Harga Transfer
description
Transcript of Harga Transfer
PENENTUAN HARGA TRANSFER
PENDAHULUAN
Dewasa ini, globalisasi telah berkembang pesat hampir pada semua aspek
kehidupan negara-negara di dunia. Globalisasi ekonomi telah memberikan dampak pada
meningkatnya transaksi international (cross border transaction). Namun, sebuah
permasalahan perpajakan yang timbul dari kegiatan ini adalah penentuan harga transfer
(transfer pricing). Transfer pricing berkaitan erat dengan harga transaksi barang, jasa
atau harta tak berwujud antarperusahaan dalam suatu perusahaan multinasional.
Transfer pricing dapat dibagi menjadi dua pengertian, yaitu pengertian netral dan
pengertian peyoratif. Dalam pengertian peyoratif, transfer pricing bertujuan untuk
menurunkan atau bahkan menghindari pengenaan pajak pada laba sebuah perusahaan
dengan cara mengalokasikan penghasilan dari suatu perusahaan ke perusahaan lain pada
negara yang berbeda, karena setiap negara memiliki peraturan perpajakan yang
berbeda-beda. Ada negara yang mengenakan tarif pajak yang tinggi pada laba kena
pajak perusahaan, namun juga ada negara yang mengenakan tarif pajak yang rendah
pada laba kena pajak perusahaan, atau bahkan ada negara yang tidak mempunyai
peraturan antipenghindaran pajak. Pada negara-negara inilah biasanya perusahaan
melakukan transfer pricing dengan mudah.
Dampak dari praktek transfer pricing adalah harga yang menjadi terlalu tinggi
(overpricing) atau harga yang menjadi terlalu rendah (underpricing). Hal ini mendorong
pemerintah untuk menetapkan regulasi tertentu terhadap harga transfer, termasuk
perhitungan kembali laba usaha. Dengan maksud mencegah erosi basis pajak dan
netralitas pemajakan. Di Indonesia regulasi tersebut tertuang dalam pasal 18 ayat (2)
undang-undang pajak penghasilan (UU PPh).
Ayat (2)
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib
Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain
badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah
50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham
yang disetor.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd yang
bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd tersebut tidak diperdagangkan di bursa
efek. Pada tahun 2009, X Ltd memperoleh laba setelah pajak sejumlah
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam hal demikian, Menteri Keuangan
berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
PERUSAHAAN MULTINASIONAL
Perusahaan Multinasional (Multinational Corporation/MNC) adalah perusahaan
yang beroperasi melewati lintas batas antarnegara, yang terikat hubungan istimewa,
baik karena penyertaan modal saham, pengendalian manajemen atau penggunaan
teknologi; dapat berupa anak perusahaan, cabang perusahaan, agen, dan sebagainya
dengan berbagai motif.
Ada tiga motif utama berdirinya MNC :
Bermotif memperluas usahanya dalam rangka mencari bahan baku (raw material
seeker) dan menjual produknya ke luar negeri. Bahkan, pemerintah tidak tahu
berapa banyak dan apa saja yang dihasilkan oleh perusahaan asing tersebut (seperti
PT Freeport (timah dan emas) di Irian Jaya, PT Caltex (minyak) di Riau, dan PT
Port Newman (minyak) di Batu Binjai NTB).
Bermotif mencari pasar (market seeker). Setelah terpenuhinya pasar dalam negara
tersebut, perusahaan multinasional ini berusaha mencari pasar-pasar baru untuk
memasarkan produknya. Hal ini dapat memperluas jangkauan pemasaran barang
tersebut.
Bermotif menimumkan biaya (cost minimazer), seperti keringanan pajak, tenaga
kerja murah, harga tanah murah, biaya pengolahan limbah dengan syarat ringan,
menghindari adanya batasan kuota di negaranya, dan pelayanan purnajual cepat.
