HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI
Transcript of HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI
i
HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Disusun oleh:
Faisal Fath Junaidi
NIM: 1113033100007
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
LEⅣIBAR PERSETIIIJIIAN PERIBIPIBING SICRIPSI
ⅡARD10NISASI AGARIA DAN FILSAFAT PIENURUT AL… FARABI
: Skripsi
D珂遣 an Unttk Memenuhi Pcrsy肛 ¨an Mehebleh
Gelar SttanaAgama(S.Ag.)
C)leh:
Faisal Fath」 unaidi
blIM.1113033100007
PROGRAM STUDI AQDAⅡ DAN FILSAFAT ISLAIⅦ
FAICULTAS USⅡULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITASISLAM NEGERI(IIN)
SYARIF tt■DAYATULLAⅡ
JAKARTA
2019
Iqbal Hasanuddin,M.H面.
l:
LE酵IBAR PERNYATAAN
■rang bcttallda tangan di ba、
~′ah ini:
Nalna
NIPI
Fahttt鶴
Jurusal1/Prodi
Faisal Fath J斑 laidi
ll13033100007
Ushuluddin
Aqidah dan Filsafat lsl〔 渡逸
Dengtlll ini saya menyatakan bahwal
l.SkHpsi bttudul ``Harlllonisasi Agama dan nisattt Menuュ ・lnt Aま―
Farabiマ adttall hasil karya asli sap yang di巧 波an unttk ttmenuhi salah
satu persy額試閣 memperoleh gel雛 strata l(Sl)UN S1/aFif Hidaya簸 1lah
」乏滋atta.
2. Scmua yallg saya gunakalll dalalm penulisan illi teiah saya can氣 館nkan
sesuai dengan ketcnttlan yapg bcFlakll di lJコ ヽSfttif[Iidayatulah」 akana.
3. Jika di kellludialt han terbじ kti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau mcr彎よan hasil jiplttan kava orang iain.Mよ a,sayct bettedia
inenerima sal■ ksi yang bcrlaku di UI卜 I Syarif ttlidayatullah Jakarta.
Faisal Fath Junaidi
NIM 1113033100007
Ciput滅、02卜lei 2019
PENGESAIIAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut AI-x'arabi" telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas ushuluddin danFilsafat Islam, UIN syarif Hidayatullah Jakarta, pada Kamis, 16 Mei 2019.Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SarjanaAgama (S.Ag.) pada program Aqidah dan Falsafat Islam.
.t
Jakarta,2 Mei2019
Sidang MunaqasyahKetua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drao Tien Rohmatin,PIA.
■lIP。 196808031994032002
Dr,Edwin S 氏 M.Ag.blIP.19670918 199703 1001
Dr.Abdul Hakim Wahid,PIA.
NIP。 197804242015031001
Penguji II,
Kusen,P.hdNIDN。 21220112687
Anggota,
、・
“
ba‐
ヽ
q
Pengu」 iI,
ごヅρ弄劣多ィ
v
ABSTRAK
Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut al-Farabi
Oleh : Faisal Fath Junaidi
Penelitian ini menjelaskan pemikiran al-Farabi tentang agama dan filsafat
yang tertuang dalam dua karya tulisnya: Fusuull Muntazaa dan Fusuul Al-Madani
yang diterjemahkan ke dalam versi bahasa Inggris oleh Charles E. Butterworth
dengan judul "Al-Farabi: The Political Writings Selected Aphorism and Other
Texts". Selain itu, untuk memperoleh lebih banyak sumber data, peneliti
menggunakan buku Majid Fakhry yang berjudul “Great Islamic Thinkers: Al-
Farabi – Founder of Islamic Neoplatonic: His Life, Work, and Influence”. Tujuan
dari penelitian ini untuk menjelaskan pemikiran Al-Farabi tentang agama dan
filsafat serta mengetahui bagaimana upaya al-Farabi dalam mengharmonisasikan
agama dan filsafat. Adapun, penelitian ini menggunakan metode kepustakaan
dengan merujuk kepada sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa pandangan dan gagasan al-
Farabi dipengaruhi oleh dua sumber yaitu sumber Islam – al-Quran, dan filsafat
Yunani. Dari filsuf Islam, al-Farabi dipengaruhi oleh dua filsuf sebelumnya: Al-
Kindi dan Zakariya al-Razi. Sementara filsafat Yunani, al-Farabi terpengaruh oleh
corak pemikiran Aristotele dan Plato. Hasil utama dari penelitian ini menunjukan
bahwa adanya harmonisasi antara agama dan filsafat. Al-Farabi menegaskan
bahwa filsafat dan agama keduanya saling berhubungan dan konsisten. Filsafat
Yunani dan Islam memiliki kesamaan terhadap pertanyaan tentang kebenaran /
Haqq. Islam menganggap Tuhan sebagai Kebenaran, sementara filsafat Yunani
bermaksud untuk menemukan kebenaran-keberadaan. Dengan kata lain, Islam
membimbing mereka melalui ajaran Al-Qur'an menuju kebenaran - Allah, dan
filsafat Yunani menuntun mereka melalui pemikiran dan penalaran menuju
kebenaran - esensi. Dengan demikian antara keduanya tidaklah bertentangan
namun menuju tujuan yang sama.
Kata Kunci: Al-Farabi, Agama, Filsafat, Filsuf, Filsafat Islam, Filsafat Yunani
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya kepada Allah swt dan sholawat serta salam kepada
Rasulullah saw. skripsi ini telah saya tuntaskan sebagai amanat akhir saya untuk
menyempurnakan pencapaian gelar strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Selanjutnya kata pengantar ini sebenarnya lebih kepada ucapan terima
kasih kepada pihak-pihak yang mendorong tuntasnya skripsi ini baik secara
khusus dan secara umum.
Secara khusus saya akan menyampaikan terima kasih kepada orang tua
saya, sponsor utama saya menempuh pendidikan merantau dari Samarinda menuju
ke Ciputat, terutama keridhoannya sehingga saya selalu dalam jaminan Allah swt
dan tentu saja karena diperbolehkan kuliah di UIN Jakarta. Selanjutnya kepada
kakak-kakak saya yang menjadi investor saya selama di Ciputat, tanpanya saya
tidak akan bisa bertahan hidup disini. Lalu kepada Anisa Zakia, rekan saya yang
berkontribusi sangat besar atas terwujudnya skripsi ini, tanpanya skripsi ini akan
selesai jauh lebih lama dari seharusnya.
Serta sahabat karib saya di Ciputat yang sudah sarjana lebih awal, Robi,
Jaenal, Kolik dan Husna. Lalu teman seangkatan saya yang lain yang tidak begitu
akrab, karena mereka inilah sepertinya saya juga berhasil menyegerakan
penyelesaian skripsi ini. Kemudian ucapan terima kasih secara umum turut saya
sertakan, antara lain kepada:
1. Iqbal Hasanuddin, M.Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah bersedia
meluangkan waktunya, dengan sabar membimbing penulis, terima kasih atas
semua kritik dan saran yang membangun sehingga penulis mampu
うD
menyelesaikan skripsi ini. Tanpa pak Iqbal skripsi ini tidak mungkin bisa
tuntas dalam waktu yang sangat cepat dan tepat.
Dra. Tien Rohmatin, MA, selaku Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat
Islam dan Dr. Abdul Hakim wahid, MA, selaku sekertaris Program Studi
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
syarif Hidayatullah Jakarta. sekali lagi terima kasih yang sebesar-besamya
karena telah mengupayakan yang terbaik dalam melancarkan penuntasan studi
saya Ibu Tien dan pak Hakim.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen, khususnya Program Studi Aqidah dan Filsafat
Islam, Staff Perpustakaan Fakultas ushuluddin, beserta civitas Akademik,
yang telah setia melayani penulis dalam segala keperluan untuk menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
Dan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang sudah berkontribusi dalam
penyelesaian skripsi saya sampai akhir yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu.
Faisal Fath Junaidi
NIM.1113033100007
4.
Penulis,
V‖
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ............................ ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ...................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................. iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
PEDOMAN TRANSLITASI ........................................................................ xi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 6
F. Metode Penelitian ................................................................................ 9
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 11
BAB II RIWAYAT HIDUP AL-FARABI
A. Biografi Al-Farabi ................................................................................ 13
B. Pendidikan dan Karir Al-Farabi ........................................................... 14
C. Pemikiran Al-Farabi ............................................................................. 18
1. Teori-teori Al-Farabi ...................................................................... 20
ix
a. Teori Emanasi .......................................................................... 20
b. Teori Metafisika ....................................................................... 20
c. Teori Kenabian ......................................................................... 21
d. Teori Politik ............................................................................. 22
D. Karya-karya Al-Farabi ......................................................................... 25
BAB III AGAMA DAN FILSAFAT (TOKOH-TOKOH YANG
MEMPENGARUHI PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG
PEMBAHASAN AGAMA DAN FILSAFAT
A. Pengertian Agama ................................................................................ 29
B. Pengertian Filsafat ................................................................................ 32
1. Filsafat Yunani ............................................................................... 32
a. Filsafat Pra Sokratik ................................................................. 34
b. Filsafat Sokratik ....................................................................... 35
2. Filsafat Islam .................................................................................. 36
a. Aliran Mashasha‟iyah (Paripetik) ............................................ 36
b. Aliran Hikmah Isyraqiyah (Iluminasi) ..................................... 38
c. Aliran Hikmah Muta‟aliyah ..................................................... 40
C. Relasi Agama dan Filsafat Menurut Al-Kindi ..................................... 43
D. Relasi Agama dan Filsafat Menurut Zakariya Al-Razi ........................ 50
x
BAB IV HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-
FARABI
A. Konsep Agama Menurut Al-Farabi ..................................................... 61
1. Agama Utama................................................................................. 63
a. Pemimpin Bajik ........................................................................ 65
b. Kebahagiaan Sejati ................................................................... 67
B. Konsep Filsafat Menurut Al-Farabi .................................................... 71
1. Metode Nalar Al-Farabi ................................................................. 72
C. Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut Al-Farabi ......................... 78
1. Konsep Kebenaran Haqq ............................................................... 78
2. Konsep Filsuf dan Imam ................................................................ 82
3. Konsep Agama dan Negara ............................................................ 85
BAB V PENUTUPAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 92
B. Saran .................................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 94
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
t ṭ ط a a ا
z ẓ ظ b b ب
„ „ ع t t ت
gh Gh غ ts th ث
f F ف j J ج
ḥ ح ḥ q Q ق
k K ك kh kh خ
l l ل D d د
m M م Dz dh ذ
n N ن R r ر
w W و Z z ز
h H ه S s س
„ „ ء Sy sh ش
ṣ ص ṣ y Y ي
ḍ ض ḍ h Y ة
VOKAL PANJANG
Arab Indonesia Inggris
ā ā آ
Ī Ī إى
Ū Ū أوْ
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama didefinisikan secara terminologis sebagai satu sistem kepercayaan
dan prilaku praktis yang didasarkan atas penafsiran dan tanggapan orang atas
sesuatu yang sakral dan supernatural. Agama secara fungsional, menurut
Komaruddin Hidayat, dkk, dapat dirumuskan sebagai: sistem kepercayaan, sistem
ibadah, dan sistem kemasyarakatan. Sementara bagi Mohammad Iqbal, dalam
melihat kehidupan keagamaaan manusia, kita bisa memilahnya ke dalam tiga
dimensi: keimanan (faith), pemikiran (thought), dan petualangan diri (discovery).1
Sebagai sistem kepercayaan, agama akan memberikan pegangan yang
lebih kokoh tentang satu masa depan yang pasti bagi manusia. Sebab, ketika
agama ini diyakini kebenarannya dan dihayati secara mendalam maka akan
menjadikan manusia sebagai individu yang memiliki ketakwaan, yang akan
menjadi motivator dan pengendali setiap aktivitasnya sehingga tidak akan
terjerumus kepada perbuatan hina dan merusak. Sementara sebagai sistem ibadah,
agama akan memberikan pedoman kepada manusia tentang cara berkomunikasi
dengan Tuhan sesuai cara yang dikehendaki oleh Tuhan itu sendiri, bukan
menurut persepsi manusia yang beribadah.
Di sisi lain, filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata:
philo dan sophia. Philo berarti cinta, sedangkan dalam arti luas yakni keinginan
dan sophia berarti hikmat (kebijaksanaan) atau kebenaran. Jadi secara etimologi,
1Syarif Hidayatullah, “Relasi Filsafat dan Agama: Perspektif Islam,” Jurnal Filsafat, vol.
40 no. 2 (Agustus, 2006): h. 133.
2
filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Sedangkan
secara terminologi, terdapat beberapa pengertian filsafat yang sangat beragam,
baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang
ada, sebab, asal, dan hukumnya.2
Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara
berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal,
sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, filsafat banyak kaitan
dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat
membahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu
itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya
karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang yang
cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, padahal filsafat
dan agama mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak
bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Gagasan tentang kemungkinan mernpertemukan antara agama dan filsafat
merupakan salah satu wacana yang pernah muncul daIam studi kefilsafatan.3 Hal
itu terjadi setelah banyaknya buku-buku Yunani yang diterjemahkan ke dalam
2Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 6.
3Abdul Mustaqim, “Corak Tafsir FalsafiI Ibnu Rusyd-Kajian atas Gagasan Titik Temu
Agama dengan Filsafat dan Konsep Mctafisika,” Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, vol. 6 no. 2
(Juli-Desember, 2O07): h. 309.
3
bahasa Arab. buku-buku Yunani, pertama kali, dikenalkan oleh al-Kindi (806-
875). Dalam Kata Pengantar untuk buku „Filsafat Utama‟ (al-Falsafah al-Ûla),
yang dipersembahkan pada khalifah al-Mu`tashim (833-842 M), al-Kindi menulis
tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada
orang-orang yang anti filsafat. Meski demikian, karena begitu dominannya kaum
fukaha ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa
yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema.4
Menurut George N. Atiyeh (1923-2008 M), 24 seorang peneliti dari
Universitas America di Beirut, Libanon, penentangan kalangan salaf tersebut
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran di sebagian
kalangan ulama fiqh bahwa ilmu-ilmu filsafat akan menyebabkan berkurangnya
rasa hormat umat Islam terhadap ajaran agamanya. Kedua, adanya kenyataan
bahwa mayoritas dari mereka yang menerjemahkan filsafat Yunani atau
mempelajarinya adalah orang-orang non-Muslim, penganut Machianisme, orang-
orang Sabia, dan sarjana muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang
itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan
perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat
Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya, maupun paham-paham lain
yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-
pikiran filsafat.5
4Ahmad Khudori Soleh, “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam,” Jurnal
Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, vol. 10, no. 1 (Malang, 2014): h. 71.
5Ahmad Khudori Soleh, “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam,” Jurnal
Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, vol. 10, no. 1 (Malang, 2014): h. 72-73.
4
Usaha penentangan kaum salaf yang dipelopori Ibnu Hanbal (780-855 M)
terhadap ilmu-ilmu filsafat di atas mencapai puncak dan keberhasilannya pada
masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan
kebijakannya yang mendukung kaum salaf menyebabkan kajian dan pemikiran
filsafat mengalami hambatan. Lebih dari itu, kalangan salaf yang saat itu dekat
dengan khalifah dan “berkuasa” melakukan revolusi: orangorang Muktazilah dan
ahli filsafat yang tidak sepaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi
(801-878 M) yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya
sebagai guru istana karena tidak sepaham dengan sang khalifah yang salaf.6
Meski demikian, hambatan tersebut sesungguhnya hanya terjadi di lingkar
pusat kekuasaan, di Baghdad. Di luar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom,
khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan,
sehingga melahirkan seorang filsuf besar, yakni Abu Nasr al-Farabi (870-950).
Al-Farabi, tokoh yang mempunyai pengaruh besar pada pemikiran sesudahnya ini,
baik dalam Islam sendiri maupun di Barat-Eropa, tidak hanya mengembangkan
pemikiran-pemikiran metafisika Islam melainkan juga memberikan landasan bagi
pengembangan keilmuan pada umumnya. Dalam bidang metafisika, antara lain, ia
mengembangkan teori emanasi yang menggabungkan antara teori Neo-platonis
dengan tauhid Islam untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan Yang Maha Gaib
dengan realitas yang empirik, Tuhan Yang Maha Esa dengan realitas yang plural
dan seterusnya; mempertemukan antara konsep idealisme Plato (427-348 SM)
6Ahmad Khudori Soleh, “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam,” Jurnal
Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, vol. 10, no. 1 (Malang, 2014): h. 74.
5
dengan empirisme Aristoteles (384- 322 SM), dan mempertemukan antara agama
dan filsafat.
Berdasarkan penjabaran yang telah dijelaskan di atas, untuk itu penulis
tertarik mengkaji tentang bagaimana harmonisasi agama dan filsafat menurut Al-
Farabi. Oleh karena itu, dalam konteks inilah latar belakang dilakukannya
penulisan skripsi yang berjudul "Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut Al-
Farabi".
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis hanya memfokuskan batasan kepada
pandangan al-Farabi terhadap agama, filsafat dan harmonisasi antara
keduanya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, diperoleh rumusan masalah
yaitu:
Bagaimana harmonisasi antara agama dan filsafat menurut al-Farabi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil dari perumusan masalah
di atas sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud agama menurut al-Farabi
b. Untuk mengetahui apa yang dimaksud filsafat menurut al-Farabi
c. Untuk mengetahui bagaimana harmonisasi agama dan filsafat menurut
al-Farabi
6
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dalam bidang akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya
khazanah keilmuan, khususnya dalam memahami agama & filsafat serta
harmonisasi antara keduanya menurut perspektif Al-Farabi.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas
beragama dan berfilsafat dengan mengetahui keterkaitan antara keduanya.
E. Tinjauan Pustaka
Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai pemikiran al-Farabi,
khusunya kajian tentang konsep negara utama, etika politik, ataupun konsep
pendidikan al-Farabi. Sementara itu, penelitian yang berkaitan tentang
harmonisasi agama dan filsafat menurut al-Farabi terbilang sedikit. Pembahasan
yang berkaitan dengan hal itu lebih banyak penulis temukan di berbagai buku
yang mengulas tentang pemikiran al-Farabi secara keseluruhan meskipun dalam
kenyataannya pembahasan agama juga tidak dikaji secara komprehensif.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan sumber yang akurat mengenai
pembahasan agama dan filsafat menurut al-Farabi, peneliti merujuk kepada
sebuah buku utama al-Farabi yang diterjemahkan oleh Muhsin Mahdi dengan
judul Al-Farabi on Philoshopy and Religion, dan Alfarabi – The Political
Writings: Selected APHORISM and Other Text, yang diterjemahkan oleh Charles
E. Butterworth (2001). Meskipun demikian, penulis tetap merujuk kepada
penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan al-Farabi walaupun topik
7
yang dibahas tidak sama persis tentang konsep agama dan filsafat dalam persfektif
al-Farabi. Peneltian-peneltian itu diantaranya:
Pertama, penelitian berupa jurnal yang ditulis oleh Mahmood N.
Khoshnaw (2014) yang berjudul: Alfarabi‟s Conversion of Plato‟s Republic.
Penelitian ini membahas tentang konsep negara menurut al-Farabi yang
dipengaruhi oleh pemikiran Plato. Meskipun demikian penelitian ini menunjukan
pendapat-pendapat al-Farabi sendiri yang berbeda dari Plato.
Kedua, jurnal yang berjudul: Islamic political philosophy: prophecy,
revelation, and the divine law yang ditulis oleh Ludmila Birsan, MA (2011).
Penelitian ini membahas masalah filsafat politik Islam dalam hal kenabian, wahyu
dan hukum ilahi yang menunjukan bahwa filsafat dan politik islam berhubungan
baik dengan agama. Ludmila Birsan dalam penelitiannya mengembangkan
hubungan-hubungan tersebut melalui teori-teori filsafat abad pertengahan Al-
Farabi yang menjelaskan apa perbedaan dan persamaan antara filsafat dan hukum
ilahi, atau antara seorang filsuf dan nabi, apa teori politik Al-Farabi yang paling
penting, dan apa konsep kota yang berbudi luhur dan kota demokratis, serta apa
filsafat al-Quran.
Ketiga, jurnal yang ditulis oleh Dr. Muhammad Raufi, Dr. Mushtaq
Ahmad, dan Dr. Zafar Iqbal (2013) dengan judul al-Farabi‟s Philosophy of
Education. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan ide dan pemikiran al-Farabi
tentang pendidikan melalui kerangka sistem filsafatnya. Dalam jurnal ini
dijelaskan bahwa pendidikan menurut al-Farabi adalah proses untuk menciptakan
masyarakat yang ideal dengan memelihara dan mempersiapkan individu menuju
8
pencapaian kesempurnaan dan kebebasan yang lebih luas. Baginya, pendidikan
adalah perolehan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk kehidupan yang
lebih bahagia. Al-Farabi mengatur strategi persuasif dan instruksional untuk
masyarakat awam, sementara untuk kalangan elit ia merekomendasikan metode
demonstrasi. Karakter suara, kompetensi intelektual dan keterampilan demonstrasi
adalah komponen dasar dari pengajaran yang efektif. Harus ada urutan dalam
belajar dimulai dengan bahasa, kemudian logika, tujuh bentuk matematika, ilmu
alam, ilmu manusia, yurisprudensi dan teologi akademis. Konsep evaluasi berarti
pengukuran hasil belajar. Instrumen yang berbeda dapat digunakan untuk menguji
pengetahuan dan kecerdasan. Kapasitas untuk berpikir deduktif dan berpikir kritis
memahami hubungan antara bagian-bagian informasi dan mencapai pemahaman
yang komprehensif.
Keempat, skripsi yang ditulis oleh Ahmad Fanshobi (2014) dengan judul:
Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Farabi. Skripsi ini fokus pada
pembahasan konsep kepemimpinan yang di tulis al-Farabi dalam buku Ara‟ Ahl
al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama). Hasil dari tulisan ini menunjukan bahwa
buku Negara Utama karya al-Farabi memuat konsep-konsep kepemimpian ideal.
Konsep al-Farabi tersebut dipengaruhi oleh doktrin agama dan juga pengaruh
filsafat Yunani.
