya sudah luas. Umumnya kita menyebut mereka sebagai
Pitara, Bidadari, Bhatara atau Dewa. Dengan makhluk-makhluk alam atas sudah
selayaknya kita memiliki rasa hormat dan sopan santun. Banyak kitab-kitab Hindu
yang menerangkan bagaimana cara menghormati para Dewa yang kita kenal
dengan Dewa Yadnya.
Bhuwana Alit yang merupakan perwujudan diri manusia memiliki unsur-
unsur pembentuknya yang di sebut Panca Maha Bhuta. Unsur-unsur pembentuk
tubuh manusia ini juga terdapat dalam Bhuwana Agung. Panca Maha Bhuta
terdiri dari akasa adalah udara, bayu adalah angin, teja adalah sinar, apah adalah
air, dan pertiwi adalah tanah. Konsep harmonisasi alam di Bali bertujuan untuk
menyelaraskan hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Upaya harmonisasi
alam yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali melalui upacara dan upakara.
Dalam lontar Tutur Andhabhuwana, dikatakan bahwa Panca Maha Bhuta
telah bersemayam ke setiap makhluk terutama manusia, sehingga isi alam dengan
alamnya selalu berhubungan, saling ketergantungan dan merupakan suatu
ekosistem sesuai ajaran Tri Hita Karana. Oleh karena itu diperlukan pemeliharaan
agar keharmonisan bhuwana agung dan bhuwana alit tetap bisa dipertahankan,
hal inilah yang membutuhkan upacara atau yadnya dari manusia (Dhaksa
Darmita, 2011: 111). Upacara dalam kamus bahasa Bali-Indonesia, kata upacara
yang dikaitkan dengan upakara berarti sesajen. Dalam kamus bahasa Jawa Kuna
kata upacara seringkali disamakan dengan upakara berarti keperluan, yang
dibutuhkan, barang tambahan, perhiasan atau dandanan yang pantas,
perlengkapan, peralatan, lencana, tingkah laku atau kelakuan yang pantas atau
patut, tata cara, etiket (Zoetmulder, 2004: 1336). Upacara agama adalah salah satu
bagian dari pelaksanaan yadnya sebagai dasar pengembalian Tri Rna. Dalam
agama Hindu mengenal adanya lima macam yadnya yang disebut panca yadnya.
Panca Yadnya adalah lima macam korban suci yang terdiri dari: 1) Dewa Yadnya
yaitu korban suci kepada Ida Sang Hyang Widhi, 2) Pitra Yadnya yaitu korban
suci kepada para leluhur, 3) Rsi Yadnya yaitu korban suci kepada para Rsi yang
mengamalkan Ilmu Pengetahuan yang diberikannya, 4) Manusa Yadnya yaitu
korban suci yang dilakukan oleh manusia seperti ngotonin, potong gigi dan
sebagainya, 5) Bhuta Yadnya yaitu korban suci kepada makhluk rendahan seperti
ngejot selesai memasak, mecaru dan lain sebagainya (Bali Aga, 2006: 77).
Melalui upacara Panca Yadnya, masyarakat Hindu di Bali melakukan
pengharmonisan alam. Upacara panca yadnya ini juga sejalan dengan konsep Tri
Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana membahas tentang cara menjaga hubungan
baik antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan baik antara manusia
dengan manusia (Pawongan), dan hubungan baik antara manusia dengan alam
sekitar (Palemahan). Sebuah upacara yadnya tidak akan lepas dari upakara.
Upakara menurut kamus bahasa Bali berarti sesajen (2008: 802). Upakara disebut
juga sesajen, banten, dan yadnya yaitu berupa persembahan yang akan
dikurbankan, yang terdiri dari beberapa bahan matang dan mentah. Bahan upakara
yang digunakan dalam upacara yadnya bersumber dari tumbuhan dan hewan.
Digunakannya tumbuhan maupun hewan langka sebagai sarana yadnya, hal ini
menuntut manusia untuk menjaga dan melestarikan bahan-bahan yadnya tersebut.
Ini menjadi salah satu bentuk pelestarian alam melalui yadnya. Selain
pemanfaatan unsur-unsur alam, dalam pelaksanaan upacara dan upakara juga
tidak terlepas dari unsur bunyi-bunyian yang dikenal dengan nama Panca Gita.
Panca Gita adalah lima unsur bunyi-bunyian yang mengiringi jalannya sebuah
upacara, yang terdiri dari bunyi genta seorang pendeta, bunyi mantra yang
diucapkan oleh pendeta, bunyi dari kidung atau nyanyian-nyanyian suci, bunyi
gong atau alat musik pengiring yadnya dan bunyi kentongan (kulkul). Kidung
menjadi salah satu unsur bunyi yang memiliki peran penting dalam upacara
keagamaan di Bali. Makidung di dalam tradisi umat Hindu telah berlangsung
cukup lama.
Dalam lontar Wrhaspatitattwa terdapat dialog seorang guru spiritual yaitu
Sang Hyang Iswara dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan
Wrhaspati yang membahas tentang unsur kesadaran yang disebut cetana dan
unsur ketidaksadaran atau disebut acetana. Kedua unsur cetana dan acetana ini
bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada (Tim Penyusun, 2003: 7).
Ketika seseorang mampu berbuat baik ia dianggap berada di pihak positif dengan
tindakan dalam tingkat sadar, namun apabila seseorang telah berbuat sebah
kesalahan maupun kejahatan, itu dianggap sebagai unsur dari kekuatan negatif
yang menandakan yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar.
Dalam Kidung Jerum Kundangdya Tokoh Kundangdya dan Ki Liman
Tarub merupakan dua tokoh yang saling berseteru. Di dalam diri merekapun
dilingkupi oleh unsur positif dan negatif. Kundangdya adalah sosok welas asih,
pintar mencintai pasangan, dan sangat menghormati ibunya, tetapi ketika ia
dilingkupi oleh perasaan emosi dan dikendalikan oleh perasaan cintanya terhadap
Jerum yang tidak mampu ia kendalikan menyebabkan ia melakukan sebuah
tindakan di luar kesadarannya. Kundangdya hingga bertandang ke rumah Nini
Jerum yang ketika itu telah menjadi istri Liman Tarub adalah sebuah kesalahan
yang dilakukan karena dorongan rasa rindunya terhadap Jerum yang tidak mampu
ia kendalikan. Sebuah ketidaksadaran ini memunculkan tindakan negatif yaitu
perselingkuhan yang akhirnya menggiring Kundangdya pada musibah. Ia akhirnya
dibunuh oleh Liman Tarub karena telah lancang mendatangi dan meniduri Nini
Jerum. Demikian juga dengan Ki Liman Tarub, ia digambarkan sebagai sosok
seorang suami yang berusaha menyayangi istrinya dengan harta benda namun
kurang memperhatikan perasaan istrinya. Hingga akhirnya istrinya ditiduri oleh
Kundangdya, disitu barulah ia merasa sangat marah dan dalam kondisi marah ia
membunuh Kundangdya dan Istrinya. Kesedihannya membuat ia memutuskan
untuk mengembara dan belajar untuk tidak terikat dengan keduniawian. Ki Liman
Tarub akhirnya bertemu dengan Bhatara Batur hingga akhirnya ia diijinkan untuk
menjaga Surga oleh Bhatara Guru, namun ketika dalam keadaan suci itupun ia
ternyata masih menyimpan dendam. Setelah melihat Kundangdya dan Jerum
berada di Surga, Ki Liman Tarub yang ketika itu telah berubah nama menjadi Ki
Sarayuda akhirnya mengejar-ngejar Kundangdya dan Jerum karena ingin
membunuhnya kembali. Hingga akhirnya muncullah pertempuran antara
Kundangdya dan Ki Liman Tarub yang akhirnya dilerai oleh Bhatara Guru.
Dendam yang dirasakan oleh Ki Liman Tarub adalah bentuk sebuah
ketidaksadaran hingga akhirnya ia mendapat teguran oleh Bhatara Guru. Seorang
yang awalnya sudah menyucikan diri hingga mampu diangkat sebagai Dewa
akhirnya dalam keadaan tidak sadar melampiaskan dendamnya pada Kundangdya.
Ketidaksadaran merupakan sebuah kekuatan negatif yang menggiring seseorang
pada hal-hal yang kurang baik. Baik dan tidak baik, positif dan negatif, sadar dan
tidak sadar menjadi unsur yang selalu ada dalam bhuwana agung yaitu alam
semesta ini dan juga pada bhuwana alit yaitu unsur-unsur yang memenuhi alam
semesta ini. Welas asih, kasih dan cinta menjadi unsur positif dan bagian dari
tindakan sadar berbanding terbalik dengan kemarahan, dendam dan emosi
menjadi unsur kekuatan negatif dan bagian dari tidakan di luar kesadaran atau
tidak sadar.
Tradisi kidung sebenarnya sudah dimulai zaman Regveda. Pustaka suci ini
berasal dari urat kata rks yang berarti 'nyanyian pujaan'. Di dalam Regveda
banyak sekali petunjuk bahwa para penyembah atau bakta memuliakan dan
memuja Tuhan dalam bentuk mengidungkan sloka. Di dalam Regveda
ditunjukkan bahwa para bakta sebaiknya bernyanyi atau makidung dalam
melaksanakan persembahyangan. Di dalam Regveda, banyak sekali sloka yang
mendukung dan menguatkan bahwa di dalam persembahyangan sebaiknya disertai
dengan bernyanyi. Di bawah ini akan dikutip salah satu sloka Regveda yang
mengharapkan agar bakta bernyanyi bila memuja Tuhan.
Regveda VIII.69.9 menyatakan sebagai berikut:
Nyanyikanlah, nyanyikanlah lagumu
Oh Priyambadha, nyanyikanlah
Pujalah Dia laksana istana yang kokoh
Sloka-sloka itu memberi bukti betapa kuat harapan para rsi yang menerima
wahyu itu untuk memuliakan Tuhan dengan cara bernyanyi atau makidung.
Anjuran dan harapan itu dianggap belum kuat sehingga berulang-ulang dipertegas
dalam pustaka suci yang muncul setelah zaman Veda (Jendra, 1998: 55-56).
Menurut Zoetmulder, jenis sastra kidung di bagi menurut temanya menjadi
tiga jenis, yaitu 1) kidung-kidung historis, 2) kidung panji, dan 3) kidung yang
bersifat kerakyatan. Sementara itu tim pusat bahasa juga membagi sastra kidung
berdasarkan temanya menjadi tiga jenis, yaitu: 1) kidung sejarah atau kidung
legenda, 2) kidung bertema panji, dan 3) kidung ruwat dan penyucian diri. Sastra
kidung yang dogolongkan ke dalam kidung historis adalah sastra kidung yang
mengambil bahan cerita dari tradisi sejarah kerajaan. Kidung yang bertemakan
panji dapat dikenal melalui ciri-cirinya memiliki unsur-unsur romantik dicampur
dengan legenda yang tidak masuk akal dan deskripsi-deskripsi realistis mengenai
dunia orang jawa karena semua cerita panji terjadi di pulau jawa. Sementara itu
kidung-kidung yang digolongkan ke dalam jenis kidung-kidung ruwat dan
penyucian antara lain kidung sudamala dan kidung Sri Tanjung. Sedangkan jenis
kidung yang bertemakan keagamaan atau religius seperti kidung Wargasari,
kidung Jerum dan kidung Tantri Pitra Yadnya (dalam Suarka, 2007: 136-138).
Sebagai sebuah nyanyian pengiring yadnya, kekidungan di Bali juga di golongkan
kembali berdasarkan kegunaanya. Seperti kidung Wargasari yang umumnya
dinyanyikan untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya, dan kidung Jerum
dinyanyikan untuk mengiringi upacara Bhuta Yadnya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan mengenai Konsep Harmonisasi
Alam sebagai berikut:
ALAM
BHUWANA
AGUNG
HARMONISASI
UPACARA
UPAKARA
PANCA GITA
BHUWANA ALIT
Dapat diterangkan bahwa alam ini memang terdiri dari bhuwana agung atau nama
lain dari alam semesta ini, sedangkan bhuwana alit adalah isi dari alam semesta
ini dari tumbuhan, hewan hingga manusia. Apapun yang diajak hidup
berdampingan harus menciptakan keharmonisan demi terciptanya kenyamanan
dan kedamaian, demikian juga antara bhuwana agung dan bhuwana alit harus
tercipta sebuah keharmonisan untuk mampu menciptakan kedamaian. Dalam
kepercayaan Hindu di Bali, Keharmonisan antara bhuwana agung dan bhuwana
alit dapat diciptakan melalui upacara, upakara dan panca gita selain juga
menumbuhkan rasa kecintaan dan keinginan menciptakan keharmonisan tersebut
dimulai dari diri sendiri.
4.5 Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dengan Konsep Ketuhanan
Terciptanya keharmonisan alam semesta beserta isinya tentu diawali dari
keharmonisan tiap individunya (manusia), sama halnya dengan keharmonisan
bhuwana agung yang tentunya juga bersumber dari keharmonisan bhuwana alit.
Seperti yang telah lumrah diketahui bahwa alam semesta (bhuwana agung)
dengan segala isinya dan manusia (bhuwana alit) adalah ciptaan-Nya. Semua
ciptaan-Nya merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal karena dapat
mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaan-Nya itu
akan kembali kepada-Nya karena itu adalah asal dan tujuan.
Tingkatan-tingkatan alam dalam bhuwana agung bila dihubungkan
dengan tubuh manusia (bhuwana alit) akan ditemukan pada bagian-bagian tubuh
manusia dari alam yang paling bawah sampai dengan yang tertinggi, yaitu alam
kamoksan. Pada setiap bagian yang merupakan simbol alam dalam tubuh manusia
berstana dewa-dewa, di mana Sanghyang Parama Nirbana Siwa adalah dewa yang
tertinggi yang harus dijadikan objek dalam kamoksan. Pada dasarnya tubuh ini
terbentuk dari unsur-unsur panca maha bhuta. Tubuh ini disebut dengan bhuwana
alit, alam kecil, yang sebenarnya merupakan tiruan dari bhuwana agung, alam
besar. Bhuwana alit merupakan refleksi dari tubuh ini, sedangkan alam semesta
merupakan perwujudan bhuwana agung, begitu halnya dengan unsur-unsur panca
maha bhuta terdapat pada dua alam ini. Sungai-sungai dalam bhuwana agung
diwujudkan dengan nadi dalam tubuh yang jumlahnya sangat banyak. Dalam
tubuh juga terdapat wayu yang merupakan tenaga penggerak tubuh (Pemerintah
Tim Penyusun, 2003: 5--6).
Antara unsur-unsur dalam badan berkaitan dengan alam atau bhuwana
agung dan keterkaitannya dengan dewa penguasa alam semesta yang menempati
setiap penjuru mata angin. Dalam kepercayaan Hindu di Bali ada sembilan dewa
utama yang dianggap menguasai kesembilan arah mata angin yang biasa disebut
Dewata Nawa Sanga. Dewata Nawa Sanga merupakan sembilan dewa utama
dalam agama Hindu. Adapun posisi Dewata Nawa Sanga di sembilan penjuru
mata angin adalah sebagai berikut.
1. Dewa Iswara penguasa arah timur
2. Dewa Wisnu penguasa arah utara
3. Dewa Rudra penguasa arah barat daya
4. Dewa Mahadewa penguasa arah barat
5. Dewa Maheswara penguasa arah tenggara
6. Dewa Sambu penguasa arah timur laut
7. Dewa Sangkara penguasa arah barat laut
8. Dewa Brahma penguasa arah selatan
9. Dewa Siwa penguasa arah pusat yang berada di tengah (Gus Japa dkk,
2008: 26-27).
Selain Kesembilan dewa tersebut menguasai arah mata angin, dewa dan
unsur-unsur dalam alam semesta ini pun memiliki keterkaitan dengan organ tubuh
seperti yang tampak dalam bagan berikut.
No Cakra Lokasi Petal/
Lembar
Dewa
Pelindung
(kekuatan)
Fungsi Warna Kelenjar Elemen
1 Dasar tulang
ekor
4 Ganesa
(Dakini)
pusat
pertahanan,
energi bumi,
materi, tubuh
fisik
Merah - Tanah
2 Sex tulang
pelvis
6 Wisnu
(Rakini)
Kreativitas
rendah tertarik
antar manusia,
perjalanan
astral
Orange Ovari/
Testes
Api
3 Pusar pusar 10 Rudpa
(Lakini
Sakti)
Pusat
Kekuatan, ego,
identitas,
kepercayaan
diri
Kuning Andrenalin,
Ginjal
Air
4 Jantung tengah 12 Jagadamba
(Kakini
Sakti)
Cinta kasih
dan perasaan
halus lainnya
Hijau/
Merah
Muda
Timus Udara
5 Tenggor
okan
Tenggo
rokan
16 Sadasiva
(Arawanari
swara)
Komunikasi,
kreativitas
tinggi
intelektual,
bahasa
Biru Tiroid,
Paratiroid
Eter
6 Mata
Ketiga
Antaralis 2 Paramesiwa
(Hakini/
Sudhakali)
Pusat persepsi,
jendela jiwa
Ungu Pituitary Cahaya
7 Mahkota Puncak
Kepala
1000+12 Kalki Pintu
hubungan ke
Ilahian
Putih/
Ungu
elektrik
Pineal -
(Effendi, 2011: 93)
Keterkaitan letak kesembilan dewa dalam Dewata Nawa Sanga dengan
unsur bhuwana alit, yaitu organ tubuh manusia tergambar secara jelas dalam
Kidung Jerum Kundangdya, tepatnya ketika Hyang Guru memberikan sabdanya
kepada Sarayuda yang ketika itu sedang belajar kedharman, seperti tampak dalam
kutipan berikut.
Hyang Guru lingirangucap : Hyang Guru bersabda:
"Sarayuda anakingsun, "Sarayuda anakku,
rungunen wuwus ingsun, dengarlah ucapanku,
wangsitira Hyang tan katon, sabda Hyang yang tak nampak,
jaba jro Hyang Pramana, luar dan dalam Hyang Pramana,
angga nunggal soring luhur, tubuh menunggal atas dan bawah,
kalangkahan kasurupan, terlangkahi dan dirasuki,
tan ana wētan muwang Kidul tidak ada timur dan selatan.
pada ke- 171
"Putih Purwa Hyang Iswara, "Putih di Timur Hyang Iswara,
pupusuh mangkē nggonipun, berada di jantung,
Kidul abang puniku, Selatan berwarna merah,
Hyang Brahma ring ati mangko, Hyang Brahma berada di hati,
Kuning kulon ring ungsilan, Barat berwarna kuning adalah ungsilan,
Hyang Mahadēwa puniku, di situlah Hyang Mahadewa,
Lor ireng rupanira, Utara berwarna hitam,
Wisnu ring ampru nggonipun. Bhatara Wisnu berada di empedu.
pada ke- 172
"Geneyan dadu rupanira, "Tenggara berwarna dadu,
Mahisora paparu nggonipun, Dewa Mahisora berada di paru-paru,
Naritiya jingga iku, Barat daya berwarna jingga,
Rudra ring usus gung mangko, Dewa Rudra berada di perut besar,
ijo limpa ring Wayabia, Warna hijau pada limpa arah barat laut,
Hyang Sangkara dewan ipun, Dewatanya Hyang Sangkara,
biru Ersania ineban, Biru timur laut ineban,
Bhatara Sambu puniku. Dewatanya Bhatara Sambu.
pada ke-173
"Siwa Madia manca-warna, "Siwa di tengah beraneka warna,
tumpuking ati nggonipun, berada di tumpuking hati,
sami mangkē ingitung!" semua sudah disebut!"
Sarayuda mojar alon : Sarayuda berkata perlahan :
"Kamoksan lan kalepasan, "Kamoksan dan kalepasan,
darma muang ta pujan ipun, Dharma dan mantra pujaannya,
trusakena alon ala, teruskanlah diwejangkan,
amerih pinegating laku" sebagai tali ikatan tingkah laku"
pada ke- 174
Kepercayaan agama Hindu Bali bahwa Hyang Guru atau Bhatara Guru
adalah dewa tertinggi. Hyang Guru dalam Kidung Jerum Kundangdia diwujudkan
sebagai dewa tertinggi yang memberikan sabda kepada Sarayuda mengenai unsur-
unsur organ tubuh manusia dalam kaitannya dengan dewata nawa sanga. Melalui
kidung Jerum Kundangdya terkandung sebuah bentuk penyadaran terhadap
keterkaitan bhuwana alit (unsur organ tubuh manusia) dengan bhuwana agung
(alam semesta). Ada hubungannya yang sempurna dalam tubuh manusia dengan
alam semesta. Dari pinggang ke bawah melambangkan alam bawah tanah dan di
bagian atas pinggang melambangkan alam atas bumi. Ujung jari kaki
melambangkan alam tala, tumit melambangkan alam tatala, paha melambangkan
rasatala dan pinggul melambangkan alam patala. Pusar melambangkan alam
bhurloka, hati melambangkan svahloka, kerongkongan melambangkan alam
mahaloka, wajah melambangkan janaloka, dahi melambangkan tapaloka, dan
pucak kepala adalah satyaloka (Watra, 2006: 84--85). Para dewa ber-stana sesuai
dengan unsur-unsur organ tubuh tersebut. Dengan mengaitkan keberadaan para
dewa dengan organ-organ tubuh ini merupakan salah satu bagian dari penyadaran
agar manusia mencintai dirinya sendiri. Badan merupakan salah satu anugerah
yang diberikan agar atma mampu menjalani kehidupan sebagai manusia, sebagai
bentuk rasa terima kasihnya sudah seharusnya ia menjaga dan menghormati setiap
unsur anggota badannya dengan jalan mencintai tubuhnya sendiri. Ketika
seseorang berusaha mencintai tubuhnya, ia akan berusaha menjaga kesehatan
badan, baik dengan cara makan-makanan yang sehat, olahraga, maupun
menciptakan pikiran yang sehat. Pikiran yang sehat tentu terbebas dari pikiran
negatif, yang mampu menciptakan pikiran harmonis. Liman Tarub ketika
terbelenggu dalam masalah kehancuran rumah tangganya akhirnya memilih untuk
mengasingkan diri ke gunung untuk berusaha menenangkan diri hingga akhirnya
ia mampu bertemu dengan Hyang Guru yang memberikan sabda mengenai
keterkaitan letak para dewa dalam tubuh manusia tanpa melupakan untuk selalu
menerapkan ajaran dharma. "Dalam tubuh yang sehat ada jiwa yang sehat".
Slogan yang umum didengar di lingkungan masyarakat Indonesia ini memang ada
benarnya. Ketika seseorang dalam keadaan sehat tentu ia mampu belajar untuk
berpikir yang sehat dan positif. Pikiran positiflah yang membentuk lingkungan
sehat dan positif. Inilah keterkaitan bhuwana alit dan bhuwana agung. Ketika diri
telah harmonis, maka akan berimbas pada keharmonisan lingkungan yang pada
akhirnya menciptakan keharmonisan alam semesta. Pembentuk keharmonisan
alam sesungguhnya berawal dari harmonisnya unsur-unsur dalam diri. Salah satu
cara tercapainya keharmonisan diri itu adalah tapa brata seperti yang dilakukan
oleh Liman Tarub. Ia berusaha menjaga kesehatan organ badan dan kesehatan
pikiran yang pada akhirnya mencapai kamoksan dan kalepasan.
Keharmonisan sangatlah dijunjung dalam kehidupan masyarakat Bali.
Hingga banyak beranggapan bahwa di Bali unsur baik dan buruk itu mampu
berdampingan. Bhuwana agung atau dengan kata lain alam semesta merupakan
tempat makhluk hidup dan yang lainnya melangsungkan kehidupan. Tanpa alam
makhluk hidup tidak bisa hidup, tanpa makhluk hidup pun alam tidak akan ada
gunanya. Keterkaitan saling membutuhkan ini menuntut makhluk hidup seperti
manusia, yang diberikan kelebihan untuk mampu merasakan dan berpikir
seharusnya berkewajiban memeliharan keharmonisan keduanya, baik bhuwana
agung maupun bhuwana alit. Bentuk pemeliharaan bhuwana agung di Bali yaitu
melalui upacara yadnya. Sekian upacara-upacara yadnya yang ada di Bali.
Upacara bhuta yadnya merupakan upacara yang memang bertujuan untuk
mengharmoniskan kekuatan baik dan buruk dengan harapan mampu menciptakan
keharmonisan alam. Upacara bhuta yadnya memiliki dua bagian. Pertama,
upacara caru yang merupakan bagian dari upacara bhuta yadnya yang memiliki
kuantitas nista, madia, utama tergantung dari keperluan dan kemampuan. Adapun
kualitasnya sama sesuai dengan macam dan fungsi caru. Pelaksanaan upacara
pecaruan ini biasanya bersifat berkala. Kedua, upakara/ yadnya sesa
(palelabanan) yang merupakan bagian dari bhuta yadnya hanya materialnya lebih
sedikit. Namun, pelaksanaan upakara palelaban ini, ada yang bersifat berkala dan
ada juga yang bersifat rutin setiap hari (Sudarsana, 2001: 5-6).