HUBUNGAN ISTIMEWA
Terdapat hubungan istimewa antara induk perusahaan dengan anak
perusahaannya atau cabang-cabangnya atau perwakilannya yang berada di dalam negeri
maupun di luar negeri, di Indonesia diatur dalam Pasal 18 ayat (3), (3a), dan (4) UU
PPh, yang menyatakan sebagai berikut:
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan
menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode
harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan
bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga
transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan
mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu
tersebut berakhir.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)sampai dengan ayat (3d),
Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara
Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau
lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
HARGA TRANSFER
Pengertian Harga Transfer
Harga transfer sering disebut intracompany pricing, intercorporate pricing,
interdivisional pricing, atau internal pricing. Pengertian harga transfer bisa dibagi
menjadi dua, yaitu pengertian yang bersifat netral dan pengertian yang bersifat
peyoratif.
Pengertian Netral
Dengan asumsi bahwa transfer pricing merupakan murni strategi dan taktik
bisnis tanpa motif pengurangan beban pajak. Menurut Dr. Gunandi, M.Sc., Ak.,
harga transfer adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan
penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antarperusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa.
Pengertian Peyoratif
Dengan asumsi bahwa transfer pricing sebagai upaya untuk menghemat beban
pajak dengan taktik, antara lain menggeser laba ke negara yang tarif pajaknya
rendah. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitrro, S.H., transfer pricing adalah
suatu perbuatan pemberian harga faktur (invoice) pada barang-barang (juga
jasa-jasa) yang diserahkan antarbagian/ cabang suatu perusahaan multinasional.
Tujuan Harga Transfer
Transfer pricing multinasional berhubungan dengan transaksi antardivisi dalam
satu unit hukum (entitas) atau antarentitas dalam satu kesatuan ekonomi yang meliputi
berbagai wilayah kedaulatan negara.
Tujuan yang ingin dicapai dalam harga transfer antara lain sebagai berikut:
1. Memaksimalkan penghasilan global
2. Mengamankan posisi kompetitif anak/ cabang perusahaan dan penetrasi pasar
3. Evaluasi kinerja anak/ cabang perusahaan mancanegara
4. Menghindarkan pengendalian devisa
5. Mengatrol kreditabel asosiasi
6. Mengurang resiko moneter
7. Mengatur cash flow anak/ cabang yang memadai
8. Membina hubungan baik dengan administrasi setempat
9. Mengurangi beban pengenaan pajak dan bea masuk
10.Mengurangi resiko pengambilalihan oleh pemerintah
Metode Harga Transfer
Beberapa metode harga transfer yang sering digunakan oleh perusahaan-
perusahaan multinasional dan divisionalisasi/ departementasi dalam melakukan aktifitas
keuangannya adalah:
1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga
transfer atas biaya variabel dan tetap yang bisa dibagi dalam tiga pemilihan bentuk,
yaitu biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup),
dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga
pasar inilah merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang
independen. Namun keterbatasan informasi pasar terkadang menjadi kendala dalam
mengunakan transfer pricing yang berdasarkan harga pasar.
3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam
perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan
harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif
kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap
divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas
harga transfer yang dinegosiasikan.
4. Penentuan Harga Berdasarkan Arbitrase
Pendekatan ini menekankan pada harga transfer berdasarkan interaksi kedua divisi
dan pada tingkat yang dianggap terbaik bagi kepentingan perusahaan tanpa adanya
pemaksaan oleh salah satu divisi mengenai keputusan akhir. Pendekatan ini
mengesampingkan tujuan konsep pusat pertanggungjawaban laba.
Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek transfer
pricing yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan
induk (parent company) yang terletak di Belgia memproduksi suatu produk dengan
harga pokok Rp 100. Tarif pajak yang berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk
menghindari pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan
untuk menjual produk tersebut ke anak perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan
harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang
terutang atas transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah
Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga pokok
produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan dikenakan pajak.
Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif yang
tinggi yang berlaku di negara tempat perusahaan induk berada. Kemudian barang yang
sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan di Puerto Rico ke anak perusahaan lain yang
ada di Amerika dengan harga transfer Rp 200. Tarif pajak yang berlaku di negara
Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini menimbulkan laba sebesar Rp 100.
Atas laba yang timbul, seharusnya terutang pajak. Akan tetapi, karena tarif pajak yang
berlaku di negara tersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba yang dihasilkan
adalah sebesar Rp 0. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang
ada di Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan
istimewa di negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan
harga jual ini dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang
berlaku di negara yang bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara
Amerika 35%. Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi
penjualan ini adalah sebesar Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok
pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari transaksi-transaksi di atas adalah betapa pentingnya
mengetahui tarif pajak yang berlaku di suatu negara sebelum mengambil keputusan
untuk melakukan transaksi penjualan dan pembelian barang. Tabel di bawah ini akan
memperjelas ilustrasi di atas.
Tabel Praktik Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional
Perusahaan Induk
di Belgia
Anak Perusahaan di
Puerto Rico
Anak Perusahaan
di Amerika
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Laba
Tarif Pajak
Pajak Terutang
$ 100
$ 100
$ 0
42%
$ 0
$ 200
$ 100
$ 100
0%
$ 0
$ 200
$ 200
$ 0
35%
$ 0
Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari
pemerintah setempat, karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam suatu
negara hanya bersifat sebagai transit place atau tempat persinggahan semata. Suatu
survey yang dilakukan oleh Ernst & Young LLp, 1999 menemukan bahwa
masalah transfer pricing merupakan masalah utama dalam bidang perpajakan selama
kurun waktu dua tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-perusahaan multinasional
di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak kantor akuntan publik melakukan audit
compliance, untuk melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang
memang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan.
Biasanya cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan
adanya transfer pricing adalah membuat suatu kewenangan, di mana pemerintah
diberikan wewenang untuk menentukan kembali dengan cara me-realokasikan kembali
jumlah laba dan biaya-biaya yang timbul di perusahaan multinasional yang notabene
punya beberapa divisi, sehingga laba dan biaya-biaya yang timbul sebagai hasil
transaksi antardivisi tersebut yang ditengarai sebagai suatu praktek transfer pricing yang
bisa meminimalkan pajak terutang dapat dicegah. U.S.- Based multinationals are
subject to Internal Revenue Code Section 482 on the pricing of intercompany
transactions. This section gives the IRS the authority to reaalocate income and
deductions among divisions if it believes that such reallocation will reduce potentiak
tax evasion (Hansen and Mowen, 1996:543). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam IRS,
apabila terjadi transaksi antardivisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi
transaksi dalam perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang
berlaku adalah harga yang timbul apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-
pihak di luar perusahaan, atau dengan kata lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak
yang tidak punya hubungan istimewa. That is, the transfer pricing set should match the
price that would be set if the transfer were being made by unrelated parties, adjusted
for diffrences that have a measurable effect on the price (Hansen and Mowen,
1996:543). (http://muttaqinhasyim.wordpress.com/2009/05/17/transfer-pricing-dalam-
praktek-perpajakan-internasional/ )
Di Indonesia sendiri, kasus yang terjadi di PT Adaro Indonesia yang terkait
dengan praktik transfer pricing masih tersimpan dalam ingatan kita. PT Adaro dituduh
menjual batu bara jauh di bawah harga pasar kepada perusahaan afiliasinya di
Singapura, yakni Coaltrade Services International Pte, Ltd. Harga jual yang ditetapkan
yakni sebesar $25 pada tahun 2005 dan $29 pada tahun 2006, padahal pada akhir 2007
harga batu bara menembus harga $95 per ton. Coaltrade merupakan semacam
perusahaan boneka, karena struktur kepemilikannya pun sama dengan Adaro. Setelah
membeli dengan harga murah, kemudian Coaltrade menjual batu bara tersebut dengan
harga pasar, dan mendulang untung besar. Sehingga, dengan transfer pricing tersebut
grup mereka diuntungkan, karena Coaltrade hanya terkena pajak penghasilan Singapura
sebesar 10%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia yakni 45%. Praktik-
praktik seperti inilah yang diperkirakan juga marak terjadi pada perusahaan
multinasional lainnya, yakni melakukan transfer pricing demi menghindari pajak
dengan memanfaatkan tax heaven countries.