Berdasarkan tinjauan kepustakaan di atas dapat disimpulkan bahwa
belum ditemukan kajian secara mendalam mengenai pendapat al-Farabi tentang
kedudukan agama dan filsafat.
9
F. Metode Penelitian
Metode adalah cara atau prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan
masalah penelitian.7 Adapun langkah-langkah yang akan peneliti lakukan adalah
sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan cara studi
dokumenter atau studi kepustakaan (library reserach). Studi kepustakaan yaitu
dengan cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan mempergunakan bahan-
bahan tertulis sebagai dokumen dan bentuk lainnya seperti buku-buku, koran,
majalah dan yang sejenis.8 Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri
dari data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah sumber utama yang digunakan penulis dalam
penelitian ini. Adapun sumber utama yang digunakan oleh penulis adalah:
pertama, buku karya al-Farabi yang diterjemahkan oleh Charlesh E. Butterworth
ke dalam bahasa Inggris dengan judul: Al-Farabi:The Political Writing - Selected
Aphorism and Other Texts. Kedua, tulisan al-Farabi yang diterjemahkan oleh
Muhsin Mahdi yaitu: Al-Farabi on Philosophy and Religion. Ketiga, buku yang
berjudul Medieval Islamic Philoshopical Writings yang disunting oleh
Muhammad Ali Khaidi. Selanjutnya, buku yang berjudul Great Islamic Thinkers
7Nawawi dan Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), h. 67.
8Nawawi dan Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), h. 69.
10
– Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His Lifes, Works, and Influence
yang ditulis oleh Majid Fakhry.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber tambahan yang digunakan oleh penulis
untuk mendukung dan menguatkan sumber utama. Sumber tambahan ini berupa
buku-buku, jurnal-jurnal, dan skripsi, diantaranya: Jurnal karya Hamid Andishan
yang berjudul Alfarabi‟s Tradition Vis-à-vis Philoshopical Pluralism. Kedua buku
yang berjudul Islamic Philoloshopy, Theology, and Misticism karya Majid Fakhry.
2. Analisis Data
Penilitian ini menggunakan metode analisis data secara filosofis, historis,
dan deskriptif. Metode filosofis berupa pemecahan masalah yang dilakukan secara
rasional, dengan melakukan perenungan sebagai proses berpikir yang mendalam,
mendasar (fundamental) dan terarah untuk sampai pada hakekatnya. Proses
berpikir filosofis itu mungkin mengikuti pola berpikir induktif, deduktif,
silogisme, fenomenologis, analisis sistematik dan lain-lain pola berpikir yang
memperhatikan hukum-hukum berpikir (logika).9 Metode historis berupa prosedur
pemecahan masalah penelitian dengan menggunakan data masa lalu, baik
peninggalan-peninggalan maupun rekaman keadaan yang berlangsung pada masa
lalu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber buku-
buku karya Alfarabi yang ditulis pada abad pertengahan. Metode deskriptif, dapat
diartikan sebagai prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan
memaparkan obyek yang diselidiki (seseorang, lembaga, masyarakat, pabrik, dan
9Nawawi dan Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), h. 66.
11
lain-lain) sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat
sekarang.10
Untuk ini, dalam penelitian ini, penulis akan memaparkan riwayat
hidup Alfarabi dan pengaruhnya dalam perkembangan filsafat serta menunjukan
berbagai macam karya-karyanya.
3. Teknik Penulisan
Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis merujuk kepada sistematika
penulisan dari Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 2013/2014 yang
dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013. Untuk metode
transliterasi, penulis mengikuti transliterasi yang digunakan oleh Jurnal Ilmu
Ushuluddin, terbitan HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima (V) bab. Bab satu (I) disebut
sebagai pendahuluan. Oleh karena itu, pada bab ini dijelaskan alasan yang
melatarbelakangi penulis untuk mengkaji pemikiran Alfarabi, khususnya tentang
Filsafat dan Agama. Selain itu, pada bab ini menunjukan tujuan serta manfaat
dalam mengkaji pemikiran Alfarabi.
Bab dua (II) yaitu penjelasan biografi al-farabi yang berisi: latar belakang
pendidikan, agama, dan filsafat, serta karya-karya al-Farabi.
Bab tiga (III) penjelasan tentang agama, filsafat menurut al-Razi dan
hamonisasi antara filsafat dan agama menurut al-Kindi.
10
Nawawi dan Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), h. 66.
12
Bab empat (IV) penjelasan tentang pemikiran al-Farabi tentang agama
dan filsafat serta harmonisasi antara keduanya.
Bab lima (V) Penutupan, yang terdiri atas kesimpulan dari kajian tentang
pemikiran al-Farabi, dan Saran-saran dari penulis untuk pembaca ataupun peneliti
selanjutnya.
13
BAB II
RIWAYAT HIDUP AL FARABI
A. Biografi Al-Farabi
Sedikit informasi tentang kehidupan Abu Nash al-Farabi. Kebanyakan
berasal dari para biographer Arab Abad Pertengahan yang tulisan-tulisannya dapat
dirunut ke belakang pada abad ke-4 H/ke-10 M sampai abad ke-7 H/ke-13 M.11
Ia
lahir di Wasy, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar), Tukistan pada
257 H, (870 M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya
berkebangsaan Turki.12
Selama hidupnya, al-Farabi selalu berpindah tempat dari waktu ke
waktu.13
Sejak kecil, al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar
biasa dalam bidang bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain ialah
bahasa Iran, Turkestan, Arab, dan Kurdistan.14
Kota Bukhara yang saat itu berada
dalam pemerintahan Nashr ibn Ahmad (260-279 H/874-892 M) dikenal sebagai
masa awal kebangkitan sastra dan budaya Persia dalam Islam. Di sini lah al-
11
Deborah L. Black, ”Al-Farabi” dalam Ensiklopedi Tematis Dalam Islam: Buku Pertama,
ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan,
2003), h. 221. 12
Agung Setiawan, “Konsep Pendidikan Menurut al-Ghazali dan al-Farabi: Studi
Komparasi Pemikiran”, Jurnal Universitas Islam Negri Yogyakarta, Vol. 13, No. 1, Edisi Januari
– Juni (Januari – Juni, 2016): h. 62-63. 13
M. M Syarif, “Para Filosof Muslim” terj. dari buku The Philosopher: History of Islam
Philosophy (Bandung: Mizan, 1994), h. 55-58. 14
Konon ia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa, dengan empat bahasa yang
paling dikuasai yakni Arab, Persia, Turki dan Kurdi. Sjadzali, M, Islam Dan Tata Negara, ( Jakarta
:UI-Press, 1993), h.49. Ibrahim Madkur menilai riwayat penguasaan 70 macam bahasa ini lebih
mirip dongeng dari pada kenyataan. Sebab jumlah bahasa yang berkembang kala itu, termasuk
bahasa ibu al-Farabi sendiri tidak sampai 70 macam. Sirojuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan
Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), h. 66-67.
14
Farabi mempelajari musik untuk pertama kalinya dan di kota ini pula ia pernah
menjadi hakim.15
Meskipun detail-detail pendidikan awalnya masih agak kabur, ia
diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad dari para sarjana Kristen, Yuhana
Ibn Haylan (w.910) dan Abu Bisyr Mata (w.940), salah seorang penerjemah
karya-karya Aristoteles kedalam bahasa arab. Karena madzhab Baghdad
merupakan ahli waris utama tradisi filsafat dan kedokteran Alexandria di dunia
arab, hubungan al-Farabi dengan para guru ini membentuk salah satu rantai paling
awal antara filsafat Yunani dan dunia Islam.16
B. Pendidikan dan Karir Al-Farabi
1. Pendidikan
Al-Farabi belajar ilmu-ilmu Islam di Bukhara. Setelah mendapatkan
pendidikan awal, al-Farabi kemudian pergi ke Marw. Di Marw inilah al-Farabi
belajar ilmu logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani yaitu
Yuhanna Ibn Hailan. Al-Farabi merupakan bintang terkemuka dikalangan filsuf
muslim, salah satunya yaitu ia unggul dalam ilmu logika, di samping itu dia juga
banyak memberikan sumbangsihkeilmuannya dalam penempatan sebuah bahasa
filsafat baru dalam bahasa Arab, meskipun menyadari perbedaan antara tata
bahasa Yunani dan Arab.17
15
Agung Setiawan, “Konsep Pendidikan Menurut al-Ghazali dan al-Farabi-Studi Komparasi
Pemikiran”, Jurnal Universitas Islam Negri Yogyakarta, Vol. 13, No. 1, edisi Januari – Juni,
(Yogyakarta, 2016): h. 63. 16
Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan
(Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 221. 17
Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,
2015): h, 63.
15
Pada kekhalifahan al-Muktafi (902 - 908 M) atau pada tahun-tahun
kekhalifahan al-Muqtadir (908-932 M) al-Farabi dan Hailan meninggalkan
Baghdad, semula menurut Ibn Khallikan menuju Harran. Dari Baghdad
tampaknya al-Farabi pergi ke Konstantinopel. Di Konstantinopel ini, menurut
suatu sumber dia tinggal selama delapan tahun mempelajari seluruh silabus
filsafat. Bahasa-bahasa yang dikuasai al-Farabi antara lain bahasa Iran, Turkistan
dan Kurdistan.
Menurut riwayat, al-Farabi menguasai 70 Bahasa yang berasal dari Ibn
Khallikan,18
setelah besar al-Farabi meninggalkan negerinya menuju Baghdad
untuk belajar antara lain pada Abu Bisyir bin Mattius. Ia memusatkan
perhatiannya pada ilmu logika, ia juga belajar ilmu nahwu pada Abu Bakar
Assaraj. Sesudah itu ia pindah ke Harran (salah satu pusat kebudayaan Yunani di
Asia kecil) untuk berguru pada Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama kembali di
Baghdad dan menetap selama tiga puluh tahun. Waktu ia gunakan untuk
mengarang, membrikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Pada tahun
330 H (941 M) ia pindah ke Damsyik. Disini ia mendapat kedudukan yang baik
dari Saifudaulah, kholifah dinasti Hamdan di Hallad. ia menetap dikota itu sampai
wafatnya pada tahun 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.
Menurut Massignon, al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang pertama
dengan sepenuh arti kata.19
Sebelumnya memang al-Kindi telah membuka pintu
18
Muhammad Aziz, Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-Farabi,
h. 64. 19
Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,
2015): h. 65.
16
filsafat Yunani bagi Islam tetapi dia tidak menciptakan sistem atau madzhab
tertentu, sedangkan al-Farabi telah menciptakan sistem filsafat yang lengkap
sehingga al-Farabi dapat memainkan peranan peranan penting dalam Islam.
Dalam pengembangan keilmuannya yang meluas, al-Farabi pernah menjadi guru
bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd serta para filosof lainnya. Sehingga wajar jika al-
Farabi mendapat gelar “guru kedua” sebagai kelanjutan dari Aristoteles sebagai
guru pertama.
2. Karier
Dalam memulai karir, al-Farabi hijrah dari negerinya ke kota Baghdad
yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan selama kurang lebih
20 tahun. Ibnu Suraj adalah yang mengajari al-Farabi tentang tata bahasa Arab
sedangkan Abu Bisyr Matta Ibn Yunus adalah orang yang mengajarinya ilmu
mantiq (logika).20
Dari Bagdad Al-Farabi mencoba pergi ke Harran sebagai salah
satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Setelah tidak lama berguru kepada
Yohana Ibn Hailan, al-Farabi kemudian meninggalkan kota ini dan antara tahun
910 – 920 M dia kembali lagi ke Baghdad untuk mengajar dan menulis.
Reputasinya yang baik dan ilmunya yang luas sehingga al-Farabi
mendapatkan sebutan sebagai “guru kedua” (Aristoteles mendapatkan sebutan
sebagai “guru pertama”). Pada zamannya al-Farabi dikenal sebagai ahli logika.
Menurut berita, al-Farabi juga “membaca” (barangkali mengajar) Physics-nya
Aristoteles empat puluh kali, dan Rethoric-nya Aristoteles dua ratus kali. Ibnu
Khallikan mencatat bahwa tertulis dalam satu Copy De Anima-nya Aristoteles
20
Muhammad Aziz, Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-Farabi,
h. 126.
17
yang berada ditangan al-Farabi, pernyataannya bahwa dia telah membaca buku ini
seratus kali.21
Murid-murid al-Farabi sendiri yang disebutkan namanya hanyalah teolog
sekaligus filosof Jacobite Yahya ibn „Adi (w. 975) dan saudara yahya yaitu
Ibrahim. Yahya sendiri menjadi guru logika terkemuka :” sebenarnya separo
jumlah ahli logika Arab pada abad kesepuluh adalah muridnya”.
Pada tahun 942 M situasi di ibu kota dengan cepat semakin buruk karena
adanya pemberontakan yang dipimpin seorang mantan kolektor pajak al-Baridi,
kelaparan dan wabah merajalela. Al-Farabi sendiri merasa akan lebih baik pergi
ke Suriah. Menurut Ibn Abi Usaibi‟ah dan Al-Qifti al-Farabi pergi ke Suria pada
tahun 942 M. Menurut Ibn Abi Usaibi‟ah di Damaskus al-Farabi bekerja di siang
hari sebagai tukang kebun dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat dengan
memakai lampu jaga. Al-Farabi terkenal sangat shaleh dan zuhud. Menurut Ibn
Abi Usaibi‟ah, al-Farabi membawa manuskripnya yang berjudul al-Madinah al-
Fadhilah/ manuskrip ini mulai ditulisnya di Baghdad ke Damaskus. Di Damaskus
inilah manuskrip tersebut diselesaikannya pada tahun 942 - 943 M.22
Sekitar masa inilah al-Farabi setidak-tidaknya melakukan suatu perjalanan
ke Mesir (Ibn Usaibi‟ ah menyebutkan tanggalnya yaitu 338 H, setahun sebelum
al-Farabi wafat) yang pada saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Ikhsyidiyyah ini
semula dibentuk oleh opsir-opsir tentara Farghanah di Asia tengah. Menurut Ibn
21
Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,
2015): h. 65. 22
Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,
2015): h. 66.
18
Khallikan di Mesir inilah al-Farabi menyelesaikan Siyasah al-Madaniyyah yang
dimulai ditulisnya di Baghdad.
Setelah meninggalkan Mesir al-Farabi bergabung dengan lingkungan
cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya yang berada disekitar pangeran
Hamdaniyyah yang bernama Saif al-Daulah. Menurut Ibn Abi Usaibi‟ ah
disinilah al-Farabi mendapatkan gaji kecil yaitu empat dirham perak sehari. al-
Farabi membuktikan pengetahuannya dalam berbagi bahasa (menurut Ibnu
Khallikan, al-Farabi mengaku mengetahui lebih dari tujuh puluh bahasa) maupun
bakat musiknya yang luar biasa. Meskipun kebenaran ini diragukan banyak
informasi mengenai dijumpainya jenis ilmu pengetahuan musik seperti ini di
negeri-negeri timur. 23
Al-Farabi wafat di Damaskus pada usia 950 M. Usianya pada saat itu
sekitar 80 tahun. Ada satu legenda di kemudia hari yang tidak terdapat dalam
sumber awal dan karena itu diragukan bahwa al-Farabi dibunuh oleh pembegal-
pembegal jalan setelah berani mempertahankan diri. Al-Qifti mengatakan bahwa
al-Farabi meninggal ketika perjalanan ke Damaskus bersama Saif al-Daulah.
Menurut informasi Saif al-Daulah dan beberapa anggota lainnya melakukan
upacara pemakaman.
C. Pemikiran al-Farabi
Membahas pemikiran al-Farabi berarti tak lepas dari inti pembahasan yang
berkaitan dengan filsafat sebagai obyek utamanya. Oleh karenanya, al-Farabi
23
Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,
2015): h. 67.
19
memiliki definisinya sendiri terkait filsafat. Definisi Filsafat menurut al-Farabi
yaitu al-Ilmu bil Maujudaat bima hiya al maujudaat yang berarti suatu ilmu yang
menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Al-Farabi berhasil
meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam dan juga berhasil
mengharmonisasikan filsafat Plato dan Aristoteles sehingga menyebabkan tidak
adanya pertentangan diantara keduanya karena menurut Al-Farabi meskipun
kelihatannya berlainan dalam hal pemikirannya, akan tetapi hakekatnya mereka
bersatu dalam tujuannya.24
Oleh karena itu sebagian besar orang mengatakan bahwa filsafat al-Farabi
adalah seolah-olah merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-
Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran syi‟ ah
Imamiyah. Selain itu alFarabi adalah seorang filosof sinkretisme (pemaduan) yang
percaya akan kesatuan filsafat.25
Ajaran filsafat sebelumnya seperti Plato dan
Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat telah berhasil direkonsiliasikan oleh
al-Farabi. Oleh karena itu, ia dikenal filosof senkretisme yang mempercayai
kesatuan filsafat.26
24
Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,
2015): h. 127. 25
Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,
2015): h. 67. 26
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2004), h. 68.
20
1. Teori-Teori Al-Farabi
a. Teori Emanasi
Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang didapat dari
Plotinus.27
Apabila terdapat zat, maka zat yang kedua setelah zatcadalah sinar
yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana
keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama
yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu
hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form (surat) sesuatu, di
mana sesuatu itu, keluar darinya.28
Oleh sebab itu, teori emanasi al-Farabi ini mencoba menjelaskan
bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Esa,
Maha Sempurna dan tidak ada apapun selain Ia. Jika hakihat Tuhan adalah
demikian, maka bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang
Maha Esa? Menurut Al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
b. Teori Metafisika
Al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan
pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud al-
Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran adanya
27
Filsafat Plotinus adalah filsafat yang murni dan orisinal dalam beberapa pemikirannya,
walaupun ia sendiri mengaku bahwa dirinya hanya memaparkan filsafat Plato yang asli.
Filsafatnya adalah rujukan yang sangat berharga, bukan saja dalam membaca karya Plato, bahkan
karya Aristoteles, karena menampilkan kajian dan kritik yang sangat teliti. Bahkan filsafatnya juga
merupakan jendela yang mengantarkan kepada filsafat Plato, Pythagoras dan Aristoteles yang
hidup seabad atau kurang dari sebelum dirinya, dalam Ismail Asy-Syarafa. Ensiklopedi Filsafat
(Jakarta: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005), h. 58-59. 28
Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,
2015): h. 160.
21
Tuhan, Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud.
Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak ada
alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada
dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah Wujud
yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud itu tidak
ada, akan timbul kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya bergantung
kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud tidak
akan berubah menjadi Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan
yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi Wajib al-Wujud. Walaupun demikian,
mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) karena rentetan sebab
akibat itu akan berakhir pada Wajib al-Wujud.29
c. Teori Kenabian
Pada teori ini memang erat kaitannya dengan ajaran agama terutama yang
ditekankan adalah agama Samawi (langit) yang berfokus pada penjelasan al-farabi
tentang Nabi atau Kenabian.
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi,
maka dari itu ”ciri khas seorang Nabi menurut Al-Farabi ialah mempunyai daya
imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa‟al dapat menerima
visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah
limpahan dari Allah melalui Akal Fa‟al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan
Al-Farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah
29
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 35-36.
22
melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga
sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.30
Pendapat Al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi
ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan
pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa
mempelajari Wahyu (al-Qur‟an) ia akan tersesat, karena antara keduanya sama-
sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa‟al (Jibril). Begitu pula
mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat
merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan
mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.
d. Teori Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia
juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan
dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan
para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka
para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu
disentuh dengan nilai-nilai politik semata. Al-Farabi sendiri justru salah seorang
filosof muslim yang cukup masyhur dalam karyannya yang berkaitan tentang
politik.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang
pertama, yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami‟ al-Hikmah), yang mana
jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu
30
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), h.
17.
23
anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka
tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat Negara
yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya,
hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan.
Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan spesialisasi
mereka. Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan Al-Farabi ini
adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam
tubuh manusia.
Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan Al-Farabi ini
adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam
tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber
peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki
akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi,
dan penyampai wahyu.31
Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan
kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang
kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan
masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas
yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). Kemudian
dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah
peringkatnya, kemudian di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi
31
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 51-52.
24
yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya
sampai golongan terendah.
Meskipun begitu, Al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam
satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat
khayalan semata. Perlu dipahami bahwa seorang filosof belum akan merasa puas
dalam membicarakan sesuatu sebelum sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala
dasar. Maka sama halnya dengan filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan
sekedar berfilsafat atau teori untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar
manusia hidup dalam satu pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia
hingga akhirat. Atas dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama
filsafat pemerintahan Al-Farabi adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.32
Al-Farabi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara
adalah Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai
pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau
tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan
kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang
dimiliki Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat
pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus
diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin
masyarakat.33
32
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.
84. 33
Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, h. 50 dalam Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:
Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 84.
25
D. Karya-karya
Dari daftar karya yang diberikan oleh para biographer abad pertengahan,
produk karya filsafat al-Farabi tampaknya banyak sekali, seratus lebih karya
dinisbahkan kepadanya. Jika daftar ini benar, berarti hanya sebagian kecil saja
karya-karya al-Farabi yang terselamatkan. Banyak diantara karya-karya ini yang
baru belakangan tersedia dalam edisi modernnya sehingga interpretasi atas tulisan
al-Farabi terus mengalami revisi. Sejauh ini, sebagian besar karya al-Farabi
dicurahkan pada logika, filsafat, dan bahasa. selain karya-karya logikanya, yang
meliputi pula risalah-risalah lepas maupun komentarnya atas Aristoteles, al-Farabi
juga menulis secara panjang lebartentang filsafat politik dan filsafat agama, yang
ia perlakukan sebagai cabang filsafat politik, serta tentang metafisiska, psikologi,
dan filsafat alam.34
Kemahiran Al-Farabi dalam logika dapat diukur dari jumlah dan
kelengkapan komentar-komentar dan parafrase dari logika Aristoteles. Dari
komentar-komentarnya yang lebih besar, cukup telah sampai pada kita untuk
menjustifikasi penghormatan tinggi di mana dia dipegang oleh orang-orang
sezamannya. Berikut ini dianggap sebagai karya logis utamanya: Komentar pada
Analytica Posteria, Komentar pada Analytica Priora, Komentar pada Isagoge, 10
Komentar tentang Topica (Buku II dan VIII), Komentar pada Sophistica,
Komentar pada De Interpretasie, Komentar pada De Categoriae, sebuah risalah
34
Deborah L. Black, ”Al-Farabi” dalam Ensiklopedi Tematis dalam Islam: Buku Pertama,
ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan,
2003), h. 222.
