HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

109
i HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Disusun oleh: Faisal Fath Junaidi NIM: 1113033100007 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

Transcript of HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

Page 1: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

i

HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Disusun oleh:

Faisal Fath Junaidi

NIM: 1113033100007

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019

Page 2: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

LEⅣIBAR PERSETIIIJIIAN PERIBIPIBING SICRIPSI

ⅡARD10NISASI AGARIA DAN FILSAFAT PIENURUT AL… FARABI

: Skripsi

D珂遣 an Unttk Memenuhi Pcrsy肛 ¨an Mehebleh

Gelar SttanaAgama(S.Ag.)

C)leh:

Faisal Fath」 unaidi

blIM.1113033100007

PROGRAM STUDI AQDAⅡ DAN FILSAFAT ISLAIⅦ

FAICULTAS USⅡULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITASISLAM NEGERI(IIN)

SYARIF tt■DAYATULLAⅡ

JAKARTA

2019

Iqbal Hasanuddin,M.H面.

l:

Page 3: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

LE酵IBAR PERNYATAAN

■rang bcttallda tangan di ba、

~′ah ini:

Nalna

NIPI

Fahttt鶴

Jurusal1/Prodi

Faisal Fath J斑 laidi

ll13033100007

Ushuluddin

Aqidah dan Filsafat lsl〔 渡逸

Dengtlll ini saya menyatakan bahwal

l.SkHpsi bttudul ``Harlllonisasi Agama dan nisattt Menuュ ・lnt Aま―

Farabiマ adttall hasil karya asli sap yang di巧 波an unttk ttmenuhi salah

satu persy額試閣 memperoleh gel雛 strata l(Sl)UN S1/aFif Hidaya簸 1lah

」乏滋atta.

2. Scmua yallg saya gunakalll dalalm penulisan illi teiah saya can氣 館nkan

sesuai dengan ketcnttlan yapg bcFlakll di lJコ ヽSfttif[Iidayatulah」 akana.

3. Jika di kellludialt han terbじ kti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli

saya atau mcr彎よan hasil jiplttan kava orang iain.Mよ a,sayct bettedia

inenerima sal■ ksi yang bcrlaku di UI卜 I Syarif ttlidayatullah Jakarta.

Faisal Fath Junaidi

NIM 1113033100007

Ciput滅、02卜lei 2019

Page 4: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

PENGESAIIAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul "Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut AI-x'arabi" telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas ushuluddin danFilsafat Islam, UIN syarif Hidayatullah Jakarta, pada Kamis, 16 Mei 2019.Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SarjanaAgama (S.Ag.) pada program Aqidah dan Falsafat Islam.

.t

Jakarta,2 Mei2019

Sidang MunaqasyahKetua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drao Tien Rohmatin,PIA.

■lIP。 196808031994032002

Dr,Edwin S 氏 M.Ag.blIP.19670918 199703 1001

Dr.Abdul Hakim Wahid,PIA.

NIP。 197804242015031001

Penguji II,

Kusen,P.hdNIDN。 21220112687

Anggota,

、・

 

“ 

 

 

 

ba‐

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengu」 iI,

ごヅρ弄劣多ィ

Page 5: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

v

ABSTRAK

Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut al-Farabi

Oleh : Faisal Fath Junaidi

Penelitian ini menjelaskan pemikiran al-Farabi tentang agama dan filsafat

yang tertuang dalam dua karya tulisnya: Fusuull Muntazaa dan Fusuul Al-Madani

yang diterjemahkan ke dalam versi bahasa Inggris oleh Charles E. Butterworth

dengan judul "Al-Farabi: The Political Writings Selected Aphorism and Other

Texts". Selain itu, untuk memperoleh lebih banyak sumber data, peneliti

menggunakan buku Majid Fakhry yang berjudul “Great Islamic Thinkers: Al-

Farabi – Founder of Islamic Neoplatonic: His Life, Work, and Influence”. Tujuan

dari penelitian ini untuk menjelaskan pemikiran Al-Farabi tentang agama dan

filsafat serta mengetahui bagaimana upaya al-Farabi dalam mengharmonisasikan

agama dan filsafat. Adapun, penelitian ini menggunakan metode kepustakaan

dengan merujuk kepada sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa pandangan dan gagasan al-

Farabi dipengaruhi oleh dua sumber yaitu sumber Islam – al-Quran, dan filsafat

Yunani. Dari filsuf Islam, al-Farabi dipengaruhi oleh dua filsuf sebelumnya: Al-

Kindi dan Zakariya al-Razi. Sementara filsafat Yunani, al-Farabi terpengaruh oleh

corak pemikiran Aristotele dan Plato. Hasil utama dari penelitian ini menunjukan

bahwa adanya harmonisasi antara agama dan filsafat. Al-Farabi menegaskan

bahwa filsafat dan agama keduanya saling berhubungan dan konsisten. Filsafat

Yunani dan Islam memiliki kesamaan terhadap pertanyaan tentang kebenaran /

Haqq. Islam menganggap Tuhan sebagai Kebenaran, sementara filsafat Yunani

bermaksud untuk menemukan kebenaran-keberadaan. Dengan kata lain, Islam

membimbing mereka melalui ajaran Al-Qur'an menuju kebenaran - Allah, dan

filsafat Yunani menuntun mereka melalui pemikiran dan penalaran menuju

kebenaran - esensi. Dengan demikian antara keduanya tidaklah bertentangan

namun menuju tujuan yang sama.

Kata Kunci: Al-Farabi, Agama, Filsafat, Filsuf, Filsafat Islam, Filsafat Yunani

Page 6: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya kepada Allah swt dan sholawat serta salam kepada

Rasulullah saw. skripsi ini telah saya tuntaskan sebagai amanat akhir saya untuk

menyempurnakan pencapaian gelar strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Selanjutnya kata pengantar ini sebenarnya lebih kepada ucapan terima

kasih kepada pihak-pihak yang mendorong tuntasnya skripsi ini baik secara

khusus dan secara umum.

Secara khusus saya akan menyampaikan terima kasih kepada orang tua

saya, sponsor utama saya menempuh pendidikan merantau dari Samarinda menuju

ke Ciputat, terutama keridhoannya sehingga saya selalu dalam jaminan Allah swt

dan tentu saja karena diperbolehkan kuliah di UIN Jakarta. Selanjutnya kepada

kakak-kakak saya yang menjadi investor saya selama di Ciputat, tanpanya saya

tidak akan bisa bertahan hidup disini. Lalu kepada Anisa Zakia, rekan saya yang

berkontribusi sangat besar atas terwujudnya skripsi ini, tanpanya skripsi ini akan

selesai jauh lebih lama dari seharusnya.

Serta sahabat karib saya di Ciputat yang sudah sarjana lebih awal, Robi,

Jaenal, Kolik dan Husna. Lalu teman seangkatan saya yang lain yang tidak begitu

akrab, karena mereka inilah sepertinya saya juga berhasil menyegerakan

penyelesaian skripsi ini. Kemudian ucapan terima kasih secara umum turut saya

sertakan, antara lain kepada:

1. Iqbal Hasanuddin, M.Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah bersedia

meluangkan waktunya, dengan sabar membimbing penulis, terima kasih atas

semua kritik dan saran yang membangun sehingga penulis mampu

Page 7: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

うD

menyelesaikan skripsi ini. Tanpa pak Iqbal skripsi ini tidak mungkin bisa

tuntas dalam waktu yang sangat cepat dan tepat.

Dra. Tien Rohmatin, MA, selaku Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat

Islam dan Dr. Abdul Hakim wahid, MA, selaku sekertaris Program Studi

Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri

syarif Hidayatullah Jakarta. sekali lagi terima kasih yang sebesar-besamya

karena telah mengupayakan yang terbaik dalam melancarkan penuntasan studi

saya Ibu Tien dan pak Hakim.

Segenap Bapak dan Ibu Dosen, khususnya Program Studi Aqidah dan Filsafat

Islam, Staff Perpustakaan Fakultas ushuluddin, beserta civitas Akademik,

yang telah setia melayani penulis dalam segala keperluan untuk menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

Dan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang sudah berkontribusi dalam

penyelesaian skripsi saya sampai akhir yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu.

Faisal Fath Junaidi

NIM.1113033100007

4.

Penulis,

V‖

Page 8: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ............................ ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ...................................................... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................. iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

PEDOMAN TRANSLITASI ........................................................................ xi

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5

D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6

E. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 6

F. Metode Penelitian ................................................................................ 9

G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 11

BAB II RIWAYAT HIDUP AL-FARABI

A. Biografi Al-Farabi ................................................................................ 13

B. Pendidikan dan Karir Al-Farabi ........................................................... 14

C. Pemikiran Al-Farabi ............................................................................. 18

1. Teori-teori Al-Farabi ...................................................................... 20

Page 9: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

ix

a. Teori Emanasi .......................................................................... 20

b. Teori Metafisika ....................................................................... 20

c. Teori Kenabian ......................................................................... 21

d. Teori Politik ............................................................................. 22

D. Karya-karya Al-Farabi ......................................................................... 25

BAB III AGAMA DAN FILSAFAT (TOKOH-TOKOH YANG

MEMPENGARUHI PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG

PEMBAHASAN AGAMA DAN FILSAFAT

A. Pengertian Agama ................................................................................ 29

B. Pengertian Filsafat ................................................................................ 32

1. Filsafat Yunani ............................................................................... 32

a. Filsafat Pra Sokratik ................................................................. 34

b. Filsafat Sokratik ....................................................................... 35

2. Filsafat Islam .................................................................................. 36

a. Aliran Mashasha‟iyah (Paripetik) ............................................ 36

b. Aliran Hikmah Isyraqiyah (Iluminasi) ..................................... 38

c. Aliran Hikmah Muta‟aliyah ..................................................... 40

C. Relasi Agama dan Filsafat Menurut Al-Kindi ..................................... 43

D. Relasi Agama dan Filsafat Menurut Zakariya Al-Razi ........................ 50

Page 10: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

x

BAB IV HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-

FARABI

A. Konsep Agama Menurut Al-Farabi ..................................................... 61

1. Agama Utama................................................................................. 63

a. Pemimpin Bajik ........................................................................ 65

b. Kebahagiaan Sejati ................................................................... 67

B. Konsep Filsafat Menurut Al-Farabi .................................................... 71

1. Metode Nalar Al-Farabi ................................................................. 72

C. Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut Al-Farabi ......................... 78

1. Konsep Kebenaran Haqq ............................................................... 78

2. Konsep Filsuf dan Imam ................................................................ 82

3. Konsep Agama dan Negara ............................................................ 85

BAB V PENUTUPAN

A. Kesimpulan ......................................................................................... 92

B. Saran .................................................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 94

Page 11: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

t ṭ ط a a ا

z ẓ ظ b b ب

„ „ ع t t ت

gh Gh غ ts th ث

f F ف j J ج

ḥ ح ḥ q Q ق

k K ك kh kh خ

l l ل D d د

m M م Dz dh ذ

n N ن R r ر

w W و Z z ز

h H ه S s س

„ „ ء Sy sh ش

ṣ ص ṣ y Y ي

ḍ ض ḍ h Y ة

VOKAL PANJANG

Arab Indonesia Inggris

ā ā آ

Ī Ī إى

Ū Ū أوْ

Page 12: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama didefinisikan secara terminologis sebagai satu sistem kepercayaan

dan prilaku praktis yang didasarkan atas penafsiran dan tanggapan orang atas

sesuatu yang sakral dan supernatural. Agama secara fungsional, menurut

Komaruddin Hidayat, dkk, dapat dirumuskan sebagai: sistem kepercayaan, sistem

ibadah, dan sistem kemasyarakatan. Sementara bagi Mohammad Iqbal, dalam

melihat kehidupan keagamaaan manusia, kita bisa memilahnya ke dalam tiga

dimensi: keimanan (faith), pemikiran (thought), dan petualangan diri (discovery).1

Sebagai sistem kepercayaan, agama akan memberikan pegangan yang

lebih kokoh tentang satu masa depan yang pasti bagi manusia. Sebab, ketika

agama ini diyakini kebenarannya dan dihayati secara mendalam maka akan

menjadikan manusia sebagai individu yang memiliki ketakwaan, yang akan

menjadi motivator dan pengendali setiap aktivitasnya sehingga tidak akan

terjerumus kepada perbuatan hina dan merusak. Sementara sebagai sistem ibadah,

agama akan memberikan pedoman kepada manusia tentang cara berkomunikasi

dengan Tuhan sesuai cara yang dikehendaki oleh Tuhan itu sendiri, bukan

menurut persepsi manusia yang beribadah.

Di sisi lain, filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata:

philo dan sophia. Philo berarti cinta, sedangkan dalam arti luas yakni keinginan

dan sophia berarti hikmat (kebijaksanaan) atau kebenaran. Jadi secara etimologi,

1Syarif Hidayatullah, “Relasi Filsafat dan Agama: Perspektif Islam,” Jurnal Filsafat, vol.

40 no. 2 (Agustus, 2006): h. 133.

Page 13: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

2

filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Sedangkan

secara terminologi, terdapat beberapa pengertian filsafat yang sangat beragam,

baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu

pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang

ada, sebab, asal, dan hukumnya.2

Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara

berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal,

sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, filsafat banyak kaitan

dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat

membahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu

itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya

karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.

Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang yang

cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, padahal filsafat

dan agama mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak

bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.

Gagasan tentang kemungkinan mernpertemukan antara agama dan filsafat

merupakan salah satu wacana yang pernah muncul daIam studi kefilsafatan.3 Hal

itu terjadi setelah banyaknya buku-buku Yunani yang diterjemahkan ke dalam

2Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta:

Rajawali Pers, 2009), h. 6.

3Abdul Mustaqim, “Corak Tafsir FalsafiI Ibnu Rusyd-Kajian atas Gagasan Titik Temu

Agama dengan Filsafat dan Konsep Mctafisika,” Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, vol. 6 no. 2

(Juli-Desember, 2O07): h. 309.

Page 14: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

3

bahasa Arab. buku-buku Yunani, pertama kali, dikenalkan oleh al-Kindi (806-

875). Dalam Kata Pengantar untuk buku „Filsafat Utama‟ (al-Falsafah al-Ûla),

yang dipersembahkan pada khalifah al-Mu`tashim (833-842 M), al-Kindi menulis

tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada

orang-orang yang anti filsafat. Meski demikian, karena begitu dominannya kaum

fukaha ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa

yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema.4

Menurut George N. Atiyeh (1923-2008 M), 24 seorang peneliti dari

Universitas America di Beirut, Libanon, penentangan kalangan salaf tersebut

disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran di sebagian

kalangan ulama fiqh bahwa ilmu-ilmu filsafat akan menyebabkan berkurangnya

rasa hormat umat Islam terhadap ajaran agamanya. Kedua, adanya kenyataan

bahwa mayoritas dari mereka yang menerjemahkan filsafat Yunani atau

mempelajarinya adalah orang-orang non-Muslim, penganut Machianisme, orang-

orang Sabia, dan sarjana muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang

itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan

perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat

Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya, maupun paham-paham lain

yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-

pikiran filsafat.5

4Ahmad Khudori Soleh, “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam,” Jurnal

Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, vol. 10, no. 1 (Malang, 2014): h. 71.

5Ahmad Khudori Soleh, “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam,” Jurnal

Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, vol. 10, no. 1 (Malang, 2014): h. 72-73.

Page 15: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

4

Usaha penentangan kaum salaf yang dipelopori Ibnu Hanbal (780-855 M)

terhadap ilmu-ilmu filsafat di atas mencapai puncak dan keberhasilannya pada

masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan

kebijakannya yang mendukung kaum salaf menyebabkan kajian dan pemikiran

filsafat mengalami hambatan. Lebih dari itu, kalangan salaf yang saat itu dekat

dengan khalifah dan “berkuasa” melakukan revolusi: orangorang Muktazilah dan

ahli filsafat yang tidak sepaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi

(801-878 M) yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya

sebagai guru istana karena tidak sepaham dengan sang khalifah yang salaf.6

Meski demikian, hambatan tersebut sesungguhnya hanya terjadi di lingkar

pusat kekuasaan, di Baghdad. Di luar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom,

khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan,

sehingga melahirkan seorang filsuf besar, yakni Abu Nasr al-Farabi (870-950).

Al-Farabi, tokoh yang mempunyai pengaruh besar pada pemikiran sesudahnya ini,

baik dalam Islam sendiri maupun di Barat-Eropa, tidak hanya mengembangkan

pemikiran-pemikiran metafisika Islam melainkan juga memberikan landasan bagi

pengembangan keilmuan pada umumnya. Dalam bidang metafisika, antara lain, ia

mengembangkan teori emanasi yang menggabungkan antara teori Neo-platonis

dengan tauhid Islam untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan Yang Maha Gaib

dengan realitas yang empirik, Tuhan Yang Maha Esa dengan realitas yang plural

dan seterusnya; mempertemukan antara konsep idealisme Plato (427-348 SM)

6Ahmad Khudori Soleh, “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam,” Jurnal

Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, vol. 10, no. 1 (Malang, 2014): h. 74.

Page 16: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

5

dengan empirisme Aristoteles (384- 322 SM), dan mempertemukan antara agama

dan filsafat.

Berdasarkan penjabaran yang telah dijelaskan di atas, untuk itu penulis

tertarik mengkaji tentang bagaimana harmonisasi agama dan filsafat menurut Al-

Farabi. Oleh karena itu, dalam konteks inilah latar belakang dilakukannya

penulisan skripsi yang berjudul "Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut Al-

Farabi".

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis hanya memfokuskan batasan kepada

pandangan al-Farabi terhadap agama, filsafat dan harmonisasi antara

keduanya.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, diperoleh rumusan masalah

yaitu:

Bagaimana harmonisasi antara agama dan filsafat menurut al-Farabi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil dari perumusan masalah

di atas sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud agama menurut al-Farabi

b. Untuk mengetahui apa yang dimaksud filsafat menurut al-Farabi

c. Untuk mengetahui bagaimana harmonisasi agama dan filsafat menurut

al-Farabi

Page 17: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

6

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dalam bidang akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya

khazanah keilmuan, khususnya dalam memahami agama & filsafat serta

harmonisasi antara keduanya menurut perspektif Al-Farabi.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas

beragama dan berfilsafat dengan mengetahui keterkaitan antara keduanya.

E. Tinjauan Pustaka

Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai pemikiran al-Farabi,

khusunya kajian tentang konsep negara utama, etika politik, ataupun konsep

pendidikan al-Farabi. Sementara itu, penelitian yang berkaitan tentang

harmonisasi agama dan filsafat menurut al-Farabi terbilang sedikit. Pembahasan

yang berkaitan dengan hal itu lebih banyak penulis temukan di berbagai buku

yang mengulas tentang pemikiran al-Farabi secara keseluruhan meskipun dalam

kenyataannya pembahasan agama juga tidak dikaji secara komprehensif.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan sumber yang akurat mengenai

pembahasan agama dan filsafat menurut al-Farabi, peneliti merujuk kepada

sebuah buku utama al-Farabi yang diterjemahkan oleh Muhsin Mahdi dengan

judul Al-Farabi on Philoshopy and Religion, dan Alfarabi – The Political

Writings: Selected APHORISM and Other Text, yang diterjemahkan oleh Charles

E. Butterworth (2001). Meskipun demikian, penulis tetap merujuk kepada

penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan al-Farabi walaupun topik

Page 18: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

7

yang dibahas tidak sama persis tentang konsep agama dan filsafat dalam persfektif

al-Farabi. Peneltian-peneltian itu diantaranya:

Pertama, penelitian berupa jurnal yang ditulis oleh Mahmood N.

Khoshnaw (2014) yang berjudul: Alfarabi‟s Conversion of Plato‟s Republic.

Penelitian ini membahas tentang konsep negara menurut al-Farabi yang

dipengaruhi oleh pemikiran Plato. Meskipun demikian penelitian ini menunjukan

pendapat-pendapat al-Farabi sendiri yang berbeda dari Plato.

Kedua, jurnal yang berjudul: Islamic political philosophy: prophecy,

revelation, and the divine law yang ditulis oleh Ludmila Birsan, MA (2011).

Penelitian ini membahas masalah filsafat politik Islam dalam hal kenabian, wahyu

dan hukum ilahi yang menunjukan bahwa filsafat dan politik islam berhubungan

baik dengan agama. Ludmila Birsan dalam penelitiannya mengembangkan

hubungan-hubungan tersebut melalui teori-teori filsafat abad pertengahan Al-

Farabi yang menjelaskan apa perbedaan dan persamaan antara filsafat dan hukum

ilahi, atau antara seorang filsuf dan nabi, apa teori politik Al-Farabi yang paling

penting, dan apa konsep kota yang berbudi luhur dan kota demokratis, serta apa

filsafat al-Quran.

Ketiga, jurnal yang ditulis oleh Dr. Muhammad Raufi, Dr. Mushtaq

Ahmad, dan Dr. Zafar Iqbal (2013) dengan judul al-Farabi‟s Philosophy of

Education. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan ide dan pemikiran al-Farabi

tentang pendidikan melalui kerangka sistem filsafatnya. Dalam jurnal ini

dijelaskan bahwa pendidikan menurut al-Farabi adalah proses untuk menciptakan

masyarakat yang ideal dengan memelihara dan mempersiapkan individu menuju

Page 19: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

8

pencapaian kesempurnaan dan kebebasan yang lebih luas. Baginya, pendidikan

adalah perolehan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk kehidupan yang

lebih bahagia. Al-Farabi mengatur strategi persuasif dan instruksional untuk

masyarakat awam, sementara untuk kalangan elit ia merekomendasikan metode

demonstrasi. Karakter suara, kompetensi intelektual dan keterampilan demonstrasi

adalah komponen dasar dari pengajaran yang efektif. Harus ada urutan dalam

belajar dimulai dengan bahasa, kemudian logika, tujuh bentuk matematika, ilmu

alam, ilmu manusia, yurisprudensi dan teologi akademis. Konsep evaluasi berarti

pengukuran hasil belajar. Instrumen yang berbeda dapat digunakan untuk menguji

pengetahuan dan kecerdasan. Kapasitas untuk berpikir deduktif dan berpikir kritis

memahami hubungan antara bagian-bagian informasi dan mencapai pemahaman

yang komprehensif.

Keempat, skripsi yang ditulis oleh Ahmad Fanshobi (2014) dengan judul:

Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Farabi. Skripsi ini fokus pada

pembahasan konsep kepemimpinan yang di tulis al-Farabi dalam buku Ara‟ Ahl

al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama). Hasil dari tulisan ini menunjukan bahwa

buku Negara Utama karya al-Farabi memuat konsep-konsep kepemimpian ideal.