(http://nazrulfestive77.wordpress.com/2011/01/20/transfer-pricing-hubungan-istimewa-
dan-metode-identifikasi-transfer-pricing/)
Pada tahun 2005, Adaro menjual batu bara ke perusahaan Coaltrade dari
Singapura sebesar US$26 per ton, sementara harga pasar US$48 per ton. Sedangkan
pada 2006, Adaro menjual batu bara ke Coaltrade US$29 per ton, sementara harga
internasional mencapai US$40 per ton. Dengan volume penjualan 2005 mencapai 26
juta ton lebih dan 2006 mencapai 34 juta ton, terdapat selisih antara harga jual ke
Coaltrade dan harga jual internasional masing-masing US$589,9 juta (Rp5,8 triliun
dengan kurs rata-rata 2005 sebesar Rp9.800/US$) tahun 2005 dan US$363,1 juta
(Rp3,3 triliun dengan kurs rata-rata 2006 Rp9.096/US$) tahun 2006.
Jika dihitung berdasarkan harga pasar, total pendapatan pada 2005 mestinya
berjumlah US$ 1,287 miliar dan 2006 US$ 1,371 miliar. Berarti, ada selisih penjualan
Adaro dengan penjualan berdasarkan harga pasar. Jika dirupiahkan mencapai Rp 9,121
triliun. Belum lagi kerugian negara dari potensi royalti 13,5% yang nilai berkisar Rp
1,231 triliun.
Akibat transfer pricing yang terjadi pada tahun 2005-2006 lalu diperkirakan ada
Rp 9 triliun dari hasil penjualan yang disembunyikan. Sehingga kerugian negara terkait
pajak dan royalti diperkirakan mencapai Rp 4-5 triliun. Royalti adalah nilai yang harus
dibayar sesuai harga jual. Adanya dugaan transfer pricing yang memperkecil nilai jual
mengakibatkan royalti yang harus dibayarkan juga turun.
Jika di lihat dari sisi hukum, penggelapan pajak karena transfer pricing itu telah
menyimpang dari ketentuan perpajakan yang berlaku, karena secara substansi negara
seharusnya dapat mempajaki perusahaan multinasional tersebut dalam jumlah yang
lebih besar. Sehingga dengan demikian perusahaan yang melakukan hal tersebut akan
dikenai sanksi pidana perpajakan, untuk Indonesia sesuai dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2000 diatur dalam Pasal 39, bahwa perbuatan kriminal pajak akan
dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Perbedaan antara
penghindaran pajak dengan penggelapan pajak sangat tipis dan dari sisi etika bisnis
praktik transfer pricing dapat menimbulkan moral hazard, karena bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku.
Selain tu, pengadilan perpajakan dinilai menjadi solusi komprehensif dalam
menyelesaikan kasus-kasus perpajakan, termasuk dugaan adanya transfer pricing-
manipulasi pajak yang dilakukan sejumlah perusahaan, juga kelompok usaha Asian
Agri. Sebab masalah transfer pricing belum pernah diadili secara pidana, karena
sebenarnya tujuan pajak itu bukan menghukum orang, melainkan agar uang atau hak
negara tidak dimanipulasi. Di dalam Undang-Undang Perpajakan pasal 18 ayat 3 juga
ditegaskan masalah perpajakan bukan masuk dalam ranah pidana.
Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal
9 Maret 1993 berisi panduan bagi aparat pajak untuk menangani transaksi transfer
pricing atau yang mengandung indikasi adanya transfer pricing dan bagaimana
perlakuan perpajakannya.
