Harimau dari madiun

39

Transcript of Harimau dari madiun

Page 1: Harimau dari madiun
Page 2: Harimau dari madiun
Page 3: Harimau dari madiun
Page 4: Harimau dari madiun
Page 5: Harimau dari madiun
Page 6: Harimau dari madiun
Page 7: Harimau dari madiun
Page 8: Harimau dari madiun
Page 9: Harimau dari madiun
Page 10: Harimau dari madiun
Page 11: Harimau dari madiun
Page 12: Harimau dari madiun
Page 13: Harimau dari madiun
Page 14: Harimau dari madiun
Page 15: Harimau dari madiun
Page 16: Harimau dari madiun
Page 17: Harimau dari madiun
Page 18: Harimau dari madiun
Page 19: Harimau dari madiun
Page 20: Harimau dari madiun
Page 21: Harimau dari madiun
Page 22: Harimau dari madiun
Page 23: Harimau dari madiun
Page 24: Harimau dari madiun
Page 25: Harimau dari madiun
Page 26: Harimau dari madiun
Page 27: Harimau dari madiun
Page 28: Harimau dari madiun
Page 29: Harimau dari madiun
Page 30: Harimau dari madiun
Page 31: Harimau dari madiun
Page 32: Harimau dari madiun
Page 33: Harimau dari madiun
Page 34: Harimau dari madiun
Page 35: Harimau dari madiun
Page 36: Harimau dari madiun
Page 37: Harimau dari madiun

Catatan kaki

1. Belanda menguji kesetiaan orang-orang terpenting dalam kubu Pangeran Diponegoro. Salah

satu caranya adalah mengirim utusan seorang arab dari Jeddah bernama (dalam lafal jawa) Seh

Amirul Karbi Akmadul Anjari (Syekh Amirul Arabi Ahmad Al Anshari, alias Syekh Abdul Ahmad

bin Abdullah Al Anshari, alias Syekh habib Ahmad Al Anshari, sosok yang sebelumnya punya

hubungan pribadi cukup dekat dengan Pangeran Diponegoro) untuk menemui dan membujuk

Sentot. Salah satunya dengan menyampaikan pesan bahwa Kyai Mojo pun saat itu berencana

untuk berdamai dengan pihak Belanda.

2. Menurut Kyai Mojo, dalam tatanan negara baru yang sedang mereka perjuangkan itu Pangeran

Diponegoro lebih tepat jika memposisikan diri sebagai ‘Raja’ (pemimpin tertinggi negara) saja.

Sedangkan jabatan ‘Wali’ (pemimpin tertinggi agama) sebaiknya dipegang oleh orang lain, yang

tidak lain adalah Kyai Mojo sendiri.

Pangeran Diponegoro dengan tegas menolak. Dengan alasan belajar dari sejarah Kesultanan

Demak, banyak kerugian yang bisa ditimbulkan dari sistem tersebut. Apalagi jika pemuka agama

medominasi kebijakan politik negara.

Konflik antara dua tokoh penting ini mulai memanas dan direspon oleh para tokoh lain dalam

kubu para pemberontak. Termasuk perpecahan antara fraksi Mataram (yang didominasi

kalangan bangsawan) dengan fraksi Pajang (kalangan santri). Banyak pemimpin pasukan yang

menjauhi Kyai Mojo karena menduga ulama itu punya ambisi untuk berkuasa.

Merasa pengaruhnya mulai turun drastis, mungkin inilah yang menjadi motivasi Kyai Mojo untuk

‘membiarkan dirinya tertangkap’ oleh pasukan Belanda.

3. Kajineman: Spionase

4. Bengalsche Lancier: Kavaleri tombak pasukan Belanda yang didatangkan dari negeri Bengali,

India. Berseragam dan bersorban merah.

5. Pinilih: dalam bahasa jawa berarti “pilihan”. Nama Korps yang dipimpin oleh Sentot

Prawirodirjo. Komposisi awal terdiri dari 400 orang kavaleri dan 600 orang infanteri.

6. Akhir 1828, atas rekomendasi dari pamannya, Pangeran Bei, Pangeran Diponegoro mengijinkan

Sentot memungut sendiri pajak di wilayah yang dikuasainya tanpa melalui pejabat patih yang

biasa menjadi administrator pajak. Di mana 70%nya boleh dikelola oleh Sentot sendiri

sedangkan sisanya disetorkan ke Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin tertinggi. Sebuah

keputusan yang diragukan sendiri oleh Pangeran Diponegoro sebagaimana seperti yang

ditulisnya di Babad Diponegoro bait ke-35;

..Jika dia yang memegang pedang diijinkan menggenggam uang,

Page 38: Harimau dari madiun

apa jadinya nanti.

