Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

14
DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998 1 PERUBAHAN BESAR MORPOLOGI KOTA-KOTA DI JAWA PADA AWAL DAN AKHIR ABAD KE-20. Handinoto Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra [email protected] ABSTRAK Selama abad ke 20 morpologi kota-kota besar di Jawa mengalami dua kali perubahan yang dratis. Peruabahan tersebut terjadi pada awal dan akhir abad ke 20. Pada awal abad ke 20, perubahan morpologi kotanya relatif dapat dikendalikan dengan baik, meskipun tidak dapat diingkari terjadinya kegagalan disana-sini. Tapi secara garis besar perkembangan kota kolonial modern di awal abad ke 20 dapat dikatakan cukup berhasil. Selain menghasilkan berbagai peraturan dan perundang- undangan, kota modern awal abad ke 20 di Jawa juga mempunyai identitas cukup kuat sehingga sering ditampilkan pada pameran kota-kota negara berkembang di Paris, London dan sebagainya. Di akhir abad ke 20 sekali lagi terjadi perubahan drastis pada morpologi kota-kota di Jawa. Sampai akhir abad ini, kita masih belum melihat adanya suatu pemecahan yang memadai atas cepatnya perubahan morpologi kota-kota besar di Jawa. Pengalaman masa lalu sulit untuk diambil sebagai pelajaran karena tantangan yang berbeda. Tulisan ini memang tidak membahas tentang pemecahan atas persoalan kota yang kita hadapi sekarang, tapi lebih ditekankan pada kesadaran bagi kita akan banyaknya masalah yang terjadi di kota-kota besar di Jawa, dengan meninjau masa lalunya. Kata Kunci : Kota, Perubahan Morpologi. ABSTRACT. During the 20 th century , two drastic changes have taken place in the morphology of the bigger town in Java.The first change occurred at the start of the century, while at the second change took place at the end of it. The change during the first morphology period were rather well under control, althought failures were detected here and there. Notwith standing it can be said , that the growth of town in this modern colonial period was actually not bad. Because, even though the atmosphere was colonial, there was rules and laws to be followed for the development of the towns of java, resulting in identities, specific to the various locations. This is also apparent from the fact that many modern town in Java have been appraised on seminars of modern towns in developing countries, for example during the exposition in Paris and London. The second wave of morphology happened at the close of century. It is a pity haowever, that many issues have slipped away from control and until the present we have not yet found the just answer to cope with the morphology of the bigger town in Java. Experiences of the past do not fit for the solution of problems. Different challenges need different methods of approach. Although this paper does not pretend to have found a satisfying solution for the morpologic change at the present, it is hoped at least we will become aware of the huge problems in planning and development of the bigger towns and cities of Java to be solved, through study of conditions from the past. Keywords: Town, Change of Morphology. PENDAHULUAN. Perubahan drastis morpologi pada kota-kota besar di Jawa awal abad ke 20, secara phisik sudah dimulai sejak tahun 1905. Perubahan tersebut terjadi akibat kemajuan pesat di awal abad ke 20, yang tidak mungkin ditampung oleh kota-kota

Transcript of Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

Page 1: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

1

PERUBAHAN BESAR MORPOLOGI KOTA-KOTA DI JAWA PADA AWAL DAN AKHIR ABAD KE-20.

Handinoto

Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra [email protected]

ABSTRAK

Selama abad ke 20 morpologi kota-kota besar di Jawa mengalami dua kali perubahan yang dratis. Peruabahan tersebut terjadi pada awal dan akhir abad ke 20. Pada awal abad ke 20, perubahan morpologi kotanya relatif dapat dikendalikan dengan baik, meskipun tidak dapat diingkari terjadinya kegagalan disana-sini. Tapi secara garis besar perkembangan kota kolonial modern di awal abad ke 20 dapat dikatakan cukup berhasil. Selain menghasilkan berbagai peraturan dan perundang-undangan, kota modern awal abad ke 20 di Jawa juga mempunyai identitas cukup kuat sehingga sering ditampilkan pada pameran kota-kota negara berkembang di Paris, London dan sebagainya. Di akhir abad ke 20 sekali lagi terjadi perubahan drastis pada morpologi kota-kota di Jawa. Sampai akhir abad ini, kita masih belum melihat adanya suatu pemecahan yang memadai atas cepatnya perubahan morpologi kota-kota besar di Jawa. Pengalaman masa lalu sulit untuk diambil sebagai pelajaran karena tantangan yang berbeda. Tulisan ini memang tidak membahas tentang pemecahan atas persoalan kota yang kita hadapi sekarang, tapi lebih ditekankan pada kesadaran bagi kita akan banyaknya masalah yang terjadi di kota-kota besar di Jawa, dengan meninjau masa lalunya. Kata Kunci : Kota, Perubahan Morpologi.