Surat edaran ini memuat berbagai bentuk kekurangwajaran harga, biaya atau
imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha, seperti dalam penentuan:
• Harga penjualan
• Harga pembelian
• Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
• Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (share
holder loan)
• Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
• Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
• Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/ tidak
mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company
atau reinvoicing center)
Selain kasus transfer pricing, Adaro pun terlilit gugatan pengalihan saham yang
dijaminkan ke Deustche Bank untuk mendapatkan pinjaman US$ 100 juta. Berkaitan
dengan itu, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral meminta direksi
Adaro tidak melakukan pengalihan saham sampai gugatan tersebut selesai.
Sebelumnya, kuasa hukum Beckkett Pte Ltd menuntut Bapepam-LK
membatalkan penawaran umum saham perdana (IPO) PT Adaro Energy Tbk, holding
PT Adaro Indonesia. Tim kuasa hukum Beckett berargumen, proses itu tidak layak
karena kepemilikan saham PT Adaro Indonesia masih dipersengketakan. Karena itu,
pantaslah jika Bapepam mengerem langkah Adaro untuk menjual sahamnya di lantai
bursa. Sebab, jika dugaan itu terbukti dan Adaro harus membayar, para investorlah
yang akan dirugikan. (http://rosaryoma.blogspot.com/2009/12/kasus-transfer-
pricing.html/)
HARGA TRANSFER GANDA
Untuk memenuhi disparitas pertanggungjawaban dari dua divisi, dikenal juga
harga transfer ganda. Misalnya, divisi penerima dapat mempertimbangkan penerapan
harga transfer berdasarkan biaya diferensial. Sebaliknya, divisi yang melakukan transfer
dapat mempertimbangkan unsur laba dalam penentuan harga transfer dan
memungkinkan kinerja divisi.
Prosedur aplikasi pendekatan ini dapat berupa:
1. Pemakaian harga transfer berdasarkan harga pasar, negosiasi, atau arbitrase oleh
divisi yang melakukan transfer dalam menghitung penghasilan dari penyerahan
antar perusahaan.
2. Biaya variabel divisi yang melakukan transfer plus margin kontribusi atas beban
tetap, ditransfer kepada divisi penerima.
3. Total laba per divisi akan lebih besar daripada laba perusahaan, dan laba divisi
produksi akan dieliminasi dalam penysunan laporan keuangan.
ISU-ISU INTERNASIONAL DALAM HARGA TRANSFER
Penelitian akhir-akhir ini telah menemukan bahwa lebih dari 80% perusahaan-
perusahaan multinasional (MNC) melihat transfer pricing sebagai suatu isu pajak
internasional utama, dan lebih dari setengah dari perusahaan ini mengatakan bahwa isu
ini adalah isu yang paling penting. Sebagian besar negara sekarang menerima perjanjian
modal Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), yang
menyatakan bahwa harga-harga transfer sebaiknya disesuaikan dengan menggunakan
standar arm’s-length, artinya pada suatu harga yang akan dicapai oleh pihak-pihak yang
independen. Sementara perjanjian model tersebut diterima secara luas, terdapat
perbedaan-perbedaan dalam cara negara-negara menerapkannya. Meskipun demikian,
terdapat dukungan yang kuat di seluruh dunia terhadap suatu pendekatan untuk
membatasi usaha-usaha oleh MNC untuk mengurangi kewajiban pajak dengan
menetapkan harga-harga transfer yang berbeda dengan arm’s-length standard tersebut.