26
tentang Perumusan yang Diperlukan dan Eksistensial, dan risalah tentang
Proposisi dan Silogisme yang Digunakan di semua Ilmu.35
Sumbangan Al-Farabi dalam bidang fisika, metafisika, dan politik, serta
dalam logika, memberikannya hak untuk posisi yang tidak diragukan di antara
para filsuf Islam. Dia secara khusus dipuji oleh salah satu ahli historiografi yang
paling awal untuk eksposisinya yang mengagumkan tentang filsafat Plato dan
Aristoteles. Kedua karya ini, bersama dengan Enumeration of the Sciences-nya,
adalah pengantar umum yang paling komprehensif untuk Aristotelianisme dan
Platonisme dalam bahasa Arab, dan mereka jauh melampaui kualitas dan
kelengkapan karya paralel pada periode itu.36
Di antara pemikiran Al-Farabi dituliskan menjadi sebuah karya, namun
ciri khas karyanya Al-Farabi bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau
makalah-makalah, ia juga memberikan ulasan-ulasan serta penjelasan terhadap
karya Aristoteles, Iskandar al-Dfraudismy dan Plotinus. Di antara ulasan Al-
Farabi terhadap karyakarya mereka adalah sebagai berikut:
a. Ulasannya terhadap karya Aristoteles;
1. Burhan (dalil),
2. Ibarat (keterangan)
3. Khitobah (cara berpidato),
4. Al-Jadal (argumentasi/berdebat),
5. Qiyas (analogi),
6. Mantiq (logika)
35
Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: Third Edition (New York: Columbia
University, 2004), h. 114-115. 36
Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: Third Edition (New York: Columbia
University, 2004), h. 115.
27
b. Ulasannya terhadap karya Plotinus ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq”,
c. Ulasannya terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy tentang ”Maqalah Fin-nafsi”.
Karya-karya nyata dari Al-Farabi adalah :
1. Al-Jami‟u Baina Ra‟ya alHakimain Aflatoni al-Hahiy wa Aristhothails
(pertemuan atau penggabungan pandapat antara Plato dan Aristoteles);
2. Tahsilu al- Sa‟adah (mencari kebahagian);
3. Al-Suyasatu al-Madinah (politik pemerintahan);
4. Fususu alTaram (hakekat kebenaran);
5. Arroo‟u Ahli al-Madinah al-Fadilah (pemikiranpemikiran utama
pemerintahan);
6. Al-Syiyasah (ilmu politik);
7. Fi Ma‟ani al-Aqli;
8. Ihsho‟u al-Ulum (kumpulan berbagai ilmu);
9. Al-Tangibu ala alSa‟adah;
10. Isabetu al-Mufaraqaat.37
Upaya-upaya untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran al-Farabi,
maka kitab-kitabnya banyak diterjemahkan ke dalam bahas Latin, Inggris,
Almania, bahasa Arab dan Prancis. Adapun karya yang pertama al-Farabi yaitu
Isho‟u al-Ulum membahas tentang ilmu dan cabangnya. Sebagaimana didalamnya
memuat ilmu-ilmu bahasa, ilmu matematika, ilmu logika, ilmu ketuhanan ilmu
musik, ilmu astronomi, ilmu perkotaan, ilmu fiqh, ilmu fisika, ilmu mekanika dan
ilmu kalam. Ilmu tersebut yang mendapat perhatian besar oleh al-Farabi adalah
ilmu fiqh dan ilmu kalam. Sedangkan ilmu mantiq membahas delapan ilmu bagian
yaitu:
37
Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,
2015): h.127- 128.
28
1. Al Maqulaat al-Asyr (kategori);
2. Al-Ibarat (ibarat);
3. Al-Qiyas (analogi);
4. Al-Burhan (argumentasi);
5. Al-Mawadi al-Jadaliyah (topic
6. Al-Hikmatu Mumawahan (sofistika);
7. Al-Hithobah (ilmu pidato)
8. Al-Syi‟ir (puisi).38
38
Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,
2015): h. 128.
29
BAB III
AGAMA DAN FILSAFAT
Pada bab ini akan diuraikan tidak hanya definisi agama dan filsafat
secara umum, tapi juga menunjukan berbagai konsep agama dan filsafat menurut
2 filsuf besar Islam sebelum al-Farabi, yakni al-Kindi dan al-Razi. Pertama,
karena al-Kindi pernah berupaya untuk mengharmonisasikan agama dan filsafat,
maka penulis membahas cara-cara al-Kindi dalam menyelaraskan agama dan
filsafat serta bagaimana pengaruh pemikiran al-Kindi terhadap usaha al-Farabi
untuk menyelaraskan agama dan Filsafat. Kedua, berbeda dengan al-Kindi,
pemikiran al-Razi justru bertentangan dengan filsuf sebelumnya. Al-Razi tidak
mencoba menyelaraskan agama dan filsafat seperti halnya al-Kindi. Namun
demikian, pemikiran al-Razi melatarbelakangi pemikiran al-Farabi terutama
ketidaksetujuannya terhadap konsep kenabian al-Razi.
A. Pengertian Agama
Menurut Prof. Dr. A. Mukti Ali, sebagaimana dikutip Komaruddin
Hidayat, bahwa definisi agama sulit dirumuskan dan tidak dapat memberikan
gambaran utuh mengenai (suatu) agama, karena: pertama, pengalaman agama
(religious experience) itu sangat individual; kedua, orang akan membicarakannya
secara emosional; dan ketiga, konsepsi tentang agama sangat dipengaruhi oleh
tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu.39
Kata Religi dan agama ini dapat dipertukarkan dengan makna yang tetap
sama. Kata Religion (religi) diambil dari kata Latin Religare yang berarti “to bind
39
Amin Syukur, Pengantar Studi Islam (Semarang: Pustaka Nuun, 2010), h. 16.
30
together”. Religi adalah “seperangkat kepercayaan, praktik-praktik, dan bahasa
(istilah) yang mencirikhasi sebuah komunitas yang berusaha mencari makna
transendental dengan suatu cara tertentu yang diyakini benar”. Dengan demikian,
religi merupakan pengorganisasian dari pengalaman kolektif dari sekelompok
orang menjadi bentuk sistem kepercayaan dan praktik-praktik.40
Adapun, menurut Hassan Shadily dalam Ensiklopedi Indonesia I, istilah
agama berasal dari bahasa Sansakerta: a berarti tidak, gam berarti pergi atau
berjalan dan a yang bersifat atau keadaan.41
Cikal bakal kata agama ini kemudian
disimplifikasikan menjadi sifat atau keadaan tidak pergi, tetap, lestari, kekal, tidak
berubah. Maka, agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup
kekal.42
Agama didefinisikan secara terminologis sebagai satu sistem kepercayaan
dan prilaku praktis yang didasarkan atas penafsiran dan tanggapan orang atas
sesuatuyang sakral dan supernatural.43
Menurut Dr. Wilfred Cantwell Smith, kata
agama secara umum dapat diartikan dengan dua pengertian yang berbeda.
Pertama, agama diartikan sebagai persoalan pribadi yang dalam, sebagai tindakan
eksistensial tiap-tiap orang yang mempercayai sesuatu atau dengan kata lain
“iman”. Kedua, agama diartikan dalam pengertian yang umum, yakni sesuatu
yang dikenal oleh masyarakat, suatu persoalan yang komunal yang objektif
40
Taufiq Pasiak, Tuhan Dalam Otak Manusia: Mewujudkan Kesehatan Spiritual
Berdasarkan Neurosains (Bandung: Mizan Pustaka, 2012), h. 185. 41
Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia 1 (Jakarta: Ichtiar Baru, 1980), h. 105. 42
Agus M. Hardjana, Religiusitas: Agama & Spritualitas (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h.
50. 43
Ronald L Johnstone, Religion in Society: a Sociology of Religion (Prentice Hall: New
Jersey, 1992), h. 14.
31
meliputi semua kepercayaan dan praktik ritual yang dilakukan oleh semua
anggota masyarakat itu.44
Agama secara fungsional, menurut Komaruddin Hidayat dkk, dapat
dirumuskan sebagai: sistem kepercayaan, sistem ibadah, dan sistem
kemasyarakatan.45
Sementara bagi Mohammad Iqbal, dalam melihat kehidupan
keagamaaan manusia kita bisa memilahnya ke dalam tiga dimensi: keimanan
(faith), pemikiran (thought), dan petualangan diri (discovery).46
Muhammad Abdul
Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah
sistem hidup yang diterima dan diridai Allah ialah sistem yang hanya diciptakan
Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem
hidup itu mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah
dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk manusia.47
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat dikelompokkan menjadi
dua bentuk, yaitu agama yang menekankan kepada iman dan kepercayaan dan
yang ke dua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian
kombinasi antara keduanya akan menjadi definisi agama yang lebih memadai,
yaitu sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut,
atau cara hidup lahir dan batin.48
44
Toyoshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-
Qur‟an, Terj. Amiruddin (dkk) (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 252. 45
Komaruddin Hidayat dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat (Jakarta: Depag RI, 2001),
h. 103. 46
Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi:
Khitaab Bavan, 1981), h. 181. 47
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Indonesia:
Rineka Cipta, 2008), h. 8. 48
Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), h. 103.
32
B. Pengertian Filsafat
Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Philosophia, Philos
artinya suka, cinta, atau kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sophia artinya
kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat bisa diartikan cinta atau kecenderungan
pada kebijaksanaan.49
Filsafat, yang dalam bahasa Arab digunakan dua kata,
falsafah dan al-hikmah, secara terminologis diartikan sebagai satu cara berpikir
yang radikal dan menyeluruh, cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalamdalamnya.50
1. Filsafat Yunani
Kebudayaan Yunani klasik, hingga kini dipercaya sebagai nenek moyang
peradaban barat. Tradisi ini nantinya dilanjutkan oleh kebudayaan Romawi,
peradaban Islam, dan digali kembali pada zaman renaisans, dan diteruskan oleh
tradisi moderen yang berkembang hingga kini. Kultur Yunani klasik sendiri,
dipengaruhi oleh kebudayaan Minoa; Mykēnai; Mesir; dan berbagai peradaban
Mediterania lainnya.51
Tempat filsafat yunani adalah asia kecil, dan filsuf-filsuf pertama yunani
berasal dari Ionia. Yunani sendiri berada dalam situasi tidak tenang menyusul
invasi bangsa Doria pada abad 7 SM, tapi Ionia relative tenang dan mewarisi jiwa
peradaban lama. Invasi bangsa Doria ini menghancur leburkan kebudayaan Aegea
yang terkenal itu. Homerus penyair besar Yunani juga berasal dari Ionia. Jadi
49
Rizal Mustansyir & Misnul Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
2011), h. 2. 50
Syarif Hidayatullah, “Relasi Filsafat dan Agama: Perspektif Islam”, Jurnal Filsafat vol.
40 no. 2, (Agustus, 2006): h. 132 – 133.
51Sandy Hardian Susanto Herho, Pijar Filsafat Yunani Klasik: “Cetakan I” (Bandung:
Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan ITB, 2016), h. 2.
33
Ionia merupakan tempat lahir penyair terbesar Yunani dan kosmolog-kosmolog
pertama Yunani. Kalau puncak pemikiran terdapat di Ionia, dan kalau Ionia
merupakan tempat lahirnya filsafat Yunani, maka Miletus adalah tempat lahirnya
filsafat filsafat Ionia. Di kota Miletus, Thales filsuf pertama Ionia lahir dan
dibesarkan.52
Dalam sejarah Yunani, kehadiran pemikiran filsafat-sebagai induk dari
ilmu dan sains modern- telah menimbulkan gejolak dalam masyarakat, karena
penemuan filsafat bertentangan dengan sistem kepercayaan dan mitos mereka.
Masyarakat waktu itu mempercayai bahwa kejadian alam dan peristiwa yang
terjadi di dalamnya tidak lepas dari aktivitas para dewa. Gerhana, pelangi, atau
gempa bumi dianggap sebagai aktualisasi fungsi para dewa. Pelangi dalam
pandangan orang Yunani adalah bidadari yang sedang mandi.53
Ketika kepercayaan kepada dewa mengkristal dalam masyarakat Yunani,
pemikiran filsafat menggugat kepercayaan tersebut. Pemikiran filsafat
mengatakan bahwa kejadian alam dan peristiwanya tidak berkaitan dengan para
dewa, akan tetapi semua itu berasal dari alam itu sendiri. Dewa tidak punya
peranan dalam peristiwa alam. Pelangi bukan bidadari yang sedang mandi, akan
tetapi gejala alam biasa yang dapat diterangkan secara rasional. Pelangi dalam
pandangan flsafat dan ilmu adalah bekas rintik-rintik hujan yang belum turun ke
bumi yang diterpa oleh sinar matahari, sehingga membentuk warna merah,
kuning, dan hijau.
52
Sandy Hardian Susanto Herho. Pijar Filsafat Yunani Klasik, h. 2. 53
Abdullah Sattar, “Filsafat Islam Antara Duplikasi dan Kreasi,” Jurnal Ulumuna - Jurnal
Studi Keislaman, vol. XIV no. 1 (Juni, 2010): h. 2.
34
Thales, salah seorang pelopor filsafat Yunani mengatakan bahwa kejadian
alam bukan berasal dari perkawinan antara dewa, melainkan berasal dari alam itu
sendiri; yaitu air, semua berasal dari air dan akan kembali menjadi air. Aristoteles
kemudian berpendapat bahwa Thales mengatakan hal itu karena bahan makanan
semua makhluk hidup mengandung zat lembab dan merupakan benih bagi semua
makhluk hidup. Airpun bisa berubah bentuk dari benda cair menjadi gas dan
benda padat.54
Filsafat Barat yang tradisi pernikirannya telah dimulai oleh orang-orang
Yunani Kuno pada abad ke-6SM, telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat dan rumit. Dalam usianya yang hampir 26 abad ini, Filsafat Barat telah
melahirkan filsuf-filsuf dan aliran-aliran filsafat yang pengaruhnya tidak saja di
Barat (Eropa), tetapi juga telah mempengaruhi dunia luarnya. Sejarah mencatat
nama-nama filsuf besar seperti: Socrates, Plato, Aristoteles, Phyrtagoras,
Agustinus, Descartes, Hume, Kant, Moore, serta aliran-aliran filsafat seperti:
Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Idealisme, dan Filsafat Analitik. Masing-
masing filsuf dan aliran mempunyai pendapat dan pandangan yang berbeda
bahkan saling berlawanan.55
a. Filsafat Pra-Sokratik
Filsafat di masa Pra-Sokrates merupakan tahap pertama dalam filsafat
Yunani. Meskipun bukan merupakan filsafat murni, tetapi ia merupakan filsafat
yang sesungguhnya. Sebaliknya, filsafat Pra-Sokrates bukannya merupakan unit
54
Abdullah Sattar, Filsafat Islam Antara Duplikasi dan Kreasi, h. 2. 55
Misnal Munir, “Skeptisme dalam Filsafat Barat Sejak Yunani Kuno Sampai Abad
Modern”, Jurnal Filsafat Universitas Gadjah Mada (Agustus, 1992): h. 1.
35
tertutup yang tidak berhubungan dengan pemikiran filsafat sesudahnya, tapi
merupakan persiapan bagi periode sesudahnya.
Filasafat Pra-Sokratik sebetulnya merujuk pada aliran filsafat yang
didominasi pada minat utama untuk meneliti alam, matematika, susunan di
dalamnya, dalam rangka penyelidikan tentang asal muasal, komponen-komponen
alam, dan untuk memformulasikan hipotesis tentang keberadaan dunia ini, maka
dari itu dalam tradisi filsafat, para filsuf dari aliran ini seringkali dinamakan
sebagai, Phusikoi.56
Adapun filsuf-filsuf yang hidup sebelum masa Sokrates
adalah:57
a. Thales (625-545 SM); b. Anaximandros (611-545 SM); c.
Anaximenes (588-524 SM); d. Pythagoras (580-500 SM); e. Xenophanes (570-
480 SM); f. Heracleitos; g. Parmenides dan Melissus; h. Zeno; i. Empedocles; j.
Leocippus; k. Para filsuf Atomisme.
b. Filsafat Sokratik
Perhatian masa Pra-Sokrates adalah alam atau kosmos. Pada masa
sesudahnya, yakni sokrates, perhatian bergeser pada manusia itu sendiri, faktor-
faktor penyebabnya antara lain: a. Timbulnya sikap skeptic terhadap filsafat
Yunani yang tidak dapat menjelaskan pertanyaan tentang asala usul alam semesta.
Filsafat Pra-Sokrates juga tidak mampu menjelaskan fenomena kesatuan (unity)
dan kejamakan (diversity); b. Semakin besar minat terhadap fenomena
kebudayaan dan peradaban. Ini disebabkan pergaulan yang makin gencar antara
orang Yunani dan peradaban asing seperti Persia, Babylonia dan Mesir.
56
Sandy Hardian Susanto Herho, Pijar Filsafat Yunani Klasik: “Cetakan I” (Bandung:
Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan ITB, 2016), h. 15. 57
Sandy Hardian Susanto Herho. Pijar Filsafat Yunani Klasik, h. 15.
36
2. Filsafat Islam
Para filsuf Islam memikirkan benar definisi-definisi tentang filsafat ini,
yang mereka warisi dari sumber-sumber kuno dan yang mereka identifikasi
dengan istilah Quran Hikmah, karena mereka percaya bahwa asal-usul hikmah
bersifat ilahi. Filsuf islam pertama, Abu Yaqub al-Kindi menulis dalam Fi Al-
Falsafah Al-Ula, “Filsafat adalah pengetahuan tentang realitas hal-hal yang
mungkin bagi manusia, karena tujuan puncak filsafat dalam pengetahuan teoritis
adalah untuk memperoleh kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis untuk
berprilaku sesuai dengan kebenaran.58
Aliran dalam filsafat Islam sedikitnya terbagi menjadi tiga aliran besar
yaitu aliran Paripatetik ; aliran iluminasi (Hikmah Israqiyah), dan aliran Hikmah
Muta'aliyah sebagai sintesisnya.59
a. Aliran Mashsha’iyah (Paripetik)
Istilah mashsha‟iyah berasal dari bahasa Arab, yaitu “mashā‟ī” yang
berarti berjalan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan Peripatetisme. Nama
Paripatetik tersebut berasal dari istilah Yunani yaitu paripatatos, yang berarti
berjalan berbolak-balik. Istilah paripatatos tersebut merujuk pada kebiasaan Plato
dalam mengajarkan filsafat pada muridnya dengan berjalan berbolak
balik.60
Sebutan mengembara atau berjalan diberikan kepada mazhab (aliran) ini,
karena tiga kemungkinan. Pertama, karena ajarannya disampaikan Aristoteles,
58
Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan
(Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 31. 59
Arqom Kuswanjono, “Hakikat Ilmu Dalam Pemikiran Filsafat Islam,” Jurnal Universitas
Gadjah Mada, h. 309. 60
Haidar Bagir, Filsafat Islam (Jakarta: Mizan, 2005), h. 85.
37
sebagai founder (pembangun), sambil berjalan-jalan.61
Kedua, dikaitkan dengan
sudut sebuah gedung olah raga di kota Athena yang bernama Peripatos.62
Ketiga,
ialah karena metode berpikir ini menggunakan istidlāl (perumusan dalil) setiap
kali mengambil kesimpulan. Proses istidlāl mengalir (seolah) berjalan sehingga
sampai pada kesimpulan. Ketiga kemungkinan ini, sedikit atau banyak, berkaitan
dengan ciri dan cara kerja mazhab filsafat Islam ini. Murid-murid utama
Aristoteles ialah Theopharastos dan Andronikos. Kedua murid ini berperan,
kecuali mendengar dan menulis, juga menyebarluaskan pemikiran-pemikiran
gurunya Aristoteles.
Makna mashsha‟iyah dapat ditinjau dari dua pendekatan, yaitu ontologi
dan metodis. Secara ontologis, mazhab Mashsha‟iyah merupakan sintesa
ajaranajaran Islam dengan filsafat Aristotelianisme dan Neoplatonisme,63
yang
dilakukan oleh para filsuf, yaitu Iransyahri,64
al-Kindi, al-Farabi, Abū Sulayman
al-Sijistani, dan Ibn Sina, sebagai penyempurna sehingga Mazhab Mashsha‟iyah
menampilkan wujud yang utuh.Upaya sintesa dilakukan pertama oleh al-Kindi,
sekaligus sebagai filsuf Muslim pertama, terhadap hubungan agama dengan
filsafat. Sedangkan secara metodologis/sebagai suatu aliran, mazhab
Mashsha‟iyah adalah sebuah metodeperumusan kebenaran dengan pendekatan
61
Jonathan Ree and J.O. Urmson, The Concise Encyclopedia of Western Philosophy
(London-New York: Routledge, 2005), h. 277. 62
M. Said Syaikh, Kamus Filsafat Islam, terj. Machnun Husein (Jakarta: Rajawali, 1991), h.
154; dan Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: PT Gramedia, 1986), h. 79. 63
Seyyed Hossein Nashr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono &
Djamaluddin MZ (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 33. Selanjutnya ditulis Intelektual Islam. 64
Nama ini agak luput dari perhatian, karena data mengeninya tidak ada yang tersisa.
Padahal dialah filosof pertama yang memasukkan filsafat ke dunia Islam Syi‟i. Lihat: Sayyed
Hossein Nashr, Tiga Pemikir Islam; Ibn Sina, Suhrawardi, Ibn Arabi, terj. Ahmad Mujahid
(Bandung: Risalah, 1985), h. 3. Selanjutnya ditulis Tiga Pemikir Islam.