Tidakkah nanti akan menjadi terbengkalai.

7. Ronggo Prawirodirjo III memang terlahir di tengah keluarga pejuang. Kakeknya, Ronggo

Prawirodirjo I (sebelumnya bernama Ronggo Prawirosentiko, dimakamkan di Taman, Madiun)

adalah panglima perang andalan Hamengkubuwono I selama Perang Giyanti, cikal bakal

berdirinya keraton Yogyakarta.

Saat Ronggo III memutuskan untuk mengangkat senjata, sebuah ekspedisi militer dikirim

Marsekal Daendels yang terdiri dari 3000 prajurit infanteri, 2 eskadron kavaleri dan 2 kompi

arteleri untuk mengamankan ibukota.

Ronggo bersama 100 orang pengikutnya (12 diantaranya orang tionghoa) dikejar oleh pasukan

gerak cepat pimpinan Sersan Lucas Leberverd yang berkekuatan 150 personel, didukung dengan

Legiun Keraton.

Kedua pasukan bertemu di Sekaran, Bojonegoro, pada malam tanggal 16 Desember 1810. Pada

pertempuran esok harinya pasukan Ronggo akhirnya tercerai berai.

Hanya ditemani seorang patih, seorang deputi dan beberapa pembawa panji dan payung

kebesaran, Ronggo nekad tetap melanjutkan perlawanan hingga akhirnya tewas. Pada saat itu

usianya 31 tahun.

8. Istri Ronggo III, Ratu Maduretno, konon adalah yang tercantik dari tiga puteri Sultan Hamengku

Buwono II dari istrinya yang berdarah Madura. Ratu Maduretno meninggal mendadak pada

bulan November 1809, saat usianya masih di awal 30an.

Seperti yang dituturkan dalam Babad Pakualaman, kesedihan Ronggo III atas kematian istri

tercintanya itu sangat dramatis. Bupati itu memakamkan Ratu Maduretno di gunung Bancak,

yang dinamai Giripurno, bukit tertinggi yang menghadap di kediamannya di maospati. Raden

Ronggo sering menghabiskan waktunya di depan makam istrinya itu sambil meratapinya siang

malam.

9. Selain kekaguman itu nampak dari cara Pangeran mengagung-agungkan patriotisme Ronggo III

dalam Babad karyanya, juga terlihat dari sikap politisnya di beberapa tahun sebelum pecahnya

perang.

28 September 1814, Pangeran Diponegoro mengawini RA Maduretno, puteri mendiang Ronggo

III dengan mendiang Ratu Maduretno.

RA Maduretno (digelari ‘Ratu Kedaton’ saat Pangeran Diponegoro bergelar ‘Sultan Ngabdul

Kamid’)selalu mendampingi Pangeran Diponegoro dalam gerilya.

Setelah menderita sakit saat hamil 6 bulan, RA Maduretno akhirnya wafat pada 20 November

1827.

10. Beberapa kasus berikut ini adalah sebagian kecilnya;

1 Desember 1826 Pangeran Mangkudiningrat menyerah beserta 250 orang pengawalnya yang

bersenjata api.

Page 39: Harimau dari madiun

Pertengahan 1827, Pangeran Notoprojo, adik Mangkudiningrat, menyerah beserta ratusan

prajuritnya.

April 1828 Pangeran Notodiningrat menyerah beserta puluhan pengawal.

November 1828 Kyai Mojo menyerah beserta 500 prajurit senior yang dipimpinnya.

Seluruh mantan pendukung Pangeran Diponegoro yang menyerah dan bersedia bekerjasama

diberi hadiah uang, tanah, gaji dan tunjangan oleh pemerintah Belanda. Kontribusi mereka pada

pihak Belanda sangat berharga karena sebagai mantan gerilyawan, mereka sangat mengenal

medan dan gaya bertempur kaum gerilyawan.

Keluarnya Sentot dari gelanggang pertempuran memastikan posisi Diponegoro semakin

mustahil memenangkan perang. Maret 1830 Diponegoro datang ke Magelang beserta 1400

orang pengikutnya yang tersisa untuk memenuhi undangan De Kock. Setelah 20 hari tinggal di

sana, diadakan pertemuan antara dua panglima perang itu, yang diakhiri dengan penangkapan

Sang Pangeran. Maka Perang Jawa pun dipastikan berakhir sudah.

Malang, November 2013

(untuk diajengku Emi Wijiyanti)

USER
Rectangle