ABSTRACT.

During the 20th century , two drastic changes have taken place in the morphology of the bigger town in Java.The first change occurred at the start of the century, while at the second change took place at the end of it. The change during the first morphology period were rather well under control, althought failures were detected here and there. Notwith standing it can be said , that the growth of town in this modern colonial period was actually not bad. Because, even though the atmosphere was colonial, there was rules and laws to be followed for the development of the towns of java, resulting in identities, specific to the various locations. This is also apparent from the fact that many modern town in Java have been appraised on seminars of modern towns in developing countries, for example during the exposition in Paris and London. The second wave of morphology happened at the close of century. It is a pity haowever, that many issues have slipped away from control and until the present we have not yet found the just answer to cope with the morphology of the bigger town in Java. Experiences of the past do not fit for the solution of problems. Different challenges need different methods of approach. Although this paper does not pretend to have found a satisfying solution for the morpologic change at the present, it is hoped at least we will become aware of the huge problems in planning and development of the bigger towns and cities of Java to be solved, through study of conditions from the past. Keywords: Town, Change of Morphology. PENDAHULUAN. Perubahan drastis morpologi pada kota-kota besar di Jawa awal abad ke 20,

secara phisik sudah dimulai sejak tahun 1905. Perubahan tersebut terjadi akibat

kemajuan pesat di awal abad ke 20, yang tidak mungkin ditampung oleh kota-kota

Page 2: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

2

besar lama yang bergaya Indisch di Jawa. Perubahan tersebut antara lain di dorong

oleh meledaknya pertambahan penduduk (baik orang Belanda maupun penduduk

kota lainnya), yang sangat cepat dalam waktu singkat diawal abad ke 20, sehingga

pertambahan penduduk tersebut sudah tidak dapat ditampung oleh sarana dan

prasarana kota yang lama. Sistim pemerintahan kolonial yang sangat terpusat

sebelum th. 1900, sudah tidak dapat diharapkan lagi. Oleh sebab itu pada th. 1905

dijalankan suatu undang-undang yang disebut sebagai undang-undang desentralisai.

Undang-undang tersebut pada dasarnya ikut merubah wajah kota-kota besar di

Jawa. Dengan adanya undang-undang tersebut maka timbullah kotamadya-

kotamadya di Jawa yang pada waktu itu disebut sebagai “Gemeente”. Gemeente

inilah yang mengatur perkembangan kota baik secara administratif maupun secara

phisik dibawah pemerintah pusat yang ada di Batavia. Secara keseluruhan

perkembangan kota awal abad ke 20 ini boleh dikatakan berhasil dengan baik

meskipun disana-sini terdapat kegagalan. Sebagai hasilnya bisa kita lihat adanya

perubahan secara drastis pada morpologi kota-kota besar di Jawa.

Perubahan secara drastis pada morpologi di kota-kota besar di Jawa terjadi

lagi pada akhir abad ke 20. Perubahan ini banyak diakibatkan oleh adanya relokasi

industri dari negara maju, yang banyak menempati daerah dipinggiran kota-kota

besar di Jawa, serta sarana dan prasarana kota modern yang harus disediakan di

tengah kota. Masalah-masalah tersebut diatas ditambah lagi dengan makin

banyaknya urbanisasi ke kota-kota besar sehingga menimbulkan pemekaran daerah

baru dipinggiran kota yang dikelola oleh perusahaan real estat. Berbeda dengan

perubahan pada awal abad ke 20, maka perubahan morpologi yang terjadi pada

akhir abad ke 20 ini, sampai sekarang masih belum ada suatu pemecahan

perancangan kota yang memadai. Mungkinkah masalah ini bisa terpecahkan pada

abad ke 21, semoga.