38
argumentasi rasional (rasionalisasi) secara demonstratif (burhanī),65
sebagaimana
pengertian burhan berikut:66
(Burhan ialah sebuah metode sistematis yang
dipergunakan sebagai undang-undang yang berbeda-beda
baik yang diperoleh secara mudah atau melalui proses
pemikiran, atau menggunakan beberapa metode
perumusan kebenaran yang ada untuk memperoleh suatu
hukum dan kebenaran, atau menguatkan suatu kebenaran
yang dimulai dari penerimaan pengetahuan yang sudah
ada. Karena itu, metode burhan digunakan untuk
menemukan sebuah masalah baru (kebenaran) dan atau
untuk menguatkan kebenaran).
b. Aliran Hikmah Israqiyah (Illuminasi)
Aliran illuminasi (al-isyraq) didirikan oleh Syaik Al-Isyraq, Syihab Al-
Din Suhrawardi. Suhrawadi adalah seorang mistikus dan filsuf besar yang akrab
dengan filsafat perennial Islam, yang disebut al-himat al-atiqah, philosophi
apriscoriusm yang dirujuk sejumlah filsuf Renaissance, yang permulaannya
dianggap bersifat Ilahiyah.67
Hikmah Israqiyah lahir karena reaksi terhadap aliran
paripatetik yang lebih mengutamakan eksistensi dibandingkan esensi. Suhrawardi
mengkritik Al-Farabi dan Ibn Sina dengan menyatakan bahwa para sufi abad
ketiga dan keempat Hijriah, seperti Abu Yazid al-Busami, al-Hallaj, dan al-
Kharqani, yang merupakan para illuminasionis Persi yang asli.68
Pengalaman spiritual dalam aliran Israqiyah mendapatkan tempat sebagai
salah satu sumber dari pengetahuan. Seperti halnya pada pemikiran emanasi dari
al-Farabi dan Ibn Sina, dalam pemikiran Suhrawardi pad aaliran Israqiyah
65
Sayyed Hossein Nashr, et.al, Shi‟ism; Doctrines, Thought, and Spiritual (New York: State
University Press, 1951), h. 306. 66
Sayyed Hossein Nashr, et.al, Shi‟ism; Doctrines, Thought, and Spiritual, h. 306. 67
Sayyed Hossein Nashr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat, dan Gnosis (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 96. 68
Abul Wafa Taftazani, Pengantar Tasawuf Islam (Bandung: Pustaka, 2003), h.195.
39
pengalaman spiritual pengalaman intuitif merupakan sumber dari kebenaran yang
hadir sepertikilat, dipahami sebaga isuatu arus cahaya yang kemudian membentuk
suatu pemahaman tertentu, dan proses tersebut ditempuh melalui beberapa
tahapan, yaitu: (1) pembebasan dari kecenderungan duniawi dan pe-rangkap
jasmani untuk menerima pengalaman Ilahi; (2) memasuki tahapan illuminasi,
dengan menemui cahaya ilham (al-anwar al-Sanihah); (3) tahap pembangunan
sistem kebenaran dengan logika diskursif; (4) pengungkapan penulisan.69
Aliran ini memberikan ruang untuk pencapaian kebenaran melalui
pengalaman spiritual (intuisi) dengan menggabungkannya dengan logika diskursif
sebagai alat verifikasinya. Selain itu, aliran ini memberikan posisi terpenting
terhadap esensi dibandingkan eksistensi yang bersifat sekunder, esensilah yang
primer dan fundamental dari suatu realitas.70
Suhrawardi berpendapat bahwa
dalam mengetahui sesuatu hal, manusia mengalami pengalaman tentang hal
tersebut. Sebuah wujud dapat dipikirkan tanpa mengetahui keberadaannya pada
entitas partikular manapun, wujud dalam hal ini dapat dikatakan identik dengan
esensi. Menurutnya, pencahayaan (ilham) merupakan cara manusia untuk
memahami hubungan manusia dengan Tuhan, cahaya di atascahaya, dan
makhluknya.71
Prinsip pencapaian pengetahuan dari aliran illuminasi ini memiliki kaitan
juga dengan prinsip emanasi yang dikemukakan oleh al-Farabi dan Ibn Sina yang
telah banyak mendapatkan pengaruh dari pemikiran Yunani, yang dianggap
69
Haidar Bagir, Filsafat Islam (Jakarta: Mizan, 2005), h. 139. 70
Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, ter. Munir A. (Bandung: Pustaka, 2000), h. xv. 71
Muhsin Labib, Para Filosof (Jakarta: Al-huda, 2005), h.38.
40
Suhrawardi tidak dapat lagi dikatakan mewakili filsafat Timur. Bagi Suhrawardi,
Timur bukan soal wilayah suatu pemikiran tersebut muncul, tapi Timur
merupakan awal mula cahaya. Suhrawardi memahami bahwa filsafat Timur
adalah berkaitan dengan persoalan pencahayaan dalam proses mistik. Pencapaian
ultimate reality yang merupakan puncak tertinggi pengetahuan yang terdalam
dipahami melalui pelatihan (riyadah) untuk menangkap intuisi (irfānī). Aliran ini
menghendaki suatu proses mistisisme dalam memahami kebenaran serta dalam
mencapai cahaya Ilahi.
Filsafat Israqiyah ini identik dengan istilah filsafat cahaya, karena
beranggapan bahwa wujud memiliki hierarki-hierarki, yang dalam paripatetik
dipahami sebagai intelek, tetapi bagi aliran Israqiyah hal tersebut diidentikkan
dengan cahaya (Bagir, 2005: 135).72
Karena beranggapan bahwa sumber dari
segala sesuatu adalah cahaya (nur al-anwar), yang merupakan cahaya absolute dan
tidak terbatas oleh semua sinar yang memancar. Nur al-anwar ditempatkan
sebagai sumber dari pengetahuan, dan aliran israqiyah telah memberikan tempat
untuk pengalaman spiritual yang berupa kilatan tersebut ke dalam dunia ilmiah.
c. Aliran Hikmah Muta'aliyah
Aliran Hikmah Muta'aliyah atau theosofi transendental dikenal dari
pemikiran Mulla Shadra yang bernama lengkap Sadr Al-Din Muhammad Ibn
Ibrahim. Pemikirannya sangat berpengaruh dalam dunia pemikiran Islam
termasuk di Persia, India, dan juga Irak. Kebesaran pemikirannya tidaklah terlepas
dari berbagai pengaruh yang didapatnya dari pemikir-pemikir terdahulunya.
72
Haidar Bagir, Filsafat Islam (Jakarta: Mizan, 2005), h. 135.
41
Petualangan intelektual dan pengalaman ekstaktinya selama bertahun-tahun telah
menjadikan dirinya salah satu mistikus dan filsuf besar dalam perkembangan
pemikiran Islam.
Wujud dalam pemikiran Shadra menjadi term yang teramat sangat
penting.Teori Wujudiyah menjadi salah satu poin penting dalam pemahamannya
terhadap permasalahan-permasalahan metafisika yaitu tentang yang “ada”. Shadra
membahasnya secara sangat gambling dalam karyanya yang berjudul Al-Hikmah
Al-Muta'aliyah Fi'alAsfar Al-Aqliyah Al-Arba-ah, karya ini yang dianggap
sebagai magnum opusnya. Menurut Nasr, teori tersebut tidaklah dapat dipahami
tanpa memahami lebih dahulu ontology Avicennan (IbnSina) dan kosmologi
Suhrawardian, yang bagi Shadra realitas segala sesuatu datang dari wujudnya dan
bukan dari kuiditasnya atau mahiyyah (esensi-nya). Hal tersebut memperlihatkan
bagaimana keterkaitan pemikiran Shadra dengan pemikiran paripatetik terutama
dari Ibn Sina yang banyak mendapat pengaruh pemikiran Aristoteles dan Plotinos,
dan dengan pemikiran illuminasi Suhrawardian.73
Arah pemikiran Ashalat Al-Wujud ini cenderung mengarah pada
pemahaman aliran eksistensialisme yang memahami bahwa persoalan keberadaan
hadir dari struktur eksistensialnya. Shadra mencoba menampilkan suatu pemikiran
eksistensialisme kedalam dunia pemikiran Islam. Dapat dikatakan bahwa dalam
pemikirannya ini, Shadra cenderung merunut dari pemikiran paripatetik dengan
prinsip-prinsip Aristotelian tentang materi dan bentuk (hylemorphism), yang
memahami perubahan tidak hanya terjadi pada kategori aksidental (kuantitas,
73
Arqom Kuswanjono. “Hakikat Ilmu Dalam Pemikiran Filsafat Islam.”, Jurnal Universitas
Gadjah Mada (Yogyakarta, 2016): h. 81.
42
kualitas, posisi, dan tempat), tetapi juga terjadi pada substansi dari alam
semesta.74
Dalam hal ini Shadra memahami bahwa terdapat keterkaitan erat antara
perubahan dari aksiden dengan substansi, karena aksiden tergantung pada
substansi dan perubahan pada aksiden juga mempengaruhi perubahan pada
substansinya.
Shadra dalam dunia keilmuan, membagi ilmu menjadi dua macam: ilmu
yang diperoleh dari latihan dan belajar (husuli/acquired), dan ilmu yang diperoleh
melalui pemberian langsung dari Tuhan (hudhuri/ innate) (Shadra, 1981:
134).Ilmu husuli dalam hal ini adalah ilmu yang keberadaan datanya diperlihatkan
dalam gambaran tentang objek pada diri subjek yang terjadi karena interaksi
antara subjek dan objek yang sama-sama berdiri sendiri.Ilmu hudhuri, di sisi lain
adalah ilmu yang sumbernya berasal dari Tuhan secara langsung, yang dalam hal
ini objek muncul secara eksistensial dalam diri subjek, keduanya tidak terpisah
dan validitasnya tidak terbatas dalam dualism benar dan salah.
Shadra memahami bahwa dalam proses mencapai pengetahuan, dapat
dilalui dengan tiga cara, dimulai dari pengalaman rohani kemudian dicari
dukungan rasio, lalu diselaraskan dengan syariat; kedua, diawali dari pemikiran
rasional kemudian dihayati dengan pengalaman rohani, dan setelah itu dicari
dukungan syariat; ketiga, bermula dari ajaran syariat kemudian dirasionalkan, dan
seterusnya dipertajam dengan penghayatan rohani (Shadra, 1981: 324). Dapat
dipahami bahwa pemikiran Mulla Shadra yang merupakan sintesis dari aliran
pemikiran terdahulu menjadikan pengalaman intuitif, proses rasionalisasi, dan
74
Jalaluddin Rahmat, “Hikmah Muta'aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibn Rushd”, Jurnal Studi-
Studi Islam al-Hikmah. Edisi 10 (Juli – September, 1993): h. 79.
43
syariat Islam sama-sama berperan dalam mencapai kebenaran dalam ilmu. Hal
tersebut juga diperjelas oleh paparan Seyyed Hossein Nasr bahwa dalam
pemikiran Shadra terdapat tiga jalan menuju kebenaran, yaitu: wahyu
(wahyataysyar'), intellection ('aql) dan keterbukaan secara mistik (kasyf), yang
semuanya itu dapat dipahami dalam aliran Al-Hikmah Al-Muta'aliyah (Nasr,1996:
79).
Sebagai sintesis dari berbagai arus pemikiran, Shadra dalam Al-Hikmah
Al-Muta'aliyah menganggap bahwa terdapat pluralitas metode dan saran
amencapai kebenaran pengetahuan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Al-
Hikmah Muta'aliyah bukan saja merupakan suatu aliran yang menggabungkan
atau merekonsiliasikan tiap-tiap aliran sebelumnya, tetapi juga telah meng-
hasilkan suatu pembaharuan yang memperlihatkannya sebagai suatu aliran yang
baru dan menjadi puncak dalam dunia pemikiran Islam.
C. Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut al-Kindi
Al-Kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya`kub ibn Ishaq ibn
Sabbah ibn Imran ibn Ismail al-Ash`ats ibn Qais al-Kindi, lahir di Kufah, Irak
pada tahun 801 M masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dari dinasti Bani
Abbas (750-1258 M).75
Nama “al-Kindi” sendiri dinisbatkan kepada marga atau
suku leluhurnya, salah satu suku besar zaman pra-Islam.
Al-Kindi adalah filsuf muslim Arab pertama yang merintis jalan bagi
masuknya filsafat ke dunia Islam, beliau salah satu filsuf Arab asli keturunan raja-
raja Yaman di Kindah. Al-Kindi menghasilkan banyak karya, sehingga menurut
75
Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M
(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 51.
44
Ibnu Nadim, seorang pustakawan ternama, mengatakan 241 karya Al-Kindi sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa latin.76
Al-Falsafah al-Ula adalah judul buku
filsafat yang ditulis dan dipersembahkan al-Kindi untuk khalifah al-Mu`tashim
(833-842 M) dari dinasti Bani Abbas (750-1258 M); sekaligus juga istilah untuk
pemikiran metafsikanya yang didasarkan atas konsep-konsep filsafat Aristoteles
(384–322 SM).
Dalam upaya menyikapi warisan filsafat Yunani, karya-karya al-Kindi
jelas menunjukkan bahwa ia tertarik pada pemikiran Aristoteles dan Plato.
Bahkan kedua nama filsuf itu sering disebut dalam karya-karyanya. Terlepas dari
kekurangan al-Kindi dalam penguasaan bahasa Yunani, al-Kindi melalui
terjemahan yang didapatnya, mampu mempelajari karya besar Aristoteles yang
berjudul Metaphysics serta menuliskan komentarnya atas karya ini. Tidak hanya
cukup sampai pada penulisan komentar atas Metaphysics saja, Al-Kindi pun
menulis komentar atas karya Aristoteles seperti Categorie, De Interpretatione,
Analytica Posteriora dan juga komentar atas De Caelio. Selain itu, Al-Kindi juga
menyimpan karya dialog Aristoteles berjudul Eudemus.77
Al-Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam
tradisi pemikiran Islam, tepatnya masa transisi dari teologi tradisional kepada
filsafat. Al-Kindi-lah justru orang Arab pertama yang mengenalkan filsafat ke
dalam pemikiran Arab, sehingga diberi gelar “Filsuf Bangsa Arab”. Menurut
76
Madjid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosofhy, Teology and Misticisme,
diterjemahkan oleh Zainun Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis: Cetakan I
(Bandung: Mizan, 2001), h. 26. 77
Hasan Basri, Filsafat Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama Republik Indonesia, 2013), h. 36.
45
Atiyeh (1923-2008 M), dalam kondisi seperti ini setidaknya ada 2 kesulitan yang
dihadapi al-Kindi. Pertama, kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan
filsafat ke dalam bahasa Arab yang saat itu kekurangan istilah teknis untuk
menyampaikan ide-ide abstrak. Kedua, adanya tantangan atau serangan yang
dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat; filsafat dan filsuf dituduh
sebagai pembuat bid‟ah dan kekufuran.78
Untuk mengatasi kesulitan pertama, al-Kindi melakukan beberapa hal:79
1. Menerjemahkan secara langsung sesuai gramatika istilah-istilah Yunani ke
dalam bahasa Arab, seperti kata hyle diterjemahkan dengan thîn (tanah liat).
2. Mengambil alih istilah-istilah Yunani kemudian menjelaskannya dengan
menggunakan kata-kata bahasa Arab murni, seperti failusûf untuk istilah
Yunani philosophos (filosof), falsafah untuk istilah philosophia (filsafat),
fanthasiyah untuk istilah phantasia (fantasi).
3. Menciptakan kata-kata atau istilah baru dengan cara mengambil kata ganti dan
menambahkan akhiran iyah di belakangnya, untuk membuat atau menjelaskan
abstraksi-abstraksi yang sulit dinyatakan dalam bahasa Arab. Misalnya, al-
mâhiyah dari kata mâ huwa (apakah itu?) untuk menjelaskan istilah Yunani to
ti esti (esensi); al-huwiyah dari kata ganti huwa (dia) untuk menjelaskan istilah
Yunani to on (substansi).
4. Memberikan makna baru pada istilah-istilah lama yang sudah dikenal.
Untuk menghadapi tantangan kedua, al-Kindi menyelesaikannya dengan
cara mengharmonisasikan antara agama dan filsafat. Upaya untuk
mengharmonisasikan antara keduanya dilakukan melalui beberapa tahapan di
bawah ini:
78
Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M
(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 52. 79
Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M
(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 52.
46
Pertama, membuat kisah-kisah atau riwayat yang menunjukkan bahwa
bangsa Arab dan Yunani adalah bersaudara, sehingga tidak patut untuk saling
bermusuhan. Dalam kisah ini, misalnya, ditampilkan bahwa Yunan (personifikasi
dari nama negeri Yunani) adalah saudara Qathan, nenek moyang bangsa Arab.
Dengan demikian, bangsa Yunani dan Arab berarti adalah saudara sepupu,
sehingga mereka mestinya dapat saling melengkapi dan mencari kebenaran
bersama meski masing-masing menggunakan jalannya sendiri-sendiri.80
Kedua, menyatakan bahwa kebenaran adalah kebenaran yang bisa datang
dari mana saja dan umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan
mengambilnya. Dalam al-Falsafah al-Ulâ, secara jelas al-Kindi menulis:
“Kita hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui
sebuah kebenaran dan mengambilnya dari manapun dia
berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari
bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang
lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil
kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan
atau merendahkan derajat sang pencari kebenaran,
melainkan justru menjadikannya terhormat dan mulia”.81
Ketiga, menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kebutuhan, sebagai sarana
dan proses berpikir, bukan sesuatu yang aneh atau kemewahan. Al-Kindi
senantiasa menekankan masalah ini terhadap orang-orang yang fanatik agama dan
menentang kegiatan filsafat. Al-Kindi, dengan metode dialektika, mengajukan
pertanyaan kepada mereka, “Filsafat itu perlu atau tidak perlu?”. Jika perlu,
80
Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M
(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 54. 81
Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindî al-Falsafiyah dalam Dr. Achmad Khudori
Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media,
2016), h.54.
47
mereka harus memberikan alasan dan argumen untuk membuktikannya; begitu
juga jika menyatakan tidak perlu. Padahal, dengan menyampaikan alasan dan
argument tersebut, mereka berarti telah masuk dalam kegiatan filsafat dan
berfilsafat. Artinya, filsafat adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat
dihindari, karena sebagai sarana dan proses berpikir.82
“Jika para penentang filsafat menyatakan bahwa filsafat
adalah perlu, maka mereka harus mempelajarinya.
Sebaliknya, jika mereka menyatakan tidak perlu, mereka
harus memberikan argument untuk itu dan
menjelaskannya. Padahal, pemberian argument dan
penjelasan adalah bagian dari proses berpikir filosofis”
Selain itu, menurut Atiyeh, dengan pembelaan model ketiga ini, al-Kindi
ingin menunjukkan bahwa para filsuf dan filsafat sesungguhnya tidak bermaksud
untuk merongrong wahyu dan agama; sebaliknya, justru memberi dukungan pada
agama dengan argument-argumen yang rasional dan kokoh.83
Secara historis, argumentasi tentang pentingnya filsafat seperti yang
digunakan oleh al-Kindi tersebut bukanlah sesuatu yang baru atau yang pertama.
Menurut sejarah, Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang
menggunakan argumen seperti itu untuk membela dan mendukung filsafat.
Selanjutnya, digunakan oleh Markus Tullius Cicero (106-43 SM) dari Italia,
kemudian Titus Flavius Clemens (150-215 M) dari Alexandria.84
Dalam Islam,
82
Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M
(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 55. 83
Atiyeh, “Al-Kindi” dalam Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-
Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 55. 84
Atiyeh, “Al-Kindi” dalam Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-
Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 55.
48
setelah al-Kindi (801-873 M), argument seperti ini kemudian digunakan oleh Ibn
Rusyd (1126-1198 M), tokoh filsafat Aristotelian asal Andalus (Spanyol).85
Keempat, menyatakan bahwa meski metode agama dan filsafat berbeda
tetapi tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, baik dalam tujuan praktis
maupun teoritisnya. Tujuan praktis agama dan filsafat adalah mendorong manusia
untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi, sedang tujuan teoritisnya
adalah mengenal dan mencapai kebenaran tertinggi, Tuhan. Karena itu, menurut
al-Kindi, tidak ada perbedaan yang esensial antara agama dan filsafat, karena
keduanya mengarah kepada tujuan yang sama.86
Kelima, memfilsafatkan ajaran dan pemahaman agama sehingga selaras
dengan pemikiran filsafat. Al-Kindi melakukan upaya ini dengan cara
memberikan makna alegoris (takwîl) terhadap teks-teks atau nash yang secara
tekstual dinilai tidak selaras dengan pemikiran rasional-filosofis. Misalnya, ketika
dia diminta oleh Ahmad, putra khalifah al-Muktashim (833-842 M), untuk
menjelaskan makna ayat “Bintang-bintang dan pepohonan sujud kepada-Nya”,
QS. Al-Rahman, 6. Kata “sujud” mengandung beberapa arti: (1) sujud dalam
shalat, (2) kepatuhan atau ketaatan, (3) perubahan dari ketidaksempurnaan kepada
kesempurnaan, dan (4) mengikuti aturan secara ihlas. Makna yang terakhir inilah
yang digunakan al-Kindi untuk menjelaskan ayat di atas, sehingga sujud bintang-
85
Ibn Rusyd, “Fashl al-Maqâl” dalam Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula:
Pemikiran al-Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 56. 86
Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M
(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 66.
49
bintang dan pepohonan adalah dengan cara mematuhi perintah Tuhan, bukan
sujud seperti dalam shalat.87
Menurut al-Kindi, apapun yang disampaikan Rasul dari Tuhan adalah
benar adanya dan dapat diterima oleh nalar, sehingga tidak ada pertentangan di
antara keduanya. Pertentangan yang muncul antara kata-kata al-Qur‟an dengan
pemahaman filsafat, sesungguhnya, adalah akibat dari adanya kesalahpahaman
kita sendiri dalam memahami makna al-Qur‟an. Secara jelas al-Kindi menulis:
“Semua ucapan Nabi Muhammad saw adalah benar
adanya dan apa yang disampaikannnya dari wahyu
Tuhan adalah dapat diterima dan ditentukan dengan
argument-argumen rasional filosofis. Hanya orang yang
kehilangan akal sehat dan dipenuhi kebodohan yang
menolaknya”.88
Menurut Atiyeh, metode takwîl ini secara historis telah digunakan oleh
tokoh-tokoh filsafat aliran Stoik, sebuah sekolah filsafat helenistik yang berusaha
memadukan antara problem determinisme kosmik dengan kebebasan manusia,
didirikan di Athena oleh Zeno (334-262 SM) dari Citium, Yunani; Philo Judaeus
(20 SM-50 M) dari Alexandria, seorang tokoh teolog Yahudi yang berusaha
mempertemukan antara filsafat dan ajaran Yahudi; dan Muktazilah, sebuah aliran
teologi rasional dalam Islam yang dibangun oleh Washil ibn Atha‟ (700-748 M).