Berbicara tentang keharmonisan di lingkungan alam di Bali, tidak
terlepas dari konsep tri hita karana. Secara leksikal tri hita karana berarti tiga
penyebab kesejahteraan (tri = tiga, hita = sejahtera, karana = penyebab). Pada
hakikatnya tri hita karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan
itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara (1) manusia dan Tuhan, (2)
manusia dan alam lingkungannya, (3) manusia dan sesamanya. Penerapan tri hita
karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut.
a. Hubungan antara manusia dan Tuhan diwujudkan dengan dewa yadnya.
b. Hubungan antara manusia dan alam lingkungannya diwujudkan dengan
bhuta yadnya.
c. Hubungan antara manusia dan sesamanya diwujudkan dengan pitra, resi,
manusa yadnya (Pemerintah Provinsi Bali, 2003: 77--78).
Demi mempertahankan hubungan baik dengan kekuatan bhuwana agung,
ajaran tri hita karana bisa dirujuk sebagai landasan falsafahnya. Ajaran ini
menyerukan pentingnya "keselarasan" dalam segala sisi kehidupan manusia dan
menempatkan manusia (bhuwana alit) sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dengan jagat raya ini (bhuwana agung). Prinsip keselarasan itu bisa dilihat dari
perlakuan umat Hindu di Bali terhadap kekuatan bhuwana agung yang disebutnya
bhuta kala. Bhuta berarti alam semesta, jagat raya ini, kala adalah energi atau
kekeuatan yang menyertai prakrti (alam). Kekuatan alam itu bisa merusak apabila
diganggu, ia pun menyejahterakan apabila didamaikan. Kekuatan alam ini
dianggap berada di pihak manusia jika mereka dapat menyelaraskan diri
dengannya. Oleh karena itu, bhuta kala harus didamaikan kembali melalui
upacara bhuta yadnya (Yudiantara, 2001: 19--20). Berkaitan dengan konsep tri
hita karana, upacara bhuta yadnya menjadi salah satu cara untuk
mengharmoniskan alam beserta isinya. Upacara bhuta yadnya lebih pada yadnya
yang bertujuan untuk menetralisir alam, menyeimbangkan kekuatan negatif dan
positif. Digunakannya kidung Jerum Kundangdya sebagai pengiring upacara
bhuta yadnya memiliki sebuah alasan karena ceritanya yang mengandung sebuah
unsur keterkaitan dengan kekuatan negatif dan positif. Dalam kidung Jerum
Kundangdya muncullah dua orang tokoh pria yang saling menaruh dendam
dengan dihadiri seorang tokoh wanita yang sama-sama sangat dicintai oleh kedua
pria tersebut. Setiap unsur dalam alam semesta selalu tercipta berpasangan,
termasuk juga kekuatan positif dan negatif yang memenuhi alam semesta juga
memenuhi diri manusia. Kekuatan positif dan negatif menandakan adanya unsur
kesadaran dan ketidaksadaran.
Macam-macam upacara bhuta yadnya ada banyak, dari yang sederhana
hingga tingkat utama. Seluruh rangkaian upacara baik dari yang kecil hingga
utama inipun tidak lepas dari tujuan harmonisasi. Selain rangkaian upacara bhuta
yadnya yang memang diperuntukkan untuk pengharmonisan alam, tradisi Hindu
di Bali juga memiliki rangkaian upacara keagamaan yang memang muncul guna
sebagai bentuk penyelarasan terhadap alam, yaitu upacara tumpek. Tumpek
merupakan salah satu dari sekian banyak hari raya agama Hindu berdasarkan
pawukon (wuku). Berdasarkan pergantian dari wuku-wukunya itu, maka dalam
kurun waktu selama enam bulan akan terjadi perayaan tumpek selama enam kali,
yang masing-masing berbeda nama, jenis, dan tujuannya. Hari raya tumpek,
merupakan saat turunnya Hyang Widhi menciptakan Sang Hyang Dharma dan
tattwa-tattwa atau ilmu pengetahuan. Pelaksanaan upacaranya diwajibkan kepada
manusia sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna untuk mengatur keadaan
hidup di dunia secara lahirnya agar tetap terjaga keserasian dan kelestarian
lingkungan hidupnya. Jenis-jenis tumpek ada enam. Pertama, tumpek landep yaitu
upacara yang diselenggarakan oleh manusia untuk memohon keselamatan
kehadapan Tuhan dalam manifestasinya yang disebut sebagai dewanya senjata
(alat peperangan yang dibuat dari besi, logam, perak, emas dan lain sejenisnya)
yang dipergunakan oleh manusia dalam kehidupannya. Kedua, tumpek wariga,
yaitu memohon keselamatan melalui upacara ke hadapan Tuhan dalam
manifestasi-Nya sebagai dewa tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia
untuk memenuhi keperluan hidupnya. Ketiga, tumpek kuningan, yang
diselenggarakan manusia untuk memohon keselamatan ke hadapan para leluhur
termasuk dewa dan pitaranya. Keempat, tumpek krulut, yang diselenggarakan
manusia untuk memohon keselamatan kehadapan Tuhan dalam manifestasi-Nya
sebagai dewa rasa senang yang luar biasa. Kelima, tumpek uye, yang
diselenggarakan oleh manusia untuk memohon keselamatan ke hadapan Tuhan
dalam manifestasi-Nya sebagai dewa para binatang yang hidupnya dikandangkan
dan digunakan oleh manusia sebagai teman hidup yang ikut membantu bekerja
dan memenuhi sarana keperluannya. Keenam, tumpek wayang, diselenggarakan
oleh manusia untuk memohon keselamatan ke hadapan Tuhan dalam manifestasi-
Nya sebagai dewa segala jenis tetabuhan dan wayang, yang digunakan oleh
manusia (Arwati, 1992: 5--8).
Wujud perayaan tumpek memberikan gambaran mengenai usaha manusia
untuk selalu harmonis dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Perayaan
Tumpek Wariga mampu menjadi salah satu contoh bentuk usaha untuk mencapai
keharmonisan dengan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan merupakan saudara
manusia sesama ciptaan Tuhan yang selalu membantu kehidupan manusia
khususnya di bidang pangan. Selain itu, tumbuh-tumbuhan juga kembali
digunakan untuk sarana persembahan atau banten dalam sebuah upacara yang
kembali diperuntukkan untuk Tuhan. Ketika perayaan Tumpek Wariga, tumbuh-
tumbuhan disucikan dengan berbagai upakara dan ketika itu manusia
memohonkan agar tumbuhan mampu hidup dengan baik, menghasilkan buah dan
bunga yang baik yang dapat membantu hidup manusia. Di sini muncul wujud
syukur dan rasa terima kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan. Ketika
Tumpek Wariga manusia dilarang memetik, bahkan menebang pohon. Muncul
sebuah pengembangan cinta manusia terhadap tumbuh-tumbuhan yang selama
hidupnya telah setia membantu manusia. Harapan manusia ketika tumbuh-
tumbuhan mampu tumbuh subur, baik melalui upacara keagamaan (secara
niskala) maupun melalui sebuah perawatan (secara niskala) maka kehidupan
manusia akan lebih bahagia. Manusia tidak akan mampu hidup tanpa tumbuhan,
demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, sebagai manusia yang terlahir
sempurna tentu menjadi sebuah kewajiban untuk menciptakan keharmonisan
alam. Salah satu caranya adalah dengan memelihara kehidupan tumbuh-
tumbuhan. Demikian juga halnya dengan perayaan tumpek yang lainnya yang
telah memiliki tujuannya masing-masing yang sama-sama untuk sebuah
harmonisasi. Inilah sebagai bentuk harmonisasi bhuwana agung.
Keharmonisan mampu tercipta apabila ada keseimbangan antara
kekuatan negatif dan positif, bagaimana mengubah kekuatan yang bersifat
keburukan menjadi bersifat kebajikan dan di sinilah diperlukan upacara bhuta
yadnya. Konsep harmonisasi sesungguhnya telah dimunculkan dalam Kidung
Jerum Kundangdya, itu menjadi alasan kuat mengapa Kidung Jerum Kundangdya
diterima sebagai salah satu kidung pengiring jalannya upacara bhuta yadnya.
Berawal dari Kundangdya, karena kebutaannya melihat kecantikan
Jerum, ia menjadi lupa diri. Ia dibutakan oleh cintanya terhadap Jerum. Rasa cinta
dan ketertarikannya yang berlebihan ini memeunculkan nafsu, ketika nafsu sudah
tidak mampu dikendalikan maka muncullah keinginannya untuk melakukan
perbuatan di luar kebajikan, yaitu pemerkosaan. Kundangdya nekat meniduri
Jerum merupakan sebuah kesalahan karena ketika itu Jerum telah terikat
pernikahan dengan Liman Tarub. Tindakan Kundangdya dianggap sebuah
tindakan perselingkuhan karena mengambil orang lain yang bukan pasangannya.
Selanjutya Jerum, Jerum menikah dengan Liman Tarub dan telah berjanji
saling mencintai. Namun, kekecewaan Jerum muncul ketika sarannya tidak
digubris oleh suaminya. Bersamaan dengan itu datanglah Kundangdya yang diam-
diam masuk ke kamarnya dan merayunya dengan segenap kata-kata cinta. Rayuan
dan keterpesonaan Jerum melihat manis dan tampannya Kundangdya membuat ia
terhanyut dan berjanji akan selalau bersama, baik hidup maupun mati. Janji
dengan pria lain yang bukan suami sendiri juga merupakan sebuah kesalahan
sehingga dianggap tindakan perselingkuhan. Janji terhadap Kundangdya membuat
Jerum pasrah jikalau akhirnya tindakan tersebut diketahui oleh suaminya.
Akhirnya Jerum dibunuh oleh suaminya sendiri karena dianggap telah berkhianat.
Dalam masyarakat Bali perselingkuhan yang dilakukan oleh Jerum dan
Kundangdya dianggap sebagai sebah kesalahan yang mampu mengotori
lingkungan, biasa disebut ngaletehin gumi.
Liman Tarub, ia menjadi suami yang baik. Namun, ia tidak mampu dan
kurang mau memberikan perhatian terhadap istrinya. Hal itu dibuktikan dari
tindakannya yang tidak peduli dengan permohonan Jerum untuk tidak
meninggalkannya. Cinta terhadap istrinya, tetapi tidak mampu memberikan
perhatian. Perhatian dengan hadiah berupa harta dianggap utama oleh Liman
Tarub. Perselingkuhan Jerum dengan Kundangdya membuat Liman Tarub gelap
mata dan membunuh mereka berdua. Pembunuhan merupakan suatu tindakan
yang tidak dibenarkan sekalipun yang bersangkutan melakukan kesalahan.
Demikianlah dalam kehidupan tentu dipenuhi dengan hal positif maupun
negatif. Kejahatan dan kebaikan akan selalu berdampingan, dan manusialah yang
dituntut untuk tetap sadar sehingga mampu memilah dan memilih tindakan yang
tepat untuk dilakukan. Ada saatnya manusia salah bertindak ketika hilang
kesadaran, dan ketika itulah diperlukan unsur-unsur lain untuk dapat
menetralisirnya kembali untuk dapat menjadi baik. Tuhan menciptakan alam
semesta beserta isinya, ketika makhluk-makhluk yang mengisi alam ini
melakukan kesalahan, tentu itu berdampak pula pada keharmonisan alam semesta.
Alam akan ikut menjadi kotor ketika makhluk-makhluk dalam alam itu
melakukan tindakan kotor, untuk itu muncullah tindakan-tindakan yang dilakukan
manusia untuk menetralisir keberadaan alam tersebut untuk mampu kembali
menjadi harmonis.
Upacara dan upakara merupakan salah satu cara untuk menetralisir alam
agar kekuatan positif dan negatif di alam mampu harmonis kembali. Sama halnya
dalam Kidung Jerum Kundangdya, ketika Kundandya dan Jerum melakukan
kesalahan maka ia dengan kerelaan dan kesadarannya ia menyerahkan diri untuk
dibunuh dan mampu lepas dari ikatan dunia. Sedangkan Liman Tarub yang telah
melakukan tindak pembunuhan, dengan kesadarannya ia melakukan tapa semedi
untuk membayar kesalahannya dan mampu menjadi lebih baik. Kesalahan terjadi
ketika manusia kurang menyadari tindak dan tanduknya, dan untuk
mengembalikan semuanya maka manusia tersebut harus kembali sadar akan
dirinya. Kesadaran diri untuk melakukan tindakan yang patut merupakan awal
terciptanya keharmonisan alam.
BAB V
FUNGSI HARMONISASI ALAM DALAM KIDUNG JERUM
KUNDANGDYA BAGI MASYARAKAT BALI
5.1 Landasan Cinta
Cinta dan keharmonisan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Di
mana ada keharmonisan sudah tentu ada cinta, tetapi di mana ada cinta belum
tentu menimbulkan keharmonisan. Pada umumnya cinta memang selalu
memberikan kebahagiaan, tetapi pernyataan ini perlu digarisbawahi hanya untuk
cinta yang bersifat tulus ikhlas. Cinta yang hanya mengharapkan balasan sering
kali hanya menimbulkan sebuah keterikatan yang berakhir pada rasa cemburu
yang menghancurkan. Oleh karena itulah, cinta belum tentu menimbulkan
keharmonisan, tetapi keharmonisan pasti dibentuk oleh cinta. Tidak ada hubungan
harmonis yang tidak berlandaskan cinta. Keharmonisan pun pasti diwujudkan
karena adanya cinta yang tulus.
Apabila keharmonisan dan kerukunan sesama umat ciptaan Tuhan di
usahakan dan diupayakan secara terus-menerus dengan segala kemampuan yang
dimiliki serta berpedoman pada sastra agama, maka kedamaian yang menjadi
dambaan akan dapat diciptakan dan dengan kedamaian kebahagiaan akan dapat
dirasakan. Kedamaian dan ketenteraman batin merupakan dambaan setiap
makhluk, tidak hanya untuk umat manusia, tetapi juga untuk tumbuhan atau
tanaman dan binatang. Tanggung jawab manusia adalah menjaga harmonisasi
alam dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam
semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus (kodrat) Tuhan.
Wujud harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya dapat
terlukiskan dalam kisah cinta antara Jerum dan Kundangdya. Cinta merupakan
salah satu bentuk Representatif Harmonisasi Alam, Dengan kata lain wujud
harmonisasi alam dapat terealisasikan dalam wujud cinta . Menurut kamus umum
bahasa Indonesia karya W.J.S Poerwa Darminta, cinta adalah rasa sangat suka
(kepada) atau (rasa) sayang (kepada), ataupun (rasa) sangat kasih atau sangat
tertarik hatinya. Sedangkan kata kasih artinya perasaan sayang atau cinta kepada
atau menaruh belas kasihan, dengan demikian arti cinta dan kasih hampir
bersamaan, sehingga kata kasih memperkuat rasa cinta. Karena itu cinta kasih
dapat diartikan sebagai perasaan suka (sayang) kepada seseorang yang disertai
dengan menaruh belas kasih. Walaupun cinta kasih memegang peranan yang
penting dalam kehidupan manusia, sebab cinta merupakan landasan dalam
kehidupan perkawinan, pembentukan keluarga dan pemeliharaan anak, hubungan
yang erat dimasyarakat dan hubungan manusiawi yang akrab. Demikian pula cinta
adalah pengikat yang kokoh antara manusia dengan Tuhannya sehingga manusia
menyembah Tuhan dengan ikhlas, mengikuti perintahNya, dan berpegang teguh
pada ajaran-Nya.
Cinta merupakan salah satu hal yang menjadi bagian dari keberadaan
makhluk hidup. Cinta seringkali menjadi pembahasan menarik yang tidak pernah
habis untuk ditelusuri dan dipahami. Bahkan pada tahun 416 SM, cinta menjadi
salah satu topik pembahasan menarik bagi sebagian ilmuwan. Ketika itu, Sokrates
pernah melakukan dialog yang khusus membahas cinta pada sebuah acara jamuan
makan malam dan pesta yang direkam oleh Plato muridnya.
Dialog tentang cinta yang pernah dilakukan oleh Sokrates dan kawan-
kawannya memunculkan banyak pemikiran dan pandangan mengenai cinta. Ada
beberapa hasil dialog tersebut yang terekam oleh seorang muridnya, yaitu Plato.
Dalam dialog tersebut, Phaidros mengatakan bahwa cinta adalah Dewi Agung
serta indah di bumi dan di surga. Cinta adalah sumber segalanya, hanya cinta yang
menjadi tuntunan kehidupan kalau ia ingin hidup yang lebih baik. Bukan darah
bangsawan, kedudukan, kekayaan, dan sebagainya, melainkan hanya semata-mata
cinta yang bisa menanamkan kebaikan lebih daripada apa pun. Karena itu, tanpa
cinta, maka mustahil manusia ataupun negara bisa menghasilkan keindahan dan
keagungan dalam karya mereka (Plato, 1986: 5--6). Sokrates beranggapan, bahwa
dalam pengertian umun cinta berarti semua keinginan akan hal-hal yang baik dan
kebahagiaan dengan simpulan bahwa cinta sesungguhnya berarti selalu senang
memiliki yang baik untuk diri sendiri. Jalan memburunya atau tindakan ketulusan
yang diungkapkannya agar bisa disebut cinta tak lain adalah dengan asuhan dalam
keindahan, baik jasmani maupun rohani. Indah berarti harmonis (Plato, 1986: 31--
32).
Dari kutipan beberapa isi dialog tentang cinta yang pernah dilakukan oleh
Sokrates mampu meyakinkan bahwa kehidupan yang indah atau harmonis tidak
mampu dilepaskan dari keberadaan cinta. Cinta menjadi sebuah kekuatan yang
memunculkan ketulusan dan sikap positif yang menciptakan kehidupan harmonis.
Menurut Wijayananda, pada aspek tertentu wujud cinta dapat pula disebut
dengan bhakti. Bhakti berarti cinta kasih yang tulus. Istilah bhakti ini digunakan
untuk pernyataan cinta kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan), cinta kepada
negara ataupun pribadi-pribadi yang disayangi atau dihormati. Bhakti dapat dibagi
atas dua tingkatan, yaitu apara bhakti dan parabhakti. Apara bhakti adalah cinta
kasih yang perwujudannya masih lebih rendah dan dipraktikkan oleh mereka yang
belum mempunyai tingkat kerohanian yang tinggi. Sebaliknya parabhakti adalah
cinta kasih dalam perwujudannya yang lebih tinggi dan kerohaniannya sudah
meningkat (Wijayananda, 2004: 25). Bakti atau cinta akan menimbulkan suatu
keikhlasan untuk berbuat dan berkorban. Kerelaan berkorban tentu memunculkan
rasa pengertian dan saling memaafkan hingga mampu menghasilkan kedamaian.
Cinta seakan selalu diibaratkan sebagai sumber keindahan dan kebahagiaan.
Cinta adalah kekuatan terbesar dalam hidup yang dianugerahkan oleh
Tuhan kepada manusia. Ungkapan tersebut terungkap dan terlontar secara alami
serta terlukis secara amat puitis (Khalil Gibran dalam Antono, 2008: 7).
Pembahasan mengenai cinta masih sering menjadi perbincangan karena
keingintahuan manusia sekalipun telah diketahui bahwa semua makhluk hidup
mengenal cinta. Untuk itu cinta tidak perlu dipelajari. Cinta datang pada saatnya
dan sudah ada dalam diri setiap makhluk. Cinta memenuhi alam semesta dan
mampu melahirkan simbol-simbol dan kias-kias yang menyebabkan imajinasi
berkembang dan lahirlah seni (Putra: 15--19). Seni adalah sebuah keindahan dan
itu dianggap bersumber dari cinta. Kekuatan cinta inilah yang mampu
menciptakan keindahan dan keharmonisan alam. Cinta dapat dianggap sebagai
landasan munculnya keharmonisan. Tidak ada sebuah keharmonisan tanpa cinta.
Kidung Jerum Kundangdya sebagai salah satu kidung pengharmonis alam
yang menggambarkan kehidupan dengan segala permasalahan yang bersumber
dari cinta. Secara eksplisit, setiap permasalahan yang muncul dalam kidung
berawal dari masalah cinta. Cinta dalam kaitannya dengan harmonisasi alam dapat
dilihat dari dua sisi yang saling berbeda. Satu sisi cinta selalu menimbulkan
kebahagiaan dan sudah tentu bahagia itu juga berarti harmonis. Sebaliknya, di sisi
lain cinta mampu menimbulkan keterikatan yang berujung pada rasa cemburu dan
kemarahan yang berakhir pada kehancuran.
Dalam ajaran Hindu di Bali dikenal adanya Tri Hita Karana seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Dasar pengertian Tri Hita Karana adalah tiga unsur
asal kebahagiaan, yaitu atman, manusia, dan alam. Ini bermakna agar manusia
dapat hidup penuh kebahagiaan dan kedamaian, maka harus dibangun tiga
wilayah, yaitu parhyangan untuk tempat memuja Tuhan sebagai asal dari atman
manusia, pawongan tempat untuk hidup bermasyarakat dan palemahan tempat
untuk penunjang kehidupan (Nala dkk., 2012: 156--157). Baranowski menemukan
kunci untuk hidup bahagia, yaitu empat huruf "love" yang berarti cinta. Hidup
sukses akan terwujud sepanjang dasarnya adalah "love" atau cinta kasih yang
murni tanpa pamrih (Wiana, 2012: 40). Sebagai pengharmonis alam demi
kebahagiaan setiap makhluk maka dalam ajaran Hindu di Bali dikenal upacara
bhuta yadnya. Yang dimaksud dengan bhuta adalah unsur-unsur dari panca maha
bhuta yang terdiri atas udara (bayu), air (apah), api (teja), tanah (pertiwi) dan
ruang (akasa). Bhuta dapat bersifat baik dan buruk. Kroda dari bhuta inilah yang
harus dikendalikan oleh manusia agar dunia aman dan sejahtera. Manusia harus
berani berkorban untuk mengendalikan bhuta agar tetap baik dan tidak berubah
menjadi ganas dan kroda. Bila terjadi pencemaran atau keseimbangannya
berubah, tentu akan menimbulkan bahaya. Manusia yang tidak tahu ilmu
pengetahuan, merusak keseimbangan alam mengakibatkan bhuta menjadi marah
dan menghancurkan manusia itu sendiri (Nala dkk., 2012: 267). Seperti yang
terdapat dalam Kidung Jerum Kundangdya, cinta yang mampu menciptakan
kebahagiaan dan kemarahan dan dendam menimbulkan sebuah malapetaka.
Walaupun dianggap sebagai hubungan terlarang, cinta yang dimiliki
Kundangdya terhadap Jerum begitu tulus dan murni. Cinta kasih yang tulus inilah
yang menciptakan kebahagiaan antara Kundangdya dan Jerum hingga bahaya
yang akan menimpa mereka pun tidak dapat membuat mereka takut, seperti dalam
kutipan berikut.
Liman Tarub gagēpēran, Liman Tarub gemetaran,
ginamelan Ni Jerum, Ni Jerum dipegang,
tumuli angunus duhung: sambil menghunus keris:
"Masa ko urip dēningong, "Masak kau hidup denganku,
lakinko Ki Kundang-Dia", laki-lakimu Ki Kundang-Dia",
Tur sinuduk Ni Jerum pindo:, Ni Jerum ditikam dua kali:
"Ana ingsun kaka suarga, "Kakak aku akan masuk surga,
mati satia lan wong bagus" setia dan mati bersama lelaki tampan".
pada ke-108
Dalam kutipan diceritakan bahwa Jerum merasa sangat tidak menyesal
mengenal Kundangdya. Jerum dengan rela dibunuh oleh suaminya sendiri dengan
keyakinan ia akan akan masuk surga dan bertemu dan setia dengan lelaki tampan,
yaitu Kundangdya. Kemesraan antara Kundangdya dan Jerum dapat ditemukan
dalam beberapa bait Kidung Jerum Kundangdya hingga pada bagian akhir. Ini
sebagai bukti bagaimana cinta yang dijaga melalui hubungan kemesraan ini
mampu menciptakan kebahagiaan. Mesra adalah wujud keharmonisan, dan
keharmonisan adalah hal yang diciptakan oleh cinta. Kemesraan hubungan antara
Kundangdya dan Jerum berulang-ulang kali disebutkan dalam beberapa pada.
Salah satu di antaranya adalah sebagai berikut.
Sumrik gandaning kusuma, Sangat harum aroma bunga-bunga
jebad kasturi arum, jebad kasturi harum,
enti suka Nini Jerum, betapa gembiranya Nini Jerum,
rasa tan mintara mangko, ingin tak beranjak dari situ,
kasrepan dēning kasukan, terlena oleh kesenangan,
lewih asatiyēng wong bagus, terlebih setia pada lelaki tampan,
lewih sukaning sampura, seperti lulus dari segala ampunan,
sasangi tan koneneng itung. bagai kaul yang tidak bisa dihitung
pada ke- 245
Terlena dengan kesenangan membuat Nini Jerum tidak sedikit pun berniat
beranjak meninggalkan Kundangdya. Kundangdya yang digambarkan sebagai
sosok pria yang amat tampan dengan kesetiaan yang sudah terbukti, tentu
memunculkan daya tarik bagi para wanita. Sebaliknya, Nini jerum yang juga amat
cantik dengan tubuh yang sangat sempurna juga menjadikan setiap pria tertarik.