BENTUK DAN STRUKTUR KOTA JAWA ABAD 19. Sampai abad ke 19, dapat dikatakan bahwa tidak ada perluasan yang berarti

maupun pemeliharaan yang dikerjakan secara sadar oleh pemerintah kolonial

Belanda atas kota-kota besar di Indonesia. Hal ini memang tidak perlu dilakukan

karena tidak ada masalah-masalah yang mendesak yang perlu ditanggulangi. Tapi

bukan berbarti bahwa kota-kota besar pada waktu itu bisa diabaikan begitu saja.

Page 3: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

3

Setelah menguasai banyak kota-kota besar di sepanjang pantai Utara Jawa

pada abad ke 18, Belanda sedikit demi sedikit mulai keluar dari bentengnya.

Kemudain mereka ini mendirikan sebuah pusat kota yang sering dinamakan sebagai

‘stadhuis’. Daerah ini merupakan kombinasi dari ‘city hall’ dan ‘court of justice’, yang

disekitarnya dikelilingi oleh bangunan-bangunan seperti gereja, kantor pos, rumah

yatim piatu anak-anak Belanda dan fasilitas umum lainnya. Contoh dari kota-kota

seperti ini adalah : Surabaya, Semarang, dan banyak kota-kota besar di Utara Jawa

lainnya.

Gb.1. Peta Kota Surakarta (Solo) pada jaman kolonial sebelum th. 1900, yang menjadi pola bagi kota-kota yang disebut sebagai nieuwe indische staad (Kota Hindia Baru) di sekuruh Jawa.

Page 4: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

4

Pada abad ke 19, setelah Belanda berhasil menguasai seluruh P. Jawa,

termasuk pedalamannya, maka bentuk dan struktur kota-kota di Jawa mengalami

banyak perubahan. Dalam periodisasi sejarah perkembangan kota Jawa, antara th.

1800-1900 ini sering disebut sebagai kota “indisch’. Pada prinsipnya bentuk kota

‘indisch’ ini terdiri atas pusat kota, yang berupa alun-alun dengan bangunan

pemerintahan dan keagamaan di sekelilingnnya, serta bangunan fasilitas umum

yang letaknya tidak jauh dari pusat kota tersebut. Pola permukimannya pada

umumnya terbagi menjadi 3 kelompok etnis yang berorientasi pada pusat kota

tersebut. Orang Eropa menempati daerah yang paling strategis dan nyaman dekat

pusat kota. Daerah orang Cina yang disebut sebagai Pecinan, biasanya terletak

dekat pasar atau daerah perdagangan lokal. Dan daerah penduduk setempat yang

agak jauh dari pusat kota , suatu daerah yang dalam kedudukan kota kolonial terdiri

atas kampung-kampung yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah kolonial.

Gb.2. Kota Yogyakarta pada jaman kolonial sebelum th. 1900,

Yang menjadi pola bagi kota-kota yang disebut sebagai “Nieuwe Indische Stad” (kota Hindia Baru) di seluruh Jawa.

Page 5: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

5

Ronald G.Gill (1995), membagi kota Indisch terseut menjadi 2 bagian. Yang

pertama disebut sebagai “oud Indische Stad” dan yang kedua disebut sebagai

“Nieuwe Indische Stad”. Yang dimaksud dengan kota Hindia Belanda lama (Oud

Indische Stad) adalah sebuah kota dimana pada pusat kotanya (daerah alun-alun),

terdapat pemisahan antara pemerintahan kolonial Belanda (yang diwakili oleh

Residen atau Asisten Residen) dengan gedung pemerintahan Pribumi (yang diwakili

oleh Bupati). Jadi pada hakekatnya gedung pemerintahan yang termasuk mengatur

kota tersebut dalam satu kota terpisah satu sama lain. Gedung pemerintahan

Pribumi biasanya terletak di Selatan alun-alun. Sedangkan kantor Asisten Residen

ada di bagian lain di kota tersebut. Contoh yang jelas seperti ini adalah Pasuruan,