Konsep al-Farabi tersebut dipengaruhi oleh doktrin agama dan juga pengaruh

filsafat Yunani.

Berdasarkan tinjauan kepustakaan di atas dapat disimpulkan bahwa

belum ditemukan kajian secara mendalam mengenai pendapat al-Farabi tentang

kedudukan agama dan filsafat.

Page 20: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

9

F. Metode Penelitian

Metode adalah cara atau prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan

masalah penelitian.7 Adapun langkah-langkah yang akan peneliti lakukan adalah

sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan cara studi

dokumenter atau studi kepustakaan (library reserach). Studi kepustakaan yaitu

dengan cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan mempergunakan bahan-

bahan tertulis sebagai dokumen dan bentuk lainnya seperti buku-buku, koran,

majalah dan yang sejenis.8 Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri

dari data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer adalah sumber utama yang digunakan penulis dalam

penelitian ini. Adapun sumber utama yang digunakan oleh penulis adalah:

pertama, buku karya al-Farabi yang diterjemahkan oleh Charlesh E. Butterworth

ke dalam bahasa Inggris dengan judul: Al-Farabi:The Political Writing - Selected

Aphorism and Other Texts. Kedua, tulisan al-Farabi yang diterjemahkan oleh

Muhsin Mahdi yaitu: Al-Farabi on Philosophy and Religion. Ketiga, buku yang

berjudul Medieval Islamic Philoshopical Writings yang disunting oleh

Muhammad Ali Khaidi. Selanjutnya, buku yang berjudul Great Islamic Thinkers

7Nawawi dan Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2005), h. 67.

8Nawawi dan Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2005), h. 69.

Page 21: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

10

– Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His Lifes, Works, and Influence

yang ditulis oleh Majid Fakhry.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber tambahan yang digunakan oleh penulis

untuk mendukung dan menguatkan sumber utama. Sumber tambahan ini berupa

buku-buku, jurnal-jurnal, dan skripsi, diantaranya: Jurnal karya Hamid Andishan

yang berjudul Alfarabi‟s Tradition Vis-à-vis Philoshopical Pluralism. Kedua buku

yang berjudul Islamic Philoloshopy, Theology, and Misticism karya Majid Fakhry.

2. Analisis Data

Penilitian ini menggunakan metode analisis data secara filosofis, historis,

dan deskriptif. Metode filosofis berupa pemecahan masalah yang dilakukan secara

rasional, dengan melakukan perenungan sebagai proses berpikir yang mendalam,

mendasar (fundamental) dan terarah untuk sampai pada hakekatnya. Proses

berpikir filosofis itu mungkin mengikuti pola berpikir induktif, deduktif,

silogisme, fenomenologis, analisis sistematik dan lain-lain pola berpikir yang

memperhatikan hukum-hukum berpikir (logika).9 Metode historis berupa prosedur

pemecahan masalah penelitian dengan menggunakan data masa lalu, baik

peninggalan-peninggalan maupun rekaman keadaan yang berlangsung pada masa

lalu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber buku-

buku karya Alfarabi yang ditulis pada abad pertengahan. Metode deskriptif, dapat

diartikan sebagai prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan

memaparkan obyek yang diselidiki (seseorang, lembaga, masyarakat, pabrik, dan

9Nawawi dan Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2005), h. 66.

Page 22: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

11

lain-lain) sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat

sekarang.10

Untuk ini, dalam penelitian ini, penulis akan memaparkan riwayat

hidup Alfarabi dan pengaruhnya dalam perkembangan filsafat serta menunjukan

berbagai macam karya-karyanya.

3. Teknik Penulisan

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis merujuk kepada sistematika

penulisan dari Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 2013/2014 yang

dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013. Untuk metode

transliterasi, penulis mengikuti transliterasi yang digunakan oleh Jurnal Ilmu

Ushuluddin, terbitan HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima (V) bab. Bab satu (I) disebut

sebagai pendahuluan. Oleh karena itu, pada bab ini dijelaskan alasan yang

melatarbelakangi penulis untuk mengkaji pemikiran Alfarabi, khususnya tentang

Filsafat dan Agama. Selain itu, pada bab ini menunjukan tujuan serta manfaat

dalam mengkaji pemikiran Alfarabi.

Bab dua (II) yaitu penjelasan biografi al-farabi yang berisi: latar belakang

pendidikan, agama, dan filsafat, serta karya-karya al-Farabi.

Bab tiga (III) penjelasan tentang agama, filsafat menurut al-Razi dan

hamonisasi antara filsafat dan agama menurut al-Kindi.

10

Nawawi dan Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2005), h. 66.

Page 23: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

12

Bab empat (IV) penjelasan tentang pemikiran al-Farabi tentang agama

dan filsafat serta harmonisasi antara keduanya.

Bab lima (V) Penutupan, yang terdiri atas kesimpulan dari kajian tentang

pemikiran al-Farabi, dan Saran-saran dari penulis untuk pembaca ataupun peneliti

selanjutnya.

Page 24: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

13

BAB II

RIWAYAT HIDUP AL FARABI

A. Biografi Al-Farabi

Sedikit informasi tentang kehidupan Abu Nash al-Farabi. Kebanyakan

berasal dari para biographer Arab Abad Pertengahan yang tulisan-tulisannya dapat

dirunut ke belakang pada abad ke-4 H/ke-10 M sampai abad ke-7 H/ke-13 M.11

Ia

lahir di Wasy, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar), Tukistan pada

257 H, (870 M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya

berkebangsaan Turki.12

Selama hidupnya, al-Farabi selalu berpindah tempat dari waktu ke

waktu.13

Sejak kecil, al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar

biasa dalam bidang bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain ialah

bahasa Iran, Turkestan, Arab, dan Kurdistan.14

Kota Bukhara yang saat itu berada

dalam pemerintahan Nashr ibn Ahmad (260-279 H/874-892 M) dikenal sebagai

masa awal kebangkitan sastra dan budaya Persia dalam Islam. Di sini lah al-

11

Deborah L. Black, ”Al-Farabi” dalam Ensiklopedi Tematis Dalam Islam: Buku Pertama,

ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan,

2003), h. 221. 12

Agung Setiawan, “Konsep Pendidikan Menurut al-Ghazali dan al-Farabi: Studi

Komparasi Pemikiran”, Jurnal Universitas Islam Negri Yogyakarta, Vol. 13, No. 1, Edisi Januari

– Juni (Januari – Juni, 2016): h. 62-63. 13

M. M Syarif, “Para Filosof Muslim” terj. dari buku The Philosopher: History of Islam

Philosophy (Bandung: Mizan, 1994), h. 55-58. 14

Konon ia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa, dengan empat bahasa yang

paling dikuasai yakni Arab, Persia, Turki dan Kurdi. Sjadzali, M, Islam Dan Tata Negara, ( Jakarta

:UI-Press, 1993), h.49. Ibrahim Madkur menilai riwayat penguasaan 70 macam bahasa ini lebih

mirip dongeng dari pada kenyataan. Sebab jumlah bahasa yang berkembang kala itu, termasuk

bahasa ibu al-Farabi sendiri tidak sampai 70 macam. Sirojuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan

Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), h. 66-67.

Page 25: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

14

Farabi mempelajari musik untuk pertama kalinya dan di kota ini pula ia pernah

menjadi hakim.15

Meskipun detail-detail pendidikan awalnya masih agak kabur, ia

diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad dari para sarjana Kristen, Yuhana

Ibn Haylan (w.910) dan Abu Bisyr Mata (w.940), salah seorang penerjemah

karya-karya Aristoteles kedalam bahasa arab. Karena madzhab Baghdad

merupakan ahli waris utama tradisi filsafat dan kedokteran Alexandria di dunia

arab, hubungan al-Farabi dengan para guru ini membentuk salah satu rantai paling

awal antara filsafat Yunani dan dunia Islam.16

B. Pendidikan dan Karir Al-Farabi

1. Pendidikan

Al-Farabi belajar ilmu-ilmu Islam di Bukhara. Setelah mendapatkan

pendidikan awal, al-Farabi kemudian pergi ke Marw. Di Marw inilah al-Farabi

belajar ilmu logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani yaitu

Yuhanna Ibn Hailan. Al-Farabi merupakan bintang terkemuka dikalangan filsuf

muslim, salah satunya yaitu ia unggul dalam ilmu logika, di samping itu dia juga

banyak memberikan sumbangsihkeilmuannya dalam penempatan sebuah bahasa

filsafat baru dalam bahasa Arab, meskipun menyadari perbedaan antara tata

bahasa Yunani dan Arab.17

15

Agung Setiawan, “Konsep Pendidikan Menurut al-Ghazali dan al-Farabi-Studi Komparasi

Pemikiran”, Jurnal Universitas Islam Negri Yogyakarta, Vol. 13, No. 1, edisi Januari – Juni,

(Yogyakarta, 2016): h. 63. 16

Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan

(Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 221. 17

Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-

Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,

2015): h, 63.

Page 26: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

15

Pada kekhalifahan al-Muktafi (902 - 908 M) atau pada tahun-tahun

kekhalifahan al-Muqtadir (908-932 M) al-Farabi dan Hailan meninggalkan

Baghdad, semula menurut Ibn Khallikan menuju Harran. Dari Baghdad

tampaknya al-Farabi pergi ke Konstantinopel. Di Konstantinopel ini, menurut

suatu sumber dia tinggal selama delapan tahun mempelajari seluruh silabus

filsafat. Bahasa-bahasa yang dikuasai al-Farabi antara lain bahasa Iran, Turkistan

dan Kurdistan.

Menurut riwayat, al-Farabi menguasai 70 Bahasa yang berasal dari Ibn

Khallikan,18

setelah besar al-Farabi meninggalkan negerinya menuju Baghdad

untuk belajar antara lain pada Abu Bisyir bin Mattius. Ia memusatkan

perhatiannya pada ilmu logika, ia juga belajar ilmu nahwu pada Abu Bakar

Assaraj. Sesudah itu ia pindah ke Harran (salah satu pusat kebudayaan Yunani di

Asia kecil) untuk berguru pada Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama kembali di

Baghdad dan menetap selama tiga puluh tahun. Waktu ia gunakan untuk

mengarang, membrikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Pada tahun

330 H (941 M) ia pindah ke Damsyik. Disini ia mendapat kedudukan yang baik

dari Saifudaulah, kholifah dinasti Hamdan di Hallad. ia menetap dikota itu sampai

wafatnya pada tahun 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.

Menurut Massignon, al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang pertama

dengan sepenuh arti kata.19

Sebelumnya memang al-Kindi telah membuka pintu

18

Muhammad Aziz, Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-Farabi,

h. 64. 19

Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-

Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,

2015): h. 65.

Page 27: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

16

filsafat Yunani bagi Islam tetapi dia tidak menciptakan sistem atau madzhab

tertentu, sedangkan al-Farabi telah menciptakan sistem filsafat yang lengkap

sehingga al-Farabi dapat memainkan peranan peranan penting dalam Islam.

Dalam pengembangan keilmuannya yang meluas, al-Farabi pernah menjadi guru

bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd serta para filosof lainnya. Sehingga wajar jika al-

Farabi mendapat gelar “guru kedua” sebagai kelanjutan dari Aristoteles sebagai

guru pertama.

2. Karier

Dalam memulai karir, al-Farabi hijrah dari negerinya ke kota Baghdad

yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan selama kurang lebih

20 tahun. Ibnu Suraj adalah yang mengajari al-Farabi tentang tata bahasa Arab

sedangkan Abu Bisyr Matta Ibn Yunus adalah orang yang mengajarinya ilmu

mantiq (logika).20

Dari Bagdad Al-Farabi mencoba pergi ke Harran sebagai salah

satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Setelah tidak lama berguru kepada

Yohana Ibn Hailan, al-Farabi kemudian meninggalkan kota ini dan antara tahun

910 – 920 M dia kembali lagi ke Baghdad untuk mengajar dan menulis.

Reputasinya yang baik dan ilmunya yang luas sehingga al-Farabi

mendapatkan sebutan sebagai “guru kedua” (Aristoteles mendapatkan sebutan

sebagai “guru pertama”). Pada zamannya al-Farabi dikenal sebagai ahli logika.

Menurut berita, al-Farabi juga “membaca” (barangkali mengajar) Physics-nya

Aristoteles empat puluh kali, dan Rethoric-nya Aristoteles dua ratus kali. Ibnu

Khallikan mencatat bahwa tertulis dalam satu Copy De Anima-nya Aristoteles

20

Muhammad Aziz, Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-Farabi,

h. 126.

Page 28: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

17

yang berada ditangan al-Farabi, pernyataannya bahwa dia telah membaca buku ini

seratus kali.21

Murid-murid al-Farabi sendiri yang disebutkan namanya hanyalah teolog

sekaligus filosof Jacobite Yahya ibn „Adi (w. 975) dan saudara yahya yaitu

Ibrahim. Yahya sendiri menjadi guru logika terkemuka :” sebenarnya separo

jumlah ahli logika Arab pada abad kesepuluh adalah muridnya”.

Pada tahun 942 M situasi di ibu kota dengan cepat semakin buruk karena

adanya pemberontakan yang dipimpin seorang mantan kolektor pajak al-Baridi,

kelaparan dan wabah merajalela. Al-Farabi sendiri merasa akan lebih baik pergi

ke Suriah. Menurut Ibn Abi Usaibi‟ah dan Al-Qifti al-Farabi pergi ke Suria pada

tahun 942 M. Menurut Ibn Abi Usaibi‟ah di Damaskus al-Farabi bekerja di siang

hari sebagai tukang kebun dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat dengan

memakai lampu jaga. Al-Farabi terkenal sangat shaleh dan zuhud. Menurut Ibn

Abi Usaibi‟ah, al-Farabi membawa manuskripnya yang berjudul al-Madinah al-

Fadhilah/ manuskrip ini mulai ditulisnya di Baghdad ke Damaskus. Di Damaskus

inilah manuskrip tersebut diselesaikannya pada tahun 942 - 943 M.22

Sekitar masa inilah al-Farabi setidak-tidaknya melakukan suatu perjalanan

ke Mesir (Ibn Usaibi‟ ah menyebutkan tanggalnya yaitu 338 H, setahun sebelum

al-Farabi wafat) yang pada saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Ikhsyidiyyah ini

semula dibentuk oleh opsir-opsir tentara Farghanah di Asia tengah. Menurut Ibn

21

Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-

Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,

2015): h. 65. 22

Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-

Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,

2015): h. 66.

Page 29: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

18

Khallikan di Mesir inilah al-Farabi menyelesaikan Siyasah al-Madaniyyah yang

dimulai ditulisnya di Baghdad.

Setelah meninggalkan Mesir al-Farabi bergabung dengan lingkungan

cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya yang berada disekitar pangeran

Hamdaniyyah yang bernama Saif al-Daulah. Menurut Ibn Abi Usaibi‟ ah

disinilah al-Farabi mendapatkan gaji kecil yaitu empat dirham perak sehari. al-

Farabi membuktikan pengetahuannya dalam berbagi bahasa (menurut Ibnu

Khallikan, al-Farabi mengaku mengetahui lebih dari tujuh puluh bahasa) maupun

bakat musiknya yang luar biasa. Meskipun kebenaran ini diragukan banyak

informasi mengenai dijumpainya jenis ilmu pengetahuan musik seperti ini di

negeri-negeri timur. 23

Al-Farabi wafat di Damaskus pada usia 950 M. Usianya pada saat itu

sekitar 80 tahun. Ada satu legenda di kemudia hari yang tidak terdapat dalam

sumber awal dan karena itu diragukan bahwa al-Farabi dibunuh oleh pembegal-

pembegal jalan setelah berani mempertahankan diri. Al-Qifti mengatakan bahwa

al-Farabi meninggal ketika perjalanan ke Damaskus bersama Saif al-Daulah.

Menurut informasi Saif al-Daulah dan beberapa anggota lainnya melakukan

upacara pemakaman.

C. Pemikiran al-Farabi

Membahas pemikiran al-Farabi berarti tak lepas dari inti pembahasan yang

berkaitan dengan filsafat sebagai obyek utamanya. Oleh karenanya, al-Farabi

23

Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-

Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,

2015): h. 67.

Page 30: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

19

memiliki definisinya sendiri terkait filsafat. Definisi Filsafat menurut al-Farabi

yaitu al-Ilmu bil Maujudaat bima hiya al maujudaat yang berarti suatu ilmu yang

menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Al-Farabi berhasil

meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam dan juga berhasil

mengharmonisasikan filsafat Plato dan Aristoteles sehingga menyebabkan tidak

adanya pertentangan diantara keduanya karena menurut Al-Farabi meskipun

kelihatannya berlainan dalam hal pemikirannya, akan tetapi hakekatnya mereka

bersatu dalam tujuannya.24

Oleh karena itu sebagian besar orang mengatakan bahwa filsafat al-Farabi

adalah seolah-olah merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-

Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran syi‟ ah

Imamiyah. Selain itu alFarabi adalah seorang filosof sinkretisme (pemaduan) yang

percaya akan kesatuan filsafat.25

Ajaran filsafat sebelumnya seperti Plato dan

Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat telah berhasil direkonsiliasikan oleh

al-Farabi. Oleh karena itu, ia dikenal filosof senkretisme yang mempercayai

kesatuan filsafat.26

24

Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-

Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,

2015): h. 127. 25

Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-

Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,

2015): h. 67. 26

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo,

2004), h. 68.

Page 31: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

20

1. Teori-Teori Al-Farabi

a. Teori Emanasi

Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang didapat dari

Plotinus.27

Apabila terdapat zat, maka zat yang kedua setelah zatcadalah sinar

yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana

keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama

yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu

hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form (surat) sesuatu, di

mana sesuatu itu, keluar darinya.28

Oleh sebab itu, teori emanasi al-Farabi ini mencoba menjelaskan

bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Esa,

Maha Sempurna dan tidak ada apapun selain Ia. Jika hakihat Tuhan adalah

demikian, maka bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang

Maha Esa? Menurut Al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.

b. Teori Metafisika

Al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan

pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud al-

Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran adanya

27

Filsafat Plotinus adalah filsafat yang murni dan orisinal dalam beberapa pemikirannya,

walaupun ia sendiri mengaku bahwa dirinya hanya memaparkan filsafat Plato yang asli.

Filsafatnya adalah rujukan yang sangat berharga, bukan saja dalam membaca karya Plato, bahkan

karya Aristoteles, karena menampilkan kajian dan kritik yang sangat teliti. Bahkan filsafatnya juga

merupakan jendela yang mengantarkan kepada filsafat Plato, Pythagoras dan Aristoteles yang

hidup seabad atau kurang dari sebelum dirinya, dalam Ismail Asy-Syarafa. Ensiklopedi Filsafat

(Jakarta: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005), h. 58-59. 28

Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-

Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,

2015): h. 160.

Page 32: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

21

Tuhan, Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud.

Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak ada

alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada

dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah Wujud

yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud itu tidak

ada, akan timbul kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya bergantung

kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud tidak

akan berubah menjadi Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan

yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi Wajib al-Wujud. Walaupun demikian,

mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) karena rentetan sebab

akibat itu akan berakhir pada Wajib al-Wujud.29

c. Teori Kenabian

Pada teori ini memang erat kaitannya dengan ajaran agama terutama yang

ditekankan adalah agama Samawi (langit) yang berfokus pada penjelasan al-farabi

tentang Nabi atau Kenabian.

Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi,

maka dari itu ”ciri khas seorang Nabi menurut Al-Farabi ialah mempunyai daya

imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa‟al dapat menerima

visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah

limpahan dari Allah melalui Akal Fa‟al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan

Al-Farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah

29

Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 35-36.

Page 33: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

22

melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga

sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.30

Pendapat Al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi

ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan

pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa

mempelajari Wahyu (al-Qur‟an) ia akan tersesat, karena antara keduanya sama-

sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa‟al (Jibril). Begitu pula

mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat

merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan

mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.

d. Teori Politik

Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia

juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan

dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan

para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka

para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu

disentuh dengan nilai-nilai politik semata. Al-Farabi sendiri justru salah seorang

filosof muslim yang cukup masyhur dalam karyannya yang berkaitan tentang

politik.

Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang

pertama, yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami‟ al-Hikmah), yang mana

jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu

30

Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), h.

17.

Page 34: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

23

anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka

tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat Negara

yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya,

hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan.

Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan spesialisasi

mereka. Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan Al-Farabi ini

adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam

tubuh manusia.

Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan Al-Farabi ini

adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam

tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber

peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki

akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi,

dan penyampai wahyu.31

Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan

kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang

kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan

masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas

yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). Kemudian

dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah

peringkatnya, kemudian di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi

31

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 51-52.

Page 35: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

24

yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya

sampai golongan terendah.

Meskipun begitu, Al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam

satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat

khayalan semata. Perlu dipahami bahwa seorang filosof belum akan merasa puas

dalam membicarakan sesuatu sebelum sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala

dasar. Maka sama halnya dengan filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan

sekedar berfilsafat atau teori untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar

manusia hidup dalam satu pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia

hingga akhirat. Atas dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama

filsafat pemerintahan Al-Farabi adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.32

Al-Farabi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara

adalah Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai

pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau

tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan

kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang

dimiliki Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat

pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus

diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin

masyarakat.33

32

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.

84. 33

Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, h. 50 dalam Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:

Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 84.

Page 36: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

25

D. Karya-karya

Dari daftar karya yang diberikan oleh para biographer abad pertengahan,

produk karya filsafat al-Farabi tampaknya banyak sekali, seratus lebih karya

dinisbahkan kepadanya. Jika daftar ini benar, berarti hanya sebagian kecil saja

karya-karya al-Farabi yang terselamatkan. Banyak diantara karya-karya ini yang

baru belakangan tersedia dalam edisi modernnya sehingga interpretasi atas tulisan

al-Farabi terus mengalami revisi. Sejauh ini, sebagian besar karya al-Farabi

dicurahkan pada logika, filsafat, dan bahasa. selain karya-karya logikanya, yang

meliputi pula risalah-risalah lepas maupun komentarnya atas Aristoteles, al-Farabi

juga menulis secara panjang lebartentang filsafat politik dan filsafat agama, yang

ia perlakukan sebagai cabang filsafat politik, serta tentang metafisiska, psikologi,

dan filsafat alam.34

Kemahiran Al-Farabi dalam logika dapat diukur dari jumlah dan

kelengkapan komentar-komentar dan parafrase dari logika Aristoteles. Dari

komentar-komentarnya yang lebih besar, cukup telah sampai pada kita untuk

menjustifikasi penghormatan tinggi di mana dia dipegang oleh orang-orang

sezamannya. Berikut ini dianggap sebagai karya logis utamanya: Komentar pada

Analytica Posteria, Komentar pada Analytica Priora, Komentar pada Isagoge, 10

Komentar tentang Topica (Buku II dan VIII), Komentar pada Sophistica,

Komentar pada De Interpretasie, Komentar pada De Categoriae, sebuah risalah

34

Deborah L. Black, ”Al-Farabi” dalam Ensiklopedi Tematis dalam Islam: Buku Pertama,

ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan,

2003), h. 222.