Akan tetapi, tafsir alegoris al-Kindi didasarkan atas prinsip-prinsip linguistik dan
tata bahasa, sehingga berbeda dengan medel penafsiran kaum Stoik sebelumnya.
Model tafsir al-Kindi ini lebih dekat dengan retorika teologi Muktazilah daripada
87
Abu Ridah (ed), “Rasâil al-Kindi” dalam Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula:
Pemikiran al-Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 58. 88
Atiyeh, “Al-Kindi” dalam Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-
Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 58.
50
filsafat. Pada fase-fase berikutnya, dalam sejarah filsafat Islam, penyelesaian
dengan takwil ketika terjadi perbedaan antara teks agama dan pemahaman filsafat
ini diikuti oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M).89
D. Agama dan Filsafat Menurut Zakariya al-Razi
Abu Bakar al-Razi adalah salah satu filsuf Islam yang pemikiran-
pemikirannya kerap dimarginalkan dalam diskursus filsafat Islam awal.Hal ini
tidak lepas dari tuduhan yang ditujukan kepada al-Razi tentang pengingkarannya
atas agama Islam dan kritikan-kritikannya yang radikal terhadap ajaran Islam.
Sehingga ia dituduh mulhid, filsuf yang tidak mempercayai agama, kitab suci,
dankenabian, sebagaimana termatub dalam buku Abu Hatim al-Razi, Alam al-
Nubuwwah.90
Nama lengkapnya Abû Bakr Muhammad ibn Zakaria ibn Yahyâ al-Râzî.
Ia dilahirkan di Rayy, tanggal 1 Sya‟ban 251H/865M.91
Adapun menurut Dr.
Abdul Latif al-Fait dalam pengantar buku al-Tibb Ruhani karya al-Razi yang
beliau Tahqiq sendiri. Dr. Abdul Latif menyatakan bahwa al-Razi dilahirkan
tahun 864 Masehi (250 H). Beliau meninggal dunia pada hari Kamis bulan
Sya‟ban tahun 312 H bertepatan 25 Oktober tahun 925 M. Umurnya lebih kurang
62 tahun hitungan kalender Hijriah (61 tahun kalender masehi).92
89
Achmad Khudori Soleh, Epistemologi Ibn Rushd (Malang: UIN Press, 2011), h. 59.
Pemikiran filsafat Stoik mengambil dari seluruh filsafat Yunani dan kemudian (ajaran Kristen)
Romawi. Sekolah filsafat ini di tutup tahun 529 M atas perintah Kaisar Justinian I (483–565 M),
karena dianggap mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan iman Kristen. 90
Moh. Wahidi, “Negasi Kenabian Abu Bakar al-Razi: Kritik Otoritas Agama”, Skripsi.
Fakultas Usuluddin dan Pemikiran Islam. UIN Sunan Kalijaga. h, XV. 91
Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1998), h.31 92
Joni Harnedi, “Al-Razi: Ilmuan dan Filosof Islam”, Jurnal STAIN Gajah Putih Takengon
(Aceh Tengah): h. 53.
51
Al-Razi merupakan filsuf muslim, ia seorang monoteis yang percaya
kepada eksistensi Tuhan sebagai penyusun dan pengatur semesta ini, hanya saja ia
meragukan kebenaran wahyu dan agama (kenabian).93
Ia melawan agama karena
menurutnya bertentangan dengan akal, berdasarkan muatan agama itu sendiri,
khususnya terdapat hal yang mustahil dan kontradiksi.94
Keraguannya terhadap
agama (kenabian) didasarkan pada dua landasan rasional dan historis.
1. Alasan Rasional
Akal merupakan sumber pengetahuan. Oleh karena itu, ia harus diikuti,
bukan mengikuti. Al-Razi menegaskan, bahwa Sang Pencipta yang Maha Mulia
memberi dan menganugerahkan akal kepada kita agar kita mendapatkan dan
sampai pada kebahagiaan dunia akhirat sebagai tujuan yang dapat diperoleh dan
dicapai oleh substansi semacam kita.95
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa, rasionalisme radikal anti
agama di dunia muslim cukup banyak dipengaruhi oleh pemikiran kelompok
Brahmana, sekelompok filsuf dari india yang mendeklarasikan ketidakbutuhan
akan nabi dan wahyu, karena akal sudah cukup mengantarkan manusia pada
kebenaran. Keyakinan ini didasarkan pada pandangan bahwa jika ajaran para nabi
sesuai dengan hukum akal, maka wahyu dengan sendirinya tidak dibutuhkan,
karena lewat bantuan akal manusia sudah dapat memahami dan mengaplikasikan
93
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan bintang, 2008 ), h.
14. 94
Ibnu Anshori, “Skeptis Terhadap Agama - Studi Komparasi Pemikiran Zakariya al-Razi
dan Kael Marx” Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam - UIN Walisongo (Semarang,
2016), h. 06. 95
Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran: Arab – Islam: Volume 2 (Jakarta, LKIS, 2007), h.
116.
52
dalam kehidupan hal-hal yang disampaikan oleh para nabi. Jika ajaran para nabi
tidak sesuai dengan hukum-hukum akal, maka ajaran para nabi mustahil untuk
dibenarkan dan dipatuhi, karena tolak ukur kemanusiaan yang membedakannya
dengan binatang adalah akal.96
Abdurrahman Badawi menyatakan al-Razi menentang kenabian, wahyu,
kecenderungan irasional. Sebagaimana yang ditulis oleh Sirajuddin Zar,
Abddurrahman mengemukakan ringkasan gagasan-gagasan utama berkenaan
dengan bantahan al-Razi ke atas nabi: Pertama, akal sudah memadai untuk
membedakan antara yang baik dan jahat, yang berguna dan yang tak berguna.
Dengan akal semata kita dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita
sebaikbaiknya. Lalu kenapa diperlukan nabi?, Kedua, tiada pembenaran bagi
pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang sebab semua
orang lahir dengan kecerdasan yang sama; perbezaanya bukanlah kerana
pembawaan alamiah, tetapi keranapengembangan dan pendidikan. Ketiga, para
nabi saling bertentangan. Bila mereka berbicara atas nama satu Tuhan yang sama,
mengapa terdapat pertentangan?97
Bahkan Harun Nasution, tokoh yang banyak menjadi rujukan di
Indonesia terutama dalam kajian filsafat dan teologi, juga mengatakan hal yang
sama. Harun menyimpulkan gagasan-gagasan al-Razi tersebut, 98
yakni: a. Tidak
percaya pada wahyu; b. Qur‟an tidak mu‟jizat; c. Tidak percaya kepada nabi-nabi;
96
Ammar Fauz Harya, Akal dan Wahyu (Jakarta. Sadra Press, 2011), h. 55-56. 97
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya: Cetakan ke-5 (Jakarta: Raja
Grafiindo Persada, 2012), h. 122. 98
Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1993), h. 20-21.
53
d. Adanya Hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain
Tuhan.
Al-Razi menegaskan, bahwa Sang Pencipta yang Maha Mulia memberi
dan menganugerahkan akal kepada kita agar kita sampai pada kebahagiaan dunia
akhirat sebagai tujuan yang dapat diperoleh dan dicapai. Hal ini tampak dalam
halaman pendahuluan karyanya, al-Ṭ hīb al-Rūhānī, ia menulis:
“Sang Pencipta (Maha Agung dan Maha Mulia Nama-
Nya) yang telah memberikan dan menganugerahkan
kepada kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh
manfaat sebanyak-banyaknya, yang ada di alam untuk kita
raih dan capai, di dunia ini dan di akhirat nanti. Akal
adalah anugerah terbesar dari Tuhan kepada kita, dan tidak
ada sesuatupun yang melampauinya dalam memberi
manfaat dan faedah bagi kita”.99
Dengan akal pula kita dapat mengetahui tentang Tuhan, suatu
pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikian mulia dan
penting, maka kita tidak boleh melecehkan dan menentukannya. Sebab, dia (akal)
adalah penentu, atau mengendalikanya sebab dia adalah pengendali, atau
memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah, melainkan kita harus
merujukkepadanya dalam segala hal dan menentukan masalah dengannya; kita
harus sesuai dengan perintahnya.100
Kepercayaan Al-Razi terhadap kemampuan akal semacam ini
menjadikan pandangannya tentang agama juga didasarkan pada pendekatan
99
Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi, al- Ṭ hīb al-Rūhānī, yang di Inggriskan, The Spritual
Physick of Rhazes oleh J. Arberry, kemudian diterjemahkan oleh M. S. Nasrullah dan Dedi
Mohamad, Pengobatan Ruhani (Bandung: Mizan, 1994), h. 31. 100
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 26.
54
rasional. Ajaran-ajaran agama tidak dipahami sebagai dogma-dogma mati yang
harus diterima begitu saja. Keyakinan atas kebenaran dan urgensi agama
didasarkan pada alasan-alasan yang bisa diterima akal sehat. Karena itu, Al-Razi
banyak menyoroti dogma-dogma agama yang dipandang bertentangan dengan
akal sehat maupun petunjuk Allah yang sebenarnya. Al-Razi mengajak manusia
untuk membebaskan diri dari hal-hal irasional, sebagaimana tujuan studi filsafat
semula, yakni menemukan kebenaran dan membebaskan manusia dari mitologi
supernaturalisme di bawah bendera rasionalisme.101
Al-Razi menolak pengetahuan atau pemikiran yang disandarkan pada
pendekatan intuitif. Karunia Tuhan berupa akal harus dimanfaatkan untuk meraih
segala yang terbaik bagi manusia. Termasuk ajaran agama harus pula didasarkan
atas pertimbangan akal, sehingga kecenderungan-kecenderungan beragama yang
mengarah kepada sikap-sikap irasional dapat ditepis. Kritik semacam ini
dilontarkan terhadap sikap masyarakat dalam kehidupan beragama yang
cenderung patuh secara buta kepada imam atau pemimpin. Karena itu, bisa
dipahami keprihatinan Al-Razi melihat keberagamaan yang tidak dilandasi
pendekatan rasional hingga menjadikan keberadaan agama justru menyebabkan
perpecahan dan bahkan pertumpahan darah antar umat manusia.102
2. Alasan Historis
101
Ansar Zainuddin, http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/ pemikiran-filsafat- Al-
Razi, merujuk pada Majid Fakhry, The Arab and The Encounter with Philosophy, dalam Therese
Anne Duart, ed., Arabic Philosophy and The West (Washington; Centre Contemporary Arab
Studies Georgetown University, 1988): h. 1. Diakses tanggal 08-Jan-2019. 102
Ansar Zainuddin, http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/ pemikiran-filsafat-ar-
razi, merujuk pada Majid Fakhry, The Arab and The Encounter with Philosophy, dalam Therese
Anne Duart, ed., Arabic Philosophy and The West, (Washington; Centre Contemporary Arab
Studies Georgetown University, 1988): hal. 1. Diakses tanggal 08-Jan-2019.
55
Al-Razi beranggapan bahwa kenabian sebagai sebuah fenomena. Ketika
berdebat dengan Abu Hatim al-Razi tentang kenabian, Zakariya al-Razi
mengatakan:
“Atas dasar apa Anda mengharuskan Allah menetapkan
kenabian pada suatu kelompok manusia tertentu saja,
sementara yang lainnya tidak, memberikan mereka
kelebihan atas manusia yang lainnya, menjadikannya
sebagai argumen mereka (kelompok), dan menjadikan
manusia membutuhkan kepada kelompok tersebut? Dan
atas dasar apa Anda memperkenankan kebijaksanaan Sang
Mahabijak (Allah) memilih mereka untuk kepentingan
mereka dan mengangkat sebagian di antara mereka atas
sebagian yang lain, mempertajam permusuhan di antara
mereka, memperbanyak peperangan, dan demikian banyak
manusia yang mati?”
Berdasarkan kutipan di atas muncul penjelasan bahwa pemberian
kelebihan oleh Tuhan kepada manusia tertentu (Nabi) secara khusus dapat
menimbulkan pertentangan di antara masyarakat, karena setiap kelompok
masyarakat yang diberi kenabian akan beranggapan bahwa kebenaran bersama
mereka, dan kelompok yang lainnya adalah salah. Sebagai konskuensinya mereka
juga akan beranggapan bahwa sebagai bentuk tugas menyempurnakan agama
mereka memiliki kewajiban untuk menyebarkan kebenaran.
Hal ini lah yang dirasa Al-Razi dapat menimbulkan permusuhan dan
peperangan di antara manusia. Al-Razi menilai, tidak selayaknya Tuhan
memberikan kelebihan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lainnya
sehingga tidak akan ada di antara mereka perseteruan, tidak akan ada perbedaan
yang mengakibatkan mereka menjadi musnah. Oleh karena itu, melalui kebijakan
Tuhan, justru yang lebih pantas bagi-Nya ialah memberikan ilham kepada seluruh
hamba-Nya untuk dapat mengetahui apa yang berguna dan yang membahayakan
56
bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dikutip Sarah
Stoumsa, bahwa:
“Sikap yang paling tepat bagi kebijaksanaan yang
Mahabijak dan kasih sayang yang Mahakasih adalah
bahwa Dia (Tuhan) semestinya memberikan inspirasi
kepada semua hamba-Nya dengan pengetahuan mengenai
apa saja yang bermanfaat atau merusak mereka di dunia
ini dan hari esok. Dia tidak semestinya memberikan
keutamaan kepada sejumlah individu atas yang lainnya,
serta tidak selayaknya di antara mereka, baik ada
persaingan maupun perselisihan yang mengarahkan
mereka kepada kehancuran. Ini akan lebih menyelamatkan
mereka daripada jika Dia harus menunjuk beberapa di
antara mereka sebagai imam bagi yang lainnya. (jika Dia
memang harus memilih opsi terakhir), masing-masing
kelompok akan mendeklarasikan kebenaran imamnya dan
kebohongan semua imam yang lainnya dan mereka akan
menghunuskan pedang melawan yang lain. Tentu tidak
akan terjadi suatu kekacauan umum dan mereka akan
binasa karena saling bermusuhan dan
bertarung.Sebenarnya banyak masyarakat yang telah
binasa dengan cara ini, sebagaimana yang dapat kita
saksikan”.103
Setelah menilai ketidakbenaran kenabian, kemudian Al-Razi beralih
memberikan kritik terhadap agama-agama wahyu seperti Islam, Yahudi, Nasrani,
dan Majusi. Adapun kritik Al-Razi secara umum adalah tertuju kepada sikap buta
(masyarakat) beragama. Karena menurutnya teologi yang tidak dapat
dipertahankan dalam agama-agama wahyu dikombinasikan dengan sebuah sikap
picik yang inheren sehingga merefleksikan sikap fanatik yang secara umum
menolak pencerahan.
Meskipun demikian, dalam realitas, agama menjadi dominan. Agama
tersebar di kalangan manusia melebihi penyebaran filsafat. Bagaimana mungkin
103
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam: Mengenal Pemikiran Teologi Ibn ar-
Rawandi dan Abu Bakar al-Razi (Yogyakarta: LKiS, 2006), h. 143.
57
sesuatu yang salah dapat menyebar dan dominan? Dalam bukunya, Makhāriq al-
Anbiyā‟ dia melukiskan otoritas-otoritas keagamaan sebagai tindakan intoleran
dan tirani dan dia secara tidak langsung menyindir baik para nabi maupun agama-
agama wahyu sebagai sumber dari segala pertumpahan darah.104
Al-Razi
menyatakan:
“Orang-orang yang beragama menerima agamanya dari
pemimpin-pemimpin mereka secara taqlid. Para pemimpin
tersebut menolak dan melarang untuk meneliti dan
mencari dasar-dasarnya. Mereka meriwayatkan dari
pemimpin-pemimpin mereka, berita-berita yang
mengharuskan mereka untuk tidak menggunakan nalar
dalam beragama, dan mengharuskan mereka untuk
mengafirkan siapa saja yang menyimpan dari berita-berita
yang mereka riwayatkan”.
Di antara berita-berita tersebut adalah berita yang mereka riwayatkan dari
para pendahulu mereka bahwa “Mempersoalkan agama adalah tindakan kafir”;
“Siapa saja yang mencoba melakukan analogi terhadap agamanya, niscaya ia akan
senantiasa dalam ketidakjelasan”; “Janganlah kalian memikirkan Allah, tetapi
pikirkanlah makhluk-Nya”; “Taqdir merupakan rahasia Allah, oleh karena itu,
janganlah memperbincangkannya”; dan “Janganlah kalian bersusah mendalami
(persoalan agama), sebab umat sebelum kalian binasa karena bersusah-susah
mendalami itu”. Selain Islam, kritik Al-Razi juga diarahkan kepada agama
lainnya. Bukti bahwa agama-agama ini terdapat kontradiksi, Al-Razi mengatakan:
“Jesus mengklaim bahwa dia adalah putra Tuhan,
sementara Musa mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki
putra, sementara Muhammad menegaskan bahwa dia
(jesus) adalah makhluk, seperti halnya manusia-manusia
lainnya. Mani dan Zoroaster berbeda dengan Musa, Jesus,
104
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam: Mengenal Pemikiran Teologi Ibn ar-
Rawandi dan Abu Bakar al-Razi (Yogyakarta: LKiS, 2006), h. 156.
58
dan Muhammad mengenai Zat Yang Abadi, kejadian
alam, dan alasan adanya baik dan buruk. Mani berbeda
dengan Zoroaster mengenai dua entitas dan alasan
keberadaannya. Muhammad mengatakan bahwa Jesus
tidak dibunuh, tetapi Yahudi dan Kristen tidak sepakat
dengannya. Mereka mengatakan bahwa dia dibunuh dan
disalib”.105
Setelah menganulir kenabian dan agama-agama wahyu, Al-Razi beralih
memberikan kritik terhadap kitab-kitab suci, kemudian menganulirnya. Di sini,
kritik Al-Razi fokus pada antroporphisme dan kontradiksi yang terdapat dalam
kitab-kitab tersebut. Secara khusus al-Qur‟an mendapatkan porsi yang lebih
banyak dan menyeluruh dari kritik yang diarahkan Al-Razi terhadap kitab-kitab
itu.
Kritik Al-Razi terhadap al-Quran ini mencakup aspek kata, struktur,
eloquensi, dan musikalitas kata-katanya. Ia memandang bahwa ada karya yang
lebih tinggi, berkaitan dengan ini semua daripada al-Qur‟an. Kritik tersebut juga
meliputi aspek makna. Dia melihat bahwa al-Qur‟an bersifat mitologis dan
khufarat (tidak mengandung manfaat atau buktimengenai apa pun). Karena gaya
menantang seperti pernyataan di atas bersifat lemah, pasalnya manusia memang
tidak dapat mendatangkan secara persis apa yang didatangkan yang lain. Atas
dasar ini, Al-Razi menolak menganggap al-Qur‟an sebagai mu‟jizat atau argumen.
Ia menganggap bahwa kemukjizatan atau argumentasi tercermin pada buku-buku
ilmiah dan filsafat. Boleh jadi karangan orang-orang dahulu seperti Hipocrates,
Plato, dan Aristoteles lebih bermanfaat dari pada kitab suci.
105
Makhāriq al-Anbiyā‟ yang dikutip Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam:
Mengenal Pemikiran Teologi Ibn ar-Rawandi dan Abu Bakar al-Razi (Yogyakarta: LKiS, 2006),
h. 148.
59
Dengan demikian, al-Razi memandang bahwa akal lah satu-satunya
sumber pengetahuan, dan bahwa agama (kenabian) tidak. Ia memandang bahwa
akal yang memberikan petunjuk kepada manusia, dan kenabian lah yang
menyesatkan manusia. Adalah suatu kebaikan dan kebijaksanaan apabila tidak ada
para nabi dan agama. Sebab, andaikata di antara manusia tidak ada hal-hal yang
menyebabkan munculnya agama-agama, tentu gesekan, peperangan, dan bencana
tidak akan ada.
Mengingat pula bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia
dengan potensi yang sama, dan yang membedakan hanya lah proses (pendidikan
dan pengalaman). Sedangkan manusia yang sudah menjamah proses hingga level
puncak dengan sempurna, ialah filsuf, bukan Nabi. Para filsuf merupakan manusia
terbaik yang mampu meningkatkan kecerdasan maupun moralitas diri secara
optimal, sehingga dapat melahirkan ajaran serta mencapai keutamaan yang patut
dijadikan teladan.106
Abdurrahman Badawi memberikan ilustrasi mengenai Al-Razi
sebagaiana dikutip Adonis, bahwa Al-Razi cenderung mengikuti aliran pemikiran
liberal, bebas dari segala pengaruh taqlid atau penyakit. Ia menjungjung tinggi
hak-hak akal dan otoritasnya yang tidak dapat dibatasi oleh apa pun. Ia mengarah
pada garis pencerahan yang sangat mirip dengan gerakan pencerahan kaum
Sophis Yunani, dan khususnya gerakan pencerahan di abad modern, abad XVIII.
106
M. Kharis dan M. Izam Sofhal Jamil, http://filsafat.blogspot.com/2014/12/ “Ar-Rozi”
yang diakses tanggal 08 Januari 2019.
60
Ia menyerukan agar kecenderungan humanisme murni yang dibaurkan dengan
semangat paganistik liberal direalisasikan.107
Dari penjelasan mengenai pemikiran al-Razi di atas, dapat disimpulkan
bahwa pandangannya mengenai filsafat dan agama sangat bertolak belakang. Al-
Razi tidak berupaya untuk mengharmonisasikan agama dan filsafat, namun justru
ia mengutamakan akal dan mengesampingkan wahyu. Meskipun demikian,
konsep kenabian al-Razi tidak sedikit mempengaruhi pemikiran al-Farabi.
Menurut Ibrahim Madkur, filsafat kenabian108
al-Farabi terkait erat antara nabi
dan filsuf dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan „Aql
Fa‟al.109
Latar belakang pemikiran al-Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran
terhadap eksistensi kenabian secara filsafat oleh Aḥ mad ibn Ishaq al-Ruwandi
(w. akhir abad III H) dan Abū Bakr Muḥ ammad ibn Zakariya al-Rāzī (865-925
M). Di mana menurut kedua filsuf tersebut berargumen bahwa, para filsuf
memiliki kemampuan untuk mengadakan komunikasi dengan „Aql Fa‟al.110
107
Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran: Arab – Islam: Volume 2 (Jakarta, LKIS, 2007), h.