Pekalongan. Tegal, Blitar, Banyumas dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud

dengan Kota Hindia Belanda Baru (Nieuwe Indische Stad), adalah sebuah kota

dimana pada pusat kotanya (daerah alun-alun) antara pusat pemerintahan Pribumi

(Kabupaten) dengan pusat pemerintahan Kolonial Belanda (Kantor Asisten Residen)

ada disekitar alun-alun tersebut. Contoh kota seperti itu misalnya adalah:

Probolinggo, Bondowoso, Bojonegoro, Lumajang, dan sebagainya.

PERUBAHAN MORPOLOGI YANG TERJADI PADA KOTA-KOTA BESAR DI JAWA AWAL ABAD KE 20

Kota-kota besar di Jawa seperti Batavia, Semarang, Bandung, Surabaya

Malang dan sebagainya mengalami prubahan drastis pada bentuk dan struktur

kotanya diawal abad ke 20. Salah satu penyebabnya adalah pertambahan penduduk

yang sangat cepat dalam waktu yang relatif singkat di perkotaan. Sarana dan

prasarana kota lama sudah tidak dapat menampung lagi pertambahan penduduk dan

kemajuan jaman.

Antara th. 1905 sampai th.1930 , Jawa dan Madura bertumbuh dengan 27%,

Sedangkan Batavia bertumbuh 130%, Surabaya 80%, Semarang 100%, Bandung

325% dan Malang 140%. Ledakan penduduk di kota-kota besar Jawa seperti data

diatas jelas tidak bisa diatasi dengan sistim administrasi pemerintahan yang terpusat

seperti yang dipakai pada abad ke 19. Oleh sebab itu pada th.1905 diputuskan suatu

undang-undang desentralisasi, yang pada pokoknya memberikan pemerintahan

sendiri pada wilayah Karesidenan dan Kabupaten yang ditunjuk oleh pemerintah.

Page 6: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

6

Setelah itu menyusul timbulnya kotamadya-kotamadya di Jawa yang istilahnya waktu

itu disebut sebagai “gemeente’.

Pada tahun 1905, yang ditentukan sebagai gemeente adalah Batavia,

Meester Cornelis (Jatinegara) dan Bogor. Kemudian pada th.1906 adalah Bandung,

Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya dan Kediri. Pada tahun-tahun

berikutnya kota yang diberi status ‘gemeente’ ini terus bertambah. Sehingga sampai

th. 1942 seluruh gemeente yang ada di Indonesia berjumlah 30. Delapan belas ada

di Jawa dan sisanya 12 ada diluar Jawa.

Sebagian besar dari kota-kota yang disebut sebagai ‘gemeente’ inilah yang

mengalami perubahan drastis morpologi kotanya. Bentuk dan struktur kota yang

sering disebut sebagai kota ‘Indisch’1 pada abad ke 19 tersebut , segera mengalami

perubahan pada awal abad ke 20 ini. Setelah adanya undang-undang desentralisasi

th. 1905, kota-kota besar di Jawa mengalami ‘weternisasi’. Westernisasi tersebut

memasuki berbagai sendi kehidupan kota di awal abad ke 20. Pusat kota lama yang

berbau Indisch atau bahkan unsur tradisional yang dominan, ada kecenderungan

untuk diperkecil perannya. Pusat pemerintahan kota gaya Indisch yang terletak di

1 Tentang istilah Indisch ini baca tulisan Handinoto, yang berjudul: “Indisch Empre Style”, gaya arsitektur tempo doeloe yang sekarang sudah mulai punah” di Majalah Dimensi Vol.20/ARS, Desember 1994.

Gb.3. Peta morpologi kota Banyumas , yang disebut oleh Ronald G. Gill sebagai : Nieuwe Indische Stad (kota Hindia Belanda Baru).

Page 7: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

7

alun-alun diganti dengan pusat pemerintahan modern di daerah yang baru yang lebih

modern. Walikota sebagai penguasa kota yang sebelum adanya undang-undang

desentralisasi tidak ada dalam struktur administrasi kota, sekarang merupakan

penguasa tertinggi di dalam kota. Sebagai akibatnya maka harus dibangun belasan

gedung kotamadya baru diseluruh Jawa dengan arsitektur kolonial yang modern.