Page 37: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

26

tentang Perumusan yang Diperlukan dan Eksistensial, dan risalah tentang

Proposisi dan Silogisme yang Digunakan di semua Ilmu.35

Sumbangan Al-Farabi dalam bidang fisika, metafisika, dan politik, serta

dalam logika, memberikannya hak untuk posisi yang tidak diragukan di antara

para filsuf Islam. Dia secara khusus dipuji oleh salah satu ahli historiografi yang

paling awal untuk eksposisinya yang mengagumkan tentang filsafat Plato dan

Aristoteles. Kedua karya ini, bersama dengan Enumeration of the Sciences-nya,

adalah pengantar umum yang paling komprehensif untuk Aristotelianisme dan

Platonisme dalam bahasa Arab, dan mereka jauh melampaui kualitas dan

kelengkapan karya paralel pada periode itu.36

Di antara pemikiran Al-Farabi dituliskan menjadi sebuah karya, namun

ciri khas karyanya Al-Farabi bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau

makalah-makalah, ia juga memberikan ulasan-ulasan serta penjelasan terhadap

karya Aristoteles, Iskandar al-Dfraudismy dan Plotinus. Di antara ulasan Al-

Farabi terhadap karyakarya mereka adalah sebagai berikut:

a. Ulasannya terhadap karya Aristoteles;

1. Burhan (dalil),

2. Ibarat (keterangan)

3. Khitobah (cara berpidato),

4. Al-Jadal (argumentasi/berdebat),

5. Qiyas (analogi),

6. Mantiq (logika)

35

Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: Third Edition (New York: Columbia

University, 2004), h. 114-115. 36

Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: Third Edition (New York: Columbia

University, 2004), h. 115.

Page 38: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

27

b. Ulasannya terhadap karya Plotinus ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq”,

c. Ulasannya terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy tentang ”Maqalah Fin-nafsi”.

Karya-karya nyata dari Al-Farabi adalah :

1. Al-Jami‟u Baina Ra‟ya alHakimain Aflatoni al-Hahiy wa Aristhothails

(pertemuan atau penggabungan pandapat antara Plato dan Aristoteles);

2. Tahsilu al- Sa‟adah (mencari kebahagian);

3. Al-Suyasatu al-Madinah (politik pemerintahan);

4. Fususu alTaram (hakekat kebenaran);

5. Arroo‟u Ahli al-Madinah al-Fadilah (pemikiranpemikiran utama

pemerintahan);

6. Al-Syiyasah (ilmu politik);

7. Fi Ma‟ani al-Aqli;

8. Ihsho‟u al-Ulum (kumpulan berbagai ilmu);

9. Al-Tangibu ala alSa‟adah;

10. Isabetu al-Mufaraqaat.37

Upaya-upaya untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran al-Farabi,

maka kitab-kitabnya banyak diterjemahkan ke dalam bahas Latin, Inggris,

Almania, bahasa Arab dan Prancis. Adapun karya yang pertama al-Farabi yaitu

Isho‟u al-Ulum membahas tentang ilmu dan cabangnya. Sebagaimana didalamnya

memuat ilmu-ilmu bahasa, ilmu matematika, ilmu logika, ilmu ketuhanan ilmu

musik, ilmu astronomi, ilmu perkotaan, ilmu fiqh, ilmu fisika, ilmu mekanika dan

ilmu kalam. Ilmu tersebut yang mendapat perhatian besar oleh al-Farabi adalah

ilmu fiqh dan ilmu kalam. Sedangkan ilmu mantiq membahas delapan ilmu bagian

yaitu:

37

Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-

Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,

2015): h.127- 128.

Page 39: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

28

1. Al Maqulaat al-Asyr (kategori);

2. Al-Ibarat (ibarat);

3. Al-Qiyas (analogi);

4. Al-Burhan (argumentasi);

5. Al-Mawadi al-Jadaliyah (topic

6. Al-Hikmatu Mumawahan (sofistika);

7. Al-Hithobah (ilmu pidato)

8. Al-Syi‟ir (puisi).38

38

Muhammad Aziz, “Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-

Farabi”, Jurnal Studi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, volume 10, No. 2 (Tuban,

2015): h. 128.

Page 40: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

29

BAB III

AGAMA DAN FILSAFAT

Pada bab ini akan diuraikan tidak hanya definisi agama dan filsafat

secara umum, tapi juga menunjukan berbagai konsep agama dan filsafat menurut

2 filsuf besar Islam sebelum al-Farabi, yakni al-Kindi dan al-Razi. Pertama,

karena al-Kindi pernah berupaya untuk mengharmonisasikan agama dan filsafat,

maka penulis membahas cara-cara al-Kindi dalam menyelaraskan agama dan

filsafat serta bagaimana pengaruh pemikiran al-Kindi terhadap usaha al-Farabi

untuk menyelaraskan agama dan Filsafat. Kedua, berbeda dengan al-Kindi,

pemikiran al-Razi justru bertentangan dengan filsuf sebelumnya. Al-Razi tidak

mencoba menyelaraskan agama dan filsafat seperti halnya al-Kindi. Namun

demikian, pemikiran al-Razi melatarbelakangi pemikiran al-Farabi terutama

ketidaksetujuannya terhadap konsep kenabian al-Razi.

A. Pengertian Agama

Menurut Prof. Dr. A. Mukti Ali, sebagaimana dikutip Komaruddin

Hidayat, bahwa definisi agama sulit dirumuskan dan tidak dapat memberikan

gambaran utuh mengenai (suatu) agama, karena: pertama, pengalaman agama

(religious experience) itu sangat individual; kedua, orang akan membicarakannya

secara emosional; dan ketiga, konsepsi tentang agama sangat dipengaruhi oleh

tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu.39

Kata Religi dan agama ini dapat dipertukarkan dengan makna yang tetap

sama. Kata Religion (religi) diambil dari kata Latin Religare yang berarti “to bind

39

Amin Syukur, Pengantar Studi Islam (Semarang: Pustaka Nuun, 2010), h. 16.

Page 41: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

30

together”. Religi adalah “seperangkat kepercayaan, praktik-praktik, dan bahasa

(istilah) yang mencirikhasi sebuah komunitas yang berusaha mencari makna

transendental dengan suatu cara tertentu yang diyakini benar”. Dengan demikian,

religi merupakan pengorganisasian dari pengalaman kolektif dari sekelompok

orang menjadi bentuk sistem kepercayaan dan praktik-praktik.40

Adapun, menurut Hassan Shadily dalam Ensiklopedi Indonesia I, istilah

agama berasal dari bahasa Sansakerta: a berarti tidak, gam berarti pergi atau

berjalan dan a yang bersifat atau keadaan.41

Cikal bakal kata agama ini kemudian

disimplifikasikan menjadi sifat atau keadaan tidak pergi, tetap, lestari, kekal, tidak

berubah. Maka, agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup

kekal.42

Agama didefinisikan secara terminologis sebagai satu sistem kepercayaan

dan prilaku praktis yang didasarkan atas penafsiran dan tanggapan orang atas

sesuatuyang sakral dan supernatural.43

Menurut Dr. Wilfred Cantwell Smith, kata

agama secara umum dapat diartikan dengan dua pengertian yang berbeda.

Pertama, agama diartikan sebagai persoalan pribadi yang dalam, sebagai tindakan

eksistensial tiap-tiap orang yang mempercayai sesuatu atau dengan kata lain

“iman”. Kedua, agama diartikan dalam pengertian yang umum, yakni sesuatu

yang dikenal oleh masyarakat, suatu persoalan yang komunal yang objektif

40

Taufiq Pasiak, Tuhan Dalam Otak Manusia: Mewujudkan Kesehatan Spiritual

Berdasarkan Neurosains (Bandung: Mizan Pustaka, 2012), h. 185. 41

Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia 1 (Jakarta: Ichtiar Baru, 1980), h. 105. 42

Agus M. Hardjana, Religiusitas: Agama & Spritualitas (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h.

50. 43

Ronald L Johnstone, Religion in Society: a Sociology of Religion (Prentice Hall: New

Jersey, 1992), h. 14.

Page 42: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

31

meliputi semua kepercayaan dan praktik ritual yang dilakukan oleh semua

anggota masyarakat itu.44

Agama secara fungsional, menurut Komaruddin Hidayat dkk, dapat

dirumuskan sebagai: sistem kepercayaan, sistem ibadah, dan sistem

kemasyarakatan.45

Sementara bagi Mohammad Iqbal, dalam melihat kehidupan

keagamaaan manusia kita bisa memilahnya ke dalam tiga dimensi: keimanan

(faith), pemikiran (thought), dan petualangan diri (discovery).46

Muhammad Abdul

Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah

sistem hidup yang diterima dan diridai Allah ialah sistem yang hanya diciptakan

Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem

hidup itu mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah

dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk manusia.47

Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat dikelompokkan menjadi

dua bentuk, yaitu agama yang menekankan kepada iman dan kepercayaan dan

yang ke dua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian

kombinasi antara keduanya akan menjadi definisi agama yang lebih memadai,

yaitu sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut,

atau cara hidup lahir dan batin.48

44

Toyoshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-

Qur‟an, Terj. Amiruddin (dkk) (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 252. 45

Komaruddin Hidayat dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat (Jakarta: Depag RI, 2001),

h. 103. 46

Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi:

Khitaab Bavan, 1981), h. 181. 47

Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Indonesia:

Rineka Cipta, 2008), h. 8. 48

Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta: Bulan

Bintang, 1978), h. 103.

Page 43: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

32

B. Pengertian Filsafat

Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Philosophia, Philos

artinya suka, cinta, atau kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sophia artinya

kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat bisa diartikan cinta atau kecenderungan

pada kebijaksanaan.49

Filsafat, yang dalam bahasa Arab digunakan dua kata,

falsafah dan al-hikmah, secara terminologis diartikan sebagai satu cara berpikir

yang radikal dan menyeluruh, cara berpikir yang mengupas sesuatu

sedalamdalamnya.50

1. Filsafat Yunani

Kebudayaan Yunani klasik, hingga kini dipercaya sebagai nenek moyang

peradaban barat. Tradisi ini nantinya dilanjutkan oleh kebudayaan Romawi,

peradaban Islam, dan digali kembali pada zaman renaisans, dan diteruskan oleh

tradisi moderen yang berkembang hingga kini. Kultur Yunani klasik sendiri,

dipengaruhi oleh kebudayaan Minoa; Mykēnai; Mesir; dan berbagai peradaban

Mediterania lainnya.51

Tempat filsafat yunani adalah asia kecil, dan filsuf-filsuf pertama yunani

berasal dari Ionia. Yunani sendiri berada dalam situasi tidak tenang menyusul

invasi bangsa Doria pada abad 7 SM, tapi Ionia relative tenang dan mewarisi jiwa

peradaban lama. Invasi bangsa Doria ini menghancur leburkan kebudayaan Aegea

yang terkenal itu. Homerus penyair besar Yunani juga berasal dari Ionia. Jadi

49

Rizal Mustansyir & Misnul Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,

2011), h. 2. 50

Syarif Hidayatullah, “Relasi Filsafat dan Agama: Perspektif Islam”, Jurnal Filsafat vol.

40 no. 2, (Agustus, 2006): h. 132 – 133.

51Sandy Hardian Susanto Herho, Pijar Filsafat Yunani Klasik: “Cetakan I” (Bandung:

Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan ITB, 2016), h. 2.

Page 44: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

33

Ionia merupakan tempat lahir penyair terbesar Yunani dan kosmolog-kosmolog

pertama Yunani. Kalau puncak pemikiran terdapat di Ionia, dan kalau Ionia

merupakan tempat lahirnya filsafat Yunani, maka Miletus adalah tempat lahirnya

filsafat filsafat Ionia. Di kota Miletus, Thales filsuf pertama Ionia lahir dan

dibesarkan.52

Dalam sejarah Yunani, kehadiran pemikiran filsafat-sebagai induk dari

ilmu dan sains modern- telah menimbulkan gejolak dalam masyarakat, karena

penemuan filsafat bertentangan dengan sistem kepercayaan dan mitos mereka.

Masyarakat waktu itu mempercayai bahwa kejadian alam dan peristiwa yang

terjadi di dalamnya tidak lepas dari aktivitas para dewa. Gerhana, pelangi, atau

gempa bumi dianggap sebagai aktualisasi fungsi para dewa. Pelangi dalam

pandangan orang Yunani adalah bidadari yang sedang mandi.53

Ketika kepercayaan kepada dewa mengkristal dalam masyarakat Yunani,

pemikiran filsafat menggugat kepercayaan tersebut. Pemikiran filsafat

mengatakan bahwa kejadian alam dan peristiwanya tidak berkaitan dengan para

dewa, akan tetapi semua itu berasal dari alam itu sendiri. Dewa tidak punya

peranan dalam peristiwa alam. Pelangi bukan bidadari yang sedang mandi, akan

tetapi gejala alam biasa yang dapat diterangkan secara rasional. Pelangi dalam

pandangan flsafat dan ilmu adalah bekas rintik-rintik hujan yang belum turun ke

bumi yang diterpa oleh sinar matahari, sehingga membentuk warna merah,

kuning, dan hijau.

52

Sandy Hardian Susanto Herho. Pijar Filsafat Yunani Klasik, h. 2. 53

Abdullah Sattar, “Filsafat Islam Antara Duplikasi dan Kreasi,” Jurnal Ulumuna - Jurnal

Studi Keislaman, vol. XIV no. 1 (Juni, 2010): h. 2.

Page 45: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

34

Thales, salah seorang pelopor filsafat Yunani mengatakan bahwa kejadian

alam bukan berasal dari perkawinan antara dewa, melainkan berasal dari alam itu

sendiri; yaitu air, semua berasal dari air dan akan kembali menjadi air. Aristoteles

kemudian berpendapat bahwa Thales mengatakan hal itu karena bahan makanan

semua makhluk hidup mengandung zat lembab dan merupakan benih bagi semua

makhluk hidup. Airpun bisa berubah bentuk dari benda cair menjadi gas dan

benda padat.54

Filsafat Barat yang tradisi pernikirannya telah dimulai oleh orang-orang

Yunani Kuno pada abad ke-6SM, telah mengalami perkembangan yang sangat

pesat dan rumit. Dalam usianya yang hampir 26 abad ini, Filsafat Barat telah

melahirkan filsuf-filsuf dan aliran-aliran filsafat yang pengaruhnya tidak saja di

Barat (Eropa), tetapi juga telah mempengaruhi dunia luarnya. Sejarah mencatat

nama-nama filsuf besar seperti: Socrates, Plato, Aristoteles, Phyrtagoras,

Agustinus, Descartes, Hume, Kant, Moore, serta aliran-aliran filsafat seperti:

Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Idealisme, dan Filsafat Analitik. Masing-

masing filsuf dan aliran mempunyai pendapat dan pandangan yang berbeda

bahkan saling berlawanan.55

a. Filsafat Pra-Sokratik

Filsafat di masa Pra-Sokrates merupakan tahap pertama dalam filsafat

Yunani. Meskipun bukan merupakan filsafat murni, tetapi ia merupakan filsafat

yang sesungguhnya. Sebaliknya, filsafat Pra-Sokrates bukannya merupakan unit

54

Abdullah Sattar, Filsafat Islam Antara Duplikasi dan Kreasi, h. 2. 55

Misnal Munir, “Skeptisme dalam Filsafat Barat Sejak Yunani Kuno Sampai Abad

Modern”, Jurnal Filsafat Universitas Gadjah Mada (Agustus, 1992): h. 1.

Page 46: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

35

tertutup yang tidak berhubungan dengan pemikiran filsafat sesudahnya, tapi

merupakan persiapan bagi periode sesudahnya.

Filasafat Pra-Sokratik sebetulnya merujuk pada aliran filsafat yang

didominasi pada minat utama untuk meneliti alam, matematika, susunan di

dalamnya, dalam rangka penyelidikan tentang asal muasal, komponen-komponen

alam, dan untuk memformulasikan hipotesis tentang keberadaan dunia ini, maka

dari itu dalam tradisi filsafat, para filsuf dari aliran ini seringkali dinamakan

sebagai, Phusikoi.56

Adapun filsuf-filsuf yang hidup sebelum masa Sokrates

adalah:57

a. Thales (625-545 SM); b. Anaximandros (611-545 SM); c.

Anaximenes (588-524 SM); d. Pythagoras (580-500 SM); e. Xenophanes (570-

480 SM); f. Heracleitos; g. Parmenides dan Melissus; h. Zeno; i. Empedocles; j.

Leocippus; k. Para filsuf Atomisme.

b. Filsafat Sokratik

Perhatian masa Pra-Sokrates adalah alam atau kosmos. Pada masa

sesudahnya, yakni sokrates, perhatian bergeser pada manusia itu sendiri, faktor-

faktor penyebabnya antara lain: a. Timbulnya sikap skeptic terhadap filsafat

Yunani yang tidak dapat menjelaskan pertanyaan tentang asala usul alam semesta.

Filsafat Pra-Sokrates juga tidak mampu menjelaskan fenomena kesatuan (unity)

dan kejamakan (diversity); b. Semakin besar minat terhadap fenomena

kebudayaan dan peradaban. Ini disebabkan pergaulan yang makin gencar antara

orang Yunani dan peradaban asing seperti Persia, Babylonia dan Mesir.

56

Sandy Hardian Susanto Herho, Pijar Filsafat Yunani Klasik: “Cetakan I” (Bandung:

Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan ITB, 2016), h. 15. 57

Sandy Hardian Susanto Herho. Pijar Filsafat Yunani Klasik, h. 15.

Page 47: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

36

2. Filsafat Islam

Para filsuf Islam memikirkan benar definisi-definisi tentang filsafat ini,

yang mereka warisi dari sumber-sumber kuno dan yang mereka identifikasi

dengan istilah Quran Hikmah, karena mereka percaya bahwa asal-usul hikmah

bersifat ilahi. Filsuf islam pertama, Abu Yaqub al-Kindi menulis dalam Fi Al-

Falsafah Al-Ula, “Filsafat adalah pengetahuan tentang realitas hal-hal yang

mungkin bagi manusia, karena tujuan puncak filsafat dalam pengetahuan teoritis

adalah untuk memperoleh kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis untuk

berprilaku sesuai dengan kebenaran.58

Aliran dalam filsafat Islam sedikitnya terbagi menjadi tiga aliran besar

yaitu aliran Paripatetik ; aliran iluminasi (Hikmah Israqiyah), dan aliran Hikmah

Muta'aliyah sebagai sintesisnya.59

a. Aliran Mashsha’iyah (Paripetik)

Istilah mashsha‟iyah berasal dari bahasa Arab, yaitu “mashā‟ī” yang

berarti berjalan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan Peripatetisme. Nama

Paripatetik tersebut berasal dari istilah Yunani yaitu paripatatos, yang berarti

berjalan berbolak-balik. Istilah paripatatos tersebut merujuk pada kebiasaan Plato

dalam mengajarkan filsafat pada muridnya dengan berjalan berbolak

balik.60

Sebutan mengembara atau berjalan diberikan kepada mazhab (aliran) ini,

karena tiga kemungkinan. Pertama, karena ajarannya disampaikan Aristoteles,

58

Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan

(Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 31. 59

Arqom Kuswanjono, “Hakikat Ilmu Dalam Pemikiran Filsafat Islam,” Jurnal Universitas

Gadjah Mada, h. 309. 60

Haidar Bagir, Filsafat Islam (Jakarta: Mizan, 2005), h. 85.

Page 48: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

37

sebagai founder (pembangun), sambil berjalan-jalan.61

Kedua, dikaitkan dengan

sudut sebuah gedung olah raga di kota Athena yang bernama Peripatos.62

Ketiga,

ialah karena metode berpikir ini menggunakan istidlāl (perumusan dalil) setiap

kali mengambil kesimpulan. Proses istidlāl mengalir (seolah) berjalan sehingga

sampai pada kesimpulan. Ketiga kemungkinan ini, sedikit atau banyak, berkaitan

dengan ciri dan cara kerja mazhab filsafat Islam ini. Murid-murid utama

Aristoteles ialah Theopharastos dan Andronikos. Kedua murid ini berperan,

kecuali mendengar dan menulis, juga menyebarluaskan pemikiran-pemikiran

gurunya Aristoteles.

Makna mashsha‟iyah dapat ditinjau dari dua pendekatan, yaitu ontologi

dan metodis. Secara ontologis, mazhab Mashsha‟iyah merupakan sintesa

ajaranajaran Islam dengan filsafat Aristotelianisme dan Neoplatonisme,63

yang

dilakukan oleh para filsuf, yaitu Iransyahri,64

al-Kindi, al-Farabi, Abū Sulayman

al-Sijistani, dan Ibn Sina, sebagai penyempurna sehingga Mazhab Mashsha‟iyah

menampilkan wujud yang utuh.Upaya sintesa dilakukan pertama oleh al-Kindi,

sekaligus sebagai filsuf Muslim pertama, terhadap hubungan agama dengan

filsafat. Sedangkan secara metodologis/sebagai suatu aliran, mazhab

Mashsha‟iyah adalah sebuah metodeperumusan kebenaran dengan pendekatan

61

Jonathan Ree and J.O. Urmson, The Concise Encyclopedia of Western Philosophy

(London-New York: Routledge, 2005), h. 277. 62

M. Said Syaikh, Kamus Filsafat Islam, terj. Machnun Husein (Jakarta: Rajawali, 1991), h.

154; dan Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: PT Gramedia, 1986), h. 79. 63

Seyyed Hossein Nashr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono &

Djamaluddin MZ (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 33. Selanjutnya ditulis Intelektual Islam. 64

Nama ini agak luput dari perhatian, karena data mengeninya tidak ada yang tersisa.

Padahal dialah filosof pertama yang memasukkan filsafat ke dunia Islam Syi‟i. Lihat: Sayyed

Hossein Nashr, Tiga Pemikir Islam; Ibn Sina, Suhrawardi, Ibn Arabi, terj. Ahmad Mujahid

(Bandung: Risalah, 1985), h. 3. Selanjutnya ditulis Tiga Pemikir Islam.