(Edward J. Blocher, Kun H. Chen, dan Thomas W. Lin., 1999)
Arm’s-length Standard
Menurut Arm’s-length standard, harga-harga transfer seharusnya ditetapkan supaya
dapat mencerminkan harga yang akan disusun oleh pihak-pihak yang tidak terkait yang
bertindak secara bebas. Arm’s-length standard diterapkan dalam banyak cara, tetapi
metode yang paling banyak digunakan adalah sebagai berikut:
1. Comparable uncontrolled pricing method
Metode ini mengevaluasi kewajaran harga transfer dengan mengacu kepada tingkat
harga yang terjadi antara unit yang independen atau antara perusahaan multinasional
dengan unit yang independen. Secara teoritis metode ini termasuk yang paling baik,
namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala, misalnya perbedaan kuantitas,
kualitas, kondisi, waktu penjualan, merek dagang, pangsa pasar, dan geografis pasar.
2. Resale pricing method
Metode ini ditetapkan untuk produk yang ditransfer ke anggota group lainnya untuk
dijual kembali. Kewajaran harga transfer didekati dengan pengurangan harga penjualan
kepada pihak independen dengan suatu mark up yang wajar (sebanyak laba dan biaya si
penjual).
3. Cost plus pricing method
Metode ini mendekati kewajaran harga transfer dengan menambahkan markup yang
wajar pada harga pokok pihak yang mentransfer. Pendekatan ini umumnya dipakai
dalam hal penyerahan barang setengah jadi (semifinished product) atau salah satu
anggota group sebagai subkontaktor dari yang lainnya.
4. Other method
Dalam keadaan tertentu, kombinasi ketiga metode diatas perlu diterapkan atau mungkin
menggunakan metode lain, misalnya alokasi laba yang diperoleh grup perusahaan
dalam transaksi tertentu, kalkulasi tingkat keuntungan yang pantas pada investasi wajib
pajak (Frederick D. S. Choi dan Genhard G. Mueller, 1985).
PERUSAHAAN MULTINASIONAL DAN ASPEK PAJAKNYA
Perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dalam arti perusahaan-
perusahaan multinasional Indonesia yang mempunyai unit (anak perusahaan/ cabang/
perwakilan) di luar negeri maupun perusahaan-perusahaan multinasional di luar negeri
yang mempunyai unit (anak perusahaan/ cabang/ perwakilan) di Indonesia pada
umumnya akan senantiasa berusaha dengan instrumen harga transfer, mencapai salah
satu tujuannya memaksimalkan keuntungan dengan berupaya meminimalkan beban
pajaknya, terutama pajak penghasilan badan (corporation income tax).
Upaya yang dilakukan dengan pergeseran harga dari negara yang beban
pajaknya tinggi ke negara yang beban pajaknya rendah atau nihil. Selain itu, diadakan
pula perjanjian bilateral di bidang perpajakan, dengan maksud antara lain untuk
menghindarkan pengenaan pajak berganda, sehingga beban pajak dapat ditekan.
Gambar
Penentuan Harga Transfer Domestik dan Internasional
Sebagai contoh, pembebanan harga transfer yang rendah untuk anak perusahaan
asing mungkin akan mengurangi pembayaran bea cukai sebagai akibat dari batas-batas
internasional, atau mungkin membantu anak perusahaan untuk bersaing dalam pasar
asing dengan mempertahankan biaya anak perusahaan yang rendah. Di sisi lain,
membebankan suatu harga transfer yang tinggi mungkin membantu MNC mengurangi
laba pada negeri yang telah memperketat kendali pengiriman uang asing, atau mungkin
memberikan kemudahan bagi MNC memindahkan pendapatan dari suatu negara yang
memiliki tingkat pajak pendapatan yang tinggi ke suatu negara dengan tingkat pajak
rendah (tax haven country).
PERLAKUAN HARGA TRANSFER DI INDONESIA
Harga transfer dapat terjadi baik antarwajib pajak dalam negeri maupun antara
wajib pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri. Terhadap transaksi antara wajib
pajak yang mempunyai hubungan istimewa, undang-undang perpajakan Indonesia
menganut asas material (substance over form rule). Hubungan istimewa tersebut dapat
mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya, atau imbalan lain yang direalisasikan
dalam suatu transaksi usaha.