Daerah baru tersebut terlepas sama sekali dari daerah alun-alun sebagai pusat kota

lama. Daerah ini biasanya terletak dekat dengan pusat hunian orang Eropa yang

baru dikembangkan. Contoh nyata kota-kkota seperti itu misalnya adalah Malang,

pusat kota lamanya di daerah alun-alun pada th. 1928 dipindahkan ke komplek baru

di daerah alun-alun bunder dengan bangunan gedung kotamadya yang megah,

terletak dekat komplek hunian orang Eropa yang dinamakan “Gouverneur General

Buurt”.

Surabaya dimana pusat kota lamanya terletak disekitar daerah ‘jembatan

merah’, dipindahkan pada th. 1925 ke daerah baru dengan gedung kotamadyanya

yang megah. Komplek pemerintahan baru di daerah prumahan orang Eropa di

Surabaya tersebut dinamakan daerah Ketabang.

Bandung dimana pusat pemerintahan lamanya yang terletak di daerah alun-

alu, kemudian dipindahkan ke daerah baru yang dinamakan “Europeesche zaken

Wijk” dengan bangunan gedung kotamadya yang baru terletak di Jl. Aceh pada th.

1929. Dan masih banyak contoh dari kotamadya-kotamadya baru diseluruh Jawa

Gb.4. Peta Morpologi Kota Lumajang yang disebut oleh Ronald G.Gill sebagai Nieuwe Indische Stad (Kota Hindia Belanda Baru)

Page 8: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

8

yang terpisah (lepas) dari pusat kota lama. Untungnya daerah kota lama tersebut (di

daerah alun-alun) pada waktu itu tidak hancur. Bahkan ada beberapa diantaranya

tumbuh menjadi daerah perdagangan dan bukan pusat pemerintahan lagi.

Penataan kotamadya baru di Jawa tersebut sebenarnya tidak lepas dari jasa

seorang arsitek sekaligus juga planolog, yang perannya sangat dominan dalam

pembangunan kota di Indonesia antara th. 1915-1940 an. Beliau adalah Ir. Herman

Thomas Karsten. Arsitek dan Planolog kelahiran Amsterdam ini menangani

perencanaan perkembangan hampir semua kota-kota besar di Jawa maupun luar

Jawa. Pengetahuannya yang luas serta cintanya akan kebudayaan setempat,

mengakibatkan kota-kota besar di Jawa tidak terseret terlalu jauh menjadi duplikat

kota-kota Eropa 2.

Dalam prakteknya Karsten tidak pernah merusak kota lama dalam

perencanaan perkembangan kotamadya di Indonesia. Ia bahkan berusaha untuk

menghidupkan kota lama sebagai identitas kota tersebut. Caranya adalah dengan

menghubungkan dengan baik antara kota lama dengan pusat kota baru sebagai

perkembangan kotanya. Contoh nyata dalm hal ini adalah kota Malang. Pusat kota

lama yang ada di daerah alun-alun, dalam perancangan perkembangan kota Malang

oleh Karsten diupayakan untuk dihubungkan secara langsung dengan daerah pusat

pemerintahan barunya yang ada di alun-alun bunder. Bahkan secara sadar Karsten

mengatakan, daerah kota lama harus dihidupkan kembali sebagai identitas kota dan

sejarah kotanya dimasa lampau3.

Contoh nyata lainnya adalah perancangan perluasan kota Yogyakarta.

Karsten secara sadar tidak mau merusak tatanan kota Jawa yang ada disekitar

Keraton dan alun-alun. Oleh sebab itu dalam perkembangan kotanya ia

merencanakan suatu daerah baru yang dinamakan dengan Kota Baru yang terlepas

darikota lama dan dihubungkan satu sama lain dengan hasil yang baik sekali.

Karsten sadar benar akan nilai kota lama sebagai bagian dari identitas suatu kota.

Tentang fasilitas umum daerah yang disediakan oleh kota-kota abad ke 19

disekitar alun-alun tentu saja sudah tidak memenuhi persyaratan lagi.