125. 108
Menurut Fazlur Rahman, doktrin para filosof muslim mengenai nubuwwat (kenabian),
sejauh menyangkut dasar-dasar psikologis - metafisisnya, didasarkan pada teori-teori Yunani
tentang jiwa dan kekuatan-kekuatan kognisinya. Fazlur Rahman, Kenabian dalam Islam: Menurut
Filosof dan Ortodoksi, Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Penerbit Pustaka, 1434 H/2003 M), h. 1. 109
Istilah “al-„Aql al-Fa‟āl” (Active Intellect) merupakan konsep “aktif” (active) atau
“intelek agen” (agent intellect) memainkan peranan yang amat penting (pivotal role) dalam
metafisika Islam dan psikologi, utamanya dalam tradisi peripatetik (peripatetic tradition). Peters S.
Groff, Islamic Philosophy A-Z (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007), h. 4-5. 110
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 44.
Sejatinya, terdapat satu tokoh lagi yang menolak kenabian, yaitu: Abū „Isā ibn Harn al-Warraq.
Menurut Imam ibn al- Jauzi, ia mengklaim telah menulis buku yang menghujat Rasulallah SAW
dan mencacimakinya, serta menghujat al-Qur‟an.
61
BAB IV
HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT
A. Konsep Agama
Al-Farabi menegaskan bahwa agama adalah serangkaian gagasan dan
tindakan, yang ditentukan dan dibatasi oleh ketetapan-ketetapan (situasi) dan
kondisi untuk masyarakat dari penguasa pertama mereka yang berusaha
memperoleh tujuan tertentu dengan mempraktikannya dengan menghormati
mereka atau dengan cara mereka.111
Di dalam penjelasan The Enumeration of
Science (Pencacahan Ilmu Pengetahuan) pada sesi ke 4, al-Farabi menyatakan
bahwa setiap agama mempunyai sejumlah gagasan teoritis dan tindakan. Gagasan-
gagasan tersebut diantaranya berkenaan dengan konsep Tuhan-bagaimana Dia
diterangkan, tentang dunia, dan hal-hal lainnya. Terkait dengan tindakan-tindakan
(kebijakan) ialah seperti tindakan yang mana Allah diagungkan serta tindakan
yang mengatur tentang pergaulan masyarakat di kota-kota.112
Adapun dalam
mengatur gagasan dan tindakan ini terdapat dalam keahlian ilmu hukum.
Ilmu fiqih (ilmu hukum) adalah ilmu yang mana manusia dapat
berpendapat tentang sesuatu yang tidak secara terperinci dijelaskan oleh Pembuat
Syariat, yaitu hukum-hukum (aturan-aturan) pada setiap perkara yang belum
diterangkan oleh Pembuat Syariat.113
Agama awalnya terlihat sebagai politik;
yaitu berupa kumpulan keyakinan dan perilaku yang komprehensif yang ditujukan
111
Ahmed Ali Siddiqi, Politics, Religion, and Philosophy in Al-Farabi's Book of Religion
(Austin, University of Texas, 2014), h. 8. 112
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 80. 113
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 80.
62
kepada sebuah komunitas oleh penguasa pertamanya. Ukuran komunitas itu tidak
terbatas; boleh jadi sebuah suku, kota atau kabupaten, bangsa yang besar, atau
berbagai negara.114
Agama yang dinyatakan oleh al-Farabi secara empati adalah hasil dari
satu pemikiran yang berusaha mencari tujuan tertentu. Agama harus melibatkan
gagasan teoritis dan tindakan; Dengan demikian, undang-undang tentang tindakan
(perbuatan) yang tidak membahas tentang keimanan-keimanan tertentu tidak
dapat dikatakan bersifat religius, juga tidak bisa dikatakan keimanan jika tidak
disertai dengan aturan tindakan.115
Selanjutnya, al-Farabi berpendapat bahwa
agama dipandang sebagai ungkapan kebenaran.116
Oleh sebab itu agama
merupakan jalan terbaik untuk mencapai tujuan sejati. Tujuan sejati inilah yang
nantinya menjadi pembeda antara agama yang sebenarnya dengan yang
tidak.Agama yang sebenarnya berusaha menuju akhir untuk mencapai
kebahagiaan sejati bagi penduduk masyarakat.117
Agama (milla) dan keyakinan (din) hampir sama seperti halnya hukum
(shari'al) dan tradisi (sunna). Paling sering, dua yang terakhir menandakan dan
berlaku untuk tindakan yang ditentukan dalam dua bagian agama. Mungkin juga,
untuk gagasan teoritis yang ditentukan yang disebut hukum, sehingga hukum,
agama, dan keyakinan akan menjadi sama, mengingat bahwa agama terdiri dari
114
Ahmed Ahmed Ali Siddiqi, Politics, Religion, and Philosophy in Al-Farabi's Book of
Religion (Austin, University of Texas, 2014), h. 8. 115
Ahmed Ahmed Ali Siddiqi, Politics, Religion, and Philosophy in Al-Farabi's Book of
Religion (Austin, University of Texas, 2014), h. 8. 116
Seyyed Hossain Nasr, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan
(Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 225. 117
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 89.
63
dua bagian: gagasan teoritis yang ditetapkan dan tindakan-tindakan yang
ditentukan. Jenis gagasan teoritis pertama yang ditentukan dalam agama ada dua:
gagasan yang dirancang oleh nama tertentu, yang secara adat menandakan itu
sendiri; atau sebuah gagasan yang dirancang oleh sebuah nama yang sama
dengannya. Jadi, gagasan yang ditentukan dalam agama yang baik adalah baik
kebenaran atau kemiripan dari kebenaran. Secara umum, kebenaran adalah apa
yang dipastikan oleh manusia, baik oleh dirinya sendiri melalui pengetahuan
primer, atau dengan demonstrasi118
.
1. Agama Utama Menurut al-Farabi
Dalam Bagian 2, al-Farabi memberikan penjelasan yang lebih tepat
tentang agama utama. Agama terdiri dari tindakan-tindakan dan pendapat-
pendapat. Sejumlah gagasan yang terdapat dalam agama utama adalah tentang
hal-hal teoritis dan beberapa yang bersifat sukarela. Al-Farabi menawarkan daftar
topik yang panjang yang digambarkan oleh gagasan teoritis agama.119
Diantara yang bersifat teoritis adalah yang menjelaskan tentang Allah
Yang Maha Tinggi. Kemudian ada beberapa yang menggambarkan makhluk
spiritual, tingkatan mereka dalam diri mereka sendiri, dan tingkatan mereka dalam
hubungannya dengan Tuhan, dan apa yang masing-masing mereka lakukan.
Kemudian ada beberapa yang menggambarkan tentang penciptaan dunia, juga
beberapa yang menggambarkan dunia dan bagian-bagiannya serta tingkatannya;
bagaimana tubuh-tubuh primer (ruh) dihasilkan (dibangkitkan) dan bahwa
118
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 96. 119
Ahmed Ali Siddiqi, Politics, Religion, and Philosophy in Al-Farabi's Book of Religion,
(Austin, University of Texas, 2014), h. 8.
64
beberapa badan primer adalah sumber dari semua badan lain yang secara terus
menerus dimatikan dan dihidupkan; bagaimana semua tubuh dihasilkan dari
sumber tubuh dan tingkatan dari tubuh-tubuh tersebut; bagaimana hal-hal yang
menyatu di dunia dihubungkan bersama dan terorganisir dan bahwa apa pun yang
terjadi kepada mereka adalah adil dan tidak ada yang tidak adil; dan bagaimana
masing-masing dari mereka dihubungkan dengan Allah dan mahluk spiritual.120
Kemudian ada beberapa hal tentang keberadaan manusia dan jiwa yang
terjadi dalam dirinya, juga tentang orang pandai, tingkatannya di dunia dan
maqomnya dalam berhubungan dengan Allah dan makhluk spiritual. Juga ada
beberapa yang menerangkan apa itu kenabian dan seperti apa itu pewahyuan dan
bagaimana datangnya wahyu tersebut. Ada juga beberapa yang menerangkan
kematian dan kehidupan setelah mati dan sehubungan dengan kehidupan setelah
mati, kebahagiaan yang paling baik dan pengadilan yang baik, serta balasan bagi
orang yang paling berdosa dan orang yang melampaui batas diadili.121
Adapun gagasan teoritis sukarela (voluntary opinions) adalah mereka
yang menjelaskan nabi-nabi yaitu raja yang paling bajik, penguasa yang budiman,
dan pemimpin jalan yang lurus dan utusan yang membenarkan nabi satu dengan
lainnya di zaman dahulu; dan orang-orang yang berhubungan dengan apa yang
mereka miliki bersama, tindakan-tindakan baik adalah karakteristik dari masing-
masing mereka, dan dimana jiwa-jiwa mereka dan jiwa orang-orang yang
mengikuti dan menyamai mereka di kota, negara-negara berakhir dikembalikan
120
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 94. 121
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 95.
65
(di akhirat). Ada orang-orang yang menggambarkan raja-raja yang sangat bajik,
manusia-manusia yang budiman, dan pemimpin-pemimpin jalan yang benar di
masa kini, dan ada orang-orang yang disebutkan bahwa mereka memiliki
kesamaan dengan orang-orang sebelumnya dan tindakan-tindakan baik adalah
ciri-ciri dari mereka. Ada juga yang menggambarkan penguasa yang bejat,
pemimpin yang menyimpang dan penduduk dari komunitas yang bodoh di masa
kini; dan mereka yang dihubungkan memiliki kesamaan dengan orang-orang
sebelumnya, tindakan seperti setan dicirikan kepada mereka, dan dimana mereka
nanti ditempatkan di akhirat.122
Penjelasan segala sesuatu yang diatur oleh teori-teori agama haruslah
menggiring masyarakat untuk membayangkan segala sesuatu di dalam kota – raja-
raja, penguasa-penguasa, pelayan-pelayan; tingkatan mereka, cara mereka
berinteraksi bersama, dan cara mereka bersikap satu sama lain, dan segala macam
ditentukan bagi mereka-- supaya apa yang digambarkan akan menjadi sebuah
kesamaan dan masyarakat akan mengikuti sesuai kedudukan masing-masing dan
perbuantannya. Dengan demikian, inilah teori-teori yang ada dalam agama.123
a. Pemimpin yang Bajik
Telah dielaskan sebelumnya bahwa agama menurut al-Farabi merupakan
serangkaian teori dan tindakan, yang ditentukan dan dibatasi oleh ketetapan-
ketetapan (situasi) dan kondisi untuk masyarakat dari penguasa pertama mereka.
122
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text, h. 95. 123
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 96.
66
Al-Farabi membedakan empat kelas penguasa. Perbedaan ini berdasarkan jenis
kebaikan yang mereka cari.124
Penguasa yang berbudi luhur mencari kebaikan tidak hanya untuk dirinya
sendiri tapi juga untuk semua orang di bawah pemerintahannya, kebahagiaan
tertinggi yang benar-benar kebahagiaan; dan bahwa agama akan menjadi agama
yang berbudi luhur. Al-Farabi menyatakan dalam Bagian 1 bahwa kebaikan yang
dicari oleh pemerintahan pertama yang bajik - bagi dirinya sendiri dan bagi
komunitas politik - bukanlah kesehatan fisik, kekayaan, kesenangan, kehormatan,
atau penaklukan. Tetapi justru barang-barang ini yang tampaknya akan diperoleh
dengan membuat undang-undang dengan mata menuju keharmonisan sosial di
atas segalanya.
Menurut al-Farabi, manusia sempurna (al insan al kamil) adalah dia yang
memiliki kebajikan teoritis, pengetahuan intelektual dan nilai-nilai moral praktis,
menjadi sempurna dalam perilaku moralnya. Kemudian, menyandang nilai-nilai
teoritis dan moral ini dengan kekuatan efektif, mereka berlabuh di jiwa-jiwa
anggota individu dalam masyarakat ketika mereka memikul tanggung jawab
kepemimpinan politik. Ia menjadi teladan bagi orang-orang lain. Al-Farabi
menggabungkan nilai-nilai moral dan estetika seperti kebaikan yang indah, dan
kecantikan itu baik. 125
124
Ahmed Ahmed Ali Siddiqi, Politics, Religion, and Philosophy in Al-Farabi's Book of
Religion, (Austin, University of Texas, 2014), h. 8. 125
Dr. Muhammad Rauf, Dr. Mushtaq Ahmad, Dr. Zafar Iqbal, “Al-Farabi‟s Philoshopy of
Education: Institute of Education & Research”, Journal University of Peshawar, Education
Department, Vol. 1, No. 2 (Islamabad, Pakistan, 2013): h. 88.
67
Sekarang keahlian dari penguasa pertama yang berbudi luhur adalah raja
dan bergabung dengan wahyu dari Tuhan. Sebenarnya, ia menentukan tindakan
dan pendapat dalam agama yang baik melalui wahyu. Ini terjadi dalam satu atau
kedua cara: satu adalah bahwa semuanya terrungkap (telah diputuskan) kepadanya
sebagaimana yang ditentukan; yang kedua adalah bahwa ia menentukannya
melalui /keahlian yang ia peroleh dari wahyu dan dari pembawa wahyu, sehingga
ketentuan-ketentuan yang ia tetapkan sebagai pendapat dan tindakan bajik
diungkapkan kepadanya dengan cara itu. Atau beberapa muncul dengan cara
pertama dan beberapa dengan cara kedua. Sudah dijelaskan dalam ilmu teoritis
bagaimana wahyu Allah, yang Maha Tinggi, kepada manusia yang menerima
wahyu muncul dan bagaimana fakultas/kecakapan diperoleh dari wahyu dan dari
pembawa wahyu terjadi pada manusia.126
b. Kebahagiaan Sejati
Al-Farabi adalah filsuf Muslim yang juga membahas tentang
kebahagiaan. Meskipun ini bukanlah inti filsafatnya, namun ia sangat antusias
sekali membahas tentang kebahagiaan. Bahkan al-Farabi menulis dua buku
tentang kebahagiaan Tahshilal-Sa‟adah (Mencari Kebahagiaan) dan al-Tanbih al-
Sa‟adah (Membangun Kebahagiaan). Bagi al-Farabi, kebahagiaan adalah jika
jiwa manusia menjadi sempurna di dalam wujud di mana ia tidak membutuhkan
dalam eksistensinya kepada suatu materi.127
126
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 94. 127
Endrika Widdia Putri, “Konsep Kebahagiaan dalam Perspektif al-Farabi”, Jurnal Aqidah
dan Filsafat Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta, 2018): h. 97.
68
Menurut al-Farabi, kebahagiaan adalah kebaikan mutlak, yaitu kebaikan
yang diinginkan untuk kepentingannya sendiri di mana tidak ada yang lebih besar
untuk dicapai. Mencapai kebahagiaan adalah tujuan hidup. Alfarabi menjadikan
kebahagiaan sebagai alasan eksistensi manusia. Dia secara tegas menyatakan
bahwa Tuhan menciptakan kita untuk mencapai kebahagiaan, kesempurnaan
tertinggi. Bagi Alfarabi, apa pun yang membantu seseorang mencapai
kebahagiaan itu baik dan apa pun yang menghalangi seseorang mencapai
kebahagiaan adalah kejahatan. Kebahagiaan dicapai ketika jiwa orang mencapai
kesempurnaan, di mana ia tidak membutuhkan substansi material untuk ada.
Seseorang tidak hanya perlu memahami dan sadar akan kebahagiaan; seseorang
harus juga menginginkan kebahagiaan dan menjadikannya tujuan hidup. Jika
keinginan seseorang untuk bahagia lemah dan seseorang memiliki tujuan hidup
yang berbeda, hasilnya akan jahat.
Dalam Civil Politic, Alfarabi sekali lagi menekankan pentingnya
memahami inteligensi untuk mencapai kebahagiaan. Dia menunjukkan bahwa
tidak setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami hal-hal ini. Orang-orang,
yang memiliki kapasitas untuk memahami inteligensia tidak akan selalu mencapai
kebahagiaan. Kapasitas bawaan ini mempermudah orang untuk mencapai
kebahagiaan, tetapi terserah mereka untuk mencapai tujuan ini. Untuk Alfarabi,
karakter bawaan dan alami dapat dikembangkan, diperkuat atau dilemahkan.
Alfarabi membandingkan tindakan bajik (baik yang dimiliki oleh alam atau
diperoleh) dengan seni menulis. Semakin banyak Anda berlatih seni menulis,
semakin baik Anda menjadi. Demikian juga, semakin Anda berlatih tindakan
69
bajik, semakin Anda menjadi bajik, yang pada akhirnya akan menuntun Anda
menuju kebahagiaan.
Kebahagiaan sejati menurut al-Farabi adalah kebahagiaan yang diperoleh
sesudah kehidupan di dunia, yaitu kebahagiaan di akhirat. Al-Fārābī mengatakan
bahwa kebahagiaan tertinggi bagi manusia sebagai mahluk berakal adalah ketika
ia mencapai suatu kondisi di mana jiwa manusia tidak lagi membutuhkan materi.
Sebab, jiwa manusia menjadi bersifat ruhani, menjadi substansi immateri.128
Ia
menjelaskan dalam Book of Religion:
Hal itu menjelaskan bahwa sebagian tindakan tersebut benar-
benar kebahagiaan dan sebagiannya lagi dianggap kebahagiaan
padahal bukan, dan bahwa tidak mungkin kebahagiaan sejati
dalam kehidupan sekarang ini, melainkan setelah kehidupan yang
sekarang, yaitu kehidupan akhirat. Sedangkan sesuatu yang
dianggap menjadi kebahagiaan seperti kekayaan, kehormatan,
kesenangan - adalah sesuatu yang hanya dirancang sebagai
tujuan-tujuan sementara dalam kehidupan sekarang ini.
Kebahagiaan akan dapat dicapai hanya melalui lenyapnya keburukan-
keburukan, tidak saja keburukan yang muncul secara sukarela, tetapi juga
keburukan yang muncul secara alamiah dari kota-kota dan bangsa-bangsa, dan
bila keduanya berhasil memperoleh kebaikan-kebaikan, baik kebaikan yang
terjadi secara alami maupun kebaikan yang terjadi berkat karsa. Fungsi penguasa
kota adalah mengelola kota sedemikian rupa sehingga semua bagian kota saling
berkaitan dan serasi, serta sedemikian teratur sehinggan membuat penduduknya
128
Osman Bakar, Hirarki Ilmu: Membangun rangka pikir Islamisasi Ilmu (Bandung: Mizan,
1997), h. 167.
70
mampu bekerjasama untuk menyingkirkan berbagai keburukan dan untuk
memperoleh berbagai kebaikan.129
Bagi al-Farabi, kebahagiaan sejati hanya dapat dicari melalui kebajikan
dan hal-hal yang luhur (mulia), seperti halnya, kesehatan, kehormatan dan
kesenangan, serta menanamkan dan memberikan bimbingan pada masyarakat
akhlak yang baik. Selain itu, menurut al-Farabi, bangsa dan warga kota untuk
mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat adalah ketika manusia
memenuhi empat jenis sifat-sifat utama/ keutamaan. Keutamaan menurut al-
Farabi adalah keadaan jiwa yang menimbulkan tindakan yang mengarah pada
kesempurnaan teoritis. Artinya, keutamaan dari sesuatu adalah sesuatu yang
menghasilkan keunggulan dan kesempurnaan dalam keberadaan dan
tindakannya.130
Adapun keutamaan-keutamaan tersebut yaitu, pertama, keutamaan
teoritis, yaitu prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang diperoleh orang sejak semula
tanpa dirasai, tanpa diketahui cara dan asalnya diperoleh,dan juga diperoleh
dengan renungan kontemplatif, penelitian dan juga dari mengajar dan belajar.131
Kedua, keutamaan intelektual atau pemikiran, yaitu keutamaan yang dengannya
memungkinkan orang mengetahui apa yang paling bermanfaat dalam tujuanyang
utama. Termasuk dalam hal ini, kemampuan untuk membuat aturan-aturan,
129
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung, Penerbit
Mizan: 2002), h. 66. 130
Afifeh Hamedi, “Farabi‟s View on Happiness”, International Journal of Advanced
Research, Departmen of Philosophy of Education: Islamic Azad University, Bushehr, Iran. Vol. 1,
issue 7 (September, 2013): h. 475. 131
Abu Nashr al-Farabi, Tahshil al-Sa‟adah dalam Endrika Widdia Putri, “Konsep
Kebahagiaan dalam Perspektif al-Farabi”, Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga. Vol. 19, No.1 (Juni, 2018): h. 104.
71
karenaitu disebut dengan keutamaan pemikiran budaya (fadha‟il fikriyyah
madaniyyah). Ketiga, keutamaan akhlaki, yaitu keutamaan yang bertujuan untuk
mencari kebaikan. Keempat, keutamaan amalia atau praktis yang dapat diperoleh
dengan dua cara, pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan yang merangsang.
B. Filsafat Menurut al-Farabi
Al-Farabi berperan dalam membuat terobosan baru dalam sejarah
pemikiran filosofis Islam, karena ia adalah pendiri epistemologi pertama yang
mengandalkan 'alasan universal' dan demonstrasi yang dia sajikan. Keadaan
intelektual, politik dan sosial yang berlaku pada zamannya tidak diragukan lagi
menjelaskan pendekatannya karena, pada kenyataannya, ia hidup dalam periode
historis yang pada saat itu sedang mengalami gejolak besar, di mana pusat
khalifah Islam terpecah menjadi negara-negara dan kerajaan yang independen
baik di timur maupun di Barat; dan sekte-sekte atau aliran pemikiran (madhahib)
bermunculan melemahkan kesatuan intelektual dan politik bangsa (oumma). Jadi
perhatian al-Farabi adalah mengembalikan kesatuan pemikiran Islam dengan
menegaskan gnoseologi berdasarkan demonstrasi.132
Filsafat teoritis dan praktis,
pertama kali disebutkan secara eksplisit dalam Book of Religion hanya sebagai
sarana untuk mempertahankan gagasan dan tindakan yang diturunkan melalui
wahyu kepada pemimpin / penguasa pertama dalam agama yang baik. Pendapat
132
Ammar al-Talbi, “Al-Farabi: 259 - 339 AH / 872 - 950 AD”, Journal of International
Bureau of Education, Vol. 23, No. 1 - 2 (Paris, 1993): h. 3. Selanjutnya diterbitkan oleh UNESCO
Publishing dengan judul Al-Farabi's Doctrine of Education: Between Philosophy and Sociological
Theory.