Keindahan merupakan sesuatu yang patut dikagumi. Setiap individu pasti
dilahirkan memiliki sifat mengagumi keindahan, hanya keindahan di dalam benak
tiap-tiap orang itu yang sifatnya relatif. Kagum memiliki makna yang hampir
sama dengan tertarik. Ketertarikan sudah tentu memunculkan rasa suka yang
lama-lama menjadi cinta. Ketika cinta mampu hadir secara tulus dan mampu
diterima dengan baik, ketika itulah muncul kebahagiaan yang secara langsung
telah menciptakan keharmonisan, seperti yang dilakukan Kundangdya dan Jerum.
Karena mereka saling mencintai, mereka saling memberikan perhatian dan
pelayanan hingga mampu saling memberikan kebahagiaan.
Jika rasa cinta ini dikembangkan di mana saja, tentu itu akan menimbulkan
kebahagiaan di manapun kita tinggal. Tanpa disadari cinta itu juga memiliki
hukum timbal balik. Ketika kita mampu memberikan cinta dan objek yang kita
berikan cinta juga membalas memberikan cinta, maka ketika itulah terwujud
keharmonisan. Dalam kehidupan, manusia tidak hanya hidup dengan pasangan
yang dicintai saja. Jadi sudah menjadi kewajiban jika manusia juga harus
mencintai makhluk lain. Pada jaman sekarang, munculnya kasus orang yang
depresi karena merasa tidak ada yang mencintai sudah sangat sering terjadi. Hal
itu bisa disebabkan oleh tingkah lakunya yang memang membuat orang lain
enggan mencintainya atau bisa juga pola pikirnya saja yang beranggapan
demikian. Sesungguhnya ketika cinta yang tulus mampu diciptakan maka
seseorang akan mampu menerima setiap keadaan dengan bijaksana dan
kebahagiaan pun pasti akan diperoleh. Oleh karena itulah, kebahagiaan dan
keharmonisan alam harus diciptakan dengan selalu menciptakan cinta yang tulus,
baik cinta diperuntukkan untuk Tuhan, sesama manusia, maupun alam sekitar
lainnya.
5.2 Penyeimbang Alam Semesta
Ada tiga manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang dikaitkan dengan tiga
aktivitas utama, yaitu penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan. Brahma sebagai
pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa untuk melebur kembali. Ketiganya
disebut Tri Murti, tiga wujud utama (Dharmita, 2011: 105).
Sesungguhnya Tuhan hanya satu, hanya umat Hindu di Indonesia
memberikan gelar Sang Hyang Wisdhi Wasa. Widhi artinya takdir dan Wasa yang
Mahakuasa. Widhi Wasa berarti Yang Mahakuasa yang menakdirkan segala yang
ada. Sebagai pencipta beliau bergelar Brahma (utpatti) di dalam aksara ia
disimbolkan dengan huruf "A". Sebagai pemelihara dan pelindung (sthiti) ia
disebut Wisnu, sebagai simbolnya ialah huruf "U", dan sebagai Tuhan yang
mengembalikan segala isi alam kepada sumber asalnya (pralina) beliau bernama
Siwa Rudra. Siwa Rudra sering disebut Iswara, simbolnya dalam aksara ialah
"M". Dalam perwujudannya sebagai Brahma pencipta, Wisnu pemelihara, dan
Siwa Rudra pengembali ke asalnya Beliau disebut tri murti. Tri murti adalah tiga
perwujudan dari tiga kemahakuasaan Tuhan Siwa Yang Mahatunggal yang
disebut trisakti yaitu utpatti (mencipta), sthiti (memelihara), dan pralina
(mengembalikan keasalnya). Tuhan Siwa Mahadewa, Yang Maha Esa dan Maha-
kuasa disimbolkan dengan aksara "OM" (AUM) yang disebut juga Omkara. Oleh
karena itulah, tiap-tiap mantra harus dimulai dengan suara OM, sebagai inti
kekuatan doa mantra itu, hendaknya juga dapat menggetarkan dan menggerakkan
alam semesta (Punyatmaja, 1992: 37--38).
Setiap kali umat Hindu melantunkan doa. Tiap kali itu pula diawali dengan
kata "OM". Secara tidak langsung menyadarkan manusia dengan keberadaan alam
yang diciptakan, dipelihara, dan akan dilebur oleh Sang Hyang Tri Murti.
Lantunan doa sebagai bentuk ingatan terhadap Sang Hyang Tri Murti dan wujud
terima kasih karena telah diciptakan, dipelihara, dan pada akhirnya akan dilebur
kembali, dari ada, berlangsung, dan kembali tiada. Demikianlah setiap kehidupan
itu berlalu dengan seimbangnya ketiga proses ini. Ketika salah satu dari unsur ini
menimbulkan ketidakseimbangan maka mustahil akan tercipta keharmonisan.
Andai dalam proses kehidupan kelahiran atau penciptaan sangat jarang terjadi,
bisa dibayangkan di dunia akan sepi karena kekurangan isi, demikian juga jika
peleburan jarang terjadi, maka dunia pun akan kepenuhan. Demikian halnya
dengan pemeliharaan, apabila dunia tercipta, tetapi tanpa dipelihara maka
kehancuran akan lebih cepat terjadi. Inilah bentuk keseimbangan alam.
Keseimbangan ini mampu terjaga apabila manusia sebagai makhluk yang
memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang
lainnya mampu berterima kasih dengan cara berdoa. Di samping itu, juga menjaga
setiap hasil ciptaan beliau hingga akhirnya hasil ciptaan tersebut dilebur dengan
cara yang wajar.
Konsep Tri Murti ini juga dikenalkan melalui Kidung Jerum Kundangdya.
Dewa Brahma sebagai dewa pencipta juga disampaikan secara jelas ketika Ki
Jaksa memberikan wejangan pada Sarayuda, seperti dalam kutipan berikut.
Tan panut kramaning jagat, Tak sesuai dengan kehendak dunia,
tuara tutut tigang wegung, belum sampai tiga bulan,
wenang bencana rawuh, sudah waktunya bencana datang
tan panuta kramaningong, tidak sebagaimana mestinya,
tan yogia brahma muaha, Dewa Brahma tidak akan menciptakan
kembali
wus pejah akalihan sampun, berdua sudah meninggal dunia,
apan sitohana jiwa, karena mempertaruhkan jiwa,
dēnē Kundangdya sampun oleh Kundangdya.
pada ke-198
Dari kutipan di atas ada sebuah pengakuan bahwa Dewa Brahma memang
dianggap sebagai pencipta. Dewa Brahma dianggap tidak akan menciptakan
kembali orang yang telah meninggal yang dalam cerita yang dimaksud adalah
Kundangdya dan Jerum yang ingin dibunuh kembali oleh Sarayuda. Hal itu
menjadi mustahil karena menurut Ki Jaksa, orang yang meninggal tidak akan
dapat hidup kembali karena tidak mungkin Dewa Brahma menciptakan kembali
orang yang telah meninggal. Jika dikaitkan dengan hukum keseimbangan dalam
kosep Tri Murti, ketika seseorang telah meninggal kembali dihidupkan oleh Dewa
Brahma, maka suatu kesalahan telah dilakukan oleh Dewa Brahma terhadap Dewa
Siwa Rudra. Melebur, membunuh, menghancurkan, dan meniadakan adalah
wewenang Dewa Siwa Rudra. Apabila Dewa Brahma kembali menghidupkan
yang telah dilebur oleh Dewa Siwa Rudra, itu menjadi sebuah kesalahan karena
mengambil wewenang yang salah. Jerum adalah istri Liman Tarub, karena
kenekatan Kundangdya meniduri Jerum itu menjadi sebuah kesalahan yang besar,
maka mereka pun akhirnya mati dibunuh karena kemarahan Liman Tarub.
Selain Brahma, Dewa Wisnu juga tidak lepas dari bagian cerita Kidung
Jerum Kundangdya, seperti yang tampak dalam kutipan berikut:
Bhatara Wisnu angandika : Bhatara Wisnu bersabda:
Kundangdya sira mantuk, Pulanglah kau Kundangdya,
kalawan Nini Jerum, bersama Nini Jerum,
ring Mrecapada mangko, pulang ke Mrecapada,
durung teka ring samaya, belum sampai pada janji,
moga mu amukti ratu, semoga kau berdua dapat mengenyam
pemerintahan,
pangabaktianing buwana, disembah oleh anak negeri,
Narēswari Nini Jerum. dengan Permaisuri Nini Jerum.
pada ke- 215
Dewa Wisnu dalam wewenangnya adalah sebagai pemelihara, tetapi dalam kaitan
cerita Kidung Jerum Kundangdya yang dikutip di atas, Dewa Wisnu dianggap
menghidupkan Ni Jerum dan Kundangdya. Dewa Wisnu yang menyuruh Nini
Jerum dan Kundangdya pulang atau kembali ke mrecapada atau dunia tempat kita
tinggal tidak berperan sebagai pencipta. Namun, berposisi sebagai pemelihara roh
Ni Jerum dan Kundangdya yang ketika itu harus meninggal karena di bunuh oleh
Liman Tarub. Kewajiban-kewajiban yang mengharuskan Ni Jerum dan
Kundangdya kembali ke dunia menjadi alasan kuat mengapa ia dapat hidup
kembali. Sebagai dewa pemelihara, Dewa Wisnu senantiasa memelihara setiap hal
yang mampu menciptakan kedamaian dunia. Kundangdya dan Jerum adalah dua
orang yang saling mencintai. Walaupun pasangan ini tidak diikat pernikahan,
mereka berjanji hidup setia saling mencintai, baik di dunia maupun di akhirat.
Cinta dapat diselaraskan dengan titik awal sebuah kebahagiaan, kesuburan,
kemakmuran, dan tentunya keharmonisan. Anak-anak mampu tumbuh dengan
baik disebabkan oleh cinta. Tumbuhan dapat tumbuh subur juga karena cinta.
Seluruh alam semesta ini dapat harmonis karena berdasarkan cinta.
Selain sebagai pemelihara, Dewa Wisnu juga dikenal sebagai dewa air
dengan saktinya Dewi Sri yang dikenal dengan Dewi Padi atau Dewi kesuburan.
Padi dapat tumbuh ketika disiram oleh air. Padi yang tumbuh dengan baik akan
menghasilkan beras yang menjadi bahan makanan makhluk hidup di dunia.
Demikian kiranya dapat digambarkan peran cinta bagi keharmonisan alam yang
digambarkan dengan Cinta Kundangdya terhadap Jerum dan juga sebaliknya.
Keharmonisan Kundangdya dan Jerum inilah dianggap mampu menciptakan
dunia yang penuh cinta. Oleh karena itu, selayaknya air yang akan selalu turun ke
tempat yang lebih rendah dengan selalu membawa kesuburan, maka diturunkanlah
Kundangdya dan Jerum kembali ke dunia oleh Dewa Wisnu. Orang-orang dengan
penuh cintalah yang mampu memelihara keharmonisan dunia.
Sebagai pelebur, penghancur, atau yang melenyapkan muncullah Dewa
Siwa Rudra. Beliau memiliki banyak sebutan. Beliau disebut juga Bhatara Siwa
pelindung yang termulia. Diberi gelar Sang Hyang Mahadewa, Dewa yang
tertinggi. Dalam Kidung Jerum Kundangdya, Dewa Siwa Rudra disebut dengan
nama Hyang Guru yang menjadi seorang penuntun ajaran kebenaran. Hyang Guru
berulang-ulang kali hadir dan mewariskan ajaran-ajaran kebenaran kepada Liman
Tarub yang diubah namanya menjadi Ki Sarayuda, seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut:
Hyang Guru lingniangucap, Hyang Guru bersabda,
Anak ingsun Liman Tarub, Anakku Liman Tarub,
sun parabakena tengsun, aku ganti namamu,
Sarayuda arane mangko, dengan nama Sarayuda,
Liman Tarub lingniangucap, Liman Tarub berdatang sembah,
angabakti ring Hyang Guru: menghaturkan bakti kepada Hyang Guru:
"Sandika yan pakanira, Segala titah,
kawula mangkē anuhun". hamba junjung"
pada ke- 147
Kutipan di atas diawali dari cerita Liman Tarub yang putus asa karena
merasa dikhianati oleh istrinya kemudian memilih untuk menyucikan diri ke
dalam hutan. Akhirnya ia bertemu dengan Hyang Guru. Hyang Gurulah yang
mengajarkan cara menjalani kehidupan dengan penuh kebenaran hingga mencapai
kebahagiaan yang sempurna, seperti yang disampaikan dalam kutipan berikut.
Hyang Guru lingniangucap: Hyang Guru lalu bersabda:
Sarayuda anakingsun, Sarayuda anakku,
tan akēh darma iku, dharma itu tidak banyak,
tindak tanduk ēling mangko, hanyalah kesadaran tindak dan tanduk,
lintang kena ginamelan, diabaikan untuk di terapkan,
agung tan kena pinanduk, besar namun tidak kena perhatian.
ewuh kaki sang atapa, "karena itu sulit bagi seorang pertapa,
ungguanira Sang Hyang Ayu. menuju tempatnya Sang Hyang Ayu.
pada ke-175
Seperti seorang guru yang memberikan sebuah ajaran dan pemahaman
kepada muridnya, demikianlah Hyang Guru memberikan wejangannya kepada Ki
Sarayuda. Ajaran dharma atau kebenaran itu tidaklah banyak, hanya sebuah
kesadaran tindak dan tanduk hingga akhirnya dapat mencapai tempat Sang Hyang
Ayu, yaitu tempat terindah atau surga. Hyang Guru yang digambarkan
memberikan ajaran kebajikan ini tidak terlepas dari peran beliau sebagai
penghancur atau pelebur. Menghancurkan tidak semata-mata melenyapkan setiap
hal yang bisa dilenyapkan, tetapi sebagai asal mula setiap isi alam semesta ini,
beliau juga berhak mengajarkan makhluk mengenai kebenaran hingga ketika
badan kasar dilebur, sang atma yang tidak pernah mati itu mampu mendapat
tempat yang layak, seperti ketika Sarayuda salah bertindak. Ketika Sarayuda telah
menjadi seseorang yang dianggap suci, justru diam-diam ia masih menaruh
dendam terhadap Kundangdya. Ia diam-diam menyusul Kundangdya ke dunia
hingga melakukan peperangan. Ini membuat Hyang Narada marah dan tergesa-
gesa melerai mereka. Ketika itulah layaknya seorang guru, Hyang Guru kembali
hadir untuk mengingatkan dan menasihati Liman Tarub, seperti yang terdapat
dalam kutipan berikut:
Hyang Guru lingirangucap: Hyang Guru bersabda:
Sarayuda anak ingsun, Sarayuda anakku,
yan sira ngidepana wuwus, kalau engkau mendengarkan kata-kataku,
anganggo darma kawikon, menggunakan ajaran kependetaan,
idepen ta ujar inguang, camkanlah perkataanku,
tan panirnaken laku, jangan melakukan perbuatan sia-sia,
katemuha ri niskala, bertemu di alam rohani,
awalia andadi luhung. kembali menjadi mulia.
pada ke- 285
Demikianlah keberadaan Tri Murti yang tersampaikan melalui karya
Kidung Jerum Kundangdya. Pemahaman mengenai keberadaan Tri Murti tidak
bisa dilepaskan dari unsur keseimbangan alam. Ada berlangsung hingga hilangnya
alam ini karena beliau. Ketiga unsur yang terdiri atas mencipta, memelihara, dan
melebur telah menjadi sebuah jalinan yang harus berlangsung seimbang.
Menyeimbangkan ketiga unsur tersebut tidak lepas dari sifat dan perbuatan
manusia sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan
makhluk lainnya. Manusia yang memiliki pikiran, tentu dapat berusaha
melakukan sesuatu yang baik untuk menjaga alam ini. Banyak cara dilakukan
manusia untuk menyadarkan manusia agar selalu mengambil tindakan yang benar.
Salah satu diantaranya adalah melalui karya sastra seperti Kidung Jerum
Kundangdya ini. Peran Tri Murti dalam kehidupan makhluk di bumi telah
tersampaikan dalam karya.
5.3 Penetralisasi Alam
Kidung merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa Kawi Bali.
Sastra kidung berasal dari zaman Majapahit hingga abad ke-16 di Jawa Timur
yang kemudian diteruskan di Bali (Adiwimarta, 1999:93). Semua sastra Jawa
Pertengahan yang dikenal dewasa ini berasal dari Bali, tetapi tetap dengan catatan
bahwa sastra kidung tidak lahir di bali, tetapi kidung telah dikenal di Jawa
sebelum runtuhnya Kerajaan Majapahit (Zoetmulder, 1985:33). Begitu mendengar
kata kidung, umumnya yang terlintas dalam benak pendengar adalah lantunan
nada-nada indah yang bernuansa tradisi dan religius. Demikianlah istilah kidung
yang umum dikenal di Nusantara, Bali khususnya. Di Bali kidung akan selalu
diidentikkan dengan upacara keagamaan utamanya kegiatan ber-yadnya. Dari lima
macam yadnya yang dikenal dalam tradisi Hindu di Bali hampir kelimanya
memiliki kekidungan yang berbeda-beda. Itulah salah satu ciri kekayaan karya
sastra di Bali. Seperti pendapat yang telah disampaikan oleh Adiwimarta di atas,
bahwa kidung memang bukanlah karya sastra yang menggunakan bahasa Bali
lumrah layaknya bahasa Bali yang umum digunakan saat ini. Kidung
menggunakan bahasa Kawi Bali. Dalam sejarah perkembangan bahasa Bali di
Bali, bahasa Kawi Bali atau sering juga disebut bahasa Bali Tengahan muncul
ketika peralihan bahasa Bali Kuno menuju bahasa Bali Lumrah, di antaranya ada
bahasa Bali Tengahan yang dianggap sebagai bahasa yang sering digunakan untuk
karya-karya sastra, seperti kidung, babad, wariga, usada, usana, niti, dan
sebagainya (Suarjana, 2011: 44). Bahasa Kawi Bali digunakan dalam kekidungan
dapat menambah nilai kesakralan karya tersebut walaupun tidak banyak
pendengar dan penyanyi yang melantunkan kekidungan yang memahami isi dan
arti kidung yang dikidungkan. Mereka cenderung hormat karena kepercayaan
mereka terhadap kidung sebagai nyanyian keagamaan yang umumnya
disakralkan. Di Bali, tidak disetiap tempat seseorang boleh melantunkan
kekidungan apalagi dengan isi yang berkaitan dengan ketuhanan.
Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu karya sastra kidung
berbahasa Bali Kawi yang lestari dan cukup dikenal di Bali. Di Bali Kidung
Jerum Kundangdya dikenal sebagai nyanyian pengiring ketika berlangsungnya
upacara bhuta yajnya. Ketika upacara penetralisasian alam melalui upacara bhuta
yajnya dilaksanakan, ketika itu diangkatlah Kidung Jerum Kundangdya sebagai
nyanyian pengiringnya. Budaya Hindu di Bali memang sangat mengutamakan
makna keharmonisan. Indah dan damai adalah salah satu wujud keharmonisan.
Layaknya nyanyian, kidung termasuk Kidung Jerum Kundangdya disusun oleh
kumpulan-kumpulan nada yang akan indah didengar ketika dilagukan.
Harmonisnya nada-nada itu menciptakan kekidungan yang enak didengar ketika
berlangsungnya upacara bhuta yajnya.
Selain dipandang harmonis dari segi nada dan lagunya ketika dilantunkan,
makna utama yang dimunculkan dari Kidung Jerum Kundangdya dalam kaitannya
sebagai penetralisasian alam adalah ketika Jerum menjadi salah satu titik tolak
yang menciptakan kekacauan dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang dirasakan oleh
Liman Tarub terletak pada Jerum begitu pula kebahagiaan bagi Kundangdya ada
hanya ketika ia mampu bersama Jerum. Jerum adalah seorang tokoh wanita yang
digambarkan cantik dan sempurna. Cantik sudah tentu memiliki unsur keindahan.
Tidak seorang manusia pun tidak tertarik kepada sesuatu yang indah. Keindahan
yang dimiliki oleh Jerum sudah tentu menjadi daya tarik bagi Kundangdya dan
Liman Tarub. Ketika daya tarik dalam diri tersebut sudah tidak dapat lagi
dikendalikan, hal itu justru menjadi hal yang buruk dan tidak lagi bersifat indah.
Tokoh Jerum, Kundangdya, dan Ki Liman Tarub dalam kidung
sesungguhnya menggambarkan kekuatan bhuta yang ada di dalam diri. Dalam
tubuh terdapat kekuatan positif dan negatif. Kekuatan negatif ini yang bisa disebut
juga dengan kekuatan bhuta. Bhuta diidentikkan dengan sesuatu yang bersifat
jahat, lupa, gelap, atau buta. Kehancuran dan kekacauan hidup Jerum,
Kundangdya, dan Liman Tarub berawal dari menangnya kekuatan negatif dan
kegelapan atau kebutaan batin. Terbunuhnya Kundangdya oleh Liman Tarub itu
berawal dari Kundangdya yang dibutakan oleh kecantikan Jerum sehingga ia
berani berbuat nekat meniduri Jerum yang telah menjadi istri Liman Tarub. Jerum
pun terbunuh karena dibutakan oleh rayuan cinta dan ketampanan Kundangdya.
Sedangkan di pihak lain Liman Tarub nekat membunuh Jerum dan Kundangdya
juga karena dibutakan oleh rasa cinta dan terikatnya terhadap Jerum. Penyebab
kekacauan hidup ketiga tokoh tersebut adalah cinta. Cinta terkadang menciptakan
keterikatan, dan keterikatan inilah yang rawan memunculkan perselisihan
penyebab marah dan dendam. Dendam yang dirasakan Liman Tarub terhadap
Jerum dan Kundangdya merupakan salah satu bukti dari dampak keterikatan
terhadap cinta. Rasa dendam Liman Tarub terhadap Kundangdya menyebabkan ia
bersikeras membunuh Kundangdya untuk kesekian kalinya. Berawal dari dendam
akhirnya muncul perang antara mereka berdua hingga akhirnya para Dewa ikut
melerai mereka. Sebuah keharmonisan diri sesungguhnya sangat berpengaruh
terhadap keharmonisan alam. Ketika seseorang mencintai badannya sendiri, ia
berusaha menjaga diri untuk tetap sehat dan berpikir sehat. Orang yang demikian
tentu tidak akan melukai badan dan perasaannya dengan cara menyiksa diri dan
orang lain yang akhirnya merusak keharmonisan alam sekitarnya.
Pada hakikatnya setiap hal tercipta berpasangan, ada baik ada buruk, ada
kanan ada kiri, ada positif ada negatif, demikian pula ada atas ada bawah. Dua hal
yang berbeda ini dalam konsep Hindu di Bali sering diberi nama rwa bhineda.
Beragamanya pasangan yang saling berbeda ini tentu harus diciptakan sebuah
keseimbangan hingga mampu menjadi harmonis. Termasuk setiap elemen
kehidupan di dunia terdiri atas beragam perbedaan yang harus diseimbangkan
hingga memunculkan keharmonisan. Di Bali terutama dalam budaya yang
dimiliki oleh agama Hindu terdapat sebuah upacara keagamaan yang bertujuan
untuk mengharmoniskan alam semesta ini, yaitu upacara bhuta yadnya.
Menurut pandangan agama Hindu, alam semesta yang mahaluas ini
disebut bhuwana agung sedangkan manusia disebut bhuwana alit. Kedua-duanya
menurut keyakinan Hindu adalah ciptaan Tuhan. Di samping itu, Tuhanlah yang
menjadi jiwa bhuwana agung dan bhuwana alit itu. Tuhan yang menjadi jiwa
bhuwana agung disebut brahman, sedangkan Tuhan yang menjadi jiwa bhuwana
alit disebut atman. Jadi atman adalah bagian dari brahman. Jiwa dalam alam
besar dan alam kecil adalah Tuhan itu sendiri. Alam besar yang disebut bhuwana
agung atau macrocosmos dan alam kecil yang disebut bhuwana alit atau
microcosmos. Tuhan menjadi sumber awal, tengah, dan akhir dari kedua alam
tersebut. Demikianlah unsur dasar yang membentuk macrocosmos dan
microcosmos adalah unsur dasar yang sama, yaitu panca maha bhuta. Unsur
panca maha bhuta adalah prtiwi (zat padat), apah (unsur cair), bayu (udara), teja
(unsur panas), dan akasa (ether). Bahan dasar alam semesta ini adalah panca
maha bhuta, demikian juga degan semua makhluk hidup yang menghuni alam
semesta juga dibentuk dari unsur yang disebut panca maha bhuta. Kelima unsur
ini memiliki hukumnya sendiri untuk bisa bereksistensi memberikan kontribusi
pada kehidupan makhluk lain isi alam ini.