Page 49: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

38

argumentasi rasional (rasionalisasi) secara demonstratif (burhanī),65

sebagaimana

pengertian burhan berikut:66

(Burhan ialah sebuah metode sistematis yang

dipergunakan sebagai undang-undang yang berbeda-beda

baik yang diperoleh secara mudah atau melalui proses

pemikiran, atau menggunakan beberapa metode

perumusan kebenaran yang ada untuk memperoleh suatu

hukum dan kebenaran, atau menguatkan suatu kebenaran

yang dimulai dari penerimaan pengetahuan yang sudah

ada. Karena itu, metode burhan digunakan untuk

menemukan sebuah masalah baru (kebenaran) dan atau

untuk menguatkan kebenaran).

b. Aliran Hikmah Israqiyah (Illuminasi)

Aliran illuminasi (al-isyraq) didirikan oleh Syaik Al-Isyraq, Syihab Al-

Din Suhrawardi. Suhrawadi adalah seorang mistikus dan filsuf besar yang akrab

dengan filsafat perennial Islam, yang disebut al-himat al-atiqah, philosophi

apriscoriusm yang dirujuk sejumlah filsuf Renaissance, yang permulaannya

dianggap bersifat Ilahiyah.67

Hikmah Israqiyah lahir karena reaksi terhadap aliran

paripatetik yang lebih mengutamakan eksistensi dibandingkan esensi. Suhrawardi

mengkritik Al-Farabi dan Ibn Sina dengan menyatakan bahwa para sufi abad

ketiga dan keempat Hijriah, seperti Abu Yazid al-Busami, al-Hallaj, dan al-

Kharqani, yang merupakan para illuminasionis Persi yang asli.68

Pengalaman spiritual dalam aliran Israqiyah mendapatkan tempat sebagai

salah satu sumber dari pengetahuan. Seperti halnya pada pemikiran emanasi dari

al-Farabi dan Ibn Sina, dalam pemikiran Suhrawardi pad aaliran Israqiyah

65

Sayyed Hossein Nashr, et.al, Shi‟ism; Doctrines, Thought, and Spiritual (New York: State

University Press, 1951), h. 306. 66

Sayyed Hossein Nashr, et.al, Shi‟ism; Doctrines, Thought, and Spiritual, h. 306. 67

Sayyed Hossein Nashr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat, dan Gnosis (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996), h. 96. 68

Abul Wafa Taftazani, Pengantar Tasawuf Islam (Bandung: Pustaka, 2003), h.195.

Page 50: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

39

pengalaman spiritual pengalaman intuitif merupakan sumber dari kebenaran yang

hadir sepertikilat, dipahami sebaga isuatu arus cahaya yang kemudian membentuk

suatu pemahaman tertentu, dan proses tersebut ditempuh melalui beberapa

tahapan, yaitu: (1) pembebasan dari kecenderungan duniawi dan pe-rangkap

jasmani untuk menerima pengalaman Ilahi; (2) memasuki tahapan illuminasi,

dengan menemui cahaya ilham (al-anwar al-Sanihah); (3) tahap pembangunan

sistem kebenaran dengan logika diskursif; (4) pengungkapan penulisan.69

Aliran ini memberikan ruang untuk pencapaian kebenaran melalui

pengalaman spiritual (intuisi) dengan menggabungkannya dengan logika diskursif

sebagai alat verifikasinya. Selain itu, aliran ini memberikan posisi terpenting

terhadap esensi dibandingkan eksistensi yang bersifat sekunder, esensilah yang

primer dan fundamental dari suatu realitas.70

Suhrawardi berpendapat bahwa

dalam mengetahui sesuatu hal, manusia mengalami pengalaman tentang hal

tersebut. Sebuah wujud dapat dipikirkan tanpa mengetahui keberadaannya pada

entitas partikular manapun, wujud dalam hal ini dapat dikatakan identik dengan

esensi. Menurutnya, pencahayaan (ilham) merupakan cara manusia untuk

memahami hubungan manusia dengan Tuhan, cahaya di atascahaya, dan

makhluknya.71

Prinsip pencapaian pengetahuan dari aliran illuminasi ini memiliki kaitan

juga dengan prinsip emanasi yang dikemukakan oleh al-Farabi dan Ibn Sina yang

telah banyak mendapatkan pengaruh dari pemikiran Yunani, yang dianggap

69

Haidar Bagir, Filsafat Islam (Jakarta: Mizan, 2005), h. 139. 70

Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, ter. Munir A. (Bandung: Pustaka, 2000), h. xv. 71

Muhsin Labib, Para Filosof (Jakarta: Al-huda, 2005), h.38.

Page 51: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

40

Suhrawardi tidak dapat lagi dikatakan mewakili filsafat Timur. Bagi Suhrawardi,

Timur bukan soal wilayah suatu pemikiran tersebut muncul, tapi Timur

merupakan awal mula cahaya. Suhrawardi memahami bahwa filsafat Timur

adalah berkaitan dengan persoalan pencahayaan dalam proses mistik. Pencapaian

ultimate reality yang merupakan puncak tertinggi pengetahuan yang terdalam

dipahami melalui pelatihan (riyadah) untuk menangkap intuisi (irfānī). Aliran ini

menghendaki suatu proses mistisisme dalam memahami kebenaran serta dalam

mencapai cahaya Ilahi.

Filsafat Israqiyah ini identik dengan istilah filsafat cahaya, karena

beranggapan bahwa wujud memiliki hierarki-hierarki, yang dalam paripatetik

dipahami sebagai intelek, tetapi bagi aliran Israqiyah hal tersebut diidentikkan

dengan cahaya (Bagir, 2005: 135).72

Karena beranggapan bahwa sumber dari

segala sesuatu adalah cahaya (nur al-anwar), yang merupakan cahaya absolute dan

tidak terbatas oleh semua sinar yang memancar. Nur al-anwar ditempatkan

sebagai sumber dari pengetahuan, dan aliran israqiyah telah memberikan tempat

untuk pengalaman spiritual yang berupa kilatan tersebut ke dalam dunia ilmiah.

c. Aliran Hikmah Muta'aliyah

Aliran Hikmah Muta'aliyah atau theosofi transendental dikenal dari

pemikiran Mulla Shadra yang bernama lengkap Sadr Al-Din Muhammad Ibn

Ibrahim. Pemikirannya sangat berpengaruh dalam dunia pemikiran Islam

termasuk di Persia, India, dan juga Irak. Kebesaran pemikirannya tidaklah terlepas

dari berbagai pengaruh yang didapatnya dari pemikir-pemikir terdahulunya.

72

Haidar Bagir, Filsafat Islam (Jakarta: Mizan, 2005), h. 135.

Page 52: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

41

Petualangan intelektual dan pengalaman ekstaktinya selama bertahun-tahun telah

menjadikan dirinya salah satu mistikus dan filsuf besar dalam perkembangan

pemikiran Islam.

Wujud dalam pemikiran Shadra menjadi term yang teramat sangat

penting.Teori Wujudiyah menjadi salah satu poin penting dalam pemahamannya

terhadap permasalahan-permasalahan metafisika yaitu tentang yang “ada”. Shadra

membahasnya secara sangat gambling dalam karyanya yang berjudul Al-Hikmah

Al-Muta'aliyah Fi'alAsfar Al-Aqliyah Al-Arba-ah, karya ini yang dianggap

sebagai magnum opusnya. Menurut Nasr, teori tersebut tidaklah dapat dipahami

tanpa memahami lebih dahulu ontology Avicennan (IbnSina) dan kosmologi

Suhrawardian, yang bagi Shadra realitas segala sesuatu datang dari wujudnya dan

bukan dari kuiditasnya atau mahiyyah (esensi-nya). Hal tersebut memperlihatkan

bagaimana keterkaitan pemikiran Shadra dengan pemikiran paripatetik terutama

dari Ibn Sina yang banyak mendapat pengaruh pemikiran Aristoteles dan Plotinos,

dan dengan pemikiran illuminasi Suhrawardian.73

Arah pemikiran Ashalat Al-Wujud ini cenderung mengarah pada

pemahaman aliran eksistensialisme yang memahami bahwa persoalan keberadaan

hadir dari struktur eksistensialnya. Shadra mencoba menampilkan suatu pemikiran

eksistensialisme kedalam dunia pemikiran Islam. Dapat dikatakan bahwa dalam

pemikirannya ini, Shadra cenderung merunut dari pemikiran paripatetik dengan

prinsip-prinsip Aristotelian tentang materi dan bentuk (hylemorphism), yang

memahami perubahan tidak hanya terjadi pada kategori aksidental (kuantitas,

73

Arqom Kuswanjono. “Hakikat Ilmu Dalam Pemikiran Filsafat Islam.”, Jurnal Universitas

Gadjah Mada (Yogyakarta, 2016): h. 81.

Page 53: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

42

kualitas, posisi, dan tempat), tetapi juga terjadi pada substansi dari alam

semesta.74

Dalam hal ini Shadra memahami bahwa terdapat keterkaitan erat antara

perubahan dari aksiden dengan substansi, karena aksiden tergantung pada

substansi dan perubahan pada aksiden juga mempengaruhi perubahan pada

substansinya.

Shadra dalam dunia keilmuan, membagi ilmu menjadi dua macam: ilmu

yang diperoleh dari latihan dan belajar (husuli/acquired), dan ilmu yang diperoleh

melalui pemberian langsung dari Tuhan (hudhuri/ innate) (Shadra, 1981:

134).Ilmu husuli dalam hal ini adalah ilmu yang keberadaan datanya diperlihatkan

dalam gambaran tentang objek pada diri subjek yang terjadi karena interaksi

antara subjek dan objek yang sama-sama berdiri sendiri.Ilmu hudhuri, di sisi lain

adalah ilmu yang sumbernya berasal dari Tuhan secara langsung, yang dalam hal

ini objek muncul secara eksistensial dalam diri subjek, keduanya tidak terpisah

dan validitasnya tidak terbatas dalam dualism benar dan salah.

Shadra memahami bahwa dalam proses mencapai pengetahuan, dapat

dilalui dengan tiga cara, dimulai dari pengalaman rohani kemudian dicari

dukungan rasio, lalu diselaraskan dengan syariat; kedua, diawali dari pemikiran

rasional kemudian dihayati dengan pengalaman rohani, dan setelah itu dicari

dukungan syariat; ketiga, bermula dari ajaran syariat kemudian dirasionalkan, dan

seterusnya dipertajam dengan penghayatan rohani (Shadra, 1981: 324). Dapat

dipahami bahwa pemikiran Mulla Shadra yang merupakan sintesis dari aliran

pemikiran terdahulu menjadikan pengalaman intuitif, proses rasionalisasi, dan

74

Jalaluddin Rahmat, “Hikmah Muta'aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibn Rushd”, Jurnal Studi-

Studi Islam al-Hikmah. Edisi 10 (Juli – September, 1993): h. 79.

Page 54: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

43

syariat Islam sama-sama berperan dalam mencapai kebenaran dalam ilmu. Hal

tersebut juga diperjelas oleh paparan Seyyed Hossein Nasr bahwa dalam

pemikiran Shadra terdapat tiga jalan menuju kebenaran, yaitu: wahyu

(wahyataysyar'), intellection ('aql) dan keterbukaan secara mistik (kasyf), yang

semuanya itu dapat dipahami dalam aliran Al-Hikmah Al-Muta'aliyah (Nasr,1996:

79).

Sebagai sintesis dari berbagai arus pemikiran, Shadra dalam Al-Hikmah

Al-Muta'aliyah menganggap bahwa terdapat pluralitas metode dan saran

amencapai kebenaran pengetahuan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Al-

Hikmah Muta'aliyah bukan saja merupakan suatu aliran yang menggabungkan

atau merekonsiliasikan tiap-tiap aliran sebelumnya, tetapi juga telah meng-

hasilkan suatu pembaharuan yang memperlihatkannya sebagai suatu aliran yang

baru dan menjadi puncak dalam dunia pemikiran Islam.

C. Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut al-Kindi

Al-Kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya`kub ibn Ishaq ibn

Sabbah ibn Imran ibn Ismail al-Ash`ats ibn Qais al-Kindi, lahir di Kufah, Irak

pada tahun 801 M masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dari dinasti Bani

Abbas (750-1258 M).75

Nama “al-Kindi” sendiri dinisbatkan kepada marga atau

suku leluhurnya, salah satu suku besar zaman pra-Islam.

Al-Kindi adalah filsuf muslim Arab pertama yang merintis jalan bagi

masuknya filsafat ke dunia Islam, beliau salah satu filsuf Arab asli keturunan raja-

raja Yaman di Kindah. Al-Kindi menghasilkan banyak karya, sehingga menurut

75

Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M

(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 51.

Page 55: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

44

Ibnu Nadim, seorang pustakawan ternama, mengatakan 241 karya Al-Kindi sudah

diterjemahkan ke dalam bahasa latin.76

Al-Falsafah al-Ula adalah judul buku

filsafat yang ditulis dan dipersembahkan al-Kindi untuk khalifah al-Mu`tashim

(833-842 M) dari dinasti Bani Abbas (750-1258 M); sekaligus juga istilah untuk

pemikiran metafsikanya yang didasarkan atas konsep-konsep filsafat Aristoteles

(384–322 SM).

Dalam upaya menyikapi warisan filsafat Yunani, karya-karya al-Kindi

jelas menunjukkan bahwa ia tertarik pada pemikiran Aristoteles dan Plato.

Bahkan kedua nama filsuf itu sering disebut dalam karya-karyanya. Terlepas dari

kekurangan al-Kindi dalam penguasaan bahasa Yunani, al-Kindi melalui

terjemahan yang didapatnya, mampu mempelajari karya besar Aristoteles yang

berjudul Metaphysics serta menuliskan komentarnya atas karya ini. Tidak hanya

cukup sampai pada penulisan komentar atas Metaphysics saja, Al-Kindi pun

menulis komentar atas karya Aristoteles seperti Categorie, De Interpretatione,

Analytica Posteriora dan juga komentar atas De Caelio. Selain itu, Al-Kindi juga

menyimpan karya dialog Aristoteles berjudul Eudemus.77

Al-Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam

tradisi pemikiran Islam, tepatnya masa transisi dari teologi tradisional kepada

filsafat. Al-Kindi-lah justru orang Arab pertama yang mengenalkan filsafat ke

dalam pemikiran Arab, sehingga diberi gelar “Filsuf Bangsa Arab”. Menurut

76

Madjid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosofhy, Teology and Misticisme,

diterjemahkan oleh Zainun Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis: Cetakan I

(Bandung: Mizan, 2001), h. 26. 77

Hasan Basri, Filsafat Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian

Agama Republik Indonesia, 2013), h. 36.

Page 56: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

45

Atiyeh (1923-2008 M), dalam kondisi seperti ini setidaknya ada 2 kesulitan yang

dihadapi al-Kindi. Pertama, kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan

filsafat ke dalam bahasa Arab yang saat itu kekurangan istilah teknis untuk

menyampaikan ide-ide abstrak. Kedua, adanya tantangan atau serangan yang

dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat; filsafat dan filsuf dituduh

sebagai pembuat bid‟ah dan kekufuran.78

Untuk mengatasi kesulitan pertama, al-Kindi melakukan beberapa hal:79

1. Menerjemahkan secara langsung sesuai gramatika istilah-istilah Yunani ke

dalam bahasa Arab, seperti kata hyle diterjemahkan dengan thîn (tanah liat).

2. Mengambil alih istilah-istilah Yunani kemudian menjelaskannya dengan

menggunakan kata-kata bahasa Arab murni, seperti failusûf untuk istilah

Yunani philosophos (filosof), falsafah untuk istilah philosophia (filsafat),

fanthasiyah untuk istilah phantasia (fantasi).

3. Menciptakan kata-kata atau istilah baru dengan cara mengambil kata ganti dan

menambahkan akhiran iyah di belakangnya, untuk membuat atau menjelaskan

abstraksi-abstraksi yang sulit dinyatakan dalam bahasa Arab. Misalnya, al-

mâhiyah dari kata mâ huwa (apakah itu?) untuk menjelaskan istilah Yunani to

ti esti (esensi); al-huwiyah dari kata ganti huwa (dia) untuk menjelaskan istilah

Yunani to on (substansi).

4. Memberikan makna baru pada istilah-istilah lama yang sudah dikenal.

Untuk menghadapi tantangan kedua, al-Kindi menyelesaikannya dengan

cara mengharmonisasikan antara agama dan filsafat. Upaya untuk

mengharmonisasikan antara keduanya dilakukan melalui beberapa tahapan di

bawah ini:

78

Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M

(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 52. 79

Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M

(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 52.

Page 57: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

46

Pertama, membuat kisah-kisah atau riwayat yang menunjukkan bahwa

bangsa Arab dan Yunani adalah bersaudara, sehingga tidak patut untuk saling

bermusuhan. Dalam kisah ini, misalnya, ditampilkan bahwa Yunan (personifikasi

dari nama negeri Yunani) adalah saudara Qathan, nenek moyang bangsa Arab.

Dengan demikian, bangsa Yunani dan Arab berarti adalah saudara sepupu,

sehingga mereka mestinya dapat saling melengkapi dan mencari kebenaran

bersama meski masing-masing menggunakan jalannya sendiri-sendiri.80

Kedua, menyatakan bahwa kebenaran adalah kebenaran yang bisa datang

dari mana saja dan umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan

mengambilnya. Dalam al-Falsafah al-Ulâ, secara jelas al-Kindi menulis:

“Kita hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui

sebuah kebenaran dan mengambilnya dari manapun dia

berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari

bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang

lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil

kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan

atau merendahkan derajat sang pencari kebenaran,

melainkan justru menjadikannya terhormat dan mulia”.81

Ketiga, menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kebutuhan, sebagai sarana

dan proses berpikir, bukan sesuatu yang aneh atau kemewahan. Al-Kindi

senantiasa menekankan masalah ini terhadap orang-orang yang fanatik agama dan

menentang kegiatan filsafat. Al-Kindi, dengan metode dialektika, mengajukan

pertanyaan kepada mereka, “Filsafat itu perlu atau tidak perlu?”. Jika perlu,

80

Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M

(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 54. 81

Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindî al-Falsafiyah dalam Dr. Achmad Khudori

Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media,

2016), h.54.

Page 58: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

47

mereka harus memberikan alasan dan argumen untuk membuktikannya; begitu

juga jika menyatakan tidak perlu. Padahal, dengan menyampaikan alasan dan

argument tersebut, mereka berarti telah masuk dalam kegiatan filsafat dan

berfilsafat. Artinya, filsafat adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat

dihindari, karena sebagai sarana dan proses berpikir.82

“Jika para penentang filsafat menyatakan bahwa filsafat

adalah perlu, maka mereka harus mempelajarinya.

Sebaliknya, jika mereka menyatakan tidak perlu, mereka

harus memberikan argument untuk itu dan

menjelaskannya. Padahal, pemberian argument dan

penjelasan adalah bagian dari proses berpikir filosofis”

Selain itu, menurut Atiyeh, dengan pembelaan model ketiga ini, al-Kindi

ingin menunjukkan bahwa para filsuf dan filsafat sesungguhnya tidak bermaksud

untuk merongrong wahyu dan agama; sebaliknya, justru memberi dukungan pada

agama dengan argument-argumen yang rasional dan kokoh.83

Secara historis, argumentasi tentang pentingnya filsafat seperti yang

digunakan oleh al-Kindi tersebut bukanlah sesuatu yang baru atau yang pertama.

Menurut sejarah, Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang

menggunakan argumen seperti itu untuk membela dan mendukung filsafat.

Selanjutnya, digunakan oleh Markus Tullius Cicero (106-43 SM) dari Italia,

kemudian Titus Flavius Clemens (150-215 M) dari Alexandria.84

Dalam Islam,

82

Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M

(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 55. 83

Atiyeh, “Al-Kindi” dalam Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-

Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 55. 84

Atiyeh, “Al-Kindi” dalam Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-

Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 55.

Page 59: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

48

setelah al-Kindi (801-873 M), argument seperti ini kemudian digunakan oleh Ibn

Rusyd (1126-1198 M), tokoh filsafat Aristotelian asal Andalus (Spanyol).85

Keempat, menyatakan bahwa meski metode agama dan filsafat berbeda

tetapi tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, baik dalam tujuan praktis

maupun teoritisnya. Tujuan praktis agama dan filsafat adalah mendorong manusia

untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi, sedang tujuan teoritisnya

adalah mengenal dan mencapai kebenaran tertinggi, Tuhan. Karena itu, menurut

al-Kindi, tidak ada perbedaan yang esensial antara agama dan filsafat, karena

keduanya mengarah kepada tujuan yang sama.86

Kelima, memfilsafatkan ajaran dan pemahaman agama sehingga selaras

dengan pemikiran filsafat. Al-Kindi melakukan upaya ini dengan cara

memberikan makna alegoris (takwîl) terhadap teks-teks atau nash yang secara

tekstual dinilai tidak selaras dengan pemikiran rasional-filosofis. Misalnya, ketika

dia diminta oleh Ahmad, putra khalifah al-Muktashim (833-842 M), untuk

menjelaskan makna ayat “Bintang-bintang dan pepohonan sujud kepada-Nya”,

QS. Al-Rahman, 6. Kata “sujud” mengandung beberapa arti: (1) sujud dalam

shalat, (2) kepatuhan atau ketaatan, (3) perubahan dari ketidaksempurnaan kepada

kesempurnaan, dan (4) mengikuti aturan secara ihlas. Makna yang terakhir inilah

yang digunakan al-Kindi untuk menjelaskan ayat di atas, sehingga sujud bintang-

85

Ibn Rusyd, “Fashl al-Maqâl” dalam Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula:

Pemikiran al-Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 56. 86

Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-Kindi 801-873 M

(Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 66.

Page 60: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

49

bintang dan pepohonan adalah dengan cara mematuhi perintah Tuhan, bukan

sujud seperti dalam shalat.87

Menurut al-Kindi, apapun yang disampaikan Rasul dari Tuhan adalah

benar adanya dan dapat diterima oleh nalar, sehingga tidak ada pertentangan di

antara keduanya. Pertentangan yang muncul antara kata-kata al-Qur‟an dengan

pemahaman filsafat, sesungguhnya, adalah akibat dari adanya kesalahpahaman

kita sendiri dalam memahami makna al-Qur‟an. Secara jelas al-Kindi menulis:

“Semua ucapan Nabi Muhammad saw adalah benar

adanya dan apa yang disampaikannnya dari wahyu

Tuhan adalah dapat diterima dan ditentukan dengan

argument-argumen rasional filosofis. Hanya orang yang

kehilangan akal sehat dan dipenuhi kebodohan yang

menolaknya”.88

Menurut Atiyeh, metode takwîl ini secara historis telah digunakan oleh

tokoh-tokoh filsafat aliran Stoik, sebuah sekolah filsafat helenistik yang berusaha

memadukan antara problem determinisme kosmik dengan kebebasan manusia,

didirikan di Athena oleh Zeno (334-262 SM) dari Citium, Yunani; Philo Judaeus

(20 SM-50 M) dari Alexandria, seorang tokoh teolog Yahudi yang berusaha

mempertemukan antara filsafat dan ajaran Yahudi; dan Muktazilah, sebuah aliran

teologi rasional dalam Islam yang dibangun oleh Washil ibn Atha‟ (700-748 M).