72
demikian mengarah pada pernyataan lebih lanjut bahwa agama adalah bawahan
filsafat, baik secara praktis serta teoritis.133
1. Metode Nalar al-Farabi
Al-Farabi mengkategorikan klasifikasi tripartit dari jenis metode
diskursus atau cara penalaran yang menjadi pusat bagi banyak filsafat Islam di
abad-abad berikutnya. Jenis-jenis penalaran itu jika diurutkan secara menaik
adalah: retoris, dialektis, dan demonstratif. Penalaran retorika dan dialektika
dihubungkan dengan banyak manusia dan merupakan cara penalaran yang
digunakan dalam disiplin ilmu umum, sedangkan penalaran demonstratif adalah
wilayah bagi para filsuf kelas elite, yang digunakan untuk memperoleh kepastian.
Perbedaan utama antara ketiga jenis wacana ini adalah jenis-jenis premis dari
mana memulainya, dan sejauh mana memberikan pembenaran akhir untuk
kesimpulan. Disiplin retoris, seperti al-Farabi jelaskan di bagian lain, berdasarkan
kesimpulan pada pendapat persuasif, sementara yang dialektis mulai dari opini
yang diterima secara umum. Sebaliknya, metode demonstratif dimulai dari
prinsip-prinsip pertama atau bagian-bagian yang jelas dan selanjutnya
memperoleh bukti dari masing-masing bagian, baik secara langsung maupun tidak
langsung.134
Al-Farabi membedakan dua variasi ilmu pengetahuan, yaitu ilmu analitik
atau deduktif (qiyaasiyah) dan ilmu non-analitik. Ilmu analitik adalah ilmu yang
didasarkan kepada hal teoritis termasuk filsafat, dialektika, ilmu pengetahuan,
133
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 91. 134
Muhammad Ali Khalidi, Cambridge Text in History of Philoshopy: Medieval Islamic
Philoshopical Writings (New York: Cambridge University Press, 2005), h. xiv.
73
retorika dan puisi. Sedangkan yang termasuk ke dalam bagian ilmu praktis ialah
ilmu kedokteran, pertukangan, konstruksi, arsitektur dan sejenisnya. Dalam buku
Great Islamic Thinker karya Muhsin Mahdi, al-Farabi berpendapat bahwa ilmu-
ilmu praktis atau seni menggunakan metode pembuktian teoritis, tetapi hanya
secara kebetulan. Filsafat di sisi lain, selalu menggunakan metode analitik atau
deduktif.135
Metode analitik memiliki lima subdivisi: 1) demonstratif (burha'niyah),
di mana kebenaran diteliti dan disampaikan dalam segala aspek untuk
menunjukan kepastian; 2) dialektika (jadaliyah), yaitu kepercayaan dicari
sehubungan dengan prinsip-prinsip yang diterima secara umum (mashhuôraat); 3)
kepiawaian, di mana tujuan si pembicara adalah persuasi dengan menggunakan
prinsip-prinsip yang dipertanyakan (tujuannya adalah strategy atau taktik. Dalam
metode diskursus ini, pembicara bertujuan untuk memberi kesan bahwa dia
memiliki kebijaksanaan, tetapi ini bukanlah pokok utamanya; 4) metode retoris
bertujuan untuk mengajak pendengar untuk setuju tanpa adanya pembuktian untuk
memperoleh kepastian; 5) tujuan puitis pada simulasi atau mimikri dengan jalan
lain untuk apa yang mirip dalam kata-kata, atau dalam kata lain analogi.136
Setelah membuat daftar delapan risalah logis dari Aristotle's Organon,
Al-Farabi menyimpulkan dengan menyatakan bahwa logika adalah media yang
apabila digunakan dengan benar akan menghasilkan kepastian (yaqın) di semua
135
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 57. 136
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 57.
74
ilmu teoritis dan praktis dan mutlak sangat diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Namanya, mantiq, katanya, berasal dari ucapan (nutq), yang mana para
filsuf kuno membagi ke dalam dua bagian: a) kecerdasan untuk memahami dalam
kedua bidang praktis dan teoritis (ini disebut 'suara hati / batin di dalam); b)
kecerdasan komunikasi publik / pidato atau ekspresi dalam bahasa lisan.137
Pembahasan metode pembuktian demonstratif adalah pokok bahasan dari
Aristotle's Analytica Posteriora, di mana al-Farbi telah menulis sebuah parafrase
yang berjudul kitab Al-Burhan (Book of demonstration). Di sini, ia membagi
semua metode diskursus dengan tata cara tradisional Arab, yang mungkin
merupakan dasar Stoic, ke dalam konsepsi (tasawwur) dan persetujuan (tasdıq),
yang hampir berhubungan dengan definisi dan penghakiman. Hal ini diikuti oleh
diskusi tentang variasi persetujuan/kesepakatan/pembuktian: demonstratif,
dialektis dan retoris.138
Dalam pembahasan tentang metode pembuktian demonstratif yang
dianggap oleh Aristoteles sebagai metode tertinggi, Al-Farabi membedakan antara
pengetahuan tentang fakta (oti) dan penyebab fakta (dioti) sepanjang dasarnya
jalur / pemikiran Aristotelian. Faktanya, menurut al-Farabi, dikenal secara
langsung baik melalui rasa-pengalaman, bukti eksternal atau wahyu (dalil).
Setelah fakta diketahui, kita dituntun untuk mencari penyebabnya dengan salah
satu dari tiga metode yang disebutkan di atas. Penyebab ini kemudian disajikan
137
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 57. 138
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 58.
75
sebagai bahan / materi, formal, berdayaguna / fungsi dan final. Dari sinilah
pengetahuan formal dan final memerlukan pengetahuan tentang sesuatu hal yang
semestinya, bahwa bahan / materi, dan fungsi / dayaguna mengakibatkan
keberadaan sesuatu hal itu mungkin pasti atau mungkin.139
Pengetahuan menyeluruh dari suatu entitas adalah pengetahuan dari
keduanya yaitu yang lebih dekat (proximity) dan penyebab utama. Dengan
demikian, dalam menjelaskan gerhana bulan, tidak cukup untuk mengatakan
bahwa; bulan berada di pusat ekliptika, yang merupakan penyebab utama gerhana,
tetapi kita harus menambahkan, sebagai penyebab yang lebih dekat (proximate):
interposisi bumi antara matahari dan bulan, dengan demikian menutupi sinar
matahari.
Syllogisme demonstratif, yang mengarah pada pengetahuan tertentu
('ilm, episteme), berbeda dari jenis syllogisme lain sejauh alasan yang diperlukan
dan sebelum kesimpulan. Setelah alasan ini dikemukakan, kesimpulannya tentu
mengikuti. Beberapa ilmu seperti matematika dan fisika berurusan dengan entitas
atau prinsip tertentu, seperti gerak atau besarnya. Metafisika, di sisi lain, berkaitan
dengan entitas atau prinsip universal, sejauh mereka mengarah pada prinsip-
prinsip utama yang umum untuk setiap hal, seperti penyebab formal dan
terakhir.140
Seperti Aristoteles, di dalam Posteriora Analytica, al-Farabi mengerjakan
di bagian kedua dari kitab Al-Burhan dengan definisi, aturan dan hubungannya
139
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 58. 140
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 59.
76
dengan demonstrasi. Dia mulai dengan mengemukakan sebagai premis bahwa
definisi terdiri dari satu istilah atau frasa, yang dapat digunakan sebagai
kesimpulan atau premis demonstrasi. Misalnya, jika kita mendefinisikan Guntur
sebagai suara yang disebabkan oleh awan (atau lebih tepatnya tabrakan dari dua
awan), kemudian tambahkan ' melibatkan beriak di awan ', kita akan mendapatkan
sillogisme berikut:141
P1 :Awan ini disertai dengan angin yang beriak;
P2 :Sekarang, angin ini menyebabkan suara;
K :Oleh karena itu, awan menyebabkan suara
Sillogisme semacam ini, menurut al-Farabi dapat menghasilkan sebuah
kesimpulan definisi, di mana istilah dapat disusun kembali sedemikian rupa untuk
menghasilkan definisi Guntur:
Guntur adalah suara di awan karena riak angin di dalamnya.
Perbedaannya, menurut al-Farabi bahwa definisi sebelumnya dalam
demonstrasi - yaitu, premis utama dan definisi tengah (atau awan dan suara
beriak) diturunkan sampai akhir dalam definisi. Dengan demikian, apa yang
sebelumnya dalam demonstrasi adalah posterior dalam definisi.
Definisi berbeda dari demonstrasi sejauh rumus tidak memerlukan
penilaian, seperti halnya dengan demonstrasi, dan dengan demikian dapat
digunakan sebagai bagian dari penilaian. Namun, definisi melibatkan dua bagian,
satu yang dapat didasarkan pada definiendum, yang lain tidak. Jadi, jika kita
mendefinisikan sebuah lingkaran sebagai angka yang ditulis oleh satu baris dan
yang memiliki pusat dari mana semua garis yang ditarik ke lingkar sama, istilah '
141
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 59.
77
figure ' adalah predikable dari sebuah lingkaran, tapi tidak satu baris. Untuk
lingkaran bukanlah satu baris, tetapi merupakan sosok yang ditulis oleh satu baris,
yang sebenarnya merupakan bagian dari perbedaan angka yang didefinisikan
sebagai lingkaran.
Al-Farabi menyimpulkan dari pernyataan ini bahwa dari dua komponen
definisi: genus dan differentia. Genus merupakan bagian integral dari
definiendum, sedangkan differentia tidak. Jadi, ketika kita mendefinisikan dinding
sebagai tubuh yang menopang atap, menopang atap bukanlah bagian penting dari
konsep dinding. Demikian pula, jika kita mendefinisikan Tuhan sebagai dzat yang
menggerakkan dunia, menggerakkan dunia bukanlah bagian penting dari kodrat
Tuhan, yang berbagai perbedaan berlaku.142
Dari metode definisi yang sedikit konvensional, al-Farabi menyebutkan
metode Xenocrates, yang terdiri dari mendefinisikan objek dengan demonstrasi,
dan metode Plato dengan cara pembagian atau dikotomi. Metode pertama
mengandaikan pengetahuan tentang jangka menengah dari demonstrasi; yang
kedua mengandaikan pengetahuan tentang genus di mana definisi didefinisikan,
serta perbedaan esensial yang menentukan masing-masing genus berturut-turut.
Dengan kata lain, kedua metode ini melibatkan prinsip petisi. Dalam logika
Aristotelian, differentia dikenal baik dengan induksi atau deduksi, tetapi bukan
apriori, seperti dua metode di atas dalam arti mengandaikan.143
142
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 60. 143
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 60.
78
C. Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut al-Farabi
Pandangan dan gagasan al-Farabi dipengaruhi oleh dua sumber penting
yaitu agama Islam dan filsafat Yunani. Dalam filsafat, al-Farabi menerima
beberapa gagasan filsuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus, yang
secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh mereka. Meskipun begitu,
al-Farabi memiliki konsep tersendiri yang ia kembangkan dalam bidang filsafat,
seperti teorinya dalam Utopia dan klasifikasi sains (The Enumeration of
Sciences). Adapun, teori lain menyebutkan al-Farabi dipengaruhi oleh Islam.144
Dalam hal ini, al-Farabi mencoba menyesuaikan filsafat dengan agama dan
menunjukkan bahwa keduanya itu saling berhubungan dan konsisten. Al-Farabi
juga telah menguasai filsafat dan percaya pada sumber-sumber Islam, serta
menerima mereka dengan nalar dan logika.145
1. Haqq / Kebenaran
Para filsuf muslim awal seperti al-Fārābī dipengaruhi oleh sumber-
sumber Islam berdasarkan wahyu. Dengan kata lain, para filsuf ini mendekati
banyak subjek filosofis melalui pola Al-Qur'an. Mirip dengan muslim lainnya,
mereka percaya bahwa Allāh (God) adalah satu: Dialah yang mahakuasa dan tidak
memiliki sekutu dalam Kuasa dan Pengetahuan-Nya. Dia tahu „semua misteri
dunia‟. Bahkan, Al-Qur'an menyebutkan bahwa nama-Nya yang lain adalah
144
Shahsavari Mahmood, “Al-Farabi: Educational Ideas about the Foundations of
Education: Objectives, Programs, Methods, Teacher and Student”, Journal of Basic and Applied
Scientific Research. Department of Educational Sciences, Payame Noor University (Iran, 2012): h.
9570. 145
Shahsavari Mahmood, “Al-Farabi: Educational Ideas about the Foundations of
Education: Objectives, Programs, Methods, Teacher and Student”, Journal of Basic and Applied
Scientific Research. Department of Educational Sciences, Payame Noor University (Iran, 2012): h.
9570.
79
"Haqq", yang berarti „kebenaran‟. Istilah Haqq sangat penting untuk memahami
hubungan antara filsafat Yunani dan wahyu Islam.146
Al-Fārābī, filsuf yang tertarik pada „esensi realitas‟, percaya bahwa
filsafat Yunani dan Islam memiliki kesamaan terhadap pertanyaan tentang
kebenaran, yaitu Haqq. Sebagai seorang filsuf, ia bermaksud untuk menemukan
„kebenaran keberadaan‟, „pengetahuan tentang hal-hal yang ada sejauh mereka
ada‟. Sebagai seorang muslim, bagaimanapun, ia menganggap Tuhan sebagai
Kebenaran.147
Untuk mengetahui tentang Kebenaran Keberadaan, al-Farabi memulai
dengan penjelasan Yang Pertama (Tuhan). Yang Pertama (al-Awwal) adalah
penyebab dari semua entitas yang ada. Yang Pertama ini menjadi sebab
keberadaan entitas lainnya (aqdan). Dengan demikian, Yang Pertama benar-benar
terbebas dari segala ketidaksempurnaan dan Yang Pertama tidak tergantung
kepada apapun karena Dia kekal dan satu. Selain itu, al-Farabi menegaskan bahwa
Yang Pertama bebas dari segala macam bentuk materi dan bentuk karena bentuk
hanya ada dalam materi. Yang Pertama tidak memiliki pasangan (sharik). Karena
apabila itu terjadi maka akan terjadi pertentangan. 148
“In deference to official Islamic doctrine, al-Fa ¯ra ¯bi goes
on to state that the First Being has no partner (sharı ¯k) who
shares in its being or perfection, for if it did, this partner
would be made up of that which is peculiar to it and that
which it shares with the First, and thus would be composite
146
Hamid Andishan, “Al-Farabi‟s Tradition Vis-à-vis Philosophical Pluralism”, Journal of
East-West Thought (Tehran, 2012): h. 110. 147
Hamid Andishan, “Al-Farabi‟s Tradition Vis-à-vis Philosophical Pluralism”, Journal of
East-West Thought (Tehran, 2012): h. 110. 148
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h.80.
80
and accordingly radically different from the First, whose
essence is simple and indivisible. Nor can the First have an
opposite, or else the two would nullify each other. For, it is
of the essence of two opposites that the one is where the
other is not, or is not where the other is and, as such, is
corruptible. However, were the First corruptible, its
subsistence or duration would not be part of its essence and,
accordingly, would depend for its existence on something
else. As such, it would cease to be the First or Everlasting
Being.”149
Dalam menjelaskan argumennya, ia memulai dengan dua pendekatan
yaitu Agama (wahyu) dan filsafat Aristotele dalam karyanya yang berjudul
Metaphysics. al-Farabi menegaskan bahwa Allah / Yang Pertama merupakan
Dzat Yang Satu (Samad) dan kekal. Tidak ada yang setara dengan-Nya.
Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Ikhlas (112) yang artinya:150
“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak
beranak dan tidak pula diperanakan. Dan tidak ada sesuatu
yang setara dengan Dia.”
Dalam pendekatan filsafat, al-Farabi setuju dengan gagasan Aristotele
yang menganggap Tuhan sebagai Dzat Yang Pertama. Dia (Allah) sebagai Dzat
Yang Abadi dan Aktual (Metafisika, XII, 1072 A 25).
“Aristotle, at the philosophical level, and the Qur‟an, at the
religious level, removed that indeterminateness. The former
regarded God or the First Principle as an immovable and
eternal substance (ousia) or actuality (Metaphysics, XII,
1072 a 25); whereas the latter has distinguished God as the
„only One ... the Everlasting [samad] ... None is His equal‟
(Qur‟an 112).”
149
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h.80 – 81. 150
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h.81.
81
Dengan demikian, pendekatan di atas menunjukan bahwa para filsuf
muslim memiliki dua sumber untuk mengetahui kebenaran / Haqq. Islam
menuntut filsuf muslim melalui ajaran Al-Qur'an ke Kebenaran - yaitu Allah, dan
filsafat Yunani membimbing mereka melalui pemikiran dan penalaran menuju
kebenaran – yaitu esensi hal. Dalam pikiran mereka, dua cara muncul secara
paralel dan menuju tujuan yang sama:151
God, in Islamic philosophy, is the source of the book of creation
(universe) and composed book (Qur‟ān). The composed book is
orchestrated with book of creation and its order. The philosopher
can deduce the statements of Qur‟ān by watching the universe
(Dāwarī 1998, 121).
Keserasian yang ditujukan antara filsafat Yunani dan Islam ini adalah
hasil upaya para filsuf muslim awal, dan khususnya, tulisan-tulisan al-Fārābī.
Filsafat dapat menduduki posisi yang dihormati dalam sistem pemikiran muslim
karena upaya ini. Al-Fārābī mencoba mengharmonisasikan keduanya dan
mencoba menyelamatkan filsafat dari tuduhan sebagai anti-agama. Di bawah
pengaruh al-Farabi, Abū ayyān al-Tawḥ īdī menulis:152
Is not philosophy outward form of spirit and is not religion inward
form of spirit? When Greek philosophy and Arabic religion
combine, the perfection becomes accessible (Dāwarī 2003, 120).
Dengan demikian, agama mendorong filsafat dan berfungsi terutama
untuk menyampaikan kebenaran yang lebih bermakna dalam bentuk yang dapat
dipahami oleh masyarakat. Namun, al-Farabı menyadari bahwa perkembangan
yang teratur ini dapat dipatahkan dalam beberapa kasus, terutama ketika agama
151
Hamid Andishan, “Al-Farabi‟s Tradition Vis-à-vis Philosophical Pluralism”, Journal of
East-West Thought (Tehran, 2012): h. 110. 152
Hamid Andishan, “Al-Farabi‟s Tradition Vis-à-vis Philosophical Pluralism”, Journal of
East-West Thought (Tehran, 2012): h. 111.
82
dibawa dari satu negara ke negara lain. Selain itu, agama mungkin menjadi rusak
jika didasarkan pada filsafat non-demonstratif, yang masih dikembangkan
menggunakan metode retoris, dialektis, atau sofistik. Ini adalah „filsafat‟ dalam
nama saja, karena filsafat yang benar bagi al-Farabi tidak diragukan lagi
demonstratif.153
Agama yang rusak seperti itu pasti akan bertolak belakang dengan
filsafat sejati, karena ia didasarkan pada filsafat yang salah atau meragukan.
Seperti al-Farabı menjelaskan bahwa terkadang ketika sebuah agama yang
didasarkan pada filsafat yang benar dibawa ke suatu bangsa sebelum filsafat yang
menjadi dasarnya. Ketika filsafat itu akhirnya mencapai bangsa, penganut agama,
yang menganggap bahwa agama mereka mengandung kebenaran daripada
perumpamaan kebenaran, akan menentang filsafat.154
2. Filsuf dan Imam
Ketika filsafat Yunani dan agama Islam digabungkan, sebuah cabang
baru muncul, yaitu pengetahuan Ilahi (Teologi). Al-Fārābī mengkategorikan
berbagai cabang ilmu pengetahuan dalam Kitāb Iā'al-ʻ Ulūm, Kitab Klasifikasi
Ilmu Pengetahuan (The Enumeration of Sciences). Dalam uraiannya tentang
teologi, al-Fārābī menulis tentang Tuhan, esensi dan atribut-Nya, kesatuan-Nya,
serta para malaikat dan ciptaan. Al-Taīl al-Sa'ādat adalah salah satu dari tulisan-
tulisan lain di mana al-Fārābī mencoba membawa filsafat Yunani lebih dekat ke
153
Muhammad Ali Khalidi, Cambridge Text in History of Philoshopy: Medieval Islamic
Philoshopical Writings (New York: Cambridge University Press, 2005), h. xvii. 154
Muhammad Ali Khalidi, Cambridge Text in History of Philoshopy: Medieval Islamic
Philoshopical Writings (New York: Cambridge University Press, 2005), h. xvii.
83
Islam.155
Dalam karya ini, pendekatan kombinasinya mengidentifikasi dua konsep
yang berbeda, yaitu Imam / penguasa negara yang bajik - pemimpin agama - dan
filsuf. Dia berpendapat bahwa “filsuf dan Imam memiliki arti yang sama”.156
Al-Farabi mengidentifikasi filsuf dengan nabi, baik sebagai penguasa
tertinggi dan keduanya memiliki wewenang mutlak tentang segala hal yang
menyangkut hukum dan perbuatan. Karena al-Farabi, hubungan antara teologi
Islam dan filsafat agak kontroversial, terutama yang menyangkut pengetahuan,
filsafat menjadi lebih unggul daripada agama. Untuk membawa kepada pencetus
agama dan filsafat umum, al-Farabi membawa perhatian kepada teori nubuawwah
(pewahyuan), namun tidak satupun yang berani mencobanya melainkan Avicenna,
kerana nubuwwah merupakan teori baru yang murni. Nubuwwah tidak lebih dari
sebuah fenomena seperti yang lain, tetapi nabi adalah seorang pria yang mencapai
kesempurnaan dan memiliki kekuatan imajinatif. Dengan bantuan wahyu, dia
dapat mempelajari kebenaran alam akhirat, teori Al-Farabi yang menegaskan
bahwa wahyu dan alasan tidak saling bertentangan satu sama lain. Masyhad Al-
Allaf mengilustrasikan beberapa perbedaan antara filsuf dan nabi yang
diidentifikasi oleh Al-Farabi:157
Pertama, nabi menerima pengetahuannya secara keseluruhan melalui
intelek aktif dalam satu tembakan, tanpa upaya pribadi dalam penalaran logis atau
refleksi filosofis. Kedua, nabi membuat hukum setiap perkara melalui sunnah dan
155
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 91. 156
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 91. 157
Ludmila Birslan, “Islamic political Philosophy: Prophecy, Revelation, and the Divine
law”, Journal of Philosophy, Social and Human Disciplines vol. II (Iasi, 2011): h.87.