Kidung Jerum Kundangdya dapat dikaitkan langsung dengan keberadaan
konsep panca maha bhuta. Liman Tarub adalah unsur teja (panas) yang
diibaratkan seperti api. Kemarahan dan dendam menjadi unsur yang tidak bisa
dilepaskan dari karakter diri seorang Liman Tarub. Semenjak berseteru dengan
Kundangdya, bahkan ia menyimpan dendam itu selamanya sekalipun ketika itu ia
telah melewati masa penyucian diri hingga diberikan nama Sarayuda. Jerum yang
pernah menjadi seseorang yang sangat dicintainya pun dibenci karena
kesalahannya. Dendam dan kemarahan terlalu menguasai Liman Larub, seperti
dalam kutipan berikut:
Liman Tarub lingniangucap, Liman Tarub berkata,
manemahin rabiningsun: menyumpah dan mengutuk istrinya:
"Tulah manuh Nini Jerum, "Manusia laknat Nini Jerum,
wastu iba tan pahenggon, Semoga kamu tak punya tempat,
wastu sira tan pajanma, semoga tak menjelma manusia,
munggah tumurun tan patut, naik dan turun tiada patut,
ping sapta andadi janma, tujuh kali menjelma menjadi manusia,
tan kapanggih lawan ingsun. tak bertemu dengan diriku.
pada ke- 112
"Yan kita andadi sega, "kalau kamu jadi nasi,
tan kena pangan ingsun, aku tak sudi memakanmu",
yan sira andadi banyu, "kalau kau jadi air,
tan kena inum dēningong, aku tak sudi meminummu",
yan sira andadi wastra, kalau kau jadi kain,
tan kena anggonen tēngsun, aku tak mau memakaimu",
sakuehing panadian kita, "semua jelmaan kamu,
tan kapanggiha dēningsun". tak akan bertemu denganku".
pada ke- 113
Dalam kutipan di atas tampak bagaimana dendam Liman Tarub terhadap
istrinya. Kebencian dan kemarahannya seakan melenyapkan besarnya rasa cinta
yang pernah dimiliki terhadap Jerum. Demikianlah sebuah kemarahan yang
membuat seorang lupa akan cinta dan kasih sayang, layaknya api yang mampu
membakar setiap hal yang ada di hadapannya. Sosok tokoh Liman Tarub dapat
disamakan dengan unsur panas yang menciptakan dunia.
Di sisi lain Kundangdya adalah unsur apah (cair). Umumnya air selalu
membawa sifat menyejukkan sekalipun dalam keadaan terdesak dan diliputi
kemarahan. Demikian jugalah karakter Kundangdya yang digambarkan dalam
Kidung Jerum Kundangdya. Dalam keadaan terdesak ketika ia telah diketahui
dengan berani meniduri istri orang lain, Kundangdya tetap dalam keadaan tenang
menghadapi kemarahan Liman Tarub karena ia siap untuk mati.
Kundangdya sampun wikan, Kundangdya sudah tahu,
karepe Ki Liman Tarub, akan maksud Ki Liman Tarub,
adulura Ki Panamun: bersama Ki Panamun:
"Nora dudu satrun ingong, "Tidak lain inilah musuhku,
rupa rasa mawēh dana, rupa-rupanya sedang membawa sedekah,
kadi anggawa Nini Jerum, seperti membawa Nini Jerum,
maka tambaning kasmaran", untuk obat asmara",
anolih asemu guyu. menoleh menyeringai.
pada ke- 96
Kundangdya lingniangucap: Berkata Kundagdya :
"Lah bagēya kakang ingsun, "Sungguh bahagia saudaraku,
napi wenten karyaningsun, ada yang bisa saya bantu,
ulat ana karya mangko", rupa-rupanya sedang ada pekerjaan?"
Wenten yayi karyan inguang, "Ada pekerjaanku dik,
ingsun amalampah sawung, aku sedang mencari ayam kinantan,
wiring kuning rambang tingal, wiring kuning mata rambang,
punika katujuningsun". itulah yang aku cari".
pada ke- 97
Ketika Liman Tarub datang mencari Kundangdya untuk membunuhnya,
ketika itu ia dengan tenang menghadapi Liman Tarub, bahkan kedatangan Liman
Tarub seperti membawa Jerum sebagai obat asmaranya. Dengan keyakinan dan
bersahabat Kundangdya menanyakan hal apa yang bisa dibantu untuk Liman
Tarub, sekalipun ketika itu ia telah mengetahui bahwa maksud kedatangan Liman
tarub adalah untuk membunuhnya. Seperti itu kiranya sifat air yang selalu tenang,
tetapi dapat menghanyutkan. Demikan juga ketika niatnya untuk memiliki Jerum
yang berakhir pada sikap nekatnya mendatangi rumah Jerum dan menidurinya.
Dengan tenang ia menyusup ke kamar Jerum dan melampiaskan kerinduannya
terhadap Jerum dan ketika Jerum terbangun pun tak mampu berbuat apa.
Kelembutan dan kata-kata manis yang disampaikan Kundangdya membuat Jerum
luluh terpesona dan hanyut dalam suasana, seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut.
Mangkē tan pangelong larane, Kini tak bisa diredakan rindunya,
Kundangdya mangkiaturu, Si Kundangdya tidur bersama,
tangania angimur-imur, tangannya meremas-remas,
tur angaras pipi alon, seraya mencium pipi perlahan-lahan,
tur anesep payodara, Menyedot puting susu,
Ni Jerum ēnak aturu, Ni Jerum enak saja tertidur,
Kundangdya ngaras-aras, Si Kundangdya memeluk cium,
aris anglukarin kampuh. seraya melukar kain.
pada ke- 59
Alengeng pangucapira, Sangat tenang suaranya,
sor kang gendis mawor madu, mengalahkan gula bercampur madu,
pangucapnia dres alus: kata-katanya gencar tetapi halus :
"Paran ana karep ingong, "ada yang aku inginkan,
tur laksana luir purusa, serupa perbuatan jantan,
sira angraksa iringsun, engkau memelihara diriku,
apan sira amisanan, karena aku saudara misan,
kalawan Ki Liman Tarub. oleh Ki Liman Tarub.
pada ke- 65
Kerinduan Kundangdya terhadap Jerum membuat ia tidak mampu
mengendalikan dirinya hingga nekat untuk mendatangi rumah Jerum walaupun ia
mengetahui Jerum telah menikah dengan saudara sepupunya yaitu Liman Tarub.
Tenang, tetapi menghanyutkan, dengan pasti malam-malam ia melangkah menuju
rumah Jerum dan masuk ke kamarnya hingga akhirnya meniduri Jerum. Kata-kata
yang halus dan penuh rayuan membuat Jerum pun terlena dalam pelukan
Kundangdya hingga akhirnya pagi tiba dengan tenang pula ia pulang ke
rumahnya.
Tokoh Jerum dapat disamakan dengan unsur prtiwi (zat padat) yang dalam
unsur alam diidentikkan dengan tanah. Ibu Pertiwi atau lebih dikenal dengan
Bhumi Pertiwi memiliki sifat bijaksana, pemberani, mengayomi dan melindungi.
Kurang lebihnya seperti demikian jugalah gambaran sifat yang dimiliki oleh
Jerum.
Metu saking jro kmamasan, Keluar dari kamar keemasan,
bēla aran I Mbok Jerum, yang bersedia mati bernama Ni Mbok
Jerum,
akuēh sanaknia ngrubung, sanak keluarga datang menyongsong,
Liman Tarub prapta mangko: Maka datanglah Liman Tarub :
"Kalianganē ko tan tresna, "Apalagi kamu berlaku serong,
laki lawan awak ingsun" bersuamikan diriku",
Ni Jerum alon angucap : Ni Jerum berkata perlahan :
"Pajaraken utangingsun". "Katakanlah utang karmaku".
pada ke- 107
Sekalipun dalam perwujudan wanita, Jerum adalah sosok seorang pemberani yang
berani mengakui kesalahannya. Dia bersedia dibunuh suaminya karena telah
berani tidur bersama Kundangdya. Memenuhi janjinya terhadap Kundangdya
untuk mampu saling mencintai sehidup semati dan akan bertemu pula di surga.
Hal itu pun akhirnya mampu terwujud setelah Liman Tarub membunuh
Kundangdya dan Jerum. Kesungguhan mereka untuk menepati janji akhirnya
membuat arwah Kundangdya dan Jerum bertemu kembali di surga. Keberanian
Jerum mencerminkan sebuah kekuatan seperti halnya bumi pertiwi yang kuat dan
selalu menjadi pelindung, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
Mangkin srengen I Sarayuda, Kini Sarayuda beringas,
dēnira angrenga wuwus, mendengarkan kata-katanya,
dres lakunia tumedun, langkahnya menderas turun,
gēgēr malayu wonging jero, Orang istana berlari geger,
Ni Jerum anambut pedang: Ni Jerum menghunus pedang:
"Ingsun matia sadulur, "Aku mau mati bersama,
masa molih labda karya". kalau tidak bisa membunuhmu".
Sarayuda ngunus duwung. Sarayuda menghunus keris.
pada ke-265
Jerum hingga berani menghunus pedang di hadapan Liman Tarub yang ketika itu
telah bernama Sarayuda, yaitu seseorang yang telah membunuhnya dan
membunuh Kundangdya. Keberaniannya itu karena Jerum tidak ingin tampak
lemah di hadapan Liman Tarub yang telah menjadi musuhnya.
Demikianlah gambaran ketiga tokoh dalam Kidung Jerum Kundangdya
jika dikaitkan dengan unsur-unsur penciptaan alam semesta ini. Liman Tarub yang
akhirnya dikenal juga dengan sebutan Sarayuda merupakan perwujudan api,
Kundangdya perwujudan air, dan Jerum perwujudan tanah. Air, tanah, dan api
tidak bisa dilepaskan dari unsur bawah, tengah, dan atas. Pada kenyataannya air
dan api tidak pernah bersahabat, api dapat dipadamkan oleh air, air pun akan dapat
menguap jika ada panas (api). Air akan selalu memunculkan kesejukan,
sedangkan api akan selalu memunculkan panas. Demikian jugalah sifat tokoh
yang dilukiskan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Hingga habis masanya Liman
Tarub tetap menyimpan panas hati atau kemarahan terhadap Jerum, sedangkan
Kundangdya hingga berakhir pun tetap menjadi sosok yang tenang dan
menyejukkan. Oleh karena itulah, para Dewa akhirnya memisahkan Liman Tarub
dan Kundangdya.
Niatnya untuk menjadi orang yang mampu lepas dari ikatan keduniawian
membuat Liman tarub atau dikenal juga dengan nama Sarayuda memilih untuk
bertapa di gunung hingga akhirnya ia mendapat kepercayaan memasuki surga.
Sarayuda apengingan, Sarayuda mengheningkan pikiran,
angastuti maring gunung, bertapa di gunung,
amoring awun-awun, seakan bersatu dengan awan,
munggah nuhut kukus mangko, naik mengikuti asap konon,
jeg tumurun maring ungguan, tiba-tiba sampai di tempat tujuan,
sakti tan pamangan sekul, menjadi sakti karena tidak memakan nasi,
Sarayuda kang kinucap, Sarayuda dikatakan sangat tersohor
dahat kasaktinipun. tersohor karena kesaktiannya.
pada ke- 178
Tekad Liman Tarub yang dikenal juga dengan nama Sarayuda memang
patut dijadikan contoh. Setelah membunuh Kundangdya dan Jerum, Liman Tarub
merasa kesepian. Hal itu menjadi alasan ia memilih mengasingkan diri untuk
bertapa di gunung. Akhirnya harapannya untuk lepas dari keduniawian memang
menjadi kenyataan. Dalam kutipan di atas tampak bagaimana Liman Tarub atau
Sarayuda akhirnya memeroleh kesaktian karena mampu menahan diri. Salah satu
diantaranya adalah dengan tidak memakan nasi. Kesaktian yang akhirnya dimiliki
oleh Sarayuda inilah akhirnya mengizinkan ia memasuki surga. Ternyata di balik
ketulusan dan tekadnya menjadi orang suci, ia masih menyimpan dendam
terhadap Kundangdya dan Jerum. Setibanya ia di Surga dan melihat Jerum dan
Kundangdya sedang bermesraan, kembali muncul niatnya untuk membunuh
Kundangdya dan Jerum. Setelah dilerai dan ditenangkan, diputuskanlah oleh
Bhatara Wisnu agar Kundangdya dan Jerum kembali ke dunia.
Bhatara Wisnu angandika : Bhatara Wisnu bersabda :
Kundangdya sira mantuk, "Pulanglah kau Kundangdya,
kalawan Nini Jerum, bersama Nini jerum,
ring mrecapada mangko, pulang ke Mercapada,
durung teka ring samaya, belum sampai pada janji,
moga mu amukti ratu, semoga kau berdua dapat mengenyam
pemerintahan,
pangabaktianing buwana, disembah oleh anak negeri,
Narēsuari Nini Jerum dengan permaisuri Nini Jerum.
pada ke- 215
Kundangdya dan Nini Jerum kembali dihidupkan dan dipulangkan ke
dunia oleh Bhatara Wisnu untuk menjadi seorang raja dan ratu yang nantinya
dapat mengenyam pemerintahan yang baik yang bisa disembah dan dijunjung oleh
masyarakatnya. Di pihak lain, kembalinya Kundangdya dan Jerum ke dunia
membuat Liman Tarub merasa tidak tenang. Dendamnya terhadap Kundangdya
dan Jerum membuat Liman Tarub atau disebut juga dengan Sarayuda
memutuskan kembali ingin mencoba membunuh Kundangdya dan Jerum. Hal ini
diketahui oleh Bhatara Narada yang membuat beliau marah hingga tidak
mengizinkan Sarayuda kembali ke surga. Hingga datanglah Hyang Guru dan
bersabda pada Sarayuda agar kembali ke ajaran kependetaan dan menjadi mulia.
Semenjak itulah Sarayuda memilih kembali ke gunung.
Sarayuda anut wacana, Sarayuda menaati wejangan,
winuwusan tatalēnipun, ikatannya dilepas,
anembah maring Hyang Guru : lalu menyembah Hyang Guru :
"Kawula anuhut mangko, "Dengan rela hamba melaksanakan,
mati urip ring ancala, hidup mati di gunung,
anungkeming jeng Hyang Guru, sujud di hadapan Hyang Guru,
awirang tumoning jagat, hati dendam melihat dunia,
tembē ya dumadi ratu". karena tumben menjadi orang utama".
pada ke- 286
Mangkana Ki Sarayuda, Demikianlah Ki Sarayuda,
anjeneng sira ring gunung, berada di gunung,
tinut tingkahing guru, menuruti tingkah laku gurunya,
abresih ing Batur mangko, menyucikan diri di pertapaan Batur,
ambeciking tatanduran, memelihara tanaman,
pangajaran pinahayu, pelajaran yang utama,
panggagan lan pakubuan, menanam padi tegalan,
tan adoh lawan Hyang Guru. tidak jauh dengan Hyang Guru
pada ke- 287
Sejak itu keseharian Liman Tarub yang dikenal juga dengan nama
Sarayuda hanyalah menyucikan diri di pertapaan yang terletak di gunung yang
juga dikatakan dekat dengan keberadaan Hyang Guru. Hyang Guru tidak lain
adalah sebutan untuk Dewa Siwa. Seperti yang umum dikenal dalam kepercayaan
Hindu, Dewa Siwa diidentikkan tinggal di pegunungan. Gunung merupakan
tempat yang tinggi yang ketika pada zamannya, gunung pernah dianggap sebagai
tempat yang suci atau atas. Kembali dalam kaitan tokoh Liman Tarub yang
diibaratkan seperti api yang dalam hakikatnya akan selalu menerjang ke atas dan
mencari ketinggian sama halnya gunung yang dianggap bagian bumi yang paling
tinggi.
Berbeda dengan Kundangdya yang akhirnya kembali dikirim ke dunia oleh
Bhatara Wisnu. Kundangdya yang ketika itu telah dengan setia ditemani oleh
Jerum akhirnya dinobatkan menjadi raja dan ratu. Konotasi dunia dilihat dari
surga tempat Kundangdya dan Jerum sebelumnya tentu dianggap sebagai alam
yang lebih di bawah. Kembali dalam pengandaian Kundangdya yang disamakan
seperti air yang memang akan selalu meresap ke tempat yang lebih rendah dan
selalu memberikan kesejukan. Demikian juga dengan Jerum yang diandaikan
layaknya ibu pertiwi atau tanah. Air dalam kodratnya akan selalu dapat meresap
dan bersatu dengan tanah. Ketika air bersatu dengan tanah maka muncullah
kehidupan dan kesuburan. Bersatunya Kundangdya dan Jerum akhirnya
memunculkan kebahagiaan, baik bagi dirinya, raja-raja lain, maupun semua
penduduk.
Makasembahaning jagat, Dipuji dan disembah di dunia,
kinasihan pararatu, disayangi para raja-raja,
miwah sang parasadu, demikianlah juga oleh orang yang arif dan
bijaksana,
anungsunging sira mangko, semua memuji-muji beliau,
ilangana pamuktianira, tercapai segala keinginannya,
Narēswari Nini Jerum, Permaisuri Nini Jerum,
kadi Surya lawan Ulan, bagaikan Matahari dan Bulan,
Anuluhin jagat kasub. menerangi dunia tiada tara.
pada ke- 324
Demikianlah akhirnya Kundangdya dan Jerum menjadi raja dan ratu yang
benar-benar dikagumi oleh raja-raja lain juga masyarakatnya. Diibaratkan seperti
matahari dan bulan yang mampu menerangi dengan sempurna. Bersatunya
Kundangdya dan Jerum di dunia dalam sebuah kepepemimpinan menjadikan
dunia digambarkan penuh kebahagiaan dan kemakmuran.
Gambaran bersatunya air dan tanah yang memunculkan kesuburan tidak
berbeda dengan bersatunya Kundangdya dan Jerum yang memunculkan
kebahagiaan. Ketika Kundangdya meninggalkan ibunya, diceritakan bahwa
ibunya menahan kesedihan dan kerinduan karena ditinggalkan oleh Kundangdya.
Kesedihannya itu membuat ibunya sepanjang waktu menunggu kedatangan
anaknya, hingga akhirnya ia memilih untuk tiduran di tanah sambil memohon
dengan puja-pujaan.
"babu endi tan katona?" "Di mana ibu tak kelihatan?"
Pawongan anembah matur: Para inang berdatang sembah,
"Aneng taman pukulun, "Tuan hamba ada di taman,
aturu ring lemah mangko, tiduran di tanah,
angistia puja barata, memohon dengan puja dan tapa,
adoha kenēng tadah inum, menjauhkan makan dan minum,
yan tan kapanggihan sira, karena ingin bertemu tuanku,
kinēsti rahina dalu. berdoa siang dan malam.
pada ke-232
Keinginan untuk bertemu dengan Kundangdya menjadikan ibunya
memilih untuk menjauhkan makanan dan minuman, berdoa siang malam dan tidur
di tanah. Menghindari makanan dan minuman sebagai salah satu cara menekan
hawa nafsu dengan harapan akan mampu lebih dekat dengan Tuhan.
Keinginannya untuk tidur di tanah pun bermakna agar lebih dekat dengan Tuhan.
Ketika seseorang mengalami kematian maka semua unsur dalam badan kasar akan
dilebur dalam tanah. Tanah diandaikan sebagai ibu pertiwi atau kekuatan dunia.
Adannya tanah menyebabkan makhluk hidup mampu berpijak, mampu hidup dan
melangsungkan kehidupannya hingga akhirnya tanah jugalah yang melebur
makhluk yang telah mengalami kematian. Air dan tanah akan senantiasa mampu
bersatu jika dipertemukan. Demikianlah pengandaian terhadap Kundangdya dan
Jerum yang dinanti-nanti kedatangannya oleh ibunya. Tanah yang mengubur dan
melebur Kundangdya ketika dinyatakan meninggal, maka ibunya memiliki
harapan besar bahwa tanah dekat dengan anak yang ia diharapkan dapat kembali.
Ternyata doa ibu Kundangdya mampu menjadi kenyataan setelah Bhatara Wisnu
akhirnya kembali menghidupkan Kundangdya dan Jerum dari dalam tanah. Tanah
tidak hanya sebagai pelebur, tetapi juga sumber kehidupan. Air ada dalam tanah,
tanah menyimpan air dan pertemuan tanah dan air, menciptakan kesuburan yang
menciptakan kehidupan.
Kembali pada munculnya unsur penetralisasi, ketika api akan selalu
mencari tempat yang lebih tinggi dan air mencari tempat yang lebih rendah maka
tanah adalah bagian yang menjadi penyekat. Dalam kodratnya, api hanya mampu
menyala di atas permukaan tanah, sedangkan air akan selalu menurun dan
menyusuri tanah hingga memeroleh tempat terendah. Panasnya api dapat
dinetralisasi oleh air, demikian juga dingin air dapat dinetralisasi oleh api. Api dan
air adalah dua unsur berbeda yang sangat dibutuhkan dalam melangsungkan
kehidupan. Namun, dalam keadaan yang tidak seimbang maka kehidupan pun
terganggu. Alam pun tidak terlepas dari kekuatan panas dan dingin. Selain nyata
terlihat melalui cuaca yang panas ataupun dingin, dalam ilmu-ilmu meditasi yang
umum dikenal oleh masyarakat belakangan ini banyak yang membahas bagaimana
alam diselimuti oleh energi yang panas dan dingin yang nantinya mampu juga
memberikan pengaruh bagi kehidupan makhluk hidup di dunia. Energi alam inilah
yang penting untuk dijadikan netral di mana panas dan dinginnya seimbang.
Netralnya energi panas dan dingin menciptakan pengaruh baik terhadap seisi alam
semesta yang akhirnya mampu mengarah pada keharmonisan. Unsur-unsur inilah
yang secara implisit tersampaikan dalam karya Kidung Jerum Kundangdya hingga
dianggap sesuai sebagai pengantar upacara bhuta yadnya yang memang
merupakan upacara yang bertujuan untuk menetralisasi kekuatan alam, yang
dikenal dalam kepercayaan umat Hindu di Bali.
5.4 Kebahagiaan Kehidupan dengan Peduli Sesama dan Peduli Lingkungan
Kebahagiaan merupakan dambaan setiap orang. Bahkan, banyak agama
selalu menjanjikan kebahagiaan bagi umatnya. Kebahagiaan manusia dapat
tercipta ketika ia mampu harmonis dengan setiap elemen pendukung hidupnya
dan keharmonisan itu hanya terbentuk jika ia memiliki pikiran, sikap dan
perkataan yang baik. Membentuk dan menjadikan seseorang memiliki karakter
baik inilah yang disebut karakter bangsa. Kebahagiaan yang diinginkan bersama
berarti akan berawal jika secara bersama-sama juga memiliki karakter yag baik.
Ketika berniat mencapai satu tujuan bersama, maka yang pertama diperlukan
adalah pemikiran yang sama. Dari pemikiran yang sama itu tentu akan berusaha
dilakukan tindakan yang sama hingga pada akhirnya tercapailah tujuan yang
diharapkan bersama. Secara sederhana, tujuan yang selalu didambakan oleh setiap
orang adalah kebahagiaan. Sekaya dan sesukses apa pun seseorang belum tentu
mampu memiliki kebahagiaan. Kebahagiaan yang diinginkan bersama tentu harus
diciptakan bersama. Kebahagiaan itu sudah tentu tidak terlepas dari kesehatan
jasmani dan rohani.
Kehidupan bersama yang harmonis, humanis, dan dinamis hanya dapat
diwujudkan jika tiap-tiap individu dalam kehidupan bersama mampu menata diri
menjadi individu yang baik, baik kesehatan jiwa maupun raga yang juga termasuk
ke dalam kesehatan indriya. Kesempurnaan dan kesehatan indriya itu berada di
bawah pengendalian pikiran. Pikiran yang kuat berada di bawah kesadaran
buddhi. Kesadaran buddhi berada di bawah sinar suci Sang Hyang Atma. Kondisi
diri yang memiliki fisik yang sehat, pikiran yang cerdas, dan hati nurani yang
murni disebut kondisi diri yang ideal struktural (Wiana, 2012: 127). Individu yang
seperti inilah yang dapat diupayakan untuk membangun niat yang mulia untuk
maju bersama-sama memikirkan langkah-langkah yang tepat untuk memenuhi
kepentingan bersama. Tanpa adanya niat yang sama, hati yang sama, pikiran yang
sama tidak mungkin bisa menyamakan persepsi. Tanpa adanya kesamaan persepsi
tidak mungkin membangun visi yang sama. Tanpa visi yang sama tidak ada misi
bersama membangun kebahagiaan bersama. Upaya membangun kebersamaan
untuk mencapai hal yang baik merupakan wujud bhakti atau cinta terhadap Tuhan
Yang Mahaesa. Hal ini berkaitan dengan konsep tri hita karana yang dikenal di
lingkungan umat Hindu di Bali yang juga mendambakan hubungan harmonis,
humanis, dan dinamis.
Dalam Kidung Jerum Kundangdya, tokoh Kundangdya dan Jerum pada
akhirnya mampu saling berbahagia ketika bersama karena mereka telah
menyamakan persepsinya untuk selalu bersama dan saling mencintai.