Akan tetapi, tafsir alegoris al-Kindi didasarkan atas prinsip-prinsip linguistik dan

tata bahasa, sehingga berbeda dengan medel penafsiran kaum Stoik sebelumnya.

Model tafsir al-Kindi ini lebih dekat dengan retorika teologi Muktazilah daripada

87

Abu Ridah (ed), “Rasâil al-Kindi” dalam Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula:

Pemikiran al-Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 58. 88

Atiyeh, “Al-Kindi” dalam Dr. Achmad Khudori Soleh, Al-Falsafah al-Ula: Pemikiran al-

Kindi 801-873 M (Yogyakarta: Penerbit Arruzz Media, 2016), h. 58.

Page 61: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

50

filsafat. Pada fase-fase berikutnya, dalam sejarah filsafat Islam, penyelesaian

dengan takwil ketika terjadi perbedaan antara teks agama dan pemahaman filsafat

ini diikuti oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M).89

D. Agama dan Filsafat Menurut Zakariya al-Razi

Abu Bakar al-Razi adalah salah satu filsuf Islam yang pemikiran-

pemikirannya kerap dimarginalkan dalam diskursus filsafat Islam awal.Hal ini

tidak lepas dari tuduhan yang ditujukan kepada al-Razi tentang pengingkarannya

atas agama Islam dan kritikan-kritikannya yang radikal terhadap ajaran Islam.

Sehingga ia dituduh mulhid, filsuf yang tidak mempercayai agama, kitab suci,

dankenabian, sebagaimana termatub dalam buku Abu Hatim al-Razi, Alam al-

Nubuwwah.90

Nama lengkapnya Abû Bakr Muhammad ibn Zakaria ibn Yahyâ al-Râzî.

Ia dilahirkan di Rayy, tanggal 1 Sya‟ban 251H/865M.91

Adapun menurut Dr.

Abdul Latif al-Fait dalam pengantar buku al-Tibb Ruhani karya al-Razi yang

beliau Tahqiq sendiri. Dr. Abdul Latif menyatakan bahwa al-Razi dilahirkan

tahun 864 Masehi (250 H). Beliau meninggal dunia pada hari Kamis bulan

Sya‟ban tahun 312 H bertepatan 25 Oktober tahun 925 M. Umurnya lebih kurang

62 tahun hitungan kalender Hijriah (61 tahun kalender masehi).92

89

Achmad Khudori Soleh, Epistemologi Ibn Rushd (Malang: UIN Press, 2011), h. 59.

Pemikiran filsafat Stoik mengambil dari seluruh filsafat Yunani dan kemudian (ajaran Kristen)

Romawi. Sekolah filsafat ini di tutup tahun 529 M atas perintah Kaisar Justinian I (483–565 M),

karena dianggap mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan iman Kristen. 90

Moh. Wahidi, “Negasi Kenabian Abu Bakar al-Razi: Kritik Otoritas Agama”, Skripsi.

Fakultas Usuluddin dan Pemikiran Islam. UIN Sunan Kalijaga. h, XV. 91

Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1998), h.31 92

Joni Harnedi, “Al-Razi: Ilmuan dan Filosof Islam”, Jurnal STAIN Gajah Putih Takengon

(Aceh Tengah): h. 53.

Page 62: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

51

Al-Razi merupakan filsuf muslim, ia seorang monoteis yang percaya

kepada eksistensi Tuhan sebagai penyusun dan pengatur semesta ini, hanya saja ia

meragukan kebenaran wahyu dan agama (kenabian).93

Ia melawan agama karena

menurutnya bertentangan dengan akal, berdasarkan muatan agama itu sendiri,

khususnya terdapat hal yang mustahil dan kontradiksi.94

Keraguannya terhadap

agama (kenabian) didasarkan pada dua landasan rasional dan historis.

1. Alasan Rasional

Akal merupakan sumber pengetahuan. Oleh karena itu, ia harus diikuti,

bukan mengikuti. Al-Razi menegaskan, bahwa Sang Pencipta yang Maha Mulia

memberi dan menganugerahkan akal kepada kita agar kita mendapatkan dan

sampai pada kebahagiaan dunia akhirat sebagai tujuan yang dapat diperoleh dan

dicapai oleh substansi semacam kita.95

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa, rasionalisme radikal anti

agama di dunia muslim cukup banyak dipengaruhi oleh pemikiran kelompok

Brahmana, sekelompok filsuf dari india yang mendeklarasikan ketidakbutuhan

akan nabi dan wahyu, karena akal sudah cukup mengantarkan manusia pada

kebenaran. Keyakinan ini didasarkan pada pandangan bahwa jika ajaran para nabi

sesuai dengan hukum akal, maka wahyu dengan sendirinya tidak dibutuhkan,

karena lewat bantuan akal manusia sudah dapat memahami dan mengaplikasikan

93

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan bintang, 2008 ), h.

14. 94

Ibnu Anshori, “Skeptis Terhadap Agama - Studi Komparasi Pemikiran Zakariya al-Razi

dan Kael Marx” Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam - UIN Walisongo (Semarang,

2016), h. 06. 95

Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran: Arab – Islam: Volume 2 (Jakarta, LKIS, 2007), h.

116.

Page 63: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

52

dalam kehidupan hal-hal yang disampaikan oleh para nabi. Jika ajaran para nabi

tidak sesuai dengan hukum-hukum akal, maka ajaran para nabi mustahil untuk

dibenarkan dan dipatuhi, karena tolak ukur kemanusiaan yang membedakannya

dengan binatang adalah akal.96

Abdurrahman Badawi menyatakan al-Razi menentang kenabian, wahyu,

kecenderungan irasional. Sebagaimana yang ditulis oleh Sirajuddin Zar,

Abddurrahman mengemukakan ringkasan gagasan-gagasan utama berkenaan

dengan bantahan al-Razi ke atas nabi: Pertama, akal sudah memadai untuk

membedakan antara yang baik dan jahat, yang berguna dan yang tak berguna.

Dengan akal semata kita dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita

sebaikbaiknya. Lalu kenapa diperlukan nabi?, Kedua, tiada pembenaran bagi

pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang sebab semua

orang lahir dengan kecerdasan yang sama; perbezaanya bukanlah kerana

pembawaan alamiah, tetapi keranapengembangan dan pendidikan. Ketiga, para

nabi saling bertentangan. Bila mereka berbicara atas nama satu Tuhan yang sama,

mengapa terdapat pertentangan?97

Bahkan Harun Nasution, tokoh yang banyak menjadi rujukan di

Indonesia terutama dalam kajian filsafat dan teologi, juga mengatakan hal yang

sama. Harun menyimpulkan gagasan-gagasan al-Razi tersebut, 98

yakni: a. Tidak

percaya pada wahyu; b. Qur‟an tidak mu‟jizat; c. Tidak percaya kepada nabi-nabi;

96

Ammar Fauz Harya, Akal dan Wahyu (Jakarta. Sadra Press, 2011), h. 55-56. 97

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya: Cetakan ke-5 (Jakarta: Raja

Grafiindo Persada, 2012), h. 122. 98

Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1993), h. 20-21.

Page 64: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

53

d. Adanya Hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain

Tuhan.

Al-Razi menegaskan, bahwa Sang Pencipta yang Maha Mulia memberi

dan menganugerahkan akal kepada kita agar kita sampai pada kebahagiaan dunia

akhirat sebagai tujuan yang dapat diperoleh dan dicapai. Hal ini tampak dalam

halaman pendahuluan karyanya, al-Ṭ hīb al-Rūhānī, ia menulis:

“Sang Pencipta (Maha Agung dan Maha Mulia Nama-

Nya) yang telah memberikan dan menganugerahkan

kepada kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh

manfaat sebanyak-banyaknya, yang ada di alam untuk kita

raih dan capai, di dunia ini dan di akhirat nanti. Akal

adalah anugerah terbesar dari Tuhan kepada kita, dan tidak

ada sesuatupun yang melampauinya dalam memberi

manfaat dan faedah bagi kita”.99

Dengan akal pula kita dapat mengetahui tentang Tuhan, suatu

pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikian mulia dan

penting, maka kita tidak boleh melecehkan dan menentukannya. Sebab, dia (akal)

adalah penentu, atau mengendalikanya sebab dia adalah pengendali, atau

memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah, melainkan kita harus

merujukkepadanya dalam segala hal dan menentukan masalah dengannya; kita

harus sesuai dengan perintahnya.100

Kepercayaan Al-Razi terhadap kemampuan akal semacam ini

menjadikan pandangannya tentang agama juga didasarkan pada pendekatan

99

Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi, al- Ṭ hīb al-Rūhānī, yang di Inggriskan, The Spritual

Physick of Rhazes oleh J. Arberry, kemudian diterjemahkan oleh M. S. Nasrullah dan Dedi

Mohamad, Pengobatan Ruhani (Bandung: Mizan, 1994), h. 31. 100

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 26.

Page 65: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

54

rasional. Ajaran-ajaran agama tidak dipahami sebagai dogma-dogma mati yang

harus diterima begitu saja. Keyakinan atas kebenaran dan urgensi agama

didasarkan pada alasan-alasan yang bisa diterima akal sehat. Karena itu, Al-Razi

banyak menyoroti dogma-dogma agama yang dipandang bertentangan dengan

akal sehat maupun petunjuk Allah yang sebenarnya. Al-Razi mengajak manusia

untuk membebaskan diri dari hal-hal irasional, sebagaimana tujuan studi filsafat

semula, yakni menemukan kebenaran dan membebaskan manusia dari mitologi

supernaturalisme di bawah bendera rasionalisme.101

Al-Razi menolak pengetahuan atau pemikiran yang disandarkan pada

pendekatan intuitif. Karunia Tuhan berupa akal harus dimanfaatkan untuk meraih

segala yang terbaik bagi manusia. Termasuk ajaran agama harus pula didasarkan

atas pertimbangan akal, sehingga kecenderungan-kecenderungan beragama yang

mengarah kepada sikap-sikap irasional dapat ditepis. Kritik semacam ini

dilontarkan terhadap sikap masyarakat dalam kehidupan beragama yang

cenderung patuh secara buta kepada imam atau pemimpin. Karena itu, bisa

dipahami keprihatinan Al-Razi melihat keberagamaan yang tidak dilandasi

pendekatan rasional hingga menjadikan keberadaan agama justru menyebabkan

perpecahan dan bahkan pertumpahan darah antar umat manusia.102

2. Alasan Historis

101

Ansar Zainuddin, http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/ pemikiran-filsafat- Al-

Razi, merujuk pada Majid Fakhry, The Arab and The Encounter with Philosophy, dalam Therese

Anne Duart, ed., Arabic Philosophy and The West (Washington; Centre Contemporary Arab

Studies Georgetown University, 1988): h. 1. Diakses tanggal 08-Jan-2019. 102

Ansar Zainuddin, http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/ pemikiran-filsafat-ar-

razi, merujuk pada Majid Fakhry, The Arab and The Encounter with Philosophy, dalam Therese

Anne Duart, ed., Arabic Philosophy and The West, (Washington; Centre Contemporary Arab

Studies Georgetown University, 1988): hal. 1. Diakses tanggal 08-Jan-2019.

Page 66: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

55

Al-Razi beranggapan bahwa kenabian sebagai sebuah fenomena. Ketika

berdebat dengan Abu Hatim al-Razi tentang kenabian, Zakariya al-Razi

mengatakan:

“Atas dasar apa Anda mengharuskan Allah menetapkan

kenabian pada suatu kelompok manusia tertentu saja,

sementara yang lainnya tidak, memberikan mereka

kelebihan atas manusia yang lainnya, menjadikannya

sebagai argumen mereka (kelompok), dan menjadikan

manusia membutuhkan kepada kelompok tersebut? Dan

atas dasar apa Anda memperkenankan kebijaksanaan Sang

Mahabijak (Allah) memilih mereka untuk kepentingan

mereka dan mengangkat sebagian di antara mereka atas

sebagian yang lain, mempertajam permusuhan di antara

mereka, memperbanyak peperangan, dan demikian banyak

manusia yang mati?”

Berdasarkan kutipan di atas muncul penjelasan bahwa pemberian

kelebihan oleh Tuhan kepada manusia tertentu (Nabi) secara khusus dapat

menimbulkan pertentangan di antara masyarakat, karena setiap kelompok

masyarakat yang diberi kenabian akan beranggapan bahwa kebenaran bersama

mereka, dan kelompok yang lainnya adalah salah. Sebagai konskuensinya mereka

juga akan beranggapan bahwa sebagai bentuk tugas menyempurnakan agama

mereka memiliki kewajiban untuk menyebarkan kebenaran.

Hal ini lah yang dirasa Al-Razi dapat menimbulkan permusuhan dan

peperangan di antara manusia. Al-Razi menilai, tidak selayaknya Tuhan

memberikan kelebihan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lainnya

sehingga tidak akan ada di antara mereka perseteruan, tidak akan ada perbedaan

yang mengakibatkan mereka menjadi musnah. Oleh karena itu, melalui kebijakan

Tuhan, justru yang lebih pantas bagi-Nya ialah memberikan ilham kepada seluruh

hamba-Nya untuk dapat mengetahui apa yang berguna dan yang membahayakan

Page 67: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

56

bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dikutip Sarah

Stoumsa, bahwa:

“Sikap yang paling tepat bagi kebijaksanaan yang

Mahabijak dan kasih sayang yang Mahakasih adalah

bahwa Dia (Tuhan) semestinya memberikan inspirasi

kepada semua hamba-Nya dengan pengetahuan mengenai

apa saja yang bermanfaat atau merusak mereka di dunia

ini dan hari esok. Dia tidak semestinya memberikan

keutamaan kepada sejumlah individu atas yang lainnya,

serta tidak selayaknya di antara mereka, baik ada

persaingan maupun perselisihan yang mengarahkan

mereka kepada kehancuran. Ini akan lebih menyelamatkan

mereka daripada jika Dia harus menunjuk beberapa di

antara mereka sebagai imam bagi yang lainnya. (jika Dia

memang harus memilih opsi terakhir), masing-masing

kelompok akan mendeklarasikan kebenaran imamnya dan

kebohongan semua imam yang lainnya dan mereka akan

menghunuskan pedang melawan yang lain. Tentu tidak

akan terjadi suatu kekacauan umum dan mereka akan

binasa karena saling bermusuhan dan

bertarung.Sebenarnya banyak masyarakat yang telah

binasa dengan cara ini, sebagaimana yang dapat kita

saksikan”.103

Setelah menilai ketidakbenaran kenabian, kemudian Al-Razi beralih

memberikan kritik terhadap agama-agama wahyu seperti Islam, Yahudi, Nasrani,

dan Majusi. Adapun kritik Al-Razi secara umum adalah tertuju kepada sikap buta

(masyarakat) beragama. Karena menurutnya teologi yang tidak dapat

dipertahankan dalam agama-agama wahyu dikombinasikan dengan sebuah sikap

picik yang inheren sehingga merefleksikan sikap fanatik yang secara umum

menolak pencerahan.

Meskipun demikian, dalam realitas, agama menjadi dominan. Agama

tersebar di kalangan manusia melebihi penyebaran filsafat. Bagaimana mungkin

103

Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam: Mengenal Pemikiran Teologi Ibn ar-

Rawandi dan Abu Bakar al-Razi (Yogyakarta: LKiS, 2006), h. 143.

Page 68: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

57

sesuatu yang salah dapat menyebar dan dominan? Dalam bukunya, Makhāriq al-

Anbiyā‟ dia melukiskan otoritas-otoritas keagamaan sebagai tindakan intoleran

dan tirani dan dia secara tidak langsung menyindir baik para nabi maupun agama-

agama wahyu sebagai sumber dari segala pertumpahan darah.104

Al-Razi

menyatakan:

“Orang-orang yang beragama menerima agamanya dari

pemimpin-pemimpin mereka secara taqlid. Para pemimpin

tersebut menolak dan melarang untuk meneliti dan

mencari dasar-dasarnya. Mereka meriwayatkan dari

pemimpin-pemimpin mereka, berita-berita yang

mengharuskan mereka untuk tidak menggunakan nalar

dalam beragama, dan mengharuskan mereka untuk

mengafirkan siapa saja yang menyimpan dari berita-berita

yang mereka riwayatkan”.

Di antara berita-berita tersebut adalah berita yang mereka riwayatkan dari

para pendahulu mereka bahwa “Mempersoalkan agama adalah tindakan kafir”;

“Siapa saja yang mencoba melakukan analogi terhadap agamanya, niscaya ia akan

senantiasa dalam ketidakjelasan”; “Janganlah kalian memikirkan Allah, tetapi

pikirkanlah makhluk-Nya”; “Taqdir merupakan rahasia Allah, oleh karena itu,

janganlah memperbincangkannya”; dan “Janganlah kalian bersusah mendalami

(persoalan agama), sebab umat sebelum kalian binasa karena bersusah-susah

mendalami itu”. Selain Islam, kritik Al-Razi juga diarahkan kepada agama

lainnya. Bukti bahwa agama-agama ini terdapat kontradiksi, Al-Razi mengatakan:

“Jesus mengklaim bahwa dia adalah putra Tuhan,

sementara Musa mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki

putra, sementara Muhammad menegaskan bahwa dia

(jesus) adalah makhluk, seperti halnya manusia-manusia

lainnya. Mani dan Zoroaster berbeda dengan Musa, Jesus,

104

Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam: Mengenal Pemikiran Teologi Ibn ar-

Rawandi dan Abu Bakar al-Razi (Yogyakarta: LKiS, 2006), h. 156.

Page 69: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

58

dan Muhammad mengenai Zat Yang Abadi, kejadian

alam, dan alasan adanya baik dan buruk. Mani berbeda

dengan Zoroaster mengenai dua entitas dan alasan

keberadaannya. Muhammad mengatakan bahwa Jesus

tidak dibunuh, tetapi Yahudi dan Kristen tidak sepakat

dengannya. Mereka mengatakan bahwa dia dibunuh dan

disalib”.105

Setelah menganulir kenabian dan agama-agama wahyu, Al-Razi beralih

memberikan kritik terhadap kitab-kitab suci, kemudian menganulirnya. Di sini,

kritik Al-Razi fokus pada antroporphisme dan kontradiksi yang terdapat dalam

kitab-kitab tersebut. Secara khusus al-Qur‟an mendapatkan porsi yang lebih

banyak dan menyeluruh dari kritik yang diarahkan Al-Razi terhadap kitab-kitab

itu.

Kritik Al-Razi terhadap al-Quran ini mencakup aspek kata, struktur,

eloquensi, dan musikalitas kata-katanya. Ia memandang bahwa ada karya yang

lebih tinggi, berkaitan dengan ini semua daripada al-Qur‟an. Kritik tersebut juga

meliputi aspek makna. Dia melihat bahwa al-Qur‟an bersifat mitologis dan

khufarat (tidak mengandung manfaat atau buktimengenai apa pun). Karena gaya

menantang seperti pernyataan di atas bersifat lemah, pasalnya manusia memang

tidak dapat mendatangkan secara persis apa yang didatangkan yang lain. Atas

dasar ini, Al-Razi menolak menganggap al-Qur‟an sebagai mu‟jizat atau argumen.

Ia menganggap bahwa kemukjizatan atau argumentasi tercermin pada buku-buku

ilmiah dan filsafat. Boleh jadi karangan orang-orang dahulu seperti Hipocrates,

Plato, dan Aristoteles lebih bermanfaat dari pada kitab suci.

105

Makhāriq al-Anbiyā‟ yang dikutip Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam:

Mengenal Pemikiran Teologi Ibn ar-Rawandi dan Abu Bakar al-Razi (Yogyakarta: LKiS, 2006),

h. 148.

Page 70: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

59

Dengan demikian, al-Razi memandang bahwa akal lah satu-satunya

sumber pengetahuan, dan bahwa agama (kenabian) tidak. Ia memandang bahwa

akal yang memberikan petunjuk kepada manusia, dan kenabian lah yang

menyesatkan manusia. Adalah suatu kebaikan dan kebijaksanaan apabila tidak ada

para nabi dan agama. Sebab, andaikata di antara manusia tidak ada hal-hal yang

menyebabkan munculnya agama-agama, tentu gesekan, peperangan, dan bencana

tidak akan ada.

Mengingat pula bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia

dengan potensi yang sama, dan yang membedakan hanya lah proses (pendidikan

dan pengalaman). Sedangkan manusia yang sudah menjamah proses hingga level

puncak dengan sempurna, ialah filsuf, bukan Nabi. Para filsuf merupakan manusia

terbaik yang mampu meningkatkan kecerdasan maupun moralitas diri secara

optimal, sehingga dapat melahirkan ajaran serta mencapai keutamaan yang patut

dijadikan teladan.106

Abdurrahman Badawi memberikan ilustrasi mengenai Al-Razi

sebagaiana dikutip Adonis, bahwa Al-Razi cenderung mengikuti aliran pemikiran

liberal, bebas dari segala pengaruh taqlid atau penyakit. Ia menjungjung tinggi

hak-hak akal dan otoritasnya yang tidak dapat dibatasi oleh apa pun. Ia mengarah

pada garis pencerahan yang sangat mirip dengan gerakan pencerahan kaum

Sophis Yunani, dan khususnya gerakan pencerahan di abad modern, abad XVIII.

106

M. Kharis dan M. Izam Sofhal Jamil, http://filsafat.blogspot.com/2014/12/ “Ar-Rozi”

yang diakses tanggal 08 Januari 2019.

Page 71: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

60

Ia menyerukan agar kecenderungan humanisme murni yang dibaurkan dengan

semangat paganistik liberal direalisasikan.107

Dari penjelasan mengenai pemikiran al-Razi di atas, dapat disimpulkan

bahwa pandangannya mengenai filsafat dan agama sangat bertolak belakang. Al-

Razi tidak berupaya untuk mengharmonisasikan agama dan filsafat, namun justru

ia mengutamakan akal dan mengesampingkan wahyu. Meskipun demikian,

konsep kenabian al-Razi tidak sedikit mempengaruhi pemikiran al-Farabi.

Menurut Ibrahim Madkur, filsafat kenabian108

al-Farabi terkait erat antara nabi

dan filsuf dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan „Aql

Fa‟al.109

Latar belakang pemikiran al-Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran

terhadap eksistensi kenabian secara filsafat oleh Aḥ mad ibn Ishaq al-Ruwandi

(w. akhir abad III H) dan Abū Bakr Muḥ ammad ibn Zakariya al-Rāzī (865-925

M). Di mana menurut kedua filsuf tersebut berargumen bahwa, para filsuf

memiliki kemampuan untuk mengadakan komunikasi dengan „Aql Fa‟al.110

107

Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran: Arab – Islam: Volume 2 (Jakarta, LKIS, 2007), h.