2 Lihat tulisan Erica Bogaers dalam buku Ir; Thomas Karsten en de ontwikkeling van de stadebouw in Nederland-Indië, Universiteit van Amsterdam, Juni 1983. 3 Lihat tulisan Karsten dalam IBT Locale-Techniek 5 (1936) no.3, yang berjudul “Het Ontwekkelingsplan der Gemeente Malang”.

Page 9: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

9

Perkembangan ekonomi yang cepat menyebabkan timbulnya daerah perdagangan

baru di kota-kota besar abad 20. Karsten berhasil mengkombinasikan dengan baik

antara daerah perdagangan lama dan baru di kota-kota besar di Jawa. Di Surabaya

misalnya antara daerah ‘jembatan merah’ dengan daerah baru Jl. Tunjungan,

Kaliasin, Ondomohen. Di Malang antara daerah Pecinan dengan Kayutangan dan

sebagainya. Dalam banyak tulisannya di majalah IBT Locale-Techniek, Karsten

selalu mempertahankan ‘skyline’ kota tidak lebih dari 3 lantai dan memperbanyak

daerah hijau yang penuh pepohonan sebagai salah satu ciri dari kota-kota daerah

tropis.

Tentang lingkungan daerah perumahan, kota-kota pada abad ke 19

dipisahkan menjadi daerah prumahan orang Eropa (Europeesche wijk), daerah

perumahan orang Cina (Pecinan), kadang-kadang ada juga kampung Arab, dan

daerah hunian penduduk setempat. Dalam tata ruang kota abad ke 20, pemisahan

Gb.5. Peta morpologi kota Surabaya yang dimlai dari kota lama

(oude stad), pada th. 100, kemudian berkembang ke Selatan dengan daerah baru seperti Simpang, Ketabang, Darmo dan Sawahan.

Pusat kota (pemerintahan setelah th. 1900) pindah dari ota lama (oude Stad) ke daerah baru disekitar Ketabang, lihat peta diatas.

Page 10: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

10

secara etnis pada daerah perumahan oleh Karsten dicoba untuk dieliminer. Sebagai

penggantinya daerah perumahan dikelompokkan berdasarkan alasan ekonomi

ketimbang masalah etnis. Untuk kelas jalan boulevard, straat, dan laan dengan

kapling-kapling yang luas, diletakan rumah bagi penghuni kelas ekonomi menengah

keatas, sedangkan untuk jalan kecil dan gang, diletakkan rumah bagi penghuni kelas

ekonomi menengah kebawah.

Jadi pada bagian pertama abad 20 tersebut kota-kota besar di Jawa

mengalami perubahan drastis, baik pada pemindahan pusat kotanya, tumbuhnya

daerah-daerah perdagangan baru dan perkembangan daerah perumahan secara

besa-besaran. Semuanya ini merubah total morpologi kota yang sudah ada pada

abad ke 19. Perubahan tersebut harus diatur dengan undang-undang perkotaan

yang mempunyai kekuatan hukum. Karsten punya andil besar dalam rencana

terbentuknya undang-undang tersebut, meskipun pengesahan resminya dipandang

sangat terlambat sekali. Perubahan morpologi kota besar diJawa awal abad ke 20,

meskipin melalui banyak hambatan dan pengorbanan, tapi pada umumnya dinilai

sangat berhasil.

Gb.6. Peta Morpologi kota Semarang pada jaman kolonal, ang dimulai

Dari kota lama (oude stad), sebelum th. 1900; Kemudian berkembang ke Selatan enan daerah baru seperti: Simpanglima dan Candi.

Page 11: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

11

PERUBAHAN MORPOLOGI PADA KOTA BESAR DI JAWA AKHIR ABAD KE 20 Selama lebih dari 30 tahun , antara th. 1950 sampai th. 1980 an, kota-kota

diJawa relatif sedikit sekali mengalami perubahan pada morpologi kotanya. Di tahun-

tahun 1950 sampai th. 1980 an, perhatian lebih dicurahkan pada rehabilitasi kota

ketimbang perluasan kotanya.