Duh Ksepan arsanira, Aduh terkulai semangatnya,
Kundangdya mangkiang rumrum, Kundangdya membisikkan cinta,
dēnē yun ring tengahipun, Sanubarinya berkata:
"tan pahatma siraningong", "Diriku tanpa jiwa",
tan olih arep tinulak, Mana mungkin aku menolak,
nampik lungayan Ni Jerum, Ni Jerum mengkhayalkan tampikan,
Kundangdya alon angucap: dan Kundangdya berkata perlahan:
"Mati ya kalih katēngsun". "Aku bilang mati berdua"
pada ke-71
Kundangdya alon angucap: Kundangdya berkata perlahan:
"Juitaningsun sang arum, "Juitaku sang cantik jelita,
puniku sadiayangira sun", itulah yang aku kehendaki",
Kundangdya sakadi layon, "Kundagdya ibaratnya orang mati,
kari rekē kakurungan, yang tinggal hanya badan kasar,
atmanira sampun lampus, rohnya sudah lenyap,
mangungsi Banjaran Kembang, menuju banjaran bunga-bunga,
manganti maya sang arum". menunggu arwah Sang Jelita".
pada ke- 75
Dalam kutipan di atas, Kundangdya telah yakin akan mati karena ia memang
melakukan kesalahan telah berani meniduri istri orang lain. Karena cintanya
terhadap Nini Jerum, ia berjanji untuk mati berdua. Setelah mati pun ia berjanji
akan bertemu di surga. Hal ini pada akhirnya memang ditepati oleh mereka
berdua.
Kundagdya tiningalan, Dilihatnya Kundangdya,
angadeg soring trikancu, berdiri di bawah trikancu,
kagēt teka Nini Jerum, tiba-tiba datang Nini Jerum,
Kundangdya angalap sor, Kundangdya hormat membungkuk,
anambut amawēng pangkuan, menyambut dan meletakkannya di
pangkuan,
angaras-aras rinumrum: menciumnya dan membelai:
"Asuwē juwitaninguang, "Betapa lama juwitaku,
sampun sore sira rawuh. sudah sore baru datang".
pada ke- 152
"Taheningsun tan datenga, "Aku kira tak akan datang,
tuhu sira satiēng wuwus, benar-benar setia kepada janji,
dewaningsun sang arum, Dewataku sang harum,
sangkaningsun pejah mangko, makanya aku mati,
dēnē sira atma jiwa, tidak lain lantaran atma juwitaku,
tan lian sira ta pakulun, engkaulah itu",
atitah juwita tinggal, "karena titah juwitaku,
tanpanolih bapa ibu". meninggalkan ibu dan ayah".
pada ke- 153
Ni Jerum asawur semita: Ni Jerum menjawab dengan wajah
menawan;
"Paran sangkaning tan tuhu, "Mengapa justru tak benar,
insun satiyeng wuwus, karena aku setia dengan perkataan,
tekaning pangjanmaningong, sampai aku menjelma,
awates sagara sanga, dipisahkan oleh sembilan samudra,
atawinging gunung pipitu, ataupun oleh tujuh gunung,
sira juga apang teka, kau juga agar datang,
angrampak karasminingsun". memerkosa keindahanku".
pada ke-154
Kebahagiaan yang diperoleh oleh Kundangdya dan Jerum merupakan
kebahagiaan yang disebabkan oleh adanya sebuah kesepakatan untuk saling setia,
baik setia dalam hal perkataan, perbuatan, maupun pikiran. Setia dalam hal
perkataan ditunjukkan dengan setia terhadap janjinya untuk bertemu setelah
meninggal sekalipun, setia dalam hal perbuatan melalui bentuk perhatian dan
kasih sayang yang ditunjukkan Kundangdya terhadap Jerum. Belaian dan ciuman
yang diberikan Kundangdya pada Jerum merupakan salah satu wujud rasa
cintanya pada Jerum. Tindakan tersebut membuktikan kebenaranya bahwa
Kundangdya memang mencinti Jerum. Sebaliknya, dari unsur pikiran, antara
Jerum dan Kundangdya berpikir positif bahwa pasangan mereka akan selalu
menepati janji. Jika saja Jerum berpikir bahwa Kundangdya hanya datang untuk
menipu dan mempermainkannya, mungkin saja Jerum akan ragu untuk menepati
janjinya bertemu Kundangdya. Tampak jelas bahwa pikiran, perbuatan, dan
perkataan sesunguhnya menjadi satu yang padu. Untuk itulah apabila ketiga unsur
ini mampu berlaku positif maka seseorang dikatakan memiliki karakter positif,
seperti yang diharapkan dalam karakter bangsa.
Seseorang yang memiliki karakter yang baik, tentu tidak hanya
memikirkan dan mementingkan kenyamanan dirinya sendiri, tetapi juga
memikirkan kehidupan orang lain agar dapat juga menjadi baik. Kepedulian
terhadap orang lain diperlukan dalam kehidupan, terlebih dalam kehidupan sosial
yang menuntut seseorang untuk selalu dapat berinteraksi antara satu dan yang
lainnya. Masih berkaitan dengan tri hita karana yang merupakan filsafat hidup
umat Hindu di Bali khususnya, yang sangat mengedepankan keseimbangan.
Setiap hal berkaitan dengan tri hita karana bertitik tolak dari manusia karena
ketika terbangun hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam lingkugannya maka manusialah yang pertama
merasakan kebahagiaannya. Dengan demikian, harmonis atau tidaknya alam
sesungguhnya sangat tergantung dari manusia itu sendiri. Manusia diciptakan
sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran yang mampu menunjukkan segala
kepeduliannya terhadap makhluk lain hingga tercipta hal baik yang nantinya
didambakan oleh setiap makhluk.
Makhluk hidup yang memiliki sabda, bayu dan idep (kemampuan
berbicara, bertenaga, dan berpikir) disebut manusia. Kata "manusia" dalam bahasa
Sanskerta berasal dari kata "manu" yang berarti bijaksana. Kata "manu" dalam
bentuk genetif menjadi "manusia" artinya memiliki kebijaksanaan. Manusia
sesungguhnya memiliki suatu kekuatan yang dapat menjadikan dirinya sebagai
makhluk hidup yang paling bijaksana ciptaan Tuhan, tetapi bisa juga manusia
yang belum berhasil mengeksistensikan kekuatan kemanusiaannya menjadi
manusia yang lebih kejam daripada binatang yang paling kejam ( Wiana, 2012:
25). Manusia dianggap mampu lebih kejam daripada binatang apabila
kebinatangannya disertai oleh pikiran, yaitu ketika pikiran manusia dipengaruhi
oleh sifat kebinatangan. Intinya, manusia akan bijaksana apabila kesempurnaan
indriya-nya berada di bawah kendali pikiran. Pikiran yang positif tentu akan
menumbuhkan kepedulian positif juga pada orang lain. Demikian sebaliknya
ketika seseorang berpikir negatif tentu kepedulian negatiflah yang ditunjukkan
pada yang lain.
Berbicara tentang positif dan negatif, sudah tentu manusia tidak bisa
dipisahkan dari pikiran, sikap, dan perkataan baik yang positif maupun negatif.
Lumrah muncul kata "rwa bineda" yang berarti dua yang berbeda, setiap hal pasti
memiliki dua sisi yang berbeda, yaitu ada yang positif dan ada yang negatif.
Dalam ajaran Hindu di Bali dikenal istilah sad ripu, yaitu enam sifat tidak baik
yang dianggap menjadi musuh dalam diri manusia yang harus ditaklukan untuk
menciptakan pemikiran, sikap, dan perkataan yang baik. Sad ripu terdiri atas
enam unsur, yaitu: (1) kama artinya hawa nafsu, (2) lobha artinya tamak, (3)
kroda artinya kemarahan, (4) moha artinya kebingungan, (5) mada artinya
kemabukan, dan (6) matsarya artinya iri hati (Atmaja dkk., 2010: 64--65).
Sad ripu inilah yang banyak memengaruhi tokoh-tokoh dalam Kidung
Jerum Kundangdya yang akhirnya menciptakan rusaknya hubungan dan
hilangnya keharmonisan. Kama atau hawa nafsu adalah sumber utama yang
menyebabkan Kundangdya akhirnya terbunuh oleh Liman Tarub. Hawa nafsunya
ingin bertemu dan memiliki Jerum yang ketika itu telah jadi istri Liman Tarub
membuat Kundangdya gelap mata dan nekat mendatangi Jerum dan tidur
dengannya ketika ia sedang ditinggalkan oleh suaminya.
Nunggang gunung arepira, Hati ingin menunggang gunung,
Kundangdya metuēng lebuh, Kundangdya turun ke jalan,
kasmaran kandehen kung, terkena asmara memendam berahi,
kukuh Ni Jerum tan sah katon, sangat kukuh Ni Jerum selalu terbayang,
Kundagdya malaksana, Kundagdya berbuat,
ngendon turon lan Ni Jerum, ngendon tidur bersama Ni Jerum,
Liman Tarub norēng umah, Liman Tarub tak di rumah,
sedek lung maring Jimur. sedang bepergian ke Jimur.
pada ke- 52
Seperti yang tampak dalam kutipan di atas, Kundangdya benar-benar
tergila-gila karena sakit asmara. Ia tersiksa dengan segala niat dan birahinya untuk
bisa bertemu dan bersatu dengan Jerum. Selain itu, ia mengetahui bahwa Liman
Tarub tidak di rumah. Untuk itu, ia nekat datang dan meniduri Jerum. Hawa Nafsu
menguasai diri Kundangdya hingga ia tidak mampu lagi berpikir sehat dan positif.
Ketika hawa nafsu menguasai diri seseorang saat itulah sering dianggap manusia
dikuasai sifat kebinatangan. Layaknya binatang yang tidak memiliki akal pikiran
sehingga berlaku tanpa memikirkan akibat ke depannya. Jika saja Kundangdya
mampu menguasai hawa nafsunya untuk memiliki Jerum, tentunya ia tidak akan
nekat memilih mendatangi rumah Jerum malam-malam hanya untuk
melampiaskan birahinya. Tindakannya inilah, mengakibatkan Kundangdya dan
Jerum akhirnya berhadapan dengan kematian di tangan Liman Tarub.
Seseorang yang telah diliputi oleh hawa nafsu tidak mampu berpikir sehat
mengenai dampak dan akibat yang akan diterima, baik oleh dirinya maupun orang
lain, tidak ada lagi rasa kepedulian. Hawa nafsu yang meliputi Kundangdya
membuatnya tidak peduli terhadap nyawa dan kehidupan Jerum ke depannya,
sekalipun Jerum adalah orang yang dicintai yang seharusnya disayangi dan
dilindungi sepenuhnya. Keinginan Kundangdya hanyalah mampu bersatu dengan
Jerum sekalipun dalam keadaan meninggal asal mampu tetap bersama Jerum.
Sifat Kundangdya seperti ini tidak hanya diliputi oleh kama (hawa nafsu), tetapi
juga diliputi oleh lobha (tamak). Tamak atau keserakahan Kundangdya ingin
memiliki Jerum membuat ia gelap mata dan tidak lagi berpikir bahwa
sesungguhnya Jerum telah menjadi istri Liman Tarub yang tidak boleh ia ganggu
lagi. Diliputi hawa nafsu dan ketamakan adalah pikiran yang dimiliki oleh
Kundangdya yang akhirnya mengantarkannya pada kesulitan.
Kroda (kemarahan) merupakan salah satu musuh diri yang melingkupi
pikiran Liman Tarub ketika mengetahui istrinya telah ditiduri oleh pria lain.
Kemarahan adalah salah satu musuh diri yang mampu membuat seseorang lupa
diri. Ketika seseorang diliputi kemarahan, ia tidak lagi mampu berpikir sehat dan
realistis. Hal ini yang membuat tidak jarang orang nekat melakukan tidakan sadis
karena sedang diliputi kemarahan. Tidak ada lagi kepedulian terhadap hidup orang
lain dan dampak positif atau negatif, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain,
seperti halnya yang dialami oleh Liman Tarub yang terlihat dalam kutipan berikut.
Sampun mangkē dēra mangan, Pada waktu mereka sedang makan,
tumuli asalah sekul, menyalahi tata cara makan,
dēn binuru rabinipun, lalu istrinya diburu,
dēn unus duhungē mangko : sambil menghunus keris :
"Sapasira nemu wirang, "Siapa yang mau memihak,
masa ko urip deningsun, ia akan mati olehku,
lakinmu Ki Kundangdya, lakimu Si Kundangdya,
masa ko urip dēningsun". ia akan kubunuh!"
pada ke- 91
Sinuduk lambungē kiwa, Ditikam lambung kirinya,
terus maring walikat ipun, tembus sampai tulang belikat,
rudirania sumambur, darahnya semburat,
gēgēr kasinoman mangko, kasinoman menjadi gēgēr,
ana warah gēgērira, meributkannya ke sana kemari,
Liman Tarub mangkiangamuk, karena Liman Tarub mengamuk,
Kundangdya sampun pejah, Kundangdya sudah mati,
anēng kapandēyan Kidul. di sekitar pande besi di selatan.
pada ke- 100
Kemarahan Liman Tarub yang disebabkan oleh ketidakterimaannya
melihat istrinya ditiduri oleh orang lain membuat ia marah dan tidak lagi
memikirkan siapa yang dihadapinya. Istrinya yaitu Jerum yang sesungguhnya
menjadi satu-satunya wanita yang paling dicintai pada akhirnya karena diliputi
kemarahan juga ikut diburu ingin dibunuh. Kundangdya yang telah berani
meniduri istrinya juga tidak luput dari amukan Liman Tarub. Bahkan ia dengan
sengaja mengasah kerisnya untuk membunuh Kundangdya. Ketika diliputi
kemarahan, Liman tarub tidak ingat lagi jika Jerum adalah istri yang dulunya
sangat dikagumi dan dicintai sedangkan Kundangdya adalah saudara sepupunya
yang tidak seharusnya dibunuh. Demikianlah kemarahan yang menghilangkan
rasa kepedulian seseorang. Setelah diliputi kemarahan dan merasa berhasil
melampiaskan kemarahannya dengan cara membunuh Jerum dan Liman Tarub,
membuat ia mengalami kebingungan (moha). Liman Tarub merasa kehilangan
semangat hidup karena diliputi kebingungan.
Lumaris yāngawētan, Berangkat menuju ke timur,
lumampah asemu sendu, dengan wajah yang sendu,
lumakua angantun-antun, berjalan tahap demi tahap,
liwating paminggir lor, telah lewat di pinggiran utara,
akēh wong pada anyapa: banyak orang sama menyapa:
"Maring endi Liman Tarub, "Mau ke mana Liman Tarub,
lumampah asemu wirang", melangkah dengan wajah menimbulkan
belas kasihan",
Akuēh wong pada andulur. banyak orang menaruh perhatian.
pada ke- 120
Lumampah mangkē alon-lonan, Melangkah tak tergesa,
rupanirāsemu ngun ngun, dengan wajah yang sedih,
lumakua angantun-antun, berjalan tahap demi tahap,
anut marga jurang ajro, mengikuti jalan jurang dalam,
kasrepan tumoning jurang, terpana memandang jurang,
arērēn sira alungguh, lalu berhenti dan duduk,
katon sagarangungang, nampak lautan mengambang,
angres atinē andulu. hati maras melihatnya.
pada ke-121
Kebingungan membuat seseorang tidak mampu menjalani hidup dengan
baik karena sudah tidak mampu berpikir baik untuk mengarahkan hidupnya ke
jalan yang terbaik. Seperti halnya Liman Tarub yang tampak dalam kutipan di
atas. Setelah melampiaskan kemarahannya Liman Tarub mengalami kebingungan
sehingga ia hanya bisa murung sambil melakukan perjalanan yang tidak terarah.
Melihat jurang pun ia menjadi terpana karena ketika mengalami kebingungan ia
seakan tidak tahu apa yang terbaik buat dirinya. Dalam kehidupan sekarang ini,
seseorang yang diliputi kebingungan sering dianggap sedang stres atau depresi
yang tidak jarang menyebabkan orang itu berniat mengakhiri hidupnya.
Selain empat musuh yang telah merusak kehidupan ketiga tokoh utama
dalam Kidung Jerum Kundangdya, masih ada dua hal lagi yang juga tidak kalah
berperan mengahancurkan keharmonisan hubungan persaudaraan mereka, yaitu
mada (kemabukan) dan matsarya (iri hati). Berbicara tentang kemabukan, dalam
ajaran Hindu di Bali dikenal tujuh jenis kemabukan yang diberi istilah sapta
timira. Sapta artinya tujuh dan timira artinya lupa daratan (lupa diri atau mabuk).
Dengan demikian, sapta timira berarti tujuh macam keadaan yang menyebabkan
orang lupa daratan, lupa diri, atau mabuk. Sapta timira terdiri atas, (1) surupa atau
kemabukan karena rupa yang tampan, ganteng, atau cantik, (2) dhana atau
kemabukan karena mempunyai banyak harta benda atau kekayaan, (3) guna atau
kemabukan karena mempunyai kepintaran atau kepandaian, (4) kulina atau
kemabukan karena keturunan, (5) yohana atau kemabukan karena masa remaja
atau masa muda, (6) sura atau kemabukan karena minuman keras, dan (7) kasuran
atau kemabukan karena merasa mempunyai keberanian (Atmaja dkk., 2010: 68--
69). Kemabukan inilah yang membuat seseorang lupa diri dan kembali
memunculkan sifat kebinatangannya. Dalam Kidung Jerum Kundangdya dapat
ditemukan kemabukan yang digolongkan ke dalam Surupa. Kundangdya menjadi
lupa diri setelah melihat kecantikan Jerum. Bahkan ia, tidak memedulikan lagi
perkataan ibunya yang selalu menyadarkannya untuk mencari wanita lain karena
Jerum telah menjadi istri orang lain.
Tan kawarna kang daharan, Tak diceritakan berbagai penganan,
Kundangdya semu linglung, Kundangdya wajahnya linglung,
tumona ring Nini Jerum, setelah melihat Nini Jerum,
kēdanan ring tuas kaleson, hati tergila-gila lesu,
koyangan lara kasmaran, gelisah sakit asmara,
tumuli sira kahantu, segera lalu pingsan,
tinulung binayuan-bayuan, ditolong membangkitkan tenaga,
ring umahē Ki Panamun. di rumah Ki Panamun.
pada ke- 17
Seperti yang tampak dalam kutipan di atas, kecantikan Jerum yang baru
diketahui oleh Kundangdya ketika hari pernikahannya dengan Liman Tarub
membuat ia gelisah lalu pingsan. Jerum sesungguhnya telah ditawarkan menjadi
istrinya Kundangdya jauh sebelum menikah dengan Liman Tarub. Akan tetapi,
mendengar kata Jerum yang dalam pandangan Kundangdya pastilah hanya
seorang gadis dengan wajah yang tidak cantik karena namanya yang tidak cantik.
Peyesalan pun terjadi ketika ia melihat paras cantik Jerum. Kecantikan Jerum
membuat ia tergila-gila dan sakit asmara hingga pingsan karena tidak mampu lagi
menerima kenyataan. Setiap saat kecantikan wajah Jerum terbayang-bayang dan
muncullah keinginannya untuk memiliki. Kemabukan Kundangdya terhadap
kecantikan Jerum membuat ia nekat untuk bertandang ke rumah Jerum pada
malam hari hingga ia berani meniduri Jerum. Demikianlah kemabukan telah
menguasai Kundangdya, tidak ada lagi saran dari orang lain yang diperdulikan.
Selainitu, tidak lagi ia memedulikan akibat yang akan di alami. Kemabukan
mampu membuat seseorang lupa diri. Saat ini banyak hal dapat disaksikan dalam
kehidupan sehari-hari bagaimana orang-orang yang mengalami kemabukan akan
tidak lagi memedulikan kehidupan orang lain, bahkan kebaikan dirinya ke depan
pun tidak lagi dipedulikan.
Musuh yang terakhir adalah matsarya (iri hati). Iri hati membuat seseorang
menjadi gelisah dan mampu menggiring seseorang untuk berbuat nekat yang
akhirnya berujung pada niat ingin mencelakai orang yang ia iri. Seperti halnya
Liman Tarub yang iri setelah melihat kebahagiaan dan kemesraan Kundagdya dan
Jerum di surga. Hal ini yang memunculkan niat Liman Tarub untuk membunuh
Kundangdya dan Jerum untuk kedua kalinya. Niat itu pun berusaha kembali
dilakukan ketika mengetahui Jerum dan Kundangdya kembali diberikan
kesempatan hidup di dunia oleh Bhatara Wisnu.
Mangkin srengen I Sarayuda, Kini Sarayuda beringas,
dēnira angrenga wuwus, mendengarkan kata-katanya,
dres lakunia tumedun, langkahnya menderas turun,
gēgēr malayu wonging jero, Orang istana berlari geger,
Ni Jerum anambut pedang : Ni Jerum menghunus pedang :
"Ingsun matia sadulur, "Aku mau mati bersama,
masa molih labda karya". kalau tidak bisa membunuhmu".
Sarayuda ngunus duwung. Sarayuda menghunus keris.
pada ke- 265
Demikianlah kekuatan keenam musuh yang mampu merusak kehidupan
apabila menguasai diri seseorang. Seseorang bisa saja disamakan dengan binatang
ketika ia dikuasai oleh sifat-sifat yang tergolong sad ripu tersebut. Jika sudah
dikuasai sad ripu, tentunya tidak dapat memunculkan kepedulian positif yang
menciptakan keharmonisan. Harmonis tentu bisa tercipta apabila seseorang
mampu saling menunjukkan kepeduliannya pada sesama dan lingkungannya,
mengingat manusia tercipta sebagai makhluk sosial yang menuntutnya harus dapat
saling bersosialisasi dan menciptakan hubungan baik dalam kebersamaan. tiap-
tiap individu diciptakan lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Kelebihan dan kekurangan itu pun terletak dalam hal dan bidang yang berbeda.
Hal itu sesungguhnya yang mengharuskan manusia untuk dapat saling
berinteraksi, baik dengan sesamanya maupun dengan lingkungan tempat ia
tinggal. Memunculkan rasa peduli dengan cara berbagi dengan sesama yang
memang membutuhkan dan memerlukan tentu akan membuat semua terasa damai.
Kepedulian kecil berwujud perhatian pun bagi seorang manusia yang memiliki
hati dan perasaan sudah sungguh sangat berarti. Dalam Kidung Jerum
Kundangdya dapat dilihat bagaimana sebuah perhatian tulus yang disampaikan
melalui kata-kata penuh cinta yang tulus mampu membuat Jerum terhanyut dalam
rayuan dan cinta kasih yang diberikan Kundangdya.
Ni Jerum tan bisa molah, Ni Jerum tak bisa bergerak,
tan ēling sira aturu, tidur tak sadarkan diri,
tur kinembulan kang musuh, diserbu oleh musuh,
kampuhnia kinarang ulon, kain menjadi bantal kepala,
sampun mangkē dawuh sapta, saat menunjukkan waktu tujuh,
malih-malih salulut, lagi-lagi memadu kasih,
Ni Jerum kari kasrepan, Ni Jerum masih terlena,
pinapaging wacana arum. dipapag dengan kata-kata harum
pada ke- 78
Dalam kutipan di atas tampak bagaimana Jerum terlena dengan kata-kata
dan perhatian yang diberikan oleh Kundangdya padanya. Jika kepedulian positif
dapat diciptakan antarsesama, tentu akan merasakan indahnya hidup dalam
kebersamaan walaupun dalam banyak perbedaan, seperti di Indonesia yang warga
negaranya terdiri atas beraneka ragam suku yang masing-masing memiliki
karakter diri yang berbeda-beda pula. Jika sebuah kepedulian masih tercipta, tentu
diikuti pula oleh rasa toleransi yang mampu menciptakan keharmonisan.
Kepedulian dan menunjukkan sebuah ketulusan penuh cinta kasih, baik
terhadap sesama maupun lingkungan, juga merupakan sebuah bentuk pemujaan
terhadap Tuhan. Kemunculan agama dan berbagai kepercayaan adalah bertujuan
membentuk karakter manusia agar menjadi pribadi yang baik dan mengimbaskan
kebaikannya dengan cara peduli, baik terhadap sesama maupun lingkungannya.
Saat ini kerusakan alam dan berbagai bencana yang mengancam dunia seakan
menjadi bahasan yang masih sering dibicarakan oleh berbagai negara di dunia.
Setiap kerusakan yang terjadi saat ini sesungguhnya dapat dilimpahkan pada
kesalahan manusia, karena manusialah yang dengan segala akal pikirannya
menuntun dan membentuk keadaan. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi
alam tentu menjadikan alam rusak. Namun, jika manusia dengan baik
memanfaatkan dan memelihara alam dengan baik, maka baik jugalah keadaan
yang dirasakan oleh manusia. Rasa bhakti seseorang terhadap Tuhan dapat diukur
dari cara memperlakukan sistem alam agar alam dapat bereksistensi sesuai dengan
hukumnya. Meskipun kegiatan memuja Tuhan, baik dalam bentuk sembahyang,
upacara yadnya, maupun dalam merayakan hari raya keagamaan sangat semarak,
kalau perlakuan terhadap sesama manusia sangat jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan, seperti pelanggaran HAM, ketidakadilan, tidak peduli pada
penderitaan orang lain, maka dapat dikatakan kegiatan berbakti pada Tuhan tidak
akan membawa kehidupan yang berbahagia (Wiana, 2012: 132). Peduli
merupakan sikap yang harus ditumbuhkan dalam setiap individu. Peduli sesama
dan peduli lingkungan dengan peduli yang bersifat positif merupakan wujud cinta
kasih pada sesama dan lingkungan. Karakter bangsa tentunya mampu hidup saling
mencintai antarsesama dan mencintai lingkungan. Kedamaian hanya akan
dirasakan manusia ketika dapat saling mencintai dan menunjukkan kepeduliannya
dengan tulus.