125. 108

Menurut Fazlur Rahman, doktrin para filosof muslim mengenai nubuwwat (kenabian),

sejauh menyangkut dasar-dasar psikologis - metafisisnya, didasarkan pada teori-teori Yunani

tentang jiwa dan kekuatan-kekuatan kognisinya. Fazlur Rahman, Kenabian dalam Islam: Menurut

Filosof dan Ortodoksi, Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Penerbit Pustaka, 1434 H/2003 M), h. 1. 109

Istilah “al-„Aql al-Fa‟āl” (Active Intellect) merupakan konsep “aktif” (active) atau

“intelek agen” (agent intellect) memainkan peranan yang amat penting (pivotal role) dalam

metafisika Islam dan psikologi, utamanya dalam tradisi peripatetik (peripatetic tradition). Peters S.

Groff, Islamic Philosophy A-Z (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007), h. 4-5. 110

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 44.

Sejatinya, terdapat satu tokoh lagi yang menolak kenabian, yaitu: Abū „Isā ibn Harn al-Warraq.

Menurut Imam ibn al- Jauzi, ia mengklaim telah menulis buku yang menghujat Rasulallah SAW

dan mencacimakinya, serta menghujat al-Qur‟an.

Page 72: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

61

BAB IV

HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT

A. Konsep Agama

Al-Farabi menegaskan bahwa agama adalah serangkaian gagasan dan

tindakan, yang ditentukan dan dibatasi oleh ketetapan-ketetapan (situasi) dan

kondisi untuk masyarakat dari penguasa pertama mereka yang berusaha

memperoleh tujuan tertentu dengan mempraktikannya dengan menghormati

mereka atau dengan cara mereka.111

Di dalam penjelasan The Enumeration of

Science (Pencacahan Ilmu Pengetahuan) pada sesi ke 4, al-Farabi menyatakan

bahwa setiap agama mempunyai sejumlah gagasan teoritis dan tindakan. Gagasan-

gagasan tersebut diantaranya berkenaan dengan konsep Tuhan-bagaimana Dia

diterangkan, tentang dunia, dan hal-hal lainnya. Terkait dengan tindakan-tindakan

(kebijakan) ialah seperti tindakan yang mana Allah diagungkan serta tindakan

yang mengatur tentang pergaulan masyarakat di kota-kota.112

Adapun dalam

mengatur gagasan dan tindakan ini terdapat dalam keahlian ilmu hukum.

Ilmu fiqih (ilmu hukum) adalah ilmu yang mana manusia dapat

berpendapat tentang sesuatu yang tidak secara terperinci dijelaskan oleh Pembuat

Syariat, yaitu hukum-hukum (aturan-aturan) pada setiap perkara yang belum

diterangkan oleh Pembuat Syariat.113

Agama awalnya terlihat sebagai politik;

yaitu berupa kumpulan keyakinan dan perilaku yang komprehensif yang ditujukan

111

Ahmed Ali Siddiqi, Politics, Religion, and Philosophy in Al-Farabi's Book of Religion

(Austin, University of Texas, 2014), h. 8. 112

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 80. 113

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 80.

Page 73: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

62

kepada sebuah komunitas oleh penguasa pertamanya. Ukuran komunitas itu tidak

terbatas; boleh jadi sebuah suku, kota atau kabupaten, bangsa yang besar, atau

berbagai negara.114

Agama yang dinyatakan oleh al-Farabi secara empati adalah hasil dari

satu pemikiran yang berusaha mencari tujuan tertentu. Agama harus melibatkan

gagasan teoritis dan tindakan; Dengan demikian, undang-undang tentang tindakan

(perbuatan) yang tidak membahas tentang keimanan-keimanan tertentu tidak

dapat dikatakan bersifat religius, juga tidak bisa dikatakan keimanan jika tidak

disertai dengan aturan tindakan.115

Selanjutnya, al-Farabi berpendapat bahwa

agama dipandang sebagai ungkapan kebenaran.116

Oleh sebab itu agama

merupakan jalan terbaik untuk mencapai tujuan sejati. Tujuan sejati inilah yang

nantinya menjadi pembeda antara agama yang sebenarnya dengan yang

tidak.Agama yang sebenarnya berusaha menuju akhir untuk mencapai

kebahagiaan sejati bagi penduduk masyarakat.117

Agama (milla) dan keyakinan (din) hampir sama seperti halnya hukum

(shari'al) dan tradisi (sunna). Paling sering, dua yang terakhir menandakan dan

berlaku untuk tindakan yang ditentukan dalam dua bagian agama. Mungkin juga,

untuk gagasan teoritis yang ditentukan yang disebut hukum, sehingga hukum,

agama, dan keyakinan akan menjadi sama, mengingat bahwa agama terdiri dari

114

Ahmed Ahmed Ali Siddiqi, Politics, Religion, and Philosophy in Al-Farabi's Book of

Religion (Austin, University of Texas, 2014), h. 8. 115

Ahmed Ahmed Ali Siddiqi, Politics, Religion, and Philosophy in Al-Farabi's Book of

Religion (Austin, University of Texas, 2014), h. 8. 116

Seyyed Hossain Nasr, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan

(Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 225. 117

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 89.

Page 74: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

63

dua bagian: gagasan teoritis yang ditetapkan dan tindakan-tindakan yang

ditentukan. Jenis gagasan teoritis pertama yang ditentukan dalam agama ada dua:

gagasan yang dirancang oleh nama tertentu, yang secara adat menandakan itu

sendiri; atau sebuah gagasan yang dirancang oleh sebuah nama yang sama

dengannya. Jadi, gagasan yang ditentukan dalam agama yang baik adalah baik

kebenaran atau kemiripan dari kebenaran. Secara umum, kebenaran adalah apa

yang dipastikan oleh manusia, baik oleh dirinya sendiri melalui pengetahuan

primer, atau dengan demonstrasi118

.

1. Agama Utama Menurut al-Farabi

Dalam Bagian 2, al-Farabi memberikan penjelasan yang lebih tepat

tentang agama utama. Agama terdiri dari tindakan-tindakan dan pendapat-

pendapat. Sejumlah gagasan yang terdapat dalam agama utama adalah tentang

hal-hal teoritis dan beberapa yang bersifat sukarela. Al-Farabi menawarkan daftar

topik yang panjang yang digambarkan oleh gagasan teoritis agama.119

Diantara yang bersifat teoritis adalah yang menjelaskan tentang Allah

Yang Maha Tinggi. Kemudian ada beberapa yang menggambarkan makhluk

spiritual, tingkatan mereka dalam diri mereka sendiri, dan tingkatan mereka dalam

hubungannya dengan Tuhan, dan apa yang masing-masing mereka lakukan.

Kemudian ada beberapa yang menggambarkan tentang penciptaan dunia, juga

beberapa yang menggambarkan dunia dan bagian-bagiannya serta tingkatannya;

bagaimana tubuh-tubuh primer (ruh) dihasilkan (dibangkitkan) dan bahwa

118

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 96. 119

Ahmed Ali Siddiqi, Politics, Religion, and Philosophy in Al-Farabi's Book of Religion,

(Austin, University of Texas, 2014), h. 8.

Page 75: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

64

beberapa badan primer adalah sumber dari semua badan lain yang secara terus

menerus dimatikan dan dihidupkan; bagaimana semua tubuh dihasilkan dari

sumber tubuh dan tingkatan dari tubuh-tubuh tersebut; bagaimana hal-hal yang

menyatu di dunia dihubungkan bersama dan terorganisir dan bahwa apa pun yang

terjadi kepada mereka adalah adil dan tidak ada yang tidak adil; dan bagaimana

masing-masing dari mereka dihubungkan dengan Allah dan mahluk spiritual.120

Kemudian ada beberapa hal tentang keberadaan manusia dan jiwa yang

terjadi dalam dirinya, juga tentang orang pandai, tingkatannya di dunia dan

maqomnya dalam berhubungan dengan Allah dan makhluk spiritual. Juga ada

beberapa yang menerangkan apa itu kenabian dan seperti apa itu pewahyuan dan

bagaimana datangnya wahyu tersebut. Ada juga beberapa yang menerangkan

kematian dan kehidupan setelah mati dan sehubungan dengan kehidupan setelah

mati, kebahagiaan yang paling baik dan pengadilan yang baik, serta balasan bagi

orang yang paling berdosa dan orang yang melampaui batas diadili.121

Adapun gagasan teoritis sukarela (voluntary opinions) adalah mereka

yang menjelaskan nabi-nabi yaitu raja yang paling bajik, penguasa yang budiman,

dan pemimpin jalan yang lurus dan utusan yang membenarkan nabi satu dengan

lainnya di zaman dahulu; dan orang-orang yang berhubungan dengan apa yang

mereka miliki bersama, tindakan-tindakan baik adalah karakteristik dari masing-

masing mereka, dan dimana jiwa-jiwa mereka dan jiwa orang-orang yang

mengikuti dan menyamai mereka di kota, negara-negara berakhir dikembalikan

120

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 94. 121

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 95.

Page 76: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

65

(di akhirat). Ada orang-orang yang menggambarkan raja-raja yang sangat bajik,

manusia-manusia yang budiman, dan pemimpin-pemimpin jalan yang benar di

masa kini, dan ada orang-orang yang disebutkan bahwa mereka memiliki

kesamaan dengan orang-orang sebelumnya dan tindakan-tindakan baik adalah

ciri-ciri dari mereka. Ada juga yang menggambarkan penguasa yang bejat,

pemimpin yang menyimpang dan penduduk dari komunitas yang bodoh di masa

kini; dan mereka yang dihubungkan memiliki kesamaan dengan orang-orang

sebelumnya, tindakan seperti setan dicirikan kepada mereka, dan dimana mereka

nanti ditempatkan di akhirat.122

Penjelasan segala sesuatu yang diatur oleh teori-teori agama haruslah

menggiring masyarakat untuk membayangkan segala sesuatu di dalam kota – raja-

raja, penguasa-penguasa, pelayan-pelayan; tingkatan mereka, cara mereka

berinteraksi bersama, dan cara mereka bersikap satu sama lain, dan segala macam

ditentukan bagi mereka-- supaya apa yang digambarkan akan menjadi sebuah

kesamaan dan masyarakat akan mengikuti sesuai kedudukan masing-masing dan

perbuantannya. Dengan demikian, inilah teori-teori yang ada dalam agama.123

a. Pemimpin yang Bajik

Telah dielaskan sebelumnya bahwa agama menurut al-Farabi merupakan

serangkaian teori dan tindakan, yang ditentukan dan dibatasi oleh ketetapan-

ketetapan (situasi) dan kondisi untuk masyarakat dari penguasa pertama mereka.

122

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text, h. 95. 123

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 96.

Page 77: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

66

Al-Farabi membedakan empat kelas penguasa. Perbedaan ini berdasarkan jenis

kebaikan yang mereka cari.124

Penguasa yang berbudi luhur mencari kebaikan tidak hanya untuk dirinya

sendiri tapi juga untuk semua orang di bawah pemerintahannya, kebahagiaan

tertinggi yang benar-benar kebahagiaan; dan bahwa agama akan menjadi agama

yang berbudi luhur. Al-Farabi menyatakan dalam Bagian 1 bahwa kebaikan yang

dicari oleh pemerintahan pertama yang bajik - bagi dirinya sendiri dan bagi

komunitas politik - bukanlah kesehatan fisik, kekayaan, kesenangan, kehormatan,

atau penaklukan. Tetapi justru barang-barang ini yang tampaknya akan diperoleh

dengan membuat undang-undang dengan mata menuju keharmonisan sosial di

atas segalanya.

Menurut al-Farabi, manusia sempurna (al insan al kamil) adalah dia yang

memiliki kebajikan teoritis, pengetahuan intelektual dan nilai-nilai moral praktis,

menjadi sempurna dalam perilaku moralnya. Kemudian, menyandang nilai-nilai

teoritis dan moral ini dengan kekuatan efektif, mereka berlabuh di jiwa-jiwa

anggota individu dalam masyarakat ketika mereka memikul tanggung jawab

kepemimpinan politik. Ia menjadi teladan bagi orang-orang lain. Al-Farabi

menggabungkan nilai-nilai moral dan estetika seperti kebaikan yang indah, dan

kecantikan itu baik. 125

124

Ahmed Ahmed Ali Siddiqi, Politics, Religion, and Philosophy in Al-Farabi's Book of

Religion, (Austin, University of Texas, 2014), h. 8. 125

Dr. Muhammad Rauf, Dr. Mushtaq Ahmad, Dr. Zafar Iqbal, “Al-Farabi‟s Philoshopy of

Education: Institute of Education & Research”, Journal University of Peshawar, Education

Department, Vol. 1, No. 2 (Islamabad, Pakistan, 2013): h. 88.

Page 78: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

67

Sekarang keahlian dari penguasa pertama yang berbudi luhur adalah raja

dan bergabung dengan wahyu dari Tuhan. Sebenarnya, ia menentukan tindakan

dan pendapat dalam agama yang baik melalui wahyu. Ini terjadi dalam satu atau

kedua cara: satu adalah bahwa semuanya terrungkap (telah diputuskan) kepadanya

sebagaimana yang ditentukan; yang kedua adalah bahwa ia menentukannya

melalui /keahlian yang ia peroleh dari wahyu dan dari pembawa wahyu, sehingga

ketentuan-ketentuan yang ia tetapkan sebagai pendapat dan tindakan bajik

diungkapkan kepadanya dengan cara itu. Atau beberapa muncul dengan cara

pertama dan beberapa dengan cara kedua. Sudah dijelaskan dalam ilmu teoritis

bagaimana wahyu Allah, yang Maha Tinggi, kepada manusia yang menerima

wahyu muncul dan bagaimana fakultas/kecakapan diperoleh dari wahyu dan dari

pembawa wahyu terjadi pada manusia.126

b. Kebahagiaan Sejati

Al-Farabi adalah filsuf Muslim yang juga membahas tentang

kebahagiaan. Meskipun ini bukanlah inti filsafatnya, namun ia sangat antusias

sekali membahas tentang kebahagiaan. Bahkan al-Farabi menulis dua buku

tentang kebahagiaan Tahshilal-Sa‟adah (Mencari Kebahagiaan) dan al-Tanbih al-

Sa‟adah (Membangun Kebahagiaan). Bagi al-Farabi, kebahagiaan adalah jika

jiwa manusia menjadi sempurna di dalam wujud di mana ia tidak membutuhkan

dalam eksistensinya kepada suatu materi.127

126

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 94. 127

Endrika Widdia Putri, “Konsep Kebahagiaan dalam Perspektif al-Farabi”, Jurnal Aqidah

dan Filsafat Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta, 2018): h. 97.

Page 79: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

68

Menurut al-Farabi, kebahagiaan adalah kebaikan mutlak, yaitu kebaikan

yang diinginkan untuk kepentingannya sendiri di mana tidak ada yang lebih besar

untuk dicapai. Mencapai kebahagiaan adalah tujuan hidup. Alfarabi menjadikan

kebahagiaan sebagai alasan eksistensi manusia. Dia secara tegas menyatakan

bahwa Tuhan menciptakan kita untuk mencapai kebahagiaan, kesempurnaan

tertinggi. Bagi Alfarabi, apa pun yang membantu seseorang mencapai

kebahagiaan itu baik dan apa pun yang menghalangi seseorang mencapai

kebahagiaan adalah kejahatan. Kebahagiaan dicapai ketika jiwa orang mencapai

kesempurnaan, di mana ia tidak membutuhkan substansi material untuk ada.

Seseorang tidak hanya perlu memahami dan sadar akan kebahagiaan; seseorang

harus juga menginginkan kebahagiaan dan menjadikannya tujuan hidup. Jika

keinginan seseorang untuk bahagia lemah dan seseorang memiliki tujuan hidup

yang berbeda, hasilnya akan jahat.

Dalam Civil Politic, Alfarabi sekali lagi menekankan pentingnya

memahami inteligensi untuk mencapai kebahagiaan. Dia menunjukkan bahwa

tidak setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami hal-hal ini. Orang-orang,

yang memiliki kapasitas untuk memahami inteligensia tidak akan selalu mencapai

kebahagiaan. Kapasitas bawaan ini mempermudah orang untuk mencapai

kebahagiaan, tetapi terserah mereka untuk mencapai tujuan ini. Untuk Alfarabi,

karakter bawaan dan alami dapat dikembangkan, diperkuat atau dilemahkan.

Alfarabi membandingkan tindakan bajik (baik yang dimiliki oleh alam atau

diperoleh) dengan seni menulis. Semakin banyak Anda berlatih seni menulis,

semakin baik Anda menjadi. Demikian juga, semakin Anda berlatih tindakan

Page 80: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

69

bajik, semakin Anda menjadi bajik, yang pada akhirnya akan menuntun Anda

menuju kebahagiaan.

Kebahagiaan sejati menurut al-Farabi adalah kebahagiaan yang diperoleh

sesudah kehidupan di dunia, yaitu kebahagiaan di akhirat. Al-Fārābī mengatakan

bahwa kebahagiaan tertinggi bagi manusia sebagai mahluk berakal adalah ketika

ia mencapai suatu kondisi di mana jiwa manusia tidak lagi membutuhkan materi.

Sebab, jiwa manusia menjadi bersifat ruhani, menjadi substansi immateri.128

Ia

menjelaskan dalam Book of Religion:

Hal itu menjelaskan bahwa sebagian tindakan tersebut benar-

benar kebahagiaan dan sebagiannya lagi dianggap kebahagiaan

padahal bukan, dan bahwa tidak mungkin kebahagiaan sejati

dalam kehidupan sekarang ini, melainkan setelah kehidupan yang

sekarang, yaitu kehidupan akhirat. Sedangkan sesuatu yang

dianggap menjadi kebahagiaan seperti kekayaan, kehormatan,

kesenangan - adalah sesuatu yang hanya dirancang sebagai

tujuan-tujuan sementara dalam kehidupan sekarang ini.

Kebahagiaan akan dapat dicapai hanya melalui lenyapnya keburukan-

keburukan, tidak saja keburukan yang muncul secara sukarela, tetapi juga

keburukan yang muncul secara alamiah dari kota-kota dan bangsa-bangsa, dan

bila keduanya berhasil memperoleh kebaikan-kebaikan, baik kebaikan yang

terjadi secara alami maupun kebaikan yang terjadi berkat karsa. Fungsi penguasa

kota adalah mengelola kota sedemikian rupa sehingga semua bagian kota saling

berkaitan dan serasi, serta sedemikian teratur sehinggan membuat penduduknya

128

Osman Bakar, Hirarki Ilmu: Membangun rangka pikir Islamisasi Ilmu (Bandung: Mizan,

1997), h. 167.

Page 81: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

70

mampu bekerjasama untuk menyingkirkan berbagai keburukan dan untuk

memperoleh berbagai kebaikan.129

Bagi al-Farabi, kebahagiaan sejati hanya dapat dicari melalui kebajikan

dan hal-hal yang luhur (mulia), seperti halnya, kesehatan, kehormatan dan

kesenangan, serta menanamkan dan memberikan bimbingan pada masyarakat

akhlak yang baik. Selain itu, menurut al-Farabi, bangsa dan warga kota untuk

mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat adalah ketika manusia

memenuhi empat jenis sifat-sifat utama/ keutamaan. Keutamaan menurut al-

Farabi adalah keadaan jiwa yang menimbulkan tindakan yang mengarah pada

kesempurnaan teoritis. Artinya, keutamaan dari sesuatu adalah sesuatu yang

menghasilkan keunggulan dan kesempurnaan dalam keberadaan dan

tindakannya.130

Adapun keutamaan-keutamaan tersebut yaitu, pertama, keutamaan

teoritis, yaitu prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang diperoleh orang sejak semula

tanpa dirasai, tanpa diketahui cara dan asalnya diperoleh,dan juga diperoleh

dengan renungan kontemplatif, penelitian dan juga dari mengajar dan belajar.131

Kedua, keutamaan intelektual atau pemikiran, yaitu keutamaan yang dengannya

memungkinkan orang mengetahui apa yang paling bermanfaat dalam tujuanyang

utama. Termasuk dalam hal ini, kemampuan untuk membuat aturan-aturan,

129

Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung, Penerbit

Mizan: 2002), h. 66. 130

Afifeh Hamedi, “Farabi‟s View on Happiness”, International Journal of Advanced

Research, Departmen of Philosophy of Education: Islamic Azad University, Bushehr, Iran. Vol. 1,

issue 7 (September, 2013): h. 475. 131

Abu Nashr al-Farabi, Tahshil al-Sa‟adah dalam Endrika Widdia Putri, “Konsep

Kebahagiaan dalam Perspektif al-Farabi”, Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Pascasarjana UIN

Sunan Kalijaga. Vol. 19, No.1 (Juni, 2018): h. 104.

Page 82: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

71

karenaitu disebut dengan keutamaan pemikiran budaya (fadha‟il fikriyyah

madaniyyah). Ketiga, keutamaan akhlaki, yaitu keutamaan yang bertujuan untuk

mencari kebaikan. Keempat, keutamaan amalia atau praktis yang dapat diperoleh

dengan dua cara, pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan yang merangsang.

B. Filsafat Menurut al-Farabi

Al-Farabi berperan dalam membuat terobosan baru dalam sejarah

pemikiran filosofis Islam, karena ia adalah pendiri epistemologi pertama yang

mengandalkan 'alasan universal' dan demonstrasi yang dia sajikan. Keadaan

intelektual, politik dan sosial yang berlaku pada zamannya tidak diragukan lagi

menjelaskan pendekatannya karena, pada kenyataannya, ia hidup dalam periode

historis yang pada saat itu sedang mengalami gejolak besar, di mana pusat

khalifah Islam terpecah menjadi negara-negara dan kerajaan yang independen

baik di timur maupun di Barat; dan sekte-sekte atau aliran pemikiran (madhahib)

bermunculan melemahkan kesatuan intelektual dan politik bangsa (oumma). Jadi

perhatian al-Farabi adalah mengembalikan kesatuan pemikiran Islam dengan

menegaskan gnoseologi berdasarkan demonstrasi.132

Filsafat teoritis dan praktis,

pertama kali disebutkan secara eksplisit dalam Book of Religion hanya sebagai

sarana untuk mempertahankan gagasan dan tindakan yang diturunkan melalui

wahyu kepada pemimpin / penguasa pertama dalam agama yang baik. Pendapat

132

Ammar al-Talbi, “Al-Farabi: 259 - 339 AH / 872 - 950 AD”, Journal of International

Bureau of Education, Vol. 23, No. 1 - 2 (Paris, 1993): h. 3. Selanjutnya diterbitkan oleh UNESCO

Publishing dengan judul Al-Farabi's Doctrine of Education: Between Philosophy and Sociological

Theory.