Setelah th. 1980 an, dengan lajunya pertumbuhan penduduk, urbanisasi serta

kemajuan ekonomi akibat kebijakan yang lebih terbuka, kota-kota besar di Jawa

kelihatan mengalami perubahan yang besar sekali. Didukung dengan kemajuan

komunikasi dan informasi yang demikian cepat diakhir abad ke 20, maka kota-kota

besar di Jawa mau tidak mau harus ikut menyesuaikan diri dengan gejala globalisasi

dunia.

Berkembangnya industri multinasional ditandai dengan banyaknya relokasi

dan pembukaan cabang baru industri dari negara maju ke Indonesia, termasuk juga

khususnya P. Jawa. Besarnya pasar dan tersedianya tenaga kerja yang berlimpah

mendorong industriawan dari negara maju berpartner dengan pengusaha lokal

membuka industrik disini. Pembangunan industri baru ini banyak memilih lokasi di

pinggir kota-kota besar di Jawa. Dipilihnya lokasi tersebut selain tersedianya sarana

dan prasarana kota yang sudah memadai, juga harga tanah yang relatif lebih murah

dibanding tengah kota. Sebagai akibatnya kota-kota besar di Jawa seperti: Jakarta,

Semarang, Surabaya dan banyak kota lainnya dibanjiri dengan pabrik-pabrik

dipinggiran kotanya. Daerah pertanian dan daerah penyangga seperti desa-desa di

pinggiran kota dalam waktu yang relatif singkat berubah menjadi bagian dari kota.

Akibatnya perkembangan kota menjadi sangat luas dengan mengambil alih daerah

pinggiran kota disekitarnya.

Urbanisasi dan pertambahan penduduk yang cepat di perkotaan juga

memerlukan daerah perumahan yang baru. Pinggiran kota meruapakan alternatif

yang paling baik bagi perusahaan real estat yang menjamur di daerah perkotaan.

Lapangan golf, dan real estat baru yang tumbuh subur dipinggiran kota sebagai

penunjang industri tersebut, jelas merubah morpologi kota secara keseluruhan.

Akibat dari antisipasi yang sangat terlambat dari para perancang dan penentu

kebijakan kota , maka di daerah pinggiran kota yang terdiri dari daerah perumahan

dan industri baru yang padat mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Kemacetan tidak

Page 12: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

12

saja terjadi dipusat, tapi juga terjadi di pinggiran kota. Mana pusat kota dan mana

pinggiran kota sudah menjadi kabur. Orientasi kota menjadi tidak jelas.

Keadaan kota yang seperti ini diperparah lagi dengan harus disediakannya

penunjang kegiatan yang bersifat internasional akibat pertumbuhan industri di

pinggiran kota tersebut. Pembangunan office building, shopping mall, apartement

dan sebagainya di daerah pusat kota jelas akan merubah bentuk dan struktur pusat

kota yang sudah ada.

Sistim penataan jalan dan bangunan di daerah perdagangan dan pusat kota

pada umumnya pada awal abad ke 20, yang disebut sebagai S.O.B. (Street Oriented

Building), sangat menyulitkan orang untuk parkir. Banyaknya kendaraan bermotor

sampai akhir abad ke 20 ini jelas tidak diantisipasi oleh para perencana kota awal

abad ke 20. Perencana bangunan baru diakhir abad ke 20 ini , menggunakan sistim

blok, dengan penguasaan tanah yang sangat luas ditengah kota, dimana terdapat

bangunan dengan berbagai fungsi (multifungsi). Sistim seperti ini sangat diminati

para investor internasional yang didukung oleh pengusaha dan pemerintahan kota

lokal. Sebagai akibatnya banyak bagian kota lama yang strategis diambil alih,

kemudian dibongkar. Diatas tanah yang telah dibongkar tersebut kemudian didirikan

pusat perbelanjaan, apartemen, hotel lengkap dengan fasilitas parkir dalam satu

komplek.