Sifat-sifat negatif yang dimiliki oleh tokoh dalam Kidung Jerum
Kundangdya juga tidak lepas dari sifat-sifat positifnya, hanya unsur yang mana
yang lebih menguasai. Ketika sifat negatif yang lebih menguasai diri tentu akan
memperburuk keadaan yang akhirnya menciptakan ketidakbahagiaan. Sebaliknya
ketika sifat positif yang lebih banyak menguasai diri tentu akan membawa pada
hal yang baik dan bahagia. Dalam Kidung Jerum Kundangdya, pengarang seakan
menampilkan dua sisi yang saling berbeda untuk memberikan gambaran pada
pembaca tentang kehidupan yang memang tidak lepas dari adanya perbedaan, baik
sisi positif maupun negatif, sehingga mampu memilih yang terbaik.
Cinta mampu menyeimbangkan alam semesta, yang awalnya kurang
harmonis mampu menjad harmonis. Keharmonisan ini dikarenakan manusia yang
mampu menjaga kepedulian dan perhatiannya terhadap sesama maupun
lingkungannya. Jika semua sudah terjaga dengan baik tentu keharmonisan itu
terwujud. Sifat-sifat baik yang mampu membawa bangsa kita menjadi lebih baik
itulah yang sering diberi nama karakter bangsa. Karakter bangsa dalam
antropologi (khususnya masa lampau) dipandang sebagai tata nilai budaya dan
keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan
memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai
kepribadian masyarakat tersebut (Armando dkk, 2008: 8). Saat ini pembahasan
"Karakter Bangsa" menjadi sesuatu yang sedang banyak dibicarakan, terutama
dalam pendidikan. Masyarakat Indonesia saat ini dianggap banyak yang kurang
memiliki karakter layaknya masyarakat Indonesia dulu yang dikenal memiliki
sopan santun yang baik, hal ini yang menyebabkan di dunia pendidikan sangat
gencar untuk membentuk dan mendidik anak-anak Indonesia untuk menjadi orang
yang memiliki karakter bangsa. Oleh karena itu dikenallah akhirnya 18 nilai
pendidikan karakter bangsa, antara lain: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. 18 nilai inilah
yang dirangkum oleh Departemen Pendidikan Nasional yang dianggap mampu
mengubah sikap dan pola pikir anak-anak penerus bangsa. Bukanlah hal yang
salah ketika suatu usaha dilakukan demi perubahan ke arah yang lebih baik,
karena pada hakikatnya semua makhluk selalu menginginkan kebaikan,
kemakmuran dan kebahagiaan. Pembelajaran karakter bangsa ini sebenarnya
sudah banyak yang terkemas langsung dalam karya-karya sastra yang diwariskan
oleh para leluhur kita, contohnya saja dalam karya sastra Bali dikenal ada banyak
karya sastra dalam bentuk Tutur maupun Tattwa yang mengajarkan kita menjadi
manusia yang memiliki tingkah laku baik yang disamakan dengan pembentukan
karakter bangsa. Kidung Jerum Kundagdya juga dapat menjadi salah satu karya
yang mampu berfungsi sebagai pembentuk karakter bangsa.
BAB VI
MAKNA HARMONISASI ALAM DALAM KIDUNG JERUM
KUNDANGDYA BAGI MASYARAKAT BALI
6.1 Harmonisasi Ajaran Hindu
Perkataan Hindu, mengingatkan kita akan nama Sindhu atau Indus yang
berkembang lebih kurang 300 tahun sebelum masehi. Lebih tepatnya Hindu
dimulai dari jaman Veda yang berkembang sejak lebih kurang tahun 1500
sebelum masehi. Pada mulanya isi kitab suci veda dihapalkan namun kemudian
akhirnya di tulis dan menjadi buku yang tertua di India. Kitab Suci Veda
mempunyai 4 bagian, yaitu (1) kitab mantra yang berisi mantra-mantra atau doa-
doa untuk berbagai keperluan yang terdiri atas 4 kumpulan (samhita) ialah Rg
Veda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda. (2) kitab suci Brahmana yaitu
tafsir 4 samhita. (3) kitab suci Aranyaka, yaitu tafsir kitab suci Brahmana yang
direnungkan dan dibaca di dalam hutan. (4) kitab suci Upanisad, yaitu kitab yang
memuat dasar-dasar filsafat tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Mengenai
kedudukan dewa-dewa di masing-masing kitab berbeda-beda, contohnya Dewa
Waruna yang menjadi dewa yang penting sekali dalam dalam kitab mantra namun
dalam kitab brahmana justru dianggap tidak penting (Surasmi, 2007: 11--12).
Dalam perkembangannya, penganut Hindu memiliki anggapan bahwa
alam memiliki kekuatan yang dapat menimbulkan kelahiran, kehidupan dan
kematian. Kekuatan alam ini, digambarkan sebagai 3 dewa yang disebut Tri
Murti, yaitu Brahma sebagai dewa atau kekuatan menciptakan, Wisnu sebagai
dewa atau kekuatan memelihara dan Siwa sebagai dewa atau kekuatan pralina
atau melebur. Umat Hindu umumnya memusatkan Dewa-Dewa mereka pada
suatu tempat tertentu, baik itu yang terjadi di India maupun di Bali. Di Bali,
masing-masing Dewa memiliki tempat berstana yang berbeda-beda.
Keharmonisan alam tentu didasari karena adanya alam yang harus
diharmoniskan. Dalam lontar Tutur Andhabhuwana, dikatakan bahwa
pancamahabhuta telah bersemayam ke setiap makhluk terutama manusia,
sehingga isi alam dengan alamnya selalu berhubungan, saling ketergantungan dan
merupakan suatu ekosistem sesuai ajaran Tri Hita Karana. Secara leksikal Tri
Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera,
Karana = penyebab). Pada hakekatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian
tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
1) Manusia dengan Tuhannya; 2) Manusia dengan alam lingkungannya; 3)
Manusia dengan sesamanya. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat
Hindu sebagai berikut:
d. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan
Dewa Yadnya.
e. Hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan
dengan Bhuta Yadnya.
f. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra,
Resi, Manusa Yadnya (Pemerintah Provinsi Bali, 2003: 77--78).
Demi mempertahankan hubungan baik dengan kekuatan bhuwana agung,
ajaran Tri Hita Karana bisa dirujuk sebagai landasan falsafahnya. Ajaran ini
menyerukan pentingnya "keselarasan" dalam segala sisi kehidupan manusia dan
menempatkan manusia (bhuwana alit) sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dengan jagat raya ini (bhuwana agung). Prinsip keselarasan itu bisa dilihat dari
perlakuan umat Hindu di Bali terhadap kekuatan bhuwana agung yang disebutnya
bhuta kala. Bhuta berarti alam semesta, jagat raya ini. Kala adalah energi atau
kekeuatan yang menyertai prakrti (alam). kekuatan alam itu bisa merusak apabila
diganggu, ia pun menyejahterakan apabil didamaikan. Kekuatan alam ini
dianggap berada di pihak manusia jika mereka dapat menyelaraskan diri
dengannya. Oleh karena itu, bhuta kala harus didamaikan kembali melalui
upacara bhuta yadnya (Yudiantara, 2001: 19-20). Berkaitan dengan konsep Tri
Hita Karana, upacara Bhuta Yadnya menjadi salah satu cara untuk
mengharmoniskan alam beserta isinya.
Dalam kepercayaan Hindu di Bali, upacara bhuta yadnya merupakan salah
satu upacara untuk menetralisir kekuatan alam sehingga muncul keseimbangan
yang disebut harmonis. Selain upacara bhuta yadnya, dikenal ada lima yadnya
dalam agama Hindu yang sering di sebut panca yadnya. Dari kelima yadnya atau
upacara korban suci tersebut terdiri dari Dewa Yadnya yaitu korban suci pada para
Dewa, Rsi Yadnya yaitu korban suci pada para rsi, Pitra Yadnya yaitu korban suci
pada para pitara atau leluhur, Bhuta Yadnya yaitu korban suci pada para bhuta,
dan Manusa Yadnya yaitu korban pada sesama manusia. Dari kelima upacara
yadnya yang di kenal dalam ajaran Hindu di Bali ini, selalu tidak terlepas dengan
upacara bhuta yadnya. Seperti halnya dunia yang dipercaya ada tiga yaitu bhur,
bwah dan swah maka ada sebuah kewajiban untuk menjaga keharmonisan ketiga
dunia tersebut dengan selalu membuat upacara dengan tidak melupakan konsep
atas, tengah dan bawah. Oleh karena itu dalam upacara apapun selalu muncul
adanya upacara bhuta yadnya. Ambilkan contoh dalam upacara piodalan yang
merupakan rangkaian upacara dewa yadnya, juga ada unsur untuk melakukan
upacara bhuta yadnya. Ini difungsikan untuk menetralisir kekuatan alam.
Lontar Kandapat sangat sesuai dengan isi Lontar Andhabhuwana
mengenai hubungan pancamahabhuta di alam semesta (bhuwana agung) dengan
pancamahabhuta yang bersemayam di dalam badan manusia (bhuwana alit). Oleh
karena itu selalu memerlukan pemeliharaan agar keharmonisan bhuwana agung
dengan bhuwana alit tetap bisa dipertahankan, hal inilah yang membutuhkan
kebajikan (yadnya) dari manusia ( Dharmita, 2011: 111). Dalam Hindu memang
ada tiga manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang dikaitkan dengan 3 aktivitas
utama, yaitu penciptaan, pemeliharaan dan peleburan. Brahma sebagai pencipta,
Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa untuk melebur kembali. Ketiganya disebut
Tri Murti, tiga wujud utamanya.
Siwa merupakan bentuk rupa Tuhan Yang Maha Esa, aliran Siwa
merupakan salah satu cabang dari agama Hindu. Aliran Siwa mengajarkan akan
terus terwujud, memenuhi segala ruang, bebas dari segala-galanya dan bergembira
selalu. Jiwa-jiwa yang lahir di dunia ini mempunyai sifat yang berbeda. Oleh
sebab itu Dewa Siwa mengambil berbagai jenis rupa selaras dan kematangan jiwa-
jiwa tersebut supaya mereka dapat mencapai mukti (moksa). Dari sudut etimologi
istilah Siwalingga berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Siwa dan Lingga. Siwa
memiliki arti baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak
harapan, membahagiakan. Sedangkan lingga memiliki arti tanda, bukti, alat
kelamin. Siwalingga melambangkan hal yang menyebabkan ciptaan itu muncul
kembali pada awal siklus dari penciptaan yang baru (Dharmita, 2011: 107--108).
Dalam ajaran Siwa Sidantha, Siwa dengan lingganya melambangkan
perwujudan laki-laki dan lambang kesuburan. Jika menginginkan adanya
kelahiran dan penciptaan maka diperlukan adanya penyatuan antara lingga dan
yoni. Lingga ada lambang kelamin pria dan yoni adalah lambang kelamin wanita.
Banyak peninggalan Hindu kuno yang berbentuk arca lingga yoni. Pemujaan
terhadap lingga yoni ini umumnya bertujuan untuk kesuburan. Ada pandangan
bahwa lingga perwujudan Siwa dan Yoni merupakan penggabungan antara
perwujudan Brahma dan Wisnu yang merupakan perwujudan Tri Murti yang
berkaitan dengan penciptaan, pemeliharaan dan peleburan alam.
Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu puisi naratif yang
didalamnya mengandung cerita yang berunsur ajaran Siwa. Tampak dari
kemunculan Hyang Guru ketika Liman Tarub berniat untuk menyucikan diri.
Hyang Guru merupakan sebutan lain untuk Dewa Siwa. Ketika sebagai penuntun
beliau bergelar Hyang Guru. Dalam kidung banyak diceritakan bahwa Hyang
Guru yang menunjukkan dan menyadarkan tentang jalan kebenaran dalam hidup.
Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:
Hyang Guru ling irangucap: Hyang Guru bersabda :
"Sarayuda anakingsun, "Sarayuda anakku,
rungunen wuwusingsun, dengarlah ucapanku,
wangsitira Hyang tan katon, sabda Hyang yang tak nampak,
jaba jro Hyang Pramana, luar dan dalam Hyang Pramana,
angga nunggal soring luhur, tubuh menunggal atas dan bawah,
kalangkahan kasurupan, terlangkahi dan dirasuki,
tan ana wētan muang Kidul. tidak ada Timur dan Selatan,
pada ke-171
"Putih Purwa Hyang Iswara, "Putih di Timur Hyang Iswara,
pupusuh mangkē nggon ipun, berada di jantung,
Kidul abang puniku, Selatan berwarna merah,
Hyang Brahma ring ati mangko, Hyang Brahma berada di hati,
Kuning Kulon ring ungsilan, Barat berwarna kuning adalah ungsilan,
Hyang Mahadewa puniku, di situlah Hyang mahadewa,
Lor ireng rupanira, Utara berwarna hitam,
Wisnu ring ampru nggon ipun. Bhatara Wisnu berada di empedu.
pada ke- 172
Seperti yang tampak dalam kutipan, Hyang Guru atau Dewa Siwa bersabda pada
Liman Tarub yang ketika itu sudah bernama Ki Sarayuda. Beliau bersabda
sebagai sosok yang tidak nampak namun ada di dalam diri, badan kasar dan halus
yang menjadi tunggal dalam diri. Seperti itulah dalam konsep ajaran Hindu,
Tuhan sesungguhnya telah ada dalam diri setip makhluk. Pernyataan tersebut
didukung dengan pernyataan yang terdapat dalam kutipan berikutnya di pada 172.
Dijelaskan disitu bagaimana Hyang Iswara yang berwarna putih bersemayam di
timur dan dalam diri seseorang bersemayam dalam jantung. Hyang Brahma yang
berwarna merah bertempat di selatan dan bersemayam dalam hati. Hyang
Mahadewa berwarna hitam bertempat di utara bersemayam di empedu.
Demikianlah seterusnya yang diuraikan dalam pada 173, 174, yang selanjutnya
menyampaikan Dewa Mahisora berada di tenggara dengan warna dadu dan
bersayam dalam paru-paru. Dewa Rudra dengan warna jingga berada di arah barat
daya bersemayam di perut besar. Dewa Shangkara dengan warna hijau bertempat
di barat laut yang bersemayam di limpa. Dewa Shambu dengan warna biru
bertempat di timur laut. Sedangkan Dewa Siwa berada di tengah dengan aneka
warna berada di tumpuking hati. Demikianlah konsep dalam Hindu yang
mempercayai bahwa ada sebuah keterkaitan antara bhuwana alit dan bhuwana
agung, yaitu antara diri manusia dengan alam. Tuhan itu bersemayam dalam diri
manusia dan disetiap arah pada alam semesta ini.
Dewa utama yang dianggap menguasai kesembilan arah mata angin biasa
disebut Dewata Nawa Sanga. Dewata Nawa Sanga merupakan sembilan dewa
utama dalam agama Hindu. Adapun posisi Dewata Nawa Sanga di sembilan
penjuru mata angin adalah sebagai berikut:
10. Dewa Iswara penguasa arah Timur
11. Dewa Wisnu penguasa arah Utara
12. Dewa Rudra penguasa arah Barat Daya
13. Dewa Mahadewa penguasa arah Barat
14. Dewa Maheswara penguasa arah Tenggara
15. Dewa Sambu penguasa arah Timur Laut
16. Dewa Sangkara penguasa arah Barat Laut
17. Dewa Brahma penguasa arah Selatan
18. Dewa Siwa penguasa arah pusat yang berada di Tengah (Gus Japa dkk,
2008: 26-27).
Dengan adanya Tuhan yang bersemayam dalam diri, dapat dimaknai
bahwa manusia sesungguhnya mampu menghormati dan menjaga dirinya sendiri.
Hal itu yang menjadikan dalam kepercayaan Hindu juga mengenal sebuah upacara
yang ditujukan untuk diri manusia yang tidak lain juga untuk mengharmoniskan
alam semesta ini. Manusia merupakan makhluk yang paling berperan demi
keharmonisan alam, karena manusia di beri kelebihan untuk mampu memikirkan
sesuatu dan mampu melakukan sebuah tindakan. Jika diri manusia itu sendiri
sudah tidak harmonis, contohkan saja manusia itu mengalami sakit maka ia tidak
mampu berpikir dan berbuat yang baik. Perbuatannya yang baik tentu
berpengaruh terhadap lingkungannya. Demikianlah konsep keharmonisan dalam
Hindu yang mengedepankan keharmonisan diri adalah awal dari keharmonisan
alam.
6.2 Harmonisasi Ajaran Budha
Berbicara ajaran Hindu, tidak mampu dilepaskan dari keterkaitannya
dengan ajaran Budha. Seperti dalam sejarah kemunculannya agama Budha , antara
Hindu dan Budha mampu hidup berdampingan. Agama Budha untuk
pertamakalinya muncul di India lebih kurang pada abad ke-6 SM yang disebarkan
oleh Siddharta yang kemudian dikenal sebagai Budha Gautama. Pada mulanya
penganut agama Budha tidak berani menggambarkan Budha dalam bentuk
manusia, tetapi hanya digambarkan dengan bentuk-bentuk lambang. Pada jaman
pemerintahan Raja Kaniska barulah terjadi suatu revolusi dalam agama Budha.
dalam agama Budha sering terjadi perselisihan paham tentang pelajaran-pelajaran
agama itu sendiri. Untuk mengetahui perselisihan dan kesulitan-kesulitan tersebut
diadakanlah muktamar-muktamar. Dalam mukatamar inilah akhirnya terjadi
perpecahan sehingga timbul 2 golongan, yaitu golongan Sthaviravada atau
Theravada ialah golongan yang berpegang pada penjelasan golongan tua.
Pemahaman golongan ini sesuai dengan isi kitab suci Pali dan rupanya merupakan
pendahuluan dari golongan yang kemudian bernama Hinayana. Golongan lainnya
menamakan diri Mahasanghika, yaitu golongan yang berpegang pada sumber-
sumber yang lebih muda dari sumber Sthaviravada yang menunjukkan persamaan
dengan paham yang kemudian bernama Mahayana (Surasmi, 2007: 17--18).
Hingga saat ini dalam agama Budha mengenal dua bagian besar yaitu Mahayana
dan Hinayana. antara Mahayana dan Hinayana ada beberapa perbedaan. Dalam
Hinayana tujuan manusia menjadi arhat dan mencapai nirwana untuk kepentingan
dirinya sendiri, sedangkan Mahayana mengutamakan cita-cita ke Budhaan yaitu
usaha untuk menjadi Budha. Dalam Hinayana menganggap bahwa Budha
Gautama hanya seorang manusia biasa saja tetapi dihormati karena ia berhasil
mencapai bodhi untuk merintis jalan dan menjadi contoh bagi umat manusia
dalam mencapai bodhi dan kebahagiaan tertinggi, sedangkan dalam Budha
Mahayana Budha Gautama dan Budha lainnya bukanlah manusia biasa, tetapi
sebagai avatara atau penjelmaan dalam bentuk manusia atau alat bagi bodhi untuk
menmpakkan diri pada manusia. Pada Hinayana Budha Gautama ialah manusia
biasa dan dihormati karena telah memberi petunjuk dan memberi contoh kepada
umat manusia tentang cara-cara untuk mencapai bodhi dan nirwana, sedangkan
menurut Mahayana yang dipuja terutama ialah Dhyanibodhisatva karena beliau
yang dianggap melindungi dan membimbing umat manusia (Surasmi, 2007: 19--
20).
Menurut ajaran Budha manusia harus mempelajari alam (dhamma vicaya)
untuk mencapai kebijaksanaan pribadi (prajna) tentang sifat hal (dharma). Umat
Budha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi yang
dikenal sebagai Dewa, tetapi mereka seperti manusia dan belum tentu lebih
bijaksana dari manusia. Hal ini dibenarkan seperti apa yang terdapat dalam
Kidung Jerum Kundangdya, dimana ketika Liman Tarub telah dinobatkan sebagai
Ki Sarayuda dan dianggap sebagai orang suci hingga diberikan tugas menjaga
Surga, ternyata ia masih menyimpan dendam terhadap Kundangdya dan Jerum.
Seperti yang tampak dalam kutipan berikut:
"sedeng pua sira Kundangdya, "Setelah Kundangdya,
pawestri aran Ni Jerum", kawin dengan Ni Jerum",
Sarayuda amuwus : Sarayuda berkata :
"Paran olih-olihingong, "Apa yang telah kumiliki,
amati rageng ancala?' setelah bertapa di gunung?"
Sri Jaksa alon amuwus : Sri Jaksa berkata lamban :
"Dene pati yogiabrata, "Karena ajal berdasarkan tapa,
wenanga suarga dinunung". pahalanya mencapai sorga".
pada ke-199
Ni Jerum asemu bangras, Ni Jerum dengan wajah berang,
asasipta warahipun : menunjukkan sikap berkata :
"Sarayuda ko pengkuh, "Sarayuda engkau sangat angkuh,
ambekira kaya tan wong, tabiatmu tidak seperti manusia,
mawakenēng Mrecapada, kau bawa dari dunia fana,
sapangalangin budinmu, yang menjadi penghalang tabiatmu,
apan sira olih tapa, karena engkau berhasil dalam tapa,
sakti kosa teguh timbul. sakti perkasa teguh dan kebal.
pada ke-200
Seperti pada kutipan di atas tampak bahwa melalui kekutan tapa,
seseorang mampu memperoleh surga (tempat yang dianggap lebih mulia). Ki
Sarayuda hingga disejajarkan dengan kedudukan para Dewa, namun setelah ia
bertemu kembali dengan Jerum dan Kundangdya di surga tidak mampu
dihilangkan dendamnya yang ia bawa dari dunia fana. Tampak bahwa sesucinya
para Dewa hingga mendapat tempat yang baik di surga tidak menjamin ia
memiliki tabiat yang lebih baik dari manusia, seperti apa yang diajarkan dalam
ajaran Budha.
Budha selalu menekankan pada aspek etika, cinta kasih, persaudaraan,
menolak sistem kasta sehingga lebih cepat mendapat simpati masyarakat. Ia
percaya bahwa yang memberikan kebahagiaan atau nirvana bukanlah Tuhan atau
deva-deva tetapi diri sendiri. Ajarannya mengajarkan agar manusia hidup mandiri,
mencari di dalam diri sendiri. Oleh karena itu ia mulai doktrin-doktrinnya tanpa
kitab suci dan mulai merefleksikan kehidupan secara independen. Tidak ada
Tuhan di dalam ajaran-ajaran Budha. kalaupun belakangan berkembang menjadi
agama, itu adalah agama tanpa Tuhan (Godless religion) (Suamba, 2003: 323--
324).
Menurut Budha, alam semesta tidak berawal dan tidak ada yang benar-
benar awal karena alam seperti daur kehidupan. Dari muncul, berlangsung, hilang
dan mampu muncul kembali. Sang Budha mengajarkan bahwa dunia yang kita
tempati beserta surga akan mengalami penciptaan dan kehancuran secara berkala.
Ketika Siddharta Gautama mendapatkan pencerahan, hasilnya adalah Empat
Kebenaran Utama (catvari arya-satyani). Kebenaran-kebenaran tersebut adalah
(1) kebenaran bahwa ada penderitaan, (2) kebenaran bahwa ada penyebab
penderitaan, (3) kebenaran bahwa ada penghentian penderitaan, dan (4) kebenaran
bahwa ada jalan menghilangkan penderitaan. Ajaran Budha dikenal juga dengan
nama "madyama marga" ("jalan tengah"), karena ia menggali kapasitas potensi
manusia dan objek-objek eksternal, tubuh dan pikiran dalam meraih tujuan hidup
manusia. Sebagai seorang guru, ia menekankan pada meditasi dan mengikuti jalan
tengah dalam kehidupan sehari-hari (Suamba, 2003: 325). Melalui sebuah
kesadaran bahwa adanya kemunculan penderitaan dalam diri, tentu kemunculan
itu memiliki sebab dan pada akhirnya penderitaan itu juga akan berhenti. Dengan
memahami bagaimana penderitaan itu, tentu muncul jalan untuk mengantarkan
kepada penghilangan penderitaan tersebut. Dalam ajaran Budha dikenal dengan
delapan jalan utama, yaitu pandangan yang benar (samyagdrsti), determinasi yang
benar (samyaksamkalpa), perkataan yang benar (samyalgvak), perilaku yang
benar (samyakkarmanta), cara hidup yang benar (samyagajiva), usaha yang benar
(samyagvayayama), sikap pikiran yang benar (samyaksmrti) dan konsentrasi yang
benar (samyaksamadhi). Kedelapan tangga ini mampu menyingkirkan kebodohan
dan keinginan, menerangi pikiran dan menyebabkan keseimbangan dan
ketenangan sempurna. Dengan demikian penderitaan benar-benar dapat
dihilangkan dan peluang untuk lahir kembali ke dunia juga dihentikan. Pencapaian
keadaan sempurna ini disebut nirvana (Suamba, 2003: 328).
Sifat manusia yang seringkali disadarkan dalam ajaran Budha adalah sifat
manusia yang tidak pernah puas. Semua orang seringkali menggerutu dan
mengeluh tentang masalah fisik ataupun bathin. Dengan memahami situasi ini
Sang Budha telah menghentikan tumimbal lahir (rebirth). Dengan berhentinya
kelahiran maka berhentilah kesengsaraan. Pandangan ini tidak ada bedanya dalam
pandangan ajaran Hindu yang mengajarkan umatnya berbuat yang baik hingga
mampu mencapai moksa, dimana moksa adalah kesempurnaan dengan menunggal
dengan-Nya sehingga tidak lagi melewati tahap reinkarnasi. Bagi ajaran Budha
tidak mengenal Tuhan, karena dianggap Tuhan tidak dapat ditemukan dimanapun.