84
hukum ilahi yang mengatur manfaat orang melalui peraturan hak dan kewajiban.
Ketiga, nabi menuntun orang untuk menerapkan hukum ilahi dalam kehidupan
mereka untuk mencapai kebahagiaan mereka. Keempat, metodenya praktis dengan
menyebutkan keadilan mutlak dari Allah yang memberikan pahala dan siksa.
Kelima, nabi menuntut masyarakat terhadap setiap pengetahuan yang mereka
tidak mampu.158
Al-Farabi percaya bahwa para filsuf ingin meniru Allah, untuk lebih
dekat kepada-Nya, untuk kesempurnaan-Nya, karena ini adalah tujuan filsafat
sebagai ilmu pengetahuan: untuk memurnikan jiwa kita, untuk membantu kita
mengetahui dan memahami alam semesta, diri kita sendiri dan keberadaan kita
sendiri. Tidak diragukan lagi bahwa dalam filsafat politiknya al-Farabi mengikuti
jejak Plato, Aristoteles, Plotinus, yang paling penting menyangkut konsep
kesejahteraan, kebahagiaan, keadilan, kehidupan sosial tetapi ada beberapa
perbedaan Republik Plato dan Negara Utama al-Farabi, keduanya mengandung
beberapa filsafat. Di Republik Plato ada sistem politik idealis yang diciptakan
oleh seorang pemimpin yang juga seorang filsuf dan dewan filsuf. Di negara
utama al-Farabi, pemimpin adalah baik seorang filsuf maupun seorang nabi. Ada
dewan terkemuka tetapi untuk sebagian besar terbentuk dari para filsuf. Ada
sistem filosofis yang lebih idealis bagi manusia.159
Al-Farabi kemudian melanjutkan dengan menggambarkan kepala
penguasa kota, yang dibaratkan dengan hati, atau organ utama tubuh, sebagai
158
Ludmila Birslan, “Islamic political Philosophy: Prophecy, Revelation, and the Divine
law”, Journal of Philosophy, Social and Human Disciplines vol. II (Iasi, 2011): h. 87-88. 159
Ludmila Birslan, “Islamic political Philosophy: Prophecy, Revelation, and the Divine
law”, Journal of Philosophy, Social and Human Disciplines vol. II (Iasi, 2011): h.88.
85
manajer tertinggi urusan kota, atau kepalanya. Penguasa ini dapat disamakan
dengan Penyebab Pertama, yang memimpin entitas-entitas tidak material, yang di
bawahnya terdapat benda-benda langit, diikuti oleh entitas material. Semua entitas
yang lebih rendah mengikuti dan meniru yang lebih tinggi, yang berpuncak pada
yang tertinggi, yang merupakan Penyebab Pertama.160
Dua kualifikasi penting dari penguasa utama adalah disposisi atau bakat
alami untuk memerintah, ditambah dengan sifat sukarela atau kebiasaan yang
tepat untuk memperoleh tujuan tersebut. Seperti Penyebab Pertama, pemimpin
penguasa kota yang berbudi luhur ini kemudian dikategorikan sebagai orang yang
memiliki kesempurnaan intelektual penuh, baik sebagai subjek maupun objek
pemikiran (aqqil, ma'quôl). Penguasa pertama merupakan seseorang yang mana
kecerdasan/kekuatan imajinatifnya telah mencapai puncak tertinggi, di mana ia
dapat menerima dari Intelek Aktif pengetahuan informasi baik dalam diri mereka
sendiri atau sesamanya, serta bentuk-bentuk yang dapat dipahami. Pada titik itu,
penguasa dapat mencapai kondisi yang dikenal sebagai kecerdasan menerima
informasi / acquaired intellect („aql mustafad), yang merupakan tahap intelektual
tertinggi yang dapat dicapai oleh umat manusia. Kondisi ini dilabeli oleh al-Farabi
sebagai kedekatan / proximity (muqarabah) dengan Intelek Aktif, di tempat lain
disebut konjungsi (ittisal).161
Jika kondisi intelektual ini digabungkan dengan kemampuan imajinatif,
seseorang menjadi penerima wahyu dari Tuhan, yang mengirimkan pesan-
160
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 101. 161
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 103.
86
pesanNya melalui perantara Intelek Aktif, pertama-tama dapat dipahami dan
kemudian sebagai bentuk imajinatif. Dengan demikian, berdasarkan apa intelek
pasif-nya terima, ia menjadi seorang filsuf yang sempurna, bijak (hakım) atau
manusia rasional (muta'aqqil), dan berdasarkan apa yang diterima oleh
kemampuan imajinatif, seorang nabi, yang dipanggil untuk memperingatkan
tentang peristiwa masa depan atau menginformasikan tentang peristiwa-peristiwa
tertentu di masa kini. Seseorang yang memenuhi persyaratan demikian
disimpulkan oleh al-Farabi pemimpin / penguasa, karena ia mampu lebih baik
daripada orang lain, untuk mengidentifikasi setiap tindakan adalah kemaslahatan
untuk kebahagiaan dan membimbing sesama menuju kebahagiaan sejati dan
tindakan yang mengarah ke sana.162
Dalam mengkarakterisasi pemimpian-penguasa, al-Farabi mengadopsi
model kepemoimpinan Plato dalam karya Republic‟s Plato. Tetapi ia
menambahkan poin karakter kenabian di samping cirri-ciri filosofis Plato. Sebuah
perbandingan dari dua daftar yang diberikan di Republic (Karya Plato) dan
Virtous City (Karya al-Farabi) mengungkapkan titik temu antara kesepakatan atau
ketidaksepakatan dari kedua filsuf tersebut. Sebagai permulaan, Plato menegaskan
bahwa raja - filsuf harus memiliki hasrat yang konstan untuk setiap pengetahuan
yang akan mengungkapkan sesuatu dari realitas yang bertahan selamanya, yang
dengannya ia jelas berarti Dunia Gagasan World of Ideas sesuai dengan Dunia
162
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 103.
87
Cerdas al-Farabi. (Karakter ini sesuai dengan sebagian besar karakter atau sifat
keenam al-Farabi).163
Raja - filsuf juga harus menjadi pencinta kebenaran dan pembenci
kepalsuan (karakter kedelapan dari al-Farabi). Ia harus sopan dan tidak mencintai
uang (karakter kesepuluh). Dia harus berani; (karakter keduabelas), Dia harus
berpikiran adil, lembut dan flexible (karakter kesebelas al-Farabi). Ia harus cepat
belajar dan memiliki ingatan yang kuat (sifat ketiga al-Farabi). Tiga sifat yang
tampaknya hilang dalam daftar Plato adalah kefasihan (5), konstitusi tubuh yang
sehat (1) dan cinta keadilan (11), yang secara khusus membentuk bagian dari
kualifikasi untuk seorang pemimpin.
Jika sifat-sifat ini yang harus dimiliki oleh penguasa utama, menurut al-
Farabi tidak dapat ditemukan dalam satu individu seperti yang diakui Plato, tetapi
ditemukan pada lebih dari orang yang memiliki sifat utama kebijaksanaan, mereka
akan secara kolektif memenuhi syarat sebagai penguasa. Jika, di sisi lain,
kebijaksanaan ditemukan dalam satu, kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam
dari ciri-ciri yang disebutkan di atas dalam serangkaian yang lain, mereka semua
akan memenuhi syarat untuk memperoleh sebagai penguasa asalkan mereka
semua memiliki karakter yang sesuai. Namun, jika kebijaksanaan tidak ditemukan
di salah satu dari keenam, kota/negara akan dihukum untuk tetap tanpa pemimpin
penguasa dan pada waktunya ditakdirkan untuk binasa.164
163
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 104. 164
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 105.
88
3. Agama dan Negara
Teologi Islam selalu dikaitkan dengan politik biasanya karena masalah
utama kepemimpinan masyarakat Islam karena membawa perkembangan teologi
Islam, yang sebelumnya lebih banyak mengatur tentang etika dibandingkan
dengan politik dalam arti yang ketat. Ada beberapa keyakinan, sikap masyarakat
Islam yang selalu tetap sama sepanjang abad, yaitu: pemuasan untuk Wahyu Ilahi,
keinginan untuk mengikuti jalan hidup dan perkataan Nabi dan keyakinan bahwa
bersi tegang dari cara-cara leluhur adalah suatu kesalahan.165
Mengkaji tentang gagasan al-Farabi tidak akan terlepas dari
pembahasannya mengenai konsep negara. begitu juga halnya mengakaji tentang
agama. Semua tulisannya, Book of Religion menunjukan yang sangat terang dan
jelas. Karyanya tersebut di satu sisi mengeksplorasi harmonisasi antara filsafat
dan agama, dan di sisi lain memberikan pemahaman yang tepat bahwa keduanya
mengajarkan kita tentang kehidupan politik.166
Pembahasan mendasar dari Book of Religion karya al-Farabi adalah
agama utama mengatur komunitas politik dan tunduk tidak hanya pada filsafat
praktis tapi juga teoritis.167
Sebagai contoh, kriteria yang digunakan untuk
membedakan agama yang bajik dari agama yang tidak bajik yaitu dilihat dari
orientasinya untuk mencapai kebahagiaan sejati bagi penduduk masyarakat.168
165
Ludmila Birslan, “Islamic political Philosophy: Prophecy, Revelation, and the Divine
law”, Journal of Philosophy, Social and Human Disciplines vol. II (Iasi, 2011): h.87. 166
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 88. 167
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 88. 168
Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and
Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 89.
89
Ia mulai dengan premis bahwa manusia tidak dapat mencapai
kesempurnaan yang ditakdirkan untuk dicapai, di luar kerangka kerja asosiasi
politik karena mereka terus-menerus membutuhkan bantuan rekan-rekan mereka
dalam memperoleh kebutuhan dasar mereka dan kelangsungan hidup mereka.
Dengan demikian timbul tiga jenis asosiasi: yang besar, diidentifikasi dengan
dunia pada umumnya (ma'murah, oikiomene); perantara, diidentifikasi dengan
bangsa (ummah), dan yang kecil, diidentifikasi dengan negara-kota (madınah,
polis). Terhadap ketiga bentuk asosiasi politik yang sempurna ini kemudian
ditetapkan tiga bentuk tidak sempurna besar, sedang dan kecil.169
Kota / negara yang berbudi luhur di mana pemimpin penguasa atau Imam
harus memimpin, diwakili oleh al-Farabi sebagai kerangka politik untuk mencapai
tujuan akhir kebahagiaan umat manusia. Penduduknya disatukan oleh tujuan
komunitas bersama baik teoritis maupun praktis. Oleh karena itu, mereka harus
mencari pengetahuan pertama tentang Penyebab Pertama dan semua atributnya,
dan di tahap kedua mereka harus mencari pengetahuan tentang bentuk-bentuk
tidak berwujud (konseptual), serta pengetahuan tentang entitas spiritual
(kecerdasan nalar/akal), properti mereka, tindakan mereka dan pangkat mereka,
berakhir dengan urutan menurun dari intelek aktif. Selanjutnya, penduduk kota
yang bajik hendaknya mencari pengetahuan tentang tubuh surgawi dan sifat
mereka, diikuti oleh tubuh jasmani, bagaimana mereka menjadi ada dan
meninggal serta apa pun yang terjadi dalam dunia dari generasi dan terjadi korupsi
169
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 100.
90
sesuai dengan prinsip keahlian (ihkam), keadilan dan kebijaksanaan dimana tidak
ada ketidaksempurnaan atau ketidakadilan.
Selanjutnya, mereka harus mencari pengetahuan manusia, bagaimana
mereka diciptakan dan bagaimana karakter mereka berkembang dan akhirnya
diterangi oleh cahaya yang berasal dari Intelek Aktif dan merupakan jaminan
mereka memahami prinsip-prinsip Pertama di mana semua pengetahuan
bergantung. Persoalan-persoalan lain yang mesti penduduk kota pahami adalah: 1)
sifat kehendak dan pilihan; 2) karakteristik pemimpin penguasa dan bawahannya;
3) sifat wahyu (wahy) dan bagaimana itu mungkin; 4) sifat kebahagiaan; dan 5)
nasib kota-kota yang tidak berbudi luhur dan bagaimana penduduk itu ditakdirkan
setelah mati untuk menderita kutukan abadi atau penghancuran total.170
Dari dua mode pengetahuan yang terbuka bagi para penghuni kota yang
berbudi luhur – intelektual murni atau abstrak, dan imajinatif atau
representasional kelas filsuf istimewa (hukama) mencapai tipe sebelumnya
dengan jalan demonstrasi dan intuisi; sedangkan masyarakat mencapainya dengan
meminta perwakilan (mithaaya), yang merupakan tiruan dari demonstrasi para
filsuf. Al-Farabi merujuk pada kelas menengah ketiga yang mempertanyakan
representasi massa dan dapat dikatakan milik kelas 'peniru para filsuf', yang
mungkin dimaksudkan oleh al-Farabi sebagai Mutakallimun, yang mengambil
bagian dalam seni dialektika inferior (jadal).171
170
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 107. 171
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 107.
91
Namun, kelas menengah ini yang anggotanya fokus untuk membela
agama masing-masing (millah) tidak dapat menangkap demonstrasi para filsuf
atau dimengerti dengan kemampuan pikir yang mereka persoalkan. Oleh karena
itu, mereka terus berpegang teguh pada gambar (Rusum) dyang dapat dimengerti
atau jejak gambar tersebut dalam jiwa mereka.172
172
Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h.114.
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan mengenai Harmonisasi Agama dan Filsafat
Menurut al-Farabi, maka diperoleh hasil berdasarkan rumusan masalah dan tujuan
penelitian ini, diantaranya:
Pertama, menurut al-Farabi agama adalah serangkaian gagasan dan
tindakan, yang ditentukan dan dibatasi oleh ketetapan-ketetapan (situasi) dan kondisi
untuk masyarakat dari penguasa pertama mereka yang berusaha memperoleh tujuan
tertentu. Selanjutnya, al-Farabi berpendapat bahwa agama dipandang sebagai
ungkapan kebenaran. Oleh sebab itu agama merupakan jalan terbaik untuk mencapai
tujuan sejati. Tujuan sejati inilah yang nantinya menjadi pembeda antara agama yang
sebenarnya dengan yang tidak. Agama yang sebenarnya berusaha menuju akhir untuk
mencapai kebahagiaan sejati bagi penduduk masyarakat.
Kedua, menurut al-Farabi, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang
bagaimana sifat sesungguhnya dari kebenaran. Al-Farabi berperan membuat
terobosan baru dalam sejarah pemikiran filsafat Islam. Dalam penelitian ini penulis
menemukan bahwa al-Farabi mencoba mengembalikan kesatuan pemikiran Islam
berdasarkan demonstrasi.
Ketiga, pandangan dan gagasan al-Farabi dipengaruhi oleh dua sumber yaitu
sumber Islam – al-Quran, dan filsafat Yunani. Dari filsuf Islam, al-Farabi dipengaruhi
oleh dua filsuf sebelumnya: Al-Kindi dan Zakariya al-Razi. Sementara filsafat
93
Yunani, al-Farabi terpengaruh oleh corak pemikiran Aristotele dan Plato. Hasil utama
dari penelitian ini menunjukan bahwa adanya harmonisasi antara agama dan filsafat.
Al-Farabi menegaskan bahwa filsafat dan agama keduanya saling berhubungan dan
konsisten. Filsafat Yunani dan Islam memiliki kesamaan terhadap pertanyaan tentang
kebenaran / Haqq. Islam menganggap Tuhan sebagai Kebenaran, sementara filsafat
Yunani bermaksud untuk menemukan kebenaran-keberadaan. Dengan kata lain,
Islam membimbing mereka melalui ajaran Al-Qur'an menuju kebenaran - Allah, dan
filsafat Yunani menuntun mereka melalui pemikiran dan penalaran menuju kebenaran
- esensi. Dengan demikian antara keduanya tidaklah bertentangan tetapi menuju
tujuan yang sama.
B. Saran
Kajian mengenai pemikiran al-Farabi sangatlah beragam dan selalu menarik
untuk dikaji. Penulis pribadi merasa masih sangat minim dalam menggali kajian
pemikiran al-Farabi, untuk itu penulis mamberikan beberapa saran bagi penulis lain
yang tertarik membahas pemikiran al-Farabi, diantarannya:
Pertama, pemikiran al-Farabi mengenai kedudukan filsafat dan agama.
Dalam hal ini sangat meanrik untuk dikaji secara lebih mendalam karena adanya
pendapat dari al-Farabi yang menyatakan bahwa kedudukan filsafat lebih tinggi dari
agama. Apakah memang benar demikian ataukah ada argument-argumen lain yang
menjelaskan sebaliknya?
Kedua, pemikiran al-Farabi berkenaan dengan kesenian, dalam hal ini cukup
menarik dibahas sebab al-Farabi sendiri adalah tokoh yang terkenal berkecimpung
94
dalam dunia seni suara. Penelitian lebih lanjut berkenaan filsafat dan seni suara oleh
al-Farabi pasti akan sangat dinantikan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdullah, M. Yatimin. Pengantar Studi Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Atiyeh, George N. Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno.
Bandung: Pustaka, 1983.
Bagir, Haidar. Filsafat Islam, Jakarta: Mizan, 2005.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia.
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
------ Tema - Tema Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Bakar, Osman. Hirarki Ilmu (Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung:
Mizan, 1997.
Black, Deborah L. al-Farabi. In Nasr, Seyyed Hossein & Leaman, Oliver. History of
Islamic Philosophy.London: Routledge. 1996.
Butterworth, Charles E. Al-Farabi, The Political Writings: Selected Aphorism and
Other Texts. New York: Cornell University Press, 2001.
Fakhry, Majid. History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press.
2004.
------ Great Islamic Thinkers – Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His
Lifes, Works, and Influence. Oxford: One World Publications, 2002.
95
------ Sejarah Filsafat Islam, terjm. Drs. R. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya, 1986.
Rahman, Fadzlur. Kontroversi Kenabian dalam Filsafat Islam, terj Ahsin
Muhammad. Bandung: Mizan, 2003.
Gazalba, Sidi. Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama. Jakarta: Bulan
Hanafi, A. Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1983.
Hidayat, Komaruddin; dkk. Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat. Jakarta: Depag RI,
2001.
Iqbal, Mohammad. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi:
Khitaab Bavan, 1981.
Johnstone, Ronald L. Religion in Society: a Sociology of Religion. New Jersey:
Prentice Hall, 1992.
Khaidi, Ali. Book of Letters - in Medieval Islamic Philoshopical Writings –
Cambridge Texts in the History of Philosophy. UK: Cambridge University
Press. 2005.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai
Pustaka, 1990.
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Yogyakarta: Bumi Aksara, 2004.
Magnis Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19.
Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Mustansyir, Rizal & Munir, Misnul. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2011.
96
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
2014.
Nasr, Seyyed Hossein. Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam. Terj. Tim Penerjemah
Mizan. Bandung: Penerbit Mizan, 2003.
------ Islam - Religion, History, and Civilization. Harper Collins E-Books.
------ Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono & Djamaluddin
MZ. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Nawawi & Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2005.
Pasiak, Taufiq. Tuhan Dalam Otak Manusia – Mewujudkan Kesehatan Spiritual
Berdasarkan Neurosains. Bandung: Mizan Pustaka, 2012.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta:
UI Press, 2001.
Shadily, Hasan. Ensiklopedia Indonesia 1. Jakarta: Ichtiar Baru, 1980.
Soleh, A Khudori, Titik Temu Agama dan Filsafat Pemikiran Epistemologi Ibn
Rusyd. Malang: UIN Press, 2011.
Syukur Amin. Pengantar Studi Islam, Semarang: Pustaka Nuun, 2010.
Syarif, M.M. (Ed). Para Filosof Muslim, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung:
Mizan, 1994.
Yamani. Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan,
2002.
97
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam - Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009.
Zubair, Ahmad Charis. Kuliah Etika. Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1995.
B. Jurnal
Ahmad, Muhammad Abdul Qadir. Metodologi Pengajaran Agama Islam, terjemahan
dari Turuq al-Ta`lim al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984-1985.
Birsan, Ludmila Islamic political philosophy: prophecy, revelation, and the divine
law. Journal of Philosophy, Social and Human Disciplines vol. II. 2011.
Hidayatullah, Syarif. Relasi Filsafat dan Agama (Perspektif Islam).Jurnal Filsafat
Vol. 40, Nomor 2, Agustus 2006.
Izutsu, Toyoshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-
Qur‟an terj. Amiruddin (dkk), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Kuswanjono, Arqom. Hakikat Ilmu Dalam Pemikiran Filsafat Islam.Jurnal
Universitas Gadjah Mada.
Mahdi, Muhsin. Al-Farabi on Philosophy and Religion. The Philosophy
Forum.Volume IV No.1.Departmenet of Philosophy of Boston University.
1973.
Munir, Misnal. Skeptisisme dalam Filsafat Barat Sejak Yunani Kuno Sampai Abad
Modern. Jurnal Filsafat, Universitas Gadjah Mada.
Sattar, Abdullah. Filsafat Islam Antara Duplikasi dan Kreasi. Journal.
98
Fanshobi, Muhammad. Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-
Farabi.Ciputat: Skripsi UIN Jakarta, 2014.
C. Website
Zainuddin, Ansar. http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/pemikiran-filsafat-ar
razi, merujuk pada Majid Fakhry, The Arab and The Encounter with Philosophy,
dalam Therese Anne Duart, ed., Arabic Philosophy and The West, (Washington;
Centre Contemporary Arab Studies Georgetown University, 1988), hal. 1, diakses
tanggal 08 Januari 2019.