Kekuatan mesin ekonomi yang dahsyat ini ternyata telah melahap baik pusat

maupun pinggiran kota-kota besar di Jawa. Konsep-konsep seperti koservasi,

renovasi dan sebagainya untuk daerah kota lama hanya didengar sebagai slogan

kosong belaka. Perubahan morpologi yang terjadi pada kota-kota besar diJawa pada

akhir abad ke 20 ini terlihat jauh lebih komplek jika dibandingkan dengan yang terjadi

pada awal abad ke 20. Dan seperti yang kita lihat sekarang maka penanganan

secara konsepsional masih belum kelihatan.

KESIMPULAN SEBAGAI SUATU DISKUSI Perubahan morpologi kota pada awal abad ke 20 terjadi di Batavia,

Semarang, Bandung, Malang, Surabaya dan sebagainya. Secara keseluruhan

perubahan tersebut dapat diantisipasi dan diselesaikan dengan baik oleh para

perencana kota waktu itu yang dipelopori oleh Ir. Herman Thomas Karsten.

Page 13: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

13

Perencanaan kota Semarang dan Malang (sebelum perang dunia ke 2),

banyak mendapat pujian secara internasional setelah dipamerkan di Paris (th. 1947).

Secara keseluruhan Karsten berhasil meletakkan dasar-dasar identitas kota

(kolonial) tropis.

Perubahan morpologi kota pada akhir abad ke 20, mengakibatkan rusaknya

bagian kota lama diberbagai kota besar di Indonesia. Selain itu kemacetan lalu lintas

terjadi di tengah atau dipinggiran kota sebagai akibat perluasan kota yang tidak

terkontrol dengan baik.

Masalah kota adalah masalah yang sangat komplek dan menyangkut banyak

disiplin ilmu. Bisakah kesalahan yang ada di kota-kota besar sekarang ini hanya

ditimpakan pada perencana kota saja. Atau apakah policy yang diambil oleh penentu

kebijakan yang lebih atas keliru arahnya, sehingga berdampak negatif pada bentuk

phisik kota kita ? Jumlah ahli perkotaan jelas lebih banyak dibandingkan dengan

jamannya Karsten. Ini adalah suatu tantangan dan persoalan kita bersama yang

harus dihadapi pada abad ke 21 mendatang !.

DAFTAR PUSTAKA. Bogaers, Erica (1983), Ir. Thomas Karsten en de Ontwikkeling van de

Stedebouw in Nederlands Indie, 1915-1940, Universiteit van Amsterdam, Juni 1983

Brommer, B. et.al. (1995), Semarang Beeld van een Stad, Asia Maior, Purmerend. Broshart, A.C. et.al. (1994), Soerabaya, Beeld van een Stad, Asia Maior, Purmernd. Gill, Ronald Gilbert (1995), De Indische Stad op Java en Madura, een

morphologische studie van haar ontwikkeling, disertasi Doktor . Handinoto (1994), “Indische Empire Style” , Gaya arsitektur Tempo Doeloe, yang

Sekarang Sudah Mulai Punah, dalam majalah Dimensi Vol. 20/ARS, Desember 1994.

Handinoto (1996), Perkembangan Kota dan Arsitektur Belanda di Surabaya, 1870-1940, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universita Kristen Petra dan Penerbit Andi Yogyakarta.

Handinoto dan Paulus H.S. (1996), Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda diMalang 1904-1940, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universita Kristen Petra dan Penerbit Andi Yogyakarta

Karsten , Thomas (1935), Het Ontwikkelingsplan der Gemeente Malang, dalam majalah IBT Locale Techniek 5, no.3. hal. 59.

Kunto, Haryoto (1996), Balai Agung di Kota Bandung, Grnesia, Bandung. Nas, Peter J.M. (Eds)(1986) The Indonesian City, Foris Publication Dordrecht-

Holland/Cinaminson USA.

Page 14: Handinoto. Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota Di Jawa Pada ...

DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26- DESEMBER 1998

14

Van Roosmalen, Pauline (1992), De Stadbouwkundige ontwikkeling van Bandung tussen 1906 en 1949, doctoral scriptie, Vrije Universiteit te Amsterdam.

Van Schaik A. (1996), Malang Beeld van een Stad, Asia Maior, Purmerend. Voskuil .P.G.A. (1996), Bandoeng, Beeld van een Stad, Asia Maior, Purmerend.