Yang dipahami bahwa dunia merupakan sebuah tempat penderitaan, dan mencoba
untuk lepas dari penderitaan itu.
Ajaran yang khas dalam Budha adalah praktek meditasi sebagai jalan
pencerahan, dan untuk mencapai pencerahan itu dilakukan usaha untuk mencapai
jati diri (self) yang terdalam, dan bila ia mencapai pengertian akan kesadaran
dirinya itu, berarti ia telah menyatukan diri dengan hakekat semesta atau realitas
rohani semesta (menyatu dengan Tuhan). Seperti yang dilakukan Liman Tarub
ketika ia mengalami sakit hati karena dikhianati istrinya, ia memilih untuk
mengasingkan diri ke tengah hutan, bertapa dan akhirnya menjadi suci hingga ia
mampu dianugrahkan tugas untuk menjaga Surga oleh Hyang Guru.
Kesimpulannya ajaran Budha lebih menekankan bahwa hanya diri sendiri yang
mampu menolong diri untuk lepas dari penderitaan dalam hidup.
6.3 Harmonisasi Ajaran Siwa Budha
Berdasarkan prasasti Kelurak tahun 782 bahwa antara agama Siwa dan
Budha telah terlihat berdekatan mulai periode di Jawa Tengahan. Bunyi prasasti
Kelurak antara lain menyebutkan seorang raja Indra dari keturunan Cailendra dan
memeberitakan bahwa dalam tahun 782 seorang guru dari tanah Gaudi,
Kumaraghosa mendirikan sebuah patung Bodhisatta Manyucri yang dalam dirinya
mengandung Budha, Dharma dan Sangha yang disamakan dengan Brahma, Wisnu
dan Maheswara. Ini memberi kesaksian adanya hubungan antara kedua agama
tersebut. Di Jawa Timur bentuk sinkretisme antara Siwa dan Budha lebih jelas lagi
kita saksikan dari bentuk perwujudan dalam pemakaman raja-raja Singasari yang
mempergunakan simbol Siwa-Budha. Raja Kertanegara merupakan salah satu raja
Singasari yang ketika wafatnya dimakamkan di candi Jawi sebagai Siwa dan
Budha, sedangkan di Singasari sebagai bhairawa. Di dalam buku Pararaton, raja
Kertanegara dinamakan Siwa-Budha dan dalam Negarakertagama, mokteng Siwa-
Budhaloka, sedangkan dalam prasasti-prasasti sering disebut lina ring
SiwaBudhalaya dan kadang juga lumah ri Siwabudha (Surasmi, 2007: 30--31).
Semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut "Siwa-
Budha" sebagai persenyawaan Siwa-Budha. Semenjak itu penganut Siwa-Budha
harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang
Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama: 1) Pura Desa
Bale Agung untuk memuja kemuliaan Bhatara Brahma sebagai perwujudan dari
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). 2) Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu
sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). 3) Pura Dalem untuk
memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatara Siwa sebagai
perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa. Ketiga Pura tersebut disebut Pura
Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan umat Siwa-Budha di Bali. Ada
banyak kemiripan pemahaman dalam ajaran Hindu dan Budha. Di Bali salah satu
nama Tuhan adalah Sang Hyang Embang atau Mahasunyi yang dalam Budha ada
istilah Sunyata. Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Budha yang peninggalannya
adalah meru, hasil modifikasi Pagoda Umat Budha. Padmasana yang dikenal
sebagai tempat pemujaan di kalangan masyarakat Hindu di Bali, merupakan
konsep yang diambil dari Budha Mahayana, padmasana berarti padma: bunga
padma, sana: sikap duduk. Jadi Padmasana berarti duduk di atas bunga padma.
Sang Budhalah yang duduk di atas bunga padma karena Sang Budha adalah
Awatara Wisnu yang sempurna dan yang tidak membunuh. Siddhartha Gautama,
pendiri agama Buddha. Oleh umat Hindu, Siddharta sendiri dihormati dan
diyakini sebagai salah satu penjelmaan (awatara) Tuhan. Beliau adalah awatara
kesembilan dari dasa awatara Dewa Wisnu.
Dalam kesusastraan Jawa Kuno penyatuan Siwa Budha juga tercantum
dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, yang isi pokoknya mengatakan
bahwa Sang Hyang Widhi itu satu bukan dua, walaupun ada yang mengatakan
Siwa dan Budha. Hal ini diuraikan dalam kitab Sutasoma sebagai berikut:
Rwaneka dhatu winuwus warabuda wicwa,
Bhineji rakwa ringapan kene parwa nesen,
Mangkang jiwatma kalawan ciwa tatwa tunggal,
Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Artinya:
Tuhan itu dikatakan ada dua disebut,
Budha dan Siwa, berbeda itu konon,
Namun kapan dapat dibagi dua, demikianlah,
Kebenaran Siwa dan Budha adalah satu, berbeda sebutan,
tetapi tunggal itu, tidak ada Tuhan yang dua (Surasmi, 2007: 31).
Penyatuan Siwa-Budha merupakan awal dari penyatuan nusantara yang
menjunjung semboyan bhineka tunggal ika. Penyatuan adalah wujud
keharmonisan. Seperti tokoh Jerum dan Kundangdya yang saling mencintai
kemudian dipersatukan maka muncul keharmonisan. Ketika dalam penyatuannya
dengan Jerum, Jerum dapat berlaku sebagai atau kekuatan dari Kundangdya.
Dalam keharmonisan itulah Dewa Wisnu kembali menganugrahkan kehidupan
pada Kundangdya dan Jerum dan ditugaskan memimpin negara dengan harapan
menularkan kebahagiaan dan kedamaian di dunia. Seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut, ketika Kundangdya dan Jerum menjadi pasangan serasi yang
menciptakan kebahagiaan di hati semua orang.
Maka Sembahaning jagat, Dipuji dan disembah di dunia,
kinasihan para Ratu, disayangi para raja-raja,
miwah sang para sadu, demikian juga oleh orang yang arif
bijaksana,
anungsunging sira mangko, semua memuji-muji beliau,
ilangana pamuktianira, tercapai segala keinginannya,
Nareswari Nini Jerum, Permaisuri Nini Jerum,
kadi Surya lawan Ulan, bagaikan Matahari dan Bulan,
anuluhin jagat kasub. menerangi dunia tiada tara.
pada ke-324
I Gusti Bagus Sugriwa merupakan salah satu tokoh yang sangat
memahami ajaran Siwa-Budha yang tertuang dalam tulisan dan karya-karyanya.
Menurut beliau Bhatara Budha sangatlah gaib, dangat sulit dijamah oleh pikiran.
Ia melihat sekaligus yang dilihat, yang berpikir dan yang dipikirkan sekaligus.
pendapat tersebut serupa seperti yang terdapat dalam Kakawin Dharma Sunya
yang beranggapan bahwa Budha sangat gaib yang merupakan bayangan dalam
bathin bersaluran kepada pancendriya (Suamba, 2013:5). Keberadaan penyatuan
Siwa-Budha seperti zat yang satu namun disebut dua yaitu Budha dan Siwa.
Demikianlah keadaan Siwa dan Budha yang satu dan tidak ada kebenaran itu dua.
Dalam Kandhawa Dahana, I Gusti Bagus Sugriwa mengutip Kandhawa Dahana :
Ndan len kita buddha rupa siwa rupa pati huriping tri mandala/ Sang sangkan
paraning sarat ganalalit kita hala hayu kojaring haji/ Utpatti sthiti dadi kita
karanani paramartha sogata// yang artinya tidak lain Engkau merupakan Budha,
merupakan Siwa yang menjadi jiwa tiga buana. Engkau yang menjadi asal dan
tujuannya kembalinya dunia, berbadan besar dan kecil, mengatur baik atau buruk,
menurut ajaran agama. Lahir, hidup dan matinya sekalian makhluk, Engkaulah
yang menyebabkannya, Engkau disebut Siwa atau Budha (Suamba, 2013: 8).
Penyatuan Siwa dan Budha dikenal dalam konsep "unity in diversity" (bhineka
tunggal ika) yang relevan pada era modern sekarang ini. Ketika manusia akan
bergegas menuju ke "sana", "atas", atau "dalam", manusia memerlukan bekal
pengetahuan (jnana) karena hanya pengetahuanlah satu-satu alat menuju ke sana.
Pramana intinya upaya mendapatkan pengetahuan valid (prama), karena yang
salah atau ragu-ragu (samsaya) tidak akan bisa digunakan untuk mendapatkan
Bhatara Siwa atau Budha yang hakikatnya adalah kebenaran. Begitu banyak sifat-
sifat Bhatara Budha maupun Bhatara Siwa bisa dikategorikan menjadi dua secara
umum, yaitu sekala-niskala, wahya-dyatmika, suksma-stula, byakta-abyakta.
Beliau menjadikan kedua dunia ini diresapi sekaligus meresapi dan menguasai.
Keesaan Siwa-Budha disebut Sang Hyang Tunggal, dalam ajaran Siwa
diwujudkan dengan lambang Ongkara, sedangkan dalam ajaran Budha dengan
Hrih. Dengan sebutan Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Licin ajaran ini
menganut paham monisme, satu prinsip/ kekuatan/ realitas yang absolut, tertinggi,
tidak pernah berubah, langgeng tidak ada yang menyamai apalagi melebihi
keesaannya. Yang menarik, walaupun sama-sama tunggal, namun dipresentasikan
dengan nama berbeda : Ongkara (Siwa), Hrih (Budha) (Suamba, 2013: 8--10).
Dalam kepercayaan Hindu di Bali, ajaran Siwa Budha masih tetap
dijunjung tinggi hingga saat ini. Setiap unsur upacara maupun upakara akan
mengandung unsur Siwa-Budha. Siwa dianggap unsur dari kekuatan yang tidak
luput dari tenaga dan kemarahan dan Budha dianggap unsur dari kasih sayang,
kelembutan dan cinta kasih. Siwa-Budha harus tetap berdampingan untuk mampu
menciptakan keharmonisan. Konsep penyatuan Siwa-Budha yang dikenal melalui
tiga bangunan suci tersebut juga sampai sekarang masih diyakini oleh masyarakat
Hindu di Bali. Selain tiga pura yang terdiri dari Pura Puseh, Desa dan Dalem,
dalam lingkungan keluarga pun umumnya masyarakat membangun pelinggih
kemulan yang juga terdiri dari rong tiga atau tiga ruang yang juga memuja
Brahma, Wisnu dan Siwa/ Iswara atau sering juga disebut Bhatara Guru. Konsep
ini sesungguhnya berkaitan erat dengan apa yang disampaikan dalam Kidung
Jerum Kundangdya.
Tokoh Kundangdya yang memiliki sifat welas asih, pemaaf dan berbhakti
diidentikkan dengan karakter Budha yang merupakan perwujudan dari Wisnu
yang merupakan Dewanya Air. Bhatara Wisnu dalam perwujudan Rong Tiga di
puja di pelinggih yang paling kiri. Kemudian Di Selatan atau yang paling kanan
adalah pemujaan untuk Bhatara Brahma. Bhatara Brahma adalah Dewanya api,
api bersifat panas dan panas identik dengan kemarahan. Sifat dendam dan
pemarah yang dimiliki oleh tokoh Liman Tarub dikaitkan dengan perlambang api
atau Bhatara Brahma. Sedangkan Jerum itu sendiri adalah perwujudan Bhatari
Durga atau saktinya Siwa yang dipuja di Pura Dalem. Seperti halnya Jerum,
Bhatari Durga umumnya dilambangkan sebagai Dewi yang amat menyeramkan
ketika dalam keadaan murka, namun menjadi Dewi yang amat cantik dan
penyayang ketika berwujud Dewi Uma. Dari karakter demikian telah terjadi
sebuah harmonisasi antara kekuatan amarah dan kelembutan, antara kekuatan
panasnya api dan dinginnya air. Jerum digambarkan sebagai wanita yang amat
cantik dan mempesona, namun ketika ia megalami kemarahan, ia bahkan tidak
takut untuk mengangkat senjata demi membela kebenaran. Seperti yang terdapat
dalam kutipan berikut:
Mangkin srengen I Sarayuda, Kini Sarayuda beringas,
denira angrenga wuwus, mendengarkan kata-katanya,
dres lakunia tumedun, langkahnya menderas turun,
geger malayu wonging jero, Orang istana berlari geger,
Ni Jerum anambut pedang: Ni Jerum menghunus pedang:
"Ingsun matia sadulur, "Aku mau mati bersama,
masa molih labda karya". kalau tidak bisa membunuhmu".
Sarayuda ngunus duwung. Sarayuda menghunus keris.
pada ke- 265
Karakter dari tokoh Jerum ini seperti mampu dikaitkan dengan perwujudan Dewi
Durga yang akan diliputi kemarahan dan memiliki wajah yang menyeramkan
apabila dalam keadaan menyeramkan, namun sebaliknya menjadi sosok welas
asih dan penyayang ketika berwujud Dewi Uma ataupun Dewi Katyayani.
Dapat dipahami bahwa setiap hal diliputi oleh dua unsur yang saling
bertolak belakang namun saling membutuhkan, untuk itu penting adanya sebuah
keharmonisan dari kedua unsur yag bertolak belakang tersebut. Siwa-Budha harus
menyatu agar mampu menciptakan keharmonisan. Kekuatan dan ketegasan harus
diimbangi dengan kebijaksanaan dan welas asih barulah akan tercipta sebuah
keharmonisan. Keharmonisan akan menjadi junjungan dari kedua unsur tersebut.
Seperti halnya Kundangdya dan Liman Tarub yang melihat satu yaitu Jerum.
Kundangdya dan Liman Tarub mencintai jerum karena kecantikan dan
keindahannya. Harmonis adalah indah dan itu merupakan harapan semua orang.
Dalam upacara keagaamaan di Bali, yaitu upacara Pedudusan agung ada
yang disebut dengan upacara paselang. Upacara paselang merupakan bagian dari
upacara pecaruan dengan sarana kerbau yang pada tanduknya dibungkus dengan
emas. Upacara paselang ini di pimpin oleh pendeta Siwa dan pendeta Budha.
Upacara paselang dapat dipahami sebagai upacara dimana turunnya Hyang Siwa
yang berwujud keheningan dalam tapakan pelinggih. Bersatunya pendeta Siwa
dan Budha dalam menjalankan prosesi upacara paselang sebagai bentuk bahwa
Siwa-Budha senantiasa bersatu. Budha dianggap badan dan Siwa merupakan
pikiran. Jadi dalam upacara paselang ada penyatuan jiwa dan badan.
Dalam konsep bangunanpun, pada umumnya setiap bangunan adat di Bali
akan mengacu pada konsep rong tiga atau tiga ruang. Ada ruang kanan dan kiri
dan ada satu ruang ditengah dengan ukuran yang lebih besar dan lebih tinggi.
Seperti itulah keyakinan untuk memuja keharmonisan dan persatuan yang disebut
keseimbangan. Antara kanan dan kiri harus ada ruang yang menjadi penyekat
keduanya dan ruang itu adalah kekosongan. Dalam ajaran Siwa maupun Budha,
keduanya mengenal ajaran untuk memuja kekosongan. Kedua ajaran inipun sama-
sama memiliki keyakinan bahwa semuanya berawal dari kekosongan dan
akhirnyapun akan kembali pada yang kosong tersebut. Setiap hal baik maupun
buruk itu berawal dari tidak ada menjadi ada dan suatu saat akan mampu menjadi
tidak ada kembali. Kekosongan adalah sekat sekaligus penyatuan yang disebut
juga dengan harmonisasi. Harmonisasi itu terjadi dalam penyatuan antara kanan
maupun kiri, antara positif maupun negatif, antara atas maupun bawah.
Kosong sering dilambangkan dengan nol, dan nol berbentuk bulat yang
sering dalam aksara Bali disebut dengan windu. Sesuatu yang dinyatakan bulat
sudah pasti tidak memiliki ujung, tidak ada awal maupun akhir. Berjalan dalam
lingkaran berarti berjalan dalam sebuah siklus yang tidak akan berakhir.
Demikianlah halnya dengan kehidupan, kehidupan merupakan sebuah siklus, ada
kelahiran, kehidupan dan kematian, ada muncul, berlangsung dan musnah.
Demikianlah seterusnya. Setiap hal sesungguhnya merupakan sebuah siklus yang
akan berlangsung terus menerus. Kematian bukan berarti akhir, karena setelah
kematian akan ada kehidupan lain kembali. Dalam kepercayaan Hindu di Bali
sangat mengenal adanya reinkarnasi, reinkarnasi adalah kelahiran kembali
dimana seorang yang telah meninggal, atmanya akan kembali memasuki badan
yang lain untuk kembali lahir didunia ini. Tidak jauh dari reinkarnasi, dalam alam
sendiri muncul juga konsep perputaran siklus yang dilihat dalam perubahan iklim.
Panas dan Dingin merupakan siklus yang silih berganti namun manusia tetap
membutuhkan keduanya. Demikian juga dengan air dan api, keduanya dapat
membahayakan manusia, namun tanpa keduanya manusia juga tidak akan dapat
hidup di dunia. Air akan menguap oleh panas dan nantinya akan berubah kembali
menjadi air dalam bentuk hujan, inipun juga merupakan siklus alam yang
berlangsung terus menerus silih berganti.
Demikianlah konsep Siwa-Budha yang dapat dilihat dari Kidung Jerum
Kundangdya, kekuatan amarah yang biasanya diidentikkan dengan kekuatan Siwa
dipegang teguh oleh Liman Tarub dan memang dalam cerita pun, Liman Tarub
memang menjadi tokoh kesayangan dari Bhatara Guru yang tidak lain adalah
nama lain dari Dewa Siwa. Sedangkan Kundangdya yang memiliki sifat lemah
lembut, berbhakti dan welas asih menjadi tokoh yang paling disayangi oleh
Bhatara Wisnu. Dalam konsep Siwa-Budha, Liman Tarub berposisi sebagai Siwa
dan Kundangdya adalah perwujudan Budha. Sedangkan Budha itu sendiri
merupakan awatara (perwujudan lain) Wisnu.
6.4 Pencerahan Siwa Budha Tantra
Tantra adalah wujud dari praktek yoga yang mengarah pada kebahagiaan
tertinggi melalui upacara tertentu yang menekankan pada hal yang erotis dan
terlarang. Tantra dipusatkan pada 's sakti' kekuatan wanita yang dipuja oleh
sadhaka (pemuja laki-laki) melalui sakti yang inkarnasi buminya dalam bentuk
upacara Tantra. Sementara kespiritualan Hindu menekankan pada kebebasan dari
wujud fisik, emosi dan kesenangan sesaat dan juga kebebasan dari dunia fana,
Tantra menekankan pada hal ini dan berkebalikan dengan ini (Singh, 2007: 131).
Tantra bukanlah agama, tetapi cara hidup, sistem sadhana. Tantra adalah ilmu
pengetahuan meditasi spiritual atau sadhana yang dapat dipakai oleh semua orang
tidak mempersalahkan apapun golongan agama mereka. Banyak orang yang
mencoba membeda-bedakan Tantra Hindu dan Tantra Budha yang sesungguhnya
adalah satu. Tantra itu berdasarkan satu gagasan, baik tantra budha dan Hindu
mengeskpresikan hal yang sama dengan kata-kata yang berbeda
(Anandamurti,2008: 142--143). Di dalam Encylopedia of Religion and Ethice,
tantra berarti tenunan atau keadaan bengkok, kemudia sesuatu yang terus menerus
dan rangkaian yang tak terputus putusnya dalam kebiasaan agama sebagai
peraturan atau upacara yang tertib (Surasmi, 2007 : 41).
Kepercayaan atau pemujaan kepada sakti dan upacara-upacara tantra
adalah merupakan kepercayaan India Kuno. Bermacam-macam cara dilakukan
orang untuk memuja sakti tersebut, menurut paham aliran masing-masing.
Menurut paham tantra, untuk mencapai tujuan hidup setiap orang mengucapkan
mantra-mantra dan upacara-upacara gaib, dapat bersatu dengan sakti bahkan
menjadi sakti itu sendiri. Kepercayaan atau pemujaan kepada Dewi Ibu atau
kekuasaan sakti itu dikenal di India sebelum bangsa Arya datang di India tidak
pernah lenyap, bahkan dapat mempengaruhi agama Hindu dan agama Budha.
Dalam agama Hindu terlihat pengaruhnya pada pemujaan Dewi Durga atau Kali
sebagai sakti atau permaisuri dari dewa Siwa sebagai Mahakala (Surasmi,
2007:22).
Dulu agama Hindu terdiri dari banyak sekte, dan Tantra sesungguhnya
tergolong ke dalam salah satu sekte dalam agama Hindu. Sekte ini dimasukkan
sebagai bagian dari sekte Sakti. Aliran ini disebut dengan Tantrayana karena
mendasarkan diri pada kitab-kitab Tantra. Sekte Tantra merupakan perpaduan
yang sinkretistik dari berbagai macam kepercayaan, termasuk kepercayaan
primitif di India. Aliran ini juga terdapat pada agama Budha; sementara dalam
agama Hindu terdapat dalam kalangan para pemuja Siwa (Ali, 1988; 86).
Kemunculan Agama Tantra di India sebelum bangsa Arya datang ke
daerah itu. Paham Tantra terlihat pada kebudayaan Lembah Indus, yaitu tampak
dalam pemujaan Dewi Ibu. Menurut paham tantra, untuk mencapai tujuan hidup
setiap orang mengucapkan mantra-mantra dan upacara gaib, dapat bersatu dengan
sakti bahkan menjadi sakti itu sendiri. Terkadang cara-cara pelaksanaan pemujaan
sakti menurut pemujaan paham tantra ini bagi orang yang bukan penganut tantra
menimbulkan kesan yang tidak baik, karena menurut ukuran biasa termasuk
larangan atau melanggar kesopanan. Tantrayana adalah suatu ajaran yang
bercita-cita mempersatukan diri dengan Tuhan pada waktu yang sesingkat-
singkatnya dengan jalan mempergunakan nyanyian, minuman keras, menghisap
candu dan sebagainya. Pengaruh paham tantra didapati pula dalam agama Budha
Mahayana yang dalam garis besarnya tidak berbeda dengan agama Siwa-Tantra.
Ajaran Mahayana-Tantra memberi petunjuk atau jalan yang harus dilalui agar
siapa pun dalam waktu singkat dapat mencapai tujuan yang tertinggi, yaitu
terhindar dari sengsara (Surasmi, 2007 : 22--23).
Upacara-upacara dan kepercayaan tantra adalah lebih tua dari umur agama
Budha itu sendiri. Jenis Budha Tantra dikenal sebagai Kalachakra yang telah
disempurnakan di bengal pada akhir Dinasti Pala dan kemudian disebarkan ke
Nepal dan Tibet serta Nusantara. Menurut paham tantra, sakti adalah ibu suci, ibu
alam semesta. Segala sesuatu berasal dari sakti dan akan kembali kepadanya.
Tanpa sakti, dewa tidak dapat berbuat dan menciptakan sesuatu. Dengan
demikian, menurut paham tantra, sakti merupakan sumber segala. Itulah sebabnya
penganut paham tantra lebih mementingkan pemujaan pada Dewi dan
mengesampingkan kedudukan para Dewa. Selanjutnya dalam perkembangan
agama Budha, pengaruh hukum tantra terlihat pada zaman pemerintahan raja-raja
Pala yang menyatukan banyak persamaan unsur-unsur paham agama Hindu ke
dalam agama Budha, misalnya saja konsepsi dari pemujaan sakti atau kekuatan
wanita dari Boddhisatwa dan kepercayaan pada ilmu-ilmu dan upacara-upacara
gaib (Surasmi, 2007: 45--47). Dalam Kidung jerum Kundangdya, tampak bahwa
ada sebuah sifat mengagungkan wanita dan pemujaan pada ibu pertiwi.
Kundangdya dan Liman Tarub adalah dua orang saudara yang akhirnya saling
menaruh dendam satu sama lain karena memperebutkan Jerum. Jerum adalah
sosok wanita dengan segala kesempurnaanya sebagai wanita yang menyebabkan
kedua laki-laki ini jatuh hati pada Jerum. Adanya tindakan curang yang dilakukan
Kundangdya yaitu dengan meniduri Jerum ketika telah menjadi istri Liman Tarub
menjadikan Liman Tarub dendam terhadap Jerum dan Kundangdya. Selain itu ada
sebuah kepercayaan yang muncul dalam Kidung Jerum Kundangdya mengenai
pemujaan terhadap ibu pertiwi, seperti yang tampak dalam kutipan berikut:
"Babu endi tan katona?" "Di mana ibu tak kelihatan?"