Page 83: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

72

demikian mengarah pada pernyataan lebih lanjut bahwa agama adalah bawahan

filsafat, baik secara praktis serta teoritis.133

1. Metode Nalar al-Farabi

Al-Farabi mengkategorikan klasifikasi tripartit dari jenis metode

diskursus atau cara penalaran yang menjadi pusat bagi banyak filsafat Islam di

abad-abad berikutnya. Jenis-jenis penalaran itu jika diurutkan secara menaik

adalah: retoris, dialektis, dan demonstratif. Penalaran retorika dan dialektika

dihubungkan dengan banyak manusia dan merupakan cara penalaran yang

digunakan dalam disiplin ilmu umum, sedangkan penalaran demonstratif adalah

wilayah bagi para filsuf kelas elite, yang digunakan untuk memperoleh kepastian.

Perbedaan utama antara ketiga jenis wacana ini adalah jenis-jenis premis dari

mana memulainya, dan sejauh mana memberikan pembenaran akhir untuk

kesimpulan. Disiplin retoris, seperti al-Farabi jelaskan di bagian lain, berdasarkan

kesimpulan pada pendapat persuasif, sementara yang dialektis mulai dari opini

yang diterima secara umum. Sebaliknya, metode demonstratif dimulai dari

prinsip-prinsip pertama atau bagian-bagian yang jelas dan selanjutnya

memperoleh bukti dari masing-masing bagian, baik secara langsung maupun tidak

langsung.134

Al-Farabi membedakan dua variasi ilmu pengetahuan, yaitu ilmu analitik

atau deduktif (qiyaasiyah) dan ilmu non-analitik. Ilmu analitik adalah ilmu yang

didasarkan kepada hal teoritis termasuk filsafat, dialektika, ilmu pengetahuan,

133

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 91. 134

Muhammad Ali Khalidi, Cambridge Text in History of Philoshopy: Medieval Islamic

Philoshopical Writings (New York: Cambridge University Press, 2005), h. xiv.

Page 84: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

73

retorika dan puisi. Sedangkan yang termasuk ke dalam bagian ilmu praktis ialah

ilmu kedokteran, pertukangan, konstruksi, arsitektur dan sejenisnya. Dalam buku

Great Islamic Thinker karya Muhsin Mahdi, al-Farabi berpendapat bahwa ilmu-

ilmu praktis atau seni menggunakan metode pembuktian teoritis, tetapi hanya

secara kebetulan. Filsafat di sisi lain, selalu menggunakan metode analitik atau

deduktif.135

Metode analitik memiliki lima subdivisi: 1) demonstratif (burha'niyah),

di mana kebenaran diteliti dan disampaikan dalam segala aspek untuk

menunjukan kepastian; 2) dialektika (jadaliyah), yaitu kepercayaan dicari

sehubungan dengan prinsip-prinsip yang diterima secara umum (mashhuôraat); 3)

kepiawaian, di mana tujuan si pembicara adalah persuasi dengan menggunakan

prinsip-prinsip yang dipertanyakan (tujuannya adalah strategy atau taktik. Dalam

metode diskursus ini, pembicara bertujuan untuk memberi kesan bahwa dia

memiliki kebijaksanaan, tetapi ini bukanlah pokok utamanya; 4) metode retoris

bertujuan untuk mengajak pendengar untuk setuju tanpa adanya pembuktian untuk

memperoleh kepastian; 5) tujuan puitis pada simulasi atau mimikri dengan jalan

lain untuk apa yang mirip dalam kata-kata, atau dalam kata lain analogi.136

Setelah membuat daftar delapan risalah logis dari Aristotle's Organon,

Al-Farabi menyimpulkan dengan menyatakan bahwa logika adalah media yang

apabila digunakan dengan benar akan menghasilkan kepastian (yaqın) di semua

135

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 57. 136

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 57.

Page 85: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

74

ilmu teoritis dan praktis dan mutlak sangat diperlukan untuk mencapai tujuan

tersebut. Namanya, mantiq, katanya, berasal dari ucapan (nutq), yang mana para

filsuf kuno membagi ke dalam dua bagian: a) kecerdasan untuk memahami dalam

kedua bidang praktis dan teoritis (ini disebut 'suara hati / batin di dalam); b)

kecerdasan komunikasi publik / pidato atau ekspresi dalam bahasa lisan.137

Pembahasan metode pembuktian demonstratif adalah pokok bahasan dari

Aristotle's Analytica Posteriora, di mana al-Farbi telah menulis sebuah parafrase

yang berjudul kitab Al-Burhan (Book of demonstration). Di sini, ia membagi

semua metode diskursus dengan tata cara tradisional Arab, yang mungkin

merupakan dasar Stoic, ke dalam konsepsi (tasawwur) dan persetujuan (tasdıq),

yang hampir berhubungan dengan definisi dan penghakiman. Hal ini diikuti oleh

diskusi tentang variasi persetujuan/kesepakatan/pembuktian: demonstratif,

dialektis dan retoris.138

Dalam pembahasan tentang metode pembuktian demonstratif yang

dianggap oleh Aristoteles sebagai metode tertinggi, Al-Farabi membedakan antara

pengetahuan tentang fakta (oti) dan penyebab fakta (dioti) sepanjang dasarnya

jalur / pemikiran Aristotelian. Faktanya, menurut al-Farabi, dikenal secara

langsung baik melalui rasa-pengalaman, bukti eksternal atau wahyu (dalil).

Setelah fakta diketahui, kita dituntun untuk mencari penyebabnya dengan salah

satu dari tiga metode yang disebutkan di atas. Penyebab ini kemudian disajikan

137

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 57. 138

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 58.

Page 86: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

75

sebagai bahan / materi, formal, berdayaguna / fungsi dan final. Dari sinilah

pengetahuan formal dan final memerlukan pengetahuan tentang sesuatu hal yang

semestinya, bahwa bahan / materi, dan fungsi / dayaguna mengakibatkan

keberadaan sesuatu hal itu mungkin pasti atau mungkin.139

Pengetahuan menyeluruh dari suatu entitas adalah pengetahuan dari

keduanya yaitu yang lebih dekat (proximity) dan penyebab utama. Dengan

demikian, dalam menjelaskan gerhana bulan, tidak cukup untuk mengatakan

bahwa; bulan berada di pusat ekliptika, yang merupakan penyebab utama gerhana,

tetapi kita harus menambahkan, sebagai penyebab yang lebih dekat (proximate):

interposisi bumi antara matahari dan bulan, dengan demikian menutupi sinar

matahari.

Syllogisme demonstratif, yang mengarah pada pengetahuan tertentu

('ilm, episteme), berbeda dari jenis syllogisme lain sejauh alasan yang diperlukan

dan sebelum kesimpulan. Setelah alasan ini dikemukakan, kesimpulannya tentu

mengikuti. Beberapa ilmu seperti matematika dan fisika berurusan dengan entitas

atau prinsip tertentu, seperti gerak atau besarnya. Metafisika, di sisi lain, berkaitan

dengan entitas atau prinsip universal, sejauh mereka mengarah pada prinsip-

prinsip utama yang umum untuk setiap hal, seperti penyebab formal dan

terakhir.140

Seperti Aristoteles, di dalam Posteriora Analytica, al-Farabi mengerjakan

di bagian kedua dari kitab Al-Burhan dengan definisi, aturan dan hubungannya

139

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 58. 140

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 59.

Page 87: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

76

dengan demonstrasi. Dia mulai dengan mengemukakan sebagai premis bahwa

definisi terdiri dari satu istilah atau frasa, yang dapat digunakan sebagai

kesimpulan atau premis demonstrasi. Misalnya, jika kita mendefinisikan Guntur

sebagai suara yang disebabkan oleh awan (atau lebih tepatnya tabrakan dari dua

awan), kemudian tambahkan ' melibatkan beriak di awan ', kita akan mendapatkan

sillogisme berikut:141

P1 :Awan ini disertai dengan angin yang beriak;

P2 :Sekarang, angin ini menyebabkan suara;

K :Oleh karena itu, awan menyebabkan suara

Sillogisme semacam ini, menurut al-Farabi dapat menghasilkan sebuah

kesimpulan definisi, di mana istilah dapat disusun kembali sedemikian rupa untuk

menghasilkan definisi Guntur:

Guntur adalah suara di awan karena riak angin di dalamnya.

Perbedaannya, menurut al-Farabi bahwa definisi sebelumnya dalam

demonstrasi - yaitu, premis utama dan definisi tengah (atau awan dan suara

beriak) diturunkan sampai akhir dalam definisi. Dengan demikian, apa yang

sebelumnya dalam demonstrasi adalah posterior dalam definisi.

Definisi berbeda dari demonstrasi sejauh rumus tidak memerlukan

penilaian, seperti halnya dengan demonstrasi, dan dengan demikian dapat

digunakan sebagai bagian dari penilaian. Namun, definisi melibatkan dua bagian,

satu yang dapat didasarkan pada definiendum, yang lain tidak. Jadi, jika kita

mendefinisikan sebuah lingkaran sebagai angka yang ditulis oleh satu baris dan

yang memiliki pusat dari mana semua garis yang ditarik ke lingkar sama, istilah '

141

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 59.

Page 88: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

77

figure ' adalah predikable dari sebuah lingkaran, tapi tidak satu baris. Untuk

lingkaran bukanlah satu baris, tetapi merupakan sosok yang ditulis oleh satu baris,

yang sebenarnya merupakan bagian dari perbedaan angka yang didefinisikan

sebagai lingkaran.

Al-Farabi menyimpulkan dari pernyataan ini bahwa dari dua komponen

definisi: genus dan differentia. Genus merupakan bagian integral dari

definiendum, sedangkan differentia tidak. Jadi, ketika kita mendefinisikan dinding

sebagai tubuh yang menopang atap, menopang atap bukanlah bagian penting dari

konsep dinding. Demikian pula, jika kita mendefinisikan Tuhan sebagai dzat yang

menggerakkan dunia, menggerakkan dunia bukanlah bagian penting dari kodrat

Tuhan, yang berbagai perbedaan berlaku.142

Dari metode definisi yang sedikit konvensional, al-Farabi menyebutkan

metode Xenocrates, yang terdiri dari mendefinisikan objek dengan demonstrasi,

dan metode Plato dengan cara pembagian atau dikotomi. Metode pertama

mengandaikan pengetahuan tentang jangka menengah dari demonstrasi; yang

kedua mengandaikan pengetahuan tentang genus di mana definisi didefinisikan,

serta perbedaan esensial yang menentukan masing-masing genus berturut-turut.

Dengan kata lain, kedua metode ini melibatkan prinsip petisi. Dalam logika

Aristotelian, differentia dikenal baik dengan induksi atau deduksi, tetapi bukan

apriori, seperti dua metode di atas dalam arti mengandaikan.143

142

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 60. 143

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 60.

Page 89: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

78

C. Harmonisasi Agama dan Filsafat Menurut al-Farabi

Pandangan dan gagasan al-Farabi dipengaruhi oleh dua sumber penting

yaitu agama Islam dan filsafat Yunani. Dalam filsafat, al-Farabi menerima

beberapa gagasan filsuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus, yang

secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh mereka. Meskipun begitu,

al-Farabi memiliki konsep tersendiri yang ia kembangkan dalam bidang filsafat,

seperti teorinya dalam Utopia dan klasifikasi sains (The Enumeration of

Sciences). Adapun, teori lain menyebutkan al-Farabi dipengaruhi oleh Islam.144

Dalam hal ini, al-Farabi mencoba menyesuaikan filsafat dengan agama dan

menunjukkan bahwa keduanya itu saling berhubungan dan konsisten. Al-Farabi

juga telah menguasai filsafat dan percaya pada sumber-sumber Islam, serta

menerima mereka dengan nalar dan logika.145

1. Haqq / Kebenaran

Para filsuf muslim awal seperti al-Fārābī dipengaruhi oleh sumber-

sumber Islam berdasarkan wahyu. Dengan kata lain, para filsuf ini mendekati

banyak subjek filosofis melalui pola Al-Qur'an. Mirip dengan muslim lainnya,

mereka percaya bahwa Allāh (God) adalah satu: Dialah yang mahakuasa dan tidak

memiliki sekutu dalam Kuasa dan Pengetahuan-Nya. Dia tahu „semua misteri

dunia‟. Bahkan, Al-Qur'an menyebutkan bahwa nama-Nya yang lain adalah

144

Shahsavari Mahmood, “Al-Farabi: Educational Ideas about the Foundations of

Education: Objectives, Programs, Methods, Teacher and Student”, Journal of Basic and Applied

Scientific Research. Department of Educational Sciences, Payame Noor University (Iran, 2012): h.

9570. 145

Shahsavari Mahmood, “Al-Farabi: Educational Ideas about the Foundations of

Education: Objectives, Programs, Methods, Teacher and Student”, Journal of Basic and Applied

Scientific Research. Department of Educational Sciences, Payame Noor University (Iran, 2012): h.

9570.

Page 90: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

79

"Haqq", yang berarti „kebenaran‟. Istilah Haqq sangat penting untuk memahami

hubungan antara filsafat Yunani dan wahyu Islam.146

Al-Fārābī, filsuf yang tertarik pada „esensi realitas‟, percaya bahwa

filsafat Yunani dan Islam memiliki kesamaan terhadap pertanyaan tentang

kebenaran, yaitu Haqq. Sebagai seorang filsuf, ia bermaksud untuk menemukan

„kebenaran keberadaan‟, „pengetahuan tentang hal-hal yang ada sejauh mereka

ada‟. Sebagai seorang muslim, bagaimanapun, ia menganggap Tuhan sebagai

Kebenaran.147

Untuk mengetahui tentang Kebenaran Keberadaan, al-Farabi memulai

dengan penjelasan Yang Pertama (Tuhan). Yang Pertama (al-Awwal) adalah

penyebab dari semua entitas yang ada. Yang Pertama ini menjadi sebab

keberadaan entitas lainnya (aqdan). Dengan demikian, Yang Pertama benar-benar

terbebas dari segala ketidaksempurnaan dan Yang Pertama tidak tergantung

kepada apapun karena Dia kekal dan satu. Selain itu, al-Farabi menegaskan bahwa

Yang Pertama bebas dari segala macam bentuk materi dan bentuk karena bentuk

hanya ada dalam materi. Yang Pertama tidak memiliki pasangan (sharik). Karena

apabila itu terjadi maka akan terjadi pertentangan. 148

“In deference to official Islamic doctrine, al-Fa ¯ra ¯bi goes

on to state that the First Being has no partner (sharı ¯k) who

shares in its being or perfection, for if it did, this partner

would be made up of that which is peculiar to it and that

which it shares with the First, and thus would be composite

146

Hamid Andishan, “Al-Farabi‟s Tradition Vis-à-vis Philosophical Pluralism”, Journal of

East-West Thought (Tehran, 2012): h. 110. 147

Hamid Andishan, “Al-Farabi‟s Tradition Vis-à-vis Philosophical Pluralism”, Journal of

East-West Thought (Tehran, 2012): h. 110. 148

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h.80.

Page 91: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

80

and accordingly radically different from the First, whose

essence is simple and indivisible. Nor can the First have an

opposite, or else the two would nullify each other. For, it is

of the essence of two opposites that the one is where the

other is not, or is not where the other is and, as such, is

corruptible. However, were the First corruptible, its

subsistence or duration would not be part of its essence and,

accordingly, would depend for its existence on something

else. As such, it would cease to be the First or Everlasting

Being.”149

Dalam menjelaskan argumennya, ia memulai dengan dua pendekatan

yaitu Agama (wahyu) dan filsafat Aristotele dalam karyanya yang berjudul

Metaphysics. al-Farabi menegaskan bahwa Allah / Yang Pertama merupakan

Dzat Yang Satu (Samad) dan kekal. Tidak ada yang setara dengan-Nya.

Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Ikhlas (112) yang artinya:150

“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.

Allah adalah tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak

beranak dan tidak pula diperanakan. Dan tidak ada sesuatu

yang setara dengan Dia.”

Dalam pendekatan filsafat, al-Farabi setuju dengan gagasan Aristotele

yang menganggap Tuhan sebagai Dzat Yang Pertama. Dia (Allah) sebagai Dzat

Yang Abadi dan Aktual (Metafisika, XII, 1072 A 25).

“Aristotle, at the philosophical level, and the Qur‟an, at the

religious level, removed that indeterminateness. The former

regarded God or the First Principle as an immovable and

eternal substance (ousia) or actuality (Metaphysics, XII,

1072 a 25); whereas the latter has distinguished God as the

„only One ... the Everlasting [samad] ... None is His equal‟

(Qur‟an 112).”

149

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h.80 – 81. 150

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h.81.

Page 92: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

81

Dengan demikian, pendekatan di atas menunjukan bahwa para filsuf

muslim memiliki dua sumber untuk mengetahui kebenaran / Haqq. Islam

menuntut filsuf muslim melalui ajaran Al-Qur'an ke Kebenaran - yaitu Allah, dan

filsafat Yunani membimbing mereka melalui pemikiran dan penalaran menuju

kebenaran – yaitu esensi hal. Dalam pikiran mereka, dua cara muncul secara

paralel dan menuju tujuan yang sama:151

God, in Islamic philosophy, is the source of the book of creation

(universe) and composed book (Qur‟ān). The composed book is

orchestrated with book of creation and its order. The philosopher

can deduce the statements of Qur‟ān by watching the universe

(Dāwarī 1998, 121).

Keserasian yang ditujukan antara filsafat Yunani dan Islam ini adalah

hasil upaya para filsuf muslim awal, dan khususnya, tulisan-tulisan al-Fārābī.

Filsafat dapat menduduki posisi yang dihormati dalam sistem pemikiran muslim

karena upaya ini. Al-Fārābī mencoba mengharmonisasikan keduanya dan

mencoba menyelamatkan filsafat dari tuduhan sebagai anti-agama. Di bawah

pengaruh al-Farabi, Abū ayyān al-Tawḥ īdī menulis:152

Is not philosophy outward form of spirit and is not religion inward

form of spirit? When Greek philosophy and Arabic religion

combine, the perfection becomes accessible (Dāwarī 2003, 120).

Dengan demikian, agama mendorong filsafat dan berfungsi terutama

untuk menyampaikan kebenaran yang lebih bermakna dalam bentuk yang dapat

dipahami oleh masyarakat. Namun, al-Farabı menyadari bahwa perkembangan

yang teratur ini dapat dipatahkan dalam beberapa kasus, terutama ketika agama

151

Hamid Andishan, “Al-Farabi‟s Tradition Vis-à-vis Philosophical Pluralism”, Journal of

East-West Thought (Tehran, 2012): h. 110. 152

Hamid Andishan, “Al-Farabi‟s Tradition Vis-à-vis Philosophical Pluralism”, Journal of

East-West Thought (Tehran, 2012): h. 111.

Page 93: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

82

dibawa dari satu negara ke negara lain. Selain itu, agama mungkin menjadi rusak

jika didasarkan pada filsafat non-demonstratif, yang masih dikembangkan

menggunakan metode retoris, dialektis, atau sofistik. Ini adalah „filsafat‟ dalam

nama saja, karena filsafat yang benar bagi al-Farabi tidak diragukan lagi

demonstratif.153

Agama yang rusak seperti itu pasti akan bertolak belakang dengan

filsafat sejati, karena ia didasarkan pada filsafat yang salah atau meragukan.

Seperti al-Farabı menjelaskan bahwa terkadang ketika sebuah agama yang

didasarkan pada filsafat yang benar dibawa ke suatu bangsa sebelum filsafat yang

menjadi dasarnya. Ketika filsafat itu akhirnya mencapai bangsa, penganut agama,

yang menganggap bahwa agama mereka mengandung kebenaran daripada

perumpamaan kebenaran, akan menentang filsafat.154

2. Filsuf dan Imam

Ketika filsafat Yunani dan agama Islam digabungkan, sebuah cabang

baru muncul, yaitu pengetahuan Ilahi (Teologi). Al-Fārābī mengkategorikan

berbagai cabang ilmu pengetahuan dalam Kitāb Iā'al-ʻ Ulūm, Kitab Klasifikasi

Ilmu Pengetahuan (The Enumeration of Sciences). Dalam uraiannya tentang

teologi, al-Fārābī menulis tentang Tuhan, esensi dan atribut-Nya, kesatuan-Nya,

serta para malaikat dan ciptaan. Al-Taīl al-Sa'ādat adalah salah satu dari tulisan-

tulisan lain di mana al-Fārābī mencoba membawa filsafat Yunani lebih dekat ke

153

Muhammad Ali Khalidi, Cambridge Text in History of Philoshopy: Medieval Islamic

Philoshopical Writings (New York: Cambridge University Press, 2005), h. xvii. 154

Muhammad Ali Khalidi, Cambridge Text in History of Philoshopy: Medieval Islamic

Philoshopical Writings (New York: Cambridge University Press, 2005), h. xvii.

Page 94: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

83

Islam.155

Dalam karya ini, pendekatan kombinasinya mengidentifikasi dua konsep

yang berbeda, yaitu Imam / penguasa negara yang bajik - pemimpin agama - dan

filsuf. Dia berpendapat bahwa “filsuf dan Imam memiliki arti yang sama”.156

Al-Farabi mengidentifikasi filsuf dengan nabi, baik sebagai penguasa

tertinggi dan keduanya memiliki wewenang mutlak tentang segala hal yang

menyangkut hukum dan perbuatan. Karena al-Farabi, hubungan antara teologi

Islam dan filsafat agak kontroversial, terutama yang menyangkut pengetahuan,

filsafat menjadi lebih unggul daripada agama. Untuk membawa kepada pencetus

agama dan filsafat umum, al-Farabi membawa perhatian kepada teori nubuawwah

(pewahyuan), namun tidak satupun yang berani mencobanya melainkan Avicenna,

kerana nubuwwah merupakan teori baru yang murni. Nubuwwah tidak lebih dari

sebuah fenomena seperti yang lain, tetapi nabi adalah seorang pria yang mencapai

kesempurnaan dan memiliki kekuatan imajinatif. Dengan bantuan wahyu, dia

dapat mempelajari kebenaran alam akhirat, teori Al-Farabi yang menegaskan

bahwa wahyu dan alasan tidak saling bertentangan satu sama lain. Masyhad Al-

Allaf mengilustrasikan beberapa perbedaan antara filsuf dan nabi yang

diidentifikasi oleh Al-Farabi:157

Pertama, nabi menerima pengetahuannya secara keseluruhan melalui

intelek aktif dalam satu tembakan, tanpa upaya pribadi dalam penalaran logis atau

refleksi filosofis. Kedua, nabi membuat hukum setiap perkara melalui sunnah dan

155

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 91. 156

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 91. 157

Ludmila Birslan, “Islamic political Philosophy: Prophecy, Revelation, and the Divine

law”, Journal of Philosophy, Social and Human Disciplines vol. II (Iasi, 2011): h.87.