Kekurangwajaran tersebut dapat terjadi pada:
• harga penjualan
• harga pembelian
• alokasi biaya administrasi dan umum (biaya overhead)
• pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham
• pembayaran komisi, lisensi, waralaba, sewa, royalti, imbalan jasa manajemen,
imbalan jasa teknik, dan imbalan jasa lainnya
Selain itu, ada pula indikator dari manipulasi harga transfer, yaitu antara lain:
• SPT Tahunan PPh Badan melaporkan rugi dalam beberapa tahun berturut-turut
• Peredaran usaha tinggi tapi laba yang diperoleh kecil
• Transaksi hubungan istimewa yang cukup besar
• Rugi yang tidak dapat dijelaskan
Untuk meminimalkan atau mengurangi praktik penghindaran pajak, Direktur
Jenderal Pajak mengeluarkan peraturan baru yang dituangkan dalam Peraturan Dirjen
Pajak No. PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa sebagai perubahan atas PER-43/PJ/2010. rrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
PENANGKAL HARGA TRANSFER
Ada beberapa prosedur yang dapat ditempuh untuk menanggulangi manuver pajak
melalui harga transfer sebagai berikut.
• Menyingkap praktik bisnis antarperusahaan secara lengkap sehingga dapat
dievaluasi keinginan harga transfer.
• Harmonisasi pemajakan internasional untuk meniadakan disparitas beban pajak.
• Kerja sama internasional.
• Advanced Pricing Agreement (APA)
ADVANCED PRICING AGREEMENT (APA)
Advanced Pricing Agreement (APA) adalah persetujuan di antara Internal
Revenue Service (IRS) dan perusahaan dengan menggunakan harga-harga transfer,
untuk menetapkan harga transfer yang disepakati. APA biasanya diperoleh sebelum
perusahaan terikat dalam transfer. Maksud dari program APA adalah memecahkan
masalah perselisihan harga transfer dengan cara tepat dan menghindari proses
pengadilan yang menghabiskan banyak biaya.
Kesepakatan yang dibuat dalam APA terjadi antara wajib pajak dengan otoritas
pajak, bisa terjadi dengan satu otoritas pajak dan juga dengan dua otoritas pajak dari
negara yang berbeda. Apabila APA dilakukan antara wajib pajak dengan otoritas pajak
dalam satu negara maka disebut unilateral APA, sedangkan apabila APA dibuat oleh
wajib pajak dengan dua atau lebih otoritas pajak dari negara yang berbeda maka disebut
multilateral APA.
Manfaat APA
Beberapa manfaat dari diselenggarankannya APA adalah sebagai berikut :
• Memberikan kepastian kepada wajib pajak atas semua penghitungan mengenai
harga transaksi dengan menggunakan metode yang disetujui.
• Memberikan kepastian terhadap kegiatan wajib pajak termasuk kepastian
mengenai kewajiban pajak yang berkaitan dengan harga transfer.
• Mengurangi biaya dan waktu pada saat diaudit, karena selama periode APA
berlaku harga transaksi yang telah disepakati oleh wajib pajak dan otoritas
pajak.
• Dapat mencegah praktik harga transfer yang tidak benar dan semata-mata hanya
untuk menghindari pajak.
Masalah dalam Penyelenggaraan APA
Hal yang harus dipertimbangkan dalam penyelenggaraan APA yaitu kemungkinan
adanya potensi kerugian, yaitu:
• Pengorbanan waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan APA.
• Wajib pajak harus mengungkapkan informasi yang mungkin merupakan rahasia
perusahaan kepada otoritas pajak.
Yang perlu diperhatikan, bahwa APA tidak menjamin wajib pajak untuk tidak
diaudit olehotoritas pajak. Masalah-masalah yang tidak tercakup dalam APA masih
dapat diaudit dalam kriteria audit yang biasa dilakukan. APA tidak berlaku retroaktif
sehingga masalah hargatransfer yang ada sebelum APA disepakati tidak dapat
diselesaikan dengan APA.