Pawongan anembah matur : Para inang berdatang sembah,
"Aneng taman pukulun, "Tuan Hamba ada di Taman,
aturu ring lemah mangko, tiduran di tanah,
angistia puja barata, memohon dengan puja dan tapa,
adoha kenēng tadah inum, menjauhkan makan dan minum,
yan tan kapanggiha sira, karena ingin bertemu tuanku,
kinēsti rahina dalu berdoa siang dan malam.
pada ke-232
Tampak dalam kutipan di atas, ibu Kundangdya hingga tiduran di tanah
untuk memohon untuk bisa bertemu kembali dengan anaknya yang ketika itu telah
mati dibunuh oleh Liman Tarub. Dalam kepercayaan Hindu, tanah melambangkan
ibu pertiwi. Ketika seseorang mati dan di kubur dalam tanah maka jasad seseorang
dianggap telah dikembalikan pada pangkuan ibu pertiwi, semua unsur dalam
badan itu akan hilang dan meresap dan menjadi satu dalam tanah. Seorang ibu
yang masih belum terima sepeninggal anaknya yang dibunuh oleh Liman Tarub,
hingga memutuskan mengasingkan diri dengan tidur di tanah sambil melakukan
tapa puja siang malam hanya untuk dapat bertemu kembali dengan anaknya yaitu
Kundangdya. Doa seorang ibu itu pun akhirnya terwujud setelah Dewa Wisnu
menghidupkan kembali Kundangdya dan Jerum.
Dengan memperhatikan isi kitab-kitab Tantra Sastra yang memuat ajaran
Tantrayana dapat dipahami, bahwa bentuk-bentuk upacara dan upacara yajna
yang diselenggarakan di Bali, secara jelas terlihat adanya pengaruh dari
Tantrayana, di samping juga mendasarkan kepada berbagai Sastragama Hindu
sebagai penjabaran dan Catur Weda, serta ditambahkan oleh produk sosial budaya
daerah yang berasal dari alam pikiran pra-Hindu di Indonesia. Pengendalian diri
melalui tapa dan brata sangat ditekankan dalam Tantrayana. Istilah tapa berasal
dan akar kata tap artinya panas. Bertapa artinya memusatkan pikiran (cita) kepada
Hyang Widhi dalam manifestasi tertentu, Di dalam melaksanakan pemusatan
pikiran itu badan akan merasa panas. Menurut Yoga-Kundalini, bahwa panas yang
muncul pada diri kita ketika memusatkan pikiran itu akan membakar kekotoran
(mala) yang melekat pada Sthulasarira, Suksmasarira dan Antahkarana
(malatraya).
Brata adalah suatu disiplin batin yang memuat dua hal yaitu : keharusan
dan larangan; apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Tantrayana mengajarkan suatu brata yang patut dilakukan yaitu : Panca tattwa
atau 5 (lima) “ma” yang terdiri dari Matsya: makan ikan sebanyak-banyaknya.
Madya: meminum tuak sebanyak mungkin. Mamsa: makan daging sebanyak-
banyaknya. Mudra: makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya.
Akhirnya Maithuna: melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan
wanita. Sesungguhnya Pancatattwa mengandung filosofi yang dalam. Pada
prinsipnya Pancatattwa ini merupakan suatu filosofi hubungan bhuwana agung
dan bhuwana alit yang mengandung nilai selaras serasi dan seimbang. Namun,
penerapan Pancatattwa ini sering menyimpang dari filosofinya, dikarenakan oleh
kelemahan manusia menghadapi pengaruh sadripu sehingga seringkali
Pancatattwa itu diartikan sebagai pemenuhan lima macam nafsu yang amat besar
(Arifin; 88). Pancatattwa yang secara populer disebut Panca Makara (Lima Ma),
yang terdiri dari madya (minuman keras), mamsa (daging), matsya (ikan), mudra
(sikap tangan, padi-padian), dan maithuna (bersetubuh). Dalam upacara
tantrayana, lima unsur Panca Ma ini memegang peranan penting namun bukan
berarti sadhaka dibenarkan makan daging sebanyak-banyaknya, minum sampai
mabuk dan lain sebagainya (Dange dalam Surasmi, 2007: xvi). Pancatattwa
memang dikenal dalam ajaran Tantra, namun Lima Ma tersebut akan mendapat
taggapan yang berbeda-beda dari masing-masing individu, yang kesemuanya tetap
memiliki harapan tujuan yang sama yaitu mendapatkan penyatuan sehingga
terlepas dari kesengsaraan dalam kehidupan.
Ada pengaruh-pengaruh yang tidak bisa dihilangkan antara ajaran tantra
dengan tradisi dalam ajaran agama Hindu, maka muncul juga sebuah keterkaitan
ajaran tantra tersebut dalam Kidung Jerum Kundangdya. Hubungan seks atau
penyatuan badan menjadi unsur yang sangat berperan dalam cerita Kidung Jerum
Kundangdya. Kehancuran dan kebahagiaan yang dirasakan, semuanya berawal
dari hubungan seks atau penyatuan. Dalam tantra, hubungan seks adalah utama
dan sangat diagungkan. Kelahiran dan kesuburan hanya akan muncul berawal dari
pertemuan lingga (unsur pria) dan yoni (unsur wanita) dalam hubungan seks.
Dalam Kidung Jerum Kundangdya diceritakan Kundangdya tidak mampu
menahan rasa cinta dan nafsu birahinya untuk bersatu dan memiliki Jerum.
Hingga akhirnya nekat memasuki kamar Jerum yang sesungguhnya sudah menjadi
istri Liman Tarub. Didalam kamar Jerumlah, Kundangdya melampiaskan
hasratnya hingga terjadi penyatuan antara Jerum dan Kundangdya.
Sarira angawlaseng cita, tubuhnya yang membuat hati terpesona,
pupu lempung gading lumlum, paha montok indah kekuning-kuningan,
warnanen mingsoring pupu, tersebutlah dibawah paha,
luir pudak cinaga karo, bagaikan dua buah bunga pudak,
tan ilang takonakena, yang tak tersurat rasakan sendiri,
Kundangdya tan pangitung, Kundangdya tak terkatakan,
garegetan mangaras-aras, memeluk cium sangat bernafsu,
Ni Jerum nora awungu. Ni Jerum tak terjaga.
pada ke-62
Seperti dalam kutipan di atas, demikianlah Kundangdya menikmati keindahan
tubuh Jerum tanpa sepengetahuan Jerum. Penyatuan badan dan kenikmatan seks
dirasakan oleh Kundangdya. Sekalipun ia mengetahui bahwa ia telah melakukan
kesalahan karena telah dengan berani meniduri istri saudara misannya sendiri,
namun cinta dan hasratnya yang tidak dapat dipendam itu membuatnya nekat.
Kata-kata manis dan rayuan ia lakukan terhadap Jerum yang akhirnya menyadari
kedatangan orang asing.
Kundangdya alon angucap : Kundangdya berkata perlahan :
"Juitaningsun Sang arum, "Juitaku sang cantik jelita,
puniku sadiayangira sun", itulah yang aku kehendaki",
Kundangdya sakadi layon, Kundangdya ibaratnya orang mati,
kari rekē kakurungan, yang tinggal hanya badan kasar,
atmanira sampun lampus, rohnya sudah lenyap,
mangungsi banjaran kembang, menuju banjaran bunga-bunga,
manganti maya sang arum". menunggu arwah sang jelita.
pada ke- 75
Ni Jerum meneng kēmengan, Ni Jerumberdiam diri sedih,
Kundangdya tan asantun, Kundangdya tanpa membilang suatu apa,
marikedeh amerud, bersikeras tak peduli,
aningseting madia karo, kedua tangan memeluk pinggang,
anesep ingaras-aras, menghisap memeluk cium,
Ni Jerum manulak lesu, Ni Jerum menolak lesu,
sarira madapa layuan, diri bagaikan daun layu,
kaya tambēning salulut. seakan tumben terkena asmara.
pada ke- 76
Kundangdya seakan tidak perduli dengan kesalahan yang ia lakukan, kepuasan
dan kesenangannya adalah utama. Dia tidak memperdulikan kesedihan Jerum
yang takut akan kesalahannya karena telah membiarkan orang asing masuk dan
tidur bersama dengannya. Kundangdya nekat melakukan hal itu, karena ia
memiliki keyakinan bahwa seperti telah mati dan akan menuju banajaran bunga
sambil menunggu arwah pujaan hatinya. Kundangdya telah memasrahkan dirinya,
dia tidak takut mati sekalipun asal bisa merasakan kenikmatan persatuan dengan
Jerum. Banjaran bunga-bunga sama halnya seperti surga, ia digambarkan akan
menunggu arwah sang jelita yang tidak lain berarti menunggu kedatangan arwah
Jerum ke surga. Dari pernyataan Kundangdya tersebut seakan membenarkan
sebuah hubungan seks itu terjadi sekalipun tidak dengan istri maupun suami
sendiri. Disinilah tampak jelas bahwa ada makna-makna tertentu dalam ajaran
tantra bhairawa yang tampak dalam Kidung Jerum Kundangdya.
Bagi pengikut Bhairawa Tantra, mereka berusaha mencapai kebebasan
dan pencerahan (moksa) dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Ciri-ciri mereka
adalah anti asketisme dan anti berpikir. Menurut mereka, pencerahan bisa diraih
melalui sebuah kejenuhan total terhadap kenikmatan duniawi. Tujuannya adalah
memanjakan kenikmatan hidup dan tidak mengenal kekangan moral. Dengan
memenuhi segala hasratnya, seorang pengikut sekte ini akhirnya tidak merasakan
apa pun selain rasa jijik terhadap kenikmatan tersebut (Munoz, 2009: 84). Oleh
karena itu, pengikut sekte ini justru melakukan ritual-ritual tertentu yang bagi
sebagian besar orang dianggap sebagai larangan. Hal ini sebagai usaha agar
manusia bisa secepatnya meniadakan dirinya sendiri dan mempersatukan dirinya
dengan Dewanya yang tertinggi. Ritual mereka bersifat rahasia dan sangat
mengerikan, yaitu menjalankan Pancamakarapuja atau malima (Lima Ma)
dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Praktek malima adalah
menyembelih perawan sebagai persembahan kepada dewa, kemudian meminum
darahnya bersama, tertawa-tawa, dan menari-nari dengan diiringi oleh bunyi-
bunyian dari tulang-tulang manusia yang dipukul-pukul hingga menimbulkan
suara gaduh. Ritual dilanjutkan dengan makan dan minum bersama. Setelah itu
dalam acara yang dilakukan di lapangan yang disebut ksetra, para peserta ritual
melakukan persetubuhan massal, yang kemudian diikuti dengan semedi
(Wojowasito, 1952: 148).
Pemikiran bagi penganut aliran tantra bhairawa ini tidak jauh berbeda
dengan pemikiran yang dimiliki oleh Kundangdya. Pencapaian surga pasti dapat
ia temui ketika ia mengalami penyatuan dalam hubungan seks yang akhirnya ia
lakukan dengan Jerum yang sekalipun bukan istriya sendiri. Ni jerum yang
diselimuti oleh rasa takut karena baginya hal itu sebuah kesalahan, membuatnya
resah namun rayuan Kundangdya membuatnya luluh. Seperti dalam kutipan
berikut.
Ni Jerum tan bisa molah, Ni Jerum tak bisa bergerak,
tan eling sira aturu, Tidur tak sadarkan diri,
tur kinembulan kang musuh, diserbu oleh musuh,
kampuhnia kinarang ulon, kain menjadi bantal kepala,
sampun mangke dawuh sapta, Saat menunjukkan waktu tujuh,
malih-malih salulut, lagi-lagi mamadu kasih,
Ni Jerum kari kasrepan, Ni Jerum masih terlena,
pinapaging wacana arum. dipapag dengan kata-kata harum.
pada ke- 78
Jerum dikatakan luluh hanya dengan kata-kata rayuan dari Kundangdya,
hingga akhirnya pagi menjelangpun mereka kembali memadu kasih. Bentuk
penyatuan berupa hubungan seks dimana mempertemukan lingga dan yoni, maka
disitulah dianggap akan menciptakan kebahagiaan dan itu sebuah persembahan
yang nantinya akan menuntun pada pencapaian akhirat yang baik.
Dalam tradisi keagamaan di Bali, setiap hal akan selalu mengandung unsur
lingga dan yoni. Dimana ada pertemuan lingga dan yoni maka disitulah adanya
kebahagiaan dan kemakmuran. Tidak dilupakan jika sebuah kehidupan akan
mampu tercipta berawal dari pertemuan lingga dan yoni. Hanya hubungan seks
yang membuat seseorang mampu melanjutkan keturunannya, dan itu adalah
sebuah anugrah dan kemakmuran. Hingga kini banyak tempat-tempat yang
disakralkan di Bali masih terdapat arca-arca lingga yoni, dan ini menandakan
bahwa pertemuan lingga yoni adalah sesuatu yang dianggap hal yang sakral.
Tidak mengherankan apabila dalam ajaran tantra bhairawa, hal yang sakral ini
dianggap sebagai salah satu bentuk pemujaan terhadap Tuhan yang dalam hal itu
adalah Dewa Siwa. Namun, untuk saat ini bila melakukan hubungan seks secara
berlebihan apalagi bukan dengan pasangan yang sewajar terlebih mengarah pada
pesta seks, maka itu dianggap sebagai sebuah kesalahan yang melanggar hukum.
Jadi pemujaan dan mengagungkan ritual hubungan seks itu hingga kini masih
diyakini, namun tidak dilakukan disembarang tempat dan pada sembarang orang.
Hubungan seks hanya diijinkan hanya dengan pasangan baik itu istri maupun
suami.
Selain dari unsur seks, ada juga yang tergolong Madya (minuman keras),
Mamsa (makan daging), Matsya (makan ikan). Kesemua unsur itu hingga
sekarang masih sering diterapkan dalam setiap ritual agama dan unsur kehidupan
masyarakat Hindu di Bali. Madya (minuman keras) merupakan salah satu
minuman yang lumrah di kalangan masyarakat Bali. Dalam sebuah upacara
keagamaan pun, tidak pernah terlepas dari unsur minuman keras yang dikenal
dengan sebutan petabuh. Demikian juga halnya dengan Mamsa (makan daging),
Madsya (makan ikan). Sebagian besar orang Hindu di Bali hingga kini mengenal
ada nya lawar yaitu olah-olahan daging yang menggunakan unsur darah mentah
hewan maupun daging mentah, dan hal ini juga dipersembahkan untuk para Dewa
ketika hari-hari raya tertentu. Ambil saja salah satu contoh, ketika perayaan
Galungan. Sehari sebelum Galungan diberi nama hari Penampahan Galungan.
Penampahan berasal dari kata tampah yang artinya sembelih. Umat Hindu di Bali
memang secara sengaja menyembelih hewan yang umumnya adalah babi untuk
dijadikan olah-olahan makanan yang salah satunya adalah lawar. Setelah mereka
selesai membuat lawar, mereka akan mempersembahkan sebagian olah-olahan
daging itu ke hadapan para Dewa dan setelah itulah baru ia dan keluarganya
bersama-sama memakan makanan itu. Disini ada sebuah kepercayaan bahwa
mempersembahkan daging mentah sekalipun itu adalah dibenarkan.
Dalam kaitannya dengan upacara Bhuta Yadnya yang nantinya akan
berhubungan langsung dengan Kidung Jerum Kundangdya ini, unsur-unsur seperti
lima ma ini hampir seluruhnya digunakan dalam ritual upacara bhuta yadnya.
Melalui ritual-ritual itulah dunia diharapkan mampu mencapai keharmonisan.
Jadi, ajaran-ajaran Tantra Bhairawa memang hingga kini masih diyakini dan
diterapkan dalam ajaran Hindu di Bali, dan itu juga tersirat dalam Kidung Jerum
Kundangdya. Unsur-unsur Lima Ma itu yang diyakini mampu menciptakan
kebahagiaan yang tentunya merupakan awal dari keharmonisan alam. Tentunya
tetap dalam catatan semuanya tidak dilakukan secara berlebihan. Seperti halnya
agama, ajaran Tantra tentu akan selalu mengajarkan kebaikan hanya saja
semuanya kembali pada individu yang menafsirkan ajaran tersebut. Ada yang
mengarah pada ajaran positif dan ada yang menafsirkan negatif.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Setelah dilakukan analisis dengan seksama seperti yang telah diuraikan
pada bab sebelumnya, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
Bentuk wacana harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya
berawal dari dunia yang terdiri dari dua yaitu Bhuwana Agung yang sering juga
disebut makrokosmos dan ada Bhuwana Alit yaitu mikrokosmos. Bhuwana Agung
adalah alam semesta ini sedangkan Bhuwana Alit adalah isinya. Ada alam tentu
ada isinya, ada atas tentu ada bawah demikianlah segala sesuatunya adalah
rwabhineda atau dua hal yang berbeda. Dalam Kidung Jerum Kundangdya
muncul tokoh Jerum dan muncul pula Kundangdya. Diantara Jerum dan
Kundangdya ada keseimbangan sehingga mampu menjadi harmonis, demikian
pula antara alam semesta dan isinya untuk dapat menjadi harmonis harus ada
keseimbangan.
Fungsi wacana harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya bagi
masyarakat Bali adalah penyeimbang alam semesta, berawal dari bahasan cinta
yang akhirnya menciptakan keharmonisan. Melalui cerita antara tokoh-tokoh
dalam kidung Jerum Kundangdya sudah tampak mengenai pentingnya
harmonisasi alam yang akhirnya lebih terlihat nyata dalam penerimaan
masyarakat terhadap Kidung Jerum Kundangdya sebagai kidung pengiring dalam
upacara Bhuta Yadnya yang merupakan salah satu upacara yang dipercaya oleh
masyarakat Bali dapat menciptakan keharmonisan.
Makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya yaitu adanya
harmonisasi dalam ajaran Hindu, harmonisasi ajaran Budha, harmonisasi yang
muncul lewat ajaran Siwa-Budha, dan pencerahan Siwa-Budha Tantra.
7.2. Saran
Analisis terhadap Kidung Jerum Kundangdya dari sudut kaitannya dengan
harmonisasi alam merupakan sebuah penelitian awal yang tentunya masih jauh
dari sempurna. Diharapkan adanya penelitian lanjutan karena masih banyak aspek
yang belum dikaji dan perlu mendapat perhatian penuh, seperti halnya kajian-
kajian lainnya yang ada dalam Kidung Jerum Kundangdya ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agastya, IB.G, dkk. Eksistensi Sadhaka dalam Agama Hindu. Denpasar: PT.
Pustaka Manikgeni.
Ali, H.A. Mukti. 1988. Agama-agama dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press.
Ambara, I Gusti Ngurah Putu. 1989. Kidung Jerum Kundangdya Analisis Struktur
dan Fungsi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Anandamurti, Shrii Shrii. 2008. Tantra Jalan Pembebasan Volume 1. Denpasar:
Penerbit Ananda Marga Indonesia
Antono, Billy. 2008. Kahlil Gibran. Romantic Voices. Yogyakarta: Mejor Books.
Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar. Jakarta: PT. Golden
Trayon Press.
Armando, Ade, dkk. 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian
Antropologi Indonesia.
Arwati, Ni Made Sri. 2003. Hari Raya Tumpek. Denpasar: PT. Usada Sastra.
Atmaja, Jiwa. 1982. Priangan Si Jelita Sebuah Telaah. Bandung: Penerbit
Angkasa.
Bandem, I Made. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar:
Akademi Seni Tari Indonesia.
Darmita, Ida Pandita Mpu Siwa-Buddha Dhaksa. 2011. Filsafat Rsigana
Penciptaan Dunia-Alam Semesta. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Eaton, Marcia Muelder. 2009. Persoalan-persoalan Dasar Estetika. Jakarta:
Salemba Humanika.
Effendi, Irmansyah. 2001. Kundalini Teknik Efektif untuk Membangkitkan,
Membersihkan, dan Memurnikan Kekuatan Luar Biasa dalam Diri Anda.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Esten, Prof.Dr.Mursal. 1992. Memahami Puisi. Bandung: Penerbit Angkasa.
Faruk. 2010. Pengiring Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai
Post-modernise. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Jendra, Wayan. 1998. Cara Mencapai Moksha di Zaman Kali. Denpasar: Yayasan
Dharma Naradha.
Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Kutha-Ratna. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kutha-Ratna. 2006. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maswinara, I Wayan. 1999. Dewa-Dewi Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.
Munoz, Paul Michel. 2009. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan
Semenanjung Malaysia; Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia
Tenggara (Jaman Prasejarah—Abad XVI).Yogyakarta: Mitra Abadi.
Nala, Gusti Ngurah dan IGK Adia Wiratmadja. 2012. Murddha Agama Hindu.
Denpasar: Upada Sastra.
Nantra, I Ketut dan I Made Atmaja. 2008. Nawa Sangga Tirthayatra Menyerap
Prana Suci Kahyangan. Surabaya: Penerbit Paramita.
Panuti-Sudjiman dan Aart van Zoest (ed). 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Penyusun. 1985/1986. Kidung Jerum Kundangdya. Bali: Percetakan Naskah
Sastra Bali
Plato. 1986. Simposium Dialog Sokrates Tentang Hakekat Cinta. Bandung:
Penerbit Sinar Baru.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan
Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Punyatmaja, IB. 1992. Panca Çradha. Jakarta: Penerbit Yayasan Dharma Sarathi.
Pusat Bahasa. 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka.
Putra, Ida Bagus Rai, dkk. 2013. Swastikarana Pedoman Ajaran Hindu Dharma
Parisada Hindu Dharma Indonesia. PT. Mabhakti.
Putra. - .Cudamani III kumpulan kuliah kuliah agama Hindu Bhakti Marga Cinta
Kasih dan Penyerahan Diri Kepada Tuhan. - .
R. Soekmono. 1985. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 2.
Yogyakarta: Kanisius.
Ra, Anadas. 2008. Evolusi melalui Reinkarnasi dan Karma dari Tuhan kembali
kepada Tuhan. Surabaya: Penerbit Paramita.
Riffatere, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana
University Press.
S. Wojowasito. 1952. Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Jilid II. Jakarta: Siliwangi.
Santosa, Puji. 1990. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung:
Penerbit Angkasa.
Shipley, Joseph T. 1957. Dictionary of World Origins. Ames, Lowa: Littlefield,
Adams & Co.
Singh, Dharam Vir. 2007. Hinduisme Sebuah Pengantar. Surabaya: Penerbit
Paramita.
Slametmuljana. 1956. Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra. Bandung-Jakarta:
N.V.Ganaco.
Soedarsono, R.M. 1997. Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di
Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suamba, I.B.Putu. 2003. Dasar-Dasar Filsafat India. Denpasar: PT. Mahabhakti.
Suamba, I.B.Putu. 2013. Pemikiran-Pemikiran Siwa-Buddha I Gusti Bagus
Sugriwa. Badung: Makalah dalam Rembug Sastra Memperingati 36 Tahun
Wafatnya I Gusti Bagus Sugriwa.
Suarjana, I Nyoman Putra. 2011. Sor-Singgih Basa Bali Ke-Bali-an Manusia Bali
dalam Dharma Papadikan, Pidarta, Sambrama Wacana dan Dharma
Wacana. Denpasar: Tohpati Grafika Utama.
Suarka, I Nyoman, dkk . 2005. Kajian Naskah Lontar Siwagama 2. Denpasar:
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.
Suastika, I Made. 1997. Calonarang dalam Tradisi Bali. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sudarsana, I.B.Putu. 2001. Ajaran Agama Hindu Makna Upacara Bhuta Yajnya.
Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sukayana, I Nengah dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Balai Bahasa
Denpasar Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sukesi-Adiwimarta, Sri. 1999. "Kidung Sunda (Sastra Daerah Jawa)", Antologi
Sastra Daerah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sukidin, dkk. 2003. Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Penerbit Insan Cendekia.
Sumardjo, Trisno. 2000. “Seni sebagai Tanggung Djawab” dalam Sejarah Sastra
Indonesia Abad XX, hal. 467 (Penyusun E. Ulrich Kratz). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Surasmi, I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar: CV. Bali Media
Adhikarsa.
Suwija, I Nyoman. 2012. Widia Sari. Denpasar: Sri Rama.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengiring Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya-Girimukti Pasaka.
Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengiring Teori Sastra. Jakarta: PT
Dunia Pustaka Jaya.
Tim Penyusun Buku-buku Agama Hindu. 1992. Arti dan Fungsi Sarana Upakara.
Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
Tim Penyusun. 1999. Śiwatattwa. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar:
Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali.
Tim Redaksi. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.
Titib, I Made. 2004. Purāna Sumber Ajaran Hindu Komprehensip. Surabaya:
Penerbit Paramita.
Udayana, I Dewa Gede Alit. 2008. Tumpek Kandang Kearifan Lokal Bali untuk
Pelestarian dan Pengembangan Sumber Daya Ternak. Denpasar: Pustaka
Bali Post.
Watra, I Wayan. 2006. Filsafat Manusia dalam Perspektif Hindu. Surabaya:
Penerbit Paramita.
Wiana, I K. 2004. Mengapa Bali disebut Bali? Cet. I. Surabaya: Paramita.
Wiana, I K. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita.
Wicaksana, I Dewa Ketut dan Ni Komang Sekar Marheni. 2004. Buku Ajar
Tembang Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan Nasional Sekolah
Tinggi Seni Indonesia.
Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya. 2004. Makna Filosofis Upacara dan
Upakara. Surabaya: Penerbit Paramita.
Yudiantara, Kadek. 2001. Bayu Agung Rahasia Kekuatan Dasa Bayu dan Energi
Bhuvana Agung. Surabaya: Penerbit Paramita.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.
Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jilid I dan
II. Penerjemah Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.