Page 95: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

84

hukum ilahi yang mengatur manfaat orang melalui peraturan hak dan kewajiban.

Ketiga, nabi menuntun orang untuk menerapkan hukum ilahi dalam kehidupan

mereka untuk mencapai kebahagiaan mereka. Keempat, metodenya praktis dengan

menyebutkan keadilan mutlak dari Allah yang memberikan pahala dan siksa.

Kelima, nabi menuntut masyarakat terhadap setiap pengetahuan yang mereka

tidak mampu.158

Al-Farabi percaya bahwa para filsuf ingin meniru Allah, untuk lebih

dekat kepada-Nya, untuk kesempurnaan-Nya, karena ini adalah tujuan filsafat

sebagai ilmu pengetahuan: untuk memurnikan jiwa kita, untuk membantu kita

mengetahui dan memahami alam semesta, diri kita sendiri dan keberadaan kita

sendiri. Tidak diragukan lagi bahwa dalam filsafat politiknya al-Farabi mengikuti

jejak Plato, Aristoteles, Plotinus, yang paling penting menyangkut konsep

kesejahteraan, kebahagiaan, keadilan, kehidupan sosial tetapi ada beberapa

perbedaan Republik Plato dan Negara Utama al-Farabi, keduanya mengandung

beberapa filsafat. Di Republik Plato ada sistem politik idealis yang diciptakan

oleh seorang pemimpin yang juga seorang filsuf dan dewan filsuf. Di negara

utama al-Farabi, pemimpin adalah baik seorang filsuf maupun seorang nabi. Ada

dewan terkemuka tetapi untuk sebagian besar terbentuk dari para filsuf. Ada

sistem filosofis yang lebih idealis bagi manusia.159

Al-Farabi kemudian melanjutkan dengan menggambarkan kepala

penguasa kota, yang dibaratkan dengan hati, atau organ utama tubuh, sebagai

158

Ludmila Birslan, “Islamic political Philosophy: Prophecy, Revelation, and the Divine

law”, Journal of Philosophy, Social and Human Disciplines vol. II (Iasi, 2011): h. 87-88. 159

Ludmila Birslan, “Islamic political Philosophy: Prophecy, Revelation, and the Divine

law”, Journal of Philosophy, Social and Human Disciplines vol. II (Iasi, 2011): h.88.

Page 96: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

85

manajer tertinggi urusan kota, atau kepalanya. Penguasa ini dapat disamakan

dengan Penyebab Pertama, yang memimpin entitas-entitas tidak material, yang di

bawahnya terdapat benda-benda langit, diikuti oleh entitas material. Semua entitas

yang lebih rendah mengikuti dan meniru yang lebih tinggi, yang berpuncak pada

yang tertinggi, yang merupakan Penyebab Pertama.160

Dua kualifikasi penting dari penguasa utama adalah disposisi atau bakat

alami untuk memerintah, ditambah dengan sifat sukarela atau kebiasaan yang

tepat untuk memperoleh tujuan tersebut. Seperti Penyebab Pertama, pemimpin

penguasa kota yang berbudi luhur ini kemudian dikategorikan sebagai orang yang

memiliki kesempurnaan intelektual penuh, baik sebagai subjek maupun objek

pemikiran (aqqil, ma'quôl). Penguasa pertama merupakan seseorang yang mana

kecerdasan/kekuatan imajinatifnya telah mencapai puncak tertinggi, di mana ia

dapat menerima dari Intelek Aktif pengetahuan informasi baik dalam diri mereka

sendiri atau sesamanya, serta bentuk-bentuk yang dapat dipahami. Pada titik itu,

penguasa dapat mencapai kondisi yang dikenal sebagai kecerdasan menerima

informasi / acquaired intellect („aql mustafad), yang merupakan tahap intelektual

tertinggi yang dapat dicapai oleh umat manusia. Kondisi ini dilabeli oleh al-Farabi

sebagai kedekatan / proximity (muqarabah) dengan Intelek Aktif, di tempat lain

disebut konjungsi (ittisal).161

Jika kondisi intelektual ini digabungkan dengan kemampuan imajinatif,

seseorang menjadi penerima wahyu dari Tuhan, yang mengirimkan pesan-

160

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 101. 161

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 103.

Page 97: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

86

pesanNya melalui perantara Intelek Aktif, pertama-tama dapat dipahami dan

kemudian sebagai bentuk imajinatif. Dengan demikian, berdasarkan apa intelek

pasif-nya terima, ia menjadi seorang filsuf yang sempurna, bijak (hakım) atau

manusia rasional (muta'aqqil), dan berdasarkan apa yang diterima oleh

kemampuan imajinatif, seorang nabi, yang dipanggil untuk memperingatkan

tentang peristiwa masa depan atau menginformasikan tentang peristiwa-peristiwa

tertentu di masa kini. Seseorang yang memenuhi persyaratan demikian

disimpulkan oleh al-Farabi pemimpin / penguasa, karena ia mampu lebih baik

daripada orang lain, untuk mengidentifikasi setiap tindakan adalah kemaslahatan

untuk kebahagiaan dan membimbing sesama menuju kebahagiaan sejati dan

tindakan yang mengarah ke sana.162

Dalam mengkarakterisasi pemimpian-penguasa, al-Farabi mengadopsi

model kepemoimpinan Plato dalam karya Republic‟s Plato. Tetapi ia

menambahkan poin karakter kenabian di samping cirri-ciri filosofis Plato. Sebuah

perbandingan dari dua daftar yang diberikan di Republic (Karya Plato) dan

Virtous City (Karya al-Farabi) mengungkapkan titik temu antara kesepakatan atau

ketidaksepakatan dari kedua filsuf tersebut. Sebagai permulaan, Plato menegaskan

bahwa raja - filsuf harus memiliki hasrat yang konstan untuk setiap pengetahuan

yang akan mengungkapkan sesuatu dari realitas yang bertahan selamanya, yang

dengannya ia jelas berarti Dunia Gagasan World of Ideas sesuai dengan Dunia

162

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 103.

Page 98: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

87

Cerdas al-Farabi. (Karakter ini sesuai dengan sebagian besar karakter atau sifat

keenam al-Farabi).163

Raja - filsuf juga harus menjadi pencinta kebenaran dan pembenci

kepalsuan (karakter kedelapan dari al-Farabi). Ia harus sopan dan tidak mencintai

uang (karakter kesepuluh). Dia harus berani; (karakter keduabelas), Dia harus

berpikiran adil, lembut dan flexible (karakter kesebelas al-Farabi). Ia harus cepat

belajar dan memiliki ingatan yang kuat (sifat ketiga al-Farabi). Tiga sifat yang

tampaknya hilang dalam daftar Plato adalah kefasihan (5), konstitusi tubuh yang

sehat (1) dan cinta keadilan (11), yang secara khusus membentuk bagian dari

kualifikasi untuk seorang pemimpin.

Jika sifat-sifat ini yang harus dimiliki oleh penguasa utama, menurut al-

Farabi tidak dapat ditemukan dalam satu individu seperti yang diakui Plato, tetapi

ditemukan pada lebih dari orang yang memiliki sifat utama kebijaksanaan, mereka

akan secara kolektif memenuhi syarat sebagai penguasa. Jika, di sisi lain,

kebijaksanaan ditemukan dalam satu, kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam

dari ciri-ciri yang disebutkan di atas dalam serangkaian yang lain, mereka semua

akan memenuhi syarat untuk memperoleh sebagai penguasa asalkan mereka

semua memiliki karakter yang sesuai. Namun, jika kebijaksanaan tidak ditemukan

di salah satu dari keenam, kota/negara akan dihukum untuk tetap tanpa pemimpin

penguasa dan pada waktunya ditakdirkan untuk binasa.164

163

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 104. 164

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 105.

Page 99: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

88

3. Agama dan Negara

Teologi Islam selalu dikaitkan dengan politik biasanya karena masalah

utama kepemimpinan masyarakat Islam karena membawa perkembangan teologi

Islam, yang sebelumnya lebih banyak mengatur tentang etika dibandingkan

dengan politik dalam arti yang ketat. Ada beberapa keyakinan, sikap masyarakat

Islam yang selalu tetap sama sepanjang abad, yaitu: pemuasan untuk Wahyu Ilahi,

keinginan untuk mengikuti jalan hidup dan perkataan Nabi dan keyakinan bahwa

bersi tegang dari cara-cara leluhur adalah suatu kesalahan.165

Mengkaji tentang gagasan al-Farabi tidak akan terlepas dari

pembahasannya mengenai konsep negara. begitu juga halnya mengakaji tentang

agama. Semua tulisannya, Book of Religion menunjukan yang sangat terang dan

jelas. Karyanya tersebut di satu sisi mengeksplorasi harmonisasi antara filsafat

dan agama, dan di sisi lain memberikan pemahaman yang tepat bahwa keduanya

mengajarkan kita tentang kehidupan politik.166

Pembahasan mendasar dari Book of Religion karya al-Farabi adalah

agama utama mengatur komunitas politik dan tunduk tidak hanya pada filsafat

praktis tapi juga teoritis.167

Sebagai contoh, kriteria yang digunakan untuk

membedakan agama yang bajik dari agama yang tidak bajik yaitu dilihat dari

orientasinya untuk mencapai kebahagiaan sejati bagi penduduk masyarakat.168

165

Ludmila Birslan, “Islamic political Philosophy: Prophecy, Revelation, and the Divine

law”, Journal of Philosophy, Social and Human Disciplines vol. II (Iasi, 2011): h.87. 166

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 88. 167

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 88. 168

Charlesh E. Butterworth, Al-Farabi: The Political Writings - Selected Aphorism and

Other Text (USA, Cornell University Press, 2001), h. 89.

Page 100: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

89

Ia mulai dengan premis bahwa manusia tidak dapat mencapai

kesempurnaan yang ditakdirkan untuk dicapai, di luar kerangka kerja asosiasi

politik karena mereka terus-menerus membutuhkan bantuan rekan-rekan mereka

dalam memperoleh kebutuhan dasar mereka dan kelangsungan hidup mereka.

Dengan demikian timbul tiga jenis asosiasi: yang besar, diidentifikasi dengan

dunia pada umumnya (ma'murah, oikiomene); perantara, diidentifikasi dengan

bangsa (ummah), dan yang kecil, diidentifikasi dengan negara-kota (madınah,

polis). Terhadap ketiga bentuk asosiasi politik yang sempurna ini kemudian

ditetapkan tiga bentuk tidak sempurna besar, sedang dan kecil.169

Kota / negara yang berbudi luhur di mana pemimpin penguasa atau Imam

harus memimpin, diwakili oleh al-Farabi sebagai kerangka politik untuk mencapai

tujuan akhir kebahagiaan umat manusia. Penduduknya disatukan oleh tujuan

komunitas bersama baik teoritis maupun praktis. Oleh karena itu, mereka harus

mencari pengetahuan pertama tentang Penyebab Pertama dan semua atributnya,

dan di tahap kedua mereka harus mencari pengetahuan tentang bentuk-bentuk

tidak berwujud (konseptual), serta pengetahuan tentang entitas spiritual

(kecerdasan nalar/akal), properti mereka, tindakan mereka dan pangkat mereka,

berakhir dengan urutan menurun dari intelek aktif. Selanjutnya, penduduk kota

yang bajik hendaknya mencari pengetahuan tentang tubuh surgawi dan sifat

mereka, diikuti oleh tubuh jasmani, bagaimana mereka menjadi ada dan

meninggal serta apa pun yang terjadi dalam dunia dari generasi dan terjadi korupsi

169

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 100.

Page 101: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

90

sesuai dengan prinsip keahlian (ihkam), keadilan dan kebijaksanaan dimana tidak

ada ketidaksempurnaan atau ketidakadilan.

Selanjutnya, mereka harus mencari pengetahuan manusia, bagaimana

mereka diciptakan dan bagaimana karakter mereka berkembang dan akhirnya

diterangi oleh cahaya yang berasal dari Intelek Aktif dan merupakan jaminan

mereka memahami prinsip-prinsip Pertama di mana semua pengetahuan

bergantung. Persoalan-persoalan lain yang mesti penduduk kota pahami adalah: 1)

sifat kehendak dan pilihan; 2) karakteristik pemimpin penguasa dan bawahannya;

3) sifat wahyu (wahy) dan bagaimana itu mungkin; 4) sifat kebahagiaan; dan 5)

nasib kota-kota yang tidak berbudi luhur dan bagaimana penduduk itu ditakdirkan

setelah mati untuk menderita kutukan abadi atau penghancuran total.170

Dari dua mode pengetahuan yang terbuka bagi para penghuni kota yang

berbudi luhur – intelektual murni atau abstrak, dan imajinatif atau

representasional kelas filsuf istimewa (hukama) mencapai tipe sebelumnya

dengan jalan demonstrasi dan intuisi; sedangkan masyarakat mencapainya dengan

meminta perwakilan (mithaaya), yang merupakan tiruan dari demonstrasi para

filsuf. Al-Farabi merujuk pada kelas menengah ketiga yang mempertanyakan

representasi massa dan dapat dikatakan milik kelas 'peniru para filsuf', yang

mungkin dimaksudkan oleh al-Farabi sebagai Mutakallimun, yang mengambil

bagian dalam seni dialektika inferior (jadal).171

170

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 107. 171

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h. 107.

Page 102: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

91

Namun, kelas menengah ini yang anggotanya fokus untuk membela

agama masing-masing (millah) tidak dapat menangkap demonstrasi para filsuf

atau dimengerti dengan kemampuan pikir yang mereka persoalkan. Oleh karena

itu, mereka terus berpegang teguh pada gambar (Rusum) dyang dapat dimengerti

atau jejak gambar tersebut dalam jiwa mereka.172

172

Majid Fakhry, Great Islamic Thinkers: Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Life, Works, and Influence (England, Oneworld Oxford, 2002), h.114.

Page 103: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

92

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang dilakukan mengenai Harmonisasi Agama dan Filsafat

Menurut al-Farabi, maka diperoleh hasil berdasarkan rumusan masalah dan tujuan

penelitian ini, diantaranya:

Pertama, menurut al-Farabi agama adalah serangkaian gagasan dan

tindakan, yang ditentukan dan dibatasi oleh ketetapan-ketetapan (situasi) dan kondisi

untuk masyarakat dari penguasa pertama mereka yang berusaha memperoleh tujuan

tertentu. Selanjutnya, al-Farabi berpendapat bahwa agama dipandang sebagai

ungkapan kebenaran. Oleh sebab itu agama merupakan jalan terbaik untuk mencapai

tujuan sejati. Tujuan sejati inilah yang nantinya menjadi pembeda antara agama yang

sebenarnya dengan yang tidak. Agama yang sebenarnya berusaha menuju akhir untuk

mencapai kebahagiaan sejati bagi penduduk masyarakat.

Kedua, menurut al-Farabi, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang

bagaimana sifat sesungguhnya dari kebenaran. Al-Farabi berperan membuat

terobosan baru dalam sejarah pemikiran filsafat Islam. Dalam penelitian ini penulis

menemukan bahwa al-Farabi mencoba mengembalikan kesatuan pemikiran Islam

berdasarkan demonstrasi.

Ketiga, pandangan dan gagasan al-Farabi dipengaruhi oleh dua sumber yaitu

sumber Islam – al-Quran, dan filsafat Yunani. Dari filsuf Islam, al-Farabi dipengaruhi

oleh dua filsuf sebelumnya: Al-Kindi dan Zakariya al-Razi. Sementara filsafat

Page 104: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

93

Yunani, al-Farabi terpengaruh oleh corak pemikiran Aristotele dan Plato. Hasil utama

dari penelitian ini menunjukan bahwa adanya harmonisasi antara agama dan filsafat.

Al-Farabi menegaskan bahwa filsafat dan agama keduanya saling berhubungan dan

konsisten. Filsafat Yunani dan Islam memiliki kesamaan terhadap pertanyaan tentang

kebenaran / Haqq. Islam menganggap Tuhan sebagai Kebenaran, sementara filsafat

Yunani bermaksud untuk menemukan kebenaran-keberadaan. Dengan kata lain,

Islam membimbing mereka melalui ajaran Al-Qur'an menuju kebenaran - Allah, dan

filsafat Yunani menuntun mereka melalui pemikiran dan penalaran menuju kebenaran

- esensi. Dengan demikian antara keduanya tidaklah bertentangan tetapi menuju

tujuan yang sama.

B. Saran

Kajian mengenai pemikiran al-Farabi sangatlah beragam dan selalu menarik

untuk dikaji. Penulis pribadi merasa masih sangat minim dalam menggali kajian

pemikiran al-Farabi, untuk itu penulis mamberikan beberapa saran bagi penulis lain

yang tertarik membahas pemikiran al-Farabi, diantarannya:

Pertama, pemikiran al-Farabi mengenai kedudukan filsafat dan agama.

Dalam hal ini sangat meanrik untuk dikaji secara lebih mendalam karena adanya

pendapat dari al-Farabi yang menyatakan bahwa kedudukan filsafat lebih tinggi dari

agama. Apakah memang benar demikian ataukah ada argument-argumen lain yang

menjelaskan sebaliknya?

Kedua, pemikiran al-Farabi berkenaan dengan kesenian, dalam hal ini cukup

menarik dibahas sebab al-Farabi sendiri adalah tokoh yang terkenal berkecimpung

Page 105: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

94

dalam dunia seni suara. Penelitian lebih lanjut berkenaan filsafat dan seni suara oleh

al-Farabi pasti akan sangat dinantikan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdullah, M. Yatimin. Pengantar Studi Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Atiyeh, George N. Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno.

Bandung: Pustaka, 1983.

Bagir, Haidar. Filsafat Islam, Jakarta: Mizan, 2005.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia.

Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

------ Tema - Tema Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Bakar, Osman. Hirarki Ilmu (Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung:

Mizan, 1997.

Black, Deborah L. al-Farabi. In Nasr, Seyyed Hossein & Leaman, Oliver. History of

Islamic Philosophy.London: Routledge. 1996.

Butterworth, Charles E. Al-Farabi, The Political Writings: Selected Aphorism and

Other Texts. New York: Cornell University Press, 2001.

Fakhry, Majid. History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press.

2004.

------ Great Islamic Thinkers – Alfarabi – Founder of Islamic Neoplatonism: His

Lifes, Works, and Influence. Oxford: One World Publications, 2002.

Page 106: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

95

------ Sejarah Filsafat Islam, terjm. Drs. R. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: PT Dunia

Pustaka Jaya, 1986.

Rahman, Fadzlur. Kontroversi Kenabian dalam Filsafat Islam, terj Ahsin

Muhammad. Bandung: Mizan, 2003.

Gazalba, Sidi. Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama. Jakarta: Bulan

Hanafi, A. Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1983.

Hidayat, Komaruddin; dkk. Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat. Jakarta: Depag RI,

2001.

Iqbal, Mohammad. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi:

Khitaab Bavan, 1981.

Johnstone, Ronald L. Religion in Society: a Sociology of Religion. New Jersey:

Prentice Hall, 1992.

Khaidi, Ali. Book of Letters - in Medieval Islamic Philoshopical Writings –

Cambridge Texts in the History of Philosophy. UK: Cambridge University

Press. 2005.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai

Pustaka, 1990.

Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Yogyakarta: Bumi Aksara, 2004.

Magnis Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19.

Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Mustansyir, Rizal & Munir, Misnul. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offset, 2011.

Page 107: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

96

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.

2014.

Nasr, Seyyed Hossein. Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam. Terj. Tim Penerjemah

Mizan. Bandung: Penerbit Mizan, 2003.

------ Islam - Religion, History, and Civilization. Harper Collins E-Books.

------ Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono & Djamaluddin

MZ. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Nawawi & Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. 2005.

Pasiak, Taufiq. Tuhan Dalam Otak Manusia – Mewujudkan Kesehatan Spiritual

Berdasarkan Neurosains. Bandung: Mizan Pustaka, 2012.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta:

UI Press, 2001.

Shadily, Hasan. Ensiklopedia Indonesia 1. Jakarta: Ichtiar Baru, 1980.

Soleh, A Khudori, Titik Temu Agama dan Filsafat Pemikiran Epistemologi Ibn

Rusyd. Malang: UIN Press, 2011.

Syukur Amin. Pengantar Studi Islam, Semarang: Pustaka Nuun, 2010.

Syarif, M.M. (Ed). Para Filosof Muslim, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung:

Mizan, 1994.

Yamani. Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan,

2002.

Page 108: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

97

Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam - Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2009.

Zubair, Ahmad Charis. Kuliah Etika. Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1995.

B. Jurnal

Ahmad, Muhammad Abdul Qadir. Metodologi Pengajaran Agama Islam, terjemahan

dari Turuq al-Ta`lim al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Direktorat Jenderal

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984-1985.

Birsan, Ludmila Islamic political philosophy: prophecy, revelation, and the divine

law. Journal of Philosophy, Social and Human Disciplines vol. II. 2011.

Hidayatullah, Syarif. Relasi Filsafat dan Agama (Perspektif Islam).Jurnal Filsafat

Vol. 40, Nomor 2, Agustus 2006.

Izutsu, Toyoshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-

Qur‟an terj. Amiruddin (dkk), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.

Kuswanjono, Arqom. Hakikat Ilmu Dalam Pemikiran Filsafat Islam.Jurnal

Universitas Gadjah Mada.

Mahdi, Muhsin. Al-Farabi on Philosophy and Religion. The Philosophy

Forum.Volume IV No.1.Departmenet of Philosophy of Boston University.

1973.

Munir, Misnal. Skeptisisme dalam Filsafat Barat Sejak Yunani Kuno Sampai Abad

Modern. Jurnal Filsafat, Universitas Gadjah Mada.

Sattar, Abdullah. Filsafat Islam Antara Duplikasi dan Kreasi. Journal.

Page 109: HARMONISASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT AL-FARABI

98

Fanshobi, Muhammad. Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-

Farabi.Ciputat: Skripsi UIN Jakarta, 2014.

C. Website

Zainuddin, Ansar. http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/pemikiran-filsafat-ar

razi, merujuk pada Majid Fakhry, The Arab and The Encounter with Philosophy,

dalam Therese Anne Duart, ed., Arabic Philosophy and The West, (Washington;

Centre Contemporary Arab Studies Georgetown University, 1988), hal. 1, diakses

tanggal 08 Januari 2019.